Cinta Bernoda Darah Jilid 14

Kini mulailah kedua racun yang bertentangan itu bekerja, bertempur mati-matian di dalam tubuh Sian Eng, membuat gadis ini dalam keadaan tidak sadar, sebentar kepanasan sebentar kedinginan. Kalau Tuhan Yang Maha Kuasa menghendaki seseorang harus masih hidup, tidak akan kekurangan jalan, betapa pun aneh dan tak mungkin tampaknya jalan itu di mata manusia. Demikian pula dengan halnya Sian Eng. Nyawanya tergantung di ujung sehelai rambut. Hanya Tuhan saja yang mampu menolongnya, hanya Tuhan yang memutuskan mati hidupnya.
Dua macam racun yang memasuki tubuhnya, yang satu lewat luka-luka gigitan yang kedua lewat mulut, adalah racun-racun yang amat berbahaya dan terlalu banyak masuk ke tubuhnya. Kini kedua macam racun yang mempunyai kekuatan bertentangan itu saling bertanding, saling dorong untuk menguasai tubuh Sian Eng yang akan berakhir dengan maut jika satu di antara kedua racun itu kalah! Hawa panas dan dingin saling desak, kuasa-menguasai. Sedikit saja selisih kekuatan kedua hawa ini, akan tamatlah riwayat hidup Kam Sian Eng, gadis yang bernasib malang ini.

Namun, seperti sudah disebutkan tadi, Tuhan belum menghendaki riwayat gadis ini tamat, karenanya secara ajaib sekali, kedua macam racun itu kebetulan memiliki kekuatan seimbang! Mereka saling bercampur dan lenyaplah daya merusak, bahkan sebaliknya, di dalam tubuh Sian Eng, kedua macam racun itu bercampur dan lahirlah semacam daya tenaga mukjijat yang membuat sinkang (hawa sakti) di tubuh gadis ini naik beberapa puluh kali lipat!

Tidaklah mengherankan apa bila saat gadis itu bergerak bangun setelah hari kembali menjadi gelap, yaitu pada malam ketiga, gadis itu merasa tubuhnya ringan dan nyaman sekali, sama sekali tidak ada rasa sakit lagi, yang ada hanya rasa hangat yang menyenangkan. Selain ini lenyap pula rasa takut dan rasa ngeri. Bahkan ia tertawa-tawa ketika mendengar sambaran kelelawar-kelelawar yang untuk ketiga kalinya kini mulai hendak menyerbu musuh yang ulet itu.

Sian Eng merasa betapa sambaran binatang-binatang itu amat lambat dan lemah. Dengan mudahnya ia menyentil dengan kuku-kuku jarinya. Sekali sentil saja remuklah kepala kelelawar yang menyambar ke arahnya. Ketika banyak sekali binatang itu mulai menyerbu, Sian Eng kewalahan juga dan terpaksa membiarkan satu dua ekor menggigit tubuhnya yang setengah telanjang itu.

Akan tetapi terjadilah keanehan. Gadis ini sama sekali tidak merasakan nyeri ketika tergigit, sebaliknya, kelelawar yang menggigitnya itu melepas gigitan, jatuh dan berkelojotan terus mati! Tentu saja hal ini tidak tampak oleh Sian Eng, akan tetapi sejam kemudian, tidak ada seekor pun kelelawar yang menyerangnya lagi. Binatang-binatang itu hanya beterbangan dan bercuit-cuit ketakutan, seakan-akan mereka kini mengakui bahwa manusia yang tiga malam berturut-turut dikeroyoknya itu tak terkalahkan dan patut menjadi ratu mereka.

Sian Eng terbebas dari ancaman maut oleh racun-racun berbahaya itu. Akan tetapi agaknya pengaruh racun-racun itu mempengaruhi juga otaknya. Setidaknya tentu mengubah kesempurnaannya, mengganggu dan membuat Sian Eng menjadi orang aneh. Kadang-kadang ia tertawa sendiri kalau menangkap kelelawar untuk dimakan, kadang-kadang ia menangis karena teringat akan Suma Boan. Malam ketiga itu diisi dengan tawa dan tangis berganti-ganti.

Pada keesokan harinya, Sian Eng dapat bergerak dengan gesit dan pikirannya juga menjadi terang. Teringatlah ia bahwa ia terkurung di situ, terkubur hidup-hidup. Pikiran ini menggerakkan semangatnya dan ia menghampiri batu penutup lubang. Dicobanya tenaganya untuk membongkar batu itu, untuk mondorongnya kembali. Ia merasa betapa dalam tubuhnya bergolak hawa yang amat kuat, yang terasa panas sekali. Ia mengerahkan tenaga, hawa panas meningkat, batu bergoyang, akan tetapi tiba-tiba hawa panas itu berubah menjadi hawa dingin dan... Sian Eng roboh pingsan dan batu itu kembali menutup lubang!

Setelah siuman kembali, Sian Eng mencoba dan berkali-kali ia pingsan hanya karena perubahan hawa di dalam tubuhnya. Akhirnya ia maklum bahwa di dalam tubuhnya terdapat hawa yang aneh, yang kadang-kadang panas, kadang-kadang dingin, akan tetapi yang demikian hebat sehingga ia tidak mampu menguasainya dan kalau ia memaksa terus mengerahkan tenaga yang aneh itu, tentu akhirnya ia akan mati terpukul sendiri. Karena inilah Sian Eng lalu mencari jalan lain. Ia memeriksa seluruh dinding, seinci demi seinci, diperiksanya teliti sekali. Namun hasilnya sia-sia dan sementara itu, karena ia belum dapat menguasai dua macam hawa di tubuhnya, berkali-kali Sian Eng roboh pingsan.

Akan tetapi pada suatu hari, kurang lebih lima hari semenjak ia terkurung di situ, usahanya berhasil. Ia mulai memeriksa lantai. Satu per satu batu-batu lantai ditelitinya dan akhirnya ketika ia mendongkel sebuah batu di sudut kiri, terbongkarlah lubang yang lebarnya ada dua kaki persegi. Mendadak dari dalam lubang itu meluncur keluar seekor ular yang kepalanya putih. Bagaikan kilat menyambar, ular itu menerjang ke atas dan tanpa dapat dielakkan lagi, lengan kiri Sian Eng kena digigit.

Sian Eng menjerit dan mengerahkan tenaga. Karena ia belum menguasai dua macam tenaga di tubuhnya, ia mengerahkan sekenanya saja dan kebetulan pada saat itu hawa dingin di tubuhnya yang lebih kuat, maka seketika pengerahan tenaga ini membuat lengannya yang tergigit ular itu terasa seperti berubah menjadi es! Dan hebatnya, ular itu lalu melepaskan gigitannya, melingkar-lingkar menggeliat-geliat dan tak bergerak lagi, mati! Sian Eng menjadi tertarik sekali. Inikah tempat persembunyian kitab-kitab Tok-siauw-kui?

Tanpa ragu-ragu lagi ia memasuki lubang itu, dan ternyata setelah ia melompat turun, ia berada di sebuah ruangan lain, ruangan atas dan tepat berada di bawah ruangan yang penuh bangkai kelelawar itu. Dan cahaya matahari masuk melalui lubang dua kaki tadi, cukup membuat ruangan itu menjadi terang. Di sudut ruangan, terdapat sebuah meja batu atau lebih tepat sebuah bangku batu yang permukaannya legok (cekung) dan menggambarkan bentuk pantat dan kaki orang yang bersila. Agaknya tempat ini dahulunya dipakai duduk bersila orang yang bertapa di sini. Benar-benar merupakan hal yang luar biasa sekali, bagaimanakah sebuah bangku batu sampai cekung seperti itu hanya karena diduduki orang saja. Hanya bangku itulah yang terdapat di dalam kamar itu, dan tidak ada apa-apa lagi.

Saking besarnya rasa kecewa dan menyesalnya, Sian Eng lalu menjatuhkan diri berlutut di depan bangku itu dan menangis. Ia melihat betapa tapak kaki bersila itu kecil mungil, menggambarkan kaki seorang wanita, maka ia merasa yakin bahwa tentu bangku ini menjadi tempat bersila dan bertapa semedhi Tok-siauw-kui Liu Lu Sian, ibu dari Suling Emas. Ia menangis karena teringat akan hubungannya dengan Tok-siauw-kui.

Tok-siauw-kui dahulunya adalah isteri ayahnya, Jenderal Kam Si Ek, yang kemudian pergi meninggalkan suaminya sehingga ayahnya itu menikah lagi dengan ibunya. Agaknya Tok-siauw-kui demikian benci kepada ibunya sehingga kini biar pun sudah meninggal, Tok-siauw-kui masih melampiaskan sakit hatinya dan menghukum anak dari wanita yang merebut suaminya!

“Bibi Liu Lu Sian... mengapa kau begini kejam? Mengapa aku yang kau siksa, padahal aku tidak berdosa kepadamu? Bibi... betapa pun juga aku adalah anak tirimu... kau pernah mencinta ayah kandungku.... Demi mendiang ayahku... harap kau tunjukkan jalan ke luar bagiku, Bibi...!” Ia menangis dan masih berlutut di depan bangku batu itu. Kemudian ia teringat akan ayahnya dan menangis makin sedih.

“Ayah... Ayah, kau tentu sudah berkumpul dengan Bibi Liu Lu Sian... bujuklah dia agar supaya anakmu ini diberi petunjuk keluar dari neraka ini!” sambil menangis Sian Eng membentur-benturkan kepalanya di atas lantai depan bangku.

Tiba-tiba terdengar bunyi perlahan. Ternyata setiap kali Sian Eng membenturkan jidatnya di atas lantai, bangku batu itu bergeser ke kiri, makin lama makin ke kiri sehingga akhirnya tampaklah sebuah lubang di bawah bangku batu itu. Sian Eng terkejut dan memandang dengan heran karena di situ terdapat sehelai kain kuning yang menutupi sesuatu dan ditulisi dengan huruf-huruf besar berbunyi: WASIAT PENINGGALAN LIU LU SIAN.

Jantungnya berdebar keras dan tangannya sudah digerakkan untuk meraih dan membuka kain kuning itu, untuk segera melihat wasiat dari wanita sakti itu. Akan tetapi ia segera ingat bahwa benda-benda di bawah kain kuning itu adalah milik Liu Lu Sian, dan bahwa wasiat wanita ini mustahil ditinggalkan untuk dirinya. Ia tidak berani melanjutkan niatnya. Ia tidak berhak! Akan tetapi selagi ia termenung, ia teringat akan tugasnya, teringat akan kekasihnya, Suma Boan. Timbullah pertentangan dalam batinnya.

Ia adalah keturunan seorang gagah. Ayahnya, Kam Si Ek semenjak muda terkenal sebagai seorang satria utama yang menjunjung tinggi kegagahan dan tidak sudi melakukan sesuatu yang tercela. Semenjak ia masih kecil, ayahnya sudah menjejalinya dengan budi pekerti orang gagah. Akan tetapi di lain pihak, cinta kasihnya terhadap Suma Boan juga terasa berat menekan di hati.

Akhirnya kembali Sian Eng berlutut di depan bangku batu tempat bersemedhi Tok-siauw-kui, membenturkan jidatnya di lantai sambil berkata, “Bibi Liu Lu Sian, mohon perkenan bibi untuk mengambil sebuah dua buah kitab peninggalan demi memenuhi kehendak kekasih. Mohon bibi sudi memberi ampun....” Tiba-tiba Sian Eng menghentikan kata-katanya karena pada saat itu, dari dalam lubang tadi melayang keluar tiga batang anak panah yang menyambar ke atas.

Anak-anak panah itu lewat di depan mukanya dan peninglah kepala Sian Eng mencium bau yang wangi memabukkan. Terang bahwa anak-anak panah itu mengandung racun yang dahsyat dan andai kata ia tadi melanjutkan niatnya membuka kain kuning, tentu anak-anak panah itu akan tepat mengenai muka dan lehernya. Ia mendongak ke atas dan melihat anak-anak panah itu menancap pada dinding batu, gagangnya bergoyang-goyang.

Sian Eng bergidik ngeri dan ketika ia memandang ke arah lubang tadi, ternyata kain kuningnya telah tersingkap dan di bawahnya hanya terdapat alat-alat rahasia yang tadi menggerakkan tiga anak panah. Kiranya ketika ia membenturkan kepala di lantai depan bangku batu yang kini sudah pindah ke kiri, ada alat rahasia yang menggerakkan anak-anak panah itu sehingga ia selamat. Seorang yang begitu saja membuka kain kuning tadi karena bernafsu memiliki wasiat, betapa pun pandainya, pasti akan menjadi korban anak panah karena anak-anak panah itu menyambar tak terduga-duga dan jaraknya amat dekat.

Sian Eng memandang lebih teliti dan ternyata selain alat-alat yang menggerakkan anak panah, juga di situ terdapat tulisan yang terukir pada dasar lubang. Seperti tulisan di atas kain kuning, tulisan yang terukir pada batu di dasar itu pun besar-besar, dan jelas, berbunyi : YANG TAHU AKAN SOPAN SANTUN PATUT MENJADI MURIDKU. DUDUKLAH BERSEMEDHI DI ATAS BANGKU, HANYA YANG BERJODOH AKAN BERHASIL.

Sian Eng bukan bermaksud hendak menjadi murid Tok-siauw-kui, melainkan bermaksud untuk mencari kitab peninggalan wanita sakti itu, untuk diberikan kepada kekasihnya. Karena bukankah kitab-kitab ini akan menyenangkan Suma Boan dan seperti dijanjikan oleh kekasihnya itu, setelah ia berhasil menemukan kitab-kitab itu mereka akan pergi ke Cin-ling-san untuk merundingkan urusan perjodohan mereka dengan bibi gurunya? Selain itu tadinya ia tidak memiliki keinginan lain.

Akan tetapi setelah kini ia terkurung dan tidak mampu keluar, timbullah keinginannya untuk mempelajari ilmu-ilmu peninggalan Tok-siauw-kwi, sungguh pun hal ini hanya dimaksudkan untuk membuat ia mampu keluar dari neraka ini. Karena itulah maka tanpa ragu-ragu lagi Sian Eng lalu naik ke atas bangku batu dan duduk bersila.

Alangkah herannya ketika ia mendapat kenyataan betapa lekuk-lekuk di atas permukaan batu cocok benar dengan ukuran tubuh belakang dan kakinya, seakan-akan sudah dicetak untuk dirinya. Kemudian ia teringat akan Tok-siauw-kui yang muncul dan menggemparkan perayaan Beng-kauw. Memang ada persesuaian dalam bentuk tubuh wanita sakti itu dengan dirinya. Mulailah Sian Eng mengheningkan cipta, bersiulian (bersemedhi) di atas bangku itu yang ternyata amat enak diduduki.

Akan tetapi sama sekali di luar dugaannya bahwa hal ini akan membawa ia kepada hal-hal baru yang akan mengubahnya menjadi seorang manusia lain! Ia tekun bersiulian seperti yang diajarkan ayahnya, duduk diam tak bergerak sedikit pun juga, mematikan raga. Tanpa ia sadari, ia sudah duduk seperti itu selama setengah hari!

Tiba-tiba terdengar suara keras dan kagetlah Sian Eng karena ia merasa tubuhnya terjatuh ke bawah. Ketika ia membuka matanya, benar saja, bangku batu itu sudah nyeplos ke bawah dan ia sudah berada di dalam ruangan lain, di bawah ruangan yang tadi. Ia segera turun dan melihat betapa di ruangan ini terdapat dipan untuk tidur, terdapat meja dan bangku, sedangkan di atas meja terdapat akar-akar dan buah-buah obat, juga di sana-sini bertumpuk kitab-kitab kuno. Sedangkan di sudut kiri terdapat sebatang pedang yang mengeluarkan sinar merah, pedang telanjang yang menancap pada dinding batu karang sampai setengahnya!

Dengan hati berdebar-debar tidak karuan Sian Eng memperhatikan cara bagaimana ia tadi dapat merosot ke bawah bersama bangku yang didudukinya. Setelah mengadakan pemeriksaan, kiranya bangku tadi dipasangi alat-alat yang halus sekali dan ternyata kehangatan tubuhnya melepaskan minyak-minyak beku dan menggerakkan alat-alat yang bergerak otomatis. Kalau saja tubuh orang yang bersemedhi tidak cocok dengan lekuk-lekuk di permukaan batu tadi, kiranya alat itu takkan dapat berjalan. Terang bahwa Tok-siauw-kui memang menghendaki seorang yang bentuk tubuhnya menyamainya, yang tentu saja seorang wanita, untuk menjadi ahli warisnya! Dan kini kitab-kitab pelajaran yang serba rahasia, yang dicari penuh kerinduan oleh orang-orang di seluruh dunia kang-ouw, terletak di depan Sian Eng, tinggal memilih saja!

Akan tetapi Sian Eng tidak membutuhkan semua ilmu itu! Ia hanya ingin mempelajari ilmu untuk menghimpun tenaga sakti agar ia dapat menggerakkan batu-batu penutup lubang, agar ia dapat keluar dan ia akan membawa sebuah dua buah kitab ilmu untuk diberikan kepada kekasihnya yang berada di luar goa. Karena kitab-kitab itu banyak sekali macamnya, akhirnya ia dapat juga menemukan sebuah kitab yang mengajarkan ilmu Ban-kin-pek-ko-chiu (Ilmu Keraskan Tangan Selaksa Kati) dan I-kin-swe-jwe (Ganti Otot Cuci Sumsum). Ilmu ini mengajarkan cara bersemedhi dan bernapas, menghimpun tenaga sakti dan menguasainya.

Segera Sian Eng bersemedhi dan berlatih menurut petunjuk kitab ini. Sama sekali ia tidak mengira bahwa kalau bagi orang lain harus memakan waktu berbulan-bulan untuk memetik buah latihan ilmu ini, baginya hanya membutuhkan beberapa hari saja oleh karena di dalam tubuhnya sudah terdapat dua macam hawa panas dan dingin yang amat hebat berkat racun dari kelelawar.

Berhari-hari Sian Eng tekun berlatih dan apa bila ia merasa lapar, ia menangkapi kelelawar untuk dimakan dagingnya. Untuk minum tidaklah sukar karena dinding batu-batu karang itu mengandung air, dan di sana-sini terdapat air jernih menetes-netes dari atas. Tentang akar-akar dan buah-buah obat di atas meja, tidak ia perhatikan ketika ia membaca keterangan di sampingnya bahwa obat-obat itu adalah obat untuk pelbagai luka pukulan dan korban racun.

Demikianlah, tidak mengherankan apa bila dua pekan kemudian semenjak ia memasuki goa, Sian Eng sama sekali tidak mendengar teriakan-teriakan Suma Boan yang menyusulnya dan berteriak-teriak dari luar batu penutup lubang. Di waktu itu ia sedang tekun bersemedhi menyempurnakan sinkang yang sudah terasa memenuhi tubuhnya. Dengan girang Sian Eng mendapat kenyataan bahwa tenaga panas dan dingin yang kadang-kadang menguasainya, yang membuatnya berkali-kali pingsan, kini dapat ia kuasai sepenuhnya dengan cara yang diberikan oleh kitab itu.

Sian Eng menghentikan latihannya setelah merasa bahwa ia dapat menguasai tenaga mukjijat itu, dan pada saat itu barulah ia melihat gambaran di dinding, gambaran yang ada tanda-tanda huruf kecil terukir. Ia segera memperhatikan dan bukan main girang hatinya karena gambaran-gambaran itu merupakan tanda-tanda rahasia cara membuka dan menutup pintu-pintu rahasia dan alat-alat rahasia lain yang dipasang di dalam istana di bawah tanah ini. Cepat ia mencari rahasia batu besar yang menutup terowongan dan kiranya rahasianya terletak pada batu itu sendiri. Di ujung kanan atas dari batu itu terdapat bagian yang menonjol dan bagian inilah yang harus dipukul tiga kali ke dalam.

Dengan hati amat girang Sian Eng melompat melalui lubang itu ke bagian atas, kemudian sekali lagi ia menerobos ke bagian paling atas melalui lubang. Ia tidak sadar bahwa gerakannya melompat melalui lubang ini hebat dan ringan sekali, jauh bedanya dengan keadaan dirinya sebelum memasuki tempat ini. Begitu memasuki ruangan paling atas, hidungnya disambut bau yang amat busuk dari bangkai-bangkai kelelawar yang bertumpuk-tumpuk di situ selama beberapa hari. Sian Eng menutupi hidungnya dan dengan menahan napas ia lalu menghampiri batu penutup terowongan. Betul saja, di bagian atas ujung kanan batu itu terdapat bagian yang menonjol. Ia mengepal tangannya dan menghantam tiga kali.

Terdengarlah suara berkerotokan dan... dapat dibayangkan rasa gembira hati gadis itu melihat batu besar itu bergerak dan masuk ke dalam dinding membuka jalan terowongan itu seperti sedia kala! Saking girangnya Sian Eng lalu menjatuhkan diri berlutut dan menangis tersedu-sedu. Kemudian ia teringat kembali kepada Suma Boan, maka cepat ia melompat dan berlari-lari ke luar melalui terowongan sambil tertawa-tawa gembira. Tadi ketika keluar dari dalam kamar rahasia, ia telah mengambil dua buah kitab kuno yang ia kira tentu akan memuaskan hati kekasihnya, karena kitab-kitab itu adalah kitab ilmu pedang dan ilmu silat. Kini dua buah kitab kuno itu berada di balik baju dalamnya.

Akan tetapi ketika ia tiba di luar goa, di situ sunyi sekali tidak kelihatan bayangan Suma Boan. Pada waktu itu hari telah berganti malam, keadaan di luar goa gelap gulita.

“Suma-koko!” Sian Eng memanggil, menyangka bahwa kekasihnya tentu sedang beristirahat di suatu tempat setelah menanti-nanti dirinya keluar dengan hati kesal. Tentu kekasihnya itu merasa khawatir sekali, mungkin sudah putus asa.

“Suma-koko!” berkali-kali ia memanggil sambil melangkah ke luar, namun tidak ada yang menjawab.

Tiba-tiba ia mendengar teriakan-teriakan dari jauh. Sian Eng cepat menggerakkan kakinya mengejar. Juga kali ini ia tidak sadar bahwa gerakan kakinya cepat dan ringan bukan main, dan bahwa ia telah berlari cepat sekali! Ini adalah berkat hawa sakti di tubuhnya yang kini mulai dapat ia kuasai setelah ia memiliki Ilmu Ban-kin Pek-ko-chiu. Sama sekali ia tidak tahu bahwa Suma Boan baru saja keluar dari dalam goa, dan bahwa pemuda itu hampir celaka oleh Liu Hwee dan Kauw Bian Cinjin.

Setelah melakukan pengejaran dengan kecepatan mengagumkan, akhirnya ia dapat menyusul dua bayangan yang berkejaran itu. Segera ia mengenal Liu Hwee yang mengejar Suma Boan! Ia tidak mengenal apa sebabnya, maka diam-diam ia hanya mengikuti mereka.

Ketika tiba di luar hutan, Liu Hwee mulai menyerang Suma Boan dengan senjata rahasia jarum perak, kemudian karena pemuda itu terhalang larinya ketika mengelak, gadis puteri ketua Beng-kauw ini cepat menerjangnya dengan senjatanya yang hebat, yaitu sepasang cambuknya yang diganduli dua buah bola baja.

“Suma Boan manusia busuk, kau hendak lari ke mana?!” bentak Liu Hwee.

Melihat bahwa gadis ini hanya mengejar sendirian saja, Suma Boan menjadi marah dan timbul kembali keberaniannya. Tadi ia melarikan diri karena gadis itu berdua dengan Kauw Bian Cinjin, merupakan lawan yang amat berat. Sekarang melihat gadis itu sendirian saja, ia lalu membalikkan tubuh dan melawan sambil memaki.

“Bocah sombong, kau bosan hidup!”

Seperti biasa, pemuda bangsawan ini melawan dengan tangan kosong saja. Menghadapi lawan muda, biar pun lawan bersenjata, biasanya ia selalu mendapatkan kemenangan karena sebagai murid It-gan Kai-ong tentu saja ia memiliki tingkat ilmu silat yang tinggi. Akan tetapi kali ini ia berhadapan dengan puteri Beng-kauw! Pula Liu Hwee memegang senjata aneh yang amat berbahaya. Di samping ini, baru saja Suma Boan mengalami hal-hal yang melelahkan dan menakutkan, sedangkan betisnya yang ia potong dagingnya juga masih terasa sakit. Oleh karena semua inilah maka sebentar saja ia terdesak hebat dalam pertandingan mati-matian itu.

Cuaca remang-remang karena hanya diterangi bintang-bintang di langit, dan dua orang ini bertanding mengandalkan ketajaman telinga, karena ketajaman pandangan mata tidaklah dapat dipercaya dalam keadaan setengah gelap itu.

Betapa pun Suma Boan mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaian, ia tidak dapat mengimbangi kecepatan senjata cambuk di tangan Liu Hwee dan pada saat sebuah di antara bola-bola baja itu menyambar pundaknya, Suma Boan mengeluh panjang dan terhuyung-huyung. Ia sudah mengerahkan tenaga untuk menolak pukulan itu, namun tetap saja karena yang diarah adalah jalan darah yang lemah, ia menderita luka yang biar pun tidak parah namun cukup membuat kedudukannya menjadi makin lemah.

“Siapa berani mengotori tempat suci Beng-kauw, harus mati!” seru Liu Hwee dan senjatanya kembali menyambar, kini mengarah kepala dan yang sebuah lagi menotok pusar. Serangan maut yang agaknya sukar untuk dapat dihindarkan oleh Suma Boan yang sudah terhuyung-huyung.

Akan tetapi tiba-tiba menyambar angin pukulan yang amat dahsyat dari samping, yang membuat sepasang bola di ujung cambuk itu meleset arahnya, bahkan tampak bayangan orang yang cepat menyambar cambuk itu dan sekali merenggut, cambuk itu terampas dari tangan Liu Hwee! Gadis ini kaget sekali karena sama sekali tidak menyangka-nyangka sehingga senjatanya kena dirampas orang. Ia mengira bahwa yang datang tentulah It-gan Kai-ong, atau setidaknya tentu kawan Suma Boan yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, maka ia meloncat mundur dan siap-siap menghadapi lawan tangguh dengan tangan kosong.

Akan tetapi bayangan itu sudah menyambar tubuh Suma Boan dan dibawa lari dari tempat itu! Lie Hwee menjadi penasaran sekali. Biar pun ia maklum bahwa lawan amat tangguh dan ia harus berhati-hati, namun ia diam-diam mengikuti dan mengejar ke arah lenyapnya bayangan yang membawa lari senjata dan juga membawa lari Suma Boan itu. Sayang baginya, malam yang gelap membuat ia kehilangan jejak lawannya sehingga akhirnya Lie Hwee hanya melanjutkan pengejarannya dengan kira-kira saja, untung-untungan.

Sementara itu, bayangan tadi membuang jauh-jauh senjata rampasannya, dan terus membawa lari Suma Boan. “Suma-koko... kau terluka...?” katanya sambil lari.

Sejenak Suma Boan tak mampu menjawab. Tadi ketika ia sudah terancam bahaya maut di tangan Liu Hwee, ia merasa girang dan heran karena tertolong oleh bayangan yang belum ia ketahui siapa dia. Akan tetapi ketika tubuhnya disambar dan dibawa lari, ia tahu bahwa orang ini adalah seorang gadis yang pakaiannya robek-robek tidak karuan, akan tetapi yang memiliki kepandaian hebat sekali.

Karena kehebatan gerak inilah maka ia tidak mengenal Sian Eng, karena mana mungkin Sian Eng memiliki kepandaian sehebat ini? Pula, keadaan yang gelap membuat ia tidak dapat melihat wajah gadis itu dengan baik. Baru sekarang setelah gadis itu membuka mulut bicara, ia tahu bahwa penolongnya bukan lain adalah Sian Eng! Tentu saja ia menjadi bengong dan tak mampu menjawab. Pikirannya bekerja. Tentu terjadi sesuatu yang hebat kepada diri Sian Eng, dan tentu selama dua pekan itu, Sian Eng telah mempelajari ilmu yang sakti.

Suma Boan memang seorang yang cerdik, akan tetapi juga hatinya kotor oleh syakwasangka dan penuh tipu muslihat. Ia mulai curiga. Tentu gadis ini mengkhianatinya, setelah mendapatkan ilmu lalu dimilikinya sendiri!

“Suma-koko... hebatkah lukamu?” kembali Sian Eng bertanya sambil melanjutkan larinya, karena gadis ini merasa khawatir kalau-kalau ada yang mengejar mereka.
Suma Boan pura-pura mengeluh panjang, “Cukup hebat... mengapa kau begitu lama baru muncul, Moi-moi? Dan bagaimana hasilnya, dapatkah kau menemukan kitab-kitab itu?”

“Dapat... dapat... jangan khawatir, Suma-koko. Aku membawa dua buah kitab untukmu.” Tiba-tiba gadis ini ter­tawa dan berdirilah bulu tengkuk Suma Boan. Suara ketawa ini tidak sewajarnya, pikirnya. Akan tetapi diam-diam ia girang bukan main.

“Mana kitab-kitab itu? Biarlah aku yang membawanya!” katanya menahan suaranya agar tidak gemetar.

“Nanti saja, kita lari dulu, takut kalau-kalau dikejar musuh.”

“Katakan saja di mana, aku yang akan ambil.” tangan Suma Boan mulai meraba-raba.

Kembali Sian Eng tertawa geli, “Ihhh, jangan begitu. Kusimpan di balik... baju dalam dan....” Tiba-tiba suaranya terhenti dan gadis itu roboh lemas.

Kiranya Suma Boan telah menotoknya dengan tiba-tiba. Karena yang ditotok adalah tong-cu-hiat di belakang leher dan thian-hu-hiat, maka seketika Sian Eng roboh lemas dan tak dapat mengeluarkan suara lagi. Terpaksa ia hanya dapat melihat dan merasa betapa Suma Boan meraba-raba dadanya dan mengeluarkan dua buah kitab yang disimpannya di situ. Terdengar pemuda itu berseru girang, mengantongi dua buah kitab itu lalu menyambar tubuh Sian Eng dan kini gadis itulah yang dibawa lari oleh Suma Boan, dipondong di atas pundak!

Sian Eng menjadi kecewa dan juga bingung. Sama sekali ia tidak menyangka bahwa kekasihnya akan melakukan perbuatan seperti ini. Saking marahnya, ketika ia berusaha untuk mengerahkan tenaga, jalan darahnya yang berhenti itu membuat hawa sakti menyerang dirinya sendiri dan ia pingsan seketika!

Ketika Sian Eng siuman dari pingsannya, ia mengerang perlahan dan tubuhnya tidak karuan rasanya. Ia memandang ke kanan kiri dan mendapatkan dirinya berbaring telentang di atas sebuah dipan di dalam kamar perahu yang oleng ke kanan kiri, agaknya sebuah perahu besar yang berlabuh di pinggir. Melihat kamar yang bersih dan indah ini, tentu ia berada di sebuah perahu yang mewah.

Sinar matahari yang memasuki jendela kamar perahu menandakan bahwa malam telah berganti pagi dan hawa pagi itu sejuk menyegarkan. Namun Sian Eng tidak merasa segar bahkan merasa tidak enak sekali. Kagetlah ia ketika menengok dirinya. Ternyata pakaiannya yang robek-robek semalam telah diganti pakaian indah bersih, pakaiannya sendiri yang buntalannya dibawa Suma Boan ketika ia memasuki goa. Seketika wajahnya menjadi merah. Ia dapat menduga bahwa tentu Suma Boan yang mengganti pakaiannya. Serentak ia bangkit dan ia menyeringai. Badannya terasa sakit-sakit. Kemarahannya bangkit ketika ia teringat akan kelakuan Suma Boan semalam, yang secara khianat telah menotoknya. Kemudian kecurigaannya timbul ketika ia menyaksikan keadaan dirinya di pagi ini.

Tiba-tiba pintu kamar itu terbuka dari luar dan masuklah Suma Boan. Pemuda ini berpakaian indah bersih pula, wajahnya berseri-seri dan ia memandang kepada Sian Eng dengan senyum lebar yang menambah ketampanan wajahnya. “Isteriku yang manis, kau sudah bangun?”

Bagaikan disambar petir Sian Eng memandang terbelalak. Ucapan ini memperkuat kekhawatiran hatinya. “Apa... apa kau bilang...?”

Kemudian, pandang mata Suma Boan seakan-akan menceritakan semuanya, membuat Sian Eng gemetar seluruh tubuhnya. “Kau... kau telah melakukan....”

Suma Boan melangkah maju dan memeluknya mesra. “Isteriku, kau isteriku yang tercinta. Sian Eng, kita telah menjadi suami isteri dan... aduhhh...!”

Suma Boan terlempar ke sudut kamar karena dengan tenaga yang dahsyat sekali Sian Eng telah mendorongnya. Sian Eng kini bangkit berdiri, matanya merah menyala-nyala, pipinya seperti terbakar rasanya. “Keparat biadab! Kau... kau berani....”

Suma Boan terkejut bukan main, akan tetapi sebagai seorang ahli silat tingkat tinggi ia tidak terluka. Ia melangkah maju lagi dan membujuk dengan suara manis.

“Eng-moi-moi, kau kenapakah? Bukankah kau mencintaku? Bukankah kau tahu bahwa aku pun mencintamu dengan seluruh jiwa ragaku, dan bahwa kita toh akan menjadi suami isteri juga kelak? Aku... saking bahagia hatiku semalam melihat besarnya cinta kasihmu sehingga kau rela melakukan tugas berbahaya, kemudian melihatmu aku tak tahan lagi. Ah, Sian Eng, apa sebabnya kau menjadi marah-marah?”

“Keparat busuk!” Sian Eng memaki dan bagaikan seekor singa betina ia menerjang maju.

Suma Boan tentu saja tidak mau membiarkan dirinya diserang, cepat ia mengelak, malah kemarahannya kini bangkit. Memang sesungguhnya di hati putera pangeran ini tidak ada cinta kasih murni terhadap Sian Eng, yang ada hanya cinta berdasarkan nafsu binatang belaka yang dibangkitkan oleh kecantikan gadis itu. Perlakuannya terhadap Sian Eng memang ia sengaja, merupakan siasatnya karena ia menafsir bahwa Sian Eng telah mewarisi ilmu yang hebat dan jika sudah menjadi ‘isterinya’ tentu Sian Eng akan membuka rahasia ilmu itu kepadanya. Tentu saja di samping ini, juga kelemahan batinnya terhadap kecantikan Sian Eng merupakan sebab yang kuat pula sehingga di malam itu ia melakukan perbuatan biadab seperti binatang.

Kini dalam marahnya, Suma Boan balas menyerang. Memang ilmunya lebih tinggi dari pada kepandaian Sian Eng, maka sekali ia mengeluarkan jurus yang sulit, tangannya berhasil memukul pundak Sian Eng, membuat gadis itu terjungkal.

“Kau hendak berlagak, ya? Mulai sekarang kau harus mentaati segala perintahku, kalau tidak, kau akan kusiksa sampai mampus! Perempuan tak tahu diri, diperlakukan baik-baik kau tidak mau terima!” Sambil berkata demikian, dalam kebesaran hatinya sudah berhasil merobohkan Sian Eng, Suma Boan melangkah maju.

Sian Eng rebah miring dan menoleh. Matanya terbelalak. Peristiwa ini hampir membuatnya menjadi gila. Rasa menyesal, kecewa, marah, malu, dan sakit hati memenuhi kepalanya, membuat kepalanya berdenyut-denyut, membuat tubuhnya sebentar panas sebentar dingin. Tak disangkanya sama sekali bahwa orang yang dicintanya, yang dipujanya, yang diharapkan menjadi suaminya kelak, memperlakukan dia seperti ini.

Tiba-tiba kemarahannya memuncak, ia mengerahkan tenaga Ban-kin-pek-ko-chiu dan ketika Suma Boan sudah melangkah dekat, ia siap-siap. Benar saja, Suma Boan yang bermaksud hendak ‘menundukkan’ Sian Eng mengangkat kakinya menendang. Pada saat itu Sian Eng menyambar kaki itu dan ia melompat berdiri. Suma Boan tidak bisa berkutik, tubuhnya jungkir-balik dan Sian Eng mengayun-ayun tubuh itu, diputar-putarnya di atas kepala!

“Kuhancurkan kepalamu! Kukeluarkan jantungmu! Binatang kau, jahanam keparat!” Sian Eng memaki-maki sambil menangis dan air matanya bercucuran.

Suma Boan takut setengah mampus. Ia berusaha untuk mengerahkan tenaga dan melepaskan diri, namun kakinya yang dicengkeram tangan Sian Eng itu serasa hancur dan ia tidak mampu meronta. Ia mulai merintih-rintih dan dari dalam saku bajunya meluncur keluar dua buah kitab kuno. Melihat ini Sian Eng mendadak tertawa-tawa!

“Hi-hi-hi-hik! Untuk dua kitab ini kau tega merusak diri dan hatiku! Kau tega menghancurkan harapan hidupku, membuyarkan cita-citaku, membanting remuk kasih sayangku. Hanya untuk dua buah kitab kuno, hi-hi-hik!”

Makin takutlah Suma Boan. “Sian Eng... Moi-moi... kau ampunkanlah diriku... Eng-moi, ingatlah... aku cinta kepadamu, sungguh mati, biar aku bersumpah...!” Akan tetapi kata-katanya tenggelam dalam suara ketawa Sian Eng.

Pada saat itu terdengar suara wanita nyaring di luar bilik perahu. Suara Liu Hwee yang menantang, “Bangsat Suma Boan! Keluarlah kalau kau laki-laki!”

Sian Eng terkekeh makin geli. “Dia memang laki-laki, akan tetapi laki-laki seperti anjing. Nah, terimalah!” Ia mengayun tubuh Suma Boan dan melemparkannya ke luar dari pintu.

Baiknya Suma Boan dapat mengerahkan ginkang-nya sehingga ia dapat mengatur keseimbangan tubuhnya dan dapat jatuh berdiri di luar kamar. Alangkah kagetnya ketika ia melihat Liu Hwee yang berdiri di situ dengan sikap menantang. Mula-mula ia khawatir kalau-kalau Liu Hwee datang bersama orang lain. Akan tetapi setelah mendapat kepastian bahwa gadis puteri Beng-kauw ini hanya seorang diri, apa lagi tidak bersenjata, melainkan bertangan kosong dan bertolak pinggang di situ, hatinya menjadi besar. Ia merasa malu sekali. Kalau tadi Liu Hwee atau orang lain menyaksikan keadaannya, benar-benar hal itu akan membuat ia malu dan merasa terhina oleh Sian Eng. Karena itulah maka kini kemarahannya ia tumpahkan kepada Liu Hwee.

“Perempuan keparat! Kau mau apa?!” bentaknya.

“Suma Boan mata-mata busuk. Mau menghukummu, apa lagi?!”

Suma Boan berseru keras dan cepat menyerang. Akan tetapi dengan mudah Liu Hwee mengelak dan balas menyerang. Suma Boan menyeringai karena merasa betapa kakinya yang tadi dicengkeram Sian Eng terasa sakit dan kaku, membuat gerakannya kacau. Sebetulnya kalau dibuat perbandingan, dalam hal kematangan ilmu silat, kiranya Suma Boan lebih tinggi sedikit dari pada Liu Hwee. Ia sudah mewarisi banyak macam ilmu dan sudah lebih banyak pengalamannya bertempur.

Akan tetapi pada saat itu Suma Boan sedang merasa gelisah memikirkan keadaan Sian Eng. Selain itu ia pun masih menderita luka di betisnya, luka yang terasa perih, ditambah lagi cengkeraman Sian Eng pada pergelangan kakinya tadi serasa meremukkan tulang kakinya. Oleh karena merasa kakinya kaku dan sakit-sakit, segera Suma Boan mengeluarkan ilmunya yang paling ia andalkan, yaitu Tok-ci-ciang-hoat (Ilmu Silat Jari Be­racun).

Ilmu silat ini ia warisi dari It-gan Kai-ong, hebatnya bukan main. Untuk mainkan ilmu silat ini, ia hanya menggunakan jari telunjuk dan jari tengah dari kedua tangannya, dipakai menyerang secara menusuk. Namun jangan dipandang remeh jari-jari ini, karena ketika ditusukkan, jari-jari ini mengandung hawa pukulan beracun yang sekali mengenai tubuh lawan dapat mengakibatkan maut datang menjemput.

Melihat datangnya serangan yang mengeluarkan angin berciutan serta melihat uap hitam yang mengepul dari jari-jari itu, Liu Hwee sebagai puteri ketua Beng-kauw yang sakti maklum dan dapat menduga bahwa lawannya mempergunakan ilmu pukulan jahat dan ganas. Ia tidak berani menghadapi pukulan-pukulan keji ini, cepat menggunakan ginkang dan kegesitan tubuhnya untuk mengelak ke sana ke mari mencari kesempatan membalas. Ia maklum bahwa kalau tangannya sampai terbentur jari-jari itu, ia akan terluka oleh racun berbahaya.

Suma Boan menjadi makin penasaran. Melihat lawannya tampak takut menghadapi jari-jarinya, ia menjadi makin ganas. Serangannya makin gencar dan ia mengejar terus ke mana pun juga Liu Hwee mengelak. Baik bagi Liu Hwee bahwa kaki Suma Boan terluka sehingga pemuda itu kehilangan kegesitannya. Andai kata tidak demikian, agaknya tidak mudah bagi Liu Hwee untuk dapat menyelamatkan diri.

Pertandingan ini berjalan setengah jam lebih dan Suma Boan mulai tampak lelah. Memang ia sudah lelah sekali, dan kakinya makin sakit. Namun berkat ilmu pukulannya yang dahsyat dan keji, Liu Hwee belum sempat membalas dan selalu menyelamatkan diri. Hal ini dimengerti oleh Suma Boan, maka sambil mengeluarkan suara gerengan seperti harimau ia mendesak terus, mengerahkan seluruh tenaganya dan tidak mempedulikan rasa sakit di kakinya. Liu Hwee kaget sekali. Ia betul-betul terdesak dan hanya mampu mengelak sambil main mundur. Akhirnya ia terdesak sampai di ujung perahu dan agaknya tidak ada jalan ke luar lagi baginya.

“Ha-ha-ha, bocah sombong. Ke mana lagi kau akan lari?” Suma Boan mengejek, lalu menerjang maju dengan tusukan kedua jari tangan kanannya sambil memekik.

“Hiaaaaattttt!” Hebat bukan main serangan ini.

Liu Hwee sudah berada di pinggir perahu, kalau ia melompat ke belakang tentu ia akan jatuh ke dalam air. Namun gadis yang tenang dan gesit gerakannya ini dapat melihat bahwa betapa pun hebat dan berbahayanya serangan lawan ini, ia dapat melihat bahwa Suma Boan sudah kehilangan kecepatannya. Maka dengan tenang dan tabah ia miringkan tubuh secepat kilat setelah ujung kedua jari berbahaya itu sudah mendekati dadanya.

Kedua ujung jari itu lewat hampir mengenai bajunya dan cepat Liu Hwee menggerakkan tangan kirinya mencengkeram pergelangan tangan kanan Suma Boan. Sebelum Suma Boan hilang kagetnya menyaksikan gerakan nekat Liu Hwee ini, puteri Beng-kauw yang perkasa itu telah mengerahkan tenaga, serentak menarik dengan lweekang sepenuhnya sambil menggerakkan dan melepaskan lengan itu.

Suma Boan memang sudah lelah dan tenaganya banyak berkurang. Apa lagi ia tidak mengira sama sekali bahwa gadis yang sudah ia desak hebat itu akan melakukan perbuatan ini. Maka begitu ia disentakkan secara tiba-tiba dan kuat, tubuhnya tak dapat ia pertahankan lagi. Tubuh yang ketika menusukkan jari tadi memang sudah condong ke depan dengan kaki kanan yang juga terangkat ke depan itu terlempar dan....

“Byurrrrr!” air sungai muncrat tinggi ketika tertimpa tubuh Suma Boan yang cukup berat.

Liu Hwee yang memang curiga bahwa putera bangsawan ini mengambil sesuatu dari Beng-kauw, cepat memasuki bilik perahu. Akan tetapi bilik itu kosong, tidak tampak seorang pun manusia. Ia memeriksa cepat dengan pandang matanya, namun tidak mendapatkan sesuatu yang penting. Lalu ia melompat ke luar lagi, juga tidak melihat Suma Boan. Agaknya pemuda jahat itu sudah tenggelam ke dalam sungai. Gadis ini lalu menggerakkan kedua kakinya melompat ke darat, lalu lari menuju pulang. Ia pun merasa lelah sekali karena semalam suntuk ia melakukan pengejaran, sedangkan pertandingan tadi sudah memeras banyak tenaganya.

Tentu saja tidak benar dugaan Liu Hwee bahwa Suma Boan mati tenggelam di dasar sungai. Pemuda bangsawan ini terlalu cerdik dan licin untuk dapat ditewaskan secara begitu mudah. Karena maklum bahwa dalam keadaan terluka dan lelah seperti itu tak mungkin ia dapat melakukan perlawanan lagi, pula karena khawatir kalau-kalau Liu Hwee menanti di pinggir perahu dan siap menyerangnya dengan serangan maut apa bila ia hendak kembali ke perahu, Suma Boan lalu menyelam dan bersembunyi di bawah perahu dengan hanya mengeluarkan hidung dan mulutnya di permukaan air.

Dari bawah ia melihat perahu itu bergoyang-goyang sedikit, tanda bahwa di atasnya terdapat orang berginkang tinggi sedang bergerak. Tadinya ia mengharap Sian Eng membelanya dan menyerang Liu Hwee. Akan tetapi goyangan perahu itu hanya sebentar saja, lalu diam dan sama sekali tidak bergerak. Maka Suma Boan lalu naik ke perahu melalui tambang yang tergantung ke bawah. Dengan hati-hati ia melompat naik ke atas perahu, takut kalau-kalau ada bahaya mengancam. Terhadap Liu Hwee ia tidak begitu takut, akan tetapi ia ngeri memikirkan sepak terjang Sian Eng.

Namun di perahu itu sunyi saja, tidak terdapat seorang pun manusia. Suma Boan berindap-indap memasuki kamar perahu, menjenguk hati-hati. Kosong! Hatinya serasa tertusuk, penuh kekecewaan, penasaran, dan kemarahan. Tak perlu ia mencari lagi. Terang bahwa dua buah kitab kuno yang dibawa Sian Eng dan kemudian ia rampas, ketika tadi jatuh dari dalam saku bajunya, telah diambil kembali oleh Sian Eng yang sekarang telah pergi entah ke mana!

“Perempuan laknat!” Suma Boan menyumpah-nyumpah sambil menanggalkan pakaiannya yang basah untuk diganti dengan yang kering. Kemudian ia duduk di atas dipan dan termenung.

Sian Eng telah ia nodai dan ada dua akibat yang mungkin menjadi ekor peristiwa ini. Pertama, gadis itu akan merasa menjadi isterinya walau pun tidak sah dan inilah yang ia harapkan ketika ia melakukan perbuatan terkutuk itu. Apa bila begini akibatnya, tentu Sian Eng kelak akan hilang marahnya dan akan datang menyerahkan diri. Kalau sudah begitu, boleh saja ia pura-pura mengawininya dengan sah agar kitab-kitab itu, dan terutama ilmu aneh yang dimiliki Sian Eng dalam waktu dua pekan, terjatuh ke dalam tangannya. Akan tetapi akibat kedua mengerikan hatinya. Mungkin sekali akibatnya sebaliknya sama sekali, dan gadis itu akan merasa sakit hati kepadanya lalu memelihara dendam kesumat yang tiada habisnya terhadap dirinya. Suma Boan bergidik memikirkan akibat kedua ini.

“Dua buah kitab itu telah kulihat sepintas lalu, yang sebuah adalah kitab ilmu silat dan yang sebuah lagi ilmu pedang. Akan tetapi Sian Eng telah memiliki tenaga kecepatan dan gerakan yang luar biasa anehnya yang tak mungkin ia pelajari dari dua buah kitab itu, apa lagi hanya dalam waktu dua pekan. Agaknya banyak rahasia aneh di dalam goa itu. Aku harus memberi tahu suhu... ah, tidak, kalau suhu yang menemukan semua itu, tentu takkan diberikan kepadaku....” Demikianlah, Suma Boan melamun dan memeras pikirannya.

Akhirnya ia mengambil keputusan untuk mencari kesempatan baik dan kalau kesempatan ini terbuka, ia sendiri yang akan menyelidiki ke dalam goa. Akan tetapi untuk itu ia harus membuat persiapan. Sebelum melakukan tugas penting ini, lebih dulu ia harus menemui gurunya dan kebetulan gurunya akan membuat pertemuan di puncak Thai-san. Maka berangkatlah Suma Boan ke arah Thai-san.

Ada pun Sian Eng, setelah melempar ke luar Suma Boan, sambil terisak-isak lalu menyambar dua buah kitab. Selagi Suma Boan bertanding melawan Liu Hwee, ia mempergunakan kesempatan itu untuk melesat ke luar dari jendela bilik perahu, terus melompat ke darat dan melarikan diri sambil menangis tersedu-sedu sepanjang jalan. Akan tetapi kadang-kadang ia tertawa dan memaki-maki diri sendiri.

Mulai saat itu, apa bila teringat akan nasibnya, teringat kepada Suma Boan, keadaan Sian Eng menjadi berubah tidak normal lagi, suka menangis dan tertawa berganti-ganti. Akan tetapi apa bila ia dalam keadaan tenang, ia hanya menangis perlahan dan termenung-menung, akan tetapi sifat liar itu lenyap. Kini tujuan hatinya hendak mencari kakaknya, Suling Emas, untuk mengadukan semua hal ihwalnya ini, untuk mengadukan penasarannya dan mohon kepada kakak tirinya untuk membalaskan dendamnya. Dengan cepat Sian Eng yang pernah mendengar tentang niat Suling Emas mewakili ibunya ke Thai-san juga menyusul ke Thai-san untuk bertemu dengan Suling Emas.

Demikianlah, setelah tiba di lereng Thai-san, secara kebetulan sekali ia yang berada di bawah jurang melihat orang jatuh meluncur dari atas. Betapa pun berubahnya watak Sian Eng, tak dapat ia berpeluk tangan melihat orang terancam maut ini, timbul sifat satria keturunan ayahnya. Ia lalu mempergunakan tenaga Ban-kin-pek-ko-chiu dan ternyata ia berhasil menolong Bok Liong. Ketika melihat bahwa yang ia tolong adalah Lie Bok Liong, seketika timbul rasa malu di hatinya karena ia merasa bahwa ia telah menjadi seorang yang terhina, maka tanpa banyak cakap ia lari meninggalkan pemuda yang ditolongnya itu dan terus ia mendaki puncak dengan kecepatan luar biasa.
********************
“Bagus, bagus sekali! Heh-heh-heh-heh!” Suara ini disusul ketawa bergelak yang mengumandang di lain bagian dari lereng gunung Thai-san, keluar dari sebuah hutan yang penuh pohon pek. Hutan kecil ini merupakan hutan yang paling kaya akan tumbuh-tumbuhan obat-obatan yang tumbuh liar di bawah pohon pek itu.

“Bagus, wah-wah-wah! Kalau kita pergi ke pasar dan kau main seperti ini, aku memukul tambur dan canang, tentu kita mendapat banyak uang, heh-heh-heh-heh!” Suara itu berteriak-teriak lagi kegirangan. Ternyata suara ini keluar dari mulut seorang kakek yang pendek lucu, yang bukan lain adalah Gan-lopek.

Dia berdiri menari-nari kegirangan, mengangkat ibu jari menyatakan jempolnya sambil memandang ke arah Lin Lin yang sedang bermain-main di atas sebatang balok yang melintang diikatkan pada dua batang pohon di kanan kiri. Tadinya Lin Lin berloncat-loncatan dan bersilat di atas balok yang tingginya dua meter lebih itu, bersilat dengan gesit dan dengan pengerahan ginkang yang luar biasa. Kini gadis itu dengan kedua kakinya dikaitkan pada balok melintang, tubuhnya berayun-ayun dan berputar-putar seperti baling-baling pesawat terbang!

Mendengar ucapan terakhir dari Gan-lopek, Lin Lin yang tadinya merasa bangga dan girang akan pujian-pujian itu, tiba-tiba tubuhnya melayang dan tahu-tahu ia berdiri di depan Gan-lopek sambil bertolak pinggang dan mulutnya cemberut.

“Apa kau bilang, Kek? Kau mau anggap aku seperti komedi monyet, ya? Terlalu sekali!” Tiba-tiba gadis ini memasang kuda-kuda yang aneh, kedua kakinya jinjit sambil berkata lagi, “Hayo kau layani hasil latihanku, Kek!” Setelah berkata demikian, dengan gerak langkah perlahan Lin Lin bertindak maju dan kedua tangannya diangkat seperti orang memberi hormat, kemudian tiba-tiba didorongkan ke depan, mengarah dada Gan-lopek.

“Ehhh, jangan...!” Gan-lopek kaget setengah mati dan cepat ia membuang diri ke belakang dan bergulingan ketika mendengar desir angin yang dahsyat keluar dari pukulan gadis itu. Hawa pukulan yang amat berbahaya itu menyambar terus ke depan dan....

“Kraaakkkkk!” patah dan tumbanglah batang pohon yang berdiri di belakang Gan-lopek tadi!

“Eh, ganas! Eh, keji!” Gan-lopek melompat-lompat. “Apakah kau hendak membunuh diriku, bocah liar?”

Sejenak Lin Lin sendiri tertegun menyaksikan betapa hebat akibat pukulannya, akan tetapi kemudian ia menjadi girang sekali, menghampiri dan merangkul pundak si kakek sambil tertawa-tawa.

“Masa aku hendak membunuhmu, Kek? Andai kata aku mau, mana mampu? Jangan kau main-main!”

“Heh-heh-heh-heh, kaulah yang main-main. Lin Lin, pukulan-pukulanmu hebat, jurus-jurusmu luar biasa dan kau sudah berhasil. Selamat, selamat....”

“Kek, banyak terima kasih. Kaulah yang memberi petunjuk caraku berlatih sehingga aku dapat menguasai tenaga sinkang yang selalu mendesak di dalam diriku semenjak aku melatih ilmu-ilmu pukulan ini.”

“Hemmm, entah iblis mana yang sudah menurunkan ilmu iblis ini kepadamu. Biar pun kau tidak memberi tahu dan aku pun tidak tertarik untuk mengetahui, namun jurus-jurus yang kau latih ini adalah jurus-jurus iblis yang hanya sejajar dengan ilmu-ilmu yang dimiliki Thian-te Liok-koai. Mengerikan!” Tiba-tiba empek ini meloncat dan memukul-mukul kepalanya sendiri.

“Wah-wah-wah, keenakan bersenang-senang dengan gadis cantik di hutan ini sampai lupa bahwa waktunya telah tiba. Hayo kita ke puncak, jangan-jangan kita akan terlambat menonton pertunjukan yang terhebat di kolong langit!” Setelah berkata demikian, ia menggandeng tangan gadis itu dan diseretnya diajak lari cepat.

Akan tetapi sambil tertawa-tawa Lin Lin merenggut lepas tangannya dan berkata, “Kakek Gan, hayo kita berlomba lari cepat ke puncak!”

Maka berlari-larilah kakek dan gadis itu seperti dua orang iblis beterbangan, cepat bukan main, berloncat-loncatan sambil tertawa-tawa. Diam-diam kakek ini kagum bukan main, mulailah ia meragu apakah pilihan muridnya ini tepat, karena ia melihat sifat-sifat liar dan tak mau ditundukkan dalam diri Lin Lin, sedangkan muridnya, Lie Bok Liong, adalah seorang pemuda yang sabar dan tidak berandalan.

Sementara itu dalam benak Lin Lin timbul pikiran lain dari pada yang dipikirkan Gan-lopek. Gadis ini memikirkan Suling Emas. Selama ini memang ia selalu memikirkan Suling Emas dengan hati mengandung bermacam-macam perasaan. Ia marah dan penasaran karena Suling Emas meninggalkannya dan seperti marah-marah kepadanya, padahal ia memukul roboh seorang perempuan yang menjadi musuh besar Suling Emas.

Mengapa Suling Emas marah-marah kepadanya? Mengapa Suling Emas menolong perempuan yang hampir mampus terkena pukulan saktinya itu? Bukankah perempuan itu bersumpah hendak membunuhi isteri dan anak-anak Suling Emas? Bukankah perempuan yang keji itu di depan kuburan ayahnya menyatakan cintanya kepada Suling Emas? Perempuan macam itu harus dibunuh! Berani mencinta Suling Emas! Dan berani bersumpah hendak membunuh isteri Suling Emas. Padahal isteri Suling Emas, kalau kelak ada tentu... dirinya!

Berpikir sampai di sini, merahlah kedua pipi Lin Lin dan ia menarik napas panjang. Pandang matanya mesra teringat akan peristiwa di gedung perpustakaan kaisar ketika ia dipeluk dan diciumi Suling Emas. Akan tetapi wajahnya menjadi muram karena seketika ia teringat bahwa perbuatan itu dilakukan Suling Emas karena salah duga, mengira dia orang lain! Panaslah perutnya memikirkan hal ini.

Selain marah dan penasaran terhadap pendekar yang dipujanya itu, ia pun merasa khawatir dan gelisah. Oleh karena itu ingin sekali ia lekas-lekas bertemu dengan Suling Emas. Maka setelah Gan-lopek mengajaknya ke puncak, ia seakan-akan hendak terbang agar dapat cepat­cepat sampai ke puncak dan bertemu dengan pujaan hatinya. Sama sekali ia tidak peduli akan pertandingan antara Thian-te Liok-koai yang oleh Gan-lopek disebut sebagai pertunjukkan terhebat di kolong langit itu.
********************
Baik kita tinggalkan dulu Lin Lin dan Gan-lopek yang berlari-larian cepat menuju puncak itu untuk sejenak menengok keadaan Suling Emas yang sudah lama kita tinggalkan.

Ketika Suling Emas menyaksikan dan mendengar sumpah yang diucapkan oleh Bu-eng-sin-kiam Tan Lian di depan kuburan mendiang Hui-kiam-eng Tan Hui, ia sampai pucat saking tergetarnya perasaannya. Benar-benar hidupnya telah menimbulkan banyak hal-hal yang merupakan mala-petaka besar. Persoalan antara ayah gadis itu dan ibunya sudah dibentangkan oleh Bu Kek Siansu dan merupakan persoalan antara mereka sendiri yang sebenarnya tidak ada sangkut-pautnya dengan Tan Lian dan dia.

Akan tetapi agaknya kini timbul lagi hal lain yang mencelakakan, yaitu kenyataan pahit bahwa gadis baju hijau, ahli pedang itu, ternyata jatuh cinta kepadanya! Celaka dua belas! Dan Tan Lian bersumpah di depan kuburan ayahnya untuk membunuh isteri dan anak-anaknya!

Dapat dibayangkan betapa hancur hati Suling Emas, betapa duka dan menyesalnya. Akan tetapi percobaan yang menimpa hatinya ini menjadi lebih hebat ketika Lin Lin tiba-tiba muncul dan menyerang Tan Lian tanpa ia mampu mencegahnya. Pukulan yang dahsyat itu tak bisa lain adalah hasil mempelajari ilmu pukulan peninggalan Pat-jiu Sin-ong, hebatnya bukan kepalang dan sekali memeriksa saja tahulah Suling Emas bahwa ia tidak mampu menolong keselamatan nyawa Tan Lian. Tak seorang pun di dunia ini akan mampu, kecuali tentu saja di Raja Obat di lereng Thai-san.

Maka tanpa banyak cakap lagi ia lalu memondong tubuh Tan Lian. Setelah menegur Lin Lin, ia melesat pergi meninggalkan gadis itu. Ada tiga hal yang membuat ia sengaja meninggalkan Lin Lin sambil memondong tubuh Tan Lian yang terluka hebat, yaitu pertama-tama untuk pergi mencari Yok-ong (Raja Obat) di lereng Thai-san, kedua untuk mewakili mendiang ibunya bertemu dan menguji ilmu dengan para anggota Thian-te Liok-koai. Dan hal yang ketiga adalah karena ia sengaja hendak menjauhi Lin Lin! Ia merasa betapa besar bahayanya kalau ia terus melakukan perjalanan bersama gadis itu.

Gadis remaja itu secara jelas sekali membayangkan kasih sayang kepadanya, membayangkan cinta birahi dan agaknya mempunyai keyakinan bahwa ia pun membalas cinta kasih Lin Lin. Dan inilah yang amat ia khawatirkan. Dekat dengan Lin Lin sama dengan dekat dengan setangkai bunga yang indah jelita, yang semerbak mengharum, yang mendatangkan rasa suka di hati, mendatangkan rasa gembira. Beratlah rasanya untuk mempertahankan hati. Lebih berat dari pada menghadapi seratus orang lawan tangguh.

Ia maklum bahwa lambat-laun ia akan jatuh pula, tak mungkin seorang laki-laki yang normal takkan runtuh hatinya menghadapi seorang gadis yang begitu cantik jelita, dengan muka yang mirip dengan muka bekas kekasihnya, Suma Ceng, dengan watak yang demikian jenaka, gembira, lincah dan dengan hati yang putih bersih tak ternoda sedikit pun kekotoran duniawi. Kalau dilanjutkan pergaulannya dengan Lin Lin, akhirnya sifat ego-nya akan mengalahkannya, dan kalau sudah terjadi demikian, mau tak mau ia akan mengisi kekosongan hatinya dengan Lin Lin, sebagai pengganti Suma Ceng.

Akan tetapi bukanlah demikian dasar perasaan Suling Emas. Ia tidak ingin merusak hidup Lin Lin. Gadis itu masih seorang remaja, sedangkan dia sudah cukup dewasa, terlalu tua untuk Lin Lin. Hatinya telah terlalu kering untuk bermain cinta. Apa lagi setelah timbul peristiwa semacam sumpah Tan Lian, ia tidak ingin menyeret orang lain, apa lagi Lin Lin yang ia sayang, ke dalam rantai dendam yang mengerikan itu.

Demikianlah, dengan batin menderita Suling Emas berlari cepat membawa Tan Lian ke Thai-san. Harus ia akui bahwa perjalanan beberapa hari bersama Lin Lin cukup membuat ia kini merasa rindu, merasa kehilangan sehingga ia maklum betapa besar bahayanya kalau perjalanan bersama itu dilakukan lebih lama lagi. Suling Emas yang berpandangan luas, tidak marah kepada Lin Lin karena gadis itu memukul Tan Lian secara demikian ganas.

Sebagai seorang yang berpengalaman ia dapat mengerti mengapa Lin Lin melakukan hal itu dan hal ini menambah keyakinannya bahwa tidak salah, Lin Lin mencintanya! Inilah yang membuat Lin Lin memukul Tan Lian. Bukankah Lin Lin ikut pula mendengar sumpah itu? Sumpah yang menjelaskan bahwa Tan Lian mencinta Suling Emas dan akan membunuh isteri dan anak-anaknya? Inilah sebabnya mengapa Lin Lin memukul Tan Lian, karena hendak membelanya, karena... cemburu pula.....

Ketika berhenti sebentar di pinggir sebuah sungai kecil di luar hutan, untuk sekedar menyegarkan tubuh dan minum, Tan Lian mengerang perlahan dan membuka matanya. Gadis itu dibaringkan oleh Suling Emas di atas rumput hijau, Suling Emas segera menghampiri.

“... kau...?” Tan Lian terbelalak memandang, kemudian menggosok-gosok kedua matanya dengan tangan, seakan-akan meragukan pandang matanya, serasa dalam mimpi.

Suling Emas menggerakkan tangannya, mencegah gadis itu bangkit. Akan tetapi sebetulnya tak perlu ia lakukan ini karena begitu bergerak, Tan Lian menyeringai kesakitan dan tidak kuat bangun.

“Kau terluka hebat, harap jangan bergerak! Aku sedang membawamu ke Thai-san, untuk minta pertolongan Kim-sim Yok-ong (Raja Obat Berhati Emas). Kau tenanglah, Tan-siocia (Nona Tan), kurasa Yok-ong akan mampu menyembuhkanmu.”

Tan Lian nampak gelisah. “Kau... kau mendengar semua...?”

Suling Emas dapat menduga apa yang digelisahkan gadis ini. Ia menarik napas panjang, mengangguk dan berkata halus. “Aku mendengar semua, akan tetapi sekarang juga sudah lupa lagi apa yang kudengar,” jawabannya ini berarti bahwa hal-hal yang ia dengar diucapkan gadis itu tidak dipikirkannya dan ia menjamin takkan ia ceritakan kepada orang lain.

Biar pun Tan Lian maklum akan arti jawaban ini, namun tak dapat dicegah lagi, ia merasa berduka dan malu. Air matanya mengucur ke luar dan ia menangis terisak-isak.

Suling Emas menarik napas panjang lagi. Ia tahu apa yang menyebabkan gadis ini menangis, maka ia tak dapat bicara banyak. Diam-diam ia merasa kasihan sekali kepada gadis baju hijau yang gagah perkasa ini. Ia maklum bahwa Tan Lian adalah seorang pendekar wanita yang tinggi ilmu silatnya, jauh lebih tinggi dari pada Lin Lin. Kalau saja Lin Lin tidak mempergunakan ilmunya yang ia dapat dalam tongkat pusaka Beng-kauw, tak mungkin Lin Lin mampu merobohkan Tan Lian, apa lagi hanya dengan sekali pukul. Ilmu yang dimiliki Lin Lin itu benar-benar hebat dan berbahaya sekali, lagi ganas dan dahsyat. Kalau ilmu itu sudah terlatih baik oleh Lin Lin, jangankan Tan Lian, dia sendiri tidak akan mudah dapat mengalahkannya.

Pat-jiu Sin-ong tidak percuma terkenal sebagai tokoh besar puluhan tahun yang lalu. Ilmu yang ia ciptakan itu merupakan inti sari dari pada semua kepandaian yang menjadi ilmu pusaka Beng-kauw!

“Tenanglah, Nona. Memang nasib kita yang buruk, terseret oleh gelombang yang disebabkan oleh orang-orang tua kita, terikat oleh karma yang buruk. Akan tetapi, baik ayahmu mau pun ibuku sudah meninggal dunia, mengapa kita tidak mengubur riwayat mereka bersama jenazah mereka? Mengapa kita harus mengikatkan nasib kita dengan riwayat dan urusan mereka? Ah, Nona Tan, kuharap kau tidak berpandangan sesempit itu....”

Tan Lian menghentikan tangisnya, memandang dengan mata merah dan ia menahan isak ketika berkata, “Berpandangan sempit? Kau... kau tidak merasakan, tentu saja pandai mencela! Di dunia aku hanya hidup berdua dengan ayah. Kematian ayah karena dibunuh ibumu membuat aku sebatang-kara. Kau salahkan aku kalau aku bersumpah mendendam dan hendak membalas kematian ayah? Akan tetapi Thian tidak menaruh kasihan kepadaku. Aku terlambat!” Suaranya terisak.

“Setelah aku berlatih dengan susah payah selama bertahun-tahun, setelah aku rela tinggal seorang diri..., tidak mau menikah... menjadi perawan tua... semua ini hanya untuk satu tujuan, yaitu membalas sakit hati. Setelah aku merasa sudah cukup kuat dan hendak mencari ibumu, aku mendengar berita tentang kematiannya dan tentang keturunannya, yaitu engkau. Apa yang dapat kulakukan lagi selain menimpakan dendam kepadamu? Tapi... aku tidak becus... aku... aku tidak mampu mengalahkanmu...” Sampai di sini Tan Lian menangis lagi.

Suling Emas mengerutkan keningnya. Ia dapat membayangkan penderitaan batin yang selama ini menimpa diri Tan Lian. Memang benar hebat dan berat sekali. Diam-diam ia memuji kebaktian Tan Lian yang demi untuk berbakti kepada ayahnya sampai berkorban sedemikian rupa, menyia-nyiakan kebahagiaan hidupnya sendiri, rela menjadi seorang gadis yang sudah agak terlambat usianya, kurang lebih tiga puluh tahun. Padahal gadis ini cantik dan gagah, kalau saja ayahnya tidak meninggal terbunuh oleh ibunya, tentu dalam usia tujuh belas atau delapan belas sudah menjadi isteri orang!

“Tan-siocia harap kau jangan berduka tentang kekalahan. Ilmu kepandaian tak dapat diukur sampai di mana puncaknya. Siapa yang mengejar kepandaian untuk mencapai tingkat yang lebih tinggi, ia akan gagal karena pasti akan menemui yang lebih tinggi lagi. Andai kata ibuku masih hidup, agaknya kau pun takkan mampu menandinginya, karena biar pun kau telah menggembleng dirimu belasan tahun lamanya, ibuku pun terus memperdalam ilmunya selama puluhan tahun!”

“Lebih baik kalau aku tewas dalam usahaku membalas ibumu, dari pada seperti sekarang ini...,” ia terisak. “... tidak saja aku tak mampu mengalahkanmu, juga kau... kau tidak membunuhku, malah menolongku! Aku tidak kuat menanggung penghinaan ini, lebih baik kau bunuh aku!”

“Nona, di antara kita tidak ada permusuhan pribadi, mengapa aku harus membunuhmu? Tidak, aku, tidak akan berpemandangan begitu picik. Dan kuharap kau pun dapat sadar akan hal ini, bahwa di antara kita tidak ada urusan pribadi yang membuat kita saling benci dan saling bermusuhan.”

“Akan tetapi..., aku sudah bersumpah... untuk membunuh isterimu....”

“Jangan khawatir, aku tidak beristeri,” kata Suling Emas tersenyum.

“Tapi wanita yang memukulku itu? Ah, dia tentu tunanganmu!”

Suling Emas kembali menggelengkan kepalanya, tapi kini keningnya berkerut.

“Tapi, jelas dia mencintamu!”

Suling Emas kaget bukan main mendengar pernyataan ini. Bagaimana gadis ini bisa tahu bahwa Lin Lin mencintanya?

“Hemmm, mengapa kau berkata demikian?” katanya, suaranya tenang saja padahal jantungnya berdebar keras.

“Dia cemburu kepadaku... eh, kumaksudkan....” Tan Lian menjadi gugup sekali karena tanpa ia sengaja atau sadari, ia sendiri sudah membuka rahasia hatinya.

“Tak mungkin, Nona. Dia adalah adik tiriku!”

Tan Lian tercengang dan entah mengapa, tiba-tiba wajahnya berseri gembira! Akan tetapi hanya sebentar, karena ia lalu menghela napas dan berkata dengan lirih dan berat, “Aku sudah bersumpah memusuhimu, tak perlu kau berlaku baik kepadaku, tiada gunanya. Lebih baik aku mati saja, tak perlu kau carikan orang pandai untuk berobat.”

“Hemmm, mengapa kau begini putus harapan, Nona? Kau masih muda, kau berhak hidup...”

“Muda, katamu? Seorang wanita sudah berusia... seperti aku, kau bilang masih muda? Aku adalah perawan tua. Tiada harapan lagi. Untuk apa hidup hanya menjadi bahan ejekan? Sebatang-kara, tiada keluarga, tugas pun terbengkalai tak terpenuhi, apa artinya hidup? Aku sudah tua!” kembali air matanya mengalir turun.

“Kau masih muda, Nona Tan. Muda dan cantik jelita lagi gagah perkasa. Kurasa, dia yang merasa dirinya pandai dan tampan, satria-satria di dunia kang-ouw, akan berebutan untuk mendapatkan perhatianmu, dan akan merasa bahagia sekali kalau menjadi pilihanmu.”

Sepasang pipi gadis itu tiba-tiba menjadi merah, matanya memandang lebar-lebar ke arah Suling Emas seakan-akan hendak menyelidiki apakah ucapan itu keluar dari hati yang jujur. Melihat sepasang mata Suling Emas memandang sungguh-sungguh dan membayangkan kejujuran, Tan Lian menjadi begitu girang sehingga ia tergagap. “Be... betulkah...?”

Suling Emas lega hatinya. Ia mengangguk meyakinkan, lalu membungkuk dan memondong tubuh Tan Lian lagi sambil berkata, “Mari kita lanjutkan perjalanan agar kita segera sampai di Thai-san. Tak baik bagi kesehatanmu terlalu banyak bicara seperti ini.”

Di dalam pondongan pemuda itu, Tan Lian termenung-menung. Dia masih belum beristeri, usianya sudah lanjut pula, tentu lebih tua beberapa tahun dari pada dia sendiri! Permusuhan antara orang tua tentu saja akan hapus kalau mereka menjadi suami isteri! Dia begitu baik, begini gagah perkasa, dan bukankah dia tadi memuji-muji bahwa aku cantik jelita dan gagah? Bukankah pujian yang keluar dari mulut seorang laki-laki, pujian yang bukan hanya kosong, yang keluar dari hati sejujurnya, menjadi bayangan dari pada cinta kasih? Makin muluk-muluk lamunan Tan Lian sehingga akhirnya ia tertidur nyenyak di dalam pondongan Suling Emas.

Di lereng Thai-san yang agak tersembunyi, di bagian yang paling sunyi karena hanya penuh dengan hutan-hutan belukar, terdapat sebuah pondok sederhana dan bersih, mempunyai banyak jendela sehingga di dalam pondok itu hawanya sejuk segar. Inilah tempat tinggal Kim-sim Yok-ong, seorang kakek yang rambut dan jenggotnya sudah putih semua akan tetapi wajahnya tetap segar berseri dan kemerahan seperti wajah seorang pemuda remaja.

Sepasang matanya bersinar-sinar dan bentuknya indah seperti mata wanita cantik. Jari-jari tangannya halus dan runcing seperti tangan seorang terpelajar. Gerak-geriknya halus, tutur sapanya ramah dan sopan, pakaiannya sederhana dan dari kain murah, akan tetapi bersih sekali, sebersih kuku-kukunya dan rambutnya. Inilah dia Kim-sim Yok-ong yang namanya terkenal di seluruh jagat, yaitu nama sebutannya, bukan nama aslinya karena nama aslinya tidak ada yang tahu. Ia dijuluki Kim-sim (Hati Emas) karena kakek ini menolong kepada siapa saja yang perlu ditolong, tidak pilih kasih, tidak pandang bulu, tanpa pamrih, tanpa syarat, seolah-olah hatinya terbuat dari pada emas yang amat berharga penuh dengan cinta kasih akan sesamanya.

Di samping ini ia disebut Yok-ong (Raja Obat) karena ilmu pengobatan yang ia miliki benar-benar luar biasa sekali sehingga banyak orang bilang bahwa tidak ada penyakit di dunia ini yang tidak bisa diobati dan disembuhkan oleh Kim-sim Yok-ong! Karena kebaikan hatinya yang tidak pandang bulu dan tidak pilih kasih inilah agaknya maka semua orang di dunia ini, termasuk mereka yang memiliki watak kasar dan buruk, semua segan dan tidak berani mengganggunya. Bukan tidak berani terhadap Kim-sim Yok-ong sendiri yang tak pernah dilihat orang bermain silat, akan tetapi tidak berani karena sekali dia mengganggu Kim-sim Yok-ong, tentu ia akan berhadapan dengan seluruh tokoh di dunia kang-ouw, baik tokoh kanan mau pun kiri, tokoh putih mau pun hitam, para pendekar mau pun penjahat! Agaknya Kim-sim Yok-ong sudah menjadi ‘milik’ semua orang yang akan membelanya mati-matian!

Akan tetapi, tidaklah sering raja obat ini dikunjungi orang yang hendak berobat. Pertama karena tempat tinggalnya sering kali berpindah-pindah dan selalu ia memilih lereng-lereng gunung yang tinggi dan mempunyai tetumbuhan yang mengandung obat. Kedua, kepandaiannya yang istimewa adalah khusus untuk mengobati orang-orang terluka oleh pukulan-pukulan, oleh senjata-senjata rahasia atau oleh racun-racun. Dalam hal inilah ia memang memiliki kepandaian istimewa. Ada pun kepandaiannya mengobati orang-orang sakit biasa tidaklah istimewa, sama dengan tabib-tabib yang banyak terdapat di kota-kota. Oleh karena itu pula maka hanya para anggota dunia kang-ouw saja yang selalu mencari dan minta tolong kepada Kim-sim Yok-ong. Dan justru ini pula yang membuat namanya terkenal di antara para tokoh kang-ouw.

Bahkan tak boleh disangkal lagi, enam iblis Thian-te Liok-kai yang kini tinggal lima orang saja itu sengaja memilih puncak Thai-san sebagai tempat mengadu ilmu karena pada waktu itu Kim-sim Yok-ong berada di gunung itulah. Hal ini penting sekali karena mereka maklum bahwa pertandingan adu ilmu di antara mereka tentu sedikitnya akan mengakibatkan luka-luka yang parah dan mengerikan, dan hanya Kim-sim Yok-ong saja yang akan mampu mengobati.

Pada pagi hari itu, selagi Kim-sim Yok-ong mengatur akar-akar obat di atas genteng depan rumah untuk dijemur, datanglah Suling Emas yang memondong tubuh Tan Lian. Sudah dua hari dua malam gadis itu berada dalam keadaan pingsan, maka Suling Emas tidak pernah berhenti, berlari cepat siang malam sehingga ketika ia tiba di situ keadaan pendekar ini lesu dan lemah, tubuhnya lelah sekali, tangannya kaku-kaku dan kakinya gemetar.

“Ayaaaaa...! Kiranya Kim-siauw-eng (Pendekar Suling Emas) yang datang! Ah, lagi-lagi kau melupakan kesehatan sendiri, sedikitnya dua hari dua malam tak pernah berhenti berlari untuk menolong seseorang. Kim-siauw-eng, orang seperti engkau ini amat diperlukan dunia, dan berbahagialah engkau karena hidupmu telah kau isi dengan kemanfaatan bagi dunia. Bawalah dia masuk, sebentar aku menyusul!”

Suling Emas mengangguk. “Terima kasih, Locianpwe.” Lalu ia melangkah memasuki pondok dan merebahkan tubuh Tan Lian di atas sebuah pembaringan di sudut ruangan.

Sedikit gelisah juga hati Suling Emas menyaksikan keadaan Tan Lian yang sudah pucat sekali mukanya, tubuhnya dingin dan kaku seakan-akan sudah mati. Hanya napasnya yang lemah saja yang membuktikan bahwa gadis itu masih hidup. Diam-diam Suling Emas berdoa semoga gadis itu tidak mati oleh pukulan maut Lin Lin, karena kalau hal ini terjadi, ia akan merasa berdosa dan makin menyesal mengingat bahwa semua ini adalah akibat dari pada perbuatan ibu kandungnya yang lalu.

Tak lama kemudian Raja Obat itu memasuki pondok dengan langkah perlahan dan tenang sekali. Suling Emas sudah mengenal watak Raja Obat ini, maka ia pun diam saja dan menanti sampai orang tua itu melakukan pemeriksaan.

Kim-sim Yok-ong menghampiri sebuah tempayan air di sudut luar, mencuci kedua tangannya, kemudian menyusutnya dengan kain bersih. Barulah ia menghampiri Tan Lian tanpa menoleh ke arah Suling Emas yang masih berdiri di dekat pembaringan. Tabib sakti itu membungkuk, memandangi Tan Lian dengan kening berkerut, mengulur tangan kiri menekan nadi tangan gadis itu dan tangan kanannya meraba-raba pundak dan leher.

“Uhhhhh...!” katanya, agak tercengang. “Aku mendengar berita bahwa Pat-jiu Sin-ong sudah meninggal dunia! Bagaimana nona ini bisa terkena pukulannya beberapa hari yang lalu?”

Suling Emas tidak merasa heran mendengar ini, sungguh pun ia menjadi makin kagum saja. Tidak ada akibat pukulan yang bagaimana hebat pun di dunia ini yang tidak dikenal oleh Kim-sim Yok-ong!

“Bukan, Locianpwe. Pat-jiu Sin-ong memang sudah meninggal dunia dan tidak melakukan pukulan terhadap nona ini.”

Kakek itu memandang dan tahulah ia bahwa Suling Emas tidak ingin bicara tentang pemukul nona ini. Ia menarik napas panjang dan berkata, “Siapa pun juga pemukulnya, sudah pasti bukan Beng-kauwcu Liu Mo, juga bukan Kauw Bian Cinjin. Kalau bukan Pat-jiu Sin-ong, entah siapa yang mampu melakukan pukulan ini. Hemmm, siapa pun juga, dia menggunakan pukulan Beng-kauw dan aneh sekali bahwa kau yang membawanya ke sini untuk kuobati.”

Ucapan ini tidak langsung, namun diam-diam Suling Emas mengerti bahwa kakek itu sudah tahu segalanya, sudah mendengar bahwa dia adalah putera Tok-siauw-kui dan cucu Pat-jiu Sin-ong. Alangkah cepatnya berita tersiar, tidak heran bahwa tokoh-tokoh kang-ouw mencari dan hendak mengeroyoknya. Apa lagi kalau diingat bahwa banyak tokoh kang-ouw mengunjungi kakek ini untuk minta obat.

“Kau keluarlah dulu, Kim-siauw-eng, biar kucoba untuk mengobati nona ini.”

Suling Emas mengangguk, lalu melangkah keluar dan duduk di atas sebuah batu hitam yang terdapat di depan pondok itu. Memang di depan pondok terdapat sekumpulan batu-batu besar yang beraneka warna. Inilah sebuah di antara kesukaan Kim-sim Yok-ong, yaitu mengumpulkan batu-batu yang licin halus dan aneh-aneh macam serta warnanya.

Lebih dua jam Suling Emas menanti, belum juga ada berita dari dalam. Ia melamun dan bermacam pikiran menggodanya, terutama sekali pikiran tentang diri Lin Lin! Ia merasa amat sayang dan kasihan kepada gadis remaja itu, malah hampir ia jatuh cinta! Berulang kali Suling Emas menarik napas panjang, bukan sekali-kali menyesali nasibnya, melainkan menyesal mengapa setelah ibunya menjadi sebab kegegeran dunia, kini dia pula menjadi sebab kegegeran hati gadis-gadis cantik.

Tiba-tiba terdengar suara ketawa seperti suara katak di musim hujan. Suling Emas cepat mengangkat muka dan kaget serta herannya bukan main ketika ia melihat dua orang kakek sudah berdiri dalam jarak lima meter di depannya, masing-masing kakek itu memegang leher baju seorang penduduk gunung. Yang membuat Suling Emas kaget dan heran adalah betapa kedua orang kakek itu dapat datang tanpa ia ketahui sama sekali, tahu-tahu sudah berada di situ. Terlalu dalamkah ia tadi tenggelam dalam lamunannya sehingga ia tidak mendengar kedatangan mereka? Ataukah mungkin mereka itu luar biasa saktinya? Akan tetapi sepanjang ingatannya, hanya Bu Kek Siansu saja yang pandai datang dan pergi tanpa ia ketahui!

Ia memandang penuh perhatian. Seorang di antara dua kakek itu rambut dan jenggotnya panjang berwarna putih seperti perak, bahkan alis matanya juga putih, jubahnya panjang dan putih pula. Pendeknya, tidak ada warna lain terdapat pada diri kakek ini, malah kulitnya kalau diperhatikan juga luar biasa putihnya, seakan-akan tidak ada darah di bawah kulit itu. Diam-diam Suling Emas kaget. Orang ini membayangkan tenaga sinkang yang mukjijat, akan tetapi bagaimana seorang dengan kepandaian sehebat ini belum pernah ia jumpai dan tidak ia kenal sama sekali?

Kemudian perhatiannya teralih kepada orang kedua. Dia ini juga seorang kakek tua, rambutnya awut-awutan, kumis dan jenggotnya tebal panjang. Akan tetapi berbeda dengan kakek pertama yang rambutnya serba putih, kakek ini rambut dan jenggotnya kemerah-merahan, juga pakaiannya serba merah, sepatu rumputnya merah, kulit badannya juga kemerahan seakan-akan setiap hari dibakar matahari!

Yang membuat Suling Emas diam-diam terkesiap hatinya adalah ketika ia melihat mata kedua orang kakek itu. Kakek pertama matanya putih hampir tidak kelihatan bagian hitamnya, akan tetapi kakek kedua matanya merah dan hampir tidak tampak bagian putihnya. Benar-benar dua orang kakek yang luar biasa sekali. Jangankan bertemu mereka, mendengar tentang mereka pun belum pernah!

Kedua orang kakek itu masih tertawa-tawa, dan kedua orang penduduk gunung yang dicengkeram leher bajunya itu kelihatan ketakutan sekali.

“Hah, beruang busuk, benar inikah rumah Kim-sim Yok-ong?” tiba-tiba si kakek putih bertanya kepada orang yang dicengkeramnya.

Orang itu mengangguk-angguk dengan tubuh gemetar. Biar pun mulutnya bergerak-gerak, namun tidak ada suara yang keluar dari bibirnya.

“Huah-hah-hah, si tabib memelihara anjing untuk menjaga pondok agaknya!” kata si kakek merah sambil menudingkan telunjuk ke arah Suling Emas. “Biar kuusir dulu anjing itu, menyebalkan benar!” Setelah berkata demikian, kakek merah ini tiba-tiba menggerakkan tangan kanannya seperti orang mendorong ke arah Suling Emas yang masih duduk di atas batu hitam.

Terdengar suara bercuitan menyambar ke arah Suling Emas. Pendekar ini kaget dan kagum juga menyaksikan pukulan jarak jauh yang demikian dahsyat, akan tetapi ia tidak menjadi gentar. Dengan tenang Suling Emas yang biasa menghormat kaum tua sengaja tidak mau menangkis, melainkan dalam keadaan tubuhnya masih bersila, ia melayang ke atas, mengelak pukulan dan seperti seekor burung, tubuhnya yang masih duduk bersila itu hinggap pada batu lain di sebelah kiri.

Pukulan jarak jauh itu tidak mengenai dirinya, akan tetapi terdengar suara keras dan... batu hitam tempat duduk Suling Emas tadi pecah-pecah dan di antara muncratnya batu itu tampak cahaya berapi yang panas luar biasa!

“Anjing penjaga yang baik...!” seru kakek putih dan dengan mulut menyeringai memperlihatkan deretan giginya yang putih berkilauan, kakek ini pun menggerakkan tangan kanannya mendorong ke arah Suling Emas.

Pendekar ini masih belum hilang kagetnya menyaksikan akibat pukulan jarak jauh si kakek merah yang benar-benar dahsyat itu, pukulan yang mengandung tenaga raksasa penuh hawa panas membakar yang sekali mengenai tubuh manusia akan membuat tubuh itu tidak hanya remuk akan tetapi juga terbakar! Kini melihat datangnya pukulan jarak jauh yang sama sekali tidak bersuara namun membuat rumput-rumput di atas tanah yang dilalui seketika menjadi layu, ia cepat-cepat menggerakkan tubuhnya melompat tinggi dan kemudian turun berdiri dengan keadaan siap siaga.

Ia melihat betapa batu yang didudukinya bergoyang-goyang sedikit, akan tetapi tidak pecah seperti tadi, malah tampaknya tidak apa-apa. Tadinya ia mengira bahwa kepandaian kakek putih itu kalah jauh oleh kakek merah, akan tetapi tiba-tiba si kakek merah berseru.

“Wah-wah, agaknya kau berusaha keras mengalahkan aku. Huah-hah-hah!”

Suling Emas kaget dan melihat lagi. Matanya terbelalak ketika ia melihat batu besar yang disangkanya tidak apa-apa itu kini mulai bergerak-gerak, tak lama kemudian runtuh dan kiranya sudah hancur menjadi debu! Diam-diam ia kaget sekali. Dua orang kakek ini benar-benar merupakan orang-orang paling sakti yang pernah ia jumpai atau dengar, kecuali tentu saja Bu Kek Siansu yang memang tidak boleh disejajarkan dengan manusia biasa.

Cepat ia menjura penuh penghormatan sambil berkata, “Mohon maaf sebesarnya bahwa karena teecu (murid) tidak mengenal siapa adanya Ji-wi Locianpwe (Dua Kakek Sakti), maka terlambat untuk mengadakan penyambutan. Teecu juga hanya seorang tamu dari tuan rumah Kim-sim Yok-ong yang kini sedang sibuk mengobati orang sakit. Harap Ji-wi (Tuan berdua) sudi menunggu, biarlah teecu menyingkir kalau kehadiran teecu tidak menyenangkan hati Ji-wi.”

Biar pun maklum bahwa dua orang kakek itu sakti luar biasa, akan tetapi tentu saja Suling Emas tidak merasa takut. Ucapannya yang sopan dan mengalah bukanlah bayangan dari pada rasa takut, melainkan bayangan dari pada sikapnya yang menghormat orang asing yang lebih tua. Apa lagi karena ia juga sedang menghadapi tugas penting mewakili ibunya menghadapi anggota-anggota Thian-te Liok-koai, maka dia tidak mau mencari perkara lain yang akan mengacaukan tugasnya.

“Huah-hah-hah, orang muda ini boleh juga. Heh, orang muda, kami datang karena mendengar nama besar Kim-sim Yok-ong yang menjulang tinggi sampai ke langit. Akan tetapi kami tidak percaya kalau tidak membuktikan sendiri sampai di mana kepandaiannya. Kata orang, tabib sombong ini dapat menghidupkan lagi orang mati terkena racun!”

Diam-diam Suling Emas mendongkol. Dua orang kakek ini boleh jadi sakti, akan tetapi sikap mereka berandalan. “Saya rasa berita itu tidak benar, Locianpwe. Sepandai-pandainya orang, bagaimana bisa menghidupkan orang yang sudah mati? Akan tetapi memang benar bahwa Kim-sim Yok-ong pandai sekali mengobati korban-korban segala macam pukulan dan senjata beracun yang bagaimana parah sekali pun!”

“Huh, huh!” si kakek putih bersungut. Berbeda dengan si kakek merah yang selalu tertawa mengejek, kalau bicara si kakek putih selalu bersungut-sungut. “Siapa mau percaya? Coba dia sembuhkan akibat pukulanku ini!” Setelah berkata demikian kakek putih ini melemparkan tawanannya ke atas tanah dan tangan kirinya bergerak. Terdengar jerit mengerikan dan tubuh orang gunung itu tidak berkutik lagi, kaku kejang seperti sebatang balok.

“Huah-hah-hah, bagus! Memang tanpa diuji mana mau percaya? Andai kata dia bisa menyembuhkan dia itu, tak mungkin dia bisa menyembuhkan orang ini!” Ia pun mendorong tawanannya ke depan dan memukul. Kembali terdengar jerit keras dan orang gunung kedua ini berkelojotan di atas tanah.

Suling Emas kaget dan marah, akan tetapi dua orang kakek itu sudah berkelebat dan lenyap dari situ. Hanya gema suara ketawa kakek merah yang masih terdengar. Ingin Suling Emas mengejar dan menegur kakek itu, bahkan ia pun siap untuk mengadu kepandaian dengan dua orang kakek yang kejam itu. Akan tetapi karena kedua orang penduduk gunung yang tak berdosa itu berada dalam keadaan luka hebat dan maut mengancam nyawa mereka, Suling Emas membatalkan niatnya mengejar, kemudian cepat ia menghampiri dua orang korban untuk memeriksa keadaannya.

Tercenganglah Suling Emas ketika menyaksikan keadaan dua orang itu. Mereka sama sekali tidak terluka, akan tetapi keadaan mereka sungguh mengerikan. Korban kakek putih masih tetap kaku kejang, seluruh tubuhnya mulai berubah warna menjadi keputih-putihan dan biar pun masih bernapas, namun ketika diraba terasa dingin seperti salju! Sebaliknya, korban kakek merah berkelojotan, tubuhnya mulai kemerahan-merahan, bahkan dari lubang-lubang tubuhnya mulai keluar asap tipis dan kalau diraba darahnya panas seperti api!

Melihat keadaan mereka ini, cepat-cepat Suling Emas lari memasuki pondok untuk memanggil Kim-sim Yok-ong. Ia maklum bahwa kakek itu sedang mengobati Tan Lian dan biasanya ia pun tidak berani mendesak atau mengganggu si raja obat. Namun karena keadaan memaksa, terdorong rasa kasihan terhadap dua orang penduduk gunung yang tak berdosa ini, Suling Emas segera berseru dari pintu.

“Locianpwe, harap lekas keluar, di sini ada dua orang korban yang membutuhkan pertolongan Locianpwe!”

Akan tetapi sebetulnya tidak perlu dia berteriak-teriak karena pada saat itu kebetulan sekali Kim-sim Yok-ong keluar dari dalam ruangan pengobatan sambil tersenyum. Begitu melihat kakek ini, teringatlah Suling Emas akan keadaan Tan Lian maka cepat ia bertanya, “Bagaimana dengan keadaan nona itu, Locianpwe?”

“Nona itu terluka amat parah..., tapi kau tak perlu khawatir, dia akan sembuh....”

Lega hati Suling Emas. Setelah mendengar bahwa Tan Lian tertolong, ia teringat kembali kepada dua orang korban di luar. “Locianpwe, di luar ada dua orang korban yang keadaannya amat berbahaya, harap Locianpwe sudi monolong orang-orang yang tak berdosa itu.”

Tanpa banyak cakap lagi Kim-sim Yok-ong lalu melangkah cepat ke luar pondok. Melihat dua orang menggeletak di pekarangan rumahnya, yang seorang berkelojotan dan yang kedua diam tak bergerak kaku, ia cepat menghampiri dan memeriksa. Keningnya berkerut-kerut dan ia menggeleng-gelengkan kepala, kadang-kadang mulutnya mengeluarkan seruan-seruan heran dan kaget.

“Kim-siauw-eng, apakah yang terjadi di sini tadi?” tanpa menoleh kepada Suling Emas ia bertanya sambil memeriksa tubuh korban kakek putih yang makin lama makin dingin tubuhnya itu.

Dengan singkat Suling Emas menuturkan tentang dua orang kakek aneh yang tadi datang. Mendengar ini, tabib sakti itu mengeluarkan seruan aneh, bangkit berdiri dan memandang Suling Emas dengan mata terbelalak.

“Agaknya mereka itu bukan manusia!” serunya kaget. “Kalau mereka manusia, tokoh dari golongan mana pun juga, tentu pernah kulihat atau setidaknya kudengar nama dan keadaannya. Akan tetapi selama puluhan tahun aku hidup, belum pernah mendengar tentang seorang kakek putih dan seorang kakek merah. Lebih hebat lagi, aku tidak mengenal pula pukulan-pukulannya terhadap dua orang ini!” Ia menarik napas panjang. “Gunung Thai-san ini boleh dibilang tinggi, namun puncaknya masih kalah tinggi oleh awan. Sungguh segala sesuatu di dunia ini tak dapat diukur batasnya. Mereka itu agaknya sengaja menantangku dan hendak menguji. Hemmm, orang-orang sesat, nyawa manusia dibuat main-main! Butakah mereka sehingga tidak melihat bahwa mati hidupnya seseorang bukan sekali-kali tergantung dari pada kepandaianku mengobati, melainkan tergantung sepenuhnya pada kehendak Thian? Kim-siauw-eng, bawalah mereka masuk. Aku akan coba menolong sungguh pun aku merasa ragu-ragu untuk dapat menyelamatkan mereka.”

Suling Emas cepat mengempit dua orang itu dan membawanya masuk ke dalam pondok. Atas permintaan tabib sakti itu, ia membaringkan mereka di atas bangku-bangku kayu yang berada di ruangan belakang. Kemudian seperti yang diminta oleh Kim-sim Yok-ong, Suling Emas menanggalkan pakaian kedua orang itu, pakaian bagian atas sehingga tubuh mereka bagian atas telanjang. Ngeri sekali keadaan mereka. Tubuh mereka itu kini yang seorang sudah berubah putih, yang kedua menjadi merah, persis warna kulit kedua orang kakek aneh itu.

Sementara itu, Kim-sim Yok-ong sibuk membakar ujung jarum-jarum perak dan emas di atas api lilin. Kemudian ia menghampiri korban kakek putih yang tubuhnya kaku dan berwarna putih itu. Dengan gerakan hati-hati sekali namun tidak ragu-ragu, ia menancapkan jarum-jarum emas pada jalan-jalan darah tertentu di dada, leher dan pusar! Kemudian ia menggunakan jarum-jarum perak untuk menusuk jalan-jalan darah pada tubuh orang kedua yang menjadi korban kakek merah. Setelah pada masing-masing tubuh kedua orang korban itu tertancap tujuh batang jarum, Kim-sim Yok-ong mengeluarkan sebatang pisau yang tajam lalu melukai kedua telapak tangan mereka dengan ujung pisau.

Aneh! Dari luka di telapak tangan korban kakek putih segera mengucur keluar darah yang keputih-putihan sedangkan dari luka di telapak tangan korban kakek merah mengucur darah yang kehitaman! Lambat laun berubahlah warna pada wajah kedua orang itu, kembali menjadi normal dan napas mereka pun mulai tenang. Akhirnya mereka bergerak-gerak mengeluh panjang. Kim-sim Yok-ong menarik napas panjang, kelihatan lega hatinya. Akan tetapi agaknya ia tadi telah mengerahkan tenaga dan mencurahkan seluruh perhatiannya sehingga ia tampak lelah, dan sambil menghapus keringatnya, ia mulai mencabuti jarum-jarum yang menancap di tubuh kedua orang itu.

“Siapa pun kedua iblis itu, dia tidak mungkin dapat mengalahkan kekuasaan Thian,” kata Kim-sim Yok-ong perlahan. “Inilah buktinya! Karena agaknya Thian belum menghendaki kedua orang tak bersalah ini tewas, kebetulan sekali aku dapat menyembuhkan luka-luka mereka yang hebat, akibat pukulan aneh yang belum pernah kusaksikan sebelumnya. Betapa pun juga, pukulan kakek merah itu mengandung unsur panas sedangkan pukulan kakek putih mengandung pukulan dingin. Di dunia ini hanya terdapat dua macam unsur tenaga, Im dan Yang, sungguh pun berbeda ragam dan caranya, namun bersumber sama.”

Suling Emas menyaksikan dan mendengarkan dengan hati penuh kekaguman. Akan tetapi pada saat itu terdengar suara ketawa yang sudah amat dikenalnya.

“Huah-hah-hah, Kim-sim Yok-ong! Jangan bergembira dulu dan merasa senang! Cobalah kau punahkan akibat pukulan-pukulan kami ini!”

Bagaikan kilat menyambar, Suling Emas sudah berkelebat keluar pondok, siap untuk menghadapi dua orang iblis asing yang hendak menguji kepandaian Kim-sim Yok-ong dengan cara buas, yaitu melukai orang-orang tak bersalah itu, main-main dengan nyawa orang seakan-akan mereka itu hanya binatang-binatang kelinci saja. Akan tetapi alangkah kagetnya ketika tiba di pekarangan depan, ia tidak melihat dua orang kakek itu melainkan empat orang dusun lain yang sudah menggeletak tak bergerak di atas tanah.

“Celaka! Keji benar mereka!” serunya sambil membungkuk untuk memeriksa.

“Jangan pegang mereka! Biarkan aku memeriksa lebih dulu!” seru Kim-sim Yok-ong sambil berlari-lari ke luar.

Hebat sekali keadaan empat orang itu. Mereka adalah korban baru. Ada yang tulangnya patah-patah sampai menjadi puluhan potong! Ada yang tulangnya remuk-remuk. Ada yang seluruh tubuhnya keluar bintik-bintik merah dan orang keempat mengeluarkan darah dari semua lubang di tubuhnya!

“Kejam...!” Seru Yok-ong. “Kim-siauw-eng, bantulah aku. Mereka harus cepat-cepat ditolong!”

Maka bekerjalah Suling Emas mengangkat orang-orang itu ke dalam pondok dan ia girang melihat dua orang dusun pertama sudah dapat bangun. Segera Yok-ong menyuruh mereka pulang sanibil membawa obat-obat minum kepada kedua orang itu. Akan tetapi selanjutnya ia sibuk mengobati empat orang yang menderita luka-luka hebat sekali. Suling Emas hanya membantu, memasakkan obat, mengambilkan daun ini dan akar itu, sambil mengagumi cara tabib sakti itu menolong para korban. Cekatan dan terampil, hati-hati dan tepat sehingga kembali empat orang itu dapat diselamatkan nyawanya.

Akan tetapi, secara berturut-turut pekarangan depan pondok itu kebanjiran para korban dua orang kakek iblis yang aneh itu, yang selalu meninggalkan korban mereka di pekarangan pondok sehingga dalam waktu setengah hari saja di situ berkumpul tiga puluh orang lebih yang terancam nyawanya dengan pelbagai macam luka-luka hebat, dari racun-racun yang paling ganas sampai pukulan-pukulan yang paling keji yang selamanya belum pernah terbayangkan oleh Suling Emas, bahkan banyak di antaranya yang membuat si tabib sakti agak bingung! Akhirnya si tabib sakti terpaksa mengakui kehebatan dua orang kakek itu karena menjelang senja, sudah ada empat orang yang tewas, karena ia tak mampu menyembuhkannya!

Hebatnya, malam itu masih bertambah lagi jumlah korban sehingga seluruhnya menjadi lima puluh orang korban tangan maut kakek merah dan kakek putih yang luar biasa ini! Suling Emas memuncak kemarahannya, namun ia tidak dapat melakukan pencegahan atau pun pengejaran karena tenaganya amat dibutuhkan untuk membantu Kim-sim Yok-ong. Baiknya Tan Lian siuman menjelang malam dan keadaannya sedemikian baiknya sehingga gadis ini mampu bangkit duduk dan memandang ke kanan kiri dengan keheran-heranan karena ia melihat seorang kakek tua dibantu oleh Suling Emas sibuk mengurus dan mengobati puluhan orang. Biar pun yang sembuh telah disuruh pulang oleh tabib sakti itu, namun di dalam rumah masih terkumpul tiga puluh orang dan enam orang mayat!

“Ahhh... apa yang terjadi? Di mana aku...?” Gadis itu bertanya, penuh kengerian hati.

Suling Emas segera menghampiri dan giranglah hatinya melihat gadis itu sudah sembuh sama sekali, tampak dari wajahnya yang segar.

“Syukur kau telah tertolong, Nona. Akan tetapi kau harus beristirahat di sini barang tiga hari menurut pesan Yok-ong Locianpwe. Akan tetapi celaka, hari ini terjadi hal hebat. Dua orang iblis yang tidak terkenal mengamuk dan melukai banyak orang hanya untuk menguji kepandaian Kim-sim Yok-ong.” Secara singkat Suling Emas menceritakan keadaan itu, sedangkan Yok-ong sama sekali tidak ambil peduli dan tetap sibuk mengurusi mereka yang luka.

Tan Lian menjadi heran dan terharu menyaksikan kebaikan hati tabib itu. “Apa? Aku harus beristirahat saja melihat begini banyaknya orang yang perku ditolong? Tidak, Locianpwe, aku siap membantumu!” Ia meloncat turun dari pembaringan dan biar pun kepalanya masih agak pening, namun gadis ini dengan cekatan lalu mulai membantu dengan masak air dan lain-lain.

Kim-sim Yok-ong mengangguk-angguk dan memandang sebentar. “Boleh, kau boleh membantu. Yang tak boleh kau lakukan hanya pengerahan tenaga dalam. Bagus hari ini aku bersusah-payah menolongmu bukan tiada gunanya. Nona kau ambilkan bungkusan dari atas lemari itu, kemudian kau bakar ujung semua jarum ini sampai terasa panasnya pada ujung gagangnya.”

Demikianlah, tiga orang itu semalam suntuk sibuk menolong orang dan baiknya dua orang iblis tua itu agaknya sudah cukup ‘menguji kepandaian’ Kim-sim Yok-ong, buktinya tidak ada lagi orang terluka mereka antarkan.

Pada keesokan harinya, menjelang tengah hari barulah selesai pekerjaan itu. Sebanyak empat puluh lebih orang telah sembuh dan boleh pulang, akan tetapi ada delapan orang yang tak dapat tertolong dan kini rebah menjadi mayat di dalam pondok. Kim-sim Yok-ong tampak lelah sekali, jauh lebih lelah dari Tan Lian yang juga bekerja keras dalam keadaan belum pulih tenaganya. Kakek ini tampak duduk di atas bangku, bersila dan wajahnya keruh, keningnya berkerut-kerut dan agak pucat. Ia berkali-kali menarik napas panjang dan memandangi mayat-mayat yang berjajar di situ.

“Locianpwe, harap Locianpwe tidak merasa berduka. Sudah cukup hebat kepandaian Locianpwe dan delapan orang korban ini agaknya memang sudah dikehendaki Thian untuk mati. Apakah yang harus disesalkan? Biarlah saya mengubur mayat-mayat ini!”

Kim-sim Yok-ong menggeleng-geleng kepalanya dan menarik napas panjang, “Bukan itu yang menyusahkan hatiku, orang muda. Kau tidak mengerti, apa kehendak dua orang aneh itu dengan perbuatan mereka?”

“Apa lagi kalau tidak hendak menguji kepandaian Locianpwe? Kalau memang mereka itu orang-orang yang mempunyai sedikit saja peri-kemanusiaan, tentu mereka akan menyesali perbuatan mereka dan akan mengakui keunggulan Locianpwe dalam hal melawan dan memunahkan akibat pukulan-pukulan beracun mereka!”

“Bukan..., bukan demikian. Ketahuilah, Kim-siauw-eng, mereka itu sengaja melakukan bermacam-macam pukulan dengan penggunaan racun yang berbahaya, tak lain hendak mempelajari caraku memberi obat. Mereka memaksaku mengeluarkan ilmu pengobatan dan agaknya mereka memang sengaja hendak mempelajarinya. Ilmu pengobatan memang amat baik dan boleh saja diketahui semua orang, akan tetapi kurasa bukan dengan niat baik kedua orang itu mempelajarinya, buktinya cara mereka mempelajari sudah cukup ganas dan keji. Aku khawatir sekali....”

“Siapakah iblis-iblis itu?” Tan Lian berseru. “Kalau sudah pulih kembali kesehatanku, akan kucari mereka dan kuajak mereka bertanding. Membasmi mereka atau mati di tangan mereka merupakan tugas seorang yang menjunjung kegagahan!”

Suling Emas memandang kagum dan kakek itu menghela napas. “Nona, bukan sekali-kali aku memandang rendah kepadamu. Akan tetapi kepandaian dua orang itu, biar pun Thian-te Liok-koai sendiri belum tentu dapat menandinginya!”

Suling Emas kaget. Ia harus percaya omongan tabib dewa ini yang tentu dapat menilai kepandaian orang melihat akibat pukulan-pukulannya. Diam-diam ia bergidik dan makin kuat niatnya untuk menggempur dua orang kakek itu.

“Biarlah saya mengubur mayat-mayat ini dan setelah itu, aku akan mencari mereka berdua untuk minta pertanggungan jawab mereka!”

Dengan dibantu oleh Tan Lian, Suling Emas mengubur delapan mayat itu disaksikan oleh Kim-sim Yok-ong yang merasa prihatin sekali. Baru kali ini selama ia mendapat julukan Raja Obat, ia gagal menyembuhkan delapan orang yang meninggal dunia di depan matanya. Ia merasa terhina sekali.

Setelah delapan buah mayat itu dimasukkan lubang di tanah dan mereka mulai menguruk dengan tanah, tiba-tiba terdengar suara ketawa dari arah barat, suara ketawa kakek merah bersama suara ejekan kakek putih yang sudah dikenal baik oleh Suling Emas.

“Huah-hah-hah, kiranya hanya begini saja kepandaian si Raja Obat!” terdengar suara kakek merah.

“Kau tidak patut dan tidak berhak menggunakan sebutan Yok-ong (Raja Obat) lagi!” seru suara kakek putih.

“Locianpwe, biarkan saya memberi hajaran kepada mereka!” Suling Emas berseru marah, dan hendak lari ke barat dari mana suara-suara itu datang. Akan tetapi tiba-tiba tangannya dipegang orang. Ia menoleh dan ternyata Tan Lian yang memegang tangannya, wajah gadis itu pucat dan memandang dengan penuh kekhawatiran.

“Ada apa, Nona Tan?” tanya Suling Emas merasa terganggu.

Merah wajah Tan Lian dan gadis ini segera melepaskan pegangannya. “Tidak apa-apa, hanya... mereka itu benar-benar sakti, mari kubantu engkau....”

“Terima kasih. Tidak perlu, karena kau sendiri masih belum boleh mengeluarkan tenaga, harus beristirahat sampai sembuh.” Suling Emas lalu berkelebat dan lari untuk mencari dua orang kakek iblis itu.

“Kau... berhati-hatilah...!” seru Tan Lian dan sampai lama gadis ini berdiri bengong memandang ke arah barat, ke arah perginya pendekar yang sudah menundukkan hatinya itu. Sampai lama ia berdiri seperti patung, tidak tahu bahwa pekerjaan menguruk kuburan masih menanti dan juga bahwa si kakek tabib memandanginya dengan tarikan napas panjang.

“Anak yang baik, mayat-mayat itu menunggu untuk diuruk selekasnya!” Tiba-tiba tabib itu berkata.

Sadarlah Tan Lian dari lamunannya dan segera ia mengerjakan tanah galian untuk menguruk lubang-lubang kuburan itu bersama Kim-sim Yok-ong. Kemudian tabib itu mengajak Tan Lian ke pondok dan mereka membersihkan pondok dari darah yang berceceran. Kim-sim Yok-ong menyiram-nyiramkan obat pemunah hawa beracun dan membakar akar wangi, kemudian ia memanggil gadis itu untuk duduk di depannya.

“Tak usah kau merasa khawatir. Biar pun kedua orang iblis itu lihai sekali, namun biar pun masih muda Suling Emas adalah seorang pendekar yang sakti dan waspada. Kurasa tidak akan mudah mencelakakan Suling Emas,” kata kakek itu dengan suara menghibur.

“Mudah-mudahan begitulah, Locianpwe,” jawab Tan Lian yang kemudian menjatuhkan dirinya berlutut di depan kakek itu. “Saya berhutang nyawa kepada Locianpwe, apa bila dalam hidup ini saya tidak mampu membalas, biarlah dalam penjelmaan lain saya akan menjadi binatang peliharaan Locianpwe untuk membalas budi.” Dan tiba-tiba dengan sedih nona ini menangis.

Kim-sim Yok-ong tertawa, mengelus-elus jenggotnya dan membangunkan gadis itu. “Jangan begitu, kau duduklah. Jangan kau ikat aku dengan belenggu karma. Semua yang kulakukan bukanlah untuk menanam budi, juga bukan bermaksud menolong, melainkan karena sudah menjadi kewajibanku. Anak yang baik, kalau orang sudah setua aku ini, seharusnya melakukan segala sesuatu tanpa pamrih, hanya berdasarkan kewajiban dan sebagai pujaan kepada kebesaran Thian. Nona, kau telah terpukul oleh seorang yang memiliki pukulan dasar dari ilmu silat Beng-kauw, pukulan dahsyat dan yang tadinya kuanggap hanya mampu dilakukan oleh Pat-jiu Sin-ong seorang. Siapakah yang memukulmu dan mengapa? Bagaimana pula Suling Emas yang membawamu ke sini? Kalau kau tidak keberatan, harap kau ceritakan kepadaku karena aku merasa kasihan kepadamu dan ingin memberi sekedar nasehat.”

Makin sedih tangis Tan Lian mendengar pertanyaan ini. Ia hidup sebatang-kara, selama ini tidak ada orang lain yang memperhatikan nasibnya kecuali, tentu saja, Thio San. Thio San adalah seorang pemuda, tunangannya sejak kecil. Akan tetapi ia telah menyia-nyiakan pertunangannya dengan Thio San dan selalu menghindari pemuda itu karena besarnya tekad dan cita-citanya selama ini untuk membalas dendam. Selain ini, di lubuk hatinya, ia pun tidak puas dengan tunangan ini, tunangan yang dipilih ayahnya semenjak ia masih kecil karena Thio San adalah putera sahabat baik ayahnya.

Ia tidak puas karena Thio San, sungguh pun merupakan seorang pemuda yang tampan dan baik, dan yang ternyata amat setia dan amat mencintanya pula, hanya seorang pemuda terpelajar yang lebih tekun mempelajari kesusastraan sehingga dalam pandangannya Thio San adalah seorang pemuda lemah yang tidak mengerti ilmu silat. Tidak sesuai dengan keadaannya sendiri sebagai puteri mendiang Hui-kiam-eng Tan Hui yang terkenal sebagai seorang pendekar besar.

“Locianpwe, banyak terima kasih atas perhatian Locianpwe terhadap diri saya yang bernasib malang ini. Sesungguhnya secara terus terang saya mengakui bahwa yang memukul saya adalah adik tiri Suling Emas, sedangkan Suling Emas adalah... adalah musuh besar saya.”

“Apa? Musuh besarmu? Akan tetapi dengan susah payah dia membawamu ke sini!”

“Itulah yang memberatkan hati saya, Locianpwe, dan saya mohon petunjuk. Sebetulnya bukan dia musuh saya, melainkan ibunya, Tok-siauw-kui yang sudah membunuh ayah saya.”

“Siapakah ayahmu?”

“Mendiang ayah adalah Hui-kiam-eng Tan Hui...”

“Ahhh...! Tentu saja aku kenal dia. Lalu bagaimana? Teruskanlah dan jangan ragu-ragu, mendiang ayahmu dahulu adalah sahabat baikku, dia seorang pendekar besar.”

Mendengar ini, makin deras air mata mengucur keluar dari sepasang mata gadis itu. Setelah dapat meredakan tangisnya ia menyambung ceritanya, “Kematian ayah membuat saya menjadi seorang yang hidup sebatang-kara, tidak ada cita-cita lain di hati kecuali mencari Tok-siauw-kui dan membalas dendam. Akan tetapi karena Tok-siauw-kui amat lihai sehingga ayah sendiri kalah olehnya, saya melewatkan waktu sampai belasan tahun untuk memperdalam ilmu silat. Akan tetapi, Locianpwe, alangkah malang nasib saya. Begitu saya merasa bahwa sudah tiba saatnya saya pergi mencari Tok-siauw-kui yang kabarnya berada di Nan-cao, bersembunyi di sana dan saya segera berangkat, di tengah jalan saya mendengar berita bahwa Tok-siauw-kui baru saja tewas! Ah, hancur hati saya karena saya tidak berhasil membalas dendam....” Tan Lian berhenti sejenak, mengambil napas panjang baru kemudian melanjutkan.

“Akan tetapi, kemudian saya mendengar dari It-gan Kai-ong bahwa Tok-siauw-kwi adalah ibu dari Suling Emas. Tentu saja saya ikut bersama tokoh-tokoh kang-ouw lain untuk membalaskan sakit hati itu kepada putera musuh besar saya. Kembali saya kecewa, Locianpwe, karena... karena... saya tidak mampu mengalahkan Suling Emas, malah... malah... ketika saya bersumpah di depan makam ayah untuk membalaskan dendam itu kepada isteri dan anak-anak Suling Emas, saya dipukul roboh oleh adik tirinya dan... dia malah menolong saya....” Gadis itu kembali menangis sedih.

“Hemmm... hemmm... tidak hanya kau kalah oleh Suling Emas, malah hatimu pun roboh oleh asmara. Kau mencinta Suling Emas?”

Seketika berhenti tangis Tan Lian dan ia melonjak kaget, memandang kakek itu dengan muka pucat dan mata terbelalak. Kakek itu tetap tersenyum sabar.

“Bagaimana... bagaimana... Locianpwe bisa tahu...?” Akhirnya Tan Lian bertanya dengan suara gagap.

Senyum kakek itu melebar, “Aku pernah muda, anak baik, dan sudah banyak kusaksikan di dunia ini. Sudah banyak dongeng dan peristiwa terjadi karena cinta. Kalau tidak karena cinta, agaknya tidak akan terjadi urusanmu dengan Suling Emas, tidak akan terjadi permusuhan yang terpendam di hatimu. Ayahmu pun menjadi korban cinta. Karena itu, kau percayalah kepadaku, anak baik. Buang jauh-jauh perasaan itu karena kulihat bahwa kau berbakat untuk menjadi muridku. Tadinya aku tidak ada niat memiliki murid, akan tetapi setelah dua iblis itu mengakaliku dan mencuri banyak pengetahuanku, aku harus menurunkan kepandaianku. Kaulah yang cocok untuk menjadi muridku, tidak saja kau berbakat, akan tetapi kau pun anak sahabatku.”

Tan Lian menjatuhkan diri lagi berlutut di depan kakek itu. “Ohhh, Locianpwe, saya merasa seakan-akan bertemu dengan ayah saya. Locianpwe, tolonglah saya. Saya sudah bersumpah hendak membunuh isteri dan anak-anak Suling Emas, akan tetapi... dia tidak punya isteri dan... dan memang betul saya jatuh cinta kepadanya. Locianpwe, sudilah Locianpwe menolong saya, mewakili orang tua saya yang sudah tiada, harap suka usahakan perjodohan saya dengan Suling Emas. Kalau hal ini tidak terjadi, saya merasa sia-sia hidup di dunia, dendam ayah tak terbalas, hasrat hati hendak memunahkan dendam dengan ikatan jodoh tak tercapai....”

Kakek itu termenung sejenak. “Suling Emas termasuk seorang di antara tokoh-tokoh aneh di dunia ini. Aku khawatir kalau-kalau maksud hatimu akan gagal, Nak. Mengapa tidak kau batalkan saja dan hidup mencapai kebahagiaan penuh damai dari pada kesunyian seperti aku? Aku tanggung bahwa kebahagiaan itu akan jauh lebih sempurna dari pada kebahagiaan duniawi.”

“Cobalah dulu, Locianpwe. Belum tentu dia tidak setuju, agaknya... agaknya dia pun bukan tak suka kepada saya...”

Akhirnya kakek itu mengangguk-angguk dan menghela napas. “Baiklah... baiklah, akan tetapi jangan kau lalu membunuh diri kalau dia menolak. Berjanjilah dulu, tanpa janjimu aku takkan mau menerima permintaanmu.”

“Saya berjanji takkan membunuh diri kalau... dia menolak.”

“Dan akan suka menjadi muridku,” sambung kakek itu.

“... dan akan suka menjadi murid Locianpwe....”

“Bagus!” Kakek itu tampak girang, “Nah, kau beristirahatlah, kita menanti sampai dia kembali.”

Akan tetapi pada saat itu di luar pondok terdengar langkah kaki orang. Tergopoh-gopoh Tan Lian berlari ketuar, hatinya sudah tak sabar lagi untuk menyambut kedatangan Suling Emas. Ia harus cepat melihat dengan mata sendiri bahwa pendekar itu kembali dalam keadaan selamat. Ketika ia melangkah ke luar dari pintu pondok, tiba-tiba ia tercengang dan berdiri seperti patung, memandang laki-laki muda yang berdiri di pekarangan rumah itu dengan mata terbelalak. Pemuda itu, yang berpakaian sederhana seperti seorang pelajar, kelihatan lelah sekali, berwajah tampan dan keningnya lebar, juga memandang kepadanya, mata yang sayu kelelahan itu bersinar-sinar, wajahnya berseri-seri.

“Lian-moi (Adik Lian)...!” Akhirnya ia berseru dan tersaruk-saruk ia melangkah maju.

“Kau...? Kenapa kau datang ke sini?”

“Kenapa? Lian-moi, tentu saja hendak mencarimu, menyusulmu! Lian-moi, hampir gila aku mencarimu, mengikuti jejakmu. Lian-moi, mengapa kau di sini dan dengan siapakah kau....” Orang muda yang bukan lain adalah Thio San itu tiba-tiba berhenti karena melihat munculnya seorang kakek yang bersikap tenang dan bermata tajam muncul di pintu, di belakang tunangannya.

“Thio San! Sudah berapa kali kujelaskan kepadamu bahwa di antara kita sudah tidak ada ikatan dan tidak ada urusan apa-apa lagi. Kenapa kau begini tak tahu malu dan masih berani menyusulku dan mengikutiku selalu? Pergilah!”

“Tapi....”

“Pergilah, sebelum aku habis sabar dan terpaksa bertindak kasar!”

“Tapi, Lian-moi, kita bertunangan....”

“Hemmm, kalau tidak ingat akan hubungan itu, sudah dulu-dulu aku mengenyahkanmu dengan kekerasan. Thio San, sejak dua belas tahun yang lalu, di depan engkau dan orang tuamu, bukankah aku sudah menyatakan pembatalan ikatan itu? Bukankah sudah kujelaskan secara terang-terangan apa yang menjadi sebabnya? Thio San, antara kita sudah tidak ada apa-apa lagi. Nah, cukup, kau pergilah!” Karena hampir tidak kuat menahan air matanya, Tan Lian lalu membalikkan tubuhnya dan lari memasuki pondok.

Pemuda itu berdiri dengan muka pucat, sinar matanya menjadi makin sayu, wajahnya makin muram, tubuhnya bergoyang-goyang seperti sebatang pohon terlanda angin, agaknya ia mengerahkan seluruh tenaganya agar tidak roboh.

“Orang muda,” Kim-sim Yok-ong berkata, suaranya halus menghibur. “Aku tidak berhak mencampuri urusanmu, akan tetapi biarlah kuperingatkan kau bahwa perjodohan yang dipaksakan oleh sepihak takkan membentuk rumah tangga yang berbahagia. Syarat utama perjodohan adalah kesediaan, kerelaan dan cinta kasih kedua pihak. Karena itu, seorang laki-laki harus dapat menguatkan hati dan rela berkorban perasaan demi mencegah dirinya sendiri terperosok ke dalam neraka rumah tangga yang tidak bahagia.”

Suara orang lain yang memasuki telinganya menyadarkan pemuda itu dari keadaan yang memelas (menimbulkan iba) itu. Ia mengangkat dadanya dan menegakkan kepalanya, memandang tajam kepada kakek itu ketika menjawab.

“Orang tua, aku tidak mengenal siapakah engkau, akan tetapi karena ucapanmu bermaksud baik, aku berterima kasih sekali kepadamu. Namun, kalau aku harus membenarkan pendapatmu itu, lalu ke mana nanti perginya kesetiaan dan kebaktian? Jodoh yang sudah dipilihkan orang tua semenjak kecil, harus diterima dengan rela, itu bakti namanya! Satu kali orang bertunangan, harus ditunggu sampai mati, itu setia namanya! Betapa pun juga, kau betul, orang tua. Dia tidak suka kepadaku dan aku tidak dapat memaksanya. Dia seorang ahli silat yang lihai, hatinya penuh dendam yang belum terbalaskan, hidupnya bagaikan seekor naga yang melayang-layang di angkasa dengan bebas beterbangan di antara awan dan petir! Sedangkan aku... aku....”

“Dan kau seorang muda yang penuh filsafat, yang mabuk akan ujar-ujar kuno, yang hidup menurunkan garis-garis dalam kitab, yang buta akan kenyataan bahwa betapa pun mengecewakannya, manusia yang belum mau melepaskan diri dari kehidupan ramai, berarti belum mungkin terlepas dari pada nafsu-nafsu duniawi! Kau tidak mau mengerti bahwa orang seperti Tan Lian hanya tunduk kepada nafsu yang menguasai hatinya, sebaliknya kau hanya tunduk kepada peraturan tanpa mau menjenguk keadaan orang lain. Orang muda, aku kasihan kepadamu. Kau seorang yang baik, berbakti dan setia, akan tetapi kau lemah! Bukan lemah jasmani saja, juga lemah batinmu karena kau malu akan kenyataan bahwa juga engkau telah dikuasai nafsu yang mendorong cinta nafsumu terhadap Tan Lian, akan tetapi kau tidak berterus terang, malah kau hendak menutupi cintamu dengan dalih setia dan berbakti! Sayang....”

Tiba-tiba dua titik air mata membasahi pipi pemuda itu yang menundukkan mukanya dan berkata, “Orang tua, kau betul. Aku cinta padanya, tapi dia menolakku. Namun, aku akan menanti dengan sabar, seperti yang sudah kulakukan belasan tahun lamanya, karena kulihat dia masih sendiri. Kalau dia sudah bersuamikan orang lain, barulah aku akan mundur. Maafkan aku, orang tua.” Setelah berkata demikian, pemuda itu menjura dan membalikkan tubuh, lalu berjalan dengan langkah-langkah gontai meninggalkan pondok.

Sampai lama Kim-sim Yok-ong berdiri memandang dari depan pintu pondoknya sambil menggoyang-goyang kepala dan menghela napas. “Sampai sekarang, entah sudah berapa juta orang muda menjadi korban penyakit asmara ini. Sungguh memalukan, aku yang berjuluk Yok-ong belum juga dapat menemukan obatnya!” Sambil menggeleng-geleng kepala ia memasuki pondoknya dan melihat Tan Lian menangis terisak-isak sambil menutupi muka dengan kedua tangan, kakek ini tidak mau bertanya-tanya lagi. Ia maklum bahwa gadis ini tentu merasa menyesal, berduka, dan malu karena urusan pribadinya telah terdengar orang lain.

“Locianpwe..., aku... aku malu sekali. Ah, Locianpwe tentu akan memandang rendah kepadaku... seorang gadis yang sudah ditunangkan sejak kecil akan tetapi berani minta tolong kepada Locianpwe untuk menguruskan perjodohan dengan pria lain...! Kalau Locianpwe merasa bahwa aku terlalu hina dan rendah, biarlah aku pergi dari sini dan tidak berani mengganggumu lagi....”

“Hemmm, aku tahu keadaan hatimu, Nak, dan tidak biasanya aku mencampuri urusan pribadi orang lain. Aku tidak memandang rendah dan aku tetap akan memegang janjiku.” Mendengar ucapan ini, Tan Lian berlutut dan merangkul kaki Yok-ong sambil menangis.


********************


Dengan gerakan yang cepat sekali sehingga dari jauh terlihat bagaikan terbang saja, pendekar sakti Suling Emas lari mendaki puncak Thai-san. Ia sengaja mencari tempat-tempat tinggi, bahkan kadang-kadang ia meloncat naik ke atas pohon untuk melihat keadaan sekitar pegunungan itu dalam usahanya mencari jejak dua orang iblis tua yang telah mengacau pondok Kim-sim Yok-ong. Namun sudah sehari semalam ia mencari, hasilnya sia-sia belaka.

Pada harti kedua, pagi-pagi sekali ia sudah tiba di puncak paling tinggi dan selagi ia meneliti keadaan sekelilingnya, tiba-tiba ia mendengar tetabuhan khim yang nyaring, merdu dan halus. Sejenak kagetlah Suling Emas karena ingatannya melayang-layang, mengira bahwa Bu Kek Siansu berada di tempat ini. Akan tetapi ketika ia memperhatikan, ia segera mengerutkan keningnya. Suara alat musik yang-khim yang ditabuh ini, sungguh pun cukup nyaring dan merdu, namun memiliki gaya yang liar dan iramanya merangsang. Betapa pun juga harus ia akui bahwa tenaga yang keluar dari suara khim ini cukup hebat, menimbulkan rangsang yang mendebarkan jantung dan bagi orang yang kurang kuat tenaga batinnya, tentu akan roboh di bawah pengaruh suara itu.

Kemudian Suling Emas tersenyum dan teringatlah ia akan Siang-mou Sin-ni, seorang di antara Thian-te Liok-koai yang dapat mainkan yang-khim seganas ini. Ia ingat bahwa dahulu wanita iblis ini telah merampas alat musik yang-khim dari tangan Bu Kek Siansu dan agaknya ia telah mempelajari alat musik itu, disesuaikan dengan ilmu untuk menyerang orang, baik melalui suara yang-khim mau pun dengan cara mempergunakan alat musik itu sebagai senjata.

Diam-diam Suling Emas menghitung-hitung dan memang hari itu sudah tiba saatnya perjanjian para anggota Thian-te Liok-koai mengadakan pertemuan untuk mengadu ilmu di puncak Thai-san. Karena suara yang-khim dari Siang-mou Sin-ni itu merupakan panggilan atau tantangan, untuk sementara Suling Emas menunda urusannya mencari dua orang asing dan kini ia mencabut sulingnya, meniup dan melagukannya sambil melangkah lebar ke arah datangnya suara.

Sungguh ajaib suara yang terdengar di hutan-hutan gunung Thai-san pada saat itu. Kalau ada orang mendengar suara ini tentu akan mengira bahwa suara itu bukan sewajarnya, mungkin para iblis hutan sedang berpesta. Suara suling mengalun, bergelombang turun naik mengelus perasaan, menyegarkan akan tetapi juga memabukkan karena memiliki daya seret yang menghanyutkan. Suara ini mengiringi atau diiringi suara berkencringnya yang-khim yang diseling dengan ‘melody’ yang jelas satu-satu dan nyaring, namun bukan main hebatnya suara ini karena setiap bunyi denting dari sehelai kawat yang disentil jari, cukup kuat daya serangnya untuk membuat jantung lawan putus! Perpaduan suara musik yang aneh dan bergema di seluruh hutan, menari-nari di puncak pohon, bahkan menembus dasar jurang yang paling dalam.

Pertandingan jarak jauh yang dilakukan dengan ‘suara’ itu benar-benar amat menarik. Kini Suling Emas tidak melangkah lagi, melainkan berhenti dan berdiri tegak. Mukanya agak merah dan dari belakang kepalanya tampak uap putih tipis. Ini menandakan bahwa Siang-mou Sin-ni sudah memperoleh kemajuan pesat sehingga untuk menghadapi suara yang-khim itu, Suling Emas tak boleh bersikap sembarangan dan harus pula mencurahkan perhatian dan mengerahkan tenaga sinkang.

Akan tetapi, begitu pendekar sakti ini memusatkan tenaganya, suara yang-khim makin menjadi lemah seakan-akan terdesak suara suling yang makin melengking tinggi itu. Anehnya, daun-daun pohon yang masih hijau segar, yang tumbuh di atas kepala dan di dekat Suling Emas meniup sulingnya, tiba-tiba rontok satu demi satu, melayang-layang ke bawah dengan gerakan aneh dan lucu seakan-akan daun-daun itu menari-nari mengikuti bunyi irama suling!

Akhirnya suara yang-khim itu berhenti dan terdengar keluhan, lalu disusul suara Siang-mou Sin-ni dari jauh. Suara itu terdengar lamat-lamat akan tetapi cukup jelas. “Suling Emas, saat mengadu kepandaian adalah malam nanti, kalau bulan sudah muncul. Aku hanya main-main, kenapa kau sungguh-sungguh?”

Suling Emas juga menghentikan tiupan sulingnya dan ia menarik napas panjang lalu tersenyum. Kata-kata itu tak perlu dia menjawabnya. Ia tahu bahwa untuk menghadapi malam pertemuan bulan lima tanggal lima belas, yaitu malam nanti di mana akan diadakan pertandingan untuk menentukan tingkat masing-masing, Siang-mou Sin-ni berusaha untuk ‘mengukur keadaannya’ dengan suara yang-khim tadi. Dan menurut pendapatnya bahwa biar pun ia tidak kalah oleh Siang-mou Sin-ni dalam penggunaan sinkang di dalam suara, namun kemajuan wanita iblis itu tak boleh dipandang ringan begitu saja dan malam nanti akan merupakan lawan yang tangguh.

Setelah Siang-mou Sin-ni pergi, Su­ling Emas teringat kembali akan dua orang kakek yang dicarinya. Ia lalu melanjutkan usahanya mencari jejak kedua orang itu.

“Dua Locianpwe yang muncul di pondok Kim-sim Yok-ong, silakan keluar, saya mau bicara!” Demikianlah berkali-kali ia berteriak dengan pengerahan khikang-nya sehingga suaranya bergema sampai jauh. Namun hasilnya sia-sia, tidak ada jawaban kecuali gema suaranya sendiri.....

Selanjutnya baca
CINTA BERNODA DARAH : JILID-15
LihatTutupKomentar