Bu Kek Siansu Jilid 20

Swat Hong tidak mau melayaninya, dia malah membuang muka dan melanjutkan langkahnya.
Akan tetapi laki-laki itu melompat dan menghadang di depannya sambil bertolak pinggang. "Eitt..... nanti dulu! Berani kau menghina Perwira Ahmed? Dia bukan hanya lihai dan penembak tepat, juga banyak wanita tergila-gila kepadanya! Dan kau berani memandang rendah?"
Swat Hong memandang dengan mata melotot lalu mendengus, "Pergilah!" sambil melangkah terus.

Melihat dara yang begitu cantik, apa lagi di sana banyak kawan yang menyaksikannya, maka prajurit itu lantas gatal tangan. Dia melangkah maju, kemudian meraih dan berhasil menangkap lengan gadis yang saat itu sedang gundah hatinya. Di samping sedang memikirkan banyak hal, Swat Hong tidak menduga prajurit itu akan berani berbuat selancang itu, maka tidak heran jika lengannya dapat ditangkap begitu saja. Langsung darah gadis ini meluap naik hingga mukanya merah.

"Dan kau laki-laki kurang ajar!" Swat Hong berkata, dan sekali dia menggerakkan lengannya yang terpegang, dia berbalik sudah memegang pergelangan tangan laki-laki itu dan begitu dia membetot, laki-laki itu jatuh tersungkur mencium tanah!

"Aihhh, berani kau memukulku?" Prajurit itu marah sekali dan cepat dia melompat dan menubruk.

"Plakk! Aughhh...!" Prajurit itu terlempar dan mengaduh-aduh, mukanya membengkak.

Melihat kejadian ini, lima orang prajurit kawan orang pertama itu menjadi marah dan menerjang maju. "Tangkap, dia tentu mata-mata!"

Swat Hong merasa muak sekali dan juga marah. Melihat lima orang itu menerjang dan hendak berlomba menangkap dan merangkulnya, kaki tangannya bergerak dan dalam segebrakan saja, lima orang itu pun roboh tersungkur dan tidak dapat berlagak lagi karena mengaduh-aduh kesakitan. Tentu saja keadaan menjadi ribut dan banyak anak buah pasukan mengurung.

Akan tetapi tiba-tiba perwira yang ahli menggunakan anak panah tadi meloncat maju dan menghadik. "Mundur semua!"

Setelah orang-orang mundur tidak melanjutkan gerakan mereka untuk mengeroyok, perwira itu membungkuk di depan Swat Hong sambil berkata, "Harap Nona maafkan. Sudah lazim bahwa anak buah pasukan selalu bersikap kasar. Nona tentu bukan orang sini, kalau boleh bertanya hendak ke manakah?"

"Hemm,” pikir Swat Hong. “Pantas kalau banyak wanita tergila-gila. Memang perwira yang bernama Ahmed ini gagah sekali.”

Perwira bernama Ahmed ini memang gagah dan tampan, amat keras daya tariknya terhadap wanita terutama sekali sepasang matanya yang tajam dengan bulu mata panjang lentik dan alis yang tebal itu. Juga dagunya berlekuk dan menambah kejantanannya. Selain tampan dan gagah, juga laki-laki ini pandai bersikap manis terhadap wanita.

"Sudahlah," kata Swat Hong. “Asal mereka jangan kurang ajar, aku pun tidak ingin mencari permusuhan. Bahkan aku ingin menghadap Kaisar untuk membantu perjuangannya. Di manakah aku dapat menghadap Kaisar?"

Mendengar ucapan gadis yang cantik jelita dan gagah itu, seketika lenyaplah kemarahan para prajurit. "Aih, kiranya seorang lihiap (pendekar wanita)!"

"Tentu tokoh kang-ouw kenamaan!"

Perwira Ahmed menghentikan ribut-ribut itu dan kembali dia tersenyum, manis dan menarik sekali. "Untuk membantu perjuangan, tidak perlu menghadap Sri Baginda, Nona. Tidak mudah menghadap Sri Baginda yang sedang sibuk. Kebetulan di sini juga merupakan markas dan dipimpin Bouw-ciangkun. Banyak pula orang-orang kang-ouw yang telah diterima menjadi sukarelawan. Akan tetapi baru sekarang datang seorang sukarelawati seperti Nona. Ahh, terimalah hormat dan rasa kagumku, Nona. Engkau tentulah yang disebut pendekar wanita dari dunia kang-ouw, bukan?"

Swat Hong tidak peduli, yang penting adalah membantu perjuangan untuk membasmi An Lu Shan dan keturunan atau penggantinya. "Dapatkah aku bertemu dengan Bouw-ciangkun?"

"Tentu saja. Akan tetapi, perkenankanlah aku memuaskan keinginan hatiku yang sudah terpendam bertahun-tahun untuk menyaksikan kelihaian seorang pendekar wanita dari timur, Nona." Perwira Ahmed memperlihatkan gendewanya. "Dapatkah Nona mainkan gendewa dan anak panah?"

Swat Hong maklum bahwa dia hendak diuji, dan siapa tahu, mungkin perwira ini termasuk seorang di antara para pengujinya. "Senjata ini kurang praktis untuk pertandingan jarak dekat dan terang-terangan."

Perwira Ahmed mengerutkan alisnya, akan tetapi bibirnya tetap tersenyum manis. "Benarkah? Nona, dengan gendewa ini aku dapat merobohkan musuh dalam jarak seratus langkah, biar pun musuh itu menggunakan senjata apa pun untuk melindungi dirinya. Aku dapat melepaskan anak panah terus-menerus dan bertubi-tubi sampai puluhan batang!"

"Hemm, mungkin berhasil merobohkan segala burung dan manusia yang bodoh saja."

"Wah...!" Ahmed membelalakkan matanya. "Apakah di dunia ini ada orang yang sanggup menyelamatkan diri dalam jarak seratus langkah dari gendewaku?"

"Boleh kau coba. Aku bersedia."

"Eiiihhh, jangan, Nona! Aku akan menyesal selama hidupku kalau sampai melukaimu, apa lagi membunuhmu!"

"Tidak perlu khawatir, aku malah akan menghadapi hujan anak panahmu itu dengan tangan kosong!"

"Mustahil!"

Orang Han yang pertama kali dirobohkan Swat Hong kini mendekat. Karena dia maklum akan kelihaian dara itu, kini dia hendak mencari muka dan berkata, "Saudara Ahmed, jangan memandang rendah seorang lihiap. Dia pasti akan sanggup memenuhi kata-katanya."

Atas dorongan dan desakan banyak orang, akhirnya Ahmed mau juga mencoba kepandaian wanita cantik jelita itu. Dengan tenang Swat Hong melangkah sambil menghitung sampai seratus langkah, pendek-pendek saja, kemudian membalik dan menghadapi Ahmed dengan mata tak berkedip.

"Wah, terlalu dekat...! Terlalu dekat sekali! Langkahmu begitu pendek-pendek, Nona. Ini hanyalah lima puluh langkah, tidak ada seratus!" Ahmed berteriak sambil melangkah mundur sampai lima puluh langkah.

Diam-diam Swat Hong memuji kejujuran dan niat baik di hati perwira asing itu. "Terserah kepadamu. Nah, aku sudah siap," katanya.

Ahmed ragu-ragu, mukanya agak pucat. "Tapi... tapi, setidaknya kau harus membawa pedang untuk menangkis atau sebuah perisai."

"Tidak perlu. Seranglah!"

Didesak oleh orang banyak, dan memang di dalam hatinya dia juga merasa penasaran sekali, Ahmed lalu memasang lima batang anak panah di gendewanya, dan masih ada puluhan batang di tempat anak panah yang siap untuk disambar tangan kanan menyusul rombongan anak panah terdahulu. "Nona, siap dan hati-hatilah!" teriaknya.

Terdengar suara menjepret ketika tampak lima sinar berturut-turut meluncur ke arah Swat Hong, diikuti oleh puluhan pasang mata yang tidak berkedip dan dengan hati penuh ketegangan.

Swat Hong melihat betapa lima batang anak panah itu meluncur di sekeliling tubuhnya. Tahulah dia bahwa orang itu memang amat hebat ilmu panahnya akan tetapi juga amat lembut hatinya terhadap wanita sehingga sengaja membuat anak panah rombongan pertama menyeleweng. Dia diam saja tidak bergerak, membiarkan lima batang anak panah itu lewat, diikuti seruan menahan napas dari semua orang yang sudah merasa ngeri melihat nona itu sama sekali tidak mengelak!

Ahmed membelalakkan matanya. hampir dia tidak percaya. Anak panahnya itu hanya sedikit saja selisihnya dari kulit tubuh wanita itu, namun wanita itu dengan tenang saja berdiri diam tidak bergerak!

"Tidak perlu sungkan, bidik yang tepat!" Swat Hong berkata setelah dia merasa yakin bahwa luncuran anak panah itu dapat diikuti dengan pandang matanya sehingga mudah bagi dia untuk menjaga diri.

Lima batang lagi anak panah sudah berada di gendewa Ahmed dengan cepat bukan main. Kembali terdengar suara menjepret ketika lima batang anak panah itu menyambar seperti kilat ke arah Swat Hong. Dara itu melihat betapa lima batang ini menyambar ke arah kakinya semua, maka dia mengerti bahwa Ahmed masih saja khawatir kalau-kalau mencelakainya, maka dia meloncat dan sekaligus menendang ke bawah sehingga dia bukan hanya mengelak, bahkan berhasil menendang runtuh semua anak panah itu!

Ahmed mengeluarkan seruan kagum dan kini dia pun tidak ragu-ragu lagi akan kehebatan pendekar wanita itu. Anak panahnya meluncur bertubi-tubi seperti hujan derasnya, susul-menyusul ke arah tubuh Swat Hong.

Dara ini pun memperlihatkan kepandaiannya. Sambil mengelak berloncatan ke sana-sini, tangannya menyambar dan dua batang anak panah ditangkapnya dengan kedua tangannya. Dia lalu menggunakan dua batang anak panah itu untuk menangkis semua anak panah yang datang menyambar, kemudian dengan cepat dan tak terduga-duga dia menyambitkan sebatang anak panah yang meluncur cepat ke arah Ahmed.

“Auhhh...!" Ahmed berteriak kaget dan gendewanya terlepas dari tangan kirinya karena tangan kirinya itu kena sambar sebatang anak panah. Gendewanya terlepas akan tetapi tangan kirinya tidak terluka karena anak panah yang menyambar tangannya itu dilepas dengan cara dibalik sehingga bukan ujung yang runcing yang mengenai tangannya, melainkan ujung belakang yang bulu-bulunya telah dibuang.

Ahmed segera lari menghampiri Swat Hong, memandang penuh kagum, kemudian dia membungkuk sampai dalam sambil berkata, "Duhai..., Nona adalah setangkai bunga di tengah padang pasir! Satu di antara puluhan ribu wanita belum tentu ada yang seperti Nona.... saya merasa kagum dan hormat sekali...!"

Wajah Swat Hong menjadi merah. Bukan main hebatnya pujian yang keluar dari mulut pria ini, pujian yang aneh dan istimewa. Akan tetapi sebelum dia menjawab terdengar kaki kuda berderap dan muncullah seorang panglima sebangsa Ahmed naik kuda.

Usia panglima ini tentu sudah empat puluhan tahun, tinggi besar dan berwibawa, gagah dan juga tampan. Akan tetapi begitu bertemu pandang, Swat Hong merasa tidak suka kepada panglima ini karena pandang mata itu seolah-olah hendak menelanjangi dan sinar mata orang itu seperti dapat menembus pakaiannya!

Ahmed cepat berdiri dengan tegak memberi hormat kepada atasannya. Panglima itu lalu bertanya kepada Ahmed dalam bahasa mereka sendiri yang tidak dimengerti oleh Swat Hong, dijawab pula oleh Ahmed. Panglima itu mengangguk-angguk, bicara lagi lalu memutar kudanya pergi dari tempat itu setelah melempar kerling penuh gairah dan kagum ke arah Swat Hong.

"Nona, Komandanku tadi bertanya tentang Nona dan menyuruh Nona langsung saja menghadap Bouw-ciangkun untuk melapor. Tentu saja bantuan tenaga seorang yang berkepandaian tinggi seperti Nona amat dihargai dan dibutuhkan. Mari Nona, saya antar."

"Kau baik sekali, terima kasih," jawab Swat Hong yang merasa memperoleh seorang sahabat dalam diri perwira yang simpatik ini.

"Nama saya Ahmed, Nona."

Swat Hong tersenyum, mengerti bahwa itulah cara yang sopan dari sahabat barunya untuk menanyakan namanya. "Dan namaku Han Swat Hong."

Mereka memasuki sebuah bangunan besar. Di ruangan dalam, Ahmed membawa Swat Hong ke dalam sebuah kamar di mana duduk seorang tua berpakaian panglima perang. Orang ini berusia lima puluh tahun lebih, mukanya bulat. Matanya yang sipit menjadi agak lebar ketika dia memandang Swat Hong yang datang bersama Ahmed.

Setelah memberi hormat, Ahmed berkata, "Nona Han Swat Hong ini ingin menjadi sukarelawati."

"Hemm, aku sudah mendengar dari komandanmu. Kau boleh pergi meninggalkan Nona ini di sini," jawab Panglima Bouw dengan sikap angkuh. Menyaksikan sikapnya ini saja Swat Hong sudah merasa kurang senang.

Ahmed memberi hormat, melirik kepada Swat Hong lalu melangkah ke luar dengan tegap. Setelah derap kaki Ahmed tidak terdengar lagi, kamar itu menjadi sunyi sekali biar pun di situ, selain Bouw-ciangkun dan Swat Hong, masih terdapat empat orang pengawal yang berdiri di sudut kamar seperti arca.

"Silakan duduk, Nona," suara Bouw-ciangkun berubah, tidak singkat dan keras seperti tadi, melainkan lunak dan manis. Hal ini membuat Swat Hong makin tidak senang lagi, akan tetapi karena kedatangannya hendak membantu kerajaan melawan pemberontak, bukan hendak berhubungan dengan orang ini, dia tidak banyak cakap, lalu duduk.

"Kami telah mendengar akan kelihaian Nona yang mendemonstrasikan kepandaian di luar tadi. Kebetulan sekali kedatangan Nona, karena Kaisar memang membutuhkan seorang pengawal wanita untuk menjaga keselamatan keluarga Kaisar. Oleh karena itu, harap Nona menanti di dalam pesanggrahan. Kalau kesempatan sudah terbuka, kami akan mengantarkan Nona untuk menghadap Kaisar sendiri."

Girang juga hati Swat Hong karena dia lebih senang untuk bekerja dekat dengan keluarga Kaisar dari-pada bekerja sama dengan para prajurit Kaisar itu. Pula, memang karena merasa bahwa ayahnya adalah masih sedarah dengan keluarga Kaisar maka dia berkeinginan membantu keluarga Kaisar. Pekerjaan menjadi pengawal untuk melindungi keselamatan keluarga Kaisar amatlah cocok baginya.

"Baik, saya akan menanti," jawab Swat Hong.

Setelah mencatatkan nama Swat Hong, Bouw-ciangkun sendiri lalu mengantarkan dara itu pergi ke pesanggrahan, yaitu sebuah bangunan yang terpencil, berada di pinggir gunung, bangunan yang bentuknya indah dan mungil. Ketika menuju ke bangunan ini, Swat Hong melihat beberapa orang penjaga yang jumlahnya hanya belasan orang. Akan tetapi senjata mereka aneh, yaitu sebatang pedang yang bengkak-bengkok seperti ular dan memegang perisai yang bentuknya seperti batok kura-kura.

"Mereka ini adalah pasukan istimewa, pasukan pengawalku." kata Bouw-ciangkun menjelaskan dengan nada suara bangga ketika Swat Hong memandang mereka yang berdiri tegak dan memberi hormat kepada Bouwciangkun dengan gagah.

Setelah mereka memasuki pesanggrahan, Bouw-ciangkun melanjutkan, "Mereka terdiri dari orang-orang pilihan, bermacam suku bangsa di barat dan utara...."

Akan tetapi Swat Hong sudah tidak memperhatikan lagi cerita tentang pasukan pengawal tadi, karena dia sedang memperhatikan keadaan pesanggrahan yang cukup mewah itu. "Rumah ini kosong?" tanyanya.

"Memang dikosongkan dan disediakan untuk tamu agung. Karena sekarang tidak ada tamu, maka Nona boleh beristirahat di sini barang sehari dua hari untuk menanti kesempatan Kaisar dapat menerima Nona menghadap. Saya akan mengirim dua orang pelayan wanita untuk melayani segala keperluan Nona, dan sekarang juga saya akan berusaha melaporkan kedatangan Nona kepada kaisar."

Swat Hong hanya mengangguk dan pembesar itu pergi meninggalkannya.

Ketika Swat Hong sedang memeriksa keadaan pesangrahan itu yang ternyata mewah dan lengkap dengan kamar tidur yang indah, masuklah dua orang pelayan wanita membawa perlengkapan dan bahan masakan. "Kami menerima perintah untuk melayani Nona di sini," kata mereka dan segera mereka sibuk di dapur.

Swat Hong merasa tidak enak hatinya. Dia melamar untuk menjadi pejuang membantu Kaisar, akan tetapi dia diterima seperti seorang tamu agung, ditempatkan di rumah mungil dan dilayani dengan istimewa seperti dimanja! Apakah karena dia wanita? Ataukah karena dia memperlihatkan kepandaiannya tadi dan dipilih menjadi pengawal keluarga Kaisar? Dia ingin melihat-lihat keadaan di luar. Akan tetapi baru saja dia meninggalkan pondok itu sejauh belasan langkah, tiba-tiba muncullah tiga orang pengawal istimewa yang bersenjata pedang berbentuk ular dan perisai kura-kura tadi.

"Harap Nona jangan meninggalkan pondok. Kami diperintah untuk menjaga pesanggrahan, dan kalau Nona memaksa pergi kami harus mengawal Nona."

Swat Hong mengerutkan alisnya. Akan tetapi karena maksud itu baik, biar pun dianggapnya tidak ada gunanya, aneh dan menyebalkan, dia tidak menjawab melainkan kembali memasuki pondok, terus ke kamar dan merebahkan diri di atas pembaringan. Dia merasa seperti seorang asing di situ. Tiba-tiba dia tersenyum teringat kepada Ahmed. Untung ada orang yang simpatik itu. Setidaknya, dia yakin bahwa dia mempunyai seorang sahabat yang boleh dipercaya.

Akan tetapi baru saja dia beristirahat di atas tempat tidur yang lunak itu, terdengar suara hiruk-pikuk di luar. Swat Hong yang memang selalu merasa tidak enak itu meloncat dan berlari ke luar. Kagetlah dia ketika melihat bahwa yang datang adalah Bouw-ciangkun dan Panglima Arab tinggi besar yang menjadi atasan Ahmed tadi. Mereka diiringi oleh tujuh orang pelayan pria yang membawa baki tertutup.

Begitu berhadapan, Bouw-ciangkun menjura dengan hormat sambil berkata, "Kiong-hi (selamat), Nona Han. Kami telah menghadap Kaisar, dan karena Beliau masih sibuk, mulai besok lusa Nona boleh menghadap sendiri. Sementara itu Beliau mengirim kami berdua untuk menemani Nona menerima hidangan yang dikirim dari dapur keluarga Kaisar!"

Hati Swat Hong tidak senang dan curiga, akan tetapi karena nama Kaisar disebut-sebut, dia tidak berani menolak. Dia tahu bahwa penolakan hadiah dari Kaisar dapat diartikan penghinaan dan pemberontakan! Banyak dia mengerti tentang peraturan kerajaan, karena selain dia sendiri adalah puteri raja di Pulau Es juga dia banyak membaca kitab-kitab ayahnya tentang kehidupan keluarga Raja di daratan besar. Terpaksa dia membalas dengan menjura penuh hormat, kemudian bersama dua orang panglima itu dia memasuki pondok dan duduk menghadapi meja besar bersama mereka berdua.

Setelah hidangan yang lengkap dan masih panas diatur di atas meja dan para pelayan mudur berdiri di sudut, dua orang pelayan wanita muncul melayani mereka makan minum. Bouw-ciangkun memperkenalkan panglima itu sebagai panglima yang menjadi komandan dari pasukan Arab yang membantu. "Kami mengandalkan bantuan sahabat-sahabat dari barat ini untuk merampas kembali kota raja...," antara lain Bouw-ciangkun berkata. Akan tetapi urusan itu hanya didengarkan sepintas lalu saja oleh Swat Hong yang menghendaki agar pertemuan ini cepat selesai.

Dengan tangannya sendiri Bouw-ciangkun lalu mengisi cawan-cawan kosong di depan Swat Hong, Panglima Arab, dan dia sendiri, lalu mengangkat cawan arak sambil berkata, "Mari kita mulai makan minum bersama dengan mengucapkan terima kasih kepada Sri Baginda dengan mengangkat cawan penghormatan untuk kejayaan Sri Baginda Kaisar!"

Swat Hong mengangkat cawan dan minum bersama mereka, kemudian Bouw-ciangkun mempersilakan Swat Hong dan Panglima Arab itu untuk mulai makan. Sambil makan, Bouw-ciangkun dengan gembira menceritakan keadaan mereka, kekuatan yang sedang mereka susun, juga menceritakan kekacauan di kota raja sebagai akibat perebutan kekuasaan di antara para pemberontak sendiri. Betapa An Lu Shan dan puteranya tewas dan sekarang Shi Su Beng yang berkuasa juga menghadapi persaingan dari bekas kawan-kawannya sendiri.

"Ha-ha-ha, seperti sekumpulan anjing memperebutkan tulang!" dia menutup ceritanya sambil tertawa-tawa.

Panglima Arab itu yang diperkenalkan tadi bernama Hussin bin Siddik. Komandan ini mengeluarkan sebuah guci yang bentuknya seperti tanduk kerbau, lalu membuka tutupnya. Segera tercium bau harum yang aneh. Sambil tertawa dia mengacungkan guci tanduk kerbau itu sambil berkata, "Nona adalah seorang pendekar yang berilmu tinggi dan dipilih untuk menjadi pengawal Sri Baginda, karena itu sudah sepatutnya menerima penghormatan kami dengan anggur padang pasir ini! Marilah kita minum tiga cawan. Cawan pertama, demi keselamatan Sri Baginda sekeluarga!" Dia mengisi cawan arak di depan Swat Hong, tidak banyak, hanya setengah cawan kurang.

Karena dia diajak minum demi keselamatan keluarga Kaisar, tentu saja Swat Hong tidak menolak, apa lagi karena dia melihat betapa Bouw-ciangkun dan Panglima Hussin sendiri juga minum. Diminumnya cawannya dan ternyata anggur itu enak dan tidak begitu keras, manis dan harum, sungguh pun agak aneh harumnya.

"Secawan lagi kita minum demi persahabatan kita!"

Kembali Swat Hong minum dari cawan araknya yang sudah diisi lagi setengahnya.

"Dan cawan terakhir kita minum untuk kemenangan perjuangan kita!"

Sekali ini cawan itu diisi penuh. Karena anggur itu sama sekali tidak mendatangkan pengaruh apa-apa, Swat Hong tidak khawatir dan minum anggur itu sampai habis. Panglima Hussin dan Bouw-ciangkun tertawa girang dan melanjutkan makan minum sepuas-puasnya. Setelah kenyang, kedua orang panglima itu berpamit.

Sambil tertawa Bouw-ciangkun berkata, "Harap Nona jangan pergi meninggalkan pesanggrahan ini. Siapa tahu tiba-tiba saja Sri Baginda Kaisar telah siap menerima kunjungan Nona. Hal itu bisa saja terjadi di siang hari atau di malam hari. Sebaiknya kalau Nona mengaso saja dalam pesanggrahan dan sewaktu-waktu, kalau Sri Baginda menghendaki, aku sendiri atau Panglima Hussin yang akan datang menjemput Nona."

Swat Hong mengangguk. Setelah dua orang panglima itu pergi dan meja dibersihkan lalu ditinggal pergi oleh para pelayan, dia lalu minta kepada wanita pelayan untuk menyediakan air. Setelah mandi dan tukar pakaian, Swat Hong kembali beristirahat di dalam kamar yang indah itu. Berada di dalam kamar ini teringatlah dia akan kamarnya sendiri di Pulau Es, kamar yang lebih indah dan lebih menyenangkan lagi.

Dia menutup mulut dengan tangan dan menguap.... menggoyang-goyang kepalanya. Mengapa dia begini mengantuk? Dia menguap lagi. Bukan main! Rasa kantuk sukar dipertahankannya lagi. Aneh sekali! Hari baru menjelang senja, belum malam. Pula habis makan dan mandi, mana bisa mengantuk? Kembali dia menguap dan Swat hong meloncat bangun, duduk sambil memegangi kedua pelipisnya.

“Ini tidak wajar,” pikirnya.

Rasa kantuk menyerangnya amat hebat. Terbayanglah wajah Panglima Hussin yang mengajaknya minum sampai tiga kali, kemudian terbayanglah dan terdengar lagi kata-kata Bouw-ciangkun yang menyatakan bahwa kalau Kaisar menghendaki, sewaktu-waktu dia atau Panglima Hussin akan datang menjenguknya. Semua ini dilakukan sambil tertawa-tawa dan seakan-akan ada ‘main mata’ di antara kedua orang panglima itu!

"Celaka...!" dia mengeluh. Ingin dia turun membasahi muka dengan air, akan tetapi dia tidak kuat. Baru saja dia turun, dia sudah terguling ke atas lantai karena kepalanya pening dan Swat Hong sudah tidur di atas lantai dengan pulasnya!

Tak lama kemudian, setelah matahari mulai condong ke barat, sesosok bayangan seorang pemuda berkelebat dan mengintai pesanggrahan itu dari balik batu-batu gunung. Pemuda ini tinggi besar, gagah dan tampan, dengan sebatang pedang di punggungnya, berpakaian sederhana dan matanya bersinar-sinar penuh kemarahan. Pemuda ini adalah Kwee Lun! Bagaimana dia dapat datang di tempat jauh itu?
********************
Seperti telah dituturkan di bagian depan, dua tahun yang lalu pemuda ini berpisah dari Swat Hong dan langsung dia pulang ke Pulau Kura-kura di Lam-hai. Tepat seperti dugaannya semula, gurunya, Lam-hai Sengjin, terheran-heran dan kagum mendengar penuturan muridnya, terutama pengalaman muridnya yang bertemu dan bersahabat dengan penghuni Pulau Es! Tak lupa Kwee Lun bercerita juga tentang kematian Ouw Soan Cu, gadis Pulau Neraka yang dicintainya dengan suara berduka, 

Setelah muridnya selesai bercerita, kakek itu berkata, "Pengalamanmu sudah cukup, muridku. Sekarang biarlah kau memperdalam ilmumu dan menerima sisa-sisa dari semua kepandaianku. Setelah itu, berangkatlah kau lagi ke daratan besar. Negara sedang kacau-balau dilanda oleh para pemberontak. Tenagamu dibutuhkan. Kabarnya Kaisar mengungsi ke Secuan, maka sebaiknya kalau kau kelak menyusul ke sana untuk membantu Kaisar. Jangan membiarkan dirimu terbujuk oleh kaum pemberontak."

Demikianlah, Kwee Lun berlatih silat untuk yang terakhir dari gurunya, terutama sekali memperhebat ilmu pedang yang dimainkan bersama dengan kipas di tangan kirinya. Setahun kemudian berangkatlah dia meninggalkan Pulau Kura-kura untuk kedua kalinya, mendarat di daratan besar dan langsung dia pergi ke barat, ke Secuan! Kebetulan sekali dia tiba pada hari itu juga, berbareng dengan datangnya Swat Hong! Hanya bedanya, kalau Swat Hong datang dari timur, adalah Kwee Lun datang dari selatan, akan tetapi mereka memasuki daerah yang sama yaitu yang dikuasai oleh Bouw-ciangkun.

Kwee Lun terus melaporkan diri dan langsung diterima sebagai sukarelawan. Dia tidak tahu bahwa pada siang hari itu juga Swat Hong datang dan bertemu dengan perwira Ahmed dari pasukan Arab yang diperbantukan. Tanpa disengaja, ketika Kwee Lun berjalan-jalan dan bertemu dengan para prajurit Han, bertanya-tanya tentang keadaan, dia mendengar kelakar seorang di antara para prajurit itu.

"Wah, enak juga menjadi panglima tentara asing! Selain jaminannya lebih hebat, juga hiburannya lebih luar biasa lagi. Bayangkan saja, dara perkasa yang menghebohkan siang tadi, kabarnya akan diserahkan sebagai hadiah kepada Panglima Hussin!"

"Ah, masa?"

"Hem, jelita sekali dia!"

"Dan masih perawan hijau lagi!"

"Akan tetapi ilmu silatnya hebat! Jangan-jangan panglima itu akan mampus olehnya!"

"Mudah-mudahan begitu!"

"Tapi panglima itu terkenal pandai. Lihat saja Perwira Ahmed itu, di mana-mana para wanita tergila-gila kepadanya. Agaknya mereka memiliki jimat untuk menundukkan hati wanita."

Mendengar ini Kwee Lun mengerutkan alisnya. Tak disangkanya di tempat seperti ini dia mendengarkan peristiwa yang sepantasnya terjadi di dunia penjahat. Seorang dara dihadiahkan begitu saja! Mendengar bahwa dara itu lihai ilmu silatnya, dia jadi tertarik.

"Kalau wanita itu lihai, mana bisa dia dihadiahkan begitu saja?" dia ikut bicara sambil tersenyum.

"Aha, kau tidak tahu, kawan. Banyak jalan yang dapat dilakukan oleh Bouw-ciangkun. Dan kabarnya, tidak pernah ada wanita yang dapat melawan apa bila dikehendaki oleh Panglima Hussin itu. Apa lagi kalau Bouw-ciangkun sudah mengijinkannya, dan dalam hal ini, agaknya Bouw-ciangkun selalu berusaha mengambil hati orang-orang berkulit hitam itu!"

Kwee Lun makin tak senang hatinya. Dia mendengarkan dengan teliti dan akhirnya memperoleh keterangan bahwa dara yang hendak dihadiahkan itu kabarnya telah dikurung di dalam pesanggrahan, yaitu rumah kecil terpencil yang oleh para prajurit diberi nama tempat penjagalan perawan!

"Hem, semenjak kecil suhu menanamkan sifat pendekar, membela keadilan dan kebenaran kepadaku." Kwee Lun berpikir, "Biar pun sekarang aku menjadi seorang pejuang, tetap aku harus menentang kejahatan, dari siapa pun juga datangnya!”

Dengan pikiran ini Kwee Lun mulai melakukan penyelidikan. Pada sore hari itu dia sudah mendekati rumah pesanggrahan itu dan menyelinap untuk menyelidiki dari jarak dekat, kalau mungkin memasuki rumah itu dan menolong si gadis yang hendak dijadikan korban. Melihat betapa di empat penjuru terdapat empat orang penjaga yang selalu melakukan perondaan mengelilingi pesanggrahan itu, Kwee Lun bersembunyi dan mengintai.

Penjaga-penjaga yang memegang pedang ular dan perisai kura-kura itu kelihatannya bukan penjaga-penjaga sembarangan. Dia harus menanti sampai malam tiba, barulah ada harapan baginya untuk dapat memasuki pesanggrahan itu tanpa diketahui orang. Asal saja dia tidak terlambat, pikirnya. Akan tetapi tiba-tiba dia melihat seorang perwira Arab yang berkumis rapi datang menghampiri pesanggrahan itu. Empat orang penjaga menghadangnya, mereka bercakap-cakap dan perwira itu dibiarkan oleh para penjaga memasuki pesanggrahan.

“Hemm, ini agaknya pembesar yang dihadiahi gadis itu,” pikir Kwee Lun dengan marah sekali. Kalau dia harus menanti lebih lama lagi , mungkin dia akan terlambat. Kebetulan sekali terdapat seorang penjaga meronda di dekat tempat dia bersembunyi.

"Keparat busuk!" Kwee Lun berseru marah dan dia meloncat dari tempat sembunyinya.

Penjaga itu terkejut, cepat menarik perisai kura-kura di depan dadanya dan mengangkat pedangnya, siap untuk menyerang.

"Haaiiittttt!!!" tubuh Kwee Lun yang meloncat ke atas itu langsung menendang dengan tumit kaki kanan di depan.

"Bresss...!!" perisai kura-kura itu ternyata kuat menahan tendangan Kwee Lun, akan tetapi pemegangnya terdorong dan terjengkang bergulingan.

Mendengar suara berisik ini, berdatanganlah para penjaga lain. Dalam waktu sebentar saja Kwee Lun terpaksa harus mencabut pedang dan kipasnya, mengamuk dikepung oleh belasan orang penjaga yang bersenjata pedang ular dan perisai kura-kura itu.

Sementara itu, perwira berkumis yang datang tadi bukan lain adalah Perwira Ahmed. Dia baru saja berhasil meyakinkan para penjaga bahwa dia datang untuk memeriksa apakah dara itu masih berada di pesanggrahan. Dia terkejut mendengar suara ribut-ribut. Ketika dia menengok, dia melihat seorang pemuda perkasa sedang dikepung para penjaga. Perwira yang cerdik ini menduga bahwa tentu pemuda itu datang untuk menolong Swat Hong, maka dia bergegas memasuki rumah itu. Dua orang pelayan wanita dibentaknya untuk minggir.

"Aku harus menjaga dia, ada orang jahat datang!” didorongnya daun pintu kamar dan cepat ditutupnya dari dalam.

Melihat Swat Hong rebah terlentang dan tidur pulas di atas lantai, Ahmed cepat berlutut dan mengeluarkan sebuah botol hijau dari sakunya. "Huh, benar jahat! Mengorbankan siapa saja tanpa pilih bulu!" gerutunya sambil membuka tutup botol hijau yang cepat dia tempelkan di depan hidung Swat Hong.

Tak lama kemudian dara itu terbangun. Dia mengeluh dan merintih, "Aduhh... pening kepalaku..."

"Ssttt... Nona Swat Hong. Sadarlah... aku datang menolongmu." Ahmed mengguncang-guncang dara itu.

Swat Hong membuka matanya dan terkejut melihat Ahmed berlutut di dekatnya.

"Lekas kau cium ini...." Ahmed kembali mendekatkan botol di depan hidung Swat Hong.

Gadis itu memang sudah mempunyai kesan baik terhadap diri Ahmed, maka dia tidak membantah dan disedotnya botol itu. Tercium bau keras dan dia tersedak lalu berbangkis. “Apa... apa yang terjadi...?" Swat Hong bertanya, kepalanya masih agak pening.

"Lekas kau telan ini...." Ahmed memberikan sebutir pil hitam. "Engkau telah terkena racun Hashish yang dicampurkan di dalam anggur. Ini obat penawarnya."

Teringatlah Swat Hong dan tahulah dia mengapa dia tertidur di lantai. Tanpa bertanya lagi dia lalu menelan pil kecil itu dan benar saja, peningnya hilang dan pikirannya terang kembali.

"Nona, aku mendengar bahwa siang tadi kau dijamu oleh mereka. Tahulah aku bahwa kau tentu diberi anggur bercampur hashish. Lekas kau keluar, di luar sedang terjadi pertempuran. Seorang pemuda agaknya datang hendak menolongmu, dia bersenjata pedang dan kipas...."

"Kwee Lun....!" Swat Hong berseru kaget, menyambar pedangnya di atas meja dan hendak lari ke luar.

"Nanti dulu, Nona."

Swat Hong berhenti. "Kau baik sekali, Saudara Ahmed. Aku berterima kasih padamu."

"Bukan itu. Kau... kau harus lukai aku dengan pedang itu. Kalau tidak, aku akan dihukum mati sebagai pengkhianat."

Barulah Swat Hong sadar betapa perwira ini telah menolongnya dengan taruhan nyawa sendiri. "Kau adalah seorang yang amat baik, bagaimana mungkin aku tega untuk melukaimu? Kau sahabatku... dan ternyata di segala bangsa, ada saja manusianya yang jahat dan baik, tidak ada bedanya dengan bangsa lain. Aku mengerti maksudmu, saudara Ahmed. Nah, biar kurobohkan kau dengan totokan!"

Swat Hong bergerak cepat sekali, dan tahu-tahu dua jalan darah di tubuh Ahmed telah di totoknya. Perwira itu terguling roboh dan tak mampu bergerak karena kaki tangannya menjadi lumpuh, tubuhnya lemas tak mampu bergerak. Swat Hong cepat menyambar botol dan sisa obat penawar, memasukannya di dalam sakunya, kemudian dia menendang meja kursi sampai terpelanting ke kanan-kiri sehingga menimbulkan kesan seolah-olah di kamar itu telah terjadi pertempuran, mencabut pedang dari pinggang Ahmed dan melemparkan pedang di lantai, kemudian dia memegang tangan Ahmed dan berkata, suaranya terharu, "Selamat tinggal, Saudara Ahmed. Sekali lagi terima kasih dan kita takkan bertemu kembali."

Hanya dengan bibir dan pandang matanya saja Ahmed tersenyum penuh kagum, mulutnya hanya dapat berkata," Kau... setangkai bunga di padang pasir...."

Swat Hong melompat dan berlari ke luar. Dua orang pelayan wanita yang lari mendatangi dia tendang terguling dan menjerit-jerit, kemudian dia terus lari ke luar. Heran juga ketika dia melihat bahwa dugaannya tadi benar ketika mendengar penuturan Ahmed tentang seorang pemuda bersenjata kipas dan pedang. Kwee Lun telah datang dan mengamuk di luar pesanggrahan! Gerakan pemuda itu hebat bukan main karena memang selama satu tahun dia berlatih dengan tekun.

Akan tetapi ternyata para pengeroyoknya juga merupakan pasukan yang terlatih dan memiliki keistimewaan. Bukan hanya senjata mereka yang aneh, yaitu pedang ular dan perisai kura-kura, akan tetapi juga mereka itu membentuk barisan yang kokoh kuat, saling membantu. Perisai digunakan untuk berlindung, kemudian pedang ular itu meluncur dari depan perisai, persis gerakan seekor kura-kura menyerang dan menyembunyikan kepala di dalam batoknya.

Kwee Lun merasa kewalahan juga menghadapi kepungan yang ketat ini. Akan tetapi dia mengamuk dengan penuh keberanian dan akhirnya dia dapat membobol kepungan dengan jalan berloncatan ke sana-sini, kemudian mendadak dia meloncat melewati kepala pengepung yang berada di belakangnya. Begitu berada di luar kepungan, dia berhasil merobohkan dua orang pengeroyok dengan pedang dan kipasnya. Empat belas orang sisa pasukan itu sudah mengepung lagi, akan tetapi mendadak terdengar lengking nyaring dan robohlah empat orang diserang oleh Swat Hong dari luar kepungan.

"Nona Han...!"

"Kwee-toako, mari kita basmi mereka ini!" seru Swat Hong.

Kwee Lun girang bukan main, tak pernah disangkanya bahwa dara yang hendak dijadikan korban itu adalah Han Swat Hong. Dia merasa kecelik juga, karena ternyata bahwa gadis yang akan ditolongnya itu berbalik malah menolongnya!

"Kita lari saja, Nona. Tidak perlu melawan tentara yang amat banyak!"

"Tidak aku harus bunuh dulu si keparat she Bouw...!"

Pada saat itu terdengar suara hiruk-pikuk dan berbondong-bondong datanglah pasukan besar dipimpin oleh Bouw-ciangkun sendiri! Melihat Bouw-ciangkun, Swat Hong menjadi marah sekali. Dari mulutnya terdengar suara melengking nyaring dan tubuhnya melesat seperti terbang cepatnya, pedangnya menyambar sebagai sinar kilat ke arah Bouw-ciangkun. Panglima ini terkejut, menggerakkan pedang menangkis. Terdengar suara berdencing nyaring dan pedang di tangan panglima itu patah disusul robohnya tubuhnya yang berkelojotan karena ternyata lehernya hampir putus terbabat pedang di tangan Swat Hong!

"Nona, jangan...." Kwee Lun lari mendekat.

Mereka sudah dikepung oleh ratusan orang prajurit yang menjadi bengong menyaksikan kematian komandan mereka secara tidak disangka-sangka itu. Semua orang menduga bahwa tentu nona yang tadinya melamar sebagai sukarelawati dan pemuda yang menjadi sukarelawan ini tentulah mata-mata dari pihak pemberontak!

"Tangkap mata-mata!"

"Bunuh mereka!"

"Tahan semua senjata...!!" Kwee Lun berteriak, suaranya mengatasi semua keributan itu.

Semua orang menahan senjata dan memandang kepada pemuda itu dengan marah. Mau bicara apa lagi mata-mata yang sudah membunuh komandan mereka ini?

"Saudara-saudara sekalian! Kami berdua bukan mata-mata pemberontak, sama sekali bukan! Bahkan kami adalah musuh-musuh pemberontak. Kami berdua adalah sungguh-sungguh hendak membantu gerakan Sri Baginda Kaisar untuk menghalau pemberontak dari kota raja. Akan tetapi celakanya, Nona Han Swat Hong yang beriktikad baik ini dicurangi oleh Bouw-ciangkun. Sukarelawati yang gagah perkasa ini, yang akan dapat membantu banyak sekali kepada Sri Baginda, oleh Bouw-ciangkun hendak dikorbankan sebagai hadiah kepada panglima Arab, untuk diperkosa! Tentu saja kami melawan kejahatan ini!"

"Tangkap.....!"

"Bunuh....! Dia telah membunuh Bouw-ciangkun.....!"

"Jangan percaya hasutan mulut mata-mata pemberontak!"

Kini tempat itu penuh dengan prajurit, tidak hanya ratusan, bahkan ribuan banyaknya. Mereka sudah marah semua karena biar pun di antara mereka ada yang dapat memaklumi kebenaran ucapan Kwee Lun, namun kenyataan dibunuhnya Bouw-ciangkun tentu saja menggegerkan dan mengacaukan mereka. Dengan senjata di tangan mereka sudah mengeroyok dua orang itu.

"Menyesal tidak berhasil, Nona."

"Tidak apa, Toako. Mati di sampingmu membesarkan hati."

"Benarkah?"

"Tentu saja, karena engkau seorang yang baik sekali, Kwee-toako."

"Kalau begitu, marilah mati bersama!"

Pemuda itu dengan wajah berseri sudah siap dengan sepasang senjatanya. Mereka saling membelakangi dan saling melindungi. Para prajurit sudah berdesak-desakan hendak menyerbu.

Tiba-tiba terdengar suara yang halus dan tenang, namun penuh wibawa, "Harap Cu-wi sekalian tidak menggerakkan senjata......!"

Sungguh ajaib sekali. Biar pun ada di antara mereka yang tidak mempedulikan kata-kata ini dan hendak tetap menyerang, tiba-tiba saja merasa bahwa tangan mereka tidak mampu bergerak! Terdengar seruan-seruan kaget dan heran, dan kini semua mata memandang kepada seorang pemuda yang dengan tenangnya berjalan memasuki kepungan itu, dengan membuka jalan di antara para prajurit.

Juga Kwee Lun dan Swat Hong mengeluarkan seruan tertahan. Mereka berdua pun merasa betapa tangan mereka tidak dapat digerakkan! Otomatis mereka pun menoleh dan melihat pula seorang pemuda yang memasuki kepungan itu dengan sikap tenang sekali. Pemuda yang pakaiannya sederhana, agak kurus, matanya memancarkan sinar yang luar biasa, pemuda yang memandang kepada Swat Hong dengan senyum di bibir.

"Su... Suhengggg...!" Tiba-tiba Swat Hong menjerit, pedangnya terlepas dari pegangan dan sambil terisak dia lari menghampiri lalu menubruk pemuda itu yang bukan lain adalah Kwa Sin Liong!

"Suheng... aihhh, Suheng... Ibuku...."

"Tenanglah, Sumoi, tenanglah...," suara Sin Liong mengandung wibawa yang luar biasa, sehingga Swat Hong yang dilanda kekagetan dan keharuan hebat karena sama sekali tidak menyangka bahwa suheng-nya masih hidup itu, dapat menenangkan hatinya.

"Suheng... betapa bahagia rasa hatiku! Suheng, jangan kau tinggalkan aku lagi...."

"Tidak, Sumoi. Tidak lagi."

"Aku cinta padamu, Suheng! Aku cinta padamu!" tanpa malu-malu Swat Hong meneriakkan suara hatinya ini di tengah-tengah kepungan ratusan, bahkan ribuan orang prajurit!

Kwee Lun memandang semua itu dan dua titik air mata membasahi bulu matanya. Dia merasa terharu, juga girang sekali, girang melihat kebahagian Swat Hong dan sekaligus dia teringat kepada Soan Cu. Dia pun sudah dapat bergerak, melangkah maju dan berkata, "Kwa-taihiap, syukur bahwa engkau masih dalam keadaan selamat. Sungguh aku ikut merasa girang...."

Sin Liong tersenyum kepadanya. "Kwee-toako, engkau seorang sahabat yang baik. Simpanlah pedang dan kipasmu, tidak perlu melanjutkan pembunuhan yang tidak ada gunanya ini."

Kwee Lun menurut, akan tetapi matanya memandang ragu. Sambil menyarungkan pedang dan menyimpan kipasnya, dia bertanya, "Akan tetapi... mereka itu...?"

Terdengar teriakan-teriakan dari para pengepung. "Tangkap mata-mata musuh!"

"Bunuh pemberontak!"

"Tangkap pembunuh Bouw-ciangkun!"

Ribuan orang prajurit sudah bergerak lagi. Swat Hong memegang lengan suheng-nya dan Kwee Lun juga mendekati Sin Liong. Betapa pun juga, gentar dia menghadapi ribuan orang yang berteriak itu, apa lagi dia tidak boleh melawan. Ketenangan Sin Liong membuat dia mencari perlindungan dekat pemuda ini. Sin Liong memegang lengan sumoi-nya.

Terdengarlah suaranya penuh kesabaran dan ketenangan yang wajar, "Cu-wi sekalian tahu bahwa mereka berdua ini bukan mata-mata, dan Cu-wi tahu apa yang telah terjadi. Maka harap Cu-wi perkenankan kami pergi, kemudian sebaiknya melaporkan kepada Sri Baginda apa yang telah terjadi sehingga dapat diambil tindakan tepat, demi ketertiban." Suara ini demikian halus, akan tetapi mengatasi semua teriakan dan anehnya orang-orang itu tidak berteriak-teriak lagi.

"Kami hendak pergi sekarang!" Sin Liong memegang lengan Swat Hong dengan tangan kanannya, memegang lengan Kwee Lun dengan tangan kiri, lalu menarik kedua orang itu ke luar dari kepungan.

Swat Hong dan Kwee Lun melangkah dengan bengong, merasa seperti dalam mimpi saja karena ketika mereka melangkah pergi melalui ribuan orang pasukan itu, tidak ada seorang pun di antara para prajurit yang mencoba untuk menghalangi mereka, bahkan ajaibnya, tidak ada seorang pun yang memandang mereka, seolah-olah para prajurit itu tidak melihat mereka!

Dan memang begitulah. Para prajurit itu pun bengong ketika secara tiba-tiba setelah pemuda tampan halus itu berpamit, tiga orang itu tiba-tiba saja lenyap dari situ tanpa meninggalkan bekas! Setelah Sin Liong dan dua orang temannya pergi jauh, barulah tempat itu menjadi gempar. Akhirnya Kaisar memperoleh laporan tentang semua peristiwa yang terjadi. Panglima Hussin dikirim pulang dan pimpinan pasukannya diserahkan kepada Ahmed!

Sementara itu, Sin Liong, Kwee Lun dan Swat Hong pergi meninggalkan Secuan. Ketika mereka tiba jauh dari daerah itu, mereka berhenti dan Swat Hong berkata, "Suheng, mengapa kita meninggalkan Secuan? Aku ingin sekali menjadi sukarelawati, membantu Kaisar dan membasmi pemberontak yang telah mengakibatkan kematian Ibu, kematian Soan Cu dan Ayahnya, bahkan kematian kakek buyutku!"

"Benar apa yang dikatakan Nona Swat Hong, Kwa-taihiap. Perjuangan menanti tenaga kita. Marilah kita bertiga membantu kerajaan membasmi pemberontak."

Sin Liong menarik napas panjang, memegang tangan sumoi-nya dan diajak duduk di atas rumput. Swat Hong duduk dekat suheng-nya dan memandang wajah suheng-nya dengan penuh kagum dan kasih sayang.

"Kwee-toako, benarkah engkau tertarik dengan perang? Dengan saling bunuh membunuh antara manusia, antara bangsa sendiri itu? Betapa mengerikan, Toako. Menggunakan ilmu silat untuk membela yang lemah dan menentang yang jahat masih dapat dimengerti dan masih mending. Akan tetapi bunuh-membunuh hanya untuk membela sekelompok manusia lain saling memperebutkan kemuliaan duniawi, sungguh patut disesalkan. Mereka itu hanya ingin mempergunakan orang lain demi mencapai cita-cita sendiri.”

"Aih, apa yang dikatakan Suheng memang tepat, Kwee-toako. Ingat saja apa yang barusan telah aku alami. Aku jauh-jauh datang untuk menjadi sukarelawati, membantu mereka, akan tetapi belum apa-apa aku sudah akan dikorbankan demi untuk menyenangkan hati panglima asing itu," Swat Hong berkata, kemudian dia menceritakan pengalamannya kepada Sin Liong, semenjak mereka berpisah dan dia ditolong oleh kakek buyutnya, sampai dia berpisah dari Kwee Lun meninggalkan ibunya yang menghadapi maut.

"Aku tidak berhasil mencari Swi Nio dan Toan Ki yang kutitipi pusaka-pusaka Pulau Es. Maka aku berniat membantu Kaisar sekaligus mencari mereka yang kurasa melarikan diri membawa pusaka-pusaka itu untuk mereka sendiri. Sungguh menggemaskan!"

"Jangan tergesa-gesa berprasangka buruk terhadap orang lain, Sumoi. Kelak kita memang harus mencari mereka dan meminta kembali pusaka-pusaka itu untuk kita bawa kembali ke Pulau Es."

Kwee Lun juga menceritakan riwayatnya semenjak dia berpisah dari Swat Hong. Kemudian mereka minta agar Sin Liong suka menceritakan riwayatnya.

"Bagaimana engkau yang menurut cerita Kakek buyut dilempar ke sumur ular dan ditutup dengan reruntuhan goa, dapat menyelamatkan diri, Suheng? Dan selama ini engkau kemana saja?"

Sin Liong tersenyum. "Aku memang nyaris tewas di sumur itu, akan tetapi memang agaknya belum tiba saatnya aku mati, maka batu mustika hijau kepunyaanmu ini telah menolongku, Sumoi." Sin Liong mengeluarkan mustika hijau itu. Swat Hong menerima batu itu dan menciumnya.

"Terima kasih, kau telah menyelamatkan Suheng!" katanya girang.

Sin Liong lalu menuturkan dengan singkat keadaannya selama dua tahun di dalam sumur ular sampai dia berhasil keluar ketika sumur itu dibongkar oleh Han Bu Ong dan orang-orang kerdil.

"Ahh, Ibunya yang mencelakanmu, anaknya yang tanpa sengaja menolongmu!" Swat Hong berseru heran. "Lalu bagaimana kau bisa datang ke Secuan dan menyelamatkan aku dan Kwee-toako?"

"Mula-mula aku pergi ke kota raja dan mendengar betapa Ibumu, juga Soan Cu telah tewas di sana, akan tetapi juga bahwa ibu tirimu The Kwat Lin juga tewas pula. Karena aku menduga bahwa peristiwa itu tentu membuat engkau dimusuhi oleh para pemberontak, maka aku yakin bahwa kau tentu membantu Kaisar di Secuan, maka aku segera menyusul ke sini dan kebetulan sekali melihat engkau dan Kwee-toako dikeroyok para prajurit."

Sin Liong tidak memberi-tahukan bahwa sesungguhnya telah terjadi keajaiban pada dirinya sehingga seolah-olah dia tahu bahwa sumoi-nya berada di Secuan. Seolah-olah apa yang terjadi bukan merupakan rahasia lagi baginya!

Tiba-tiba Kwee Lun bertanya, nada suaranya hati-hati dan penuh sungkan, "Kwa-taihiap, sejak dulu saya tahu bahwa Taihiap memiliki kepandaian luar biasa. Akan tetapi... tadi di sana seruan Taihiap membuat ribuan orang berhenti bergerak, bahkan aku pun... tidak mampu bergerak. Kemudian... ketika kita pergi, terjadi keajaiban, seolah-olah mereka itu sama sekali tidak melihat kita pergi...."

Sin Liong hanya tersenyum dan mengangkat pundak tanpa menjawab.

"Benar! Apa yang telah kau lakukan tadi, Suheng?" Swat Hong juga bertanya.

"Tidak apa-apa, Sumoi. Engkau pun melihat sendiri. Kita pergi dari mereka, dan karena tidak ada permusuhan atau kebencian di hatiku, tentu saja mereka pun tidak melakukan apa-apa."

Swat Hong memang sejak dahulu sudah tahu akan keanehan watak suheng-nya dan kadang-kadang ucapan suheng-nya tidak dimengerti sama sekali, maka jawaban sederhana ini cukup baginya.

Tidak demikian dengan Kwee Lun. Pemuda ini menduga bahwa pemuda Pulau Es itu bukanlah manusia biasa, maka cepat dia berkata, "Kwa-taihaip, jika Taihiap berkenan, saya... saya mohon petunjuk...."

Sin Liong menoleh, memandang. Mereka bertemu pandang dan Sin Liong tersenyum lagi. "Kau sebaiknya pulang saja ke Pulau Kura-kura, Kwee-toako. Dan mengingat engkau suka sekali akan ilmu silat dan aku yakin bahwa engkau tidak akan menggunakan ilmu itu untuk berbuat jahat, maka mungkin aku dapat menambahkan sedikit tingkat ilmumu itu. Harap kau coba-coba mainkan pedang dan kipasmu itu sebaik mungkin."

Bukan main girangnya hati Kwee Lun. Dia menjura dengan hormat sambil mengucapkan terima kasih, kemudian dia mencabut pedang dan kipasnya lalu bermain silat di depan Sin Liong dan Swat Hong. Seperti kita ketahui, dari kitab kuno Sin Liong memperoleh ilmu luar biasa, yaitu mengenal semua inti ilmu silat dari gerakan pertama saja. Maka setelah Kwee Lun mainkan jurus-jurus simpanan yang paling lihai dan menghentikan permainan silatnya, Swat Hong bertepuk tangan memuji, sedangkan Sin Liong berkata, "Ada kelemahan-kelemahan di dalam beberapa jurusmu, Toako."

Pemuda luar biasa ini lalu memberi petunjuk kepada Kwee Lun yang menjadi terheran-heran, kagum dan girang sekali. Petunjuk-petunjuk itu merupakan penyempurnaan dari semua ilmu silatnya. Dia menerima dan melatih petunjuk-petunjuk ini dan demikianlah, sampai hampir sebulan lamanya, tiga orang ini melakukan perjalanan ke timur dan di sepanjang perjalanan, Kwee Lun menerima petunjuk-petunjuk dari Sin Liong, bahkan Kwee Lun menerima pelajaran latihan untuk menghimpun tenaga sinkang. Selama sebulan itu, Kwee Lun memperoleh keyakinan bahwa pemuda Pulau Es ini benar-benar bukan seorang manusia biasa. Tindak-tanduknya, bicaranya, pandang matanya, dan betapa pemuda itu dapat mengerti ilmu silatnya lebih sempurna dari-pada dia sendiri!

Maka ketika tiba saatnya berpisah, dia tanpa ragu-ragu menjatuhkan diri berlutut di depan Sin Liong! "Harap jangan berlebihan, Kwee-toako," kata Sin Liong.

"Wah, Toako. Apa-apaan ini?" Swat Hong juga mencela.

"Kwa-taihiap, saya boleh dibilang adalah murid Taihiap. Dan Han-lihiap, agaknya belum tentu selama hidupku akan dapat bertemu lagi dengan Ji-wi (Kalian). Perkenankan saya, Kwee Lun, menghaturkan terima kasih dan selama hidup saya tidak akan melupakan Ji-wi!"

"Hushhhh... sudahlah, Toako. Kita berpisah di sini. Engkau ke selatan dan kami akan terus ke timur. Mari, Sumoi, kita lanjutkan perjalanan," kata Sin Tiong dengan suara tenang dan biasa saja, lalu mengajak sumoi-nya pergi dari situ.

Swat Hong beberapa kali menengok dan melihat Kwee Lun masih berlutut dengan mata basah air mata! Dia pun terharu, akan tetapi tidak lagi merasa sengsara seperti ketika dia berpisah dari Kwee Lun hampir dua tahun yang lalu. Kini Sin Liong, suheng-nya, pria yang dicintainya, berada di sampingnya. Tidak ada lagi perkara apa pun di dunia ini yang dapat menyusahkan hatinya lagi!
********************
Sudah terlalu lama kita meninggalkan Bu Swi Nio dan Lie Toan Ki, dua orang muda yang dipercaya oleh Swat Hong untuk menyelamatkan pusaka-pusaka Pulau Es. Benarkah dugaan Swat Hong bahwa mereka itu bertindak curang, mengangkangi sendiri pusaka-pusaka yang secara kebetulan terjatuh ketangan mereka itu? Sama sekali tidak demikian! Mari kita mengikuti perjalanan mereka semenjak mereka meninggalkan kota raja.

Malam hari itu, mereka berhasil lolos keluar dari kota raja dan semalam suntuk terus melarikan diri ke barat. Pada keesokan harinya, dengan tubuh lesu dan lelah, mereka sudah tiba jauh dari kota raja. Selagi mereka hendak mengaso, tiba-tiba terdengar derap kaki kuda dari belakang. Mereka terkejut dan cepat menyelinap ke dalam semak-semak untuk bersembunyi.

Akan tetapi, empat orang yang menunggu kuda itu sudah melihat mereka dan begitu tiba di tempat itu, mereka meloncat turun, mencabut senjata dan seorang di antara mereka berseru, "Dua orang pengkhianat rendah, keluarlah!"

Dari tempat persembunyian mereka, Swi Nio dan Toan Ki mengenal empat orang itu. Mereka adalah bekas-bekas teman mereka ketika masih membantu An Lu Shan dahulu di masa ‘perjuangan’. Karena mengenal mereka dan tahu bahwa mereka itu adalah orang-orang kang-ouw yang dahulu juga membantu pemberontakan karena sakit hati kepada kelaliman Kaisar, Swi Nio dan Toan Ki meloncat ke luar. Liem Toan Ki tersenyum memandang kepada kakek berusia lima puluh tahun yang memimpin rombongan empat orang itu.

Kakek ini bernama Thio Sek Bi, murid dari seorang tokoh kang-ouw kenamaan, yaitu Thian-tok Bhong Sek Bin! Ada pun tiga orang yang lain adalah orang-orang kang-ouw yang agaknya tunduk kepada Thio Sek Bi ini, namun menurut pengetahuan Toan Ki, kepandaian mereka tidaklah perlu dikhawatirkan. Hanya orang she Thio ini lihai.

"Thio-twako, kita sama mengerti bahwa perjuangan kita hanya untuk menghalau Kaisar lalim. Urusan kami di istana The Kwat Lin sama sekali tidak ada hubungannya dengan urusan perjuangan. Harap Toako tidak mencampuri urusan pribadi dan suka mengalah, membiarkan kami pergi dengan aman."

"Ha-ha-ha-ha! Liem Toan Ki, enak saja kau bicara! Setelah berhasil memperoleh pusaka-pusaka keramat, mau lolos begitu saja dan melupakan teman! Kami berempat tentu akan menerima uluran tanganmu yang bersahabat kalau saja persahabatan itu kau buktikan dengan membagikan sebagian pusaka itu. Demikian banyaknya, buat apa bagi kalian? Membagi sedikit kepada kawan, sudah sepatutnya, ha-ha!" Thio Sek Bi berkata sambil menudingkan senjata toya ditangannya ke arah punggung Toan Ki, di mana terdapat buntalan pusaka yang dititipkan kepadanya oleh Swat Hong.

"Ya, sebaiknya bagi rata, bagi rata antara teman sendiri, Saudara Liem Toan Ki dan Nona Bu Swi Nio!" kata orang ke dua, sedangkan teman-temannya juga mengangguk setuju.

Toan Ki terkejut. Mengertilah dia bahwa tentu empat ini malam tadi ikut mengepung dan mereka mendengar penitipan pusaka itu oleh Swat Hong, maka mereka lalu diam-diam mengejar sampai di hutan ini.

"Hem, saudara-saudara. Kalau kalian tahu bahwa ini adalah pusaka tentu kalian tahu pula bahwa ini bukanlah milikku, dan aku hanya dititipi saja dan tidak berhak membagi-bagikan kepada siapa pun juga."

“Ha-ha-ha! Lagaknya! Siapa mau percaya omonganmu? Pusaka-pusaka dari Pulau Es yang hanya dikenal di dunia kang-ouw sebagai dalam dongeng telah berada di tangan kalian dan kalian benar-benar tidak menghendakinya? Bohong!" kata Thio Sek Bi sambil tertawa mengejek.

“Bohong atau tidak, apa yang dikatakan oleh Ki-koko adalah tepat! Kami tidak akan membagi pusaka kepada kalian atau siapa pun juga. Habis kalian mau apa?!" Bu Swi Nio membentak sambil mencabut pedangnya.

"Ha-ha, wah lagaknya! Kalau begitu, pusaka itu akan kami rampas dan kalian berdua, mati atau hidup, akan kami seret kembali ke kota raja!" kata Thio Sek Bi sambil memutar toyanya, diikuti oleh tiga orang kawannya.

Swi Nio dan Toan Ki menggerakkan senjata dan melawan dengan mati-matian.

Ilmu toya yang dimainkan oleh Thio Sek Bi amat hebat dan aneh karena dia adalah murid dari Thian-tok. Thian-tok (Racun langit) terkenal sebagai seorang ahli racun dan sebagai pemuja tokoh dongeng Kauw-cee-thian Si Raja Monyet, maka yang paling hebat di antara ilmu silatnya adalah ilmu silat toya panjang yang disebut Kim-kauw-pang seperti senjata tokoh dongeng Kau-cee-thian sendiri! Muridnya ini, biar pun senjatanya toya, namun dimainkan dengan gerakan yang amat aneh dan sebentar saja Toan Ki sudah terdesak olehnya.

Namun Liem Toan Ki adalah seorang murid Hoa-san-pai yang memiliki dasar ilmu yang bersih dan kuat. Selain itu dia sudah mempunyai banyak pengalaman, bahkan tidak ada yang tahu bahwa dia adalah murid Hoa-san-pai. Selain dia tidak pernah mengaku karena takut membawa-bawa nama Hoa-san-pai dengan pemberontakan, juga ilmu silatnya sudah dia campur dengan ilmu silat lain sehingga tidak kentara benar. Dengan gerakan pedang yang indah dan cepat, dia dapat menjaga diri dari desakan toya di tangan Thio Sek Bi.

Di lain pihak, Swi Nio yang menghadapi pengeroyokan tiga orang itu tidak mengalami banyak kesulitan. Wanita muda ini pernah digembleng oleh The Kwat Lin, sedikit banyaknya telah mewarisi ilmu yang dahsyat dari wanita itu. Kini dikeroyok oleh tiga orang lawan yang tingkatnya di bawah dia, tentu saja dia dengan mudah dapat mempermainkan mereka. Terdengar Swi Nio mengeluarkan suara melengking berturut-turut seperti yang biasa dikeluarkan oleh The Kwat Lin, dan tiga orang lawannya roboh berturut-turut dengan terluka parah, tidak mampu melawan lagi. Sambil melengking keras, Swi Nio meloncat dan membantu kekasihnya yang terdesak oleh toya Thio Sek Bi.

"Cring! Tranggggg.....!"

Swi Nio terhuyung, akan tetapi Thio Sek Bi merasa betapa telapak tangannya panas. Liem Toan Ki tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Dia menubruk maju dan memutar pedangnya, kemudian dibantu oleh kekasihnya dia terus mendesak sehingga permainan toya dari murid Thian-tok itu menjadi kacau. Akhirnya, tiga puluh jurus kemudian, robohlah Thio Sek Bi, lengan kanannya terbacok dan terluka parah, juga pundak kirinya terobek ujung pedang Swi Nio.

"Lekas...! Kita pakai kuda mereka!" Liem Toan Ki berkata kepada kekasihnya.
Swi Nio menyambar kendali dua ekor kuda terbaik, sedangkan Toan Ki lalu mencambuk dua ekor kuda yang lain sehingga binatang-binatang itu kabur ketakutan. Kemudian mereka meloncat ke atas punggung kuda rampasan itu dan membalapkan kuda meninggalkan tempat itu.

"Mestinya mereka itu dibunuh, akan tetapi aku tidak tega melakukannya," kata Toan Ki.

"Benar, belum tentu mereka itu jahat."

"Moi-moi, berhenti dulu," tiba-tiba Toan Ki berkata.

Swi Nio menahan kudanya dan melihat kekasihnya seperti orang bingung. "Ada apakah?"

"Tidak baik kalau kita menuruti permintaan Nona Han Swat Hong pergi ke Awan Merah."

Bu Swi Nio mengerutkan alisnya dan memandang kepada kekasihnya dengan penuh selidik. Selama ini, dia selain mencinta, juga kagum dan percaya penuh kepada kekasihnya yang dianggapnya seorang pria yang gagah perkasa dan patut dibanggakan. Akan tetapi sekarang dia memandang penuh curiga, jangan-jangan kekasihnya juga ketularan penyakit seperti empat orang tadi, menginginkan pusaka Pulau Es! Biar pun dia sendiri belum pernah membuka-buka pusaka-pusaka itu, namun dia maklum bahwa pusaka-pusaka Pulau Es yang berada di tangan gurunya adalah pusaka yang tak ternilai harganya, benda keramat yang tentu mengandung ilmu-ilmu mukjijat!

"Kok, apa... apa maksudmu?"

Mendengar nada suara kekasihnya, Toan Ki mengangkat muka memandang. Mereka bertemu pandang dan Toan Ki tersenyum, memegang tangan kekasihnya dan mencium tangan itu. "Ihhh! kau berdosa padaku, memandang penuh curiga seperti itu!" katanya tertawa. "Tidak, Moi-moi, tidak ada pikiran yang bukan-bukan di dalam hatiku. Aku hanya teringat akan bahaya besar kalau kita ke Awan Merah. Thio Sek Bi tadi adalah murid Thian-tok, sedangkan Thian-tok adalah suheng dari Puncak Awan Merah di Tai-hang-san! Kalau murid dari sang suheng seperti Thio Sek Bi tadi, apakah kita dapat mengharapkan sute akan lebih baik? Jangan-jangan kita seperti ular-ular menghampiri penggebuk!"

"Sialan! Kau samakan aku dengan ular? Koko, kalau begitu, bagaimana baiknya sekarang?" Swi Nio menghentikan kelakarnya karena menjadi khawatir juga.

"Swi-moi, tugas yang kita pikul bukanlah ringan. Apa lagi karena agaknya sudah banyak yang tahu bahwa kita berdualah yang memegang pusaka-pusaka Pulau Es, maka kurasa langkah-langkah kita tentu akan dibayangi orang-orang kang-ouw yang ingin merampas Pusaka Pulau Es. Ke mana pun kita pergi, kita tentu akan dicari oleh mereka."

Swi Nio menjadi pucat. Baru dia sadar betapa berat dan berbahaya tugas mereka. "Aihh, kalau begitu bagaimana baiknya?”

"Tidak ada jalan lain kecuali berlindung ke Hoa-san. Aku akan minta bantuan Hoa-san-pai agar suka menerima kita bersembunyi di sana dan menyembunyikan pusaka di sana. Hanya Hoa-san-pai saja yang dapat kupercaya dan kiranya tidak sembarangan orang berani main gila di Hoa-san-pai."

"Engkau benar, Koko dan aku setuju sekali. Akan tetapi, bagaimana nanti kalau yang mempunyai pusaka ini menyusul kita ke Puncak Awan Merah dan tidak mendapatkan kita di sana?"

"Lebih baik begitu dari-pada mendapatkan kita di sana tanpa pusaka lagi, atau mendengar bahwa kita tewas dan pusaka dirampas orang! Sebagai orang-orang yang sakti, tentu mereka akan dapat mencari kita atau menduga bahwa aku berlindung ke Hoa-san-pai. Mari kita berangkat, Moi-moi, hatiku tidak enak sebelum kita tiba di Hoa-san."

Demikianlah dua orang itu lalu bergegas melanjutkan perjalanan ke Hoa-san. Setelah tanpa halangan mereka tiba di bukit itu, Toan Ki mengajak kekasihnya langsung menghadap ketua Hoa-san-pai yang terhitung twa-supeknya (uwak guru pertama) sendiri yang tidak pernah dijumpainya. Setelah bertemu dengan Kong Thian-cu, ketua Hoa-san-pai pada waktu itu, seorang kakek tinggi kurus yang bersikap lemah lembut dan rambutnya sudah putih semua, serta merta kedua orang muda itu menjatuhkan diri berlutut.

"Teecu Liem Toan Ki menghaturkan hormat kepada Twa-supek," kata Toan Ki.

"Teecu Bu Swi Nio menghaturkan hormat kepada Lo-cianpwe," kata Swi Nio penuh hormat.

Kakek itu mengangguk-angguk. "Duduklah dan bagaimana engkau dapat menyebut pinto sebagai Twa-supek, orang muda?"

"Teecu adalah murid dari Suhu Tan Kiat yang membuka perguruan silat di Kun-ming dan menurut Suhu, katanya beliau adalah sute dari Twa-supek yang menjadi ketua di Hoa-san-pai, sungguh pun Suhu berpesan agar teecu tidak menyebut-nyebut nama Hoa-san-pai kepada siapa pun juga."

Kakek itu kelihatan terkejut, lalu menarik napas panjang. Sambil mengelus jenggotnya dia kembali mengangguk-angguk. "Tan-sute memang murid Suhu, akan tetapi sayang, pernah dia membuat mendiang Suhu marah dan mengusirnya. Padahal bakatnya baik sekali. Kiranya dia membuka perguruan silat? Dan dia pesan agar muridnya tidak membawa nama Hoa-san-pai? Bagus, ternyata dia jantan juga. Di manakah dia sekarang dan bagaimana keadaannya?"

"Suhu telah tewas dalam keadaan penasaran, difitnah pembesar sebagai pemberontak dan dijatuhi hukuman mati."

"Ahhh...!"

"Karena itulah maka teecu sebagai muridnya yang juga menderita karena orang-tua teecu juga menjadi korban keganasan pembesar pemerintah, lalu ikut berjuang bersama An Lu Shan. Setelah berhasil teecu mengundurkan diri karena teecu tidak menghendaki kedudukan apa-apa. Apa lagi melihat betapa An-goanswe menerima bantuan orang-orang dari kaum sesat, maka teecu mengundurkan diri."

"Bagus, baik sekali engkau mengambil keputusan itu. Biar pun engkau tidak menyebut nama Hoa-san-pai, namun pinto akan ikut merasa menyesal kalau ada orang yang mewarisi kepandaian Hoa-san-pai mempergunakan kepandaian itu untuk urusan pemberontakan. Sekarang engkau bersama Nona ini datang menghadap pinto ada keperluan apakah?"

"Teecu datang untuk mohon pertolongan Twa-supek. Nona ini adalah tunangan teecu, dia puteri dari mendiang Lu-san Lojin."

"Siancai...! Lu-san Lojin sudah meninggal? Pinto pernah bertemu satu kali dengan ayahmu, Nona. Seorang yang gagah perkasa!" Kemudian kakek ini menoleh kepada Liem Toan Ki dan bertanya, "Pertolongan apakah yang kalian harapkan dari pinto?"

Dengan terus terang tanpa menyembunyikan sesuatu Liem Toan Ki lalu menceritakan tentang penyerbuannya bersama para penghuni Pulau Es, betapa kemudian puteri Pulau Es telah menitipkan Pusaka Pulau Es kepada mereka berdua, kemudian betapa mereka dihadang orang jahat yang hendak merampas pusaka dan mereka mengambil keputusan untuk bersembunyi di Hoa-san-pai.

Kakek itu menjadi bengong mendengar penuturan panjang lebar itu. Beberapa kali memandang ke arah buntalan di punggung Toan Ki dan memandang wajah mereka berdua seperti orang yang kurang percaya. "Siancai... kalau tidak melihat wajah kalian berdua yang agaknya bukan orang gila dan bukan pembohong, pinto sukar untuk percaya bahwa kalian telah bertemu bahkan bertanding bahu-membahu dengan orang-orang Pulau Es! Pinto kira bahwa nama Pulau Es hanya terdapat dalam dongeng belaka."

"Karena teecu yakin bahwa tentu orang-orang di dunia kang-ouw akan saling berebut untuk merampas pusaka-pusaka ini, maka teecu berdua mengambil keputusan untuk berlindung di Hoa-san-pai sampai yang berhak atas pusaka-pusaka itu datang mengambilnya."

Sampai lama kakek itu termenung dan menundukkan kepalanya, dipandang dengan hati gelisah dan tegang oleh Toan Ki dan Swi Nio. Akhirnya kakek itu mengangkat mukanya memandang dan berkata, suaranya bersungguh-sungguh. "Selamanya Hoa-san-pai menjaga nama dan kehormatan sebagai partai orang-orang gagah. Entah berapa banyak anak murid Hoa-san-pai tewas dalam mempertahankan kebenaran dan keadilan, bahkan ada pula yang tewas tanpa pinto ketahui apa sebabnya dan di mana tewasnya seperti Kee-san Ngo-hohan, lima orang murid pinto yang dahulu bertugas melindungi Sin-tong...."

"Aihhh...!!" tiba-tiba Swi Nio mengeluarkan teriakan tertahan dan ketika kakek itu memandang kepadanya, dia cepat berkata, "Mendiang Subo adalah bekas ratu Pulau Es yang menyeleweng dan bersekutu dengan Kiam-mo Cai-li Liok Si memberontak kepada pemerintah. Pernah teecu mendengar penuturan Subo ketika menceritakan kelihaian Kiam-mo Cai-li bahwa Kee-san Ngo-hohan terbunuh oleh Kiam-mo Cai-li itu."

Ketua Hoa-san-pai itu kelihatan terkejut dan sinar matanya menjadi keras, "Hemm, kiranya iblis betina itu yang membunuh murid-murid pinto...!”

"Akan tetapi iblis itu telah tewas di tangan Nona Han Swat Hong, puteri Pulau Es yang menitipkan pusaka kepada teecu berdua, Twa-supek," Toan Ki berkata.

Kakek itu mengangguk-angguk dan mendengarkan penuturan mereka berdua tentang penyerbuan hebat di kota raja, di dalam istana dari The Kwat Lin, bekas Ratu Pulau Es yang minggat dan melarikan pusaka-pusaka Pulau Es itu.

"Kalau begitu, sudah sepatutnya kalau Hoa-san-pai membantu para penghuni Pulau Es. Kalian boleh tinggal di sini dan biarlah Hoa-san-pai yang melindungi kalian dan pusaka-pusaka itu sampai yang berhak datang mengambilnya."

"Sebelumnya teecu berdua menghaturkan banyak terima kasih atas kebijaksanan dan kemuliaan hati Twasupek. Dan teecu ingin mengajukan permohonan ke dua...."

Kakek itu tersenyum. "Permohonanmu yang paling hebat, menegangkan dan berbahaya telah pinto terima dan urusan pusaka ini hanya kita bertiga saja yang mengetahuinya, tidak boleh kalian bocorkan ke luar agar tidak menimbulkan keributan. Sekarang, ada permohonan apa lagi yang hendak kau kemukakan?"

"Teecu... mohon... karena teecu berdua sudah tidak mempunyai keluarga lagi, dan teecu berdua sudah cukup lama bertunangan, maka... teecu mohon berkah dan doa restu Twa-supek untuk menikah di sini." Toan Ki yang hidupnya sudah penuh dengan segala macam pengalaman hebat itu, tidak urung tergagap ketika mengucapkan permintaan ini, sedangkan Bu Swi Nio menundukkan mukanya yang menjadi merah sekali.

Kong Thian-cu tertawa bergelak, lalu berkata, "Pernikahan adalah peristiwa yang amat menggembirakan. Tentu saja pinto suka sekali memenuhi permintaan ini. Liem Toan Ki, engkau adalah murid Hoa-san-pai pula, tentu saja engkau berhak untuk menikah di sini, disaksikan oleh semua murid Hoa-san-pai yang berada di sini."

Demikianlah, pusaka-pusaka Pulau Es yang di rahasiakan itu disimpan oleh Kong Thian-cu sendiri di dalam kamar pusaka yang tersembunyi, tidak ada anggota Hoa-san-pai lain yang mengetahuinya. Sebulan kemudian diadakanlah perayaan sederhana namun khidmat untuk melangsungkan upacara pernikahan antara Liem Toan Ki dan Bu Swi Nio.

Pada malam pertama pernikahan itu Bu Swi Nio menangis di atas dada suaminya, menangis dengan penuh keharuan, kedukaan yang bercampur dengan kegembiraan. Dia terkenang semua pengalamannya, kematian ayahnya dan kakaknya, mala-petaka yang menimpa dirinya ketika dalam keadaan mabuk dan tidak ingat diri dia diperkosa oleh Pangeran Tan Sin Ong. Dia memeluk suaminya dan berterima kasih sekali karena dia dapat membayangkan bahwa kalau tidak ada pria yang kini menjadi suaminya dengan syah dan terhormat ini tentu dia sudah membunuh diri dan andai kata dalam keadaan hidup pun ia akan menderita aib dan terhina.

Sampai dua tahun suami isteri yang saling mencinta dan berbahagia ini hidup di Hoa-san-pai, menjadi anggota-anggota dan anak murid Hoa-san-pai yang tekun berlatih dan rajin bekerja. Akan tetapi mereka gelisah sekali karena sampai selama ini, Han Swat Hong atau lain tokoh Pulau Es tidak ada yang muncul, bahkan gadis luar biasa dari Pulau Neraka, Ouw Soan Cu, juga tidak muncul. Tentu saja hati mereka akan menjadi lebih lega dan bebas dari kekhawatiran kalau saja pusaka-pusaka Pulau Es itu sudah diambil oleh yang berhak dan tidak menjadi tanggung-jawab mereka.

Lebih hebat lagi kegelisahan hati mereka ketika pada suatu hari ketua Hoa-san-pai, Kong Thian-cu yang sudah tua itu, meninggal dunia karena sakit. Sebelum meninggal dunia, Kong Thian-cu memberi-tahukan di mana dia menyembunyikan pusaka-pusaka itu yang tidak diketahui orang lain. Setelah Kong Thian-cu meninggal dunia, kedudukan Ketua Hoa-san-pai digantikan oleh seorang tokoh Hoa-san-pai lain, terhitung sute dari Kong Thian-cu yang telah menjadi seorang tosu yang saleh, berjuluk Pek Sim Tojin.

Ketua yang baru ini pun tidak tahu akan rahasia Pusaka Pulau Es, sehingga kini rahasia pusaka itu seluruhnya menjadi tangung jawab Liem Toan Ki dan isterinya. Biar pun selama dua tahun itu tidak terjadi sesuatu, namun hati suami isteri ini selalu merasa tidak tenteram. Bahkan mereka berdua sering-kali merundingkan bagaimana baiknya. Hendak meninggalkan Hoa-san-pai dan mencari Swat Hong, mereka tidak berani meninggalkan Hoa-san-pai di mana pusaka itu disimpan, juga mereka tidak tahu ke mana harus mencari Han Swat Hong. Tinggal diam saja di Hoa-san mereka merasa makin lama makin gelisah.

Selama itu, tidak ada satu kali pun mereka berani memeriksa pusaka yang disimpan di tempat yang amat rapat di kamar pusaka oleh mendiang Kong Thian-cu. Akhirnya mereka terpaksa menahan diri, dan saling berjanji bahwa kalau setahun lagi pemilik pusaka yang sah tidak muncul, mereka akan menghadap Pek Sim Tojin, menceritakan dengan terus terang dan menyerahkan pusaka itu untuk dipelajari bersama sehingga dengan demikian pusaka itu ada manfaatnya demi kemajuan dan kebaikan Hoa-san-pai sendiri....
********************
www.zheraf.com
"Suheng, kita berhenti istirahat dulu di sini!" Swat Hong berkata.

Sin Liong menoleh kepada dara itu. Ia tersenyum dan berkata, "Engkau lelah, Sumoi?"

Swat Hong mengangguk dan Sin Liong menghentikan langkahnya, lalu keduanya duduk di bawah sebatang pohon besar di lereng bukit itu. Tempat perhentian mereka itu di tepi jalan yang merupakan lorong setapak, di sebelah kiri terdapat dinding bukit, di sebelah kanan jurang yang amat curam. Pemandangan di seberang jurang amatlah indahnya, tamasya alam yang tergelar di bawah kaki mereka, sehelai permadani hidup yang permai dengan segala macam warna berselang-seling, kelihatan kacau namun menyedapkan pandangan karena di dalam kekacauan itu terdapat keselarasan yang wajar.

Sawah ladang bekas hasil tangan manusia berpetak-petak, digaris oleh sebatang sungai yang berbelok-belok, dengan rumpun di sana-sini, diseling pohon-pohon besar yang masih bertahan di antara perubahan yang dilakukan oleh tangan-tangan manusia. Sebatang pohon yang daun-daunnya telah menguning dan banyak yang rontok, kelihatan menyendiri dan menonjol di antara segala tumbuh-tumbuhan menghijau, dan seolah-olah segala keindahan berpusat kepada pohon menguning hampir mati itu.

Matahari yang berada di atas kepala tidak menimbulkan bayangan-bayangan sehingga hari tampak cerah sekali. Sinar matahari dengan langsung dan bebas menyinari bumi dan segala yang berada di atasnya, terang menderang tidak ada gangguan awan. Di dalam keheningan itu, Swat Hong dapat melihat ini semua. Ketika tanpa disengaja tangannya yang digerakkan untuk menyeka keringat bertemu dengan lengan Sin Liong, barulah dia sadar akan dirinya dan sekelilingnya. Dan dia terheran.

Semenjak dia bertemu dengan suheng-nya dan melakukan perjalanan ini, sering-kali dia tenggelam ke dalam keindahan yang amat luar biasa, yang sukar dia ceritakan dengan kata-kata. Dia merasa tenteram, tenang dan penuh damai sungguh pun suheng-nya jarang mengeluarkan kata-kata. Dia seperti merasa betapa diri pribadi suheng-nya bersinar cahaya yang hangat dan aneh, terasa ada getaran yang ajaib keluar dari pribadi suheng-nya yang mempengaruhinya dan mendatangkan suatu perasaan yang menakjubkan, yang mengusir segala kekesalan, segala kerisauan, dan segala kedukaan.

Sudah beberapa kali dia ingin mengutarakan ini kepada suheng-nya, namun setiap kali dia hendak bicara, mulutnya seperti dibungkamnya sendiri oleh keseganan yang timbul dari perasaan halus dan lembut terhadap suheng-nya itu, sesuatu yang belum pernah dirasakannya semula. Dia mencinta suheng-nya, ini sudah jelas. Namun sekarang timbul perasaan lain yang lebih agung dari-pada sekedar cinta biasa, perasaan yang membuat dia penuh damai.

"Suheng...," dia memberanikan hatinya berkata.

"Ya.....?" Sin Liong mengangkat muka memandangnya sambil tersenyum. Senyumnya begitu lembut penuh kasih, pandang matanya begitu bersinar penuh pengertian sehingga Swat Hong merasa betapa seolah-olah sebelum dia bicara, suheng-nya itu telah tahu apa yang terkandung di dalam hatinya! Inilah yang biasanya membuatnya membungkam dan tidak dapat melanjutkan kata-katanya.

Kini dia mengeraskan hati dan berkata dengan suara lirih, "Suheng, kita akan ke manakah?"

"Ke Hoa-san, sudah kuberi-tahukan kepadamu," jawabnya sederhana.

"Bagaimana kau bisa tahu bahwa mereka berada di Hoa-san?"

Sin Liong tersenyum, senyum cerah, secerah sinar matahari di saat itu, senyum yang bebas dan wajar, tidak menyembunyikan sesuatu dan tanpa membawa sesuatu arti. "Sumoi, pusaka itu kau berikan kepada Liem Toan Ki dan tunangannya, dan karena Liem Toan Ki adalah murid Hoa-san-pai, maka tentu saja mereka berada di Hoa-san."

Swat Hong mengangguk-angguk, memang dia tahu bahwa Toan Ki adalah murid Hoa-san, akan tetapi dia lupa bahwa dia tidak pernah menceritakan hal ini kepada suhengnya! "Bagaimana kalau mereka tidak berada si sana, Suheng?"

Kembali senyum itu, senyum seorang yang begitu pasti akan segala sesuatu, senyum penuh pengertian, seperti senyum seorang tua yang melihat kenakalan anak-anak dan maklum mengapa anak itu nakal! "Sumoi, apakah gunanya memikirkan hal-hal yang belum terjadi? Membayangkan hal-hal yang belum terjadi adalah permainan buruk dari pikiran, karena hal itu hanya akan menghasilkan kecemasan dan kekhawatiran belaka. Apa yang akan terjadi kelak kita hadapi sebagaimana mestinya kalau sudah terjadi di depan kita."

Swat Hong tertarik sekali. "Apakah rasa cemas itu timbul dari pikiran yang membayangkan masa depan, Suheng?"

"Agaknya jelas demikian, bukan? Yang takut akan sakit tentulah dia yang belum terkena penyakit itu, kalau sudah sakit, dia tidak takut lagi kepada sakit, melainkan takut kepada kematian yang belum tiba. Perlukah hidup dicekam rasa takut dan rasa kekhawatiran? Pikiran yang bertanggung-jawab atas timbulnya rasa takut. Pikiran mengingat-ingat kesenangan di masa lalu, dan mengharapkan terulangnya kesenangan itu di masa depan, maka timbullah kekhawatiran kalau-kalau kesenangan itu tidak akan terulang. Pikiran mengenang penderitaan masa lalu dan ingin menjauhinya, ingin agar di masa depan hal itu tidak terulang kembali maka timbulah kekhawatiran kalau-kalau dia tertimpa penderitaan itu lagi!"

"Habis bagaimana, Suheng?"

"Hiduplah saat ini, curahkan seluruh perhatian, seluruh hati dan pikiran, untuk menghadapi saat ini. Apa yang terjadi kepadamu di saat ini, bukan apa yang boleh terjadi di masa depan, bukan pula mengenang apa yang telah terjadi di masa lalu."

"Kalau begitu kita menjadi tidak acuh dan bersikap masa bodoh...."

"Justru biasanya kita bersikap masa bodoh dan tidak acuh, tidak menaruh perhatian yang mendalam terhadap saat ini, karena seluruh perhatian kita sudah dihabiskan untuk mengingat-ingat masa lalu dan untuk membayang-bayangkan masa depan dengan seluruh pengharapannya, seluruh cita-citanya, seluruh nafsu keinginannya, seluruh kesenangan dan kekecewaannya. Justeru kalau bebas dari masa lalu tidak lagi ada bayangan masa depan dan kita hidup saat demi saat penuh perhatian, dan ini barulah di namakan hidup sepenuhnya, hidup sempurna dan lengkap karena kita menghayati hidup dengan penuh kewajaran, tidak terbuai dalam alam kenangan dan harapan yang muluk-muluk namun sesungguhnya kosong belaka."

Sampai lama hening di situ. Pengertian yang mendalam meresap di hati sanubari Swat Hong dan di dalam keheningan itu tercakup seluruh alam mayapada.

"Suheng, telah dua tahun pusaka itu berada di tangan mereka. Aku telah mencari ke mana-mana, hanya ke Hoa-san-pai yang belum. Kurasa mereka itu tidak jujur, dan agaknya tentu mereka telah menyembunyikan pusaka itu. Kalau tidak demikian mengapa mereka tidak pergi menanti aku di Puncak Awan Merah seperti yang kupesankan? Memang hati manusia tidak atau jarang sekali ada yang jujur. Sekali saja melihat sesuatu yang dapat menguntungkan diri pribadi, maka terlupalah semua pelajaran tentang kegagahan dan kebaikan. Aku ingin mencari dan menghajar mereka itu!"

"Sumoi, prasangka adalah satu di antara racun-racun yang merusak kehidupan kita. Prasangka di lahirkan oleh pikiran yang mengada-ada, yang membayangkan sesuatu yang direka-reka, yang timbul karena kekhawatiran. Prasangka adalah suatu kebodohan yang menyiksa diri sendiri. Kalau kita sudah bertemu dengan mereka dan sudah melihat keadaan yang sesungguhnya, apakah kegunaannya prasangka? Prasangka dan sebagainya lenyap setelah kita membuka mata melihat kenyataan apa adanya, dan sebelum itu, berprasangka berarti membiarkan pikiran mempermainkan diri. Apakah kegunaannya bagi kehidupan kita?"

Kembali hening. Swat Hong tak mampu menjawab karena dia dihadapkan dengan keadaan yang nyata. Memang dia memikirkan hal-hal yang belum terjadi, maka timbullah kekhawatiran, dan dari kekhawatiran ini timbulah prasangka yang bukan-bukan. Yang salah dalam semua itu adalah pikiran!

Setelah tubuh mereka beristirahat dengan cukup, keduanya lalu melanjutkan perjalanan menuju ke Hoa-san. Makin lama Swat Hong makin mendapat kesan bahwa suheng-nya benar-benar telah berubah, jauh bedanya dengan dahulu. Pada suatu hari, ketika mereka tiba di kaki Pegunungan Hoa-san dan beristirahat, Swat Hong tidak dapat menahan rasa keinginan-tahunya.

"Suheng, setelah dua tahun berpisah denganmu dan berjumpa kembali, aku memperoleh kenyataan bahwa engkau telah berubah sekali!" berkata Swat Hong.

"Begitukah, Sumoi?"

"Aku tidak tahu apanya yang berubah. Memang kelihatannya engkau masih biasa seperti dulu, Suheng-ku yang sabar, tenang dan bijaksana. Akan tetapi entahlah, engkau berubah benar, sungguh pun aku sendiri tidak dapat mengatakan apanya yang berubah."

Sin Liong tersenyum dan sinar matanya berseri. "Memang setiap manusia seyogianya mengalami perubahan, Sumoi. Kita masing-masing haruslah berubah, tidak terikat dengan masa lalu, dengan segala macam kebiasaan masa lalu, setiap hari, setiap detik kita haruslah baru! Kalau demikian, barulah hidup ada artinya!"

Swat Hong hendak berkata lagi, akan tetapi tiba-tiba Sin Liong memegang tangannya dan mengajaknya bangkit berdiri, lalu perlahan-lahan melanjutkan perjalanan mulai mendaki bukit pertama. Ketika Swat Hong hendak menanyakan sikap yang tiba-tiba ini dari suheng-nya, dia mendengar suara orang dan tampaklah olehnya banyak orang berbondong-bondong naik ke pegunungan Hoa-san, datangnya dari berbagai penjuru. Mereka itu terdiri dari bermacam orang, dengan pakaian yang bermacam-macam pula, namun jelas bahwa rata-rata memiliki gerakan yang ringan dan tangkas dan mudah bagi Swat Hong untuk mengetahui bahwa mereka adalah orang-orang kang-ouw!

Melihat kenyataan bahwa tidak ada di antara mereka yang memperhatikan Sin Liong dan Swat Hong, hanya memandang sepintas lalu saja seperti mereka itu saling memandang, tahulah Swat Hong bahwa mereka itu bukan merupakan satu rombongan, melainkan terdiri dari banyak rombongan sehingga tentu saja mereka mengira bahwa dia dan suheng-nya adalah anggota rombongan lain. Hati Swat Hong diliputi penuh pertanyaan. Siapakah mereka dan apa kehendak mereka itu? Apakah di puncak Hoa-san terdapat perayaan dan mereka ini adalah para tamu yang berkujung ke Hoa-san-pai?

Akan tetapi melihat sikap suheng-nya diam dan tenang saja, Swat Hong merasa malu untuk bertanya dan teringatlah dia akan kata-kata suheng-nya tentang permainan pikiran yang membayangkan masa depan yang menimbulkan kekhawatiran belaka. Mau tidak mau dia harus membenarkan karena kini dia merasakan sendiri. Biarlah dia hadapi apa yang sedang terjadi sebagaimana mestinya dan sebagai apa adanya tanpa merisaukan hal-hal yang belum terjadi!

Ketika akhirnya mereka tiba di Puncak Hoa-san, di depan markas perkumpulan Hoa-san-pai yang besar, Swat Hong menjadi terkejut. Di tempat itu ternyata tidak terdapat perayaan apa-apa dan kini banyak tosu dan anggota Hoa-san-pai berkumpul dan berdiri di ruangan depan yang tinggi, sedangkan di bawah anak tangga, di halaman depan penuh dengan orang-orang kang-ouw yang bersikap menantang! Ketika dia melirik ke arah suheng-nya, dia melihat Sin Liong bersikap masih biasa dan tenang, dan suheng-nya ini pun memandang ke depan dengan perhatian sepenuhnya. Maka dia pun lalu ikut memandang lagi ke sana.

Swat Hong melihat seorang tosu berambut putih dengan tenang berdiri menghadapi para orang-orang kang-ouw itu sambil menjura dengan sikap hormat, lalu berkata dengan suara halus namun cukup nyaring, "Harap Cu-wi sekalian sudi memaafkan kami yang tidak tahu akan kedatangan Cu-wi maka tidak mengadakan penyambutan sebagaimana mestinya. Pinto melihat bahwa Cu-wi adalah tokoh-tokoh kang-ouw dari bermacam golongan dan tingkat, dan pada hari ini berbondong datang mengunjungi Hoa-san-pai, tidak tahu ada keperluan apakah?"

Swat Hong memandang para orang kang-ouw itu dan di antaranya banyak tokoh aneh yang tidak dikenalnya itu. Dengan heran dia melihat adanya Siangkoan Houw Tee-tok, tokoh yang tinggal di Puncak Awan Merah di Tai-hang-san itu!

"Suheng, itu Tee-tok berada pula di sini," bisiknya sambil menyentuh lengan suheng-nya.

"Aku sudah melihatnya," kata Sin Liong perlahan, "dan yang di sebelah sana itu adalah Bhong Sek Bin yang berjuluk Thian-tok (Racun Langit). Bekas suheng dari Tee-tok, dan itu adalah Thian-he Tee-it Ciang Ham Ketua Kang-jiu-pang di Secuan. Yang di sana itu adalah Lam-hai Sengjin, tosu majikan Pulau Kura-kura di Lam-hai...."

"Guru Kwee-toako?"

Sin Liong mengangguk. Swat Hong memandang penuh perhatian dan terheran-heran melihat suheng-nya mengenal orang-orang yang memiliki julukan aneh-aneh itu. Thian-he Tee-it berarti Di Kolong Langit Nomor Satu! Dan Lam-hai Sengjin berarti Manusia dari Laut Selatan!

"Dan itu adalah Gin-siauw Siucai (Pelajar Bersuling Perak), seorang pertapa di Bukit Beng-san dan yang di ujung itu adalah seorang yang pernah menyerang Pulau Neraka seperti yang pernah kuceritakan kepadamu, Sumoi. Dialah Tok-gan Hai-liong (Naga Laut Mata Satu) Koan Sek, seorang bekas bajak laut."

"Wah, begitu banyak orang pandai mendatangi Hoa-san-pai, ada apakah, Suheng?"

"Kita melihat dan mendengarkan saja."

Sementara itu, ucapan dan pertanyaan Ketua Hoa-san-pai tadi mendatangkan suasana berisik ketika para pendatang yang jumlahnya ada lima puluhan orang itu saling bicara sendiri tanpa ada yang menjawab langsung pertanyaan Ketua Hoa-san-pai. Agaknya mereka itu merasa sungkan dan saling menanti, menyerahkan jawaban kepada orang lain yang hadir di situ.

Betapa pun juga, para tokoh kang-ouw itu merasa segan juga karena Hoa-san-pai terkenal sebagai sebuah perkumpulan atau partai persilatan yang besar, yang selama ini tidak pernah mencampuri urusan perebutan kekuasaan atau tidak pernah pula mencampuri urusan kang-ouw yang tidak ada hubungannya dengan mereka. Orang-orang Hoa-san-pai terkenal sebagai orang-orang gagah yang disegani di dunia persilatan, maka tentu saja mereka itu diliputi perasaan sungkan.

Pek Sim Tojin yang berambut putih dan bersikap tenang itu melihat seorang kakek tinggi besar bermuka tengkorak yang menyeramkan maju ke depan, maka melihat bahwa belum juga ada yang mau menjawab, dia lalu berkata ditujukan kepada kakek tinggi besar bermuka tengkorak itu. "Kalau pinto tidak salah mengenal orang, Sicu adalah Thian-tok Bhong Sek Bin. Sicu adalah seorang yang amat terkenal di dunia kang-ouw dan mengingat bahwa kedatangan Sicu pasti mempunyai kepentingan besar, maka pinto harap Sicu suka berterus terang mengatakan apa keperluan itu."

Thian-tok Bhong Sek Bin menyeringai penuh ejekan. "Ha-ha-ha, engkau benar, Totiang! Aku adalah Bhong Sek Bin dan memang bukan percuma jauh-jauh aku datang mengunjungi Hoa-san-pai. Tentang mereka semua ini aku tidak tahu, akan tetapi kedatanganku adalah untuk bicara dengan dua orang yang bernama Liem Toan Ki dan Bu Swi Nio. Suruh mereka berdua keluar bicara dengan aku dan aku tidak akan membawa-bawa Hoa-san-pai!"

Ucapan ini disambut oleh suara berisik lagi di antara para tamu, bahkan banyak kepala dianggukan tanda setuju dan di sana-sini terdengar teriakan, "Suruh mereka keluar!"

Pek Sim Tojin mengerutkan alisnya dan mengelus jenggotnya yang putih. "Pinto tidak menyangkal bahwa di antara anak murid Hoa-san-pai terdapat dua orang yang bernama Liem Toan Ki dan isterinya bernama Bu Swi Nio. Akan tetapi, selama ini mereka adalah murid-murid Hoa-san-pai yang tekun dan baik, bahkan tidak pernah turun dari Hoa-san, tidak pernah melakukan keonaran di luar, apa lagi membuat permusuhan dengan golongan mana pun. Kini Cu-wi sekalian berbondong datang, agaknya bersatu tujuan untuk menemui mereka! Pinto sebagai ketua Hoa-san-pai yang bertanggung-jawab atas semua sepak terjang murid-murid Hoa-san-pai, berhak mengetahui apa yang terjadi antara Cu-wi dengan mereka!"

Hening sejenak dan agaknya semua tamu kembali merasa sungkan dan ragu-ragu untuk menjawab. Sementara itu, hati Swat Hong terasa tegang begitu mendengar nama Liem Toan Ki dan Bu Swi Nio disebut-sebut. Dia menunjukan pandang matanya ke atas ruangan depan, namun di antara para anggota Hoa-san-pai, dia tidak melihat adanya kedua orang itu.

"Suheng..., agaknya mereka benar berada di sini seperti yang Suheng duga...," bisik Swat Hong dengan hati tegang.

Akan tetapi suheng-nya memberi isyarat agar dia tenang saja. "Sumoi, aku berpesan, kalau nanti terjadi apa-apa, kau serahkan saja kepadaku dan jangan kau ikut turun tangan, ya!"

Dengan penuh kepercayaan akan kemampuan suheng-nya, Swat Hong mengangguk akan tetapi hatinya berdebar penuh ketegangan. Tidak salah lagi, pikirnya yang menduga-duga, tentu orang-orang kang-ouw ini mencari Liem Toan Ki dan Bu Swi Nio berhubung dengan Pusaka-pusaka Pulau Es itu! Kalau tidak demikian apa lagi?

Melihat bahwa tidak ada orang yang menjawab pertanyaan Ketua Hoa-san-pai itu, Thian-he Tee-it Ciang Ham yang datang bersama lima orang muridnya, mengacungkan ke atas tombak di tangan kanannya dan berteriak. "Totiang, sebagai Ketua Hoa-san-pai tentu saja kau berhak mengetahui sepak terjang muridmu, akan tetapi kalau urusan ini tidak menyangkut Hoa-san-pai, bagaimana kami dapat bicara denganmu? Ini adalah urusan pribadi, urusan Liem Toan Ki sendiri, maka suruh dia keluar agar kami dapat bicara dengan dia! Kalau Totiang bersikeras, berarti Hoa-san-pai akan mencampuri urusan pribadi!"

Berkerut alis ketua Hoa-san-pai itu. Ucapan tadi, biar pun tidak secara langsung, sudah merupakan tantangan dan hanya terserah kepada Hoa-san-pai untuk melayani tantangan itu ataukah tidak. Maka dia tidak mau bertindak sembrono dan ingin melihat dulu bagaimana duduk perkaranya. Ketua Hoa-san-pai ini memang belum sempat diberi-tahu oleh Liem Toan Ki dan isterinya tentang pusaka Pulau Es itu.

"Supek, biarlah teecu berdua yang menghadapi mereka!" tiba-tiba terdengar suara orang, diikuti munculnya Liem Toan Ki dan isterinya dari dalam.

Mereka sudah kelihatan mempersiapkan diri dengan senjata pedang di pinggang dan pakaian ringkas. Wajah mereka agak pucat, namun sikap mereka gagah dan tidak jeri. Liem Toan Ki meloncat ke depan, di atas ruangan depan itu berdampingan dengan istrinya, menghadapi orang-orang kang-ouw itu sambil berkata, "Sayalah Liem Toan Ki dan isteri saya Bu Swi Nio. Tidak tahu urusan apakah yang membawa Cu-wi sekalian datang mencari kami di Hoa-san?"

Hiruk-pikuklah para tamu itu setelah mereka melihat sepasang suami isteri muda muncul dari dalam. Pertama-tama yang berteriak adalah Thian-tok Bhong Sek Bin, "Liem Toan Ki dan Bu Swi Nio, kalian telah berani melukai muridku! Aku baru bisa mengampuni kalian kalau kalian menyerahkan pusaka-pusaka yang kau bawa itu!"

Liem Toan Ki tersenyum. "Hemm, kami terpaksa melukai muridmu karena dia menyerang kami, Lo-cianpwe. Pusaka apa yang Lo-cianpwe maksudkan?"

"Pura-pura lagi, keparat! Pusaka Pulau Es!" teriak Thian-tok marah. "Serahkan Pusaka Pulau Es kepada kami!"

"Kepada kami!"

"Bagi-bagi rata!"

"Dijadikan sayembara!" Macam-macam lagi teriakan para tokoh kang-ouw itu.

Liem Toan Ki mengangkat kedua lengannya ke atas. "Cu-wi sekalian, apa buktinya bahwa kami berdua menyimpan Pusaka Pulau Es?"

"Orang she Liem, kau masih berpura-pura lagi bertanya? Aku dan banyak orang melihat betapa gadis Pulau Es itu menyerahkan pusaka itu kepadamu!" tiba-tiba terdengar suara orang yang bukan lain adalah Thio Sek Bi, murid Thian-tok yang pernah berusaha merampok pusaka itu.

Mendengar ucapan ini dan melihat munculnya murid Thian-tok dan beberapa orang bekas pengawal yang dulu ikut bertempur di istana The Kwat Lin, tahulah Toan Ki dan Swi Nio bahwa menyangkal tidak akan ada gunanya lagi.

"Kita harus mempertahankan mati-matian," bisik Swi Nio kepada suaminya yang mengangguk.

Liem Toan Ki berkata lagi dengan suara lantang, "Cu-wi sekalian! Kami berdua tidak menyangkal lagi bahwa memang kami telah dititipi pusaka oleh Nona Han Swat Hong, dua tahun yang lalu. Akan tetapi, kami tidak akan menyerahkan pusaka itu kepada siapa pun juga kecuali kepada yang berhak, yaitu Nona Han Swat Hong!"

Teriakan-teriakan hiruk-pikuk menyambut ucapan lantang ini.

"Kalau begitu, kalian akan menjadi tawananku!" Thian-tok membentak marah sambil melangkah ke depan, akan tetapi gerakannya ini segera diikuti oleh banyak orang dan jelas bahwa mereka hendak memperebutkan Liem Toan Ki dan istrinya agar menjadi orang tawanan mereka, tentu untuk dipaksa menyerahkan pusaka!

"Siancai... harap Cu-wi bersabar dulu...!" tiba-tiba dengan suara yang halus namun berpengaruh, ketua Hoa-san-pai berkata sambil mengangkat kedua tangan ke atas, "Biarkan pinto bicara dulu!"

"Totiang, kau hendak bicara apa lagi?" Thian-tok membentak marah, alisnya berdiri dan matanya melotot.

"Pinto mengaku bahwa urusan pusaka Pulau Es itu sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan Hoa-sanpai dan Hoa-san-pai pun tidak mengetahuinya. Maka sebagai ketua Hoa-san-pai, pinto hendak bertanya dulu kepada murid Liem Toan Ki. Ini adalah urusan dalam dari Hoa-san-pai, kiranya Cu-wi tidak akan mencampurinya!"

Terdengar teriakan-teriakan, "Silakan! Silakan, tapi cepat dan serahkan mereka kepada kami!"

Pek Sim Tojin lalu menghadapi Liem Toan Ki dan bertanya, "Toan Ki, apa artinya ini semua? Benarkah kalian menyembunyikan Pusaka Pulau Es di Hoa-san-pai?"

Liem Toan Ki dan Bu Swi Nio segera menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Ketua Hoa-san-pai itu. Liem Toan Ki segera berkata, "Harap Supek mengampunkan teecu berdua. Adalah mendiang Twa-supek yang mengijinkan teecu berdua dan beliau yang melarang teecu berdua menceritakan kepada siapa pun juga, bahkan beliau yang membantu teecu berdua dalam hal ini. Karena sekarang mereka telah mengetahuinya dan hendak menggunakan paksaan, biarlah teecu berdua menghadapinya sendiri tanpa membawa-bawa Hoa-san-pai."

Setelah berkata demikian, Toan Ki dan Bu Swi Nio meloncat bangun, mencabut pedang dan berkatalah Toan Ki dengan suara lantang, "Haiiii, kaum kang-ouw dengarlah! Urusan ini adalah urusan kami berdua suami isteri, bukan sebagai murid Hoa-san-pai. Maka kalau kalian begitu tidak tahu malu hendak merampas Pusaka Pulau Es, biar kami menghadapi kalian sampai titik darah penghabisan!"

"Keparat, aku tidak membiarkan kau mapus sebelum kalian menyerahkan pusaka itu." Thian-tok membentak.

"Tahan!" tiba-tiba Pek Sim Tojin membentak dan sikapnya angker sekali. "Cu-wi sekalian sungguh terlalu, memperebutkan pusaka milik orang lain dan sama sekali tidak memandang mata kepada Hoa-sanpai, hendak membikin ribut di sini. Siapa saja tidak akan pinto ijinkan untuk menggunakan kekerasan di Hoa-san-pai!"

"Tepat sekali! Aku Tee-tok Siangkoan Houw pun bukan seorang yang tak tahu malu! Aku tidak akan membolehkan siapa pun menjamah Pusaka Pulau Es yang menjadi milik Nona Han Swat Hong!" tiba-tiba tokoh Tai-hang-san yang tinggi besar itu sudah melompat ke atas ruangan luar dan mendampingi Toan Ki dan Swi Nio dengan sikap gagah!

"Ha-ha-ha, itu baru namanya laki-laki sejati! Tee-tok, kau membikin aku merasa malu saja! Aku pun tua bangka yang tidak berguna mana ingin memperebutkan pusaka orang lain? Aku pun tidak membiarkan siapa pun memperebutkan pusaka itu!" Lam-hai Sengjin, guru Kwee Lun, tosu yang bersikap halus dengan tangan kiri memegang kipas dan tangan kanan memegang hudtim (kebutan pertapa), telah melangkah ke ruangan depan mendampingi Tee-tok.

"Masih ada aku yang menentang orang-orang kang-ouw yang tak tahu malu hendak merampas pusaka lain orang!" tampak bayangan berkelebat disertai suara halus melengking dan di ruang depan itu nampak Gin-siauw Siucai Si Sastrawan yang bersenjata suling perak dan mauwpit!

Melihat ini Thian-tok tertawa bergelak dengan hati penuh kemarahan, apa lagi melihat bekas sute-nya, Tee-tok, memelopori lebih dulu membela Hoa-san-pai dan murid Hoa-san-pai yang membawa Pusaka Pulau Es yang amat dikehendakinya. "Ha-ha-ha! Kalian pura-pura menjadi pendekar budiman? Hendak kulihat sampai di mana kepandaian kalian!"

Thian-tok sudah lari ke depan, diikuti oleh banyak tokoh kang-ouw lagi dan dapat dibayangkan betapa tentu sebentar lagi akan terjadi perang kecil yang amat hebat antara para anggota Hoa-san-pai dibantu oleh tiga tokoh kang-ouw itu melawan para orang kang-ouw yang memperebutkan pusaka.

"Tahan...!" Seruan ini halus dan ramah, tidak mengandung kekerasan sedikit pun, akan tetapi anehnya, semua orang merasa ada getaran yang membuat mereka menghentikan gerakan mereka mencabut senjata dan kini semua mata memandang ke arah ruangan depan itu karena tadi ada berkelebat dua sosok bayangan orang ke arah situ.

Ternyata Sin Liong dan Swat Hong telah berdiri di ruangan depan markas Hoa-san-pai. Dengan sikap tenang sekali Sin Liong menghadapi semua orang, terutama sekali memandang tokoh-tokoh besar dunia persilatan yang hadir, dan yang semua memandang kepadanya dengan mata terbelalak.

Terdengar kemudian pemuda ini berkata, "Cu-wi Lo-cianpwe mengapa sejak dahulu sampai sekarang gemar sekali memperebutkan sesuatu?"

Thiantok Bhong Sek Bin yang berwatak kasar memandang dengan terbelalak, demikian pula Thian-he Tee-it Ciang Ham, Lam-hai Sengjin, Gin-siauw Siucai dan para tokoh lain yang belasan tahun lalu pernah hendak memperebutkan bocah ajaib, Sin-tong yang bukan lain adalah Sin Liong sendiri. Mereka merasa kenal dengan pemuda ini, akan tetapi lupa lagi.

"Ka... kau siapakah...?" akhirnya Thian-tok bertanya.

"Ha-ha-ha, kalian lupa lagi siapa dia ini?" tiba-tiba Tee-tok Siangkoan Houw berseru keras. Hatinya girang dan lega bukan main bahwa dia tadi tidak ragu-ragu melindungi Pusaka Pulau Es. Melihat munculnya pemuda yang dia tahu memiliki kelihaian yang luar biasa itu, dia girang sekali. "Coba lihat dengan baik-baik, belasan tahun yang lalu di lereng pegunungan Jeng-hoa-san kalian juga memperebutkan sesuatu. Siapa dia?"

"Sin-tong...!"

"Bocah ajaib.....!!"

Teringatlah mereka semua dan kini memandang Sin Liong dengan mata terbelalak.

"Mau apa kau datang ke sini?" Thian-tok bertanya dengan suara agak berkurang galaknya.

Sin Liong sudah menjura kepada Ketua Hoa-san-pai, kepada Tee-tok dan lain tokoh yang tadi membela Hoa-san-pai, diikuti oleh Swat Hong. Kemudian Swat Hong berkata kepada Toan Ki dan Swi Nio, "Terima kasih kami haturkan kepada Ji-wi (Kalian Berdua) yang ternyata adalah orang-orang gagah yang pantas dipuji dan dikagumi kesetiaan dan kegagahannya. Sekarang saya harap Ji-wi suka mengembalikan pusaka-pusaka itu kepadaku."

Toan Ki dan Swi Nio menjura dan Toan Ki menjawab, "Harap Lihiap suka menanti sebentar."

Kemudian pergilah dia bersama Swi Nio ke sebelah dalam, diikuti pandang mata ketua Hoa-sanpai yang menjadi terheran-heran.

"Mau apa kalian dua orang muda datang ke sini?" kembali Thian-tok bertanya.

"Harap Lo-cianpwe ketahui bahwa kami berdua adalah penghuni Pulau Es yang datang untuk mengambil kembali pusaka Pulau Es. Pusaka itu adalah milik Pulau Es dan harus dikembalikan ke sana."

"Penghuni Pulau Es...??!"

Suara ini bukan hanya keluar dari mulut para tamu, tetapi juga dari pihak Hoa-san-pai dan mereka yang membelanya, kecuali Tee-tok Siangkoan Houw yang sudah tahu akan keadaan pemuda dan pemudi itu. Tak lama kemudian muncullah Toan Ki dan Swi Nio.

Toan Ki membawa bungkusan yang dulu dia terima dari Swat Hong, lalu menyerahkan bungkusan itu kepada Swat Hong sambil menjura dan berkata, "Dengan ini kami mengembalikan pusaka yang Lihiap titipkan kepada kami dengan hati lega!" Memang hatinya lega dan girang sekali dapat terlepas dari tanggung-jawab yang amat berat itu.

Swat Hong membuka dan meneliti pusaka-pusaka itu. Melihat bahwa pusaka itu masih lengkap, dia makin kagum. "Suheng tidak pantas kalau kita tidak membalas budi mereka ini."

Sin Liong tersenyum, mengangguk, kemudian matanya beralih kepada Thian-tok dan lain tamu yang masih memandang dengan bengong dan kini dari mata mereka itu terpancar ketegangan dan keinginan besar. Setelah pusaka Pulau Es yang terkenal itu tampak di depan mata, mana mungkin mereka mundur begitu saja tanpa usaha untuk mendapatkannya?

Sin Liong kemudian berkata, "Cu-wi Lo-cianpwe jauh-jauh datang ke sini, harap suka memaklumi bahwa pusaka-pusaka ini telah kembali ke pemiliknya dan akan dikembalikan ke Pulau Es. Maka kami berdua mengharap sudilah Cu-wi tidak mengganggu lagi Hoa-san-pai dan suka meninggalkan tempat ini."

"Kami harus mendapatkan pusaka itu!"

"Kami juga!"

"Kami minta bagian!"

Teriakan-teriakan itu terdengar riuh rendah.

Sin Liong lalu berkata lagi dengan halus, "Kami berdua akan berada di sini selama tiga hari, kemudian kami akan meninggalkan Hoa-san-pai. Kalau kita tidak berada di sini, masih belum terlambat bagi kita untuk bicara lagi tentang pusaka. Amatlah tidak baik bagi nama Cu-wi Lo-cianpwe kalau mengganggu Hoa-san-pai yang sama sekali tidak tahu-menahu tentang hal ini. Nanti kalau kami sudah meninggalkan Hoa-san-pai, boleh kita bicara lagi."

Melihat sikap orang-orang Hoa-san-pai, dan sekarang sudah jelas bahwa pusaka itu berada di tangan Sin-tong dan dara muda itu, Thian-tok lalu mendengus dan berkata, "Baik, kami menanti di bawah bukit. Kalian berdua tidak akan dapat terbang berlalu."

Pergilah mereka itu meninggalkan Hoa-san-pai. Akan tetapi semua orang tahu belaka bahwa mereka tentu akan mengurung tempat itu dan tidak akan membiarkan Sin Liong dan Swat Hong lolos dari situ membawa pergi pusaka-pusaka Pulau Es yang amat mereka inginkan itu.

Sin Liong lalu menjura kepada ketua Hoa-san-pai, para tokoh Hoa-san-pai, Toan Ki dan Swi Nio, juga kepada Tee-tok dan mereka yang tadi membela Hoa-san-pai, kemudian berkata, "Terutama kepada Saudara Liem Toan Ki dan Nyonya, sudah sepantasnya kalau kami meninggalkan sedikit ilmu untuk Jiwi pelajari. Dan kepada para Lo-cianpwe, kiranya akan ada manfaatnya kalau saya melayani para Lo-cianpwe main-main sedikit untuk memperluas pengetahuan ilmu silat."

Semua orang menjadi ragu-ragu karena tidak tahu akan maksud hati pemuda yang aneh itu, akan tetapi Tee-tok Siangkoan Houw sudah tertawa bergelak lalu meloncat ke halaman depan. "Marilah, ingin aku tua bangka ini memperdalam sedikit kepandaianku!"

Sin Liong tersenyum, lalu melangkah perlahan ke pekarangan. "Silakan Siangkoan Lo-cianpwe menggunakan Pek-liu-kun (Ilmu Silat Tangan Geledek)!" katanya tenang. "Harap Lo-cianpwe jangan sungkan dan keluarkanlah jurus-jurus simpanan dari Pek-liu-kun!"

Tee-tok sudah maklum akan kehebatan pemuda ini. Setelah dua tahun tidak jumpa, kini sikap pemuda ini luar biasa sekali, bahkan dengan kata-kata biasa saja pemuda itu sudah mengundurkan semua orang yang tadi sudah bersitegang hendak menggunakan kekerasan. Dia dapat menduga bahwa bukanlah percuma pemuda ini mengajak dia berlatih silat, tentu ada niat-niat tertentu. Karena dia merasa bahwa dia tidak mempunyai maksud jahat dan tadi membela pusaka Pulau Es dengan sungguh hati, dia kini pun tanpa ragu-ragu lagi lalu mengeluarkan gerengan keras dan tubuhnya berkelebat ke depan. Dengan sepenuh tenaga dan perhatiannya, dia menyerang pemuda itu dengan jurus-jurus simpanan dari Ilmu Silat Pek-lui-kun yang dahsyat.

"Haiiittt... eihhh..?!"

Bukan main heran dan kagetnya ketika ia melihat pemuda itu menghadapi dengan gerakan-gerakan yang sama! Tiap jurus yang dimainkannya, dihadapi oleh Sin Liong dengan jurus yang sama pula dan dipakai sebagai serangan balasan namun dengan cara yang sedemikian hebatnya sehingga jurus yang dimainkannya itu tidak ada artinya lagi! Jurus yang dimainkan oleh pemuda itu untuk menghadapinya jauh lebih ampuh, dan sekaligus menutup semua kelemahan yang ada, menambah daya serang yang amat hebat sehingga dalam jurus pertama saja, kalau pemuda itu menghendaki, tentu dia sudah dirobohkan sungguh pun dia sudah hafal benar akan jurusnya sendiri itu!

Bukan main girang hati kakek itu. Dia terus menyerang lagi dengan jurus lain, dan tanpa sisa dia menggunakan delapan belas jurus terampuh dari Pek-lui-kun dan yang kesemuanya selain dapat dihindarkan dengan baik oleh Sin Liong, juga telah dengan sekaligus ‘diperbaiki’ dengan sempurna. Semua gerakan ini dicatat oleh Tee-tok dan setelah dia selesai mainkan delapan belas jurus pilihan itu, dia melangkah mundur dan menjura sangat dalam ke arah Sin Liong.

"Astaga... kepandaian Taihiap seperti dewa saja.... Saya... saya menghaturkan banyak terima kasih atas petunjuk Taihiap....." katanya agak tergagap.

"Ah, Lo-cianpwe terlalu merendah," jawab Sin Liong.

Tee-tok lalu menjura ke arah ketua Hoa-san-pai dan yang lain-lain, seketika pamit dan pergi dengan langkah lebar dan wajah termenung karena dia masih terpesona dan mengingat-ingat gerakan-gerakan baru yang menyempurnakan delapan belas jurus pilihannya tadi!

Lam-hai Sengjin bukan seorang bodoh. Dia adalah seorang tokoh kawakan yang berilmu tinggi. Melihat peristiwa tadi, tahulah dia bahwa pemuda ini memang bukan orang sembarangan dan agaknya telah mewarisi ilmu mukjijat yang kabarnya dimiliki oleh penghuni Pulau Es. Maka dia tidak mau menyia-nyiakan kesempatan itu dan dia sudah meloncat maju dengan senjata hudtim dan kipasnya.

"Orang muda yang hebat, kau berilah petunjuk kepadaku!"

"Totiang, muridmu Kwee Lun Toako adalah sahabat baik kami, harap Totiang sudi mengajarnya baik-baik," jawab Sin Liong dan dia pun segera menghadapi serangan kipas dan hudtim dengan kedua tangannya.

Biar pun dia tidak menggunakan kedua senjata itu, namun kedua tangannya digerakkan seperti kedua senjata itu, dan dia pun mainkan jurus-jurus yang sama, namun gerakannya jauh lebih hebat, bahkan sempurna. Seperti juga tadi, kakek ini memperhatikan dan dia telah menghafal dua puluh jurus campuran ilmu hudtim dan kipas.

"Terima kasih, terima kasih.... Siancai, pengalaman ini takkan kulupakan selamanya."

Dia menjura kepada yang lain lalu berlari pergi.

"Totiang, sampaikan salamku kepada Kwee-toako!" seru Swat Hong, akan tetapi kakek itu hanya mengangguk tanpa menoleh karena dia pun sedang mengingat-ingat semua jurus tadi agar tidak sampai lupa.

Berturut-turut Gin-siauw Siucai juga menerima petunjuk ilmu silat suling perak dan mauwpit-nya, kemudian ketua Hoa-san-pai juga menerima petunjuk ilmu pedang Hoa-san Kiam-sut.

Para tokoh kang-ouw yang mengurung tempat itu di lereng puncak, terheran-heran melihat tiga orang tokoh itu meninggalkan puncak seperti orang yang termenung. Akan tetapi diam-diam mereka menjadi girang karena tiga orang lihai itu tidak membantu atau mengawal muda-mudi Pulau Es yang mereka hadang.

Tiga hari lamanya Sin Liong dan Swat Hong tinggal di Hoa-san, setiap hari menurunkan ilmu-ilmu tinggi kepada Toan Ki dan Swi Nio sehingga kedua orang suami isteri ini kelak akan menjadi tokoh-tokoh kenamaan dan mengangkat nama Hoa-san-pai sebagai partai persilatan yang besar dan lihai. Pada hari ke empatnya, pagi-pagi mereka meninggalkan markas Hoa-san-pai, diantar sampai ke pintu gerbang oleh ketua Hoa-san-pai, Toan Ki, Swi Nio dan para pimpinan Hoa-san-pai.

"Taihiap, Lihiap, pinto khawatir Jiwi akan mengalami gangguan di jalan. Menurut laporan para anak murid pinto, orang-orang kang-ouw itu masih menanti di lereng gunung," Pek Sim Tojin berkata dengan alis berkerut. "Bagaimana kalau kami mengantar Ji-wi sampai melewati mereka dengan selamat?"

Sin Liong tersenyum. "Terima kasih, Lo-cianpwe. Akan tetapi, menghindari mereka berarti membuat mereka terus merasa penasaran. Sebaliknya malah kalau kami berdua menemui mereka dan membereskan persoalan seketika juga."

Toan Ki dan Swi Nio yang selama tiga hari menerima petunjuk dari Sin Liong, telah menaruh kepercayaan penuh akan kesaktian pemuda Pulau Es ini, maka mereka tidak merasa khawatir. Mereka maklum bahwa pemuda dan gadis dari Pulau Es itu bukanlah manusia sembarangan, apa lagi pemuda itu memiliki wibawa yang tidak lumrah manusia. Gerak-geriknya demikian penuh kelembutan, penuh belas kasih sehingga tidaklah mungkin dapat terjadi sesuatu yang buruk menimpa seorang manusia seperti ini!

Memang benar seperti yang dilaporkan oleh anak buah Hoa-san-pai bahwa para tokoh kang-ouw itu masih menghadang di lereng puncak, dipelopori oleh Thian-tok. Thian-tok yang tadinya mengandalkan kepandaiannya sendiri, setelah menyaksikan betapa pemuda dan dara Pulau Es itu telah mendapatkan kembali pusaka-pusakanya, diam-diam telah mengajak semua tokoh lain bersekutu dengan janji bahwa kalau pusaka dapat dirampas, dia akan memberi bagian kepada mereka semua. Terutama yang menjadi pembantunya sebagai orang ke dua adalah Thian-he Tee-it Ciang Ham yang tingkat kepandaiannya hanya berselisih atau kalah sedikit saja dibandingkan dengan kepandaian Racun Langit itu.

Maka ketika Sin Liong yang membawa pusaka di punggungnya bersama Swat Hong berjalan perlahan dan tenang melalui tempat itu, segera para tokoh kang-ouw itu muncul dan telah mengurung dua orang muda itu dengan ketat, mempersiapkan senjata masing-masing dengan sikap mengancam.

Sin Liong menggeleng-gelengkan kepala. "Hal itu tidak bisa dilakukan, Cu-wi Lo-cianpwe. Pusaka-pusaka ini adalah milik Pulau Es turun-temurun, mana mungkin sekarang diserahkan kepada orang lain? Setelah kami berdua berhasil menemukannya kembali, kami harus mengembalikannya kepada Pulau Es, tempatnya semula. Maka harap Cu-wi suka memaklumi hal ini dan tidak memaksa kepada kami."

"Orang muda yang keras kepala! Kalau kami memaksa, bagaimana?"

"Terserah kepada Cu-wi sekalian. Sumoi, harap Sumoi suka pergi dulu ke pinggir, jangan menghalangi para Lo-cianpwe ini."

Swat Hong mengangguk dan tersenyum, kemudian tubuhnya berkelebat dan terkejutlah semua orang kang-ouw itu ketika melihat gadis itu meloncat seperti terbang saja, melayang melalui kepala mereka dan kini telah berdiri di luar kepungan! Sungguh merupakan bukti kepandaian ginkang (Ilmu meringankan tubuh) yang amat hebat!

Sin Liong sengaja menyuruh sumoi-nya pergi keluar dari kepungan karena tidak menghendaki sumoi-nya itu naik darah dan turun tangan menggunakan kekerasan terhadap orang-orang kang-ouw ini. Setelah kini melihat sumoi-nya keluar dari kepungan, dia lalu menyilangkan kedua lengannya di depan dada, berkata, "Silakan kepada Cu-wi apa yang hendak Cu-wi lakukan setelah jelas kukatakan bahwa Pusaka Pulau Es tidak akan kuberikan kepada Cu-wi."

Melihat sikap tenang dan penuh tantangan ini, para tokoh kang-ouw menjadi marah juga. Pemuda itu tidak memegang senjata, berdiri dalam kepungan dan pusaka itu berada di dalam buntalan yang berada di punggungnya. Maka serentak orang-orang kang-ouw yang sudah mengilar dan ingin sekali merampas pusaka itu menerjang maju dan berebut hendak menyerang Sin Liong dan mengulur tangan hendak merampas buntalan. Pemuda itu hanya berdiri tersenyum, berdiri tegak dan menyilangkan kedua lengannya sambil memandang tanpa berkedip mata.

"Ahhh...!"

"Hayaaa....!"

"Aihhhh....!"

Semua orang terhuyung-huyung mundur karena belum juga tangan mereka menyentuh pemuda itu, hati mereka sudah lemas dan luluh menghadapi wajah yang tersenyum itu. Tangan mereka seperti lumpuh dan tenaga mereka seperti lenyap seketika membuat mereka terhuyung dan hampir jatuh saling timpa!

Thian-tok dan Thian-he Tee-it menjadi kaget dan marah sekali melihat keadaan teman-teman mereka itu. Kedua orang berilmu tinggi ini memang membiarkan teman-teman mereka turun tangan lebih dulu untuk menguji kepandaian pemuda yang keadaannya amat mencurigakan karena terlampau tenang itu. Kini melihat betapa teman-temannya mundur tanpa pemuda itu menggerakkan sebuah jari tangan pun, kedua orang itu terkejut, marah dan penasaran. Thian-tok menerjang ke depan dengan senjata Kim-kauw-pang di tangannya, sedangkan Ciang Ham juga sudah meloncat dekat dengan senjata tombak di tangan.

"Orang muda, serahkan pusaka itu!" Thian-tok membentak.

"Sin-tong, jangan sampai terpaksa aku menggunakan tombak pusakaku!" Ciang Ham juga menghardik.

Akan tetapi Sin Liong tetap tidak bergerak, hanya berkata, "Terserah kepada Ji-wi Lo-cianpwe. Ji-wi yang melakukan dan Ji-wi pula yang menanggung akibatnya."

"Keras kepala!" Thian-tok membentak dan tongkatnya yang panjang sudah menyambar ke arah kepala pemuda itu.

Sin Liong sama sekali tidak mengelak, bahkan berkedip pun tidak ketika melihat tongkat itu menyambar ke arah kepalanya, disusul tombak di tangan Thian-he Tee-it Ciang Ham yang menusuk ke arah lambungnya.

"Desss! Takkkk!!"

"Aihhh......!"

"Heiiii....!"

Thian-tok Bhong Sek Bin dan Thian-he Tee-it Ciang Ham berteriak kaget dan meloncat ke belakang. Tongkat itu tepat mengenai kepala dan tombak itu pun tepat menusuk lambung, namun kedua senjata itu terpental kembali seperti mengenai benda yang amat kuat, bahkan telapak tangan mereka terasa panas! Tentu saja mereka merasa penasaran, biar pun ada rasa ngeri di dalam hati mereka. Pada saat itu, orang-orang kang-ouw lainnya yang melihat betapa dua orang lihai itu sudah menyerang dengan senjata, juga menyerbu ke depan.

Sin Liong tetap diam saja ketika belasan batang senjata yang bermacam-macam itu datang bagaikan hujan menimpa tubuhnya. Semua senjata tepat mengenai sasaran, akan tetapi tidak ada sedikit kulit tubuh pemuda itu yang lecet, kecuali pakaiannya yang robek-robek dan orang-orang itu terpelanting ke sana-sini, bahkan ada yang terpukul oleh senjata mereka sendiri yang membalik. Makin keras orang menyerang, makin keras pula senjata mereka membalik. Bahkan Thian-tok sudah mengelus kepalanya yang benjol terkena kemplangan tongkatnya sendiri, sedangkan paha Ciang Ham berdarah karena tombaknya pun membalik tanpa dapat ditahannya lagi ketika mengenai tubuh Sin Liong untuk yang kedua kalinya.

Ketika mereka memandang dengan mata terbelalak kepada Sin Liong, mereka melihat pemuda itu masih tersenyum-senyum, masih berdiri tegak dengan kedua lengan bersilang di depan dada, hanya bedanya, kini pakaiannya robek-robek dan penuh lubang. Thian-tok dan Thian-he Tee-it adalah orang-orang yang terkenal di dunia persilatan sebagai tokoh-tokoh besar yang sudah banyak mengalami pertempuran. Mereka tahu pula bahwa orang yang memiliki sinkang amat kuat dapat menjadi kebal, akan tetapi selama hidup mereka belum pernah menyaksikan kekebalan seperti yang dihadapi mereka sekarang ini. Kekebalan yang agaknya tanpa disertai pengerahan tenaga. Apa lagi melihat cahaya aneh seperti melindungi tubuh pemuda itu, mereka maklum bahwa pemuda ini bukan orang sembarangan. Tanpa melawan saja pemuda ini telah membuat mereka tidak berdaya, betapa hebatnya kalau pemuda ini mengangkat tangan membalas!

"Maafkan kami...!" Thian-tok berseru lalu melompat dan berlari pergi.

"Sin-tong, maafkan...!" Ciang Ham juga berkata lalu menyeret tombaknya, terpincang-pincang pergi dari situ.

Melihat kedua orang yang diandalkan itu lari, para tokoh lain yang memang sudah merasa ngeri dan jeri tentu saja cepat membalikkan tubuh dan berserabutan lari dari situ meninggalkan Sin Liong yang masih berdiri tegak di tempat itu.

Swat Hong lari menghampiri suheng-nya, lalu memeluk suheng-nya itu. "Suheng..., kau tidak apa-apa...?" tanyanya.

Sin Liong menggeleng kepala dan tersenyum.

"Pakaianmu hancur...."

"Pakaian rusak mudah diganti, akhlak yang rusak lebih menyedihkan lagi karena mendatangkan mala-petaka."

"Suheng, kau...."

"Ada apakah, Sumoi...?"

Swat Hong menggelengkan kepala dan dia melepaskan rangkulannya, melangkah mundur dua tindak dan memandang suheng-nya dengan pandang mata penuh takjub dan juga jeri. "Suheng, kau... kau berbeda dari dulu...."

"Aih, Sumoi, aku tetap Sin Liong suheng-mu yang dahulu."

"Tidak, tidak...! Kau berbeda sekali. Ilmu apakah yang kau pergunakan tadi? Mendiang Ayahku sekali pun tidak pernah memperlihatkan ilmu mukjijat seperti itu...."

"Apakah keanehannya, Sumoi? Ilmu yang berdasarkan kekerasan tentu hanya mengakibatkan pertentangan dan kerusakan belaka, dan setiap bentuk kekerasan hanya akan mecelakakan diri sendiri."

"Suheng, ajarilah aku ilmu tadi...."

"Tidak ada yang bisa mengajar, kelak kau akan mengerti sendiri, Sumoi. Marilah kita lanjutkan perjalanan kita."

Setelah berkata demikian, Sin Liong memegang tangan sumoi-nya dan terdengar jerit tertahan dara itu ketika dia merasa bahwa dia dibawa lari oleh suheng-nya dengan kecepatan seperti terbang saja! Dia sendiri adalah seorang ahli ginkang yang memiliki ilmu berlari cepat cukup luar biasa, akan tetapi apa yang dialaminya sekarang ini benar-benar seperti terbang, atau seperti terbawa oleh angin saja! Makin yakinlah hatinya bahwa suheng-nya telah menjadi seorang yang amat luar biasa kesaktiannya, menjadi seorang manusia dewa!
********************
Gerakan pembalasan yang dilakukan oleh Kaisar Kerajaan Tang yang baru, yaitu kaisar Su Tiong, yang dilakukan dari Secuan, amat hebat. Gerakan pembalasan untuk merampas kembali ibu kota Tiang-an dari tangan pemberontak ini dibantu oleh pasukan yang dapat dikumpulkan di Tiongkok bagian barat, dibantu pula oleh pasukan Turki, bahkan pasukan Arab. Dengan bala tentara yang besar dan kuat, Kaisar Su Tiong melakukan serangan balasan terhadap pemerintah pemberontak yang tidak lagi dipimpin oleh An Lu Shan karena jenderal pemberontak itu telah tewas.

Perang hebat terjadi selama sepuluh tahun, dan di dalam perang ini, para pemberontak dapat dihancurkan dan kota demi kota dapat dirampas kembali sampai akhirnya ibu kota dapat direbut kembali oleh Kaisar Su Tiong. Di dalam perang ini, Han Bu Ong putera The Kwat Lin yang bersama orang-orang kerdil membantu pemerintah pemberontak, tewas pula dalam pertempuran hebat sampai tidak ada satu pun orang kerdil tinggal hidup.

Dalam tahun 766 berakhirlah perang yang mengorbankan banyak harta dan nyawa itu, namun kerajaan Tang telah menderita hebat sekali akibat perang yang mula-mula ditimbulkan oleh pemberontak An Lu Shan itu. Kematian yang diderita rakyat, pembunuhan-pembunuhan biadab yang terjadi di dalam perang selama pemberontakan ini adalah yang terbesar menurut catatan sejarah. Menurut catatan kuno, tidak kurang dari tiga puluh lima juta manusia tewas selama perang yang biadab itu!

Bukan hanya kerugian harta dan nyawa saja, akan tetapi juga setelah perang berakhir, Kerajaan Tang kehilangan banyak kekuasaan atau kedaulatannya! Bantuan-bantuan yang diterima oleh Kaisar di waktu merebut kembali kerajaan, membuat Kaisar terpaksa membagi-bagi daerah kepada para pembantu yang diangkat menjadi gubernur-gubernur yang lambat laun makin besar kekuasaannya dan seolah-olah menjadi raja-raja kecil yang berdaulat sediri. Di samping itu, pemberontak An Lu Shan membentuk pasukan-pasukan yang ketika pemberontak dihancurkan, melarikan diri ke perbatasan dan menjadi pasukan-pasukan liar yang selalu merupakan gangguan terhadap kekuasaan pemerintah.

Demikianlah, dengan dalih apa pun juga, pemberontakan lahiriah hanya mendatangkan kerusakan dan mala-petaka, karena tidaklah mungkin perdamaian diciptakan oleh perang! Menurut sejarah di seluruh dunia, tidak pernah ada revolusi jasmani mendatangkan perdamaian dan kesejahteraan. Kiranya hanyalah revolusi batin, revolusi yang terjadi di dalam diri setiap orang manusia, yang akan dapat mengubah keadaan yang menyedihkan dari kehidupan manusia di seluruh dunia ini.
********************
Dengan tewasnya Han Bu Hong di dalam perang itu, maka habislah semua tokoh yang keluar dari Pulau Es dan Pulau Neraka. Yang tinggal hanyalah Sin Liong dan Swat Hong berdua saja. Akan tetapi kedua orang ini pun sudah kembali ke Pulau Es dan semenjak peristiwa di Hoa-san-pai itu, tidak ada lagi yang tahu bagaimana keadaan kedua orang itu dan di mana adanya mereka! Yang jelas, Pulau Es masih ada dan kedua orang suheng dan sumoi yang saling mencinta itu pun masih hidup.

Buktinya, beberapa tahun kemudian kadang-kadang mereka itu muncul sebagai manusia-manusia sakti menyelamatkan belasan orang nelayan yang perahunya diserang badai. Di dalam kegelapan selagi badai mengamuk dahsyat itu, ketika perahu-perahu mereka dipermainkan badai dan nyaris terguling, tiba-tiba muncul sebuah perahu kecil yang didayung oleh seorang pria berpakaian putih dan seorang wanita cantik, dan kedua orang ini dengan kesaktian luar biasa menggunakan tali untuk menjerat perahu-perahu itu kemudian menariknya ke luar dari daerah yang diamuk badai!

Apakah mereka itu Sin Liong dan Swat Hong, tidak ada orang yang mengetahuinya karena setiap kali muncul menolong para nelayan dan para penghuni pulau-pulau yang berada di utara, kedua orang itu tidak pernah memperkenalkan nama mereka. Kalau benar mereka itu adalah Sin Liong dan Swat Hong, bagaimanakah jadinya dengan mereka? Apakah suheng dan sumoi yang saling mencinta dan yang telah kembali ke Pulau Es itu langsung menjadi suami isteri? Hal ini pun tidak ada yang tahu, karena agaknya bagi mereka berdua, menjadi suami isteri atau bukan adalah hal yang tidak penting lagi.

Diri mereka telah dipenuhi oleh cinta kasih, bukan cinta kasih yang biasa melekat di bibir manusia pada umumnya, karena cinta kasih seperti itu telah diselewengkan artinya, cinta kasih kita manusia hanya akan mendatangkan kesenangan dan kesusahan belaka dan justeru karena cinta kasih kita itu mendatangkan kesenangan maka dia mendatangkan pula kesusahan karena kesenangan dan kesusahan adalah saudara kembar yang tak mungkin dapat dipisah. Menerima yang satu harus menerima pula yang ke dua, yang mau menikmati kesenangan harus pula mau menderita kesusahan. Tidak! Cinta kasih mereka bukan seperti cinta kasih palsu yang kita punyai!

Pernah ada seorang anak nelayan yang diwaktu malam hari, ketika perahunya diayun-ayun gelombang kecil dan dia sedang menggantikan ayahnya yang tertidur untuk menjaga kail, mendengar nyanyian halus yang dinyanyikan oleh seorang wanita cantik di atas perahu dan yang kelihatan remang-remang di bawah sinar bulan purnama di malam itu. Anak yang cerdas ini masih teringat akan bunyi nyanyian itu seperti berikut:

‘Langit, Bulan dan Lautan kalian mempunyai Cinta Kasih namun tak pernah bicara tentang Cinta Kasih! Kasihanilah manusia yang miskin dan haus akan Cinta Kasih, bertanya-tanya apakah Cinta Kasih itu? Bilamana tidak ada ikatan, tidak ada pamrih dan rasa takut, tidak memiliki atau dimiliki, tidak menuntut dan tidak merasa memberi. Tidak menguasai atau dikuasai, tidak ada cemburu, iri hati tidak ada dendam dan amarah tidak ada benci dan ambisi. Bilamana tidak ada iba diri, tidak mementingkan diri pribadi, bilamana tidak ada Aku barulah ada Cinta Kasih......’

Puluhan tahun, bahkan seratus tahun kemudian di dunia kang-ouw timbul semacam cerita setengah dongeng tentang seorang manusia dewa yang mereka sebut Bu Kek Siansu, seorang laki-laki tua yang sederhana namun yang pribadinya penuh cinta kasih, cinta kasih terhadap siapa pun dan apa pun. Bu Kek Siansu yang dikenal sebagai tokoh Pulau Es dan menurut cerita tradisi dari keturunan tokoh-tokoh seperti Tee-tok Siangkoan Houw, Lam-hai Sengjin dan muridnya, Kwee Lun, Gin-siauw Siucai, tokoh-tokoh Hoa-san-pai, katanya bahwa Bu Kek Siansu itu adalah anak yang dahulu disebut Sin-tong (Anak Ajaib), yaitu pemuda Kwa Sin Liong yang menghilang bersama sumoi-nya, Han Swat Hong, dan yang kabarnya menetap di Pulau Es, tidak pernah lagi terjun ke dunia ramai.

Dan memang seorang manusia seperti Bu Kek Siansu tidak pernah mau menonjolkan diri, selalu bergerak tanpa pamrih, hanya digerakan oleh cinta kasih. Maka kita pun tidak mungkin dapat mengikuti seorang manusia seperti Bu Kek Siansu, dan hanya kadang-kadang saja dapat melihat muncul di antara orang banyak, dan di dalam dunia persilatan, Bu Kek Siansu akan muncul di dalam ceritera ‘Suling Emas’. Demikianlah, terpaksa pengarang menutup cerita ‘Bu Kek Siansu’ ini yang hanya dapat menceritakan pengalaman pemuda Kwa Sin Liong sewaktu dia belum menjadi seorang Bu Kek Siansu, sewaktu dia belum memiliki cinta kasih sehingga masih diombang-ambingkan oleh suka dan duka dalam kehidupannya.

Dengan mengenangkan isi nyanyian yang dinyanyikan oleh anak nelayan itu, penulis mengajak para Pembaca Budiman untuk sama-sama mempelajari dan mudah-mudahan kita pun akan memiliki Cinta Kasih melalui pengenalan diri pribadi. Teriring salam bahagia dari pengarang dan sampai jumpa kembali di lain cerita.
T A M A T

(Bagian Kedua Serial BU KEK SIANSU)
LihatTutupKomentar