Bu Kek Siansu Jilid 11
Kwee Lun tertawa-tawa bergelak dan Swat Hong juga tertawa. Keduanya merasa lucu dan gembira karena mendapatkan seorang teman yang cocok wataknya!
"Kalau begitu, tidak jauh bedanya dengan perutku! Mari kita cepat pergi. Leng-sia-bun terdapat banyak makanan enak!"
"Tapi .... perahumu itu? Bagaimana kalau ada yang curi nanti ?"
"Hemm, siapa berani mencurinya? Lihat, bentuk perahuku itu. Bentuknya seperti seekor kura-kura, lengkap dengan kepalanya dan ekornya. Melihat itu, semua orang tahu bahwa itu milik Pulau Kura-kura, siapa berani mengganggunya? Perahumu yang berada di dekat perahuku juga aman."
"Wah, kalau begitu nama Suhumu sudah terkenal sekali!"
“Memang, dan sekarang aku akan membuat nama agar sama terkenalnya dengan nama suhu!"
Berangkatlah kedua orang muda itu menuju ke utara, melalui sepanjang pantai itu, lalu mendekati sebuah daerah pegunungan. Mereka menuju ke kota Leng-sia-bun yang letaknya tidak jauh dari pantai laut, tak jauh dari muara sungai Huai. Kota Leng-sia-bun merupakan kota pantai yang ramai dan padat penduduknya. Karena daerah ini merupakan daerah perdagangan yang menampung datangnya hasil bumi dari pedalaman untuk dibawa oleh perahu-perahu ke pantai laut yang lain, juga merupakan pasar besar pagi para nelayan, maka penduduknya cukup makmur. Rumah-rumah besar, toko-toko, hotel-hotel dan restoran-restoran membuktikan kemakmuran kota itu.
Akan tetapi, seperti biasa terjadi dimana pun juga di penjuru dunia dan di jaman apa pun, di kota Leng-sia-bun muncul juga manusia-manusia yang mempergunakan kesempatan untuk mencari keuntungan dan menumpuk harta benda dengan cara yang tidak layak, tidak halal, bahkan tidak mempedulikan lagi nilai-nilai kemanusiaan.Telah bertahun-tahun, di kota itu merajalela komplotan yang dipimpin oleh seorang hartawan bernama Ciu Bo jin dan terkenal dengan sebutan Ciu-wangwe (Hartawan Ciu).
Sebenarnya, tanpa diketahui oleh siapa pun di kota itu, Ciu-wangwe adalah bekas seorang perampok tunggal yang memiliki kepandaian tinggi. Setelah rambutnya mulai putih dan dia berhasil mengumpulkan kekayaan, tinggallah dia di kota Leng-sia-bun menjadi seorang pedagang. Mula-mula dia mendirikan sebuah rumah makan. Setelah rumah makannya maju, dia membuka rumah judi dan rumah penginapan.
Tentu saja dia mengumpulkan bekas teman-temannya dari kalangan hitam untuk bekerja kepadanya dan merangkap menjadi tukang pukul. Akan tetapi Ciu-wangwe melarang keras kepada anak buahnya untuk memperlihatkan sikap kasar dan sewenang-wenang karena dia maklum bahwa itu bukan merupakan cara untuk mengumpulkan kekayaan di sebuah kota.
Dengan licin sekali Ciu-wangwe mempengaruhi para pembesar kota itu dengan jalan sering-kali mengirimkan hadiah kepada mereka. Bahkan bukan uang saja yang dijadikan umpan untuk memancing ikan besar dan menjinakan haimau, akan tetapi dia juga mempergunakan wanita-wanita muda! Terkenallah hotel dan rumah judi yang didirikan Ciu-wangwe karena kedua tempat ini juga merupakan tempat berpelesir di mana disediakan perempuan muda sebagai pelacur-pelacur kelas tinggi! Bahkan restorannya juga amat laris karena di situ bercokol pula beberapa orang pelacur cantik yang melayani para tamu makan minum dan memberi kesempatan kepada para tamu sambil makan minum untuk colek sana-sini!
Biar pun banyak penduduk Leng-sia-bun yang menjadi korban judi, banyak rumah tangga berantakan, namun tidak ada orang yang mampu menyalahkan Ciu-wangwe. Rumah judi, hotel dan restoran yang dibukanya adalah sah dan mendapat restu serta perlindungan dari para pembesar setempat. Bahkan secara terang-terangan, hampir semua pembesar di kota itu menjadi langganan Ciu-wangwe.
Mereka yang gemar berjudi menjadi langganan pokoan (tempat judi) di mana mereka dapat berjudi apa saja sepuasnya. Tentu saja dalam melayani para pembesar berjudi, orang-orang kepercayaan Ciu-wangwe tidak berani main curang, tidak seperti jika melayani kalangan umum, di situ dilakukan kecurangan-kecurangan yang menjamin kemenangan bagi si bandar judi.
Bagi para pembesar yang senang pelesir dengan wanita, mereka mendatangi likoan (hotel) di mana tersedia kamar yang mewah berikut pelacurnya yang tinggal pilih dan mereka memperoleh pelayanan istimewa! Bagi yang mengutamakan lidah dan mulut, tersedia restoran yang menyediakan atau mengirim arak wangi dan masakan lezat!
Kesewenang-wenangan Ciu-wangwe tidaklah tampak atau terasa secara langsung oleh penduduk. Hanya apabila ada orang berani mendirikan tempat judi, restoran atau hotel baru yang menyaingi perusahannya, maka diam-diam tukang pukulnya akan bertindak dan memaksa si pemilik perusahan itu untuk menutup pintu dan menurunkan papan nama perusahan! Boleh orang lain membuka, akan tetapi harus kecil-kecilan dan mengirim ‘pajak’ sebagai penghormatan kepada Ciu-wangwe!
Akan tetapi, beberapa bulan belakangan ini terjadilah kegemparan-kegemparan di daerah kota Leng-sia-bun. Kegemparan yang terasa oleh kaum pria yang doyan pelesir di restoran dan hotel milik Ciu-wangwe. Hanya bedanya, kalau kegemparan para penduduk dusun disertai tangis, adalah kegemparan di hotel-hotel itu diiringi suara ketawa gembira, sungguh pun di malam hari juga mengakibatkan tangis mnyedihkan. Apakah yang terjadi di kedua tempat itu?
Di kota Leng-sia-bun, di dalam hotel milik Ciu-wangwe, kini sering-kali terdapat ‘barang baru’, yaitu pelacur-pelacur muda yang baru. Daun-daun muda seperti ini paling disuka oleh bandot-bandot tua yang tidak segan-segan membuang uang sebanyaknya untuk memetik daun-daun muda itu!
Di dalam tempat-tempat rahasia di belakang hotel, di dalam kamar-kamar gelap sering-kali terjadi hal yang mengerikan di mana seorang gadis remaja dipaksa dan dicambuki, disiksa sampai mereka itu terpaksa menyanggupi untuk dijadikan pelacur dan melayani kaum pria! Dan sekali dara remaja ini melayani seorang tamu, segalanya akan berjalan lancar dan beberapa bulan kemudian perempuan remaja itu akan menjadi seorang pelacur kelas tinggi yang dijadikan rebutan!
Pada waktu yang bersamaan, terjadi geger di dusun-dusun di sekitar daerah itu. Banyak terjadi pembelian gadis-gadis muda, bahkan banyak terjadi penculikan dan perampokan secara terang-terangan dilakukan oleh gerombolan perampok ganas! Keluarga gadis ini melakukan penyelidikan dan mereka akhirnya dapat menemukan anak gadis mereka di Leng-sia-bun, dalam keadaan yang menyedihkan karena sudah menjadi pelacur-pelacur!
Ada pula yang lenyap sama sekali, bahkan ada yang terlunta-lunta sebagai seorang wanita gila! Mereka ini adalah gadis-gadis yang berkeras tidak mau menjadi pelacur. Ada yang disiksa sampai mati, dan ada yang diperkosa dan akhirnya menjadi gila! Tentu saja banyak di antara mereka yang melapor kepada pembesar di Leng-sia-bun, akan tetapi mereka itu malah dimaki-maki karena dianggap menghina Ciu-wangwe.
Dikatakan bahwa anak mereka menjadi pelacur, hal ini adalah orang-tua mereka yang tidak tahu malu dan tak dapat mendidik anak, sekarang ada Ciu-wangwe yang menampung mereka sehingga tidak kelaparan, mengapa mereka itu malah melapor dan menuntut Ciu-wangwe? Mereka yang melaporkan bahwa anak gadisnya di culik orang, dan ternyata anak gadis mereka itu tahu-tahu telah menjadi pelacur di hotel milik Ciu-wangwe, malah dijatuhi hukuman rangket karena menghina Ciu-wangwe.
Laporan mereka itu dianggap fitnah karena tidak ada bukti bahwa anak mereka diculik! Memang ada saja jalan dan alasan para penegak hukum yang telah diperbudak oleh harta yang mereka terima dari Ciu-wangwe itu, di samping suguhan anak-anak perawan hasil penculikan! Untuk melakukan penculikan sendiri, tentu saja para pembesar ini merasa malu. Kini ada yang menculikkan untuk mereka, hati siapa yang takkan senang?
Karena sudah merasa tersudut dan tidak berdaya lagi, akhirnya mereka teringat akan nama besar Lam-hai Seng-jin, Majikan Pulau Kura-kura yang terkenal sebagai seorang pertapa yang suka menolong kesukaran orang lain yang memerlukan pertolongan. Terutama sekali mereka yang mempunyai anak perempuan dan yang merasa gelisah kalau-kalau pada suatu malam akan tiba giliran mereka didatangi penculik yang akan melarikan anaknya. Mereka segera bermufakat untuk minta pertolongan pertapa itu, dan akhirnya berangkatlah serombongan orang menuju ke Pulau Kura-kura.
Lam-hai Seng-jin menerima pelaporan mereka dan merasa kasihan, maka dia mengutus murid tunggalnya yang sudah mewarisi ilmu kepandaiannya untuk mewakilinya menyelidiki dan memberi hajaran kepada komplotan penjahat itu. Juga dia memberi ijin kepada muridnya untuk merantau selama satu tahun. Setelah mendapat banyak nasehat, berangkatlah Kwee Lun seorang diri naik perahu menuju ke daratan besar. Tanpa disangkanya, dia telah berjumpa dengan Han Swat Hong, puteri kerajaan Pulau Es!
Pada hari itu, kota Leng-sia-bun sibuk seperti biasa. Keadaan tetap ramai dan biasa seperti tidak terjadi sesuatu dan seperti tidak akan terjadi sesuatu. Di antara sebagian besar penduduk yang memang sudah tidak memikirkan lagi, tidak ada seorang pun yang tahu, bahwa malam tadi seperti biasa telah terjadi pemerkosaan dara-dara culikan baru seperti sekelompok domba disembelih. Tidak ada pula yang tahu bahwa pagi hari itu muncul dua orang yang akan mendatangkan perubahan besar di kota itu, menimbulkan geger yang akan menggemparkan kota dan akan menjadi bahan cerita sampai bertahun-tahun lamanya.
Setelah menyelidiki di mana letaknya rumah makan milik Ciu-wangwe, Kwee Lun mengajak Swat Hong mendatangi rumah makan itu. Sebuah rumah makan yang bangunannya indah dan besar, dengan cat baru dan di depan rumah makan terdapat tulisan dengan huruf besar ‘Ciu Lau' (Rumah Arak) yang berarti restoran.
"Hong-moi, engkau lapar bukan? Mari kita makan dan minum di sini."
Swat Hong memandang heran. Bukankah ini rumah makan milik Hartawan Ciu yang menjadi pemimpin komplotan penjahat di kota ini yang akan dibasmi Kwee Lun? Dia memandang dan melihat mata pemuda itu bersinar, kemudian Kwee Lun memejamkan sebelah mata penuh arti. Swat Hong tersenyum geli. Mengertilah dia kini. Pemuda itu hendak mengajaknya makan sampai kenyang lebih dulu sebelum turun tangan. Dan memang dia merasa lapar sekali!
"Aku tidak bisa bekerja tanpa makan lebih dulu," pemuda itu berkata lirih ketika mereka memasuki rumah makan dan Swat Hong tersenyum-senyum.
Sepagi itu rumah makan sudah terisi setengahnya oleh mereka yang beruang, karena rumah makan ini terkenal sebagai rumah makan mahal. Dua orang pelayan pria dan wanita menyambut mereka dengan sikap manis. Yang wanita masih muda dan genit, dengan wajah yang ditutup warna putih dan merah yang tebal seperti tembok dikapur dan digambar.
Kwee Lun dan Swat Hong diantar ke sebuah meja kosong di sudut. Dengan suara lantang Kwee Lun memesan makanan dan minuman yang paling lezat dalam jumlah banyak sekali. Para pelayan menjadi terheran-heran mendengar pesanan masakan yang pantasnya untuk menjamu sepuluh orang! Akan tetapi melihat sikap kasar dari pemuda tinggi besar itu, pula melihat dua batang pedang dan kipas yang diletakan di atas meja, mereka tidak berani banyak cakap dan melayani mereka.
Diam-diam seorang pelayan memberi tahu kepada kepala tukang pukul yang berada di dalam. Dua orang tukang pukul yang berpakaian biasa, dan dengan sikap biasa pula, keluar dari dalam dan berjalan lewat dekat meja Kwee Lun dan Swat Hong. Kedua orang tidak peduli dan berpura-pura tidak melihat.
Swat Hong juga melanjutkan makan sambil kadang-kadang tersenyum geli menyaksikan betapa temannya itu makan dengan lahapnya. Dia belum menghabiskan setengah mangkok, Kwee Lun sudah menyapu bersih lima mangkok. Ketika dua orang itu lewat, Swat Hong hanya melirik sebentar. Ia mengerahkan ilmu sehingga telinganya terbuka dan dapat menangkap dengan ketajaman luar biasa ke arah kedua orang yang masih berjalan-jalan di ruangan itu, seolah-olah sedang memeriksa dan kadang-kadang membenarkan letak kursi dan meja yang kosong.
"Aku tidak mengenal mereka," terdengar yang kurus pucat berkata.
"Tapi gadis itu hebat...," kata orang ke dua yang pendek dan berperut gendut. "Kalau dia bisa didapatkan, tentu Loya (Tuan Tu) akan memberi banyak hadiah kepada kita."
"Hushh... apa kau mau menyaingi pekerjaan Tiat-ci-kwi (Setan Berjari Besi)?"
"Ah, siapa tahu dengan cara halus bisa mendapatkan dia...?"
"Tapi pemuda itu kelihatan jantan!"
"Huh, takut apa? Orang kasar seperti itu...."
"Tapi jangan memancing keributan, Lote, kita nanti tentu dimarahi Loya."
"Aku tidak bodoh, mari kita pergunakan cara halus. Lihat, mereka telah selesai makan. Raksasa itu makannya melebihi babi!"
Swat Hong yang sedang minum hampir tersedak karena geli hatinya mendengar temannya yang gembul itu dimaki seperti babi. Akan tetapi Kwee Lun agaknya tidak mempedulikan apa pun. Ia tidak melakukan penyelidikan seperti Swat Hong, tidak mendengar makian itu, maka ia hanya mengelus-elus perutnya yang kenyang. Dia kelihatan puas sekali telah dapat makan minum secukupnya di dalam restoran itu.
Pada saat itu dua orang tukang pukul tadi sudah menghampiri mereka. Yang kurus pucat sudah menjura sambil berkata, "Kami mewakili Ciu-wangwe pemilik restoran ini menghaturkan selamat datang kepada Jiwi."
Sebelum Kwee Lun yang terheran-heran menjawab, si gendut pendek sudah menyambung sambil menyeringai dalam usahanya untuk tersenyum ramah. "Tentu Jiwi datang dari jauh dan lelah. Majikan kami juga memiliki hotel yang paling besar, paling bersih dan paling baik di kota ini, letaknya di sebelah kiri rumah makan ini. Jiwi akan dapat mengaso dengan enak di hotel kami, dan kalau Loya kami mendengar bahwa Jiwi adalah tamu dari jauh, tentu biayanya akan diberi potongan separuhnya."
Kwee Lun sudah mengerutkan alisnya, mukanya merah dan dia seakan-akan memperoleh kesempatan mulai beraksi. "Kalian berani mengganggu kami yang sedang makan...?"
Mendadak kakinya tertendang ujung kaki Swat Hong. Ketika dia memandang, dia melihat isyarat dalam sinar mata gadis itu, maka dia hanya mengerutkan alis dan tidak melanjutkan kata-katanya. Swat Hong sendiri segera berkata kepada dua orang itu dengan suara ramah dan sikap manis, "Kalian sungguh ramah, tentu majikan kalian adalah seorang yang mengenal pribudi. Baik, kami memang hendak bermalam barang dua hari di kota ini. Akan tetapi melihat keramahan kalian, aku ingin bertemu dengan majikan kalian untuk menghaturkan terima kasih."
Dua orang itu saling pandang. "Marilah kami antarkan Nona dan Tuan agar memperoleh kamar yang paling baik di hotel, kemudian kami akan melapor kepada majikan kami...."
"Tidak usah repot-repot!" Swat Hong berkata cepat. "Temanku ini masih hendak melanjutkan makan minum.... Heiii, pelayan! Tambah araknya! Biarlah saya yang menemui majikan kalian dan memilih kamar di hotel sebelah. Kami sudah mendengar tentang kebaikan hati majikan kalian dari pembesar-pembesar di kota ini, dan kami memang ingin minta pekerjaan. Aku ingin bekerja apa saja yang pantas dan temanku itu..., dia tentu bisa menjadi seorang penjaga keselamatan.”
Dapat dibayangkan betapa girangnya hati kedua orang itu. Sudah terbayang di depan mata betapa mereka akan menerima pujian berikut hadiah dari Ciu-wangwe. Seorang nona begini cantik jelita seperti bidadari, tanpa susah payah datang sendiri ke depan mulut, tinggal membuka mulut dan mencaplok saja! Ciu-wangwe tentu senang sekali, bukan untuk hartawan itu sendiri yang kesenangannya bukan memeluk wanita cantik, melainkan untuk menyenang hati para pembesar setempat. Ciu-wangwe sendiri kesenangannya hanya satu, yaitu uang dan kedudukan!
"Bagus sekali kalau begitu, Nona! Kebetulan pada saat ini Ciu-wangwe sedang menjamu pembesar yang paling terhormat di kota ini. Mereka sedang berpesta di ruangan belakang hotel kami. Mari kami antar Nona ke sana!"
"Tidak usah, kalian di sini saja melayani temanku!" sambil berkata demikian Swat Hong sudah bangkit berdiri.
Cepat laksana kilat kedua tangannya bergerak seperti seorang wanita yang menepuk-nepuk pundak kedua orang itu dengan ramahnya. Akan tetapi dapat dibayangkan betapa kaget rasa hati kedua orang tukang pukul itu ketika tiba-tiba tubuh mereka menjadi lemas dan kaki tangan mereka tak dapat digerakkan lagi.
"Ha-ha, duduklah kalian, mari temani aku minum arak!"
Kwee Lun yang dapat melihat gerakan temannya itu cepat bangkit berdiri. Kakinya bergerak dan kedua lutut mereka telah terkena tendangan ujung sepatunya sehingga terlepas sambungannya. Sambil tersenyum Kwee Lun sudah mendudukkan mereka di atas bangku di kanan-kirinya!
Para tamu hanya melihat empat orang itu seperti beramah tamah, maka mereka tidak tertarik lagi, hanya tertarik kepada Swat Hong yang memang sejak tadi telah menjadi perhatian pandang mata para tamu pria yang berada di dalam restoran. Mereka menahan napas melihat dara cantik jelita itu dengan langkah gontai meninggalkan restoran, membawa dua batang pedang dan sebuah kipas.
"Aku pinjam dulu ini!" kata Swat Hong tadi kepada Kwee Lun yang hanya memandang dengan terheran-heran melihat kedua senjatanya dibawa pergi oleh Swat Hong. "Agar kau tidak kesalahan membunuh orang!" kata pula Swat Hong sehingga Kwee Lun tersenyum.
Kiranya gadis itu tidak ingin melihat dia membunuh orang, maka sengaja membawa pergi kedua senjatanya. Di dalam hatinya dia mentertawakan Swat Hong. Apakah tanpa kedua senjata itu kaki dan tanganku tidak mampu membunuh orang? Pula, apakah dia seekor harimau yang haus darah? Biarlah, pikirnya. Gadis itu masih belum percaya kepadanya, dan dia akan memperlihatkan kelihaiannya tanpa bantuan senjata.
Sambil tertawa-tawa kepada dua orang tukang pukul yang duduk seperti boneka dan tak mampu bergerak itu, Kwee Lun melanjutkan minum arak. Karena hawa mulai panas disebabkan oleh hawa arak, pemuda perkasa ini melepaskan kancing bajunya sehingga tampak rambut halus di tengah dadanya yang bidang dan kokoh kuat itu.
Tiba-tiba seorang pelayan menghampiri meja Kwee Lun. Pelayan ini tadi melihat ketidak-wajaran pada kedua tukang pukul yang duduk berhadapan dengan pemuda itu. Mengapa mereka tidak bergerak-gerak dan duduk dengan lemas? Ketika dia bertemu pandang, tukang pukul yang gendut pendek itu mengejapkan mata kepadanya, sedangkan dari kedua mata tukang pukul kurus pucat itu keluar dua titik air mata. Maka dia cepat menghampiri dan melihat dari dekat.
"Mau apa kau? Pergi!" Kwee Lun membentak.
Pelayan itu kaget sekali, lalu lari pergi masuk ke dalam untuk melaporkan keanehan itu kepada kepala tukang pukul yang lain.
Kwee Lun bukanlah seorang yang bodoh. Dia maklum bahwa pelayan itu telah melihat keadaan dan tentu akan melapor ke dalam. Maka dia memandang ke sekeliling dan mencari akal. Ketika dia melihat segulung tambang yang besar dan kuat, timbullah akalnya. Dia bangkit berdiri, melangkah lebar ke dekat meja pengurus, menyambar gulungan tambang itu dan berkata dengan suara lantang yang ditujukan kepada para tamu yang duduk di ruangan restoran itu, "Semua orang yang berada di dalam restoran ini harap lekas pergi! Restoran ini akan ambruk!"
Kemudian sekali melompat tubuhnya telah berada di luar restoran. Dia ikatkan ujung tambang ke pilar di depan, pilar yang ikut menyangga atap, kemudian dia membawa ujung tambang yang lain ke jalan depan restoran. Dengan memegang ujung tambang, mulailah pemuda raksasa ini menarik tambang, melalui atas pundak kanannya yang menonjolkan otot besarnya yang amat kuat.
Tambang besar itu menegang, kemudian terdengar suara berkerotok. Orang-orang sudah mulai lari ke luar rumah makan itu dan mereka ada yang ketawa geli menyaksikan pemuda itu menarik tambang. Tentu pemuda itu sudah mabok, pikir mereka. Mana mungkin merobohkan bangunan yang besar itu dengan cara demikian? Menarik tambang yang diikatkan pada pilar yang demikian besar dan kuatnya, kalau tidak mabok tentu sudah gila!
Memang membutuhkan tenaga gajah untuk dapat menumbangkan pilar yang sedemikian kokohnya. Kwee Lun mengerahkan tenaga, matanya terbelalak, dahinya penuh keringat dan mulutnya mengeluarkan gerengan yang langsung keluar dari dalam pusarnya. Seluruh tubuhnya menarik tambang dengan pemusatan perhatian dan tenaga.
"Krakkk...!" pilar yang kokoh kuat itu patah tengahnya!
Orang-orang berteriak kaget dan mulai berlari-lari ketakutan. Terdengar bunyi hiruk-pikuk ketika akhirnya atap rumah makan itu runtuh ke bawah, dan menyusul debu mengebul tinggi dibarengi teriakan-teriakan mengerikan dari dalam, di mana masih banyak pekerja restoran itu yang teruruk. Di antara suara hiruk-pikuk ini terdengar suara ketawa dari Kwee Lun yang masih memegang tambang besar itu di kedua tangannya. Tali besar itu sudah terlepas dari pilar dan kini menjadi senjata di kedua lengan yang dilingkari otot itu.
Tempat itu menjadi sunyi. Biar pun banyak sekali penduduk kota yang berlari-larian datang, mereka hanya menonton dari jauh saja, tidak ada yang berani mendekati restoran yang sudah runtuh itu. Belasan orang tukang pukul datang berlarian. Mereka muncul dari belakang restoran yang roboh dan dari rumah judi yang berada di sebelah kanan restoran.
"Itu orangnya..!" seorang pelayan restoran yang berhasil menyelamatkan diri menuding ke arah Kwee Lun.
"Tangkap penjahat...!"
"Serbu...!"
"Bunuh...!"
Lima belas orang tukang pukul dengan bermacam senjata di tangan mereka belari-lari datang menyerbu dan mengurung Kwee Lun. Pemuda ini masih tersenyum lebar. Tali tambang tadi masih melingkar-lingkar di kedua lengan, kedua kakinya terpentang lebar dan sikapnya gagah sekali, membuat lima belas orang tukang pukul itu merasa gentar dan ragu-ragu untuk mendahului maju menyerang. Seorang yang telah meruntuhkan sebuah bangunan seperti restoran itu, sudah jelas memiliki tenaga gajah! Apalagi melihat sikap yang demikian gagah.
"Ha-ha-ha, hayo majulah! Mengapa ragu-ragu? Hayo keroyoklah aku! Memang aku datang untuk membasmi komplotan yang merajalela di Leng-sia-bun. Kalian ini anak buah si keparat Ciu Bo Jin, bukan? Mana itu hartawan Ciu jahanam, si penculik gadis orang! Suruh dia keluar, biar kuhancurkan kepalanya!"
"Serbu...!!" seru kepala tukang pukul, seorang she Ma yang juga memiliki ilmu kepandaian tinggi dan menjadi tangan kanan Ciu-wangwe. Sebelumnya diam-diam dia mengutus seorang anak buahnya untuk melaporkan kepada Ciu-wangwe di hotel, dan seorang anak buah lagi disuruh minta bala bantuan di markas keamanan!
Tiga belas orang tukang pukul, dipimpin oleh Ma Siu menyerbu dengan senjata mereka. Akan tetapi Kwee Lun tertawa bergelak dan begitu kedua lengannya bergerak, tali besar yang panjang menyambar dan menjadi gulungan sinar yang besar panjang. Setiap senjata pengeroyok yang terbentur tali itu terlepas dari pegangan pemiliknya sehingga terdengarlah teriakan-teriakan kaget. Dalam segebrakan saja, lima orang tukang pukul kehilangan senjata mereka dan dua orang lagi terpelanting roboh dan tak dapat bangun kembali karena tulang punggung dan tulang iga mereka patah oleh hantaman tambang!
Ma Siu menjadi marah sekali. Dengan nekat dia bersama sisa anak buahnya menyerbu dan menghujankan senjata mereka kepada Kwee Lun. Namun pemuda Pulau Kura-kura ini sambil tertawa melakukan perlawanan seenaknya. Teringat dia oleh perbuatan Swat Hong yang menyingkirkan pedang dan kipasnya. Andai kata dia menggunakan dua senjata itu, agaknya sekarang semua tukang pukul sudah roboh kehilangan nyawa mereka!
Dia tahu bahwa biang keladi semua kejahatan adalah orang She Ciu, ada pun para tukang pukul ini hanya orang-orang yang mencari nafkah mengandalkan ilmu silat mereka! Biar pun cara mencari nafkah dengan menjadi tukang pukul adalah perbuatan sesat yang menimbulkan kekejaman, namun andai kata tidak ada Hartawan Ciu yang menjadi sumber maksiat, agaknya mereka tidak akan berani mengacaukan sebuah kota besar seperti Leng-sia-bun. Diam-diam dia membenarkan tindakan Swat Hong dan teringat dia akan nasehat Suhu-nya, bahwa di dalam perantauannya dia tidak boleh sembarangan membunuh orang!
Sementara itu, di dalam hotel juga terjadi keributan hebat. Dengan dua batang pedang tergantung di punggung dan kipas gagang perak di tangan, Swat Hong memasuki hotel besar di sebelah kiri restoran. Gedung ini lebih megah dan besar dari-pada restoran itu. Dengan sikap tenang dia berjalan menaiki anak tangga di depan hotel. Beberapa orang pelayan segera menyambutnya dengan wajah berseri. Biar pun dara ini membawa pedang di punggung namun kecantikannya yang luar biasa menyenangkan hati para pelayan.
"Apakah Nona mencari kamar?" tanya seorang pelayan dengan senyum manis.
"Bukan mencari kamar, akan tetapi aku mencari Ciu-wangwe," jawab Swat Hong tanpa mempedulikan senyum itu.
Wajah para pelayan itu berubah dan pandang mata mereka membayangkan kecurigaan. "Tidak semudah itu mencari Loya, Nona. Pula kami tidak tahu di mana adanya Ciu-wangwe sekarang ini...," kata seorang di antara mereka dengan suara hati-hati.
"Aihhh, kalian tidak perlu membohong lagi. Aku mengenal Ciu-wangwe dan kedatanganku adalah atas undangannya. Aku tahu bahwa dia sedang menjamu kepala daerah di ruangan belakang hotel ini, bukan? Kalau kalian tidak membawaku menemuinya sekarang juga, bukan hanya dia yang akan marah kepada kalian, akan tetapi aku pun akan kehabisan sabar!"
Mendengar ini para pelayan itu saling pandang, lalu seorang di antara mereka memanggil tukang pukul.
Dua orang tukang pukul datang berlari. Mereka adalah bekas-bekas perampok yang tentu saja dapat menduga bahwa wanita ini tentulah seorang kang-ouw. Maka mereka segera memberi hormat dan bertanya, "Ada urusan apakah Lihiap hendak bertemu dengan Ciu-wangwe?"
Swat Hong memandang tajam dan mengambil sikap marah. “Eh, pangkat kalian di sini apa sih berani bertanya-tanya urusan antara aku dan Ciu-wangwe? Lekas bawa aku menemuinya!"
"Tapi... tapi.... Loya sedang menjamu Taijin, tidak boleh diganggu!"
"Siapa mau mengganggu? Aku justru datang memenuhi panggilannya untuk meramaikan pesta! Kalau dia marah, biar aku yang tanggung-jawab, akan tetapi kalau kalian berani menolak aku, dia akan marah kepada kalian!"
Dua orang tukang pukul itu saling pandang, kemudian mereka berkata, "Baiklah mari kami antarkan Lihiap ke dalam."
Mereka telah mengambil keputusan dengan isyarat mata untuk mengawal dan menjaga wanita cantik ini. Kalau wanita ini mempunyai niat buruk, masih belum terlambat untuk merobohkannya. Melihat kecantikannya yang luar biasa, sangat boleh jadi kalau dia ini adalah seorang yang dikenal oleh Ciu-wangwe dan benar-benar dipesan datang untuk menghibur pembesar!
Dengan langkah tenang sambil mengipasi lehernya dengan kipas gagang perak, Swat Hong diiringkan dua orang tukang pukul itu melalui gang yang berliku-liku, melalui kamar-kamar di mana terdapat wanita-wanita cantik yang rata-rata berwajah layu dan bermata sayu. Di antara para wanita ini ada yang duduk sendiri, ada pula yang sedang berduaan dengan seorang tamu pria karena terdengar suara ketawa laki-laki di dalam kamar itu.
Kemudian tibalah mereka di ruangan belakang yang luas dan terjaga oleh belasan orang prajurit pengawal yang bercampur dengan para tukang pukul. Ketika mereka bertiga muncul, tentu saja para penjaga dan pengawal itu memandang Swat Hong dengan penuh perhatian.
Dua orang tukang pukul itu agaknya bangga dapat mengawal nona cantik jelita ini, maka sambil mengacungkan ibu jari mereka berkata, "Barang baru! Pesanan khusus!"
Maka tertawa-tawalah para pengawal dan tukang pukul itu memasuki pintu besar yang menembus ke ruangan dalam. Karena mereka yang duduk mengitari meja besar terdiri dari belasan orang berpakaian serba indah, dan masing-masing dilayani dan dirubung wanita-wanita muda dan cantik, Swat Hong tidak mau bertindak sembrono. Dia tidak tahu siapa Ciu-wangwe dan yang mana pula kepala daerah, maka dia menanti dan membiarkan dua orang tukang pukul itu melapor. Akan tetapi sebelum kedua orang yang sudah menjura penuh hormat itu sempat membuka mulut, seorang yang berpakaian serba biru, berusia lima puluh tahun, bertubuh tinggi kurus dan matanya besar sebelah, telah bangkit berdiri dan membentak.
"Haii! Mengapa kalian lancang...?" dia tidak melanjutkan ucapannya karena matanya telah dapat melihat Swat Hong dan kini dia memandang heran.
Swat Hong sudah melangkah ke dalam, mendekati meja, lalu bertanya kepada laki-laki berpakaian biru itu, "Apakah aku berhadapan dengan Ciu-wangwe?"
Laki-laki itu memang benar Ciu Bo Jin. Dia merasa curiga sekali. Akan tetapi karena dia mengandalkan ilmu kepandaiannya sendiri, pula dia berada di tempatnya sendiri yang terjaga oleh para anak buahnya, bahkan di situ terdapat pula pasukan pengawal Gu-taijin, maka sambil tersenyum lebar dia melangkah maju dan berkata, "Benar, aku adalah orang she Ciu yang kau cari. Nona siapakah dan... heiittt...!"
Dia cepat mengelak ke kiri ketika melihat nona cantik itu sudah menerjang maju, menggunakan tangan kirinya mencengkeram ke arah pundaknya. Gerakan Ciu-wangwe cukup cekatan dan memang dia telah memiliki ilmu kepandaian tinggi. Akan tetapi sekali ini dia berhadapan dengan seorang dara perkasa yang luar biasa lihainya, maka baru saja dia mengelak, tahu-tahu ujung gagang kipas yang terbuat dari perak itu telah menotok jalan darah di punggungnya dan dia terpelanting roboh dengan tubuh lemas! Peristiwa ini terjadi sedemikian cepatnya sehingga tidak terduga sama sekali, maka terjadilah keributan hebat.
Seorang yang tubuhnya gendut dan mukanya merah sekali, agaknya sudah mabok, bangkit berdiri dengan tiba-tiba sehingga dua orang pelacur cantik yang tadinya duduk di atas kedua pahanya terpelanting jatuh sambil menjerit. Orang ini berpakaian mewah dan sikapnya agung-agungan. Sambil berdiri dia berseru, "Hai... pengawal...! Tangkap pengacau...!!"
Pintu depan terbuka dan para pengawal serta tukang pukul berlompatan masuk.
Swat Hong girang sekali karena dia dapat menduga bahwa Si Gendut itulah tentu yang menjadi kepala daerah, orang she Gu yang diperalat oleh Ciu-wangwe. Maka dia sudah meloncat ke dekat orang itu, mencabut pedangnya dan menempelkan pedang telanjang di leher Gu-taijin sambil menghardik, "Gu-taijin! Cepat kau menyuruh mundur semua orangmu! Kalau tidak, pedang ini akan menyembelih lehermu!"
Swat Hong menahan geli hatinya melihat tubuh yang gendut itu menggigil semua dan dia menahan jijiknya karena terpaksa menggunakan tangan kanan mencengkeram leher baju. Apalagi ketika melihat betapa lantai di bawah pembesar gendut ini tiba-tiba menjadi basah, tersiram air yang membasahi celana, dia makin jijik. Ingin dia membacokkan pedangnya saja agar manusia tiada guna ini tewas seketika. Tetapi dia teringat bahwa jalan satu-satunya untuk membantu Kwee Lun membereskan urusannya hanyalah menangkap pembesar ini hidup-hidup, biar pun manusia gendut ini tidak ada gunanya.
Akan tetapi manusia yang bagaimana pun pengecut dan lemahnya, sekali menduduki pangkat besar akan menjadi seorang yang sewenang-wenang dan jahat! Makin pengecut dan makin rendah watak orang itu, makin celakalah kalau dia memperoleh kedudukan tinggi. Kerendahan akalnya akan membuat dia makin jahat, mempergunakan kekuasaannya yang kebetulan melindunginya.
"Am... ampun...!" Gu-taijin dengan sukar sekali mengeluarkan suara.
Hampir saja dia pingsan mendengar betapa lehernya akan disembelih, apalagi disembelih perlahan-lahan dan sedikit demi sedikit, membayangkan betapa lehernya akan terasa perih dan nyeri, berlepotan darah, betapa dia akan mati dan meninggalkan semua kemewahan dan kesenangan hidupnya!
"Suruh mereka mundur...!" kembali Swat Hong membentak dan tangan kirinya mencengkeram tengkuk.
"Oughhh...!" pembesar itu menjerit, mengira tengkuknya disembelih, padahal hanya jari-jari saja yang mencengkeramnya. "Heii, mundur kalian! Tolol semua! Mundur kataku, dan jangan membantah... Li... Lihiap...!"
Para pengawal menjadi bingung. Dengan muka pucat dan mata terbelalak lebar mereka mundur sambil memandang penuh kesiap-siagaan.
Pada saat itu seorang tukang pukul telah berhasil membebaskan totokan Ciu-wangwe dan kini hartawan itu dengan marahnya berteriak kepada tukang pukulnya, "Cepat serbu iblis betina itu...!"
Swat Hong kembali mencengkeram tengkuk Gu-taijin. "Suruh jahanam Ciu itu menyerah!"
"Oughhh... Ciu-wangwe... jangan...! Jangan melawan...!"
Ciu-wangwe yang melihat betapa kepala daerah itu telah ditangkap, sejenak menjadi bingung sekali. Akan tetapi tentu saja dia tidak sudi menyerah.
Pada saat itu terdengar suara hiruk-pikuk di sebelah luar hotel. Tahulah Swat Hong bahwa Kwee Lun tentu telah turun tangan dan pula beraksi pula. Maka dia berkata, "Orang she Ciu! Kejahatanmu berakhir di hari ini juga!"
Selagi Ciu-wangwe kebingungan, tiba-tiba datang seorang tukang pukulnya dari luar dan berteriak-teriak, "Celaka... Loya... ada orang merobohkan restoran kita...!"
Akan tetapi orang ini terbelalak memandang ke dalam dengan muka pucat. Dia melihat kepala daerah berada dalam cengkeraman wanita cantik itu dan melihat Ciu-wangwe berdiri bingung.
Mendengar ini Ciu-wangwe menjadi kaget dan mengira bahwa tentu banyak musuh yang datang menyerbunya. Dia tidak mau mempedulikan Gu-taijin lagi. Dalam keadaan seperti itu, yang terbaik baginya adalah berada di luar dan berusaha mengerahkan seluruh anak buahnya untuk menghadapi para penyerbu. Keselamatan Gu-taijin tentu saja tidak dipedulikannya lagi. Maka tanpa berkata apa-apa lagi dia lalu berlari hendak keluar dari ruangan besar itu.
"Hendak kemana engkau?" Swat Hong cepat menotok roboh Gu-taijin dan meloncat ke depan. Tubuhnya melayang dan Ciu-wangwe hanya melihat sesosok bayangan berkelebat dan tahu-tahu wanita cantik itu telah berdiri di depannya!
"Serbu...!" bentak Ciu-wangwe, dan dia sendiri sudah mencabut goloknya, lalu membacok dengan cepat sambil mengerahkan seluruh tenaganya.
"Sing-sing-singgg...!!" bertubi-tubi golok itu menyambar, dan kini anak buahnya juga sudah membantunya.
Swat Hong cepat memutar pedangnya dan mengerahkan sinkang yang disalurkan pada pedang itu.
"Cring-cring-trang-trang-trang...!!" sebatang golok di tangan Ciu-wangwe dan empat batang pedang terlepas dari pegangan pemiliknya. Tiga orang pengeroyok roboh terkena totokan kipas perak di tangan kiri Swat Hong!
Melihat kelihaian wanita ini, bukan main kagetnya hati Ciu-wangwe. Dia sudah berpengalaman dan tahulah dia bahwa kalau dia melanjutkan, dia sendiri akan roboh di tangan wanita lihai ini. Maka jalan terbaik baginya adalah lari ke luar untuk mengerahkan anak buahnya, dan kalau perlu melarikan diri!
Melihat orang yang hendak ditangkapnya itu lari, Swat Hong segera bermaksud mengejar. Akan tetapi pada saat itu dia melihat tubuh gendut Gu-taijin sedang dibantu oleh beberapa orang meninggalkan tempat itu.
“Celaka,” pikirnya.
Dia harus dapat menangkap pembesar itu, kalau tidak, tentu akan sukar menundukkan semua orang. Maka dia lalu mengerahkan tenaga pada tangan kanan, yang kemudian digerakkan sehingga pedangnya meluncur seperti kilat menyambar ke depan. Terdengar jerit mengerikan. Tubuh Ciu-wangwe terjungkal ke depan, pedang menembus dari punggung hingga dadanya, dan dia tewas seketika!
Swat Hong telah melompat. Tangan kanannya kembali sudah mencabut pedang, kini pedang milik Kwee Lun yang dicabutnya. Kipas di tangan kirinya merobohkan empat orang pengawal yang tadi membantu Gu-taijin dan mereka roboh tertotok. Sebelum pembesar itu sempat bergerak, dia sudah mencengkeramnya lagi, bahkan yang dicengkeram adalah pundaknya sambil mengerahkan tenaga.
"Aughhh... add... duh... duh... duhhh... ampun, Lihiap...!" Gu-taijin berteriak-teriak seperti seekor babi disembelih.
"Hayo cepat suruh mereka semua mundur!" bentak Swat Hong, kembali pedang telanjang ditekankan di tengkuk pembesar itu.
"Mundur kalian semua! Keparat! Kurang ajar kalian! Disuruh mundur tidak cepat mentaati perintah! Apa minta dihukum gantung semua?!"
Mendengar pembesar ini membentak-bentak dengan suara galak sekali, semua pengawal dan anak buah Ciu-wangwe terbelalak ketakutan dan mundur. Apalagi mereka melihat betapa Ciu-wangwe sudah tewas. Para pelacur yang tadi melayani perjamuan itu, menjerit-jerit dan lari pontang-panting, kemudian bersembunyi di kolong-kolong meja dan belakang-belakang lemari.
Swat Hong mendengar suara ribut-ribut di luar, suara pertempuran. Tahulah dia bahwa Kwee Lun sedang dikeroyok. Cepat dia menarik tubuh pembesar Gu keluar dari hotel, kemudian dengan mencengkeram punggung baju, dia membawa pembesar gendut itu meloncat ke atas genteng. Semua orang memandang heran melihat betapa seorang gadis cantik dan muda seperti itu mampu meloncat sambil mencengkeram tubuh seorang laki-laki bertubuh gendut dan berat seperti pembesar itu! Swat Hong masih terus mencengkeram punggung Gu-taijin yang pucat sekali wajahnya, menggigil kedua kakinya.
Tentu saja pembesar ini merasa ngeri berada di atas genteng, apalagi dia berdiri di pinggir sekali. Terpeleset sedikit saja dia tentu akan melayang jatuh ke bawah, tubuhnya akan remuk! Selama hidupnya tentu saja belum pernah dia naik ke atas genteng. Akan tetapi karena dia ditodong dan merasa takut sekali kepada wanita perkasa yang mencengkeram punggungnya, dia mentaati perintah Swat Hong.
Dengan suara lantang Gu-taijin berteriak-teriak dari atas, "Haiii..., mundur semua...!"
Dia melihat pasukan keamanan sudah berada di situ, dipimpin oleh Bhong-ciangkun, perwira yang mengepalai pasukan keamanan. "Bhong-ciangkun, suruh semua pasukan mudur!"
Pada saat itu Kwee Lun sedang mengamuk. Tadinya yang mengeroyoknya hanyalah para tukang pukul anak buah Ciu-wangwe dan dia sudah berhasil merobokan belasan orang dengan tambang di tangannya yang kini sudah berlepotan darah. Akan tetapi dia kewalahan juga ketika pasukan keamanan datang. Pasukan yang jumlahnya hampir seratus orang itu tentu saja tidak mungkin dapat dia lawan seorang diri hanya mengandalkan segulung tambang! Maka dalam amukannya itu, dia sudah menerima pula beberapa bacokan senjata tajam yang melukai pinggul dan punggungnya, membuat pakaiannya berlepotan darah pula. Namun sedikit pun semangatnya tidak menjadi kendur, bahkan darah dipakaiannya itu seolah-olah membuat dia makin bersemangat lagi!
Melihat betapa atasannya berada di atas genteng dan mengeluarkan perintah itu, Bhong-ciangkun terkejut dan cepat dia mengeluarkan aba-aba menyuruh pasukannya mundur. Kwee Lun ditinggalkan seorang diri, berdiri dengan kedua kakinya terpentang lebar, pakaian dan tambangnya berlumuran darah, gagah bukan main sikapnya. Sisa anak buah Ciu-wangwe tidak ada lagi yang berani maju setelah para pasukan itu diperintahkan mundur. Apalagi ketika mereka itu mendengar bisikan teman-teman bahwa Ciu-wangwe telah tewas oleh dara di atas genteng itu!
Ketika Kwee Lun melihat betapa Swat Hong telah berdiri di atas genteng sambil membawa Gu-taijin, diam-diam dia menjadi kagum bukan main. Kiranya gadis itu amat cerdiknya. Tahulah dia bahwa dara perkasa itu hendak menggunakan kekuasaan Gu-taijin untuk membasmi kejahatan yang merajalela di Leng-sia-bun! Maka sambil tertawa bergelak dia pun melompat. Tubuhnya melayang ke atas genteng, lalu hinggap berdiri di samping Swat Hong.
"Hong-moi, bagaimana kalau kita dorong tong kotoran ini ke bawah saja dan melihat perutnya berhamburan di bawah sana?" serunya mengejek.
"Jangan... jangan... aduh, ampunkan saya...." Gu-taijin berkata memohon dengan rasa takut menghimpit hatinya.
"Kalau begitu, hayo kau membuat pengumunan dan perintah menurutkan kata-kataku," Swat Hong berbisik di belakang pembesar itu.
Gu-taijin mengangguk-angguk, kemudian terdengarlah suaranya lantang mengikuti perintah yang dibisiki oleh Swat Hong. "Hai, dengarlah baik-baik semua pembantuku dan semua penduduk Leng-sia-bun! Hari ini, dengan bantuan Kwee-taihiap dari Pulau Kura-kura, aku baru mengetahui bahwa di kota ini terdapat komplotan penjahat yang diketuai oleh Hartawan Ciu Bo Jin! Mereka mendirikan rumah judi, hotel pelacuran, dan rumah makan di mana terjadi segala macam kejahatan perjudian curang, pemaksaan terhadap gadis-gadis yang diculik untuk dijadikan pelacur dan penyogokan terhadap para petugas pemerintah! Sekarang Ciu-wangwe telah tewas! Anak buahnya akan diampuni asal saja mulai sekarang mau merubah watak dan tidak lagi melakukan kejahatan! Dan semua wanita yang dipaksa menjadi pelacur, akan dibebaskan dan dikirim pulang ke rumah masing-masing dengan mendapat bekal masing-masing seratus tail perak! Semua ini harus dijalankan sebaiknya. Kalau ada yang melanggar dia akan dihukum sesuai dengan hukuman pemerintah. Selain itu, juga Kwee-taihiap sendiri akan selalu mengawasi dan memberi hukuman terhadap mereka yang tidak mentaati perintah kami ini!"
Tiba-tiba terdengar sorak-sorai penduduk dan sekaligus terjadi keributan karena beberapa tukang pukul yang pernah berbuat sewenang-wenang tiba-tiba dikeroyok oleh penduduk! Sekali ini para pasukan pemerintah tidak ada yang berani melindungi para tukang pukul itu sehingga mereka mengaduh-aduh dan tidak berani melawan. Semua tukang pukul itu mendapat hajaran dari penduduk sampai babak belur! Sementara itu para wanita pelacur yang berasal dari keluarga baik-baik dan yang dipaksa menjadi pelacur dengan berbagai ancaman dan siksaan sudah menangis riuh-rendah. Menangis saking girang, terharu, dan juga duka.
"Awas kau, Gu-taihiap. Kalau sampai semua ucapanmu tadi tidak kau laksanakan, kami akan melaporkan bahwa engkau sebagai seorang kepala daerah telah diperalat oleh orang jahat dengan jalan sogokan. Selain itu, kami akan datang kembali khusus untuk menyembelih lehermu!" Swat Hong berbisik dengan nada penuh ancaman.
Pembesar itu mengangguk-anggukkan kepalanya seperti seekor ayam mematuki gabah. Ketika dia mengangkat muka memandang, ternyata kedua orang itu telah lenyap dan dia hanya berdiri sendiri saja di atas genteng yang begitu tinggi. Tentu saja dia menjadi ngeri sekali. "Bhong-ciangkun... tolong... tolong saya turun...!"
Bhong-ciangkun telah melihat bayangan kedua orang itu berkelebat, maka dia lalu meloncat naik ke atas genteng dan membawa pembesar itu turun. "Bagaimana, apakah hamba harus mengejar mereka?" Bhong-ciangkun berbisik.
"Hushhh...! Bodoh! Masih untung kita...." pembesar itu berbisik kembali, kemudian berkata lantang. "Hayo laksanakan perintahku tadi!"
Demikianlah, peristiwa itu menjadi semacam dongeng sampai bertahun-tahun di kalangan penduduk Leng-sia-bun. Betapa pun mereka mencari, tak pernah lagi ada penduduk kota ini yang melihat kedua orang pendekar itu. Memang Swat Hong dan Kwee Lun telah melarikan diri dari kota itu dan melanjutkan perjalanan mereka dengan hati puas.
“Hebat kau, Hong-moi!" Kwee Lun memuji. "Luar biasa sekali! Kalau tidak ada engkau yang membantuku dengan siasat yang cerdik itu, tentu akan lain jadinya! Aku masih sangsi, apakah aku akan mampu menaklukkan mereka! Tentu akan terjadi banjir darah, dan mungkin aku sendiri akhirnya mati dikeroyok."
"Ah, sudahlah, Kwee-twako. Kau yang hebat, menggunakan tali merobohkan restoran dan dengan hanya bersenjatakan tambang dapat menghadapi pengeroyokan puluhan orang!"
"Tidak ada artinya dibandingkan dengan sepak terjangmu, Moi-moi. Engkau telah membantuku sehingga tugasku selesai dengan hasil baik. Tak pernah aku akan dapat melupakan ini! Dan sebagai balasannya, aku akan membantumu mencari Ibumu dan Suheng-mu sampai berhasil pula!"
Wajah Swat Hong menjadi suram. Dia menarik napas panjang. "Hemm... Ibu dan Suheng pergi tanpa meninggalkan jejak. Ke mana aku harus mencarinya?"
"Jangan khawatir, Moi-moi. Kalau memang Ibumu dan Suheng-mu mendarat tentu kita akan dapat mencari mereka. Tempat yang paling tepat untuk mencari seseorang adalah kota raja. Memang belum tentu mereka berada di sana, akan tetapi setidaknya kota raja merupakan sumber segala keterangan sehingga kita dapat mendengar-dengar kalau-kalau ada berita dari dunia Kang-ouw tentang mereka."
Swat Hong menyetujui pendapat ini. Memang dia pun bermaksud mengunjungi kota raja, karena bukankah nenek moyangnya dahulunya juga seorang anggota keluarga raja? Mereka pun melanjutkan perjalanan dari luar kota Leng-sia-bun menuju kota raja.
Makin lama melakukan perjalanan bersama Kwee Lun, setelah lewat sebulan kurang lebih, makin sukalah Swat Hong kepada pemuda itu. Dia makin mengenal Kwee Lun sebagai seorang yang benar-benar jantan, keras hati, teguh dan tidak mempunyai sedikit pun pikiran menyeleweng. Pemuda ini juga suka bergurau, walau pun kasar akan tetapi kekasaran yang bukan bersifat kurang ajar, melainkan karena terbawa oleh kejujurannya yang wajar dan tak pernah mau menyembunyikan sesuatu. Pendeknya, pemuda itu benar-benar seorang laki-laki yang gagah perkasa lahir bathinnya.
Di lain pihak, Kwee Lun juga merasa kagum kepada Swat Hong setelah dia mengenal sifat-sifat temannya ini yang amat cerdik, periang, jenaka namun keras hati dan kadang-kadang tampak keagungan sikapnya sebagai seorang puteri kerajaan! Namun dara itu sama sekali tidak angkuh atau sombong, sungguh pun kini dia harus mengakui bahwa ilmu kepandaiannya sedikitnya kalah dua tingkat dibandingkan dengan dara Pulau Es ini! Oleh karena inilah maka ada keseganan di dalam hatinya. Biar pun dia yang selalu memimpin perjalanan dan menjadi petunjuk jalan, namun dalam segala hal, sampai dalam memilih makanan dan penginapan yang selalu dibayar oleh Kwee Lun, pemuda ini selalu minta pendapat dan keputusan Swat Hong!
Pada suatu hari tibalah kedua orang ini di kaki Pegunungan Tai-hang-san yang amat luas dan memanjang dari selatan ke utara. Tujuan mereka adalah Tiang-an ibu kota Kerajaan Tang. Di dusun ini mereka berhenti untuk makan di sebuah warung nasi sederhana. Mereka memesan nasi, mi, dan arak. Tak lupa Kwee Lun minta air hangat untuk Swat Hong agar nona ini dapat mencuci muka setelah melakukan perjalanan yang panas berdebu. Ketika Swat Hong sedang bercuci muka dengan air hangat, menggosok mukanya dengan air bersih sampai kedua pipinya kemerahan, dia mendengar percakapan menarik dari arah dapur warung itu.
"Bukan main ramainya!" terdengar suara seorang laki-laki, agaknya pekerja di dapur itu.
"Lebih ramai dari-pada kalau melihat dua orang jago silat berkelahi! Bayangkan saja! Harimau mengaum sampai bumi tergetar, lalu menubruk dan mencakar ke arah beruang itu. Akan tetapi si beruang juga tidak kalah lihainya, dia menggereng dan aku yakin engkau sendiri tentu akan terkencing-kencing mendengar gerengan itu! Dia dapat menangkis dengan kaki depannya dan balas menggigit. Mereka saling cakar, saling gigit, mula-mula saling menangkis lalu bergumul! Bukan main!"
"Ahhh, sudahlah. Siapa percaya omonganmu? Paling-paling kau melihat orang mengadu jangkerik dan kau kalah bertaruh lagi! Lebih baik lekas masak air, tehnya hampir habis."
Swat Hong cepat menghampiri Kwee Lun dan berbisik, "Agaknya di sini ada jejak Suheng-ku!"
"Ehhh...? Kwee Lun bertanya heran.
"Ada orang di dapur tadi bercerita tentang pertandingan antara harimau dan beruang. Kalau tidak salah perasaan hatiku, itu beruang kepunyaan suheng."
"Eh? Suheng-mu memelihara beruang?" Kwee Lun bertanya makin heran lagi.
"Belum kuceritakan kepadamu, Twako. Ketika aku berpisah dari suheng, dia sedang mengobati seekor beruang terluka. Tentu beruang itu menjadi jinak dan sekarang menjadi binatang peliharaannya."
"Aduh! Suheng-mu tentu hebat sekali, berani mengobati seekor beruang!"
"Sudahlah, Twako. Kalau kelak dapat bertemu, engkau dapat berkenalan dengan Suheng sendiri. Sekarang harap kau suka tanyakan kepada pekerja di dapur tentang beruang yang diceritakannya tadi."
"Mengapa tidak panggil saja dia ke sini? Hei, Bung pelayan!"
Pelayan itu segera menghampiri.
"Tolong kau panggilkan sahabat yang tadi berbicara tentang beruang, dia bekerja di dapur. Cepat!"
Pelayan itu terheran-heran, akan tetapi dia masuk juga ke dalam. Tak lama kemudian dia kembali ke situ bersama seorang laki-laki muda yang kelihatan takut-takut. Laki-laki ini kurus kecil dan memakai pakaian koki, agaknya dialah tukang atau pembantu tukang masak di warung itu.
"Saya... saya tidak tahu apa-apa...," orang itu berkata begitu tiba di dekat meja.
Kwee Lun menggerakkan tangannya tak sabar. "Aahh, mengapa takut? Kami hanya tertarik mendengar cerita beruang bertanding dengan harimau. Di manakah kejadian itu dan bagaimana asal mulanya?” Kwee Lun mengeluarkan sepotong uang dan memberikan kepada orang itu. "Nah, ceritakanlah! Jangan takut-takut, ini hadiahnya."
Orang itu menerima hadiah. Setelah memandang ke kanan-kiri dia bercerita, "Pagi tadi, sebelum masuk bekerja saya menemani saudara misan saya mengantar segerobak kayu bakar ke atas sana...." dia menuding ke luar warung.
"Ke atas mana?"
"Di Puncak Awan Merah, tempat tinggal Siangkoan Lo-enghiong. Kami berdua mengantarkan kayu bakar dan melihat ribut-ribut di sana. Mendengar gerengan-gerengan dahsyat, saya lalu menyelinap dan mendahului saudara saya untuk mengintai. Ternyata di sana sedang diadakan permainan yang luar biasa, yaitu adu harimau dan beruang! Entah milik siapa beruang itu, akan tetapi harimau itu saya kenal sebagai harimau peliharaan Siangkoan Lo-enghiong yang biasanya di dalam kerangkeng. Bukan main ramainya dan saya takut sekali. Agaknya di tempat Siangkoan Lo-enghiong ada tamu yang membawa beruang...."
"Siapa tamunya? Bagaimana macam orangnya?" Swat Hong mendesak penuh ketegangan hati.
Akan tetapi orang itu menggeleng kepala. "Bagaimana saya bisa tahu? Di atas sana banyak murid-murid Lo-enghiong dan orang-orang seperti kami tidak mempunyai hubungan dengan Puncak Awan Merah. Kami tidak diperbolehkan naik kecuali kalau ada pesanan dari sana, hanya kadang-kadang saja Siocia atau murid Lo-enghiong yang turun ke sini. Melihat pertandingan yang amat dahsyat itu, saya ketakutan dan cepat lari turun lagi...."
Swat Hong mengerutkan alisnya. Mungkinkah suheng-nya ‘kesasar’ sampai di tempat ini?
Tiba-tiba Kwee Lun bertanya, "Yang kau sebut Siangkoan Lo-enghiong itu, apakah dia bernama Siang-koan Houw?"
“Nama lengkapnya mana saya tahu?" orang itu menggeleng kepala, kelihatannya takut-takut.
"Julukannya Tee-tok (Racun Bumi), bukan?"
Orang itu makin ketakutan, akan tetapi dia mengangguk. "Pernah saya mendengar muridnya bicara menyebut julukan itu.... harap Ji-wi maafkan, saya masih banyak pekerjaan di dapur." Dia tidak menanti jawaban tapi langsung kembali ke dapur dengan sikap ketakutan.
"Aihh, kiranya Tee-tok sekarang tinggal di tempat ini!" kata Kwee Lun.
"Twako, siapakah Racun Bumi itu?"
"Hemm, seorang yang luar biasa, dapat dikatakan saingan Suhu. Menurut cerita Suhu, sukar dikatakan siapa yang lebih unggul. Dia adalah seorang di antara tokoh-tokoh dunia kang-ouw yang sudah terkenal sekali. Aku sendiri baru mendengar namanya dari Suhu saja. Menurut Suhu, dia adalah seorang yang gagah perkasa dan jujur. Akan tetapi sayang sekali, hatinya ganas dan kejam terhadap orang yang tak disukainya dan dia amat lihai dan berbahaya sebagai seorang ahli racun yang mengerikan. Karena itu julukannya adalah Racun Bumi. Sungguh tidak dinyana bahwa kita bakal bertemu dengan orang seperti dia!"
"Hemm... kalau begitu engkau sudah merencanakan untuk mengunjungi Puncak Awan Merah, Twako?"
"Tidak begitukah kehendakmu? Agaknya sangat boleh jadi beruang itu milik Suheng-mu, Hong-moi, karena di tempat tinggal seorang seperti Tee-tok, segala apa mungkin saja terjadi. Tentu saja amat mencurigakan dan hatiku tidak akan merasa puas kalau belum menyelidiki ke sana. Kalau ternyata Suheng-mu tidak berada di sana kita turun lagi karena aku tidak mempunyai urusan dengan Tee-tok."
Swat Hong mengangguk. "Baiklah, kalau begitu mari kita berangkat. Entah mengapa, betapa pun sedikit kemungkinannya bahwa Suheng berada di sana, akan tetapi hatiku merasakan sesuatu yang aneh. Kita harus menyelidiki ke sana."
Setelah membayar harga makanan berangkatlah kedua orang itu ke Puncak Awan Merah, tentu saja diikuti pandang mata penuh keheranan dan kegelisahan oleh pelayan warung yang mereka tanyai di mana adanya puncak itu. Setelah mereka mendekati bukit dan tiba di lereng atas, tampaklah bangunan besar di puncak yang dimaksudkan itu. Mereka tidak mengerti mengapa puncak itu disebut Puncak Awan Merah, padahal ketika mereka tiba di situ di siang hari itu, awannya tidak berwarna merah melainkan biru dan putih seperti biasa.
"Twako, kedatangan kita hanya menyelidiki apakah Suheng berada di sana. Oleh karena itu tidak baik kalau kita datang berterang, bisa menimbulkan kecurigaan orang, padahal kita tidak berniat mencari perkara dengan tokoh kang-ouw itu, bukan? Maka sebaiknya kita berpencar. Kau menyelidiki dengan memutar dari kiri, aku dari kanan, sampai kita saling bertemu. Kalau Suheng tidak ada di sana, dan beruang itu bukan beruangnya, kita segera kembali ke dusun tadi dan bermain saja di sana."
"Baik, Hong-moi. Dengan cara demikian penyelidikan memang dapat dilakukan lebih leluasa dan lebih cepat."
Mereka mendaki terus, dan setelah tiba di luar pagar tembok gedung besar di puncak itu mereka berpencar. Swat Hong yang mengambil jalan dari kanan menyelinap di atas pohon-pohon dan batu gunung. Tak lama kemudian dia mendengar suara orang. Cepat dia menghampiri dan mengintai, dan apa yang dilihatnya membuat dia hampir berteriak saking kagetnya!
Dapat dibayangkan betapa heran dan kagetnya ketika dia melihat suheng-nya, Kwa Sin Liong, terbelenggu kedua pergelangan tangannya dan setengah tergantung pada pohon! Tubuh atas suheng-nya itu telanjang dan hanya celana dan sepatunya saja yang menutupi tubuhnya. Sin Liong kelihatan tenang saja, biar pun dahinya berpeluh. Agaknya pemuda itu memang sengaja membiarkan dirinya terbelenggu. Swat Hong yakin sekali, bahwa apabila dikehendaki oleh suheng-nya itu, apa sukarnya membebaskan diri dari belenggu seperti itu? Tentu ada sesuatu yang aneh telah terjadi di sini!
Swat Hong menahan kemarahannya yang membuat dia ingin menyerbu, dan dia memandang kepada orang-orang di sana. Dua orang yang berpakaian seragam, memakai topi aneh, menjaga di belakang pohon dan tangan mereka meraba gagang golok. Seorang kakek yang tinggi besar, brewok dan matanya lebar, dengan marah-marah menghampiri Sin Liong, tangan kanannya memegang senjata yang aneh. Bukan senjata, pikir Swat Hong, melainkan tanduk rusa yang agaknya hendak dipakai sebagai senjata. Tanduk rusa seperti itu saja apa artinya bagi suheng-nya? Yang membuat dia terheran-heran adalah melihat suheng-nya berada di tempat itu dan mudah saja dibelenggu dan dihina! Apa yang telah terjadi?
********************
www.zheraf.com
Seperti telah kita ketahui, Sin Liong meninggalkan Pulau Neraka bersama Ouw Soan Cu, gadis Pulau Neraka yang hendak mencari ayahnya. Sebetulnya, mencari ayahnya ini hanya merupakan alasan yang dicari-cari saja oleh Ouw Kong Ek, ketua Pulau Neraka. Puteranya Ouw Sin Kok, ayah kandung Soan Cu, telah menghilang selama belasan tahun, tak pernah kembali dan tidak pula ada kabarnya sehingga menimbulkan dugaan besar bahwa Ouw Sian Kok telah meninggal dunia. Selain itu, andai kata masih hidup, tak seorang pun mengetahui di mana tempat tinggalnya. Soan Cu ditinggal ayah kandungnya sejak bayi, bagaimana mungkin dia dapat mencari ayahnya yang belum pernah dilihatnya dan tak diketahui ke mana perginya itu?
Kalau Ouw Kong Ek menggunakan alasan ini dan mendesak kepada Sin Liong agar membawa dara itu bersama keluar dari Pulau Neraka, adalah karena sebenarnya dia ingin agar cucunya itu dapat berjodoh dengan Sin Liong. Dia sering-kali mengingat akan nasib cucu yang dicintanya itu. Karena jauh dari dunia ramai, akhirnya cucunya itu terpaksa hanya akan berjodoh dengan seorang penghuni Pulau Neraka! Maka munculnya Sin Liong untuk pertama kalinya itu sudah mendatangkan harapan untuk menjodohkan cucunya dengan pemuda itu.
Apalagi ketika Sin Liong datang untuk kedua kalinya, bahkan pemuda itu telah menolong Soan Cu, dan menolong Pulau Neraka yang diserbu bajak laut. Tentu saja dia tidak dapat memaksa pemuda itu untuk menjadi calon suami cucunya, akan tetapi dengan kesempatan melakukan perantauan bersama, dia harap akan timbul cinta di dalam hati pemuda itu terhadap cucunya yang dia tahu merupakan seorang gadis yang cantik jelita dan berilmu tinggi, juga berwatak baik....
Selanjutnya baca
BU KEK SIANSU : JILID-12