Melati Tujuh Racun
MELATI TUJUH RACUN
SINOPSIS
Si kakek botak pegangi perutnya. "Cimung, mengapa aku harus menunggu sampai minggu depan?"
"Karena bunga itu hanya muncul sekali seminggu. Setiap muncul selalu berjumlah tiga..."
"Benar-benar aneh. Muncul sekali seminggu. Setiap muncul selalu berjumlah tiga" Kakek kepala botak bermata belok jereng mengulangi ucapan Sulastri, Pandangi anak perempuan itu beberapa saat, lalu bertanya,
"Dari mana munculnya tiga kuntum bunga itu?"
Sulastri menunjuk kearah timur dimana dikejauhan kelihatan Gunung Merapi. "Tiga bunga melati hitam itu selalu..."
Belum sempat anak perempuan delapan tahun itu menyelesaikan ucapannya, tiba-tiba satu benda putih berdesing diudara. Sulastri menjerit keras. Anak ini langsung roboh, terkapar ditanah. Matanya membeliak menatap langit...
WWW.ZHERAF.NET
BAB 1
KAKEK botak berpakaian dekil dan basah kuyup di sebelah bawah itu duduk di tepi kali dekat serumpunan belukar. Mulut senyum-senyum, dua tangan memegang bagian bawah perut. Matanya yang belok juling sejak tadi memperhatikan seorang anak perempuan seusia delapan tahun duduk di tepi kali di seberang sana. Dua kakinya dicelupkan ke dalam air kali yang dangkal, bening dan sejuk.
Di pangkuannya terlihat tiga kuntum bunga kecil. Di tangan kirinya anak ini memegang sebuah lidi. Sambil menyanyi-nyayi kecil dengan tangan kanannya dia menusukkan satu demi satu kuntum bunga yang ada di pangkuannya ke lidi di tangan kiri.
Melati oh Melati
Semerbak harum mewangi
Kata orang kau bunga suci
Berwarna putih menarik hati
Tapi mengapa warnamu berubah hitam
Mungkinkah kau mekar di malam kelam
Melati oh Melati
Semerbak harum mewangi
Kata orang kau bunga suci
Berwarna putih menarik hati
Tangan kiri orang tua di balik semak belukar yang sejak tadi memegangi bagian bawah perutnya diangkat ke atas. Tangan yang basah oleh air kencing itu enak saja diusap-usapkan ke kepalanya yang botak. Sambil pandangi gadis cilik di seberang kali dia berkata sendirian.
"Anak manis sekecil itu pandai sekali menyanyi. Suaranya bagus. Kalau sudah besar bisa-bisa jadi sinden cantik, dikagumi dimana-mana.
”Kalau saja aku punya cucu seperti dia, hldupku pasti banyak bahagianya."
Orang tua ini lalu tertawa cekikikan. "Punya cucu? Aku punya cucu? Ha ha ha! lstri saja tidak punya bagaimana bisa punya cucu?Ha ha ha!"
Tiba-tiba orang tua berkepala botak ini hentikan tawa, tutup mulutnya dengan tangan kanan. Di tepi kali di seberang sana si gadis kecil hentikan pula nyanyiannya, memandang ke kiri-kanan.
"Aku mendengar ada orang tertawa. Cuma suara. Orangnya tidak kelihatan. Ihh... Apakah tempat ini kini sudah ada hantunya?" Walau keluarkan ucapan seperti itu namun tidak kelihatan bayangan rasa takut di wajah anak perempuan itu. Malah sambil menusukkan kuntum bunga ke tigake lidi di tangan kirinya dia kembali melantunkan nyanyian tadi.
Melati oh Melati
Semerbak harum mewangi
Kata orang kau bunga suci
Berwarna putih menarik hati
Tapi mengapa warnamu berubah hitam
Mungkinkah kau mekar di malam kelam
Melati oh Melati
Semerbak harum mewangi
Kata orang kau bunga suci
Berwarna putih menarik hati
Orang tua di balik semak belukar perlahan-lahan turunkan tangan kiri yang mengusap kepala, juga tangan kanan yang dipakai menutup mulut. Sepasang matanya yang besar dan juling sesaat memandang ke depan tak berkesip. Dadanya berdebar.
"Nyanyian anak itu... Tiga bunga hitam yang ditusukkan bersusun dilidi panjang, apa benar bunga melati? Heh?!"
Mata yang juling tambah juling, belok tambah belok. "Aku ingat cerita Pendekar 212, jangan-jangan..."
Orang tua ini tiba-tiba plaaakk! Dia tabok kepalanya sendiri lalu bangkit berdiri. Dua kali berkelebat dia sudah berada di seberang kali kecil di depan si anak perempuan. Anak yang sedang menyanyi tentu saja terkejut, hentikan nyanyiannya dan dongakkan kepala. Memandang dari atas sampai ke bawah, dari kepala botak sampai ke kaki. Kalau tadi dia terkejut tapi begitu melihat orang yang berdiri di hadapannya, anak ini malah tersenyum.
"Oh, jadi ini rupanya hantu yang tadi tertawa. Hik hik hik. Mata belok jereng. Kuping kanan aneh terbalik. Kepala botak. Mau dibilang tuyul kenapa sudah tua keriput peot begini rupa? Hantu kenapa bau pesing? Hk hik hik! hantu lucu-lucuan..."
"Gadis cilik, aku bukan hantu bukan tuyul! Tapi hemm, aku memang bau pesing! Jelek-jelek begini aku ingin bersahabat denganmu. Kalau boleh..." Orang tua kepala botak keluarkan ucapan. Lalu dia duduk menjelepok di samping anak perempuan itu. Malanya yang belok dibesarkan memperhatikan tiga kuntum bunga kecil hitam yang ditusukkan. disusun memanjang di batangan lidi.
"Anak manis, siapa namamu?"
"Hantu botak tanya namaku. Hik hik! Malu..."
"Hik hik! Hantu botak juga malu..." orang tua itu meniru tawa si anak perempuan sambil pegangi bagian bawah perutnya. Anak perempuan di samping si botak jereng ikutan tertawa. Tempat sunyi di tepi kali kecil jadi riuh oleh suara tawa kedua orang itu.
"Hantu botak, nama saya Sulantri. Tapi orang-orang memanggil saya Cimung. Saya anak kepala desa Maguwo." Si anak perempuan menerangkan sambil goyang-goyangkan lidi di tangan kiri dan uncang-uncang dua kaki yang dicelup dalam air kali.
"Nama bagus kenapa dipanggil Cimung? Ada-ada saja..." kata si botak. "Tadi aku dengar kau menyanyi. Suaramu bagus. Kalau sudah besar apa mau jadi sinden?"
Anak perempuan menjawab dengan gelengan kepala. "Kenapa tidak mau jadi sinden? Kau pasti disukai banyak orang. Banyak uang…"
"Jadi sinden lebih banyak susah dari senangnya."
"Begitu? Anak manis, kau tahu dari mana sampai bisa berucap seperti itu?" tanya si kakek botak. Dalam hati dia heran melihat anak sekecil itu bicara seperti orang dewasa saja.
"Dulu ibu saya seorang sinden," jawab Sulantri pula.
"Serrr!" Ada yang mengalir dibawah perut orang tua berkepala botak itu. Cepat-cepat si botak ini pegangi perutnya. Sulantri perhatikan tanah sekitar tempat si orang tua duduk yang kelihatan berubah basah.
"Hantu botak, kau kencing ya?!"
"Aku... anu..." Si botak tak bisa menjawab akhirnya tertawa mengekeh. Setelah usap mukanya beberapa kali orang tua ini menunjuk pada lidi di tangan kiri Sulantri. "Bunga kecil hitam itu, apa itu bunga yang kau sebut dalam nyanyianmu tadi? Bunga melati hitam?"
"Memangnya kenapa?" si anak balik bertanya.
"Setahuku yang namanya melati itu pasti putih. Heran, bagaimana mungkin ada melati berwarna hitam…"
"Kenapa musti heran? Melati hitam ini sudah ada dari dulu."
"Kau yakin? Pasti kalau bunga ini bunga melati hitam?" Sambil bertanya orang tua itu perhatikan tiga bunga melati yang menancap bersusun di lidi yang di pegang anak perempuan itu. Bunga kecil itu mempunyai tujuh kelopak ganda berwarna hitam pekat.
"Gusti Allah…" orang tua itu mengucap dalam hati. "Mudah-mudahan memang ini bunga yang tengah dicari-cari itu."
"Bunganya berbentuk bunga melati. Warnanya hitam. Apa ini bukan namanya bunga melati hitam?" ujar Sulantri.
"Cimung..." si orang tua berkata sambil dekatkan kepalanya ke wajah si anak. "Kau barusan memegangnya, apa kau tidak takut keracunan? Atau mungkin kau tidak tahu kalau bunga itu mengandung racun yang bisa membuatmu sakit, bahkan bisa membunuhmu."
"Saya sudah sering memegang bunga ini. Saya tidak pernah sakit…"
Si orang tua perhatikan jari-jari tangan anak perempuan bernama Sulantri. Dia menyaksikan bagaimana jari-jari mungil anak itu berwarna kehitam-hitaman. Lalu si kakek membatin. "Terlalu sering memegang bunga beracun itu, mungkin dia jadi kebal dengan racun bunga."
"Kakek hantu botak, bunga ini memang mengandung racun jahat. Jika kau mau saya bisa membuktikan."
"Ah... itu satu hal yang aku ingin sekali melihat, jawab si botak. Dalam hati dia bertanya-tanya bagaimana anak kecil ini mampu membuktikan kalau bunga melati hitam itu mengandung racun jahat.
Dengan matanya yang lucu Sulantri memandang ke pinggir kali sebelah kiri. Dekat sebuah batu pipih seekor kodok coklat mendekam diam, menunggu mangsa berupa nyamuk dan serangga lainnya yang banyak beterbangan di sekitar situ.
"Kakek botak, kau lihat kodok itu?" Bertanya Sulantri sambil menunjuk ke arah batu.
Mata jereng Kakek kepala botak bergerak berputar ke arah yang ditunjuk. "Ya, aku lihat."
Baru saja si kakek menjawab. Sulantri cabut bunga hitam di ujung paling atas lidi lalu dilemparkannya ke arah kodok coklat di samping batu. Dengan cepat binatang ini melompat dan melahap bunga hitam itu. Sesaat kemudian begitu bunga hitam lewat tenggorokan dan masuk ke dalam perutnya, kodok coklat kelihatan menggeliat kejang dan keluarkan suara mengerang pendek lalu diam tak berkutik lagi. Dari mulutnya yang terbuka meleleh cairan kental berwarna hitam. Kulitnya yang tadi bewarna coklat ini berubah menjadi hitam seperti kayu gosong dimakan api!
Bergidik tengkuk kakek botak dan... ”serrr! ” Dari bawah perutnya terpancar air kencing.
"Racun bunga itu mematikan kodok. Tapi tidak mematikan saya. Lihat…" Sulantri dengan cepat ambil bunga hitam ke dua yang tertusuk pada batang lidi. Bunga itu dimasukkan ke dalam mulutnya. Dikunyah lumat-lumat lalu ditelan. Seperti yang dikatakannya, dia tidak mengalami nasib seperti kodok. Dia tidak keracunan, apa lagi mati.
"Luar biasa! Kau kebal racun bungaitu…" ucap kakek kepala botak, kepala digeleng-gelengkan penuh kagum sedang tangan kiri menekap bagian perut, menahan beser.
"Sekarang coba kau makan bunga yang satu ini," tiba-tiba Sulantri berkata.
"Serrr!" Air kencing Kakek kepala botak langsung muncrat saking kagetnya mendengar ucapan si anak perempuan. "Cimung, aku tidak punya kekebalan seperti dirimu. Tapi aku memang inginkan bunga itu. Kau mau memberikan bunga hitam yang tinggal satu itu padaku?"
"Hantu botak, kau inginkan bunga ini?” ambil saja," jawab Sulantri. Lalu bunga hitam berikut lidi di tangan kirinya diserahkan pada orang yang minta.
Baru saja orang tua itu ulurkan tangan hendak mengambil lidi dan bunga tiba-tiba satu bayangan biru berkelebat. Si kecil Sulantri terpekik. Anak ini terpental bergulingan di tepi kali sampai satu tombak. Kakek botak ikut keluarkan seruan tertahan. Satu gelombang angin dahsyat menerpa dada dan bahu kanannya, membuatnya jatuh terjengkang dan kucurkan air kencing. Terbungkuk-bungkuk, sambil dua tangan pegangi bagian bawah perut dia bangkit Serdiri. Dia segera mendatangi Sulantri.
"Anak, kau tidak apa-apa?" Si orang tua bertanya lalu membantu anak perempuan itu bangun dan duduk di tanah.
"Kakek hantu botak, tadi aku diterpa angin kencang sekali. Dadaku sakit. Kepalaku pusing. Apa yang terjadi?"
"Ada orang jahat…" jawab si orang tua. Mata jerengnya memandang berkeliling. Dia tidak melihat apa-apa. Lalu pandangannya kembali pada anak perempuan di depannya.
"Bunga hitam…" ujar si orang tua. Dia perhatikan tangan kiri Sulantri. Lidi dan satu-satunya bunga hitam yang masih tinggal dan tadi dipegang anak perempuan itu kini tak ada lagi. Dia memeriksa berkeliling.
"Bunga itu lenyap. Bayangan biru tadi! Seseorang merampasnya sebelum sempat kuambil. Kurang ajar!"
"Serrr!" Si Kakek kepala botak kencing lagi. Dia jongkok di samping Sulantri. "Aneh…"
"Apa yang aneh?" tanya Sulantri sambil gosok-gosok dadanya yang terasa sakit.
"Ada orang merampas bunga hitamdan lidi…" Si kakek memperhatikan lalu melompat ke arah lenyapnya bayangan biru. Dia tidak melihat siapa-siapa.
"Kek, bagi saya bunga beracun itu hanya barang mainan. Aneh juga kalau ada orang merampasnya. Buat apa? Tadi kau memintanya. Bagimu apakah sangat berarti?"
"Sangat berarti. Bunga melati hitam itu jika kuberikan pada seorang temanku, bisa mengobati seorang penting di Kotaraja."
"Saya mau pulang," Sulantri berdiri.
"Tunggu," kata si kakek dan ikut berdiri.
"Di sekitar kali kecil ini kulihat tidak ada tanaman kembang. Dari mana kau mendapatkan bunga melati hitam itu?"
"Bunga langka itu memang tidak tumbuh disini. Jika kau mau, datanglah minggu depan ke sini. Akan saya berikan tiga kuntum bunga rnelati hitam yang masih segar-segar padamu."
Si kakek botak pegangi perutnya."Cimung, mengapa aku harus menunggu sampai minggu depan?"
"Karena bunga itu hanya muncul sekali seminggu. Setiap muncul selalu berjumlah tiga…"
"Benar-benar aneh. Muncul sekali seminggu. Setiap muncul selalu berjumlah tiga."
Kakek botak bermata belok jereng mengulangi ucapan Sulantri, pandangi anak perempuan itu berapa saat, lalu bertanya. "Dari mana munculnya tiga kuntum bunga itu?"
Sulantri menunjuk ke arah timur dimana di kejauhan kelihatan Gunung Merapi. "Tiga bunga Melati hitam itu selalu…"
Belum sempat anak perempuan delapan tahun itu menyelesaikan ucapannya tiba-tiba satu benda putih berdesing di udara.
"Cimung awas!" teriak kakek botak. Dia berusaha mendorong anak perempuan itu tapi jaraknya terlalu jauh. Maka cepat dia hantamkan tangan kanan untuk memukul benda putih yang melesat. Namun terlambat!
Sulantri keluarkan jeritan keras. Anak ini langsung roboh, terkapar di tanah. Matanya membeliak menatap langit. Di lehernya menancap sebuah pisau kecil bergagang perak. Darah mengucur membasahi leher dan badan gadis cilik yang malang ini. Kakek botak berteriak marah. Air kencingnya mengucur deras. Semula dia hendak meng-hambur menubruk mayat anak perempuan malang itu. Namun sudut matanya menangkap satu bayangan biru berkelebat dibalik pohon besar. Tidak menunggu lebih lama kakek ini segera melesat ke arah pohon.
"Bangsat pembunuh! Jangan kabur!" Sambil berkelebat dan berteriak kakek botak ini hantamkan tangankanannya.
"Braakkk! Traaakk!"
Semak belukar di samping pohon hancur beterbangan ke udara. Batangan pohon gompal besar, berderak miring lalu tumbang dengan suara menggemuruh.
BAB 2
KAKEK berpakaian basah air kencing usap-usap kepala botaknya. Dia berdiri di Samping pohon besar yang barusan dihantamnya tumbang. Matanya yang jereng memandang berkeliling. Orang yang dikejar tidak kelihatan mulutnya memaki marah.
"Pembunuh keparat! Pengecut! Apa dosa anak itu sampai kau membunuhnya begitu keji!"
"Serrr! Serrr!"
Setelah kucurkan air kencing dua kali berturut-turut si kakek memutar tubuh, melangkah ke arah Sulantri tergeletak. Baru dualangkah berjalan tiba-tiba cabang sebuah pohon di Samping kirinya bergoyang. Sudut matanya melihat sesuatu bergerak di atas sana. Lalu menyusul terdengar suara tawa mengekeh.
Kakek botak angkat kepalanya, memandang ke arah dahan pohon. Dua kaki memasang kuda-kuda, tangan kanan waspada siap menghantam. Satu bayangan biru berkelebat cepat. Di lain kejap bayangan itu telah berdiri di hadapan si kakek, berupa sosok seorang tua berwajah jernih, mengenakan pakaian ringkas warna biru.
"Setan alas satu ini, apakah aku pernah melihatnya sebelumnya?" Kakek botak membatin sambil usap kepala dengan satu tangan sementara tangan lain memegangi bagian bawah perut.
"Tua bangka bau pesing, kau inginkan bunga langka ini?" orang tua berbaju biru ajukan pertanyaan sambil tangan kanannya acungkan lidi yang ditancapi bunga melati hitam yang sebelumnya berada di tangan gadis cilik Sulantri. Saking geramnya kakek kepala botak kucurkan air kencing lalu membentak.
"Setan tua, kalau tidak iblis pasti kau sebangsa dajal! Apa salah anak perempuan itu sampai kau membunuhnya?!"
Si baju biru menyeringai. "Aku bicara lain kau omong lain! Kau perlu bunga ini? Ambillah!" Habis berkata begitu kakek di hadapan si botak gerakkan tangan kanannya meremas. Lidi dan bunga hitam yang menancap di situ langsung amblas hancur. Sambil tertawa bergelak si kakek jatuhkan hancuran bunga dan lidi ke tanah.
"Jahanam kurang ajar!" maki kakek kepala botak dengan mata mendelik besar. Habis sudah harapannya untuk mendapatkan bunga melati hitam yang sangat langka itu. Kencing menyembur tidak tertahankan. "Manusia keji kurang ajar! Sekarang aku ingat siapa kau adanya!"
"Tua bangka botak! Aku juga tahu siapa kau sebenarnya. Dulu kau punya rambut! Sekarang aneh, mengapa kepalamu jadi botak! walau botak tapi aku tidak lupa dirimu! Matamu yang belok dan jereng! Kuping kananmu yang terbalik! Celanamu yang selalu basah oleh air kencing! Kau adalah mahluk salah kaprah berjuluk Setan Ngompol, sobat musuh besarku Naga Kuning! Dulu di kawasan air terjun jurangmungkung kau pernah menantangku!.Waktu itu aku tidak punya kesempatan melayani mulut besarmu! Sekarang aku muncul menerima tantanganmu!"
"Rana Suwarte…" ucap kakek kepala botak dengan rahang mengembung dan tenggorokan keluarkan suara menggembor marah.
"Ha ha ha...! Bagus! Kau ternyata masih ingat nama, kenal diriku! Berarti jalanmu ke neraka akan jauh lebih mudah! Ha ha ha!"
"Setan alas manusia keji busuk! Kau barusan membunuh anak kecil tak berdosa. Aku bersumpah membunuhmu saat ini juga! Tapi sebelum mati aku ingin tahu. Mengapa kau membunuh anak itu. Lalu sengaja meng-hancurkan bunga melati hitam!"
"Ah, dua pertanyaanmu itu akan terjawab di satu tempat. Pasti! Di liang neraka tempat kemana kau akan segera berangkat!"
"Tua bangka jahanam! mulutmu keliwat takabur! Aku tidak keberatan kita sama-sama berangkat menuju liang neraka!" teriak Setan Ngompol. Lalu tubuhnya berkelebat ke arah Rana Suwarte dalam jurus serangan bernama Setan Ngompol Mengencingi Bumi. Angin deras disertai cipratan air kencing lebih dulu menghantam Rana Suwarte sebelum serangan yang berupa dua pukulan tangan kiri kanan itu menderu ke arah sasaran.
Mengenai siapa adanya Rana Suwarte dan riwayat perselisihannya dengan Setan Ngompol harap baca Episode terakhir dari serial Kembali Ke Tanah Jawa berjudul Senandung Kematian
Rasa Suwarte semburkan ludah saking jijiknya ketika air kencing yang menyiprat dari celana lawan mengenai wajahnya. Dia tekuk dua lutut hingga tubuhnya sedikit merunduk. Sesaat dia menunggu. Begitu sosok Setan ngompol yang melayang di udara menukik ke arahnya disertai gempuran angin luar biasa deras, Rana Suwarte pukulkan dua tangannya ke atas. Dua gelombang angin dahsyat menderu memapasi hantaman angin keras yang keluar dari pukulan tangan kiri kanan Setan Ngompol.
"Dess! Desss!"
Dua letupan keras mengema di sepanjang kaki begitu tenaga dalam tinggi yang memancar dari dua pasang tangan bentrokan di udara.
"Braaak! Braaaak!"
Semak belukar di tempat itu hancur beterbangan ke udara. Setan Ngompol terpental dua tombak. Kencingnya bermuncratan kemana-mana. sepasang mata yang jereng mendelik merah sedang dada mendenyut sakit. Tulang-tulang iganya serasa remuk. Tadi dia telah mengerahkan lebih dari tiga perempat tenaga dalamnya. Tidak menyangka lawan sanggup menahan serangannya bahkan daya balik tenaga dalamnya yang menangkis begitu hebat memberi bekas di tubuh si kakek kepala botak.
Apa yang terjadi dengan kakek berpakaian Ringkas biru tak kalah hebatnya. Kakek ini Terbanting jatuh duduk di tanah. Mukanya yang Jernih kelihatan pucat pertanda tekanan tenaga Dalam lawan yang tinggi telah menciderai tubuhnya di bagian dalam.
"Rana Suwarte!" bentak Setan Ngompol. Setahuku kau adalah tokoh silat abdi Istana. Mengapa berlaku keji membunuh anak perempuan tak berdosa itu?!"
"Setan Ngompol! Simpan semua pertanyaanmu sampai kau minggat ke liang neraka!" jawab Rana Suwarte dengan bentakan tak kalah kerasnya. Lalu dia berkelebat, menyergap lawan dengan serangan berantai luar biasa keras dan cepat.
Setan Ngompol berjibaku menangkis dan menghantam dengan dua tangannya. Rupanya kakek botak ini bukan cuma ingin menjajal kehebatan tenaga dalam lawan tapi juga sekaligus mau menjajagi sampai dimana kedigjayaan tenaga luarnya. Suara bergedebukan terdengar berulang kali. Dua lengan Setan Ngompol yang kurus kering kelihatan hitam kebiruan sedang sepasang lengan Rana Suwarte dipenuhi bengkak-bengkak merah. Rana Suwarte merasa sakit lebih dulu. Ini membuat dia terpaksa mundur.
Setan Ngompol tidak memberi kesempatan. Walau sambil terkencing-kencing kakek ini terusmendesak lawan. Lima jurus Rana Suwarte dibuat kalang kabut. Jurus ke enam dia tak bisa bertahan lagi. Kakek ini mencari kesempatan untuk mundur guna mengatur kuda-kuda dan siasat baru. Namun maksudnya belum kesampaian. Tiba-tiba dengan jurus bernama Setan Ngompol Mengencingi Langit lawan berhasil menyusupkan satu pukulan telak ke pertengahan dadanya.
"Bukkk!" Rana Suwarte meraung keras. Tubuhnya mencelat lima langkah, punggung terbanting membentur batang pohon, sesaat terhenyak tegak lalu muntahkan darah segar!
"Keparat!" rutuk Rana Suwarte sambil seka darah yang meleleh di bibir dan dagunya dengan tangan kanan. Lalu meludah ke tanah. Tangan yang bernoda darah itu kemudian bergerak mengeluarkan sesuatu dari balik pinggang pakaian birunya. Satu cahaya kuning memancar terang di bawah pohon dimana Rana Suwarte berdiri dengan tampang kelam membesi.
"Senjata di tangan jahanam itu…” ujar Setan Ngompol dalam hati, memperhatikan dengan mata jereng melotot. "Astaga! Itu Keris naga Kopek pusaka Kerajaan. Bagaimana bisa berada di tangannya?!"
"Setan Ngompol!" Rana Suwarte membentak dengan wajah lontarkan seringai setan. "Kau lihat senjata ini?!"
"Aku tidak buta! Aku lihat dan aku tahu! ltu adalah Keris Naga Kopek milik pusaka Kerajaan! Pasti kau telah mencurinya!"
BAB 3
Rana Suwarte tempelkan badan keris sakti pusaka Kerajaan di atas keningnya, dongakkan kepalalalu tertawa bergelak. "Tua bangka bau pesing buronan Kerajaan! Dengar! Kau boleh punya ilmu setinggi langit sedalam lautan. Tapi tak ada satu kekuatan pun sanggup menghadapi keris sakti bertuah di tanganku ini! Bersiaplah untuk mampus!"
Setan Ngompol memang sudah tahu kehebatan Keris Naga Kopek. Bahkan menyaksikan sendiri bagaimana senjata sakti Itu mampu melindungi sahabatnya, Pendekar 212 Wiro Sableng dari serangan maut Kipas Pelangi yang dilancarkan Adimesa alias Pendekar Kipas Pelangi sewaktu terjadi pertempuran hebat di kawasan air terjun Jurangmungkung. Adisaka yang juga dikenal dengan nama Damar Wulung, yang tidak terlindung oleh keris sakti itu menemui ajal secara mengenaskan di tangan adiknya sendiri. Baca serial Wiro Sableng berjudul Senandung Kematian
Walau tahu kehebatan senjata di tangan lawan tapi Setan Ngompol tidak unjukan sikap jerih Sambil bertolak pinggang sementara air kencingnya mengucur terus dia berkata. "Setahuku senjata curian tidak pernah ampuh. Apa lagi dipakai untuk kejahatan!"
Rawa Suwarte menyeringai. "Jangan terlalu takabur! Kita akan lihat bagaimana nasibmu sebentar lagi!"
Didahului satu bentakan keras tokoh silat istana itu melompat ke hadapan Setan ngompol. Keris di tangan kanan dibabatkan. Suara menderu dahsyat disertai berkiblatnya cahaya kuning tebal dan angker menyambar ke arah Setan Ngompol.
Setan Ngompol berseru kaget ketika merasakan seperti ada tembok batu mendorong dahsyat ke arahnya. Dengan cepat kakek ini melompat mundur sambil hantamkan dua tangan sekaligus. Melepas pukulan sakti bernama Setan Ngompol Meroboh Gunung. Selama ini jarang ada lawan yang sanggup menerima pukulan tersebut. Kalau tidak dihantam roboh, paling tidak lawan akan mencelat mental dan menderita luka dalam parah!
Namun untuk kedua kalinya Setan Ngompol berteriak tegang dan terkencing-kencing ketika pukulan dua tangannya yang mengandung hawa sakti dan tenaga dalam tinggi diterpa kiblatan cahaya kuning Keris Naga Kopek lau berbalik menghantam dirinya sendiri.
Setan Ngompol selamatkan diri dengan melompat setinggi satu tombak. Tapi lawan rupanya dapat menduga gerakannya. Selagi sosok kakek botak itu masih melayang setengah jalan di udara Rana Suwarte mendahului membuat lompatan lebih tinggi. Lalu dengan tubuh masih menggantung di udara dia tusukkan Keris Naga Kopek ke bawah. Laksana semburan api, cahaya kuning meluncur ganas ke arah Setan Ngompol!
"Celaka!" Setan Ngompol berseru tegang. Sambil pegang bagian bawah perutnya dia jungkir balik diudara lalu jatuhkan diri ke kiri. Baru dua kakinya menginjak tanah, satu tendangan menyapu kuda-kuda salah satu kakinya. Tak ampun lagi Setan Ngompol jatuh terjengkang.
Belum sempat bergerak bangun ujung runcing Keris Naga Kopek sudah menempel di batok kepalanya yang gundul plontos! Setan Ngompol merasa ada hawa aneh menggidikkan memasuki kepalanya, membuat tubuhnya bergetar dan tengkuknya merinding dingin. Kencingnya muncrat habis-habisan.
"Berani bergerak, kutembus batok kepalamu!" Mengancam Rana Suwarte.
"Kau mau membunuhku? Ha ha ha! Teruskan niatmu! Siapa takut mati!" Ucap Setan Ngompol setengah berteriak, membalas ancaman orang dengan tantangan.
Rana Suwarte tertawa mengekeh. Dia tahu lawan saat itu dalam keadaan tidak berdaya. Dia hanya menggerakkan tangan sedikit saja maka tamatlah riwayat Setan Ngompol. "Orang takut dan putus asa memang bisa nekat! Tua bangka bau! Aku tidak terlalu kesusu ingin merampas nyawamu. Malah aku masih sudi memberi sedikit penundaan. Asal kau mau memberi tahu dimana beradanya bocah sahabatmu si rambut jabrik dikenal dengan nama Naga Kuning yang ujud aslinya adalah seorang kakek bernama Kiai Paus Samudera Biru."
Mendengar ucapan orang, Setan Ngompol putar sepasang matanya yang belok jereng lalu tertawa gelak-gelak sampai air kencingnya berkucuran.
"Jahanam! Mengapa kau tertawa seperti orang gila! Apa yang lucu!"
"Minum kencingku dulu! Baru aku beritahu dimana bocah konyol itu berada! Ha ha ha!"
Bergetar sekujur tubuh Rana Suwarte. Keris Naga Kopek yang tergenggam di tangannya dan ujungnya menempel di batok kepala Setan Ngompol tampak memancarkan cahaya kuning lebih terang. Pertanda tokoh silat lstana itu tengah mengerahkan seluruh tenaga dalam yang dimilikinya. Dengan sekali tusuk saja dia ingin menembus amblas kepala botak Setan Ngompol.
"Bangsat kurang ajar! Mampus kau!" teriak Rana Suwarte. Tangannya bergerak. Namun sebelum Keris Naga Kopek dihujamkan ke batok kepala Setan Ngompol mendadak satu suara kecil tapi nyaring terdengar di belakangnya.
"Tua bangka sesat Rana Suwarte, apa betul kau mencari diriku?!"
Gerak tangan yang hendak rnenusuk tembus Keris Naga Kopek ke batok kepala Setan Ngompol sesaat tertahan. Rana Suwarte palingkan kepala. Melihat siapa yang berdiri di sebelah sana, sosok orang tua ini bergetar dilanda dendam kesumat. Mukanya yang jernih kelam membesi. Rahang menggembung. Sepasang mata mendelik tak berkesip memandangi anak lelaki berpakaian serba hitam berambut jabrik yang tegak beberapa langkah di depannya. Naga Kuning! Bocah yang tengah dicari dan ingin dihabisinya!
Pada saat Rana Suwarte terkesiap melihat kemunculan Naga Kuning yang tidak terduga, Setan Ngompol pergunakan kesempatan untuk selamatkan diri. Pertama sekali dia jauhkan kepala botaknya dari ujung Keris Naga Kopek. Bersamaan dengan itu tangan kirinya menepis lengan kanan Rana Suwarte. Lalu tangan kanan melesat ke depan, menghantam selangkangan orang!
"Jebol celenganmu!" teriak Setan Ngompol lalu tertawa bergelak.
"Bedebah keparat!" maki Rana Suwarte. Keris Naga Kopek dibabatkannya ke bawah. Suara tawa Setan Ngompol sirna. Tak mau putus kehilangan lengan dengan cepat dia terpaksa tarik pulang tangannya yang dipukulkan ke bawah perut lawan lalu jatuhkan diri di tanah, terkencing-kencing berguling menjauhi Rana Suwarte.
"Nyawamu di tanganku! kau mau lari kemana!" kertak Rana Suwarte lalu melompat memburu Setan Ngompol. Kaki kanannya menghamburkan tendangan berantai tapi tak satupun berhasil mengenai tubuh Setan Ngompol. Dengan geram Rana Suwarte angkat tangan kiri. Ketika tangan itu bergerak, dua buah benda putih berkilat melesat ke arah perut dan dada Setan Ngompol.
”Pisau terbang!” Dengan pisau inilah Rana Suwarte sebelumnya menghabisi nyawa Sulantri, gadis cilik di tepi kali.
Melihat serangan dua pisau terbang Setan Ngompol liukkan tubuh. Dia berhasil mengelakkan pisau yang mengarah ke perut. Namun kasip dan tak mampu menghindar dari pisau yang mengincar dada. Hanya sekejapan lagi pisau putih itu akan menancap di dada Setan Ngompol tiba-tiba tring! Sebuah batu kecil melesat di udara, menghantam ujung lancip pisau terbang hingga senjata rahasia ini terpental gompal.
"Serrr!" Sadar kalau dirinya barusan terlepas dari bahaya maut, Setan Ngompol kucurkan air kencing, lalu cepat berdiri sambil pegangi perut.
"Bocah jahanam!" Rana Suwarte keluarkan makian. Dia tahu barusan Naga Kuninglah yang menyambitkan sebuah batu kecil ke arah pisau maut yang dilemparkannya menyerang Setan Ngompol.
"Kau rupanya minta mampus lebih dulu dari kakek keparat itu!" Sekali lompat Rana Suwarte sudah berdiri tiga langkah di hadapan Naga kuning. Keris Naga Kopek dipegang melintang di depan dada.
"Rana Suwarte. Usiamu sudah lanjut tapi masih saja bicara carut marut memalukan. Jangan kau berani berlaku kurang ajar pada kakek sahabatku itu! Jika aku yang kau cari, katakan apa urusanmu! apa masih urusan yang lama itu?!"
"Bocah setan! Salah satu diantara kita harus mati saat ini juga!" hardik Rana Suwarte.
Naga Kuning goleng-golengkan kepala sambil keluarkan suara seperti suara cecak. "Cek... Cek... Cek! Luar biasa nekad!" kata anak berambut jabrik ini. Lalu dia sambung ucapannya.
"Kalau aku mati apa kau kira akan bisa mengawini Ning lntan Lestari? Aku tahu semua perbuatan jahatmu ini adalah karena dendammu terhadapku gara-gara tidak bisa mendapatkan perempuan itu!"
Seperti dituturkan dalam serial Wiro Sableng berjudul Gondoruwo Patah Hati sejak semasa muda antara Naga Kuning yang berjuluk Kiai Paus Samudera biru terjadi silang sengketa dengan Rana Suwarte gara-gara memperebutkan seorang gadis cantik bernama Ning lntan Lestari. Sang gadis mencintai Naga Kuning, tapi Naga Kuning sendiri menganggapnya sebagai saudara karena Ning lntan Lestari adalah anak angkat orang yang sangat dihormatinya yakni Kiai Gede Tapa Pamungkas.
Gagal mendapatkan cinta Ning lntan Lestari, Rana Suwarte meminta pertolongan Kiai Gede Tapa Pamungkas untuk membujuk Ning lntan Lestari agar mau nikah dengan dirinya. Itu terjadi setelah puluhan tahun terpisah. Namun nyatanya si gadis yang kini telah berubah menjadi nenek tetap saja menolak kehadiran Rana Suwarte.
Dalam amarahnya, Rana Suwarte menganggap Naga Kuninglah yang jadi biang racun semua kegagalannya dalam mendapatkan Ning lntan Lestari. Padahal Naga Kuning sendiri dilihatnya seperti tak acuh dan meninggalkan gadis itu sekian lama. Sebenarnya setelah berpisah puluhan tahun begitu rupa, entah mengapa kini timbul rasa sayang di hati Naga Kuning pada Ning lntan Lestari yang hidup menyamar sebagai nenek muka setan dengan julukan Gondoruwo Patah Hati.
Merasa ditelanjangi orang, Rana Suwarte mendidih amarahnya. Kepala dan dadanya seperti mau meledak mendengar ucapan Naga Kuning tadi. Sewaktu terjadi pertempuran hebat di dekat air terjun Jurangmungkung dulu, dia memang merasa jerih terhadap Naga Kuning, terutama ketika bocah itu memperlihatkan ujud aslinya berupa seorang kakek sakti mandraguna yang dikenal dengan julukan Kiai Paus Samudera Biru.
Selain itu dia juga masih menaruh.rasa segan karena tahu Naga Kuning adalah orang kepercayaan Kiai Gede Tapa Pamungkas, ayah angkat Ning lntan Lestari, mahluk setengah manusia setengah roh yang telah meninggal dunia puluhan tahun silam. Selain itu Kiai Gede Tapa Pamungkas diketahui adalah guru Sinto Gendeng dan Tua Gila. Baca serial Wiro Sableng berjudul Pedang Naga Suci 212
Tapi kini bagi Rana Suwarte keadaan telah berubah. Memegang Keris Naga Kopek di tangan kanan Rana Suwarte tidak memandang sebelah mata lagi pada Naga Kuning, juga tidak perduli apapun hubungan anak aneh itu dengan Kiai Gede Tapa Pamungkas.
"Naga Kuning, Kiai Paus Samudera Biru! Siapapun kau adanya! Hari ini adalah hari nahasmu! Kematianmu sudah di depan mata. Jadi jangan bicara sombong tak karuan!"
"Siapa bicara sombong tak karuan! Bukankah kau yang hidup salah kaprah tak karuan? Tergila-gila pada perempuan yang jangankan mencintamu, melihatmupun dia muak! Bagaimana mungkin kau masih bermimpi ingin mengawininya? Dan kesialan nasibmu itu kau jadikan bahan dendam kesumat terhadapku! Sungguh tolol! Memalukan!"
Rana Suwarte tak dapat menahan amarahnya lagi. "Bocah keparat! Berangkatlah ke neraka!"
Teriak tokoh silat lstana itu. Sambil melompat kemuka dia kirimkan satu tusukan dan dua babatan dengan Keris Naga Kopek. Sinar kuning berkiblat terang di udara disertai deru membising telinga menggetarkan dada.
Naga kuning menahan kejut. Belum pernah dia melihat senjata yang mampu memancarkan cahaya demikian angkernya. Tubuhnya yang kecil laksana diterpa angin puting beliung. Tanah yang dipijaknya seperti diguncang lindu. Pantas saja tadi si Setan Ngompol kelabakan menghadapi senjata sakti mandraguna itu.
"Edan!" maki Naga kuning ketika diadapatkan dirinya tidak bisa keluar dari gulungan cahaya kuning. Setiap saat Keris Naga Kopek di tangan lawan datang menggempur dalam bentuk tusukan atau babatan.
"Bukkk!"
Dalam satu gebrakan Naga Kuning berhasil menghantam lengan kanan Rana Suwarte yang memegang Keris Naga Kopek. Lengan itu hanya tergetar sedikit sebaliknya Naga kuning terpental sampai tiga langkah dan jatuh duduk di tanah. Lawan tidak sia-siakan kesempatan. Sambil rnerunduk Rana Suwarte hunjamkan senjata sakti ditangannya ke dada si bocah.
"Settt! Clep!"
Keris Naga Kopek kelihatan menancap di dada Naga Kuning. Setan Ngompol berteriak kaget. Kencingnya berburaian.
"Rana Suwarte keparat! Kukorek jantungmu! Kuhisap darahmu!" teriak Setan Ngompol.
Dia menerjang ke depan ke arah tokoh silat lstana itu. Namun setengah jalan gerakannya tertahan ketika menyaksikan apa yang terjadi dengan sosok Naga Kuning.
********************
WWW.ZHERAF.NET
BAB 4
Kita tinggalkan dulu Naga Kuning yang menerima nasib kena ditikam Rana Suwarte dengan Keris Naga Kopek, senjata sakti mandraguna yang merupakan salah satu benda pusaka Kerajaan. Kita kembali ke sebuah muara sungai kecil di kawasan pantai selatan.
Sejak tengah malam udara terasa lebih dingin. Langit di laut menghitam dalam kegelapan tanpa bulan tanpa bintang. suara tiupan angin sesekali mengencang terdengar menggidikkan. Di batik sederetan pohon kelapa di tepi pantai, di bawah sebuah gubuk tak berdinding, dua gadis duduk satingberdiam diri.
"Hujan..." Gadis di samping kiri berucap sambil mengusap pipinya yang kejatuhan hujan rintik-rintik. Gadis ini berambut pirang, berwajah cantik jelita dan bukan lain adalah Bidadari Angin Timur. Di sebelahnya duduk Anggini, gadis cantik murid tokoh silat terkenal berjuluk Dewa Tuak.
"Anggini, apakah kita akan terus menunggu di sini? Ini malam kedua kita bergadang. Yang aku khawatirmereka tidak muncul di kawasan muara ini."
Dua gadis itu memang telah berada di tempat tersebut selama dua malam. Padahal di dasar samudera waktu yang dua malam itu bagi Wiro kurang dari satu hari.
"Turut keterangan orang-orang yang kita tanyai, mereka memang menuju ke sini. Lalu menghilang begitu hari gelap. Kita tidak tahu kapan mereka akan muncul. Tapi aku yakin tempatnya memang sekitar muara ini. Karena di sini pertemuan muara sungai yang mengandung hawa hangat dengan air laut yang berhawa dingin. Kalaupun kita beranjak dari sini, kita mau pergi kemana? Pangeran Matahari yang kita cari sama sekali tidak meninggalkan jejak."
Bidadari Angin Timur dalam sesaat lalu melanjutkan kata-katanya. "Aku ingat keterangan Eyang Sinto Gendeng tempo hari mengenai dua makam di puncak Gunung Gede. Kita sama menyaksikan hanya satu makam yang kosong sedang makam satunya adalah dimana Puti Anggini dimakamkan. Jelas-jelas kita yang menguburkan gadis itu. Mengapa tahu-tahu makamnya kosong? Aku yakin ini semua Pangeran keparat itu yang punya pekerjaan. Aku..."
Anggini angkat tangannya, memberi isyarat dengan gerakan tangan memutus ucapan Bidadari Angin Timur. Dia menunjuk ke arah timur. Di jurusan itu, dalam kegelapan kelihatan seorang berlari menyusuri pantai. Demikian cepat larinya hingga dalam waktu cepat sekali dia telah berada di muara sungai dekat deretan perahu-perahu kosong.
Dengan gesit orang ini melompat dari satu perahu ke perahu lainnya tanpa perahu-perahu kosong itu bergerak barang sedikitpun. Di perahu ke tiga pada deretan perahu diujung kiri, orang ini berhenti lalu merunduk dan dudukkan diri di lantai perahu.
"Orang itu memiliki ilmu meringankan tubuh tinggi. Pasti orang dari rimba persilatan," bisik Bidadari Angin Timur.
Yang diperhatikan Anggini bukan kehebatan ilmu lari atau ilmu meringankan tubuh orang. "Sahabatku, coba kau perhatikan. Di atas kepala orang itu ada asap aneka warna merah, berbentuk kerucut berbalik. Matanya juga merah. Aku merasa pasti orang itu adalah nenek aneh yang menurut Wiro tersesat dari Negeri Latanahsilam. Yang pernah bertempur dengan Wiro karena dia sebenarnya adalah kakak kandung iblis Kepala batu Alis Empat alias lblis Kepala batu Pemasung Roh."
"Aku ingat," ujar Bidadari Angin Timur. "Namanya hantu Penjunjung Roh. Waktu Wiro mengerjainya, hampir membuat dirinya telanjang bugil, kau memberikan sehelai pakaian padanya."
"Benar, memang dia. Mengapa dia berada di sini?" Anggini menduga-duga.
"Kalau dia adalah saudaranya lblis Kepala Batu Alis Empat, sudah bisa kuduga apa maksudnya berada di sini. Mau mencegah Wiro. Membalas dendam karena telah dipecundangi dan dipermalukan."
"Berarti Pendekar 212 dalam bahaya."
"Apa yang harus kita lakukan?"
"Tunggu saja sampai Wiro muncul. Kalaupun nenek itu punya niat jahat terhadap Wiro, rasanya dia tidak memiliki kemampuan mengalahkan Pendekar 212."
Hujan rintik-rintik lenyap diterpa angin laut. Malam tambah dingin. Orang di dalam perahu Hantu Penjunjung Roh duduk tak bergerak. Matanya selalu diarahkan ke tengah laut, sesekali memandang berkeliling. Anggini dan Bidadari Angin Timur mulai letih, kedinginan dan mengantuk. Tiba-tiba sayup-sayup di kejauhan terdengar suara air laut bersibak. Anggini angkat kepalanya, memandang lurus-lurus ke arah laut di ujung muara sungai.
"Bidadari, lihat!" ucap Anggini. Bidadari Angin Timur yang tengah terkantuk-kantuk tersentak, berpaling pada sahabatnya lalu memandang ke arah yang ditunjuk Anggini. Saat itu dari bawah permukaan air laut muncul dua kepala manusia, satu laki-laki, satunya perempuan berambut panjang hitam. Setelah muncul kepala, menyusul bagian dada lalu perut. Akhirnya kedua orang itu kelihatan melangkah mengarungi air laut yang semakin dangkal, bergerak menuju ketepi pasir pantai.
"Dugaan kita tidak meleset. Si mata biru itu ternyata memang mendampingi Wiro masuk ke dalam lautan." Kata Bidadari Angin Timur setengah berbisik.
"Mungkin Wiro telah mendapatkan ilmu Meraga Sukma itu" ujar Anggini.
Belum sempat Bidadari Angin Timur menjawab ucapan sahabatnya tiba-tiba sosok Hantu Pemasung Roh yang sejak lama mendekam di salah satu perahu melesat ke udara lalu menukik turun ke arah dua orang yang barusan saja keluar dari dalam laut. Dalam kejutnya Wiro dan Ratu Duyung cepat bersibak ke kiri dan ke kanan.
"Hantu Penjunjung Roh!" seru Wiro begitu dia mengenali siapa yang berdiri di atas pasir basah di hadapannya. Dia merasa tidak enak. Naga-naganya nenek satu iniakan mencari lantaran lagi. Wiro memberi isyarat pada Ratu Duyung agar berlaku waspada.
"Bagus! Kau masih mengenali tua bangka jelek ini! Hik hik hik!"
"Nek, kelihatannya kau sengaja menghadang kami." kata Wiro pula.
"Bukan kelihatannya. Tapi memang benar aku sengaja menghadangmu. Aku punya satu kepentingan denganmu anak muda! Aku datang untuk mengingatkanmu tentang urusan dengan saudaraku lblis Kepala Batu Alis Empat Alis lblis Kepala Batu Penjunjung Roh. Wiro garuk-garuk kepalanya.
"Aku lupa, urusan apa yang kau maksudkan?"
"Hemm Hik hik! Kau lupa. Biar aku beritahu! Aku ingatkan padamu jangan sekali lagi berani membuat urusan apa lagi sampai mencelakai lblis Kepala Batu Alis Empat!"
"Tidak ada orang yang ingin mencelakai saudaramu itu! Dia mencelakai dirinya sendiri!" kata Wiro mulai gusar.
"Maksudmu?!" tanya Hantu Penjunjung Roh.
"Jangan berlagak tolol tidak tahu! Saudaramu menculik gadis bernama Bunga, sahabat Pendekar 212. Menyekapnya dalam guci tembaga!" Yang menjawab adalah Ratu Duyung.
Hantu Penjunjung Roh yang bernama Luhniknik ini lirikkan matanya pada Ratu Duyung, lalu berkata. "Gadis berambut hitam panjang, bermata biru bertubuh bagus, apa hubungamu dengan pemuda ini?"
"Kau tak patut bertanya, jadi tak layak kujawab!" sahut Ratu Duyung pula.
Si nenek tertawa panjang. "Aku tidak ada kepentingan dengan dirimu. Jadi jangan berani campuri urusanku dengan pemuda itu!"
Wiro maju satu langkah. "Hantu Penjunjung Roh aku juga merasa tidak ada urusan dengan dirimu. Mengingat hubungan kita di Latanahsilam dulu, harap kau suka meninggalkan tempat ini. Jangan menghalangi kami."
Wiro memberi isyarat pada Ratu Duyung. Keduanya lalu melangkah maju melewati samping kiri dan kanan si nenek. "Pendekar 212 Wiro Sableng! Di Negeri Latanahsilam kita boleh bersahabat. Tapi di sini saat ini aku terpaksa meminta sumpahmu bahwa kau tidak akan melakukan apa-apa terhadap adikku lblis Kepala Batu Alis Empat."
"Aku bisa saja bersumpah. Tapi apakah kau sanggup membebaskan Bunga dari dalam guci tembaga?!"
"Aku akan melakukan hal itu! Aku akan menemui adikku!"
"Mana mungkin! Dimana dia berada saja kau tidak tahu!" tukas Wiro.
"Jangan memandang remeh diriku! Aku tahu dimana dia berada!"
"Tempat kediamannya di Jurangmungkung sudah aku hancurkan!"
"Dia masih punya beberapa tempat kediaman. Diantaranya di Lembah Welirang, lalu di..."
Hantu Penjunjung Roh putus ucapan. Dia baru sadar kalau telah mengatakan sesuatu yang seharusnya tidak boleh diungkapkan.
"Kurang ajar! Aku kena terpancing pemuda jahanam ini!" rutuk si nenek dalam hati. Wiro menyeringai.
"Maaf Nek, aku tidak percaya kau mampu melakukan hal itu."
"Memang, seharusnya kau jangan percaya padanya Wiro!"
"Betina penghasut! Kau bakal menerima hajaran dariku!" kata Hantu Penjunjung Roh. Dua matanya yang merah berbentuk kerucut menyembul keluar. Dia berpaling ke arah Pendekar 212 lalu berkata,
"Aku terpaksa minta jaminan secara paksa bahwa kau tidak akan mencelakai saudaraku!"
Habis berkata begitu Hantu Penjunjung Roh goyangkan kepalanya. Dari dua matanya yanganeh, melesat dua larik sinar merah angker. Sinar pertama menderu ke arah bahu kiri dan sinar kedua ke arah bahu kanan Wiro. Jika mengenai sasarannya maka dua tangan sang pendekar akan buntung sebatas bahu!
Seperti diketahui Hantu Penjunjung Roh telah beberapa kali berusaha membujuk agar Wiro tidak mengambil tindakan terhadap lblis Kepala Batu Alis Empat. Si nenek tahu kalau Wiao mengeluarkan ilmu kesaktian yang dimilikinya maka adiknya akan celaka besar walau konon lblis Kepala Batu Alis Empat punya ilmu kebal.
Dari membujuk si nenek sampai bertindak keras hingga terjadi perkelahian. Wiro yang masih menaruh hormat terhadapnya tidak mau menjatuhkan tangan keras. Terakhir sekali dia memberi pelajaran dengan cara merobek-robek pakaian perempuan tua itu hingga keadaannya nyaris bugil.
Ternyata hal ini tidak membuat Hantu Penjunjung Roh jera. Nenek satu ini tetap saja ngotot membela saudaranya tanpa mau mengerti kalau lblis Kepala Batu telah melakukan kejahatan keji, menculikBunga, menyekapnya dalam guci tembaga dan memaksanya untuk dijadikan gadis peliharaan.
Wiro memburu lblis Kepala Batu ke sarangnya di dekat air terjun Jurangmungkung. Tapi tidak menemui si penculik di tempat itu. Dalam marahnya Wiro hanya bisa menghancurkan tempat kediaman lblis Kepala Batu.
Mendapat serangan ganas begitu rupa lenyaplah kesabaran murid Sinto Gendeng. Kalau tidak diberi hajaran berat nenek satu ini tdak akan jera seumur-umur dan dia akan selalu mengalami kesulitan untuk membebaskan Bunga walau saat itu dia telah memiliki ilmu Meraga Sukma.
Tapi Ratu Duyung yang begitu besar cintanya terhadap Wiro bertindak mendahului. Gadis ini keluarkan cermin bulat saktinya. Sekali dia menggerakkan tangan memutar lengan, selarik cahaya menyilaukanberkiblat di malam buta. rnelabrak dua larik sinar merah yang menyembur keluar dari sepasang mata Hantu Penjunjung Roh.
"Bummm! Bummm!"
BAB 5
Letusan keras menggelegar dua kali di tempat itu. Air sungai bermuncratan. Pantai bergetar dan ombak melambung ke udara. Sepasang kaki Ratu Duyung melesak ke dalam pasir pantai sampai satu jengkal. Sebaliknya sosok Hantu penjunjung Roh terpental satu tombak, terbanting jauh menelungkup hingga tubuhnya di bagian depan termasuk wajahnya bercelemongan pasir basah.
Untung pasir tidak memasuki kedua matanya. Sambil memakai panjang pendek nenek ini bangkit berdiri, membersihkan mukanya yang dipenuhi pasir basah. Asap merah berbentuk kerucut terbalik diatas kepalanya bergerak turun naik.
Tiba-tiba didahului pekik keras seolah merobek langit malam, hantu penjunjung roh melompat kearah ratu duyung. Asap merah kepalanya menebar membuntal menutupi muara sungai seluas dua tombak. Ratu duyung berseru kaget ketika dia tidak lagi melihat sosok si nenek. Lalu dari dalam kepekatan asap merah tiba-tiba mencuat satu tangan dan...
"Buukkkkk!"
Ratu duyung menjerit keras, tubuhnya mencelat satu tombak, jatuh terbanting dipasir. Jotosan Hantu Penjunjung Roh tepat melanda dadanya.
"Tua bangka kurang ajar! kau memang tidak bisa dikasih hati!" teriak Wiro melihat apa yang terjadi dengan Ratu Duyung.
Murid Sinto Gendeng ini segera menerjang ke depan. Berkat hawa sakti yang didapatnya dari Naga Biru di dasar samudera gerakan Wiro jadi enteng dan cepat sekali. Tangan kiri melepas pukulan Orang gila Mengebut Lalat untuk rnembuyarkan asap merah yang masih menyelubung sedang tangan kanan siap menghajar si nenek dalam jurus Kepala Naga Menyusup Awan. Namun gerakan sang pendekar mendadak tertahan ketika dua bayangan berkelebat dalam gelapnya malam dan pekatnya asap merah.
"Bukk! Buukk!"
Hantu Penjunjung Roh menjerit setinggi langit. Dadanya laksana dipantek dari depan dan belakang. Satu jotosan melanda dadanya. Lalu dalam waktu bersamaan satu jotosan lagi menghantam punggungnya, Si nenek muntahkan darah segar. tubuhnya Terseok lalu jatuh terduduk di pasir basah.
Asap merah yang sebelumnya menyelubungi tempat itu sirna dan asap merah yang ada di atas kepalanya, kini hanya berbentuk bayang-bayang, naik turun mengikuti tarikan napas sesak. dua bola matanya yang berbentuk kerucut merah, tenggelam ke dalam rongga mata yang cekung dan menyembul keluar begitu dia melihat dua sosok gadis yang ada di hadapannya yang bukan lain adalah Bidadari Angin Timur dan Anggini.
Pendekar 21 2 Wiro Sableng tidak perdulikan apa yang terjadi dengan si nenek. Dia menghambur ke arah sosok Ratu Duyung, berlutut di sampingnya lalu mendudukkan gadis itu di tanah, disandarkan ke badan sebuah perahu.
"Ratu..."
"Wiro, dadaku sakit sekali..." Suara Ratu duyung hampir tak kedengaran saking perlahannya. Wiro hendak dekapkan dua telapak tangannya ke dada gadis itu, tapi sadar kalau hal itu tak mungkin dilakukannya. Maka dari belakang dua tangannya diletakkan di atas punggung Ratu Duyung lalu dia kerahkan tenaga dalam untuk mengalirkan hawa sakti ke tubuh si gadis.
"Manusia-manusia pengecut! Curang!" Hantu Penjunjung Roh merutuk. Dia berusaha bangkit berdiri tapi jatuh lagi terduduk.
"Nek, maafkan kami," berkata Anggini. "Sebelumnya kami bersikap bersahabat terhadapmu. Tapi kalau kau mencelakai sahabat kami Ratu Duyung, mana mungkin kami hanya berdiam diri."
Hantu Penjunjung Roh semburkan ludah dan darah dalam mulutnya. Untuk kedua kalinya dia coba berdiri. Lagi-lagi jatuh terduduk kembali seolah dua kakinya telah menjadi lumpuh. Anggini yang merasa kasihan menolong perempuan tua ini berdiri.
"Nek, pergilah dari sini. Jangan lagi menghalangi niat Pendekar Pendekar 212 untuk membebaskan sahabatnya Bunga. Walau lblis Kepala Batu adalah saudaramu, tapi dia telah melakukan satu kejahatan keji."
Luhniknik alias Hantu Penjunjung Roh keluarkan ucapan yang tak jelas dari mulutnya yang penuh ludah bercampur darah. Terhuyung-huyung nenek ini melangkah pergi tinggalkan muara sungai. Bidadari Angin Timur dan Anggini segera menghampiri Ratu Duyung. Saat itu Ratu Duyung duduk bersandar ke badan perahu. Cermin sakti diletakkannya di atas dadanya yang masih mendenyut sakit.
"Sahabat, bagaimana keadaanmu?" tanya Anggini sambil memegang bahu Ratu Duyung.
"Dadaku masih sakit. Aku menderita luka dalam. Mudah-mudahan tidak parah..." jawab Ratu Duyung. Mulutnya berucap begitu tapi hatinya bertanya-tanya bagaimana dua gadis tersebut tahu-tahu bisa muncul di tempat itu.
"Kami berdua akan tolong memulihkan cideramu," kata Anggini lalu membungkuk di hadapan Ratu Duyung. Dua tangannya hendak diletakkan di atas dada Ratu Duyung tapi Wiro memberi isyarat agar Anggini tidak melakukan hal itu karena saat itu dia telah mengeluarkan kapak sakti. Kapak ini kemudian ditempelkan diatas dada Ratu Duyung.
Senjata itu sebelumnya pernah ditelan oleh naga Biru di dasar samudera dan kini dibalut oleh selarik sinar sakti kemerahan. Ketika kapak menindih dadanya, Ratu Duyung pejamkan mata. Aliran hawa aneh yang keluar dari dalam kapak sakti menimbulkan rasa sejuk di sekujur tubuhnya, terutama di bagian dada. Denyutan sakit perlahan-lahan mulai berkurang. Wiro kemudian berikan sisa obat pemberian gurunya yang tinggal satu. Tanpa malu-malu obat itu di masukkannya ke dalam mulut Ratu Duyung seraya mendekatkan wajahnya ke muka si gadis, lalu berbisik.
"Telan..."
Sesaat Ratu Duyung pegang tangan Wiro lalu menelan obat yang diberikan. Bidadari Angin Timur dan Anggini hanya bisa berdiam diri. Walau jelas maksud Wiro menolong Ratu duyung setulus hati, namun dua gadis ini melihat dibalik pertolongan itu ada satu kemesraan.
Anggini merasa perih di lubuk hatinya. Bidadari Angin Timur juga merasakan hal yang sama malah dadanya menjadi sesak. Dua gadis ini layangkan pandangannya ke arah laut gelap. Mereka seolah menyadari bahwa hati sanubari dan perasaan saat itu jauh lebih kelam dari laut yang gelap itu.
Ketika rasa sakit dan sesak di dadanya lenyap Ratu Duyung buka sepasang matanya yang biru. Dia coba tersenyum pada Anggini dan Bidadari Angin Timur. Lalu gadis ini palingkan kepalanya pada Wiro.
"Wiro, kau harus segera mencari lblis Kepala Batu Alis Empat..."
Wiro mengangguk. "Aku tahu, tapi aku tidak akan meninggalkan kau dalam keadaan seperti ini."
"Jangan pikirkan diriku. Aku akan segera sembuh."
"Kita akan mencari iblis keparat itu bersama-sama." Kata Pendekar 212 pula yang membuat Ratu Duyung jadi terkejut, juga membuat heran Bidadari Angin Timur dan Anggini.
Sesuatu agaknya telah terjadi, membuat perubahan dalam diri Pendekar 212 terhadap Ratu Duyung. Bagi Wiro sendiri apa yang dilakukannya adalah satu tindakan wajar belaka. Ratu Duyung telah mengantarkannya ke dasar semudera untuk mendapatkan llmu Meraga Sukma. Kini si gadis dalam keadaan cidera. Apakah layak dia meninggalkannya begitu saja? Wiro memandang pada dua gadis itu dihadapannya.
"Aku gembira melihat kalian berdua. Bagaimana kalian bisa berada di muara sungai ini?"
Anggini jadi kelagapan, tak bisa menjawab. Bidadari Angin Timur yang sebelumnya sudah menduga kalau Wiro bakal menanyakan hal itu telah menyiapkan jawaban.
"Kami berada di kawasan ini secara kebetulan. Kami masih berusaha keras menjejajaki dimana beradanya Pangeran Matahari. Karena agaknya dia satu-satunya orang yang tahu Kemana lenyapnya Pedang Naga Suci 212. Ketika sampai di sini malam tadi, kami melihat Hantu Penjunjung Roh telah lebih dulu berada di sini. Mendekam dalam perahu. Pasti dia tengah menunggu seseorang atau menantikan sesuatu. Kami lantas ingat kalau kau tengah dalam perjalanan mencari seorang sakti yang diam di dasar lautan. Aku dan Anggini memutuskan untuk mematai-matai nenek itu. Bukan mustahil dia punya satu rencana jahat. dugaan kami ternyata betul. Hanya sayang kami kurang cepat bertindak hingga sahabat Ratu duyung mengalami cidera..."
"Kalian bertindak dalam waktu yang tepat. Aku berterima kasih pada kalian berdua. Kalau kalian tidak muncul mungkin aku sudah membunuh nenek itu." Wiro pandangi wajah dua gadis cantik itu. Yang dipandangi menduga-duga apa yang ada didalam kati sang pemuda.
”’Aku dan Ratu Duyung akan pergi ke Lembah Welirang. Hantu Penjunjung Roh telah ketelepasan bicara. Agaknya lblis Kepala Batu Alis Empat melarikan Bunga ke tempat itu."
"Kami siap ikut bersamamu," kata Bidadari Angin Timur.
"Aku sangat berterima kasih. Tapi seperti yang sudah kita atur semula. Kita tetap membagi tugas. Kalian berdua meneruskan mencari Pangeran Matahari sambil menyirap kabar dimana beradanya tanaman bunga melati tujuh racun..."
Bidadari Angin Timur dan Anggini jadi saling pandang mendengar ucapan Wiro itu. Kalau Pendekar 212 memang tidak inginkan mereka ikut ke Lembah Welirang, buat apa mereka berada lebih lama ditempat itu.
"Wiro, kau benar. Kita harus membagi tugas. Kami akan meneruskan mencari Pedang Naga Suci 212. Juga menyelidiki dimana beradanya bunga melati tujuh racun. Kami pergi sekarang..."
Wiro memegang lengan Bidadari Angin Timur. Memandang pada Anggini. "Pergilah Jangan lupa selalu berhati-hati..."
Sesaat setelah dua gadis itu pergi, Ratu Duyung berkata. "Kau telah mengecewakan dua gadis cantik itu Wiro."
"Aku mengecewakan dua gadis cantik?" Wiro garuk-garuk kepalanya.
"Mereka lebih suka ikut bersamamu ke Lembah Welirang. Tapi kau menolak dan memberi mereka tugas yang lain..."
"Aku sama sekali tidak punya niat mengecewakan mereka. Pembagian tugas itu sudah ditetapkan sejak lama. Aku sendiri kebagian tugas paling banyak. Menyelamatkan Bunga, mencari bunga melati tujuh racun. Mencari kitab pengobatan milik guru yang hilang dicuri orang..."
"Kalau kau sadar begitu banyak tugasmu, mengapa kau tidak mau dibantu oleh mereka?"
"Mereka telah membantu..." jawab Wiro. Sang pendekar pandangi wajah Ratu Duyung beberapa ketika. Lalu dia tersenyum. Sambil mengusap-usap rambut hitam si gadis dia berkata. "Kalian gadis-gadis cantik! Memang sulit menduga apa yang ada dihati kalian!"
"Mungkin begitu," jawab Ratu Duyung. Tapi dua gadis sahabatku itu mungkin pula berpendapat betapa sulitnya menduga apa yang ada dihatimu."
"Kau sendiri, apakah juga punya pendapat seperti itu?" tanya Pendekar 212.
Sesaat Ratu Duyung kelihatan merah wajahnya. Kemudian sambil tersenyum dia menjawab. "Aku tidak malu-malu mengatakan dan berterus terang. Saat ini aku lebih beruntung dari mereka berdua. Karena kau memperhatikan keadaan diriku yang cidera. Lebih dari itu kau juga menaruh percaya dan rnengajak diriku ke Lembah Welirang mencari lblis Kepala Batu Alis Empat...”
Wiro cuma bisa tersenyum dan garuk-garuk kepalanya mendengar kata-kata Ratu Duyung itu.
********************
WWW.ZHERAF.NET
BAB 6
Kembali ke kali kecil tempat terbunuhnya gadis cilik bernama Sulantri dan kejadian ditikamnya Naga Kuning oleh Rana Suwarte dengan Keris Naga Kopek, pusaka Kerajaan. Setan Ngompol berteriak keras menyaksikan kejadian itu. Dia menerjang nekad kearah Rana Suwarte sambil berteriak.
"Rana Suwarte keparat! Kukorek jantungmu! Kuhisap darahmu!"
Namun gerakan kakek ini serta merta tertahan ketika dia menyaksikan apa yang terjadi dengan sosok Naga Kuning. Walau jelas tadi Keris Naga Kopek menancap di pertengahan dada anak itu, namun tak ada darah yang mengucur, tak ada jerit kesakitan keluar dari mulut Naga Kuning. Malah pada saat itu Setan Ngompol melihat bocah berpakaian hitam berambut jabrik itu putar-putar leher, goyangkan kepala.
Asap tipis mengepul dari ubun-ubun Naga Kuning. Ketika bocah ini mengusap wajahnya satu kali, wajah itu berubah menjadi wajah seorang kakek berambut, berkumis dan berjanggut putih. Sosoknya bukan lagi sosok anak-anak, melainkan sosok seorang tua mengenakan jubah kelabu.
"Ah, anak konyol itu tengah memamerkan wujudnya yang asli. Padahal keris masih menancap di dadanya. Tapi, astaga!"
Bola mata jereng Setan Ngompol membeliak. Ketika dia memperhatikan ternyata Keris naga Kopek sama sekali tidak menancap di dada Naga Kuning yang kini telah berubah wujud menjadi kakek dikenal dengan julukan kiai Paus Samudera Biru. Senjata sakti itu berada daIam jepitan jari-jari tangan kirinya. ketika lawan menikam Naga Kuning cepat lindungi dirinya dengan jurus Naga Sakti menggenggam Rembulan.
Begitu ujudnya berubah Keris Naga Kopek sudah berada dalam jepitan lima jari tangannya. Tidak seperti yang diduga Setan Ngompol, senjata sakti ini tidak sampai menusuk tubuh Naga Kuning alias Kiai paus Samudera Biru. Dari samping tadi memang terlihat seolah-olah senjata sakti itu telah menusuk tembus dada Naga Kuning.
Kejut Rana Suwarte bukan olah-olah. Dia Cepat tarik Keris Naga Kopek. Tapi laksana Ditahan jepitan baja senjata sakti itu tidak Bergeming dari genggaman Kiai Paus Samudra Biru. Keringat dingin mengucur di kening Rana suwarte. Dalam hati dia membatin.
"Kalau aku adu kekuatan, kerahkan tenaga dalam, keris sakti ini bisa patah. Urusanku dengan orang lain bisa kapiran! Kalau aku mengalah berarti senjata ini jatuh ke tangan manusia jahanam ini! Aku tambah lebih celaka!"
Kiai Paus Samudera Biru menyeringai lalu berucap. "Walau besar dugaanku senjata pusaka Kerajaan ini adalah hasil curian, aku bersedia meloloskan mengembalikan padamu. Tapi dengan satu syarat. Mulai hari ini kau harus melupakan Ning lntan Lestari dan tinggalkan tanah Jawa ini. Pergi kemana kau suka asal tidak di tanah Jawa!"
Rahang Rana Suwarte menggembung. Tanpa keluarkan ucap jawaban Keris Naga Kopek yang tadi ditariknya kini malah didorong ditusukkan ke arah lawan. Lalu tangan kiri laksana kilat bergerak melempar sebilah pisau terbang. Serangan senjata rahasia ini masih disusul dengan satu pukulan tangan kosong mengandung tenaga dalam tinggi.
"Rana Suwarte, kau memang harus dibikin tobat seumur-umur!" kata Kiai Paus Samudera Biru dengan sikap tenang. Bersamaan dengan keluarnya ucapan itu tangan kanannya bergerak ke atas. Lima jari tangan dijentikkan.
"Tring!" Senjata rahasia berupa sebilah pisau terbang patah tiga, mental lenyap di udara malam yang gelap.
"Bukkk!" Jotosan tangan kiri Rana Suwarte beradu keras dengan jotosan tangan kanan Kiai Paus Samudera Biru. Wajah sang Kiai masih sunggingkan seringai sebaliknya Rana Suwarte mengerung keras. Tangan kanannya terlepas dari memegang Keris Naga Kopek. Tubuhnya mencelat dua tombak. Lima jari tangan kirinya hancur.
Satu bayangan biru berkelebat. Kiai Paus Samudera Biru terkesiap kaget ketika satu kekuatan dahsyat mendorong tubuhnya. Selagi dia terjajar ke belakang, dia merasa ada sambaran angin deras menyusul dan tahu-tahu keris Naga Kopek dibetot lepas dari tangannya.
"Rana Suwarte tua bangka tolol! Lekas tinggalkan tempat ini. Aku menunggu di bukit perjanjian!"
Seseorang berseru lalu dess! Ada suara letupan. Bersamaan dengan itu kabut aneh menyungkup kawasan kali kecil membuat buta pemandangan. Kiai Paus Samudera Biru coba mengejarorang yang merampas keris pusaka, tapi karena tidak bisa melihat apa-apa sosoknya malah beradu dengan Setan ngompol.
Ketika kabut aneh lenyap di tepi kali kelihatan Kiai Paus Samudera Biru yang telah kembali ke ujud aslinya yaitu ujud seorang anak lelaki kecil berambut jabrik bernama Naga Kuning tergeletak ditanah. Di sampingnya kakek botak Setan Ngompol duduk menjelepok terkencing-kencing.
Tangan kiri memegangi keningnya yang benjut akibat beradu kepala dengan Kiai Paus Samudera Biru tadi sementara tangan kanan memegangi bagian bawah perut yang terus ngocor. Rana Suwarte tak ada lagi ditempat itu. Mayat si kecil Sulantri masih tergeletak di tepi kali.
"Bocah konyol! Apa yang terjadi?!" Setan Ngompol ajukan pertanyaan.Naga Kuning delikkan mata.
"Kau yang menonton perkelahian. Kau pasti melihat lebih jelas!"
"Aku melihat satu bayangan biru. Ada orang berkelebat ke arahmu. Lalu muncul kabut! Kau menabrak diriku. Lihat keningku sampai benjut!"
Tanpa diketahui oleh kedua orang itu, tak jauh dari tumbangan pohon besar seorang mendekam dibalik serumpun semak belukar. Matanya tak berkesip memperhatikan dua orang yang tengah bercakap-cakap namun perhatiannya lebih banyak ditujukan pada Naga Kuning. Orang ini berpakaian serba hitam, berujud seorang nenek bermuka seram, rambut kelabu riap-riapan, kaku panjang hitam.
"Ada orang merampas Keris Naga Kopek," jawab Naga Kuning dengan suara penasaran. "Ketika aku mengejar dia ledakkan benda yang menebar kabut tebal. Turut apa yang diucapkan orang itu pasti dia adalah sobatnya Rana Suwarte. Bukit perjanjian. Ada puluhan bukit di sekitar sini. Kemana aku mau mengejar?!"
"Tak perlu dikejar. Sia-sia saja," kata Setan ngompol. "Kau muncul di sini sendirian?"
"Memangnya kau kira aku datang dengan siapa? Setan? Dedemit atau jin" tukas Naga Kuning.
"Mana nenek kekasihmu bernama Ning lntan Lestari berjuluk Gondoruwo Patah Hati itu..."
"Ah, dia yang kau maksudkan," Wajah si bocah tampak masgul, sedih.
"Hai, kenapa tampangmu mendadak jadi seperti orang sedih?"
"Orang satu itu, tak usah kau tanyakan dia. Dia sudah kabur entah kemana!" jawab Naga Kuning.
"Setelah berpisah puluhan tahun, bukankah belum lama ini kalian saling bertemu? Apa yang terjadi sampai dia kabur meninggalkan dirimu?"
"Aku tak bisa memastikan. Cuma menduga Mungkin dia cemburu pada nenek sial dari Negeri Latanahsilam bernama Luhniknik alias Hantu Penjunjung Roh. Waktu dia kabur, aku coba mengejar. Tapi dia lenyap entah kemana. Aku mencari ke tempat kediamannya di Kali Lanang. Dia tak ada disitu. Sial amat nasibku! Padahal aku tidak punya hubungan apa-apa dengan Hantu Penjunjung Roh. Puluhan tahun berpisah, begitu bertemu berpisah lagi. Aku kawatir kesempatan ini dipergunakan oleh Rana Suwarte untuk merayu Ning lntan Lestari. Tapi aku percaya, orang seperti dia tidak mudah dirayu. Puluhan tahun dia bisa bertahan, masakan akan runtuh karena gejolak satu hari saja..."
Baca serial Wiro Sableng dalam Episode Si Cantik Dalam Guci
Di balik semak-semak, nenek berwajah seram yang bukan lain adalah Ning intan Lestari alias Gondoruwo Patah hati merasakan dadanya sesak. Perasaan kacau membuat dia jadi bingung. Di dalam rasa bingung itu terselip rasa penyesalan.
"Kalau aku, biar saja dia pergi pada Rana Suwarte. Buat apa kau merisaukan nenek jelek itu!" Setan Ngompol berucap. Membuat Gondoruwo Patah Hati terperangah, lalu menggigit bibir sendiri.
"Nenek jelek! Enak saja kau bicara!" Naga Kuning bersungut. "Kau tidak tahu siapa dan bagaimana keadaan dirinya sebenarnya. Cuma nasibku saja yang jelek. Kemana aku harus mencarinya?"
"Apa kau benar-benar mengasihinya?" tanya Setan Ngompol pula.
Sepasang Mata Gondoruwo Patah Hati memperhatikan Naga Kuning tak berkesip. Dadanya berdebar menunggu apa yang bakal diucapkan anak itu sebagai jawaban. Naga Kuning mengangguk. "Dulu sebelum aku tahu bahwa Rana Suwarte menyukainya aku seolah tidak acuh. Namun ketika tahu lelaki sialan itu mencintainya malah minta tolong Kiai Gede Tapa Pamungkas untuk membujuk agar mau nikah dengan dia, perasaanku jadi berubah. Aku tiba-tiba saja merasa takut kehilangannya. Aku baru menyadari bahwa sebenarnya aku mencintai gadis itu. Sejak lama... Lama sekali..."
Gondoruwo Patah Hati pejamkan dua matanya. Dari balik kelopak mata yang terkatup itu meleleh butiran-butiran bening air mata. Saat itu dia serasa ingin menghambur keluar dari balik semak belukar, memeluk Naga Kuning. Tubuhnya bergetar menahan perasaan yang seperti mau meledak.
"Gunung..." hanya nama asli Naga Kuning itu yang meluncur dalam ucapan kata hatinya.
"Gadis?" terdengar suara Setan Ngompol. "Nenek peot muka seram bernama Gondoruwo Patah Hati ini kau sebut gadis? Ha ha ha! Otakmu pasti sudah miring!"
"Justru otakmu bisa jadi miring jika mengetahui keadaan dirinya sebenarnya!" jawab Naga Kuning. Dia pandangi kepala botak si kakek lalu berkata. "Aku heran..."
"Apa yang kau herankan?" tanya Setan Ngompol.
"Tadi aku sempat hampir tidak mengenali dirimu. Kalau saja tidak melihat selangkanganmu yang selalu basah oleh kucuran air kencing, aku mengira kau adalah tuyul tua kejemur. Kau kemanakan rambutmu? Mengapa kepalamu jadi botak begitu rupa?!"
Setan Ngompol menyeringai. Tangan kirinya yang basah oleh air kencing enak saja diusapkannya keatas kepalanya yang gundul plontos. "Rambut di kepalaku sengaja kucukur gara-gara kaulan." Menerangkan Setan Ngompol.
"Kaulan? Kaulan sinting! Apa yang terjadi?" Naga Kuning ingin tahu.
"Kejadiannya dimulai ketika aku dijebloskan di penjara Istana. Barang antikku dijapit dengan besi dan digelantungi rantai! Aku kemudian berkaul. Kalau ada yang bisa menolong dan diriku terlepas dari azab benda celaka itu, maka aku akan melakukan kaul. Kaulku adalah mencukur semua rambut yang ada di tubuhku. Wiro berhasil menolongku. Kaul aku laksanakan. Tapi mengapa aku terus-terusan ketimpa nasib sial..."
"Mungkin kaulmu kau lakukan setengah hati..."
"Setengah hati bagaimana?!" sungut si kakek. "Lihat, kepalaku gundul plontos. Kumis, juga janggutku aku tabas semua. Rambut kakiku juga aku kikis habis! Bulu ketek aku cabuti sampai gundul semua! Enak saja kau bilang aku melakukan dengan setengah hati."
Naga Kuning tersenyum. "Kek, benaran kau sudah mencukur seluruh rambut di tubuhmu?" tanya si bocah.
"Apa kau buta? Kau menyaksikan sendiri. Kepalaku, kumisku..."
"Ya, ya aku lihat Kek. Tapi apa rambut yang dibawah perutmu juga sudah kau cukur habis?" tanya Naga Kuning pula.
Setan Ngompol tersentak kaget. Matanya mendelik memandangi si bocah. "Pertanyaan edan!" semprot si kakek.
"Kau belum menjawab pertanyaanku Kek. Apa rambut yang disitu itu sudah kau cukur habis dan licin? Hik hik hik!"
"Bocah setan! Sesuai kaul tentu saja rambut di situ sudah aku cukur!" jawab Setan Ngompol dengan mata jereng melotot dan mulut pencong geram.
"Boleh aku lihat?!" kata Naga Kuning pula. Anak ini melangkah cepat mendekati si kakek. Dua tangannya siap menarik kebawah celana Setan Ngompol yang basah bau pesing.
Setan Ngompol buru-buru menghindar pegangi bagian bawah perutnya sambil memaki panjang pendek. Di balik semak belukar Gondoruwo Patah Hati yang tadi menangis haru kini menutup mulut dengan telapak tangan kiri menahan tawa.
"Kau takut aku intip bagian bawah perutmu. Berarti kaulmu memang tidak sempurna! Kalau belum mencukur seluruh rambut yang ada di tubuhmu!" Ucap Naga Kuning pula.
Setengah menggerendeng Setan Ngompol akhirnya berkata. "Rambut yang disitu memang tidak dicukur!"
"Nah mengaku kau akhirnya Kek! itulah salahnya kaulmu! Jadi benar kalau aku bilang kau melakukan kaul setengah-setengah. Akibatnya kau selalu ketiban apes."
"Bocah sinting! Yang dibawah perutku itu namanya bukan rambut! Jadi tak perlu aku potong! Tak perlu aku cukur!"
"Kalau bukan rambut lalu namanya apa kek?" tanya Naga Kuning dan kembali anak ini tertawa cekikikan.
"Namanya... namanya..." Setan Ngompol tak berani meneruskan ucapannya. Kakek ini malah buru-buru menekapkan tangan ke bawah perut tapi serrr! Kencingnya ngocor tidak tertahankan. Setelah berdiam diri cukup lama dan berpikir-pikir si kakek akhirnya berkata.
"Mungkin... mungkin kau benar bocah sinting. Mungkin memang kaulku tidak kulakukan sempurna. Aku... aku segera akan mencukur habis rambut yang satu itu..."
"Salah lagi Kek!" ujar Naga Kuning.
"Apa yang salah?" pelotot Setan Ngompol.
"Tadi kau bilang rambut yang satu. Kau yakin dibawah perutmu itu cuma ada satu, cuma ada selembar rambut?!"
"Setan alas! Maksudku! Sinting kau!" Tapi kemudian si kakek tertawa terkekeh-kekeh. Akibatnya serr. ..serrrr. Air kencingnya mengucur tak berkeputusan.
Naga Kuning ikutan tertawa mengakak. Di balik belukarGondoruwo Patah Hati terguncang-guncang tubuhnya menahan tawa. Puas tertawa dan kencing habis-habisan Setan Ngompol gosok-gosok matanya yang belok berair. Dia ingat pada jenazah Sulantri. Kakek ini segera melangkah ke tepi kali kecil. Naga Kuning mengikuti langkah si kakek.
"Aku harus membawa jenazah anak malang ini ke Maguwo. Sebelum mati dibunuh Rana Suwarte dia sempat memberi tahu kalau dirinya adalah anak Kepala Desa Maguwo. Maguwo tak jauh dari sini."
"Aku ikut bersamamu," kata Naga Kuning pula. "Dalam perjalanan kau bisa menceritakan apa yang telah terjadi."
"Aku menaruh curiga. Ada satu rahasia besar dibalik kematian gadis cilik ini. Yang mungkin ada sangkut pautnya dengan bunga melati berwana hitam."
"Maksudmu bunga melati tujuh racun yang mampu..."
"Nanti kita bicarakan dalam perjalanan ke Maguwo," kata Setan Ngompol pula. Lalu jenazah Sulantri di panggulnya di bahu kiri. Si kakek diam sebentar. "Maguwo memang tidak jauh dari sini. Tapi memanggul anak ini sampai ke sana, walah! Aku tidak bisa membayangkan. Kencingku pasti akan mengucur sepanjang jalan!"
"lni termasuk salah satu kesialan akibat salah kaul itu Kek!" kata Naga Kuning pula.
"Kau yang sialan!" maki Setan Ngompol.
"Sudah Kek, jangan ngomel terus. Ayo jaIan," ujar Naga Kuning sambil senyum-senyum.
Pada saat itulah Gondoruwo Patah Hati yang sejak tadi mendekam dibalik semak belukar dan tak bisa lagi menahan hati, melompat keluar. "Gunung, apa aku boleh ikut dengan kalian ke Maguwo? Aku membawa seekor kuda. Bisa jadi tumpangan jenazah anak perempuan itu."
BAB 7
Naga Kuning terkejut mendengar orang menyebut nama aslinya. Dia mengenali suara itu. Dugaannya tidak meleset. Seorang nenek berwajah seram tegak di hadapannya.
"lntan!" ucap Naga Kuning setengah berseru. "Kau ada di sini!"
"Ha ha ha! Sudah sejak tadi dia ada di dekat sini sobatku bocah konyol!" kata Setan Ngompol.
"Eh, apa maksudmu?" Naga Kuning jadi heran, berpaling pada Setan Ngompol.
"Aku tahu kalau nenek ini sudah sejak tadi sembunyi di balik semak belukar sana..." si kakek mengulangi ucapannya.
"Kau! Jadi!" Naga Kuning memandang melotot pada Setan Ngompol. "Kenapa kau tidak memberi tahu?"
Setan Ngompol menyeringai. "Kau punya ilmu kepandaian. Tapi karena mengodaku terus-terusan ilmu mu jadi tumpul!"
Naga Kuning berpaling pada Ning lntan Lestari alias Gondoruwo Patah Hati. "lntan, kau... kau mendengar semua pembicaraan kami?"
"Tentu saja dia mendengar. Walau sudah tua nenek ini belum tuli, belum budek!"
"Kakek bau pesing! Aku tidak tanya padamu!" semprot Naga Kuning marah.
Setan Ngompol pencongkan mulut, berpaling pada Gondoruwo Patah Hati dan berkata. "Sobatku tua, kau jawablah sendiri pertanyaan sobatku muda yang konyol ini!"
Gondoruwo Patah Hati batuk-batuk beberapa kali. "Aku... aku tidak bermaksud menguping. Tapi jarak tempat aku berada begitu dekat. Aku memang mendengar semua apa yang kalian bicarakan..."
"Matek aku!" kata Naga Kuning sambil tepuk jidatnya sendiri. Malunya bocah ini bukan alang kepalang. Tadi dia sempat menyatakan pada Setan Ngompol bagaimana isi hatinya terhadap si nenek.
"Kenapa musti matek!" tukas Setan Ngompol. "Selama apa yang kau ucapkan memang jujur dan memang begitu adanya, yang kau dapat bukan matek tapi matek enak! Bukan begitu? Ha ha ha! Atau semua ucapanmu tadi cuma sandiwara belaka karena sebenarnya kau sudah tahu kalau nenek ini ada di sekitar sini. Kau ingin merajuk hatinya"
"Tua bangka edan! Kau yang memancing diriku hingga menemukan kata-kata itu. Dan tadi kau mengaku sendiri, kalau kau sudah tahu dia ada di sini sejak lama!"
"Aku tidak membawa kail! Mana mungkin Aku memancing!" jawab Setan Ngompol seenaknya lalu tertawa gelak-gelak sambil pegangi bagian bawah perutnya yang kembali mulai mengucur.
"Sudah! Aku tidak suka kalian terus bertengkar." Kata Gondoruwo Patah Hati. "Di tempat ini ada jenazah anak kecil yang harus kita urus. Kalau kalian masih mau bertengkar, biar aku yang mengantar anak itu ke Maguwo. Aku membawa kuda. Kita naikkan mayat anak itu di atas kuda. Kita bertiga sama mengiringi. Maguwo tidak jauh dari sini. Aku juga ingin bicara tentang bunga melati hitam itu dengan kalian." Habis berkata begitu nenek ini keluarkan suitan halus. Dari balik deretan beberapa pohon besar di tepi kali melangkah keluar seekor kuda putih.
"Gondoruwo Patah Hati," kata Setan Ngompol setelah membaringkan menelungkup jenazah Sulantri di atas punggung kuda putih milik si nenek. "Sebelum kita berangkat menuju Maguwo, ada satu hal yang ingin aku tanyakan padamu. lngat pertemuan kita terakhir kali di dekat air terjun Jurangmungkung?"
Si nenek anggukkan kepala.
"Waktu itu aku berjanji pada Wiro akan mencari tahu dimana beradanya bunga melati hitam yang bisa dipergunakan untuk menyembuhkan penyakit Patih Kerajaan."
"Bunga melati hitam. Bunga Melati Tujuh Racun," kata Gondoruwo Patah Hati.
"Betul," sahut Setan Ngompol. "Waktu itu kau sendiri berkata pernah mengetahui keberadaan bunga langka itu. Kau juga berjanji akan menyelidik."
"Tiga puluh tahun lalu dari seorang sahabat yang kini sudah meninggal, aku pernah mendengar cerita tentang bunga itu. Katanya bunga melati tersebut tumbuh di satu tempat sejuk. Dia menyebutkan nama satu kawasan, aku lupa. Sampai saat ini tak berhasil mengingatnya."
"Apa yang akan aku ceritakan mungkin bisa menolong ingatanmu kembali," kata Setan Ngompol. Lalu kakek ini ceritakan pertemuannya dengan gadis kecil bernama Sulantri pagi tadi sampai akhirnya anak itu mati dibunuh Rana Suwarte.
"Rana Suwarte? Dia yang membunuh anak ini?!" ujar Gondoruwo Patah Hati terkejut sekali.
"Aku yakin kematian Sulantri ada sangkut pautnya dengan Melati Tujuh Racun. Anak itu dibunuh sewaktu hendak menyebutkan darimana berasalnya bunga melati itu. Aku punya dugaan..."
"Kek, aku potong bicaramu," kata Naga Kuning yang sejak tadi diam saja. "Menurut ceritamu Rana Suwarte merampas sisa satu-satunya bunga melati hitam yang ditancapkan Sulantri di lidi. Bunga ini kemudian dimusnahkannya. Lalu ketika anak itu hendak mengatakan sumber berasalnya bunga tersebut, si jahanam Rana Suwarte membunuhnya dengan pisau terbang. Berarti manusia itu tidak ingin kau mengetahui asal-usul bunga tersebut. dia tidak ingin kau mendapatkan bunga itu. mengapa? Kalian bisa menjawab?"
"Aku tak bisa menduga," jawab si nenek.
Setan Ngompol gelengkan kepala. "Aku tidak tahu," katanya.
"Aku juga tidak bisa menduga. Tidak tahu!" kata Naga Kuning pula. "Hal ini merupakan satu rahasia yang harus kita ketahui apa adanya."
"Mengenai asal usul bunga melati hitam itu." kata Gondoruwo Patah Hati. "Kalau anak itu menunjuk ke arah timur, itu adalah keadaan gunung Merapi. Sesuai cerita sahabatku, bunga itu tumbuh disatu tempat sejuk. Pedataran tinggi di kawasan Gunung Merapi adalah daerah sejuk. Besar kemungkinan bunga itu tumbuh di sana. Tapi kawasan itu cukup luas. Tidak mudah mencarinya. Lalu ada satu hal lagi. Menurut Sulantri, bunga itu muncul sekali seminggu. Setiap muncul selalu berjumlah tiga. Anak itu setiap minggu selalu berada di tepi kali sini. berarti bunga itu datangnya dihanyutkan air kali dari sebelah timur sana sampai ke sini, tempat si anak selalu menunggu. Berarti bunga itu memang berasal dari kawasan gunung Merapi. Tumbuh ditepi kali. Gugur ke dalam sungai lalu dihanyutkan air sungai dan satu minggu kemudian sampai ke sini. Kali kecil ini hanya satu dari belasan anak Kali Opak yang berhulu di Gunung Merapi. Tidak mudah untuk menyelusurinya..."
"Aku sudah berjanji pada Wiro akan menolongnya. Walau tidak mudah, aku akan menyusuri kali ini ke arah timur sampai akhirnya menemui tempat bunga itu tumbuh."
"Pekerjaan itu biar aku yang melakukan. Karena semua sumber bencana ini terjadi pada keusilanku memasukkan ular ke dalam celana Patih Kerajaan sewaktu terjadi pertempuran hebat tempo hari."
Baca serial Wiro Sableng Episode Makam ke Tiga
"Kau tak bisa disalahkan Intan," kata Naga Kuning. "Pada saat pertempuran berkecamuk, segala sesuatu bisa saja terjadi. Lagi pula orang-orang Kerajaan dibawah patih Selo Kaliangan waktu itu bertindak ceroboh. Menekan habis-habisan Wiro dan kita-kita semua."
"Kawan-kawan, jika kalian setuju aku akan berangkat ke timur mencari Melati Tujuh Racun. Kalian berdua tolong antarkan jenazah Sulantri ke rumah orang tuanya diMaguwo."
"Ah..." Naga Kuning tertawa lebar. "Sobatku tua, kau memang paling pandai membuat aturan. Aku dan intan tidak keberatan menerima usulmu..."
"Tentu saja kau tidak bakal keberatan. Karena ini memberi kesempatan pada kalian untuk berdua-duaan. Bukan begitu? Ha ha ha!"
"Kek, kalau kau sudah tahu mengapa tidak segera pergi saja?" ujar Naga Kuning.
"Ya... ya, aku pergi!" kata Setan Ngompol sambil pegangi bagian bawah perutnya dan melangkah terrtawa-tawa.
"Kek!" Tiba-tiba Naga Kuning berteriak.
"Walah! Anak konyol! Ada apa lagi kau memanggilku!" Setan Ngompol hentikan langkah, menoleh ke arah Naga Kuning.
"Jangan lupa Kek!" teriak si bocah.
"Jangan lupa apa?"
"Mencukur rambut dibawah perutmu! Biar kaulan mu sempurna dan tidak ketiban apes sialan lagi!"
"Setan kau!" rutuk Setan Ngompol. Lalu sambil melangkah pergi kakek ini tertawa-tawa sendiri. Dua tangannya yang memegangi bagian bawah perut jadi basah-basah hangat oleh air kencing yang mengucur.
********************
WWW.ZHERAF.NET
BAB 8
Bukit perjanjian yang dituju Rana Suwarte adalah sebuah bukit kecil di selatan Imogiri. Ketika dia sampai di puncak bukit ini, orang yang dicarinya telah berada di tempat itu. Orang ini seorang kakek berjubah tebal, berambut biru berminyak. Lengan kirinya buntung. Sengaja dibuntunginya sendiri guna menghindarkan racun senjata maut yang melukai tangannya.
Di kening orang ini terlihat cacat melingkar bekas goresan luka yang cukup dalam. Di tangan kanan dia memegang sebilah keris memancarkan cahaya kuning, memantul menyilaukan tertimpa sinar mentari terik. Di tanah bukit, dekat kakinya ada sebuah peti kayu.
Kakek ini bukan lain adalah Sarontang. Seorang Pangeran Kerajaan Pakuwon yang tengah berusaha untuk mendapatkan tahta Kerajaan. Untuk itulah dia sengaja mengembara ke tanah Bugis guna mendapatkan sebilah badik sakti bernama Badik Sumpah Darah.
Namun sebagaimana telah diceritakan sebelumnya badik sakti itu dibawa lari oleh Adipati Jati Legowo yang tergila-gila pada janda Cantik Nyi Larasati dan punya dendam setinggi gunung sedalam lautan terhadap pendekar 212 wiro sableng serta bujang gila tapak sakti.
”Rana suwarte, kalau aku tidak segera muncul, kelalaianmu terpaksa kau bayar mahal. Mungking denga jiwamu sendiri! Bagaimana kejadiannya sampai kau.terlibat perkelahian dengan kakek berjuluk setan ngompol serta bocah yang bisa berubah ujud menjadi kakek berkepandaian tinggi itu?” berucap sarontang begitu rana suwarte sampai di hadapannya.
”Pangeran Aryo Probo” kata Rana suwarte menyebut nama asli sarontang. Satu perkara besar tak terduga terjadi di anak kali opak. Seorang gadis cilik hampir saja menyerahkan melati tujuh racun pada setan ngompol. Malah anak gadis itu nyaris memberitahu dari mana bunga itu berasalnya terus terang hati kecilku tidak tega membunuhnya. Tapi terpaksa kulakukan agar rahasia bunga melati langka itu tidak terbuka”
”seorang tua bangka sepertimu membunuh seorang gadis cilik tak berdosa. Itu perbuatan biadab tiada taranya, rana suwarte”
Tampang rana suwarte berubah merah mengalami mendengar kata-kata sarontang alias pangeran Aryo Probo. Salah satu sifatnya yang dianggap bejat adalah rasa sukanya yang hanya bisa timbul terhadap sesama jenis, terutama para pemuda gagah. Sarontang teruskan ucapannya.
"Tapi apapun yang kau lakukan aku tidak perduli. yang penting aku telah mendapatkan Keris Naga Kopek. Senjata sakti ini merupakan satu-satunya senjata yang aku harap bisa menghadapi Badik Sumpah Darah, membuat aku mampu merampas badik sakti yang kini berada di tangan Adipati Jatilegowo keparat itu. Rana Suwarte, mana sarung keris? Serahkan padaku."
"Pangeran Aryo," kata Rana Suwarte. "Tidak mudah bagiku untuk mendapatkan Keris Naga Kopek. Penjagaan di lstana sangat ketat. Apa lagi senjata sakti tersebut belum lama ini pernah hilang. Aku terpaksa membujuk juru kunci ruang penyimpanan senjata pusaka. Sebagian dari hadiah yang kau janjikan sebagai upayaku untuk mendapatkan keris pusaka itu untukmu, akan kuberikan pada juru kunci itu. Aku berharap kau tidak lupa mengembalikan Keris Naga Kopek begitu tujuanmu menguasai tahta Kerajaan Pakuwon berhasil."
Sarontang tertawa lebar. Kau menolong aku mendapatkan keris sakti mandraguna ini. Aku memberitahu padamu dimana tempat tumbuhnya bunga melati hitam. Tidak ada yang rugi diantara kita. Mana sarung Keris Naga Kopek? Lekas serahkan padaku."
Dari balik pinggang pakaian birunya Rana Suwarte mengeluarkan sarung asli Keris Naga kopek yang terbuat dari emas lalu diserahkan pada Sarontang alias Pangeran Aryo Probo. Sarontang kepit sarung senjata itu di ketiak kiri Ialu dengan tangan kanan dia masukkan Keris Naga Kopek yang telanjang ke dalam sarung.
"Kita berpisah di sini, Rana Suwarte. Kalau aku boleh bertanya, dari sini kau mau menuju ke mana dan mau melakukan apa?"
"Aku akan segera berangkat ke tempat tumbuhnya bunga melati hitam. Memusnahkan seluruh tanaman bunga itu dengan cara membakarnya."
"Bagus! Memang itu yang seharusnya segera kau lakukan. Makin cepat makin baik. Sebelum Pendekar 212 atau orang-orangnya yang ingin mengobati Patih Kerajaan menemukan bunga itu. Kalau itu sampai terjadi sia-sialah semua usahamu. Jika mereka berhasil menemukan sekuntum saja dari bunga Melati Tujuh Racun itu, lalu dipakai untuk rnengobati dan menyembuhkan Patih Selo Kaliangan, maka sampai mati jangan harap kau bakal bisa mendapatkan jabatan Patih Kerajaan. Selamat tinggal Rana Suwarte."
"Pangeran Aryo, jangan lupa. Kita telah berjanji. Seratus hari dari sekarang kita akan bertemu lagi dibukit ini dan kau akan mengembalikan Keris Naga Kopek padaku untuk disimpan kembali di Istana."
"Sahabatku Rana Suwarte, jangan takut. Aku akan datang menepati janji. Malah aku punya rencana. Seandainya kau tidak bisa menjadi Patih di sini, aku akan menawarkan jabatan itu di Kerajaan Pakuwon."
Habis berkata begitu dengan tumit kirinya Sarontang dorong peti kayu jati yang ada di tanah. Peti berat ini meluncur ke arah Rana Suwarte. Tokoh silat lstana ini tahan luncuran peti dengan kaki kirinya.
"ltu hadiah yang aku janjikan sebagai imbalan kau mendapatkan Keris Naga Kopek untukku. Uang dan harta perhiasan. Semua dari emas!"
Begitu Sarontang tinggalkan bukit, Rana Suwarte membuka penutup peti. Kakinya tersurut. Mata membeliak dan mulut keluarkan seruan tertahan. Di dalam peai itu yang dilihatnya bukan uang emas dan harta perhiasan emas seperti yang dikatakan Sarontang. Melainkan batu kerikil!
"Jahanam kurang ajar! Penipu busuk!" Sekali tendang saja peti kayu itu hancur berantakan. Batu kerikil yang ada di dalamnya mental beterbangan ke udara. Rana Suwarte berkelebat mengejar ke arah lenyapnya kakek bertangan buntung itu. tapi Sarontang telah lama lenyap. Rana Suwarte terperangah, dan terduduk di tanah.
"Kalau jahanam itu menipuku seperti ini, alamat Keris Naga Kopek tidak bakal dikembalikannya. Dia tidak akan muncul di bukit ini! Aku harus mencari mengejar keparat penipu itu!"
Rana Suwarte segera bangkit berdiri. Namun begitu dia ingat pada bunga Melati Tujuh Racun, maksudnya hendak mengejar jadi bimbang. Saat itu yang jauh lebih penting baginya adalah memusnahkan tanaman bunga melati hitam itu. Agar tidak satupun dari bunga itu sampai jatuh ke tangan orang yang berusaha menyernbuhkan sakit berat yang tengah di alami Patih Kerajaan. Tanpa menunggu lebih lama Rana Suwarte segera lari ke arah timur. Dia membutuhkan waktu satu hari satu malam untuk sampai ke tempat dimana tumbuhnya bunga tersebut.
********************
Pagi itu udara masih terasa dingin. Di pinggir satu kali kecil yang merupakan anak Kali Opak, Setan Ngompol asyik menikmati singkong yang dibakarnya sendiri. Tiba-tiba dia mencium sesuatu. Bau kekayuan atau tanaman terbakar. Bau itu bukan berasal dari kayu pembakar singkong. Setan Ngompol berdiri. Berjalan beberapa langkah. Memandang berkeliling. Ketika matanya menatap ke arah utara dia melihat kepulan asap hitam di udara.
"Kebakaran. Hutan terbakar?" Setan Ngompol pegangi bagian bawah perutnya. "Aneh, sekarang bukan musim panas. Kawasan ini selalu diselimuti hawa sejuk. Dan sepagi ini. Mana mungkin rimba belantara bisa terbakar."
Si kakek geleng-gelengkan kepalanya. Dia kembali ke tempat membakar singkong. Kembali menikmati makanan itu. Sambil makan dia memandang ke arah kepulan asap.
"Kelihatannya tidak berapa jauh dari sini. Mungkin dilurusan aliran kali kecil ini. Di tempat yang lebih tinggi." Di kejauhan, di balik kepulan asap Setan Ngompol melihat Gunung merapi menjulang. Tiba-tiba kakek ini lemparkan potongan singkong bakar yang tengah disantapnya.
"Hatiku merasa tidak enak. Aku ingat pada bangsat bernama Rana Suwarte itu. Dia menghancurkan bunga di lidi. Tidak ingin aku memiliki bunga itu. Dia membunuh Sulantri. Tidak ingin aku mengetahui dimana bunga itu tumbuh!"
Si kakek pandangi aliran air jernih di kali kecil di depannya. Kepala diusap-usap dengan tangannya yang basah. "Ada sesuatu yang tidak beres. Aku harus menyelidik ke atas sana! Aku harus tahu apa yang terbakar. Gubuk... rumah. Pepohonan... Atau..."
Setan Ngompol tarik celana basahnya tinggi-tinggi ke atas. Lalu tidak menunggu lebih lama lagidia lari ke arah utara. Karena makin ke atas kawasan itu semakin tinggi dan si kakek berlari sambil salah satu tangan tetap pegangi bagian bawah perutnya maka dia tidak bisa berlari cepat. Sebentar saja nafasnya sudah mengengah-engah.
Kepalanya yang botak basah oleh keringat. Di sebelah bawah kencingnya mengucur tidak ketolongan. Walau dada sudah sesak dan nafas satu-satu tapi semangat si kakek tidak leleh. Dia terus lari ke arah kawasan tinggi di depannya. Sesekali kakinya terpeleset dan dia jatuh bergedebukan di tanah. Mengomel sendiri terkencing-kencing.
Ketika untuk kesekian kalinya Setan Ngompol jatuh tertelungkup di tanah, tempat terjadinya kebakaran itu hanya tiga tombak saja di sebelah depannya. Si kakek terduduk di tanah, mata belok memandang memperhatikan. Dia berada di tebing sebuah kali. Di banding dengan kali di sebelah bawah kali lebih besar dan arus airnya lebih deras.
Kecuali di tepi kali, maka di sekitar tempat itu tumbuh pohon-pohon besar berderet demikian rupa membentuk setengah lingkaran. Kebakaran justru terjadi di pedataran miring yang dilingkungi oleh deretan pohon besar berbentuk setengah lingkaran. Dari sisa tanaman yang terbakar Setan Ngompol hanya melihat pohon-pohon rendah bercampur semak belukar.
"Kembang melati. Seumur hidup aku belum pernah melihat pohonnya! Tapi pasti tidak setinggi pohon kelapa! Tidak serendah rerumputan!"
Setan Ngompol terus memperhatikan tanah yang menghitam. Sebagian tertutup bekas pohon-pohon kecil yang terbakar. Dia melangkah ke tepi kali. Dari sini dia berbalik, memperhatikan pedataran yang hangus dalam deretan pohon-pohon besar setengah lingkaran.
"Serrr!" Setan Ngompol pancurkan air kencing. Kakek ini melihat sesuatu. Tadi sewaktu dekat pohon-pohon besar dia tidak melihat. Tapi kini berdiri ditebing kali dia bisa melihat walaupun agak samar. Di tanah yang menghitam dan sebagian tertutup pohon-pohon kecil yang telah hangus terbakar, kakek ini melihat jejak-jejak kaki.
"lni bukan kebakaran alam. Ada orang membakar pohon-pohon di sini. Tapi hanya pohon-pohon kecil. Sengaja dibakar? Mengapa?"
Setan Ngompol usap-usap kepala gundulnya. Dia melangkah sepanjang tebing kali. Lalu menyusuri deretan pohon-pohon besar. Kakek mata belok ini tidak menyadari kalau sejak tadi di balik sebatang pohon besar ada orang memperhatikan gerak geriknya.
"Kraaak!"
Mendadak kaki kanan Setan Ngompol mengijak sesuatu. Ketika dia memandang ke bawah mulutnya menjadi pencong, kening berkerenyit dan mata tambah belok. Kakek ini membungkuk. Mengambil benda yang barusan dipijaknya. Benda Itu adalah sebatang bambu hijau yang bagian ujungnya ada sisa-sisa kain berwarna hitam. Setan Ngompol dekatkan bagian bambu yang patah terpijak ke hidungnya. Dia juga mencium ujung bambu yang ada kain hangus hitam. Kakek ini mencium bau minyak.
"Seseorang membakar tempat ini dengan obor. Mungkin lebih dulu mengguyur minyak atau cairan tertentu yang mudah terbakar. Lalu menyulut dengan api obor."
Dari deretan pohon-pohon besar Setan Ngompol kembali melangkah ke tebing kali. Saat inilah tiba-tiba telinga kanannya yang berdaun terbalik menangkap jelas dua suara berdesing di belakangnya. Setan Ngompol jatuhkan diri ke depan sambil tangan kanannya yang memegang bambu dibabatkanke belakang. Sebuah benda putih melesat di atas ubun-ubun Setan Ngompol, membuat si kakek langsung terkencing.
Benda kedua menancap di batangan bambu. Ketika diteliti ternyata benda itu adalah sebilah pisau kecil berwarna putih. Melihat bentuk dan warna pisau Setan Ngompol segera tahu siapa pemiliknya. Dengan senjata rahasia inilah dua hari sebelumnya Sulantri dihabisi riwayatnya.
"Rana Suwarte jahanam!" kertak Setan Ngompol. Dia bantingkan batangan bambu ke tanah lalu melompat ke arah deretan pohonpohon besar. Namun dia tidak menemukan siapa-siapa di tempat itu.
"Jahanam keparat itu pasti sudah kabur! Aku bersumpah akan membunuhnya! Aku bersumpah!"
"Serrr! Serrr!" Setan Ngomnol pancarkan air kencing. Kembali ke tebing kali, lama kakek ini duduk menjelepok di tanah. Matanya menatapi air kali yang bening dan deras arusnya.
"Melati Tujuh Racun... Sulantri... Rana Suwarte. Tempat yang terbakar ini... Aku yakin ada hubungannya satu dengan yang lain. Aku yakin di tempat inilah tumbuhnya bunga melati hitam itu. Dari tempat ini pula bunga melati itu dihanyutkan air sungai ke hilir. Dari sini ke tempat anak itu biasa menunggu dan bermain memakan waktu tujuh hari. Itu sebabnya Sulantri menyuruh aku datang lagi satu minggu kemudian... Melati Tujuh Racun..." Setan Ngompol memandang berkeiiling.
"Tidak ada sekuntum pun kulihat. Pasti sudah dibakar semua oleh jahanam Rana Suwarte itu. Tapi kenapa? Apa alasannya membakar? Mungkin dia tahu kalau bunga langka itu bisa menjadi obat penyembuh sakitnya Patih Kerajaan? Dia berusaha mencegah agar sang patih tidak bisa disembuhkan? Gila! Bukankah dia tokoh silat Istana? Seharusnya dia membantu untuk dapat menyembuhkan Patih Selo Kaliangan. Tapi dia justru jadi biang racun penghalang..."
Setan Ngompol geleng-geleng kepala. Sambil berpikir-pikir matanya terusjuga memandang air kali yang jernih yang mengalir deras ke arah hilir. Tiba-tiba kakek ini ingat sesuatu.
"Kalau anak perempuan itu bilang sekali seminggu dia menunggu kedatangan bunga melati, berarti bunga itu dihanyutkan air kali dari tempat ini. Apakah sudah ada bunga yang gugur dan dihanyutkan air?"
"Serrr!" Setan Ngompol bangkit berdiri Sambil terkencing. "Aku harus segera kembali ke tempat anak itu biasa menunggu tiga kuntum bunga melati hitam setiap minggu ditepi kali. Atau lebih baik kalau aku menyusuri kali kecil ini terus ke arah hilir. Mungkin aku bisa menemui bunga-bunga itu selagi dihanyutkan air kali. Tapi... kali kecil itu tidak selau melewati kawasan yang gampang ditelusuri. Ada jurang, lembah, rimba belantara berbahaya. Ah, perduli setan! Aku harus melakukan apa yang bisa aku lakukan! Mudah-mudahan memang ada bunga melati hitam yang gugur dan dihanyutkan air kali ke hilir!"
Tidak menunggu lebih lama kakek mata jereng kepala botak ini segera menghambur meninggalkan tempat itu.
BAB 9
Seperti telah diduga Setan Ngompol, tidak mudah mengikuti aliran kali kecil cabang Kali Opak. Dibeberapa tempat dia terhalang oleh lembah dalam, kawasan berbatu-batu, jurang dan hutan lebat. Selain itu Kali Opak memiliki banyak sekali cabang atau anak kali. Setelah beberapa kali terhalang dan terpaksa mencari jalan lain, ketika dia menemui kembali anak kali, Setan Ngompol tidak dapat memastikan apakah itu masih anak kali yang sejak mula pertama diikutinya.
Selain itu si kakek juga merasa heran. Kawasan yang dilewatinya ke arah hilir tidak sama dengan yang dilaluinya sebelumnya sewaktu menuju ke hulu. Sambil berlari di sisi kali kecil Setan Ngompol selalu memperhatikan air kali. Banyak benda mengapung dihanyutkan air, namun dia tIdak melihat benda yang dicarinya yakni bunga melati hitam.
Dua hari kemudian kakek itu akhirnya sampai kembali ke kali kecil di tempat mana gadis cilik bernama Sulantri sekali seminggu selalu duduk menunggu kemunculan bunga melati hitam yang dihanyutkan air kali. Si kakek sengaja duduk ditepi kali, tepat di tempat sulantri biasa duduk. Dia ingat akan lagu yang dinyanyikan gadis cilik yang mati dibunuh Rana Suwarte itu. Sesaat dia merasa sedih. Lalu kakek ini menghitung-hitung. Dia telah menghabiskan hampir empat hari untuk pergi ke arah utara lalu kembali lagi ke tempat itu.
"Kalau bunga melati hitam itu memang muncul sekali seminggu, berarti aku haurus menunggu selama tiga hari di tempat ini," kata Setan Ngornpol dalam hati."
Tapi setelah terjadi kebakaran di utara sana, apakah masih ada bunga melati hitam yang jatuh ke kali lalu dihanyutkan air ke sini? Jangan-jangan Rana Suwarte telah membakar habis seluruh bunga melati hitam yang tumbuh di tepi kali itu. Apa masih perlu aku menghabiskan waktu sampai tiga hari, menunggu di tempat ini? Sialan! Agaknya tak ada yang bisa aku lakukan. Aku terpaksa menunggu! Edan!"
Memang menunggu sesuatu bukan pekerjaan menyenangkan. Apalagi menunggu di tepi kali seperti itu. Hari demi hari terasa berlalu sangat lama. Keadaan Setan Ngompol kacau balau tak karuan. Di sebelah bawah pakaiannya basah kuyup oleh air kencing membuat sedapnya bau yang keluar dari badannya tidak usah ditanya lagi. Mukanya tampak tambah cekung.
Sepasang matanya yang belok merah karena tidak tidur-tidur dan setiap saat selalu menatap memperhatikan ke arah air kali di hadapannya. Yang sangat mengkhawatirkan si kakek jika malam tiba dan kali itu diselimuti kegelapan. Walau kali Cuma kecil dan dangkal tapi dia tidak bisa melihat jelas benda apa saja yang lewat dihanyutkan aliran air.
Hari itu hari ketiga Setan Ngompol duduk di tepi kali mengawasi setiap benda yang hanyut. Fajar menyingsing disusul munculnya sang surya. Bunga melati hitam yang ditunggu-tunggu tak kunjung muncul. Semakin tinggi matahari naik, semakin gelisah Setan Ngompol dan semakin sering kencingnya mengucur. Tepat tengah hari, ketika sang surya mencapai titik tertingginya Setan Ngompol habis sabarnya. Dia menghela nafas panjang dan kesal.
"Nasib buruk Patih Kerajaan. Melati Tujuh Racun tidak bakal aku dapat. Berarti tidak ada obat penyembuh.Seumur hidup Patih Selo Kaliangan akan terbaring lumpuh di atas tempat tidur."
Habis berkata begitu Setan Ngompol bangkit dari duduknya. Sambil berdiri matanya masih terussaja menatap memandang ke arah aliran air kali. Sebuah sabut kelapa disusul potongan daun pisang dihanyutkan air sepanjang tepi kali sebelah kanan di arah mana Setan Ngompol berdiri.
"Hanya sampah sialan!" maki si kakek. Dia tarik celananya yang basah kuyup tinggi-tinggi ke atas. Tiba-tiba!
"Serrr!" Setan Ngompol pancarkan air kencing. Di belakang potongan daun pisang sebuah benda berwarna hitam kelihatan dipermukaan air. Hanyut ke arah Setan Ngompol berdiri. Sekali tenggelam, sekali muncul di atas air. Setan Ngompol delikkan matanya yang belok. Dua tangan menekap bagian bawah perut kencang-kencang. Di belakang benda hitam itu, ada satu benda hitam lagi, lalu satu lagi. Tiga semuanya.
"Melati Tujuh Racun!" seru Setan Ngompol.
"Serrr!" Air kencing si kakek mengucur. Saking girangnya Setan Ngompol hendak mencebur masuk ke dalam kali dangkal itu. Namun belum sempat bergerak tiba-tiba satu bayangan berkelebat dari seberang kali kecil. Bersamaan dengan itu satu tendangan dahsyat menderu ke arah kepala Setan Ngompol.
"Kurang ajar! Siapa berani main gila menyerangku tengah hari bolong begini!" teriak Setan Ngompol marah. Dia mengira yang menyerang adalah Rana Suwarte. Dengan cepat kakek ini jatuhkan diri, berguling di tepi kali, begitu berbalik dia lepaskan pukulan Setan Ngompol Mengencingi Langit. Yang dia arah langsung selangkangan orang.
Walau kaget mendapat serangan balasan secepat dan sehebat itu namun si penyerang masih ampu menghindar selamatkan diri. Berdiri di tepi kali, sambil bertolak pinggang dia keluarkan ucapan lantang.
"Tua bangka bau! Aku tahu siapa kau! Kau dikenal dengan panggilan Setan Ngompol, sahabat dari seorang bocah kurang ajar bernama Naga Kuning. Lekas kau beritahu dimana anak jahanam itu berada! Atau akan kuhabisi kau duluan saat ni juga!’ Orang itu ternyata bukan Rana Suwarte seperti semula diduga Setan Ngompol. Orang ini bertubuh tinggi besar. Tidak mengenakan pakaian biru ringkas melainkan sehelai jubah tebal terusan berwarna putih, menjela tanah. Di atas kepalanya ada sebuah songkok atau tudung tinggi dilapisi kain hitam. Kain ini menjulai demikian rupa hjngga baik kepala maupun sebagian wajahnya tidak terlihat.
"Serrr!" Setan Ngompol pancarkan air kencing. "Manusia ini..." si kakek membatin. "Aku jadi ingat pada cerita Naga Kuning. Dia pernah diserang orang ini. Hendak dibunuh. Untung ditolong seorang nenek muka setan yang kemudian dikenal dengan julukan Gondoruwo Patah Hati yang bukan lain adalah kekasih Naga Kuning dimasa muda, bernama lntan Ning Lestari."
Baca Episode berjudul Gondoruwo Patah Hati
"Mahluk bersongkok, tidak kelihatan jidat tidak kelihatan tampang! Aku tidak kenal siapa dirimu! Perlu apa mencari Naga Kuning bocah sahabatku! Dari nada suaramu agaknya kau punya silang sengketa dengan anak itu. Jika punya urusan dengan Naga Kuning mengapa kalap menyerang diriku?! Malah mengancam hendak membunuhku! Aneh, mahluk sepertimu punya urusan nyawa dengan anak kecil dan aku tua bangka yang tidak tahu apa-apa!"
Dari balik songkok hitam, orang berjubah putih keluarkan suara mendengus. "Manusia bau! Apa kau masih bisa berkata tidak tahu apa-apa! Apa kau masih bisa berkata aku gila mencari urusan dengan seorang anak kecil! Lihat! Buka matamu besar-besar! Lihat siapa diriku!"
Habis berkata begitu orang tinggi besar berjubah putih tanggalkan songkok hitam yang menutup kepala dan mukanya.
"Serrr!" Air kencing Setan Ngompol langsung muncrat begitu dia melihat dia mengenali siapa adanya orang itu.
BAB 10
Orang berjubah putih ternyata memiliki kepala dahsyat. Otaknya tidak terletak dalam batok kepala tapi berada di luar kepala, terbungkus sejenis lapisan atau selubung bening atos. Angker sekali. Apa lagi dalam keadaaan marah otak itu terlihat jelas bergerak-gerak hidup!
"Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab!" ucap Setan Ngompol dengan suara tercekat. Wajah berubah dan kencing mengucur. Si tinggi besar berjubah putih menyeringai buruk. Dia kenakan kembali songkok hitam ke atas kepalanya.
"Kau tahu siapa aku. Berarti kau tahu apa urusanku dengan sobatmu anak bernama Naga Kuning! Aku akan menggantung nyawamu di awang-awang sampai kau menunjukkan dimana anak itu berada!"
"Serrr!" Kencing Setan Ngompol kembali mengucur. Dalam hati dia mengeluh. "Rambut dibawah perutku sudah kucukur habis! Mengapa aku masih saja ditimpa sial begini rupa? Berarti bukan rambut ini yang membawa sial!"
Setan Ngompol tahu riwayat mengapa Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab, mahluk dari Negeri Latanahsilam itu mencari Naga Kuning. Seperti diceritakan dalam Episode terakhir petualangan Wiro di Negeri Latanasilam berjudul Istana Kebahagiaan sebelum lstana meledak terjadi kekacuan hebat.
Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab pergunakan kesempatan untuk membalaskan sakit hatinya yang sudah lama terhadap Naga Kuning. Tapi dia kalah cepat. Naga Kuning berhasil lebih dulu mengerjai dedengkot Negeri Latanahsilam itu.Dengan ilmu Menahan Darah Memindah Jazad yang dipelajarinya secara mencuri dari Hantu Selaksa Angin (Luhkentut) dia mengambil barang paling berharga yang terletak di bawah perut Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab. Tidak heran selain dendam ingin membunuh Naga Kuning, Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab ingin mendapatkan kembali barangnya itu. Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab melangkah dekati Setan Ngompol.
Kakek ini mundur satu langkah seraya berkata. "Tunggu! Apa urusanmu dengan Naga Kuning aku tidak ada sangkut pautnya. Aku tidak tahu dimana anak itu berada!"
"Dua kalimat kau berucap. Dua kali kau berdusta!" tukas Hantu SejutaTanya Sejuta Jawab. "Jangan berpura-pura tidak tahu apa yangtelah dilakukan anak jahanam itu terhadapmu!"
Setan Ngompol delikkan matanya" Perlu apa aku berpura-pura! Memangnya anak itu telah berbuat apa terhadapmu?!" Setan Ngompol pura-pura bertanya dan unjukkan wajah prihatin.
"Anak jahanam itu telah mengambil barangku!" Menjawab Hantu SejutaTanya Sejuta Jawab.
"Mengambil barangmu? Barang apa?!" tanya Setan Ngompol lagi-lagi berpura-pura.
Rahang Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab menggembung. Dibawah songkok otaknya bergerak-gerak. "Tua bangka jahanam! Kurobek mulutmu yang selalu bicara dusta itu!"
"Dengar..." kata Setan Ngompol pula sambil pegang bagian bawah perutnya. "Kalau kau mau memberitahu apa barangmu yang diambil anak itu, mungkin aku bisa tolong mencarikan..."
Saking marahnya mendengar ucapan Setan Ngompol, Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab menjawab setengah berteriak. "Anak jahanam itu telah mengambil kemaluanku! Dan mempergunakan ilmu Menahan Darah Memindah Jazad. Setahuku ilmu itu hanya dimiliki Luhkentut alias Hantu Selaksa Angin. Aku tidak tahu bagaimana anak keparat itu bisa memilikinya!"
Setan Ngompol kelihatan terkejut padahal sudah tahu kejadiannya. Kakek ini dongakkan kepala ialu tertawa gelak-gelak. Di sebelah bawah air kencingnya mancur lagi.
"Tua bangka botak bau pesing! Apa yang lucu! Mengapa kau tertawa!" Membentak Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab.
"Aku tidak habis pikir! Kalau Naga Kuning bocah sahabatku itu memang punya ilmu Menahan Darah Memindah Jazad, buat apa dia mengambil barangmu? Buat dijadikan mainan?!"
"Kurang kerjaan saja! Ha ha ha!" Si kakek hentikan tawanya sesaat. Dua matanya yang belok menatap wajah Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab.
Lalu Setan Ngompol membuka mulut kembali. "Aku tetap tidak percaya kalau Naga Kuning telah mengambil barangmu itu. Coba kau buktikan. Coba angkat tinggi-tinggi jubah putihmu! Aku mau lihat sendiri, apa benar tidak ada lagi burung gagak hitam yang nangkring di bawah perutmu itu. Ha ha ha!"
"Tua bangka bau kurang ajar!" Amarah Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab meledak. Dia maju dua langkah. Setan Ngompol mundur tiga langkah. Dia angkat tangan kirinya lalu berkata. "Kalaupun kau bertemu bocah sahabatku itu, apakau kira dia masih menyimpan barang butut milikmu itu? Mungkin saja barang itu sudah dibuangnya ke comberan. Atau diberi makan pada anjing! Ha ha ha!"
Sambil tertawa Setan Ngompol palingkan kepala ke arah kali kecil. Sabut kelapa dan daun pisang yang dihanyutkan air kali sesaat lagi akan sampai di dekatnya. Di belakang sabut kelapa dan daun pisang menyusul tiga kuntum bunga melati hitam. Tiga bunga beracun itu jauh lebih penting dari pada melayani mahluk yang otaknya menggelembung di luar kepala itu. Tidak menunggu lebih lama Setan Ngompol putar tubuh, melompat kedalam kali. Selagi sosok Setan Ngompol melayang di udara terjadi dua hal hebat.
Pertama, ketika melihat Setan Ngompol memutar tubuh Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab mengira kakek itu hendak melarikan diri. Dedengkot dari Negeri Latanahsilam ini segera lancarkan serangan Memeluk Bumi Menghantam Matahari. Dua tangannya mendadak berubah panjang. Yang kiri menelikung menyambar pinggang Setan Ngompol sedang tangan kanan mengemplang ke arah batok kepala si kakek botak!
Setan Ngompol merasa ada angin deras menyambar pinggang dan kepalanya. Kekek ini segera maklum kalau ada orang membokong dari belakang. Dia tengah menghadapi bahaya besar. Sambil berteriak keras dan pancarkan air kencing Setan Ngompol liukkan pinggang lalu menendang ke belakang dalam jurus Setan Ngompol Meroboh Gunung.
Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab tersentak kaget ketika ada muncratan air kencing bau menyambar deras ke arahnya disusul satu tendangan dahsyat kekepala! Dengan cepat tokoh dari negeri 1200 tahun silam ini sentakkan kepalanya ke belakang lalu melompat kesamping. Tendangan maut berhasil dielakkan namun muncratan air kencing sempat mengenai bahu kiri jubah putihnya.
"Tesss! Tesss! Tesss!"
Jubah putih Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab bolong di tiga tempat. Dia sendiri merasa perih sakit seperti ditusuk jarum di bahu kiri.
"Jahanam minta mampus!" Amarah Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab meledak sudah!
Didahului suara seperti binatang buas mengaum kakek ini tekuk sepasang lutut. Dari perut tenaga dalamnya dialirkan penuh ke tangan kanan. Ketika tangan kanan itu dihantamkan ke arah Setan Ngompol yang tengah menukik turun ke kali, siap untuk menyambar tiga bunga melati hitam, dari tangan itu menderu selarik sinar putih sebesar batang kelapa. lnilah pukulan sakti yang disebut Menara Mayat Meminta Nyawa yang paling ditakuti semua orang di negeri Latanahsilam!
Sekitar satu jangkauan dari sasaran tiba-tiba sinar putih itu memecah menjadi tiga. Satu menghantam ke arah kepala, satu menyambar ke jurusan pinggang yang terakhir membabat ke arah sepasang kaki Setan Ngompol!
Tak ada kemungkinan bagi Setan Ngompol untuk selamatkan diri dari tiga serangan yang datang dari belakang itu. ltulah hal atau kejadian hebat yang pertama. Hal hebat kedua terjadi dalam waktu hampir bersamaan. Seperti diceritakan sebelumnya, Rana Suwarte berusaha membunuh Setan Ngompol dengan cara membokong kakek tukang kencing itu dengan lemparan dua pisau terbang, namun menemui kegagalan.
Rana Suwarte yang kini tidak lagi memiliki Keris Naga Kopek sakti mandraguna itu tidak punya nyali menghadapi Setan Ngompol secara terbuka satu lawan satu. Dia sengaja menghindar menjauhkan diri. Namun kemudian diam-diam dia memata-matai Setan Ngompol. Ketika Setan Ngompol kembali ke cabang Kali Kopek di kawasan selatan, dia segera melakukan penguntitan. Dia menaruh curiga Setan Ngompol tengah menyelidiki sesuatu.
Siang itu ketika Setan Ngompol melihat tiga kuntum bunga melati hitam dihanyutkan air kali, Rana Suwarte yang bersembunyi diatas satu pohon besar di tepi kali segera bersiap-siap memusnahkan bunga-bunga itu. Maksudnya tertunda ketika Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab muncul. Namun sewaktu dia melihat Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab justru menggempur Setan Ngompol dengan pukulan yang memancarkan cahaya putih sebesar batangan pohon kelapa, Rana Suwarte pergunakan kesempatan.
Dia melesat turun dari atas pohon lalu lepaskan pukulan tangan kosong jarak jauh mengandung tenaga dalam tinggi. Pukulan ganas ini dilakukan hampir berbarengan dengan pukulan yang dilancarkan Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab. Hanya saja yang diarah Rana Suwarte bukan Setan Ngompol, tapi tiga bunga melati hitam yang hanyut terapung di permukaan air kali.
Pada saat luar biasa tegangnya itu, tiba-tiba dari seberang kali berkelebat cepat satu sosok yang dengan gerakan kilat melepas dua pukulan dahsyat memancar cahaya terang berwarna kuning pekat.
"Bummm! Bummm!"
Dua letusan keras menggelepar menggetarkan seantero tempat, menenggelamkan jeritan Setan Ngompol. Air kali muncrat sampai dua tombak. Pasir dan bebatuan yang ada di dasar kali dangkal itu terbongkar, berhamburan ke udara. Di dasar kali sebelum air menutup kelihatan menganga sebuah lobang besar. Ketika air kali muncrat ke atas semua sampah yang dihanyutkan termasuk tiga kuntum bunga melati hitam ikut mencelat mental ke udara.
Tebing kali di tempat mana tadi Setan Ngompol berada sebelum melompat, hancur berantakan. Sosok Setan Ngompol sendiri selamat dari serangan yang diiancarkan Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab. Namun letusan dahsyat dan terpaan cahaya kuning membuat kakek ini terlempar ke udara setinggi lebih dari dua tombak, lalu tergelimpang jatuh di seberang kali, tak berkutik lagi. Sekujur tubuhnya mulai dari kepala yang botak sampai ke ujung kaki kelihatan berwarna kuning!
Di tepi kali Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab ja!uh berlutut. Tubuhnya bergetar hebat. cangkok di kepalanya terlepas tanggal, terguling ditanah, hampir jatuh ke dalam kali. Untuk beberapa lamanya dia hanya bisa tertegun berlutut begitu rupa dengan muka pucat, dua tangan terkulai lemas. Otak di iuar kepalanya berdenyut cepat, dadanya terasa sakit, nafas menyengal. Rasa sesak turun ke perut. Ketika perutnya mendadak menjadi mual, Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab tak bisa menahan muntah.
Begitu muntah menyembur, yang keluar adalah cairan kuning. Dia beruntung karena seandainya tidak muntah maka racun kuning akan mendekam dalam tubuhnya. Dilain tempat Rana Suwarte yang tadi melayang turun dari atas pohon sambil lepaskan dua pukulansakti ke arah kali berhasil membuat mental tiga bunga melati hitam.
Namun sambaran cahaya kuning rnembuat tubuhnya sesaat tertahan. menggantung di udara lalu terbanting jatuh ke tanah. Muntah darah tapi tak sampai pingsan. Di seberang kali, seorang pemuda berpakaian ringkas warna coklat berdiri terheran-heran. Dia seperti tidak percaya melihat apa yang terjadi. Dia masih tegak terrmangu ketika Rana Suwarte bangkit berdiri.
Rana Suwarte yang merasa telah berhasil rnemusnahkan tiga kuntum bunga melati hitam dan saat itu berada dalam keadaan cidera, merasa tidak ada gunanya, malah bisa berbahaya jika dia berlama-lama di tempat itu. Maka dengan lari terhuyung-huyung dia segera tinggalkan tempai itu.
pemuda di seberang kali masih berdiri di tempatnya sewaktu Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab merangkak mengambil songkoknya.Lalu cepat-cepat tinggalkan tempat itu. Sesekali dia rnenoleh ke belakang, ke arah pemuda di tepi kali. dia coba mengingat-ingat.
"Aku seperti pernah melihat orang itu. Mungkinkah dia?" Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab usap-usap dagunya. Lalu kembali dia membatin. "Pukulan cahaya kuning yang dilepaskannya tadi aku yakin adaIah PukuIan Mega Kuning Liang Batu. Tapi kalau memang dia meragapa wajahnya berubah? Alisnya tidak setebal dulu. Kumisnya tidak ada. Dia kelihatan jauh lebih muda. Dia menyelamatkan nyawa kakek bau pesing itu. Apa hubungannya dengan Setan Ngompol?"
BAB 11
Di tepi kali pemuda berpakaian coklat untuk beberapa saat lamanya masih tegak berdiri. Dia seperti tidak acuh dengan kepergian Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab dan Rana Suwarte. Ada keanehan pada diri orang ini. Wajahnya yang cukup gagah itu memiliki kulit muka berwarna kuning. Begitu juga auratnya yang tersembul di balik pakaian yakni dua tangan dan sepasang kaki, semua berwarna kuning. Malah bagian putih pada kedua matanya juga berwarna kuning. Perlahan-lahan pemuda ini palingkan kepala ke arah sosok Setan Ngompol yang tergeletak di tanah.
"Kasihan..." si pemuda berucap perlahan. "Aku bermaksud menolongnya, tapi mengapa malah jadi celaka begini rupa? Kalau dia sampai menemui ajal, bagaimana aku harus mempertanggung jawabkan?"
Pemuda ini melangkah mendekati sosok Setan Ngompol. Hidungnya bergerak-gerak ketika dia mencium bau pesing yang santer. Sambil menekap hidung dia berjongkok di samping tubuh Setan Ngompol lalu letakkan telinga kirinya di atas dada si kakek Wajah kuning si pernuda kelihatan memancarkan perasaan Iega ketika . dia mendengar suara detakan jantung.
"Syukur, tidak mati. Cuma pingsan," Baru saja pemuda muka kuning ini berucap dalarn hati tiba-tiba dua bayangan biru dan ungu berkelebat di hadapannya.
"Manusia muka kuning! Bersiaplah menerima kematian!" Seseorarig berteriak, Suara perempuan!
"Kau membunuh sahabat kami!" satu suara lagi berseru. Juga.suara perempuan.
Begitu dua bentakan sirap, dua orang telah berdiri di hadapan si pemuda. Bau harum semerbak memasuki rongga pernafasannya. Di wajahnya jelas ada bayangan rasa kaget. Bukan kaget oleh dua bentakan tadi, tapi kaget ketika melihat siapa adanya dua orang yang berdiri di hadapannya. Mereka adalah dua gadis berwajahcantik jelita. Satu berpakaian ungu berambut hitam pekat, satunya berpakaian biru berambut pirang. Seumur hidup belum pernah dia melihat dua gadis begini cantik.
"Ah, aku..." Si pemuda muka kuning jadi salah tingkah.
"Jangan cengengesan!" bentak gadis berambut pirang berpakaian biru yang bukan lain adalah Bidadari Angin. Timur.
”Apa maumu?!" Anggini Ikut mendamprat.
"Setan alas? Apa itu? Aku bukan setan..." Si pemuda usap muka kuningnya. "Ah, mungkin wajahku seram seperti setan? Buruk sekali nasibku..."
Dua gadis kembali terkesiap mendengar ucapan si pemuda. "Dua gadis, aku tidak kenal padamu. Tapi aku tahu kalian berhati baik. Dengar, aku tidak membunuh kakek botak itu. Dia tidak mati. Cuma pingsan. Tadi aku sudah memeriksa..."
"Siapa percaya ucapan manusia sepertimu! Kulit kepala, muka, tangan serta kaki sahabat kami itu kuning. Pertanda dia terkena racun pukulan."
"Kakek itu sahabatmu? Dia juga sahabatku." Ucap si pemuda.
"Jangan berani mengaku-aku!" bentak Bidadari AngIn Timur. Merasa dipermainkan Bidadari Angin Timur memberi isyarat pada Anggini. Tanpa banyak bicara lagi dua gadis ini segera menyerang pemuda muka kuning.
"Celaka! Aku sudah katakan aku sahabat kakek itu. Mau menolongnya. Malah dituduh membunuh. Bagaimana ini? Atau mungkin dia bukan Setan Ngompol yang di Latanahsilam dulu? Eh, dulu dia punya rambut panjang. Sekarang botak. Ah, siapapun kakek ini adanya yang jelas aku tidak membunuhnya. Dia tidak mati."
Karena tenggelam dalam jalan pikirannya sendiri pemuda berkulit kuning itu seperti tidak menyadari kalau dua gadis didepannya telah melancarkan serangan. Atau karena merasa dirinya tidak bersalah dia mengira dua gadis cantik itu tidak berniat menurunkan tangankeras terhadapnya.
"Bukkk! Bukkk!"
Dua jotosan keras melanda dada dan perut pemuda muka kuning . Dua gadis sama terpekik. Ketika memperhatikan tangan masing-masing, keduanya terkejut. Jari-jari tangan mereka kelihatan lecet dan merah. Sementara itu orang yang dipukul terpental satu tombak. Tapi begitu jatuh di tanah tetap berdiri tegak, mata terbeliak karena kaget tak percaya, mulut mengerenyit tanda menahan sakit dan dua tangan pegangi dada serta perutnya yang terkena jotosan. Suara si pemuda perlahan lirih ketika dia berucap.
"Aku tidak bersalah. Mengapa dipukuli...?" Aneh, habis digebuk orang suara bertanya pemuda muka kuning ini terdengar lembut. Matanya membeliak besar tapi tidak rnemancarkan rasa dendam, hanya rnenyatakan perasan heran bertanya-tanya. kemudian mata itu mengecil. memandang sayu pada dua gadis.
Dibalik pandangan sayu itu jelas terbayang rasa kesedihan yang mengganjal. Membuat Bidadari Angin Timur dan Anggini terkesima dan diam-diam merasa menyesal atas tindakan mereka barusan.
”siapa pemuda ini sebenarnya?" bisik Bidadari Angin Timur bertanya pada Anggini.
"Aku tak pernah melihatnya sebelumnya. Juga tak pernah tersirap kabar tentang seorang pemuda rimba persilatan berpenampilan seperti dia." Menjawab Anggini.
"Dia punya kekuatan luar biasa," bisik Bidadari Angin Timur lagi. "Orang lain jika kita pukul seperti tadi paling tidak akan muntah darah!"
Anggini memandang ke arah kakek botak yang tergeletak di tanah. "Jangan-jangan kita salah menduga. Kakek itu bukan Setan Ngompol. Kita tahu betul Setan Ngompol kepalanya tidak botak."
"Aku tidak sependapat denganmu. Lihat celana si kakek yang basah dan menebar bau pesing. Lalu, tadi pemuda muka kuning itu menyebut nama Setan Ngompol."
"Kalau begitu mari kita tanyai dia," kata Anggini pula. Dua gadis dekati pemuda berpakaian coklat berwajah kuning. Yang didekati masih tegak tak bergerak. Matanya juga masih memandang sayu pada dua gadis.
"Biar aku yang menanyai," kata Bidadari Angin Timur. Namun sebelum si gadis sempat membuka mulut, pemuda muka kuning sudah mendahului.
"Dulu para sahabat dari negeri seribu dua ratus tahun mendatang pernah bilang. Gadis gadis di tanah jawa cantik-cantik. Ramah dan murah senyum. Tapi mereka tidak pernah bilang kalau senyum dan keramahan itu berupa jotosan pukulan."
Bidadari Angin timur dan Anggini kelihatan merah wajah masing-masing. Namum mereka tidak menjadi Kesal atau marah karena si pemuda mengucapkan kata-katanya sambil tersenyum.
"Kau siapa sebenarnya?" tanya Anggini.
"Siapa para sahabat yang kau sebutkan dari negeri seribu dua ratus tahun mendatang itu?" Bidadari Angin Timur menyambungi pertanyaan Anggini.
"Mereka ada tiga orang. Pertama seorang anak bernama naga Kuning. Lalu seorang pemuda berambut panjang bernama Wiro sableng Yang ketiga kakek itu. Dulu rambutnya panjang heran, mengapa sekarang jadi botak. Mungkin dimakan rayap."
Dalam keadaan lain Anggini dan bidadari Angin timur mungkin akan tertawa cekikikan mendengar ucapan si pemuda muka kuning itu.
"Kau belum-menjawab pertanyaanku," kata Anggini. "Terangkan siapa kau sebenarnya."
"Namaku hantu jatilandak..."
"Apa?" ujar Anggini.
”Kau hantu? hik hik hik!" Bidadari Angin timur tertawa geli.
Tidak pedulikan ucapan dan sikap dua gadis, pemuda itu meneruskan memberi keterangan. "Aku berasal dari negeri Latanahsilam. Satu negeri seribu dua ratus tahun silam."
Anggini memegang lengan Bidadari Angin Timur lalu berbisik. "Wiro pernah menerangkan tentang negeri itu. lngat ketika dia menghilang dua tahun lalu tanpa rimba tanpa berita?"
Bidadari Angin Timur anggukkan kepala. Dia pandangi sesaat pemuda dihadapannya itu. "Kalau kau benar dari negeri seribu dua ratus tahun silam, lalu bagaimana kau bisa berada di tanah Jawa ini?"
"Panjang ceritanya. Tapi singkatnya begini. Ada satu kejadian besar di sana. Saat itu semua orang berkumpul di lstana Kebahagiaan, termasuk tiga sahabatku dari tanah Jawa. Terjadilah kekacauan lalu tiba-tiba istana meledak. Semua orang yang ada di dalamnya laksana dilontarkan kekuatan dahsyat ke angkasa. Aku terlempar dan tersesat ke sini. Mungkin juga yang lain-lainnya. Yang jelas aku telah menemukan salah seorang dari mereka. Kakek botak itu..."
"Ceritamu sulit dipercaya," ucap Bidadari Angin Timur.
"Ya, seperti dongeng saja," menyambungi Anggini.
"Kalian tadi bertanya. Aku menerangkan apa adanya. Kalau kalian tidak percaya, aku tidak memaksa. Tapi aku jauh dari dusta. Kalau kakek sahabatku ini siuman, nanti kalian bisa bertanya padanya. Lalu kalian akan tahu apaaku berdusta atau tidak."
Habis berkata begitu Hantu Jatilandak melangkah mendekari sosok Setan ngompol. Dua gadis mengikuti ingin tahu apa yang hendak diperbuatnya.
"walau kami tidak melihat, tapi kami yakin kakek ini celaka karena pukulah yang kau lancarkan. Buktinya muka dan anggota badannya kuning semua. Pasti keracunan hawa jahat pukulanmu." berkata Bidadari Angin Timur.
"Aku memang melepaskan pukulan tapi bukan untuk mencelakai kakek ini. Ada dua orang bermaksud membunuhnya. Aku melepas pukulan untuk menangkis serangan orang-orang itu."
"Siapa mereka?" tanya Anggini.
"Yang pertama orang berjubah putih. Tinggi besar, memakai penutup kepala hitam. Dia adalah Hantu Sejuta Tanya Sejuta jawab. Seorang tokoh dari Negeri latanahsilam. Orang kedua seorang kakek berpakaian ringkas warna biru yang aku tidak kenal."
"mungkin itu Rana Suwarte," kata Bidadari Angin timur sambil berpaling pada Anggini. Hantu Jatiladak duduk ditanah, lurus-lurus di belakang kepala Setan Ngompol. Dua tangannya diletakkan di atas kepala si kakek.
"kau mau melakukan apa?!" bentak Bidadari Angin timur curiga.
BAB 12
Aku mau memusnahkan racun kuning dari dalam tubuhnya," jawab Jatilandak. Lalu pemuda muka kuning ini mulai kerahkan tenaga dalam. Yang kemudian dilakukannya bukan mengalirkan hawa sakti ke dalam tubuh si kakek, tapi sebaliknya menyedot hawa jahat beracun yang ada dalam tubuh orang tua itu.
Bidadari Angin Timur dan Anggini memperhatikan dengan pandangan mata tak berkesip penuh tegang. Mereka melihat bagaimana dua tangan Jatilandak yang memegang kepala Setan Ngompol bergetar. Butiran-butiran keringat memercik di kening si pemuda. Tiba-tiba dari ubun-ubun Setan Ngompol mengepul asap kuning menebar bau amis. Sesaat kemudian begitu asap sirna, perlahan-lahan warna kuning pada kulit kaki Setan Ngompol lenyap. Menyusul warna kuning di kulit tangan juga hilang. Setelah itu wajah dan kepala si kakek yang tadi berwarna kuning kini kembali ke bentuk wajarnya.
"Luar biasa," bisik Angglni. "Dia punya ilmu menyedot racun. Biasanya hanya senjata sakti yang bisa melakukan penyedotan. Paling tidak harus ada benda sakti perantara yang dipergunakan untuk melakukan hal seperti ini salah salah bisa membahayakan jiwa si penyedot sendiri!"
Jatilandak terduduk di tanah, mandi keringat. Berulang kali dia menghembus melepaskan nafas lega. "Selamat... selamat," katanya sambil mengusap mukanya yang kuning keringatan.
Tiba-tiba sosok Setan Ngompoi yang sejak tadi diam tak berkutik keluarkan suara mengerang pendek. tubuh menggeliat, pinggul terangkat ke atas. Lalu...
"Serrr!" Air kencingnya mancur, mencuat dari sela sela celana. Bidadari AnginTimur dan Anggini sama terpekik, cepat melompat menghindar dari cipratan air kencing. Dalam keadaan seperti itu sosok Setan ngompol kemudian duduk di tanah. Seperti orang baru bangun tidur dan habis bermimpi dia gosok-gosok mata beloknya, memandang Sekeliling. Sesaat dia pandangi dua gadis cantik di hadapannya.
Kakek ini kedip-kedipkan mata, menyeringai lalu berpaling pada Jatilandak. Pemuda muka kuning monyongkan mulutnya. Setan Ngompel tertawa lebar. Saat itulahdia ingat sesuatu. Dia palingkan kepala ke arah kali.
"Melati Tujuk Racun... Bunga itu..." Setan Ngompol keluarkan ucapan.
"Kek, kau bicara apa?" tanya Bidadari Angin Timur terkejut.
"Kek, kau barusan menyebut apa?!" Anggini ikut bertanya.
Si kakek usap-usap telinga kirinya. "Anehnya, mengapa pendengaranku jadi kurang jelas?"
"Setan Ngompol," ujar Bidadari Angin Timur. "Tadi kau menyebut Melati Tujuh Racun. Itu bunga sakti yang disuruh cari Pendekar 212 untuk mengobati Patih Kerajaan. Agaknya kau melihat atau mengetahui sesuatu?"
Setan Ngompol usap lagi telinga kirinya. "Kek! Bicaralah! kami yakin kau tahu sesuatu!" kata Bidadari Angin Timur setengah berteriak. Si kakek menunjuk lagi ke arah kali. "Tadi aku melihat tiga kuntum bunga Melati Tujuh Racun dihanyutkan air di kali itu. Aku melompat ke dalam kali, mau mengambil. Tapi mendadak ada orang menyerangku dari belakang. Lalu dari samping ada sambaran angin deras sekali seperti mau memutus pinggangku. Kemudian dari sebelah depan ada dua cahaya kuning menyilaukan datang menyambar. Selanjutnya menggelegar dua ledakan dahsyat. Aku tidak ingat apa-apa lagi..."
"Air kali muncrat tinggi. Dasar kali berlobang besar. pasir, bebatuan dan semua benda yang ada di dalam kali mencelat mental ke udara." hantu Jatilandak ikut memberi keterangan.
Setan Ngompol unjukkan wajah kaget, menatap pemuda muka kuning lekat-lekat. "Berarti... Walah! Berarti tiga bunga melati hitam itu ikut amblas! Celakai" Si kakek lalu pukul jidatnya sendiri berulang kali. Air kencingnya tidak terbendung, langsung ngocor.
"Kasihan... kasikan..." kata Setan Ngompol berulang kali.
"Siapa yang kasihan kek?" bertanya Jatilandak.
Setan Ngompol menoleh ke arah si pemuda. Seolah baru sadar kalau ada orang berkulit aneh itu dihadapannya, si kakek bertanya. "Eh, pemuda muka kuning, kau ini siapa?"
Jatilandak tertawa lebar. "Apa kau lupa Kek? Aku Hantu Jatilandak. Sahabatmu waktu di Negeri Latanahsilam."
"Serrr" Air kencing Setan Ngompol terpancar. ”Hantu Jatilandak? Ya... ya... ya! Aku ingat. Waktu kesasar di Negeri Latanahsilam aku memang punya sahabat sorang anak muda bernama Hantu Jatilandak. Kulitnya kuning seperti kulitmu.Tapi kepala, wajah dan sekujur Tubuhnya dipenuhi duri-duri kaku panjang seperti bulu landak. Tampangmu kulihat kuning mulus. Aku meragukan. Apa kau benar Si Hantu Jatilandak sahabatku dulu, atau cuma mahluk jadi-jadian yang kesasar ke tempat in!!"
Jatilandak tertawa mendengar kata-kata Setan Ngompol itu. "Sesuatu terjadi atas diriku, Kek," katanya. "Sewaktu istana Kebahagiaan milik Hantu Muka dua meledak dan kita semua terlontar ke angkasa, gesekan udara yang keras dan panas membuat rontok habis semua duri landak yang ada di kepala, muka, dua tangan dan dua kakiku. Tapi duri landak yang terlindung di balik pakaianku hanya terkikis sebagian. Kalau kau tidak percaya lihat sendiri..." Si pemuda lalu singkapkan bajunya di bagian dada. Kulit tubuhnya di bagian dada dan perut ternyata menyerupai kulit durian, atos berwarna kuning.
Bidadari Angin Timur dan Anggini unjukkan wajah ngeri tapi juga ada rasa kasihan. Anggini berbisik. "Pantas waktu tadi dia kita jotos, tangan kita sakit dan lecet."
"Seumur hidup baru sekali ini aku melihat ada manusia macam begini," balas berbisik Bidadari Angin Timur.
"Sepertinya... sepertinya dia..."
"Sepertinya dia apa?" tanya Bidadari Angin Timur.
Anggini gelengkan kepala.
"Kek, tadi kau berucap kasihan berulang kali. Apa maksud ucapanmu itu, Siapa yang dikasihani?" Bertanya Jatilandak.
"Selo Kaliangan. Patih Kerajaan. Harapannya untuk sembuh pupus sudah. Seumur hidup dia akan tergeletak lumpuh di atas tempat tidur." Jawab Setan Ngompol.
"Kenapa begitu?" tanya Jatilandak lagi.
"karena satu-satunya obat mujarab yang bisa menyembuhkan penyakitnya adalah bunga melati hitam berkelopak tujuh yang disebut Melati Tujuh Racun," Yang menjawab Bidadari Angin Timur.
Anggini menyambung "hanya sayang, tiga bunga melati sakti itu telah mental entah kemana, mungkin juga telah hancur musnah"
"Ah, aku merasa bersaIah. Kalau aku tadi tidak lepaskan pukulan sakti yang menebar cahaya kuning itu, mungkin kakek ini masih bisa mendapatkan bunga itu..." Jatllandak bicara menyesali diri.
”Kau tidak usah bicara begitu," ujar anggini. "kalau kau tak turun tangan, kakek sahabat kami ini mungkin sudah menemui ajal dikeroyok Rana Suwarte dan Hantu Sejuta tanya sejuta jawab."
Bidadari anginTimur pandangi sahabatnya yang barusan bicara itu. Hatinya membatin. "Sahabatku Ini seperti punya pandangan dan perasaan baru terhadap pemuda muka kuning. itu. Hemm..."
"Sekarang mau bikin apa lagi? Mau dicari kemana lagi bunga sakti itu? Rana Suwarte telah membakar seluruh tanaman melati hitam di kawasan utara." Setan Ngompol usap-usap kepala botaknya.
"Mungkin tiga kuntum bunga melati itu hancur. Tapi hancurannya mungkin saja bertebaran di sekitarsini. Bagaimana kalau kita berempat mencarinya?" Mengusulkan Anggini.
Jatilandak menanggapi. "Kalau air kali muncrat ke udara, berarti tiga kuntum bunga melati hitam itu ikut mencelat ke udara. Berarti bunga-bunga itu kemudian jatuh kembali ke tanah, atau terkait di antara daun pepohonan. Bisa juga terselip dalam semak belukar. Kita harus memeriksa tempat sekitar sini. Dan sebaiknya segera kita lakukan sekarang juga! Tunggu, kita! Maksudku bukan kita. Aku yang bersalah biar aku yang melakukan sendiri. Ini hukuman bagi orang tolol seperti aku. Aku manusia tolol tidak tahu diri. Berada di negeri orang malah membuat kekacauan dan membuat susah orang lain!"
Setan Ngompol melongo. Bidadari Angin Timur dan Anggini saling pandang. Selagi ketiga orang ini masih diselimuti rasa heran dan tidak mengerti apa sebenarnya maksud si pemuda, tiba-tiba pemuda itu telah lenyap dari hadapan mereka.
"Serrr!" Setan Ngompol kucurkan air kencing. "Kemana lenyapnya anak itu? Jangan-jangan dia mahluk jejadian yang pura-pura berbuat baik karena terpikat pada kalian berdua! Ha ha ha!"
"Kek! Dalam keadaan seperti ini kau masih sempat-sempatnya bergurau!" kata Bidadari angin Timur sementara anggini kelihatan senyum-senyum.
Di udara tiba- tiba kelihatan berkelebat bayangan kuning. Bergerak dari satu pohon ke pohon lain, lalu menukik turun, mengelilingi beberapa semak belukar yang ada di tempat itu. Di lain saat bayangan ini ini berkelebat sepanjang dua tepi kalilalu lenyap. Tak lama kemudian sosok pemuda muka kuning telah berdiri di samping kanan setan Ngompol, di hadapan dua gadis cantik. Warna kuning pada wajahnya kelihatan memucat. Kepalanya digelengkan perlahan.
"Aku sudah mencari, tidak satupun dari Tiga bunga-melati hitam itu ada di pepohonan semak belukar dan sepanjang tepian kali."
"Pasti sudah harcur semua " kata Setan Ngompol sambil pegangi Perut. Anggini pegangi lengan Bidadari Angin Timur.
"Sahabatku, aku tahu. kau memiliki. kemampuan bergerak laksana kilat yarng tidak tertandingi, Tapi kau saksikan sendiri gerakan pemuda itu sunggus luar biasa. Selain. Itu sambil bergerak dia mampu melihat segala sesuatu dengan cepat. Buktinya dia bisa mengatakan tidak menemukan bunga melati hitam itu.
”Menurut cerita Wiro, orang orangdi negeri Latanahsilam memang memiliki ilmu langka yang terkadang sulit. dipercaya,” jawab Bidadari angin timur.
Jatilandak pandangi si kakek yang tingginya hanya sepundaknya. Sesaat dia perhatikan telinga kanan Setan Ngompol yang lebar terbalik. Dia melihat sesuatu dalam telinga kakek ini. "Kek, sesuatu menyumpal lobang telingamu. Mungkin kotoran, mungkin kau tak pernah ngorek kuping." Berkata Jatilandak.
"Apa? Ada kotoran menyumpal lobang telingaku? Pantas sejak tadi pendengaranku rada rada budek..." Setan Ngompol korek lobang telinganya sebelah kiri.
"Bukan yang kiri Kek. Yang sebelah kanan. Kotorannya besar sekali Kek. Sampai hitam..." Kata Jatilandak memberitahu.
"Ah..." Si kakek miringkan kepalanya ke kanan. Lalu jari kelingkingnya dimasukkan kelobang telinga. Dia menyentuh satu benda lembut, membuat dia kegelian dan kucurkan air kencing.
"Sudah, biar sini aku yang mengeluarkan kotoran itu," kata Jatilandak. Dia membungkuk mencabut sebatang rumput liar. Dengan batangan rumput ini dia mengeluarkan kotoran hitam yang rnenyumpal di telinga Setan Ngompol. Si kakek tersentak-sentak kegelian dan kucurkan air kencing.
"Eh, apa ini?" ujar Jatilandak sambil memperhatikan benda hitam di ujung batangan rumput. Anggini dan Bidadari Angin timur melangkah lebih dekat, ingin melihat benda apa adanya yang barusan dikeluarkan dari kuping si kakek. Setan ngompol sendiri delikkan mata, memperhatikan benda di tangan pemuda muka kuning.
”Astaga !"Setan Ngompol berseru.
"Serrr!" Kencingnya langsung muncrat.
"Itu Melati Tujuh Racun!" Dengan cepat kakek ini mengambil benda yang ada di ujung batangan rumput. Memperhatikan sekaIi lagi dengan mata belok dibesarkan. “Benar! Tidak salah lagi memang Melati Tujuh Racun aku sudah melihatnya sebelumnya!"
Bidadari Angin Timur dan Anggini maju lebih dekat , memperhatikan bunga hitam di tangan si kakek lekat-lekat. "Kalau-memang Melati Tujuh Racun, tunggu apa lagi. Kita harus segera mengantarkan ke gedung Kadipaten” kata Bidadari angin Timur pula.
"Benar, tapi kita harus mencari wiro. Kita tidak tahu bagaimana cara mengobati patih Kerajaan dengan Bunga ini” kata Anggini pula.
Saat itu setan ngompol tiba2 berkata. "Hai! Kemana perginya pemuda muka kuning Itu?”
Semua mata memandang berkeliling. Mencari-cari. Tapi Jatilandak tidak kelihatan. Si pemuda memang telah meninggalkan tempat itu. Bidadari Angin Timur keluarkan sehelai sapu tangan lalu berkata pada Setan Ngompol.
"Kek, berikan bunga itu padaku. Baru aku simpan dalam lipatan sapu tangan."
"Ya, simpan saja. Memang harus hati-hati. Bunga ini mengandung racun jahat." Si kakek lalu berikan bunga melati hitam pada Bidadari Angin Timur yang oleh si gadis dimasukkannya ke dalam lipatan sapu tangan, lalu disimpan di balik baju birunya.
"Kita harus segera ke Kotaraja sambil menyirap kabar dimana beradanya Pendekar 212." kata Anggini.
"Setahuku dia dalam perjalanan menuju Lembah Welirang bersama Ratu Duyung. Mendatangi sarangnya lblis Kepala Batu Alis Empat. Mungkin kita harus menyusulnya ke sana..."
"Kek, bagaimana menurutmu?" tanya Anggini. "Kita harus bertindak cepat. Aku setuju pada ucapan gadis berambut pirang sahabatmu ini. Kita harus segera mencari Pendekar 212 di Lembah Welirang. Aku tahu jalan ke sana..."
"Para sahabatku!" Tiba-tiba satu suara menggema di seberang kali. "Kalian tidak perlu susah-susah mencariku! Aku telah berada di sini!"
Satu bayangan putih berkelebat melompat kali kecil. Di lain saat seorang pemuda gondrong berpakaian putih telah berdiri di hadapan Setan Ngompol, Bidadari Angin Timur dan Anggini.
"Kau!" seru Setan Ngompol lalu serr! Kencingnya kumat, kembali. "Wiro!" pekik Bidadari Angin dan Anggini berbarengan penuh gembira.
BAB 13
Pendekar Wiro Sableng tertawa lebar, garuk-garuk kepala lalu berkata. "Aku gembira bertemu dengan kalian semua. Apakah kalian baik-baik saja?’
"Kami baik-baik saja. Cuma penyakit ngompolku makin parah!" kata Setan Ngompol pula lalu tertawa mengekeh dan tentu sajasambil terkencing.
"Setahu kami kau dalam perjalanan menuju Lembah Welirang. Apa kau telah berhasil menemukan lblis Kepala Batu Alis Empat?" bertanya Bidadari Angin Timur.
"Ya... y a, aku telah menemuinya." Wiro diam sesaat. Lalu menyambung ucapannya. "Aku berhasil membunuhnya."
"Berarti kau berhasil rnembebaskan Bunga" ujar Anggini.
"Bunga?" Wiro garuk kepala lalu tertawa. "Oh ya... Aku telah membebaskan gadis itu. Kami berpisah di Kotaraja."
Bidadari Angin Timur melirik pada Anggini. Saat itu Anggini juga berpaling ke arahnya. Dua gadis ini merasa ada yang tidak seperti biasanya dengan sikap dan cara bicara Wiro.
"Jangan-jangan sesuatu terjadi antara Wiro dengan Bunga. mungkin setelah dibebaskan Bunga menaruh cemburu pada Ratu Duyung. Terjadi perasaan saling tidak enak. Dua orang itu mungkin meninggalkan Wiro begitu saja," berbisik bidadari angin timur.
"Dugaanmu mungkin saja-benar. tapi aku tidak yakin setelah ditolong bunga akan berlaku seperti itu. Biar aku tanyakan perihal Ratu Duyung padanya," kata Anggini pula.
Lalu pada Wiro murid Dewa Tuak ini berkata. "Setahu kami kau ke Lembah Welirang bersama Ratu Duyung. Kau muncul seorang diri. Mana gadis sahabatmu itu?"
"Ratu Duyung pergi bersama Bunga, Aku tidak tahu mereka pergi ke mana..."
"Aneh, membatin Anggini. "Tadi dia bilang berpisah dengan dua orang itu di kota raja. Kini dia berkata tidak tahu kemana perginya Bunga dan Ratu Duyung.”
"Lalu bagaimana kau bisa sampai ke tempat ini?" Bertanya Bidadari angin timur.
"Hai, kalian seperti tengah menyelidiki diriku." Kata Wiro garuk-garuk kepala tapi sambil tersenyum. "masih untung aku bisa sampai ke sini. Waktu aku membebaskan bunga iblis kepala batu alis empat hampir membunuhku. Kalian sendiri bagaimana bisa berkumpul ditempat ini ?“ Wiro balik bertanya.
“Panjang ceritanya“ yang menjawab setan ngompol. “tapi jelas berkat pertolongan sahabat kita Hantu Jatilandak, kami berhasil mendapatkan bunga Melati Tujuh Racun walau cuma sekuntum."
Wiro tampak terkejut tapi juga gembira. "Tuhan memang Maha Besar Maha Kuasa! Tuhan memberi berkah pada kalian yang telah susah payah mencari bunga itu. Patih Kerajaan pasti bisa disembuhkan. Kek, mana bunga Melati Tujuh Racun itu? Aku harus segera membawanya ke Kotaraja untuk dipakai mengobati Patih Selo Kaliangan."
Setan Ngompol berpaling pada Bidadari Angin Timur. "Berikan bunga itu pada Wiro."
Gadis cantik berambut pirang itu diam sejenak. Seperti ada sesuatu yang terlintas dalam benaknya.
"Sahabatku Bidadari Angin Timur," kata Wiro. "Kau tahu kita tak bisa berlaku ayal. Makin cepat bunga keramat itu dibawa ke Kotaraja. makin cepat kita bisa menolong Patih Kerajaan."
Mendengar kata-kata Wiro akhirnya Bidadari Angin Timur keluarkan sehelai sapu tangan yang terlipat rapi. "Bunga itu ada dalam lipatan sapu tangan," menjelaskan Bidadari Angin Timur. Lalu sapu tangan diserahkannya pada Wiro.
"Kek, kau telah berjasa besar karena berhasil mendapatkan bunga melati ini, "kata Wiro pada Setan Ngompol.
"Semua berkat bantuan Hantu Jatilandak," kata Setan ngompol.
"Kawan-kawan," kata Pendekar 212. "Aku terpaksa mendahului kalian berangkat ke Kotaraja. Temui aku nanti di pintu gerbang sebelah timur" habis berkata begitu murid Sinto Gendeng segera berkelebat tinggalkan tempat itu.
"Aku merasa aneh!" kata Setan Ngompol sambil pegangi perut, sesaat setelah Wiro pergi. "Kami juga merasa aneh!" jawab Bidadari Angin Timur.
"Kek, harap kau jelaskan apa keanehan yang kau rasakan?"
"Anak sableng itu. Dua kali aku menyebut Hantu Jatilandak. Kali terakhir malah aku jelaskan. Kalau pemuda muka kuning itulah yang menolong menemukan melati Tujuh Racun. Tapi si gondrong itu tidak acuh seperti Tidak mendengar apa yang aku katakan.”
"Dia mendengar Kek, tapi sepertinya dia tidak kenal pada Hantu Jatilandak," ujar anggini pula.
"Di situIah letak keanehannya. Seharusnya Dia terkejut mendengar hantu jatilandak ada ditanah jawa ini. Waktu di negeri Latanahsilam, dia pernah menolong hantu jatilandak. Masakan dia lupa pada pemuda itu?"
”Keanehan yang kami lihat lain lagi kek,” ucap Bidadari Angin Timur.
"Pertama dia pergi bersama Ratu Duyung. Muncul seorang diri. Kedua jika memang dia telah membebaskan Bunga, masakan mereka berpisah begitu saja di Kotaraja. Ketiga mengapa dia memaksa diri pergi lebih dulu, meninggalkan kita ke Kotaraja membawa Melati Tujuh Racun. Apa salahnya kita pergi sama-sama. Keanehan ke empat, seingatku Wiro tak pernah memanggil kami dengan kata kawan-kawan."
"Sesuatu telah terjadi dengan anak sableng itu. Mungkin ini akibat ilmu baru yang dimilikinya. llmu Meraga Sukma. Ah, aku menyesal menyuruh kau memberikan bunga sakti itu padanya," kata Setan Ngompol pula sambil menahan kencing. "Apa yang harus kita lakukan sekarang?"
"Aku ingin sekali kita mengikutinya ke Kotaraja," jawab Bidadari Angin Timur.
"Aku setuju." Kata Setan Ngompol. "Cepat, kita tunggu apa lagi?!"
Sambil pegangi perutnya kakek ini berkelebat ke arah lenyapnya Pendekar 212. Bidadari Angin Timurdan Anggini segera mengikuti. Belum lama mereka menempuh jalan menuju Kotaraja, disatu pedataran tinggi yang banyak ditumbuhi pohon jati serta tebaran batu-batu besar bekas tembok sebuah candi yang telah rusak, terdengar suara orang saling bentak.
"Serrr!" Setan Ngompol kucurkan air kencing lalu hentikan larinya. Dia menunjuk ke arah pedataran tinggi yang dirapati deretan pohon-pohon jati.
”Ada orang berkelahi diatas pedataran sana, aku ingin menyelidik”
”perlu apa menyelidiki membuang waktu kek?” Kata bidadari angin timur. ”kita punya urusan lebih penting”
”Aku tahu” jawab setan ngompol. ”kita sudah tahu kemana perginya Wiro, ke kota raja berarti kita sudah tahu arah yang dituju. Soal menyelidiki siapa yang berkelahi itu hanya urusan sesaat saja. Aku punya firasat apa yang terjadi di pedataran tinggi itu ada sangkut pautnya dengan semua keanehan yang tadi kita bicarakan”
Begitu setan ngompol berkelebat kearah pedataran tinggi. Dua gadis tak bisa berbuat lain selain berlari mengikuti. Ketika mereka melewati deretan pohon-pohon jati dan sampai di puncak pedataran. Mereka semua keluarkan seruan tertahan. Di puncak pedataran mereka menyaksikan ada dua sosok Pendekar 212 wWro Sableng saling bertempur satu sama lain.
Tak jauh dari situ ratu duyung kelihatan berkelahi dikeroyok dua kakek. Kakek pertama yang berpakaian ringkas biru bukan lain Rana Suwarte, kawannya seorang kakek berwajah pucat seperti mayat yang sekali lihat saja segera diketahui ialah si muka bangkai adanya.
Setan ngompol gosok-gosok matanya. ”gila! ”Bagaimana anak sableng itu bisa jadi ada dua? Berkelahi satu sama lain!
Bidadari Angin Timur dan Anggini tak kalah herannya.
"Ada yang tidak beres," kata Bidadari Angin Timur. "Anggini, kita harus segera mencari tahu yang mana Wiro asli mana yang palsu."
"Yang palsu mungkin sekali yang tadi membawa bunga melati hitam itu. Tapi yang mana orangnya? Sulit membedakan!" jawab Anggini.
"Jangan kawatir. Kita segera mengetahui. lkuti aku," kata Bidadari Angin Timur pula. "Jangan lupa mengawasi Ratu Duyung. Kalau dia terdesak lekas kau ajak Setan Ngompol membantunya."
Habis berkata begitu gadis cantik berambut pirang itu bersama Anggini segera melompat ke dalam kalangan pertempuran. Dua sosok Pendekar 212 Wiro Sableng yang tengah berkelahi sama-sama terkejut melihat kemunculan dua gadis cantik ke tengah gelanggang perkelahian.
T A M A T
Bagaimana mungkin ada dua Pendekar 212 Wiro Sableng?Berhasilkah Bunga dibebaskan dari dalam sekapan Guci Ternbaga?Dapatkah Patih Kerajaan disembuhkan?Berhasilkah Sarontang alias pangeran Aryo Probo mendapatkan tahta Kerajaan Pakuwon?Apakah Adipai Jatilegowo berhasil memaksakan niatnya mendapatkan Nyi Larasati dan membalaskan dendam kesumat pada Bujang GiIa Tapak sakti dan Pendekar 212 Wiro Sableng?Semua akan terjawab dalam Episode terakhir yang berjudul: KUTUKAN SANG BADIK