Panasnya Bunga Mekar Jilid 18
Akan tetapi keinginan Mahisa Bungalan untuk pergi ke padepokan kecil itu rasa-rasanya menjadi sangat mendesak. Karena itu, ketika kemudian Mahisa Agni memutuskan untuk kembali ke Singasari, sepercik kegembiraan telah menyentuh hatinya. Dengan demikian, ia tidak akan melihat lagi puteri yang cantik itu setiap saat, dan ia pun akan mendapat kesempatan untuk mencari jalan agar dapat bertemu dengan seorang gadis padepokan yang bernama Ken Padmi itu dengan dalih yang lain, mencari orang yang bernama Ki Dukut Pakering.
Namun Mahisa Bungalanpun harus menyadari, bahwa Ki Dukut Pakering adalah seorang yang pilih tanding. Seorang yang memiliki kelebihan dari kebanyakan orang. Sementara ia pun harus mengakui, bahwa ilmunya masih belum setingkat dengan orang yang bernama Ki Dukut Pakering itu, meskipun ilmunya sendiri sudah maju pesat.
Tetapi kemudaannyalah yang kemudian mendorongnya. Katanya di dalam hati,, “Seandainya harus terjadi, maka aku pun memiliki bekal untuk melawannya. Mungkin ia memiliki kelebihan, tetapi aku harap, bahwa kemudaanku akan dapat bertahan atas waktu jika aku harus bertempur melawannya”
Demikianlah, maka ketika mereka merasa telah berada di Kediri untuk waktu yang cukup, maka merekapun segera minta diri untuk kembali ke Singasari.
Sebenarnya Pangeran Kuda Padmadata merasa berat untuk melepaskan mereka yang telah berbuat terlalu banyak bagi dirinya dan bagi isteri dan anaknya. Namun ia pun merasa, bahwa ia tidak akan dapat menehan mereka terus-menerus.
Ketika saat itu tiba, maka dengan berat hati Pangeran Kuda Padmadata telah melepaskan tamu-tamunya kembali ke Singasari. Bukan tamu seperti kebanyakan tamu, tetapi mereka adalah justru orang-orang yang telah menyelamatkannya.
Di perjalanan kembali ke Singasari, Mahisa Agni, Witantra, Mahendra dan anak-anaknya tidak lagi membawa pedatinya. Tetapi mereka telah mendapat kuda yang tegar yang akan dapat mambawa mereka kembali ke Singasari.
Berkali-kali Pangeran Kuda Padmadata, isteri dan anaknya mengucapkan terima kasih yang tiada taranya kepada Mahisa Bungalan. Ialah yang mula-mula telah melibatkan diri ke dalam persoalannya, dan tidak akan dapat diingkari, tanpa langkah-langkah cepat dan berani dari Mahisa Bungalan, maka akhir dari peristiwa itu tentu akan menjadi sangat berlainan.
“Kami sangat mengharap, kalian datang lagi ke rumah ini” minta Pangeran Kuda Padmadata.
“Tentu” jawab Mahisa Agni, “kami akan selalu teringat kepada istana ini dan akan mengunjunginya sekali-sekali”
Ketika iring-iringan itu sudah siap meninggalkan regol, ternyata Ki Wastu yang tua itu tidak dapat menahan getar di dalam jantungnya. Meskipun tidak banyak orang yang memperhatikannya, namun ia telah mengusap matanya beberapa kali. Terasa mata itu menjadi basah dan panas. Apalagi jika ia mengenang, apa yang telah dilakukan oleh Mahisa Bungalan.
“Aku harus membalas budinya” berkata Ki Wastu kepada diri sendiri,, “karena yang aku miliki hanyalah ilmu yang tidak banyak berarti, namun aku ingin menuangkan seluruhnya kepada angger Mahisa Bungalan. Mudah-mudahan akan berarti baginya, setidak-tidaknya untuk melengkapi apa yang sudah dimilikinya”
Karena itu, ketika Mahisa Bungalan sudah berada di punggung kudanya, ia sempat berbisik,, “Datanglah secepatnya. Ada sesuatu yang dapat aku berikan kepadamu”
“Apa maksud Ki Wastu?” bertanya Mahisa Bungalan.
“Ilmu. Aku dapat memberikan kepadamu sementara aku tidak akan kehilangan apapun juga. Karena hanya itulah yang aku punya” desisnya.
Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Katanya,, “Terima kasih. Aku akan segera datang”
Namun Ki Wastu itupun kemudian berdesis,, “Tetapi aku sadar sepenuhnya, bahwa angger telah memiliki ilmu dasar yang melampaui ilmu dasar yang aku miliki. Jika aku mengharap angger datang, mudah-mudahan aku akan dapat memberikan kelangkapan sehingga ilmu dasar yang lebih baik dari yang ada padaku itu akan dapat berkembang sempurna. Karena sebenarnyalah, bahwa angger Mahisa Bungalan memiliki sumber ilmu yang tidak ada taranya, dan yang jauh melampaui kemampuanku sandiri”
“Ki Wastu selalu merendahkan diri” desis Mahisa Bungalan.
“Tidak. Aku berkata sebenarnya” jawab Ki Wastu.
Namun mereka tidak sempat berbicara lebih panjang. Iring-iringan itupun kemudian mulai bergerak meninggalkan istana Pangeran Kuda Padmadata, menuju ke Singasari.
Beberapa orang berpaling juga memperhatikan iring-iringan itu. Namun mereka tidak heran atau terkejut karenanya. Mereka mengetahui, bahwa beberapa orang Singasari sedang berada di istana Pangeran Kuda Padmadata. Karena itu. maka merekapun tahu bahwa orang-orang Singasari itu akan segera kambali ke kota Raja.
Dengan demikian, maka perjalanan itupun tidak mendapat hambatan apapun juga ketika mereka meninggalkan kota. Para pengawal yang sedang meronda pun mengetahuinya, sehingga mereka tidak merasa perlu untuk menegurnya. Bahkan diam-diam mereka berusaha untuk memperhatikan, orang-orang yang terdapat di dalam iring-iringan itu, karena dari para pengawal yang ikut bersama Pangeran Kuda Padmadata telah menceriterakan serba sedikit tentang orang-orang Singasari yang pilih tanding.
Demikianlah, iring-iringan itu kaluar dari gerbang, maka kuda-kuda itu pun berderap semakin cepat. Perjalanan kembali ke Singasari itu ternyata jauh lebih cepat dari perjalanan mereka dari Singasari ke Kediri.
Tidak seperti saat mereka berangkat, maka saat iring-iringan itu kembali ke Singasari, tidak ada seorangpun yang datang mengganggu. Ki Dukut Pakering sama sekali tidak berbuat sesuatu. Namun dengan demikian, orang-orang yang berada di dalam iring-iringan itu masih saja bertanya-tanya di dalam hati,, “Apakah Pangeran Kuda Padmadata juga tidak akan diganggu oleh Ki Dukut Pakering itu?”
Namun di istana itu sudah ada Ki Wastu. Bagaimanapun juga, maka orang tua itu akan dapat menghalang-halangi jika Ki Dukut masih ingin melepaskan dendamnya kepada Pangeran Kuda Padmadata bersama anak istermya. Apalagi Pangeran Kuda Padmadata telah menempatkan beberapa orang pangawal terpilih di istananya, sehingga isteri dan anaknya akan dapat merasa aman berada di dalam istana itu. Meskipun demikian, Pangeran Kuda Padmadata masih selalu bertindak hati-hati. Anak dan isterinya tidak diperbolehkannya langsung borhubungan dengan siapapun juga di luar anggauta keluarga istana itu. Jika ada orang lain yang berniat untuk hiirliubungan dengan anak dan isteri Pangeran itu, harus dilakukan melalui Pangeran Kuda Padmadata sendiri atau Ki Wastu. Karena masih mungkin sekali ada orang-orang yang dipinjam tangannya oleh Ki Dukut untuk mencelakai keluarganya.
Dalam pada itu, ketika iring-iringan Mahisa Agni telah sampai ke Singasari, maka mereka tidak segera berpisah. Mereka masih memerlukan untuk berkumpul dan membicarakan kemungkinan yang masih mereka hadapi Ki Dukut Pakering.
“Sebenarnya kita tidak perlu tergesa-gesa lagi” berkata Mahisa Agni,, “nampaknya Ki Dukut tidak lagi berusaha melepaskan dendamnya kepada siapapun juga yang dianggapnya pernah bersalah kepadanya. Mungkin ia lebih memusatkan perhatiannya kepada Pangeran Kuda Padmadata anak dan isteri”
“Tetapi kegagalan demi kegagalan itu akan dapat mengungkit kembali kemarahan dan kebenciannya kepada orang-orang yang tidak bersalah” desis Mahisa Bungalan.
“Memang mungkin” desis Mahisa Agni. Ia pun kemudian menceriterakan apa yang dilihatnya atas dua orang berilmu hitam yang sebenarnya telah berhasil melarikan diri. Namun malang bagi mereka, karena mereka telah bertemu dengan Ki Dukut yang sedang mendendam. Hampir saja mereka telah menjadi korban api dendam yang
menyala di hati Ki Dukut dan tidak mendapat penyaluran seperti yang dikehendakinya.
“Jika demikian, bukankah kemungkinan-kemungkinan yang buruk itu akan dapat terjadi di padepokan-padepokan kecil yang terpencar itu?” bertanya Mahisa Bungalan. Lalu katanya salanjutnya,, “Mungkin Ki Dukut juga tidak ingin atau tidak sengaja mendatangi padepokan itu. Tetapi jika tiba-tiba saja ia dibakar oleh dendamnya yang kambuh selagi ia berada di dekat padepokan-padepokan kecil itu, maka akan dapat dibayangkan, akibat apakah yang akan dapat timbul”
“Aku mengerti” jawab Witantra, “tetapi menurut pengalaman, berburu di padang perburuan yang terlalu luas itu ternyata terlalu mahal”
“Maksud paman?” bertanya Mahisa Bungalan.
“Berpikirlah jernih” potong ayahnya,, “pamanmu tentu sedang memperhitungkan segala kemungkinan yang-dapat ditempuh”
Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam.
“Atau, barangkali kau mempunyai satu pikiran yang berguna bagi usaha ini?” bertanya Mahisa Agni.
“Paman” berkata Mahisa Bungalan,, “aku mengerti bahwa berburu seperti yang pernah kita lakukan, hampirlah sia-sia. Tetapi kita juga tidak boleh tinggal diam. Menurut pikiranku, biarlah aku mengulangi pengembaraanku”
“Ada semacam untung-untungan” sahut ayahnya,, “mungkin bertemu dengan Ki Dukut, mungkin pula tidak”
Mahisa Bungalan menundukkan kepalanya. Yang dikatakan oleh ayahnya itu memang tepat. Namun sebenarnyalah ada sepercik keinginannya yang lain. Pengembaraannya tentu akan sampai ke sebuah padepokan kecil yang menyimpan seorang gadis yang bernama Ken Padmi.
Namun dalam pada itu, Mahisa Agni telah memperingatkan Mahisa Bungalan atas kesanggupan yang pernah dikatakannya kepada Maharaja di Singasari, Ranggawuni. yang bergelar Sri Jaya Wisnuwardhana dan Ratu Angabhaya yang bergelar Narasingamurti, bahwa Mahisa Bungalan akan bersedia untuk memasuki dunia Keprajuritan di Singasari.
Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam. Ia memang pernah berjanji. Dan janji itu tidak pernah dilupakannya. Namun jika ingatannya menyentuh seorang gadis padepok an yang bernama Ken Padmi, maka hatinya menjadi berdebar-debar.
Bahwa Pangeran Kuda Padmadata telah menemukan kembali kebahagiaan hidup berkeluarga. benar-benar telah menyentuh perasaan anak muda itu. Rasa-rasanya ia pun ingin memasuki satu dunia yang lain dari dunianya yang sedang dijalaninya. Bahkan rasa-rasanya ia akan segera berhenti bertualang, jika ada seorang sisihan di rumah yang akan dapat memberikan ketenteraman hidup.
Dalam pada itu, Witantra yang mendengar peringatan Mahisa Agni itupun kemudian berkata, “Mahisa Bungalan, Apakah waktunya masih belum tiba? Jika kau masih selalu dibayangi oleh jiwa pangembaraanmu, maka aku kira kau tidak akan berhenti mengembara dengan alasan apapun juga. Karena itu, biarlah kami yang tua-tau sajalah yang akan mencari jejak Ki Dukut Pakering, meskipun juga tidak dengan menyelenggarakan waktu yang khusus, sementara itu, kau dapat mempergunakan waktumu untuk merintis jalan ke masa depanmu yang lebih baik”
Mahisa Bungalan menundukkan kepalanya. Ia mengerti petunjuk-petunjuk itu akan sangat bermanfaat baginya. Tetapi ia tidak dapat melupakan padepokan kecil itu, Padepokan Kenanga.
Ketika Mahisa Bungalan kemudian terdesak, dan tidak dapat mengelak lagi, maka ia pun kemudian berterus terang, bahwa ia ingin pergi ke padepokan kecil itu. Dan bahkan ketika Ketika orang-orang tua itu masih mendesaknya lagi, maka iapun kemudian telah mengatakan serba sedikit tentang padepokan Kenanga yang dihuni oleh Ki Selabajra dan anak gadisnya Ken Padmi.
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia mengerti, bagaimana perasaan seorang anak muda yang sedang diguncang oleh angan-angan tentang seorang gadis.
Karena itulah, maka Mahisa Agnipun berkata,, “Baiklah Mahisa Bungalan. Biarlah aku menghadap Sri Mahaprabu Jaya Wisnuwardhana untuk menyampaikan perasaanmu kepadanya. Aku kira, kau akan mendapat persetujuan meskipun untuk waktu yang terbatas. Terutama bagi kepentinganmu sendiri”
Mahisa Bungalan hanya dapat menundukkan kepalanya.
“Sementara itu” berkata Mahisa Agni, biarlah aku mengawanimu dalam pengembaraan yang mendatang. Pada saat gawat aku akan dapat menjadi kawan menghadapi kesulitan, tetapi dalam kesulitan yang lain, mungkin aku kau perlukan untuk mewakili ayahmu”
“Ah” Mahisa Bungalan hanya berdesah. Tetapi ia tidak membantah.
Mahendra pun ternyata tidak berkeberatan. Bahkan ia berterima kasih kepada Mahisa Agni yang bersedia mengikuti perjalanan Mahisa Bungalan.
“Aku tidak mempunyai tanggungan apa-apa” berkata Mahisa Agni,, “aku kira ada baiknya pula untuk mengisi hari tuaku. Sementara kau masih harus berbuat banyak bagi keluargamu”
Mahendra tertawa. Katanya, “Anakku pun telah dewasa semuanya. Tetapi aku memang masih mempunyai banyak tanggungan. Karena itu, aku sangat berterima kasih”
Witantra pun tersenyum pula. Katanya, “Sebenarnya aku pun tidak berkeberatan untuk mengikuti pengembaraan itu. Aku kira aku pun memerlukan kesibukan untuk mengisi kekosonganku di hari tua agar aku tidak terlalu cepat mendekati masa akhir”
“Ah” desis Mahendra, “jangan berkata begitu”
“Sebenarnyalah” jawab Witantra,, “orang yang terlalu banyak merenung tanpa kerja yang berarti, ia akan cepat mengakhiri hidupnya sendiri. Karena itu, aku juga ingin mengisi waktuku dengan kesibukan-kesibukan. Berjalan-jalan adalah kesibukan yang paling baik bagi orang tua-tua”
“Berjalan di setiap pagi memang baik” jawab Mahendra,, “tetapi berjalan-jalan melintasi padang-padang yang luas dan liar, menyusup hutan dan menghadapi kemungkinan bertemu dengan Ki Dukut dengan pengikut-pengikutnya yang baru, sebenarnyalah bukan merupakan perjalanan seperti menghirup segarnya udara pagi”
Witantra tertawa. Katanya,, “Tentu tidak akan seberat itu. Kami akan menempuh satu perjalanan yang menyenangkan. Jika kita dapat bertemu dengan Ki Dukut, itu berarti bahwa perjalanan ini akan mendapat hasil yang menggembirakan di samping untuk mangisi kekosongan”
Mahendra dan Mahisa Agnipun tertawa. Tetapi Mahisa Bungalan masih tetap menundukkan kepalanya.
Dalam pada itu, maka mereka pun segera mengatur waktu. Mereka tidak akan tergesa-gesa meninggalkan Singasari. Mahisa Agni, Witantra, Mahendra dan Mahisa Bungalan akan mohon mendapat kesempatan menghadap untuk menyampaikan persoalan Mahisa Bungalan yang masih akan mohon sekedar waktu.
Sebenarnyalah, bahwa Ranggawuni yang bergelar Sri Jaya Wisnuwardhana itu merasa kecewa, bahwa Mahisa Bungalan masih mohon waktu untuk pengembaraannya. Namun Maharaja yang muda itupun mengerti perasaan Mahisa Bungalan, sehingga ia pun tidak merasa berkeberatan untuk melepaskannya. Apalagi ketika kepadanya diberitahukan serba sedikit tentang peristiwa yang menimpa Pangeran Kuda Padmadata karena tingkah laku gurunya.
“Kalian akan mencarinya?” bertanya Sri Jaya Wisnuwardhana.
“Mudah-mudahan kami berhasil mendapatkan jejaknya” jawab Mahisa Agni.
“Tetapi kami mengharap, kalian akan segera kembali” pesan Ranggawuni.
“Hamba tuanku” jawab Mahisa Agni,, “hamba akan melakukannya”
Demikianlah, dengan ijin Maharaja di Singasari, maka Mahisa Bungalan sekali lagi melakukan pengembaraan sekaligus menunda lagi kesanggupannya untuk memasuki lingkungan keprajuritan di Singasari. Bersama Mahjsa Agni dan Witantra, Mahisa Bungalan telah bersiap-siap meninggalkan Kota Raja untuk menempuh perjalanan yang tidak dibatasi waktu. Namun merekapun sadar, bahwa mereka tidak akan melakukan perjalanan terlalu lama, seperti yang dipesankan oleh Ranggawuni sebagai Maharaja di Singasari yang bergelar Sri Jaya Wisnuwardhana.
Ketika segala persiapan telah cukup, maka pada suatu pagi yang cerah, tiga orang berkuda telah meninggalkan gerbang Singasari. Mereka adalah Mahisa Agni, Witantra dan Mahisa Bungalan. Seperti biasanya mereka mengenakan pakaian orang kebanyakan dalam pengembaraan mereka.
“Pada suatu saat kuda-kuda ini akan kami tinggalkan” berkata Mahisa Bungalan.
Mahisa Agni berpaling kepadanya sambil bertanya,, “Dan kita akan berjalan menjelajahi daerah yang sangat luas”
Mahisa Bungalan mengerutkan keningnya. Sementara Witantra bertanya,, “Atau yang kau maksudkan, kita akan menuju ke suatu tempat, kemudian menitipkan kuda kita di tempat itu sementara kita akan berjalan ke segenap penjuru, uamun kita akan mempergunakan tempat itu sebagai tempat pemberhentian”
Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam. Namun katanya kemudian, “Bukankah kita akan singgah ke Kediri seperti yang pernah aku katakan? Ki Wastu minta aku datang kepadanya. Ada sesuatu yang akan diberikan kepadaku”
Mahisa Agni tersenyum. Katanya,, “Bagiku tidak akan ada bedanya. Apakah kita akan singgah ke Kediri atau tidak. Tetapi jika kau ingin bertemu Ki Wastu sebelum pengembaraan, aku sama sekali tidak berkeberatan. Apapun yang akan kau terima, itu berarti akan memperkaya perbendaharaan ilmumu”
Mahisa Bungalan hanya mengangguk-angguk. Sementara Witantra pun sama sekali tidak berkeberatan pula.
Demikianlah, maka perjalanan yang mereka lakukan seperti yang pernah mereka lakukan sebelumnya, adalah perjalanan yang merupakan mula dari satu pengembaraan baru. Seperti yang dikehendaki oleh Mahisa Bungalan, maka mereka pun singgah ke Kediri memenuhi permintaan Ki Wastu, yang ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada Mahisa Bungalan
Kedatangan mereka di istana Pangeran Kuda Padmadata telah diterima oleh Pangeran itu dengan senang hati. Demikian pula ternyata Ki Wastu menyambut mereka dengan sangat gembira.
Kepada Mahisa Agni dan Witantra, Ki Wastu berkata,, “Aku ingin menumpang untuk ikut berbangga mempunyai seorang murid seperti angger Mahisa Bungalan. Karena itu, meskipun tidak berarti apa-apa, aku ingin disebut sebagai salah seorang gurunya yang barangkali justru harus menyadap ilmu dari muridnya”
Mahisa Agni tersenyum. Katanya, “Ki Wastu selalu merendahkan diri”
Ki Wastu menjawab dengan bersungguh-sungguh,, “Tidak. Aku berkata sebenarnya. Dan lebih dari itu, aku ingin menempatkan Pangeran Kuda Padmadata yang memerlukan bimbinganku selanjutnya untuk menyempurnakun ilmunya sebagai saudara seperguruan dengan angger Mahisa Bungalan”
Mahisa Agni dan Witantra mengangguk-angguk. Mereka mengerti, bahwa yang sebenarnya dihendaki oleh Ki Wastu adalah demikian. Dan sebenarnyalah bahwa Ki Wastu merasa, bahwa ilmunya tidak akan dapat melampaui tingkat ilmu Mahisa Agni, Witantra dan Mahendra, yang pernah menjadi guru Mahisa Bungalan sebelumnya.
Karena itu, maka Witantra pun kemudian berkata, “Kami merasa sangat gembira Ki Wastu, bahwa Pangeran Kuda Padmadata bersedia manganggap Mahisa Bungalan sebagai saudara seperguruannya”
Demikianlah, maka untuk beberapa lamanya Mahisa Agni dan Witantra berada di Kediri menunggui Mahisa Bungalan yang menerima warisan ilmu dari Ki Wastu. Memang dalam beberapa hal tingkat dan tataran ilmu Ki Wastu tidak setinggi ilmu Mahisa Agni, Witantra dan Mahendra. Namun beberapa kemungkinan baru telah membuka hati Mahisa Bunglan. Dengan dasar ilmu yang diberikan oleh Ki Wastu, seperti yang sebagian pernah diterimanya sebelumnya, ternyata Mahisa Bungalan mempunyai ruang gerak yang lebih luas bagi ilmu yang memang pernah dimilikinya sebelumnya.
Demikian pula pada Pangeran Kuda Padmadata yang sebelumnya telah menerima dasar-dasar ilmu dari Ki Dukut Pakering. Seperti Mahisa Bungalan, maka ilmu yang diterima dari Ki Wastu itupun telah membuka kemungkinan-kemungkinan baru padanya untuk mengembangkan dasar ilmu yang memang sudah dimilikinya.
Karena itu, maka apa yang diberikan oleh Ki Wastu itu bukannya tidak berarti bagi keduanya, karena dengan demikian dalam keseluruhan, ilmu merekapun telah meningkat. Sementara mereka telah melihat jalan yang terbuka untuk memperkembangkan selanjutnya sesuai dengan pengalaman masing-masing.
Ketika Ki Wastu sudah merasa puas, serta ia sudah merasa membalas kebaikan budi Mahisa Bungalan, maka iapun berkata kepada anak muda itu, “Segalanya telah aku lakukan ngger. Terserah kepada angger kamudian, apakah angger menganggap hal itu berguna atau tidak”
“Tentu Ki Wastu. Aku merasa sangat berterima kasih. Seperti yang terdahulu, maka yang Ki Wastu berikan telah mengangkat kemampuanku dalam keseluruhan dan membuka kemungkinan-kemungkinan baru bagi perkembangan selanjutnya”
Dengan demikian, maka waktu yang diperlukan Mahisa Bungalan telah cukup. Karena itu, maka ia pun segera minta diri untuk melanjutkan perjalanan yang masih panjang. Sementara ia sudah diangkat menjadi saudara seperguruan oleh Pangeran Kuda Padmadata.
Dengan berat, hati Pangeran Kuda Padmadata dan Ki Wastu melepaskan tamu-tamunya meninggalkan istananya. Mereka mengerti, apa yang akan dilakukan oleh ketiga orang itu. Mereka akan menempuh satu perjalanan yang berat dan tidak berketentuan untuk mencari seseorang yang telah berusaha berbuat jahat kepadanya. Kepada Pangeran Kuda Padmadata beserta keluarganya. Sementara orang itu adalah gurunya sendiri.
Namun apa yang dilakukan oleh ketiga orang itu memang sudah mereka kehendaki. Karena itu, maka baik Pangeran Kuda Padmadata, maupun Ki Wastu tidak dapat menahan mereka lagi.
Demikianlah, maka pada hari yang sudah ditentukan, ketiga orang itupun telah meninggalkan Kediri. Dengan wajah tengadah Mahisa Bungalan yang berkuda di depan memandang jalan yang terbujur panjang membelah tanah persawahan. Meskipun ia tidak terbiasa melalui jalan itu, tetapi ia masih dapat mengenalinya. Sebagai orang pengembara, maka Mahisa Bungalan mempunyai ingatan yang kuat terhadap tempat-tempat yang memiliki ciri-ciri yang tersendiri meskipun tidak begitu jelas bagi orang lain.
Demikianlah, maka Mahisa Bungalan yang berkuda di paling depan telah membawa kedua orang yang tidak bedanya dengan orang tua sendiri itu, menuju kedaerah yang pernah dijelajahinya. Bukan pada saat-saat ia mencari Ki Dukut, tetapi ia membawa Mahisa Agni dan Witantra memintas jalan, menuju ke tempat-tempat yang pernah dijelajahinya sebelumnya.
Jaraknya memang tidak terlalu dekat Tetapi akhirnya ia membawa kedua orang pamannya itu menuju ke jalur jalan yang pernah dilaluinya membawa isteri Pangeran Kuda Padmadata dan Ki Wastu ke rumahnya sendiri.
“Kita kembali pulang?” bertanya Witantra yang merasa bahwa mereka menuju ke padukuhan tempat tinggal Mahisa Bungalan.
“Tidak paman” jawab Mahisa Bungalan,, “kita akan melampauinya dan menuju ke tempat yang pernah aku kenal sebagai jalur penjelajahan Ki Wastu selama ia berusaha menyelamatkan anak dan curunya, selagi mereka masih selalu dikejar-kejar oleh orang-orang yang ternyata adalah para pengikut guru dan adik Pangeran Kudapadmadata itu sendiri”
“Apakah kau manduga, bahwa Ki Dukut pun akan menelusuri jalan itu?” bertanya Mahisa Agni.
“Aku tidak berpikir demikian paman. Tetapi memang ada satu kemungkinan, bahwa Ki Dukut yang untuk sementara kehilangan tujuan dan alas bagi langkah-langkahnya berikutnya, ia berjalan diluar kehendaknya melalui tempat tempat yang pernah dikenalnya. Meskipun mungkin hanya berdasarkan atas laporan-laporan pengikutnya saja” jawab Mahisa Bungalan.
Mahisa Agni dan Witantra tidak menyahut lagi. Tetapi ia mengerti, bahwa Mahisa Bungalan sendiri nampaknya telah dikendalikan oleh satu kenangan tersendiri pada saat ia berusaha menolong isteri dan anak Pangeran Kuda Padmadata itu.
Karena itu, keduanya mengikuti saja, jalan manakah yang dipilih oleh Mehisa Bungalan.
Sebenarnyalah bahwa Mahisa Bungalan telah dipengaruhi oleh kenangannya atas masa yang tidak dapat dilupakannya itu. Masa-masa yang tegang dan penuh dengan bahaya. Namun, yang lewat jalur kenangan itu, pada suatu saat ia akan sampai pada suatu tempat yang dikenalnya dengan baik. Padepokan Kenanga.
Tetapi rasa-rasanya ada keseganan untuk langsung menuju ke padepokan itu. Karena itu, maka ia pun telah memilih jalan seperti jalan yang pernah ditempuhnya, dengan arah yang berlawanan. Melingkar-lingkar, tetapi yang pada akhirnya akan sampai pula ke padepokan kecil itu.
Jalan yang sudah lama tidak pernah dilalui setelah ia melintasinya pada saat ia menyelamatkan isteri dan anak Pangeran Kuda Padmadata itu rasa-rasanya masih dikenalnya dengan baik seperti baru kemarin ia lewat di jalan itu pula. Jalan yang jika diikutinya dengan arah yang seperti ditempuhnya pada saat itu justru akan membawanya kembali kepadukuhannya di dekat Kota Raja. Sebenar nyalah waktu itu Mahisa Bungalan sudah tidak mempunyai gambaran yang lain untuk menyelamatkan isteri dan anak Pangeran Kuda Padmadata itu kecuali di rumahnya sendiri
Ketiga orang itu seolah-olah tidak merasa betapa matahari menyengat kulit. Bagaimana mereka kemudian mulai dibayangi oleh cahaya kemerah-merahan, ketika mata hari menjadi semakin rendah.
Sekali mereka berhenti disebuah kedai di dekat sudut padukuhan. Mereka melepaskan haus dan lapar. Tanpa menarik perhatian orang-orang yang berada di dalam kedai itu juga, maka mereka pun sempat berbicara tentang perjalanan Mahisa Bungalan pada masa yang lewat itu.
“Menegangkan sekali” desis Mahisa Bungalan tiba-tiba.
Mahisa Agni dan Witantra mengangguk-angguk. Agaknya Mahisa Bungalan telah menempuh satu perjalanan yang sangat berbahaya dan dengan mempertaruhkan nyawanya pula.
Namun dalam pada itu, rasa-rasanya Mahisa Agni pun telah terdorong untuk mengenang satu masa yang jauh lewat di belakang jalan hidupnya. Iapun telah menempuh pengembaraan hidup lahir dan batin yang penuh dengan bahaya dan dengan mempertaruhkan nyawanya pula. Meskipun dalam keadaan yang berbeda, tetapi ada pula beberapa kesamaan pengalamannya dengan pengalaman Mahisa Bungalan.
“Tetapi, anak itu tidak boleh menjadi putus asa seperti aku dalam perjalanan hidupnya sebagai seorang laki-laki” berkata Mahisa Agni kepada diri sendiri,, “Mahisa Bungalan harus menemukan kesempurnaan hidup sebagai seorang laki-laki yang wajar. Ia akan dapat menjadi seorang ayah yang baik bagi anak-anaknya dan seorang suami yang baik pula bagi isterinya.
Tetapi Mahisa Agni tidak mengatakannya kepada siapapun juga. Bahkan kemudian iapun telah berusaha untuk melepaskan kenangan tentang masa lampaunya itu.
Ketika langit menjadi semakin buram, maka pemilik kedai itupun segera bersiap-siap untuk menutup kedainya. Dengan demikian maka Mahisa Agni, Witantra dan Mahisa Bungalanpun harus segera meninggalkan kedai itu pula.
“Demikian matahari terbenam, demikian kedai ini ditutup desis Mahisa Agni.
“Ya Ki Sanak” jawab pemilik kedai itu, “tidak akan ada seorang pun yang membelinya jika hari sudah gelap. Agaknya memang agak berbeda dengan keadaan di kota-kota jika Ki Sanak sering pergi ke Kota Raja”
“Tidak banyak berbeda” jawab Mahisa Agni.
“Tetapi ada juga kedai yang tetap dibuka meskipun sudah malam” sahut pemilik kedai itu, “aku pernah tinggal di Kota Raja hampir tiga pekan pada saudaraku yang tinggal di Kota Raja”
“O” Mahisa Agnilah yang kemudian mengangguk-angguk, “agaknya kamilah yang tidak terbiasa pergi ke Kota Raja”
Demikianlah setelah mereka membayar, maka bertiga mereka meninggalkan kedai itu. Namun mereka mendapat kesan bahwa daerah itu termasuk daerah yang tenang dan tidak banyak mendapat gangguan apupun juga. Sehingga karena itu, maka di tempat itu, mereka tidak akan dapat mendengar apapun juga tentang orang-orang yang melakukan kejahatan. Apalagi orang yang bernama Ki Dukut Pakering.
Dalam keremangan senja, ketiga orang itu masih berkuda terus di sepanjang jalan yang menjadi semakin gelap. Tetapi rasa-rasanya mereka sama sekali tidak menjadi cemas. Agaknya mereka sama sekali tidak menghiraukan seandainya mereka akan kemalaman diperjalanan.
“Kita akan berhenti ditempat yang dekat dengan air” berkata Witantra.
“Ya. Kita akan berhenti di dekat mata air, atau di dekat sebuah sungai” sahut Mahisa Agni.
Seperti yang mereka kehendaki, maka merekapun kemudian berhenti dipinggir sebuah sungai yang tidak begitu besar. Namun agar mereka tidak menarik perhatian orang lain, maka mereka telah menyimpang beberapa puluh langkah dari jalan, sehingga orang-orang yang lewat di jalan itu, tidak akan segera melihat ketiga orang yang bermalam di perjalanan itu.
Dan malam itu pun lewat tanpa terjadi sesuatu. Ketiga orang yang tidur bergantian itu, telah terbangun di dini hari, ketika mereka mendengar bunyi roda pedati yang berjalan di jalan beberapa puluh langkah dari tempat mereka beristirahat.
“Jalan itu ternyata merupakan jalan besar” desis Mahisa Agni.
“Ya” jawab Witantra,, “karena itu, kitapun harus segera bersiap-siap”
“Mereka tidak akan melihat kita disini” desis Mahisa Bungalan yang masih segan untuk bangkit.
Witantra dan Mahisa Agni tersenyum. Sementara itu Witantra pun berkata, “Kau benar Mahisa Bungalan. Kita memang tidak perlu tergesa-gesa. Perjalanan ini bukan perjalanan yang dibatasi oleh waktu, satu atau dua pekan”
Mahisa Bungalan pun menggeliat. Namun iapun kemudian bangkit sambil berdesis,, “Aku akan mandi”
Setelah bergantian mereka mandi disungai dalam dinginnya dini hari, maka rasa-rasanya tubuh mereka menjadi sangat segar. Kuda-kuda mereka pun telah cukup lama beristirahat dan cukup pula mendapatkan rumput yang segar di tepian.
Tetapi mereka tidak segera melanjutkan perjalanan. Jika mereka turun ke jalan, sebelum matahari terbit, justru akan menarik perhatian orang-orang yang dengan pedati membawa hasil bumi mereka ke pasar.
Dengan demikian mereka telah menunggu matahari naik. Baru kemudian mereka melanjutkan perjalanan mereka yang panjang.
Seperti dihari sebelumnya, perjalanan itu berlangsung tanpa terjadi peristiwa apapun juga. Nampaknya tanah yang mereka jelajahi memang termasuk daerah yang tenang.
Namun ketika menjelang senja, mereka singgah di sebuah kedai, ternyata nampak kesan yang berbeda pada pemilik kedai itu. Sebelum matahari merendah, rasa-rasanya pemilik kedai itu pun sudah menjadi gelisah. Sementara sudah tidak ada seorang pembelipun yang berada di kedai itu selain Mahisa Bungalan. Witantra dan Mahisa Agni.
Dalam pada itu, maka Mahisa Agni yang merasakan kegelisahan itupun bertanya, “Apakah kedai ini sudah akan ditutup?”
“Ya Ki Sanak” jawab pemilik kedai itu.
“Masih terlalu siang begini?” bertanya Witantra.
Pemilik kedai itu termangu-mangu. Namun akhirnya ia pun mengangguk sambil menjawab, “Adalah kebiasaan kami untuk menutup kedai ini sebelum senja”
Mahisa Agni yang juga mengangguk kemudian bertanya,, “Apakah sudah tidak akan ada pembeli lagi setelah matahari turun seperti ini?”
“Tidak. Sudah jarang sekali ada orang yang keluar dari halaman rumahnya di saat terakhir ini” jawab pemilik kedai itu.
Jawaban itu memang menarik perhatian. Sehingga karena itu maka Mahisa Bungalan pun mendesaknya,, “Kenapa?”
Tetapi orang itu justru menjadi semakin gelisah. Tanpa menjawab pertanyaan Mahisa Bungalan ia berkata, “Kami sudah bekerja sepanjang hari. Kami sudah menjadi letih sekali”
Ketiga orang yang berada dikedai itu tidak dapat mendesaknya. Namun terasa, bahwa keadaan di padukuhan itu agak berbeda dengan padukuhan-padukuhan yang pernah mereka lalui.
Dalam pada itu, ketiga orang itu tidak ingin membuat pemilik kedai itu menjadi gelisah atau bahkan ketakutan. Karena itu, maka mereka pun segera meninggalkan kedai itu.
Tetapi, ternyata bahwa Mahisa Bungalan sangat tertarik dengan sikap pemilik kedai itu. Maka katanya kemudian kepada Mahisa Agni dan Witantra pada saat mereka meloncat ke punggung kuda, “ Menarik sekali. Apakah paman sependapat, bahwa kita meluangkan waktu untuk melihat semalam saja daerah yang nampaknya agak lain ini”
Mahisa Agni dan Witantra yang lebih banyak mengikuti saja kehendak Mahisa Bungalan itupun sama sekali tidak berkeberatan. Sambil mengangguk-angguk Witantra berkata,, “Nampaknya memang menarik. Kita akan melihat keseluruhannya”
Demikianlah, maka ketiga orang itupun kemudian mencari tempat untuk menyembunyikan kuda mereka. Sementara ketika hari sudah gelap, mereka merayap mendakati padukuhan yang agaknya sedang dipengaruhi oleh satu keadaan yang kurang baik itu.
Ternyata yang dilihat oleh ketiga orang itu cukup mengejutkan. Beberapa orang laki-laki nampak berada di gerbang padukuhan, sementara yang lain berada di gardu perondan.
“Ada apa?” desis Mahisa Bungalan.
Mahisa Agni menarik nafas dalam. Nampaknya orang orang itu benar-benar dalam kesiagaan sepenuhnya, ternyata mereka membawa beberapa macam senjata yang mereka miliki.
“Agaknya mereka menjadi curiga” berkata Mahisa Agni,, “mungkin pemilik kedai itu berceritera kepada tetangga-tetangganya, bahwa tiga orang berkuda berada di sekitar padukuhan ini”
“Apakah yang mereka maksudkan kita?” bertanya Mahisa Bungalan.
“Aku hanya menduga Tetapi agaknya memang demikian. Pemilik kedai itu telah melaporkan kehadiran kita dan seisi padukuhan itupun segera bersiap-siap” jawab Witantra.
“Kita akan melihat, apa yang akan terjadi” desis Mahisa Bungalan.
Dengan demikian, maka ketiga orang itupun justru bersembunyi di balik sebatang perdu sambil menunggu perkembangan keadaan. Mereka sempat melihat, beberapa orang di antara mereka yang berada di regol itu meronda mengelilingi padukuhan mereka.
“Nampaknya setiap pintu gerbang di segala penjuru padukuhan ini telah dijaga” berkata Mahisa Bungalan,, “dan setiap gardu telah penuh dengan para penjaga”
Mahisa Agni dan Witantra mengangguk-angguk. Agaknya memang demikian. Karena itulah, maka mereka pun kemudian justru dengan sabar menunggu. Meskipun demikian, mereka masih juga sempat berbaring di atas rerumputan kering di balik gerumbul di dalam gelapnya malam, sehingga tidak ada orang yang melihat mereka.
Untuk beberapa saat ketiga orang itu menunggu. Malam yang gelap pun menjadi semakin dalam. Meskipun bintang bergayutan di langit, namun mereka tidak dapat melihat pedukuhan yang tidak terlalu jauh itu dengan jelas, kecuali obor di regol dan gardu-gardu.
Tiba-tiba saja Mahisa Bungalan yang tidak puas dengan penglihatan itu berkata,, “Aku akan mendekati regol itu. Mungkin aku dapat mendengar pembicaraan mereka, kenapa mereka bersiap-siap seperti ini. Apakah hal ini dilakukannya setiap hari atau benar-benar karena kehadiran kita bertiga”
“Kita dapat menunggu di sini” berkata Mahisa Agni.
“Aku tidak sabar” desis Mahisa Bungalan.
“Tetapi berhati-hatilah” pesan Witantra,, “janganlah kita yang mulai dengan persoalan yang tidak menentu ini”
Mahisa Bungalan mengangguk. Kemudian ia pun mulai merayap mendekati regol padukuhan.
Sebenarnyalah Mahisa Bungalan memang memiliki kelebihan. Tidak seorang pun yang melihat dan mendengar kehadirannya. Dengan diam-diam ia berhasil berada tidak terlalu jauh dari regol yang dijaga oleh beberapa orang itu.
Beberapa saat lamanya Mahisa Bungalan mendengarkan percakapan orang-orang di regol itu. Meskipun tidak begitu jelas, namun Mahisa Bungalan berhasil menangkap beberapa persoalan, sehingga dari satu pembicaraan ke pembicaraan yang lain, ia pun akhirnya dapat mengambil kesimpulan.
Dengan hati-hati ia pun kemudian meninggalkan regol itu kembali kepada Mahisa Agni dan Witantra yang menunggunya. Kepada mereka iapun berceritera,, “Paman. nampaknya bukan kita saja yang telah mereka curigai. Beberapa hari yeng lalu, seseorang telah di rampok di tengah bulak. Sesudah itu, empat orang perampok telah memasuki rumah seseorang yang dianggap cukup kaya di padukuhan itu. Kemudian siang tadi mereka melihat dua orang berjalan kaki yang mencurigakan, sementara itu, mereka pun mengatakan bahwa tiga orang berkuda dan yang telah berhenti di kedai itupun sangat menarik perhatian mereka.
“Bukankah benar dugaanku” berkata Witantra, “mereka memang mencurigai kita”
“Tetapi ada yang lain. Dua orang pejalan kaki yang mereka sangka adalah kawan-kawan kita juga” sahut Mahisa Bungalan.
“Jika demikian, kita memang harus menunggu. Mungkin menjelang tengah malam kita akan melihat sesuatu” berkata Mahisa Agni.
Mereka bertiga pun kemudian kembali di tempatnya. Mahisa Bungalan telah berbaring di atas rerumputan kering, sementara Mahisa Agni dan Witantra duduk sambil memeluk lutut. Nyamuk yang jarang terdengar berdesing di telinga mereka tanpa henti-hentinya, sementara lamat-lamat di kejauhan terdengar suara kentongan dengan nada dara muluk.
“Tengah malam” desis Mahisa Bungalan,, “begitu cepatnya”
“Kita sudah cukup lama berada di tempat ini” sahut Mahisa Agni,, “namun aku masih juga ingin menunggu sampai cahaya fajar nampak di langit”
Witantra dan Mahisa Bungalan pun sependapat. Mereka akan menunggu sampai menjelang dini hari. Bahkan Mahisa Bungalan pun berkata, “Agaknya jika malam ini tidak terjadi apa-apa, malam besokpun kita akan dapat melihat barang semalam lagi”
Kedua pamannya tidak menjawab. Tetapi agaknya mereka pun sependapat.
Demikianlah mereka bertiga menunggu. Rasa-rasanya memang sangat menjemukan. Apalagi nyamuk menjadi semakin buas disekitar mereka.
Dalam pada itu, selagi Mahisa Bungalan mulai merasa kantuk, tiba-tiba saja mereka telah mendengar desis beberapa orang yang lewat tidak terlalu jauh dari tempat mereka bersembunyi. Karena itu, maka Mahisa Bungalan yang berbaring itu pun segera bangkit dan membenahi dirinya dibalik gerumbul perdu bersama kedua orang pamannya.
“Sekelompok” desis Mahisa Agni,, “tidak hanya dua atau tiga orang”
Witantra mengangguk-angguk. Dalam keremangan malam mereka melihat sekelompok orang lewat menelusuri jalan kecil menuju kepadukuhan disebelah.
Namun tiba-tiba langkah mereka tertegun. Salah seorang di antara mereka berkata, “He. kau lihat obor itu?”
“Ya. Obor yang dipasang di regol. Mungkin digardu” jawab yang lain.
“Dan kau lihat orang yang hilir mudik di regol itu?” bertanya orang yang pertama itu pula.
“Mereka adalah peronda-peronda” jawab yang lain
“Aku kira bukan sekedar peronda-peronda” desis yang lain pula.
Akhirnya merekapun melihat beberapa orang yang berada di regol. Namun seorang di antara mereka berkata,, “Biar sajalah semua orang di padukuhan itu berjaga-jaga. Aku memang sudah menduga. Setelah terjadi satu dua kali peristiwa, maka mereka akan menjadi sangat berhati-hati. Karena itu, maka aku membawa kalian semuanya beserta aku sekarang”
Tidak ada lagi yang menjawab. Tetapi sekelompok orang itu masih tetap berdiri diam sambil memandangi padukuhan yang telalj dijaga oleh setiap orang laki-laki di segala penjuru dan disemua jalan-jalan masuk.
“Lihat” berkata pemimpinnya,, “tetapi hati-hati. Apa yang telah mereka persiapkan. Kita harus membuat perhitungan secukupnya”
Dua orang di antara mereka pun kemudian berjalan mendekati regol. Seperti Mahisa Bungalan, mereka pun merayap dengan diam-diam untuk, “melihat, apa yang telah dilakukan oleh orang-orang di padukuhan itu.
Sementara itu Mahisa Agni, Witantra dan Mahisa Bungalan masih harus mengatur diri, agar orang-orang itu tidak mengetahui kehadiran mereka dibalik gerumbul perdu itu.
Sejenak kemudian, maka kedua orang yang melihat-lihat regol itu pun telah kembali kedalam kelompok mereka. Seperti yang diceriterakan oleh Mahisa Bungalan, ternyata mereka pun melihat kesiagaan penghuni padukuhan itu.
“Aku tidak peduli” berkata pemimpinnya. Dan katanya kemudian,, “Kita akan memasuki pedukuhan itu dengan meloncati dinding. Kita tidak akan memasuki regol yang manapun juga. Bahkan kita akan dengan mudah memasuki rumah yang tentu sudah ditinggalkan oleh setiap penghuni laki-lakinya. Kita akan dapat mengambil apa saja yang kita inginkan di rumah itu”
“Bagus” desis yang lain,, “kita akan meloncati dinding padukuhan disebelah Timur yang banyak terlindung oleh rumpun-rumpun bambu yang lebat”
“Kau tahu betul?” bertanya pemimpinnya.
“Siang tadi aku mengelilingi seluruh padukuhan itu” jawab kawannya.
“Nampaknya mereka telah mencurigaimu. Ternyata malam ini seisi padepokan itu telah bersiap-siap” gumam pemimpinnya.
“Tetapi bukankah hal itu tidak penting? Seandainya mereka melihat kita, maka kita akan menghancurkan mereka. Dan kita akan dapat merampok bukan saja seisi rumah, tetapi seisi padukuhan itu”
“Gila. Agaknya hal itu memang mungkin kita lakukan. Tetapi tidak ada gunanya melawan seisi padukuhan itu. Dengan demikian di antara kita pun tentu akan jatuh korban Kecuali jika terpaksa. Itu pun akan kita. lakukan sambil menarik diri” jawab pemimpinnya, yang katanya pula, “Agaknya kita masih harus berpikir untuk memberikan korban terlalu banyak. Jika kita masih cukup mempunyai bekal, tiba-tiba saja Rajawali Penakluk itu datang lagi, maka kita akan kehilangan segala-galanya”
Mahisa Agni yang mendengar kata-kata itu telah menggamit Witantra dan Mahisa Bungalan. Keduanya pun mengangguk kecil. Ternyata mereka sependapat, bahwa orang-orang ilu tentu bekas pengikut Rajawali penakluk yang telah kehilangan ikatan, justru karena Rajawali Penakluk itu telah meninggalkan mereka.
“Mereka semua telah berjanji untuk tidak melakukan kejahatan lagi” berkata Mahisa Bungalan di dalam hatinya, “Namun ternyata mereka telah kembali kepada pekerjaan gila itu”
Namun ketiga orang itu masih tetap menunggu. Merekapun kemudian melihat sekelompok perampok itu bersiap-siap untuk memasuki padukuhan itu dengan meloncati dinding padukuhan di sebelah Timur, yang menurut salah seorang dari mereka, dilindungi oleh rimbunnya rumpun bambu yang lebat.
“Kita akan mengikuti mereka” bisik Mahisa Agni
Witantra dan Mahisa Bungalan mengangguk. Mereka pun segera bersiap-siap pula. Ketika kelompok itu mulai bergerak, maka ketiga orang itupun bergerak pula.
Tetapi Mahisa Agni. Witantra dan Mahisa Bungalan harus bertindak dengan sangat berhati-hati. Mereka tidak boleh terjebak dan diketahui oleh orang-orang itu. Dengan demikian, maka persoalannya akan berkisar, dan merekalah yang harus bertempur melawan sekelompok orang yang belum mereka ketahui tingkat kemampuannya
Seperti yang mereka rencanakan, maka sekelompok orang itupun telah menu]u ke bagian Timur padukuhan penghuni-penghuninya yang sibuk menjaga regol-regol padukuhan mereka. Tetapi mereka sama sekali tidak menyangka, bahwa sekelompok orang telah berusaha memasuki padukuhan itu dengan meloncati dinding.
Ternyata bahwa orang-orang itu berhasil mendekati dinding disebelah Timur padukuhan itu tanpa diketahui oleh orang-orang yang sedang mengawal padukuhan itu. Laki-laki yang hilir mudik di rnuka pintu gerbang di segala penjuru dan mereka yang berada di gardu-gardu tidak mengetahui, sekelompok orang yang dengan hati-hati telah memanjat dinding dan meloncat masuk diantara rumpun-rumpun bambu yang cukup lebat.
“Kitapun akan meloncat masuk” desis Mahisa Agni
“Tetapi tidak tepat pada tempat mereka meloncat” sahut Witantra.
“Ya” jawab Mahisa Agni, “kita meloncat beberapa langkah di sebelahnya”
Dengan hati-hati ketiga orang itu sudah mendekati dinding itu pula. Ketika orang terakhir telah meloncat, maka ketiga orang itu pun telah berusaha untuk meloncat masuk pula.....
Agaknya tiga orang itu berhasil memasuki padukuhan tanpa diketahui oleh sekelompok perampok yang siap melakukan pekerjaan mereka di padukuhan yang justru sudah siap menyambut kedatangan mereka. Namun penghuni padukuhan itu ternyata tidak cukup berpengalaman untuk melawan orang-orang yang sudah terbiasa melakukan pekerjaan itu.
Ternyata Mahisa Agni, Witantra dan Mahisa Bungalan yang memasuki padukuhan itu, tidak kehilangan jejak. Mereka masih tetap dapat mengamati orang-orang yang kemudian berada di sebuah halaman luas yang ditumbuhi rumpun-rumpun bambu yang lebat dan tidak terpelihara.
“Kita akan pergi kemana?” bertanya pemimpin sekelompok perampok itu.
“Kita akan langsung menuju ke rumah orang itu” berkata yang lain, “aku sudah memahami keadaan lingkungannya. Orang yang malam ini akan kita jadikan korban, bukannya orang yang paling kaya di padukuhan ini. Tetapi memadahilah, sehingga kita akan mendapat barang-barang yang cukup, sebelum pada suatu saat kita akan datang ke rumah yang paling baik di padukuhan ini”
“Kenapa tidak sekarang?” bertanya yang lain.
“Kesiagaan orang-orang padukuhan ini tentu berpusar pada rumah dari orang yang paling kaya itu. Kita akan melihat keadaan. Jika keadaan memungkinkan, memang tidak ada salahnya. Tetapi menilik kesiagaan orang-orang di padukuhan ini, agaknya lebih baik kita akan kembali pada kesempatan lain” jawab kawannya yang telah menyelidiki keadaan padukuhan itu.
“Kau takut?” bertanya kawannya.
Yang terdengar adalah jawaban yang kasar, “Kau pernah melihat aku ketakutan? Yang aku perhitungkan adalah kemungkinan-kemungkinan. Bukan ketakutan”
“Aku yang akan menentukan” potong pemimpin sekelompok perampok itu. Lalu, “Aku setuju, bahwa kita mula-mula akan pergi ke sasaran pertama. Baru kemudian kita akan melihat keadaan”
Tidak ada lagi yang mempersoalkan rencana itu. Mereka hanya tinggal melakukannya, karena pimpinan mereka telah mengambil keputusan.
Demikianlah, maka mereka pun mulai bergerak dengan hati-hati. Bagaimanapun juga, agaknya mereka masih menghindarkan diri dari kemungkinan yang akan dapat menyulitkan mereka. Mereka lebih senang melakukan pekerjaan itu dengan tanpa meninggalkan korban apapun juga.
Sementara itu, Mahisa Agni, Witantra dan Mahisa Bungalan berusaha untuk tidak melepaskan pengamatan mereka atas para perampok yang kemudian menuju ke sasaran.
Ternyata para perampok itu berhasil menyusup di antara para peronda. Apalagi para peronda yang selalu lewat di jalan-jalan padukuhan dalam jumlah yang terhitung besar. Lima atau enam orang sambil berbicara dengan kerasnya. Dengan demikian, maka para perampok itu selalu dapat mencari kesempatan sebaik-baiknya untuk melintasi jalan-jalan padukuhan, meloncat dari satu halaman ke halaman yang lain.
Meskipun padukuhan itu benar-benar telah disibukkan oleh setiap laki-laki yang keluar dari rumah dan berada di regol dan di gardu-gardu, namun para perampok itu seakan-akan tidak menemui kesulitan sama sekali. Perlahan-lahan tetapi pasti, mereka pun mendekati rumah yang akan mereka jadikan korban perampokan pada malam itu.
Sebenarnyalah, seperti yang mereka perhitungkan, karena setiap laki-laki telah keluar dari rumah mereka, maka yang berada di rumah tinggallah perempuan dan anak-anak. tetapi agaknya perempuan dan anak-anak itu pun sudah merasa terlalu aman, karena laki-laki di padukuhan mereka tersebar di setiap sudut dan jalan-jalan padukuhan, sehingga menurut dugaan mereka, tidak seorang penjahat pun yang akan dapat mengganggu mereka.
Karena itulah, maka justru mereka telah tidur dengan nyenyaknya. Hanya satu dua rumah para bebahu padukuhan sajalah yang masih disibukkan oleh beberapa orang perempuan yang merebus air dan menyiapkan makanan bagi para peronda yang akan berjaga-jaga semalam suntuk dan yang agaknya tidak hanya semalam itu saja.
Tetapi, beberapa orang perampok itu tidak akan menuju ke rumah yang masih sibuk itu. Mereka sudah menentukan, rumah yang mana yang akan menjadi sasaran mereka malam itu.
Mahisa Agni, Witantra dan Mahisa Bungalan pun kemudian tertegun ketika mereka melihat para perampok itu mendekati sebuah rumah joglo yang besar. Rumah yang berhalaman luas dan mempunyai sebuah regol yang menarik.
“Itulah sasarannya” desis Mahisa Bungalan.
Sambil mengangguk Witantra pun berbisik, ”Agaknya memang demikian”
Untuk beberapa saat lamanya mereka menunggu. Para perampok itu pun agaknya sedang menunggu kesempatan sebaik-baiknya. Mereka bersembunyi rapat-rapat di halaman di depan rumah itu ketika empat orang peronda berjalan lewat lorong dimuka rumah itu pula. Seorang di antara mereka itu berkata, ”Agaknya penghuninya sudah tidur nyenyak”
“Ya” jawab yang lain, “tiga orang penghuni laki-laki di rumah itu berada di gardu-gardu”
“Mereka pun selalu mengelilingi padukuhan ini. Setiap kali mereka tentu lewat jalan ini pula sambil mengamati rumahnya” berkata orang yang pertama.
“Seperti kita juga” jawab yang lain, ”setiap kali kita meronda lewat lorong di depan rumah kita masing-masing.
Empat orang peronda itu berjalan terus. Namun agaknya setiap kali ada saja yang lewat melalui lorong-lorong di dalam padukuhan itu, seperti yang dikatakan oleh salah seorang peronda yang lewat, bahwa setiap orang berusaha untuk melihat-lihat halaman rumah masing-masing.
Demikian keempat orang itu lewat, maka para perampok itu pun segera bertindak. Pemimpinnya berkata, “Kita harus memasuki rumah itu dan menutup pintunya, jika peronda berikutnya lewat, mereka tidak akan tahu, apa yang terjadi di dalamnya”
“Jika penghuninya berteriak?” bertanya kawannya
“Tidak seorang pun yang akan berbuat demikian” berkata pemimpinnya, “kecuali jika orang-orang itu sudah jemu hidup”
Tidak seorang pun lagi yang mengatakan sesuatu. Yang kemudian mereka lakukan adalah mendekati pintu samping rumah itu.
“Ketuk, perlahan-lahan” desis pemimpinnya.
Mahisa Agni, Witantra dan Mahisa Bungalan pun telah berusaha mendekat lagi. Mereka harus mengetahui, apa yang sedang dilakukan oleh para perampok itu, sehingga mereka akan dapat mengambil satu sikap jika keadaan memaksa.
Salah seorang perampok itupun kemudian mengetuk pintu samping perlahan-lahan. Seolah-olah mereka sama sekali tidak tergesa-gesa dan tidak mempunyai kepentingan yang mendesak.
Sejenak kemudian terdengar desah di dalam rumah itu. Lalu terdengar pula suara seorang perempuan.”Siapa?”
“Aku. Ada pesan dari suamimu” jawab orang yang berada di luar.
Jawaban itu ternyata telah mengejutkan perempuan di dalam rumah itu. Dengan tergesa-gesa terdengar langkah mendekati pintu sambil bertanya.”Pesan apa?”
“Tidak penting” jawab yang diluar, “tetapi karena keadaan nampaknya menjadi semakin gawat, ia tetap berada di gerbang padukuhan sebelah Barat”
“Pesan apa?” bertanya perempuan itu.
“Aku membawa kerisnya. Keris itu tidak penting. Malahan pendoknya akan dapat dirampas oleh orang jahat. Ia sudah membawa tombak panjang” jawab suara diluar.
Perempuan itu tidak berpikir panjang. Suaminya kebetulan memang membawa keris seperti kebanyakan laki-laki di padukuhan itu. Meskipun mereka membawa pedang dan tombak, namun pada umumnya mereka telah membawa keris pula. Apalagi keris yang mempunyai nilai dan tuah.
Namun betapa terkejutnya perempuan itu. Demikian ia membuka selarak pintu, dengan tidak diduga-duga itu telah terdorong keras sehingga perempuan itu hampir saja jatuh terlentang.
Belum lagi ia sempat membenahi diri, beberapa orang laki-laki garang telah berloncatan memasuki rumahnya sambil mendorongnya ke sudut. Seorang di antara mereka mengacukan goloknya sambil berkata, “Jangan berteriak”
Yang terjadi itu sama sekali tidak terduga-duga. Perempuan itu menganggap bahwa padukuhan itu tentu tidak akan diganggu selama setiap laki-laki berada di gardu-gardu dan di jalan-jalan. Tidak mungkin ada seorang penjahat pun yang akan dapat lolos dari penjagaan mereka, sehingga tanpa curiga, ia telah membuka pintu. Namun ternyata ia sudah berhadapan dengan beberapa orang yang nampaknya adalah para penjahat.
Salah seorang dari mereka yang memasuki rumah itu pun kemudian menutup pintu. Dengan demikian, maka jika sekelompok peronda lewat, maka tidak akan timbul kesan apapun juga dari dalam rumah itu.
“Jangan berbuat sesuatu yang dapat memperpendek nyawamu ancam salah seorang laki-laki yang berjambang lebat.
Perempuan itu menjadi gemetar. Seandainya ia ingin berteriakan, suaranya tidak lagi dapat meloncat dari kerongkongannya.
“Siapa saja yang berada di rumah ini” bertanya pamimpin sekelompok perampok itu.
Perempuan itu tergagap. Tetapi pemimpin perampok itu bertanya lebih garang lagi, meskipun tidak terlalu keras, “Siapa lagi yang berada di rumah”
“Anakku” desis perempuan itu ketakutan.
“Dimana?” bertanya pemimpin perampok itu.
“Tidur” jawab perempuan itu.
“Berapa orang?” bertanya perampok itu pula.
Perempuan itu termangu-mangu sejenak. Anakku laki-laki tidak ada di rumah sekarang”
Pemimpin perampok itu mengangguk-angguk. Katanya, “Aku tahu, bahwa samua laki-laki di rumah ini sudah keluar.
Perempuan itu menjadi semakin pucat. ubuhnya yang gemetar menjadi basah oleh keringat.
“Dimana mereka tidur?” bentak salah seorang dari perampok-perampok itu.
“Di dalam bilik sebelah” jawab perempuan itu gemetar.
Seorang perampok berusaha untuk menjenguknya. Ternyata di dalam bilik itu memang terdapat dua orang gadis yang sedang tidur nyenyak.
Sejenak perampok itu memandanginya dengan mata tanpa berkedip. Namun kemudian iapun meninggalkan pintu bilik itu kembali kepada pemimpinnya, “Ya. Dua orang gadis. Aku tidak tahu pasti, apakah keduanya cantik atau tidak. Tetapi keduanya nampak tidur dengan nyenyaknya. Agaknya keduanya sudah cukup besar untuk kawin”
Beberapa orang perampok tertawa tertahan. Namun dengan demikian, hati perempuan itu menjadi semakin bergetar.
“Nah” berkata pemimpin perampok itu, “sekarang serahkan semua harta milikmu. Aku tahu, kau cukup kaya. Kau mempunyai perhiasan intan berlian. Kau mempunyai perhiasan emas dan perak”
“Aku tidak mempunyai apa-apa” desis perempuan itu hampir menangis.
“Jangan menghambat tugas-tugasku” berkata pemimpin perampok itu, “aku tidak mempunyai banyak waktu. Setiap saat, jalan di depan rumah ini dilewati para peronda. Meskipun aku akan dapat mambunuh siapa saja yang berusaha menangkap aku, tetapi agaknya itu tidak perlu aku lakukan, jika kau tidak membuat onar disini”
Perempuan itu masih ragu-ragu.
“Cepat, jika kami tidak menemukan apa-apa disini, maka yang paling berharga akan kami ambil dari rumah ini” geram pemimpin perampok itu.
“Apa?” bertanya perempuan itu.
“Kedua anak gadismu. Harganya akan sama dengan emas, perak dan berlian” jawab pemimpin perampok itu.
Beberapa orang kasar itu tertawa meskipun tidak terlalu keras. Bahkan salah seorang dari mereka bergumam, “Aku memilih perempuan itu saja. Aku dapat membawanya pulang dan menjadikannya seorang perempuan yang bahagia”
Karena itulah, maka perempuan itu pun menjadi semakin gemetar. Tentu saja ia tidak akan membiarkan anaknya mengalami perlakuan yang dapat membuat anaknya menderita sepanjang umurnya.
“Cepat” tiba-tiba saja pemimpin perampok itu membentak, “jangan menunggu kami kehilangan kesabaran”
Perempuan itu tidak dapat berbuat lain. Katanya, “Tunggulah Aku akan mengambil apa yang aku punya”
“Jangan tipu kami” berkata pemimpin perampok itu, “aku ikut bersamamu. Dimanapun kau simpan barang-barang itu”
Perempuan itu sama sekali tidak mempunyai kesempatan lagi. Ia pun kemudian pergi kedalam biliknya, di sebelah bilik anak-anaknya untuk mengambil perhiasannya yang disimpan di dalam geledeg kayu. Lebih baik baginya kehilangan perhiasan itu daripada anak gadis mengalami perlakuan yang gila dari orang-orang kasar itu.
Pemimpin perampok itu menerima perhiasan perempuan itu dengan hati yang berdebar-debar. Namun demikian, nampaknya masih ada yang kurang. Sekali lagi ia membentak, “Dimana kamus dan timang suaminya?”
“Dipakai” jawab perempuan itu.
“Bohong” jawab pemimpin perampok itu, “tentu tidak. Jika ia pergi kedalam satu perjamuan mungkin ia memakainya. Tetapi tentu tidak jika ia sekedar pergi meronda”
“Tetapi ia memakainya. Ia memakai kamus dan timangnya yang terbuat dari emas. Kerisnya pun dibawanya, sehingga jika kau kehendaki, aku tidak akan dapat memberikannya”
“Jangan bohong” pemimpin perampok itu menggeram, “aku dapat memerintahkan orang-orangku untuk dalam sekejap membuat kedua anak perempuanmu itu menjadi manusia yang tidak berharga lagi dalam pergaulan hidupnya sehari-hari”
“Jangan, jangan berbuat demikian. Aku sudah memberikan apa saja” jawab perempuan itu, “yang lain tidak ada di rumah. Lihatlah seluruh rumahku. Aku memang masih mempunyai beberapa keping uang simpanan jika kau kehendaki. Tetapi nilainya tentu tidak seberapa dibanding dengan perhiasan-perhiasanku itu”
“Ambil uang itu” bentak pemimpin perampok itu.
Perempuan itupun kemudian mengambil simpanan uangnya dan menyerahkannya kepada pemimpin perampok itu.
“Yang lain, aku minta yang lain” geram pemimpin perampok itu pula.
“Aku tidak punya apa-apa lagi, “ tangis perempuan yang menjadi putus asa itu.
Pemimpin perampok itupun kemudian memanggil beberapa orang-orangnya dan diperintahkannya untuk mencari apa saja yang dapat dibawanya di seluruh rumah itu.
Ternyata dua orang laki-laki yang kasar itu telah memasuki bilik kedua anak gadis perempuan yang menjadi kehilangan akal itu. Nampaknya keduanya justru berusaha untuk membangunkan kedua gadis yang sedang tidur nyenyak itu.
Demikian kedua gadis itu terbangun, maka mereka pun telah terkejut karena dua ujung golok berada di dada masing-masing.
“Jangan ribut anak-anak manis” desis laki-laki itu, “aku tidak akan berbuat apa-apa. Aku akan berbuat baik atas kalian berdua”
Kedua gadis itu menjadi gemetar. Namun keduanya tidak dapat berbuat apa-apa.
“Dimana perhiasan kalian simpan” desis salah seorang dari dua orang laki-laki yang menggenggam golok itu.
Kedua orang gadis itu menjadi gemetar. Mereka tidak segera mengerti, apakah yang sedang mereka hadapi. Tetapi dua ujung golok itu telah membuat mereka menjadi gemetar.
“Bangunlah” desis laki-laki kasar itu, “bangkitlah dan tunjukkan kepadaku- dimanakah perhiasan kalian, kalian simpan”. Dengan tubuh gemetar keduanya bangkit dan turun dari pembaringan. Samentara kedua orang laki-laki itu tersenyum memandangi mereka.
“Cepat anak-anak manis” berkata salah seorang dari laki-laki kasar itu, “semakin lama aku menatap kalian berdua, maka semakin berdebar jantung di dadaku. Cepat, sebelum aku berubah sikap sehingga yang aku minta bukannya perhiasan.
“Aku tidak punya perhiasan” desis yang seorang dengan suara patah-patah.
“Apa?” geram laki-laki kasar itu, “jangan membuat kami kehilangan kesabaran. Jika kalian tidak segera menunjukkan, maka kalian akan menyesal, sebab kalian akan kehilangan milik kalian yang jauh lebih berharga”
Kedua gadis itu menjadi semakin ketakutan. Sementara mereka pun mendengar suara lain yang membentak-bentak di luar bilik.
“Ibumu telah menyerahkan perhiasannya” berkata salah seorang dari laki-laki kasar itu, “sekarang giliran kalian”
“Semua perhiasan kami, sudah kami serahkan untuk disimpan kepada ibu” berkata salah seorang dari gadis gadis itu.
Wajah kedua orang laki-laki kasar itu menegang. Namun kemudian wajah itu telah berubah lagi. Sambil tersenyum laki-laki itu berkata, “Jangan bohong anak-anak manis. Marilah, berikan perhiasan-perhiasan itu”
Belum lagi gadis-gadis itu menjawab, tiba-tiba ibunya telah berlarian masuk kedalam bilik itu. Dengan serta merta kedua anak gadisnya itu pun telah dipeluknya. Betapa gemetar tangan ibunya, namun ia masih berusaha untuk melindungi anak-anaknya.
Kedua laki-laki itu tertawa. Seorang laki-laki lain telah memasuki bilik itu pula, sementara di depan pintu pemimpin perampok itu menggeram, “Aku masih menuntut yang lain. Apapun juga. Waktuku tidak terlalu banyak”
“Tidak ada lagi yang dapat aku berikan” desis perempuan yang ketakutan itu.
Perampok-perampok itu menjadi tegang. Nampaknya mereka sudah kehabisan kesabaran, sementara di antara mereka yang mencari sesuatu yang lain di rumah itu tidak berhasil.
“Aku benar-benar tidak mempunyai apapun lagi yang dapat aku serahkan kepada kalian” berkata perempuan itu dengan suara tersendat-sendat, “semua sudah ada pada kalian. Karena itu, pergilah. Tinggalkan kami bertiga”
Pemimpin perampok yang berdiri di pintu itu berdiri termangu-mangu. Namun kemudian katanya, “Jika kalian tidak dapat memberi apapun lagi, maka rumah ini akan aku bakar. Aku tidak tahu apakah kalian akan dapat melepaskan diri atau tidak, karena kami akan menyelarak pintu dari luar”
“Jangan” teriak perempuan yang sedang memeluk kedua anak perempuannya itu.
“Diam” bentak pemimpin perampok itu, karena ia mendengar suara orang tertawa di lorong di depan rumah itu. Agaknya dua atau tiga orang peronda sedang berjalan menyusuri lorong-lorong di dalam padukuhannya.
Perempuan itu menjadi tegang. Namun pemimpin perampok itu berdesis, “Jangan ganggu mereka yang sedang bergurau di sepanjang jalan itu. Biarlah mereka lewat. Kita mempunyai urusan dan kepentingan sendiri”
Perempuan itu kian menegang. Namun pemimpin perampok itupun berdesis, “Kami dapat berbuat apa saja jika kau berusaha untuk menarik perhatian mereka. Bukan karena kami takut, tetapi sebenarnyalah kami masih segan untuk membunuh. Tetapi jika kau berbuat sesuatu yang dapat mencelakaimu sendiri, maka bukan hanya kau sajalah yang akan menjadi korban. Tetapi setiap laki-laki yang ingin menangkap kami, akan mati diujung senjata kami. Mungkin laki-laki itu adalah suamimu, atau anakmu laki-laki”
Perempuan itu terbungkam oleh kecemasan yang menghimpit dadanya. Karena itu, maka dengan gemetar ia memeluk anak-anaknya semakin erat.
Dalam pada itu, empat orang peronda telah berjalan lewat lorong di depan rumah itu. Untuk mengusir kantuk dan barangkali juga sedikit kecemasan, mereka telah bergurau dengan riuhnya, sehingga suara mereka terdengar dari jarak yang cukup panjang.
Pemimpin perampok yang berada di rumah itu pun segera memberi isyarat kepada orang-orangnya untuk tidak menarik perhatian. Mungkin dengan suara atau bahkan dengan perbuatan.
“Biarlah mereka lewat” desis pemimpin perampok itu.
Orang-orang yang bergurau di sepanjang lorong itu pun akhirnya sampai di depan rumah yang sedang dicengkam oleh kecemasan itu. Tetapi karena tidak ada kesan apapun yang mereka lihat, maka mereka sama sekali tidak memperhatikan apa yang telah terjadi di rumah itu.
Namun orang-orang yang lewai di lorong itu terkejut ketika mereka mendengar seolah-olah sebuah batu yang jatuh di dekat mereka. Tidak hanya satu, tetapi dua, tiga bahkan empat.
“He, siapakah yang talah melempar batu” yang seorang bertanya dengan jantung yang berdebaran.
Orang-orang itu tiba-tiba saja telah merapat dan berdiri saling berdesakan.
“Hantu” bisik salah seorang dari mereka.
Yang terjadi benar-benar tidak seperti yang dikehendaki oleh Mahisa Agni. Witantra dan Mahendra. Merekalah yang melempari orang-orang itu dengan batu, agar mereka tertarik untuk melihat-lihat halaman rumah itu. Tetapi yang dilakukan oleh orang-orang itu justru berlawanan, karena mereka kemudian dengan tergesa-gesa lari sipat kuping.
Mahisa Agni dan Witantra berdesah. Mahisa Bungalan bahkan hampir saja kehilangan pengamatan diri karena kejengkelan yang tidak tertahankan. Untunglah bahwa Witantra sempat menggamitnya dan memberi isyarat agar ia tidak berbuat sesuatu.
Namun dalam pada itu, para perampok di dalam rumah itupun terkejut karenanya. Jika orang-orang yang meronda di lorong-lorong itu tiba-tiba saja berlari-larian, tentu ada sebabnya.
“Aku mendengar beberapa butir batu berjatuhan. Agaknya itulah yang membuat mereka ketakutan” desis salah seorang perampok.
“Apa yang sebenarnya terjadi?” bertanya yang lain.
Pemimpin perampok itu termangu-mangu sejenak. Namun iapun kemudian bertanya, “Bukankah semua orang ada di dalam?”
“Ya. Semua orang ada di dalam” jawab seorang anak buahnya.
Namun iapun kemudian berkata pula, “Ada sesuatu yang kurang wajar. Karena itu, kita jangan terlalu lama berada di sini”
“Bagaimana dengan barang-barang yang lain?” bertanya salah seorang pengikutnya.
Pemimpin perampok itu memandang perempuan yang sedang memeluk anaknya itu dengan wajah yang menakutkan. Apalagi ketika ia menggeram, “Kau membuat kami marah. Kau tidak menyerahkan semua kekayaanmu”
“Aku sudah menyerahkannya semua yang aku miliki. Perhiasan itu bernilai sangat tinggi. Kami sekeluarga mengumpulkannya selama dua puluh tahun. Dan kini semuanya kau bawa seperti kau mengambil milikmu sendiri”
“Persetan” geramnya. Lalu katanya kepada orang-orangnya, “bersiap-siaplah. Kita akan meninggalkan tempat ini”
Para perampok itu pun kemudian bersiap-siap untuk pergi. Meskipun mereka masih belum puas, tetapi yang terjadi di lorong di hadapan rumah itu memang perlu mendapat perhatian. Orang yang berlari-lari itu tentu akan pergi ke gardu dan melaporkannya, jika kawan-kawannya tidak percaya, maka mereka tentu akan berdatgenuangan.
Karena itu, maka pemimpin perampok itupun segera memerintahkan orang-orangnya untuk dengan hati-hati meninggalkan rumah itu.
“Gadis itu” tiba-tiba seorang laki-laki kasar berdesis.
“Kenapa dengan gadis itu?” bertanya pemimpin perampok.
“Aku akan membawanya” jawab laki-laki kasar itu.
“Gila. Apakah kau akan mempertaruhkan gadis itu dengan seluruh nyawa kawan-kawanmu. Cepat, tinggalkan rumah ini. Atau kau ingin tinggal di sini?” bertanya pemimpin perampok itu.
Laki-laki kasar itu tidak menjawab. Ketika ia berpaling terhadap gadis-gadis itu, maka terasa tubuh gadis-gadis itu meremang. Namun laki-laki itu tidak dapat berbuat apa-apa, karena kawan-kawannya segera bersiap-siap untuk meninggalkan rumah itu.
Namun mereka masih sempat mengancam, “Kami akan kembali lagi pada satu kesempatan”
Ketiga perempuan itu masih gemetar, mereka berharap bahwa orang-orang itu akan segera pergi meninggalkan mereka. Meskipun semua perhiasan yang ada pada mereka telah dibawa, tetapi mereka tetap selamat dan tidak mengalami perlakuan yang lebih buruk lagi.
Dalam pada itu, orang-orang yang berlari-larian karena ketakutan itu telah sampai ke gardu yang terdekat. Seperti yang diperhitungkan oleh para perampok, maka mereka pun segera berceritera-tentang beberapa buah batu yang berjatuhan tanpa diketahui asalnya.
“Hantu” desis salah seorang dari keempat orang itu.
“Omong kosong” jawab kawannya, “kalian memang penakut”
“Lihatlah sendiri, jika kau tidak percaya” jawab seorang yang lain.
“Aku akan melihat” geram orang yang merasa dirinya mempunyai keberanian lebih dari kawan-kawannya.
Namun dalam pada itu, lima orang telah meninggalkan gardu itu. Tiga dari empat orang yang merasa dirinya dilempari batu itupun mengikut pula untuk menunjukkan tempat di mana mereka mendapat lemparan-lemparan itu, sehingga jumlah mereka menjadi delapan orang.
Demikian delapan orang itu dengan tergesa-gesa mandekati regol rumah yang sedang mengalami perampokan itu, para perampok telah turun ke halaman.
“Mereka benar-benar datang” desis salah seorang perampok.
“Jangan bodoh” geram pemimpinnya, “mereka datang dari depan. Kita akan meninggalkan tempat ini dari belakang”
“Tetapi mereka akan segera mengetahui bahws kita baru saja memasuki halaman rumah ini. Perempuan-Perempuan itu tentu akan berceritera, sehingga sejenak kemudian akan terdengar suara titir” sahut yang lain.
“Aku bawa seorang dari perempuan-perempuan itu” berkata laki-laki kasar yang sejak semula ingin membawa salah seorang gadis itu, “jika mereka berteriak, kita akan mengancam nyawa perempuan yang kita bawa”
Pemimpin perampok itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun mengangguk. Katanya, “bawa perempuan itu. Tetapi hati-hati”
Laki-laki kasar itu kembali memasuki rumah dari pintu butulan. Dengan senjata teracu ia memaksa salan seorang gadis itupun mengikutinya. Ketika gadis itu akan berteriak, maka ujung pedangnya telah menyentuh dadanya sambil berdesis, “Dadamu terlalu muda untuk ujung pedangku ini. Tetapi apa boleh buat. Jika kau berteriak, maka kau akan mati Ibumu akan mati dan saudaramu itupun akan mati. Ayah dan kedua saudaramupun akan mati pula apabila mereka mendengar suaramu dan berusaha untuk menolongmu”
Suasana menjadi tegang. Tetapi tidak seorang pun dapat mencegahnya ketika laki-laki kasar itu menarik gadis itu keluar dengan ancaman, “Jangan bunuh diri. Gadis ini akan selamat iika kalian berbuat baik”
Ibu dan saudara perempuan gadis itu menahan gejolak hatinya di dada yang hampir retak. Tetapi mereka benar-benar tidak berani berbuat apa-apa, karena senjata laki-laki kasar itu selaku melekat di tubuh gadis itu.
“Jika peronda itu datang, katakan, tidak terjadi sesuatu, Nanti, jika keadaan sudah tenang, aku akan mengembalikan anak perempuanmu. Jika nanti keadaan masih berbahaya bagiku, besok pagi aku akan mengembalikannya” pesan laki-laki kasar itu.
“Jangan besok pagi” minta perempuan itu.
“Apaboleh buat” jawab laki-laki kasar itu.
Demikianlah, laki-laki kasar itu telah menarik gadis itu lewat pintu butulan menyusul kawan-kawannya. Mereka tidak melalui regol depan dari halaman rumah itu. Tetapi mereka keluar lewat regol belakang.
Ternyata para perampok itu tidak meninggalkan kebun belakang yang rimbun dari rumah yang besar itu. Kebun yang berada diluar dinding halaman, sehingga kebun itu seolah-olah sama sekali tidak terpelihara.
“Kita tidak perlu lari” berkata pemimpin perampok itu.
“Ya” jawab laki-laki kasar itu, “aku sudah berpesan agar ia tidak mengatakan sesuatu tentang anak gadis ini”
Tetapi salah seorang dari mereka itupun bertanya, “Tetapi jika yang datang itu adalah ayahnya atau saudara-saudaranya, maka mereka tentu mengerti, bahwa penghuni rumah itu sudah berkurang seorang”
Pemimpin perampok itu ragu-ragu sejenak. Namun kemudian katanya, “Baiklah. Kita meninggalkan tempat ini” Lalu katanya kepada laki-laki kasar itu, “Urus perempuan itu agar tidak mengganggu diperjalanan”
Para perampok itu sudah siap untuk meninggalkan kebun yang tidak terpelihara itu. Mereka mulai beringsut dengan hati-hati, agar mereka tidak terperosok ke dalam lingkungan para peronda.
Karena itu, maka dua orang yang di siang harinya sudah menjelajahi tempat itu oleh pemimpinnya diperintahkan untuk berada dipaling depan.
Dalam pada itu, Mahisa Agni, Witantra dan Mahisa Bungalan menjadi berdebar-debar. Mereka tidak menyangka, bahwa orang-orang pedukuhan itu sebagian ternyata sangat penakut, sehingga usahanya untuk menarik perhatian mereka justru berakibat sebaliknya, sehingga ada kesempatan bagi para perampok itu untuk meninggalkan tempatnya. Dan yang juga tidak mereka duga-duga, adalah bahwa perampok-perampok itu telah membawa seorang, gadis untuk memastikan keselamatan mereka. Namun menilik pembicaraan dan sikap laki-laki kasar itu. maka gadis itu akan dapat mengalami perlakuan yang sangat pahit.
“Apa yang harus kita lakukan?” bisik Mahisa Bungalan. Mahisa Agni masih ragu-ragu. Namun akhirnya ia berkata, “Kita harus menarik perhatian para peronda yang datang itu. Sementara dua orang di antara kita mengawasi nasib gadis itu”
Mahisa Bungalan mengangguk. Lalu katanya, “Aku akan mengawasi gadis itu”
“Bersama dengan pamanmu Witantra” berkata Mahisa Agni, “aku akan berada di sini untuk memancing para peronda itu”
Mahisa Bungalan mengangguk, sementara Witantrapun kemudian berdesis, “Marilah, jangan kehilangan jejak”
Keduanya pun segera menyusul para perampok itu dengan sangat berhati-hati. Jika para peronda tidak menemukan mereka, maka mereka tentu akan lepas dengan bebas. Adalah tidak mungkin bagi laki-laki kasar itu untuk datang kembali menyerahkan gadis yang dibawanya.
Demikianlah, ketika para peronda yang datang kemudian itu sibuk membicarakan batu-batu yang dilemparkan oleh hantu dari halaman rumah itu maka seorang dari mereka yang agaknya memiliki keberanian telah memasuki halaman sambil berkata, “Aku akan melihat, dimana hantu itu bersembunyi”
Mahisa Agni melihat kemungkinan untuk menarik perhatian mereka lebih lanjut. Karena itu, maka iapun telah melemparkan sebutir batu keatas atap yang kemudian bergilir jatuh dihalaman.
“Batu. Batu” desis peronda yang sudah ketakutan.
Yang memiliki keberanian itu pun kemudian mendekat lagi. Ketika sekali lagi sebutir batu jatuh, maka ia melangkah surut.
“Penakut” geram Mahisa Agni di dalam hatinya. Ia mulai gelisah, bahwa ia tidak berhasil menarik perhatian orang-orang itu memasuki rumah atau menemukan tanda-tanda perampokan yang lain. Apalagi perempuan di rumah itu tentu tidak akan berani berterus terang bahwa anak gadisnya telah dibawa.
Sementara itu, maka orang-orang yang berada di halaman itu sudah berkumpul merapat. Namun orang yang paling berani itu masih mencoba berteriak, “He, siapa yang melempari batu”
Suara itu terdengar jelas dari dalam rumah. Tetapi seperti yang dipesankan, perempuan penghuni rumah itu sama sekali tidak berani berbuat sesuatu.
Namun dalam pada itu, anak gadisnya yang seoranglah yang menangis terisak sambil berkata, “Biyung, bagaimana dengan Genuk. Apakah biyung rela, Genuk dibawa oleh perampok”
“Demi keselamatannya ngger” jawab ibunya.
“Tetapi biyung dapat minta tolong kepada para peronda. Mereka tentu akan bersedia membantu kita mengejar para perampok itu” tangis anaknya.
“Tetapi bagaimana nasib Genuk kemudian” ibunya menjadi semakin gemetar.
Anaknya menangis semakin keras, sehingga orang-orang yang berada diluar itupun akhirnya mendengarnya pula.
“Siapa menangis?” bertanya salah seorang dari para peronda itu.
“Kuntilanak” yang lain berdesis.
Mahisa Agni yang mendengar pembicaraan itu mengeluh di dalam hatinya. Namun dalam pada itu, maka ia tidak mempunyai cara lain untuk menarik perhatian para peronda itu. Karena itu, maka setelah berpikir sejenak, Mahisa Agni itu pun kemudian berlari melintasi halaman samping. Kakinya yang menghentak-hentak di atas tanah terdengar oleh para peronda itu. Sementara Mahisa Agni dengan sengaja berlari di tempat terbuka.
“He, orang lari. Kau melihat orang berlari?” tiba-tiba saja seorang di antara para peronda itu berteriak.
“Ya. Seorang yang lari kedalam gelap” sahut yang lain
“Jika demikian, nampaknya orang itulah yang telah melempari kita dengan batu” geram yang lain.
“Ya, ya. Orang itu. Marilah kita lihat” geram orang yang paling berani.
Orang-orang itu pun kemudian berlari-larian menuju ke halaman samping. Sementara itu, orang-orang itu pun mendengar suara tangis di dalam rumah.
“Lihat kedalam. Dua di antara kalian” berkata orang yang paling berani.
Dua di antara para peronda itu pun kemudian mengetuk pintu samping yang diselarak dari luar. Dalam pada itu, maka perempuan yang kehilangan anak perempuannya itu termangu-mangu.
“Bukalah biyung” desis anak gadisnya yang masih dalam pelukannya.
“Bagaimana dengan Genuk” isak ibunya yang tidak dapat menahan gejolak perasaannya lagi.
“Biyung harus minta tolong sebelum Genuk menjadi semakin jauh” jawab anaknya, “itu akan lebih baik dan pada Genuk berada di antara para penjahat yang kasar itu Selagi ibunya ragu-ragu, anak gadis itulah yang menjawab, “Tolong buka dari luar”
Para peronda itu melihat, bahwa pintu telah diselarak dari luar. Karena itu, maka mereka pun segera membukanya dan dengan tergesa-gesa masuk.
“Apa yang terjadi?” bertanya salah seorang dari kedua peronda itu.
Ketika perempuan yang kehilangan anaknya itu masih ragu-ragu, anak perempuanyalah yang menyahut dengan nafas terengah-engah perampok”
“Perampok?” keduanya terkejut.
Gadis itupun segera menceriterakan apa yang telah terjadi di dalam rumah itu. Dan apa yang telah dialami sau daranya yang disebut Genuk itu.
Kedua orang itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian yeng seorang berkata, “Aku akan membunyikan tanda bahaya sebelum mereka sempat keluar dari padukuhan ini”
“Tetapi bagaimana dengan Genuk, “ tangis perempuan itu.
“Kita akan mencari jalan untuk membebaskannya. Tetapi kita memang harus berhati-hati”
“Tetapi cepat, lakukanlah” Minta gadis yang menjadi sangat cemas atas nasib saudaranya.
“Aku akan mengatakan kepada ayah dan saudara-saudaramu. Kita akan membicarakannya” berkata salah seorang dari kedua peronda itu.
“Ya. Tetapi capat lakukan” gadis itu tidak sabar lagi.
“Baiklah. Baiklah” jawab keduanya hampir bersamaan beberapa orang kawanku sedang mengejar seseorang yang berlari dihalaman samping. Kami berdua akan kembali ke gardu dan mencari ayahmu”
“Cepat, cepat” gadis itu hampir berteriak.
“Kedua orang peronda itu pun kemudian berlari meninggalkan rumah itu. Mereka tidak menunggu kawan-kawannya yang menurut anggapannya sedang mengejar seorang dari para perampok itu. Bahkan salah seorang dari keduanya berkata, “Tidak ada kesempatan lagi untuk membuat pertimbangan-pertimbangan. Mungkin mereka sudah mendekati dinding padukuhan yang lepas dari pengamatan”
“Tetapi yang seorang itu masih ada di dalam. Bahkan masih di halaman ini” berkata yang lain.
“Mungkin ia justru orang terbaik yang membikin perhatian, sementara kawan-kawannya sudah berlari semakin jauh. Karena itu, kau sajalah yang memberitahukan kepada kawan-kawan dan mencari ayah serta saudara saudara Genuk yang dibawa lari itu. Aku akan memukul tanda bahaya”
“Juga digardu bukan?” bertanya kawannya.
“Ya. Sementara kau berceritera, aku sudah kentongan”
Keduanya pun telah sepakat melakukannya. Karena itu, maka demikian mereka sampai ke gardu, maka seorang di antara mereka langsung memukul kentongan, memberikan isyarat bahaya kepada semua orang di padukuhan itu, sementara yang lain menceriterakan apa yang telah mereka ketahui.
Suara kentongan itu benar-benar telah mengejutkan seisi padukuhan itu. justru pada saal setiap laki-laki keluar dari rumahnya dan berada di gardu-gardu, di regol dan di lorong-lorong. Karena itulah, maka dengan cepatnya suara kentongan itu telah menjalar ke segenap sudut padukuhan.
Dalam pada itu, selagi dua orang dari gardu itu mencari ayah dan saudara-saudara Genuk yang berada di regol, maka ibu Genuk lelah menangis terisak semakin keras, ia benar-benar mencemaskan nasib anak perempuannya.
Jika para perampok itu menjadi putus asa dan kehilangan kesempatan, maka mereka akan dapat berbuat diluar peri kemanusiaan dengan membunuh Genuk.
Tetapi suara kentongan itu sudah memenuhui padukuhan. Bahkan dari pedukuhan tetangga yang terdekat pun telah terdengar pula suara kentongan menyahut, sehingga dengan demikian peronda di padukuhan tetangga itu pun telah mendengarnya pula.
Karena itu, maka setiap laki-laki yang memang sudah berada di luar rumah itu pun segera bersiaga. Mereka segera memancar ke segenap penjuru padukuhan. Regol-regol dijaga seketatnya, sementara yang lain dengan senjata di tangan, mengamati setiap jengkal tanah di padukuhan itu.
“Gila” geram pemimpin perampok, “mereka telah memukul kentongan. Nampaknya usaha kita membawa gadis itu tidak ada gunanya”
“Anak setan” geram laki-laki kasar yang membawa gadis yang hampir mati beku itu, “biyungmu tidak menempati janjinya. Nampaknya ia sudah tidak lagi memerlukan kau. Karena itu, malanglah nasibmu anak manis”
Gadis itu sama sekali tidak dapat mengucapkan kata-kata lagi. Wajahnya yang tegang dan jantungnya yang bagaikan telah kejang itu, membuatnya bagaikan patung yang mati.
“He, apa katamu” bentak laki-laki kasar itu.
Tetapi gadis itu seolah-olah telah menjadi gagu. Ia tidak dapat berbicara apapun juga betapapun hatinya bergejolak. Bahkan rasa-rasanya, kulitnya sudah tidak merasakan sesuatu meskipun tangan laki-laki kasar itu mengenggam lengannya erat-erat.
“Bukan hanya nasibnya yang malang” berkata pemimpin perampok itu kemudian, “tetapi setiap orang yang berusaha membebaskanmu, akan mengalami nasib malang. Baiklah. Kita akan menunggu Kita tidak akan lari. Jika mereka datang, kita akan membunuh setiap orang.
“Apakah kita tidak berusaha keluar?” bertanya salah seorang di antara mereka.
“Tidak ada gunanya” jawab pemimpin perampok itu, “semuanya tentu sudah diawasi. Tetapi kita akan melihat keadaan. Jika ada rasa belas kasihan dihati kita, maka kita akan meninggalkan tempat ini tanpa menumpas setiap laki-laki. Aku akan menentukan kemudian. Tetapi suara kentongan itu membuat hatiku menjadi sakit”
“Bagaimana dengan gadis ini” bertanya laki-laki kasar itu.
“Terserah kepadamu. Tetapi ia akan dapat kita pergunakan sebagai perisai jika diperlukan. Namun agaknya pedang kita akan lebih berharga dari gadis itu” jawab pemimpin perampok itu.
“Aku akan memberinya sedikit pelajaran. Juga kepada orang tuanya sebelum kita mengambil keputusan lain. Jika ayah dan saudara-saudara laki-lakinya akan mati, biarlah ibunya menyesali kesalahannya sedalam-dalamnya” geram laki-laki kasar itu.
“Apa yang akan kau lakukan?” bertanya kawannya.
“Masih ada waktu untuk berbuat apa saja. Tetapi agaknya aku akan dapat menahan setiap orang yang akan menangkap kita dengan mempergunakannya sebagai perisai jika kita berniat untuk lari” berkata laki-laki kasar itu.
“Sudah aku katakan, kita tidak akan lari. Kecuali setelah aku melihat kemungkinan yang dapat menumbuhkan belas kasihan kita kepada mereka”
Para perampok itu tidak membantah lagi. Apalagi ketika pemimpin perampok itu berkata, “Kita akan dapat membunuh siapapun yang ingin kita bunuh”
Nampaknya pemimpin perampok itu benar-benar tersinggung mendengar suara kentongan yang memenuhi padukuhan itu. Karena itu, maka ia tidak lagi bersikap lebih lunak. Ia tidak lagi ingin melawan sambil menarik diri. Tetapi nampaknya kemarahannya akan ditumpahkan kepada setiap orang yang berusaha menangkapnya.
Dalam pada itu, Witantra dan Mahisa Bungalan yang mengawasi mereka menjadi ragu-ragu. Bagaimana mereka dapat menyelamatkan gadis itu. Dalam keadaan yang demikian, nasib gadis itu tentu akan menjadi buruk sekali. Jika para perampok itu benar-benar berhasil membunuh setiap orang yang berani mendekat, sehingga kemudian tidak ada lagi orang yang berani melawan mereka, maka gadis itu tentu akan dibawanya. Bahkan mungkin kemarahan orang-orang itu masih akan meluap kepada keluarga gadis itu. Kepada saudara perempuannya dan kepada ibunya.
Karena itu, untuk beberapa saat, keduanya masih harus menunggu perkembangan keadaan., Mungkin pada salu saat mereka akan mendapat kesempatan.
Dalam pada itu, Mahisa Agni yang berhasil menarik perhatian beberapa orang peronda, tidak segera menarik mereka kepada para perampok yang telah meninggalkan halaman itu. Mahisa Agni pun memperhitungkan kecuali keselamatan gadis yang telah dibawa oleh para perampok itu, ia pun harus memperhitungkan orang-orang yang mengejarnya itu. Mereka hanya beberapa orang saja yang tentu tidak akan dapat melawan para perampok yang jumlahnya cukup banyak.
Karena itu, maka dengan kemampuan yang ada padanya. Mahisa Agni telah berhasil melepaskan diri dari pengamatan orang-orang itu, sehingga kemudian ia pun telah berusaha untuk menelusuri jejak para perampok.
Ternyata para perampok itu pun tidak bersembunyi terlalu jauh. Mereka berada di halaman kosong yang sudah menjadi belukar. Banyak rumpun bambu yang liar tumbuh disela-sela gerumbul-gerumbul perdu. Sehingga dengan demikian tempat itu dapat dipergunakan sebagai tempat persembunyian yang baik.
Tetapi Mahisa Agni tidak segera dapat menemukan Witantra dan Mahisa Bungalan. Meskipun demikian, ia tidak tergesa-gesa. Pada suatu saat, ia tentu akan dapat menemukan mereka.
Sementara itu, orang-orang di padukuhan itu pun telah bergerak. Dengan hati-hati mereka mengelilingi setiap sudut dan persimpangan jalan. Sementara itu, ayah dan saudara laki-laki gadis yang hilang itu telah diberitahukan pula, sehingga berlari-lari mereka pulang ke rumahnya.
Yang mereka ketemukan adalah ibu dan gadisnya yang seorang yang sedang menangis.
“Bagaimana dengan Genuk?” bertanya ayahnya.
Ibunya hanya dapat terisak-isak. Sementara anak gadisnyalah yang berceritera tentang orang-orang kasar yang telah memasuki rumahnya dan membawa saudara perempuannya
“Gila” geram ayah dan kedua saudara laki-lakinya, “aku harus menemukannya. Mereka tentu belum dapat keluar dari padukuhan ini. Dengan suara kentongan ini, maka semua jalan keluar sudah ditutup”
Namun ternyata gadis yang kehilangan saudaranya itu bertanya, “Tetapi bagaimana mereka dapat masuk? Bukankah padukuhan ini sudah dijaga baik-baik”
Ayahnya termangu-mangu sejenak. Namun ia pun ke mudian berdesis, “Ya. Kenapa dapat memasuki padukuhan ini tanpa kami ketahui”
“Tentu mereka bukan perampok seperti kebanyakan perampok” berkata salah seorang anaknya.
“Tetapi kita tidak dapat berbicara saja tentang Genuk. Aku akan mencarinya” berkata ayahnya.
“Kita semua akan mencarinya” geram saudara laki-lakinya.
“Tinggallah di rumah” berkata ayah Genuk kepada isterinya, “berhati-hatilah. Aku akan minta dua orang untuk menunggui kalian. Mungkin masih ada satu dua orang perampok yang berada di sekitar rumah ini”
Demikianlah, ketiga orang laki-laki yang kehilangan Genuk itu dengan tergesa-gesa turun dari pintu butulan. Di luar beberapa orang telah menunggunya. Bahkan orang-orang yang mengejar bayangan yang telah menarik perhatian mereka, tetapi tidak dapat mereka ketemukan telah berada dihalaman itu pula.
“Orang itu seperti hilang dalam kabut” berkata salah seorang diantara mereka.
Orang-orang yang berada dihalaman rumah itu termangu. Nampaknya mereka memang berhadapan dengan sekelompok perampok yang tangguh dan berbahaya.....
“Mereka memang gila” berkata laki-laki yang lain, “mereka sengaja melempari kami dengan batu. Mereka sengaja menyatakan dirinya”
“Kalau begitu kita semuanya harus berhati-hati” berkata ayah Genuk. Lalu, “Anak perempuanku ada di tangan mereka. Aku ingin mendapatkannya kembali. Tanpa cidera
Laki-laki yang berkumpul di halaman itupun segera mempersiapkan diri. Dua orang di antara mereka, akan menjaga rumah itu. Mereka tidak akan berada di luar, tetapi mereka akan berada di dalam dengan menyiapkan sebuah kentongan. Jika keadaan menjadi gawat mereka akan memukul kentongan itu. Sementara suara kentongan di padukuhan itu masih bergema. Tetapi kentongan di rumah itu akan berbunyi dengan nada yang berbeda, yang telah sama-sama disepakati.
“Orang-orang di gardu itu akan diberitahu” berkata salah seorang dari mereka, “isyaratmu yang khusus tentu akan segera diketahui”
Demikianlah, maka orang-orang yang berkerumun itu pun segera meninggalkan halaman itu. Dua di antara mereka tinggal menunggui kedua perempuan yang ketakutan itu dengan kentongan kecil ditangan. Pada saat-saat yang gawat, kentongan itu akan berbunyi dengan irama yang khusus. Gardu yang tidak terlalu jauh dari rumah itu tentu akan mendengar, dan orang-orang di gardu itu tentu akan dapat mengambil satu tindakan khusus. Apalagi dalam keadaan yang gawat, banyak orang yang berjalan hilir mudik di lorong-lorong di seluruh padukuhan itu sambil mencari dimana para perampok itu bersembunyi.
Dalam pada itu, para perampok itu pun masih berkumpul di kebun yang kosong, yang penuh dengan belukar perdu dan rumpun-rumpun bambu yang liar. Mereka menunggu sambil bersiaga. Bagaimanapun juga, orang-orang padukuhan itu tentu akan menemukan mereka. Namun kemarahan yang memuncak dari pemimpin gerombolan perampok itu nampaknya telah membakar jantungnya, sehingga ia bertekad untuk menghukum orang-orang padukuhan yang telah meneriaki mereka dengan suara kantongan.
Beberapa orang peronda memang telah berkeliaran di lorong di sebelah halaman kosong itu. Namun mereka masih belum berusaha menerobos kebun yang menjadi liar itu. Beberapa orang laki-laki telah berjalan dengan obor di tangan, sementara yang lain membawa berbagai macam senjata.
“Kelinci-kelinci yang malang” desis para perampok, “mereka akan mati”
Sementara itu, laki-laki kasar yang menguasai gadis yang bagaikan membeku itupun masih iuga memegangi lengan gadis itu. Sekali-kali tangan itu dihentakkannya. Sementara gadis itu sama sekali sudah tidak berdaya.
“Aku akan mengikatnya” tiba-tiba saja laki-laki kasar itu berdesis
“Kenapa?” bertanya pemimpinnya.
“Aku akan berkelahi. Baru setelah orang-orang bodoh itu lari meninggalkan kita, maka kita akan pergi dengan tenang. Aku akan membawa gadis ini” berkata laki-laki kasar itu. Lalu, “ Tanpa mengikatnya, ia akan selalu mengganggu saja. Apalagi jika aku harus berkelahi”
“Gadis itu akan dilepas oleh orang-orang padukuhan” desis kawannya.
“Bodoh. Aku akan mempertahankannya sekaligus membunuh siapapun juga yang telah berani menganggu pekerjaan kita. Sementara itu, aku dapat juga mengikatnya di tempat yang kecil sekali kemungkinannya untuk didatangi oleh orang-orang padukuhan ini”
“Gadis itu dapat berteriak” berkata kawannya yang lain.
“Aku dapat menyumbat mulutnya” jawab laki-laki itu.
Gadis itu mendengar semua pembicaraan. Tetapi perasaannya seolah-olah sudah mati. Ia tidak mengerti, apa yang harus dilakukannya. Karena itu, ia pun memang tidak akan berbuat apa-apa.
Ketika laki-laki kasar itu kemudian menarik lengannya dan membawanya ke dalam gerumbul yang rimbun, ia sama sekali tidak berusaha melawan. Ia menurut saja seperti seekor kerbau yang dilarik dengan sehelai tali.
Gadis itu pun tidak berbuat apa-apa ketika tangan yang kasar itu mendorongnya sehingga ia pun melekat pada sebatang pohon. Dan gadis itu pun sama sekali tidak meronta ketika laki-laki kasar itu kemudian mengikatnya.
Kedua tangan gadis itu ditariknya ke belakang melingkari sebatang pohon yang tidak begitu besar. Kemudian dengan ikat kepalanya, laki-laki kasar itu mengikat kedua tangan gadis itu di pergelangannya. Ia yakin bahwa gadis yang ketakutan itu tidak akan berbuat apa-apa. Bahkan menggerakkan jari-jarinya pun ia tidak akan berani.
Meskipun demikian, laki-laki kasar itu masih juga menyumbat mulutnya. Dengan menyayat ujung baju gadis itu sendiri, maka ia telah membungkam gadis yang ketakutan itu.
“Kau jangan mencoba untuk berbuat sesuatu” laki laki kasar itu masih berpesan, “jika kau berteriak atau berbuat sesuatu, apalagi mencoba melarikan diri, maka nasibmu akan menjadi sangat buruk. Kau tidak akan aku bunuh. Tetapi kau akan menyesal sepanjang umurmu yang akan datang”
Gadis itu tidak menjawab. Tetapi tubuhnya benar-benar lelah menjadi gemetar oleh ketakutan.
Sejenak kemudian, laki-laki kasar itupun beringsut. Sekali lagi ia berpesan, “Tinggallah dengan tenang di situ sampai pekerjaanku selesai. Nasibmu akan ditentukan kemudian, tergantung atas sikapmu”
Laki-laki itu pun kemudian melangkah pergi. Laki-laki itu kembali ke dalam lingkungan para perampok. Sementara orang-orang padukuhan yang mencarinya terasa menjadi semakin dekat. Obor-obor pun nampak berkeliaran di lorong sebelah.
“Mereka akan segera menemukan kita” berkata pemimpin perampok itu.
“Nasib mereka memang sangat buruk” desis orang berjambang lebat. Lalu tiba-tiba ia bertanya, “Bukankah kita boleh membunuh?”
“Aku tidak ingin lari karena aku ingin membunuh” berkata pemimpin perampok itu.
“Jika demikian” berkata laki-laki kasar yang mengikat gadis itu, “kenapa kita harus bersembunyi? Kawan-kawan kita cukup banyak. Kita akan dapat dengan leluasa berbuat apa saja sesuai dengan keinginan kita. Jika dua tiga orang yang pertama terbunuh, maka akan lari ketakutan. Dan menurut pendapatku, kita tidak akan dengan tergesa-gesa lari. Kita akan mengambil apa saja yang terdapat di dalam padukuhan ini”
“Jangan kehilangan nalar. Di sekitar padukuhan ini tentu ada orang-orang yang dapat berbuat sesuatu yang akan dapat mengganggu kita. Jika orang-orang padukuhan ini merasa dirinya tidak mampu lagu melawan kita, maka akan berlari berpencaran. Mungkin mereka akan sampai ke padukuhan di sebelah menyebelah. Dengan demikian, maka kita akan menghadapi lawan yang semakin banyak”
“Mereka pun tidak lebih dari orang-orang padukuhan ini” geram laki-laki kasar itu.
“Mungkin. Tetapi jika jumlah mereka tidak terhitung, maka kita akan menghadapi kesulitan. Selebihnya, kita jangan terlalu berani mempertaruhkan nyawa. Seperti yang sudah aku katakan, jika membawa hasil yang cukup banyak, maka tidak mustahil bahwa tiba-tiba saja Rajawali Penakluk itu muncul kembali dengan tiba-tiba untuk merampas harta yang kita kumpulkan dengan mampertaruh kan nyawa itu. Padahal kita harus mengakui, bahwa kita tidak akan dapat melawannya. Apalagi jika ia datang berdua, bertiga atau beberapa orang pengawalnya yang terpilih” jawab pemimpin perampok itu.
Kawan-kawannya tidak memaksanya lagi. Mereka hanya ingin melepaskan sakit hati karena irama kentongan dan usaha orang-orang di padukuhan itu menutup semua jalan keluar, seolah-olah usaha mereka itu akan berhasil.
Sebenarnyalah dalam pada itu, orang-orang padukuhan yang mencari Genuk semakin lama menjadi semakin mendekati tempat persembunyian itu. Bahkan satu dua orang yang membawa obor telah berteriak, “Dimana-mana kami tidak menemukannya. Mungkin di kebun kosong ini”
“Kawan-kawan kita sedang mencari di kebun kosong di-ujung Barat padukuhan ini” jawab yang lain.
“Tetapi di sana tidak ada apa-apa. Kebun kosong di dekat gardu itu pun tidak terdapat seekor kelinci pun” jawab yang lain.
“Tetapi apakah hanya di kebun kosong saja yang dapat mereka pergunakan untuk bersembunyi. Justru di halaman yang bersih, mereka pun dapat bersembunyi. Mereka dapat berada di antara pepohonan di kebun dan di balik pohon bunga yang sengaja ditanam di kebun dan halaman samping. Mungkin pohon soka, mungkin ceplok piring atau pohon kemuning” sahut yang lain.
“Memang mungkin. Tetapi kita akan mencarinya lebih dahulu di kebun kosong ini” jawab satu suara yang bergetar, Suara itu adalah suara ayah Genuk.
“Aku harus menemukannya” geramnya. Tetapi justru suaranya tidak banyak didengar oleh orang lain. Namun akhirnya ia berkata lantang, “Anakku harus aku ketemukan dengan selamat”
“O, itu tentu ayahnya” desis pemimpin gerombolan itu.
“Aku akan membunuhnya dan merampas anaknya” geram laki-laki kasar.
“Kita akan menunggu mereka datang kemari” geram pemimpin perampok itu.
Witantra dan Mahisa Bungalan melihat semuanya yang terjadi atas gadis yang malang itu. Sementara di tempat lain, Mahisa Agni pun sempat mengintip dan melihat dengan ketajaman penglihatannya, bahwa gadis yang ditangkap itu telah dibawa pergi untuk disembunyikan.
“Satu kesempatan” desis Mahisa Agni yang kemudian menyelinap menyusul laki-laki yang telah membawa Genuk.
Namun ternyata kemudian, ketika Mahisa Agni mendekati tempat gadis itu diikat, ia melihat bayangan lain yang mendekatinya pula. Namun Mahisa Agni pun segera mengenalinya, bahwa yang sedang merayap mendekat itu adalah Mahisa Bungalan.
Karena itu, maka Mahisa Agni yang lebih dahulu mengetahui memanggilnya perlahan, “Mahisa Bungalan”
Mahisa Bungalan tertegun. Namun ia pun kemudian melihat Mahisa Agni mendekatinya sambil bertanya “Dimana pamanmu Witantra sekarang?”
“Ia menunggu dibalik gerumbul itu” desis Mahisa Bungalan, “aku diperintahkannya melepaskan gadis itu”
“Bagus” Sahut Mahisa Agni, “cepatlah sedikit. Sebentar lagi akan terjadi perekelahian yang sengit. Dan Sudah tentu kita tidak akan dapat tinggal diam melihat para perampok itu membantai orang-orang padukuhan yang tidak terbiasa berkelahi ini”
Mahisa Bungalan pun kemudian beringsut maju dengan hati-hati. Ketika ia yakin, bahwa tidak ada seorang pun yang melihatnya, maka ia pun mendekati gadis yang terikat itu sambil berdesis, “Jangan takut Aku akan menolongmu”
Gadis itu terkejut. Ketika dilihatnya bayangan seseorang berdiri di sampingnya, jantungnya justru merasa bagaikan terhenti. Ia tidak tahu, apakah yang akan terjadi lagi atas dirinya.
“Jangan takut” Mahisa Bungalan mengulang, “aku kembalikan kepada orang tuamu”
Kata-kata itu didengar oleh Genuk. Tetapi rasa-rasanya ia tidak mengerti maknanya. Karena itu, ia hanya memandangi saja wajah Mahisa Bungalan yang tidak jelas di dalam keremangan malam. Namun Genuk itu masih sempat membedakan antara orang yang akan menolongnya itu dengan orang yang telah mengikatnya.
Tetapi bagi Genuk hampir tidak ada bedanya. Siapa pun yang akan menguasainya. Ia tidak lagi mempunyai sikap karena putus asa.
Sementara itu, Mahisa Bungalan telah berusaha melepaskan tali yang mengikat tangannya. Nampaknya sebuah ikat kepala. Namun agaknya tidak terlalu mudah untuk mengurai ikatan itu, sehingga Mahisa Bungalan telah mempergunakan pisau belatinya untuk memotong ikatan itu.
“Marilah, ikut aku” berkata Mahisa Bungalan kepada gadis itu. Dan agaknya gadis itu seolah-olah memang Sudah tidak berjiwa lagi. Dengan langkah kosong ia berjalar mengikuti Mahisa Bungalan menyusup ke balik gerumbul menemui Witantra, Di belakangnya Mahisa Agni mengikutinya sambil mengamati keadaan sebaik-baiknya.
Mahisa Agni yang telah bertemu dengan Witantra itupun segera menentukan sikap. Keduanya sepakat untuk menyerahkan kembali, gadis itu kepada ayahnya yang sudah berada di sekitar tempat itu. Dengan demikian, maka mereka bertiga akan mendapat kepercayaan untuk ikut serta bersama para penghuni padukuhan itu untuk menangkap para perampok.
“Kita akan menemui mereka” berkata Mahisa Agni.
Demikianlah, maka mereka pun segera berusaha keluar dari kebun yang kosong itu. Dengan hati-hati mereka merayap mendekati orang-orang padukuhan yang sudah bersiap-siap untuk memasuki kebun yang kosong itu dengan obor-obor dan senjata ditangan.
“Kita harus menyerahkan gadis ini lebih dahulu sebelum mereka melihat kita dan menganggap kita adalah perampok-perampok yang melarikan gadis itu” berkata Mahisa Agni.
“Aku akan menghubungi mereka” berkata Witantra.
“Cobalah” sahut Mahisa Agni.
Dalam pada itu, Witantra pun kemudian turun ke jalan dan dengan hati mendekati orang-orang yang sudah bersiap-siap itu. Namun bagaimanapun juga, kehadirannya cukup mengejutkan, karena Witantra adalah orang yang tidak dikenal di padukuhan itu.
“Aku membawa seorang gadis yang terikat di kebun kosong itu” berkata Witantra.
Kata-katanya itu sangat menarik perhatian. Dengan serta merta ayah Genuk itu meloncat mendekat. Sambil mengacukan senjatanya ia berkata, “Kau yang telah melarikan anak perempuanku”
“Bukan aku” jawab Witantra, “justru akulah yang menemukannya terikat di sebatang pohon di kebun kosong itu”
“Bohong” laki-laki itu hampir berteriak, “dimana anakku sekarang”
“Aku akan menyerahkannya kepadamu. Tetapi jangan salah paham. Bukan aku dan bukan kawan-kawankulah yang telah mengambilnya. Aku justru ingin membantu kalian dalam kesulitan ini” berkata Witantra.
“Omong kosong” teriak beberapa orang lainnya, “dimana gadis itu sekarang”
“Aku akan mengambilnya. Tetapi sekali lagi aku minta, jangan salah paham. Aku bukan orang yang telah mengambilnya. Aku justru dapat menunjukkan kepada kalian, siapakah yang telah melakukannya” ulang Witantra.
“Jangan bicara saja” ayah Genuk itu tidak sabar lagi “bawa anak itu kemari”
Witantrapun kemudian beringsut untuk mengambil Genuk yang berada dibalik gerumbul bersama Mahisa Agni dan Mahisa Bungalan.
Demikian gadis itu muncul, maka ayahnya pun lelah berlari memeluknya sambil berkata, “Kau selamat ngger?
Terasa tubuh gadis itu masih gemetar. Ketakutan yang mencengkam jiwanya rasa-rasanya membuatnya bagaikan membeku. Genuk mendengar pertanyaan ayahnya, tetapi mulutnya tidak dapat dibukanya untuk menjawabnya.
“Kau tidak apa-apa?” bertanya ayahnya sekali lagi sambil melepaskan pelukannya dan berjongkok di hadapan anak itu.
Namun Genuk masih juga membisu.
“Kau tenung anak gadisku” orang itu berteriak.
“Ia masih dalam ketakutan” berkata Witantra, “kawan-kawanku telah menemukannya terikat dan mulutnya tersumbat”
“Bohong” kemarahan ayah Genuk itu telah memuncak.
Genuk melihat kemarahan ayahnya yang menggelegak. Iapun mengerti, bahwa orang-orang yang melepaskannya itu bukan orang-orang yang mengambilnya. Tetapi mulutnya masih tetap membeku.
“Jangan biarkan orang-orang ini melarikan diri” berkata ayah Genuk, “mereka mengembalikan anakku karena mereka tidak melihat lagi jalan keluar”
Witantra menarik nafas dalam-dalam. Ketika ia berpaling kepada Mahisa Agni, dilihatnya Mahisa Agni sedang menepuk pundak Mahisa Bungalan. Agaknya Mahisa Bungalan yang muda itu tidak mau diperlakukan demikian.
Namun dalam pada itu, selagi mereka ribut dengan tuduhan ayah Genuk atas Witantra dan kedua orang kawannya, para perampok itupun mendengar bahwa gadis itu telah diserahkan kembali kepada ayahnya. Karena itu, laki-laki kasar yang mengikatnya itu pun menggeram, “Gila. Apa benar yang dikatakannya bahwa seseorang telah menyerahkan gadis itu kepada ayahnya”
“Jangan bicara saja. Lihat, apakah gadis itu masih ada di tempatnya atau tidak” geram pemimpinnya.
Laki-laki kasar itu pun kemudian dengan hati-hati merayap menuju ke balik gerumbul tempat ia menyembunyikan Genuk. Namun betapa ia menjadi terkejut, bahwa gadis itu benar-benar sudah tidak ada di tempatnya.
“Setan alas, gendruwo, anak iblis” ia mengumpat sejadi-jadinya.
Dengan tergesa-gesa ia kembali kepada pemimpinnya. Dengan nafas memburu dikerongkonggan ia memberitahukan bahwa gadis itu memang sudah hilang.
“Aku akan mengambilnya kembali” geram laki-laki kasar itu.
“Jangan bodoh” jawab pemimpinnya, “mereka menuduh orang yang telah melepaskan gadis itu dengan mengembalikannya kepada orang tuanya”
“Tetapi itu tidak akan berlangsung lama. Orang itu tentu akan menunjukkan tempat gadis itu terikat. Dalam pada itu, maka peronda itu akan memasuki kebun kosong ini”
“Baru jika mereka datang, kita akan melawannya” jawab pemimpinnya.
“Tetapi gadis itu” geramnya. Lalu, “Bukankah kita sudah berniat untuk membunuh? Kenapa kita tidak mulai saja membunuh mereka?”
Pemimpinnya termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Biarlah orang-orang yang telah mangambil gadis itu dibunuh lebih dahulu. Baru kemudian kita akan bertindak”
“Apakah gadis itu tidak dapat mengatakan tentang orang-orang yang telah mengambilnya dari rumahnya dan kemudian tentang orang-orang yang membebaskannya” geram laki-laki kasar itu.
“Tetapi dengarlah. Jangan bicara saja” bentak pemimpin perampok itu.
Laki-laki itu diam. Ia pun kemudian mendengar meskipun tidak begitu jelas, ayah Genuk itu membentak, “Jangan mancoba membohongi kami. Kau tenung anakku sehingga ia menjadi bisu, kemudian kau mengaku telah membebaskannya”
“Jangan salah paham” jawab Witantra, “Jika kami yang mengambilnya, lebih baik melarikan diri tanpa menyerahkan gadis itu. Atau barangkali kami dapat menjadikannya perisai demi kebebasan kami”
“Omong kosong” ayah Genuk telah benar-benar menjadi marah, lalu, “tangkap ketiganya”
Orang-orang padukuhan itu pun segera mengepung ketiga orang itu. Sementara Mahisa Bungalan rasa-rasanya sudah kehabisan kesabaran. Ia berusaha menolong gadis itu, tetapi ternyata orang-orang padukuhan itu justru menuduhnya melakukan kejahatan.
Karena setiap kali Mahisa Agni selalu menghalanginya, maka tiba-tiba saja Mahisa Bungalan berteriak, “He, orang-orang yang bodoh tetapi keras kepala. Lihat, apa yang ada di dalam kebun kosong itu. Ujung senjata telah mengintip kalian. Sebentar lagi mereka akan tampil dengan senjata telanjang. Sebentar lagi kalian tidak akan dapat melihat bintang-bintang di langit”
Ayah Genuk menjadi termangu-mangu sejenak, semen tara Mahisa Bungalan melanjutkan, “jika kalian tidak percaya, cobalah. Siapa yang berani lebih dahulu menginjakkan kakinya di dalam belukar itu. Di belakang rimbunnya dedaunan itu adalah daun pedang dan batang-batang bindi yang bergigi tajam”
“Kau mengingau” geram ayah Genuk. Namun terasa nadanya di warnai oleh keragu-raguan. Namun ke mudian ia membentak, “Jika benar, maka orang-orang itu tentu kawan-kawanmu. Kau memang ingin menjebak kami”
“Kalau mereka kawan kami, apa gunanya kami mambawa gadis ini dan menyerahkannya kepada kalian” Mahisa Bungalan pun membentak.
Namun dalam pada itu, tiba-tiba saja seorang laki maju setapak sambil berkata, “Laki-laki inilah yang siang tadi berada di kedaiku. Mereka adalah orang-orang berkuda yang aku katakan kepada kalian”
“He?” wajah ayah Genuk menjadi tegang, “jadi orang-orang inilah yang telah kita curigai sejak siang tadi? Pantas. Dan sekarang mereka tidak akan dapat lari lagi”
Wajah Mahisa Bungalan menjadi semakin tegang. Ia tidak mau berlama-lama lagi. Jika pertolongannya itu dianggap sebagai satu usaha untuk mengelabui orang-orang bodoh itu, maka Mahisa Bungalan akan lebih senang mempergunakan cara lain.
Namun Witantra masih tetap bersabar. Katanya, “Jangan tergesa-gesa mengambil keputusan Ki Sanak. Anak gadis itu telah dicengkeram oleh ketakutan, sehingga ia masih belum dapat berbicara. Jika kalian mau menunggu sebentar, aku yakin, gadis itu akan sempat mengatakan apa yang telah terjadi atas dirinya Sementara itu, malam akan segera berakhir, dan orang-orang yang bersembunyi itu akan keluar dengan sendirinya. Kalian tidak perlu memasuki daerah belukar yang berbahaya, karena setiap saat kalian akan dapat terantuk ujung tombak di balik setiap lembar daun di kebun yang kosong itu”
“Jangan banyak bicara lagi” bentak ayah Genuk, “telah banyak petunjuk tentang kalian. Karena itu, menyerah sajalah. Jika tidak maka kalian akan kami cincang di sini”
“Persetan” Mahisa Bungalan benar-benar tidak dapat manahan diri, “orang-orang bodoh yang tidak tahu diri. Jika aku biarkan saja gadis itu di dalam ikatannya, maka kalian akan menyesal tujuh keturunan. Tetapi sekarang kalian dengan bodoh telah menyia-nyiakan pertolongan kami”
“Cukup” ayah Genuk itu berteriak. Lalu tiba-tiba saja seorang yang bertubuh tinggi pun berteriak, “Orang-orang inilah orang-orang yang telah kita curigai sejak siang tadi. Tangkap dan jika mereka melawan, apa boleh buat. Bukan salah kita jika senjata kita akan menyayat kulit dagingnya”
Ketika orang-orang. itu mulai bergerak, Mahisa Bungalan pun segera bersiaga. Namun Witantra dan Mahisa Agni nampaknya tidak akan memberikan perlawanan sama sekali. Bahkan Mahisa Agni masih sempat menggamit Mahisa Bungalan sambil berdesis, “Kau cepat sekali mengambil sikap”
Mahisa Bungalan menggeram. Namun ia tidak akan menyerahkan dirinya diperlakukan sangat tidak adil.
Namun dalam pada itu, ketika orang-orang yang marah itu mulai bergerak, tiba-tiba saja Genuk yang membeku itu berhasil mengucapkan satu patah kata, “Jangan”
Ayahnya tersentak. Tiba-tiba saja ia menjatuhkan diri dan berjongkok lagi di hadapan anaknya sambil bertanya “Kau sudah dapat berbicara. Berbicaralah. Katakanlah apa yang kau ketahui. Jika orang-orang inilah yang telah mengambilmu, maka tidak akan ada ampun lagi bagi mereka”
Ternyata Genuk sudah berbasil mengatur perasaannya serba sedikit. Karena itu, maka ia pun menggelengkan kepalanya sainbil berkata dengan gemetar, “Tidak. Jangan”
“Berkatalah” desak ayahnya yang menjadi semakin gembira, “berkatalah”
Genuk berusaha untuk menguasai perasaannya. Akhirnya terloncat dari mulutnya, “Ayah. Bukan mereka”
“He” ayahnya mengguncang lengan anaknya sambil bertanya, “Apa maksudmu?”
“Bukan mereka” Genuk mengulang, “maksudku, yang mengambil aku dari biyung, bukan orang-orang itu”
“O, jadi siapa?” bertanya ayahnya mendesak.
“Di kebun kosong itu” jawab Genuk yang menjadi semakin lancar.
“Jadi siapakah orang-orang ini?” bertanya ayahnya pula.
“Mereka melepaskan aku” jawab Genuk.
Ayah Genuk mengangguk-angguk. Namun tiba-tiba saja ia berdesis, “Apakah ini hanya satu siasat saja? Mereka membuat satu permainan yang tidak kami mengerti maksudnya. Mungkin mereka akan menjebak kita semuanya”
Tetapi Genuk menggeleng, “Tidak ayah. Mereka nampaknya bermaksud baik”
Ayah Ganuk itu menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian katanya, “Orang-orang yang kita cari ada di dalam kebun kosong ini. Kita akan mengepungnya dan menangkap mereka. Jika mereka melawan, maka apa boleh buat. Kita akan bertindak tegas”
“Kita akan memanggil semua orang untuk berkumpul di sini” berkata yang lain.
“Ya. Tetapi tiga orang ini pun harus selalu diawasi. Siapa tahu, mereka adalah orang-orang yang termasuk ke dalam satu permainan yang tidak kita mangerti” berkata ayah Genuk. Lalu, “Perintahkan mereka ke gardu di sudut jalan itu. Tiga orang akan menjaga mereka. Jika mereka berbuat sesuatu yang tidak sewajarnya, tiga orang itu kami beri wewenang untuk mengambil tindakan yang paling baik”
Mahisa Bungalan menggeletakkan giginya. Namun Witantra berbisik, “Biarlah. Kita akan melihat, apa yang akan terjadi”
Demikianlah, Mahisa Agni, Witantra dan Mahisa Bungalan pun kemudian dibawa oleh tiga orang laki-laki ke gardu yang tidak terlalu jauh dari tempat itu, sementara beberapa orang telah memanggil sebagian besar laki-laki di padukuhan itu untuk berkumpul.
Hanya beberapa orang sajalah yang tinggal di regol-regol padukuhan dan di gardu-gardu yang memencar. Namun sebagian besar dari mereka telah dipanggil untuk menangkap para perampok yang bersembunyi di kebun kosong itu.
Sejenak kemudian, sebagian besar laki-laki di padukuhan itu sudah berkumpul. Orang yang dianggap paling berpengaruh dan yang dianggap mewakili ke Buyut yang tinggal di padukuhan lain dalam Kebuyutan itu, segera mengatur orang-orangnya. Kebun kosong itu benar-benar telah di kepung. Beberapa orang diantara mereka telah menyalakan obor sementara yang lain telah merundukkan senjata mereka.
“Apakah kita akan memasuki kebun kosong itu?” bertanya salah seorang dari mereka.
Namun orang-orang yang mendengar keterangan Mahisa Bungalan tentang para perampok yang berada di balik dedaunan di kebun kosong itu menjadi ragu-ragu. Mereka membayangkan, bahwa di balik setiap lembar daun terdapat sepucuk senjata yang siap mematuk siapa saja yang mendekat
Karena itu, maka salah seorang dari mereka berkata “Mereka mendapat kesempatan lebih banyak untuk menyerang dengan diam-diam dan tiba-tiba daripada kita”
“Lalu, apakah kita akan membiarkan mereka tanpa berbuat sesuatu” bertanya yang lain.
Seorang yang lain lagi berkata, “Kita akan mengepungnya sampai mereka menyerah. Mereka harus melepaskan senjata mereka dan keluar dari gerumbul-gerumbul itu dengan tangan terangkat”
“Jika mereka tidak keluar?” bertanya kawannya.
“Kita tunggu sampai besok, sampai lusa, sampai tiga atau empat hari. Mereka memerlukan makan dan minum. Tanpa makan dan minum mereka akan mati kelaparan” jawab yang mengusulkan untuk mengepung sampai orang-orang di kebun kosong itu menyerah.
Ternyata pendapat itu sangat menarik. Seorang laki-laki yang sudah separo baya berkata, “Pendapat yang bagus. Kita berada di rumah kita sendiri. Kita dapat mengambil makan dan minum kapan pun kita kehendaki. Tetapi mereka akan kelaparan. Sementara kita tidak melakukan satu pekerjaan yang sangat berbahaya. Memasuki kebun kosong dalum gelapnya malam, meskipun dengan obor di tangan, adalah sangat tidak menguntungkan. Mereka dapat setiap saat berloncatan sambil menusuk lambung dan dada kita dengan senjata-senjata mereka”
“Jika demikian, baiklah” berkata orang yang mewakili Ki Buyut di padukuhan itu, “kita akan mengepung mereka sampai mereka menyerah dan melepaskan senjata mereka”
Dalam pada itu, ternyata pembicaraan itu telah didengar oleh para perampok yang bersembunyi. Dengan nada marah salah seorang dari mereka berkata kepada pemimpin perampok itu, “Apakah kita mau diperlakukan seperti itu?”
Pemimpin perampok itu menggeram. Katanya, “Mereka memang gila. Jika demikian, kita akan menyerang mereka. Kita akan membunuh dan meninggalkan mayat yang terbujur lintang. Yang masih tersisa akan tahu, bahwa mereka telah melakukan satu kesalahan yang paling berat justru karena tingkah ibu gadis yang malang itu”
“Ya, gadis itu akan jatuh lagi ke tanganku dan aku akan membawanya menurut kehendakku” geram laki-laki kasar yang semula membawanya.
“Persetan” kawannya mengumpat, “kau ribut saja dengan gadis itu. Aku tidak peduli. Aku akan membunuh siapa saja yang mendekati aku. Tua muda besar atau kecil”
Laki-laki kasar yang telah kehilangan gadis itu mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak menjawab lagi, karena pemimpinnya berkata, “Bersiaplah. Kita akan segera keluar dari liang yang pengab ini dan segera akan membunuh orang-orang bodoh yang tamak itu”
Para perampok itupun segera mempersiapkan diri. Mereka hanya tinggal menunggu perintah dari pemimpin mereka. Demikian perintah itu jatuh, mereka akan segera menghambur keluar dan bertempur seperti harimau lapar.
Dalam pada itu, orang-orang yang mengepung para perampok itu justru tidak lagi bersiap-siap menghadapi kemungkinan yang paling berbahaya. Hanya beberapa orang sajalah yang tetap bersiaga dengan senjata di tangan, sementara yang lain telah memasuki kebun dan halaman di seberang lorong. Beberapa di antara mereka justru telah duduk di tlundak regol dan di atas batu-batu padas, sementara yang lain berdiri bersandar dinding halaman.
Bagi mereka, beberapa orang yang tetap bersiaga itu telah cukup. Beberapa orang itu berjalan hilir mudik di seputar kebun yang kosong itu. Sementara yang lain tersebar di lorong dan halaman di seputar kebun kosong itu.
“Suruh membawa minuman kemari” justru salah seorang berteriak, “kita menunggu semut yang kita tuang air itu keluar dari sarang, sementara kami akan minum air sereh yang hangat dengan gula gelapa”
Yang lainpun berteriak, “Tidak hanya air sereh hangat, tetapi ketela pohon rebus itu pula”
Nampaknya orang-orang itu sengaja menyebut beberapa jenis makanan dan minuman untuk sekedar mengganggu orang-orang yang sedang bersembunyi di kebun kosong itu.
Dengan demikian mereka berharap bahwa orang-orang bersembunyi itu akan terpengaruh, sehingga mereka merasa dirinya haus dan lapar.
Tetapi mereka tidak menyadari, bahwa orang-orang di dalam kebun itu justru sedang merayap mendekati lorong. Mereka merayap dari balik gerumbul yang satu ke gerumbul yang lain, sehingga pada satu saat mereka berada di depan hidung orang-orang padukuhan yang bodoh itu tanpa disadari.
“Dengan satu loncatan, kita bunuh semua orang yang berada di lorong itu,” geram pemimpin perampok itu, “baru kemudian yang lain, yang masih ingin menyerahkan nyawanya”
Kawan-kawannya tidak menyahut. Tetapi mereka merayap semakin dekat dengan lorong kecil yang dihamburi oleh orang-orang padukuhan yang sedang berjaga-jaga itu.
Namun dalam pada itu, meskipun tidak terlalu dekat, terasa sesuatu menggelitik hati Mahisa Agni, Witantra dan Mahisa Bungalan. Karena itu, maka Mahisa Agni dan Witantra, tanpa berjanji berusaha untuk memperhatikan kebun yang kosong itu.
“Jangan lari” geram orang-orang yang menjaganya itu.
“Ki Sanak” berkata Witantra, “beri aku kesempatan untuk memperhatikan kebun kosong itu. Beri kesempatan aku mendekat sedikit. Kalian dapat mengawal kami dengan ujung pedang di punggung. Kami memang tidak akan lari”
Tetapi ketiga orang yang mengawasinya itu berkeras untuk memaksanya mereka tetap berada di tempatnya. Dua orang yang sudah berada digardu itu, justru telah pergi dan berkumpul bersama orang-orang yang mengepung kebun kosong itu.
Sejenak Mahisa Bungalan termangu-mangu. Namun kemudian ia berdesis, “Apakah kita akan memaksa?”
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Rasa-rasanya ia tidak akan dapat membiarkan melihat sikap orang-orang pedukuhan itu. Mereka sama sekali tidak menyadari, bahwa nyawa mereka sedang terancam Sementara Mahisa Agni, Witantra dan Mahisa Bungalan tahu. bahwa para perampok itu tentu tidak akan tinggal diam dan membiarkan diri mereka terkurung. Sehingga menurut perhitungan mereka, orang-orang itu pada saatnya tentu akan berloncatan dengan pedang ditangan seperti yang memang akan dilakukan oleh, para perampok itu.
Namun dalam pada itu, Mahisa Agni masih mencoba berkata dengan sabar, “Ki Sanak, jika aku diperkenankan mendekat sedikit saja, rasa-rasanya aku sudah puas. Aku ingin melihat apa yang terjadi di kebun kosong itu”
“Kau mau apa?” bertanya salah seorang yang mengawasinya itu”
“Tidak apa-apa, hanya ingin mendekat dan melihat sedikit saja” jawab Mahisa Agni.
“Kau akan menipuku ya? Kau akan bergabung dengan kawan-kawanmu yang berada di gerumbul itu” bentak yang lain.
Mahisa Bungalan menggeretakkan giginya. Tetapi Witantra mendahuluinya, “Sudah kami katakan Ki Sanak. Kami tidak ada hubungan apa-apa dangan mereka. Bukankah kau juga mendengar apa yang dikatakan gadis yang telah kami bebaskan?”
“Tentu ada satu permainan yang tidak aku ketahui tentang hubungan kalian dengan orang-orang itu” bentak salah seorang dari keempat orang itu, justru sambil mengacukan pedangnya.
Witantra menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia merasa gelisah terhadap orang-orang yang menurut perhitungannya agak lengah, sehingga kesempatan para perampok itu akan cukup besar untuk membinasakan mereka dalam sekejap.
Karena itu, maka tiba-tiba saja Witantra melangkah mendekati orang yang mengacukan senjatanya itu. Tanpa berkata sepatah kata pun lagi, ia mendorong senjata itu ke samping. Kemudian memijit pundak orang itu dengan tiba-tiba sehingga orang itu tidak dapat mencegahnya sama sekali.
Mahisa Agni dan Mahisa Bungalan melihat hal itu. Karena itu, mereka pun telah berbuat serupa terhadap orang-orang yang mengawasi mereka masing-masing.
Tanpa berdesah sama sekali, mereka seolah-olah telah tertidur nyenyak, sehingga karena itulah, maka Mahisa Agni, Witantra dan Mahisa Bungalan telah mengangkat mereka dan meletakkan mereka di dalam gardu.
Namun karena itulah, maka mereka tidak dapat berbuat sekehendak hati. Jika mereka bertiga mendekati orang-orang yang sedang berjaga-jaga itu, akan dapat menimbulkan pertanyaan, bahwa mereka tidak lagi bersama para pengawalnya.
Karena itu, maka ketiganya telah mengambil satu cara yang lain. Seperti orang-orang yang berada di kebun kosong itu, maka ketiga orang itu pun mendekat dengan diam-diam. Mereka memasuki kebun disebelah kebun kosong itu dan merayap diantara tanaman-tanaman di kebun itu.
Meskipun ketiga orang itu berada tidak jauh dari orang-orang padukuhan yang berada di lorong-lorong, namun tidak seorangpun yang mengetahuinya.
Ternyata kegelisahan mereka bertiga, benar-benar terjadi Mereka melihat di antara pepohonan yang sudah membelukar itu bergerak-gerak, sementara angin sama sekali tidak bertiup.
“Mereka memang sudah bergerak” bisik Mahisa Bungalan.
“Ya” sahut Mahisa Agni, “nampaknya orang-orang yang mengepung mereka itu tidak menyadari”
“Kita harus memperingatkan mereka” sahut Mahisa Bungalan.
“Caranya?” bertanya Witantra.
Mahisa Bungalan terdiam. Memang sulit bagi mereka untuk memberitahukan bahwa orang-orang di dalam gerumbul-gerumbul perdu di kebun kosong itu telah bergerak.
Namun tiba-tiba Witantra berdesis, “Kita lempari mereka dengan batu. Mereka tentu akan segera menampakkan diri sebelum mereka sampai di ke bibir kebun kosong itu”
Mahisa Agni mengangguk-angguk. Katanya, “Bagus. Kita lempari saja mereka dengan batu agar mereka menampakkan diri dari balik dedaunan”
Ketiga orang itu pun kemudian dengan hati-hati mencari batu diantara tanaman di kebun itu. Setelah mereka mendapatkan beberapa butir, maka merekapun mencari arah yang baik, sehingga batu yang mereka lemparkan tidak akan menyentuh dedaunan dan apalagi ranting dan dahan, sehingga akan menimbulkan suara.
Sejenak kemudian, maka batu-batu itu pun telah dilemparkan. Demikian batu-batu itu mamasuki kebun kosong dan menyentuh batang-batang dan dedaunan belukar yang tumbuh di kebun itu, terdengar suaranya gemerasak. Namun lebih dari itu, ternyata satu dua dari batu-batu yang terlempar itu telah itu lelah mengenai orang-orang yang sedang merayap mendekati lorong yang ditunggui oleh orang-orang padukuhan itu,
“Gila” geram salah seorang dari perampok-perampok itu “siapakah yang telah melempari batu?”
“Anak iblis” yang lain mengumpat, “aku juga kena”
Namun dalam pada itu, beberapa buah batu masih saja dilontarkan oleh Mahisa Agni, Witantra dan Mahisa Bungalan. Bahkan ada di antara batu-batu itu yang cukup besar, sehingga mereka yang telah dikenainya menyeringai menahan sakit.
“Keparat” yang lain hampir saja berteriak, “apakah kami masih harus menunggu dengan merayap-merayap dibawah hujan batu ini?”
Kemarahan yang membara telah membakar jantung pemimpin gerombolan itu. Dengan demikian, maka ia telah melupakan satu perhitungan. Sebenarnya mereka akan merayap sampai kepagar halaman kosong itu. Dengan satu loncatan, mereka akan merenggut beberapa korban sekaligus. Korban-korban itu akan dapat menakut-nakuti kawan-kawannya sehingga orang-orang padukuhan itu akan menjadi gentar.
Tetapi karena batu yang dilontarkan itu telah mengenainya pula, maka tiba-tiba saja iapun berteriak “Bunuh semuanya”
Teriakan itu benar-benar telah menggetarkan malam yang kelam di padukuhan itu. Demikian aba-aba itu diteriakkan, maka para perampok itu pun segera berloncatan dengan senjata di tangan. Sambil berteriak seolah-olah menggetarkan langit, mereka pun Kemudian berlari-lari menyerang orang-orang padukuhan yang mengepungnya. Namun arah serangan mereka justru kepada kelompok yang paling banyak di lorong sebelah.
Orang-orang yang mengepung kebun kosong itu pun terkejut bukan buatan. Apalagi ketika mereka mendengar orang-orang yang bersembunyi di kebun kosong itu berloncat sambil berteriak. Rasa-rasanya jantung merekapun telah berhenti berdenyut.
Namun sejenak kemudian, mereka menyadari, bahwa para perampok itulah yang akan datang menyerang karena mereka tidak lagi melihat kemungkinan untuk lari. Karena itu. maka orang yang dianggap mewakili Ki Buyut itu pun berteriak pula, “Jangan biarkan mereka melarikan diri”
Orang-orang yang mengepung itupun segera bersiap. Yang duduk di atas batu-batu padas, atau yang berbaring di tangga pendapa rumah sebelah, segera berloncatan bangun, dengan senjata di tangan mereka pun segera berlari-larian ke lorong tempat kawan-kawan mereka bersiap.
Ternyata bahwa rencana pemimpin perampok untuk mengejutkan orang-orang padukuhan itu pada serangan pertama telah gagal. Demikian para perampok itu berlari-lari menyerang, maka orang padukuhan itupun telah siap dengan senjata di tangan.
Namun dalam pada itu, tidak semua orang laki-laki di padukuhan itu mempunyai keberanian yang sama. Orang-orang yang berdiri di lorong itupun seakan-akan telah disaring menurut keberanian mereka. Yang paling berani berdiri di depan dengan senjata teracung siap menerima para perampok yang akan meloncati dinding halaman. Di lapisan berikutnya adalah orang-orang yang kurang berani menghadapi keadaan yang mengejutkan itu. Sementara itu, ada beberapa orang yang justru berada di tempat-tempat yang gelap dengan jantung yang berdebaran.
Orang-orang padukuhan yang mengepung di kebun dan halaman dan sekitarnya pun kemudian menyadari, bahwa para perampok itu telah menyerang ke satu sasaran. Karena itu, maka merekapun segera menyesuaikan diri. Laki-laki yang berani dan sedikit mempunyai pengalaman dengan segera berlari-lari menggabungkan diri dengan sisi yang langsung mendapat serangan para perampok itu.
Dalam pada itu, Mahisa Agni, Witantra dan Mahisa Bungalan memperhatikan segala peristiwa itu dengan jantung yang berdebar-debar. Ternyata bahwa perampok-perampok itu cukup banyak untuk benar-benar melakukan pembunuhan atas orang-orang padukuhan yang sebagian sama sekali belum berpengalaman menggenggam senjata. Meskipun jumlah mereka jauh lebih banyak. Namun hal itu bukan satu kepastian bahwa mereka akan berhasil menangkap para perampok itu.
Demikianlah, maka sejenak kemudian para perampok itupun telah meloncati dinding kebun kosong tempat mereka bersembunyi. Namun demikian mereka meloncat, maka ujung-ujung senjata sudah siap menerima mereka.
Tetapi, perampok-perampok itu ternyata memiliki kemampuan yang cukup untuk menghadapi keadaan yang demikian. Mereka masih sempat menangkis dan memukul ujung-ujung senjata itu ke samping sebelum mereka meloncat turun ke lorong.
Sejenak kemudian, pertempuran pun telah terjadi. Ada juga beberapa orang padukuhan itu yang mampu mempermainkan senjata, sehingga untuk sesaat mereka berhasil menahan serangan para perampok itu. Namun sejenak kemudian, kekasaran dan keliaran para perampok itu telah membuat mereka menjadi bingung. Apalagi sejenak kemudian, para perampok itu telah berusaha untuk menebar, sehingga pertempuran itu pun telah terjadi di halaman-halaman rumah di sekitarnya.
“Kita tidak dapat tinggal diam” berkata Mahisa Bungalan.
“Baiklah” berkata Mahisa Agni, “kita akan ikut serta. Sebaiknya kita juga membawa senjata seperti yang mereka pergunakan agar tidak terlalu menarik perhatian”
“Tetapi kita tidak mempunyainya” desis Mahisa Bungalan.
“Tiga orang tertidur nyenyak di gardu” jawab Mahisa Agni.
Ketiganya pun kemudian mengambil pedang dari ketiga orang yang masih tidur di gardu. Kemudian dengan tergesa-gesa ketiganya berlari-lari menuju ke daerah pertempuran.
“Kitapun berpencar” berkata Witantra.
Ketiga orang itupun kemudian berpencar. Mahisa Agni memasuki halaman di seberang lorong yang menjadi ajang perkelahian yang sengit. Di halaman itu pula, Genuk disingkirkan. Namun agaknya laki-laki kasar yang pernah menyembunyikannya, berusaha untuk merampasnya lagi.
Sementara itu, Mahisa Bungalan dan Witantra berada di lorong yang menjadi arena yang riuh. Keduanya berada di ujung sebelah menyebelah.
Dalam keadaan yang kacau itu, kehadiran mereka tidak banyak diketahui. Baik oleh para perampok, maupun oleh orang-orang padukuhan itu sendiri.
Para perampok itu memang sudah mempunyai pendirian yang tegas. Mereka ingin melepaskan sakit hati mereka dengan membunuh orang-orang yang ingin menghalangi mereka. Bahkan mereka tidak akan lagi memilih, siapapun yang akan menjadi korban mereka.
Namun dalam pada itu, dalam hiruk pikuknya pertempuran, para perampok telah dikejutkan oleh putaran senjata yang terasa lain dari kewajaran putaran senjata orang-orang padukuhan itu. Rasa-rasanya dengan tiba-tiba saja senjata mereka telah membentur kekuatan yang tidak ada taranya. Dalam beberapa saat saja, dua tiga senjata telah terlepas dari tangan.
“Gila” geram para perampok yang kehilangan senjatanya. Tetapi mereka tidak dapat sekedar mengumpati saja. Dalam pada itu, orang-orang padukuhan itupun telah menyerang mereka, sehingga mereka harus melawan dengan tanpa senjata. Namun karena mereka memiliki pengalaman bertempur lebih baik, maka meskipun-mereka tidak bersenjata, tetapi mereka mampu memberikan perlawanan yang gigih.
Orang padukuhan itu sendiri, akhirnya melihat juga sesuatu yang bagi mereka terasa aneh. Seseorang dalam keremangan malam dan dalam jangkauan cahaya obor yang lemah, yang ditancapkan di pinggir jalan dan di sudut halaman, telah bertempur dengan tangkas dan cepat.
“Apakah ada hantu penunggu padukuhan ini yang telah membantu kami” timbul pertanyaan pada beberapa orang yang melihat keanehan yang terjadi itu.
Sebenarnyalah bahwa Mahisa Agni, Witantra dan Mahisa Bungalan telah bertempur dengan kecepatan yang mengagumkan. Mereka berusaha untuk menarik perhatian lawan, dan bahkan Mahisa Bungalan telah berusaha untuk menjatuhkan setiap senjata dari tangan para perampok itu.....
PANASNYA BUNGA MEKAR : JILID 19