Hijaunya Lembah, Hijaunya Lereng Pegunungan Jilid 009
HIJAUNYA LEMBAH : JILID-009
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat termangu mangu. Namun Ki Sarpa Kuning itu pun berkata, “Bersiaplah. Aku akan menguji kalian”
Mahisa Murti memandang kesekelilingnya. Mereka, tidak lagi melihat para petani yang ada di sawah mereka.
“Jangan hiraukan mereka” seolah-olah Ki Sarpa Kuning itu mengetahui apa yang sedang terpikirkan oleh Mahisa Murti ”para petani itu akan melarikan diri atau bersembunyi. Mereka tidak akan datang dengan kawan-kawan mereka, meskipun mereka sudah menyiapkan pedang”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak dapat mengelak lagi. Bagaimanapun juga mereka harus melayani orang yang menyebut dirinya Ki Sarpa Kuning itu. Seadainya mereka menghindari sentuhan ilmu, maka kecurigaan orang itu tentu akan semakin meningkat. Tetapi jika dalam sentuhan ilmu orang itu mampu mengenali ilmu Witantra yang pernah bertempur sebelumnya, maka hal itu pun akan menarik perhatiannya juga, bahkan akan dapat menyeretnya, ke dalam satu pertempuran yang sungguh-sungguh. Bahkan mungkin akan dapat menjerumuskan mereka ke dalam pelukan maut.
Demikianlah, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itu pun segera mempersiapkan diri. Mahisa Pukat telah menyarungkan senjatanya, karena nampaknya Ki Sarpa Kuning tidak mempergunakan senjatanya pula. Namun jika senjata itu adalah ular-ular hitam, maka kedua anak muda itu sudah mempersiapkan diri untuk menghadapinya.
Sesaat kemudian, Ki Sarpa Kuning pun telah bersiap pula. Ketika ia bergeser melingkar, maka Mahisa Murti pun telah mendekati Mahisa Pukat sambil berkata, “Sejauh mungkin kita hindari ciri-ciri khusus perguruan kita yang murni. Kita akan memperlihatkan justru ilmu yang kita dapatkan dari paman Mahisa Agni dalam hal-hal tertentu. Bahkan tata gerak yang agak jelas dari perguruan paman Mahisa Agni. Ki Sarpa Kuning baru sekali bertempur melawan paman Witantra, sehingga ia tidak akan dapat mengenalinya dengan teliti. Hanya ciri-ciri khususnya sajalah yang akan diingatnya”
Sementara itu. Ki Sarpa Kuning pun tertegun. Katanya “Apakah kalian masih akan berbincang dahulu?”
“Tidak” jawab Magisa Murti, “kami sudah siap” Ki Sarpa Kuning pun kemudian itu pun bergeser mendekat. Dengan tangannya ia mulai memancing serangan. Sementara Mahisa Murti duu Mahisa Pukat telah bersiap-siap dengan ciri-ciri khusus yang pernah dipelajarinya dari Mahisa Agni. Meskipun dalam pertempuran yang sebenarnya, ilmu yang diturunkan oleh Mahisa Agni dan Witantra akan dapat luluh dengan ilmu yang diterimanya dari Mahisa Agni, namun dalam keadaan yang khusus Itu mereka berusaha untuk lebih memasang unsur-unsur dari ilmu yang mereka terima dari Mahisa Agni.
Sejenak kemudian Ki Sarpa Kuning pun mulai menyerang. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun telah benar-benar bersiap. Namun mereka pun menyadari, bahwa Ki Sarpa Kuning itu tentu hanya akan sekedar menjajagi. Ia tidak akan bersungguh-sungguh.
Meskipun demikian, jika pada suatu saat, Ki Sarpa Kuning itu akan bersungguh-sungguh, maka kedua anak muda itu pun tidak akan ingkar akan sikap mereka sebagai seorang laki-laki
Demikianlah, maka Ki Sarpa Kuning pun telah terlibat dalam pertempuran melawan kedua orang anak muda itu.
Dalam beberapa hal Ki Sarpa Kuning ternyata dapat dikelabui oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat dengan ciri-ciri yang tidak terdapat dalam ilmu yang mereka dapatkan dari Mahendra yang bersumber sama dengan Witantra.
“Ilmu anak-anak ini berbeda sekali dengan ilmu orang yang menyerangku malam itu, pada saat aku membunuh kedua orang muridku” berkata Ki Sarpa Kuning di dalam hatinya. Kemudian Tetapi aku seolah-olah melihat dua orang di antara prajurit Singasari itu sebagai anak anak muda ini”
Sejenak kemudian Ki Sarpa Kuning telah meningkatkan ilmunya meskipun masih juga terasa, bahwa ia tidak bersungguh-sungguh. Justru karena itu, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih juga sempat memperhitungkan tata geraknya, agar lawannya sama sekali tidak mengenali mereka dalam hubungannya dengan Witantra.
Karena itu, maka sejenak kemudian, Ki Sarpa Kuning itu pun telah meloncat menjauh sambil berkata, “Kalian memang tidak mempunyai hubungan perguruan dengan orang itu”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak memburunya. Mereka sadar, bahwa Ki Sarpa Kuning telah mendapatkan satu kesimpulan. Karena itu, maka mereka pun merasa seolah-olah mereka telah terbebas dari satu beban yang cukup berat. Meskipun seandainya keduanya terpaksa harus benar-benar-bertempur melawan Ki Sarpa Kuning, keduanya tidak akan ingkar.
“Kalian memang tidak mempunyai hubungan ilmu dengan orang yang telah bertempur melawanku malam itu” berkata Ki Sarpa Kuning, “tetapi apakah itu berarti bahwa kalian bukan dua orang muda yang ada diantara empat orang Singasari itu.
“Aku tidak mengerti tentang empat orang Singasari” jawab Mahisa Murti yang menyadari, bahwa saat seseorang yang berujud sebagaimana seorang petani berada di pematang mengamati perjalanan mereka kembali ke Singasari, sementara itu, Mahisa Agni dan Witantra berusaha untuk membayanginya sehingga seorang yang berdiri di pematang itu tidak dapat melihat keduanya dengan jelas.
Ki Sarpa Kuning yang telah berhenti bertempur, berdiri tegak sambil mengamati kedua orang anak muda itu berganti-ganti.
Namun dalam pada itu,, tiba-tiba saja mereka terkejut. Sekali lagi, tiba-tiba muncul seseorang dari balik pepohonan perdu sambil tertawa tertahan.
“Bagus sekali” berkata orang itu, “Ki Sarpa Kuning. Kau sudah berhasil menakuti anak-anak. Semula dua orang anak-anak Gemulung, kemudian dua orang pengembara yang memiliki ilmu yang tinggi itu”
“Ajar Gemulung” geram Ki Sarpa Kuning, “kedua muridmu telah melaporkannya kepadamu apa yang telah terjadi?”
Tidak. Aku sengaja tidak menemui mereka yang merasa lebih baik menyingkir daripada berselisih dengan hantu ular seperti kau ini” jawab orang yang disebut Ajar Gemulung, “tetapi aku memang sudah mengawasimu sejak lama. Jika kau berbuat sesuatu atas muridku, dan kedua muridku itu tidak mampu mempertahankan dirinya, maka aku terpaksa harus campur tangan. Meskipun demikian, terasa betapa kau merendahkan perguruan Gemulung meskipun aku yakin, bahwa perguruanku tidak akan kalah bobotnya dengan perguruanmu”
“Jangan membual Ajar Gemulung” jawab Ki Sarpa Kuning tetapi sebenarnyalah bahwa aku tidak ingin berselisih dengan perguruan Gemulung Jika aku mengusir murid-muridmu, karena mereka telah melakukan satu langkah yang tercela. Mereka akan merampas uang kedua orang anak muda itu”
“Luar biasa. Sejak kapan kau menjadi seorang pelindung? Apakah kau tidak tahu, atau sengaja menutup mata dan telingamu tentang apa saja yang dilakukan oleh anak-anak muridmu” sahut Ajar Gemulung, “bagiku, apa yang mereka lakukan, biarlah mereka lakukan. Tetapi jika mereka mati dalam kerja yang mereka lakukan atas kehendak mereka sendiri itu mengalami kesulitan, itu sama sekali tidak menjadi tanggung jawabku. Tetapi bagaimana dengan kau dan anak-anak muridmu?”
“Kami bukan perampok dan bukan penyamun” jawab Ki Sarpa Kuning, “kami bekerja untuk satu tujuan yang penting bagi kelangsungan hidup kekuasaan diatas Tanah ini”
“O” Ajar Gemulung itu tertawa, “demikian tinggi gegayuhanmu. Tetapi apakah itu bukan sekedar lelucon?”
“Ajar gila” berkata Ki Sarpa Kuning, “aku justru ingin mengajukan untuk bekerja bersama, sehingga murid muridmu tidak perlu lagi menyamun atau merampok untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka”
“Sebetulnya hal itu tidak perlu kami lakukan selain sebagai satu kesenangan saja” jawab Ajar Gemulung, “di perguruan kami, semuanya serba ada. Tanpa harus mencari lagi kemana?”
“Jangan membuta” jawab Ki Sarpa Kuning kita akan berbicara cukup panjang. Tetapi bagaimana dengan kedua anak ini”
“Terserah kepadamu” jawab Ajar Gemulung, “bukankah kau yang memerlukannya.
“Lalu apa maksudmu yang sebenarnya?” bertanya Ki Sarpa Kuning.
“Tidak apa-apa. Aku hanya mengawasi keadaan muridku. Jika mereka mengalami kesulitan bukankah menjadi kewajibanku untuk melindunginya. Tetapi agaknya kau masih menyadari kemungkinan buruk yang dapat terjadi atasmu, jika kau benar-benar mengganggu anak-anak muridku itu” jawab Ajar Gemulung, “tetapi aku sengaja tidak menemui mereka, agar mereka tidak terbiasa merasa diawasi dan dilindungi”
“Jangan berbicara seperti dengan kanak-kanak” berkata Ki Sarpa Kuning, “aku tahu, muridmu tidak hanya dua orang itu. Sementara aku hanya mengenali kedua orang muridmu itu dari ilmu yang kau turunkan. Apakah dengan demikian berarti, bahwa kau akan mampu mengamati semua muridmu dalam waktu yang sama di tempat yang berbeda-beda?” Mungkin sekarang muridmu yang lain mengalami kesulitan di tempat lain atau bahkan mungkin muridmu ada yang terbunuh sekarang ini, sementara kau hanya mengigau saja di sini”
Orang yang disebut Ajar Gemulung itu tertawa. Katanya, “Aku hanya mengamati muridku yang paling lemah. Kedua orang muridku yang berkelahi dengan dua orang anak muda ini adalah murid-muridku yang paling lemah dan tidak akan berdaya untuk melindungi dirinya, seandainya mereka bertemu dengan kau”
“Aku tidak akan merendahkan diriku, mengganggu murid-muridmu yang paling dungu itu” jawab Ki Sarpa Kuning, “tetapi, apakah kau mempunyai maksud tertentu dengan kedua anak muda yang akan mengalahkan muridmu itu?”
Ajar Gemulung memandangi kedua anak muda yang termangu mangu itu. Namun kemudian katanya, “Aku tidak mempunyai kepentingan dengan mereka. Aku tidak merasa tersinggung bahwa kedua orang muridku yang paling dungu itu hampir dikalahkannya. Untunglah bahwa kau datang dan melerai perkelahian itu sehingga kedua muridku itu tidak benar-benar mengalami kekalahan”
“Baiklah” berkata Ki Sarpa Kuning. Lalu katanya, “Aku sebenarnya ingin menawarkan satu kesempatan kepada kedua orang anak muda itu”
“Kesempatan apa?” bertanya Ajar Gemulung. “Kesempatan untuk menjadi-muridku. Keduanya memiliki bekal yang cukup mantap, sehingga keduanya pantas untuk menjadi muridku” berkata Ki Sarpa Kuning. Ajar Gemulung tertawa. Lalu katanya, “Kau memang cerdik. Kau ambil orang yang sudah memiliki ilmu yang mapan. Kemudian kau ajari mereka menyebut nama perguruanmu. Selebihnya kau akui orang itu sebagai muridmu. Itulah sebabnya kau mudah sekali menghukum murid-muridmu yang tidak berbuat tepat seperti yang kau kehendaki. Bahkan kau dengan tanpa berpikir panjang telah menjatuhkan hukuman mati kepada murid-muridmu”
Ki Sarpa Kuning mengerutkan keningnya. Lalu katanya, “Kau jangan mengigau dihadapanku. Ingat. Aku adalah Ki Sarpa Kuning yang dapat bertindak tegas terhadap siapapun yang menyinggung perasaannya Termasuk kau”
Tetapi Ajar Gemulung tetap saja tertawa Katanya, “Tetapi siapa pun kau, kau tidak akan dapat menakut-nakuti aku. Namun demikian, baiklah Aku tidak ingin berselisih sekarang ini. Aku hanya mengamati murid muridku yang paling bodoh itu. Mereka nampaknya sudah selamat dari tanganmu. Terima kasih”
“Sudah aku katakan. Aku memang tidak akan berbuat apa-apa. Karena itu, maka kau pun akan aku lepaskan pergi kemana kau kehendaki” jawab Ki Sarpa Kuning
“Kau jangan terlalu sombong karena ular-ular hitammu itu. Sekarang aku memang akan pergi setelah yakin bahwa kau tidak mengganggu mereka. Aku mempunyai sedikit perbedaan dengan kau. Tetapi mendasar. Muridku adalah anak-anakku. Sementara kau, murid adalah alat yang dapat kau pergunakan untuk apa saja. Jika kau memberikan sebagian ilmumu kepada murid-muridmu, sama sekali bukan karena kau ingin membuat mereka menjadi orang yang berbekal ilmu, tetapi semata-mata untuk memenuhi keperluan. Bahkan tanpa ragu-ragu kau korbankan mereka untuk kepentinganmu. Dan sekarang, kau akan mengambil kedua orang anak muda ini sebagai muridmu”
“Sekali lagi aku memperingatkatimu Ajar gila. Jangan kau biarkan mulutmu mengigau dihadapanku, agar kau tidak menyesal. Sebaiknya kau segera pergi saja sebelum darahku naik ke kepala Tetapi aku ingin memperingatkan sekali-lagi Kita dapat bekerja bersama untuk satu kepentingan yang besar bukan sekedar merampok sekampil uang di tengah-tengah bulak panjang” berkata Ki Sarpa Kuning.
Ajar Gemulung itu tertawa pula. Katanya, “Jangan mengumpat-umpat. Aku akan memikirkan tawaranku itu. Tetapi aku tidak akan menjawab sekarang”
“Terserah” jawab Ki Sarpa Kuning” kau dapat menjawab kapan saja jika kau sudah mengambil satu keputusan”
Ajar Gemulung tidak menjawab. Dipandanginya kedua orang anak muda itu berganti-ganti. Lalu katanya, “Pikirkan masak-masak sebelum kau menerima tawarannya untuk menjadi muridnya. Mungkin kau akan dijadikan tumbal tingkah lakunya yang sama sekali tidak berpijak pada penalaran yang wajar. Bahkan mungkin kau akan dijadikan alat untuk membuat ular-ularnya lebih berbisa. Mungkin darahmu akan diambilnya, atau mungkin otak di kepalamu atau sungsum di tulang belakangmu”
“Cukup” teriak Ki Sarpa Kuning, “kau benar-benar menantangku”
“Jangan berteriak teriak” jawab Ajar Gemulung, “lakukan apa yang akan kau lakukan. Aku sudah siap”
Ki Sarpa Kuning menggeretakkan giginya. Namun ternyata Ajar Gemulung itu tidak menunggu lebih lama lagi. Ia pun kemudian melangkah meninggalkan tempat itu sambil bergumam, “Anak-anak itu tentu tidak hanya berdua saja. Seperti anak-anak harimau, maka induknya tentu berkeliaran di sekitar tempat ini dan akan hadir di setiap saat yang diperlukan”
Ki Sarpa Kuning tidak menjawab. Diamatinya saja Ajar Gemulung yang kemudian beringsut meninggalkan tempat itu.
Sepeninggal Ajar Gemulung, Ki Sarpa Kuning mengamati kedua anak muda itu dengan lebih tajam lagi. Namun kemudian katanya ”Kau sudah mendengar. Apakah kau bersedia berada di lingkungan padepokanku?” Mungkin ilmumu akan berkembang lebih baik. Kau akan dapat mempelajari ilmu yang belum pernah kau sentuh sampai saat ini. Dengan demikian, maka kau akan menjadi semakin cepat meningkat menjadi dua orang anak muda yang mumpuni”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat termangu-mangu. Tetapi tawaran itu memang sangat menarik. Bukan karena keduanya ingin mendapatkan ilmu dari orang yang terbiasa bermain-main dengan bisa dan racun itu. Tetapi dengan demikian, mereka akan dapat lebih banyak mengetahui tentang rencana Ki Sarpa Kuning untuk melaksanakan niatnya. Menebas hutan di lembah-lembah dan lereng pegunungan.
Namun sekilas diingatnya pula, sekelompok orang yang berhubungan dengan saudara sepupu Ki Buyut dalam memperebutkan kedudukan dengan menantu Ki Buyut yang lemah hati itu.
Dalam pada itu, karena kedua anak muda itu tidak segera menjawab, maka Ki Sarpa Kuning pun berkata, “Kau dapat berpikir sebaik-baiknya dan membicarakannya. Aku tidak tergesa-gesa”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan sejenak. Sementara itu, Ki Sarpa Kuning pun berkata, “Aku akan menunggu di bawah pohon preh yang nampak dari tempat ini. Di sana ada sebuah belik yang besar dan berair jernih. Jika kalian sudah mengambil satu keputusan, kalian dapat datang ke belik itu dan mengatakannya kepadaku. Aku tidak memaksamu Kalian dapat menerima tetapi juga dapat menolak”
Mahisa Murtilah yang menjawab, “Baiklah. Aku akan datang dan memberikan jawaban”
Ki Sarpa Kuning itu mengangguk angguk Katanya, “Aku telah kehilangan dua orang murid. Aku harus mengorbankannya untuk satu tujuan yang jauh lebih berharga dari kedua orang muridku itu. Jika kalian bersedia, maka kalian akan menggantikan kedudukan kedua muridku itu”
“Juga untuk mengalami akir yang pahit?” tiba-tiba saja Mahisa Pukat bertanya.
Ki Sarpa Kuning memandanginya dengan tajam. Namun kemudian sambil tersenyum ia menjawab, “Tidak harus demikian anak muda Hanya mereka yang tidak tahu diri sajalah yang harus dihukum. Kedua muridku itu telah melakukan satu kesalahan yang sulit untuk dimaafkan. Mereka telah mengganggu gadis-gadis padukuhan yang sedang mencuci di sungai. Justru karena itu, keduanya telah ditangkap. Beberapa orang kawannya, yang kebetulan bukan seperguruan dengan murid-muridku itu telah mencoba membebaskan mereka, tetapi tidak berhasil”
Mahisa Murti lah yang kemudian menjawab Baiklah. Aku ulangi lagi, bahwa aku akan memberikan jawaban setelah aku sempat merenungi tawaranmu dan membicarakannya berdua”
“Aku menunggu. Mudah mudahan kalian bercita-cita tinggi seperti kami” berkata Ki Sarpa Kuning sambil meninggalkan kedua anak muda itu.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sama sekali tidak menjawab. Dibiarkannya Ki Sarpa Kuning melangkah menyusuri pematang menuju ke sebatang pohon preh yang nampak di tengah-tengah bulak yang luas itu.
Baru ketika Ki Sarpa Kuning menjadi semakin jauh, kedua anak muda itu bergeser. Sambil menarik nafas dalam-dalam Mahisa Murti berkata, “Satu kesempatan yang pantas direnungkan”
“Kau berpikir, dengan menjadi muridnya, kita akan dapat melihat lebih jauh. apa yang telah mereka lakukan?” bertanya Mahisa Pukat.
“Ya. Mungkin kita akan dapat menemukan satu hal yang berarti bagi Singasari dari petualangan ini, meskipun aku tahu, bahwa persoalannya tidak terlalu sederhana” jawab Mahisa Murti.
Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Tetapi masih membayang keragu-raguan pada sorot matanya. Dengan ragu ia bertanya, “padepokan itu? Ki Sarpa Kuning tentu menyadari, bahwa kita memiliki ikatan dengan satu perguruan lain yang telah membekali kita dengan ilmu yang kita miliki sekarang. Justru karena itu, maka orang itu pun tentu berpikir masak-masak untuk menerima kita ke dalam lingkungannnya. Bahkan mungkin satu muslihat yang tidak kita ketahui sebelumnya”
Mahisa Murti mengerutkan keningnya. Ia pun mempunyai pertimbangan yang demikian pula. Namun ia pun melihat satu kemungkinan lain.
“Apakah kita dapat menempatkan diri kita di antara murid-muridnya?” bertanya Mahisa Murti.
“Sulit untuk mengerti watak dan sifat Sarpa Kuning, ia mencegah kedua murid Gemulung itu merampas uang kita. Sementara itu, Ki Sarpa Kuning juga menganggap kedua orang muridnya yang mengganggu gadis-gadis itu sebagai satu sikap yang pantas dihukum” berkata Mahisa Pukat.
“Tetapi yang terpenting alasan Ki Sarpa Kuning menghukum mati kedua muridnya, adalah untuk menyembunyikan rahasia padepokannya” jawab Mahisa Murti.
Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Namun keragu-raguan masih membayang di wajah anak muda itu.
Dalam pada itu, selagi kedua anak muda itu masih belum dapat memecahkan persoalan yang mereka hadapi, tiba-tiba seorang petani dengan cangkul di pundaknya telah meloncati parit dan melangkah mendekatinya. Wajahnya yang cerah membayangkan kecerahan hatinya pula, sehingga Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak mencurigainya bahwa ia akan melakukan sesuatu yang tidak baik. Apalagi menilik ujudnya, orang itu adalah kebanyakan petani yang bekerja di sawahnya di siang hari.
Meskipun demikian, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih juga mempersiapkan diri menghadapi segala kemungkinan.
Namun petani yang mendekati keduanya itu tertawa sambil berkata, “Kalian tidak apa-apa?” Aku melihat kalian berkelahi. Kemudian datang orang-orang yang melerai kalian”
“Tidak Ki Sanak” jawab Mahisa Murti.
“Sukurlah” berkata petani itu sambil meletakkan cangkulnya sambil membenahi bajunya, “aku menjadi cemas melihat keadaan kalian. Tetapi kami, petani-petani yang bodoh, sama sekali tidak berani mendekati kalian. Baru setelah kalian tinggal berdua, aku memberanikan diri untuk datang kemari”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Tetapi mereka pun merasa heran, bahwa tiba-tiba saja mereka melihat petani itu meloncati parit beberapa langkah saja dari mereka tanpa melihatnya sebelumnya.
“Kami tidak memperhatikan keadaan di sekeliling kami” berkata kedua anak muda itu di dalam hatinya
Dalam pada itu. maka petani itu pun kemudian duduk di rerumputan di pinggir jalan bulak panjang yang sepi itu sambil berkata, “Duduklah. Marilah kita berbicara serba sedikit”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpadangan. Mereka akan membicarakan tawaran Ki Sarpa Kuning yang masih menunggu mereka di bawah pohon preh. Tetapi keduanya tidak dapat menolak petani yang ingin berbicara itu, agar tidak menumbuhkan kecurigaan apa pun juga.
“Tetapi jika Ki Sarpa Kuning marah kepada petani itu, ia akan mengalami nasib yang buruk” berkata anak-anak muda itu di dalam hatinya.
Namun demikian, kedua anak muda itu pun kemudian duduk pula di sebelah petani itu. Meskipun demikian Mahisa Murti pun berkata, “Aku tidak mempunyai banyak waktu Ki Sanak. Aku harus melanjutkan perjalananku”
“Jangan tergesa-gesa” jawab petani itu, “aku tahu, Ki Sarpa Kuning menunggumu di bawah pohon preh itu. Tetapi ia tidak akan segera pergi”
Jawaban itu benar-benar mengejutkan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Keduanya saling berpandangan. Namun kemudian Mahisa Pukat pun bertanya, “Siapa sebenarnya Ki Sanak?”
“Sebagaimana kau lihat, aku adalah seorang petani yang kebetulan melihat segala peristiwa yang terjadi. Karena aku tidak berani berbuat apa-apa, maka aku bersembunyi di balik pematang itu” jawab petani itu.
“Tetapi, pakaianmu tidak terlalu kotor sebagaimana jika kau merunduk di belakang pematang itu” desis Mahisa Pukat.
Orang itu mengerutkan keningnya. Namun ia pun tersenyum sambil berkata, “Kau terlalu teliti mengamati seseorang. Baiklah. Kita akan berbicara dengan terbuka. Mungkin akan lebih bermanfaat bagimu”
“Aku sudah mengira” berkata Mahisa Murti, “tetapi berkatalah. Apakah kau akan memberikan satu pendapat tentang Ki Sarpa Kuning”
“Ya” jawab orang itu ”tetapi biarlah aku memperkenalkan diri agar kau dapat mempercayai kata-kataku”
“Siapa kau?” bertanya Mahisa Murti.
Orang itu menunjukkan satu jari tangannya yang mengenakan sebuah cincin. Cincin dengan mata batu akik yang mirip sekali dengan batu akik yang ada pada cincinnya. Akik Jamur Gunung.
“Kau kenal akik serupa itu?” bertanya petani itu. Mahisa Murti memandang Mahisa Pukat sekilas. Namun kemudian ia pun menunjukkan cincinnya pula sambil berkata, “Akik itu mirip dengan akik ini”
“Bukan hanya mirip” jawab petani itu, “tetapi akik ini adalah belahan akik yang kau pakai. Akik Jamur Gunung. Akik yang dapat menjadi menawar bisa yang paling tajam sekalipun”
“Darimana kau dapatkan akik itu?” bertanya Mahisa Murti.
Orang itu tersenyum. Katanya, “Darimana pula kau dapatkan akik itu?”
“Ayah” jawab Mahisa Murti.
“Darimana ayahmu mendapatkannya?”orang itu bertanya pula.
“Dari seorang sahabatnya” jawab Mahisa Murti. “Darimana sahabat ayahmu itu mendapatkan cincin dan batu akik itu?” desak petani itu.
“Aku tidak tahu. Ayah tidak pernah menceriterakannya” jawab Mahisa Murti.
“Baiklah. Mungkin akan berarti bagimu. Akik itu memang belahan akik yang aku pakai ini. Semula seorang tua yang lebih banyak mengasingkan dirinya, mendapatkan sebongkah batu yang aneh. Yang ternyata memiliki kemampuan untuk menawarkan segala macam bisa. Sementara itu, orang tua itu mempunyai dua orang murid. Karena itu, maka batu itu pun telah dibelah. Satu diberikan kepada sahabat ayahmu itu, dan satu kepadaku. Kami adalah saudara seperguruan. Tetapi sahabat ayahmu itu tidak mempunyai sanak keluarga yang akan mewarisi akik yang memiliki arti yang sangat besar itu. Menurut pendapatnya, tidak ada orang lain yang lebih baik dari ayahmu untuk memilikinya. Ternyata bahwa akik itu benar-benar diberikan kepadanya, sebagaimana dikatakannya kepadaku” bertanya orang itu lebih lanjut Lalu, “Karena itu, maka meskipun tidak langsung kita mempunyai hubungan”
Mahisa Murti mengangguk angguk. Lalu katanya, “Terima kasih atas penjelasan itu. Selanjutnya, apa yang dapat kita lakukan kemudian”
“Anak muda” berkata orang itu, “masih ada kelanjutan ceriteranya. Kita yang semula seperguruan, akhirnya terpaksa berpisah. Ketika guru meninggal, maka kami telah mengambil jalan kami masing-masing. Sahabat ayahmu memilih satu kehidupan yang tenang dan wajar, sementara itu, aku pergi mengembara. Memang ada bedanya. Sahabat ayahmu itu hidup dalam satu lingkungan masarakat biasa. Sedang aku, untuk waktu yang lama terombang-ambing dalam satu keadaan yang tidak menentu. Namun akhirnya aku pun berhasil melontarkan diriku dari arus petualangan dan memasuki kehidupan masyarakat biasa. Namun pada saat terakhir, aku tahu, bahwa cincin Jamur Gunung itu telah berada di tanganmu karena kalian akan memasuki satu pengembaraan yang membawa satu niat tertentu”
“Darimana kau tahu?” bertanya Mahisa Murti.
“Ayahmu telah menyampaikannya kepada sahabat ayahmu itu” jawab orang itu, “Adalah kebetulan, bahwa aku telah berjumpa dengan ayahmu di tempat saudara seperguruanku itu”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan sejenak, dengan nada dalam Mahisa Murti bertanya, “Jadi orang itu masih hidup?”
Petani itu tersenyum. Dengan nada datar ia berkata, “Orang itu masih hidup. Aku masih sering berkunjung kepadanya, sebagaimana dilakukan oleh ayahmu”
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Orang dalam pakaian petani itu mengetahui banyak hal tentang dirinya, sehingga karena itu, maka kedua orang anak muda itu tidak akan dapat ingkar lagi tentang diri mereka.
“Anak muda” berkata orang itu, “ceritera ayahmu tentang pengembaraanmu, sangat menarik hatiku. Namun juga menimbulkan kecemasan. Karena itu, maka aku berusaha untuk dapat mengikuti jejakmu”
Anak-anak muda itu termangu-mangu. Namun dalam pada itu Mahisa Pukat lah yang bertanya lebih dahulu, “Bagaimana kau dapat mengikuti kami. Kau nampaknya tinggal di tempat ini dan mengerjakan sawahmu di bulak ini. Padahal, pada suatu saat kami tentu akan meninggalkan tempat ini”
Orang itu tersenyum. Katanya, “Aku sama sekali tidak sedang menggarap sawah. Aku memang membawa cangkul dan berpakaian seperti petani kebanyakan. Tetapi aku bukan orang padukuhan ini”
Mahisa Pukat mengangguk-angguk, ia mengerti maksud orang itu. Karena itu, maka katanya, “Jika demikian, maka kau berada di tempat ini sejak kami berkelahi?”
“Ya” jawab orang itu.
“Bukankah saat itu ada di sini pula Ki Sarpa Kuning dan orang yang disebut dengan Ajar Gemulung?” bertanya Mahisa Pukat pula.
“Ya” jawab orang itu.
Mahisa Pukat menarik nafas dalam dalam. Tetapi dengan demikian, anak-anak muda itu dapat menilai, bahwa orang dalam pakaian petani itu bukan pula orang kebanyakan. Ia hadir bersama Ki Sarpa Kuning dan Ajar Gemulung. Agaknya orang itu pun memiliki kemampuan yang seimbang dengan Kedua orang itu. Apalagi dengan cincin bermata batu akik Jamur Gunung yang memiliki kemampuan menawarkan bisa. Sehingga dengan demikian maka ular-ular hitam Ki Sarpa Kuning tidak akan banyak berpengaruh atasnya.
Dalam pada itu, tiba-tiba saja Mahisa Murti lah yang bertanya, “Ki Sanak. Apakah kami boleh mengetahui nama Ki Sanak”
Orang itu tersenyum. Jawabnya, “Tentu. Pada suatu saat ayahmu pun akan menyebutnya. Namaku sebagaimana ayahmu memanggilku adalah Waruju. Ki Waruju”
“Terima kasih Ki Waruju. Dengan demikian, aku tidak lagi kebingungan untuk menyebutnya” desis Mahisa Pukat kemudian.
Sementara itu, maka Ki Waruju pun berkata, “Sudahlah. Kau sudah mengenal aku. Karena itu, sekarang lakukanlah apa yang ingin kau lakukan. Tetapi hati-hatilah. Kau akan memasuki satu lingkungan yang gawat. Ki Sarpa Kuning akan tetap mencurigai kalian sebagai dua orang anak muda yang bersama sama dengan prajurit Singasari yang menangkap dua orang muridnya”
“Ayah menceriterakannya juga?” bertanya Mahisa Murti.
“Ya. Dan ternyata perhitungan ayahmu benar. Ki Sarpa Kuning berusaha untuk menemukan dua orang anak muda itu” jawab Ki Waruju, “untunglah bahwa kalian dengan cerdik telah berusaha untuk mengaburkan unsur-unsur ilmumu yang kau sadap dari ayahmu, karena Witantra bersumber dari orang yang sama dengan ilmu ayahmu”
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Ia semakin yakin akan orang yang sedang dihadapinya. Karena itu maka katanya, “Jika demikian, bagaimana pendapat Ki Waruju, apakah kami sebaiknya memasuki padepokan Ki Sarpa Kuning atau tidak”
“Memang satu kesempatan bagimu” berkata Ki Waruju, “tetapi seperti yang aku pesankan. Hati-hatilah. Kau akan memasuki sebuah sarang serigala”
“Apakah Ki Waruju sependapat?” bertanya Mahisa Pukat.
“Mungkin akan dapat berarti bagi Mahisa Agni dan Witantra yang bekerja untuk kepentingan Singasari” jawab Ki Waruju, “Jika bulat niat kalian, lakukanlah. Aku akan selalu berusaha untuk membayangi kalian. Kalian dapat memberikan isyarat-isyarat tertentu kepadaku. Mudah-mudahan kau akan dapat berhasil”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Ternyata orang yang bersama Ki Waruju itu telah mendorong mereka untuk memasuki padepokan Ki Sarpa Kuning, karena dengan demikian, ada kemungkinan bagi mereka untuk mengetahui rencana orang-orang yang berusaha untuk menghancurkan Singasari melalui jalan panjang, namun hasilnya pada suatu saat akan meyakinkan.
“Baiklah Ki Waruju” berkata Mahisa Murti kemudian, “kami mohon restu. Mudah-mudahan kami dapat keluar dari padepokan itu dengan selamat”
“Akik Jamur Gunung dan gelang Kayu Bule itu akan sangat bermanfaat. Jagalah, agar benda-benda itu tidak terpisah dari tubuhmu, kapan pun juga” berkata Ki Waruju. Lalu, “Nah, sekarang pergilah kepada Ki Sarpa Kuning yang menunggumu. Katakan bahwa kau berbicara dengan seorang petani yang ketakutan melihat perkelahian itu. Tetapi setelah perkelahian selesai, maka pelani itu berusaha untuk mendekat kalian dan berbicara serba sedikit. Karena kedatanganmu yang berjarak waktu tentu akan menimbulkan pertanyaan padanya”
“Baiklah Ki Waruju” jawab Mahisa Murti, “kami berdua mohon diri. Sejauh mungkin kami akan selalu berusaha untuk berhubungan dengan Ki Waruju”
Petani yang bernama Ki Waruju itu pun kemudian bangkit sambil bergumam, “Kita akan berpisah. Usahakan pada waktu-waktu tertentu memisahkan diri dari orang-orang padepokan itu. Mungkin aku akan mendapat kesempatan untuk menemui kalian.”
“Terima kasih. Kami mohon doa Ki Waruju, agar kami dapat melakukan tugas ini dengan selamat, sehingga akan bermanfaat bagi banyak orang dan bagi Singasari” berkata Mahisa Murti.
Ki Waruju itu pun kemudian meninggalkan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Sementara itu kedua orang anak muda itu pun telah bersiap-siap untuk datang kepada Ki Sarpa Kuning yang menunggu mereka di bawah pohon preh, di tengah-tengah bulak yang luas itu.
Namun bagaimana pun juga Mahisa Murti dan Mahisa Pukat merasa betapa jantungnya berdetak semakin cepat. Yang mereka lakukan adalah langkah-langkah yang sangat berbahaya. Namun yang akan mungkin menyingkap satu tabir tentang usaha membuat lembah dan lereng pegunungan menjadi gundul, sehingga kehidupan di sekitarnya akan terancam karenanya.
Namun bagaimanapun juga, keduanya sudah menentukan sikap, bahwa mereka akan memasuki satu padepokan yang dipimpin oleh Ki Sarpa Kuning.
Ketika kedua anak muda itu sampai di bawah pohon preh yang tumbuh di dekat sebuah mata air yang cukup besar, mereka melihat Ki Sarpa Kuning duduk bersandar sebongkah batu yang besar.
“Aku hampir tertidur” berkata Ki Sarpa Kuning, “nah, apakah kalian sudah mengambil satu keputusan? Aku kira kalian menjadi ketakutan, justru melarikan diri”
“Tidak Ki Sarpa Kuning” berkata Mahisa Murti, “kami sedang berbincang ketika seorang petani yang ketakutan berusaha untuk mendekati kami dan menanyakan apa yang telah terjadi, “
“Seorang petani?” bertanya Ki Sarpa Kuning.
“Salah seorang dari para petani yang bekerja di sawah itu” jawab Mahisa Murti, “setelah tidak ada lagi untuk hiruk pikuk, maka ia mencoba mendekati kami dan menanyakan apa yang telah terjadi”
“Dan kau berceritera tentang peristiwa yang sebenarnya terjadi?” bertanya Ki Sarpa Kuning. “Sebagian. Tentang orang-orang Gemulung yang akan merampas milikku yang tidak seberapa” jawab Mahisa Murti.
“Duduklah” Ki Sarpa Kuning mempersilahkan. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun kemudian duduk beberapa langkah di hadapan Ki Sarpa Kuning.
“Kalian sudah ambil keputusan?” bertanya Ki Sarpa Kuning.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan beberapa saat. Baru kemudian Mahisa Murti berkata, “Tetapi apakah dengan memasuki padepokan Ki Sarpa Kuning, kebehasanku akan dirampas sehagaimana dua orang murid Ki Sarpa Kuning yang terbunuh itu?”
Terdengar Ki Sarpa Kuning tertawa. Katanya, “Tentu tidak anak muda. Kedua orang muridku itu pun tidak akan mengalami perlakuan yang demikian, jika mereka tidak melanggar paugeran padepokan” Ki Sarpa Kuning berhenti sejenak. Lalu dengan tiba-tiba ia bertanya, “Kebebasan apa yang kau maksud? Tentu kebebasan itu ada batasnya. Kau tentu saja tidak akan dapat melanggar paugeran padepokan seperti dua orang muridku yang terbunuh itu. Mereka telah berusaha merampas dua orang gadis dari sebuah padukuhan. Itu adalah kesalahan yang tidak dapat dimaafkan. Apalagi kemudian keduanya dapat ditangkap oleh orang-orang yang mengaku prajurit Singasari. Apakah dengan demikian bukan berarti satu bencana buat padepokan kami? Juga buat kawan-kawan kami yang bekerja bersama kami untuk satu tujuan yang mulia bagi Kediri? Nah, atas kesalahan itulah maka kedua orang itu tidak mempunyai pilihan lain kecuali dihukum mati. Dan aku sendirilah yang melaksanakan hukuman itu, setelah kawan-kawannya gagal melakukannya”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Namun mereka tidak mempunyai bayangan yang pasti tentang padepokan yang dipimpin oleh Ki Sarpa Kuning. Seorang yang memiliki pengetahuan yang sangat luas tentang racun dan bisa.
“Tetapi,” bertanya Mahisa Pukat kemudian, “apakah berarti pula bahwa kami tidak akan boleh keluar dari padepokan? Maksudku, untuk meneruskan pengembaraan kami jika saatnya kami anggap sudah tiba?”
“Tentu. Kami tidak akan berkeberatan setelah ilmu kalian kami anggap mapan. Setelah kalian memiliki ilmu dasar bagi padepokan kami. Sebagaimana orang-orang terpenting di padepokan kami, kami tidak pernah mengikat mereka untuk tetap berada di padepokan. Satu dua di antara mereka telah memencar dan melakukan pekerjaan mereka masing-masing. Namun sudah tentu, bagi mereka, segala tingkah laku harus mereka pertanggung jawabkan sendiri. Tidak lagi menjadi tanggung jawab padepokan kami”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Namun demikian mereka tidak dapat memegang teguh semua perkataan Ki Sarpa Kuning. Sehingga apabila pada suatu saat mereka mengalami perlakuan yang lain, mereka harus sudah mempersiapkan diri sehaik baiknya menghadapi kemungkinan itu.
“Sekarang, katakan. Apakah kalian bersedia tinggal bersama kami?” bertanya Ki Sarpa Kuning.
“Kami masih tetap ragu-ragu” jawab Mahisa Murti, “bagaimana jika kami tidak bersedia?”
“O, sudah tentu aku tidak dapat memaksa anak muda. Kalian adalah orang-orang yang bebas menentukan sikap. Kalian masih belum dibatasi oleh paugeran padepokan kami sehingga kalian masih belum terikat sama sekali” berkata Ki Sarpa Kuning, “selanjutnya jika kalian akan meneruskan pengembaraan kalian, aku titip salam kepada orang-orang yang kau temui di perjalanan”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat justru menjadi termangu-mangu. Agaknya Ki Sarpa Kuning benar-benar tidak ingin memaksakan satu sikap kepada keduanya. Namun justru karena itu. niat mereka untuk berada di padepokan yang dipimpin oleh Ki Sarpa Kuning itu menjadi semakin besar.
Karena itu, maka sejenak kemudian, setelah berpikir kembali tentang rencana mereka, maka Mahisa Murti pun berkata, “Ki Sarpa Kuning. Meskipun ada keragu-raguan, tetapi tawaran dan sikap Ki Sarpa Kuning telah menarik keinginan kami justru menjadi semakin besar untuk mencoba berada di dalam lingkungan padepokan yang Ki Sarpa Kuning pimpin itu. Meskipun demikian, kami masih ingin bertanya lagi, apakah setiap saat yang kami inginkan, kami dapat meninggalkan padepokan itu, meskipun kami masih belum memiliki kemampuan dasar yang disyaratkan sebagaimana Ki Sarpa Kuning katakan.
“Pintu padepokan selalu terbuka anak muda” jawab Ki Sarpa Kuning, “jika ada muridku yang meninggalkan padepokan sebelum mencapai tingkat Kemampuan dasar bagi padepokan kami, maka ia akan menyesal sendiri. Orang yang demikian tentu belum memiliki bekal yang cukup, sementara itu, orang itu sudah terlepas dari perlindungan dan tanggung jawab padepokan. Dengan demikian, jika mereka mengalami kesulitan, maka orang itu harus mempertanggung-jawabkan keadaannya itu sendiri”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Mereka sadar, bahwa mereka tidak akan dapat begitu saja mempercayai keterangan Ki Sarpa Kuning itu Mungkin yang dikatakannya itu, tidak lebih dari separuh yang dapat dipercayainya.
Namun demikian, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memang sudah bertekad untuk memasuki padepokan itu. Karena itu. maka Mahisa Murti pun kemudian berkata, “Baiklah Ki Sarpa Kuning. Aku tidak berkeberatan untuk berada di dalam padepokanmu. Mungkin aku akan merasa berbahagia sekali menjadi murid padepokan itu, karena dengan demikian aku akan dapat meningkatkan ilmuku. Namun apabila aku berpendirian lain, maka dengan leluasa aku akan dapat meninggalkan padepokanku dan meneruskan pengembaraanku yang tanpa tujuan ini”
“Bagus” desis Ki Sarpa Kuning, “jika kalian memang bersedia, aku akan sangat senang. Kalian akan menjadi pengganti kedua orang muridku yang terpaksa aku singkirkan karena tingkah lakunya. Dengan demikian, maka jumlah muridku akan tetap”
“Tetapi apakah padepokan Ki Sarpa Kuning terletak jauh dari sini?” bertanya Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.
“Memang agak jauh” jawab Ki Sarpa Kuning, “tetapi tidak sangat jauh. Kita memang memerlukan bermalam di perjalanan. Namun sebagai pengembara, bukankah kalian telah terbiasa tidur berselimut embun?”
“Ya. Bukan soal lagi bagiku” jawab Mahisa Pukat jadi kapan kita akan berangkat?” Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengerutkan keningnya ketika Ki Sarpa Kuning justru tertawa. Katanya, “Jangan tergesa-gesa. Aku masih mempunyai pekerjaan sedikit di daerah ini”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat termangu mangu sejenak. Namun mereka pun segera teringat akan keterangan pemilik warung dan kedua orang murid Ajar Gemulung.
“Agaknya Ki Sarpa Kuning benar-benar telah terlibat dalam perebutan kekuasaan di Kabuyutan ini” berkata kedua anak muda itu di dalam hiatinya, “dengan pamrih yang dapat menguntungkan rencana besar yang dibuat oleh beberapa orang Kediri, maka Ki Sarpa Kuning telah berusaha untuk menempatkan orang yang akan berada dibawah pengaruhnya di Kabuyutan itu”
Namun nampaknya hal itu akan sangat berarti bagi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Karena itu, maka Mahisa Murti pun kemudian bertanya, “Pekerjaan apakah yang masih harus diselesaikan di sini?”
“Kalian akan mengetahui pada saatnya. Sebenarnyalah bahwa aku tidak sendiri berada di tempat ini. Ada tiga orang yang menyertaiku. Berempat dengan aku sendiri” jawab Ki Sarpa Kuning.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan Namun mereka tidak dapat memaksa Ki Sarpa Kuning untuk mengatakan rencananya pada saat itu juga. Sehingga dengan demikian, maka mereka pun harus menunggu dengan sabar. Tetapi mereka telah dapat membayangkan, apa yang akan dilakukan oleh Ki Sarpa Kuning.
Dalam pada itu, maka Ki Sarpa Kuning pun kemudian berkata, “Aku memang menjelajahi daerah Kediri Sampai jarak yang jauh. Aku mengemban satu tugas yang berat. Karena itu, jika kalian memasuki padepokanku, berarti kalian akan ikut memikul beban yang berat itu. Mungkin tidak dengan saudara seperguruan. Tetapi beberapa kawan dari padepokan lain akan hadir bersama kita dalam tugas tertentu, seperti dua orang muridku yang terpaksa aku binasakan sendiri itu, setelah kawan-kawannya, seperti yang aku katakan, bukan seperguruan, gagal menyingkirkannya”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Sementara itu, Ki Sarpa Kuning pun berkata, “Mungkin kalian kelak juga tidak akan terlalu lama berada di padepokan. Kalian akan mendapat ilmu kalian di sepanjang perjalanan untuk tugas tertentu. Kali ini di Kabuyutan ini. Kita tidak harus mempergunakan sanggar atau ruang khusus untuk berlatih. Kita dapat berlatih di lereng gunung, di hutan atau di lembah-lembah yang curam”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak menjawab lagi. Mereka sadar, bahwa mereka pun akan segera terlibat dalam tugas-tugas yang mendebarkan. Yang pertama akan mereka lakukan adalah campur tangan dalam memperebutkan kekuasaan di Kabuyutan yang tenang itu. Namun yang pada saat terakhir telah diguncang oleh pertentangan di antara mereka setelah mereka kehilangan pemimpin mereka.
Namun dalam pada itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun mulai dengan kebimbangan kebimbangan baru. Jika Ki Sarpa Kuning dengan langsung melibatkan diri dalam pertentangan antara mereka yang ingin memimpin Kabuyutan itu, apakah mereka berdua akan dengan sepenuhnya melibatkan diri pula. Apakah pada suatu saat mereka berdua akan berhadapan dengan orang orang Kabuyutan itu, yang nampaknya telah bersiap-siap justru mempersiapkan senjata senjata yang akan mereka pergunakan. Sehingga dengan demikian, maka nampaknya sudah membayang, kekerasan yang akan timbul di Kabuyutan itu.
Tetapi kedua orang anak muda itu masih belum mengambil sikap apa pun juga. Mereka masih mempunyai waktu untuk membicarakan di antara mereka. Bahkan jika perlu mereka akan minta petunjuk dari Ki Waruju.
Karena itu maka mereka pun tidak lagi menanyakan sesuatu. Ketika Ki Sarpa Kuning kemudian diam saja sambil bersandar sebongkah hatu, maka kedua orang anak muda itu pun sama sekali tidak mengusiknya. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun duduk pula sambil berdiam diri dibayangan daun preh yang rimbun.
Untuk beberapa saat mereka saling berdiam diri. Namun kemudian Ki Sarpa Kuning itu pun berkata, “Kita akan berada di tempat ini sampai seseorang datang”
“Siapa?” bertanya Mahisa Murti hampir di luar sadarnya. “Salah seorang muridku” jawab Ki Sarpa Kuning, “ia akan memberikan beberapa keterangan tentang Kabuyutan ini. Aku tidak berkeberatan jika kalian mendengarkannya. Kalian boleh sejak hari ini mengikuti beberapa kegiatan yang akan kita lakukan pada waktu yang dekat”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak menjawab. Namun mereka justru menjadi semakin berhati-hati. Mereka merasa hahwa mereka baru saja memasuki lingkungan Ki Sarpa Kuning yang bagi keduanya merupakan suatu rahasia yang masih tertutup. Namun mereka telah mendapat kesempatan untuk mengikuti kegiatan tertentu yang penting. Sehingga justru karena itu, maka mereka pun merasa, bahwa ada sesuatu yang harus mereka perhatikan sebaik-baiknya.
Tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itu tidak bertanya lebih lanjut. Mereka kembali duduk sambil berdiam diri di bawah bayangan rimbunnya daun preh.
Sebenarnyalah, setelah beberapa lama mereka menunggu, maka seseorang telah datang mendekati Ki Sarpa Kuning. Tetapi demikian orang itu melihat Mahisa Murti dan mabisa Pukat, maka orang itu pun telah tertegun sejenak.
Tetapi Ki Sarpa Kuning yang melihat orang itu datang, dan tertegun, tersenyum sambil berkata, “Jangan terkejut. Kedua anak muda itu adalah saudara seperguruanmu yang baru. Aku telah memungut mereka dan menjadikan mereka murid-muridku untuk menggantikan dua orang adik seperguruanmu yang telah aku bunuh itu”
Orang itu mengangguk-angguk. Namun kemudian orang itu pun bertanya, “Siapa nama mereka?”
Ki Sarpa Kuning mengerutkan keningnya. Baru kemudian ia berkata, “Bertanyalah sendiri. Aku tidak sempat menanyakannya.”
Orang itu pun kemudian mendekati Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang duduk terkantuk-kantuk. Namun sikap orang itu benar-benar mengejutkan kedua anak muda itu. Dengan kasar orang itu telah mengguncang kaki Mahisa Murti dengan kakinya sambil membentak, “Siapa namamu he?”
Mahisa Murti benar-benar terkejut. Darahnya tiba-tiba saja menggelegak. Untunglah, bahwa ia masih dapat mengendalikan dirinya, sehingga ia tidak berbuat sesuatu. Bahkan ia pun kemudian perlahan-lahan berdiri sambil menjawab, “Namaku Nandi”
“Yang seorang?”orang itu membentak lagi.
“Kawanku. Namanya Wastu” jawab Mahisa Murti sambil berpaling kepada Mahisa Pukat.
Mahisa Pukat pun telah berdiri pula. Ketika orang yang baru datang itu memandanginya, maka Mahisa Pukat pun mengangguk hormat. Sementara itu di dalam hatinya ia mengulang nama yang diberikan kepadanya, “Wastu. Aku tidak boleh lupa”
“Apa alasan kalian, bahwa kalian telah memasuki perguruan kami?” bertanya orang itu.
“Ki Sanak” berkata Mahisa Murti sareh, “Ki Sanak sudah mengenal namaku. Apakah aku boleh mengenal nama Ki Sanak”
Orang itu memandang Mahisa Murti dengan tajamnya. Namun kemudian ia berkata, “Namaku Gajah Wareng”
“Gajah Wareng?” ulang Mahisa Murti.
“Ya. Kenapa?” bertanya orang itu.
“Tidak apa-apa” Mahisa Murti menjawab. Namun ia berkata di dalam hatinya, “Satu nama yang tidak pantas baginya. Hanya orang-orang yang mempunyai kedudukan yang mapan sajalah yang pantas menyebut dirinya bernama Gajah. Tetapi agaknya memang siapa pun dapat membuat namanya sendiri menjadi kebanggaan”
Dalam pada itu, maka Gajah Wareng itu pun bertanya sekali lagi, “Kalian belum menjawab, apa alasan kalian memasuki perguruan kami”
“Kami mendapat tawaran dari Ki Sarpa Kuning. Dan kami pun tidak berkeberatan karena kami memang ingin meningkatkan ilmu kami” jawab Mahisa Murti.
Orang yang bernama Gajah Wareng itu pun berpaling kearah Ki Sarpa Kuning. Kemudian dengan nada rendah ia bertanya, “Jadi guru yang memintanya?”
“Ya” jawab Ki Sarpa Kuning acuh tidak acuh, “sudah aku katakan. Aku memungutnya dan mengambilnya sebagai ganti kedua orang adik seperguruan yang aku bunuh itu”
Orang yang bernama Gajah Wareng itu mengangguk-angguk. Namun katanya kemudian, “Baik. Aku akan memerlakukan kalian seperti aku memerlakukan kedua adik seperguruanku yang terbunuh itu”
“Nah, anak-anak muda” berkata Ki Sarpa Kuning, “sejak saat ini, kau adalah anggauta dari perguruan yang besar ini. Kau berhak menerima tuntunan ilmu. Tetapi kau berkewajiban untuk menjalankan semua perintah dari guru serta saudara-saudara seperguruanmu yang lebih tua”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mulai merasa, bahwa mereka tengah memasuki satu pengalaman baru. Namun karena mereka memang sudah bertekad untuk melakukannya, maka mereka pun telah bersiap menghadapi segala kemungkinan yang dapat terjadi atas mereka.
Dalam pada itu, maka orang yang menyebut dirinya bernama Gajah Wareng itu pun kemudian berkata, “Guru, apakah anak-anak ini dapat kita ikut sertakan dalam tugas-tugas kita di Kabuyutan ini?”
“Ajari mereka untuk mengerti. Kemudian mereka akan dengan patuh melakukan segala perintahmu” jawab Ki Sarpa Kuning. Namun kemudian Ki Sarpa Kuning itu pun melanjutkan, “Tetapi hati-hatilah dengan mereka. Aku melihat keduanya mampu bertahan melawan dua orang murid Padepokan Gemulung”
“O, jadi mereka telah berbekal ilmu?” bertanya Gajah Wareng.
“Ya. Agaknya kita harus menilik ilmu yang telah ada di dalam diri mereka. Kita akan menyesuaikannya, untuk mengisi dan meningkatkan ilmu mereka, sesuai dengan tataran yang ada di dalam perguruan kita” berkata Ki Sarpa Kuning.
“Apakah kemampuan mereka perlu dijajagi untuk menemukan alas peningkatan ilmu mereka?” bertanya Gajah Wareng.
“Terserah kepadamu. Mungkin perlu juga kau lakukan. Sebelum kau mulai dengan mengajarinya, maka kau perlu mengetahui dari mana kau akan mulai” jawab Ki Sarpa Kuning.
Gajah Wareng mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Aku dapat melakukannya sekarang”
“Jangan” berkata Ki Sarpa Kuning, “kita bawa anak-anak ini ke pasanggrahan kita. Kita tidak terlalu tergesa-gesa”
Gajah Wareng mengangguk-angguk. Katanya, “Baik guru. Kita akan pergi ke pasanggrahan”
Ki Sarpa Kuning pun kemudian bangkit pula. Sambil menggeliat ia berkata, “Aku sebenarnya mulai mengantuk. Tetapi marilah, kita akan pergi ke pasanggrahan”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih saja termangu-mangu Bahkan mereka menjadi heran, bahwa Ki Sarpa Kuning itu telah membuat sebuah pasanggrahan di sekitar Kabuyutan yang sedang menjadi sasaran rencananya yang merupakan bagian dari sebuah rencana yang besar.
Tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak berbuat sesuatu. Mereka menurut saja ketika Gajah Wareng memerintahkan kepada mereka untuk berjalan mengikutinya.
“Kau sudah menjadi murid dari perguruan kami, “berkata Gajah Wareng, “kau harus mematuhi segala peugeran yang ada di dalam lingkungan kami”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak menjawab. Mereka mengikut saja kemana kedua orang itu pergi.
Setelah meniti pematang beberapa lamanya, maka mereka pun meloncati parit dan sampai kesebuah jalan setapak, masih di tengah-tengah bulak. Mengikuti jalan kecil itu mereka menuju kearah lereng pegunungan yang menjadi daerah Kabuyutan yang sedang mengalami pergeseran kekuasaan sepeninggal Buyut yang memerintah.
“Paranggrahan kami berada di lereng bukit itu” berkata Gajah Wareng.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak menjawab. Tetapi pengertian tentang pasanggrahan itu sangat menarik perhatian. Karena itu, maka mereka pun telah didorong oleh satu keinginan untuk segera sampai ke lereng bukit dan melihat, apakah benar di lereng bukit itu terdapat sebuah pasanggrahan.
Perjalanan mereka semakin lama menjadi semakin cepat. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun selalu menyesuaikan dengan langkah-langkah Ki Sarpa Kuning dan Gajah Wareng.
Karena itu, maka mereka pun tidak memerlukan waktu yang terlalu lama. Beberapa saat kemudian, mereka telah mulai mendaki lereng bukit berhutan. Mereka menyusup di antara hijaunya dedaunan di lereng gunung dan di antara pepohonan yang tumbuh dengan liar.
Ketika tiba tiba saja Mahisa Murti dan Mahisa Pukat melihat seekor ular yang cukup besar melilit di batang pohon yang tidak terlalu besar, maka mereka pun terkejut, sehingga langkah mereka terhenti.
Namun sambil tertawa Ki Sarpa Kuning berkata, “Jangan takut. Ular adalah sahabatku yang paling baik”
Namun terasa tengkuk kedua anak muda itu merenung ketika mereka merunduk di dekat kepala ular yang justru berkerut dan kemudian justru bergeser mundur.
Diluar sadarnya Mahisa Murti meraba cincin di jarinya, sementara Mahisa Pukat menyentuh gelang Kayu Bulenya. Seolah olah mereka berusaha untuk meyakinkan diri mereka, bahwa bagi mereka ular itupun tidak akan berbahaya.
Demikianlah, setelah menyusup gerumbul-gerumbul perdu di antara pepohonan yang besar, maka ke empat orang tiu pun memasuki Daerah hutan yang tidak begitu lebat. Seolah-olah beberapa bagian dari tetumbuhan di tempat itu telah dibersihkan, sehingga hutan itu memberikan tempat bagi beberapa orang untuk tinggal.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menjadi semakin heran. Mereka dibawa menyusup lebatnya hutan di lereng pegunungan, sehingga mereka sama sekali tidak dapat membayangkan, dimana letaknya pesanggrahan Ki Sarpa Kuning itu.
Namun akhirnya Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itu pun menarik nafas dalam-dalam ketika Gajah Wareng berkata, “sudah sampai”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat melihat sebuah gubug yang terbuat dari kulit kayu dan beratap ilalang.
Sambil tertawa Ki Sarpa Kuning pun kemudian berkata kepada Mahisa Murti dan Mahisa Pukat ”Inilah pesanggrahan itu”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Merekapun sadar, bahwa yang dimaksud dengan pesanggrahan itu adalah sarana yang telah mereka buat untuk tempat tinggal sementara.
Dalam pada itu, ternyata dua orang yang berada di dalam gubug itu telah merunduk, lewat pintu yang rendah, keluar dari gubug itu. Dengan kening yang berkerut mereka melihat Mahisa Murti dan Mahisa Pukat datang bersama Gajah Wareng dan Sarpa Kuning.
“Siapa orang itu?” bertanya salah seorang dari keduanya. Orang berkumis lebat itu memandang Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat berganti-ganti. Namun kemudian katanya, “Nampaknya kedua anak ini tidak meyakinkan”
“Mereka memiliki bekal yang cukup” jawab Ki Sarpa Kuning, “Aku melihat keduanya berkelahi melawan anak-anak dari Gemulung. Menurut penilaianku, keduanya memiliki ilmu yang cukup. Jika mereka berada di antara kita untuk waktu yang cukup lama, maka mereka akan dapat mengikuti pendadaran ilmu dasar dari perguruan kita.
Orang berkumis lebat itu pun kemudian mmendekati Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Katanya kemudian, “Apa kelebihannya sehingga anak ini berani melawan anak-anak Gemulung ?”
“Ilmunya cukup untuk mengimbangi tingkat ilmu orang-orang Gemulung itu” jawab Ki Sarpa Kuning, “katakan kepada Gajah Wareng, sebelum kalian meningkatkan ilmu kedua anak-anak itu sesuai dengan kedudukan mereka sebagai murid dari padepokan kita, maka kalian akan dapat menjajagi. Tetapi hati-hati. Sudah aku katakan, keduanya mampu mengimbangi murid-murid Ajar Gemulung”
“Bukan soal” jawab orang berkumis itu, “anak-anak Gemulung sama sekali tidak berarti apa-apa bagi kita. Seandainya Ajar Gemulung sendiri datang ke padepokan kita, maka murid yang paling lemah di antara kami, akan dapat mengimbangi llmunya. Karena itu, maka murid Gemulung tidak lebih dari seorang cantrik yang paling dungu di perguruan kita”
“Jangan berkata begitu” jawab Ki Sarpa Kuning, “Ajar Gemulung tentu merasa, bahwa dirinya memiliki ilmu yang tinggi”
“Setiap-orang dapat merasa demikian, tetapi kenyataannya. Ajar Gemulung tidak lebih dari orang orang kita yang paling bodoh sekalipun” jawab orang berkumis lebat, “tetapi baiklah. Lebih baik kita menjajaginya sehingga kita akan mendapat kenyataan yang sebenarnya”
“Tetapi biarlah keduanya beristirahat” berkata Ki Sarpa Kuning, “kita tidak tergesa-gesa”
Orang berkumis lebat itupun mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Biarlah keduanya beristirahat. Besok mereka akan mengenal arti perguruan kita sebaik-baiknya. Baru hari berikutnya kita akan meningkatkan ilmu mereka sambil menjalankan tugas kita disini” Gajah Wareng pun kemudian berkata, “Marilah. Masuklah. Kau akan mendapat tempat di dalam pesanggrahan kita”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak menyahut sama sekali. Keduanya pun kemudian memasuki pintu gubug itu. Di dalamnya terdapat sebuah amben bambu yang besar. Agaknya semua orang tidur di amben bambu itu. karena amben itu adalah satu-satunya isi dalam gubug itu.
Sebenarnyalah, terdengar Gajah Wareng berkata, “Kalian akan mendapat tempat di paling tengah, karena kalian adalah orang-orang bungsu di antara kita. Kalian akan terlindung seandainya tiba-tiba saja pesanggrahan kita telah mendapat serangan dari siapa pun juga”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat hanya dapat mengangguk-angguk. Namun kemudian merekapun menjadi berdebar-debar ketika orang berkumis lebat itu berkata, “Letakkan bungkusan kalian itu di amben itu. Atau barangkali kalian memang akan tidur sekarang?” Mahisa Murti termangu-mangu sejenak. Namun katanya, “Kami tidak akan tidur. Tetapi kami akan beristirahat saja barang sejenak”
Orang berkumis lebat itu mengerutkan keningnya. Namun Ki Sarpa Kuning berkata, “Silahkan. Kalian dapat saja beristirahat sepuas-puasnya. Mumpung kau belum mulai dengan satu tugas tertentu”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menjadi berdebar-debar. Arti kata kata itu akan dapat menggelisahkan mereka.
Dalam pada itu, maka kedua anak muda itu pun telah ditinggalkan oleh para pengikut Ki Sarpa Kuning. Dengan ragu-ragu keduanya mengamati gubug yang disebut pesanggrahan itu. Dindingnya yang dibuat dari kulit kayu nampak berlubang-lubang. Sedangkan amben bambu yang merupakan perabot gubug itu satu-satunya dibuat dengan kasar meskipun sempat juga diberi galar dan dibentangkan tikar selembar di atasnya.
Mahisa Pukat lah yang pertama tama duduk diatas amben itu. Terdengar amben itu berderit dan bergoyang sehingga suaranya terasa menggelitik telinga kedua orang anak muda itu.
Baru sejenak kemudian, Mahisa Murti pun duduk pula di amben itu. Sekali lagi amben itu berderit.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun kemudian terdiam sejenak untuk mendengarkan apakah ada orang yang dengan sengaja telah mengamatinya.
Mahisa Murtilah yang kemudian menggeleng lemah. Sementara Mahisa Pukat berdesis, “Mereka telah pergi”
“Tetapi mereka tentu ada di sekitar tempat ini. Mereka tentu mengamati kita jika kita keluar” desis Mahisa Murti.
Mahisa Pukat mengerutkan keningnya. Namun katanya kemudian ”Aku tidak peduli. Aku benar benar akan beristirahat”
Tanpa menunggu jawaban Mahisa Murti, maka Mahisa Pukat itu pun kemudian membaringkan dirinya sambil menguap.
“Kau akan tidur?” bertanya Mahisa Murti.
“Aku memang mengantuk Tetapi aku tidak ingin tidur jawab Mahisa Pukat.”
Mahisa Murti tidak menjawab. Bahkan ia pun kemudian. berdiri dan melangkah ke pintu yang masih tetap terbuka.
Ketika Mahisa Murti berdiri di telundak pintu, maka ia pun melihat dua orang murid Ki Sarpa Kuning duduk dibawah sebatang pohon yang lebat, sementara itu Ki Sarpa Kuning sendiri dan Gajah Wareng tidak nampak olehnya.
“Kemana kedua orang itu?” bertanya Mahisa Murti di dalam hatinya. Namun Mahisa Murti pun kemudian yakin, bahwa kedua orang itu tidak berada dekat di seputar rumah itu, karena Mahisa Murti pun telah mengelilingi ruangan itu dan meyakinkan tidak melihat seorangpuh dari antara lubang-lubang dinding dan tidak pula mendengar suara apa pun juga.
“Tutup pintu itu” desis Mahisa Pukat.
Tetapi Mahisa Murti kemudian menjawab, “Biar saja. Jika pintu itu bergerak, maka mungkin sekali akan menarik perhatian mereka”
Mahisa Pukat tidak menjawab. Sementara itu Mahisa Murti pun telah berbaring pula di sebelahnya sambil berkata, “Malam nanti kita akan tidur di antara mereka. Kita harus mengatur diri. Kita jangan tidur bersama-sama”
“Aku setuju” jawab Mahisa Pukat.
“Nampaknya tempat ini bukan tempat yang nyaman” desis Mahisa Murti.
“Jika demikian, sekarang aku benar-benar ingin tidur” berkata Mahisa Pukat. Namun kemudian, “He, bagaimana kita akan makan?”
“Kita sudah berada di antara para murid Ki Sarpa Kuning. Kita harus menunggu, apakah kita akan mendapat makan dari mereka” jawab Mahisa Murti.
“Baiklah. Kita akan menunggu. Dan aku akan menunggu sambil tidur. Malam nanti, biarlah aku berjaga-jaga lebih lama” berkata Mahisa Pukat.
Mahisa Murti tidak menjawab. Dibiarkannya Mahisa Pukat yang benar-benar ingin tidur, sementara ia akan berjaga-jaga meskipun juga sambil berbaring. Sementara itu, pintu gubug itu masih tetap terbuka. Namun Mahisa Murti telah menempatkan dirinya sedemikian, sehingga ia dapat langsung memandangi ke luar pintu.
Namun nampaknya para murid Ki Sarpa Kuning itu memang tidak berbuat apa-apa pada hari itu. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sama sekali tidak diusiknya. Dibiarkannya kedua anak muda itu berbaring. Meskipun demikian, Mahisa Murti sama sekali tidak tertidur sedang Mahisa Pukat benar-benar telah mendengkur di sampingnya.
Tetapi karena Mahisa Murti juga tidak bergerak-gerak serta pernafasannya yang mengalir dengan teratur, maka seoian-olah ia pun tertidur pula.
Dengan demikian, ketika salah seorang dari murid Ki Sarpa Kuning itu menjenguk kedua anak muda itu, mereka mendapat kesan, seolah-olah keduanya memang sedang tertidur.
Murid Ki Sarpa Kuning itu agaknya telah memanggil kawannya. Ketika kawannya mendekatinya, maka ia pun berbisik, “Keduanya tertidur nyenyak. Mereka benar-benar tidak menaruh kecurigaan apa pun juga terhadap kita”
“Belum tentu” jawab kawannya, “mungkin demikian. Tetapi kemungkinan yang lain adalah, mereka anak-anak muda yang sangat sombong”
Kawannya tidak menjawab. Tetapi Mahisa Murti mendengar desah nafas panjang. Kemudian keduanya pun telati meninggalkan pintu yang masih saja terbuka itu.
Sepeninggal mereka, maka Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Agaknya ia berhasil mengelabuhi kedua murid Ki Sarpa Kuning itu. Namun Mahisa Murti pun sadar, bahwa ia tidak akan dapat mengelabuinya untuk selanjutnya tanpa kemungkinan untuk diketahui.
Namun kedua anak muda itu memang sudah bertekad. Karena itu, apa pun yang akan terjadi, akan mereka hadapi dengan tabah. Apalagi mereka telah memakai cincin dan gelang yang akan dapat membebaskan mereka dari ketajaman racun para pengikut Ki Sarpa Kuning.
Dalam-pada itu, ternyata keduanya mendapat kesempatan yang cukup untuk beristirahat tanpa diganggu oleh siapapun. Meskipun Mahisa Murti tetap tidak tertidur, namun ia pun merasakan bahwa istirahatnya itu dapat menyegarkan tubuhnya. Bagaimanapun juga, ia telah mengerahkan tenaganya saat-saat ia berkelahi melawan orang-orang yang disebut murid-murid dari Gemulung.
Namun Mahisa Murti pun kemudian tidak membiarkan dirinya berbaring diam di amben yang besar itu. Justru karena tidak seorang pun yang mengganggunya, Mahisa Murti merasa aneh.
Sejenak kemudian, maka Mahisa Murti pun telah bangkit dan duduk di bibir pembaringan. Derit amben itu telah membangunkan Mahisa Pukat, sehingga ia pun duduk pula di sebelah Mahisa Murti.
“Kau tidur nyenyak” desis Mahisa Murti.
“Tubuhku menjadi segar. He, apakah kau akan tidur sekarang. Biarlah aku menungguimu” berkata Mahisa Pukat.
Tetapi Mahisa Murti menggeleng. Katanya, “Kita sudah terlalu lama beristirahat tanpa diusik sama sekali. Sebentar lagi senja akan turun. Biarlah kita keluar dan melihat-lihat keadaan di sekeliling gubug yang disebutnya sebagai satu pesanggrahan ini” Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Namun ia pun kemudian bangkit sambil membenahi diri. Katanya, “Rasa-rasanya hari berjalan dengan cepat”
“Tetapi mungkin kerimbunan hutan membuat hari terasa sangat cepat. Marilah kita melihat. Jika kita melihat matahari, kita akan dapat mengira-ngirakan waktu” jawab Mahisa Murti.
“Tetapi kita pun kehilangan kiblat. Mungkin kita akan salah hitung mengetahui kiblat” jawab Mahisa Pukat.
“Kita tunggu matahari mendekati terbenam. Kita akan mengetahui arah Barat. Kita dapat mengira-ngirakan di sebelah mana matahari bergeser sekarang ini. Kita tahu musim dan kita pun akan dapat mengetahui di saat matahari terbit, arah yang pasti” jawab Mahisa Murti pula.
Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Dengan demikian, mereka akan (dapat mengetahui arah, dan membuat perhitungan-perhitungan tertentu yang dalam keadaan yang memaksa akan dapat dipergunakan untuk melindungi diri mereka.
Dengan demikian, maka kedua orang anak muda itu pun membenahi diri. Mereka belum tahu dimana mereka mendapatkan air. Mungkin sebuah belik yang tidak terlalu jauh, atau dengan cara-cara yang lain. Dan mereka pun belum tahu. apakah di malam itu mereka akan mendapatkan makanan.
Ketika mereka berdiri di depan pintu yang masih saja terbuka itu, mereka sudah tidak melihat lagi kedua orang murid Ki Sarpa Kuning di tempatnya.
Namun, merekapun berpaling ketika tiba-tiba saja mereka mendengar suara tertawa.
Kedua anak muda itu menjadi berdebar-debar. Mereka melihat Ki Sarpa Kuning dengan ketiga muridnya berjalan menuju kearah mereka dari sisi.
Meskipun kedua anak muda itu telah bersiap-siap, namun mereka sama sekali tidak menunjukkan kecurigaan apa-apa. Keduanya justru melangkah keluar dan berdiri termangu-mangu di serambi yang rendah.
Dengan wajah cerah, Ki Sarpa Kuning pun kemudian berhenti beberapa langkah dari Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Katanya ”Kita sudah akan mulai. Menurut perhitunganku, kita tidak akan memerlukan waktu yang lama untuk menyelesaikannya. Kemudian tugas kita yang sebenarnya akan mulai. Hutan di lereng bukit ini akan menjadi hak kita. Kita akan dapat berbuat apa saja. Membiarkan hutan ini menjadi semakin lebat, atau menjadikan tanah ini tanah pertanian yang subur”
Mahisa Murti hampir saja membantah. Namun ternyata ia masih mampu menahan diri, sehingga niatnya telah diurungkannya. Namun ia sadar sepenuhnya, bahwa yang akan terjadi adalah, hutan itu akan dibuat menjadi gundul seperti yang akan terjadi dimana-mana. Sama sekali tidak untuk dijadikan tanah pertanian seperti yang dikatakannya.
“Orang itu memang bodoh” berkata Gajah Wareng, “dalam keadaan yang tidak ada pilihan itu, ia masih bertanya, kenapa kita memilih hutan-hutan di lereng pegunungan, sedangkan ada hutan di tanah ngarai yang datar”
Ki Sarpa Kuning tertawa. Katanya, “Mereka memang dungu. Tetapi untunglah bagi kita, bahwa mereka tidak mengetahui makna dari keinginan kita”
“Seandainya orang itu mengetahui, apakah ia akan berani menolaknya?” bertanya Gajah Wareng.
“Kita tidak ingin bertengkar dengan orang-orang Kabuyutan itu. Bukan karena kita takut, tetapi kita tidak mau terganggu apabila kita sudah mulai dengan kerja kita yang sebenarnya” jawab Ki Sarpa Kuning, “yang terjadi sekarang ini sebenarnya tidak lebih dari sekedar persiapan. Baru kemudian kita akan melakukan tugas kita yang sebenarnya” Ki Sarpa Kuning berhenti sejenak, lalu katanya, “Nah, anak-anak. Bersiaplah. Kalian akan mendapat tugas. Disamping tugas-tugas itu, kalian adalah murid muridku yang berhak menerima bimbingan dan pembinaan bagi kemajuan ilmu kalian. Namun karena kalian sudah memiliki dasar ilmu, maka yang ingin kami lihat duhulu adalah kesediaanmu untuk mentaati paugeran perguruan ini. Aku ingin kalian menunjukkan bukti kerja yang berarti bagi perguruan ini”
“Apakah yang harus kami lakukan?” bertanya Mahisa Murti.
“Bersiap-siap sajalah. Mungkin kita akan menunjukkan kepada salah satu pihak di Kabuyutan itu, bahwa kehendak kita tidak dapat di cegah oleh siapa pun juga”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak mendesaknya lagi. Tetapi mereka sudah mengerti, bahwa pada suatu saat mereka harus melakukan tugas khusus di Kabuyutan yang telah kehilangan pemimpinnya itu. Bersama dengan murid-murid Ki Sarpa Kuning yang lain, mereka akan menakut nakuti penduduk yang berpihak kepada menantu Ki Buyut yang sudah tidak ada lagi itu, agar mereka tunduk kepada sikap saudara sepupu Ki Buyut yang juga menginginkan kedudukan tertinggi di Kabuyutan itu.
Namun dengan demikian, telah timbul satu pertentangan di hati kedua orang anak muda itu. Apakah mereka akan tetap berada di antara murid-murid Ki Sarpa Kuning jika mereka harus ikut memaksakan kehendak orang itu terhadap penduduk padukuhan. Penduduk yang sebagian besar berpihak kepada menantu Ki Buyut, namun yang sayangnya lemah hati. Sementara hanya sebagian kecil saja dari penduduk Kabuyutan itu yang berpihak kepada sudara sepupu Ki Buyut.
Tetapi kedua orang anak muda itu masih belum mendapat kesempatan untuk berbicara di antara mereka. Apalagi ketika kemudian Ki Sarpa Kuning mengajak murid-muridnya untuk masuk ke dalam gubugnya.
Namun tiba-tiba saja Mahisa Pukat berkata, “Aku belum mandi. Tetapi aku tidak tahu, dimana aku harus mandi”
Ki Sarpa Kuning mengerutkan keningnya. Namun masalahnya memang sederhana. Karena itu, maka katanya kepada salah seorang muridnya, “Tunjukkan belik di bawah pohon kemuning itu”
“Apakah di sini tidak ada semacam sungai atau parit?” bertanya Mahisa Pukat.
Ki Sarpa Kuning tiba-tiba tertawa. Katanya, “Belik itu cukup besar. Karena itu, maka di bawah belik itu mengalir sebuah parit yang cukup deras” Seorang dari murid Ki Sarpa Kuning itu pun kemudian mengantar kedua anak muda itu pergi ke belik. Murid yang menurut penilaian Mahisa Murti dan Mahisa Pukat agak lebih lunak dari murid-murid yang lain. Orang itu nampaknya tidak seganas Gajah Wareng dan orang berkumis lebat itu.
Meskipun demikian, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat bertindak cukup hati-hati. Bahkan justru orang-orang yang demikian itulah yang mungkin akan dapat mencelakai mereka.
Karena itu, selama mereka menuju ke belik yang berada di bawah pohon kemuning itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sama sekali tidak berbicara apa pun juga, sementara orang yang menyertainya itu pun tidak bertanya apa pun juga.
Namun ketika mereka sudah berada di belik, maka Mahisa Murti pun berkata, “Terima kasih Ki Sanak. Kami akan mandi sejenak. Jika Ki Sanak akan mendahului kami, kami persilahkan”
Orang itu termangu-mangu sejenak Namun kemudian ia pun menjawab, “Aku tidak tergesa-gesa. Silahkan mandi. Aku pun akan mandi”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat termangu-mangu sejenak. Namun mereka tidak dapat mengusir orang itu agar mereka mendapat kesempatan untuk membicarakan langkah-langkah mereka berikutnya”
Namun pada satu kesempatan Mahisa Murti sempat berbisik, “Orang itu mendapat tugas untuk mengawasi kita”
“Jika kita mau kita akan dapat menyingkirkannya” jawab Mahisa Pukat.
“Itu tidak mungkin. Kita harus mempertanggung jawabkannya jika orang itu tidak kembali ke pasanggrahan” berkata Mahisa Murti selanjutnya.
Namun Mahisa Pukat menjawab ”Kau juga menyebutnya pesanggrahan?”
Mahisa Murti tersenyum. Katanya, “Tidak ada sebut lain yang lebih sesuai dari sebutan itu”
Mahisa Pukat pun tersenyum pula. Namun mereka tidak dapat berbicara lebih banyak lagi, karena orang yang menunjukkan jalan kepada mereka itu pun mendekat.
Namun adalah tiba-tiba saja Mahisa Pukat bertanya kepada orang itu, “Ki Sanak. Kenapa gubug itu kalian sebut pesanggrahan?”
Orang itu mengerutkan keningnya. Namun adalah di luar dugaan bahwa orang itu pun kemudian tertawa. Katanya, “Itu adalah satu sebutan yang paling menggelitik hati. Tetapi demikianlah yang dikehendaki oleh guru. Dan kita semua pun mengatakannya demikian pula”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling herpandangan sejenak. Namun mereka pun akhirnya tertawa juga.
“Agaknya Ki Sarpa Kuning juga termasuk orang yang mempunyai selera jenaka” berkata Mahisa Pukat.
“Ya” jawab orang itu, “tetapi dalam keadaan yang lain, maka ia bersikap lain pula. Sebagaimana ia tertawa dalam gurau yang jenaka, maka demikian pula dilakukannya saat ia menusukkan senjatanya ke lambung korbannya”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun mengerutkan keningnya. Namun kemudian katanya, “Tetapi sikapnya tidak menunjukkan kegarangannya”
“Sudah aku katakan. Ia memang tidak melakukannya dengan garang. Tetapi dilakukannya sambil tertawa” jawab orang itu. Namun kemudian, “Tetapi itu tidak berarti bahwa guru tidak dapat bersikap garang. Pada suatu saat guru adalah orang yang paling garang yang pernah aku lihat”
“Apakah Ki Sarpa Kuning membunuh kedua muridnya sambil tertawa pula?” bertanya Mahisa Murti tiba-tiba.
“Dan mana kau tahu?” bertanya orang itu.
“Ki Sarpa Knning sendiri mengatakannya, bahwa ia telah membunuh dua orang muridnya karena mereka telah melakukan satu kesalahan yang besar” jawab Mahisa Murti.
Wajah orang itu menjadi tegang. Namun sekilas kemudian, kesan itu telah ditekannya dalam-dalam ke dalam dadanya, sehingga seolah-olah ia tidak mengalami satu sentuhan perasaan.
Namun yang sekilas itu telah dapat ditangkap oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, meskipun langit menjadi semakin suram dan wajah orang itu pun menjadi semakin kabur.
Tiba-tiba saja orang itu berkata, “Cepat. Jika kalian mau mandi, mandilah. Aku juga akan mandi”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak mendesak lagi. Mereka pun kemudian mandi di belik di bawah pohon kemuning tua yang besar. Sementara itu. maka gelap pun mulai menjamah hutan itu.
Demikian mereka selesai mandi, maka murid Ki Sarpa Kuning itu pun berkata, “Kita sudah selesai. Kita harus segera kembali”, “Aku mengerti, bahwa kita harus kembali. Tetapi kenapa segera?” bertanya Mahisa Pukat
Wajah orang itu menegang. Namun hanya sejenak. Ia berusaha sebagaimana selalu dilakukan untuk menekan perasaannya.
“Kita mempunyai banyak tugas” jawab orang itu, “kita bukan orang-orang malas”
Mahisa Pukat pun tidak mendesaknya lagi. Namun yang tiba-tiba bertanya tentang sesuatu yang paling dibenci oleh orang itu adalah Mahisa Murti, “Ki Sanak. Apakah memang benar, bahwa dua orang murid Ki Sarpa Kuning yang dibunuh itu mendapatkan hukuman mati secara wajar. Maksudku, apakah kesalahannya cukup besar untuk dibunuh oleh gurunya sendiri”
“Cukup” tiba-tiba orang itu membentak ”jangan persoalkan lagi hukuman itu”
“Ki Sanak sudah lama berada dilingkungan perguruan Ki Sarpa Kuning” jawab Mahisa Murti ”aku tidak mempunyai niat apa pun juga, kecuali sekedar bertanya, apakah sudah sepantasnya kedua orang murid itu dihukum mati. Dengan demikian aku ingin mengerti, batas-batas yang paling jauh dari tingkah laku murid-murid Ki Sarpa Kuning. Karena aku adalah orang baru, maka aku tidak ingin terjerumus ke dalam kesalahan yang akan dapat menjerat leherku”
Orang itu tidak segera menjawab. Tetapi ketegangan itu kembali mencengkamnya. Namun yang terdengar adalah geramnya, “Sekali lagi aku peringatkan, jangan persoalkan lagi kematian kedua orang murid Ki Sarpa Kuning itu”
“Kami tidak mempersoalkan kematiannya” sahut Mahisa Pukat, “tetapi bingkai yang harus kami ketahui, agar kami tidak salah langkah keluar dari bingkai itu sehingga kami mengalami nasib yang buruk di luar kesadaran kami, bahwa kami telah melakukan kesalahan”
Orang itu menggertakkan giginya. Namun dengan demikian Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengetahui, bahwa sesuatu tengah bergejolak di dalam hati orang itu. Tentu ada hubungannya dengan peristiwa kematian dua orang murid yang dianggap bersalah itu.
Karena itu, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun berusaha untuk menyudutkan orang itu sehingga pada suatu saat orang itu akan mengatakan sesuatu yang mungkin berarti bagi keduanya. Karena itu, maka Mahisa Murti pun berkata, “Baiklah. Marilah kita kembali. Tetapi jika kau berniat untuk berbaik hati, kau tentu akan mengatakan sesuatu tentang kematian kedua orang itu, agar aku tidak mengalami nasib serupa”
“Peristiwa itu memang merupakan satu hal yang sangat menggelitik hati kami. Bahkan terasa mengerikan” berkata Mahisa Pukat pula.
Orang itu menggeram. Tetapi ternyata dadanya telah menjadi penuh oleh gejolak perasaannya, sehingga hampir di luar sadarnya ia bergumam, “Peristiwa yang sangat aku sesalkan”
“Tentu semua murid Ki Sarpa Kuning menyesali peristiwa itu. Ki Sarpa Kuning pun menyesali pula, justru karena kedua muridnya telah melanggar paugerannya” berkata Mahisa Murti.
“Keduanya memang bersalah” jawab orang itu, “tetapi hukuman mati itu bukan karena kesalahan keduanya. Tetapi karena keduanya jatuh ke tangan orang-orang Singasari. Guru tidak berusaha untuk membebaskannya, tetapi guru telah membunuhnya”
“Maksud Ki Sarpa Kuning tentu wajar sekali, agar kedua orang itu tidak.akan dapat membuka rahasia. Tetapi jika keduanya tidak melakukan satu kesalahan, maka keduanya tidak akan ditangkap oleh orang-orang Singasari” potong Mahisa Pukat.
“Ternyata kau sudah tahu segala-galanya. Kenapa kau bertanya?” desis orang itu.
“AKu baru mendengar dari Ki Sarpa Kuning” jawab Mahisa Pukat ”tetapi apakah memang sebenarnya demikian, atau oleh hal-hal lain yang sebenarnya dilakukan oleh kedua orang itu?”
“Tidak ada hal-hal lain” jawab murid Ki Sarpa Kuning itu, “tetapi sebenarnya guru dapat menempuh cara lain. Ia tidak membunuh kedua muridnya, tetapi membebaskannya dari tangan-tangan orang Singasari itu”
“Tetapi yang dilakukan tidak demikian” sela Mahisa Murti, “Ki Sarpa Kuning telah membunuh mereka”
“Itulah yang gila. Salah seorang dari kedua orang yang terbunuh itu adalah adikku” suara orang itu hampir hilang ditelannya sendiri.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Rahasia itulah yang ternyata tersimpan di dalam dada orang itu. Salah seorang murid Ki Sarpa Kuning yang terbunuh itu adalah adiknya.
Karena itulah, maka meskipun hanya sekilas, terbayang dendam di wajah murid Ki Sarpa Kuning itu. Sehingga ia betapapun kecilnya, akan dapat menjadi benih yang akan dapat tumbuh dan menjadi satu sikap yang dapat menyulitkan kedudukan Ki Sarpa Kuning sendiri.
Dalam pada itu, rasa penyesalan di hati murid Ki Sarpa Kuning itu, justru ia sudah mengatakan bahwa yang terbunuh itu adalah adiknya. Namun ia tidak akan dapat menahan deru angin prahara yang bergejolak di dalam dadanya.
Tetapi rahasia itu sudah dikatakannya. Sementara itu gelap pun menjadi semakin pekat. Murid Ki Sarpa Kuning itu pun kem udian berkata, “Marilah. Kita sudah pergi terlalu lama” ia berhenti sejenak, lalu, “tetapi jangan menyebut kematian kedua murid yang terbunuh itu lagi di hadapan Ki Sarpa Kuning. Menyangkut atau tidak menyangkut adikku yang terbunuh itu. Jika hal itu kalian lakukan, maka aku mempunyai kesempatan untuk berbuat banyak atas kalian berdua”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun mengangguk-angguk. Bagi mereka sikap murid Ki Sarpa Kuning itu merupakan pertanda baik. Jika mereka dengan tepat dapat menanggapi api dendam yang menyala di hati orang itu, maka mereka akan dapat memanfaatkannya untuk kepentingan tertentu.
Namun sementara itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sama sekali tidak menyahut lagi. Mereka pun kemudian menyusuri jalan sempit menuju kembali ke gubug yang disebut Pasanggrahan itu.
Ketika mereka memasuki ruang dalam gubug itu, maka sebuah lampu minyak telah terpasang. Di amben yang besar itu masih berserakan mangkuk, cething dan tenong berisi nasi dan lauk-pauknya.
Ki Sarpa Kuning yang duduk di sudut amben itu memandang mereka bertiga yang memasuki ruang itu sekilas. Tetapi ia pun kemudian tidak menghiraukannya lagi. Sementara orang berkumis lebat itu berkata, “Aku kira kalian akan bermalam di belik itu. He, bukankah kalian belum makan?”
“Belum” jawab murid Ki Sarpa Kuning yang mengantar Mahisa Murti dan Mahisa Pukat ke balik di bawah pohon kemuning tua yang besar itu, “Kami baru selesai mandi”
“Makanlah” berkata orang berkumis itu lagi. Murid Ki Sarpa Kuning yang pernah kehilangan adiknya itu pun kemudian duduk di sebelah cething yang berisi nasi itu sambil berkata kepada Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, “Makanlah, mumpung kalian masih mempunyai kesempatan”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengerutkan keningnya. Namun orang itu kemudian melanjutkan, “Jika tenong ini sudah disingkirkan, maka kesempatan tinggal mencuci mangkuk itu saja”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Namun keduanya pun telah ikut pula bersama orang yang kehilangan adiknya itu makan di amben besar, satu-satunya perabot rumah yang lebih tepat disebut gubug itu. Meskipun gubug yang agak besar.
Dalam pada itu, maka seperti yang dikatakan sebelumnya, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah mendapatkan tempat di tengah-tengah am ben besar itu.
Namun ketika Ki Sarpa Kuning dan murid-muridnya yang lain telah berbaring di amben itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih saja duduk di bibir amben itu sambil bersandar tiang.
“Kalian tidak tidur?” bertanya orang berkumis lebat. “Siang tadi kami tidur nyenyak” jawab Mahisa Murti, “karena itu, sekarang aku tidak mengantuk”
“Terserahlah” berkata Ki Sarpa Kuning kemudian, “aku akan tidur. Besok aku mempunyai tugas yang penting”
Gajah Wareng pun berusaha untuk segera dapat tidur. Sementara itu, maka Mahisa Murti dan mahisa Pukat masih saja duduk sambil berdiam diri. Meskipun orang-orang itu nampaknya sudah tertidur nyenyak, namun mungkin sekali mereka akan mendengar segala pembicaraan. Bahkan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itu tidak berani beranjak dari tempatnya, apalagi membuka pintu dan pergi keluar gubug itu.
Malam terasa menjadi semakin dingin. Sementara itu, nyamuk pun berterbangan mengerumuni orang-orang yang berada di dalam gubug itu. Tetapi keempat orang yang tertidur itu, seakan-akan tidak menghiraukan beberapa ekor nyamuk yang melekat di tubuh dan menghisap darah mereka.
Dengan isyarat Mahisa Pukat mempersilahkan Mahisa Murti untuk tidur. Disiang hari, Mahisa Murti tidak tidur sama sekali, sementara Mahisa Pukat sempat tidur beberapa lamanya.
Mahisa Murti termangu-mangu sejenak. Namun ia pun kemudian bergeser dan menempatkan diri di antara keempat orang yang telah berbaring lebih dahulu.
Dalam pada itu, tinggal Mahisa Pukat sajalah yang duduk bersandar tiang. Namun agaknya ia memang merasa perlu untuk tetap mengamati keadaan.
Tetapi ternyata tidak ada tanda-tanda yang mencuriga kan. Keempat orang penghuni gubug itu benar-benar telah tertidur nyenyak. Sehingga akhirnya, Mahisa Pukat pun telah ikut serta berbering di sisi Mahisa Murti, meskipun seperti yang sudah mereka sepakati, bahwa mereka akan tidur bergantian.
Karena itu, meskipun Mahisa Pukat juga berbaring di sisi Mahisa Murti, tetapi ia tidak memejamkan matanya. Ia bertahan untuk pada saatnya lewat tengah malam, ia akan membangunkan Mahisa Murti.
Dalam pada itu, malam pun menjadi semakin dalam. Udara menjadi semakin dingin. Sementara itu suara kehidu pan malam di hutan terdengar ngelangut.
Bagaimanapun juga mata Mahisa Pukat kemudian diganggu pula oleh perasaan kantuk, namun ia berusaha untuk bertahan. Oleh latihan yang berat dan kebiasaannya yang telah menempanya, maka Mahisa Pukat berhasil mengatasi perasaannya dan tetap sampai lewat tengah malam, meskipun ia juga tetap berbaring di sisi Mahisa Murti.
Baru setelah ia yakin, tengah malam telah lewat, maka menjelang ujung malam, ia telah menyentuh Mahisa Murti beberapa kali, sehingga Mahisa Murti lah yang kemudian terbangun.
Mahisa Murti tidak saja membuka matanya sambil berbaring. Tetapi ia pun kemudian bangkit duduk sambil menggosok matanya.
Sejenak Mahisa Murti duduk mengusir kantuknya yang masih tersisa. Bahkan kemudian ia telah mengguncang tubuh Mahisa Pukat sambil berdisis, “Kau tidak akan keluar”
Mahisa Pukat yang kurang tahu maksudnya justru termangu-mangu. Namun Mahisa Murti mengulang tanpa ragu-ragu, “Kau pergi keluar tidak?”
“Untuk apa?” Mahisa Pukat yang kurang mengerti maksudnya justru bertanya.
“Kalau kau tidak ingin keluar, antar aku keluar” berkata Mahisa Murti.
Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Baru ia mengerti maksud Mahisa Murti. Karena itu, maka ia pun kemudian bangkit sambil berdesis, “Kau tidak berani keluar sendiri?”
“Gelap sekali. Aku belum mengenal daerah ini” jawab Mahisa Murti.
“Kau kira aku sudah mengenalnya?” jawab Mahisa Pukat.
“Kita sama-sama belum mengenal. berkata Mahisa Murti kemudian, “karena itu, marilah, kita berdua keluar sebentar”
Sebelum Mahisa Pukat menjawab, Gajah Wareng yang menggeliat bergumam, “Penakut. Pergilah berdua. Jangan mengganggu orang tidur”
Kedua orang anak muda itu pun kemudian turun dari pembaringan dan melangkah ke pintu.
Tetapi langkah mereka tertegun ketika mereka mendengar Ki Sarpa Kuning tertawa. Katanya, “Gajah Wareng, kau sangka keduanya benar-benar takut? Aku juga merasa terganggu oleh sikap mereka. Tetapi mereka sama sekali tidak didorong oleh perasaan takut meskipun agaknya mereka mempergunakan alasan itu. Tetapi agaknya mereka ingin melepaskan ketegangan karena mereka berada di antara kita hampir semalam suntuk”
“O” Gajah Wareng pun justru bangkit. Tetapi Ki Sarpa Kuning berkata, “Biarkan saja”
Gajah Wareng pun kembali berbaring, sementara Mahisa Murti dan Mahisa Pukat meneruskan langkah kepintu. Perlahan-lahan mereka membuka selarak pintu dan mendorongnya hingga terbuka.
“Persetan” Mahisa Murti bergumam, “orang itu mengerti niat kita”
“Jangan pedulikan” jawab Mahisa Pukat” Mahisa Murti pun tidak menjawab lagi. Tetapi keduanya pun kemudian telah berada di luar gubug yang pengab dan seolah-olah tidak berudara lagi itu.
Diluar terasa udara menjadi segar meskipun dingin. Keduanya sempat menggeliat dan mengendorkan ketegangan. Sebenarnyalah mereka merasa tegang tidur di antara orang-orang yang belum banyak mereka kenal, dan bahkan menyimpan kemungkinan-kemungkinan yang tidak diharapkan.
Kedua anak muda itu berada di luar gubug itu untuk beberapa lama. Mereka menghirup udara dan menggeliat sambil menguap. Namun tiba-tiba terasa sesuatu telah mengenai tubuh mereka. Tidak hanya sekali dua kaii. Tetapi beberapa kali.
Keduanya menjadi curiga. Akhirnya keduanya menyadari, bahwa mereka telah dikenai dengan kerikil-kerikil kecil yang dilontarkan dari dalam gelapnya hutan.
Kedua anak muda itu saling berpandangan. Namun keduanya tidak segera dapat mengambil satu kesimpulan.
Bahkan Mahisa Pukat yang kemudian mendekati Mahisa Murti berdesis, “Kau merasakan sesuatu?”
“Ya, sentuhan kerikil-kerikil yang tentu sengaja dilemparkan oleh seseorang” jawab Mahisa Murti sambil berbisik.
Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak mengatakan sesuatu. Dengan cermat kedua anak muda itu berusaha untuk mengetahui, dari arah manakah kerikil-kerikil itu dilontarkan.
Ternyata mereka masih merasakannya. Kerikil-kerikil itu masih menyentuhnya. Tidak terlalu keras, tetapi cukup menggelitik keduanya.
“Apakah kita akan mencarinya?” bertanya Mahisa Pukat.
“Aku menjadi bimbang” jawab Mahisa Murti, “aku sebenarnya ingin mengetahui, siapakah yang telah melemparkan kerikil-kerikil itu. Tetapi jika kita terlalu lama berada di luar, apakah orang-orang di dalam gubug itu tidak menjadi curiga”
“Tetapi agaknya kita tidak perlu terlalu lama mencari” jawab Mahisa Pukat ”orang itu agaknya memang memanggil kita. Lemparan-Iemparan kerikil ini terasa maksudnya”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih saja ragu-ragu. Namun mereka pun sadar, bahwa orang itu tentu memiliki ilmu yang jauh lebih baik dari ilmu kedua orang anak muda itu.
“Seandainya orang itu berniat buruk, maka lontaran pisau akan dapat membunuh kita berdua” desis Mahisa Pukat.
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Jawabnya, “Ya Aku mengerti. Tetapi bagaimana dengan orang-orang di dalam gubug itu?”
“Kita hanya memerlukan waktu sedikit saja. Jika kita tidak segera menemukannya, kita akan segera kembali” berkata Mahisa Pukat.
Mahisa Murti masih bimbang. Namun terasa kerikil itti menjadi semakin sering menyentuhnya. Sehingga karena itu, maka katanya, “Baiklah. Kita pergi ke kegelapan itu sejenak. Tetapi hati-hatilah. Mungkin kita telah dijebak”
Keduanya pun kemudian begerak mendekati bayangan gerumbul yang sangat pekat. Mereka menganggap bahwa lontaran-lontaran kerikil itu datang dari tempat itu.
Beberapa saat kemudian, selagi keduanya masih belum terbenam dalam kekelaman bayangan rimbunnya gerumbul-gerumbul itu, terdengar suara, “Cukup dekat. Jangan maju lagi. Kau diawasi oleh seseorang dari pintu gubuk itu”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat berpaling di luar sadar mereka. Sebenarnyalah, mereka melihat bayangan lampu minyak yang bergerak. Agaknya memang ada seseorang yang mengamatinya dari dalam rumah gubug yang disebut pesanggrahan itu.
“Berdiri sajalah di situ. Orang yang mengawasimu itu tidak akan melihat dengan jelas, apa yang kau lakukan” berkata suara itu, “Asal kau masih dapat dilihatnya dari tempatnya, itu sudah cukup”
“Siapa kau” desis Mahisa Murti.
“Kau tentu tidak mengenal aku, karena aku bersembunyi” jawab suara itu. Lalu, “Tetapi apakah kau masih ingat dengan seorang petani yang bernama Waruju?”
“O, kau?” desis Mahisa Pukat.
“Ya. Aku Ki Waruju” jawab suara itu, “hampir aku kehilangan kesabaran untuk menemuimu malam ini. Tetapi aku memang sengaja mengawasimu. Mungkin kau menemui kesulitan berada di dalam lingkungan orang-orang itu. Tetapi agaknya hari pertama ini kau tidak mengalami kesulitan apa-apa. Bukankah begitu?”
“Ya Ki Waruju” jawab Mahisa Murti, “hari ini kami tidak mengalami kesulitan”
“Bagus. Agaknya harapanku itu benar-benar terjadi. Meskipun demikian aku tidak sampai hati membiarkan kalian berdua mengatasi sendiri apabila kalian mendapat perlakuan yang tidak wajar dari Ki Sarpa Kuning” berkata Ki Waruju, “sykurlah Sekarang kembalilah ke pesanggrahan itu. Aku akan berusaha untuk dapat selalu mengamatimu. Tetapi mungkin kalian pada saat-saat tertentu lepas dari pengamatanku karena aku sedang berada di sawah. Karena itu, kalian harus selalu berhati-hati”
“Baik. Aku akan selalu mengingat pesan Ki Waruju” jawab Mahisa Murti.
“Pertemuan kita kali ini sudah cukup. Aku tidak mempunyai kepentingan khusus. Tetapi jangan terlalu tergantung kepada kehadiranku. Jika kalian membuat perhitungan sesuatu, anggap bahwa aku tidak ada” berkata Ki Waruju, “dengan demikian maka segala perhitungan tergantung kepada kekuatan kalian sendiri”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk, sementara Ki Waruju itu berkata selanjutnya, “Meskipun demikian, aku berusaha untuk selalu dekat dengan kalian. Hanya di siang hari aku tidak akan dapat terlalu dekat”
“Terima kasih jawab Ki Waruju ”Kami mengerti maksud Ki Waruju”
“Nah, kembalilah. Agar kalian tidak dkurigai oleh orang-orang dalam gubug itu” berkata Ki Waruju selanjutnya”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukatpun kemudian melangkah surut. Mereka sadar, bahwa orang-orang di dalam gubug itu memang berusaha untuk mengamatinya, meskipun tidak semata-mata. Karena itu, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun dengan sengaja telah berhenti pula di halaman yang tidak terlalu kelam oleh dedaunan yang padat. Mereka berbincang tentang apa saja dan seolah-olah mereka benar-benar sedang melepaskan ketegangan tanpa maksud apa-apa.
Orang yang berada di dalam gubug itu melihat dalam gelapnya malam bayangan keduanya. Tetapi mereka memang tidak tahu dengan pasti, apa yang telah dilakukan oleh kedua anak muda itu. Bahkan mereka mendengar suaranya, tetapi tidak jelas apa yang di bicarakannya.
Ki Sarpa Kuning sendiri adalah orang yang memiliki ilmu yang tinggi. Ia memiliki ketajaman penglihatan melampaui murid-muridnya. Tetapi Ki Sarpa Kuning itu pun tidak melihat apa yang dilakukan oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Namun nampaknya keduanya tidak melakukan sesuatu yang berbahaya. Meskipun demikian, akhirnya Ki Sarpa Kuning itu berkata, “Cepat sedikit. Apa saja yang kalian lakukan? Pintu yang terbuka itu membuat udara sangat dingin”
“Silahkan pintunya ditutup saja” jawab Mahisa Murti.
Tetapi Ki Sarpa Kuning berkata, “Cepat. Masuklah. Jangan menjawab lagi”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak membantah lagi. Mereka pun kemudian melangkah kepintu yang masih sedikit terbuka itu. Demikian mereka berada di dalam. maka mereka telah menutup pintu rapat-rapat dan menyelaraknya. Sehingga Ki Sarpa Kuning berdesis, “Nah, bukankah dengan demikian udara terasa hangat?”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak menjawab lagi. Tetapi mereka tidak segera berbaring di tempatnya. Keduanya masih saja duduk di bibir pembaringan untuk beberapa saat. Namun sementara itu, tidak ada lagi orang yang menghiraukan mereka, sehingga akhirnya keduanya pun telah berbaring pula di tempat mereka semula.
Meskipun demikian, Mahisa Murti benar-benar tidak tertidur lagi sebagaimana disepakati bersama dengan Mahisa Pukat. Meskipun Mahisa Murti seolah-olah telah tertidur pula seperti Mahisa Pukat, namun sebenarnyalah ia berjaga-jaga dengan hati-hati.
Namun dalam pada itu, sama sekali tidak terjadi sesuatu atas kedua anak muda itu. Ki Sarpa Kuning dan ketiga orang muridnya sama sekali tidak berbuat sesuatu. Mereka membiarkan saja Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tetap berbaring ketika mereka terbangun dan keluar dari gubug mereka. Bahkan seorang di antara murid-murid Ki Sarpa Kuning itu telah menjerang air dan menanak nasi.
Tetapi justru karena itu, kedua anak muda itu menjadi curiga.
Dalam pada itu, ketika Mahisa Murti dan Mahisa Pukat akhirnya bangkit juga dari pembaringan mereka, dan selagi keduanya keluar dari pintu gubug itu, maka orang berkumis, salah seorang murid Ki Sarpa Kuning itu pun berkata, “Nah, kau sudah cukup tidur. Makan telah tersedia. Karena itu, makanlah”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat termangu-mangu. Namun Mahisa Murti telah menjawab, “Tetapi kami belum mandi”
Orang berkumis itu menggeram. Namun Gajah Wareng lah yang kemudian berkata ”Mandilah, dan makanlah. Jangan menunggu kami menjadi muak”
Rasa-rasanya ada sesuatu yang akan terjadi. Namun Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih saja berusaha untuk tidak memberikan kesan apa pun juga.
Bahkan Mahisa Pukat pun berkata seolah-olah tidak merasakan sesuatu atas sikap murid-murid Ki Sarpa Kuning itu, “Baiklah. Kami akan mandi dahulu di belik itu”
“Cepat” bentak Gajah Wareng, “aku tidak sabar lagi menunggu”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun telah melangkah. Tetapi Gajah Wareng berkata kepada kawannya yang kemarin mengantarkan kedua anak muda itu, “Pergilah. Kau juga belum mandi”
Orang itu pun mengangguk kecil. Meskipun seakan-akan dari sorot matanya terbaca gejolak perasaannya.
Ketiga orang itu pun kemudian pergi ke belik untuk mandi. Sementara itu, Mahisa Murti telah mencoba untuk bertanya, “Aku tidak mengerti sikap Ki Sarpa Kuning dengan murid-muridnya. Mereka kadang-kadang nampak ramah dan baik hati, tetapi kadang-kadang wajah mereka menjadi seram dan menakutkan”
“Kau belum terbiasa dalam perguruan kami” jawab orang itu. Lalu, “Pada suatu saat kau akan terbiasa dengan sifat-sifat mereka. Mereka dapat lunak seperti sutera. Tetapi mereka kadang-kadang keras seperti batu hitam. Dan kadang-kadang menjadi tajam setajam duri landak”
“Membingungkan. Apakah ketika kau memasuki perguruan ini kau tidak menjadi bingung?” bertanya Mahisa Pukat.
“Aku membiasakan diri selama sepuluh bulan. Baru kemudian aku menjadi biasa dan mengerti apa yang harus aku lakukan. Pada saat yang demikian, baru terasa bahwa tempat ini agak kurang sesuai dengan pribadiku. Tetapi aku sudah terlambat. Aku tidak dapat keluar lagi dari tempat ini” ia berhenti sejenak, lalu, “Agak berbeda dengan adikku. Ia justru merasa tempat ini adalah tempat yang paling sesuai dengan dirinya”
“Apakah adikmu menyusul kemudian?” bertanya Mahisa Murti.
“Kami datang bersama-sama” jawab orang itu. Kemudian, “Tetapi ia pergi lebih dahulu justru ialah yang menganggap tempat ini adalah tempat yang paling baik
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Keduanya semakin mengenal orang yang pendiam itu. Orang yang lebih banyak berbuat daripada berbicara. Meskipun wajahnya nampak keras dan garang, namun ternyata isi dadanya jauh lebih lunak dari wadagnya itu. Justru karena ia merasa tersesat memasuki perguruan itu.
Dalam pada itu, Mahisa Pukat pun bertanya pula, “Jika kau merasa tidak sesuai dengan tempat ini, kenapa kau tidak meninggalkannya?”
“Terlambat” jawab orang itu, “sudah aku katakan, bahwa ketika aku menyadari bahwa tempat ini kurang sesuai bagiku, aku tidak mempunyai kesempatan lagi untuk pergi. Kecuali jika aku memang sudah tidak ingin lagi hidup.
“Mereka mengancammu?” bertanya Mahisa Murti.
“Bagi perguruan ini, siapa pun yang tidak lagi diperlukan, maka mereka akan disingkirkan dalam arti yang sebenarnya” jawab orang itu.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Namun dalam pada itu, Mahisa Murti pun bertanya, “Kenapa mereka tergesa-gesa memaksa aku mandi dan makan? Apakah ada tugas yang akan segera kita lakukan?”
“Ya. Kita akan pergi ke Kabuyutan di bawah” jawab orang itu, “tetapi apakah sebelumnya ada sesuatu yang penting akan dilakukan oleh guru, aku tidak mengetahuinya”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Namun mereka telah mendapat gambaran lebih banyak tentang perguruan yang aneh itu, perguruan yang diliputi oleh tajamnya racun dan bisa.
Beberapa saat lamanya Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mandi. Murid Ki Sarpa Kuning yang mengantarkan itu pun mandi pula, meskipun ia berkata, “Aku tidak terbiasa mandi sepagi ini. Aku mandi kapan saja aku mau. Kadang-kadang sehari penuh aku tidak mandi. Tetapi kadang-kadang sampai tiga kali atau lebih lagi”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak menjawab. Tetapi dengan demikian mereka mendapat gambaran lebih banyak lagi. Kehidupan di perguruan itu memang tidak teratur.
“Jangan terlalu lama” berkata murid Ki Sarpa Kuning itu kemudian” kita tentu dan ditunggu”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itu pun segera kembali ke pesanggrahan bersama murid Ki Sarpa Kuning yang menyertai mereka.
Sebenarnyalah, mereka memang sudah ditunggu. Dengan tergesa-gesa mereka pun kemudian makan dan minum. Namun sebelum mereka selesai, Ki Sarpa Kuning telah memberikan penjelasan tentang rencananya hari itu.
“Kita akan pergi ke padukuhan di ujung Kabuyutan itu” berkata Ki Sarpa Kuning, “hari ini kedua anak muda itu belum sempat mendapat latihan-latihan dan pengenalan diri mereka. Tetapi hal itu akan segera dilakukan. Meskipun demikian, kalian telah terikat oleh paugeran ini”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak menjawab. Namun mereka mengangguk-angguk kecil. Bagaimanapun juga, mereka harus menunjukkan, bahwa mereka akan berusaha untuk menjadi murid yang baik.
Demikian mereka yang makan itu selesai, maka Ki Sarpa Kuning pun berkata, “Kita akanberangkat. Hari ini kita berjanji untuk mengunjungi mereka. Padukuhan yang memiliki penghuni paling baik dari seluruh Kabuyutan. Mereka menghargai sikap yang wajar tanpa dibuat-buat. Mereka menerima pemimpin yang paling baik yang akan dapat membuat Kabuyutan mereka menjadi Kabuyutan yang besar, subur dan sejahtera”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak bertanya apa pun juga. Tetapi ia dapat menghubungkan hal itu dengan keterangan yang pernah mereka dengar di kedai, bahwa dua padukuhan merupakan pengukung dari saudara sepupu Ki Buyut yang sebenarnya tidak berhak untuk mewarisi jabatan itu, karena Ki Buyut mempunyai seorang anak perempuan. Namun sayang bahwa menantunya adalah orang yang berhati lemah, sehingga ia hampir tidak pernah berbuat sesuatu untuk mendapatkan jabatan tertinggi di Kabuyutan itu.
Demikianlah, maka beberapa saat kemudian, Ki Sarpa Kuning bersama dengan lima orang muridnya telah meninggalkan pesanggrahannya dan melangkah menuju ke Kabuyutan yang sedang bergejolak itu.
“Kita akan memiliki hutan-hutan di pegunungan ini” berkata Ki Sarpa Kuning, “hutan ini akan kita buka menjadi tanah pertanian. Kita akan menebangi semua pepohonan agar kita dapat memanfaatkan tanahnya?”
Demikianlah, maka beberapa saat kemudian, Ki Sarpa Kuning bersama dengan lima orang muridnya telah meninggalkan pesanggrahannya dan melangkah menuju ke Kabuyutan yang sedang bergejolak.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan. Namun mereka yakin bahwa Ki Sarpa Kuning tahu benar akan ucapan-ucapannya. Ki Sarpa Kuning tentu tahu, bahwa dengan menjadikan lereng pegunungan itu daerah yang tidak berpohon, maka bencana akan menyerang daerah subur yang memberikan alas persediaan makanan bagi Singasari. Sawah dan ladang di setiap tahun akan mengalami bencana. Banjir atau kekeringan.
Demikianlah, maka iring-iringan kecil itu pun kemudian menuruni lereng bukit dan keluar dari daerah berhutan yang hijau rimbun. Perlahan-lahan mereka melangkah maju melalui padang rumput dan perdu yang sempat. Kemudian mereka telah memasuki bulak-bulak persawahan.
“Kita menuju kepadukuhan yang nampak itu” berkata Ki Sarpa Kuning, “kita akan meyakinkan mereka, bahwa mereka tentu akan dapat mencapai kemenangan dalam persoalan yang sedang mereka hadapi. Sebenarnyalah saudara sepupu Ki Buyut itulah yang berhak atas kedudukan itu, karena Ki Buyut yang telah meninggal itu sebenarnya telah merampas hak saudara sepupunya”
Keterangan itu sangat menarik bagi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Mungkin hal itu sekedar merupakan alasan. Tetapi keterangan itu tentu akan melengkapi pengetahuannya terhadap seluruh Kabuyutan itu.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang merasa bahwa ke terangan Ki Sarpa Kuning itu ditujukan kepada mereka pun telah memperhatikannya dengan sungguh-sungguh, karena murid-murid Ki Sarpa Kuning yang lain tentu telah mengetahuinya.
Dengan tanpa berpaling kearah kedua anak muda itu, Ki Sarpa Kuning berkata lebih lanjut, “Ayah saudara sepupu Ki Buyut yang meninggal itulah yang seharusnya menerima warisan kedudukan Buyut di Kabuyutan itu. Tetapi tanpa diketahui sebabnya, maka orang itu telah meninggal. Sementara itu, anaknya masih terlalu kecil untuk dapat menggantikannya. Dalam keadaan yang tidak menentu, maka ayah Ki Buyut itulah yang kemudian mengambil alih kekuasaan saudaranya yang meninggal itu. Sehingga akhirnya, kedudukan itu telah di warisi pula oleh Ki Buyut. Tetapi sepeninggal Ki Buyut, kedudukan itu kembali menjadi persoalan. Saudara sepupunya yang bukan kanak-kanak lagi sebagaimana saat ia ditinggalkan oleh ayahnya, sehingga ia tidak kehilangan untuk yang kedua kalinya”
Mahisa Murti termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun bertanya, “Apakah saudara sepupu Ki Buyut itu lebih tua dari Ki Buyut yang telah meninggal itu?”
“Ya. Aliran darah di dalam tubuhnya lebih tua dari Ki Buyuf yang meninggal meskipun umurnya lebih muda sedikit dari Ki Buyut yang meninggal itu” jawab Ki Sarpa Kuning.
Mahisa Murti tidak bertanya lagi. Tetapi ia tidak dapat mempercayai sepenuhnya ceritera tentang saudara sepupu Ki Buyut itu.
Demikianlah, maka mereka pun telah berada di ngarai yang luas. Selangkah demi selangkah mereka mendekati padukuhan yang oleh Ki Sarpa Kuning disebut padukuhan yang paling baik dan dihuni orang-orang yang paling pandai di seluruh Kabuyutan yang sedang bergejolak itu.
Padukuhan itu memang sebuah padukuhan yang besar. Agak lebih besar dari padukuhan padukuhan yang lain. Sementara itu Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun pernah mendengar bahwa ada dua padukuhan yang mendukung saudara sepupu Ki Buyut itu untuk memegang jabatan yang kosong itu. Tetapi Kabuyutan yang lain berpihak kepada menantu Ki Buyut yang telah meninggal dunia itu.
Ternyata kedatangan Ki Sarpa Kuning ke Kabuyutan itu sama sekali tidak mengejutkan penghuninya yang rasa-rasanya sudah mengenalnya. Bahkan beberapa orang telah menyapanya dengan ramah dan tersenyum sambil menganggukkan kepalanya.
“Agaknya Ki Sarpa Kuning telah sering datang ke Ka buyutan ini” berkata Mahisa Murti dan Mahisa Pukat di dalam hatinya.
Sebenarnya kedatangan Ki Sarpa Kuning saat itu bukannya untuk yang pertama kali. Sebelumnya ia memang sudah beberapa kali mengunjungi saudara sepupu Ki Buyut yang sudah meninggal itu dan membicarakan berbagai kemungkinan yang dapat dilakukannya.
Karena itu, maka kedatangannya itu pun telah disambut dengan baik oleh orang-orang yang menghuni padukuhan itu.
Perlahan-lahan iring-iringan itu maju menyusuri jalan padukuhan menuju ke sebuah halaman rumah yang cukup luas. Halaman rumah yang menjadi pusat perhatian bukan saja penghuni padukuhan itu, tetapi juga padukuhan pa dukuhan di sekitarnya.
Ketika iring-iringan itu memasuki regol halaman rumah itu, maka seorang yang bertubuh tinggi, kekar dan berdada bidang, diiringi oleh dua orang laki-laki yang memiliki tubuh yang sama seperti orang yang pertama, telah menyongsongnya.
Sambil tersenyum orang itu berkata, “Marilah Ki Sarpa Kuning. Kami sudah menunggu sejak kemarin”
Ki Sarpa Kuning tertawa. Katanya ”Aku sedang mempersiapkan diri. Seperti yang aku katakan, maka aku telah datang dengan murid-muridku. Mereka akan dengan senang hati membantu usaha Ki Sendawa untuk menegakkan keadilan di Kabuyutan ini”
Orang bertubuh raksasa itu tersenyum. Katanya, “Nampaknya orang-orang dungu itu benar-benar tidak dapat dikasihani. Mereka menjadi putus asa dan dengan membabi-buta berusaha mempertahankan keinginan mereka dengan kekerasan. Di beberapa tempat pande-pande besi dikerahkan untuk membuat senjata. Dengan demikian, maka mereka lelah mempersiapkan perlawanan untuk mempertahankan ketamakan yang sudah harus dihentikan itu”
Ki Sarpa Kuning tertawa. Katanya, “Semakin cepat mereka mengangkat senjata, akan menjadi semakin baik. Tetapi aku tetap menasehatkan, agar Ki Sendawa tidak mendahului menyerang mereka dengan kekerasan. Dengan demikian, maka Ki Sendawa tidak dapat dituduh membangkitkan perselisihan berdarah di Kabuyutan ini, karena bagaimanapun juga, kemungkinan Akuwu akan menilai keadaan untuk mengambil satu keputusan, akan menentukan sekali”
“Aku sependapat” berkata Ki Sendawa, yang kemudian mempersilahkan tamu-tamunya untuk duduk di pendapa
“Tetapi keadaan seperti ini sangat menegangkan. Seolah-olah tidak akan ada habis-habisnya”
Ki Sarpa Kuning tersenyum. Katanya, “Itu merupakan satu ujian bagi Ki Sendawa. Namun, bukan berarti bahwa Ki Sendawa hanya dapat menunggu sambil berdiam diri”
“Apa yang sebaiknya aku lakukan?” bertanya Ki Sendawa.
“Seperti yang sudah pernah aku sarankan” jawab Ki Sarpa Kuning ”menyatakan diri sebagai Buyut yang memerintah Kabuyutan ini dan mewajibkan semua orang tunduk kepada perintah Ki Sendawa sebagai Buyut yang baru”
“Jika mereka tidak bersedia tunduk akan perintahku?” bertanya Ki Sendawa.
“Ki Sendawa dapat bertindak atas nama penguasa di Kabuyutan ini” jawab Ki Sarpa Kuning, “siapa yang menentang perintah Ki Sendawa, berarti menentang perintah Ki Buyut yang berkuasa. Orang itu dapat ditangkap”
“Bukankah itu berarti aku mempergunakan kekerasan?” bertanya Ki Sendawa.
“Tidak. Tetapi itu adalah hak Ki Buyut” jawab Ki Sarpa Kuning.
“Mereka akan menentang” jawab Ki Sendawa, “apalagi mereka merasa jumlah mereka lebih banyak. Bukankah sudah aku katakan, bahwa mereka telah mempersiapkan senjata? Setiap laki-laki akan bersenjata dan akan menentang setiap tindakanku”
“Bukankah itu yang kita tunggu?” Kita akan menuduh mereka melakukan satu pemberontakan. Kita akan dapat menindak mereka dengan kekerasan. Bukan kita yang mendahului, tetapi mereka. Kita bertindak setelah mereka melakukan pemberontakan” berkata Ki Sarpa Kuning.
“Jumlah mereka jauh lebih banyak” berkata Ki Sendawa. “Jumlah itu tidak berarti. Laki-laki di padukuhan padukuhan yang mendukung Ki Sendawa cukup banyak, meskipun tidak sebanyak pihak lawan. Tetapi kami berenam dapat Ki Sendawa nilai sama dengan orang-orang dungu itu sebanyak lima atau enam padukuhan?” berkata Ki Sarpa Kuning.
“Seorang di antara kalian dapat melawan orang sepadukuhan?” bertanya Ki Sendawa.
“Aku hanya memerlukan sejumlah orang untuk mengacaukan perhatian mereka” jawab Ki Sarpa Kuning.
Ki Sendawa termangu-mangu. Ia tidak mengerti maksud Ki Sarpa Kuning, sehingga Ki Sarpa Kuning itu menjelaskan, “Salah seorang dari kami, akan dapat melawan laki-laki sepadukuhan jika beberapa orang membantu kami. Mereka hanya memancing berhatian dan bertahan. Sementara kami akan menghancurkan yang lain, yang bukan merupakan persoalan yang sulit. Apalagi jika sudah sampai kepada puncak kekerasan, sehingga kami menggenggam senjata di tangan. Maka kami akan dapat bekerja dengan cepat”
Ki Sendawa mengangguk-angguk. Namun dalam pada itu, terasa tengkuk Mahisa Murti dan Mahisa Pukat meremang.
Namun dalam pada itu, Ki Sarpa Kuning berkata, “Tetapi kami bukan pembunuh biadab yang tidak mengenal peri kemanusiaan. Kami hanya membunuh dalam keadaan yang terpaksa sekali. Karena itu, maka jika harus terjadi kekerasan pada tataran pertama, kami tidak akan mempergunakan senjata. Sukurlah jika orang-orang dungu itu segera menyadari kekeliruan mereka, sehingga mereka tidak memerlukan langkah kekerasan yang lebih tajam lagi”
Ki Sendawa mengangguk-angguk. Kemudian katanya, “Apakah yang akan kalian lakukan pertama-tama?”
“Sudah aku katakan” jawab Ki Sarpa Kuning, “angkat dirimu sendiri sebagai Buyut. Berikan perintah. Yang tidak mau tunduk, harus dianggap sebagai pemberontak. Kami akan memaksa mereka tunduk kepada semua perintahmu. Nah, jika mereka kemudian melawan dengan senjata, barulah kami akan mempergunakan senjata pula, bersama-sama orang-orang yang mendukungmu”
Ki Sendawa mengangguk-angguk. Ia sudah mempunyai gambaran, apa yang harus dilakukannya. Dan ia pun ternyata sependapat dengan Ki Sarpa Kuning. Padahal menurut penilaian Ki Sendawa, upah yang dituntut Ki Sarpa Kuning sama sekali tidak memadai. Ki Sarpa Kuning hanya menghendaki hutan di lereng perbukitan yang termasuk wilayah Kabuyutan yang sedang bergejolak itu.
Namun Ki Sendawa sama sekali tidak mengetahui, bahwa yang dilakukan oleh Ki Sarpa Kuning itu bukan berdiri sendiri. Di tempat lain, di lereng pebukitan yang lain, maka sekelompok orang telah melakukan hal yang sama. Bahkan ada di antara mereka yang dengan serta mereka menebangi hutan-hutan di lereng bukit yang menghadap daerah persawahan yang dapat mendukung persediaan makan bagi Singasari.
Ternyata Ki Sendawa tidak menunda rencananya lebih lama lagi. Ia pun kemudian mengumpulkan pendukung-pendukungnya untuk menentukan, langkah yang segera akan mereka ambil.
“Sambil menunggu Keputusan Akuwu, maka aku akan menyatakan diri sebagai orang yang bertanggung jawab atas pedukuhan ini” berkata Ki Sendawa kepada para pendukungnya.
Ternyata para pendukungnya sependapat. Salah seorang dari mereka justru berkata, “Jika akan terjadi sesuatu biarlah segera terjadi. Dengan demikian semuanya akan segera menjadi jelas. Yang akan mukti biarlah mukti, yang akan mati biarlah mati”
Ki Sendawa mengangguk angguk. Bahkan ia pun kemudian berkata ”Pada purnama naik sepekan mendatang, aku akan menyatakan diri menjadi Buyut yang berkuasa sepenuhnya di Kabuyutan Talang Amba. Kabuyutan yang memiliki kemungkinan yang sangat baik bagi kesejahteraan di hari depan”
“Kita akan menyelenggarakan semua persiapannya” berkata salah seorang pendukungnya, “kita tidak perlu menghiraukan lagi orang-orang lain mengigau tentang hak”
“Aku adalah orang yang paling berhak atas Kabuyutan ini. Hanya karena ayahku meninggal di saat aku masih terlalu kecil, maka aku tidak dapat menggantikan kedudukannya dan dengan serakah telah diambil oleh pamanku sendiri” jawab Ki Sendawa ”bahkan tidak mustahil bahwa kematian ayahku itu adalah satu akibat dari rencana yang telah tersusun sebelumnya. Jika benar demikian, maka adalah hakku, bukan saja mengambil jabatan yang ditinggalkan oleh ayahku itu kembali, tetapi juga menuntut balas atas kematian ayahku itu”
“Ki Sendawa telah melangkah ke arah yang benar” berkata Ki Sarpa Kuning, “kami akan membantu sejauh dapat kami lakukan”
“Baiklah” berkata Ki Sendawa, “sebaiknya kalian tinggal saja di padukuhan ini agar semua rencana dapat kami katakan tanpa saling menunggu”
Ki Sarpa Kuning berpaling ke arah murid-muridnya. Sementara itu Gajah Wareng berkata, “Aku sependapat dengan Ki Sendawa guru”
Ki Sarpa Kuning mengangguk-angguk. Namun tiba-tiba ia memandang kearah Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sambil bertanya, “Bagaimana dengan kalian?”
Mahisa Murti sudah memutuskan untuk tidak kehilangan kesempatan. Karena itu dengan mantap ia menjawab, “Aku setuju. Dengan demikian kita tidak banyak kehilangan waktu untuk hilir mudik”
“Disini kita akan dapat cepat bertindak” sambung Mahisa Pukat.
Ki Sarpa Kuning mengerutkan keningnya. Ia masih belum mengenal tabiat kedua anak muda itu sedalam-dalamnya. Meskipun demikian, Ki Sarpa Kuning itu pun mengangguk-angguk sambil berkata, “Baiklah. Kita tinggal di sini. Tetapi bagaimana dengan pesanggrahan kita?”
“Tidak ada yang akan berani mengusiknya” jawab Gajah Wareng, “apalagi mereka yang mengetahuinya, bahwa rumah itu adalah pesanggrahan kita”
Ki Sarpa Kuning mengangguk-angguk. Agaknya murid-muridnya sependapat, bahwa mereka akan tetap berada di padukuhan itu. Namun akhirnya Ki Sarpa Kuning pun mengerti, bahwa hidup dipadukuhan itu memang lebih menarik daripada hidup di hutan di antara lebatnya dedaunan dan batang-batang kayu yang menjulang ke langit. Di antara aum harimau dan derik cengkerik.
Tetapi di padukuhan mereka hidup di antara ringkik kuda dan dengus lembu di kandang. Pagi-pagi tercium bau ketela pohon yang direbus dengan santan atau dengan badek gula kelapa. Menjelang matahari sepenggalah, terdengar suara lesung berdentang. Orang-orang mulai menumbuk padi. Gadis-gadis pergi ke sungai untuk mencuci dan api di dapur pun menjadi semakin besar menyala.
Ki Sarpa Kuning pun masih mengangguk-angguk. Katanya kemudian ”Baiklah. Akupun tidak akan mengecewakan kalian. Kita akan tinggal di padukuhan ini. Sementara itu, Ki Sendawa akan menyatakan dirinya sebagai Buyut yang berkuasa.
Demikianlah, maka sejak saat itu Ki Sarpa Kuning dan murid-muridnya tinggal di gandok rumah Ki Sendawa. Dengan sungguh-sungguh Ki Sarpa Kuning berpesan, agar murid-muridnya tidak mengecewakan penduduk padukuhan itu. Mereka harus menunjukkan bahwa mereka adalah orang-orang yang benar benar akan dapat memberikan jalan keluar dari kesulitan yang tengah mereka hadapi.
“Aku benci kepada orang-orang yang bertindak sendiri-sendiri” berkata Ki Sarpa Kuning, “apalagi yang ternyata kemudian dapat merugikan kita semuanya. Merusak rencana besar kita. Aku akan sampai pada suatu keputusan untuk membunuh orang-orang yang demikian”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat kadang-kadang masih bingung menghadapi sifat orang aneh itu, sebagaimana Ki Sarpa Kuning pun masih berusaha untuk mengerti sikap kedua anak muda itu.
Dalam pada itu, Ki Sendawa benar-benar telah mempersiapkan diri untuk mengangkat dirinya sendiri menjadi Buyut tanpa menghiraukan pertimbangan orang lain. Sesuai dengan pendapat Ki Sarpa Kuning, maka setelah ia menyatakan diri menjadi Buyut maka ia akan dapat mejmerin tah Kabuyutan itu. Siapa yang tidak tunduk kepada perintahnya, maka ia akan dapat menundukkan mereka dengan kekerasan. Dan ia pun telah mempunyai kekuatan untuk berbuat demikian. Kecuali sebagian penghuni Kabuyutan itu memang berpihak kepadanya, maka enam orang yang ada di rumahnya itu tentu akan dapat membuat pengeram-eram, sehingga tidak akan ada lagi orang yang akan berani menentangnya.
Ternyata persiapan Ki Sendawa itu terdengar oleh pihak yang tidak sependapat dengan sikap itu. Dengan serta merta, maka berita itu pun segera tersebar sampai ke setiap telinga.
“Apakah benar demikian?” bertanya menantu Ki Buyut yang telah meninggal itu.
“Ya kakang” jawab seorang anak muda yang mendengar berita itu ketika ia berada di pasar, “tidak salah perhitungkan kita, bahwa akhirnya kita memang akan mempergunakan pedang. Kita sudah cukup banyak mempersiapkan senjata. Jika Sendawa keras kepala, maka kita akan bertindak tegas. Tidak ada cara lain yang dapat kita lakukan selain mempergunakan pedang”
Seorang anak muda yang lain, yang berwajah bulat juga menggeram, “Jangan terlalu lamban. Sudah waktunya kita berbuat sesuatu. Beberapa hari lagi, Sendawa akan menyatakan diri sebagai Buyut di Kabuyutan ini. Tetapi ia tidak berhak sama sekali. Bukankah anak Ki Buyut satu-satunya adalah isterimu?”
Menantu Ki Buyut itu menarik nafas dalam-dalam. Dengan ragu-ragu ia berkata ”Apakah keuntunganku memperebutkan kedudukan itu. Seandainya aku benar-benar menjadi Buyut di Kabuyutan ini, apakah kalian yakin, bahwa aku akan berbuat lebih baik dari paman Sendawa?”
“Tentu, kau akan dapat berbuat lebih baik” jawab anak muda yang berwajah bulat, “bagi kami pun lebih baik. Kami akan dapat lebih mudah berhubungan dengan Buyut dari Kabuyutan ini. Kau tentu akan lebih banyak mengerti tentang kami. Kau pun tentu akan dapat lebih banyak memikirkan kepentingan kami”
“Bukankah tidak seharusnya demikian” jawab menantu Ki Buyut itu ”seorang Buyut tidak boleh hanya menguntungkan satu pihak saja. Dalam hal ini kawan-kawannya. Bukan pendukungnya sekalipun. Seorang Buyut harus dapat berbuat sesuatu yang menguntungkan seluruh rakyatnya. Merata. Siapa pun mereka. Dan aku tidak yakin bahwa aku akan dapat berbuat demikian”
“Hatimu terlalu membeku” berkata seorang anak muda yang bertubuh raksasa ”cobalah sedikit bergairah memandang hidup dan kehidupan ini. Jika orang lain berbuat bagi kepentingan diri sendiri, apakah kau tidak berhak berbuat demikian pula. Bahkan jangkauanmu lebih luas lagi. Bukan sekedar diri sendiri, tetapi untuk kepentingan lingkunganmu. Kawan-kawanmu dan orang-orang yang mendukungmu”
“Jangan begitu” jawab menantu Ki Buyut, “bagiku akan menjadi semakin sulit untuk menerima tawaran ini, jika kedudukan yang kalian julurkan kepadaku itu semata-mata hanya karena kalian akan mendapat kesempatan pertama dalam banyak hal yang bakal terjadi di Kabuyutan ini. Bukan karena jika aku, salah seorang kawanmu menjadi Buyut, maka segalanya akan menjadi mudah bagi kalian”
“Kau memang terlalu lemah” berkata anak muda yang berwajah bulat. Tetapi, lihat, berapa padukuhan yang berdiri di pihakmu dan berapa padukuhan yang berpihak kepada Sendawa yang tamak itu?”
Menantu Ki Buyut itu termangu-mangu. Dipandanginya beberapa orang kawannya yang dengan keras mendorongnya untuk berjuang agar kedudukan ayah mertuanya itu dapat dipegangnya. Tetapi menantu Ki Buyut itu pun sadar, bahwa kawan-kawannya itu tidak memiliki pandangan yang jauh. Mereka mendorongnya untuk menjadi seorang Buyut, agar dengan demikian kawan-kawannya itu mendapat banyak kesempatan untuk berbuat sesuai dengan keinginan mereka di Kabuyutan itu, karena Buyut yang berkuasa adalah kawan sendiri. Mereka pun tidak akan segera mengajukan permintaan atas satu hal yang mereka anggap akan dapat menguntungkan. Selebihnya Buyut muda itu tidak akan banyak menentang jika mereka mengusulkan sesuatu, karena mereka telah dengan gigih mendorongnya untuk menduduki tempatnya.
Karena itu, maka menantu Ki Buyut itu menjadi semakin segan untuk berbuat sesuatu. Meskipun ia melihat juga. bahwa tidak semua pendukungnya berbuat demikian.
Sebenarnya bahwa di antara anak anak muda itu, terdapat seorang yang agak lebih tua dari mereka. Orang yang tidak banyak berbicara itu tiba-tiba saja berkata, “Kalian telah melakukan satu kesalahan yang sangat besar”
Anak-anak muda itu berpaling kepadanya. Anak muda yang bertubuh raksasa itu pun bertanya, “Apa maksudmu berkata demikian?”
Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Kalian membuat satu gambaran yang salah terhadap kedudukan yang sedang dipertengkarkan itu”
“Kenapa? Apakah kau setuju jika Sendawa itu mengangkat dirinya menjadi Buyut di Kabuyutan ini?” bertanya anak muda yang berwajah bulat.
“Tidak tentu tidak, ia sama sekali tidak berhak” jawab orang itu. Lalu, “Aku sudah banyak mendengar ceritera tentang Sendawa yang mengaku berhak atas kedudukan Buyut itu. Ia merasa dirinya mewarisi kedudukan itu, karena menurut ceriteranya, ayahnyalah yang seharusnya menjadi Buyut seandainya ayahnya itu tidak meninggal. Bahkan ia telah membuat dongeng khusus tentang kematian ayahnya itu. untuk meyakinkan banyak orang tentang haknya”
“Nah, jika demikian, apakah keberatanmu jika menantu Ki Buyut ini duduk dalam jabatan yang memang menjadi haknya” bertanya anak muda berwajah bulat itu.
“Aku tidak berkeberatan” jawab orang yang sudah lebih tua itu, “tetapi latar belakang dukungan kalian itulah yang salah. Kalian menyudutkan calon Buyut itu ke dalam satu keadaan yang sulit. Jika ia kelak benar-benar menduduki jabatan itu, maka seolah-olah ia terikat kepada satu perjanjian untuk memberikan wewenang khusus kepada kalian. Dan itu akan sangat merugikan kedudukannya”
Anak-anak muda itu saling berpandangan sejenak. Kemudian anak muda bertubuh raksasa itu bertanya dengan wajah yang tegang, “Jadi kau ingin mengurangi hak kami. Kami adalah anak-anak muda yang memang memiliki hari depan yang lebih panjang dari kau orang-orang sebaya dengan kalian”
“Aku juga belum terlalu tua. Umurku tidak terpaut banyak dengan umurmu” jawab orang itu, “tetapi sikapku justru sebaliknya. Justru karena kalian adalah anak-anak muda. Kalian harus ikut membina masa depan yang baik bagi Kabuyutan ini. Dan jangan lupa. Anak-anak muda bukan hanya kalian. Beberapa orang yang sekarang ada di sini”
Anak muda bertubuh raksasa itu bangkit berdiri dan selangkah mendekat, “Baiklah. Jika kau berbeda sikap dengan kami, jangan campuri persoalan kami. Pergi sajalah kepada Sendawa dan nyatakan dukunganmu atas orang itu”
“Tidak anak-anak muda. Aku tetap disini. Aku mendukung pewaris yang lebih sah dari Sendawa. Tetapi juga yang lebih baik. Aku melihat umsur itu ada pada menantu Ki Buyut itu. Tetapi jangan racuni sifat-sifat itu dengan kepentingan kalian sendiri tanpa menghiraukan kepentingan orang banyak”
“Aku mengerti” tiba-tiba menantu Ki Buyut memotong, “aku sadar bahwa kedudukan yang berat itu menuntut beberapa hal. Dan itu yang aku tidak punya Selebihnya aku memang tidak sanggup memenuhi keinginan kalian. Karena keinginan kalian, tercermin dalam sikap kalian yang mementingkan diri sendiri”
Beberapa orang anak muda itu menjadi tegang. Namun orang yang lebih tua itu berkata, “Kita akan melihat sikap anak-anak muda pada umumnya. Bukan hanya pada beberapa orang yang justru sahabat dekatmu”
Menantu Ki Buyut itulah yang menjadi tegang. Sementara orang yang lebih tua itu berkata, “Aku akan berbicara dengan mereka”
“Itu tidak perlu” berkata anak muda berwajah bulat, “kami mewakili mereka”
“Tidak” jawab orang yang lebih tua, “kalian justru menodai kejernihan tekad mereka. Aku yakin, jika kalian bertemu dengan anak-anak muda dari padukuhan di ujung Kabuyutan Talang Amba ini, kalian akan melihat sikap-sikap wajar dari anak-anak muda. Tetapi justru kalian yang ada di sekitar priadi harapan, telah memberikan alasan yang salah”
Anak-anak muda itu menjadi ragu-ragu untuk bersikap. Mereka memang tidak berani mengambil satu tindakan apa pun terhadap orang yang lebih tua dari mereka itu, karena mereka mengetahui bahwa orang itu memiliki lingkungan yang luas juga dari lingkungan anak-anak muda seperti yang dikatakannya. Karena itu, untuk beberapa saat anak-anak muda itu saling berdiam diri.
Dalam pada itu, ternyata orang yang lebih tua itu pun menjadi kecewa melihat sikap beberapa orang anak muda yang lebih memandang kepentingan sendiri dari kepentingan seisi Kabuyutan. Bagi mereka, jika seorang sahabat mereka dapat menduduki tempat yang paling tinggi di wewengkon itu, maka hal itu akan merupakan kesempatan yang sangat baik bagi mereka. Seakan-akan apa yang akan mereka lakukan akan dapat terjadi tanpa ada yang berani menghalangi.
Namun ternyata bahwa menantu Ki Buyut sendiri menyadari akan hal itu. Tetapi dengan demikian akibatnya, menantu Ki Buyut itu menjadi semakin jauh dari satu kesanggupan untuk berjuang mencapai kedudukan yang ditinggalkan oleh mertuanya.
“Jika kedudukan itu benar-benar dipegang oleh Sendawa, maka hancurlah Kabuyutan ini” berkata orang yang lebih tua itu di dalam hatinya. Karena orang itu pun mengetahui, hubungan Sendawa dengan orang-orang yang menginginkan hutan di lereng bukit sebelah, hutan-hutan yang lebat yang membuat bukit itu menjadi hijau.
“Kita masih mempunyai waktu” berkata orang itu, “menurut pendengaranku, di saat purnama naik, Sendawa akan mengangkat dirinya menjadi Buyut di Kabuyutan ini. Semua persiapan sudah dilakukan. Sementara itu, kita akan mematangkan sikap disini. Aku condong untuk mempertemukan beberapa unsur yang ada, sehingga sikap kita akan dilandasi oleh satu sikap yang jujur terhadap Kabuyutan ini.
Anak-anak muda, sahabat menantu Ki Buyut itu tidak menyahut. Mereka memang harus membuat perhitungan sebaik-baiknya menghadapi perkembangan keadaan.
Demikianlah, orang yang lebih tua itu pun kemudian minta diri. Namun ia tentu tidak akan tinggal diam. Dengan lahdasan sikapnya, ia tentu akan berbuat banyak bagi Kabuyutan mereka.
Menantu Ki Buyut masih duduk termangu-mangu. Beberapa orang sahabatnya masih berada di rumahnya. Namun akhirnya orang berwajah bulat itu berkata, “Kau memang terlalu lemah. Tetapi baiklah. Apapun yang akan kau lakukan, aku masih tetap memilih kau daripada Sendawa itu”
Orang bertubuh raksasa itu memandangnya dengan kerut di dahi. Dengan suara bergetar ia bertanya, “Hatimu pun sudah menjadi cair?”
“Tidak. Tetapi aku melihat kekerasan di hati menantu Ki Buyut ini di antara kelemahannya. Ia tetap tidak mau mengerti niat baik kita” jawab anak muda berwajah bulat. Namun kemudian ”Atau ia justru sudah mengerti sepenuhnya, bahwa kita sekedar ingin memanfaatkannya untuk kepentingan kita sendiri”
“Kepana kau berkata begitu?” bertanya kawannya yang lain.
“Aku dapat mengerti, apa yang dikatakan oleh orang tadi. Dan aku kira, kita wajib memikirkannya” jawab orang berwajah bulat.
Menantu Ki Buyut itu pun menjadi berdebar-debar. Nampaknya ada perkembangan sikap pada sahabat-sahabatnya itu.
Dalam pada itu, maka anak-anak muda itu pun kemudian mulai merenungi diri mereka sendiri. Sementara itu, anak muda berwajah bulat itu pun berkata, “Baiklah. Aku akan minta diri. Aku akan memikirkan, apa yang sebaiknya aku lakukan”
“Terima kasih” berkata menantu Ki Buyut itu, “tetapi sebaiknya kalian melihat kemungkinan lain untuk menunjuk seorang calon Buyut yang baik, berwibawa dan memiliki kemampuan.”
Anak muda berwajah bulat itu tersenyum Katanya, “Kami akan merenungi diri kami Tetapi kau pun harus merenungi dirimu pula. Kau itu siapa? Kau itu anak siapa, menantu siapa dan bagaimana sikap dan tanggapan orang-orang Kabuyutan ini terhadapmu? Ingat, kau adalah anak Ki Sanggabaya. He, apakah kau masih ingat akan namamu sendiri? Bukankah kau bernama Sanggarana?”
Wajah menantu Ki Buyut itu menjadi tegang. Sementara anak muda berwajah bulat itu berkata, “Selebihnya kau adalah menantu Ki Buyut. Isterimu adalah anak satu-satunya. Jika sikap kami semula membuatmu semakin ragu, maka marilah kita bersama-sama mulai menilai diri”
Menantu Ki Buyut itu menarik nafas dalam-dalam. Namun ia tidak sempat berpikir terlalu lama, karena anak-anak muda itu pun kemudian telah meninggalkannya.
Sepeninggal anak-anak muda itu, maka isterinya pun telah mendekatinya. Dengan lembut isterinya itu berkata, “Kakang Jangan risaukan kedudukan ayah yang nampaknya menjadi masalah sekarang ini. Aku tidak terlalu berharap, bahwa kau akan dapat mewarisinya. Yang penting bagi kita, bahwa hidup kita menjadi tenang. Tidak ada masalah-masalah yang dapat menggangu rumah tangga ini. Aku tidak terlalu tertarik kepada kekuasaan. Kepada harta dan benda yang mungkin akan kita dapatkan dengan alas kedudukan ayah itu. Yang aku rindukan adalah satu suasana yang damai di antara kita, di antara lingkungan kita”
Suaminya mengangguk-angguk. Namun katanya kemudian ”Aku mengerti. Tetapi masalahnya bukan kedudukan dan kekuasaan. Tetapi apakah kita akan dapat hidup tenang tanpa menghiraukan apa yang terjadi di sekitar kita? Apakah kita dapat merasa damai hidup di antara kegelisahan. Yang aku inginkan, tidak harus aku yang akan mewarisi kedudukan ayah. Tetapi jangan paman Sendawa. Rasa-rasanya aku memang tidak rela melihat paman Sendawa berkuasa di Kabuyutan ini”
Isterinya menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Paman Sendawa memang memiliki sifat yang aneh”
Suaminya merenung sejenak. Tiba-tiba saja ia teringat kata-kata kawannya tentang dirinya. Terngiang kembali kata-kata sahabatnya itu ”Ingat, kau adalah anak Sanggabaya. He, apakah kau masih ingat akan namamu sendiri?” Bukankah kau bernama Sanggarana?”
Menantu Ki Buyut itu menarik nafas dalam-dalam. Nama itu memang nama kebanggaan, sebagaimana ayahnya berbangga dengan namanya. Ayahnya adalah seorang pemburu yang disegani. Bukan saja karena ia memiliki ketajaman pengamatan terhadap binatang buruannya, tetapi Ki Sanggabaya adalah orang yang dekat sekali dengan orang-orang di sekitarnya. Orang yang mempunyai ruang pergaulan yang luas, yang mempunyai kebiasaan menolong orang yang memerlukannya. Bukan saja dalam soal-soal yang pelik. Tetapi ketika seorang janda miskin tidak lagi dapat tidur di musim hujan karena atap rumahnya tiris di segala tempat, maka Ki Sanggabaya dengan senang hati memperbaiki atap rumah itu.
Itulah sebabnya, maka ketika Ki Buyut melihat anak gadisnya berhubungan dengan anak Ki Sanggabaya, ia sama sekali tidak berkeberatan. Bahkan kemudian anak Ki Sanggabaya itu benar-benar diambilnya sebagai menantu.
Namun, dalam keadaan yang gawat setelah Ki Buyut meninggal dan ayahnya sendiri juga sudah tidak ada, ia tidak dapat mengambil sikap yang mantap untuk mengatasi keadaan.
Selagi menantu Ki Buyut itu merenung, maka isterinya pun berkata, “Kakang, apakah kau pernah bertemu dan berbicara langsung dengan paman Sendawa?”
Suaminya menggeleng. Katanya, “Belum. Tetapi aku sebenarnya merasa segan untuk berbicara. Paman Sendawa nampaknya sudah mengambil satu keputusan untuk mewarisi jabatan itu. Pada saat bulan purnama mendatang, paman ingin menyatakan dirinya sebagai Buyut yang sah di Kabuyutan ini”
“Ah, aku tidak merisaukannya” desah isterinya, “biar sajalah paman Sendawa menjadi Buyut di Kabuyutan. Mungkin dalam waktu satu dua hari masih ada orang yang menentangnya. Tetapi lambat laun akan menjadi tenang juga nantinya”
Suaminya menarik nafas dalam-dalam. Isterinya memang tidak memandang persoalannya cemas melihat perkembangan hubungan antara suaminya dengan pamannya, agaknya lebih senang memilih kedamaian di dalam lingkungan keluarganya.
“Tetapi persoalannya tidak terbatas pada persoalan keluarga” berkata menantu Ki Buyut itu dalam hatinya.
Namun demikian, menantu Ki Buyut itu tidak dapat mengabaikan sifat isterinya. Sementara itu kegelisahannya tentang keadaan Kabuyutan itu tetap mencengkamnya.
Dalam pada itu, akhirnya menantu Ki Buyut itu berkata, “Baiklah Nyai. Biarlah aku memikirkannya. Tetapi aku kira, aku tidak dapat mengambil sikap sendiri. Aku akan selalu berhubungan dengan kawan-kawanku. Mungkin juga aku memerlukan pendapat orang-orang tua di Kabuyutan ini”
“Tetapi berhati-hati dengan kawan-kawanmu itu kakang” berkata isterinya.
“Aku mengerti. Ada di antara mereka yang ingin melihat aku mempunyai kekuasaan itu, namun merekalah yang akan dapat mempergunakannya. Aku akan berhati-hati” jawab menantu Ki Buyut.
Dalam pada itu, selagi menantu Ki Buyut selalu diselubungi oleh berbagai macam pertimbangan, juga karena sikap isterinya, orang-orang di Kabuyutan itu digelisahkan oleh persiapan yang dilakukan oleh Ki Sendawa. Tanpa menghiraukan pendapat orang lain, Ki Sendawa yang merasa dirinya kuat karena kehadiran Ki Sarpa Kuning dan murid-muridnya, benar-benar berniat untuk mengangkat dirinya sendiri menjadi Buyut di Kabuyutan Talang Amba.
Sebenarnyalah bahwa Ki Sarpa Kuning dan murid-muridnya telah berusaha untuk menakut-nakuti pihak-pihak yang tidak sependapat dengan Ki Sendawa. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang ingin mendapat kepercayaan dari Ki Sarpa Kuning pun telah melakukan sebagaimana dilakukan oleh murid-muridnya yang lain. Bahkan kadang-kadang kedua anak-anak muda itu justru bertindak lebih keras dan kasar.
“Anak-anak yang aneh” berkata Gajah Wareng, “nampaknya mereka benar-benar petualang yang tidak mempunyai tujuan”
Ki Sarpa Kuning mengangguk angguk. Katanya kemudian, “Tetapi menilik ilmunya, keduanya tentu pernah berguru kepada seseorang yang berhasil membentuknya, sehingga keduanya mempunyai dasar ilmu yang mapan. Bahkan aku pernah menjajaginya, dan keduanya menunjukkan satu kemampuan yang tinggi”
“Karena itu, kita tidak boleh terlalu percaya kepadanya” berkata orang berkumis.
Sementara murid Ki Sarpa Kuning yang seorang lagi tidak menyambung sama sekali.
“Jangan sakiti hati mereka” berkata Ki Sarpa Kuning, “jika mereka kemudian merasa kerasan bersama kita, mereka merupakan kekuatan yang cukup membantu. Satu dua kali, aku akan benar-benar membimbing mereka, meningkatkan ilmu dasar yang telah mereka miliki”
“Tetapi apakah guru sudah pernah menanyakan, siapakah guru anak-anak itu?” bertanya Gajah Wareng.
“Mereka mengatakan, bahwa gurunya adalah kakeknya” jawab Ki Sarpa Kuning, “tetapi aku belum bertanya lebih jauh agar mereka tidak merasa dicurigai”
Gajah Wareng mengangguk-angguk. Tetapi kemudian ia berkata, “Tetapi keduanya tidak boleh terlalu manja”
“Tidak. Tetapi jangan terlalu terasa diawasi dan dicurigai” berkata Ki Sarpa Kuning, “jika pekerjaan kita di Kabuyutan ini selesai, maka terserahlah kepada kalian”
Namun dalam pada itu, di luar pengamatan Ki Sarpa Kuning dan murid-muridnya, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat berusaha untuk dapat berhubungan dengan seseorang. Ketika pada suatu hari keduanya sedang membentak-bentak seorang petani yang lewat dijalan kecil di sebelah padukuhan tempat tinggal Ki Sendawa, di antara oleh sebuah bulak kecil, Ki Sarpa Kuning memandanginya sambil tersenyum.
“Apa yang dilakukan anak-anak itu?” bertanya Ki Sarpa Kuning.
“Aku kurang tahu” jawab Gajah Wareng, “tetapi mereka sekarang mempunyai kesukaan baru. Menakuti orang lewat sambil memberitakan niat Ki Sendawa untuk mengangkat dirinya beberapa hari lagi”
Ki Sarpa Kuning tertawa. Katanya, “Mereka meniru saja apa yang kalian lakukan. Nampaknya mereka mempunyai darah yang cukup panas. Aku cenderung untuk menganggap bahwa mereka memang petualang”
Gajah Wareng tertawa. Katanya, “Ada niatku untuk sedikit mengekang kemajuan mereka”
“Jangan sekarang” cegah Ki Sarpa Kuning. Gajah Wareng menarik nalas dalam dalam Sementara itu, orang berkumis itu pun berkata Jika mereka mendapat kesempatan bermanja-manja terlalu lama, maka mereka akan salah menilai diri mereka dalam pandangan kami. Seolah-olah mereka memang orang-orang penting yang pantas bermanja-manja.
Ki Sarpa Kuning tidak menjawab. Tetapi ia melihat Mahisa Pukat mendorong petani itu sehingga jatuh ke dalam parit yang berair.
Kedua anak muda itu tertawa berkepanjangan sehingga perut mereka berguncang-guncang. Sementara itu, orang yang terjatuh ke dalam parit itu berusaha untuk bangkit dan kemudian lari terbirit-birit menjauhi anak-anak muda yang bengal itu.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih berdiri bertolak pinggang sambil memandangi orang yang melarikan diri itu Namun dalam pada itu Mahisa Murti berkata, “Orang-orang Talang Amba menjadi gelisah karena sikap menantu Ki Buyut itu. Nampaknya Ki Waruju mencemaskannya”
“Ya” desis Mahisa Pukat, “terakhir tadi Ki Waruju minta agar kita berusaha menunda rencana Ki Sendawa”
“Itu yang sulit kita lakukan” jawab Mahisa Murti, “apakah yang dapat membuat rencana itu tertunda?”
“Kita harus mencarinya” jawab Mahisa Pukat, “sementara itu Ki Waruju akan berusaha menghubungi menantu Ki Buyut dan mendorongnya untuk menerima desakan orang-orang Talang Amba untuk menerima warisan jabatan mertuanya”
“Tugas yang pelik” berkata Mahisa Murti, “tetapi kita akan mempelajarinya. Tetapi ada dua cara. Menunda rencana Ki Sendawa, atau mempercepat usaha Ki Waruju.”
Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Kemudian katanya, “Kedua-duanya”
Namun keduanya tidak berbicara lebih panjang lagi. Ketika mereka kemudian berpaling, mereka melihat Gajah Wareng memperhatikan mereka. Namun Ki Sarpa Kuning dan murid-muridnya yang lain sudah tidak ada lagi di tempatnya.
“Marilah” berkata Mahisa Murti.
Mahisa Pukat tidak menjawab. Keduanya pun kemudian mendekati Gajah Wareng yang berdiri termangu-mangu.
Ketika kedua orang anak muda itu menjadi semakin dekat, Gajah Wareng bertanya, “Apa yang kau lakukan?”
Mahisa Murti tersenyum. Katanya, “Tidak apa-apa. Tetapi ketika aku bertanya kepadanya, maka jawabnya sangat menyakitkan hati”
“Kau bertanya tentang apa?” bertanya Gajah Wareng. “Tentang menantu Ki Buyut itu” jawab Mahisa Murti. “Tentang apanya?” desak Gajah Wareng.
“Rencananya, menurut petani itu, orang-orang Talang Amba sependapat, bahwa menantu Ki Buyut itu kelak menggantikannya He, bukankah kita tidak berpendapat begitu?” justru Mahisa Murti lah yang bertanya.
“Tetapi kenapa kau sakiti orang itu?” bertanya Gajah Wareng pula.
“Kenapa? Pertanyaanmu aneh sekali. Bukankah kau yang mula-mula melakukannya? Ternyata menyenangkan sekali melihat orang lain ketakutan. Sebelumnya aku tidak pernah memperhatikan orang lain menjadi ketakutan dan kehilangan pegangan” jawab Mahisa Pukat.
“Anak-gila” geram Gajah Wareng ”apakah kau mendapat kesenangan melihat orang-orang ketakutan”
“Ya. Lucu sekali” Mahisa Pukat tertawa ”pada kesempatan lain aku ingin melihat, bagaimanakah wajah orang yang akan mengalami ketakutan menjelang kematiannya”
“Gila” geram Gajah Wareng, “apa yang akan kau lakukan untuk itu?”
“Jika seseorang harus dibunuh, maka kesempatan itu akan aku pergunakan sebaik-baiknya. Senang sekali melihat orang yang tahu pasti, bahwa dirinya akan dibunuh tanpa dapat melawan” Mahisa Pukat tertawa berkepanjangan.
“Ternyata kau anak iblis. Kau benar-benar petualang yang sangat buas. Jauh melampaui dugaanku saat aku melihat wajah-wajah kalian yang nampak lunak” geram Gajah Wareng, “tetapi ingat. Kau adalah murid-murid dari perguruan Ki Sarpa Kuning. Segala yang kau lakukan, berarti langkah yang diambil oleh Ki Sarpa Kuning pula. Jika kalian salah langkah, maka kalian harus menyadari”
“Mati” sahut Mahisa Pukat.
Wajah Gajah Wareng menjadi tegang. Tetapi ia pun menjawab, “Ya”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan sejenak. Namun mereka pun tidak menjawab lagi. Mereka memang sudah mengerti sebagaimana setiap kali dikatakan, baik oleh Ki Sarpa Kuning sendiri maupun oleh murid-muridnya, bahwa mereka tidak segan-segan membunuh meskipun murid sendiri, apabila dianggap melakukan kesalahan.
“Marilah” berkata Gajah Wareng kemudian ”kita kembali ke pondok kita”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak menjawab lagi. Mereka pun kemudian berjalan menuju kerumah Ki Sendawa, dimana mereka tinggal untuk sementara.
Dalam pada itu, untuk mengikat Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, maka Ki Sarpa Kuning telah memberikan kesempatan kepada kedua orang anak muda yang disebut pula sebagai muridnya itu untuk berlatih bersamanya. Dengan demikian, maka Ki Sarpa Kuning ingin mengikat kedua anak muda itu dalam satu paugeran yang lebih ketat lagi.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun ternyata cukup berhati-hati. Dalam latihan-latihan yang kesempatan tidak terlalu banyak itu, mereka selalu berusaha untuk menyembunyikan unsur gerak yang mungkin akan dikenalnya oleh Ki Sarpa Kuning yang pernah bertempur melawan Witantra.
Untunglah bahwa kedua anak muda itu mendapat bimbingan yang cukup pula dari Mahisa Agni meskipun tidak sedalam sebagaimana mereka terima dari ayahnya sendiri yang memiliki sumber ilmu dari perguruan yang sama dengan Witantra. Namun dengan menonjolkan beberapa ciri khusus dari perguruan lain maka ilmu mereka yang sejalan dengan ilmu Witantra dapat mereka sembunyikan untuk sementara.
Yang dilakukan oleh Ki Sarpa Kuning pun hanya sekedar untuk mengikat kedua anak muda itu saja Tanpa sasaran dan ke dalaman yang jelas, sehingga memang tidak ada apa pun yang dapat meningkatkan ilmu kedua anak muda itu dengan pasti, meskipun Mahisa Murti dan Mahisa Pukat harus mengakui, bahwa Ki Sarpa Kuning termasuk orang yang memiliki kelebihan meskipun ia tidak dapat mengimbangi kemampuan Witantra.
Namun daiam pada itu, yang selalu menjadi pikiran Mahisa Murti dan Mahisa Pukat dalam cara untuk menunda niat Ki Sendawa mengangkat dirinya sendiri menjadi Buyut di Kabuyutan itu. Dengan demikian maka mereka akan dapat memberi kesempatan Ki Waruju membuat satu perubahan keadaan pada pihak yang lain yang merupakan imbangan kemungkinan bagi seorang Buyut yang baru.
Sementara itu, Ki Waruju pun sedang sibuk mencari jalan, untuk ikut serta melibatkan diri ke dalam satu pacuan yang kurang seimbang itu. Ki Sendawa dengan sepenuh hati dan bahkan memberikan pengorbanan yang mahal untuk mencapai keinginannya, sementara menantu Ki Buyut itu nampaknya dengan segan menanggapi perkembangan keadaan. Bahkan setiap kali ia berkata, “Apakah tidak ada orang lain yang lebih baik dari aku?”
Orang-orang tua Kabuyutan Talang Amba pun telah menentukan satu pendapat. Mereka tidak melihat orang lain yang lebih berhak daripada menantu Ki Buyut itu.
“Soalnya bukan berhak atau tidak berhak berkata menantu Ki Buyut itu, “tetapi apakah ada orang yang lebih baik dari aku. Seandainya benar aku mempunyai hak itu, apakah aku dapat melimpahkan hak itu kepada orang lain? Jika orang lain yang akan terpilih, maka agaknya paman Sendawa tidak akan terlalu sakit hati”
Tiba-tiba saja di antara orang-orang tua itu terdapat seorang pedagang keliling yang memperdagangkan batu-batu akik dan besi aji. Tetapi orang itu bukan Mahendra. Melainkan Ki Waruju. Dengan penuh minat orang itu mengikuti segala pembicaraan tentang kemungkinan diangkatnya seorang Buyut bagi Kabuyutan Talang Amba.
Dengan memperhatikan setiap pembicaraan, maka Ki Waruju itu pun kemudian berkata di antara orang-orang tua di Talang Amba, “Memang tidak ada pilihan lain. kecuali menantu Ki Buyut itu”
“Ya” desis seorang di antara mereka anak-anak muda juga sependapat, bahwa menantu Ki Buyut itulah yang paling sesuai. Bukan saja karena ia disukai orang banyak, tetapi ia memang berhak. Jika ia menolak, maka hak itu tentu akan jatuh ke tangan Sendawa. Karena menurut aliran darahnya, maka ia adalah saudara sepupu Ki Buyut. Dengan demikiun. maka kemungkinan itu pun akan dapat terjadi”
Hal itulah yang membuat menantu Ki Buyut itu menjadi semakin bingung. Ia pun akhirnya menyadari, jika ia menolak, maka berarti hak itu akan jatuh ke tangan orang kedua. Orang itu adalah Ki Sendawa.
Namun menantu Ki Buyut itu pun melihat kemungkinan yang lain. Ia melihat pande-pande besi membuat pedang. Dengan demikian, maka kemungkinan timbulnya kekerasan akan dapat terjadi. Jika demikian, maka alangkah pahitnya untuk menjadi seorang Buyut yang berdiri di atas runtuhnya korban. Dan korban itu adalah kawan-kawan bahkan saudara-saudara sendiri.
“Kau terlalu dibayangi oleh kekerdilan sikapmu” seorang kawannya menjadi tidak sabar lagi. Lalu, “Apa sebenarnya yang kau kehendaki? Sendawa menjadi Buyut, kemudian menindas kita semuanya sehingga memaksa kita untuk melawannya? Dalam keadaan yang demikian, maka kitalah yang berdiri dalam alas yang lemah. Kita telah melawan Ki Buyut Talang Amba yang memegang kekuasaan sambil menunggu pengesahan dari Akuwu”
Menantu Ki Buyut itu menjadi semakin bingung. Rasa-rasanya ia berdiri di jalan simpang yang kedua-duanya menuju kesulitan. Jika ia menerima permintaan kawan-kawannya, maka ia akan ditetapkan menjadi Buyut sambil menunggu pengesahan Akuwu. Tetapi orang-orang tua di Talang Amba akan mempertanggung jawabkannya. Namun dengan demikian tentu akan terjadi sesuatu. Mungkin benturan kekerasan. Sementara itu isterinya akan menyalahkannya, seolah-olah ia lebih mementingkan kedudukan Ki Buyut, mertuanya yang telah meninggal itu dari pada isterinya. Seolah-olah bahwa ia bersedia kawin dengan isterinya itu karena ia memang menginginkan kedudukan. Ternyata ia lebih mementingkan kedudukan itu, meskipun isterinya, anak perempuan Ki Buyut itu sendiri berkeberatan. Selebihnya, Talang Amba tentu akan bergejolak.
Dengan suara parau menantu Ki Buyut itu berkata, “Ada berbagai macam pertimbangan yang memberati hatiku. Semula-kawan-kawanku ingin memanfaatkan aku. Kemudian, kita tidak boleh menutup mata, bahwa paman Sendawa telah membuat hubungan dengan orang-orang yang akan dapat menyulitkan kita”
“Jangan hiraukan mereka” berkata salah seorang anak muda, “kita sudah mempunyai senjata”
Dalam hal yang demikian, Ki Waruju memang menjadi berdebar-debar. Apalagi ketika anak muda itu melanjutkan, “Kita akan melawan setiap tindakan kekerasan dengan kekerasan. Jika Sendawa ingin mempergunakan kekerasan, maka kita semuanya, setiap laki-laki akan menggenggam pedang. Nah, berapa jumlah mereka dan berapa jumlah kita”
Wajah menantu Ki Buyut itu pun menjadi tegang. Katanya, “Mungkin jumlah mereka tidak terlalu banyak.
Tetapi jika paman Sendawa membawa orang-orang yang memang menjual tenaganya untuk menyebarkan pertentangan, maka apakah kita akan melawannya?”
“Coba” seorang anak muda yang lain dengan wajah merah berkata, “apakah kita akan menyerahkan leher kita untuk dicekiknya?”
Pembicaraan itu menjadi semakin meninggi. Namun orang-orang itu masih belum dapat memaksa menantu Ki Buyut untuk memberikan kesanggupannya. Katanya, “Aku ingin waktu sepekan”
“Saat purnama itu menjadi semakin dekat” desis seorang yang sudah agak tua, “pertimbangan baik-baik. Jika kita akan mendesak, itu adalah karena kita ingin berbuat yang paling baik bagi Kabuyutan kita”
Dalam pada itu, ketika menantu Ki Buyut itu masih dicengkam oleh keragu-raguan, maka anak-anak muda telah mempersiapkan diri untuk menghadapi sikap Ki Sendawa. Seorang di antara mereka memutuskan untuk bertindak sebelum saat Ki Sendawa menyatakan dirinya menjadi Buyut di Talang Amba. Sekelompok yang lain bahkan telah membuat rencana untuk menyerang padukuhan tempat tinggal Ki Sendawa.
Dalam keadaan yang demikian, maka Ki Waruju telah berusaha untuk menemui menantu Ki Buyut. Sambil menawarkan berbagai jenis batu akik, maka Ki Waruju berkata, “Tanpa seorang yang memegang kendali, maka keadaan akan menjadi sangat buruk. Berbagai pihak akan dapat bertindak sendiri-sendiri. Sementara itu, Ki Sendawa telah bersiap menyambut mereka”
“Aku akan memikirkannya” jawab menantu Ki Buyut.
Ki Waruju hanya dapat menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak dapat berbuat lebih banyak lagi. Ia hanya berharap mudah-mudahan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat berhasil mencari cara agar rencana Ki Sendawa dapat tertunda.
Tetapi sulit sekali bagi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat untuk dapat melakukan rencana itu. Hampir setiap langkah mereka diawasi. Meskipun kadang kadang karena usaha kedua anak muda itu untuk mendapatkan kepercayaan, mereka dapat sesaat sesaat melepaskan diri dari pengamatan Ki Sarpa Kuning dan murid-muridnya. Namun pada suatu saat, di luar dugaan, Manisa Murti dan Mahisa Pukat yang berusaha untuk mendapat kesempatan bertemu dengan Ki Waruju sebagaimana sering dilakukannya, telah melihat sesuatu yang mula-mula sulit dimengerti. Namun, akhirnya mereka pun menyadari apa yang akan terjadi.
Dengan sangat berhati-hati, mula-mula kedua orang anak muda itu telah berusaha untuk keluar dari gandok ketika tengah malam telah lewat. Ketika Ki Sarpa Kuning dan murid-muridnya tengah tidur. Sementara mereka pun telah menyiapkan jawaban apabila salah seorang dan mereka akan terbangun dan bertanya apa yang akan mereka lakukan.
“Ke belakang” desis Mahisa Murti, “atau ke sungai” Namun dengan sangat berhati-hati ternyata mereka berhasil keluar dari gandok. Meskipun kemudian mereka tidak dapat melampaui para peronda yang ada di gardu.
“Kita akan berpesan kepada mereka” berkata Mahisa Murti, “agaknya itu lebih baik daripada Ki Sarpa Kuning mencurigai kita”
Mahisa Pukat pun tidak berkeberatan. Mereka justru berpesan kepada para peronda, bahwa keduanya akan pergi ke sungai.
“Seorang dari kawanmu juga baru saja keluar” berkata peronda itu.
“Siapa?” bertanya Mahisa Murti, “Gajah Wareng atau yang berkumis atau Ki Sarpa Kuning?”
Mahisa Pukat pun menjadi berdebar-debar. Ternyata mereka masih kurang teliti mengamati keadaan, karena mereka tidak sempat menghitung berapa orang yang sedang tidur di gandok itu.
“Yang paling muda” jawab peronda itu.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan. Yang paling muda di antara mereka adalah seorang yang adiknya telah dibunuh oleh Ki Sarpa Kuning, karena dianggap bersalah dan justru jatuh ke dalam tangan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.
Dengan ragu-ragu Mahisa Murti pun bertanya, “Kemana perginya?”
“Aku kurang tahu. Tetapi ia nampak gelisah. Sudah agak lama ia duduk di serambi gandok tanpa berbuat sesuatu. Namun kemudian ia turun kehalaman. Untuk beberapa lamanya ia duduk ditangga pendapa, seolah-olah sedang merenungi sesuatu. Baru kemudian ia keluar regol.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Agaknya orang itu sudah keluar lama sebelum Mahisa Murti dan Mahisa Pukat terbangun dan keluar dari gandok untuk mencari kesempaan bertemu dengan Ki Waruju. Mungkin Ki Waruju berada di luar regol padukuhan.
“Kemana orang itu pergi?” bertanya Mahisa Pukat.
“Kenapa dengan kawanmu itu?” bertanya salah seorang dari para peronda itu.
“Entahlah. Nampaknya tidak apa-apa. Tetapi mungkin ia pun pergi ke sungai. Kegelisahannya disebabkan karena kemalasannya. Mungkin ia segan pergi. Tetapi perutnya memaksanya juga untuk pergi” jawab Mahisa Pukat.
Para peronda itu mengangguk-angguk. Yang seorang kemudian berkata, “Ia pergi kearah Barat.”
Hijaunya Lembah, Hijaunya Lereng Pegunungan