Bara Di Atas Singgasana Jilid 19

Pengkhianatan

Pemimpin pengawal di seluruh istana itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Sebenarnya ia-pun telah mendengar kematian kedua tawanan itu. Tapi ia memang menunggu laporan resmi dari petugasnya.

“Kalau begitu kau harus tetap berada di istana,” berkata pemimpin pengawal itu.

“Ya. Itulah sebabnya aku melapor.” ia berhenti sejenak. Lalu, “aku ingin minta tolong agar keluarga kami dapat diberitahu. Tetapi tidak seluruh persoalannya, supaya mereka tidak menjadi sangat gelisah.”

“Baik. Aku sendiri akan menemui keluargamu dan kawan-kawanmu yang bertugas saat itu.”

“Aku sangat berterima kasih.”

“Kemudian, apakah masih ada persoalan?”

“Ya. Bagaimana dengan kedua mayat itu?”

“Apakah tidak ada perintah Sri Rajasa?”

“Tidak.”

Pemimpin yang lebih tinggi itu mengangguk-anggukkan kepalannya. Lalu, “Aku akan menghadap Sri Rajasa, apabila aku mendapat kesempatan.”

“Aku menunggu.”

Pengawal tiu-pun kemudian kembali ketempatnya. Ia masih harus menunggu keputusan Sri Rajasa dan keputusan-keputusan yang menyangkut kedua sosok mayat itu.

Tetapi ternyata pemimpin pengawal istana itu tidak sempat menghadap, karena Sri Rajasa sedang berada di bangsal isteri mudanya. Karena itu, ia harus menunggu. Baru setelah Sri Rajasa kembali ke bangsalnya, ia sempat menghadap hanya sejenak.

“Lihatlah mereka baik-baik. Ingatlah ciri-cirinya dan tanda-tanda kematiannya. Kemudian kuburkan mereka.” hanya itulah titah Sri Rajasa.

Dalam pada itu, Senapati pasukan kecil yang telah berhasil menjalankan tugasnya itu-pun telah berada di tengah-tengah prajuritnya kembali.

Diceriterakannya apa yang telah terjadi dengan kedua tawanan itu. Meskipun para prajurit itu sudah mendengar bahwa kedua tawanan itu mati, tetapi baru dari Senapatinya mereka mendapat keterangan yang jelas.

“Kita tidak dianggap bersalah, dan kita boleh pulang beristirahat. Waktu yang diberikan kepada kita tidak disebutkan, tetapi tentu seperti peraturan yang berlaku. Setelah melakukan tugas-tugas kecil kita beristirahat dua hari dua malam.”

“Tugas kecil?” bertanya seorang prajurit.

Senapati itu tidak menjawab. Tetapi ditatapnya saja prajurit itu yang kemudian menundukkan kepalanya.

Dalam pada itu, Anusapati-pun berkata, “Jadi, kita semuanya mendapat waktu beristirahat dua hari dua malam, sebelum kita kembali ke pasukan induk?”

“Hamba tuanku,” jawab Senapati itu.

“Tetapi aku tidak mempunyai pasukan induk,” berkata Anusapati kemudian. “Apakah dengan demikian berarti bahwa aku mungkin sekali akan mendapat tugas pada kesatuan lain untuk suatu tugas yang lain?”

“Hamba tuanku. Tuanku memang tidak mempunyai kesatuan khusus, karena tuanku sebenarnya memang bukan seorang prajurit biasa. Untuk waktu-waktu yang akan datang, tugas-tugas tuanku akan diatur langsung oleh tuanku Sri Rajasa.”

Anusapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Kalau begitu aku akan mengucapkan terima kasih. Terima kasih kepadamu dan kepada seluruh pasukan yang telah melindungi aku, sehingga aku boleh ikut merasa bangga bahwa tugas ini dapat terlaksana.”

“Ah,” desah Senapati itu, “ternyata tuanku tidak memerlukan perlindungan. Tuanku adalah seorang prajurit. Dalam tugas yang baru saja kita selesaikan, tuanku ternyata dapat menyejajarkan diri dengan kita semua, sehingga tuanku tidak lagi menjadi tanggungan bagi kami. Bahkan tuanku telah memperkuat pasukan kami.”

Putera Mahkota itu tersenyum. Sambil menepuk bahu Senapati itu ia berkata. “Sebenarnya aku senang melakukan tugas bersamamu, bersama pasukanmu yang kecil tetapi bertanggung jawab itu. Kau adalah seorang pemimpin kecil yang berwibawa. Aku berharap bahwa kelak kau akan meningkat semakin tinggi dan mempunyai pengaruh yang mantap dikalangan keprajuritan Singasari.”

Senapati itu tersenyum pula. Jawabnya, “Terima kasih tuanku. Tetapi waktunya masih jauh sekali. Mungkin lebih jauh dari jarak umur hamba.”

“Jangan terlampau merendahkan diri. Siapa tahu, tugas ini salah satu pancatan bagimu.”

Tetapi Senapati itu bahkan tertawa.

Sejenak kemudian Anusapati-pun minta diri kepada Senapati itu dan seluruh prajurit-prajuritnya. Dan ia-pun akan kembali ke bangsalnya. Isterinya pasti sudah menunggu. Bahkan ibunya pasti juga menantinya dengan cemas.

Namun sambil menghitung langkahnya ia selalu dibayangi oleh tugas-tugas mendatang yang pasti akan lebih berat. Namun lebih dari itu, ternyata pula ia sudah menghadapi pengkhianatan-pengkhianatan yang ada di dalam dan di luar istana, sehingga Putera Mahkota itu benar-benar telah merasa terkepung.

Langkah Anusapati tertegun ketika ia lewat di sebelah pintu gerbang taman. Dilihatnya seorang juru taman sedang menjinjing bumbung bambu berisi air.

Dengan serta merta Anusapati berhenti. Namun kemudian disadarinya kedudukannya sebagai seorang Putera Mahkota, sedang orang itu tidak lebih dari seorang juru taman. Namun demikian ia melangkah perlahan-lahan mendekatinya.

“Ampun tuanku,” juru taman itu menyapa, “ternyata tuanku telah kembali dengan selamat.”

“Ya Paman Sumekar,” jawab Putera Mahkota, “perjalanan kali ini sangat menarik.”

Tetapi Anusapati tidak sempat mengatakannya, karena beberapa orang juru taman yang lain segera datang mendekat.

Mereka-pun kemudian menanyakan keselamatan Anusapati berebut dahulu.

“Terima kasih paman,” jawab Anusapati kepada mereka itu, “seperti paman lihat, aku sehat walafiat.”

“Tuanku menjadi bertambah hitam,” berkata seorang juru taman yang gemuk, “tetapi dengan demikian tuanku menjadi semakin gagah.”

Anusapati tersenyum. Sedang juru taman yang lain berkata. “Tetapi tuanku menjadi sedikit kurus.”

“Mungkin paman. Aku kurang tidur. Di istana aku hampir tidak pernah meninggalkan pembaringan. Tetapi di perjalanan aku tidak sempat tidur, meskipun di malam hari.”

“Siang malam tuanku berjalan?”

“Ya, siang malam.”

“Tidak berhenti?”

Anusapati tertawa. Jawabnya, “Tentu ada juga kesempatan untuk berhenti, sedikit beristirahat dan tidur.”

“O, jadi ada juga waktu untuk tidur.”

“Tentu ada, tetapi terlampau sedikit dibanding dengan waktu tidurku di istana.”

Para juru taman itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi mereka tidak sempat bertanya lebih banyak lagi, karena Anusapati segera minta diri, “Aku masih sangat lelah. Aku akan pergi ke bangsal. Bukankah tidak ada sesuatu yang terjadi?”

“Tidak tuanku,” jawab seorang juru taman, namun tiba-tiba wajahnya berkerut, “eh, maksudku, tidak ada apa-apa.”

“Tidak tuanku,” Sumekarlah yang menyahut, “tidak terjadi sesuatu.”

Anusapati mengerutkan keningnya. Tetapi jawaban yang ragu-ragu itu membuatnya justru berdebar-debar. Sehingga dengan demikian sekali lagi ia mendesak, “Benar tidak ada sesesuatu yang terjadi?”

“Benar tuanku,” jawab Sumekar, “adalah biasa saja, apabila seorang emban berceritera bahwa tuan puteri merindukan tuanku Putera Mahkota. Dan itu bukan berarti sesuatu yang harus dipersoalkan.”

“Ya, ya tuanku,” juru taman yang gemuk menyahut, “memang tidak ada apa-apa.”

Anusapati masih berdiri termangu-mangu. Ditatapnya wajah Sumekar sejenak, namun ia-pun kemudian meninggalkan tempat itu.

Namun kini Anusapati tidak lagi berjalan perlahan-lahan. Langkahnya manjadi tergesa-gesa, seakan-akan ada sesuatu yang mengejarnya. Kesan dari percakapannya dengan para juru taman membuatnya agak berdebar-debar. Jawaban mereka agaknya tidak sewajarnya.

Ketika ia melihat bumbungan bangsalnya, serasa ia ingin segera meloncat. Tetapi ternyata Anusapati masih harus tetap mengekang dirinya sendiri.

Ketika ia sampai di halaman bangsal tempat tinggalnya, dilihatnya seorang emban berlari-lari masuk ke dalam. Tentu ia akan memberi tahukan kedatangannya kepada isterinya.

Sebenarnyalah ketika Anusapati menaiki tangga bangsalnya, ia melihat isterinya berlari-lari mendapatkannya. Begitu ia memasuki pintu, isterinya segera memeluknya erat-erat seolah-olah tidak akan dilepaskannya kembali.

Apalagi ketika ia melihat air mata yang berlinang di pelupuk mata isterinya yang sedang mengandung itu.

“Apakah yang terjadi sepeninggalku?” bertanya Anusapati yang menjadi semakin curiga.

Tetapi isterinya justru mencoba mengusap air matanya. Dipaksakannya bibirnya untuk tersenyum sambil Berkata, “Maafkan kakanda. Bukan maksud hamba membuat kakanda gelisah. Marilah kakanda masuk dan perkenankan hamba bertanya tentang keselamatan kakanda di perjalanan.”

Anusapati menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak boleh gelisah. Kalau ia menjadi gelisah, maka isterinya akan menjadi semakin gelisah pula.

Perlahan-lahan Anusapati melangkah masuk. Tidak ada perubahan apa-pun di dalam bangsal itu. Tidak ada barang-barang yang rusak atau berpindah tempat. Masih seperti ketika ditinggalkannya.

Sejenak kemudian beberapa emban telah menyediakan pakaian yang bersih bagi Anusapati, karena isterinya tahu, bahwa di dalam perlawatannya, Anusapati pasti tidak sempat menghiraukan pakaiannya yang menjadi kotor dan kumal itu.

“Silahkanlah kakanda minum dahulu. Kemudian membersihkan diri dan kemudian makan telah hamba sediakan.”

Anusapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Sebenarnya ia-pun ingin segera mendengar apa yang telah terjadi. Tetapi ia tidak mau merusak suasana lebih parah lagi.

Karena itu, maka Anusapati-pun kemudian minum beberapa teguk air hangat yang telah dihidangkan oleh embannya. Segar sekali rasanya, seakan-akan telah sekian lamanya ia tidak meneguk air sesegar itu.

Kemudian seperti yang diminta oleh isterinya, ia-pun pergi kepakiwan untuk membersihkan diri. Baru setelah ia berpakaian, maka Putera Mahkota itu-pun duduk menghadapi makan yang telah tersedia.

“Sejak kemarin hamba menyiapkan makan dan minum apabila setiap saat tuanku datang.”

“Tetapi bukankah aku tidak terlambat? Aku datang, tepat pada waktunya.”

“Hamba menyangka bahwa kakanda datang kemarin sebelum malam, langsung kembali ke bangsal ini. Tetapi ternyata tuanku datang setelah larut malam dan baru saat ini kakanda sampai di bangsal ini.”

“Ada sedikit persoalan dengan tawanan yang kami bawa.”

“Ya. Hamba telah mendengar. Bahkan hamba menjadi cemas, jangan-angan hal itu menyebabkan kakanda tidak segera dapat pulang untuk beberapa hari.”

Anusapati tersenyum. Jawabnya, “Aku pasti segera pulang.”

Isterinya itu masih menanyakan beberapa hal tentang perjalanannya. Kesulitan-kesulitan yang dialami dan bahaya-bahaya yang dihadapinya.

“Bukankah perjalanan ini perjalanan yang berat Kakanda Anusapati?”

“Memang agak berat. Tetapi atas perlindungan Yang Maha Agung, aku sampai di bangsal ini dengan selamat.”

“Hamba juga bersyukur.”

“Ternyata bahwa aku telah berhasil mengatasi perjalananku yang pertama sebagai seorang prajurit. Tentu akan segera disusul dengan tugas-tugas berikutnya. Mungkin tugas-tugas yang lebih berat.”

“Apakah tuanku akan segera pergi lagi?”

“Tentu tidak segera.”

Isterinya menundukkan kepalanya. Dan Anusapati-pun segera teringat sikap para juru taman yang mencurigakan. Karena itu maka ia-pun segera bertanya, apakah yang telah terjadi sepeninggalnya.

“Apakah kau mengalami sesuatu yang tidak baik?”

Isterinya menelan ludahnya. Kemudian jawabnya, “Ampun kakanda. Sebenarnya hamba malu mengatakannya, seperti kelakuan anak-anak yang cengeng saja.”

Anusapati mengerutkan keningnya. “Apakah yang terjadi?”

Isterinya tidak segera menyahut. Ditatapnya wajah seorang emban yang duduk bersimpuh disudut ruangan itu. Tetapi emban itu justru menundukkan kepalanya.

“Kakanda,” berkata isterinya kemudian, “sepeninggal tuanku, bangsal ini telah diganggu oleh hantu.”

“Hantu? Hantu maksudmu?”

“Ya, mungkin roh halus atau jenisnya yang lain.”

Anusapati mengerutkan dahinya sambil mengangguk-angguk.

Kemudian ia bertanya, “Apakah yang dilakukan oleh hantu-hantu itu?”

“Para embanlah yang paling banyak mengalami gangguan. Tetapi hamba-pun pernah melihatnya sekali.”

“Bagaimanakah bentuknya?”

“Hitam. Hanya hitam saja.”

Anusapati termenung sejenak. Lalu, “Apakah hantu itu menimbulkan suatu kerusakan, atau apa-pun yang parah?”

Isterinya menggelengkan kepalanya, “Tidak tuanku.”

Anusapati menarik nafas dalam-dalam. Kini semakin jelas padanya, bahwa memang ada pengkhianatan di dalam istana ini. Sudah tentu bukan roh halus atau semacam itu yang datang menakut-nakuti isterinya, karena selama ia berada di istana itu, belum pernah terdengar berita semacam itu.

Tetapi Anusapati tidak mengatakannya kepada isterinya. Dengan demikian ia menjadi semakin cemas dan ketakutan, “Jadi, apakah yang dilakukan oleh hantu itu?”

“Tidak ada tuanku. Tetapi hamba menjadi takut sekali. Pertama kali hamba melihat, hamba hampir menjadi pingsan.”

“Hanya itu?”

“Ada juga yang dilakukannya. Merusak barang-barang di belakang rumah ini.”

Anusapati mengerutkan keningnya. Dan ia-pun kemudian bertanya, “Sampai kapan?”

“Semalam hantu itu sudah tidak ada.”

“Kemarin malam?”

Isterinya mengingat-ingat. Lalu, “Tidak ada. Dihari terakhir, hamba mendengar keributan di belakang. Tetapi hamba tidak berani melihatnya. Namun seorang emban berusaha mengintip dari biliknya. Dan emban itu melihat dua sosok hantu sedang berkelahi.”

“Berkelahi?”

Isterinya menganggukkan kepalanya.

“Baiklah. Sekarang aku sudah ada dirumah ini. Hantu itu tidak akan kembali. Atau, perkelahian itulah agaknya yang telah mengusirnya. Mungkin hantu itu berkelahi dengan para peronda.”

“Para peronda ada di depan bangsal tuanku. Hamba pernah bertanya kepada salah seorang dari mereka, tetapi ia tidak melihat dan mendengar apa-pun juga.”

Akhirnya Anusapati tersenyum. Ditepuknya bahu isterinya sambil berkata, “Jangan takut lagi kepada hantu itu. Aku akan menemuinya kelak apabila ia datang kembali. Aku akan bertanya, apakah yang dikehendaki dari rumah ini.”

Isterinya tidak menyahut. Tetapi kehadiran Anusapati membuat hatinya menjadi tenteram.

Demikianlah di sore hari, ketika Anusapati sudah beristirahat sajenak, diperlukannya menemui Sumekar, ketika juru taman itu sedang menyiram batang-batang perdu dan bunga di halaman bangsalnya.

“Aku sudah mendengar,” berkata Anusapati.

“Apakah yang tuanku dengar.”

“Yang tidak kau katakan, dihadapan kawan-kawanmu para juru taman.”

“O, hantu itu?”

“Ya.”

“Demikianlah tuanku. Memang tersiar kabar bahwa di bangsal tuanku itu terdapat hantu. Para emban menjadi ketakutan, sehingga mereka kadang-kadang berkumpul di depan bangsal, mendekati para penjaga.”

“Dan para penjaga itu tidak berbuat apa-apa.”

“Mereka mencoba mencari di sekitar bangsal itu tuanku. Tetapi mereka tidak menemukan apa-apa. Mereka tidak bertemu dengan hantu yang menakut-nakuti isi bangsal itu. Bahkan ketika hampir separuh malam mereka berada di belakang, mereka tidak melihat apa-apa.”

Anusapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu katanya, “Tetapi para emban melihat hantu itu berkelahi pada suatu malam.”

Sumekar mengangguk-anggukkan kepalanya, “Ya tuanku. Hamba memang mendengar bahwa hantu itu berkelahi.”

Tetapi Anusapati tersenyum sambil berkata, “Jadi paman sendiri harus turun tangan?”

Sumekar mengerutkan keningnya. Lalu sambil tersenyum pula ia menjawab, “Hamba tuanku. Hamba tidak sampai hati membiarkan seisi bangsal itu ketakutan, sehingga hamba berusaha untuk menemukan hantu itu. Itulah agaknya yang dikatakan oleh para emban bahwa ada hantu berkelahi dengan hantu.”

“Terima kasih paman. Aku memang sudah menyangka.” Anusapati berhenti sejenak. Lalu, “siapakah yang berusaha menakut-nakuti isi bangsal itu?”

Sumekar menjadi ragu-ragu sejenak. Sekilas teringat olehnya, bagaimana Anusapati telah membunuh gurunya yang pertama. Darah mudanya kadang-kadang masih juga tidak terkendali, sehingga dengan demikian, maka ia harus berhati-hati. Ia tidak dapat mengatakan dengan pasti, siapakah yang telah mencoba menakut-nakuti bangsal itu karena ia tidak berhasil memaksanya membuka kedok hitamnya, justru karena hantu itu berusaha memancing perhatian beberapa orang prajurit. Ketika prajurit-prajurit itu datang, maka baik hantu itu maupun Sumekar, harus segera melarikan dirinya. Tetapi sebenarnya Sumekar mempunyai dugaan yang kuat, siapakah hantu itu. Meskipun demikian Sumekar tidak dapat mengatakannya kepada Anusapati. Jika darahnya mendidih, maka ia dapat berbuat di luar pengamatan nalar yang bening. Padahal, yang diketahui barulah dugaan semata-mata.

“Siapa?” desak Anusapati.

“Ampun tuanku,” jawab Sumekar, “hamba tidak berhasil mengetahui hantu itu, karena ia sempat melarikan dirinya. Hamba tidak dapat mengejarnya, karena para prajurit yang meronda dan yang berjaga-jaga bertebaran di halaman. Seperti hantu-hantuan itu, hamba-pun berusaha menyembunyikan diri ketika para prajurit mendengar sedikit keributan. Tetapi kesimpulan mereka, agaknya memang ada roh halus yang sedang mengganggu.”

Anusapati mengangguk-anggukkan kepalanya, katanya, “Sayang sekali. Kalau kau dapat mengetahui siapakah orang itu, aku akan dapat menelusur pengkhianat yang ada di istana ini, sehubungan dengan terbunuhnya dua orang tawanan itu, dan peristiwa-peristiwa yang aku alami di daerah perampok yang terpencil itu.”

Samekar tidak segera menjawab. Tetapi kata-kata Anusapati itu sangat menarik perhatiannya. Pengkhianatan itu terjadi tidak saja di istana, tetapi ternyata juga di medan.

Karena itu, maka Sumekar-pun mencoba bertanya dengan hati-hati, “Tuanku, apakah yang sudah terjadi di medan itu?”

“Juga sebuah pengkhianatan paman,” jawab Anusapati, “pengkhianatan yang sama sekali tidak terduga sebelumnya.”

Sumekar mengerutkan keningnya.

“Ternyata para perampok itu sudah mengetahui akan kehadiran kami.”

Sumekar terkejut. Tetapi ia tidak menyahut.

“Bahkan mereka telah mengundang seseorang yang mereka anggap akan dapat menyelesaikan peperangan yang akan terjadi.”

Sumekar menjadi semakin heran.

“Paman,” berkata Anusapati kemudian, “kedatanganku benar-benar mendapat sambutan yang hangat. Mereka dapat tepat mengetahui saat kami akan datang dan bahwa di antara prajurit Singasari terdapat Putera Mahkota.”

“Begitu jauh pengkhianatan itu tuanku?”

“Ya,” Anusapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu diceriterakannya apa yang telah dialami selama ia berada dalam perjalanan. Dipadukuhan terpencil itu telah menunggu Kiai Kisi. Adalah suatu kurnia keselamatan bahwa ia sempat bertemu dengan Kiai Kisi sebelumnya, sehingga ia berhasil menggagalkan niatnya menangkap Putera Mahkota, tanpa membuka kedoknya.

Sumekar mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia mendapat gambaran yang agak jelas, apakah yang sebenarnya telah terjadi di istana ini. Tentu suatu usaha untuk menyingkirkan Putera Mahkota. Dan dengan demikian sebenarnya tidak terlalu sulit untuk menemukan orangnya.

Tetapi Sumekar tidak mengatakannya. Ia tetap menyimpannya di dalam hati, meskipun ia yakin bahwa Anusapati yang bukan seorang anak muda yang dungu itu, pasti sudah mempunyai perhitungan serupa.

“Biarlah Putera Mahkota menyimpan dugaan itu di dalam hatinya, seperti aku juga menyimpan di dalam hati,” berkata Sumekar kepada diri sendiri, “kelak apabila Mahisa Agni berkunjung kemari, aku akan dapat memperbincangkannya.”

“Paman,” berkata Anusapati kemudian, “aku mengharap bahwa yang aku katakan itu dapat menjadi bahan bagi paman, untuk menghubungkan apa yang telah terjadi di istana. Mudah-mudahan kita akan dapat menemukan, siapakah sebenarnya yang telah melakukan pengkhianatan itu dengan pasti. Bukan sekedar dugaan yang tidak beralasan.”

“Hamba tuanku. Hamba akan mencoba. Tetapi percayalah, bahwa hamba akan tetap pada pendirian hamba. Bahwa hamba akan membantu apa-pun juga yang dapat hamba lakukan buat tuanku.”

“Aku hanya dapat mengucapkan terima kasih paman. Aku akan tetap mengharap bantuan paman. Agaknya di hari mendatang aku akan menghadapi lebih banyak kesulitan-kesulitanan.”

“Tetapi tuanku tidak berdiri sendiri. Di samping tuanku ada kakang Mahisa Agni. Ada hamba, ada Witantra dan sudah tentu ada juga kesetiaan kepada Putera Mahkota dari para prajurit Singasari.”

Anusapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi mereka tidak dapat berbincang lebih lama lagi, karena ada beberapa orang juru taman yang lain yang berkeliaran di sekitar mereka.

Dalam pada itu, maka Anusapati-pun segera kembali ke bangsalnya. Sebenarnya masih ada persoalan yang akan dikatakannya kepada Sumekar, tetapi ia harus menyimpannya untuk beberapa saat, sampai ia mendapat kesempatan berikutnya.

Ketika malam turun, menyelubungi tanah Singasari, maka Sri Rajasa telah berada di dalam bilik yang khusus. Bilik yang dipergunakannya untuk membicarakan masalah-masalah yang dianggapnya rahasia. Rahasia pribadi, mau-pun rahasia Singasari.

Di dalam bangsal itu, selain Sri Rajasa, maka penasehatnya yang tua duduk bersila sambil menundukkan kepalanya. Sekali-sekali terdengar ia menarik nafas dalam-dalam.

“Paman,” berkata Sri Rajasa kemudian, “jadi paman telah melakukannya?”

“Ampun tuanku. Hamba sekedar menjalankan perintah tuan Puteri Ken Umang.”

“Apa katanya?”

“Semakin cepat Putera Mahkota disingkirkan, akan menjadi semakin baik bagi Singasari. Apakah yang dapat hamba lakukan untuk berbakti kepada tanah ini selain menjalankan perintah itu?”

“Apakah Tohjaya mengetahui hal ini?”

“Hamba tidak mengatakan kepada tuanku Tohjaya. Hamba tidak tahu, apakah tuanku Ken Umang juga tidak mengatakannya.”

“Mudah-mudahan anak itu tidak mengetahui rencana ini,” geram Sri Rajasa.

Kepala penasehat itu menjadi semakin tunduk.

“Kau tahu bahwa rencana itu telah gagal sama sekali?”

“Hamba tuanku.”

“Dan kau juga yang membunuh kedua tawanan itu?”

“Hamba tuanku.”

“Kau pula yang menghubungi para perampok itu dan mengundang orang yang bernama Kiai Kisi?”

“Hamba tuanku.”

“Itulah agaknya kau menunjuk tempat itu untuk melihat kemampuan Putera Mahkota.” Sri Rajasa terdiam sejenak. Lalu, “tetapi ternyata kau tidak memperhitungkan kemungkinan yang ternyata telah terjadi. Orang berkerudung hitam itu. Agaknya orang yang telah masuk ke halaman istana ini pula.”

Penasehat Sri Rajasa, sekaligus guru Tohjaya itu menganggukkan kepalanya.

Baru kini ia merasa cemas akan rencananya itu. Ia menganggap bahwa rencana itu akan terlaksana dengan sempurna. Kiai Kisi akan berhasil menangkap Putera Mahkota, dan mempergunakannya untuk banyak kepentingan. Kiai Kisi pasti akan berhasil memeras Sri Rajasa lewat Permaisuri. Sedang niat menyingkirkan Putera Mahkota itu dapat dilaksanakan, sehingga jalan bagi Tohjaya menjadi semakin lapang.

Tetapi cara yang dipergunakannya ini sama sekali tidak berhasil. Bahkan hampir saja ia terjebak karena dua orang pembantu terdekat Kiai Kisi dan sekaligus murid-muridnya yang paling tua dapat ditangkap.

“Hampir tidak masuk akal bahwa hal itu dapat dilakukan oleh pasukan kecil itu,” berkata penasehat itu di dalam hatinya. Namun ternyata bahwa ada pihak lain yang langsung telah mempengaruhi rencananya, bahkan telah menyebabkan rencana itu gagal sama sekali.

Penasehat Sri Rajasa itu mengerutkan lehernya ketika ia mendengar Sri Rajasa berkata, “Aku tidak senang dengan tindakanmu itu.”

“Ampun tuanku. Tetapi maksud hamba adalah membantu putera tuanku yang terkasih. Tuanku Tohjaya.”

“Aku sudah mempunyai rencana sendiri. Aku tidak sebodoh dan sekasar kau,” berkata Sri Rajasa, “apalagi kita harus memperhitungkan pihak ketiga yang tidak kita ketahui. Namun yang pasti, mereka adalah orang-orang yang memiliki ilmu yang tinggi. Bukan sekedar hanya satu orang. Tetapi lebih dari dua orang.”

“Hamba tuanku. Hamba mohon ampun karena kelancangan itu.”

“Kali ini aku masih mengampuni kau. Tetapi lain kali aku akan menentukan sikap.”

“Terima kasih tuanku. Hamba tidak akan bertindak sendiri untuk seterusnya.”

“Kau masih sangat aku perlukan. Tetapi kau jangan berbuat sesuatu diluar pengetahuanku. Apalagi yang menyangkut kedudukan Putera Mahkota. Kau harus menyadari, bahwa Putera Mahkota itu-pun tidak berdiri sendiri, sehingga kita tidak dapat melakukannya dengan kasar. Ia adalah kemanakan Mahisa Agni. Dan kau tahu, siapa Mahisa Agni itu.”

“Hamba tuanku. Hamba tahu.”

“Kau sangka bahwa ia tidak dapat mempergunakan pengaruhnya untuk berbuat sesuatu apabila ia kecewa?”

“Hamba tuanku.”

“Perhitungkan semua pihak sebelum berbuat sesuatu. Orang-orang yang berkerudung itu. Mahisa Agni dan mungkin ada pihak-pihak lain yang tidak sependapat dengan kita.”

Penasehat raja itu mengangguk dalam-dalam sehingga kepalanya hampir menyentuh tikar tempat duduk bersila.

“Pergilah. Tetapi ingat, lawanmu bukan orang-orang sedungu Anusapati itu sendiri. Ada orang-orang yang berotak cerah. Dan itu harus diperhitungkan sebaik-baiknya. Aku juga tidak mau bahwa rencanaku sendiri akan justru terganggu karenanya.”

“Hamba tuanku. Hamba akan melakukannya.”

“Dengar, kalau rencanaku juga gagal, bukan hanya kau dan aku sajalah yang akan mengalami bencana, tetapi Singasari yang aku bangun dengan susah payah ini akan ikut tenggelam bersama rencana itu. Dengan demikian kita masih harus memperhitungkan kemungkinan-kemungkinan itu. Kita harus membuat timbangan antara kepentingan pribadi, termasuk keturunanku, dan kepentingan seluruh Singasari yang sudah menjadi semakin besar ini.”

Penasehat Raja itu menjadi semakin tunduk.

“Selain semuanya itu, jaga agar Tohjaya tidak mengetahuinya. Kalau ia tahu, maka ia akan menjadi semakin bernafsu. Bahkan mungkin ia sendiri berbuat sesuai dengan seleranya, dan dengan demikian maka rencana yang besar itu akan hancur.”

Penasehat itu hanya dapat mengangguk dan mengangguk. Bahkan sampai ia berada di halaman bangsal itu-pun ia masih mengangguk-anggukkan kepalanya tanpa sesadarnya.

“Rencana yang gila,” terasa kulitnya meremang apabila teringat kegagalan rencana yang dibuatnya, “untung saja aku masih dapat membunuh kedua tawanan itu. Kalau tidak, mungkin Sri Rajasa tidak akan dapat melindungi aku lagi, dan membiarkan aku terayun di tiang gantungan karena aku telah berkhianat kepada Putera Mahkota.”

Demikianlah maka Sri Rajasa-pun telah mendapatkan kepastian siapakah yang melakukannya, sehingga dengan demikian maka para penjaga yang lengah itu-pun mendapatkan pengampunannya, meskipun mereka mendapat peringatan yang cukup keras.

“Sekali lagi hal yang serupa terjadi,” berkata Sri Rajasa, “kalian akan digantung di alun-alun. Kali ini kalian aku ampuni karena sebelum hal serupa ini terjadi, kalian adalah pengawal-pengawal yang baik.”

Para pengawal itu membungkuk dalam-dalam. Dengan kerongkongan yang panas, salah seorang berkata, “Terima kasil tuanku. Hamba masih dapat melihat anak isteri hamba. Di rumah dua orang anak hamba yang masih kecil menunggu kedatangan hamba.”

“Pulanglah. Jadikanlah hal ini peringatan. Bukan sekedar untuk hari ini, tetapi untuk selanjutnya.”

Para pengawal itu-pun kemudian diperbolehkan pulang, meskipun mereka tidak tahu, kenapa mereka sama sekali tidak mendapat hukuman. Dan mereka-pun masih selalu bertanya-tanya apakah pembunuh itu tidak dicari sama sekali atau sebenarnya sudah tertangkap. Adalah aneh sekali bagi mereka, apabila hal itu begitu saja dilupakan tanpa pengusutan sekali.

Tetapi karena mereka telah diijinkan pulang kepada anak isteri, maka mereka berusaha untuk tidak mempedulikannya lagi.

“Itu adalah persoalan para pemimpin,” berkata para pengawal itu didalam hatinya.

Dalam pada itu, untuk sementara Anusapati telah hidup didalam suasananya sehari-hari. Namun demikian, ia tidak putus-putusnya melatih diri di dalam setiap kesempatan untuk menyempurnakan ilmunya, karena ia yakin bahwa pada suatu saat ia harus mempergunakannya. Bahkan ia merasa seakan-akan hidupnya kini selalu dibayangi oleh bahaya. Sedangkan di dalam istana yang luas Anusapati merasa hidup sendiri menghadapi persoalan-persoalan yang semakin rumit.

Untunglah bahwa di halaman istana itu ada Sumekar. Ia satu-satunya orang yang kadang-kadang dapat diajaknya berbincang. Bahkan banyak sekali nasehat-nasehatnya yang sangat bermanfaat bagi jalan hidupnya kemudian.

Di samping Sumekar, orang yang mengerti tentang dirinya adalah isterinya. Namun sudah tentu tidak keseluruhannya. Anusapati tidak dapat mengatakan kepada isterinya, bahwa hidupnya dibayangi oleh bahaya. Dengan demikian isterinya akan menjadi semakin ketakutan.

Selebihnya dari itu, Anusapati tidak dapat menyebutnya. Apakah ada orang yang dapat menerimanya sebagai Putera Mahkota yang sebenarnya di dalam istana Singasari itu.

Dalam pada itu seperti yang telah direncanakan, maka istana Singasari telah mulai disibukkan dengan persiapan perkawinan Mahisa Wonga Teleng. Meskipun waktunya masih belum genap setahun, tetapi tahunnya sudah berganti, sehingga istana Singasari telah dapat melaksanakan peralatan perkawinan Mahisa Wonga Teleng, mendahului perkawinan Tohjaya sendiri.

“Tohjaya masih harus memberikan banyak sekali waktunya untuk menyempurnakan dirinya,” berkata Sri Rajasa kepada Ken Umang, “perkawinan akan menghambat segala kemajuannya. Ia harus menjadi laki-laki yang paling baik di Singasari.”

Tetapi Sri Rajasa tidak mengetahui, sebenarnyalah bawa Anusapati telah lebih dahulu menyempurnakan dirinya meskipun ia sudah menginjak kehidupan yang baru. Bahkan isterinya sudah mengandung semakin lama menjadi semakin besar, sehingga pada suatu saat, Anusapati pasti akan menjadi seorang ayah.

Namun saat-saat perkawinan Mahisa Wonga Teleng itu ternyata merupakan saat-saat terpenting didalam hidup Anusapati. Pada saat Singasari menyelenggarakan peralatan maka Mahisa Agni-pun telah memerlukan hadir, karena Mahisa Wonga Teleng adalah kemanakannya pula.

Memang Mahisa Agni melihat kelainan pada peralatan ini dibandingkan dengan saat-saat perkawinan Anusapati. Mahisa Wonga Teleng adalah putera Sri Rajasa yang lahir dari Permaisuri. Karena itu, maka Sri Rajasa-pun tampaknya lebih mantap menyelenggarakan perkawinan ini dari perkawinan Anusapati.

Untunglah bahwa Anusapati sendiri tidak pernah mempersoalkannya kepada siapapun, meskipun ia mempersoalkannya di dalam hati. Tetapi Mahisa Wonga Teleng adalah adiknya yang menurut pengertiannya adalah adiknya seayah dan seibu.

“Pasti hanya suatu kebetulan,” berkata Anusapati di dalam hatinya, “kalau ayahanda sengaja membedakan upacara yang diselenggarakan saat ini dan dihari perkawinanku, apakah keuntungannya? Mungkin dapat terjadi apabila Tohjayalah yang kawin kelak. Tetapi seperti aku, Mahisa Wonga Teleng bukan orang yang dekat dengan ayahanda seperti Tohjaya.”

Didalam kesibukan hari-hari perkawinan itulah, maka perasaan iba menusuk semakin dalam dihati Mahisa Agni, yang melihat Anusapati yang rasa-rasanya menjadi semakin tersisih. Apalagi Mahisa Agni mengetahui, siapakah sebenarnya Anusapati itu. Ia mengetahui dengan pasti, bahwa Anusapati bukan putera Sri Rajasa.

Adalah karena kesetiaan isi istana, sehingga sampai usia dewasanya Anusapati tetap tidak mengerti keadaan dirinya sendiri. Setiap orang-orang tua yang sebenarnya mengetahui keadaan itu berusaha menutup mulutnya dan menyimpan rahasia itu. Mereka sama sekali tidak mau memperbincangkannya dengan siapapun, meskipun dengan orang-orang sebayanya, agar hal itu tidak menjalar kesetiap telinga dan yang kemudian akan didengar oleh Putera Mahkota.

Pada kesempatan kehadiran Mahisa Agni itu pulakah, Anusapati dan Sumekar berusaha untuk mendapat waktu berbicara dengan Mahisa Agni, apa saja yang telah terjadi dengan Putera Mahkota selagi ia menjalani pendadaran pada tingkat permulaan.

“Kau yakin ada pengkhianat itu?” bertanya Mahisa Agni yang terperanjat juga mendengar pengaduan itu.

“Ya paman. Aku yakin,” jawab Anusapati.

“Apa yang telah dilakukan oleh Sri Rajasa?”

“Ayahanda telah memeriksa beberapa orang. Ayahanda-pun agaknya sependapat, bahwa memang ada sesuatu yang tidak wajar. Ternyata kedua tawanan yang kami bawa itu telah terbunuh di bilik tahanan bagi mereka.”

“Tentu pengkhianatan. Dan Sri Rajasa tidak berhasil menemukannya?”

“Belum paman. Ayahanda sudah memerintahkan semua Panglima untuk menyelidiki. Kalau kita dapat menangkap pembunuh kedua tawanan itu, maka kita akan dapat menelusur pengkhianat-pengkhianat itu dan mungkin menemukannya. Tetapi sampai saat ini tidak seorang-pun yang menemukan pembunuh tawanan-tawanan itu.”

“Bagaimana dengan para pengawal saat itu?”

“Mereka tidak mengetahuinya. Hanya suatu kelengahan saja. Demikian menurut pengamatan ayahanda. Dan aku mempercayainya, bahwa bukan para pengawal itulah yang berkhianat, setidak-tidaknya terlibat dalam pengkhianatan ini.”

Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya. Seperti Sumekar ia mempunyai dugaan yang kuat, siapakah yang telah berkhianat itu. Tetapi ia tidak mengatakannya, meskipun juga seperti Sumekar, Mahisa Agni-pun yakin, bahwa Anusapati pasti mempunyai dugaan-dugaan pula tentang pengkhianatan itu.

Namun demikian Mahisa Agni berpendapat, bahwa bekal bagi Anusapati memang harus disempurnakan. Setiap saat ia akan dapat mengalami bencana yang sebenarnya. Kalau ia tidak siap dengan kemampuan tertinggi, maka Anusapati benar-benar akan musna.

Sebenarnya bagi Mahisa Agni, apakah yang akan mewarisi Singasari itu putera Sri Rajasa atau putera peninggalan Tunggal Ametung, tidaklah penting baginya. Tetapi mereka itu harus lahir dari Ken Dedes. Ken Dedeslah yang wajib menurunkan pemegang kekuasaan di Singasari, karena Tunggul Ametung pernah menyerahkan hak atas tanah ini kepadanya. Sadar atau tidak sadar.

Bagi Mahisa Agni, Sri Rajasa adalah seorang yang sangat berjasa bagi Singasari yang jauh lebih besar dan kuat dari Tumapel yang kecil. Sri Rajasa berbuat jauh lebih banyak, bagi rakyat dan negaranya. Tetapi kehadiran Ken Umang ternyata telah membuat Mahisa Agni agak kecewa. Karena itu, seandainya harus keturunan Sri Rajasa yang akan menduduki tahta, ia harus bukan anak Ken Umang.

“Tetapi Asusapati sangat baik hubungannya dengan adiknya yang seibu,” berkata Mahisa Agni didalam hatinya, “namun agaknya Sri Rajasa lebih condong pada anak Ken Umang itu daripada Mahisa Wonga Teleng. Dan itulah yang harus dicegah.”

Mahisa Agni adalah seorang yang dibesarkan di padepokan yang kecil. Tetapi berkat tuntunan dari gurunya, maka ia menjadi seorang yang memiliki kecerdasan yang mengagumkan, sehingga ia mampu menerawang persoalan yang sebenarnya terjadi di Singasari. Betapa ia menyasak karena ia telah mengalahkan Witantra di dalam arena perang tanding meskipun ia tidak membunuhnya. Saat itu perasaannya sedang dikaburkan karena kematian pamannya, Empu Gandring, sehingga pikirannya seakan menjadi buram. Tetapi setelah ia mencoba melihat persoalan-persoalan yang berkecamuk di Singasari dengan bening, dan setelah ia mendengar keterangan-angan dari Witantra, maka dapatlah Mahisa Agni mengambil kesimpulan.

“Ken Arok memang seorang yang cerdik dan licin. Ia dapat menguasai Singasari yang saat itu masih bernama Tumapel, sekaligus dengan Ken Dedes. Ia tidak perlu mempergunakan kekerasan, karena Ken Dedes datang sendiri kepadanya menyerahkan kekuasaan Tumapel saat itu dan dirinya sendiri. Namun dalam pada itu, dengan nafsu ketamakan yang menyala-nyala Ken Umang telah hadir pula di dalam kehidupan Ken Arok setelah ia berhasil menjebaknya dengan dirinya sendiri.” kenangan itulah yang tampak jelas di dalam angan-angan Mahisa Agni.

“Dan sekarang,” berkata Mahisa Agni di dalam hatinya, “Ken Arok pasti akan mempergunakan cara yang sama untuk menampilkan Tohjaya. Pasti tidak akan sekasar yang baru saja terjadi.”

Karena itu, maka Mahisa Agni-pun berniat ingin meyakinkan, apakah dugaannya itu benar. Apakah ia tidak menuduh orang yang salah meskipun hanya di dalam hatinya.

Apakah ia mendapat keyakinan tentang rencana menjebak Putera Mahkota itu. maka ia akan dapat menentukan sikapnya.

Demikianlah di dalam kesibukan upacara peralatan Mahisa Wonga Teleng itulah, maka Mahisa Agni-pun telah menyusun rencananya sendiri bersama Sumekar di luar pengetahuan Anusapati.

“Kita akan menemukan orang itu,” berkata Mahisa Agni. “yang sementara ini Anusapati tidak perlu kita beritahu lebih dahulu.”

Sumekar mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Kau dapat menjadi orang berkerudung itu. Kau tahu serba sedikit tentang apa yang telah dilakukan Anusapati atas Kiai Kisi, dan kau dapat langsung menuduhnya atas petunjuk Kiai Kisi. Kau dapat menyebut dirimu orang yang telah membunuh Kiai Kisi itu, sementara aku akan selalu berada didekat Ken Arok.”

Sumekar mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia tahu apa yang harus dilakukannya. Memang tidak mungkin Mahisa Agni lah yang berbuat demikian, karena setiap kali ia harus berada dekat dengan Sri Rajasa.

“Agaknya Sri Rajasa memang menaruh kecurigaan kepadaku. Sejak aku disingkirkan ke Kediri, aku sudah merasa.”

Sumekar mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Aku akan mencari kesempatan.”

Dan Sumekar yang memang sudah berada di dalam halaman istana itu tidak terlampau sulit untuk menemukan kesempatan itu. Ia harus memaksa orang yang dicurigainya mengaku. Kemudian bersama Mahisa Agni, ia dapat menyusun rencana yang lebih jauh lagi.

Demikianlah, maka selagi para pemimpin Singasari mengatur segala sesuatu yang berhubungan dengan peralatan itulah, maka Sumekar mencari kesempatan sebaik-baiknya. Dengan diam-diam ia menyelinap diantara pepohonan perdu di malam hari. Seperti yang digambarkan oleh Anusapati, maka ia-pun memakai kerudung hitam, sehingga selain ia dapat menyebut dirinya orang yang bertemu dengan Kiai Kisi seperti yang diceriterakan oleh Senapati pasukan kecil kepada Sri Rajasa dan didengar oleh semua pemimpin Singasari, maka kerudung hitam itu dapat pula membantunya, berlindung di dalam kegelapan.

“Ia masih ada dipondoknya,” berkata Sumekar didalam hatinya ketika ia melihat pintunya masih terbuka, “malam ini ia pasti akan menghadap Sri Rajasa untuk menyelesaikan persoalan perkawinan ini.”

Dan dengan demikian ia menunggu di dalam kegelapan, sehingga orang itu keluar dan dapat dipancingnya ketempat yang sepi. supaya tidak segera diketahui oleh para peronda apabila terpaksa terjadi benturan kekerasan.....
Sumekar hampir tidak sabar menunggu. Tetapi akhirnya, seseorang keluar dari pondok itu. Setelah menutup pintu maka ia-pun segera melangkah meninggalkan rumahnya. Orang itu adalah penasehat Sri Rajasa, guru Tohjaya.

Ketika orang itu lewat dekat, dengan segerumbul batang-batang perdu tempat Sumekar bersembunyi, maka ia-pun tertegun. Ia mendengar seolah-olah suara seseorang yang sedang merintih kesakitan di dalam kegelapan.

Penasehat Sri Rajasa itu termangu-mangu sejenak. Tetapi suara terdengar semakin jelas.

Bagaimana-pun juga suara itu sangat menarik perhatiannya, justru saat-saat istana Singasari sedang sibuk dengan perkawinan seorang Putera Sri Rajasa. Sebagai seorang yang memiliki kemampuan yang tinggi, maka ia-pun tidak ragu-ragu lagi. Namun demikian ia-pun cukup berhati-hati mendekati suara yang mencurigakan itu.

Tetapi suara itu seakan-akan semakin lama menjadi semakin jauh. Seakan-akan suara itu dapat merayap ke dalam kegelapan. Semakin lama semakin dalam-dalam.

Namun Penasehat Sri Rajasa yang juga menjadi guru Tohjaya itu-pun mengikutinya. Justru semakin lama ia-pun semakin ingin mengetahui, apakah yang sedang dihadapinya.

Demikian ia sampai ditempat yang agak terpencil, tiba-tiba ia melihat sesosok tubuh berdiri di dalam kegelapan. Sesosok tubuh yang hanya tampak kehitam-hitaman saja.

“O, jadi kau yang memancing aku kemari?” bertanya penasehat Sri Rajasa itu.

Bayangan yang kehitam-hitaman yang tidak lain adalah Sumekar itu berdesir mendengar pertanyaan yang tatag itu. Maka jawabnya, “Ya. Aku yang memancingmu. Aku memerlukan kau sejenak.”

“Siapa kau?”

“Kau tidak mengenal aku.”

“Jadi apakah kepentinganmu menemui aku kalau kau tahu bahwa aku tidak mengenalmu.”

“Aku ingin bertanya, aku harap kau tidak berkeberatan menjawabnya dengan jujur.”

Penasehat Sri Rajasa itu mengerutkan keningnya. Lalu, “Apa yang ingin kau ketahui?”

“Terima kasih,” berkata Sumekar, “semula aku tidak mengenalmu dan tidak mengenal setiap orang di dalam istana ini. Tetapi akhirnya aku memerlukan datang untuk menemuimu.”

“Kenapa aku?”

“Aku ingin kau tidak usah mangelak. Bukankah kau yang menyiapkan jebakan untuk menangkap Putera Mahkota beberapa saat yang lampau, ketika Puteran Mahkota mengalani pendadaran.”

Penasehat Sri Rajasa tu mengerutkan keningnya. Lalu katanya, “O, beberapa waktu yang lalu katamu? Aku tidak mengerti, apakah kau sedang mengigau atau bermimpi. Putera Mahkota telah kembali dengan selamat. Tidak ada apa-apa yang terjadi saat itu.”

“Ya. Putera Mahkota telah kembali dengan selamat, adalah bahwa rencanamu telan gagal. Begitu? Aku tidak akan berbuat apa-apa. Aku hanya ingin meyakini, bahwa demikianlah yang terjadi saat itu. Bukankah memang demikian?”

“Aku tidak tahu ujung pangkal pembicaraanmu. Sudahlah, apa yang sebenarnya kau maui?”

Sumekar menarik nafas dalam-dalam. Dilihatnya penasehat Sri Rajasa itu berdiri tegak siap untuk menghadapi segala kemungkinan.

“Ia memang bukan orang kebanyakan,” gumam Sumekar di dalam hatinya.

“Ki Sanak,” berkata Sumekar kemudian, “beberapa saat yang lampau, kawan-kawanku pernah mendapat kesempatan menemuimu. Bahkan salah seorang dari kami telah dilayani langsung oleh Sri Rajasa. Sebenarnya aku tidak ingin ikut bermain-main dengan isi istana ini. Tetapi ternyata bahwa aku telah terlempar kemari juga pada suatu saat. Adalah kebetulan sekali bahwa aku menemui Kiai Kisi selagi ia mendapat perintah dari istana ini untuk menjebak Putera Mahkota. Orang yang disebut-sebut menghubunginya adalah kau. Nah, apa katamu? Aku tidak akan berbuat apa-apa. Aku hanya ingin membuktikan, apakah benar kaulah yang telah menghubungi Kiai Kisi?”

“Persetan. Aku tidak mengenal nama orang itu.”

“Jangan ingkar Ki Sanak. Kiai Kisi dengan bangga menyebut kau sebagai orang yang paling tahu tentang rencana ini. Dan kalau kau tidak mempunyai hubungan apa-pun dengan Kiai Kisi, kenapa kau bunuh kedua orang tawanan itu?”

“Persetan.”

“Jangan ingkar. Aku tidak mempunyai persoalan dengan kau. Aku hanya ingin berpesan kepadamu, jangan bertindak terlampau ceroboh. Sebenarnya aku kasihan melihat kegagalanmu. Tetapi apaboleh buat, karena aku memang harus membunuh Kiai Kisi.”

“Gila. Itu urusanmu.”

“Kenapa kau memilih Kiai Kisi.”

“Diam. Diam,” bentak penasehat Sri Rajasa, “aku tidak tahu apa yang kau katakan. Sekarang apa maumu? Pergilah, atau aku akan membunuhmu.”

“Jangan sombong. Ternyata isi istana ini tidak seperti yang aku duga. Kawanku tidak berhasil ditangkap oleh Sri Rajasa sendiri. Apalagi kau? Mahisa Agni, para Panglima. Semuanya tidak banyak berarti.” orang diam sejenak. Lalu, “He. apakah kau sudah lama berhubungan dengan Kiai Kisi.”

“Diam, diam,” dan tiba-tiba, “apa pedulimu? Kalau kau memang tidak mempunyai kepentingan apa-pun juga, kenapa kau datang kemari dan membicarakan kematian Kiai Kisi yang sudah lalu itu.”

“Jadi kau menanggap persoalannya sudah selesai?”

“Diam, diam. Aku tidak peduli lagi.”

“Kau tidak mendendam karena kegagalan itu?”

“Persetan. Aku bunuh kau.”

“Aku ingin menawarkan jasa kepadamu. Kau sudah gagal mempergunakan Kiai Kisi. Bagaimana kalau kita berhubungan untuk kepentingan yang sama. Niat itu baru terpikir setelah aku merenung cukup lama. Kenapa saat itu aku tidak mengambil alih tugas Kiai Kisi, menangkap Putera Mahkota.”

Penasehat Sri Rajasa itu terkejut mendengar tawaran itu. Ia tidak menyangka sama sekali, bahwa orang yang tidak dikenal itu telah menyatakan keinginannya untuk bekerja bersama.

“Apakah kau bersedia memikirkannya? Kau tentu menyanggupi upah yang cukup banyak kepada Kiai Kisi, atau kau memberi kesempatan kepadanya untuk memeras istana Singasari. Bagaimana-pun juga lewat Permaisuri aku akan mendapatkan kesempatan untuk memeras. Bukankah demikian juga agaknya yang akan dilakukan oleh Kiai Kisi.”

Penasehat itu merenung sejenak. Lalu katanya, “Siapakah kau sebenarnya?”

“Kita tidak perlu berkenalan. Aku hanya minta kepadamu, berilah kesempatan kepadaku untuk melakukannya, seperti yang akan dilakukan oleh Kiai Kisi. Aku tidak minta upah berapa-pun juga. Aku ingin mendapat upah itu dari usaha pemerasan.”

“Aku tidak tahu menahu. Persetan. Kalau kau ingin menculik Putera Mahkota, lakukanlah. Tetapi aku tidak ikut campur.”

“Jangan ingkar. Aku tidak memerlukan banyak bantuanmu. Kau hanya akan memberitahukan kepadaku, kemana Putera Mahkota akan melakukan pendadaran berikutnya, setelah pendadarannya yang pertama. Aku yakin bahwa masih akan ada perjalanan yang harus dilakukannya. Mungkin dalam waktu dekat setelah peralatan ini selesai seluruhnya.”

“Aku tidak tahu.”

“Kau akan tahu. Kita akan berhubungan. Berilah aku petunjuk Kalau aku berhasil memeras istana Singasari, maka kau akan mendapatkan bagian. Dan sekaligus kau mendapat keuntungan bahwa Putera Mahkota telah tersisih tanpa memberikan kecurigaan, karena ia gugur dalam menjalankan tugas. Sementara itu, kau-pun pasti akan mendapatkan upah atau kedudukan atau apa-pun yang dapat menjamin hari tuamu dari Tohjaya atau malahan dari Sri Rajasa sendiri.”

“Aku akan digantung oleh Sri Rajasa.”

“Ia akan berterima kasih kepadamu.”

“Sama sekali tidak. Sri Rajasa menjadi sangat murka karena usaha pembunuhan atas Putera Mahkota.”

Sumekar mengerutkan keningnya. Kini ia yakin bahwa Sri Rajasa benar-benar tidak terlibat didalam usaha pembunuhan itu.

“Jadi, apakah kita dapat berbuat di luar pengetahun Sri Rajasa? Tetapi bukankah lenyapnya Anusapati dapat memberikan tempat yang baik bagi Tohjaya?”

“Ada Mahisa Wonga Teleng,” penasehat itu bergumam seolah-olah kepada diri sendiri.

“Apa pedulimu kepada anak itu, Tohjaya mempunyai kesempatan lebih baik. Ia lebih dikenal oleh rakyat Singasari dari adik Anusapati yang lahir dari ibu yang sama itu.”

“Ya.”

“Jadi? Apakah kau setuju?”

Penasehat itu berpikir sejenak. Namun tiba-tiba ia membentak, meskipun tidak terlampau keras, “Jangan ganggu aku. Pergi. Pergilah atau aku akan membunuhmu.”

“Jangan marah.” sahut Sumekar, “tetapi bagaimanakah dengan tawaranku? Aku akan dapat berbuat lebih baik dari Kiai Kisi yang sudah aku bunuh itu.”

“Aku tidak peduli.”

Dan aku tidak memerlukan apa-pun juga selain petunjuk, kapan dan kemana Putera Mahkota akan pergi. Justru kaulah yang akan mendapat bagian dari pemerasan yang bakal terjadi itu, selain hadiah dari tuanku Tohjaya.”

“Persetan.”

Sumekar tertawa. Nada suaranya terdengar tinggi mengombak. Katanya, “Jangan terlampau berhati-hati. Usaha yang demikian adalah wajar. Jangan menunggu kedudukan Putera Mahkota menjadi semakin kuat. Kau tidak akan pernah mendapat kesempatan untuk menyingkirkannya.”

“Sri Rajasa sendiri akan melakukannya,” tiba-tiba orang itu terkejut mendengar suaranya sendiri. Dengan serta-merta ia berkata, “maksudku, persoalan putera-puteranya adalah persoalan Sri Rajasa sendiri. Demikian juga masalah Putera Mahkota. Aku tidak tahu. Aku tidak mencampturi persoalannya.”

“Benar, Aku tahu bahwa semuanya berada di tangan Sri Rajasa. Juga tentang Putera Mahkota. Tetapi kalau Anusapati sudah tidak ada, maka mau tidak mau, Putera Mahkota pasti beralih.” Sumekar yang berkerudung itu terdiam sejenak, “memang tidak pantas kau menentukan rencana sendiri di luar rencana Sri Rajasa dalam keseluruhan. Tetapi apabila hasilnya menguntungkan, kau tidak akan mendapat marah.”

Penasehat itu ragu-ragu sejenak. Terngiang kembali pesan Sri Rajasa, agar ia tidak membuat rencana tersendiri. Tetapi ternyata dugaan orang berkerudung itu tepat.

Namun demikian katanya, “Bukalah kerudungmu. Kita akan berbicara secara terbuka.”

Sumekar menjadi berdebar-debar. Tetapi tentu ia tidak dapat melakukannya. Karena itu maka jawabnya, “Aku tidak ingin mengenal dan dikenal lebih jauh dari persoalan kita masing-masing. Kita bersangkutan di dalam persoalan Putera Mahkota. Sesudah itu kita tidak mempunyai hubungan apa-apa lagi. Karena itu, biarlah kita tidak saling mengenal lebih dalam.”

“Kau memerlukan kepercayaan. Kalau tidak, aku tidak akan membuat persoalan apa-pun juga. Aku tidak tahu menahu. Habis perkara.”

“Kalau aku membuka kerudung ini, kau memberi tahu persoalan Putera Mahkota?”

“Aku tidak mengatakan.”

Sumekar menjadi termangu-mangu. Apakah ia akan dapat memenuhi permintaan Penasehat itu? Dan apakah ia tidak akan ingkar janji apabila ia telah membuka kerudungnya.

Tetapi untuk membuka kerudungnya, dan memperkenalkan dirinya adalah tidak mungkin sama sekali. Ia tidak akan mendapat kesempatan apa-pun juga, karena atas permintaan penasehat itu, Sri Rajasa pasti akan segera menangkapnya dan membunuhnya tanpa ampun.

Dengan demikian maka ceriteranya tentang juru taman akan segera berakhir sebelum ia berhasil melihat Putera Mahkota duduk di singgasana.

Karena itu, maka katanya, “Kita tidak perlu saling mengenal lebih banyak. Sudah aku katakan, persoalan kita terbatas pada persoalan ini saja.”

“Bagaimana mungkin kita berbicara satu sama lain tidak saling mengenal?”

“Apa pula untungnya aku membuka kedokku kalau kau juga tidak mengenal aku?”

“Itu lebih baik bagiku daripada kau berada dibalik tabir hitam itu.”

“Sudahlah. Katakan bahwa kau akan memberi aku kesempatan serupa dengan Kiai Kisi. Kapan aku harus menghubungi kau lagi untuk menerima petunjuk itu? Sepekan lagi, sebulan atau kapan saja? Aku dapat juga datang setiap sepekan sekali, misalnya. Jika keadaan dapat diperhitungkan beritahukan hal itu kepadaku.”

“Cukup. Aku tidak punya waktu untuk berbicara dengan orang yang tidak aku kenal.”

“Kau juga belum mengenal Kiai Kisi sebelumnya?”

“Bohong.”

“He? Jadi kau sudah mengenalnya?”

“Tidak. Tidak.”

“Jangan ingkar Ki Sanak. Kau sangka aku tidak tahu sama sekali tentang ilmu kanuragan? Nah, apakah kau masih juga akan menyangkal bahwa ilmumu pasti bersumber dari cabang ilmu yang sama dengan ilmu Kiai Kisi?”

“Bohong.”

“Kau mengigau.”

Sumekar yang berkerudung hitam itu tertawa. Lalu katanya, “Sebenarnya kau tidak akan dapat menghindarkan diri lagi. Aku dapat mengatakannya kepada Sri Rajasa, bahwa kaulah yang telah berkhianat. Kau telah menjebak Putera Mahkota dan membunuh dua orang tawanan itu.”

“Aku tidak peduli.”

“Mungkin Sri Rajasa mengampuni kau. Tetapi aku dapat mengumumkan kepada rakyat Singasari, bahwa penasehat Sri Baginda lah yang telah berkhianat. Karena ia mengetahui dengan pasti, hari dan tujuan Putera Mahkota, maka ia telah menghubungi seorang penjahat besar yang bernama Kiai Kisi. Tetapi Kiai Kisi telah aku bunuh, sehingga akulah pahlawan yang telah menyelamatkan Putera Mahkota.” Sumekar berhenti sejenak. Lalu, “kecuali kau mempunyai persetujuan tersendiri dengan aku. Misalnya, kau bersedia bersetuju seperti terhadap Kiai Kisi.”

Tiba-tiba penasehat Sri Rajasa itu menggeram. Katanya, “Jangan banyak bicara. Aku melihat dua kemungkinan. Kau membuka kerudungmu kemudian berbicara, atau membunuh kau seperti kedua tawanan itu untuk menghilangkan segala jejak persoalan. Meskipun kau tidak tahu apa-apa, tetapi sikapmu yang pura-pura mengetahui semua persoalan itu berbahaya bagiku.”

“Kau akan membunuh aku? “ Sumekar tertawa dengan nada yang tinggi meskipun tidak terlalu keras, “Sri Rajasa tidak dapat menangkap aku. Kiai Kisi aku bunuh dengan semena-mena. Dan kau sendiri pernah gagal menangkap aku.”

“Aku yakin, semuanya itu tidak hanya dilakukan oleh satu orang. Kau bukan orang yang dapat melepaskan diri dari tangan Sri Rajasa, dan bukan yang telah mengalahkan aku dahulu. Seorang dari orang-orang macam kalian hampir saja aku bunuh waktu itu. Dan kau-pun aku bunuh sekarang. Apalagi kalau aku bersuit dan para peronda akan berdatangan.”

Sumekar menarik nafas dalam-dalam. Namun di dalam pembicaraan itu ia sudah dapat menarik kesimpulan, bahwa dugaannya dan juga dugaan Mahisa Agni itu benar. Pasti orang inilah yang telah berkhianat terhadap Putera Mahkota. Namun dengan demikian Sumekar juga mempunyai dugaan, bahwa Sri Rajasa tidak dengan sungguh-sungguh berusaha mencari pengkhianat dan menghukumnya. Ternyata bahwa para pengawal itu-pun dengan tanpa pengusutan apa-pun juga telah dibebaskan, dan tidak ada seorang-pun yang kemudian dipanggil oleh Sri Rajasa atau orang yang diperintahkan untuk mengusut persoalan itu.

Karena Sumekar memang hanya ingin mendapat kesimpulan itu, maka ia tidak akan berbuat lebih jauh lagi. Yang ingin dilakukan adalah memberi peringatan kepada penasehat itu, bahwa setiap saat ada orang yang dapat membayangi tindakan-akannya yang sisip itu.

“Ki Sanak,” berkata Sumekar kemudian, “kau adalah seorang Penasehat Sri Rajasa. Kau sudah mendapat kedudukan baik. Tetapi kenapa kau hanya mempergunakan Kiai Kisi untuk tujuan yang penting itu? Seharusnya kau melihat aku. Memberi aku kesempatan atau aku akan membuka rahasiamu.”

“Persetan.” geram penasehat Sri Rajasa itu, “ternyata aku memang harus membunuhmu.”

“Tidak mudah untuk berbuat demikian meskipun mengatakannya terlampau ringan.”

“Aku akan membuktikannya.”

“O, jadi kau tidak setuju untuk bekerja bersama, bahkan kau ingin bertempur?”

“Aku hanya ingin membunuhmu.”

Sumekar tertawa. Jawabnya, “Marilah, kita akan berkelahi.”

Penasehat Sri Rajasa itu maju selangkah. Tiba-tiba saja ia telah meloncat menyerang dengan garangnya. Namun Sumekar berhasil mengelak dan berkata, “Apakah kau tidak memanggil para prajurit untuk menangkap aku?”

Penasehat Sri Rajasa itu benar-benar merasa tersinggung. Karena itu maka jawabnya, “Kau sangka aku sendiri tidak dapat menangkapmu?”

“Tentu tidak. Sri Rajasa-pun tidak dapat. Apalagi kau.”

“Persetan. Aku yakin bahwa bukan kaulah yang berhasil meloloskan diri dari tangan Sri Rajasa itu. Ia tidak akan memerlukan keterangan tentang waktu, kapan Putera Mahkota akan keluar dari istana dengan sepasukan kecil prajurit seperti yang baru saja terjadi. Orang itu pasti akan langsung mengambil Putera Mahkota dari halaman istana.”

Tetapi Sumakar tertawa. Katanya, “Baiklah. Kau menolak kerja sama itu. Sekarang kau mau menangkap aku. Barangkali itu memang lebih baik. supaya aku dapat berceritera panjang lebar tentang Kiai Kisi dan usahanya. He, aku belum mengatakan. Sebelum Kiai Kisi meninggal ia memberitahukan kepadaku, siapa yang telah menghubunginya. Kau masih ingkar.”

“Persetan. Persetan. Setiap orang dapat mengarang ceritera demikian. Sekarang aku akan membunuhmu, supaya kau berhenti mengigau.”

Sekali lagi Sumekar tertawa. Tetapi ia tidak lengah sama sekali, karena penasehat Sri Rajasa itu benar-benar telah bersiap untuk menerkamnya.

Dan dugaan Sumekar itu benar-benar terjadi. Tiba-tiba saja penasehat Sri Rajasa itu benar-benar menyerangnya. Sebuah sambaran jari-jarinya yang mengembang hampir saja menyobek pelipisnya. Untunglah bahwa Sumekar cepat memiringkan kepalanya, sehingga jari-jari itu meluncur senyari dari wajahnya.

Sambil meloncat mundur Sumekar berkata, “Serangan Kiai Kisi tepat seperti tata gerak ini.”

“Omong kosong.”

“Jangan menyangkal. Aku mengenal caramu bertempur sebaik-baiknya.”

Penasehat Sri Rajasa itu tidak menyahut. Tetapi ia mengulangi serangannya lebih garang lagi.

Sumekar sekali lagi surut selangkah. Namun tiba-tiba ia menyerang lawannya. Bahkan ia berhasil menirukan beberapa unsur tata gerak yang kasar itu. Sejak ia berada dipadepokan Empu Sada ia sudah mulai mempelajari tata gerak yang agak kasar dari gurunya. Dengan sedikit memaksa diri, ia benar-benar berhasil bertempur dengan kasar dan bahkan hampir tidak ada bedanya dengan lawannya.

Tata gerak itu benar-benar telah mengherankan penasehat Sri Rajasa. Bagaimana mungkin orang itu mampu menirukan beberapa unsur tata geraknya.

“Ia pernah berkelahi dengan Kiai Kisi,” katanya di dalam hati, “ia mencoba menirukan tata geraknya.”

Sedang Sumekar-pun kemudian berkata, “Kau masih akan ingkar melihat tata gerak ini? Aku mempelajari dari Kiai Kisi. Dan kau tidak akan dapat mengelakkan kenyataan bahwa tata gerak ini mirip sekali dengan tata gerakmu sekarang.”

Penasehat Sri Rajasa itu sama sekali tidak menyahut. Tetapi ia menyerang Sumekar semakin garang. Tangannya terayun-ayun mengerikan dengan jari yang mengembang dan seperti kuku burung garuda yang menyambar-nyambar, ia mencoba menerkam leher lawannya.

Sumekar menjadi berdebar-debar melihat tata gerak itu. Semakin lama menjadi semakin kasar. Jauh lebih kasar dari ilmu yang pernah dipelajarinya dari Empu Sada.

Dalam pada itu, dipaseban dalam, Sri Rajasa duduk dihadap oleh Mahisa Agni dan beberapa orang pemimpin yang lain. Mereka masih sibuk membicarakan masa-masa peralatan yang ramai di istana. Bahkan di luar istana-pun diadakan berbagai macam keramaian untuk menyambut perkawinan Mahisa Wonga Teleng.

Dalam kesibukan itu, Sri Rajasa selalu duduk bersama dengan beberapa orang pemimpin pemerintahan sambil mengikuti laporan bagaimana sambutan rakyat Singasari terhadap perkawinan ini. Bagaimana tanggapan rakyat atas Mahisa Wonga Teleng.

“Jika Anusapati tersisih, apakah rakyat Singasari akan menerima Tohjaya atau Mahisa Wonga Teleng?” pertanyaan itulah yang kadang-kadang mengganggu Sri Rajasa.

Namun Sri Rajasa sendiri menganggap, bahwa Tohjaya akan berhasil menguasai seluruh minat rakyat Singasari apabila Putera Mahkota kelak memang sudah dapat disingkirkannya.

Tetapi saat itu Sri Rajasa masih menunggu seorang penasehatnya yang masih belum hadir. Biasanya ia tidak pernah datang kemudian. Kadang-kadang ia datang mendahului kawan-kawannya. Apalagi setelah ia mendapat peringatan keras dari Sri Rajasa, bahwa rencananya itu dapat merusakkan rencana yang lebih besar, bahkan akan dapat mengorbankan Singasari yang selama ini diperjuangkannya untuk menjadi suatu negara yang besar, yang dapat mengikat kesatuan dari pecahan-pecahan daerah yang terjadi selama kekuasaan Kediri sudah dipengaruhi oleh nafsu kebesaran diri sendiri. Kebesaran pribadi Sri Kertajaya. Sementara itu, penasehat Sri Rajasa itu masih bertempur mati-matian. Dengan sekuat tenaga ia berusaha menguasai lawannya yang menurut pertimbangannya tidak terlampau berat. Orang berkerudung itu selalu terdesak, sehingga ia harus berkelahi melingkar.

“Kau tidak akan dapat lari,” berkata pesehat itu.

“Kalau kau tangkap aku, aku dapat berceritera tentang Kiai Kisi,” jawab Sumekar.

“Persetan. Aku tidak akan menangkapmu, tetapi membunuhmu.”

Sumekar tidak menjawab. Tetapi ia selalu berloncatan surut. Serangan penasehat Sri Rajasa itu datang bagaikan air bah yang mengalir menghantam dinding padas.

“Ternyata kemampuanmu tidak seimbang dengan kesombonganmu. Aku tidak mengerti, kenapa dengan caramu ini kau berhasil membunuh Kiai Kisi.”

Sumekar tidak menyahut. Tetapi ia terdesak semakin jauh.

Penasehat Sri Rajasa itu-pun menjadi semakin bernafsu. Ia bertempur semakin garang, sehingga setiap kali Sumekar dikenai oleh serangannya, terdorong dan terbanting jatuh.

Tetapi ia masih sempat meloncat berdiri dan melawan sekuat-kuat tenaga.

Namun ternyata bahwa orang berkerudung hitam itu tidak berhasil mengimbangi kemampuan lawannya. Betapa-pun ia berjuang, namun setiap kali ia selalu terdesak dan bahkan jatuh berguling-guling di tanah.

Dalam pada itu Sri Rajasa dipaseban dalam masih tetap mengharap kedatangan penasehatnya. meskipun di dalam beberapa hal Sri Rajasa telah berbicara dengan para pembantunya yang sudah hadir. Meskipun pembicaraan itu sama sekali bukan pembicaraan yang penting. Pembicaraan yang hanya sekedar berkisar pada upacara-upacara peralatan yang sedang terjadi.

Meskipun demikian, pembicaraan itu kadang-kadang juga merambat ke persoalan-persoalan yang lain. Bahkan mereka sampai juga pada usaha mengikat persatuan Singasari lebih erat lagi, sesuai dengan perkawinan yang terjadi. Kediri sepeninggal Sri Kertajaya harus merasa satu dengan Singasari, bukan sekedar daerah yang telah dikalahkan.

“Hamba telah berhasil meskipun perlahan-lahan,” berkata Mahisa Agni, “bahwa pada suatu saat keturunan Kertajaya akan menjadi satu dengan keturunan Sri Rajasa di dalam membina kesejahteraan negeri ini.”

Sri Rajasa mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun setiap kali ia-pun selalu memandang ke pintu yang tertutup.

“Kenapa ia tidak hadir saat ini,” bertanya Sri Rajasa di dalam hatinya sendiri. Tetapi pertanyaan itu tidak diucapkannya.

Bukan saja Sri Rajasa yang gelisah, karena penasehatnya yang biasanya di dalam setiap pertemuan pasti datang lebih dahulu, selain karena ia tinggal di istana, juga karena ia selalu diajak berbicara mengenai apapun, namun juga Manisa Agni menjadi berdebar-debar. Ia sadar, bahwa pasti saat inilah Sumekar melakukan rencananya.

Dengan demikian maka Mahisa Agni membayangkan, bahwa saat itu memang sedang terjadi pertempuran yang pasti merupakan pertempuran yang sengit antara Sumekar dengan penasehat Sri Rajasa, karena penasehat Sri Rajasa yang sekaligus guru Tohjaya itu-pun memiliki ilmu yang cukup tangguh.

Demikianlah agaknya yang telah terjadi. Sumekar harus bertempur mati-matian untuk mempertahankan dirinya. Sementara lawannya telah mendesaknya tanpa ampun lagi. Serangan-serangan datang beruntun seperti angin ribut, sehingga seakan-akan Sumekar sama sekali tidak sempat menarik nafas.

Malam-pun semakin lama menjadi semakin dalam. Para peronda telah mulai lewat mengintai halaman istana. Tetapi perkelahian yang terjadi itu adalah perkelahian di antara orang berilmu sehingga tidak banyak menumbuhkan keributan. Apalagi mereka semakin jauh terperosok kedalam rimbunnya dedaunan di halaman yang agak sepi.

“Nah, apakah kau sekarang masih mampu membanggakan dirimu?” bertanya penasehat Sri Rajasa.

Sumekar tidak menjawab. Tetapi ia terdesak terus.

“Apakah aku masih percaya kepadamu, bahwa kau akan dapat menggantikan kedudukan Kiai Kisi?”

“Tetapi aku sudah membunuhnya.”

“Aku tidak percaya. Pasti orang lain yang melakukannya. Kau hanya sekedar mendengar berita tentang kematian Kiai Kisi. Kemudian kau ingin menarik keuntungan dari peristiwa itu.”

“Akulah yang lelah membunuhnya dengan tanganku.”

“Omong kosong.”

Sumekar tidak menjawab lagi. Tetapi ia kini terdorong semakin jauh. Namun demikian, ia berusaha untuk tetap berada di dalam kegelapan, sehingga tidak segera dapat diketahui oleh para peronda.

Karena penasehat Sri Rajasa masih juga belum datang, selain Sri Rajasa, Mahisa Agni-pun menjadi semakin gelisah. Seharusnya Sumekar tidak menimbulkan kematian di dalam halaman istana. Jika demikian, maka keadaan akan menjadi berubah sama sekali. Peralatan perkawinan yang berlangsung untuk beberapa hari akan menjadi kacau. Namun selain daripada itu. Sri Rajasa pasti akan segera mengambil tindakan-akan yang lebih mantap lagi, karena ia merasa bahwa rahasia penasehatnya itu sudah diketahui orang. Demikian juga pasti dengan Tohjaya yang dengan diam-diam ditempa oleh penasehatnya itu di dalam olah kanuragan. Dengan demikian maka setiap orang pasti akan dicurigainya. Termasuk Anusapati dan Sumekar sendiri, langsung atau tidak langsung. Karena saat itu ia berada bersama Sri Rajasa, maka ia akan dapat membebaskan dirinya dari segala tuduhan, namun seisi istana pasti akan menjadi kalang kabut.

Tetapi ternyata Sumekar sendiri tidak dapat segera mengatasi keadaan. Bahkan semakin lama semakin jelas bagi lawannya, bahwa ia akan berhasil membunuh orang berkerudung itu.

“Aku akan dengan bangga mempersembahkan kepalamu kepada Sri Rajasa,” berkata penasehat itu, “kalau benar Sri Rajasa pernah gagal menangkapmu, maka sekarang akulah yang berhasil. Kalau selama ini Sri Rajasa selalu bertanya-tanya siapakah orang berkerudung hitam itu, maka jawabnya akan segera aku dapatkan.”

“Tidak semudah itu,” sahut Sumekar.

Penasehat Sri Rajasa tertawa. Namun dengan tiba-tiba saja ia menyerang dada orang berkerudung hitam itu dengan kakinya.

Sumekar masih berusaha menangkis serangan itu, tetapi agaknya serangan itu terlampau dahsyat, sehingga Sumekar terpelanting jatuh di tanah. Dengan nafas terengah-engah Sumekar berusaha berdiri. Namun ia-pun sekali lagi terjatuh dengan lemahnya bersandar pada keduabelah tangannya. Penasehat Sri Rajasa itu kini berdiri bertolak pinggang dihadapan orang berkerudung hitam yang kini terduduk dengan lemahnya, seolah-olah tidak mungkin untuk bangun lagi.

Sambil tertawa penasehat Sri Rajasa itu berkata, “Nah, sekarang baru kau kenal, siapa aku. Mungkin kau pernah lolos dari tanganku ketika kau datang bertiga. Tetapi mungkin yang datang waktu itu juga bukan kau sendiri, sehingga aku tidak dapat mengalahkannya. Tetapi kini, kau tidak berdaya lagi melawan aku. Sebentar lagi nyawamu akan melayang.”

“Jangan. Jangan kau bunuh aku.”

“He, kau merengek seperti anak-anak. Dengar. Aku tidak pernah menghidupi lawan-lawanku. Apalagi kau telah membunuh saudaraku. Meskipun tidak seperguruan, tetapi kami menghisap ilmu dari sumber yang sama. Gurunya adalah saudara seperguruan dengan guruku.”

“Siapa? Aku tidak membunuh siapapun.”

“Kiai Kisi.”

“O,” orang berkerudung hitam itu beringsut surut, “tetapi aku tidak tahu, bahwa ia orang yang telah mendapat tugas darimu.”

“Sebentar lagi kau akan mati. Biarlah aku berterus terang. Memang akulah yang menyuruhnya menangkap Putera Mahkota. Tetapi kau sudah merusak semua rencanaku. Bahkan kau sudah membunuhnya. Karena itu, kau akan mati.”

“Jangan kau bunuh aku. Aku berjanji tidak akan mengatakannya kepada siapa-pun juga.”

“Aku bukan orang yang dungu. Sebelum aku membunuhmu, aku ingin tahu, siapakah sebenarnya kau. Dan siapakah kawan-kawanmu itu. Siapa pula orangnya yang telah berhasil lolos dari tangan Sri Rajasa, karena orang itu pasti bukan kau.”

“Aku tidak tahu. Aku bergerak seorang diri.” minta orang berkerudung hitam itu, “aku jangan kau bunuh. Aku akan bersedia melakukan tugas apa-pun juga. Misalnya membunuh Putera Mahkota.”

“Kau tidak akan dapat dipercaya. Kau tidak akan dapat melakukannya, sedangkan kiai Kisi-pun tidak berhasil melakukannya dengan sempurna.” penasehat itu berhenti sejenak. Lalu, “tetapi aneh sekali bahwa kau dapat membunuh Kiai Kisi dan menangkap kedua kawan-kawannya itu. Ternyata kemampuanmu sama sekali tidak berarti bagiku.”

“Aku minta ampun.”

“Tidak ada ampun. Kau akan aku bunuh, dan kepalamu akan aku bawa menghadap Sri Rajasa. Aku akan dianggapnya berjasa. Dan kepalamu itu tentu tidak akan dapat berceritera lagi.”

“Tetapi juga tidak tentang kawan-kawanku. Kalau aku kau hidupi aku akan menyatakannya siapa saja kawan-kawanku yang lain.”

Penasehat Sri Rajasa itu termenung sejenak. Lalu, “Tentu tidak mungkin. Tetapi aku memang ingin mendengar siapakah kawan-kawanmu itu.”

“Aku tidak akan mengatakannya. Tanpa harapan lain kecuali mati, buat apa aku mengatakannya.”

“Ada bermacam-macam cara untuk mati. Kalau kau mau mengatakan siapa saja kawan-kawanmu, maka kau akan mati dengan cara yang paling kau sukai. Tetapi kalau tidak?”

Orang berkerudung hitam itu tidak menjawab.

“Sekarang, buka sajalah kerudungmu. Aku kira tidak ada gunanya lagi.”

Sumekar beringsut sedikit. Tetapi penasehat Sri Rajasa itu tertawa, “Apakah kau akan lari. Ayo, kalau kau masih mampu bangkit, bangkitlah.”

“Aku tidak mau membuka kerudungku, dan aku tidak mau menyebut nama kawan-kawanku tanpa jaminan bahwa aku akan tetap hidup.”

“Tidak ada yang akan menjamin bahwa kau akan tetap hidup. Baiklah kalau kau tidak mau mengatakan siapa kau sebenarnya dan siapa kawan-kawanmu, aku akan berbuat sesuka hatiku. Aku akan mematahkan tanganmu lalu kakimu. Kalau kau masih diam saja, aku biarkan saja kau mati perlahan-lahan. Baru esok pagi aku akan mengambil kepalamu.”

“Itu kejam sekali.”

“Aku memang kejam. Aku sekejam Kiai Kisi dan sekasar perampok-perampok di padukuhan terpencil itu. Tetapi kalau kau berbuat baik, aku-pun dapat berbuat baik. Membunuhmu dengan sekali tikam di dada. Aku membawanya sebilah keris atau kalau kau ingin, dengan kerismu sendiri-pun jadilah.”

Orang berkerudung hitam itu tidak menyahut.

“Cepat. Pilihlah. Aku harus segera menghadap Sri Rajasa. Tetapi meskipun aku terlambat, asal aku membawa kepalamu, Sri Rajasa pasti tidak akan marah. Seluruh paseban akan berterima kasih, termasuk Mahisa Agni yang dungu itu. Ia adalah satu-satunya orang yang pantas dicurigai. Ia tentu akan berpihak kepada Putera Mahkota apabila terjadi sesuatu. Tetapi semua orang di Singasari akan berpihak kepada Tohjaya.”

“Jangan bunuh aku.”

“Persetan. Aku akan mematahkan tanganmu.”

Penasehat Sri Rajasa itu maju setapak demi setapak. Matanya bagaikan menyala. Dan tiba-tiba suaranya menjadi seperti getaran suara hantu di dalam kubur, “Sebut namamu dan nama kawan-kawanmu.”

Orang berkerudung hitam itu beringsut surut. Tetapi ia masih terduduk di atas tanah.

“Cepat.”

Sekali lagi orang itu beringsut.

“Kau menjadi ketakutan. Tetapi kau tidak mau menyebut namamu. Atau kau memang ingin lari? Kalau kau mampu larilah.”

Tiba-tiba saja penasehat Sri Rajasa itu terkejut, ketika ia melihat orang berkerudung hitam itu kemudian berdiri dengan tenangnya. Sambil mengibaskan pakaiannya ia bergumam, “Ah, tanah di istana Singasari ini telah mengotori pakaianku. Seharusnya aku tetap berdiri sejak tadi.”

Sejenak penasehat Sri Rajasa itu termangu-mangu. Ditatapnya saja orang yang berkerudung hitam yang kini tiba-tiba berdiri sambil membersihkan debu yang melekat.

“Kenapa kau tiba-tiba menjadi seperti patung?” orang berkerudung itu bertanya.

“Persetan. Apakah kau sedang kepanjingan iblis sehingga kau mampu bangkit berdiri lagi.”

“Aku kira tidak,” sahut Sumekar, “aku memang tidak apa-apa.”

“Kau hampir mati.”

Tetapi kini orang berkerudung hitam itulah yang tertawa, “Mudah-mudahan tidak. Aku tidak hampir mati.”

“Gila,” penasehat Sri Rajasa itu menggeram. Kini ia baru sadar, bahwa orang berkerudung hitam itu telah menjebaknya. Dengan berpura-pura tidak berdaya lagi ia telah berhasil menyadap keterangan dan pengakuan yang diperlukan, bahwa sebenarnyalah ia telah bersepakat dengan Kiai Kisi untuk membunuh atau menangkap Putera Mahkota yang akan dipergunakannya untuk memeras Sri Rajasa lewat Permaisuri.

Oleh kesadarannya itu maka tiba-tiba giginya gemeretak karena kemarahan yang serasa meledakkan dadanya. Ia sudah terlanjur mengatakan, bahwa ia telah melakukan pengkhianatan itu, karena ia yakin akan dapat membunuh orang berkerudung hitam itu. Namun tiba-tiba orang berkerudung hitam itu bangkit dan seperti tidak terjadi apa-apa ia berdiri tegak menghadapinya.

“Terima kasih,” berkata Sumekar, “kau sudah berterus terang. Aku memang hanya memerlukan pengakuan itu. Nah, sekarang apakah kau tetap menolak untuk bekerja bersama?”

“Persetan. Aku akan membunuhmu.”

Tetapi orang berkerudung hitam itu tertawa. Katanya, “Kita sudah cukup lama bertempur. Kita sudah mengetahui kemampuan kita masing-masing. Apakah masih perlu kita bertempur lagi?”

Penasehat Sri Rajasa yang telah dibakar oleh kemarahan itu tidak dapat menahan diri lagi. Dengan serta-merta ia menyerang lawannya sejadi-jadinya.

Tetapi keadaan perkelahian itu kini sudah berubah sama sekali. Lawannya tidak lagi terbanting jatuh dan bergulingan di tanah. Orang berkerudung hitam itu kini melawannya sambil tertawa. Katanya di sela-sela suara tertawanya, “Jangan menjadi gila karenanya.”

Penasehat Sri Rajasa itu seolah-olah tidak mendengar lagi. Ia bertempur semakin kasar dan liar. Tandangnya seperti kehilangan arah dan pegangan. Tangannya terayun-ayun dengan jari-jarinya yang mengembang. Tetapi ia sama sekali tidak dapat menyentuh lawannya sama sekali.

“He, kau telah menjadi gila.”

“Persetan,” penasehat Sri Rajasa itu menjadi seperti orang gila.

Tetapi lawannya rasa-rasanya menjadi semakin lincah. Bagaimana-pun juga ia berusaha, tetapi ia sama sekali tidak berhasil mengenainya.

Ketika akalnya menjadi semakin buram, maka tiba-tiba tangannya telah menarik kerisnya. Dengan suara bergetar ia berkata, “Aku akan membunuhmu, membunuhmu dengan cara yang paling parah bagimu.”

“Kau masih bermimpi,” sahut Sumekar. “aku tidak akan berpura-pura lagi. Aku tidak akan mengotori pakaianku lagi dengan berguling-guling di atas debu.”

Penasehat Sri Rajasa itu tidak menghiraukannya. Kini kerisnyalah yang menyambar-nyambar. Tetapi karena hatinya yang gelap dan lawannya yang terlampau lincah, maka ia tidak berhasil mengenainya.

“Nah,” berkata orang berkerudung hitam itu, “aku sudah mengetahui rahasiamu. Apakah kau masih menolak kerja sama dengan aku? Semula aku hanya mendengarnya dari Kiai Kisi. Tetapi aku meragukan kebenarannya. Ternyata kau mengiakannya tanpa sadar, atau justru karena kau terlampau sadar, bahwa kau akan berhasil membunuhku.”

“Persetan.”

“Berteriaklah. Jika para prajurit itu mendengar dan datang mengepung aku, maka aku akan berbicara dengan mereka. Aku akan mengatakan bahwa kau telah berkhianat dan berusaha membunuh Putera Mahkota.”

“Mereka tidak akan percaya.”

“Semua orang mengetahui, bahwa pengkhianat itu berada di dalam istana ini, ternyata ia berhasil membunuh kedua tawanan itu. Dan pengkhianat itu adalah kau.”

“Tidak ada yang akan mempercayaimu. Sri Rajasa juga tidak.”

Sumekar tertawa. Katanya, “jika memang demikian, aku tidak memerlukan kepercayaan itu. Tetapi bagaimana dengan tawaranku itu? Apakah kita akan bekerja bersama?”

Serangan Penasehat Sri Rajasa itu menjadi semakin mata gelap. Serangannya sama sekali tidak terarah lagi. Tetapi seperti pesan Mahisa Agni, Sumekar memang tidak ingin menimbulkan kematian. Ia hanya sekedar meyakinkan, siapakah sebenarnya pengkhianat didalam istana ini. Dan ia sudah menemukannya. Mahisa Agnilah kelak yang akan mengolah, apakah yang sebaiknya dilakukan untuk menyelamatkan Putera Mahkota.

Karena itu, maka Sumekar seakan-akan hanyalah tinggal bermain-main saja. Ketika serangan membabi buta itu menjadi semakin liar, Sumekar-pun mempergunakan kesempatan itu untuk menunjukkan, bahwa kemampuan Penasehat Sri Rajasa itu-pun belum sempurna sama sekali.

Demikianlah ketika keris orang itu terjulur lurus keperutnya. Sumekar hanya bergeser setapak mundur. Dengan sisi telapak tangannya ia memukul pergelangan tangan lawannya, sehingga kerisnya itu-pun terjatuh beberapa langkah daripadanya.

Penasehat Sri Rajasa itu terkejut bukan buatan. Pukulan tangan orang berkerudung hitam itu serasa telah mematahkan pergelangan tangannya.

Namun ia tidak boleh menyerah. Dengan sigapnya ia meloncat memungut kerisnya. Tapi ia menggeram ketika ternyata kaki orang berkerudung itu telah menginjak hulu kerisnya itu.....
“Setan, kau akan dikutuk oleh keris itu. Keris itu adalah keris bertuah, dan kau berani menginjak dengan kakimu.” geram penasehat Sri Rajasa itu.

Tetapi lawannya menjawab sambil tertawa, “Kerismulah yang akan kehilangan tuah, karena ujungnya telah menyentuh tanah dan hulunya tersentuh telapak kaki.”

“Persetan,” orang itu-pun menyerang Sumekar dengan kakinya yang terjulur menyamping.

Tetapi Sumekar cukup tangkas. Ia bergeser dan berputar pada kakinya yang menginjak keris itu. Kemudian dengan sebelah kakinya ia membalas serangan lawannya.

Ketika kaki itu mengenai lambungnya, maka penasehat Sri Rajasa itu-pun terlempar beberapa langkah dan jatuh terbanting di tanah. Kini ialah yang lidak segera dapat bangkit dan duduk bersandar kedua tangannya.

“Bangkitlah,” geram orang berkerudung hitam.

Penasehat Sri Rajasa itu tidak berhasil untuk berdiri, meskipun ia telah mencoba.

“Jangan berpura-pura. Berdirilah. Kita selesaikan persoalan ini.”

Tidak ada jawaban.

“Bangkitlah. Aku tahu, kau hanya sekedar berpura-pura. Tetapi kau tidak akan dapat memancing keterangan daripadaku. Kau tidak akan dapat mengharap aku menyebutkan namaku, membuka kerudungku dan mengatakan siapa saja kawan-kawan dalam kelompok orang-orang berkerudung dan sebagainya. Tidak. Aku tidak akan mengatakan meskipun kau berpura-pura akan mati.”

“Setan alas. Gila kau.” teriak penasehat Sri Rajasa, “bunuh aku kalau kau akan membunuh.”

“Kau sengaja berteriak? Aku tahu kau sedang memanggil para peronda.”

“’Aku tidak peduli. Tetapi kau harus di bunuh beramai-ramai.”

Tetapi Sumekar tertawa. Ia sadar, pasti sudah ada satu dua orang peronda yang mendengar selagi penasehat itu berteriak. Meskipun demikian ia masih sempat berkata, “Aku dapat membunuhmu jika aku mau. Mudah sekali. Aku memungut kerismu kemudian menikam dada di arah jantungmu. Kau akan mati di sini sebelum para peronda itu datang. Tetapi aku orang baik. Aku bukan orang sekasar dan sebuas kau dan Kiai Kisi. Karena itu, aku masih ingin memeliharamu. Mungkin suatu ketika kau berubah pikiran dan minta kepadaku untuk bekerja bersama membunuh atau menangkap Putera Mahkota. Agaknya hal itu akan sangat menarik.”

“Persetan. Persetan,” orang itu berteriak semakin keras.

Sementara itu, beberapa orang peronda memang mendengar suara teriakan itu lamat-lamat. Kemudian suara tertawa yang nyaring sekali, sehingga mereka-pun menjadi berdebar-debar karenanya. Tetapi mereka tidak sempat berpikir panjang. Pemimpin para peronda yang tidak menjadi bingung segera memberikan perintah untuk mencari suara itu.

“Cepat, pasti di halaman istana bagian dalam.”

Beberapa orang peronda segera berlari-larian dengan senjata di tangan. Mereka-pun memencar kebeberapa penjuru di dalam halaman dalam.

Dalam pada itu, Sumekar masih juga tertawa. Tetapi begitu suara tertawanya lenyap, maka bayangan hitam itu bagaikan terbang meloncat dinding halaman dalam. Sumekar tahu benar, bahwa di balik dinding itu adalah kebun buah-buahan dibagian belakang yang cukup gelap. Karena itu, maka ia-pun kemudian dengan cepat berhasil menyelinap dan seakan-akan hilang begitu saja.

Ketika ia memasuki biliknya dengan perlahan-lahan sekali agar tidak membangunkan orang-orang di sebelah menyebelah, maka ia mendengar derap beberapa orang prajurit berlari-lari.

Saat itu pulalah beberapa orang prajurit menemukan penasehat Sri Rajasa yang sudah berhasil berdiri di dalam kegelapan memegang keris yang telah dipungutnya. Sambil menahan sakit ia berkata, “Aku menjumpai seseorang yang mencurigakan. Sayang ia berhasil lari. Cari di segenap sudut dan tutup semua pintu, jangan ada nyamuk yang dapat keluar dari istana ini.”

Demikianlah, pada saat Sumekar melepaskan kerudung hitamnya, ia sudah mendengar tanda bahaya yang bergema di seluruh halaman. Para prajurit-pun dengan cepatnya bersiaga di setiap pintu, bahkan setiap jengkal dinding halaman telah diawasinya pula. Tidak ada seorang-pun yang dapat masuk atau keluar di luar pengawasan para prajurit pengawal yang sedang bertugas itu.

Dalam pada itu, Sumekar-pun dengan tergesa-gesa mengusap keringatnya yang membasahi hampir segenap tubuhnya. Kemudian disembunyikannya kerudung hitamnya rapat-rapat. Setelah mengganti bajunya yang basah oleh keringat dengan yang kering, maka ia-pun mulai menenangkan debar jantungnya dan deru nafasnya. Seteguk ia minum air dingin dari dalam gendi.

Barulah kemudian Sumekar membaringkan dirinya di pembaringannya.

Diluar para irajurit menjadi semakin sibuk. Penasehat Sri Rajasa itu-pun kemudian berlari-lari ke paseban.

“Kalau Mahisa Agni tidak ada di sana, aku wajib mencurigainya. Hampir tidak masuk akal, bahwa ada orang yang memiiiki kemampuan begitu tinggi selain Sri Rajasa sendiri dan Mahisa Agni.” penasehat Sri Rajasa itu menggeremang di dalam hatinya.

Dalam pada itu, setiap kali satu dua orang prajurit saling berpapasan. Tetapi mereka sama sekali tidak menemukan seorang-pun yang pantas mereka curigai di dalam istana itu.

Tetapi para prajurit itu tidak segera berputus asa. Mereka menganggap bahwa jika benar ada orang yang dikatakan oleh penasehat Sri Rajasa itu, ia pasti tidak akan dapat lolos lagi karena penjagaan yang sangat ketat.

Karena itu, mereka masih saja meneliti segenap sudut yang pang gelap sekali-pun dengan obor-obor di tangan.

Sementara itu, Sri Rajasa dan para pemimpin Singasari yang sudah berada di paseban terperanjat mendengar tanda bahaya yang bergema di seluruh halaman istana. Mahisa Agni yang ada di dalam ruangan itu pula, menengadahkan wajahnya sambil berkata, “Tuanku, agaknya terjadi sesuatu yang tidak kita harapkan.”

“Gila,” Sri Rajasa menggeram, “di dalam kesibukan peralatan ini ada juga gangguan yang tidak teratasi oleh para prajurit, sehingga mereka memerlukan membunyikan tanda bahaya.”

“Tuanku, apakah hamba diperkenankan melihat, apa yang telah terjadi?”

Sebelum Sri Rajasa menjawab, beberapa orang Panglima dan Senapati-pun mengajukan permohonan yang serupa.

“Pergilah. Tetapi jangan keluar dari istana ini.”

Mereka-pun kemudian dengan tergesa-gesa keluar paseban.

Hampir saja mereka saling bertubrukan dengan penasehat Sri Rajasa yang dengan tergesa-gesa akan memasuki paseban itu.

“Apa yang telah terjadi?” bertanya Mahisa Agni dengan serta merta.

“Apakah tuan berada dipaseban?” bertanya penasehat Sri Rajasa.

Pertanyaan itu tidak menumbuhkan perasaan apa-pun kepada orang lain yang mendengarnya. Tetapi Mahisa Agni yang perasaannya cukup tajam, segera menangkap kecurigaan yang tersirat dari pertanyaan penasehat Sri Rajasa itu. Karena itu maka jawabnya, “Ya. aku sudah lama berada dipaseban bersama para Panglima dan para Senapati.”

“Siapa yang sekarang masih berada diruangan?”

“Beberapa orarg pemimpin pemerintahan dan Sri Rajasa sendiri.”

Penasehat itu menarik nafas dalam-dalam. Kini jelas baginya bahwa ia tidak akan dapat mencurigai Mahisa Agni. Ia justru berada disatu ruang dengan Sri Rajasa dan para Panglima.

“Aku melihatnya lagi,” berkata penasehat Sri Rajasa itu.

“Apa?”

“Orang berkerudung hitam itu. Aku telah bertempur. Tetapi aku tidak berhasil menangkapnya. Karena ia berusaha melarikan diri, maka dengan terpaksa sekali aku memerintahkan menutup kesempatan itu dengan tanda bahaya.”

“Apakah ia masih berada di halaman istana?” bertanya Mahisa Agni.

“Aku tidak tahu. Mudah-mudahan ia belum dapat keluar dari istana ketika tanda itu berbunyi, sehingga kita masih ada kesempatan untuk menemukannya,” berkata penasehat itu lebih lanjut. “tetapi aku akan menghadap Sri Rajasa dan menyampaikan laporan ini lebih dahulu.”

“Ya pergilah menghadap. Aku dan para Panglima akan ikut mencarinya.”

Ketika penasehat Sri Rajasa itu memasuki paseban, maka para Panglima-pun segera pergi ke pusat-pusat penjagaan, yang berada di dalam halaman dan yang berada diluar halaman. Sedang beberapa orang Senapati langsung bersama Mahisa Agni dan beberapa orang prajurit pengawal ikut serta mengelilingi halaman istana untuk mencari orang berkerudung hitam seperti yang dikatakan oleh penasehat Sri Rajasa itu.

Ketika mereka melalui bangsal tempat tinggal Anusapati, mereka melihat Anusapati berada di depan bangsal bersama pengawal yang bertugas. Tetapi kali ini, Anusapati tidak langsung pergi kepusat penjagaan di dalam istana itu, karena ia mempunyai pertimbangan lain.

“Paman,” desis Anusapati ketika melihat Mahisa Agni lewat bersama para Senapati, “apa yang telah terjadi?”

“Kami sedang mencari seorang berkerudung hitam yang berada di halaman istana ini.”

“O,” Anusapati mengerutkan keningnya.

“Hati-hatilah,” berkata Mahisa Agni.

“Baiklah paman,” jawab Mahisa Agni.

“Aku akan meneruskan pencaharian ini.”

“Silahkan paman.”

Mahisa Agni-pun kemudian meninggalkan bangsal itu. Mahisa Agni-pun mengetahui, bahwa Anusapati harus memikirkan isterinya pula, yang telah dipengaruhi oleh perasaan takut. Agaknya suara tanda bahaya di dalam halaman istana ini membuatnya menjadi ketakutan pula.

Di bangsal yang lain, Mahisa Wonga Teleng, yang sedang berada di dalam puncak hidupnya, karena hari-hari peralatan perkawinannya, sedang berada di banggsalnya pula. Ia berada dalam pengawalan yang kuat. Beberapa orang tua-tua memang menduga, bahwa ada kemungkinan, orang yang dimaksudkan dengan sengaja mengacaukan peralatan ini dan mempunyai maksud-maksud jahat terhadap Mahisa Wonga Teleng.

Sedang di bangsal yang lain lagi, beberapa orang peronda berdiri dengan senjata telanjang. Mereka mengawal bangsal Tohjaya dengan cermatnya. Karena tidak ada kepastian, siapakah yang datang, kedalam istana untuk menimbulkan kerusuhan, maka setiap pihak di dalam istana itu telah menyiapkan diri mereka masing-masing. Mereka telah dicengkam oleh saling curiga mencurigai dan dugaan yang menyesatkan.

Hal itu ternyata dapat dilihat oleh Mahisa Agni. Untunglah bahwa prajurit-prajurit Singasari masih belum menjadi sedemikian parahnya di seret oleh pihak-pihak yang dengan diam-diam saling curiga-mencurigai itu.

Tetapi ternyata hal itu sangat berpengaruh bagi kehidupan didalam istana Singasari itu. Semua orang bertanya-tanya di dalam hati, apakah sebenarnya yang telah terjadi. Para prajurit berkeliaran mencari seseorang di dalam halaman istana, sedang di luar dinding halaman istana, hampir setiap langkah, prajurit-prajurit telah bersiap apabila mereka melihat seseorang melompat keluar.

Namun, sampai hampir tengah malam mereka sama sekali tidak menemukan seseorang. Mereka juga tidak melihat seseorang yang melarikan diri keluar istana dan sekitarnya.

“Hantu,” desis seorang prajurit, “tidak mungkin seorang manusia bisa mampu berbuat demikian.”

“Hanya orang-orang yang memiliki ilmu yang tinggi.”

“Semua orang yang memiliki ilmu yang tinggi sedang berkumpul dipaseban. Tidak ada seorang-pun yang dapat dicurigai.” prajurit itu berhenti sejenak. Lalu, “jika kakanda Tuan Puteri Ken Dedes tidak ada dipaseban, maka pasti ia akan dicurigai.”

“Tidak. Sebelum hal ini terjadi sekarang, beberapa saat yang lampau bahkan Sri Rajasa sendiri tidak berhasil menangkapnya, justru waktu itu Mahisa Agni ada pula bersamanya.”

Kawannya mengangguk-anggukkan kepalanya. Memang Mahisa Agni tidak dapat dicurigai. Malam ini Mahisa Agni dengan beberapa orang Senapati-pun sibuk mencarinya di segala tempat.

“Mungkin orang itu memang tinggal di dalam halaman istana ini,” desis prajurit itu.

Tetapi kawannya menyahut, “Hanya Sri Rajasa sendirilah yang mampu melakukannya. Mungkin penasehat yang diliputi oleh rahasia itu pula. Ia mengatakan, bahwa hampir saja ia berhasil menangkap, sehingga dengan demikian ia pasti mempunyai kemampuan yang cukup pula.”

“Apakah penasehat itu bukan sekedar membual, atau bahkan ia sedang bermimpi?”

Kawannya menarik nafas dalam-dalam.

Ketika malam menjadi semakin dalam, serta tidak ada tanda-tanda yang dapat dipakai untuk menemukan orang yang sedang mereka cari itu, maka para Senapati-pun telah menghentikan usaha mereka. Para prajurit ditarik kegardu-gardu selain mereka yang mengepung halaman istana. Mereka masih harus tetap mengawasi dinding istana sampai pagi berganti-ganti.

Dalam pada itu, penasehat Sri Rajasa itu-pun telah melaporkan semua yang terjadi kepada Sri Rajasa. Tetapi selagi masih ada beberapa orang yang menghadap, maka penasehat itu tidak mengatakan yang sebenarnya.

Baru ketika hampir dini hari, para pemimpin pemerintahan Singasari diperkenankan meninggalkan istana, masing-masing dengan pengawalan yang kuat.

Setelah para pemimpin itu meninggalkan bangsal, barulah penasehat itu mengatakan apa yang sebenarnya telah terjadi. Hubungan antara orang berkerudung hitam itu dengan Kiai Kisi. Sebelum Kiai Kisi terbunuh, ternyata Kiai Kisi telah mengatakan bahwa ia mendapat tugas dari orang dalam di istana.

“Orang itu berusaha memeras hamba,” berkata penasehat Sri Rajasa itu.

“Orang itu sangat berbahaya. Bukan bagimu saja tetapi bagi kelangsungan kewibawaanku. Kalau ia salah paham dan menyangka bahwa aku terlibat pula di dalam hal ini, maka namaku pasti akan tercemar apabila ia pada suatu saat akan mengumumkannya.”

“Tidak tuanku. Tuanku dapat membantah. Lewat satu atau dua orang pemimpin Singasari tuanku dapat menuduh hal itu sebagai suatu fitnah.”

Sri Rajasa menundukkan wajahnya. Ia sadar, bahwa pasti banyak orang tua-tua yang mengetahui keadaan Anusapati yang sebenarnya, karena pada saat Tunggul Ametung terbunuh, Ken Dedes memang sudah jelas mengandung.

“Kau memang bodoh sekali,” Sri Rajasa masih selalu menyesali tindakan penasehatnya. Kalau saja orang itu tidak memberinya kepuasan karena ia berhasil mengasuh Tohjaya maka ia pasti sudah mengambil tindakan tersendiri.

Tetapi dalam keadaannya yang sekarang, ia tidak dapat melakukannya. Namun Sri Rajasa-pun menyadarinya, bahwa kedudukannya pasti akan tersentuh juga oleh akibat kebodohan penasehatnya yang sebenarnya ingin mendapat pujian daripadanya itu, betapa-pun kecilnya.

“Kita tidak akan dapat mengabaikan mereka,” berkata Sri Rajasa. “Telah beberapa kali orang-orang berkerudung itu menjamah halaman istana. Bahkan aku sendiri pernah berusaha untuk menangkapnya, tetapi ia berhasil lolos. Belum tentu orang yang datang sekarang itu orang yang terdahulu juga. Bahkan pernah terjadi mereka datang bersama-sama tiga orang seperti yang pernah kau katakan. Apalagi mereka berhasil menggagalkan usaha Kiai Kisi untuk membunuh atau menangkap Putera Mahkota. Nah, kau dapat membayangkan bahwa hal ini bukannya suatu permainan yang dapat diabaikan. Kita tidak tahu, apakah di belakang mereka berdiri pasukan segelar sepapan dari orang-orang berkerudung hitam dan memiliki kemampuan yang menggemparkan itu. Bukankah ia berhasil mengelabuhimu dengan berpura-pura tidak mampu lagi mengadakan perlawanan sehingga kau dengan membusungkan dada mengucapkan lagu kemenangan yang telah menjeratmu sendiri?”

Penasehat itu menganggukkan kepalanya.

“Kita harus berhati-hati. Aku harus menyusun kekuatan sebelum terlambat. Pada suatu saat Tohjaya harus mengerti dan mempersiapkan dirinya. Tetapi tidak sekarang dan tidak sekasar seperti yang kau lakukan.”

“Hamba tuanku,” kepala penasehat itu menjadi semakin tunduk.

Tetapi pembicaraan itu tidak dapat berlangsung terus, karena Mahisa Agni dan beberapa orang Panglima dan Senapati telah menghadap pula.

“Apakah kalian dapat menemukan?” bertanya Sri Rajasa.

Mahisa Agnilah yang menjawab, “Ampun tuanku. Kami tidak menemukannya. Kami sudah mencari di seluruh sudut istana. Tidak ada sejengkal tanah-pun yang terlampaui. Bahkan bangsal-bangsal dan rumah-rumah yang ada di dalam halaman ini, yang kami anggap dapat dipergunakan untuk bersembunyi seseorang telah kami lihat pula. Tetapi kami tidak menemukannya.”

Sri Rajasa menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian, “Hal yang serupa pernah juga terjadi didalam istana ini selagi aku pergi berburu. Bahkan aku sendiri pernah berusaha menangkap bayangan berkerudung hitam serupa itu, tetapi gagal. Dan sekarang hal yang serupa pula telah berulang. Jadikanlah hal ini peringatan bahwa sebenarnyalah Singasari tidak sekuat yang kita tunjukkan lewat kebesaran pemerintahannya dan kekuatan pasukannya. Ternyata masih ada juga kekuatan lain yang mampu mengganggu ketenangan istana justru selagi kita sedang sibuk dengan peralatan perkawinan salah seorang putera istana.”

Tidak ada seorang-pun yang menjawab. Tetapi Mahisa Agni melihat kekecewaan yang dalam membayang di wajah Sri Rajasa.

Karena itu maka ruangan itu sejenak menjadi sepi. Tiba-tiba saja Sri Rajasa dibayangi oleh sebuah kenangan tentang dirinya sendiri, selagi masih berkeliaran di Padang Karautan. Hampir tidak dapat dimengerti bagaimana hal itu dapat terjadi, selagi tidak ada harapan baginya untuk dapat hidup lebih panjang lagi karena orang-orang padukuhan yang mengejarnya semakin lama semakin banyak. Sedangkan dihadapannya terbentang sebuah sungai yang deras dan tidak mungkin diseberangi. Tanpa dipikirkannya lagi, maka saat itu ia-pun dengan tergesa-gesa naik memanjat pohon tal. Hatinya telah berkeriput sebesar menir, ketika orang-orang itu menebang pohon tal tempat ia memanjat. Rasa-rasanya nyawanya sudah berada di ubun-ubunnya. Tetapi ia berhasil lolos karena suara yang seakan-akan melontar dari langit, agar ia memotong dan naik ke atas sepelepah pohon tal itu menyeberang sungai.

“Apakah orang-orang berkerudung hitam itu juga dapat berbuat seperti yang aku lakukan saat itu, tetapi dengan cara-cara yang lain sehingga mereka dapat lolos dari kepungan prajurit Singasari yang rapat dan bersenjata lengkap?” bertanya Sri Rajasa kepada diri sendiri. Namun kenangan masa muda itu benar-benar telah mengganggunya. Seolah-olah ia harus mengalami gangguan-gangguan yang ditimbulkan oleh tingkah lakunya sendiri semasa itu.

Tiba-tiba Sri Rajasa menggeretakkan giginya ketika tiba-saja bayangan wajah Empu Gandring melintas dirongga matanya. Seakan-akan orang tua itu menunjuk hidungnya sambil berkata, “Ken Arok. Ken Arok. Lebur sajalah keris itu, karena keris itu akan menuntut kematian-kematian berikutnya.”

Wajah Sri Rajasa tiba-tiba menjadi pucat. Hampir saja ia meneriakkan umpatan untuk mengatasi ketegangan hatinya. Untunglah bahwa ia berhasil menahan diri dan menelan kata-kata kotor yang telah berada di tenggorokannya.

Namun demikian keringat yang dingin mulai mengalir di seluruh tubuhnya.

“Persetan dengan Empu tua itu,” ia menggeram di dalam hatinya, “aku tidak peduli. Aku adalah Sri Rajasa Batara Sang murwabumi. Aku adalah anak Brahma, putera angkat Siwa dan kekasih Wisnu. Tidak ada yang lebih besar dari Sri Rajasa saat ini selain Siwa sendiri.”

Tetapi tubuhnya terasa menggigil ketika terpandang olehnya mata Mahisa Agni yang seolah-olah menyala membakar seluruh isi dadanya. Orang itu mempunyai sesuatu yang dapat menjadi pengejawantahan Siwa sendiri. Sebuah Trisula yang aneh. Yang tiba-tiba saja membuatnya menjadi silau. Membuatnya kehilangan kemampuan untuk berbuat sesuatu.

“O, gila, gila,” tiba-tiba Sri Rajasa berteriak sehingga seisi paseban itu terkejut karenanya. Bahkan Sri Rajasa sendiri terkejut pula oleh teriakannya itu.

“Ampun tuanku,” berkata Mahisa Agni, “apakah yang telah membuat tuanku menjadi risau?”

Sri Rajasa mengejapkan matanya. Kini dilihatnya Mahisa Agni duduk dihadapannya sambil menundukkan kepalanya.

Sambil menarik nafas dalam-dalam Sri Rajasa berkata, “Ternyata kita hampir gila dibuatnya. Prajurit segelar sepapan yang ada di halaman istana ini tidak mampu menangkap hanya satu orang. Prajurit Pengawal Istana Singasari yang dibanggakan ini, dipimpin langsung oleh para Senapati dan Panglimanya, sama sekali tidak dapat berbuat apa-apa.”

Tidak seorang-pun yang berani mengangkat kepalanya, Mahisa Agni-pun tunduk pula dalam-dalam. Tetapi Sri Rajasa tidak dapat menyingkirkan kecemasannya. Trisula yang pernah dilihatnya itu kini pasti telah berada di tangan Mahisa Agni.

“O,” Sri Rajasa menjadi gemetar. Seakan-akan dilihatnya cahaya trisula kecil itu memancar langsung menyilaukan matanya. Kemudian meluncur dari dalam cahaya itu keris bertuah yang menuntut berlakunya kutukan Empu Gandring, keris yang bertangkaikan dahan cangkring. Kemudian seorang keturunan Tunggal Ametung yang telah dibunuhnya pula membayang di sela-sela cahaya yang menyilaukan itu.

Sekali lagi Sri Rajasa hampir terpekik. Semua itu seakan-akan tampak jelas tidak saja di dalam angan-angannya.

Untunglah bahwa ia segera menyadari keadaannya, bahwa ia kini berada dihadapan Mahisa Agni, beberapa orang Panglima dan Senapati Singasari.

“Mereka adalah orang-orang yang setia,” ia mencoba menenteramkan hatinya sendiri meskipun masih terasa gejolak yang menggelora di dadanya.

Dalam pada itu, baik Mahisa Agni dan para prajurit yang menghadap Sri Rajasa melihat, betapa hati Sri Rajasa itu bergejolak tidak menentu. Tetapi mereka menyangka bahwa Sri Rajasa sedang dicengkam oleh kemarahan dan kecemasan, bahwa orang yang berkerudung hitam itu semakin lama menjadi semakin berani. Tidak dapat disangkal lagi, bahwa orang-orang berkerudung hitam itu adalah orang-orang yang pilih tanding. Bahkan Sri Rajasa sendiri telah gagal menangkap salah seorang dari mereka.

Demikianlah maka para pemimpin pemerintahan dan prajurit Singasari menjadi murung meskipun dalam suasana yang gembira. Bagaimana-pun juga mereka tidak akan dapat segera melupakan, orang berkerudung hitam yang setiap kali membayangi istana Singasari.

Namun peristiwa itu telah mendorong para prajurit untuk semakin bersiaga setiap saat. Ternyata bahwa Singasari tidaklah setenang yang mereka sangka.

Demikianlah, maka dua orang putera Ken Dedes telah berkeluarga. Sedangkan putera sulung Ken Umang masih merasa perlu untuk menempa diri di dalam olah kanuragan dibalik dinding tertutup, seakan-akan Sri Rajasa berusaha untuk menyembunyikan kemampuan Tohjaya yang sebenarnya.

Tetapi ternyata Tohjaya sendiri tidak dapat merahasiakan kemampuannya. Setiap kali ia justru ingin memperlihatkan, bahwa ia adalah seorang putera Sri Rajasa yang perkasa.

“Aku juga akan menjalani pendadaran seperti yang pernah dilakukan oleh Kakang Anusapati,” berkata Tohjaya setiap kali kepada para prajurit. Dan ia memang minta kepada ayahandanya untuk pada suatu saat mendapat tugas yang serupa, agar ia mendapat kesempatan untuk menunjukkan kemampuannya.

“Kau akan mendapat kesempatan itu,” berkata Sri Rajasa.

Tetapi Sri Rajasa masih selalu mempertimbangkan waktu dan suasana yang tepat. Adalah tidak mustahil, apabila rencana ini diketahui oleh salah seorang dari orang-orang berkerudung hitam itu, maka akibatnya akan gawat bagi Tohjaya. Dan Sri Rajasa-pun mengambil kesimpulan, bahwa tidak mustahil bahwa orang-orang di dalam istana Singasari itu-pun ada yang telah berkhianat pula, dan memberi kesempatan kepada orang-orang berkerudung hitam untuk berlindung apabila keadaan memaksa.

Ketika hari-hari yang ramai untuk merayakan perkawinan Mahisa Wonga Teleng itu sampai pada akhirnya, maka Mahisa Agni-pun harus segera kembali ke Kediri. Namun ia sempat mencari waktu di sela-sela kesibukannya untuk bertemu dengan Sumekar dan mendengarkan ceriteranya tentang usahanya untuk menyadap pengakuan dari penasehat itu.

“Kau memang cerdik,” berkata Mahisa Agni sambil tersenyum.

Namun dibalik senyumnya, Mahisa Agni melihat bahwa Anusapati benar-benar telah dibayangi oleh bahaya yang sebenarnya telah mengancam jiwanya.

“Kau harus lebih berhati-hati,” berkata Mahisa Agni kepada Sumekar. “tolong awasi anak itu. Meskipun kemampuannya di dalam olah kanuragan semakin lama menjadi semakin masak, tetapi bagaimana-pun juga masih muda. Kadang-kadang ia masih kehilangan pengamatan diri dan kesabaran, sehingga tingkah lakunya akan dapat berbahaya bagi dirinya sendiri.”

Sumekar mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Aku akan berusaha,” berkata Sumekar.

Namun dahinya segera menjadi berkerut merut ketika ia melihat tatapan mata Mahisa Agni yang menjadi semakin tajam.

Dengan bersungguh-sungguh Mahisa Agni berkata, “Sumekar. Ada sesuatu yang penting yang hendak aku bicarakan sebelum aku meninggalkan Singasari, apalagi ketika aku meyakini, bahwa Anusapati memang memerlukan perlindungan yang sebaik-baiknya.”

Sumekar mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia tidak menjawab.

“Sumekar,” berkata Mahisa Agni. “apakah kau pernah juga berpikir, bahwa pada suatu saat, apabila keadaan memaksa Sri Rajasa sendiri akan turun tangan untuk memaksakan kedudukan Putera Mahkota bagi Tohjaya?”

Sumekar mengerutkan keningnya. Setelah menarik nafas dalam-dalam ia berkata, “Betapa-pun kecilnya, namun ada juga bayangan yang suram itu terjadi. Tetapi bukankah usaha-usaha itu sejak sekarang sudah kita rasakan?”

“Ya. Tetapi maksudku, karena kemampuan kanuragan Anusapati yang tidak dapat teratasi oleh orang-orang yang mendapat tugas langsung menyingkirkannya, apakah pada suatu saat Sri Rajasa sendiri, akan melakukan hal itu. Tentu saja ia berusaha agar tidak seorang-pun yang mengetahuinya.”

Sumekar merenung sejenak. Tetapi ia tidak segera menjawab.

“Sumekar,” berkata Mahisa Agni kemudian. “kita melihat bahwa kemampuan Anusapati semakin lama menjadi semakin sempurna. Padahal umurnya masih sangat muda, sehingga kemungkinan baginya masih terbuka luas. Pada suatu saat tidak akan ada seorang-pun yang dapat melampauinya di seluruh istana ini. Dalam keadaan yang demikian, tidak ada orang lain yang dapat melakukannya selain Sri Rajasa pribadi. Dalam arti, Sri Rajasa sendirilah yang harus menghadapi Anusapati.”

Sekali lagi Sumekar menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya, “Hal itu tidak mustahil terjadi. Tentu Sri Rajasa tidak akan melepaskan cita-citanya untuk meletakkan warisan singgasana Singasari kepada keturunannya yang paling dikasihinya.”

“Kau pernah mendengar bagaimana Tunggul Ametung terbunuh?”

Sumekar menganggukkan kepalanya.

“Kebo Ijo?”

Sekali lagi Sumekar mengangguk.

“Dan Kelak Anusapati, begitu maksudmu?” bertanya Sumekar.

Mahisa Agni-pun mengangguk pula. Jawabnya, “Ya. itu tidak mustahil. Bukankah kau juga mengetahui siapakah Anusapati itu sebenarnya?”

Demikianlah ternyata bahwa Mahisa Agni telah mengambil suatu keputusan yang merupakan suatu hal yang sangat penting, dan bahkan hampir menetukan di dalam perjalanan hidup Anusapati. Ternyata Mahisa Agni telah mengambil suatu keputusan, bahwa ia harus mempertahankan Anusapati dan keturunannya untuk tetap memegang pimpinan kerajaan. Meskipun keputusan itu tidak diucapkannya, namun hal ini seakan-akan merupakan janji di dalam hatinya. Janji yang membawa akibat-akibat yang sangat luas pada tingkah laku dan sikapnya kemudian.

Sumekar melihat sesuatu bergejolak didalam hatinya. Dan Sumekar-pun seakan-akan dapat menangkap getar di dalam dada Mahisa Agni itu.

Demikianlah ketika peralatan perkawinan Mahisa Wonga Teleng selesai, istana Singasari-pun kembali menjadi sepi. Semuanya kembali kepada keadaan seperti sediakala. Anusapati masih saja dalam kedudukannya yang lama, yaitu seorang Putera Mahkota, namun kedudukan itu hampir tidak memberikan akibat apa-pun baginya. Ia masih saja seperti anak-anak yang dengan sekehendak hatinya berbuat sesuai dengan kesenangannya sendiri. Kalau ia ingin melihat-lihat latihan-latihan keprajuritan, maka ia-pun pergi melihat. Kalau ia ingin berada dipusat pimpinan pasukan pengawal, maka ia-pun pergi pula kesana.

Namun dengan demikian hati Anusapati sendiri merasa tersiksa. Dipaseban dalam dan luar, dimana Sri Rajasa dihadap oleh para pemimpin dan panglima serta Senapati, kedudukan Putera Mahkota hampir tidak berarti apa-apa. Apabila pada hari-hari yang ditentukan Sri Rajasa berhalangan, ia sama sekali tidak memberikan kesempatan apa-pun untuk berbuat sesuatu pada sebuah pertemuan, meskipun sekedar pertemuan biasa. Tidak ada kesempatan yang ada padanya, dan apalagi bimbingan dan pengarahan.

Alangkah sakit hati Anusapati. Kalau saja ia masih anak-anak, maka ia akan dapat menangis sambil memeluk pinggang ibunya.

Tetapi ia bukan lagi anak-anak. Bahkan sebentar kemudian Anusapati telah menjadi seorang ayah. Namun kedudukannya masih belum berarti sama sekali.

Sumekar yang menjadi semakin tua ternyata telah mengambil keputusan pula untuk tetap tinggal di istana Singasari. Hidup di petamanan yang penuh dengan pohon bunga-bungaan dan pohon buah-buahan, baginya tidak jauh berbeda dari kehidupan di padepokannya. Di halaman istana Singasari ia merasa mendapatkan tempat yang sesuai dengan kehidupannya di padepokan yang tenteram, tenang dan segar. Meskipun di halaman istana kadang-kadang ia ikut serta dilanda oleh ketegangan apabila terjadi sesuatu dengan Anusapati.

“Paman Sumekar,” berkata Anusapati pada suatu saat, “apakah paman melihat kemungkinan yang dapat aku capai dengan cara hidupku sekarang?”

Sumekar tidak segera menjawab. Ditatapnya saja wajah Anusapati dengan saksama. Lalu sejenak kemudian justru ia bertanya, “Apakah yang tuanku maksud?”

Anusapati menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Paman, rasa-rasanya kedudukan sebagai Putera Mahkota hanyalah sekedar kedudukan saja karena aku putera ibunda Permaisuri. Tetapi setiap masalah, Ayahanda Sri Rajasa selalu berbincang dengan Adinda Tohjaya. Aku sadar, bahwa aku tidak boleh iri hati, seperti yang selalu dikatakan oleh orang tua-tua dan paman Mahisa Agni. Juga yang aku baca di dalam kitab-kitab serta dari pemimpin-pemimpin kejiwaan yang pandai. Tetapi aku tidak dapat ingkar dari perasaan ini, seakan-akan aku telah dicengkam oleh perasaan itu.”

Sumekar menarik nafas dalam-dalam. Ia tidak dapat menyalahkan Anusapati, karena semakin lama menjadi semakin jelas, bahwa Anusapati akan menjadi semakin tersisih. Bahkan lambat laun, sikap para pemimpin dan Panglima-pun seakan-akan telah terpengaruh oleh keadaan itu. Seakan-akan wajah mereka mulai berpaling dari Anusapati dan memandang Tohjaya sebagai seorang putera Sri Rajasa yang besar.

Tidak seperti Anusapati yang menyembunyikan kemampuannya yang hampir sempurna, maka ketika Tohjaya merasa dirinya seorang anak muda yang perkasa, ia justru telah berbuat hal-hal yang dapat mengagumkan rakyat Singasari.

“Paman,” berkata Anusapati, “para pemimpin masih tetap menganggap aku sebagai seorang anak muda yang lemah dan dungu. Ternyata hal itu berpengaruh atas sikap mereka. Lambat laun mereka tidak mempunyai harapan dan pilihan apa-pun padaku. Kadang-kadang mereka menjadi kagum juga apabila aku mengambil sikap. Tetapi kesempatan itu terlampau jarang. Dan yang aku lakukan hanyalah sekedar mengambil sikap, tidak diikuti dengan perbuatan-perbuatan yang dapat membuat mereka yakin akan kemampuanku. Bukan saja dalam olah kanuragan yang memang tidak pernah aku tunjukkan kepada siapapun, tetapi kemampuanku memimpin dan bertindak sebagai seorang Raja yang besar.”

Sumekar mengangguk-anggukkan kepalanya. Keluhan itu bukannya tidak berdasar. Tohjaya semakin lama menjadi semakin dikenal oleh rakyat Singasari sebagai seorang anak muda yang perkasa. Tetapi sebaliknya Anusapati hampir tidak dibicarakan orang didalam olah kanuragan dan kegiatan pemerintahan.

Sumekar tidak dapat ingkar, bahwa satu dua orang justru pernah berkata, “Anusapati lebih senang menunggui isterinya daripada berbuat sesuatu untuk Singasari.”

“Inilah agaknya jalan yang akan ditempuh oleh Sri Rajasa. Memang tidak sekasar yang dilakukan oleh penasehatnya. Tetapi justru terlampau berbahaya bagi Putera Mahkota. Penolakan rakyat Singasari atas Putera Mahkota akan menimbulkan akibat yang sangat gawat baginya dan bagi Singasari,” berkata Sumekar di dalam hatinya.

“Paman,” berkata Anusapati kemudian. “apakah sebaiknya aku diam saja sambil menunggu nasib yang akan menjebakku kemudian, apa-pun akibatnya?”

Sumekar mengangguk-anggukkan kepalanya. Teringat olehnya sikap dan perasaan yang bergolak di dalam dada Mahisa Agni di saat-saat terakhir hari perkawinan Mahisa Wonga Teleng. Seolah-olah ia dapat membaca dengan jelas pada wajah Mahisa Agni, bahwa ia akan berbuat sesuatu. Sesuatu yang penting bagi Anusapati.

Tetapi Sumekar tidak dapat mengatakannya. Ia hanya melihat sesuatu yang membayang. Tetapi ia tidak jelas dan tidak dapat memastikan apakah penglihatannya itu benar.

Namun demikian ia berusaha untuk membesarkan hati Putera Mahkota, “Tentu tidak tuanku. Tuanku tidak akan begitu saja pasrah kepada nasib. Tuanku harus berbuat sesuatu. Hamba yakin bahwa Pamanda Mahisa Agni-pun sudah memperhitungkannya. Pamanda Mahisa Agni dapat mengerti, apa yang sedang dilakukan oleh ayahanda sekarang, dan karena itu, ia akan berbuat sesuatu.”

“Tetapi paman, apakah paman sampai sekarang tidak melihat, bahwa sikap Ayahanda Sri Rajasa semakin lama menjadi semakin asing bagiku? Hanya dihadapan ibunda Permaisuri ayahanda bersikap baik. Tetapi jika tidak ada ibunda Permaisuri sikap ayahanda terasa aneh sekali.” Anusapati berhenti sejenak lalu, “paman, aku sekarang sudah bukan anak-anak lagi. Seharusnya aku sudah mulai mendapatkan kesempatan-kesempatan di dalam pimpinan pemerintahan. Bukan sekedar mengikuti pendadaran dengan menumpas perampok-perampok kecil disana-sini. Bukan pula dengan menonton latihan-latihan keprajuritan.” Suara Anusapati merendah, “Paman. Aku pernah mendengar suara yang sangat menyakitkan hati, seolah-olah aku sama sekali tidak menghiraukan lagi keadaan Singasari. Seolah-olah aku hanya memikirkan diriku sendiri, isteriku dan orang-orang terdekat saja.”

Sumekar tidak menjawab. Tetapi kepalanya tertunduk. Dan Anusapati meneruskan, “Lebih dari itu paman, aku sudah mendengar dari hamba yang dekat dengan keluargaku, maksudku, seorang emban yang mengatakannya kepada isteriku, bahwa Sri Rajasa tidak memerlukan aku lagi.”

“Tuanku,” Sumekar terkejut.

“Ya. Dan isteriku menangis semalam suntuk. Hal itu bukannya yang pertama kali didengarnya. Bermacam-macam persoalan yang aku kira memang dengan sengaja, dihembus-hembuskan agar sampai ketelinga isteriku. Dengan demikian, kedudukanku menjadi semakin lemah. Dari luar dan dari dalam.”

“Itu sudah keterlaluan,” tiba-tiba Sumekar menggeram, “sebenarnya tuan puteri tidak boleh mendengar hal-hal semacam itu.”

“Tetapi menurut perhitunganku, memang ada kesengajaan. Isteriku juga pernah mendengar ejekan orang tentang kelemahan dan kebodohanku dibandingkan dengan Adinda Tohjaya.”

Sumekar mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Jika demikian keadaan memang sudah gawat tuanku. Pamanda Mahisa Agni harus segera mengetahuinya.”

Anusapati mengangguk kecil, “Ya. Tetapi Pamanda Mahisa Agni akan lebih baik tetap diam. Aku melihat ada sesuatu yang menahan pamanda untuk berbuat sesuatu. Aku kira Pamanda Mahisa Agni adalah sahabat Ayahanda Sri Rajasa. Didalam batas-batas tertentu Pamanda Mahisa Agni tidak dapat bertindak lebih maju lagi.”

“Bukan begitu tuanku. Pamanda tuanku tidak hanya sekedar berhenti pada suatu batas tertentu. Ia akan maju terus. Percayalah. Tetapi pamanda tuanku akan mengambil jalan yang paling baik buat tuanku, buat ayahanda tuanku dan buat Singasari. Itu adalah tanggung jawab yang tidak dapat dihindarinya.”

Anusapati tidak menjawab. Sekilas terbayang apa saja yang pernah dilakukan oleh Mahisa Agni untuknya.

“Memang sudah banyak sekali,” tiba-tiba Anusapati berdesis.

“Apa tuanku?” bertanya Sumekar.

“Paman Mahisa Agni memang sudah banyak sekali berbuat untukku.”

“Dan pamanda tuanku itu masih akan banyak lagi berbuat.”

Demikianlah Sumekar dapat merasakan goncangan-angan perasaan pada putera Mahkota. Semakin lama justru menjadi semakin berat. Bahkan setelah Anusapati menjadi seorang ayah. Orang-orang istana Singasari tidak lagi dangan segan-segan memperkatakannya. Anusapati tidak lagi mendengar dari satu dua orang, bagaimana tanggapan orang-orang di istana Singasari itu atasnya. Dengan demikian Anusapati dapat memperhitungkan, bagaimanakah kira-kira tanggapan rakyat Singasari seluruhnya terhadapnya, terutama mereka yang tinggal dipusat pemerintahan.

Sumekar-pun semakin lama menjadi menyadari kedudukan Putera Mahkota yang sulit itu. Apalagi setiap kali Tohjaya selalu mamancing persoalan dan menunjukkan kelebihannya dari setiap putera Sri Rajasa yang lain.

Mahisa Wonga Teleng yang kemudian juga mempunyai seorang anak laki-laki-pun merasakan sesuatu yang tidak wajar pada sikap Ayahanda Sri Rajasa. Meskipun sikap Sri Rajasa padanya jauh lebih baik dari sikap ayahanda kepada Anusapati, namun bagi setiap putera Sri Rajasa merasa alangkah besarnya kesempatan yang telah diberikan kepada Tohjaya. Namun bagi rakyat Singasari, sikap dan tingkah laku Tohjaya kadang-kadang memang menimbulkan kekaguman.

“Lepaskan kerbau gila itu di sebelah pasar,” berkata Tohjaya pada suatu saat kepada pembantu-pembantunya yang terdekat, “disaat orang berlari-larian menyelamatkan diri dari amukan kerbau itu, aku akan hadir.”

Demikianlah di saat-saat yang telah ditentukan itu, seekor kerbau gila karena mulutnya telah disuapi dengan daun yang membuatnya mabuk sehingga tingkah lakunya telah menggemparkan penduduk yang kebetulan ada ditempat itu. Orang-orang yang sedang berada dipasar-pun menjadi gempar dan berlari-larian cerai berai.

Pada saat yang demikian itu, lewatkan iring-iringan seorang putera Sri Rajasa yang perkasa, diikuti oleh beberapa orang pengawal, melalui jalan yang menjadi sepi lengang.

Beberapa orang yang sedang berlari-larian dan berpapasan dengan iring-iringan itu mencoba menyongsong sambil berkata, “Tuanku, ampun. Janganlah tuanku lewat jalan ini. Seekor kerbau sedang mengamuk di sebelah pasar.”

Tohjaya mengerutkan keningnya. Tetapi ia justru tersenyum sambil berkata, “Biarlah kerbau itu mengamuk. Aku hanya akan sekedar lewat.”

Selanjutnya Baca
BARA DI ATAS SINGGASANA : JILID 20
LihatTutupKomentar