Bara Di Atas Singgasana Jilid 10

Mayat Sang Guru

“Aku sudah bekerja di sini sejak Tuanku Akuwu Tunggul Ametung. Aku tahu benar siapa Tuanku Putera Mahkota sebenarnya, dan karena itu kenapa Tuanku Sri Rajasa berbuat begitu.”

“Baiklah, baiklah. Tetapi sudahlah.”

Juru taman itu menarik nafas dalam-dalam. Tiba-tiba saja ia bertanya kepada Sumekar, “Apakah kau membenci Putera Mahkota?”

“Sama sekali tidak,” jawab Sumekar, “bukankah aku yang tadi pertama-tama melihat darah di pundak tuanku Anusapati? Dan bukankah aku pula yang pergi memanggil emban itu? Aku menjadi sangat gugup.”

Juru taman yang tua itu mengangguk-anggukkan kepalanya. “Jadi kau bukan sekedar acuh tidak acuh.”

“Tentu tidak,” jawab Sumekar.

Juru taman itu masih mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia tidak berkata apa-pun lagi. Perlahan-lahan ia melangkah memungut ranting sawo yang patah. Diamatinya ranting itu sambil bergumam, “Aku tidak melihat apa-apa. Apalagi yang disebut Jamur Kenanga.”

Kawan-kawannya-pun mendekat pula. Mereka mengamati juga ranting sawo yang dipegang oleh juru taman yang tua itu. Tetapi mereka-pun tidak melihat sesuatu. Hanya Sumekar lah yang bergumam di dalam hatinya, “Darimanakah tuanku Putera Mahkota itu menemukan kata-kata Jamur Kenanga?”

Salah seorang dari para juru taman itu berkata. “Sudah dikatakan oleh tuanku Putera Mahkota, tidak semua orang dapat melihat Jamur Kenanga.”

“Ya, kita memang tidak melihatnya. Tetapi Jamur itu ada di ranting ini.”

Kawan-kawannya mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Ranting ini akan aku simpan. Mungkin tuanku Putera Mahkota memerlukannya pada suatu saat.”

Sumekar mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak berkata apa-pun juga.

Juru taman yang tua itu-pun kemudian membawa ranting itu ke rumahnya yang ada di dalam lingkungan halaman istana itu pula. Ditarangnya ranting itu di sebelah tutup keyong rumahnya.

Dalam pada itu, selagi para juru taman, seperti juga juru dang, juru pengangsu, dan para pekatik, mulai bekerja, Anusapati duduk di dalam bangsalnya. Mau tidak mau ia selalu diganggu oleh kegelisahan. Pada suatu saat seisi istana ini pasti akan menjadi ribut mencari prajurit pelatih Putera Mahkota dan adindanya, keduanya Putera Sri Rajasa.

Setiap saat Anusapati selalu menunggu. Ia yakin, saat itu akan datang. Sudah pasti bahwa beberapa orang prajurit akan menyebar di seluruh halaman istana dan bahkan di luar istana.

Tetapi sampai matahari mencapai puncak langit, tidak seorang-pun yang dilihatnya mencari pelatihnya itu. Nanti setelah matahari condong ke Barat, sampailah saatnya ia pergi latihan untuk hari itu, sampai matahari tenggelam, seperti hari-hari yang sama di pekan-pekan yang telah lalu. Bahkan besok seharusnya latihan diadakan kecuali pagi hari, juga di malam hari.

Kegelisahan itu memuncak semakin dekat dengan saat-saat latihan tiba. Tetapi ia harus menghilangkan kesan kegelisahan itu. Ia harus hadir di tempat latihan seperti biasanya. Tanpa kesan apapun, meskipun hal itu sangat sulit dilakukan.

Demikianlah, maka setelah ia menenangkan hatinya, di saat-saat yang telah ditentukan seperti kebiasaannya Anusapati-pun mempergunakan pakaian keprajuritan yang selalu dipakainya didalam latihan-latihan tata bela diri.

Ketika ia sampai di tempat latihan, ia melihat Tohaya beserta kedua pengawalnya telah ada disana pula.

“Selamat siang Kakanda Anusapati,” sapa Tohjaya sambil tersenyum.

Anusapati tersenyum pula sambil menyahut, “Selamat siang. Bukankah kita latihan siang sampai sore hari di hari ini?”

Tohjaya menganggukkan kepalanya, “Ya Kakanda Anusapati. Apakah kakanda ragu-ragu.”

Anusapati tersenyum pula, “Aku hampir saja lupa kalau bibi emban tidak mengingatkan.”

“Apakah kakanda Anusapati sedang sibuk?”

“Tidak. Justru karena aku tidak mempunyai pekerjaan apa-pun hari ini. Tidak ada paseban, dan ibunda Permaisuri tidak memanggil aku.”

Tohjaya mengerutkan keningnya. Jarang sekali Anusapati menyebut-nyebut ayahanda dan apalagi ibunda Permaisuri di depannya. Karena itu sejenak ia terdiam.

“Kakanda Anusapati,” bertanya Tohjaya tiba-tiba, “kenapa pundak kakanda terluka?”

“O, luka yang sama sekali tidak berarti ini,” berkata Anusapati sambil meraba lukanya di pundak.

“Tetapi kenapa luka itu? “

“Aku terjatuh dari pohon sawo di halaman.”

“Apakah kakanda Anusapati memanjat?”

“Ya.”

“Apakah yang kakanda panjat pada pohon sawo itu?”

“Bukan apa-apa. Seekor Samberliler yang berwarna mengkilap. Aku menamakannya Jamur Kenanga. Samberliler itu mempunyai warna yang agak lain dengan kebanyakan Samberliler. Tidak hijau kebiru-biruan, tetapi berwarna emas agak kemerah-merahan.”

Tohjaya mengerutkan keningnya. Dan tiba-tiba saja ia berkata, “Seharusnya kakanda memerintahkan seorang untuk memanjatnya. Juru taman atau bahkan prajurit peronda. Dengan demikian kakanda tidak akan mengalami cidera. Bukankah kakanda seorang Putera Mahkota?”

Anusapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia tidak menjawab. Ditatapnya kedua prajurit pengawal Tohjaya itu sekilas. Terbayanglah warna yang aneh di wajah mereka.

Karena Anusapati tidak menjawab, maka Tohjaya kemudian berkata, “Tetapi kenapa guru kita masih belum datang? Ia tidak pernah terlambat.”

“Ya. Ia tidak pernah terlambat. Barangkali saatnya sudah sedikit lewat.”

Tohjaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian ia berpaling kepada salah seorang pengawalnya, “Jemput dia ke rumahnya.”

“Di rumahnya yang mana tuanku?” bertanya prajurit itu.

“He, berapakah rumahnya?”

“Tiga. Masing-masing untuk seorang isterinya.”

“O, jadi isterinya tiga orang?”

“Ya. Tetapi ia masih mempunyai selir lebih dari tujuh orang.”

“Gila,” desis Tohjaya, “pakai seekor kuda. Cari pada seluruh perempuan itu.”

“Mungkin ia mempunyai isteri atau selir baru, sehingga karena itu ia terlambat, atau bahkan lupa sama sekali untuk datang ke tempat latihan,” sahut prajurit yang lain.

“Kalau ia berhalangan, ia pasti memberi tahukan. Ayahanda dapat menjadi marah karenanya,” berkata Tohjaya kemudian. Lalu, “Carilah sampai dapat.”

“Hamba tuanku.”

“Prajurit yang seorang itu-pun kemudian dengan tergesa-gesa meninggalkan arena latihan itu. Diambilnya seekor kuda, kemudian dipacunya kuda itu.

“Kemana kau he?” bertanya prajurit yang sedang bertugas diregol.

“Memanggil pelatih Tuanku Tohjaya yang hari ini belum hadir di arena, meskipun waktunya sudah lampau.”

Prajurit yang bertugas diregol mengangguk-anggukan kepalanya.

“Apakah kau melihatnya?” bertanya prajurit pengawal Tohjaya itu.

“Tidak. Aku tidak melihatnya,” sahut penjaga regol, “mungkin ia tertidur atau lupa karena persoalan yang lain.”

“Ia tidak akan mungkin lupa,” sahut prajurit pengawal Tohjaya, “entahlah kalau ia mempunyai isteri baru.”

Prajurit yang ada di regol terdiam sejenak. Namun kawannya menyahut, “Ya, mungkin. Isterinya baru enambelas orang.”

“Enam belas,” hampir berbareng prajurit yang bertugas di regol dan prajurit pengawal Tohjaya itu mengulang, “aku dengar hanya sepuluh orang,” berkata pengawal Tohjaya.

“Tidak. Enam belas. Carilah pada isterinya yang paling muda. Rumahnya di sebelah Barat pasar. Namanya Sangesti. Umurnya baru tigabelas tahun.”

“Gila.”

“Itu adalah suatu cara untuk tetap muda dan kesaktiannya justru akan bertambah-tambah.”

“Bukan main,” desis pengawal Tohjaya, “baiklah aku akan pergi ke isterinya yang paling muda itu. Namanya Sangesti. Bukankah begitu?”

“Ya.”

Kuda prajurit pengawal Tohjaya itu-pun berpacu pula. Semakin lama semakin cepat. Dicarinya rumah isteri termuda dari pelatih Tohjaya itu.

Rumah Angesti itu berhasil diketemukan. Tetapi perempuan yang masih sangat muda itu berkata, “Sejak kemarin ia tidak datang. Biasanya ia tidak beranjak dari rumah ini, apabila ia tidak sedang bertugas.”

“Apakah ia tidak pergi ke isteri-isterinya yang lain?”

“Isterinya yang lain?”

“Ya.”

“Apakah ia mempunyai isteri yang lain?”

“O,” pengawal Tohjaya itu tergagap, “maksudku di rumah yang lain. Rumah orang tuanya sendiri misalnya, atau rumah saudara-saudaranya. Bukankah rumah ini rumahmu, rumah orang tuamu?”

“Bukan. Rumah ini dibelinya untuk kami berdua.”

“O, jadi kau tidak tahu dimana suamimu sekarang?”

“Aku-pun menunggunya dengan cemas,” lalu katanya ragu-ragu, “tetapi tadi kau sebut-sebut isterinya yang lain. Apakah benar ia beristeri selain aku?”

“Tidak. Tidak. Aku salah sebut. Sudah aku betulkan kata-kataku.”

Tetapi wajah perempuan itu masih saja menjadi cemberut. Isteri yang masih sangat muda itu tiba-tiba telah diamuk oleh perasaan cemburu.

“Suamiku berkata, bahwa ia belum pernah beristeri.”

“Ya, itulah yang benar,” sahut pengawal Tohjaya, “Sekarang aku minta diri. Aku harus mencari suamimu sampai dapat. Ia tidak datang ke istana hari ini.”

“Tolong sampaikan kepadanya kalau kau nanti menemukannya. Sudahlah ia segera datang. Sekarang.”

“Tetapi ia harus pergi keistana.”

“Ia harus pulang dahulu. Ia suamiku.”

Pengawal Tohjaya itu mengerutkan keningnya.

“Tidak ada orang lain yang lebih berhak atasnya selain aku, meskipun ia seorang prajurit. Prajurit adalah pekerjaannya. Tetapi sebagai manusia, ia adalah sisihanku.”

Pengawal Tohjaya menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia berkata, “Baiklah. Aku akan mengatakan kepadanya, bahwa ia harus pulang lebih dahulu.”

“Terima kasih.”

Pengawal Tohjaya itu-pun segera memacu kudanya meninggalkan isteri yang masih sangat muda itu sambil mengumpat-umpat. Kalau aku menemukannya, aku umpati dia tujuh turunan. Dapat saja ia berkata kepada gadis kecil itu, bahwa ia masih belum kawin.” namun kemudian ia mengerutkan keningnya, “mungkin benar. Itulah caranya ia menjadi awet muda dan justru kesaktiannya bertambah-tambah sehingga ia mendapat kepercayaan untuk menjadi guru tuanku Tohjaya dan bahkan tuanku Putera Mahkota.”

Prajurit itu memacu kudanya semakin cepat. Tetapi tiba-tiba ia menarik kendali kudanya. Sambil bersungut-sungut ia menggeram, “Kemana aku harus pergi sekarang?”

Sejenak prajurit itu merenung. Ia memang pernah melihat satu dua rumahnya yang lain. Karena itu, maka ia-pun segera mencoba mencarinya.

Tetapi ia tidak menemukannya. Setiap isterinya justru menunggunya dengan gelisah. Sudah lama prajurit itu tidak datang mengunjungi mereka.

“Isterinya yang masih sangat muda itulah yang selalu ditungguinya.”

“Isterinya yang sangat muda?” bertanya isteri prajurit itu yang lain.

“O, tidak. Tidak. Isteri mudanya maksudku.”

“Ia tidak akan kawin lagi. Aku adalah isterinya yang paling muda.”

“Ya.”

“Isterinya memang hanya dua orang. Yang tua, yang sudah hampir masuk liang kubur itu, dan aku.”

“Ya, ya. Aku tidak tahu. Sepengetahuanku, hanya kaulah isterinya satu-satunya.”

“Ah, kau mengganggu. Aku memang isterinya yang kedua.” perempuan itu terdiam sejenak sambil merenung.

Prajurit pengawal Tohjaya itu-pun menjadi bingung. Setiap isterinya merasa bahwa ia adalah isteri mudanya, isteri yang kedua. Ada yang merasa dirinya isteri ketiga, tetapi menurut pendapatnya, kedua isterinya yang lain adalah perempuan-perempuan yang sudah sangat lemah karena sakit atau sebab-sebab yang lain.

“Luar biasa,” geram prajurit itu, “bagaimana mungkin ia dapat hidup dalam dunianya yang aneh itu. Bagaimana ia selalu ingat, bahwa ia harus mempertahankan sebuah dongeng tersendiri bagi setiap isterinya. Bagaimana ia tidak keliru, bahwa dongengnya pada suatu saat jadi terbalik.”

“Tetapi,” tiba-tiba isteri prajurit itu bertanya, “kau tadi mengatakan, isterinya yang masih sangat muda itulah yang selalu ditunggui. Apakah kau mengetahui tentang hal itu?”

“Sudah aku katakan, aku keliru. Maksudku, isterinya yang muda itulah yang selalu ditungguinya. Bukankah kau isterinya yang muda? Karena itu aku datang kemari.”

“Tetapi ia jarang-jarang pulang. Ia selalu sibuk dengan tugasnya di istana. Bukankah suamiku itu seorang kepercayaan Sri Rajasa? Siang malam ia harus melatih kedua Putera Sri Rajasa, sehingga beberapa saat terakhir ia sama sekali tidak sempat pulang.”

“Ya. Latihan siang dan malam.”

“Nah, kalau kau bertemu dengan suamiku, katakan kepadanya, agar sekali-sekali ia pulang.”

“Baik, baik. Aku akan mengatakannya.”

Sejenak kemudian prajurit itu-pun telah memacu kudanya kembali sambil mengumpat-umpat. Ternyata ia tidak dapat menemukannya di rumah isteri-isterinya yang sudah diketahuinya.

“Kemana lagi aku harus pergi?” ia bertanya kepada diri sendiri.

Akhirnya prajurit itu memutuskan untuk kembali saja ke istana, melaporkan kepada Tohjaya bahwa ia tidak berhasil menemukannya.

“Barangkali prajurit gila itu sudah berada di istana,” berkata pengawal Tohjaya itu di dalam hatinya.

Tetapi ketika ia sampai di arena latihan, tempat itu sudah menjadi sepi. Tohjaya sudah tidak ada di sana dan Putera Mahkota-pun sudah pergi.

“Mereka tidak sabar lagi menunggu.” gumamnya.

Setelah ia menambatkan kudanya, maka ia-pun segera pergi menghadap Tohjaya di bangsalnya.

“Hamba tidak menemukannya tuanku,” berkata prajurit itu.

“Aneh,” jawab Tohjaya, “sama sekali tidak ada penjelasan. Biasanya ia selalu datang atau memberitahukan lebih dahulu apabila berhalangan.”

“Hamba sudah datang ke rumah isteri-isterinya.”

“Baiklah. Kita akan menunggu sampai besok.” Tohjaya seolah-olah bergumam kepada diri sendiri, “kalau besok ia tidak datang lagi, maka aku akan menyampaikannya kepada Ayahanda Sri Rajasa.”

Demikianlah maka Tohjaya menunggu sampai dihari berikutnya. Sedangkan selama itu, Anusapati masih saja dibayangi oleh kecemasan. Ia tidak segera berhasil melenyapkan bayangan prajurit yang terbaring diatas batu-batu padas di pinggir sungai yang curam itu. Setiap kali serasa ia melihat apa yang telah terjadi.

“Paman,” berkata Anusapati dalam suatu kesempatan kepada Sumekar yang masih memanggul lodong air, “aku amat gelisah.”

“Jangan tuanku. Kegelisahan hanya akan memburamkan nalar. Semuanya sudah terjadi. Yang penting, bagaimana kita mengatasi persoalan yang mungkin timbul. Tetapi kalau tuanku selalu gelisah, maka tuanku tidak akan dapat keluar dari jerat yang mungkin telah dipasang,” jawab Sumekar.

Anusapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia tidak berkata apa-pun lagi sambil menatap Sumekar yang kemudian menuangkan air pada pohon bunga-bungaan di halaman.

Meskipun demikian di malam hari, Anusapati sama sekali tidak dapat memejamkan matanya. Ia selalu gelisah. Setiap kali ia terbangun. Dengan dada berdebar ia bangkit berdiri dan berjalan hilir mudik.

Tubuh prajurit itu seakan-akan terbaring di bawah pembaringannya. Kadang-kadang tampak di sudut yang kegelapan. Atau bahkan di sisinya apabila ia berbaring.

Namun setiap kali Anusapati selalu berusaha menenangkan dirinya. Seperti pesan Sumekar, ia selalu berusaha untuk mempergunakan nalar sebaik-baiknya. Ia tidak boleh kehilangan akal apabila ia tidak ingin terjebak.

Di pagi hari berikutnya, Anusapati-pun datang ke tempat latihan seperti biasanya disaat yang sudah ditentukan. Ketika matahari bertengger di atas dedaunan yang hijau, Anusapati sudah berada di tempat latihan, sesaat mendahului Tohjaya.

“Apakah guru kita masih belum datang?” bertanya Tohjaya.

Anusapati menggeleng, “Belum. Aku menunggunya di sini. Biasanya ia sudah datang.”

Tohjaya mengerutkan keningnya. Perlahan-lahan ia bergumam, “Memang aneh. Apakah sesuatu telah terjadi atasnya?”

Anusapati tidak menyahut. Tetapi ia terkejut ketika Tohjaya bertanya pula, “Kenapakah pundak kakanda itu?”

Dengan sorot mata yang dibayangi oleh kebimbangan Anusapati menatap adiknya. Hampir saja ia menjadi gemetar dan memberikan jawaban yang meragukan. Namun sekali lagi terngiang kata-kata Sumekar. Maka jawab Anusapati, “Bukankah aku kemarin sudah mengatakan?”

“O ya. Terjatuh dari pohon itu?”

“Ya. Pundakku tergores sebatang ranting.”

“Kakanda masih senang juga memanjat?”

“Sekali-sekali. Para juru taman memang sudah memperingatkan aku, tetapi aku tidak menghiraukannya.”

“Jadi juru taman itu melihat kakanda terjatuh?”

“Ya. Merekalah yang menolong aku dan membersihkan luka-lukaku bersama bibi emban yang mereka panggil pula.”

Tohjaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Sekilas ia memandang luka di pundak Anusapati. Kemudian ditatapnya regol di sebelah arena latihan itu. Dari sanalah prajurit itu biasanya datang.

“Aku yakin, ia tidak akan datang hari ini,” berkata Tohjaya.

Anusapati mengerutkan keningnya.

“Mungkin sesuatu telah terjadi atasnya.”

“Mungkin. Ia tidak pernah tidak datang tanpa memberitahukan lebih dahulu. Apalagi sampai dua kali berturut-turut,” sahut Anusapati.

“Baiklah kakanda. Aku akan menyampaikannya kepada Ayahanda Sri Rajasa.”

“Aku akan menyampaikannya pula. Aku akan menghadap.”

Tohjaya menegang sesaat. Namun kemudian ia tersenyum, “Kita akan menyampaikannya kepada ayahanda.”

“Aku akan menghadap sekarang.”

“Ya, ya. Kita akan menghadap sekarang.” Meskipun ada jarak yang seakan-akan tidak terlampaui namun keduanya seakan-akan telah terpaksa pergi bersama-sama menghadap Ayahanda Sri Rajasa yang sedang bersiap-siap menghadiri paseban di bangsal dalam.

“Ada apa?” bertanya Sri Rajasa kepada kedua puteranya.

Sebelum Tohjaya mengatakan maksudnya, Anusapati lelah mendahuluinya, “Ampun ayahanda. Sejak kemarin sore, guru kami berdua tidak datang ke arena latihan.”

“He. Sejak kemarin sore?”

“Hamba ayahanda. Jadi terhitung dua kali latihan dengan pagi ini.”

“Apakah kau tidak tahu sebabnya?”

“Tidak ayahanda. Adinda Tohjaya sudah memerintahkan kepada pengawalnya untuk mencarinya. Tetapi tidak dapat diketemukan.”

“Benar begitu Tohjaya?” bertanya Sri Rajasa.

“Hamba ayahanda. Pengawal itu sudah mencari ke rumah isteri-isterinya. Tetapi tidak diketemukannya.”

“Baiklah. Nanti aku akan membicarakannya dengan kalian. Sekarang aku akan menghadiri paseban di bangsal dalam.”

Anusapati mengerutkan keningnya. Ia tidak dipanggil oleh ayahanda untuk menghadiri paseban, Hal yang demikian itu sering sekali terjadi, sehingga jarak antara Putera Mahkota dengan para pemimpin pemerintahan dan para Panglima semakin lama menjadi semakin jauh.

Hanya di dalam paseban besar saja ia selalu hadir sebagai Putera Mahkota. Padahal, apabila Sri Rajasa itu cukup dekat dengannya, ia dapat menyampaikan keinginannya untuk hadir pula di setiap paseban, meskipun kecil dan khusus bagi pemimpin-pemimpin tertinggi di Singasari.

Tetapi ia tidak dapat mengutarakan maksudnya itu. Dan kini, dengan memaksa diri ia hanya dapat menyampaikan masalah ketidak hadiran pelatihnya saja.

Sepeninggal Sri Rajasa kedua puteranya itu-pun kembali ke bangsal masing-masing, dengan kesan yang berbeda-beda pula.

Tohjaya yang kemudian pergi menghadap ibunya, merasa heran pula akan sikap Anusapati. Ia tidak pernah mendahuluinya, menyampaikan sesuatu kepada Sri Rajasa. Tetapi tiba-tiba saja kini ia seakan-akan menempatkan dirinya benar-benar sebagai seorang saudara tua.

Sedang Anusapati sendiri, merasa bahwa sudah sewajarnya ia mengambil sikap. Ia tidak dapat terus-menerus berada di bawah bayangan adiknya. Adik seayah namun berbeda ibu.

“Barangkali karena kesalahanku sendirilah, maka ayahanda menjadi lebih dekat dengan adinda Tohjaya,” katanya di dalam hati. Meskipun demikian, mulutnya masih terasa terbungkam juga ketika ia akan mengatakan masalah-masalah yang lain dari masalah gurunya yang sudah dua kali tidak hadir didalam latihan-latihan itu.

Namun demikian, kegelisahan masih saja selalu mencengkamnya. Kadang-kadang ia memaksa diri untuk melupakannya. Tetapi setiap kali bayangan tubuh prajurit itu selalu mengikutinya.

Di tengah hari, Anusapati dan Tohjaya telah dipanggil oleh Ayahanda Sri Rajasa, setelah Sri Rajasa selesai dengan sidangnya.

Kepada mereka berdua ditanyakannya apakah pelatih mereka benar-benar tidak datang hari ini.

“Aneh sekali,” desis Sri Rajasa, “prajurit itu harus dicari dan dibawa menghadap.”

“Hamba ayahanda,” Tohjayalah yang menyahut, karena Anusapati masih juga ragu-ragu untuk merebut kesempatan pada pembicaraan itu. “Hamba sudah memerintahkan pengawal hamba untuk mencarinya.”

Sri Rajasa mengangguk-anggukkan kepalanya. Tohjaylaah yang kemudian menceriterakan bagaimana mereka menunggu sampai jemu. Tetapi pelatih itu tidak juga datang.

“Aku akan memerintahkan untuk mencarinya,” berkata Sri Rajasa, “tunggulah kalian di tempat kalian masing-masing.”

Kedua putera Sri Rajasa itu-pun kemudian meninggalkan ayahanda Sri Rajasa kembali ke tempat masing-masing. Bayangan-bayangan yang kadang-kadang sangat menggelisahkan masih belum juga dapat dihapuskan dari dada Anusapati.

Di sore hari, ketika Anusapati berada di halaman bangsalnya, ia melihat seorang juru taman membersihkan batang-batang bunga disudut-sudut dinding, di pinggir jalur jalan di halaman dan di sekitar bangsalnya.

Anusapati perlahan-lahan mendekatinya. Kemudian ia berkata kepada juru taman itu, “Sampai saat ini, masih belum ada perkembangan keadaan apa-pun paman. “

“Hamba tuanku,” jawab juru taman yang tidak lain adalah Sumekar itu, “tetapi siang tadi tuanku Tohjaya telah datang ke taman menemui kami, juru taman.”

“Apakah kepentingannya?”

“Tuanku Tohjaya bertanya, apakah tuanku Putera Mahkota benar-benar telah jatuh dari sebatang pohon sawo dan terluka dipundaknya?”

Dada Anusapati berdesir mendengarnya. Ternyata Tohjaya sedikitnya menaruh curiga juga kepadanya, meskipun menurut pengetahuan Tohjaya, Anusapati adalah murid yang bodoh, yang menurut nalar tidak akan dapat mengalahkan gurunya. Meskipun demikian, Tohjaya masih memerlukan bertanya-tanya tentang dirinya, dan tentang lukanya.

“Untunglah bahwa aku sudah membuat kesan itu,” berkata Anusapati di dalam hatinya, “kalau tidak, maka Tohjaya pasti akan mengusut lebih lanjut.”

Tetapi yang terloncat dari mulutnya adalah, “Lalu, apakah yang kalian katakan kepadanya?”

“Kami mengatakan, bahwa tuanku memang terjatuh dari pohon sawo ketika tuanku berusaha mendapatkan Jamur Kenanga.”

“Apakah ia percaya?”

“Menilik wajah dan sikapnya, tuanku Tohjaya tidak menaruh curiga apa-pun tuanku.”

“Sukurlah. Mudah-mudahan hal ini tidak berkepanjangan.”

“Mudah-mudahan. Tetapi sependengaran kami, Tuanku Sri Rajasa memang sudah memerintahkan untuk mencari prajurit yang hilang itu kemana saja.”

Anusapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia tidak bertanya apa-pun lagi.

Sumekar-pun kemudian pergi meninggalkannya, kembali ke petamanan. Sebentar lagi ia-pun akan pulang ke pondoknya, di halaman istana itu pula.

Dalam pada itu, beberapa orang prajurit yang mendapat perintah langsung dari Sri Rajasa telah menyebar di atas punggung kuda. Mereka harus mencari dan menemukan prajurit yang hilang itu. Semula mereka menyangka bahwa prajurit itu hanya sekedar mengabaikan tugasnya saja. Bahkan ada yang mengira, bahwa prajurit itu telah menemukan isteri untuk yang kesekian kalinya. Sehingga tugasnya terlupakan.

Sebagian dari mereka yang mencari prajurit yang hilang itu menyelusur dari rumah ke rumah. Tetapi mereka tidak mempunyai pengertian baik seperti pengawal Tohjaya. Ketika isteri-isterinya bertanya tentang suaminya yang sedang dicari itu, sebagian dari mereka yang mencarinya berkata terus terang, “He, apakah kau tidak tahu, bahwa kau dimadu lima belas orang.”

“Lima belas?” bertanya salah seorang dari isteri-isteri itu yang kebetulan masih cukup muda.

“Ya.”

“Bohong, kau iri ya bahwa kau tidak dapat mencari isteri secantik aku?”

“Sombong kau. Ketahuilah, bahwa kau adalah isterinya yang keduabelas.”

“Bohong, bohong.”

Prajurit-prajurit itu tidak memperhatikannya lagi. Mereka-pun kemudian memacu kuda mereka ketempat yang lain.

Prajurit yang kebetulan mencarinya ke rumah isterinya yang paling muda-pun berkata, “Kau adalah isterinya yang sudah tidak mendapat angka lagi, karena kau adalah isterinya yang kesekian kalinya.”

“Apakah kau berkata sebenarnya?”

“Ya.”

“Jadi, jadi isterinya tidak hanya seorang, aku saja?”

“Tidak.”

“Oh, apakah ia berbohong?”

“Ya, ia berbohong.”

Tiba-tiba perempuan yang masih sangat muda itu menangis melolong-lolong sehingga beberapa orang tetangganya yang mendengar datang menenteramkannya.

“Ia menipuku. Katanya ia masih jejaka. Ia tidak mempunyai isteri yang lain kecuali aku. Bahkan ia tidak mencintai siapa-pun kecuali aku. Tetapi ternyata ia sudah beristeri banyak sekali.”

“Sudahlah, tenanglah,” bisik tetangganya yang sudah agak lanjut usia. Sementara orang tua perempuan itu hanya kebingungan saja.

“Aku telah ditipunya.”

Prajurit-prajurit yang mencari guru Tohjaya itu tertegun sejenak. Dipandanginya perempuan yang masih terlampau muda itu menangis melolong-lolong. Bahkan kemudian ia menjatuhkan dirinya sambil berguling-guling.

“He, jangan begitu. Kau bukan anak-anak lagi. Kau sudah menjadi seorang isteri. Tidak pantas lagi kau menangis melolong-lolong sambil berguling-guling seperti anak-anak. Diamlah. Nanti suamimu akan segera datang.”

“Tidak. Aku tidak mau. Ia bukan jejaka lagi,” tiba-tiba saja ia bangkit, lalu berlari-lari mendapatkan para prajurit yang mencari suaminya, “siapa di antara kalian yang jejaka. Ambillah aku. Ambillah aku. Aku tidak mau lagi bersuami yang bukan jejaka.”

Seorang perempuan yang masih separo baya mendekatinya sambil membujuk, “Tenanglah. Besok aku carikan kau suami seorang jejaka.”

Tetapi ia masih tetap menangis ketika para prajurit yang mencari suaminya itu pergi.

Ternyata bahwa prajurit-prajurit yang memencar itu tidak ada yang dapat menemukannya. Tidak pula ada orang yang dapat memberikan petunjuk, kemana ia pergi, karena tidak ada seorang-pun yang melihatnya keluar dari istana. Setiap prajurit yang pada beberapa hari terakhir bertugas telah ditanya, jikalau mereka melihat prajurit pelatih kedua putera Sri Rajasa itu keluar. Tetapi mereka hanya menggelengkan kepalanya saja sambil menjawab, “Kami tidak melihatnya.”

Sri Rajasa-pun kemudian menerima laporan itu dengan herannya. Sebelumnya tidak ada tanda-tanda apapun, bahwa ia akan lari dari istana. Tidak ada perselisihan dan Sri Rajasa-pun tidak sedang marah kepadanya, yang mungkin menumbuhkan ketakutan. Tohjaya-pun tidak dan Anusapati bagi prajurit pelatih itu sama sekali tidak masuk hitungan, karena Anusapati sama sekali tidak berpengaruh apapun.

Karena itu, kepergian prajurit itu tanpa pamit, telah menumbuhkan kecurigaan dikalangan istana, Baik Sri Rajasa, mau-pun Tohjaya, menganggap bahwa hal itu adalah hal yang aneh sekali.

“Ayahanda,” berkata Tohjaya. “sepengetahuan hamba, orang yang paling tidak sesuai di seluruh istana ini dengan prajurit itu adalah Kakanda Anusapati. “

“Tetapi apakah yang dapat dilakukan oleh Anusapati? Kau tahu sendiri, betapa dangkalnya ilmu yang telah dimilikinya, dan betapa lambannya ia menerima tuntunan dari gurunya itu.”

“Mungkin ia meminjam tangan orang lain untuk mencelakai prajurit itu.”

Sri Rajasa menggelengkan kepalanya, “Prajurit itu mempunyai ilmu yang cukup. Selain para Panglima, agaknya tidak mudah untuk mengalahkannya. Apalagi ia hampir tidak pernah beranjak dari istana. Bahkan tidak seorang-pun yang melihatnya keluar dari halaman. Biasanya, kalau ia pulang ke rumah, para penjaga regol pasti melihat bahkan menegurnya. Tetapi kali ini, tidak seorang-pun yang menyaksikannya.”

“Apakah mungkin ia keluar halaman tidak melalui pintu dan regol?”

“Apakah kepentingannya berbuat begitu? Ia bukan buronan, bukan pula tahanan. Ia orang bebas, bahkan berkedudukan baik sebagai guru putera Raja Singasari. Apa salahnya ia melalui regol yang mana-pun juga? Tidak akan ada seorang-pun yang dapat menghalanginya.”

Tohjaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi perasaan curiga masih saja hinggap di hatinya atas Anusapati, meskipun menurut nalar ia tidak akan dapat menuduhnya bahwa ia telah melakukan suatu kejahatan atas gurunya dengan cara apa-pun juga.

“Baiklah,” berkata Sri Rajasa, “aku akan memerintahkan untuk mencarinya. Kemana saja. Selagi masih belum terlambat. Bukankah ia hilang kira-kira sejak dua hari yang lalu?”

“Hamba ayahanda.”

“Baiklah. Kita anggap saja ia menemui persoalan yang tidak dapat diatasinya sendiri.”

“Hamba ayahanda.”

“Biarlah ia diketemukan hidup atau mati.”

Tohjaya mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak menyahut lagi.

Demikianlah maka Sri Rajasa-pun memerintah prajurit-prajuritnya untuk mencari pelatih kedua puteranya yang hilang itu.

Di seluruh sudut Singasari harus dijelajahi. Kalau perlu, akan dicarinya juga sampai ke Kediri.

Ternyata berita tentang hilangnya prajurit pelatih kedua putera Sri Rajasa itu sampai juga ke Kediri lewat para prajurit penghubung yang setiap kali pergi mondar-mandir antara kedua daerah itu.

Bagi Mahisa Agni, berita itu merupakan berita yang mendebarkan jantung. Meskipun ia tidak menunggui Anusapati, namun berita tentang Putera Mahkota itu banyak yang didengarnya. Juga tentang sikap pelatihnya yang tidak menyenangkan baginya. Yang terlampau berpihak kepada Tohjaya didalam setiap persoalan. Bahkan didalam menurunkan ilmunya-pun pelatih itu sama sekali tidak adil. Ia sama sekali tidak menganggap Anusapati sebagai muridnya. Tetapi sekedar melakukan kewajiban yang diberikan kepadanya oleh Sri Rajasa. Dan bahkan dengan sengaja ia telah menyesatkan putera Mahkota itu.

Dalam hal serupa inilah yang dicemaskan oleh Mahisa Agni. Ia tahu pasti, bahwa Anusapati mengerti apa yang telah terjadi itu. Anusapati mempunyai ilmu yang lebih tinggi dari gurunya itu. Dan sudah barang tentu Anusapati akan dapat berbuat apa saja apabila ia menghendaki.

Hilangnya prajurit itu telah menumbuhkan persoalan bagi Mahisa Agni. Ia langsung mencurigai Anusapati, bahwa ialah yang telah melakukannya karena ia tidak dapat menahan diri lagi.

Karena itu, sehubungan dengan hal yang dianggapnya cukup gawat itu, timbullah niatnya untuk kembali ke Singasari meskipun hanya beberapa saat saja. Karena itu, maka dengan beberapa orang pengiring ia telah bersiap untuk berangkat. Tetapi Mahisa Agni tidak dapat meninggalkan tata cara hubungan resminya sebagai seorang yang mendapat kekuasaan dari seorang Maharaja. Karena itu maka ia-pun telah mengirimkan seorang utusan untuk menyampaikan niatnya itu kepada Sri Rajasa.

“Beritahukan kepada tuanku Sri Rajasa, bahwa aku ingin melihat keluarga istana yang sudah lama aku tinggalkan. Aku sudah sangat rindu kepada adik dan kemenakanku.”

Ketika utusan itu menyampaikannya kepada Sri Rajasa, maka Sri Rajasa sama sekali tidak berkeberatan. Meskipun ada juga sepercik pertanyaan, kenapa justru di saat Singasari kehilangan seorang prajurit yang dekat sekali dengan keluarga Sri Rajasa, Mahisa Agni mohon ijin untuk kembali.

Tetapi Sri Rajasa kemudian menjawab kepada utusan itu, “Aku beri ia waktu sepekan.”

Mahisa Agni-pun kemudian mempergunakan waktu yang sepekan itu sebaik-baiknya. Setelah ia sampai di Singasari, ia-pun langsung menghadap Sri Rajasa untuk menyampaikan beberapa laporan tentang tugasnya dan keinginannya untuk menengok keluarga istana Singasari.

“Baiklah,” berkata Sri Rajasa, “dan kedatanganmu tepat pada saat kami sedang mencari seorang prajurit yang hilang.”

“Hilang? “ ulang Mahisa Agni yang pura-pura tidak mendengar berita itu.

“Ya. Prajurit itu adalah guru kemenakanmu.”

“Bagaimana mungkin tuanku?”

“Itulah yang aneh.”

Mahisa Agni hanya mengangguk-anggukkan kepalanya saja.

“Hal yang hampir tidak mungkin,” berkata Sri Rajasa, “bahkan kami sudah sampai pada kemungkinan prajurit itu dibunuh dengan diam-diam. Tetapi kami tidak menemukan mayatnya atau kuburnya di halaman istana ini.”

Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya. Sejenak ia berdiam diri seolah-olah sedang merenungi kata-kata Sri Rajasa itu. Namun ia justru menjadi semakin pasti, bahwa Anusapati lah yang telah melakukannya.

“Kini kami sedang berusaha,” berkata Sri Rajasa, “beberapa orang petugas telah menyebar ke seluruh sudut Singasari. Bahkan aku akan memerintahkan kepadamu mencarinya di daerah Kediri. Tetapi kemungkinan untuk menemukannya di luar Singasari sangat kecil. Ia sama sekali tidak mempunyai persoalan apa-pun selain menjalankan tugasnya dan mengurus isterinya yang jumlahnya lebih dari lima belas.”

“Lima belas,” Mahisa Agni mengulang. Kini ia benar-benar menjadi heran. Sama sekali bukan sekedar berpura-pura.

“Ya.”

“Kalau begitu,” Mahisa Agni mengerutkan keningnya, “apakah tidak mungkin bahwa suatu saat ia tersangkut masalah mengenai isteri-isterinya itu? Atau barangkali isteri orang lain.”

“Masalah perempuan maksudmu?”

“Hamba tuanku.”

Sri Rajasa tidak segera menjawab. Namun lambat laun kepalanya terangguk-angguk kecil. Katanya, “Memang mungkin sekali. Tetapi bagaimana mungkin ia hilang begitu saja. Tidak seorang-pun yang melihatnya keluar dari istana pada hari itu.”

“Mungkin suatu kekhilafan. Sebelum ada persoalan, maka tidak ada orang yang memperhatikannya. Mungkin pada saat ia lewat, perhatian para petugas sedang tercengkam oleh. sesuatu, sehingga mereka tidak memperhatikannya siapakah yang lewat itu.”

“Memang mungkin. Semuanya mungkin terjadi. Karena itu, biarlah kita tunggu. Mungkin pada suatu saat ia akan diketemukannya juga. Hidup atau mati.”

“Hamba tuanku.”

“Mudah-mudahan kau melihatnya. Terutama latar belakang dari persoalan ini. Syukurlah kalau persoalannya tidak menyangkut masalah yang penting bagi Singasari. Kalau masalahnya masalah perseorangan, penyelesaiannya tidak akan mengalami kesulitan.”

Demikianlah maka Mahisa Agni-pun kemudian berkesempatan menemui Permaisuri dan puteranya. Namun Mahisa Agni terkejut pula melihat Ken Dedes yang menjadi agak kekurus-kurusan dan berwajah murung.

Tetapi ketika Mahisa Agni datang mengunjunginya, Ken Dedes seakan-akan mendapatkan kegembiraannya kembali. Wajahnya menjadi cerah dan senyumnya mulai membayang dibibirnya.

Demikian pula Anusapati. Betapa rindunya kepada Mahisa Agni. Mahisa Agni yang dianggap sebagai pamannya sendiri dan apalagi sebagai gurunya.

Di hadapan Ken Dedes, Mahisa Agni sama sekali tidak menyentuh masalah prajurit yang hilang itu. Ia berceritera tentang tugasnya di Kediri.

“Menyenangkan sekali,” berkata Mahisa Agni, “semuanya berjalan seperti yang dikehendaki. Para petugas pemerintahan dapat menempatkan dirinya di antara para pemimpin prajurit yang sebagian besar masih didampingi oleh orang-orang Singasari.”

“Apakah orang-orang Kediri itu benar-benar bersikap baik kepada paman lahir dan batin?” bertanya Anusapati.

“Aku tidak tahu pasti. Tetapi yang kasat mata, mereka baik sekali. Mereka menyadari keadaan mereka, dan mereka sama sekali tidak bersikap bermusuhan.”

Anusapati menarik nafas dalam-dalam. Terbayang suatu hubungan yang bakal dilakukannya kelak apabila ia menggantikan Ayahanda Sri Rajasa. Tetapi pada saat itu, ia tidak lagi mempunyai seorang paman yang bernama Mahisa Agni. Ia tidak lagi mempunyai seorang kepercayaan yang dapat ditempatkannya di Kediri untuk mengawasi keadaan di daerah itu langsung.

“Paman Sumekar,” desisnya di dalam hati, “ia baik dan berilmu pula. Tetapi paman Sumekar-pun pasti sudah menjadi tua sekali.”

Tetapi Anusapati tidak mau memikirkannya lebih lanjut. Biarlah hal itu dipersoalkan besok pada saatnya.

Demikianlah maka kedatangan Mahisa Agni merupakan titik-titik air yang menyegarkan perasaan Ken Dedes yang serasa semakin lama semakin kering. Terutama karena Anusapati yang seakan-akan tidak mendapatkan tempat yang sewajarnya, meskipun ia sudah disebut Putera Mahkota.

Anusapati-pun merasa gembira sekali atas kedatangan Mahisa Agni. Namun sepercik kecemasan telah melonjak di hatinya. “Apakah kedatangan paman Mahisa Agni ada hubungannya dengan hilangnya prajurit itu?”

Di dalam kesempatan tersendiri, maka dada Anusapati-pun menjadi berdebar-debar. Ternyata dugaannya itu benar, Mahisa Agni telah mempersilahkannya duduk dekat-dekat sambil berkata, “Aku mempunyai sedikit persoalan yang akan kita bicarakan.”

Anusapati mendekat dan duduk di sisi Mahisa Agni. Namun kepalanya menunduk dalam-dalam.

“Anusapati. Biarlah kali ini aku berbicara sebagai seorang paman. Bukan sebagai seorang prajurit terhadap seorang Putera Mahkota.”

Anusapati menganggukkan kepalanya.

“Karena itu, berkatalah berterus-terang.”

Sekali lagi Anusapati mengangguk.

“Anusapati, apakah kau melihat prajurit yang hilang itu? Bukankah ia pelatihmu?”

Dada Anusapati menjadi berdebar-debar karenanya. Sajenak ia menatap mata pamannya. Namun kemudian kepalanya itu-pun menunduk pula.

“Kau harus menjawab Anusapati.”

Kepala Anusapati terangguk-angguk lemah. “Aku mengerti paman.”

“Nah, katakanlah apa yang kau ketahui tentang prajurit itu. Seluruhnya. Apakah kau bersedia.”

Anusapati menjadi ragu-ragu sejenak. Kepalanya yang tunduk masih juga tunduk, sedang dadanya terasa menjadi semakin berdebar-debar.....
“Apakah kau berkeberatan?” desak Mahisa Agni.

Anusapati menggelengkan kepala, “Tidak paman,” jawabnya. “Aku akan menceriterakan apa yang aku ketahui.”

“Untuk kepentinganmu, aku akan merahasiakan apa yang tidak sepantasnya didengar oleh orang lain.”

Anusapati mengangguk kecil. Kemudian, dengan nada yang dalam diceriterakannya apa yang telah terjadi, sebelum peristiwa itu hingga beberapa saat kemudian. Diceriterakannya bagaimanakah sikap prajurit itu terhadapnya, kata-katanya yang menyakitkan hati dan usahanya untuk menyesatkannya.”

“Kau kemudian mendendamnya?”

Anusapati menjadi ragu-ragu sejenak. Kemudian perlahan-lahan kepalanya terangguk kecil. Namun ia berkata, “Tetapi pembunuhan itu benar-benar tidak aku rencanakan lebih dahulu. Aku sama sekali tidak sengaja melakukannya. Bahkan aku merasa bahwa aku kurang hati-hati malam itu. Ternyata bahwa ia melihat aku keluar dari istana dan mengikutinya.”

Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya. “Ya, agaknya kau memang kurang berhati-hati. Tetapi apakah kau tidak mendapat kesempatan untuk menghindarinya?”

“Aku menjadi bingung paman,” jawab Anusapati. “kalau aku menghindarinya, apakah jawabku kelak, seandainya orang itu kemudian mengatakannya kepada ayahanda Sri Rajasa?”

“Jadi bagimu jalan satu-satunya adalah membunuhnya?”

“Saat itu aku menjadi bingung sekali. Aku tidak mempunyai kawan untuk berbincang. Sebelum aku sempat menemui paman Sumekar, aku harus sudah mengambil keputusan.” suara Anusapati menurun, “memang ada juga niat untuk membunuhnya. Tetapi aku selalu diliputi oleh keragu-raguan. Disaat terakhir aku ingin menghindarinya. Tetapi semua sudah terlanjur dan prajurit itu terlempar ke dalam jurang. Mati.”

Mahisa Agni termenung sejenak. Ia percaya bahwa Anusapati sudah mengatakan apa yang sebenarnya terjadi. Anusapati tidak saja mengatakan peristiwa itu sendiri, tetapi juga persoalan-persoalan yang bergelut di dalam hatinya.

“Anak itu tidak dapat memilih,” berkata Mahisa Agni didalam hati, “ia benar-benar berada di dalam kesulitan.”

“Paman,” tiba-tiba Anusapati berdesis ketika Mahisa Agni masih tetap berdiam diri, “apakah aku bersalah? Dan apakah paman akan mengadukannya kepada Ayahanda Sri Rajasa?”

Mahisa Agni tidak segera menjawab. Dipandanginya mata anak muda itu. Terasa dadanya berdesir ketika ia melihat setitik air membayang dibiji mata yang sayu itu.

Mahisa Agni menjadi terpaku sesaat. Sekilas justru seakan-akan terbayang di mata anak muda itu wajah ayahnya. Akuwu Tunggul Ametung. Akuwu yang telah merampas Ken Dedes dari padepokan Panawijen bersama Kuda Sempana.

Betapa bencinya Mahisa Agni kepada Akuwu Tunggul Ametung saat itu. Tetapi kini ia tidak dapat lagi membencinya. Apalagi kalau ia melihat keadaan anak laki-laki Akuwu itu yang kini seakan-akan tersia-sia.

“Apakah anak ini yang harus menanggung hukuman karena kesalahan ayahnya? Tetapi bukankah dengan demikian ibunya-pun akan menderita batin pula?” pertanyaan itu tiba-tiba saja telah menyentuh hati Mahisa Agni.

Karena Mahisa Agni masih diam Anusapati-pun bergumam. “Barangkali aku memang bersalah.”

Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Anusapati. Aku tidak akan mengatakannya kepada siapa-pun setelah aku mendengar ceriteramu. Aku tahu, bahwa kau tersudut dalam kesulitan saat itu. Kesalahanmu justru terletak pada ketidak hati-hatianmu. Hal itulah yang kemudian menumbuhkan persoalan yang tidak dapat kau hindari.”

Anusapati mengangkat wajahnya sejenak. Dari sela-sela bibirnya ia berdesis, “Terima kasih paman.”

“Sudahlah. Aku kira kau tidak akan dicurigai lagi, karena Sri Rajasa menganggap bahwa kau tidak akan dapat melakukannya.”

“Tetapi Adinda Tohjaya?”

“Bagaimana dengan Tohjaya?”

Anusapati-pun menceriterakan pula, bagaimana Tohjaya bertanya kepada para juru taman tentang dirinya.

Mahisa Agni-pun mengangguk-angguk pula. Katanya, “Tetapi hal itu dapat kau lupakan. Meskipun demikian sebaiknya kita menunggu apakah prajurit yang mati itu dapat diketemukan.”

“Paman,” berkata Anusapati kemudian, “apakah paman dapat membawa prajurit yang mencarinya ke tempat itu?”

“Maksudmu?”

“Paman berpura-pura ikut mencarinya. Kemudian paman menemukannya.”

Mahisa Agni menggelengkan kepalanya. Jawabnya, “berbahaya Anusapati. Memang dengan demikian kita akan segera tahu, apakah yang akan terjadi sesudah mayat itu diketemukan. Tetapi bukankah dengan demikian akan menumbuhkan pertanyaan, kenapa tiba-tiba saja akulah yang menemukannya? Kenapa aku mencarinya ke sana? “

Anusapati mengerutkan keningnya.

“Berbeda kalau orang lain yang menemukannya. Seandainya ada kecurigaan juga kepada orang itu, orang itu sama sekali tidak berhubungan dengan kau.”

Anusapati menundukkan kepalanya sambil berdesis, “Ya paman.”

“Karena itu, biarlah kita menunggu saja. Tetapi aku menduga bahwa hal ini tidak akan berkepanjangan. Meskipun mayat itu kelak diketemukan, penyelidikan tentang hal itu akan terhenti.”

“Mudah-mudahan paman. Tetapi aku sendiri kadang-kadang selalu dikejar oleh perasaan yang aneh.”

“Lain kali berhati-hatilah. Pertimbangkan semua tindakanmu baik-baik.”

Anusapati menganggukkan kepalanya. Meskipun ia sama sekali tidak dapat melepaskan diri dari kegelisahan yang selalu mencengkamnya. Bahkan kadang-kadang terbayang dirongga matanya, prajurit yang terbaring mati itu masih sempat juga meneriakkan namanya pada saat ia diketemukan.

Namun kehadiran Mahisa Agni di Singasari banyak memberikan ketenteraman padanya. Betapa kecemasan dan kegelisahan selalu membayanginya apabila tidak ada seorang-pun yang kadang-kadang dapat memberikan harapan-harapan. Yang ada setiap hari dan yang paling dekat padanya adalah Sumekar. Tetapi Sumekar adalah sekedar seorang juru taman, meskipun kadang-kadang Sumekar dapat menghiburnya juga.

“Aku tidak dapat mencegah tuanku Putera Mahkota,” berkata Sumekar pada suatu saat kepada Mahisa Agni ketika mereka berkesempatan bertemu selagi Mahisa Agni berjalan-jalan di taman bersama Anusapati, “tetapi aku kira tidak akan ada alasan yang dapat menjerat tuanku Putera Mahkota.”

“Ya, aku kira demikian,” sahut Mahisa Agni, lalu katanya kepada Anusapati, “nah, bukankah pamanmu Sumekar juga berpendapat demikian.”

Anusapati menganggukkan kepalanya.

Ketika juru taman yang lain mendekatinya, maka Mahisa Agni-pun kemudian bertanya tentang berbagai macam bunga yang ada didalam taman itu.

“He, inikah juru taman yang baru itu?” bertanya Mahisa Agni kepada juru taman yang lain, yang telah lebih lama berada di taman istana Singasari dari Sumekar.

“Ya tuan. Juru taman itu masih baru.”

“Tetapi agaknya ia memahami benar-benar jenis-jenis tetumbuhan.”

“Agaknya begitu tuan. Ia mengenal jenis bunga Arum Dalu yang tahan sampai sepekan.”

“Ceplok piring?”

“Tidak tuan, memang sejenis Arum Dalu,” jawab juru taman yang lama, “warnanya agak kekuning-kuningan.”

“Aku belum pernah melihatnya.”

“He, apakah kau tidak ingin menunjukkan bunga itu Kepada tuan Mahisa Agni dan tuanku Putera Mahkota?” bertanya juru taman itu kepada Sumekar.

Sumekar menganggukkan kepalanya, “Baiklah apabila tuan-tuan kehendaki.”

“Dimana kau tanam bunga itu?”

“Disudut taman ini, di sebelah pohon Soka merah. Di antara batang Pacar kuning dan Pati Urip.”

“Marilah, aku ingin melihatnya.”

Ketiganya-pun kemudian pergi ke sudut taman. Dengan demikian mereka mendapat kesempatan berbicara lebih banyak lagi tanpa dicurigai oleh seorang-pun termasuk juru taman yang lain.

Demikianlah mereka kemudian mendekati batang Arum Dalu yang kekuning-kuningan itu. Tetapi sebenarnya pohon itu sama sekali tidak menarik perhatian Mahisa Agni.”

Meskipun tampaknya mereka berdiri mengitari batang Arum Dalu itu, namun mereka sama sekali tidak mempercakapkannya. Yang mereka bicarakan adalah persoalan-persoalan yang menyangkut Putera Mahkota itu.

“Memang kadang-kadang keadaan Putera Mahkota sangat sulit. Pada suatu saat, ketika tuanku Tohjaya membuka latihan di arena disaksikan oleh para pemimpin dan Panglima, aku menjadi sangat cemas. Aku berkesempatan melihat latihan terbuka itu dari kejauhan. Untunglah bahwa tuanku Putera Mahkota dapat mengendalikan diri, sehingga akhir dari latihan terbuka itu tampak memberikan keseimbangan di antara keduanya, meskipun tuanku Putera Mahkota tetap dikalahkannya.”

“Ya, agaknya sejak itu gurunya menjadi curiga.”

“Mungkin. Tetapi Sri Rajasa tidak, ia sama sekali tidak mencurigai tuanku Putera Mahkota.”

“Karena tuanku Sri Rajasa tidak melihat setiap latihan yang dilakukan oleh kedua puteranya, sehingga ia tidak dapat membuat perbandingan. Disangkanya memang demikianlah keadaan mereka berdua. Apalagi menurut Anusapati, Tohjaya pernah mengatakan kepadanya, bahwa Sri Rajasa berpesan agar kemenangan Tohjaya tidak terlampau menyolok di dalam latihan itu, meskipun maksud Tohjaya untuk memperkecil kekecewaannya.”

“Ya, demikianlah.”

“Juga para panglima, Mereka tidak tahu hari-hari latihan biasa.”

Sumekar mengangguk.

“Tetapi pelatih itu mengetahuinya. Ia mengerti bahwa keseimbangan yang terjadi bukanlah keseimbangan yang dilihatnya sehari-hari. Dan hal itu terasa juga oleh Tohjaya sendiri, sehingga besar atau kecil, ia mencurigai Anusapati pula atas hilangnya gurunya. Terbukti ia menanyakan luka di pundak itu kepada para juru taman.” Sumekar mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Karena itu adi Sumekar,” berkata Mahisa Agni, “aku titipkan Anusapati kepadamu. Berilah ia peringatan-peringatan apabila perlu. Bahkan peringatan yang keras sekalipun. Bukankah kau tidak berkeberatan Anusapati?”

“Tentu tidak paman.”

“Baiklah. Kini, tinggalkanlah kami adi Sumekar. Supaya tidak menumbuhkan berbagai pertanyaan bagi para juru taman yang tidak begitu senang kepadamu.”

“Pada umumnya para juru taman baik kepadaku. Mereka tidak akan mencurigai aku. Entahlah para prajurit pengawal diregol itu.”

Sumekar-pun kemudian minta diri. Ditinggalkannya Mahisa Agni dan Anusapati di dekat batang Arum Dalunya. Seperti seorang juru taman yang tidak mempunyai kepentingan-kepentingan yang lain Sumekar-pun segera pergi menunaikan pekerjaannya.

Dalam pada itu, tepat setelah Sumekar meninggalkan Anusapati Tohjaya beserta kedua pengawalnya-pun masuk pula kedalam taman. Sambil mengerutkan keningnya ia memandangi Mahisa Agni dan Anusapati. Kemudian sambil tersenyum dibuat-buat ia berkata, “Selamat bertemu paman. Sudah lama aku tidak melihat paman.”

Mahisa Agni memandanginya sejenak. Kemudian ia-pun tersenyum sambil melangkah mendekatinya diikuti oleh Anusapati, Mahisa Agni menyahut, “Aku sudah beberapa hari berada di Singasari.”

“Aku sudah mendengar dari ayahanda. Tetapi bukankah baru, sekarang kita bertemu?”

“Ya. Dan bagaimana dengan angger selama ini?”

“Baik paman. Baik sekali. Aku dan kakanda Anusapati selalu berlatih bersama di bawah pimpinan seorang guru. Tetapi sayang, guru kami itu tiba-tiba telah hilang.”

“Syukurlah,” Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya, “mudah-mudahan Anusapati tekun mengikuti latihan-latihan. Agaknya ia termasuk anak yang malas.”

Tohjaya tertawa. Dipandanginya Anusapati yang berdiri di sisi Mahisa Agni, “Kakang Anusapati adalah murid yang rajin. Bahkan seorang murid yang cepat sekali menerima ilmu yang diberikan kepadanya. Ternyata bahwa kakang Anusapati di dalam latihan terbuka yang pernah diadakan, tidak terpaut banyak dari padaku.”

“O,” Mahisa, Agni mengerukan keningnya, “kalau yang kalah masih dipuji ketrampilannya menerima ilmu serta kerajinannya, bagaimana dengan yang menang?”

Tohjaya terdiam sejenak. Namun kemudian ia-pun tertawa, “Ah, bukan maksudku menyombongkan diri. Aku hanya ingin mengatakan bahwa Kakanda Anusapati bukan seorang murid yang malas.”

Mahisa Agni berpaling ke arah Anusapati sejenak. Katanya, “Mudah-mudahan kata Angger Tohjaya itu benar.”

“Aku selalu mencoba paman,” desis Anusapati.

“Tetapi sayang sekali,” sahut Tohjaya, “selagi kita mulai maju dengan latihan-latihan yang agak berat, guru kami itu hilang begitu saja.”

“Pada saatnya ia akan dapat diketemukan.”

“Mudah-mudahan paman.”

“Dan kalian akan segera melanjutkan latihan-latihan.”

“Selama ini kami tidak berbuat apa-apa, selain mempelajari ilmu kesusastraan dan tata pemerintahan. Tetapi apabila hal itu tidak diimbangi dengan ilmu kanuragan, maka kemampuan kami kelak tidak akan sempurna.”

Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya, “Tepat sekali. Keduanya memang harus berkembang. Badaniah dan rokhaniah. Ilmu tata lahir dan ilmu pikir serta kasampurnan langgeng. Apakah manfaatnya kita memiliki kesempurnaan lahiriah tetapi tanpa persiapan menjelang hari-hari abadi dihadapan Yang Maha Agung? Apakah kita akan merasa bahagia dengan semua yang kita miliki, tetapi tanpa memiliki jaminan bahwa kita akan dapat bersatu dengan Yang Maha Agung itu?”

Tohjaya mengerutkan keningnya.

“Kalau kita hanya sekedar disilaukan oleh kebutuhan badaniah termasuk penguasaan ilmu tata bela diri tanpa penyediaan bekal buat hari langgeng kita, maka yang ada di dunia ini hanyalah kesewenang-wenangan, kedengkian dan kebatilan. Bahkan pendewaan atas kekuasaan yang dilandasi oleb kekuatan lahiriah.”

Tohjaya mengerutkan keningnya. Ia tidak segera menanggapi kata-kata Mahisa Agni. Namun kemudian ia menganggukkan kepalanya sambil berkata, “Tepat paman. Tepat sekali. Itulah sebabnya kita kadang-kadang harus membaca kitab-kitab suci yang memuat ajaran-ajaran serta tuntunan-tuntunan kasampurnan.”

“Bukan sekedar membaca ngger, tetapi bagaimana dengan ungkapan bacaan itu didalam hidup kita sehari-hari.”

“Ya, ya.” Tohjaya mengangguk-anggukkan kepalanya, tetapi hal serupa itu sebaiknya dibicarakan didalam kesempatan yang khusus. Aku senang berbicara tentang hal ini. Mungkin pada suatu saat paman mempunyai waktu yang terluang. Mungkin ayahanda senang pula berbicara tentang masalah itu.”

“Tentu. Ayahanda akan senang sekali. Pada perjumpaanku yang pertama kali dengan Tuanku Sri Rajasa, maka yang kita bicarakan pertama kali adalah hubungan kita dengan Yang Maha Agung, Ayahanda Sri Rajasa pasti masih ingat.”

“Jadi, paman sudah lama mengenal ayahanda?”

“Sejak kita masih remaja.”

“Dimana?”

Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Masa yang sudah jauh sekali berada di belakang kita. Tidak ada yang menarik untuk dibicarakan. Seperti pada umumnya perjumpaan. Suatu ketika angger akan berjumpa dengan seseorang yang sebelumnya belum pernah angger jumpai dan angger kenal. Perjumpaan yang sama sekali tidak kita sangka-sangka mungkin akan mempunyai akibat yang jauh sekali.”

“Maksud paman?”

“Sepasang suami isteri misalnya. Mungkin mereka tidak pernah menyangka bahwa mereka pada suatu saat akan bertemu untuk kemudian menjadi suami isteri.”

Tohjaya mengerutkan keningnya. Ia tidak begitu mengerti maksud Mahisa Agni, tetapi ia agak malu untuk bertanya. Karena itu maka ia hanya sekedar mengangguk-anggukkan kepala.

“Ah. aku terlampau banyak berbicara,” berkata Mahisa Agni, “mungkin angger mempunyai kepentingan di taman ini? Bukankah sebelah dinding istana lama ini ada juga taman yang lebih baik?”

“Bukan lebih baik paman, tetapi lebih luas. Itulah sebabnya aku datang kemari. Untuk mengurus taman yang begitu luas aku memerlukan juru taman yang ahli. Juru taman yang ada di sana adalah juru taman yang bodoh dan malas. Kalau di sini ada kelebihan juru taman yang baik, aku jakan meminjamnya barang satu dua pekan untuk memberikan tuntunan kepada juru taman di petamanan sebelah.”

Dada Anusapati berdesir mendengar permintaan itu. Ia menjadi curiga, bahwa Tohjaya sekedar akan menyelidiki keadaannya selama juru taman itu ada di petamanan sebelah. Bukan saja Anusapati, tetapi Mahisa Agni-pun menduga demikian pula. Adalah mustahil bahwa juru taman yang ada di petamanan sebelah sama sekali tidak dapat berbuat apa-apa atas petamanannya, dan hal itu baru disadari sekarang.

Namun demikian Mahisa Agni menjawab, “Aku kira hal itu tidak akan menimbulkan keberatan apapun. Tetapi semuanya terserah kepada Angger Anusapati. Apakah ia akan mengatakannya kepada Ibunda Permaisuri dahulu, atau barangkali Anusapati sendiri dapat memutuskannya.”

“Tentu Ibunda Permaisuri,” jawab Anusapati.

“Tetapi tidak untuk seterusnya,” sahut Mahisa Agni, “hanya untuk sepekan dua pekan. Aku kira hal itu tidak usah kau sampaikan kepada Ibunda Permaisuri. Tetapi setelah dua pekan orang itu benar-benar harus kembali ke petamanan ini.”

“Tentu paman,” berkata Tohjaya kemudian, “selama itu, juru taman tersebut akan memberikan banyak pengetahuannya kepada juru tamanku.”

Anusapati menjadi termangu-mangu sejenak.

“Aku kira tidak akan ada keberatan apapun,” berkata Mahisa Agni kemudian. Lalu, “juru taman yang manakah yang kau kehendaki?”

“Sudah tentu juru taman yang paling baik.”

Anusapati masih ragu-ragu. Namun Mahisa Agni yang menjawab, “Sebaiknya kau panggil juru taman yang memimpin kawan-kawannya disini. Nanti kita bertanya saja kepadanya.”

Anusapati menganggukkan kepalanya meskipun ia masih juga ragu-ragu. Namun bukan saja Anusapati, tetapi juga Tohjaya mengerutkan keningnya. Ada sesuatu yang terasa tidak sesuai dengan perasaannya.

Sejenak kemudian maka seorang juru taman yang tua telah datang menghadap. Sambil duduk bersimpuh ia bertanya. “Ampun tuanku, apakah yang harus hamba lakukan untuk tuanku.”

Anusapati masih juga ragu-ragu. Namun kemudian ia berkata, “Paman, Adinda Tohjaya memerlukan seorang juru taman yang paling baik disini untuk sepekan saja.”

“Untuk apa tuanku?”

“Ia harus memberikan tuntunan kepada juru taman di taman sebelah, karena juru taman yang ada disana menurut Adinda Tohjaya ternyata kurang baik.”

Juru taman yang tua itu mengangguk-angguk.

“Nah, siapakah juru taman yang terbaik disini?”

Juru taman itu menjawab, “O, sudah tentu juru taman yang baru saja menunjukkan tuanku bunga Ceplok Piring, eh, maksudku bunga Arum Dalu itu.”

Anusapati menarik nafas dalam-dalam. Orang itu adalah Sumekar.

Namun Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya sambil berkata, “Panggil orang itu kemari.”

Sejenak kemudian Sumekar sudah menghadap. Mahisa Agni lah yang memberitahukan kepadanya bahwa Tohjaya memerlukan seorang juru taman yang paling baik.

“Aku kira memang kau yang dapat menunjukkan kepada juru taman di sebelah, bagaimana kau mencangkok pohon-pohon perdu, pohon buah-buahan dan lain-lainnya. Kau dapat menempel, merundukkan dan memilih biji-bijian.”

Sumekar mengangguk kecil, “Tetapi itu-pun hanya sekedarnya tuanku. Hamba bukan seorang yang sebenarnya dapat melakukan hal itu.”

Anusapati tidak mengatakan sesuatu, selain memandang Sumekar dan Mahisa Agni berganti-ganti.

“Apakah ia dapat aku bawa sekarang?” bertanya Tohjaya.

“Kalau Anusapati tidak berkeberatan?”

Anusapati menganggukkan kepalanya, “Baiklah. Tetapi tidak lebih dari sepekan. Dengan demikian aku tidak usah menyampaikannya kepada Ibunda Permaisuri.”

“Sepekan itu sudah cukup. Marilah,” berkata Tohjaya, “ikutlah aku.”

Sumekar-pun kemudian membenahi pakaiannya. Sekilas ia memandang wajah Mahisa Agni dan Mahisa Agni-pun mengangguk kecil.

Sepeninggal Tohjaya yang diikuti oleh Sumekar, maka Anusapati menjadi termangu-mangu. Tetapi Mahisa Agni kemudian berkata, “Marilah kita pergi.”

Setelah minta diri kepada juru taman, maka keduanya-pun meninggalkan petamanan itu. Anusapati masih saja termangu-mangu oleh kecurigaannya.

“Kau curiga?” tiba-tiba Mahisa Agni menebak perasaannya.

“Ya paman.”

“Sumekar adalah orang yang tepat.”

“Kenapa justru paman Sumekar?”

“Sumekar tidak akan dapat diperas dengan cara apa-pun. Ia juga tidak akan dapat disuap untuk mengatakan kelemahan-kelemahan yang ada padamu. Kau mengerti? Sedang aku tidak mempercayai orang lain. Dengan ancaman dan mungkin dengan suapan-suapan, orang lain akan mengatakan, seandainya mereka mengetahui sekelumit saja dari kelemahan-kelemahan yang ada padamu.”

“Tidak seorang-pun yang mengetahuinya.”

“Itu lebih baik. Tetapi Sumekar lebih dapat dipercaya.”

Anusapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Pendapat pamannya itu memang benar. Mungkin ada satu atau dua orang juru taman yang melihatnya dalam pakaian yang kurang wajar, atau sikapnya, dan barangkali, juga kadang-kadang ia kurang hati-hati apabila ia pergi meninggalkan istana di malam hari, karena juru taman itu pada umumnya tinggal di seputar halaman istana.

“Kau mengerti maksudnya?”

“Ya paman. Aku mengerti sekarang. Memang sebaiknya paman Sumekar. Kita-pun akan dapat mengetahui apa, yang dilakukan oleh Adinda Tohjaya itu dengan juru taman yang dimintanya. Setiap malam ia akan kembali ke pondoknya.”

“Jangan tergesa-gesa. Jangan hubungi Sumekar, sebelum ia selesai sama sekali. Mungkin Tohjaya mempunyai pengawas-pengawas yang dapat mencurigai kau dan Sumekar.”

Anusapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia mengerti betul maksud pamannya, sehingga ia tidak lagi menjadi ragu-ragu melepaskan Sumekar.

Dalam pada itu waktu yang diberikan kepada Mahisa Agni-pun menjadi semakin pendek. Terasa betapa berat perasaannya, untuk meninggalkan Singasari. Apalagi ibunya, emban pemomong Ken Dedes, sudah menjadi semakin tua dan lemah. Meskipun emban itu sudah dibebaskan dari segala macam tugasnya yang berat, namun perempuan tua itu sendirilah yang masih selalu melakukan tugasnya, melayani Ken Dedes seperti ia melayani dimasa kanak-anaknya.

Kadang-kadang Mahisa Agni merasa dirinya bersalah terhadap ibunya. Kenapa ia tidak dapat berterus terang kepada orang-orang di sekelilingnya, bahwa ia adalah anak emban itu? Kanapa ia harus tetap berpura-pura menganggap perempuan yang melahirkan itu sebagai seorang emban, sedang ia mendapat pangkat yang setinggi-tingginya di Kediri?

Tetapi ketika hal itu dikatakannya kepada ibunya, maka perempuan tua itu tersenyum, “Bukan salahmu Agni. Apalagi aku merasa paling sesuai di sini, di dekat tuanku Permaisuri. Kalau di sini aku merasa tidak tenteram, dan kau membiarkan aku dalam keadaan itu, nah, barulah kau seorang anak yang berdosa kepada ibunya. Tetapi kau tidak. Kau menempatkan aku sekarang di tempat yang paling aku senangi, yang memberi aku ketenteraman yang sesuai dengan jiwaku. Itu sudah cukup. Dan kau sudah berbuat sebaik-baiknya untuk ibumu.”

Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Ibu, keadaan ibu sangat berbeda dengan tingkat kehidupanku di Kediri. Aku mendapat apa saja yang aku inginkan, seandainya aku mau. Ibu-pun akan mendapat apa yang ibu ingini.”

Perempuan itu masih juga tersenyum, “Aku sudah mendapat apa yang aku ingini. Apakah yang lebih baik buat seseorang dari ketenteraman dan kedamaian hati. Orang dapat mencari ketenteraman dan kedamaian hati di tengah-tengah harta yang berlimpah-limpah agar ia merasa hidupnya dan keluarganya akan terjamin di sepanjang umur mereka. Ada orang yang merasa mendapatkan ketenteraman dan kedamaian hati di atas pangkat dan derajat, sebab dengan demikian tidak seorang-pun yang akan mengganggunya. Biarlah mereka berusaha untuk mendapatkan yang mereka ingini. Tetapi aku sudah mendapatkan. Ketenteraman dan kedamaian hati. Di tempat ini, di dekat momonganku itulah aku mendapat ketenteraman dan kedamaian hati yang tidak akan dapat ditukas dengan apa-pun juga.”

Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Kau dapat mengerti Mahisa Agni?”

“Ya ibu, aku mengerti.”

“Karena itu, jangan cemaskan aku. Kalau sampai waktunya kau harus kembali, kembalilah ke Kediri. Aku sudah merasa mapan tinggal disini sebagai emban pemomong tuanku Permaisuri Ken Dedes, karena aku sudah melayaninya sejak kanak-anak.”

Mahisa Agni hanya dapat menarik nafas dalam-dalam. Memang lebih baik bagi ibunya untuk tetap tinggal di Singasari. Tetapi ia tidak dapat menyingkirkan perasaannya, seolah-olah ia hidup dalam tataran yang jauh berbeda dari ibunya. Ia seorang wakil Mahkota di Kediri dan ibunya sekedar seorang emban di Singasari.

Namun demikian Mahisa Agni tidak dapat berbuat sesuatu, apalagi karena ibunya sendiri tidak menghendakinya.

Dalam pada itu, prajurit-prajurit yang mendapat perintah untuk mencari pelatih kedua Putera Sri Rajasa masih saja berusaha menemukannya di segala tempat. Tempat-tempat yang selama ini tidak pernah dijamah tangan manusia-pun dijelajahinya untuk menemukannya. Tetapi sampai sedemikian jauh, tidak seorang-pun yang berhasil.

Tetapi sehari sebelum Mahisa Agni menghabiskan waktunya di Singasari ternyata seisi istana, bahkan hampir seluruh Singasari menjadi gempar. Dua orang prajurit yang kebetulan berjalan menyelusuri sebatang sungai dapat menemukan sesosok mayat yang hampir tidak dapat dikenal lagi. Namun akhirnya mereka yakin bahwa mayat itu adalah mayat yang mereka cari.

Tanpa menyentuh mayat itu lebih dahulu, kedua prajurit itu-pun segera melaporkannya bahwa mereka telah menemukan sesosok mayat.

Sri Rajasa-pun kemudian segera mengirim beberapa orang perwira tertinggi Singasari untuk melihat kemungkinan-kemungkinan apakah yang telah terjadi pada prajurit itu. Dan bahkan Tohjaya-pun menyatakan untuk ikut serta melihat gurunya yang telah meninggal itu.

“Sebaiknya kau ikut pula Anusapati,” berkata Mahisa Agni.

Anusapati merenung sejenak. Lalu, “Baiklah paman Kita akan ikut. Dan apakah paman akan ikut serta pula?”

“Ya, kita akan menghadap Sri Rajasa, dan mohon diperkenankan ikut di dalam rombongan itu. Kau mempunyai hak yang sama seperti Tohjaya, sedang aku akan mempergunakan pengaruhku atas Sri Rajasa.”

Akhirnya keduanya-pun ikut pula untuk menentukan, apakah sebabnya maka prajurit pelatih kedua Putera Sri Rajasa itu meninggal di dalam jurang.

Sejenak kemudian maka serombongan kecil perwira dan prajurit Singasari-pun pergi mengikuti kedua orang prajurit yang telah berhasil menemukan mayat di dalam jurang itu.

Dengan teliti para prajurit Singasari itu-pun mengamat-amati keadaan di sekelilingnya. Mereka masih menemukan pedang prajurit itu di dalam sarungnya. Ketika seorang perwira menarik pedang itu, dilihatnya bahwa pedang itu masih tetap bersih.

Seorang perwira yang lain melihat segumpal batu padas yang pecah dibibir jurang dan beberapa bongkah berserakan di sekitar mayat itu.

“Aneh,” desis Mahisa Agni, “tampaknya seperti sebuah kecelakaan.”

Kawan-kawannya mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi mereka masih tetap bertanya-tanya, kenapa prajurit itu sampai ketempat itu?

Tohjaya yang ikut serta di dalam rombongan itu-pun mencoba melihat keadaan di sekitarnya dengan teliti. Tetapi ia tidak menemukan tanda-tanda yang dapat menunjukkan keadaan yang lain dari sebuah kecelakaan.

“Apakah pendapat tuanku?” bertanya seorang prajurit kepadanya.

Tohjaya menggeleng-gelengkan kepalanya, “Aku tidak dapat mengatakan apa-apa. Aku tidak melihat tanda-tanda yang dapat menuntut kepada suatu dugaan yang lain.”

Perwira prajurit itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian ia mendekati Anusapati yang berdiri di samping Mahisa Agni, “Apakah pendapat tuanku?”

Anusapati menggelengkan kepalanya pula. Meskipun dadanya terasa berdentangan, namun ia menjawab seperti Tohjaya menjawab, “Aku-pun tidak melihat tanda-tanda apa-pun yang menunjukkan suatu keadaan selain sebuah kecelakaan.”

“Ya. Agaknya kita berkesimpulan demikian,” berkata perwira prajurit itu, “tetapi kenapa prajurit ini datang kemari? Pertanyaan inilah yang membuat kita menjadi pening.”

“Ya, kenapa ia datang kemari?” ulang Anusapati, “tempat ini barangkali memang tidak pernah dijamah seseorang. Daerah ini daerah yang sangat sulit dan sepi.”

Perwira prajurit itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Kepada Mahisa Agni ia berkata, “Akhirnya kita hanya dapat mengambil kesimpulan bahwa prajurit ini telah mengalami kecelakaan.”

“Kita sependapat,” jawab Mahisa Agni. “tetapi sejauh mungkin kita akan mencari jawab, kenapa ia ada disini.”

Perwira itu menggeleng-gelengkan kepalanya, “Untuk sementara kita tidak akan dapat menjawab. Kecuali kalau kita menemukan sesuatu yang dapat memberi kita petunjuk. Tetapi yang ada hanyalah mayat ini. Kalau terjadi sesuatu, maka ia pasti akan membela dirinya. Sedangkan pedangnya masih berada disarungnya.”

“Kecelakaan atau pengkhianatan,” desis Tohjaya tiba-tiba.

Semua orang berpaling kepadanya, “Adalah mustahil sekali guru berada di tempat ini tanpa sebab. Mungkin ia telah terpancing oleh sesuatu kemudian di pinggir jurang ini ia didorong tanpa sempat melakukan pembelaan diri.”

“Ya, itu-pun mungkin sekali,” sahut Mahisa Agni, “tetapi pertanyaan yang serupa masih harus dijawab, “Kenapa kemari? Kalau ia terpancing, apakah yang telah memancingnya kemari? Dan apakah alasannya?”

Tohjaya mengangguk-anggukkan kepalanya, “Semuanya, memang serba gelap.”

Sekali lagi rombongan itu mencoba melihat-lihat keadaan di sekitarnya. Kemudian mereka memutuskan untuk membawa mayat itu kembali dan memakamkannya sebagaimana seharusnya seorang prajurit.

“Laki-laki ini terlampau mudah jatuh cinta,” desis salah seorang perwira, “menurut pendengaranku isterinya sampai lebih dari sepuluh orang. Apakah ada hubungannya dengan keadaannya kini?”

“Maksudmu, prajurit itu mengejar atau mengikuti seorang perempuan?” bertanya perwira yang lain.

“Ya begitulah.”

“Hanya hantu-hantu perempuan yang berkeliaran di tempat seperti ini.”

Perwira yang pertama-pun kemudian berdiam diri. Memang tidak ada alasan untuk dapat mengatakan bahwa seorang perempuan telah datang ketempat ini.

Setelah mayat prajurit itu diletakkan di atas sebuah usungan dan ditutup dengan kain, maka rombongan itu-pun siap untuk kembali keistana.

“Kita naik tebing,” berkata perwira yang ditugaskan antuk memimpin rombongan itu, “lihat, tebing disebelah agak landai dan agaknya memang mungkin dipanjat.”

Rombongan itu-pun kemudian merangkak naik keatas tebing. Dengan hati-hati mereka yang membawa usungan itu-pun naik setapak demi setapak. Sekali-sekali mereka bertukar tempat dan berganti orang, karena tangan-tangan mereka telah basah oleh keringat dan kepala mereka telah pening oleh bau yang hampir tidak tertahankan.

Dalam pada itu, Anusapati masih saja selalu berdebar-debar. Ditempat inilah ia selalu naik dan turun apabila Ia pergi ketempat ini untuk berlatih. Batu-batu yang sekarang dipijaknya itu pulalah yang selalu dipijaknya pula dimalam hari bersama-sama dengan Sumekar yang kini sedang dipinjam oleh Tohjaya. Tetapi agaknya tidak seorang-pun dari rombongan itu yang dapat melihat bekas-bekasnya, bahwa kadang-kadang ada juga seseorang yang datang ketempat itu.

Guguran-guguran batu padas ditebing yang dikenal oleh Anusapati atau Sumekar dengan tangannya, sama sekali tidak menarik perhatian. Tampaknya batu itu memang pecah oleh cuaca yang berubah-ubah atau sama sekali sudah tidak berbekas lagi. Ketika mereka naik sampai keatas, Anusapati-pun masih juga berdebar-debar. Yang diperhatikannya terutama adalah Tohjaya. Agaknya ia benar-benar sedang mencari sesuatu untuk memecahkan teka-teki tentang kematian prajurit itu.

Setelah beberapa hari, ternyata bekas-bekas perkelahian antara Anusapati dan prajurit itu-pun sudah tidak begitu jelas lagi. Apalagi, tebing yang landai tidak tepat berada dibagian yang beberapa hari yang lalu rusak karena injakan kaki-kaki mereka yang sedang berkelahi.

“Kita lihat bibir jurang ini, darimana prajurit itu terjatuh,” desis Tohjaya.

Dada Anusapati berdesir mendengarnya. Kalau masih ada sedikit saja bekas-bekas perkelahian itu, maka pasti akan menumbuhkan kecurigaan pada setiap anggauta rombongan ini.

Rombongan itu-pun kemudian berhenti. Sejenak mereka saling berpandangan. Kemudian pemimpin rombongan-pun menganggukkan kepalanya.

“Baiklah,” katanya, “kita akan melihat, apakah ada tanda-tanda yang dapat memberi beberapa petunjuk buat kita.”

Mereka-pun kemudian berbelok sedikit menuju kepinggir jurang, tepat di atas prajurit itu tergelincir di pinggir jurang.

Yang berjalan di paling depan adalah Mahisa Agni. Dibelakangnya adalah pemimpin rombongan, diikuti oleh Tohjaya, yang berjalan bersama Anusapati, kemudian para perwira dan prajurit. Mereka menurut saja kemana Mahisa Agni berjalan tanpa menghiraukan rerumputan yang mereka injak-injak dengan kaki mereka.

Mahisa Agni-pun kemudian berhenti beberapa langkah di bibir jurang. Ia-pun kemudian mengamat-amati tempat itu bersama setiap orang di dalam rombongannya.

Tetapi yang mereka lihat, justru adalah bekas-bekas kaki mereka sendiri di atas batang-batang ilalang yang patah-patah.

Hanya Mahisa Agni dan Anusapati sajalah yang memperhatikan, beberapa batang ilalang yang sudah kekuning-kuningan berhamburan di bawah kaki mereka, karena mereka mengetahui, bahwa selagi prajurit itu mencari Anusapati, ia sudah mengayun-ayunkan pedangnya dan memotong batang-batang ilalang itu, yang kini sudah menjadi kuning kering. Apalagi injakan-akan kaki mereka sendiri, seolah-olah telah menghapuskan segala macam jejak hampir sempurna.

“Tidak ada yang menarik perhatian,” berkata pemimpin rombongan.

Beberapa orang perwira dan prajurit yang lain-pun menganggukkan kepalanya. Salah seorang dari mereka berkata, “Ya, memang tidak ada tanda-tanda yang dapat menunjukkan sesuatu.”

Tohjaya yang mencoba mengamati keadaan itu dengan saksama berkata, “Aneh sekali. Daerah ini sama sekali bukan tempat tamasya atau daerah perburuan. Kenapa ia dapat datang ketempat ini dan terjerumus kedalam jurang? “

“Ya tuanku. Itulah yang menjadi teka-teki bagi kita selama ini,” jawab pemimpin rombongan.

“Tidak ada orang yang tanpa alasan yang kuat datang ketempat ini,” sambung Anusapati.

“Hamba tuanku Putera Mahkota. Kita berhadapan dengan suatu teka-teki yang sukar untuk dipecahkan.”

Mahisa Agni-pun kemudian berkata pula, “Kita harus bekerja keras untuk dapat memecahkan teka-teki ini. Kita sama sekali tidak menemukan petunjuk apapun.”

Meskipun orang-orang lain di dalam rombongan itu menganggukkan kepalanya namun Mahisa Agni-pun menjadi berdebar-debar. Ia melihat beberapa batang pohon perdu yang patah bekas irisan senjata tajam. Kalau salah seorang dari mereka melihatnya, maka mereka-pun akan segera menarik kesimpulan, bahwa di tempat itu telah dipergunakan sejenis senjata yang tajam.

Untunglah, bahwa justru karena mereka seolah berdesakan di tempat itu, mereka tidak sempat memperhatikannya. Apalagi para prajurit yang mengusung mayat prajurit yang meninggal itu, agaknya menjadi gelisah sekali oleh bau yang tajam.

“Marilah kita meneruskan perjalanan ini,” berkata pemimpin rombongan itu.

Rombongan itu-pun kemudian melanjutkan perjalanannya kembali ke istana. Tetapi ketika mereka mendekati kota, pemimpin rombongan itu berkata, “Kita menunggu gelap. Mayat itu akan sangat mengganggu. Jika kita masuk kota selagi kota sedang ramai, maka akan segera menumbuhkan masalah yang dapat mengganggu ketenangan. Di dalam keadaan damai sekarang ini, masalah semacam ini dapat menjadi masalah yang terasa menggetarkan jantung.”

“Bagus sekali,” sahut Mahisa Agni. Dan ia-pun memuji ketrampilan berpikir perwira pemimpin rombongan itu.

Dengan demikian, maka rombongan yang membawa mayat prajurit itu memasuki istana ketika malam telah menjadi kelam. Jalan-jalan telah menjadi sunyi dan pintu-pintu rumah sudah tertutup rapat.

Namun demikian, masih ada juga satu dua orang yang tinggal di tepi jalan bertanya di antara mereka, “He, apakah aku mencium bau sesuatu yang tajam?”

“Ya. Aku juga.”

Tetapi sejenak kemudian bau itu sudah hilang dari lingkungan mereka.

Rakyat Singasari tidak melihat kapan mayat itu dibawa keistana. Namun dihari berikutnya mereka mendengar bahwa mayat prajurit itu akan dimakamkan dari istana, sambil menunggu masa pembakaran.

Hal itu agaknya telah memberikan kesempatan kepada Mahisa Agni untuk menunda kepergiannya kembali ke Kediri untuk beberapa hari. Hanya utusannyalah yang mendahuluinya dan memberi tahukan bahwa perjalanan Mahisa Agni tertunda beberapa lama.

“Anusapati,” berkata Mahisa Agni pada suatu saat, “sejak sekarang kau harus benar-benar berhati-hati. Agaknya Tohjaya masih saja menaruh kecurigaan atasmu. Meskipun seandainya ia tidak menuduh kau sendiri yang melakukan pembunuhan itu, tetapi kau telah mempergunakan orang lain. Namun agaknya ia tidak dapat menemukan bukti apapun. Karena itu, kau harus selalu menjaga dirimu. Untuk beberapa lama kau tidak usah pergi dahulu bersama pamanmu Sumekar sampai keadaan menjadi reda. Kalau setiap orang sudah mulai melupakan peristiwa ini, barulah kau mulai lagi berlatih dan menyempurnakan latihanmu. Sementara ini kau dapat berlatih di dalam istana, bahkan di dalam bilikmu.”

Anusapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia sadar apakah yang harus dilakukannya. Memang didalam bilik yang sempit-pun ia dapat meningkatkan kemampuannya. Dengan pasir yang dipanasi, ia dapat mepertinggi daya tahan kulitnya. Ia dapat menekan pasir panas itu dengan telapak tangannya, menghunjamkan jari-jarinya masuk kedalamnya dan kemudian seluruh lengannya. Dan sudah tentu embannya akan sanggup membantunya.....

“Kau masih harus menunggu Sumekar,” berkata Mahisa Agni kemudian, “apa saja yang sudah dilakukan di petamanan sebelah. Kelak kau akan mengetahui, apa saja yang ingin diketahui oleh Tohjaya tentang dirimu.”

Anusapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia memahami benar-benar maksud pamannya. Selama ini ia memang merasa bahwa Tohjaya selalu mencurigainya.

Meskipun selama berada di Singasari Mahisa Agni tidak dapat membawa Anusapati untuk menunjukkan kemampuannya selama ditinggalkannya ke Kediri, namun di dalam suatu kesempatan Mahisa Agni masih juga dapat mengukur serba sedikit, bagaimana Putera Mahkota itu kini. Didalam bilik yang tertutup, Mahisa Agni dan Anusapati sempat juga mengukur kekuatan. Sambil berjabat tangan mereka menyalurkan kekuatan masing-masing ketelapak tangan.

Ketika wajah Anusapati kemudian menjadi pucat, maka berkatalah Mahisa Agni, “Lepaskan perlahan-lahan.”

Keduanya mengurangi tekanan kekuatan masing-masing sehingga akhirnya tangan itu terlepas sama sekali.

“Kau memang maju Anusapati,” berkata Mahisa Agni kemudian, sementara Anusapati duduk dengan keringat yang terperas dari tubuhnya. Nafasnya menjadi terengah-engah dan telapak tangannya serasa menjadi pipih.

“Nafasku hampir putus,” desisnya.

Mahisa Agni tersenyum, “berlatihlah terus Anusapati. Pasir yang dipanasi itu-pun baik pula. Tetapi ayunan kekuatan di udara terbuka, tanpa pengekangan apa-pun juga, akan sangat bermanfaat. Tetapi kau harus sangat berhati-hati sejak saat ini. Kalau seseorang melihat kau keluar, maka Tohjaya pasti akan menghubungkannya dengan hilangnya prajurit itu.”

“Ya paman. Aku akan mencoba mendapatkan kesempatan yang sebaik-baiknya. Tanpa menimbulkan kecurigaan apa-pun di kalangan istana.”

“Kalau kau salah langkah, maka semuanya akan gagal. Kau adalah Putera Mahkota, yang kelak akan menggantikan kedudukan Sri Rajasa. Kegoncangan kedudukanmu akan menggoncangkan Singasari. Ini harus kau sadari. Berbeda dengan Tohjaya. Ia adalah pribadinya sendiri. Meskipun mungkin ia ingin mendapat kedudukan seorang putera Mahkota pula, tetapi jarak menuju kepadanya sangat jauh. Kau masih mempunyai beberapa orang adik yang lahir dari ibumu pula. Merekalah yang lebih berhak atas tahta dari Tohjaya.”

Anusapati mengangguk-anggukkan kepalanya. “Ya paman.”

Tetapi jawaban itu tidak meyakinkan Mahisa Agni. Namun Mahisa Agni tidak bertanya lebih lanjut. Anusapati sadar, bahwa perlakuan Sri Rajasa terhadap adik-adiknya, baik yang lahir dari Ken Dedes, mau-pun dari Ken Umang, pada umumnya berbeda dengan perlakuan atas dirinya. Ini-pun merupakan teka-teki yang masih belum terpecahkan baginya. Tetapi tidak seorang-pun yang mau membantunya mencari rahasia dari perbedaan sikap itu. Setiap orang selalu menghindar. Pamannya Mahisa Agni-pun tidak mau mengatakan apapun juga tentang hal itu. Bahkan diam-diam ia menemui emban tua pemomong ibunya, yang diduganya banyak mengetahui tentang dirinya. Tetapi emban tua itu hanya menggelengkan kepalanya sambil berkata, “Ampun tuanku Putera Mahkota, hamba tidak tahu apa-pun mengenai diri Tuanku, selain bahwa Tuanku adalah Putera Mahkota Singasari yang lahir dari ibunda Permaisuri Ken Dedes. Tuanku adalah putera Sulung dari Tuanku Sri Rajasa Maharaja di Singasari.”

Dan jawaban-jawaban yang serupa didengarnya pula dari para hamba istana yang tua-tua. Dari juru taman sampai kepada juru dang di dapur istana.

Ketika datang saatnya, hari-hari terakhir dari kesempatan yang didapat oleh Mahisa Agni untuk tinggal di Singasari, maka waktu-waktu itu dipergunakannya sebaik-baiknya untuk memberikan petunjuk dan nasehat kepada Anusapati.

“Pergunakan segala kesempatanmu sebaik-baiknya. Kitab-kitab yang kau pinjam dari Sumekar adalah kitab-kitab yang baik. Pelajarilah semua isinya. Kalau kau masih mempunyai waktu, bacalah kitab-kitab yang tersimpan digedung perbendaharaan. Kau dapat meminjam kitab-kitab yang berharga yang tersimpan sejak jaman Akuwu Tunggul Ametung.”

“Apakah paman mengenal Akuwu Tunggul Ametung?”

“Ya, serba sedikit.”

“Kenapa Kebo Ijo membunuh Akuwu itu?”

“Aku tidak tahu pasti,” jawab Mahisa Agni.

“Menurut dugaan paman?”

“Pada waktu itu, sidang ketujuh pimpinan di Tumapel tidak menemukan jawaban yang tepat untuk menyebut alasan pembunuhan itu. Karena itu, aku-pun tidak dapat mengatakannya.”

“Menurut paman pribadi?”

“Aku berada jauh dari istana. Aku tidak mengetahuinya sama sekali.”

Sekali lagi Anusapati gagal mencari jalan untuk mendapatkan keterangan tentang dirinya. Meskipun ia sudah melingkar lewat jalan yang paling jauh-pun, Mahisa Agni agaknya sudah menduga, bahwa akhirnya ia akan bertanya tentang dirinya.

Agaknya, Mahisa Agni dapat menebak apa yang tersirat didalam hatinya. Karena itu maka katanya, “Tuanku Putera Mahkota, jangan selalu digelisahkan oleh bayangan-bayangan yang dapat menumbuhkan khayalan-khayalan yang menyesatkan. Berdirilah di atas kenyataan tuanku sekarang. Hamba tidak dapat mengatakan yang lain, kecuali Tuanku adalah putera Mahkota.”

“Ah paman.”

Mahisa Agni menepuk pundaknya, “Jangan terlampau banyak berkhayal Anusapati. Bukan kebiasaan yang baik buat anak-anak muda. Kau harus melihat dunia ini. Bukan dunia yang lain di dalam mimpi atau di dalam angan-anganmu.”

Anusapati menganggukkan kepalanya.

“Ingat-ingatlah. Yang kau hadapi adalah duniamu ini, bukan khayalan dan angan-angan. Dunia ini pula yang dapat mendera kau ke dalam kesulitan, bahkan ke dalam bahaya yang mengancam jiwamu.”

Anusapati masih belum menyahut selain mengangguk-anggukkan kepalanya. Kadang-kadang ia mengerutkan keningnya dan kadang-kadang menarik nafas dalam-dalam.

Dalam pada itu Mahisa Agni berkata pula, “Perhitungkan sebaik-baiknya masalah-masalah yang kau hadapi. Ingat, kau berada di dalam suatu lingkungan yang buram. Kau tidak dapat melihat jelas keadaan yang sebenarnya di sekitarmu. Kalau pada suatu saat kau ragu-ragu, ajaklah pamanmu Sumekar berbincang. Tetapi itu-pun kau harus berhati-hati.”

Anusapati mengangguk. Jawabnya, “Baik paman. Aku akan selalu mengingat-ingat pesan paman.”

“Jagalah perasaan ibumu baik-baik. Kau jangan menambah menggelisahkan perasaannya. Kau mengerti?”

“Ya paman.”

“Dan aku masih ingin menitipkan seorang lagi kepadamu. Kau tahu bahwa ibumu mempunyai seorang pemomong? Seorang emban yang telah tua?”

“Ya paman.”

“Emban tua itu adalah pemomong ibumu sejak ia kanak-anak. Kau mau ikut serta menjaganya?”

“Ya paman.”

“Kalau ada apa-apa dengan perempuan tua itu, tolong, mintalah kepada prajurit penghubung atas ijin Sri Rajasa beritahukan hal itu kepadaku.”

Anusapati mengerutkan keningnya.

“Apakah kau heran bahwa aku menaruh perhatian begitu besar kepada emban tua itu?”

Anusapati tidak menjawab.

“Emban itu adalah emban yang sangat baik kepada ibumu dan kepadaku sejak kami masih kanak-anak. Kau mengerti?”

“Ya paman.”

“Aku juga sudah berpesan kepada ibunda, tuan Puteri Ken Dedes, agar berusaha memberitahukan kepadaku semua perkembangan yang terjadi atasnya.”

“Baik paman.”

Dan Mahisa Agni masih banyak lagi meninggalkan pesan, tuntunan dan petunjuk-petunjuk. Bahkan Mahisa Agni sempat pula memberikan nama-nama kitab yang baik untuk dibaca. Yang banyak memberi petunjuk tentang olah pikir, ilmu kasampurnan batin dan berbagai segi hidup badaniah dan rohaniah.

“Kitab adalah guru yang paling sabar dan baik buat seseorang. Ia tidak pernah marah meskipun seandainya kau minta ia mengulang terus-menerus. Ia tidak akan jemu seandainya kau tidak segera mengerti maksudnya. Dan ia akan bersedia melayanimu kapan saja kau kehendaki tanpa batas waktu. Siang, sore, malam dan pagi.” pesan Mahisa Agni kepada Putera Mahkota.

Dan Anusapati-pun menyadarinya, bahwa dari kitab-kitab itu ia akan banyak mendapat ilmu pengetahuan dan pendalaman tentang hidup dan kehidupan.

Demikianlah, akhirnya Mahisa Agni-pun harus meninggalkan Singasari dengan berbagai macam perasaan. Ternyata Singasari banyak menyimpan masalah baginya. Persoalan yang menyangkut Anusapati, Ken Dedes dan ibunya yang menjadi semakin tua dan lemah. Sikap Tohjaya yang penuh curiga, prajurit dan para hamba istana yang tidak dapat dipercaya lagi, dan masih banyak lagi.

Tetapi di saat-saat terakhir agaknya Anusapati sudah menjadi semakin dewasa, sehingga ia sudah banyak mempunyai pertimbangan yang cukup masak. Dengan hadirnya Sumekar di istana, terasa beban Mahisa Agni agak berkurang.

Sepeninggal Mahisa Agni, Anusapati kembali merasa sepi dan asing di rumah sendiri. Bahkan dengan adik-adik seibunya, ia tidak begitu rapat bergaul, karena adik-adiknya selalu dekat pula dengan ayahanda Sri Rajasa di bangsal yang terpisah.

Lambat laun, perasaan asing itu-pun terasa menjadi semakin mencekiknya. Bahkan kemudian ia menganggap bahwa dirinya memang sengaja dipisahkan dari keadaan di sekitarnya.

Demikianlah setelah sepekan lewat dari saat Sumekar diminta untuk membantu di petamanan sebelah. Anusapati lalu mengharapkannya segera kembali. Tetapi sampai pada hari kesepuluh, Anusasapati masih belum melihat Sumekar di petamanannya.

“Apakah yang terjadi?” bertanya Anusapati di dalam hati.

Di saat-saat yang demikian Anusapati benar-benar merasa terpencil. Merasa sendiri di dalam lingkungan yang ramai dan bahkan pusat perhatian seluruh kerajaan Singasari. Dalam keadaan yang demikian, ia kadang-kadang datang menghadap ibunya. Namun setiap kali, ia merasa, telah membuat ibunya semakin berduka.

“Hidupku memang merupakan teka-teki. Bagaimana aku tidak boleh berangan-angan. apabila aku selalu dibayangi oleh rahasia yang tidak terpecahkan?“ Anusapati bertanya kepada diri sendiri.

Tetapi, ia tidak melupakan segala pesan pamannya. Ia tidak ingin menambah ibunya menjadi semakin muram, sehingga dengan demikian, apabila ia datang menghadap ibunda, ia selalu mencoba menunjukkan kecerahan hatinya dengan menyebutkan berbagai macam ceritera dan persoalan di dalam kitab-kitab yang dibacanya.

“Kau banyak sekali membaca Anusapati?” bertanya ibunya.

“Hamba ibunda Permaisuri,” jawab Anusapati, “hamba ingin menjelajahi dunia lewat kitab-kitab yang dapat hamba temukan di bangsal perbendaharaan.”

“Bagus. Kau sudah memilih kesibukan yang tepat. Teruskanlah. Kau akan banyak mendapat bekal di kemudian kari.”

Demikianlah, maka baru pada hari kelima belas, Anusapati melihat Sumekar berada di taman. Karena itu, maka ia-pun segera mendekatinya sambil bertanya, “Baru sekarang kau dilepaskan?”

Sumekar membungkukkan kepalanya, “Hamba tuanku.”

“Kau menjadi semakin gemuk,” berkata Anusapati sambil tersenyum.

Kawan-kawannya tertawa. Tetapi seorang juru taman yang tua berkata, “Aku sudah menebak sebelumnya.”

Anusapati memandanginya sejenak. Kemudian dipandanginya juru taman yang lain yang agaknya juga ingin mendengar kata-kata juru taman yang tua itu lebih lanjut.

Bahkan Sumekar sendiri kemudian menyahut, “He, apakah benar aku menjadi semakin gemuk?”

Juru taman yang tua itu tertawa. Katanya, “Aku sudah menduga sebelumnya. Kalau kau berada di sana sebulan, maka kau akan menjadi kian langsing. Kalau setahun, kau akan kehabisan daging dan genap seumurmu, kau pasti sudah menjadi jerangkong.”

Sumekar tersenyum. Kawan-kawannya-pun tertawa berkepanjangan.

“Aku sudah pernah ikut makan bersama mereka di siang hari,” berkata juru taman yang tua itu, “rangsum mereka hanya separo dari rangsum kita disini.”

“Kau salah,” sahut Sumekar.

“He?” Bukan rangsum mereka yang separo rangsum kita disini. Rangsum mereka-pun sama banyaknya dengan rangsum kita disini. Tetapi karena disini kebiasaanmu makan dua bungkus rangsum, maka kau selalu menyangka bahwa rangsum mereka hanya separo rangsum kita di sini.”

“He, begitu?”

“Ya.”

Juru taman yang tua itu mengangguk-anggukkan kepalanya, “Mungkin kau benar. Mungkin aku memang mendapat dua bagian setiap hari di sini.”

Sekali lagi juru taman itu tertawa. Sumekar-pun tertawa pula. Sedang Anusapati tersenyum sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. Meskipun demikian, meskipun mereka sempat juga berkelakar, tetapi Anusapati tidak dapat bertanya kepada Sumekar, apa saja yang telah dialaminya di taman sebelah. Untuk itu ia memerlukan waktu tersendiri, tanpa diketahui oleh siapapun.

Anusapati hampir tidak sabar menunggu saat itu. Setiap kali ia dengan gelisah mondar-mandir di dalam bangsal. Serasa sesuatu selalu mendesak di dalam dadanya, sehingga embannya vang melihat Putera Mahkota itu gelisah, bertanya dengan hati-hati, “Ampun tuanku. Apakah yang telah menggelisahkan tuanku?”

Anusapati menarik nafas dalam-dalam. Jawabnya, “Banyak sekali bibi. Tetapi tidak apa-apa. Aku hanya tidak sabar saja menunggu sesuatu. Bukan karena hal-hal yang berbahaya bagiku.”

Embannya mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia tidak berani bertanya terlampau banyak. Jawaban itu sudah cukup baginya untuk membuatnya tidak terlampau dicengkam oleh kegelisahan Anusapati.

Emban yang setiap hari melihat perkembangan Putera Mahkota itu, merasa bahwa kadang-kadang dirinya sendiri juga selalu dilanda oleh kecemasan. Kalau Anusapati menjadi gelisah, ia juga menjadi gelisah. Kalau Anusapati menjadi bingung, ia-pun menjadi bingung juga.

Anusapati-pun menyadari, betapa embannya seolah-olah ikut serta merasakan goncangan-angan perasaannya. Yang lebih mengharukan lagi baginya adalah bahwa embannya pada mulanya adalah orang yang asing baginya, dan yang kadang-kadang berbuat sesuatu yang tidak dapat dimengertinya.

Anusapati sama sekali tidak menyadari bahwa sampai saat itu-pun embannya kadang-kadang masih harus bersikap aneh. Tetapi tidak terhadapnya. Emban itu kadang-kadang masih harus memberi tahukan beberapa masalah tentang Anusapati kepada Ken Umang. Sehingga dengan demikian peranan embannya itu sebenarnya adalah peranan yang cukup berat.

“Jangan terlampau merisaukan aku,” berkata Anusapati itu setiap kali kepada embannya, “aku memang sedang mengalami pergolakan yang kadang-kadang tajam, karena aku sedang berusaha menyempurnakan diriku dari segala segi. Lahiriah dan batiniah.”

“Hamba tuanku,” jawab embannya, “tetapi kadang-kadang tuanku memang membuat hamba cemas. Kadang-kadang tuanku tidak tidur hampir semalaman. Kadang-kadang tuanku tidak ada di tempat, dan aku tidak mengerti kemana tuanku pergi.”

“Sst,” desis Anusapati, “hanya kaulah yang mengetahui bahwa kadang-kadang aku meninggalkan bangsal ini. Tetapi aku tidak pergi jauh. Aku hanya ingin menyegarkan tubuh.”

“Sebenarnya hamba mengerti, kemana tuanku pergi meskipun tidak tepat. Itulah yang merisaukan hati hamba.”

Anusapati menarik nafas dalam-dalam. “Sudahlah. Aku sudah menjadi semakin dewasa. Bukankah kau lihat aku sekarang sudah menjadi anak muda yang dewasa?”

“Hamba tuanku.”

“Nah, sebentar lagi aku akan berubah. Aku akan menjadi semakin tenang.”

“Tuanku terlampau menyadari keadaan diri tuanku. Kadang-kadang seseorang tidak mengerti tentang dirinya sendiri apabila ia sedang berada di dalam jenjang kehidupan seperti tuanku sekarang. Tetapi agaknya tuanku dapat menguasai diri pribadi dan dapat mengerti sepenuhnya apa yang sedang terjadi atas tuanku sendiri saat ini.”

Anusapati menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Aku sering membaca kitab-kitab yang menunjukkan betapa tabiat seseorang, berkembang menurut saluran yang sewajarnya.”

Embannya mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Nah. kau seterusnya dapat melonggarkan hatimu. Aku berterima kasih kepadamu. Kau sangat baik dan memperhatikan aku seperti anakmu sendiri. Bahkan lebih dari itu.”

Emban itu tidak menyahut.

“Namun aku masih selalu mengharap kau berdoa untukku setiap saat.”

“Tentu tuanku. Hamba akan selalu berdoa. Berdoa untuk tuanku, untuk Ibunda Permaisuri dan untuk Singasari.”

Anusapati mengangguk-anggukkan kepalanya pula, “Terima kasih.”

Demikianlah, maka semakin lama Anusapati justru menjadi semakin percaya kepada embannya. Banyak rahasia yang diketahuinya tentang dirinya. Tetapi rahasia itu tetap tersimpan di dalam hatinya.

“Kalau emban itu ingin berkhianat, maka ia pasti sudah melakukannya,” berkata Anusapati di dalam hatinya.

Namun demikian, masih saja ada hal-hal yang tertutup bagi emban itu. Karena bagaimana-pun juga Anusapati masih memperhitungkan bahwa pendirian seseorang dapat saja berubah di setiap saat.

Setelah menunggu beberapa lama, maka Anusapati-pun kemudian mendapat juga kesempatan untuk bertemu dan berbicara berdua dengan Sumekar. Ketika Anusapati mengunjungi tamannya, maka ia minta diantar oleh Sumekar untuk melihat-lihat pohon Arum Dalu.

“Apakah pohon Arum Dalu dapat ditanam didekat bangsalku?” bertanya Anusapati.

“Tentu tuanku,” sahut juru taman yang lain sebelum Sumekar menjawab.

Sumekar hanya tersenyum saja melihat juru taman yang sedang menyiangi tanaman di dekat pohon Arum Dalu itu.

“Kau dapat menanamnya?” bertanya Anusapati.

“Tentu. Tetapi agaknya ada yang lebih cakap dari padaku disini,” katanya sambil memandangi Sumekar.

Sumekar masih saja tersenyum. Sedang Anusapati-pun mendekatinya sambil berkata, “Kenapa bukan kau?”

Orang itu mengerutkan keningnya. “Hamba sebenarnya juga dapat. Tetapi barangkali tangan hamba agak panas. Sehingga tangan yang dinginlah yang akan menghasilkan tanaman yang lebih baik.”

Anusapati tertawa kecil. “Sekarang, apakah yang sedang kau lakukan itu? Apakah tanganmu yang panas itu tidak akan justru mematikan batang-batang yang sedang kau pegangi?”

“Hamba tidak menyentuh tanamannya,” jawabnya.

Anusapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan tiba-tiba saja ia bertanya, “Kau mempunyai bibit pohon Kemuning?”

“Ada tuanku, ada. Di sudut itu agaknya telah tumbuh sebatang pohon Kemuning.”

“Nah, sebaiknya kau menanam sebatang lagi di sisi regol sebelah kiri sebagai imbangan batang Kemuning yang ada di sebelah kanan. Agaknya pohon Kemuning yang ditanam di sebelah kanan regol itu sudah mulai bersemi.”

“Tetapi tangan yang dingin akan lebih, baik daripadaku.”

“Marilah kita lihat. Di sebelah kanan itu ditanam oleh seorang yang kau sebut bertangan dingin. Sekarang tanamlah di sebelah kiri. Aku masih ingin meyakinkan, apakah orang yang kau anggap bertangan dingin memang menghasilkan tanaman yang lebih baik dari mereka yang kau sebut bertangan panas termasuk kau sendiri.”

“Jadi maksud tuanku?”

“Tanamlah pohon itu sekarang.”

Orang itu mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak dapat mengelak lagi.

“Hamba tuanku. Hamba akan melakukannya.”

Anusapati dan Sumekar tersenyum melihat orang itu tegak sambil menekan punggungnya.

“Heh, punggung ini rasa-rasanya akan patah.”

“Kau memang sudah menjadi semakin tua,” sahut Anusapati.

Juru taman yang melihat Anusapati berwajah cerah, menjadi semakin berani untuk berkelakar, “Hamba tuanku. Hamba memang sudah tua. Tetapi sejak hamba masih muda, hamba adalah seorang juru taman.”

“O, kalau begitu kau sudah memiliki pengalaman yang banyak sekali. Dengan demikian kau memang sangat diperlukan di petamanan ini.”

Orang itu mengerutkan keningnya. Katanya, “Maksud hamba, orang lain menjadi semakin baik kedudukannya, hamba masih saja tetap seorang juru taman. Hamba menjadi juru taman di taman ini sejak tuanku Akuwu Tunggul Ametung. Sejak tuanku Sri Rajasa masih seorang Pelayan Dalam.”

Anusapati mengerutkan keningnya.

Ketika juru taman itu melihat perubahan wajah Anusapati maka segera ia menyambung, “Maksudku, sejak lama sekali. Sejak, ya, sejak aku menjadi juru taman.”

Anusapati akhirnya justru tertawa.

“Itulah sebabnya kau tidak boleh pergi dari petamanan ini. Kau sudah mengenal petamanan ini dengan baik. Kau mengenal tabiatnya, jenis-jenis tanah dan tanaman. Bukankah begitu?”

Juru taman itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Begitulah agaknya nasib hamba. Hamba juru taman sejak muda, dan sampai hamba tidak mampu lagi bekerja, hamba tetap seorang juru taman.”

“Maksudmu, apakah kau ingin menjadi lurah Pelayan Dalam, atau menjadi Kepala Perbendaharaan?”

“Tentu tidak tuanku. Hamba tidak akan mampu menerima jabatan itu.”

“Jadi apa keinginanmu sebenarnya?”

“Keinginanku sekarang, satu-satunya adalah, istirahat.”

Anusapati tertawa. Katanya kemudian, “Agaknya kau masih malas menanam pohon Kemuning itu? Baiklah, sekarang beristirahatlah. Tetapi sore nanti, kalau matahari sudah rendah, adalah waktu yang baik sekali untuk menanam pepohonan. Jangan lupa, berilah air sebanyak-banyaknya, supaya tidak menjadi layu.”

“Baik-baik tuanku.”

“Pergilah beristirahat.”

“Sekarang?”

“Ya sekarang.”

Juru taman itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ditinggalkannya Anusapati berdua saja dengan Sumekar.

Di kejauhan seorang juru taman yang lain sedang sibuk memotong dahan-dahan kayu yang kering. Namun orang itu tidak akan dapat mendengar apa-pun apabila Anusapati kemudian berbincang dengan Sumekar.

Tempat itu justru merupakan tempat yang paling aman bagi keduanya. Pembicaraan di dalam taman itu pasti tidak akan menimbulkan kecurigaan. Juru taman yang lain pasti menganggap bahwa mereka sedang membicarakan jenis tumbuh-tumbuhan yang ada di dalam petamanan itu.

Dalam pada itu juru taman tua yang telah mendapat ijjin untuk beristirahat, justru langsung dari Putera Mahkota itu-pun kemudian duduk di bawah sebatang pohon Pacar. Betapa angin yang sejuk mengusap kepalanya perlahan-lahan seperti disaat ia masih kanak-anak dibelai oleh tangan ibunya. Dan sejenak kemudian ia-pun jatuh tertidur.

Ia terkejut ketika lurahnya membangunkannya. Sambil menunjuk dengan ibu jarinya kepada Anusapati ia berdesis, “He, apakah kau tidak tahu bahwa Tuanku Putera Mahkota ada disini? Dan kau justru malah tertidur?”

“Apakah aku tertidur?”

“Ya, kau tertidur. Cepat, bangkit dan berbuatlah sesuatu.”

“Aku sedang beristirahat.”

“Beristirahatlah kalau kau lelah. Tetapi jangan sekarang. Tuanku Putera Mahkota Anusapati ada disini sekarang.”

“Biar sajalah.”

“He, kenapa kau bersikap begitu bodoh? Kau dapat dipecat dari pekerjaanmu, dan kau tidak akan mendapat rangsum lagi.”

Juru taman yang tertidur itu menggosok matanya. Namun kemudian ia berkata, “Tidak. Aku tidak akan dipecat. Tuanku Putera Mahkota sendiri yang telah memberikan ijin kepadaku untuk beristirahat.”

“Benar begitu.”

“Ya, kalau tidak aku tidak akan berani melakukannya.”

Lurah juru taman itu mengerutkan keningnya. Tetapi ia harus percaya ketika dari kejauhan Anusapati berkata, “Aku telah memberi ijin kepadanya.”

“O, ampun tuanku,” sahut lurah juru taman itu sambil mendekat. Terbungkuk-bungkuk ia merayap maju, “hamba tidak tahu kalau tuanku berkenan memberikan ijin kepadanya.”

“Aku melihat sikapmu. Agaknya kau marah kepada juru taman yang tertidur itu.”

“Hamba tuanku.”

“Biarlah ia tidur. Tetapi nanti sore ia harus menanam sebatang pohon Kemuning di sisi regol itu.”

“Hamba tuanku.”

“Nah, sekarang lakukan tugasmu. Aku sedang membicarakan pohon Arum Dalu, pohon Pacar Kuning dan Ceplok piring. Aku memerlukannya di samping bangsalku.”

“Hamba tuanku. Tetapi apakah baunya tidak mengganggu di malam hari. Ada orang yang tidak tahan mencium bau yang terlampau wangi di malam hari.”

“Ya. Ibunda Permaisuri akan pening apabila mencium bau yang terlampau wangi dimalam hari. Misalnya bunga Arum Dalu. Tetapi aku tidak.”

“Baiklah Tuanku. Kalau begitu silahkanlah. Hamba akan melihat-lihat petamanan sayur-sayuran.”

Sepeninggal orang itu, Anusapati tersenyum sambil berkata, “Ia orang yang baik.” Lalu, “sampai dimana pembicaraan kita?”

“Kita baru mulai tuanku.”

“Ya, katakan, apa yang sudah kau alami dipetamanan sebelah.”

“Tuanku tidak usah terlampau cemas, meskipun bukan berarti bahwa tuanku dapat meninggalkan kewaspadaan.”

Anusapati mengangguk-anggukkan kepalanya, “Memang tuanku Tohjaya bertanya serba sedikit tentang tuanku. Dapat pula dikatakan, bahwa memang ada kecurigaan dan prasangka. Tetapi tuanku Tohjaya tidak yakin akan kecurigaannya sendiri.”

“Apa saja yang ditanyakannya kepadamu?”

“Kemungkinan, bahwa tuanku bersangkut-paut dengan kematian pelatih tuanku itu.”

“Apa katanya?”

“Tuanku Tohjaya bertanya, apakah tuanku sering berhubungan dengan seseorang yang tidak dikenal di dalam istana ini atau setidak-tidaknya dengan orang-orang yang pantas dicurigai meskipun orang itu hamba istana?”

“Apa jawabmu?”

“Tentu hamba menjawab, sepengetahuan hamba, tidak seorang-pun yang pernah berhubungan dengan Tuanku selain para prajurit yang memang bertugas di halaman istana ini, utusan tuanku Sri Rajasa yang menyampaikan perintah apa-pun dan para hamba istana. Juru taman, para pekatik kuda tuanku dan para emban. Terutama emban yang ada di bangsal tuanku.”

Anusapati mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Dan Tuanku Tohjaya juga bertanya, apakah tuanku sering berlatih seorang diri atau dikawani oleh siapa-pun juga.”

Anusapati tersenyum. “Pertanyaan yang tepat. Untunglah bahwa ia bertanya kepada orang yang tepat pula.”

Sumekar-pun tersenyum pula.

“Apa katamu?”

“Hamba menjawab bahwa tuanku memang sering berlatih seorang diri.”

Anusapati mengerutkan keningnya. Tetapi Sumekar berkata seterusnya, “Tuanku Tohjaya berkata, bahwa hal itu memang sudah diduganya. Tetapi tuanku Tohjaya kemudian meneruskan. “Kasihan Kakanda Anusapati. Meskipun ia sudah berlatih dengan tekun, tetapi ilmunya tidak juga dapat maju seperti yang seharusnya bagi seorang Putera Mahkota.”

Anusapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Mudah-mudahan ia tetap menganggapku demikian. Tetapi kecurigaannya itulah yang harus mendapat banyak perhatian.”

“Hamba tuanku. Keadaan tuanku selanjutnya akan menentukan, apakah kecurigaannya bertambah besar atau menjadi hilang sama sekali.”

Anusapati mengangguk-anggukkan kepalanya pula. Seolah-olah ia hendak menyatakan bahwa ia benar-benar akan berusaha untuk berbuat dengan hati-hati, agar tidak menimbulkan kecurigaan apa-pun pada Adinda Tohjaya.

“Semua kegiatan harus tuanku hentikan untuk beberapa lama agar tuanku tidak tergelincir karena kelengahan tuanku. Seperti pada saat tuanku diikuti oleh prajurit yang hilang itu, tuanku telah berbuat suatu kesalahan.”

“Ya paman. Aku akan menghentikan semua kegiatanku. Apabila keadaan sudah mereda, aku baru akan mulai lagi.”

“Begitulah. Selama ini tuanku dapat melakukan latihan di dalam ruangan tertutup. Mempergunakan alat-alat yang sederhana, namun mampu menjadi sasaran pemusatan tenaga.”

Anusapati merenung sejenak. Jawabnya kemudian, “Aku merasa bahwa aku tidak mempunyai kesempatan lain kecuali demikikan.”

“Hanya untuk sementara tuanku.”

Anusapati menarik nafas dalam-dalam. Dilontarkannya pandangan matanya ke kejauhan, ke dinding petamanan yang membatasi lingkungan yang amat sempit dibanding dengan alam yang sangat luas.

Tiba-tiba Anusapati merasa, seolah-olah ia hidup di dalam sangkar. Betapa-pun indahnya, bahkan seandainya dibuat dari emas berteretes berlian sekalipun, namun kebebasan agaknya jauh lebih berharga baginya daripada sangkar itu.

Tanpa sesadarnya ia-pun berdesah. Kepalanya perlahan-lahan menunduk, “Paman,” katanya, “apakah seseorang dapat menolak jabatan Putera Mahkota apabila ia tidak menghendakinya.”

“Apa maksud tuanku?” bertanya Sumekar dengan dahi yang berkerut merut.

“Akhirnya aku menjadi jemu. Jemu hidup di dalam keadaan seperti ini. Aku merasa seolah-olah aku tidak mempunyai kebebasan sama sekali. Aku tidak mengerti, kenapa seorang Putera Mahkota justru merasa dirinya seorang tawanan. Didalam kitab dan kidung-kidung yang pernah aku baca, Putera Mahkota di dalam suatu kerajaan mempunyai kedudukan yang hampir sama dengan kedudukan raja sendiri. Tetapi di sini aku merasa terasing. Aku jarang sekali diperkenankan menghadiri sidang-sidang istana. Apalagi pembicaraan khusus.” Anusapati terdiam sejenak. Lalu, “bagi para pemimpin Singasari aku bagaikan orang asing yang kadang-kadang saja terdampar di paseban. Justru dalam sidang-sidang yang sama sekali tidak penting.”

“Tuanku,” berkata Sumekar kemudian, “kita belum tahu, cara apakah yang ditempuh oleh Tuanku Sri Rajasa untuk menumbuhkan tuanku Putera Mahkota sehingga kelak akan menjadi seorang raja yang baik. Sampai saat ini yang tuanku terima barulah tuntunan kejasmanian. Itu saja dari seorang guru yang tidak pantas bagi seorang Putera Mahkota. Tuanku baru sedikit sekali menerima pengetahuan tata pemerintahan dan kesusastraan. Untunglah bahwa Tuanku didasari oleh ilmu yang tuanku dapat dari kakang Mahisa Agni serta pengetahuan tentang tata pemerintahan, kesusasteraan dan olah kasampurnan dari kitab-kitab yang tuanku baca. Karena itulah kita masih belum tahu pasti, apakah sebenarnya yang dikehendaki oleh tuanku Sri Rajasa. Mungkin tuanku Sri Rajasa sedang mempersiapkan suatu cara yang lain dari semua cara yang pernah tuanku temui di dalam kitab-kitab.”

Anusapati menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Aku merasa bahwa di dalam nada suaramu tidak terdapat suatu keyakinan apa-pun tentang hal itu.”

Sumekar mengangkat bahunya. Katanya, “Hamba tuanku. Hamba memang tidak mengerti, apakah yang akan dilakukan oleh tuanku Sri Rajasa atas putera-puteranya. Tetapi itu jangan membuat tuanku seolah-olah menjadi putus asa.”

“Paman,” berkata Anusapati, “aku sama sekali tidak berputus asa. Aku saat ini menganggap, bahwa barangkali aku lebih sesuai menjadi seorang rakyat biasa saja daripada menjadi seorang Putera Mahkota.”

“Tidak tuanku. Tuanku harus bercita-cita. Tuanku adalah keturunan seorang raja, sehingga cita-cita yang paling sesuai bagi tuanku adalah menjadi seorang Raja pula.”

“Tetapi aku merasa istana ini seperti sebuah sangkar raksasa bagiku. Dinding-dinding batu itu bagaikan terali-terali yang kokoh, yang membatasi aku dengan dunia. Sedang isi istana ini sendiri serasa sangat asing pula bagiku. Ayahanda, ibunda, adik-adikku dan apalagi ibunda Ken Umang. Para pemimpin pemerintahan dan para Senapati dan Panglima-pun seolah-olah tidak begitu mengenal aku, meskipun aku seorang Putera Mahkota.”

“Untuk sementara, jangan hiraukan tuanku. Kelak pada saatnya, apabila tuanku memang menunjukkan kemampuan yang melampaui orang lain, maka tuanku akan menjadi seorang Raja yang disegani.”

Anusapati menggeleng lemah. Katanya, “Aku sama sekali tidak bernafsu untuk menjadi seorang raja.”

“Jika demikian, maka usaha mereka telah berhasil. Mereka memang membuat tuanku jemu dan kehilangan gairah hidup menyongsong masa depan.”

“Siapakah yang kau maksud?”

“Tuanku Tohjaya, dan mereka yang berpihak kepadanya.”

“Benar begitu?”

“Menurut penilaian hamba memang begitu, meskipun mungkin hamba keliru.”

Anusapati mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak mengatakan apa-pun juga. Sejenak ia melihat kembang Ceplok Piring yang putih bersih sedang mekar. Kemudian bunga Arum Dalu yang mencuat dari batangnya yang rendah.

Ketika terlihat oleh Anusapati juru taman yang sedang menyiangi tanaman di sudut petamanan, maka ia-pun sadar, bahwa ia tidak boleh menumbuhkan kecurigaan orang lain. Sejenak ia berjongkok di samping batang Arum Dalu yang sedang berkembang kemudian berdiri setelah memetik bunganya beberapa tangkai.

Sejenak kemudian maka Anusapati itu-pun melangkah meninggalkan tempat itu. Sumekar mengikutinya beberapa langkah. Namun kemudian ia berhenti.

“Hamba akan tinggal di sini tuanku,” katanya.

Putera Mahkota itu berpaling, “Ya, aku akan kembali ke bangsalku.”

“Silahkanlah. Kita masih belum tahu pasti, apakah di dalam taman ini tidak ada orang yang selalu mencari persoalan apa-pun alasannya.”

“Ya, aku harus selalu mengingat akan hal itu.” Anusapati-pun kemudian meninggalkan Sumekar yang berdiri tegak sambil mengawasinya. Namun ternyata langkah Anusapati tertegun ketika ia melihat juru taman yang telah tertidur lagi. Tetapi agaknya ia telah berpindah tempat. Kini ia tidur bersandar dinding batu, di bawah pohon Soka Merah yang rimbun.

Perlahan-lahan Anusapati mendekatinya. Ketika ia menyentuh pundak juru taman itu, ia-pun terkejut bukan buatan. Sebelum Anusapati bertanya sesuatu ia telah berkata terbata-bata, “Ampun tuanku. Bukankah tuanku telah mengijinkan hamba untuk beristirahat?”

“Ya, aku sudah mengijinkan.”

“Tuanku tidak akan marah?”

“Tidak. Aku hanya akan berpesan agar kau jangan lupa memindahkan pohon Kemuning itu nanti sore. Kalau kau lupa, besok kau akan mendapat hukuman.”

“Tentu tuanku. Hamba tidak akan berani lupa.”

Anusapati mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia tersenyum.

“Baiklah. Sekarang beristirahatlah. Tetapi apabila kau sudah merasa cukup, mulailah membantu kawan-kawanmu. Kalau saatnya rangsum datang, dan kau masih juga beristirahat, maka kau tidak akan mendapatkannya.”

“Ya. ya tuanku. Hamba akan berhenti beristirahat kalau rangsum datang.”

Anusapati masih saja tersenyum. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia berkata, “jangan tidur terus menerus.”

“Hamba tuanku,” orang itu menggosok matanya.

Namun sementara itu Anusapati-pun telah meninggalkannya.

Tetapi langkah Anusapati tertegun ketika tiba-tiba saja Tohjaya bersama kedua pengawalnya sudah berdiri di muka regol taman itu.

“Apakah aku mengejutkan kakanda?” bertanya Tohjaya.

Anusapati memandangi sejenak. Jawabnya, “Ya. Aku terkejut karenanya.”

“Aku mohon maaf. Aku tidak ingin mengejutkan Kakanda Putera Mahkota.”

“Apakah maksudmu?” bertanya Anusapati.

“Tidak apa-apa kakanda. Sebenarnyalah bahwa petamanan ini lebih menyenangkan dari petamanan sebelah. Tangan-tangan yang mengerjakan memang tangan yang ahli. Beberapa hari seorang juru taman dari petamanan ini telah membantu di petamanan sebelah. Hasilnya-pun segera, tampak.”

“Ya,” sahut Anusapati sambil memandang berkeliling. Kemudian ia menunjuk kepada Sumekar yang lagi berjongkok di samping bunga Arum Dalu. “Orang itulah yang telah kau pinjam beberapa hari.”

“Ya, orang itu. Tetapi meskipun demikian aku merasa di sini masih jauh lebih meresapkan dan menyegarkan. Tata susunan petamanan ini menumbuhkan perasaan tenteram dan sejuk.”

“Ya.”

“Karena itu, maka mungkin sekali aku masih akan meminjam orang itu untuk saat-saat mendatang.”

Anusapati mengerutkan keningnya. Namun jawabnya sama sekali tidak disangka-sangka oleh Tohjaya, “Tergantung kepada kepentingan taman ini. Kalau ia tidak mempunyai pekerjaan disini, baiklah. Tetapi kalau di petamanan ini sedang banyak pekerjaan, tentu aku tidak akan dapat mengijinkan.”

Jawaban itu telah membuat Tohjaya menjadi heran. Anusapati biasanya tidak berani menyanggah keinginannya. Tetapi kini sikapnya menjadi jauh berbeda.

“Kenapa Kakanda Anusapati tidak mengijinkannya?“ Tohjaya bertanya.

“Tergantung kepada keadaan. Kalau aku sendiri memerlukannya, tentu aku tidak meminjamkan kepada orang lain.”

“Tetapi apakah juru taman itu mengabdi kepada Kakanda Anusapati? Bukankah ia hamba istana, hamba Ayahanda Sri Rajasa.”

“Kalau kau tahu akan hal itu, kenapa kau meminjamnya kepadaku?”

“Ia bekerja disini. Meskipun tidak resmi, tetapi dinding batu ini seolah-olah merupakan batas antara dua bagian dari Istana Singasari. Daerah ini adalah daerah yang diperuntukkan bagi Ibunda Permaisuri, sedang daerah yang berada disisi dinding ini adalah daerah yang seolah-olah diperuntukkan bagi Ibunda Ken Umang. Bukankah begitu?”

“Ya.”

“Tetapi sudah tentu tidak dengan seluruh hamba yang ada di seberang menyeberang dinding. Mereka tetap hamba istana. Hamba Sri Rajasa.”

“Kalau begitu kenapa kau minta kepadaku?”

Tohjaya tidak segera menjawab. Sikap ini bukan kebiasaan sikap Anusapati. Karena itu Tohjaya justru menjadi agak bingung menghadapinya.

Meskipun Sumekar masih tetap berjongkok di samping bunga Arum Dalu, namun ia dapat mendengarkan sebagian dari percakapan itu. Karena itu, maka dadanya menjadi berdebar-debar. Ia mengerti, bahwa hati Anusapati yang setiap saat seakan-akan selalu tertindih oleh berbagai perasaan yang ter tahan di dalam dadanya, kadang-kadang ingin meledak. Kalau Anusapati tidak pandai menahan diri, maka akibatnya akan merugikan dirinya sendiri.

Karena itu, maka perlahan-lahan Sumekar berdiri sambil terbatuk-batuk. Kemudian sambil menjinjing sebatang bibit Arum Dalu ia berjalan mendekati kedua anak-anak muda yang sedang berbicara semakin lama semakin tegang itu.

“Ampun Tuanku Putera Mahkota,” berkata Sumekar yang pura-pura tidak tahu apa yang mereka percakapkan, “hamba telah mengambil bibit Arum Dalu ini. Apakah hamba dapat menanamnya sekarang di samping pintu bangsal tuanku?”

Anusapati mengerutkan keningnya. Namun ketika terpandang olehnya tatapan mata Sumekar, maka terasa hati Anusapati berdesir. Wajah juru taman itu seolah-olah memperingatkannya, agar ia selalu berusaha menjaga dirinya. Sudah sekian lama ia menahan hati. Kalau kali ini ia kehilangan kendali, maka yang sekian lama itu akan tidak berarti apa-apa sama sekali.

“Ampun tuanku,” Sumekar berkata pula, “jadi, apakah bibit yang begini maksud tuanku.”

Anusapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Jawabnya, “Ya. Bibit itu. Bawalah ke bangsal. Dan tanamlah sebelah menyebelah pintu.”

“Jadi sepasang tuanku?”

“Ya sepasang.”

“O, hamba baru membawanya sebatang,” sahut Sumekar, “kalau begitu, hamba akan membawa sebatang lagi.”

“Ya, ambillah sebatang lagi.”

Sumekar membungkukkan kepalanya dalam-dalam. Kemudian ia pergi meninggalkan keduanya, kembali ke batang Arum Dalu-nya yang sedang berkembang.

Dalam pada itu beberapa orang juru taman yang lain-pun sedang asyik bekerja di bagian masing-masing. Tetapi mereka tidak menghiraukan apa saja yang sedang dipercakapkan oleh kedua Putera Sri Rajasa itu.....

Selanjutnya Baca
BARA DI ATAS SINGGASANA : JILID 11
LihatTutupKomentar