Raja Pedang Jilid 11
Yang patut disebut kiranya hanya mereka yang duduk di ruang tamu kehormatan, yaitu pemimpin tiga rombongan yang sudah disebut tadi untuk menghormati nama besar partai yang mereka wakili. Dari golongan perorangan ada beberapa orang kakek lagi, yaitu dua orang hwesio, dua orang kakek petani dan tiga orang tosu.
Mereka ini adalah tokoh-tokoh besar dunia kang-ouw yang kenal dengan pribadi Lian Bu Tojin, jadi tidak mewakili sesuatu partai. Namun karena mereka ini tergolong orang-orang lihai dan setingkat, maka mereka dipersilakan duduk di ruang tamu kehormatan.
Di antara ramainya para tamu yang saling berbicara seperti bunyi tawon madu diganggu, para tamu mulai menyerahkan sumbangan-sumbangan serta barang-barang tanda mata untuk memberi selamat kepada Hoa-san-pai. Riuh rendah suara tertawa karena gembira pada saat Lian Bu Tojin berkenan menerima sendiri barang-barang hadiah yang diberikan para tamu kepada Hoa-san-pai.
Kakek ini berdiri di tengah ruangan di mana disediakan meja kosong yang panjang, diapit di kanan kiri oleh Kwa Tin Siong dan Liem Sian. Ada pun Kwa Hong bersama tiga orang saudara seperguruannya membantu untuk menerima semua barang hadiah dan kemudian mengaturnya di atas meja.
Hampir semua tamu membawa barang hadiah. Oleh sebab itu kini mereka berdiri dalam antrian panjang. Setiap orang yang telah sampai di meja itu menghormat kepada Lian Bu Tojin, mengucapkan selamat dan menyerahkan barang sumbangannya. Lian Bu Tojin dan dua orang muridnya menghaturkan terima kasih, lalu barang itu diterima oleh Kwa Hong dan saudara-saudara seperguruannya untuk diatur di atas meja panjang tadi.
Kwa Hong menjadi heran dari juga geli hatinya ketika ia melihat Beng San ikut-ikutan pula berdiri dalam antrian. Pemuda ini mengenakan pakaiannya yang paling bersih, wajahnya yang berseri kelihatan gagah dan tampan sekali, yakni dalam pandangan Kwa Hong.
Sejak tadi pemuda ini duduk di ruang kelas kambing, yaitu tempat luas di mana terdapat bangku-bangku panjang. Di sana adalah tempat berkumpulnya tamu-tamu yang menjadi pengikut rombongan. Dan sekarang tahu-tahu dia ikut di dalam antrian sambil membawa sebuah bungkusan besar!
Kwa Hong dengan perasaan heran dan hati geli menduga-duga apakah gerangan hadiah yang dibawa orang muda itu untuk Hoa-san-pai? Juga Thio Bwee melihat pemuda ini dan di bibir gadis ini pun tampak senyum geli.
Dalam pandang mata Thio Bwee, biar pun Beng San merupakan seorang pemuda yang ia suka karena sikapnya yang selalu sopan dan baik, apa lagi dahulu di waktu kecil pernah menolongnya, akan tetapi tetap saja Thio Bwee memandangnya sebagai seorang pemuda yang tidak punya guna, seorang pemuda yang lemah dan tidak tahu akan ilmu silat.
Berbeda dengan dua orang gadis itu yang melihat Beng San berdiri di dalam antrian para pemberi hadiah merasa lucu dan ingin sekali tahu apakah gerangan barang hadiah yang dibawanya dalam bungkusan besar itu, adalah Thio Ki dan Kui Lok memandang dengan mata penuh curiga, iri hati dan cemburu.
Dua orang pemuda ini dalam beberapa hari saja telah tahu betapa Kwa Hong amat suka bergaul dengan Beng San, betapa wajah gadis itu selalu berseri-seri bila bercakap-cakap dengan ‘bocah dusun’ itu. Betapa Kwa Hong agaknya lebih suka bercakap-cakap dengan Beng San dari pada dengan mereka.
Kalau saja tidak berada di tempat perjamuan, dan kalau saja tidak takut kepada sukong mereka, agaknya dua orang pemuda ini sudah akan mengusir Beng San dari tempat itu. Menurut pendapat mereka, Beng San tidak patut hadir dalam ruangan ini, yang sekarang penuh dengan para tamu ahli silat belaka.
Akan tetapi Beng San sendiri agaknya tidak peduli akan cucu-cucu murid Hoa-san-pai, tak peduli bagaimana mereka memandangnya. Dia sendiri terus tersenyum dengan wajahnya yang berseri-seri, melihat ke kanan kiri kepada para tokoh kang-ouw yang kini sebagian besar sudah berkumpul di situ. Baru sekarang dia mendapat kesempatan bertemu dengan mereka, siapa tidak akan girang?
Dari seorang di dekatnya, dia tadi mendapat keterangan satu demi satu tentang para tamu yang dianggap tamu kehormatan. Malah teman di dekatnya tadi, seorang anak murid dari Bu-tong-pai, agaknya senang sekali bercerita sehingga membocorkan rahasia partainya bahwa Bu-tong-pai membantu Hoa-san-pai. Dia menceritakan pula betapa Khong-tong-pai dan Bu-eng-pai selalu membantu Kun-lun-pai dalam memusuhi Hoa-san-pai. Teman baru ini juga menceritakan kehebatan setiap orang tokoh yang dia anggap memiliki kesaktian seperti dewa-dewa!
Selain gembira karena mendapat kesempatan melihat orang-orang kang-ouw, Beng San juga sangat gembira ketika mendengar bahwa pihak Kun-lun-pai tidak hadir. Bukankah dengan demikian maka keributan takkan terjadi dan dia tidak usah bersusah payah untuk mencegahnya?
Setelah sampai giliran Beng San menyerahkan sumbangannya, pemuda ini dengan wajah sungguh-sungguh memberi hormat dengan menjura dalam di depan Lian Bu Tojin sambil berkata, "Dengan hati tulus dan hormat saya menghaturkan selamat kepada Hoa-san-pai yang mencapai umur seratus tahun. Semoga Hoa-san-pai akan melewati ratusan tahun lagi dan melahirkan patriot-patriot yang gagah perkasa, pembela-pembela rakyat yang adil dan bijaksana. Harap Totiang sudi menerima kenang-kenangan tidak berharga ini."
la membuka bungkusannya dan terdengar sedak tertahan dari Kwa Hong ketika gadis ini melihat isi bungkusan yang besar itu. Ternyata isinya adalah... kulit harimau yang besar dan amat indahnya. Harimau yang kemarin dulu ia bunuh di hutan!
Muka ketua Hoa-san-pai berseri gembira. "Terima kasih, terima kasih..."
Sebagai layaknya seorang tuan rumah, dia membalas penghormatan tamu bersama Kwa Tin Siong, sedangkan Thio Bwee menerima kulit harimau itu, diletakkan di atas meja.
Ketika Beng San kembali ke tempat duduknya, telinganya yang tajam pendengarannya itu menangkap seruan-seruan heran dan kagum dari para tamu.
"Siapa dia itu? Dapat mengambil kulit harimau sebesar itu tanpa melukainya… hemmm, agaknya pandai juga dia..."
Diam-diam Beng San tersenyum dan merasa lucu. Yang membunuh harimau itu adalah Kwa Hong dan dia dengan hati-hati telah menutup luka-luka bekas tusukan pedang Kwa Hong sehingga dilihat sepintas lalu saja seakan-akan tidak ada bekas luka, seakan-akan dia sudah menangkapnya dengan tangan kosong, atau membunuhnya dengan kepalan saja!
Tiba-tiba saja terdengar suara gaduh di bagian depan. Orang-orang lalu memandang dan terbelalak kaget. Seorang pemuda yang bukan lain adalah Giam Kin, berlenggang masuk. Orangnya sih tidak mendatangkan kaget pada para tamu, hanya apa yang di bawanya yang mendatangkan heboh.
Pemuda ini datang membawa seekor ular besar yang melilit-lilit tubuhnya. Ular sebesar paha yang kelihatan galak! Beng San memandang dengan perasaan mendongkol. Terang sekali bahwa pemuda itu sengaja hendak berlagak untuk menarik perhatian orang. Sambil tersenyum-senyum pemuda itu menghampiri meja dan menjura kepada Lian Bu Tojin.
"Lian Bu-totiang, saya mewakili suhu datang untuk mengucapkan selamat dan terimalah semacam hadiah saya ini."
Semua orang kaget dan mengira bahwa pemuda, ini akan menghadiahkan ular besar itu.
Akan tetapi Lian Bu Tojin dengan wajah tenang membalas penghormatannya dan berkata, "Ah, saudara Giam terlalu sungkan. Terima kasih atas pemberian selamat."
Giam Kin lalu merogoh saku jubahnya dan mengeluarkan dua buah tabung bambu yang tersumbat. Tercium bau yang amat amis ketika dia membuka sumbat dari pada sebuah di antaranya.
"Agar Totiang tahu apa isinya, baik saya buka dan perlihatkan."
Dia mengetuk bambu itu dan keluarlah... seekor ular bersisik merah yang kecil dan liar. Dengan gerakan seorang ahli ditangkapnya leher ular itu dan diangkatnya tinggi-tinggi ke atas. la berkata, jelas kata-katanya ditujukan kepada semua tamu seperti seorang penjual obat mempropagandakan obatnya.
"Harap Lian Bu Totiang tidak menganggap bahwa saya memberi tanda mata yang tidak ada harganya. Sungguh pun hanya merupakan dua ekor ular kecil dalam tabung bambu, tetapi dibandingkan dengan semua barang sumbangan yang ada di atas meja ini, kurasa hadiahku adalah yang paling berharga. Sepasang ular ini disebut Ngo-tok-coa (Ular Lima Racun), bisa digunakan untuk menyembuhkan lima macam bahaya akibat terkena racun. Biar pun hanya merupakan dua ekor ular kecil, namun sewaktu-waktu dapat berjasa dan menyambung nyawa, benda-benda yang lain ini hanya indah dipandang tetapi tidak ada gunanya, mana dapat dibandingkan dengan ular-ular pemberianku ini?"
Dengan bangga dia menyerahkan kedua tabung itu kepada Kwa Hong dan Thio Bwee seorang satu. Gerak-geriknya bebas dan tak tahu malu, akan tetapi karena ia merupakan seorang tamu yang memberi hadiah ulang tahun untuk Hoa-san-pai, walau pun dengan muka merah dan mulut cemberut, terpaksa Kwa Hong dan Thio Bwee menerimanya juga. Ada pun Kwa Tin Siong mewakili suhu-nya menjura dan mengucapkan terinia kasih.
Giam Kin lalu menoleh ke kanan kiri, agaknya mencari tempat duduk yang sudah penuh. Seorang tosu Hoa-san-pai segera menghampiri dan sambil membungkuk-bungkuk tosu itu berkata.
"Tuan muda, silakan duduk di sebelah sana, masih ada tempat kosong."
Tosu itu hendak mengantar Giam Kin duduk di ruangan bagian kanan di mana berkumpul tamu-tamu muda. Akan tetapi Giam Kin mengerutkan keningnya ketika melihat betapa tempat itu adalah tempat duduk orang-orang yang bukan ‘orang atas’. la menggelengkan kepala dan berkata sambil tertawa.
"Biarlah aku di sana saja, aku sudah membawa tempat duduk sendiri." la lalu melangkah lebar menuju ke ruangan tamu kehormatan!
Liu Ta, pemimpin rombongan Kho-tong-pai, agaknya sudah mengenal pemuda ini karena dia segera berdiri dan tersenyum memberi hormat. Akan tetapi yang paling menyolok adalah sikap Ang Kim Seng dan Ang Kim Nio, dua orang jago Bu-eng-pai. Ang Kim Nio melirik-lirik dengan senyum genit sedangkan Ang Kim Seng bahkan cepat-cepat berdiri dan menyilakan Giam Kin menduduki tempat duduknya.
"Duduklah Ang-twako. Duduklah, biar aku duduk di tempat yang sudah kubawa sendiri.”
Dia lalu melepaskan lilitan ular di pinggangnya, kemudian ular besar dan panjang itu dia gulung dan lingkar-lingkar sehingga merupakan satu gundukan yang lebih tinggi dari pada bangku-bangku yang berada di situ. Di atas gundukan atau lingkaran tubuh ular inilah dia duduk, nampak bangga dan jelas sengaja melakukan semua ini untuk menarik perhatian dan memancing pujian!
Bukan main mendongkolnya hati orang-orang Hoa-san-pai menyaksikan sikap pemuda itu. Thio Ki dan Kui Lok sudah mengepal tinju dan mereka ini diam-diam berjanji bahwa kalau pemuda setan itu berani main gila, mereka akan menghadapinya lebih dahulu. Kwa Hong dan Thio Bwee juga marah sekali. Dengan kerling tajam menyambar diam-diam mereka memaki pemuda itu.
Akan tetapi Kwa Tin Siong dan Liem Sian Hwa kelihatan tenang-tenang saja, apa lagi Lian Bu Tojin, kakek ini malah tersenyum-senyum nampak gembira. Padahal di dalam hatinya, guru dan dua orang muridnya ini selalu terheran mengapa pihak Kun-lun-pai belum juga muncul.
Tidak hanya pihak tuan rumah yang terheran, juga para tamu terheran-heran, malah para tamu muda menjadi kecewa sekali. Sesungguhnya, mereka naik ke Hoa-san bukanlah semata-mata untuk memberikan penghormatan kepada Hoa-san-pai, akan tetapi terutama sekali tertarik akan harapan melihat pertandingan hebat antara jago-jago Hoa-san-pai dan Kun-lun-pai. Mereka semua sudah tahu bahwa antara dua partai persilatan ini terdapat permusuhan, maka sekali ini dalam pertemuan terbuka, tentu akan diadakan pertandingan terbuka pula untuk menentukan siapa yang lebih kuat.
Giam Kin menoleh ke kanan kiri seperti orang yang sedang mencari-cari. Diam-diam dia memperhatikan para tamu dan mencari seorang pemuda muka hitam. Dia bernapas lega ketika tidak dapat menemukan orang bermuka hitam itu, akan tetapi dia masih merasa gelisah yang ditutup-tutupinya dengan sikap yang sangat jumawa. Padahal sebetulnya dia merasa khawatir kalau-kalau ‘setan muka hitam’ itu akan muncul di sini.
"Ah, kenapa aku tidak melihat seorang pun dari Kun-lun-pai?" tiba-tiba Giam Kin berkata, suaranya nyaring dan terdengar oleh banyak orang, terutama oleh para tamu kehormatan yang hadir di situ.
Semua mata memandangnya karena memang pertanyaan ini sudah sejak tadi berada di dalam benak semua tamu berikut tuan rumah, hanya tiada seorang pun berani lancang mulut bertanya seperti yang dilakukan Giam Kin.
Ang Kim Seng tertawa, lalu menjawab, juga dia sengaja mengerahkan tenaga sehingga suaranya terdengar sangat nyaring, "Giam-taihiap, apakah kau juga ingin sekali menonton keramaian? Tentu mereka akan datang!"
"Kabarnya ketua Kun-lun-pai juga mau datang memberi selamat. Betulkah berita ini?" Giam Kin bertanya lagi, tanpa peduli akan pandang mata tak senang dari seorang tosu yang tinggi besar dan duduk di dekatnya.
"Memang ada berita itu," jawab Ang Kim Seng, "dan malah murid-murid Kun-lun-pai telah memberi tahu kepadaku sendiri. Aku pun sudah lama sekali tidak berjumpa dengan Pek Gan Siansu, ingin aku menyampaikan hormat."
"Ha-ha-ha, Ang-twako. Agaknya kau ini sahabat karib Kun-lun-pai!" terang-terangan Giam Kin menegur sambil tertawa.
Ang Kim Seng juga tertawa. "Kun-lun-pai adalah partai terbesar di dunia ini, partai yang terbesar dan terkuat, juga terkenal sebagai tempat pendekar-pendekar gagah perkasa. Siapa orangnya yang tidak bersahabat dengan mereka?”
Jelas bahwa percakapan antara Giam Kin dan Ang Kim Seng ini merupakan percakapan yang menyerempet ketenangan. Para tamu serentak menghentikan percakapan mereka dan mendengarkan dengan hati tegang.
Kwa Tin Siong sendiri mulai melirik-lirik ke arah tempat duduk para tamu kehormatan. Ada pun Thio Ki, Thio Bwee, Kui Lok, dan Kwa Hong sudah terang-terangan memandang ke arah Ang Kim Seng dengan mata tajam.
Tiba-tiba Beng Tek Cu, tosu dan Bu-tong-pai yang sejak tadi merasa muak melihat lagak Giam Kin, berdiri dan bangkunya. la memang seorang yang galak dan jujur, dan di dalam hatinya dia pro kepada Hoa-san-pai. Sekarang, setelah dia mendengar percakapan yang menyinggung-nyinggung urusan Kun-lun-pai, dia tidak dapat menahan kesabarannya lagi.
Seperti orang berbicara kepada diri sendiri, tosu tinggi besar yang sudah tua tapi masih kelihatan muda ini menengadahkan kepalanya dan berkata keras.
"Siapa yang menjilat dan bermuka-muka kepada yang besar dan kuat, tidak ada bedanya dengan kutu-kutu anjing yang selama hidupnya hanya mengandalkan tubuh anjing yang ditumpanginya!"
Mendengar ucapan yang keras ini, Semua tamu diam dan semua memandang ke arah ruangan tamu kehormatan itu. Tak seorang pun mengira bahwa dari ruang ini akan disulut api yang akan membakar perayaan itu. Giam Kin tertawa-tawa geli, seakan-akan merasa betapa lucunya kata-kata tadi.
Ang Kim Seng melompat bangun dari bangkunya, lalu memandang ke arah Beng Tek Cu sambil bertanya. "Kau berani menyamakan aku dengan kutu anjing?"
Beng Tek Cu menoleh kepadanya, seakan-akan tidak peduli, lalu balas bertanya, "Kau merasa menjadi kutu anjing atau tidak?"
"Tentu saja tidak!" Ang Kim Seng marah, mukanya sudah menjadi merah sekali, matanya melotot.
”Kalau tidak ya sudah! Aku tidak memaki siapa-siapa, hanya mengatakan bahwa kalau ada yang menjilat dan bermuka-muka pada yang besar dan kuat, dia itu seperti kutu anjing. Kalau kau bukan kutu anjing, ya sudahlah, kenapa ribut-ribut?"
Terdengar suara ketawa di sana-sini.
"Hi-hi-hi-hi...” Kwa Hong menutupi mulutnya dengan tangan untuk menahan ketawanya.
Tentu saja gadis ini sudah maklum bahwa pihak Bu-eng-pai memang selalu menangkan Kun-lun, ada pun pihak Bu-tong-pai membantu pihaknya. Apa lagi ia mengenal Beng Tek Cu sebagai sahabat karib ayahnya, maka ia girang dan geli melihat betapa tosu yang memang berwatak berangasan, kasar dan jujur tapi pandai berdebat itu mempermainkan Ang Kim Seng.
"Satu nol...," kata Beng San.
Pemuda ini sejak tadi sudah memperlihatkan keringanan tangannya, tanpa diminta telah membantu ke sana ke sini, kadang-kadang membantu para tosu yang menghidangkan makan minum kepada para tamu, kadang kala dia juga membantu memberes-bereskan barang-barang sumbangan di atas meja panjang itu. Pada saat dia mendengar Kwa Hong tertawa, dia sendiri juga merasa geli maka tanpa disengaja dia tadi berkata, "Satu nol..."
"Apanya yang satu nol?" Kwa Hong bertanya lirih tanpa pedulikan lirikan ayahnya yang hendak mencegah dia bicara tentang hal yang meributkan.
"Tosu hitam tinggi besar itu menang satu, si tinggi kurus itu kalah dan belum menangkan apa-apa, maka kedudukan mereka menjadi satu nol untuk si tosu tinggi besar," jawab Beng San.
Sementara itu, mendengar ucapan Beng Tek Cu, Ang Kim Seng makin marah. Akan tetapi tentu saja dia akan berada di pihak salah bila mana dia yang mulai memaki. Ia menahan kemarahannya dan pura-pura bersikap tenang, lalu bertanya.
"Eh, tosu yang bersikap kasar. Tidak tahu siapakah kau?"
"Ang Kim Seng sicu (orang gagah) sebagai seorang jagoan besar Bu-eng-pai, tentu saja tidak mengenal pinto (aku) Beng Tek Cu dari Bu-tong-pai."
Ang Kim Seng nampak kaget sekali dan dia merasa menyesal mengapa tadinya dia tidak mencari keterangan lebih dulu siapa sebenarnya tosu tinggi besar yang kasar ini. Kiranya tokoh Bu-tong-pai!
Jawaban Beng Tek Cu tadi sekaligus memukul lawannya oleh karena jawaban itu juga merupakan sindiran tajam sekali. Dengan mengenal nama Ang Kim Seng dan partainya merupakan tanda betapa tajam pandangan dan luas pengetahuan Beng Tek Cu, namun sebaliknya kalau orang sampai tidak mengenal tokoh Bu-tong-pai, hal itu boleh dikatakan keterlaluan dan sangat picik pengetahuannya.
"Dua nol..." kata pula Beng San, tapi sebelum Kwa Hong sempat bicara, pemuda ini telah pergi untuk membantu para tosu mengisi lagi arak bagi para tamu.
Sementara itu, Ang Kim Seng berusaha menyembunyikan perasaan malunya.
"Ahh, kiranya orang Bu-tong-pai..." Sambil berkata demikian, dia pun duduk kembali dan mengajak Giam Kin bercakap-cakap. Sikapnya ini jelas sekali hendak membalas, seakan kelihatan memandang rendah kepada Bu-tong-pai.
Beng Tek Cu tentu saja merasai ini. Mukanya sudah merah, hatinya sudah panas, akan tetapi oleh karena tiada alasan, maka dia pun tidak dapat berbuat apa-apa. Ketegangan antara dua orang ini makin terasa, dan semua orang tahu bahwa apa bila ada sedikit saja dasar dan alasannya, tentu kedua orang ini akan saling tantang.
Pada saat itu, ketegangan yang ditimbulkan oleh tokoh Bu-eng-pai dan Bu-tong-pai ini seketika lenyap dengan masuknya seorang gadis berpakaian serba hijau yang cantik dan gagah. Dara ini masih remaja sekali, memakai pakaian serba hijau yang amat sederhana potongannya tetapi ringkas. Gagang pedang tersembul di balik punggungnya.
Dia memasuki ruangan itu seorang diri saja dan inilah yang menarik perhatian orang, terutama sekali perhatian para tamu muda. Tanpa menoleh ke kanan kiri gadis itu segera menghampiri Lian Bu Tojin dan memberi hormat dengan sopan.
"Totiang yang mulia, teecu mewakili suhu Swi Lek Hosiang mengucapkan selamat kepada Hoa-san-pai dan menyampaikan tanda mata ini."
Ternyata gadis itu membawa barang sumbangan berupa sebuah mainan burung dara yang terbuat dari perak dan diukir indah sekali, bermata kumala.
Lian Bu Tojin tersenyum lebar, nampak gembira sekali dan menerima benda sumbangan itu. "Ha-ha-ha, benar-benar pinto yang sudah tua ini menerima penghormatan besar yang sangat membanggakan hati. Thai-lek-sin Swi Lek Hosiang sampai sudi mengingat hari ulang tahun Hoa-san-pai, benar-benar menggirangkan sekali. Terima kasih, anak yang baik. Berbahagialah Swi Lek Hosiang mempunyai murid seperti engkau. Hong Hong dan Bwee-ji, ajak nona ini duduk bersama."
Sebagai murid Swi Lek Hosiang, kiranya sudah sepantasnya kalau nona ini diberi tempat duduk pada bagian tamu kehormatan. Tetapi Lian Bu Tojin melihat betapa tak pantasnya kalau nona muda jelita ini harus duduk dalam satu ruangan dengan orang-orang laki-laki, terutama di situ terdapat Giam Kin.
Oleh karena inilah maka dia sengaja menyuruh Kwa Hong dan Thio Bwee mengajak nona itu duduk bersama. Dengan demikian dia dapat menjaga nama besar Thai-lek-sin Swi Lek Hosiang, dan di samping itu dapat pula menjaga nona muda ini dari pandang mata atau ucapan yang kasar dan mengandung kekurang ajaran. Diam-diam kakek ini sudah dapat menilai watak dari orang muda semacam Giam Kin.
Kwa Hong dan Thio Bwee sudah pernah mendengar nama besar Thai-lek-sin Swi Lek Hosiang, maka sekarang bertemu dengan muridnya yang begini cantik dan sebaya dengan mereka, tentu saja mereka dapat menerimanya dengan girang dan sebentar saja tiga orang nona ini bercakap-cakap dengan ramah dan akrab. Hanya menjadi keheranan hati dua orang nona Hoa-san-pai itu ketika melihat betapa nona berbaju hijau ini sering kali memandang ke arah para tamu. Sinar matanya menyambar-nyambar penuh selidik, seakan-akan dia sedang mencari seseorang di antara para tamu.
Mendadak terdengar teriakan tosu penjaga pintu gerbang depan.
“Pek Gan Siansu dari Kun-lun-pai datang...!"
Serentak suara berisik dari para tamu terhenti. Muka-muka menjadi tegang, mata menatap keluar penuh perhatian, dada berdebar-debar. Terutama sekali murid-murid Hoa-san-pai, mereka siap untuk menghadapi segala kemungkinan. Mereka mengira bahwa tentu Pek Gan Siansu, ketua Kun-lun-pai ini datang dengan membawa banyak anak muridnya dari Kun-lun-pai.
Akan tetapi mereka semua itu kecele ketika melihat bahwa yang muncul hanya seorang kakek tua sekali, usianya hampir delapan puluh tahun, jenggotnya putih panjang sampai ke perut, sepasang matanya juga kelihatan putihnya saja seperti mata yang sudah lamur. Tubuhnya tinggi kurus, mulutnya tersungging senyuman ramah dan tenang, dan tangan kanannya membawa sebatang tongkat bambu yang panjang.
Di belakangnya, sambil menundukkah mukanya, berjalan seorang pemuda bertubuh tinggi tegap, bermuka tampan gagah. Usia pemuda ini takkan lebih dari dua puluh empat tahun. la berjalan di belakang kakek itu membawa sebatang pedang yang diletakkan di atas kedua lengannya yang ditelentangkan, seperti orang membawa baki. Pada pinggangnya sendiri tergantung pula sebatang pedang.
Dapat diduga bahwa pedang yang dibawanya itu tentulah pedang pusaka Kun-lun-pai, dan agaknya kakek tua itu sudah menyuruh pemuda ini sebagai tukang membawanya.
Dengan sikap yang amat manis, Pek Gan Siansu berjalan memasuki ruangan itu. Dia mengangguk ke kanan kiri kepada tokoh-tokoh yang dia kenal, kemudian dengan langkah halus dia terus masuk menghampiri Lian Bu Tojin yang siang-siang sudah berdiri dari tempat duduknya, berdiri tegak menyambut, sikapnya halus wajahnya berseri ramah akan tetapi sepasang matanya memandang penuh keangkeran seorang ketua partai besar.
"Pek Gan Siansu, selamat datang di Hoa-san-pai. Kedatanganmu ini benar-benar sangat melegakan hati pinto," kata Lian Bu Tojin sambil mengangkat kedua tangan ke dada dan membungkuk.
"Ahh, kau baik sekali, Lian Bu toyu," berkata kakek tua itu sambil tersenyum dan balas memberi hormat. "Tidak hanya engkau, aku pun merasa lapang dadaku dapat bertemu muka dengan ketua Hoa-san-pai. Lebih dulu perkenankanlah aku mengucapkan selamat kepada Hoa-san-pai."
"Terima kasih... terima kasih... dan silakan duduk, Siansu. Silakan duduk dan pengiringmu itu juga. Dan suruhlah anak-anak muridmu masuk semua, pinto persilakan mereka duduk dan menerima jamuan sederhana dan seadanya dari Hoa-san-pai."
Akan tetapi, meski pun masih tersenyum-senyum kakek Kun-lun-pai itu tidak mau duduk, tetap berdiri di situ. Pemuda yang gagah tampan tadi masih berdiri pula di belakangnya, tunduk membawa pedang pusaka.
"Terima kasih, Lian Bu toyu. Aku datang hanya dengan muridku yang paling muda ini. Aku datang tidak membawa maksud buruk, mengapa aku harus datang membawa anak-anak Kun-lun-pai? Lian Bu toyu, sudah terlalu lama kau dan aku diam saja melihat kebodohan anak-anak kita. Kurasa sekaranglah saatnya kita harus bertindak.”
Kembali suasana menjadi tegang. Orang-orang diam tak bergerak, tak bersuara. Semua perhatian dicurahkan kepada dua orang kakek tua yang kini berdiri saling berhadapan itu. Lian Bu Tojin masih tersenyum, akan tetapi keningnya bergerak-gerak.
"Pek Gan Siansu, tindakan apa gerangan yang hendak kau lakukan?"
Pek Gan Siansu menoleh ke kanan kiri, jenggotnya yang panjang itu bergerak-gerak.
"Toyu (sahabat dalam To), lajimnya urusan seperti yang hendak kubicarakan ini dilakukan di dalam sebuah kamar tertutup atau di lingkungan keluarga saja. Akan tetapi melihat keadaan kedua partai kita yang selama ini telah terjadi kesalah pahaman dan bentrokan-bentrokan, maka kurasa malah ada baiknya kalau pembicaraan ini disaksikan oleh para orang gagah yang hadir di sini. Justru memerlukan saksi-saksi inilah maka aku sengaja memilih hari baik ini."
"Katakanlah maksudmu, tentu pinto akan mendengarkan dengan penuh perhatian," Lian Bu Tojin berkata ketika melihat kakek tua itu berhenti sejenak.
Pek Gan Siansu menarik napas panjang. "Lian Bu toyu, berpuluh tahun kau dan aku menjadi sahabat karib sampai-sampai dahulu kita pernah mempererat hubungan dengan menjodohkan murid-murid kita satu dengan yang lain."
"Celakanya, justru perjodohan itulah yang menyebabkan semua keributan," Lian Bu Tojin mencela sambil menarik napas panjang penuh penyesalan.
"Segala sesuatu memang sudah ditentukan oleh Thian Yang Maha Kuasa," Pek Gan Siansu menghibur. "Akan tetapi bagi orang-orang yang sudah banyak makan asam garam kehidupan seperti kita ini, kiranya mengingatkan hal-hal lama bukanlah perbuatan yang benar. Lebih baik kita memandang ke depan dari pada menengok ke belakang. Tidakkah kau pikir demikian juga, Toyu?”
Tiba-tiba tosu penjaga di pintu gerbang berkata keras.
"Souw-kongcu (tuan muda Souw) dan Tan-kongcu datang...!”
Lian Bu Tojin mengangkat muka memandang, juga semua tamu. Yang masuk adalah dua orang laki-laki muda yang berpakaian indah dan bersikap gagah. Seorang di antaranya adalah Souw Kian Bi, Pangeran Mongol yang pernah menggoda Liem Sian Hwa dahulu, kemudian menculik Thio Bwee dan Kwa Hong, kemudian dapat membujuk Lian Bu Tojin memberikan janjinya untuk tidak membantu pemberontak Pek-lian-pai.
Hal ini telah dituturkan di bagian depan, yaitu terjadi hampir sepuluh tahun yang lalu. Biar pun semenjak itu tidak ada lagi hubungan antara Hoa-san-pai dengan Pangeran Mongol ini, akan tetapi tidak mengherankan apa bila Souw Kian Bi datang pula untuk menghadiri perayaan Hoa-san-pai.
Melihat orang yang dulu pernah menculiknya, Kwa Hong dan Thio Bwee menjadi merah mukanya, mereka marah sekali. Juga Liem Sian Hwa memandang dengan sinar mata penuh kebencian.
Begitu masuk, Souw Kian Bi segera menujukan pandang matanya ke dalam, ke arah wanita-wanita cantik itu. Mulutnya terus tersenyum-senyum dan matanya liar memandang. Tiba-tiba dia melihat gadis baju hijau yang duduk bersama Kwa Hong dan Thio Bwee, dia nampak kaget lalu berseru gembira.
"Heeeee... Nona Thio Eng! Kau di sini juga...?"
Bagi orang-orang Hoa-san-pai, bukan hal aneh kalau Souw Kian Bi mengenal nona baju hijau yang sekarang baru mereka ketahui bernama Thio Eng itu. Bukankah dahulu juga Souw Kian Bi berada di markas Mongol bersama dengan Thai-lek-sin Swi Lek Hosiang guru nona itu?
Thio Eng, nona baju hijau yang pernah kita kenal ketika ia bertemu dengan Beng San dan mengaku bernama Eng, hanya mengangguk kaku ke arah Souw Kian Bi dan berkata, "Aku mewakili suhu."
"Ah, suhumu di mana sekarang? Bertahun-tahun hwesio tua itu tidak pernah muncul. Dan kau... hemmm, sudah besar sekarang dan... cantik..."
Terdengar suara orang tertawa di sana-sini dan Souw Kian Bi menjadi merah mukanya, sadar dia bahwa di depan banyak orang itu dia telah bersikap terlalu bebas dan mungkin agak ceriwis! Cepat-cepat dia menarik tangan temannya untuk diajak menghampiri Lian Bu Tojin, menjura dan menghaturkan selamat.
Lian Bu Tojin mengucapkan terima kasih, lalu Kwa Tin Siong yang mempersilakan dua orang muda itu mengambil tempat duduk. Karena maklum bahwa seakan-akan Souw Kian Bi mewakili Pemerintah Mongol, maka Kwa Tin Siong memberinya tempat duduk yang selayaknya, yaitu di dekat ruangan tamu kehormatan.
Kwa Hong duduk di bangkunya dengan bengong. Sepasang matanya tiada henti menatap wajah pemuda yang menjadi teman Souw Kian Bi. Orang itu benar-benar mirip Beng San, pikirnya terheran-heran.
Ingin ia bicarakan hal ini dengan Thio Bwee, akan tetapi ia melihat Thio Bwee memeluk lengan gadis baju hijau sambil berkata.
"Ehhh, Cici Eng yang baik, ternyata kita masih satu keturunan! Jadi kau juga bernama keturunan Thio?"
Akan tetapi gadis berbaju hijau itu, Thio Eng, tidak menyambut sikap Thio Bwee dengan gembira, sebaliknya ia hanya menundukkan muka dan mengerutkan kening.
"Enci Eng, siapakah ayahmu...?” Thio Bwee dalam kegembiraannya mendesak.
"Ayah... ayah sudah meninggal dunia, juga ibu, aku yatim piatu."
Thio Bwee terharu dan memeluk pinggang gadis itu. "Ah, kasihan kau, Enci Eng. Ayahku juga sudah meninggal dunia, tapi ibuku masih ada, di Gi-nam...”
Kwa Hong yang tak jadi mengajak Thio Bwee bicara tentang orang muda teman Souw Kian Bi yang ia anggap mirip Beng San, segera memutar leher mencari-cari Beng San dengan matanya. Tapi ke mana pun ia mencari dengan pandang matanya, di situ tidak kelihatan adanya Beng San.
Ke manakah perginya pemuda ini? Memang Beng San pergi bersembunyi! Pemuda ini mengalami hal-hal yang mengguncangkan hatinya. Pertama-tama melihat munculnya Thio Eng yang dia kenal sebagai nona Eng berperahu, dia sudah cepat menyingkirkan diri agar jangan terlihat oleh nona itu. Pengalamannya dengan Thio Eng membuat dia terharu dan juga merasa malu untuk bertemu muka di tempat umum seperti itu.
Kemudian munculnya Pek Gan Siansu dengan seorang pemuda yang membawa pedang pusaka, membuat hatinya cukup merasakan ketegangan hebat. Inilah tugasnya dan inilah sebabnya mengapa dia datang ke tempat ini. la harus menjaga agar Hoa-san-pai jangan sampai bentrok lebih hebat dengan Kun-lun-pai, dan ini pula sebabnya kenapa pemimpin para pemberontak, Ciu Goan Ciang, menitipkan dua pucuk surat untuk masing-masing ketua partai, untuk mendamaikan.
Sekarang kedua orang ketua itu telah saling berhadapan, kata-kata mereka sudah mulai menyinggung-nyinggung persoalan. Beng San biar pun menyembunyikan diri di belakang orang-orang lain, dia memasang telinga mendengarkan penuh perhatian dan siap untuk bertindak sebagai penengah apa bila keadaan menjadi panas. Kemudian muncullah Souw Kian Bi itu.
Hatinya ikut panas melihat Souw Kian Bi yang sudah pernah dikenalnya, dan melihat sikap yang kurang ajar dari laki-laki ceriwis dan mata keranjang ini. Akan tetapi segera jantungnya serasa berhenti berdetak ketika dia melihat orang muda yang menjadi teman Souw Kian Bi. la menggosok-gosok kedua matanya dan wajahnya perlahan-lahan menjadi pucat dan tentu akan berubah hijau sekali kalau saja dia tidak lekas-lekas mengerahkan tenaga dalamnya untuk melawan hawa yang menjalar ke mukanya.
"Ya Tuhan...," bisiknya dalam batin.
Tak salahkah ingatannya! Itulah wajah Kui-ko (kakak Kui), wajah Tan Beng Kui kakaknya, kakak kandungnya...! Dan tadi tosu penyambut juga meneriakkan nama Tan-kongcu untuk orang itu. Betulkah? Beng San menjadi pusing.
Wajah kakaknya ini sering kali terbayang di otaknya semenjak dia dilemparkan ke sungai oleh Song-bun-kwi dahulu itu. Meski pun dia mengenal wajah kakaknya ketika dia masih kecil, namun wajah orang muda yang sekarang duduk dengan anteng di kursi itu tak salah lagi. Tetapi benarkah? Bagaimana kalau dia keliru? Bukan tidak mungkin ada orang lain ber-she Tan yang wajahnya ada persamaan dengan wajah kakaknya!
Setelah gangguan kecil ini mereda, yaitu kedatangan Souw Kian Bi bersama temannya, perhatian semua orang dialihkan kembali pada dua orang ketua yang masih berdiri saling berhadapan itu. Memang Pek Gan Siansu dan Lian Bu Tojin masih berdiri di tempat tadi.
Kwa Tin Siong dan Liem Sian Hwa juga masih berdiri di belakang suhu-nya, sedangkan pemuda yang oleh Pek Gan Siansu diaku sebagai muridnya termuda, juga masih berdiri di situ tak bergerak seperti patung. Wajah yang tampan dari pemuda tinggi tegap ini malah agak pucat, matanya redup.
Agaknya Souw Kian Bi segera dapat merasakan ketegangan suasana ini, maka dia pun tidak banyak tingkah lagi dan segera menujukan perhatiannya ke dalam.
Pek Gan Siansu mulai membuka mulut. "Lian Bu toyu, seperti kukatakan tadi, segala apa di dunia ini, betapa pun hebat manusia berusaha, keputusannya diambil oleh Thian Yang Maha Kuasa. Buktinya, kau dan aku dua orang tua telah berusaha untuk kebaikan, untuk eratnya hubungan antara kita dengan jalan menjodohkan murid-murid kita. Akan tetapi apa dayanya, agaknya Thian menghendaki lain. Betapa pun juga, kita jangan habis daya upaya, sahabatku. Oleh karena itu, kedatanganku ini selain memberi selamat atas ulang tahun Hoa-san-pai, juga ingin aku mengajukan sebuah usul baik kepadamu demi untuk meredakan suasana panas dan sekalian untuk menyambung kembali persahabatan yang hampir diputus oleh sepak terjang anak-anak murid kita." Pek Gan Siansu berhenti dan mengambil napas panjang.
Lian Bu Tojin mengangguk-angguk. "Ucapan-ucapanmu dapat pinto terima. Akan tetapi tentang usul yang hendak kau ajukan itu, hemmm... baiklah kita lihat-lihat dulu. Usul apakah gerangan itu, Siansu?"
Kakek Kun-lun-pai itu menengok ke arah pemuda yang membawa pedang pusaka, lalu dia tersenyum berkata, "Lian Bu totiang, pemuda ini adalah muridku yang termuda, dia ini adalah anak tunggal dari mendiang muridku Bun Si Teng...," kembali ia berhenti sebentar untuk mengumpulkan tenaga mengusir ingatan bahwa Bun Si Teng muridnya itu tewas di tempat ini. "Dia ini adalah ahli warisku satu-satunya dan dia pula yang kuserahi pedang pusaka Kun-lun-pai, kelak akan menggantikan kedudukanku. Muridku yang termuda ini bernama Bun Lim Kwi, berusia dua puluh dua tahun. Lian Bu totiang, jika kau masih suka melihat mukaku, masih suka mengingat perhubungan lama dan masih ada niat baik untuk menyambung kembali tali persahabatan, aku datang untuk mengusulkan kepadamu agar diadakan pengikatan jodoh antara muridku ini dengan seorang di antara cucu muridmu perempuan." Setelah berkata demikian, Pek Gan Siansu menengok ke arah Thio Bwee dan Kwa Hong yang seketika menjadi pucat.
Hening di tempat itu. Semua orang memandang dengan hati tegang. Hebat sekali usul ini, sekaligus ketua Kun-lun-pai itu seperti orang takluk dan menyerah kalah, mengulurkan jalan perdamaian.
Muka pemuda itu, Bun Lim Kwi, juga pucat sekali dan perlahan-lahan dua titik air mata mengalir keluar dari kedua matanya yang dia meramkan. Memang hebat usul dari gurunya ini.
Bayangkan saja, Bun Lim Kwi adalah putera tunggal Bun Si Teng yang dahulu tewas di Hoa-san-pai dalam pertandingan melawan Hoa-san Sie-eng! Dan dia, putera tunggalnya, kini hendak dijodohkan dengan anak dari pembunuh ayahnya! Kedua tangannya yang memegang pedang pusaka tiba-tiba gemetar.
Semua ini terlihat oleh Beng San dari tempat sembunyinya. la sudah mendekat dan bukan main terharu hatinya. Terngiang dalam telinganya pesan terakhir dari mendiang Bun Si Teng ketika hendak menghembuskan nafas terakhir dahulu. Bagaimana kata-kata terakhir itu?
“... kau berjanjilah bahwa kelak kau akan mengamat-amati putera tunggalku, Bun Lim Kwi..."
Biar pun Beng San tak pernah mengeluarkan ucapan janji itu, akan tetapi di dalam hatinya dia tak pernah melupakan kata-kata terakhir yang merupakan pesan itu. Dan sekarang dia melihat Bun Lim Kwi berdiri di sana, di belakang Pek Gan Siansu sebagai murid kakek itu, sebagai ahli waris tunggal dari Kun-lun-pai! Dan dia melihat Bun Lim Kwi hendak dijadikan alat pendamai antara Kun-lun-pai dan Hoa-san-pai.
la merasakan betapa hebatnya keperihan hati pemuda tinggi tegap itu, disuruh mengawini anak musuh besar yang telah membunuh ayahnya. Dan diam-diam simpati di hati Beng San tercurah kepada pemuda tinggi besar itu, perasaan kasihan dan juga kagum. la melihat Bun Lim Kwi sebagai seorang pemuda yang amat berbakti kepada guru, seorang pemuda yang baik dan juga dapat menahan hati. Terharulah dia melihat dua butir air mata yang mengalir turun dari sepasang mata Bun Lim Kwi.
Wajah Lian Bu Tojin juga berubah Nampaknya kakek ini bimbang sekali, terpukul dan bingung oleh usul yang tidak tersangka-sangka dari Pek Gan Siansu itu. Sampai lama kakek ini hanya memandang pada Pek Gan Siansu yang masih berdiri tegak memegangi tongkat bambunya. Kemudian memandang pada Bun Lim Kwi yang masih tunduk sambil memegangi pedang pusaka. Terharu juga hati Lian Bu Tojin.
Terang bahwa biar pun hatinya hancur, pemuda Kun-lun-pai itu tunduk akan keputusan gurunya, seorang murid yang baik dan patuh. Akhirnya ketua Hoa-san-pai ini menengok ke arah murid-muridnya, kemudian setelah melihat pandang mata keras bercahaya dari mata Kwa Tin Siong dan Liem Sian Hwa, dia berkata kepada Pek Gan Siansu.
"Hebat sekali usulmu itu, Siansu. Benar-benar pinto tidak pernah menyangkanya bahwa usaha untuk jalan damai yang kau adakan sampai demikian jauhnya. Untuk maksud baik itu saja pinto sudah wajib menghaturkan terima kasih kepadamu. Akan tetapi, urusan yang kau usulkan ini bukanlah urusan kecil, dan sungguh pinto merasa ragu-ragu dan bahkan tidak berani memutuskannya. Ada banyak sahabat yang duduk menjadi saksi di sini, dan kiranya sudah sepatutnya kalau kita minta nasihat dan pertimbangan mereka. Akan tetapi tentu saja lebih dahulu aku harus minta pendapat kedua orang muridku, karena mereka adalah orang-orang yang secara langsung tersangkut dalam urusan pertentangan dengan pihakmu."
"Baiklah, Lian Bu toyu, kau bicarakanlah urusan ini, aku masih sabar menanti."
Kakek itu lalu melangkah mundur dua langkah dan berdiri bersandar pada tongkatnya. Bun Lim Kwi juga melangkah mundur dan menggunakan kesempatan ini untuk mengusap dua titik air mata dari pipinya dengan ujung lengan bajunya.
"Tin Siong, Sian Hwa, bagaimana pendapat kalian?" Lian Bu Tojin bertanya kepada dua orang muridnya dengan suara nyaring. Memang kakek ini sengaja hendak merundingkan usul ini secara terbuka sehingga banyak saksi akan melihat bahwa Hoa-san-pai tidak sekali-kali mempunyai maksud buruk.
"Suhu, teecu dalam urusan besar ini hanya menyerahkan segala keputusan kepada Suhu. Hanya teecu mengharap kelonggaran Suhu agar mengingat bahwa Hong-ji sudah teecu rencanakan mengenai calon suaminya." Dengan ucapan ini secara halus Kwa Tin Siong tidak menyetujui kalau puteri tunggalnya yang akan dijadikan pengikat antara dua partai itu dan menjadi jodoh putera Bun Si Teng!
"Suhu, teecu rasa amat tidak baik kalau mengulang kembali urusan busuk yang pernah menjadi sebab penghinaan terhadap Hoa-san-pai kita. Apakah kita tidak kapok setelah apa yang terjadi dengan diri teecu? Orang Kun-lun-pai tak dapat dipercaya. Siapa tahu kalau-kalau urusan perjodohan nanti hanya akan menghancurkan penghidupan seorang murid lain dari Hoa-san-pai seperti yang telah teecu derita?" Sampai di sini tak tertahan lagi air mata bercucuran dari mata Liem Sian Hwa.
Lian Bu Tojin menarik napas panjang. “Pek Gan Siansu, kau lihatlah, pinto tidak dapat memutuskan usulmu itu begitu saja, pinto harus mendengarkan keterangan pihak lain." la menoleh ke arah Beng Tek Cu, "Beng Tek Cu toyu, kau sebagai sahabat baikku, coba kau keluarkan pendapatmu tentang usul pihak Kun-lun-pai agar hati pinto tidak bimbang ragu."
Beng Tek Cu, tosu tokoh Bu-tong-pai yang tinggi besar dan jujur ini segera bangkit berdiri lalu terdengar suaranya yang keras dan parau.
"Pinto adalah orang luar, akan tetapi karena Lian Bu toyu sudah menaruh penghargaan terhadap pendapat pinto, baiklah pinto mengeluarkan pendapat secara jujur dengan terus terang. Terserah kalau ada pihak yang tidak setuju pendapat pinto ini, pokoknya bagi pinto, pendapat ini keluar dari hati yang jujur dan tidak berat sebelah." Sampai di sini tosu tinggi besar ini melirik ke arah Ang Kim Seng dan Ang Kim Nio.
"Beng Tek Cu toyu, teruskanlah," Lian Bu Tojin mendesak.
“Pinto yang sudah mendengar seluruhnya tentang persoalan Hoa-san-pai dan Kun-lun-pai dari Lian Bu toyu, dapat menarik kesimpulan bahwa segala pokok pangkal persoalannya ini yang menjadi biang keladinya adalah Kwee Sin. Sudah jelas bahwa dia bersekongkol dengan pihak Ngo-lian-kauw mengadakan kerusuhan, membunuh orang tua Liem-lihiap dan karenanya dia menyeret Kun-lun-pai dalam permusuhan dengan pihak Hoa-san-pai. Karena dia pulalah maka dua orang saudara Bun dari Kun-lun-pai sampai tewas dalam pertandingan di Hoa-san, dan kemudian permusuhan menjadi berlarut-larut."
"Pertandingan apa?" tiba-tiba Liu Ta, jago Khong-tong-pai berdiri dan mencela, suaranya tinggi kecil tidak sesuai dengan tubuhnya yang pendek gemuk. "Kedua Bun-enghiong itu datang berdua saja, mengantarkan sute mereka Kwee Sin naik ke puncak. Naik berdua saja berarti mempunyai maksud baik, akan tetapi tahu-tahu mereka terbunuh di sini. Aku heran, kalau tidak dikeroyok mana bisa dua orang gagah she Bun itu tewas?"
"Liu-sicu," Lian Bu Tojin menegur, mendahului Beng Tek Cu yang sudah memandang dengan mata melotot. "Pinto harap Liu-sicu sudi bersabar. Tentu saja sebagai tamu dan saksi, Sicu berhak mengukirkan pendapat, akan tetapi tunggulah saat dan giliran."
Ucapan Lian Bu Tojin penuh kehalusan, akan tetapi di dalam kehalusan ini tersembunyi celaan dan kekerasan. Semua ini dilakukan oleh ketua Hoa-san-pai, selain untuk menjaga keangkeran partainya, juga untuk mencegah terjadinya bentrokan antara Beng Tek Cu dan Liu Ta.....
Liu Ta menjadi merah mukanya, mengangguk dan duduk kembali.
Beng Tek Cu juga merah mukanya dan melanjutkan, "Tadi sudah pinto katakan, pendapat pinto keluar dari hati yang jujur, tak peduli diterima atau tidak oleh yang mendengarkan. Pinto ulangi lagi, pokok pangkal urusan permusuhan ini terjadi karena gara-gara Kwee Sin. Menurut Lian Bu totiang, pada saat itu Kwee Sin ditolong dan dilarikan oleh Hek-hwa Kui-bo, guru dari ketua Ngo-lian-kauw. Dari sini saja sudah terbukti bahwa lagi-lagi Kwee Sin yang bersekongkol dengan pihak Ngo-lian-kauw dan akhir-akhir ini kita semua bahkan sudah mendengar sepak terjangnya membantu Ngo-lian-kauw. Oleh karena itu, menurut pendapat pinto begini, usul Pek Gan Siansu untuk mengakhiri permusuhan dengan ikatan jodoh antara murid Kun-lun-pai dan murid Hoa-san-pai adalah usul yang amat sempurna dan boleh dipuji dan dihormati. Akan tetapi sudah tentu saja luka di hati pihak Hoa-san-pai takkan terobati kalau di samping usul baik ini pihak Kun-lun-pai tidak mengambil tindakan yang tegas terhadap bekas anak muridnya, Kwee Sin. Maka sebaiknya pihak Hoa-san-pai memberi syarat bahwa Kwee Sin harus dapat diantar ke Hoa-san-pai oleh pihak Kun-lun mati atau hidup, dan setelah itu barulah diadakan perundingan tentang ikatan jodoh. Nah, pinto sudah bicara, terserahlah!" la duduk kembali sambil menghapus keringatnya dengan ujung lengan baju.
Liu Ta meloncat berdiri, memandang kepada Pek Gan Siansu. "Siansu, harap kau orang tua izinkan saya bicara untuk membersihkan nama baik Kun-lun yang dicoreng hitam oleh orang sombong!"
Pek Gan Siansu sejak tadi sudah menjadi muram wajahnya. Hatinya kecewa bukan main bahwa maksud baiknya ternyata tidak mendapatkan sambutan yang baik pula. Ia sudah ribut lebih dulu di Kun-lun dengan muridnya Bun Lim Kwi sebelum datang ke Hoa-san. la sudah menggunakan banyak kata-kata bujukan supaya Lim Kwi mentaati kehendaknya dan mau dijodohkan dengan salah satu anak murid Hoa-san-pai demi untuk memperbaiki dan melenyapkan ketegangan.
Ketua Kun-lun-pai ini maklum, alangkah beratnya hal ini bagi Lim Kwi. Akan tetapi karena ketaatan dan kebaktiannya, pemuda itu akhirnya tunduk. Tetapi siapa kira di sini kembali dia menghadapi pertentangan-pertentangan yang agaknya akan berakibat tidak baik.
Sekarang melihat pihaknya dibantu orang, tentu saja dia hanya dapat mengangguk sambil berkata, "Boleh saja, Liu-enghiong, hanya kuharap kau tetap tak melupakan maksud baik yang kubawa jauh-jauh dari Kun-lun."
"Lian Bu totiang," kata tokoh Khong-tong ini sambil menjura kepada ketua Hoa-san-pai. "Harap saja Totiang tidak mendengarkan omongan mereka yang memanaskan suasana. Pek Gan Siansu sudah datang membawa maksud yang amat mulia dan sikap yang sudah amat mengalah. Jika hendak bicara tentang pokok pangkal pertentangan, aku sama sekali tidak setuju bila dalam hal ini Kun-lun-pai dipersalahkan. Boleh orang menyalahkan Kwee Sin, namun harus diingat bahwa Kwee Sin sudah tidak diakui sebagai murid Kun-lun-pai lagi oleh ketuanya. Jika diingat lagi tentang soal sakit hati, mana yang lebih sakit hatinya? Dua orang murid Kun-lun-pai terang-terangan telah terbunuh di Hoa-san oleh murid-murid Hoa-san-pai. Sedangkan pihak Hoa-san-pai yang tewas, apakah ada yang terbunuh oleh Kun-lun-pai? Semua ini adalah gara-gara satu orang saja, Kwee Sin yang bukan orang Kun-lun-pai lagi. Maka, menurut pendapatku usul yang amat mulia dari Pek Gan Siansu ini sudah sewajarnya jika diterima oleh Totiang sehingga permusuhan berakhir sampai di sini saja."
Ang Kim Seng yang memang sudah tak senang kepada Beng Tek Cu, lalu menyambung omongan Liu Ta dengan suara keras.
"Sudah terang musuh besar Hoa-san-pai bukanlah Kun-lun-pai, melainkan Kwee Sin dan Ngo-lian-kauw. Mengapa pihak Hoa-san-pai tidak pergi menangkap sendiri Kwee Sin dan memusuhi Ngo-lian-kauw? Apakah takut karena di sana ada Hek-hwa Kui-bo?” Ia tertawa mengejek sambil melirik ke arah Beng Tek Cu.
Beng Tek Cu adalah seorang tosu, artinya seorang yang memeluk Agama To. Akan tetapi dasar dia berwatak keras, jujur dan galak, maka mendengar omongan ini dia pun serentak bangun berdiri dan berkata.
"Siapa bicara tentang takut dan berani? Jika mengira Hoa-san-pai takut, bisa dia buktikan, tak usah Hoa-san-pai, pinto saja juga tidak mengenal takut! Kita berunding tentang cengli (peraturan), bukan mau menang sendiri apa lagi mengadu-adu golongan. Terang sudah bahwa Kwee Sin adalah orang termuda dari Kun-lun Sam-hengte, jadi terang dia murid Kun-lun-pai. Kalau dia melakukan kejahatan, biar pun dia dinyatakan bukan murid Kun-lun lagi, namun sudah sewajarnya kalau Kun-lun-pai bertanggung jawab dan menghukumnya. Ataukah barang kali Kun-lun-pai memang diam saja kalau namanya dirusak oleh seorang anak muridnya yang menyeleweng? Hemmm, kami dari Bu-tong-pai memiliki satu aturan khusus, yaitu bila ada seorang anak murid yang menyeleweng dan melakukan kejahatan menodai nama baik Bu-tong-pai, tidak boleh ada orang lain yang bertindak, kami sendiri dari pihak pimpinan akan menghukumnya!"
"Bu-tong-pai mana bisa disejajarkan dengan Kun-lun-pai?!" bentak Liu Ta sambil bangkit berdiri, matanya membelalak.
"Memang tidak bisa, apa lagi kalau dibandingkan dengan Khong-tong-pai dan Bu-eng-pai. Kami dari Bu-tong-pai menang jauh dalam hal memegang peraturan!" Beng Tek Cu ganti membentak sambil membusungkan dada, menantang.
"Beng Tek Cu manusia sombong! Kau-kira aku takut kepada Bu-tong-pai?” bentak Liu Ta sambil melangkah maju.
"Jagoan Khong-tong-pai adalah tukang pukul, mana kenal takut? Baru takut kalau sudah kalah!" Beng Tek Cu mengejek.
"Wakil Bu-tong-pai sombong! Hal ini lebih baik diselesaikan di ujung pedang!" Ang Kim Seng dan Ang Kim Nio berteriak sambil berdiri dan meraba gagang pedangnya.
Keadaan sudah menjadi tegang sekali. Bahkan kini para pengikut masing-masing pihak sudah siap untuk bertempur begitu mendapat perintah pimpinan masing-masing.
Pek Gan Siansu dan Lian Bu Tojin memandang penuh kekhawatiran. Di lubuk hati kedua orang kakek ini sebetulnya sama sekali tidak menghendaki permusuhan yang makin hebat dan berlarut-larut. Mereka adalah orang-orang yang selain memiliki ilmu silat tinggi, juga memiliki ilmu batin yang kuat, maka tentu saja lebih luas pandangan dan tidak menyukai digunakannya kekerasan, apa lagi sampai menyangkut dan menyeret golongan-golongan lain.
Tiba-tiba terdengar suara ketawa keras sekali. Yang tertawa ini adalah Giam Kin. Pemuda ini sudah berdiri, ular yang tadi didudukinya sekarang merayap naik dan melingkar-lingkar di tubuhnya.
"Ha-ha-ha-ha, memang seharusnya begitu! Belum pernah aku melihat partai persilatan mengadakan perayaan tanpa pertunjukan silat! Lian Bu totiang dan Pek Gan Siansu! Kita adalah laki-laki gagah, tidak seperti perempuan, tidak pandai banyak bicara, lebih pandai mempergunakan kepalan dan pedang. Ada urusan? Tidak perlu bicara bertele-tele, tarik pedang gunakan kepalan mencari keputusan siapa yang menang siapa yang kalah. Yang menang dialah yang benar, yang kalah tentu saja salah! Ha-ha-ha!"
Souw Kian Bi, Pangeran Mongol yang pesolek tampan itu juga berdiri dan bertepuk-tepuk tangan. "Tepat sekali! Ucapan Giam-taihiap adalah ucapan seorang jantan. Memang lebih baik diadakan pertandingan, ruangan cukup lebar! Semua dibagi menjadi dua golongan, pihak Hoa-san-pai dan pihak Kun-lun-pai. Masing-masing mengeluarkan seorang jagonya secara bergiliran, lalu diadakan pertandingan. Yang kalah harus mengakui kesalahannya. Bukankah ini tepat sekali bagi kita orang-orang yang biasa membawa pedang?"
Sebagian besar orang-orang muda yang hadir di situ menjadi gembira. Tentu saja mereka setuju jika diadakan pibu (adu kepandaian), maka dari sana-sini terdengar sorakan tanda setuju. Bagi orang-orang yang sudah biasa bermain pedang untuk menyelesaikan sesuatu urusan, tentu saja mereka tidak suka mendengarkan banyak kata-kata yang muluk-muluk. Apa lagi di waktu keadaan negara sekacau itu, di mana hukum seakan-akan tidak berlaku lagi dan hukum yang mereka kenal hanyalah siapa menang dia benar, dan siapa kalah dia salah. Hukum rimba selalu berkuasa di dalam kekacauan.
Pek Gan Siansu dan Lian Bu Tojin menjadi serba salah. Mereka juga adalah ketua-ketua dari partai persilatan yang besar. Tentu saja mereka pun sukar untuk melangkah mundur, sulit untuk menyatakan sikap ragu-ragu menghadapi perlombaan adu kepandaian. Dalam dunia kang-ouw sudah jelas bahwa siapa mundur dalam menghadapi pibu, dia dianggap takut dan pengecut!
Apa lagi sekarang Thio Ki beserta Kui Lok sudah melompat maju dengan tangan meraba gagang pedang, keduanya berlomba berkata, "Akulah jago pertama yang maju membela nama baik Hoa-sanpai!"
Dan Bun Lim Kwi yang tadinya bermuka muram, sekarang nampak berseri-seri mukanya. Matanya yang lebar itu bersinar-sinar. Ia memandang kepada suhu-nya dengan pandang mata penuh permohonan agar diberi ijin untuk mempertahankan nama baik Kun-lun-pai. Agaknya pertandingan sebagai gantinya perjodohan untuk menyelesaikan perkara itu tak dapat dihindarkan lagi.
Tiba-tiba seorang pemuda berlari-lari keluar dari kelompok pengikut yang berada paling belakang. Pemuda ini bukan lain adalah Beng San. Melihat keadaan sudah begitu gawat, pemuda ini tak dapat menyembunyikan dirinya lagi.
Ia tidak peduli akan pandangan orang banyak kepadanya, juga dia menahan hatinya agar tidak menengok ke arah dua orang yang pada saat itu mengeluarkan seruan heran. Yang seorang adalah Thio Eng.
Begitu gadis berbaju hijau ini melihat Beng San berlari-lari menghampiri dua orang ketua yang sedang bersitegang, gadis ini berseru. "Saudara Tan...”
Dia dapat segera menahan keheranannya dan tidak melanjutkan kata-katanya. Dia hanya memandang dengan mata terbuka lebar ke arah Beng San yang dengan tersaruk-saruk berlari mendekati dua orang kakek ketua itu.
Orang ke dua yang berseru heran tertahan adalah pemuda teman Souw Kian Bi. Pemuda ini sampai bangkit dari bangkunya ketika memandang Beng San. Tentu saja perbuatan dua orang ini tidak menyolok benar sebab pada saat itu semua tamu juga memperhatikan Beng San, apa lagi setelah pemuda ini berteriak-teriak.
"Ji-wi Locianpwe (kedua orang tua gagah), harap tahan dulu! Saya mempunyai dua benda untuk diberikan kepada Ji-wi!" Beng San yang masih ingin menyembunyikan kepandaian dirinya sengaja lari tersaruk-saruk dan terengah-engah.
Pek Gan Siansu memandang heran, dan Lian Bu Tojin tersenyum, lalu berkata halus.
"Beng San, kau hendak memberi apakah kepada kami?"
Sementara itu, para tamu sudah saling pandang dan saling bertanya. Siapakah pemuda yang berpakaian sastrawan itu? Apa maunya bocah ketolol-tololan itu?
Beng San dengan gugup merogoh-rogoh saku dalam bajunya dan mengeluarkan dua lipat kertas. Pemuda ini cukup cerdik untuk tidak mau menyebut-nyebut nama Ciu Goan Ciang. Ia maklum bahwa di situ banyak mata-mata pemerintah dan dia ingat pula bahwa Souw Kian Bi adalah seorang Pangeran Mongol, maka katanya.
"Ji-wi Locianpwe, pada saat saya hendak naik ke Hoa-san, di tengah jalan saya dititipi dua pucuk surat ini untuk Ji-wi dari seorang gagah. Pesannya agar supaya saya memberikan surat ini kepada Ji-wi untuk mencegah terjadinya pertempuran dan permusuhan. Silakan Jiwi menerima dan membacanya." Ia menyerahkan sebuah surat kepada Lian Bu Tojin dan sebuah lagi kepada Pek Gan Siansu.
Tentu saja kedua orang tua itu menjadi heran sekali, akan tetapi dengan tenang mereka menerima surat-surat itu. Bahkan Lian Bu Tojin sendiri juga amat terheran karena belum pernah Beng San menyebut-nyebut mengenai dua surat ini. Wajah mereka yang tadinya terheran itu menjadi semakin heran dan berubah merah ketika mereka sudah membuka lipatan surat-surat itu.
Pek Gan Siansu menujukan matanya yang putih itu kepada Beng San sambil berkata, “Orang muda, apa maksudmu dengan kelakar ini?"
Juga Lian Bu Tojin menjadi heran sekali setelah membuka surat, malah segera menegur, "Beng San, mengapa kau mempermainkan kami seperti ini? Katakanlah, apa maksudmu dengan main-main ini?"
Beng San terkejut sekali, lebih-lebih lagi kagetnya ketika dia melihat dua orang kakek itu membalik kertas surat kepadanya dan setelah dia memandangnya, ternyata bahwa yang dipegang oleh kedua orang kakek itu adalah sehelai kertas yang tidak ada tulisannya lagi! Pada kertas hanya ada bekas-bekas tulisan-tulisan yang sudah tak dapat terbaca karena tulisan-tulisan tinta itu telah lenyap tersapu air menjadi sehelai kertas kosong!
Otaknya yang cerdik cepat bekerja dan tahulah dia sekarang bahwa ini adalah gara-gara pertemuannya dengan gadis baju hijau! la pernah terjatuh ke dalam air dan tentu saja, ah, alangkah bodohnya, surat itu telah basah oleh air dan tintanya tersapu hilang!
Jika orang lain yang berada dalam keadaan seperti Beng San, kiranya dia akan kehabisan akal dan menjadi bingung sekali. Akan tetapi, tidak demikian dengan pemuda ini. Sedetik kemudian dia sudah dapat mengatasi keadaannya dan dapat pula mencari akal. Melihat dua orang ketua itu memandangnya dengan penuh penasaran dan pertanyaan, dia malah tertawa lebar.
"Ji-wi Locianpwe tentu menghendaki penjelasan, bukan?"
"Jelaskanlah maksudmu main-main ini!" Pek Gan Siansu menegur.
"Beng San, kau bicaralah," kata Lian Bu Tojin.
Kembali Beng San tertawa. "Ji-wi (kalian berdua) adalah ahli-ahli kebatinan, masa tidak tahu akan maksud orang gagah yang memberi surat? Kertas itu kosong dan bersih? Apa yang lebih sempurna dari pada kosong dan bersih? Kalau Ji-wi dapat mengosongkan hati dan membersihkan pikiran, kiranya segala keruwetan dunia akan bisa dipecahkan dengan mudah. Bukankah Nabi Locu dan Nabi Khong-cu sama-sama menganjurkan supaya kita dalam menghadapi segala hal dapat mengosongkan hati dan pikiran?"
Pek Gan Siansu dan Lian Bu Tojin saling pandang, lalu mengangguk-angguk. Mata hati mereka kini seperti terbuka. Memang tadi mereka terlalu menurutkan perasaan hati dan jalannya pikiran, maka hampir saja keduanya tak dapat menguasai keadaan lagi.
Sekarang keduanya serentak mengangkat tangan ke arah pengikut dan pembela masing-masing sambil berkata, "Biarkan orang muda ini bicara sampai habis!"
Perbuatan ini mereka lakukan karena di sana-sini terdengar suara ejekan serta celaan terhadap Beng San yang dianggap sebagai orang gila.
Beng San menjadi lega. Langkah pertama sudah dia ambil dan agaknya telah berhasil pula. Kemudian dia berkata lagi, suaranya lantang, "Ji-wi Locianpwe, terima kasih kalau jiwi sudi mendengarkan kata-kata saya selanjutnya. Tetapi lebih dahulu saya peringatkan bahwa mungkin apa yang akan saya katakan ini tidak enak didengarnya. Bukankah Nabi Lo-cu pernah bersabda demikian…” Setelah mengambil satu tarikan napas panjang, Beng San mulai membacakan sabda yang dia maksudkan.
“Kata-kata jujur tak enak didengar,
kata-kata enak didengar tidak jujur.
Orang yang mengerti tidak mau cekcok,
yang suka cekcok tidak mengerti.
Orang yang tahu tidak sombong,
yang sombong tidaklah tahu.
Orang bijaksana tidak kikir,
Ia menyumbang sehabis-habisnya,
namun ia makin menjadi kaya.
la memberi sehabis-habisnya,
namun ia makin berlebihan.
Jalan yang ditempuh langit
selalu menguntungkan, tidak pernah merugikan.
Jalan yang ditempuh orang bijaksana selalu memberi,
tidak pernah merebut.”
Kembali dua orang kakek itu mengangguk-angguk dan Lian Bu Tojin sambil tersenyum berkata lirih, "Syair dalam To-tek-keng bagian terakhir."
Beng San makin senang melihat bahwa Lian Bu Tojin sudah bisa tersenyum dan wajah Pek Gan Siansu kembali sabar seperti tadi.
"Ji-wi Locianpwe hampir saja lupa akan sifat-sifat kebajikan dan hampir saja membiarkan terjadinya kekerasan yang nantinya amat patut disayangkan. Bukankah Nabi Locu pernah pula mencela kekerasan?”
Dengan suara lantang kembali Beng San membacakan ujar-ujar dari kitab To-tek-keng.
“Di waktu hidup, manusia lemah dan lemas,
kalau mati menjadi kaku dan keras.
Segala benda hidup di waktu tumbuh lemah dan lemas
kalau mati menjadi kering dan getas (mudah patah)
Maka dari itu,
KAKU KERAS adalah teman kematian,
LEMAH LEMAS adalah teman kehidupan.
Inilah sebabnya maka senjata keras mudah menjadi rusak
Pohon kayu keras mudah menjadi tumbang dan patah.
Oleh karena itu,
Yang kuat keras akan tumbang menduduki tempat bawah,
yang lemah dan lemas akan terus bersemi di tempat yang atas.”
Dua orang kakek itu kembali saling panjang dan mengangguk-angguk. Memang semua ujar-ujar To-tek-keng yang diucapkan Beng San untuk mengingatkan mereka ini sangat cocok dengan isi hati mereka tadi sebelum mereka dibikin panas oleh orang-orang yang lebih muda.
"Heee! Apakah kita ini disuruh mendengarkan bualan penjual obat?" seorang muda yang duduk di belakang, yang tadi sudah ‘panas’ sekarang berteriak mengejek.
“Kita semua mau dijadikan banci-banci yang tidak memiliki kejantanan!" Giam Kin tertawa menghina. "Urusan hendak dibicarakan melalui segala macam syair busuk oleh seorang sastrawan jembel. Apakah kedua pihak sudah tidak punya nyali lagi untuk mengandalkan kepandaian sendiri?"
"Ha-ha-ha! Betul itu." Souw Kian Bi menambah minyak ke dalam api. "Aku tidak mengerti yang manakah yang sebetulnya tidak berani, Kun-lun-pai ataukah Hoa-san-pai?"
Mendengar suara-suara mengejek ini, habis sudah kesabaran Kiam-eng-cu Liem Sian Hwa. Kebencian nona ini terhadap Kun-lun-pai memang sudah amat mendalam. Hal ini tidak aneh karena nona ini merasa sakit hati sekali kepada bekas tunangannya, Kwee Sin yang dianggapnya sudah membunuh ayahnya, kemudian malah membunuh dua orang suheng-nya, Thio Wan It dan Kui Keng.
Tadi pun dia sudah kurang sabar melihat gurunya hendak berunding secara damai. Kini dengan api dan minyak yang dinyalakan oleh Giam Kin dan Souw Kian Bi melalui mulut mereka yang berbisa, nona jagoan Hoa-san-pai ini telah meloncat maju sambil mencabut pedang.
"Keparat Souw Kian Bi! Siapa yang takut? Hoa-san-pai tidak pernah takut, meski harus menghadapi seorang manusia macammu sekali pun!" Nona ini memang juga amat benci kepada Souw Kian Bi yang pernah menghinanya dahulu.
Souw Kian Bi tersenyum-senyum sedangkan para tamu lain berdebar tegang dan tambah gembira. Pangeran Mongol ini menggerakkan pundaknya.
"Nona manis, kita semua sekarang sedang mengurus persoalan antara Hoa-san-pai dan Kun-lun-pai, mengapa kau memilih aku untuk ditantang? Kalau kau tidak berani terhadap Kun-lun-pai, jangan mencari musuh lain. Ha-ha-ha!"
"Setan busuk, siapa takut? Boleh orang-orang Kun-lun-pai maju, aku Kiam-eng-cu Liem Sian Hwa takkan mundur setapak!" Sepasang pedangnya sudah siap di kedua tangan dan mukanya yang cantik itu menjadi merah, matanya berapi-api.
Beng San melototkan matanya ke arah Giam Kin dan Souw Kian Bi. Hatinya ingin sekali memberi hajaran kepada dua orang itu, akan tetapi dia menenangkan hatinya, lalu berkata lagi keras-keras.
"Ji-wi Locianpwe, harap suka mendengarkan kata-kataku sampai habis!"
Pek Gan Siansu dan Lian Bu Tojin memang amat tertarik oleh ucapan Beng San tadi, maka mereka segera memberi tanda dengan tangan, mencegah orang-orang itu supaya tidak ribut sendiri.
Lian Bu Tojin bahkan membentak Sian Hwa, "Sian Hwa kau duduklah kembali, jangan lancang mendahului pinto!"
Keadaan menjadi tenang kembali dan Beng San melanjutkan kata-katanya dengan suara nyaring.
"Ji-wi Locianpwe sebagai dua ciangbunjin (ketua) partai besar, hendaknya bertindak wajar dan sesuai dengan ujar-ujar yang mulia itu. Urusan antara kedua partai Ji-wi seyogianya diurus mempergunakan kelemasan, yaitu dengan secara damai dan mengusut keadaan yang sebenarnya. Asal sudah didapatkan siapa ‘salah’, kemudian yang salah mengakui kesalahannya, bukankah semua masalah akan menjadi beres? Pembunuhan tidak dapat diselesaikan dengan pembunuhan lain lagi, karena hal itu akan menjadi makin berlarut, dendam dan sakit hati akan bertumpuk-tumpuk tiada habisnya."
Kembali kedua orang kakek itu mengangguk-angguk dan semua tamu sekarang mulai memperhatikan Beng San. Siapakah pemuda ini? Aneh dan berani sekali sungguh pun kelihatan tidak memiliki kepandaian silat sama sekali.
"Tadi ada beberapa orang saudara yang menyinggung-nyinggung bahwa biang keladi dari pokok persoalan ini adalah Kwee Sin orang termuda dari Kun-lun Sam-hengte. Pendapat itu keliru! Pek-lek-jiu Kwee Sin memang mempunyai kelemahan dan kesalahan, namun bukanlah dia yang melakukan pembunuhan terhadap ayah Liem-lihiap!"
Kembali suasana menjadi ramai. Akan tetapi dengan isyarat tangan, kedua orang ketua partai itu dapat menenteramkan suasana.
"Baik Kun-lun-pai mau pun Hoa-san-pai adalah partai-partai yang terkena fitnah jahat dan yang menyebar fitnah ini memang sengaja melakukan hal ini untuk mengadu domba antara Hoa-san-pai dan Kun-lun-pai. Mengapa demikian? Tentunya mudah sekali diduga. Ada orang-orang atau pihak tertentu yang tidak ingin melihat dua partai besar ini bersatu dan umumnya mereka pun tidak ingin melihat rakyat bersatu padu, lebih senang melihat perpecahan-perpecahan di mana-mana. Orang gagah yang menitipkan surat kepadaku berkata bahwa apa bila Kun-lun-pai dan Hoa-san-pai dapat membuang perasaan mau menang sendiri dan mau bersatu, maka dua partai itu akan merupakan kekuatan yang maha hebat dan dapat dipergunakan untuk menolong negara dan rakyat. Ji-wi Locianpwe, sekarang rakyat sedang menderita, negara sedang kacau-balau, pergerakan patriotik kini bangkit di mana-mana, orang-orang gagah tidak ada yang ketinggalan untuk menanam sahamnya dalam perjuangan, untuk menyumbangkan setitik keringat, setetes darah, kalau perlu bahkan selembar nyawanya untuk tanah air. Masa dalam waktu seperti ini, Ji-wi Locianpwe hendak membawa anak murid masing-masing untuk saling gempur dan saling bermusuhan? Di manakah letaknya jiwa ksatria Ji-wi Locianpwe? Di manakah letak jiwa patriotik jika Ji-wi (kalian) yang mengaku pendekar-pendekar bangsa tidak turut berusaha membela tanah air sebaliknya malah saling gempur dan saling bunuh? Semestinya Ji-wi malah bekerja sama membangun dan menghalau musuh, ehh, siapa kira, tanpa disadari Ji-wi malah bekerja sama untuk merusak dan tanpa disadari pula malah membantu musuh rakyat dengan jalan mentaati kehendak mereka. Ya, memang kehendak merekalah agar supaya kita saling hantam dan karenanya kita menjadi lemah sehingga kelak mereka mudah menguasai kita!"
Kini ramailah lagi para tamu. Giam Kin, Souw Kian Bi dan temannya yang semenjak tadi memandang Beng San, bangkit berdiri, muka mereka sebentar merah sebentar pucat. Inilah kata-kata berbahaya sekali, kata-kata seorang pemberontak terhadap pemerintah Mongol!
"Ketahuilah, Ji-wi Locianpwe," Beng San bicara terus tanpa pedulikan sikap para tamu. "Ji-wi telah kena dipermainkan oleh pihak Ngo-lian-kauw! Ngo-lian-kauw yang mengatur semua ini, yang menyamar sebagai Pek-lian-pai dan yang mendorong Kwee Sin ke dalam jurang lumpur. Ngo-lian-kauw yang melakukan semua pembunuhan sambil menyamar, jadi dalam hal ini, pihak Hoa-san-pai mau pun Kun-lun-pai tidak salah. Seharusnya Ji-wi memusuhi Ngo-lian-kauw!"
Berubah air muka dua orang kakek itu. "Tapi..., tapi kenapa Kwee Sin tidak mau mengaku salah dan malah pergi dengan orang-orang Ngo-lian-kauw? Kenapa pula dia melakukan semua itu? Beng San, apa bila kau sedang berusaha membersihkan diri Kwee Sin, kau kurang berhasil," kata Lian Bu Tojin menggeleng kepala dengan sangsi.
"Toyu, memang bekas muridku Kwee Sin itu menyeleweng, akan tetapi sekarang dia tidak kuanggap muridku lagi. Andai kata kau suka mengulurkan tangan kepada Kun-lun-pai dan mengajak kami bersama kalian menggempur Ngo-lian-kauw, percayalah, aku sendiri tidak akan ragu-ragu untuk menghancurkan kepala manusia durhaka bernama Kwee Sin!” kata Pek Gan Siansu gemas.
"Baguslah kalau begitu." Lian Bu Tojin berseru girang. "Pek Gan Siansu, mendengarkan kesanggupanmu, pinto nyatakan bahwa mulai sekarang Hoa-san-pai tidak menganggap Kun-lun-pai sebagai lawan, bahkan sebagai kawan untuk bersama-sama membasmi kaum Ngo-lian-kauw yang jahat dan menangkap Kwee Sin!"
Orang-orang yang menyetujui dilakukan perdamaian antara dua partai ini bersorak girang, tetapi mereka yang menghendaki perpecahan menjadi marah dan kecewa.
"Enak benar bocah ini!" Souw Kian Bi membentak marah. "Ji-wi ciangbunjin (dua ketua) dari Hoa-san-pai dan Kun-lun-pai yang sudah tua-tua mengapa mudah saja ditipu dan dibohongi bocah seperti ini? Ji-wi harus ingat bahwa bocah ini bukanlah apa-apa, kenapa percaya begitu saja? Enak benar dia kalau kelak ternyata bahwa kata-katanya itu bohong semua, bukankah ji-wi akan ditertawai oleh seluruh kolong langit? Dua orang ketua yang besar dan terkenal sudah diingusi oleh seorang bocah tak bernama. Apa lagi mendengar kata-katanya bocah ini, sudah sepatutnya dia kutangkap atau kubunuh mampus. Dia patut kucurigai sebagai pemberontak! Ji-wi Lo-cianpwe, saya tidak mau bertindak demikian di sini karena menghormatinya sebagai tamu Hoa-san ciangbunjin. Akan tetapi, dia harus bisa membuktikan dulu omongannya. Dia harus bisa membuktikannya dengan membawa Kwee Sin ke sini agar semua kata-katanya itu dapat dicocokkan dengan pengakuan Kwee Sin. Bukankah ini adil namanya?"
Dalam kata-kata ini terkandung ancaman hebat. Memang, semua orang maklum bahwa Souw Kian Bi adalah orang Mongol, maka dia itu berhak mengecap siapa saja menjadi pemberontak.
Dua orang kakek itu saling pandang, Pek Gan Siansu bertanya, "Orang muda, kau tadi bicara tentang orang gagah yang menitipkan surat dan pesanan, siapakah dia itu?"
Beng San yang sudah merasa kepalang tanggung, tak dapat mundur kembali, menjawab dengan sejujurnya, “beliau she Ciu."
Mendengar ini, dua orang kakek itu menjadi pucat mukanya. Mereka cepat membungkuk tanda menghormat.
Sebaliknya, Souw Kian Bi menyumpah-nyumpah dan berteriak, "Awaslah siapa saja yang merasa berdosa, aku Souw Kian Bi sudah mendengar dan melihat semua. Hayo, saudara Tan, kita pergi!"
Beng San dengan berani memandang ke arah mereka, terutama sekali ke arah orang she Tan yang dia yakini adalah kakak kandungnya, Tan Beng Kui itu. Akan tetapi, orang she Tan ini memandang kepadanya dengan mata melotot, lalu membuang ludah dengan sikap menghina, mengebutkan lengan baju dan pergi mengikuti Souw Kian Bi.
Para tamu yang merasa tidak setuju dengan omongan Beng San dan yang selama ini malah membantu pemerintah Mongol menentang para pemberontak, memandang dengan sikap mengancam, malah ada yang ikut meniru perbuatan Souw Kian Bi meninggalkan tempat itu tanpa pamit.
Pek Gan Siansu menarik napas panjang. "Saudara muda ini ternyata lebih gagah dan berani dari pada kita orang-orang tua... ahh, Lian Bu toyu, aku benar merasa menyesal kalau kedatanganku ini hanya menjadi pengganggu perayaan ulang tahunmu. Tentang usulku perjodohan tadi, biarlah sementara kutunda dulu, kelak kalau kau merasa setuju, kau boleh memberi kabar. Tentang Kwee Sin, aku orang tua akan merasa berterima kasih kalau saudara muda ini mampu membuktikan segala ucapannya dan mendatangkan Kwee Sin sebagai saksi utama. Lim Kwi, hayo kita pergi!"
Bu Lim Kwi, pemuda gagah ini mengangguk. Tapi baru saja guru dan murid ini melangkah sejauh lima tindak, tiba-tiba melayang bayangan hijau yang disusul bentakan nyaring.
"Orang she Bun! Hutang nyawa bayar nyawa!"
Hebat sekali gerakan Bu Lim Kwi dan Beng San memandang kagum. Nampak pemuda ini seakan-akan tidak menghiraukan bayangan hijau yang datang menyambar ke arahnya, akan tetapi tahu-tahu…
"Traanggg...!"
Bunga api berpijar menyilaukan mata ketika pedang di tangan nona baju hijau terpental karena tangkisannya, menggunakan pedang yang tadinya tergantung pada pinggangnya. Tangkisan ini dia lakukan dengan tangan kanannya, sedangkan tangan kirinya tetap saja memondong pedang pusaka Kun-lun-pai!
Bentrokan pedang ini tidak berhenti sampai di situ saja karena wanita baju hijau itu, Thio Eng, sudah melanjutkan serangannya bertubi-tubi secara hebat dan dahsyat sampai lima kali. Terdengar bunyi pedang bertemu sampai lima kali dan pertemuan yang terakhir itu demikian kuatnya sehingga baik Thio Eng mau pun Bun Lim Kwi terhuyung mundur! Semua ini berjalan dengan cepat sekali, hanya beberapa detik dan selama itu Pek Gan Siansu menoleh pun tidak!
Melihat dua orang pemuda ini sudah terhuyung mundur, Beng San mendapat kesempatan bertindak tanpa memperlihatkan kepandaiannya. la berlari-lari kemudian berdiri di tengah-tengah antara mereka.
"Eng-moi (adik Eng)... tahan pedang."
"Tan-ko (kakak Tan), kau minggirlah dan jangan turut campur, ini urusan sakit hati yang terpendam bertahun-tahun lamanya!" Wajah Thio Eng masih beringas bibirnya digigit dan matanya bersinar-sinar mengandung api kemarahan.
"Tidak, Eng-moi. Apakah kau hendak merusak semua usahaku tadi? Eng-moi, ingatlah, kau menjadi tamu di sini, tidak selayaknya kalau kau melakukan apa saja sesukamu tanpa memandang muka tuan rumah."
Thio Eng terpukul oleh kata-kata ini. Semenjak kecil ia dididik oleh orang sakti, tentu saja ia mengenal aturan kang-ouw dan benar sekali apa yang dikatakan Beng San. Tadi ketika mendengar bahwa pemuda murid Kun-lun-pai itu bernama Bun Lim Kwi putera mendiang Bun Si Teng, ia tak dapat menahan kemarahannya lagi.
Ayahnya, Thio San, dibunuh oleh kedua orang saudara Bun dan inilah keturunan mereka, inilah musuh besarnya. Saking marahnya, ia tadi sampai lupa bahwa dia dan pemuda musuh besarnya itu kini sedang menjadi tamu Hoa-san-pai, maka tidak selayaknya dia menyerangnya di tempat itu.
Akan tetapi Thio Eng sudah terlalu marah, juga penasaran karena lima kali serangannya yang hebat tadi dapat ditangkis oleh lawannya. Kemarahannya telah memuncak sehingga peringatan Beng Sen tidak berapa dipedulikannya.
"Maafkan aku, Tan-ko. Kali ini aku tidak mendengarkan siapa-siapa kecuali suara hatiku sendiri. He, orang she Bun. Jika kau bukan pengecut, mari kita berkelahi sampai seorang di antara kita mati di sini!" tantangnya mendesak kembali.
Bun Lim Kwi menjawab dengan nada duka, "Nona, aku tidak mengenalmu... bagaimana kau bisa memusuhiku...?" Suara pemuda ini tenang dan sabar sekali. Sepasang matanya memandang wajah Thio Eng penuh penyesalan, penuh kedukaan sehingga untuk sedetik hati Thio Eng terpukul.
"Ayahmu membunuh ayahku." Thio Eng menyerang lagi
"Adik Eng, jangan berkelahi di sini. Kau tamu...!" Beng San coba membujuk.
Akan tetapi Thio Eng yang sudah marah sekali telah mengirim tusukan kilat ke arah dada Bun Lim Kwi.
Tiba-tiba mata Beng San menjadi silau ketika sesosok bayangan merah menyambar dari luar. Gerakan bayangan marah ini luar biasa cepatnya, seperti seekor burung garuda saja. Sambil melayang bayangan merah ini mengeluarkan sepasang senjata yang berkilauan seperti mengeluarkan api, sekali sepasang pedang digerakan sekaligus sudah menangkis pedang Thio Eng yang ditusukkan ke arah dada Lim Kwi dan pedang Lim Kwi yang hendak menangkis.
"Trang... tranggg...!"
Thio Eng dan Lim Kwi berseru kaget sambil melompat mundur. Ternyata pedang di tangan mereka itu ujungnya telah patah terkena tangkisan aneh dari bayangan merah ini.
Sementara itu, dengan gerakan cepat hampir tidak dapat diikuti pandang mata, bayangan merah itu telah menyimpan sepasang pedangnya kembali ke dalam sarung pedang besar di punggungnya.
Sepasang mata bersinar-sinar tajam, sebuah mulut mungil berbibir merah segar, wajah cantik seperti bidadari akan tetapi juga amat angkuh dan mengandung kekerasan hati yang mengerikan. Seorang gadis cantik jelita sebaya Kwa Hong, berpakaian serba merah indah dari sutera merah panjang melambai-lambai. Sepatunya juga merah berkembang batu kemala dengan kedua ujung sepatu dipasangi baja. meruncing. Seorang nona yang berpakaian serba merah dan luar biasa cantik, akan tetapi juga nampak gagah perkasa!
"Benar ucapan dia itu. Tamu tidak boleh meremehkan tuan rumah dan berbuat seenaknya sendiri!" Suaranya merdu dan halus, akan tetapi mengandung keangkuhan tinggi seperti suara seorang puteri terhadap para abdinya! Kemudian dara jubah merah ini meloncat ringan, tahu-tahu sudah berada di depan Lian Bu Tojin, menjura dan berkata.
"Ayahku karena repot tidak dapat berkunjung ke Hoa-san. Oleh karena itu, aku mewakili keluarga Cia dari selatan sengaja berkunjung mengucapkan selamat kepada Hoa-san-pai. Selain itu, juga ayah menyuruh aku memberi tahu kepada semua orang gagah yang berkumpul ini hari di Hoa-san-pai, bahwa sebagai pemegang gelar Raja Pedang terakhir, ayah menetapkan hari perlombaan gelar Raja Pedang satu tahun kemudian dihitung mulai bulan ini, pada pertengahan bulan purnama, di puncak gunung Thaisan. Nah, aku sudah berbicara, selamat tinggal, Lian Bu totiang!" Suara gadis jelita ini selain angkuh, juga amat nyaring dan jelas, membuat semua tamu melongo kagum.
"Ayaaa, kiranya anak Bu-tek Kiam-ong (Raja Pedang Tak Terlawan) Cia Hui Gan? Bagus, sudah lama pinto ingin berkenalan dengan ilmu pedangnya!" kata-kata ini lantas disusul meloncatnya dua orang kakek berkepala gundul. Mereka adalah dua orang hwesio yang duduk di ruang tamu kehormatan dan yang semenjak tadi duduk diam saja.
Seperti diceritakan di bagian depan, di dalam ruang tamu kehormatan ini selain duduk para pimpinan partai besar, juga duduk dua orang hwesio ini, dua orang kakek petani dan tiga orang tosu. Sejak tadi tujuh orang kakek ini duduk diam dan menonton sambil mendengarkan saja, akan tetapi begitu muncul nona baju merah ini, mereka kelihatan memperhatikan sekali. Kini dua orang hwesio itu melompat dan tahu-tahu mereka telah berdiri di depan nona tadi sambil menggerak-gerakkan tongkat baja masing-masing yang panjang dan berat.
Nona itu menggerakkan alisnya yang kecil hitam, matanya menyambar-nyambar lalu ia tersenyum. Senyum yang manis sekali akan tetapi matanya mengerling tajam laksana pisau. la memperhatikan kedudukan kaki dan cara dua orang hwesio memegang tongkat, lalu berkata.
"Agaknya Hwesio Hitam dan Hwesio Putih yang menegurku. Dulu kalian berdua pernah dirobohkan dalam lima jurus oleh ayah, apa hubungannya dengan aku? Siapa yang ingin menonton pameran tongkat hitam dan putih kalian itu?" Suaranya masih nyaring tinggi, mengandung penuh ejekan dan tidak memandang mata sedikit pun juga.
Dua orang hwesio itu diam-diam terkejut. Lima tahun yang lalu mereka pernah dirobohkan dalam lima jurus saja oleh Bu-tek Kiam-ong Cia Hui Gan. Ketika itu tentu dara ini masih kecil, kenapa sekarang sekali lihat saja sudah tahu? Mereka ini adalah hwesio-hwesio yang berilmu tinggi, tokoh pelarian dari Siauw-lim-pai yang memiliki ilmu tongkat tingkat tinggi.
Memang, oleh karena kehebatan ilmu tongkatnya, maka keduanya dijuluki orang Hek-tung Hwesio (Hwesio Tongkat Hitam) dan Pek-tung Hwesio (Hwesio Tongkat Putih). Karena julukan ini pula maka sengaja Hek-tung Hwesio membuat tongkat dari logam baja hitam sedangkan Pek-tung Hwesio membuat tongkat dari logam baja putih. Mereka telah kenal dengan Lian Bu Tojin yang menganggap mereka orang setingkat karena memang ilmu silat mereka sudah amat tinggi, maka mereka diberi tempaf di ruang tamu kehormatan.
"Ha-ha-ha, Nona. Kau sombong sekali. Agaknya kau mengandalkan kepandaian ayahmu untuk menjual lagak di sini. Pinceng (aku) berdua bukan hendak melawan anak kecil, akan tetapi mengingat bahwa kau puteri tunggal Raja Pedang tentu ilmu pedangmu hebat. Kami hendak mencoba untuk mengalahkan pedangmu dalam lima jurus pula. Beranikah kau menghadapi kami?" kata Pek-tung Hwesio.
Terang bahwa hwesio ini hanya bermaksud menebus penghinaan dahulu dan hanya ingin mengalahkan nona itu dalam lima jurus sehingga kalau hal ini terjadi, sedikitnya dia dapat membersihkan mukanya.
Nona itu mencibirkan mulutnya. “Kalian dua hwesio tua bangka hanya namanya saja yang menakutkan, bagiku tongkat-tongkat macam ini hanya dapat untuk menakut-nakuti anjing dan maling kecil. Mengapa aku takut? Tapi kedatanganku ke sini bukan untuk melayani segala macam hwesio tua bangka tak tahu malu."
Benar-benar galak nona ini, pikir Beng San mengerutkan keningnya. Masa terhadap dua orang hwesio tua sama sekali tidak menaruh hormat? Galak dan kurang ajar!
Dua orang hwesio itu marah sekali, akan tetapi sebagai orang-orang tua mereka dapat menahan kemarahan, malu untuk mengumbar nafsu kemarahan di tempat umum.
“Bagus, kalau begitu!" kata Pek-tung Hwesio. "Coba kau layani kami selama lima jurus, Nona."
Baru saja kata-kata ini habis diucapkan, dua batang tongkat panjang yang amat berat itu sudah melayang ke atas, menyambar-nyambar mengeluarkan suara mengaung. Beng San kaget dan ngeri juga. Semua tamu juga merasa ngeri, bahkan Lian Bu Tojin berseru.
"Harap Ji-wi (saudara berdua) maafkan seorang muda!"
Tak disangka sama sekali bahwa ucapan ini justru diterima dengan marah oleh nona itu. Matanya berapi-api dan kedua tangannya bergerak.
"Srattt...!"
Semua orang menjadi silau ketika nona itu sekarang sudah mencabut keluar sepasang pedang yang luar biasa tajam sampai sinarnya berkilauan. Kemudian nona itu berkelebat, terdengar suaranya,
"Lian Bu totiang, jangan pandang rendah orang muda!"
Kemudian dia menari! Ya, menari di antara sambaran-sambaran dua batang tongkat itu. Gerakannya indah bukan main, sama sekali tidak seperti orang bersilat, melainkan seperti orang menari-nari. Pedangnya bermain menjadi dua gulung sinar seperti bunga, dan ikat pinggangnya yang merah bergulung-gulung pula laksana hidup. Tubuhnya yang langsing bergerak-gerak dengan indahnya.
Beng San sampai melongo. Baginya yang sudah memiliki pandang mata tajam sekali, maklum bahwa biar pun nona itu menitik beratkan gerakan untuk keindahan, namun justru di dalam keindahan inilah letaknya kehebatan dan kelihaian ilmu pedang itu.
Hanya dengan tekukan pinggang yang indah, sambaran tongkat putih ke arah tubuhnya dapat dihindarkan, dan hanya dengan mengembangkan pedang di kedua tangan dan meloncat lincah ke atas, serampangan tongkat hitam mengenai angin. Untuk menambah keindahan yang tiada bandingnya ini, si nona baju merah masih menambah dengan senyum simpul yang manis menarik.
"Heee, mana ada aturan dua orang laki-laki mengeroyok seorang wanita?" Beng San berteriak-teriak tanpa menyatakan bahwa mereka sudah bertempur sampai sepuluh jurus lebih. la bersikap ketolol-tololan.
Nona baju merah itu tertawa. "Dua hwesio kerbau! Kalian mau merobohkan aku dalam lima jurus, sekarang sudah belasan jurus. Kiranya aku tidak segoblok kalian ketika roboh oleh ayah dalam lima jurus."
Tiba-tiba sepasang pedangnya bergerak cepat sekali, setelah saling bentur mengeluarkan api berpijar. Bunga api ini menyambar ke arah muka dua orang lawannya yang menjadi kaget dan lebih gugup ketika tahu-tahu sepasang pedang itu sudah meluncur mendekati leher mereka. Cepat mereka membuang diri ke belakang dan...
"Trang…! Tranggg…!"
Tongkat mereka ternyata telah terbabat putus saat mereka dalam gugup tadi tak sempat mengerahkan tenaga.
Si nona baju merah menjura ke arah Lian Bu Tojin setelah tanpa dapat diikuti lagi dengan mata dia sudah menyimpan kembali sepasang pedangnya, kemudian dia berkata keras, "Selamat tinggal!"
Tubuhnya lenyap, yang nampak hanyalah bayangan merah melesat keluar dari tempat itu.
Dua orang hwesio itu menjadi pucat sekali mukanya. Mereka melempar sisa potongan tongkat ke atas tanah, lalu menjura kepada Lian Bu Tojin dan keluar dengan langkah lebar.
Sementara itu, setelah tadi berhenti sebentar menonton pertandingan ini, Pek Gan Siansu yang tadi sudah berpamit, lalu mengajak Bun Lim Kwi melanjutkan perjalanan, keluar dari tempat itu. Thio Eng dengan sinar mata marah segera mengejarnya, pergi tanpa pamit.
Lian Bu Tojin menarik napas panjang berulang-ulang, malah tidak peduli lagi ketika Giam Kin juga tertawa-tawa dan bertindak keluar dengan langkah panjang. Kwa Tin Siong masih berusaha keras untuk melanjutkan perayaan itu, dan semua hidangan dapat juga dibagi-bagikan biar pun keadaan pesta tidak semeriah tadi.
Kwa Hong dengan penuh keheranan melihat bahwa di situ tidak ada lagi bayangan Beng San yang tadi menimbulkan heboh. Pemuda ini juga sudah lenyap entah ke mana pula larinya. Kwa Hong yang menjadi penasaran segera mencari sampai ke belakang, sampai ke tempat di mana pemuda itu menginap, tapi alangkah herannya ketika ia melihat bahwa bungkusan pakaian pemuda itu pun sudah lenyap pula!
"Ahh, dia aneh sekali...," pikir dara ini kecewa, “aneh dan gagah bukan main. Alangkah beraninya dia tadi... hemmm, sayang tidak pandai ilmu silat..."
la melamun membayangkan betapa akan mengagumkan kalau seorang pemuda dengan keberanian sebesar itu memiliki kepandaian ilmu silat pula. Pada saat dengan kecewa ia hendak meninggalkan kamar Beng San, ia tertarik dengan sepotong kertas di atas meja. Cepat diambilnya kertas itu dan ternyata ada tulisannya, tulisan tangan yang jelas dan indah, tulisan tangan Beng San.
BENG SAN BERJANJI MENCARl KWEE SIN.
Cepat Kwa Hong membawa surat itu kepada ayahnya dan memperlihatkannya. Wajah Kwa Tin Siong berubah.
"Anak itu aneh, sepak terjangnya tak dapat diduga semua. Bagaimana mungkin dia dapat membawa Kwee Sin ke sini?" Betapa pun juga dia memperlihatkan surat itu kepada gurunya yang menarik napas panjang.
"Memang bocah luar biasa Beng San itu. Kita Hoa-san-pai hari ini telah berhutang budi kepadanya yang berhasil mencegah pertempuran. Kalau dia bisa membawa Kwee Sin ke sini, budinya bertumpuk. Tapi... dapatkah kiranya dia berhasil?"
"Meragukan sekali, Suhu," berkata Kwa Tin Siong. Juga Liem Sian Hwa dan para murid Hoa-san-pai tidak percaya kalau Beng San akan berhasil membawa musuh besar itu ke Hoa-san.
Akan tetapi tiba-tiba Kwa Hong berkata, suaranya nyaring dan matanya bersinar-sinar. "Aku merasa yakin bahwa pada suatu hari dia akan datang bersama Kwee Sin ke sini!"
Semua mata memandangnya, terutama mata Kwa Tin Siong yang seakan-akan hendak menembus dada anaknya. Kwa Hong menjadi merah mukanya dan pergi tanpa pamit lagi.
Pergi meninggalkan jilid ini.....
********************
Apa yang menyebabkan Beng San pergi dari Hoa-san-pai secara diam-diam, serentak tanpa pamit? Ada banyak hal yang menyebabkan dia terburu-buru itu. Ternyata selama di tempat pesta tadi dia telah mengalami hal-hal yang mengguncangkan hati dan membuat bingung pikirannya.
Mula-mula pertemuannya dengan teman Souw Kian Bi, pemuda tinggi tegap yang she Tan itu cukup hebat mengguncang perasaannya karena dia menduga keras bahwa orang itu adalah kakak kandungnya, Tan Beng Kui. Akan tetapi kenapa kalau benar pemuda itu kakak kandungnya, tidak mengenal dia dan malah tadi melihatnya lalu membuang ludah dengan amat menyolok dan menghina? Hal ini perlu penyelidikannya.
Hal ke dua adalah Thio Eng dan Bun Lim Kwi. Dia sudah berjanji kepada mendiang Bun Si Teng untuk mengamat-amati pemuda itu, tapi sekarang dia bisa menduga bahwa Thio Eng tentu akan berusaha untuk membunuh Lim Kwi. la tidak boleh membiarkan Lim Kwi terbunuh tanpa berbuat sesuatu. Apa lagi kalau yang hendak membunuh itu Thio Eng, gadis yang... ah yang dia suka dan yang dia kasihani nasibnya. Soal ini pun memerlukan dia turun tangan dan mencarikan pemecahannya.
Hal ketiga yang benar-benar mengguncangkan hatinya adalah kemunculan nona she Cia berbaju merah tadi. Bukan, sama sekali bukan karena wajah yang cantik jelita melebihi semua wanita yang pernah dilihatnya, bukan karena bentuk tubuh serta tarian-tariannya. Sama sekali bukan!
Akan tetapi ketika nona tadi mencabut sepasang pedang, pedang berkilau-kilauan seperti mengeluarkan api, yang sebuah panjang dan satu lagi pendek, yang membuat matanya silau, adalah... Liong-cu Siang-kiam yang dicuri orang dari tangan Lo-tong Souw Lee! Jadi gadis jeiita inikah pencurinya?
Berdebar tidak karuan hati Beng San bila ingat akan hal ini. la harus merampas sepasang pedang itu kembali dan... kedua pipinya menjadi merah dan terasa mukanya panas kalau dia teringat akan pesan Lo-tong Souw Lee bahwa dia harus mencari pencuri pedang dan kalau pencuri itu seorang wanita, dia harus mengambilnya sebagai isteri! Dia mengambil isteri nona Cia yang seperti bidadari tadi? Hebat!
Hal ke empat yang tidak kalah pentingnya adalah persoalan yang menyangkut diri Kwee Sin, jago termuda dari Kun-lun-pai itu. Memang harus diakui bahwa orang inilah yang menjadi biang keladi segala peristiwa permusuhan itu. Dia merasa yakin bahwa jika dia bisa mengajak Kwee Sin datang ke Hoa-san-pai untuk mempertanggung jawabkan semua tuduhan yang dijatuhkan kepadanya, maka segala permusuhan akan menjadi beres.
Melihat sikap Kwee Sin pada saat datang ke Hoa-san-pai, Beng San masih cukup percaya bahwa jago itu masih mempunyai cukup sifat ksatria untuk mempertanggung jawabkan semua perbuatannya atau setidaknya perbuatan yang diperkirakan orang kepadanya.
Empat hal yang sama pentingnya inilah yang membuat Beng San tidak mau lama-lama membuang waktu di Hoa-san, biar pun jauh di lubuk hatinya dia merasa berat juga harus meninggalkan Hoa-san... ehh, sesungguhnya, pergi meninggalkan Kwa Hong begitu saja! la sudah merasa cukup berbahagia bahwa sedikit jerih payah usahanya yang diharapkan oleh Ciu Goan Ciang dan Tan Hok serta semua pejuang, yakni mencegah Kun-lun-pai dan Hoa-san-pai bertempur, untuk sementara ini mencapai hasil baik…..
********************
Kita ikuti perjalanan Bun Lim Kwi yang pergi meninggalkan Hoa-san bersama gurunya, Pek Gan Siansu. Ketika mereka tiba di kaki gunung, tiba-tiba Lim Kwi menjatuhkan diri berlutut di depan suhu-nya dan menangis! Pek Gan Siansu berhenti, memandang kepada muridnya itu dan dengan wajah murung kakek tua ini menggeleng-geleng kepalanya, lalu mengelus jenggotnya.
"Lim Kwi, aku tahu bahwa walau pun selama ini kau diam saja tak pernah membantah semua perintahku, namun sesungguhnya kau menyimpan ganjalan hati yang membuat kau banyak menderita batin. Muridku, sekarang di tempat sunyi ini kau keluarkanlah isi hatimu, berlakulah jujur kepada gurumu. Seorang enghiong (ksatria) harus selalu dapat menjaga satunya pikiran, kata-kata dan perbuatan. Satu saja di antara ketiganya ini tidak cocok, tak patut dia disebut enghiong. Selama ini kata-kata dan perbuatanmu mentaati aku, akan tetapi aku khawatir sekali bahwa pikiranmu berbeda."
"Ampunkan teecu yang tidak berbakti ini, Suhu. Sesungguhnya telah susah payah teecu memaksa diri untuk berbakti kepada Suhu, akan tetapi apa daya, hati dan pikiran teecu selalu tergoda, selalu terbayang wajah ayah dan paman yang dulu telah terbunuh orang. Setelah mendengar semua kata-kata yang sudah diucapkan orang di Hoa-san tadi, teecu berpendapat bahwa kalau ganjalan hati ini belum dilaksanakan, selalu teecu akan berbakti secara palsu, yaitu tidak terus ke dalam hati."
"Hemmm, lebih baik berterus terang begitu. Kau bukan kanak-kanak lagi, kau kini sudah menjadi seorang pemuda dewasa dan tentu saja kau berhak untuk mempunyai pendapat sendiri. Sekarang katakan, apa yang hendak kau lakukan? Apakah kau akan menurutkan nafsu hatimu menyerbu ke Hoa-san-pai dan menantang orang-orang Hoa-san-pai?"
Kakek itu mengerutkan alisnya yang sudah putih semua.
"Tak akan sekali-kali teecu berani melanggar garis yang sudah diambil oleh Suhu. Teecu menyetujui garis perdamaian itu, bahkan teecu juga takkan membantah tentang soal usul perjodohan yang diajukan Suhu tadi. Akan tetapi... Suhu, apakah kematian ayah beserta paman harus teecu diamkan dan biarkan begitu saja? Apakah roh mereka akan dapat tenteram melihat teecu berpeluk tangan saja?"
"Hemmm, orang muda... betapa jauh perkiraanmu tentang roh! Bila tak keliru wawasanku, roh ayahmu dan pamanmu sampai sekarang masih merasa menyesal, mengapa tadinya mereka terseret ke dalam nafsu bermusuhan dan bunuh-membunuh. Agaknya mereka akan lebih menyesal lagi kalau kelak melihat kau melanjutkan kekeliruan mereka sewaktu hidup. Tetapi, aku tak akan berkeras mencegah dan merusak hatimu, muridku. Sekarang katakan sejujurnya, apa yang hendak kau lakukan?"
"Teecu tadi sudah banyak mendengar mengenai Kwee-susiok (paman guru Kwee) dan teecu berpendapat bahwa hanya Kwee-susiok seoranglah yang akan dapat menerangkan ini semua. Kalau dari mulut Kwee-susiok sendiri..."
”Hemmm, jangan kau menyebut paman guru kepada Kwee Sin. Aku sudah tidak mau mengakui dia sebagai muridku lagi!" kata-kata Pek Gan Siansu terdengar keras.
"Baiklah, Suhu. Teecu ingin mendengar dari mulut Kwee Sin sendiri apa yang telah terjadi ketika mendiang ayah dan paman naik ke Hoa-san. Kalau memang benar bahwa ayah dan paman yang salah, yaitu membantu Kwee Sin yang memusuhi Hoa-san-pai, maka sakit hati teecu akan teecu alihkan kepada diri Kwee Sin."
"Hemmm, kau hendak mengajak dia bertanding?"
"Kalau perlu, apa boleh buat, Suhu. Kalau dia mau, teecu hendak mengajak dia pergi ke Hoa-san secara baik-baik agar segala persoalan menjadi beres dan dapat diketahui siapa salah siapa benar."
"Ha-ha-ha, kau hendak berlomba dengan bocah sastrawan yang luar biasa tadi? Heh, kau takkan menang, Lim Kwi!" Ketua Kun-lun-pai tertawa dan agaknya hatinya sudah gembira lagi mendengar keputusan yang diambil muridnya ini. Tadinya dia merasa amat gelisah, takut kalau-kalau Lim Kwi hendak memusuhi orang Hoa-san-pai secara langsung.
Bun Lim Kwi memandang gurunya, tak percaya dengan kata-kata gurunya barusan.
"Lim Kwi, jangan kau pandang ringan bocah sastrawan tadi. Aku sudah tua, sudah banyak pengalaman. Orang seperti dia itu bukanlah orang sembarangan. Nyali dan sikapnya jelas menonjolkan keluar biasaannya. Dia bukan manusia biasa dan percayalah kepadaku, apa bila kau bertemu kembali dengan dia, kau boleh mendengarkan semua nasihatnya. Aku menyetujui rencanamu, biar aku pulang sendiri ke Kun-lun dan menanti beritamu di sana. Semoga kau tak akan menyeleweng dari jalan kebenaran dan selamanya dapat bersikap sebagai seorang enghiong dari Kun-lun-pai yang mesti kau junjung tinggi nama besarnya."
Setelah berkata demikian, sekali berkelebat kakek ini lenyap dari situ, meninggalkan Lim Kwi yang tahu-tahu kehilangan pedang pusaka yang tadi masih dipegangnya. la segera berlutut dan diam-diam merasa amat kagum.
Gurunya itu biar tua akan tetapi masih luar biasa sekali kelihaian ilmunya sampai-sampai mengambil kembali pedang pusaka Kun-lu-pai dan pergi dari situ tanpa dia rasai dan tak dapat dia ikuti dengan pandang matanya. Setelah berlutut memberi hormat, pemuda ini bangun dan menarik napas panjang.
“Aku masih harus banyak belajar untuk dapat mencapai tingkat seperti suhu,” pikirnya.
Kemudian dia teringat kepada Kwee Sin. Ke mana dia harus mencari orang itu? Ia banyak mendengar tentang Kwee Sin bekas paman gurunya itu. Kabarnya selalu muncul bersama Ngo-lian-pai, malah banyak hubungannya dengan tentara Mongol. Ada kabar lagi bahwa Kwee Sin sudah diangkat oleh kerajaan menjadi perwira tinggi tentara Kerajaan Mongol.
Ngo-lian-pai atau Ngo-lian-kauw adalah partai rahasia yang tidak mempunyai markas tertentu, maka takkan mudah mencari sarang partai ini. Lebih baik kalau mencari berita atau keterangan tentang Kwee Sin di pusat tentara Mongol. Di mana lagi kalau tidak di kota raja?
Bun Lim Kwi maklum akan bahayanya kalau berani memasuki kota raja. Akan tetapi dia sudah bertekat bulat untuk mencari Kwee Sin, maka tanpa pedulikan segala ancaman bahaya, berangkatlah dia menuju ke kota raja.
Tetapi baru saja dia keluar dari daerah berhutan di kaki Gunung Hoa-san itu, sesosok bayangan hijau berkelebat dibarengi bentakan, "Orang she Bun, kau bersiaplah menebus dosa ayahmu!"
Dan di depannya sudah berdiri gadis cantik berbaju hijau yang tadi telah menyerangnya di puncak Hoa-san! Gadis itu kini dengan muka agak pucat sudah berdiri menghadangnya dengan pedang tajam melintang di dada, pedang yang ujungnya sudah buntung sedikit oleh pedang nona baju merah tadi.
Bun Lim Kwi menarik napas panjang, wajahnya yang tampan menjadi muram.
"Nona," dia menjura sebagai tanda penghormatan dan suaranya mengandung kesedihan besar, “kenapa Nona memusuhi saya? Apakah dosaku dan apa pula gerangan kesalahan mendiang ayahku yang sudah tidak ada di dunia ini?"
Thio Eng, gadis baju hijau itu, menggigit bibirnya dengan gemas, matanya memancarkan sinar kemarahan. "Dua saudara Bun dari Kun-lun-pai telah membunuh ayahku ketika aku masih kecil."
"Nona, kalau ayah dan pamanku yang membunuh ayahmu, kenapa kau memusuhi aku? Apa salahku dalam hal ini?” bantahnya.
"Aku hendak membalas kepada ayah dan pamanmu tapi mereka sudah mampus, kaulah anaknya yang harus mempertanggung jawabkan pembalasannya. Orang she Bun, tidak usah banyak cakap. Aku sudah cukup bersabar, cabut pedangmu dan mari kita lanjutkan pertempuran tadi!" la sudah marah sekali dan pedang di tangannya sudah gemetar.
Tiba-tiba saja Lim Kwi merasa tubuhnya lemas. Entah mengapa, melihat wajah nona ini, melihat sinar matanya yang redup dan sayu penuh kedukaan, kekerasan hatinya mencair seperti lilin dekat api. Timbul rasa kasihan di hatinya, bahkan ada rasa suka yang timbul karena persamaan penderitaan. la menganggap dara ini senasib dengan dirinya, ayahnya dibunuh orang, kemudian hidup menderita dendam.
Dia tersenyum pahit, merasa betapa sama nasibnya dengan nona ini. Akan tetapi dia menyalahkan sikap Thio Eng. Andai kata dia berpendapat seperti nona ini lalu memusuhi anak-anak dari musuh yang membunuh ayahnya, tentu dia tidak akan sudi dicalonkan sebagai jodoh seorang gadis yang masih keturunan musuh-musuh pembunuh ayahnya!
Juga timbul ingatannya bahwa segala persoalan, seperti juga persoalannya sendiri, harus diselidiki secara teliti. Andai kata benar ayah dan pamannya membunuh ayah gadis itu, pasti ada sebab-sebabnya.
"Nona, apa bila ayah dan pamanku benar-benar sudah membunuh ayahmu, sudah dapat dipastikan bahwa ayahmu melakukan sesuatu yang tidak baik. Ayah dan pamanku adalah dua orang tertua dari Kun-lun Sam-hengte yang bernama bersih tak ternoda."
Wajah yang agak pucat dari nona ini sekarang berubah merah sekali, bahkan matanya kini berkilat-kilat.
"Apa kau kata? Tidak peduli mereka itu Kun-lun Sam-hengte atau pendekar-pendekar dari langit sekali pun, kalau sudah bermusuhan dengan ayahku sudah pasti kesalahan terletak di tangan ayah dan pamanmu! Ayahku adalah seorang patriot besar, seorang pejuang. Siapakah di antara para pejuang yang belum pernah mendengar nama besar Thio San? Kesalahannya sudah tentu terletak pada ayah dan pamanmu. Kun-lun Sam-hengte? Huh, buktinya yang termuda juga bukan orang baik-baik!"
Setelah berkata demikian, pedangnya bergerak menyerang pemuda itu. Serangan yang hebat, cepat dan kuat sekali. Akan tetapi Bun Lim Kwi dapat melompat ke samping dan menghindarkan diri.
"Tahan dulu, Nona..."
Namun nona yang sudah marah itu makin penasaran dan menyerang lagi lebih hebat. Lim Kwi maklum bahwa menghadapi nona ini yang sudah dia kenal kepandaiannya bermain pedang yang hebat, akan berbahaya sekali kalau dia tetap bertangan kosong. Terpaksa dia mencabut keluar pedangnya yang juga sudah buntung ujungnya, lantas menangkis. Bunga api berpijar ketika sepasang pedang itu bertemu.
"Nona, aku... aku maklum akan isi hatimu. Keadaanmu sama persis dengan keadaanku. Aku maklum akan penderitaanmu, akan dendammu..."
Thio Eng menahan pedangnya, mendengarkan dengan pandang mata heran.
"Nona, percayalah, aku tidak menyalahkan kau kalau kau mendendam sakit hati. Aku pun demikian. Ayahku terbunuh orang. Tapi, berilah kesempatan padaku untuk membereskan urusanku. Kau sudah mendengar semua di Hoa-san tadi. Biarkan aku mencari susiok... eh, mencari Kwee Sin sampai dapat sehingga urusan pembunuhan terhadap orang tuaku bisa diselesaikan. Setelah itu, nah... setelah itu kalau kau hendak membalas dendammu kepadaku, silakan. Aku akan memberikan kepalaku kepadamu."
"Cih, siapa sudi mendengar obrolanmu.”
"Sungguh, Nona. Entahlah... hatiku tidak mengijinkan aku marah kepadamu. Aku kasihan kepadamu yang bernasib buruk. Aku dapat merasakan penderitaanmu. Andai kata sakit hatimu itu dapat dipuaskan karena kematianku sebagai penebus dosa ayahku, biarlah aku berkorban. Tapi tunggulah sampai aku selesai mengurus urusanku sendiri."
"Bohong! Kau hanya mencari alasan untuk melepaskan diri dariku. Hemmm, orang she Bun, jangan harap aku dapat kau bodohi. Atau kau pengecut... tidak berani menghadapi pedangku!"
Betapa pun juga, Lim Kwi adalah seorang pemuda. Dia memang penyabar sekali, dan memang sudah menjadi dasar wataknya yang jujur dan sabar, berani mengalah. Akan tetapi karena sekarang didesak sedemikian rupa oleh nona ini, apa lagi karena dianggap pengecut, sifat jantannya menonjol. la cepat menggerakkan pedangnya menangkis dan berkata.
"Nona Thio, sungguh aku tidak ingin bertempur denganmu. Jangan kau memaksaku!"
Namun Thio Eng terus mendesak dan sebentar saja dua orang muda itu sudah bermain pedang dengan hebatnya. Serangan-serangan Thio Eng benar-benar sangat berbahaya. Sebagai murid Swi Lek Hosiang, tentu saja kepandaiannya amat tinggi. Ilmu pedangnya sudah masak dan juga ilmu pedang yang berasal dari daerah pantai timur ini mempunyai gaya tersendiri, mempunyai keistimewaan sendiri. Permainan pedangnya cepat, tangkas, lincah, serta mengandung tenaga yang bergelombang, seperti gelombang samudera yang memecah di pantai timur!
Akan tetapi Bun Lim Kwi adalah murid termuda Kun-lun-pai yang sangat disayangi oleh gurunya. Hampir seluruh ilmu pedang yang dimiliki Pek Gan Sian-Su diturunkan kepada muridnya ini sehingga dalam permainan Kun-lun Kiam-hoat boleh dibilang di masa itu Bun Lim Kwi menjadi orang ke dua di Kun-lun setelah gurunya sendiri.
Bahkan tingkat ilmu pedang yang dimiliki oleh paman dan ayahnya, juga yang dimiliki oleh Kwee Sin, masih kalah setingkat olehnya. Tentu saja ia masih banyak membutuhkan pengalaman pertempuran untuk mematangkan ilmunya. Gaya permainannya tenang dan kuat seperti batu karang di pantai laut, akan tetapi juga kadang-kadang kalau dia mau dia bisa melancarkan serangan yang mematikan.
Betapa pun juga, menghadapi Thio Eng dia tidak tega untuk melakukan serangan maut, hanya mempertahankan dan melindungi tubuhnya, serta kadang-kadang memancing dan menggertak untuk mengurangi daya tekanan lawan. Hatinya merasa sedih sekali dengan kenekatan gadis ini yang agaknya tak dapat ditahannya lagi. Bun Lim Kwi maklum bahwa percuma saja dia membujuk, maka dia mengambil keputusan untuk merobohkan gadis ini tanpa melukai berat atau kalau mungkin meninggalkannya lari.
Yang pertama tadi, yaitu merobohkan tanpa melukai agaknya lebih mudah dipikirkan dari pada dilakukan. Tingkat kepandaian gadis ini boleh dibilang seimbang dengan tingkatnya sendiri, mana mungkin dia merobohkannya tanpa melukai?
Setelah berpikir demikian, Bun Lim Kwi mengambil keputusan untuk lari meninggalkannya saja, tak peduli dia dicap pengecut atau takut. Karena soalnya bukan dia takut, akan tetapi karena dia tidak mau bermusuhan dengan gadis yang sekaligus menarik cinta kasihnya dan juga menimbulkan kasihan di hatinya ini.
"Maaf, Nona Thio, aku tak dapat melayanimu lebih lama lagi!"
Pedangnya berkelebat cepat dan pedang nona itu tertangkis dengan kerasnya sehingga terpental. Thio Eng kaget sekali sebab merasa telapak tangannya sakit. Baiknya dia masih dapat menjaga sehingga pedangnya tidak terlepas dari pegangan. Ketika dia telah dapat menguasai keadaannya, pemuda itu sudah meloncat jauh dan berlari cepat.
"Orang she Bun, kau hendak lari ke mana?!" bentaknya marah dan cepat dia mengejar.
Dari bertanding pedang, dua orang muda ini sekarang melakukan perlombaan lari cepat. Dalam ilmu ini keduanya juga memiliki tingkat yang seimbang. Thio Eng sulit sekali untuk dapat menyusul lawannya, juga amat sukar bagi Lim Kwi untuk memperjauh jarak antara dia dan pengejarnya. Gadis itu seakan-akan menjadi bayangannya, terus mengikuti ke mana pun juga dia lari atau meloncat.
Ada sejam mereka berkejaran. Lim Kwi mulai merasa gelisah. la memasuki hutan-hutan dan sengaja mengambil jalan pegunungan yang amat sukar dengan harapan agar gadis itu akhirnya membiarkan dia pergi. Akan tetapi, dengan penuh semangat Thio Eng terus mengejar.
Karena merasa tak sanggup lari pergi dari gadis itu, Bun Lim Kwi membalikkan tubuhnya dan kembali dia membujuk.
"Nona Thio, kenapa kau bertekat hendak membunuhku sekarang juga? Tidak kasihankah kau kepadaku yang juga mempunyai semacam sakit hati dan penasaran seperti yang kau derita? Aku minta waktu tiga bulan, Nona. Berilah tiga bulan agar aku lebih dahulu dapat menyelesaikan urusanku sendiri. Setelah itu, aku akan mencarimu dan terserah kalau kau hendak membalaskan sakit hati ayahmu."
Tertegun juga hati Thio Eng mendengar ini. Pemuda ini lihai, belum tentu ia akan dapat menang kalau mereka bertempur. Juga buktinya tadi, walau pun dia sudah mengerahkan seluruh kepandaiannya berlari cepat, sampai sedemikian lamanya belum juga dia mampu menyusulnya. Kiranya pemuda ini merupakan tandingan yang seimbang dan belum tentu kalah kalau melawan.
Mengapa pemuda ini tidak mau melawan dan bahkan memberi janji akan suka dibunuh tiga bulan kemudian? Bukankah ini aneh sekali? Akan tetapi pikiran ini hanya sebentar saja memenuhi kepalanya, segera terganti oleh rasa dendam yang sudah ditanggungnya semenjak ia kecil.
Kemarahannya datang lagi. Pedangnya bergerak menyerang disusul bentakan. ”Tak usah banyak cakap, seorang di antara kita harus mati!"
Bun Lim Kwi merasa sedih sekali sehingga dia agak terlambat mengelak. Pedang yang menusuk lehernya itu kini menyerempet pundaknya. Baju Lim Kwi robek berikut kulit dan sedikit dagingnya.
Darah mulai mengucur deras membasahi baju. Kembali Thio Eng tertegun, akan tetapi segera ia menyerang lagi lebih hebat. Lim Kwi sudah bersiap dan pedangnya menangkis. Kembali dua orang ini bertempur hebat sampai lenyap tubuh mereka terbungkus gulungan dua sinar pedang.
Dua orang itu saking hebatnya mecurahkan perhatiannya di ujung senjata masing-masing, tidak tahu bahwa sesosok bayangan datang mendekat. Setelah melihat jelas siapa yang sedang bertempur, bayangan ini mengeluarkan segenggam benda lalu dengan kecepatan kilat dia menyambitkan benda-benda kecil dalam genggaman itu ke arah Bun Lim Kwi.
Pemuda Kun-lun ini tidak dapat mempertahankan diri terhadap serangan gelap ini karena benda-benda itu ternyata adalah jarum-jarum halus sekali yang ketika melayang ke arah tubuhnya tak mengeluarkan bunyi sedikit pun. Tahu-tahu dia merasa punggungnya panas dan gatal-gatal, tubuhnya kaku-kaku, sehingga tanpa dapat ditahannya lagi dia terguling dan pedangnya terlepas dari pegangannya!
Thio Eng heran bukan main. Masih sempat dia menarik kembali pedangnya dan dengan mata terbelalak dia melihat betapa Bun Lim Kwi sudah roboh telentang dalam keadaan mengerikan. Muka pemuda yang tampan itu menjadi biru menghitam, tubuhnya kaku tak bergerak lagi.
Pada saat gadis ini mengangkat muka, dia melihat seorang pemuda sudah berdiri sambil tersenyum-senyum di hadapannya. Pemuda ini bukan lain adalah Giam Kin! Tahulah Thio Eng sekarang bahwa diam-diam Giam Kin membantunya dan menyerang Lim Kwi dengan senjata rahasia yang aneh.
"Nona Eng, puaskah kau sekarang melihat musuhmu menggeletak di depan kakimu? Nah, jangan buang waktu lagi, segera kau penggal lehernya!" kata Giam Kin sambil tersenyum lebar.
Akan tetapi alangkah herannya ketika dia melihat nona itu dengan mulut cemberut serta mata berapi malah membentak.
"Kenapa kau mencampuri urusanku?! Kenapa kau membunuhnya?"
"Ehh, Nona. Bukankah dia musuhmu? Tadi kulihat kau tidak kuat mengalahkannya, maka aku membantumu."
"Siapa sudi bantuanmu? Siapa butuh pertolonganmu? Lagi pula, kau menyerang secara pengecut!" Gadis itu dengan marah lalu meloncat dan lari pergi dari situ.
Giam Kin berdiri terpaku di tempatnya. Dia menyeringai, tersenyum kemalu-maluan dan juga penasaran. Akhirnya dengan marah dia lalu menoleh ke arah tubuh Lim Kwi yang masih menggeletak di situ, meludahinya dan mengomel, "Sialan!"
Dengan hati murung Giam Kin lalu pergi dari situ juga. la tertarik oleh kecantikan Thio Eng, akan tetapi berbeda dengan menghadapi gadis-gadis lain, terhadap Thio Eng dia tak berani bersikap sembrono. Selain gadis ini memiliki kepandaian yang cukup lihai, juga dia harus mengingat guru gadis itu, Thai-lek-sin Swi Lek Hosiang yang tidak boleh dipandang ringan.
Belum lama Giam Kin pergi, tubuh Bun Lim Kwi bergerak-gerak dan terdengar ia merintih perlahan. Pada waktu itu Beng San sedang berlari-lari cepat dalam usahanya mengejar Thio Eng dan mencari Bun Lim Kwi.
"Celaka, terlambat...!" katanya ketika dari jauh ia melihat tubuh pemuda murid Kun-lun itu menggeletak di situ. Cepat dia memeriksa dan alangkah kagetnya melihat betapa seluruh tubuh pemuda ini membiru, napasnya kempas-kempis.
Beng San adalah seorang pemuda yang telah mewarisi ilmu yang hebat, akan tetapi dia bukanlah seorang ahli pengobatan. Betapa pun juga, setelah mendapat kenyataan bahwa di punggung pemuda ini terdapat jarum-jarum halus yang menancap, dia dapat menduga bahwa tentu Bun Lim Kwi terkena racun yang amat berbahaya. Dicabutnya jarum-jarum halus berjumlah tujuh buah itu, kemudian dengan hati-hati dia membungkus jarum-jarum itu dan dimasukkan ke dalam saku bajunya.
"Terlalu sekali Thio Eng. Benarkah nona itu sampai hati menggunakan senjata rahasia begini ganas dan keji?" Dia merasa penasaran.
Tanpa ragu-ragu lagi Beng San lalu menempelkan bibirnya pada luka-luka di punggung Lim Kwi, kemudian mengecupnya kuat-kuat. Darah-darah yang menghitam dapat dia isap keluar dan diludahkan, akan tetapi dia hanya berhasil mengeluarkan darah beracun yang berada di sekitar luka.
Segera Beng San menggunakan kepandaiannya. Dengan menempel kedua pundak Bun Lim Kwi dengan kedua telapak tangannya, dia menahan napas dan mengerahkan tenaga dalamnya, menggunakan tenaga Im Yang berganti-ganti untuk mendorong hawa beracun dari tubuh Bun Lim Kwi. Karena dia tidak tahu tergolong apakah racun itu, Im atau Yang, dia tidak tahu harus mempergunakan tenaga apa untuk melawannya.
Baiknya hawa mukjijat di dalam tubuh Beng San memang hebat sekali. Pada waktu dia menggunakan tenaga Im, banyak darah hitam segera mengucur keluar dari luka-luka di punggung Lim Kwi. Akhirnya muka pemuda ini tidak biru lagi dan napasnya agak lega. Akan tetapi dia masih kaku dan pingsan.
Beng San teringat akan ular pemberian Giam Kin kepada ketua Hoa-san-pai, "Ah, kenapa aku begini bodoh? Hoa-san belum terlalu jauh, kalau kubawa ke sana dan minta Lian Bu Tojin memberikan ular-ular itu untuk menolong, bukankah Lim Kwi akan dapat tertolong segera?" Tanpa ragu-ragu lagi dia lalu memondong tubuh Lim Kwi dan mempergunakan kepandaiannya untuk berlari cepat sekali naik ke puncak Hoa-san.
Setelah tiba di puncak, dia segera berjalan seperti biasa menuju ke tempat tinggal Lian Bu Tojin. la melihat bahwa di tempat pesta itu masih ada sedikit tamu. Supaya tidak menarik perhatian orang, Beng San lalu menggunakan kepandaiannya meloncat dan menyelinap menuju ke belakang, kemudian memasuki bangunan itu dari belakang.
Beberapa orang tosu melihatnya dan menegur heran. "Beng San, kau dari mana dan... eh, Siapa itu...?"
Para tosu terheran-heran, apa lagi setelah mereka mendapat kenyataan bahwa orang yang dipondong Beng San itu bukan lain adalah Bun Lim Kwi, murid Kun-lun-pai yang tadi datang bersama Pek Gan Siansu.
"Harap para Totiang tenang-tenang saja dan tolonglah panggilkan Lian Bu totiang, katakan aku Beng San mohon bertemu, ada urusan amat penting.”
Para tosu segera melaporkan kepada Lian Bu Tojin yang masih duduk di ruangan depan menanti habisnya para tamu. Begitu mendengar laporan, tosu tua ini cepat mengundurkan diri dan menuju ke belakang, membiarkan Kwa Tin Siong dan Liem Sian Hwa melayani para tamu.
Akan tetapi Kwa Hong yang berada di dekatnya ketika ada tosu memberi laporan, segera mengikutinya. Hal ini terlihat oleh Thio Bwee, Kui Lok dan Thio Ki yang segera mengikuti pula dari belakang.
"Beng San, kenapakah dia itu...?" Lian Bu Tojin menegur dengan kaget setelah melihat Bun Lim Kwi menggeletak di atas sebuah dipan dalam keadaan amat payah.
"Totiang yang baik, saya memohon belas kasihan Totiang. Tolonglah Bun Lim Kwi yang teecu (saya) ketemukan sudah menggeletak dalam keadaan begini di lereng bukit. Melihat keadaannya, teecu rasa dia terkena senjata beracun dan... teecu teringat akan pemberian Giam Kin. Bukankah ular-ular kecil itu adalah ular penolak racun?"
Lian Bu Tojin tidak menjawab, tetapi dia cepat memeriksa tubuh Bun Lim Kwi. Sebagai seorang ketua partai persilatan besar tentu saja kakek ini mengerti pula mengenai ilmu pengobatan. Wajahnya berubah ketika dia memeriksa pemuda itu.
"Dia telah terkena racun yang amat berbahaya," katanya. "Pinto sendiri tidak mempunyai penolak racun yang akan dapat melawan racun ini."
"Totiang, bukankah Giam Kin telah memberi hadiah ular-ular penolak racun itu?"
Kakek itu mengangguk-angguk, akan tetapi ia nampak ragu-ragu. "Hemmm, pinto pernah mendengar kemanjuran Ngo-tok-coa, akan tetapi belum pernah membuktikannya sendiri. Memang kata orang Ngo-tok-coa dapat menyembuhkan segala macam penyakit akibat keracunan, akan tetapi pinto belum pernah melihat kenyataannya, bahkan ularnya pun baru kini pinto melihatnya. Keadaan pemuda ini benar-benar hebat dan amat berbahaya, kalau tidak mendapatkan obat yang cocok, dia takkan kuat bertahan sampai dua pekan." Tosu itu nampak ragu-ragu dan khawatir.
"Totiang, kalau begitu, tolonglah Totiang berikan Ngo-tok-coa kepada teecu untuk dipakai mengobati Lim Kwi," Beng San berkata gelisah.
"Baiklah... memang seharusnya begitu...," kata kakek itu.
Tiba-tiba Thio Ki berkata dengan suara tak senang, "Sukong, dia itu adalah anak murid Kun-lun-pai, seorang musuh besar. Luka atau matinya bukan merupakan urusan kita dari Hoa-san-pai!"
Thio Bwee dan Kui Lok menyatakan persetujuannya, malah Kui Lok menyambung, "Inilah tanda bahwa Thian akan selalu menghukum mereka yang jahat. Kun-lun-pai sudah terlalu amat jahat terhadap kita, maka dia ini murid Kun-lun-pai juga mengalami nasib seburuk ini. Sukong, dia ini musuh kita, tak ada perlunya kita menolongnya."
Akan tetapi Kwa Hong yang selama ini amat bersemangat dalam permusuhan golongan Hoa-san-pai terhadap Kun-lun-pai, agaknya berpikiran lain. Entah bagaimana, gadis ini sudah menaruh simpati besar terhadap Beng San dan berlawanan dengan suara hatinya kalau menentang pemuda ini.
"Teecu tidak setuju dengan kedua Suheng," katanya kepada kakek ketua Hoa-san-pai itu. "Walau pun dia ini musuh besar kita, akan tetapi dia terluka di Hoa-san, tentu orang luar akan menyangka bahwa kita yang melukainya dengan cara yang begini keji."
"Peduli apa dengan segala fitnah? Pokoknya kita tidak melakukan penyerangan gelap dan habis perkara. Biarkan orang lain menuduh!" Thio Ki bersikeras dengan sikapnya.
"Apa lagi Beng San ini selalu memperlihatkan sikapnya memihak golongan Kun-lun-pai. Dahulu, bertahun-tahun yang lalu juga dia sudah memperlihatkan sikap membela Kun-lun, sekarang pun dia mati-matian hendak menolong orang Kun-lun. Sukong, kita harus sangat berhati-hati terhadap orang ini dan jangan mendengarkan omongannya!" kata Kui Lok.
Semua ucapan cucu-cucu muridnya ini berkesan juga dalam hati Lian Bu Tojin. Dengan pandang mata tajam dia bertanya kepada Beng San, "Beng San, mengapa kau selalu berpihak kepada Kun-lun? Kenapa kau bersusah payah hendak menolong Lim Kwi murid Kun-lun ini?"
Beng San sudah marah sekali mendengar ucapan Thio Ki dan Kui Lok tadi. Makin marah dia setelah mendengar pertanyaan Lian Bu Tojin yang jelas-jelas sudah terpengaruh oleh ucapan-ucapan itu.
"Lian Bu totiang, saya harap Totiang suka ingat akan beberapa hal ini. Pertama, seorang yang sudah menjunjung tinggi keadilan, menilai baik buruk seseorang dari perbuatannya, bukanlah dari keturunannya! Meski pun Lim Kwi seorang murid Kun-lun, tapi kesalahan apakah yang pernah dia lakukan terhadap Hoa-san-pai? Kedua, seorang yang tahu akan Ke-Tuhan-an tahu pula bahwa soal keturunan adalah hasil pekerjaan Tuhan. Bun Lim Kwi menjadi anak keluarga Bun bukanlah karena kehendaknya, melainkan karena kehendak Tuhan. Maka apa bila ada orang menyalahkannya karena keturunannya, sama artinya dengan orang itu menyalahkan hasil pekerjaan Tuhan! Ke tiga, seorang kuncu (budiman) selama hidupnya takkan meninggalkan peri kemanusiaan dan akan menolong siapa saja yang membutuhkan pertolongan. Lian Bu totiang, saya menolong Lim Kwi karena dua hal, pertama karena saya selalu teringat akan hal-hal yang saya sebutkan tadi, kedua kalinya, kiranya Totiang ingat juga akan pesan terakhir Bun Si Teng kepada saya di dekat ajalnya. Pesan orang yang sudah meninggal dunia adalah pesan keramat yang harus kita hargai, asal saja pesan itu demi kebaikan. Nah, sekarang hendaknya Totiang segera mengambil keputusan, Totiang suka menolongnya ataukah tidak?"
Wajah kakek itu menjadi merah. Dia merasa terpukul oleh ucapan-ucapan pemuda itu. Sambil menoleh kepada cucu-cucu muridnya, ia pun berkata lirih, "Ambilkan Ngo-tok-coa itu..."
Thio Ki, Thio Bwee, dan Kui Lok tidak bergerak dari tempatnya, malah memandang marah kepada Beng San. Akan tetapi Kwa Hong segera berlari dan tak lama kemudian dia sudah kembali membawa tabung-tabung bambu yang berisi dua ekor ular kecil.
Lian Bu Tojin menerima dua tabung itu dan berkata kepada Beng San. "Inilah dua ekor Ngo-tok-coa itu, Beng San. Pinto hanya menggunakan cara yang biasa untuk mengambil racun ular ini, kemudian meminumkannya sebagian dan sebagian lagi digosokkan pada luka-lukanya. Namun karena pinto belum membuktikan dan menyatakan sendiri khasiat racun Ngo-tok-coa, maka hasilnya pinto tidak berani menanggung."
"Totiang," kata Beng San dengan hormat dan berterima kasih, "keadaan Lim Kwi sudah payah. Kalau Totiang suka berusaha mengobati, itu saja sudah merupakan budi besar, tentang riwayatnya hanya terserah kepada Thian."
Lian Bu Tojin lalu membuka tutup tabung, menangkap ular pada belakang lehernya.
"Buka mulutnya," katanya kepada Beng San yang cepat membuka mulut Lim Kwi.
Dengan menekan pada leher dan belakang kepala ular itu, keluarlah cairan menguning dari mulut dan gigi ular, menetes-netes ke dalam mulut Lim Kwi. Kwa Hong sudah datang membawa secangkir air yang segera dipergunakan oleh Lian Bu Tojin untuk diminumkan pula sehingga racun tadi dapat masuk ke dalam perut.
Setelah racunnya habis dan dilepas, ular itu menjadi lemas dan tidak dapat berkutik lagi. Ular ke dua dikeluarkan dan seperti tadi, racunnya dikeluarkan, ditadahi cangkir kemudian dengan tangannya Lian Bu Tojin menggosok-gosokkan racun ini di punggung Lim Kwi. Pengerahan tenaga dalamnya dapat mendorong racun ini masuk tubuh melalui luka-luka kecil itu. Setelah selesai, Lian Bu Tojin dengan napas agak terengah-engah lalu mundur dan mencuci tangannya.
Beng San merasa berterima kasih sekali. Dari napas kakek itu dia maklum bahwa tadi Lian Bu Tojin telah mengerahkan seluruh Iweekang-nya dan dia merasa kagum akan budi kakek ini. Ia tidak pedulikan lagi kepada tiga orang cucu murid Hoa-san yang memandang semua itu dengan mulut cemberut dan sinar mata penuh kemarahan kepadanya. Hanya Kwa Hong yang dengan setulus hati membantu pengobatan tadi dan diam-diam dia pun berterima kasih sekali kepada nona ini.
Tubuh Bun Lim Kwi bergerak dan mulutnya mengeluh. Semua orang memandang dengan penuh perhatian. Girang hati Beng San ketika melihat betapa tubuh yang kaku tadi kini mulai menjadi lemas, warna kehitaman lenyap dan makin lama muka itu menjadi makin pucat. Lalu tubuh itu berhenti bergerak dan Lim Kwi kelihatan seperti orang tidur nyenyak, hanya napasnya agak terengah-engah.
Lian Bu Tojin lalu mendekat dan memeriksa pergelangan tangan dan detak jantungnya.
"Celaka...!" Tosu itu berteriak kaget, wajahnya berubah pucat. "Keparat betul Giam Kin!" Saking marahnya tosu ini mengeluarkan makian.
"Bagaimana, Totiang?" Beng San berseru heran dan kaget.
Kakek menggeleng-geleng kepala dan memandang sedih ke arah Bun Lim Kwi.
"Tidak baik, tidak baik... racun ular itu bukan menyembuhkan, malah menambah payah. Agaknya bukan Ngo-tok-coa..." Mendadak kakek itu menghentikan ucapannya, wajahnya makin pucat pada saat dia berbisik, "... ngo-tok (lima racun)...? Ahhh, jangan-jangan ada hubungannya dengan Ngo-lian-kauw, bukannya ular-ular obat yang diberikan, malah ular beracun berbahaya."
Kalau Beng San menjadi kaget bukan main, adalah Thio Ki dan Kui Lok sekarang girang sekali.
"Beng San, lekas bawa pergi dia dari sini, tidak ada tempat untuk mengubur mayat orang Kun-lun!” kata Kui Lok.
Pada saat itu Kwa Tin Siong dan Liem Sian Hwa muncul. Para tamu yang melihat Lian Bu Tojin mengundurkan diri, lalu berpamit sehingga di puncak Hoa-san sudah menjadi sunyi.
"Bagaimana, Suhu?" tanya Kwa Tin Siong yang tadi sudah mendengar tentang peristiwa yang terjadi atas diri Bun Lim Kwi.
"Kita ditipu Giam Kin," kakek itu menjawab. "Dua ekor ular itu bukanlah ular obat. Setelah dipergunakan racunnya malah membuat dia makin parah."
"Bagaimana baiknya sekarang? Totiang, Kwa lo-enghiong, tolong beri petunjuk padaku," kata Beng San, nampak gelisah sekali.
Kwa Hong menjadi terharu melihat sikap Beng San. Akan tetapi gadis ini diam saja dan hanya menahan air mata yang hendak keluar dari matanya.
"Tidak ada obat di dunia ini dapat menolongnya... kecuali Thian turun tangan sendiri...," kata Lian Bu Tojin.
"Hanya ada satu jalan...," tiba-tiba Kwa Tin Siong berkata.
Semua mata ditujukan kepada jago Hoa-san-pai ini, tapi Kwa Tin Siong melihat dengan pandang mata jauh ke arah kaki gunung di sebelah utara.
"Ahh, dia...?" Kui Lok dan Thio Ki berkata dengan nada mentertawakan.
"Ayah, tidak mungkin...," kata Kwa Hong penuh kekhawatiran memandang kepada Beng San. Ada pun Lian Bu Tojin hanya menggeleng-geleng kepala saja.
"Kwa-enghiong, siapakah dia itu? Siapa yang dapat menolong Lim Kwi dan apakah yang kau maksudkan dengan satu jalan tadi?" Beng San mendesak, akan tetapi Kwa Tin Siong hanya menggeleng kepala.
Beng San segera mendesak Lian Bu Tojin. "Totiang, harap berbelas kasihan dan berilah petunjuk. Siapakah dia yang dimaksudkan oleh Kwa-enghiong dan yang bisa menolong Lim Kwi?"
"Tidak ada, tidak ada... tak mungkin ditolong lagi...," kata kakek ini pula.
Melihat bahwa Kwa Tin Siong dan ketua Hoa-san-pai agaknya hendak menyembunyikan nama orang yang kiranya dapat menolong Lim Kwi, Beng San lalu menoleh kepada Kwa Hong, "Adik Hong, maukah kau memberi penjelasan kepadaku?"
Bukan main panasnya hati Thio Ki dan Kui Lok mendengar pemuda itu menyebut ‘adik’ kepada Kwa Hong. Menurut pendapat mereka, pemuda ini tidak patut menyebut ‘adik’, seharusnya menyebut nona.
"Sebenarnya bukan karena Ayah dan Sukong tidak mau memberi tahu, San-ko. Akan tetapi memang tiada gunanya mendatangi orang itu, malah amat berbahaya. Ketahuilah, di kaki gunung ini sebelah utara terdapat seorang sakti yang amat aneh, terkenal disebut Toat-beng Yok-mo (Setan Obat Pencabut Nyawa). Namanya saja sudah menerangkan bahwa dia itu adalah seorang ahli obat sampai disebut Setan Obat. Akan tetapi, sebutan Toat-beng sudah jelas pula bahwa dia mempunyai satu kesukaan, yaitu mencabut nyawa orang. Menurut kabar, dia dapat menyembuhkan segala macam penyakit, akan tetapi begitu orangnya sembuh, dia lalu turun tangan membunuhnya. Karena inilah maka Ayah dan Sukong tidak tidak mau menyebut namanya."
"Apa dia gila...?" Beng San berseru marah dan heran.
Kwa Tin Siong menarik napas panjang sebelum berkata. "Sama sekali kami tidak tahu bagaimana keadaannya sebetulnya, Beng San, dan kami tidak mau mencoba-coba untuk menanam permusuhan dengan orang kang-ouw. Dia tidak mengganggu kami dan kami tidak pedulikan dia, akan tetapi tentang kepandaiannya mengobati sudah amat terkenal di dunia kang-ouw."
Lian Bu Tojin mengarigguk-angguk. "Dia sama terkenalnya dengan Bu-tek Kiam-ong Cia Hui Gan, keduanya adalah keturunan tokoh-tokoh hebat di jaman dahulu. Kalau Ciu Hui Gan masih keturunan dari si dewi pedang Ang I Niocu, adalah dia itu masih keturunan dari Yok-ong (Raja Obat). Sayangnya... hemmm, dia mempunyai kebiasaan yang sangat keji dan aneh itu."
Beng San tidak berkata apa-apa, lalu menghampiri dipan dan memondong tubuh Lim Kwi yang masih pingsan dan lemas.
"Beng San, kau hendak ke mana?" tanya Kwa Tin Siong dan semua orang memandang kepada pemuda ini.
"Ke mana lagi, Kwa-enghiong? Ke kaki gunung sebelah utara itu untuk minta pertolongan Toat-beng Yok-mo.”
"San-ko! Kau akan dibunuhnya!" seru Kwa Hong, wajahnya pucat. Sikap gadis ini amat menarik perhatian sampai ayahnya sendiri menoleh dan memandang heran.
Beng San menoleh kepada Kwa Hong dan tersenyum pahit. "Apa boleh buat, tapi akan kuusahakan supaya dia dapat menyembuhkan Lim Kwi."
"Beng San, dia ini apamu dan ada hubungan apakah kau dengan Kun-lun-pai maka kau bertekad mengorbankan nyawa untuk menolongnya?" Lian Bu Tojin bertanya, mata kakek ini memandang kagum.
"Totiang, menolong orang lain dengan pamrih untuk keuntungan bagi diri sendiri bukanlah pertolongan namanya. Manusia hidup harus saling tolong-menolong dan apakah artinya pertolongan tanpa disertai pengorbanan?"
Setelah berkata demikian, dia berjalan pergi sambil memondong tubuh Lim Kwi, sengaja dia memberatkan langkahnya sehingga kelihatan keberatan memondong tubuh itu.
Semua mata mengikutinya, mata Kwa Hong basah air mata. Lian Bu Tojin menggeleng kepalanya, menarik napas panjang berkali-kali dan berkata penuh pujian.
"Siancai... siancai... selama hidupku baru kali ini pinto melihat orang dengan budi pekerti sebaik dia... kalian semua lihatlah baik-baik dan ingat baik-baik, dialah orang yang patut dihormati, dialah yang patut disebut seorang gagah!"
Setelah berkata demikian kakek ini terbongkok-bongkok memasuki pondoknya.....
********************
Selanjutnya baca
RAJA PEDANG : JILID-12