Pedang Awan Merah Jilid 10
Pada suatu hari, ketika Han Lin sedang berjalan di dalam kota raja dengan tujuan hendak mengunjungi rumah Leng Si, tiba-tiba dia melihat Bi Lan berjalan dengan seorang pemuda yang tidak dikenalnya.
“Lan-moi...!” Han Lin memanggil dan segera menghampiri.
Bi Lan menoleh dan seketika itu pula mukanya berubah pucat setelah dia melihat Han Lin. Teringatlah dia betapa dia telah membunuh Mulani, isteri Han Lin.
“Lin-ko... kau... kau?” katanya gagap.
Melihat sikap gadis yang dicintanya, Ting Bu segera berkata, “Ah, inikah saudara Sia Han Lin yang sering kali kau ceritakan padaku itu, Lan-moi?” lalu Ting Bu menghadapi Han Lin, memberi hormat dan berkata, “Perkenalkan, saudara Sia Han Lin, saya bernama Ting Bu, sahabat baik nona Can Bi Lan.”
Akan tetapi Bi Lan masih tetap memandang Han Lin dengan sinar mata bingung. “Lin-ko, sudahkah engkau mendengar... tentang Mulani...?”
Han Lin mengangguk dan menarik napas panjang. “Sudah kudengar semua dari saudara misanku Souw Kian Bu. Aku tidak menyalahkanmu, Lan-moi. Engkau membela saudara, hal itu sudah sepatutnya.”
“Akan tetapi, aku tidak tahu betapa jahatnya mendiang kakakku itu, Lin-ko. Sungguh aku merasa menyesal sekali telah membunuh Mulani. Aku bersalah, Lin-ko, dan kalau engkau hendak membalas kematian isterimu itu, silakan. Aku siap menerima hukuman.”
“Sudahlah, Lan-moi. Sudah kukatakan bahwa aku tidak menyalahkanmu. Semua itu telah terjadi dan sudah lewat. Sekarang kita bicarakan soal lain saja. Mari kita masuk ke rumah makan itu supaya kita dapat berbicara dengan leluasa,” kata Han Lin dan mereka semua memasuki rumah makan itu, memilih meja di sudut yang jauh dari tamu lain.
“Sekarang ceritakan, apa yang menyebabkan engkau datang ke kota raja ini, Lan-moi?”
Tanpa ragu lagi Bi Lan segera bercerita tentang Kwan-ciangkun, panglima Lok-yang yang bersekongkol dengan Sam Mo-ong. “Mereka tentu bermaksud melakukan pemberontakan dan aku sudah melapor kepada ayah. Aku berada di kota raja ini karena memang tempat tinggalku di sini. Lupakah engkau, Lin-ko, bahwa Pek-eng Bu-koan berada di sini? Ayahku tinggal di kota raja.”
“Ah, benar juga. Kebetulan sekali, Lan-moi, engkau dan ayahmu bisa membantu usahaku. Apa yang kau ceritakan tadi memang betul dan aku telah mengetahui semuanya, bahkan aku mengetahui lebih banyak dari itu.”
Dengan berbisik-bisik Han Lin lantas menceritakan tentang rencana pemberontakan yang dipimpin oleh Kui-thaikam. Mendengar ini Bi Lan terkejut bukan main, demikian pula Ting Bu.
“Kalau begitu, kita tidak boleh tinggal diam,” kata Ting Bu, “kita harus berbuat sesuatu!”
“Benar, saudara Ting Bu, memang kita telah siap siaga menghadapi semua ini. Kebetulan aku menjadi kepala pengawal pribadi Kaisar dan rencana pemberontakan itu sudah kuberi tahukan kepada Kaisar dan Putera Mahkota. Sekarang kita hanya tinggal membagi tugas. Bi Lan, bagaimana jika engkau dan saudara Ting Bu menggunakan kekuatan para murid Bu-koan untuk melindungi Pangeran Mahkota?”
“Tentu kami siap, Lin-ko.”
“Kalau begitu mari kita bicarakan dengan ayahmu,” ajak Han Lin. Mereka pun membayar harga minuman lalu meninggalkan rumah makan itu.
Can-kauwsu (guru silat Can) menjadi terkejut bukan main ketika mendengar berita itu dari puterinya. “Tentu saja kami siap untuk membantu, Sia-taihiap,” katanya kepada Han Lin. “Dan puteriku sudah menceritakan semua tentang perbuatan mendiang puteraku terhadap engkau dan isterimu. Pada kesempatan ini, sebagai ayahnya aku hendak mintakan maaf kepadamu atas segala perbuatan jahat puteraku. Mengingat dia kini sudah tewas, harap engkau suka memaafkan dia.” Suara orang tua itu tergetar karena haru dan duka.
“Sudahlah, paman. Aku sudah melupakan lagi urusan itu.”
“Juga aku mintakan maaf bagi anakku Bi Lan yang terlampau terburu nafsu menewaskan isterimu.”
“Aku tidak menyalahkan Lan-moi, paman. Sekarang kita menghadapi urusan yang besar, maka sebaiknya kita melupakan urusan pribadi,” kata pula Han Lin.
“Sia-taihiap, aku sudah banyak mendengar tentang dirimu dari Bi Lan, akan tetapi setelah berhadapan, baru aku tahu bahwa engkau memang seorang pendekar besar yang sangat bijaksana.”
“Paman tidak perlu terlalu memuji. Yang penting sekarang, apakah paman sanggup untuk melindungi dan menyelamatkan Pangeran Mahkota? Pada waktu dia pergi berburu, harap dibayangi dan kalau ada bahaya mengancam, harap paman melindunginya lantas secara diam-diam membawa Pangeran pergi mengungsi dahulu ke rumah paman tanpa ada yang mengetahui. Sanggupkah paman?”
“Kami sanggup, dan akan kami lakukan dengan taruhan nyawa!” jawab Can-kauwsu.
Han Lin merasa lega sekali. Tentu akan lebih mudah kalau rombongan Can-kauwsu yang melindungi Putera Mahkota dari pada kalau dia mengerahkan tenaga para pengawal. Dia dan Cin Mei tidak boleh meninggalkan istana karena mereka harus melindungi Kaisar.
Han Lin sudah tahu hingga di mana kelihaian Bi Lan, maka ayahnya yang juga merupakan gurunya tentu lebih lihai lagi. Dengan dibantu Ting Bu yang dia duga tentu saling mencinta dengan Bi Lan, hal yang melegakan hatinya, serta anak-anak buah Pek-eng Bu-koan, dia percaya bahwa keselamatan Pangeran Mahkota pasti akan terjaga. Dia sendiri tentu akan ikut pula mengawasi.
Setelah mengadakan perundingan masak-masak, Han Lin lalu berpamit dan berjanji akan memberi tahu kalau saatnya tiba, yaitu kalau Pangeran Mahkota hendak pergi berburu.
Sesudah Han Lin pergi, Can-kauwsu terus memuji-muji pemuda itu, bahkan Ting Bu juga memujinya. “Memang dia hebat sekali. Dia lebih mementingkan keselamatan negara dari pada urusan pribadi. Aku kagum sekali pada sahabatmu itu, Lan-moi.”
Bi Lan diam saja. Dia tidak pernah menceritakan bahwa dulu dia amat mencinta Han Lin, akan tetapi cintanya itu menghilang ketika dia mendengar bahwa Han Lin sudah menikah dengan Mulani, apa lagi kemudian dialah yang menewaskan Mulani. Dan terutama sekali setelah dia berjumpa dengan Ting Bu, dia merasa sudah menemukan pengganti Han Lin yang tidak mungkin dapat diharapkannya lagi…..
********************
Akhirnya tibalah hari yang dinanti-nanti, baik oleh Kui-thaikam dan kawan-kawannya, mau pun oleh Pangeran Mahkota beserta para pelindungnya. Kui-thaikam mengajak Pangeran Mahkota untuk berburu binatang di dalam hutan buatan di luar kota raja. Dengan tenang Pangeran Mahkota menerima ajakan itu karena maklum dan percaya sepenuhnya bahwa secara diam-diam dia telah dilindungi oleh Han Lin dan kawan-kawannya.
Kui-thaikam dan Pangeran Mahkota menunggang kuda, sambil dikawal oleh selosin orang pengawal berkuda pula. Mereka membawa perlengkapan berburu dan tak lama kemudian tibalah mereka di dalam hutan buatan yang cukup luas itu. Hutan itu adalah hutan buatan di mana dilepas banyak binatang hutan untuk dapat diburu oleh Kaisar dan keluarganya.
Han Lin segera memberi kabar kepada Can-kauwsu yang langsung membawa lima puluh orang anak buahnya bersembunyi di hutan itu. Bi Lan dan Ting Bu tidak ketinggalan, ikut pula bersembunyi di hutan untuk melindungi Pangeran Mahkota.
Segera mereka dapat melihat Pangeran itu dan Kui-thaikam yang diiringi selosin pasukan pengawal memasuki hutan. Pangeran Mahkota tidak memperlihatkan kekhawatiran, tetapi seperti biasa dia berburu binatang dengan gembira.
Pada saat mereka tiba di tengah hutan, tiba-tiba saja bermunculan kurang lebih tiga puluh orang yang mengenakan topeng dan mereka itu langsung saja menyerbu, akan tetapi para pengawal itu sama sekali tidak melindungi Putera Mahkota!
Melihat ini, sesuai dengan rencana yang sudah diatur sebagaimana diberi tahu oleh Han Lin, Putera Mahkota segera membedal lalu membalapkan kudanya meninggalkan tempat itu, diikuti oleh Kui-thaikam yang pura-pura kelihatan ketakutan.
Tiba-tiba saja muncullah puluhan orang yang membiarkan Pangeran Mahkota lewat tetapi menghadang para pengejar itu. Tiga puluh orang perampok bertopeng yang dibantu oleh selosin pengawal lalu saling serang dengan para anggota Pek-eng Bu-koan yang dipimpin oleh Can-kauwsu, Bi Lan dan Ting Bu. Pertempuran hebat tidak dapat dihindarkan lagi.
Tapi para perampok yang ditugaskan membunuh Pangeran Mahkota itu menjadi bingung karena sama sekali tidak menyangka akan menemui halangan seperti ini. Mereka menjadi kacau balau kehilangan pegangan, terutama sekali karena amukan Can-kauwsu dan Ting Bu, sedangkan Bi Lan sendiri segera mengejar Pangeran Mahkota dan Kui-thaikam untuk melindunginya dari kemungkinan ancaman lain.
Melihat Kui-thaikam dengan pedang di tangan seolah melindungi Pangeran, diam-diam Bi Lan merasa kagum. Thaikam ini memang amat cerdik, begitu melihat usaha pembunuhan itu gagal, cepat dia mengubah taktik dan pura-pura melindungi sehingga dia tidak terlibat dalam usaha pembunuhan Putera Mahkota itu.
Akan tetapi Bi Lan tidak peduli. Sesuai petunjuk Han Lin, dia menyambar tali kendali kuda sang Pangeran, menendang jatuh Kui-thaikam dari atas kudanya lalu mengajak Pangeran itu melarikan diri. Pangeran Tek Tsung hanya menurut saja karena memang sudah diberi tahu oleh Han Lin bahwa dia harus ikut dengan gadis berpakaian merah muda yang akan membawanya lari mengungsi.
Setelah sampai di tepi hutan, Bi Lan lantas menyerahkan pakaian pengganti untuk Putera Mahkota. “Paduka harus menyamar sebagai penduduk biasa ketika memasuki kota raja, Pangeran,” katanya.
Kembali Pangeran itu menurut saja. Pakaian petani yang longgar itu dipakainya menutupi pakaiannya yang serba indah. Ketika Pangeran Mahkota sedang memakai pakaian petani itu, Bi Lan mencambuk kuda sang Pangeran sehingga kuda itu langsung kabur kembali ke dalam hutan.
Akhirnya gadis itu mengajak sang Pangeran melanjutkan perjalanan ke kota raja dengan berjalan kaki. Mereka berhasil memasuki kota raja tanpa menarik perhatian orang dan Bi Lan mengajak Pangeran itu bersembunyi ke dalam rumah orang tuanya, yaitu di Pek-eng Bu-koan…..
********************
Sementara itu pertempuran tidak berlangsung lama. Walau pun di antara para perampok bertopeng itu terdapat Thian-te Siang-kui yang lihai, tapi tugas mereka adalah membunuh Pangeran Mahkota, bukan bertempur. Mereka lalu meninggalkan gelanggang pertempuran dan melakukan pengejaran, akan tetapi mereka hanya menemukan Kui-thaikam dan kuda Pangeran Mahkota, sedang Pangeran itu sendiri tidak dapat mereka temukan.
Kui-thaikam menyumpah-nyumpah. Kepada para sekutunya, malam itu dia menceritakan bahwa Pangeran Mahkota diselamatkan seorang wanita yang tidak dikenalnya.
“Kita harus segera melaksanakan rencana selanjutnya. Putera Mahkota dilindungi banyak orang, jika rencana selanjutnya tidak cepat dilaksanakan, maka kami khawatir semuanya akan menjadi gagal,” katanya.
Semua orang setuju dan Tabib Liang segera dihubungi agar besok segera melaksanakan rencana mereka untuk meracuni Kaisar! Para pengawal yang selosin orang itu memang anak buah Kui-thaikam.
Sekembalinya dari hutan, Kui-thaikam langsung melaporkan kepada Kaisar bahwa ketika berburu Pangeran telah memisahkan diri dari rombongan dan sekarang sedang dicari-cari oleh pasukan. Kaisar menerima berita ini dengan hati tenang saja karena dia sudah tahu dari Han Lin bahwa Pangeran telah diselamatkan dan untuk sementara disembunyikan.
Ketika hidangan makan siang sudah dipersiapkan, Cin Mei melihat sikap Liang Sinshe tak seperti biasanya. Dia kelihatan gugup dan ketika dia melihat tabib itu menuangkan bubuk putih ke dalam guci emas yang menjadi guci arak Kaisar, Cin Mei segera maklum bahwa inilah saatnya untuk meracuni Kaisar. Dan racunnya berada di dalam guci emas itulah.
Kemudian dia melihat betapa Tabib Liang mengundang seorang thaikam lantas menyuruh thaikam ini untuk menghidangkan sambil membawa guci emas itu kepada Kaisar sebagai pelengkap makan siang. Dari peristiwa ini saja Cin Mei tahu bahwa thaikam itu tentu anak buah Kui-thaikam. Tentu untuk membawa guci emas itu tidak boleh dipercayakan kepada orang lain. Ia pura-pura tidak tahu dan segera mendahului pergi ke kamar makan di mana Kaisar akan makan siang dilayani oleh para gadis pelayan dan thaikam.
Siang itu makan siang berlangsung tidak seperti biasanya. Kaisar yang sudah mendapat bisikan dari Han Lin yang menerima kontak dari Cin Mei, malah menyuruh semua pelayan dan thaikam pergi. Sesudah semua orang pergi dan di situ hanya terdapat Cin Mei, Kaisar lalu memanggil masuk thaikam yang membawa guci emas tadi. Semua pintu ditutup dan tak seorang pun diperbolehkan masuk.
“Engkau yang tadi membawa guci arak ini?” tanya Kaisar kepada thaikam.
Karena pertanyaan itu tidak biasa, maka seketika wajah thaikam itu menjadi pucat. Sambil berlutut dia menjawab, “Benar, Yang Mulia.”
“Apa isinya guci itu?”
“Tentu saja isinya arak, Yang Mulia. Hamba mengambilnya dari dapur.”
“Bagus, engkau telah bekerja dengan baik sekali, oleh karena itu kami berkenan memberi hadiah secawan arak kepadamu. Majulah!”
Wajah thaikam itu menjadi bertambah pucat. Dengan mata terbelalak dia melihat betapa Kaisar menuangkan arak dari guci emas ke dalam sebuah cawan lalu menjulurkan tangan memberikan cawan itu kepadanya. Thaikam itu ketakutan dan hendak melarikan diri, akan tetapi sekali tangan Cin Mei bergerak, thaikam itu menjadi lemas dan tak mampu bangkit kembali.
“Hayo minum!” kata Kaisar yang menghampirinya dan memaksanya minum secawan arak itu.
Karena sudah tak bertenaga lagi dan tidak dapat melawan, akhirnya thaikam itu terpaksa menelan arak dari cawan itu. Sejenak kemudian dia pun roboh dan tewas seketika dengan mulut berubah menghitam!
Kaisar berseru lirih. “Jahanam keji...!”
Sesuai rencana, Cin Mei lalu memanggil pengawal kepercayaan Han Lin. Dengan bantuan pengawal ini mereka lalu mengangkut jenazah itu dan merebahkan ke dalam pembaringan Kaisar, sedangkan Kaisar sendiri lalu menyembunyikan diri.
Segera tersiar berita bahwa Kaisar menderita sakit keras, bahkan kemudian disusul berita bahwa Kaisar sudah meninggal dunia! Tentu saja geger di dalam istana, kecuali keluarga istana yang telah diberi tahu terlebih dahulu tentang adanya usaha pemberontakan itu.
“Kita harus meneruskan rencana, sekarang juga sebelum Putera Mahkota muncul. Cepat! Dan sekarang juga harus diadakan persidangan besar. Jangan lupa untuk mengirim berita kepada Kwan-ciangkun di Lok-yang, juga kepada Ku Ma Khan dan para panglima lain di sini!” demikian perintah Kui-thaikam kepada para sekutunya.
Mereka nampak sibuk sekali karena saat besar itu akan tiba. Bahkan Pangeran Kim Seng juga sudah siap dengan pakaian kebesaran.
Persidangan darurat diadakan dengan dihadiri oleh semua menteri, pejabat dan panglima. Menurut perhitungan, pada saat persidangan darurat diadakan istana telah dikepung oleh pasukan yang memberontak, di bawah pimpinan para panglima yang sebelumnya sudah ditentukan.
Tak seorang pun pejabat tinggi yang tidak hadir dalam persidangan yang diadakan secara darurat itu. Para pejabat tinggi yang tidak tersangkut pemberontakan, merasa heran sekali dan juga bingung mendengar berita bahwa Kaisar telah wafat. Mereka seolah tak percaya karena sebelumnya tidak ada berita Kaisar menderita sakit. Juga berita tentang lolosnya Pangeran Mahkota dari istana tanpa diketahui ke mana perginya sudah membuat semua orang bertanya-tanya. Maka, ketika diadakan persidangan darurat, berbondong-bondong mereka mendatangi persidangan itu.
Singgasana itu kosong. Kui-thaikam berdiri di dekat singgasana, ditemani oleh Pangeran Kim Seng. Semua yang hadir tahu bahwa pangeran sinting tukang pelesir ini adalah adik Kaisar dan karena Putera Mahkota tidak ada maka tentu saja Pangeran Kim Seng dapat dibilang sebagai anggota tertua dan terpenting dari keluarga Kaisar.
“Cu-wi yang mulia,” Kui-thaikam mulai berkata. “Ada berita yang amat menyedihkan, yaitu Yang Mulia Sribaginda Kaisar tiba-tiba saja wafat karena terserang penyakit berat. Tabib Liang tidak mampu mengobatinya karena sudah parah sekali. Menurut Tabib Liang, Yang Mulia menderita pendarahan di lambung yang sangat parah. Dan di samping berita yang amat menyedihkan ini, ada lagi berita yang membingungkan, yaitu bahwa Putera Mahkota Tek Tsung sudah lolos dari istana, entah ke mana tak seorang pun yang mengetahuinya. Kami masih berusaha mencarinya, akan tetapi sementara mencarinya, sungguh tidak baik kalau singgasana dibiarkan kosong. Sebelum sang Pangeran dapat ditemukan, harus ada orang yang sementara menggantikan kedudukan Kaisar untuk mengatur pemakaman dan mengatur hal-hal yang terpenting. Namun mengingat bahwa pengganti Yang Mulia Kaisar, yaitu Pangeran Mahkota Tek Tsung tidak ada, maka satu-satunya pengganti yang tepat adalah Pangeran Kim Seng karena sebagai paman dari Putera Mahkota, beliau ini dapat dibilang menjadi walinya. Biarlah untuk sementara ini Pangeran Kim Seng menggantikan kedudukan Pangeran Mahkota yang lolos. Bagaimana pendapat cu-wi yang terhormat?”
Para pejabat yang telah menjadi sekutu Kui-thaikam serta merta mengancungkan tangan menyatakan setuju dengan suara riuh rendah. Tentu saja mereka menyetujui hanya demi kepentingan sendiri karena mereka tentu mengharapkan kenaikan pangkat dari penguasa yang baru. Akan tetapi banyak pula di antara para menteri yang menyatakan tidak setuju.
“Jenazah Yang Mulia belum juga dimakamkan, mengapa malah ribut-ribut soal pengganti Kaisar?”
“Yang penting harus menemukan Pangeran Mahkota dulu, setelah itu barulah ditentukan pengganti Yang Mulia Kaisar.
“Kematian Yang Mulia perlu diteliti karena mencurigakan sekali.”
Terdengar bermacam-macam suara memprotes keputusan yang hendak diambil oleh Kui-thaikam. Akan tetapi Kui-thaikam mengangkat tangannya dan nampak berwibawa sekali.
“Cu-wi semua tahu bahwa saya adalah orang yang menjadi kepercayaan Yang Mulia, dan Pangeran Kim Seng adalah adik dari Yang Mulia. Semua keputusan ini sudah benar dan merupakan satu-satunya jalan. Kalau ada yang tidak setuju maka itu berarti menghalangi kelancaran pemerintahan dan bisa dianggap hendak mengacau dan memberontak. Untuk itu kami telah siap siaga dengan pasukan dan kalau perlu, mereka yang tidak setuju dapat ditangkap. Istana ini sudah dikepung pasukan yang mendukung keputusan kami!”
Mendengar ini semua pejabat menjadi amat terkejut, maka tahulah mereka semua bahwa sesungguhnya Kui-thaikamlah yang memberontak dan ingin memaksakan kehendaknya dengan dukungan pasukan.....!
Pada saat itu terdengar suara nyaring, “Yang Mulia Sribaginda Kaisar telah tiba!”
Semua orang terkejut, terutama sekali Kui-thaikam yang langsung memandang terbelalak karena tidak mengerti maksudnya. Dia sudah melihat sendiri betapa jenazah Sribaginda Kaisar rebah di dalam kamarnya!
Semua orang memandang dan benar saja. Mereka melihat Sribaginda Kaisar Thai Tsung yang nampak sehat-sehat saja memasuki ruangan itu, diikuti oleh pasukan pengawal dan juga didampingi oleh Han Lin beserta para thaikam yang setia.
“Kui-thaikam, sekarang engkau hendak berkata apa lagi? Engkau yang bersekutu dengan pemberontak, engkau mengatur pemberontakan, hendak membunuh kami dan membunuh Putera Mahkota pula! Engkau tidak dapat menyangkal lagi!”
Kui-thaikam memandang dengan wajah pucat. Akan tetapi dia melihat ada sesuatu yang tidak beres dalam rencananya, maka dia hendak berlaku nekat karena sudah kepalang.
“Menyerahlah kalian semua! Istana sudah dikepung dan kota raja sudah diduduki pasukan kami!” bentaknya sambil mengangkat kedua tangan untuk menyuruh pasukan yang sudah mengepung istana itu menyerbu masuk.
Akan tetapi tiba-tiba pintu terbuka lebar dan masuklah Kwan Im Sianli Lie Cin Mei sambil mencengkeram leher baju di bagian tengkuk Tabib Liang.
“Inilah Tabib Liang yang hendak meracuni Yang Mulia Kaisar atas suruhan Kui-thaikam!” seru gadis itu dengan suaranya yang merdu dan lantang. Lantas didorongnya Tabib Liang sehingga terjatuh berlutut di dekat Kui-thaikam.
Dari pintu yang terbuka lebar itu kemudian masuklah panglima-panglima yang masih setia terhadap Kaisar. Mereka menggiring lima orang yang menjadi tawanan, yaitu Menteri Lai, Menteri Ciu, Panglima Bhe, Panglima Phoa serta Panglima The. Lima orang sekutu dari Kui-thaikam yang sedianya akan mengerahkan pasukan mengepung istana.
Ternyata mereka itu sudah didahului oleh panglima-panglima yang dihubungi Lo-ciangkun, ditangkap lebih dahulu di rumahnya masing-masing sehingga tidak sempat menggerakkan pasukan. Kini mereka semua didorong ke depan dan jatuh berlutut di dekat Kui-thaikam, di hadapan Kaisar.
Melihat ini, Pangeran Kim Seng juga menjatuhkan diri berlutut di hadapan Kaisar. Dari luar lalu masuk pula Pangeran Mahkota Tek Tsung diiringkan oleh Bi Lan dan Ting Bu! Maka bergembiralah para pejabat yang setia karena melihat Putera Mahkota itu ternyata dalam keadaan sehat.
“Cu-wi, kalau ingin tahu siapa yang hendak membunuhku, maka Kui-thaikam inilah yang telah mengaturnya pula!”
Kini Kui-thaikam sudah tidak melihat jalan keluar lagi. Dia mencabut pedangnya kemudian sambil berteriak seperti seekor serigala gila dia pun menubruk ke depan untuk membunuh Kaisar!
Akan tetapi, Han Lin yang berdiri di sana menyambutnya dengan sebuah tendangan yang membuat tubuh Kui-thaikam jatuh terjengkang. Thaikam itu lalu menggerakkan pedang ke lehernya, akan tetapi beberapa tangan telah merampas pedang itu. Dia lalu ditangkap dan diborgol.
Kui-thaikam meronta-ronta, memaki-maki, menangis dan tertawa. Ternyata dia mendadak menjadi gila atau pura-pura gila. Kaisar memerintahkan untuk menyeret pergi semua yang terlibat pemberontakan.
Seluruh anggota persekutuan pemberontakan itu pun terbongkar. Pasukan pemerintah lalu mengadakan penyerbuan ke Lok-yang, menangkap Kwan-ciangkun. Juga pasukan dikirim ke Nan-yang untuk menangkap Gubernur Coan. Maka lengkaplah semua kaki tangan Kui-thaikam ditangkap dan dijebloskan ke dalam penjara menunggu pengadilan.
Sementara itu pasukan yang dipimpin Ku Ma Khan di perbatasan sudah diserbu pasukan yang dibantu oleh para pendekar. Pada hari itu juga pasukan besar dikirim ke perbatasan di utara di mana pasukan Ku Ma Khan masih menanti tanda-tanda dari Kui-thaikam untuk menyerbu.
Pertempuran berlangsung dengan seru. Ketika Sam Mo-ong yang memperkuat pasukan Mongol turut maju, banyak prajurit Kerajaan Tang roboh oleh tiga orang datuk sesat yang lihai itu. Akan tetapi para pendekar yang melihat ini segera maju.
Han Lin menghadapi Kwi-jiauw Lo-mo, ada pun Hek-bin Mo-ong dihadapi Lie Cin Mei dan Cu Leng Si, dan Pek-bin Mo-ong dikeroyok oleh Gu San Ki dan Ting Bu yang lihai.
Sam Mo-ong yang sekali ini mendapat tanding, dalam waktu singkat saja sudah terdesak hebat. Terutama sekali Kwi-jiauw Lo-mo. Biar pun dia telah mengamuk dengan sepasang cakar setannya, namun dia tak banyak berdaya menghadapi pedang Ang-in Po-kiam yang oleh Kaisar diberikan lagi kepada Han Lin itu. Dengan ilmu pedang Ang-in Kiam-sut yang digubahnya sendiri, Han Lin mendesak dengan hebatnya dan pada kesempatan yang baik pedangnya itu mampu membabat putus kedua tangan setan itu.
Kwi-jiauw Lo-mo terkejut sekali dan dia berusaha untuk mengamuk dengan pukulan jarak jauhnya, tubuhnya menggelinding dan berputar-putar ke sana sini seperti sebuah peluru. Namun Han Lin dapat mengimbanginya dengan Khong-khi-ciang yang juga memiliki hawa sinkang yang amat kuat.
Sesudah mengadu sinkang namun tetap tidak sanggup mengatasi Han Lin, akhirnya Kwi-jiauw Lo-mo menggelinding hendak melarikan diri. Tapi Han Lin cepat melempar Pedang Awan Merahnya yang meluncur laksana sinar kilat, lalu menusuk punggung kakek itu dan menembus ke dalam dadanya sehingga dia pun roboh menelungkup dan tewas seketika. Han Lin meloncat menghampiri lalu mencabut pedangnya dari tubuh Kwi-jiauw Lo-mo.
Hek-bin Mo-ong yang dihadapi Cin Mei dan Leng Si juga sibuk sekali. Dia mengerahkan sinkang-nya yang dingin beracun, jari-jari tangannya berubah menghitam, tetapi dua orang gadis itu lihai bukan kepalang. Leng Si bersenjata siang-kiam dan Cin Mei menggunakan sebatang pedang. Tubuh mereka merupakan bayangan hijau dan putih, ada pun pedang mereka membentuk gulungan sinar yang menyilaukan mata.
Baru melawan salah seorang di antara mereka saja sudah tidak mudah bagi Hek-bin Mo-ong untuk menang, apa lagi dikeroyok dua. Akhirnya pedang Leng Si menembus dadanya sehingga dia pun roboh dalam keadaan tewas.
Demikian pula Pek-bin Mo-ong. Pengeroyoknya adalah orang-orang yang lihai, terutama sekali Gu San Ki. Murid Pek Mau Siankouw ini yang jarang muncul di dunia kang-ouw, memiliki tingkat kepandaian yang lebih tinggi dari pada Leng Si atau Cin Mei. Dia sendiri saja sudah merupakan lawan tangguh sekali bagi Pek-bin Mo-ong, apa lagi sekarang maju bersama Ting Bu, murid Bu-tong-pai yang lihai itu. Pek-bin Mo-ong hanya dapat bertahan selama lima puluh jurus dan akhirnya dia tewas oleh tusukan pedang Gu San Ki.
Para pendekar lantas mengamuk. Leng Si yang mencari-cari akhirnya dapat menemukan Tee-kui yang amat dibencinya sebab penjahat cabul ini dulu nyaris saja bisa memperkosa dirinya. Sesudah bertemu, dia melarang yang lain untuk melawannya dan dia sendiri yang menyerang Tee-kui dengan siang-kiamnya.
Dengan dua goloknya Tee-kui melawan mati-matian. Sepasang golok melawan sepasang pedang dan pertempuran ini disaksikan oleh yang lain-lain. Sebenarnya tidak mudah bagi Leng Si untuk mengalahkan Tee-kui karena tingkat mereka tidak banyak selisihnya. Akan tetapi karena Tee-kui sudah menjadi panik melihat Sam Mo-ong sudah roboh, juga Thian-kui telah tewas di tangan Kian Bu, maka permainan goloknya menjadi kacau.
Dia tahu bahwa untuk melarikan diri pun sudah tidak ada jalan. Terlalu banyak pendekar berada di situ, maka dia pun hanya dapat berkelahi dengan nekat. Karena memang sudah panik dan permainannya kacau, akhirnya pedang Leng Si membabat lehernya dan dia pun roboh dengan leher hampir putus.
Akhirnya Ku Ma Khan terpaksa menarik mundur pasukannya dan melarikan diri ke utara dan perang pun berakhir dengan kemenangan pasukan Tang. Kaisar amat berterima kasih kepada para pendekar dan biar pun Kaisar merasa menyesal bahwa Han Lin dan Cin Mei mengundurkan diri dan tidak lagi mau menjadi pengawal, namun Kaisar dapat memaklumi watak para pendekar yang tidak mau terikat itu. Dia hanya bisa membagi-bagikan hadiah kepada para pendekar yang sudah membantu membasmi persekutuan jahat yang hendak menggulingkan pemerintahannya itu.
Sekarang keadaan menjadi aman kembali dan setelah memperoleh pengalaman pahit itu, Kaisar bersikap lebih hati-hati. Kaisar menasehati Pangeran Mahkota agar dapat menarik pelajaran dari pengalaman itu, yaitu agar jangan terlalu menaruh kepercayaan tanpa batas kepada seorang punggawa, apa lagi kalau punggawa itu orang yang suka bermuka-muka atau seorang penjilat. Harus mendengarkan nasihat semua pihak dan mempertimbangkan nasihat-nasihat mereka sehingga pemerintahannya dapat terkontrol dan semua kesalahan akan dapat diubah…..
********************
“Mei-moi, sekarang engkau hendak ke manakah?” tanya Han Lin kepada Cin Mei. Mereka sudah berada jauh dari kota raja, berpisah dari para pendekar lain yang mengambil jalan mereka masing-masing.
Cin Mei nampak kaget dan bingung mendengar pertanyaan ini. Selama ini dia melakukan perjalanan bersama Han Lin, mengalami segala macam suka duka bersama pemuda itu dan tanpa terasa dia memasuki kehidupan yang lain sama sekali. Dia menganggap bahwa memang sudah seharusnya dia hidup di samping Han Lin, bekerja sama dengan pemuda itu dan agaknya mereka tidak akan saling berpisah lagi. Dia telah benar-benar jatuh cinta kepada pendekar ini.
Tetapi sekarang secara tiba-tiba saja pemuda itu bertanya ke mana dia hendak pergi dan seolah baru teringat olehnya bahwa akhirnya perpisahan akan tiba juga. Ia harus berpisah dari pemuda ini yang bukan apa-apanya! Dan mendadak saja hatinya merasa sedih bukan main.
Sepasang matanya yang lebar itu memandang kepada Han Lin seperti seorang anak kecil yang dimarahi dan tidak tahu harus berkata apa. Lalu perlahan-lahan sepasang mata itu menjadi basah! Ia menahan perasaannya agar jangan sampai menangis di depan pemuda itu, namun hatinya terasa seperti diremas karena yang teringat olehnya hanyalah bahwa dia harus berpisah dari pemuda ini. Dan dunia terasa kiamat kalau dia harus berpisah dari Han Lin.
“Ehh, Mei-moi, kenapa engkau diam saja? Ke mana engkau hendak pergi sekarang?”
“Ke... ke mana, ya?”
“Aih, adik Cin Mei, engkau ini bagaimana sih? Ditanya tapi malah balas bertanya! Apakah engkau akan pulang ke rumah ibumu?”
“Ya, pulang ke rumah ibuku...”
“Atau engkau akan merantau, meluaskan pengalaman?”
“Ya, benar! Aku akan merantau meluaskan pengalamanku!”
Han Lin memandang penuh perhatian. Dia heran sekali melihat gadis yang biasanya amat tenang dalam menghadapi apa saja itu sekarang kelihatan seperti orang bingung, bahkan tidak tahu dengan pasti apa yang akan dilakukannya sekarang.
“Mei-moi, engkau kelihatan bingung. Kenapa?”
“Aku tidak tahu, Lin-ko. Aku... aku bahkan tidak tahu aku harus pergi ke mana sekarang. Aku... sudah terbiasa pergi mengikutimu saja...” gadis itu lantas menundukkan mukanya yang berubah kemerahan.
“Mei-moi, bagaimana mungkin kita terus menerus pergi berdua? Ada waktu bertemu, ada pula waktu untuk berpisah. Engkau tidak mungkin terus bersamaku, Mei-moi.”
“Kenapa tidak bisa, koko?”
“Tentu saja tidak bisa, karena engkau... karena aku...”
“Ehh, bicaramu seperti teka-teki. Kenapa kita tidak dapat melakukan perjalanan bersama, Lin-ko? Kenapa kita harus berpisah?”
“Mei-moi, engkau ini sungguh aneh. Engkau adalah seorang gadis terhormat, maka tidak baik melakukan perjalanan terus menerus bersama aku...”
“Apakah engkau bukan seorang laki-laki terhormat?”
“Bukan begitu, akan tetapi apa kata orang kalau melihat kita selalu bersama?”
“Lin-ko, sekarang aku minta engkau bersikap dan menjawab dengan sejujurnya. Apakah engkau tidak suka lagi melakukan perjalanan bersamaku? Jawablah, kalau engkau tidak suka, tentu saja aku tidak akan minta kepadamu untuk melakukan perajalanan bersama.”
“Tentu saja aku suka sekali, Cin Mei, akan tetapi ini akan merugikan nama baikmu. Ingat, engkau seorang gadis, dan aku… aku adalah seorang duda!”
“Ah, aku tahu tentang pernikahanmu dengan mendiang Mulani. Engkau tidak bersungguh-sungguh menikah dengannya, bahkan engkau tidak mencintanya, bukan?”
Han Lin menghela napas panjang. “Sesungguhnya memang begitu, dan Mulani tentu akan dapat memaafkan aku. Akan tetapi bagaimana pun juga, aku... aku merasa tidak pantas mendampingimu, Cin Mei.”
“Lin-ko, mengapa engkau berkata demikian? Aku... aku merasa bangga kalau aku boleh mendampingimu, Lin-ko.”
Han Lin memandang wajah dara itu, dan Cin Mei juga memandangnya. Dua pasang mata bertemu dan beradu, lalu bertaut ketat seolah ada besi semberani yang menarik pandang mata mereka. Han Lin melangkah mendekat, lalu memegang kedua tangan gadis itu.
“Cin-moi, benarkah... benarkah apa yang kau katakan ini? Apakah bukan sekedar hendak menghiburku saja?”
“Koko, engkau yang mengetahui bahwa aku adalah orang yang tidak suka berbohong.”
“Kalau begitu... ahh, Mei-moi, sejak pertama kali berjumpa denganmu, hatiku mengatakan bahwa aku telah jatuh cinta padamu. Akan tetapi selama ini, mengingat bahwa aku sudah menikah, maka aku pun tidak berani mengharapkan, tidak berani menyatakan. Sekarang setelah tahu bahwa engkau tidak memandang aku sebagai seorang duda, aku pun berani menyatakan. Memang aku mengharapkan engkau selamanya mendampingiku, Mei-moi, sebagai isteriku. Nah, sekarang sudah kuucapkan, kalau engkau tersinggung dan marah, engkau boleh memaki aku, Mei-moi!”
Cin Mei menggenggam jari-jari tangan pemuda itu, mengangkat mukanya dan tersenyum, akan tetapi air matanya berlinang. “Koko, apakah engkau tidak dapat melihat perasaanku lewat pandang mataku, kata-kataku dan sikapku padamu? Engkau tidak bertepuk tangan sebelah, koko...”
“Cin Mei...!” Han Lin mendekap kepala itu ke dadanya.
Kebahagiaan memenuhi perasaan hatinya. Selama ini dia belum pernah jatuh cinta dalam arti kata yang sedalamnya, tetapi sekarang dia telah menemukan cintanya, seorang gadis yang hebat, bukan saja cantik lahirnya, juga batinnya cantik sekali.
Sampai lama meraka berpelukan seperti lupa akan segala sesuatu, lupa akan waktu dan sekelilingnya. Kemudian, sesudah sadar Han Lin lalu berkata, “Mei-moi, kalau begitu mari kuantar engkau pulang. Aku ingin bertemu dengan ibumu dan bagaimana pun juga harus ada persetujuan dari ibumu kalau kita hendak hidup bersama sebagai suami isteri. Kalau ibumu sudah setuju, baru aku akan minta kepada para bibi dan pamanku untuk mengatur perjodohan kita ini.”
“Baik, koko, dan aku yakin bahwa ibuku akan menyetujuinya, sebab ibu amat menyayang kepadaku dan percaya kepadaku. Ia pun tentu akan percaya bahwa pilihan hatiku adalah pria yang terbaik bagiku di dunia ini.”
Han Lin mencium bibir yang mengeluarkan kata-kata yang baginya terdengar amat indah itu. Sesudah keduanya puas meluapkan perasaan masing-masing, sepasang muda-mudi itu lalu melanjutkan perjalanan.
Wi Wi Siankouw, ibu Cin Mei, menjadi seorang pertapa yag tinggal di bukit Liong-san dan hidup menyendiri sebagai seorang wanita petani dan pertapa. Dapat dibayangkan betapa girang dan gembira hati wanita tua ini pada saat melihat puterinya kembali dalam keadaan sehat. Akan tetapi matanya menatap tajam pemuda yang mendampingi puterinya itu.
Cin Mei segera memperkenalkan. “Ibu, ini adalah kakak Sia Han Lin, seorang... sahabat baikku. Dia ikut ke sini untuk kuperkenalkan kepadamu, ibu.”
“Hemmm, engkau memperkenalkan seorang pemuda kepadaku, berarti dia adalah pilihan hatimu. Betulkah?”
Wajah Cin Mei menjadi kemerahan. Han Lin merasa heran dan aneh sekali melihat Cin Mei kini berubah kekanak-kanakan dan manja. Gadis itu lari merangkul ibunya kemudian menyembunyikan mukanya di pundak ibunya.
“Aihh, ibu...!”
Wi Wi Siankouw tertawa terkekeh dan tampak gembira sekali, akan tetapi ketika tawanya berhenti dia segera memandang kepada Han Lin dengan tajam.
“Tidak boleh sembarang laki-laki menikahi puteriku. Dia harus seorang yang berhati mulia dan bijaksana.”
“Ibu, Lin-ko adalah seorang yang paling bijaksana dan baik di seluruh dunia ini!” jawab Cin Mei manja.
“Dan dia harus memiliki ilmu kepandaian silat yang tinggi!”
“Ibu, aku sendiri tidak ada artinya jika dibandingkan dengan Lin-koko. Ilmu silatnya tinggi, juga dia pandai ilmu sastera.”
“Aihh, tentu saja engkau memujinya setinggi langit karena dia adalah pilihan hatimu. Akan tetapi aku takkan merasa puas kalau belum membuktikannya sendiri. Orang muda, ehh, siapa namamu tadi?”
“Nama saya Sia Han Lin, locianpwe.”
“Bagus! Sia Han Lin, apakah engkau mencinta puteriku Cin Mei? Jawab sejujurnya, aku tidak suka melihat orang berlika-liku.”
“Benar, locianpwe. Saya mencinta adik Lie Cin Mei.”
“Calon suami Cin Mei harus seorang yang berilmu tinggi sehingga kelak dia akan mampu melindungi Cin Mei serta anak-anaknya. Maka engkau harus dapat menandingiku sampai lebih dari tiga puluh jurus! Kalau kurang dari tiga puluh jurus engkau sudah kalah, berarti pinanganmu kutolak. Beranikah engkau?”
“Ibu...!” Cin Mei memprotes ibunya.
Namun ibunya memandang kepadanya sedemikian rupa sehingga dia langsung berdiam diri, akan tetapi diam-diam dia gembira sekali. Ibunya tentu tidak akan mengalahkan Han Lin sebelum tiga puluh jurus. Dengan menantang calon menantunya itu saja berarti ibunya sudah menerima dan menyetujui. Ibunya hanya ingin menguji Han Lin!
“Tentu saja saya tidak berani melawan locianpwe, tapi jika locianpwe menghendaki untuk menguji kepandaian saya yang masih sangat rendah dan memberi petunjuk, sebelumnya saya menghaturkan terima kasih.”
“Hemm, orang muda, engkau pandai sekali bersopan santun dan merendahkan diri. Nah, aku akan mulai menyerangmu dengan kebutan, kau boleh menggunakan pedangmu untuk melindungi dirimu!”
Wi Wi Siankouw mengeluarkan bentakan nyaring, kemudian pertapa ini mulai menyerang dengan kebutannya. Kebutan itu menyambar halus, akan tetapi di balik kelembutan serta kelemasan kebutan itu, tersembunyi tenaga yang dahsyat sekali.
Han Lin mengelak dengan mudah dan menjaga jarak, tetapi kebutan menyambar kembali, kini berputar dan mengeluarkan suara bersiutan. Kebutan itu menyerangnya bertubi-tubi, kadang lemas dan lembut, kadang berubah kaku seperti bulu-bulunya terbuat dari kawat baja!
Namun Han Lin mempergunakan kegesitannya mengelak dengan berlompatan dan ketika mulai terdesak, dia pun lantas bersilat dengan Khong-khi-ciang. Ketika tusukan jari-jarinya membuat bulu kebutan rontok, Wi Wi Siankouw mengeluarkan seruan kaget. Barulah dia tahu bahwa pemuda ini memang benar memiliki ilmu yang aneh dan hebat sekali. Tangan yang kelihatannya kosong tidak bertenaga itu ternyata mampu membuat bulu kebutannya rontok.
Wi Wi Siankouw menjadi gembira. Sudah lama dia tidak menemukan orang yang sanggup menandinginya lebih dari tiga puluh jurus, akan tetapi pemuda ini mampu menandinginya, bahkan sama sekali tak pernah terdesak, padahal pemuda ini melawannya dengan tangan kosong saja! Saking gembiranya Wi Wi Siankouw sampai lupa bahwa ia telah menyerang lebih dari tiga puluh jurus dan terus melanjutkan serangannya yang kini menjadi dahsyat bukan main karena dia sudah mengerahkan seluruh tenaganya!
“Haiiiitttt...!”
Kembali kebutannya menyambar, sekarang menotok ke arah kedua mata lawan. Han Lin terpaksa melompat ke atas untuk menghindarkan tusukan itu, dan pada waktu tubuhnya menukik ke bawah, dia menggunakan kedua tangannya untuk merampas kebutan. Wi Wi Siankouw terpekik dan cepat menarik kebutannya yang hampir saja terampas.
“Empat puluh satu... empat puluh dua... eh, ibu, sudah empat puluh dua jurus!” teriak Cin Mei berulang-ulang.
Akan tetapi Wi Wi Siankouw yang sedang bergembira karena memperoleh teman latihan yang sepadan, tidak menghiraukannya. Sekarang kebutannya menusuk ke arah dada Han Lin seperti sebuah tongkat atau tombak.
Han Lin segera menyambut dengan Khong-khi-ciang. Kedua telapak tangannya menjepit ujung kebutan itu dari kanan kiri sehingga kebutan itu kini terjepit oleh telapak tangannya, tidak dapat dilepaskan kembali walau pun pemiliknya sudah mengerahkan seluruh tenaga untuk membetotnya.
Setelah berulang kali menarik tanpa hasil, barulah Han Lin melepaskan jepitan tangannya lalu menjura, “Harap locianpwe suka memaafkan saya dan terima kasih bahwa locianpwe telah bersikap lunak terhadap saya.”
Wi Wi Siankouw terbelalak. Jangankan mengalahkan dalam tiga puluh jurus, bahkan jika dilanjutkan, dialah yang akan kalah melawan calon menantunya ini. Tentu saja dia girang bukan main.
“Han Lin, ilmu ajaib apakah yang kau mainkan untuk melawanku tadi?”
Sekali ini Han Lin tidak berani berbohong. “Ilmu itu adalah ilmu Khong-khi-ciang (Tangan Udara Kosong), locianpwe!”
“Ahhh…? Itukah ilmu yang dinamakan Khong-khi-ciang? Pantas pernah menggemparkan kolong langit. Akan tetapi, bukankah ilmu itu hanya dikuasai oleh seorang manusia ajaib yang dulu dikenal sebagai Bu Beng Lo-jin (Orang Tua Tanpa Nama)?”
“Lo-jin adalah guru saya, locianpwe. Akan tetapi saya pun hanya mengenalnya sebagai Lo-jin saja.”
“Engkau muridnya? Bagus sekali! Aih, Cin Mei, sejak kapan engkau begitu pandai memilih calon suami?”
“Aihhhh, ibu...!”
Mereka bertiga amat gembira dan terutama sekali Han Lin merasa berbahagia bahwa Ibu Cin Mei sudah dapat menerimanya dengan rela hati. Kini dia tinggal minta bantuan bibinya dan pamannya untuk mengajukan pinangan resmi. Ketika dia berpamit, Cin Mei berkeras untuk ikut dengannya dan tentu saja Han Lin setuju sepenuhnya.
“Ibu, kini calon menantumu telah datang memperkenalkan diri kepadamu, tidakkah sudah sepatutnya kalau aku pun memperkenalkan diri kepada calon paman dan bibi mertuaku?”
Ibunya hanya tertawa. Karena dia tahu bahwa puterinya yang sedang tergila-gila itu tidak mau berpisah lagi dari calon suaminya, maka dia pun memberi persetujuannya. Sepasang kekasih itu kemudian berangkat dengan penuh kebahagiaan…..
********************
“Si-moi, sekarang semua sudah beres dengan memuaskan. Semua pemberontak jahat itu sudah terbasmi habis dan Kaisar sekeluarganya dapat diselamatkan.”
“Benar, Ki-ko, dan sekarang ini engkau hendak pergi ke mana?”
“Aku tidak mau pergi ke mana-mana, Si-moi, atau kalau pun aku pergi, aku akan pergi ke mana saja engkau pergi!”
“Heii, apa-apaan ini? Kenapa begitu?”
“Terus terang saja, Si-moi, setelah berkumpul beberapa lamanya denganmu, aku tak bisa berpisah lagi darimu. Aku cinta padamu, Si-moi, dengarkah kau? Aku cinta padamu!”
“Ihh, suheng, ehh... Ki-ko, kenapa tiba-tiba saja engkau berkata begitu? Bukankah dahulu engkau pernah mencinta sumoi Ji Kiang Bwe?”
Wajah yang gagah itu menjadi muram. “Aihh, sumoi, Si-moi, jangan kau ungkit-ungkit lagi barang lama yang sudah dipendam. Memang dahulu aku pernah mencintanya, akan tetapi sesudah dia menikah, cintaku menjadi sayang seorang kakak terhadap adiknya. Apakah engkau... cemburu?”
Leng Si tertawa. “Kenapa aku harus cemburu? Bukan engkau saja yang pernah mencinta orang tetapi gagal karena cinta bertepuk tangan sebelah. Aku pun pernah mencinta orang yang akhirnya kuanggap sebagai adikku karena dia tidak membalas cintaku.”
“Sia Han Lin, bukan?”
“Ehh, bagaimana engkau dapat mengetahuinya, Ki-koko?”
“Mudah saja, aku seorang yang telah berpengalaman. Melihat pertemuanmu dengan Han Lin, aku sudah menduganya. Kasihan engkau, Si-moi!”
“Dan engkau juga kasihan, Ki-ko. Tidak enak ya kalau cinta kita ditolak orang?”
“Dan bagaimana sekarang? Kita sama-sama menjadi manusia putus cinta. Apakah masih ada sisa cinta untuk kita masing-masing? Seluruh cinta yang masih ada di hatiku akan kuserahkan kepadamu, Si-moi, tentu saja bila engkau sudi menerimanya. Sungguh ngeri kalau membayangkan bahwa aku harus gagal untuk kedua kalinya.”
“Katanya engkau sudah berpengalaman, apakah engkau tidak dapat menjenguk isi hatiku, koko?”
San Ki tersenyum lalu dia melangkah maju dan merangkul Leng Si, yang tidka mengelak. “Karena sudah dapat menduga bahwa engkau pun mencintaku, atau setidaknya tertarik kepadaku, maka aku berani menyatakan cintaku. Jika aku tidak menduga begitu, sampai mati pun mana aku berani mengaku cinta?”
“Ihh, engkau memang pandai, Ki-ko.”
Dua orang itu segera terlelap dalam keasyikan yang mesra. Mereka seperti tanah kering yang tertimpa hujan, atau seperti bunga layu yang diselimuti embun.
Cinta memang indah sekali. Bukan cinta bila mendatangkan duka. Yang mendatangkan duka adalah nafsu yang suka menyelinap ke dalam cinta dan membuat cinta itu menjadi sarang duka. Cinta menimbulkan kemesraan, menimbulkan kasih sayang, saling sayang-menyayangi, saling mengasihi dan saling mengasihani.
Cinta kasih murni membuat orang selalu ingin melihat yang dikasihi itu bahagia. Tetapi begitu nafsu menyelonong masuk seperti pencuri yang ulung, maka timbullah cemburu, timbullah ingin menguasai, ingin memiliki, ingin disenangkan dan selanjutnya yang hanya menimbulkan duka.
Perjodohan antara Leng Si dan San Ki berjalan dengan mulus tanpa mengalami rintangan. Keluarga Cu Kiat Hin yang kini telah memperoleh kembali kedudukannya sebagai pejabat tinggi bagian perpustakaan, tidak keberatan sama sekali, bahkan mereka amat beruntung karena pemuda yang akan menjadi menantu mereka adalah salah seorang di antara para pendekar yang telah menyelamatkan kerajaan. Apa lagi dari guru kedua pihak, tentu saja tidak ada masalah lagi. Wi Wi Siankouw adalah suci Pek Mau Siankouw, maka tentu saja keduanya setuju sekali kalau murid masing-masing saling berjodoh…..
********************
Kian Bu melakukan perjalanan cepat untuk kembali ke Kim-kok-pang. Dia sudah merasa rindu sekali kepada isterinya, terlebih lagi ditambah perasaan menyesal karena dia sudah mencurigai isterinya akibat cemburu yang amat besar. Dia seperti telah gila oleh cemburu dan baru sekarang dia sadar bahwa semua kecemburuannya itu tidak berdasar dan tidak benar. Isterinya adalah seorang wanita yang amat terhormat dan tidak pernah melakukan sesuatu yang menyeleweng seperti yang dengan tega hati dia tuduhkan.
Baru saja tiba di kaki Kim-kok-pang, mendadak dia melihat bayangan berkelebat di depan dan ketika dia memandang, ternyata yang datang itu adalah isterinya! Isterinya yang baru saja pulang setelah tidak berhasil mencarinya!
“Bwe-moi...!” serunya memanggil.
Ji Kiang Bwe terkejut mendengar panggilan itu. Cepat dia berhenti melangkah kemudian menoleh. Kian Bu sudah tiba di depannya dan suaminya ini segera memeluknya.
“Bwe-moi...!”
“Kau...?” Kiang Bwe mendorong pundak suaminya hingga rangkulannya terlepas. “Kau... datang hendak menghinaku lagi? Menuduh yang bukan-bukan? Lebih baik kau bunuh saja aku dari pada engkau melontarkan tuduhan yang keji itu...!” Kiang Bwe sudah menangis terisak-isak.
Tiba-tiba Souw Kian Bu menjatuhkan diri berlutut di hadapan Ji Kiang Bwe. “Bwe-moi, kau makilah aku, pukullah aku. Aku memang bersalah... aku berdosa kepadamu... ah, betapa bodohku sudah menuduhmu yang bukan-bukan. Bwe-moi, maukah engkau mengampuni aku...?” suara Souw Kian Bu terendat-sendat karena terharu dan menyesal, juga kasihan sekali kepada isterinya yang tidak berdosa dan yang dituduhnya secara keji.
“Aku kau tuduh bertindak hina, tapi aku... aku malah pergi mencarimu... sampai berbulan-bulan... tanpa hasil, dan akhirnya aku pulang dengan hati kosong, dengan pikiran hampir gila... kau... kau...” tangisnya semakin menjadi karena hati yang sakit sekali.
Kian Bu memeluk kedua kaki isterinya. “Bwe-moi, ampunkan aku, Bwe-moi...”
Kiang Bwe menjatuhkan diri berlutut, kemudian merangkul suaminya dengan penuh kasih sayang. “Suamiku, jangan begitu. Aku tidak berharga untuk kau mintai ampun. Engkau... tidak bersalah, dan sudah semestinya engkau cemburu, aku yang bersalah...”
“Bwe-moi...!”
“Bu-koko...!”
Keduanya lalu berangkulan, bertangisan, berciuman, karena sesungguhnya mereka saling mencinta. Hanya cinta itu kecolongan dengan masuknya nafsu sebagai cemburu sehingga terjadilah hal-hal yang mendukakan hati.
Cinta antara kedua pasangan baru terjadi kalau kedua pihak menghendaki. Cinta harus datang dari kedua pihak, dan tentu saja kedua pihak harus saling percaya. Karena cinta berarti pula setia.
Cinta itu abadi, tidak dapat berubah. Yang berubah itu nafsu karena nafsu itu membawa kebosanan. Cinta bukan berarti sama dengan nafsu birahi, walau pun cinta antara suami dan isteri memang sudah semestinya mengandung birahi, demi keturunan mereka. Cinta menuntut kebahagiaan bukan untuk diri pribadi, melainkan untuk orang yang dicinta…..
********************
Pejodohan antara Ting Bun dengan Yap Kiok Hwi serta Ting Bu dengan Can Bi Lan, juga berjalan lancar tanpa hambatan. Pernikahan dua saudara kembar ini bahkan dirayakan di Bu-tong-pai, dihadiri oleh semua murid Bu-tong-pai dan banyak tokoh dunia persilatan.
Akan tetapi, karena persamaan antara kedua orang pemuda itu sangat sukar dibedakan, maka isteri masing-masing menuntut agar keduanya selalu mengenakan pakaian dengan warna yang berbeda sehingga tidak akan ada bahaya ‘tertukar’.
Demikianlah, kisah ini ditutup dengan kebahagiaan semua pihak yang membela keadilan dan kebenaran, sebaliknya dengan kehancuran mereka yang melakukan penyelewengan dalam kehidupan dan bertindak jahat. Betapa pun juga akhirnya kebenaran dan keadilan akan tetap unggul, hanya tinggal waktunya saja yang menentukan. Mudah-mudahan kisah ini ada manfaatnya bagi kita semua…..
T A M A T
>>>> SERIAL MESTIKA BURUNG HONG KEMALA TAMAT SAMPAI DI SINI <<<<