Pendekar Sakti Jilid 13
Kota Jeng-tauw terletak di pesisir laut timur. Kota ini adalah sebuah kota yang besar di Propinsi Shan-tung, juga sangat ramai karena selain kotanya besar serta penduduknya banyak, letaknya di pinggir laut maka merupakan pusat perdagangan. Kapal-kapal besar keluar masuk ke dalam pelabuhan dan banyak pedagang besar mendapat penghasilan baik sekali.
Oleh karena itu, makin lama kota ini menjadi makin ramai dan banyaklah dibuka orang hotel-hotel dan restoran-restoran besar. Toko-toko penuh dengan barang-barang dari lain daerah dan selalu dikunjungi banyak orang.
Di antara sekian banyaknya orang hartawan yang tinggal di kota Jeng-tauw, kiranya yang paling terkenal adalah Tan-wangwe (hartawan Tan) atau yang nama lengkapnya Tan Kai Seng. Ia tidak saja terkenal karena memang amat kaya, memiliki banyak gedung-gedung besar dan memiliki pula rumah-rumah penginapan serta perahu-perahu yang disewakan untuk mengangkut barang dari perahu-perahu besar yang berlabuh jauh dari pelabuhan, juga dia terkenal sekali karena hartawan Tan ini mempunyai kepandaian ilmu silat yang kabarnya amat tinggi.
Sebagai seorang hartawan, tentu saja dia tidak pernah memperlihatkan kepandaiannya itu, akan tetapi semua orang kang-ouw yang datang ke kota itu tentu mendengar dan menyaksikannya sendiri. Selain ini semua, hartawan Tan yang masih muda itu menjadi lebih terkenal karena dia telah menikah dengan seorang wanita yang telah lama menjadi sebutan orang sebagai bunga kota Jeng-tauw.
Wi Wi Toanio, demikian nama wanita ini, adalah seorang gadis berusia delapan belas tahun ketika dikawin oleh Tan-wangwe, seorang gadis yang mempunyai kecantikan luar biasa sehingga banyak orang membandingkannya dengan Permaisuri Yang Kui Hui yang tersohor cantik jelita, kekasih dari pada Kaisar Kerajaan Tang yang sudah roboh oleh An Lu Shan.
Selain memiliki kecantikan luar biasa, juga Wi Wi Toanio tak seperti gadis Han umumnya, yakni malu-malu dan tidak berani memperlihatkan wajah di depan umum. Sebaliknya, Wi Wi Toanio yang mempelajari ilmu silat tinggi dan berkepandaian lihai berkat latihan dari seorang nikouw (paderi wanita) dari Thian-san, sering keluar dari rumah menunggang kuda berbulu merah.
Semenjak belum menikah, dia sudah mempunyai lagak yang sangat genit. Akan tetapi karena yang berlagak genit ini seorang gadis cantik jelita yang berkepandaian tinggi pula, maka dalam pandangan orang-orang lelaki dia bahkan terlihat makin cantik dan menarik!
Semua orang tahu belaka bahwa Wi Wi Toanio masih berdarah Tartar, karena ibunya adalah seorang Tartar bangsawan, akan tetapi tak seorang pun berani membicarakan hal ini. Yang sama sekali tidak diduga orang adalah Tan-wangwe sendiri. Dia ini sebenamya adalah An Kai Seng, cucu dalam dari An Lu Shan sendiri, akan tetapi tidak ada orang yang mengetahuinya dan mereka menerimanya sebagai seorang Han yang kaya raya.
Memang An Kai Seng orangnya cerdik sekali. Meski pun dia keturunan An Lu Shan yang pernah menjadi kaisar, boleh dibilang dia keturunan bangsawan tinggi, akan tetapi An Kai Seng tahu bahwa kedudukan keluarga kakeknya itu berbahaya sekali.
Oleh karena itu, sesudah dia berada di istana, diam-diam dia mengumpulkan harta-harta rampasan dari rakyat dan bekas pemerintah Tang. Kemudian dia keluar dari istana, dan menyatakan kepada semua keluarganya bahwa dia lebih suka menjadi pedagang!
Padahal bukan begitu keadaannya. Dia keluar dari istana sambil membawa harta benda yang besar sekali untuk mencari kebebasan, agar supaya dia jangan terlibat oleh urusan pemerintahan yang tidak menarik hatinya.
Sesudah hidup di luar keluarga kaisar, An Kai Seng lalu mengumbar hawa nafsunya. Dia seorang pemuda, tampan, memegang uang banyak sekali, tentu saja dia laksana kuda tanpa kendali. Di samping berfoya-foya, dia pun memperdalam kepandaiannya di dalam ilmu silat, belajar dari guru-guru silat yang ternama.
Kemudian dia mendengar berita tentang kekacauan di istana, juga tentang pembunuhan terhadap An Lu Shan oleh puteranya sendiri, kemudian mengenai pembunuhan yang dilakukan oleh Si Su Beng terhadap putera mahkota. Diam-diam An Kai Seng memuji diri sendiri yang sudah lari dari istana dan mulailah dia berhati-hati menjaga harta bendanya.
Mulailah dia berdagang dan mendapatkan untung besar sekali karena semenjak kecil dia memang mempelajari ilmu surat sehingga terhitung seorang bun-bu coan-jai (pandai ilmu silat dan surat).
Alangkah kaget dan takutnya ketika dia mendengar berita tentang terbunuhnya An Lu Kui dan An Kong. Dan dia mendengar pula bahwa ada seorang musuh besar keluarga An hendak membasmi semua keturunan dan keluarga An Lu Shan!
An Kai Seng ketakutan hebat. Dia cepat-cepat pindah dari kota yang dekat dengan kota raja, mengangkut semua barang dan harta bendanya, dan pindah ke Jeng-tauw dengan nama sudah diganti, yakni Tan Kai Seng. Karena dia memang pandai sekali bicara Han dan mukanya juga tampan seperti muka orang Han biasa, dia diterima oleh masyarakat di Jeng-tauw sebagai hartawan Tan Kai Seng yang masih muda dan masih bujang. Maka tenanglah hatinya.
Apa lagi setelah dia bertemu dengan Wi Wi Toanio dan berhasil mengawininya, Kai Seng merasa hidupnya bahagia dan aman. Siapakah yang tahu bahwa dia adalah keturunan An Lu Shan? Dan andai kata ada orang yang tahu, apa yang ditakutinya? Dia hartawan, berkuasa dan memiliki banyak kawan ahli-ahli silat, bahkan boleh dibilang dengan secara diam-diam, semua buaya darat di kota itu adalah kaki tangannya!
Semua pembesar di kota itu menjadi pelindungnya, dan selain dia sendiri sudah memiliki ilmu silat tinggi, juga isterinya terkenal dengan ilmu pedangnya yang hebat! Siapa dapat mengganggunya? Iblis sendiri pun akan gentar untuk mengganggunya!
Akan tetapi, kekhawatiran hatinya membuat dia tidak tinggal diam. Ia lalu menyebar kaki tangannya untuk menyelidiki tentang pembunuh An Lu Kui dan An Kong dan mendapat keterangan bahwa pembunuh mereka itu adalah seorang pemuda murid Ang-bin Sin-kai yang amat lihai, bernama Lu Kwan Cu.
Juga untuk menjaga keamanannya, selain dia dan isterinya terus memperdalam ilmu silat mereka dari guru-guru pandai, dia pun membeli dua batang pedang yang bagus dengan harga mahal sekali. Setiap hari dia dan isterinya tidak pernah berpisah dari pedang ini. Selain itu, dia juga memelihara guru-guru silat yang berpakaian sebagai pelayan, yang jumlahnya ada tujuh orang dan mereka ini menjadi pengawal pribadinya!
Berkat kekuasaan uangnya yang mampu membayar setiap mata-mata dan penyelidik, An Kai Seng dapat mengumpulkan keterangan tentang Lu Kwan Cu sehingga biar pun dia belum pernah bertemu muka dengan musuh besar ini, tetapi dia dapat menggambarkan keadaan pemuda itu, dari bentuk badan, pakaiannya dan wajahnya. Sekali saja bertemu, tentu dia akan mengenal pemuda yang mengancam keluarga An itu.
Dalam hal ilmu silat, Kai Seng memang sudah memiliki tingkat yang cukup tinggi, bahkan sebelum dia meninggalkan istana, dia sudah menerima warisan ilmu pedang yang cukup lihai dari Coa-tok Lo-ong (Raja Racun Ular) yang baru saja datang dari Tibet.
Coa-tok Lo-ong adalah sute (adik seperguruan) dari Hek-i Hui-mo, oleh karena itu dapat dibayangkan betapa hebat kepandaiannya. Ilmu pedang yang dipelajarinya merupakan ilmu Pedang Pat-coa Kiam-hoat (Ilmu Pedang Delapan Ular). Selain ilmu pedang dari Coa-tok Lo-ong ini, Kai Seng masih mempelajari banyak ilmu silat dari guru silatnya yang pandai, di antaranya dia mempelajari pula ilmu gulat dari Mongol.
Akan tetapi, sesudah dia bertemu dengan Wi Wi Toanio, dia mendapatkan orang yang melebihi dirinya dalam segala-galanya, kecuali dalam kekayaan. Tidak saja kecantikan dan kegenitan gadis ini merampas semangat dan hatinya, juga ilmu silat Wi Wi Toanio temyata masih mengatasi kepandaiannya!
Sebagai murid dari Thian-san-pai, Wi Wi Toanio sudah mempelajari Ilmu Silat Thian-san Kiam-hoat sampai hampir sempurna sehingga ketika suami isteri ini secara main-main mengadu ilmu pedang, Pat-coa Kiam-hoat masih tidak sanggup menandingi Thian-san Kiam-hoat! Tentu saja Kai Seng menjadi girang sekali karena selain sebagai seorang isteri yang amat cantik dan tercinta, juga dalam diri isterinya dia mendapatkan seorang pembantu dan pelindung yang boleh diandalkan.
Walau pun tujuh orang pengawal pribadinya terdiri dari orang-orang yang berilmu tinggi, namun tingkat mereka itu masih belum dapat menandingi tingkat kepandaian Kai Seng sendiri, apa lagi kalau dibandingkan dengan tingkat ilmu pedang Wi Wi Toanio. Karena itu, tujuh orang pengawal ini sangat tunduk dan menghormati majikannya, tidak hanya karena majikannya lebih pandai, terutama sekali karena Kai Seng sangat royal terhadap para pengawalnya ini.
Pada suatu hari, ketika Kai Seng sedang bercakap-cakap dengan isterinya di ruangan dalam sambil menikmati kue-kue yang mereka beli dari seorang pedagang dari selatan, tiba-tiba seorang pelayannya datang menghadap dan melaporkan dengan muka pucat.
"Siauw-ya (Tuan Muda), menurut para pembantu di rumah penginapan, di kota ini sudah kedatangan seorang pemuda yang mencari keterangan tentang Siauw-ya!"
An Kai Seng dan isterinya saling pandang dan seketika itu juga kue yang tadinya amat enak itu seakan-akan berubah pahit.
"Selidiki apa kehendaknya dan coba panggil tujuh kauwsu (guru silat) ke sini!"
Pelayan itu lalu keluar kembali dan cepat menjalankan perintah itu. Sebelum keluar untuk melakukan tugasnya, lebih dulu ia mencari tujuh orang pengawal pribadi dari majikannya dan memanggil mereka.
"Cu-wi Kauwsu dipanggil oleh Siauw-ya."
Tujuh orang pengawal yang berpakaian sebagai pelayan akan tetapi bajunya digulung dan amat ringkas, lebih mirip pakaian guru silat itu, segera masuk ke dalam, di mana Kai Seng dan Wi Wi Toanio telah menanti. Segera mereka mengadakan perundingan yang sungguh-sungguh.
Tak lama kemudian, pelayan yang tadi keluar datang lagi dengan wajah bangga, karena dia sudah mendapatkan keterangan yang lebih jelas tentang pemuda yang mencari-cari majikannya itu.
"Siauw-ya, ternyata dia adalah pemuda biasa saja. Hamba sudah melihatnya sendiri dan dia bukanlah orang yang perlu dikhawatirkan. Namanya adalah Lu Kwan Cu, demikian yang dia tuliskan di buku hotel."
"Cukup, keluar kau!" bentak Kai Seng.
Pelayan itu keluar sambil mengomel panjang pendek. Dia sangat mengharapkan hadiah, akan tetapi ternyata majikannya kelihatan terkejut dan bahkan terlihat pucat mendengar omongannya tadi.
Memang, mendengar bahwa nama pemuda yang dicurigainya itu adalah Lu Kwan Cu, pemuda yang telah membunuh An Lu Kui dan An Kong, yang dikabarkan berkepandaian tinggi sekali, bukan main kagetnya hati Kai Seng. Akan tetapi dia menjadi lega kembali setelah isterinya menghibumya.
"Mengapa kau gelisah? Belum tentu kalau kabar tentang pemuda itu benar. Betapa pun lihainya, kita takut apakah? Aku sendiri sanggup memenggal lehernya dengan pedangku. Mustahil dia akan dapat menangkan kita. Apa lagi, kita sudah mengatur siasat sehingga andai kata dia memang lihai sekali, dia tidak akan dapat mencari kita."
Malam hari itu Kai Seng tidak dapat tidur dan kelihatan gelisah sekali sehingga Wi Wi Toanio menjebikan bibirnya yang merah dan mencelanya sebagai seorang penakut.
"Orang macam apakah adanya Lu Kwan Cu sehingga kau begitu takut? Kalau kau tidak berkeras melarang, aku ingin pergi ke hotel itu dan mengusirnya dengan pedangku," kata isteri yang cantik jelita dan genit akan tetapi berani itu.
"Jangan, isteriku, jangan berlaku sembrono. Menurut kabar dari istana dan orang-orang yang mengetahui, kakek luarku An Lu Kui dan pamanku An Kong yang sudah terkenal lihai sebagai murid dari Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu masih dapat terbunuh olehnya. Hal ini saja sudah membuktikan bahwa dia lihai sekali."
"Hemmm, aku belum menyaksikan seberapa lihainya kongkong dan pamanmu itu. Akan tetapi aku masih percaya kepada pedangku dan aku tidak takut andai kata pemuda yang bemama Lu Kwan Cu itu berkepala tiga dan bertangan delapan!"
Kai Seng tak berani membantah karena dia takut kalau-kalau isterinya marah. Memang, suami ini kalah oleh isterinya, kalah tinggi kepandaiannya dan juga kalah pengaruh. Akan tetapi sampai hampir pagi barulah dia dapat tidur. Berbeda dengan isterinya yang sejak sore-sore sudah tidur dengan nyenyaknya.....
Akan tetapi pada keesokan harinya, Kai Seng harus bangun lagi ketika pintu kamamya digedor pelayan dari luar.
“Siauw-ya... lekas bangun...!”
Wi Wi Toanio dan Kai Seng melompat dari tempat tidur dan Kai Seng segera membuka pintu.
"Ada apa?" tanyanya dengan muka pucat, karena memang hatinya selalu merasa tidak enak.
Yang menggedor pintu adalah pelayan yang kemarin memberi laporan padanya. Pelayan itu kelihatan gugup ketika mewartakan.
"Pemuda Lu Kwan Cu itu benar-benar berani mati datang ke sini, sekarang dia sedang dihadapi oleh tujuh kauwsu."
Muka hartawan muda itu semakin pucat. "Lekas kau beri tahukan kepada semua pelayan agar supaya apa bila ditanya menyatakan bahwa aku dan Toanio tidak berada di rumah. Awas, jangan ada yang membocorkan hal ini. Kemudian kau cepat-cepat mengundang semua sahabatku yang pandai ilmu silat, minta bantuan mereka dan katakan bahwa di rumahku kedatangan seorang penjahat yang mengacau."
"Baik, Siauwya!" kata pelayan itu yang cepat berlari pergi, dan di dalam hatinya kembali pelayan ini mengomel panjang pendek. "Baru kedatangan seorang seperti pemuda yang lemah itu saja sudah ribut bukan main seperti kedatangan setan!"
"Wi Wi, lekas kau bertukar pakaian pelayan, lepaskan semua perhiasanmu itu!" kata Kai Seng.
Dia sendiri juga cepat-cepat menanggalkan pakaian dan memakai pakaian pelayan yang memang sudah disiapkan sejak kemarin. Saking gugupnya, dia sampai terbalik memakai celana dan baju, sehingga dalam terburu-buru ingin cepat itu, dia bahkan semakin lambat mengenakan pakaian samarannya itu.
Inilah hasil perundingan dengan tujuh orang pengawalnya kemarin. Dalam perundingan itu diambil keputusan bahwa bila Lu Kwan Cu benar-benar datang menyerang, Kai Seng dan Wi Wi Toanio akan menyamar sebagai pelayan, kemudian melihat perkembangan selanjutnya.
Dengan senyum sindir berkembang di bibirnya yang manis, Wi Wi Toanio memandang kelakuan suaminya itu. Yang dipandang melirik dan merahlah wajahnya karena memang dari kegugupannya ketika mengenakan pakaian ini saja sudah merupakan pengakuan dirinya bahwa dia benar-benar merasa bingung, takut, dan gugup.
"Ehh, kau senyum-senyum saja, tidak lekas-lekas mengganti pakaian?" katanya menegur untuk menutupi rasa malunya.
Wi Wi Toanio mainkan bibirnya. "Mengapa aku harus berganti pakaian sebagai pelayan? Aku bukan pelawak yang hanya membikin para pelayan pada tertawa geli jika melihatku. Tidak, aku akan menghadapi musuh besarmu itu dengan pakaian ini."
Kai Seng menggeleng-geleng kepalanya. "Wi Wi, Jangan berlaku sembrono, lebih baik kita berhati-hati, siapa tahu Lu Kwan Cu itu benar-benar amat lihai!"
"Biar pun dia lihai, akan tetapi bukankah yang dia cari adalah engkau? Padaku dia tidak kenal dan tidak mempunyai urusan sesuatu, mengapa aku takut-takut menghadapinya? Dia tidak akan mengapa-apakan aku."
"Bukankah kau isteriku?" Kai Seng berkata jengkel.
Wi Wi Toanio tersenyum dan berkata menghibur, "Siapa bilang aku bukan isterimu? Akan tetapi mustahil kalau Lu Kwan Cu mengerti bahwa aku isterimu!"
Kai Seng merasa kalah dan tidak berani mendesak. Lagi pula apa yang diucapkan oleh isterinya itu memang tidak salah. Yang dicari oleh Lu Kwan Cu hanya dia, keturunan An Lu Shan. Isterinya tentu tidak akan diganggu oleh musuh besar itu.
"Kalau begitu, marilah kita keluar, lihat apakah para kauwsu sudah dapat mengusimya." Kai Seng tidak lupa membawa pedangnya, sedangkan Wi Wi Toanio masih tetap berlaku ayal-ayalan.
“Kau keluarlah dulu, aku tidak mau keluar sebelum berhias dan tukar pakaian. Masa baru saja bangun tidur, belum cuci muka dan belum apa-apa sudah disuruh keluar bertemu orang?”
Kai Seng makin mendongkol. Baginya, sehabis bangun tidur isterinya bahkan semakin cantik saja. Akan tetapi dia tak berani membantah karena memang bagi seorang wanita, sukarlah untuk disuruh keluar dari kamar sehabis bangun tidur, sebelum puas berhias dan mengganti pakaian.
“Jangan terlalu lama!” katanya dan dia bergegas keluar.
Pada saat Kai Seng tiba di luar, dia melihat tujuh orang jagonya itu sedang menghadapi seorang pemuda dan melihat pemuda ini, timbullah ketabahannya. Tidak disangkanya bahwa laporan pelayannya kemarin itu benar belaka. Pemuda ini berpakaian buruk dan miskin sekali, tubuhnya tidak begitu besar dan nampaknya lemah saja. Namun dia tidak berani berlaku sembrono dan hanya berdiri dan mendengarkan dari jauh.
“Sudah kukatakan berkali-kali, orang muda, bahwa majikan kami bukan orang yang kau cari itu. Dia benar bernama Kai Seng, akan tetapi nama keturunannya adalah Tan, bukan An,” kata kauwsu tertua yang masih terus mencoba untuk mengusir pemuda itu dengan alasan.
“Siapa pun juga yang kau cari, bagaimana kau berani berlaku kurang ajar dan berani mati mencari keributan di rumah Tan-wangwe?” bentak seorang kauwsu termuda yang kasar karena dia merasa berani dan marah melihat pemuda yang dipandangnya ringan ini.
Pemuda itu yang bukan lain adalah Kwan Cu, tertawa mengejek. Dia telah menemukan jejak musuh besarnya dan dia bukanlah seorang pemuda yang suka bertindak sembrono. Telah dicarinya keterangan yang jelas tentang An Kai Seng dan biar pun dia mendengar bahwa hartawan bernama Kai Seng di kota ini seorang ber-she Tan, namun dia masih tetap curiga dan menduga bahwa dia tentulah An Kai Seng yang mengubah namanya.
Apa lagi dia telah mendapat keterangan tentang wajah dan keadaan musuh besarnya itu, dan ketika dia menggunakan waktu sehari semalam di kota Jeng-tauw untuk menyelidik, dia mendengar bahwa wajah, dan bentuk badan hartawan Tan Kai Seng ini sesuai benar dengan keterangan yang dia dapat tentang musuh besarnya, yakni An Kai Seng. Kwan Cu memang berlaku sangat teliti dan tidak mau buru-buru turun tangan, hendak mencari kepastian lebih dulu.
“Aku tidak peduli apakah majikanmu itu she Tan, she An atau she Boan, akan tetapi aku hendak bertemu dengan majikanmu yang bernama Tan Kai Seng itu!” jawab Lu Kwan Cu atas pertanyaan para kauwsu yang berpakaian sebagai pelayan-pelayan itu.
“Hemm, kau berkeras kepala hendak bertemu dengan majikan kami, padahal kami sudah berkali-kali memberi tahu padamu bahwa majikan kami sedang pergi ke luar kota!” kata kauwsu tertua.
“Aku tidak percaya! Lekas panggil dia keluar, kalau tidak terpaksa aku akan mencarinya sendiri di dalam rumah ini.”
Kauwsu termuda marah sekali dan menudingkan telunjuknya ke arah muka Kwan Cu.
“Kau ini bocah masih ingusan yang tidak tahu diri! Kau hendak mencari majikan kami dan hendak memasuki rumah secara paksa pula, apakah kehendakmu? Apakah kau hendak merampok?”
Kwan Cu tersenyum sindir dan masih berlaku sabar dan tenang.
“Kalian hendak mengetahui apakah kehendakku? Dengarlah baik-baik. Kalau majikanmu itu benar-benar Kai Seng yang kucari-cari, memang benar aku hendak merampok. Akan tetapi bukan harta benda yang hendak kurampok, melainkan kepalanya!”
“Bangsat rendah, kau terlalu sombong!” seru kauwsu termuda.
Oleh karena memandang rendah, secepat kilat dia mengirim serangan dengan pukulan tangan kanannya.
“Bagus, seorang pelayan memiliki kepandaian silat yang lumayan juga!” sindir Kwan Cu.
Ia cepat mengelak ke kiri dan sekali dia menggerakkan kaki, dia telah menendang pantat kauwsu termuda itu sehingga tubuh kauwsu yang tinggi besar itu terlempar dua tombak lebih, lalu jatuh mengeluarkan suara keras. Debu mengebul dan makin banyak lagi debu mengebul saat sambil meringis kesakitan, kauwsu itu bangun berdiri dan menepuk-nepuk pantatnya, bukan hanya untuk menghilangkan debu dari celananya saja, akan tetapi juga untuk memijit-mijit tulang belakang yang terasa sakit sekali!
Melihat betapa dalam segebrakan saja kauwsu itu bisa dilemparkan dengan mudah oleh pemuda ini, semua kauwsu segera mengerti bahwa lawan ini benar-benar berkepandaian tinggi. Serentak terdengar suara senjata dicabut dari sarungnya dan gemerlapanlah sinar golok dan pedang yang berada di tangan tujuh orang kauwsu itu.
“Hm, hm, hm, bagus sekali. Para pelayan di sini tidak memegang sapu dan kee-mo-cing (kebutan bulu ayam), melainkan memegang golok dan pedang!” kata Kwan Cu menyindir lagi.
Akan tetapi dia tidak diberi kesempatan untuk membuka mulut lebih banyak lagi karena dengan gerakan berbareng, tujuh orang kauwsu itu sudah menubruk dan menghujankan senjata mereka ke tubuh Kwan Cu.
Melihat gerakan mereka, maka semakin curigalah hati Kwan Cu. Sambil mempergunakan ginkang-nya mengelak, meloncat, dan kadang-kadang menggunakan tangan kaki untuk menangkis serangan, dia berkata lagi.
“Aha, tidak saja pelayan-pelayan bergolok dan berpedang, bahkan ilmu silat kalian sudah tinggi. Benar-benar hartawan majikanmu itu aneh sekali, seperti bangsawan-bangsawan di kota raja saja yang memelihara tukang-tukang pukul untuk melindungi dirinya!”
Para kauwsu itu terkejut melihat betapa pemuda itu berkelebat ke sana ke mari seperti burung saja gesitnya. Mereka mendesak makin rapat dan mainkan senjata mereka makin gencar. Ada pun Kai Seng yang melihat dari jauh, menjadi kecil hatinya karena pemuda itu benar-benar gesit sekali. Akan tetapi dia masih mengharapkan ada salah seorang di antara para kauwsunya akan berhasil melukai pemuda itu.
Akan tetapi sebentar saja harapannya ini lenyap dan diterbangkan oleh angin kenyataan. Pada saat semua senjata merangseknya, Kwan Cu melompat tinggi melalui kepala para pengeroyoknya ke kiri, kira-kira satu tombak jauhnya dari mereka.
Para kauwsu itu cepat membalikkan tubuh dan segera mengejarnya. Kauwsu termuda yang berdiri paling dekat, cepat menubruk dan mempergunakan gerak tipu Sian-jit Tit-lou (Dewa Menunjuk Jalan) menusuk ke arah dada Kwan Cu. Gerakan ini cepat dan kuat sekali.
Alangkah girangnya hati kauwsu muda ini ketika dia melihat pedangnya amblas ke dalam dada Kwan Cu sampai dekat gagangnya! Akan tetapi sebentar saja dia membelalakkan matanya penuh keheranan karena dada itu tidak mengucurkan darah, bahkan pemuda itu tersenyum-senyum mengejek.
Ketika dia melihat dengan jelas, tahulah dia bahwa pedangnya amblas antara dada dan lengan, tegasnya pedang itu dikempit dengan lengan oleh lawannya. Ia tadi tidak melihat hal ini dan mengira bahwa tusukannya berhasil karena pemuda itu tidak mengelak sama sekali dan gerakannya ketika mengempit pedang itu begitu cepat sehingga tidak sempat terlihat olehnya!
Kai Seng yang berdiri dan melihat dari jauh, karena dia memiliki kepandaian lebih tinggi dari pada kauwsu muda itu, dapat melihat akan hal ini dan siang-siang dia sudah terkejut sekali. Itulah gerakan yang banyak persamaannya dengan gerakan Khai-ciang Kiap-kiam (Membuka Tangan Mengempit Pedang), sebuah gerakan yang tak dapat dilakukan oleh sembarang orang karena selain gerakan ini amat berbahaya sehingga salah sedikit saja dada dapat tertembus pedang, juga gerakan ini memerlukan ketajaman mata dan tenaga lweekang yang sudah sempurna!
Kauwsu muda itu mengerahkan seluruh tenaganya untuk mencabut pedangnya yang kini terjepit oleh lengan Kwan Cu, akan tetapi usahanya sia-sia belaka. Kwan Cu tersenyum-senyum dan tidak segaris pun urat mukanya memperlihatkan bahwa dia mengerahkan tenaganya. Pada saat melihat para pengeroyok lain sudah mengejar dan menggerakkan senjata, Kwan Cu tiba-tiba melepaskan kempitannya dan membarengi mengayun tangan menjamah dagu kauwsu muda itu.
“Aduuhhh... awaaassss, jangan tusuk aku!” Kauwsu muda itu tubuhnya terlempar ke arah para kawannya sendiri.
Para kauwsu lainnya terkejut sekali dan cepat mereka menurunkan senjata agar jangan sampai menusuk kawan sendiri yang melayang ke arah mereka. Dengan cepat mereka melompat ke kanan kiri dan kasihan sekali, kauwsu muda itu tidak jadi menubruk kawan-kawannya dan...
“Ngekkk!”
Dia terbanting ke atas tanah, untuk kedua kalinya pantatnya beradu dengan tanah. Akan tetapi kali ini amat kerasnya sehingga pecahlah kulit pantatnya, menimbulkan rasa sakit dan perih.
Akan tetapi kauwsu ini kebingungan karena dia tidak dapat memilih mana yang kurang sakitnya, dagu atau pantatnya. Dagunya yang tadi dijamah oleh lawannya terasa sakit bukan main sehingga dia merasa seolah-olah dagunya itu kini menjadi tebal seperti baru saja di sengat oleh dua puluh lima tawon berbisa! Karena kedua-duanya terasa sangat sakit, tangan kanannya mengaruk-garuk dagu, tangan kirinya memencet-mencet pantat, lakunya persis seperti seekor kera kepanasan!
Enam orang kauwsu yang lain segera menubruk dan amat marah melihat seorang kawan mereka dirobohkan. Akan tetapi Kwan Cu sudah siap sedia dan pemuda ini tidak mau membuang banyak waktu lagi.
Dia memang tidak ingin membunuh secara serampangan saja. Yang dicarinya adalah An Kai Seng seorang, orang-orang lain tidak masuk hitungan pembalasan dendamnya. Apa lagi para pelayan ini dianggapnya tak bersalah apa-apa, hanya menurut perintah majikan seperti boneka-boneka yang harus dikasihani karena tidak memiliki kebebasan.
Melihat datangnya enam orang itu, cepat-cepat Kwan Cu mainkan Ilmu Silat Kong-ciak Sin-na. Kedua tangan dan kakinya bergerak aneh dan cepat sekali seperti sepak terjang seekor merak sakti sedang marah.
Dalam beberapa gebrakan saja dia sudah berhasil merampas semua senjata dan tidak lupa pada saat merampas senjata, dia mengirim totokan, tendangan atau pukulan siku yang membuat enam orang kauwsu itu terlempar ke kanan kiri, terbanting lantas roboh seperti keadaan kauwsu termuda.
Tujuh orang kauwsu itu hanya dapat mengaduh-aduh. Bahkan ada pula yang tidak dapat mengeluarkan suara sama sekali, yakni mereka yang terkena totokan siku di bagian ulu hati sehingga sesak napas.
Kwan Cu melemparkan semua senjata yang dirampasnya dan cepat melompat ke arah ruangan depan untuk melakukan pemeriksaan dan hendak mencari orang yang menjadi majikan para pengeroyok tadi. Akan tetapi, sebelum dia melewati pintu ruangan depan, tiba-tiba dia mendengar sambaran angin.
Cepat ia mengelak sambil mengerahkan tenaga, mengulur tangan kanan, menggunakan sebuah gerak tipu dari Kong-ciak Sin-na untuk merampas pedang yang dengan cepat telah ditusukkan kepadanya. Akan tetapi dia amat terkejut melihat pedang itu cepat sekali ditarik kembali dan tidak dapat dirampasnya, bahkan pedang itu kini menyerangnya lagi dengan bacokan ke arah paha!
Kwan Cu melompat mundur lantas memandang. Penyerangnya adalah seorang pelayan pula yang masih muda dan yang memegang sebuah pedang yang berkilauan cahayanya. Ia tercengang dan diam-diam memuji dalam hatinya bahwa hartawan yang bernama Kai Seng itu benar-benar sangat hati-hati dan mempunyai banyak jago-jago yang tidak boleh dipandang ringan.
“Ahh... ternyata masih ada lagi kaki tangan jahanam she An yang begini lihai?” Kwan Cu berseru.
“Majikan kami she Tan, bukan she An. Kau orang kurang ajar lebih baik lekas minggat kalau tidak ingin mampus!” bentak pelayan itu yang sebenarnya bukan lain adalah An Kai Seng sendiri!
Sedikit pun Kwan Cu tidak menduga bahwa pelayan muda yang lihai ilmu pedangnya ini adalah An Kai Seng, orang yang sedang dicari-carinya. Kalau saja sebelumnya dia tidak dikeroyok oleh kauwsu-kauwsu yang berkepandaian tinggi dan juga berpakaian sebagai pelayan, tentu dia akan bercuriga terhadap pelayan muda itu.
Tak pantas seorang pelayan berkepandaian setinggi itu. Akan tetapi, melihat kepandaian tujuh orang kauwsu yang mengeroyoknya, dia tidak merasa aneh lagi akan kepandaian pelayan muda berpedang ini. Agaknya memang musuh besarnya, An Kai Seng, sudah mendengar tentang usahanya untuk membalas dendam dan telah bersiap sedia menjaga diri, memelihara jago-jago silat yang pandai.
Ketika pelayan muda itu memutar pedangnya dan menyerangnya dengan hebat sekali, diam-diam Kwan Cu terkejut. Ia tidak boleh menyamakan pelayan ini dengan tujuh orang pelayan yang tadi mengeroyoknya, karena ilmu pedang yang dimainkan pelayan muda ini benar-benar lihai sekali dan terang bahwa itu adalah ilmu pedang yang diajarkan oleh seorang ahli silat tinggi kelas satu.
Diam-diam Kwan Cu merasa bersyukur bahwa dia sudah mempelajari ilmu silat dari kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng, karena kalau saja dia hanya menerima latihan dari Ang-bin Sin-kai, agaknya belum tentu dia dapat mengalahkan pemuda ini, apa lagi kalau hanya bertangan kosong.
Baru berusaha untuk mencari musuh besar kongkong-nya saja ia telah berjumpa dengan orang-orang yang demikian lihai, apa lagi kalau dia kelak bertemu dengan musuh-musuh suhu-nya. Sungguh tugasnya tidak ringan dan mudah, baiknya dia telah mempelajari ilmu silat tinggi dari kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng sehingga dia boleh merasa tenang dalam menghadapi lawan-lawannya.
Karena maklum bahwa kalau dia hanya mempergunakan tangan kosong serta mainkan Kong-ciak Sin-na dan Pek-in Hoat-sut saja agaknya akan memakan waktu lama sebelum dia mengalahkan pelayan ini, Kwan Cu segera mencabut sulingnya. Dia tidak mau lagi membuang banyak waktu menghadapi segala macam pelayan, betapa pun pandainya pelayan ini. Tenaga serta waktunya harus dihemat untuk menghadapi musuh-musuhnya kelak, karena dia tidak ingin membinasakan orang-orang yang tidak punya permusuhan dengannya.
"Jangan kau mengorbankan nyawa untuk bangsat An Kai Seng, keturunan orang Tartar yang sudah banyak membikin sengsara rakyat itu!" Kwan Cu berkata sambil memutar sulingnya.
Setelah kini dia menggunakan senjata, benar saja pelayan muda itu menjadi sibuk sekali. Gerakan pedangnya kacau-balau karena suling lawannya seperti telah berubah menjadi banyak sekali dan mengurung serta mendesak dirinya dari segala jurusan.
Setelah Kwan Cu dapat menangkap inti sari ilmu pedang lawannya yang amat ganas itu, tiba-tiba ia melakukan serangan kilat, menangkis pedang lawan dengan sulingnya sambil dibarengi dengan gerakan menggaet, ada pun tangan kirinya memukul ke arah pangkal lengan kanan lawan yang memegang pedang.
"Lepaskan senjata!" serunya nyaring sambil mengerahkan tenaganya.
Pedang dan suling bertemu di udara dan betapa pun pelayan muda itu mengeluarkan seluruh tenaganya, dia tetap tidak mampu menarik kembali pedangnya yang seolah-olah sudah berakar pada suling itu. Tiba-tiba dia merasa pangkal lengannya sakit dan lumpuh sehingga pedangnya terpaksa dia lepaskan!
Akan tetapi pelayan itu adalah An Kai Seng yang tentu saja merasa khawatir kalau-kalau pemuda ini akan terus menurunkan tangan maut kepadanya. Oleh karena itu, dia cepat mempergunakan tangan kirinya memukul dada Kwan Cu sambil mengerahkan tenaga lweekang-nya.
Tadinya Kwan Cu hanya akan merasa puas setelah merampas pedang saja. Akan tetapi melihat lawannya tlba-tiba memukul dengan pukulan maut yang amat berbahaya, dia lalu berseru,
"Pergilah!"
Pukulan tangan kiri ke arah dadanya itu sama sekali tidak ditangkisnya, hanya dengan tangan kirinya dia menyampok sambil mengeluarkan tenaga Pek-in Hoat-sut.
Pelayan muda itu menjerit, lantas tubuhnya terpental dua tombak dan jatuh bergulingan sampai tiga tombak lebih! Baiknya Kwan Cu memang tidak berniat mencelakakan orang ini, maka dia hanya jatuh dan terbanting babak belur saja, tidak mengalami luka di dalam tubuhnya. Akan tetapi, pukulan pada pangkal lengannya tadi sudah membuat lengannya kaku dan tubuhnya yang terbanting terasa sakit-sakit.
"Bangsat kecil, jangan kurang ajar!" tiba-tiba saja terdengar suara merdu dan sinar yang berkeredepan menyambar ke arah tenggorokan Kwan Cu.
Pemuda ini terkejut sekali karena gerakan pedang yang menyerangnya ini bahkan lebih gesit, cepat, serta kuat dari pada pedang pelayan muda yang baru saja dikalahkannya tadi. Bukan main, benar-benar musuh besar kongkong-nya ini sudah memelihara banyak sekali orang pandai, pikirnya sambil mengelak cepat dan menangkis pedang itu dengan sulingnya. Terdengar suara nyaring dan Kwan Cu merasa betapa tenaga lweekang dari penyerang ini bahkan lebih besar dari pada tenaga si pelayan muda tadi!
Dia cepat memandang dan seketika itu juga dia melongo. Di hadapannya berdiri seorang wanita muda yang berpakaian indah dan ketat, cantik jelita bukan main, seperti seorang bidadari turun dari kahyangan.
Tidak saja wajahnya yang putih halus kemerah-merahan itu memiliki tarikan yang sangat menarik hati dan memikat. Akan tetapi bentuk potongan tubuhnya sangat menggairahkan pula, juga sepasang mata wanita ini berkilauan penuh gairah hidup, bibirnya yang manis itu tersenyum simpul dan Kwan Cu mencium bau harum yang membuatnya berdebar.
Memang wanita ini cantik sekali, lebih cantik dari pada Gouw Kui Lan, malah masih lebih cantik dari pada Bun Sui Ceng sekali pun! Belum pernah Kwan Cu melihat gadis secantik ini, maka biar pun dia bukan seorang mata keranjang, namun dia tetap seorang pria dan melihat seorang wanita demikian cantik manisnya, setidaknya dia menjadi tertegun.
"Ehhh, mengapa kau memandang saja kepadaku begitu kurang ajar? Siapakah kau dan mengapa kau membikin kacau di sini?" Wanita cantik itu menegur, akan tetapi dengan mata berkedip-kedip bangga dan mulut tersenyum manis sekali.
Muka Kwan Cu menjadi merah sekali. la menahan napas untuk menenteramkan hatinya yang terguncang, lalu tanpa berani memandang langsung supaya tidak terpesona oleh wajah itu, dia menjawab,
"Namaku Lu Kwan Cu dan aku datang hendak mencari An Kai Seng. Akan tetapi para pelayan itu menyerangku sehingga aku terpaksa merobohkan mereka."
Tiba-tiba Kwan Cu mengangkat muka dan memandang pula, kini bukan karena kagum dan untuk menikmati wajah cantik itu, akan tetapi karena dia teringat akan keterangan orang bahwa musuh besarnya An Kai Seng itu mempunyai isteri yang amat cantik. Inikah isterinya itu?
"Siapakah kau dan di mana adanya An Kai Seng?"
Wanita itu tertawa kecil sehingga giginya yang bagaikan mutiara berderet itu kelihatan sebentar, lalu tertutup kembali oleh sepasang bibirnya yang merah dan halus.
"Aku tidak kenal dengan segala An Kai Seng, dan tidak tahu dia berada di mana." Baru bicara sampai di sini, wanita itu melirik ke arah pelayan muda tadi yang sudah berdiri lagi sambil meringis kesakitan. Aneh sekali, wanita ini tersenyum geli dan memandang pula kepada Kwan Cu. "Hemm, kau malah sudah mengalahkan pelayanku itu?"
Sambil berkata demikian, wanita itu menudingkan jari telunjuknya ke arah pelayan tadi. Otomatis Kwan Cu ikut menengok ke arah pelayan muda tadi yang kini sudah berjalan terhuyung-huyung keluar dari pekarangan rumah.
Akan tetapi, gerakan lehernya untuk menengok itu mendatangkan kesempatan baik bagi wanita cantik tadi yang terus saja menusuk dengan pedangnya ke arah lambung Kwan Cu! Pemuda ini terkejut sekali dan cepat dia menggerakkan lengan, miringkan tubuh dan cepat pula menyampok pedang dengan sulingnya. Kembali terdengar suara keras dan pedang itu juga terpental kembali.
"Kau curang!" Kwan Cu menegur dengan hati mendongkol. Jika saja dia kurang hati-hati, serangan menggelap tadi tentu akan mendatangkan bahaya besar baginya.
"Siapakah kau?"
Wanita itu tersenyum mengejek dan sepasang matanya bergerak genit. Melihat dua mata ini, hati Kwan Cu berdebar dan dia mengaku bahwa sepasang mata ini lebih tajam dan lebih berbahaya dari pada sepasang pedang mustika! Maka dia cepat-cepat mengalihkan pandang dan tidak berani lagi menatap secara langsung!
"Kau datang ini hendak mencari orang atau hendak berkenalan dengan aku? Mengapa tanya-tanya nama segala macam?"
Celaka, pikir Kwan Cu. Perempuan ini tidak saja memiliki gaya dan kecantikan luar biasa yang dapat merobohkan hati laki-laki, juga lidahnya amat tajam dan pandai sekali bicara. Kwan Cu yang masih amat muda dan belum berpengalaman dalam menghadapi wanita, masih belum tahu bahwa seorang wanita seperti ini mempunyai kecerdikan dan muslihat yang lebih pandai dari pada seorang ahli perang.
Dengan muka merah sekali sampai ke telinga-telinganya, Kwan Cu membentak, "Jangan sembarangan bicara! Aku datang hendak menghancurkan kepala An Kai Seng dan kau lebih baik lekas menyingkir karena aku tidak suka menjatuhkan tangan kepada seorang wanita, apa lagi kalau kau tidak mempunyai hubungan sesuatu dengan An Kai Seng."
"Sudah kukatakan bahwa aku tidak kenal dengan An Kai Seng, yang ada di sini hanya Tan-wangwe, akan tetapi kau tidak percaya. Habis apa yang hendak kau lakukan?" tanya wanita itu sambil menatap wajah Kwan Cu yang tampan dan tenang.
"Aku harus melihat dulu orang yang bernama Kai Seng itu, hendak kulihat apakah dia orang yang kucari-cari ataukah bukan?"
"Jadi kau mau apa?" Wanita itu berkata menantang.
"Aku akan masuk dan memeriksa seluruh isi rumah ini."
Wanita itu tersenyum lebar, memperlihatkan giginya yang putih mengkilap.
"Kau... kau mengagumkan!"
Kwan Cu melengak dan tidak paham apa yang dimaksudkan oleh wanita ini. Akan tetapi wanita itu segera menyambung kata-katanya, kini dengan bentakan keras dan dengan pedang dilintangkan di depan dadanya.
"Dan kau sangat sombong! Kau mau menggeledah rumah orang begitu saja? Baru dapat kau lakukan kalau kau sudah dapat mengalahkan pedangku!" Ucapan ini ditutup dengan tusukan pedang yang sangat lihai, dan tusukan ini disusul oleh serangan-serangan lain yang cepat sekali.
Kwan Cu sudah dapat menduga akan kehebatan ilmu pedang wanita ini, maka dia tidak berlaku ayal dan cepat menggerakkan sulingnya menangkis dan mengelak. Serentetan serangan dari enam jurus dengan sangat mudahnya sudah dapat dihindarkan oleh Kwan Cu.
"Kau hebat!" Wanita itu memuji. "Coba kau tahan yang ini!"
Dengan gerakan tubuh yang amat indah bagaikan orang menari, dia lalu menggerakkan pedangnya pula, kini melakukan penyerangan dengan pedangnya. Serangan ini memang istimewa, dalam sejurus serangan ini terdapat tiga bagian yang dilakukan dengan tenaga berlainan dan dengan tujuan berlainan pula.
Tusukan pertama dilakukan dengan pengerahan tenaga mengikat, babatan ke dua yang menyusul dengan tenaga mengait, dan serangan ke tiga adalah tusukan ke arah kening di antara mata dengan dibarengi oleh pukulan tangan kiri dan lanjutan pemutaran pedang di depan mata lawan untuk mengacaukan lawan sehingga andai kata lawan masih dapat menghindarkan diri dari tiga kali serangan pedang, dia akan terkena oleh pukulan tangan kirinya!
"Hemm, inilah In-liong Sam-hian (Naga Awan Muncul Tiga Kali)! Kalau begitu kau murid Thian-san!" seru Kwan Cu.
Cepat sekali dia mengerahkan ginkang-nya untuk menghindarkan diri dari serangan yang susul-menyusul dan dia tahu hal ini amat berbahaya. la pernah mendengar dari Ang-bin Sin-kai mengenai ilmu-ilmu silat yang paling ampuh dan berbahaya dari berbagai cabang persilatan dan justru ilmu pedang inilah yang pernah dia dengar dari suhu-nya. Jika dulu dia hanya mendengar teorinya saja, setelah dia mempelajari ilmu kesaktian dari Im-yang Bu-tek Cin-keng, sekarang sekali melihat saja tahulah dia bahwa ini adalah ilmu silat dari Thian-san-pai.
Wanita itu pun nampak terkejut dan kagum ketika Kwan Cu selain dapat menghindarkan diri dari serangannya yang dipilihnya paling hebat itu, juga dapat menduga tepat bahwa dia adalah anak murid Thian-san-pai. Akan tetapi dia hanya tertawa mengejek dan cepat melakukan serangan bertubi-tubi!
Kwan Cu merasa tidak perlu membuang waktu melayani wanita ini, akan tetapi karena ilmu pedang dari wanita itu memang lihai sekali, maka dia menjadi bingung. Apa bila dia tinggalkan, memang mudah saja baginya untuk melompat dan terus lari ke dalam rumah. Akan tetapi, lawannya ini tentu akan mengejarnya sehingga dia tidak leluasa melakukan penggeledahan.
Di samping ini, dia pun harus bertindak hati-hati karena siapa tahu kalau-kalau di dalam rumah dipasangi perangkap, karena ternyata bahwa pemilik rumah ini adalah orang yang menjaga diri baik-baik sehingga di situ terdapat banyak ahli silat yang pandai. Lagi pula, salahnya adalah karena dia tidak mau melukai perempuan ini, bukan hanya karena dia merasa tak enak hati untuk melukai seorang perempuan yang belum diketahuinya siapa dan dianggapnya tiada dosa, juga dia merasa tidak tega.
Tidak dapat disangkal pula bahwa kecantikan serta gaya wanita ini sedikit banyak sudah menarik hatinya. Kalau dia mau, memang agaknya dalam sepuluh jurus saja dia mampu merobohkan, akan tetapi tanpa melukainya adalah hal yang tidak begitu mudah.
Akhirnya dia mendapatkan akal. Dengan sulingnya dia melakukan serangan kilat dan…
"Breeettt!" robeklah baju wanita itu di bagian pinggang!
Wanita itu terkejut sekali karena suling lawannya seakan-akan telah mengenai tubuhnya, akan tetapi ternyata bahwa lawannya tak mau melukainya, dan suling itu diselewengkan sedikit sehingga bukan kulitnya yang robek melainkan bajunya. Akan tetapi serangan tadi benar-benar hebat sekali karena amat dekat dengan kulitnya sehingga bukan hanya baju luarnya, malah baju dalamnya ikut robek dan kulit pinggangnya yang putih itu kelihatan!
Karena mengalami kekagetan hebat, wanita itu menjadi tertegun dan Kwan Cu tidak mau menyia-nyiakan kesempatan ini. Tangan kirinya bergerak dengan Ilmu Silat Kong-ciang Sin-na, sedangkan tangan kanan menggerakkan suling menotok ke arah pinggang.
Dalam sekejap mata saja pedang wanita itu sudah dirampasnya dan kedua kaki wanita itu menjadi kaku tidak dapat digerakkan lagi akibat totokan suling tadi! Sambil tersenyum Kwan Cu melemparkan pedang itu ke atas sehingga sambil mengeluarkan bunyi nyaring, pedang itu menancap pada langit-langit rumah. Sampai setengah lebih tergantung di situ sambil bergoyang-goyang saking kerasnya tenaga sambitannya.
Wanita itu menangis! Tangan kirinya menutupi pinggang yang pakaiannya terbuka dan tangan kanan diremas-remasnya, akan tetapi kedua kakinya tetap tak dapat bergerak.
"Kubunuh kau manusia kurang ajar!" teriaknya berkali-kali.
Akan tetapi Kwan Cu tidak melayaninya dan hanya tersenyum sambil berlari memasuki rumah. Dia merasa kasihan dan juga geli. Akan tetapi, setelah melakukan pemeriksaan dengan cepat, teliti dan hati-hati, Kwan Cu menjadi kecewa.
Semua pelayan yang dia temui di dalam gedung itu mengatakan bahwa majikan mereka bernama Tan Kai Seng dan ketika itu sedang keluar rumah. Kwan Cu tidak suka berlaku kejam kepada para pelayan ini, akan tetapi untuk memuaskan hatinya yang kecewa dia memilih seorang pelayan laki-laki yang berwajah bodoh.
Cepat dia mencabut pedangnya, yakni pedang Liong-coan-kiam yang selama itu hanya disembunyikan di balik baju. Sekali sabet saja meja besar dan tebal di ruangan dalam itu terbabat dan terbelah menjadi dua. Kemudian dia memegang leher baju pelayan itu dan menempelkan pedangnya di atas hidung.
"Kalau kau tidak menjawab sejujurnya, pedang ini akan memutuskan hidungmu. Tidak itu saja, aku akan membikin semua kaki tanganmu buntung supaya selama hidup kau tidak akan dapat bekerja dan akan menjadi pengemis yang tidak dapat makan sendiri!"
"Ampun... Siauwya...," kata pelayan itu sambil menggigil ketakutan.
"Nah, katakan siapa sebetulnya majikanmu itu!"
"Hamba tidak membohong, Siauwya majikan hamba bernama Tan Kai Seng..."
"Di mana dia?"
"Tadi... tadi dia berada di sini..."
"Jangan bohong! Mana dia?" Kwan Cu membentak.
Dia mengerahkan sedikit tenaga pada tangan kirinya yang menggencet pundak pelayan itu. Pelayan itu meringis kesakitan, pundaknya serasa ditusuk jarum.
"Am... ampun, Siauwya... hamba tidak membohong. Tadi... tadi majikan hamba berada di sini, bahkan tadi keluar..."
Kwan Cu berpikir, kemudian membentak lagi, "Yang mana dia? Yang mana? Hayo cepat katakan!"
"Dia... dia yang tadi melawan Siauwya."
"Apa?! Yang muda-muda dan berpakaian pelayan, memegang pedang...?".
Pelayan itu hanya mengangguk dengan tubuh menggigil ketakutan. Sesudah membuka rahasia majikannya, kini dia menjadi semakin ketakutan karena dia tahu bahwa apa bila majikannya mengetahui akan pengkhianatannya, dia akan menerima hukuman berat.
Kwan Cu terkejut mendengar ini dan dia merasa menyesal sekali. Tadi dia sudah curiga terhadap pelayan muda yang lihai ilmu pedangnya itu. Diakah An Kai Seng keturunan An Lu Shan? Mungkin sekali!
"Dan gadis muda yang pandai main pedang itu, siapa dia?"
"Dia adalah Wi Wi Toanio, isteri majikan hamba..."
Baru saja mendengar ini, Kwan Cu cepat melompat keluar lagi. Hemm, yang tahu akan rahasia hartawan muda bernama Kai Seng ini tentu hanya isterinya. Mungkin sekali An Kai Seng sudah mengubah she-nya menjadi Tan, dan hal ini tentu saja tidak diketahui oleh semua pelayan. Hanya isterinya yang tentu tahu akan hal ini!
Pada saat tiba di ruang depan, dia melihat wanita muda yang cantik tadi masih berdiri, sedang mengatur napas dan ternyata bahwa wanita itu telah berhasil membebaskan diri dari totokannya. Ia kaget dan memuji karena hanya dengan tenaga lwekang yang sudah tinggi saja orang dapat membebaskan totokan begitu cepatnya.
Ketika Wi Wi Toanio melihat Kwan Cu keluar lagi, dia cepat hendak melarikan diri. Akan tetapi dengan sekali lompatan, Kwan Cu sudah berada di depannya.
"Jadi kaukah Wi Wi Toanio isteri dari An Kai Seng?" Kwan Cu bertanya dengan mata bersinar mengancam.
"Suamiku bernama Tan Kai Seng!" Wi Wi Toanio berkata dan mencoba untuk tersenyum, sungguh pun hatinya berdebar penuh rasa takut. Ia telah merasai sendiri betapa lihainya orang yang mau membunuh suaminya ini.
Kwan Cu menengok ke arah pelayan muda yang tadi sudah dikalahkannya, akan tetapi seperti yang sudah diduganya, pelayan muda itu kini tidak kelihatan lagi mata hidungnya. Tiba-tiba dia mendengar gerakan orang dan Wi Wi Toanio mempergunakan kesempatan selagi Kwan Cu menengok, untuk cepat melompat melarikan diri keluar.
"Kau hendak lari ke mana?" Kwan Cu segera mengejar dan di lain saat pemuda ini telah memegang pergelangan tangan Wi Wi Toanio.
"Lepaskan aku! Lepaskan!" la meronta-ronta dan mencoba untuk melepaskan tangannya, akan tetapi sia-sia, karena pegangan Kwan Cu amat kuatnya.
"Katakan dulu, siapa sebetulnya suamimu itu? Apakah dia bukan An Kai Seng keturunan An Lu Shan?" tanya Kwan Cu perlahan sambil mempererat pegangannya hingga wanita muda itu merasa seluruh lengannya sakit sekali.
Pada saat itu pula, para pelayan yang tadi ketakutan setengah mati, sudah keluar dan memandang dari pintu dengan muka pucat. Sementara itu, pelayan yang tadi diperintah oleh Kai Seng untuk memberitahukan kepada kawan-kawannya, sudah datang diiringkan oleh belasan orang laki-laki yang sudah memegang senjata tajam. Mereka ini menyerbu dari luar dan siap menolong Wi Wi Toanio yang dipegang tangannya oleh Kwan Cu.
Melihat ini, Wi Wi Toanio segera melakukan siasatnya yang amat cerdik. Dia kemudian merapatkan tubuhnya, tidak lagi mempedulikan rasa sakit pada tangannya dan sengaja merapatkan tubuhnya pada tubuh pemuda itu, lalu berteriak-teriak.
"Kau manusia kurang ajar! Kau hendak berlaku kurang sopan terhadapku? Lihat, lihatlah semua orang! Inilah orang yang mengaku bernama Lu Kwan Cu, seorang yang katanya pendekar muda berilmu tinggi! Akan tetapi dia hendak membujukku, mengajakku minggat bersama. Alangkah rendahnya!"
Kwan Cu merasa betapa tubuh wanita itu merapat dan dia kembali mencium bau yang amat harum. Ketika mendengar teriakan ini, dia terkejut sekali, wajahnya menjadi merah sampai ke telinganya dan otomatis dia melepaskan pegangannya dan segera melangkah mundur.
"Kau bohong! Aku tidak berlaku kurang ajar, hanya mau tahu di mana perginya Kai Seng itu!" katanya mendongkol.
Sambil memijat-mijat pergelangan lengannya Wi Wi Toanio tersenyum mengejek. Dia lalu berkata pula perlahan, "Kalau kau memang gagah, carilah sendiri!" Lalu ia berjalan pergi.
Kwan Cu merasa bingung. Tentu saja dia dapat menangkap wanita itu, dibawa ke tempat sunyi untuk dipaksa mengaku siapa sebetulnya hartawan muda itu dan di mana tempat bersembunyinya. Akan tetapi kalau teringat akan teriakan nyonya muda tadi, dia menjadi merasa malu dan tidak enak sekali. Kalau sampai dia menangkapnya, tentu semua orang akan membenarkan kata-kata Wi Wi Toanio dan namanya akan menjadi busuk di dunia kang-ouw!
Sementara itu, kawan-kawan Kai Seng yang terdiri dari jago-jago silat di kota itu, sudah datang dan menyerbu Kwan Cu. Terpaksa pemuda ini lalu menggerakkan sulingnya. Dia tidak mau membuang banyak waktu dan sebentar saja terdengar suara keras, senjata-senjata tajam terlempar jauh dan orang-orang itu lantas berteriak-teriak kesakitan, roboh seorang demi seorang.
Setelah belasan orang itu semua dibikin tak berdaya, Kwan Cu sudah tidak melihat lagi bayangan Wi Wi Toanio. Dia mendongkol sekali, merasa dipermainkan oleh wanita itu. Cepat dia mengejar dan mencari, akan tetapi dia tidak dapat menemukan suami isteri itu di kota dan akhirnya ia mendapat keterangan bahwa mereka telah melarikan diri dengan perahu mereka ke laut!
Kwan Cu merasa menyesal sekali. Jauh-jauh dan sekian lama dia mencari, tetapi setelah bertemu, dia kena diakali. Musuh besarnya sudah bertemu dengan dia, bahkan telah dia kalahkan, akan tetapi dia tidak tahu bahwa dia itulah musuh besarnya sehingga dia tidak membunuhnya, bahkan tidak mau melukainya karena mengira bahwa dia adalah seorang pelayan biasa.
“Biarlah, aku pasti akan bisa menemukannya kembali," katanya sambil menghela napas.
Terbayanglah wajah yang cantik jelita dari Wi Wi Toanio, suaranya yang merdu, bentuk tubuhnya yang menggairahkan serta keharuman yang menawan hati masih tercium oleh hidungnya. Kembali Kwan Cu menarik napas panjang. Benar-benar seorang wanita yang cantik, pandai dan... berbahaya sekali…..
********************
Pada suatu hari, Kwan Cu beristirahat di luar sebuah hutan, duduk di bawah pohon dan berlindung dari panas terik matahari yang menggigiti kulit. Dengan ujung lengan bajunya dia menghapus peluh yang membasahi mukanya, peluh sehat yang dipaksa keluar oleh hawa panas matahari.
Seperti biasa, pada waktu menganggur ini dia memeriksa seluruh saluran darah di dalam tubuhnya, untuk membuka saluran yang terhalang jalannya. Dengan perlahan-lahan dia meraba-raba urat nadinya dan dengan totokan dia lalu menyempurnakan jalan darahnya.
Setelah mendapat kenyataan bahwa peredaran jalan darahnya sudah sempurna, dia lalu mengeluarkan sulingnya dan menyuling dengan asyiknya. Tidak ada hiburan yang lebih menyenangkan baginya dari pada meniup sulingnya. Otaknya telah penat berpikir tentang tugasnya, tentang musuh-musuh besar dari suhu-nya dan kongkong-nya.
An Kai Seng telah terlepas dari tangannya dan tidaklah mudah untuk mencarinya, karena tentu saja An Kai Seng akan menyembunyikan dan menjaga dirinya lebih baik, apa lagi dengan bantuan isterinya yang demikian cantik dan licin, kiranya akan makan waktu lama untuk dapat menemukannya kembali.
Terlebih dahulu dia akan mencari musuh-musuh besar gurunya dan teringatlah dia akan pemberitahuan Kiam Ki Sianjin bahwa pada Gouw-gwe Cap-gouw (bulan lima tanggal lima belas) akan diadakan musyawarah besar di puncak Tai-hang-san dan di sanalah dia akan dapat menjumpai musuh-musuh yang membunuh gurunya itu.
Pada waktu itu, bulan lima kurang beberapa hari lagi, jadi dia masih mempunyai waktu beberapa pekan. Oleh karena itu Kwan Cu lalu mulai melakukan perjalanan menuju ke Tai-hang-san. Ia melakukan perjalanan cepat dan terus menerus, hanya beristirahat bila dia merasa lelah benar seperti siang hari itu.
Tanpa disengaja, Kwan Cu meniup suling mainkan lagu yang sering kali dimainkan oleh Hang-houw-siauw Yok-ong Si Raja Obat. Dia begitu saja mainkan lagu ini karena ketika tadi menyuling, pikirannya melayang kepada tabib aneh itu. Sulingnya adalah pemberian dari Yok-ong dan dia tidak tahu di mana adanya orang pandai itu sekarang.
Memikirkan Yok-ong, Kwan Cu diam-diam menduga apakah kiranya orang pandai itu akan sanggup menolong Bian Ti Hosiang dan Bin Hong Siansu bila sekiranya Raja Tabib itu berada di tempat terjadinya mala petaka yang menimpa diri kedua orang pendeta itu. Sambil menyuling, kini pikirannya melayang kembali dan terkenanglah dia akan peristiwa pembunuhan dua orang pendeta yang benar-benar merupakan teka-teki baginya itu.
Tiba-tiba terdengar suara orang laki-laki menyanyikan lagu yang sedang dimainkan oleh Kwan Cu dengan sulingnya. Suara nyanyian ini merdu sekali sehingga Kwan Cu harus mengakui bahwa suara itu amat empuk. Dengan gembira Kwan Cu melanjutkan tiupan sulingnya dan sekarang terdengar paduan suara antara suling dan nyanyian orang itu, menyanyikan lagu yang sering kali dimainkan oleh Hang-houw-siauw Yok-ong.
Diam-diam Kwan Cu memuji tenaga khikang orang itu, karena orangnya belum kelihatan, namun suara nyanyiannya demikian keras dan nyaring. Dia tidak merasa heran bahwa orang itu dapat pula mendengar suara sulingnya karena dia tadi bermain suling dengan memakai tiupan tenaga khikang sehingga suara sulingnya dapat terdengar dari tempat jauh.
Kalau saja pada saat itu ada orang lain di situ, tentu orang ini akan menjadi amat heran karena suara suling dan nyanyian itu merupakan paduan suara yang menjadi satu, akan tetapi penyuling dan penyanyinya terpisah jauh!
Yang sangat menarik hati Kwan Cu adalah kata-kata dalam nyanyian itu, maka dia lalu mencurahkan perhatiannya untuk mendengarkan nyanyian itu sehingga terdengar jelas olehnya kata demi kata. Mendengar suara ini, Kwan Cu menjadi makin kagum karena dari kata-kata nyanyian ini dia mendapatkan kesan bahwa penyanyinya bukanlah orang sembarangan atau penyanyi biasa saja…..
Suara nyanyian itu terdengar penuh mengejek, akan tetapi di dalamnya tersembunyi pula semangat kegagahan. Kata-katanya sendiri merupakan filsafat sederhana yang sudah sering kali disyairkan oleh para pujangga.
Hutan sungai tetap murni tak berubah
apa bila tiada tangan kotor orang menjamah,
mengapa tempat tinggal orang kacau belaka!
Mengapa mereka saling bunuh tiada habisnya?
Katakan manusia berakal budi
katakan manusia makhluk tertinggi
aku lebih kagum melihat burung dan kelinci.
Katakan dusun kota indah dan damai,
aku lebih cinta hutan dan sungai!
Baru saja kata-kata nyanyian ini habis dinyanyikan, tiba-tiba berkelebat bayangan orang dan di depan Kwan Cu berdiri seorang laki-laki muda yang tampan dan aneh pakaiannya. Bajunya lebar panjang berkembang-kembang, kepalanya ditutup oleh kopyah. Wajahnya tampan dan usianya tidak berselisih banyak dengan usia Kwan Cu. Tubuhnya tegap dan wajahnya selalu tersenyum-senyum mengejek.
Lagaknya kelihatan angkuh dan tinggi hati. Tapi sepasang matanya yang mengeluarkan cahaya berapi itu menandakan bahwa dia bersemangat besar serta memiliki kepandaian dan tenaga dalam yang sudah tinggi.
"Ehhh, bocah!" katanya dengan lagak sombong. "Siapa kau yang dapat meniup suling menyanyikan lagu itu?"
Kwan Cu tersenyum dan merasa betapa lucunya orang ini. Ia pun bangkit berdiri dengan tenang, memandang dengan penuh perhatian dan tidak segera memberi jawaban.
Yang membuat Kwan Cu tertarik dan merasa lucu adalah pakaian pemuda itu. Bajunya berkembang-kembang besar seperti yang biasa dipakai oleh kaum wanita dan alangkah lucunya topi itu! Topi bukan kopyah pun bukan, benar-benar sangat lucu. Memang aneh sekali manusia ini, aneh seperti nyanyiannya pula.
"Bocah tolol, mengapa kau tersenyum-senyum saja? Apakah kau tuli?"
"Aku tidak tuli dan juga tidak buta. Justru karena aku tidak tuli dan tidak buta maka aku mendengar dan melihat kau yang amat lucu ini."
"Apa katamu? Aku lucu?" la memandangi pakaiannya sendiri, lalu mengangkat dada dan tersenyum puas. "Memang, memang aku terkenal amat tampan dan lucu, lagi gagah!"
Kwan Cu menggerakkan hidungnya seperti kalau sedang mencium bau yang tidak enak. "Lucu memang lucu, tentang tampan boleh jugalah, akan tetapi gagah? Ahh, kau bahkan kelihatan seperti seorang perempuan!"
Pemuda aneh itu mengangkat alisnya. "Apa?! Kau jangan menghina, ya? Kau ini pemuda masih hijau berani lancang mulut. Kau kira berhadapan dengan siapa? Akulah seorang pemuda yang gagah dan tidak hanya gagah, tetapi juga terpelajar. Aku seorang Bun-bu Coan-jai (ahli silat dan surat). Kau lihat ini?" la menggerakkan kedua tangannya ke arah pinggang dan tahu-tahu kedua tangannya itu telah memegang sepasang poan-koan-pit (senjata yang berupa sepasang alat menulis atau pensil Tiongkok).
"Hemmm, itu adalah sepasang poan-koan-pit yang sering kali digunakan oleh anak-anak yang sedang belajar menulis," kata Kwan Cu sengaja mempermainkan. Kwan Cu timbul kejenakaan dan kegembiraannya bertemu dengan pemuda yang aneh ini.
"Belajar menulis telingamu!" Pemuda itu memaki gemas. "Dengan pit di tangan kanan aku dapat menuliskan syair-syair gubahan pujangga Tu Fu yang kukagumi! Dengan pit di tangan kiri aku dapat melukis gambar seperti yang dilakukan oleh ahli silat Siang Koan yang sakti! Itu kalau aku menjadi seorang ahli kesenian. Kalau aku menjadi ahli silat, pit di tangan kiriku ini dapat mencabut nyawa musuh dan pit pada tangan kanan ini dapat mengantarkan lawanku ke neraka!"
Kwan Cu tertawa bergelak. Perutnya sampai terasa kaku karena dia tertawa terpingkal-pingkal. Ia melihat betapa pemuda ini penar-benar amat lucu, karena dia dapat mengerti bahwa semua lagaknya yang kelihatan sombong luar biasa itu sesungguhnya hanyalah dibuat-buat belaka.
Di balik kelucuan dan kesombongan ini, dia melihat seorang pemuda berjiwa luhur dan berwatak aneh. Juga garis-garis pada jidatnya menandakan bahwa pemuda ini semuda itu telah mengalami kepatahan hati dan pernah mengalami kehancuran batin yang penuh kecewa dan duka.
"Kenapa kau tertawa lagi, Tolol?" bentak pemuda berkopyah itu.
Kwan Cu memperlihatkan sulingnya. "Aku sih tidak terlalu pintar seperti engkau. Namun dengan sulingku ini agaknya aku tidak usah mengaku kalah padamu, hai orang lucu yang pandai menyanyikan lagu aneh. Engkau masih pernah apakah dengan Hang-houw-siauw Yok-ong?"
Pemuda itu tidak menjawab, hanya matanya tertuju kepada suling itu dengan melongo. Kemudian dia menatap wajah Kwan Cu yang menjadi amat kaget ketika melihat betapa. sepasang mata itu kini berubah tajam menyelidik dan cerdik sekali.
"Hemm, kau tentulah Lu Kwan Cu murid Ang-bin Sin-kai!" katanya tiba-tiba dan lenyaplah untuk sesaat kelucuan mukanya.
Kwan Cu terkejut. "Ehh, kau siapakah, sahabat? Bagaimana pula kau dapat mengetahui namaku?" Kwan Cu menjadi curiga dan mengira bahwa pemuda ini jangan-jangan kawan dari An Kai Seng yang sengaja mencari perkara.
"Sulingmu adalah pemberian suhu."
Berseri-seri wajah Kwan Cu. "Aha, jadi kau adalah murid dari Hang-houw-siauw Yok-ong, locianpwe yang budiman itu? Pantas saja kau begini aneh. Siapakah namamu, saudara yang gagah perkasa?"
"Panggil saja aku Hok Peng. Sekarang berhati-hatilah, aku akan menyerangmu dengan poan-koan-pit!" Baru saja kata-kata ini selesai diucapkan, dia sudah menyerang Kwan Cu dengan hebatnya!
Kwan Cu kaget dan cepat melompat ke belakang. "Gilakah kau? Tiada hujan tiada angin menyerangku?" tanyanya mendongkol sekali.
"Kau berkenan mendapat hadiah suling wasiat dari suhu, kini hendak kulihat apakah kau patut menerima hadiah itu!" jawab pemuda aneh itu dan kembali dia menyerang dengan hebat. Pada waktu dia menyerang, gerakannya amat cepat dan tubuhnya ringan sekali, melompat-lompat seperti tidak mengambah bumi saja.
Kwan Cu merasa kagum sekali. Terang bahwa Hok Peng memiliki ginkang yang tinggi dan melihat cara dia menyerang, sepasang poan-koan-pit itu pun sangat lihai dan tidak boleh dipandang ringan. Cepat Kwan Cu memasang kuda-kuda dan melayaninya dengan suling di tangannya.
Pada saat dia melihat Hok Peng menusuk ke arah iganya dengan totokan yang lihai, dia cepat-cepat menggerakkan suling dari atas ke bawah, menindih pit kanan lawannya dan tubuhnya doyong ke belakang seperti mau jatuh. Akan tetapi sebetulnya bukan demikian, melainkan Kwan Cu siap siaga dengan tangan kirinya menjaga kalau-kalau pit di tangan kiri lawannya bergerak.
Benar saja, Hok Peng berseru, "Bagus sekali!"
Karena merasa betapa tindihan suling dan pit kanannya itu luar biasa beratnya sehingga lengan kanannya tergetar, dengan kecepatan kilat selagi kedua kakinya masih terapung seperti terbang, pit kirinya kemudian menusuk leher Kwan Cu.
Kwan Cu yang sudah menduga lebih dulu karena melihat gerakan pundak kiri Hok Peng, segera melepaskan tindihan sulingnya dan tangan kirinya cepat memapaki pit itu dengan jari-jemari ditekuk karena dia melakukan gerakan merampas dari ilmu silatnya Kong-ciak Sin-na yang lihai!
Hok Peng tertawa mengejek dan secepatnya menarik kembali pit kirinya. Pada saat itu kedua kakinya telah menginjak tanah lagi dan dengan gerakan saling susul, kedua pitnya kini melakukan serangan bertubi-tubi. la betul-betul mengerahkan seluruh kepandaiannya untuk menguji pemuda yang pernah dipuji-puji oleh Hang-houw-siauw Yok-ong dan yang telah menerima hadiah suling dari gurunya itu.
Kwan Cu tidak mau kalah dan menggerakkan sulingnya secara cepat sekali. Diam-diam dia mempelajari semua gerakan ilmu silat dari Hok Peng dan Kwan Cu harus mengaku bahwa pemuda aneh dan lucu itu benar-benar memiliki kepandaian yang hebat sekali.
Kalau dibandingkan, kepandaian Hok Peng ini bahkan masih mengatasi kepandaian An Kai Seng atau Wi Wi Toanio. Bahkan kalau dibandingkan pula dengan murid-murid tokoh besar, masih lebih menang sedikit dari pada Lu Thong. Kiranya hanya Sui Ceng seorang yang akan sanggup menghadapinya dengan kepandaian seimbang.
Bagi Kwan Cu sendiri, walau pun dia mengakui akan kelihaian sepasang senjata Hok Peng, namun sekali melihat saja dia sudah dapat menangkap inti sari dari pada ilmu silat lawannya. Ini berkat pengetahuannya tentang pokok dasar dari pada segala pergerakan tubuh dalam bersilat yang diwarisinya dari kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng.
Kalau tadinya Hok Peng menyerang sambil tersenyum-senyum mengejek, kini berkali-kali dia mengeluarkan seruan kagum. la benar-benar merasa aneh dan tidak mengerti bagai mana semua jurus simpanan yang dia pelajari dan yang biasanya berupa jurus ampuh yang tidak sembarangan dapat dihindari oleh lawan-lawannya, kini dengan mudah dapat dipatahkan oleh Kwan Cu.
"Kau lihai sekali!" serunya sampai tiga kali. "Coba kau terima ini!"
Sekarang dia mengubah caranya bersilat. Sepasang poan-koan-pit di tangannya itu kini bergerak secara aneh dan luar biasa, datang dari depan bagaikan gelombang samudera dan menerjang bertubi-tubi dari atas laksana hujan badai. Hok Peng telah mengeluarkan ilmu silat paling hebat dari semua pelajarannya, ilmu silat yang boleh dimainkan dengan kedua tangan kosong mau pun dengan senjata yang sepasang, yang oleh gurunya dinamakan Ilmu Silat Badai dan Ombak.
Kwan Cu pun tercengang menghadapi serangan hebat ini. Dari kedua tangan Hok Peng seakan-akan keluar tenaga mukjijat yang luar biasa sekali, sedangkan sepasang pit itu menyambar-nyambar, sungguh hebat sekali ilmu silat pemuda aneh ini.
Satu kali ini Kwan Cu benar-benar menemui lawannya, lawan yang sangat tangguh dan lihai. Apa bila tadi dengan pandangan matanya yang awas serta dengan pengertiannya yang mutlak tentang pokok dasar segala gerakan silat Kwan Cu dapat menghadapi Ilmu Silat Badai dan Ombak ini, dia menjadi terkejut sekali. Ilmu silat ini dilakukan dengan kecepatan yang amat luar biasa sehingga dia tidak sempat untuk mempelajari sarinya.
Terpaksa Kwan Cu melawan dengan ilmu silatnya pula, dan dia tidak sekali-kali berani berlaku ayal, karena dia pun merasa penasaran kalau sampai kalah oleh pemuda aneh ini. Cepat-cepat Kwan Cu mengerahkan lweekang-nya dan mainkan ilmu pukulan Pek-in Hoat-sut dengan tangan kirinya, sedangkan tangan kanannya masih mainkan sulingnya, kini dengan Ilmu Pedang Hun-khai Kiam-hoat.
Bukan main hebatnya pertempuran ini. Keduanya sama lincah, sama cepat dan sama kuat. Makin kagum hati Kwan Cu, karena pemuda ini tahu bahwa kalau dia tidak pernah mempelajari ilmu dari kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng, pasti dia akan kalah. Seratus jurus lewat dan masih saja belum ada yang kalah atau menang di antara mereka.
Sebaliknya, Hok Peng kini benar-benar terkejut. Dia telah memainkan seratus jurus ilmu silatnya yang dahsyat, namun tetap saja dia tidak mampu mengalahkan lawannya. Ilmu Silat Badai dan Ombak ada seratus dua puluh jurus dan kini dia sudah mainkan seratus jurus, masih tinggal dua puluh jurus lagi.
Tiba-tiba dia teringat, betapa semenjak tadi Kwan Cu tidak pernah membalasnya, hanya mengelak dan menangkis saja, sedangkan dari kedua lengan pemuda itu mengepul uap putih yang memiliki pengaruh hebat atas hawa pukulannya.
Aduh, celaka, pikirnya.
Tidak salah lagi! Kwan Cu tentu sedang mempelajari ilmu silatnya dan kalau sampai dia terus mainkan semua ilmu Silat Badai dan Ombak yang masih dua puluh jurus lagi, sama halnya dengan menghadiahkan ilmu silat itu kepada Kwan Cu!
Tiba-tiba Hok Peng menghentikan serangannya dan melompat mundur. Wajahnya pucat dan dia menyimpan kembali poan-koan-pitnya, lalu tersenyum pahit.
"Aku sudah kena kau akali! Kau tentu sudah mewarisi Im-yang Bu-tek Cin-keng!"
"Bagaimana kau bisa tahu?" Kwan Cu balas bertanya karena dia pun merasa amat suka dan kagum kepada pemuda lucu ini.
"Siapa pun juga yang tidak memiliki Im-yang Bu-tek Sin-kun (Ilmu Silat sakti dari Im-yang Bu-tek Cin-keng), tidak akan mungkin mampu menahan serangan-seranganku tadi tanpa membalas sedikit pun. Dan kau tentu sudah mencatat di dalam hatimu sebanyak seratus jurus ilmu silatku tadi."
Kwan Cu tersenyum. "Hok Peng, sahabat baik. Kau sudah beruntung sekali bisa menjadi murid Hang-houw-siauw Yok-ong, apa ruginya membagi sedikit kepadaku? Ilmu silatmu tadi benar-benar hebat, aku takluk padamu."
Merah wajah Hok Peng. "Sudahlah, bertemu dengan orang semacam kau apa gunanya membicarakan tentang ilmu silat? Suhu sendiri kiranya belum tentu dapat mengalahkan engkau, karena kata suhu, siapa yang mewarisi ilmu dari Im-yang Bu-tek Cin-keng, tak akan terlawan oleh siapa pun juga. Baiknya Badai dan Ombak masih ada dua puluh jurus lagi yang belum kau lihat. Aku akan menggembleng yang dua puluh jurus itu dan siapa tahu kalau kelak yang dua puluh jurus ini akan dapat mengalahkan engkau."
"Ehh, saudara Hok Peng, apakah kau begitu haus akan kemenangan? Kau benar-benar murka sekali, kurang apa lagi kepandaianmu? Kau menjadi murid seorang sakti seperti Yok-ong locianpwe, pandai ilmu silat, pandai ilmu pengobatan, dan pandai meniup suling dan bernyanyi."
Mulut Hok Peng cemberut. "Sayang sekali, dalam ilmu pengobatan otakku terlalu keras sehingga hanya dapat mempelajari sedikit saja, ada pun mengenai menyuling, kau lebih pandai. Kalau tidak begitu, bagaimana suhu memberikan sulingnya padamu? Ahh, Kwan Cu, setelah kita saling mengukur kepandaian, aku tidak kecewa melihatmu. Hanya saja masih ada penasaran dalam hatiku melihat betapa kau benar-benar tidak kenal budi dan kebaktian terhadap gurumu."
Kwan Cu terkejut dan marah. "Ehh, omongan apa yang kau keluarkan ini? Membuta tuli menuduh orang lain tanpa alasan. Boleh jadi aku Lu Kwan Cu memang seorang bodoh dan kasar, akan tetapi bagaimana kau bisa bilang aku tidak kenal budi dan kebaktian?"
"Tentu saja kau tidak kenal budi dan kebaktian. Gurumu tewas dalam penasaran besar, dikeroyok orang-orang yang curang, mengapa kau diam saja dan enak-enak seperti tidak terjadi apa-apa, bukankah ini menandakan bahwa kau tak kenal..."
"Tahan lidahmu, Hok Peng! Aku sekarang juga sedang mencari-cari mereka yang sudah membunuh suhu-ku dan aku pasti akan membalaskan sakit hati suhu sekaligus menagih hutang nyawa mereka!"
Hok Peng tersenyum, dan matanya yang tajam memandang penuh selidik. "Bagus, kau tidak bohong. Aku tarik kembali tuduhanku bahwa kau tak kenal budi dan kebaktian, akan tetapi kau ternyata tolol."
"Ahh, apakah kau masih belum puas dan ingin mengajak berkelahi lagi?" tanya Kwan Cu gemas.
"Aku bukan sembarangan menuduh saja. Kau memang tolol kalau belum juga tahu siapa adanya orang-orang yang mengeroyok dan membunuh gurumu Ang-bin Sin-kai itu."
"Mereka adalah Jeng-kin-jiu, Hek-i Hui-mo, dan Toat-beng Hui-houw!" kata Kwan Cu.
Hok Peng melengak. "Eh, ehh, jadi kau sudah tahu pula? Memang tiga orang locianpwe itulah pembunuhnya, dengan jalan mengeroyok secara tak tahu malu dan curang sekali! Kalau begitu kau memang tidak tolol, hanya bodoh sekali."
"Hemm, apa lagi yang menyebabkan kebodohanku?" tanya Kwan Cu, kali ini tidak marah lagi karena memang semua kata-kata yang lucu dari Hok Peng beralasan dan agaknya orang ini boleh sekali dijadikan kawan baik.
"Karena kau tentu akan membuang waktu dengan sia-sia kalau kau mencari-cari mereka itu, padahal mereka berada di..."
"Puncak Tai-hang-san pada Gouw-gwe Cap-gouw!" Kwan Cu menyambung cepat.
Kembali Hok Peng melengak. Sepasang matanya yang bundar seperti kelereng itu lantas bergerak-gerak memandang, kemudian dia mengangguk-angguk.
"Hemm, jadi kau sudah tahu pula? Baik, baik, bagus! Akan tetapi tetap saja kau masih bodoh. Jalan yang terdekat ada mengapa mengambil jalan jauh? Bukankah itu bodoh namanya?"
"Hok Peng yang baik, dalam hal ini aku mengaku bodoh. Memang aku belum kenal jalan dan aku hanya melalui jalan menurut keterangan orang-orang yang kutemui. Aku mohon petunjukmu, jalan manakah yang terdekat ke Tai-hang-san itu?"
"Kalau dilihat dari jauh, memang agaknya puncak Tai-hang-san berada di sisi utara dan agaknya kalau mau ke puncak, jalan dari utara adalah jalan terdekat. Akan tetapi kalau kau lanjutkan kepercayaanmu ini, percayalah bahwa sampai waktu Gouw-gwe Cap-gouw tiba, kau belum dapat sampai ke puncak. Jalan dari utara ini banyak sekali halangannya, terhalang oleh jurang-jurang berbahaya dan oleh hutan-hutan lebat yang akan membikin kau tersesat jalan sehingga akhirnya kau akan terlambat. Kalau kau mengambil jalan dari timur, dari kaki pegunungan terus menanjak ke barat, kau akan sampai di sana dengan cepat dan kiranya masih belum terlambat jika sekarang juga kau melanjutkan perjalanan. Akan ramai sekali di sana " Setelah berkata demikian, pemuda aneh ini lalu pergi sambil bernyanyi-nyanyi, tidak mempedulikan lagi kepada Kwan Cu.
"Hok Peng, terima kasih, kau baik sekali!" Kwan Cu berseru girang ke arah pemuda itu yang sama sekali tidak mempedulikan seruannya.
Akan tetapi Kwan Cu juga tak mengharapkan jawaban dari pemuda yang aneh itu, sebab dia maklum bahwa orang-orang seperti Yok-ong dan muridnya ini adalah orang-orang yang wataknya memang aneh dan lain dari pada orang-orang biasa.
Dengan cepat Kwan Cu lalu melanjutkan perjalanannya. Sekarang dia mengubah arah perjalanannya, tidak lagi hendak mendaki Bukit Tai-hang-san dari utara, melainkan dari timur seperti yang dinasehatkan oleh Hok Peng…..
********************
Pada waktu yang bersamaan, banyak orang lain juga mendaki Bukit Tai-hang-san dari jurusan-jurusan yang berlawanan atau berlainan. Orang-orang tua yang kelihatannya aneh, orang-orang muda yang bertubuh tegap dan kekar, nenek-nenek yang aneh dan gagah, semua pergi mendaki Bukit Tai-hang-san dan kesemua orang ini berjalan dengan gerakan cepat seperti terbang.
Di antara sekian banyaknya orang-orang gagah yang naik ke Tai-hang-san, terdapat pula Kiu-bwe Coa-li, nenek yang menjadi tokoh besar dunia persilatan, yang namanya lebih ditakuti dari pada nama raja iblis oleh orang-orang dari jalan hitam (penjahat), karena Kiu-bwe Coa-li terkenal bertangan baja dan berjari maut.
Meski pun tokoh selatan ini sekarang sudah kelihatan amat tua, namun wajahnya masih saja kelihatan keras dan sepasang matanya benar-benar amat berpengaruh dan jarang ada orang berani menentang pandang matanya yang bagaikan pedang pusaka tajamnya. Nenek sakti ini naik Pegunungan Tai-hang-san dengan perlahan saja, namun dua orang muda yang berjalan di kanan kirinya harus mengerahkan ginkang agar jangan sampai tertinggal oleh Kiu-bwe Coa-li!
Dua orang muda itu adalah Bun Sui Ceng dan The Kun Beng. Seperti telah dituturkan di bagian depan, Sui Ceng dan Kun Beng melakukan perjalanan bersama menuju tempat tinggal Kiu-bwe Coa-li yang pada saat itu sudah mengundurkan diri dari dunia ramai dan ingin melanjutkan pelajarannya bertapa.
Akan tetapi, ketika Sui Ceng dan Kun Beng datang dan berlutut di depan wanita sakti ini, Kiu-bwe Coa-li terlihat sedang marah-marah. Hal ini dapat diketahui oleh Sui Ceng sebab gadis yang sejak kecil ikut gurunya ini tentu saja sudah kenal baik akan watak gurunya yang aneh.
"Kau datang padaku ada apakah, Sui Ceng?" tanya Kiu-bwe Coa-li tanpa mempedulikan Kun Beng yang juga berlutut di depannya.
"Teecu... teecu sudah kangen kepadamu, Suthai dan... dan teecu telah... telah bertemu dengan dia ini."
Kiu-bwe Coa-li memandang ke arah Kun Beng melalui ujung hidungnya, hanya sedetik saja sinar matanya yang tajam itu menyapu wajah dan tubuh Kun Beng.
"Siapa dia?" tanyanya, suaranya membuat Kun Beng merasa dingin tengkuknya.
Nenek sakti ini benar-benar hebat sekali, hebat serta menakutkan, pikirnya. Lebih aneh dari pada suhu-nya sendiri, Pak- lo-sian Siangkoan Hai yang sudah amat aneh.
"Maafkan teecu yang berani lancang menghadap tanpa diperintah," kata Kun Beng tanpa berani mengangkat mukanya, "teecu adalah The Kun Beng."
"Ahh, jadi kau adalah murid Pak-lo-sian Siangkoan Hai si tua bangka? Coba kau angkat mukamu!"
Kun Beng terpaksa mengangkat mukanya memandang dan dia terkejut sekali melihat sinar mata nenek itu penuh selidik memandang mukanya. Dia tidak tahan menatap sinar mata itu lebih lama lagi dan kembali dia menunduk.
"Apa maksudmu datang bersama Sui Ceng ke sini?" tanya Kiu-bwe Coa-li tegas.
"Teecu... teecu bersama Ceng-moi hendak... hendak mohon kepastian tentang... tentang perjodohan..." Sesudah mengucapkan kata-kata ini, Kun Beng menjadi merah mukanya, demikian pula Sui Ceng menundukkan mukanya yang menjadi merah sekali.
Tiba-tiba saja tangan Kiu-bwe Coa-li bergerak dan entah kapan mengambilnya, tahu-tahu cambuknya yang berekor sembilan itu telah bergerak di tangannya dan meluncur cepat ke arah tubuh Kun Beng.
"Suthai!" Sui Ceng menjerit karena murid ini sudah mengenal betul sifat cambuk ini, yakni sekali digerakkan tentu mengambil sedikitnya satu nyawa orang!
Sembilan ekor cambuk itu melayang-layang di atas tubuh Kun Beng dan secepat kilat menyambar, lalu sebuah ekor cambuk menotok jalan darah di pundak pemuda itu tanpa dapat dielakkan lagi!
Kun Beng merasa sambaran angin yang luar biasa keras dan cepatnya. Dia tidak dapat mengelak atau menangkis lagi, maka cepat dia mengerahkan tenaga lweekang-nya yang dikumpulkan ke arah pundak sambil menahan napas untuk menerima datangnya totokan ini.
Kekhawatiran Sui Ceng sebetulnya tidak ada artinya. Dalam serangan ini Kiu-bwe Coa-li hanya mempergunakan sebagian tenaganya dan dia sudah tahu bahwa dengan tenaga sebesar itu, muridnya sendiri akan dapat menerima totokan tanpa menghadapi bahaya.
Oleh karena itu, kalau pemuda ini sanggup menerimanya, barulah dia terhitung memiliki kepandaian yang seimbang dengan muridnya sehingga patut menjadi suami muridnya. Pendeknya, serangan ini merupakan ujian atau percobaan terhadap Kun Beng!
Ketika jalan darah pada pundaknya terkena totokan ujung cambuk itu, Kun Beng merasa seluruh tubuhnya tergetar. Akan tetapi dia merasa lega karena ternyata dengan tenaga lweekang-nya dia dapat menahan totokan itu dan tidak sampai terluka. Kiu-bwe Coa-li menarik kembali cambuknya dan mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Kau cukup berharga menjadi suami Sui Ceng. Akan tetapi pada saat seperti ini jangan bicarakan tentang perjodohan!"
Sui Ceng mengangkat mukanya memandang kepada gurunya dengan penasaran. Gadis ini biar pun amat sayang dan taat kepada gurunya, akan tetapi kadang-kadang ia berani membantah. Memang di dunia ini orang satu-satunya yang berani menentang Kiu-bwe Coa-li, kiranya hanyalah Sui Ceng seorang.
Sebelum menghadap gurunya, Sui Ceng telah melakukan perjalanan bersama Kun Beng dan selama ini hubungan mereka semakin rapat. Sui Ceng tidak melihat sesuatu yang mengecewakan dalam diri tunangannya.
Kun Beng merupakan seorang pemuda tampan dan gagah berani, pula sopan santun. Timbullah rasa cinta di dalam hati Sui Ceng terhadap tunangannya ini sebagai jodohnya. Mendapatkan Kun Beng sebagai suami kiranya tidak mengecewakan, karena jarang ada pemuda seperti Kun Beng.
Oleh karena hatinya sudah bulat-bulat menyetujui perjodohan ini, tentu saja dia menjadi kaget mendengar omongan gurunya yang seakan-akan tidak menyetujui. Ia mengangkat muka dan memandang muka Kiu-bwe Coa-li.
Biar pun bibirnya tidak mengeluarkan sepatah pun kata, nenek tua itu sudah tahu akan isi hati muridnya, maka sambil tersenyum mengejek ia berkata,
"Sui Ceng, tentang perjodohan boleh diundurkan dulu. Sekarang pinni (aku) menghadapi urusan yang jauh lebih besar. Si bedebah Kiam Ki Sianjin agaknya terlalu memandang rendah kepadaku sehingga dia mengirimkan undangan untuk mengadakan pertemuan di puncak Tai-hang-san. Dalam suratnya dia menyatakan bahwa dia mengundangku karena mengingat bahwa aku pernah menyerang istana, hal ini berarti bahwa aku mencampuri urusan kerajaan. Ia hendak mengadakan pertemuan dengan orang-orang yang anti dan pro kaisar. Padahal dengan membongkar-bongkar urusan lama, dia akan mengingatkan aku bahwa aku pernah kalah ketika menyerbu ke istana! Bangsat tua tidak tahu malu, aku memang kalah pada waktu itu, akan tetapi aku kalah karena dikeroyok oleh banyak orang." Kiu-bwe Coa-li menghentikan kata-katanya, dan mukanya menunjukkan bahwa dia marah sekali.
"Kalau begitu, apakah kehendak Suthai selanjutnya?" tanya Sui Ceng.
"Aku tidak sudi mencampuri urusan kerajaan. Akan tetapi aku tetap seorang Han dan kalau disuruh memilih antara Kaisar Han dan kaisar asing, tentu saja aku memilih kaisar bangsa sendiri, betapa pun jahat dan lalimnya dia! Kiam Ki Sianjin memandang rendah kepadaku dan aku harus membasmi orang-orang itu yang menjadi penjilat kaisar asing dan mengkhianati bangsa sendiri. Sui Ceng, kau dan aku harus pergi ke Tai-hang-san. Kun Beng ini boleh ikut juga. Dalam pertemuan besar ini, tua bangka Pak-lo-sian pasti akan hadir juga sehingga sekalian kita bicarakan urusan perjodohan kalian dengan tua bangka itu."
Ucapan Kiu-bwe Coa-li ini merupakan perintah dan tidak boleh dibantah lagi. Sui Ceng menjadi girang sekali, akan tetapi Kun Beng menjadi gelisah.
Celaka, pikirnya. Kalau benar suhu-nya pergi ke Tai-hang-san, tentu suheng-nya Gouw Swi Kiat akan berada di sana pula. Bagaimana jika suheng-nya itu menceritakan semua peristiwa yang terjadi antara dirinya dan Kui Lan? Tentu suhu-nya akan marah besar dan akan celakalah dia. Tidak saja akan dimusuhi oleh suheng-nya, bahkan kalau Sui Ceng mengetahui akan hal itu, tentu tunangannya akan berubah benci kepadanya.
Akan tetapi Kun Beng memang cerdik dan dapat memandang jauh. Ia sudah kenal betul akan watak Swi Kiat yang keras dan angkuh. Sangat tidak mungkin suheng-nya itu mau membuka rahasia adik sendiri kepada orang lain, meski pun kepada suhu sendiri tentu tidak.
Urusan ini meski pun menjelekkan nama Kun Beng, namun yang akan lebih rusak nama dan kehormatan keluarganya adalah Gouw Kui Lan, karena sebagai seorang wanita ialah yang akan mengalami keburukan nama lebih hebat dari pada seorang pria. Dan Swi Kiat pasti tahu akan hal ini dan takkan membuka mulut. Siapa lagi kalau bukan Swi Kiat yang tahu akan urusan itu?
Kun Beng merasa lega hatinya. Ia tidak takut kalau hanya Swi Kiat yang memusuhinya, karena selain dia memiliki kepandaian yang tak kalah oleh Swi Kiat, juga dengan adanya Sui Ceng di sampingnya, Swi Kiat akan bisa berbuat apakah? Setelah berpikir demikian, hatinya lega dan dia ikut dengan Kiu-bwe Coa-li dan Sui Ceng ke Tai-hang-san.
Sesudah mulai menanjak ke pegunungan, rombongan Kiu-bwe Coa-li bertemu dengan tokoh-tokoh besar yang juga hendak mendaki pegunungan itu, akan tetapi Kiu-bwe Coa-li sudah memesan kepada Kun Beng dan Sui Ceng agar supaya menutup mulut dan tidak menegur siapa pun juga, biar pun ada yang sudah mereka kenal.
"Menghadapi urusan besar ini, kalian harus membuka mata membuka telinga akan tetapi menutup mulut rapat-rapat!"
Kiu-bwe Coa-li dan dua orang muda itu mendaki bukit dari selatan maka mereka tidak bertemu dengan Kwan Cu yang naik dari jurusan timur. Pemuda ini berjalan seorang diri dengan cepatnya.
Puncak Gunung Tai-hang-san menjulang tinggi, bermain dengan mega-mega putih dan memang kelihatannya berada di sebelah utara. Akan tetapi benar seperti yang dikatakan oleh Hok Peng, perjalanannya dari timur sangat mudah dan selalu puncak itu kelihatan, tidak tertutup oleh hutan-hutan yang terlalu lebat sehingga dalam perjalanan ini Kwan Cu tak pernah takut kalau-kalau jalannya tersasar.
Ketika dia tiba di lereng Bukit Tai-hang-san dan sedang berjalan dengan cepat, tiba-tiba dia melompat dan hampir saja dia menubruk seorang tua yang sedang duduk di bawah pohon, menyandarkan tubuh pada batang pohon itu dengan kedua kakinya yang panjang dilonjorkan menghalang jalan.
Kwan Cu benar-benar merasa terkejut dan dia menggosok-gosok kedua matanya. Tadi dari jauh dia tidak melihat ada orang duduk di situ, bagaimana tiba-tiba saja ada kakek yang duduk dengan dua kaki menghalang jalan? Hampir saja dia menginjak kaki itu kalau dia tidak cepat-cepat melompat.
"Bocah-bocah jaman sekarang amat kurang ajar!" Kakek itu berkata menggerutu sambil menggaruk-garuk kepalanya. "Ada orang tua duduk sengaja dilompati saja tanpa permisi. Benar-benar tidak sopan!"
Kwan Cu yang sudah berhasil menghindarkan diri sehingga tidak menginjak kaki orang cepat membalikkan tubuh memandang. la hendak menegur orang ini yang tentu sengaja ingin mempermainkannya karena dia sudah tahu bahwa orang itu sengaja menunjukkan kepandaiannya yang luar biasa, tahu-tahu duduk di situ hingga dia tidak tahu bila kakek itu datang. Akan tetapi sekarang kakek itu malah menegurnya!
Ketika melihat muka orang yang menegurnya, Kwan Cu merasa kaget dan heran. Yang duduk itu adalah seorang kakek yang mukanya hitam seperti pantat kuali, hitam sekali seperti malam gelap. Belum pernah selama hidupnya dia melihat muka sehitam ini.
Bangsa apakah dia? Apa bila dilihat dari potongan mukanya, terang bahwa dia adalah seorang bangsa Han biasa saja yang bertubuh jangkung kurus, akan tetapi kenapa kulit mukanya begitu hitam? Kulit tubuh bagian lain biasa saja, putih serta halus, hanya pada bagian muka yang amat hitam sehingga sulit untuk mengenal muka ini, kecuali sepasang matanya yang mencorong dan berpengaruh.
Kwan Cu merasa seperti pernah melihat mata seperti ini. Akan tetapi, oleh karena muka yang luar biasa warnanya itu, dia tidak dapat mengenal lagi.
"Ang-bin Sin-kai meninggalkan warisan ilmu silat, akan tetapi tidak meninggalkan warisan budi pekerti sehingga muridnya menjadi seorang kasar, tidak dapat menghormati orang yang lebih tua," Kakek itu bicara lagi, menggerendeng seorang diri.
Kembali Kwan Cu tertegun. Suara ini berbeda sekali dengan tadi, kalau suara tadi parau dan kasar, kini berubah menjadi halus dan tenang, suara yang telah pernah didengarnya. Agaknya orang ini sengaja mengeluarkan suara seperti itu agar dia mengenalnya, akan tetapi betapa pun dia memeras otak, tetap saja dia tidak dapat ingat lagi siapa adanya orang tua ini.
"Hari ini menerima hadiah, besok sudah lupa lagi akan pemberiannya, demikianlah watak manusia," lagi-lagi kakek itu berkata dan kali ini Kwan Cu hampir saja menempeleng kepalanya sendiri.
"Bodoh benar, mengapa aku begini pelupa?" pikirnya.
Serta-merta dia menjatuhkan diri berlutut di depan kakek yang masih duduk bersandar pada batang pohon itu sambil berkata dengan girang,
"Locianpwe, mohon ampun sebesarnya atas kekurang ajaran teecu yang semenjak tadi tidak mengenali Yok-ong Locianpwe. Bukan sekali-kali mendiang suhu Ang-bin Sin-kai yang salah, melainkan teecu sendiri yang kurang ajar dan bodoh."
Tiba-tiba tubuh orang itu melompat tinggi melampaui atas kepala Kwan Cu. Pemuda ini merasa sambaran angin ke arah lehernya, akan tetapi dia diam saja karena dia percaya penuh bahwa kakek raja tabib ini adalah seorang locianpwe yang berbudi mulia, tidak mungkin mau mencelakakan dirinya. Bahkan dia sama sekali tak mengerahkan lweekang untuk menjaga diri, karena takut kalau-kalau perbuatan ini malah akan dianggap sebagai pameran. Kwan Cu merasa leher bajunya disambar orang dan di lain saat tubuhnya telah ditarik dan dibawa pergi cepat sekali.
Ternyata bahwa kakek ini membawanya bersembunyi di belakang semak-semak belukar, mendekam di sana tanpa mengeluarkan kata-kata. Sebelum Kwan Cu sempat bertanya, dia mendengar tindakan kaki orang dari jauh.
Tindakan kaki ini berat sekali sehingga pohon-pohon serasa tergetar. Dengan telinganya yang tajam dia dapat mengetahui bahwa yang datang adalah empat orang, dan agaknya salah seorang sengaja menjatuhkan kaki dengan pengerahan tenaga luar biasa, ada pun yang tiga lagi sukar untuk ditangkap suara derap kakinya, demikian ringan tubuh mereka melayang di atas tanah.
Sebentar saja, meluncurlah empat orang di jalan itu. Tiba-tiba tubuh Kwan Cu menggigil dan seluruh tubuhnya terasa panas ketika dia melihat siapa adanya mereka ini. Orang pertama yang sengaja menjatuhkan kaki dengan kerasnya tidak lain adalah Hek-i Hui-mo Thian Seng Hwesio, musuh besar yang telah mengeroyok dan membunuh suhu-nya! Ini yang membikin Kwan Cu naik darahnya dan membikin tubuhnya menjadi panas sekali.
Orang ke dua adalah seorang kakek tua yang juga berjubah hitam seluruhnya seperti Hek-i Hui-mo, juga kepalanya gundul dan tubuhnya tinggi kecil. Kembali dada Kwan Cu tergetar karena dia mengenal hwesio yang dijumpainya pada malam hari dekat kelenteng di mana Bian Ti Hosiang dan Bin Hong Siansu terbunuh. Tanpa terasa lagi Kwan Cu meraba sakunya dan teringat bahwa dia masih menyimpan sepotong robekan kain dari jubah hitam hwesio ini.
Ada pun orang ke tiga dan ke empat adalah seorang tosu yang sudah amat tua, akan tetapi Kwan Cu tidak mengenal mereka. Hanya sekejap saja dia dapat melihat mereka karena bagaikan bayang-bayang yang cepat gerakannya mereka telah lenyap lagi, naik ke atas gunung.
Kakek bermuka hitam itu berdiri dan menghela napas panjang.
"Heran sekali, Bian Kim Hosiang dari Bu-tong-pai dan Bin Kong Siansu dari Kim-san-pai juga datang, akan tetapi bersama-sama dengan Hek-i Hui-mo! Benar-benar lihai setan berbaju hitam itu, bisa menarik hati dua orang ketua partai ini. Hemm, bahkan Coa-tok Lo-ong juga datang, bakal ramai sekali ini..." Kakek ini berjalan perlahan keluar dari tempat persembunyian tanpa mempedulikan Kwan Cu.
Pemuda ini lalu bangkit berdiri dan mengikutinya. Tiba-tiba kakek itu berpaling padanya dan berkata,
"Kwan Cu, bagaimana kau bisa mengenalku?"
"Sesungguhnya teecu takkan mungkin dapat mengenal Locianpwe kalau saja Locianpwe tidak menolong teecu dengan suara asli itu." Kwan Cu mengaku terus terang.
Hang-hauw-siauw Yok-ong tertawa dan memandang ke atas.
"Memang itulah baiknya orang menyamar. Kita bisa mengenal orang lain tanpa dikenal. Bukankah itu menyenangkan sekali? Eh, Kwan Cu, bagaimana dengan kepandaianmu?"
"Teecu hanya bisa mainkan satu dua jurus pukulan, tiada harganya untuk diketahui oleh Locianpwe. Teecu hanya mohon petunjuk dan pimpinan."
"Ha-ha-ha, semenjak dulu kau memang pandai merendah. Sikap yang amat baik sekali, anakku. Kau tadi menjadi panas melihat mereka lewat, ada apa? Juga apa maksudmu berkeliaran di tempat ini?"
"Locianpwe, terus terang saja teecu hendak ke Tai-hang-san untuk menuntut balas atas kematian suhu. Teecu hendak membalas dendam terhadap mereka yang mengeroyok suhu secara pengecut, yakni Hek-i Hui-mo, Jeng-kin-jiu, dan Toat-beng Hui-houw!"
Yok-ong tersenyum lebar, lalu mengangguk-anggukkan kepalanya. "Memang itu sudah menjadi hak dan kewajibanmu. Akan tetapi, apakah kepandaianmu sudah begitu tinggi sehingga kau seorang diri berani menghadapi mereka bertiga?"
"Teecu datang bukan bermodalkan kepandaian, tapi bermodal semangat, kebenaran dan kebaktian terhadap suhu."
"Agaknya kau telah mempelajari ilmu dari kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng, bukan? Kulihat sinkang (tenaga sakti) di dalam tubuhmu sudah tinggi sehingga dalam sekejap kau tadi dapat menindas hawa kemarahanmu ketika kau melihat Hek-i Hui-mo. Bagus, memang kau patut menerima ilmu yang tinggi, bakatmu amat besar. Akan tetapi harus kau ketahui bahwa tiga orang yang kau sebutkan tadi bukanlah lawan yang boleh dibuat main-main."
"Teecu mengerti, Locianpwe, akan tetapi dalam memenuhi tugas ini, teecu menyediakan selembar nyawa untuk taruhan. Tidak lain teecu hanya mohon petunjuk dari Locianpwe, mengingat akan baiknya hubungan antara Locianpwe dengan mendiang suhu."
Hang-houw-siauw Yok-ong tertawa bergelak. "Kau memang cerdik dan pandai membawa diri. Sudah kuketahui hal ini sejak kau masih kecil. Coba keluarkan sulingmu!"
Kwan Cu kagum. Kakek ini tanpa melihat sudah tahu bahwa suling pemberiannya dahulu masih dia bawa terus. Dengan cepat dia mencabut keluar suling hijau itu. Mata Yok-ong bersinar girang.
"Coba kau serang aku sampai sepuluh jurus. Hendak kulihat apakah kau tidak hanya membuang nyawa sia-sia dengan niatmu membalas dendam ini."
Kwan Cu tak berani membantah, akan tetapi dia ragu-ragu. Ilmu silat apa yang harus dia keluarkan untuk menyerang Yok-ong? Untuk mengeluarkan ilmu silat ciptaannya sendiri, dia tidak berani karena hal ini akan menimbulkan sangkaan bahwa dia menyombongkan diri dan memamerkan ilmu ciptaannya.
Kwan Cu maklum sedalam-dalamnya akan isi dari pada kepandaiannya. Dia lihai bukan karena mempunyai ilmu-ilmu silat yang tinggi-tinggi, akan tetapi lihai karena dia sudah menghirup pengertian tentang pokok dasar segala gerakan silat dari kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng sehingga menghadapi musuh dengan ilmu silat betapa tingginya pun dia takkan merasa kaget dan mampu mengenal ilmu silat itu sampai ke dasarnya, bahkan dengan sekali melihat saja, dia dapat meniru segala macam ilmu silat itu. Jadi kalau dia disuruh menyerang, sebenarnya ilmu silatnya tidak aneh, lebih-lebih bagi seorang ahli silat kelas tinggi seperti Hang-houw-siauw Yok-ong.
"Harap maafkan teecu kalau berlaku kurang ajar!" katanya.
Dia lalu menyerang dengan sulingnya, dan memainkan jurus-jurus pilihan dari Hun-khai Kiam-hoat. Dengan kebutan lengan bajunya, Yok-ong menangkis sampai tiga jurus, lalu berkata,
"Jangan pergunakan Hun-khai Kiam-hoat, kau takkan bisa menang menghadapi mereka. Gunakanlah ilmu silat lain yang sudah kau pelajari!" celanya.
Kwan Cu mendongkol juga. Ilmu silat tinggalan Ang-bin Sin-kai dicela orang, ini sangat menyakitkan hatinya. Akan tetapi dia tak berani menyerang seorang locianpwe yang dia hormati dan sayang, maka dia lalu berkata,
"Teecu baru-baru ini mempelajari ilmu silat ini, harap Locianpwe tidak mencelanya!"
Tiba-tiba gerakan sulingnya diubah. Kini dia memainkan jurus-jurus dari Ilmu Silat Ombak dan Badai yang pernah dilihatnya ketika dia melawan Hok Peng.
"Ayaaa...!" Yok-ong terkejut bukan main dan untuk beberapa lama dia hanya mengelak saja, membiarkan Kwan Cu mainkan terus ilmu silat yang sesungguhnya adalah ilmu silat ciptaannya sendiri itu!
Diam-diam hati Kwan Cu menjadi geli dan dia mengerahkan ingatannya untuk mainkan terus ilmu silat itu sampai tiga puluh jurus! Tiap jurus dia mainkan sebaik-baiknya seperti seorang murid baru yang memperlihatkan latihan-latihannya kepada gurunya.
"Tahan...!" Yok-ong berteriak sambil berdiri dengan muka berkerut dan mata terbelalak. "Kwan Cu, bocah nakal. Jangan kau mempermainkan aku. Hayo katakan, dari mana kau bisa mainkan ilmu silat ini?"
Kwan Cu menjura. "Maafkan teecu, Locianpwe. Sesungguhnya beberapa hari yang lalu teecu kebetulan bertemu dengan Hok Peng Loheng dan mendapatkan ilmu silat ini dari dia."
“Bagaimana? Aku masih belum mengerti. Apakah Hok Peng mengajarkan ilmu silat ini padamu?"
"Tidak sama sekali, Locianpwe. Hok-loheng memaksa teecu untuk main-main dan dia mempergunakan ilmu silat ini mendesak teecu sehingga saking tertarik, teecu diam-diam mempelajari segala macam ilmu silat yang dia keluarkan."
"Hemm, kau tentu sudah mengalahkannya."
"Sesungguhnya di antara teecu dan dia tidak ada yang kalah atau menang, kemenangan teecu adalah berupa pelajaran ilmu silatnya itu Locianpwe." .
Yok-ong menggeleng-geleng kepala seperti orang tidak percaya. "Kau bertempur dengan dia, diserang dengan ilmu silat ini dan dalam pertempuran itu kau telah bisa mempelajari ilmu silatnya?"
"Teecu sekedar meniru-niru saja, Locianpwe. Teecu hanya mempergunakan mata dan ingatan."
"Sampai berapa jurus dia menyerangmu?"
"Sampai seratus jurus, Locianpwe."
"Dan kau hafal semua?"
Yok-ong terbelalak ketika Kwan Cu mengangguk sambil berkata,
"Maaf, Locianpwe. Teecu bukan hafal, hanya meniru-niru dan tentunya gerakan teecu tak karuan. Tadi teecu berani memperlihatkan karena Locianpwe minta supaya teecu jangan memainkan Hun-khai Kiam-hoat. Apa lagi yang harus teecu mainkan? Baiknya teecu lalu teringat akan ilmu silat yang teecu tiru-tiru dari Hok Peng Loheng...… "
"Cukup! Kalau tidak melihat sendiri, aku tak akan percaya! Kau bertempur, melihat dan hafal! Bukan main. Otakmu bukan otak manusia kiranya. Kau menjalankan tugas yang maha berat, meski pun aku percaya bahwa kau mempunyai kecerdikan yang tidak dimiliki manusia biasa namun aku akan berdosa kepada gurumu kalau tidak memberi sedikit petunjuk, sungguh pun mungkin tidak ada artinya bagimu. Nah, kau lihat baik-baik bagai mana aku mainkan sulingku."
Ia bergerak maju dan di lain detik suling di tangan Kwan Cu sudah dirampasnya. Kalau pemuda ini menghendaki tentu saja dia bisa menggagalkan perampasan suling ini, akan tetapi dia tak mau menghina kakek ini dan sengaja berlaku lambat sehingga suling yang dipegangnya dapat dirampas.
Yok-ong lalu memainkan ilmu silat yang terdiri dari tiga puluh enam jurus. Ia mainkan itu perlahan sekali, sulingnya hanya diubah-ubah kedudukannya, mirip seperti orang menari, bahkan suling itu setiap jurus dipindahkan dari tangan kanan ke kiri dan sebaliknya. Akan tetapi, setelah mainkan habis tiga puluh enam jurus, kakek ini melempar suling ke arah Kwan Cu. Pemuda ini menyambuti dan kagetlah dia karena suling itu seakan-akan terisi api bukan main panasnya!
Ia melihat kakek itu berdiri sambil mengatur napasnya, seakan-akan ilmu silat yang tadi dimainkannya amatlah sukar dan menghabiskan tenaganya.
"Itulah ilmu silatku yang selalu kusimpan baik-baik, bahkan Hok Peng sendiri tidak kuat mempelajarinya semua, baru tiga puluh jurus dia pelajari, akan tetapi itu pun takkan dia keluarkan karena aku telah memesan agar ilmu silat itu jangan sembarangan digunakan. Memang kuciptakan ilmu silat ini bukan untuk bertempur, melainkan untuk berlatih dan untuk landasan menciptakan ilmu-ilmu silat lain dan kuberi nama Hu-hiat I-kin-keng. Akan tetapi kalau terpaksa, dapat dipergunakan dan aku yakin dengan ilmu silat ini kau akan dapat memecahkan semua ilmu silat dari lawan-lawanmu yang amat tangguh itu. Sudah bisakah kau mainkan tiga puluh enam jurus tadi?"
"Akan teecu coba-coba, mohon Locianpwe memberi petunjuk."
Kwan Cu telah memiliki pengertian yang mendarah daging tentang pokok dasar gerakan ilmu silat. Tiap kali melihat jurus silat dia menangkap inti sarinya, bukan gerakan-gerakan kembangannya, maka tentu saja lebih mudah karena inti sari dari pada sejurus gerakan silat hanya sederhana saja. Yang berbelit-belit sehingga membingungkan orang adalah kembangannya.....
Ia mulai bersilat dengan sulingnya dan karena dia memang sudah hafal akan inti sari tiga puluh enam jurus Ilmu Silat Hui-hiat I-kin-keng, dia dapat mainkan itu dengan kaku akan tetapi inti sarinya tepat sekali.
Yok-ong berdiri melongo sehingga mulutnya terbuka untuk beberapa lamanya. Sepasang matanya tak pernah berkedip semenjak Kwan Cu bersilat dari jurus pertama sampai jurus terakhir.
"Apakah aku bermimpi?" Akhirnya dia menarik napas, melangkah maju dan memeluk Kwan Cu, "Anak baik, kau bukan manusia kaulah dewa kalau memang di dunia ini ada dewa! Orang biasa saja kiranya akan menghabiskan waktu sedikitnya lima tahun untuk dapat menguasai inti dari Hui-hiat I-kin-keng, akan tetapi kau sekali melihat saja sudah memilikinya! Hebat, hebat...!"
Kwan Cu merasa dadanya sesak dan panas, juga suling yang dipakai bermain tadi amat panas, berkat daya dari Hun-hiat I-kin-keng. Karena di dalam tubuhnya sudah mengalir hawa sinkang yang luar biasa dari latihannya menurut petunjuk isi kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng, sesungguhnya permainan silat yang membuat darahnya panas tadi dapat dia padamkan dengan hawa sinkang dalam tubuhnya. Akan tetapi oleh karena dia tidak mau berpamer di hadapan Yok-ong, dia pun segera meramkan mata dan mengatur napas. Kemudian dia menjatuhkan diri berlutut di depan Yok-ong.
"Terima kasih banyak atas petunjuk dari Locianpwe yang budiman."
"Kau pakailah ini pada mukamu, Kwan Cu. Kita tengah menghadapi urusan besar sekali dan bukan hal yang bisa dibuat main-main. Kau ulas mukamu agar berubah warnanya."
Kwan Cu menerima bungkusan yang ketika dibuka berisi pupur warna merah. Yok-ong mengeluarkan guci arak dan mencampur bubukan itu dengan arak, lalu dia membantu Kwan Cu memupuri muka pemuda itu dengan ‘bedak’ istimewa ini.
Kwan Cu merasa mukanya kaku sekali, akan tetapi sebentar saja pupur itu telah menjadi kering dan ketika Kwan Cu meraba-raba mukanya, muka itu sudah menjadi kaku dan tebal kulitnya, akan tetapi dia tidak merasakan apa pun yang tidak enak.
Kalau saja dia dapat melihat mukanya sendiri, tentu dia akan langsung melonjak saking kagetnya sebab mukanya sekarang telah menjadi lain sekali. Pada sekitar mata dan bibir membengkak, ada pun kulit mukanya berubah merah sekali seperti udang direbus!
"Kelak kalau semua urusan sudah beres, dengan pekciu (arak putih) dan madu digosok-gosokkan pada mukamu, maka kedok itu akan lenyap mencair," kata Yok-ong.
"Locianpwe, mengapakah kita harus menyamar? Apakah keadaannya benar-benar amat berbahaya?"
"Kau tidak tahu, Kwan Cu, Kiam Ki Sianjin sengaja mengumpulkan tokoh-tokoh besar di dunia kang-ouw untuk mengadakan musyawarah tentang perselisihan faham antara para tokoh kang-ouw. Sebagian besar dapat dia beli dan bujuk sehingga membantu fihaknya karena kena dia tipu. Akan tetapi ada sebagian yang tetap anti penjajah dan membantu perjuangan rakyat. Pada lahirnya saja Kiam Ki Sianjin mengajak bermusyawarah, akan tetapi pada hakekatnya dia mengandung maksud yang buruk dan keji sekali. Dia hendak menumpas semua tokoh yang membantu perjuangan rakyat, dan dengan diam-diam dia sudah mengurung gunung ini kalau semua tokoh sudah berkumpul di puncak. Sedikitnya sepuluh laksa tentara akan mengurung bukit ini dan menumpas semua orang yang tjdak mau tunduk."
"Keparat curang!" kata Kwan Cu marah.
"Akan tetapi baiknya aku telah mengetahui akan hal ini dan aku juga sudah mencari jalan keluar yang sangat baik seandainya Kiam Ki Sianjin benar-benar hendak melaksanakan keinginannya yang keji. Sekarang mari kita naik ke puncak!"
Maka berangkatlah dua orang ini ke puncak. Di tengah jalan Yok-ong berkata,
"Aku sengaja melarang Hok Peng ikut, karena tidak ada gunanya kalau dia mencampuri urusan besar ini. Andai kata aku gagal dan gugur, masih ada dia yang akan melanjutkan usahaku. Kalau dia ikut dan kami berdua tewas, bukankah akan sia-sia semua usahaku mengajarnya selama ini? Kwan Cu, apa bila ada orang menanyakan namamu, pakailah nama Siauw Bu Beng (Si Kecil Tanpa Nama) dan aku bernama Lo Bu Beng (Si Tua Tanpa Nama)."
Kwan Cu mengangguk dan diam-diam merasa besar hati mendapat kawan seperti kakek sakti ini, sungguh pun untuk maju seorang diri pun dia tak merasa gentar. Hanya dengan adanya kakek ini, dia mempunyai kawan yang jauh lebih luas pengalamannya dan lebih matang pertimbangannya…..
********************
Selanjutnya baca
PENDEKAR SAKTI : JILID-14