Pedang Awan Merah Jilid 09
“Langit dan bumi itu abadi
sebabnya Langit dan Bumi abadi
adalah karena mereka tidak hidup untuk diri sendiri
karena itu abadi!
Inilah sebabnya orang bijaksana
Membelakangi dirinya
Karena itu dirinya tampil terdepan
Dia tidak menghiraukan dirinya.
Karenanya dirinya menjadi seutuhnya
Orang bijaksana tidak mempunyai keinginan pribadi
Maka dia dapat menyempurnakan dirinya.”
Han Lin dan Cin Mei berhenti melangkah. Mereka sedang melakukan perjalanan ke kota raja dan ketika tiba di bukit itu, mereka mendengar suara orang membaca ayat dari kitab To-tek-keng.
Han Lin tertarik sekali. Memang ayat yang dibacakan orang itu adalah ayat yang sangat dikenalnya, dari kitab To-tek-keng agama To. Ujar-ujar itu sendiri tidak aneh, akan tetapi caranya membacakan yang mengagumkan hatinya. Bukan saja dibacakan dengan suara mantap dan meyakinkan, tapi juga memang tepat sekali dengan keadaan di dalam negeri pada waktu itu.
Saat ini semua orang hendak menonjolkan diri, memperebutkan kekuasaan dan terjadilah persaingan. Para gubernur juga hendak memperebutkan kekuasaan dan mereka itu pun jatuh bangun.
Memang manusia akan mengalami pasang surut, jatuh bangun, akhirnya lenyap. Langit dan Bumi dikatakan abadi karena Langit dan Bumi tidak memiliki kehendak, tapi selaras dengan To, selaras dengan kehendak Tuhan, karena itu abadi. Jadi merusak itu adalah ‘keinginan pribadi’ karena keinginan pribadi ini adalah keinginan jasmani berupa nafsu-nafsu indera. Ingin senang sendiri, ingin berkuasa sendiri, ingin baik sendiri, ingin ini ingin itu semua untuk memuaskan nafsu daya rendah. Hanya manusia bijaksana yang dapat menyesuaikan diri dengan alam, tidak mementingkan diri, tidak menonjolkan diri. Justru inilah yang membuatnya menjadi seorang bijaksana, seorang manusia seutuhnya!
“Mei-moi, mari kita lihat siapa yang sepagi ini membaca sajak seperti itu!” kata Han Lin.
Cin Mei tersenyum, mengangguk dan mereka pun menyimpang ke kiri, ke arah suara itu. Setelah melalui dua tikungan, tibalah mereka di bawah rumpun bambu yang teduh dan di situ, di bawah rumpun bambu itulah nampak seorang setengah tua duduk seorang diri dan dialah yang membaca sajak dari ujar-ujar dalam To-tek-keng itu.
Pria itu berusia enam puluh tahun, bertubuh tinggi kurus dan dari pakaiannya, jelas bahwa dia seorang sasterawan. Dia duduk di atas tanah berlandaskan daun-daun bambu kering dan di hadapannya terdapat sebuah tempat arak. Agaknya dia bersajak sambil meminum araknya.
“Selamat pagi, paman,” kata Han Lin dan Cin Mei sambil menghampiri orang itu.
Sasterawan itu menoleh lantas tersenyum. “Aihh…, dua orang muda yang gagah perkasa, selamat pagi dan apakah yang dapat aku lakukan untuk kalian maka kalian menghampiri aku?” Sungguh teratur dan sopan ucapan itu.
“Kami sedang lewat dan kebetulan mendengar paman membaca sajak tadi. Kami tertarik sekali paman, bukan karena sajaknya dari ujar-ujar dalam To-tek-keng itu, melainkan apa yang menjadi maknanya. Dapatkah paman memberikan penjelasan kepada kami kenapa sepagi ini paman membaca ujar-ujar itu?”
“Ha-ha-ha, luar biasa sekali. Engkau dapat menemukan bahwa di dalam ujar-ujar itu ada sesuatu yang bermakna? Orang muda, siapakah engkau dan siapa pula nona ini?”
“Paman, aku bernama Sia Han Li dan nona ini adalah Kwan Im Sianli Lie Cin Mei.”
“Wah-wah-wah, aku sudah mendengar nama besar Kwan Im Sianli. Bukankah nona yang pandai mengobati orang sakit?”
“Ahh, paman terlalu memuji, kepandaianku mengobati masih rendah sekali, paman.”
“Ha-ha-ha, sungguh bagus. Masih muda sudah pandai merendahkan hatinya. Duduklah, kalian dan mari kita bercakap-cakap. Pagi ini udaranya cerah sekali dan kalau mau kalian dapat menemani aku minum arak.”
“Maaf, paman. Kami berdua tidak biasa minum arak,” kata Han Lin yang segera duduk di atas tanah bertilamkan daun bambu kering, diturut pula oleh Cin Mei.
“Bagus! Arak adalah obat penyegar badan yang baik, juga kawan yang sangat baik untuk melupakan sesuatu yang mendatangkan duka. Akan tetapi kalau terlalu banyak diminum, maka akan menjadi musuh yang membahayakan kesehatan. Nah, sekarang apakah yang hendak kau tanyakan mengenai sajak itu?”
“Maaf, paman. Bukankah sajak itu ada hubungannya dengan keadaan negara di saat ini? Bahwa para pejabat berebut untuk menonjolkan diri, memperebutkan kekuasaan sehingga mereka semua akan mengalami kehancuran sendiri-sendiri?”
“Orang muda, engkau mempunyai pandangan yang luas. Sebenarnya keadaan seperti ini patut disesalkan, karena semua sumbernya terletak pada orang yang memegang tampuk kerajaan. Di waktu Kaisar Beng Ong masih memegang kekuasaan, aku dapat menikmati keadaan yang jauh lebih baik dari pada sekarang. Akan tetapi hanya karena semua orang menuruti kehendak pribadi, maka semua kebesaran itu akhirnya hancur lebur. Aku hanya merindukan keadaan yang aman sejahtera bagi rakyat jelata, murah sandang pangan dan papan, hidup damai aman tanpa kekerasan dan permusuhan. Betapa akan indahnya hidup ini kalau keadaannya seperti itu.”
“Akan tetapi maaf, paman,” kata Lie Cin Mei, “keadaan seperti itu tidak akan jatuh begitu saja dari langit, tanpa adanya usaha dari manusia sendiri.”
“Engkau memang benar, nona. Akan tetapi sayang, setiap usaha manusia selalu didasari kepentingan pribadi sehingga hasilnya pun kesenangan pribadi. Maka terjadilah bentrokan keinginan, bentrokan kepentingan, lantas usaha untuk mencapai keadaan damai sejahtera menjadi sia-sia, malah keadaan menjadi semakin kacau dengan adanya persaingan untuk mencari kesejahteraan itu. Terpecah belah antara golongan yang saling gontok-gontokan sendiri.”
“Maaf, paman. Paman dan para sasterawan yang mengetahui keadaan ini, apakah hanya cukup dengan melupakan semua itu tenggelam ke dalam uap arak sambil membaca sajak atau menuliskan syair? Masalah ini perlu dihadapi dengan penanganan langsung. Segala kejahatan harus ditentang dan kita mesti turun tangan, bukan hanya merengek yang tidak akan ada gunanya.”
“Ha-ha-ha-ha, itulah perbedaan antara golongan bu (silat) dengan golongan bun (sastera). Golongan bu hanya mengerti kekerasan saja, seolah-olah dengan kekerasan akan dapat meniadakan kejahatan dan penyelewengan. Ketahuilah, orang muda, biar pun andai kata engkau membunuhi semua penjahat yang ada, kejahatan tetap tidak akan lenyap selama manusia masih belum menyadari kemanusiaannya. Untuk menyadarkan manusia tentang kemanusiaannya adalah tugas kami golongan bun, dengan cara menulis syair, membaca sajak dan sebagainya.”
“Paman, orang jahat perlu dihajar barulah menjadi jera. Kalau hanya dinasehati saja maka tidak akan dapat memasuki telinga mereka,” bantah Han Lin.
“Lin-koko, kata-kata paman ini memang benar. Bukan hanya kekerasan saja yang mampu menghilangkan kejahatan. Keduanya harus jalan bersama. Di satu pihak kita menentang kejahatan dengan bu dan di lain pihak kita menyadarkan mereka dengan bun. Bukankah begitu, paman?”
“Ha-ha-ha, nona ini sungguh bijaksana. Memang selama ini terjadi pertentangan pendapat di antara kami sendiri. Ada yang mengandalkan usaha manusia seperti yang dikehendaki oleh Nabi Khong Cu, tetapi ada pula yang menyerahkan kepada Tuhan untuk memperoleh perubahan dan perbaikan. Dan nona mengajukan kerja sama antara keduanya. Sungguh bagus sekali!”
“Pada hakekatnya manusia hidup di dunia haruslah melaksanakan dua kodrat ini, paman,” berkata pula Han Lin. “Pertama, melaksanakan tugas kewajiban kita dengan semestinya. Kaisar tahu kewajibannya sebagai Kaisar, bawahan tahu kewajibannya sebagai bawahan, orang tua tahu kewajibannya sebagai orang tua, anak tahu kewajibannya sebagai anak, lalu semua orang melaksanakan kewajibannya dan tahu bahwa tugas kewajiban haruslah dilaksanakan dengan sebaiknya. Kemudian yang kedua, menyerahkan segalanya kepada kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa. Kepercayaan dan kepasrahan kepada Tuhan haruslah dibarengi dengan usaha dan ikhtiar. Ikhtiar belaka tanpa ingat kepada Tuhan akan dapat menimbulkan perbuatan yang menyimpang dari kebenaran, sebaliknya ingat saja kepada Tuhan tanpa melakukan apa-apa juga tidak akan menolong dirinya.”
“Benar, paman. Kita berusaha sebaik mungkin dilandasi kepasrahan yang selaras dengan kehendak dan kekuasaan Tuhan, maka hidup semacam itu sudah memenuhi syarat untuk menjadi manusia seutuhnya,” sambung Cin Mei.
“Ha-ha-ha, sungguh beruntung sekali aku Wang Wei hari ini bertemu dengan dua orang muda yang bijaksana.”
Bukan main kagetnya hati Han Lin dan Cin Mei ketika mendengar orang itu menyebutkan namanya. Wang Wei adalah nama dari seorang pujangga, penyair dan pelukis yang amat terkenal di masa itu, sejajar dengan nama pujangga Li Tai Po, Tu Fu dan yang lain-lain.
Cepat Han Lin dan Cin Mei bangkit kemudian memberi hormat kepada sasterawan itu.
“Kiranya paman adalah Pujangga Wang Wei yang mulia. Maafkan apa bila kami bersikap kurang hormat!” dua orang muda itu merasa malu sekali tadi telah ‘bicara besar’ terhadap seorang pujangga yang sangat terkenal!
Akan tetapi tiba-tiba saja wajah pujangga itu berkerut. “Nah-nah, akhirnya kalian juga tidak lepas dari pada penyakit yang sudah mendarah daging pada manusia. Begitu mendengar bahwa aku bernama Wang Wei, kalian lantas memberi hormat secara berlebihan. Andai kata aku ini seorang pengemis, agaknya tidak akan kalian pandang sebelah mata.”
“Ahh, tidak..., tidak..., paman,” kata Han Lin terkejut.
Akan tetapi pujangga itu telah bangkit membawa tempat araknya lantas melangkah pergi sambil bernyanyi-nyanyi!
Mereka berdua hanya dapat menatap kepergian kakek itu dan keduanya terkesan sekali. Tetapi karena maklum bahwa para pujangga besar itu, seperti juga para datuk persilatan, memiliki watak yang amat aneh, maka mereka pun tidak berani mengejar.
Han Lin menghela napas panjang, “Dia berkata benar, Mei-moi. Sebagian besar dari kita sudah ketularan kebiasaan umum. Kita menghormati nama, kedudukan, kepandaian, atau harta benda. Penghormatan seperti itu palsu adanya. Kita harus menghormati seseorang berdasarkan pribadinya, bukan nama, kedudukan, kepandaian dan harta yang bukan lain hanyalah pakaian belaka. Semua pakaian itu akan lenyap bersama kematian, akan tetapi budi kebaikan tidak akan pernah mati.”
“Engkau benar, Lin-ko. Mari kita lanjutkan perjalanan kita.”
Kemudian keduanya meninggalkan tempat itu dan melanjutkan perjalanan menuju ke kota raja…..
********************
Pemuda dan dara itu memasuki pintu gerbang kota raja sebelah barat. Kehadiran mereka di kota raja menarik perhatian orang, terutama gadis itu.
Dia sangat cantik, usianya kurang dari dua puluh lima tahun, seorang gadis yang sudah matang. Wajahnya berbentuk bulat telur dengan kulit muka putih kemerahan. Sepasang matanya indah seperti mata burung Hong. Rambutnya panjang hitam dibiarkan terurai dan diikat oleh sebuah pita kuning. Hidungnya mancung dan mulutnya sangat menggaraihkan. Dagunya runcing terhias tahi lalat di samping kiri, alis matanya kecil panjang melengkung. Di punggungnya nampak siang-kiam (pedang pasangan) sehingga membuat tubuh yang ramping berpinggul dan berdada besar itu kelihatan gagah. Pemudanya tinggi tegap dan tampan gagah.
Mereka itu bukan lain adalah Jeng-i Sianli Cu Leng Si yang seperti biasa berpakaian serba hijau, dan Gu San Ki yang juga membawa sebatang pedang pada punggungnya. Mereka sedang melaksanakan tugas yang mereka terima dari Gubernur Coan untuk menghubungi Liu Taijin, yaitu pejabat tinggi yang menjabat Menteri Keuangan di Kerajaan Tang. Antara Gubernur Coan dan Menteri Liu memang masih terdapat tali persaudaraan, maka mereka berhubungan secara akrab sekali.
Tidak sukar bagi Gu San Ki dan Cu Leng Si untuk mendapat keterangan di mana rumah Menteri Liu itu. Karena hari masih siang pada saat mereka tiba di sana, mereka langsung saja datang berkunjung.
Sebetulnya tidaklah begitu mudah untuk berkunjung kepada seorang menteri, apa lagi jika dilakukan oleh orang biasa. Akan tetapi ketika San Ki mengatakan bahwa mereka berdua adalah utusan dari Gubernur Coan di Nan-yang, Liu-Taijin langsung menerima mereka di ruangan tamu yang tertutup.
“Kalian diutus oleh Gubernur Coan dari Nan-yang?” tanyanya sambil memandang tajam. San Ki dan Leng Si melihat bahwa ruangan itu tertutup dan tiada seorang pun pengawal yang mendampingi menteri itu.
“Benar, taijin. Kami datang membawa surat dari beliau,” kata Leng Si, kemudian gadis ini mengeluarkan sepucuk surat, menyerahkannya kepada pembesar itu.
Pembesar bertubuh gendut pendek itu menerima surat kemudian langsung membuka dan membacanya. Dia membaca dengan bibir bergerak-gerak, lalu wajahnya berubah berseri dan kepalanya mengangguk-angguk. Sehabis membaca, dia lalu merobek-robek surat itu menjadi potongan kecil-kecil.
“Surat ini hanya memperkenalkan kalian sebagai dua orang kepercayaan Gubernur Coan, juga dia mengatakan bahwa pesannya dibawa oleh kalian berdua yang akan disampaikan dengan mulut. Jika pesan itu disampaikan tertulis, maka akan berbahayalah kalau sampai surat itu hilang dan terjatuh ke tangan orang lain. Benarkah demikian?”
“Benar sekali, taijin,” kata Leng Si yang selalu menjadi juru bicara karena dia lebih pandai bicara dibandingkan Gu San Ki yang pendiam.
“Nah, cepat sampaikan pesan itu.”
“Apakah di sini aman untuk membicarakan urusan penting ini, taijin?” tanya pula Leng Si untuk memancing kesan baik.
“Tentu saja aman. Tanpa seijinku tak akan ada seorang pun berani mendekati tempat ini. Katakan saja dan jangan kalian khawatir.”
“Coan-taijin hendak menyampaikan berita bahwa kerja sama yang direncanakan itu sudah berjalan baik dan lancar, taijin. Beliau mengharapkan dukungan taijin supaya rencananya dapat terus berjalan dengan baik.”
“Ahh, bagus sekali! Ceritakan kapan itu diadakan dan siapa saja yang hadir, lalu apa saja yang dibicarakan?”
Dengan lancar Leng Si segera menceritakan mengenai pertemuan rahasia yang diadakan Gubernur Coan dan para sekutunya itu.
“Kui-thaikam yang memimpin gerakan itu dan pembagian tugas telah dilakukan,” demikian katanya sebagai penutup. “Kwan-ciangkun bertugas mempersiapkan pasukannya di Lok-yang, Sam Mo-ong diutus melapor kepada Ku Ma Khan sekalian menyiapkan pasukan di perbatasan, dan Coan-taijin bertugas menghubungi rekan-rekan pejabat untuk mendapat dukungan, sedangkan urusan di dalam istana sepenuhnya ditangani Kui-thaikam sendiri. Karena itu maka kami diutus ke kota raja untuk menghubungi taijin, sebab menurut Coan-taijin, hanya taijinlah yang bisa menghubungi rekan-rekan pejabat di kota raja agar semua siap untuk bergerak apa bila saatnya tiba.”
Pembesar gendut pendek itu mengangguk-angguk sambil mengelus-elus jenggotnya yang hanya beberapa helai itu.
“Katakan kepada Gubernur Coan, jangan khawatirkan mengenai hal itu karena aku sudah menghubungi banyak orang dan semuanya sudah setuju. Pendeknya, di kota raja sudah ada lima orang pejabat tinggi yang dapat kita tarik dalam kerja sama kita ini. Katakan saja bahwa semua sudah beres dan siap.”
“Akan tetapi, taijin. Sebagai bukti bahwa kami benar-benar sudah memperoleh keterangan yang lengkap dari taijin, harap taijin suka menyebutkan nama-nama para pembesar yang siap membantu agar kami dapat membuat laporan selengkapnya kepada Coan-taijin.”
“Boleh, boleh. Nah, dengarkan baik-baik dan jangan sampai lupa. Mereka adalah Menteri Lai yang menjabat sebagai menteri bagian pertanian, lantas Ciu-taijin kepala para jaksa, Bhe-ciangkun komandan pasukan penjagaan di pintu gerbang kota raja, Phoa-ciangkun dan The-ciangkun yang menjadi perwira-perwira pasukan keamanan.”
“Baik, taijin, semuanya telah kami catat dan akan kami laporkan kepada Coan-taijin,” kata Leng Si. Selesai bicara dengan pembesar itu, keduanya segera berpamit dan menerima hadiah sekantung emas dari pembesar gendut itu…..
********************
Sementara itu Han Lin dan Cin Mei juga sudah tiba di kota raja dan mereka pun langsung mohon menghadap Kaisar. Tentu saja sulit sekali untuk dapat menghadap Kaisar, melalui peraturan yang berbelit-belit. Akan tetapi, ketika para pengawal itu mendengar bahwa Han Lin dan Cin Mei hendak menghadap Kaisar untuk menyerahkan Ang-in Po-kiam, mereka terkejut bukan main.
Pedang yang sudah lama dicari-cari dan dinanti-nantikan itu akhirnya dibawa pemuda dan gadis ini menghadap Kaisar. Sebab itu dengan pengawalan ketat akhirnya mereka diantar masuk sesudah Kaisar mendengar laporan dari kepala pengawal dan mengijinkan mereka untuk menghadap.
Selama hidupnya baru sekali ini Han Lin dan Cin Mei memasuki sebuah istana, karena itu keduanya merasa kagum bukan main. Di samping rasa kagum, di dalam hatinya Han Lin merasa terharu sekali. Biar pun ketika lari mengungsi usianya baru lima tahun, akan tetapi sesudah kini memasuki istana itu, dia teringat akan semuanya. Teringat akan ayah ibunya yang tewas mempertahankan istana ini, dan teringat pula dia betapa ketika masih kecil dia tinggal di istana ini!
Namun sedikit pun tidak ada keinginannya untuk merebut kekuasaan agar dapat menjadi kaisar seperti ayahnya. Dari paman dan bibinya dia sudah mendengar mengenai riwayat ayahnya, mendengar bahwa ayahnya juga merebut kekuasaan sebagai Kaisar dari tangan orang lain, dari keturunan An Lu Shan, maka sudah wajar apa bila Kaisar yang berwenang kemudian merampasnya kembali dari tangan ayahnya. Dan dia tak mau menjadi seorang pemberontak seperti ayahnya. Bahkan kini dia sudah berjanji kepada San Ki dan Leng Si untuk melindungi Kaisar dari dalam, sementara San Ki dan Leng Si bergerak dari luar.
Kedua orang muda itu menjatuhkan diri berlutut menghadap Kaisar. Kaisar memandang kepada mereka dengan kaget dan hampir tidak percaya bahwa pemuda tampan dan gadis cantik itu yang datang mengembalikan pusaka istana yang lenyap dicuri orang itu.
“Hei, orang muda, benarkah kalian datang untuk mengembalikan Ang-in Po-kiam kepada kami?” tanya Kaisar dengan suara lantang. Di kanan kiri dan belakangnya ada sedikitnya dua losin pengawal menjaga keselamatannya, dan Kui-thaikam bersama beberapa orang thaikam lain juga hadir di situ.
“Benar sekali, Paduka. Hamba berdua menghadap Paduka untuk menghaturkan pedang pusaka itu,” kata Han Lin.
“Siapakah nama kalian?”
“Hamba bernama Sia Han Lin dan nona ini bernama Lie Cin Mei, Yang Mulia.”
“Han Lin dan Cin Mei, coba keluarkan pedang itu dan berikan kepada pengawal kami.”
Han Lin menurunkan pedang dari punggungnya dan dengan sikap hormat, dengan kedua tangannya, dia menyerahkan pedang itu kepada seorang pengawal pribadi Kaisar yang mewakili Kaisar turun menerima pedang itu dari tangan Han Lin. Setelah Kaisar menerima pedang itu, dia lalu menghunusnya dari sarungnya dan nampak sinar kemerahan.
“Ang-in Po-kiam...!” kata Kaisar gembira. “Akhirnya engkau kembali juga kepada kami!” dia menyarungkannya kembali, lalu menyerahkan kepada pengawalnya.
“Sia Han Lin, dari mana engkau mendapatkan pedang pusaka itu? Jangan katakan bahwa engkau yang mengambilnya dari gudang pusaka!”
“Yang Mulia, pencuri pedang itu adalah mendiang Hoat Lan Siansu ketua Hoat-kauw yang hendak memberontak namun sudah ditumpas oleh pasukan kerajaan. Hamba membantu pasukan dan hamba yang menemukan pusaka itu setelah Hoat Lan Siansu tewas.”
“Bagus kalau begitu. Nah, memenuhi janji kami kepada siapa yang dapat mengembalikan pedang pusaka itu, kami akan menghadiahkan harta dan kedudukan kepadamu. Katakan, apakah kepandaianmu yang kiranya sesuai dengan kedudukan yang akan kami berikan?”
“Yang Mulia, hamba datang berdua dengan adik Lie Cin Mei, karena itu apa bila paduka memperkenankan, maka kami berdua mohon agar kami dapat diangkat sebagai pengawal pribadi paduka.”
“Hemm, menjadi pengawal pribadi kami tidaklah mudah, orang muda. Dia harus memiliki ilmu silat yang tinggi. Apakah engkau memiliki ilmu itu dan bagaimana pula dengan nona ini? Apakah dia juga seorang ahli silat yang tangguh?”
“Hamba pernah mempelajari ilmu silat selama bertahun-tahun, Yang Mulia. Ada pun adik Cin Mei ini telah mempelajari ilmu silat dan terutama ilmu pengobatan.”
“Hemmm, begitukah? Pantas engkau minta dijadikan pengawal pribadi kami. Akan tetapi karena kami belum menyaksikan kemampuanmu, kami ingin menguji dulu kepandaianmu. Sanggupkah engkau kalau diuji?”
“Hamba siap melaksanakan segala perintah paduka.”
Tiba-tiba Kui-thaikam membari hormat kepada Kaisar. “Yang Mulia, maafkan kalau hamba mengemukakan pendapat hamba.”
“Bicaralah,” kata Kaisar yang memang sangat sayang dan percaya kepada thaikam yang satu ini.
“Untuk dapat menjadi pengawal pribadi paduka, bukan saja harus memiliki ilmu silat yang tangguh, akan tetapi juga harus diketahui benar siapa orang ini, karena sekali salah pilih akan membahayakan paduka. Karena itu, sebelum dia diterima menjadi pengawal pribadi paduka, perkenankan hamba yang membawa dia ke rumah hamba sehingga hamba bisa menguji kepandaian dan juga kesetiaannya.”
“Ahh, itu bagus sekali, Kui-thaikam. Han Lin, engkau pergilah bersama Kui-thaikam yang akan menguji kepandaianmu, sedangkan Cin Mei biar kuperbantukan kepada tabib istana kalau memang dia pandai dalam hal pengobatan.”
“Hamba siap melaksanakan perintah paduka, Yang Mulia. Hanya ada satu lagi permintaan hamba, mudah-mudahan paduka akan meluluskannya.”
“Katakanlah, orang muda. Jika permintaan itu pantas, tentu akan kupenuhi karena engkau telah berjasa besar terhadap kami.”
“Hamba memiliki seorang kakak angkat bernama Cu Leng Si. Cu Leng Si itu adalah puteri dari Cu Kiat Hin yang pernah menjabat sebagai petugas perpustakaan di istana paduka. Akan tetapi, menurut berita, Cu Kiat Hin sudah ditangkap dan dipenjarakan. Oleh karena itu, hamba mohon agar Cu Kiat Hin dapat dibebaskan dan jika ada kesalahan agar dapat diampuni. Hanya itu permintaan hamba, Yang Mulia. Hamba berani memintakan, karena kakak hamba Cu Leng Si itu pun berjasa dalam mendapatkan Pedang Awan Merah itu.”
“Cu Kiat Hin? Petugas perpustakaan? Yang manakah dia? Kui-thaikam, siapakah Cu Kiat Hin itu?”
“Ah, Yang Mulia. Cu Kiat Hin adalah pegawai rendahan di perpustakaan yang telah berani menghina hamba, karena itu hamba memberi pelajaran kepadanya, hamba masukkan dia ke dalam tahanan agar tidak berani menghina hamba lagi. Hamba adalah pembantu dan kepercayaan paduka, bila hamba dihina maka kewibawaan paduka juga ikut tersinggung, paduka.”
“Ahh, begitukah? Dia sudah kau hukum, tentu sudah jera. Atas permintaan yang layak ini, kami harus memenuhinya. Kau bebaskan Cu Kiat Hin itu, Kui-thaikam.”
“Baik, Yang Mulia.”
“Terima kasih, Yang Mulia,” kata Han Lin dengan girang sambil memberi hormat.
“Bolehkah sekarang hamba membawa Sia Han Lin untuk diuji, Yang Mulia?”
“Bawalah, dan besok laporkan hasilnya kepadaku.”
“Baik, hamba melaksanakan perintah paduka.”
Han Lin mengangguk kepada Cin Mei sebagai isyarat perpisahan untuk sementara waktu, sedangkan Kaisar lalu menyuruh pengawal memanggil Tabib Istana Liang. Han Lin pergi bersama Kui-thaikam setelah memberi hormat kepada Kaisar.
Sesudah Tabib Istana Liang datang menghadap, Kaisar Thai Tsung berkata kepadanya, “Tabib Liang, ini ada seorang nona yang bernama Lie Cin Mei. Kami telah menerimanya sebagai pengawal pribadi, juga ahli pengobatan. Harap engkau menguji kemampuannya dalam hal pengobatan, kemudian memberi laporan kepada kami.”
“Baik, Yang Mulia.”
Cin Mei lalu mengikuti tabib yang tinggi kurus itu keluar dari tempat persidangan. Setelah kedua orang itu pergi, Kaisar meminta lagi Pedang Awan Merah dari pengawalnya lantas bermain pedang beberapa jurus dengan hati gembira. Pedang itu bukan saja merupakan pusaka kerajaan, akan tetapi juga menjadi lambang kejayaan kerajaan Tang, maka tentu saja dia merasa gembira sekali.
Betapa banyak manusia yang memuja-muja pusaka yang dikatakannya ampuh, bertuah, dapat mendatangkan rejeki, mendatangkan kebahagiaan, keselamatan dan sebagainya. Mereka itu lupa bahwa yang mereka namakan pusaka itu hanyalah sebuah benda mati buatan manusia juga.
Sebatang pedang dapat disebut ampuh dan baik apa bila pembuatannya memang baik, terbuat dari pada logam pilihan yang baik pula. Akan tetapi kalau dianggap mengandung khasiat yang lebih dari pada semestinya, ini merupakan takhyul belaka. Mereka itu lupa bahwa yang dapat berusaha mendatangkan rejeki keselamatan atau kebahagiaan adalah manusia sendiri, dan yang menentukan adalah Tuhan Yang Maha Kuasa. Kalau manusia sudah menyandarkan kepercayaannya kepada benda-benda mati, maka berarti dia telah dipengaruhi dan dikuasai oleh daya rendah benda itu, sama saja halnya kalau manusia dipermainkan harta dan uang.
Senjata yang baik dan ampuh memang harus dipelihara baik-baik, dirawat baik-baik agar kekuatan serta keampuhannya dapat bertahan, namun sama sekali bukan untuk dipuja-puja. Yang patut dan wajib dipuja hanyalah Sang Maha Pencipta, hanya Tuhan Yang Maha Kuasa.
Kekuasaan Tuhan meliputi segala sesuatu yang berada di alam maya pada ini, namun kekuasaan Tuhan bersifat kodrati, wajar. Segala yang tak wajar itu meragukan, mungkin datangnya bukan dari kekuasaaan Tuhan, melainkan dari kekuasaan gelap. Kekuasaan daya rendah memang selalu membujuk manusia dengan hasil-hasil yang menguntungkan, yang menyenangkan, pada hal akhirnya akan menyeret manusia ke jalan kesesatan yang mendatangkan derita kesengsaraan lahir batin, dunia akhirat.
Sesudah sampai di rumah Kui-thaikam, Han Lin dipersilakan duduk di ruangan dalam oleh thaikam itu. Tidak ada orang lain di situ kecuali mereka berdua.
“Selamat datang, Sia Han Lin. Sudah lama kunantikan kedatanganmu.”
“Ehh, maksud taijin...?”
“Ha-ha-ha-ha, tidak usah terkejut, Han Lin. Apakah Ku Ma Khan atau Sam Mo-ong belum memberi tahu padamu? Aku tahu bahwa engkau adalah mantu Ku Ma Khan yang diutus Ku Ma Khan untuk menyerahkan pedang kepada Kaisar dan kemudian minta kedudukan pengawal pribadi untuk memata-matai keadaan di istana, bukan?”
Kini Han Lin tidak terkejut lagi. Dia maklum bahwa agaknya thaikam ini sudah mendapat keterangan dari Sam Mo-ong yang menjadi sekutunya seperti yang didengarnya dari Leng Si dan San Ki. Akan tetapi dia berpura-pura kaget sambil memandang kepada thaikam itu dengan mata terbelalak.
“Jangan takut, Han Lin. Kita adalah orang-orang sendiri. Ku Ma Khan, ayah mertuamu itu adalah sekutu kami.”
“Akan tetapi... tidak ada yang memberi tahu saya tentang hal ini...”
“Ha-ha-ha, tentu saja hal ini sangat dirahasiakan. Akan tetapi setelah engkau kini diterima Kaisar, perlu engkau ketahui bahwa ayah mertuamu sudah bersekutu dengan kami untuk menggulingkan Kaisar yang selalu menentang ayah mertuamu. Kebetulan sekali engkau dapat berada di sini sebagai pengawal pribadi sehingga semua rencana kita menjadi lebih matang. Dari Sam Mo-ong kami sudah mengetahui mengenai kepandaianmu, maka tidak perlu diuji lagi.”
“Taijin, tugas saya hanya untuk mendekati Kaisar, membujuknya agar dapat berhubungan baik dengan orang Mongol atau setidaknya supaya aku bisa mengetahui gerakan-gerakan yang akan dilancarkan apa bila Kaisar hendak menyerang bangsa Mongol.”
“Aku mengerti. Tadinya memang begitu, tapi sekarang setelah ayah mertuamu bersekutu dengan kami, rencana kami lain lagi. Kami akan menyingkirkan Kaisar dan menggantikan dengan Kaisar baru.”
“Ahh, begitukah, taijin? Ini berita yang penting sekali untuk saya. Siapa kiranya yang akan diangkat menjadi pengganti Kaisar? Saya perlu mengetahui karena kalau yang diangkat adalah Kaisar yang juga memusuhi Mongol, lalu apa gunanya?”
“Ha-ha-ha, tentu saja tidak, Han Lin. Kalau Kaisar telah disingkirkan, kami merencanakan akan mengangkat Pangeran Kim Seng, adik Kaisar.”
“Akan tetapi, taijin, bukankah yang menjadi putera mahkota sekarang ini adalah Pangeran Tek Tsung?”
“Benar, karena itu Pangeran Tek Tsung juga harus disingkirkan agar kelak jangan menjadi penghalang.”
“Kenapa tidak membiarkan Pangeran Tek Tsung saja yang menjadi penggantinya, supaya lebih mudah?”
“Ho-ho-ho, kami tidak bodoh. Selain Pangeran Tek Tsung tidak mudah dipengaruhi, juga kami memilih Pangeran Kim Seng karena dia yang akan menjadi wali kalau Pangeran Tek Tsung meninggal. Lagi pula kami sudah ada hubungan dengan Pangeran Kim Seng. Dia pasti akan menurut segala petunjukku kalau kami dapat mengangkatnya menjadi Kaisar.”
“Tetapi itu berbahaya sekali, taijin. Bagaimana kalau pasukan keamanan mengetahuinya lalu mereka menangkapi kita?”
“Jangan khawatir. Para panglima pasukan keamanan di kota raja sudah menjadi sekutu kami. Pendeknya segala hal telah diatur agar semua rencana berjalan mulus. Di timur ada pasukan sekutu kita yang bergerak di Lok-yang, dan di utara dan barat ada pasukan ayah mertuamu yang juga sudah siap untuk bergerak sewaktu-waktu dibutuhkan. Ha-ha, belum apa-apa, dengan persiapan seperti itu, kita sudah menang!”
“Tetapi, taijin, bagaimana caranya... menyingkirkan Kaisar dan putera mahkota?”
“Nah, inilah yang belum kita tentukan dan sedang dicari cara terbaik. Ada beberapa jalan memang, tetapi kita harus mencari cara yang terbaik dan paling aman. Sesudah engkau menjadi pengawal pribadi Kaisar, tentu engkau akan selalu dekat dengan Kaisar sehingga amat memudahkan untuk...”
“Ahh, tidak, taijin... jangan mengutus hamba melakukan itu, hamba tidak berani!” kata Han Lin terkejut.
“Ha-ha, kami juga tidak begitu gegabah untuk mengutus engkau melakukan pembunuhan. Bagaimana pun juga engkau adalah menantu raja Ku Ma Khan. Akan tetapi kalau engkau dekat dengan Kaisar, tentu engkau dapat menjaga agar jangan ada orang yang mendekati Kaisar dan mengetahui rahasia kita. Kami akan melakukan pembunuhan melalui obat dan racun.”
Han Lin teringat kepada Cin Mei dan hatinya terasa lega. Jika cara itu yang akan dipakai, di sana ada Cin Mei yang tentu akan dapat mencegahnya.
“Ahh, dan putera mahkota?”
“Dia akan tewas karena kecelakaan. Kami akan mengajaknya berburu dan dapat saja dia tewas karena kecelakaan. Hal itu mudah diatur dan engkau tidak usah mencampuri.”
Sesudah menguras semua keterangan yang dibutuhkan dari Kui-thaikam, pada keesokan harinya Han Lin dan thaikam itu lalu kembali menghadap Kaisar di mana thaikam gendut itu melaporkan bahwa dia telah menguji Han Lin dan merasa puas.
“Bagus, kalau begitu saat ini juga engkau kuangkat menjadi kepala pengawal pribadi kami, Han Lin. Engkaulah yang mengatur penjagaan dan pengawalan, juga engkau mengepalai seluruh pengawal pribadi yang jumlah sepuluh losin orang.”
Han Lin cepat menghaturkan terima kasih kepada Kaisar. “Hamba menghaturkan terima kasih, Yang Mulia. Tetapi hamba mohon ampun, Yang Mulia. Bagaimana dengan sahabat hamba, adik Lie Cin Mei?”
“Dia sudah kami angkat menjadi pembantu Tabib Liang, tabib istana, karena sahabatmu itu ternyata memang ahli dalam hal pengobatan.”
“Satu hal lagi, Yang Mulia. Bagaimana dengan paman Cu Kiat Hin seperti yang paduka janjikan?”
Kaisar menoleh kepada Kui-thaikam. “Bagaimana, Kui-thaikam? Apakah Cu Kiat Hin telah kau bebaskan?”
“Sekarang juga akan hamba laksanakan, Yang Mulia,” kata thaikam itu cepat-cepat.
“Cepat laksanakan karena kami sudah menjanjikan kepada Han Lin,” perintah Kaisar.
Han Lin memang sengaja tidak membicarakan perkara Cu Kiat Hin dengan Kui-thaikam. Dia ingin Kaisar yang menekan thaikam itu, bukan dia. Dia tak ingin hubungannya dengan thaikam itu menjadi terganggu, karena dia membutuhkan kepercayaan Kui-thaikam agar dia dapat mengamati gerak-geriknya dan mengetahui rencana jahat yang akan dilakukan thaikam pemberontak tiu.
“Terima kasih, Yang Mulia. Apa bila paduka memperkenankan, hamba hendak mengantar Paman Cu Kiat Hin kembali ke rumahnya, sesudah itu hamba akan menghadap lagi dan mulai melaksanakan tugas yang paduka berikan.”
“Boleh, boleh. Kui-thaikam, serahkan tawanan yang bernama Cu Kiat Hin itu kepada Han Lin.”
Demikianlah, Kui-thaikam bersama Han Lin pergi ke tempat tahanan untuk membebaskan Cu Kiat Hin.
“Engkau sungguh beruntung sekali, Cu Kiat Hin. Sribaginda Kaisar telah mengampunimu dan mengutus kami untuk membebaskanmu. Akan tetapi, lain kali jangan engkau berani mencampuri urusanku kalau engkau ingin selamat!” demikian tegur Kui-thaikam sebelum Cu Kiat Hin yang kurus dan lemah itu dipapah pergi oleh Han Lin.
Tentu saja kepulangan Cu Kiat Hin ini disambut keluarganya dengan penuh kegembiraan. Dan yang membuat Cu Kiat Hin menjadi semakin gembira dan terharu adalah munculnya Leng Si, puterinya yang segera melakukan pembicaraan penting dengan Han Lin di ruang sebelah dalam, dihadiri pula oleh San Ki.
Mereka saling menceritakan pengalaman mereka, dan ketika mendengar keterangan dari kedua pihak, mereka terkejut sekali. Tak mereka duga bahwa Kui-thaikam telah mengatur rencana begitu jauh dan pelaksanaannya akan segera dilakukan.
“Kaisar akan diracuni, Pangeran Mahkota akan dibunuh dalam perburuan, lalu kekuasaan akan diberikan kepada Pangeran Kim Seng. Untuk mendukung semua ini, para panglima pasukan keamanan sudah siap, juga banyak pejabat sudah dihubungi Menteri Keuangan, dan mereka akan memberi dukungan suara. Sementara itu pasukan dari Lok-yang akan menyerbu kota raja, sedangkan pasukan Mongol akan menyerbu dari utara dan barat, dan di dalam kota raja sendiri, pasukan keamanan yang bersekutu dengan mereka juga akan bergerak,” kata Han Lin.
“Siasat yang diatur oleh Kui-thaikam dan para sekutunya itu memang hebat bukan main. Kita harus cepat bertindak untuk mencegah terjadinya mala petaka ini,” kata Leng Si.
“Kami akan mengunjungi Panglima Lo, dan sebaiknya engkau minta surat perkenalan dari ayahmu untuk kita bawa menghadap Panglima Lo itu, sumoi,” kata San Ki.
Semua orang setuju dan segera mereka menghadap Cu Kiat Hin yang masih beristirahat di dalam kamarnya setelah menderita sengsara selama berbulan-bulan di penjara. Ketika orang tua ini mendengar laporan puterinya, dia segera bangkit duduk dan mengepal tinju, lalu menghela napas panjang berulang-ulang.
“Aih, sudah kuduga. Thaikam gila itu akhirnya tentu akan membuka kedok dombanya dan menunjukkan wajah aslinya. Ternyata dia mengatur pemberontakan! Pangeran Kim Seng adalah seorang pangeran yang sinting, pekerjaannya setiap hari hanya pelesir ke rumah-rumah pelacuran atau rumah-rumah judi. Pangeran itu tidak becus apa-apa, bagaimana akan diangkat menjadi Kaisar?”
“Tentu agar mudah dikuasai oleh Kui-thaikam, ayah. Kita tidak boleh tinggal diam dan aku bersama Ki-koko akan segera menghadap Lo-ciangkun. Harap ayah cepat membuat surat pengantar atau perkenalan agar kami dipercaya, karena siapa tahu mungkin Lo-ciangkun tidak akan percaya kepada kami karena hal ini amat pelik, gawat dan rahasia.”
Cu Kiat Hin mengangguk-angguk. “Dengan surat pengantar dariku maka dia akan percaya sepenuhnya kepada kalian. Yang membuat aku ragu, dia itu akan dapat berbuat apakah? Aku tahu benar bahwa kekuasaan Lo-ciangkun sudah dikurangi banyak dan dia sekarang mempunyai kedudukan yang sangat lemah. Karena tidak mau menjadi antek Kui-thaikam, maka kekuasaannya dikurangi sedikit demi sedikit oleh Kaisar. Semua itu tentulah karena bujukan Kui-thaikam.”
“Meski pun demikian, ayah, Lo-ciangkun adalah seorang ahli siasat, maka dia tentu dapat menilai pembesar atau panglima mana yang belum menjadi antek Kui-thaikam. Dia dapat menghubungi panglima-panglima yang masih setia untuk membantu dan menyelamatkan Kaisar,” kata Leng Si. “Yang jelas, menurut keterangan Liu Taijin itu, hanya ada beberapa pejabat dan panglima saja yang terlibat, maka masih banyak yang setia kepada Kaisar.”
Cu Kiat Hin mengangguk-angguk, setuju dengan pendapat puterinya itu. “Baik, aku akan membuat surat itu. Mudah-mudahan kalian semua akan dapat menyelamatkan kerajaan ini dari mala petaka.”
Dia lalu menulis surat dan menyerahkan surat itu kepada puterinya. Leng Si menyimpan surat itu karena dia sendiri yang akan menghubungi Lo-ciangkun. Tentu saja Han Lin tidak bisa melakukannya karena dia kini berada dalam pengawasan Kui-thaikam sehingga tidak dapat leluasa bergerak. Sebaliknya Leng Si dalam pengawasan Gubernur Coan yang kini berada di Nan-yang, tentu saja lebih leluasa bergerak di kota raja.
Han Lin lantas kembali ke istana, karena tugasnya hanya mengantar Cu Kiat Hin pulang. Kalau terlalu lama tentu dia akan dicurigai.
Sebagai pengawal pribadi Kaisar, tentu saja leluasa bagi Han Lin untuk keluar masuk. Dia melakukan penjagaan dengan sungguh-sungguh dan mulai mengatur sepuluh losin orang pengawal yang bertugas di situ, agar pengawalan dan penjagaan dilakukan dengan ketat.
Kaisar senang melihat cara kerja pemuda itu. Dan dalam tugasnya keluar masuk istana ini tentu saja terbuka banyak kesempatan bagi Han Lin untuk bertemu dengan Cin Mei yang juga tinggal di istana untuk membantu Tabib Liang yang tinggal di bagian samping istana. Tabib Liang juga tidak curiga kalau pembantunya itu mengadakan pertemuan dengan Han Lin, karena bukankah mereka datang bersama di istana, bahkan mengaku sebagai kakak beradik seperguruan.....?
Ketika Cin Mei mendengar dari Han Lin bahwa Cu Kiat Hin, ayah suci-nya itu sudah dapat dikeluarkan dari tahanan, hatinya merasa gembira sekali. Akan tetapi dia menjadi terkejut setengah mati mendengar dari Han Lin tentang rencana busuk Kui-thaikam yang hendak membunuh Kaisar dan Pangeran Mahkota, apa lagi ketika diceritakan oleh Han Lin bahwa pembunuhan terhadap Kaisar akan dilakukan dengan menggunakan racun!
“Menurut pendapatku, Tabib Liang juga sudah dipengaruhi oleh Kui-thaikam. Sesudah dia mengujiku dalam ilmu pengobatan, diam-diam dia menyuruh seorang pembantunya untuk menyampaikan laporan kepada Kui-thaikam. Jika pembunuhan itu akan dilakukan dengan racun, sudah tentu sekali tangan Tabib Liang yang akan digunakan untuk keperluan itu.”
“Aku khawatir sekali, Cin Mei. Karena engkau merupakan pembantunya yang baru, bukan tidak mungkin engkau akan diperalat sehingga kalau kelak sampai ketahuan bahwa Kaisar keracunan, maka mereka dapat melempar fitnah itu kepadamu. Karena itu engkau harus waspada mengamati gerak-gerik tabib kurus itu.”
“Jangan khawatir, Lin-koko, aku akan selalu waspada dan berhati-hati. Kalau ada sesuatu yang mencurigakan, tentu secepatnya akan kuberi tahu kepadamu.”
Demikianlah, mereka berdua bersepakat untuk bekerja sama menggagalkan rencana jahat dari Kui-thaikam, dan juga untuk saling memberi keterangan dengan Leng Si dan San Ki yang tentu saja akan dilakukan oleh Han Lin yang lebih leluasa bergerak keluar dari pada Cin Mei.
Han Lin sudah mengambil keputusan untuk memberi tahu kepada Kaisar serta Pangeran Mahkota tentang komplotan busuk itu. Maka, pada suatu saat sesudah persidangan para menteri bubar dan dia mendapat kesempatan untuk bicara berdua saja dengan Kaisar, dia lalu berbisik tanpa terdengar oleh siapa pun juga.
“Yang Mulia, hamba mempunyai berita penting sekali, menyangkut keselamatan paduka dan Pangeran Mahkota. Sedapat mungkin hamba mohon untuk berbicara dengan paduka dan Pangeran Mahkota, bertiga saja tanpa diketahui orang lain.”
Kaisar mengerutkan alisnya, hampir marah karena permintaan ini dianggapnya melanggar aturan dan lancang sekali. Namun ketika melihat sinar mata pemuda itu yang mencorong penuh kejujuran, dia pun mengangguk lalu meninggalkan ruangan sidang, segera dijemput oleh para thaikam dan pengawal.
Pada keesokan harinya barulah Han Lin dipanggil oleh Kaisar dan thaikam yang diperintah memanggil itu mengantar Han Lin masuk ke dalam sebuah ruang tertutup di mana Kaisar dan Pangeran Mahkota telah menanti. Thaikam itu disuruh keluar dan menutupkan daun pintu, menjaga dengan ketat di luar pintu agar tidak ada orang yang turut mendengarkan pembicaraan mereka bertiga.
“Nah, Sia Han Lin, sekarang kami berdua hanya berbicara denganmu. Kita hanya bertiga, engkau boleh bicara dengan terus terang. Ada peristiwa penting apakah yang hendak kau laporkan secara rahasia ini?”
“Ampun, Yang Mulia. Hamba khawatir Sribaginda Yang Mulia tidak akan percaya kepada laporan hamba, maka sebelumnya hamba mohon agar paduka berdua tidak keburu marah dan dapat menerima laporan ini dengan tenang.”
“Hemm, engkau penuh rahasia. Katakan, kami tidak akan marah kepadamu.”
“Sebelumnya hamba ingin menceritakan keadaan hamba yang sesungguhnya agar kelak tidak akan menimbulkan kecurigaan dan keraguan di hati paduka. Sesudah dahulu hamba mendapatkan Ang-in Po-kiam, sesungguhnya pedang itu sempat terampas oleh penjahat kemudian jatuh ke tangan Ku Ma Khan, pemuka orang Mongol itu. Ku Ma Khan memaksa hamba untuk menikah dengan puterinya, baru dia akan mengembalikan pedang. Sesudah hamba menjadi mantunya, kemudian dia hendak menjadikan hamba sebagai mata-mata di sini demi kepentingan orang Mongol.”
“Ahh...!” Kaisar dan Putera Mahkota menjadi terkejut bukan main sehingga wajah mereka menjadi pucat. Kaisar sudah hampir berteriak memanggil para pengawal, akan tetapi Han Lin cepat berkata.
“Yang Mulia, kalau hamba berniat jahat tidak perlu hamba menceritakan semua ini kepada paduka!”
“Benar juga. Lalu kenapa engkau menceritakan hal ini kepadaku dan apa kehendakmu?”
“Hamba menerima syarat Ku Ma Khan itu hanya dengan maksud supaya pedang segera dikembalikan kepada hamba, dan puteri yang dinikahkan kepada hamba itu pun sekarang telah tewas karena terbunuh oleh musuhnya. Jadi hamba bukan lagi mantu Ku Ma Khan. Dan pedang pusaka itu hamba kembalikan kepada paduka atas kehendak hamba sendiri, karena hambalah yang menemukannya.”
“Hemm, setelah kau ceritakan semua ini, lalu apa kepentingannya?”
“Keadaan hamba ini justru sangat menguntungkan, Yang Mulia. Karena hamba disangka masih mantu yang setia dari Ku Ma Khan, maka para sekutu Ku Ma Khan mempercayai hamba sehingga terbukalah semua rahasia mereka.”
“Apa? Sekutu Ku Ma Khan? Siapa dia?”
“Banyak, Yang Mulia. Akan tetapi terutama sekali, pemimpinnya adalah Kui-thaikam yang merencanakan pemberontakan.”
Ayah dan anak itu seketika bangkit berdiri, wajah mereka memperlihatkan rasa kaget dan juga tidak percaya. “Kui-thaikam? Sia Han Lin, tahukah engkau bahwa fitnahmu ini dapat membuat engkau dihukum mati?”
“Hamba siap menerima hukuman mati kalau hamba melakukan fitnah. Akan tetapi hamba hanya berbicara yang sebenarnya, Yang Mulia. Bahkan komplotan pemberontak ini sudah membuat rencana jahat untuk membunuh paduka dan Putera Mahkota lalu menggantikan paduka dengan Pangeran Kim Seng.”
Kedua orang bangsawan itu saling pandang. Muka mereka menjadi pucat, namun mereka masih belum percaya. “Ceritakan semua dengan jelas,” kata Kaisar sambil duduk kembali dan Pangeran Mahkota Tek Tsung menghapus keringatnya dengan sapu tangan.
Kemudian Han Lin menceritakan semuanya mengenai usaha pemberontakan Kui-thaikam yang bersekongkol dengan Kwan-ciangkun di Lok-yang, dengan Gubernur Coan di Nan-yang, serta dengan beberapa orang pembesar di kota raja seperti yang didengarnya dari penuturan Leng Si.
“Bila mana rencana mereka berhasil, yaitu membunuh paduka dan Putera Mahkota, maka pasukan Kwan-ciangkun dari Lok-yang akan menyerbu kota raja, dibantu dari dalam oleh panglima-panglima yang telah menjadi sekutunya, sementara pasukan Ku Ma Khan akan menyerbu pula dari utara dan barat.” Han Lin menutup ceritanya yang diceritakan dengan jelas.
“Hemm, lalu bagaimana caranya mereka hendak membunuh aku dan Pangeran Mahkota, padahal engkau sudah berada di sini sebagai pengawal pribadiku?”
“Justru karena hamba menjadi kepala pengawal inilah maka mereka mengira hal itu akan mudah dilakukan, karena mereka menganggap hamba adalah menantu Ku Ma Khan yang tentu akan bersetia kepada mereka. Menurut Kui-thaikam, pembunuhan terhadap paduka akan dilakukan dengan menggunakan racun dari Tabib Liang...”
“Keparat!”
“Tenang, Yang Mulia, harap paduka jangan khawatir. Adik hamba Cin Mei berada di sana. Dia akan selalu waspada menjaga agar hal itu tidak dapat dilakukan.”
“Bagaimana dengan aku? Bagaimana mereka hendak membunuh aku?” tanya Pangeran Mahkota Tek Tsung dengan suara gemetar.
“Paduka akan diajak berburu binatang, kemudian akan diatur agar terjadi kecelakaan yang menimpa paduka.”
“Ahh... sungguh mengerikan...!” Pangeran itu menggigil.
“Kalau begitu sekarang juga akan kusuruh tangkap semua pemberontak keparat itu, akan kujatuhi hukuman mati dengan seluruh keluarganya!” kata Kaisar sambil bangkit berdiri.
“Mohon paduka tenang dan bersabar dulu, Yang Mulia. Kalau paduka melakukan itu, apa buktinya? Mereka bahkan akan menuntut hamba dengan mengatakan bahwa hamba telah melakukan fitnah. Tanpa bukti paduka tidak akan dapat menuduh mereka. Oleh karena itu haruslah dibuktikan terlebih dulu.”
“Dan membiarkan diri kami dan Pangeran Mahkota terancam bahaya maut?”
“Harap paduka jangan khawatir. Masih banyak orang yang setia terhadap paduka. Hamba dan kawan-kawan sudah mengatur agar paduka dan Pangeran Mahkota selalu dilindungi. Hamba yakin bahwa kalau sudah tiba waktunya untuk mereka turun tangan, hamba akan dapat menangkap mereka. Kalau sudah begitu, barulah ada bukti tentang pemberontakan mereka sehingga paduka dapat menjatuhkan hukuman berat kepada mereka.”
Kaisar termenung dan mempertimbangkan ucapan pemuda itu. Akhirnya dia pun berkata, “Han Lin, kalau semua yang kau laporkan ini benar, maka nyawa kami berada di tangan engkau dan kawan-kawanmu. Baiklah, kami mempercayakan kepadamu untuk mengatasi semua kemelut ini sampai tuntas.”
“Harap paduka jangan khawatir. Kawan-kawan hamba sudah menghubungi para panglima yang masih setia terhadap paduka untuk melucuti mereka yang hendak memberontak dan mengusir pasukan Mongol yang telah bersiap di perbatasan. Seperti yang hamba katakan tadi, hamba siap untuk menerima hukuman berat apa bila hamba berbohong, akan tetapi hamba hendak memohon agar paduka berdua pura-pura tidak tahu akan adanya rencana pemberontakan itu sehingga sikap paduka berdua tidak mencurigakan. Hamba khawatir mereka akan mengubah rencana dan siasat kalau melihat sikap paduka mencurigakan.”
“Tapi, apa yang harus kami perbuat?” tanya pula Kaisar, masih merasa ngeri.
“Menurut rencana mereka, Pangeran Mahkota akan lebih dulu diajak berburu. Jika ajakan itu datang, harap paduka menerima saja tanpa menaruh curiga. Jangan paduka khawatir, pangeran, karena diam-diam kami mengawasi paduka dan melindungi paduka. Tidak akan ada bahaya. Kalau pun hal itu terjadi, maka paduka akan kami selamatkan dan ungsikan untuk sementara waktu.”
Pangeran Mahkota mengangguk, walau pun anggukannya tampak mengandung keraguan dan kekhawatiran.
“Lalu bagaimana dengan kami?”
“Paduka tidak perlu khawatir. Semua hidangan yang akan diberikan kepada paduka telah diperiksa oleh adik Cin Mei, maka paduka tidak akan keracunan. Kalau ternyata mereka sudah menaruh menaruh racun itu, walau pun paduka tidak keracunan, namun sebaiknya kalau paduka pura-pura keracunan dan jatuh sakit. Ini untuk memancing tindakan mereka selanjutnya. Harap paduka jangan khawatir, kami telah menyusun siasat sebaliknya untuk melawan siasat mereka.”
Akhirnya Kaisar dan Pangeran Mahkota dapat menerima usul-usul yang diajukan Han Lin dan menyerah saja karena mereka pun tidak tahu harus berbuat apa menghadapi rencana siasat para pemberontak itu. Untuk bertindak menangkap mereka memang tidak mungkin selama belum ada bukti.
Setelah menghadap Kaisar dan Putera Mahkota, Han Lin lalu mengadakan kontak dengan Cin Mei di dalam istana, juga dengan Leng Si dan San Ki di luar istana. Sekarang mereka semua telah siap, bahkan San Ki beserta Leng Si sudah menghubungi Lo-ciangkun yang segera mengadakan pembicaraan serius dengan para panglima yang masih setia kepada Kaisar dan mereka juga sudah menyiapkan pasukan. Mereka semua tinggal menanti saat pelaksanaan rencana siasat para pemberontak dengan hati diliputi ketegangan…..
********************
Selanjutnya baca
PEDANG AWAN MERAH : JILID-10