Pedang Awan Merah Jilid 04


Kim-kok-pang adalah sebuah perkumpulan para pendulang emas yang berhasil. Semenjak Kim-kok-pang ditinggal mati ketuanya bernama Ji Kim Ek yang terbunuh oleh orang-orang Hoat-kauw dan kedudukan ketua digantikan Ji Kiang Bwe, puterinya yang gagah perkasa, perkumpulan ini semakin maju. Apa lagi ketika Ji Kiang Bwee menikah dengan Souw Kian Bu, pendekar yang tinggi pula ilmu silatnya, kedudukan Kim-kok-pang di dunia persilatan semakin kokoh kuat. Di bawah bimbingan suami isteri pendekar ini, Kim-kok-pang bukan saja menjadi perkumpulan yang makmur karena penghasilan dari pendulangan emas itu ternyata cukup mendatangkan kemakmuran kepada para anggotanya, akan tetapi juga perkumpulan itu berkembang menjadi perkumpulan besar.

Kalau dulu ketika Ji Kiang Bwee pertama kali memegang kedudukan ketua menggantikan ayahnya yang tewas perkumpulan itu hanya memiliki anggota kurang lebih seratus orang, kini selama satu tahun, jumlah anggota mereka ada dua ratus keluarga lebih, yang berarti lebih dari lima ratus orang.

Sekarang perkampungan mereka menjadi makin luas, dengan bangunan pondok-pondok yang memadai biar pun tidak mewah. Pendeknya, setiap keluarga anggota Kim-kok-pang cukup sandang pangan dan papannya.

Dengan tekun Souw Kian Bu membantu isterinya. Bahkan atas kehendak Ji Kiang Bwee yang disebut ketua adalah suaminya dan dia sendiri menjadi ketua kedua atau pembantu ketua pertama!

Souw Kian Bu juga tak tinggal diam. Dia mewajibkan anak-anak keluarga itu untuk belajar membaca menulis, juga merangkai ilmu silat yang diambil dari inti sari ilmu-ilmu mereka, dan menamakan ilmu silat itu Kim-kok-kun (Silat Lembah Emas).

Ji Kiang Bwee tidak hanya mewarisi ilmu silat dari ayahnya, ketua pertama Kim-kok-pang, tetapi ia pun murid Pek Mau Siankouw, pertapa wanita yang sakti. Sedangkan suaminya, Souw Kian Bu, menerima gemblengan dari ayah ibunya sendiri.

Ayahnya adalah Souw Hui San, tokoh Go-bi-pai yang amat lihai, dan ibunya Yang Kui Lan adalah murid mendiang Kong Hwi Hosiang, maka tentu saja Souw Kian Bu memiliki ilmu silat yang lihai, bahkan hampir setingkat isterinya. Maka, ketika suami isteri ini kemudian merangkai sebuah ilmu silat, tentu saja ilmu silat itu hebat sekali. Dan kini semua anggota Kim-kok-pang diharuskan berlatih dengan ilmu Kim-kok-kun.

Kehidupan manusia di dunia ini tidak ada yang abadi, keadaannya pun tidak menentu. Seperti berputarnya roda, maka setiap orang manusia itu kadang berada di atas, kadang di bawah. Kadang tertawa bahagia, kadang menangis sedih. Kemujuran dan kemalangan silih berganti melanda kehidupan.

Dan semua ini sudah wajar, seperti wajarnya atas dan bawah, kanan dan kiri, terang dan gelap dan sebagainya lagi keadaan yang berlawanan. Seseorang tidak mungkin mengenal senang kalau dia tidak pernah mengenal susah, tidak pernah mengenal enak kalau tidak pernah mengenal tidak enak. Mana mungkin mengenal rasa manis kalau tidak ada rasa lain yang berlawanan?

Hidup adalah perjuangan. Perjuangan dalam menghadapi segala macam tantangan dan tentangan. Justru tantangan-tantangan itulah yang meramaikan hidup ini, memberi warna dan menjadi romantika kehidupan. Bayangkan, betapa monoton, tanpa irama dan hanya menimbulkan kejenuhan saja kalau kehidupan ini berjalan mulus tanpa adanya halangan dan rintangan sedikit pun. Orang akan menjadi malas dan tidak bergairah!

Bagaimana muaknya kalau setiap saat kita hanya makan yang manis melulu, tanpa ada rasa lain seperti pahit, getir, asin, masam sebagai imbangannya. Betapa membosankan apa bila segala sesuatu dapat dicapai secara mudah, tanpa kesukaran, tanpa halangan. Oleh karena itu berbahagialah orang yang dapat menghagai kesulitan seperti menghargai kemudahan, dapat mengambil hikmah dari kesengsaraan dan dapat melihat racun dalam kesenangan. Bukankah yang enak-enak itu biasanya mendatangkan penyakit dan obat itu hampir selalu terasa pahit.....?

Begitu pula dengan kehidupan Souw Kian Bu dan Ji Kiang Bwee yang tampaknya bahagia dan mulus. Baru pada malam pengantin pertama saja mereka sudah harus menghadapi tantangan yang membahayakan kelangsungan hidup berumah tangga mereka.

Biar pun Souw Kian Bu merupakan seorang pemuda yang sama sekali tidak mempunyai pengalaman dengan wanita, namun dari orang tuanya dia pernah mendapat pengertian mengenai tanda keperawanan seorang gadis. Oleh karena itu dapat dibayangkan betapa gelisah dan kecewa hatinya ketika dia mendapat kenyataan di malam pengantin pertama itu bahwa isterinya, Ji Kiang Bwee, bukan perawan lagi. Tentu saja hal ini membuatnya menjadi murung, bahkan dia tidak mau menjawab ketika pada keesokan harinya isterinya mengajaknya bicara.

Akhirnya Ji Kiang Bwe mengetahui apa yang menyebabkan suaminya murung. “Bu-koko, aku mengerti bahwa aku sudah bukan perawan lagi, begitukah?”

Pertanyaan yang begitu terbuka dari isterinya membuat Kian Bu mengangkat muka lantas memandang wajah isterinya penuh selidik. Terdengarlah ucapannya yang bernada sangat dingin.

“Hemm, bila engkau sudah mengetahui dan mengerti, tentu engkau mengerti pula betapa pentingnya hal itu bagi kelangsungan suami isteri!”
“Suamiku, engkau boleh saja mencurigai dan menuduh karena itu memang hakmu. Akan tetapi tidak bijaksana kalau kau diamkan dan simpan saja di dalam hati. Kenapa tidak kau tanyakan sebabnya? Ada akibat tentulah ada sebabnya, bukankah begitu? Kalau engkau sudah mengetahui sebabnya, belum tentu engkau akan menyesali akibatnya.”

Melihat isterinya bersikap tenang saja, jelas bukan sikap seorang yang bersalah, Kian Bu menjadi agak dingin hatinya, maka dia pun bertanya, “Bwe-moi, antara suami isteri tidak semestinya ada rahasia. Dan urusan yang mengenai dirimu juga menyangkut diriku, maka sebaiknya jika engkau ceritakan semua kepadaku untuk kupertimbangkan masak-masak. Terus terang saja, bagaimana engkau kehilangan keperawananmu?”

Kiang Bwe tersenyum dan agak tersipu. “Suamiku, percayalah, bukan karena aku pernah berjinah dengan seseorang atau pernah diperkosa seseorang. Sama sekali bukan begitu, maka jauhkanlah bayangan itu dari pikiranmu. Aku sendiri tidak pernah menyadari bahwa peristiwa yang terjadi dahulu itu telah mengakibatkan aku kehilangan tanda keperawanan. Ketahuilah, ketika aku berlatih silat dengan ayahku, ayah melatihku dengan sangat keras, mengharuskan aku melakukan jurus tendangan berantai sampai benar-benar sempurna. Nah, dalam sebuah latihan aku mengalami pendarahan. Tentu peristiwa itulah yang telah mengakibatkan aku menjadi seperti ini.”

Kian Bu mengangguk-angguk dan tersenyum. “Nah, kalau kau jelaskan begitu, tentu saja hatiku tidak merasa penasaran.” Dia merangkul dan mencium isterinya.

Agaknya selesai sudah perkara itu. Akan tetapi ternyata belum. Kiang Bwe melihat kerut di antara alis mata suaminya sering kali muncul sehingga akhirnya dia tidak tahan lagi. Dia lalu mengajak suaminya berkunjung ke makam ayahnya.

Kian Bu hanya mengira bahwa isterinya mengajaknya bersembahyang. Akan tetapi ketika isterinya sudah memegang hio (dupa biting) yang membara dan berlutut di depan makam itu, dia mendengar isterinya berkata dengan suara lantang.

“Ayah, ayah mengetahui dan menjadi saksi ketika dahulu ayah memaksaku berlatih jurus tendangan berantai sampai aku terjatuh dan mengalami pendarahan. Ayah menjadi saksi dan aku bersumpah bahwa aku telah menceritakan keadaan yang sebetulnya....” Sampai di situ Kiang Bwe menangis.
“Bwe-moi…!” Kian Bu merangkulnya dan menghibur. “Bwe-moi, kenapa engkau bersikap seperti ini? Aku percaya kepadamu, Bwe-moi, aku percaya...!”

Kiang Bwe masih terisak. “Engkau jangan membohongi aku, koko. Aku bisa melihat pada wajahmu, betapa engkau kadang meragukan aku, kadang sangsi dan curiga...ahh, Bu-ko, betapa hatiku tidak akan sedih dicurigai suami sendiri?”

Masalah keperawanan seorang isteri memang terkadang mendatangkan persoalan besar. Dan sikap suami seperti ini hanya menunjukkan bahwa soal itu teramat penting baginya.

“Aku tidak mencurigaimu, Bwe-moi. Sungguh!”
“Koko, sebetulnya engkau mencintai aku atau tidak?”
“Kenapa masih kau tanyakan? Bukankah kita sudah menjadi suami isteri? Tentu saja aku cinta kepadamu, Bwe-moi.”
“Akan tetapi engkau sudah meributkan soal keperawanan. Engkau mencintai aku ataukah engkau mencintai keperawanan? Kalau engkau memang mencintaiku, maka keperawanan bukan menjadi masalah lagi. Kalau engkau mencintaiku, tentu akan mencintaiku dengan segala kekurangan dan keburukanku!”

“Maaf, Bwe-moi. Andai kata aku mencintaimu sebagai seorang janda, tentu soal itu tidak akan menjadi persoalan. Seorang suami selalu ingin memandang isterinya sebagai orang yang suci, atau setidaknya orang baik sesuai dengan apa yang dibayangkannya. Suami isteri memerlukan keterbukaan, tidak boleh ada rahasia yang tersembunyi, karena rahasia tersembunyi menunjukkan kekurang percayaan. Bahkan andai kata engkau dahulu pernah berhubungan dengan orang lain atau pernah diperkosa sekali pun, apa bila hal itu sudah kuketahui sebelumnya, tentu tak akan menjadi persoalan. Akan tetapi sekarang aku telah menyadari kesalahanku, dan aku akan mengusir semua keraguanku. Percayalah!”

Semenjak hari itu memang wajah Kian Bu tidak pernah lagi murung seperti yang sudah-sudah. Agaknya peristiwa di makam ayah isterinya itu telah membuat dia percaya penuh kepada isterinya.

Akan tetapi masih ada ganjalan lain di hati kedua suami isteri itu, yaitu mereka belum juga dikaruniai seorang anak walau pun sudah setahun lebih mereka menikah,.

Pada suatu hari, selagi Ji Kiang Bwe melatih ilmu silat kepada para anggota wanita Beng-kauw di taman belakang rumahnya, melatih tiga belas orang wanita itu mempergunakan senjata sabuk rantai sambil membentuk barisan sabuk rantai dengan tekun, tiba-tiba saja terdengar orang berseru,
“Bagus, sungguh merupakan barisan sabuk yang amat hebat!”

Kiang Bwe terkejut dan alisnya berkerut. Siapa yang begitu kurang ajar berani mengintai dia yang sedang melatih para anggotanya. Dia cepat membalikkan tubuhnya memandang ke arah orang yang mengeluarkan pujian itu. Dan dia terbelalak.

Dia melihat seorang laki-laki muda, berusia paling banyak dua puluh lima tahun, berwajah tampan berbadan tinggi tegap, berpakaian serba hitam, sedang berdiri sambil tersenyum memandangnya.

“Suheng....!” Akhirnya dia berseru gembira sekali.
“Sumoi, kau baik-baik saja?” Pria itu melangkah maju menghampiri.

Saking girangnya Kiang Bwe memegang kedua tangan pria yang ternyata suheng-nya itu. Pada waktu dia menjadi murid Pek Mau Siankouw selama lima tahun, gurunya itu sudah mempunyai murid laki-laki bernama Gu San Ki. Selama lima tahun Kiang Bwe belajar silat bersama suheng-nya yang banyak membimbingnya itu, maka tidaklah mengherankan apa bila hubungan mereka seperti kakak beradik saja.

“Suheng, angin apa yang membawamu datang ke sini? Dan bagaimana kabarnya dengan subo (ibu guru)?”

Gu San Ki tertawa dan sejenak mengamati sumoi-nya dari kepala sampai ke kaki, lantas berkata, “Engkau nampak sehat dan bahagia, sumoi. Syukurlah.”

Melihat para muridnya memandang kepada mereka, Kiang Bwe baru ingat dan berkata, “Ini adalah supek kalian. Beri hormat kepadanya. Dan tinggalkan kami.”

Tiga belas orang murid wanita itu segera memberi hormat kepada Gu San Ki, kemudian meninggalkan tempat itu.

“Duduklah, suheng, dan ceritakan segalanya,” kata wanita itu sambil tersenyum gembira.

San Ki memandang ke sekeliling lalu bertanya, “Nanti dulu, sumoi. Mana suamimu? Aku ingin berkenalan dengan dia.”

“Dia sedang mengurus panen di sawah, nanti juga dia pulang. Bagaimana kabarmu dan subo? Ceritakanlah, suheng, aku sudah rindu sekali kepada kalian.”

San Ki tersenyum. “Benarkah? Engkau nampak bahagia dan... makin cantik saja, sumoi. Maafkan aku yang tidak dapat hadir ketika engkau menikah, karena saat itu aku sedang tidak berada di rumah sedangkan subo sudah tua dan malas bepergian. Tentu suamimu gagah sekali bukan? Aku ingin berkenalan dengan pria yang beruntung sekali itu.”

“Beruntung?” tanya Kiang Bwe.
“Tentu saja. Pria yang berhasil menyuntingmu tentulah seorang pria yang paling beruntung di dunia ini!” kata San Ki dengan sikap sungguh-sungguh. “Engkau sudah menjadi ketua Kim-kok-pang, dan aku mendengar bahwa engkau sudah berhasil membimbing Kim-kok-pang ke jalan benar, berhasil memakmurkan anggotanya dan mempunyai seorang suami yang gagah perkasa dan mencinta.”

“Suheng, sudahlah. Aku ingin mendengar tentang subo. “Bagaimana subo sekarang?”
“Subo sudah tua, usianya sudah hampir delapan puluh tahun. Walau pun kesehatannya masih baik akan tetapi tubuhnya sudah lemah.”
“Ahh, aku rindu kepada subo,” kata Kiang Bwe menarik napas panjang.
“Dan tidak rindu padaku? Padahal aku rindu setengah mati kepadamu, sumoi,” kata San Ki sambil tersenyum. Kiang Bwe memandang wajah suheng-nya yang tampan gagah itu, kemudian tertawa.
“Tentu saja aku pun rindu kepadamu, suheng. Bagaimana keadaanmu sekarang? Kenapa sampai sekarang belum juga mengirim kartu merahmu kepadaku?”
“Ah, orang macam aku ini siapa yang sudi, sumoi? Setelah engkau menikah, rasanya aku tidak akan menikah selama hidupku...”

Mendengar ini dan melihat wajah suheng-nya nampak muram, Kiang Bwe terkejut sekali. Dia bangkit berdiri lantas menghampiri suheng-nya, meletakkan tangannya di atas pundak suheng-nya itu.

Suheng-nya ini selalu baik kepadanya dan ia menganggapnya sebagai kakak kandungnya sendiri saja, maka kata-kata itu tentu saja sangat mengejutkan karena kata-kata itu jelas menyatakan bahwa suheng-nya mencintanya sebagai seorang pria mencinta wanita dan agaknya dahulu mengharapkannya menjadi isterinya akan tetapi kalah dulu oleh Kian Bu.

“Gu-suheng... ingat, aku adalah sumoi-mu dan sejak dulu kau sudah kuanggap sebagai kakak kandungku sendiri,” katanya lembut dan terharu.

San Ki menepuk-nepuk tangan yang berada di pundaknya itu. “Aku tahu, sumoi, memang sudah nasibku demikian...”

Pada saat itu terdengar suara orang. “Bagus sekali!”

Kiang Bwe meloncat saking kagetnya dan San Ki memutar tubuh dengan kaget. Di sana sudah berdiri Kiang Bu dengan muka merah dan mata mencorong.

“Ahh, Bu-koko, engkau sudah pulang? Perkenalkan, ini adalah suheng Gu San Ki yang pernah kuceritakan padamu. Sudah lama sekali, sejak aku meninggalkan subo, aku tidak pernah bertemu lagi dengan dia. Selama lima tahun kami berkumpul sebagai suheng dan sumoi dan....”
“Bagus, bagus sekali!” kata pula Kian Bu dan suara suaminya itu amat mengejutkan Kiang Bwe. “Ahh, sekarang aku mengerti. Alangkah bodohnya aku...” Dan Kian Bu berlari cepat memasuki rumah.
“Koko....!” Kiang Bwe mengejarnya masuk dan San Ki yang menjadi bingung dan khawatir juga mengejarnya.

Di dalam, Kian Bu sudah mengambil pedangnya serta buntalan pakaiannya. Dia bertemu dengan isterinya di ruangan depan.

“Koko, engkau hendak pergi ke mana?” teriak isterinya.
“Jangan pedulikan aku lagi. Aku tidak sudi merampas kekasih orang lain!”
“Apa maksud kata-katamu itu, koko?” tanya Kiang Bwe heran.
“Sudahlah, sekarang aku sudah mengerti semuanya. Aku telah menghancurkan hati dua orang kekasih. Sekarang engkau bebas, Kiang Bwe, dan aku tidak akan menghalanginya lagi. Engkau boleh kembali kepada kekasihmu yang lama...!” Sesudah berkata demikian, hatinya menjadi semakin panas.

Dia kini teringat bahwa isterinya itu sudah tidak perawan lagi ketika menikah dengannya. Dan suheng-nya itu sudah lima tahun hidup bersama Kiang Bwe, tentu suheng-nya itulah yang dahulu menjadi kekasihnya. Dia pun melompat pergi.

Di beranda depan dia bertemu dengan San Ki yang mencoba untuk menyadarkannya. “Saudara yang baik, harap jangan salah sangka. Aku....”

“Jangan engkau berani mencampuri urusanku!” bentak Kian Bu dan dia berlari terus.

Namun Kiang Bwe yang memiliki ginkang hebat itu sudah dapat menyusulnya di halaman depan. “Koko, engkau hendak pergi ke mana? Dengar dulu penjelasanku!”
“Tidak ada yang perlu dijelaskan lagi, dan jangan menghalangiku kalau engkau tidak ingin mendengar makianku yang lebih keji lagi.”
“Koko..!” Akan tetapi Kian Bu sudah mengibaskan tangannya yang dipegang isterinya, lalu dia berlari cepat meninggalkan perkampungan Beng-kauw.

Kiang Bwe menangis sambil memasuki rumah. San Ki menyambutnya dengan prihatin.

“Sumoi, maafkan aku. Semua adalah kesalahanku belaka. Tidak seharusnya aku bersikap demikian... ahh… maafkan aku, sumoi.” Dia merasa menyesal bukan main sudah menjadi penyebab pertikaian antara suami isteri itu.
“Bukan salahmu, suheng. Sejak kami menikah memang Bu-koko telah bersikap cemburu dan penuh curiga. Ahhh...hu-hu-huhh....” Wanita muda itu lalu menangis tersedu-sedu.

Dia tahu bahwa perasaan cemburu Kian Bu makin menjadi-jadi. Dahulu suaminya itu mau menerima keterangannya di hadapan makam ayahnya dan sudah bersikap baik. Agaknya kecurigaannya itu kini muncul lagi bersama datangnya suheng-nya dan tentu suaminya itu menuduh bahwa dahulu dia menjadi kekasih suheng-nya.

Berat sekali pukulan bertubi yang diterimanya pagi itu. Pertama mendapatkan kenyataan bahwa suheng-nya mencintanya sebagai seorang laki-laki mencinta wanita, ini saja sudah merupakan pukulan yang berat baginya. Kemudian ditambah lagi dengan suaminya yang dipenuhi kecurigaan dan cemburu, dan kini pergi meninggalkan rumah.

San Ki menghela napas panjang. “Sumoi, akulah yang bersalah dan aku bersumpah untuk membawa suamimu kembali kepadamu.” Kemudian ia pun meninggalkan sumoi-nya yang masih menangis.

Kiang Bwe tidak mempedulikan kepergian suheng-nya. Bagaimana pun juga kedatangan suheng-nya itulah yang mengakibatkan kemarahan dan kepergian suaminya. Bahkan dia lalu berlari masuk ke dalam

Lebih satu jam lamanya Kiang Bwe menangis di ruangan dalam. Murid-muridnya merasa heran dan bingung melihat ketua mereka meninggalkan rumah dan ketua kedua atau isteri ketua itu menangis lantas masuk ke dalam rumah tidak keluar lagi. Itulah sebabnya ketika ada sepasang suami isteri datang berkunjung, mereka hanya mempersilakan kedua orang tamu itu duduk di ruangan tamu tanpa ada yang berani melapor ke dalam.

“Di mana ketua Souw Kian Bu?” tanya tamu pria kepada seorang murid yang menyambut mereka.
“Beliau sedang keluar,” jawabnya.
“Dan isterinya, Ji Kiang Bwe?” tanya tamu wanita.
“Ji-pangcu.....ehh, beliau berada di dalam...,” kata murid itu.
“Kalau begitu cepat laporkan. Katakan bahwa aku Yang Mei Li, dan suamiku, Sie Kwan Lee ketua Beng-kauw,” kata Yang Mei Li.

Mendengar bahwa tamunya itu ternyata adalah ketua Beng-kauw dan isterinya, murid itu terkejut sekali. Cepat dia memberanikan diri masuk ke dalam dan mendapatkan ketuanya sedang duduk termenung di dalam ruangan tengah.

Ji Kiang Bwe sudah berhenti menangis, namun masih duduk melamun dan dia pun marah melihat seorang murid berani masuk tanpa dipanggil.

“Mau apa engkau?!” bentaknya.

Murid itu segera menjatuhkan diri berlutut lantas melapor. “Maafkan saya, pangcu. Di luar datang dua orang tamu yang mengaku sebagai ketua Beng-kauw dan isterinya.”

Kiang Bwe meloncat bangun. “Ahh, mereka datang....?!”

Lupa akan keadaan dirinya, saking gembiranya Kiang Bwe langsung berlari keluar diikuti muridnya yang merasa lega bahwa ketuanya tidak jadi marah kepadanya.

“Mei Li...!”
“Kiang Bwe...!” Kedua orang wanita cantik itu saling rangkul dan saling mencium pipi.

Ketika mencium pipi Kiang Bwe inilah Mei Li melihat mata yang merah itu dan ada bekas air mata di pipinya. “Kiang Bwe, engkau... engkau baru menangis! Ada apakah? Di mana koko Souw Kian Bu...?”

Kiang Bwe merangkul, menahan isaknya. “Aku sedang bingung, Mei Li. Kebetulan engkau datang. Mari masuk, akan kuceritakan kepadamu. Ah, harap Sie-toako suka menunggu di sini dulu.” Dia memerintahkan muridnya untuk mengeluarkan minuman dan hidangan, lalu dia menarik Mei Li masuk ke dalam rumah.

Mei Li memberi isyarat kedipan mata kepada suaminya supaya suaminya maklum bahwa agaknya ada ‘urusan perempuan’ yang perlu dibicarakan mereka berdua. Sie Kwan Lee hanya mengangguk sambil tersenyum.

Sesudah tiba di ruangan dalam di mana tidak ada siapa-siapa kecuali mereka berdua, Mei Li dengan tidak sabar bertanya. “Kiang Bwe, apakah yang telah terjadi?”

“Duduklah, Mei Li, biarkan aku mengambil napas dulu. Semenjak tadi hatiku amat sesak dan tertekan. Ketahuilah, baru beberapa jam yang lalu suamiku pergi meninggalkan rumah dalam keadaan marah.”
“Ehh...? Rasanya tak mungkin Bu-koko segalak itu. Setahuku, Bu-koko orangnya periang dan sabar. Ada peristiwa apakah, Kiang Bwe?”
“Mula-mula suheng-ku datang saat Bu-koko berada di sawah. Kami girang sekali dengan pertemuan itu, karena semenjak aku meninggalkan subo, kami tidak pernah saling jumpa. Aku dan suheng-ku sudah seperti saudara saja sehingga pembicaraan kami akrab sekali. Kemudian suamiku datang dan melihat aku bicara akrab dengan suheng-ku, suamiku lalu menjadi marah-marah dan pergi meninggalkan aku.”
“Ahh, sukar dipercaya. Kakakku tidaklah semudah itu marah dan...agaknya dia cemburu. Akan tetapi kalau dia tahu bahwa pria itu suheng-mu, tidak semestinya dia cemburu.”

Kiang Bwe menghela napas panjang. “Bukan salah dia, Mei Li, akan tetapi kesalahannya terletak kepadaku.”

Mei Li mengerutkan alisnya. “Apa? Maksudmu engkau... dan suheng-mu itu...”

“Ihhh, jangan menduga yang bukan-bukan, Mei Li. Sejak pernikahan kami, saudaramu itu memang sudah menaruh cemburu kepadaku. Agaknya perasaan itu dipendamnya selama ini dan meledak ketika melihat aku bicara akrab dengan suheng.”
“Akan tetapi mengapa dia cemburu sejak menikah, Kiang Bwe? Tentu ada sebabnya.”
“Memang ada sebabnya. Pada malam pengantin yang pertama itu... dia... dia mengakui bahwa keperawananku sudah hilang.”

Mei Li melompat berdiri dan mukanya merah ketika dia menatap wajah Kiang Bwe. “Kiang Bwe, apa maksudmu? Kau maksudkan bahwa engkau... engkau... sudah...”

“Ya, Mei Li, akan tetapi jangan salah sangka seperti kakakmu itu. Aku telah menjelaskan kepadanya, malah bersumpah di depan makam ayahku yang menjadi satu-satunya saksi bahwa peristiwa itu terjadi karena ayah memaksaku berlatih tendangan berantai. Latihan itu terlalu keras sehingga aku terjatuh kemudian terjadi pendarahan. Bu-koko sudah dapat menerima alasan ini, dan selama ini agaknya dia sudah tidak mengingatnya lagi. Namun ketika dia melihat aku bercakap-cakap dengan suheng dan nampak amat akrab, agaknya cemburu itu muncul kembali dan dia... dia marah-marah lalu pergi...” Kiang Bwe menangis lagi.

Mei Li mengangguk-angguk. Mengertilah dia sekarang dan dia tidak terlalu menyalahkan kakaknya walau pun Kiang Bwe juga tidak bersalah. Sebuah keadaan yang sangat rumit akibat cemburu buta. Melihat Kiang Bwe menangis sedih, Mei Li maklum bahwa wanita ini amat mencinta suaminya dan ini merupakan pertanda baik baginya.

“Dan suheng-mu itu, di mana dia?” tanyanya.
“Suheng Gu San Ki juga melihat kepergian dan kemarahan suamiku. Dia merasa bersalah dan bertanggung jawab atas kejadian itu. Dia lalu pergi dan berjanji akan mengembalikan suamiku kepadaku.”

Mei Li menghela napas panjang. “Sungguh mati tidak kusangka ada peristiwa seperti ini di sini. Sedangkan aku datang ini pun hendak menceritakan peristiwa gawat yang terjadi di Beng Kauw.”

Kiang Bwe seperti melupakan keadaannya sendiri. Dia berhenti menangis dan mengusap air matanya, memandang kepada Mei Li penuh perhatian. Ketika bertanya dia sudah tidak menangis lagi. “Mei Li, peristiwa gawat apakah yang menimpa engkau dan suamimu?”

“Bagaimana kalau sekarang kita ajak suamiku untuk turut bicara? Masalahmu sudah kau bicarakan kepadaku. Kalau bertemu dengan Bu-koko, aku berjanji akan membujuknya dan menjelaskan kepadanya bahwa cemburunya itu adalah cemburu buta. Sekarang kita bicarakan soal Beng-kauw, bersama suamiku.”
“Baiklah, Mei Li, mari kita bicara di ruang belakang dan kita persilakan suamimu masuk.” Dua orang wanita muda itu lalu mengundang Sie Kwan Lee menuju ke ruangan belakang di mana mereka bercakap-cakap tanpa diganggu orang lain.
“Nah, sekarang ceritakan apa yang telah terjadi di Beng-kauw,” kata Kiang Bwe sesudah suami isteri itu mengambil tempat duduk. “Sepanjang yang kudengar, kalian telah berhasil membawa Beng-kauw maju pesat dan membersihkan nama Beng-kauw. Mengapa kalian bilang terjadi hal yang gawat?”
“Kami telah diserbu oleh Kui-jiauw Lo-mo dan Pek-bin Mo-ong,” kata Mei Li.

Kiang Bwe membelalakkan kedua matanya. “Apa? Dua ekor kutu busuk itu masih berani membuat ribut? Hemm, mereka memang lihai, akan tetapi bukankah mereka telah kalah ketika terjadi penyerbuan di Hoat-kauw?”

“Mereka berdua datang dan bermaksud hendak membalas dendam atas kematian Tong Seng Gun, cucu dari Kui-jiauw Lo-mo. Akan tetapi kami berhasil mengusir mereka dengan kekuatan kami berdua beserta para pembantu kami. Mereka dapat diusir dan kami hanya menderita beberapa orang anggota kami yang terluka,” kata Sie Kwan Lee.

Kiang Bwe mengangguk. “Ahh, jadi mereka ingin membalas dendam atas kematian Tong Seng Gun yang tewas di tangan Sie-pangcu! Sungguh manusia tidak tahu malu. Cucunya yang sesat dan jahat, masih hendak dibalaskan kematiannya. Orang macam Tong Seng Gun itu, biar mati seratus kali juga masih belum sepadan dengan dosa-dosanya.”

“Orang-orang sesat macam mereka itu mana mungkin bisa menghentikan atau mengubah watak mereka yang buruk? Mereka sudah menjadi budak-budak nafsu, maka sampai mati pun agaknya akan tetap menjadi budak nafsu,” kata Mei Li.
“Lalu sekarang ke mana kalian hendak pergi?” tanya Kiang Bwe.

Yang menjawab adalah Sie Kwan Lee. “Kami hendak merantau, mengunjungi partai-partai persilatan besar untuk melihat bagaimana sikap tanggapan mereka terhadap Beng-kauw. Kami khawatir kalau orang-orang seperti Sam Mo-ong akan menggunakan siasat dengan memburuk-burukkan nama baik Beng-kauw.”

“Jika bertemu dengan Sam Mo-ong dan hendak menyerang mereka, kabarkan kepadaku. Tentu aku akan membantu kalian sekuat tenagaku,” kata ketua Kim-kok-pang itu dengan penuh semangat.
“Kalau kebetulan kami bertemu dengan mereka, tentu kami akan menentang mereka. Di mana-mana tentu terdapat orang gagah yang akan membantu kami menentang Sam Mo-ong. Perjalanan ini betujuan untuk menjalin hubungan yang lebih erat dengan partai-patai lain sesudah nama Beng-kauw dibersihkan, selagi kami belum memiliki anak sehingga dapat lebih leluasa mengadakan perjalanan,” kata Mei Li.

“Mungkin aku pun tidak akan lama tinggal di rumah,” Kiang Bwe mengeluh. “Kalau dalam waktu beberapa pekan ini suamiku belum juga pulang, maka aku akan mencarinya hingga dapat!” Kiang Bwe menahan tangisnya yang sudah berada di ujung bibirnya sehingga bibir itu nampak gemetar.
“Aku yakin bahwa Bu-koko pasti akan pulang, Kiang Bwe. Aku kenal betul wataknya. Dia bukan seorang yang kejam dan tidak dapat menyadari kesalahannya.”

Pasangan suami isteri Beng-kauw itu tinggal selama tiga hari di Kim-kok-pang, kemudian mereka pun melanjutkan perjalanan dan meninggalkan Kiang Bwe yang masih tenggelam di dalam kesedihan karena kepergian suaminya tercinta…..
********************
Dengan sikap waspada Han Lin memasuki hutan di lereng bukit itu. Dia merasa betapa hutan yang lebat itu amat gawat. Pantasnya hutan lebat itu dihuni setan dan iblis. Seorang petani yang dia tanyai jalan memperingatkan agar dia tidak mengambil jalan melalui hutan itu, melainkan memutar dan mengelilingi bukit, akan tetapi jalan terdekat adalah melewati hutan yang merupakan jalan pintas. Jika dia melalui hutan itu, dalam waktu setengah hari dia akan sampai di Souw-ciu, sedangkan kalau memutari bukit, makan waktu satu hari.

“Jarang ada yang berani melewati hutan itu, orang muda. Banyak binatang buas, ular-ular besar, bahkan kabarnya semua pelarian dan buruan pemerintah, penjahat-penjahat kejam, selalu menyembunyikan diri ke dalam hutan itu dan sukar ditemukan lagi.”
“Paman, perampok atau orang jahat hanya mengincar harta. Kalau aku tidak mempunyai apa-apa, tentu tidak akan diganggu,” kata Han Lin dan pagi itu dia pun memasuki hutan dengan sikap waspada.

Dua jam kemudian dia tiba di tengah hutan yang lebat. Memang nampak beberapa ekor binatang hutan, akan tetapi mereka sama sekali tidak mengganggunya, bahkan mereka berlarian ketika dia muncul.

Akan tetapi tiba-tiba dia mencurahkan perhatian dan bersikap waspada. Di sebelah depan ada gerakan-gerakan yang bukan gerakan binatang. Dia segera berhenti melangkah dan benar saja, dari balik rumpun belukar serta pohon-pohon besar, bahkan dari atas pohon, berlompatan lima belas orang yang berpakaian hitam dan mereka semuanya memegang senjata, ada yang memegang golok, pedang atau tombak. Sikap mereka mengancam dan mereka segera bergerak mengepungnya.

Han Lin berdiri tenang dan penuh kewaspadaan namun sikapnya santai saja seolah tidak mengerti akan ancaman orang-orang itu. Sesudah melihat seorang yang berkumis serta berjenggot lebat, bertubuh tinggi besar berdiri di depannya, dia tahu bahwa itulah kepala gerombolan itu, maka dia bertanya dengan lagak bodoh.

“Saudara-saudara, selamat pagi. Kalian hendak ke manakah? Harap suka memberi jalan kepadaku.”

Semua orang tertawa seolah ucapan pemuda itu terdengar lucu, kemudian si kumis tebal membentak. “Orang muda, cepat serahkan semua milikmu kalau engkau tidak ingin kami bunuh!” Lantas si kumis tebal itu mengamangkan golok besarnya yang berkilauan saking tajamnya.

Han Lin bersikap tenang dan seperti orang bingung ia pun bertanya. “Saudara-saudara ini minta milikku! Milikku hanya pakaian tua, tidak ada harganya. Harap jangan mengganggu seorang miskin seperti aku. Lihat aku hanya mempunyai pakaian tua dan tongkat butut ini.”

“Ha-ha-ha-ha!” Si kumis tebal tertawa, mulutnya terbuka lebar sehingga bau memuakkan dari mulutnya menyergap hidung Han Lin. Maka terpaksa dia mundur dua langkah. “Orang muda, jangan berlagak tolol. Yang kami maksudkan, serahkan pedang di dalam buntalan itu!”
“Pedang...?” Han Lin masih berlagak tolol untuk memancing sampai di mana pengetahuan orang itu tentang Ang-in Po-kiam.
“Jangan berlagak bodoh. Pedang Awan Merah di punggungmu itu, serahkan kepada kami untuk ditukar dengan nyawamu!”

Han Lin tidak merasa heran. Setelah dia memperlihatkan pedang di dalam pertemuan Cin-ling-pai itu, tentu saja beritanya sudah tersebar luas. Dia pun tahu bahwa dia menghadapi bahaya karena tentu banyak orang yang berlomba untuk merampas pedang itu. Ada yang memang ingin memilikinya, ada pula yang ingin memperoleh hadiah besar dan kedudukan dari kaisar.

“Ahh, itu yang kau maksudkan? Tidak semudah itu, kawan. Sebaiknya kalian mundur saja karena aku tidak suka jika terpaksa harus memberi hajaran kepada kalian.” Sekarang dia melintangkan tongkat bututnya di depan dada.

Si kumis tebal lalu memberi aba-aba kepada kawan-kawannya yang serentak menyerbu kepada Han Lin. Banyak golok, pedang dan tombak meluncur ke arah tubuhnya. Han Lin menggerakkan tongkatnya dan... tiba-tiba saja angin badai bertiup menyambut lima belas orang itu.

Begitu tongkat butut itu digerakkan maka berpelantinganlah lima belas orang itu, ada yang terjengkang, ada yang tersungkur, ada yang terpelanting dan mereka semua mengaduh-aduh. Ada yang kepalanya benjol, ada yang giginya rontok, hidungnya berdarah, salah urat atau patah tulang. Sesudah semua orang roboh dalam waktu singkat sekali, Han Lin segera menghentikan gerakan tongkatnya.

“Kalian perampok-perampok cilik hanya mengganggu orang yang tidak bersalah. Sekali ini aku mengampunimu, akan tetapi lain kali jangan harap aku akan mau melepaskan kalian!” katanya sambil menggerakkan tongkat bututnya, dan datanglah angin besar seperti angin topan yang merontokkan daun-daun dari pohon di sekitar tempat itu. Melihat ini, tanpa menanti perintah para perampok itu segera melarikan diri cerai berai ke empat jurusan.
Image result for pedang awan merah
Han Lin melanjutkan perjalanan dan setelah matahari mulai condong ke barat, tibalah dia di luar kota Souw-ciu. Dia tidak mau segera memasuki kota karena dia menduga bahwa tentu banyak tokoh kang-ouw dari golongan hitam yang akan menghadangnya dan sudah menantinya di sana. Dia tidak ingin menimbulkan keributan di dalam kota, maka memilih sebuah kuil tua yang berdiri di luar kota itu untuk beristirahat.

Tadinya dia mengira bahwa kuil tua itu yang sudah tidak dipergunakan lagi. Namun begitu dia memasukinya, ternyata tiga orang hwesio penjaga kuil datang menyambutnya dengan sikap sopan akan tetapi mereka itu lebih banyak berdiam diri.

“Maafkan apa bila saya mengganggu, Sam-wi losuhu (tiga pendeta tua). Saya bermaksud untuk menginap satu malam di sini kalau sam-wi tidak berkeberatan.”
“Silakan, sicu. Akan tetapi di sini tidak tersedia makanan enak, hanya ada nasi dan sayur sederhana saja,” kata hwesio tertua yang usianya sekitar enam puluh lima tahun.
“Terima kasih, losuhu. Nasi dan sayur sederhana amat lezat bagi perut yang lapar,” kata Han Lin.
“Omitohud…, silahkan, sicu. Sicu boleh menempati kamar itu.”

Kamar itu kotor, hanya ada sebuah dipan. Agaknya lantainya baru saja dibersihkan dan temboknya sudah penuh lumut. Juga keadaan di ruangan lain kuil itu menunjukkan bahwa kuil itu memang tidak terawat.

Han Lin memasuki kamarnya dan menaruh buntalan pakaian di atas dipan karena di sana tidak ada meja. Dia mendengar hwesio tua tadi sedang membaca liam-keng (doa) sambil mengetuk-ngetuk kayu yang terdengar berirama.....
Setelah hari mulai gelap, seorang hwesio mempersilakan Han Lin untuk mandi. Bak mandi berada di belakang dan sudah terisi air, kata hwesio itu.

Han Lin merasa tidak enak kalau dia harus merepotkan para hwesio di situ. Maka dia pun menggendong buntalan pakaiannya, di dalam mana terdapat Pedang Awan Merah, lantas menjenguk ke tempat mandi. Ada tiga buah bak besar di situ, dua bak sudah terisi penuh, sedangkan yang satu bak lagi masih kosong.

Dia bertanya kepada hwesio itu di mana sumber airnya dan sesudah diberi tahu, dia lalu memanggul pikulan dengan dua buah tempat air dan pergi ke sumber air. Dengan cepat dia dapat memenuhi satu bak yang masih kosong, barulah dia mandi. Terasa segar dan sejuk sekali, rasa lelah bagaikan tercuci bersih bersama debu yang mengotori tubuh dan pakaiannya.

“Sicu, silakan makan,” kata hwesio tadi.

Dia pun mengikuti hwesio itu pergi ke ruangan tengah di mana tiga orang hwesio itu lalu duduk menghadapi meja makan. Han Lin waspada, khawatir kalau-kalau para hwesio itu orang jahat yang menyamar dan akan meracuninya.

Akan tetapi mereka mengambil nasi serta lauk sayur sederhana dari tempat yang sama. Dia tidak takut diracuni karena tubuhnya sudah kebal terhadap racun. Akan tetapi di dunia kang-ouw terdapat orang-orang yang sangat berbahaya, dan siapa tahu ada racun yang mampu menembus kekebalannya.

Sesudah melihat mereka makan dari nasi dan sayur yang sama, Han Lin lalu makan dan ternyata memang benar. Perut kosong ditambah kelelahan yang sudah diusir oleh mandi yang menyegarkan badan merupakan lauk yang paling lezat. Nasi biasa saja terasa amat harum dan gurih, apa lagi ditambah sayur.

Han Lin berterima kasih sekali kepada tiga orang hwesio itu, bukan saja karena dia telah mendapat makanan dan bisa membersihkan tubuh lalu akan diberikan pula tempat untuk melewatkan malam, akan tetapi terutama sekali karena mereka itu membuktikan bahwa mereka bukanlah komplotan yang akan mengganggunya atau mengincar pedangnya.

Malam itu Han Lin tidur dengan hati tenang. Dia meletakkan buntalan pakaiannya di dekat kepalanya, bahkan menggunakan pakaiannya sebagai ganjal kepala.

Dia tertidur pulas sekali sehingga tanpa diketahuinya, lewat tengah malam ada asap yang memasuki kamarnya lewat jendela! Asap itu berwarna hitam dan tebal. Kemudian tiba-tiba saja terdengar gembreng dan kaleng dipukul orang dengan gencar di luar pintu dan jendela kamar itu, menimbulkan suara yang berisik sekali.

Han Lin terkejut bukan main sehingga seketika itu pula terbangun dari tidurnya. Ketika dia meloncat turun dari dipan, dengan diselubungi asap hitam tebal, dia mendengar sambaran angin menuju ke arahnya.

Cepat dia menggerakkan kedua tangannya, mengerahkan sinkang dan memukul dengan hawa dari tenaga saktinya. Maka runtuhlah anak panah dan piauw yang menyambar dari segala penjuru itu. Tapi sambaran senjata rahasia datang semakin gencar sehingga Han Lin meraba tongkatnya yang berada di pembaringan, lantas memutar tongkatnya sambil melompat ke arah jendela dari mana masuk asap hitam itu.

“Brakkkk...!”

Daun pintu itu jebol, lantas tongkatnya meluncur mengenai dada seorang yang memegang bambu yang dipakai untuk menyemprotkan asap hitam itu.

“Aduhh...!” Orang itu terjengkang dan dari sinar lampu yang tergantung di luar, ternyata bahwa orang itu adalah hwesio kepala yang baik hati tadi.

Dari kanan kiri menyambar senjata golok. Gerakan dua golok itu cukup kuat sehingga Han Lin cepat melompat mundur untuk melihat siapa pengeroyoknya itu. Ternyata dua orang hwesio yang lain! Maka tahulah dia bahwa tiga orang hwesio itu memang penjahat yang menyamar seperti yang dikhawatirkannya.

Agaknya tadi mereka memang tidak memperlihatkan rahasia mereka sehingga Han Lin percaya penuh dan tidur nyenyak. Sesudah mengetahui bahwa mereka adalah tiga orang hwesio tadi, Han Lin lalu menggerakkan tongkatnya dua kali dan dua orang hwesio yang bersenjata golok itu pun roboh.

Han Lin teringat akan buntalan pakaiannya. Selagi dia hendak melompat masuk kembali tiba-tiba ada serangan yang demikian hebat sehingga terpaksa dia melompat mundur lagi. Serangan itu merupakan angin dingin menyusup tulang dan tenaganya hebat bukan main. Begitu dia melompat ke samping untuk menghindarkan diri dari pukulan jarak jauh yang dahsyat itu, kembali dari kirinya menyambar pukulan yang amat panas.

“Sam Mo-ong...!” serunya kaget.

Dia tahu bahwa orang-orang yang dapat menyerang seperti itu hanyalah Hek-bin Mo-ong dan Pek-bin Mo-ong, maka dia pun bersikap waspada karena cuaca demikian gelapnya. Setelah dia dapat mengelak dari dua pukulan itu, dia lalu memutar tongkatnya melindungi dirinya.

Terlihat bayangan banyak orang berkelebat yang mencoba menyerangnya dari kegelapan. Han Lin segera menggerakkan tongkatnya, memukul roboh beberapa orang dan tiba-tiba saja semua bayangan itu lenyap dalam kegelapan malam. Juga Hek bin Mo-ong dan Pek-bin Mo-ong tidak nampak lagi.

Dengan gelisah Han Lin segera melompat ke dalam kamarnya melalui jendela. Kamar itu masih penuh dengan asap hitam sehingga Han Lin tidak dapat melihat apa pun. Dia cepat menghampiri dipan, meraba-raba dan... buntalan pakaiannya telah lenyap tanpa bekas!

Han Lin amat terkejut, kemudian marah bukan main setelah merasa yakin bahwa buntalan pakaian berikut Pedang Awan Merah sudah lenyap. Dia mengeluarkan suara melengking nyaring kemudian tubuhnya berkelebat keluar.

Akan tetapi setibanya di luar keadaan sunyi saja tidak nampak seorang pun manusia atau sesosok pun bayangan. Para hwesio dan beberapa orang yang dirobohkan tadi pun sudah lenyap. Dia tahu bahwa dia telah terjebak, dipancing keluar lalu pedangnya diambil orang.

“Hek-bin Mo-ong dan Pek-bin Mo-ong pengecut curang!” teriaknya dengan suara lantang yang menggetar hingga bergema di seluruh hutan. “Sam Mo-ong, kembalikan pedangku! Kalau kalian memang gagah, hayo keluar dan kita bertanding secara gagah!”

Sia-sia saja dia berteriak-teriak sampai tenggorokannya serak. Yang menjawabnya hanya gema suaranya sendiri. Dengan lampu gantung di tangan, dia segera memeriksa seluruh bagian kuil. Ternyata itu memang kuil kosong yang dipakai untuk menjebaknya. Dengan mendongkol sekali terpaksa dia melewatkan malam di kamarnya yang tadi, karena tidak mungkin mengejar atau melakukan pencarian di hutan pada malam yang gelap pekat itu.

Pada keesokan harinya, sesudah terang tanah, dia keluar dari kuil dan betapa dongkolnya ketika melihat buntalan pakaiannya tergantung di ranting sebatang pohon di luar kuil. Dan tentu saja pedangnya sudah tidak berada di dalam buntalan.

“Jahanam busuk, bedebah pengecut!” makinya dengan gemas, gemas kepada diri sendiri yang begitu mudah percaya kepada tiga orang hwesio, mudah saja ditipu musuh sehingga pedang pusaka itu lenyap. Akan tetapi ke mana dia harus mencari?

Sudah dapat dipastikan bahwa serangan semalam itu dilakukan oleh Hek-bin Mo-ong dan Pek-bin Mo-ong. Akan tetapi apakah yang lainnya itu adalah anak-anak buahnya, ataukah dari golongan lain? Siapa yang mencuri pedangnya itu, Sam Mo-ong ataukah orang lain? Dia tidak merasa heran kalau Sam Mo-ong mengetahui bahwa Ang-in Po-kiam berada di tangannya. Pertama, dulu Sam Mo-ong juga hadir ketika Hoat-kauw diserbu oleh pasukan dan kedua, tokoh Hoat-kauw yang hadir di pertemuan Cin-ling-pai itu tentu menceritakan segalanya kepada Sam Mo-ong.

Dengan langkah gontai karena hatinya merasa kecewa dan gelisah, Han Lin keluar dari hutan lebat hendak melanjutkan perjalanan ke Souw-ciu. Ke mana lagi mencari jejak Sam Mo-ong kalau tidak ke Souw-ciu. Kota itu merupakan kota terdekat dan kiranya para datuk itu tentu pergi ke sana sebelum melanjutkan perjalanan entah ke mana.

Ketika sudah berada di dekat kota Souw-ciu, dari arah belakangnya mendadak terdengar derap kaki kuda. Han Lin yang sedang murung tidak mempedulikan ini, hanya melangkah ke tepi. Seekor kuda putih yang besar dan kuat lewat dengan cepat, dan penunggangnya adalah seorang wanita muda yang berpakaian ringkas warna hijau. Rambutnya riap-riapan tertiup angin dan ketika lewat di dekat Han Lin, pemuda ini dapat mencium aroma harum yang menyengat hidung.

Dia menjadi tertarik lalu memperhatikan wanita itu. Tubuhnya ramping sekali dan melihat dia duduk di atas kuda yang membalap itu dengan enaknya, amat serasi dengan gerakan kuda, seolah dia adalah penunggang kuda yang mahir sekali.

Akan tetapi mendadak kuda itu berhenti, mengangkat kedua kaki depan sambil memutar tubuh. Sepasang mata yang seperti mata burung Hong itu menatapnya dan kuda itu pun dijalankan kembali menghampirinya.

Han Lin bersikap tenang namun hatinya merasa tegang juga. Gadis jelita ini jelas sedang menghampirinya dan sesudah kini menghadapnya, dia melihat betapa jelitanya gadis itu. Gadis itu kelihatannya baru berusia dua puluh tahun, tetapi pembawaannya sudah matang betul.

Pinggang ramping, pinggul besar dan tubuh itu memiliki lengkung lekuk yang menantang. Wajahnya bulat telur dan kulit mukanya putih kemerahan, dengan rambut hitam panjang terurai. Alisnya kecil hitam panjang melengkung, sepasang matanya indah seperti mata burung Hong, hidung mancung dan mulutnya mendebarkan hati Han Lin.

Entah mana yang lebih indah, matanya atau mulutnya karena kedua bagian muka ini yang memiliki daya tarik luar biasa. Dagunya runcing dihiasi setitik tahi lalat hitam. Pendeknya seorang gadis yang cantik jelita! Pakaiannya yang berwarna hijau amat ketat dan ringkas sehingga mencetak tubuhnya. Pada punggungnya tergantung sepasang pedang.

Kuda itu berhenti tepat di hadapan Han Lin sehingga membuat Han Lin terpaksa menahan langkahnya kemudian memandang dengan mata bertanya.

Gadis itu melompat turun dengan gerakan ringan seperti seekor burung dan dia melepas kudanya begitu saja. Tentu seekor kuda yang sudah terlatih dengan baik.

Melihat gadis yang jelas-jelas menghadangnya itu, Han Lin yang sedang murung menjadi jengkel. “Nona, apa maksudmu menghadang perjalananku?” tanyanya. Kalau saja Han Lin tidak sedang murung, tentu sukar bersikap dingin terhadap seorang gadis sejelita ini, akan tetapi dia sedang marah dan jengkel.

“Sia Han Lin, tidak perlu banyak cakap lagi. Serahkan Ang-in Po-kiam kepadaku!” berkata wanita itu dan cara bicaranya sungguh angkuh sekali. Mendengar ucapan ini, kemarahan hati Han Lin berubah menjadi kegelian hati dan dia tertawa bergelak.
“Ha-ha-ha-ha... alangkah lucunya!”

Tentu saja gadis itu mengerutkan alisnya dan membentak. “Tidak perlu membadut di sini. Cepat serahkan pedang pusaka di buntalanmu itu atau terpaksa aku akan menggunakan kekerasan!”

“Buntalan pakaianku ini? Engkau menghendaki ini?” Perlahan-lahan Han Lin menurunkan buntalannya kemudian melemparkannya ke arah gadis itu sambil berseru, “Nah, makanlah buntalan ini!”

Karena sedang jengkel, lalu mendengar wanita itu hendak merampas pedang yang telah dicuri orang, Han Lin pun sengaja mengerahkan tenaganya ketika melemparkan buntalan pakaiannya ke arah gadis itu. Wanita baju hijau itu dengan sigap menjulurkan tangan kiri menyambut, kemudian dengan mudahnya dia menerima lemparan buntalan pakaian itu.

Diam-diam Han Lin terkejut. Lemparannya mengandung tenaga sinkang yang cukup kuat, akan tetapi gadis itu menerimanya begitu mudah. Ini hanya membuktikan bahwa gadis ini bukan orang sembarangan, tetapi sudah memiliki tenaga sinkang yang kuat sekali.

Setelah menerima buntalan itu kemudian menekan-nekannya, gadis itu maklum bahwa di dalamnya tidak terdapat pedang, maka dia melontarkan buntalan kembali kepada Han Lin.

“Terimalah kembali barangmu!”

Han Lin menjulurkan tangan menangkap. Terasa olehnya betapa kuatnya tenaga lontaran itu. “Hemm, kukira engkau menghendaki pakaianku,” dia mengejek.

“Sobat, tidak baik bermain-main di depan Jeng-i Sianli (Dewi Baju Hijau) Cu Leng Si. Aku menghendaki Pedang Awan Merah. Hayo serahkan kepadaku!”
“Nama yang bagus, Cu Leng Si dan julukannya juga bagus, Dewi Baju Hijau, akan tetapi wataknya jauh dari pada bagus. Seorang gadis cantik jelita ingin merampok, mana patut?”
“Sudahlah, jangan banyak cerewet. Aku sangat membutuhkan pedang itu, dan pedang itu pun bukan milikmu. Di mana kau sembunyikan pedang pusaka itu?”

“Hemm, Cu Leng Si, dalam urusan rampok-merampok atau curi-mencuri agaknya engkau masih harus belajar banyak. Engkau telah didahului orang lain, semalam pedang itu telah dicuri oleh Sam Mo-ong. Sekarang aku juga sedang mencari mereka, tetapi engkau malah muncul untuk merampoknya dariku. Ha-ha-ha, bukanlah itu lucu sekali?”

Gadis itu mengerutkan alisnya yang hitam panjang melengkung seperti dilukis itu. Kedua matanya yang seindah mata burung Hong kini mencorong seperti mata naga.

“Aku tidak percaya! Tak perlu menggunakan nama Sam Mo-ong, aku tidak takut kepada mereka. Sia Han Lin, kuhitung sampai tiga, kalau engkau belum juga menyerahkan Ang-in Po-kiam kepadaku, jangan salahkan aku kalau pedangku akan memenggal lehermu!”
“Singg-singgg...!”

Nampak dua sinar berkelebat dan tahu-tahu kedua tangan wanita itu sudah memegang masing-masing sebatang pedang yang berkilauan saking tajamnya.

“Cu Leng Si, engkau sudah memiliki dua batang pedang yang amat baik, tetapi mengapa masih menghendaki Ang-in Po-kiam? Alangkah murkanya engkau. Terserah engkau mau percaya atau tidak percaya kepadaku. Kenyataannya pedang itu memang telah dicuri oleh Sam Mo-ong semalam, ketika aku bermalam di kuil tua itu!”
“Bohong! Sekali lagi aku mulai menghitung, satu... dua... tiga..!”

Dan sinar pedang itu mencuat, menyambar ke arah leher Han Lin dengan kecepatan kilat.

“Empat... lima... enam... tujuh...” Han Lin mengelak sambil melanjutkan hitungan gadis itu yang berhenti sampai tiga. “Wah, engkau sungguh ganas dan kejam sekali, Jeng-i Sianli. Benar-benar tidak sesuai dengan julukanmu. Engkau memakai julukan Sianli (Dewi), akan tetapi engkau galak seperti kuntilanak!”

“Kuntilanak? Kau... kau...!”

Dan kini Jeng-i Sianli Cu Leng Si mengamuk. Sepasang pedangnya menyambar-nyambar ganas. Kalau tadi dia hanya ingin menggertak saja supaya Han Lin menyerahkan pedang pusaka, kini dia menyerang dengan siang-kaimnya untuk membunuh!

Han Lin kagum sekali. Ilmu siang-kiam dari gadis ini hebat bukan main, mengingatkan dia kepada adik misannya Yang Mei Li yang berjuluk Hui-kiam Sianli (Dewi Pedang Terbang). Yang Mei Li juga menggunakan sepasang pedang terbang yang gerakannya sangat hebat dan cepat, bahkan sepasang pedangnya itu dapat ‘diterbangkan’ dengan dikendalikan tali sutera panjang.

Melihat pedang menyambar cepat dia pun meloncat ke belakang untuk mengelak. Ketika pedang kedua menyusulkan serangan yang makin ganas, Han Li menggerakkan tongkat hitamnya menangkis.

“Tranggg...!”

Keduanya merasa kagum. Jeng-i Sianli merasa betapa tangannya tergetar, demikian pula Han Lin. Wanita itu tidak lama tertegun, namun sudah menerjang lagi dengan tusukan dan bacokan pedangnya. Tongkat itu berputar cepat, menangkis dan balas menyerang. Ketika sepasang pedang bergerak semakin hebat dan nampak dua gulungan sinar kehijauan, Han Lin tidak ragu lagi untuk mengeluarkan kepandaiannya.

Gadis ini memang lihai, tidak kalah dibandingkan dengan seorang di antara Sam Mo-ong sekali pun! Maka dia lalu memainkan Tongkat Kilat dan Badai. Angin besar menyambar-nyambar hingga membuat baju hijau itu berkibar. Dan rambut hitam panjang yang hanya diikat dengan sutera merah itu juga berkibar-kibar seperti bendera hitam.

Jeng-i Sianli Cu Leng Si mengeluarkan teriakan melengking. Dia merasa kagum dan juga penasaran sekali. Sepasang pedangnya mengamuk bagaikan gelombang samudera. Han Lin merasa gembira mendapat lawan yang demikian tangguh. Dia mengubah gerakannya lagi dan mainkan tongkatnya dengan Khong-khi-ciang.

Sekarang tongkat Han Lin menyambar-nyambar tanpa menimbulkan angin pukulan sama sekali, tahu-tahu sudah mendekati sasaran dan mengancam jalan darah penting sehingga beberapa kali Cu Leng Si menjerit kaget. Tetapi gadis itu ternyata mampu menghindarkan semua serangan Han Lin.

Tiba-tiba wanita itu mengeluarkan bunyi seperti suling melengking-lengking, lalu dari balik belukar dan pohon-pohon di tepi jalan, belasan orang berlompatan dari atas kuda mereka dan langsung mengepung Han Lin. Mereka semua adalah wanita-wanita yang berusia dari dua puluh lima sampai tiga puluh lima tahun dan melihat gerakan mereka ternyata semua wanita itu gesit dan dapat bergerak cepat sekali!

Han Lin terheran-heran. Akan tetapi dia harus memutar tongkatnya karena belasan orang wanita itu sudah menggerakkan jala sutera yang menyerang dari berbagai jurusan, masih ditambah lagi serangan sepasang pedang Dewi Baju Hijau sendiri.

Betapa pun lihainya Han Lin, namun kalau dalam perkelahian dia tidak mau melukai atau membunuh para pengeroyoknya, tentu saja dia terdesak hebat. Kalau dia mau bertindak kejam, merobohkan para pengeroyoknya, kiranya tak mungkin Jeng-i Sianli dan lima belas orang anak buahnya itu akan mampu menangkapnya. Akan tetapi Han Lin merasa yakin bahwa mereka itu bukan orang-orang jahat, walau pun ilmu silat mereka hebat dan sikap mereka hendak menangkapnya.

Beberapa helai jala lantas menimpanya sehingga dia seperti seekor ikan besar dalam jala, meronta akan tetapi tak mampu keluar lagi. Tongkatnya bukan senjata tajam, tidak dapat membobol jala sutera yang kuat itu. Sebuah totokan dari Jeng-i Sianli yang istimewa telah membuat tubuh Han Lin menjadi lemas. Wanita itu lalu mengikatnya dalam gulungan jala bersama tongkatnya.

“Kalian pergilah, pulang lebih dulu dan siapkan kamar tahanan untuk orang ini!” katanya kepada belasan orang wanita itu yang segera menunggangi kuda mereka lalu lenyap ke dalam hutan di tepi jalan.

Cu Leng Si menghampiri Han Lin yang tidak mampu bergerak, hanya meringkuk di dalam jala. “Nah, sekarang engkau telah menjadi tawananku. Cepat katakan di mana Ang-in Po-kiam dan mungkin saja aku akan membebaskanmu!” katanya dengan ketus.

Totokan itu hanya membuat Han Lin tak mampu menggerakkan kaki dan tangannya. Dia pun tertawa mengejek. “Ha-ha-ha, baru sekali ini aku melihat seorang dewi berhati kejam seperti kuntilanak. Kita belum pernah saling mengenal, belum pernah berurusan, tidak ada permusuhan, tapi kenapa engkau bersikap kejam kepadaku? Engkau bersikap pengecut, mengeroyokku bersama belasan orang anak buahmu. Jeng-i Sianli Cu Leng Si, apakah engkau tidak malu ditertawakan orang sedunia?”

“Sia Han Lin manusia sombong. Engkaulah yang memaksa aku bersikap begini. Engkau keras kepala, tidak juga mau menyerahkan Ang-in Po-kiam kepadaku! Aku tak akan sudi melepaskanmu selama engkau belum mengaku di mana pedang itu dan menyerahkannya kepadaku!”

Ia meloncat ke atas kudanya sambil memegang tali jala, kemudian menjalankan kudanya dan menyeret tubuh Han Lin yang terbungkus jala. Tentu saja hal ini sangat menyakitkan karena Han Lin tak mampu mengerahkan sinkang untuk melindungi kulitnya yang terseret sehingga kulitnya lecet-lecet dan pakaiannya robek-robek.

“Mengakulah dan aku akan membebaskanmu!” kata Cu Leng Si.
“Kuntilanak, siluman rase, setan betina, apa yang harus kuakui?!” bentak Han Lin marah karena dia merasa dipermainkan dan dihina.
“Bagus, engkau keras kepala ya?” Cu Leng Si mempercepat langkah kudanya sehingga tubuh Han Lin terseret-seret semakin cepat. Gadis itu mengambil jalan simpangan, tidak melalui jalan besar menuju ke kota Souw-ciu, melainkan mendaki sebuah bukit.

Masih untung bagi Han Lin bahwa rebahnya tadi telentang sehingga hanya tubuh bagian belakangnya saja yang babak bundas dan bajunya robek-robek. Buntalan pakaiannya tadi sudah tergeser ke samping pundak ketika dia terseret. Han Lin terpaksa diam saja, hanya mengeraskan hatinya agar mulutnya jangan mengeluarkan rintihan.

Melihat pemuda itu diam saja, Leng Si menghentikan kudanya dan menengok. Alangkah kagetnya ketika ia melihat pemuda yang diseretnya itu rebah, telentang diam tak bergerak dengan mata terbalik dan lidah terjulur keluar.

“Celaka...!” teriaknya. Dia cepat melompat turun dari atas kuda lalu menghampiri Han Lin dan berlutut di dekatnya.
“Han Lin...! Han Lin...!” Dia mengguncang tubuh yang nampaknya sekarat itu.

Han Lin tetap tak bergerak dan Leng Si segera menotoknya, melepaskan totokannya tadi dari balik jala. Akan tetapi begitu totokannya terbebas, mendadak tangan Han Lin meraih dari dalam jala dan pergelangan tangan Leng Si sudah dipegangnya erat-erat!

“Nah, sekarang engkau menjadi tawananku!” katanya sambil tersenyum.

Leng Si terkejut setengah mati. Dengan cepat direnggutnya tangan itu dan dengan tangan kanannya dia segera menotok lagi. Han Lin yang belum dapat bergerak leluasa di dalam jala terkena totokan lagi sehingga kaki tangannya menjadi lemas.

Leng Si meloncat berdiri, membanting-banting kaki saking gemasnya. “Engkau menipuku, bedebah! Engkau patut dihajar!”

Dia meloncat ke atas punggung kudanya lagi dan kini menjalankan kudanya dengan cepat sehingga tubuh Han Lin terguncang-guncang dan terseret-seret!

Setelah lewat tiga li mereka memasuki hutan, Leng Si menengok dan melihat pemuda itu telentang sambil tersenyum-senyum, walau pun bajunya sudah robek-robek dan kulitnya babak bundas. Memang Han Lin merasa tenang saja karena dia amat yakin bahwa wanita itu tak bermaksud membunuhnya. Ketika tadi dia berpura-pura sekarat, wanita itu merasa khawatir dan berusaha menolongnya. Wanita yang aneh, agaknya tidak jahat akan tetapi hatinya keras seperti batu!

Leng Si melompat turun dari kudanya, lalu melihat ke kanan kiri. Sambil menyeret tubuh Han Lin dia menghampiri pohon besar, dan sekali loncat tubuhnya melayang naik sambil memegang ujung tali jala yang panjang, kemudian dia melompat turun setelah melibatkan tali jala itu. Dengan mengerahkan tenaganya dia mengerek tubuh Han Lin yang berada di dalam jala itu sehingga tubuh itu kini tergantung! Dia mengikatkan ujung tali jala ke batang pohon. Luar biasa sekali tali jala yang kecil itu sehingga mampu menahan tubuh Han Lin.

Han Lin nampak seperti seekor ikan dalam jala yang digantung akan tetapi dia diam saja, hanya melirik dan mencoba untuk memandang wanita yang berada di bawah itu.

“Han Lin, engkau belum juga hendak mengaku di mana pedang itu kau sembunyikan?”
“Tidak ada gunanya. Mengaku pun engkau tak akan percaya. Lebih baik diam dan engkau boleh melakukan apa saja terhadap diriku!”
“Kepala batu!” Leng Si memaki.

Dengan wajah muram dia mengeluarkan anggur, roti kering dan daging kering, lalu makan perlahan-lahan. Bau anggur membuat jakun Han Lin turun naik, namun dia tidak berkata apa-apa. Dia mengenang kembali rentetan peristiwa yang tidak menyenangkan hatinya.

Mula-mula ditipu tiga orang hwesio, malamnya diserbu musuh dan Ang-in Po-kiam lenyap dicuri orang. Kemudian dia dihadang perampok hingga akhirnya dapat ditawan oleh wanita ini. Dia belum tahu orang macam apa adanya Dewi Baju Hijau ini, dan apa maunya begitu bernafsu untuk mendapatkan Ang-in Po-kiam.

Padahal wanita ini cantik jelita dan pembawaannya menarik, halus lembut. Tapi dia dapat bersikap keras laksana baja, juga memiliki anak buah yang terlatih baik. Apakah seorang wanita yang demikian cantik jelita ini termasuk seorang penjahat? Ilmu silatnya tinggi, apa bila dia berwatak jahat sungguh merupakan hal yang patut disesalkan.

“Hemm, sayang...!” Ucapan hatinya itu tercetus keluar melalui mulutnya tanpa disengaja.
“Apa kau bilang? Apanya yang sayang?” kata Leng Si yang selalu memperhatikan kalau-kalau pemuda itu mau mengaku di mana adanya pedang pusaka yang dicarinya itu.
“Sayang seribu sayang bahwa gadis secantik engkau dapat melakukan perbuatan yang demikian kejam, menyiksa orang yang tidak bersalah.”
“Kalau engkau tidak mau mengaku, aku akan menggantungmu sampai mati di tempat ini!” kata Leng Si dengan gemas sekali.
“Demi Tuhan, kenapa engkau sekejam itu?” Suara ini terdengar amat lembut dan disusul meluncurnya sinar perak yang menyambar ke arah tali sutera yang menggantung jala. Tali sutera disambar piauw perak (gin-piauw) itu sehingga tubuh Han Lin yang berada di dalam jala segera jatuh berdebuk ke atas tanah.

Bagaikan seorang dewi yang turun dari kahyangan, tahu-tahu di situ telah berdiri seorang gadis lain yang berpakaian sutera putih berkembang kuning. Kebetulan Han Lin sedang menghadap kepada gadis itu dan dia pun terbelalak kagum.

Seorang gadis cantik lain lagi. Lebih muda, paling banyak sembilan belas tahun usianya, akan tetapi wajahnya yang cantik itu, sikapnya yang lembut lemah gemulai itu, rambutnya yang digelung ke atas itu, wah entah bagian mana yang terindah.

Tubuhnya langsing semampai, wajahnya bersinar lembut, sepasang matanya begitu indah dengan buu-bulu mata lentik dan tatapannya halus. Bibir itu selalu dihiasai senyum ramah penuh kesabaran. Tiba-tiba saja Han Lin teringat akan patung Dewi Kwan Im yang pernah dilihatnya di dalam kuil.

“Kwan Im Pouwsat (Dewi Kwan Im)...!” katanya di luar kesadarannya.

Gadis berpakaian putih itu cepat menengok kepadanya. “Ehhh, engkau sudah mengenal aku?”

Han Lin terbelalak. Jadi gadis ini benar-benar bukan manusia? Benarkah dia adalah Dewi Kwan Im? Dia bengong saja dan tidak mampu menjawab.

Sementara itu Leng Si segera melangkah maju dan nampak marah sekali kepada wanita yang baru datang. “Sumoi, aku minta sekali ini engkau tidak mencampuri urusanku!”

Gadis berpakaian putih itu tersenyum lebar, kemudian menjawab penuh kesabaran. “Suci, selamanya aku belum pernah mencampuri urusanmu. Aku hanya menjalankan kewajiban seperti yang diajarkan ibu kepada kita. Menentang kejahatan dan kekejaman, membela yang lemah dari penindasan. Katakan, kenapa engkau memperlakukan orang ini sekejam itu?”

“Bukan urusanmu!”
“Suci, aku tahu bahwa engkau bukan orang jahat, akan tetapi engkau keras hati dan tidak pernah mau menceritakan rahasiamu. Dengan sikapmu itu engkau akan menemui banyak kesulitan, suci.”
“Tidak peduli! Sumoi, sekali ini kuminta engkau pergi dan jangan mencampuri urusanku.”
“Aku tidak mau pergi kalau engkau belum menceritakan mengapa engkau menyiksa orang ini, suci. Lihat, dia luka-luka. Bahkan andai kata dia penjahat sekali pun, tak semestinya engkau menyiksanya. Perbuatanmu ini sangat kejam dan kalau sampai ibu tahu, tentu dia akan marah kepadamu.”
“Jangan mencampuri urusan pribadiku!” Leng Si menjerit marah. “Akan kuapakan orang ini, tidak ada sangkut pautnya denganmu. Pergilah!”
“Tidak, suci. Semua perbuatan kejam ada sangkut pautnya dengan aku, karena aku harus menentangnya!”
“Sumoi, engkau hendak melawan aku? Ketahuilah, aku bukanlah Jeng-i Sianli satu tahun yang lalu. Selama ini aku sudah memperdalam ilmuku, maka sekali ini mungkin pedangku akan mencelakanmu. Sebelum hal itu terjadi, sebaiknya engkau pergi saja.”

“Membela kebenaran tidak boleh setengah-setengah, suci. Kalau diperlukan bahkan boleh dipertaruhkan dengan nyawa.”
“Engkau hendak mempertaruhkan nyawamu demi membela seorang yang tidak kau kenal seperti dia itu?”
“Dia atau siapa pun juga manusia yang perlu dibela, apa bila tidak bersalah dan terancam perlakuan kejam maka harus dibela.”
“Cin Mei, engkau sudah keterlaluan!” bentak Leng Si dan dia telah mencabut siang-kiam (sepasang pedang) dari punggungnya. “Engkau benar-benar hendak melawanku? Cepat siapkan senjatamu!”
“Suci, apa gunanya ini? Aku hanya minta agar engkau menceritakan alasan perbuatanmu terhadap orang ini atau membebaskannya.”
“Tutup mulut dan cabut senjatamu!” bentak pula Leng Si dengan marah.

Gadis berpakaian putih itu menghela napas. “Engkau tidak akan dapat mengalahkan aku, suci.”

“Singgg...!” pedang kiri Leng Si menyambar dahsyat dengan serangan pertamanya.

Gadis bernama Lie Cin Mei itu menggerakkan kakinya dan tubuhnya melayang ke kanan, ke arah Han Lin, lalu sekali dia menggerakkan jari tangannya, totokan pada tubuh Han Lin telah terbebas!

Melihat ini, Jeng-i Sianli Cu Leng Si terkejut sekali dan juga maklum bahwa sekarang dia menghadapi bahaya. Baru melawan sumoi-nya saja belum tentu dia menang, apa lagi kini Han Lin yang dia sudah tahu kelihaiannya itu telah terbebas dari totokan. Kalau mereka maju berdua, dalam waktu singkat saja dia akan menderita kekalahan!

“Sumoi, engkau terlalu...!” katanya dengan isak tertahan dan sekali melompat, dia sudah berada di atas punggung kudanya yang segera dibalapkan lari meninggalkan tempat itu.

Cin Mei tidak mempedulikan lagi kepada suci-nya. Dia membantu Han Lin keluar dari jala itu sambil berkata lembut. “Rebahlah dulu, biar kuperiksa keadaanmu dan kuobati.”

Han Lin merasa terharu mendengar suara itu. Begitu lembut, begitu penuh kasih sayang seperti seorang ibu terhadap anaknya.....!
Jari-jari tangan itu mulai memeriksa badannya, lecet-lecet di bagian belakang tubuhnya. Agaknya dara itu hanya memperhatikan keadaan lukanya dan seperti tidak melihat bahwa dia sedang setengah telanjang karena pakaian belakangnya robek-robek.

“Syukur kepada Tuhan...!” Gadis itu menghela napas panjang. “Engkau hanya luka lecet-lecet saja, tidak berbahaya. Aku mempunyai obat luka yang manjur sekali. Diamlah, akan kuobati tetapi agak perih rasanya.”

Dan ketika dia mengoleskan obat luka itu pada bagian belakang tubuh Han Lin yang lecet-lecet, memang terasa perih sekali. Tentu saja Han Lin dapat menahan rasa nyeri seperti itu, namun dia sengaja mengaduh dan merintih sehingga gadis itu merasa kasihan lantas dengan sentuhan lembut dia berusaha meringankan rasa nyeri itu.

“Cukup, dalam waktu beberapa jam saja luka-lukamu akan kering dan sembuh. Sekarang gantilah pakaianmu sebelum kita bicara.” Gadis itu bangkit berdiri kemudian membalikkan tubuhnya.

Han Lin merasa rikuh sekali, namun dia melihat bahwa gadis itu benar-benar membuang muka, sama sekali tidak melirik ke arahnya. Maka dia pun menanggalkan celana dan baju yang bagian belakangnya terkoyak-koyak itu, kemudian berganti dengan celana dan baju yang masih utuh dan bersih. Sampai dia selesai berpakaian gadis itu masih membalikkan diri membelakanginya.

Gadis yang hebat, pikirnya kagum. Melampaui gadis-gadis yang pernah dijumpainya, baik dalam kecantikan mau pun dalam sikap. Bahkan lebih anggun dibandingkan Dewi Pedang Terbang Yang Mei Li!

“Aku sudah berganti pakaian, nona,” katanya.

Gadis itu membalikkan tubuhnya dan begitu dia bertatap muka dengan Han Lin, pandang matanya menunjukkan keheranan sehingga pandang matanya menjelajahi tubuh Han Lin dari kepala sampai ke kaki. Dia memang merasa sangat heran karena baru sekarang ini dia melihat bahwa orang yang disiksa suci-nya itu ternyata adalah seorang pemuda yang amat tampan, yang menggendong buntalan pakaiannya dan memegang sebatang tongkat butut hitam.

“Apa yang akan kita bicarakan, nona?” tanya Han Lin ketika melihat gadis itu diam saja.
“Ohh, aku akan membicarakan tentang suci-ku tadi. Kenapa dia menyiksamu? Kesalahan apa yang kau lakukan kepadanya? Tidak biasanya suci menyiksa orang biar pun hatinya keras sekali.”
“Aku tidak mempunyai kesalahan apa-apa, nona, bahkan mengenalnya pun tidak. Begitu bertemu dengan aku, dia memaksa aku mengakui di mana aku menyembunyikan pedang pusaka, padahal aku sama sekali tidak menyembunyikannya.”

Gadis itu menghela napas panjang. “Kuharap engkau suka memaafkan suci-ku. Memang dia keras hati, bila ingin mendapatkan sesuatu harus terlaksana. Akan tetapi, kenapa dia menyangka engkau menyembunyikan pedang pusaka. Jika tidak ada alasannya, kiranya tidak mungkin dia menyangkamu begitu, dan pedang pusaka apakah itu?”

Melihat gadis itu bicara lembut dan nampaknya jujur sekali, timbullah kekaguman besar di hati Han Lin dan dia mengambil keputusan untuk berterus terang saja kepada gadis ini.

“Pedang itu adalah Pedang Awan Merah, nona...”
“Ang-in Po-kiam dari istana? Bagaimana dapat berada di tanganmu, atau bagaimana suci menyangka demikian?”
“Memang pedang itu terjatuh ke tanganku, nona. Aku menemukannya dari tangan Hoat Lan Sian-su yang tewas ketika terjadi penyerbuan pasukan kepada Hoat-kauw.”
“Hemm, luar biasa sekali. Lalu bagaimana?”

“Aku dalam perjalanan menuju ke kota raja karena aku bermaksud untuk mengembalikan pedang itu kepada Sribaginda Kaisar. Akan tetapi ketika mendengar Cin-ling-pai difitnah sebagai pencuri pedang oleh para tokoh kang-ouw, aku sengaja pergi ke sana dulu untuk membersihkan nama Cin-ling-pai yang aku tahu merupakan perkumpulan orang gagah itu.”
“Bagus, tindakanmu itu benar sekali.”
“Nah, setelah semua orang tahu bahwa pencurinya bukanlah orang Cin-ling-pai melainkan orang Hoat-kauw, aku lalu meninggalkan Cin-ling-pai untuk melanjutkan perjalanan ke kota raja. Akan tetapi di tengah perjalanan, aku diserbu banyak orang yang dipimpin oleh Sam Mo-ong kemudian pedang itu dirampas oleh Sam Mo-ong.”

“Ahh, tiga datuk sesat itu?” Si nona nampak terkejut sekali ketika mendengar disebutnya tiga datuk itu.
“Lebih celaka lagi, baru malam tadi aku kehilangan pedang, tetapi pagi ini sudah ditawan dan disiksa suci-mu yang baik hati seperti dewi itu!”
“Jangan berolok-olok, aku telah memintakan maaf untuk suci-ku, mengapa engkau masih mengejek juga? Jadi, jelas bahwa Sam Mo-ong yang merampas Ang-in Po-kiam darimu? Memang, menurut kata ibuku, di antara para datuk sesat, Sam Mo-ong yang paling jahat dan licik. Semoga Tuhan mengampuni dosa mereka. Tetapi sekali lagi aku mintakan maaf atas perbuatan suci kepadamu. Selamat tinggal.”

Sekali melompat gadis itu lenyap dari hadapan Han Lin dan pemuda itu semakin kagum. Siapa namanya?

“Ehh, nona tunggu dulu. Aku mempunyai pertanyaan yang penting sekali!”

Nampak bayangan putih berkelebat kemudian gadis itu telah berada di depannya kembali. Diam-diam Han Lin tersenyum di dalam hatinya. Jelas nona ini belum pergi jauh, mungkin hanya menyelinap di balik pohon kemudian mengintainya.

“Ada apakah?”
“Nona tadi mintakan maaf untuk suci nona kepadaku, benarkah itu?”
“Ya, benar. Kuharap engkau suka memaafkannya.”
“Aku akan memaafkannya asal saja nona suka memenuhi permintaanku atau menjawab pertanyaanku yang teramat penting sekali.”

Gadis itu tersenyum sehingga Han Lin merasa jantungnya melompat tinggi dan berjungkir balik. Alangkah manisnya!

“Pertanyaan apakah itu? Tanyalah!”
“Dan nona berjanji akan menjawab dengan sejujurnya, tidak berbohong kepadaku?”

Alis mata hitam itu berkerut sedikit. “Sobat, selama hidup aku tidak suka berbohong.”

“Bagus, aku punya dua pertanyaan. Pertama, ketika tadi untuk pertama kali nona muncul, nona bertanya apakah aku sudah mengenal nona. Apa maksud pertanyaan itu?”
“Eh, jadi engkau belum mengenalku. Kenapa tadi engkau mengatakan Kwan Im Powsat?”
“Ahh, apa hubungannya Dewi Kwan Im denganmu, nona? Ketika engkau muncul dengan pakaian putih, demikian cantik, demikian agung dan anggun, kukira engkau Dewi Kwan Im yang datang untuk menolongku!”

Wajah yang ayu itu kini menjadi agak kemerahan dan mulut yang aduhai itu tersenyum. “Tidak ada hubungan dan sangkut pautnya, tetapi orang-orang memberi julukan Kwan Im Sianli kepadaku.”

“Wah, tepat sekali! Memang pantas sekali julukan itu. Sekarang pertanyaan kedua, nona. Bolehkah aku mengetahui namamu yang mulia?”
“Hemm…, namaku tidak mulia, biasa saja. Namaku Lie Cin Mei,” jawabnya singkat. “Nah, dua pertanyaan telah kujawab. Selamat tinggal!” Kembali dia berkelebat dan sekali ini Han Lin maklum bahwa gadis itu benar-benar telah pergi.
“Hemm, engkau tidak menanyakan namaku. Ah, lagi pula apa urusannya dengan namaku. Sekarang pun dia sudah lupa kepadaku,” demikian dia menggumam, hatinya tidak puas.

Akan tetapi dia segera teringat akan Sam Mo-ong dan dengan hati geram dia melanjutkan perjalanannya memasuki kota Souw-ciu…..

********************
Selanjutnya baca
PEDANG AWAN MERAH : JILID-05
LihatTutupKomentar