Suling Emas Naga Siluman Jilid 10


Kam Hong maklum bahwa dia tidak boleh main-main, maka dia pun lalu menggerakkan sulingnya dengan gerakan panjang dari kanan ke kiri lalu memutar seluruh tubuhnya, dan mulailah dia mainkan Kim-siauw Kiam-sut seperti yang dipelajarinya selama hampir lima tahun ini! Begitu Kam Hong bergerak dan tubuhnya pun lenyap dibungkus sinar keemasan yang lebih gemilang lagi, Han Bu tak dapat menahan seruan kagetnya. Apalagi ketika mereka berdua sudah saling menyerang dengan hebatnya, keheranan Han Bu makin meningkat. Ternyata pemuda lawannya itu mampu memainkan ilmu silat keturunan keluarganya dengan demikian hebat dan lengkap, dengan perkembangan-perkembangan aneh yang belum pernah dilihat atau didengarnya!

Sementara itu, para penonton, yaitu tiga orang gadis yang tingkat kepandaiannya belum setinggi Cu Han Bu dan dua orang adiknya, segera menjadi agak pening dan tidak dapat mengikuti jalannya perkelahian itu dengan pandang mata mereka. Mereka melihat betapa dua orang itu bergerak terlalu aneh dan terlalu cepat sehingga tubuh mereka terbungkus dua sinar yang sama-sama keemasan dan gilang-gemilang, sedangkan suara mendengung-dengung dari sabuk emas di tangan Han Bu itu kini ditambah lagi dengan suara suling melengking-lengking aneh sehingga terdengar luar biasa sekali. Suling di tangan Kam Hong itu seolah-olah tidak sedang digerakkan seperti sebatang senjata melainkan sedang ditiup dengan lagu yang aneh melengking-lengking, kadang-kadang tinggi serta kadang-kadang rendah dan mendatangkan kepeningan pada yang mendengarnya.
Memang hebat luar biasa perkelahian antara dua orang pendekar sakti itu. Bagi Kam Hong, semenjak ia meninggalkan gurunya dan pewaris ilmu-ilmu keluarga Suling Emas, yaitu Sin-siauw Sengjin, Cu Han Bu ini merupakan lawan yang paling lihai sesudah Yeti! Dan sebaliknya bagi pihak tuan rumah, Kam Hong merupakan lawan paling lihai yang pernah dijumpainya!

Setiap serangan mereka disertai sinkang yang amat kuat, dan setiap jurus serangan dibalas dengan jurus serangan lain. Dasar-dasar gerakan ilmu silat mereka sama, dan biar pun yang seorang menggunakan senjata sabuk emas dan yang lain menggunakan suling emas, namun mereka menggunakan senjata-senjata itu seperti orang memegang sebatang pedang dan ilmu silat yang mereka mainkan juga ilmu silat pedang! Akan tetapi perkembangan gerakan itu yang berbeda sehingga diam-diam Cu Han Bu harus mengakui bahwa ilmu silat lawan ini benar-benar luar biasa, merupakan ilmu silat pusaka keluarganya akan tetapi lebih ampuh dan lengkap. Juga dalam hal sinkang, dia merasa tidak mampu menandingi kekuatan pemuda sastrawan ini.`

Akan tetapi, keluarga Cu ini sudah terlampau lama, mungkin telah beberapa keturunan, merasa bahwa mereka adalah keluarga yang tidak dapat dikalahkan, yang memiliki kepandaian tinggi turun-temurun, maka mereka tidak biasa dengan kekalahan. Hal itu membuat mereka dalam mengasingkan diri selalu memandang rendah orang lain meski diam-diam keluarga ini amat memperhatikan dan mempelajari orang-orang kang-ouw yang terkenal, bukan hanya mengenal bentuk-bentuk mereka, julukan dan keistimewaan mereka, akan tetapi juga mempelajari keistimewaan mereka itu dan tiga orang saudara itu selalu mencari kelemahan mereka.

Akan tetapi mereka belum pernah mendengar tentang Kam Hong ini dan begitu pemuda yang tidak terkenal di dunia kang-ouw ini maju, mereka harus kalah! Tentu saja Cu Han Bu tidak dapat menelan ini, dan dengan penasaran memuncak dia pun melakukan perlawanan mati-matian dalam pertandingan itu.

Setelah lewat hampir dua ratus jurus, tahulah Kam Hong bahwa kalau pertandingan ini dilanjutkan, akhirnya tentu salah seorang di antara mereka akan roboh dengan terluka parah, kalau tidak tewas. Dan dia tidak ingin sampai menewaskan tuan rumah, apalagi karena memang tidak terdapat permusuhan apa pun di antara mereka.

Di dalam ilmu yang dipelajarinya dari catatan di tubuh jenazah itu, terdapat jurus yang dinamakan Tiang-khing-toan-san (Bianglala Memecahkan Bukit) dan jurus ini khusus untuk mematahkan senjata lawan yang bagaimana pun ampuhnya. Akan tetapi untuk ini dia harus mengerahkan seluruh tenaga khikang yang dihimpunnya dari latihan meniup suling. Kalau tidak berhasil, berarti dia akan menghamburkan banyak sekali tenaga dalam. Akan tetapi melihat bahwa itu merupakan jalan satu-satunya untuk mengakhiri pertandingan ini tanpa merobohkan lawan, maka dia lalu mulai memainkan jurus ini.

Cu Han Bu terkejut sekali ketika tiba-tiba gulungan sinar emas dari lawan itu berubah memanjang dan melengkung, dan terdengarlah suara melengking tinggi sekali sampai hampir tidak tertangkap oleh telinga, namun yang mengandung getaran yang luar biasa, membuat jantungnya terasa perih dan kedua kakinya menggigil! Semua orang yang berada di situ agaknya terpengaruh juga, karena Cu Seng Bu dan Cu Kang Bu cepat duduk bersila menghimpun tenaga untuk melawan getaran itu, sedangkan Cu Pek In, Yu Hwi, dan Ci Sian cepat-cepat menggunakan kedua telapak tangan untuk menutup telinganya rapat-rapat karena mereka merasa telinga mereka seperti ditusuk-tusuk!

Kam Hong maklum akan hal ini, maka begitu tenaganya sudah bulat terhimpun, dia meluncurkan sulingnya ke atas, seolah-olah hendak menyerang kepala lawan. Cu Han Bu cepat mengangkat sabuk emasnya untuk melindungi kepala dan pada saat itu, dengan gerakan melengkung seperti bianglala, suling emas di tangan Kam Hong datang melayang dan menghantam ke arah sabuk emas itu.

“Cringggg....! Trakkkk!!”

“Aiihhhh....!”

Cu Han Bu meloncat jauh ke belakang, berdiri dengan muka pucat memandang ke arah sabuk emasnya yang telah patah menjadi dua hingga yang tinggal di tangannya hanya sepotong pendek sedangkan patahannya berada di atas tanah, di bawah kaki lawan.

Cu Han Bu boleh jadi adalah seorang yang berhati keras dan tidak pernah mau kalah oleh orang lain, tetapi dia memiliki kegagahan dan tahu bahwa dalam pertandingan ini, betapa pun sukar dipercaya, dia telah kalah oleh Kam Hong! Mukanya yang pucat itu menjadi merah sekali dan dia lalu melempar sisa sabuk emas itu ke atas lantai dan dengan sikap terpaksa sekali dia menjura ke arah Kam Hong sambil berkata,

“Aku Cun Han Bu harus mengakui bahwa dalam hal ilmu silat, engkau lebih unggul dari pada aku, sobat Kam Hong, sungguh pun aku sama sekali tidak mengerti bagaimana engkau dapat mainkan ilmu pusaka keturunan keluarga kami. Akan tetapi biarlah hal itu nanti kita bicarakan. Dalam ilmu silat aku kalah, akan tetapi sesuai dengan nama Suling Emas yang dipakai oleh kedua pihak, biarlah sekarang kita memperlihatkan siapa di antara kita yang lebih tepat memakai nama itu dengan cara meniup suling. Engkau yang membawa-bawa pusaka suling emas dan keluargamu memakai julukan Suling Emas tentu pandai sekali meniup suling. Maukah engkau melayaniku mengadu ilmu meniup suling, sobat Kam?”

Karena tantangan ini pun mengenai nama keluarganya, maka tentu saja Kam Hong tidak menolak, apalagi karena memang dia ingin melihat sampai di mana kepandaian keluarga yang mengaku sebagai keluarga Suling Emas dan yang ternyata mampu pula memainkan ilmu yang mirip dengan Kim-siauw Kiam-sut itu.

“Baik, aku sebagai tamu hanya melayani kehendak tuan rumah.”

Cu Han Bu lalu minta suling emas yang dibawa oleh Pek In, kemudian mempersilakan Kam Hong duduk sedangkan dia sendiri lalu duduk bersila di atas lantai. Kam Hong melihat tuan rumah duduk bersila menghadapinya, hanya dalam jarak kurang lebih empat meter mereka duduk bersila saling berhadapan. Sejenak, kedua orang yang sama-sama memegang suling emas yang bentuknya serupa benar itu, hanya suling di tangan Kam Hong agak lebih besar, saling pandang dengan penuh perhatian. Cu Han Bu menggunakan ujung baju lengan kirinya untuk mengusap keringat di dahi dan lehernya. Pertandingan selama dua ratus jurus yang mempergunakan banyak tenaga itu tadi membuat dia merasa lelah sekali dan tubuhnya basah oleh keringat. Akan tetapi sebaliknya, Kam Hong hanya berkeringat sedikit saja.

“Saudara Kam Hong, aku kagum sekali padamu,” akhirnya Cu Han Bu berkata, ucapan yang sejujurnya sungguh pun kekagumannya itu bercampur dengan rasa penasaran. “Kalau ternyata engkau juga mampu mengalahkan aku dalam hal meniup suling, biarlah aku mengaku kalah. Engkau bersiaplah menerima permainan sulingku.” Cu Han Bu lalu menoleh kepada puterinya dan berkata kepadanya, “Pek In, bagikan pelindung telinga kepada Nona tamu dan Yu Hwi.”

“Baik, Ayah,” jawab Cu Pek In dan dia mengeluarkan benda-benda kecil penyumbat telinga berwarna putih terbuat dari karet, lalu memberikan sepasang kepada Yu Hwi kemudian dia menghampiri Ci Sian dan diberinya pula sepasang kepada dara ini.

Akan tetapi Ci Sian tersenyum mengejek dan menggeleng kepalanya. “Aku tidak perlu memakai pelindung telinga,” katanya.

Tentu saja wajah Pek In menjadi merah oleh penolakan ini. Dia sudah menjadi marah, akan tetapi ketika dia memandang kepada ayahnya, Cu Han Bu menggelengkan sedikit kepalanya sehingga dia mundur lagi, duduk di tempat semula dan dia pun kemudian mengenakan sepasang penyumbat telinga.

“Nona, kau harus memakai pelindung telinga, kalau tidak, maka akan berbahaya bagi keselamatanmu,” tiba-tiba Cu Seng Bu berkata karena tokoh ini merasa tidak enak kalau sampai pihak tamu yang tidak ikut mengadu ilmu kena celaka.

Ci Sian masih tersenyum ketika dia menggeleng kepala. “Mengapa celaka? Andai kata perlu melindungi telinga, bukankah aku masih memiliki dua tangan untuk menyumbat kedua telingaku?”

Cu Seng Bu tidak bicara lagi dan bersama Cu Kang Bu, dia pun menyumbat kedua telinganya dengan karet pelindung telinga itu karena dia maklum bahwa kakaknya akan mengeluarkan ilmu meniup suling yang mukjijat, yang suaranya dapat merobohkan lawan, bahkan dapat membunuhnya!

Sementara itu, Kam Hong terkejut bukan main saat melihat Ci Sian menolak pemberian pelindung telinga itu. Dia makin menghargai pihak tuan rumah yang ternyata demikian baik hati untuk menawarkan pelindung telinga kepada Ci Sian, akan tetapi celakanya, dara yang keras hati itu menolak dan dia tahu bahwa hal ini berarti bahaya besar bagi Ci Sian, mungkin bahaya maut karena suara tiupan suling yang dilakukan oleh orang yang amat kuat tenaga khikang-nya dapat merusak telinga atau bahkan membunuhnya. Akan tetapi karena Ci Sian sudah terlanjur menolak, dia pun tentu saja tidak mau memaksa gadis itu menarik kembali penolakannya karena hal itu sampai mati pun kiranya tidak akan dilakukan oleh Ci Sian yang keras hati. Maka dia pun lalu mengambil keputusan untuk melindungi Ci Sian dari bahaya ancaman suara suling Cu Han Bu.

Kini Cu Han Bu sudah mulai menempelkan ujung suling pada bibirnya dan mulailah dia meniup suling emas itu. Mula-mula terdengar suara suling yang merdu naik turun, akan tetapi kemudian suara suling itu terus menaik dan mulailah Ci Sian merasa tersiksa karena kedua telinganya bagai dikilik-kilik rasanya. Suara suling itu makin meninggi saja dan rasa yang mula-mula hanya geli itu makin nyeri dan telinganya seperti dimasuki semut dan digigit! Ci Sian tadinya hendak mempertahankan, akan tetapi akhirnya dia tidak kuat lagi dan dia menggunakan kedua tangan untuk menutupi lubang telinganya!

Akan tetapi betapa kaget rasa hati Ci Sian bahwa suara itu masih saja terus mengiang di dalam telinganya, makin lama makin hebat sehingga kini terasa seperti telinganya ditusuk-tusuk jarum! Tubuhnya mulai menggigil dan matanya terbelalak memandang ke arah Kam Hong seolah-olah hendak minta tolong.

Pada saat itu, Kam Hong sudah mendekatkan suling di bibirnya dan meniup sulingnya sambil menutup semua lubang suling. Dia tahu bahwa jika dia menggunakan sulingnya untuk balas menyerang, dia akan dapat membuat lawan celaka, akan tetapi juga Ci Sian akan ikut celaka, maka kini ia meniup sulingnya dengan lembut sekali. Terdengar suara lembut dari sulingnya, suara yang bergelombang halus akan tetapi dapat menggulung suara melengking lirih yang mengandung getaran berbahaya dari suara suling Cu Han Bu.

Ci Sian merasa betapa perlahan-lahan kenyerian di telinganya lenyap, dan dia berani membuka kedua tangannya dan kini yang terdengar olehnya hanya suara suling lembut yang amat merdu dan mendatangkan rasa nikmat! Makin lama, makin lembut suara suling Kam Hong dan akhirnya Ci Sian tidak dapat menahan lagi, tubuhnya terguling dan dia tertidur pulas di atas lantai!

Suara suling dari suling emas yang ditiup Kam Hong itu semakin kuat saja, dan kini setelah dia meilhat Ci Sian tidur pulas, dia menambah kekuatan tiupannya dan suara suling itu menggetar halus, biar pun kedua telinga orang-orang yang berada di situ telah ditutup penyumbat telinga dari karet, namun getaran itu masih terus menyerang melalui urat saraf di atas telinga dan pelipis sehingga akhirnya, berturut-turut Cu Pek In dan Yu Hwi juga terguling dan roboh pulas!

Melihat ini, Cu Seng Bu dan Cu Kang Bu terkejut sekali. Mereka berdua kini duduk bersila di atas lantai, mengerahkan tenaga sinkang mereka untuk melawan serangan suara suling dari suling Kam Hong.

Sementara itu, Cu Han Bu juga memperhebat suara sulingnya untuk menyerang lawan. Namun semua serangan suara sulingnya itu tenggelam di dalam kelembutan itu seperti bara api yang berkobar dijatuhkan ke dalam kubangan air dingin saja. Sedangkan alunan suara suling dari Kam Hong terus bergetar menyerang ketiga orang kakak beradik Cu itu yang kini makin hebat melakukan perlawanan dan mengerahkan sinkang mereka. Dari ubun-ubun kepala Cu Seng Bu dan Cu Kang Bu sampai mengepul uap putih dan muka mereka menjadi merah sekali karena keduanya telah mengerahkan sinkang sekuatnya untuk menahan rasa kantuk hebat yang menyerang mereka. Syaraf mereka seperti diayun atau dibelai oleh suara itu, suara yang mengandung kekuatan mukjijat dan yang membuat seluruh tubuh terasa lemas dan satu-satunya hal yang mereka inginkan saat itu hanyalah tidur, lain tidak!

Memang hebat sekali kekuatan yang terkandung dalam suara suling yang ditiup secara istimewa oleh Kam Hong itu. Suara itu selain dapat menembus pelindung telinga, juga langsung menyerang dan merangsang syaraf-syaraf di kepala menembus kulit kepala yang perasa seperti di pelipis dan bagian lain, terutama sekali merangsang syaraf di pusat pendengaran. Cu Seng Bu dan Cu Kang Bu yang merupakan orang-orang yang memiliki kesaktian dan memiliki tenaga sinkang yang sudah mencapai tingkat tinggi dan amat kuat itu, mereka telah mengerahkan sinkang untuk melawan pengaruh suara itu, akan tetapi lambat laun wajah mereka yang merah menjadi semakin pucat, uap putih yang mengepul di kepala mereka semakin menipis dan akhirnya keduanya tertidur pulas dalam keadaan masih duduk bersila!

Kini tinggal Cu Han Bu seorang yang masih terus melawan sambil meniup sulingnya. Cu Han Bu juga merasa betapa tenaga suara sulingnya itu kini sama sekali tidak dapat menembus suara suling lawan yang seolah-olah merupakan benteng yang amat kuat, dan dia pun bahkan mulai merasa betapa gelombang yang hebat menggulung dirinya, membuainya dengan nikmat sekali. Diam-diam dia terkejut, maklum bahwa suara suling Kam Hong benar-benar memiliki kekuatan yang amat dahsyat.

Dia berusaha melawan terus, kadang-kadang meniup sulingnya amat tinggi, kadang-kadang amat rendah, namun semua usahanya itu gagal karena semua perlawanannya itu membalik dan bahkan agaknya menambah kedahsyatan gelombang getaran dari suara suling Kam Hong. Akhirnya tanpa disadari sendiri, Cu Han Bu juga jatuh pulas dalam keadaan bersila sedang sulingnya masih berada dalam genggaman dan masih menempel di bibirnya yang tidak bergerak lagi. Dia seolah-olah telah berubah menjadi patung orang menyuling!

Setelah melihat lawannya tertidur, barulah Kam Hong menghentikan tiupan sulingnya. Wajahnya agak pucat dan seluruh tubuhnya basah oleh peluh! Kiranya dia pun telah mengerahkan banyak tenaga tadi dan baru setelah dia mengeluarkan semua tenaganya dia dapat menyelamatkan Ci Sian dan sekaligus membuat tidur semua orang, termasuk lawannya yang kuat itu. Dia menyimpan sulingnya lalu menggunakan sapu tangan untuk menyusuti peluhnya.

Setelah kini suara suling terhenti dan getaran suara yang amat kuat itu lenyap, berturut turut terjagalah mereka semua yang tertidur pulas itu. Pertama-tama adalah Cu Han Bu dan dua orang adiknya yang terjaga.

“Ahhhh....!” Cu Han Bu mengeluh dan terbelalak, lalu teringat akan segala yang telah terjadi, maka dia pun meloncat bangun lalu cepat-cepat dia menjura ke arah Kam Hong yang juga telah bangkit dengan tenang.
“Saudara Kam Hong, sungguh engkau luar biasa sekali dan aku Cu Han Bu benar-benar harus mengakui keunggulanmu, baik dalam hal ilmu silat mau pun dalam hal ilmu meniup suling. Engkau memang berhak memakai julukan Suling Emas!”

Juga Cu Seng Bu dan Cu Kang Bu tidak ragu-ragu lagi untuk memberi hormat kepada pendekar yang jelas memiliki tingkat kepandaian di atas mereka itu.

Kam Hong cepat-cepat membalas penghormatan mereka dan dia pun berkata, “Harap Sam-wi tidak merendahkan diri karena terus terang saja, baru kini saya menemukan keluarga yang memiliki kepandaian sehebat yang dimiliki Sam-wi. Saya percaya bahwa tentu ada hubungannya antara Sam-wi dengan Suling Emas.”

Pada saat itu, tiga orang dara juga telah terjaga dan mereka mula-mula merasa bingung dan terheran-heran, tetapi setelah teringat dan melihat betapa sikap tiga orang she Cu itu amat menghormat Kam Hong, mereka maklum bahwa Kam Hong telah menangkan pertandingan aneh itu. Yu Hwi memandang dengan mata terbelalak penuh keheranan, akan tetapi dia telah bangkit dan menghampiri Cu Kang Bu, kekasihnya. Sedangkan Ci Sian lari menghampiri Kam Hong.

“Paman, engkau telah menang?”

Kam Hong hanya tersenyum saja tanpa menjawab. Tentu saja Ci Sian merasa sangat penasaran dan dia lalu menoleh kearah Cu Han Bu, dan bertanya dengan lantang, “Paman Cu Han Bu, apakah engkau mau bersikap jantan mengakui bahwa Paman Kam Hong telah memperoleh kemenangan dalam pertandingan ini?”

Cu Han Bu menarik napas panjang. Dara itu telah berkali-kali membikin sakit perasaan, akan tetapi dia tak dapat mengelak lagi. “Benar, Saudara Kam Hong telah mengalahkan kami.”

“Nah, apa kubilang? Dialah Pendekar Suling Emas yang sejati!”
“Ssssttt, Ci Sian, menyombongkan diri di atas kemenangan hanyalah perbuatan yang bodoh.” Kam Hong mencela dan Ci Sian mengerutkan alisnya, bersungut-sungut dan tidak banyak cakap lagi.

Dia sering kali ditegur Kam Hong dan setiap kali ditegur, dia merasa tidak senang, apalagi kini ditegur di depan banyak orang, di depan Yu Hwi terutama sekali. Dia ingin marah, akan tetapi tidak berani karena dia tahu bahwa kalau dia marah terhadap Kam Hong di depan banyak orang, hal itu akan merendahkan nama Kam Hong yang baru saja keluar sebagai pemenang. Maka dia pun lalu duduk diam saja di dekat Kam Hong, bibirnya yang merah mungil itu agak meruncing.

“Saudara Cu, kiranya sudah sepatutnya kalau sekarang Sam-wi menceritakan kepadaku tentang keluarga Cu yang tinggal di Lembah Suling Emas ini....“ Kam Hong berkata kepada Cu Han Bu karena memang dia ingin sekali mendengar riwayat keluarga yang amat lihai ini dan ingin tahu apa hubungan mereka dengan Suling Emas. “Setelah itu, baru saya akan menceritakan tentang keluarga Pendekar Suling Emas.”

Cu Han Bu mengangguk, lalu dia memandang ke arah Yu Hwi dan Ci Sian. “Riwayat keluarga kami adalah rahasia kami, tidak boleh didengar oleh orang lain. Engkaulah orang pertama yang akan mendengarnya, Saudara Kam Hong. Yu Hwi, biar pun engkau seorang luar, akan tetapi mengingat akan hubunganmu dengan Kang-te, berarti engkau merupakan calon keluarga juga, maka engkau boleh mendengarnya. Hanya Nona ini....“ Dia memandang Ci Sian dengan ragu-ragu.

“Dia adalah keponakanku dan juga boleh dianggap adik seperguruanku, maka kalau aku boleh mendengar, dia pun berhak mendengarkan pula.” Kam Hong cepat-cepat berkata karena dia tahu bahwa kalau sampai dara ini dilarang ikut mendengar, Ci Sian tentu akan marah dan entah apa yang akan dilakukan kalau dia marah. Dalam tempat seperti itu, dia tidak ingin membiarkan Ci Sian berpisah dari sampingnya, karena hal itu akan amat membahayakan keselamatannya.

Mendengar ini, lenyaplah sama sekali rasa tidak senang dari hati Ci Sian oleh teguran Kam Hong tadi. Dia tersenyum dan memandang kepada pihak tuan rumah dengan sinar mata menantang!

Cu Han Bu menarik napas panjang. “Kalau begitu baiklah, karena Saudara Kam Hong yang menanggung dia. Nah, dengarkanlah cerita singkat dari keadaan keluarga kami, terutama yang bersangkutan dengan Suling Emas…..” Maka mulailah pendekar yang menyembunyikan diri di lembah itu bercerita tentang keluarganya.

Dari cerita turun-temurun dalam keluarga itu, Cu Han Bu dan keluarganya mendengar bahwa seorang di antara nenek moyang mereka pada seribu tahun lebih yang lalu ialah seorang pangeran bernama Cu Keng Ong yang melarikan diri dari kota raja karena berselisih dengan kaisar. Cu Keng Ong ini mengasingkan diri ke lembah Kongmaa La di Pegunungan Himalaya itu bersama keluarganya dan hidup sebagai pertapa dan petani di tempat ini.

Cu Keng Ong adalah seorang pangeran yang berilmu tinggi, selain pandai ilmu silat juga ahli dalam hal kerajinan tangan, terutama mengukir dan membuat benda-benda dari pada emas. Ketika berada dalam pengasingan ini, Cu Keng Ong bahkan memperdalam ilmu-ilmunya dari para pertapa di Himalaya sehingga akhirnya dia menjadi seorang manusia yang amat lihai, tetapi yang selalu menyembunyikan diri dan hidup tenteram dalam lembah itu.

Karena kehidupan di lembah itu sama sekali tidak memerlukan emas, maka Cu Keng Ong lalu mengumpulkan semua emas yang mereka bawa sebagai bekal, kemudian dia melebur emas itu dan dibuatlah sebatang suling emas yang amat baik, bukan saja indah bentuknya akan tetapi terutama sekali dengan ukuran-ukuran sempurna sehingga akan mengeluarkan bunyi yang amat indah kalau dimainkan. Karena Cu Keng Ong sering kali bertiup suling di lembah itu dengan suling emasnya, dan suara sulingnya terdengar sampai jauh ke luar lembah, maka mulailah lembah itu diberi nama Lembah Suling Emas!

“Demikianlah asal-usul nama lembah ini menurut dongeng keluarga kami,” Cu Han Bu melanjutkan. “Akan tetapi sayang, menurut dongeng keluarga turun-temurun itu, tidak ada lanjutan tentang nenek moyang kami yang bernama Cu Keng Ong itu dan suling emas itu pun tidak ada pada keluarga kami lagi. Yang ada hanyalah suling emas ini yang dibuat oleh seorang nenek moyang kami kemudian yang bernama Cu Hak dan yang juga ahli dalam pembuatan benda-benda dari emas dan baja. Kakek buyut Cu Hak itu kabarnya hanya membuat suling ini disesuaikan dengan cerita keluarga itu tentang bentuk suling emas asli buatan Cu Keng Ong. Dan di samping suling ini, juga keluarga kami mewarisi ilmu silat yang menjadi pasangan dari suling ini, yaitu ilmu silat yang disebut Kim-siauw Kiam-sut dan yang telah kumainkan dengan sabuk emas karena saya lebih biasa berlatih dengan sabuk emas itu. Akan tetapi ternyata Saudara Kam Hong juga mainkan ilmu itu dengan suling emasnya, bahkan lebih sempurna dari pada saya!” Han Bu menarik napas panjang.

Diam-diam Kam Hong terkejut sekali dan saling lirik dengan Ci Sian. Kedua orang ini setelah mendengar riwayat keluarga Cu, dapat menduga bahwa kakek kuno yang jenazahnya mereka temukan itu tidak salah lagi tentulah Cu Keng Ong adanya! Akan tetapi mereka diam saja dan mendengarkan terus.

Cu Han Bu melanjutkan ceritanya. Nenek moyang yang bernama Cu Keng Ong itu menurut berita keluarganya telah lenyap, dan ada berita bahwa kakek itu mengawetkan jenazahnya dan jenazah itu mengandung rahasia ilmu keluarga mereka yang paling tinggi. Sejak turun-temurun, keluarga Cu berusaha mencari jenazah kakek Cu Keng Ong ini, akan tetapi tanpa hasil. Juga suling emas buatan Pangeran Cu Keng Ong itu lenyap dari keluarga Cu. Hanya bentuk-bentuk suling dan warisan turun-temurun yang sampai pada tiga orang kakak beradik Cu ini.

“Karena merasa khawatir bahwa suling pusaka itu akhirnya lenyap sama sekali, kami pernah melakukan penyelidikan. Dan kami mendengar bahwa suling itu terjatuh ke tangan Pendekar Suling Emas beberapa ratus tahun yang lalu. Kami berusaha untuk mendapatkan keturunannya, akan tetapi usaha kami sia-sia saja, seolah-olah keluarga Suling Emas itu sudah musnah dan bersama namanya terbawa lenyap pula. Agaknya Saudara Kam Hong telah mempelajari ilmu-ilmu keluarga kami dengan lebih sempurna dari pada yang kami warisi sendiri!” Ucapan terakhir itu keluar dengan nada penuh rasa penasaran.

Kam Hong dapat merasakan ini dan dapat mengerti mengapa pihak tuan rumah merasa penasaran dan diam-diam dia pun merasa kasihan. Sekarang mengertilah dia mengapa keluarga Cu ingin sekali mengalahkan dia dan merasa amat penasaran ketika tidak berhasil, karena itu berarti bahwa keluarga itu dikalahkan orang dengan menggunakan senjata pusaka dan ilmu pusaka keluarga mereka sendiri! Biar pun tahu bahwa hal itu bukan kesalahannya, namun dia sedikit merasa bahwa dia seolah-olah menjadi pencuri pusaka dan ilmu keluarga Cu.

“Demikianlah riwayat keluarga kami yang berhubungan dengan suling emas, Saudara Kam. Sekarang harap Saudara ceritakan tentang keluarga Saudara yang menggunakan nama Suling Emas, agar kami mengerti bagaimana duduk perkaranya,” kata Han Bu.

Kam Hong menghela napas. Dia harus menceritakan semuanya agar mereka ini tidak merasa penasaran dan menganggap bahwa keluarganya adalah pencuri-pencuri ilmu dan pusaka! Setelah memandang ke arah wajah tiga orang kakak beradik she Cu yang duduk dihadapannya itu, Kam Hong lalu berkata,

“Julukan Suling Emas dipakai oleh nenek moyangku yang bernama Kam Bu Song dan beliau pulalah yang pertama-tama memiliki suling emas ini yang menurut cerita keluarga kami diterimanya dari sastrawan besar Ciu Bun di Pulau Pek-coa-to (Pulau Ular Putih). Suling emas ini secara turun-temurun lalu dimiliki oleh keluarga Kam dan memang pada akhir-akhir beberapa keturunan ini keluarga kami menyembunyikan diri, sampai kepada saya. Demikianlah riwayat suling emas ini dan dapat kujelaskan bahwa suling emas ini kumiliki dari warisan nenek moyang yang sudah tujuh ratus tahunan lamanya, dan kakek besar Kam Bu Song itu pun menerima dari pemberian yang syah, bukan mencuri. Dan sekarang tentang ilmu yang baru saja kupergunakan untuk menghadapi Saudara Cu Han Bu.”

Tiga orang kakak beradik itu mendengarkan dengan penuh perhatian. Mereka dapat percaya keterangan itu dan mereka menduga bahwa tentu suling yang hilang itu akhirnya, entah secara bagaimana tak ada seorang pun mengetahui, terjatuh ke tangan sastrawan Ciu Bun itu dan diberikan kepada Pendekar Suling Emas. Dengan demikian, keluarga pendekar itu memang berhak memilikinya. Kini mereka ingin sekali mendengar bagaimana Kam Hong dapat mainkan Ilmu Silat Kim-siauw Kiam-sut dan ilmu meniup yang merupakan ilmu pusaka keluarga mereka dengan demikian baiknya, lebih baik dari pada yang mereka miliki.

“Tadinya saya hanya mewarisi ilmu-ilmu pusaka keluarga kami yang tidak Sam-wi kenal, yaitu ilmu-ilmu yang saya pakai saat menghadapi Saudara Cu Kang Bu tadi. Sedangkan ilmu Kim-siauw Kiam-sut yang saya mainkan dengan suling ketika menghadapi Saudara Cu Han Bu tadi, juga ilmu meniup suling, baru saja saya pelajari selama kurang lebih empat tahun baru-baru ini, yaitu kupelajari dari catatan yang terdapat pada jenazah kuno yang kami temukan....“

“Ahhhh....!” Tiga orang gagah itu bangkit berdiri dan muka mereka pucat, mata mereka terbelalak karena kaget.
“Jadi engkau malah yang telah menemukan jenazah Kakek Cu Keng Ong leluhur kami itu....?” Cu Kang Bu bertanya dengan suara yang mirip bentakan.

Kam Hong mengangguk tenang. “Mungkin saja jenazah itu ialah jenazah Cu Keng Ong seperti yang kalian ceritakan tadi. Saya tidak tahu benar, hanya saya tahu dari catatan di tubuhnya bahwa dia adalah pembuat suling emas dan siapa yang dapat menemukan jenazahnya dianggap berjodoh untuk mewarisi ilmunya....“

“Celaka....!” Cu Seng Bu berseru nyaring dan penuh dengan penyesalan, dan dia sudah meloncat ke depan.

Akan tetapi Cu Han Bu cepat memegang lengannya dan memandang adiknya dengan sinar mata tajam penuh teguran. “Seng-te, bukan demikian sifat keluarga kita! Kita harus dapat mengendalikan diri dan tidak memalukan leluhur kita!” Kemudian Cu Han Bu menoleh kepada Kam Hong sambil berkata, “Sungguh aneh sekali mengapa suling pusaka dan ilmu pusaka keluarga kami dapat terjatuh semuanya kepadamu, Saudara Kam Hong. Maukah kau menceritakan tentang jenazah leluhur kami itu?”

“Terjadinya secara kebetulan. Saya dan Ci Sian diserang gunung salju longsor sehingga kami hampir saja tewas. Di antara gumpalan-gumpalan salju longsor itu, kami kemudian menemukan jenazah kuno itu dan setelah kami selidiki, jenazah mengandung tulisan-tulisan yang mewariskan ilmu-ilmu itu kepada kami. Karena kami dianggap sebagai jodoh yang berhak mewarisi ilmu, dan oleh karena di situ tidak disebut-sebut tentang keluarga di sini, maka tentu saja saya mempelajari ilmu-ilmu itu dan saya tidak merasa bersalah sedikit pun. Apalagi diingat bahwa suling emas buatan kakek itu juga telah menjadi milik keluarga sejak ratusan tahun! Nah, kupelajari ilmu-ilmu itu selama hampir lima tahun, dan sekarang saya ketahui siapa guru saya yang ternyata bernama Cu Keng Ong dan menjadi leluhur penghuni lembah ini....“

“Dan kau pergunakan pusaka dan ilmu itu untuk mengalahkan kami!” Cu Kang Bu berteriak lalu menutupi muka dengan kedua tangan.

Pendekar tinggi besar yang gagah perkasa ini menangis tanpa bersuara! Yu Hwi yang duduk di sampingnya lalu memegang tangannya hingga kedua tangan mereka saling genggam. Melihat ini, diam-diam Kam Hong merasa terharu juga dan dia merasa terheran-heran mengapa sebelum dia bertemu dengan Yu Hwi, sering kali dia amat merindukan dara itu, sering membayangkan wajahnya yang manis dan membayangkan kemesraan bersama calon isterinya itu! Akan tetapi sekarang, setelah bertemu dengan Yu Hwi, melihat Yu Hwi bermesraan dengan pria lain, dia tidak merasa cemburu atau sakit, walau pun pada pertama kalinya dia merasa penasaran dan marah. Apakah yang menyebabkan kedinginan terhadap Yu Hwi itu, dan perbedaan yang amat jauh antara dahulu ketika dia masih merindukan Yu Hwi dan sekarang?

Mendadak dia merasa ada tangan halus yang menyentuh lengannya. Dia menoleh dan memandang wajah Ci Sian yang jelita dan pada saat dua pasang mata mereka saling bertemu sinar pandangan, Kam Hong melihat kenyataan yang sangat mengejutkan hatinya. Bayangan Yu Hwi itu kiranya telah lama lenyap dari lubuk hatinya, sepenuhnya terganti oleh bayangan Ci Sian! Dia telah jatuh cinta kepada Ci Sian semenjak lama, semenjak Ci Sian masih merupakan seorang dara tanggung empat tahun yang lalu! Dan sekarang, Ci Sian telah menjadi seorang dara cantik jelita berusia tujuh belas tahun! Kenyataan yang nampak jelas olehnya itu membuat jantungnya berdebar tegang.

“Paman, marilah kita pergi saja dari sini....,” Ci Sian berkata halus dan ucapannya itu membuyarkan dunia mimpi aneh dan lamunan Kam Hong yang tadi seperti terpesona oleh kenyataan itu.
“Baik, mari kita pergi....,“ kata Kam Hong yang memegang tangan Ci Sian dan bangkit berdiri. Sejenak Kam Hong memandang ke arah Yu Hwi, lalu berkata, “Nona Yu, demi untuk kebaikan namamu sendiri, seyogianya kalau engkau pulang dan menerangkan kepada Suhu Yu Kong Tek akan keputusan yang kau ambil agar pertalian jodoh antara kita itu dapat dibatalkan atau diputuskan secara resmi.”

Yu Hwi membalas pandang mata Kam Hong, lalu menoleh kepada kekasihnya yang masih menunduk, kemudian dia berkata dengan suara lembut kepada Kam Hong, tidak berani lagi memandang rendah bekas tunangan itu yang ternyata telah menjadi seorang yang mempunyai kesaktian hebat. “Baiklah, sekali waktu aku pasti akan mengunjungi Kongkong.”

Setelah menerima janji ini, Kam Hong lalu menarik tangan Ci Sian diajak keluar dari gedung itu. Tidak ada seorang pun yang bergerak menghalangi, dan dengan langkah-langkah tenang mereka keluar dari dalam gedung. Akan tetapi ketika mereka tiba di pintu gerbang depan, nampak bayangan tiga orang berkelebat dan ternyata tiga orang kakak beradik she Cu itu telah berdiri di depan mereka, wajah mereka pucat.

“Hemm, apa lagi yang kalian kehendaki?” Kam Hong bertanya dengan berkerut, siap untuk menghadapi mereka kalau saja mereka hendak menggunakan kekerasan.

Cu Han Bu melangkah maju dan menjura sambil berkata. “Saudara Kam Hong, kami hanya hendak bertanya di mana kau temukan jenazah nenek moyang kami itu. Kiranya itu adalah hak kami untuk menanyakan di mana adanya jenazah leluhur kami.”

“Tentu saja, akan tetapi sayang sekali, jenazah kuno itu telah kubakar....“
“Dibakar....?” terdengar Seng Bu dan Kang Bu berteriak.
“Benar, sesuai dengan tulisan pesanan terakhir pada tubuh beliau. Jenazah itu telah kubakar menjadi abu dan kukubur di tempat itu.”
“Ahhhh....!”

Tiga orang itu saling pandang dengan muka putus asa. Tadinya mereka mempunyai harapan untuk menemukan jenazah leluhur itu untuk dapat mempelajari ilmu pusaka keluarga mereka, akan tetapi harapannya itu hancur sama sekali mendengar betapa jenazah itu telah dibakar oleh Kam Hong.

Dengan hati duka penuh kekecewaan Cu Han Bu mengepal tinjunya, kemudian berkata dengan suara mengandung geram kekecewaan dan kemarahan. “Nenek moyang kami Cu Keng Ong itu sudah mewariskan suling emas dan ilmu pusakanya kepadamu. Baiklah, mulai sekarang kami takkan memakai lagi nama Lembah Gunung Suling Emas, melainkan kami ganti menjadi Lembah Gunung Naga Siluman! Dan kau tunggulah, Kam Hong, biar pun engkau telah mewarisi ilmu yang tadinya menjadi milik keluarga kami, akan tetapi kami masih mempunyai ilmu pusaka yang lain, yang diciptakan oleh Toa-pek kami sendiri. Kelak akan tiba saatnya Ilmu Kim-siauw Kiam-sut itu akan dikalahkan oleh ilmu keluarga kami, yaitu Koai-liong Kiam-sut (Ilmu Pedang Naga Siluman)!”

Kam Hong menarik napas panjang dan menjura. “Aku tidak ingin bermusuhan dengan siapa pun juga. Perkenankanlah kami pergi dari sini.”

Cu Han Bu bisa mengatasi kekecewaannya. Melihat sikap tamunya yang cukup hormat dan tidak merasa tinggi hati oleh kemenangannya itu, dia pun menarik napas panjang dan balas menjura, “Saudara Kam Hong, maafkan sikap kami yang kecewa karena nasib telah mempermainkan kami yang kehilangan benda pusaka dan ilmu pusaka ini. Mari kuantar kalian sampai ke jembatan tambang.”

Setelah berkata demikian, Cu Han Bu seorang diri saja lalu menemani Kam Hong dan Ci Sian menuju ke tepi jurang yang amat curam itu. Ketika mereka tiba di tepi jurang, Cu Han Bu memandang ke arah para penjaga jembatan itu dan bertanya dengan tegas.

“Apakah kalian tadi melihat Nona di sini?”

Para penjaga nampak ketakutan mendengar pertanyaan itu. Seorang di antara mereka, yaitu kepala jaga, lalu memberi hormat dan menjawab, “Harap ampunkan kami.... tadi Cu-siocia (Nona Cu) memaksa kami memasang tambang dan dia telah menyeberang. Kami tidak berani menolak permintaannya.”

Dalam keadaan biasa tentu Cu Han Bu akan menjadi marah dan melakukan pengejaran kepada puterinya. Akan tetapi saat itu hatinya sedang kesal dan murung, maka dia pun tidak peduli, lalu memberi tanda agar jembatan tambang itu diangkat dan membiarkan dua orang tamunya menyeberang.

“Silakan, Saudara Kam Hong,” Cu Han Bu mempersilakan ketika jembatan tambang itu sudah diangkat dan membentang lurus menyeberang jurang.

Melihat jembatan tambang itu dan membayangkan betapa dia dan Kam Hong berdua harus menyeberang dan meninggalkan tuan rumah yang sedang dalam keadaan marah, kecewa dan penasaran itu, hati Ci Sian tentu saja merasa ngeri sekali.

“Nanti dulu, Paman Kam Hong,” katanya menahan lengan pendekar itu yang sudah siap menyeberang. “Berbeda dengan ketika kita datang sebagai tamu, kini kita pergi sebagai orang-orang yang dimusuhi dan tidak disukai, dan jika ketika datang kita menyeberang bersama mereka, kini kita harus menyeberang berdua saja. Bagaimana kalau selagi tiba di tengah-tengah jembatan, tambang ini lalu dibikin putus olehnya?”

Kam Hong terkejut sekali mendengar kelancangan ucapan Ci Sian ini, akan tetapi tiba tiba Cu Han Bu sudah mengeluarkan teriakan nyaring dan pendekar itu mengangkat tangan kanan ke atas. Kam Hong sudah siap untuk melindungi Ci Sian, akan tetapi pria yang sekarang matanya melotot dan mukanya menjadi merah itu menurunkan tangan kanannya dan mencengkeram jari kelingking tangan kirinya sendiri. Terdengar bunyi tulang patah dan darah mengucur ketika jari kelingking tangan kirinya sendiri itu telah remuk dan lenyap setengahnya! Ci Sian terbelalak memandang dengan muka pucat.

“Nona.... kau.... kau sudah berkali-kali terlalu menghina kami!” Cu Han Bu berkata, matanya masih melotot dan napasnya agak terengah menahan marah. “Kalau tidak melihat muka Saudara Kam Hong, aku tentu sudah membunuhmu! Akan tetapi kalau lain kali kita bertemu kembali, aku takkan dapat mengampunimu lagi!”

Ci Sian merasa ngeri, bukan hanya melihat sikap orang itu, akan tetapi juga melihat jari kelingking yang hancur dan masih meneteskan darah segar itu. Akan tetapi pada saat itu Kam Hong sudah menarik tangannya dan mengajaknya meloncat ke atas tambang dan dengan cepat berlari ke seberang. Setelah mereka dengan selamat meloncat ke daratan di seberang, tambang itu lalu diturunkan kembali dan lenyap di dalam kabut. Legalah rasa hati Ci Sian setelah mereka selamat sampai ke darat.

“Ci Sian, mengapa engkau begitu lancang mulut sehingga membikin marah Cu Han Bu seperti itu? Lain kali engkau harus berhati-hati kalau bicara, jangan menurutkan hati dan pergunakan kebijaksanaan.”

Ci Sian kaget, sejenak dia menatap wajah Kam Hong karena suara teguran itu benar benar dirasakan amat pedas dan menusuk, dan tiba-tiba ia menangis. Bukan menangis manja, melainkan menangis sedih sekali. Dia sudah tak punya siapa-siapa lagi, ayahnya yang diharapkannya itu ternyata mengecewakan hatinya dan dia tidak mungkin hidup di samping ayahnya yang telah mempunyai isteri begitu banyak. Kini tinggal Kam Hong seoranglah yang dianggapnya sebagai pelindung dan orang terdekat, dan sekarang.... Kam Hong agaknya marah-marah dan tidak senang kepadanya. Karena sedih, maka dia menangis.

Melihat Ci Sian menangis, Kam Hong menggeleng-geleng kepala, lalu menghampiri dan memegang pundaknya. “Sudahlah, kenapa kau malah menangis?”

Akan tetapi Ci Sian menarik pundaknya dari sentuhan Kam Hong, lalu di antara isaknya dia berkata. “Dia orang jahat.... hu-huuh, dia mengancam untuk membunuhku, kau.... kau peduli apa? Aku.... aku hanya membikin susah padamu saja....”

Kam Hong menyambar lengan dara itu dan menariknya mendekat, “Kau marah oleh teguranku tadi? Ci Sian, ingatlah, aku menegur demi kebaikanmu! Dan selama ada aku di sampingmu, takkan ada seorang pun yang boleh mengganggumu! Akan tetapi.... ada waktunya berkumpul tentu akan datang saatnya berpisah, dan karena itu engkau harus mempelajari ilmu yang kita temukan itu dengan tekun agar kelak engkau akan mampu menjaga diri sendiri kalau terancam oleh lawan yang lihai.”

Ci Sian mengangkat muka memandang wajah itu. “Kau.... kau tidak marah kepadaku, Paman?”

Terpaksa Kam Hong tersenyum dan menggeleng kepala. “Aku tidak marah, aku tadi menegur agar engkau sadar bahwa hal itu berbahaya bagimu sendiri.”

Ci Sian cepat merangkul pundak dan menyembunyikan mukanya di dada Kam Hong. “Paman.....aku tidak punya siapa-siapa lagi kecuali engkau, maka janganlah kau marah padaku....”

Kam Hong mendekap dan sejenak hatinya merasa amat terharu, kemudian berdebar aneh ketika menyadari betapa dia mendekap dara remaja itu. Teringat akan ini segera dengan halus dia melepaskan dekapannya dan mendorong tubuh dara itu menjauh sambil berkata, “Sudahlah, mari kita mulai berlatih. Engkau telah mulai maju dalam latihan ginkang menurut ilmu penghimpunan khikang dari tiupan suling, maka mari kita lanjutkan latihan ginkang itu. Mari kita lari ke puncak bukit di depan itu dan pergunakan semua tenagamu.”

“Baik, Paman, mari kita berlomba!” Ci Sian telah melupakan kesedihannya. Air matanya masih belum kering, kedua pipinya masih basah, akan tetapi bibirnya yang manis itu telah tersenyum lagi ketika dia mulai meloncat dan lari ke depan dengan cepat seperti seekor kijang betina muda yang bahagia. Kam Hong tersenyum dan dia pun mengejar, maka berlarianlah dua orang itu menuju ke puncak bukit di depan.

Ketika dia berlari-lari di samping Ci Sian, Kam Hong seolah-olah mendengar suara nyanyian yang timbul dari perasaan hatinya sendiri, yang membuat dia merasa demikian senang. Dia sendiri merasa heran sekali dan dia masih dalam keadaan meraba-raba dan menduga-duga, apakah ini yang dinamakan cinta asmara? Benarkah dia jatuh cinta kepada Ci Sian? Pertanyaan ini selama ini selalu berbisik di dalam hatinya dan dia belum berani menentukannya.

Dahulu, sebelum bertemu dengan Ci Sian, Kam Hong selalu menganggap bahwa dia mencinta calon isterinya, Yu Hwi, sungguh pun antara dia dan Yu Hwi belum pernah terjadi hubungan yang akrab. Bahkan ketika Yu Hwi mendengar akan pertunangan itu, Yu Hwi lalu melarikan diri, hal itu juga membuktikan bahwa Yu Hwi tidak setuju dengan perjodohan itu dan berarti pula tidak cinta kepadanya. Akan tetapi, karena adanya ikatan jodoh itu membuat dia selalu mengenangkan Yu Hwi, kenangan yang luar biasa karena dia mula-mula mengenal Yu Hwi sebagai seorang pemuda bernama Kang Swi Hwa.

Dan dialah yang membuka rahasia Kang Swi Hwa itu sebagai seorang gadis ketika dia hendak mengobati ‘pemuda’ itu dan melihat bahwa pemuda itu mempunyai dada seorang dara! Kenangan inilah yang mengingatkan dia akan Yu Hwi sebagai seorang wanita, lebih lagi sebagai seorang calon isterinya, kenangan yang lucu, mesra dan aneh. Ini pula agaknya yang membuat dia merasa selalu rindu kepada Yu Hwi dan ini pula yang membuat dia mengira bahwa dia mencinta Yu Hwi.

Akan tetapi, semenjak dia bertemu dengan Ci Sian beberapa tahun yang lalu, sejak Ci Sian hanya seorang dara cantik berusia tiga belas tahunan, ada sesuatu di dalam hatinya yang melekat kepada dara ini. Kini, setelah berjumpai kembali dengan Ci Sian sebagai seorang dara yang sudah dewasa, dia merasa seolah-olah Yu Hwi hanya merupakan bayangan mati dan kini terganti oleh seorang dara yang benar-benar hidup dan yang membutuhkan perlindungannya!

Apalagi setelah dia berjumpa sendiri dengan Yu Hwi dan menyaksikan sikap calon isterinya itu, bayangan lama tentang Yu Hwi itu seketika lenyap sama sekali dan dia merasa gembira! Kalau dulu dia tidak berani memikirkan bahwa dia tertarik kepada Ci Sian sebab dia selalu ingat bahwa dia adalah seorang pria yang telah mempunyai calon isteri, jodoh yang sudah ditentukan sehingga haram baginya untuk menoleh kepada wanita lain, kini dia merasa seolah-olah dia telah terbebas dari belenggu ikatan itu. Dia telah bebas, sama bebasnya dengan Ci Sian. Inilah agaknya yang mendatangkan rasa senang sekali di saat dia berlari di samping Ci Sian itu. Benarkah dia telah jatuh cinta kepada dara ini? Dara yang memanggilnya paman, yang memang sepatutnya menjadi keponakannya? Dia tahu bahwa usia Ci Sian kurang lebih baru tujuh belas tahun, sedangkan dia sendiri sudah berusia dua puluh tujuh tahun! Pantaskah kalau dia jatuh cinta kepada dara remaja ini?

Akan tetapi, pada saat itu keraguan kecil ini segera lenyap seperti awan tipis terhembus angin. Dia merasa gembira, bahkan dia ingin berloncatan dan bermain-main seperti kembali menjadi anak-anak, atau setidaknya kembali menjadi semuda Ci Sian.

Cinta asmara memang sesuatu pengalaman hidup yang amat luar biasa bagi setiap orang manusia. Segala macam perasaan tercakup lengkap di dalamnya. Ada dorongan-dorongan yang timbul dari dalam, bukan dari pikiran, yaitu membuat kita merasa amat mesra, ingin selalu berdekatan, ingin selalu memandang, ingin selalu menyenangkan hatinya, ingin selalu mendengar suaranya. Ada sesuatu yang sukar diselidiki, yang timbul di luar kesadaran kita, sesuatu yang amat mengharukan, yang mendorong hati kita untuk condong bersatu dengan dia, takkan terpisah lagi, ada sesuatu yang lebih dari pada sekedar kegembiraan, sekedar dorongan birahi belaka.

Tetapi, jika kita tak berhati-hati, pikiran yang selalu ingin mengejar kesenangan pribadi, baik kesenangan jasmani atau rohani, pikiran dapat menimbulkan bayangan-bayangan kenikmatan nafsu yang menjurus kepada nafsu birahi dan sekali nafsu menguasai batin, menjadi yang terpenting, maka akan cemarlah yang dinamakan cinta itu. Birahi adalah soal yang wajar, tuntutan jasmani, daya tarik antara pria dan wanita, yang alamiah karena dari daya inilah lahirnya keinginan untuk bersatu dan dari sinilah pula datangnya rahasia perkembang-biakan manusia, anak beranak.

Daya tarik ini merupakan sesuatu yang wajar, tanpa ada unsur kesengajaan, karenanya alamiah dan gaib, dan hal itu tercakup pula dalam cinta. Akan tetapi, begitu nafsu birahi dipupuk oleh pikiran dengan dasar mencari kepuasan atau kenikmatan, akan rusaklah segala-galanya dan cinta menjadi sesuatu yang mungkin saja menimbulkan segala macam kerusakan, kekerasan, konflik dan kesengsaraan. Cinta yang telah dicengkeram dan dikuasai oleh nafsu birahi itu, yang pada hakekatnya adalah nafsu keinginan menyenangkan diri sendiri belaka, akan menimbulkan cemburu, ingin menguasai, dan bahkan dapat berbalik menjadi benci kalau keinginan menyenangkan dirinya sendiri itu terhalang.

Akan tetapi, kalau pikiran membentuk nafsu keinginan menyenangkan diri sendiri itu tidak mencampuri, tidak mengotori, yang tinggal hanyalah kewajaran cinta yang amat indah, cinta yang sinarnya memenuhi seluruh jagat dan menembus ke lubuk hati setiap orang manusia, yang getarannya menghidupkan segala sesuatu yang nampak mau pun yang tidak nampak. Kalau sudah ada sinar dan getaran cinta itu, maka tidak ada lagi persoalan, segala sesuatu menjadi indah dan suci, bahkan birahi pun menjadi sesuatu yang indah dan suci, cinta asmara antara seorang pria dan seorang wanita pun menjadi sesuatu yang indah dalam sinar cinta kasih.

Pada saat Kam Hong berlari-larian dengan Ci Sian itu, sinar cinta kasih menerangi hatinya, mendatangkan perasaan yang amat luar biasa, kebahagiaan yang tak terpisah dari alam, dari segala-galanya yang nampak, batinnya begitu penuh dengan kebebasan dan keheningan, yang ada hanya rasa bahagia itu saja, yang lain-lain tidak ada lagi!

Kiranya tiap orang pernah merasakan hal ini, namun sayang, hanya sekilas saja karena batin sudah diserbu lagi oleh keinginan-keinginan memuaskan diri dengan kesenangan-kesenangan. Bahkan rasa bahagia itu pun lalu berubah menjadi kesenangan yang dikejar-kejar! Sungguh sayang.....

Ketika mereka tiba di puncak bukit, tiba-tiba Ci Sian yang agak terengah-engah karena memang tenaganya belum kuat benar dan dia tadi telah mengerahkan terlalu banyak tenaga, berhenti berlari dan menuding ke depan. Keringat halus memenuhi leher dan dahinya.

Kam Hong ikut memandang ke depan dan nampaklah olehnya seorang pemuda di atas lereng bukit di depan, lalu pemuda itu berhenti dan muncul dua orang kakek. Agaknya terjadi percekcokan dan pemuda itu berkelahi dengan dua orang kakek. Akan tetapi hanya dalam waktu singkat, pemuda itu kena ditawan, agaknya pingsan lalu dipanggul oleh seorang di antara dua kakek itu dan dibawa pergi.

“Dia itu Cu Pek In....!” kata Kam Hong. “Ci Sian, kau tunggu saja di sini, aku harus mengejar mereka dan menolong Nona Cu!” setelah berkata demikian, sekali berkelebat saja Kam Hong telah pergi dan lenyap dari situ, mengejar ke depan, turun dari puncak bukit itu.

Ci Sian juga mengenal bahwa pemuda yang ditawan oleh dua orang kakek itu adalah Cu Pek In, gadis puteri majikan Lembah Suling Emas atau yang kini dirubah namanya menjadi Lembah Naga Siluman, merasa tidak enak ditinggal sendirian saja di puncak bukit yang sunyi itu. Maka dia pun lalu mengerahkan tenaganya ikut lari mengejar turun dari puncak itu. Akan tetapi, ternyata dua orang kakek itu sudah tidak nampak lagi bayangan mereka dan juga Kam Hong sudah lenyap sehingga Ci Sian menjadi bingung, akan tetapi dia masih terus mengejar, lari turun bukit menuju ke bukit di mana tadi Pek In dan dua orang kakek itu nampak.

Dengan napas terengah-engah dan tubuh basah oleh keringat, akhirnya terpaksa Ci Sian berhenti di lereng bukit itu karena dia merasa bingung. Dia tidak tahu ke mana larinya dua orang kakek yang menawan Cu Pek In tadi, juga tidak lagi melihat bayangan Kam Hong yang mengejar mereka. Dia juga tidak tahu apakah dia tidak tersesat jalan. Dia merasa bingung dan khawatir.

Membayangkan bahwa dia akan terpisah selamanya dari Kam Hong, ingin rasanya dia menangis dan ingin dia berteriak-teriak memanggil nama Kam Hong. Akan tetapi dia menahan diri. Dia merasa malu kalau harus berteriak-teriak memanggil, apalagi baru saja Kam Hong telah menegurnya. Dia tidak akan sembarangan lagi membuka mulut. Pula, Kam Hong adalah seorang pendekar yang memiliki kesaktian hebat, apa sukarnya bagi pendekar itu untuk mencari dan menemukannya? Dia harus bersikap tenang, seperti Kam Hong. Bukankah dia juga diakui sebagai adik seperguruan? Masa adik seperguruan Pendekar Suling Emas yang perkasa itu harus menjadi seorang gadis cengeng dan penakut?

Dengan pikiran itu yang merupakan hiburan baginya, pulihlah kembali semangat dan keberaniannya dan mulailah dia berjalan menuruni bukit itu dengan hati-hati sambil memasang mata, tidak lagi lari seperti tadi. Hari telah makin menua, matahari mulai ke barat, dan biar pun dia mulai merasa khawatir lagi, namun diberani-beranikan hatinya dan dia melangkah terus. Dia mendaki bukit penuh salju di depan karena dia melihat tapak kaki di atas salju tebal.

Ketika tiba di lereng bukit itu, tiba-tiba dia berhenti melangkah dan memasang telinga dengan penuh perhatian. Ada suara berdengung-dengung atau mengaung-ngaung dari arah kiri. Tadinya dia mengira bahwa itu suara suling dari Kam Hong, tetapi ternyata bukan, suara suling tidak seperti itu, mengaung dan kadang-kadang berdesing tajam itu lebih mirip suara gerakan pedang yang luar biasa sekali, akan tetapi dia pun meragu karena mana mungkin gerakan pedang biasa berdengung seperti itu, seperti berirama dan menyanyikan lagu aneh.....

Betapa pun juga, dia merasa yakin bahwa itu pasti bukan suara angin bertiup melalui lubang atau mempermainkan pohon karena di bukit itu semua pohon gundul tertutup salju. Satu-satunya kemungkinan adalah bahwa suara itu tentu ditimbulkan oleh manusia, dan siapa pun adanya manusia itu, harus dia temui untuk ditanya kalau-kalau tadi melihat Kam Hong. Dan siapa pun dia, lebih baik bertemu manusia lain dari pada berkeliaran seorang diri saja di tempat yang lengang itu.

Dengan hati tabah dia lalu melanjutkan langkahnya, kini dengan langkah lebar menuju ke kiri, melalui bagian yang banyak batunya dan akhirnya dia tiba di depan sebuah batu besar sekali dan berhenti, memandang dengan bengong dan mau tidak mau bulu tengkuknya meremang karena kini jelas olehnya bahwa suara mengaung-ngaung itu keluar dari dalam batu besar itu! Hampir dia tidak percaya! Akan tetapi tak salah lagi, suara itu keluar dari dalam batu besar. Dia menempelkan telinganya pada batu itu dan suara itu makin jelas, dan kini dia tidak salah lagi, suara itu pasti suara gerakan pedang yang memang amat luar biasa sekali. Akan tetapi, mana mungkin pedang digerakkan orang di dalam sebuah batu yang amat besar, sebesar pondok?

Mulailah dia membayangkan siluman atau iblis penghuni batu besar itu. Akan tetapi, selama hidupnya, biar pun dia sering kali mendengar dongeng tentang setan dan iblis, dia belum pernah bertemu dengan iblis! Maka dia lalu mengambil sebuah batu dan mengetuk-ngetuk batu besar itu beberapa kali. Dan tiba-tiba suara mengaung-aung itu pun berhenti! Suasana menjadi sunyi sekali setelah suara itu berhenti, sunyi yang terasa amat tidak enak bagi Ci Sian. Suara itu setidaknya meyakinkan dia bahwa dia tidak seorang diri saja di tempat yang lengang itu. Dan menghilangnya suara itu membuat dia merasa ditinggalkan sendirian lagi. Maka dia mengetuk-ngetuk lagi pada batu besar dan kini disusul teriakannya, “Haiii! Adakah orang di dalam batu ini?”

Karena ketegangan hatinya takut ditinggalkan orang, Ci Sian sampai tidak sadar betapa lucu pertanyaan yang dikeluarkannya itu. Biasanya, jika orang bertanya, tentu bertanya apakah ada orang di dalam rumah, tetapi kini dia bertanya apakah ada orang di dalam batu! Mana mungkin ada orang di dalam batu?

“Haiii! Siapakah yang berada di dalam batu ini?” kembali dia berteriak dan memukul-mukulkan batu yang dipegangnya itu pada batu besar.

Mendadak terdengar suara dari dalam batu itu! Suara itu terdengar aneh, seperti mulut tersumbat, akan tetapi cukup dapat didengarnya, “Sumoi, engkaukah itu?”

Bukan main girang hatinya. Tentu itu Kam Hong! Siapa lagi yang menyebutnya sumoi kalau bukan Kam Hong? Meski biasanya Kam Hong menyebutnya Ci Sian, akan tetapi bukankah pendekar itu sudah mengakui dia sebagai sumoi-nya? Dan kalau suara Kam Hong seperti itu, tidak aneh karena pendekar itu berada di dalam batu! Tentu suaranya seperti tersumbat. Dan di dunia ini mana ada manusia lain kecuali Kam Hong yang memiliki cukup kesaktian untuk masuk ke dalam batu besar?

“Benar, Suheng, ini aku!” teriaknya dengan nyaring. Karena Kam Hong menyebutnya sumoi, mengapa dia tidak menyebutnya suheng? Masa kalau dia dipanggil sumoi (adik seperguruan), lalu dia menjawabnya dengan sebutan paman? Dan lagi, kalau diingat-ingat, dia memang jauh lebih senang menyebut suheng dari pada menyebut paman kepada Kam Hong.

“Mau apa engkau datang menyusulku, Sumoi?” kembali terdengar suara itu, suara aneh karena tentu saja tidak leluasa keluarnya dari dalam batu itu.

“Mau apa menyusulmu?” Ci Sian mulai terheran dan mendongkol! Jangan-jangan Kam Hong telah menjadi miring otaknya, jika tidak masa menyembunyikan diri di dalam batu besar seperti itu dan masih bertanya lagi kepadanya mengapa dia datang menyusul?

“Bukalah aku mau bicara!” katanya dengan nyaring karena tidak enak jika berbantahan dari luar dan dalam batu!

“Tunggu sebentar....!”

Ci Sian melangkah mundur. Dia tidak dapat membayangkan bagaimana Kam Hong akan keluar dari dalam batu itu. Jangan-jangan batu itu akan meledak dari dalam. Yang lebih mengherankan lagi, bagaimana masuknya? Dia menyabarkan diri karena kalau sudah keluar, tentu Kam Hong akan dapat menjawab semua keheranannya.

Mendadak batu besar itu bergerak ke kanan! Dalam keheranannya, Ci Sian hendak menegur, tetapi dia menahan diri ketika melihat betapa di balik batu itu kelihatan lubang hitam yang makin lama semakin melebar. Setelah lebarnya cukup, batu itu berhenti dan dari dalam goa yang tersembunyi di balik batu besar itu muncullah seorang pemuda yang langsung meloncat keluar. Ci Sian terkejut, pemuda itu pun terkejut ketika mereka saling pandang. Lalu wajah mereka nampak berseri ketika mereka saling mengenal.

“Engkau....?”

“Engkau....?” Pemuda itu pun berseru hampir berbareng. “Bukankah engkau ehhh...., Siauw Goat dan kita pernah berjumpa lima tahun yang lalu?” Suaranya penuh keraguan karena ketika dia bertemu dengan dara ini, belumlah sebesar ini, masih merupakan seorang gadis cilik, bukan seorang dara remaja yang cantik jelita seperti ini.

“Dan engkau tentu Sim Hong Bu, pemuda pemburu itu, bukan?” Ci Sian menjawab.

“Kau tadi kusangka Sumoi....”

“Dan engkau kusangka Suheng....”

Keduanya diam dan segera keduanya tertawa karena baru terasa oleh mereka betapa pertemuan itu membuat mereka terkejut, heran dan juga girang sekali sehingga mereka mengeluarkan kata-kata yang hampir berbareng dan bersamaan artinya, sehingga tidak terjadi tanya jawab sebagaimana mestinya dan percakapan itu menjadi kacau!

“Hong Bu, ketika kita saling jumpa, kita masih belum dewasa, masih kecil. Akan tetapi engkau dapat mengenalku dengan seketika, apakah aku masih sama saja dengan ketika masih kecil dahulu?”

Hong Bu yang sejak tadi memandang dengan bengong seperti orang penuh pesona, penuh kagum, mendengar pertanyaan yang jujur itu, lalu menjawab sejujurnya pula. “Memang tidak ada bedanya dalam pandang matamu yang tajam, senyummu yang khas, akan tetapi engkau.... engkau sekarang, hemmm, cantik jelita sekali, Siauw Goat!”

Tiba-tiba wajah dara itu berubah merah, bukan merah karena marah melainkan karena malu, dan untuk menyembunyikan rasa malu ini dia cepat berkata, “Jangan sebut aku Siauw Goat lagi, Aku bukan anak kecil lagi maka namaku bukanlah Bulan Kecil lagi, melainkan Ci Sian, Bu Ci Sian. Hong Bu, siapakah adanya Sumoi-mu yang tadi kau sebut-sebut?”

“Bu Ci Sian....? Sungguh nama yang indah sekali... tetapi mengapa dulu namamu Siauw Goat....?”

Mendengar pujian ini dan betapa Hong Bu tidak menjawab pertanyaannya, bahkan bertanya tentang namanya, Ci Sian cemberut, akan tetapi menjawab juga. “Siauw Goat hanya nama julukan yang diberikan orang kepadaku di waktu aku masih kecil saja, namaku yang sebenarnya adalah Bu Ci Sian, akan tetapi nama itu sama sekali tidaklah indah....“

“Siapa bilang tidak indah? Nama itu bagus sekali, Siauw.... ehhh, Ci Sian!”

“Sudahlah, sekarang jawab pertanyaanku, siapakah Sumoi-mu itu?”

“Sumoi-ku? Ahh, Sumoi-ku bernama Cu Pek In....“

Hong Bu terhenti karena melihat betapa dara itu menjadi terkejut sekali dan wajah dara yang jelita itu berubah, alisnya berkerut dan pandang matanya tak senang. Kemudian, semakin terkejutlah hati Hong Bu ketika dia melihat dara itu mengepal tinjunya dan melangkah maju mendekatinya dengan sikap mengancam.

“Bagus, jadi engkau adalah murid keluarga Cu yang jahat itu, ya? Engkau murid keluarga siluman itu? Nah, suatu kesempatan bagiku untuk membasmi muridnya lebih dulu sebelum membasmi guru-gurunya!” Setelah berkata demikian, dengan cepat sekali Ci Sian lalu menerjang ke depan dan menyerang dada Hong Bu!

“Eh, Ci Sian.... eh, ada apa ini....?” Hong Bu terkejut akan tetapi dia hanya mengelak ke kanan kiri saat dara itu menyerangnya secara bertubi-tubi dengan pukulan-pukulan yang mengandung tenaga yang cukup dahsyat. Akan tetapi Ci Sian tak bicara lagi, melainkan menyerang semakin ganas.

Harus diketahui bahwa pada saat itu tingkat kepandaian Sim Hong Bu telah mengalami perubahan yang amat hebat. Selama hampir lima tahun dia telah digembleng oleh tiga orang kakak beradik Cu yang melatihnya dengan tekun dan keras, sesuai dengan pesan mendiang Ouwyang Kwan yang menjadi Yeti. Dan karena Hong Bu memang seorang anak kecil yang amat berbakat, ditambah lagi semangatnya yang besar, maka dalam waktu empat tahun saja dia telah menguasai dasar-dasar ilmu silat tinggi keluarga itu dengan baiknya, bahkan dalam hal penghimpunan tenaga sinkang dan kematangan ilmu silat, dia telah jauh melampaui Cu Pek In, dan bahkan sudah mendekati tingkat Cu Kang Bu atau pun Cu Seng Bu.

Kini, dia mulai disuruh oleh guru-gurunya untuk mengasingkan diri di dalam goa di mana ia pernah diajak oleh Yeti, dan disuruh mematangkan ilmu-ilmu yang telah dipelajarinya selama ini dan juga untuk mulai melatih diri dengan ilmu-ilmu yang ditinggalkan oleh Ouwyang Kwan, terutama sekali Ilmu Pedang Koai-liong-kiam itu.

Oleh karena itu, kini menghadapi Ci Sian, kalau dia mau melawan tentu tidak sukar baginya untuk merobohkan dara ini yang belum benar-benar menerima pelajaran ilmu silat dari Kam Hong. Akan tetapi, Sim Hong Bu sama sekali tidak tidak mau melawan. Begitu berjumpa dengan Ci Sian, terjadi sesuatu yang aneh dalam hatinya. Ia terpesona dan kagum, tertarik sekali kepada dara yang pernah dijumpainya lima tahun yang lalu itu. Kini menghadapi serangan-serangan ganas dari Ci Sian, dia hanya merasa terkejut dan terheran-heran saja. Sedikit pun ia tak bermaksud untuk melawan, hanya mengelak terus dan kadang-kadang saja menangkis tanpa menggunakan terlalu banyak tenaga karena dia tidak ingin menyakiti lengan Ci Sian.

Akan tetapi, hal itu malah menambah kemarahan dan rasa penasaran di dalam hati Ci Sian. Melihat betapa Hong Bu hanya selalu mengelak dan menangkis tanpa membalas sedikit pun, sedangkan dia sudah mengeluarkan semua kepandaian untuk menyerang dan semua tiada hasilnya sama sekali membuat dia penasaran dan hampir menangis.

“Balaslah! Hayo balaslah, kau pengecut, murid keluarga iblis!” bentaknya berkali-kali sambil terus menyerang.

Hong Bu yang merasa terkejut dan terheran-heran itu mengerti bahwa sikapnya yang tidak melawan itu agaknya malah menyinggung hati Ci Sian. Dia tidak mengerti akan watak yang dianggapnya aneh dan lucu itu, akan tetapi dia pun merasa kasihan ketika mendengar betapa di dalam suara dara itu terkandung isak tertahan. Maka ketika Ci Sian memukul lagi ke dadanya, dia sengaja berlaku lambat ketika mengelak.

“Dukkkk....!” Tubuhnya terlempar ke belakang dan terpelanting.

Begitu melihat pukulannya mengenai sasaran, Ci Sian merasa girang akan tetapi juga berbareng merasa kaget bukan main. Akan tetapi hatinya lega melihat Hong Bu tidak mati dan dia malah menjadi ragu-ragu untuk menyerang lebih lanjut ketika melihat Hong Bu bangkit kembali dengan wajah memperlihatkan rasa penasaran dan juga kedukaan itu.

“Ci Sian, harap kau bersabar.... mengapa engkau marah-marah dan benci kepadaku, lalu menyerang tanpa alasan?” Hong Bu bertanya sambil mengebut-ngebutkan bajunya yang kotor oleh debu saat ia terjatuh tadi. Tentu saja pukulan yang sengaja diterimanya dengan dada tadi sama sekali tidak melukainya dan tidak terasa nyeri karena dia sudah melindungi dadanya dengan sinkang yang lemas sehingga dara itu pun tidak sampai terluka tangannya.

Ci Sian memandang ke arah dada kiri pemuda yang terpukul olehnya tadi. Dia tadi mengerahkan tenaga dan pukulannya tadi keras sekali, cukup keras untuk membunuh orang!

“Tidak.... tidak sakitkah dadamu yang kupukul?”

Mendengar pertanyaan ini, hampir saja Hong Bu tertawa. Akan tetapi dia cukup cerdik untuk menahan rasa geli di hatinya itu dan juga dia merasa amat girang. Kiranya Ci Sian bukanlah seorang dara kejam, buktinya begitu dia kena terpukul, gadis itu bertanya dengan nada penuh kekhawatiran! Maka dia cepat-cepat meringis dan mengusap-usap dadanya yang tadi terpukul.

“Bukan main nyerinya.... pukulanmu tadi kuat dan dahsyat sekali.... akan tetapi.... tidak mengapalah, biarlah sebagai hukumanku kalau aku memang bersalah. Akan tetapi, bersalahkah aku kepadamu, Ci Sian? Dan kalau ada salah, apakah kesalahanku itu maka engkau menjadi begitu marah dan memukulku?”

Setelah dia berhasil memukul dada Hong Bu, sudah lenyaplah rasa penasaran dan kemarahan dari hati Ci Sian dan timbul rasa kasihan kepada pemuda itu. Bagaimana pun juga, pemuda itu sama sekali tidak mempunyai kesalahan apa pun terhadap dia. Akan tetapi tentu saja dia tidak mau mengakui hal ini dan dengan muka tetap cemberut, biar pun suaranya tidak sekeras tadi dia berkata, “Keluarga Cu itu gurumu, bukan? Benar, keluarga penghuni Kim-siauw San-kok (Lembah Gunung Suling Emas ) karena mulai sekarang mereka tidak berhak memakai lagi nama julukan Suling Emas. Mereka itu telah kalah oleh Suheng-ku dan sudah berjanji tak akan lagi memakai nama Suling Emas.”

“Ehh, apakah yang telah terjadi, Ci Sian? Aku tidak mengerti apa yang kau katakan itu, juga aku sama sekali tidak tahu mengapa engkau memusuhi keluarga Cu sehingga engkau marah-marah kepada aku yang menjadi murid mereka. Marilah, kita duduk dan bicara dengan tenang.”

Mereka lalu duduk di depan batu besar yang menutupi goa itu. Ci Sian sudah tak marah lagi sungguh pun ada rasa kecewa dalam hatinya bahwa pemuda yang menyenangkan ini ternyata adalah murid dari musuh-musuhnya yang dibencinya. Ya, dia membenci keluarga Cu, karena bukankah keluarga itu hendak membunuhnya, bahkan pada waktu menjelang perpisahan, Cu Han Bu masih juga mengeluarkan ancamannya?

“Nah, sekarang ceritakanlah kepadaku, apa artinya semua ini, Ci Sian?”

“Ceritakan dulu bagaimana engkau tiba-tiba saja menjadi murid mereka,” kata Ci Sian.

Hong Bu tersenyum, kemudian menarik napas panjang. Dara ini sungguh amat memikat hatinya, dan biar pun dara ini sedang berada dalam keadaan marah, akan tetapi tidak mengurangi daya tariknya yang amat kuat. Dan dia merasa yakin bahwa kemarahan dara itu kepadanya secara tiba-tiba bukannya tidak ada alasannya yang kuat, karena itu biar pun belum mendengarkan alasan itu pun dia sudah dengan rela memaafkan gadis itu!

“Aku menjadi murid mereka secara kebetulan saja,” dia mulai menceritakan keadaan dirinya. Dia harus merahasiakan tentang mendiang Ouwyang Kwan yang menjadi Yeti. “Secara kebetulan aku terbawa oleh rombongan orang-orang kang-ouw menjadi tamu di Lembah Suling.... ehhh, di lembah keluarga Cu itu dan karena ternyata bahwa pedang Koai-liong-kiam berada di tanganku, maka aku ditetapkan menjadi ahli waris pedang itu dan ilmunya, dan karena pedang itu berasal dari keluarga Cu, maka dengan sendirinya aku menjadi murid mereka. Selama hampir lima tahun aku belajar ilmu dari mereka, yaitu ketiga orang Suhu-ku she Cu itu. Nah, demikianlah pengalamanku mengapa aku dapat menjadi murid mereka, Ci Sian. Dan sekarang, ceritakanlah mengapa engkau membenci mereka....?”

“Jika engkau murid mereka, mengapa engkau kini berada di sini sehingga engkau tidak tahu apa yang terjadi di lembah?” Ci Sian masih merasa tidak puas.

“Sejak tiga bulan yang lalu aku tidak pernah keluar dari dalam goa di balik batu ini, Ci Sian, karena telah tiba saatnya bagiku untuk mempelajari ilmu pedang yang diwariskan kepadaku. Kalau tidak engkau mengetuk-ngetuk pada batu tadi, sampai sekarang pun aku belum keluar dari dalam goa itu.”

“Dan kau sangka.... aku.... Sumoi-mu.... hemm.... gadis yang berpakaian pria itu?”

“Ya, benar. Kau sudah mengenal Sumoi Cu Pek In?”

“Tentu saja, aku sudah bertemu dengan banci itu!”

“Banci?” Sepasang mata Hong Bu terbelalak heran.

“Ya, banci. Seorang dara yang selalu mengenakan pakaian pria, apalagi kalau bukan banci namanya?”

Hong Bu tertawa geli dan Ci Sian memandang marah. “Kenapa kau tertawa?”

“Karena kau lucu, Ci Sian. Dia bukan banci. Dia berpakaian pria semenjak kecil, karena dahulu, mendiang ibunya ingin sekali mempunyai seorang anak laki-laki. Maka dia menjadi terbiasa dan sampai sekarang suka sekali berpakaian pria.”

Mendengar bahwa ibu dari Pek In sudah tiada, diam-diam Ci Sian merasa berkurang bencinya kepada dara yang senasib dengan dia itu.

“Apakah yang telah terjadi di lembah dan mengapa engkau dapat datang ke tempat ini, Ci Sian?”

“Aku dan Suheng, kau tahu siapa Suheng, dia adalah Pendekar Suling Emas tulen Kam Hong, datang....”

“Ahhh.... ! Pendekar perkasa yang dahulu pernah menolong kita itu? Yang senjatanya mempergunakan suling emas dan kipas?”

“Benar, dialah orangnya!” kata Ci Sian bangga. “Karena Suheng merasa penasaran dengan julukan Lembah Suling Emas yang menyamai julukannya, maka kami datang ke lembah dan di sana, untuk menentukan siapa yang lebih berhak memakai nama Suling Emas, Suheng mengalahkan tiga orang she Cu itu....”

“Ahhh....!” Hong Bu terkejut, di dalam hatinya hampir tidak dapat percaya bahwa ketiga orang gurunya dapat dikalahkan orang.

“Apa ahhh?” Ci Sian menatap tajam.

“Tidak apa-apa, hanya aku teringat bahwa menurut penuturan para suhu, memang pusaka suling emas itu buatan nenek moyang keluarga Cu, seperti juga halnya pedang Koai-liong-kiam. Oleh karena itulah maka lembah itu dinamakan Lembah Gunung Suling Emas.”

“Andai kata benar begitu, suling itu sudah ratusan tahun menjadi milik keluarga Suheng Kam Hong, dan secara gaib Ilmu Kim-siauw Kiam-sut juga diwariskan kepada kami oleh pencipta suling itu, maka Suheng-lah yang berhak menyebut diri Suling Emas yang asli.”

“Lalu bagaimana, Ci Sian? Apakah dalam adu ilmu itu juga ada yang terluka atau tewas?” tanya Hong Bu dengan hati khawatir sekali. Dia tidak tahu apa yang telah terjadi dan diam-diam dia mengkhawatirkan keselamatan keluarga Cu.

“Hemm, kalau Suheng tidak ingin memberi ampun, apa sukarnya bagi Suheng untuk membasmi mereka yang sombong itu? Suheng hanya mengalahkan mereka dan memenangkan hak memakai nama Suling Emas. Kami lalu meninggalkan lembah....“

“Kalau begitu, mana Suheng-mu itu? Dan mengapa engkau datang sendirian di sini? Jadi kau kira tadi aku Suheng-mu itukah?”

“Ya, aku sedang menyusul Suheng, maka kukira tadi engkaulah Suheng Kam Hong. Semua adalah gara-gara Si Banci.... ehhh, Cu Pek In itulah.”

“Gara-gara Sumoi? Mengapa? Apa yang terjadi?”

“Aku dan Suheng sedang meninggalkan lembah setelah menyeberangi tambang. Ketika kami tiba di puncak bukit, kami melihat Cu Pek In berjalan seorang diri dan dari tempat jauh itu kami melihat betapa dia diserang dan ditawan oleh dua orang kakek....”

“Ahhh....!” Sim Hong Bu terkejut bukan main mendengar penuturuan ini.

“Melihat itu, Suheng lalu lari melakukan pengejaran dan meninggalkan aku,” kata Ci Sian dengan suara tak senang. “Maka aku lalu mengejar pula, akan tetapi tentu saja Suheng lenyap karena cepatnya gerakannya.”

“Ahhh! Ke mana perginya kakek yang menculik Sumoi itu? Aku harus menolongnya!”

“Hemm, kalau aku tahu, apa kau kira aku berada di sini? Aku pun sedang mencari-cari Suheng yang melakukan pengejaran.”

“Kalau begitu, biar aku mencarinya untuk membantu Suheng-mu menghadapi dua orang kakek itu dan menolong Sumoi.”

“Ke mana kau hendak mencarinya? Pula, kau pikir Suheng membutuhkan bantuanmu? Kita tunggu saja di sini, pasti Suheng akan datang membawa Sumoi-mu itu dalam keadaan selamat.”

“Benarkah? Benarkah Suheng-mu akan dapat menyelamatkannya? Apakah tidak perlu kucari mereka dan kubantu Suheng-mu?”
“Hemm, bantuanmu itu hanya akan membikin Suheng repot saja dan membantunya berarti menghinanya. Sudahlah, kita tunggu di sini, Suheng pasti akan dapat mencari aku di sini.”

Sejenak Hong Bu merasa bimbang. Akan tetapi kemudian menurut apa yang diusulkan oleh Ci Sian. Pertama, kalau dia mencari, ke mana dia harus mencari kalau tidak tahu ke arah mana sumoi-nya dilarikan dua orang kakek itu, dan juga, bukankah pendekar Kam Hong yang sakti itu telah melakukan pengejaran? Ke dua, kalau dia pergi, lalu bagaimana dengan Ci Sian yang seorang diri itu?

“Kalau begitu, marilah kita masuk ke dalam goa, Ci Sian. Hari sudah hampir gelap dan hawa akan sangat dingin malam ini di luar sini. Di dalam lebih hangat dan kita bisa menanti di dalam.”
“Akan tetapi bagaimana kalau Suheng datang mencariku di sini?“
“Hemm, bukankah Suheng-mu sedang menolong Sumoi? Sumoi tahu akan tempat ini walau pun dia belum pernah memasuki goa ini. Dan andai kata Sumoi langsung kembali ke lembah, besok pagi-pagi kita dapat menyusul ke lembah dan tentu kita akan mendengar segalanya dan engkau akan dapat bertemu dengan Suheng-mu.”

Karena tidak ada lain jalan dan memang cuaca mulai menjadi gelap dan hawa menjadi dingin sekali, Ci Sian mengikuti Hong Bu memasuki goa itu dan dia melihat dengan penuh takjub betapa pemuda itu mendorong batu besar itu dengan tangan kirinya saja untuk menutup lubang goa itu! Diam-diam dia merasa heran mengapa tadi ketika menangkisnya, dia tidak merasakan kedahsyatan tenaga tangan pemuda itu!

Akan tetapi dia tidak sempat lagi memikirkan hal ini karena ketika Hong Bu menyalakan api penerangan, dia menjadi takjub bukan main menyaksikan keindahan goa itu yang seolah-olah merupakan sebuah dunia lain dengan dinding-dinding es yang kemilau dan runcing bergantungan dari langit. Akan tetapi, untuk tidak membuka rahasia tempat itu, Hong Bu tidak mengajak Ci Sian ke sebelah dalam di mana terdapat mayat-mayat yang tidak rusak karena terbungkus oleh es. Mereka hanya duduk di ruangan depan yang luas dan Ci Sian menerima dengan girang ketika Hong Bu menghidangkan roti kering dan air jernih untuk makan malam.

Mereka makan minum sambil mengobrol dan diam-diam Hong Bu harus mengakui bahwa dia tertarik sekali kepada Ci Sian, dan dia merasa khawatir karena menduga bahwa dia telah jatuh cinta kepada dara itu! Segala gerak-gerik bibirnya ketika bicara, cara dara itu menggerakkan cuping hidung tanpa disadarinya, lesung pipit di tepi mulut sebelah kiri, cara dara itu memandang dengan kepala agak dimiringkan, cara dara itu mengusap anak rambut yang berjuntai di dahinya, pendeknya setiap gerak-gerik dara itu begitu menarik dan mempesonakan hatinya, membuatnya tergila-gila!

Di lain pihak, Ci Sian juga amat suka kepada Hong Bu karena semenjak pertemuan lima tahun yang lalu, dia tahu bahwa pemuda itu adalah seorang pemuda yang berwatak mulia, gagah perkasa dan juga jujur. Oleh karena itu, ketika malam telah larut dan dia telah mengantuk, dia tidak ragu-ragu sama sekali ketika Hong Bu mempersilakan dia mengaso dan tidur di atas setumpuk daun kering di sudut ruangan depan goa itu. Dia tidak merasa takut dan khawatir sama sekali dan sebentar saja, dara yang sudah lelah ini tertidur pulas.

Hong Bu berjaga tak jauh di situ sambil menjaga api unggun agar tidak sampai padam untuk memberi hawa hangat kepada dara yang sedang tidur pulas. Sambil menatap ke arah wajah dan tubuh yang tidur miring itu, berkali-kali Hong Bu menghela napas panjang. Melihat betapa hawa amat dingin dan biar pun di situ tidak sedingin di luar, apalagi sudah ada api unggun yang bernyala, akan tetapi tetap saja dara itu tidur meringkuk kedinginan, dia kemudian masuk ke dalam, mengambil baju mantelnya dan menyelimuti Ci Sian, kemudian duduk kembali dekat api unggun…..

********************
Sementara itu, Kam Hong yang melakukan pengejaran terpaksa harus mengerahkan tenaganya karena dua orang kakek yang menawan Pek In itu juga lihai sekali dan dapat melarikan diri dengan kecepatan luar biasa, dan selain itu memang jarak di antara mereka cukup jauh. Baiknya, dua orang kakek itu sama sekali tidak mengira bahwa kini mereka telah dikejar orang. Karena inilah agaknya maka Kam Hong akhirnya dapat juga menyusul dua orang kakek itu. Setelah kini dapat melihat jelas, diam-diam Kam Hong terkejut.

Dia belum pernah jumpa dengan dua orang kakek itu, akan tetapi melihat bentuk tubuh mereka, dia dapat menyangka bahwa dua orang kakek yang menawan Pek In itu tentulah dua orang di antara Im-kan Ngo-ok dan kalau dia tidak salah, kakek yang berpakaian seperti tosu yang tingginya luar biasa itu, sedikitnya dua setengah meter, tentulah Ngo-ok Toat-beng Sian-su, sedangkan kakek berkepala gundul dan berpakaian hwesio, bertubuh gendut pendek sekali, hanya setengahnya Ngo-ok itu tentulah Su-ok Siauw Siang-cu atau orang ke empat Im-kan Ngo-ok!

Kam Hong telah mendengar tentang mereka satu demi satu, akan tetapi belum pernah bertemu dengan mereka. Kini, melihat betapa tubuh Pek In tidak bergerak dipanggul di pundak kakek tinggi kurus itu, dia mempercepat larinya. Akan tetapi, ternyata dua orang kakek itu lihai bukan main karena tiba-tiba mereka menengok dan melihat betapa ada orang mengejar mereka dengan amat cepatnya mereka pun segera mempercepat lari mereka!

Kam Hong terus mengejar dan ternyata dua orang itu melarikan diri ke sebuah kuil tua yang berada di kaki bukit, agaknya kuil kosong yang sudah ditinggalkan penghuninya bertahun-tahun yang lalu, karena kuil itu tidak terawat. Mereka berdua lenyap memasuki kuil melalui pintu depan yang tidak berdaun pintu lagi dan keadaan amat sunyi di situ ketika Kam Hong sampai di pekarangan depan kuil yang tidak terawat, yang dipenuhi dengan tumbuh-tumbuhan liar yang dapat tumbuh di tempat dingin itu. Tidak ada salju di sini, akan tetapi hawa udara bahkan lebih dingin dari pada di puncak bukit yang tertiup salju.

Kam Hong tidak berani ceroboh memasuki kuil. Dia tahu bahwa Im-kan Ngo-ok adalah datuk-datuk kaum sesat yang berkedudukan tinggi sekali, maka menghadapi mereka tak boleh disamakan dengan menghadapi penjahat-penjahat biasa. Sejenak dia meneliti keadaan dan setelah dia merasa yakin bahwa dari tempat dia berdiri itu dia akan dapat melihat apabila ada orang keluar dari dalam kuil itu baik melalui jurusan mana pun juga, dia lalu berdiri tegak dengan kedua kaki terpentang lebar, kedua lengan bersilang di depan dada, kemudian dia berseru dengan suara tenang dan nyaring.

“Yang berada di dalam kuil, bukanlah Im-kan Ngo-ok? Silakan keluar, aku Kam Hong ingin bicara!”

Hening sejenak sampai gema suara Kam Hong itu menghilang. Kemudian terdengar teriakan dari dalam kuil. “Mana keluarga Cu? Apakah orang yang datang ini utusan keluarga Lembah Gunung Suling Emas?” Suara yang berteriak itu terdengar menggetar penuh dengan tenaga khikang yang amat kuat dan tahulah Kam Hong bahwa orang yang berteriak itu sengaja memamerkan kepandaian untuk menakutinya.

“Aku bukan utusan siapa pun, aku datang atas namaku sendiri karena melihat seorang gadis kalian tawan!” kata Kam Hong terus terang.

“Huh, apamukah Nona ini maka engkau lancang mencampuri?” terdengar suara orang membentak marah dari dari dalam kuil itu.

“Bukan keluarga, bukan teman, bukan apa-apa, tetapi melihat seorang gadis ditawan dengan paksa apakah kalian mengira bahwa aku akan diam saja? Im-kan Ngo-ok, telah lama aku mendengar nama besar kalian sebagai datuk-datuk perkasa, apakah kini aku harus melihat kenyataan bahwa kalian hanyalah penculik-penculik gadis yang pengecut saja dan tidak berani menghadapi aku sebagai laki-laki?”

“Sombong....!”

Tiba-tiba sesosok bayangan seperti bola menggelundung dari pintu kuil dan tahu-tahu seorang pendek gendut seperti hwesio itu sudah mencelat ke depan dan menghantam ke arah dada Kam Hong setelah tadi menggelundung bagai seekor binatang trenggiling turun dari lereng. Hantaman itu dahsyat bukan main sampai angin pukulannya terasa menyambar oleh Kam Hong. Melihat serangan maut ini, Kam Hong maklum betapa lihai dan kejamnya orang ini, maka dia pun mengerahkan tenaga pada lengan kirinya dan menangkis.

“Dukkk! Bresss!”

Tubuh yang pendek gendut itu terguling dan kembali tubuh itu bergulingan menjauh, lalu meloncat bangun dengan mata terbelalak memandang ke arah pemuda yang mampu menangkis serangannya sehebat itu.

Dugaan Kam Hong memang tepat karena pada saat itu, dari pintu kuil keluarlah empat orang lain dan dengan penuh perhatian Kam Hong memandang ke arah mereka, dan dia kini bertemu dengan lima orang yang gambarannya telah lama dia dengar sebagai Im-kan Ngo-ok.

Orang pertama adalah seorang kakek yang wajahnya mirip sekali dengan seekor gorilla. Gerak-geriknya halus dan meski wajahnya mengerikan seperti gorila, namun mulutnya selalu membayangkan senyum ramah! Dia inilah Toa-ok Su Lo Ti, orang pertama dari Im-kan Ngo-ok.

Orang ke dua merupakan seorang nenek yang mukanya tertutup topeng tengkorak. Tubuhnya kecil ramping seperti tubuh wanita muda. Sepasang mata di balik tengkorak itu mencorong seperti mata setan, agak kemerahan mengerikan. Dia inilah Ji-ok Kui-bin Nio-nio orang ke dua dari Lima Jahat Dari Akhirat ini.

Orang ke tiga merupakan seorang kakek raksasa yang berkepala botak. Dia memakai mantel merah dan pakaiannya mewah, sikapnya penuh wibawa dan pandang matanya bengis. Inilah Sam-ok Ban-hwa Sengjin, orang ke tiga. Orang ke empat adalah Su-ok Siauw siang-cu yang tadi telah menyerang Kam Hong, seorang hwesio pendek gendut yang mukanya nampak gembira. Sedangkan orang ke lima, yang kini memanggul tubuh Pek In yang lemas, adalah Ngo-ok Toat-beng Sian-su yang jangkung seperti gila. Kakek ke lima ini mukanya selalu nampak sedih dan matanya sipit hampir selalu terpejam.

Setelah yakin benar bahwa mereka ini adalah Im-kan Ngo-ok, Kam Hong lalu menjura dan berkata. “Kiranya benar bahwa aku berhadapan dengan Im-kan Ngo-ok yang sudah tersohor. Mengingat akan besarnya nama Ngo-wi, maka aku harap Ngo-wi akan dapat bersikap sesuai dengan kedudukan dan suka membebaskan gadis ini, dan aku bersedia minta maaf atas gangguanku ini.” Kam Hong tidak ingin menanam bibit permusuhan, apalagi dengan lima orang datuk kaum sesat ini. Bukan dia merasa takut, akan tetapi merasa segan untuk mencari permusuhan yang berarti akan mendatangkan gangguan terus-menerus dalam kehidupannya.

Lima orang itu pun mengamati Kam Hong dengan penuh perhatian dan mereka pun merasa heran mengapa mereka belum mengenal pemuda ini, padahal, melihat betapa pemuda ini tadi menangkis serangan Su-ok, jelas membuktikan bahwa pemuda ini bukan orang sembarangan!

“Siapakah engkau?” tanya Toa-ok Su Lo Ti, seperti biasa suaranya amat halus dan ramah.

“Namaku Kam Hong dan sekali lagi kuharap Ngo-wi suka membebaskan gadis ini.”

“Hemmm, engkau sudah mengenal kami, akan tetapi masih berani mencampuri urusan kami? Apakah kau sudah bosan hidup? Ehhh, bocah she Kam, kalau kami tidak mau membebaskan gadis ini, habis kau mau apa?” tiba-tiba Su-ok yang merasa penasaran bertanya sambil mendekati Kam Hong.

“Kalau Ngo-wi tetap memaksa, apa boleh buat, aku akan memberanikan diri untuk menyelamatkan gadis ini dengan menggunakan kekerasan,” kata Kam Hong.

“Apa? Engkau menantang kami? Nah, mampuslah kalau begitu!” Su-ok sudah maju menerjang dan gerakannya cepat bukan main karena memang demikian watak para datuk sesat ini, selalu tak segan-segan menggunakan kecurangan demi untuk mencapai kemenangan.

Agaknya dari pertemuan tenaga pertama kali tadi, Su-ok maklum bahwa pemuda sastrawan itu bukan merupakan lawan yang lemah, maka kini begitu dia menyerang, dia telah mempergunakan ilmunya yang paling diandalkan, yaitu pukulan Katak Buduk. Angin pukulan dahsyat menyambar disertai bau yang amis sekali, menyambar ke arah perut Kam Hong!
Namun pemuda ini semenjak tadi sudah siap, maka pukulan itu pun sudah dihadapinya dengan tenang. Cepat-cepat dia mengelak ke kiri dan mengambil keputusan untuk tidak memperpanjang waktu perkelahian. Yang terpenting bukanlah perkelahian itu, tetapi bagaimana dia harus menyelamatkan Pek In yang masih berada dalam pondongan Ngo-ok. Kalau dia dapat merampas Pek In, dia dapat melarikan dara itu dan dia percaya bahwa dia akan dapat melarikan diri dengan selamat mengandalkan ginkang-nya yang sekarang sudah meningkat dengan hebat sekali semenjak dia mempelajari ilmu dengan menghimpun khikang melalui ilmu bertiup suling.

Maka, sekali mengelak ke kiri, dia sudah menubruk ke arah Ngo-ok yang berdiri tak jauh dari situ, tangan kiri mencengkeram ke arah muka Si Tinggi Kurus itu sedangkan tangan kanannya berusaha untuk merampas tubuh Cu Pek In. Serangan ini dilakukan dengan kecepatan kilat sehingga mengejutkan Ngo-ok. Akan tetapi, sayang sekali bahwa justru Ngo-ok ini merupakan orang yang paling tinggi ginkang-nya di antara para saudaranya, maka walau serangan itu amat hebat dan mengejutkan, Si Jangkung itu masih mampu melesat ke samping sehingga cengkeraman kedua tangan Kam Hong itu meleset dan saat itu Su-ok sudah datang lagi menubruk dan menghantamnya.

Terpaksa Kam Hong menangkis dan melayani Su-ok yang merupakan seorang lawan yang tidak boleh dipandang ringan. Selagi dia mendesak Su-ok, tiba-tiba ada sambaran angin dari belakangnya. Cepat dia membalik dan menangkis sambil balas memukul. Kiranya Ngo-ok sudah datang pula mengeroyoknya! Ketika Kam Hong melirik, ternyata bahwa Si Jangkung itu telah melepaskan Pek In ke atas tanah, akan tetapi dara itu berada dalam keadaan tertotok sehingga tidak mampu bergerak dan di sana masih ada tiga orang dari Im-kan Ngo-ok yang menjaganya! Diam-diam Kam Hong merasa kecewa sekali. Kalau begini caranya, akan lebih sukar untuk merampas Pek In dan agaknya jalan satu-satunya baginya adalah bahwa dia harus mengalahkan mereka lebih dulu!

“Baiklah kalau kalian menghendaki kekerasan!” bentaknya.

Dan segera tubuhnya bergerak dengan aneh dan cepat. Sedemikian cepat gerakannya sehingga para pengeroyoknya itu tidak merasa mengeroyok satu orang lagi, bahkan seakan mereka berhadapan dengan lebih dari dua orang! Apalagi karena Kam Hong mengerahkan tenaga khikang sehingga setiap kali mereka beradu lengan, Su-ok dan Ngo-ok selalu terpental dan terhuyung, tanda bahwa mereka berdua itu kalah kuat!

Melihat betapa lihainya lawan, Ngo-ok mengeluarkan gerengan seperti seekor serigala dan tubuhnya sudah berjungkir balik dan dia sudah menyerang Kam Hong dengan kedua kakinya yang panjang dan berada di atas, dibantu oleh kedua tangan dari bawah. Gerakannya bahkan lebih gesit dan lebih cepat dibandingkan kalau dia berdiri dengan kedua kaki di bawah! Sedangkan Su-ok juga sudah mengirim pukulan-pukulan Katak Buduk yang amat dahsyat itu.

Akan tetapi, Kam Hong tidak gentar menghadapi mereka. Dengan Khong-sim Sin-ciang, dibantu oleh tenaga khikang dahsyat yang disalurkan kepada seluruh tubuh, terutama kepada kedua lengannya, dia masih dapat mendesak kedua orang lawan itu, bahkan dia telah berhasil menampar masing-masing satu kali kepada dua orang pengeroyoknya dan biar pun tamparan itu tidak mengenai dengan telak, namun cukup membuat mereka menjadi agak jeri dan selanjutnya terus didesaknya dua orang lawan itu dengan hebat.

Melihat ini, Toa-ok, Ji-ok dan Sam-ok terbelalak memandang penuh kagum. Kalau saja yang dikeroyok oleh Su-ok dan Ngo-ok itu merupakan tokoh kang-ouw sakti yang sudah mereka kenal maka tentu saja mereka tidak akan merasa penasaran dan heran melihat betapa mereka terdesak. Akan tetapi pemuda ini sama sekali belum mereka kenal. Bagaimana mungkin kini pemuda yang agaknya baru muncul di dunia kang-ouw ini telah dapat memiliki ilmu kepandaian sedemikian lihainya?

“Tahan....!” Tiba-tiba Sam-ok meloncat ke depan dan menahan pukulan Kam Hong yang mendesak Su-ok yang sudah bergulingan itu.

“Dukkkk!”

Sam-ok tergeser mundur oleh tangkisan itu dan diam-diam dia makin terkejut. Ketika dia menangkis untuk menyelamatkan Su-ok dan juga untuk menghentikan perkelahian itu tadi, dia menggunakan tenaga sepenuhnya, akan tetapi pertemuan tenaga lewat lengan itu ternyata membuat dia terdorong dan kuda-kudanya tergeser! Bukan main hebatnya kekuatan pemuda sastrawan ini, pikirnya.

Karena pihak lawan minta perkelahian dihentikan dan ingin bicara, Kam Hong tidak melanjutkan serangan dan dia pun berdiri tegak dan memandang dengan sikap tenang, namun dengan penuh kewaspadaan karena dia sudah mendengar akan nama Im-kan Ngo-ok yang tersohor sebagai datuk-datuk kaum sesat yang paling curang dan paling jahat.

“Orang she Kam, sesungguhnya kami tidak ingin bermusuhan dengan engkau yang tidak kami kenal. Biar pun engkau memiliki sedikit kepandaian, akan tetapi jangan harap engkau akan dapat menentang kami. Jangan kau mencampuri urusan kami yang tidak kau ketahui sama sekali.”

“Hemm, apa artinya aku bersusah payah mempelajari ilmu jika aku harus mendiamkan saja melihat seorang dara diculik orang?” jawab Kam Hong dengan suara dingin.

“Ah, kau salah paham, sobat muda,” kata Sam-ok dengan nada suara mengejek. “Kami tidak bermaksud mengganggu anak perempuan ini. Kami hanya menahannya untuk memaksa ayahnya datang menemui kami....“

“Hemm.... sungguh cara yang curang untuk bertemu dengan penghuni Lembah Gunung Suling Emas. Kalau ada kepentingan, mengapa tidak langsung saja menemui keluarga Cu di sana?” Kam Hong mencela. “Mengapa harus menawan puterinya?”

Lima orang itu saling lirik. “Aha, jadi engkau mengenal mereka, ya? Engkau sahabat mereka dan hendak membela mereka?”

“Aku bukan sahabat mereka dan aku hanya membela orang yang terancam bahaya, dalam hal ini adalah Nona inilah. Bebaskan dia dan aku tak akan mencampuri urusanmu dengan keluarga Cu di sana.”

“Engkau tidak tahu persoalannya, orang muda. Kami ingin keluarga itu menukar puteri mereka dengan pedang pusaka yang kami kehendaki....”

“Hemm, Koai-liong Po-kiam yang diperebutkan itu, ya?” Kam Hong sudah mendengar tentang ribut-ribut pedang pusaka itu yang dulu kabarnya dilarikan pencuri dari istana kaisar. “Aku pun tidak peduli tentang pedang itu, akan tetapi rebutlah dengan cara yang jantan, bukan dengan menawan seorang gadis remaja.”

“Bocah sombong, engkau sungguh bosan hidup!” Sam-ok sudah tidak dapat menahan kesabarannya lagi dan dia sudah menerjang dengan dahsyatnya.

Kam Hong cepat mengelak dan balas menyerang, akan tetapi pada saat itu Su-ok dan Ngo-ok sudah mengeroyoknya pula. Dikeroyok oleh tiga orang tokoh yang lihai ini, terutama sekali Sam-ok yang lebih lihai dari pada Su-ok dan Ngo-ok, Kam Hong merasa repot juga. Ilmu kepandaian tiga orang pengeroyoknya itu telah berada di tingkat yang amat tinggi dan jurus-jurus ilmu silat mereka aneh-aneh dan berbahaya sekali, maka Kam Hong menggerakkan tangan kirinya dan nampak sinar putih ketika dia mencabut kipasnya dan dia pun mulai melayani mereka dengan kipasnya. Dengan ilmu silat Lo-hai San-hoat (Ilmu Kipas Pengacau Lautan) yang telah diwarisinya dari peninggalan nenek moyangnya, dia melawan mereka, dibantu oleh tangan kanannya yang melancarkan tamparan-tamparan dan totokan-totokan dahsyat, dia berhasil menahan mereka bertiga.

Tentu saja Sam-ok merasa penasaran sekali melihat betapa mereka bertiga sama sekali tak mampu mendesak lawan, bahkan dia sendiri pun harus berhati-hati karena gerakan kipas itu benar-benar amat dahsyat. Semua serangan kandas oleh tangkisan-tangkisan gagang kipas yang sambil menangkis juga lantas menotok jalan darah di pergelangan tangan atau sikut, dan angin yang menyambar dari kipas yang dikembangkan kadang-kadang membuat dia bingung sehingga dua kali dia hampir tertotok oleh gagang kipas. Harus diakuinya bahwa tanpa bantuan dua orang saudaranya, seorang diri saja dia akan sukar sekali dapat bertahan melawan pendekar muda yang belum dikenalnya itu! Dia merasa semakin penasaran, akan tetapi juga geram ketika mendengar betapa Ji-ok memuji-muji pemuda itu.

“Bagus, bagus! Ilmu kipas yang bagus! Wah, Sam-te, engkau dengan bantuan Su-te dan Ngo-te masih tidak mampu mengalahkan dia? Sungguh memalukan sekali!”

“Ji-ci, dari pada banyak cerewet, lebih baik lekas bantu kami agar urusan kita dapat segera diselesaikan!” kata Sam-ok dengan marah karena ejekan itu.

“Hi-hik! Kalau aku sekali turun tangan, tentu bocah ganteng ini akan kehilangan kepala. Sungguh sayang!”

“Hemm, Si Mulut Besar! Hendak kulihat kenyataan bualanmu!” kata pula Sam-ok karena dia merasa yakin bahwa biar pun Ji-ok sendiri agaknya akan mengalami kesulitan untuk mengalahkan bocah ini. Kepandaiannya sendiri tidak lebih rendah dibandingkan dengan Ji-ok, meski sampai sekarang dia belum mampu menandingi Kiam-ci (Jari Pedang) dari nenek itu yang benar-benar luar biasa hebatnya, namun pada umumnya kepandaiannya setingkat dibandingkan dengan Ji-ok.

“Hi-hik, kau lihat sajalah!” kata Ji ok dan dia pun menerjang ke depan.

“Singggg.... cuiiiiitttt....“

“Ehhhhh....!” Kam Hong terkejut sekali dan cepat-cepat dia meloncat ke belakang untuk menghindarkan diri dari sinar kilat pada saat telunjuk tangan nenek itu menyambar dan mengeluarkan hawa dingin berkilat yang amat dahsyatnya.

“Hi-hi-hik, engkau kaget, bocah ganteng? Nah, lekaslah berlutut minta ampun, Nenekmu akan mempertimbangkan,” kata Ji-ok.

Namun Kam Hong sudah menjadi marah sekali. Tidak disangkanya bahwa nama besar Im-kan Ngo-ok yang tersohor sebagai datuk-datuk kaum sesat yang berkedudukan tinggi itu ternyata sekelompok orang yang berjiwa pengecut dan tidak segan-segan dan tidak malu-malu untuk melakukan pengeroyokan untuk mencapai kemenangan.

“Siapa takut padamu?!” bentaknya dan di lain saat, empat orang pengeroyoknya itu menjadi silau dan terkejut melihat berkelebatnya sinar kuning emas yang cemerlang. Mereka terkejut bukan main ketika melihat betapa kini pemuda yang mereka keroyok itu memegang sebatang suling emas yang berkilauan.

“Suling Emas....!” Tiba-tiba Toa-ok berseru keras. “Cepat rampas suling pusaka itu!”

Empat orang itu pun sudah mengenal suling emas yang pernah mereka dengar seperti dongeng itu, maka serentak mereka pun menerjang ke depan untuk menyerang dan berusaha merampas benda pusaka itu.

Namun Kam Hong sudah mainkan ilmu silat sakti dengan mencorat-coretkan sulingnya di udara, membentuk huruf Thian (Langit). Dan empat kali sulingnya membuat gerakan mencoret dari kiri ke kanan, dua kali untuk menangkis serangan Ngo-ok dan Sam-ok, disusul coretan dari atas kanan ke kiri, disusul dari atas ke kanan memanjang dan Ji-ok tertangkis mundur sedangkan Su-ok terjungkal lalu bergulingan.

Ternyata dalam segebrakan itu saja, sebuah jurus dari ilmu sakti Hong-in-bun-hoat yang merupakan gerakan silat yang berdasarkan mencorat-coret atau ‘menulis’ huruf di udara menggunakan suling, sekaligus telah menangkis serangan empat orang sakti bahkan telah melukai pundak Su-ok dan juga membuat tangan Ji-ok terasa nyeri bukan main! Empat orang itu terkejut dan sejenak mereka merasa gentar.

“Hayo serang dia!” Toa-ok memberi komando.

Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara lengking panjang bersama sinar emas bergulung-gulung, dan itulah sinar suling emas yang digerakkan oleh Kam Hong dengan Ilmu Silat Kim-siauw Kiam-sut yang baru saja dia pelajari sambil mengerahkan seluruh tenaga khikang-nya sehingga suling yang dimainkan itu mengeluarkan suara melengking tinggi dan semakin lama semakin tinggi sekali.

Empat orang itu kalang-kabut dan mengelak ke sana-ke sini, tetapi mereka terserang oleh suara melengking-lengking itu, makin tinggi suaranya makin menusuk telinga dan seolah-olah hendak menembus jantung! Ketika lima orang itu menjauh dan sengaja mengerahkan sinkang untuk melindungi diri dari ancaman suara khikang suling itu dan bersiap untuk mengepung, mendadak saja Kam Hong meloncat ke arah Pek In yang masih rebah di atas tanah, menyambar tubuh dara itu, memanggulnya dengan lengan kiri setelah menyimpan kipasnya, kemudian meloncat jauh dan terus berloncatan sambil mengerahkan ginkang-nya. Sejenak Im-kan Ngo-ok tertegun, akan tetapi mereka segera menjadi marah sekali dan langsung saja mereka berloncatan melakukan pengejaran sambil memaki-maki karena merasa dipermainkan oleh pemuda itu.

Biar pun pada waktu itu Kam Hong telah memiliki kepandaian ilmu berlari cepat yang hebat berkat tenaga khikang yang terhimpun di dalam tubuhnya, tapi para pengejarnya itu adalah datuk-datuk kaum sesat yang menduduki tingkat satu dan mereka, terutama sekali Ngo-ok, mempunyai ginkang yang amat hebat. Apalagi Kam Hong masih harus memondong tubuh Cu Pek In.

Dan senja mulai tiba, maka setelah berlari cukup lama, tetap saja lima orang itu masih terus mengejarnya. Kam Hong berpikir bahwa kalau dia tidak cepat lari ke bagian yang ditumbuhi pohon-pohon yang pada saat itu sebagian besar gundul, sukar baginya untuk membebaskan diri karena di daerah pegunungan salju itu dari jarak yang jauh pun dia masih akan nampak dan dapat terus dikejar. Maka dia pun lalu melarikan diri ke sebuah bukit yang berbatu-batu dan ditumbuhi pohon-pohon.

Sementara itu, malam mulai tiba dan keadaan cuaca mulai gelap sehingga hal ini pun menyukarkan Kam Hong untuk dapat berlari cepat. Kegelapan akan memungkinkan dia salah langkah dan tergelincir ke dalam jurang. Maka dengan hati-hati dia memasuki daerah yang tidak gundul itu. Batang-batang pohon dan batu-batu di sana akan dapat menyembunyikan dirinya dari penglihatan musuh. Akan tetapi betapa kagetnya ketika dia melihat bahwa lima orang itu masih terus mengejarnya.

Dia teringat bahwa biar pun dirinya tidak kelihatan, akan tetapi kelima orang itu masih dapat mengikutinya dari jejak kakinya di atas tanah yang tertutup salju. Dan pula dara ini bagi mereka teramat penting untuk di jadikan sandera, guna ditukar dengan pedang pusaka, maka tentu lima orang itu tidak mau mengalah dan akan terus mengejarnya. Karena itu, Kam Hong pun tidak pernah berhenti, mengharapkan bahwa setelah cuaca gelap benar, lima orang itu akan kehilangan jejak kakinya.

Harapannya itu memang tidaklah sia-sia. Setelah cuaca menjadi gelap benar, Im-kan Ngo-ok terpaksa menghentikan pengejaran mereka. Akan tetapi mereka sama sekali bukan berarti mundur dan menghentikan usaha mereka, karena Toa-ok berkata, “Kita berhenti di sini. Besok pagi kita lanjutkan mengikuti jejak kakinya.”

Kam Hong pun terpaksa menghentikan langkahnya karena cuaca amat gelap dan amat berbahaya untuk melanjutkan perjalanan. Dia menurunkan Pek In dan setelah meraba tengkuk, kedua pundak dan punggung dara itu, dia menotoknya dan membebaskannya dari totokan. Dara itu mengeluh lirih, memijit-mijit kaki tangannya yang terasa lemas.

“Kiranya engkau malah yang telah menolongku....,“ katanya lirih.

“Hemm, hanya kebetulan saja. Aku harus membebaskanmu dari mereka yang jahat.”

“Im-kan Ngo-ok sungguh manusia-manusia busuk yang tidak tahu malu. Mereka pernah berkunjung ke lembah sebagai tamu, dan sekarang malah hendak menawanku sebagai sandera. Kalau Ayah tahu, mereka pasti takkan diberi ampun. Ehhh, di mana dia?”

“Siapa?”

“Anak perempuan itu, ehhh, Ci Sian....”

“Kutinggalkan dia di puncak sebuah bukit. Tak kusangka bahwa aku akan berhadapan dengan Im-kan Ngo-ok dan memakan waktu lama untuk membebaskanmu, bahkan sekarang pun mereka tak jauh dari sini. Tentu mereka menanti dan besok pagi akan melanjutkan pengejaran. Kita sendiri tidak dapat melanjutkan perjalanan, begini gelap dan aku tidak mengenal jalan....”

“Aku mengenal tempat ini, akan tetapi di malam gelap begini tidak mungkin kita dapat melanjutkan perjalanan. Besok pagi-pagi kita dapat pergi dari sini.... dan tempat Suheng bertapa tidak jauh dari sini, kita bisa ke sana dan minta bantuannya.”

“Suheng-mu? Bertapa?”

“Ya, dan dia tentu akan dapat menghalau Im-kan Ngo-ok, dia tidak kalah lihai walau pun dibandingkan Ayah.”

Kam Hong tidak bertanya lagi, akan tetapi diam-diam dia kagum sekali dan teringat akan pesan Cu Han Bu ketika mereka hendak saling berpisah. Tokoh keturunan kakek pencipta suling emas itu mengatakan bahwa keluarga mereka masih mempunyai ilmu pusaka, yaitu Koai-liong Kiam-sut yang mereka harapkan kelak akan bisa mengalahkan Kim-siauw Kiam-sut yang diwarisinya. Keluarga itu memang hebat, maka tidaklah aneh andai kata benar ucapan Pek In bahwa dara ini masih memiliki seorang suheng yang sedang bertapa dan bahwa suheng ini mempunyai kepandaian yang tidak kalah lihai dibandingkan dengan kepandaian ayahnya.

Malam itu mereka terpaksa berdiam di tempat itu.

“Sekarang kau tidurlah, Nona, biar aku menjagamu di sini. Sayang bahwa kita tak dapat menyalakan api unggun untuk membantu menghangatkan tubuh, sebab jika kita lakukan itu tentu mereka akan melihat dan akan datang.”

Pek In merasa lelah dan baru saja mengalami ketegangan. Kini dia merasa lega, segera merebahkan diri miring dan tak lama kemudian dia tidur pulas dengan tubuh meringkuk kedinginan.

Melihat hal ini, hanya melihat remang-remang saja karena yang membantu pandangan mata hanya sedikit sinar bintang di langit, Kam Hong lalu melepaskan jubahnya yang lebar dan menyelimutkan jubahnya pada tubuh dara itu. Dia sama sekali tidak dapat menduga bahwa pada saat yang sama, di dalam sebuah gua, seorang pemuda lain sedang menyelimuti tubuh Ci Sian pula!

Sebetulnya, baik Ci Sian mau pun Pek In sudah mempunyai kepandaian dan tenaga sinkang yang cukup kuat untuk melawan dingin saja. Akan tetapi dalam keadaan tidur tentu saja mereka tidak dapat mengerahkan sinkang dan hawa dingin membuat mereka dalam keadaan tidak sadar itu meringkuk seperti anak kecil kedinginan. Ada pun Kam Hong yang berilmu tinggi, tentu saja dapat menahan hawa dingin itu dengan penyaluran sinkang-nya.

Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Pek In sudah terbangun. Dia cepat merenggut jubah itu dari tubuhnya ketika melihat betapa dirinya diselimuti jubah itu. Dia bangkit dan melihat Kam Hong masih duduk bersila tak jauh dari situ. Cuaca masih gelap remang-remang tertutup kabut.

“Engkau sudah bangun?” Kam Hong yang peka sekali pendengarannya itu menoleh.

“Terima kasih untuk jubahmu ini,” kata Pek In sambil mengembalikan baju itu kepada Kam Hong yang menerimanya. “Kita harus berangkat sekarang, aku tahu jalannya.”

“Masih agak gelap, sukar melihat jelas ke depan.”

“Aku tahu jalannya, marilah.”

Keduanya lalu bangkit dan berjalan perlahan-lahan meninggalkan tempat itu. Biar pun Pek In sebagai penunjuk jalan berjalan di depan, akan tetapi Kam Hong tak pernah mengurangi kewaspadaan, diam-diam menjaga kalau-kalau Pek In terperosok ke dalam jurang atau mengalami halangan lain. Matahari pagi telah mengusir kabut gelap ketika mereka keluar dari daerah berbatu itu dan tiba di kaki sebuah bukit.

“Tak jauh lagi dari sini, di lereng bukit itu tempat Suheng bertapa,” kata Pek In dengan nada suara girang.

“Lihat, mereka sudah mengejar!” Tiba-tiba Kam Hong berkata. “Mari kita cepat lari!”

Pek In menengok dan benar saja, lima sosok bayangan sedang menuruni lereng dari mana mereka berdua datang tadi dan gerakan mereka amat cepat.

“Mari kupondong kau, Nona!” kata Kam Hong.

“Tidak, jangan sentuh aku!” tiba-tiba Pek In berkata dengan cepat dan wajah Kam Hong menjadi merah sekali ketika dia bertemu pandang dengan dara itu. Dari pandang mata itu dia melihat kemarahan!

“Ahhh, aku hanya bermaksud agar kita dapat melarikan diri lebih cepat, Nona, tiada maksud lain,” katanya menghela napas.

Sejenak mereka berpandangan, kemudian Pek In menunduk. “Maafkan aku.... aku.... biarlah aku lari sendiri saja.”

“Terserah.”

Mereka lalu berlari mendaki bukit itu. Akan tetapi Kam Hong maklum bahwa betapa pun lihainya nona ini, namun dalam hal berlari cepat, dia masih kalah jauh dibandingkan dengan Im-kan Ngo-ok, maka kalau terlalu lama waktunya berlari, tentu akan dapat disusul oleh Im-kan Ngo-ok. Dugaannya benar karena kini terdengar bentakan-bentakan dari belakang, tanda bahwa lima orang lawan itu sudah mengejar semakin dekat.

“Nona, mereka telah datang dekat,” kata Kam Hong, tidak berani menawarkan lagi untuk memondong nona itu, meski pun dia ingin sekali untuk diperbolehkan memondongnya, karena dengan jalan itu dia masih sanggup untuk melarikan diri dari jangkauan lima orang itu.

Akan tetapi Pek In berkata, sambil menunjuk ke depan. “Tempat Suheng sudah dekat!”

“Kalau begitu, cepatlah kau lari ke sana dan berlindung, biar aku menghalangi mereka mengejarmu, Nona,” kata Kam Hong.

Dan dia sudah berdiri tegak membalikkan diri, menanti datangnya lima orang itu dengan kipas di tangan kiri dan suling emas di tangan kanan. Sikapnya amat gagah sehingga sejenak Pek In memandang penuh kagum, kemudian dia pun segera lari menuju ke lereng bukit di mana dia tahu terdapat goa tempat suheng-nya ‘bertapa’ dan melatih diri dengan Ilmu Pedang Koai-liong Kiam-sut. Dia belum pernah memasuki goa itu karena dilarang oleh ayahnya, akan tetapi dia sudah tahu tempatnya, maka kini dia pun tidak ragu-ragu lari menuju ke situ.

Sementara itu, Kam Hong yang berdiri tegak itu, menghadang datangnya kelima orang Im-kan Ngo-ok, kini sudah berhadapan dengan mereka.....

Selanjutnya baca
SULING EMAS NAGA SILUMAN : JILID-11
LihatTutupKomentar