Suling Emas Naga Siluman Jilid 08
Puncak Merak Emas merupakan satu di antara puncak-puncak Gunung Kongmaa La yang menjulang tinggi di atas awan-awan. Kongmaa La merupakan gunung yang nomor tiga tingginya dari deretan Pegunungan Himalaya, dan mempunyai banyak puncak yang sedemikian tingginya sehingga hampir selalu tertutup es dan salju. Akan tetapi, puncak Merak Emas hanya pada musim salju saja tertutup es dan pada musim-musim lain, terutama di musim semi dan musim panas, puncak Merak Emas amat indahnya dan subur dengan tumbuh-tumbuhan dan pohon-pohon besar. Mungkin karena banyaknya terdapat merak dengan bermacam-macam warna, maka puncak itu dinamakan puncak Merak Emas, meski pun jarang sekali ada manusia yang dapat bertemu dengan seekor merak yang bulunya keemasan.
Karena tanahnya yang subur dan keadaannya yang lebih enak ditinggali, tidak seperti puncak-puncak lainnya di Pegunungan Himalaya, maka di kaki dan lereng gunung ini terdapat kelompok-kelompok dusun yang penghuninya bekerja sebagai petani atau pemburu binatang hutan. Namun di puncaknya sendiri hanya terdapat sebuah pondok kayu yang sederhana akan tetapi kokoh kuat dan setiap hari orang dapat mendengar suara seorang pria membaca sajak dengan suara yang lantang dan merdu dari dalam pondok itu. Di belakang pondok itu terdapat kebun yang cukup luas, penuh dengan tanaman sayur-sayuran seperti kobis, sawi, wortel, lobak dan sebagainya lagi, di samping beberapa petak sawah yang ditanami padi gandum.
Semua penghuni dusun di sekitar puncak itu tahu bahwa pondok itu dihuni oleh seorang pria yang hidup menyendiri di situ, di tempat sunyi itu. Seorang pria yang berpakaian seperti petani biasa, usianya sudah empat puluh tahun lebih namun masih nampak gagah dan muda, tampan dan periang. Tubuhnya kokoh kuat biar pun gerak-geriknya halus seperti seorang sastrawan, wajahnya yang gagah dan tampan itu selalu berseri kemerahan, sepasang matanya bersinar-sinar dan jenggot serta kumisnya terpelihara rapi selalu. Meski pakaiannya sederhana, pakaian petani, namun selalu nampak bersih dan rapi, sungguh amat berbeda dengan para petani yang biasanya selalu berlepotan lumpur.
Melihat betapa dia hidup dalam keadaan tenang dan tenteram, nampaknya amat berbahagia, orang akan menganggap dia seorang petani biasa yang berbahagia, tidak butuh apa-apa lagi, hidup sehat dan penuh damai. Akan tetapi kalau malam tiba, dan orang melihat dia duduk di senja kala menikmati matahari tenggelam sambil melamun, kadang-kadang minum arak sendirian dan membaca sajak-sajak yang indah dengan suara lantang, maka, melihat wajahnya yang lantas menjadi berduka, mendengar bunyi rangkaian sajak yang bernada sedih, maka orang akan tahu bahwa sebenarnya ada kedukaan besar tersembunyi di balik kehidupan yang nampak bahagia itu.
Dan kalau sudah begitu, maka akan jelaslah bahwa dia bukanlah seorang petani biasa, baik dilihat dari caranya membaca sajak, dan gerak-geriknya. Bahkan, di waktu keadaan sunyi sekali dan dia merasa yakin tidak ada mata lain memandang, tubuhnya akan berkelebatan seperti kilat pada saat dia berlatih ilmu silat yang sangat hebat sehingga gerakan tangan kakinya dapat membuat daun-daun pohon rontok dan tanah di sekeliling tempat dia berlatih itu tergetar seperti ada gempa bumi!
Akan tetapi ada kalanya, agaknya untuk melarikan diri dari kesepian, orang itu nampak bercakap-cakap dengan orang-orang dusun yang tinggal di lereng. Dia sengaja turun dari puncak membawa arak buatannya sendiri, mendatangi para penghuni dusun yang diajaknya minum arak sambil bercakap-cakap, tentang tanaman atau tentang alam atau juga tentang filsafat kehidupan sederhana menurut pandangan para penghuni dusun.
Ada kalanya pula dia nampak berada di sebuah kuil yang juga berada menyendiri di sebuah lembah di lereng gunung, sebuah kuil yang dihuni oleh hanya seorang nikouw. Keadaan nikouw ini pun aneh, sama anehnya dengan petani yang suka bersajak itu, karena nikouw ini tinggal seorang diri dalam kesunyian pula. Nikouw ini masih muda, kurang lebih tiga puluh lima tahun usianya, berwajah bersih dan cantik, namun jarang dia memperlihatkan wajahnya yang selalu disembunyikan di balik kerudung putih.
Nikouw ini sangat ramah dan manis budi terhadap para penghuni dusun, sering kali berkeliling untuk memberi petunjuk dan pengobatan, dan sering kali menerima orang-orang bersembahyang memohon berkah dari para dewa. Biar pun tidak pernah bertanya dan tidak pernah melihat buktinya, namun semua penduduk dusun dapat merasakan bahwa baik si petani di puncak, mau pun nikouw di kuil sunyi itu tentulah bukan orang-orang sembarangan.
Nikouw itu mendiami kuil lama yang dibersihkan dan diperbaikinya sendiri, juga hidup dari bertanam sayur di belakang kuil. Tiada seorang pun dapat mengatakan kapan dua orang ini muncul di tempat itu, akan tetapi seingat para kaum tua di dusun-dusun itu, kemunculan mereka juga dalam waktu yang sama.
Ada kalanya pula petani itu duduk seorang diri di waktu pagi sekali atau di waktu senja menikmati matahari timbul atau matahari tenggelam, sambil meniup suling bambunya. Dia pandai bermain suling, suara tiupan sulingnya mengalun halus dan lembut sekali, mendatangkan hikmat ke mana pun suara itu dapat terdengar. Melihat para petani itu membaca sajak dan meniup suling, dapat diduga bahwa dia tentu seorang ahli sastra, di samping ahli silat.
Pada senja hari itu, kembali dia meniup sulingnya sambil duduk menghadap ke barat, menikmati keindahan angkasa yang seperti terbakar oleh warna merah, kuning dan biru dari sinar matahari senja. Ketika suara sulingnya melambat dan melirih kemudian hilang ditelan keheningan, petani itu tersenyum dan biar pun dia menunduk, namun matanya mengerling ke kanan dan dia melihat berkelebatnya bayangan orang di bawah puncak. Dia bersikap tidak peduli, bahkan lalu bangkit berdiri dan melangkah lambat-lambat memasuki pintu pondoknya.
Bayangan yang berkelebatan cepat itu adalah Ci Sian. Dara ini, seperti kita ketahui telah meninggalkan Lhagat, kemudian dia melakukan perjalanan menuju ke Pegunungan Kongmaa La, mencari tempat tinggal ayahnya seperti yang diketahuinya dari penuturan mendiang Lauw Sek. Sore tadi, atau lewat tengah hari, dia tiba di kuil sunyi dan melihat seorang nikouw muda dan cantik sedang mencangkul di kebun sayur belakang kuil.
Sejenak Ci Sian merasa terheran melihat seorang nikouw yang muda dan cantik sendirian saja di kuil tua yang sunyi, apalagi melihat nikouw itu melakukan pekerjaan berat mencangkul kebun. Akan tetapi nikouw itu tiba-tiba berhenti mencangkul, menoleh dan memandang kepadanya dengan sinar mata penuh selidik, kemudian terdengar suaranya bertanya, suaranya mengandung teguran halus namun tajam.
“Siapakah engkau dan mengapa melihat orang yang sedang bekerja?”
Ci Sian adalah seorang dara yang berwatak keras. Melihat sikap nikouw itu, terutama mendengar nada suara pertanyaannya, dia sudah merasa tidak senang. Tetapi karena dia datang untuk bertanya, maka dia masih bersabar dan dia cepat menghampiri.
“Nikouw yang baik, saya ingin bertanya apakah di tempat ini ada seorang pertapa she Bu?”
Sungguh mengherankan sekali, mendengar pertanyaannya itu, jelas nampak betapa nikouw itu menjadi marah. Mukanya yang putih halus itu menjadi kemerahan, sepasang mata yang bening itu kini berapi-api.
“Mau apa engkau mencari orang she Bu?”
“Ehhh, apa hubungannya hal itu denganmu?” Ci Sian bertanya kembali, kini dia mulai marah. “Beri tahu saja di mana aku dapat bertemu dengan pertapa she Bu itu!”
Sepasang mata yang bening dari nikouw itu makin tajam dan penuh selidik. “Hemm, engkau ini perempuan masih begini muda juga sudah tergila-gila kepadanya?”
Mendengar ini Ci Sian terkejut dan marah bukan main. Mukanya seketika berubah merah dan dia membentak. ”Engkau nikouw yang seharusnya hidup suci dan bersih, kiranya mulutmu begini kotor! Hayo beri tahu di mana adanya orang she Bu itu!”
“Huh, kau tidak mau memberi tahu keperluanmu, aku pun tidak sudi memberi tahu. Kau cari sendiri saja!” Setelah berkata demikian, nikouw itu mengambil kembali cangkulnya dan mulai lagi mencangkul, mengayun cangkulnya kuat-kuat dan mencangkul tanah tanpa mempedulikan lagi kepada Ci Sian.
Ci Sian sudah mengepal tinju untuk memberi hajaran kepada nikouw yang dianggapnya tidak sopan dan menuduhnya yang bukan-bukan itu, akan tetapi dia terbelalak melihat betapa batu-batu yang terkena hantaman cangkul itu terbelah seperti tanah lempung saja! Maklumlah dia bahwa nikouw ini adalah orang yang memiliki kepandaian tinggi, maka dia pun tak berani bertindak lancang dan ceroboh. Dia hendak mencari ayahnya, dan tempat ini merupakan tempat sunyi di mana dia tahu banyak terdapat pertapa-pertapa yang sakti, maka tidak baik kalau dia mencari keributan dengan sembarang orang. Maka setelah memandang sekali lagi, dia lalu membalikkan tubuhnya dan berlari pergi meninggalkan kebun dan nikouw yang aneh itu.
Setelah meninggalkan nikouw itu, Ci Sian melanjutkan penyelidikannya dan setelah dia bertanya-tanya kepada para penghuni dusun di sekitar pegunungan itu, akhirnya dia mendengar tentang seorang petani aneh yang berada di puncak Merak Emas, tinggal seorang diri dalam pondok dan biar tidak ada seorang pun di antara mereka yang tahu she dari petani itu, tidak ada pula yang mengenal seorang pertapa she Bu, namun hatinya tertarik untuk menyelidiki petani itu.
Dan pada senja hari itu dia mendaki ke arah puncak. Dari jauh dia telah mendengar suara suling yang amat merdu itu dan diam-diam dia sudah merasa semakin tertarik dan terheran karena bagaimana mungkin seorang petani dapat memainkan lagu-lagu klasik itu? Dia mengenal beberapa buah lagu kuno yang tentu hanya dikenal oleh pemain-pemain musik yang pandai, bukan oleh seorang petani biasa saja. Maka dia pun mempercepat gerakannya untuk mendaki puncak, dan setelah melihat pondok itu, dia mempergunakan suara suling untuk menyembunyikan bunyi gerakannya dan cepat dia meloncat naik ke atas wuwungan rumah, lalu bersembunyi di balik wuwungan sambil menanti datangnya malam untuk mengintai ke dalam.
Petani itu kini duduk di dalam pondok, minum arak seorang diri dan setelah ruangan dalam pondok itu gelap, dia menyalakan lampu minyak sehingga ruangan itu nampak remang-remang namun cukup terang bagi Ci Sian yang mengintai dari atas genteng. Dia melihat dengan jelas kini wajah seorang laki-laki yang tampan dan gagah, wajah yang terpelihara baik-baik dan tidak pantas dengan pakaiannya yang amat sederhana itu.
Perabot rumah itu pun amat sederhana pula, dan pondok itu pun hanya memiliki sebuah ruangan saja, di mana terdapat sebuah meja bundar dengan enam buah bangku, semua terbuat dari pada kayu sederhana, dan di sudut ruangan itu terdapat sebuah dipan dari kayu yang besar. Pria itu duduk di sebuah di antara bangku-bangku itu, menghadap ke arah pintu. Dua buah daun jendela berada di kanan kirinya, sudah tertutup dan kini pria itu agaknya sudah merasa cukup minum arak. Dia meletakkan cawan araknya di atas meja, mengusap bibir dengan saputangan dan jari-jari tangannya membereskan jenggot dan kumisnya yang terpelihara baik-baik itu dan dia kemudian mengambil suling yang menggeletak di atas meja.
Tak lama kemudian, terdengarlah lagi alunan suara suling yang amat merdu, terutama sekali terdengar dengan amat jelasnya oleh Ci Sian yang mengintai di atas genteng. Dia tidak berani turun memperlihatkan diri karena dia masih belum yakin apakah benar orang ini yang dicarinya. Jantungnya berdebar penuh ketegangan kalau membayangkan bahwa ada kemungkinan inilah orangnya, inilah ayah kandungnya! Akan tetapi dia masih ragu-ragu karena dia tidak mempunyai sesuatu yang dapat membuktikan bahwa dugaannya tidak keliru. Bagaimana dia bisa yakin bahwa orang ini adalah benar-benar ayahnya?
Selagi dia merasa bingung, tidak tahu apa yang harus dilakukannya, tiba-tiba matanya yang tajam dapat menangkap berkelebatnya bayangan dua orang di dekat pondok itu. Dia terkejut dan terheran, hatinya merasa semakin tegang karena dia menduga bahwa tentu akan terjadi sesuatu, atau kalau sampai orang di bawah itu menerima tamu dan bercakap-cakap, mungkin saja hal itu akan menjadi jawaban keraguannya apakah benar orang ini ayah kandungnya ataukah bukan.
Ketika Ci Sian melihat betapa dua bayangan yang berkelebat dengan gerakan ringan dan cepat itu kini mendekati pondok dengan hati-hati lalu mengintai ke dalam melalui jendela di sebelah utara, hatinya semakin tegang dan dia memperhatikan. Bukan main kaget dan herannya ketika dia merasa mengenal bentuk tubuh dua orang itu. Dua orang wanita! Dan Ci Sian hampir berani memastikan bahwa mereka itu adalah Siok Lan dan ibunya! Semakin yakin hatinya ketika dia melihat wanita yang sekarang memberi tanda dengan menaruh jari di depan bibir kepada wanita kedua, tanda bahwa mereka tidak boleh membuat suara gaduh. Karena merasa amat tertarik, Ci Sian lalu mengintai lagi ke dalam dan melihat betapa pria itu masih saja enak-enak meniup sulingnya, sekarang dengan suara yang makin merdu dan romantis, juga mengandung suara-suara keluhan duka.
Memang tidak keliru dugaan Ci Sian. Kedua sosok bayangan wanita itu adalah Puteri Nandini dan anaknya, Siok Lan. Seperti diketahui, ibu dan anak ini telah meninggalkan Lhagat dan Puteri Nandini tidak mau kembali ke Nepal setelah kekalahan pasukannya, melainkan mengajak anaknya untuk pergi mencari ayah kandung Siok Lan untuk diajak berunding tentang niat Siok Lan berjodoh dengan Jenderal Muda Kao Cin Liong. Ketika dia mendengar bahwa di puncak itu terdapat seorang petani setengah tua yang hidup menyendiri, dia tidak merasa ragu-ragu lagi dan mengajak puterinya untuk melakukan penyelidikan.
“Hati-hati, jangan kau sembarangan ikut campur kalau terjadi keributan di rumah itu. Urusan antara aku dan siapa pun di sana, jangan kau mencampurinya.”
Siok Lan mengangguk, sungguh pun dia merasa heran dan tidak mengerti. Betapa pun juga, hatinya tegang sekali membayangkan betapa dia akan bertemu dengan ayah kandungnya yang selamanya tidak pernah dilihatnya itu.
Dengan jantung berdebar dan tangan terkepal membentuk tinju, perasaannya tidak karuan, Puteri Nandini mendekati jendela dengan puterinya. Mendengar tiupan suling yang merdu sekali itu, hatinya tergetar dan dia memejamkan kedua matanya, wajahnya menjadi merah dan terbayanglah semua pengalamannya di masa lampau, pengalaman penuh kemesraan.
Dia kemudian mengintai melalui jendela itu dan begitu dia melihat petani itu yang duduk meniup suling dengan wajah mengandung duka, diam-diam dia mengeluh dan tubuhnya gemetar, penuh kerinduan yang selama belasan tahun ditahan-tahannya akan tetapi di samping keindahan itu juga terdapat perasaan duka dan penyesalan yang amat pahit. Setelah memejamkan mata sejenak, wanita ini mengintai lagi dan pada saat itu, tiupan suling yang mengalun itu berbunyi panjang dan semakin bernada penuh duka, makin lama makin lambat dan lirih sehingga akhirnya berhenti sama sekali.
Pria itu mengeluh, lalu melepaskan suling ke atas meja, kemudian memejamkan mata, menggunakan kedua tangannya untuk menutupi mukanya dan terdengar keluhannya panjang pendek. Tak dapat ditangkap jelas apa yang dikeluhkannya, akan tetapi bekas panglima wanita Nepal itu dengan sangat jelas dapat menangkap namanya disebut-sebut dalam keluhan itu, keluhan yang menyatakan rindu terhadap Nandini!
“Nandini.... kekasihku.... mengapa kau tidak kasihan kepadaku.... aku rindu padamu, kenapa kau tidak mau menemaniku di sini....?” Demikianlah kata-kata di antara keluhan yang dapat tertangkap oleh telinga Nandini.
Tentu saja wanita ini segera menjadi terharu sekali dan tubuhnya terasa panas dingin mendengar suara yang amat dikenalnya dan yang pernah amat dicintanya itu! Suara yang dahulu selalu merayunya dengan kata-kata indah, dan betapa pun besar perasaan marah, sakit hati dan penyesalannya mengingat betapa dia ditinggalkan begitu saja oleh pria ini, namun begitu melihat wajahnya, melihat bentuk tubuhnya, mendengar suara tiupan sulingnya, mendengar suara keluhannya, semua kekerasan hatinya mencair dan kini dia mengintai dengan dua mata basah air mata!
Terbayanglah semua pengalamannya yang mesra bersama pria ini! Suasana romantis penuh kemesraan ketika dia dan pria ini memadu kasih, belasan tahun yang lalu pada waktu mereka berdua masih sama-sama muda. Teringat olehnya betapa ilmu silatnya menjadi selihai sekarang karena dia menerima petunjuk dari pria ini. Berlatih silat, bermain cinta, di antara pohon-pohon dan bunga-bunga di tempat terbuka. Betapa hidup penuh dengan kenikmatan dan kebahagiaan di waktu itu.
Teringat akan semua ini, Nandini ingin sekali membobol daun jendela itu, ingin sekali menghampiri, mendekati, menghibur pria itu. Cintanya yang dulu timbul kembali karena memang tidak pernah padam sama sekali. Bahkan, penyerahan dirinya sebagai isteri pangeran tua itu menambah rindu dan cintanya kepada pria ini. Akan tetapi dia teringat akan Siok Lan yang berada di situ, maka ditahan-tahannya perasaannya, hanya hatinya yang merintih menyebut nama pria yang pernah menjadi kekasihnya ini.
“Nandini.... ahhh, Nandini, tidak terasakah hatimu betapa aku menderita rindu?”
”Omitohud....! Dasar mata keranjang, hidung belang, jahanam ceriwis keparat!” dari luar jendela yang berlawanan, yaitu di sebelah selatan, terdengar suara menyumpah yang nyaring ini.
Mendengar ini, pria itu menoleh ke arah jendela sebelah selatan, tanpa bangkit berdiri, melainkan tersenyum. Dan begitu dia tersenyum, wajahnya nampak semakin menarik, tampan dan kelihatan jauh lebih muda dari pada usianya yang sebenarnya. Memang pria ini amat tampan, di waktu mudanya dahulu sudah tentu amat tampan dan banyak menjatuhkan hati kaum wanita, sedangkan sekarang pun masih nampak sangat tampan menarik.
“Aihh, Bi-moi yang manis, mengapa engkau main sembunyi-sembunyi dan mengintai? Kalau memang kau merasa rindu padaku dan ingin bicara dan bercanda, masuklah, sayang!” Sungguh ucapan ini mengandung rayuan maut bagi seorang setengah tua seperti dia dan terdengar amat menggairahkan dan juga amat menarik hati.
“Omitohud, dasar gila wanita!” terdengar suara dari luar jendela itu dan tiba-tiba jendela itu jebol didorong dari luar dan melayanglah sesosok tubuh ke dalam kamar itu.
Melihat siapa yang masuk ini, Ci Sian terkejut sekali. Tadi dia telah bengong terlongong ketika dia mengenal bahwa dua orang wanita itu adalah Siok Lan dan ibunya. Selagi dia kebingungan dan terheran-heran belum tahu benar siapa pria itu dan mengapa Siok Lan dan ibunya berada di situ mengintai seperti dia, maka ketika mendengar suara wanita dari luar jendela selatan itu dia pun amat kaget. Karena dia sejak tadi mengintai, maka dia tidak melihat munculnya wanita ini di belakang jendela selatan dan tahu-tahu dia mendengar suaranya. Kini, melihat siapa yang muncul di dalam kamar dengan gerakan yang demikian ringan dan cekatan, Ci Sian hampir berseru kaget. Wanita yang masuk ini bukan lain adalah nikouw muda cantik yang dijumpainya siang tadi! Makin bingung dan heranlah dia, akan tetapi dengan penuh perhatian dia terus mengintai dari atas genteng.
Nikouw muda itu kini berhadapan dengan pria itu, wajahnya yang putih halus itu merah sekali, tanda bahwa dia sudah amat marah dan suaranya nyaring ketika dia berkata sambil menudingkan telunjuk kirinya yang berkuku runcing terpelihara itu ke arah hidung pria itu.
“Dasar kerbau hidung belang kau! Katanya hendak bertapa di sini menjauhkan diri dari semua wanita, siapa tahu diam-diam engkau merindukan wanita lain! Keparat, sungguh tak tahu malu engkau!”
“Eh.... ehhh.... sabarlah, sayang. Engkau sendiri yang dulu mengambil keputusan untuk menjadi nikouw sehingga aku terpaksa kekeringan dan kesepian di sini, membuat aku teringat kepada bekas-bekas kekasih lama yang kurindukan. Mengapa kini kau marah? Marilah, sayang, mari kau mendekat, aihhh, tidak tahukah engkau betapa selama ini aku amat rindu kepadamu, dan betapa setelah engkau berpakaian nikouw dan kepalamu gundul engkau menjadi semakin cantik saja?”
“Phuhh, siapa sudi dengan rayuanmu? Dan kepalaku sudah tidak gundul lagi!” Berkata demikian, nikouw itu membuka penutup kepalanya dan memang benar, kepala gundul itu sudah ditumbuhi rambut, walau pun baru setengah jari panjangnya.
“Aduh, engkau makin manis. Ke sinilah, mari minum arak bersamaku, Cui Bi kekasihku yang denok!”
“Brakkkkk!”
Tiba-tiba daun jendela sebelah utara pecah berantakan disusul melayangnya tubuh Nandini! Wanita ini sudah tidak dapat menahan kemarahannya lagi melihat betapa pria itu merayu nikouw itu sedemikian rupa. Hatinya penuh dengan cemburu yang membuat dadanya hampir meledak sehingga dia tak ingat apa-apa lagi lalu menghantam jendela itu dan meloncat masuk.
“Nandini....!” Pria itu berseru, nampaknya kaget akan tetapi mulutnya tersenyum penuh daya pikat. “Engkau baru datang, bidadariku dari Nepal?”
“Laki-laki kejam, mata keranjang dan rendah budi! Jadi untuk nikouw inilah engkau dulu meninggalkan aku?” bentak Nandini sambil menudingkan telunjuknya.
“Bu Seng Kin! Jadi engkau telah mempunyai gendak orang Nepal ini?” bentak nikouw itu dan dua orang wanita itu sejenak saling pandang penuh kebencian dan cemburu, akan tetapi kemarahan mereka itu kini tertumpah kepada pria yang disebut Bu Seng Kin itu dan mereka berdua kini menubruk maju dan menyerang pria dari kanan kiri dengan pukulan-pukulan maut yang amat cepat dan ganas!
“Wah, beginikah kalian memperlihatkan rasa rindu kalian? Heh-heh, mana bisa kalian menyerangku dengan ilmu-ilmu pukulan yang kuajarkan sendiri kepada kalian? Ha-ha, tidak kena! Wah, hampir saja, Nandini! Nah, meleset, Cui Bi!” Biar pun diserang dengan ganas oleh dua orang wanita itu, namun dengan amat mudahnya pria itu menggerakkan langkah-langkah kaki sedemikian rupa sehingga semua serangan itu mengenai tempat kosong belaka!
“Wah, mana bisa kita bicara baik-baik kalau kalian marah-marah begini? Sabarlah, tenanglah....!” pria itu membujuk.
Akan tetapi bagaikan dua ekor singa betina yang marah-marah, dua orang wanita itu terus menyerang semakin hebat. Akhirnya, entah bagaimana Siok Lan yang mengintai dari jendela dan Ci Sian yang mengintai dari genteng itu tidak tahu benar, tiba-tiba saja dua orang wanita yang marah-marah itu telah kena dirangkul pinggang mereka di kanan kiri dan pria itu sambil tersenyum-senyum menarik mereka dan mengajak mereka duduk di atas bangku, di kanan kirinya!
Akan tetapi Ci Sian segera dapat menduga bahwa tentu pria yang amat lihai itu telah berhasil menotok jalan darah dua orang wanita itu sehingga menjadi lemas dan tidak dapat melawan lagi. Dugaannya memang benar karena biar pun mereka tidak melawan ketika dirangkul dan didudukkan ke atas bangku, keduanya memaki-maki kalang-kabut!
“Bu-taihiap, kalau engkau sampai mengganggu dan menghinaku, aku bersumpah akan memusuhimu sampai titik darah terakhir!” Nandini berkata, akan tetapi tidak mampu melepaskan dirinya yang dipaksa duduk di samping pria itu sedangkan pinggangnya yang masih ramping itu dirangkul!
“Bu Seng Kin, aku bersumpah akan membunuh diri kalau engkau berani mengganggu diriku!” nikouw itu juga berkata tanpa mampu melepaskan dirinya yang juga dirangkul pinggangnya.
“Ha-ha-ha, manisku, sayangku, kalian adalah isteri-isteriku, kalian adalah jantung hatiku, aku sayang dan cinta kepada kalian, mana mungkin aku akan mengganggu dan menghina kalian? Akan tetapi kalian juga jangan mengecewakan hatiku lagi, dan suka temani aku makan.”
Sambil tersenyum girang, petani yang bernama Bu Seng Kin itu kemudian melepaskan rangkulannya dan mengeluarkan beberapa makanan dari sudut belakang ruangan yang merupakan dapur. Tak banyak macamnya makanan itu, hanya beberapa macam sayur sederhana, nasi dan daging kering. Akan tetapi dengan lagak sedang pesta besar, Bu Seng Kin kemudian mengatur semua itu di atas meja. Kedua orang wanita itu hanya memandang saja, kadang-kadang saling lirik dan saling menyelidiki keadaan masing-masing.
“Ha-ha, mari kita makan, manis. Nandini sayangku, kau makanlah, sawi putih ini dahulu menjadi kesukaanmu, bukan?” Dan dia lalu mengambil sepotong sayur dari mangkok dengan sumpitnya dan membawa makanan itu ke mulut Nandini. Karena maklum bahwa dia tidak berdaya, juga karena terharu akan sikap yang manis dan menyayang dari pria itu, Nandini tidak dapat menolak, membuka mulut dan makan sayur itu.
“Dan kesukaanmu dahulu adalah daging dendeng asin ini, bukan, Cui Bi?” Dia lalu mengambil sepotong kecil daging dengan sumpitnya dan mendekatkannya ke mulut Cui Bi yang kecil mungil itu.
“Gila! Kau tahu sebagai nikouw aku tidak makan daging!” Cui Bi berkata.
“Ahh, engkau menjadi nikouw karena terpaksa dalam kemarahanmu, bukan sewajarnya. Sekarang setelah berkumpul kembali dengan aku, tidak perlu kau berpantang daging lagi. Hayolah, jangan pura-pura, manisku.” Dengan terpaksa nikouw itu menerima pula daging itu dan memakannya.
Demikianlah, dengan sikap luar biasa gembira Bu Seng Kin kemudian makan minum, menyuapkan makanan secara bergantian kepada dua orang wanita di kedua sisinya itu, juga memberi mereka minum arak. Karena pandainya dia bicara dan merayu, dua orang wanita itu agaknya perlahan-lahan lenyap kemarahan mereka, bahkan kadang-kadang mereka sudah mau tersenyum oleh cerita lucu, walau pun senyum yang ditahan-tahan.
“Hayo ceritakan pengalamanmu semenjak berpisah dariku, Bu-taihiap, ceritakan semua tanpa ada yang kau sembunyikan tentang wanita-wanita yang kau ambil sebagai penggantiku, baru aku mau melanjutkan makan minum bersamamu,” tiba-tiba Nandini berkata sambil melirik ke arah nikouw yang berada di samping kiri pendekar itu.
“Benar! Aku pun harus mendengar semua petualanganmu sebelum bertemu dengan aku yang agaknya merupakan seorang di antara banyak wanita yang kau rayu dan menjadi jatuh!” kata pula nikouw itu. “Kalau tidak, aku pun tidak sudi duduk bersamamu lagi.”
Bu Seng Kin tersenyum lebar dan berdongak ke atas, mengejutkan hati Ci Sian karena dara ini merasa seolah-olah pendekar itu tepat memandang kepadanya yang sedang mengintai. Akan tetapi pendekar itu lalu menunduk kembali dan dia pun mencurahkan perhatiannya.
Biar pun dia merasa muak menyaksikan adegan roman-romanan itu, akan tetapi dia pun ingin mendengar cerita orang yang diduganya adalah pria yang dicarinya, yaitu ayah kandungnya. Hatinya sudah seperti disayat-sayat karena kecewa melihat tingkah pria di bawah itu yang jelas merupakan seorang pria tukang merayu wanita, seorang pria yang hidung belang yang pandai sekali menjatuhkan hati wanita.
“Ha-ha-ha, baiklah, baiklah, akan kuceritakan. Aihh, biar pun sudah lewat belasan tahun, hampir dua puluh tahun, engkau masih nampak cantik jelita saja, Nandini, betapa masih kuingat benar ketika aku terpaksa meninggalkanmu, kasihku.”
“Bohong! Dan jangan sebut aku kekasihmu, kalau engkau benar cinta padaku tidak mungkin engkau meninggalkan aku!” kata Nandini dengan marah karena hatinya masih panas kalau teringat betapa dalam keadaan mengandung dia telah ditinggal pergi oleh kekasihnya ini.
“Aihh, jangan kau berkata begitu. Saat itu aku pergi meninggalkanmu dengan hati yang berdarah, luka parah oleh kedukaan. Ahhh, ya, Cui Bi belum tahu akan riwayat kami, biarlah kuceritakan secara singkat.”
Pendekar itu kemudian bercerita, didengarkan oleh Siok Lan dan Ci Sian yang masih mengintai.
“Biar pun terus terang saja, Nandini bukan merupakan wanita pertama yang pernah menjadi kekasihku, akan tetapi baru kuakui bahwa dialah wanita pertama yang benar-benar membuat aku tergila-gila dan dengan Nandinilah untuk pertama kali aku benar-benar menaruh cinta.”
“Huh, siapa yang percaya?” kata Nandini, akan tetapi sepasang matanya berseri penuh kegembiraan mendengar ini, dan nikouw di sebelah itu memandang iri!
“Sungguh mati! Akan tetapi, seperti kau ketahui, Ayah Nandini marah-marah melihat hubungan antara puterinya dan aku karena Nandini telah ditunangkan kepada seorang pangeran. Ayah Nandini bahkan menyerangku dan berusaha membunuhku, akan tetapi dia sudah tua dan sampai meninggal karena serangan jantungnya sendiri. Aku merasa menyesal sekali, apalagi ketika aku mendengar bahwa kalau Nandini tidak berpisah dariku, maka pangeran itu akan menangkap dan membunuh seluruh keluarganya. Tentu saja aku tidak menghendaki hal itu terjadi, maka aku lalu pergi meninggalkan Nandini, dengan hati hancur berdarah, hanya demi menjaga keselamatan keluargamu, Nandini.”
“Hemm, benarkah itu?” Nandini bertanya, nampaknya terharu.
“Aku berani bersumpah tujuh turunan....“
“Turunanmu jangan dibawa-bawa ke dalam hukuman akibat petualanganmu!” Nandini memotong.
“Teruskan ceritamu,” kata Gu Cui Bi, nikouw itu, dengan hati semakin iri dan cemburu.
“Setelah meninggalkan Nepal, tentu saja aku bertemu dengan banyak wanita cantik, di antaranya adalah puteri kepala suku Biauw yang manis, ada pula pendekar-pendekar wanita petualang kang-ouw, ada pula puteri-puteri datuk kaum sesat, akan tetapi semua itu hanya merupakan selingan-selingan saja dan tidaklah sungguh-sungguh seperti yang terjadi antara aku dan Nandini. Kemudian, kurang lebih setahun sejak meninggalkan Nepal dan bertualang dengan belasan orang wanita secara selewat saja, aku bertemu dengan seorang pendekar wanita yang bernama Sim Loan Ci dan kami saling mencinta lalu kami menikah.”
Hampir saja Ci Sian mengeluarkan suara saking kagetnya, akan tetapi dia cepat-cepat menutup mulutnya dan mengerahkan tenaga untuk menekan batinnya yang terguncang ketika dia mendengar nama ibunya disebut-sebut itu! Sim Loan Ci adalah ibunya, ibu kandungnya seperti yang pernah didengarnya dari kakeknya bahwa ibunya she Sim dan ayahnya seorang pendekar besar yang tentu saja she Bu, sama dengan she kakeknya. Dia lalu mendengarkan lagi dengan penuh perhatian.
“Dialah isteriku pertama yang sah, walau pun wanita seperti Nandini ini juga kuanggap isteriku sendiri, dan juga engkau, Cui Bi.”
“Tak perlu merayu, lanjutkan ceritamu,” desak dua orang wanita itu.
“Setelah menikah setahun lamanya, kami mempunyai seorang anak perempuan. Akan tetapi, berbareng dengan kebahagiaan ini, datanglah mala petaka. Kiranya hubunganku dengan puteri-puteri datuk kaum sesat itu, yang kutinggalkan karena memang kuanggap hanya hubungan selewat dan merupakan hiburan belaka, mulai mendatangkan akibat panjang! Aku dicari-cari oleh para datuk kaum sesat, bahkan di antaranya terdapat pula Im-kan Ngo-ok yang mencari-cariku, karena seorang puteri mereka telah membunuh diri setelah kutinggalkan sehingga kini Im-kan Ngo-ok mencariku untuk membunuhku!”
“Huh, sudah sepatutnya engkau dibunuh!” kata Nandini.
“Dasar mata keranjang!” Nikouw itu menyambung.
“Biarlah kulanjutkan ceritaku dahulu,” kata pendekar itu setelah menarik napas panjang. “Semenjak melahirkan, kesehatan Loan Ci amat buruk. Hal ini menggelisahkan hatiku, karena dalam keadaan seperti itu, memiliki seorang bayi dan seorang isteri yang tidak sehat, tentu saja amat berbahaya menghadapi ancaman musuh-musuh seperti Im-kan Ngo-ok yang lihai itu. Maka terpaksa aku lalu membawa isteriku dan anakku kepada Ayahku. Ayahku adalah seorang pendekar yang amat terkenal, yaitu Kiu-bwe Sin-eng Bu Thai Kun, seorang tokoh besar di dunia selatan. Ketika itu aku agak takut-takut menghadap Ayah, oleh karena aku pernah diusir oleh Ayah ketika di waktu muda aku bermain-main dengan seorang gadis dusun tempat kami.”
“Dasar hidung belang ceriwis!” Nandini kembali mencela.
“Mata keranjang tak tahu malu, kecil-kecil sudah gila perempuan sehingga diusir Ayah sendiri!” Gu Cui Bi menyambung.
“Wah, kalian ini terus menerus mencelaku,” Bu Seng Kin terkekeh. “Ayahku tidaklah segalak kalian. Dia memaafkan aku dan menerima kedatanganku dengan sangat baik. Kemudian malah Ayah menganjurkan agar meninggalkan anak kami bersama Ayah, kemudian aku bersama isteriku pergi menjauhkan diri agar Im-kan Ngo-ok tidak dapat mencelakai anak kami. Beberapa kali kami tersusul oleh mereka dan aku melakukan perlawanan mati-matian. Kalau saja isteriku tidak dalam keadaan sakit payah, kiranya kami berdua tidak akan takut menghadapi mereka. Akan tetapi karena isteriku sedang sakit, dan aku harus melindunginya, maka terpaksa aku melarikan diri bersama isteriku dan terus dikejar-kejar oleh Im-kan Ngo-ok. Tetapi akhirnya aku berhasil melepaskan diri dari mereka, kami bersembunyi di Pegunungan Go-bi-san dan di sanalah isteriku meninggal dunia....”
Pendekar itu diam dan di atas genteng, Ci Sian menangis. Air matanya berlinang-linang dan dia menahan isaknya. Jelaslah sekarang bahwa pria di bawah itu, pria yang mata keranjang itu, adalah ayah kandungnya, dan ibunya benar-benar telah meninggal dunia.
“Semenjak itu, kembali aku berkeliaran....”
“Dan main perempuan....!” Nandini mencela.
“Habis, mau apa lagi? Agaknya aku tidak boleh berjodoh lama-lama dengan wanita yang kucinta. Aku pindah dari pelukan satu ke lain wanita, akan tetapi semua itu hanya merupakan selingan hidup dan aku tidak pernah bersungguh-sungguh. Paling lama sebulan aku dapat bertahan dalam pelukan seorang wanita dan aku sudah pergi lagi....”
“Mencari yang lain! Phuihh!” Nandini mencela.
“Sampai engkau berjumpa denganku,” tiba-tiba nikouw itu berkata, di dalam suaranya mengandung kebanggaan.
Pendekar itu menarik napas panjang. “Ya, sampai aku bertemu denganmu, Cui Bi. Sekarang biar Nandini mendengar cerita tentang kita. Setelah aku mulai bosan merantau, bosan bertualang, pada suatu malam bertemulah aku dengan seorang nikouw di sebuah kuil Kwan-im-bio, di sebelah lereng bukit. Nikouw itu cantik dan muda dan.... aku jatuh cinta….”
“Pada seorang nikouw? Dan engkau merayunya pula?” Nandini bertanya, alisnya berkerut.
“Ha, apa bedanya? Dia pun seorang wanita, bukan? Dia masuk menjadi nikouw karena patah hati, akan dikawinkan dengan seorang kakek kaya. Dia tidak sudi dan melarikan diri setelah dipaksa menjadi isteri kakek itu selama sepekan. Lalu dia masuk menjadi nikouw dan bertemu dengan aku.”
“Engkau makhluk berdosa, Bu Seng Kin! Engkau merayu pinni dan menyeret pinni ke dalam jalan sesat!” Tiba-tiba nikouw itu berkata dan dalam suaranya mengandung isak penyesalan. Bu Seng Kin cepat merangkul pundaknya.
“Aih, Cui Bi, hal itu telah lama berlalu, bukan? Kita sama-sama mencinta, dan kemudian engkau melarikan diri dari kuil bersamaku, memelihara rambut lagi dan menjadi wanita biasa, kita hidup sebagai suami isteri yang penuh kebahagiaan.”
“Ya, sampai aku tahu bahwa engkau adalah Si Petualang besar, bahkan engkaulah Si Perayu yang pernah membuat Bibiku tergila-gila dan diceraikan oleh Paman sehingga akhirnya Bibiku mati karena nelangsa. Kiranya engkaulah petualang yang telah menghancurkan hati banyak sekali kaum wanita itu. Aku menyesal dan aku lalu kembali menjadi nikouw, untuk minta ampun atas dosaku, juga untuk mintakan ampun atas dosamu. Dan engkau sudah berjanji akan bertapa di sini, untuk menebus dosa!”
Bu Seng Kin tersenyum lebar. “Sudah kuusahakan hal itu, Cui Bi. Engkau tahu betapa bertahun-tahun aku menahan diri, aku hidup kesepian penuh kerinduan, terutama rindu sekali kepada orang-orang yang kucinta. Engkau menyiksaku, Cui Bi, maka sekarang, bertepatan dengan kedatangan Nandini, kita berkumpul di sini bertiga. Marilah kita hidup bersama, menikmati kehidupan kita yang tinggal tidak lama lagi ini, menikmati kebahagiaan hidup kita bertiga di hari tua bersama. Aku cinta kalian....!” Dia lalu merangkul keduanya.
“Bu-taihiap, demi Tuhan, bersumpahlah bahwa engkau tidak akan mengganggu dan menghinaku!” Nandini berseru.
“Orang she Bu, jangan engkau mengotori diriku, telah dua tahun aku menyucikan diri!” Nikouw itu pun berkata.
“Aku bersumpah tak akan mengganggu dan menghina kalian berdua, aku cinta pada kalian, tidak mungkin aku mau menyusahkan kalian,” kata pendekar itu dan tiba-tiba dia menarik leher Nandini dan.... mencium mulut wanita itu dengan penuh kemesraan.
Nandini terkejut sekali, tak mampu bergerak, bahkan tubuhnya menggigil dan naik sedu sedan dari dadanya. Setelah pria itu melepaskan ciumannya, dia memandang dengan mata terbelalak dan muka pucat sekali.
“Kau.... kau.... manusia busuk.... kau melanggar sumpahmu....!”
“Ha-ha, siapa melanggar sumpah, Nandini yang manis? Aku bersumpah tidak akan mengganggu dan menghina kalian. Engkau adalah isteriku yang kucinta, kalau seorang suami mencium isterinya, apakah itu mengganggu atau menghina namanya?”
“Aku.... aku bukan isterimu, engkau bukan suamiku!”
“Mungkin menurut umum, namun bukankah kita sudah menjadi suami isteri, bukankah engkau pertama kali menyerahkan diri kepadaku, dan bukankah kita saling mencinta, Nandini? Apa salahnya orang yang saling mencinta berciuman?”
“Laki-laki busuk, mata keranjang, hidung belang.... tak tahu malu!” Cui Bi memaki-maki dengan marah, akan tetapi tiba-tiba dia pun harus menghentikan maki-makinya karena mulutnya sudah dicium pula oleh pria itu, dengan sama mesranya seperti ketika dia mencium Nandini tadi! Nikouw itu gelagapan tanpa mampu bersuara, dan dia hanya memejamkan mata dan tanpa disadarinya, kedua lengannya merangkul leher pendekar itu!
“Kau memang tak tahu malu!” Nandini membentak penuh cemburu dan tangannya bergerak menampar, akan tetapi tamparan yang sama sekali tidak bertenaga.
Bu Seng Kin lalu membujuk rayu keduanya dengan kata-kata manis. “Maafkanlah aku, Nandini dan Cui Bi, aku cinta kalian, tidak kasihankah kalian kepadaku? Aku hanya ingin menikmati kehidupan di dunia ini bersama kalian orang-orang yang kucinta sepenuh jiwa ragaku.”
Pendekar itu bahkan berlutut di depan mereka, memohon-mohon dan akhirnya kembali dia merangkul mereka dan sekali ini, ketika dia mencium mereka, dua orang wanita itu hanya dapat memejamkan mata dengan muka berubah merah sekali. Mereka lupa segala! Ternyata pria ini masih hebat kemampuannya untuk merayu dan menundukkan wanita-wanita, dan terutama sekali karena memang dua orang wanita itu tak pernah mampu melupakannya dan masih mencintanya.
Ci Sian yang melihat tontonan ini, di samping merasa heran dan juga malu, terutama sekali dia merasa berduka, teringat akan ibu kandungnya yang telah meninggal dunia, maka dia menghapus air matanya dan mengambil keputusan untuk pergi saja lagi dari situ. Untuk apa menemui seorang ayah kandung seperti itu? Seorang petualang asmara yang memalukan. Seorang laki-laki hidung belang, mata keranjang yang berwatak gila perempuan!
“Brukkkk....!”
Tiba-tiba saja pintu depan dari pondok itu runtuh ke dalam, tertendang orang dari luar dan muncullah seorang wanita cantik yang kelihatan galak. Seorang wanita yang selain cantik juga berpakaian mewah, dan melihat wanita ini, kembali Ci Sian terkejut bukan main dan dia tidak jadi meninggalkan tempat itu, melainkan mengintai penuh perhatian dengan hati tertarik dan amat tegang karena dia mengenal wanita itu yang bukan lain adalah Cui-beng Sian-li Tang Cun Ciu, wanita tokoh Lembah Suling Emas, musuh dari gurunya See-thian Coa-ong itu! Teringatlah dia akan cerita Tang Cun Ciu. Wanita ini pernah bercerita bahwa dia memiliki wajah seperti isteri Bu-taihiap, dan bahwa berjinah dengan Bu-taihiap ketika pendekar itu bersama isterinya berkunjung ke Lembah Suling Emas! Mengertilah dia sekarang! Tentu wanita isteri Bu-taihiap yang datang bersama pendekar itu ke Lembah Suling Emas adalah ibu kandungnya!
Cui-beng Sian-li Tang Cun Ciu yang sudah marah sekali melihat bekas kekasihnya itu berkasih-kasihan dengan dua orang wanita, kini sudah melangkah masuk dan seketika dia menuding ke arah muka pria itu. “Sungguh sampai sekarang engkau masih mata keranjang dan gila perempuan! Dan engkau mudah melupakan yang lama berganti yang baru, laki-laki tak punya jantung!”
“Eh-ehhh.... lihat siapa yang datang ini! Bidadari dari Lembah Suling Emas! Cun Ciu, kekasihku yang manis. Mari, mari sayang, mari duduk bersama Kakanda....”
“Keparat, engkau sudah main gila dengan wanita asing ini dan dengan seorang nikouw malah, tak tahu malu! Dan engkau masih berani bersikap manis kepadaku! Selayaknya kalau kubunuh engkau, Bu Seng Kin!”
Pada saat itu, sungguh aneh sekali, Nandini dan Gu Cui Bi sudah meloncat dengan sigapnya dari atas bangku mereka dan berdiri di kanan kiri Bu Seng Kin dengan pandang mata dan sikap marah! Diam-diam Ci Sian dan Siok Lan merasa heran sekali. Bukankah dua orang wanita itu seperti tertotok dan kehilangan tenaga, akan tetapi mengapa kini tiba-tiba saja mampu bergerak selincah itu?
Hal ini tidaklah aneh dan merupakan sebab pula mengapa Bu Seng Kin begitu yakin akan dirinya sendiri dalam merayu dua orang wanita itu. Dia hanya menotok dua orang wanita itu untuk membuat mereka kehilangan tenaga sementara saja, sebentar saja. Akan tetapi, melihat dua orang itu tidak pulih-pulih tenaganya, tahulah dia bahwa mereka itu sengaja berpura-pura masih belum bebas dari totokan, tentu hanya dengan maksud agar mereka berdua dapat ‘mendekatinya’ tanpa harus merasa malu, karena berada dalam keadaan ‘tertotok’. Mengetahui rahasia mereka ini maka tadi Bu Seng Kin berani melanjutkan rayuannya, maklum bahwa dua orang wanita itu ternyata menyambut rayuannya dan ternyata bahkan mengharapkan rayuannya. Kini, melihat betapa ada seorang wanita lain mengancam kekasih mereka, dua orang wanita itu tanpa mereka sadari sudah meloncat dan hendak menghadapi wanita itu.
Cun Ciu adalah seorang wanita yang berwatak keras dan juga memiliki ilmu kepandaian yang tinggi. Dia masih marah sekali oleh cemburu ketika tadi melihat bekas kekasihnya itu bermesraan dengan dua orang wanita itu, yang dilihatnya sama sekali bukanlah isteri kekasihnya itu. Maka sambil berseru nyaring dia sudah menerjang maju, mengirim pukulan ke arah Bu Seng Kin.
“Ah, jangan marah dong, sayang!” Bu Seng Kin cepat mengelak dan menangkis karena dia tahu betul bahwa wanita ini sama sekali tidak boleh dipandang ringan, merupakan seorang di antara tokoh-tokoh Lembah Suling Emas yang merupakan keluarga sakti.
“Dukkk!!”
Dua buah lengan bertemu dan akibatnya, baik Bu Seng Kin yang tentu saja tidak mengerahkan seluruh tenaga itu, mau pun Cun Ciu terdorong mundur ke belakang. Diam-diam Bu Seng Kin kagum dan terkejut karena dari pertemuan lengan itu saja maklumlah dia bahwa wanita ini telah memperoleh kemajuan hebat semenjak berpisah darinya belasan tahun yang lalu!
“Cun Ciu Moi-moi, engkau sungguh lihai!” dia memuji, akan tetapi wanita itu sudah menyerangnya lagi kalang kabut. Dan memang wanita ini memiliki ilmu kepandaian hebat, maka terjadilah pertandingan yang amat hebat dan membingungkan Bu Seng Kin.
“Ah, mengapa kau marah-marah, Ciu-moi? Apakah kau datang menemui aku yang rindu kepadamu ini hanya untuk menyerang dan hendak membunuhku?”
“Tutup mulut dan jaga serangan ini!” bentak Cun Ciu yang menyerang terus.
Tingkat kepandaian Bu Seng Kin sudah amat tinggi dan kalau dia bersungguh-sungguh, biar Cun Ciu sendiri pun takkan mampu mengalahkannya. Akan tetapi tentu saja dia tidak mau bersungguh-sungguh melawan wanita cantik ini, maka dia kelihatan terdesak hebat.
Melihat ini, Nandini membentak, “Dari mana datangnya perempuan liar?” Dan dia pun maju membantu kekasihnya.
“Pinni juga tak mungkin diam saja melihat perempuan ganas hendak membunuh orang!” Dan Gu Cui Bi juga sudah meloncat ke depan dan mengeroyok.
Dua orang wanita ini tentu saja bukan wanita sembarangan, melainkan wanita-wanita lihai yang sudah memiliki tingkat tinggi, maka begitu dikeroyok tiga, Cui-beng Sian-li Tang Cun Ciu menjadi kewalahan dan terdesak juga.
Melihat ini, Bu Seng Kin khawatir kalau-kaiau dua orang kekasihnya itu akan melukai Tang Cun Ciu, maka dia lalu membentak keras, “Tahan....!”
Tang Cun Ciu yang memang sudah terdesak itu kemudian melompat ke belakang dan memandang dengan mata marah. “Mau apa engkau menghentikan pertempuran?” bentaknya. Nandini dan Gu Cui Bi memandang dengan kagum karena mereka berdua tahu bahwa wanita yang baru datang ini memiliki kepandaian yang lebih tinggi dari pada tingkat kepandaian mereka sendiri.
“Cun Ciu, mengingat akan hubungan antara kita dahulu, tidak maukah engkau bicara baik-baik dari pada menyerang dan marah-marah seperti itu?”
“Siapa tidak marah? Aku jauh-jauh meninggalkan lembah, hanya karena tidak betah lagi di sana dan aku rela meninggalkan keluarga di sana untuk mencarimu dan apa yang kudapatkan? Bukan engkau hidup bersama isterimu, melainkan dengan dua orang wanita asing....“
“Ahhh, engkau salah paham, manis. Ketahuilah, dia ini bernama Nandini dari Nepal dan dia merupakan isteriku yang pertama! Dan ini adalah Gu Cui Bi, dia ini adalah isteriku yang terakhir.”
“Hemm.... begitukah....?” Tang Cun Ciu memandang ragu. “Dan di mana isterimu yang dahulu bersamamu mengunjungi lembah?”
“Dia sudah meninggal dunia. Mari, kau duduklah, Cun Ciu, dan kita bicara baik-baik. Sungguh mati, aku akan sedih sekali kalau engkau memusuhiku, aku.... aku cinta padamu, Cun Ciu, dan engkau tentu tahu akan hal ini.”
Dirayu seperti itu, hati Tang Cun Ciu mulai menjadi dingin, kemarahannya mereda dan dia pun langsung duduk menghadapi meja bersama pendekar itu dan dua orang wanita saingannya.
“Bu Seng Kin, kau bilang hanya ada kami berdua, sekarang muncul seorang lagi!” Gu Cui Bi menegur.
“Dia.... dia ini bernama Tang Cun Ciu. Ketika aku datang ke Lembah Suling Emas, aku dan dia.... ehhh, kami saling jatuh cinta. Dan sampai sekarang.... ahh, aku masih cinta kepadanya.... apalagi setelah dia menyusulku ke sini, rela meninggalkan suaminya....”
“Suamiku sudah lama meninggal dunia!” kata Cun Ciu. “Belum ada setahun semenjak engkau pergi, suamiku meninggal dan aku terus tinggal menjanda sampai sekarang. Kutunggu-tunggu beritamu akan tetapi engkau tak kunjung datang atau memberi kabar, sungguh engkau kejam sekali!”
“Ahhh, siapa tahu bahwa engkau sudah menjadi janda, kekasihku? Kalau aku tahu.... hemm, mungkinkah aku membiarkan engkau kesepian sendiri?” berkata Bu Seng Kin sambil memegang tangan yang halus itu di atas meja. Cun Ciu cepat-cepat menarik tangannya karena dia merasa malu melihat tangannya dipegang-pegang di depan dua orang wanita lain.
“Cun Ciu, kalian bertiga ini adalah wanita-wanita yang kucinta sepenuh hatiku. Engkau tinggallah bersamaku di sini, kita hidup bersama, berempat, sampai akhir hayat....“
“Hemm, dan esok atau lusa bermunculan lagi wanita-wanita lain bekas kekasihmu yang tak dapat dihitung banyaknya!” Nandini menegur ketus.
“Aih, Nandini manis. Aku memang belum menceritakan tentang Cun Ciu karena mengira dia masih menjadi isteri orang. Tak baik menceritakan isteri orang, bukan? Berbeda lagi kalau dia sudah menjanda. Dia memang bekas kekasihku, kami saling mencinta....”
“Kalau ada wanita lain lagi yang muncul, bagaimana?” tanya Cun Ciu.
“Aku bersumpah, hanya tiga orang kalian ini saja, tidak ada yang lain!” kata Bu Seng Kin.
“Laki-laki macam engkau ini mana bisa dipercaya?” kata Gu Cui Bi.
“Sungguh mati....”
“Begini saja,” kata Cun Ciu, “aku memang meninggalkan lembah untuk tinggal bersama dia. Dan mengingat bahwa kalian berdua sudah datang terlebih dahulu, aku pun mau menerima hidup di sini bersama kalian, asal dia tidak pilih kasih! Dan kalau ada datang wanita lain, kita bertiga maju membunuh wanita itu! Dan kalau perlu, membunuh juga dia ini!”
“Cun Ciu benar, memang dia seorang belum tentu dapat mengalahkan aku, akan tetapi kalau kalian bertiga maju bersama, mana aku bisa menang?” kata Bu Seng Kin sambil tertawa. “Nah, isteri-isteriku yang terkasih, marilah kita rayakan pertemuan ini dengan minum arak. Cun Ciu, aku sungguh rindu padamu!” Dan tanpa malu-malu dia merangkul wanita ini dan menciuminya, di depan Nandini dan Cui Bi yang memandang sambil tersenyum masam tentunya!
Cun Ciu meronta lemah akan tetapi seperti dua orang wanita terdahulu, dia pun tidak mampu melawan rayuan maut dari pria itu dan akhirnya mereka berempat duduk dengan mesra, bercakap-cakap dan sambil makan minum mereka menceritakan riwayat dan pengalaman masing-masing.
Kalau Ci Sian terkejut dan kemudian merasa semakin penasaran dan muak melihat semua yang terjadi itu, adalah Siok Lan yang merasa khawatir ketika melihat ibunya ikut bertempur tadi. Akan tetapi karena dia sudah menerima pesan ibunya agar tidak ikut campur, maka dia hanya menahan diri dan seperti juga Ci Sian, dia merasa kecewa menyaksikan tabiat ayah kandungnya yang demikian mata keranjang dan tukang merayu wanita. Hatinya sendiri penasaran, akan tetapi melihat betapa ibunya sudah mau berbaik dengan pria itu bahkan dengan dua orang madunya, dia pun tidak dapat berkata apa-apa.
Akan tetapi Siok Lan tidak dapat berdiam diri lagi dan meloncatlah dia dari luar jendela, memasuki pondok itu. Semua orang, kecuali Nandini dan Bu Seng Kin, memandang dengan kaget. Kiranya Bu Seng Kin sudah tahu bahwa di balik jendela itu ada orang yang mengintai, bahkan dia sudah tahu sejak tadi bahwa di atas genteng juga ada yang mengintai, akan tetapi dia pura-pura tidak tahu dan memandang rendah. Kini, melihat bahwa yang mengintai dari balik jendela ternyata adalah seorang dara yang cantik, wajah pendekar ini berseri gembira.
“Ahhh, seorang dara cantik seperti bidadari! Apakah kedatanganmu juga mencari aku, Anak manis?”
“Laki-laki gila, sudah butakah engkau dan hendak merayu anakmu sendiri?” Nandini marah.
“Ehhh, anak sendiri?”
“Dia itu anakmu, anak kita. Lupakah engkau betapa ketika kita hidup bersama selama sebulan itu mengakibatkan aku mengandung? Dan lupakah engkau bahwa ketika aku menyatakan kekhawatiranku itu, engkau meninggalkan dua nama untuk seorang anak laki-laki dan seorang anak perempuan, yaitu kalau-kalau kekhawatiranku terbukti? Anak ini namanya Bu Siok Lan, nama yang telah kau tinggalkan itu.”
“Ahhh....!” Bu Seng Kin memandang dengan mata terbelalak kepada Siok Lan. “Anakku.... anakku....!”
“Siok Lan, inilah macamnya ayah kandungmu!” kata Nandini kepada puterinya.
Biar pun hatinya kurang senang dan meragu, namun Siok Lan lalu melangkah maju dan berlutut di depan kaki pria itu sambil menyebut, “Ayah....”
“Anakku yang baik.... kau maafkan Ayahmu yang berkelakar tadi,” kata Bu Seng Kin dan mendengar kesungguhan dalam suara pria itu, diam-diam Siok Lan merasa terharu juga. Agaknya sikap ayahnya yang mudah merayu wanita itu seolah-olah terlalu dibuat-buat! Beginikah sesungguhnya watak dasar dari pria ini? Dia masih meragu.
“Bu-taihiap,” kata Nandini yang tidak bisa mengubah sebutan Bu-taihiap itu kepada pria yang menjadi ayah kandung puterinya itu, “sesungguhnya, kedatanganku ini bersama anakmu Siok Lan adalah untuk keperluan anak kita itu.”
“Tentu saja,” jawab Bu Seng Kin. “Dia berhak untuk bertemu dengan Ayahnya. Kau duduklah, Siok Lan,” kata Bu Seng Kin sambil menarik bangun puterinya. Dara itu pun lalu duduk di atas sebuah bangku, di dekat ibunya.
“Bukan begitu maksudku. Ketahuilah bahwa seperti yang telah kuceritakan tadi, aku baru saja mengalami kekalahan dalam memimpin pasukanku, kalah melawan pasukan Kerajaan Ceng sehingga terpaksa aku melepaskan Lhagat dan pergi ke sini. Nah, di dalam peristiwa itu, terjadi hal yang menimpa anak kita, yang membuat aku bingung sekali dan terpaksa kami datang untuk minta bantuanmu.”
“Tentu saja aku siap membantu anakku. Urusan apakah itu?”
Nandini lalu dengan singkat menceritakan betapa ketika dia masih memimpin pasukan menduduki Lhagat, di situ kemudian muncul seorang jenderal muda yang menyelinap dan menyamar, dan jenderal muda itu akhirnya telah berhasil mengalahkannya dalam perang. “Ketika Jenderal muda itu menyamar dan menyusup ke Lhagat, dia menjadi seorang pemburu muda dan dengan pandainya dia berhasil menjadi tamu kami karena dia pernah menyelamatkan nyawa Siok Lan. Kemudian.... mereka berdua, Jenderal Muda itu dan Siok Lan, saling jatuh cinta....“
“Bagus sekali! Anakku tentu pantas menjadi isteri Jenderal Muda!” pendekar itu berkata sambil tertawa girang.
“Enak saja kau bicara! Tidak begitu mudah!”
“Apa? Apa kau sendiri tidak setuju? Karena Jenderal itu adalah Jenderal yang pernah menjadi musuhmu?”
“Bukan begitu. Kekalahan itu membuat aku enggan pulang ke Nepal dan memang.... kami hendak mencarimu. Akan tetapi, engkau tidak tahu siapa Jenderal itu.”
“Siapa dia? Seorang jenderal muda, apa sih artinya? Tidak terlalu tinggi untuk puteriku, bahkan andai kata dia Pangeran pun tidak akan terlalu tinggi!”
“Engkau tidak tahu siapa dia. Jenderal Muda Itu bernama Kao Cin Liong, dan dia adalah putera dari Si Naga Sakti Gurun Pasir, cucu mendiang Jenderal Kao Liang!”
“Ahhh....!”
Yang mengeluarkan suara itu adalah Bu Seng Kin, Gu Cui Bi dan juga Tang Cun Ciu karena mereka terkejut bukan main mendengar nama-nama yang sangat terkenal itu. Bahkan pendekar she Bu itu sendiri mengerutkan alisnya yang tebal, termangu-mangu. Lalu dia memandang kepada puterinya dengan penuh perhatian. Dipandang seperti itu, Siok Lan menundukkan mukanya. Pendekar itu menggeleng kepala dan menarik napas panjang berkali-kali. Puyeng…..
“Naga Sakti Gurun Pasir.... bukan main....!”
“Apakah sekarang kau hendak mengatakan bahwa dia tidak terlalu tinggi? Apakah kau masih berani memandang rendah?” Nandini bertanya dan yang ditanya seperti orang kahabisan akal karena terkejutnya.
“Ahhh, siapa kira akan terjadi peristiwa aneh ini? Tidak kelirukah kalian? Benarkah Jenderal Muda itu putera Naga Sakti Gurun Pasir?”
“Dia telah diperkenalkan pada saat terakhir. Maka, dapat kau bayangkan betapa kaget dan bingungku ketika anak kita memberitahukan hal itu. Aku hanya seorang wanita Nepal, mana mungkin membicarakan hal ini dengan keturunan Jenderal Kao Liang? Akan tetapi, mengingat bahwa orang tua jenderal itu adalah pendekar yang amat kenamaan, maka sebaiknya engkau yang menemuinya, Bu-taihiap, sebagai sesama pendekar kiranya akan lebih mudah membicarakan urusan jodoh itu.”
Bu Seng Kin mengangguk-angguk, akan tetapi alisnya masih berkerut. “Akan tetapi aku tidak berani bertindak ceroboh. Siok Lan anakku, benarkah engkau dan putera Naga Sakti Gurun Pasir itu saling mencinta?”
Ditanya seperti itu, tentu saja jantung dara itu berdebar dan mukanya berubah merah sekali. Akan tetapi dia adalah keturunan orang gagah yang sejak kecil mengutamakan kegagahan, maka cepat dia membuang rasa malu itu dan memandang wajah pria yang menjadi ayahnya itu dan menjawab, “Aku tidak tahu bahwa dia adalah seorang jenderal muda, lebih tidak tahu lagi bahwa dia putera seorang pendekar sakti dan cucu seorang jenderal terkemuka. Pada waktu itu aku hanya mengenalnya sebagai seorang pemburu muda, Ayah.”
“Tidak peduli tentang itu, yang penting, apakah benar bahwa kalian saling mencinta?”
“Aku.... aku cinta padanya.... Ayah.”
“Dan dia? Apakah dia juga cinta padamu?”
“Kukira begitulah.”
“Ehhh, bagaimana ini? Cinta orang tidak, anak baik. Apakah engkau tidak yakin benar bahwa dia cinta padamu?”
“Aku yakin.”
“Lalu mengapa engkau mengira-ngira saja? Apakah dia sudah menyatakan cintanya kepadamu dengan jelas, melalui kata-kata?”
Dara itu menggeleng. “Habis bagaimana? Ayah, perlukah kujelaskan hal ini? Seorang wanita akan dapat mengetahui apakah pria itu mencintanya ataukah tidak, melalui sinar matanya, melalui senyumnya, melalui suaranya, dan.... dan.... pendeknya aku yakin dia pun cinta padaku, Ayah.”
“Hemmm.... kita tidak boleh ceroboh, Anakku. Sekali aku, Ayahmu ini, mengajukan perjodohan, haruslah diterima oleh pihak sana, karena kalau tidak, hal itu akan dapat menimbulkan kesan yang menghina, kecuali kalau pihak sana mengemukakan dua alasan, yaitu pertama, bahwa putera mereka tidak cinta atau jika dia sudah bertunangan dengan orang lain. Oleh karena itu, sebelum aku menemui Naga Sakti Gurun Pasir, hal yang selama hidupku belum pernah kuimpikan, aku harus yakin dulu bahwa pihak sana akan menerima.”
“Jadi engkau mau mengurus perjodohan anak kita?” tanya Nandini dengan girang.
“Tentu saja, itu sudah menjadi kewajibanku. Semenjak Siok Lan kecil, aku tidak pernah memperlihatkan kasih sayang sebagai seorang ayah, maka kini aku berkesempatan membuktikan sayangku kepada anak.”
“Lalu apa yang akan kau lakukan?”
“Kita bersama pergi ke kota raja! Ya, kita semua, aku, Siok Lan, dan kalian bertiga. Kalau memang kalian bertiga sudah bertekad untuk hidup bersamaku, suka duka ditanggung berempat, mari kalian ikut bersamaku ke kota raja. Di sana, biar Siok Lan bertemu dengan jenderal muda itu dan memperoleh ketegasan bahwa dia memang mencinta anak kita dan bahwa jenderal muda itu belum terikat jodoh dengan orang lain. Setelah ada ketentuan ini, barulah aku akan pergi menghadap pendekar sakti itu.”
“Baik, Ayah, aku setuju,” kata Siok Lan yang maklum akan maksud ayahnya itu.
“Hemm, belum mau turun jugakah kamu yang berada di atas sejak senja tadi?” tiba-tiba orang she Bu itu berseru sambil memandang ke atas.
Ci Sian mendengar semua urusan yang dibicarakan di bawah itu dan hatinya terasa semakin berduka. Sambil menahan isak dia hendak meloncat turun, maka ketika tiba-tiba dia mendengar suara pria yang sesungguhnya adalah ayah kandungnya sendiri itu, dia seperti didorong saja dan cepat dia melayang turun dari atas genteng.
“Ada orang! Dan kau sudah mengetahui sejak tadi, mengapa diam saja?” Tang Cun Ciu berteriak dan wanita ini sudah berkelebat keluar melalui jendela untuk melakukan pengejaran.
Khawatir kalau kekasihnya yang berhati keras dan berwatak ganas itu akan melakukan sesuatu yang lancang, Bu Seng Kin mengejar dan dua orang wanita lain bersama Siok Lan juga melakukan pengejaran.
Keadaan di luar malam itu ternyata cukup terang karena bulan tersenyum di atas, seolah-olah mentertawakan ulah manusia-manusia di dunia ini. Tidak ada segumpal pun awan menghalangi senyumnya sehingga keadaan cukup terang. Nampaklah bayangan Ci Sian berlari-lari meninggalkan puncak itu, dikejar oleh mereka semua.
Pengejar Ci Sian itu adalah orang-orang yang tinggi ilmunya, maka sebentar saja Ci Sian tersusul, apalagi karena memang dara ini tidak ingin berlomba lari. Dia terpaksa menghentikan larinya dan berdiri tegak menanti orang-orang yang mengejarnya itu. Diam-diam ia lalu mengerahkan tenaga dan ilmunya, terdengar suara melengking tinggi dari mulutnya yang menggetarkan seluruh keadaan sekeliling tempat itu. Mendengar suara ini, Bu Seng Kin mengeluarkan seruan heran, demikian pula Tang Cun Ciu karena mereka berdua mengenal khikang yang tinggi dan aneh.
Dan ketika mereka semua tiba di depan dara yang berdiri tegak itu, mereka terbelalak kaget melihat betapa banyak ular berdatangan dari segenap penjuru dan sekarang mengelilingi tempat di mana dara itu berdiri, seolah-olah merupakan pasukan pengawal yang melindungi dara itu. Sedikitnya ada seratus ekor ular besar kecil berada di situ dan dari jauh masih nampak beberapa ekor ular bergerak datang. Agaknya semua ular yang berada di puncak dan sekitarnya telah memenuhi panggilan dara pawang ular itu!
Tang Cun Ciu merasa seperti mengenal dara itu, akan tetapi begitu melihat Ci Sian, Nandini dan Siok Lan berseru heran.
“Ci Sian....!” Nandini berseru.
“Sian-moi, engkau di sini? Mengapa engkau di sini dan mengapa engkau melakukan pengintaian? Singkirkan ular-ularmu itu, Sian-moi, kita bukanlah musuh!”
Akan tetapi dengan sikap dingin Ci Sian lalu berkata, “Pergilah kalian semua, aku tidak butuh dengan kalian semua. Pergi....!”
“Omitohud, bocah siluman ini berbahaya!” kata Gu Cui Bi yang merasa ngeri melihat begitu banyak ular yang seakan-akan melindungi dara itu.
“Hemm, tak semudah itu, Nona!” Bu Seng Kin membentak. Dia tidak ingin mengganggu nona muda itu, akan tetapi dia tahu bahwa nona muda inilah orang pertama yang mendatangi pondoknya dan sejak tadi mengintai.
“Dia ini yang siang tadi berkeliaran menanyakan tempat tinggalmu!” Gu Cui Bi berseru dan Bu Seng Kin merasa makin curiga, lalu dia bergerak maju hendak menangkap dara itu. Tetapi Ci Sian mengeluarkan suara melengking nyaring dan ular-ularnya bergerak menyerang semua orang itu!
Terdengar jerit-jerit karena jijik, akan tetapi wanita-wanita yang lihai itu tentu saja tidak mudah menjadi korban ular dan mereka pun mengelak dan menendang atau menginjak ular-ular itu. Ci Sian sendiri mengamuk, menyerang orang yang berani mendekatinya dan karena yang berani menyerangnya adalah Tang Cun Ciu dan Bu Seng Kin, maka dia menerjang dua orang ini dengan kemarahan meluap-luap! Dara ini mengeluarkan seluruh ilmunya yang dipelajarinya dari See-thian Coa-ong. Akan tetapi dia berhadapan dengan Cui-beng Sian-li Tang Cu Ciu dan Bu-taihiap yang memiliki ilmu silat tinggi, maka tentu saja dia terdesak hebat dan ular-ularnya pun banyak yang mati. Bahkan kalau saja Bu Seng Kin menghendaki, tentu dalam waktu singkat dia yang dikeroyok dua itu akan roboh.
Akhirnya, semua ularnya mati dan Ci Sian yang melihat ini merasa begitu marah dan berduka sehingga dia menjerit dan tidak dapat mengelak ketika tangan Cui-beng Sian-li menampar ke arah lehernya. Melihat serangan dahsyat yang mengancam nyawa dara muda itu, Bu Seng Kin cepat menyentuh lengan kekasihnya itu sehingga menyeleweng dan hanya mengenai pundak Ci Sian, namun cukup membuat Ci Sian roboh terguling dalam keadaan pingsan karena selain terkena tamparan itu, juga dara ini menderita tekanan batin yang hebat sejak dia tiba di pondok itu.
Tang Cun Ciu memiliki watak yang sangat keras. Melihat betapa tamparannya disentuh oleh kekasihnya sehingga menyeleweng dan hanya mengenai pundak, hatinya tidak puas sekali. “Budak siluman ini harus dibunuh!” Dan dia pun sudah mengirim pukulan lagi ke arah tubuh yang sudah tidak bergerak itu.
“Cun Ciu, jangan....!” Bu Seng Kin mencegah dan dia pun bergerak maju mengulur tangan untuk mendahului wanita itu, menyelamatkan nyawa dara itu.
“Dukkkk!”
Tiba-tiba ada sesosok bayangan berkelebat, sebuah lengan menangkis tangan Cun Ciu dan Bu Seng Kin sekaligus. Pendekar sakti dan kekasihnya yang juga berilmu tinggi itu terkejut bukan main sebab tangkisan lengan itu membuat mereka terdorong ke belakang sampai terhuyung! Ketika mereka memandang ke depan, sudah tidak ada apa-apa lagi di situ kecuali bangkai seratus lebih ular-ular mati. Tubuh dara muda yang tadi menggeletak pingsan itu pun telah lenyap!
“Ehh, ke mana dia....?” Bu Seng Kin berseru kaget.
“Aku hanya melihat bayangan berkelebat,” kata Gu Cui Bi, nikouw itu.
Nandini dan Siok Lan juga melihat berkelebatnya bayangan hitam dan mereka pun tidak melihat ke mana perginya Ci Sian yang tadi terpukul roboh.
“Ahh.... telah muncul seorang yang memiliki kepandaian luar biasa hebatnya!” seru Bu Seng Kin dengan nada suara penuh kagum dan juga khawatir. “Mudah-mudahan saja dia tidak salah paham, bukan maksud kita untuk mencelakai dara itu. Sungguh heran, siapakah dara itu, dan mengapa ia datang ke sini?”
“Ayah, dia bernama Ci Sian dan....”
“Ah, aku ingat sekarang! Dia adalah gadis murid See-thian Coa-ong itu! Ya benar, gadis yang.... ahhh, sekarang aku mengerti mengapa dia datang ke sini. Apakah engkau tidak sempat melihat wajahnya, Kin-koko?” Tokoh wanita Lembah Suling Emas ini menyebut kekasihnya Kin-koko, sebutan yang mesra.
“Tidak, aku tidak begitu memperhatikan wajahnya.”
“Dia serupa benar dengan mendiang Sim Loan Ci, isterimu....!”
“Ahhh....! Benar, dia Anakku sendiri! Bu Ci Sian, aihh, kenapa aku bisa melupakan dia?” Sekali berkelebat, tubuh pendekar ini sudah lenyap.
Ketiga orang kekasihnya hanya mengangkat pundak, maklum bahwa agaknya pendekar itu hendak melakukan pengejaran terhadap puterinya yang lenyap dibawa orang itu. Mereka lalu kembali ke dalam pondok.
Tak lama kemudian Bu Seng Kin memasuki pondok dengan wajah muram. Dia kelihatan kecewa dan menyesal sekali. “Dia lenyap tak berbekas. Orang yang membawanya sungguh memiliki kepandaian yang luar biasa sekali. Mungkinkah gurunya, See-thian Coa-ong yang membawanya pergi?”
“Tidak mungkin. Aku pernah bertanding melawan kakek itu dan biar pun terus terang saja aku tidak mampu mengalahkan dia, akan tetapi sebaliknya dia pun tidak dapat mengalahkan aku. Sedangkan tangkisan tadi bukan main kuatnya, jauh lebih kuat dari pada tenaga Raja Ular itu,” kata Tang Cun Ciu.
Bu Seng Kin menjatuhkan diri duduk di atas bangku sambil menarik napas panjang, nampaknya dia menyesal bukan main. “Dan dia sudah sejak tadi mengintai di atas, kudiamkan saja. Ahh, dia telah mendengar semuanya, tahu akan kematian ibunya, tentu dia merasa berduka, kecewa dan menyesal sekali. Ah, mengapa tidak dari tadi kusuruh dia turun?”
“Hemm, sesal kemudian tiada gunanya! Semua adalah salahmu sendiri. Karena itu, Bu Seng Kin, kau bertobatlah dan mintalah ampun atas semua dosa-dosamu. Semua yang terjadi adalah karena kesalahanmu sendiri, maka sekarang engkau memetik buah dari pohon yang kau tanam sendiri. Omitohud....!” Nikouw Gu Cui Bi berkata dengan nada menegur.
Pendekar itu hanya menarik napas panjang. Kemudian Gu Cui Bi, wanita nikouw itu, menggandeng tangan Nandini dan berkata, “Marilah Nandini Cici, engkau dan puterimu sebaiknya ikut bersamaku, bermalam di kuilku yang cukup luas, tidak seperti gubuk ini yang terlalu sempit.”
Nandini mengangguk dan bersama Siok Lan dia lalu bangkit dan berjalan menuju ke pintu bersama nikouw itu. Setibanya di pintu, nikouw itu berhenti dan menengok, lalu memandang ke arah Bu Seng Kin yang nampak bingung dan kepada Tang Cun Ciu yang duduk tenang saja di atas bangku, lalu berkata kepada pendekar itu, “Bu Seng Kin, kalau malam nanti engkau tidak datang ke kuil menengok Cici Nandini, berarti engkau seorang laki-laki yang selain tidak punya budi juga tidak adil sama sekali dan tidak pantas mempunyai tiga orang isteri.” Setelah berkata demikian, dia lalu pergi bersama Nandini dan Siok Lan.
“Hemm, jangan khawatir, aku tentu akan datang menengokmu, Cui Bi.”
“Bukan aku, melainkan Cici Nandini!” teriak nikouw itu dari luar, tetapi yang terdengar hanya suara tawa pendekar itu disusul padamnya lampu di dalam pondok itu!
“Sialan, dasar laki-laki mata keranjang!” Cui Bi Nikouw itu mengomel dan melanjutkan perjalanannya bersama Nandini dan puterinya.
Dua orang ini segera dapat akur karena mereka berdua maklum bahwa di antara tiga orang kekasih Bu Seng Kin, kepandaian Tang Cun Ciu paling tinggi dan mereka berdua masing-masing bukanlah tandingan wanita tokoh Lembah Suling Emas itu. Oleh karena itu, mereka segera saling mendekati karena kalau mereka maju berdua, kiranya mereka akan mampu menandingi Cun Ciu! Pula, biar bagaimana rindu hati mereka terhadap Bu Seng Kin, kalau harus bermalam bersama-sama di pondok yang kecil itu, tentu saja mereka merasa malu, apalagi di situ terdapat Siok Lan.
Sementara itu, diam-diam Seng Kin menjadi bingung dan mengeluh sendiri karena dia tahu bahwa bagaimana pun juga, malam itu harus mengunjungi kuil di mana dia tidak tahu bagaimana dia harus melayani tiga orang wanita yang seperti tiga ekor harimau betina yang kelaparan itu! Lempoh…..
********************
Ci Sian merasa terapung-apung di angkasa gelap. Dia melihat seorang pria, ayah kandungnya, bersama seorang wanita yang tidak begitu jelas air mukanya, berjalan di sebelah depan, seperti melayang-layang. Ibunya, pikirnya. Itulah ibunya yang berjalan bersama ayahnya. Tetapi tiba-tiba ayahnya melihat ke depan dan berlari meninggalkan ibunya, mengejar banyak sekali wanita-wanita yang tertawa-tawa genit. Ibunya lalu terhuyung dan terjatuh, melayang turun dari angkasa! Dia terkejut sekali, berusaha hendak lari mengejar sambil menjerit, “Ibu.... Ibu....!” Akan tetapi dia pun tergelincir dan jatuh tergelincir.
“Ibu....!”
Sebuah tangan yang halus menjamah dahinya yang berkeringat dan agak panas.
“Ibu....,“ Ci Sian mengeluh lirih dan tangan yang halus itu mengusap rambut di atas dahinya, dia merasa nyaman dan tidak begitu pening lagi, lalu tertidur kembali, sekali ini tanpa mimpi.
Tak jauh dari situ nampak api unggun bernyala memberi cahaya yang cukup terang dan ternyata bahwa dara itu rebah di dalam sebuah goa yang besar, bertilamkan rumput kering dan berselimutkan jubah panjang. Seorang pria duduk bersila di dekatnya dan setelah dara itu tidur pulas, pria itu memejamkan mata sambil terus bersila sampai pagi.
Pada keesokan harinya, ketika sinar matahari kemerahan telah mulai memasuki goa itu dari samping, Ci Sian mengeluh panjang kemudian membuka matanya. Dia mengejap-ngejapkan matanya sebab silau oleh sinar merah yang menerobos masuk dan menimpa lantai dekat kepalanya, lalu dia terbelalak keheranan ketika melihat bahwa dia berada di sebuah goa yang diketahuinya karena melihat langit-langit batu itu. Lalu dia menoleh dan melihat seorang pria duduk bersila di sebelahnya, seorang pria yang berwajah tampan dan ramah, yang memandang kepadanya sambil tersenyum.
“Ah.... ahh.... aku.... aku masih mimpi....,“ Ci Sian mengejap-ngejapkan dan menggosok-gosok kedua matanya.
“Tidak, Ci Sian, engkau tidak mimpi,” kata pria itu dengan halus.
Ci Sian terbelalak, lalu bangkit duduk, memandang kepada pria itu. “Engkau.... engkau Paman Kam Hong....!”
Pria itu mengangguk dan tersenyum, lalu menambahi kayu bakar sehingga api unggun membesar karena hawa pagi itu amat dinginnya meski sinar matahari telah memasuki goa. Pria itu tentu saja dikenalnya baik-baik. Wajah itu tak pernah meninggalkan lubuk hatinya dan ternyata pendekar itu tidak berubah sama sekali setelah berpisah hampir lima tahun dengan dia! Masih seperti dahulu, tampan, pendiam dan tenang, begitu tenangnya!
“Tapi.... tapi.... mengapa aku di sini? Bukankah aku dikeroyok....”
“Engkau terlalu menuruti nafsu amarah dan engkau pingsan, maka kubawa lari ke tempat ini, Ci Sian.”
Setelah merasa yakin bahwa dia tidak mimpi, tiba-tiba saja Ci Sian menutupi mukanya. Tidak terdengar isaknya, hanya pundaknya terguncang dan di antara celah-celah jari kedua tangannya mengalir air mata. Dia menangis! Akan tetapi dasar hatinya keras, dia menahan tangisnya sehingga tidak mengeluarkan bunyi.
“Kalau engkau sedang merasa berduka, kecewa dan penasaran, menangislah, Ci Sian, menangislah, tidak ada yang mendengarmu di sini,” kata Kam Hong yang memandang dengan penuh iba.
Ci Sian menggeleng kepala dengan kedua tangan masih menutupi mukanya. “Aku tidak mau menangis! Aku tidak mau menangis! Mereka.... mereka telah membunuh semua ular itu....!” Dan kembali dia menunduk dan air matanya menetes-netes.
“Karena itu, lain kali janganlah sembarangan minta bantuan ular-ular untuk menghadapi lawan, Ci Sian. Apa sih kekuatan ular-ular itu kalau menghadapi orang pandai? Hanya bisa menakut-nakuti anak kecil saja dan sayang membuang nyawa ular-ular yang tidak bersalah apa-apa.”
Mendengar suara yang nadanya menegur ini, Ci Sian menurunkan kedua tangannya dan muka yang masih basah air mata itu dihadapkan kepada pendekar itu, sepasang mata yang masih merah basah itu memandang tajam. “Kau salahkan aku....?”
Kam Hong mengangguk. Sejenak Ci Sian memandang dengan penuh penasaran, akan tetapi akhirnya dia pun menangis, sekali ini mewek dan bersuara! “Kau.... kau malah memarahiku.... hu-hu-huuh, ahhh.... Ibuku telah mati.... Ayahku.... Ayahku.... aku benci Ayahku! Aku benci manusia itu, aku benci! Hu-huuh, aku tidak punya siapa-siapa lagi di dunia ini....”
“Hemm, masih ada aku, Ci Sian.”
“Kau.... kau malah memarahiku.... hu-huuhh!”
Diam-diam Kam Hong merasa geli akan tetapi juga terharu sekali. Orang-orang yang sedang dikuasai perasaannya, baik itu perasaan terlalu girang, terlalu marah, atau terlalu duka, suka bersikap seperti kanak-kanak. Dara ini sekarang sudah dewasa, akan tetapi pada saat itu dikuasai oleh himpitan batin yang hebat. Perasaan kecewa, penasaran, marah dan duka menindihnya sehingga dia tidak mampu menguasai dirinya lagi dan bersikap seperti kanak-kanak, sungguh patut dikasihani. Maka dia pun lalu mendekati dan mengelus rambut kepala dara itu bagaikan sikap seorang paman yang menghibur seorang keponakannya yang masih nakal.
“Sudahlah, tenanglah, aku tidak marah padamu, Ci Sian, sama sekali tidak....”
Mendengar ucapan itu, dan merasa betapa tangan yang mengelus kepalanya itu amat lembut dan penuh perasaan sayang, Ci Sian menjerit lalu menyembunyikan mukanya pada dada pendekar itu, lalu menangislah dia sejadi-jadinya. Kam Hong membiarkan saja karena hal itu amat baik bagi Ci Sian. Kekuatan yang mendorong perasaan marah atau duka amatlah kuatnya dan kalau tidak disalurkan keluar melalui tangis, akan terpendam di dalam dan selain dapat meledak menjadi pelampiasan marah yang berbahaya, juga amat berbahaya bagi kesehatan dara itu sendiri.
Setelah menangis sesenggukan tanpa mengekangnya, akhirnya Ci Sian merasa dadanya lapang sekali. Dia teringat betapa dia menangis di atas dada Kam Hong dan membuat baju pendekar itu menjadi basah, maka cepat-cepat dia menjauhkan dirinya dan memandang kepada baju yang basah itu.
“Maaf, Paman.... aku telah membasahi bajumu.”
Kam Hong melihat bajunya dan tersenyum sabar. “Baju basah bisa dijemur, Ci Sian. Yang penting, engkau tidak menyimpan perasaan dalam batin lagi. Nah, mari kita bicara sekarang.”
Ci Sian mengerutkan alis dan menarik napas panjang. Terasa hawa yang disedotnya itu memenuhi paru-paru sampai ke pusar, dan terasa dadanya nyaman sekali. Mengertilah dia kini mengapa pendekar itu membiarkan dia menangis sepuasnya di dadanya tadi, dan dia merasa berterima kasih sekali.
“Aku sedih sekali mengingat nasib Ibuku, Paman. Aku tidak tahu mengapa Ibu dapat menjadi lemah begitu, padahal menurut penuturan Ayah.... ahhh, orang itu, Ibu adalah seorang pendekar wanita. Aku belum tahu jelas mengapa sampai meninggal dunia begitu mudah, hanya karena sakit-sakitan. Tubuh seorang pendekar wanita mana mungkin sakit-sakitan begitu?”
“Aku tahu, Ci Sian.”
“Ehh? Bagaimana kau tahu?”
“Kebetulan saja. Setelah membawamu ke sini, aku berjaga-jaga dan melihat Ayahmu itu....“
“Jangan sebut dia Ayahku lagi! Aku benci mempunyai Ayah macam dia!”
“Membenci bukanlah sikap bijaksana dalam hidup.”
“Lanjutkan ceritamu, Paman, apa yang kau lihat dan dengar?”
“Ayahmu itu agaknya mencari-carimu, akan tetapi tanpa hasil dan diam-diam aku lalu membayanginya sebab aku ingin memperoleh keyakinan apakah benar kita tidak dikejar orang. Dan aku membayanginya sampai ke pondoknya di mana dia bicara dengan.... ehh, wanita-wanita yang menjadi isterinya itu dan dia menceritakan bahwa Ibumu yang bernama Sim Loan Ci itu menjadi lemah dan sakit-sakitan semenjak dia dan Ayahmu bertanding melawan gerombolan siluman di Sin-kiang yang terkenal dengan sebutan Hek-i-mo (Iblis Baju Hitam).”
“Siapakah itu Hek-i-mo?”
“Aku sendiri belum pernah bertemu dengan mereka, akan tetapi sudah kudengar nama mereka. Hek-i-mo adalah perkumpulan, atau lebih tepat dinamakan gerombolan yang merajalela di daerah Sin-kiang. Selain berpengaruh dan mempunyai hubungan dekat dengan penguasa, juga gerombolan itu lihai bukan main, dipimpin oleh datuk-datuk kaum sesat dan memiliki pasukan yang kuat.”
“Jadi ibu berpenyakitan setelah bertanding melawan mereka?”
“Begitulah menurut penuturan Ayahmu kepada seorang di antara isterinya, karena dalam pertempuran antara orang tuamu melawan gerombolan itu, mendiang Ibumu menderita pukulan beracun dan pada waktu itu Ibumu sedang mengandung. Hanya itulah yang kudengar dari percakapan mereka dan aku lalu pergi karena merasa tidak enak mendengarkan pembicaraan suami isteri.”
“Kalau begitu, aku akan mencari Hek-i-mo dan akan membasminya untuk membalaskan kematian Ibu!”
“Hemm, jangan kira hal itu mudah saja, Ci Sian. Sepanjang pendengaranku, Hek-i-mo merupakan gerombolan yang amat berbahaya dan sudah banyak pendekar-pendekar berilmu tinggi yang gagal dan bahkan menemui kematian ketika berhadapan dengan mereka. Bahkan Ayah Ibumu yang demikian lihai pun agaknya gagal.”
“Aku tidak takut gagal, aku tidak takut mati!”
Kam Hong menahan senyumnya. Dara ini masih seperti dulu, pemberani dan keras hati sehingga amat mengkhawatirkan karena sikap seperti itu banyak mengakibatkan mala petaka kepada diri sendiri.
“Biar pun engkau berusaha, kalau sudah pasti bahwa engkau akan gagal, apa artinya? Engkau harus memperdalam ilmu kepandaianmu, dan untuk itu, aku mau membantumu, Ci Sian. Ingat, aku masih ada hutang padamu.”
“Hutang? Hutang apa?”
“Hutang ilmu. Lupakah kau akan ilmu yang kita bersama temukan pada tubuh jenazah kakek kuno itu? Aku masih harus mengajarkannya kepadamu dan engkau pun berhak mempelajarinya, karena kita berdualah yang menemukannya.”
Ci Sian mengerti bahwa apa yang dikatakan oleh pendekar ini memang benar. Biar pun tadinya dia merasa bahwa ilmu kepandaian yang dipelajarinya dari See-thian Coa-ong cukup tinggi, namun ternyata bahwa ilmunya itu masih jauh dari pada cukup jika dia berhadapan dengan orang-orang pandai, juga ular-ularnya itu tidak ada artinya kalau dia bertemu dengan lawan tangguh. Dan dia percaya bahwa pendekar ini memang memiliki ilmu yang tinggi sekali, kalau tidak demikian, mana mungkin dapat melarikan dia dari tangan ayahnya dan isteri-isteri ayahnya yang demikian lihainya?
“Baiklah, Paman, aku akan belajar darimu.”
“Nah, sekarang ceritakan apa yang telah terjadi denganmu semenjak kita saling berpisah. Ke manakah engkau pergi ketika kita berdua terdampar di lembah tanpa jalan keluar itu? Kau ingat ketika bukit itu longsor dan kita terasing di lembah salju?”
“Aku sedang mencari burung dan aku lalu terpeleset jatuh ke dalam jurang.”
“Hemm, sudah kuduga begitu. Akan tetapi bagaimana engkau dapat tetap hidup setelah terjatuh ke dalam jurang yang sedemikian dalamnya?”
“Aku ditolong oleh seorang kakek yang bernama See-thian Coa-ong, Paman.” Dara itu lalu menceritakan pengalamannya sampai dia diambil murid oleh kakek Raja Ular itu.
“Bagus sekali, engkau beruntung, selain dapat diselamatkan dari ancaman bahaya maut, juga masih menemukan seorang guru yang pandai. Pantas saja engkau pandai bermain-main dengan ular.”
“Paman, hal itu belum seberapa penting. Yang kuanggap paling menarik dan penting adalah ketika aku diajak oleh guruku itu untuk menemui musuhnya di Lembah Suling Emas, yaitu di luar lembah di mana tinggal musuh Guruku. Di situ aku bertemu degan seseorang yang tentu akan membuat Paman terkejut sekali, dan tak mungkin Paman dapat menduganya siapa.”
Di dalam hatinya, Kam Hong tertarik sekali, akan tetapi dia tetap nampak tenang dan tersenyum, seperti seorang dewasa mendengarkan penuturan seorang anak kecil saja. “Siapakah dia yang kau maksudkan itu?”
“Musuh Guruku itu adalah Cui-beng Sian-li Tang Cun Ciu, seorang di antara.... eh, isteri Ayah, wanita yang paling galak dan paling lihai yang hampir membunuhku malam tadi. Dia adalah seorang tokoh Lembah Suling Emas dan ilmunya tinggi sekali.”
“Hemm, sungguh aneh sekali ada lembah yang bernama Lembah Suling Emas.”
“Aku pun tadinya merasa heran, Paman. Menurut Guruku, Lembah Suling Emas itu adalah lembah tempat keluarga yang amat sakti, yaitu keluarga Suling Emas.”
“Hemmm....!” Kam Hong mengelus dagunya dan alisnya berkerut. Apa pula ini?
“Aku pun merasa penasaran, Paman. Bukankah Paman satu-satunya Pendekar Suling Emas dan Paman memiliki sebuah suling dari emas, juga Paman malah memiliki ilmu-ilmu peninggalan Pendekar Suling Emas, namun di Pegunungan Himalaya ada lembah yang yang bernama lembah Suling Emas dan menjadi tempat tinggal keluarga Suling Emas! Akan tetapi Guruku tidak dapat bercerita lebih jelas. Akan tetapi Cui-beng Sian-li Tang Cun Ciu itu memang lihai bukan main sehingga Suhu-ku sendiri hanya mampu mengimbangi dalam ilmu silat tanpa dapat mengalahkannya. Dan yang luar biasa adalah muridnya, Paman.”
“Murid wanita itu? Bagaimana hebatnya?”
“Dia itu bukan lain adalah Yu Hwi!”
Sekali ini benar-benar Kam Hong terkejut bukan main dan dia menatap wajah dara itu dengan mata terbelalak. Akan tetapi hanya sekejap saja karena dia sudah bersikap biasa kembali, tenang dan agak dingin. “Sungguh-sungguhkah engkau, Ci Sian?”
“Mengapa tidak, Paman? Aku malah sudah menegurnya, dan mengingatkan dia akan namamu, dan.... ahhh, sungguh aku tidak mengerti akan sikap isterimu itu, Paman. Mengapa dia begitu.... ehhh, agaknya begitu membencimu dan tidak peduli kepadamu? Aku sudah menegurnya, mengingatkan dia tentang engkau, akan tetapi dia malah marah-marah. Dan tahukah engkau apa yang terjadi? Gurunya, Si Cui-beng Sian-li itu, mengadakan perjanjian dengan suhuku, See-thian Coa-ong, untuk mengadukan murid-murid mereka, yaitu Yu Hwi itu dan aku, setelah belajar lima tahun lamanya. Coba pikir, bukankah perjanjian itu gila?”
Kam Hong menarik napas panjang. “Yu Hwi adalah calon isteriku, ikatan jodoh antara kami telah disahkan oleh orang-orang tua yang menjadi wali kami. Dia belum menjadi isteriku, akan tetapi menurut keputusan wali-wali kami, kami harus saling berjodoh. Di manakah dia, Ci Sian? Aku harus menemuinya.”
“Hemm, Paman Kam Hong. Kalau dia tak mau, apakah akan dipaksa menjadi isterimu?”
“Justru aku harus menemuinya untuk membicarakan urusan kami itu. Selain itu, aku pun ingin sekali berkenalan dengan keluarga yang tinggal di Lembah Suling Emas itu, Ci Sian.”
“Baik, aku akan mengantarmu ke sana, Paman. Akan tetapi dengarkanlah lanjutan ceritaku….”
Ci Sian lalu menceritakan tentang semua pengalamannya, betapa dia setelah belajar empat tahun dari See-thian Coa-ong lalu meninggalkan pertapaan gurunya itu dan hendak mencari Kam Hong atau Lauw-piauwsu untuk menanyakan di mana adanya orang tuanya seperti yang diceritakan oleh kakeknya kepada piauwsu itu. Kemudian betapa dia terlibat dalam perang di Lhagat, tentang Jenderal Kao Cin Liong, tentang Siok Lan, panglima wanita Nandini dan lain-lain sampai kemudian perang berakhir dengan kekalahan di pihak tentara Nepal dan dia mendengar tentang tempat tinggal ayahnya dari Lauw-piauwsu yang tewas karena luka-lukanya.
“Begitulah, aku bertemu dengan Ayahku, akan tetapi dalam keadaan yang sama sekali tidak menyenangkan hatiku dan aku tidak sudi bertemu dengan dia! Sekarang, kau ceritakan pengalamanmu semenjak kita berpisah, Paman.”
“Mari kita berangkat, Ci Sian. Di dalam perjalanan nanti akan kuceritakan semua itu kepadamu.”
Mereka melakukan perjalanan lagi, seperti lima tahun yang lalu. Hanya bedanya, kini Ci Sian bukan lagi anak-anak, bukan lagi anak perempuan tiga belas tahun, melainkan seorang dara remaja yang sudah berusia tujuh belas tahun, seorang dara remaja yang amat cantik dengan tubuh yang padat meranum, seperti setangkai bunga yang sedang mulai mekar! Diam-diam Kam Hong harus mengakui bahwa dia kagum sekali kepada dara ini, kagum akan kecantikannya yang sukar dicari keduanya itu, dan diam-diam dia merasa amat bergembira dapat bertemu kembali dengan Ci Sian dan dapat melakukan perjalanan bersama kembali. Lenyaplah segala rasa kesunyian dan nelangsa sebagai akibat perpisahan dengan Yu Hwi semenjak dia bertemu dengan dara ini kurang lebih lima tahun yang lalu.
Sebaliknya, setelah kini berjumpa dengan Kam Hong hati Ci Sian merasa begitu ringan dan gembira. Semua kekecewaan dan rasa penasaran, semua rasa duka yang tertimbun sejak kekecewaannya menyaksikan hubungan antara Siok Lan dan Cin Liong sampai kepada kenyataan yang amat pahit dari keadaan ayah kandungnya, kini lenyap tak berbekas dan wajahnya yang jelita itu berseri-seri! Dia lupa sama sekali kepada bayangan Cin Liong yang tadinya amat dikaguminya itu, dan dia merasa bergembira sekali, gembira dan puas seolah-olah dia memperoleh kembali sesuatu yang hilang dari lubuk hatinya.
Seperti juga dulu, mereka melakukan perjalanan melalui gunung-gunung yang tinggi, lembah-lembah yang dingin dan puncak-pucak bukit yang tertutup es. Seperti juga dulu, Kam Hong yang bersikap pendiam dan tenang, bahkan agak dingin itu, seperti gunung es menghadapi api karena sikap Ci Sian sebaliknya dari pada dia. Dara ini, panas dan penuh semangat, penuh gairah hidup dan selalu jenaka, kocak dan gembira, agak kenakal-nakalan sehingga mulai mencairlah gunung es dalam hati Kam Hong itu!
Sambil melakukan perjalanan seenaknya, Kam Hong bercerita tentang pengalamannya semenjak dia berpisah dari Ci Sian. Akan tetapi tidak banyak yang dapat diceritakan. Seperti kita ketahui, ketika Ci Sian tergelincir ke dalam jurang yang mengelilingi ‘pulau salju’ terpisah dari tempat-tempat lain itu, Kam Hong merasa amat gelisah, khawatir sekali dan berduka. Dia mengira bahwa tentu dara itu telah tewas tergelincir ke dalam jurang.
Akan tetapi dia tidak dapat berbuat sesuatu. Biar pun dia sudah berusaha keras untuk mencari jalan turun, namun dia mendapatkan kenyataan yang makin mendukakan hatinya bahwa tidak mungkinlah menuruni tempat itu dan siapa yang tergelincir ke bawah yang tidak nampak dasarnya saking dalamnya itu, agaknya tidak mungkin dapat diharapkan akan selamat. Pendekar itu selama beberapa hari termenung di tepi jurang, penuh kedukaan dan hampir dia menangis kalau teringat betapa gadis cilik itu kini telah mati! Batinnya yang sudah tertekan selama bertahun-tahun dengan lenyapnya Yu Hwi, kini bertambah berat dengan dugaan bahwa Ci Sian telah mati tergelincir ke dalam jurang.
Sampai hampir sepekan dia merenungi keadaan yang menyedihkan itu, akan tetapi akhirnya dia sadar bahwa membiarkan diri tenggelam ke dalam kedukaan merupakan hal yang tidak baik sama sekali, maka dia lalu menyibukkan diri dengan latihan ilmu yang baru saja dia peroleh dan pelajari dari catatan di tubuh jenazah tua. Dan ilmu itu memang hebat bukan main, merupakan ilmu yang amat tinggi, sakti dan penuh rahasia. Ilmu meniup suling berdasarkan sinkang yang luar biasa tingginya itu dipelajarinya dengan amat susah payah, kemudian dia melatih pula ilmu pedang Kim-siauw Kiam-sut yang dilakukan dengan suling.
Selama setahun lebih Kam Hong terasing di tempat itu, tidak memperoleh kesempatan untuk keluar dari tempat itu. Kemudian, setelah pergantian musim, puncak bukit di atas longsor dan jutaan ton es batu tanah dan salju menutup jurang sehingga tempat itu kembali tertutup dan dia dapat keluar dari pengasingan itu! Maka dipilihnyalah tempat yang amat baik untuk melatih ilmu, di lereng sebuah puncak yang subur, tidak seperti di tempat pengasingan itu yang hanya terdiri dari batu es dan salju yang amat dinginnya. Di tempat ini, Kam Hong melanjutkan latihannya setelah beberapa hari dia mencari-cari di sekitar tempat pengasingan itu dan tidak berhasil menemukan Ci Sian, bahkan tulang kerangkanya pun tak dapat ditemukannya. Dia menduga bahwa tentu gadis cilik itu telah tertimbun es dan tidak mungkin ditemukan lagi kerangkanya.
Selama tiga tahun Kam Hong memperdalam ilmunya sampai dia berhasil menguasai ilmu-ilmu itu, walau pun untuk bersuling tanpa suling dia masih belum sanggup melakukannya. Akan tetapi, kini dia dapat menyuling tanpa menutup lubang-lubang sulingnya dan dapat menyanyikan lagu apa pun juga melalui sulingnya tanpa memainkan jarinya. Bahkan dia dapat mainkan ilmu pedang Kim-siauw Kiam-sut (Ilmu Pedang Suling Emas) sedemikian rupa sehingga sulingnya mengeluarkan suara berlagu merdu!
Kemudian dia meninggalkan tempat pertapaannya untuk melanjutkan usahanya mencari Yu Hwi, dan dalam perjalanan inilah dia mendengar tentang perang yang terjadi di Lhagat, dan tentang pasukan pemerintah yang terkepung di lembah oleh pasukan-pasukan Nepal. Kedatangannya tepat sekali, karena pada waktu itu, pasukan Kerajaan Ceng, dibantu oleh pasukan Tibet dan orang-orang kang-ouw yang lihai sedang mulai dengan gerakan mereka.
Melihat betapa pasukan yang terkurung itu mulai membuka bendungan sehingga air dari puncak membanjir, disusul gerakan pasukan yang terkepung itu untuk membobolkan kepungan, Kam Hong segera turun tangan pula membantu, diam-diam dia mengamuk dan mengacaukan pasukan Nepal yang mengepung, seperti yang juga telah dilakukan oleh Si Jari Maut Wan Tek Hoat! Akan tetapi karena mereka berdua itu bergerak di kanan kiri air bah, jadi terpisah, maka mereka tak saling jumpa. Setelah melihat betapa pasukan pemerintah Ceng berhasil merebut Lhagat, Kam Hong tak mencampuri perang tadi dan dia menyingkir tanpa memperlihatkan diri.
Tetapi dia melihat panglima wanita Nepal bersama seorang dara melakukan perjalanan tergesa-gesa dan diam-diam dia membayangi mereka dari jauh sampai ke Pegunungan Kongmaa La.
“Demikianlah, tanpa tersangka-sangka olehku, aku dapat bertemu denganmu, Ci Sian.” Pendekar itu mengakhiri ceritanya. “Mula-mula aku memang pangling, apalagi ketika melihat seorang dara memanggil ular-ular itu. Aku hanya ingin menolongnya karena dia dikeroyok oleh orang-orang yang demikian lihainya, dan baru aku mengenalmu setelah aku membawamu ke dalam goa itu.”
“Dan aku merasa seperti dalam mimpi begitu membuka mata dan melihatmu, Paman. Akan tetapi sekarang, setelah aku yakin bahwa kita benar telah berkumpul kembali, aku merasa seolah-olah perpisahanku denganmu selama hampir lima tahun itu hanya mimpi belaka!”
Kam Hong tersenyum karena ucapan itu sama benar rasanya seperti yang berada dalam hatinya. Dia seolah-olah tak pernah berpisah dari Ci Sian, seolah-olah semua yang dialaminya sendiri tanpa Ci Sian selama ini hanya sebuah mimpi saja…..
********************
Gadis itu bersilat dengan cepatnya. Gerakannya gesit bukan main, pukulan-pukulannya mendatangkan angin bersuitan dan daun-daun pohon di sekitar tempat itu bergoyang-goyang, bahkan ada yang rontok tertiup angin pukulan kedua tangan dan kakinya yang berloncatan ke sana sini seperti seekor burung yang sedang berlagak di pagi hari itu. Pagi hari itu cerah dan indah sekali dan lapangan rumput itu amat bersih, kehijauan, segar, hening tidak nampak seorang pun manusia lain di situ.
Gadis itu memang lihai sekali karena dia ini bukan lain adalah Yu Hwi. Usianya sudah dua puluh delapan tahun, akan tetapi dia nampak masih muda, agaknya hanya dua puluh dua atau dua puluh tiga tahun. Pakaiannya yang serba merah muda itu membuat dia nampak lebih muda dari pada usia yang sebenarnya. Dan memang gadis ini lihai bukan main. Apalagi sekarang setelah dia menjadi murid tersayang dari Cui-beng Sian-li Tang Cun Ciu yang sakti, tentu saja kepandaiannya meningkat dengan amat pesatnya.
Dulu pun dia telah merupakan seorang pendekar wanita yang amat lihai, yang terkenal dengan julukan Ang Siocia karena pakaiannya selalu kemerahan. Dari gurunya yang pertama, yaitu Hek-sim Touw-ong Si Raja Maling, dia telah mewarisi ilmu silat yang tinggi, bahkan ilmunya yang disebut Kiam-to Sin-ciang (Tangan Sakti Pedang dan Golok) amat hebatnya. Dengan tangan kosong dia mampu memutuskan benda-benda keras bagai disabet dengan pedang atau golok saja! Di samping ilmu Kiam-to Sin-ciang ini, dia pun terkenal pandai melakukan penyamarannya, dan pandai pula dalam ilmu mencuri atau mencopet, kepandaian khas dari Hek-sim Touw-ong!
Seperti telah kita ketahui dari cerita JODOH RAJAWALI, hati gadis ini merasa kecewa bukan main. Sebagai seorang dara jelita, dia pernah jatuh cinta. Dia jatuh hati kepada seorang pendekar sakti, yaitu Pendekar Siluman Kecil, atau Suma Kian Bu putera dari Pendekar Super Sakti majikan Pulau Es! Akan tetapi cintanya bertepuk tangan sebelah, pendekar yang dicintanya itu ternyata mencinta dara lain sehingga hati gadis ini menjadi hancur dan patah-patah.
Kemudian Yu Hwi mendengar tentang rahasia dirinya, bahwa ia adalah cucu dari Sai-cu Kai-ong Yu Kong Tek dan bahwa sejak kecil dia diculik oleh gurunya Si Raja Maling. Hal ini tidak menyusahkan hatinya, akan tetapi betapa kaget hatinya ketika dia mendengar bahwa sejak kecil dia telah ditunangkan dengan seorang anak laki-laki yang bukan lain adalah Siauw Hong atau Kam Hong, pemuda yang sudah dikenalnya, bahkan pemuda yang tanpa disengaja pernah membuka rahasia penyamarannya pada saat itu sebagai seorang pemuda.
Maka, karena malu terhadap Kam Hong, juga karena berduka mengingat bahwa hatinya telah jatuh cinta kepada Siluman Kecil, Yu Hwi kemudian melarikan diri, meninggalkan kakeknya, dan mengambil keputusan tidak mau kembali lagi. Dia telah gagal cintanya dengan Siluman Kecil, dan dia tidak sudi dikawinkan dengan orang lain, apalagi yang bukan pilihannya sendiri, sungguh pun harus diakuinya bahwa tunangannya itu adalah seorang pemuda yang hebat pula. Dia sudah terlanjur malu dan tidak mau kembali lagi.
Dan di dalam perjalanannya itulah dia bertemu dengan Cui-beng Sian-Ii Tang Cun Ciu dan diambil sebagai murid. Hatinya menjadi girang sekali, apalagi saat ia diperkenalkan dengan keluarga sakti yang menjadi penghuni Lembah Suling Emas. Hatinya kagum bukan main, terutama sekali kepada seorang di antara para tokoh lembah itu, yang masih terhitung susiok-nya (paman seperguruannya), yaitu yang bernama Cu Kang Bu, pemuda sakti tinggi besar dan gagah itu. Dia merasa kagum bukan main terhadap keluarga yang amat sakti itu, terutama para paman gurunya yang menurut subo-nya bahkan lebih lihai dari pada subo-nya sendiri yang sudah amat dikaguminya itu!
Selama beberapa hari ini, subo-nya nampak murung saja, tetapi hatinya girang karena subo-nya mengatakan bahwa pelajarannya telah tamat, dan bahwa waktu yang lima tahun itu sudah hampir tiba dan dia akan harus berhadapan dengan murid See-thian Coa-ong untuk memenuhi janji dua orang yang bermusuhan secara aneh itu, untuk menentukan siapa yang lebih unggul. Dahulu, dalam pertempuran mati-matian antara Cui-beng Sian-li Tang Cun Ciu dan See-thian Coa-ong, tiada yang kalah atau menang, kepandaian mereka seimbang. Maka kini, murid-murid mereka yang akan menentukan siapa yang lebih unggul di antara mereka.
Yu Hwi merasa girang, bukan hanya karena dia akan bertanding mewakili subo-nya, melainkan karena dia telah bebas dan setelah melakukan pertandingan itu, dia boleh turun gunung atau pergi dari tempat itu, melanjutkan perjalanan atau perantauannya. Dan dia sudah merasa rindu untuk kembali ke timur, ke dunia ramai. Akan tetapi, harus diakui bahwa ada sesuatu yang membuat dia merasa berat meninggalkan Lembah Suling Emas, dan selama berbulan ini wajah yang gagah dari susiok-nya sering muncul di alam mimpi, menggerakkan gairah di dalam hatinya yang sudah lebih dari dewasa, bahkan yang sudah agak terlambat itu, mengingat usianya sudah dua puluh delapan tahun!
Pagi hari itu, dalam cuaca cerah dari hari yang indah itu, Yu Hwi bersilat dengan tangan kosong, berlatih sebaik-baiknya dan dia merasa girang karena dapat bergerak dengan lancar sekali dan merasa yakin bahwa dalam mewakili subo-nya, dia tentu akan dapat mengalahkan anak perempuan murid See-thian Coa-ong yang bicara lancang tentang Kam Hong itu!
Setelah dia berhenti bersilat dan menghapus keringat di lehernya, tiba-tiba terdengar tepuk tangan. Yu Hwi terkejut bukan main. Kalau ada orang mampu datang ke tempat itu tanpa diketahuinya, tentu ilmu kepandaian orang itu tinggi bukan main. Akan tetapi ketika dia menoleh dengan kaget dan melihat siapa yang bertepuk tangan itu, wajahnya berseri dan kedua pipinya berubah kemerahan.
“Aihh.... kiranya Sam-susiok (Paman Guru ke Tiga).... ah, gerakanku amat buruk, harap Susiok jangan mentertawakan,” katanya dengan sikap agak genit, tersenyum manis dan mengerling tajam.
Pria yang tinggi besar dan telah berusia sekitar tiga puluh lima tahun itu tersenyum dan meloncat turun dari atas sebuah batu besar di mana dia tadi berdiri, menghampiri gadis itu dengan pandang mata penuh kagum.
“Sungguh mati, Yu Hwi, aku tidak mentertawakan. Gerakan-gerakanmu tadi lincah dan hebat, dan amat manis sekali, sungguh pun aku melihat adanya beberapa kelemahan yang agaknya tidak nampak oleh Subo-mu.”
“Ahh, betulkah Sam-susiok? Harap Susiok sudi memberi petunjuk kepadaku. Harap Susiok ingat bahwa beberapa hari lagi aku harus menghadapi murid See-thian Coa-ong mewakili Subo untuk mengadu kepandaian seperti janji mereka lima tahun yang lalu.”
Pria itu menarik napas panjang. “Ahh, Toaso…, Subo-mu itu, selalu menuruti hati panas sehingga suka berjanji untuk mengadu ilmu. Mempelajari ilmu silat bukan untuk diadu seperti ayam jago atau jangkerik.”
Yu Hwi tersenyum. “Betapa pun, janji tetap janji dan apa jadinya kalau Subo melanggar janjinya? Sam-susiok, berlakulah baik untuk memberi petunjuk agar supaya aku dapat memperbaiki kekurangan atau kesalahan itu. Susiok tidak ingin melihat aku kalah dalam pertandingan itu, bukan?”
“Tentu saja tidak. Nah, dalam jurus ke sebelas dan dua belas, juga jurus ke sembilan belas dan ke dua puluh, kau terlalu menekankan kepada penyerangan, terlalu bernafsu sehingga kau melalaikan pertahananmu hingga pada bagian-bagian itu pertahananmu amat lemah dan mudah sekali dimasuki lawan.”
“Ahhh, begitukah, Susiok? Akan tetapi menurut Subo, permainanku sudah sempurna,” kata Yu Hwi dengan kaget.
“Mari kita coba. Kau seranglah aku dengan jurus ke sebelas itu.”
Karena maklum betapa lihainya susiok-nya yang ganteng dan gagah ini, yang menurut subo-nya memiliki tingkat kepandaian lebih tinggi dari subo-nya, dan karena dia akan memperoleh petunjuk, maka Yu Hwi menjadi girang dan tanpa ragu-ragu kemudian dia mengerahkan tenaganya dan menyerang sambil berseru, “Awas Susiok!”
Jurus ke sebelas disebut Lam-hong Tong-te (Angin Selatan Getarkan Bumi), dilakukan dengan pukulan tangan kiri yang disambung dengan langkah kaki kanan ke depan lalu kaki kiri menyambar dari samping dengan jalan memutar. Gerakan yang amat cepat dan tidak tersangka oleh lawan, berbahaya sekali.
“Pinggang kananmu terbuka!” kata Kang Bu.
Dan dengan memutar tubuh, setelah mengelak dan menepuk kaki yang menendang, tahu-tahu tangannya sudah mencengkeram ke arah pinggang kanan Yu Hwi. Tentu saja tidak dia lanjutkan, hanya jari-jari tangannya menyentuh pinggang itu, menimbulkan rasa geli.
“Seharusnya tangan kananmu merapat ke pinggang, seperti ini!” Dengan jelas Kang Bu lalu memberi contoh dan memegang tangan kanan Yu Hwi, merapatkan di pinggang.
“Mengertikah engkau? Setiap serangan sudah tentu membuka sebagian dari tubuh kita, dan hal itu akan dipergunakan oleh lawan yang tangguh untuk mencari titik kelemahan kita, dan oleh karena itu, di samping penyerangan kita harus mengenal titik kelemahan sendiri sewaktu menyerang dan sedapat mungkin melindungi kelemahan itu.”
Yu Hwi mengerti dan mengulang jurus itu sampai beberapa kali sehingga Kang Bu mengangguk-angguk puas. “Nah, sekarang coba seranglah aku dengan jurus ke dua belas,” katanya pula.
“Baik, nah, awas Susiok! Haitttt....!”
Jurus ke dua belas ini memang seharusnya dilakukan dengan bentakan nyaring. Jurus ini disebut Sia-hong-khai-bun (Angin Bawah Membuka Pintu). Serangan ini lebih hebat dari pada tadi karena tiba-tiba dara itu merendahkan tubuhnya dengan menekuk kedua lututnya dan kedua tangannya mendorong dari bawah ke atas dengan kekuatan hebat karena didasari tenaga sinkang yang amat kuat sehingga angin pukulannya menyambar dahsyat. Namun tiba-tiba tubuh Kang Bu meloncat ke atas, berjungkir balik dan kedua tangannya dari atas melakukan dua pukulan, yang kiri menusuk ke arah mata Yu Hwi sedangkan yang kanan mencengkeram ke arah ubun-ubun!
“Aihhhhh....!” Yu Hwi terkejut sekali dan cepat dia membuang tubuh ke belakang dan bergulingan, mukanya berubah pucat.
Kang Bu sudah berdiri di depannya sambil tersenyum. “Bagus sekali cara engkau tadi menyelamatkan diri. Akan tetapi hal itu tidak perlu karena apa kau kira aku hendak mencelakakan engkau dengan sungguh-sungguh?”
“Aku.... aku kaget, Susiok....“ kata Yu Hwi dan dia pun tersenyum malu-malu ketika Kang Bu membantunya membersihkan pakaiannya yang terkena tanah ketika tadi dia bergulingan.
“Nah, engkau lihat betapa berbahayanya jika engkau mencurahkan seluruh tenaga dan perhatianmu untuk menyerang di jurus ke dua belas itu. Memang jurus ini merupakan jurus berbahaya bagi lawan, akan tetapi kalau lawanmu memiliki ginkang yang tinggi dan melihat keterbukaan bagian kepalamu, engkau sebaliknya akan terancam bahaya. Oleh karena itu, pada saat memukul, perhatikan gerakan musuh, kalau dia membalikkan keadaan dengan meloncat dan mengancam kepalamu, kau tinggal melanjutkan pukulan itu ke atas, mendahuluinya, dan menghantamnya dari bawah. Mengertikah engkau?”
“Baik, aku telah mengerti dan terima kasih, Sam-susiok. Memang engkau benar sekali, Susiok.”
“Sekarang jurus ke sembilan belas dan ke dua puluh. Kedua jurus itu merupakan jurus yang bergandengan, yaitu See-hong-coan-in (Angin Barat Menerjang Awan) yang lalu disambung dengan Pak-hong-sang-thian (Angin Utara Naik Langit) dan merupakan dua jurus terampuh dari Ilmu Silat Pat-hong Sin-kun (Ilmu Silat Delapan Penjuru Angin) itu. Coba kau serang aku dengan dua jurus yang bersambungan itu.”
“Baik, Susiok.”
Yu Hwi kemudian menyerang. Gerakannya cepat bukan main, kedua tangan bergantian melakukan pukulan sambil meloncat, lalu dengan kedua kaki ditekuk dua tangannya menyambar ke depan ke arah leher dan pusar lawan.
“Lihat dadamu terbuka!” terdengar susiok-nya itu berkata dan kedua tangannya telah terpentang oleh tangkisan dan tangan susiok-nya yang besar dan kuat itu tiba-tiba telah mencengkeram ke arah dadanya, hampir saja menyentuh buah dadanya, akan tetapi Kang Bu sudah cepat menarik kembali tangannya. Kemudian Yu Hwi melanjutkan gerakannya, tubuhnya meloncat ke atas dan kedua kakinya menyerang dengan totokan dari atas ke arah pundak dan ubun-ubun kepala lawan. Gerakannya memang cepat bukan main sehingga dalam pertandingan yang sungguh-sungguh, pihak lawan akan terancam bahaya.
“Bagian belakangmu kosong!” teriak pula Kang Bu dan dia sudah menggeser kaki sehingga dua tendangan itu luput dan tahu-tahu tubuhnya telah berada di sebelah belakang Yu Hwi dan sekali tangannya menyambar, sepatu kiri Yu Hwi telah copot!
“Ihhh....!” Yu Hwi terkejut dan melayang turun dengan muka merah, memandang ke arah kakinya yang hanya tinggal berkaus saja sedangkan sepatu kaki kirinya telah berada di tangan susiok-nya.
“Maaf, ini hanya untuk membuktikan betapa bahayanya jurus-jurus itu kalau engkau tidak hati-hati. Jadi ingat baik-baik, jurus ke sembilan belas jaga baik-baik dadamu dan jurus ke dua puluh memiliki kelemahan di bagian belakang tubuhmu pada saat engkau meloncat.”
Yu Hwi tak dapat berkata-kata, mukanya merah sekali dan jantungnya berdebar-debar ketika dia melihat betapa paman gurunya itu berjongkok dan memasangkan sepatu kirinya. Lebih berdebar lagi rasa jantungnya ketika dia melihat betapa jari-jari tangan yang kokoh kuat dari pendekar yang lihai itu gemetar tidak karuan ketika membantunya memakai kembali sepatunya!
Mereka lalu duduk berhadapan di atas rumput hijau, bercakap-cakap dengan mesranya. Seperti biasa, dalam pertemuan dan percakapan ini, Cu Kang Bu memberi petunjuk-petunjuk dalam hal ilmu silat kepada Yu Hwi, sikapnya amat ramah dan juga mesra, jelas sekali nampak betapa pria muda itu ‘ada hati’ terhadap murid keponakan yang manis itu! Dan diam-diam Yu Hwi juga harus mengakui bahwa dia amat tertarik kepada pemuda ini, seorang pria yang jantan, matang, pendiam, jujur dan tidak pernah berpura-pura, sikapnya terbuka dan ilmu kepandaiannya amat luar biasa. Pria seperti ini dapat dibandingkan dengan Pendekar Siluman Kecil sekali pun!
Tanpa mereka sadari, dari tempat yang agak jauh sepasang mata bening memandang ke arah mereka, dan kemudian sepasang mata itu nampak tidak senang, dan akhirnya lenyap…..
Selanjutnya baca
SULING EMAS NAGA SILUMAN : JILID-09