Kisah Si Bangau Putih Jilid 18


Yo Han merasa girang sekali, tetapi dia hanya mengangguk dan mengikuti suhu-nya menuju ke bukit yang nampak dari situ walau pun cuaca sudah mulai remang-remang. Tiba-tiba Sin Hong menarik lengan muridnya dan menyelinap ke dalam semak-semak. Dia melihat bayangan orang.

Yo Han juga mengintai dari balik semak-semak dan dia pun melihat dua orang laki-laki sedang menggotong tubuh seorang laki-laki lain yang agaknya telah tewas. Oleh karena cuaca remang-remang, maka Sin Hong tidak dapat mengenal wajah kedua orang itu.

“Engkau tunggu saja di sini, aku akan membayangi mereka,” bisiknya kepada Yo Han.

Anak ini mengangguk, maklum bahwa kalau dia ikut, hanya akan merepotkan saja dan mungkin akan menggagalkan usaha gurunya yang akan melakukan penyelidikan. Sin Hong berkelebat dan lenyap dari depan muridnya, membuat Yo Han terbelalak kagum.

Dengan kepandaiannya yang tinggi, mudah saja bagi Sin Hong untuk membayangi dua orang itu sampai dekat tanpa mereka melihat atau pun mendengar gerakannya. Dengan jantung berdebar Sin Hong dapat mengenal seorang di antara mereka, yaitu Phoa Hok Ci, murid kepala Ngo-heng Bu-koan yang paling mendendam kepada Kim-liong-pang itu.

Dari Bhe Kauwsu dia mendengar betapa korban pertama di pihak Ngo-heng Bu-koan adalah seorang murid perempuan dan gadis yang diperkosa lalu dibunuh itu adalah kekasih Hok Ci dan korban terakhlr adalah seorang sute yang paling dekat dengan Hok Ci.

Sekarang dua orang yang menggotong sesosok mayat itu masuk hutan kecil di lereng Kim-liong-pang dan mereka berhenti. Sin Hong cepat menyelinap ke belakang sebatang pohon terdekat. Ia mengintai dan mendengarkan dengan hati-hati karena merasa curiga akan sikap mereka.

“Suheng, kita apakan mayat itu? Kita kubur di sini?” Orang ke dua bertanya dan tahulah Sin Hong bahwa dia seorang murid Ngo-heng Bu-koan pula, adik seperguruannya Phoa Hok Ci.
“Kita kubur di sini? Huh, enaknya! Kita biarkan dia di sini agar besok pagi ada orang Kim-liong-pang yang melihatnya. Tinggalkan saja golokmu itu di tubuhnya, atau biarlah kutusukkan golok itu di tubuh mayat ini!”

Phoa Hok Ci menerima golok dari tangan sute-nya, dan sekali bergerak goloknya itu menancap sampai dalam di dada mayat. Tidak ada darah keluar, tanda bahwa mayat itu sudah sejak tadi tewas.

“Tapi... Suheng, golok itu ada tanda perguruan kita.”
“Bagus, memang itu yang kukehendaki. Biar mereka tahu bahwa putera ketua mereka dibunuh oleh orang-orang Ngo-heng Bu-koan!”
“Aihhh, bagaimana Suheng ini? Bukankah suhu sedang berusaha untuk mengadakan perdamaian dengan pihak Kim-liong-pang? Perbuatan Suheng kali ini akan menambah besar dendam dan permusuhan! Aku tadi sudah sangsi ketika Suheng mengajak aku mengeroyok Ciok Lim, walau pun aku juga tidak suka kepadanya, apa lagi mengingat bahwa dia tersangka utama dalam perkosaan dan pembunuhan sumoi kita.”

Phoa Hok Ci mengambil pedang milik Ciok Lim yang sudah menjadi mayat itu. Pedang itu tadinya masih terselip di sarung pedang yang tergantung di punggung, hal ini saja menunjukkan bahwa pemuda putera ketua Kim-liong-pang ini agaknya dibunuh secara mendadak sehingga dia tidak sempat membela diri.

“Aku memang menghendaki agar kedua belah pihak bermusuhan! Biarlah kedua pihak hancur, kecuali Bhe Siang Cun! Ia seorang yang harus hidup dan menjadi isteriku!”
“Suheng... apa... apa pula maksudmu...?” Orang kedua itu agaknya terkejut bukan main mendengar ucapan Phoa Hok Ci itu.

“Sudah sejak dulu kurindukan Siang Cun, dan kujelaskan niatku memperisteri gadis itu, akan tetapi suhu dengan halus menolak, bahkan lalu hendak menjodohkan aku dengan Cin-sumoi. Aku merasa sangat penasaran, dan lebih sakit hatiku ketika suhu menerima pinangan Ciok Lim ini! Tidak ada jalan lain bagiku kecuali menggagalkan perjodohan itu dan untuk itu, Kim-liong-pang dan Ngo-heng Bu-koan harus menjadi musuh besar yang saling bermusuhan! Aku tidak mencinta Cin-sumoi, cintaku hanya untuk Bhe Siang Cun, maka biarlah Cin-sumoi menjadi korban pertama untuk membuka permusuhan antara kedua pihak, dan aku berhasil... ha-ha-ha, aku berhasil! Apa lagi malam ini, Ciok Lim, telah tewas dan untuk kematian ini, pihak Kim-liong-pang pasti akan membalas dendam dan tiada kekuatan lain di dunia ini yang akan mampu menghapus dendam di antara mereka!”

“Suheng...! Kau... kau gila...!”
“Ha-ha-ha, memang aku gila, tergila-gila kepada Siang Cun dan apa pun yang akan terjadi, ia harus menjadi milikku. Kau dengar, Sute? Ia harus menjadi milikku, aih, Siang Cun jantung hatiku...!”
“Suheng, jadi kalau begitu, Cin-sumoi bukan terbunuh oleh Ciok Lim, melainkan oleh Suheng sendiri? Dan Suheng yang memperkosanya lalu membunuhnya?”
“Hemmm, hanya orang tolol seperti engkau yang tidak mengerti! Aku memperkosa dan membunuhnya agar api kebencian dan permusuhan mulai bernyala...”
“Suheng mencuri topi milik Ciok Lim dan meninggalkannya di dekat mayat Cin-sumoi?”
“Benar!”
“Dan pembunuhan-pembunuhan yang lain itu... pembunuhan terhadap murid perguruan kita yang tidak diakui oleh pihak Kim-liong-pang, kemudian pembunuhan terhadap murid Kim-liong-pang yang tidak kita akui, semua itu adalah perbuatanmu pula?”
“Benar.”
“Dan kematian sute sore tadi... juga engkau yang membunuhnya?”
“Benar!”
“Suheng! Engkau telah gila, dan kenapa... kenapa kau ceritakan semua ini kepadaku? Mengapa engkau berani mengakui semua itu kepadaku?”
“Karena engkau takkan mampu membuka mulut lagi!”

Tiba-tiba pedang di tangan Hok Ci menyambar dan pedang itu telah menembus dada dan jantung murid Ngo-heng Bu-koan itu. Dia roboh terjengkang, matanya terbelalak, mulutnya mengeluarkan suara jerit tertahan dan ia pun tewas seketika, roboh terlentang dengan pedang masih menancap di dadanya dan agaknya memang dibiarkan tinggal di dada itu oleh Hok Ci.

Sin Hong terkejut bukan main dan merasa menyesal. Sungguh tidak disangkanya sama sekali bahwa Phoa Hok Ci akan membunuh sute-nya sehingga dia pun tak menyangka sesuatu dan tidak keburu mencegah pembunuhan yang terjadi di depan matanya ini. Tak disangkanya pula bahwa permusuhan hebat antara Kim-liong-pang dan Ngo-heng Bu-koan itu terjadi karena perbuatan Phoa Hok Ci yang agaknya sudah gila!

Orang ini tergila-gila kepada Bhe Siang Cun. Karena pinangannya ditolak, juga karena besarnya nafsu menguasai dirinya untuk dapat memiliki Siang Cun, dia tak segan-segan melakukan segala perbuatan yang amat kejam.

Dia memperkosa mendiang Bong Siok Cin, sumoi-nya sendiri, lalu membunuhnya, dan di dekat mayat sumoi-nya itu dia meninggalkan topi milik putera ketua Kim-liong-pang yang dicurinya. Ia pun masih memperbesar permusuhan dan dendam antara dua pihak dengan melakukan pembunuhan-pembunuhan lagi, baik terhadap murid Kim-liong-pang yang dibunuhnya, mau pun murid Ngo-heng Bu-koan sendiri!

Dan siang tadi dia membunuh sute-nya yang paling dekat dengan dia, mungkin selain untuk memperbesar dendam, juga karena sute-nya itu mengetahui atau mencium bau akibat perbuatannya yang jahat. Pembunuhan terhadap sute-nya ini dilakukan dengan dua tujuan, pertama supaya sute-nya ini tidak dapat menceritakan hal-hal yang kiranya mencurigakan, dan kedua agar ada bukti bahwa kematian putera ketua Kim-liong-pang adalah karena perbuatan sute itu, murid Ngo-heng Bu-koan! Dia membunuh sute-nya agar kelihatan bahwa mereka berdua itu tewas bersama dalam suatu perkelahian.

Bukan main kaget dan marahnya hati Sin Hong dan diam-diam dia kagum sekali kepada muridnya. Ternyata dugaan Yo Han benar dan tepat! Kemungkinan ketiga itu kini bukan kemungkinan lagi, melainkan sudah menjadi kenyataan! Ada orang ke tiga yang sengaja mengadu domba antara Kim-liong-pang dan Ngo-heng Bu-koan demi kepentingan diri sendiri! Dan orang itu bukan laan adalah Phoa Hok Ci, murid utama yang dipercaya oleh Bhe Kauwsu.

Satu-satunya kebodohan dan kelemahan manusia adalah membiarkan si aku merajalela dalam diri kita masing-masing. Kalau si aku sudah merajalela dalam diri, menguasai diri sepenuhnya, maka celakalah hidup ini.

Segala mala petaka dan kesengsaraan, bersumber dari si aku ini yang mendorong kita untuk mengejar segala macam kesenangan dengan menggunakan segala macam cara untuk mencapai hasil pengejaran itu. Si aku ini yang mendatangkan loba, tamak, dengki, iri, marah, benci takut dan sebagainya. Si aku mengotori dan merusak batin.

Si aku bagaikan setan yang menjadi raja dalam batin kita masing-masing dan selama setan itu masih bertahta dalam batin maka hidup ini penuh konflik, penuh permusuhan, dendam, kebencian dan karenanya terciptalah rasa takut dan kesengsaraan. Jika setan ini tidak lagi bercokol di dalam batin, maka sinar cinta kasih akan menerangi batin, dan kekuasaan Tuhan sendiri akan memenuhi batin.

Sin Hong cepat meloncat keluar sambil membentak. “Phoa Hok Ci, kiranya engkaulah biang keladi semua permusuhan ini!”

Phoa Hok Ci terkejut bukan main, akan tetapi tangan kirinya bergerak ke arah Sin Hong. Pendekar ini cepat melompat ke samping untuk menghindarkan diri dari sambaran pasir hitam yang mengandung racun itu! Akan tetapi tiba-tiba tangan kanan murid Ngo-heng Bu-koan itu bergerak dan segera asap hitam bergumpal-gumpal membuat penglihatan Sin Hong tertutup. Pada waktu pendekar ini meloncat lagi ke samping agak jauh dan memandang, ternyata Phoa Hok Ci telah lari jauh sekali!

Sin Hong terkejut. Dia mengenal ilmu dari golongan hitam dan biasanya hanya orang-orang seperti para tokoh Pek-lian-kauw yang memiliki senjata rahasia seperti itu. Bagai mana mungkin seorang murid Ngo-heng Bu-koan dapat menggunakan senjata rahasia dari golongan sesat? Tentu orang itu diam-diam sudah berguru kepada tokoh sesat, pikirnya. Akan tetapi Sin Hong cepat meloncat dan melakukan pengejaran.

Kembali dia terkejut. Kiranya Phoa Hok Ci memiliki ilmu kepandaian tinggi dan mampu berlari cepat sekali! Sin Hong menemui kesulitan karena cuaca sudah mulai gelap dan ia tidak mengenal lapangan. Tidak seperti Phoa Hok Ci yang agaknya telah hafal benar akan keadaan di wilayah itu sehingga Sin Hong belum juga mampu menyusul orang yang melarikan diri, walau pun dia masih belum kehilangan jejaknya.

Phoa Hok Ci berlari cepat. Dia merasa jeri untuk melawan Sin Hong, karena dia tahu benar betapa lihainya pemuda yang pernah menjadi tamu di Ngo-heng Bu-koan itu. Dan yang amat mengecilkan hatinya adalah semua rahasianya. Ia harus bertindak cepat jika tidak ingin menemui kegagalan dalam akhir rencananya yang sudah berjalan demikian baiknya. Tanpa disadarinya, dia lari melalui dekat tempat di mana Yo Han bersembunyi menanti gurunya.

Yo Han terkejut melihat orang lari berkelebat di dekat tempat persembunyiannya. Dan dia mengenal orang itu sebagai Phoa Hok Ci! Selagi dia bangkit berdiri dan memandang keheranan ke arah larinya orang itu, tiba-tiba saja gurunya telah berada di dekatnya.

“Kau melihat orang yang lari tadi?” tanya gurunya.
“Phoa Hok Ci?”
“Benar! Kau melihat dia?”
“Dia lari ke sana, Suhu!” Yo Han menunjuk ke arah selatan.
“Kau tunggu di sini, aku akan mengejarnya! Dialah orang ke tiga itu!” Berkata demikian, Sin Hong berkelebat dan lenyap ditelan kegelapan malam.

Yo Han berdiri termangu-mangu. Ternyata dugaannya benar. Dua pihak itu telah diadu domba oleh murid Ngo-heng Bu-koan sendiri. Dia tidak tahu apa sebabnya dan dia merasa menyesal mengapa dia tidak memiliki kepandaian sehingga tidak mampu ikut pula mengejar. Akan tetapi, menanti di situ seorang diri saja juga amat tidak enak, maka dia pun lalu melangkah meninggalkan tempat persembunyiannya, menuju ke selatan, ke arah larinya Phoa Hok Ci yang dikejar suhu-nya.

Oleh karena malam itu gelap, langit hanya dipenuhi bintang-bintang yang mengeluarkan cahaya remang-remang, dan dia sama sekali tak mengenal jalan. Yo Han harus berjalan dengan hati-hati agar jangan sampai terjeblos ke dalam jurang. Dia meraba-raba, akan tetapi terus menuju ke selatan.

Sementara itu, Sin Hong juga menghadapi kesukaran untuk dapat menangkap orang yang dikejarnya. Kegelapan malam dan asingnya tempat itu baginya membuat dia jauh kalah cepat bergerak dibandingkan Phoa Hok Ci, meski kalau mereka berdua berlomba lari cepat, tentu Sin Hong akan menang. Bahkan setelah memasuki sebuah hutan yang keadaannya lebih gelap lagi, dia kehilangan jejak murid Ngo-heng Bu-koan itu.

Akan tetapi tiba-tiba ia melihat dinding putih agak jauh di depan. Agaknya ada bangunan di depan dan kebetulan bangunan itu berada di tempat terbuka sehingga dindingnya dapat nampak keputihan di bawah sinar ribuan bintang di langit. Sin Hong cepat menuju ke dinding putih itu dan tak lama kemudian tibalah dia di depan sebuah kuil!

Sebuah kuil tua di tengah hutan. Siapa tahu orang yang dikejarnya bersembunyi di kuil itu, pikirnya dan dengan tenang namun hati-hati sekali Sin Hong menghampiri kuil dan masuk ke pekarangan kuil itu.

Sebelum ia masuk ke ruangan depan, ia memperhatikan keadaan sekelilingnya. Sunyi saja di tempat itu, akan tetapi tiba-tiba ia berhenti dan pendengarannya yang amat tajam itu dapat menangkap gerakan lirih di sebelah dalam kuil tua. Kemudian, pada saat ia menunduk sambil mendengarkan, matanya dapat melihat pula beberapa batang kayu kering berserakan.

Ini hanya dapat terjadi, jika ada orang di dalam kuil itu yang mengumpulkan kayu kering dan membawanya ke dalam kuil karena di tempat dia berdiri, yaitu di pekarangan depan kuil itu, tidak ada pohon sehingga ranting kayu itu tentu dibawa orang ke situ.

Dia semakin waspada. Ada orang di dalam kuil, pikirnya, atau kalau suara tadi bukan gerakan orang melainkan tikus atau binatang setidaknya kuil itu pernah didatangi orang dan orang itu mengumpulkan kayu kering untuk membuat api unggun!

Sin Hong melangkah masuk ruangan depan dan hidungnya lalu berkembang kempis. Penciumannya juga sangat tajam dan dia mencium bau hangus, bau api unggun yang baru saja dipadamkan. Mungkin kalau cuaca tidak begitu gelap, akan dapat nampak asapnya.

Dia semakin waspada dan tiba-tiba saja dia melempar tubuh ke samping. Untung dia bergerak cepat karena dari depan dan belakangnya ada pedang dan tombak yang menyambar amat ganas dan cepatnya. Kalau dia tidak melempar tubuh ke samping, satu di antara dua buah senjata itu pasti akan mengenai tubuhnya. Dia menjatuhkan diri dan bergulingan, lalu melompat bangun.
Ketika dia bergulingan tadi, dia sengaja berguling ke luar sehingga kini dia berdiri di pekarangan kembali. Dan dari ruangan depan yang gelap itu berloncatan dua orang. Yang seorang memegang sebatang pedang dan dia itu bukan lain adalah Phoa Hok Ci! Ada pun orang yang memegang tombak adalah seorang kakek yang berumur enam puluh tahun, berambut riap-riapan panjang, mukanya seperti seekor singa, pakaiannya seperti jubah pertapa yang tebal dan matanya mencorong.

“Heh-heh-heh, inikah pendekar muda sombong yang mengancammu itu, Hok Ci?”
“Benar, Suhu, dia berbahaya sekali, dan dia bukan hanya mengancam aku, akan tetapi juga Suhu dan rencana kita akan gagal sama sekali kalau dia dibiarkan hidup lebih lama lagi.”
“Ha-ha-ha, jangan khawatir. Serahkan saja dia padaku, akan kuhabiskan dia sekarang juga!” Kakek bermuka singa itu tertawa sambil menancapkan tombaknya di salah satu dinding. “Kau pasang saja lampu penerangan agar lebih mudah aku membunuh dia!”

Agaknya kakek itu tinggi hati sekali dan dia sudah dapat memastikan bahwa dia akan mampu membunuh pemuda yang mengejar muridnya itu. Bahkan dia berlaku demikian sombongnya untuk menyimpan tombaknya dan menghadapi Sin Hong dengan tangan kosong! Akan tetapi begitu dia menyerang dengan kedua lengan dipentang dan tangan yang berbentuk cakar itu menerkam dari kanan kiri, maklumlah Sin Hong bahwa orang ini sombong bukan hanya lagak belaka, melainkan karena memang dia amat lihai.....

Kakek bermuka singa ini memang bukanlah orang sembarangan. Dia adalah seorang pertapa yang memiliki kesaktian dan berjuluk Hoan Saikong, dan baru beberapa tahun saja dia meninggalkan tempat pertapaannya di Pegunungan Thai-san di mana selama puluhan tahun dia bertapa dan mematangkan ilmu-ilmunya. Dia turun gunung dan hidup sebagai seorang pertapa yang mengharapkan makanan dari sedekah para dermawan.

Tapi agaknya puluhan tahun bertapa itu sama sekali tidak mengubah dasar wataknya, dan ternyata setelah berada di dunia ramai, sebentar saja dia sudah kembali menjadi hamba nafsu-nafsunya seperti sebelum dia bertapa. Memang pada waktu muda dahulu Hoan Saikong terkenal sebagai seorang perampok tunggal yang amat kejam.

Phoa Hok Ci secara kebetulan saja bertemu dengan Hoan Saikong empat tahun yang lalu. Dia melihat betapa saktinya kakek ini, maka segera didekatinya dan dengan royal dia memberi pakaian dan makan minum kepada kakek itu, bahkan melihat betapa kakek itu tidak pantang bermain dengan wanita, Phoa Hok Ci lalu mencarikan gadis panggilan untuk menyenangkan hatinya.

Hoan Saikong merasa senang dan dia mau menerima Phoa Hok Ci sebagai muridnya, asal Phoa Hok Ci dapat mencukupi semua kebutuhannya. Kemudian, setelah pergaulan mereka sebagai guru dan murid semakin akrab, mereka merencanakan sesuatu yang akan mendatangkan keuntungan bagi keduanya.

Phoa Hok Ci tergila-gila kepada Siang Cun, puteri gurunya sendiri, akan tetapi gurunya tidak suka menerimanya sebagai calon mantu, bahkan sudah menerima pinangan pihak Kim-liong-pang. Hal ini membuat Phoa Hok Ci penasaran dan dia lalu berunding dengan gurunya yang baru, gurunya yang dia rahasiakan dari siapa pun juga.

Di dalam perundingan inilah keduanya merencanakan siasat mereka mengadu domba antara Kim-liong-pang dan Ngo-heng Bu-koan. Kalau mereka berhasil, maka pertalian jodoh antara Siang Cun dan Ciok Lim akan putus, dan ada harapan Siang Cun akan menjadi isteri Phoa Hok Ci. Dan harapan lain bagi Hoan Saikong adalah untuk merebut dan menguasai Kim-liong-pang di mana dia akan menjadi ketua yang baru sehingga namanya akan terangkat tinggi dan dia akan menjadi seorang pangcu yang terhormat.

Hal ini tidak akan sukar dilakukan kalau Kim-liong-pang sudah menjadi lemah karena permusuhannya dengan Ngo-heng Bu-koan. Tentu saja dengan bantuan Hoan Saikong yang lihai, mudah bagi Phoa Hok Ci untuk melakukan pembunuhan-pembunuhan pada ke dua pihak dan mengadu domba mereka. Dan sebagai awal siasat keji itu, dengan kejam sekali dia memperkosa dan membunuh sumoi-nya sendiri, Bong Siok Cin, setelah berhasil mencuri topi dari Ciok Lim yang baru saja dijamu oleh calon mertuanya sampai setengah mabuk. Dalam keadaan setengah mabuk itu, mudah saja bagi Phoa Hok Ci dan Hoan Saikong untuk mencuri topinya tanpa dia ketahui.

Demikianlah sedikit mengenai Hoan Saikong yang kini berhadapan dengan Sin Hong. Ketika Phoa Hok Ci melihat bahwa Sin Hong mendengarkan percakapannya dengan sute-nya sebelum sute itu dibunuhnya, dia menjadi kaget dan juga khawatir sekali. Maka dia pun teringat kepada gurunya itu dan dia sengaja memancing Sin Hong ke kuil tua itu di mana terdapat Hoan Saikong yang segera siap untuk membantu muridnya.

Kini, dia berhadapan dengan Sin Hong, dan karena kesombongannya, dia menghadapi Sin Hong dengan tangan kosong, mengira bahwa dengan mudah saja dia akan dapat membunuh lawan yang agaknya ditakuti muridnya itu.

Namun dia kecelik! Tubrukan dengan kedua lengan mencengkeram dari kanan kiri itu hanya mengenai angin saja. Tiba-tiba kaki Sin Hong menggeser ke samping dan tangan kirinya cepat menotok ke arah lambung lawan. Gerakan pemuda itu demikian cepatnya, merupakan serangan balasan yang serentak sehingga Hoan Saikong juga cepat-cepat harus menarik tangannya dan menangkis sambil mencoba untuk mencengkeram lengan Sin Hong.

“Dukkk!”

Tangkisan itu membuat tubuh Hoan Saikong tergetar hebat dan tentu saja dia tidak jadi mencengkeram karena lengannya sendiri sudah ditarik saking kagetnya melihat betapa lawan yang amat muda itu memiliki tenaga yang luar biasa kuatnya. Dari pertemuan lengan itu Hoan Saikong dapat menduga bahwa meski lawannya itu masih amat muda, akan tetapi tidak seperti yang diduganya, bukan seorang lawan yang boleh dipandang ringan.

Hoan Saikong kemudian mengeluarkan suara menggereng seperti harimau dan kini dia menyerang lagi dengan dahsyat, sambil mengerahkan semua tenaganya. Dan tahulah Sin Hong ketika melihat gerakan kaki tangan lawan bahwa kakek itu adalah seorang ahli silat dengan gaya harimau. Akan tetapi bukan sembarang Hauw-kun (Silat Harimau).

Memang banyak macamnya silat harimau diciptakan oleh perguruan silat yang berbeda aliran, walau pun pada dasarnya ada persamaan yaitu dengan meniru ketangkasan dan kegesitan harimau. Akan tetapi gaya silat harimau yang dimainkan oleh kakek bermuka singa ini sungguh dahsyat sekali, bahkan jauh lebih berbahaya dari pada melawan seekor harimau tulen!

Kedua tangan kakek itu membentuk cakar harimau yang amat kuat, dan walau pun kuku-kuku jari tangannya tidak panjang melengkung dan kokoh seperti kuku harimau, namun jari-jari tangannya itu mengandung sinkang kuat sekali dan cengkeraman kedua tangannya dapat menembus batang pohon, bahkan batu karang. Dapat dibayangkan betapa kulit daging akan koyak-koyak, tulang akan remuk kalau terkena cengkeraman kedua tangan yang membentuk cakar itu!

Akan tetapi sekali lagi kakek itu kecelik. Yang dilawannya sekarang bukanlah seorang pendekar biasa, melainkan seorang pemuda yang memiliki ilmu kepandaian tinggi yang sudah mewarisi ilmu-ilmu kesaktian dari para penghuni Istana Gurun Pasir!

Ketika Sin Hong melihat betapa lawannya menggunakan ilmu silat harimau yang sangat dahsyat, yang sambaran angin dari kedua tangan itu saja sudah mendatangkan hawa panas dan sangat berbahaya, dia pun maklum bahwa dia berhadapan dengan seorang sakti. Maka, dia pun cepat-cepat mengerahkan tenaga dan memainkan ilmu silat Pek-ho Sin-kun, yaitu ilmu gabungan dari ketiga orang gurunya.

Ilmu silat ini memang hebat bukan main, bukannya seperti ilmu-ilmu silat Ho-kun (Silat Bangau) biasa saja. Biar pun gaya dasarnya meniru gerakan burung bangau putih yang indah dan lemas di samping kekuatan dan kecepatan burung itu, akan tetapi intinya mengandung perasan dari ilmu-ilmu yang dikuasai tiga orang tua sakti itu! Bahkan untuk mempelajari ilmu silat sakti ini, Sin Hong terlebih dahulu menerima pengoperan sinkang gabungan dari tiga orang gurunya, dan untuk bisa berhasil menguasai ilmu itu dengan sempurna, dia bahkan harus bertapa selama setahun, tidak boleh mengerahkan tenaga sedikit pun karena hal ini akan dapat menewaskannya.

Begitu Sin Hong menghadapi Houw-kun yang amat hebat dari kakek itu dengan Pek-ho Sin-kun, kakek itu kembali terkejut. Gerakan dua lengan pemuda itu yang mirip dengan gerakan leher dan kepala burung bangau, mengandung hawa pukulan yang kuat sekali. Setiap kali mereka beradu lengan, Hoan Saikong lantas terdorong ke belakang seperti diserang angin taufan!

“Haaauuuwww...!”

Tiba-tiba Hoan Saikong mengeluarkan suara gerengan yang sangat dahsyat. Gerengan ini mengandung khikang yang kuat dan kalau lawannya bukan Sin Hong, sedikit banyak tentu akan terpengaruh oleh getaran suara menggereng ini. Dan sambil menggereng, kakek itu menubruk ke depan, cakar kanannya mencakar ke arah ubun-ubun kepala Sin Hong, cakar kiri dari samping mencakar perut. Gerakannya cepat dan amat kuat, kedua cakar itu ketika menyambar mendatangkan angin keras.

Sin Hong maklum akan bahayanya serangan ini, maka dia pun melangkah ke belakang. Tubuhnya ditarik ke belakang dan kedua tangannya menyambut serangan itu dengan tangkisan kedua lengan yang dikembangkan dari tengah, yang kiri mendorong ke atas dan yang kanan mendorong ke bawah.

“Dukkk! Dukkk!”

Dua pasang lengan bertemu dan kembali tubuh kakek itu terdorong ke belakang. Tetapi dengan cepat Hoan Saikong kini menubruk ke depan, bukan hanya kedua tangan yang bergerak seperti sepasang kaki depan harimau untuk mencakar, juga mulutnya dibuka lebar seperti harimau yang hendak menggigit. Namun kakek ini tidak menggigit karena giginya pun sudah banyak yang ompong, melainkan menggunakan kepalanya untuk menyeruduk ke arah dada lawan! Serangan kedua tangan dan kepala ini memang lebih dahsyat dari pada tadi, dan tubuhnya meluncur seperti harimau meloncat.

Dengan ringan sekali, tiba-tiba tubuh Sin Hong meloncat ke atas seperti seekor burung terbang. Tubrukan Hoan Saikong lewat di bawahnya dan kini tubuh Sin Hong berjungkir balik membuat salto, kemudian dengan kepala di bawah, tubuhnya meluncur ke bawah, tangannya membentuk paruh burung yang menotok ke arah tengkuk dan pundak Hoan Saikong!

Hoan Saikong mengeluarkan seruan kaget. Tak disangkanya bahwa serangannya yang dilakukan dengan seluruh tenaganya itu selain gagal sama sekali, juga berbalik, bahkan kini lawan yang menyerangnya dari atas. Dan serangan dua totokan dari atas itu hebat bukan main. Hoan Saikong melempar tubuhnya ke atas lantai dan bergulingan menjauh sehingga serangan Sin Hong itu pun luput.

Ketika melihat lawannya menyambar tombak dan kini menyerangnya dengan tombak, Sin Hong cepat mengatur langkah dan mengelak ke sana-sini dengan ringannya. Kedua kakinya bagai kaki burung bangau, melangkah ringan tanpa mengeluarkan suara namun selalu dapat menghindarkan sambaran ujung mata tombak yang berkelebatan.

Namun kini Phoa Hok Ci sudah maju mengeroyok dengan menggunakan pedangnya. Sebagai murid pertama dari Ngo-heng Bu-koan, apa lagi telah menerima gemblengan selama empat tahun dari Hoan Saikong, tingkat kepandaian Phoa Hok Ci ini tidak boleh dipandang ringan dan begitu dia maju mengeroyok, Sin Hong dihujani serangan tombak dan pedang.

Jika saja Si Bangau Putih, demikian julukan Sin Hong, menghendaki, agaknya dia akan mampu merobohkan dua orang pengeroyoknya itu dengan ilmunya yang tinggi. Namun, dia tidak bermaksud membunuh mereka, bahkan dia harus dapat menangkap Phoa Hok Ci hidup-hidup, oleh karena orang inilah yang dapat dijadikan kunci perdamaian antara Kim-liong-pang dan Ngo-heng Bu-koan dan melenyapkan kesalah pahaman yang timbul karena fitnah yang disebarkan oleh Phoa Hok Ci. Karena hendak menangkap Phoa Hok Ci, maka Sin Hong tidak mau melakukan serangan mautnya. Ia menunggu kesempatan untuk dapat menangkap pengkhianat itu.

Setelah menghadapi serangan dua orang bersenjata itu dengan hanya mengandalkan kelincahan gerakannya, sambil menunggu kesempatan baik, akhirnya Sin Hong melihat terbukanya kesempatan. Dia berhasil menangkap tombak di tangan Hoan Saikong, lalu mengerahkan tenaga menarik sehingga lawannya itu ikut tertarik, dan dengan gagang tombak yang masih dipegangnya itu, Sin Hong menangkis pedang Phoa Hok Ci yang menyambar, berbareng dia mengirim tendangan kilat ke arah lutut kaki kiri Phoa Hok Ci.

Orang ini terkejut, namun masih sempat meloncat ke samping sehingga yang terkena tendangan hanya betisnya, namun cukup membuat dia terpelanting dan Sin Hong yang menarik tombak, lalu membalikkan tubuhnya sambil tangan kirinya menampar ke arah kepala Saikong itu.

Hoan Saikong cepat memutar tombaknya terlepas dari pegangan Sin Hong, dan sambil mengelak dengan merendahkan tubuhnya dan menggeser kaki ke kiri, Hoan Saikong menggerakkan tombaknya untuk menusuk perut lawannya! Tusukan yang sangat cepat datangnya itu dielakkan oleh Sin Hong yang memiringkan tubuhnya dan ketika tombak meluncur lewat dekat pinggang, dia mengerahkan tenaga dan memukul dengan tangan miring ke arah gagang tombak.

“Krekkk!” Tombak itu pun patah menjadi dua potong!

Hoan Saikong terkejut dan melompat ke dalam kuil, menyusul muridnya yang sudah lebih dulu melarikan diri setelah tadi betisnya kena ditendang oleh Sin Hong.

“Phoa Hok Ci, hendak lari ke mana kau?” Sin Hong membentak dan cepat melompat ke dalam kuil melakukan pengejaran.

Setelah mencari-cari, dia melihat Hoan Saikong berdiri menantinya di ruang belakang, sebuah ruangan kecil yang cukup terang karena di sudut dinding tergantung sebuah lampu dinding yang cukup terang. Melihat ini, Sin Hong merasa curiga. Dia bukan orang bodoh.

Jika musuh yang telah melarikan diri dan dikejarnya kini menantinya di sebuah ruangan yang diterangi lampu, maka hal ini patut dicurigakan. Mungkin ada sebuah perangkap, pikirnya, maka dia pun melangkah masuk dengan hati-hati dan penuh kewaspadaan. Mungkin Phoa Hok Ci yang tidak nampak akan menyerangnya dengan senjata rahasia.

Akan tetapi, tidak terjadi sesuatu ketika dia melangkah masuk dan dia pun berkata kepada kakek itu, “Locianpwe, di antara kita tidak ada permusuhan. Aku tidak mengenal Locianpwe dan sebaliknya Locianpwe pun tidak mengenalku. Aku hanya ingin mengajak Phoa Hok Ci untuk pulang ke Ngo-heng Bu-koan untuk membuat pengakuan tentang semua perbuatannya mengadu domba antara Kim-liong-pang dan Ngo-heng Bu-koan. Serahkan Phoa Hok Ci dan aku akan pergi dari sini, tidak akan mengganggu Locianpwe lebih lama lagi.”

Akan tetapi, sebagai jawaban, Hoan Saikong mengelebatkan pedangnya dan langsung menyerang Sin Hong dengan permainan pedang yang amat dahsyat dan cepat. Kiranya kakek ini tadi melarikan diri karena tombaknya patah, dan kini sudah berganti senjata pedang yang juga dapat dimainkannya dengan cepat sekali.

Sin Hong menjadi amat penasaran dan marah. Orang ini agaknya hendak mati-matian membela muridnya yang jelas telah melakukan perbuatan yang amat keji! Kalau dia tidak lebih dulu merobohkan orang ini dengan cepat, tentu akan sukar untuk menangkap Phoa Hok Ci.

Karena itu, begitu lawan menyerangnya, Sin Hong menggunakan kecepatan gerakan tubuhnya, mengelak sambil membalas dengan cepat dan dahsyat sekali. Totokan demi totokan yang amat cepat dia lancarkan ke arah lengan yang memegang pedang dan bagian anggota lain sehingga Hoan Saikong yang menggunakan pedang itu sebaliknya malah terdesak hebat oleh Sin Hong. Dan karena selama perkelahian itu tidak terjadi sesuatu yang mencurigakan, tidak ada senjata rahasia dilepaskan dari temat gelap, maka Sin Hong menjadi agak lengah dan kecurigaannya tadi menipis.

Pada saat dia mendesak terus dan perkelahian itu terjadi dengan sengitnya di tengah ruangan yang tidak luas itu, mendadak Hoan Saikong mengeluarkan teriakan nyaring sekali, tetapi teriakan ini bukan untuk melakukan serangan, melainkan untuk melompat pergi dari ruangan itu! Dan teriakan itu juga merupakan isyarat kepada Phoa Hok Ci untuk bertindak karena tiba-tiba saja lantai ruangan yang diinjak oleh kaki Sin Hong terbuka ke bawah!

Sin Hong terkejut sekali. Cepat tangannya meraih dan dia masih dapat menangkap kaki Hoan Saikong yang hendak meloncat pergi dari ruangan itu. Kalau saja Hoan Saikong melanjutkan loncatannya, tentu dia dan juga Sin Hong akan dapat keluar dari ruangan itu.

Akan tetapi, Hoan Saikong agaknya terkejut dan tidak menyangka bahwa pemuda yang menjadi lawannya itu masih sempat menangkap kakinya. Dengan marah dia kemudian menusukkan pedangnya ke arah leher Sin Hong. Melihat ini, Sin Hong mengerahkan sinkang pada tangan kirinya dan dengan tangan miring dia menyampok dan memukul ke arah pedang yang melakukan serangan maut itu.

“Plakkk!”

Pedang itu terlepas dari pegangan Hoan Saikong, akan tetapi karena gerakan-gerakan itu, loncatannya kehilangan tenaga dan tubuh mereka berdua tanpa dapat dicegah lagi meluncur jatuh ke dalam lubang di ruangan itu!

Melihat betapa dia bersama lawannya terjeblos ke bawah, Sin Hong cepat melepaskan pegangannya pada kaki lawan. Dia pun segera mengerahkan seluruh tenaganya untuk meringankan tubuhnya. Biar pun Hoan Saikong juga melakukan ini, namun karena dia nampak ketakutan sekali, maka ginkang (ilmu meringankan tubuh) yang dikerahkannya menjadi berantakan dan tubuhnya meluncur lebih cepat dari pada Sin Hong ke dalam lubang yang dalam dan gelap itu.

Diam-diam Sin Hong merasa kaget juga melihat betapa lamanya dia tiba di dasar lubang jebakan itu, tanda bahwa lubang itu cukup dalam! Terdengar jerit mengerikan dari Hoan Saikong di sebelah bawah ketika tubuh kakek itu lebih dulu tiba di dasar lubang, teriakan kematian!

Sin Hong mengerahkan ginkang-nya dan ia memandang ke bawah, melihat garis bentuk tubuh Hoan Saikong rebah meringkuk ke bawah. Dengan hati-hati sekali Sin Hong lalu mengarahkan kedua kakinya menginjak tubuh itu. Untung dia melakukan hal ini karena ternyata bahwa dasar lubang yang sempit itu penuh dengan tombak-tombak runcing yang siap menerima tubuhnya! Tubuh mayat Hoan Saikong telah menyelamatkannya! Dia dapat hinggap di atas tubuh itu dan terbebas dari tusukan tombak-tombak itu.

Pantas saja Hoan Saikong tadi mengeluarkan teriakan ketakutan saat terjatuh. Agaknya dia sudah tahu akan keadaan sumur maut ini, dan begitu terjatuh, tubuhnya diterima tombak-tombak itu hingga tewas seketika.

Sin Hong meraba ke kanan kiri. Kedua tangannya menyentuh dinding sumur yang licin sekali, penuh lumut. Tidak mungkin merangkak ke atas menggunakan sinkang karena dinding itu licin bukan main. Meloncat ke atas? Sama sekali tidak mungkin!

Ketika dia melihat ke atas, nampak lubang itu, lubang di tengah ruangan yang nampak samar-samar diterangi lampu di dinding ruangan itu. Lalu nampak kepala orang di tepi sumur. Dari bawah pun dia dapat melihat bahwa itu adalah kepala Phoa Hok Ci!

Dia menahan napas dan tidak bergerak. Biarlah dia disangka mati seperti kakek itu, karena kalau Phoa Hok Ci mengetahui bahwa dia masih hidup, mungkin orang itu akan menyerangnya dengan melemparkan sesuatu dan hal ini berbahaya sekali. Kemudian, dia mendengar suara Phoa Hok Ci tertawa. Agaknya orang itu girang dan mengira dia telah mati. Murid itu agaknya sama sekali tidak merasa berduka biar pun gurunya juga mati di dalam lubang jebakan ini. Hal ini saja menunjukkan betapa buruknya watak laki-laki itu. Kepala Phoa Hok Ci lenyap dan penerangan di atas padam. Suasana kembali menjadi gelap gulita.

Sin Hong masih berdiri di atas mayat Hoan Saikong yang tertusuk tombak-tombak itu. Meloncat ke atas tidak mungkin. Merayap melalui dinding lubang itu pun tidak mungkin. Tanpa bantuan orang dari atas, tidak mungkin dia naik ke atas! Dalam keadaan gelap gulita itu, menyelidiki keadaan di dasar lubang itu pun tidak mungkin. Tidak ada jalan lain baginya kecuali menanti sampai malam itu lewat dan ada sinar matahari menerangi dasar lubang itu agar dia bisa menyelidiki dan mencari jalan keluar. Terpaksa dia harus menanti.

“Locianpwe, maafkan aku.” bisiknya kepada mayat di bawahnya dan dia pun dengan hati-hati duduk bersila di atas tubuh mayat yang masih hangat itu.....

********************
Sementara itu, Yo Han mencari-cari gurunya. Setelah keluar masuk hutan kecil, dia menjadi bingung. Dia tidak tahu ke mana harus mencari gurunya, dan untuk kembali ke tempat tadi dia pun tidak mampu lagi. Malam terlalu gelap dan dia tidak mengenal daerah itu.

Biar pun hatinya bingung sekali namun Yo Han tidak berani memanggil nama gurunya. Dia tahu bahwa gurunya sedang mengejar orang, dan mungkin orang itu bersembunyi dan gurunya sedang mencari-cari. Kalau dia membuat gaduh, mungkin akan dapat menggagalkan usaha gurunya itu. Dia mencari terus, keluar masuk hutan dan semalam suntuk dia tidak pernah berhenti.

Sampai keesokan harinya, setelah sinar matahari mengusir kegelapan malam, Yo Han memasuki sebuah hutan dan dia melihat sebuah kuil tua. Dimasukinya pekarangan kuil itu. Anak yang cerdik ini melihat adanya jejak-jejak kaki di tanah pekarangan. Hatinya menjadi tegang, apa lagi pada waktu dia tiba di ruangan depan kuil tua itu dan melihat lantainya. Jelas di tempat itu ada tanda-tanda bahwa baru saja terjadi perkelahian di situ.

Dengan hati-hati dia masuk ke dalam. Kuil itu sunyi dan tidak nampak seorang pun, juga tak terdengar ada suara orang. Hatinya terasa kecut dan mulailah ia khawatir. Gurunya sudah semalam suntuk mengejar orang, kenapa belum juga kembali? Ataukah mungkin sudah kembali dan tidak bertemu dengan dia? Ah, bagaimana kalau sampai dia tersesat dan tidak akan berjumpa kembali dengan gurunya? Mungkin sekarang gurunya, seperti dia, juga sedang mencari-cari dia.

“Suhuuuuu...!“ Akhirnya dia tidak dapat menahan kegelisahan hatinya lagi dan berteriak memanggil gurunya sambil menjenguk ke dalam kuil. Suaranya nyaring dan karena kuil itu merupakan bangunan yang cukup besar dan kosong, suaranya bergema.

“Suhuuuuu...!” Sekali lagi dia memanggil, lebih kuat karena dia seperti mendapat firasat bahwa gurunya berada di sekitar tempat itu.

Tiba-tiba terdengar jawaban yang membuat Yo Han hampir meloncat saking kaget dan girangnya. “Yo Han...! Engkaukah itu...?”

Suara ini jelas sekali, akan tetapi terdengar dengan bunyi gaung yang aneh sehingga dia tak mengenal apakah itu suara gurunya atau bukan dan datangnya dari arah dalam kuil!

“Suhuuuuu...! Suhu, di manakah engkau?” Yo Han masuk ke dalam kuil itu sampai ke ruangan dalam.
“Di ruangan belakang, Yo Han. Masuklah terus ke belakang sampai ada ruangan yang lantainya terbuka. Hati-hati, jangan sampai terjatuh ke bawah. Aku terjebak di bawah sini!”

Yo Han merasa girang bukan main menemukan gurunya. Cepat ia maju dan ketika tiba di ruangan yang dimaksudkan, ia melihat betapa lantai ruangan ini memang terbuka ke bawah. Ia mendekat sampai di tepi lubang dan melongok ke dalam. Akan tetapi karena ruangan itu terang dengan cahaya matahari sedangkan lubang itu sempit dan dalam, yang nampak hanyalah kegelapan menghitam saja.

Akan tetapi Sin Hong dapat melihat kepala muridnya dan hatinya girang bukan main. Girang dan juga kagum. Bagaimana anak itu bisa menemukannya? Dia sejak tadi sudah mencari-cari jalan keluar, akan tetapi agaknya tidak ada jalan keluar dari tempat itu kecuali kalau ada yang datang menolongnya! Dan kuil tua itu tentu jarang didatangi orang, dalam sebuah hutan sunyi lagi. Diam-diam dia bergidik. Haruskah dia mati di tempat itu? Dan, sebelum mati, dia akan tersiksa oleh bau mayat membusuk!

“Suhu, apakah Suhu berada di bawah sana?” Yo Han berteriak. Dia berusaha keras menggunakan penglihatannya menembus kegelapan di bawah.
“Yo Han, dengarkan baik-baik. Aku terjeblos di sini dan tidak akan dapat naik tanpa bantuanmu. Kau pergilah cari tali yang panjangnya paling sedikit lima belas tombak. Kumpulkan akar-akar gantung dan sambung-sambung sampai panjang, lalu turunkan ke sini. Cepat!”
“Baik, Suhu. Teecu pergi mencari!” kata Yo Han.

Anak yang cerdik ini tak mau banyak cakap lagi, kemudian keluar dari ruangan itu dan sebelum mencari keluar kuil untuk mengumpulkan akar gantung, dia lebih dulu mencari-cari di dalam kuil dan di belakang.

Usahanya berhasil. Dia menemukan tali yang panjangnya ada lima tombak. Karena permintaan suhu-nya harus yang panjangnya paling sedikit lima belas tombak, Yo Han lalu keluar dan mulai mengumpulkan akar gantung dari pohon-pohon besar.

Untunglah bahwa selama menjadi murid Sin Hong, biar pun dia belum dilatih ilmu silat, namun jasmaninya sudah digembleng sehingga dia memiliki tubuh yang kuat, tenaga besar dan juga tahan uji sehingga biar pun pekerjaan ini amat berat bagi seorang anak kecil seperti dia, akan tetapi akhirnya setelah matahari naik tinggi, berhasillah Yo Han menyambung-nyambung akar gantung yang kuat sampai sepanjang lima belas tombak lebih.

Sementara itu, dapat dibayangkan betapa tegang rasa hati Sin Hong. Setelah melihat munculnya Yo Han yang akan menolongnya, hati tegang bukan main, jauh lebih tegang dan bahkan mulai khawatir kalau-kalau muridnya itu gagal menolongnya. Akan tetapi dia percaya kepada Yo Han.

Anak itu cerdik sekali, dan andai kata dia sendiri tidak mampu menolong, tentu Yo Han akan memperoleh akal untuk minta bantuan orang-orang dusun. Kepercayaan ini dapat menenteramkan hatinya.

Dia sudah merasa tidak enak sekali harus duduk bersila di atas tubuh mayat itu. Setelah ada cahaya terang remang-remang memasuki lubang, dia mendapat kenyataan bahwa lubang yang di bagian dasarnya sempit ini memang tidak ada tempat baginya untuk berdiri atau duduk!

Dasar itu penuh dengan tombak-tombak runcing yang ditanam dengan ujung runcingnya menghadap ke atas! Maka boleh dikatakan bahwa Hoan Saikong telah menyelamatkan dirinya! Kalau tidak ada mayat Hoan Saikong di atas tombak-tombak itu, entah bagai mana dia akan dapat terbebas dari maut di dasar lubang jebakan ini!

Terkutuk Phoa Hok Ci yang kejam. Teringat akan orang itu tiba-tiba Sin Hong merasa khawatir sekali. Orang itu telah ketahuan rahasianya. Walau pun menyangka dia tentu telah tewas di dalam lubang jebakan, mungkin orang itu akan melakukan rencananya yang terakhir! Menghancurkan kedua perkumpulan itu dan merampas Bhe Siang Cun sebagai isterinya! Dan orang itu sudah berkeliaran selama semalam dan setengah hari ini!

“Suhuuuuu...!”

Panggilan itu membuat Sin Hong yang sedang melamun tersentak dan dia memandang ke atas. Nampak kepala muridnya di sana.

“Yo Han, apakan engkau sudah mendapatkan tali itu?”
“Sudah, Suhu, akan teecu turunkan perlahan-lahan!”
“Baik, muridku. Turunkanlah dan ikatkan ujung yang di atas pada tiang yang kuat.”

Yo Han sudah mengikatkan ujung tali itu pada tiang yang kokoh dan sekarang dia menurunkan ujung yang lain perlahan-lahan ke bawah. Perkiraan Sin Hong memang tepat. Ujung tali itu menyentuhnya dan hanya kelebihan panjang satu meter saja! Sin Hong mencoba kekuatan tali itu dengan menarik-nariknya dari bawah. Tahulah dia bahwa tali itu memang kokoh kuat dan dia semakin kagum saja kepada Yo Han.

“Sudah habis, Suhu! Apakah ujungnya sampai di sana?”
“Sudah. Aku siap untuk memanjat naik, Yo Han!”

Sin Hong lalu memanjat tali itu dengan mudahnya dan akhirnya dia meloncat naik. Yo Han girang sekali dan memegang lengan suhu-nya, sebaliknya Sin Hong merangkulnya.

“Untung engkau datang, Yo Han. Sekarang mari, jangan membuang waktu di sini. Kita tidak tahu apa yang akan dilakukan oleh Phoa Hok Ci yang jahat itu!” berkata Sin Hong dan dia pun melongok ke dalam lubang sambil berkata, “Locianpwe, terima kasih atas pertolongan jenazahmu, beristirahatlah dengan tenang!”

Sin Hong kemudian memondong tubuh Yo Han. Digendongnya anak itu dan dia pun menggunakan ilmunya berlari cepat meninggalkan kuil. Di sepanjang perjalanan dengan singkat Sin Hong menceritakan apa yang telah terjadi sejak dia meninggalkan muridnya. Mendengar cerita suhu-nya, Yo Han terkejut.

“Wah, kiranya Phoa Hok Ci itu jahat sekali dan dialah orang ke tiga yang mengadu domba. Wah, kalau Suhu terlambat, mungkin terjadi mala petaka di kedua pihak.”
“Karena itu, kita harus cepat berkunjung ke Ngo-heng Bu-koan di kota Lu-jiang!”

Yo Han tak berkata-kata lagi. Ia memuji kelihaian dan kecerdikan suhu-nya. Pantas tadi setelah keluar dari lubang jebakan itu, gurunya membawa tali yang menyelamatkannya dan membuang tali itu di dalam jurang di tengah perjalanan. Hal itu memang perlu. Phoa Hok Ci tentu menyangka bahwa gurunya sudah tewas di dalam lubang jebakan, maka tempat itu mungkin sekali akan menjadi tempat persembunyiannya kelak, dan kalau tali itu nampak di situ, tentu Phoa Hok Ci dapat mengetahui bahwa Sin Hong telah lolos.

Apa yang dikhawatirkan Sin Hong dan Yo Han memang terjadi. Pagi hari tadi, para murid Kim-liong-pang menemukan mayat Ciok Lim, putera ketua mereka yang dadanya masih tertusuk golok yang pada gagangnya ada ukiran Ngo-heng Bu-koan, sedangkan di sisinya menggeletak mayat seorang murid Ngo-heng Bu-koan yang tewas dengan pedang milik Ciok Lim menembus dadanya! Kedua orang itu agaknya sudah berkelahi dan akhirnya mati bersama!

Melihat puteranya tewas, tentu saja Kim-liong-Pangcu Ciok Kam Heng menjadi marah sekali. Kalau permusuhan antara murid-muridnya dengan para murid Ngo-heng Bu-koan masih ditahannya dengan sabar mengingat bahwa sebetulnya antara dia pribadi dan Bhe Gun Ek terdapat tali persahabatan yang baik, sekarang dia tidak dapat menahan kemarahannya lagi.

Putera kandungnya, putera tunggalnya, tewas dan tak mungkin dia tinggal diam saja. Ditulisnya selembar surat tantangan kepada Bhe Gun Ek untuk membereskan semua perhitungan dengan mengadu nyawa di Bukit Bambu!

Ketika Sin Hong yang menggendong Yo Han tiba di luar kota Lu-jiang, seorang murid Ngo-heng Bu-koan yang baru keluar dari pintu gerbang kota mengenalnya dan berseru, “Tan Taihiap!”

Sin Hong berhenti dan murid itu dengan sikap gugup berkata, “Suhu sedang menuju ke Bukit Bambu di sana untuk memenuhi tantangan Kim-liong Pangcu.”

Sin Hong terkejut. “Di mana?”
“Di bukit itu, di puncaknya terdapat hutan bambu.”

Mendengar hal ini, tanpa membuang waktu lagi, Sin Hong membalikkan tubuhnya dan berlari cepat sekali menuju ke bukit itu. Mudah-mudahan belum terlambat, pikirnya dengan hati tegang.

Akan tetapi, ketika dia tiba di puncak bukit itu, di atas padang rumput di tengah hutan bambu, dia melihat perkelahian sudah dimulai antara Bhe Gun Ek dan seorang laki-laki berusia kurang lebih lima puluh tahun yang bertubuh sedang dan bermata sipit. Dia dapat menduga bahwa orang ini tentulah Ciok Kam Heng, ketua Kim-liong-pang yang bersenjatakan sebatang pedang, sedang mati-matian saling serang dengan Bhe Gun Ek yang bersenjata sebatang sabuk rantai baja.

Ada belasan orang murid dari kedua pihak berdiri tegak saling berhadapan, akan tetapi agaknya guru masing-masing pihak melarang mereka mencampuri perkelahian mati-matian adu nyawa untuk mempertahankan kebenaran dan kehormatan masing-masing itu! Akan tetapi Sin Hong maklum bahwa kalau satu di antara dua orang itu roboh, tentu akan terjadi pertempuran mati-matian antara kedua pihak.

Permainan sabuk rantai baja di tangan Bhe Gun Ek yang beberapa tahun lebih muda dari lawannya itu memang hebat. Sabuk rantai diputar sedemikian rupa sehingga nampak gulungan sinar putih yang mengeluarkan suara berdesing. Namun agaknya dia menemui tanding yang setingkat. Pedang di tangan ketua Kim-liong-pang itu pun cepat dan kuat sekali sehingga berkali-kali terdengar suara berdenting disusul berpijarnya bunga api kalau kedua senjata itu bertemu.

Keduanya saling serang dan keadaan mereka masih seimbang. Akan tetapi Sin Hong maklum bahwa justru karena mereka seimbang, maka akhirnya tentu akan ada seorang di antara mereka yang roboh tewas. Tanpa mengeluarkan serangan-serangan maut, tidak mungkin di antara mereka ada yang akan keluar sebagai pemenang.

Sin Hong menyuruh Yo Han meloncat turun dan dia pun cepat meloncat ke depan, langsung memasuki medan perkelahian antara kedua orang pimpinan perkumpulan itu sambil berseru, “Kedua Loenghiong harap berhenti dulu!”

Ciok Kam Heng, pangcu dari Kim-liong-pang masih belum mengenal Sin Hong. Karena itu dia menganggap bahwa pemuda ini tentulah orang Ngo-heng Bu-koan yang hendak membantu Bhe Gun Ek, maka dia tidak peduli akan ucapan itu, bahkan pedangnya menyambar ke arah dada Sin Hong! Melihat ini, Bhe Kauwsu juga menggerakkan rantai bajanya menyerang lawannya!

Sin Hong miringkan tubuhnya dan dengan tangan kanan dia menangkap pedang yang menusuk tubuhnya itu dari samping, sedangkan tangan kirinya menangkap pula rantai baja yang menyambar ke arah tubuh ketua Kim-liong-pang! Ciok Kam Heng terkejut dan berusaha menarik pedangnya yang dicengkeram Sin Hong, namun dia gagal. Pedang itu seperti dicengkeram penjepit baja yang amat kuat!

“Harap Ji-wi suka berhenti dulu, aku mau bicara penting sekali, mengenai permusuhan Ji-wi yang menjadi akibat adu domba dan fitnah!”

Mendengar ucapan ini, kedua orang itu terkejut. Ketika Sin Hong melepaskan senjata mereka, keduanya meloncat ke belakang dan memandang kepada Sin Hong dengan mata terbelalak penuh pertanyaan.

“Tan Taihiap, apa yang kau maksudkan?” Bhe Gun Ek bertanya kaget dan heran.

Sementara itu, Ciok Kam Heng memandang dengan alis berkerut. Dia melihat bahwa lawannya telah mengenal baik pemuda pakaian putih yang amat lihai itu.

“Orang muda, siapakah engkau dan mengapa engkau mencampuri urusan kami? Apa pula maksudmu dengan fitnah dan adu domba tadi?” tanyanya dengan suara kereng.

Sin Hong menghadapi ketua Kim-liong-pang dan sekelebatan saja dia dapat melihat bahwa orang ini memiliki sikap gagah dan juga matanya menyinarkan kejujuran.

“Maaf, Pangcu. Aku bernama Tan Sin Hong dan kebetulan saja aku berkenalan dengan pihak Ngo-heng Bu-koan serta mendengar pula akan permusuhan yang timbul di antara perkumpulan Ji-wi.”
“Hemmm! Sudah lama terjadi permusunan dan aku masih menahan sabar. Akan tetapi semalam, puteraku, anakku satu-satunya, tewas pula di tangan Ngo-heng Bu-koan. Bagaimana mungkin aku mendiamkan saja? Hari ini aku harus mengadu jiwa dengan Bhe Gun Ek. Dia atau aku yang akan mati di sini demi mempertahankan kehormatan Kim-liong-pang dan membalas kematian anakku!”

“Aku mengerti, Ciok Pangcu. Aku mengerti akan semua hal itu, bahkan aku menjadi saksi utama dan pertama ketika puteramu dibunuh orang!”
“Apa? Tan Taihiap! Putera Ciok Pangcu mati dalam perkelahian melawan salah seorang muridku, dan mereka berdua itu berkelahi sampai keduanya tewas!” Bhe Kauwsu membantah.

Sin Hong tersenyum. “Tidak, Bhe Kauwsu. Mereka tidak berkelahi sampai keduanya tewas, akan tetapi mereka berdua itu dibunuh orang secara keji dan orang itulah yang mengatur agar mereka kelihatan seperti berkelahi sampai keduanya mati bersama. Aku menyaksikannya dalam hutan itu! Dan bukan hanya itu, juga semua pembunuhan yang bukan merupakan perkelahian terbuka antara kedua pihak, dilakukan oleh orang yang sama! Semenjak semula, orang itu yang telah mengatur supaya terjadi pembunuhan-pembunuhan di kedua pihak dan membuat kedua pihak saling bermusuhan, tepat seperti yang diduga oleh muridku, Yo Han. Ada orang ketiga yang mengadu domba dan melempar fitnah.”

“Ahhh...!” Ciok Pangcu berseru.
“Apa... apa maksudmu?” Bhe Kauwsu juga berseru kaget. “Dan… peristiwa pertama kali itu, ketika seorang murid perempuan perguruan kami diperkosa dan dibunuh, ketika Bong Siok Cin mati dalam keadaan menyedihkan...”

“Itu pun dilakukan oleh orang yang sama, Bhe Kauwsu! Ketika itu, mendiang Ciok Lim engkau jamu makan minum, bukan? Nah, dalam keadaan setengah mabuk ketika dia pulang, dia tidak tahu bahwa topinya dicuri orang. Pencuri topi itulah yang memperkosa dan membunuh muridmu itu, lalu sengaja meninggalkan topi Ciok Lim untuk melempar fitnah.”

“Juga atas semua pembunuhan yang dilakukan terhadap murid-murid kami?” tanya Ciok Pangcu.
“Dan juga semua pembunuhan terhadap murid Ngo-heng Bu-koan?” Bhe Kauwsu juga bertanya, hampir tidak percaya.

Sin Hong mengangguk. “Benar, semua itu dilakukan oleh orang yang sama. Aku sudah mendengar sendiri pengakuannya kepada muridmu yang akhirnya mati bersama putera Ciok Pangcu itu, Bhe Kauwsu.”

“Tapi... siapakah orang terkutuk itu?” tanya Bhe Kauwsu.
“Ya, siapa dia? Kalau memang benar seperti yang kau katakan, Tan Taihiap, kami akan mengerahkan semua kekuatan kami untuk membekuk dan menghukumnya!” teriak Ciok Pangcu pula.

Kini Sin Hong menghadapi Bhe Kauwsu dan dengan senyum sedih pemuda berpakaian putih ini berkata, suaranya lantang terdengar semua orang yang berada di situ.

“Bhe Kauwsu, bersiap-siaplah dan jangan terkejut. Orang ke tiga itu, yang melakukan pembunuhan dan menyebar fitnah untuk mengadu domba Ngo-heng Bu-koan dengan Kim-liong-pang, bukan lain adalah Phoa Hok Ci!”

“Ahhhh...!” Bhe Kauwsu berseru, juga para murid Ngo-heng Bu-koan berseru kaget dan tidak percaya. “Dia... dia... ahhh, betapa mungkin...”
“Bhe Kauwsu, aku melihat dengan mata sendiri dan mendengar dengan telinga sendiri. Bahkan semalam, setelah dia membunuh putera Ciok Pangcu dan muridmu, aku lalu mengejarnya. Akan tetapi di sebuah kuil tua, dia lalu dibantu oleh seorang kakek yang disebut gurunya. Kakek itu lihai sekali, dan ketika aku berkelahi dengan gurunya itu, aku terjebak ke dalam lubang bersama gurunya itu. Gurunya tewas dan aku pun nyaris tewas kalau tidak muncul Yo Han yang menolongku. Bhe Kauwsu, Phoa Hok Ci yang menjadi muridmu itu telah berkhianat dan menjadi ular berkepala dua yang berbahaya sekali.”

“Tapi... tapi… sungguh sukar dapat dipercaya. Dia selalu baik sekali, dan mengapa... mengapa dia melakukan hal terkutuk itu?” Bhe Kauwsu berseru.
“Biarlah lain kali saja kuceritakan, Bhe Kauwsu. Sekarang yang paling penting kita cepat kembali ke perguruan Ngo-heng Bu-koan untuk mencari dan menangkapnya!” kata Sin Hong.
“Engkau benar! Aku sendiri yang akan membekuk batang leher keparat itu, dan akan kudengar sendiri pengakuannya!” bentak Bhe Kauwsu dengan muka merah sekali.
“Aku pun akan ikut menangkap jahanam itu!” bentak Ciok Pangcu.

Kedua orang ketua itu saling pandang, akan tetapi kini permusuhan sudah lenyap dari pandang mata mereka.

“Sebaiknya kita pergi bersama-sama dan menangkap orang itu beramai-ramai, akan tetapi kuminta agar jangan ada yang membunuhnya. Kita membutuhkan pengakuannya sendiri agar permusuhan antara kedua pihak dapat dibersihkan,” kata Sin Hong.

Mereka pun berlari-lari menuju ke kota Lu-jiang. Kembali Yo Han digendong oleh Sin Hong dan sekarang belasan orang Kim-liong-pang itu berlari-lari bersama belasan murid kepala Ngo-heng Bu-koan seolah-olah mereka adalah sekutu yang hendak menyerbu musuh mereka bersama.

Tentu saja para penduduk kota Lu-jiang menjadi heran dan kaget melihat banyak orang berlarian itu. Apa lagi ketika mereka mengenal orang-orang Ngo-heng Bu-koan dan orang-orang Kim-liong-pang yang tadinya bermusuhan, tetapi kini berlari bersama-sama menuju ke Ngo-heng Bu-koan.

Di perguruan silat ini, Bhe Kauwsu disambut oleh para murid yang nampak bingung dan cemas. “Celaka, Suhu! Phoa Hok Ci mengamuk, menawan Nona Bhe dan ketika kami mencegah, dia mengamuk. Dua orang murid tewas oleh pedangnya dan kini dia telah melarikan puteri Suhu...!”

Tentu saja semua terkejut bukan main dan kini yakinlah sudah hati Bhe Kauwsu bahwa muridnya yang bernama Phoa Hok Ci itu memang jahat dan keji, bukan saja melakukan pembunuhan-pembunuhan keji dan melempar fitnah mengadu domba, bahkan kini telah menangkap dan melarikan puterinya!

“Keparat jahanam! Dia lari ke mana?” bentaknya.
“Kami... kami tidak tahu, Suhu. Dia memondong Nona Bhe yang agaknya tertotok atau pingsan, dan dia lari dengan cepat tanpa kami mampu mencegah atau mengejarnya.”
“Celaka! Keparat jahanam itu... Sungguh celaka puteriku...!” Bhe Kauwsu nampak amat kebingungan. “Ke mana aku harus mengejar jahanam itu?”

Yo Han menyentuh lengan suhu-nya. “Suhu, kalau tidak salah dugaanku, dia pasti lari ke sana...“

Sin Hong mengangguk. “Kau benar, Yo Han, aku pun menduga demikian. Bhe Kauwsu, aku yakin bahwa keparat itu tentu melarikan puterimu ke kuil tua itu. Biar Yo Han tinggal di sini, aku akan mengejarnya!” Setelah berkata demikian, tanpa menanti jawaban lagi, Sin Hong meloncat keluar dan sebentar saja bayangannya lenyap dari situ.

“Aku pun ingin mengejarnya!” kata Ciok Pangcu.
“Nanti dulu, Pangcu. Engkau takkan dapat menyusul Tan Taihiap. Marilah kita bersama mencari kuil itu. Anak baik, engkau sudah pernah ke sana, tentu engkau tahu di mana kuil tua itu, bukan?”

Yo Han mengangguk. “Di dalam sebuah hutan, di bukit nomor lima dari kiri di antara jajaran bukit di luar kota itu, kalau aku tidak keliru.”
“Mari kita mengejar ke sana!”

Bhe Kauwsu kemudian menyuruh para muridnya menyediakan kuda dan mereka pun berangkat melakukan pengejaran. Ciok Pangcu bersama sebelas orang murid kepala, juga Bhe Kauwsu dengan belasan orang murid kepala, sedang Yo Han membonceng Bhe Kauwsu dan dia menjadi penunjuk jalan menuju ke kuil dalam hutan di atas bukit itu.....

********************
Memang sikap Phoa Hok Ci hari itu sangat mengejutkan dan mengherankan bagi para murid Ngo-heng Bu-koan. Pada saat Bhe Kauwsu menerima surat tantangan dari ketua Kim-liong-pang, ia tidak berada di perguruan sehingga ia tidak ikut dengan rombongan Bhe Gun Ek yang pergi menyambut tantangan musuh besar itu bersama belasan orang murid kepala. Dan Bhe Kauwsu melarang puterinya untuk ikut, karena guru silat ini maklum bahwa kalau puterinya ikut, tentu puterinya itu tidak akan mau tinggal diam saja kalau dia mulai mengadu kepandaian melawan Ciok Pangcu.

“Engkau tinggallah di rumah dan menjaga keamanan di sini,” demikian katanya kepada Siang Cun. “Kalau kita pergi semua kemudian terjadi sesuatu di sini, siapa yang akan mewakili aku?”

Demikianlah, Siang Cun tetap tinggal di perguruan ketika ayahnya dan para suheng-nya berangkat. Tak lama kemudian, muncul Phoa Hok Ci. Ketika dia mendengar dari para murid bahwa suhu-nya menerima surat tantangan dari ketua Kim-liong-pang dan bahwa suhu-nya pergi menyambut tantangan itu bersama semua murid kepala, Phoa Hok Ci segera mendatangi Siang Cun.

“Sumoi, suhu serta para suheng dan sute pergi menghadapi musuh besar kita, kenapa engkau malah tenang saja tinggal di sini? Kenapa engkau tidak ikut membantu suhu?” Sambil berkata demikian, sepasang matanya yang ganas dan tajam itu memandang wajah yang cantik manis dari sumoi-nya.

Siang Cun mengerutkan alisnya dan menjawab sambil cemberut, “Tadi aku pun ingin sekali ikut dan menghadapi orang-orang Kim-liong-pang, Phoa-suheng, akan tetapi ayah melarangku dan menyuruh aku menjaga keamanan rumah.”

Sepasang mata Phoa Hok Ci semakin terpikat melihat mulut gadis cantik itu cemberut dan sekarang pandang matanya seperti meraba-raba seluruh tubuh yang telah selama bertahun-tahun menjadi idaman hatinya, membuatnya tergila-gila itu.

“Hemmm, katakan saja bahwa engkau takut, Sumoi!”

Siang Cun terbelalak dan mukanya berubah merah, alisnya berkerut. “Phoa Suheng! Bagaimana kau berani mengeluarkan kata-kata seperti itu? Aku tidak berani? Aku takut? Jangan kau menghinaku, Suheng!”

Phoa Hok Ci yang selalu tersenyum sinis itu, kini memperlebar senyumnya sehingga mulutnya menyeringai. “Hehheh-heh, kalau engkau tidak takut, tentu kau sudah berada di sana! Kalau engkau tidak takut, mari bersama aku menyusul ke sana dan membantu suhu!”

Siang Cun bangkit berdiri dan memandang suheng-nya dengan mata berapi.

“Phoa-suheng, mengapa engkau bersikap begini? Mulutmu lancang sekali dan sikapmu mengejek. Apakah engkau sudah gila?” Memang di samping kemarahannya ia merasa heran bukan main melihat sikap Phoa Hok Ci dan mendengar kata-katanya, karena biasanya suheng-nya bersikap sopan dan ramah.
“Ha-ha-ha, mungkin aku sudah gila oleh kecantikanmu, Sumoi. Marilah, mari kau ikut dengan aku pergi menyusul suhu!”
“Tidak! Kalau aku akan menyusul, aku pergi sendiri, bukan karena kau suruh. Sudah, pergilah sebelum aku habis kesabaranku!”
“Sumoi, mau tidak engkau harus ikut denganku sekarang juga!” Dan tiba-tiba saja Phoa Hok Ci menubruk dan mengirim serangan dahsyat dengan cengkeraman ke arah muka Siang Cun!

Gadis ini terkejut bukan main, sama sekali tidak pernah mengira bahwa suheng-nya ini akan menyerangnya sehebat itu, serangan yang dahsyat dan berbahaya. Suheng-nya itu tentu telah mendadak menjadi gila.....

Sebetulnya, dalam ilmu silat, selisih antara tingkat mereka tidak banyak, mungkin Siang Cun hanya kalah matang saja. Akan tetapi ia tidak tahu bahwa diam-diam Hok Ci telah mempelajari ilmu silat harimau dari Hoan Saikong yang membuat pemuda itu kini jauh lebih lihai darinya!

Dia cepat mengelak sambil membuang diri ke samping untuk menghindarkan mukanya dari cengkeraman itu! Akan tetapi, tetap saja lengannya yang hendak menangkis kena dicengkeram. Siang Cun mengeluarkan seruan kaget dan kesakitan ketika dia merasa betapa lengannya seperti dicengkeram benda tajam dan pada saat itu, pundaknya sudah ditotok oleh Hok Ci dan seketika ia menjadi lemas! Sambil tertawa, Hok Ci lalu memanggul tubuh gadis itu.

Pada saat itu, belasan orang murid Ngo-heng Bu-koan menyerbu masuk dan mereka terkejut sekali melihat betapa puteri guru mereka dirobohkan Hok Ci dan kini ditotok dan dipanggul. Mereka tadi menyerbu masuk mendengar suara ribut-ribut dan kini mereka mengepung Hok Ci.

“Suheng, apa yang kau lakukan ini? Lepaskan Nona Bhe!” bentak beberapa orang di antara mereka sambil mengepung dan siap untuk mengeroyoknya.

Sepasang mata itu dengan ganas menyapu mereka. “Kalian mundurlah, atau terpaksa aku akan membunuh kalian!” Berkata demikian, Hok Ci lalu mencabut pedang dengan tangan kanan, sedangkan tangan kirinya memanggul tubuh Siang Cun yang tak mampu bergerak itu.

Akan tetapi, para murid Ngo-heng Bu-koan tetap tidak mau pergi dan ingin membela puteri guru mereka. Hok Ci mengeluarkan suara gerengan seperti seekor harimau dan dia pun mengamuk. Pedangnya berkelebatan dan para murid itu cepat melawan dengan menyambar senjata yang ada.

Akan tetapi mereka hanya murid-murid tingkat dua, sebentar saja dua orang di antara mereka telah roboh mandi darah dan tewas oleh sambaran pedang Hok Ci. Lalu dengan kecepatan gerakannya, Hok Ci meloncat dan melarikan diri sambil memondong tubuh Siang Cun!

Hok Ci yang mengenal baik kota Lu-jiang, mengambil jalan yang sunyi untuk melarikan diri, bahkan berloncatan ke atas genteng-genteng rumah orang. Dia berhasil membawa tubuh gadis yang membuatnya tergila-gila itu keluar dari kota Lu-jiang, terus menuju ke kuil tua yang menjadi tempat tinggal Hoan Saikong.

Satu-satunya lawan yang ditakutinya hanyalah Tan Sin Hong, akan tetapi pemuda yang berpakaian putih itu telah terjerumus ke dalam lubang jebakan di ruangan belakang dan tentu sudah mampus. Orang-orang lainnya, baik dari Ngo-heng Bu-koan mau pun dari Kim-liong-pang, dipandang rendah olehnya.

Kini gurunya, Hoan Saikong, sudah mati pula bersama Sin Hong di dalam sumur lubang jebakan. Dia memang tak ingin merampas Kim-liong-pang mau pun Ngo-heng Bu-koan. Yang penting baginya hanyalah mendapatkan diri Bhe Siang Cwi yang membuatnya tergila-gila dan kini gadis itu telah berada di dalam pondongannya! Tiada seorang pun yang akan dapat mencegahnya memaksa gadis itu menjadi isterinya. Pula, selain Tan Sin Hong, tidak ada seorang pun dari kedua perkumpulan itu yang tahu akan tempat persembunyiannya dalam kuil tua di hutan ini.

“Lepaskan aku...! Ahhh, lepaskan aku...!” Siang Cun berseru dengan mata terbelalak penuh kengerian, namun ia tidak mampu menggerakkan tubuhnya yang masih lumpuh tertotok.

Pria yang biasanya dikenalnya sebagai seorang suheng yang pendiam dan bersikap baik itu kini tersenyum sinis, lalu membawa masuk gadis itu ke dalam kuil. Di dalam kuil tua itu terdapat dua buah kamar yang bersih dan terawat karena itu merupakan kamar mendiang Hoan Saikong dan kamarnya sendiri, yang dipergunakan di waktu dia berada di situ.

Dia memasuki kamarnya sendiri, sebuah kamar yang hanya terisi sebuah pembaringan kayu dan sebuah meja serta dua buah kursi kayu yang sederhana. Dengan sikap lembut dia merebahkan tubuh sumoi-nya di atas pembaringan.

“Lepaskan aku Phoa-suheng, lepaskan aku! Aku adalah sumoi-mu, ingatkah? Jangan kau ganggu aku dan lepaskan aku, Suheng.“ Siang Cun kembali berseru dengan suara membujuk dan mata yang terbelalak penuh kengerian. Ia masih saja menyangka bahwa suheng-nya ini mendadak menjadi gila dan tidak sadar apa yang dilakukannya.

Hok Ci duduk di tepi pembaringan, senyumnya menyeringai menakutkan hati gadis itu, apa lagi ketika dia menunduk dan mencium pipi dan bibir Siang Cun yang sama sekali tak dapat mengelak. Gadis itu hanya memejamkan mata dan bergidik ngeri dicium oleh orang yang disangkanya gila.

“Bhe Siang Cun, aku akan melepaskanmu jika engkau menyatakan bahwa engkau cinta padaku dan bersedia menjadi isteriku.”

Mata yang ketakutan itu semakin terbelalak dan muka yang manis itu berubah merah. “Suheng, kau... kau telah gila...”

Hok Ci membelai dagu gadis itu, lalu membelai lehernya sehingga gadis itu merasa betapa bulu tengkuknya meremang.

“Siang Cun, kekasihku, memang aku telah gila, tergila-gila kepadamu. Apakah kau pura-pura tidak tahu betapa sejak dulu aku mencintamu? Ah, apa saja akan kulakukan untuk mendapatkan dirimu, Cun-moi. Selama ini... ahh, betapa segala jerih payah kulakukan, membunuhi mereka semua, seorang demi seorang, supaya antara kedua pihak terjadi permusuhan dan ikatan perjodohanmu dengan Ciok Lim terputus. Sengaja kutanamkan bibit permusuhan sampai mendalam, kulakukan semua itu demi mendapatkan dirimu, kekasihku. Dan sekarang, engkau telah berada di tanganku, engkau menjadi isteriku. Ya, kita hari ini akan menjadi pengantin, kita bersenang-senang di sini, sebagai suami isteri, Siang Cun.”

Wajah gadis itu tiba-tiba menjadi pucat. Dengan mata terbelalak tanpa berkedip sejak tadi ia memandang wajah suheng-nya itu, mendengarkan semua ucapannya.

“Kau... kau yang melakukan semua pembunuhan itu? Jadi engkaulah yang mengatur semua itu, membunuh dan melempar fitnah, sengaja hendak mengadu domba?”

Kini Hok Ci tertawa geli. “Benar, Cun-moi, benar. Semua itu akulah yang mengatur dan melakukannya. Cerdik sekali, bukan? Mereka saling serang, saling bunuh, dan bahkan sekarang di antara kedua ketua itu sudah saling serang, ha-ha-ha, semua itu karena kecerdikanku. Dan engkau akan menjadi isteriku sekarang...!”

Kedua tangan Hok Ci mulai menggerayangi tubuh Siang Cun yang menjadi semakin ketakutan. Karena belum dapat menggerakkan tubuh untuk mengelak atau melawan, ia hanya mengeluarkan kata-kata untuk mengalihkan perhatian orang itu.

“Suheng, jadi engkau yang melakukan semua pembunuhan di kedua pihak itu? Dan bagaimana dengan sumoi Bong Siok Cin yang diperkosa itu? Ia diperkosa dan dibunuh oleh Ciok Lim, bukan?”
“Ha-ha-ha, semua orang tolol itu memang mengira demikian. Akulah yang mengaturnya sehingga Ciok Lim yang disangka, agar permusuhan itu mulai berkobar.”
“Ahhh, jadi engkau pula yang memperkosa Siok Cin lalu membunuhnya, menjatuhkan fitnah atas diri Ciok Lim?”
“Ha-ha-ha, benar sekali, manisku. Cerdik sekali, bukan?”

Sekarang tahulah Siang Cun bahwa suheng-nya ini tidak gila. Sama sekali tidak gila, melainkan jahat dan keji bukan main! Dan ia kini telah terjatuh ke dalam tangan manusia iblis ini!

“Siang Cun, sekarang kita menjadi pengantin, engkau menjadi isteriku...“ Tangan pria itu mulai merenggut ke arah pakaian Siang Cun.

Bukan main takutnya hati Siang Cun. Ia hendak meronta, hendak melawan, namun ia belum mampu menggerakkan kaki tangannya.

“Jangan... ahh, jangan... lebih baik kau bunuh saja aku...“
“Membunuh engkau? Ha-ha-ha, kau kira aku sudah gila? Bertahun-tahun lamanya aku merindukannya, mencintamu, dan kini engkau menjadi milikku. Ah, kau kekasihku... aku cinta padamu...“

Seperti orang gila atau seperti seekor harimau kelaparan melihat seekor domba muda yang lunak dagingnya, Hok Ci menubruk dan menciumi muka gadis itu, menggigiti bibir dan leher itu seperti orang gila.

Siang Cun memejamkan mata. Ia hampir pingsan saking takut, ngeri dan jijiknya. Apa lagi ketika tangan Hok Ci merenggut lepas pakaiannya satu demi satu. Ia hanya dapat merintih dan mengeluh minta dibunuh saja.

Dalam keadaan yang amat berbahaya itu, saat kehormatan Siang Cun sudah terancam noda yang akan menghancurkan hidupnya, nyaris seperti sepotong daging yang sudah berada di depan mulut seekor serigala buas yang siap mengunyah dan menelannya, dan Siang Cun sudah memejamkan mata dengan hati hancur, tiba-tiba pintu kamar itu tertendang roboh dari luar!

“Brakkkkk!” Daun pintu roboh dan muncullah Sin Hong!
“Phoa Hok Ci, manusia iblis jahat!” bentak Sin Hong dengan marah sekali saat melihat keadaan di dalam kamar itu.

Siang Cun rebah terlentang di atas pembaringan dengan pakaian sudah lepas semua dari tubuhnya, dan Hok Ci merangkul dan menciuminya, siap untuk memperkosa gadis itu yang nampak tak berdaya, tidak mampu bergerak karena tertotok jalan darahnya.

Hok Ci terkejut dan marah bukan main. Dia tadi baru saja membuka bajunya, mulai satu demi satu melepaskan kancing bajunya yang kini telah menjadi setengah terbuka ketika terjadi gangguan itu. Ketika dia meloncat bangkit berdiri sambil membalikkan tubuh dan mengenal Sin Hong, matanya terbelalak. Dia merasa heran dan terkejut bukan main.

Bukankah Si Bangau Putih ini sudah mampus di dasar lubang sumur jebakan? Bagai mana tiba-tiba dapat muncul di sini, pikirnya. Dia cerdik dan maklum akan bahaya yang mengancam dirinya.

Dia sudah mengenal baik betapa lihainya Pendekar Bangau Putih ini, bahkan gurunya sendiri, Hoan Saikong dan dia pernah mengeroyoknya, akan tetapi mereka berdua pun terdesak hebat. Apa lagi kini ia harus menghadapinya seorang diri saja. Tetapi ia tidak melihat jalan lain kecuali melawan. Tanpa membuang waktu lagi, dia pun menyambar pedangnya dan menerjangnya dengan serangan ganas dan dahsyat.

Namun, Sin Hong sudah bersiap siaga dan dengan mudah saja dia mengelak dengan loncatan ke kiri dan dari sudut samping dia menotok ke arah pundak lawan. Totokan itu cepat sekali datangnya. dan nyaris pundak Hok Ci terkena totokan.

Akan tetapi Hok Ci dengan cepat memutar tubuh dan pedangnya ikut pula berputar lalu membuat lingkaran dan menyerang pula ke arah leher Sin Hong! Gerakan ini cepat, namun sesungguhnya, Hok Ci terkejut dan jeri karena sekali gebrakan saja pundaknya hampir tertotok yang kalau tadi mengenai sasaran tentu akan membuat dia roboh tak berdaya!

Menghadapi sambaran pedang ke lehernya, Sin Hong merendahkan tubuhnya dan tiba-tiba kakinya mencuat dengan ujung sepatunya menendang ke arah lutut Hok Ci! Ini pun merupakan serangan yang sangat berbahaya karena sedikit saja sambungan lututnya tersentuh ujung sepatu, cukup untuk membuat Hok Ci terguling.

Namun Hok Ci menarik kakinya dan bukan lutut yang tertendang, melainkan pahanya yang tercium ujung sepatu. Ia tidak roboh, akan tetapi tetap saja terhuyung dan cepat ia memutar pedangnya yang berubah menjadi gulungan sinar yang melindunginya. Akan tetapi, tendangan yang mengenai tepi pahanya tadi sudah cukup membuat Hok Ci jeri.

Sambil memutar pedangnya, tiba-tiba saja tangan kirinya bergerak dan sinar hitam kecil menyambar, bukan ke arah Sin Hong melainkan ke arah tubuh gadis yang kini rebah telanjang di atas pembaringan! Otak Hok Ci yang cerdik dan licik sudah menemukan akal bagaimana dia akan dapat melepaskan diri dari tangan Sin Hong yang terlalu lihai baginya itu. Dia menyerang Siang Cun dengan jarum hitam, jarum yang mengandung racun! Dan mudah saja dia mengenai sasaran yang tidak mampu bergerak itu.

Terdengar Siang Cun mengeluarkan rintihan ketika pahanya terkena jarum hitam yang menyambar cepat tanpa ia mampu mengelak. Sin Hong terkejut sekali dan terpaksa dia tidak mengejar ketika Hok Ci melompat keluar dari kamar itu untuk melarikan diri. Sin Hong tahu bahwa jarum yang melukai Siang Cun adalah jarum beracun dan kalau tidak ditolong gadis itu dapat terancam maut. Tentu saja jauh lebih penting menolong Siang Cun dari pada mengejar Hok Ci, apa lagi karena Siang Cun terancam bahaya maut.

Memang di sini membuktikan kelicikan dan kecerdikan Hok Ci yang dapat melepaskan diri dari tangan Sin Hong yang dia tahu bukan lawannya karena pendekar baju putih itu memiliki tingkat kepandaian yang jauh lebih tinggi dari kepandaiannya.

Sin Hong melompat ke dekat pembaringan. Siang Cun yang membuka mata melihat betapa Sin Hong mendekatinya, dan teringat akan keadaannya yang telanjang bulat itu. Segala bagian tubuhnya nampak jelas oleh pemuda itu dan hal ini membuatnya malu bukan main. Mula-mula wajahnya berubah merah sekali, lalu pucat dan merah kembali dan perlahan-lahan kedua matanya menjadi basah air mata.

Akan tetapi Sin Hong tak peduli akan keadaan gadis itu, tidak melihat ketelanjangannya karena seluruh perhatiannya sedang tertarik pada bintik hitam di paha kiri gadis itu. Dia memeriksa dengan teliti sekali, tanpa banyak cakap dia meraba paha itu dan memijat bagian yang ada bintik hitamnya.

“Aduhhhhh...!” Siang Cun menjerit karena bagian yang dipijat itulah yang terasa nyeri terkena jarum tadi.

Yakinlah Sin Hong bahwa bintik hitam itulah akibat luka oleh jarum. Apa lagi dia melihat betapa di sekeliling bintik itu sudah ada tanda merah kebiruan tanda bahwa racun jarum itu mulai berjalan.

Oleh karena maklum akan bahaya yang mengancam diri Siang Cun, Sin Hong lupa akan sopan santun lagi. Yang penting baginya adalah menyelamatkan nyawa gadis itu. Maka, tanpa membuang waktu dia lalu menunduk, menempelkan mulutnya pada bintik hitam di paha, dan mengerahkan tenaga lalu menyedot!

Dua kali dia menyedot barulah jarum itu keluar, digigitnya lalu dicabutnya dari daging paha, dibuangnya ke sudut kamar, lalu dia menempelkan lagi bibirnya pada luka kecil itu dan menghisap sampai ada darah hitam yang keluar. Diulanginya lagi sampai akhirnya darah merah yang keluar dan paha itu bebas dari racun jarum.

Legalah hatinya dan baru Sin Hong sadar akan keadaan pada gadis itu yang telanjang bulat, maka tiba-tiba saja mukanya berubah merah dan dia mundur beberapa langkah sambil menyentuh pundak gadis itu untuk membebaskan totokannya, kemudian cepat ia membalikkan tubuhnya sambil berkata, “Harap maafkan aku, Nona.”

Begitu totokannya bebas, Siang Cun cepat-cepat menyambar pakaiannya, mengenakan semua pakaiannya sambil tak dapat lagi menahan air matanya yang turun bercucuran. Ia menangis tersedu-sedu, karena bermacam perasaan mengaduk hatinya.

Rasa haru dan terima kasih bahwa dia yang sudah berada di ambang pintu kehancuran dan kehinaan itu terbebas dari bahaya itu. Rasa malu setengah mati karena Sin Hong telah melihatnya dalam keadaan telanjang bulat dengan tubuh telentang, dan lebih malu lagi ketika ia mengingat kembali betapa Sin Hong telah mengecup dan menyedot luka di pahanya, paha kiri bagian atas dekat perut! Malu yang amat hebat, malu dan hina walau pun ia tahu bahwa Sin Hong melakukan hal itu untuk menyelamatkan nyawanya!

Rasa terima kasih, malu, dan penasaran mengaduk hatinya. Rasanya ia tidak ada muka lagi untuk melihat wajah Sin Hong, untuk bertemu dengan manusia lain! Bagaimana jika mereka itu tahu akan keadaannya tadi?

“Phoa Hok Ci... jahanam keparat busuk... kubunuh engkau... manusia iblis...“ Mulutnya mendesiskan ancaman ini ketika ia mengenakan pakaiannya.

Mendengar disebutnya nama Phoa Hok Ci, baru Sin Hong teringat kembali akan orang itu. Tadinya dia masih merasa ‘nanar’ karena teringat akan ketelanjangan Siang Cun, teringat betapa dia tadi sudah mengecup paha itu. Betapa janggalnya keadaan itu tadi sehingga dia lupa keadaan yang lain. Kini, teringat kepada Hok Ci yang melarikan diri, dia cepat meloncat keluar.

“Akan kutangkap dia!” katanya dan beberapa kali loncatan saja dia sudah lenyap dari kuil.

Siang Cun membereskan pakaiannya dan rambutnya, kemudian dengan hati tak karuan rasanya ia pun lari keluar untuk mencari musuh besarnya itu.

Sementara itu, sambil berlari cepat meninggalkan kuil, Hok Ci tersenyum lega. Untung dia memiliki akal yang amat cerdik, melukai Siang Cun dengan jarum beracun sehingga Sin Hong tidak sempat mengejar dan menangkapnya. Dia harus berlari cepat, harus meninggalkan daerah itu jauh-jauh kalau dia ingin selamat.

Dia akan meninggalkan kehidupannya sebagai murid Ngo-heng Bu-koan, sebagai murid Hoan Saikong yang sudah mati, dan dia akan memulai hidup baru, di tempat baru dan melupakan Siang Cun yang terpaksa harus dia tinggalkan. Masih menyesal sekali kalau dia membayangkan betapa daging lunak yang sudah berada di ujung lidah itu terlepas pada saat terakhir! Dalam hati ia memaki-maki Si Bangau Putih yang menggagalkan ia memiliki gadis yang sudah lama membuat dia tergila-gila itu.

Mendadak terdengar bentakan-bentakan nyaring, dan ketika dia memandang, wajahnya seketika menjadi pucat! Dirinya sudah dikepung oleh puluhan orang anggota Ngo-heng Bu-koan dan Kim-liong-pang yang dipimpin sendiri oleh Bhe Kauwsu dan Ciok Pangcu!

Dia sama sekali tidak takut menghadapi dua orang ketua itu. Akan tetapi kalau harus melawan puluhan orang, tentu saja dia merasa gentar sekali! Belum lagi kalau dihitung datangnya bahaya pengejaran dari Si Bangau Putih!

“Phoa Hok Ci, murid murtad, jahanam keparat! Di mana anakku Siang Cun?” bentak Bhe Kauwsu yang marah bukan main dan juga khawatir karena ia tak melihat puterinya bersama penjahat itu.

Dalam keadaan panik terkepung itu, Hok Ci masih hendak menggunakan akal liciknya. “Ia... ia di kuil tua, diperkosa oleh Si Bangau Putih...! Cepat Suhu ke sana, kalau tidak, akan terlambat...”

Mendengar ucapan ini, Bhe Gun Ek, guru silat Ngo-heng Bu-koan itu tertegun. Tapi Yo Han segera berteriak lantang. “Harap Bhe Kauwsu jangan percaya omongan manusia iblis ini! Suhu tidak mungkin melakukan hal yang terkutuk itu! Sebaiknya manusia iblis ini segera ditangkap dulu, baru nanti dicari di mana adanya enci Siang Cun!”

Mendengar kata-kata Yo Han ini, sadarlah Bhe Kauwsu. Tanpa dikomando lagi, semua orang yang mengepung pemuda itu, termasuk Ciok Pangcu, menggerakkan senjata dan berloncatan turun dari atas kuda mengeroyok Phoa Hok Ci! Puluhan orang mengepung dan mengeroyoknya, dan Phoa Hok Ci mencoba untuk memutar pedangnya membela diri.

“Jangan bunuh dia! Tangkap hidup-hidup!” Berkali-kali Bhe Gun Ek dan Ciok Pangcu berteriak karena kedua orang pemimpin perkumpulan ini ingin mendengar pengakuan Hok Ci tentang semua perbuatannya yang amat keji, membunuh banyak orang di kedua pihak untuk mengadu domba antara Ngo-heng Bu-koan dan Kim-liong-pang.

Betapa pun lihainya Hok Ci, tapi menghadapi pengeroyokan puluhan orang yang semua menaruh dendam padanya, akhirnya ia roboh dengan luka-luka di tubuhnya. Pedangnya dirampas dan dengan kedua lengan lumpuh karena patah tulangnya, dia diringkus dan dibelenggu kaki tangannya.

Ciok Kam Heng yang merasa amat sakit hati karena kehilangan puteranya itu, segera menjambak rambutnya sambil membentak, “Manusia iblis! Sekarang ceritakan apa yang telah kau lakukan selama ini untuk menjatuhkan fitnah kepada Kim-liong-pang!”

Hok Ci maklum bahwa tiada harapan lagi baginya untuk hidup. Rasa takut, penasaran dan sesal membuatnya kehilangan keseimbangan batinnya dan mendadak dia tertawa bergelak. Suara ketawanya membuat semua orang bergidik ngeri karena itu jelas bukan suara ketawa orang yang waras otaknya!

Segala macam bentuk kejahatan yang dilakukan orang adalah suatu tanda bahwa pada saat dia melakukannya, keadaan batinnya memang tidak sehat, tidak waras! Batin yang dikuasai oleh nafsu apa pun, batin yang diperhamba nafsu, merupakan batin yang tidak sehat, yang sudah gelap seperti buta sehingga segala yang dilakukan oleh jasmaninya hanya untuk menuruti dorongan nafsu itu semata.

Belajar untuk menjadi ‘orang baik’ tidak ada gunanya selama batin masih lemah, masih mudah dicengkeram oleh nafsu, mudah diperhamba nafsu. Yang penting bukan ingin menjadi orang baik, melainkan membuka mata batin, menyadarkan batin supaya tidak sesat, tidak lemah, waspada selalu akan keadaan diri sendiri, selalu dalam keadaan waspada sehingga tidak lengah dan tidak mudah dinina-bobokkan oleh nafsu.

“Ha-ha-ha-he-he-heh! Kalian manusia-manusia tolol! Memang aku yang melakukan itu semua, aku yang memperkosa dan membunuh Bong Siok Cin, membunuhi para murid Ngo-heng Bu-koan dan Kim-liong-pang. Aku yang mengadu domba antara kalian! Untuk apa? Agar ikatan perjodohan antara Bhe Siang Cun dan Ciok Lim terputus karena Siang Cun harus menjadi isteriku! Ha-ha-ha-ha, hanya akulah yang pantas memiliki diri Siang Cun yang molek, ha-ha-ha-ha!”

“Keparat! Di mana anakku Siang Cun sekarang?” bentak Bhe Kauwsu dengan marah. Tangannya sudah gemetar sebab menurutkan kemarahannya ingin ia membunuh murid murtad itu.
“Siang Cun? Ha-ha-ha, di kuil tua, diperkosa oleh Si Bangau Putih, mungkin sekarang sudah mampus pula, heh-heh!”
“Bohong! Jahanam itulah yang hendak memperkosanya, akan tetapi untung aku segera datang mencegahnya... Dia melukainya dengan jarum beracun, akan tetapi sekarang telah selamat!” Tiba-tiba terdengar suara nyaring dan muncullah Sin Hong.

Mendengar ini, lega rasa hati Bhe Kauwsu dan kini tidak dapat dicegah lagi, pedangnya digerakkan menusuk dada Phoa Hok Ci! Pada saat yang sama pedang di tangan Ciok Pangcu juga bergerak membabat ke arah leher orang jahat itu.

Tubuh itu terkulai dengan dada berlubang dan leher putus! Para murid Kim-liong-pang dan Ngo-heng Bu-koan juga menggerakkan senjata mereka. Dalam sekejap saja tubuh Phoa Hok Ci lantas menjadi korban puluhan senjata, menjadi hancur tidak karuan lagi bentuknya!

“Sudah cukup!” Tiba-tiba Sin Hong membentak, suaranya amat nyaring sehingga semua orang terkejut dan melangkah mundur. “Kalian semua adalah orang-orang yang gagah, mengapa sekarang dikuasai nafsu amarah dan dendam kebencian, kemudian berubah menjadi orang-orang yang demikian kejam?”

Semua orang, termasuk Ciok Kam Heng dan Bhe Gun Ek, tiada yang menjawab, hanya menundukkan muka dengan rikuh dan malu karena baru sekarang mereka bisa melihat kenyataan itu, alangkah sadis dan kejamnya mereka tadi karena dibakar oleh dendam kebencian.

“Ayahhh...!” Tiba-tiba terdengar jeritan dan Siang Cun datang berlari-lari, disambut oleh ayahnya. Gadis itu menubruk dan merangkul ayahnya sambil menangis terisak-isak.

Bhe Gun Ek mengelus-elus rambut kepala puterinya dan menepuk-nepuk pundaknya. “Sudahlah, Siang Cun, tenanglah. Jahanam keparat itu sudah kami bunuh.”

Siang Cun menghentikan tangisnya, memandang ke kanan kiri dan seperti orang dalam mimpi ia bertanya, “Mana dia? Mana manusia iblis itu? Akan kubunuh dia...!”
“Dia sudah mati di tangan kami, Siang Cun. Nah, itu dia!” Ayahnya menunjuk ke bawah.

Siang Cun memandang dan seperti terpukau melihat tumpukan daging dan tulang yang sudah menjadi onggokan tak berbentuk itu. Mendadak ia merampas pedang di tangan ayahnya, kemudian meloncat ke depan dan hendak membacokkan pedangnya ke arah onggokan daging dan tulang itu, tapi tiba-tiba lengannya ditangkap orang dari belakang.

“Nona sadarlah. Yang sesat biarlah sesat seperti Phoa Hok Ci itu. Akan tetapi tidak perlu Nona menjadi sedemikian kejam karena dendam kebencian. Dia sudah mati dan jasmaninya tidak berdosa.”

Siang Cun menoleh dan ketika ia melihat bahwa yang menahannya adalah Sin Hong, ia lalu melepaskan pedangnya dan berlari kepada ayahnya, kembali merangkul ayahnya sambil menangis keras.....

********************
Selanjutnya baca
KISAH SI BANGAU PUTIH : JILID-19
LihatTutupKomentar