Kisah Para Pendekar Pulau Es Jilid 23


Kita tinggalkan dulu pengantin baru yang berbahagia itu dan kita menengok keadaan kota Lok-yang di mana selama beberapa hari ini terjadi hal-hal yang menggemparkan.

Sejak kira-kira sebulan lamanya terjadi beberapa pembunuhan dan pengrusakan terhadap sarang-sarang penjahat. Juga rumah dua orang pembesar korup tidak terlewat dan menjadi korban serbuan seorang pendekar aneh. Dua orang pembesar itu adalah orang-orang yang suka melindungi kejahatan dengan menerima uang sogokan. Akan tetapi kalau kepala penjahat itu dibunuh, dua orang pembesar itu hanya dibuntungi kedua telinga mereka sebagai peringatan keras.

Dan dari mereka inilah, juga dari anak buah penjahat yang sempat melihatnya, tersiar berita bahwa pelakunya adalah seorang pemuda yang berwajah tampan, bersikap halus namun ilmunya tinggi sekali. Dan melihat betapa dia membunuh para kepala penjahat, membasmi sarang penjahat dan menghajar dua orang pembesar korup, jelas bahwa dia tentulah seorang pendekar muda!

Dan memang dunia kang-ouw di sekitar Lok-yang sudah mulai mendengar kemunculan pendekar ini, semenjak dari sebelah barat kota raja sampai ke Lok-yang. Di sepanjang perjalanan, ada seorang pendekar muda tengah menyebar maut di antara para penjahat dan mengulurkan tangan kepada setiap orang yang menderita dan yang tertindas.

Peristiwa ini menggelisahkan Koo-taijin, kepala daerah kota Lok-yang. Sudah dua orang pembesar pembantunya yang didatangi oleh pendekar itu! Dan dia sendiri yang merasa korup, bahkan suka menggunakan tenaga para penjahat untuk memperkuat kedudukan, menerima sogokan-sogokan dari para penjahat pemilik rumah pelacuran, rumah-rumah judi, dan kepala para maling, perampok dan copet, tentu saja merasa ketakutan. Dia seolah-olah dapat merasakan, betapa pendekar ini sedang menanti-nanti kesempatan untuk mendatanginya!

Beberapa malam yang lalu sudah ada bayangan yang berkelebatan di atas genteng gedungnya. Akan tetapi karena diketahui penjaga, bayangan itu tak sempat melakukan sesuatu dan melarikan diri. Sejak malam itu dia memerintahkan orang-orangnya agar melakukan penjagaan ketat. Namun dia masih juga merasa ketakutan dan akhirnya dia mengumpulkan tiga orang kepala penjahat di Lok-yang, tiga orang jagoan yang terkenal sebagai Lok-yang Sam-liong (Tiga Naga Lok-yang)! Kini tiga orang jagoan itu siang malam tinggal di gedung Koo-taijin. Barulah hati kepala daerah Lok-yang itu merasa tenang.

Akan tetapi pembesar itu lupa bahwa memasukkan tiga orang pentolan penjahat ke dalam rumahnya untuk menjaga keselamatan rumah sama dengan menggunakan tiga ekor serigala atau harimau untuk menjaga rumah! Dia mampu menyenangkan hati tiga orang jagoan ini dengan makanan dan minuman yang berlimpah dan hadiah uang secukupnya. Akan tetapi dia lupa akan sesuatu hal. Bahwa mereka itu, atau seorang di antara mereka, adalah seorang mata keranjang yang haus akan perempuan!

Dan di dalam gedung pembesar itu, terdapat banyak wanita cantik! Selir-selirnya saja masih muda-muda dan cantik-cantik, jumlahnya sampai tujuh orang. Belum lagi para pelayan wanita yang muda-muda dan manis-manis, yang kadang-kadang bertugas juga sebagai selir tak resmi pembesar itu! Belum lagi puteri-puteri pembesar itu sendiri.

Seorang di antara tiga jagoan ini berjuluk Tiat-liong (Naga Besi). Dia she Coa. Tubuhnya tinggi besar dan kokoh kuat, sesuai dengan julukannya. Usianya kurang dari empat puluh tahun dan bajunya selalu terbuka di bagian dada. Dia agaknya suka berlagak memamerkan dadanya yang berbulu hitam lebat! Naga Besi ini memang nampak gagah dan jantan. Dia gila perempuan dan entah sudah berapa banyaknya wanita yang dia taklukkan, baik melalui kegagahannya termasuk bulu dada itu, atau rayuan mautnya, mau pun dia taklukkan dengan kekerasan mengandalkan keberanian dan kelihaiannya yang membuat dia ditakuti. Di lengan kanannya ada gambar cacahan berbentuk naga.

Dua orang temannya berusia lebih dari lima puluh. Yang seorang she Can dan berjuluk Ang-liong (Naga Merah). Dia memakai julukan itu karena mukanya berwarna merah. Orang ke tiga bertubuh pendek gendut, she Lui berjuluk Hek-liong (Naga Hitam) dan untuk mengabadikan julukannya, di lengan kanannya juga ada gambar cacahan seekor naga hitam. Mereka merupakan tiga serangkai yang bekerja sama menguasai dunia hitam di Lok-yang.

Ketika mereka menerima tugas berjaga dan melindungi Koo-taijin, tiga orang ini girang sekali. Mereka sudah mendengar akan munculnya pendekar tampan itu dan tentu saja mereka menganggapnya musuh. Mereka merasa keselamatan mereka masing-masing menjadi terancam. Maka, dengan tinggal di gedung Koo-taijin, mereka memperoleh banyak keuntungan.

Pertama, mereka akan dapat saling membantu dan bersama-sama menghadapi musuh. Ke dua, mereka akan mendapat bantuan pula dari pasukan pengawal dan penjaga gedung pembesar itu. Ke tiga, mereka tentu hidup serba enak dan menyenangkan di gedung pembesar itu dan akan menerima hadiah besar tanpa bekerja keras!

Dan bagi Tiat-liong, ada lagi kenyataan yang membuat dia mengilar. Ketika dia melihat wanita-wanita muda dan cantik itu! Wanita-wanita yang dia tahu sedang kehausan dan melayangkan pandang mata ke arah dadanya yang berbulu dengan mata yang bersinar-sinar!

Kedua orang kawannya sudah mengenal baik watak si Naga Besi ini, memperingatkan agar dia jangan mengganggu wanita-wanita itu. Akan tetapi, mana mungkin melarang seekor anjing melahap tulang-tulang muda yang berserakan di depan hidungnya? Baru pada malam ke dua, kawan-kawannya tidak melihatnya tidur di kamarnya lagi. Si Naga besi itu sudah terlena dan tenggelam ke dalam pelukan seorang di antara selir-selir Koo-taijin yang kehausan!

Pembesar itu sudah berusia enam puluh lebih. Mana mungkin dia mampu memuaskan belasan orang wanita, yaitu isteri, para selir dan para pelayannya? Tentu saja para selir yang menjadi hamba nafsunya begitu bertemu dan dapat berhubungan dengan pria seperti Si Naga Besi, merupakan suatu kelegaan yang membuat mereka tergila-gila. Dan bukan seorang selir saja yang tergila-gila kepadanya. Si Naga Besi lalu diantri dan laki-laki hidung belang ini tentu saja merasa keenakan dan senang sekali. Dua orang kawannya menggeleng-geleng melihat kegilaan Si Naga Besi.

Beberapa hari kemudian. Malam itu gelap sekali. Gelap, dingin dan sunyi karena tadi turun hujan lebat sekali. Kini hujan sudah berhenti, akan tetapi langit masih gelap. Bintang-bintang tak nampak, terhalang awan hitam. Keadaan seperti itu membuat orang amat mudah ngantuk. Dan untuk melawan ngantuk, para penjaga keamanan di rumah Koo-taijin minum arak penghangat tubuh dan main kartu.

Naga Merah dan Naga Hitam melakukan perondaan. Melihat semua aman, mereka pun segera memasuki kamar masing-masing. Si Naga Besi seperti biasa, sejak tadi sudah mendekam dalam kamar salah seorang selir Koo-taijin. Sekali ini dia berani mati sekali, berhasil merayu selir ke tiga pembesar itu, selir yang paling disayang oleh Koo-taijin.

Karena malam gelap dan dingin, para penjaga segan berjaga di udara terbuka. Mereka agak lengah. Ah, siapa orangnya yang mencari penyakit berkeliaran di luar dalam cuaca seperti itu? Mereka tidak pernah mengira bahwa sedikit kelengahan mereka itu telah dimanfaatkan sesosok tubuh bayangan hitam yang berkelebat di atas genteng rumah Koo-taijin ketika tidak melihat adanya penjaga di luar rumah seperti biasa.

Dengan gerakan yang sangat lincah dan ringan, bayangan itu sudah berloncatan di wuwungan gedung, kemudian melayang turun dan menyelinap di dalam bayang-bayang gelap. Tidak lama kemudian dia sudah mengintai dari jendela sebuah kamar. Hanya sebentar dia mengintai lalu membuang muka. Sudah cukup baginya. Seorang laki-laki tinggi besar yang diketahuinya melalui penyelidikan beberapa hari ini sebagai Naga Besi, sedang bermesraan dengan seorang wanita cantik di dalam kamar itu. Wajah bayangan itu tersenyum mengejek lalu meninggalkan kamar itu, menyelidiki kamar lain.

Akhirnya dia menemukan apa yang dicarinya. Kamar Koo-taijin! Pembesar yang kurus kering itu ternyata sudah tertidur pulas, mendengkur di dalam pelukan seorang pelayan perempuan muda yang malam itu bernasib bagus dipilih majikannya untuk melayaninya. Tanpa mengeluarkan suara sehingga tidak terdengar oleh enam orang penjaga yang bermain kartu di dalam ruangan yang menembus ke kamar itu, bayangan tadi membuka jendela dan sekali meloncat dia telah berada di dalam kamar Koo-taijin. Sinar lampu kemerahan di kamar itu menimpa mukanya.

Ia masih muda. Antara dua puluh tiga tahun usianya. Wajahnya bulat dan kulit mukanya agak gelap, akan tetapi muka dan rambutnya terawat rapi sehingga nampak tampan sekali. Pakaiannya juga rapi dan indah, bersih dan terawat. Di pungungnya tergantung sepasang pedang yang berada dalam sarung pedang yang terukir indah. Gagang pedangnya bagus pula, dengan ronce-ronce biru.

Sejenak dia berdiri dalam kamar dan menyingkap kelambu. Apa yang sudah dilihatnya samar-samar dari luar kelambu tadi kini nampak jelas. Tubuh seorang wanita muda yang telanjang bulat memeluk tubuh kerempeng seorang kakek setengah telanjang. Bibir itu bergerak seperti membayangkan perasaan jijik, lalu tangan kirinya bergerak. Dua batang jarum halus yang harum baunya menyambar tengkuk wanita itu. Wanita itu menggerakkan tubuh berkelojotan, lalu mengeluh dan terlentang diam, pingsan karena dua jalan darah tertusuk dua batang jarum halus.

Dengan tenang pemuda itu menggulung tubuh Koo-taijin dengan selembar selimut, lalu mengempitnya dan membawanya keluar kamar. Tubuh itu tidak mampu bergerak atau berteriak karena sudah ditotoknya terlebih dahulu. Dia membawa tubuh pembesar itu melalui jendela dan tak lama kemudian dia sudah tiba di luar kamar di mana selir ke tiga pembesar itu masih berdekapan dengan Si Naga Besi. Daun jendela dibukanya dari luar dan setelah dia membebaskan totokannya pada tubuh Koo-taijin, dia lalu melemparkan tubuh itu ke dalam kamar, ke atas pembaringan di mana dua orang manusia itu sedang berjinah.

Begitu terbebas dari totokan, Koo-taijin yang semenjak tadi ketakutan setengah mati langsung bergerak. “Tolooonggg....!”

Tubuhnya terbanting ke atas pembaringan, di antara dua tubuh telanjang yang tumpang tindih.
“Brukkk....!”
“Aduhh…., aduhhh....!” Koo-taijin berteriak-teriak, juga selirnya ikut menjerit akibat tubuh suaminya itu jatuh menimpa dada dan kepalanya. Akan tetapi Si Naga Besi yang juga merasa terkejut sudah meloncat turun dari atas pembaringan, menyambar pakaiannya dan bergegas memakainya.

Ketika Koo-taijin melihat selirnya yang tersayang tidur bertelanjang bulat bersama Si Naga Besi, dia lupa akan rasa kaget dan takutnya. Seketika dia maklum apa yang terjadi antara selirnya dan jagoan itu. Dia sudah mendengar desas-desus di antara para pengawalnya bahwa salah satu di antara tiga jagoan yang menjaga keselamatannya itu kabarnya main gila dengan beberapa orang selirnya.

Akan tetapi karena dia tidak melihatnya sendiri, dia pun tidak percaya dan pura-pura tidak tahu. Apalagi pada waktu itu dia amat membutuhkan perlindungan dan bantuan tiga orang jagoan itu. Akan tetapi kini, melihatnya sendiri betapa selirnya ke tiga yang paling disayangnya berada dalam satu pembaringan bertelanjang bulat dengan Si Naga Besi, kemarahannya memuncak.

“Perempuan hina, apa yang sedang kau lakukan ini?” Dan dia tak dapat lagi menahan kemarahannya, ditinjunya muka selirnya dengan keras.
“Bukkk....!”

Perempuan itu sedang mengeluh kesakitan karena tadi kepala dan dadanya tertimpa tubuh suaminya, kini menjerit dan menangis sejadi-jadinya, tubuhnya terjengkang di atas kasur.

Koo-taijin semakin marah, turun dari pembaringan dan menyerang Si Naga Besi sambil memaki-maki, “Bajingan kamu! Berani meniduri isteriku?”

Dan dia mencoba untuk memukul jagoan yang sedang sibuk mengenakan pakaiannya itu. Akan tetapi, Si Naga Besi dengan tak sabar menangkis dan mendorong pembesar itu sehingga jatuh terjengkang.
“Tenanglah, taijin. Siapa yang melempar taijin?”

Pada saat itu terdengar suara ribut-ribut di luar kamar. Para penjaga tadi mendengar teriakan si pembesar itu dan mereka berlari ke sana-sini berebutan mencari majikan mereka yang tadi berteriak minta tolong. Mendengar pertanyaan Si Naga Besi, baru Koo-taijin teringat akan peristiwa tadi. Mukanya pucat dan sekali lompat dia sudah bersembunyi lagi ke dalam kelambu dan merangkul selir ke tiga yang tadi dipukulnya, tubuhnya menggigil ketakutan.
“Tolong.... penjahat.... pembunuh....!”

Dari luar terdengar pintu digedor-gedor oleh para pengawal. “Taijin…! Taijin…! Apakah paduka berada di dalam?”

Ketika Si Naga Besi hendak membuka pintu, setelah membereskan pakaiannya, tiba-tiba dari atas menyambar sesosok bayangan yang gerakannya cepat bagaikan seekor burung garuda menyambar. Kiranya bayangan itu adalah pemuda yang melemparkan tubuh Koo-taijin tadi, yang ternyata barusan bersembunyi di atas tiang melintang di atas kamar itu.

Melihat pemuda tampan ini, Si Naga Besi segera dapat menduga bahwa tentu inilah musuh yang dinanti-nanti, maka tanpa banyak cakap dia sudah menerjang ke depan dan menyerang dengan dahsyatnya. Pemuda itu tidak mengelak, melainkan menangkis dan begitu lengannya beradu dengan lengan Si Naga Besi, penjahat itu terpelanting dan meringis kesakitan. Lengannya yang tertangkis tadi rasanya seperti bertemu dengan baja membara saja, keras dan panas! Dia maklum akan kelihaian lawan dan sekali meloncat dia telah menyambar golok besarnya yang tadi dia letakkan di atas meja.

“Bocah setan bosan hidup!” bentaknya.

Dia memutar-mutar goloknya yang besar di atas kepalanya kemudian menerjang maju, menyerang secara membabi buta. Pemuda itu mengelak dengan loncatan ke kanan kiri, lalu menggerakkan tangan kiri. Nampak betapa golok menyambar lewat kepalanya dan tangan kirinya itu menonjok ke depan, disusul tendangan kaki kanannya.

“Tuk....! Bruukk!”

Golok terlepas ketika sodokan tangan kiri pemuda itu mengenai dada di bawah ketiak kanan lawan, dan pada saat tendangan mengenai perut membuat tubuh Si Naga Besi terlempar menimpa tembok, nyawanya telah melayang. Ternyata pukulan tangan kiri tadi sedemikian hebatnya sehingga mengguncang dan memecahkan jantungnya!

Pada saat itu daun pintu kamar pecah dan masuklah dua orang kakek yang bukan lain adalah Naga Merah dan Naga Hitam, masing-masing memegang pedang dan tombak gagang panjang. Di belakangnya nampak belasan orang pengawal yang memegang senjata, siap mengeroyok!

Pemuda itu tidak mempedulikan mereka. Dia memungut golok Si Naga Besi dan sekali menggerakkan kaki dia telah meloncat ke pembaringan, dengan tangan kiri menjambak Koo-taijin. Pembesar itu sedemikian ketakutan dan mendekap selirnya lebih kuat lagi sehingga ketika tubuhnya terseret turun dari pembaringan, selirnya ikut tertarik dan terbanting.

“Ampun....ampunkan saya....!” Pembesar itu meratap dan kini dia sudah melepaskan tubuh selirnya dan berlutut, merangkak dengan kedua tangan di depan dada.
“Orang she Koo! Engkau ini seorang pembesar kepala daerah yang jahat! Engkau sudah bersekongkol dengan para penjahat, korup dan makan sogokan. Engkau bukan pemimpin rakyat yang baik. Orang macam engkau ini sudah selayaknya mampus!”
“Ampun.... ampun, taihiap....!” Pembesar itu meratap.

Sementara itu, Naga Merah dan Naga Hitam sejenak tertegun saat melihat Naga Besi menggeletak tak bernyawa lagi. Kemudian melihat pemuda itu membelakangi mereka dan mencurahkan perhatiannya kepada pembesar yang berlutut di depannya, Naga Merah menggerakkan pedangnya sedangkan Naga hitam menggerakkan tombaknya, menyerang dari belakang.

“Wuuutt....! Singg....!”

Pedang menyambar kepala sedangkan tombak meluncur ke arah lambung pemuda itu. Pemuda itu masih tetap menjambak rambut si pembesar dengan tangan kirinya. Dia tidak mengelak, juga tidak menengok menghadapi serangan-serangan itu. Akan tetapi ketika pedang dan tombak itu sudah menyambar dekat, tangan kanannya bergerak dan golok tadi dia gerakkan ke belakang tubuhnya.

“Trang....! Cringg....!”

Pedang dan tombak itu tertangkis golok dan terpental, hampir saja terlepas dari tangan pemegangnya yang meloncat ke belakang dengan kaget. Kulit telapak tangan yang memegang pedang terasa panas dan perih.

“Pembesar Koo, sekali ini aku ampuni nyawamu. Lekas kau rubah cara hidupmu dan menjadi pembesar pelindung rakyat. Kalau tidak, lain kali aku pasti datang mengambil kepalamu!”

Golok berkelebat dan pembesar itu menjerit. Rambutnya terbabat habis dan hidungnya putus. Dia mendekap mukanya, dan darah mengalir dari celah-celah jari tangannya, mulutnya mengeluarkan suara sengau. “Aduh.... aduh.... aduh....!”

Sementara itu, dua orang jagoan sudah memberi aba-aba kepada para pengawal untuk mengeroyok. Akan tetapi para pengawal itu hanya mengacung-acungkan senjata dan tidak berani maju. Betapa pun juga, dengan adanya belasan orang pengawal itu, hati kedua jagoan menjadi besar dan mereka berdua sudah menerjang maju lagi. Si Naga Merah yang memegang pedang memutar pedang di atas kepala sedangkan Si Naga Hitam menggerak-gerakkan ujung tombak untuk menggertak, mencari saat yang tepat untuk menusuk.

“Penjahat-penjahat keji macam kalian hanya mengotorkan dunia saja!” Nampak dua sinar berkelebat.
“Trang.... trang....!”

Dua jagoan itu terbelalak kaget melihat senjata mereka yang patah-patah disambar dua sinar tadi. Akan tetapi sebelum mereka sempat menghindar, dua sinar pedang yang berada di kedua tangan pemuda itu kembali berkelebat dan robohlah Naga Merah dan Naga Hitam. Mereka berkelojotan dan nampaknya tidak luka, akan tetapi dari celah jari tangan mereka yang menutup dada nampak darah bercucuran. Kiranya dua batang pedang di tangan pemuda itu telah menusuk dada menembus jantung!

Para pengawal terkejut dan berebutan menyerbu. Pemuda itu sudah siap memutar sepasang pedangnya, akan tetapi tiba-tiba terdengar teriakan sengau dari Koo-taijin, “Tahan....! Jangan serang dia! Taihiap, harap ampunkan kami. Mulai sekarang kami hendak merubah semua kesalahan!”

Pemuda itu menoleh kepada pembesar yang terus mendekap hidungnya yang masih berdarah. Bukit hidung itu sudah lenyap terbabat pupus oleh golok tadi. Nyeri bukan main dan berdarah terus. Pemuda itu mengangguk, kemudian melemparkan sebuah bungkusan kepada pembesar itu.

“Bagus, taijin. Biar cacad badan, kelak paduka akan menjadi pemimpin rakyat yang baik. Pakailah obat ini, dilumurkan pada lukamu, tentu segera sembuh. Selamat tinggal!”

Baru saja kata-kata ini habis diucapkan, tubuh pemuda itu berkelebat ke arah langit- langit kamar. Terdengar suara keras pada saat atap itu jebol berlubang dan tubuhnya lenyap menerobos atap!

Ternyata di kemudian hari bahwa Koo-taijin benar-benar bertobat, berubah menjadi seorang pembesar yang baik, memperhatikan kepentingan rakyatnya dan mengerahkan pasukan keamanan untuk mengadakan pembersihan-pembersihan, membasmi sarang-sarang penjahat, bahkan tidak segan-segan menindak bawahannya yang melakukan penyelewengan.

Pemuda perkasa yang telah membunuh Lok-yang Sam-liong dan menghukum Koo-taijin itu berloncatan dari wuwungan ke wuwungan lain dengan kecepatan seperti terbang saja. Dia terus keluar kota dan memasuki kuil tua yang tak dipergunakan orang lagi. Tak lama kemudian dia sudah membuat api unggun di ruangan belakang, duduk bersemedhi di dekat api unggun. Buntalan pakaiannya terletak di dekatnya. Biar pun dia telah berhasil baik sekali dalam tugasnya sebagai pendekar pada malam itu, namun ketika cahaya api unggun menerangi wajahnya, dia sama sekali tidak kelihatan puas dan gembira.

Sebaliknya malah, wajahnya nampak suram muram. Wajah yang tampan itu digelapkan awan kedukaan dan sekali-kali dia menarik napas panang, lalu terdengar keluhannya dengan suara menggetar, “Gangga.... ahhh, Gangga....!”

Pemuda itu adalah Suma Ciang Bun. Seperti telah diceritakan di bagian depan, ketika mendengar bahwa Gangga pergi tanpa pamit dan menurut enci-nya pemuda Bhutan itu pergi ke Bhutan, Ciang Bun menjadi kaget dan berduka. Dia pun segera melakukan pengejaran ke barat. Akan tetapi, dia tidak menemukan jejak pemuda Bhutan itu!

Hatinya semakin rindu dan semakin berduka, takut kalau selamanya dia takkan dapat bertemu lagi dengan orang yang sangat dicintainya itu. Dia tidak berani melakukan perjalanan terlalu cepat, takut membuatnya semakin jauh dari Gangga. Dia melakukan perjalanan perlahan-lahan, berhenti di setiap kota untuk melakukan penyelidikan, lalu melanjutkan terus ke barat. Yang membuat dia berduka adalah karena dia tidak pernah berhasil mendapat keterangan tentang pemuda itu.

Untuk mengurangi kedukaan dan menghibur kekesalannya, Ciang Bun mulai bertindak sebagai seorang pendekar yang menentang semua penjahat yang diketahuinya. Juga dia memberi hajaran kepada para pejabat yang korup, seperti yang telah dilakukannya di Lok-yang tadi. Mulai dia dikenal sebagai seorang pendekar muda yang berilmu tinggi dan yang bertangan maut terhadap para penjahat. Memang dia tak mau mengampuni penjahat. Hal ini mungkin menjadi akibat dari semua pengalamannya.

Di Pulau Es dahulu dia menyaksikan betapa kakek dan kedua orang neneknya tewas dan Pulau Es lenyap karena perbuatan penjahat. Kemudian, betapa keluarga ayahnya tertimpa aib karena perbuatan penjahat pula. Semua ini memupuk semacam dendam kebencian di dalam hatinya terhadap para penjahat sehingga dia tak mau memberi ampun kepada setiap penjahat yang ditemuinya.

Suma Ciang Bun terbenam dalam kedukaan. Dia teringat akan rencana pernikahan enci-nya. Dia takkan dapat hadir dalam perayaan pernikahan itu. Dia sudah mengambil keputusan untuk tidak kembali sebelum dia dapat bertemu kembali dengan ‘pemuda’ yang dicintanya, Ganggananda.

“Aih.... Gangga, di manakah engkau berada....?” keluhnya penuh kerinduan sebelum dia tenggelam ke dalam semedhinya.

Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Ciang Bun sudah meninggalkan kuil itu dan melanjutkan perjalanannya ke barat. Dia tidak lagi memasuki kota Lok-yang karena selama beberapa hari ini dia sudah melakukan penyelidikan dan agaknya tidak ada seorang pun melihat pemuda Bhutan seperti Ganggananda di kota itu. Ciang Bun mulai menduga bahwa mungkin sekali pemuda itu mengambil jalan yang lain, tidak melalui Lok-yang. Akan tetapi bagaimana pun juga, pemuda itu terus menuju ke barat dan dia akan mencari terus sampai ke negeri Bhutan!

Ciang Bun mengambil jalan ke barat menyusuri sepanjang tepi Sungai Huang-ho. Pada waktu musim hujan membuat Sungai Huang-ho pasang dan airnya berlimpah-limpah. Dalam keadaan seperti itu, sungai ini menjadi liar, arusnya kuat sekali sehingga amat berbahaya untuk naik perahu menentang arus. Maka Ciang Bun hanya berjalan kaki saja, kadang-kadang mempergunakan ilmu lari cepat kalau melalui jalan sunyi. Dia akan pergi ke kota Si’an yang jauhnya masih antara tiga ratus kilometer dari situ. Kalau dia melakukan perjalanan cepat, dalam waktu empat hari saja dia sudah sampai di sana. Tentu saja kalau di tengah jalan tak ada sesuatu yang akan menyita waktunya.

Dua hari kemudian tibalah dia di sebuah puncak bukit. Dari puncak itu dia dapat melihat pemandangan yang amat indah. Sungai Huang-ho yang lebar nampak berkilauan dari atas. Sejauh mata memandang, tak nampak adanya dusun di sebelah barat, melainkan penuh hutan memanjang di sepanjang tepi sungai. Maka dia pun mengambil keputusan untuk melewatkan malam di tempat indah ini.

Ciang Bun lalu melepaskan buntalan dan siang-kiamnya dari punggung, menjatuhkan diri duduk di atas rumput hijau tebal lunak. Indah bukan main pemandangan menjelang senja itu. Indah dan sunyi. Sunyi sekali. Dia mengeluarkan sebungkus roti kering dan seguci air jernih dari buntalan. Akan tetapi ketika dia menoleh ke kanan kiri, merasa betapa sunyinya keadaan, betapa sepi dan kosong perasaan hatinya, roti kering itu tak jadi digigitnya.

Dia menyimpan kembali roti dan guci air. Tidak jadi makan atau minum walau pun perutnya lapar dan tenggorokannya haus. Dia tidak dapat makan karena pada saat itu hatinya dicekam keresahan dan kedukaan. Dia merasa betapa sepi hidupnya, betapa rindu kepada Ganggananda dan justru kerinduan inilah yang mendukakan hatinya. Terngiang di telinganya pertanyaan enci-nya ketika dia akan pergi mengejar Gangga.

“Yakinkah engkau bahwa cintamu terhadap Gangga itu murni? Ataukah hanya nafsu yang timbul karena dia seorang pemuda tampan?” Demikian enci-nya bertanya.

Ciang Bun menundukkan mukanya. Gangga adalah seorang pria! Dan bagaimana kalau Gangga mendengar pengakuan cintanya, mengerti bahwa dia adalah seorang dengan kelainan? Apakah Gangga akan memandangnya dengan jijik, akan menjadi marah, membencinya dan takkan sudi berdekatan lagi dengannya?

Ciang Bun mengangkat mukanya dan ternyata kedua pipinya yang menjadi pucat itu sudah basah semua. Dia menangis dan tidak mampu menahan perasaannya lagi. Ditutupnya mukanya dengan kedua tangan dan dia menangis tersedu-sedu, bagaikan anak kecil, seperti perempuan!

“Ciang Bun....!” Suara halus terdengar oleh Ciang Bun seperti nyanyian sorga. Seketika dia menurunkan kedua tangan dari mukanya.
“Gangga....? Gangga....?” bisiknya penuh keraguan, penuh harapan, penuh kegelisahan kalau-kalau tadi pendengarannya telah menipunya dan harapannya akan hampa. Akan tetapi ketika dia menoleh, di dalam cuaca remang-remang itu dia melihat pemuda itu dengan jelas! Bukan mimpi, bukan khayal!
“Gangga....!” Dia meloncat berdiri dan berlari menghampiri dengan lengan terbuka. Di situ Ganggananda berdiri memandang kepadanya dengan mata penuh haru, dengan bibir tersenyum.
“Ciang Bun....!” Katanya dengan air mata berlinang.

Ciang Bun mengembangkan kedua lengannya dan merangkul. Gangga diam saja dan membiarkan pemuda itu memeluk dan mendekapnya dengan kuat sekali. Ganggananda diam-diam harus melindungi tubuhnya dengan tenaga dalam dari pelukan Ciang Bun, kalau tidak bisa patah-patah tulang iganya didekap sekuat itu!

“Gangga.... ah, Gangga.... betapa girang hatiku, betapa.... rinduku kepadamu....!” Ciang Bun berbisik berkali-kali.

Dia mendekap tubuh itu seolah-olah hendak memasukkan Gangga ke dalam dadanya supaya tidak sampai dapat berpisah lagi. Kemudian, saking girangnya dapat bertemu dengan Gangga kembali, dan saking rindunya, dia lalu mencium pemuda itu, ciuman sayang dan mesra pada pipi kanannya. Dia merasa betapa tubuh Gangga gemetar keras dan tiba-tiba Ciang Bun teringat akan keadaan dirinya.

“Ahhh....!” Dia melepaskan pelukannya seperti melepas ular, lalu membalikkan tubuhnya dan menjambak-jambak rambutnya sambil menangis!
“Ciang Bun....!” Ganggananda terkejut, menghampiri dan menyentuh pundaknya. “Ada apakah....?”

Ciang Bun menutupi muka dengan kedua tangan, pundaknya bergoyang-goyang dan air mata menetes dari celah-celah jari tangannya. Melihat ini, Gangga Dewi menjadi terharu sekali. Betapa sikap pemuda ini seperti seorang wanita saja, padahal sepak terjangnya selama ini begitu gagah perkasa sebagai seorang pendekar sejati. Sungguh sulit membayangkan betapa seorang pemuda selihai ini, cucu Pendekar Super Sakti dari Pulau Es, dapat menangis sesenggukan seperti seorang wanita cengeng!

“Ciang Bun, ada apakah? Apakah yang menyusahkan hatimu?” tanyanya.

Ciang Bun mengusap air matanya dan dia lalu duduk di atas rumput tebal. Gangga Dewi juga duduk dan untuk menghilangkan suasana yang tidak enak itu, ia berkata. “Tahukah engkau betapa selama beberapa hari ini, dari sebelum engkau tiba di Lok-yang sampai sekarang, aku selalu membayangimu?”

Ucapan ini berhasil menolong. Ciang Bun yang sudah dapat menguasai hatinya, memandang heran. “Begitukah?” katanya. “Pantas aku tidak pernah dapat menyusulmu, kiranya engkau berada di belakangku.”

Gangga Dewi tersenyum dan suasana yang amat tidak enak bagi Ciang Bun tadi agak berubah, hatinya menjadi tenang kembali.

“Gangga, sebetulnya engkau hendak ke manakah? Apakah benar seperti keterangan enci Hui bahwa engkau hendak pulang ke Bhutan?”
“Dan kau sendiri hendak ke mana?” Gangga balas bertanya.
“Aku.... aku hendak menyusulmu. Karena engkau pergi tanpa pamit padaku....”
“Aku memang tidak pamit karena masih pagi sekali dan aku memang ingin pulang ke Bhutan. Kenapa engkau mengejarku?”
“Aku....? Aku.... merasa kehilangan sekali ketika engkau pergi, Gangga. Aku.... aku rindu sekali kepadamu.”
“Kau memang sahabatku yang amat baik, Ciang Bun. Akan tetapi di antara sahabat, ada waktu berkumpul dan ada waktu berpisah.”
“Akan tetapi aku tidak mau berpisah darimu, Gangga. Selamanya jangan sampai kita berpisah!”
“Ehhh, mengapa begitu? Mana mungkin begitu?”
“Gangga, aku.... aku cinta padamu, Gangga!”

Gangga Dewi sengaja mengatur sikap untuk menguji batin Ciang Bun sesuai dengan rencananya menolong pemuda itu sembuh, walau pun jantungnya terasa berdebar dan kedua pipinya terasa panas. Ia pura-pura terbelalak heran.

“Tentu saja, aku pun suka sekali kepadamu, Ciang Bun. Kita memang sahabat yang saling mencinta, sahabat karib, bukan?”
“Tidak, tidak! Bukan begitu, aku.... aku.... ahhh....!” Dan pemuda itu menunduk untuk menyembunyikan mukanya.

Gangga Dewi memegang pundak Ciang Bun. “Ciang Bun, ada apakah? Sikapmu begini aneh. Tadi juga kau.... menangis. Ada apakah?”

Inilah saatnya! Saat yang selama ini amat menggelisahkan hatinya. Tetapi, bagaimana pun, apa pun yang akan menjadi akibatnya, dia harus mengaku terus terang kepada Ganggananda. Mungkin Gangga akan menjadi jijik kepadanya, mungkin menjadi marah, membencinya sehingga mungkin juga akan meninggalkannya, untuk selamanya. Akan tetapi dia harus berani menanggung akibatnya.

Lebih baik menghadapi kenyataan dan memperoleh kepastian, betapa pun pahitnya, dari pada tersiksa dalam keraguan dan ketidaktentuan, terus-menerus tenggelam dalam kerinduan dan kebimbangan. Dia harus berani bersikap gagah sebagaimana layaknya seorang pendekar!

Maka, dia cepat menghapus air matanya. Untung baginya bahwa cuaca sudah mulai gelap sehingga Gangga tidak dapat melihat mukanya dengan jelas. Hal ini menolongnya dan mengurangi rasa sungkan dan malunya.

“Gangga, sahabatku yang baik, kalau aku berterus terang dan kata-kataku menyinggung dan tidak menyenangkan hatimu, maukah engkau.... memaafkan aku?”

Diam-diam Gangga Dewi merasa terharu sekali. Ia merasa kasihan kepada pemuda itu dan ia tahu betapa sukarnya bagi Ciang Bun untuk menjawab pertanyaannya tadi.

“Tentu saja, Ciang Bun. Orang yang berterus terang, berarti mempunyai maksud baik dan sudah sepatutnya kalau dimaafkan.”
“Tapi.... tapi aku....” Ciang Bun menghentikan lagi kata-katanya, nampak berat sekali untuk membuat pengakuan dan menceritakan keadaan dirinya.
“Engkau kenapa? Katakanlah!”

Ciang Bun mengepal tinju dan menguatkan hatinya. Dia seorang pendekar, tdak boleh bersikap lemah. “Gangga, aku akan bicara terus terang dan mungkin sekali akan tidak menyenangkan hatimu, tidak enak kau dengar.”

Melihat sikap tegas ini, Gangga tersenyum. “Nah, begitu lebih patut bagimu, pendekar Suma Ciang Bun. Bicaralah!”

“Gangga, tadi aku mengatakan bahwa aku cinta padamu, tetapi bukan seperti yang kau maksudkan, tidak seperti yang kau sangka. Bukan cinta sebagai seorang sahabat!”

Gangga sudah tahu akan keadaan pemuda ini dari Suma Hui, akan tetapi ia pura-pura heran. Dia memandang dengan mata terbelalak. “Apa maksudmu? Aku tidak mengerti, Ciang Bun.”

“Tidak terasakah olehmu saat aku.... memelukmu tadi? Aku.... ketika aku.... menciummu tadi? Nah, cintaku seperti itulah!”
“Tapi aku.... aku seorang pria juga!” Gangga memancing.
“Itulah, Gangga, justru itulah! Aku.... aku bukan seorang yang waras.... aku seorang yang sakit dan menderita kelainan. Karena itulah aku merana dan aku.... takut kalau kau menjadi benci kepadaku, menjadi jijik lalu meninggalkan aku untuk selamanya....”

Pemuda itu menundukkan mukanya, tidak menangis lagi tapi terbenam dalam kedukaan besar. Gangga Dewi memandang dan hatinya terharu. Ia sendiri belum merasa yakin benar apakah ia mencinta pemuda ini setelah mengetahui rahasianya dari Suma Hui. Yang jelas ia tidak membenci, tidak jijik melainkan heran, terkejut dan kasihan sekali.

“Ciang Bun,” katanya halus. “Sebetulnya apakah yang sedang kau derita itu? Kelainan dan penyakit bagaimanakah yang kau maksudkan?”

Ciang Bun menghela napas panjang. Betapa pun sukar dan beratnya, dia tetap harus berterus terang, harus menceritakan semua tentang dirinya kepada orang yang sangat dicintanya ini.

“Gangga, mungkin engkau akan kaget, heran dan jijik setelah mendengar penyakit apa yang mengganggu diriku. Baiklah aku mengaku terus terang saja, Gangga. Aku adalah seorang laki-laki yang berselera wanita. Aku tidak tertarik kepada wanita sebagai teman hidup, tetapi aku tertarik kepada sesama pria. Aku hanya bergairah terhadap seorang pemuda, aku hanya dapat jatuh cinta kepada seorang pria! Dan aku…. aku…. cinta padamu. Bukan hanya sebagai sahabat, melainkan lebih mendalam lagi, seperti.... seperti cinta suami isteri.... Aku ingin hidup bersamamu, selamanya di sampingmu dalam suka mau pun duka, tidak akan terpisah lagi. Nah, aku sudah menceritakan semua dan.... dan engkau tentu muak dan membenciku!”

Hening sejenak. Gangga Dewi teringat akan siasat yang diatur Suma Hui. Memang, ia berjanji untuk membantu penyembuhan pemuda ini. Tetapi hanya untuk mengguncang batinnya, menyadarkannya dengan harapan mudah-mudahan pemuda itu akan dapat sembuh, melalui cinta pemuda itu terhadap dirinya. Akan tetapi, ia sendiri tidak yakin apakah ia juga mencinta pemuda ini. Ia merasa suka dan kagum, akan tetapi cinta? Ia sendiri belum tahu benar, apalagi setelah melihat kelainan yang ada pada batin Ciang Bun.

“Ciang Bun, jadi kau.... kau mencinta diriku?”
“Aku cinta padamu, Gangga, walau pun aku maklum bahwa mungkin sekali engkau akan merasa muak dan membenciku.”
“Engkau mencinta diriku karena.... aku seorang pria, seorang pemuda yang menarik hatimu?” Sepasang mata yang bening tajam itu bersinar menyaingi bintang-bintang yang mulai bertebaran di langit, berusaha menembus kegelapan untuk dapat menjenguk isi dada pemuda itu dan mengetahui isi hatinya.

Ciang Bun mengangguk, teringat bahwa cuaca gelap dan Gangga tidak akan dapat melihatnya, maka dia berkata gagap, “Ya.... ya, begitulah....!”

Tiba-tiba Gangga bangkit berdiri. “Hemm, jadi yang kau cinta hanyalah diriku sebagai seorang pemuda yang menarik? Ciang Bun, jika engkau hanya membutuhkan pemuda tampan menarik, mudah saja bagimu untuk memperolehnya setiap saat dan di mana pun! Aku.... aku tidak sudi menjadi korban nafsu-nafsumu!” Setelah berkata demikian Gangga meloncat jauh dan lari.

Sejenak Ciang Bun termangu. Dia sudah menduga bahwa pengakuannya itu tentu akan berakibat hebat, namun begitu dia teringat bahwa Gangga telah pergi meninggalkannya, mungkin untuk selamanya, dia pun meloncat dan mengejar turun dari puncak bukit.

“Gangga....! Tunggu dulu, aku mau bicara denganmu!”
Gangga berhenti, membalik dan menanti sambil bertolak pinggang. “Mau bicara apa lagi?” tanyanya angkuh.

“Gangga, maafkan kalau aku telah menyinggung perasaanmu dengan kata-kataku tadi yang bodoh dan canggung. Gangga, aku cinta padamu, sungguh bukan hanya karena engkau seorang pemuda tampan yang menarik. Tidak! Aku cinta padamu karena dirimu, karena pribadimu, biar ditukar seribu orang pemuda tampan sekali pun aku tidak mau!”
“Ciang Bun, engkau tadi mengatakan bahwa engkau tidak suka kepada wanita, begitu bukan?”
“Benar, Gangga, dan itulah penyakitku, itulah kelainan diriku....”
“Nah, sekarang lihat baik-baik, Ciang Bun, lihat baik-baik!”

Gangga lalu menggunakan tangannya melepas kain pengikat dan penutup rambutnya, menanggalkan pula alis palsunya. Rambutnya yang halus panjang terurai lepas. Biar pun cuaca remang-remang akan tetapi cukup terang bagi Ciang Bun untuk melihat perubahan itu dan dia pun terbelalak.....

“Gangga....! Kau.... kau....”
“Namaku Gangga Dewi, aku seorang wanita yang menyamar pria agar aman dalam perjalanan. Nah, aku seorang wanita dan engkau tidak bisa jatuh cinta kepada wanita, bukan? Selamat tinggal!”

Gangga Dewi meloncat dan terus lari secepatnya, meninggalkan Ciang Bun yang berdiri bengong dengan wajah pucat. Gangga ialah seorang wanita! Kenyataan ini merupakan pukulan hebat baginya. Baru sekarang dia mengerti akan pertanyaan enci-nya apakah dia mencinta pribadi Gangga ataukah hanya karena Gangga dianggapnya pria saja.

Kalau Gangga tadi bertanya seperti enci-nya, agaknya masih mudah baginya untuk menjawab bahwa dia mencinta Gangga, mencinta pribadinya, bukan karena Gangga seorang pria. Akan tetapi, Gangga tidak hanya bertanya, melainkan dengan mendadak saja merubah dirinya, membuka rahasianya. Hal ini membuat Ciang Bun terkejut dan batinnya terguncang hehat, membuat dia tidak mampu mengambil keputusan, tidak tahu harus berbuat apa.

Gangga seorang wanita! Kenyataan ini amatlah hebatnya, terlalu hebat mengguncang perasaannya sehingga dia hanya berdiri terbelalak seperti patung. Dia tidak mengejar lagi sekarang. Terlalu bingung dan pada saat itu, dia sendiri pun tidak tahu bagaimana perasaan hatinya terhadap Gangga. Masih tetap mencintakah? Dia tidak tahu.

Yang terasa pada saat itu hanyalah kekecewaan, keheranan dan penyesalan. Rasa kecewa jauh lebih besar dan dia dicekam kekecewaan yang membuat seluruh tubuh terasa lemas. Dia merasa seolah-olah piala harapan yang dirawatnya baik-baik dan dipuja-pujanya itu mendadak hancur berkeping-keping.

“Ya Tuhan, apa yang harus kulakukan?” ratapnya sambil menutupi muka dengan kedua tangannya. Kedua kakinya gemetar dan dia pun jatuh terduduk di atas tanah.

Cinta asmara didorong oleh nafsu birahi yang timbul karena kecocokan selera dan daya tarik alamiah yang memang ada dalam diri setiap makhluk antara jantan dan betina. Daya tarik alamiah ini memang sangat diperlukan guna perkembang biakan segala makhluk hidup. Dengan adanya daya tarik ini, jantan dan betina didorong untuk saling mendekati, berhubungan dan berkembang biak. Oleh sebab itu di dalamnya terkandung kenikmatan dan kepuasan, seperti juga halnya makan atau minum yang mengandung keenakan dan kepuasan sebagai daya tarik penyambung hidup, pengisian kebutuhan badan.

Kenikmatan dan kepuasan ini, yang menjadi pendorong pengisian kebutuhan badan, sebaliknya dapat menjadi racun bagi batin. Batinlah yang dicengkeram oleh kenimatan sehingga mencandu dan batin yang mendorong kita untuk mengejar-ngejar dan mengulangi segala kenikmatan dan kepuasan itu, batin yang mendorong kita untuk mengejar kesenangan itu. Padahal, kesenangan itu terpisahkan dari kesusahan dan kepuasan tak terpisahkan dari kekecewaan, apabila kita kejar-kejar.

Dalam pengejaran terkandung harapan atau keinginan memperoleh, dan harapan inilah yang melahirkan kekecewaan apabila gagal diperoleh. Karena ulah batin sendiri, maka cinta asmara yang sedianya menjadi pendorong sesuatu yang dapat kita nikmati, seperti kelezatan makan selagi lapar dan kepuasan minum selagi haus, sebaliknya menjadi ajang pertentangan antara senang dan susah, antara puas dan kecewa.

Ciang Bun tenggelam ke dalam duka dan kebimbangan. Ada perasaan yang saling bertentangan bergelut di dalam batinnya. Di satu pihak dia ingin selalu berdampingan dengan pemuda Ganggananda, di lain pihak dia tidak mungkin dapat mendekati dan bermesraan dengan gadis Gangga Dewi. Padahal, Ganggananda dan Gangga Dewi adalah satu orang juga! Ketika dia teringat bahwa Gangga telah meninggalkannya, mungkin untuk selamanya, hatinya merana.

“Gangga....!” Dia berseru dan meloncat berdiri, hendak mengejar. Akan tetapi dia segera teringat bahwa Gangga adalah seorang wanita dan tiba-tiba saja kedua kakinya mogok dan berhenti berlari.
“Gangga.... ahhh, Gangga....” Ciang Bun menutupi muka dengan kedua tangan seolah-olah terasa ngeri menyaksikan keadaan dirinya sendiri dan dia membiarkan dirinya hanyut dalam ketidak tentuan yang menimbulkan duka…..

********************
Kam Hong, pendekar sakti yang halus budi bahasanya dan sederhana hidupnya itu masih tetap tinggal dan menghuni istana kuno di puncak Bukit Nelayan, di Pegunungan Tai-hang-san. Usianya sudah lima puluh tahun lebih, akan tetapi karena dia hidup di pegunungan yang sunyi dan berhawa sejuk bersih, apa lagi karena dia tidak pernah mencampuri urusan dunia sehingga kehidupannya tenang dan penuh damai, maka dia nampak masih amat muda, bahkan belasan tahun lebih muda dari pada usianya yang sebenarnya.

Seperti biasa, dia selalu memakai pakaian sasterawan yang sederhana dan kebesaran. Melihat sepintas lalu, orang akan memandang rendah kepadanya. Seorang sasterawan setengah tua yang nampaknya malas-malasan, hanya bermain suling saja yang menjadi kesukaannya. Sedikit pun, dalam gerak gerik mau pun sikapnya, dia tak nampak seperti seorang pendekar. Akan tetapi, jika orang menyaksikan kelihaiannya, dia akan bergidik dan takjub.

Pendekar ini telah menguasai banyak sekali ilmu silat gemblengan yang ampuh-ampuh. Dialah pewaris ilmu-ilmu silat yang amat tinggi dari Pendekar Suling Emas yang menjadi nenek moyangnya. Dari Sai-cu Kai-ong dia mewarisi ilmu-ilmu silat, antara lain yang hebat adalah Khong-sim Sin-ciang (Tangan Sakti Hati Kosong) dan Sai-cu Ho-kang (Auman Singa). Dari Sin-siauw Seng-jin dia mewarisi ilmu-ilmu peninggalan Suling Emas, antara lain yang hebat adalah Hong-in Bun-hwat (Silat Sastera Angin Hujan), Pat-sian Kiam-hoat (Ilmu Pedang Delapan Dewa), dan Lo-hai San-hoat (Ilmu Kipas Pengacau Lautan).

Biasanya pedangnya diganti dengan suling dan dimainkan bersama kipas, sungguh sukar dicari tandingnya. Semua warisan ilmu itu diperhebat secara berlipat ganda pada saat dia secara kebetulan sekali mewarisi ilmu mukjijat dari jenazah kuno, yaitu ilmu Kim-siauw Kiam-sut (Ilmu Pedang Suling Emas) dan Kim-kong Sim-in yaitu ilmu meniup suling yang mengandung getaran khikang amat kuatnya sehingga suara tiupan itu saja dapat merobohkan lawan tanpa menyentuhnya.

Seperti telah diceritakan di bagian depan, pendekar ini hidup tenteram di tempat sunyi itu bersama isterinya dan anak tunggalnya, yaitu Kam Bi Eng. Ketentraman itu sempat terganggu hebat dengan menimpanya mala petaka yang menewaskan enam orang pelayan atau murid mereka dan hampir saja puteri mereka juga tertimpa bencana kalau saja tidak diselamatkan oleh Suma Ceng Liong. Mala petaka itu dikarenakan oleh penyerbuan Hek-i Mo-ong dan Jai-hwa Siauw-ok bersama seorang muridnya yang lihai, yang bukan lain adalah Louw Tek Ciang.

Kini Kam Bi Eng ikut bersama calon mertuanya, Sim Hong Bu, untuk memperdalam ilmu silat. Sedangkan putera Sim Hong Bu yang bernama Sim Houw, yang telah ditunangkan dengan gadis itu, berada di istana tua Khong-sim Kai-pang untuk memperdalam ilmunya pula kepada pendekar Kam Hong. Memang sudah disetujui bersama oleh Kam Hong dan Sim Hong Bu untuk menggabung kedua ilmu mereka yang sebenarnya berasal dari satu sumber akan tetapi yang diciptakan untuk saling menentang itu.

Pagi hari suasana di sekitar istana kuno Khong-sim Kai-pang di puncak Bukit Nelayan sunyi dan tenteram. Matahari pagi bersinar cerah seperti biasa, memandikan seluruh permukaan puncak dengan sinar perak lembut yang menghidupkan. Sejak fajar tadi, Sim Houw telah berlatih silat seorang diri di kebun belakang.

Pemuda ini memang tekun sekali. Dalam waktu tiga tahun saja, di bawah bimbingan Kam Hong, dia telah menguasai inti dari Ilmu Pedang Suling Emas dan dibantu oleh Kam Hong menggabungkan Kim-siauw Kiam-sut (Ilmu Pedang Suling Emas) dengan Koai-liong Kiam-sut (Ilmu Pedang Naga Siluman) yang dipelajarinya dari ayahnya. Biar pun Ilmu Pedang Kim-siauw Kiam-sut yang dipelajarinya dari Kam Hong itu tentu saja tidak sehebat yang dikuasai calon mertuanya dan ilmu Koai-liong Kiam-sut juga tidak sehebat yang dikuasai ayahnya, namun penggabungan kedua ilmu ini benar-benar amat hebat sehingga dalam usianya yang baru sembilan belas tahun itu ilmu pedangnya tidak kalah kuat dibandingkan dengan ayahnya mau pun calon ayah mertuanya.

Pendekar Kam Hong sejak pagi juga sudah bangun dan setelah berjalan-jalan ke atas puncak selama beberapa jam, kini dia duduk menikmati suasana pagi yang cerah itu di depan istana kuno seorang diri. Isterinya, Bu Ci Sian, sedang sibuk menyiapkan sarapan mereka di dapur.

Gerakan dua bayangan orang itu sejak tadi sudah ditangkap oleh pandang mata pendekar Kam Hong dan diam-diam sambil duduk tenang menikmati burung-burung yang menyambut datangnya pagi dengan gembira, dia memperhatikan. Dia tidak tahu siapa adanya kedua orang itu, akan tetapi melihat betapa mereka itu menyelinap dari pohon ke pohon, dan melihat pula gerakan mereka yang ringan dan cepat, Kam Hong sudah dapat menduga bahwa mereka berdua itu memiliki kepandaian tinggi dan tentu datang bukan dengan niat baik sebab datangnya menyelinap bagai orang bersembunyi.

Namun, dia tidak mau mengambil kesimpulan atau berprasangka, melainkan menanti dengan sikap tenang. Semenjak kematian para pelayan tiga tahun yang lalu, dia tidak menggunakan tenaga pelayan lagi. Kini dia hidup bertiga saja bersama isterinya dan muridnya atau calon mantunya, cukup lihai untuk dapat melindungi dirinya sendiri.

Dia tidak mau lagi membahayakan keselamatan orang lain dengan mempergunakan bantuan tenaga pelayan, karena dia tahu bahwa di sana banyak terdapat orang-orang dari golongan hitam yang memusuhinya dan memusuhi isterinya. Siapa tahu masih ada orang-orang yang mendendam kepada keluarganya dan kalau musuh datang selagi dia dan keluarganya tidak ada atau sedang lengah, tentu para pembantu atau pelayan yang akan tertimpa mala petaka. Dia tidak mau peristiwa menyedihkan itu terulang kembali. Karena itulah maka melihat dua bayangan orang yang mencurigakan itu, dia bersikap tenang saja, diam-diam dia memperhatikan dan menduga-duga siapa gerangan mereka itu dan apa yang terkandung dalam hati mereka.

Dua orang itu agaknya kini dapat melihat pula pendekar yang duduk seorang diri di depan istana kuno itu dan mereka muncul dari balik pohon-pohon dan langsung kini melangkah lebar menghampiri Kam Hong. Pendekar ini sekarang dapat melihat mereka, dua orang pria muda yang bersikap gagah. Kam Hong memandang penuh perhatian, merasa pernah melihat mereka, atau setidaknya seorang di antara mereka yang bertubuh pendek tegap dan bermuka putih tampan. Dia memperhatikan wajah mereka.

Yang bertubuh pendek tegap itu berusia kurang lebih tiga puluh tahun, pakaiannya pesolek atau setidaknya rapi sekali. Wajahnya cerah dan terhias senyum, sepasang matanya membayangkan kecerdikan, langkahnya tegap dan membayangkan tenaga sinkang yang kuat. Orang ke dua lebih muda, paling banyak usianya dua puluh lima tahun, pakaiannya sederhana berwarna hijau, sikapnya pendiam dan alisnya berkerut, wajahnya diliputi keraguan dan kebimbangan, tidak seperti kawannya yang nampak lebih tabah.

Kam Hong adalah seorang pendekar yang telah mencapai tingkat tinggi. Biasanya, para datuk atau pendekar yang sudah tinggi tingkatnya, bersikap dingin dan memandang rendah kepada orang-orang muda. Akan tetapi Kam Hong adalah seorang sasterawan pula yang menjunjung tinggi kesusilaan dan sopan santun, maka begitu dua orang menghampirinya, dia bangkit berdiri dan menyambut mereka dengan sikap hormat.

“Dua orang sobat yang muda dan gagah perkasa, siapakah, dari mana dan kabar baik apakah yang ji-wi bawa?”

Melihat kegagahan dan keramahan orang yang berpakaian sasterawan ini, si baju hijau cepat membalas dengan penghormatannya. Sikap Kam Hong ini saja sudah membuat hatinya amat terpukul dan dia menjadi kagum. Si baju hijau ini adalah Pouw Kui Lok, sedangkan si pendek tegap adalah Louw Tek Ciang.

Seperti telah kita ketahui, kedua orang ini ditemukan oleh Cu Han Bu dan Cu Seng Bu di kuil Kun-lun-pai yang mengangkat keduanya menjadi murid-murid dan dibawa ke Lembah Naga Siluman. Selama tiga tahun mereka digembleng oleh dua orang tokoh barat itu dan kini mereka datang ke puncak Bukit Nelayan sebagai utusan para tokoh keluarga Cu untuk menebus kekalahan mereka terhadap Kam Hong!

Begitu bertemu dengan Pendekar Suling Emas Kam Hong dan melihat sikapnya, Pouw Kui Lok segera merasa tunduk dan kagum, maklum bahwa dia berhadapan dengan seorang pendekar sakti yang rendah hati dan budiman. Biar pun dia maklum bahwa adalah menjadi tugas kewajibannya untuk menghadapi pendekar sakti ini sebagai lawan untuk berbakti kepada guru-gurunya, yaitu keluarga Cu sebagai balas budi mereka, namun dia sebagai seorang pendekar merasa ragu-ragu dan bimbang. Andai kata yang menjadi musuh guru-gurunya itu adalah seorang penjahat, atau setidaknya orang yang berwatak sombong, tentu tugasnya akan terasa ringan dan hatinya tak diliputi keraguan lagi.

Berbeda lagi dengan apa yang terasa di hati Louw Tek Ciang. Orang ini sama sekali tak memiliki jiwa pendekar walau pun pada lahirnya dia pandai sekali membawa diri dan berlagak bagai seorang pendekar sejati. Di dalam hatinya, begitu melihat pendekar yang pernah merobohkan dia dan gurunya ini, timbul suatu kebencian serta dendam yang besar. Ingin sekali ia dapat membalas dan jika mungkin membunuh pendekar itu, bukan demi membalas budi keluarga Cu yang sudah menurunkan ilmu-ilmunya kepadanya, melainkan demi membalas dendamnya sendiri.

Namun dia amat cerdik. Oleh Pouw Kui Lok yang kini menjadi sute-nya karena mereka berdua sama-sama menjadi murid keluarga Cu, dia dikenal sebagai seorang yatim piatu yang berjiwa pendekar. Kui Lok tidak pernah dia ceritakan tentang keadaan dirinya, kecuali hanya bahwa dia adalah murid keturunan pendekar Pulau Es! Sama sekali dia tak pernah bercerita bahwa dia menjadi murid Jai-hwa Siauw-ok dan bersekutu dengan Hek-i Mo-ong menyerbu ke Bukit Nelayan. Maka kini, melihat betapa Kam Hong tidak mengenalnya, dia pun diam saja dan pura-pura belum pernah bertemu dengan Kam Hong. Bahkan dia membiarkan Kui Lok untuk menjawab pertanyaan tuan rumah itu.

Karena suheng-nya diam saja tidak menjawab, Pouw Kui Lok cepat-cepat membalas penghormatan tuan rumah dan dialah yang menjawab dengan suara lantang akan tetapi dengan sikap menghormat. “Apakah locianpwe yang bernama Kam Hong?”
“Benar orang muda, aku yang bernama Kam Hong.”
“Locianpwe, kami berdua adalah murid-murid dari Lembah Naga Siluman yang sedang ditugaskan oleh para suhu Cu Han Bu dan Cu Seng Bu untuk menebus kekalahan mereka dan menandingi locianpwe!” Sambil berkata demikian, Pouw Kui Lok mencabut pedangnya diikuti pula oleh Louw Tek Ciang yang merasa girang bahwa Kui Lok tidak memperkenalkan nama.

Memang pemuda baju hijau ini tidak memperkenalkan nama karena mereka datang bukan karena urusan pribadi melainkan hanya mewakili guru-guru mereka. Dan pula, Pouw Kui Lok yang merasa lebih kuat kalau menggunakan pedang, telah mendahului mencabut pedang.

Dia sudah mendengar bahwa lawannya ini adalah Pendekar Suling Emas yang biasa menggunakan suling sebagai senjata, maka dia mendahului mencabut pedangnya untuk memaksa lawan bertanding dengan senjata. Pemuda ini pun cerdik karena jika mereka bertanding dengan tangan kosong, dia dapat membayangkan bahwa dalam hal tenaga sinkang dan ilmu silat tangan kosong, agaknya dia bukanlah tandingan pendekar sakti yang tentu sudah lebih banyak pengalamannya itu.

Tek Ciang yang biasanya mengandalkan tangan kaki dan ilmu-ilmu silatnya yang banyak macamnya, kini pun mempergunakan senjata pedang karena di Lembah Naga Siluman dia memperoleh latihan yang mendalam dalam ilmu pedang. Dia pun sudah mengenal baik kehebatan pendekar itu, maka dia juga bersikap hati-hati sekali.

Kam Hong menarik napas panjang. Hatinya menyesal sekali mendengar bahwa dua orang muda yang gagah perkasa dan bersikap seperti pendekar-pendekar gagah ini ternyata datang sebagai musuh dan lawan. Apa lagi mendengar bahwa mereka itu mewakili keluarga Cu di Lembah Naga Siluman, dia semakin menyesal.

Bagaimana pun juga, antara keluarga Pendekar Suling Emas, nenek moyangnya, dengan keluarga Cu sebetulnya terdapat hubungan yang amat dekat, mengingat bahwa mereka berasal dari satu sumber. Dan dia pun tahu bahwa permusuhan keluarga Cu terhadap Suling Emas yang diciptakan oleh nenek moyang keluarga Cu ternyata jatuh ke tangan keturunan keluarga Kam.

Dia merasa menyesal mengapa keluarga Cu demikian picik pandangan, demikian lemah batinnya sehingga mudah dikuasai iri dan dendam hanya karena pernah dikalahkannya. Padahal, selain iri, tidak ada urusan lain yang membuat mereka harus barhadapan sebagai musuh.

“Aih, sobat-sobat muda yang baik. Sungguh merupakan kehormatan bagiku menerima kunjungan kalian dari tempat yang jauh, dan kehormatan itu akan disertai kegembiraan besar kalau sekiranya ji-wi datang sebagai sahabat-sahabat. Akan tetapi sayang, ji-wi datang dengan maksud mengajak bertanding. Mengapa keluarga Cu belum juga mau menghabiskan urusan kecil yang tidak ada artinya itu? Bagaimana kalau ji-wi pulang saja dan melaporkan kepada kedua orang locianpwe itu bahwa aku mengaku kalah dan menyampaikan permintaan maafku kepada mereka?”

Mendengar ucapan ini, seketika hati Pouw Kui Lok jatuh dan andai kata dia seorang diri yang mewakili keluarga Cu, tentu dia akan mundur teratur dan dengan senang hati menyampaikan pesan yang sangat bijaksana itu. Belum pernah dia bertemu dengan seorang pendekar yang begini rendah hati, padahal pendekar ini telah mengalahkan kedua orang gurunya, tokoh-tokoh Lembah Naga Siluman. Bukan main!

Akan tetapi, selagi dia meragu dan bimbang, tidak tahu harus bersikap bagaimana, Tek Ciang sudah menjawab dengan suara lantang.

“Tidak mungkin! Kami adalah utusan suhu dan sebagai murid-murid yang berbakti kami harus membalas budi kebaikan suhu dengan melaksanakan tugas sebaik-baiknya. Hanya ada dua pilihan bagi kami. Pertama, kalau kami kalah biarlah kami berdua tewas dalam melaksanakan tugas kami atau kalau locianpwe tidak mau melawan kami, maka locianpwe harus ikut dengan kami sebagai tawanan dan kami hadapkan kepada suhu kami untuk diambil keputusan.”

Kam Hong mengangguk-angguk. Jawaban yang singkat dan gagah. “Sobat-sobat muda, ketahuilah bahwa sesungguhnya antara Lembah Naga Siluman dan keluargaku tidak ada permusuhan apa-apa, hanya kekerasan hati guru-gurumu yang tak mau menerima kekalahan dalam pertandingan yang sudah wajar. Karena itu, tidak mungkin kalau aku harus menghadap ke sana sebagai tawanan. Dan pertentangan antara guru-gurumu dengan aku pun bukan merupakan permusuhan yang haus darah dan nyawa. Maka, biarlah aku yang sudah mulai tua dan malas ini membuka mata melihat kemajuan para muda masa kini. Tetapi, harap ji-wi suka memberi tahukan nama ji-wi agar perkenalan ini menjadi lebih akrab.”

“Kami datang bukan untuk berkenalan, juga tidak membawa urusan pribadi, melainkan sebagai murid-murid Lembah Naga Siluman yang hendak menebus kekalahan. Karena itu, locianpwe tidak perlu mengetahui nama pribadi kami, cukup kalau mengetahui bahwa kami berdua adalah murid-murid dari suhu Cu Han Bu dan suhu Cu Seng Bu,” jawab Tek Ciang lagi mendahului sute-nya. “Locianpwe, cabutlah suling emasmu itu dan ingin kami melihat sampai di mana kehebatan suling emas yang tersohor itu!” Sengaja Tek Ciang menambahkan untuk memanaskan hati pendekar itu dengan nada suara mengejek.

Sepasang alis Kam Hong berkerut, akan tetapi dia masih tenang saja. “Kalau ji-wi memaksa, apa boleh buat. Akan tetapi biarlah sulingku kupakai untuk meniup lagu-lagu merdu saja, tidak perlu kupakai untuk bertanding.”

Pada saat itu nampak berkelebat bayangan yang amat cepat dari dalam rumah dan tahu-tahu di situ telah berdiri seorang nyonya yang usianya sudah tiga puluh enam atau tujuh tahun, akan tetapi masih nampak jauh lebih muda dari pada usianya. Nyonya ini sudah memegang sebatang suling emas kecil mungil dan mukanya nampak merah, matanya berkilat saat dia memandang pada dua orang laki-laki muda yang memandang kaget dan kagum akan kecepatan gerak wanita ini.

“Dua orang bocah banyak lagak! Murid-murid Lembah Naga Siluman mana ada yang tak sombong? Guru-gurunya pun orang-orang yang kukuh, keras kepala dan sombong. Apakah kalian mengira akan mampu mengalahkan kami?”
“Nio-cu....!” Suaminya mencegah.

Akan tetapi Bu Ci Sian, nyonya itu, yang tadi sudah mendengar percakapan antara suaminya dan dua orang pendatang itu, sudah marah. “Kalian minta agar suamiku menjadi tawanan dan kalian bawa menghadap ke Lembah Naga Siluman? Huh, hal itu baru bisa terjadi kalau melalui mayatku. Majulah kalian!”

Nyonya itu menggerakkan suling emasnya di tangan kanan dan terdengarlah suara suling itu melengking-lengking seperti ditiup dengan mulut! Nyonya itu nampak gagah sekali dan bagaimana pun juga, dua orang muda itu memandang dengan bengong dan jeri! Apalagi Tek Ciang sudah mengenal kelihaian wanita itu.

“Tidak....!” Tiba-tiba Kam Hong meloncat ke depan dan menghalangi isterinya. “Nio-cu, ingatlah, mereka ini hanyalah orang-orang muda yang menjadi utusan saja. Dan yang ditantang oleh keluarga Cu adalah aku seorang, maka kalau memang mereka ini hendak mengadu kepandaian, biarlah dengan aku, bukan engkau. Mundurlah dan mari kita lihat apakah dua sobat muda ini dapat menandingi aku.” Setelah berkata demikian, Kam Hong meloncat ke depan menghadapi Kui Lok dan Tek Ciang. “Ji-wi, silakan maju dan mari kita main-main sebentar.”

Akan tetapi melihat betapa tuan rumah tidak mengeluarkan suling emasnya yang amat ditakuti, diam-diam Tek Ciang merasa lega. Kalau dia dapat memancing agar pendekar itu tidak mempergunakan suling, sungguh menguntungkan apabila mereka maju berdua menandinginya. Yang amat ditakuti adalah sulingnya itu.

“Sute, locianpwe ini tidak bersenjata, sebaiknya kalau kita pun tidak mempergunakan pedang kita,” kata Tek Ciang.

Cepat dia menyarungkan pedangnya kembali. Bagi dia, bertangan kosong lebih lihai dari pada berpedang, karena selama berada di lembah keluarga Cu, selain ilmu pedang, juga dia mempelajari ilmu-ilmu silat tangan kosong keluarga itu sehingga ilmu-ilmunya menjadi semakin banyak dan lengkap.

“Baik, suheng, memang demikianlah seharusnya agar adil,” kata Pouw Kui Lok. “Bahkan tidak enaklah kalau kita maju bersama melakukan pengeroyokan.”

Kam Hong kagum mendengar ucapan-ucapan mereka berdua yang jelas menunjukkan kegagahan ini dan dia merasa semakin menyesal harus menghadapi dua orang gagah ini sebagai lawan. “Tidak apa, aku jauh lebih tua dan aku malu kalau harus menghadapi ji-wi satu demi satu. Majulah ji-wi bersama agar kita bertiga dapat bermain-main lebih gembira lagi.”

“Locianpwe, awas serangan!” Tek Ciang sudah menerjang dengan cepat, tidak mau memberi kesempatan kepada sute-nya untuk bersungkan-sungkan lagi.

Melihat suheng-nya sudah menerjang maju, dan maklum pula betapa lihainya tuan rumah, Kui Lok juga bergerak menerjang sambil membentak nyaring. Kam Hong sudah menantang mereka agar maju bersama, maka dia pun tidak ragu-ragu lagi membantu suheng-nya.

Melihat gerakan dua orang muda itu yang cukup dahsyat, Kam Hong merasa kagum dan cepat dia mengelak dua kali untuk menghindarkan diri dari serangan mereka. Maklum bahwa kalau dua orang muda itu maju bersama maka kekuatan mereka akan dapat mengimbanginya, maka dia pun tidak merasa sungkan lagi dan cepat membalas dengan tamparan kedua tangannya ke arah lawan.

Angin pukulan yang dahsyat menyambar, dan dua orang muda itu terkejut, akan tetapi dapat menghindarkan diri dengan loncatan ke belakang. Terjadilah serang-menyerang dan mula-mula Kui Lok dan Tek Ciang bertahan dengan ilmu silat yang mereka pelajari di Lembah Naga Siluman. Dari Bu-eng-sian Cu Seng Bu mereka memperoleh latihan ginkang yang membuat tubuh mereka dapat bergerak cepat dan ringan, sedangkan dari Cu Han Bu yang berjuluk Kim-kong-sian (Dewa Sinar Emas) mereka memperoleh ilmu-ilmu silat dan sinkang.

Tetapi, dengan ilmu silat yang mereka pelajari selama tiga tahun itu ternyata mereka sama sekali tak mampu mendesak lawan, bahkan ketika Kam Hong membalas dengan ilmu silat Khong-sim Sin-ciang, mereka menjadi bingung dan kewalahan. Oleh karena terdesak dan beberapa kali hampir terlanggar pukulan, tanpa disadarinya lagi, secara otomatis dua orang muda itu menggunakan gerakan-gerakan yang sudah mendarah daging pada diri mereka. Kui Lok segera mainkan jurus-jurus Kun-lun-pai yang sudah lebih lama dilatihnya sehingga lebih dikuasainya dibandingkan dengan ilmu silat baru yang dipelajarinya dari keluarga Cu.

“Wuuuuttt.... plakk!”

Kam Hong terpaksa menangkis karena terkejut melihat jurus lihai dari Kun-lun-pai dan dia meloncat mundur.

“Eh, engkau murid Kun-lun-pai....?” tegurnya heran.
“Dahulu sebelum menjadi murid keluarga Cu, saya adalah murid Kun-lun....,” jawab Kui Lok sejujurnya.

Akan tetapi Tek Ciang sudah menerjang lagi, tak memberi kesempatan kepada mereka untuk bercakap-cakap. Dan tentu saja Kui Lok juga melanjutkan serangannya. Kam Hong mengelak dan menangkis.

“Akan tetapi.... aku tidak pernah mempunyai permusuhan dengan Kun-lun-pai, bahkan bersahabat....”
“Tugas saya hanya menghadapi dan menandingi locianpwe tanpa membawa-bawa nama Kun-lun-pai, maka tentu saja saya menggunakan semua yang saya bisa untuk mencoba mengalahkan locianpwe,” kata Kui Lok sambil melanjutkan terjangannya.

Kam Hong mengerutkan alisnya. Dia merasa tidak senang kalau harus menghadapi ilmu Kun-lun-pai karena hal ini berbahaya, dapat menyeret Kun-lun-pai menjadi lawan pula. Dia sama sekali tidak tahu bahwa masuknya pemuda murid Kun-lun-pai ini menjadi murid keluarga Cu adalah atas persetujuan ketua Kun-lun-pai pula.

Tiba-tiba Kam Hong mengeluarkan suara gerengan dahsyat dan kedua orang muda itu terhuyung ke belakang. Terjangan Kam Hong yang tadi menggunakan jurus dari Lo-hai Kun-hoat (Ilmu Silat Mengacau Lautan) dibarengi dengan gerengan Sai-cu Ho-kang membuat tubuh dua orang muda itu tergetar dan terhuyung. Kesempatan itu digunakan oleh Kam Hong untuk menubruk maju dan mengirim dorongan telapak tangan untuk menggulingkan kedua orang muda itu dan mengakhiri perkelahian.

Akan tetapi tiba-tiba Louw Tek Ciang juga mendorongkan kedua tangannya menyambut, sedangkan Pouw Kui Lok sudah menggunakan loncatan dari ilmu meringankan tubuh Kun-lun-pai, tubuhnya mencelat ke udara dan di situ dia berjungkir balik sampai lima kali, terhindar dari terjangan hebat tangan Kam Hong tadi.

“Desss....!”

Tangan Tek Ciang menahan dorongan Kam Hong dan akibatnya, keduanya terdorong mundur dan Kam Hong merasa betapa hawa dingin yang dahsyat menerjangnya dari kedua telapak tangan Tek Ciang.

“Ihhh....! Ini.... ini.... ilmu dari Pulau Es....?” katanya dengan mata terbelalak.

Tek Ciang tersenyum mengejek. Cepat dia menerjang ke depan, tubuhnya berjongkok rendah dan kedua tangannya mendorong ke depan. Tenaga dahsyat menyambar ke depan dan tercium bau amis dan dari perut pemuda itu keluar bunyi berkokok.

Kam Hong terkejut sekali, akan tetapi dia adalah seorang pendekar sakti yang tangguh, maka menghadapi pukulan Hoa-mo-kang yang ampuh ini dia masih dapat menangkis sambil menghindar ke samping. Dia melanjutkan lompatannya ke belakang agak jauh dan mukanya berubah agak pucat.

“Tahan dulu! Apa artinya semua ini? Kalian bukan lagi menggunakan ilmu-ilmu Lembah Naga Siluman, melainkan menggunakan ilmu Kun-lun-pai dan Pulau Es! Dan pukulan tadi.... pukulan keji.... bukankah itu pukulan dari golongan sesat?”

“Harap locianpwe tidak banyak berbantah lagi. Kalau locianpwe takut, lebih baik menjadi tawanan dan kami bawa menghadap para suhu di Lembah Naga Siluman. Kalau berani, ilmu apa pun yang kami gunakan, adalah hak kami untuk dapat menandingi locianpwe,” kata Tek Ciang.
“Memang tidak perlu berbantah, kalian ini bocah-bocah sombong harus dibasmi!” Bu Ci San meloncat ke depan dan memutar sulingnya.

Akan tetapi kembali suaminya mencegahnya dan memegang tangannya.

“Jangan mencampuri. Aku tadi hanya merasa heran saat mengenal pukulan-pukulan Kun-lun-pai dan Pulau Es. Sungguh aku tidak ingin bermusuhan dengan Kun-lun-pai, apalagi para pendekar Pulau Es. Sungguh mengherankan sekali bagaimana keluarga Cu dapat memperalat murid Kun-lun-pai dan murid keluarga Pulau Es. Aku menyesal sekali kalau harus bersalah paham dengan mereka. Dan mereka berdua ini masih muda, tidak enaklah bagi seorang tua seperti aku harus melawan yang muda....”

“Suhu, mohon perkenan suhu. Biarlah teecu yang mewakili suhu!” Mendadak muncul seorang pemuda yang bertubuh kekar dan berpakaian sederhana, berusia sembilan belas tahun akan tetapi karena tubuhnya yang kekar dan tinggi besar, nampak lebih tua.

Dia adalah Sim Houw, putera tunggal Sim Hong Bu, yang telah dipertunangkan dengan Kam Bi Eng dan kini berada di Istana Khong-sim Kai-pang untuk belajar ilmu dari calon mertuanya. Dia masih menyebut suhu dan subo kepada calon ayah dan ibu mertuanya dan selama ini dia telah dapat menguasai Ilmu Pedang Kim-siauw Kiam-sut dengan baik, bahkan mulai dapat menggabung Kim-siauw Kiam-sut dengan Koai-liong Kiam-sut.

Gurunya memandang murid atau calon mantu ini dengan alis berkerut. “Houw-ji, kenapa engkau hendak mencampuri urusan ini?” tanyanya, dalam keadaan seperti itu dia ingin menguji dan mengenal isi hati calon mantunya itu.

“Suhu tadi mengatakan bahwa suhu merasa sungkan harus melawan orang muda yang tingkatnya adalah murid suhu. Karena itu, sudah sepatutnyalah kalau suhu mewakilkan kepada teecu sebagai murid suhu untuk menghadapi mereka, mewakili suhu. Bukankan mereka itu pun datang hanya sebagai wakil, murid-murid yang mewakili suhu mereka? Jadi menurut teecu sudah sepatutnya kalau di sini suhu juga mewakilkan kepada teecu untuk menghadapi mereka.”

“Tidak, Houw-ji. Engkau tidak tahu. Mereka ini, yang seorang murid Kun-lun-pai dan seorang lagi murid keluarga para pendekar Pulau Es! Bagaimana mungkin aku akan menentang Kun-lun-pai dan keluarga Pulau Es?”

Sim Houw biasanya berwatak pendiam, pemberani dan jujur. Akan tetapi sekali ini agaknya dia tidak mau diam lagi karena tidak setuju dengan pendapat suhu-nya dalam menghadapi orang-orang yang memusuhi suhu-nya.

“Maafkan teecu, suhu. Sekali ini terpaksa teecu menyatakan bahwa teecu tidak dapat menyetujui pendapat suhu. Bukankah seorang pendekar tidak boleh melihat asal-usul seseorang, tetapi melihat perbuatan dan sepak terjangnya? Meski murid Kun-lun-pai atau keluarga Pulau Es, kalau tindakannya tidak patut, sudah semestinya kita jadikan lawan, sebaliknya biar keturunan orang jahat, kalau tindakannya benar seyogianya kita jadikan kawan. Yang kita musuhi bukanlah perguruannya, melainkan perbuatan orang itu. Sebatang pohon belum tentu menghasilkan buah yang semuanya baik, tentu ada beberapa butir buah yang busuk. Baik buruknya seseorang mana bisa diukur dari perguruan atau keturunannya, suhu?”

Diam-diam Kam Hong merasa girang akan pendirian calon mantunya ini. Tentu saja dia pun seorang pendekar sejati dan dia membenarkan pendapat ini. Memang tepat. Kalau keluarga Cu yang iri hati kepadanya dan memusuhinya sekarang mengirimkan murid, sepatutnyalah kalau dia pun mengajukan muridnya untuk menghadapi murid Lembah Naga Siluman itu. Dan muridnya ini, dia tahu cukup boleh diandalkan. Biarlah hitung-hitung menguji kepandaian murid atau calon mantunya ini, dan kebetulan yang datang adalah lawan yang tangguh. Hanya dia merasa curiga kepada lawan yang pendek tegap ini karena lawan ini tadi menggunakan ilmu pukulan sesat yang amat berbahaya.

“Baiklah, kalau begitu coba kau hadapi murid Kun-lun-pai itu!” katanya dengan gembira karena dia ingin menguji kepandaian muridnya setelah tiga tahun memperdalam ilmu silatnya di situ.

Pouw Kui Lok yang tidak ingin menderita kekalahan, apalagi dari murid pendekar itu sudah mencabut pedangnya. Dengan pedang di tangan dia merasa lebih aman, karena selain dia mempunyai ilmu pedang dari mendiang gurunya yang pertama yaitu Yang I Cin-jin, juga dia telah mempelajari ilmu pedang Kun-lun-pai yang hebat. Dan di Lembah Naga Siluman dia pun digembleng oleh keluarga Cu dengan ilmu pedang yang khas dari keluarga itu.

Melihat lawannya mencabut pedang, Sim Houw tersenyum girang. Memang itulah yang dikehendakinya. Dia ingin mencoba ilmu pedangnya yang kini sudah merupakan ilmu pedang gabungan antara Koai-liong Kiam-sut dan Kim-siauw Kiam-sut! Maka dia pun melolos pedangnya. Pedangnya itu tentu saja tidak sehebat Koai-liong Po-kiam milik ayahnya, atau tak sehebat Suling Emas milik suhu-nya, akan tetapi juga bukan pedang sembarangan dan karena dia telah mahir menggabung kedua ilmu itu, maka pedangnya itu merupakan senjata yang amat ampuh.

“Silakan!” tantangnya kepada Kui Lok sambil melintangkan pedangnya di depan dada.
“Sambutlah seranganku!” teriak Kui Lok.

Dia mengelebatkan pedangnya, selanjutnya pedang itu diputar dan berubahlah pedang di tangannya menjadi segulung sinar yang tebal dan panjang. Sim Houw menggerakkan pedangnya menangkis dan terdengar suara nyaring ketika sepasang pedang bertemu, diikuti muncratnya bunga api. Mereka menarik pedang masing-masing dan merasa lega ketika memeriksa dan melihat bahwa pedang masing-masing tidak rusak.

Mulailah mereka saling serang dengan pedang masing-masing. Semakin lama gerakan mereka makin cepat, yang nampak hanya dua gulung sinar pedang yang membungkus bayangan kedua orang muda itu. Akan tetapi, di samping suara berdesingnya pedang, terdengar pula suara seperti tiupan suling dan ternyata pedang di tangan Sim Houw itulah yang mengeluarkan suara seperti itu!

Louw Tek Ciang hanya berdiri menonton. Dia merasa serba salah. Tidak disangkanya bahwa pihak lawan mempunyai seorang murid yang demikian tangguhnya. Seingatnya, tiga tahun lebih yang lalu, keluarga Kam hanya mempunyai seorang anak gadis yang cantik. Dia merasa yakin akan mampu mengalahkan gadis itu tanpa banyak kesukaran. Kini, murid pendekar Kam itu demikian tangguh dan kalau sampai Kui Lok tidak mampu mengalahkannya, bagaimana dia akan dapat menang menghadapi Kam Hong sendirian saja? Belum lagi diperhitungkan isteri pendekar itu yang juga memiliki kepandaian lihai sekali!

Mulailah dia merasa khawatir dan menyesal mengapa dia begitu bodoh menerima tugas berat ini berdua dengan Pouw Kui Lok saja. Boleh jadi mereka berdua kini telah memiliki tingkat kepandaian yang sulit dicari tandingannya, akan tetapi kalau dihadapkan dengan keluarga Kam, masih terlampau berat lawan itu.

Pertandingan pedang antara Sim Houw dan Pouw Kui Lok masih berjalan seru. Akan tetapi sesungguhnya Kui Lok sudah terkejut bukan main. Setiap jurus serangannya dipatahkan oleh lawan dengan sangat mudahnya, seolah-olah lawan sudah mengenal semua jurus serangannya. Dan memang kenyataannya juga demikian. Semua jurus ilmu pedangnya yang didapatkannya di Lembah Naga Siluman tidak asing bagi Sim Houw, bahkan pemuda ini adalah ahlinya dalam ilmu pedang Koai-liong Kiam-sut!

Apalagi setelah dia mempelajari Kim-sauw Kiam-sut, maka ilmu pedang keluarga Cu yang berasal dari satu sumber, amat dikenal olehnya dan dengan demikian, selama Kui Lok mempergunakan ilmu pedang dari Lembah Naga Siluman, dia seperti menghadapi seorang guru atau setidaknya orang yang jauh lebih ahli ketimbang dia! Barulah kalau dia bersilat pedang dengan ilmu pedang dari Kun-lun-pai, pihak lawan tidak mengenal dan bersikap hati-hati dan dengan Ilmu Pedang Kun-lun Kiam-sut, baru dia dapat sedikit mengimbangi ilmu pedang lawan.

Betapa pun juga, ilmu pedang lawan itu sungguh amat aneh gerakannya dan kadang-kadang mengeluarkan bunyi melengking-lengking seperti suling ditiup dengan gerakan serangan yang luar biasa sekali. Hal ini membingungkan hatinya dan mulalah dia terdesak hebat. Dia kini hanya dapat memutar pedangnya melindungi dirinya saja, tanpa dapat membalas sedikit pun, hanya main mundur.

Tiba-tiba, ketika Sim Houw menyerang lagi dengan tusukan kilat, tubuh Kui Lok mencelat ke atas dengan gaya yang amat indah. Sim Houw terkejut dan dia mengenal ilmu ginkang dari keluarga Cu, atau dari tokoh ke dua, yaitu Cu Seng Bu yang berjuluk Bu-eng-sian (Dewa Tanpa Bayangan) yang juga merupakan paman kakeknya. Dia maklum akan kehebatan ginkang ini yang dia sendiri belum mempelajarinya karena tidak diberi kesempatan, dan dia dapat menduga bahwa dari atas, tentu lawan akan menyerangnya dengan Ilmu Pedang Naga Siluman Mencakar Bumi, serangan yang paling tepat dilakukan dalam keadaan melompat dan menukik seperti itu. Dan serangan ini amat berbahaya.

Benar saja, dari atas, tubuh Kui Lok menukik ke bawah dan kini dia menyerang bukan dengan jurus Kun-lun-pai, melainkan dengan jurus dari ilmu pedang yang dipelajarinya dari keluarga Cu. Pedangnya menusuk ke arah ubun-ubun dengan gerakan diputar-putar untuk membingungkan lawan. Akan tetapi Sim Houw sudah mengenal jurus ini, menangkis dengan pedangnya kemudian menjatuhkan diri dan bergulingan sehingga serangan dahsyat itu dapat dihindarkan.

Melihat sute-nya kewalahan, Tek Ciang mendadak meloncat ke depan, tangan kirinya meluncur dan mulutnya beseru, “Mundurlah, sute....!”

Mulutnya berkata demikian dan tangannya sudah meluncur ke depan. Terdengar suara bercicit dan terdapat sinar menyambar ke tubuh Sim Houw yang sedang bergulingan itu. Tek Ciang memang curang sekali. Mulutnya menyuruh sute-nya mundur seolah-olah dia bersikap jujur tidak main keroyok, akan tetapi karena pada saat itu pihak lawan sedang bergulingan menghindarkan serangan Kui Lok tadi maka sama saja dengan dikeroyok!

Melihat serangan tangan kosong yang aneh ini, Sim Houw meloncat dan mengelak. Akan tetapi dia kurang cepat.

“Brettt….!” terdengar suara dan baju di pundaknya robek oleh serangan aneh itu yang dilakukan oleh jari tangan Tek Ciang dari jarak jauh.
“Ihhhh.... itu.... itu.... Kiam-ci (Jari Pedang), ilmu iblis dari mendiang Ji-ok!” tiba-tiba Bu Ci Sian berseru kaget. “Iblis ini tentunya ada hubungannya dengan Ngo-ok!” Berkata demikian, Bu Ci Sian hendak menerjang, akan tetapi kembali suaminya mencegah dan memberi isyarat dengan mencabut suling emasnya. Melihat suaminya mencabut suling emas, Bu Ci Sian tidak melanjutkan serangannya.

Sementara itu, hanya sebentar saja Sim Houw terkejut dan kini dia sudah menerjang maju melawan Tek Ciang yang juga telah mencabut pedangnya. Tek Ciang lebih cerdik dari pada Kui Lok. Tadi dia maklum bahwa tentu pemuda kekar ini sudah mengenal ilmu dari Lembah Naga Siluman hingga semua serangan dari Kui Lok dapat dipatahkannya dengan mudah.

Maka, dia pun tidak mau mempergunakan ilmu pedang yang baru dipelajarinya itu dan dia menghadapi lawan dengan Ilmu Pedang Siang-mo Kiam-hoat yang dimainkan dengan sebatang pedang sedangkan untuk mengimbanginya, tangan kirinya juga menyerang dengan Kiam-ci! Hebat bukan main permainan pedang yang diimbangi dengan Jari Pedang tangan kiri ini.

Akan tetapi kali ini dia menemukan lawan yang amat tangguh. Maklum akan kehebatan lawan, Sim Houw lalu mainkan ilmu pedang gabungan yang baru saja dipelajari dan sedang dimatangkan, dan ilmu pedang ini memang hebat sekali, mampu menandingi serangan lawan, bahkan membalas dengan tidak kalah dahsyatnya.

“Sute, lekas bantu aku!” berkali-kali Tek Ciang berseru.

Kui Lok merasa serba salah. Jika dia membantu berarti dia dan Tek Ciang mengeroyok seorang pemuda yang jauh lebih muda usianya, akan tetapi kalau mendiamkan saja Tek Ciang terancam bahaya sedangkan dia hanya berdiri menonton, sungguh amat tidak enak. Dia sudah menggerakkan pedangnya, akan tetapi masih ragu-ragu dan pada saat itu terdengarlah suara suling ditiup secara istimewa!

Alunan suara suling yang halus merdu itu naik turun dengan halus akan tetapi di dalam kelembutan itu terkandung getaran suara yang menusuk telinga! Tak lama kemudian, suara itu pun disusul oleh lengkingan suling lainnya yang lebih tinggi akan tetapi yang mengikuti lagu suling pertama.

Dua orang muda penyerbu itu terkejut karena merasa betapa suara suling itu seperti menembus kulit daging dan menusuk jantung. Ketika mereka memandang, ternyata Pendekar Suling Emas Kam Hong dan isterinya sudah duduk bersila sambil meniup suling emas mereka. Tiba-tiba Sim Houw juga meloncat mundur ke dekat suhu dan subo-nya, lalu duduk bersila dan pemuda ini pun mengeluarkan suara bersenandung dengan mulutnya yang mengikuti pula nada dan irama kedua suling itu!
Tek Ciang yang memang berwatak licik dan amat curang, melihat tiga orang itu asyik berlagu sambil duduk bersila, merasa memperoleh kesempatan yang baik sekali untuk melaksanakan niat busuknya. Dengan pedang di tangan dia meloncat dan menerjang, maksudnya hendak membunuh Kam Hong dengan sekali tusukan. Akan tetapi tiba-tiba tubuhnya terjengkang dan jantungnya berdebar, seolah-olah suara suling yang halus itu mempunyai tenaga mukjijat yang menolaknya dan kini dia sudah meloncat bangun lagi. Tanpa mempedulikan suara suling yang bagaikan menusuk telinga dan menembus jantungnya, dia berusaha untuk menyerang lagi. Akan tetapi begitu dia meloncat, dia pun terbanting jatuh lagi.

“Suheng, jangan....!” Kui Lok berseru kaget dan wajahnya sudah pucat sekali. Pemuda ini menderita hebat oleh suara suling yang halus itu, makin halus suara itu, makin sakit rasa telinga dan jantungnya.

Akan tetapi Tek Ciang memang bandel. Dia bangkit lagi dan hendak menyerang lagi, akan tetapi sekali ini, begitu meloncat, tubuhnya seperti menubruk benteng baja dan dilontarkan ke belakang. Segera dia terbanting dan muntah darah, pedangnya terlepas dan pingsan.....

Kui Lok yang semenjak tadi mengerahkan sinkang untuk melawan suara itu, memungut pedang suheng-nya, menyambar tubuh itu dan memanggulnya.
“Locianpwe, maafkan kami....!” katanya terengah-engah.

Dia pun lalu melarikan diri sambil memanggul tubuh Tek Ciang. Mukanya pucat sekali, keringatnya bercucuran dan kedua kakinya menggigil. Hampir dia tidak kuat menahan, dan dia memaksakan diri lari meninggalkan tempat itu, diiringkan dua suara suling dan suara senandung itu. Untung baginya suara itu menghilang, tidak mengejarnya lagi dan ketika tiba di sebuah lapangan rumput di kaki bukit, Kui Lok tidak kuat lagi, roboh bersama Tek Ciang yang dipanggulnya dan dia pun pingsan!

Sementara itu, keluarga Kam dan murid mereka itu bangkit berdiri. Wajah Bu Ci Sian berwarna merah dan sepasang matanya berkilat. “Aku ingat sekarang! Pemuda pendek itu, bukankah dia yang dahulu datang menyerbu bersama Hek-i Mo-ong dan Jai-hwa Siauw-ok? Benar, dialah orangnya!”

Kam Hong seperti diingatkan. Tadi dia sudah merasa bahwa wajah pemuda itu tidak asing baginya. “Ahhh, benar. Dia murid Jai-hwa Siauw-ok dan agaknya dia merupakan cucu murid Ngo-ok yang mewarisi ilmu-ilmu Lima Jahat itu. Akan tetapi, bagaimanakah cucu murid Ngo-ok dapat menguasai pula ilmu-ilmu dari Pulau Es semahir itu? Dan dia pun jelas menguasai ilmu silat dari Lembah Naga Siluman! Bahkan kini datang mewakili keluarga Cu untuk menandingi kita.”

Bu Ci Sian mengerutkan alisnya. “Jelaslah bahwa keluarga Cu telah mencari dua jago muda itu, yang seorang malah murid Kun-lun-pai. Dua orang itu agaknya mereka didik untuk kemudian menjadi utusan mereka, mewakili mereka untuk menyerbu ke sini. Kita harus tangkap mereka!” Nyonya ini hendak melakukan pengejaran, namun suaminya mencegah.

“Tidak perlu dikejar. Mereka itu hanya utusan yang diperintah untuk menandingi kita, untuk mengalahkan aku. Kini mereka kalah dan melarikan diri, tidak ada alasannya untuk dikejar lagi.”
“Akan tetapi, mereka itu datang dari Lembah Naga Siluman dan aku khawatir sekali akan keadaan anak kita di sana. Bukankah Bi Eng berada di sana. Lalu apa yang terjadi dengan anak kita itu kalau keluarga Cu masih memusuhi kita?”

Kam Hong menarik napas panjang. “Melihat bahwa tiga tahun yang lalu, dua orang locianpwe she Cu itu datang ke sini untuk mengajak pulang Houw-ji, kurasa Bi Eng tidak tinggal di sana. Tentu terjadi pertentangan antara saudara Sim Hong Bu dan keluarga Cu. Dan aku yakin bahwa saudara Sim tentu bertanggung jawab atas keselamatan anak kita. Bahkan sekarang waktu tiga tahun yang kita janjikan dengan dia sudah lewat, kurasa tidak lama lagi tentu dia akan datang memberi kabar.”

Seperti biasa, Bu Ci Sian tunduk kepada keputusan suaminya dan walau pun hatinya mendongkol, namun ia bersabar dan mereka bertiga menanti berita dari Sim Hong Bu. Tentu saja mereka mempertajam kewaspadaan semenjak terjadi peristiwa itu agar pihak lawan yang berniat buruk tidak dapat mempergunakan kecurangan untuk mengganggu mereka.

Tek Ciang dan Kui Lok tidak lama jatuh pingsan di lapangan rumput itu. Ketika sadar kembali, Tek Ciang yang menderita luka dalam cepat duduk bersila dan mengumpulkan hawa murni, mengobati luka di dalam dadanya sendiri. Kui Lok bersila di sampingnya, memulihkan tenaganya. Setelah rasa nyeri dalam dadanya mereda, Tek Ciang menarik napas panjang dan menyeka darah yang mulai mengering di sudut bibirnya.

“Keluarga iblis Kam yang keparat!” dia memaki gemas.

Kui Lok memandang kepada suheng-nya dengan alis berkerut. “Suheng, tahanlah rasa penasaran dan kemarahanmu itu. Aku sendiri merasa malu sekali terhadap keluarga Kam. Jelaslah betapa kita kelihatan jahat dan rendah dibandingkan dengan mereka. Kalau mereka menghendaki, betapa mudah bagi mereka untuk membunuh kita. Tadi, baru dengan suara suling saja mereka mampu mengusir kita dan membuat kita tidak berdaya sama sekali.”

Tek Ciang mengepal tinjunya. Tentu saja hatinya semakin penasaran dan dendamnya menebal. Dulu, ketika dia menyerbu bersama Jai-hwa Siauw-ok, dia sudah kalah dan terluka oleh keluarga Kam. Sekarang, setelah lewat tiga tahun dan digembleng ilmu oleh keluarga Cu, masih saja dia kalah dan kembali terluka. Sungguh memalukan dan menggemaskan.

“Aku masih belum mau menerima kalah! Sute, kita telah menerima budi besar keluarga Cu selama tiga tahun. Kalau untuk membalas budi itu mereka hanya minta kita untuk mengalahkan Kam Hong, kini sebelum hal itu terlaksana, mana kita ada muka untuk berjumpa dengan kedua orang suhu kita? Aku masih merasa penasaran. Kalau kita mengeluarkan semua ilmu kita, belum tentu kita kalah. Kita tadi hanya kalah oleh suara suling mukjijat itu.”

“Janganlah terlampau membesarkan kepandaian sendiri dan meremehkan kemampuan orang lain, suheng. Aku tahu bahwa kepandaian yang kau dapat dari pendekar keluarga Pulau Es amatlah hebat. Akan tetapi harus diakui bahwa keluarga Kam itu pun memiliki ilmu silat tinggi yang sukar dikalahkan. Aku tadi heran, suheng. Ilmu silatmu banyak dan aneh-aneh, ini sudah kuketahui. Akan tetapi apa maksudnya ucapan isteri pendekar Kam itu? Ilmu pukulanmu dengan jari yang hebat itu.... benarkah seperti katanya tadi disebut Kiam-ci dan merupakan ilmu dari.... Ngo-ok? Benarkah engkau ada hubungan dengan tokoh-tokoh hitam yang terkenal seperti iblis itu?”

Tek Ciang tersenyum. “Tidak kusangkal, sute. Memang ilmu itu namanya Kiam-ci dan kudapat dari keturunan Ngo-ok. Akan tetapi tidak berarti bahwa aku memiliki hubungan dengan Ngo-ok yang sudah tiada. Memang aku suka sekali mempelajari segala macam ilmu silat, sute. Apa salahnya memperluas pengetahuan dengan mempelajari ilmu-ilmu yang tinggi, dari mana pun datangnya? Sekali waktu akan berguna bagi kita. Kalau tadi mereka tidak menggunakan suara suling mukjijat itu, belum tentu aku kalah.”

Kui Lok menyangsikan kebenaran kalimat terakhir itu, akan tetapi dia enggan berbantah dengan suheng-nya, apalagi setelah mereka berdua menderita kekalahan. Dia tak mau menyinggung perasaan suheng-nya.

“Aku rasa ilmu itulah yang oleh suhu Cu Han Bu disebut sebagai ilmu meniup suling Kim-kong Sim-in yang harus kita hadapi dengan waspada. Tak kusangka suara tiupan suling akan sehebat itu. Kita sudah digembleng oleh suhu untuk menghadapi suara itu. Kalau hanya menghadapi suara suling yang tadi menyerang kita itu, cukup bagi kita mengerahkan sinkang untuk bertahan. Akan tetapi apa artinya kalau kita hanya selalu bertahan? Begitu kita menyerang, tenaga kita lalu membalik dan memukul diri sendiri, seperti yang kau alami tadi, suheng.”

Tek Ciang mengangguk-angguk, wajahnya muram, hatinya kesal. “Ah, kalau kita tidak dapat memperoleh ilmu untuk menandingi suara suling itu, habislah harapan kita untuk mengalahkan mereka, dan bagaimana kita mempunyai muka untuk menghadap suhu di Lembah Naga Siluman?”

Kui Lok merasa kasihan melihat kemuraman wajah Tek Ciang. Dia tahu akan rahasia hati suheng-nya ini. Dia tahu bahwa antara suheng-nya ini dan suci (kakak perempuan seperguruan) mereka, yaitu Cu Pek In, puteri guru mereka Cu Han Bu, yang kabarnya sudah menjadi janda karena ditinggal pergi suaminya, terdapat suatu hubungan yang amat erat dan akrab, bahkan mesra sekali.

Biar pun usia suci itu sudah hampir empat puluh tahun, akan tetapi suci mereka itu tetap cantik dan terutama sekali mempunyai kepandaian yang cukup hebat. Diam-diam dia menduga bahwa telah terjalin hubungan asmara antara keduanya itu secara gelap. Walau pun dia merasa tidak cocok, namun karena bukan urusannya, dia pura-pura tidak tahu saja. Hanya dia merasa heran bagaimana suheng-nya yang masih muda dan cukup tampan dan gagah itu dapat jatuh cinta kepada seorang wanita yang sepuluh tahun lebih tua.

Kini dia tahu betapa resah hati suheng-nya itu karena tugas yang hanya satu-satunya itu gagal. Suheng-nya tidak hanya merasa malu terhadap suhu-suhu mereka, melainkan terutama sekali malu terhadap kekasihnya atas kegagalannya.

“Suheng, aku sekarang teringat. Ketika masih belajar di Kun-lun-pai, suhu pernah bercerita tentang suatu ilmu yang mirip dengan suara suling dari keluarga Kam itu. Ilmu itu disebut Sin-liong Ho-kang (Ilmu Gerengan Naga Sakti). Akan tetapi ilmu itu dianggap sebagai ilmu yang berbahaya oleh para tokoh pimpinan Kun-lun-pai, dianggap sebagai ilmu yang kejam dan sesat sehingga tidak ada murid Kun-lun-pai yang diperbolehkan mempelajarinya.”

“Ahhh, sungguh sayang sekali. Kalau begitu berarti ilmu itu telah lenyap dari perguruan Kun-lun-pai!” kata Tek Ciang menyesal.
“Tidak, suheng. Sebetulnya tidaklah lenyap sama sekali. Ilmu itu masih disimpan baik-baik dalam ujud kitab, akan tetapi kitab itu selalu disimpan di dalam kamar pusaka dan tidak ada seorang pun murid yang boleh membuka atau membacanya. Dan biasanya, murid-murid Kun-lun-pai amat patuh karena sudah terikat oleh sumpah kami.”

“Ahhh, begitukah, sute? Jadi memang ada pelajaran itu, masih berupa kitab? Sute, maukah engkau bermurah hati kepadaku?”
“Maksudmu bagaimana, suheng?”
“Maukah engkau membawaku ke Kun-lun-pai dan minta ijin kepada ketua Kun-lun-pai agar mengijinkan aku mempelajari ilmu itu?”
“Hemm, rasanya sukar, suheng....”

“Sute, larangan itu hanya terbatas pada murid-murid Kun-lun-pai, bukan? Dan aku bukanlah murid Kun-lun-pai. Tetapi karena engkau seorang murid Kun-lun-pai tersayang dan kita sudah terikat persaudaraan, kalau kita menceritakan tentang kegagalan kita, mengingat pula hubungan baik antara gurumu dan para tokoh keluarga Cu di Lembah Naga Siluman, kurasa akan banyak harapan aku akan diperkenankan mempelajarinya. Bukan untuk maksud keji, melainkan hanya untuk melawan suara suling keluarga Kam itu atau setidaknya mencari cara untuk mengatasinya.”

Kui Lok mengerutkan alis, lalu mengangguk-angguk. “Baiklah, akan kucoba. Kitab-kitab Kun-lun-pai aslinya memang berada di pusat Kun-lun-pai di pegunungan Kun-lun-san, amat jauh dari sini. Akan tetapi semua cabangnya mempunyai salinan-salinannya dan ada kulihat suhu memiliki juga salinan kitab ilmu Sin-Liong Ho-kang itu. Mari kita coba menghadap suhu dan mudah-mudahan saja permintaan kita akan dikabulkan.”

Tek Ciang merangkul sute-nya. “Ah, aku tahu bahwa memang engkau seorang saudara yang amat baik sekali, sute!”

Berangkatlah mereka menuju ke kuil Kun-lun-pai yang letaknya tidak berapa jauh dari situ, hanya perjalanan dua hari saja.....

********************
Seperti dapat dibuktikan di dalam catatan sejarah, pemerintahan Kaisar Kian Liong merupakan bagian yang paling gemilang dari masa Kerajaan Ceng, yaitu kerajaan penjajah Mancu atas seluruh Tiongkok. Harus diakui bahwa Kaisar Kian Liong adalah seorang kaisar yang semenjak mudanya pandai dan bijaksana dalam mengendalikan pemerintahan.

Bahkan dia berhasil pula menarik simpati para pemuka rakyat dengan cara melebur diri menjadi seperti orang Han, bukan seperti orang asing yang menjajah. Ia memerintahkan semua pejabat untuk mempelajari kebudayaan rakyat, bersikap baik terhadap rakyat, akan tetapi di samping itu, dia juga menyiapkan pasukan yang kuat untuk menjaga kewibawaan pemerintahannya. Dia mempergunakan tangan besi bersarung sutera.

Akan tetapi, para pendekar bukanlah orang-orang yang bodoh semua. Di antara para pendekar ada yang tahu benar rahasia apa yang terjadi di balik semua kebaikan yang diperlihatkan kaisar itu. Pergolakan yang berkecamuk dalam hati para pendekar bukan hanya karena jiwa patriot yang memberontak melihat nusa bangsa dijajah oleh bangsa asing, melainkan juga disebabkan pula oleh ulah Kaisar Kian Liong sendiri.

Memang harus diakui bahwa Kaisar Kian Liong, sejak mudanya, sejak masih pangeran, suka bergaul dengan rakyat jelata sehingga ia amat populer di kalangan rakyat. Bahkan sejak ia masih pangeran, para pendekar selalu melindungi dan menjaga keselamatan pangeran yang dianggap sebagai calon kaisar yang baik dan menguntungkan rakyat jelata ini.

Tetapi di balik semua kebaikan yang memang harus diakui ada pada diri Kian Liong, dia memiliki suatu kelemahan, yaitu suka pelesir dan berhubungan dengan wanita-wanita cantik. Akan tetapi karena memang perangainya baik dan terdidik sebagai seorang sasterawan, dia tidak pernah mau mengganggu wanita baik-baik dengan kekerasan, tidak mau mempergunakan kedudukannya atau kekayaannya untuk memaksa wanita baik-baik menjadi kekasihnya. Dia lebih suka mengunjungi rumah-rumah pelacuran.

Tentu saja banyak pula gadis-gadis dan wanita baik-baik yang tertarik kepada pangeran itu, baik karena kedudukannya mau pun ketampanannya, yang menyerahkan diri tanpa paksaan. Maka tersiarlah berita bahwa Kaisar Kian Liong mempunyai banyak anak yang lahir dari wanita-wanita yang pernah berhubungan dengan dia pada waktu dia masih pangeran yang sempat berkelana dan bertualang itu.

Sejak masih pangeran, Kian Liong memiliki seorang kepercayaan yang memungkinkan dia sering pergi meninggalkan istana dan menyamar sebagai pemuda biasa, dan orang kepercayaannya ini pula yang memungkinkan dia mengunjungi rumah-rumah pelacuran dan berhubungan dengan pelacur-pelacur paling terkenal di kota raja dan kota-kota besar lainnya. Orang kepercayaannya ini adalah seorang thaikam (pelayan kebiri) yang amat cerdik, bernama Siauw Hok Cu.

Saat Kian Liong masih menjadi pangeran, di dalam istana sendiri terjadi suatu peristiwa yang kalau ketahuan orang luar atau kalangan istana sendiri tentu akan mendatangkan aib dan kehebohan. Akan tetapi, thaikam Siauw Hok Cu demikian pandai menjaga rahasia majikannya dan memang Pangeran Kian Liong sendiri amat cerdik sehingga peristiwa itu merupakan rahasia yang tidak pernah diketahui orang lain.

Peristiwa itu dimulai dengan pertemuan antara Pangeran Kian Liong yang pada waktu itu baru berusia delapan belas tahun dengan nyonya Fu Heng, kakak iparnya sendiri karena nyonya ini adalah isteri seorang pangeran yang menjadi kakak tiri Kian Liong terlahir dari selir.

Bertemu dengan nyonya yang usianya kurang lebih tiga puluh tahun ini, Pangeran Kian Liong seketika jatuh cinta dan bahkan tergila-gila. Akan tetapi, karena nyonya itu adalah isteri kakak tirinya, tentu saja dia tak berani bersikap kurang ajar dan hanya menyimpan kerinduan hatinya itu di dalam dada saja.

Nyonya Fu Heng memang cantik jelita, kulitnya putih halus tanpa cacad, mukanya yang putih itu agak kemerahan tanpa alat kecantikan, mukanya bulat telur, dan sepasang matanya sipit akan tetapi lebar dan bagai sepasang bintang berkilauan. Hidungnya kecil mancung dengan ujungnya agak naik seperti menantang, dan terutama sekali mulutnya amat mungil, dengan bibir yang selalu kemerahan dan selalu basah dan segar. Dalam usianya yang tiga puluh tahun dan belum mempunyai anak, tubuh wanita ini penuh dan matang, dengan gerak gerik lembut penuh daya pikat yang amat kuat.

Hanya thaikam Siauw Hok Cu yang tahu akan penyakit rindu birahi yang menyerang majikannya, pada waktu Pangeran Kian Liong sering kali nampak termenung di dalam kamarnya atau di kebun bunga.

“Pangeran, harap paduka jangan banyak termenung berduka. Seekor kumbang takkan kehabisan akal untuk dapat menghisap madu kembang yang disukai dan dipilihnya.” Thaikam gendut itu menghibur sambil mendekati majikannya yang sedang duduk serta termenung pada suatu malam dalam taman bunga.

Pangeran Kian Liong mengangkat muka, memandang orang kepercayaan itu dengan heran dan bertanya, “Hok Cu, apa maksudmu? Jangan kau main-main!” Karena hatinya sedang kesal, kata-kata yang belum dimengerti maksudnya itu dianggap mengganggu hatinya.

Akan tetapi thaikam gendut itu tersenyum. Mukanya yang seperti muka anak-anak yang gendut dan sehat itu berseri, sepasang matanya menjadi semakin sipit sampai hampir terpejam. “Pangeran, hendaknya paduka mengetahui bahwa nyonya Fu Heng adalah sahabat baik sekali dari Sang Puteri Kim.”

Mendengar ini, Pangeran Kian Liong memandang dengan penuh perhatian. Dia kagum akan kecerdikan orang ini, yang agaknya sudah dapat menerka apa yang disusahkan. Puteri Kim adalah puteri istana yang juga menjadi saudara iparnya. Tetapi disebutnya nama nyonya Fu Heng jelas membuktikan bahwa orang kepercayaannya ini tahu akan isi hatinya.

“Kau tahu....?”
Thaikam itu mengangguk. “Jangan khawatir, hanya hamba seoranglah yang berhasil mengetahuinya.”

“Lalu, apa maksudmu mengatakan bahwa ia sahabat baik Puteri Kim?”
“Pangeran, sudah beberapa kali nyonya Fu menjadi tamu Puteri Kim, bahkan sampai bermalam selama satu dua hari. Biasanya, nyonya itu berkunjung atas undangan sang puteri dan keduanya bersantai di Taman Musim Semi!”

“Lalu, kalau begitu mengapa?” tanya sang pangeran yang masih belum mengerti apa yang dimaksudkan pelayan yang mukanya penuh senyum gembira itu. “Apa artinya Cang-cun-yuan (Taman Bahagia Musim Semi) itu bagiku?”
“Pangeran tentu ingin sekali bertemu berdua saja dengan nyonya Fu Heng, bukan?”

Wajah sang pangeran menjadi kemerahan. Bagaimana pun juga, memalukan sekali diketahui rahasia hatinya bahwa dia jatuh cinta kepada kakak iparnya sendiri! Tetapi orang ini adalah satu-satunya orang yang dipercayanya, maka dia pun mengangguk.

“Nah, kalau begitu hamba yang tanggung bahwa pada besok malam, paduka akan dapat menjumpainya seorang diri saja di taman itu.”
“Di Cang-cun-yuan? Bagaimana caranya?”
“Mudah saja, pangeran. Hamba akan membuat surat undangan atas nama Sang Puteri Kim, mengundang nyonya itu untuk berkunjung ke Taman Musim Semi. Nah, hamba akan menyogok para dayang di taman itu agar dapat diatur sebaiknya, mempersiapkan pertemuan antara paduka dan nyonya cantik jelita itu.”

Wajah sang pangeran berseri gembira. “Ahhh, engkau cerdik sekali. Kau lakukanlah itu, Hok Cu, kau lakukan itu, akan tetapi hati-hati, jangan sampai bocor dan awas, jangan gagal, karena ini menyangkut nama baik keluarga istana, kau tahu?”

“Tanggung beres, pangeran. Hamba jamin dengan nyawa hamba yang tidak berharga!”

Demikianlah, thaikam Siauw Hok Cu yang cerdik itu kemudian menjalankan siasatnya, membuat surat undangan atas nama Puteri Kim kepada Nyonya Fu Heng agar pada besok sore sudi datang berkunjung ke Cang-cun-yuan seperti biasanya dan kemudian mengirimkan undangan itu kepada nyona cantik itu.

Menerima surat undangan ini, Nyonya Fu Heng tidak menaruh hati curiga sedikit pun. Juga suaminya tidak menaruh curiga karena suami ini mengetahui betapa akrabnya hubungan antara isterinya dan adik tirinya. Bahkan isterinya boleh bermalam di taman itu bersama adik tirinya selama beberapa malam tanpa harus minta ijin lagi darinya.

Pada sore yang ditetapkan, berangkatlah Nyonya Fu Heng, seperti biasa melakukan perjalanan yang cukup melelahkan itu dari kota raja ke istana sebelah barat, di ujung barat kota. Perjalanan itu ditempuh dengan naik joli yang dipikul oleh empat orang yang dikawal beberapa orang pengawal saja.

Kunjungannya ke taman itu disambut beberapa orang dayang yang sudah dipersiapkan oleh thaikam Siauw Hok Cu! Para pemikul joli beserta pengawal diperkenankan pulang dengan pesan supaya besok sore dijemput karena nyonya itu akan bermalam di situ. Kemudian para dayang yang sudah dipengaruhi thaikam Siauw Hok Cu, mengantar nyonya cantik itu ke dalam pondok mewah dan dipersilakan untuk mandi karena Puteri Kim akan datang, dalam waktu satu dua jam lagi.

Nyonya Fu Heng baru saja melakukan perjalanan yang cukup melelahkan, maka begitu ditawari mandi, dia menerimanya dengan gembira. Bangunan kecil di antara pohon-pohon bambu indah itu amat romantis dan mendatangkan rasa gembira dalam hatinya. Nyonya itu lalu dibawa oleh para dayang ke dalam kamar mandi dan mandilah Nyonya Fu Heng, dibantu oleh para dayang. Setelah selesai mandi, para dayang memberikan sebuah kimono yang halus terbuat dari sutera yang tembus pandang dan meninggalkan nyonya itu di dalam sebuah kamar yang indah dan mewah.

Nyonya Fu sudah mengenal baik kamar ini. Biasanya dia memang bermalam di dalam kamar ini bersama adik suaminya, yaitu Puteri Kim kalau ia berkunjung ke sini. Kini, sambil menunggu datangnya adik itu, dia duduk menghadapi cermin besar, mengurai rambutnya yang hitam panjang itu dan mulai menyisiri rambutnya yang harum lembut.

Sunyi sekali keadaan di bangunan itu dan cuaca mulai remang-remang. Tiba-tiba daun pintu yang menembus ke ruangan belakang, terbuka dari luar. Nyonya Fu mengira bahwa yang masuk itu tentulah Puteri Kim atau seorang di antara para dayang.

Akan tetapi, dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika ia melihat bahwa yang masuk itu adalah Pangeran Kian Liong, adik suaminya, pangeran yang amat terkenal sebagai seorang pangeran yang bijaksana dan baik budi, juga sangat tampan dan halus penuh kesopanan. Munculnya sang pangeran di dalam kamar membuat Nyonya Fu demikian terkejut, heran dan membuatnya tak mampu berkata-kata, hanya terbelalak memandang pangeran itu melalui cermin di depannya.

Pangeran Kian Liong menghampirinya sambil tersenyum dan di tangan pangeran itu terdapat setangkai bunga mawar merah.

“Alangkah indahnya rambutmu....!” kata Pangeran Kian Liong halus, lalu dipasangnya setangkai bunga itu di atas rambut nyonya cantik itu.

Nyonya Fu Heng hanya memandang dengan mata merah sambil berusaha menutupi dadanya dengan kedua tangan karena kimono tipis yang tembus pandang itu tak dapat menyembunyikan tubuhnya dengan baik.

“Alangkah halusnya kulitmu....!” Pangeran Kian Liong membungkuk dan menyentuh leher itu dengan bibirnya.

Nyonya Fu tersentak bangkit berdiri dan hendak menjerit, tetapi tiba-tiba pangeran yang sudah tergila-gila itu lalu menjatuhkan dirinya berlutut sambil mencabut pedangnya.

“Kalau engkau menolak cintaku, lebih baik sekarang juga aku membunuh diri di depan kakimu dari pada hidup menanggung rindu dan malu!”

Tentu saja nyonya cantik itu terkejut sekali. Pangeran yang berlutut di depan kakinya ini adalah pangeran mahkota, yang akan menggantikan kaisar yang kini sedang menderita sakit hebat. Pangeran ini adalah calon kaisar, maka kalau sampai membunuh diri di depannya, tentu hal itu merupakan mala petaka dan bencana hebat bagi dirinya dan keluarganya.

“Tidak....! Aduh…., pangeran, jangan bodoh.... harap simpan kembali pedang paduka itu....!”

Pangeran Kian Liong tersenyum gembira. Pencegahan itu tentu saja boleh diartikan bahwa nyonya cantik ini menerima cintanya. Dia melepaskan pedangnya, lalu bangkit berdiri sambil memondong tubuh nyonya itu. Nyonya Fu Heng menahan jeritannya, dan terkulai lemas tak berdaya lagi setelah berada dalam pondongan pangeran muda itu.

Pangeran Kian Liong membawa kekasihnya ke pembaringan dan dia menumpahkan rasa cinta dan rindunya dengan penuh kemesraan. Nyonya Fu hanya bisa memejamkan mata, tidak berani berteriak atau menolak. Namun, nyonya ini merasakan pengalaman baru yang tidak pernah didapatkannya selama ini. Dia merasakan kemesraan yang luar biasa, yang membuatnya menerima pangeran itu dengan hati terbuka.

Semenjak malam itu, Nyonya Fu Heng tidak mau lagi digauli suaminya dan sering kali ia mengadakan pertemuan rahasia dengan Pangeran Kian Liong. Hal ini terjadi sampai sang pangeran menjadi kaisar. Bahkan ketika kaisar tua meninggal, Pangeran Kian Liong menerima berita kematian itu di dalam kamar ketika dia sedang mengadakan pertemuan asyik masuk dengan Nyonya Fu Heng!

Akan tetapi hubungan itu pun seperti putus pada saat dia naik tahta dan Nyonya Fu melahirkan seorang putera keturunan Kian Liong! Hanya kadang-kadang saja Kaisar Kian Liong mengadakan pertemuan dengan kekasihnya yang masih menjadi kakak iparnya itu.

Setelah menjadi kaisar, kesukaan Kian Liong akan wanita-wanita cantik bahkan semakin menjadi. Tak dapat disangkal bahwa dia melakukan tugasnya sebagai kaisar dengan amat baik, memerintah dengan bijaksana dan adil. Namun, kesukaannya akan wanita menimbulkan banyak persoalan, bahkan rasa kebencian kepada sebagian orang, terutama para pendekar yang memang sudah tidak suka melihat bangsanya dijajah oleh Bangsa Mancu.

Orang pertama yang memperoleh bagian kemuliaan saat Pangeran Kian Liong menjadi kaisar adalah Thaikam Siauw Hok Cu. Begitu pangeran itu naik tahta menjadi kaisar, thaikam ini lalu diangkat menjadi Kepala Thaikam dan diberi nama Hok Sen. Thaikam Hok Sen ini terkenal dalam sejarah sebagai seorang thaikam yang berhasil menumpuk kekayaan yang luar biasa banyaknya dan menikmati kedudukan tinggi dan mulia selama Kian Liong menjadi kaisar sampai puluhan tahun!

Peristiwa yang belum lama ini terjadi, kembali membuat hati para pendekar menjadi marah. Agaknya, setelah berusia tiga puluh tahun lebih dan hidupnya sudah dikelilingi banyak sekali wanita cantik yang seolah-olah berlomba memperebutkan perhatian dan cintanya, Kaisar Kian Liong belum juga merasa puas.

Memang demikianlah kalau manusia sudah menjadi hamba nafsunya sendiri. Nafsu itu dapat tumbuh menjadi keinginan apa saja, dalam makanan, tontonan, pemuasan sex, penumpukan harta, pengejaran kedudukan dan sebagainya. Sekali saja manusia sudah dicengkeram dan menjadi hamba nafsu, maka dia tidak akan mengenal puas.

Memang segala macam nafsu itu menjurus ke arah kepuasan, tetapi, kepuasan seperti itu tidaklah dapat bertahan lama, segera disusul oleh kekecewaan dan kekurangan, ingin yang lebih hebat, lebih enak, lebih besar, lebih banyak dan selanjutnya. Justru pengejaran kepuasan inilah yang meniadakan kepuasan yang sesungguhnya, karena harapan selalu lebih besar dari pada kenyataan.

Kaisar Kian Liong yang sudah dikelilingi banyak wanita cantik itu masih kurang puas, masih menghendaki sesuatu yang lebih dari pada semua yang telah ada itu!

Sudah menjadi hal yang wajar bahwa di dalam suatu pemerintahan terdapat banyak orang-orang berambisi yang ingin mencari kedudukan bagi dirinya sendiri. Pengejaran kedudukan ini menimbulkan pelbagai cara yang curang dan kotor, di antaranya sifat menjilat. Dalam sebuah pemeritahan, selalu ada dan banyak saja orang-orang yang suka menjilat sebagai jalan untuk memperoleh imbalan. Menjilat untuk menyenangkan atasan agar atasan membalas jasanya dengan kenaikan pangkat, dengan hadiah dan sebagainya.

Demikian pula dengan Kaisar Kian Liong. Setelah kelemahannya diketahui orang, maka banyaklah para pembesar korup yang mendekatinya dan menjilat-jilat dengan cara menyuguhkan gadis-gadis cantik yang mereka dapatkan dengan berbagai cara, kadang-kadang dengan cara yang kotor pula. Gadis-gadis itu mereka haturkan kepada kaisar dengan harapan kaisar akan merasa senang dan tentu akan memberi imbalan jasa yang lumayan. Apalagi kalau sampai gadis pemberian mereka itu kelak memperoleh kedudukan penting, tentu sang gadis tidak akan melupakan orang yang mula-mula membawanya kepada kaisar!

Pada suatu hari, seorang di antara para penjilat kaisar yang melihat kebosanan kaisar terhadap para wanita cantik yang ada, memberi tahukan pada kaisar bahwa di Sin-kiang terdapat seorang wanita yang luar biasa cantiknya! Wanita itu di seluruh Sin-kiang terkenal dengan sebutan Puteri Harum!

“Apakah ia masih gadis?” Kaisar Kian Liong segera saja memperlihatkan sikap tertarik sekali.
“Sayang bahwa ia telah menikah dengan seorang kepala suku di Sin-kiang, sri baginda, dan dia adalah puteri kepala suku Ho-co. Akan tetapi, hamba sendiri pernah melihatnya dan hamba berani bersumpah bahwa selama hidup hamba, belum pernah hamba melihat seorang wanita secantik itu! Tiada cacat-celanya sedikit pun juga dan tubuhnya mengeluarkan bau harum, bukan keharuman yang dibuat dengan minyak. Kabarnya sejak kecil ia diberi minum semacam obat rahasia yang membuat keringat dan tubuhnya berbau harum. Dan ia masih amat muda, sri baginda, baru dua puluh lima tahun dan belum mempunyai anak.”

Selanjutnya si penjilat ini menggambarkan kecantikan Puteri Harum dengan kata-kata bermadu, membuat Kaisar Kian Liong tergila-gila dan sampai beberapa hari dia tidak dapat tidur nyenyak atau makan enak. Yang terbayang hanyalah Sang Puteri Harum dari Sin-kiang itu!

Akhirnya Kaisar Kian Liong tidak dapat menahan lagi kerinduan hatinya. Dia tergila-gila mendengar adanya seorang wanita yang memiliki kecantikan sedemikian luar biasa seperti yang belum pernah didengarnya sebelumnya, apalagi dilihatnya. Maka, dengan nekat dia lalu memanggil Jenderal Cao Hui, seorang jenderal kepercayaannya untuk membawa pasukan besar dan menyerbu ke Sin-kiang.

Dia tidak mau mengutus Jenderal Kao Cin Liong karena terhadap jenderal muda ini dia merasa malu. Perasaannya meyakinkan hatinya bahwa jenderal Kao Cin Liong tentu akan menentang dan tidak akan menyetujui rencana gila itu, menyerbu ke barat dan mengadakan perang hanya untuk merampas seorang wanita!

Pasukan yang dipimpin Jenderal Cao Hui itu berhasil menyerbu Sin-kiang, membunuh banyak prajurit suku bangsa Ho-co, dan menawan Sang Puteri Harum, dibawa ke timur dan pada suatu hari, tercapailah idam-idaman hati Kaisar Kian Liong untuk berhadapan dengan sang puteri!

Tentu saja peristiwa ini mendatangkan rasa penasaran dan kemarahan besar di antara para pendekar. Akan tetapi, tidak ada seorang pun yang berani menentang karena bukankah yang diserbu itu hanyalah suku bangsa terpencil di barat yang tidak termasuk bangsa pribumi Han?

Kaisar Kian Liong terpesona menatap kecantikan asing dari sang puteri yang menangis ketika dihadapkan kepadanya sebagai tawanan. Tubuh yang ramping padat itu, kulit yang putih halus kemerahan, bibir yang merah basah, mata yang lebar dan indah bening kebiruan, hidung yang mancung, bulu mata yang panjang-panjang melengkung. Sungguh kecantikan yang berbeda sama sekali dengan kecantikan yang biasa dia lihat. Apalagi bau harum yang jelas tercium oleh hidungnya walau pun sang puteri itu duduk bersimpuh di atas lantai. Seluruh ruangan itu seolah-olah baru saja disiram sebotol minyak harum atau seakan-akan ruangan itu berubah menjadi taman bunga-bunga mawar yang baru mekar!

“Thian Yang Agung....,” kaisar itu berbisik dekat Hok Sen, sang kepala thaikam sambil menatap tanpa berkedip. “Ia tentu seorang bidadari yang turun dari sorga....”
“Hamba yakin memang demikian, sri baginda, dan hanya paduka sajalah yang patut mendampinginya....,” bisik thaikam yang pandai menyenangkan hati itu.

Pada saat itu juga, Kaisar Kian Liong menganugerahkan pangkat Selir Harum kepada sang puteri tawanan, menghadiahkan banyak pakaian dan perhiasan, juga ditempatkan di dalam kamar terindah di dalam istana, menjadi selir baru yang paling dicinta.

Akan tetapi, Puteri Harum tidak mau menyerahkan diri dan hanya menangis. Ia berduka sekali mengingat akan kematian ayahnya dan suaminya. Berbagai macam cara para dayang menghiburnya, namun dia tetap menangis dan tidak mau bersolek, tidak mau melayani Kaisar Kian Liong. Hal ini tentu saja membuat sang kaisar menjadi kecewa sekali.

Akan tetapi, kembali kepala thaikam Ho Sen yang muncul sebagai penasehatnya. Atas nasehat sang thaikam yang pandai itu, kaisar Kian Liong segera memerintahkan orang-orangnya membangun sebuah bangunan istana kecil mungil yang baru, yang diberi nama Istana Bulan Indah. Bukan hanya merupakan sebuah istana yang indah, akan tetapi juga modelnya dibuat seperti bangunan di Sin-kiang, dan untuk menghibur hati selirnya, kaisar juga memerintahkan orang-orangnya membangun sebuah kota tiruan di dekat istana, sebuah kota yang lengkap dengan kuil dan para penghuninya yang semua beragama dan berpakaian orang-orang Sin-kiang.

Di loteng Istana Bulan Indah, Puteri Harum dapat melihat semua ini sehingga agak terhiburlah kedukaan hatinya. Dia merasa seolah-olah dia masih berada di kampung halamannya. Dia berterima kasih dan hatinya tergerak oleh kebaikan hati kaisar kepada dirinya. Akhirnya dia pun menyerahkan dirinya kepada Kaisar Kian Liong dengan suka rela dan semenjak itu, Puteri Harum menjadi selir terkasih dari kaisar itu.

Demikianlah, semua ulah kaisar ini menambahkan rasa tidak suka di hati para pendekar yang ingin memberontak, walau pun tentu saja masih teramat banyak mereka yang setia kepada Kaisar Kian Liong.....
********************

“Pouw-sute, engkau tentu tidak lupa akan pesan mendiang suhu dan juga peraturan Kun-lun-pai yang telah dipegang teguh selama ratusan tahun. Engkau tahu bahwa tiada seorang pun murid Kun-lun-pai, tanpa terkecuali, yang boleh membuka dan membaca kitab ilmu pusaka Sin-liong Ho-kang. Bagaimana mungkin engkau mengharapkan pinto untuk melanggar peraturan itu?” Ucapan ini keluar dari mulut Hong Tan Tosu, ketua Kun- lun-pai di Tung-keng.

Tosu tinggi kurus yang usianya sudah hampir tujuh puluh tahun ini adalah suheng dari Pouw Kui Lok dan dia mengetuai kuil yang menjadi cabang dari Kun-lun-pai itu, di mana dahulu Kui Lok diambil murid oleh suhu mereka. Seperti kita ketahui, Pouw Kui Lok menuruti permintaan suheng-nya yang baru, yaitu Louw Tek Ciang, untuk berusaha mempelajari ilmu larangan dari Kun-lun-pai itu dalam tekadnya untuk menandingi ilmu meniup suling yang ampuh dari keluarga Kam.

Pouw Kui Lok dan Louw Tek Ciang disambut dengan ramah oleh ketua kuil itu yang merasa gembira melihai sute-nya dan sahabatnya itu telah kembali setelah mengikuti keluarga Cu yang sakti ke Lembah Naga Siluman di barat. Akan tetapi, ketika Kui Lok menyatakan keinginan hatinya untuk meminjam sebentar kitab Sin-liong Ho-kang untuk dipelajari isinya, tosu tua itu terkejut dan mencela sute-nya.

Mendengar ucapan ini, Kui Lok tidak mampu menjawab dan Tek Ciang cepat-cepat maju memberi hormat kepada tosu tua itu. “Harap totiang sudi memaafkan Pouw-sute. Sesungguhnya, bukan sute yang menginginkan kitab itu untuk dipelajari, karena sute adalah seorang yang menjunjung tinggi peraturan perguruan Kun-lun-pai. Yang amat membutuhkan bantuan Kun-lun-pai untuk dapat sekedar mempelajari Sin-liong Ho-kang itu adalah saya sendiri, totiang. Pouw-sute hanya mencoba membantu saya saja untuk memintakan ijin dari totiang.”

“Siancai, siancai....!” Tosu itu mengangguk-angguk. “Louw-sicu, hendaknya sicu suka memaafkan pinto. Ketahuilah bahwa ilmu itu oleh perguruan kami dianggap sebagai ilmu yang keji dan sesat, kalau digunakan hanya akan mengancam keselamatan nyawa manusia lain saja. Yang mau mempergunakan ilmu seperti itu hanyalah iblis-iblis yang berwatak curang. Oleh karena itu, semua murid Kun-lun-pai dilarang keras mempelajari ilmu itu. Kalau murid sendiri saja tidak boleh mempelajarinya, apalagi orang luar. Harap sicu suka memaafkan dan tidak menjadi kecil hati.”

Kembali Tek Ciang memberi hormat. “Maaf, totiang. Saya pun cukup mengerti dan bisa menerima alasan yang totiang kemukakan itu. Akan tetapi tentu totiang sependapat dengan saya bahwa keji tidaknya suatu ilmu, sesat tidaknya, tergantung sepenuhnya pada penggunaannya, bukan? Betapa pun keji kelihatannya suatu ilmu, jika digunakan untuk kebaikan, tentu menjadi ilmu yang baik pula.”

“Siancai, ada benarnya memang pendapat Louw-sicu itu. Akan tetapi kita tidak boleh lupa bahwa adanya suatu ilmu amat mempengaruhi pemiliknya. Bagaimana orang dapat melakukan suatu perbuatan keji kalau tidak memiliki ilmu keji itu sendiri? Sebaliknya, biar pun hati seseorang tadinya tidak mempunyai niat keji, kalau sudah memiliki ilmu yang keji itu, mudah saja terbujuk untuk melakukan perbuatan keji menggunakan ilmu itu. Tiada bedanya dengan kekuatan. Orang tidak akan melakukan pemukulan kalau tidak memiliki kekuatan, sebaliknya, setelah memiliki kekuatan, akan timbul dorongan untuk mempergunakan kekuatan itu memukul atau menindas orang lain. Nah, karena itulah, sicu, maka murid-murid Kun-lun-pai tidak diperkenankan mempelajari ilmu itu.”

Tek Ciang mengerutkan alisnya. Sukar memang membujuk tosu yang agaknya kukuh ini. Akan tetapi Tek Ciang adalah seorang yang cerdik dan licik sekali. Dia tidak memperlihatkan kekecewaan atau pun kemendongkolan hatinya, melainkan tersenyum ramah. Lalu dengan suara halus dia bertanya.

“Hong Tan totiang, saya tahu bahwa totiang adalah sahabat baik sekali dari para suhu kami di Lembah Naga Siluman, yaitu para tokoh keluarga Cu. Tentu persahabatan itu berdasarkan rasa kagum akan kegagahan masing-masing.”

Tosu tinggi kurus itu memandang dengan alis berkerut, tidak mengerti ke mana arah tujuan kata-kata pemuda ini. Akan tetapi dia mengangguk. “Tentu saja, mereka adalah keluarga yang sakti dan gagah perkasa, dan pinto ikut merasa gembira sekali bahwa Pouw-sute dapat menerima gemblengan keluarga Cu.”
“Totiang, di antara sahabat, baru dapat dikatakan akrab dan benar kalau di situ terdapat kesetiaan dan pembelaan, bukan?”
“Tentu, tentu....” Tosu itu mengangguk-angguk.
“Jadi, andai kata ada suatu mala petaka menimpa keluarga para suhu kami di Lembah Naga Siluman, tentu totiang akan sudi membela dan membantu mereka?”
“Tentu saja, selama tenaga pinto yang sudah tua dan lemah ini mengijinkan. Akan tetapi ada apakah yang telah terjadi dengan mereka, sicu?” Dan tosu ini pun menoleh dan memandang kepada Kui Lok yang hanya menundukkan mukanya, maklum akan siasat yang dijalankan oleh Tek Ciang.

“Nah, baru sahabat saja sudah akan membela dan membantu, totiang. Apalagi murid-murid seperti kami ini. Ketahuilah bahwa kami, saya dan Pouw-sute, sedang memikul tugas yang dibebankan oleh kedua suhu Cu Han Bu dan Cu Seng Bu, akan tetapi kami berdua telah gagal dan harapan satu-satunya kami hanyalah bantuan totiang melalui ilmu Sin-liong Ho-kang itu.”
“Apa yang telah terjadi? Pouw-sute, apakah yang telah terjadi dengan keluarga Cu di Lembah Naga Siluman? Coba ceritakan kepada pinto.”

Tosu itu sekarang menoleh kepada sute-nya untuk minta penjelasan untuk meyakinkan hatinya. Biar pun dia sudah mengenal Louw Tek Ciang yang menjadi sahabat sute-nya dan kini bahkan menjadi suheng dari sute-nya itu karena mereka berdua berguru kepada keluarga Cu, namun dia belum mengenal benar keadaan Tek Ciang sehingga keterangan pemuda itu tidak mungkin dapat diterimanya begitu saja.

“Suheng, memang apa yang dikatakan oleh suheng Louw Tek Ciang itu benar. Setelah tiga tahun menerima pelajaran ilmu di Lembah Naga Siluman, kedua orang suhu di sana mengutus kami berdua untuk mencari dan menebus kekalahan kedua suhu dari seorang musuh mereka. Suhu tidak mengikatkan kami dengan urusan pribadi di antara mereka, hanya suhu minta agar kami berdua sebagai murid-muridnya menebus kekalahan yang pernah mereka derita dari orang itu. Kami berdua sudah memenuhi perintah suhu, bertemu dengan lawan itu, akan tetapi kami berdua gagal karena lawan memiliki ilmu semacam Sin-liong Ho-kang. Sebab itulah maka suheng mengajakku untuk menghadap ke sini dan mohon diberi kesempatan mempelajari ilmu Sin-liong Ho-kang, hanya untuk dipakai melawan ilmu dari lawan itu.”

Kakek itu mengerutkan alisnya dan nampak bimbang. “Siapakah lawan yang dapat mengalahkan orang-orang gagah dari keluarga Cu itu?” Dia memang merasa heran sekali mendengar ada lawan yang mampu mengungguli pendekar-pendekar seperti Cu Han Bu dan Cu Seng Bu.

“Dia adalah orang she Kam dan tentu totiang belum mengenalnya. Dia sombong sekali! Sebaiknya kalau totiang tidak mengenal agar tidak terlibat dalam urusan pribadi antara keluarga Cu dan keluarganya. Kami pun hanya melaksanakan tugas dan kalau kami belum dapat mengalahkannya, bagaimana saya dan Pouw-sute masih ada muka untuk menghadap para suhu di Lembah Naga Siluman? Oleh karena itu, sekali lagi, mohon kerelaan hati totiang untuk menolong kami, atau lebih tepat lagi, menolong keluarga Cu dari rasa malu kalau sampai dua orang murid dan wakil mereka kembali dikalahkan oleh musuh lama itu.”

Tosu tua itu merasa terdesak dan tersudut. Tentu saja dia merasa tidak enak sekali kalau menolak pemintaan bantuan yang pada hakekatnya adalah membantu para sahabatnya, keluarga Cu itu. Padahal dahulu, di waktu mudanya, pernah Cu Han Bu menolongnya dari kekalahan, bahkan mungkin sekali kematian dari tangan seorang musuh yang tangguh. Andai kata Louw Tek Ciang datang seorang diri, tentu ia memiliki alasan untuk menolak, dan hatinya tidak akan bimbang ragu. Akan tetapi kini Tek Ciang datang menghadap bersama Pouw Kui Lok yang tentu saja sudah amat dipercayanya.

“Louw-sicu, biar bagaimana pun juga, murid Kun-lun-pai tidak boleh mempelajari ilmu itu....”
“Totiang, saya bukan murid Kun-lun-pai!”
“Maksud pinto adalah Pouw-sute, dia tidak boleh sama sekali mempelajari ilmu itu, tepat dan sesuai dengan sumpahnya sebagai murid Kun-lun-pai yang taat. Dan biar pun tidak ada peraturan melarang orang luar mempelajari ilmu itu, akan tetapi kalau pinto berikan kepadamu, berarti pinto yang bertanggung jawab jika sampai kelak ilmu itu digunakan untuk membunuh orang....”

“Totiang, apakah totiang tidak percaya kepada saya dan tidak percaya pula kepada Pouw-sute? Tadi sudah kami ceritakan bahwa kami membutuhkan ilmu itu hanya untuk menandingi ilmu yang serupa dari musuh keluarga Cu.”
“Baiklah, Louw-sicu. Pinto mengingat akan kebaikan-kebaikan keluarga Cu, memberi kesempatan kepadamu untuk mempelajari ilmu itu. Akan tetapi ada syarat-syaratnya.”
“Apakah syaratnya, totiang?”

“Pertama, sicu harus bersumpah dahulu bahwa ilmu itu hanya dipelajari khusus untuk menghadapi ilmu musuh keluarga Cu itu. Dan ke dua, ilmu itu hanya khusus dipelajari di dalam ruangan perpustakaan di mana kitab itu disimpan, sama sekali kitab itu tidak boleh dibawa keluar dari ruangan perpustakaan. Dan ke tiga, sicu hanya pinto beri waktu satu bulan saja untuk mempelajarinya. Setelah lewat sebulan, sicu sudah harus meninggalkan ruangan perpustakaan itu dan.... maaf, meninggalkan pula kuil ini agar tidak mengingatkan pinto bahwa pinto telah melakukan pelanggaran.”

“Baiklah, totiang dan terima kasih atas kebaikan hati totiang. Saya akan bersumpah sekarang juga.”

Louw Tek Ciang kemudian diajak ke depan meja sembahyang dan di depan meja sembahyang ini Tek Ciang mengucapkan sumpahnya dengan suara lantang. “Teecu Louw Tek Ciang bersumpah, bahwa teecu yang diberi kesempatan mempelajari ilmu Sin-liong Ho-kang, akan mempergunakan ilmu itu untuk menghadapi ilmu suara suling dari keluarga Kam, dan tidak untuk keperluan lain. Kalau teecu melanggar sumpah ini, semoga teecu dijatuhi hukuman tewas di tangan musuh-musuh teecu!”
“Cukup, sicu,” kata tosu tua itu dengan hati lega.

Akan tetapi dia sama sekali tidak tahu bahwa diam-diam Tek Ciang mentertawakan sumpah itu. Orang seperti Tek Ciang ini mana bisa mengucapkan sumpah dengan bersungguh hati? Dia hanya bersumpah sebagai siasat saja. Bahkan Pouw Kui Lok sendiri pun tidak menduga akan hal ini. Demikian pandainya Tek Ciang membawa diri dan bersandiwara.....

“Pouw-sute, engkaulah yang harus mengawasi supaya Louw-sicu memenuhi janjinya dan tidak membawa kitab itu keluar dari ruangan perpustakaan, bergilir dengan murid keponakanmu.”

Tosu itu mengambil sebuah genta dan membunyikan genta itu. Terdengar suara nyaring berkeloneng dan tak lama kemudian dari pintu belakang muncullah seorang gadis yang berpakaian ringkas dan membawa pedang di punggungnya. Gadis ini memakai pakaian ringkas sederhana, wajahnya tidak dirias, tanpa bedak dan gincu, bahkan rambutnya pun hanya digelung secara sederhana sekali.

Akan tetapi harus diakui bahwa gadis ini manis bukan main, dan tubuhnya padat dan ramping. Seorang gadis berusia tujuh belas tahun yang manis dan juga kelihatan gagah dengan gerak gerik yang tangkas. Gadis itu maju dan berlutut di depan Hong Tan Tosu dan terdengar suara halus merdu dari bibirnya yang merah.

“Suhu memanggil teecu? Ada perintah apakah, suhu?”

Tosu tua itu tersenyum, agaknya bangga kepada muridnya yang selain manis juga amat berbakti ini. “Kui Eng, selama ini engkau belum pernah bertemu dengan susiok-mu (paman gurumu) Pouw Kui Lok karena ketika tiga tahun yang lalu dia datang, engkau sedang memperdalam ilmu di Kun-lun-san. Nah, ini dia, berilah hormat kepada paman gurumu.” Tosu itu menuding kepada Pouw Kui Lok yang memandang kagum kepada murid keponakannya yang baru sekali ini dilihatnya.

Gadis bernama Can Kui Eng itu bangkit dan menoleh kepada Pouw Kui Lok. Biar pun ia seorang gadis dewasa dan paman gurunya itu ternyata masih muda, namun ia tidak kelihatan canggung atau malu-malu. Sambil tersenyum sopan dia memberi hormat kepada Pouw Kui Lok.

“Pouw-susiok, terimalah hormatnya Can Kui-Eng, murid keponakanmu.”

Kui Lok cepat membalas penghormatan itu. “Ahh, kiranya suheng mempunyai seorang murid perempuan yang begini gagah. Dan sudah pernah digembleng di Kun-lun-san pula? Nona....”

“Susiok, seorang paman guru tidak menyebut nona kepada murid keponakannya.” Gadis itu memotong dan wajah Kui Lok menjadi merah. Biar pun usianya sudah dua puluh tiga tahun kurang lebih, akan tetapi pengalamannya terhadap wanita masih nol.
“Baiklah, Kui Eng. Dan perkenalkan ini adalah suheng-ku sendiri, akan tetapi bukan saudara seperguruan di Kun-lun-pai, melainkan dari guru yang lain, namanya Louw Tek Ciang.”

Kui Eng memberi hormat pula dan sepasang matanya yang bening itu memandang penuh selidik, lalu alisnya agak berkerut. Ada sesuatu pada pandang mata pria ini yang membuat dia merasa tidak enak dan gelisah. Tek Ciang menyambut penghormatan itu dengan senyum memikat.

“Kui Eng, engkau kupanggil dan kuberi tugas. Engkau bersama susiok-mu bertugas untuk menjaga dan mengamati agar supaya Louw-sicu bisa mempelajari kitab Sin-liong Ho-kang dengan tenang di dalam kamar perpustakaan selama satu bulan. Dan kitab itu sama sekali tidak boleh dibawa keluar dari dalam kamar perpustakaan....”

“Sin-liong Ho-kang....?” Gadis itu terbelalak dan menatap wajah suhu-nya dengan penuh kekagetan dan penasaran. “Dia.... sicu ini hendak mempelajari ilmu larangan itu....? Tapi, tapi, suhu....”
“Kui Eng, sudahlah. Ini adalah urusan dan tanggung jawab pinto sendiri. Engkau tentu yakin bahwa semua keputusan yang pinto ambil sudah melalui pertimbangan yang matang. Mulai sekarang engkau tinggal melaksanakan tugas jaga bergiliran dengan susiok-mu, menjaga agar Louw-sicu ini memenuhi janjinya, mempelajari kitab itu hanya selama satu bulan dan sama sekali tidak boleh membawa kitab itu keluar dari dalam ruangan perpustakaan.”

“Baik, suhu! Akan teecu jaga agar dia tidak melanggar janjinya!” Ucapan yang bernada keras ini saja sudah membuktikan bahwa di dalam hatinya, gadis itu merasa tidak senang kepada Louw Tek Ciang, juga merasa tidak senang melihat betapa suhu-nya kini mengijinkan orang luar mempelajari ilmu larangan itu, padahal setiap orang murid Kun-lun-pai tidak diperkenankan mempelajarinya. Tetapi Louw Tek Ciang menghadapi sikap gadis ini dengan senyum ramah saja.

Demikianlah, terhitung mulai hari itu, Tek Ciang mulai memasuki ruangan perpustakaan dan membuka-buka kitab kuno yang sudah kekuningan itu, mempelajari ilmu yang dinamakan Sin-liong Ho-kang. Ilmu ini berdasarkan kekuatan khikang yang keluar dari pusar, mengerahkan tenaga khikang ini melalui suara gerengan yang mengandung getaran amat kuatnya.

Ilmu ini serupa dengan ilmu Sai-cu Ho-kang dan sebagainya, kekuatan yang terkandung dalam gerengan dan auman binatang-binatang buas yang melumpuhkan korban hanya dengan suara gerengan dahsyat itu, akan tetapi Sin-liong Ho-kang ini lebih hebat lagi. Bukan hanya getaran hebat yang terkandung dalam gerengan dahsyat menggelegar, tetapi juga siapa yang sudah menguasainya dengan baik, akan dapat mengeluarkan suara dari jauh, mengirimkan suara dari jauh untuk dapat didengar oleh orang yang ditujunya saja tanpa didengar orang lain. Bahkan orang yang menguasai ilmu itu dapat mengeluarkan suara yang tinggi melengking sampai hampir tidak terdengar, akan tetapi semakin halus suara itu, makin hebatlah getarannya dan amat berbahaya bagi lawan!

Akan tetapi, Tek Ciang mendapatkan kenyataan bahwa untuk dapat menguasai ilmu ini secara sempurna, dibutuhkan waktu yang lama, sedikitnya setengah tahun! Maka dia pun segera mempelajari teori-teorinya saja untuk dilatih kelak. Memang dia licik dan cerdik.

Tahulah dia bahwa tosu tua itu sudah menggunakan akal. Pada lahirnya saja memberi ijin kepadanya untuk mempelajari ilmu itu, tetapi pada hakekatnya tosu itu berkeberatan. Buktinya dia hanya diberi waktu satu bulan, waktu yang hanya cukup untuk menghafal teori atau isi kitab. Juga larangan berlatih di luar kamar perpustakaan merupakan bukti bahwa tosu itu memang berkeberatan dia menguasai ilmu larangan itu karena untuk dapat berlatih, orang membutuhkan udara terbuka, bukan dalam kamar.

“Tua bangka sialan!” gerutunya, akan tetapi tentu saja Tek Ciang tidak menyatakan sesuatu kepada Kui Lok, apalagi kepada Kui Eng, gadis yang bertugas menjaga dan mengamatinya itu.

Penjagaan itu dilakukan secara bergilir oleh Kui Lok dan murid keponakannya. Dan dia mendapat kenyataan bahwa Kui Eng memang seorang murid Kun-lun-pai yang lincah dan cekatan, memiliki ginkang yang mengagumkan dan ilmu pedangnya juga lihai. Jika Kui Lok hanya melakukan penjagaan untuk patut-patut saja karena tentu saja dia sudah amat percaya kepada Tek Ciang sehingga tidak berjaga dengan sesungguhnya, tidak demikian dengan gadis itu.

Kui Eng berjaga dengan sikap sangat waspada dan sungguh-sungguh, seolah-olah dia menganggap bahwa Tek Ciang seorang yang tidak dapat dipercaya dan amat perlu diawasi! Melihat sikap gadis ini, diam-diam Tek Ciang mendongkol sekali dan dia pun bersikap hati-hati, tidak berani melanggar janjinya terhadap ketua cabang Kun-lun-pai itu.

Kurang lebih sepuluh hari sudah Tek Ciang dengan tekun mempelajari ilmu dari kitab kuno itu, hanya meninggalkan ruangan perpustakaan tanpa kitab itu bila ada keperluan makan atau mandi dan ke belakang saja. Bahkan tidur pun ia lakukan di dalam ruangan itu!

Pada suatu malam pelajaran dalam kitab itu sudah sampai pada bagian cara berlatih menghimpun tenaga khikang yang harus dilakukan di udara terbuka, di bawah sinar bulan purnama! Dan malam itu kebetulan bulan sedang purnama, jadi sesungguhnya amat tepat untuk memulai latihan di luar kuil! Akan tetapi, hatinya merasa penasaran dan mendongkol sekali karena dia sudah terikat oleh janji dan pada malam itu, yang melakukan perjagaan adalah gadis yang amat tekun mengamatinya itu!

“Sialan....!” gerutunya dalam hati.
Kalau bukan gadis itu yang berjaga, tentu dia akan dapat menyelinap keluar barang satu dua jam untuk mempraktekkan ajaran di dalam kitab, yaitu cara menghimpun tenaga khikang di bawah sinar bulan purnama.

“Mengapa tidak?” Demikian hatinya berbisik. “Gadis itu, bagaimana pun juga hanyalah murid keponakan Pouw Kui Lok, masih amat muda dan kepandaiannya pun tak berapa tinggi.”

Pikiran ini membuat Tek Ciang mulai gelisah. Kalau dia dapat menggunakan ilmunya untuk menyelinap tanpa diketahui, atau membuat gadis itu tak berdaya untuk beberapa lama, misalnya dengan menotoknya pingsan, bukankah dia akan memperoleh banyak kesempatan untuk mencoba dengan latihan menghimpun khikang.

Tek Ciang memperhatikan sekeliling. Biasanya, gadis itu berjaga di luar perpustakaan, berkeliaran di sekitar kamar perpustakaan, terutama sekali di depan pintu, dan di depan jendela. Akan tetapi keadaan di sekeliling kamar itu kini sepi saja.

Dengan menahan napas, Tek Ciang dapat mengikuti setiap gerakan di luar kamar itu dengan pendengarannya yang terlatih. Sunyi. Tidak ada orang di luar kamar itu! Ke mana perginya gadis itu, pikirnya dan dia pun mulai bangkit dan berindap-indap ke jendela, mengintai ke luar. Sepi sekali dan cuaca amat indahnya, karena sinar bulan purnama membuat malam itu terang dan sejuk.

Setelah menyimpan kitab itu, Tek Ciang keluar dari dalam kamar perpustakaan. Dia tidak berani membawa kitab itu keluar sebelum dia yakin benar bahwa tidak ada orang melihatnya. Akan tetapi benar-benar sunyi, tidak nampak bayangan Kui Eng. Malam itu sudah menjelang tengah malam dan tentu penghuni lainnya sudah tidur. Ke manakah perginya gadis itu? Benarkah kali ini Kui Eng meninggalkannya dan tak mengawasinya?

Akan tetapi ketika dia keluar dari kuil, dia melihat dua bayangan berkelebat ke samping kuil di mana terdapat sebuah kebun dan ladang yang penuh dengan pohon-pohon buah dan tanaman sayuran. Tek Ciang merasa curiga karena gerakan dua orang yang amat cepat itu mengandung rahasia. Kalau orang Kun-lun-pai, kenapa harus menyelinap ke tempat gelap? Dia pun menggunakan kepandaiannya, menyelinap dan memasuki kebun itu sambil mencurahkan perhatian. Akhirnya dia melihat dua orang berdiri berhadapan di bawah pohon dan dia cepat menyelinap mendekati dan mengintai.

Kiranya seorang di antara mereka adalah Kui Eng! Dan gadis itu berada dalam pelukan seorang laki-laki muda yang bertubuh tinggi besar dan gagah. Tek Ciang tersenyum sinis. Hemm, pikirnya, kiranya gadis itu meninggalkannya untuk berpacaran di kebun ini! Akan tetapi, ketika dia mendengarkan percakapan mereka yang berbisik-bisik itu, dia tertarik dan lupa akan pertemuan mesra itu.

“Eng-moi, urusan ini tidak bisa ditunda lagi. Pertemuan rahasia itu akan diadakan dua minggu lagi di hutan cemara sebelah selatan kota raja. Dan engkau harus menghadiri bersamaku. Penting sekali, Eng-moi.”

“Aihh, Koan-koko, alangkah inginnya aku pergi bersamamu menghadiri pertemuan para pendekar patriot itu di sana. Memang sekarang inilah saatnya para pendekar harus membebaskan tanah air dari penjajah Bangsa Mancu! Akan tetapi, ahhh.... orang she Louw yang menjemukan itu....!”

“Siapa? Mengapa? Apakah yang terjadi sehingga engkau begini lama bertahan di kuil suhu-mu ini?”
“Tanpa kusangka-sangka, datang susiok-ku bersama seorang temannya di kuil ini dan dia oleh suhu diperbolehkan untuk mempelajari Sin-liong Ho-kang selama satu bulan. Dan aku diberi tugas mengawasinya supaya dia tidak melatih ilmu itu di luar ruangan perpustakaan. Aku tidak dapat meninggalkan tugas ini dan baru berjalan dua belas hari, masih delapan belas hari lagi....”

“Kalau begitu akan terlambat!”
“Harus bagaimana, koko, aku tidak mungkin dapat meninggalkan tugas ini. Dan berterus terang kepada suhu juga berbahaya. Sudah kukatakan kepadamu bahwa Kun-lun-pai masih bersikap ragu-ragu, belum mau menyambut rencana pemberontakan para patriot yang hendak mengenyahkan para penjajah itu.”

Mendengar suara gadis itu yang demikian kecewa dan berduka, si pemuda kemudian mendekap dan mencium pipinya dengan mesra, dengan sikap menghibur. “Sudahlah, Eng-moi, tidak perlu engkau berduka. Biarlah aku yang akan menghadiri pertemuan itu dan kelak kusampaikan semua hasilnya kepadamu. Juga masih ada tugas untukmu dari kawan-kawan. Biar pun engkau tidak akan dapat menghadiri pertemuan itu, akan tetapi biarlah kuserahkan tugas yang lebih penting lagi kepadamu, setelah engkau bebas dari tugasmu di sini.”

“Tugas apakah itu, koko?” Si gadis nampak bersemangat.
“Begini....” Suara itu kini bisik-bisik perlahan, akan tetapi masih dapat tertangkap oleh pendengaran Tek Ciang yang amat tajam. “....ini ada satu surat untuk Gan-ciangkun, seorang panglima yang mendukung para patriot. Surat ini membujuk Gan-ciangkun untuk mencari akal guna menarik jenderal Muda Kao Cin Liong menjadi sekutu kita, atau kalau pun dia menolak, agar dicarikan akal supaya jenderal itu dapat dienyahkan. Sebab, selama ia masih mendukung kaisar, gerakan kawan-kawan kita akan terhalang. Nah, surat ini penting sekali, bukan? Dengan begitu, biar pun engkau tidak dapat hadir dalam pertemuan itu, tugasmu ini bahkan lebih penting lagi.”

“Aihh, Koan-ko.... tapi.... tapi aku.... tugas ini demikian besar dan aku.... ihhh, gemetar tanganku dan berdebar jantungku, apakah kau pikir aku.... cukup berharga untuk tugas sepenting itu?”

Kembali pemuda itu menciumnya, lalu melepaskan pelukannya, mengambil sesampul surat kemudian menyerahkan sampul panjang itu kepada Kui Eng. “Sudahlah, Eng-moi. Engkaulah orang yang paling tepat untuk menyampaikan surat itu. Tidak akan ada orang lain mencurigaimu, dan sekarang kita harus berpisah....”

“Koan-ko, baru saja kita bertemu.... aku masih rindu....”
“Ssttt, sayang, bersabarlah. Kita telah berjanji akan menikah jika perjuangan ini selesai bukan? Nah, selamat tinggal dan simpan baik-baik surat itu.” Setelah berkata demikian, pemuda tinggi besar itu berkelebat dan lenyap di balik bayangan pohon-pohon.

Kui Eng menoleh ke kanan kiri, lalu menyimpan surat di balik bajunya dan pergi dari situ. Ketika dara ini tiba di luar ruangan perpustakaan dan menjenguk dari jendela, dia melihat Tek Ciang masih sibuk membaca kitab!

Ketika ia hendak meninggalkan jendela itu, Tek Ciang menoleh dan sambil tersenyum berkata, “Nona, masuklah sebentar.”

Kui Eng mengerutkan alisnya. Dia menaruh curiga kepada orang yang sinar matanya berkilat dan kalau memandang kepadanya jelas membayangkan nafsu dan kurang ajar itu. Beraninya orang ini menyuruh ia masuk!

“Ada urusan apakah?” tanyanya dari luar jendela sambil memandang tajam.
“Masuklah, nona, aku mengetahui sesuatu yang sangat penting tentang Koan-kokomu itu!”

Wajah yang manis itu seketika menjadi pucat, lalu merah dan tanpa banyak bicara lagi sekali loncat ia sudah melayang masuk ke ruangan itu melalui jendela yang terbuka, berdiri di depan Tek Ciang dengan kedua tangan bertolak pinggang. “Apa kau bilang? Koan-koko siapa yang kau maksudkan itu?”

Tek Ciang bangkit berdiri menghadapi nona itu sambil tersenyum lebar. “Nona manis, tidak perlu berpura-pura lagi. Lebih baik kau serahkan saja surat untuk Gan-ciangkun itu kepadaku!”

Seketika wajah gadis itu menjadi pucat dan di lain saat dara itu sudah mencabut pedang dari punggungnya. Akan tetapi, baru saja pedang tercabut, tubuhnya sudah terkulai lemas karena secepat kilat Tek Ciang sudah mendahuluinya, menotok jalan darahnya membuat Kui Eng roboh lemas tak mampu berkutik lagi.

Tek Ciang menyambut pedangnya sebelum senjata itu jatuh ke atas lantai dan dia pun menotok jalan darah di leher gadis itu untuk mencegah gadis itu mengeluarkan suara. Lalu direbahkannya tubuh gadis itu ke atas lantai. Kui Eng tidak pingsan, hanya tidak mampu bergerak, tidak mampu bersuara. Gadis itu hanya memandang saja ketika jari- jari tangan yang nakal itu membukai kancing bajunya dan nampaklah sampul surat panjang itu di atas buah dadanya yang tidak tertutup lagi. Tek Ciang mengambil sampul surat itu sambil tersenyum lebar dan cepat memasukkan sampul surat itu ke dalam saku jubahnya.

“Hemm, nona manis, engkau dapat bicara apa lagi sekarang? Engkau pemberontak hina, ya?” Dan secara kurang ajar sekali, bukan karena tertarik melainkan karena ingin menggoda dan menghina gadis itu, tangannya menggerayangi tubuh orang.

Pada saat itu berkelebat bayangan orang dan Kui Lok telah berdiri di situ dengan mata terbelalak melihat Tek Ciang tengah jongkok di dekat tubuh Kui Eng yang bajunya telah terbuka sehingga nampak dadanya.

“Louw-suheng, apa.... apa artinya ini....?” Dia begitu kaget dan heran sehingga sukar mengeluarkan kata-kata.
“Sute, nanti saja kuceritakan. Ia terluka, yang penting sekarang kita harus mengobatinya lebih dulu. Penjahat datang melukainya dan aku hanya berhasil mengusir penjahat itu. Lekas kau periksa nona Kui Eng, sute....”

Pouw Kui Lok terkejut sekali mendengar itu dan kecurigaannya terhadap suheng-nya itu lenyap. Dengan penuh kekhawatiran dia berjongkok dan memeriksa tubuh keponakan muridnya dengan teliti. Akan tetapi hatinya lega mendapat kenyataan bahwa Kui Eng tidak terluka, hanya merasa heran bukan main karena ternyata gadis itu lumpuh dan gagu karena tertotok. Kui Lok mengerahkan tenaganya hendak menotok dan mengurut leher dan punggung gadis itu agar totokannya terbebas. Akan tetapi pada saat itu ada angin menyambar dahsyat dari belakang kepalanya.

“Wuuuttt.... crettt....!” Jari tangan yang amat kuat itu menyambar dan menusuk ke arah tengkuk Kui Lok.

Kui Lok terkejut sekali dan berusaha mengelak, akan tetapi karena pada saat itu dia sedang mencurahkan seluruh perhatian kepada murid keponakannya yang sedang dia coba untuk membebaskan totokannya, dan karena serangan itu dilakukan secara tiba-tiba dari jarak sangat dekat, biar pun ia sudah mengelak, tetap saja jari tangan yang amat kuat itu menyambar dan mengenai bawah tengkuknya.

“Oughhh....!” Kui Lok hanya dapat mengeluarkan suara itu, kemudian terpelanting dan dan dia pun tak sadarkan diri.

Demikian hebatnya ilmu Kiam-ci (Jari Pedang) yang tadi dipergunakan Tek Ciang untuk memukul sute-nya sendiri. Biar pun pukulan itu tidak mengenai sasaran dengan tepat, namun pukulan pada pangkal tengkuk itu mengguncangkan isi kepala dan pendekar Kun-lun-pai itu pun roboh pingsan.

Tek Ciang terpaksa memukul sute-nya karena dia tahu bahwa dia tidak mungkin dapat mengelak lagi dari kenyataan tentang surat yang dirampasnya. Kini dia menghadapi keadaan yang amat gawat. Dia harus bertindak cerdik, pikirnya dan sepasang matanya bergerak liar ketika otaknya diperas untuk mencari akal agar dia dapat mengatasi kegawatan ini dengan selamat. Lalu nampak dia menyeringai kejam, kemudian dia pun mengayunkan lagi jari tangannya, dengan ilmu pukulan keji Kiam-ci dia menotok ke arah pelipis kepala Pouw Kui Lok.

Kelihatannya hanya perlahan saja totokannya itu, akan tetapi tubuh Kui Lok terkulai karena pada saat itu juga dia telah tewas! Sungguh menyedihkan sekali bahwa seorang pendekar demikian gagahnya seperti Kui Lok terpaksa harus mati konyol, mati secara mengecewakan sekali di bawah tangan suheng-nya sendiri yang keji dan curang.

Setelah mendapat kenyataan bahwa sute-nya telah tewas, Tek Ciang menyeringai. Kini dia membalik kepada Kui Eng yang biar pun dalam keadaan tak berdaya, tidak mampu bergerak mau pun bersuara, tapi dapat menyaksikan semua peristiwa itu dengan muka pucat sekali. Kini manusia yang sudah seperti kemasukan iblis jahat itu menubruk.

Hati Kui Eng menjerit, namun tidak ada suara keluar dari mulutnya dan biar pun ia ingin meronta dan melawan, namun kaki tangannya lemas dan hanya mampu bergerak-gerak sedikit saja.

Terjadilah perbuatan yang amat terkutuk, perbuatan yang bagi Tek Ciang biasa saja karena dia pun sudah amat terlatih untuk melakukan perkosaan terhadan wanita-wanita semenjak dia menjadi murid Jai-hwa Siauw-ok!

Dapat dibayangkan betapa hancur perasaan hati Can Kui Eng yang dalam keadaan sadar namun tidak mampu bergerak ini menghadapi mala petaka yang menimpa dirinya. Ia diperkosa tanpa bisa bergerak maupun berteriak. Mala petaka yang lebih mengerikan dari pada maut. Gadis itu tidak kuat menahan kehancuran hatinya dan ia pun pingsan. Hal ini lebih baik baginya karena ia tidak tahu atau merasakan lagi apa yang diperbuat manusia iblis itu terhadap dirinya.

Setelah selesai dengan perbuatan yang sangat terkutuk itu, Tek Ciang melanjutkannya dengan kekejaman yang lebih hebat lagi. Dia mencabut pedang gadis itu, menaruh gagang pedang dalam kepalan tangan kanan Kui Eng, kemudian dia memaksa tangan yang mengepal gagang pedang itu untuk menusukkan pedang ke dada sendiri.

Sungguh amat kasihan nasib gadis Kun-lun-pai itu. Baru saja dia mengalami perkosaan yang menghancurkan hati dan kini ia dipaksa untuk membunuh diri! Pedangnya sendiri, didorong oleh Tek Ciang, menusuk dan menembus dada sendiri. Darah bercucuran dan tubuh itu berkelojotan sedikit lalu rebah dan tewas. Baiknya gadis itu mengalami semua itu dalam keadaan pingsan sehingga mengurangi penderitaannya.

Tek Ciang menyeringai puas. Dia lalu membuka-buka pakaian yang menempel di tubuh jenazah Kui Lok, mengawut-awut rambut mayat itu sehingga keadaan pemuda itu bagai orang yang baru saja melakukan perkosaan. Tek Ciang sendiri telah merapikan pakaian dan rambutnya, dan setelah memeriksa lagi dengan teliti keadaan dua mayat itu, dia lalu berteriak-teriak sambil meloncat keluar ruangan perpustakaan.

“Tolong....! Pembunuhan....! Tolonggg....!”

Dia melakukan ini setelah menyambar kitab pelajaran Sin-liong Ho-kang, dan bersama surat dalam sampul untuk Panglima Gan di kota raja dia menyembunyikan di tempat aman, yaitu di balik baju dalamnya.

Teriakan-teriakannya itu mengejutkan semua penghuni kuil dan berserabutanlah para tosu berlari keluar dari kamar masing-masing. Juga Hong Tan Tosu sendiri nampak berlari-lari datang ke tempat itu. Dengan muka pucat Tek Ciang menutupi muka sendiri dan membiarkan para tosu itu melihat sendiri dua tubuh yang sudah menjadi mayat menggeletak di lantai kamar penpustakaan.

Tentu saja kematian Pouw Kui Lok dan Can Kui Eng amat mengejutkan mereka semua, terutama sekali Hong Tan Tosu. Kakek ini memandang dengan muka pucat sekali. Sute-nya telah tewas dan nampaknya tidak mengalami luka, sedangkan muridnya yang terkasih menggeletak mandi darah, dadanya tertembus pedangnya sendiri dan tangan kanannya masih memegang gagang pedang itu. Dilihat sepintas lalu saja jelaslah kalau gadis itu telah membunuh diri dengan pedang sendiri.

Dan melihat keadaan pakaian Kui Eng yang hampir telanjang bulat, dan pakaian Kui Lok yang setengah telanjang, tidak sukar diduga apa yang terjadi antara kedua orang itu. Inilah yang membuat Hong Tan Tosu pucat dan penasaran. Sute-nya berjinah dengan muridnya? Ah, dia tidak percaya akan hal itu. Sute-nya adalah seorang pendekar sejati, dan muridnya juga seorang murid yang sangat patuh. Akan tetapi, agaknya kenyataan menunjukkan demikian.

“Louw-sicu, apakah yang telah terjadi? Apakah yang terjadi dalam kamar ini?” Akhirnya dia menghampiri Tek Ciang dan mengguncang pundak pemuda yang masih menangis itu.

Dengan mata merah karena tangis, atau lebih tepat karena dia gosok-gosok dengan punggung tangan, Tek Ciang memandang tosu itu dengan muka sedih sekali. “Ahhh, totiang, bagaimana aku harus bercerita? Aihhh.... mengapa hal ini menimpa diri kami? Aku.... aku telah membunuh Pouw-sute yang kusayang.... Ahhh, totiang, kalau aku berdosa, silakan totiang menjatuhkan hukuman kepadaku....” Dia pun terisak menangis.

Tosu tua itu mengerutkan alisnya. “Siancai.... segala hal telah terjadi. Sebelum tahu apa yang terjadi dan apa sebabnya, pinto tidak dapat menghakimi. Ceritakanlah, apa yang telah terjadi di sini dan mengapa pula engkau membunuh Pouw-sute?”

“Totiang, sungguh aku masih merasa bingung dan tidak tahu mengapa sute tiba-tiba saja dapat melakukan semua itu seperti orang kemasukan setan! Karena aku merasa lelah setelah membaca kitab sejak pagi, aku pergi keluar untuk mencari hawa sejuk. Kitab kutinggalkan di atas meja dan aku pun berjalan-jalan di luar kuil, bahkan sampai ke luar dusun, sampai tubuh terasa segar kembali. Kurang lebih satu setengah jam aku pergi meninggalkan kuil. Ketika aku kembali, aku terkejut sekali melihat sute.... sute....” Dia berhenti dan menutupi muka dengan kedua tangannya.

“Siancai....! Lanjutkanlah, sicu dan kuatkan hatimu,” kata tosu tua itu hampir tidak sabar.
“Aku melihat dia.... dia sudah memperkosa nona Kui Eng! Begitu saja, di atas lantai kamar perpustakaan ini. Entah sebelum itu apa yang terjadi aku tidak tahu. Setahuku hanya bahwa mereka melakukan penjagaan seperti yang totiang perintahkan. Ah, masih ngeri dan bingung aku mengenang semua itu....”

“Lanjutkan, sicu. Lanjutkan....!” Hong Tan Tosu mendesak, sedangkan para tosu lain yang menjadi pengurus kuil juga ikut mendengarkan dengan muka pucat. Mereka tidak pernah menyangka bahwa peristiwa memalukan seperti ini akan dapat terjadi di kuil mereka. Suatu aib yang amat mencemarkan.

“Ketika aku datang, Pouw-sute sudah mengakhiri perbuatannya yang biadab itu. Tentu saja aku langsung menegurnya, akan tetapi dia malah marah dan menyerangku seperti orang gila. Totiang maklum betapa lihainya sute, maka aku pun terpaksa melayaninya dan pada saat itu, aku melihat nona Kui Eng mengeluarkan pedang dan membunuh diri. Melihat ini, aku menjadi marah sekali kepada sute yang masih menyerangku, maka aku pun lalu membalas serangannya dan akhirnya aku berhasil memukulnya roboh. Bukan niatku membunuhnya, akan tetapi.... ah, dia terlalu kuat untuk dapat dirobohkan begitu saja....”

Hong Tan Tosu menunduk dan memandang pada dua mayat yang masih menggeletak di situ. Di dalam hatinya dia meragukan kebenaran cerita Tek Ciang. Ingin dia berteriak untuk menyangkal, tidak percaya akan apa yang diceritakan mengenai perbuatan Kui Lok. Akan tetapi, apa yang dilihatnya di dalam kamar itu, keadaan dua mayat itu, jelas merupakan kenyataan akan kebenaran cerita Tek Ciang.

Melihat keadaan pakaian mereka, dan melihat pedang yang menusuk dada Kui Eng sendiri sedangkan tangan gadis itu menggenggam gagangnya, merupakan bukti yang sukar untuk disangkal.

“Dan yang lebih mengejutkan hatiku, totiang, kitab Sin-liong Ho-kang yang tadinya aku tinggalkan di atas meja telah lenyap....”
“Apa....?” Kini tosu tua itu benar-benar terkejut dan pandang matanya kepada Tek Ciang penuh keraguan serta kecurigaan. “Sicu, harap engkau jangan main-main. Engkaulah yang selama ini membaca kitab itu! Mengenai muridku dan suteku, katakanlah ada buktinya sehingga ceritamu dapat pinto percaya. Akan tetapi hilangnya kitab Sin-liong Ho-kang, bagaimana cara membuktikannya bahwa benar-benar kitab itu hilang? Dan siapa yang akan dapat mengambilnya?”

Wajah Tek Ciang menjadi merah dan dia bangkit berdiri. “Totiang, aku bukanlah orang yang tidak mau bertanggung jawab. Aku yakin sekali bahwa kitab itu tentu ada yang mengambilnya, tentu sebelum aku kembali ke dalam kamar ini. Bahkan aku mempunyai dugaan yang amat menyakitkan hati.”

“Hemm, dugaan apakah?”
“Mau tidak mau aku harus menduga bahwa memang Pouw-sute telah kemasukan iblis, telah berubah sama sekali. Agaknya dia sendiri yang menyembunyikan kitab itu, lalu dia melakukan perbuatan terkutuk terhadap nona Kui Eng di kamar ini. Agaknya memang dia sengaja melakukan semua itu dengan maksud untuk menjatuhkan fitnah atas diriku, kemudian, dengan menuduh aku menyembunyikan kitab dan memperkosa nona Kui Eng. Untung aku datang terlebih dahulu sehingga memergoki perbuatannya yang laknat itu....”

“Louw-sicu! Jangan menuduh yang bukan-bukan terhadap sute yang sudah tidak ada! Apa buktinya bahwa dia yang menyembunyikan kitab?”
“Memang kini tidak ada buktinya, totiang. Akan tetapi aku akan mencarinya, dan aku bersumpah bahwa aku akan menemukan kitab itu dan mengembalikannya kepadamu. Nah, selamat tinggal!” Tek Ciang lalu meloncat ke luar dan dalam sekejap mata saja dia pun lenyap dari situ.

Hong Tan Tosu ingin mencegah, tetapi dia maklum bahwa tidak ada di antara mereka yang akan mampu menyusul pemuda itu, apalagi menandinginya. Pula, apa alasannya untuk menahan Tek Ciang yang sudah bersumpah untuk mencari dan mengembalikan kitab? Dia pun hanya dapat menyesal dan berduka, lalu menyuruh anak buahnya untuk mengurus kedua jenazah.....

********************
Selanjutnya baca
KISAH PARA PENDEKAR PULAU ES : JILID-24
LihatTutupKomentar