Kisah Para Pendekar Pulau Es Jilid 09


“Sudahlah, Hui-ji. Tahan air matamu dan bersikaplah gagah....” Kim Hwee Li mencoba untuk menghibur hati puterinya.

Suma Hui mengangkat muka memandang kepada ibunya. Wajahnya pucat dan basah air mata, sepasang matanya merah membendul karena tangis. Hati ibu ini hancur rasanya. Belum pernah puterinya yang keras hati ini menangis seperti ini. Ciang Bun lebih sering menangis dari pada enci-nya di waktu kecil. Bahkan diam-diam dia sering merasa heran, mengapa puterinya berhati baja bagaikan seorang jantan sedangkan puteranya bahkan berhati lembut.

“Ibu.... ibu.... rasanya aku ingin mati saja....”

Mendengar ini, Kim Hwee Li merangkul puterinya. Mereka bertangisan, baru sekarang Hwee Li benar-benar menangis. Dia pun dapat merasakan betapa hancur hati puterinya karena kehilangan keperawanannya, apalagi kalau diingat bahwa yang menodainya itu adalah pria yang dicintanya!

“Aku tahu betapa hancur hatimu, anakku. Akan tetapi engkau adalah seorang wanita gagah, tidak semestinya kalau orang-orang seperti kita ini menghadapi sesuatu dengan tangis. Betapa pun besar mala petaka itu, harus kita hadapi dengan gagah! Masih ada pedang kita untuk dapat menebus semua penghinaan yang dilakukan orang atas diri kita, bukan?”

Ucapan ini membangkitkan semangat Suma Hui. Ia bangkit duduk dan menyusut air matanya. Hwee Li membereskan rambut di kepala anaknya yang kacau dan kusut. Setelah kedukaan dan keharuan hati mereka agak mereda, dengan halus Hwee Li lalu berkata, “Sekarang coba kau ceritakan kepadaku apa yang sebenarnya telah terjadi, agar aku dapat ikut memikirkan.”

Suma Hui lalu menceritakan semua yang telah dialaminya pada malam jahanam itu. Karena kini yang mendengarkannya hanya ibunya, ia lebih berani bercerita dengan jelas. Tentu saja Hwee Li mendengarkan dengan muka merah karena marahnya, dan beberapa kali wanita ini mengepal kedua tinju tangannya serta mengeluarkan suara kutukan perlahan.

Setelah puterinya selesai bercerita, dia bertanya, “Begitu gelapkah cuaca malam itu di dalam kamar sehingga engkau tidak mengenali wajahnya?”

“Selain gelap sekali, juga kepalaku masih pening oleh pengaruh obat bius itu, ibu.”
“Asap yang berbau harum seperti hio?”
“Benar.”
“Itulah dupa harum pembius yang biasa dipergunakan kaum jai-hwa-cat! Sungguh heran sekali bagaimana seorang jenderal muda seperti Cin Liong itu dapat berubah menjadi seorang jai-hwa-cat! Padahal, kalau dia menghendaki, wanita mana pun kiranya akan bisa dia dapatkan!”
“Mungkin itu suatu penyakit, ibu! Jahanam itu bukan hanya menodai tubuhku, akan tetapi juga menodai cintaku, menghancurkan kebahagiaan hidupku!”
“Tapi, bagaimana engkau bisa begitu yakin bahwa orang itu adalah Cin Liong?”

“Mana aku bisa salah, ibu. Suaranya sudah kukenal baik, dan bisikan-bisikannya ketika merayu.... ahhh, ibu.... sungguh dia bukan manusia....” Gadis itu mengusap kedua matanya yang menjadi basah kembali. “Aku.... aku mencintanya, dan dia pun kelihatan begitu cinta padaku...., akan tetapi, mengapa dia lakukan perbuatan keji itu terhadapku? Mengapa....? Mengapa, ibu....?” Gadis itu menangis lagi.

Kim Hwee Li hanya duduk bengong terlongong, bingung tak tahu harus menjawab bagai mana. Akan tetapi otaknya bekerja mencari jalan keluar yang baik bagi puterinya yang tertimpa mala petaka itu. Ia tahu bahwa jika tidak dicarikan jalan yang terbaik, peristiwa ini akan menjadi luka batin yang takkan dapat disembuhkan lagi.

Tiba-tiba ia mendapatkan akal yang dianggapnya cukup baik. Ia sendiri pernah menjadi puteri seorang datuk sesat, biar pun hanya puteri angkat dan ia pun pernah menjadi seorang tokoh sesat yang kejam dan liar, bahkan tidak memperdulikan sama sekali apa artinya kegagahan atau jiwa pendekar. Dia baru berubah betul-betul setelah bertemu dengan Suma Kian Lee yang kini menjadi suaminya (bacaKisah Jodoh Sepasang Rajawali).

Apa yang dilakukan oleh Cin Liong itu memang jahat sekali, akan tetapi, bukankah perbuatan itu mungkin mempunyai suatu dasar yang ia tidak mengerti? Apakah dengan perbuatannya itu lalu Cin Liong dianggap seorang manusia yang tidak dapat menjadi baik kembali? Dan mereka saling mencinta! Setelah kini Cin Liong menggauli puterinya dengan paksa, maka jalan satu-satunya hanyalah merangkapkan mereka berdua agar menjadi suami isteri!

“Anakku, dengarkan baik-baik. Hanya satu jalan untuk menebus penghinaan dan aib yang menimpa dirimu dan keluarga kita, Hui-ji.”
“Aku tahu, ibu! Hanya darah keparat itulah yang mampu mencuci bersih noda ini dan hanya nyawanya sajalah yang mampu menebus penghinaan ini!”
“Bukan, ada jalan yang lebih baik lagi, anakku. Dengarlah, bukankah engkau amat mencintanya?”
“Itu dulu sebelum....”
“Dan dia pun mencintamu....?”
“Aku tidak percaya lagi! Kalau dia mencinta, tak mungkin dia melakukan....”

“Perbuatannya itu tentu terdorong oleh sesuatu, anakku. Akan tetapi, apa pun yang mendorongnya, hal itu sudah terjadi. Satu-satunya jalan untuk membersihkan namamu dan nama keluarga kita hanyalah kalau engkau menjadi isteri Cin Liong....”
“Tidak....! Tidak....!”
“Mengapa tidak? Dengar, aku akan memaksa pihak keluarga Kao untuk menerimamu sebagai menantunya. Kalau mereka menolak, aku akan mengamuk dan menganggap mereka sebagai musuh besar dan aku akan menyatakan perang antara keluarga Suma dan keluarga Kao! Cin Liong hanya dapat mempertanggung jawabkan perbuatannya dengan cara menikahimu....”

“Tidak....! Sekali lagi tidak, ibu. Lebih baik mati bagiku dari pada harus menjadi isteri seorang jahanam keparat yang telah memperkosaku! Tanggung jawab jahanam itu hanyalah kematiannya. Cintaku sudah hancur dan berubah benci oleh perbuatannya yang keji itu!”

“Tapi, ini demi membersihkan noda dan aib yang menimpa dirimu! Demi membersihkan nama keluarga kita.”
“Tidak, aku harus mencarinya dan aku akan membunuhnya. Setelah itu, aku pun tidak mau lagi hidup lebih lama di dunia ini.”
“Jangan bodoh. Kepandaiannya amat tinggi, engkau bukan lawannya!”
“Kalau begitu, biar aku mati di tangannya. Dia pun sudah membunuhku sekarang ini, membunuh cintaku, membunuh kebahagiaanku, membunuh harapanku....!”
“Hui-ji! Jangan putus asa seperti itu, anakku....!” Kim Hwee Li merangkul dan hatinya berduka sekali.

Akan tetapi, ia maklum bahwa dalam keadaan yang masih panas ini, akan sukarlah membujuk hati Suma Hui. Ia harus bersabar menanti sampai beberapa lama. Mungkin kalau kemarahan anak itu sudah mereda dan kepalanya sudah agak dingin, ia akan mau mengerti dan dapat diajak berunding mengenai masalah yang mereka hadapi.

Manusia telah kehilangan cinta kasih di dalam hidupnya. Seperti cinta Suma Hui terhadap Cin Liong, dalam seketika dapat saja berubah menjadi kebencian yang amat mendalam, kebencian yang hanya akan terpuaskan kalau ia dapat membunuh orang yang dibencinya.

Tanpa kita sadari, kita sekarang pun hanya memiliki cinta yang semacam ini saja. Kita mencinta seseorang, dan tanpa kita sadari bahwa cinta kita itu sesungguhnya hanya merupakan jual beli saja. Kita mencinta seseorang karena ada sesuatu pada orang itu yang menyenangkan hati kita. Karena wajahnya mungkin. Karena hartanya. Karena sikapnya yang manis. Karena pandainya. Karena namanya, kedudukannya atau lain hal lagi. Pendeknya, kita mencinta karena sesuatu yang ada pada dirinya, sesuatu yang menyenangkan kita. Jadi, bukan ORANGNYA yang kita cinta, melainkan sesuatu pada dirinya yang menyenangkan kita itulah.

Karena itu, apabila sesuatu yang menyenangkan itu berubah atau hilang, cinta kita pun luntur dan berubah menjadi benci! Karena kalau tadinya kita DISENANGKAN, kini kita merasa DISUSAHKAN. Suma Hui tadinya cinta setengah mati kepada Cin Liong karena di samping segala segi baiknya, juga kebaikan pemuda itu menyenangkan hatinya. Kemudian, karena merasa bahwa pemuda itu memperkosanya, menghinanya, kebaikan itu baginya berubah menjadi keburukan dan kalau tadinya disenangkan, kini ia merasa disusahkan dan karena itu, cintanya yang setengah mati itu pun berubah menjadi benci setengah mati!

Yang beginikah cinta kasih? Ataukah ini bukan hanya sekedar cinta birahi saja, atau keinginan memiliki sesuatu yang menyenangkan? Di luar kesadaran kita, kita sendiri pun menjadi pencinta-pencinta seperti ini! Kalau kita mau mendiamkan pikiran yang sibuk ini dan merenung, mengamati ‘cinta’ kita terhadap orang-orang yang kita cinta, isteri, suami, pacar, sahabat dan sebagainya, maka segera nampak nyatalah betapa ‘mengerikan’ wajah dari cinta kita itu.

Sesungguhnyalah, kalau yang kita cinta itu orangnya, maka kita tentu akan mampu menerima orang itu dengan segala baik buruknya, segala cacat celanya, segala kelebihan dan kekurangannya, bukan? Cinta kasih itu sesuatu yang indah, tanpa ukuran, tidak membandingkan, tanpa pamrih, wajar, tanpa hari kemarin atau hari esok. Cinta kasih itu sekarang, saat ini, karenanya langgeng.

Ketika Kim Hwee Li mengajukan pendapatnya agar Suma Hui dijodohkan saja dengan Cin Liong untuk menebus aib yang telah menimpa keluarga mereka itu, Suma Kian Lee termenung dan mukanya menjadi merah, alisnya berkerut. Sampai lama dia tidak bicara dan dia memikirkan pendapat isterinya itu dengan hati yang tidak karuan rasanya.

Kenyataan bahwa Cin Liong adalah keponakan dari Suma Hui saja sudah membuatnya tidak setuju dan menentang perjodohan itu, apalagi setelah Cin Liong tega melakukan perbuatan yang demikian keji terhadap Suma Hui. Akan tetapi, pendapat isterinya itu harus diakuinya sebagai jalan keluar yang satu-satunya dan yang terbaik. Kalau Suma Hui menjadi isteri Cin Liong, berarti penghinaan itu pun tertebus dan aib pun terhapus.

Hanya ada satu hal saja yang memberatkan, yaitu bahwa Suma Hui menikah dengan keponakan sendiri. Akan tetapi kalau tidak begitu, puterinya itu akan menderita selama hidupnya sebagai seorang gadis yang ternoda, dan nama keluarga mereka akan tercemar, sedangkan keluarganya sudah pasti akan berhadapan dengan keluarga Kao sebagai musuh besar yang dia sendiri merasa ngeri membayangkan akibatnya kelak.

Akan tetapi, masih ada satu jalan lain lagi. Kalau Tek Ciang mau menerima Suma Hui, biar pun gadis itu sudah ternoda! Tentu lebih baik lagi kalau begitu. Aib itu terhapus dan dia pun tidak usah malu mendapatkan seorang cucu keponakan sebagai mantu! Dan tentang dendam itu, tentu saja tidak boleh dibiarkan berlalu tanpa balas.

“Pendapatmu itu baik sekali, akan tetapi hanya merupakan jalan ke dua. Aku masih mempunyai jalan pertama yang lebih baik, yaitu mengawinkan anak kita dengan Tek Ciang. Ingat, dialah tunangan anak kita yang sebenarnya.”

“Tapi....!” Isterinya membantah dengan kaget. “Mana mungkin itu terjadi setelah....? Apakah dia perlu diberitahu tentang aib itu? Ahh, dia tentu menolak dan sebaiknya kalau hal itu tak diketahui orang lain kecuali keluarga kita sendiri. Kita bisa saja membatalkan pertalian jodoh itu setelah kini ayahnya meninggal.”

Akan tetapi, dengan alis berkerut Suma Kian Lee menggeleng kepalanya. “Aku tahu bahwa Tek Ciang mempunyai hati yang baik. Dia pasti akan mau mengerti dan akan mau melanjutkan perjodohan itu, apalagi dia telah menjadi muridku yang akan mewarisi ilmu-ilmuku kelak.”

“Apa? Ilmu keluarga kita akan kau wariskan kepada orang lain? Bagaimana dengan Ciang Bun dan Hui-ji?” isterinya bertanya, penasaran.
“Ingat, isteriku. Kalau dia sudah menjadi mantu kita, dia bukan orang lain lagi namanya! Kulihat Ciang Bun tidak memiliki kekerasan hati, dia terlalu lembut bagi seorang pria, dan Hui-ji.... biarlah dia belajar dari suaminya kelak.”

Kim Hwee Li tidak dapat membantah lagi. Dianggapnya percuma saja berbantahan dengan suaminya mengenai persoalan ini, karena dia pun mengerti alangkah kukuh suaminya memegang peraturan keluarga. Suaminya ini berbeda sekali dengan Suma Kian Bu, yang lebih bebas dan liar, seperti dirinya sendiri dahulu. Akan tetapi ia tidak mengeluh, bahkan sebenarnya watak suaminya itulah yang mampu menundukkannya, mampu menjinakkan keliarannya.

“Terserah kepadamu. Akan tetapi kalau dia menolak?”
“Kalau dia menolak, dia tak akan mewarisi ilmu-ilmuku, hanya belajar sekedarnya saja, dan barulah kita memperbincangkan usul dan pendapatmu tadi.”

Jawaban ini melegakan hati Hwee Li yang mengharapkan pemuda yang tidak begitu disukanya itu tentu menolak dan suaminya akan terpaksa menerima Cin Liong sebagai mantu. Hal ini bukan berarti bahwa ia sendiri lebih senang memilih Cin Liong sebagai mantu, melainkan karena ia tahu bahwa puterinya tidak mencinta Tek Ciang, melainkan mencinta Cin Liong. Andai kata puterinya mencinta Tek Ciang, ia sendiri tentu tidak keberatan karena yang tidak disukainya akan diri Tek Ciang hanya sikapnya yang terlalu sopan, terlalu merendah dan terlalu kelihatan baik itulah.

“Sekarang juga kita hadapi dia,” kata pula Kian Lee dan dia memanggil Tek Ciang untuk datang menghadap.

Kedua suami isteri ini sengaja memilih ruangan dalam untuk mengadakan pembicaraan dengan pemuda itu dan ketika Tek Ciang datang bersama Ciang Bun, Kian Lee segera minta kepada puteranya untuk keluar dari dalam ruangan itu.

“Bun-ji, ayah dan ibumu ingin bicara sesuatu yang penting dengan Tek Ciang, maka biarkanlah kami bertiga sendiri dan larang siapa pun juga memasuki ruangan ini tanpa ijin kami,” demikian katanya dengan sikap tegas.

Ciang Bun menoleh sejenak kepada suheng-nya, kemudian keluar dari ruangan itu dan segera menemui enci-nya, yang berada di ruangan belakang.

Dengan jantung berdebar-debar akan tetapi muka tetap tenang dan hormat, Tek Ciang memasuki ruangan itu dan menjatuhkan dirinya berlutut di depan suhu dan subo-nya.

“Bangkitlah dan duduklah di atas kursi itu, Tek Ciang,” kata Kian Lee sambil menunjuk sebuah kursi di seberang meja.
“Teecu tidak berani....”
“Diperintah guru berani membantah tapi masih mengatakan tidak berani?!” Kim Hwee Li membentak.

Pemuda itu terkejut, lalu bangkit dan duduk di atas kursi itu, berhadapan dengan guru-gurunya terhalang meja. Kikuk sekali rasanya duduk semeja dengan gurunya, apalagi dengan ibu gurunya yang galak, yang kini menatap wajahnya dengan penuh perhatian dan seperti orang menyelidik.

Kalau saja Hwee Li tahu betapa jantung pemuda itu berdegup keras, tentu ia sendiri akan merasa heran mengapa pemuda ini menjadi begitu gelisah dipanggil menghadap gurunya. Akan tetapi, Tek Ciang memang memiliki keahlian menyembunyikan perasaan hatinya. Wajahnya yang tampan itu nampak tenang saja, penuh rasa hormat.

“Tek Ciang, kami ada urusan penting sekali untuk dibicarakan denganmu,” Kian Lee mulai bicara.
“Teecu siap mendengarkan dan mentaati, suhu,” jawab Tek Ciang dengan sikapnya yang selalu teramat baik itu.

Hwee Li mengerutkan alisnya. Kalau ia yang mempunyai murid seperti ini, tentu sudah dijewernya dan dilarangnya bersikap demikian terlalu amat baik yang berbau kepalsuan itu.

“Beginilah, Tek Ciang. Sebelum ayahmu meninggal dunia, antara dia dan aku telah ada suatu perjanjian mengenai dirimu. Apakah ayahmu pernah bercerita mengenai hal itu kepadamu?”

Tek Ciang tahu betapa kedua orang itu, terutama sekali subo-nya, memandang kepada wajahnya dengan sinar mata penuh selidik, maka dia menarik muka bodoh seperti orang yang benar-benar tidak tahu-menahu apa-apa dan dia menggelengkan kepala. “Teecu tidak pernah diceritakan apa-apa oleh mendiang ayah, suhu.”

“Bagus! Sudah kuduga bahwa ayahmu tentu akan memegang dan memenuhi janjinya kepadaku. Karena ayahmu meninggal tanpa kita duga-duga sama sekali, sekarang aku terpaksa yang memberi tahu kepadamu tentang janji kami itu. Ayahmu dan aku telah mengikatkan perjodohan antara anakku Suma Hui dan engkau, Tek Ciang.” Berkata demikian, Suma Kian Lee menatap wajah yang tampan itu dan di sampingnya, Kim Hwee Li juga memandang dengan penuh perhatian.

Demikian pandainya Tek Ciang bersandiwara sehingga dia mampu membuat wajahnya nampak kaget sekali, agak pucat, kemudian berubah merah dan dia lalu menundukkan mukanya, tidak berani memandang kepada suhu-nya atau subo-nya! Sungguh seperti seorang perjaka tulen yang masih hijau mendengar dirinya akan dikawinkan!

Melihat ini, Suma Kian Lee bertanya. “Bagaimana tanggapanmu tentang janji ikatan kami itu, Tek Ciang?”

“Apa.... apa yang dapat teecu katakan, suhu? Apa lagi selain rasa terima kasih dan keharuan yang sedalamnya bahwa suhu dan subo sudah begitu baik terhadap diri teecu? Teecu tidak mungkin dapat membalas kebaikan ini dan biarlah kelak pada lain penjelmaan teecu akan menjadi anjing atau kuda peliharaan suhu berdua....”

Kalau tak ada suaminya di situ, tentu Kim Hwee Li akan tertawa geli mendengar ucapan pemuda ini yang mengingatkan ia akan adegan sandiwara wayang saja! Betapa pun juga, diam-diam ia mengagumi pemuda ini yang amat pandai membawa diri dan pandai pula mengatur kata-kata menyenangkan hati orang.

“Jadi engkau setuju menjadi calon jodoh Suma Hui?” tanya pula Kian Lee menegaskan.

Tiba-tiba Tek Ciang menjatuhkan diri berlutut kepada mereka dan menangis! Kim Hwee Li tadinya sudah hendak menggunakan kepandaian untuk melempar kembali pemuda yang berlutut itu ke atas kursinya, akan tetapi melihat pemuda itu benar-benar menangis dan bercucuran air mata, ia pun tercengang.

“Ehh, kenapa engkau menangis?” bentaknya heran sedangkan Suma Kian Lee juga memandang dengan heran.
“Teecu.... teecu adalah seorang anak yatim piatu yang tak berguna.... akan tetapi di dunia ini muncul ji-wi suhu dan subo yang begini baik terhadap diri teecu.... ahh, teecu tidak dapat menahan keharuan hati teecu....”

Agak terharu juga hati Hwee Li. Apakah selama ini ia terlalu memandang ringan kepada anak ini? Apakah benar-benar anak ini memang merupakan seorang pemuda yang pandai membawa diri, sopan santun, mengenal budi orang, berhati lembut dan berbudi luhur?

“Tek Ciang, engkau duduklah kembali dan dengarkan kata-kataku lebih lanjut. Belum habis aku bicara dan ada hal-hal yang lebih penting lagi untuk kau dengar selanjutnya.”

Suara Kian Lee terdengar penuh kegelisahan. Pemuda itu menyusut air matanya dan duduk kembali, sambil menundukkan muka. Pipinya masih basah dan matanya agak merah.

“Jadi engkau setuju menjadi calon suami anak kami?” tanya Kian Lee.
“Teecu berterima kasih sekali dan merasa terhormat sekali, tentu saja teecu setuju dengan sepenuh hati teecu.”

“Baik, sekarang dengarkan hal yang amat penting. Kami bukanlah orang-orang curang seperti pedagang yang menjual kucing dalam karung. Kami akan bicara sejujurnya dan kemudian terserah kepadamu untuk mengambil keputusan. Kami hanya menghendaki kepastian bahwa kalau engkau menjadi mantu kami, engkau bukannya karena terpaksa melainkan karena suka rela. Mengertikah engkau, Tek Ciang?”

“Teecu mengerti dan siap mendengarkan.”
“Tek Ciang, menurut penuturan Ciang Bun, engkau tahu bahwa sumoi-mu, atau juga tunanganmu itu, pernah menyerang dan hendak membunuh Cin Liong. Benarkah itu?”
“Benar, suhu. Teecu mencoba melerai namun tidak berhasil.”
“Tahukah engkau mengapa tunanganmu itu menjadi marah, membenci dan hendak membunuh Cin Liong pada pagi hari itu?” tanya pula Kian Lee, suaranya lirih.
“Teecu tidak tahu dan sudah lama teecu bertanya-tanya di hati. Sumoi juga tidak mau memberi tahu kepada teecu.”

Suara Suma Kian Lee semakin lirih dan agak gemetar ketika dia bicara lagi, “Malam itu ada seorang jai-hwa-cat memasuki kamar sumoi-mu dan jai-hwa-cat itu ternyata adalah Kao Cin Liong dan....”

“Ahhh....!” Pemuda itu terbelalak, mukanya pucat.
“....dan.... dan sumoi-mu terkena asap pembius dan.... sumoi-mu diperkosa olehnya....”
“Tidak....! Jahanam itu....! Keparat keji itu....! Teecu bersumpah akan membunuhnya kalau teecu ada kemampuan!” Kini Tek Ciang bangkit berdiri, mukanya merah sekali penuh geram, matanya mengeluarkan sinar berapi dan kedua tangannya dikepal kuat-kuat. Kim Hwee Li melihat ini semua dan Suma Kian Lee juga.

“Tenang dan duduklah, Tek Ciang. Bukan itu yang penting bagi kami,” kata pendekar sakti itu.
“Maaf, suhu....” Tek Ciang lemas kembali dan duduk, mukanya masih keruh dan bengis membayangkan kebencian yang mendalam.

“Tek Ciang, setelah engkau mengetahui bahwa sumoi-mu, tunanganmu itu kini telah ternoda, apakah.... apakah engkau masih mau untuk melanjutkan ikatan perjodohan ini? Apakah engkau masih mau menerima Suma Hui menjadi calon isterimu?” Di dalam suara pendekar itu terkandung kegelisahan yang membuat hati isterinya terharu.

Hwee Li tahu bahwa kalau pemuda ini menolak, suaminya tidak akan dapat berbuat sesuatu dan tentu suaminya akan mengalami kehancuran hati yang hebat. Maka, biar pun tadinya ia ingin pemuda ini menolak saja agar ia dapat mengusahakan perjodohan antara putrinya dan Cin Liong, kini hatinya bercabang. Kalau pemuda ini menolak, perasaan suaminya akan hancur dan ia sendiri akan ikut merasa berduka.

Sebaliknya kalau pemuda ini menerima, ia akan ikut membujuk Suma Hui agar mau menjadi calon isteri Tek Ciang. Tidak ada jalan lain yang lebih baik.....

Hening sejenak, kemudian terdengar suara Tek Ciang, lantang dan tegas, “Kenapa teecu tidak mau, suhu? Kejadian terkutuk itu bukanlah kesalahan sumoi, melainkan kesalahan manusia terkutuk itu. Tentu saja teecu mau melanjutkan ikatan perjodohan ini dan mau menerima sumoi sebagai calon isteri teecu.”

Wajah Suma Kian Lee yang tadinya keruh itu seketika menjadi berseri dan diam-diam Hwee Li juga merasa terharu. Pemuda ini memang benar-benar tidak mengecewakan! Pemuda yang berhati lapang, berpandangan luas dan bijaksana. Ya, bijaksana! Jarang ada pemuda seperti ini.

“Terima kasih, Tek Ciang! Engkaulah yang telah dapat menerangkan persoalan yang mengeruhkan hati kami sekeluarga. Engkaulah yang telah menjadi penolong kami dan menghapuskan aib dari nama kami. Engkau tidak akan menyesal, Tek Ciang, karena dengan demikian, aku telah menentukan sejak saat ini bahwa kelak engkau yang akan mewarisi ilmu keluarga kami!” Ucapan Suma Kian Lee keluar dari hati yang setulusnya dan Tek Ciang kelihatan gembira sekali, lalu pemuda ini kembali menjatuhkan dirinya berlutut.
“Terima kasih, suhu, terima kasih!”

Hwee Li kini tidak lagi ingin melempar pemuda itu ke kursinya. Ia malah bangkit dan menyentuh pundak pemuda itu. “Anak bodoh, apakah engkau masih juga menyebut suhu kepada ayah mertuamu?”

“Tek Ciang, bangkit dan duduklah kembali,” kata Suma Kan Lee.

Tek Ciang bangkit dan duduk. Mukanya merah oleh karena malu mendengar ucapan subo-nya tadi, malu akan tetapi girang. Subo-nya yang biasanya bersikap galak itu pun kini bersikap manis kepadanya!

“Suhu dan subo, teecu belum berani lancang merubah sebutan sebelum teecu yakin betul bahwa sumoi akan.... akan mau.... menjadi....” Tek Ciang tidak melanjutkan dan menundukkan mukanya kembali.

Hwee Li saling pandang dengan suaminya. Ucapan pemuda itu seperti mengingatkan dan menyadarkan mereka! Sungguh-sungguh mereka hampir lupa bahwa orang yang bersangkutan bahkan belum tahu. Bagaimana mereka dapat memastikan kalau Suma Hui belum diberi tahu dan belum ditanya pendapatnya?
Membayangkan kemungkinan puterinya menolak, Suma Kian Lee sudah marah. Anak perempuan itu sungguh mendatangkan banyak pusing saja. Petama jatuh cinta kepada keponakan sendiri, ke dua tentunya peristiwa perkosaan itu, dan kalau sekarang sampai menggagalkan segala-galanya dengan menolak perjodohannya dengan Tek Ciang, dia sendiri tidak tahu apa yang akan dilakukannya.

“Panggil dia ke sini sekarang juga!” katanya memerintah kepada Tek Ciang.
“Baik, suhu.”

Pemuda itu lalu keluar dengan cepat mencari Suma Hui. Dia mendapatkan sumoi-nya itu sedang duduk di ruangan belakang bercakap-cakap dengan Ciang Bun.

“Sumoi, suhu memanggilmu agar menghadap sekarang juga,” katanya dengan sikap halus seperti biasa, sama sekali tidak memperlihatkan perubahan sehingga Suma Hui tidak mencurigai sesuatu.
“Ada urusan apakah ayah memanggilku, suheng?”
“Suhu tidak memberi tahu, hanya minta sumoi datang menghadap sekarang juga. Suhu dan subo menanti di ruangan dalam,” jawab Tek Ciang dengan suara biasa.

Suma Hui saling bertukar pandang dengan adiknya, mengerutkan alisnya dan menarik napas panjang, lalu bersama Tek Ciang masuk ke dalam. Tadi ia sudah mendengar dari Ciang Bun bahwa ayah ibunya berada di dalam ruangan dalam bertiga saja dengan Tek Ciang, agaknya hendak membicarakan sesuatu yang amat penting sehingga ayahnya memerintahkan Ciang Bun untuk keluar dan tidak memperkenankan siapa pun juga masuk tanpa ijin. Selain itu, Ciang Bun juga menceritakan kepadanya tentang cerita Tek Ciang kepada adiknya itu dan dia dapat melihat bahwa suheng-nya itu memang baik sekali. Dan kini suheng-nya disuruh memanggilnya menghadap orang tuanya!

Agak berdebar juga hati Suma Hui melihat wajah ayah bundanya yang serius, bahkan ibunya kini juga nampak serius dan pendiam sekali, tidak seperti biasa terhadap dirinya. Ia dapat menduga bahwa yang akan dibicarakan tentulah hal yang teramat penting.

“Duduklah di situ, Hui-ji,” kata Suma Kian Lee menunjuk ke kursi di samping kiri Tek Ciang. Suma Hui duduk tanpa mengeluarkan kata-kata.
“Hui-ji, ketahuilah engkau bahwa lama sebelum Tek Ciang kuterima menjadi muridku, di antara ayahnya, yaitu mendiang Louw-kauwsu dan aku telah ada perjanjian untuk mengikat keluarga kami berdua dengan perjodohan antara engkau dan Tek Ciang....”
“Ayah....!”
“Dengar dulu!” Ayahnya memotong.

Suma Hui menunduk sebentar, lalu mengangkat muka lagi. Dengan muka pucat akan tetapi sepasang mata menentang, ia memandang ayahnya.

“Hal itu hanya kami berdua yang mengetahui, bahkan Tek Ciang pun baru tadi kuberi tahu tentang perjodohan itu. Memang belum kami resmikan karena tadinya aku hendak menanyakan lebih dulu pendapatmu.”

Legalah hati Suma Hui. Kiranya ayahnya tidaklah begitu lancang mengikatkan dirinya menjadi calon isteri orang tanpa bertanya kepadanya.

“Perlu apa dibicarakan lagi, ayah? Hal itu telah berlalu dan kini tak mungkin dilanjutkan!” katanya singkat, dengan maksud agar ayahnya mengerti bahwa setelah dirinya ternoda, mana mungkin ia dijodohkan dengan orang? Hal itu berarti akan mencemarkan nama sendiri karena akhirnya akan ketahuan bahwa ia bukanlah perawan lagi dan tentu akan menimbulkan keributan yang mengakibatkan nama dan kehormatan keluarga Suma tercemar. Sama dengan membongkar dan memperlihatkan aib sendiri.

“Hui-ji, dengarkan baik-baik. Tek Ciang bukanlah orang lain. Selain dia calon suamimu, juga dia adalah muridku yang akan mewarisi semua ilmu keluarga kita. Oleh karena itu, aku pun telah terang-terangan menceritakan kepadanya tentang mala petaka....”
“Ayah....!” Kembali Suma Hui menjerit dan sekali ini mukanya menjadi pucat sekali.

Akan tetapi Suma Kian Lee mengangkat tangan kanan ke atas menyuruhnya tenang. “Tenang dan lapangkan dadamu, anakku. Tek Ciang bukanlah seorang manusia busuk. Dia adalah seorang gagah yang dapat menghadapi kenyataan yang betapa pahit pun juga. Dia tak menyalahkanmu, Hui-ji, manusia keparat itulah yang terkutuk. Tek Ciang memaklumi keadaanmu, dan ia dengan suka rela hati suka menerimamu menjadi calon isterinya dan melupakan hal yang telah terjadi.”

“Tidak mungkin....!” kata Suma Hui.
“Hui-ji, ingatlah. Urusan itu telah terlanjur diketahui Tek Ciang dan dengan bijaksana dia mau melanjutkan perjodohan itu. Seharusnya engkau berterima kasih. Bukankah itu merupakan jalan terbaik untuk menghapus noda dan aib dari nama keluarga kita? Bukankah engkau sendiri menolak jalan lain yang kutawarkan kepadamu? Nah, hanya inilah jalannya, bahwa engkau harus menjadi isteri Louw Tek Ciang, seorang isteri yang terhormat.”

Suma Hui menjadi bengong, tidak tahu harus berkata bagaimana. Tentu saja ia dapat melihat kebenaran kata-kata ibunya. Noda dan aib pada dirinya akan terhapus kalau ia menjadi isteri terhormat dari seorang pemuda, dan pemuda seperti Louw Tek Ciang bukan pilihan yang buruk. Apalagi bagi seorang yang telah kehilangan kehormatannya seperti dirinya itu!

Tapi.... tapi.... ia mencinta Cin Liong! Bahkan setelah apa yang terjadi, biar pun ia sudah membenci Cin Liong, rasanya tidak mungkin ada pria lain yang menggantikan Cin Liong di dalam hatinya menjadi teman hidup di sisinya.

“Ohh, ibuuuu....!” Ia menubruk pangkuan ibunya dan menangis.

Ibunya merangkulnya, ikut menangis dan membiarkan saja puterinya menangis terisak-isak sampai akhirnya Suma Hui dapat menguasai dirinya. Ia menyusut air matanya, lalu bangkit dan duduk kembali. 
“Ayah, ibu.... sebenarnya ada satu saja tersisa cita-cita di dalam sisa hidupku, yaitu membunuh Kao Cin Liong.”
“Aku akan membantumu, sumoi!” tiba-tiba Tek Ciang berkata penuh semangat.

Suma Hui menoleh dan memandang kepada suheng-nya atau tunangannya yang duduk di sebelah kanannya itu, lalu mendengus. “Engkau jangan ikut campur urusanku ini!” Ucapannya keluar dengan jengkel mengingat bahwa kepandaian suheng-nya sangat rendah. Ia sendiri saja bukan tandingan Cin Liong, apalagi suheng-nya yang belum ada seperempatnya.

“Hui-ji, jangan bersikap keterlaluan terhadap kemauan baik Tek Ciang,” kata Suma Kian Lee menegur puterinya.
“Ayah, dia ini mau bisa apa terhadap Kao Cin Liong? Ayah, dengarkan baik-baik. Ayah dan ibu, pendeknya, aku baru mau menikah dengan Louw-suheng kalau dia sudah bisa mengalahkan aku dalam ilmu silat!”
“Hui-ji....!” ibunya menegur.
“Habis, apakah lebih baik kalau kukatakan saja bahwa aku hanya mau menikah dengan orang yang dapat mengalahkan aku?” balas puterinya menantang.

“Baiklah!” kata Suma Kian Lee. “Akan tetapi ingat, seorang gagah tidak akan menjilat kembali ludahnya sendiri. Engkau sudah berjanji!”
“Saya tidak akan mengingkari janji!” bantah Suma Hui. “Sewaktu-waktu suheng boleh mencoba kepandaiannya kepadaku!”
“Lihat saja nanti. Tek Ciang bukan saja akan dapat mengalahkanmu, bahkan dialah yang kelak akan dapat membalas dendammu terhadap jahanam Kao Cin Liong!”

Akan tetapi Suma Hui sudah lari meninggalkan ruangan itu dan memasuki kamarnya di mana ia menjatuhkan diri di atas pembaringan dan menyembunyikan mukanya pada bantal.

Hati Suma Kian Lee marah melihat sikap puterinya itu, akan tetapi dia hanya berkata kepada Tek Ciang, “Mulai hari ini, engkau harus mempersiapkan diri untuk mempelajari ilmu-ilmu silat dengan tekun supaya dalam waktu singkat engkau akan sudah dapat melampaui Hui-ji!”

Pada saat Suma Kian Lee mengeluarkan kata-kata itu, muncul Suma Ciang Bun yang tadi melihat enci-nya berlari keluar dari ruangan itu sambil menutupi muka seperti orang menangis. Karena khawatir melihat keadaan enci-nya, pemuda ini nekat lalu memasuki ruangan dan dia masih sempat mendengar ucapan ayahnya kepada suheng-nya itu. Hatinya merasa tidak senang mendengar ayahnya hendak mengajarkan ilmu kepada suheng-nya agar dapat melampaui enci-nya dalam waktu singkat. Apa artinya itu?

“Ayah, apakah yang telah terjadi? Kenapa enci Hui keluar dari sini sambil menangis?”
“Ciang Bun, mulai hari ini, enci-mu telah menjadi tunangan suheng-mu,” Suma Kian Lee berkata tanpa menjawab pertanyaan tadi secara langsung.
“Ahhh....?” Suma Ciang Bun tertegun dan bengong karena tidak disangkanya bahwa suheng-nyalah yang akan menjadi suami enci-nya, padahal enci-nya sudah mengalami aib.

Melihat puteranya hanya bengong saja sambil memandang Tek Ciang, Suma Kian Lee menegur. “Bun-ji, di mana sopan santunmu? Sepatutnya engkau menghaturkan selamat kepada calon ci-humu (kakak iparmu)!”

Ditegur demikian, Ciang Bun terkejut dan dia pun cepat memberi hormat kepada Tek Ciang sambil berkata, “Suheng, kionghi (selamat)!”
“Terima kasih, sute,” jawab Tek Ciang dengan sikap malu-malu.

Malam itu Suma Hui tak keluar dari kamarnya dan ketika ibunya datang menjenguknya, ia pun tidak mau menemui ibunya, mengunci pintu dari dalam. Ibunya mengerti bahwa hati puterinya itu sedang dalam gundah, dan ia sendiri pun tahu harus bagaimana untuk menghibur hati puterinya. Maka dia pun membiarkannya saja dengan harapan bahwa pada keesokan harinya, setelah kedukaan hati puterinya mereda, dia akan bicara dan menghiburnya.

Akan tetapi, betapa kaget rasa hati Kim Hwee Li dan juga Suma Kian Lee ketika melihat bahwa kamar Suma Hui sudah kosong dan dara itu telah pergi membawa buntalan pakaian, meninggalkan sesampul surat di atas meja. Hanya sedikit sekali tulisan yang ditinggalkan oleh dara itu di dalam suratnya, yaitu bahwa ia pergi untuk mencari dan membunuh Kao Cin Liong. Itu saja!

Suma Kian Lee menjadi marah. “Anak yang tak tahu diri! Sudah ada bintang penolong berupa Tek Ciang dan ia masih bertingkah. Ia mencari Cin Liong mau apa? Apa yang akan dapat dilakukannya?”

“Biar aku menyusul dan membujuknya pulang,” kata isterinya.
“Hemm, kau kira mudah mencari anak keras hati itu kalau ia sudah mengambil suatu keputusan untuk melarikan diri? Ke jurusan mana engkau hendak mengejar dan mencarinya? Biarkanlah, ia tentu akan gagal dan akan pulang juga,” bantah suaminya dan Hwee Li tak dapat membantah.

Memang dia pun tahu akan kekerasan hati puterinya itu dan seandainya dia dapat mencarinya, hal yang tentu saja sangat sukar karena puterinya sudah pergi sejak semalam, belum tentu puterinya mau dibujuknya untuk pulang.

Kekecewaan demi kekecewaan menimpa suami isteri pendekar itu. Tiga hari kemudian, Ciang Bun juga pergi meninggalkan rumah tanpa pamit dan seperti juga enci-nya, pemuda remaja ini meninggalkan sepotong surat singkat yang menyatakan bahwa dia pergi untuk mencari enci-nya!

Sungguh pun benar Ciang Bun pergi untuk mencari enci-nya, tapi yang mendorongnya pergi bukanlah semata untuk mencari Suma Hui, melainkan karena pemuda ini merasa menyesal dan kecewa bahwa ayahnya telah mencurahkan perhatian sepenuhnya hanya kepada Tek Ciang saja, dan agaknya ayahnya sudah mengambil keputusan bulat untuk mengangkat Tek Ciang menjadi ahli waris ilmu silat keluarga mereka. Hal ini sangat menyakitkan hati Ciang Bun, apalagi ditambah dengan kegelisahan hatinya melihat enci-nya pergi mencari Cin Liong, maka akhirnya pemuda ini pun pergi tanpa pamit, karena kalau pamit tentu tidak akan diperkenankan.

Hati Kim Hwee Li yang merasa kecewa dan berduka ditinggalkan kedua orang anaknya itu dihiburnya sendiri dengan pendapat bahwa memang sudah sepatutnya kalau mereka itu, sebagai pendekar-pendekar muda, meluaskan pengalamannya dengan perantauan. Bukankah ia sendiri di waktu mudanya juga suka merantau dan hidup di alam bebas tanpa pengekangan segala peraturan rumah tangga dan keluarga?

Sedangkan Suma Kian Lee yang merasa kecewa dan marah itu menghibur hatinya dengan mencurahkan seluruh perhatiannya untuk menggembleng Tek Ciang, calon mantu dan juga pewaris ilmu-ilmunya. Dia menggembleng Tek Ciang mati-matian sehingga pemuda yang memang amat cerdik dan berbakat itu memperoleh kemajuan yang amat cepat.....

********************
Malam itu gelap sekali dan hawa udara amat dinginnya. Semenjak lewat tengah hari hujan lebat turun menyiram bumi dan setelah malam tiba, hujan berhenti akan tetapi angin malam menghembus kuat mendatangkan hawa dingin yang membuat orang malas untuk keluar dari dalam rumahnya. Apalagi malam itu gelap. Awan masih memenuhi udara menghalang sinar bintang dan menyelimuti kota Thian-cin dengan kehitaman. Sunyi dan dingin.

Akan tetapi Tek Ciang tidak memperdulikan kegelapan dan kedinginan malam itu. Dia harus pergi ke kuil kecil tua di luar kota itu. Dia telah berjanji kepada Jai-hwa Siauw-ok untuk datang ke kuil itu setiap minggu sekali.

Selama beberapa bulan ini, Jai-hwa Siauw-ok Ouw Teng tidak pernah muncul. Akan tetapi Tek Ciang tetap datang tiap pekan sekali dan biar pun malam hari ini amat sunyi, gelap dan dingin, dia tetap memegang janjinya. Pemuda ini maklum bahwa menghadapi seorang datuk seperti Jai-hwa Siauw-ok, dia harus memegang janji. Apalagi mengingat bahwa datuk sesat itu telah berjasa besar dalam hidupnya, bahkan juga yang memegang kunci rahasia pribadinya.

Dia tahu bahwa berhubungan dengan datuk itu amatlah menguntungkan, baik sebagai sekutu atau pun sebagai guru. Sebaliknya, mempunyai seorang lawan seperti Jai-hwa Siauw-ok yang demikian sakti dan juga amat cerdiknya, amatlah berbahaya.

Setelah tiba di dalam kuil, Tek Ciang memasuki ruangan satu-satunya yang masih terlindung di kuil itu dan atapnya juga masih rapat. Dinyalakannya dua batang lilin seperti sudah mereka sepakati berdua. Dua batang lilin itu sebagai tanda rahasia mereka agar masing-masing dapat mengenal teman.

Setelah dua batang lilin itu bernyala dan diletakkannya di atas lantai, dia pun lalu duduk bersila menanti. Dia akan menanti sampai dua jam di tempat itu, seperti biasa. Kalau selama itu Jai-hwa Siauw-ok tidak muncul, ia akan memadamkan lilin dan meninggalkan kuil, kembali ke rumah keluarga Suma dengan diam-diam tanpa diketahui oleh suhu atau subo-nya. Bahkan pelayan hanya tahu bahwa dia pergi berjalan-jalan.

Sekarang, menanti munculnya Jai-hwa Siauw-ok dilakukannya sambil berlatih semedhi seperti yang diajarkan oleh suhu-nya kepadanya. Selama kurang lebih enam bulan ini, dia telah digembleng secara hebat sekali oleh gurunya, bukan saja dalam gerakan ilmu silat tinggi, akan tetapi juga dalam latihan menghimpun tenaga sinkang. Bahkan kini dia mulai dapat menggunakan Hwi-yang Sin-ciang (Tangan Sakti Inti Api) yang merupakan satu di antara ilmu-ilmu sakti dari Pulau Es!

Maka dalam menanti munculnya Jai-hwa Siauw-ok, dia pun tidak mau menyia-nyiakan waktu. Apalagi kuil itu menjadi tempat yang amat baik untuk bersemedhi menghimpun tenaga dalam. Selain tempatnya sunyi, juga malam itu amat dingin, cocok untuk berlatih.

Tiba-tiba perhatiannya tertarik oleh suara yang amat lembut. Selama digembleng ini, panca inderanya menjadi peka sekali. Munculnya orang secara halus itu pun dapat didengarnya dan dia pun siap waspada karena tidak tahu siapa yang muncul. Tiba-tiba ada desir angin lembut. Dia terkejut dan sudah mengerahkan tenaga untuk menjaga diri dan semua urat syaraf di tubuhnya sudah menegang. Akan tetapi, desir angin yang tajam itu tidak menyerangnya, melainkan menyambar ke arah dua api lilin sehingga padam!

Melihat kenyataan ini, Tek Ciang terkejut sekali. Itulah serangan jarak jauh yang amat ampuh. Akan tetapi karena ditujukan untuk memadamkan lilin, dia pun tahu bahwa yang datang itu tidak berniat jahat kepadanya.

“Siapa....?” bentaknya sambil meloncat berdiri.
“Sssttt.... Tek Ciang, aku sengaja memadamkan lilin-lilin itu!”
“Locianpwe....!” teriak Tek Ciang dengan girang saat mengenal suara Jai-hwa Siauw-ok.
“Ssttt, jangan berisik. Cepat ke sini....,” suara itu berbisik.

Tek Ciang merasa heran karena jelas terdengar dari suara datuk itu bahwa dia sedang dalam keadaan bingung atau ketakutan. Dia pun cepat ke luar melalui pintu belakang dan dalam cuaca yang hanya remang-remang karena kini sebagian awan telah disapu angin dan ada sekelompok bintang berkesempatan memuntahkan sinarnya ke bumi, dia melihat sesosok bayangan yang bukan lain adalah Jai-hwa Siauw-ok Ouw Teng. Tek Ciang cepat memberi hormat.

“Locianpwe, ada apakah....?” tanyanya heran.
“Aku berada dalam kesulitan. Aku dikejar oleh jenderal Kao Cin Liong....”
“Apa....? Di.... di mana dia....?” Tek Ciang terkejut bukan main mendengar ini.
“Sementara aku dapat terlepas dari bayangannya, akan tetapi dia tentu akan muncul juga.”
“Kenapa tidak dilawan saja, locianpwe?” tanya Tek Ciang penasaran.
“Ahhh, kau tidak tahu. Dia lihai sekali dan biar pun belum tentu aku kalah, aku sedang lelah dan aku telah terluka.... engkau harus dapat menolongku menghindarkan diri dari kejarannya, Tek Ciang.”

Otak pemuda itu bekerja dengan cepatnya. “Jangan khawatir, locianpwe. Locianpwe bersembunyi saja di dalam hutan dan aku akan memancingnya agar dia mengejarku. Kebetulan kita menggunakan mantel yang hampir bersamaan. Karena hari hujan saya pun memakai mantel hitam ini. Nah, cepatlah locianpwe bersembunyi. Dari jurusan manakah dia datang mengejar?”

“Dari sana.... nah, aku pergi. Kau harus dapat menyelamatkan aku sekali ini!” Bayangan Jai-hwa Siauw-ok itu berkelebat dan lenyap di dalam kegelapan.

Tek Ciang tidak membuang waktu lagi, terus dia menuju keluar kuil dan mengintai dari balik sebatang pohon besar ke arah dari mana mungkin munculnya Cin Liong. Ada satu jam dia menanti dan akhirnya di bawah penerangan bintang-bintang yang makin banyak bertebaran di angkasa, dia melihat bayangan berkelebatan datang.

Dia tidak dapat melihat jelas wajah bayangan itu, akan tetapi bentuk tubuh itu masih dikenalnya. Tidak salah lagi agaknya, orang itu tentulah Kao Cin Liong. Di depan kuil tua itu, dia melihat bayangan itu berhenti dan seperti ragu-ragu, menoleh ke kanan kiri. Tek Ciang tahu bahwa itulah saat baginya untuk memancing pengejar Jai-hwa Siauw-ok itu meninggalkan tempat itu, maka dia pun cepat meloncat ke depan dan lari secepatnya.

“Engkau hendak lari ke mana?” Kini tak salah lagi karena Tek Ciang mengenal suara Cin Liong.

Dia melarikan diri dengan cepat. Karena dia sering datang ke hutan ini, dia mengenal jalan dan dia berloncatan sambil menyelinap di antara pohon-pohon dan semak-semak. Bayangan itu terus mengejarnya. Akan tetapi Tek Ciang dapat memancingnya sampai jauh meninggalkan kuil itu, ke arah yang berlawanan dari tempat Jai-hwa Siauw-ok tadi bersembunyi.

Sambil berlari, diam-diam timbul suatu niat di dalam hati Tek Ciang. Dia sudah berlatih setengah tahun dan menurut suhu-nya, dia memperoleh kemajuan pesat yang hanya dapat dicapai orang lain setelah berlatih sedikitnya tiga tahun! Bagaimana kalau dia mencoba kepandaiannya terhadap Cin Liong? Dalam keadaan seperti ini, mudah saja baginya untuk menggunakan alasan karena dia dikejar-kejar dan tidak mengenal siapa pengejarnya.

Maka dia kemudian menyelinap di balik semak-semak belukar dan menanti. Tak lama kemudian munculah bayangan Cin Liong yang mengejarnya. Tek Ciang membentak keras dan meloncat ke depan, menyerang Cin Liong. Langsung saja dia menggunakan Ilmu Hwi-yang Sin-ciang. Pukulannya menyambar ganas dan mendatangkan hawa yang amat panas!

Cin Liong yang mengira bahwa lawannya adalah Jai-hwa Siauw-ok yang dikejarnya dan dibayanginya, karena sudah maklum akan kelihaian datuk ini, cepat mengelak dan balas menyerang. Akan tetapi lawannya ini dapat menangkis dan dia merasakan hawa panas menjalar melalui lengannya ketika tertangkis itu, juga ketika lawan itu membalas, dia merasa betapa dalam pukulan itu terkandung hawa amat panas. Ilmu seperti ini hanyalah dimiliki keluarga Pulau Es. Dia meragu, lalu menangkis lagi untuk mencoba.

“Dukk!” Lawannya terpental dan terhuyung, akan tetapi dia merasa lengannya panas.
“Hwi-yang Sin-ciang....!” serunya kaget.

Namun lawannya sudah menyerang lagi bertubi-tubi dengan pukulan-pukulan dahsyat dari Hwi-yang Sin-ciang! Cin Liong yang menjadi terheran-heran itu cepat mengelak beberapa kali, lalu meloncat ke belakang.

“Tahan....!” katanya.

Tek Ciang juga berhenti bergerak dan mendekat. Kini, di bawah cahaya redup bintang-bintang di angkasa, mereka saling mengenal.

“Louw-susiok....!”
“Kao-taihiap....!” Tek Ciang berseru dan mendahului. “Kukira tadinya penjahat cabul itu....!”
“Ehh? Justru aku mengira bahwa susiok adalah Jai-hwa Siauw-ok yang kukejar dan kubayangi selama beberapa hari ini! Mantelnya mirip dan munculnya di tempat yang sama, jadi aku telah keliru sangka. Aih, Louw-susiok, bagaimana engkau dapat muncul di sini....?”

“Aku sore tadi berburu kelinci ke hutan ini seperti yang sering kulakukan dan aku kehujanan, meneduh di dalam kuil tua itu. Karena keenakan di situ dan hawanya dingin sehabis hujan, aku tertidur dan baru setelah gelap aku terbangun. Ketika hendak pulang, baru keluar dari kuil aku bertemu dengan seorang pria yang kukenal adalah penjahat cabul yang dulu pernah kulihat berkelahi denganmu itu....”

“Nah, dia itu Jai-hwa Siauw-ok!” kata Cin Liong. “Lalu bagaimana? Ke manakah dia?”
“Aku melupakan kelemahan sendiri. Mengenali dia sebagai orang yang pernah berkelahi denganmu, aku menduga bahwa tentu dia itu penjahat cabul, maka aku pun lantas menyerangnya. Akan tetapi, dia lihai sekali. Dalam beberapa jurus saja aku sudah terdesak, bahkan nyaris celaka kalau aku tidak cepat-cepat meloncat ke dalam gelap dan bersembunyi di balik pohon. Aku mendengar dia menggerutu, ‘Huh, tidak ada tempat aman, lebih baik sembunyi di kota raja’ dan dia pun lenyap. Ehhh, tak lama kemudian dia muncul lagi maka aku melarikan diri. Kiranya yang muncul adalah engkau yang kukira penjahat itu. Setelah aku lari terus dan akhinya tidak kuat lagi, aku nekat dan menyerangmu yang kukira dia!”

“Dan kusangka engkau adalah Jai-hwa Siauw-ok! Hemm, dia memang cerdik. Kiranya dia hendak bersembunyi di kota raja? Kalau tidak kebetulan engkau mendengarnya, siapa akan mengira dia bersembunyi di kota raja? Bagus, aku akan menangkapnya di sana!”
“Kao-taihiap, bagaimana pula engkau dapat mengejarnya sampai ke sini?” Tek Ciang bertanya, suaranya mengandung kekaguman.
“Ahhh, sudah lama kucari-cari dia. Ingin aku bertanya dia tentang peristiwa malam itu di Thian-cin. Akan tetapi dia tidak pernah mau bicara, bahkan melawanku atau lari. Aku membayangi terus sampai ke sini. Susiok, bagaimana keadaan.... ehhh, keadaan.... bibi Hui dan keluarganya?”
“Apakah engkau tidak mendengarnya, Kao-taihiap?”

Cin Liong menarik napas panjang, menggeleng kepala. “Aku tidak berani mendekati keluarga Suma, bahkan aku belum pernah kembali ke kota raja. Aku berkeliaran saja mencari Jai-hwa Siauw-ok dan hanya kebetulan saja aku bertemu dengan dia beberapa hari yang lalu. Selain itu, juga banyak urusan mengenai pemberontakan yang harus kutangani.”

“Ahh, banyak hal terjadi di dalam keluarga Suma, taihiap, dan aku sendiri sungguh menjadi tidak enak dan berada dalam kedudukan yang serba salah.”
“Apakah yang telah terjadi, susiok?” Cin Liong mendesak. “Apakah paman kakek Suma Kian Lee belum pulang?”
“Sudah, suhu dan subo sudah pulang bersama sute Suma Ciang Bun.”
“Hemm, syukurlah kalau paman Ciang Bun sudah dapat pulang dengan selamat. Lalu peristiwa apa yang membuatmu tidak enak?”

“Aku melihat suami isteri yang gagah perkasa datang bertamu. Aku sendiri tidak berani ikut menyambut. Akan tetapi mendengar bahwa mereka adalah ayah ibumu, taihiap, yaitu Kao Kok Cu-locianpwe dan isterinya.”

“Benarkah?” Jantung Cin Liong berdebar tegang. “Lalu bagaimana?”
“Mereka hanya sebentar saja bertamu, lalu keluar lagi dan baru kemudian aku dengar bahwa mereka datang untuk meminang sumoi untukmu.”
“Lalu....?”
“Agaknya pinangan itu oleh suhu ditolak, taihiap. Maklumlah, mungkin karena masih ada hubungan keluarga.”

Tentu saja Cin Liong merasa terpukul, walau pun dia sudah dapat menduga akan hal itu. Lagi pula, setelah sekarang Suma Hui membencinya dan bahkan berkeras hendak membunuhnya, apa lagi artinya andai kata pinangan diterima juga?

“Kemudian bagaimana?”
“Kemudian.... kemudian pada suatu hari suhu memanggilku. Suhu dan subo memberi tahu bahwa sebetulnya antara suhu dan mendiang ayah telah ada perjanjian untuk.... menjodohkan sumoi dan aku....”
“Hemm, begitukah? Lalu....?”
“Lalu suhu dan subo minta agar perjodohan itu dilanjutkan....”
“Dan engkau....?”

“Itulah, taihiap, yang membuat aku merasa tidak enak dan serba salah. Aku adalah seorang yatim piatu yang tidak berharga dan tidak berguna. Kemudian keluarga suhu dan subo sudah melimpahkan kebaikan kepadaku dan sudi mengambil aku sebagai murid. Bagaimana mungkin aku dapat menolak kalau mereka mengajukan permintaan agar perjodohan itu dilanjutkan?”
“Hemmm....”
“Di lain pihak, hatiku juga merasa berat sekali karena aku tahu betul bahwa antara taihiap dan sumoi....”
“Ya....?”
“Terdapat pertalian cinta kasih yang mendalam! Mana mungkin aku merusak hubungan baik kalian itu?”

Tentu saja diam-diam Cin Liong merasa berterima kasih sekali kepada pemuda ini yang dianggapnya benar-benar seorang yang bijaksana dan baik. “Ahh, terima kasih, susiok. Aku tidak akan melupakan kebaikanmu itu, walau pun sekarang baru dalam taraf pernyataan. Akan tetapi, sekarang, lalu bagaimana baiknya?”

“Kita harus bersabar, taihiap. Aku juga sedang mencari jalan bagaimana untuk dapat keluar dari kesulitan ini dengan baik. Sementara itu, kurasa sebaiknya kalau taihiap tidak memperlihatkan diri lebih dulu kepada keluarga Suma.”

Cin Liong mengangguk-angguk dan menganggap bahwa pendapat itu memang tepat. Muncul dalam keadaan sekarang ini sungguh tidak menguntungkan. Bukan hanya Suma Hui yang tiba-tiba membencinya, akan tetapi juga keluarga Suma agaknya telah menolak pinangan ayah ibunya.

“Baiklah, aku akan melanjutkan pengejaranku terhadap Jai-hwa Siauw-ok. Aku yakin bahwa dia ada sangkut-pautnya dengan sikap Suma Hui terhadap diriku. Sampai jumpa, Louw-susiok!”
“Selamat jalan, taihiap!”

Cin Liong berkelebat lenyap dari depan pemuda itu. Sampai lama Tek Ciang termenung dan berusaha menenteramkan perasaannya yang tadinya terguncang. Jelaslah bahwa tingkat kepandaiannya masih jauh untuk dapat menandingi Cin Liong!

“Bagus.... bagus sekali! Engkau telah memperoleh kemajuan hebat dalam kecerdikan. Ha-ha-ha, engkau sungguh membuat aku kagum dan bangga, Tek Ciang!”

Pemuda itu terkejut bukan main melihat munculnya Jai-hwa Siauw-ok secara tiba-tiba itu. “Ssshhh, locianpwe, jangan ke sini dulu. Bagaimana kalau dia datang kembali?”

“Ha-ha-ha, jangan bodoh. Aku tidak akan sesembrono itu. Sudah kulihat bahwa dia pergi jauh menuju ke kota raja. Ha-ha-ha!”

Legalah hati Tek Ciang dan dia pun tertawa. “Yang belum kuat harus menggunakan kecerdikannya, locianpwe.”

“Tepat. Yang belum kuat, bukan tidak kuat. Engkau akan menjadi orang yang kuat, jauh lebih hebat dari pada aku. Aku suka sekali kepandainmu, dan malam ini engkau telah menyelamatkan nyawaku. Ketahuilah, aku bertemu dengan jendral muda itu selagi aku terluka dalam sebuah pertempuran. Maka, aku tidak mungkin dapat melawannya sepenuh tenagaku. Untung engkau mendapat akal yang sebaik itu, mengatakan aku ke kota raja. Mari kita kembali ke dalam kuil dan bicara.”

Mereka berdua kembali ke kuil tua itu dan dengan penerangan dua buah lilin mereka duduk bersila berhadapan. Jai-hwa Siauw-ok membuka bajunya dan ternyata ada bekas luka yang cukup dalam di pundaknya, bekas tusukan pedang. Tek Ciang melihat datuk itu mengobati lukanya.

“Apakah yang telah terjadi, locianpwe? Bagaimana orang sesakti locianpwe sampai terluka?”

Kakek pesolek itu tertawa. Memang merupakan watak kakek cabul ini untuk selalu bergembira dan selalu memandang kehidupan ini dari segi yang menggembirakan. Maka dalam keadaan terluka sekali pun dia masih bisa tertawa gembira.

“Kau kira orang seperti aku ini sudah tidak dapat dilukai atau dikalahkan orang? Ketahuilah, Tek Ciang. Betapa pun tingginya gunung masih ada awan yang lebih tinggi lagi. Karena itu, engkau harus belajar sebanyak mungkin. Engkau harus lebih lihai dari pada aku, dan hal ini tidak mustahil bagimu yang kini menjadi murid yang akan mewarisi ilmu-ilmu Pulau Es. Luka ini gara-gara seorang perempuan yang tadinya kusangka perawan tidak tahunya janda genit. Sialan!”

Dia tertawa lagi dan menceritakan betapa di kota Pao-ting, seperti biasa, ketika melihat seorang gadis cantik bersembahyang di kelenteng, hatinya tertarik. Dia membayangi gadis itu sampai ke rumahnya dan pada malam harinya, jai-hwa-cat ini seperti biasa mendatangi rumah itu, melepas dupa asap pembius dan berhasil menculik wanita itu.

Akan tetapi dia ketahuan dan dikepung. Tak disangkanya bahwa pemilik rumah gedung di mana wanita itu tinggal adalah seorang jago pedang yang lihai dari Bu-tong-pai bersama saudara-saudara dan murid-muridnya. Betapa pun lihainya, karena dia sambil memanggul tubuh wanita yang diculiknya, akhirnya dia terkena tusukan dan melarikan diri sambil membawa wanita itu.

“Aku berhasil membawanya keluar kota, ha-ha-ha, dan jerih payahku terbayar, luka di pundakku tidak kurasakan ketika aku berdua saja dengannya. Akan tetapi, sialan, dia hanya seorang janda genit yang menjadi selir jago pedang itu. Maka setelah puas kubunuh saja janda itu. Tak tahunya para pengejar tiba dan aku dikeroyok lagi. Untung aku dapat melarikan diri membawa luka.”

Wajah Tek Ciang berseri dan matanya bersinar-sinar ketika dia mendengar cerita datuk itu tentang penculikan wanita dan pemerkosaan korbannya. Dia membayangkan betapa menyenangkan hal itu.

“Lalu locianpwe bertemu dengan Cin Liong?”

Kakek itu mengangguk dan menyumpah. “Memang aku sedang sial! Dalam perjalanan menuju ke Thian-cin karena aku ingin beristirahat dan minta bantuanmu akibat aku sedang terluka, aku bertemu dia dan dia segera menyerangku. Tentu saja payah bagiku untuk dapat melawan sepenuhnya karena lukaku terasa nyeri sekali. Aku melarikan diri dan untung ada engkau yang menyelamatkan aku.”

Kakek itu sudah selesai mengobati luka di pundaknya dengan obat yang selalu dibawa dalam saku jubahnya, lalu dipakainya kembali baju dan jubahnya. Mendadak tangan kirinya bergerak dan nampak sinar berkilat di bawah cahaya lilin. Tek Ciang terkejut sekali melihat bahwa tangan kiri kakek itu sudah memegang sebatang pisau belati yang berkilau tajam. Akan tetapi dia dapat menguasai dirinya sehingga kelihatan tenang saja.

“Tek Ciang, engkau tahu bahwa kita sudah saling tolong. Aku suka padamu dan aku melihat bahwa kelak engkaulah orang yang dapat mengangkat tinggi namaku. Aku ingin mewariskan ilmu-ilmuku kepadamu.”

Tentu saja Tek Ciang girang sekali dan cepat berlutut. “Locianpwe maksudkan untuk mengambil saya sebagai murid?”
“Bodoh! Engkau adalah murid Pulau Es! Tidak, bukan murid, tapi sebagai anakku!”
“Anak....?”
“Ya, di antara kita terdapat kecocokan yang mungkin melebihi kecocokan anak dan ayah. Bagaimana, maukah engkau menjadi anak angkatku dan kelak mewarisi seluruh kepandaianku dan melanjutkan kebesaran namaku?”

Tek Ciang maklum bahwa dia berhadapan dengan seorang datuk sesat yang aneh. Dia memang suka kepada orang ini dan kalau dia menolak, bukan hal aneh kalau orang ini begitu saja membunuhnya dengan pisau itu! Jelas jauh lebih banyak untungnya kalau dia menerima dari pada menolak.

“Locianpwe telah begini baik kepadaku, bagaimana aku berani menolak?”
“Engkau mau? Mau menjadi puteraku?”
“Tentu saja aku mau.”
“Bagus! Hayo kau sebut ayah padaku!”
“Ayah!”
“Ha-ha-ha!” Jai-hwa Siauw-ok tertawa bergelak, lalu merangkul pemuda yang sedang berlutut itu dan menciumi pipinya dan suara ketawanya kini berubah menjadi setengah menangis! Menangis saking girangnya. Lalu tertawa lagi sehingga diam-diam Tok Ciang mengkirik seram.

“Ha-ha-ha, selamanya aku tidak bisa mempunyai keturunan, karena itu aku tidak mau beristeri. Tapi tanpa isteri kini aku punya anak, sudah sebesar engkau, setampan dan secerdik engkau. Hati siapa takkan girang? Ke sinikan lenganmu!”

Tek Ciang menjulurkan lengan kirinya. Kakek pesolek itu menangkap lengan itu dan menyingsingkan lengan bajunya, juga dia sudah menyingsingkan lengan baju tangan kirinya, kemudian secepat kilat pisaunya menyambar. Tek Ciang terkejut, tetapi pemuda yang cerdik ini maklum bahwa andai kata datuk itu hendak membunuhnya sekali pun, dia tidak akan mampu melarikan diri, maka dia pun pasrah dan sedikit pun tidak nampak takut.

Hal ini agaknya menggirangkan hati Jai-hwa Siauw-ok dan ujung pisaunya sudah menggurat permukaan lengan Tek Ciang. Terasa perih sedikit dan nampaklah darah menitik keluar lengan. Lengan kiri Jai-hwa Siauw-ok sendiri pun sudah luka tergores dan berdarah pula.

Datuk sesat itu lalu menempelkan bagian lengannya yang terluka dan berdarah itu pada lengan Tek Ciang yang berdarah sehingga darah yang menetes-netes keluar dari luka lengan mereka itu bercampur dan ketika kakek itu mengangkat kembali lengan kirinya, darah yang sudah bercampur itu sebagian melekat di lengannya dan sebagian melekat di lengan Tek Ciang. Dia lalu mengisap dan menjilati darah di lengannya itu.

“Hayo minum darah di lenganmu itu!” katanya.

Tek Ciang mencontoh perbuatan ayah angkatnya, mengisap dan menjilati, menelan darah yang berlepotan di lengannya sampai bersih.

“Ha-ha-ha, kita sekarang sudah sedarah, bukan? Engkau anakku dan aku ayahmu. Mulai sekarang, engkau akan kulatih dengan diam-diam sehingga kelak engkau akan mewarisi semua ilmu-ilmuku.”

Demikianlah, mulai saat itu juga, Tek Ciang memperoleh pengganti ayah dan juga guru. Tentu saja dia menjadi semakin lihai. Namun dengan amat cerdiknya, pemuda ini dapat merahasiakan semua ilmu yang diperolehnya dari ayah angkatnya sehingga Suma Kian Lee dan isterinya yang cerdik itu pun sama sekali tidak pernah menduganya.....
********************
Biar pun pada waktu itu Kerajaan Mancu, yaitu Dinasti Ceng, sedang mengalami masa jayanya di bawah bimbingan Kaisar Kian Liong yang bijaksana dan pandai. Namun karena negara itu amat luasnya dan meliputi daerah yang amat jauhnya dari pusat, tidaklah mengherankan apabila timbul usaha-usaha untuk berdiri sendiri di daerah-daerah yang terpencil.

Kaisar Kian Liong dengan pasukan-pasukannya yang amat kuat berhasil menundukkan semua daerah yang hendak memberontak. Akan tetapi pada waktu itu, terdengar desas-desus tentang gerakan-gerakan yang sibuk dilakukan orang di daerah perbatasan jauh di barat.

Karena jauhnya dan juga karena sukarnya mengendalikan daerah pegunungan yang liar di barat itu maka Kaisar Kian Liong agak terlambat mengetahui bahwa diam-diam telah terjadi persekutuan di barat dan ada rencana-rencana jahat diatur oleh para pembesar di daerah barat. Mereka diam-diam mengadakan persekutuan dengan Kerajaan Nepal, dengan orang-orang Tibet yang hendak memberontak, yang dibantu pula oleh orang-orang Mongol barat untuk menyerang dan menduduki Tibet. Mereka kemudian akan menyusun kekuatan gabungan di daerah barat untuk menentang Kerajaan Ceng.

Setelah mendengar desas-desus itu barulah kaisar memerintahkan Jenderal Muda Kao Cin Liong untuk melakukan penyelidikan. Akan tetapi sunqguh sayang bahwa jenderal muda itu sendiri terlibat dalam persoalan pribadinya dengan Suma Hui sehingga tentu saja pelaksanaan tugasnya menjadi terganggu.

Gubernur Yong Ki Pok dan sekutunya ternyata telah mendahului usaha penyelidikan kaisar ini. Seperti telah diceritakan di bagian depan, Gubernur Yong setelah bertemu dengan para sekutunya, memperoleh pembantu baru yang dapat diandalkan, yaitu Hek-i Mo-ong!

Setelah menerima datuk sesat ini sebagai pembantu utama, bahkan sudah menjanjikan kedudukan koksu kelak kalau perjuangan mereka berhasil, Gubernur Yong Ki Pok lalu mengutus Hek-i Mo-ong dengan sebuah tugas pertama yang amat penting. Datuk itu ditugaskan untuk melakukan penyelidikan ke barat, ke daerah Bhutan dan Himalaya.

Dia ditugaskan untuk melenyapkan penghalang dan menghimpun tenaga yang sehaluan agar rencana mereka, yaitu menyerbu ke Tibet dari Nepal. Kemudian bersama-sama, kekuatan gabungan persekutuan itu akan membentuk pertahanan kuat untuk kemudian menyerang ke timur.

Bhutan merupakan penghalang besar bagi Nepal karena Bhutan letaknya di sebelah timur Nepal. Hanya melalui Bhutan sajalah pasukan besar dapat melakukan perjalanan ke timur dengan mudah. Bagi Kerajaan Nepal, pasukan-pasukan mereka hanya dapat melakukan penyerbuan ke Lhasa di Tibet melalui Bhutan, karena kalau tidak, perjalanan mereka akan terhalang Gunung Yolmo Langma yang menjulang tinggi dan daerahnya selain berbahaya juga amat melelahkan bagi pasukan mereka. Selain itu, juga kalau Bhutan membocorkan rahasia mereka dan mengirim berita ke timur, hal itu mungkin saja akan menggagalkan semua rencana.

Bhutan sebetulnya hanya merupakan sebuah kerajaan yang kecil saja. Sebuah kerajaan kecil yang terletak di tengah-tengah Pegunungan Himalaya yang amat luas dan panjang itu. Daerah yang berhawa dingin ini memiliki dataran-dataran subur, lembah-lembah yang indah.

Bangsa Bhutan hidup sederhana dan berbahagia dalam tradisi kehidupan mereka yang sudah tua. Mereka tidak pernah berambisi untuk meluaskan daerah untuk mengeduk keuntungan dari daerah lain, oleh karena itu tidak pernah melakukan perang dengan negara tetangga, tidak seperti Kerajaan Nepal. Kerajaan Bhutan selalu dalam keadaan tenang dan nampaknya mereka hidup selalu dalam suasana damai sejahtera.

Pada waktu itu, yang menjadi raja di Bhutan adalah Raja Badur Syah yang usianya sudah hampir enam puluh tahun. Mestinya, setelah raja tua meninggal dunia kurang lebih sepuluh tahun yang lalu, yang harus menggantikannya adalah puteri mahkotanya, yaitu Puteri Syanti Dewi. Namun puteri ini tidak bersedia menjadi ratu, dan menunjuk kakak sepupunya, yaitu Pangeran Badur untuk menggantikannya. Maka, Raja Badur Syah kini memimpin kerajaan yang tenteram itu dan Puteri Syanti Dewi bersama suaminya menjadi pembantu-pembantu dan penasehatnya yang paling utama.

Para pembaca cerita seri ‘Suling Emas Naga Siluman’ tentu tidak asing lagi dengan nama Syanti Dewi ini. Dalam cerita-cerita Kisah Sepasang Rajawali dan Jodoh Rajawali telah diceritakan dengan jelas semua pengalaman Syanti Dewi yang amat menarik. Kemudian dalam kisah ’Suling Emas Naga Siluman’ diceritakan bahwa Puteri Bhutan ini akhirnya menikah juga dengan pria idamannya, setelah mengalami banyak sekali halangan.

Suaminya itu bukan lain adalah pendekar sakti Wan Tek Hoat yang pernah mendapat julukan Si Jari Maut. Ketika kedua orang ini masih muda, perjodohan mereka selalu menemui halangan dan kegagalan sehingga keduanya mengalami banyak penderitaan batin yang amat hebat.

Akan tetapi akhirnya, walau pun keduanya sudah berusia cukup lanjut, yaitu Wan Tek Hoat berusia tiga puluh delapan tahun dan Syanti Dewi berusia tiga puluh enam tahun, mereka dapat berkumpul kembali. Sekarang usia mereka telah mendekati lima puluh tahun dan mereka hidup dengan rukun, tenteram dan berbahagia di Bhutan. Selama itu mereka tidak pernah lagi meninggalkan kerajaan kecil yang penuh ketenangan itu.

Oleh karena semenjak muda selama bertahun-tahun Syanti Dewi merantau ke timur, meninggalkan kerajaan ayahnya dan berkenalan dengan banyak orang kang-ouw dari berbagai golongan, bahkan mengenal pula dengan baiknya Kaisar Kian Liong ketika masih menjadi pangeran, maka tentu saja kini dia menganjurkan Raja Bhutan untuk selalu bersahabat dengan Kaisar Kian Liong. Apalagi mengingat bahwa Wan Tek Hoat juga seorang Han.

Tidaklah aneh jika garis politik pemerintah Kerajaan Bhutan menentang Kerajaan Nepal yang hendak memusuhi Kerajaan Ceng di timur itu. Setiap tahun, Raja Bhutan selalu mengirim utusan membawa upeti atau hadiah-hadiah tanda mengakui kebesaran Kaisar Kian Liong. Kiriman ini tidak menjadi sia-sia, karena selain dapat mempererat hubungan persahabatan antara tetangga, juga utusan itu selalu membawa pulang hadiah-hadiah yang selalu lebih besar dan lebih berharga dari pada upeti yang dikirimkan.

Selain kerajaan kecil Bhutan ini, juga para pertapa dan pendeta yang berada di daerah Pegunungan Himalaya tidak lepas dari perhatian Kerajaan Nepal dan para sekutunya. Mereka ini, para pertapa dan pendeta, adalah orang-orang yang memiliki kesaktian dan mereka ini berpengaruh pula, mengingat bahwa mereka mempunyai banyak murid-murid yang menjadi pendekar-pendekar dan juga pembesar-pembesar.

Maka, Hek-i Mo-ong diutus untuk menyelami keadaan mereka dan sedapat mungkin menarik mereka untuk berpihak kepada persekutuan mereka dan menentang Kerajaan Ceng di timur. Ke dua tempat inilah Hek-i Mo-ong harus pergi, melakukan penyelidikan dan mengatur sedemikian rupa agar keadaan menguntungkan rencana persekutuan mereka.....

Hek-i Mo-ong merasa bangga sekali memperoleh kepercayaan ini. Dia sudah merasa menjadi ‘koksu’ dari Gubernur Yong Ki Pok. Dia menerima tanda kuasa dari sang gubernur, juga bekal emas yang cukup banyak. Dan untuk melakukan tugas dengan hasil baik, dia harus menyamar. Tak mungkin kalau dia bertindak sebagai Hek-i Mo-ong, datuk kaum sesat yang sudah terkenal sekali itu.

Untung baginya, hanya namanya saja yang terkenal. Hek-i Mo-ong adalah nama julukan yang terkenal sekali di dunia kang-ouw, bahkan sampai jauh ke timur, dikenal oleh semua golongan, baik golongan para pendekar ataupun penjahat, golongan putih mau pun hitam. Akan tetapi, jarang ada orang yang mengenal mukanya.

Dia bukan sembarang kaum sesat, melainkan seorang datuk yang tidak sembarangan dapat ditemui orang. Karena ini, maka dengan menyamar dan menyembunyikan nama julukannya, dia akan dapat melaksanakan tugas itu dengan mudah.

Dalam penyamarannya, Hek-i Mo-ong tidak meninggalkan warna hitam pakaiannya. Memang sejak dahulu dia suka memakai pakaian serba hitam. Akan tetapi, sekarang pakaiannya yang berwarna hitam itu dibentuk seperti pakaian yang biasa dipergunakan oleh sinshe tukang obat. Dan dia pun menyuruh Ceng Liong untuk mengganti sebutan Mo-ong dengan sebutan kakek.

“Kita akan melakukan perjalanan rahasia, melaksanakan tugas penting sekali. Maka kita harus menyamar. Aku akan menyamar sebagai seorang ahli obat dan tukang sulap, dan engkau adalah cucuku, juga pembantuku. Ingat, namaku adalah Phang Kui, aku adalah kakekmu dan pekerjaanku tukang obat dan tukang sulap. Engkau tetap bernama Ceng Liong, akan tetapi demi keselamatan sendiri, lebih baik engkau jangan menyebutkan nama keturunanmu. Nama keturunan Suma terlalu menyolok dan kalau engkau mau menyebut nama keturunan juga, engkau boleh saja memakai nama keturunanku, yaitu Phang. Mengertikah engkau, Ceng Liong?”

“Baik, kong-kong,” jawab anak yang cerdik itu sehingga gurunya tertawa senang disebut kong-kong. “Dan sekarang kita hendak berangkat ke manakah? Apakah langsung ke Bhutan? Atau ke Himalaya?” Anak itu mendengarkan ketika gurunya bicara dengan gubernur, maka dia pun mengerti akan tugas gurunya.

Akan tetapi Hek-i Mo-ong menggeleng kepala. “Tidak, kita akan berangkat dulu ke kota Ceng-tu di Se-cuan.”

Karena Ceng Liong tidak mengerti, dia pun tidak banyak bertanya lagi dan berangkatlah guru dan murid itu menuju ke Propinsi Se-cuan. Kenapa mereka hendak ke Se-cuan? Hek-i Mo-ong adalah seorang yang sangat cerdik dan kepergiannya ke Se-cuan sudah diperhitungkannya dengan masak, termasuk ke dalam rencananya untuk melaksanakan tugas itu sebaik mungkin.

Gubernur Se-cuan adalah seorang pangeran. Dia adalah Pangeran Yung Hwa, saudara dari mendiang Kaisar Yung Ceng, ayah Kaisar Kian Liong yang sekarang. Pangeran Yung Hwa ini pernah menentang kaisar yang dahulu, maka sebagai hukumannya dia dibuang secara halus dengan diangkat menjadi gubernur di Propinsi Se-cuan.

Hek-i Mo-ong tahu riwayat Gubernur Se-cuan, yaitu Pangeran Yung Hwa yang sekarang telah berusia empat puluh dua tahun ini. Ia sudah tahu pula bahwa Pangeran Yung Hwa yang menjadi Gubernur Se-cuan ini kenal baik dengan keluarga Raja Bhutan, maka gubernur ini dapat diharapkan bantuannya. Apalagi karena peristiwa pembuangannya itu sedikit banyak tentu menimbulkan dendam di hatinya.

Demikianlah, pada suatu pagi yang cerah, sebuah gerobak kuda sederhana memasuki kota Ceng-tu yang ramai. Kereta yang sederhana itu menarik perhatian karena kudanya diberi rumbai-rumbai dengan kertas-kertas berwarna, dan di dinding kereta terdapat tulisan besar menyolok SINSHE PHANG, AHLI OBAT, RAMAL, DAN SULAP.

Di atas tempat duduk kusir itu duduk seorang anak berusia sepuluh tahun lebih yang tubuhnya tegap, wajahnya tampan dan mulutnya selalu tersenyum-senyum memandang ke kanan kiri, sinar matanya tajam dan penuh keberanian. Anak ini pandai sekali mengendalikan kuda besar yang menarik kereta, dan dia tersenyum-senyum kepada semua orang yang memperhatikan kereta itu.

Hek-i Mo-ong sendiri yang kini berganti sebutan menjadi Sinshe Phang, sedang tidur melenggut di dalam kereta. Namanya yang asli memang Phang Kui, akan tetapi di dunia kang-ouw dia tidak dikenal dengan nama itu, bahkan tidak ada orang mengenal nama aslinya. Karena itu, dia berani mempergunakan nama aslinya dengan tenang.

Ketika terbangun dan melihat bahwa mereka telah memasuki kota Ceng-tu, Sinshe Phang menyuruh Ceng Liong yang kini disebutnya sebagai cucunya itu untuk langsung pergi ke pusat kota. Di dekat pasar mereka menghentikan kereta dan tidak lama kemudian terdengarlah suara tambur dan canang dipukul oleh kakek dan cucunya ini. Orang-orang berdatangan dan sebentar saja para penonton disuguhi tontonan sulap yang amat menarik. Kakek itu pandai sekali bermain sulap dan hal ini tidaklah aneh kalau diingat bahwa dia memang seorang ahli sihir. Dengan permainan sulapnya, dia berhasil menarik banyak penonton.

Kemudian dia pun mendemonstrasikan kemahirannya mengobati orang. Sakit gigi, sakit pening, sakit perut, semua disembuhkannya dengan cepat di tempat itu juga. Bagai mana pun juga, seorang datuk sesat seperti Hek-i Mo-ong tentu saja pandai dalam hal ilmu pengobatan, apalagi hanya untuk menyembuhkan penyakit yang remeh dan ringan.

Ada pula yang tertarik dan minta diramal nasibnya. Semua biaya pengobatan atau pun meramal itu ditarik dengan tarip ringan sekali sehingga banyak orang yang merasa puas dan sebentar saja nama Sinshe Phang terkenal di kota Ceng-tu itu.

Kakek dan cucunya itu mondok di kamar sebuah rumah penginapan sederhana dan setiap hari mereka membuka pertunjukan di dekat pasar. Dalam waktu beberapa hari saja, terkenallah namanya, bahkan sampai ke gedung gubernuran. Tersiar berita bahwa Ceng-tu kedatangan seorang sinshe yang amat pandai dan lagi taripnya amat murah.

Pada suatu pagi, tiga hari kemudian, ketika Sinshe Phang dan Ceng Liong sedang sibuk melayani para peminat, kakek itu memeriksa dan Ceng Liong yang mempersiapkan obatnya, datanglah sebuah kereta ke tempat itu. Sebuah kereta yang mewah dan dari jauh saja sudah nampak bahwa kereta itu bukan kereta sembarangan, melainkan kereta seorang pembesar. Kereta itu dikawal oleh selosin pasukan pengawal.

Sebelum kereta dekat, Sinshe Phang sudah bertanya kepada seorang penonton yang dijawabnya bahwa yang datang itu adalah kereta gubernur! Tentu saja Sinshe Phang menjadi girang sekali. Cepat ditulisnya beberapa huruf di atas kertas tanpa dilihat orang lain dan diberikan kertas tulisan itu kepada Ceng Liong. Anak ini membacanya dan mengangguk sambil meremas hancur kertas tulisan itu. Gurunya sedang merencanakan sesuatu yang amat bagus! Dan dia pun sudah siap membantunya.

Kini kereta mewah itu berhenti di dekat tempat Sinshe Phang membuka prakteknya. Para pengawal memerintahkan penonton membuka jalan agar penghuni kereta dapat menyaksikan pertunjukan yang diperlihatkan oleh Sinshe Phang. Pintu dan jendela kereta dibuka dan nampaklah seorang wanita cantik berusia tiga puluhan tahun, berpakaian mewah. Di sebelahnya duduk pula seorang anak perempuan berusia kurang lebih sembilan tahun, dengan pakaian mewah dan rambutnya dikuncir dua, manis sekali.

Orang-orang yang mengenal wanita itu saling berbisik. Itulah seorang isteri muda Gubernur Yung Hwa, seorang di antara selir-selirnya yang paling disayangnya, yang datang menonton pertunjukan Sinshe Phang bersama puterinya. Memang wanita ini mendengar tentang keahlian Sinshe Phang. Sudah lama ia menderita pening-pening pada kepalanya dan sudah banyak ia makan obat, akan tetapi tidak juga peningnya hilang. Maka, mendengar akan kepandaian Sinshe Phang, ia ingin menyaksikan sendiri, kemudian kalau hatinya yakin, ia pun akan minta pengobatan.

Sinshe Phang pura-pura tidak melihat bahwa ada wanita cantik selir gubernur yang memperhatikannya dan ikut menonton dari dalam kereta itu. Akan tetapi diam-diam dia sengaja mempertontonkan kepandaiannya, bermain sulap yang amat menggembirakan anak perempuan di dalam kereta itu. Bahkan saat dia menyulap sepotong batu berubah menjadi seekor burung dara yang terbang melayang ke udara, anak perempuan itu bertepuk tangan dan bersorak, “Bagus! Bagus....!”

Akan tetapi ibu anak itu lebih memperhatikan cara Sinshe Phang menyembuhkan beberapa orang yang datang berobat, terutama sekali orang yang menderita penyakit kepala pening. Melihat betapa Sinshe Phang kadang-kadang mempergunakan jari-jari tangannya menekan di sana-sini bagian kepala, atau menggunakan sebuah jarum emas menusuk beberapa tempat tanpa yang ditusuk itu mengeluh nyeri atau mengeluarkan darah, kemudian melihat orang-orang itu dapat disembuhkan seketika, nyonya itu merasa tertarik sekali.

Pada saat itu, para pengawal juga menonton dengan hati tertarik dan kadang-kadang mereka itu tertawa melihat Sinshe Phang bermain sulap sambil melucu. Juga kusir kereta itu duduk santai, tidak lagi memperdulikan dua ekor kudanya yang sudah diberi makanan di depannya.

Biar pun para pengawal itu juga merupakan orang-orang yang tahu ilmu silat, akan tetapi gerakan Sinshe Phang sedemikian cepatnya sehingga tidak ada seorang pun di antara mereka yang melihatnya ketika tiba-tiba saja dari jari-jari tangannya meluncur dua butir batu kecil yang dengan tepatnya menghantam dan melukai pantat dua ekor kuda yang sedang makan itu.

Tiba-tiba dua ekor binatang itu meringkik keras, mengangkat kedua kaki depan ke atas lalu meloncat ke depan. Kereta itu tertarik keras dan kusir yang sedang enak-enak duduk miring itu terlempar keluar, terpental dari tempat duduknya dan terbanting ke atas tanah. Para pengawal terkejut bukan main melihat dua ekor kuda itu kabur.

Beberapa orang penonton bahkan ada yang tertabrak dan jatuh tunggang-langgang dan orang-orang berteriak-teriak ketakutan karena dua ekor kuda itu membalap tanpa ada yang mengendalikan. Akan tetapi, ketika kusir kereta tadi terpelanting, ada bayangan kecil yang dengan cekatan telah melompat ke atas tempat duduk kusir. Bayangan ini adalah seorang anak kecil dan semua orang mengenalnya sebagai cucu Sinshe Phang. Sementara itu, terdengar jerit-jerit ketakutan dari dalam kereta.

Ceng Liong yang sudah diberi isyarat oleh gurunya memang sudan siap siaga. Maka ketika dia melihat gurunya mempergunakan ilmu melempar batu-batu kecil dengan sentilan jari tangan, dia sudah mendekati kereta. Begitu kuda kabur dan kusir terlempar keluar, dia sudah meloncat dengan cekatan sekali dan berhasil mencapai tempat duduk kusir.

Dia segera menyambar tali kendali kuda, akan tetapi karena tali kendaraan itu sebagian terlepas dan berada di punggung kuda, dengan penuh keberanian anak ini lalu meloncat turun ke atas punggung seekor kuda. Anak ini menarik kendali sambil mengeluarkan bujukan-bujukan untuk menghentikan dua ekor kuda itu. Sedangkan para pengnwal kini sudah memburu, ada yang naik kuda, ada yang berlarian.

Akan tetapi, dalam jarak ratusan meter, ketika para pengawal dapat menyusul, kereta itu telah berhenti dan dua ekor kuda itu telah dikuasai oleh Ceng Liong yang masih duduk di atas punggung seekor di antara dua kuda itu. Kereta itu selamat dan dua orang penghuninya juga selamat!

Melihat ini, semua orang bersorak gembira dan bertepuk tangan. Mereka memuji Ceng Liong yang dianggap seorang anak yang amat sigap dan berani. Anak perempuan itu menangis terisak-isak didekap oleh ibunya yang mukanya juga berubah pucat sekali. Melihat betapa yang menolong menghentikan dua ekor kuda yang kabur itu adalah anak kecil cucu Sinshe Phang, ibu muda itu segera membimbing anaknya turun dari kereta yang sudah dibawa kembali ke tempat semula oleh Ceng Liong.

“Sinshe, saya mengucapkan banyak terima kasih atas pertolongan cucumu,” katanya.

Phang-sinshe cepat memberi hormat dan mengangguk-angguk. “Ahh, toanio, kebetulan saja cucu saya dapat bertindak cepat. Thian yang telah melindungi toanio dan siocia,” kata Sinshe Phang dengan sikap seolah-olah dia seorang beribadah yang sudah biasa memalingkan mukanya kepada Tuhan!

“Engkau anak yang baik sekali!” kata nyonya muda itu kepada Ceng Liong.

Anak ini pun menjura tanpa berkata apa-apa, matanya memandang tajam kepada anak perempuan yang masih nampak ketakutan itu. Biar pun ketakutan dan bekas menangis, anak ini amat cantik dan manis.

“Ibu, apakah yang menghentikan kuda tadi dia ini?” Anak perempuan itu menuding ke arah Ceng Liong.
“Benar, Kui Lan. Dialah yang telah menyelamatkan kita. Anak baik, siapakah namamu?”

Ceng Liong menjadi malu juga karena sikap yang amat menghargai itu, apalagi di situ banyak orang yang menyaksikan dan semua orang memandang kepadanya dengan sinar mata kagum dan memuji.

“Ha-ha, kenapa kau diam saja, Ceng Liong? Maaf, toanio. Dia anak pemalu sekali. Cucu saya ini namanya Ceng Liong.”
“Kui Lan, hayo ucapkan terima kasih kepada Ceng Liong,” perintah ibunya yang selalu mendidik puterinya untuk bersikap baik.

Kui Lan melangkah mendekati Ceng Liong. Wajah yang manis itu tidak begitu pucat lagi dan sepasang mata yang lebar itu memandang penuh perhatian. “Ceng Liong, aku kagum padamu dan terima kasih atas pertolonganmu. Namaku Yung Kui Lan, dan ayahku adalah gubernur dari kota ini.”

Ceng Liong hanya mengangguk-angguk saja sambil menatap wajah yang manis itu. Nyonya muda itu lalu menggunakan kesempatan ini untuk mengundang Sinshe Phang ikut bersamanya ke gedung gubernuran.

“Kami ingin minta pertolongan sinshe mengobati suatu penyakit,” demikian tambahnya.

Sinshe Phang menyembunyikan kegembiraan hatinya. Inilah yang dinanti-nanti sampai dia mau bersusah payah ‘membuka praktek’ di pasar itu. Tak pernah disangkanya pintu gubernuran akan sedemikian mudahnya terbuka baginya.

“Saya merasa terhormat sekali untuk dapat mengobati keluarga toanio yang sakit,” katanya dan dia pun cepat menyuruh cucunya berkemas.

Tidak lama kemudian, kereta nyonya itu telah berjalan kembali. Sekali ini bukan hanya diiringkan sepasukan pengawal, akan tetapi juga diiringkan sebuah gerobak kuda yang telah mulai dikenal baik di kota itu. Di sepanjang perjalanan, orang-orang membicarakan keberanian bocah yang mengendalikan kuda itu. Semua orang tahu bahwa tentu sinshe itu diundang ke gubernuran untuk mengobati orang sakit dan tentu akan menerima hadiah besar dari gubernur sendiri karena telah menyelamatkan selir dan puterinya dari bahaya.

Begitu tiba di gedung gubernuran, Gubernur Yung Hwa yang menerima laporan tentang kereta selirnya yang kabur dan diselamatkan oleh cucu Sinshe Phang, menjadi terkejut akan tetapi juga girang. Dia lalu minta kepada selirnya untuk memanggil sinshe itu menghadap. Ketika bertemu dengan kakek yang tinggi besar itu, dan melihat cucunya yang tampan dan gagah, Gubernur Yung Hwa merasa suka sekali. Dia mengucapkan terima kasih dan memuji Ceng Liong.

“Hamba merasa terhormat sekali dapat memperoleh kesempatan untuk mengobati keluarga paduka yang sakit. Hamba sudah siap untuk mengobatinya,” Sinshe Phang berkata dengan sikap merendahkan diri.
“Sinshe, yang sakit adalah aku sendiri,” tiba-tiba selir itu berkata sambil tersenyum ramah. “Apakah engkau bisa menolongku?”

Sinshe Phang menjura. “Mudah-mudahan hamba akan dapat menolong. Tidak tahu sakit apakah yang diderita oleh toanio?”

“Sudah lama sekali kepalaku sering pening, berdenyut-denyut dan mata berkunang-kunang. Sudah beberapa orang tabib dipanggil dan banyak sudah kumakan obat, akan tetapi penyakit itu tidak lenyap, hanya berkurang sedikit saja.”

Sinshe Phang mengangguk-angguk. “Maaf, hamba harus memeriksa lebih dulu sebelum menentukan penyakit dan obatnya.”
Gubernur Yung Hwa yang amat mencinta isterinya itu berkata, “Mari, silakan masuk ke kamar, Sinshe Phang.”
Sinshe Phang menghaturkan terima kasih, “Ceng Liong, engkau menanti saja di sini dan bersikaplah yang baik.”
“Biar Kui Lan menemaninya,” kata nyonya itu.

Dan Kui Lan yang memang merasa kagum dan suka kepada Ceng Liong lalu menarik tangan Ceng Liong dan mengajaknya untuk pergi ke taman. Ceng Liong menurut saja walau pun dia merasa sungkan dan juga malu.

Melihat sikap anak laki-laki itu, sang gubernur menggeleng-geleng kepala. “Cucumu itu kelak tentu menjadi orang yang gagah.”

Sambil mengikuti suami isteri itu memasuki kamar, Sinshe Phang menjawab, “Ahhh, seorang seperti hamba mana mungkin dapat mempunyai seorang cucu yang gagah?”

Sang gubernur tertawa. “Aha, jangan kira aku tidak tahu, Phang-sinshe! Seorang yang kabarnya pandai bermain sulap, dan pandai mengobati seperti engkau ini, tentu seorang kang-ouw yang lihai. Apalagi mendengar betapa cucumu dapat menyelamatkan isteri dan anakku, tentu dia pun telah kau gembleng dengan ilmu-ilmu yang tinggi!”

Diam-diam Sinshe Phang memuji ketajaman mata gubernur ini. Bagaimana pun juga, gubernur ini dahulunya seorang pangeran, bahkan masih paman dari kaisar yang sekarang, maka tentu banyak tahu tentang dunia kang-ouw. Aku harus berhati-hati, pikir kakek itu.

Setelah berada di dalam kamar, dengan disaksikan oleh Gubernur Yung Hwa, Sinshe Phang memeriksa denyut nadi lengan selir itu, kemudian memeriksa beberapa bagian kepala dan lehernya. Segera dia mengetahui bahwa penyakit yang diderita oleh nyonya itu tidaklah begitu berat, maka dengan keahliannya pengobatan tusuk jarum, dengan mudah dia dapat menghilangkan penyakit itu.

Tentu saja gubernur dan selirnya merasa berterima kasih dan girang sekali. Gubernur Yung Hwa lalu menjamunya. Mereka makan minum berdua saja sambil bercakap-cakap karena Ceng Liong diajak makan sendiri oleh Kui Lan yang sekarang telah bersahabat dengannya.

“Ceng Liong, aku hampir tidak percaya bahwa engkau hanyalah cucu seorang penjual obat.” Di waktu bermain-main Kui Lan berkata.

Ceng Liong memandang tajam. Anak ini boleh juga, pikirnya, memiliki kecerdikan.

“Kenapa engkau berkata demikian, nona?”
“Sedangkan anak laki-laki putera para pembesar saja biasanya bersikap sombong dan kasar, padahal tidak pandai apa-apa. Akan tetapi engkau ini gagah berani dan tangkas, kulihat pandai dan bukan seperti anak dusun, akan tetapi sikapmu pendiam dan pandai merendahkan diri, ramah dan mengenal aturan. Tidak, engkau bukanlah anak dusun. Engkau pantasnya anak bangsawan atau hartawan besar!”

Ceng Liong tertawa. “Aih, nona jangan main-main. Sudah jelas kakekku adalah seorang ahli pengobatan, ahli ramal dan sulap. Dan aku cucunya.”

Kui Lan menarik napas panjang. “Sukar dipercaya! Dan di mana rumahmu? Di mana rumah kakekmu itu?”

“Di mana saja, nona. Dunia ini adalah rumahku, langit atapku, bumi lantaiku. Kalau dikecilkan, gerobak itulah pondok kami. Di mana adanya gerobak kami, di situlah kami tinggal. Kami adalah perantau-perantau yang tidak mempunyai tempat tinggal tetap, nona, seperti burung-burung di udara, mau hinggap di pohon mana pun bebas!”

Sepasang mata yang bening itu berseri memandang wajah tampan Ceng Liong. “Ihhh, bicaramu juga seperti orang bersyair! Betapa senangnya hidup seperti burung, bebas melayang ke mana-mana, tidak terhalang sangkar. Aku seperti burung dalam sangkar!”

“Nona adalah puteri seorang bangsawan tinggi yang beruntung, mana mungkin bisa dibandingkan dengan aku?”
“Aku suka padamu, Ceng Liong. Engkau tidak seperti anak-anak lain. Selamanya aku tidak akan melupakanmu, tidak akan lupa ketika engkau menghentikan kuda dengan menunggangi kuda yang sedang kabur itu. Ihhh, masih ngeri kalau aku mengingatnya.”

Ceng Liong lalu diajak makan, terpisah dari kakeknya yang juga sedang makan minum dengan Gubernur Yung Hwa. Kesempatan ini dipergunakan oleh Sinshe Phang untuk berkenalan dan menjajagi hati bangsawan itu. Maka dengan hati-hati dan halus dia pun membawa percakapan menuju ke kota raja dan istana, membicarakan keadaan negara.

“Engkau banyak melakukan perantauan, Phang-sinshe. Bagaimana keadaan di timur dan selatan? Apakah kehidupan rakyat baik dan keamanan pun baik?” Gubernur itu bertanya demikian karena dia juga sudah mendengar bahwa terjadi pergerakan dan pergolakan di barat dan utara.

Kakek itu mengerutkan alis, bersikap pura-pura sedang keberatan untuk menyatakan pendapatnya.

Sang gubernur melihat ini, maka sambil tersenyum lalu menyambung, “Harap engkau jangan khawatir, Phang-sinshe. Aku bertanya dengan jujur, maka engkau pun boleh menyatakan sejujurnya bagaimana keadaan di sana. Kita ini sedang mengobrol sebagai dua orang teman, bukan pemeriksaan seorang pejabat terhadap terdakwa!” Gubernur itu tertawa dan Phang-sinshe juga ikut tersenyum lega.

“Terus terang saja, taijin. Keadaan di daerah-daerah di timur juga tidaklah begitu baik. Banyak rakyat yang hidup kekurangan dan merasa tidak puas, dan di sana-sini terdapat gejala pergerakan menentang pemerintah.”

Gubernur itu menghela napas. “Sudah kuduga demikian. Setiap pemerintahan tidak mungkin dapat memuaskan hati seluruh rakyat. Sudah tentu ada saja fihak yang merasa tidak puas. Ketika mendiang Kaisar Yung Ceng yang memegang kendali pemerintahan, banyak fihak yang menentang, hal itu tidaklah terlalu mengherankan mengingat akan sifat-sifatnya yang keras dan kadang-kadang penuh kelaliman. Akan tetapi, sekarang kendali pemerintahan dipegang oleh Kaisar Kian Liong yang halus budi dan bijaksana. Bagaimana pun juga, tak mungkin beliau dapat memuaskan hati semua orang. Memang demikian keadaan di dunia ini, tidak ada yang sempurna.”

Mendengar ucapan ini, diam-diam Sinshe Phang terkejut. Dia tidak melihat sedikit pun rasa dendam dalam ucapan itu.

“Bagaimanakah pendapat paduka tentang pergolakan-pergolakan yang sedang terjadi di mana-mana?”

Gubernur itu mengerutkan alisnya. “Orang yang merasa penasaran tentulah mereka yang merasa dirugikan. Dan melihat kenyataan betapa bijaksana Kaisar Kian Liong, maka yang merasa dirugikan sehingga penasaran dan memusuhinya tentulah orang-orang yang tidak bijaksana! Mereka yang ambisius dan menginginkan kedudukan yang lebih tinggi. Mereka itu tidak tahu bahwa andai kata kekuasaan tertinggi berada di tangan orang lain, tidak seperti Kaisar Kian Liong, maka keadaan negara tentu menjadi lebih kacau dan sengsara.”

Sekarang yakinlah Sinshe Phang bahwa tidak mungkin orang dengan pendirian seperti gubernur ini dapat ditarik menjadi sekutu. Bahkan berbahaya sekali untuk membocorkan rahasianya kepada seorang seperti gubernur ini. Bagaimana pun juga, dia harus dapat menarik keuntungan dalam perjumpaannya dengan Gubernur Yung Hwa supaya tidak percuma semua jerih payah yang telah diperhitungkan dan direncanakannya.

“Bagaimana pun juga, hamba sendiri tidak pernah mau melibatkan diri dalam urusan negara. Hamba adalah seorang rakyat dan hamba paling suka merantau sampai ke daerah yang terpencil. Dapat berhubungan dengan rakyat jelata, dari yang paling tinggi kedudukannya sampai yang paling rendah, melalui pengobatan dan hiburan permainan sulap, hamba sudah merasa cukup puas.”

“Sinshe adalah seorang yang bijaksana dan dapat menolong orang-orang lain, sungguh kehidupan itu dapat mendatangkan kebahagiaan dan panjang usia. Kami mengharap agar engkau dapat lama-lama tinggal di kota ini dan silakan menempati gedung kami dan sinshe akan kami anggap sebagai tamu terhormat.”

Sinshe Phang bangkit berdiri dan menjura dengan hormat. “Taijin sudah melimpahkan kebaikan kepada hamba, mana hamba berani mengganggu lebih lama lagi? Hamba telah mempunyai rencana, yaitu besok pagi hamba dan cucu hamba akan melanjutkan perjalanan hamba dalam perantauan ini.”

Gubernur itu nampak kecewa. “Ahh, mengapa begitu tergesa-gesa?”

“Hamba tanggung bahwa toanio sudah sembuh sama sekali dan peningnya tidak akan dapat kambuh kembali. Hamba memang sudah merencanakan untuk pesiar merantau ke Bhutan....” Dia menghentikan kata-katanya dan dengan cermat memandang wajah gubernur itu, walau pun nampaknya seperti sambil lalu. Dan dengan girang dia melihat betapa wajah itu berseri.

“Ke Bhutan....? Ahh, apakah sinshe mempunyai keperluan di negara yang jauh itu?”
“Hamba pernah mengenal seorang pertapa yang hamba jumpai di daerah Himalaya dan dia pun seorang ahli pengobatan yang kini kabarnya tinggal di Bhutan. Selain menemui sahabat itu, juga hamba telah lama sekali mendengar akan kemakmuran dan keindahan negara Bhutan dan ingin sekali melihatnya. Hanya satu hal yang hamba khawatirkan.”

“Apakah itu, Phang-sinshe?”
“Hamba adalah seorang asing di Bhutan, selain sahabat itu tidak mempunyai kenalan. Sebelum hamba berhasil bertemu dengan sahabat itu, hamba khawatir kalau-kalau dicurigai dan akan menemui halangan di negara asing itu.”

“Ahhh, jangan khawatir, Phang-sinshe! Aku mengenal baik seorang yang mempunyai pengaruh dan kekuasaan besar di sana dan kalau engkau membawa surat dariku, aku tanggung takkan ada yang mengganggumu di Bhutan sana.”

Bukan main girangnya hati kakek itu. “Terima kasih banyak atas kebaikan hati taijin.”

Gubernur itu lalu membuat sehelai surat pernyataan di mana dikatakannya bahwa Sinshe Phang adalah seorang sahabat baiknya dan para pejabat setempat diminta untuk membantunya dalam segala hal. Surat itu ditanda tanganinya dan dibubuhi cap kebesarannya.

Setelah berhasil memperoleh surat yang amat berguna baginya ini, dan diberi bekal pula sekantung emas, pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali berangkatlah Sinshe Phang dan Ceng Liong bersama gerobak kuda mereka. Kui Lan sendiri mengantar keberangkatan itu sampai di pekarangan luar gedung gubernuran dan anak perempuan itu menangis ketika melihat Ceng Liong menggerakkan kuda memberangkatkan kereta dan melambaikan tangan kepadanya…..

********************
Selanjutnya baca
KISAH PARA PENDEKAR PULAU ES : JILID-10
LihatTutupKomentar