Jodoh Rajawali Jilid 07


Biar pun yang mereka tumpangi hanya sebuah rakit yang terbuat dari kayu dan bambu yang diikat secara kasar dan tergesa-gesa, namun karena yang memegang dayung adalah Kian Lee dan Liang Wi Nikouw, maka rakit itu dapat meluncur cepat, memasuki sungai bersama dengan orang-orang lain yang berserabutan meloloskan diri dari ancaman air yang membanjiri lembah. Banyak perahu dan rakit yang bermacam-macam terapung di situ. Di depan rakit mereka meluncur perahu besar yang ditumpangi oleh rombongan Boan-wangwe yang memang menggunakan perahu besar yang oleh anak buahnya sudah dipersiapkan itu. Tentu saja dengan cara ‘membeli’ dari para anak buah Kui-liong-pang. Dalam keadaan ribut-ribut itu pun pengaruh dan kekuasaan uang masih nampak sehingga rombongan yang kaya raya ini masih mampu memperoleh perahu yang terbesar dan terbaik dengan cara menyogok bagian pengurus perahu-perahu dari Kui-liong-pang.
Tentu saja para tamu yang tidak pernah melihat dan mengenal Cui Lan dan Hok-taijin, tidak memperhatikan empat orang di atas rakit itu, yang mereka anggap juga tamu-tamu yang sama-sama melarikan diri.

“Minggir...!” Seruan yang keras sekali ini terdengar dari belakang rakit!

Suma Kian Lee, Liang Wi Nikouw, Cui Lan dan Hok-taijin terkejut dan memandang sebatang balok besar yang meluncur dengan cepatnya ke arah mereka dari belakang. Di atas balok besar ini duduk Toat-beng Sin-to Can Kok Ma, si perampok tunggal yang tinggi besar dan tangannya memegang sebatang golok besar yang menyeramkan oleh karena golok ini di dekat punggungnya mempunyai sembilan buah lubang sedangkan di gagang golok dipasangi tali panjang yang melibat-libat lengan kakek itu.

Melihat betapa balok yang ditumpanginya itu hampir menabrak rakit di depannya, si Golok Sakti ini cepat menggunakan kakinya mendorong rakit Kian Lee sehingga rakit itu menjadi miring hampir terbalik! Cui Lan menjerit dan Hok-taijin cepat memeluk gadis itu dan karena ini maka keduanya terguling-guling di atas permukaan rakit! Mereka tentu terlempar ke air kalau saja Kian Lee tidak cepat-cepat menggunakan tangan kanannya menepuk air sambil mengerahkan tenaga Hwi-yang Sin-kang yang sangat hebat. Air muncrat tinggi sekali dan rakit itu seperti terdorong oleh tenaga raksasa, menjadi tegak kembali sehingga Hok-taijin dan Cui Lan tidak jadi terlempar ke air karena mereka sudah berhasil berpegang pada bambu rakit.

Akan tetapi, air yang muncrat tadi mengenai beberapa orang anak buah Boan-wangwe yang mendayung perahu besar di depan. Mereka berteriak-teriak kaget dan kesakitan ketika air yang muncrat itu mengenai muka mereka karena terasa seperti jarum-jarum menusuk dan panas sekali! Marahlah beberapa orang itu dan seorang di antara mereka yang merupakan tukang pukul dari Boan-wangwe dan tentu saja memiliki kepandaian yang lumayan, memaki dan meloncat ke arah rakit di sebelah.

Akan tetapi pada saat itu nampak sinar hitam meluncur dan sinar seperti tali panjang itu mengenai kaki orang yang meloncat, terus membelit kaki itu dan ketika benda panjang hitam itu bergerak, tubuh orang itu terlempar kembali ke atas papan perahu besar di mana dia bengong terlongong memandang gadis berpakaian hitam yang berada di atas sebuah perahu kecil dan gadis itu menyimpan kembali ular panjang yang melingkar di lengannya. Orang tadi terlalu kaget, terlalu ngeri karena tahu bahwa dia tadi sudah dilemparkan kembali oleh gadis itu dengan menggunakan ular panjang yang sangat mengerikan itu!

Sebelum orang-orangnya Boan-wangwe dapat melampiaskan kemarahan mereka, rakit Kian Lee sudah meluncur melewati perahu besar itu, dan ketika Kian Lee memandang, dia melihat gadis berpakaian hitam yang dia ingat bukan lain adalah Hwee Li, sedang tersenyum kepadanya. Kian Lee mengangguk untuk menyatakan terima kasihnya dan mempercepat dayungnya sehingga rakit itu meluncur cepat meninggal perahu besar di mana orang-orangnya Boan-wangwe masih memandang marah. Akan tetapi tetap saja dia tidak dapat menyamai kecepatan perahu Hwee Li yang meluncur seperti terbang di permukaan air sungai dan sebentar saja sudah lenyap jauh di depan.

Ketika Kian Lee melihat bahwa perahu besar milik Boan-wangwe itu kini juga melaju pesat dengan menambah barisan pendayung, dia cepat-cepat meminggirkan rakitnya sampai jauh agar perahu besar itu lewat lebih dulu karena dia tidak ingin ribut-ribut di situ, apa lagi tanpa sebab-sebab yang patut diributkan. Yang penting baginya adalah menyelamatkan Cui Lan dan Hok-taijin dan kini mereka sudah berhasil diselamatkan, maka dia tidak boleh mencari perkara lagi sebelum kedua orang ini dapat dia antarkan sampai ke daerah Ho-pei.

Mereka menumpang di atas rakit sejak semalam sampai pada keesokan harinya dan baru setelah menjelang sore, Kian Lee menghentikan rakitnya di sebuah dusun nelayan di tepi sungai. Mereka lalu mendarat dan mencari sebuah warung nasi untuk mengisi perut karena mereka berempat sudah merasa lapar sekali.

Mereka memasuki sebuah warung yang cukup besar, akan tetapi keadaan di warung itu sunyi sekali, padahal dusun itu cukup ramai karena merupakan pasar ikan. Setelah mengambil tempat duduk dan memesan makanan, dan tentu saja masakan sayur tanpa daging untuk Liang Wi Nikouw, Kian Lee kemudian melepaskan pandang matanya ke sekelilingnya dan baru dia melihat bahwa tempat itu baru saja mengalami keributan. Masih banyak meja kursi yang patah-patah ditumpuk di pinggir, juga mangkok piring yang pecah. Teman-temannya juga melihat ini dan mereka menduga-duga apa yang telah terjadi di warung ini.

Ketika pelayan datang mengantar makanan yang mereka pesan, Kian Lee bertanya, “Ehh, Lopek, apakah yang sudah terjadi maka banyak meja kursi hancur dan mangkok piring pecah-pecah?” Dia menuding ke arah tumpukan barang-barang rusak itu.

“Aihhh, kami telah mengalami hari sial kemarin, Kongcu,” kata pelayan itu. “Tidak saja barang-barang rusak, akan tetapi sejak peristiwa yang terjadi kemarin itu, warung kami menjadi sepi karena tidak ada orang berani makan di sini. Baru Kongcu berempat saja yang berani makan di sini dan itulah rejeki kami.”
“Ehh, apakah yang terjadi?” Kian Lee makin tertarik.

“Kemarin seperti biasa, orang-orang dari Boan-wangwe yang biasa mengumpulkan hasil ikan di dusun ini, sebanyak sepuluh orang, makan di sini. Mereka itu memang orang orang kasar, namun Boan-wangwe selalu membayar apa yang mereka makan, maka kami pun melayani dengan senang hati. Mendadak masuk pula serombongan tentara yang jumlahnya belasan orang. Tentu saja kami makin sibuk dan kekurangan tenaga, jadi untuk melayani terlalu lama. Kedua rombongan itu berebut minta didahulukan dan terjadilah pertempuran di sini antara mereka. Wah, bukan main ramainya sampai meja kursi hancur dan mangkok piring beterbangan dan pecah-pecah. Akhirnya pihak tentara itu mengundurkan diri dan pergi. Kami tentu akan mohon kebijaksanaan Boan-wangwe untuk mengganti kerugian kami, akan tetapi ternyata Boan-wangwe sedang pergi entah ke mana.”

Hok-taijin tentu saja tertarik sekali mendengar adanya sepasukan tentara. Tentara siapakah itu? Kalau tentara dari Gubernur Ho-nan, berarti dia masih dikejar-kejar dan dicari-cari sampai di sini.

“Tahukah engkau tentara dari propinsi mana mereka itu?” tanyanya kepada si pelayan.
“Mana saya tahu? Tentu saja tentara pemerintah, entah dari propinsi mana.”
“Apakah pihak tentara itu kalah?” Kian Lee bertanya lagi karena dia tahu bahwa orang orang dari Boan-wangwe seperti mereka yang berada di atas perahu besar semalam, adalah orang-orang yang pandai ilmu silat.

“Sebetulnya sih masih ramai, entah pihak mana yang menang atau kalah karena kami hanya berani menonton sambil bersembunyi. Tentu akan terjadi hal-hal mengerikan dan tentu akan banyak yang mati karena mereka mulai mengeluarkan senjata tajam masing masing. Baiknya ketika mereka sudah mulai menggerakkan senjata, muncul seorang pendekar yang melerai. Bukan main pendekar ini, tubuhnya terbang seperti burung dan semua senjata itu dirampasnya! Sambil bergerak merampas senjata dia berseru agar mereka menghentikan pertempuran. Dia hanya datang, bergerak merampas senjata, lalu pergi lagi, menghilang begitu saja sehingga kami tidak lagi dapat atau sempat melihat mukanya. Yang tampak hanya rambutnya yang sudah putih semua, padahal dia masih muda dan...”

“Siluman Kecil!” Cui Lan menjerit tanpa disadarinya dan dia lalu bangkit berdiri sampai sepasang sumpitnya terjatuh ke atas lantai.
“Benar...!” kata Liang Wi Nikouw sambil memandang Cui Lan.

Gadis ini segera sadar kembali dan menjadi tersipu-sipu, cepat dia mengambil kembali sepasang sumpitnya sambil membungkuk dan pada saat dia membersihkan sepasang sumpit itu, mukanya menjadi merah sekali.

“Munculnya pendekar itu menghentikan pertempuran dan para prajurit itu lalu pergi, demikian pula orang-orangnya Boan-wangwe tidak berani melanjutkan pertempuran setelah melihat betapa senjata-senjata mereka demikian mudahnya dirampas pendekar itu. Sedangkan para prajurit itu menurut kabar bermalam di dusun ini dan heiii…, itulah mereka! Mereka datang lagi ke sini...!” Pelayan itu cepat pergi meninggalkan tamunya untuk masuk ke dalam dan melaporkan kepada majikannya tentang kedatangan para prajurit yang kemarin itu.

Ia tidak tahu bahwa empat orang tamunya itu pun terkejut sekali dan Kian Lee bersama Liang Wi Nikouw sudah bersiap-siap untuk melawan kalau pasukan itu ternyata anak buah Gubernur Ho-nan. Akan tetapi ketika rombongan itu sudah memasuki warung dan dipimpin oleh seorang perwira yang sudah setengah tua, tiba-tiba Hok-taijin berseru girang.

“Ciangkun, ke sinilah!” teriaknya kepada perwira itu.

Perwira setengah tua itu terkejut, lalu menoleh dan sejenak dia memandang kepada Hok-taijin dengan melongo. Akan tetapi akhirnya dia pun mengenal gubernurnya dan cepat dia maju berlutut sambil memberi hormat. “Ah, Taijin! Siapa kira hamba dapat bertemu dengan Taijin di sini!” serunya dengan girang. Semua anak buahnya ketika mengenal pula bahwa kakek berpakaian petani yang berdiri di depan mereka itu bukan lain adalah Hok-taijin, segera berlutut pula memberi hormat.

Perwira itu dipersilakan duduk dan dia bercerita bahwa pasukannya mendapat perintah dari atasannya untuk mencari-cari Gubernur Hok yang kabarnya lenyap saat mengiringi Pangeran Yung Hwa sebagai utusan kaisar ke Propinsi Ho-nan.

“Semua pasukan disebar, akan tetapi tidak juga berhasil,” perwira itu berkata. “Siapa tahu, di tempat yang tak kami sangka-sangka sama sekali ini, hamba berjumpa dengan Taijin.” Perwira itu berhenti sebentar untuk menenangkan jantungnya yang berdebar penuh ketegangan setelah dia bertemu dengan gubernur yang dicari-carinya dengan susah payah itu. “Marilah Taijin, hamba antar Taijin kembali pulang. Apakah Taijin ingin naik kereta, ataukah kuda?”

“Cui Lan, apakah engkau biasa menunggang kuda? Kalau tidak biasa, biar kita naik kereta saja,” tanya Hok-taijin kepada Cui Lan.

Gadis itu tadinya melamun, karena pikirannya masih tertarik oleh berita tentang Siluman Kecil yang muncul di dusun ini. Betapa inginnya dia berjumpa dengan pendekar yang amat dipujanya itu. Alangkah besar rasa rindu di hatinya ingin memandang wajahnya, mendengar suaranya, merasakan sinar matanya yang aneh tapi lembut.

“Ehh... saya... hemmm, saya pun biasa naik kuda...,“ jawabnya gagap.
“Bagaimana pula kabarnya dengan Pangeran Yung Hwa, Ciangkun?” Suma Kian Lee bertanya.

Perwira itu memandang kepada Hok-taijin dan pembesar ini mengangguk.

“Kau boleh menceritakan apa pun juga kepada Suma-taihiap ini,” katanya. “Kalau tidak ada dia dan nona ini dan juga nikouw ini, kiranya engkau hanya dapat menemukan mayatku.”

Perwira itu terkejut dan cepat memberi hormat kepada mereka bertiga, kemudian menjawab kepada Kian Lee, “Kami tidak mendengar berita tentang Pangeran Yung Hwa. Tidak ada kabar apa-apa dan kami tidak ada yang berani melapor ke kota raja sebelum gubernur pulang.”

Kian Lee kemudian berkata kepada gubernur itu, “Hok-taijin, kalau begitu sungguh mengkhawatirkan sekali keadaan Pangeran Yung Hwa. Sekarang, Taijin telah bertemu dengan pasukan Taijin, maka kiranya tidak perlu lagi saya mengantar sampai ke ibu kota. Tentu daerah ini termasuk Propinsi Ho-pei dan Taijin telah berada di daerah sendiri. Biarlah Taijin dan Nona Phang dikawal oleh pasukan, sedangkan saya sendiri hendak menyelidiki keadaan Pangeran Yung Hwa...“

Pada saat itu, Kian Lee memandang kepada Cui Lan dan kebetulan sekali gadis ini pun memandang kepadanya. Dua pasang mata bertemu, bertaut sebentar dan Kian Lee melihat dengan jelas betapa gadis itu merasa amat berat untuk berpisah, agaknya tidak senang untuk ikut bersama pembesar itu ke istana gubernur. Mengapa? Dia merasa heran sendiri. Betapa pun juga, dia merasa amat suka dan kagum kepada gadis ini, dan tentu saja rasa suka ini membuat dia pun merasa tidak senang untuk saling berpisah. Akan tetapi, tidak mungkin mereka akan terus berkumpul. Tak mungkin! Dia tidak tahu bahwa memang Cui Lan sebetulnya ingin terus bersama dengan dia untuk mencari Siluman Kecil.

“Benar, dan pinni pun harus kembali,” kata Liang Wi Nikouw.
“Suthai...,“ Cui Lan berkata akan tetapi ditahannya.

Nikouw yang sudah tua dan bijaksana ini dapat menangkap apa yang terkandung dalam hati gadis itu, maka dengan tenang dia berkata, “Tentunya engkau ingin agar pinni menyampaikan kepada dia bahwa engkau ikut bersama Hok-taijin ke Ho-pei, Nona?”

Kedua pipi gadis itu menjadi merah dan matanya menjadi basah. Dia mengangguk dan menggumam, “Terima kasih, Suthai... “

Suma Kian Lee dan Liang Wi Nikouw lalu berpamit dan segera mereka berpisah dan meninggalkan tempat itu, dlikuti pandang mata Hok-taijin dan Cui Lan.

“Suma-taihiap!” Tiba-tiba kakek itu berseru memanggil.

Kian Lee cepat membalik dan menghampiri kakek itu yang sudah bangkit. “Ada pesan apa yang hendak disampaikan oleh Taijin?”

Hok-taijin melangkah maju dan memegang tangan pemuda itu. “Suma-taihiap, betapa besar aku hutang budi kepadamu! Betapa inginku untuk membalas segala kebaikanmu itu. Sudikah engkau datang ke rumah kami dan menjadi tamuku yang terhormat agar kami dapat menyatakan terima kasih kami kepadamu?”

Kian Lee tersenyum. Dia tahu bahwa pembesar ini, adalah seorang tua yang baik budi. “Baiklah, Taijin. Kelak, jika sudah tidak terlalu banyak urusan yang harus kuselesaikan, saya pasti akan berkunjung kepada Taijin.”

Mereka pun berpisah dan Hok-taijin lalu dikawal oleh para prajuritnya, bersama Cui Lan pergi ke rumah penginapan untuk bermalam di situ semalam sambil membuat segala persiapan. Pembesar yang bijaksana ini melihat bahwa jumlah prajurit pengawal itu hanya dua puluh orang, maka dia mengambil keputusan untuk tetap menyamar sebagai seorang petani.

Pada esok harinya, Hok-taijin dan pengawalnya melanjutkan perjalanan. Rombongan ini bergerak perlahan dan belum lama mereka meninggalkan kota, mereka mendengar derap kaki banyak kuda lari dari arah belakang. Perwira pengawal memberi aba-aba agar pasukannya berhenti dan menepi, membiarkan belasan orang berkuda itu lewat.

Cui Lan melihat bahwa belasan orang yang berpakaian sebagai pendekar itu tergesa gesa lewat sehingga kuda mereka menimbulkan debu yang mengebul tinggi. Cui Lan memandang kagum. Sudah banyak ia bertemu orang-orang gagah, pendekar-pendekar budiman. Sudah banyak ia menerima pertolongan para pendekar, terutama sekali dari Kian Lee yang dianggapnya seorang pemuda yang amat baiknya, paling baik di dunia ini sesudah Siluman Kecil tentunya! Dan karena dia merasa betapa setiap langkah kuda yang ditungganginya itu makin menjauhkan dia dari dusun di mana Siluman Kecil pernah muncul, hatinya merasa sedih.

Tak lama kemudian, kembali terdengar derap kaki kuda dari belakang. Ketika mereka menoleh, kelihatan tiga ekor kuda membalap dari belakang. Perwira itu menyerukan aba-aba agar semua kuda berhenti karena jalan itu sempit, agar tiga orang yang datang membalapkan kuda itu dapat lewat lebih dulu. Mereka berhenti dan memandang tiga orang penunggang kuda yang bertubuh tegap itu. Kuda terdepan ditunggangi oleh seorang laki-laki tinggi besar yang memboncengkan seorang anak laki-laki di depannya.

“Heiiiii... Enci Lan...!!” Tiba-tiba anak itu berseru.

Tiga orang penunggang kuda itu menoleh dan mereka pun melihat Cui Lan, lalu mereka menahan kuda mereka.

“Ahhh, kiranya engkau, Hong Bu...!” Cui Lan berseru girang sekali dan cepat dia turun dari kudanya. Tiga orang laki-laki itu bukan lain adalah Sim Hoat, Sim Tek, dan Sim Kun, tiga orang pemburu di tengah hutan yang pernah menolong Cui Lan, dan anak itu adalah Sim Hong Bu, putera dari Sim Hoat.

“Sam-wi Twako, kalian baik-baik saja?” Cui Lan menegur dan tiga orang itu menjura kepada Cui Lan, juga kepada Hok-taijin yang mereka tahu adalah seorang sahabat dari nona ini. Mereka menghormati Cui Lan yang mereka anggap sebagai sahabat baik dari Siluman Kecil.
“Terima kasih, Nona,” jawab Sim Kun, saudara termuda yang paling ramah dan pandai bicara dibandingkan dengan dua orang kakaknya yang kasar dan kaku.

“Eh, kalian hendak ke manakah? Kelihatan tergesa-gesa amat. Dan siapa pula mereka yang tadi melewati kami? Ada belasan orang berkuda yang juga kelihatan tergesa-gesa melewati kami menuju ke depan,” Cui Lan bertanya.

Mendengar ini, Sim Hoat tertawa girang. “Ha-ha-ha, kiranya saudara-saudara kita pun sudah berangkat!” katanya kepada dua orang adiknya yang juga kelihatan gembira.

“Sebetulnya ada urusan apakah?” Cui Lan bertanya lagi, penuh perhatian tentu saja karena orang-orang ini termasuk sahabat-sahabat dari Siluman Kecil dan dia justeru mengharapkan berita dari Siluman Kecil!

Kini Hok-taijin juga sudah turun dari kudanya dan ikut mendengarkan, sedangkan para prajurit tetap menanti di atas kuda sambil berjaga-jaga karena mereka itu betapa pun juga merasa curiga pada tiga orang yang kelihatannya kasar-kasar seperti gerombolan perampok itu. Heran sekali mereka melihat gubernur mereka dan gadis yang cantik itu dan yang diperkenalkan oleh sang gubernur sebagai anak angkatnya kelihatan begitu bebas bergaul dengan segala macam orang kasar seperti tiga orang penunggang kuda itu.

“Kami hendak membantu penolong kami, Pendekar Siluman Kecil.”
“Ehhhhh...?” Cui Lan berseri wajahnya dan dia maju selangkah. “Apa yang terjadi?” tanyanya penuh gairah.
“Kami hanya mengetahui urusan itu sebagai kabar angin saja, akan tetapi bagaimana pun juga, kami ingin membantu beliau,” kata Sim Kun. “Entah benar entah tidak kabar angin itu, kami pun tidak tahu.”

“Ceritakanlah, kami ingin sekali mendengarnya, bukan Gihu?” Cui Lan menoleh kepada ayah angkatnya dengan sinar mata penuh permohonan. Kakek itu mengangguk. Betapa pun juga, ketika dikejar oleh tentara Ho-nan, dia dan Cui Lan telah ditolong oleh para pemburu ini pun berkat nama Siluman Kecil, pikirnya.

“Menurut kabar angin di antara kawan-kawan yang seperti semacam dongeng tentang diri Siluman Kecil, kurang lebih lima tahun yang lalu, di dalam pengembaraannya beliau bertemu dengan musuh yang amat sakti yang tinggal mengasingkan diri di atas bukit di depan sana. Orang sakti itu tinggal bersama murid-muridnya dan pelayan-pelayannya yang kesemuanya juga lihai-lihai sekali. Dan menurut dongeng itu, kabarnya orang sakti ini adalah pewaris dari ilmu-ilmu pendekar sakti Suling Emas ratusan tahun yang lalu. Entah apa sebabnya, lima tahun yang lalu telah terjadi pertandingan antara Pendekar Siluman Kecil dan orang sakti itu, dan kabarnya beliau terluka parah oleh suling sakti dari lawan itu dan hampir saja beliau tewas. Akan tetapi beliau dapat diselamatkan dan diobati oleh seorang pendeta wanita, dan biar pun dapat sembuh, namun luka-luka hebat itu membuat rambut beliau menjadi putih semua! Nah, kabarnya beliau membuat perjanjian dengan orang sakti itu untuk saling mengadu ilmu lagi lima tahun kemudian dan hari ini adalah hari perjanjian itu. Kami yang berhutang budi kepada Pendekar Siluman Kecil, tidak dapat berdiam diri saja dan kami semua beramai-ramai pergi ke tempat itu untuk membantu beliau.”

Setelah selesai bercerita, cerita yang seperti dongeng dan yang hanya mereka dengar sepotong-sepotong itu, mendadak hati Cui Lan ingin sekali ikut bersama mereka untuk menyaksikan pertandingan itu, atau sesungguhnya lebih tepat lagi kalau dikatakan bahwa ia ingin pergi untuk menjumpai orang yang dipujanya itu. Akan tetapi tentu saja dia tidak berani dan malu untuk menyatakan hal ini kepada ayah angkatnya. Maka ketika tiga orang bersama anak laki-laki itu berpamitan untuk melanjutkan perjalanan mereka, Cui Lan melangkah maju beberapa tindak mengikuti mereka sampai ke tempat mereka menambatkan kuda mereka. Air matanya membasahi bulu matanya ketika dia mendengar mereka berpamit lagi dan melompat ke atas kuda mereka.

“Selamat tinggal, Enci Cui Lan!” terdengar Hong Bu berteriak.

Cui Lan yang tadinya menunduk untuk menyembunyikan air matanya, kini berdongak mendengar seruan suara Hong Bu. Terkejutlah dia ketika pandang matanya bertemu dengan pandang mata Sim Kun yang ternyata masih berada di situ dan memandangnya dengan sinar mata aneh, lembut, hangat dan mesra! Cui Lan terkejut dan gugup, cepat dia membalikkan tubuhnya dan dia mendengar Sim Kun berkata, “Selamat berpisah, sampai jumpa kembali!” lalu terdengar derap kaki kuda dilarikan cepat ke depan.

Mereka melanjutkan perjalanan dan Cui Lan kelihatan termenung. Melihat ini, Hok-taijin bertanya, “Anakku, kenapa kau kelihatan diam? Apakah engkau masih terkesan oleh cerita tadi?”

Memperoleh kesempatan itu Cui Lan lalu berkata, “Benar sekali, Gihu. Gihu tentu tahu mengapa orang-orang kasar itu sampai begitu setia, mereka semua telah berhutang budi kepada Pendekar Siluman Kecil. Saya pun hutang nyawa kepadanya, bahkan lebih dari itu, dan mendengar dia hendak bertanding melawan orang sakti, saya… saya ingin sekali menonton, Gihu.”

Hok-taijin mengerutkan alisnya. “Hemmm, berbahaya sekali, Cui Lan. Orang-orang yang tidak mempunyai kepandaian silat seperti kita ini, apa gunanya bagi dia? Tidak dapat membantu seperti para pemburu itu, bahkan kita dapat terancam bahaya maut. Jangan kau khawatir, kalau kita sudah tiba di rumah, aku akan mengirim utusan mengundang Pendekar Siluman Kecil dengan hormat agar sudi berkunjung ke rumah kita.”

Terhibur juga hati Cui Lan mendengar janji ini, sungguh pun hatinya masih ingin sekali untuk pergi ke bukit itu. Akan tetapi, selain tidak berani memaksa, juga dia merasa malu terhadap ayah angkatnya dan para prajurit, maka dia melanjutkan perjalanan itu dengan diam saja dan termenung.

Lewat tengah hari, udara panas sekali dan Hok-taijin mengajak mereka beristirahat di sebuah lapangan terbuka dekat hutan di kaki bukit yang penuh dengan hutan-hutan besar. Perwira itu lalu mengeluarkan perbekalan dan Hok-taijin dan Cui Lan lalu makan. Lezat bukan main makan di tempat terbuka itu, sungguh pun yang dimakan hanya roti kering dan daging panggang dibantu oleh air jernih. Setelah keduanya selesai makan, Hok-taijin memberi kesempatan kepada para pengawalnya untuk makan pula. Kakek ini duduk bersandar pohon dan segera terasa kantuk datang menyerangnya ketika tubuh lelah dan perut kenyang itu dihembus angin sejuk.

Cui Lan berjalan-jalan di sekitar tempat itu mencari kembang. Mendadak dia mendengar suara orang bersenandung, suara yang amat merdu dan gembira. Ketika dia menuju ke tempat itu, dia melihat seorang gadis yang cantik sekali, berpakaian serba hitam dan ringkas, pakaian yang ketat sehingga memperlihatkan bentuk tubuhnya yang padat dan indah, sedang rebah terlentang di antara rumput-rumput hijau sambil bersenandung.

Cui Lan ingin segera pergi lagi karena dia tidak ingin mengganggu orang yang sedang beristirahat dengan enaknya itu, akan tetapi tiba-tiba ada sinar hitam menyambar di dekat kakinya. Ketika dia melihat ke bawah, hampir dia menjerit karena ternyata bahwa sinar hitam itu adalah seekor ular yang hitam panjang dan yang kini berada di depan kakinya dengan kepala yang terangkat dan bergoyang-goyang seperti menari-nari, atau seperti memberi isyarat kepadanya agar jangan pergi!

Cui Lan memandang dengan muka pucat, akan tetapi memang pada dasarnya gadis ini seorang yang tabah. Dia tidak jadi menjerit dan perlahan-lahan dia menggeser kakinya untuk menjauhi.

“Hi-hik, si Hek-coa (Ular Hitam) itu suka kepadamu dan dia ingin agar kau duduk di sini bercakap-cakap dengan aku!”

Cui Lan cepat menoleh dan dia melihat gadis berpakaian hitam tadi sudah duduk dan tersenyum. Bukan main cantiknya! Baru sekarang dia dapat melihat betapa gadis itu mempunyai kecantikan yang luar biasa, cantik jelita dan manis sekali, apa lagi kini sedang tersenyum. Dia memandang kagum dan melihat gadis berpakaian hitam dan ular yang kini melilit lengan gadis itu, teringatlah dia akan gadis di dalam perahu yang telah melempar kembali orang dari perahu besar yang meloncat ke rakit mereka.

“Kau... bukankah kau gadis dalam perahu...“

Gadis itu memang Hwee Li adanya. Dia mengangguk dan menepuk rumput di dekatnya. “Duduklah di sini, enak, lunak seperti duduk di kasur saja. Jangan takut, ularku ini tidak jahat. Aku melihat engkau bersama rombongan prajurit dan si orang tua, akan tetapi mana pemuda yang bersamamu di perahu itu?”

“Ah, dia telah pergi...“ Cui Lan menahan kata-katanya karena dia tidak hendak bercerita tentang urusan Pangeran Yung Hwa kepada seorang asing. Lalu cepat disambungnya dengan pertanyaan, “Engkau siapakah? Aneh sekali ada seorang gadis cantik seperti engkau bermain-main dengan seekor ular seperti itu.”
“Seekor? Ada dua! Lihat di atasmu!”

Cui Lan mengangkat mukanya dan dia menahan jeritnya ketika melihat seekor ular yang amat panjang, bergantung di cabang pohon dengan ekornya dan kini kepala ular itu dekat sekali di atas kepalanya! Bahkan lidah yang merah itu hampir saja menjilat-jilat dahinya!

Hwee Li tertawa dan dengan gerakan tangan dia membuat ular itu menarik diri lagi ke atas cabang dan ular yang di lengannya itu pun dia suruh pergi merayap naik ke atas pohon, berkumpul dengan temannya.

“Namaku Kim Hwee Li. Kau juga cantik manis, siapa namamu, Enci?”
“Namaku Phang Cui Lan.” Cui Lan merasa suka kepada gadis itu dan duduk di atas rumput. Memang enak sekali duduk di situ, rumputnya tebal dan lunak seperti kasur dan tempat itu sejuk di bawah pohon besar. “Hwee Li nama yang indah sekali. Mengapa kau berada di sini seorang diri saja, Hwee Li? Seorang gadis seperti engkau seorang diri saja, sungguh aneh.”

“Apa anehnya? Memang aku hanya sendiri saja di dunia ini, eh, tidak sendiri, melainkan bertiga dengan sepasang ular hitamku itu. Aku ingin nonton keramaian di bukit sana.”

Cui Lan terkejut dan memandang dengan mata terbelalak. “Apakah kau maksudkan... keramaian... pertandingan antara Pendekar Siluman Kecil dengan orang sakti...?”

Kini Hwee Li yang terkejut. “Apa? Kau tahu pula tentang itu? Kau kenal Siluman Kecil?”

Cui Lan mengangguk. “Tentu saja aku mengenalnya,” dan pandang matanya sekarang merenung, membayangkan pendekar itu.

“Benarkah? Hebat! Namanya sudah tersohor di seluruh daerah ini, dan kau seorang gadis yang lemah telah mengenalnya! Kau lebih aneh dari aku, Cui Lan! Kau seorang lemah akan tetapi kenalanmu pemuda-pemuda hebat! Baru yang di perahu itu saja sudah hebat, sekarang kau bilang kenal dengan Siluman Kecil! Kau benar-benar membuat aku merasa iri.”

Terpaksa Cui Lan tersenyum mendengar ini. Gadis ini sikapnya seperti telah menjadi sahabatnya selama bertahun-tahun saja, demikian ramah dan akrab. Seketika timbul rasa sayang di dalam hatinya. “Ahh, Hwee Li, seorang gadis seperti engkau ini, yang cantik seperti Dewi Kwan Im, apa sih sukarnya kalau hendak berkenalan dengan pemuda-pemuda yang paling hebat di dunia ini?”

“Benarkah? Ehh, orang macam apa sih sebetulnya Siluman Kecil itu?”
“Orang macam apa...?” Cui Lan menengadah dan memejamkan matanya. Terbayang wajah pemuda pendekar itu dan dia menarik napas. “Orang yang hebat...! Seorang pendekar yang masih amat muda, akan tetapi rambutnya telah putih semua, seperti benang-benang perak halus mengkilap...“

“Hemmm, kau makin menambah keinginanku untuk nonton pertandingan itu. Kabarnya malam ini Siluman Kecil akan muncul dan melawan Sin-siauw Sengjin di puncak bukit itu.”

“Sin-siauw Sengjin? Siapakah dia?”
“Seorang tokoh yang maha sakti. Seorang yang terasing akan tetapi seluruh tokoh dunia kang-ouw tidak ada yang berani mengganggunya, dan kabarnya dia hidup seperti dewa. Hemmm, aku berani bertaruh potong leher...“

“Potong leher?” Cui Lan terkejut.
“Nanti dulu, belum habis. Leher ayam maksudku! Siluman Kecil sekali ini tentu akan jatuh namanya. Mana mungkin dia bisa menang? Hi-hi-hik, kedua ekor ularku ini paling suka minum darah, apa lagi kalau darah orang sakti seperti Siluman Kecil itu. Hemmm, mereka tentu akan senang sekali.”

Pucat wajah Cui Lan. “Apa... apa... maksudmu...?”

“Hi-hik, pandang matamu begitu ketakutan dan ngeri seperti seekor kelinci. Ah, memang matamu indah sekali, Cui Lan, seperti mata kelinci! Jangan khawatir, aku tidak akan mencampuri urusan mereka, akan tetapi aku tahu bahwa pasti Siluman Kecil akan tewas dan ular-ularku akan menikmati darahnya kalau dia sudah roboh.”

“Ihh... kau... kau kejam sekali!” Cui Lan bangkit berdiri, sepasang matanya menyinarkan api dan kedua pipinya merah, telunjuknya menuding ke arah muka Hwee Li. “Kau sungguh kejam, dan aku... aku akan menggunakan batu menghancurkan kepala dua ekor ular-ularmu kalau mereka berani melakukan hal itu!”

“Ehhh...?” Hwee Li memandang dengan mata terbelalak. “Wahh...! Kau cinta padanya, hi-hi-hik! Kau cinta padanya!”
Lemas lagi rasa tubuh Cui Lan dan dia menjatuhkan diri di atas rumput. Dia kemudian mengangguk. “Aku memang cinta padanya...“
“Kalau begitu, mengapa tidak nonton bersama aku? Dengan adanya kekasihnya di sana, hal itu akan membesarkan hatinya!”

“Aku bukan kekasihnya, jangan bicara seperti itu, Hwee Li.”
“Ihhh? Bagaimana sih kau ini? Baru saja kau mengaku cinta padanya dan kau tidak mau kusebut kekasihnya?”

“Aku cinta padanya, memang, dengan sepenuh jiwa ragaku. Akan tetapi apakah dia cinta padaku... hemmm, hal itu aku... aku tidak tahu...“
“Hi-hik, jangan khawatir. Laki-laki mana yang tidak akan membalas cinta seorang dara seperti engkau? Dia pasti cinta padamu. Pasti! Mari kau ikut aku nonton ke sana, Cui Lan.”

Cui Lan menengok ke arah rombongan ayah angkatnya. Agaknya mereka sudah mulai berkemas dan ayahnya sudah bangkit berdiri.

“Aku... aku tidak bisa, di sana ada ayah angkatku... aku harus pergi bersama mereka.”
“Huh, betapa tidak enaknya hidup seperti engkau ini. Hati ingin nonton ke gunung, akan tetapi kenyataannya terpaksa harus pergi. Kau seperti burung dalam sangkar saja. Dan kau gadis yang memiliki keberanian hebat sungguh pun kau lemah.”

“Aku ingin sekali, akan tetapi mereka tentu melarang dan kita tidak bisa memaksa.”

“Siapa bilang? Baru dua puluh orang prajurit macam itu, biar ditambah dua puluh lagi masih belum cukup untuk melawan aku!”

“Ah, aku tidak ingin kau bertempur dengan mereka. Orang tua itu adalah ayah angkatku yang amat baik.”
“Kalau begitu tidak perlu bertempur. Aku dapat melarikan engkau dari sini tanpa dapat mereka kejar!”

“Benarkah? Akan tetapi aku harus berpamit! Aku tidak boleh menyusahkan hati ayah angkatku.”
“Nah, berpamitlah!” Hwee Li lalu menggerakkan tangan dan dua ekor ularnya meluncur turun ke arah kedua lengannya, terus melingkar di situ. Kemudian dia mengiringkan Cui Lan berjalan menghampiri rombongan itu.

Melihat Cui Lan datang bersama seorang dara cantik berpakaian hitam yang dikenalnya sebagai gadis yang membantu mereka di atas sungai, Hok-taijin memandang kagum, akan tetapi dia segera mengerutkan alisnya dan wajahnya berubah pucat ketika melihat dua ekor ular melingkar di kedua lengan yang putih mulus itu.

“Gihu, ini adalah Kim Hwee Li, seorang sahabat... dan dia... dia mengajak saya pergi nonton adu kepandaian di bukit. Gihu, perkenankanlah, dan jangan khawatlr, saya pasti akan menyusul Gihu... setelah selesai nonton...“

“Akan tetapi, Cui Lan...!” Hok-taijin berkata penuh keraguan.
“Mari kita pergi, Cui Lan!”

Tiba-tiba Cui Lan merasa pinggangnya dibelit sesuatu dan tubuhnya terbang ke atas! Ketika dia tidak melayang lagi, ternyata dia telah berada di atas cabang pohon, dirangkul oleh lengan Hwee Li dan ayah angkatnya bersama para prajurit berada jauh di bawah pohon besar itu!

“Pejamkan mata, kita pergi sekarang,” bisik Hwee Li.
“Gihu, maafkan, saya pergi dulu...!”

Cui Lan berseru ke bawah dan tiba-tiba tubuhnya melayang ke bawah, jauh dari situ dan selanjutnya dia seperti terbang di atas tanah bersama Hwee Li, pinggangnya dipeluk oleh gadis yang luar biasa itu. Angin yang bertiup kencang membuat kedua telinganya mendengar suara gemuruh dan Cui Lan merasa ngeri. Dia mendengar suara ayahnya lapat-lapat memanggil namanya, lalu tidak mendengar apa-apa lagi kecuali suara angin bertiup kencang dan pohon-pohon berlarian cepat di kanan kirinya. Dia memejamkan matanya.

Tidak lama kemudian dia mendengar suara Hwee Li, “Kita sudah jauh meninggalkan mereka. Nah, mari kita mendaki bukit itu.”

Cui Lan membuka mata. Kiranya mereka telah berada di kaki bukit, di antara banyak pohon-pohon liar dan dia menengok ke sana-sini, namun sama sekali tidak melihat lagi rombongan Gihu-nya, bahkan dia tidak mendengar suara mereka. Hanya suara burung yang berbondong-bondong terbang datang untuk berlindung di dalam pohon-pohon besar melewatkan malam, karena matahari telah condong ke barat.

Cui Lan memandang Hwee Li. “Engkau sungguh seorang gadis yang hebat, Hwee Li. Kiranya engkau juga seorang pendekar sakti.”

“Hi-hi-hik, enak juga dipuji orang seperti engkau. Tahukah engkau, Cui Lan, ketika aku memelukmu dan meraba tulang-tulangmu, aku mendapat kenyataan bahwa andai kata engkau mempelajari ilmu silat, agaknya engkau malah dapat mencapai tingkat yang lebih tinggi dari pada aku. Bakatmu baik dan nyalimu besar.”

Akan tetapi tentu saja Cui Lan menganggap kata-kata Hwee Li itu sebagai kelakar saja dan dia tidak ambil peduli. Mereka lalu melanjutkan perjalanan mendaki bukit itu. Cui Lan terheran-heran melihat betapa tempat ini sangat sunyi. Bukankah tadi terdapat banyak penungang kuda yang katanya juga menuju ke tempat ini? Akan tetapi mengapa di situ sunyi saja, tak pernah mereka bertemu dengan seorang manusia pun? Dengan hati-hati Hwee Li mengajaknya mendaki terus, berjalan di antara rumpun ilalang yang tinggi-tinggi, ada yang setinggi manusia.

“Hati-hati, Hwee Li...“ bisik Cui Lan.

Gadis ini maklum betapa berbahayanya tempat seperti itu. Jika ada orang atau harimau bersembunyi di dalam ilalang, tentu tidak kelihatan dan mereka itu dengan mudah dapat menerkam mangsa yang lewat.

“Hi-hik-hik, jangan khawatir, Cui Lan. Dua ekor ularku ini leblh tajam pendengarannya, penciumannya dan pandang matanya dari pada seekor anjing.”

Baru saja Hwee Li berkata demikian, salah seekor di antara dua ekor ular yang melilit di kedua lengan dara itu meluncur ke samping, memasuki rumpun ilalang dengan ekornya masih melilit lengan kiri Hwee Li. Tampak ilalang di sebelah itu bergerak-gerak keras dan terdengar suara menguik. Tidak lama kemudian, kepala ular itu sudah kembali dan moncongnya yang lebar telah menggigit seekor anak babi yang telah tewas.

“Hi-hik-hik, mengagetkan saja kau. Hayo lepas!” Hwee Li menggerakkan lengan kirinya dan ular itu melepaskan bangkai babi itu, lalu melingkar lagi di lengan Hwee Li.

Cui Lan bergidik ngeri. “Bagaimana kalau yang bersembunyi di situ tadi adalah seorang manusia?” bisiknya.

“Ularku tahu dengan nalurinya. Kalau manusia itu berniat busuk, tentu akan digigit dan dibunuhnya. Sekali gigitan saja membuat racun yang mematikan membunuh orang itu, akan tetapi kalau orang itu tidak mempunyai niat jahat, ular-ularku pun tidak akan mau sembarangan membunuh orang tanpa perintahku.”

Hari telah menjadi gelap ketika mereka tiba di puncak bukit. Akan tetapi bulan segera muncul dari balik bukit di sebelah timur dan sinarnya cukup menerangi tempat itu. Cui Lan dan Hwee Li duduk di atas batu dan memandang ke depan. Di puncak itu, di antara batu-batu gunung yang besar-besar, berdiri sebuah bangunan kuno yang kelihatan megah dan angker. Di sekeliling rumah itu sunyi saja, tidak terdengar apa-apa dan bahkan tak ada sedikit pun lampu penerangan, seolah-olah bangunan itu adalah sebuah rumah kuno yang kosong tidak dihuni orang.

“Agaknya kosong...,“ Cui Lan berkata.
“Sssttttt... mari kita mendekat dan setelah kita nanti bersembunyi, kau sama sekali tidak boleh mengeluarkan suara, tidak boleh berisik,” Hwee Li berbisik.

Cui Lan mengangguk, jantungnya berdebar tegang karena sikap Hwee Li yang begitu berhati-hati mendatangkan ketegangan di dalam hatinya. Sikap gadis perkasa itu seolah membayangkan bahwa mereka berada di tempat yang aneh dan berbahaya sekali.

Mereka merangkak dan setelah dekat dengan rumah besar itu, mereka bersembunyi di balik batu besar. Dari tempat itu mereka dapat melihat dengan jelas ke arah pintu depan gedung kuno itu. Bulan makin naik tinggi dan sinarnya yang keemasan membuat tempat itu indah sekali dan tentu sangat menyenangkan kalau saja suasananya tidak begitu menyeramkan.

Malam makin larut dan Cui Lan mulai menggigil kedinginan. “Cepat telan ini...,” Hwee Li berbisik dan menyerahkan sebutir pil kuning.

Cui Lan menelannya dan pil itu terasa manis dan harum. Tak lama kemudian tubuhnya terasa hangat sekali, seakan-akan dia baru saja minum beberapa cawan arak. Dia menyentuh tangan Hwee Li dengan rasa terima kasih dan dara berpakaian hitam itu tersenyum. Giginya berkilat putih tertimpa sinar bulan.

Tiba-tiba mereka menyelinap karena kaget melihat sinar-sinar lampu menyala di gedung itu. Keadaan tetap sunyi dan lampu-lampu penerangan itu seolah-olah dinyalakan oleh tangan setan. Tidak nampak seorang pun di sekitar gedung besar itu.

Dari jauh sekali, dari arah depan rumah, terdengarlah suara orang, suara yang bening halus, “Locianpwe, saya datang memenuhi perjanjian kita lima tahun yang lalu!” Suara itu biar pun halus namun mengandung gema mengaung dan setelah suara itu lenyap, gemanya masih terdengar, lalu sunyi sekali, sunyi yang mencekam dan menegangkan hati.

Terdengar suara orang berdehem di dalam gedung itu, kemudian terdengar suara seorang laki-laki yang parau, “Silakan masuk!”

Cui Lan terkejut dan terheran bukan main karena entah dari mana datangnya dan bagaimana serta kapan, tahu-tahu di depan pintu gedung itu kini telah berdiri seorang kakek membawa tongkat. Agaknya kakek inilah yang tadi mengeluarkan kata-kata itu. Kakek ini berdiri seperti arca, tidak bergerak-gerak dan memandang ke depan gedung, ke arah jalan kecil yang menuju ke bawah bukit. Tentu saja Cui Lan dan Hwee Li juga memandang ke arah itu, menduga-duga dari mana akan munculnya orang yang tadi mengeluarkan suara, yang mereka duga tentulah Siluman Kecil adanya.

“Sssttttt...!” Tiba-tiba Hwee Li menyentuh lengan Cui Lan dan menunjuk ke depan.

Cui Lan membelalakkan matanya agar supaya dapat memandang lebih teliti. Dia hanya melihat sebuah titik putih naik dari bawah, dan melihat sebuah titik putih itu semakin membesar. Akhirnya nampaklah bayangan putih seorang manusia bergerak dengan amat cepatnya, seakan-akan orang itu terbang di atas pucuk rumpun ilalang! Kedua kakinya bergerak di antara pucuk ilalang yang bergoyang perlahan. Cepat sekali dan tahu-tahu orang itu telah berdiri di depan gedung dan menjura ke arah kakek yang memegang tongkat.

Hwee Li mengerahkan kekuatan pandang matanya, dia memperhatikan orang yang namanya begitu terkenal sebagai seorang pendekar penuh rahasia yang hanya dikenal sebagai Siluman Kecil. Ternyata orangnya masih muda dan wajahnya sangat tampan, rambutnya dibiarkan terurai dan melambai-lambai ditiup angin, rambut yang berwarna putih dan yang mengkilap seperti perak tertimpa sinar keemasan dari bulan purnama. Pakaiannya sederhana dan juga terbuat dari bahan putih semua!

Kakek bertongkat itu sejenak memandang, seolah-olah hendak meneliti apakah benar ini orang yang sedang ditunggu-tunggunya, kemudian dia balas menjura dan dengan tangannya dia mempersilakan orang itu masuk. Pintu terbuka sendiri seperti digerakkan oleh tangan yang tak nampak. Laki-laki berambut putih itu mengangguk dan melangkah hendak memasuki pintu, tetapi tiba-tiba terdengar suara teriakan dari depan gedung.

“Anakku...!”

Seorang nikouw tua melompat ke luar dari balik sebuah batu besar dan biar pun jarak antara batu dan depan gedung itu cukup jauh, namun dengan satu kali melompat saja nikouw itu telah berada di situ! Diam-diam Hwee Li meleletkan lidahnya tanda kaget dan kagum.

“lbu...!” Siluman Kecil menoleh ke arah wanita itu.

Cui Lan dan Hwee Li saling pandang dan sinar mata mereka bicara banyak. Mereka berdua terheran-heran sekali melihat kenyataan bahwa si pendekar sakti yang berjuluk Siluman Kecil itu adalah putera seorang nikouw tua!

“Ibu, mengapa kau menyusulku?” tanya Siluman Kecil dengan suara halus dan penuh hormat.
“Hemmm, aku mana bisa tega membiarkan kau menemui sendiri musuhmu? Aku harus ikut, apa pun yang akan terjadi!”

Siluman Kecil membalik dan memandang kepada kakek pemegang tongkat, seperti hendak bertanya apakah ibunya diperbolehkan ikut masuk. Kakek itu mengangguk dan mempersilakan dengan tangan. Ibu dan anak itu lalu melangkah memasuki pintu, diikuti oleh kakek bertongkat dan daun pintu pun tertutup sendiri tanpa ada yang menutupkan.

“Diakah...?” Hwee Li berbisik.

Cui Lan mengangguk, dadanya bergelombang, air matanya berlinang.

Sementara itu, orang muda berambut putih dan nikouw tua yang masuk bersama kakek bertongkat, tiba di ruangan dalam dan di situ nampak duduk seorang kakek tua renta yang rambut, jenggot, kumis dan alisnya telah putih semua. Kakek ini bertubuh tinggi besar dan biar pun mukanya sudah nampak tua, namun sepasang matanya tetap bercahaya penuh semangat dan mulutnya tersenyum lembut. Di kanan kirinya nampak beberapa orang laki-laki yang duduk dan ada pula yang berdiri. Mereka itu adalah murid-muridnya dan kakek bertongkat itu adalah murid pertama. Kakek bertongkat ini menjatuhkan diri berlutut.

“Suhu, dia datang memenuhi janji!” katanya.

Siluman Kecil juga menjura dengan hormat sedangkan nikouw tua itu merangkap kedua tangan di depan dada tanpa bergerak atau bicara. “Dengan perkenan Locianpwe, saya kembali hendak memperlihatkan kebodohan saya,” katanya dengan sikap merendah.

Kakek itu tersenyum, akan tetapi alisnya yang putih itu berkerut. “Orang muda, kami telah mendengar bahwa selama lima tahun ini engkau telah memperoleh kemajuan pesat sekali, bahkan telah berbuat banyak sehingga memperoleh julukan Siluman Kecil. Kami merasa girang bahwa kami masih hidup saat ini sehingga dapat rnengagumi kemajuanmu. Akan tetapi sayang, engkau yang dahulu berjanji akan datang sendiri kini ternyata membawa kawan-kawan yang banyak sekali jumlahnya. Apakah maksudmu dengan perbuatan itu?”

Siluman Kecil mengangkat muka memandang hingga mata mereka saling bertemu dan beradu pandang. “Locianpwe, menyalahi janji dan membawa kawan-kawan merupakan pantangan besar bagi saya. Apakah Locianpwe menganggap bahwa Ibu saya yang menyusul ini merupakan pelanggaran?”

Kakek itu menggerakkan tangan seperti mencela. “Ahhh, kalau muncul dengan terang terangan masih tidak apa. Akan tetapi apa artinya banyak kawanmu yang bersembunyi di sekitar tempat ini?”

“Ohhh...! Maksud Locianpwe mereka yang bersembunyi di sekitar luar gedung ini? Ahh, sungguh saya tidak mengerti. Malah saya kira bahwa mereka itu adalah murid-murid Locianpwe yang sengaja menyambut dan mengawasi saya!”

“Hemmm, sungguh aneh. Mari kita suruh mereka keluar.” Kakek itu turun dari kursinya, kemudian bersama dengan Siluman Kecil dan nikouw tua itu mereka semua keluar, diiringkan oleh murid-murid kakek itu yang dipimpin oleh kakek pemegang tongkat.

Kini mereka berdiri di luar gedung, di halaman yang luas. Hwee Li dan Cui Lan masih sembunyi dan memandang dengan mata terbelalak. Girang hati Hwee Li melihat mereka keluar karena dia khawatir kalau pertandingan dilakukan di dalam gedung, berarti dia tidak dapat nonton! Dan kini, mereka berada di halaman sehingga dia akan dapat nonton dengan enaknya karena tempat sembunyinya itu tidak berapa jauh.

Akan tetapi, dia merasa heran karena dua orang yang kabarnya akan bertanding itu tidak berdiri berhadapan, melainkan berjajar dan keduanya menghadap ke luar gedung, menoleh ke kanan kiri. Kemudian terdengar suara Siluman Kecil yang bening dan halus nyaring, “Cu-wi sekalian yang bersembunyi di luar gedung, harap suka memperlihatkan diri!”

Mendengar suara Siluman Kecil ini, maka berloncatan keluarlah para pemburu dan beberapa orang lain yang memang diam-diam datang mengunjungi tempat itu dengan niat untuk membantu Siluman Kecil yang kabarnya akan bertanding melawan musuhnya yang amat sakti. Jumlah mereka tidak kurang dari tiga puluh orang yang muncul dari berbagai tempat persembunyian mereka!

Melihat bahwa mereka adalah teman-temannya yang pernah ditolongnya, diam-diam Siluman Kecil menjadi terkejut sekali dan segera dia menegur, “Mau apa kalian berada di sini? Siapa yang menyuruh kalian datang ke sini?”

Semua orang itu menjura dengan hormat ke arah Siluman Kecil dan seorang di antara mereka lalu menjawab, “Kami mendengar bahwa Taihiap hendak bertanding dengan seorang lawan yang tangguh, maka kami sengaja datang hendak membantu.”

Mendengar jawaban yang terus terang ini, Sin-siauw Sengjin (Kakek Suling Sakti) jadi tersenyum lebar.

“Aku tidak menghendaki bantuan dari siapa pun!” Siluman Kecil berseru dengan muka merah karena merasa malu kepada pihak tuan rumah. Akan tetapi Sin-siauw Sengjin menggerakkan tangan dan berkata halus.

“Cu-wi telah terlanjur datang, boleh saja menyaksikan pertandingan.” Kemudian kakek ini memandang ke kanan kiri dan berkata lagi, suaranya halus akan tetapi menembus sampai jauh seperti hembusan angin, “Cu-wi sekalian yang masih bersembunyi, silakan keluar saja!”

Kini bermunculanlah dua puluh lebih orang yang tidak dikenal oleh Siluman Kecil. Pendekar ini merasa heran dan kagum bahwa Kakek Suling Sakti ini ternyata telah mengetahui akan semua orang yang bersembunyi itu. Dan lebih-lebih heran hatinya ketika mendengar kakek itu berkata sambil memandang kepada dua orang kakek yang berdiri dengan penuh wibawa, “Hemmm, kiranya saudara-saudara ketua yang terhormat dari Bu-tong-pai dan Kun-lun-pai juga hadir!”

Semua orang menjadi terkejut, termasuk Hwee Li dan juga murid-murid kakek itu sendiri ketika mendengar si Suling Sakti menyebut dua nama perkumpulan yang besar dan amat terkenal itu. Juga Siluman Kecil cepat memandang kepada dua orang tua itu, diam-diam merasa heran juga mengapa ketua-ketua perkumpulan silat yang besar itu datang pula di tempat itu.

Ketua Bu-tong-pai dan ketua Kun-lun-pai menjura ke arah Sin-siauw Sengjin, kemudian ketua Kun-lun-pai mengelus jenggotnya dan berkata, “Harap Sengjin maafkan atas kehadiran kami tanpa diundang. Sesungguhnya, tadinya kami hanya ingin menyaksikan ilmu asli dari Pendekar Suling Emas yang terkenal di seluruh kolong langit ratusan tahun yang lalu, yang menjadi dongeng di dunia persilatan. Akan tetapi Sengjin telah melihat kehadiran kami, harap maafkan kelancangan kami.”

Mendengar ucapan ini, kakek pemegang tongkat yang menjadi murid pertama dari Sin-siauw Sengjin, memandang kepada gurunya dan dari pandang mata gurunya dia mendapat perkenan. Maka majulah dia dan dengan suara halus akan tetapi bernada menantang dia pun berkata, “Apakah Cu-wi sekalian ingin menguji ilmu-ilmu itu? Kalau benar demikian, silakan maju, tidak perlu Suhu yang turun tangan, cukup dengan saya yang akan memperlihatkan kepada Cu-wi.”

Dua orang ketua itu adalah orang-orang besar yang memimpin partai persilatan besar, tentu saja mereka memiliki kedudukan tinggi dalam dunia persilatan. Mereka tentu tidak sudi mencuri lihat ilmu orang lain. Hanya karena mendengar bahwa Sin-siauw Sengjin sebagai pewaris ilmu-ilmu Suling Emas hendak bertanding, mereka tak dapat menahan keinginan tahu mereka untuk menonton, biar dengan sembunyi-sembunyi.

Akan tetapi, kini setelah menerima tantangan, berarti mereka memperoleh kesempatan untuk melihat dan sekaligus menguji sendiri ilmu-ilmu itu, tentu saja mereka menyambut dengan gembira. Ketua Butong-pai lalu memberi isyarat kepada sute-nya, seorang tosu berusia enam puluh tahun yang bermuka kuning. Tosu ini adalah orang kedua dari Bu-tong-pai, tokoh kedua setelah sang ketua sendiri. Namanya Kim Thian Cu dan sebagai tokoh kedua, tentu saja dia memiliki kepandaian yang tinggi.

Dengan langkah tenang, Kim Thian Cu menggerakkan kedua lengan jubah pendetanya yang lebar dan tersenyum menghadapi kakek pemegang tongkat itu, lalu dia menjura. “Silakan!”

Kakek itu juga memandang dengan sinar mata penuh selidik, sikapnya tenang halus seperti gurunya. Dia bertanya, “Kalau boleh saya bertanya, siapakah julukan Totiang?”

“Pinto Kim Thian Cu, tosu yang bodoh dari Bu-tong-pai,” kata tosu itu sambil menjura.

Kakek itu lalu menancapkan tongkatnya di atas tanah, kemudian melangkah maju pula dan menjura. “Kim Thian Cu totiang, sebagai pihak tuan rumah, saya hanya melayani. Silakan Totiang yang memulai, dan sebelumnya ketahuilah bahwa saya yang rendah pengetahuan akan mempergunakan ilmu tangan kosong dari Suhu.”

Sebagai seorang tokoh Bu-tong-pai, Kim Thian Cu tentu saja telah memiliki pengalaman mendalam dan sekali pandang saja dia mengerti bahwa dia berhadapan dengan lawan tangguh, maka dia tidak bersikap sungkan lagi. “Pinto mulai, sambutlah!”

Dan begitu dia bergerak, Kim Thian Cu sudah mengeluarkan ilmu silat simpanan dari Bu-tong-pai yang hanya dikeluarkan kalau menghadapi lawan yang amat tangguh saja. Kedua tangannya membentuk cakar garuda dan ketika digerakkan, terdengarlah angin bersiutan dan sepuluh jari tangannya itu berubah menjadi keras seperti baja! Itulah ilmu Kiauw-ta Sin-na yang amat lihai dari Butong-pai, yang ke semuanya ada seratus dua puluh jurus.

Biar pun dia sendiri sudah menduduki jabatan wakil ketua atau tokoh kedua, Kim Thian Cu sendiri hanya mengenal delapan puluh jurus saja dari ilmu kuno ini! Dan begitu menyerang, ia telah mengeluarkan salah satu jurus yang paling ampuh, dengan tangan kiri mencengkeram ke ubun-ubun kepala sedangkan tangan kanan yang tadinya seperti cakar, ketika ditusukkan ke arah pusar lawan berubah menjadi lurus seperti pedang! Serangan ini hebatnya bukan kepalang, yang mencengkeram ubun-ubun seperti badai dahsyatnya, yang menusuk pusar seperti kilat menyambar.

“Bagus...!” Kakek yang tinggi kurus itu berseru dan cepat tubuhnya yang bergerak, dua tangannya menangkis kedua serangan itu.
“Dukkk!... Dukkkkk!”

Dua pasang lengan bertemu dan keduanya terhuyung ke belakang, akan tetapi kalau murid Sin-siauw Sengjin itu hanya terhuyung dua langkah, Kim Thian Cu terhuyung sampai lima langkah! Hal ini saja membuktikan bahwa tenaga wakil ketua Bu-tong-pai itu kalah kuat.

Kim Thian Cu menjadi penasaran. Dia tahu bahwa dalam hal tenaga sinkang dia kalah kuat, maka dia mengandalkan ginkang-nya dan ilmu Silat Kiauw-ta Sin-na dan mulailah dia menerjang dengan cepat dan kuatnya. Kakek tinggi kurus itu lalu mengeluarkan seruan keras, menyambut serangan wakil ketua Bu-tong-pai dengan ilmu silat tangan yang gerakannya aneh sekali akan tetapi dahsyat seperti badai laut mengamuk! Tubuh kakek tinggi kurus itu berputaran dan kedua lengannya seperti berubah menjadi belasan buah sehingga hujan serangan dari Kim Thian Cu dapat ditangkisnya semua, bahkan dia membalas dengan serangan yang tidak kalah hebatnya!

Giok Thian Cu mengerutkan alisnya, maklum bahwa sute-nya tak akan mampu menang. Sayang bahwa sute-nya belum menguasai jurus-jurus yang paling rumit dari Kiauw-ta Sin-na sehingga menghadapi lawan yang demikian tangguh menjadi amat sukar untuk mendesaknya. Tetapi tentu saja dia tidak mau mencampuri, hanya memandang dengan penuh perhatian untuk mempelajari gerakan lawan yang menggunakan semacam ilmu silat tangan kosong yang aneh. Gerakan tangan kakek tinggi kurus itu kadang-kadang seperti orang mengebut-ngebutkan kipas dan tangan yang lebar itu dikebut-kebutkan sedemikian cepatnya sehingga memang menyerupai kipas saja! Akan tetapi, setiap gerakan tangan itu selain mendatangkan angin seperti kipas, juga mengandung tenaga yang amat kuat menyambar lawan!

Tepat seperti dugaan ketua Bu-tong-pai ini, belum sampai tiga puluh jurus, Kim Thian Cu terhuyung ke belakang dan kedua lengannya tergantung seperti lumpuh. Ternyata kedua pundaknya telah kena totokan kakek itu. Ketua Bu-tong-pai cepat meloncat ke depan dan sekali menekan kedua pundak sute-nya, Kim Thian Cu pulih kembali kedua lengannya. Dia lalu menjura ke arah kakek tadi sambil berkata, “Pinto mengaku kalah.”

“Hebat... hebat...!” Giok Thian Cu ketua Bu-tong-pai menjura ke arah kakek itu sambil tersenyum. “Sungguh hebat dan bukan hanya dongeng kosong belaka ilmu keturunan dari Pendekar Suling Emas. Kalau boleh pinto mengetahui nama Sicu dan nama ilmu pukulan luar biasa tadi...“

Kakek itu tersenyum dan balas menjura. “Saya berjuluk Gin-siauw Lo-jin (Kakek Suling Perak) dan menjadi murid pertama dari Suhu. Ada pun tentang ilmu-ilmu yang saya mainkan, saya tidak berhak menyebutkannya kepada siapa juga, yang berhak adalah Suhu.”

Giok Thian Cu mengangguk-angguk. “Bagus, memang ilmu sehebat itu tidak boleh sembarangan diketahui orang. Pinto kagum sekali. Nama Pendekar Suling Emas yang sudah ratusan tahun merupakan dongeng dan terpendam itu, hari ini muncul sebagai kenyataan yang mengagumkan dan tentu akan menggegerkan dunia persilatan. Sute Kim Thian Cu telah mengaku kalah, dan kalau saja boleh, pinto sendiri akan menguji kehebatan ilmu-ilmu peninggalan Pendengar Suling Emas. Tidak tahu apakah Sin-siauw Sengjin sendiri yang berkenan maju ataukah mewakilkan kepada muridnya?” Sambil berkata demikian, ketua Bu-tong-pai ini mengeluarkan sebatang pedang dari dalam jubahnya dan kini berdiri tegak dan memegang pedang di depan dada dengan kedua tangan dirangkap tanda penghormatan.

Gin-siauw Lo-jin membalas penghormatan itu dengan mencabut sebatang suling perak dari dalam jubahnya. “Maaf, Totiang. Biarlah saya mencoba-coba mewakili Suhu untuk menyambut penghormatan Totiang.”

Giok Thian Cu sekali lagi menghormat, kemudian berseru halus, “Lihat pedang!” dan nampak sinar hijau berkelebat menyambar ke arah lawan.

“Bagus!” Sekali lagi kakek itu berseru memuji dan nampak sinar terang putih berkilauan menyambar ke depan, menyambut sinar hijau itu.
“Tranggggg...!”

Kedua belah pihak merasakan lengan kanan mereka tergetar hebat dan tahulah mereka bahwa tenaga sinkang mereka berimbang. Maklum akan kelihaian lawan, Giok Thian Cu juga tidak bersikap sungkan lagi, langsung saja dia mengeluarkan ilmu pedang simpanannya yang paling lihai, yaitu ilmu Pedang Sin-hong Kiam-sut (Ilmu Pedang Burung Hong Sakti) sehingga pedangnya lenyap berubah menjadi gulungan sinar hijau yang indah sekali.

Mendadak Gin-siauw Lo-jin yang terkesiap dan terdesak oleh gulungan sinar hijau itu mengeluarkan suara melengking nyaring dan sulingnya juga lenyap, berubah menjadi gulungan sinar perak yang sangat luas dan aneh sekali gerakannya. Bukan saja hanya bergulung-gulung menjadi sinar perak, juga dari suling perak itu lalu terdengar suara mengaung yang aneh dan menyakitkan telinga lawan! Gulungan sinar perak itu kini membuat gerakan coret-moret seperti membentuk huruf-huruf di udara dan setiap coretan mengandung tenaga dahsyat yang menyerang lawan.

“Hebat...! Liang Sim Tosu, ketua Kun-lun-pai yang sudah tua itu menggeleng-gelengkan kepala saking kagumnya. “Mungkin inilah Ilmu Hong-in Bun-hoat yang disebut dalam dongeng Suling Emas...“

Memang hebat sekali gerakan Gin-siauw Lo-jin. Dalam waktu, kurang dari tiga puluh jurus, sinar perak itu telah menggulung dan menekan sinar hijau sehingga sinar hijau dari pedang di tangan ketua Bu-tong-pai itu menjadi makin sempit. Akhirnya terdengar seruan, “Siancai...!”

Kedua gulungan sinar itu tiba-tiba berhenti. Ketua Bu-tong-pai telah menyimpan kembali pedangnya dan sambil tersenyum pahit dan dengan muka agak pucat dia memandang ke arah kedua lengan bajunya yang telah berlubang bekas tusukan suling perak! Tentu saja dalam pertandingan sungguh-sungguh, bukan di lengan baju jatuhnya serangan tusukan itu, melainkan di tempat yang berbahaya.

“Sungguh hebat, pinto mengaku kalah.”

“Ah, Kim Thian Cu dan Giok Thian Cu toyu terlalu merendah, kepandaian mereka hebat sekali, akan tetapi harus diakui bahwa ilmu-ilmu peninggalan Pendekar Suling Emas memang amat luar biasa. Pinto juga menjadi gatal tangan dan ingin sekali menguji, jika dibolehkan.”

Liang Sim Tosu sudah melangkah maju sambil mengeluarkan sepasang poan-koan-pit berwarna putih dan hitam yang dipegang oleh kedua tangan dan disilangkan di depan dada.

Gin-siauw Lo-jin masih memegang suling peraknya dan dia pun lalu membalas dengan penghormatan dan menjawab, “Kalau Totiang masih penasaran dan hendak menguji, silakan maju.”

Liang Sim Tosu cepat menggerakkan kedua poan-koan-pit hitam dan putih yang tadi disilangkan, yang kanan berwarna hitam menuding ke langit, yang kiri berwarna putih menuding ke bumi, kemudian dia berkata, “Gin-siauw Lojin, harap jaga seranganku!”

Tiba-tiba nampak sinar hitam dan putih berkelebatan dan semakin lama semakin cepat sehingga kemudian nampak dua sinar hitam dan putih itu saling sambar dan saling belit, kemudian bersatu menjadi segulungan sinar yang berwarna abu-abu meluncur ke arah kakek yang memegang suling perak.

“Bukan main...!” Gin-siauw Lo-jin berseru kaget dan cepat dia menggerakkan suling peraknya sehingga nampak sinar berkilauan menangkis.
“Cring-tranggg...!”

Kini Gin-siauw Lo-jin yang terhuyung dan ketua Kun-lun-pai itu sudah menerjang lagi, serangan halus akan tetapi luar biasa kuatnya dan sepasang poan-koan-pit itu memang amat lihaihya, kadang-kadang seperti dua sinar berlawanan yang saling menggunting, namun kadang-kadang bersatu menjadi sinar abu-abu yang amat kuat, yang hitam mengandung tenaga Im lemas dan yang putih mengandung tenaga Yang yang kuat dan panas. Kiranya kedua buah poan-koan-pit itu mengandung tenaga Im dan Yang, dua unsur yang berlawanan tetapi kalau bersatu mempunyai daya yang luar biasa kuatnya. Juga kedua poan-koan-pit itu dapat melakukan totokan-totokan yang bertubi-tubi ke seluruh jalan darah terpenting di tubuh lawan…..

Gin-siauw Lo-jin maklum bahwa dia menghadapi lawan yang amat lihai, maka dia cepat mainkan Hong-in Bun-hoat dengan suling peraknya. Ilmu ini memang mukjijat, karena dahulu Pendekar Suling Emas menerima ilmu ini langsung dari manusia dewa Bu Kek Siansu, dan biar pun ilmu ini dimainkan dengan menuliskan huruf-huruf di udara, namun setiap gerakan mengandung daya serang yang amat mukjijat, di samping juga dapat menjadi daya tahan yang rapat seperti tembok yang kokoh kuat sehingga kini, gulungan sinar perak itu dapat membendung semua serangan poan-koan-pit yang luar biasa itu.

Pertandingan itu amat cepat dan seru, membuat kedua mata Cui Lan menjadi kabur dan kepalanya pening sehingga dia mengalihkan pandang matanya ke arah Siluman Kecil yang berdiri dengan tegak, tenang dan penuh perhatian. Sebaliknya, Hwee Li menonton dengan wajah berseri-seri. Girang sekali hati gadis ini dapat melihat pertandingan yang demikian hebatnya.

“Ahhhhh...!” Gin-siauw Lo-jin berseru dan terhuyung-huyung sampai lima langkah ke belakang. Meski ilmu Hongin Bun-hoat yang dimainkannya bisa membendung serangan lawan, namun karena memang kalah kuat dalam tenaga sinkang, dia sering kali tergetar dan terhuyung.
“Gin-siauw, mundurlah karena engkau sudah kalah.” Tiba-tiba terdengar suara halus.

Gin-siauw Lo-jin cepat meloncat mundur, menyimpan suling peraknya dan menjura ke arah Liang Sim Tosu. “Saya mengaku kalah.”

Liang Sim Tosu tersenyum lebar. “Bukan main... terus terang saja pinto hanya menang dalam hal tenaga, akan tetapi tentang ilmu silat, wah, pinto masih bingung menghadapi ilmu tadi.”

Kini Sin-siauw Sengjin melangkah maju. “Ketua dari Kun-lun-pai terlalu merendah. Ilmu Im-yang Poan-koan-pit yang Totiang mainkan tadi memang hebat sekali, akan tetapi betapa pun hebatnya, masih belum dapat menandingi Hong-in Bun-hoat yang sudah dilatih dengan sempurna. Untuk membuktikan ini, harap Totiang maju dan mencoba suling kami!”

Tampak sinar emas menyilaukan mata dan ternyata tangan kakek tua renta ini telah memegang sebatang suling yang terbuat dari pada emas. Semua mata memandang dan jantung mereka berdebar. Itulah suling emas yang terkenal sekali dalam dongeng dunia persilatan, senjata dari Pendekar Suling Emas yang terkenal itu!

“Wah-wah-wah... kalau aku bisa mendapatkan suling itu...,“ terdengar Hwee Li berbisik.
“Hemmm, kau begitu murka menginginkan emas?” Cui Lan mencela.
“Aihhh, kau mana tahu...“

Mereka menghentikan bisik-bisik itu ketika sekarang ketua Kun-lun-pai itu telah mulai menyerang dengan poan-koan-pit di tangannya. Namun kakek tua renta itu kelihatan tidak mengubah kedudukan kakinya, hanya tampak sinar emas berkelebat dan setiap kali sepasang poan-koan-pit itu kena ditangkisnya, ke mana pun sepasang sinar hitam putih itu menyambar!

“Sekarang jagalah, Totiang!” Kakek tua renta itu berseru.

Kini nampak sinar emas yang panjang dan luas sekali seperti seekor naga melayang ke atas, kemudian menyambar turun dengan gerakan coret-coret seperti membentuk huruf. Terdengar suara trang-tring-trang-tring dan nampak bunga api berhamburan. Namun belum sampai dua puluh jurus, terdengar ketua Kun-lun-pai mengeluh dan sepasang poan-koan-pit telah terpukul lepas dari kedua tangannya!

Seorang murid Kun-lun-pai cepat-cepat mengambilkan senjata gurunya itu dan ketua Kun-lun-pai segera menjura penuh hormat. “Itukah Hong-in Bun-hoat yang terkenal dalam dongeng? Hebat bukan main dan pinto mengaku kalah.”

Kakek itu tersenyum. “Pukulan tangan kosong yang dimainkan oleh murid kami tadi adalah Lo-hai-kun-hoat (Ilmu Silat Mengacau Lautan) yang diambil dari ilmu aslinya, yaitu Lo-hai San-hoat (Ilmu Kipas Pengacau Lautan). Dan yang barusan dimainkan oleh suling kami adalah sebagian dari Hong-in Bun-hoat (Ilmu Sastra Angin dan Hujan).”

Semua orang memandang kagum sekali. Kakek itu menjura ke empat penjuru dan berkata, “Biar pun kami mengakui bahwa ilmu-ilmu ini adalah warisan yang kami dapat dari mendiang Pendekar Sakti Suling Emas, akan tetapi jangan Cu-wi mengira bahwa kami telah menguasai seluruhnya! Hemmm, kami selamanya menyembunyikan diri karena merasa bahwa kami belum dapat menguasai setengahnya saja dari ilmu-ilmu itu.” Semua orang makin kagum mendengar ini.

“Locianpwe, saya sudah menunggu!” Tiba-tiba terdengar suara bening yang melengking nyaring dan ternyata suara ini adalah suara Siluman Kecil yang telah berdiri di tengah halaman itu dengan tegak, sepasang matanya memandang dengan sinar tajam.

Kakek tua renta itu menghela napas panjang, lalu menghampiri pemuda itu. Sejenak mereka saling pandang dan kakek itu berkata, “Aahhh, sudah setua ini baru sekarang kami bertemu dengan seorang pemuda yang benar-benar amat hebat kepandaiannya. Sicu, sekarang kami melihat bahwa engkau benar-benar tidak membawa teman dan ternyata engkau seorang yang memenuhi janji. Lima tahun yang lalu engkau mengaku kalah dan dapat sembuh kembali untuk memenuhi janji malam ini. Nah, kami telah siap, majulah!”

Pemuda berambut putih itu memungut sebatang ranting di atas tanah, kemudian dia menggerakkan ranting itu di depan dadanya. Terdengar suara mencicit nyaring, lalu dia menghentikan gerakannya dan berkata, “Locianpwe, saya hanya menuntut yang benar. Kalau Locianpwe suka mengakui kesalahan dan mengembalikan pusaka kepada yang berhak, saya pun tidak akan mendesak.”

“Hemmmm, orang muda. Puluhan tahun kami memilikinya, mana mungkin mudah saja melepaskannya. Kami sudah siap, majulah! Kebetulan sekali banyak tokoh kang-ouw yang menjadi saksi pertandingan antara Sin-siauw Sengjin dan Siluman Kecil.”

“Locianpwe mengerti bahwa saya hanya mempertahankan kebenaran!” kata Siluman Kecil sambil menggerakkan rantingnya dan memandang suling emas di tangan kakek itu. “Nah, maafkan aku!”

Tiba-tiba saja bagi mata kebanyakan orang yang hadir, tubuh Siluman Kecil itu berubah menjadi bayangan berkelebat dan lenyap! Sukar sekali mengikuti gerakannya dengan pandang mata, hanya tahu-tahu saja kakek itu sudah menggerakkan suling emasnya menanggkis.

“Tringgggg...!”

Kini semua orang melihat betapa Siluman Kecil telah berubah menjadi bayangan putih yang berkelebatan, mencelat ke sana-sini dengan kecepatan yang memusingkan kepala mereka yang memandangnya, dan kakek itu pun sudah memutar sulingnya sehingga suling itu lenyap berubah menjadii gulungan sinar emas.

Memang hebat sekali kakek renta itu. Gulungan sinar kuning emas itu melingkar-lingkar seperti seekor naga emas beterbangan di angkasa dan bermain-main di angkasa yang gelap, kadang-kadang mengeluarkan sinar kilat menyambar-nyambar dan terdengar suara suling itu mengeluarkan suara seperti ditiup oleh seorang anak kecil yang sedang belajar main suling. Sumbang dan tidak teratur. Padahal, menurut dongeng tentang Pendekar Suling Emas, kala pendekar itu mainkan suling emas sebagai senjata, maka akan terdengar suling itu seperti ditiup dengan lagu yang merdu! Hal ini saja sudah membuktikan bahwa memang Sin-siauw Sengjin belum menguasai ilmu itu secara sempurna seperti yang telah diakuinya tadi.

Pertandingan itu semakin lama semakin hebat. Terlalu cepat gerakan mereka, apa lagi gerakan Siluman Kecil yang luar biasa sekali, seolah-olah dia beterbangan kesana-sini sehingga kakek itu harus berputaran pula untuk menghadapinya karena musuhnya yang serba putih itu seolah-olah telah berubah menjadi enam orang yang menyerangnya dari empat penjuru!

Sudah hampir dua ratus jurus berlangsung, namun belum juga ada yang roboh. Semua orang yang menonton pertandingan itu sudah banyak yang tidak kuat, lalu terpaksa memejamkan mata. Hanya orang-orang lihai seperti ketua Bu-tong-pai dan Kun-lun-pai itu saja, termasuk Hwee Li, yang masih mampu mengikuti terus dengan mata tanpa berkedip saking tertariknya. Cui Lan sudah sejak tadi menunduk dan bibirnya berkemak kemik karena gadis ini telah berdoa untuk kemenangan Siluman Kecil!

Tiba-tiba terdengar suara melengking nyaring dan suara ini membuat beberapa orang pemburu jatuh terjungkal dan pingsan. Untunglah Hwee Li sudah menempelkan telapak tangannya di tengkuk Cui Lan sehingga pada saat suara itu membuat kepala Cui Lan pening, rasa hangat yang menjalar keluar dari telapak tangan Hwee Li mencegah gadis itu roboh pingsan pula.

Dan terjadi perubahan pada pertandingan yang sukar diikuti oleh pandangan mata itu. Beberapa kali terdengar Kakek Sin-siauw Sengjin berseru kaget dan akhirnya gerakan mereka terhenti, kakek itu melompat jauh ke belakang, mukanya pucat, serta dahinya berkeringat dan napasnya agak terengah ketika dia memandang kepada Siluman Kecil yang berdiri tegak dan keadaannya masih biasa saja.

“Aku mengaku kalah... sekali... ini...“
“Kalau begitu Locianpwe harus mengembalikan...“
“Tidak! Menurut perjanjian, kalau kami kalah, kami semurid kami harus meninggalkan tempat ini. Akan tetapi, kau pernah kalah sekali, dan kami kalah sekali, berarti masih sama. Tunggu setahun lagi, kalau dalam pertandingan penentuan itu kami kalah, kami akan mengembalikan semua dan menyerahkan nyawa kami. Dan karena kami yang kalah sekali ini, kelak setahun lagi kami yang akan mencarimu, Siluman Kecil. Nah, selamat tinggal!”

Kakek tua renta itu lalu melangkah pergi perlahan-lahan dengan muka lesu, diiringkan oleh para muridnya yang dipimpin oleh Gin-siauw Lojin yang membawa tongkatnya dan membawa bungkusan besar. Tiada orang yang berani menahan mereka, juga Siluman Kecil diam saja hanya mengikuti mereka dengan pandang matanya. Dia maklum bahwa kalau dia mengambil kekerasaan, dan dikeroyok oleh mereka, sukar baginya untuk mencapai kemenangan. Lagi pula, kakek itu memang benar. Dia belum dapat dikatakan menang karena pernah kalah sekali dan menang sekali. Penentuannya adalah pada pertandingan ketiga dan yang terakhir, pertandingan sampai mati!

“In-kong (Tuan Penolong)...!” Tiba-tiba terdengar teriakan nyaring dan seorang gadis cantik berlari-lari menghampiri Siluman Kecil. Gadis itu adalah Cui Lan yang saking girangnya melihat orang yang dipujanya itu keluar sebagai pemenang dan selamat, telah lupa akan keadaan, meninggalkan Hwee Li dan lari menghampiri dengan kedua lengan dibentangkan seperti orang hendak memeluk! Seorang gadis lain berpakaian serba hitam menyusul di belakangnya.

Siluman Kecil menoleh dan ketika dia melihat Cui Lan, dia mengerutkan alisnya dan berkata dengan suara mengandung teguran, “Ah, kau juga di sini, Nona?”

Melihat sikap Siluman Kecil itu seperti marah dan menegurnya, sungguh jauh bedanya dengan sikapnya sendiri yang penuh kegembiraan dan kerinduan, Cui Lan tertegun dan merasa seolah-olah pipinya ditampar sehingga dia sadar akan keadaan dirinya, sadar betapa dia telah memperlihatkan perasaan hatinya di depan Siluman Kecil dan banyak orang.

Seketika mukanya menjadi merah sekali, kemudian berubah pucat. Dengan gagap dia berbisik, “In-kong... saya...“

Akan tetapi, dengan dahi berkerut Siluman Kecil seolah-olah tidak mendengarnya dan tidak mempedulikannya, malah pendekar itu menoleh ke arah gedung yang baru saja ditinggalkan penghuninya dengan penuh perhatian. Tiba-tiba dia meloncat ke arah pintu gedung itu, akan tetapi pada saat itu sehelai benda hitam panjang seperti tali meluncur ke arah kakinya.

“Hemmm...!” Siluman Kecil mendengus marah, kakinya bergerak menendang ke arah benda hitam itu.

Akan tetapi benda itu dapat mengelak, dan menyambar ke atas, ujungnya mematuk ke arah pinggang pendekar itu. Siluman Kecil mengelak, menahan loncatannya tidak jadi memasuki pintu dan ketika tubuhnya turun, tanpa disangkanya ujung benda yang lain menyambutnya dengan patukan yang amat cepat.

“Ahhhhh...!” Siluman Kecil menangkis akan tetapi kembali benda panjang itu meliuk dan ketika lengannya lewat, ujung benda itu mematuk kembali.
“Brettt...!”

Siluman Kecil melangkah ke belakang dan memandang dengan muka memperlihatkan kekagetan karena ujung lengan bajunya telah berlubang! Kagetlah dia karena tidak disangkanya bahwa benda panjang yang dia tahu adalah seekor ular hitam panjang itu demikian gesit dan lihainya. Dia lalu mengangkat muka memandang gadis berpakaian hitam yang memegangi ujung atau ekor ular hitam panjang itu yang kini telah melingkar kembali ke lengannya.

“Laki-laki tak berperasaan!” Hwee Li memaki marah sambil memandang pada Siluman Kecil dengan sepasang mata berkilat.

Siluman Kecil menjadi bimbang. Tadi ada sesuatu yang menarik perhatiannya dan dia menoleh lagi ke arah pintu gedung, akan tetapi gadis pembawa ular itu pun menarik perhatiannya pula, maka berkatalah dia kepada nikouw tua yang sejak tadi hanya menonton saja dengan sikap tenang, ”Ibu, tolong Ibu lihat apa yang berada di dalam rumah itu, aku melihat ada orang di dalamnya.”

Nikouw tua itu mengangguk, lalu melangkah memasuki pintu gedung yang dapat didorongnya terbuka dengan mudah.

Sementara itu, Siluman Kecil kini menghadapi Hwee Li, memandang dengan penuh perhatian akan tetapi karena ada awan tipis menutupi bulan dan lampu penerangan di situ pun tidak berapa terang, maka wajah Hwee Li tidak begitu tampak jelas. “Nona, aku seperti pernah melihatmu, akan tetapi entah di mana, siapakah kau?”

Hwee Li mencibirkan bibirnya. “Laki-laki kejam. Sudah jelas bahwa yang kau kenal baik adalah Cui Lan, akan tetapi kenapa matamu memandang orang lain?”

“Ehhh, bocah sombong! Engkau sungguh kurang ajar sekali!” teriak Sim Kun, orang termuda dari tiga orang pemburu keluarga Sim itu. Melihat pendekar pujaannya dimaki dan dimarahi oleh gadis ini, tentu saja hatinya menjadi panas, apa lagi ketika nama Cui Lan dibawa-bawa. Setelah membentak, Sim Kun lalu menyerangnya dengan golok yang telah dicabutnya.

“Huhh, orang kasar!” Hwee Li mendengus sambil mengelak, akan tetapi kini Sim Hoat dan Sim Tek juga sudah turun tangan menyerang sehingga Hwee Li dikeroyok tiga orang Saudara Sim itu.

Selagi Siluman Kecil hendak melerai karena dia melihat kelihaian gadis pakaian hitam itu, terdengar suara teriakan dari dalam gedung. Siluman Kecil mengenal suara nikouw tua, maka tanpa mempedulikan lagi gadis berpakaian hitam yang sedang bertempur melawan tiga orang Saudara Sim, dia bergegas masuk, segera diikuti pula oleh ketua Kun-lun-pai dan Bu-tong-pai yang ingin melihat apa yang terjadi di dalam gedung itu.

Ternyata kamar belakang gedung itu telah porak poranda, meja kursi berserakan dan semua isi lemari awut-awutan. Nikouw tua itu telah tertawan oleh seorang gadis cantik berpakaian merah muda. Tangan kiri gadis itu mencengkeram punggung baju nenek itu sedangkan tangan kanan memegang pedang yang ditempelkan di lehernya.

“Berhenti semua! Jangan mendekat atau... kubunuh nenek ini! Rumah ini sudah kukuras habis... hi-hi, kau datang terlambat, Siluman Kecil!” Gadis cantik itu memandang kepada Siluman Kecil dan dua orang kakek ketua dengan mata bersinar-sinar, sikapnya penuh keberanian dan pedang berkilauan yang berada di tangan kanannya tidak tergetar sedikit pun juga. Gadis ini bukan lain adalah Ang-siocia yang pernah turut menghadiri undangan Kui-liong-pang mewakili gurunya, yaitu Hek-sin Touw-ong si Raja Maling dari perbatasan!

“Siancai... di tempat begini ada maling!” Ketua Bu-tong-pai menggerakkan tangannya hendak menerjang, tetapi lengannya cepat dipegang oleh Siluman Kecil yang khawatir akan keselamatan nikouw tua itu.
“Kau lepaskan dia...!” Siluman Kecil berkata halus kepada Ang-siocia.

Ang-siocia tersenyum, nampak deretan giginya yang putih dan ujung lidahnya yang runcing merah menyapu bibirnya dengan cepat “Berjanjilah dulu, Siluman Kecil, bahwa jika aku melepaskan nenek ini, kalian semua tidak akan menyerangku dan membiarkan aku pergi membawa kitab-kitab ini!” Dia menuding ke arah bungkusan kain kuning yang agaknya berisi kitab-kitab dan diletakkanya di depan kakinya.

“Maling hina yang curang!” Ketua Bu-tong-pai membentak marah. Kalau tidak dicegah oleh Siluman Kecil, tentu dia sudah menerjang gadis itu.
“Totiang adalah ketua Bu-tong-pai, mengapa tidak bisa bersikap tenang seperti seorang pendeta yang memiliki kedudukan tinggi?” Nona berpakaian serba merah itu mengejek. “Siluman Kecil, bagaimana?”

“Baiklah, kau boleh pergi membawa barang-barang yang kau curi itu. Akan tetapi aku pasti akan mencarimu!” ucapannya terdengar halus, akan tetapi mengandung ancaman yang menyeramkan.
“Hi-hik, tentu saja. Dan agar kau tidak bingung-bingung mencari, aku akan menantimu di ujung Pantai Pohai, di teluk sebelah utara. Nah, selamat tinggal!”

Gadis cantik berpakaian merah lalu melepaskan nikouw tua, menyambar bungkusan dengan tangan kiri, dan dengan tangan kanan masih membawa pedang dia kemudian meloncat ke luar melalui jendela kamar belakang itu, lalu lenyap ke dalam kegelapan malam.

“Aku akan segera ke sana!” Siluman Kecil berseru, tangannya bergerak ke arah jendela dan nampak benda kecil menyambar ke luar jendela.
“Ihhhhh...!” Terdengar gadis itu menjerit di luar jendela, lalu terdengar suaranya agak gemetar karena benda itu hanyalah sebuah kancing baju putih yang tahu-tahu telah menyusup ke dalam rambut kepalanya! Kalau saja sasarannya diubah sedikit saja tentu dia sudah menggeletak tanpa nyawa!
“Siluman Kecil, aku dan Suhu menantimu di sana!”

Keadaan lalu sunyi kembali dan Siluman Kecil menggandeng tangan nikouw tua keluar dari dalam gedung itu. Di luar masih terjadi pertempuran, akan tetapi sambil tertawa tawa Hwee Li mempermainkan tiga orang lawannya, melecuti muka dan tubuh mereka dengan ekor dua ularnya sehingga mereka babak belur, dan terdengar Cui Lan berseru, “Jangan bunuh orang... jangan lukai orang...!”

Melihat ini, Siluman Kecil melompat ke depan. Cepat bukan main gerakannya itu dan nampak bayangannya yang putih itu berkelebat.

“Aihhhhhh...!” Hwee Li menahan jerltannya ketika melihat Siluman Kecil menerjangnya dengan kecepatan yang amat hebat.

Tiap orang she Sim itu segera mengudurkan diri melihat Siluman Kecil kini sudah menghadapi gadis berpakaian hitam yang amat hebat itu. Dan sekarang semua orang menyaksikan pertandingan yang amat aneh dan juga indah dipandang.

Gadis itu ternyata juga sudah menggunakan ginkang yang luar biasa cepatnya untuk mengimbangi kecepatan Siluman Kecil dan tubuh mereka lenyap berubah menjadi bayangan hitam dan putih yang saling serang dan saling terjang, kadang-kadang sukar dibedakan lagi karena dua bayangan itu seperti telah menjadi satu. Tiba-tiba terdengar Hwee Li menjerit dan nampak bayangan hitam melesat dan lenyap di telan kegelapan malam.

Siluman Kecil berdiri termangu, memandang ke arah lenyapnya bayangan hitam tadi. Kemudian dia sadar bahwa banyak orang memandangnya. Dia membalikkan tubuh dan tanpa disengaja tepat sekali dia bertemu pandang dengan Cui Lan. Sejenak dua sinar mata itu saling pandang, melekat dan akhirnya Siluman Kecil menundukkan mukanya, jantung berdebar dan merasa tidak enak. Dia lalu berkata kepada nikouw tua yang berdiri di situ, “Ibu, aku harus pergi mengejar maling tadi. Aku pergi!” Begitu dia berkata ‘pergi’, tubuhnya berkelebat dan nampak bayangan putih meluncur cepat ke depan dan lenyap dari situ.

Semua orang tertegun dan tanpa banyak cakap mereka pun bubar dan meninggalkan tempat yang baru saja terjadi hal-hal yang sangat menegangkan hati mereka itu. Peristiwa itu tidak akan dapat mereka lupakan sebagai pengalaman yang menegangkan dan akan menjadi buah bibir di dunia kang-ouw sampai bertahun-tahun lamanya.

Begitu melihat Siluman Kecil pergi tanpa pamit kepadanya, tanpa sepatah pun kata kepadanya, bahkan seperti tidak mempedulikannya sama sekali, Cui Lan menunduk, air matanya meleleh tanpa dapat ditahannya pula. Kini jelaslah baginya bahwa pendekar yang dipuja-pujanya itu, dicintanya, sama sekali tidak memperhatikan dia. Barulah dia sadar bahwa sesungguhnya tidak mungkin dia mengharapkan yang bukan-bukan.

Siluman Kecil adalah seorang pendekar besar yang dipuja oleh banyak orang, apa lagi setelah dapat memenangkan kakek tadi, sampai-sampai ketua partai-partai besar pun menghormatinya. Sedangkan dia? Dia hanya seorang gadis dusun, seorang bekas pelayan! Seperti kilat memasuki benaknya bahwa dia adalah puteri angkat seorang gubernur, akan tetapi ingatan ini cepat diusirnya karena dia pun telah bersalah kepada ayah angkatnya ltu, telah pergi tanpa perkenan.

Ayah bundanya sudah tiada, tidak ada sanak keluarga, orang satu-satunya yang dia pandang dan harapkan, malah kiranya sama sekali tidak mempedulikannya, apa lagi mencintanya. Air matanya makin deras mengucur sampai dia tidak tahu bahwa tampat itu telah sunyi, semua orang telah pergi kecuali dia sendiri dan nikouw tua tadi, ibu dari Siluman Kecil yang sejak tadi memandangnya dengan sinar mata penuh rasa iba dan terharu.

Nenek ini saking terharunya mengusap dua butir air mata yang menghias bulu matanya. Dia tahu benar apa yang terjadi di dalam hati gadis cantik ini. Jelas bahwa dara ini jatuh cinta kepada Siluman Kecil, akan tetapi anaknya itu agaknya tidak membalas cintanya. Dia lalu menghampiri Cui Lan. Dipegangnya lengan gadis itu. Cui Lan menoleh dan barulah dia merasa terkejut bahwa di situ telah sunyi, dan bahwa nenek yang tadi disebut ibu oleh Siluman Kecil itu memegang lengannya.

“Anak yang baik, marilah engkau ikut bersamaku. Mungkin ada kecocokan antara kita karena kulihat bahwa pengalamanmu agaknya sama dengan peristiwa yang menimpa diriku di waktu aku muda dahulu. Mari kutunjukkan jalan Tuhan kepadamu.”

Ucapan ini seperti membuka bendungan di hati Cui Lan sehingga tangisnya makin mengguguk ketika dia membiarkan dirinya digandeng dan dibawa pergi perlahan-lahan meninggalkan puncak itu.

Para pembaca yang pernah mengikuti cerita-cerita terdahulu seperti cerita Suling Emas, Pendekar Super Sakti, Sepasang Pedang Iblis dan lain-lain tentu telah mengenal siapa adanya Pendekar Sakti Suling Emas dan apa yang terjadi dengan pusaka-pusaka peninggalannya. Di dalam cerita Pendekar Super Sakti telah diceritakan bahwa senjata pusaka suling emas peninggalan Pendekar Sakti Suling Emas itu yang terakhir berada di tangan Puteri Nirahai, dipergunakan oleh Puteri Nirahai untuk bertanding melawan Suma Han atau Pendekar Super Sakti yang akhirnya menjadi suaminya.

Ada pun mengenai kitab-kitab peninggalan Pendekar Suling Emas yang berisikan pelajaran ilmu-ilmu silat tingkat tinggi dan mukjijat seperti Kim-kong Sin-hoat, Pat-sian Kiam-hoat, Lo-hai San-hoat, dan Hong-in Bun-hoat dan kipas pada saat terakhir telah terjatuh ke tangan Lulu dan dibawanya ke Pulau Neraka di mana dia akhirnya menjadi ketua Pulau Neraka sebelum dia juga menjadi isteri Suma Han si Pendekar Super Sakti.

Jadi, baik suling emas yang terjatuh ke tangan Puteri Nirahai mau pun kipas dan kitab kitab yang terjatuh ke tangan Lulu, semua telah menjadi milik keluarga Pulau Es, yaitu Suma Han si Pendekar Super Sakti dan dua orang isterinya. Akan tetapi mengapa kini tiba-tiba berada di tangan kakek yang mengaku bernama Sin-siauw Sengjin itu?

Hal ini akan diceritakan kelak kalau sudah tiba waktunya untuk memperlancar jalannya cerita karena di dalamnya terdapat rahasia-rahasia yang sementara ini belum dapat dibuka atau diceritakan. Sabar ya…..
********************
Bayangan putih yang seperti terbang melayang dengan kecepatan luar biasa berlari dengan ilmu Jouw-sang-hui-teng (Ilmu Terbang di Atas Rumput) itu akhirnya berhenti di suatu lapangan terbuka yang penuh rumput hijau di bawah sebuah bukit. Bulan masih bersinar terang setelah awan-awan yang menutupnya tadi lewat. Lapangan rumput itu seperti laut kehijauan, indah bukan main.

Siluman Kecil berdiri di tepi lapangan rumput, menunduk dan melamun. Pikirannya agak kacau oleh karena pertemuannya dengan Cui Lan tadi. Dia tadi sengaja tidak mau memperhatikan dan bersikap acuh tak acuh terhadap dara itu, disengajanya agar dara itu dapat terbuka matanya bahwa dia tidak mungkin dapat membalas cinta kasih dara itu. Tentu saja dia tahu bahwa sejak dahulu ketika dia menolong dara itu, Cui Lan telah jatuh cinta kepadanya dan selalu memujanya dan merindukannya. Dia merasa suka dan kasihan sekali kepada Cui Lan, akan tetapi bagaimana pun juga, dia tidak dapat mencinta dara itu. Dia tidak dapat mencinta siapa-siapa lagi di dunia ini!

Dia mengerti betapa duka dan merananya orang yang tidak dibalas cintanya, dia terlalu mengerti akan kedukaan ini karena dia sendiri telah mengalaminya! Dia pun pernah mengalami seperti Cui Lan, mencinta seseorang secara mati-matian, penuh harapan dan bayangan yang muluk-muluk dan mesra-mesra, akan tetapi kenyataan amat pahit menghantam hatinya, bahwa orang yang dicintanya itu tak membalas perasaan hatinya.

Beberapa tahun yang lalu dia hidup merana, bahkan bosan hidup, tidak ingin hidup lagi sampai dia tiba di pucak bukit itu, bertanding melawan Sin-siauw Sengjin, dan terluka hampir mati. Akan tetapi dia tidak mati, agaknya dia masih diharuskan hidup lebih lama untuk memperpanjang hukumannya, yaitu penderitaan batin karena dia tidak dapat melupakan kedukaan hatinya.

“Ihhhh...! Kau lagi...?!”

Bentakan marah ini mengejutkan dan membuyarkan semua lamunannya. Di depannya telah berdiri gadis berpakaian serba hitam tadi, gadis yang membawa ular yang tadinya menyerangnya!

“Hemmm...“ Dia hanya menggumam.
“Hemmm apa? Kau adalah laki-laki tidak berperasaan, kau laki-laki kejam yang suka menghancurkan hati wanita! Kau tidak mempedulikan orang yang mencintamu malah mengejar wanita lain!” Dara itu telah mencak-mencak marah dan menudingkan telunjuk yang berkuku runcing terpelihara ke arah hidung Siluman Kecil.

Siluman Kecil mengerutkan dahinya dan memandang tajam. “Bocah lancang mulut, apa yang kau maksudkan itu?”

“Huh, mentang-mentang rambutmu sudah putih semua kau lantas boleh menyebut aku bocah, ya? Kau kira aku tidak tahu bahwa sebetulnya kau masih muda, tidak berbeda banyak dengan aku?”

Siluman Kecil merasa kewalahan juga menghadapi dara yang begini galak. Dia menarik napas panjang. “Yaaah, terserah. Sekarang cepat kau katakan, apa maksudmu dengan kata-katamu itu tadi?”

“Maksudnya? Maksudnya sudah jelas masih pakai tanya-tanya segala! Engkau kejam terhadap Cui Lan. Kau tinggalkan gadis itu begitu saja, tidak tahu bahwa hatinya seperti disayat-sayat rasanya. Engkau…, setelah kau jatuhkan hatinya dengan pertolonganmu, dengan kegagahanmu, dengan ketampananmu, lalu kau sia-siakan begitu saja. Lebih celaka lagi, kau malah meninggalkan dia dan mengejar aku! Mau apa kau mengejarku? Mau pamerkan kepandaianmu? Mau membunuh aku?”

Siluman Kecil beberapa kali membuka mulut akan tetapi terpaksa menutupkannya kembali karena dia sama sekali tidak diberi kesempatan untuk membela diri. Kata-kata yang keluar dari mulut yang manis itu seperti memberobotnya anak panah yang dilepas dari busur sakti! Dia kini menghela napas lega setelah dara itu menghentikan serangan-serangannya dan dia mengangkat muka memandang gadis yang bertolak pinggang itu, sikapnya sama sekali tidak takut bahkan menantang, padahal sudah jelas bahwa gadis itu telah dikalahkannya, sungguh pun harus dia akui bahwa tidak mudah mengalahkan dara yang ternyata memiliki ilmu silat yang amat tinggi dan aneh itu. Baru sekarang Siluman Kecil merasa serba salah dan canggung.

“Aku tidak mengejarmu, Nona.” Akhirnya dia berkata singkat.
“Dusta kau!” Dan tiba-tiba gadis berpakaian hitam itu telah menyerangnya kalang-kabut.

Siluman Kecil cepat mengelak ke sana ke mari sambil berkata, “Nona, aku tidak ingin berkelahi!”

Akan tetapi Hwee Li tak memberi kesempatan kepadanya dan terus mendesak dengan pukulan-pukulan yang mendatangkan angin dahsyat dan amat berbahaya. Siluman Kecil menjadi repot juga dan terpaksa dia meloncat tinggi dan jauh untuk menghindar, lalu dia melarikan diri karena memang dia tidak ingin berkelahi hanya karena perbedaan pendapat tentang diri Cui Lan dan tentang kejar-mengejar itu.

“Mau lari ke mana kau?” Hwee Li membentak dan mengejar.

Namun pada saat itu muncul bayangan orang di balik pohon dan terdengar bentakan halus menegur dara berpakaian hitam itu.

“Hwee Li, jangan kurang ajar. Kembalilah!”
“Eh, Subo...!” Gadis berpakaian hitam itu berseru kaget dan girang.

Siluman Kecil cepat lari akan tetapi dia masih sempat menengok dan melihat bahwa yang disebut subo oleh gadis itu adalah seorang wanita yang sangat cantik dan dia seperti pernah melihat wajah itu.

Akan tetapi dia tidak ingin bentrok dengan wanita cantik itu yang tentu memiliki ilmu kepandaian yang lebih hebat lagi dari pada si dara galak, apa lagi karena memang tidak ada permusuhan apa-apa di antara mereka. Maka Siluman Kecil lalu mempercepat gerakannya dan tubuh yang berpakaian dan berambut putih itu kelihatan melayang cepat sekali di atas lapangan rumput, diikuti oleh pandang mata dua orang wanita guru dan murid itu penuh kekaguman.

Fajar telah menyingsing ketika Siluman Kecil tiba di pintu gerbang kota An-yang, di dekat tapal batas Propinsi Ho-nan dan Ho-pei sebelah utara. Di depan pintu gerbang telah menanti banyak orang, yaitu sebagian besar adalah orang-orang luar kota An-yang yang hendak memasuki kota itu, menanti sampai dibukanya pintu gerbang oleh para penjaga.

Munculnya Siluman Kecil tentu saja mendatangkan rasa heran di antara mereka, karena keadaan pendekar ini memang aneh. Pakaiannya putih dan rambutnya juga terurai putih, sebagian menutupi mukanya sehingga menyembunyikan sebagian besar wajah yang tampan. Akan tetapi, di antara semua orang itu, ada seorang wanita muda yang selalu memandangnya dengan alis berkerut dan sinar mata yang tajam penuh selidik, kelihatan jelas bahwa wanita ini mencurigai dan memperhatikan semua gerak-geriknya.

Siluman Kecil tentu saja merasa tidak senang dan tidak enak, akan tetapi dia diam saja dan berdiri di sudut yang agak gelap. Wanita itu berpakaian serba hijau, menuntun seorang anak kecil berusia empat tahun, dan wanita itu sendiri berusia kurang lebih dua puluh tahun dengan wajah yang cukup cantik dan membayangkan kegagahan.

Ketika pintu gerbang dibuka tak lama kemudian, Siluman Kecil cepat menyelinap masuk dan mencari sebuah warung makan untuk sarapan dan menghangatkan badan di pagi hari yang cukup dingin itu. Sebuah warung baru saja dibuka dan masih kosong belum ada tamunya seorang pun. Cepat dia memasuki warung ini dan memesan masakan bubur ayam dan air teh panas. Akan tetapi, selagi pelayan menyiapkan pesanannya, masuklah tiga orang laki-laki muda ke dalam warung dan mereka itu bercakap-cakap dengan suara lantang.

“Lo-ciang, kenapa engkau tidak ikut memasuki pemilihan jago itu? Siapa tahu, engkau akan terpilih dan kelak menjadi seorang panglima besar, seorang jenderal sehingga aku yang menjadi sahabatmu tentu takkan kau lupakan, ha-ha-ha!”

“Enak saja kau bicara, A-seng! Yang dipilih adalah orang-orang yang punya ilmu tinggi untuk menjadi pengawal gubernur sendiri, dan yang terpandai akan memperoleh kedudukan istimewa. Maka tentu akan muncul banyak sekali orang sakti. Aku ini apa? Hanya bisa sekedar menggerakkan tangan seperti monyet menari! Kalau saja aku mempunyai kepandaian seperti pendekar Siluman Kecil yang disohorkan orang itu, nah...!”

Siluman Kecil memutar duduknya membelakangi mereka, dan ketika pelayan datang mengantarkan bubur dan air teh yang dipesannya, dia mulai makan bubur yang masih mengebul panas itu. Tiga orang laki-laki itu masih bercakap-cakap ramai akan tetapi tiba-tiba percakapan mereka terhenti ketika ada rombongan orang memasuki warung itu. Siluman Kecil melirik dan melihat bahwa wanita muda berpakaian hijau yang tadi dijumpainya di pintu gerbang menuntun seorang anak kecil, akan tetapi kini tidak lagi menuntun anak itu, memasuki warung diiringkan oleh lima orang laki-laki yang bersikap hormat seolah-olah mereka adalah pengawal-pengawal wanita itu.

Begitu mengambil tempat duduk, tak jauh dari tempat Siluman Kecil, dengan suara lantang wanita itu memanggil pelayan, kemudian berkata setelah melirik ke arah tiga orang laki-laki muda dan Siluman Kecil, “Pelayan, hidangkan masakan yang paling istimewa dari warungmu ini, dan arak yang hangat dan paling baik. Suguhkan kepada semua tamu atas namaku, aku yang akan membayar semua yang dimakan para tamu di pagi hari ini!”

Tiga orang laki-laki muda itu menoleh dan mereka menjadi gembira, lalu bangkit berdiri dan menjura ke arah wanita itu. Seorang di antara mereka berkata, “Kouwnio, banyak terima kasih atas kebaikanmu!” Wanita itu hanya membalas penghormatan mereka sambil tersenyum dan tiga orang laki-laki itu kembali duduk dengan sikap gembira.

Akan tetapi Siluman Kecil tentu saja merasa sungkan dan dia berkata dari tempat duduknya, “Harap Twanio tidak perlu repot, saya hanya makan bubur dan air teh, dan akan saya bayar sendiri. Terima kasih atas kebaikanmu.”

“Ahh, tidak mengapa, sobat. Hari ini adalah hari ulang tahunku dan sudah biasa setiap ulang tahun, aku membayar makanan semua tamu di suatu warung seperti ini,” kata wanita itu dengan sikap gembira.

Melihat sikap dan mendengar kata-kata ini Siluman Kecil dapat menduga bahwa wanita ini sudah biasa hidup di dunia kang-ouw sehingga tidak canggung lagi berhadapan dengan orang, bahkan laki-laki asing. Dia tidak mau berbantah dan agar tidak menarik perhatian wanita ini yang sejak di pintu gerbang tadi memandangnya penuh kecurigaan, maka dia tidak membantah lagi dan ketika hidangan disajikan oleh pelayan, dia makan dengan diam-diam dan berusaha sedapat mungkin untuk menyembunyikan mukanya.

Wanita itu sendiri pun tidak memperhatikannya lagi dan makan minum bersama lima orang laki-laki yang mengiringkannya tadi, sedangkan tiga orang laki-laki muda yang merupakan rombongan lain tadi agaknya mempergunakan kesempatan selagi ada orang yang mau membayar makanan mereka, memesan lagi masakan-masakan dan minuman arak, agaknya ingin mabuk-mabukan di atas biaya orang lain!

Siluman Kecil cepat menyelesaikan makannya dan selagi dia hendak bangkit, tiba-tiba dia melihat ada seorang pemuda memasuki warung. Hatinya tertarik sekali melihat pemuda ini yang berkulit putih dan berambut coklat tua, seorang pemuda berbangsa asing atau sebangsa orang barat yang akhir-akhir ini banyak dilihatnya di kota-kota besar.

“Sumoi...!” Pemuda asing itu berseru sambil menghampiri meja rombongan wanita berbaju hijau tadi.
“Ahhh, Suheng, kau baru datang?” Wanita itu pun berseru ketika pemuda asing itu menghampiri mejanya.

Lima orang pengiring wanita itu kelihatan bersikap hormat, berdiri dan mempersilakan pemuda asing itu duduk, mengambilkan bangku kosong dan tidak mengeluarkan kata kata. Pemuda asing itu lalu berbisik kepada wanita berbaju hijau, “Sumoi, dia kulihat di luar dusun... sedang menuju ke sini... sendirian.”

Wanita muda itu kelihatan terkejut, akan tetapi lalu berkata, “Hemmm, tidak kusangka begitu cepat dia datang. Akan tetapi kita tidak usah mempedulikan kedatangannya. Betapa pun juga kita belum pernah mengenal dia. Kita duduk saja di sini merayakan berhasilnya usahaku, Suheng. Oh ya, mari kuperkenalkan engkau kepada tamu-tamu kita yang kujamu untuk merayakan hari ulang tahunku.”

Dia bangkit berdiri dan menghadap ke arah meja tiga orang pemuda tadi.

“Cu-wi, ini Suheng saya, dan Cu-wi bertiga adalah...“ Wanita itu memperkenalkan.
“Saya Ma Kok Ciang!”
“Saya Kam Seng!”
“Saya Kam Tiong!”

Tiga orang pemuda itu memperkenalkan diri dengan suara lantang. Pemuda asing itu menjura dengan hormat dan mengikuti sumoi-nya menghadap ke arah Siluman Kecil.

“Sobat, Suheng-ku ingin berkenalan denganmu. Bolehkah kami mengenal namamu yang terhormat?” Wanita baju hijau itu bertanya kepada Siluman Kecil.

Pendekar ini menundukkan muka, membiarkan rambutnya menutupi mukanya. Sebetulnya dia tidak ingin berkenalan dengan siapa pun juga. Akan tetapi baru saja dia telah makan hidangan orang, maka tidaklah enak kalau tidak menjawab. Lebih baik memperkenalkan diri dan cepat pergi dari situ, pikitnya.

“Namaku...? Hemmm, panggil saja aku Siluman Kecil,” jawabnya pendek.
“Ughhh-ukkkhhhhh!” Seorang di antara tiga pemuda itu terbatuk-batuk karena makanan yang sedang ditelannya itu menyangkut di kerongkongannya ketika dia mendengar ini. Mereka terbelalak menoleh ke arah Siluman Kecil yang hanya dapat mereka lihat punggungnya.

Sedangkan wanita baju hijau dan suheng-nya itu pun memandang dengan mata terbelalak kaget, akan tetapi kerut alis mereka menunjukkan bahwa mereka itu masih ragu-ragu. Memang sejak berjumpa di pintu gerbang, wanita baju hijau itu sudah menaruh curiga kepada Siluman Kecil dan sudah menduganya bahwa pemuda yang berambut putih dan bersikap aneh itu tentu bukan orang sembarangan. Bahkan di dalam warung ini si wanita baju hijau sengaja mencari jalan untuk berkenalan dengan pemuda rambut putih itu. Akan tetapi begitu mendengar bahwa dia itu adalah Siluman Kecil, tentu saja dia meragu dan tidak mudah percaya begitu saja.

Silumah Kecil sendiri setelah memperkenalkan namanya sudah hendak bangkit dan pergi, akan tetapi pada saat itu terdengar suara gemuruh dan derap kaki kuda menuju ke depan warung. Seorang pelayan yang tadi berada di luar tergopoh-gopoh memasuki warung dan langsung menemui pemilik warung yang duduk di belakang meja. “Celaka, rombongan pembunuh dari perkampungan nelayan itu datang!”

Pemilik warung menjadi pucat mukanya dan semua pelayan juga lari bersembunyi. Melihat ini, Siluman Kecil tidak jadi pergi dan duduk kembali dengan tenangnya, menunduk dan mereguk arak di dalam cawan araknya. Wanita baju hijau itu, bersama suheng-nya dan lima orang pengiringnya, juga tiga orang laki-laki muda yang sudah agak mabuk, semua menengok ke arah pintu warung.

Dengan menimbulkan suara hiruk-pikuk masuklah dua puluh orang lebih yang bersikap gagah dan kasar, dipimpin oleh seorang kakek yang pakaiannya gemerlapan mewah, pakaian seorang hartawan besar. Dengan matanya yang kelihatan makin sipit karena teraling sepasang pipi yang gemuk, kakek ini menyapu ruangan warung dengan pandang matanya, kemudian dengan gerakan kepala dia memberi perintah kepada tangan kanannya sebagai pemimpin rombongan, yaitu seorang laki-laki bermuka hitam yang bertubuh tinggi. Laki-laki hitam ini dengan lantang lalu berkata kepada pemilik warung yang masih duduk di belakang meja dengan muka pucat dan agaknya dia telah lumpuh saking takutnya sehingga tidak sempat pula menyembunyikan dirinya seperti yang dilakukan oleh para pelayan.

“Haaai! Pemilik warung, sudah berbulan-bulan engkau tidak pernah menyerahkan hasil tangkapan ikan kepada kami, ya?” kata Si Muka Hitam dengan muka menyeringai dan nada suara menggertak.

Pemilik warung itu menelan ludah beberapa kali untuk mengusir rasa takut yang tiba tiba mencekik lehernya sebelum dapat menjawab, “Saya... saya adalah pengusaha warung... harap maafkan... saya tidak lagi menangkap ikan...“

“Bohong!” Si Muka Hitam menghardik, suaranya keras sekali membuat si pemilik warung menjadi makin ketakutan. “Siapa yang tidak tahu bahwa engkau adalah bekas nelayan yang pandai? Engkau masih mempunyai lima buah perahu dan engkau menyuruh orang-orangmu mencari ikan-ikan tetapi hasil ikan-ikan yang baik dan besar kau suruh bawa ke sini, hanya yang kecil-kecil saja kau suruh menjual kepada kami. Berani kau menyangkal?”

Gemetar seluruh tubuh pemilik Warung itu. Tidak disangkanya bahwa Boan-wangwe, ‘raja’ kaum nelayan itu sedemikian cerdiknya, dapat tahu setiap langkah perbuatannya. “Maaf... ampunkan saya... saya membutuhkan ikan-ikan baik untuk warung saya...“

“Ha-ha-ha!” Sekarang Boan-wangwe, hartawan itu, tertawa. “Sudahlah! Sekarang kau keluarkan hidangan dari ikan-ikan yang terbaik, keluarkan semua persediaan masakan dan minuman untuk kami dan kami akan melupakan pelanggaran yang kau lakukan itu. Akan tetapi suruh pergi semua tamu dari sini, kami tidak ingin diganggu.”
“Heiii, pelayan! Tambah araknya!” Tiba-tiba terdengar suara si pemuda asing, seolah olah dia sama sekali tidak melihat atau mendengar apa yang terjadi di situ.

Tukang warung itu tergopoh-gopoh mendatangi meja wanita baju hijau itu, lalu berdiri membongkok-bongkok dan berkata gugup, “Harap Cu-wi sudi memaafkan saya... harap sudi meninggalkan saja warung ini dan... dan Cu-wi tidak usah membayar harga semua makanan dan minuman tadi...“

“Hemmm, apa artinya ini?” Pemuda asing itu membentak, sikapnya marah.
“Maaf, Siauw-ya... warung ini... kini harus melayani Boan-wangwe dan orang-orangnya, saya tidak bisa menerima tamu lain, semua telah diborong oleh Hartawan Boan...“

“Tidak peduli yang memborong itu hartawan atau jembel, raja atau petani, dewa atau setan yang bernama Boan atau anjing kera, kami sudah datang lebih dulu dan harus dilayani lebih dulu!” Pemuda asing itu membentak marah. “Hayo tambah lagi araknya!”
“Ba... baik...“ Pemilik warung itu menjadi makin ketakutan dan seperti seekor anjing dipukul dia mundur dan mengkeret, lalu berdiri di belakang mejanya dengan bingung, tak tahu apa yang harus dilakukannya.

Sementara itu, Si Muka Hitam pimpinan rombongan pengikut Boan-wangwe itu, telah melangkah maju sambil memberi isyarat kepada orang-orangnya. Meja wanita baju hijau itu dikurung, akan tetapi wanita baju hijau itu bersama suheng-nya dan lima orang pengiringnya masih tetap duduk mengelilingi meja dengan sikap tenang.

Boan-wangwe sendiri, kakek berpakaian mewah itu, hanya tersenyum lalu dengan enaknya duduk di atas bangku di sudut sambil menonton, mengeluarkan huncwe (pipa tembakau) dan mengisinya dengan tembakau, lalu menyulutnya dengan api, semua ini dilakukan dengan tenang seenaknya seperti orang yang hendak menikmati tontonan yang menarik. Siapakah kakek ini?

Di bagian depan telah kita ketahui bahwa kakek ini adalah seorang bekas bajak laut yang berkepandaian tinggi, dan yang sekarang ini telah menjadi seorang hartawan, seorang pedagang ikan yang melakukan pemerasan terhadap semua nelayan, melepas uang panas, dan juga memaksa semua orang nelayan untuk menjual hasil tangkapan mereka kepadanya, tentu saja dengan harga murah dan dia mempunyai banyak anak buah yang disebarnya di belasan buah dusun-dusun di sepanjang Sungai Huangho.

Hartawan she Boan ini dikenal sebagai ‘raja’ kaum nelayan, dan ia merupakan seorang tokoh kaum sesat yang tidak saja kaya raya dan berani mengeduk saku demi untuk membantu segolongannya, tetapi juga memiliki ilmu kepandaian yang tinggi. Seperti telah diceritakan di bagian depan, di waktu ketua Huangho Kui-liong-pang mengundang para kaum sesat untuk mengadakan pertemuan di lembah, Boan-wangwe juga tidak ketinggalan dan menjadi seorang di antara para tamu kehormatan.

“Orang bule! Agaknya engkau sudah bosan hidup! Hayo lekas engkau dan teman temanmu merangkak keluar kalau tidak ingin kami seret ke luar sebagai mayat!” bentak Si Muka Hitam.

Akan tetapi pemuda asing itu bersama sumoi-nya masih enak-enak menggunakan sumpit dengan tangan kanan untuk menyumpit daging ini atau sayur itu, membawa ke mulut dan memakannya dengan tenang. Mendengar bentakan itu, pemuda asing yang dimaki orang bule itu menoleh, lalu berkata acuh tak acuh, “Hendak kulihat siapa yang akan mampu menyeret aku keluar!”

“Keparat!” Si Muka Hitam membentak.

Dia merupakan salah seorang di antara pembantu-pembantu Boan-wangwe dan dalam perjalanan ini dia bahkan memimpin rombongan itu, maka tentu saja dia marah bukan main mendengar tantangan si pemuda asing. Sambil memaki dia menghantam ke depan, tangan kanan mencengkeram pundak, tangan kiri menjotos ke arah tengkuk. Serangan maut ini kalau mengenal sasaran tentu akan membuat yang diserang roboh dan tewas seketika dengan kepala remuk.

“Plak-plakkk... aughhhhh...”

Si Muka Hitam itu terlempar ke belakang dan roboh terbanting keras! Ternyata dengan tangan kanan masih memegang sumpit dan melanjutkan makannya, pemuda asing itu tanpa menoleh telah menggerakkan tangan kirinya, menangkis dua tangan lawan dan mendorong, membuat Si Muka Hitam terjengkang dan roboh!

Tentu saja hal ini membuat semua anak buah Boan-wangwe menjadi marah. Sambil berteriak-teriak mereka bergantian menerjang pemuda asing itu. Akan tetapi sungguh hebat sekali pemuda ini. Dia terus melanjutkan makan minum, ditemani sumoi-nya yang seolah-olah tidak mempedulikan suheng-nya dikeroyok, dan lima orang pengiringnya pun hanya memandang saja dengan sikap siap siaga. Akan tetapi, sambil melanjutkan makan hidangan di depannya dengan sumpit, pemuda asing itu menggunakan tangan kirinya, menangkis, menampar, menyodok, merampas senjata dan berturut-turut para pengeroyoknya itu ada yang terpelanting, ada yang terjengkang dan jatuh tumpang tindih!

Boan-wangwe yang melihat keadaan anak buahnya ini mengerutkan alisnya dan dia menggigit ujung huncwenya, matanya memandang marah akan tetapi dia masih duduk karena melihat anak buahnya masih bangun lagi dan masih mengurung, kini semua mencabut senjata mereka.

Lima orang pengiring wanita baju hijau kelihatan bangkit berdiri, meraba gagang pedang di pinggang, akan tetapi wanita baju hijau itu menggeleng kepala. Mereka memandang penasaran, akan tetapi ternyata mereka taat sekali karena mereka sudah duduk kembali sambil memandang pemuda asing yang kini sudah menghabiskan hidangan di dalam mangkoknya. Setelah hidangannya habis, pemuda asing ini bangkit berdiri dengan muka kesal, lalu membalikkan tubuhnya menghadapi para pengepungnya.

“Kalian sungguh manusia-manusia yang menjemukan!” katanya perlahan dan pemuda ini menggosok-gosokkan kedua telapak tangannya, kemudian kedua tangan itu diputar putar di depan dada.
“Suheng, jangan...!” Wanita baju hijau berseru kaget.

Akan tetapi kedua tangan pemuda itu sudah terlanjur digerakkan, mendorong ke depan dan biar pun dia mendengar seruan mencegah dari sumoi-nya dan sudah mengurangi tenaganya, tetap saja terdengar teriakan-teriakan kaget dan kesakitan dari dua puluh orang lebih itu. Mereka tidak roboh, melainkan menggigil kedinginan, gigi mereka saling beradu hingga berbunyi berkeretakan, mulut mereka pun mengeluarkan suara.

“Hu-hu-hu-huuu...,” dan mereka berusaha mengusir rasa dingin dengan memeluk tubuh sendiri. Keadaan mereka sungguh lucu dan aneh sekali.

Siluman Kecil merasa terkejut bukan main. Dia melihat betapa keringat-keringat yang tadi membasahi tubuh dua puluh orang lebih itu, kini tampak membeku, berubah seperti tepung-tepung salju menempel di tubuh mereka. Bukan main, pikirnya. Seperti Swat-im Sin-ciang dari Pulau Es, akan tetapi bahkan lebih ganas! Juga Boan-wangwe terkejut dan kini dia bangkit berdiri.

“Huh!” Pemuda asing itu mendengus. “Kalau saja Sumoi tidak mengasihani kalian, tentu sekarang kalian telah menjadi patung-patung beku tak bernyawa lagi.”

Boan-wangwe sekarang mengeluarkan semua abu dan tembakau dari huncwenya dan dengan perlahan dia mencabut ujung huncwe yang ternyata bersusun dan kini huncwe itu memanjang sampai selengan panjangnya. Kiranya huncwe itu selain dapat dipakai sebagai penghisap tembakau, juga merupakan senjata yang aneh dan ampuh! Tangan kirinya merogoh saku dan keluar lagi menggenggam peluru-peluru kecil yang segera dimasukkan ke dalam mulutnya!

Kemudian, dengan mengeluarkan suara menggeram, Boan-wangwe menggerakkan kakinya. Tubuhnya yang agak gendut itu ternyata memiliki gerakan ringan dan cepat sekali, melayang melalui atas kepala orang-orangnya yang masih kedinginan, langsung menyerang pemuda asing itu dengan huncwe-nya yang panjang!

“Wuuuttttt... singgggg...!”

Sambaran huncwe itu mengejutkan si pemuda asing yang dari suaranya saja maklum bahwa dia menghadapi senjata ampuh yang digerakkan oleh tenaga sakti yang kuat. Maka dia cepat melompat ke samping sambil mengelak, sambil mencabut pedangnya, kemudian balas menusuk yang dapat ditangkis oleh Boan-wangwe.

“Tranggggg!... Cringgggg...!”

Dua kali pedang bertemu huncwe dan nampaklah api berhamburan. Keduanya menarik senjata masing-masing untuk memeriksa. Lega hati mereka melihat betapa senjata mereka tidak rusak walau pun tadi mereka merasakan getaran hebat mengiris telapak tangan mereka.

Para anak buah Boan-wangwe kini mundur dan anehnya, mereka semua kini duduk di atas lantai di sudut ruangan itu, tidak ada seorang pun yang berdiri dan mereka menonton pertandingan hebat antara majikan mereka dan pemuda asing itu penuh perhatian.

Siluman Kecil juga menonton dengan hati tertarik. Kembali dia merasa kagum karena ternyata bahwa pemuda yang berkulit putih dan berambut coklat itu selain memiliki pukulan yang mirip Swat-im Sin-ciang, juga memiliki ilmu pedang yang amat lihai sehingga biar pun Boan-wangwe juga memiliki gerakan lihai sekali, cepat kuat dan aneh, namun kakek ini kelihatan terdesak oleh ilmu pedang si pemuda asing.

“Hyaaaaattttt...!”

Tiba-tiba pedang itu meluncur dengan gerakan memutar seperti seekor naga bermain di angkasa, bergulung-gulung dengan cepat sekali. Boan-wangwe menggerakkan huncwe-nya menangkis dan memutar huncwe untuk mengimbangi kecepatan pedang, namun tetap saja dia masih kalah cepat.

“Brettttt...!”

Untunglah dia masih sempat menarik lengannya sehingga yang terbabat putus hanya ujung lengan bajunya saja. Akan tetapi hal ini cukup membuat dia terkejut sampai mukanya berubah dan tiba-tiba dia meloncat ke belakang dan menempelkan ujung huncwe ke mulutnya.

“Awas, Suheng...!” Wanita baju hijau itu berseru.

Pemuda asing itu sudah waspada ketika dari ujung huncwe itu menyambar sinar-sinar kehitaman yang mengeluarkan bunyi bersuitan. Melihat benda-benda kecil menyambar ke arahnya, pemuda itu mengelak dan dengan pedangnya dia menangkis.

“Tringgg... tarrrrr-tarrrrr!”

Dua buah peluru kecil yang kena disampok pedang itu meledak dan pemuda asing itu berteriak kaget lalu roboh. Ternyata peluru itu mengandung jarum-jarum lembut sekali yang agaknya beracun, yang berhamburan keluar ketika peluru itu meledak dan ada yang mengenai pemuda bule itu.

“Suheng...!” Wanita baju hijau itu berteriak.

Dengan marah dia lalu meloncat ke arah Boan-wangwe, gerakannya ketika meloncat membuktikan bahwa dia memiliki ginkang yang amat hebat. Seperti seekor burung walet menyambar saja ketika dia meloncat. Akan tetapi Boan-wangwe sudah cepat menggerakkan huncwenya menangkis ketika melihat sinar pedang meluncur cepat.

“Tranggggg...!”

Kembali nampak bunga api berhamburan dan Boan-wangwe harus cepat memutar huncwe-nya karena wanita baju hijau itu ternyata memiliki ilmu pedang yang bahkan lebih hebat dari pada suheng-nya! Dan selain itu, lima orang pengiringnya kini sudah mencabut pedang semua dan mengeroyoknya!

Boan-wangwe maklum bahwa kalau dia melanjutkan pertempuran dengan senjata, jangankan dikeroyok enam, melawan wanita baju hijau itu saja sudah kewalahan, maka dia kembali melompat ke belakang dan menggunakan huncwe dan peluru-peluru kecil untuk menyerang lawan. Huncwe yang sudah berubah menjadi senjata sumpitan itu lalu menyemburkan banyak sekali peluru-peluru kecil.

Wanita baju hijau terpaksa harus menangkis, demikian pula lima orang pengiringnya dan terdengar bunyi ledakan-ledakan kecil. Wanita itu menjerit dan bersama lima orang pengiringnya, juga tiga orang muda yang sudah mabuk dan yang tadi menonton sambil duduk di atas kursi mereka, roboh semua tak sadarkan diri. Mereka semua, sejumlah sembilan orang itu, roboh pingsan terkena serangan jarum-jarum halus yang tak tampak oleh mata, yang berhamburan keluar dari dalam peluru-peluru kecil yang pecah dan meledak.

“Ha-ha-ha, kini baru kalian tahu rasa!” Boan-wangwe tertawa bergelak. “Berani kalian menentang Huncwe Maut Boan Kwi, ha-ha-ha!” Sekarang pergilah kalian ke neraka!”

Dengan iringan suara ketawa anak buahnya yang baru sekarang berani berdiri dengan tubuh masih ada yang menggigil kedinginan, Boan-wangwe melangkah lebar sambil membawa huncwe-nya, hendak membunuh tujuh orang bekas lawannya itu. Kini baru Siluman Kecil mengerti mengapa anak buah Boan-wangwe tadi semua duduk di atas lantai. Kiranya mereka itu tahu bahwa majikan mereka akan menggunakan huncwe mautnya dan mereka sudah lebih dulu bersembunyi dari sambaran-sambaran peluru yang berisi jarum-jarum halus itu!

Ketika Boan-wangwe sudah mengangkat huncwe untuk memukul kepala si pemuda bule yang masih pingsan, tiba-tiba ada angin menyambar dari kanan. Dia terkejut sekali, akan tetapi ketika dia menggerakkan huncwe ke kanan, pukulan itu lenyap dan kini hawa pukulan menyambar dari kiri! Boan-wangwe terkejut dan bingung, mengangkat tangan kirinya menangkis.

“Plakkk...! Nyesssss...!”

Boan-wangwe tertegun dan matanya berkejap-kejap heran, menikmati rasa yang amat nyaman dan enak yang dirasainya ketika tangannya bertemu dengan tangan orang yang menghantamnya itu. Tadi dia masih tergetar oleh benturan-benturan tenaga dari si pemuda bule yang mendatangkan rasa dingin sekali, dan sekarang, benturan tenaga ini mendatangkan rasa hangat dan nyaman, nikmat, seolah-olah dia baru saja diserang hawa dingin lalu mendapatkan kehangatan dari perapian atau selimut hangat yang halus. Sukar dilukiskan rasanya, amat enak dan menyenangkan. Akan tetapi ketika dia memandang ke arah lengan kirinya yang tadi terbentur dengan lengan lawan dan yang mendatangkan rasa nyaman itu, dia terbelalak dan hampir saja menjerit. Ternyata lengan bajunya hancur lebur dan kulit tangannya rusak seperti habis disiram minyak mendidih.

“Celaka...!” serunya dan dia cepat menoleh ke kiri.

Di situ telah berdiri seorang pemuda berpakaian putih dan berambut putih pula. Pemuda berambut putih! Muka Boan-wangwe berubah jadi pucat, jantungnya berdebar penuh ketegangan. Apakah ini orangnya yang disebut-sebut di dalam pertemuan di lembah itu? Inikah dia si Siluman Kecil? Bulu tengkuknya meremang. Tak mungkin tokoh yang menggegerkan dunia kang-ouw itu masih begini muda!

Siapa pun adanya orang ini, jelas orang ini memiliki ilmu pukulan yang seperti ilmu iblis! Mengerikan sekali! Maka Boan-wangwe tidak mau menyia-nyiakan waktu lagi. Cepat dia meloncat ke belakang dan menggunakan huncwe-nya sebagai sumpitan. Siluman Kecil sudah siap waspada karena dia tadi telah menyaksikan sendiri betapa lihai dan berbahayanya senjata sumpitan itu. Dia harus mengelak kalau dia ingin selamat, sama sakali tidak boleh menangkis, karena justeru di situlah letak bahayanya peluru-peluru kecil itu. Sekali ditangkis, peluru akan meledak dan jarum-jarum halus yang agaknya beracun akan menyerangnya tanpa dapat dielakkannya lagi karena selain terlalu dekat juga terlalu halus tidak dapat dilihat nyata.

Maka begitu ada suara bersuitan dan ada sinar-sinar hitam menyambar, Siluman Kecil lalu menggerakkan tubuhnya dan dia pun sudah berloncatan ke sana-sini dengan kecepatan yang amat luar biasa. Seperti kilat menyambar-nyambar saja layaknya. Setiap kali berloncatan, dia hanya menggunakan satu kaki saja untuk mengenjot tubuhnya, seperti seekor burung bangau berdiri dengan satu kaki. Kaki yang sebuah lagi ditekuk ke belakang. Akan tetapi, loncatannya itu demikian tiba-tiba dan tubuhnya dapat melejit ke sana-sini, mencelat ke kanan kiri, depan belakang, atas bawah seperti sebuah bola saja melambung ke sana-sini. Cepatnya bukan main karena tubuhnya seolah-olah tidak lagi berloncatan, melainkan melenting ke sana-sini karena memantul kembali.

Pertunjukkan ginkang yang diperlihatkan oleh Siluman Kecil ini benar-benar amat luar biasa sekali. Tubuhnya seperti telah menjadi banyak loncat ke sana sini, jungkir balik, melayang ke atas, menyentuh atap dan menukik turun seolah-olah kepalanya akan menyentuh lantai, lalu membuat salto sampai lima enam kali berturut-turut, berbalik kembali ke atas, selalu meluncur di antara hujan peluru kecil itu. Kakinya menotol ke sana-sini, menjejak dinding tembok, hinggap di atas meja, di atas bangku, melayang lagi ke atas kepala Boan-wangwe, bahkan pernah kaki itu menyentuh pundaknya dan menggunakan pundak lawan untuk mencelat ke lain bagian, terus mengelak.

Warung itu menjadi sasaran ledakan-ledakan peluru yang mengenai tembok, meja dan bangku sehingga kini semua pelayan termasuk pemilik warung yang bersembunyi, tidak urung terkena jarum halus dan semua roboh pingsan di atas lantai di mana mereka bersembunyi!

Pada saat itu pula muncul seorang laki-laki yang masih muda, usianya kurang lebih tiga puluh tahun. Dia sudah tiba di ambang pintu dan memandang ke dalam dengan mata terbelalak.

“Hebat!” serunya ketika dia melihat tubuh Siluman Kecil yang melayang-layang. “Ahh...!” Dia berteriak kaget ketika melihat peluru-peluru kecil yang meledak itu pecah dan menyebar jarum-jarum lembut yang beracun. Dia melihat banyak orang rebah di lantai akibat serangan jarum-jarum halus itu.

“Tahan...!” Laki-laki ini berseru, suaranya melengking nyaring dan tubuhnya mendoyong ke depan, hampir menelungkup, dan mendadak badannya meluncur ke depan, cepat sekali, lengan bajunya yang kiri berkibar-kibar dan bergerak-gerak ke kanan kiri seperti seekor ular yang hidup. Dan semua peluru yang kesasar dan menyambar ke arahnya, semua lenyap seperti tertelan atau tergulung oleh lengan baju itu, kemudian dengan gerakan yang bukan main gesitnya, dia mendekati Boan-wangwe dan ujung lengan baju yang seperti ekor naga itu bergerak-gerak di depan sumpit dan menggulung semua peluru yang disemburkan keluar, sampai akhirnya habislah peluru yang berada di mulut Boan-wangwe.

Boan-wangwe terkejut bukan main. Pelurunya sudah habis. Tidak ada lagi yang boleh diandalkannya untuk menghadapi lawan-lawan yang amat sakti ini. Baru menghadapi pemuda rambut putih yang disangkanya tentu Siluman Kecil itu saja, dia sudah kewalahan dan tak mungkin bisa menang, sekarang muncul lagi orang aneh ini yang dengan lengan baju yang kosong dapat membikin peluru-pelurunya yang ampuh dan berbahaya itu mati kutu sama sekali…..

Selanjutnya baca
JODOH RAJAWALI : JILID-08
LihatTutupKomentar