Kisah Sepasang Rajawali Jilid 25
Mereka datang makin dekat, hanya tinggal belasan meter saja dari rumah rusak itu. Untuk melarikan diri tidak mungkin karena sekali keluar dari rumah itu tentu akan terlihat oleh mereka dan lari pun tentu percuma, akan dapat dikejar. Maka Syanti Dewi hanya bersembunyi dan mengintai dengan menahan napas, diam-diam berdoa agar mereka itu tidak akan memasuki rumah rusak.
“Haaaa, kau hendak lari ke mana...?” Suara lirih dan parau di belakangnya ini membuat Sang Puteri terkejut setengah mati. Dia menengok dan melihat seorang kakek tua berkepala botak, tersenyum dan matanya memandang seperti mata seorang anak nakal yang suka menggoda, kedua lengan dibentangkan dengan sikap hendak menangkap Syanti Dewi!
Syanti Dewi terkejut dan menjadi bingung, akan tetapi tiba-tiba kakek itu yang melihat kebingungannya, lalu menurunkan kedua lengannya dan bertanya halus, “Eh, Nona. Mengapa pagi-pagi sekali engkau berada di sini seorang diri dan kelihatan ketakutan? Apakah kau hendak minggat dari rumahmu bersama seorang pacar?”
Syanti Dewi maklum bahwa ternyata kakek ini tidak ada hubungannya dengan para pengejarnya, dan sepanjang perantauannya dia telah agak mengenal orang-orang pandai, maka dia pun menduga bahwa kakek ini tentu bukan orang sembarangan, maka cepat dia menjura dan berkata, “Kakek yang baik, aku mohon padamu, tolonglah aku... aku sedang dikejar dan hendak ditangkap oleh mereka itu...” Dia menuding ke arah luar rumah rusak itu.
Akan tetapi terlambat sudah. Wanita yang bukan lain adalah seorang di antara Loan-ngo Mo-li itu telah mendengar suara Si Kakek dan dengan langkah lebar diikuti oleh lima orang prajurit pengawal dia telah menghampiri rumah rusak itu dan tiba-tiba saja dia muncul di depan Syanti Dewi dan kakek itu.
Wanita yang memakai anting-anting emas besar di kedua telinganya dan lima orang prajurit pengawal itu kelihatan girang sekali melihat Syanti Dewi. Akan tetapi tiba-tiba kakek itu tertawa dan mengandung getaran kuat sekali, “Ha-ha-ha-ha, kalian bengong memandang kami kakek dan nenek mau apa sih? Berani kalian mengganggu Nenek Durganini yang sedang indehoi dengan kekasihnya? Heh-heh!”
Betapa anehnya! Wanita Loan-ngo Mo-li yang bertampang kejam itu dan lima orang prajurit pengawal yang telah terpengaruh sihir dari nenek hitam guru Tambolon itu kini memandang bengong, dan wanita itu lalu menjura kepada Syanti Dewi sambil berkata, “Harap Locianpwe maafkan, saya kira tadi puteri yang sedang kita cari-cari...”
Syanti Dewi tentu saja juga bengong dan bingung, akan tetapi lengannya sudah digandeng oleh kakek itu pergi meninggalkan rumah rusak, jalan bergandengan tangan diikuti pandang mata wanita itu yang masih terkejut dan heran. Akan tetapi, bukan main kaget dan heran hatinya ketika melihat mengapa ‘nenek hitam’ itu tadi dari belakang kelihatan ramping dan muda, tidak terbongkok-bongkok melainkan jalan berlenggang dengan bukit pinggul seorang dara muda yang bulat dan penuh! Dia menggoyang dan mengguncang kepalanya, memejamkan mata sebentar kemudian membuka mata memandang lagi. Kiranya ‘nenek’ itu adalah puteri yang dicari-carinya.
“Kejar...! Tangkap mereka!” dia berteriak.
Lima orang prajurit pengawal yang kini berubah menjadi seperti manusia-manusia robot yang tidak mempunyai pendirian sendiri karena telah dipengaruhi sihir Nenek Durganini itu cepat mengejar Syanti Dewi dan kakek tua, tombak mereka ditodongkan ke depan siap untuk menyerang.
Mendengar teriakan ini yang disusul derap kaki mengejar mereka, Syanti Dewi menjadi khawatir sekali. “Kek, mereka mengejar...!” bisiknya.
Kakek itu terkekeh, kemudian secara tiba-tiba dia berhenti dan membalikkan tubuhnya, telunjuk kirinya menuding ke arah lima orang prajurit pengawal itu sambil mulutnya berkata, “Heeeiii! Kalian mengapa main-main dengan ular? Lihat, kalian bisa digigit sendiri oleh ular di tangan kalian!”
Syanti Dewi tentu saja menjadi heran sekali, mengira bahwa kakek yang aneh ini mungkln sudah miring otaknya. Dikejar musuh yang mengancam bukannya lari atau melawan malah berolok-olok seperti itu. Akan tetapi Syanti Dewi terbelalak kaget bukan main ketika dia melihat betapa lima orang prajurit pengawal yang kini telah menjadi hamba atau kaki tangan nenek hitam mengerikan itu memekik ketakutan dan tombak di tangan mereka itu telah berubah menjadi ular-ular besar yang kini membalikkan kepala mendesis-desis hendak menyerang mereka sendiri. Syanti Dewi mengejap-ngejapkan matanya karena tidak percaya, akan tetapi benar saja, tombak-tombak di tangan lima orang itu telah berubah menjadi ular-ular yang menyerang mereka sendiri.
Kelima orang itu terbelalak dengan muka pucat, kemudian tentu saja mereka lalu membuang ‘ular-ular’ itu dan lari ketakutan! Mereka adalah prajurit-prajurit pengawal pilihan, anak buah Jenderal Kao dan juga merupakan prajurit yang pantang mundur menghadapi musuh yang bagaimana kuat pun. Akan tetapi kini, melihat tombak sendiri berubah menjadi ular-ular besar panjang yang menyerang mereka sendiri, hal ini terlalu hebat bagi mereka dan mendatangkan rasa takut yang hebat.
“Ha-ha-ha-ha!” Kakek itu tertawa.
Syanti Dewi terpukau di tempatnya melihat betapa ‘ular-ular’ itu setelah dibuang ke atas tanah dan ditinggalkan para prajurit, telah kembali kepada bentuk semula, yaitu lima batang tombak. Bukan main kagum dan girang rasa hatinya karena kini dia maklum bahwa dia telah ditolong oleh seorang kakek ahli sihir pula. Sungguh mengherankan sekali, pikirnya. Dia akan diculik oleh seorang nenek ahli sihir dan ditolong oleh seorang kakek ahli sihir!
“Kakek yang baik, aku akan kau bawa ke mana?” tanya Syanti Dewi setelah melihat betapa para pengejar itu tidak tampak lagi di belakang mereka dan kakek itu telah membawanya keluar dari dusun itu.
“Ke tempat yang aman, di hutan depan itu. Di sana menanti seorang muridku, mari kau kuperkenalkan dengan dia,” kata Si Kakek yang bukan lain adalah See-thian Hoat-su itu.
Kakek ini pernah mengacau di dalam pesta yang diadakan Tambolon ketika Tambolon memaksa Siang Hwa untuk menikah dengan dia. Seperti telah diceritakan secara singkat, tokoh perantauan yang aneh ini adalah seorang yang memiliki ilmu silat tinggi dan mahir pula dengan ilmu sihir dan dia adalah bekas suami dari Nenek Durganini.
Seperti telah kita ketahui, See-thian Hoat-su bersama Panglima Jayin perwira pengawal Bhutan itu bersama empat orang anak buahnya, Kian Bu, Siang Hwa dan Siang In melarikan diri dikejar oleh Pasukan Tambolon dan dikeroyok di atas rakit sampai rakit itu terbawa hanyut oleh sungai yang mengamuk dalam badai. Jenazah Siang Hwa yang menjadi korban hujan anak panah tidak dapat diselamatkan dan dibawa hanyut oleh air, akan tetapi kakek ini berhasil menyelamatkan Siang In ke darat. Karena kasihan melihat dara yang yatim piatu dan kini bahkan kehilangan enci-nya itu, juga karena melihat Siang In memiliki tulang yang kuat dan darah yang bersih serta memiliki bakat, kakek itu lalu mengangkat Siang In menjadi muridnya.
Biar pun sudah bercerai dari isterinya, yaitu Nenek Durganini, namun sesungguhnya Kakek See-thian Hoat-su masih mencinta isterinya atau bekas isterinya itu. Maka ketika dia mendengar bahwa isterinya datang dari barat untuk membantu dan dapat dikatakan diperalat oleh muridnya yang jahat, yaitu Tambolon, See-thian Hoat-su menjadi tak senang hati dan dia pun lalu membayangi bekas isterinya itu untuk mencegah isterinya terseret dalam kejahatan. Inilah sebabnya mengapa kakek itu bisa muncul di dalam perayaan pesta pernikahan Tambolon dan mengacau sehingga pernikahan paksaan itu gagal.
Kini, mendengar bahwa Tambolon dan bekas isterinya itu pergi ke kota raja, diam-diam dia pun mengajak murid barunya, Teng Siang In untuk membayangi. Melihat betapa isterinya menggunakan ilmu sihir untuk menculik Syanti Dewi, dia segera turun tangan menolong gadis itu. Hal ini dilakukannya bukan sekali-kali karena dia suka mencampuri urusan orang lain, melainkan semata-mata karena dia hendak mencegah isterinya terseret oleh muridnya melakukan perbuatan jahat. Demikian pula halnya ketika dia mengacau di dalam pesta Tambolon. Hanya karena mengingat kepada isterinya sajalah maka kakek ini mau campur tangan karena biasanya dia sudah tidak sudi lagi mencampuri urusan dunia yang hanya mendatangkan pertentangan dan permusuhan.
See-thian Hoat-su yang melarikan Syanti Dewi itu telah tiba di dalam hutan kecil itu dan langsung dia menghampiri sebuah kuil rusak yang kosong dan sisa dindingnya sudah penuh dengan lumut hijau.
“Siang In..., muridku yang baik, kau lekas keluarlah...!” Kakek itu berteriak dengan suara gembira.
Terdengar suara orang menjawab dari dalam kuil tua dan Syanti Dewi ingin sekali melihat macam apa orangnya yang menjadi murid kakek aneh ini. Kemudian dari dalam kuil itu tampak sesosok bayangan orang melangkah keluar dan Syanti Dewi terbelalak melihat bahwa orang ini bukan lain adalah nenek hitam berpakaian hitam yang telah menyihir para pengawalnya malam tadi!
See-thian Hoat-su juga terkejut sekali, tetapi kakek ini terkekeh dan berkata, “Isteriku yang baik, engkau sudah menyusulku ke sini? Mana muridku?”
“Siapa isterimu? Siapa muridmu?”
“Engkau isteriku... yang baik, yang tercinta, yang...”
“Cukup! Kita sudah bercerai dan aku sudah nenek-nenek, engkau sudah kakek-kakek, tidak ada gunanya merayuku lagi.”
“Ahhhh, galak amat...! Durganini, di mana muridku?” Kakek itu bertanya dengan alis berkerut, agak khawatir juga sungguh pun dia tahu bahwa isterinya ini tidak akan mengganggu orang begitu saja.
“Muridmu siapa?”
“Ah, jangan main-main. Tentu saja Teng Sian In...”
“Dia? Huh, engkau lancang mulut, enak saja mengaku murid. Dia muridku, tahu?”
“Hah...?!” Kakek itu melongo.
Cepat dia menguasai keheranannya, teringat bahwa sekali dia terheran, akan mudah untuk jatuh di bawah pengaruh sihir isterinya yang dalam hal ini lebih kuat dari pada dia itu. “Apa maksudmu?”
“Maksudku? Kau lihat dan dengar sendiri! Siang In...! Muridku yang baik, kau keluarlah!”
“Baik, Subo!” Terdengar jawaban nyaring dan tak lama kemudian muncullah seorang dara remaja cantik manis yang memandang kepada kakek itu dengan senyum lebar dan kemudian memandang kepada Syanti Dewi dengan sinar mata penuh keheranan. “Ehh, Enci ini siapakah? Begini cantik jelita seperti bidadari...!”
Begitu melihat Siang In, Syanti Dewi sudah merasa senang sekali. Akan tetapi hatinya terlampau gelisah melihat nenek itu sehingga dia diam saja memperhatikan kedua orang tua itu. Tak disangkanya bahwa kakek yang menolongnya ini malah suami dari nenek itu, atau setidaknya bekas suami!
Sementara itu, See-thian Hoat-su yang tadinya menyangka bahwa tentu muridnya telah terjatuh ke dalam kekuasaan sihir isterinya, begitu melihat muridnya, menjadi makin terheran-heran karena ternyata benar olehnya bahwa muridnya itu sama sekali tidak di bawah pengaruh sihir!
“Siang In, apa maksudmu? Mengapa engkau mengangkat guru kepadanya?”
“Kepada siapa, Suhu? Maksudmu kepada Subo ini?”
“Ya. Kenapa? Bukankah engkau sudah menjadi muridku?” kakek itu menuntut.
“Karena aku menjadi murid Suhu, maka aku adalah muridnya juga, bukan? Engkau adalah suhu-ku (Bapak Guru) dan dia adalah subo-ku (Ibu Guru). Aku telah mendengar bahwa Suhu telah meninggalkan Subo. Jahat sekali itu!”
“Ihh, anak kecil kau tahu apa? Hayo kau ikut aku pergi.”
“Tidak, Suhu. Aku mau ikut pergi dengan Suhu kalau bersama Subo. Kalau tidak, biar aku ikut Subo saja, sama-sama perempuan.”
“Wah, apa-apaan ini?” Kakek itu menggaruk kepalanya. “Celaka sial dangkalan! Kenapa aku mengambil murid seorang perempuan? Sekarang aku dikeroyok!”
“Bagaimana, Suhu? Kalau Suhu mau berbaik kembali dengan Subo, aku mau ikut Suhu, kalau tidak, biar aku ikut dengan Subo.”
Kakek itu membanting-banting kakinya. “Cari penyakit! Dahulu, hanya dengan seorang perempuan di sampingku, hidup sudah banyak repot, sekarang malah ada dua ekor! Cari penyakit!”
“See-thian Hoat-su, banyak lagak engkau!” Durganini menudingkan tongkatnya. “Kalau begitu, pergilah tinggalkan kami, jangan sampai bangkit marahku dan kukutuk engkau menjadi monyet nanti!”
“Sudahlah!” Kakek itu menghela napas panjang. “Dasar nasibku, tua-tua cari perkara. Aku mau menurut, kita bersama lagi, akan tetapi hanya dengan satu syarat yaitu kalian harus meninggalkan Tambolon dan ikut dengan aku ke tempat sunyi. Jangan membikin dunia yang sudah kacau menjadi makin kacau lagi. Bagaimana?”
“Setuju!” Siang In bersorak. “Selamanya aku memang hidup di tempat sunyi, dahulu dengan enci-ku, sekarang dengan Suhu dan Subo, tentu lebih ramai.”
“Bagaimana, Durganini?” Kakek itu menuntut.
Aneh! Nenek itu menundukkan muka seperti seorang gadis diajak kawin, kemalu-maluan dan hanya terkekeh dan mengangguk-angguk! Kakek itu tertawa bergelak lalu menggandeng tangan Durganini di sebelah kanan dan tangan muridnya di sebelah kiri. “Kalau begitu, hayo kita pergi, tunggu apa lagi?”
“Ehh, nanti dulu... Enci, mari kau ikut bersama kami saja...!” Siang In berseru sambil menoleh kepada Syanti Dewi.
Akan tetapi Syanti Dewi yang merasa ngeri menyaksikan adegan aneh itu dan seolah-olah menghadapi orang-orang gila, tentu saja tidak mau dan menggeleng kepala. Dan tiba-tiba dia melihat asap hitam mengepul yang menelan tiga orang itu lenyap dari pandangan matanya. Sejenak dia tertegun dan kagum bukan main. Kiranya banyak benar orang-orang pandai di dunia ini.
Akan tetapi setelah kakek itu pergi, dia teringat akan keadaan dirinya dan timbullah kekhawatirannya. Biar pun nenek itu sudah tidak ada lagi, akan tetapi dia tidak tahu bagaimana jadinya dengan dua losin orang pengawal itu, apakah masih di bawah pengaruh sihir nenek itu sehingga bahkan berbalik hendak menangkapnya. Teringat ini, kemudian dia mengambil keputusan untuk pergi sendiri saja melanjutkan perjalanannya ke barat.....
********************
Dengan hati lega Ceng Ceng dan Topeng Setan tiba di sarang perkumpulan di mana Ceng Ceng menjadi ketuanya itu. Mereka sudah melihat beberapa orang anak buah menyambut kedatangan mereka dengan muka gelisah. Karena Topeng Setan masih menderita luka parah dan tubuhnya membutuhkan perawatan baik, maka dia tak begitu memperhatikan keadaan di situ, dan Ceng Ceng yang merasa lega hatinya bahwa akhirnya mereka dapat tiba di tempat persembuyian ini, segera bersama Topeng Setan memasuki rumah besar yang selama dia berada di situ menjadi tempat tinggalnya. Heran juga dia melihat rumah itu demikian sunyi, padahal hari sudah agak siang.
Tidak nampak ada pelayan dan penjaga menyambutnya. Mereka terus saja memasuki ruangan dalam dan tiba-tiba keduanya tertegun ketika melihat munculnya belasan orang yang warna mukanya aneh-aneh, mengurung ruangan itu sehingga mereka berdua terkurung di tengah-tengah oleh orang-orang yang bersenjata itu! Kaget sekali hati Ceng Ceng karena dia mengenal orang-orang ini sebagai anak buah Hek-tiauw Lo-mo, yaitu orang-orang Pulau Neraka yang memiliki kepandaian tinggi.
Topeng Setan juga terkejut sekali dan tiba-tiba muncullah dari balik pintu dalam dua orang yang sama sekali tidak mereka sangka-sangka berada di tempat itu. Mereka adalah Hek-tiauw Lo-mo dan Mauw Siauw Mo-li Lauw Hong Kui!
Melihat wanita yang bersama dengan Kian Bu di Telaga Sungari dan yang telah memperebutkan ular naga dengan dia, Ceng Ceng menjadi marah, memandang dengan mata terbelalak dan dia menudingkan telunjuknya sambil membentak, “Kalian iblis laki perempuan berada di sini mau apa?”
“Ha-ha-ha-ha, selamat bertemu, Nona Ceng! Selamat datang di tempat perkumpulan kami.”
“Apa maksudmu, Hek-tiauw Lo-mo?” Ceng Ceng membentak. “Aku adalah Bengcu di tempat ini!” Ceng Ceng memberi isyarat dengan tepuk tangannya untuk memanggil anak buahnya, akan tetapi tidak ada seorang pun yang berani muncul.
“Ha-ha-ha-ha! Tempat ini telah menjadi tempatku, Nona yang baik. Tetapi mengingat persahabatan antara kita, aku mau mengembalikannya kepadamu dan mengampunimu kalau engkau suka menyerahkan anak ular naga itu kepadaku.”
“Jangan mimpi! Mustika itu telah berada di dalam perutku...”
“Tidak... tidak..., kami tidak berhasil mendapatkan anak naga itu...” Topeng Setan cepat berseru dengan wajah membayangkan kekhawatiran, namun Hek-tiauw Lo-mo tertawa lagi.
“Kau hendak membohongiku? Ha-ha, kulihat cahaya racun sudah lenyap dari wajahnya, hal ini berarti darahnya sudah bersih. Tetapi... darah dan dagingnya masih sepenuhnya mengandung khasiat mustika itu sebelum lewat empat puluh hari, dan kini kau datang menyerahkan diri padaku, ha-ha-ha...!”
“Hek-tiauw Lo-mo, engkau tidak bisa berbuat sekeji itu!” Mendadak Topeng Setan membentak marah dan tangan kanannya telah dikepal keras-keras. “Engkau tidak boleh mengganggu dia!”
“Ha-ha-ha, siapa yang tidak memperbolehkan? Engkau dengan lenganmu yang sudah buntung sebelah? Ha-ha-ha! Mari, Nona manis, kau ikutlah dengan aku, ha-ha-ha-ha!” Hek-tiauw Lo-mo yang kegirangan melihat munculnya orang yang ditunggu-tunggu itu menggapai kepada Ceng Ceng.
Nona ini tenang-tenang saja dan dia masih belum mengenal bahaya. Dengan sabar dia berkata, “Hek-tiauw Lo-mo, apakah kau benar-benar tidak mempunyai perikemanusiaan lagi? Puterimu demikian cantik dan berbudi, akan tetapi apakah engkau begitu kejam untuk mengganggu kami? Kau lihatlah, dia terluka parah dan perlu beristirahat, perlu dirawat luka-lukanya. Dan percuma saja engkau mengganggu kami karena anak ular itu sudah kuhabiskan semua. Biar engkau akan membunuh aku pun engkau tidak akan bisa mendapatkan anak ular naga itu.”
“Aihhh, Ceng Ceng... kau... kau tidak tahu...” Topeng Setan mengeluh. “Dia memang bukan manusia, dia lebih jahat dari pada iblis, lebih keji dari pada seekor binatang yang paling buas. Dia menghendaki daging dan darahmu...”
Wajah Ceng Ceng menjadi pucat sekali dan sambil berteriak marah dia lalu menerjang ke depan, menghantam ke arah Hek-tiauw Lo-mo. Akan tetapi dengan amat mudahnya Ketua Pulau Neraka itu mengelak dan kemudian tiba-tiba Ceng Ceng merasa betapa punggungnya sakit sekali dan dia roboh pingsan. Ternyata bahwa ketika dia menyerang Hek-tiauw Lo-mo yang tentu saja menganggap ringan ilmu silatnya, dari belakang Hong Kui telah menotoknya.
“Kalian tidak boleh mengganggunya!” Topeng Setan membentak.
Tubuhnya mencelat ke depan dengan kecepatan bagai kilat dan tangannya yang tinggal sebelah itu berkelebat. Bukan main cepatnya gerakan tangannya dan tenaga yang terkandung di dalam tangan ini juga amat besar, mendatangkan angin pukulan yang dahsyat. Hong Kui terkejut dan membalik sambil menangkis.
“Bressss...!”
Tubuh wanita cantik ini terlempar ke belakang menabrak tembok dan kalau saja dia tidak memiliki kepandaian tinggi, tentu tulang-tulangnya akan remuk. Akan tetapi dia sudah mengerahkan sinkang-nya dan ketika tubuhnya menabrak dinding, dia sudah membulatkan tubuh dan menggelinding di atas lantai. Wanita ini selamat, akan tetapi dia kaget dan marah bukan main, mukanya merah, matanya melotot dan jantungnya masih berdebar tegang karena hampir saja dia celaka dalam sekali gebrakan saja!
Sementara itu, Hek-tiauw Lo-mo sudah menerjang maju, mengerahkan tenaganya dan menggunakan Ilmu Pukulan Hek-coa-tok-ciang yang ampuh. Pada saat itu, Topeng Setan baru saja menderita kehilangan lengan kiri. Ketika hal itu terjadi, dia sedang bergulat dengan maut dalam air, maka dia telah kehilangan banyak darah dan tubuhnya masih lemah. Apa lagi karena baru saja kehilangan lengan kiri, gerakannya menjadi kaku dan canggung.
Oleh karena itu, biar pun dia masih mampu menangkis beberapa pukulan Hek-tiauw Lo-mo dan mengelak cepat ketika Mauw Siauw Mo-li juga menerjangnya dengan penuh kemarahan, namun karena sebagian perhatiannya juga tercurah kepada Ceng Ceng dengan penuh kegelisahan melihat dara ini rebah terlentang dalam keadaan pingsan, maka lewat belasan jurus saja dia sudah roboh oleh hantaman tangan kanan Hek-tiauw Lo-mo yang mengenai punggungnya. Sekali dia roboh terhuyung, Mauw Siauw Mo-li langsung menotok pundak kanannya. Seketika Topeng Setan merasa betapa lengan kanannya setengah lumpuh dan dia roboh terguling.
“Ceng Ceng...!”
Biar pun dia sudah roboh, Topeng Setan berusaha untuk bangkit sambil memandang ke arah Ceng Ceng dengan penuh kekhawatiran. Dia maklum manusia macam apa adanya Hek-tiauw Lo-mo dan membayangkan betapa dara itu akan diganyang dagingnya dan diminum darahnya oleh Hek-tiauw Lo-mo yang sangat menginginkan khasiat dari anak ular naga, dia merasa ngeri dan khawatir sekali.
Mauw Siauw Mo-li Lauw Hong Kui yang merasa marah bukan main karena tadi dibuat terlempar menubruk tembok oleh Topeng Setan, menghampiri orang aneh itu. Memang dia sudah merasa amat kagum dan heran ketika menyaksikan sepak terjang Topeng Setan ketika terjadi perebutan anak ular naga, kagum betapa laki-laki ini dalam keadaan terluka hebat, buntung lengan kirinya, masih mampu merampas anak ular naga itu, bahkan mampu membawa Ceng Ceng lari sehingga tidak dapat ditangkap oleh sekian banyaknya orang lihai di Telaga Sungari. Sekarang dia merasakan sendiri keampuhan tangan yang tinggal sebelah itu, maka timbul keinginannya untuk melihat bagaimana macam orangnya yang bersembunyi di balik kedok buruk itu.
“Suheng jangan bunuh dia dulu. Aku ingin melihat wajahnya!” Dia berteriak ketika melihat Hek-tiauw Lo-mo hendak turun tangan membunuh Topeng Setan.
“Hemm, sesukamu. Aku pun ingin melihat siapa dia!” Hek-tiauw Lo-mo berkata sambil terkekeh girang karena dia telah berhasil menangkap Ceng Ceng dan merobohkan Topeng Setan yang amat lihai itu.
Lauw Hong Kui membungkuk, tangan kanannya meraih ke arah wajah Topeng Setan yang sama sekali tidak berdaya lagi itu, jari-jari tangan yang panjang dan halus itu sudah menyentuh topeng.
“Tahan...! Enci Hong Kui, jangan kau buka topeng itu...!” Tiba-tiba Kian Bu yang baru muncul keluar berseru keras mencegah perbuatan Hong Kui itu.
Mendengar suara Kian Bu itu, Hong Kui terkejut karena kekasihnya itu nada suaranya bersungguh-sungguh seperti orang sedang marah. Tentu saja dia tidak ingin membuat kekasihnya marah kepadanya. Kalau hanya karena muka Topeng Setan dia harus menghadapi kemarahan kekasihnya yang mungkin akan mogok melayani nafsunya, dia akan rugi sekali!
Kian Bu terkejut bukan main ketika melihat Ceng Ceng menggeletak di atas lantai. Jika saja dia tidak terlambat muncul, tentu dia akan mencegah Ketua Pulau Neraka dan sumoi-nya itu menyerang Ceng Ceng dan pembantunya yang setia itu. Kini dengan langkah lebar dia menghampiri, alisnya berkerut dan dia menghadapi Hek-tiauw Lo-mo sambil berkata, “Lo-mo, aku melarang engkau mengganggu mereka! Ketahuilah, nona ini adalah keponakanku sendiri, dan Topeng Setan adalah pembantunya yang setia. Mereka berdua telah membuat jasa besar dalam membantu pemerintah. Aku terpaksa akan menentangmu kalau engkau mengganggu mereka. Enci Hong Kui, jangan engkau ikut-ikut suheng-mu!”
“Ha-ha-ha, Sumoi, matamu buta! Engkau memilih kekasih yang menentang kita. Orang muda, engkau sombong sekali. Kau kira mudah saja menentang Hek-tiauw Lo-mo?”
Kakek itu sudah mengepal kedua tangannya dan terdengar suara berkerotokan. Ini merupakan tanda bahwa dia sudah marah sekali dan ingin menurunkan tangan maut kepada Kian Bu. Sebaliknya, pemuda dari Pulau Es itu pun memandang tajam, berdiri tegak dan siap untuk melakukan perlawanan terhadap musuh yang dia tahu amat lihai itu.
“Tahan...! Jangan berkelahi...!” Mauw Siauw Mo-li berseru, meloncat di tengah-tengah melerai mereka. “Suheng! Kian Bu! Janganlah kalian berkelahi sendiri. Segala urusan masih dapat dirundingkan baik-baik, mengapa harus menggunakan kekerasan saling merusak? Kalian berdua adalah orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi, kalau sudah saling gempur tentu ada seorang di antara kalian yang celaka.”
Hek-tiauw Lo-mo bukan seorang bodoh. Ucapan sumoi-nya ini menyadarkannya bahwa memang amat merugikan kalau dia bermusuhan dengan kekasih sumoi-nya ini. Dia tahu betapa lihainya putera Majikan Pulau Es ini dan dalam keadaan seperti sekarang ini, sebaiknya kalau dia tidak bermusuhan dengan pemuda yang telah dapat ditarik oleh sumoi-nya itu. Dan tentang Ceng Ceng yang telah ditawannya, juga Topeng Setan, dapat saja dia kuasai dengan jalan halus.
“Ha-ha-ha, ucapan sumoi memang tepat juga. Orang muda, engkau mencinta dia, dan aku adalah suheng-nya, sungguh tidak enak kalau antara kita bentrok sendiri. Aku akan menjadi malu hati terhadap sumoi-ku yang tinggal seorang ini!”
Kian Bu menahan senyum dan melirik ke arah Ceng Ceng yang masih rebah terlentang dalam keadaan pingsan dan Topeng Setan yang juga rebah tak berdaya karena sudah tertotok.
“Lo-mo, aku pun tidak hendak memusuhimu, tetapi kalau engkau mengganggu mereka, terpaksa aku harus turun tangan.”
Hek-tiauw Lo-mo menarik napas panjang. “Aihh, kau tentu mengerti betapa aku amat membutuhkan khasiat naga itu untuk menyempurnakan ilmuku yang masih setengah matang kulatih. Dan aku harus merampas kembali kitabku dari tangan Topeng Setan ini.
Akan tetapi biarlah hal itu akan kita lakukan dengan halus dan membujuknya untuk mengembalikan kitab. Ada pun tentang nona dengan khasiat anak naga, biar sementara waktu kita tidak usah bicarakan dulu. Akan tetapi aku pun tidak akan membebaskan mereka sebelum kitab itu dikembalikan kepadaku. Sumoi, kau yang bertanggung jawab kalau sampai nona ini melarikan diri. Nah, kau boleh membawa dia ke kamar dan menjaganya. Topeng Setan akan kumasukkan tahanan dan dijaga keras.”
Tanpa menanti jawaban, Hek-tiauw Lo-mo menyambar tubuh Topeng Setan dan membawanya ke dalam tahanan di mana dia memerintahkan anak buah Pulau Neraka untuk menjaganya. Lengan yang tinggal sebelah itu dipasangi belenggu baja yang arnat kuat, demikian pula kedua pergelangan kakinya. Akan tetapi, sebagai seorang tokoh besar, Hek-tiauw Lo-mo yang sudah berjanji itu tidak memperbolehkan anak buahnya membuka topeng buruk itu.
Sementara itu, Lauw Hong Kui terus membujuk kekasihnya untuk bersabar dan dia lalu memondong tubuh Ceng Ceng yang masih pingsan itu ke dalam sebuah kamar dan menjaganya. Dapat dibayangkan betapa bingung rasa hati Kian Bu. Dia ingin sekali menolong Ceng Ceng dan Topeng Setan, tetapi dia maklum bahwa dalam keadaan tidak berdaya seperti itu, dia tidak mungkin seorang diri saja membebaskan mereka karena dia harus menghadapi Hek-tiauw Lo-mo yang lihai dan banyak anak buahnya.
Selain itu, juga dia merasa sungkan untuk bermusuhan dengan kekasihnya yang dia tahu tentu terpaksa akan berpihak kepada suheng-nya. Maka dia mengandalkan cinta kasih wanita itu kepadanya agar supaya dapat membujuk agar Hek-tiauw Lo-mo tidak mengganggu kedua orang tawanan itu sebelum dia mampu menyelamatkan mereka.
Suma Kian Bu termenung dalam kamarnya. Hatinya gelisah sekali dan pikirannya ruwet. Batinnya sadar bahwa dia telah tersesat, telah menuruti nafsu birahi dan membiarkan dirinya tenggelam ke dalam kenikmatan duniawi yang sebetulnya mengandung racun-racun berbahaya. Namun, setiap kali dia membayangkan kesenangan dan kenikmatan yang dialaminya bersama Hong Kui, dia menjadi lumpuh dan tak mampu meninggalkan wanita itu.
Dia merasakan dirinya seperti seekor semut yang terjatuh ke dalam secawan madu. Manisnya madu itu memabokkan, akan tetapi telah menggulung dan membuat dia melekat tak mampu melepaskan diri, bergulung dalam kemanisan dan kenikmatan biar pun dia maklum bahwa keselamatannya terancam. Hendak melepaskan diri, sayang akan kenikmatannya, hendak melanjutkan menikmati kesenangan, sadar bahwa dia tersesat!
Tiba-tiba dia mendengar suara sesuatu di jendela kamarnya. Daun jendela itu diketuk orang dari luar! Dia terheran-heran mengapa dia tidak dapat mendengar ada orang mendekati jendelanya dan tahu-tahu jendela itu diketuk dari luar! Dengan sikap waspada dan siap-siap Kian Bu mendekati jendelanya dan membuka palangnya lalu mendorong jendela terbuka. Betapa heran dan kagetnya ketika dia melihat seorang pemuda sudah berdiri di luar jendela dan pemuda itu tentu saja dikenalnya baik karena dia bukan lain adalah Ang Tek Hoat!
Dengan pandang mata tajam penuh selidik Tek Hoat memberi tanda dengan telunjuk di depan bibir agar Kian Bu tidak membuat gaduh, kemudian dengan gerakan ringan sekali dia meloncat memasuki kamar Kian Bu. Wajah pemuda ini masih pucat, agaknya luka-luka yang dideritanya ketika dia dikeroyok oleh Siang Lo-mo dan Hek-wan Kui-bo yang berhasil dia robohkan dan tewaskan itu masih belum memulihkan kesehatan tubuhnya secara keseluruhan.
Seperti telah diceritakan di bagian depan, Tek Hoat yang terluka hebat sekali telah diangkut ke kota raja oleh Puteri Milana dan di sana mengalami perawatan serta pengobatan. Akan tetapi, ketika Tek Hoat mendengar bahwa musuh besarnya, Gak Bun Beng, masih hidup, semangatnya timbul dan biar pun kesehatannya masih belum pulih, badannya masih lemah, dia tetap nekat meninggalkan istana Puteri Milana untuk pergi mencari musuh besarnya itu.
Juga dia pergi dengan jantung seperti ditusuk rasanya karena dia melihat bahwa Syanti Dewi, Puteri Bhutan yang telah merampas hatinya dan telah membuat dia tergila-gila itu, ternyata mencinta Suma Kian Bu, putera Pendekar Super Sakti. Dia maklum bahwa dirinya memang tidak berharga sama sekali bagi puteri itu dan dia sudah merasa berbahagia bahwa dia telah berhasil menyelamatkan puteri yang dicintanya dengan diam-diam itu dari bahaya.
Karena kesehatannya belum pulih, Tek Hoat tidak pergi jauh meninggalkan kota raja dan kemudian dia teringat akan dusun Nam-lim di mana dia membantu Ceng Ceng yang menjadi bengcu kaum sesat di sana. Mengingat bahwa Ceng Ceng dan Topeng Setan meninggalkan tempat itu, Tek Hoat lalu pergi ke sana dengan niat untuk mencari sapu tangannya yang membuat dia teringat akan sumpahnya kepada Ceng Ceng, dan juga untuk beristirahat dan memulihkan tenaganya.
Akan tetapi, ketika pagi hari itu dia tiba di sebuah hutan tidak jauh dari Nam-lim, dia mendengar jerit seorang wanita. Biar pun dia merasa enggan untuk mencampuri urusan orang lain, apa lagi karena tubuhnya masih lemah, namun bangkit juga rasa penasaran di dalam hatinya dan dia cepat mengejar ke arah datangnya suara itu. Jerit tertahan yang hanya satu kali seperti jerit wanita yang mengalami kekagetan.
Dengan bersembunyi di balik sebatang pohon besar, Tek Hoat memandang ke depan kuil rusak di mana terdapat belasan orang yang dikenalnya sebagai raja liar Tambolon dan dua orang pengawalnya yang terkenal itu bersama anak buahnya. Dan hampir Tek Hoat mengeluarkan teriakan kaget dan marah ketika dia melihat seorang dara berdiri di tengah-tengah pengurungan mereka, dan dara yang matanya terbelalak lebar dan mukanya pucat karena kaget itu bukan lain adalah Puteri Syanti Dewi!
Tek Hoat menggosok-gosokkan kedua matanya. Tak salah lagi. Puteri itu adalah Puteri Bhutan yang selama ini tidak pernah dilupakannya sedetik pun juga! Akan tetapi bagai mana puteri ini bisa berada di dalam hutan, seorang diri di depan kuil tua dan kini dikurung oleh Tambolon dan orang-orangnya?
Seperti kita ketahui, Puteri Bhutan ini berada di depan kuil tua seorang diri setelah dia ditinggalkan See-thian Hoat-su yang mengajak pergi isterinya, Durganini dan muridnya, Teng Siang In di tempat itu, tiba-tiba datang Tambolon dan anak buahnya sehingga Syanti Dewi terkejut sekali dan mengeluarkan suara menjerit tadi yang terdengar oleh Tek Hoat.
Setelah dia merasa yakin bahwa dara itu adalah Puteri Syanti Dewi, Tek Hoat merasa ada hawa panas naik dari pusarnya terus sampai membuat mukanya menjadi panas dan merah. Ada orang-orang berani mengganggu Syanti Dewi di depan hidungnya! Sekali meloncat, tubuhnya melayang dan tahu-tahu dia telah tiba di depan pengurungan itu, di dekat Syanti Dewi yang menjadi girang sekali melihat pemuda ini.
“Tek Hoat...!” Dalam kegirangannya melihat betapa dalam keadaan terancam bahaya mengerikan itu tiba-tiba muncul pemuda yang pernah menolongnya dan yang tentu sekarang datang hendak menolongnya pula, Syanti Dewi segera menyambar lengan Tek Hoat.
Merasa betapa lengannya disentuh oleh tangan dara itu, jantung Tek Hoat berdebar keras akan tetapi dengan halus dia melepaskan pegangan gadis itu sambil berbisik halus, “Harap paduka mundur dan berlindung di belakang saya...”
Syanti Dewi menggigit bibirnya mendengar betapa pemuda itu menyebut paduka dan bersikap amat menghormatinya. Dia tidak berkata apa-apa lagi dan mundur di belakang pemuda itu, hatinya diliputi penuh kekhawatiran karena melihat sikap Tambolon dan anak buahnya yang mengancam.
Memang Tambolon marah sekali ketika dia melihat munculnya Tek Hoat yang seperti setan tiba-tiba saja muncul di situ. “Ahhh, bukankah engkau pemuda tangan kanan Pangeran Liong Khi Ong?” bentaknya.
“Tidak perlu menggali urusan lama, yang penting adalah sekarang ini, Tambolon. Aku melarang engkau mengganggu puteri ini!” Tek Hoat berkata dengan suara nyaring dan yang nadanya penuh tantangan.
“Pemuda sombong!” Tiba-tiba Yu Ci Pok, Si Siucai Maut itu membentak dan sudah menerjang ke depan dengan totokan jari-jari tangannya yang dilakukan secara beruntun ke arah tujuh jalan darah terpenting di tubuh bagian depan dari Tek Hoat.
“Plak-plak-plak... desss...!”
Tubuh Siucai itu terlempar ke belakang, bahkan sampai terbanting sehingga pinggulnya menimpa tanah dan debu mengebul dari tempat yang tertimpa pantatnya.
Melihat betapa kawannya begitu mudah dirobohkan, Liauw Kui Si Petani Maut menjadi marah. Dia berseru keras dan pikulannya telah menyambar-nyambar. Melihat serangan maut ini, Tek Hoat cepat mengelak dengan lincahnya dan balas menendang dari kiri yang juga dapat dielakkan oleh Si Petani Maut. Ada pun Yu Ci Pok yang mukanya menjadi merah sekali karena terbanting tadi, kini juga telah meloncat bangun, mencabut senjatanya yang ampuh, yaitu sepasang poan-koan-pit dan bersama dengan Lauw Kui dia menyerang Tek Hoat kalang kabut.
“Hemm..., kalian hendak bertempur? Boleh, lihat pedang!”
Tiba-tiba kelihatan sinar pedang bergulung-gulung mengerikan sekali. Itulah pedang Cui-beng-kiam (Pedang Pengejar Roh) yang amat ampuh, sebatang pedang yang dulu menjadi milik iblis dari Pulau Neraka Cui-beng Koai-ong! Terdengar suara nyaring berkali-kali dan dua orang pembantu Tambolon itu melompat ke belakang dengan muka pucat karena senjata pikulan dan dug batang poan-koan-pit itu telah patah-patah terbabat sinar pedang Cui-beng-kiam.
“Simpan pedangmu atau gadis ini akan kubunuh lebih dulu!” Tiba-tiba Tambolon berkata tenang.
Tek Hoat terkejut, cepat dia memutar tubuhnya dan matanya terbelalak memandang Syanti Dewi yang sudah dipegang kedua lengannya ke belakang oleh Tambolon dan raja liar ini menempelkan pedangnya di leher Puteri Bhutan itu. Melihat ini lemaslah seluruh tubuh Tek Hoat.
Tambolon memang seorang yang amat cerdik sekali. Dia telah melihat betapa lihainya pemuda ini ketika Tek Hoat dengan mudah membuat dua orang pengawalnya itu tidak berdaya hanya dalam waktu singkat saja. Dia tahu bahwa kalau dia sendiri maju dibantu dua orang pengawalnya dan para anak buahnya, belum tentu dia tidak akan dapat mengalahkan Tek Hoat, akan tetapi sebelum dia dapat merobohkan pemuda perkasa ini tentu pihaknya lebih dulu mengalami pukulan hebat, mungkin pula banyak pembantunya yang akan tewas. Dia tentu tidak menghendaki hal ini terjadi, apa lagi dia memang mengharapkan bantuan pemuda ini. Maka dia telah mengambil cara yang dianggapnya paling mudah dan paling aman, yaitu mengancam Syanti Dewi.
Muka Tek Hoat menjadi merah saking marahnya menyaksikan cara ini. “Tambolon, kau sungguh manusia pengecut! Bebaskanlah Sang Puteri dan mari kita bertanding secara jantan!”
Tambolon tersenyum mengejek. “Di antara kita tidak ada permusuhan, perlu apa saling hantam? Pula, aku ingin bicara denganmu, kau simpan pedangmu itu!”
“Jangan mengira aku akan dapat kau gertak, hayo bebaskan atau aku akan mengamuk dan membunuh kalian semua!”
“Ha-ha-ha, apakah kau kira aku anak kecil, Ang Tek Hoat? Bergeraklah dan pedangku akan memenggal leher yang halus ini!” Tambolon mengancam dan pedangnya yang menempel di kulit leher putih halus itu amat mengerikan.
Memang Tambolon bukan melakukan perbuatan ini karena takut, melainkan dengan perhitungan yang sudah masak. Dia telah mendengar betapa pemuda ini, demi untuk menyelamatkan Syanti Dewi, telah berkhianat, membalik dan membunuh Pangeran Liong Khi Ong, Pak-thian Lo-mo, Lam-thian Lo-mo, dan Hek-wan Kui-bo. Hal ini yang membuat dia merasa yakin bahwa penodongannya terhadap Syanti Dewi sudah pasti akan berhasil dengan baik dan membuat Tek Hoat tidak berani bergerak. Dan memang perhitungannya tepat sekali. Tek Hoat merasa seolah-olah dibelenggu kaki tangannya dan dia lalu menyimpan pedangnya.
“Tambolon, kalau engkau mengganggu selembar rambutnya saja, aku bersumpah akan menyiksamu dan akhirnya membunuhmu sampai engkau menyesal telah dilahirkan di dunia ini.” Ucapannya itu lirih akan tetapi mengandung ancaman yang mendirikan bulu roma.
Tambolon sendiri yang mempunyai watak kejam bergidik mendengar sumpah itu karena dia maklum bahwa orang macam pemuda ini tentu akan memenuhi ancamannya yang hebat itu. Pemuda seperti ini merupakan seorang musuh yang berbahaya dan mestinya, menurut watak dan kecerdikannya, dia harus membunuh pemuda ini sekarang juga. Akan tetapi dia ingin memanfaatkan pemuda ini lebih dulu, karena dia mendengar pelaporan anak buahnya tadi bahwa Ceng Ceng dan Topeng Setan telah tiba di dusun Nam-lim dan celakanya telah terjatuh ke tangan Hek-tiauw Lo-mo.
“Ang Tek Hoat, aku pun bersumpah tidak akan mengganggu Puteri Bhutan ini, akan tetapi engkau harus membantuku dengan sesuatu. Kalau engkau tidak mau melakukan itu atau mengalami kegagalan, terpaksa aku akan membunuhnya dan kami sanggup menghadapi ancaman kosongmu itu!”
“Tambolon, tak perlu banyak cakap. Katakan apa yang kau kehendaki?”
“Aku ingin agar engkau pergi ke dusun Nam-lim dan menghadapkan Nona Lu Ceng ke sini. Atau pendeknya, aku ingin menukar puteri ini dengan Nona Lu Ceng.”
“Tek Hoat... jangan engkau celakakan Lu Ceng...!” Tiba-tiba Syanti Dewi yang berdiri dengan leher tertempel pedang dan mukanya pucat, berseru. “Biar mati aku tidak akan mencelakakan adikku itu!”
Tek Hoat memandang Tambolon dengan sinar mata penuh selidik. “Tambolon, kenapa engkau menyuruh aku untuk urusan itu? Engkau dengan begini banyak pembantumu, takut untuk melakukan penangkapan atas diri Nona Lu Ceng maka engkau menyuruh aku?”
“Ha-ha-ha, jangan menduga yang bukan-bukan, orang muda. Engkau adalah seorang di antara pembantu Lu-bengcu, bukan? Engkau lebih mengenal keadaan di sana dan engkau tentu akan lebih mudah untuk membawa dia ke sini. Sudahlah, kau lakukan itu atau terpaksa aku akan membunuh puteri ini.”
“Mengapa engkau menghendaki dia?”
“Karena dia telah berhasil memperoleh anak naga Telaga Sungari.”
Diam-diam Tek Hoat terkejut. Dia pun mendengar tentang anak naga itu akan tetapi dia sendiri tidak mempedulikan binatang yang dianggap keramat dan merupakan obat yang amat luar biasa itu.
“Nona Lu Ceng dan Topeng Setan telah kembali ke Nam-lim dan mereka terjatuh ke tangan Hek-tiauw Lo-mo dan anak buahnya.”
“Ahhh...?” Tek Hoat terkejut.
“Karena itu, berhati-hatilah dan jangan sampai engkau gagal menyeret Nona Lu ke sini kalau kau ingin melihat puteri ini selamat.”
“Baik, aku akan lakukan itu. Dan sekali lagi ingat, jangan engkau mengganggu selembar rambut pun dari nona ini.” Setelah berkata demikian, Tek Hoat membalikkan tubuhnya pergi dari situ.
“Tek Hoat..., jangan kau penuhi permintaan mereka. Jangan kau ganggu adikku Lu Ceng!” Syanti Dewi masih berseru marah.
Ang Tek Hoat membalik dan menjura. “Harap paduka tenang saja.” Kemudian sekali berkelebat, pemuda itu sudah lenyap di balik pohon-pohon di hutan itu.
Demikianlah, malam hari itu Tek Hoat berhasil menyelundup ke dusun Nam-lim yang tentu saja dikenalnya dengan baik dan dia berhasil memasuki kamar Suma Kian Bu yang gelisah tak dapat tidur memikirkan keadaan Ceng Ceng yang menjadi tawanan itu. Dapat dibayangkan betapa heran dan kagetnya hati Kian Bu melihat munculnya Tek Hoat di tempat itu.
Setelah mereka berdiri berhadapan di dalam kamar, Tek Hoat sejenak menatap wajah Kian Bu dengan tajam, kemudian dia berdiri. “Apakah dunia sudah terbalik? Tidak salahkah penglihatanku bahwa putera Pendekar Super Sakti kini menjadi sekutu Hek-tiauw Lo-mo?”
Wajah Kian Bu menjadi merah bukan main. “Tek Hoat, jangan engkau mengeluarkan ucapan yang bukan-bukan! Aku di sini menjadi tamu, bukan sekutu!”
“Bagus! Akan tetapi mengapa engkau enak-enak saja melihat Nona Lu Ceng dijadikan tawanan olehnya?”
Jantung Kian Bu berdebar penuh rasa malu dan ketegangan. Untung bahwa pemuda aneh ini agaknya belum tahu akan hubungannya dengan Hong Kui, kalau tahu, dia akan merasa makin canggung dan malu lagi. “Enak saja kau bicara, apa kau kira aku diam-diam tidak memikirkan hal itu? Akan tetapi mereka itu kuat sekali, aku tidak berani bertindak sembrono dan mengalami kegagalan.”
“Aku datang untuk menyelamatkan Nona Lu Ceng. Dapatkah kau membantuku?”
“Dengan adanya engkau, tentu keadaan kita lebih kuat. Mari kita serbu dan...”
“Tidak begitu maksudku, Kian Bu. Aku hanya minta bantuanmu. Di mana Ceng Ceng ditahan?”
“Di dalam kamarnya... Mauw Siauw Mo-li, di ujung lorong belakang. Sedangkan Topeng Setan dimasukkan ke gudang belakang...”
“Aku tidak peduli dengan Topeng Setan,” kata Tek Hoat. “Sekarang baiknya engkau mengacau dengan api. Bakarlah bagian depan bangunan untuk memancing mereka keluar, dan aku akan menyelinap ke belakang dan membebaskan Nona Lu Ceng.”
Kian Bu mengangguk dan setelah menerima bahan pembuat api dari Tek Hoat yang memang telah mempersiapkannya sebelumnya, dia lalu mengikuti Tek Hoat keluar dari kamar itu. Setelah memberi isyarat di mana letaknya kamar Mauw Siauw Mo-li, mereka lalu berpisah dan Kian Bu cepat menuju ke depan dan memilih tempat yang baik untuk dibakar. Dia maklum bahwa perbuatannya ini tentu akan membuat dia dibenci oleh Mauw Siauw Mo-li, akan tetapi dia tidak peduli. Dia tidak mencinta wanita cantik itu, hanya menikmati pergaulan mereka, memuaskan nafsu belaka. Memang dia sudah gelisah dan mencari akal bagaimana dapat menyelamatkan Ceng Ceng sehingga kemunculan Tek Hoat memang amat kebetulan.
Tak lama kemudian, di malam yang sunyi itu, kegelapan di dusun yang menjadi sarang bekas perkumpulan Tiat-ciang-pang dipecahkan oleh sinar api yang bernyala tinggi dan kesunyian dipecahkan oleh teriakan-teriakan banyak orang, “Api...! Api...! Kebakaran...!”
Seketika tempat itu menjadi geger. Para anggota Pulau Neraka memimpin orang-orang memadamkan api dan Hek-tiauw Lo-mo sendiri dengan kaget dan marah mendatangi tempat kebakaran. Tak lama kemudian muncul Mauw Siauw Mo-li dan Suma Kian Bu. Wanita ini tadi masih menjaga Ceng Ceng di dalam kamarnya. Ketika Suma Kian Bu datang mengetuk pintunya dan mengajaknya keluar untuk melihat kebakaran, Lauw Hong Kui yang tadi menotok Ceng Ceng, lebih dulu mengikat kaki tangan dara itu, baru dia pergi bersama Kian Bu keluar.
Ketika mereka tiba di luar, Hek-tiauw Lo-mo memandang tajam kepada Kian Bu dan sumoi-nya, lalu membentak marah, “Sumoi, mengapa kau tinggalkan dia? Celaka, ini tentu perbuatan musuh yang menggunakan siasat memancing harimau keluar sarang!”
Mendengar ini, Hong Kui terkejut dan bersama suheng-nya dia berlari kembali menuju ke kamarnya. Saking kaget dan khawatirnya dia sampai tidak melihat bahwa Kian Bu tidak ikut kembali ke dalam.
“Brakkk!”
Hek-tiauw Lo-mo menendang pecah daun pintu kamar itu dan keduanya berteriak marah dan kaget melihat pembaringan di mana tadi Ceng Ceng rebah terbelenggu telah kosong.
“Celaka...!” Lauw Hong Kui berteriak. “Dia sudah kubelenggu!”
“Kau tolol...!” Hek-tiauw Lo-mo berseru dan meloncat keluar lagi, mendorong sumoi-nya yang menghalangi jalan. Dia kembali ke tempat kebakaran dan mencari-cari, akan tetapi tidak melihat lagi bayangan Suma Kian Bu.
Sambil memaki-maki penuh kemarahan, Hek-tiauw Lo-mo cepat berlari menuju ke tempat tahanan Topeng Setan dan dia masih melihat para penjaganya lengkap di situ karena mereka tidak berani meninggalkan tawanan penting ini. Dan Topeng Setan sendiri masih duduk bersila dalam keadaan terbelenggu di dalam kamar tahanan.....
********************
Kita tinggalkan dulu Hek-tiauw Lomo yang marah-marah melihat hilangnya Ceng Ceng dan mari kita ikuti pengalaman Ceng Ceng. Tadi ketika dia melihat Kian Bu muncul di depan kamar kemudian dia yang sudah tertotok itu dibelenggu oleh Mauw Siauw Mo-li, melihat betapa mereka berdua bicara dengan sikap mesra sekali, hati Ceng Ceng mendongkol bukan main. Tak disangkanya bahwa putera Pendekar Super Sakti atau masih terhitung ‘paman’ tirinya itu, kini menjadi sahabat baik dari Hek-tiauw Lo-mo dan sumoi-nya.
Ketika dulu dia melihat Suma Kian Bu berdua dengan Lauw Hong Kui di Telaga Sungari, dia masih belum menduga jelek dan mengira bahwa mereka itu secara kebetulan saja bertemu di telaga karena keduanya sama memperebutkan anak naga. Akan tetapi sekarang, dia menjadi tawanan Hek-tiauw Lo-mo dan Kian Bu berada di situ sebagai sahabat Mauw Siauw Mo-li! Hampir saja Ceng Ceng tidak dapat mempercayai pandangan matanya sendiri. Sungguh tidak mungkin kalau pemuda perkasa itu, yang dia tahu merupakan keturunan pahlawan dan pendekar besar, yang bersama dengan Gak Bun Beng dan Suma Kian Lee telah ikut berjuang membasmi pemberontak, kini tiba-tiba menjadi sahabat Hek-tiauw Lo-mo dan Mauw Siauw Mo-li, bekas kaki tangan pemberontak dan orang-orang yang pantas digolongkan dengan bangsa iblis jahat!
Teringat dia akan teriakan Suma Kian Bu ketika dia memperebutkan anak naga dengan Mauw Siauw Mo-li di atas tiang layar patah itu. Pemuda itu berteriak, “Enci, biarkan dia mendapatkan ular itu...!”
Teriakan ini ditujukan kepada Mauw Siauw Mo-li yang disebut ‘enci’ oleh Kian Bu. Dan teriakan itu saja sudah membuktikan bahwa Kian Bu berpihak kepadanya, minta kepada iblis betina itu agar menyerahkan anak naga kepadanya. Akan tetapi Mauw Siauw Mo-li tidak mau sehingga akhirnya anak ular naga itu putus ekornya.
Akan tetapi mengapa sekarang Kian Bu seolah-olah diam saja melihat dia ditawan? Dan mengapa kelihatannya antara Kian Bu dan iblis betina itu begitu mesra? Iblis betina itu cantik sekali. Memang cantik, menarik dan genit penuh daya pikat. Diam-diam Ceng Ceng mengeluh. Mungkinkah ‘paman’ tirinya itu yang masih muda belia terjebak dalam pikatan si cantik genit?
Ceng Ceng gelisah sekali, gelisah memikirkan keselamatan Topeng Setan. Pamannya yang bertopeng buruk itu, yang telah berkorban sedemikian rupa untuk dia, sekarang kembali berada dalam ancaman maut. Ceng Ceng memejamkan matanya mengusir kengerian hatinya yang penuh rasa iba kepada Topeng Setan. Luka di pundaknya karena lengannya buntung itu masih belum sembuh dan sekarang harus menjadi tawanan orang-orang sejahat iblis. Sudah matikah Topeng Setan?
Tak terasa lagi dua titik air mata meloncat keluar membasahi pipinya. Topeng Setan mati? Dunia tak ada artinya lagi baginya. Karena kalau orang itu mati dia sudah tidak mempunyai apa-apa lagi. Dia tidak akan dapat menahan derita hidup dan akan bosan dengan hidup ini. Topeng Setan merupakan harapan satu-satunya, seolah-olah orang itu merupakan pegangan terakhir baginya dalam kehidupannya yang penuh derita itu.
Sejak dulu ia hanyut dalam gelombang kesengsaraan dan baru sekarang dia mendapat pegangan yang dapat menahan kehanyutannya, pegangan dari seorang yang dapat dipercayanya sepenuhnya, yang dia yakin amat mencintanya, mungkin menganggapnya sebagai anak sendiri. Kalau dia benar sudah mati, dia pun enggan menanggung derita hidup sendirian saja!
Tiba-tiba jendela kamar itu terbuka dari luar, dan sesosok bayangan yang cepat dan ringan sekali melayang masuk. Ang Tek Hoat! Ceng Ceng memandang dengan jantung berdebar ketika melihat betapa jari-jari tangan yang mengandung kekuatan sinkang hebat itu mematah-matahkan belenggu kaki tangannya, kemudian dia ditotok bebas.
“Tek Hoat...”
“Sssssttt, mereka sedang sibuk dengan api, mari kita pergi!” Tanpa menanti jawaban dia menyambar lengan Ceng Ceng dan mengajaknya melompat lari dan menyelinap di antara bayangan rumah-rumah di situ lalu langsung melarikan diri secepat mungkin keluar dari dusun Nam-lim.
“Tek Hoat, berhenti dulu!” Tiba-tiba Ceng Ceng berkata dan memegang lengan pemuda itu.
Tek Hoat berdiri dan memandang wajah gadis itu di bawah sinar bulan yang bersinar terang di malam itu.
“Kita harus kembali!” kata Ceng Ceng dengan suara tetap.
“Ehh...?” Tek Hoat menjadi terheran sekali. “Susah payah aku membebaskan engkau dan melarikan diri, sekarang engkau hendak kembali ke sana? Apa artinya ini?”
“Aku tidak boleh melarikan diri sendiri saja sedangkan Topeng Setan masih tertawan di sana. Kita harus menolong dan membebaskannya.”
Tek Hoat yang tidak tahu menahu akan segala pengalaman Ceng Ceng bersama Topeng Setan, tidak tahu betapa Topeng Setan telah kehilangan sebelah lengannya ketika membela Ceng Ceng, diam-diam menjadi kagum sekali, mengira bahwa gadis ini mempunyai rasa setia kawan yang amat besar.
“Ceng Ceng, kau kira mudah saja aku membebaskanmu tadi? Kalau tidak ada bantuan Suma Kian Bu yang membakar ruangan depan, kiranya belum tentu aku bisa semudah itu membebaskanmu dari tangan orang macam Hek-tiauw Lo-mo dan sumoi-nya serta kaki tangannya, orang-orang Pulau Neraka itu. Dan sekarang kalau kita kembali ke sana berarti kita akan memasuki goa naga yang amat berbahaya. Apa lagi mereka tentu telah bersiap-siap...”
“Tidak peduli!” Ceng Ceng membentak dan mencari-cari sapu tangan dari balik bajunya.
Sapu tangan milik Tek Hoat yang selama ini selalu dibawanya karena benda itu merupakan ‘jimat’ baginya kalau berhadapan dengan pemuda ini. “Ang Tek Hoat, kau berani membantah perintahku? Kau... kau...”
Dia bingung karena sapu tangan itu tidak berada lagi di kantongnya dan mendengar pemuda itu tertawa, dia memandang dan... ternyata sapu tangannya itu telah berada di tangan pemuda itu! Agaknya ketika menolongnya tadi, Tek Hoat tidak menyia-nyiakan kesempatan itu untuk merampas kembali sapu tangannya!
“Ceng Ceng, kau tidak lagi dapat memaksaku melakukan sesuatu.”
“Keparat, kau jahat!” Ceng Ceng membentak. “Kalau begitu sudahlah, memang kau orang jahat dan tidak patut menjadi temanku. Biarlah aku akan menolongnya sendiri!” Ceng Ceng hendak membalikkan tubuhnya, akan tetapi Tek Hoat cepat menahannya.
“Nanti dulu...! Ceng Ceng, apa kau sudah melupakan kakak angkatmu, Puteri Bhutan?”
“Syanti Dewi...? Apa maksudmu?” Ceng Ceng terkejut dan memandang tajam.
“Dia ditawan oleh Raja Tambolon. Aku hendak menolongnya, akan tetapi Tambolon menodong leher puteri itu dan mengatakan bahwa dia mau membebaskan Syanti Dewi asal engkau mau menyerahkan diri kepadanya sebagai tukarnya.”
“Lalu... lalu bagaimana maksudmu? Mengapa dia hendak menangkap aku?”
“Hemm... aku telah mendengar bahwa engkau berhasil memperoleh anak naga, maka tentu dia hendak minta mustika itu darimu. Maka, untuk dapat menyelamatkan Syanti Dewi, kita harus menggunakan akal. Engkau harus pura-pura menjadi tawananku dan kutukarkan dengan Syanti Dewi, setelah puteri yang lemah itu berada padaku, maka aku dapat membantumu untuk meloloskan dia dari Tambolon.”
Ceng Ceng menjadi girang sekali bahwa dia akan dapat menolong kakak angkatnya dan akan dapat bertemu dengan puteri yang telah lama sekali berpisah darinya itu, akan tetapi dia menjadi bimbang karena teringat kepada Topeng Setan yang masih menjadi tawanan Hek-tiauw Lo-mo.
“Akan tetapi... bagaimana dengan Paman Topeng Setan...? Kita harus menyelamatkan dia lebih dulu...”
“Jangan khawatir, Ceng Ceng. Setelah membantuku membakar ruangan depan dan memancing perhatian musuh, Suma Kian Bu tentu akan menolong Topeng Setan. Pula, aku yakin bahwa Hek-tiauw Lo-mo tidak akan membunuh Topeng Setan sebelum dapat menangkapmu kembali. Engkaulah yang sebenarnya dibutuhkan olehnya, bukan dia. Tentu dia dapat digunakan sebagai sandera. Marilah, aku khawatir kita akan terlambat menolong Syanti Dewi!”
Mendengar ini, terpaksa Ceng Ceng mengikuti pemuda itu menuju ke dusun di tepi Sungai Ta-cing di mana Syanti Dewi menjadi tawanan Raja Tambolon. Untung bahwa puteri ini dianggap orang penting sekali setelah gerombolan ini bertemu dan berjanji dengan Tek Hoat yang akan ditukar dengan Ceng Ceng sehingga Syanti Dewi memperoleh perlakuan yang baik dan sopan, karena kalau tidak, sukar dibayangkan bagaimana nasib puteri jelita ini di tangan seorang biadab seperti Tambolon!
Hari masih pagi sekali dan penduduk dusun itu masih belum bangun ketika Tek Hoat dan Ceng Ceng tiba di dusun itu. “Engkau harus pura-pura menjadi tawananku, biar kutotok jalan darahmu. Kalau hanya pura-pura biasa, tentu tidak akan dapat mengelabui Tambolon dan pembantu-pembantunya yang lihai,” kata Tek Hoat.
Ceng Ceng mengangguk dan Tek Hoat lalu menotok pundak dara itu sehingga menjadi lemas dan dipanggulnya tubuh Ceng Ceng, dibawa berloncatan ke atas genteng menuju ke tempat Tambolon dan gerombolannya bermalam.
“Tambolon, aku sudah berhasil menangkap Nona Lu Ceng. Hayo kau keluarkan Puteri Syanti Dewi!” Tek Hoat berteriak ketika dia sudah tiba di depan rumah yang ditinggali gerombolan itu.
Tambolon dan teman-temannya memang sudah siap menanti kedatangan pemuda ini sejak Tek Hoat pergi dengan janjinya untuk menangkap Ceng Ceng. Tambolon sendiri yang keluar, diantar oleh dua orang pengawalnya, mendorong Syanti Dewi yang memandang dengan mata terbelalak ketika mendengar nama Lu Ceng disebut-sebut.
Ketika dia melihat Ang Tek Hoat memondong tubuh Ceng Ceng yang dikenalnya karena di depan rumah itu terdapat penerangan lampu yang cukup terang sehingga dia dapat melihat wajah Ceng Ceng, dia berteriak kaget dan girang, “Adik Candra...!”
Akan tetapi Tambolon menangkap lengannya ketika puteri ini hendak lari menghampiri. Ceng Ceng sendiri merasa girang bukan main dan tak terasa lagi dua butir air mata menetes turun ketika dia melihat puteri itu bercucuran air mata memandang kepadanya. Dia mulai merasa curiga karena Tek Hoat belum juga membebaskan totokannya.
“Tambolon, kau lemparkanlah Sang Puteri kepadaku dan aku pun akan melemparkan Nona Lu Ceng kepadamu!” Tek Hoat berseru karena dianggapnya bahwa cara inilah yang paling baik dan aman agar dia tidak dicurigai raja liar itu.
“Hemm, pemuda sombong. Kau kira aku ini orang macam apa? Seorang raja sekali mengeluarkan janji, tidak akan ditelannya kembali. Nah, terimalah!” Tambolon yang tadi memegang lengan Syanti Dewi, kini mengangkat puteri itu dan melemparkannya ke arah Tek Hoat. Pemuda ini pun melemparkan tubuh Ceng Ceng yang masih lemas tertotok itu ke arah Tambolon.
“Adik Candra...!”
“Enci Syanti...!”
Dua orang gadis itu hanya mampu saling memanggil nama masing-masing ketika mereka terlempar saling berpapasan. Tek Hoat cepat menyambar tubuh Syanti Dewi dan didukungnya lalu dibawanya lari secepat mungkin dari tempat berbahaya itu.
“Ang Tek Hoat... kau harus menolong Adik Candra...” Syanti Dewi berkata ketika melihat betapa dia dilarikan secepat itu meninggalkan Ceng Ceng.
“Harus satu demi satu, Sang Puteri. Tidak mungkin aku menyelamatkan kalian berdua sekaligus,” kata Tek Hoat yang tentu saja membohong karena baginya, yang terpenting adalah menyelamatkan puteri yang dicintanya ini.
Dia juga suka sekali kepada Ceng Ceng dan tidak pernah dia mempunyai pikiran jahat terhadap gadis itu, akan tetapi sekali ini dia dihadapkan kepada dua pilihan, yaitu Ceng Ceng atau Syanti Dewi dan tentu saja dia memberatkan Syanti Dewi yang dicintanya sepenuh hati itu.
“Habis, bagaimana dengan Candra Dewi...?” Syanti Dewi membantah.
“Jangan khawatir, Sang Puteri. Setelah saya menyelamatkan paduka, tentu saya akan berusaha untuk menolongnya.”
Agak lega rasa hati Syanti Dewi, sungguh pun dia masih mengkhawatirkan keselamatan adik angkatnya itu di tangan raja liar Tambolon yang dia tahu amat jahat dan kejam. “Ke mana aku hendak kau bawa...?” Kembali dia bertanya ketika melihat pemuda itu melakukan perjalanan cepat sekali, menuju ke utara.
“Ke kota raja,” jawab Tek Hoat pendek.
Tentu saja Syanti Dewi terkejut bukan main. Dia baru saja dilarikan oleh Puteri Milana dari istana kaisar. Dia adalah seorang pelarian. Bagaimana kini pemuda ini hendak membawanya kembali ke kota raja?
“Tek Hoat...! Apa... apa yang hendak kau lakukan ini...?”
Melihat puteri itu memandangnya dengan pandang mata penuh kecurigaan, ketakutan dan ketidak percayaan, Tek Hoat yang menghentikan larinya itu lalu menurunkannya dan dia menarik napas panjang.
“Puteri Syanti Dewi, saya memang hanya seorang pemuda bodoh, kasar dan jahat akan tetapi... harap paduka tenangkan hati karena saya... saya yang sesungguhnya seorang jahat ini, pada saat ini sama sekali tidak mempunyai niat buruk terhadap paduka. Saya ingin membawa paduka berlindung pada Perdana Menteri Su yang saya tahu adalah satu-satunya orang yang dapat dipercaya di kota raja, di samping Jenderal Kao Liang dan Puteri Milana. Akan tetapi, Jenderal Kao Liang sibuk dengan urusan di luar kota raja, Puteri Milana telah pergi meninggalkan kota raja, satu-satunya jalan hanyalah berlindung kepada Perdana Menteri Su. Engkau akan aman di sana, Puteri. Setelah itu, barulah saya akan pergi menolong Ceng Ceng...”
Melihat sikap pemuda itu, melihat pandang matanya yang penuh kedukaan, jelas terbayang pada wajah yang tampan itu betapa sakit rasa hati pemuda itu karena dia telah mencurigainya. Syanti Dewi lalu menghela napas. “Aku yakin bahwa engkau adalah seorang yang amat gagah perkasa dan dapat kupercaya sepenuhnya, Ang Tek Hoat. Baiklah, mari kita lanjutkan perjalanan ke kota raja, dan aku menyerahkan semua nasibku ke tanganmu, juga aku mengharapkan bantuanmu untuk keselamatan adik Candra Dewi.”
Tek Hoat menjadi lega dan girang hatinya. Tidak ada hal yang lebih menyakitkan hatinya dari pada kehilangan kepercayaan puteri yang dicintanya ini. Dia tahu bahwa dia sama sekali tidak berharga bagi puteri jelita ini, akan tetapi setidaknya kalau dia sudah dapat melakukan sesuatu bagi puteri ini, apa lagi menyelamatkan puteri ini dari bencana, hatinya sudah akan merasa bahagia.
Akan tetapi kalau dia teringat betapa puteri ini mencinta Suma Kian Bu, dan hal itu memang sudah sewajarnya mengingat bahwa Suma Kian Bu adalah putera Pendekar Super Sakti, hatinya seperti ditusuk rasanya. Dan dia akan menegur pemuda itu karena dia melihat pemuda itu bermain gila dengan seorang busuk seperti Mauw Siauw Mo-li, dan kalau perlu dia akan menggunakan kekerasan untuk memperingatkan pemuda ltu agar menjadi orang berharga untuk dicintai seorang seperti Syanti Dewi!
“Agar dapat cepat, terpaksa saya harus memondong paduka...”
“Terserah kepadamu, Tek Hoat. Aku percaya sepenuhnya kepadamu,” jawab Syanti Dewi.
Tek Hoat kemudian memondong puteri itu dengan hati-hati dan kembali melanjutkan perjalanan sambil berlari cepat. Bukan main rasa bangga dan bahagia hatinya. Puteri yang dicintanya itu telah dipondongnya! Gemetar rasa seluruh tubuhnya ketika dadanya dan tangannya merasakan kehangatan dan kelembutan tubuh yang dipondongnya, hidungnya mencium keharuman yang membuat semangatnya melayang. Dia merasa terharu sekali! Keharuan yang baru pertama kali pernah dirasakan oleh pemuda yang digembleng oleh keadaan dan menjadi seorang yang keras ini.....
Dengan mudah Tek Hoat dapat melompati pagar tembok di sekeliling istana Perdana Menteri Su setelah dia tiba di kota raja pada malam hari berikutnya. Ketika dia tiba di ruangan dalam, dua orang pengawal membentaknya dan menghadangnya dengan pedang di tangan.
“Aku bukan orang jahat..., kalian tentu mengenal puteri ini, lekas kalian laporkan kepada Perdana Menteri bahwa aku dan puteri ingin menghadap sekarang juga...!”
Dua orang pengawal itu adalah pengawal-pengawal setia dari Perdana Menteri Su. Mereka tentu saja mengenal keadaan dan tahu akan hal ihwal Puteri Syanti Dewi dari Bhutan ini. Melihat puteri itu yang kini menjadi pelarian muncul bersama seorang pemuda di tengah ruangan istana seperti iblis saja, mereka terkejut dan seorang dari mereka cepat berlari dan mengetuk pintu kamar Perdana Menteri Su setelah dia memanggil lima orang pengawal lain untuk mengurung pemuda itu.
Perdana Menteri Su terkejut sekali mendengar laporan bahwa Puteri Syanti Dewi muncul bersama seorang pemuda lihai dan hendak menghadapnya. Cepat dia berpakaian dan keluar dari kamarnya. Ketika melihat perdana menteri itu datang, Tek Hoat dan Puteri Syanti Dewi yang tadinya beristirahat dan duduk di atas bangku, dijaga dari jauh oleh para pengawal, cepat berdiri dan Tek Hoat memberi hormat kepada perdana menteri tua itu.
Perdana Menteri Su mengangkat tangan kanannya, memandang Syanti Dewi lalu bertanya dengan suara serius dan pandang mata penuh selidik kepada Tek Hoat. “Siapakah kau dan bagaimana kau dapat datang bersama Puteri Bhutan ini di waktu tengah malam di sini?”
“Saya adalah Ang Tek Hoat...”
“Hemmm... aku sudah pernah mendengar namamu dari Puteri Milana...” Kakek bangsawan itu mengangguk-angguk dan memberi isyarat dengan tangannya agar para pengawal mundur dan menjaga dari jauh saja, jangan ikut mendengarkan percakapan mereka.
Perdana Menteri Su adalah seorang yang bijaksana dan cerdas sekali. Begitu melihat Puteri Syanti Dewi dan sikap puteri ini, maka dia dapat yakin bahwa pemuda ini bukan orang berbahaya, apa lagi setelah dia mendengar namanya, maka tidaklah perlu sekali para pengawal menjaga keselamatannya dan agaknya yang akan disampaikan oleh pemuda ini tentulah hal yang amat penting maka dia menyuruh para pengawal mundur.
“Ceritakan apa kepentingan kalian,” kemudian perdana menteri itu berkata setelah dia duduk di atas sebuah bangku di depan dua orang muda itu.
“Saya baru membebaskan Puteri Syanti Dewi dari tangan raja liar Tambolon...”
“Ahhh...? Si keparat itu berani berada di dekat kota raja?”
Tek Hoat lalu menceritakan di mana adanya Tambolon dan para pembantunya, yaitu di desa dekat Sungai Ta-cin di selatan kota raja. Dia minta agar perdana menteri sudi melindungi Syanti Dewi, sedangkan dia sendiri hendak pergi menolong Ceng Ceng dan Topeng Setan pula yang masih berada di dalam tangan Hek-tiauw Lo-mo.
“Hemm, tentu saja aku akan membantu Sang Puteri ini. Kebetulan sekali siang tadi aku bertemu dengan rombongan utusan dari Kerajaan Bhutan. Aku akan menyerahkan Sang Puteri kepada mereka agar dapat dikawal kembali ke Bhutan, dan aku akan menghubungi Jenderal Kao agar raja liar Tambolon dan bekas para pembantu pemberontak itu dapat dibasmi!”
Tek Hoat menjadi girang sekali, juga Puteri Syanti Dewi girang bukan main mendengar bahwa rombongan utusan ayahnya yang dipimpin Panglima Pengawal Jayin sendiri sudah berada di kota raja! Tek Hoat lalu memberi hormat kepada Perdana Menteri Su dan menghaturkan terima kasihnya, kemudian dia memberi hormat kepada Syanti Dewi yang cepat dibalas oleh puteri itu.
Sejenak mereka berpandangan, dan Tek Hoat berkata dengan suara gemetar, “Selamat jalan, Sang Puteri. Semoga Thian selalu melindungi paduka dengan berkah yang berlimpah-limpah sehingga paduka akan hidup bahagia selalu.”
Terharu rasa hati Syanti Dewi. Dia sudah tertarik sekali pada pemuda ini sejak pemuda ini menyelamatkan dirinya dari Pangeran Liong Khi Ong, apa lagi setelah mendengar bahwa pemuda inilah yang dahulu menyamar sebagai tukang perahu. Kini lagi-lagi pemuda itu menolongnya dari ancaman mengerikan di tangan Tambolon. Pemuda ini dikabarkan jahat sekali, dikabarkan menjadi kaki tangan pemberontak, akan tetapi baginya, pemuda ini amat baik, amat gagah perkasa dan menimbulkan rasa iba di hatinya. Ingin dia menceritakan kepada pemuda ini tentang hal ibu pemuda itu yang pernah dijumpainya pada saat Ang Siok Bi bertemu dengan Milana, dan ingin dia menceritakan rahasia tentang diri pemuda ini.
Akan tetapi dia merasa tidak enak untuk bercerita di depan perdana menteri, juga dia masih sangsi apakah rahasia itu setelah dibukanya tidak akan menghancurkan hati pemuda itu. Karena ini maka siang tadi dia selalu meragu dan belum menceritakan apa yang diketahuinya tentang pemuda ini kepada Tek Hoat. Dan sekarang telah terlambat. Kalau dia mengajak pemuda itu bicara empat mata, tentu amat tidak baik dan akan menimbulkan prasangka yang bukan-bukan terhadap perdana menteri.
“Terima kasih..., Tek Hoat. Selamanya aku akan selalu ingat bahwa sudah dua kali engkau menyelamatkan aku dari bahaya yang lebih mengerikan dari pada maut. Terima kasih...”
Wajah Tek Hoat berseri sejenak mendengar ini, kemudian dia memandang dengan sinar mata penuh kasih sayang dan kemesraan, namun hanya sekejap saja karena dia lalu membalikkan tubuhnya dan pergi cepat sekali dari istana itu. Sekali berkelebat tubuhnya sudah mencelat keluar dan naik ke atas genteng lalu lenyap.
Perdana Menteri Su menghela napas panjang. “Seorang pemuda yang hebat sekali kepandaiannya...”
Dia lalu mengajak Sang Puteri Syanti Dewi untuk menemui isterinya dan memberinya sebuah kamar untuk mengaso dan memerintahkan sepasukan pengawal untuk menjaga di luar kamar puteri itu dengan ketat. Malam itu juga dia mengabarkan kepada Panglima Jayin yang bermalam di sebuah rumah penginapan di kota raja.
Syanti Dewi tidak dapat tidur di dalam kamarnya. Wajah Ang Tek Hoat selalu terbayang di depan matanya, terutama sekali wajah pemuda itu pada saat terakhir ketika hendak meninggalkannya. Pandang mata pemuda itu! Tak salahkah dia? Benarkah pemuda itu menolongnya dengan pengorbanan dirinya, sampai hampir tewas ketika melawan para pengawal Liong Khi Ong, didasarkan rasa cinta kasih kepadanya? Ahhh, tidak mungkin. Tentu karena pemuda itu mulai insyaf akan kesesatannya, setelah dia membantu pemberontak lalu dia insyaf dan bahkan menentang pemberontak, membunuh dalang pemberontak Pangeran Liong Khi Ong!
Mengapa dia selalu terkenang kepada pemuda itu? Sedangkan dia sama sekali justru tidak tersentuh hatinya ketika pemuda seperti Suma Kian Bu menyatakan cinta kasih kepadanya?
Dibandingkan dengan Ang Tek Hoat, tentu saja Suma Kian Bu menang jauh! Pemuda itu putera Pendekar Super Sakti, adik kandung Puteri Milana, cucu Kaisar! Akan tetapi entah bagaimana, dia tidak mempunyai perasaan cinta terhadap pemuda yang amat tampan dan gagah itu, yang dalam pandangannya masih seperti kanak-kanak saja, sungguh pun dia amat suka kepada Suma Kian Bu, rasa suka yang lebih mirip rasa suka seorang kakak kepada adiknya! Rasa sayang persaudaraan.
Dan tentang cinta kasih terhadap seorang pria, agaknya baru satu kali pernah dia alami, yaitu terhadap Gak Bun Beng! Meski pun kini dia insyaf bahwa tidak mungkin dia dapat berjodoh dengan pendekar setengah tua yang amat menarik hatinya, mengagumkan hatinya dan yang dianggapnya sebagai sebuah puncak di Pegunungan Himalaya, tenang dan mendalam seperti lautan, dan yang dapat dipercaya seratus prosen itu.
Keinsyafan itu membuat dia mengubur rasa cinta kasih itu karena dia pun maklum bahwa seorang laki-laki sehebat Gak Bun Beng, sekali menjatuhkan cinta kasihnya, yaitu kepada Puteri Milana, selama hidupnya tidak akan dapat mencinta seorang wanita lain, biar pun dia tahu bahwa pendekar besar itu pun amat tertarik kepadanya dan amat mencintanya. Keinsyafan ini membuat cinta kasihnya terhadap Gak Bun Beng menjadi cinta kasih terhadap seorang paman, ayah atau guru yang amat dihormati dan dijunjung tinggi, dan dia hanya mengharapkan pendekar itu akan dapat berkumpul kembali dengan Puteri Milana karena dia akan ikut merasa gembira jika melihat pria perkasa itu berbahagia hidupnya.
Sekarang, melihat Tek Hoat yang pendiam dan kadang-kadang pandai bicara, kadang-kadang muram, kadang-kadang gembira, dia melihat pula adanya sifat-sifat yang mendekati sifat-sifat Gak Bun Beng. Pemuda ini menimbulkan kepercayaan besar dalam hatinya, dan pemuda ini pun membayangkan sebagai sebongkah batu karang yang besar dan kokoh kuat, yang akan dapat merupakan seorang pelindung yang boleh diandalkan. Juga seperti Gak Bun Beng, pemuda ini seolah-olah hidup di dalam alam penderitaan, alam kedukaan dan penyesalan.
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali, Perdana Menteri Su sudah memanggilnya, kemudian mengatakan bahwa perdana menteri itu telah melakukan kontak dengan para utusan Bhutan yang dipimpin oleh Panglima Jayin.
“Karena engkau masih merupakan seorang pelarian istana, maka untuk mencegah timbulnya keributan, terutama juga untuk mencegah terjadinya pencegatan-pencegatan seperti yang terjadi ketika kau dikawal pasukan Jenderal Kao, maka sebaiknya kalau engkau menyamar sebagai seorang wanita biasa, Sang Puteri.”
Demikianlah, tak lama kemudian, dua orang pengawal tua mengantarkan seorang gadis yang cantik sekali namun berpakaian biasa seperti pakaian semua wanita sederhana, rambutnya juga dikuncir ke belakang dan dia berjalan keluar dari istana perdana menteri melalui pintu belakang.
Panglima Jayin yang menyambutnya di jalan tidak memberi hormat tetapi memandang dengan mata bersinar-sinar dan wajah berseri-seri gembira hatinya dapat bertemu dengan puteri junjungannya itu. Kemudian dia menggantikan dua orang pengawal itu, mengantarkan Sang Puteri menuju ke sebuah rumah penginapan kecil di mana anak buahnya sudah berkumpul. Para anak buah panglima pengawal Bhutan ini pun berpakaian seperti orang-orang biasa dan mereka segera bangkit berdiri dan memberi hormat kepada Syanti Dewi ketika puteri yang cantik ini dalam pakaian wanita biasa memasuki rumah penginapan itu diantar oleh Panglima Jayin yang kelihatan tinggi tegap dan gagah dalam pakaian penyamarannya seperti orang biasa.
Dengan sehelai surat dari Perdana Menteri Su di dalam sakunya, Panglima Jayin dan rombongannya dapat mengawal Sang Puteri mengendarai sebuah kereta keluar dari kota raja tanpa ada yang berani mengganggu dan mulailah Puteri Syanti Dewi yang kini dikawal oleh para pengawalnya sendiri dari Bhutan itu melakukan perjalanan pulang ke Bhutan.
Tanpa dapat dicegah lagi, teringat betapa dia akan pulang ke Bhutan dan mungkin tidak akan dapat bertemu dengan orang-orang di dunia timur ini kembali, air matanya menetes-netes di sepanjang kedua pipinya. Dia tidak tahu jelas siapa yang ditangisinya, akan tetapi wajah orang-orang yang selama ini baik sekali kepadanya terbayang semua, terutama sekali wajah Gak Bun Beng, Jenderai Kao Liang, Puteri Milana, Suma Kian Bu dan Suma Kian Lee, dan terutama sekali wajah Ang Tek Hoat.....
********************
“Ha-ha-ha, akhirnya engkau terjatuh pula ke dalam tanganku, nona manis. Ha-ha-ha!” Raja Tambolon tertawa gembira ketika dia memondong tubuh Ceng Ceng masuk ke ruangan dalam rumah yang dijadikan tempat tinggal sementara itu, diikuti oleh Si Petani Maut Liauw Kui, Si Siucai Yu Ci Pok, dan lima orang Loan-nga Mo-li. Nenek ahli sihir Durganini tidak nampak sekali ini karena seperti telah diceritakan di bagian depan, nenek itu berjumpa dengan bekas suaminya, See-thian Hoat-su dan pergi bersama kakek ini dan Teng Sian In yang menjadi murid See-thian Hoat-su.
Ceng Ceng kini mengerti bahwa dia telah ditinggalkan oleh Tek Hoat begitu saja! Dia telah ditipu oleh Tek Hoat dan ia dijadikan barang tukaran dengan Syanti Dewi. Celaka, pikirnya. Pemuda itu benar-benar luar biasa jahat dan curangnya. Untuk mendapatkan Syanti Dewi, pemuda itu telah menyelamatkannya dari tangan Hek-tiauw Lo-mo akan tetapi kiranya bukan ditolong untuk dibebaskan, melainkan untuk diserahkan kepada Tambolon sebagai penukar diri Syanti Dewi. Terjatuh ke tangan pemuda berhati palsu seperti itu, tentu kakak angkatnya itu akan celaka, pikirnya penuh kekhawatiran. Dan dia sendiri, dia baru saja terlepas dari tangan Hek-tiauw Lo-mo kini terjatuh ke tangan Tambolon, artinya sama saja dengan terlepas dari mulut harimau terjatuh ke dalam cengkeraman seekor serigala!
“Tambolon, aku tahu bahwa engkau adalah seorang laki-laki yang berjiwa dan berwatak pengecut! Kalau memang engkau yang suka mengangkat diri menjadi raja, benar-benar seorang yang jantan, hayo kau bebaskan aku dan kita bertanding sampai selaksa jurus sampai seorang di antara kita menggeletak mampus!” Ceng Ceng memaki.
“Ha-ha-ha! Dengan susah payah aku mendapatkan dirimu, sampai-sampai aku harus mengorbankan dan kehilangan Puteri Bhutan yang denok ayu, masa sekarang harus membebaskan kau dan bertanding lagi. Sayang kalau sampai aku harus membunuhmu begitu saja, nona manis,” Tambolon tertawa-tawa.
Akan tetapi kemudian tiba-tiba sikapnya berubah, wajahnya bengis dan dengan kasar dia mendudukkan tubuh Ceng Ceng yang masih lemas tertotok itu ke atas kursi di sebelahnya, memegangi pundak dara itu dan membentak. “Hayo lekas katakan di mana adanya anak ular naga itu dan serahkan kepadaku!”
“Hemm, kiranya untuk itu dia menangkapku dan rela membebaskan Syanti Dewi,” pikir Ceng Ceng.
Tahulah kini Ceng Ceng bahwa dia tidak akan dapat hidup lagi. Seperti juga Hek-tiauw Lo-mo, Tambolon ini agaknya berkeras ingin memiliki anak naga dan karena anak naga itu telah dimakannya habis, maka tentu seperti juga Hek-tiauw Lo-mo, raja liar ini akan membunuhnya dan minum semua darahnya yang telah mengandung khasiat dari anak naga itu.
Dia tidak bisa mengharapkan pertolongan lagi. Kedua orang pembantunya yang boleh diandalkan, keduanya sudah tak dapat diharapkannya lagi. Tek Hoat telah menipunya, tak mungkin pemuda ini dapat membantunya. Dan Topeng Setan masih berada di dalam tahanan Hek-tiauw Lo-mo, entah masih hidup atau sudah mati. Tidak ada lagi seorang manusia yang akan mampu menyelamatkannya.
Maka dia lalu menjawab, “Aku tidak tahu!” dan kemudian menutup mulut dan matanya, seperti orang sedang bersemedhi.
“Keparat, apakah kau ingin kusiksa untuk mengaku?” Tambolon berteriak marah.
“Ong-ya, saya mendengar bahwa gadis ini menderita luka parah dan kalau dia mencari anak naga itu tentu untuk mengobatinya. Setelah memperoleh anak naga itu dengan demikian susah payah, di mana lagi disimpannya kalau tidak di dalam perutnya? Lihat, wajahnya demikian merah dan sehat, tentu karena khasiat anak naga itu.” Tiba-tiba Si Siucai Maut Yu Ci Pok berkata.
“Kata-kata Yu-hiante ada benarnya dan untuk membuktikannya, tidak ada jalan lain kecuali memeriksa darahnya,” kata pula Liauw Kui Si Petani Maut.
“Aha, kalian benar! Tentu telah ditelannya anak naga itu, maka Hek-tiauw Lo-mo lantas menangkapnya. Aku tahu kebiasaan manusia iblis itu, suka sekali makan daging dan minum darah manusia. Daging gadis manis ini tentu lunak dan darahnya tentu manis apa lagi kalau ternyata mengandung khasiat anak naga. Belenggu dia dan bebaskan totokannya!”
Liauw Kui dan Yu Ci Pok cepat membelenggu kaki dan tangan Ceng Ceng dengan tali sutera yang sangat kuat pada kursi yang didudukinya, lalu Liauw Kui membebaskan totokan pada pundak dara itu. Tetapi Ceng Ceng tetap menutup mulut dan matanya, seolah-olah tidak merasakan itu semua.
Gadis ini memang sedang memusatkan perhatiannya. Sudah beberapa hari semenjak dia minum sari dari anak ular naga itu, dia merasa sesuatu bergerak-gerak aneh di dalam perutnya, gerakan yang disertai hawa amat panas akan tetapi kadang-kadang juga amat dingin. Akan tetapi gerakan-gerakan itu dengan segera menghilang, maka dia melupakannya. Sekarang, kembali perutnya bergerak-gerak dan diam-diam dia bergidik.
Jangan-jangan anak naga yang hanya diminum perasannya itu kini hidup kembali dan bergerak-gerak di dalam perutnya! Makin lama gerakan-gerakan itu makin menghebat dan seolah-olah ada tenaga mukjijat yang hidup di dalam rongga perutnya dan yang kini minta jalan keluar!
Ceng Ceng menjadi khawatir sekali karena perutnya seperti hendak pecah rasanya, ditekan oleh hawa mukjijat yang berputar-putar di perutnya itu. Maka dia kemudian mengerahkan sinkang-nya, mengerahkan tenaga dari pusarnya untuk menekan dan menindih tenaga liar mukjijat itu. Akan tetapi betapa heran dan kagetnya ketika hawa liar itu malah menyerbu ke dalam pusarnya, tak terkendalikan lagi, demikian kuatnya bergerak-gerak di dalam pusar hendak menerobos ke atas!
Pada saat itu pula, Tambolon sudah mengeluarkan sebatang jarum, hendak menusuk pergelangan lengan Ceng Ceng untuk mengeluarkan darah gadis itu dan memeriksanya apakah benar darah gadis itu sudah lain dari biasanya dan telah mengandung khasiat mukjijat dari anak ular naga. Dan Ceng Ceng tidak tahu akan itu semua karena dia sendiri sedang berjuang melawan hawa liar mukjijat yang kini dari dalam rongga perut memasuki pusarnya dan akhirnya dia tidak dapat menahan lagi, membuka saluran dari pusarnya sehingga hawa mukjijat itu kini menjalar di seluruh tubuhnya, membuat tubuhnya terasa panas seperti dibakar dan keringatnya bercucuran membasahi seluruh tubuhnya.
“Cusss...!” Tambolon menusukkan jarumnya ke pergelangan lengan Ceng Ceng.
“Krakkk...!” Jarum itu mendadak patah seperti ditusukkan pada baja yang keras.
“Ahhhh...!” Tambolon terkejut bukan main dan juga kagum karena dia mengira bahwa gadis itu telah menggunakan sinkang yang demikian kuatnya sehingga kulit lengannya mampu mematahkan jarum baja.
“Keparat, dia melawan! Totok dia agar tidak mampu mengerahkan sinkang!” katanya kepada Liauw Kui.
Si Petani Maut ini selain amat lihai ilmu silat dan senjata pikulannya, juga terkenal sebagai ahli menotok jalan darah yang lihai sekali. Mendengar perintah rajanya, dia lalu menggerakkan tangan kanannya, dua jari yaitu telunjuk dan jari tengahnya menusuk ke arah pundak kini Ceng Ceng, di bagian jalan darah Kin-ceng-hiat.
“Takkk! Aughhh...!”
Liauw Kui terhuyung ke belakang sambil memegangi tangan kanannya. Dua batang jari tangannya seperti akan patah-patah rasanya dan hawa panas yang amat hebat menyerangnya dari pundak gadis itu, membuat seluruh lengan kanannya seperti lumpuh dan kehilangan tenaga!
Tentu saja semua orang menjadi terheran-heran melihat keanehan ini. Gadis itu masih duduk di atas kursi dalam keadaan terbelenggu, dan memejamkan matanya, alisnya berkerut, semua tubuhnya mengeluarkan hawa panas. Jelas bahwa gadis itu tidak seperti sedang mengerahkan tenaga, akan tetapi mengapa jarum menjadi patah dan totokan Si Petani Maut menjadi gagal?
Pada saat itu Ceng Ceng memang sudah tidak merasakan apa-apa lagi. Telinganya bagai penuh dengan bunyi mengaung-ngaung dan biar pun kedua matanya dipejamkan, namun dia masih melihat warna merah serta darah yang menyilaukan, dan seluruh tubuhnya terasa nyeri semua. Celaka, pikirnya, aku tentu keracunan hebat, akan tetapi pikiran ini hanya seperti kilatan halilintar saja karena segera pikirannya menjadi kosong lagi dan seluruh perhatiannya hanya tertuju pada pergerakan hebat di dalam perutnya, pusarnya, dadanya dan semua tubuhnya, bahkan pergerakan itu sampai terasa ke ubun-ubun kepalanya.
“Dia... dia mempunyai ilmu yang mukjijat... ingat, dia gadis beracun!” Liauw Kui berkata dan semua orang sudah mencabut senjatanya.
“Biar aku menotoknya dengan poan-koan-pit!” teriak Yu Ci Pok dan cepat dia telah menggerakkan senjata pensil baja itu ke arah punggung dan tengkuk Ceng Ceng
“Cus-cuss... krekk-krekkk! Aihhh...!” Yu Ci Pok meloncat ke belakang, tubuhnya tergetar dan kedua buah senjata pensil itu patah menjadi empat potong!
“Ilmu siluman...! Biar kita keluarkan darahnya dan kita tampung!” Berkata Tambolon. “Cepat ambilkan panci!”
Song Lan Ci, orang pertama dari Loan-ngo Mo-li, sudah cepat lari dan minta sebuah panci kepada anak buah Tambolon, kemudian dia datang lagi dan bersama empat orang saudaranya dia pun sudah mencabut pedang-pedang samurai mereka.
Tambolon sudah mencabut pedangnya. Dengan gerakan tangkas dia sudah menerjang ke depan, menusukkan pedangnya ke arah leher Ceng Ceng karena leher itu tentu akan mengalirkan semua darah segar dari tubuh dara itu yang akan ditadahi dengan panci. Dia akan ‘menyembelih’ gadis itu di atas kursinya dalam keadaan terbelenggu!
Pada saat itu, Ceng Ceng sudah berada dalam keadaan puncak dari getaran hawa mukjijat yang menguasai seluruh tubuhnya. Dia sudah menahan-nahan diri agar tidak muntah karena keadaannya itu membuat dia merasa mual dan ingin muntah. Namun pada saat pedang Tambolon bergerak, dia sudah tidak dapat bertahan lagi, merasa seolah-olah nyawanya dicabut melalui mulutnya, maka dara yang merasa bahwa dia tentu mati pada saat itu, padahal sakit hatinya belum terbalas, pemuda laknat itu belum terdapat olehnya, rasa penasaran membuat dia menjerit sekuatnya. Lengking yang amat hebat keluar dari tenggorokannya, dibarengi dengan gerakan tubuhnya yang seolah-olah hendak meronta dan melawan maut yang disangka hendak merenggut nyawanya.
“Aaaiiihhhhh...!” Lengking ini diikuti dengan keluarnya darah menghitam bergumpal-gumpal yang dimuntahkan oleh mulut Ceng Ceng, akan tetapi hebatnya, pada saat dia menggerakkan tubuhnya, kaki tangannya bergerak dan semua tali sutera kokoh kuat yang membelenggunya putus semua.
Bukan itu saja, dari dua tangannya yang bergerak kalang-kabut itu keluar hawa mukjijat yang luar biasa dahsyatnya sehingga Tambolon yang sedang menusukkan pedangnya, kena digempur hawa mukjijat ini sehingga dia terlempar ke belakang. Tidak terkecuali Si Petani Maut dan Si Siucai Maut, bersama Loan-ngo Mo-li yang memegang samurai, terdorong oleh hawa mukjijat dari gerakan kedua dengan tangan Ceng Ceng sehingga mereka itu terlempar ke belakang dan terbanting ke atas lantai dengan keras!
Ceng Ceng membuka matanya, merasa betapa dada dan perutnya lega bukan main setelah dia memuntahkan darah bergumpal-gumpal itu. Melihat betapa gerakan-gerakannya dapat mematahkan belenggu dan merobohkan delapan orang itu, dia sendiri terheran dan terkejut, akan tetapi kecerdasannya mengingatkan bahwa dia kini memperoleh kesempatan baik sekali. Cepat dia meloncat keluar dan melarikan diri di dalam kegelapan malam!
Tidak lama kemudian, setelah sadar dari keterkejutan yang hebat, Tambolon dan para pembantunya meloncat bangun, kemudian sambil berteriak-teriak mereka melakukan pengejaran, diikuti oleh anak buah mereka. Akan tetapi Ceng Ceng telah lenyap dan selain Tambolon sendiri, juga para pembantunya masih terkejut dan jeri menyaksikan kehebatan gadis itu.
Ceng Ceng sendiri juga terheran-heran. Dia tidak tahu mengapa bisa terjadi seperti itu, akan tetapi karena dia seorang gadis yang memiliki kecerdasan, dia teringat dan menduga bahwa tentu semua itu adalah khasiat darah anak ular naga yang telah diminumnya. Agaknya baru sekarang khasiat anak ular naga itu memperlihatkan diri, dan hasilnya memang hebat. Hanya dia masih belum mengerti benar keadaannya dan sayang bahwa Topeng Setan tidak berada di situ, karena kalau ada, tentu pembantunya yang serba bisa itu akan dapat memberi keterangan.
Memang dugaan Ceng Ceng tidak keliru, semua itu adalah khasiat dari darah anak ular naga dan darah-darah hitam bergumpal-gumpal yang keluar dari mulutnya itu adalah dari racun-racun yang dahulu dilatih dan berada di tubuhnya. Hawa mukjijat itu adalah hawa yang dibangkitkan oleh darah anak ular itu.
Seluruh tubuh Ceng Ceng masih gemetar. Ketika dia menyelinap di antara pohon-pohon, mendadak dua orang anak buah Tambolon muncul dan hampir bertumbukan dengan dia di tempat gelap. Mereka sama-sama kaget, tetapi dua orang anak buah Raja Tambolon itu telah mengenalnya dan cepat mereka mengangkat golok mereka untuk menyerang sambil berteriak-teriak memanggil teman-teman mereka. Ceng Ceng yang masih merasa gemetar tubuhnya dan dikuasai oleh hawa yang bergerak-gerak, merasa lemas dan tidak bersemangat untuk melayani mereka. Setelah mengelak, dia lalu teringat akan senjatanya yang ampuh, yaitu ludahnya.
“Cuh! Cuhh!” Dua kali dia meludah dan tepat mengenai muka dua orang lawan itu.
Akan tetapi Ceng Ceng menjadi kaget dan bingung karena dua orang yang terkena ludah beracunnya itu sama sekali tidak roboh, bahkan menyumpah-nyumpah marah dan menyerangnya lebih ganas lagi! Dan karena teriakan mereka tadi, kini muncul lagi dua orang lain yang segera mengepungnya.
Celaka, pikirnya. Kalau sampai Tambolon dan para pembantunya datang, dia tentu celaka.
“Minggir...!” teriaknya dan kaki tangannya bergerak menyerang.
Gerakannya kacau karena Ceng Ceng merasa betapa tenaganya sendiri lenyap ditelan oleh hawa yang masih bergerak-gerak itu seolah-olah dia tidak mampu lagi menguasai kaki tangannya. Akan tetapi, begitu kedua tangannya bergerak mendorong ke depan dan kanan kiri, empat orang itu memekik ngeri, terlempar dan senjata mereka terpental, terbanting dan tidak bangun lagi karena mereka tewas seketika!
Ceng Ceng mendengar datangnya banyak kaki orang, maka cepat dia membalikkan tubuhnya dan lari dari situ. Begitu dia meloncat, hampir dia berteriak kaget karena loncatannya kini seperti terbang saja. Sekali meloncat dia sudah melayang ke atas hampir menabrak pohon! Tubuhnya begitu ringan dan loncatannya begitu kuat sehingga dia tidak dapat menguasai lagi tubuhnya.
“Brukkk!”
Dia terbanting ke atas tanah seperti seekor burung sedang belajar terbang. Akan tetapi Ceng Ceng merangkak bangun dan lari lagi, sekali ini dia berhati-hati karena dia mulai maklum bahwa di dalam tubuhnya terdapat tenaga mukjijat yang liar dan tidak dapat dikendalikan sehingga jika dia salah menggunakannya, dia tidak mampu lagi mengatur keseimbangan dirinya.
Akhirnya dia dapat meninggalkan tempat itu dan tidak mendengar lagi suara para pengejarnya. Tadinya dia berniat untuk mengejar Tek Hoat dan menolong Syanti Dewi, akan tetapi dia tidak tahu ke mana perginya pemuda berhati palsu itu, maka dia lalu memutuskan untuk kembali saja mencari dan menolong Topeng Setan. Akan tetapi tiba-tiba kepalanya terasa pening bukan main dan tanpa dapat dicegahnya lagi tubuhnya terguling. Karena gelap, dia tidak tahu bahwa dia terguling ke dalam sebuah jurang. Untung baginya bahwa jurang itu tidak terlalu dalam, dan bahwa di luar kesadarannya, tubuhnya seperti balon karet terisi penuh hawa yang penuh, maka biar pun dia pingsan, ketika terguling-guling ke dalam jurang itu tubuhnya sama sekali tidak terluka, terlindung oleh hawa mukjijat itu.....
********************
“Kalian pengecut-pengecut hina-dina, manusia-manusia busuk yang tak tahu malu!” maki-makian itu terdengar dari dalam sebuah kamar tahanan yang sangat kuat, berdinding tebal dan berpintu besi. “Kalau kalian berani mengganggu seujung rambut saja dari Ceng Ceng, aku bersumpah akan menghancurkan kepala kalian satu demi satu!”
Yang memaki-maki ini adalah Topeng Setan! Dapat dibayangkan betapa risau hatinya kalau dia mengingat akan nasib Ceng Ceng yang telah terjatuh ke dalam tangan Hek-tiauw Lo-mo. Kalau saja anak ular naga itu belum diminum darahnya oleh Ceng Ceng, masih ada harapan bagi dara itu untuk lolos dengan selamat. Akan tetapi, darah anak ular itu telah diminum Ceng Ceng dan dia tahu bahwa Hek-tiauw Lo-mo manusia iblis itu amat membutuhkan darah itu. Dia tahu bahwa Hek-tiauw Lo-mo tidak akan ragu-ragu lagi untuk makan daging dan minum darah Ceng Ceng untuk memperoleh khasiat darah anak ular naga itu. Membayangkan ini, hatinya merasa ngeri dan dia berteriak-teriak dan memaki-maki.
“Hek-tiauw Lo-mo, pencuri busuk, keparat keji dan curang. Hayo kau tandingi aku, satu lawan satu, jangan mengandalkan orang banyak selagi aku terluka dan jangan kau berani mengganggu Ceng Ceng!”
Karena Topeng Setan selalu meronta dan memaki, maka ketika dia roboh tadi, dia lalu dibelenggu di dalam kamar tahanan ini dan keadaannya mengerikan sekali. Pundak kirinya yang buntung itu masih mengeluarkan darah, buktinya bajunya di bagian pundak itu masih basah dan merah. Kedua kakinya, demikian pula tangan kanannya, sudah dibelenggu dengan belenggu baja yang amat kuat dan diikatkan pada tiang-tiang di sudut kamar sehingga tubuhnya tergantung menelungkup, terapung kurang lebih dua kaki dari lantai.
Tentu saja dia berada dalam keadaan tersiksa. Hanya satu hal yang tidak berani dilakukan oleh para anak buah Pulau Neraka atau anak buah Hek-tiauw Lo-mo, yaitu membuka topengnya. Hal ini adalah karena pesan dari Mauw Siauw Mo-li sendiri yang memenuhi permintaan Suma Kian Bu. Sampai kini, para anak buah itu tidak berani membuka topeng buruk itu, akan tetapi karena Topeng Setan selalu memaki-maki Hek-tiauw Lo-mo, menantang-nantang dan berteriak-teriak sepanjang malam, para anak buah yang terdiri dari orang berwatak keras dan berhati kejam itu menjadi marah dan benci sekali! Mulailah mereka mencambuki tubuh yang sudah tergantung menelungkup itu.
Melihat Topeng Setan tidak mempedulikan siksaan ini, dan tidak menghentikan maki-makiannya seperti yang diperintahkan oleh para penjaga, para anak buah Hek-tiauw Lo-mo menjadi makin marah. Mereka kini tidak hanya mencambuki, juga menyirami dengan air, menggunakan pentungan untuk menggebuki punggung dan pinggulnya sehingga terdengar suara bak-buk-bak-buk di samping meledaknya pecut. Hebatnya, semua cambukan dan gebukan itu seolah-olah tidak terasa oleh Topeng Setan yang masih menantang-nantang.
Karena dia maklum bahwa dalam keadaan seperti itu dia sama sekali tidak berdaya, sedangkan Ceng Ceng terancam bencana hebat, maka Topeng Setan melampiaskan kekhawatiran dan kemarahannya dengan berteriak-teriak dan memaki-maki untuk memancing kemarahan Hek-tiauw Lo-mo dan agar perhatian mereka semua tidak hanya tercurah kepada Ceng Ceng yang tidak diketahuinya bagaimana nasibnya itu. Topeng Setan tidak tahu pula akan apa yang terjadi malam tadi, hanya mendengar teriakan kebakaran.
Kini, setelah malam lewat, sikap para anak buah Hek-tiauw Lo-mo lebih kejam lagi. Muncul di situ Hek-tiauw Lo-mo yang wajahnya muram dan keruh.
“Iblis laknat Hek-tiauw Lo-mo, kalau kau berani, hayo kau lawan aku, laki-laki sama laki-laki, jangan mengganggu wanita! Ataukah kau sudah demikian pengecut tidak berani melawan seorang laki-laki yang sudah cacat dan terluka? Ha-ha-ha, betapa hina engkau!” Topeng Setan memaki-maki dan meronta-ronta sehingga belenggu-belenggu tangan dan kedua kakinya mengeluarkan bunyi berkerontangan.
“Siksa dia, akan tetapi jangan bunuh dulu! Siksa dia sampai dia minta-minta ampun kepadaku!” bentak Hek-tiauw Lo-mo yang berwajah keruh itu, lalu meninggalkan kamar tahanan Topeng Setan.
Dia datang hanya untuk memeriksa apakah Topeng Setan masih berada di situ dan sekali pandang saja tahulah dia bahwa Topeng Setan tak ada sangkut pautnya dengan terbebasnya Ceng Ceng dan larinya Suma Kian Bu. Akan tetapi dia sudah berpesan kepada semua anak buahnya agar Topeng Setan tidak tahu akan peristiwa lolosnya Ceng Ceng malam tadi.
Mendengar perintah dari kepala mereka, tentu saja para penjaga itu menjadi girang sekali. Mereka memang ingin melampiaskan kemendongkolan dan kemarahan mereka. Seorang di antara mereka yang mempunyai banyak akal mencari cara-cara penyiksaan yang paling sadis, segera mengusulkan untuk mencari batu besar dan menindihkan batu itu di atas punggung Topeng Setan agar orang ini remuk punggungnya kalau tidak cepat-cepat minta ampun. Semua orang setuju dan enam orang di antara mereka lalu keluar dan menggotong sebongkah batu besar yang beratnya tentu lebih dari tiga ratus kati.
Batu besar itu mereka pergunakan untuk menindih punggung Topeng Setan sampai melengkung ke bawah ketika punggungnya ditindih batu seberat itu, akan tetapi dia mengerahkan tenaganya, pinggulnya digerakkan secara tiba-tiba dan batu besar itu terlempar mencelat dari atas punggungnya, hampir menimpa seorang di antara mereka yang cepat meloncat ke samping sehingga hanya sebuah bangku kayu saja yang hancur berkeping-keping tertimpa batu itu.
“Ambil yang lebih berat lagi!” teriak seorang di antara mereka.
Kini enam orang itu menggotong sebongkah batu yang lebih besar. Mereka berenam adalah anggota-anggota Pulau Neraka yang lihai dan bertenaga besar dan batu yang mereka gotong itu tentu lebih dari lima ratus kati beratnya. Dengan beramai-ramai mereka kini mengangkat batu besar itu dan menindihkannya ke atas punggung Topeng Setan.
Wajah belasan orang yang sudah biasa dengan segala macam kekejaman itu kelihatan puas ketika melihat betapa perut Topeng Setan hampir menyentuh lantai dan terdengar keluhan dari mulut di balik topeng itu ketika batu besar menghimpitnya dari atas. Tangan yang tinggal sebelah itu menegang tertahan belenggunya, demikian pula kedua kakinya.
Akan tetapi sedikit pun tidak ada kata-kata rintihan atau permintaan ampun dari mulut Topeng Setan. Dia kembali mengerahkan tenaga dari pusarnya. Memang tidak mudah karena selain dia masih menderita karena luka di pundaknya yang buntung, juga dalam keadaan tergantung menelungkup itu, dia harus pula menggunakan tenaganya untuk menahan agar kaki tangannya tidak terluka atau patah tulangnya. Dan dia sudah tergantung seperti itu selama satu malam suntuk!
“Haiiiiittttttt!” Setelah beberapa kali mencoba tanpa hasil dan ditertawakan oleh para penjaga, mendadak Topeng Setan mengeluarkan seruan ini dan kembali pinggulnya bergerak mengerahkan tenaga dan... batu sebesar kerbau yang amat berat itu segera terlempar dari punggungnya.
“Awas... minggir...!” Mereka berteriak akan tetapi tetap saja seorang di antara mereka kena tertimpa sehingga terlempar dan terguling-guling dan mengalami luka-luka parah.
Hal ini tentu saja membuat para penjaga itu menjadi makin marah dan penasaran saja. Kalau tidak ada larangan dari kepala mereka, tentu mereka sudah menghujankan senjata untuk membunuh orang yang keras hati dan keras kepala ini. Kembali mereka menghujankan cambuknya dan gebukan sampai tangan mereka sendiri lecet-lecet. Namun Topeng Setan yang juga mengalami rasa puas sudah dapat membikin marah Hek-tiauw Lo-mo dan kaki tangannya, makin mengejek dan menantang-nantang.
Karena dalam keadaan tidak berdaya dan tidak tahu apa yang terjadi dengan Ceng Ceng, maka sedikitnya dia sudah merasa puas dengan dapat membikin hati mereka tidak senang, dan tadi melihat kekeruhan wajah Hek-tiauw Lo-mo, timbul harapan di dalam hatinya. Kalau wajah Ketua Pulau Neraka itu keruh, berarti telah terjadi hal yang tidak menyenangkan hatinya dan hal ini tentu ada hubungannya dengan Ceng Ceng!
Apakah gadis itu dapat menyelamatkan dirinya? Atau setidaknya dapat mengakali Hek-tiauw Lo-mo sehingga untuk sementara dapat terbebas dari ancaman maut? Dan dia melihat adanya Suma Kian Bu di tempat ini. Akan janggal dan tidak masuk akallah kalau putera Pendekar Super Sakti itu membiarkan saja Ceng Ceng dibunuh! Ahh, dia masih dapat mengharapkan pemuda tampan itu! Harapan-harapan ini membuat hatinya menjadi besar dan dia menantang-nantang lebih berani lagi.
“He, Hek-tiauw Lo-mo, jangan lari kau! Hayo kau keroyoklah aku dengan semua anak buahmu! Aku akan mematahkan batang leher kalian satu demi satu!”
Kini para penjaga sudah tak dapat menahan kemarahannya lagi. Tidak peduli apakah akibatnya tawanan ini akan mampus, mereka segera mendorong sebongkah batu penggilingan tahu yang besar sekali, batu penggilingan tahu ini beratnya ada seribu kati! Saking beratnya, mereka tidak mampu menggotongnya dan hanya dapat mendorong batu yang bentuknya bundar itu, kemudian dengan pengerahan tenaga belasan orang, mereka dapat mengangkat gilingan tahu itu dan menindihkannya ke atas panggung Topeng Setan!
Sekali ini Topeng Setan tak mampu berkutik lagi. Kedua kakinya tergantung, demikian tangan kanannya, badannya terayun dan ditindih batu sebesar dan seberat itu. Dia merasa seolah-olah kedua kaki dan sebelah tangannya akan copot pergelangannya. Napasnya sesak dan keringatnya bertetesan satu-satu dan besar-besar. Semua orang bersorak dan tertawa-tawa, ada yang menjambak rambutnya dan berkata, “Hayo kau gebrakkan lagi pantatmu yang lihai itu agar batu ini terlempar!”
“Lihat, dia sudah empas-empis mau mampus!”
“Hati-hati, kawan, jangan sampai dia benar-benar mampus!”
“Tidak, kalau dia sudah sekarat mau mampus kita gulingkan batu ini dari punggungnya. Paling-paling tulang punggungnya remuk, ha-ha-ha!”
Dapat dibayangkan betapa hebat siksaan ini terasa oleh Topeng Setan. Menahan agar tulang-tulang kaki dan tangannya tidak copot saja sudah amat sukarnya, apa lagi melemparkan batu seberat itu dari punggung dengan hanya tenaga gerakan pinggul. Peluh mengucur keluar dengan derasnya dan dia hampir putus asa. Punggungnya terasa seperti akan patah. Sendi-sendi tulangnya seperti mau copot semua.
Terutama sekali sendi pergelangan kedua kaki dan tangan kanannya, tak mungkin dapat bertahan lama. Akan tetapi, dia tidak boleh putus asa. Dia harus tetap hidup untuk dapat menyelamatkan dan melindungi Ceng Ceng! Otot-otot di tubuhnya mengeras, dia ingin bertahan dengan tenaga dalamnya. Dia harus membuat tubuhnya menegang dengan pengerahan sinkang, menegang kaku seperti batu. Karena kalau sedikit saja mengendur, tentu tulang kaki, tangan atau punggungnya akan patah. Mengeluh dan minta ampun? Pantangan besar bagi seorang gagah! Lebih baik mati dengan tubuh gepeng dan tulang remuk dari pada harus minta ampun!
Dia maklum bahwa nyawanya tergantung kepada selembar rambut. Sedang nyawanya sendiri terancam, mana bisa menolong Ceng Ceng. Kiranya tidak ada orang di dunia ini yang akan mau dan yang dapat menolongnya dalam keadaan seperti itu. Akan tetapi ada! Yaitu gurunya! Akan tetapi gurunya itu tidak pernah mencampuri urusan dunia!
Dalam keadaan menghadapi maut itu, Topeng Setan teringat akan gurunya, manusia yang memiliki kepandaian tidak lumrah manusia itu. Kalau saja dia sepandai gurunya, dalam keadaan seperti ini pun tentu akan dapat membebaskan diri, akan dengan mudah melemparkan batu seberat ini. Mengapa dia tidak bisa sehebat gurunya? Padahal gurunya itu pun hanya seorang manusia yang buntung sebelah lengannya!
Tiba-tiba Topeng Setan teringat akan sesuatu, teringat akan pesan gurunya dahulu. Pelajaran yang diberikan kepadanya di waktu itu, pesan gurunya di waktu itu, sebelum ini memang tak pernah diperhatikannya. Akan tetapi setelah sebelah lengannya buntung, setelah dia terhimpit dan terancam maut, tiba-tiba dia teringat akan semua itu. Gurunya pernah berkata kepadanya bahwa kini gurunya menemukan seorang ahli waris yang tepat dan cocok sekali, yaitu dirinya sendiri, sehingga ilmu rahasia perguruan yang dirahasiakan itu tidak akan musnah.
“Ilmu rahasia ini tidak dikenal oleh seluruh tokoh persilatan di dunia, muridku,” demikian kata gurunya. “Akan tetapi kiranya jarang ada ilmu silat dan ilmu menghimpun tenaga sinkang yang akan mampu menandingi ilmu rahasia kita ini. Ilmu ini telah ribuan tahun terpendam dan baru setelah tiba di tanganku, kupelajari dan kusempurnakan. Bahkan aku belum pernah mempergunakan ilmu ini saking hebatnya, dan karena aku memang tidak pernah bermusuhan dengan siapa pun. Ilmu ini kunamakan Ilmu Sin-liong-hok-te (Naga Sakti Mendekam di Atas Tanah). Engkaulah yang menjadi ahli waris ilmu rahasia ini, muridku.” Setelah berkata demikian, gurunya mengajarkan teori ilmu yang sakti itu.
Dahulu, dia merasa heran dan tidak mengerti, biar pun dia tidak berani membantah gurunya, mengapa gurunya mengajarkan ilmu itu kepadanya. Ilmu Sin-liong-hok-te itu adalah ilmu mukjijat yang hanya tepat dipelajari oleh orang yang lengannya buntung sebelah, itu pun harus lengan kanan yang masih tinggal, seperti keadaan gurunya yang lengannya hanya sebelah kanan itu. Akan tetapi gurunya tetap saja mengajarkannya kepadanya. Hal ini sekarang membuat dia makin tunduk dan kagum kepada suhu-nya yang ternyata selain memiliki kesaktian hebat, juga agaknya telah dapat mengetahui bahwa dia akhirnya pun akan menjadi buntung lengan kirinya, seperti gurunya!
Dahulu, biar pun dia sudah hafal akan teorinya, dia mengalami kesukaran hebat ketika melatihnya. Ilmu Sin-liong-hok-te itu, sesuai dengan namanya, harus dilatih dengan tubuh menelungkup di atas tanah, seperti naga mendekam. Dan ketika berlatih, tubuh harus kejang dan kaku dari awal sampai akhirnya. Latihan yang amat hebat, karena membuat tubuh seluruhnya kejang kaku itu bukan dalam waktu pendek, karena latihan itu memakan waktu sampai setengah hari!
Berbahayanya, ketika sedang melatih sinkang berdasarkan ilmu itu, tubuh sedikit pun tidak boleh mengendur, karena selagi mengerahkan sinkang seperti yang diajarkan dalam ilmu tadi, sedikit saja tubuh mengendur, orang yang melatihnya akan dapat menjadi lumpuh kaki tangannya untuk selama hidupnya! Inilah yang amat sukar sehingga sampai dia meninggalkan gurunya, dia belum juga dapat menguasai ilmu itu. Selalu yang menjadi penghalang dahulu adalah adanya lengan kirinya. Gurunya sudah berkali-kali menganjurkan agar dalam latihan ilmu itu, dia ‘melupakan’ lengan kirinya. Akan tetapi mana mungkin? Karena itu dia belum juga berhasil.
Topeng Setan melamun mengenangkan masa lalu itu sambil terus menegangkan tubuhnya untuk menahan gilingan tahu yang amat berat dan menindih tubuhnya itu. Dan pada saat itu dia sadar! Bukankah keadaannya pada saat itu sangat cocok untuk melatih dan menyempurnakan Ilmu Sin-liong-hok-te yang sampai saat ini belum dapat dikuasainya itu? Sekarang tubuhnya juga menelungkup dalam keadaan kaku menegang seluruhnya, biar pun tidak menelungkup di atas lantai. Yang penting, dia pun dalam keadaan tegang terus tubuhnya, karena kalau tidak, mengendur sedikit saja, tulang punggungnya bisa patah!
Bagus sekali, semua persyaratan terpenting dari cara melatih ilmu ini telah terpenuhi. Lengannya tinggal yang kanan saja sehingga lengan kiri yang selalu mengganggu penyaluran tenaga itu tidak ada lagi, dan dia harus menelungkup dengan tubuh kaku menegang terus. Namun, tadi para penyiksanya ini selalu mengganti penyiksaannya.
Bagaimana kalau sebelum dia dapat menguasai Sin-liong-hok-te kemudian mereka menurunkan batu gilingan itu. Bisa celaka dia karena latihannya jadi terganggu dan setengah matang! Jangan-jangan dia bisa menjadi lumpuh kaki tangannya. Terlalu berbahaya untuk menyempurnakan ilmu seperti itu dalam keadaan di tangan musuh seperti ini. Akan tetapi dia tidak melihat jalan lain dan teringat ini, tanpa disadarinya Topeng Setan mengeluh.
“Ha-ha-ha, mulai terasa sekarang, ya? Hayo kau lekas minta ampun kepada kami, baru kami akan menurunkan batu ini agar kau tidak sampai mampus!” Seorang di antara mereka mengejek.
Bentakan yang disertai lecutan cambuk ke arah mukanya ini mendatangkan akal kepada Topeng Setan. “Kalian anjing-anjing rendah! Siapa tidak kuat menahan... uhhh... uhhh... batu jahanam ini... uhhh...” Topeng Setan berpura-pura kepayahan. “Mari kita bertaruh... bahwa aku akan kuat menahannya sampai sebatang lilin putih bernyala habis.”
“Ha-ha-ha! Sebatang lilin dapat bernyala sampai tiga empat jam. Mana kau akan kuat bertahan?”
Memang inilah yang dikehendaki oleh Topeng Setan. Dia membutuhkan waktu berlatih kurang lebih tiga empat jam!
“Berani atau tidak bertaruh? Kalau aku dapat bertahan sampai lilin itu padam, kalian menurunkan batu ini dan selanjutnya jangan kalian menggangguku, biarkan Hek-tiauw Lo-mo sendiri yang berhadapan dengan aku. Kalau aku tidak kuat bertahan, kalian boleh... boleh menanggalkan topengku!”
Tentu saja taruhan ini tidak usah dipikir panjang dua kali oleh mereka. Taruhan itu sama sekali tidak merugikan mereka dan memang mereka ingin sekali melihat bagaimana macamnya orang yang mempunyai kekuatan dan daya tahan sedemikian hebatnya. Seorang lalu berlari cepat mencari lilin dan menyalakan lilin itu di situ.
Topeng Setan sudah mulai dengan latihannya, hatinya lapang karena dia yakin bahwa latihannya tidak akan diganggu. Dia berlaku nekat, dan memang tidak ada jalan lain baginya. Dia harus berhasil dengan latihannya, atau jika dia gagal, biarlah dia mati terhimpit batu itu. Peluhnya makin bertetesan dari seluruh tubuhnya. Tubuhnya menjadi keras dan kejang seperti sebatang pohon kering atau lebih lagi, seperti tiang baja.
Dengan menurutkan teori yang sudah dihafalnya tentang latihan Sin-liong-hok-te, dia mulai mengerahkan sinkang yang berputar di pusarnya, hawa sinkang ini bergerak perlahan-lahan, mula-mula didorong ke bawah menembus semua jalan darah sampai ke ujung kedua kakinya, terasa sampai ke jari-jari kakinya. Lalu perlahan-lahan naik ke atas, ke dada dan ketika tiba di pundak, tenaga itu bergabung dan tersalur ke samping kanan saja karena lengan kirinya sudah tidak ada. Inilah sukarnya bagi dia ketika dahulu latihan ilmu mukjijat ini, ketika kedua lengannya masih utuh.
Ketika lengannya masih lengkap, tenaga atau hawa sinkang yang merayap ke atas itu selalu sebagian menyeleweng ke lengan kiri, sukar sekali untuk dipusatkan ke lengan kanan. Padahal di dalam ilmu ini, kalau tenaga sakti Sin-liong-hok-te sudah sempurna, inti tenaga sakti ini dipergunakan dalam ilmu silat tangan kosong yang khusus diciptakan untuk seorang berlengan buntung sebelah, dengan tenaga sakti ini sebagai dasar, yaitu Ilmu Silat Tangan Kosong Sin-liong-ciang-hoat (Ilmu Silat Tangan Kosong Naga Sakti), lengan tunggal ini bergerak sebagai kepala naga, sedangkan kaki bergerak sebagai cakar naga.
Walau pun memakan waktu yang cukup lama, akhirnya hawa sakti itu dapat juga membelok dan berputar pada lengan kanannya. Kini tinggal tingkat terakhir dari latihan itu, tingkat yang paling sukar dan berbahaya, yaitu menyalurkan hawa itu ke dalam kepala! Amat sukar dan berbahaya sekali untuk menembus terbuka jalan darah di ubun-ubun kepala, harus dilakukan dengan amat teliti, hati-hati dan dengan pencurahan seluruh perhatian dan penyerahan lahir batin.
Para penjaga sudah mulai tertawa-tawa karena lilin itu sudah terbakar selama hampir tiga jam, tinggal sedikit lagi dan Topeng Setan sudah kelihatan amat lelah kehabisan tenaga, kehabisan keringat dan napasnya mulai terengah-engah. Topeng Setan sadar akan hal ini. Hampir dia tidak kuat bertahan lagi, hampir menyerah!
Tenaganya telah terkuras habis, berjam-jam terus-menerus mengerahkan tenaga agar tubuhnya meregang dan menegang kaku, sedangkan untuk dapat menerobos jalan darah di ubun-ubun bukanlah hal yang mudah, membutuhkan pengerahan tenaga sinkang yang terpusat. Mana dia kuat dan mampu? Dia berbeda dengan gurunya, dan dia masih terluka hebat.
“Ha-ha-ha-ha, lilinnya sudah hampir padam dan engkau pun sudah hampir padam!” seorang penjaga mengejeknya.
“Wah-wah, mampus kau sekali ini, Topeng Setan! Apakah lebih baik kau menyerah saja, biar kubuka topengmu dan kami turunkan batu ini?”
“Heh-heh, dia sudah tidak mampu menjawab. Dia sudah sekarat!”
Para penjaga yang wataknya kejam itu memperolok-oloknya dengan bermacam-macam kata-kata mengejek dan semua ini bahkan menimbulkan kembali semangat Topeng Setan yang tadinya sudah hampir tenggelam. Bernyala kembali api perlawanannya yang tadi sudah hampir padam.
Dia menggeleng kepala tanda belum menyerah, kemudian dia mengerahkan seluruh tenaganya. Tidak, dia harus nekat sampai denyut darah terakhir. Dia tidak akan menyerah sampai mati. Dengan otak membayangkan keselamatan Ceng Ceng dia memusatkan tenaga yang menjadi besar kembali terdorong oleh kebulatan tekadnya, berusaha menjebol jalan darah ke ubun-ubun sebagai tingkat terakhir dari latihan dan penguasaan ilmu mukjijat Sin-liong-hok-te.
Hanya tinggal sedikit lagi. Dia sudah merasa betapa hawa sakti membubung ke atas, kepalanya sudah tergetar dan terasa panas. Tapi bukan main sukarnya dan kalau pada waktu itu para penjaga menurunkan batu itu, hal ini bahkan akan mencelakakannya. Tenaganya sudah habis! Dia tidak kuat menembus bagian tipis yang sedikit lagi itu. Seolah-olah terasa sudah olehnya tirai tipis yang sudah disentuhnya. Kalau masih ada tenaganya, mendorong sedikit saja tentu sudah akan dapat menerobos tirai itu. Akan tetapi tenaganya sudah habis!
“Wah, dia memang keras kepala! Manusia ini menjemukan sekali!” teriak seorang penjaga.
“Biar kuhajar kepalanya agar tahu rasa dia!” Penjaga lain yang memegang cambuk berteriak.
“Tar-tar-tar...! Plongggg...!”
Jalan darah ke ubun-ubun itu tertembus secara tiba-tiba dan tidak disengaja. Pada saat dia sedang bersitegang untuk menembus tirai tipis yang tinggal sedikit itu, secara tiba-tiba cambuk melecut mengenai ubun-ubunnya dan sentakan kaget ini membantunya sehingga merupakan bantuan yang tak tersangka-sangka pada saat yang kritis itu. Dia berhasil!
Hampir Topeng Setan tidak dapat mempercayai sendiri apa yang dirasakannya pada saat tirai tipis itu tertembus oleh hawa saktinya dan semua jalan darah telah terbuka, seluruh hawa sakti di tubuhnya telah meluncur dengan lancar dan cepatnya. Tubuhnya kini terasa nyaman, kepalanya terasa ringan, otaknya menjadi terang dan sepasang matanya mengeluarkan cahaya mencorong menggiriskan, seperti mata naga sakti, seperti mata suhu-nya.
Beban berat yang menindih punggungnya tidak terasa lagi olehnya, yang terasa hanyalah hawa penuh yang berputar-putar cepat sekali di seluruh tubuhnya, seolah-olah seekor naga sakti melayang-layang berputaran di angkasa mencari korban.
Para penjaga yang tidak sadar akan perubahan ini masih mengejek, bahkan Si Pemegang Cambuk kini mengayun cambuknya dan mengerahkan seluruh tenaganya untuk melecut kepala yang menelungkup itu.
“Tarrr... brolll...! Aduhhh...!”
Bukan main hebatnya akibat dari lecutan ini, seolah-olah lecutan yang membuka bendungan besar tenaga sakti yang kini datang membanjir dengan hebatnya. Naga sakti yang melayang-layang itu seperti memperoleh mangsa oleh lecutan itu. Tenaga mukjijat yang berputaran di tubuh Topeng Setan itu bergerak melawan ketika melecut, dan akibatnya, Si Pemegang Cambuk itu roboh dan mati seketika dengan tubuh membiru karena semua urat-uratnya tergetar pecah-pecah oleh tenaganya sendiri yang membalik dengan kuatnya.
Batu penggilingan tahu yang mendidih punggung itu mencelat seperti dilontarkan, menghantam dua orang penjaga yang menjadi remuk badannya dan masih terus menerjang dinding batu sehingga ambrol dan berlubang besar. Belenggu tangan kanan dan kedua kaki yang terbuat dari baja tebal itu patah-patah semua dan jatuh berkerontangan di atas lantai!
Kini Topeng Setan berdiri di tengah kamar tahanan itu dan berteriak dengan suara menyeramkan, “Mana Hek-tiauw Lo-mo? Bebaskan aku!”
Para penjaga lainnya memandang dengan muka pucat dan mata terbelalak, ada yang terkencing ketakutan melihat orang bertopeng yang berdiri tegak dengan mata mencorong seperti itu, ada yang kedua kakinya menggigil dan tidak mampu melangkah selangkah pun untuk mengikuti teman-temannya yang mundur melarikan diri.
“Hek-tiauw Lo-mo manusia iblis! Hayo kau bebaskan Ceng Ceng...!” Kembali Topeng Setan berteriak.
Mendadak terdengar suara Hek-tiauw Lo-mo dari sebelah kiri, dari dinding yang masih utuh. “Topeng Setan, aku berada di sini!”
Mendengar suara musuhnya ini, dengan sekali gerakan saja, tubuh Topeng Setan melayang ke arah dinding, tangan kanannya mendorong dinding dan...
“Braaakkkk!”
Dinding itu jebol dengan amat mudahnya! Begitu dia menerobos dinding ini dan tiba di sebuah ruangan lain, dari kanan kiri menyambar anak-anak panah yang tak mungkin dielakkannya lagi. Topeng Setan terpaksa menangkis dengan tangan kanan sambil mengerahkan tenaga di seluruh tubuh untuk mengebalkan tubuh. Hawa mukjijat di tubuhnya itu berputar cepat sekali dan betapa girang hati Topeng Setan ketika menyaksikan betapa anak-anak panah itu begitu menyentuh tubuhnya, di bagian mana pun, runtuh semua dan patah-patah!
Hek-tiauw Lo-mo, Ji Song kakek gendut pembantunya, dan Mauw Siauw Mo-li sumoi-nya, memandang dengan mata terbelalak. Ketika anak panah itu habis, yang ternyata dilepas dari alat-alat rahasia, Topeng Setan memandang ke depan dan matanya yang mencorong itu berapi-api ketika dia melihat Hek-tiauw Lo-mo. “Hek-tiauw Lo-mo, kalau kau tidak bebaskan Ceng Ceng, aku akan menghancurkan kepalamu!”
Hek-tiauw Lo-mo mengangkat tangan kanannya ke atas. “Topeng Setan, jangan bergerak kau! Sekali bergerak, nona itu akan dibunuh oleh pembantu-pembantuku seperti yang sudah kuperintahkan. Aku akan membebaskan gadis itu dan juga engkau asal engkau suka membantuku sekali ini. Kalau engkau menolak, gadis itu akan kusuruh bunuh lebih dulu sebelum kami akan menghadapimu dalam pertempuran mati-matian.”
Topeng Setan memandang tajam. Betapa cerdiknya Ketua Pulau Neraka ini, pikirnya. Kalau iblis tua ini membawa Ceng Ceng pada saat itu, dengan ilmunya yang mukjijat telah dikuasainya kini, agaknya dia akan mampu merampas Ceng Ceng dari tangan orang-orang ini. Akan tetapi iblis tua yang cerdik ini menyembunyikan Ceng Ceng, dan orang macam dia ini tentu benar-benar akan membunuh Ceng Ceng kalau dia tidak memenuhi permintaannya.
“Kalau kau menipuku, ke mana pun kau pergi akan kukejar sampai dapat, Hek-tiauw Lo-mo.”
“Tidak! Aku bicara sebagai seorang tokoh kang-ouw terhadap seorang tokoh lain, dan namaku akan tercemar selama hidupku kalau aku menipumu. Aku akan membebaskan kalian kalau engkau mau dan berhasil membantuku.”
“Katakan, apa yang harus kulakukan!”
“Kami sedang diserbu musuh-musuh yang lihai, dan kalau engkau bisa mengundurkan musuh-musuh itu, nah, aku Hek-tiauw Lo-mo berjanji akan membebaskan engkau dan gadis itu.”
“Siapakah musuh-musuhmu itu?”
“Mereka adalah serombongan pengawal yang dipimpin oleh Gak Bun Beng, Puteri Milana, dan Suma Kian Bu.”
Terkejut sekali hati Topeng Setan mendengar ini, alisnya berkerut. Bagaimana dia berani melawan? Andai kata dia mampu menghadapi mereka juga, bagaimana dia dapat melawan orang-orang yang dia tahu adalah pahlawan-pahlawan dan pendekar-pendekar besar itu? Akan tetapi, keselamatan Ceng Ceng berada di tangan Hek-tiauw Lo-mo! Topeng Setan menjadi bingung sekali.....
********************
Selanjutnya baca
KISAH SEPASANG RAJAWALI : JILID-26