Istana Pulau Es Jilid 18
“Bagaimana, Coa-lopek?” Han Ki bertanya setelah kakek itu kembali menghampiri mereka.
“Tidak berat, bukan?” Siauw Bwee juga bertanya.
Coa Leng Bu menghela napas panjang. “Racun itu mengandung hawa panas luar biasa. Hawanya sudah naik ke atas sehingga menutup semua ingatan Taihiap. Sayang bahwa satu-satunya akar obat yang mengandung hawa dingin tidak bisa kudapatkan di daerah ini. Aku hanya dapat memberi obat untuk melenyapkan racun sedikit demi sedikit dari darah Taihiap, akan tetapi hawa panas yang menutup ingatan... ahh, aku harus mencari akar itu, dan adanya hanya di daerah kutub utara!”
Siauw Bwee terkejut sekali sedangkan Han Ki hanya mendengarkan dengan tenang, karena dia masih belum percaya sepenuhnya.
“Supek, kalau hawa itu timbul karena hawa panas, tidakkah dapat dilawan dengan tenaga Im-kang? Aku bisa menyalurkan tenaga Im-kang ke dalam kepala Suheng untuk melawannya. Bahkan Suheng sendiri memiliki Im-kang yang jauh lebih kuat dari aku, tidakkah Im-kang itu dapat mengusir hawa panas itu?”
Coa Leng Bu menggeleng kepala. “Kalau yang terserang hawa itu di dalam tubuh, memang mungkin dapat diusir dengan Im-kang yang amat kuat, akan tetapi tidak boleh digunakan ke dalam kepala karena berbahaya sekali. Kepala merupakan tempat yang amat penting dan sekali ada bagian yang terguncang, bahayanya akan lebih dahsyat lagi, mungkin dapat merenggut nyawa. Tidak, Lihiap, usaha itu sama sekali tidak boleh dilakukan!”
“Habis, bagaimana...?” Siauw Bwee bertanya, bingung. Mencari akar itu ke kutub utara tentu akan memakan waktu berbulan-bulan! “Eh, Coa-supek, dahulu Suheng pernah bercerita tentang mendiang ayahnya, Kam Bu Sin. Ayahnya dahulu pernah juga terkena racun dan menurut Suheng, ayahnya ditolong oleh Bu Kek Siansu, yaitu suhu kami, dengan jalan bertapa di bawah air terjun. Dapatkah Suheng diobati secara itu?”
“Kam Bu Sin...? Ayahku...? Nona, apa yang kau katakan itu? Aku tidak ingat bahwa ayahku bernama Kam Bu Sin...?” Han Ki berkata bingung.
Akan tetapi wajah Coa Leng Bu berseri dan alisnya berkerut tanda bahwa dia berpikir keras. Akhirnya ia bertepuk tangan. “Boleh! Memang pengobatan secara itu mungkin sekali! Air terjun yang merupakan air hidup, di waktu pagi-pagi sekali mengandung hawa dingin sejuk yang mukjizat dan sungguh pun kemustajabannya tidak sekuat akar pendingin, namun mengandung hawa yang akan dapat mengusir hawa beracun itu sedikit demi sedikit. Taihiap, kuharap Taihiap suka untuk menjalani pengobatan dengan bersemedhi di bawah air terjun setiap pagi sampai hawa panas terusir dari kepala. Kebetulan sekali, di kaki bukit sebelah utara hutan ini terdapat air terjun, biar pun tidak besar sekali namun cukup untuk kebutuhan ini, karena yang dipentingkan adalah airnya yang mengalir hidup, masih bersih keluar dari sumber, suasana yang hening dan hawa yang sejuk.”
Kam Han Ki menghela napas panjang. “Aku tentu akan menerima teguran hebat dari Bu-loheng. Akan tetapi biarlah, aku pun ingin sekali dapat mengingat segala riwayatku. Asal saja kalian tidak mempermainkan aku.”
“Kam-taihiap, aku Coa Leng Bu selama hidupku tidak suka mempermainkan orang. Jangankan engkau sebagai suheng dari Khu-lihiap, bahkan andai kata engkau seorang lain, mana aku berani mempermainkanmu? Karena pengobatan ini memakan waktu yang amat lama dan tidak boleh terganggu, maka sebaiknya kita sekarang membangun sebuah pondok kecil untuk tempat tinggal sementara.”
“Suheng, mari kau bantu kami...!” Siauw Bwee menarik tangan Han Ki dengan wajah berseri. Kini hatinya penuh harapan dan kegirangan,.
“Nona, harap kau hentikan sebutan suheng yang membuat aku merasa tidak enak saja.”
“Aihhh, engkau memang suheng-ku! Habis disuruh menyebut apa?” Siauw Bwee bertanya, tersenyum menggoda.
Biar pun Siauw Bwee tidak pernah mengatakan rahasia hatinya, namun sebagai seorang pria yang sudah berusia tua dan banyak pengalaman, Coa Leng Bu dapat mengerti bahwa di antara suheng dan sumoi itu terdapat hubungan yang lebih mendalam dari pada hubungan kakak beradik seperguruan belaka. Atau setidaknya, dia maklum bahwa Siauw Bwee mencinta suheng-nya itu, cinta seorang wanita terhadap seorang pria. Maka dia mengejapkan matanya kepada Siauw Bwee dan berkata,
“Khu-lihiap, Taihiap bicara benar. Sebelum dia sadar dan pulih kembali ingatannya, tidak baik membuat dia bingung. Sepatutnyalah kalau Lihiap menyebut kakanda kepada Kam-taihiap!” Kakek itu lalu membalikkan tubuh agar tidak melihat sepasang pipi yang halus itu menjadi kemerahan, dan dia pura-pura mengumpulkan kayu besar untuk mulai membuat pondok.
“Kata-kata Supek benar, biarlah aku menyebutmu koko, Kam-koko!”
“Engkau baik sekali, Nona. Sungguh aku girang dapat mempunyai seorang sahabat sepertimu.”
“Ehh, aku sudah mengalah, tidak menyebutmu Suheng melainkan Koko, akan tetapi kenapa kau masih memakai sebutan Nona segala macam? Kalau aku menyebut kakak bukankah sepatutnya engkau menyebut adik? Engkau lebih tua dari pada aku!”
”Banyak lebih tua!” kata Han Ki yang kini timbul pula kegembiraannya menghadapi gadis yang lincah dan halus budi ini. “Sepatutnya engkau menjadi keponakanku!”
”Ihhh! Memangnya engkau sudah kakek? Kam-koko, tidak maukah engkau menyebut aku Siauw-moi?”
Kam Han Ki tersenyum, senyum pertama semenjak pikirannya bingung. “Baiklah Moi-moi. Ah, betapa untungku mendapatkan seorang adik yang begini manis...”
“Bukan hanya adik, melainkan juga juru rawat. Engkau sedang sakit, ingat? Dan engkau harus manurut segala petunjuk Coa-supek dan memenuhi semua permintaanku, jangan banyak rewel!”
“Engkau gadis yang manis, dan nakal!” Tiba-tiba Han Ki mengerutkan alisnya. “Akan tetapi... eh, jangan kau main-main Khu-moi. Di kota tadi... ehh, sebelum berjumpa dengan Coa-lopek, kau...”
“Aku kenapa?” Siauw Bwee berdiri di depan Han Ki, bertolak pinggang, sikapnya manja dan manis, matanya bersinar karena hatinya girang bukan main bahwa dia dan supek-nya telah berhasil membujuk Han Ki untuk berobat.
“Kau bicara tentang... cinta... Hal seperti itu sama sekali tidak boleh dibuat bicara main-main!”
”Siapa yang main-main? Memang aku mencintamu, semenjak dahulu mencintamu, sejak aku kecil, sampai sekarang aku telah dewasa, sampai kelak kalau aku sudah menjadi nenek-nenek. Nah, aku cinta padamu, habis mengapa?”
Han Ki merasa kepalanya puyeng. Dia jatuh terduduk dan memegangi kepalanya dengan kedua tangan. Gadis ini tidak main-main, biar pun sikapnya seperti orang main-main, namun pernyataan cintanya itu bukan main-main, melainkan setulusnya. Hal ini dapat ia lihat dari sinar mata gadis itu ketika memandangnya. Dan jantungnya juga berdebar tidak karuan, tanda bahagia bahwa gadis itu mencintanya, hal ini hanya membuktikan bahwa hatinya pun tertarik secara luar biasa kepada gadis ini.
Apa artinya semua ini? Bahwa dia mencinta gadis yang baru saja dikenalnya ini? Ah, tidak mungkin. Banyak dia bertemu puteri-puteri cantik di istana, bahkan beberapa kali Bu-koksu membujuknya menerima hadiah berupa gadis-gadis cantik, namun selalu ditolaknya karena dia tidak tertarik sama sekali. Akan tetapi mengapa gadis ini amat menarik hatinya?
“Eh, Suheng... Kam-koko, kau kenapa? Apakah kepalamu terasa sakit?” Siauw Bwee sudah berlutut dekat suheng-nya dan memegang lengan pemuda itu, meraba-raba pelipisnya.
Han Ki menggeleng kepala dan bangkit berdiri. Alisnya berkerut. Biar pun dia percaya bahwa gadis ini menyatakan cinta dari dasar hatinya, akan tetapi sebagai seorang kenalan baru, betapa pun jatuh cinta, sikap gadis ini terlalu karib, terlalu mesra dan dekat seolah-olah mereka sudah menjadi sepasang kekasih selama bertahun-tahun!
“Tidak apa-apa, Moi-moi, hanya... ahh, aku ngeri melihat betapa cinta bagimu sedemikian ringan dan mudahnya. Mungkin karena engkau masih muda, Khu-moi. Engkau tidak tahu betapa hidup ini penuh dengan duka sengsara, penuh dengan perasaan, penuh kekhawatiran dan kegelisahan, penuh kekecewaan...”
Berdebar jantung Siauw Bwee. Apakah suheng-nya sudah mulai ingat? Hati-hati dia memancing. “Suheng... eh, maksudku Koko, mengapa engkau begitu muram seolah-olah awan hitam selalu mengambang di atas kepalamu dan menyelubungi sinar kegembiraan hidupmu? Apakah engkau berduka? Kalau benar berduka, mengapa? Apa yang kau dukakan?”
Han Ki menggeleng kepala. “Aku tidak menyusahkan apa-apa.”
“Apakah engkau khawatir?”
“Sedikit, yaitu kalau ternyata bahwa engkau dan Coa-lopek tidak dapat menyembuhkan aku atau ternyata menipuku.”
“Dan apakah engkau pernah mengalami kecewa?”
Kembali Han Ki menggeleng. “Sepanjang yang teringat olehku... tidak.”
Hati Siauw Bwee-lah yang kecewa karena jawaban-jawaban itu membuktikan bahwa Han Ki belum teringat apa-apa.
“Ha-ha-ha, memang semua itu hanyalah permainan pikiran manusia belaka, Khu-lihiap. Mengapa manusia harus membiarkan dirinya terseret oleh pikiran yang melayang-layang mengacaukan hidup kita sendiri?” Coa Leng Bu datang menyeret dua buah batang pohon besar. Dia melepaskan dua buah batang pohon itu dan menghapus peluhnya, lalu duduk di dekat mereka.
“Ah, kenapa kau sebut permainan pikiran, Lopek?” Han Ki bertanya.
“Benar, Supek. Memang hidup penuh dengan suka-duka, dengan puas kecewa, dengan cinta dan benci, dengan kekhawatiran. Mengapa kau katakan sebagai permainan pikiran yang menyeret kita ke dalam kekacauan hidup?” Siauw Bwee yang membantah.
Setelah menarik napas panjang untuk mengatur napasnya yang agak memburu, kakek itu berkata sungguh-sungguh, “Pokok pangkalnya segala perasaan adalah dari keinginan mendapat yang timbul dari sifat sayang diri. Betapa pun juga, segala macam perasaan itu tidak timbul kalau tidak dibakar oleh api pikiran yang menguasai kita sepenuhnya, melayang-layang dari masa lalu ke masa depan, sehingga setiap gerak perbuatan kita dicetak oleh pikiran kita. Pikiran membangkitkan penilaian, perbandingan, dan dengan sendirinya mempertebal rasa sayang diri dan iba diri. Bagaimana timbulnya duka? Dari permainan pikiran yang mengenang atau mengingat-ingat masa lalu. Dari mana timbulnya kecewa, penasaran, kemarahan dan kebencian? Juga dari permainan pikiran yang menyeret kita mengenang masa lalu. Buktinya Kam-taihiap ini. Setelah dia lupa sama sekali akan masa lalu, maka tidaklah ada persoalan baginya yang timbul dari masa lalu, tidak ada kebencian, tidak ada penasaran, tidak ada kedukaan karena tidak ada lagi yang harus dibuat penasaran, dibenci atau dibuat duka. Yang ada hanya tinggal masa depan baginya. Dan dari mana datangnya kekhawatiran dan ketakutan? Bukan lain dari permainan pikiran yang menyeret kita membayangkan masa depan! Membayangkan hal yang belum terjadilah maka menimbulkan kekhawatiran dan ketakutan! Bukankah demikian, Taihiap dan Lihiap?”
Dua orang itu mendengarkan penuh perhatian dan seperti dikomando saja, mereka mengangguk-angguk. Betapa mereka dapat membantah setelah kesadaran mereka membuat mereka melihat kenyataan dalam ucapan kakek itu? Biar pun Han Ki adalah seorang yang belum tua, namun dia memiliki pengetahuan luas tentang filsafat dan kebatinan. Memang pada saat itu dia telah melupakan semua pelajaran, bahkan ilmu silatnya pun hanya dia kuasai karena sudah mendarah daging saja, namun semua teorinya sudah dia lupakan sama sekali.
Akan tetapi pada dasarnya dia memang seorang yang memiliki perasaan peka terhadap kebatinan. Biar pun dia telah melupakan hal-hal yang lalu, namun ucapan kakek itu membuat dia mengangguk-angguk dan diam-diam dia dapat melihat kebenarannya.
Marah timbul karena mengingat perbuatan seseorang, perbuatan yang sudah dilakukan, yang sudah lalu. Kalau hal itu tidak diingat, tak mungkin akan timbul kemarahan. Demikian pula duka, dan benci, dan kecewa. Ada pun takut dan khawatir, hanya dirasa oleh orang yang belum tertimpa oleh apa yang ditakutkan atau dikhawatirkannya itu.
Orang takut sakit karena dia belum sakit. Khawatir gagal, karena kegagalan belum menimpanya. Jadi semua itu hanyalah permainan pikiran saja yang tiada gunanya, bahkan menimbulkan persoalan dan pertentangan yang timbul keluar terhadap orang lain.
Siauw Bwee juga mengangguk-angguk karena dia merasa betapa benar omongan itu, akan tetapi dia masih belum puas dan mendesak, “Habis, mana mungkin kita menghadapi sesuatu tanpa pemikiran akan sebab akibat tanpa kenangan masa lalu dan bayangan masa depan, Supek? Persoalan timbul dari luar tanpa kita minta. Contohnya, aku menghadapi keadaan Kam-suheng, bukankah ini merupakan persoalan yang datang tanpa kuminta? Bagaimana hati tidak menjadi khawatir menghadapi keadaan Suheng ini?”
Kakek itu tersenyum maklum. “Aku tidak menyalahkan kalau engkau gelisah, Lihiap, hanya aku minta pengertian dan kesadaranmu untuk dapat menemukan dirimu sendiri. Segala macam persoalan bersumber dalam diri sendiri, bukan dari luar. Kam-taihiap sakit. Ini merupakan tantangan dan setiap orang hidup selalu akan menghadapi kenyataan yang harus ditanggungnya pada saat kenyataan tiba. Tidak ada persoalan khawatir dan gelisah selama kita dapat membuka mata menghadapi kenyataan tentang sakitnya suheng-mu dan selama engkau tidak membayangkan hal-hal yang belum datang. Suheng-mu sakit, kita dihadapkan kenyataan ini dan apa yang tepat kita lakukan? Berusaha menyembuhkannya. Tidak ada persoalan lain yang mengkhawatirkan, bukan?”
“Aih, Supek. Betapa mungkin bersikap seperti itu? Bagaimana kalau kita gagal menyembuhkan Suheng? Bagaimana kalau Suheng tidak mendapatkan kembali ingatannya? Bagaimana kalau...”
“Nah, nah! Itulah, Lihiap. Bagaimana kalau... bukankah itu hanya permainan pikiran yang membayangkan hal-hal yang tidak ada dan belum terjadi? Apa gunanya membayangkan hal-hal yang belum ada? Kita harus belajar mengenal diri sendiri, mengenal pikiran-pikiran kita, mengenal perasaan-perasaan kita, mengenal keinginan-keinginan kita, dan sadar bahwa di dalam diri kitalah sesungguhnya terletak segala sumber, segala sebab akibat, dan segala bahan kesengsaraan. Kita wajib belajar menghadapi kenyataan seperti apa adanya, tanpa penilaian, tanpa perbandingan, tanpa ingatan waktu lampau atau yang akan datang, dan dengan itu, dalam keadaan bebas dan kosong, kita akan selalu dalam keadaan sadar, waspada dan tenang, seperti air telaga yang dalam dan diam, bening sejuk tidak terganggu karena tidak merasa terganggu, penuh pengertian, kesadaran, dan cinta kasih.”
“Aduh, Coa-lopek. Betapa dalam pengertian itu!” Kam Han Ki membelalakkan matanya, seolah-olah terbuka mata hatinya mendengar semua ucapan kakek itu. “Kiranya Lopek adalah seorang yang arif bijaksana!”
Kakek itu tersenyum. “Aku hanyalah seorang sederhana yang suka akan kewajaran, dan aku sama dengan engkau, sama dengan Lihiap dan dengan orang-orang lain. Kita sama-sama belajar, karena hidup berarti belajar, dan terutama sekali, di samping pelajaran lahir yang kita butuhkan untuk hidup, jangan lupa mempelajari diri sendiri, mengenal dan menemukan kembali diri pribadi yang selama ini menyeleweng jauh terbawa hanyut oleh sayang diri dari iba diri, menjadi manusia-manusia munafik, menjadi pelawak-pelawak yang bermain di panggung sandiwara, tidak sewajarnya sehingga dalam setiap gerak-gerik kita, setiap pikiran kita, semua adalah palsu belaka. Kita sudah terlalu lama hidup dalam alam kepalsuan yang dibentuk oleh manusia sendiri. Sudah terlalu lama kita hidup terbakar oleh bunga-bunga yang mekar dari pohon sayang diri berupa pertentangan, persoalan, dendam, dengki, iri, benci, khawatir, takut, duka dan sebagainya. Kenalilah diri kita sendiri, hadapilah kenyataan apa adanya, dan kita akan terbebas dari apa pun juga.”
“Ahh, Coa-lopek, mendengarkan kata-katamu jauh lebih berharga dari pada mengharapkan kesembuhan dari pengobatanmu! Kesembuhanku, kalau benar aku sakit, tidak banyak artinya lagi! Lopek yang bijaksana, berilah petunjuk kepadaku untuk dapat membebaskan diri seperti yang Lopek katakan tadi...” Han Ki berseru, penuh kagum.
Tiba-tiba kakek itu tertawa bergelak. “Ha-ha-ha-ha, orang muda! Itulah yang menjadi penyakit dan penghalang umum! Membuang keinginan dengan menghidupkan keinginan baru! Mana mungkin? Mari kita belajar meneliti diri sendiri, mengenal diri sendiri dan segala gerak-gerik pikiran dan perasaan, mengenal sifat-sifat sendiri, dan belajar menghadapi kenyataan tanpa wawasan, tanpa ingatan. Akan tetapi kalau ada terselip keinginan dalam hatimu bahwa engkau mempelajari itu untuk memperoleh kebebasan, maka engkau akan gagal, Taihiap. Segala perbuatan yang didasari keinginan, didasari pamrih, perbuatan itu adalah palsu belaka, karena ingatlah bahwa yang dimaksudkan bebas di sini, bukan hanya bebas dari segala yang secara lahiriah dirugikan, akan tetapi juga bebas dari segala yang menguntungkan. Bebas dari segalanya, juga bebas dari segala macam keinginan, betepa pun dianggap suci keinginan itu oleh umum. Kebebasan ini lebih tinggi dari kesadaran, lebih tinggi dari apa pun juga karena kebebasan ini berarti cinta kasih. Ahhh, orang seperti aku ini, mana mungkin dapat memberi penjelasan sebaiknya? Marilah kita sama-sama mempelajari diri sendiri seperti apa adanya, dan mudah-mudahan saja batin kita akan terbuka... Sudah terlalu banyak aku bicara, yang terpenting sekarang adalah membangun pondok. Aihh, apa kalian dapat membangun pondok hanya dengan bicara saja? Ha-ha-ha!”
Han Ki dan Siauw Bwee tertawa juga. Mereka lalu melompat bangun dan tiga orang itu lalu membangun sebuah pondok sederhana. Berkat kepandaian mereka, dengan mudah mereka menumbangkan pohon-pohon, mengumpulkan balok-balok dan membuat sebuah pondok yang sederhana namun cukup kokoh untuk melindungi mereka dari angin, hujan, panas dan hawa dingin.
Mulai hari ini, Han Ki diobati oleh Coa Leng Bu dan dirawat dengan sabar oleh Siauw Bwee. Setiap pagi, tak lama setelah lewat tengah malam, dia dibangunkan oleh Siauw Bwee dan setengah dipaksa pergi ke air terjun. Gadis itu menanti agak jauh ketika Han Ki menanggalkan pakaian dan dengan bertelanjang bulat duduk bersila di bawah air terjun, membiarkan air jatuh menimpa ubun-ubun kepalanya seperti yang dianjurkan oleh Coa Leng Bu.
Kalau bukan seorang yang sudah memiliki sinkang amat kuat seperti Han Ki, tentu tidak akan kuat lama-lama di pagi buta ditimpa air terjun yang amat dinginnya seperti itu. Namun Han Ki adalah seorang pemuda sakti, murid Bu Kek Siansu yang sudah bertahun-tahun berlatih sinkang di Pulau Es, dalam keadaan yang jauh lebih dingin dari pada bersemedhi di bawah air terjun itu, bahkan telah memiliki tenaga Inti Es yang disebut Swat-im-sinkang.
Kalau matahari mulai menyinarkan cahayanya di ufuk timur, barulah Han Ki menghentikan semedhinya, mengenakan pakaian lagi, menghampiri Siauw Bwee yang duduk menunggu agak jauh, lalu bersama-sama kembali ke pondok di mana Coa Leng Bu telah menyediakan masakan obat yang pahit rasanya.
Di samping pengobatan air terjun dan obat, Siauw Bwee membantu pemulihan ingatan Han Ki dengan mengajaknya bercakap-cakap tentang masa lalu. Dan terjadilah suatu keanehan! Hubungan di antara mereka makin akrab dan Siauw Bwee merasa seolah-olah jatuh cinta untuk kedua kalinya! Timbullah keinginan hati yang luar biasa, yaitu dia ingin agar Han Ki tidak berubah lagi! Kini cintanya terhadap pemuda itu makin mendalam, karena diperhalus oleh rasa iba melihat kekasihnya menderita kehilangan ingatan!
Selain itu, juga Han Ki yang sekarang ini sama sekali tidak ingat kepada Maya, bahkan mengenal pun tidak! Berarti dia tidak mempunyai saingan. Apa lagi ketika dia melihat tanda-tanda bahwa pemuda itu pun mencintanya, tampak dari gerak-geriknya, sikapnya yang ramah, pandang matanya yang penuh kemesraan. Han Ki yang sekarang ini mencintanya, sedangkan Han Ki yang lama, Han Ki di Pulau Es dahulu itu masih belum dapat dia pastikan siapa yang dicintanya, dia ataukah Maya!
Setelah minum obat yang disediakan oleh Coa Leng Bu, Han Ki dan Siauw Bwee duduk di atas bangku balok melintang di depan pondok. Seperti biasa, Siauw Bwee mengajak suheng-nya duduk di situ sambil berjemur diri di bawah sinar matahari pagi dan mengajaknya bercakap-cakap.
Sudah seminggu lebih Han Ki berobat, namun masih belum ada tanda-tanda bahwa dia mendapatkan kembali ingatannya. Coa Leng Bu sibuk mencuci daun dan akar obat yang dicarinya kemarin, dikumpulkan di atas tampah untuk dijemur. Diam-diam dia merasa girang bahwa biar pun pemuda itu belum tampak pulih kembali ingatannya, namun sinar matanya sudah mulai ada perubahan, dan dia tahu bahwa pengobatannya sudah mulai ada hasilnya.
Han Ki menggeleng kepala. “Kasihan sekali Coa-lopek yang membuang tenaga sia-sia, Khu-moi. Lebih baik aku pergi saja menemui Bu-loheng dan bertanya kepadanya. Mungkin kalau mendengarkan penjelasannya, aku akan dapat mengingat semua.”
“Ah, jangan Koko! Biarlah aku mencoba mengingatkanmu. Coba kau lihat ini, masih kenalkah engkau akan gerakan-gerakan ini?” Siauw Bwee lalu bersilat dengan Ilmu Silat Hong-in Bun-hoat, sebuah di antara ilmu-ilmu yang ia pelajari di Pulau Es dari suheng-nya.
“Tentu saja! Aihh, gerakanmu indah sekali, Moi-moi!” Han Ki berseru girang.
’’Jadi kau mengenalnya?”
“Tentu saja! Setiap gerakanmu kukenal.”
“Apa nama ilmu silat itu?”
“Ini... ini aku tidak ingat lagi. Akan tetapi aku dapat memainkan semua jurus itu.”
“Hemm... dan kau lihat ini, Koko!” Siauw Bwee mendorongkan tangan kanannya kepada ujung bangku, terdengar suara keras dan ujung balok yang dijadikan bangku itu pecah dan hangus seperti terbakar!
“Aku tahu...! Pukulan sinkang yang mengandung hawa panas itu aku pun dapat mempergunakannya!” seru Han Ki.
“Dan ini...!” Kembali Siauw Bwee memukul dengan tangan kirinya ke arah ujung balok yang lain. Ujung itu patah, akan tetapi tidak pecah, hanya terasa hawa amat dinginnya ketika balok itu disentuh.
“Ini pukulan mengandung hawa dingin, seperti yang kumiliki pula. Heii, Moi-moi, dari mana kau mempelajari semua ini? Sama benar dengan ilmuku!”
“Dan engkau tidak tahu namanya, Koko?” suara Siauw Bwee agak gemetar.
“Tidak, Moi-moi. Aku bisa menggunakannya, akan tetapi tidak tahu nama ilmu pukulan itu.”
“Dan engkaulah yang memberi nama, Koko. Engkau pula yang melatihnya kepadaku, dan kepada Suci...”
“Suci?”
Siauw Bwee menghela napas dan terbayanglah semua peristiwa yang ia alami bersama suci dan suheng-nya di Istana Pulau Es. “Ya engkau masih mempunyai seorang sumoi lainnya yaitu Suci-ku Maya...”
“Hemmm, aku tidak ingat.”
“Koko, tidak ingatkah engkau akan ayah bundamu yang bernama Kam Bu Sin?”
Han Ki menggeleng kepala.
“Dan lupakah engkau bahwa guru kita adalah Bu Kek Siansu?”
Kembali pemuda itu menggeleng kepala.
“Koko...” Suara Siauw Bwee makin tergetar karena duka. “Apakah engkau lupa bahwa selama bertahun-tahun engkau, Suci Maya, dan aku tinggal di Istana Pulau Es dan hidup bertiga jauh dari dunia ramai?”
Han Ki mengerutkan alisnya, kelihatan makin bingung. Jelas bahwa dia mengerahkan segala kemampuan otaknya untuk mengingat sehingga dahinya berkeringat. Akan tetapi akhirnya ia menggeleng kepala, dan berkata kesal, “Aku tidak ingat apa-apa, Moi-moi.”
Siauw Bwee tak bertanya lagi, berdiam sampai lama.
“Moi-moi...”
“Siauw Bwee menoleh. “Hemmm...?”
“Kasihan engkau...!”
“Mengapa kasihan?”
“Dengan susah payah engkau berusaha menyembuhkan aku, akan tetapi agaknya sia-sia belaka. Aku telah mengecewakan hatimu. Khu-moi, mengapa engkau begini bersusah payah untukku?”
Siauw Bwee menatap wajah orang yang dikasihinya itu, kini tersenyum. Melihat wajah orang yang dicinta itu, lenyaplah kekecewaannya. Apa pun yang terjadi, asal dia tidak akan berpisah lagi dari samping kekasihnya ini, tidak ada hal yang akan dapat mengecewakannya.
“Mengapa, Koko? Sudah kukatakan, karena aku cinta kepadamu!”
“Khu-moi-moi, kita baru saja saling jumpa, bagaimana dengan mudah saja engkau menjatuhkan hati, mencintaku?”
“Apakah untuk mencinta seseorang, harus melalui perkenalan yang lama, Koko? Tidak, aku mencintamu semenjak bertahun-tahun yang lalu, akan tetapi andai kata aku belum pernah mengenalmu, begitu aku melihatmu, aku pun akan jatuh cinta.”
“Tidak mungkin!”
“Bagaimana tidak mungkin?”
“Cinta timbul dari daya tarik seseorang, bukan hanya dari wajah dan bentuk tubuh. Daya tarik keluar dari segala gerak-geriknya, bicaranya, pandang matanya, senyumnya, pendeknya di antara dua orang yang saling mencinta ada daya tarik yang saling menguasai dan saling menarik, sesuai dengan selera hati masing-masing. Baru bertemu sudah jatuh cinta? Betapa janggalnya!”
“Koko, apakah kau tidak cinta kepadaku?”
Bukan main, pikir Han Ki. Gadis ini berani luar biasa. Tidak saja serta-merta menyatakan cinta begitu jumpa, juga berani bertanya apakah dia mencintanya!
“Eh, hal ini... ah, aku tidak tahu, Moi-moi. Aku suka kepadamu dan... dan aku kasihan kepadamu. Aku... aku senang sekali berkenalan denganmu.”
“Jawablah sejujurnya, Koko. Engkau cinta kepadaku atau tidak?”
“Mengapa tergesa-gesa? Aku suka kepadamu, akan tetapi untuk menyatakan cinta, masih terlalu pagi bagiku. Aku tidak mau sembrono, tidak mau berlaku lancang sebelum ada ketentuan. Soal cinta bukanlah soal main-main, Moi-moi, sekali mengaku cinta berarti sumpah untuk hidup bersama selamanya!”
“Kam-koko, memang engkau benar. Tak mungkin jatuh cinta dalam pertemuan pertama, cinta macam itu adalah cinta yang masih mentah. Orang baru jatuh cinta kalau sudah mengenal betul baik buruk, cacat cela orang yang dicinta dan tetap mencinta berikut cacat-celanya. Dan aku cinta kepadamu sejak bertahun-tahun, karena kita sudah saling berkumpul lama sekali, hanya engkau yang tidak ingat lagi. Aku bukan mencintamu secara membuta, Koko. Akan tetapi, kalau benar engkau suka kepadaku... aahhh, biarlah aku menceritakan riwayatku yang telah kau lupakan.”
“Ceritakanlah, Khu-moi. Aku ingin sekali mendengar riwayatmu.”
Siauw Bwee ingin mencoba ‘rasa suka’ pemuda itu terhadap dirinya. Dari Han Ki yang dulu, dia tidak dapat memperoleh kepastian karena suheng-nya yang dahulu itu tidak pernah mengaku cinta, baik kepada dia mau pun kepada Maya. Akan tetapi suheng-nya yang sekarang ini berbeda lagi, dan dia ingin melihat sampai di mana rasa suka di hati pemuda itu seperti yang diceritakannya tadi.
“Mendiang ayahku adalah Khu Tek San, seorang panglima Kerajaan Sung yang setia. Dia adalah murid Menteri Kam Liong, kakak sepupumu yang kau lupakan. Mereka berdua adalah orang-orang yang setia dan berjasa besar untuk kerajaan....”
Dengan singkat Siauw Bwee kemudian menceritakan tentang Menteri Kam Liong dan ayahnya.
“Akan tetapi sungguh menyedihkan. Ayah dan Menteri Kam Liong tewas karena pengkhianatan dan fitnah yang dilontarkan oleh seorang Panglima Sung yang bernama Suma Kiat....”
Siauw Bwee menceritakan pula sejelasnya betapa ayahnya dan Menteri Kam Liong tewas oleh pengeroyokan para panglima dan pengawal Sung, dan tentang kelicikan dan kecurangan Suma Kiat.
Berkerut alis Han Ki mendengar penuturan itu dan tiba-tiba ia bangkit berdiri mengepal tinjunya. “Keparat orang she Suma itu! Dia harus dihajar!”
Mendengar bentakan ini, Siauw Bwee tersenyum girang dan cepat menarik lengan suheng-nya. “Duduklah dan tenanglah. Bagaimana kau akan menghajar Panglima Suma Kiat kalau dia itu adalah rekan dari Bu-koksu sendiri?”
Sementara itu, Coa Leng Bu yang sedang menjemur obat, mendengar juga bentakan Han Ki dan dia mengangguk-angguk. Diam-diam dia kagum akan kecerdikan Siauw Bwee yang berusaha mengingatkan Han Ki.
“Koko, engkau marah mendengar betapa keluargaku difitnah sehingga aku hidup sebatang-kara. Hal itu berarti bahwa engkau juga cinta kepadaku, Koko.”
Wajah Han Ki menjadi merah dan dia menoleh kepada gadis yang duduk di dekatnya, melihat muka yang cantik jelita dari dekat. “Mungkin... mungkin sekali. Engkau cantik jelita, Moi-moi, engkau gagah perkasa dan engkau berhati lembut, engkau berwatak mulia... Betapa mudahnya jatuh cinta kepada seorang gadis seperti engkau.”
“Kam-Suheng..., Kam-koko... ternyata engkau hanya mencinta aku seorang...!” dengan hati penuh keharuan dan kebahagiaan Siauw Bwee merangkul dan merebahkan pipinya di atas dada Han Ki!
Han Ki terkejut, akan tetapi hatinya sudah terusik dan harus diakuinya bahwa sukar diragukan akan rasa kasih sayang yang timbul di dalam hatinya terhadap gadis ini, maka hatinya menjadi lunak dan tanpa disadarinya lagi, jari-jari tangannya membelai rambut yang berada di atas dadanya itu.
“Hanya aku yang kau cinta, aku merasa akan hal ini, Suheng. Sejak dulu... engkau hanya mencinta aku, bukan Suci Maya...”
“Maya...?”
Siauw Bwee cepat mengalihkan percakapan karena dia tidak mau membuat suheng-nya meragu lagi. Kini setelah jelas bahwa suheng-nya hanya mencinta dia seorang, dia pun tidak ragu-ragu untuk segera menyembuhkan suheng-nya. Dia sudah menduga bahwa dengan sinkang tenaga Inti Es dia dan suheng-nya akan sanggup mengusir hawa panas yang melenyapkan ingatan suheng-nya. Coa Leng Bu tidak tahu betapa mereka berdua telah memiliki Im-kang yang tak mungkin dapat diduga betapa tingginya oleh kakek itu, maka kakek itu khawatir kalau-kalau pengobatan itu akan berbahaya bagi keselamatan Han Ki.
“Suheng, engkau tidak ingat tentunya bahwa kita berdua dahulu telah berlatih Im-kang di Pulau Es. Akan tetapi, coba raba tanganku dan rasakan ini.” Setelah Han Ki memegang tangannya, Siauw Bwee perlahan-lahan mengerahkan Im-kang sehingga hawa dingin tersalur dari telapak tangannya.
“Ihhh! Bukan main kuatnya sinkang-mu Moi-moi! Mungkin menyamai kekuatanku!”
Siauw Bwee menghentikan saluran Im-kang-nya dan tersenyum manja. “Kau merendahkan diri, Suheng. Tenagamu jauh lebih besar dari pada tenagaku. Akan tetapi dengan bantuanku kita berdua akan dapat menyembuhkanmu dengan cepat. Mari kita temui Coa-supek.”
Dengan wajah berseri Siauw Bwee bangkit dan menarik tangan suheng-nya, kemudian dia menggandeng tangan suheng-nya. Tanpa malu-malu dia menjumpai supek-nya yang sedang menjemur akar dan daun obat.
“Supek! Aku telah mendapatkan cara untuk menyembuhkan Suheng dengan cepat!”
“Eh?” Coa Leng Bu tertegun dan pura-pura tidak melihat betapa sepasang pipi dara itu kemerahan dan tangan dara itu dengan mesranya menggandeng tangan Han Ki.
“Kami berdua akan menggunakan Im-kang untuk mengusir hawa panas dari kepala Suheng.”
“Ahh, berbahaya sekali, Lihiap! Tenaga Im-kang tak dapat dikendalikan, dan dapat membahayakan kalau tersalur memasuki kepala!”
“Kalau bisa mengendalikan Im-kang, bagaimana?” Siauw Bwee bertanya sambil tersenyum.
“Tentu saja mungkin dapat menyembuhkan, akan tetapi betapa kalian dapat mengendalikan Im-kang? Hal itu membutuhkan tingkat yang amat tinggi, barang kali hanya Suhu Bu-tek Lo-jin saja yang mampu.”
“Hemm, bagaimana untuk mengukur ketinggian Im-kang?”
“Sukar dibicarakan, akan tetapi kalau sudah dapat membekukan air menjadi salju berarti sudah mencapai tingkat amat tinggi dan itu pun harus dilakukan dengan hati-hati sekali.”
“Begitukah? Coa-supek, kau lihatlah baik-baik, kemudian nyatakan pendapatmu!”
Siauw Bwee menghampiri sebuah panci yang penuh dengan air, kemudian ia memasukkan tangan kanannya ke dalam air itu, mengerahkan Im-kang beberapa menit lamanya. Kemudian ia menarik tangannya dan... Coa Leng Bu memandang dengan mata terbelalak ketika melihat air itu telah membeku menjadi es dan ikut tertarik ke luar! Siauw Bwee memasukkan lagi air beku itu ke dalam panci, kemudian perlahan-lahan ia merubah Im-kang menjadi Yang-kang. Air beku itu mencair, terus berubah makin panas sampai akhirnya mendidih di dalam panci!
“Moi-moi, kau mengagumkan sekali!” Han Ki berseru gembira.
Dia pun menghampiri sebuah tempayan air, menyodok air dengan tangannya dan begitu tangannya diangkat, air yang berada di telapak tangannya telah membeku, jauh lebih cepat dari yang dilakukan Siauw Bwee tadi!
Kedua kaki Coa Leng Bu menggigil saking tegang dan kagetnya, dan tak terasa lagi kedua lututnya ditekuk dan dia telah berlutut sambil berkata, “Ya Tuhan..., selama ini kedua mataku seperti buta, tidak melihat bahwa Ji-wi adalah orang-orang muda yang memiliki ilmu kepandaian seperti malaikat...!”
Siauw Bwee meloncat dan menarik lengan kakek itu, memaksanya bangkit. “Aihh, Coa-supek, apa-apaan ini? Aku hanya ingin mendengar pendapatmu, bagaimana? Apakah kami berdua cukup kuat untuk menggunakan Im-kang mengusir hawa panas yang melenyapkan ingatan Suheng?”
Coa Leng Bu mengangguk-angguk, menelan ludah, masih terpesona, akhirnya ia menghela napas dan berkata, “Kalau aku tahu bahwa kalian memiliki Im-kang sehebat itu, tentu saja boleh dilakukan. Hanya kalian harus berhati-hati benar, karena sedikit saja mengalami kekagetan dan gangguan, bisa menimbulkan bahaya. Syaraf di kepala amatlah halusnya, dan sedikit gangguan saja membahayakan nyawa.”
“Aku ingin Suheng segera sembuh. Biarlah kami melakukannya di dalam pondok dan harap Supek suka menjaga di luar pondok agar tidak terjadi gangguan.”
“Baiklah, kalian adalah dua orang muda yang amat luar biasa. Sungguh hampir aku tak dapat percaya...”
“Coa-supek, kami adalah murid-murid Bu Kek Siansu, penghuni Istana Pulau Es. Bertahun-tahun kami melatih Im-kang di Pulau Es, apa anehnya kalau kami memiliki keahlian dalam menyalurkan hawa sakti yang membekukan air?”
Sepasang mata Coa Leng Bu terbelalak. “Murid-murid... manusia dewa itu...? Dan aku telah membiarkan diri kau sebut supek? Betapa menggelikan dan memalukan! Aihhhh... setua ini masih tolol...!”
“Sudah, Supek. Harap suka menjaga di luar, kami hendak mulai sekarang juga. Marilah, Koko.”
Han Ki hanya tersenyum dan mengikuti gadis itu memasuki pondok. Sebetulnya dia masih belum percaya bahwa dia menderita sakit, dan hanya mengira bahwa kehilangan ingatan adalah karena suatu sebab yang mungkin diketahui oleh kakak angkatnya, Bu Kok Tai, Koksu Negara Sung. Akan tetapi menyaksikan kegembiraan dan harapan Siauw Bwee, dia tidak tega untuk menolak. Pula, bermain-main dengan tenaga Im-kang itu, apa sih bahayanya?
Siauw Bwee menutupkan daun pintu pondok, kemudian duduk bersila saling berhadapan dengan Han Ki. Sejenak mereka saling pandang. Han Ki tersenyum seperti melihat kelakuan seorang anak kecil yang mengajaknya bermain-main, sebaliknya Siauw Bwee memandang dengan sungguh-sungguh dan berkata,
“Koko, percaya atau tidak bahwa engkau terkena hawa beracun yang melenyapkan atau menutupi ingatanmu, namun engkau sendiri sudah yakin bahwa ingatanmu hilang dan engkau tidak dapat mengingat akan keadaanmu sebelum engkau menjadi adik angkat Koksu Bu Kok Tai itu. Apa pun yang menjadi sebabnya, sudah jelas bahwa ingatanmu hilang dan kita harus berusaha untuk menyembuhkanmu. Coa-supek adalah seorang ahli yang berpengalaman, maka aku percaya bahwa hawa panas beracun telah membuatmu kehilangan ingatan. Oleh karena itu, harap engkau bersungguh-sungguh bersamaku menyatukan Im-kang, kau kendalikan baik-baik untuk mengusir hawa panas beracun yang menggelapkan ingatanmu itu. Maukah engkau?”
Han Ki tersenyum dan melihat bahwa pemuda itu agaknya masih meragu, Siauw Bwee cepat berkata, “Demi cintaku kepadamu, dan demi cintamu kepadaku! Kam-koko, maukah engkau bersungguh-sungguh melakukan usaha ini? Kalau kau anggap ringan keadaanmu, biarlah demi untuk membahagiakan hatiku. Maukah?”
Hati Han Ki menjadi terharu. Dalam sinar matanya, dalam getaran suaranya, gadis ini jelas menunjukkan hati kasih sayang yang luar biasa terhadap dirinya! Sampai bagaimana pun, dia tidak tega untuk mengecewakan hati gadis sebaik ini!
“Baiklah, Moi-moi. Nah, mari kita mulai. Bagaimana engkau hendak membantuku?”
“Ulurkan kedua lenganmu kepadaku, Koko.”
Han Ki yang duduk bersila menyodorkan kedua lengannya dan Siauw Bwee juga melakukan hal yang sama sehingga dua pasang telapak tangan bertemu. Pertama-tama, terasa oleh Han Ki getaran hangat dan mesra dari telapak tangan gadis itu, getaran yang didorong oleh hati yang mencinta!
Siauw Bwee maklum bahwa biar pun ilmu kepandaiannya masih dikuasainya secara praktek, namun pemuda itu sudah lupa sama sekali akan teori-teorinya. Karena itu dia kemudian berkata, “Setelah aku menyalurkan Im-kang, kau sambutlah tenaga saktiku, kerahkan tenagamu sendiri sehingga tenaga Im-kang kita menjadi kuat dan menjadi satu di dalam tubuhmu. Kau kumpulkan segala panca indera, tujukan kepada satu, yaitu mengendalikan Im-kang yang kuat itu dan perlahan-lahan, hati-hati sekali kau salurkan ke atas, memasuki kepalamu untuk menghalau pergi hawa panas beracun. Akan tetapi hati-hatilah, Koko, dan jangan pedulikan segala gangguan, karena kalau sampai gerakan hawa Im-kang di kepalamu itu mengalami gangguan, bisa membahayakan dirimu. Boleh jadi kau tidak peduli akan akibat buruk yang menimpamu, akan tetapi ketahuilah bahwa kalau sampai engkau celaka, aku pun ikut celaka, kalau engkau tewas, aku pun tidak mau hidup lagi. Berarti engkau tidak hanya menjaga keselamatanmu akan tetapi juga keselamatanku! Nah, aku mulai!”
Hati Han Ki menjadi terharu sekali, akan tetapi ketika ia merasa betapa dari kedua telapak tangan yang berkulit halus itu, yang tadinya hangat dan lembut kini menjadi dingin, mengalir hawa yang dingin sekali, ia cepat menyatukan semua perasaannya, bersemedhi dan memusatkan perhatian kepada hawa dingin yang mengalir masuk melalui kedua lengannya. Dia menerima hawa itu, menyatukan dengan hawa Im-kang yang ia kerahkan dari pusar, kemudian dengan perhatian penuh ia mengendalikan hawa itu, perlahan-lahan seperti uap yang meraba-raba dan mencari-cari, mulai menyalurkannya ke atas.
Mula-mula hawa Im-kang yang tergabung itu terkumpul di pusarnya, kemudian perlahan-lahan naik melalui dadanya, terus ke leher dan dari situ naik dengan amat perlahan dan hati-hati. Siauw Bwee sendiri berada dalam keadaan semedhi karena dia tidak menghendaki pengerahan Im-kang-nya tercampur dengan tenaga lain atau pikiran-pikiran yang akan mengotorkan penyalurannya.
Kedua orang itu duduk besila, saling berhadapan dan saling mengadu telapak tangan, sama sekali tidak bergerak seperti sepasang arca. Akan tetapi tanpa terlihat oleh mata, terjadilah kemukjizatan karena dua tenaga Im-kang yang amat dahsyat sedang bekerja dan bahwa benar seperti apa yang dikhawatirkan oleh Coa Leng Bu, usaha yang dilakukan oleh kedua orang ini amatlah berbahaya. Terguncang atau meleset sedikit saja akan mendatangkan akibat yang mengerikan bagi diri Han Ki.
Karena maklum bahwa dia sendiri masih jauh berada di tingkat rendah untuk dapat membantu mereka, dan diam-diam masih kagum dan terheran-heran mendapat kenyataan bahwa kedua orang itu adalah orang-orang sakti, Coa Leng Bu duduk bersila di atas bangku depan pondok. Dia pun prihatin dan mengharapkan gadis sakti itu berhasil menyembuhkan suheng-nya.
Melihat kekuatan Im-kang mereka yang sudah mencapai tingkat setinggi itu, dia yakin bahwa kalau mereka tidak terganggu dan mampu mengendalikan kekuatan dahsyat itu, mereka tentu akan mampu mengusir hawa panas beracun yang telah meracuni Han Ki, yang telah menggelapkan ingatan Si Pemuda Sakti. Dan dia mengutuk perbuatan orang yang telah meracuni Han Ki, yang ia duga tentulah Bu Kok Tai, koksu negara yang hendak menggunakan kepandaian Si Pemuda untuk menjadi pembantu dan pengawalnya. Hanya dia masih heran, bagaimana seorang yang sedemikian saktinya dapat dipedaya dan diminumi racun perampas ingatan.
Tiba-tiba Coa Leng Bu tersentak kaget. Sudah ada empat jam lebih dia duduk menjaga, matahari sudah naik tinggi dan kini dia melihat bayangan empat orang datang ke tempat itu. Karena tidak ingin dua orang muda di dalam pondok terganggu, cepat dia turun dari bangku dan berjalan menyambut empat orang itu. Dapat dibayangkan betapa kaget hatinya ketika ia mengenal mereka itu bukan lain adalah Bu-koksu, Pat-jiu Sin-kauw, Thian Ek Cinjin, dan Ang Hok Ci!
“Celaka...!” keluhnya dalam hati namun wajah kakek itu tetap tenang ketika ia berhadapan dengan mereka.
Coa Leng Bu menjura dengan hormat kepada mereka lalu berkata, “Selamat datang, Bu-koksu. Apakah engkau hendak menangkap aku? Silakan, aku menyerah karena aku memang merasa telah membikin kacau di Sian-yang dahulu.”
Bu-koksu tertawa, “Ha-ha-ha, siapa butuh orang macam engkau? Aku ingin melihat siapa yang berada di dalam pondok itu!”
“Bu-koksu, di sana terdapat seorang yang sedang sakit, harap engkau tidak mengganggunya!”
“Orang sakit?” Bu-koksu mengerutkan alisnya yang tebal. “Hemm, beranikah engkau membohongiku bahwa di sana terdapat Kam Han Ki dan Khu Siauw Bwee?”
Coa Leng Bu maklum bahwa membohong pun tiada gunanya. “Benar, akan tetapi Kam-taihiap sedang sakit, sedangkan Khu-lihiap sedang merawatnya.”
“Ha-ha-ha, kau maksudkan sedang berusaha memulihkan ingatan Kam Han Ki? Orang she Coa, aku sudah tahu siapa engkau. Engkau adalah seorang ahli pengobatan yang tentu berusaha menyembuhkan Kam Han Ki. Kami datang untuk menangkap mereka!”
“Bu-koksu, apakah kesalahan mereka?” Coa Leng Bu sengaja mencari bahan percakapan untuk mengulur waktu, untuk memberi kesempatan kepada kedua orang itu menyelesaikan pengobatan. Kalau belum selesai dan terganggu, nyawa Kam Han Ki terancam bahaya maut.
“Engkau mau tahu? Kam Han Ki telah menjadi pengkhianat dan harus ditangkap. Sedangkan gadis itu adalah puteri mendiang Khu Tek San, seorang panglima yang memberontak. Dia harus ditawan dan dihukum pula!”
“Bu-koksu, harap kau tunggu sebentar sampai mereka selesai dengan pengobatan mereka. Kalau terganggu, keadaan Kam-taihiap berbahaya sekali. Bukankah dia itu adalah adik angkatmu sendiri yang sudah banyak berjasa terhadapmu? Apakah engkau tega untuk mencelakainya?”
“Jangan banyak cakap! Minggirlah!”
“Bu-koksu, harap engkau orang tua yang sudah banyak pengalaman hidup menaruh kasihan kepada dua orang muda yang tidak berdosa. Biarlah aku yang menanggung semua kesalahan mereka. Biar aku yang kau tangkap dan kau seret untuk dihukum. Biarkan mereka, karena aku tahu bahwa mereka bukanlah pengkhianat, apa lagi pemberontak. Kau tahu, mereka adalah murid-murid manusia dewa Bu Kek Siansu!”
Wajah Bu-koksu seketika pucat mendengar ini, karena sesungguhnya berita ini tak pernah disangka-sangkanya dan membuatnya terkejut bukan main. Akan tetapi segera dia dapat mengatasi rasa kagetnya dan tertawa, “Siapa pun mereka, harus kami tawan!”
Diam-diam dia mengharapkan untuk dapat mewarisi kitab-kitab peninggalan Bu Kek Siansu kalau dia berhasil menundukkan kedua orang itu. Dia maklum bahwa kalau Kam Han Ki sudah sadar, akan sukar untuk mengatasi mereka. Akan tetapi melihat bahwa pemuda itu masih dalam pengobatan, dia mempunyai harapan untuk dapat menguasai pemuda itu yang telah hilang ingatannya dan kalau hal ini benar, dengan bantuan Kam Han Ki tidak sukar baginya untuk menundukkan gadis yang sakti itu.
“Jangan bergerak!” Coa Leng Bu berseru marah. “Kalian takkan dapat pergi memasuki pondok itu kecuali melalui mayatku!”
“Manusia sombong, kalau begitu mampuslah engkau!” Bu Kok Tai yang sudah marah sekali itu membentak, tubuhnya menerjang ke depan, tangan kanannya yang besar mencengkeram.
Mendengar bunyi tulang-tulang jari tangan itu berkerotokan, maklumlah Coa Leng Bu bahwa Koksu ini memiliki tenaga yang hebat, maka cepat ia mengelak ke samping sambil memukul dari bawah menghantam dengan pengerahan tenaga Jit-goat-sinkang.
“Desss!” Tubuh Coa Leng Bu terjengkang ketika Bu-koksu menangkis hantaman itu dengan tenaga sinkang yang jauh lebih lihai dan kuat.
“Engkau bosan hidup!” Tiba-tiba Ang Hok Ci, siucai murid Koksu meloncat dan menggunakan kakinya menginjak ke arah perut kakek itu dengan pengerahan tenaganya.
Injakan maut ini tentu akan menghancurkan isi perut. Akan tetapi Coa Leng Bu dalam usahanya menghalangi mereka mengganggu kedua orang muda di dalam pondok tidak mau menyerah begitu saja. Cepat ia miringkan tubuhnya yang telentang, lalu menggunakan tangan menangkap kaki yang menginjak sambil mengerahkan tenaga dan sekali dia membentak, tubuh Ang Hok Ci terlempar ke atas dan tentu akan jatuh terbanting kalau jubahnya tidak disambar oleh Bu-koksu.
Coa Leng Bu sudah meloncat bangun lagi. Dia tidak memegang senjata karena tadi tidak menyangka sama sekali akan kedatangan musuh. Akan tetapi dia tidak gentar dan cepat meloncat lagi menghadang mereka.
“Terimalah ini!” Pat-jiu Sin-kauw sudah menerjangnya dengan ilmu silatnya yang amat hebat, yaitu Soan-hong Sin-ciang (Tangan Sakti Angin Badai).
Tubuhnya berputaran, jubahnya berkibar dan kedua tangannya seperti kitiran angin menyambar-nyambar. Coa Leng Bu pernah melawan orang ini di Sian-yang, maklum bahwa lawannya amat lihai, maka dia pun cepat mainkan ilmu silatnya dan mengerahkan daya tahannya, mengelak dan menangkis.
Dia tahu bahwa betapa pun dia berusaha, takkan mungkin dia akan menang menghadapi empat orang ini, apa lagi menghadapi Bu-koksu yang amat lihai. Dia pun tidak mengharapkan kemenangan yang tak mungkin, hanya ingin mempertahankan diri selama mungkin untuk mengulur waktu penyerbuan mereka ke dalam pondok.
Tiba-tiba Pat-jiu Sin-kauw yang tubuhnya berputaran ini berjongkok, mulutnya mengeluarkan suara dalam, dan kedua tangannya mendorong ke atas, ke arah lawan. Itulah Thai-lek-kang yang amat dahsyat. Coa Leng Bu maklum bahwa dia tentu akan roboh kalau terkena hawa dorongan ini, maka dia pun lalu mengerahkan tenaga sekuatnya.
“Dessss!”
Tenaga Pat-jiu Sin-kauw berimbang dengan tenaga Jit-goat-sinkang yang dimiliki Coa Leng Bu. Akan tetapi karena pada saat itu Coa Leng Bu sudah nekat dan mati-matian hendak melindungi kedua orang muda itu, tenaganya bertambah dan tubuh Pat-jiu Sin-kauw terpental ke belakang dan terguling-guling. Akan tetapi Coa Leng Bu sendiri terhuyung ke belakang.
“Cring-cring... singggg...!” Sinar gemerlapan menyambar ke arah Coa Leng Bu.
Kakek ahli obat ini terkejut sekali, berusaha menghindarkan diri dari sambaran golok besar di tangan Bu-koksu, akan tetapi gerakan Bu-koksu amat dahsyat.
“Crakk!” pundak Coa Leng Bu terbabat putus!
Namun Coa Leng Bu seolah-olah tidak merasakan nyeri pada pundaknya yang sudah buntung itu. Dia meloncat bangun lagi dan menerjang Thian Ek Cinjin yang sudah lari hendak menghampiri pondok. Thian Ek Cinjin menjadi ngeri melihat orang yang lengan kanannya buntung sepundak dan dari lukanya muncrat-muncrat darah itu masih menubruknya. Cepat ia meloncat ke samping dan memukul ke arah pusar. Namun, Coa Leng Bu tidak mempedulikan pukulan itu, bahkan membarengi dengan hantaman ke arah kepala Thian Ek Cinjin dengan tangan kirinya!
Thian Ek Cinjin terkejut dan kepalanya tentu akan terkena hantaman yang dapat mengakibatkan maut kalau saja pada saat itu tidak datang sinar gemerlapan golok besar Bu-koksu yang menyambar dari belakang.
“Crott!” Lengan kiri Coa Leng Bu kembali terbabat buntung sebatas siku! Dan pusarnya masih terkena hantaman Thian Ek Cinjin yang membuat tubuhnya terjengkang.
Biar pun kedua lengannya telah buntung, tidak pernah terdengar keluhan keluar dari mulut kakek yang gagah perkasa ini, bahkan kini dia sudah meloncat bangun lagi. Dengan mata terbelalak penuh keberanian dia sudah menyerbu ke depan Bu-koksu yang menyambutnya dengan sambaran goloknya, sekali ini mengenai leher Coa Leng Bu. Robohlah tubuh kakek gagah perkasa itu dengan kedua lengan dan kepala terpisah dari badan, tewas seketika dalam keadaan mengerikan.
Bu-koksu menyarungkan goloknya, memandang ke arah Coa Leng Bu, menghela napas dan berkata, “Seorang yang gagah perkasa! Sayang orang seperti ini tidak pernah menjadi pembantuku.” Ia lalu membalikkan tubuhnya dan memberi isyarat kepada para pembantunya untuk berjaga di luar.
“Biarkan aku sendiri yang menghadapi mereka,” katanya karena dia maklum bahwa kalau Kam Han Ki masih hilang ingatan, pemuda itu hanya dapat dikuasai olehnya. Sebaliknya kalau keadaan menjadi berubah, hanya dia seoranglah yang akan dapat mengimbangi mereka yang amat lihai, sedangkan tiga orang pembantunya itu takkan ada gunanya.
Dia melangkah ke depan pintu pondok, berhenti dan berseru nyaring, “Kam-siauwte, aku datang!”
Tidak ada jawaban dari dalam pondok. Tentu saja suaranya yang nyaring itu terdengar oleh Siauw Bwee yang menjadi terkejut bukan main. Akan tetapi gadis ini menekan perasaannya. Dia maklum bahwa mereka berdua sudah hampir berhasil. Ada hawa panas keluar dari kepala suheng-nya. Akan tetapi kalau sekarang dihentikan atau terganggu, akan berbahalah bagi suheng-nya. Dia memejamkan matanya, tidak peduli lagi. Kalau harus mati, dia rela mati bersama suheng-nya yang tercinta!
Pintu pondok terdorong terbuka dari luar. Ketika Bu-koksu melihat dua orang muda itu duduk berhadapan dengan mengadu telapak tangan dan keadaan dalam pondok terasa amat dingin, dia maklum bahwa kedua orang itu sedang mengerahkan Im-kang yang amat luar biasa untuk melawan hawa panas beracun yang menggelapkan ingatan Han Ki sebagai akibat dari obat yang ia minumkan kepada pemuda itu. Terkejutlah pembesar ini melihat uap panas keluar dari kepala Han Ki, tanda bahwa cara pengobatan yang radikal itu hampir berhasil. Ia lalu melangkah maju dengan cepat, dan menggerakkan tangannya untuk menotok tengkuk Han Ki.
“Aihhh...!” Bu-koksu menggigil seluruh tubuhnya dan ia tentu roboh kalau saja pengalamannya yang luas tidak membuat dia cepat menarik kembali tangannya sebelum terlambat.
Ternyata dari tubuh pemuda itu keluar hawa dingin yang takkan kuat ia lawan, sungguh pun dia sendiri memiliki sinkang yang kuat. Kalau tadi totokannya ia lanjutkan sampai tangannya bertemu dengan kulit tengkuk Han Ki, tentu dia akan terkena serangan hebat yang membahayakan isi dadanya!
Sementara itu, Siauw Bwee yang maklum akan kehadiran Koksu, terguncang hatinya penuh kekhawatiran, maka seluruh Im-kang dari kedua tengannya menjadi kacau sehingga tubuh Han Ki bergoyang-goyang. Tiba-tiba Han Ki membuka matanya, memandang Siauw Bwee dan matanya terbelalak, mulutnya berteriak heran dan kaget, “Engkau... Siauw Bwee... Khu-sumoi...!” Dan begitu Siauw Bwee melepaskan kedua tangannya, pemuda itu roboh terguling dan pingsan!
Mendengar teriakan suheng-nya itu hati Siauw Bwee girang bukan main karena teriakan itu menunjukkan bahwa suheng-nya telah ingat lagi, akan tetapi dia sendiri sudah kehabisan tenaga, maka ketika dia merasa ada angin menyambarnya, biar pun dia sudah cepat membuang tubuh, tetap saja pundaknya terkena totokan jari tangan Bu-koksu dan tubuhnya terguling di samping tubuh Han Ki dalam keadaan lemas!
Bu-koksu cepat menghampiri Han Ki dan menotok jalan darah di punggung pemuda yang masih pingsan itu, kemudian sambil tertawa girang dia memanggil para pembantunya. Tiga orang pembantunya yang tidak melihat apa yang telah terjadi merasa kagum dan mengira bahwa Koksu itu berhasil merobohkan dua orang muda yang lihai itu.
“Cepat belenggu kaki tangan mereka, kita bawa mereka sebagai tawanan ke Siang-tan,” katanya.
Tiga orang itu bergegas membelenggu Han Ki dan Siauw Bwee. Kemudian mereka mengempit tubuh kedua orang itu keluar dari pondok. Siauw Bwee yang tertotok lemas namun masih sadar itu mengeluarkan jerit tertahan ketika melihat mayat supek-nya yang tewas dalam keadaan mengerikan. Ia menggigit bibir, tidak mengeluarkan kata, hanya sepasang matanya saja yang mengeluarkan sinar berapi.
“Nona Khu,” Bu-koksu berkata dengan suaranya yang besar, “Kam Han Ki adalah seorang buruan, engkau pun puteri seorang panglima pemberontak. Akan tetapi, mengingat keadaan negara dalam bahaya, aku yang akan tanggung bahwa kalian tidak akan menerima hukuman asal saja kalian berdua suka menyumbangkan tenaga untuk negara. Kalian adalah orang-orang gagah perkasa, murid dari Bu Kek Siansu, Penghuni Istana Pulau Es. Setelah mempelajari ilmu kesaktian, untuk apa kalau tidak untuk membela negara dan bangsa? Dengan keadaan negara terancam musuh-musuhnya, semua urusan pribadi harus di kesampingkan lebih dulu, seperti bunyi ujar-ujar kuno yang tentu telah menjadi pegangan mendiang ayahmu pula, ialah Wi-bin-wi-kok, Hiap-ci-tai-cia (Demi Rakyat dan Negara Yang Pertama). Kuharap engkau dapat mengerti dan dapat menyadarkan suheng-mu.”
Dengan mata masih mendelik Siauw Bwee berkata, “Kalian orang-orang kasar memang selalu curang dan keji. Dalam keadaan kedudukanmu terancam, kalian mempergunakan rakyat untuk membantumu dengan alasan demi rakyat dan negara. Akan tetapi setelah keadaan aman dan kedudukanmu terjamin, kalian merupakan penindas-penindas rakyat, penjilat Kaisar lalim dan memusuhi pemimpin-pemimpin jujur!”
Bu Kok Tai menghela napas panjang. “Aku selalu kagum kepada mendiang Menteri Kam dan Panglima Khu. Aku tidak pernah memusuhi mereka secara pribadi, akan tetapi sebagai seorang petugas, bagaimana mungkin tidak hendak menaati perintah atasan? Sudahlah! Hayo bawa mereka ke Siang-tan, cepat-cepat jangan sampai kemalaman di jalan!” katanya kemudian kepada pembantu-pembantunya.
Pat-jiu Sin-kauw mengempit tubuh Han Ki, sedangkan Siauw Bwee dipanggul oleh Thian Ek Cinjin. Mereka melanjutkan perjalanan menuju ke Siang-tan dengan cepat, karena sesungguhnya hanya terpaksa saja Koksu melakukan perjalanan menyusul Han Ki sendiri setelah mendengar pelaporan para penyelidik. Tenaganya amat dibutuhkan di kota itu, dan dalam keadaan terancam oleh pasukan-pasukan Mancu, kalau tidak terpaksa sekali, tidak nanti dia mau meninggalkan kota.
Betapa pun juga, hatinya gembira karena tanpa banyak kesukaran dia berhasil membawa Han Ki dan Siauw Bwee yang diharapkannya akan suka membantunya. Kalau dia bisa menarik kedua orang itu sebagai pembantu-pembantunya, kedudukannya akan makin kuat dan tenaga kedua orang muda yang memiliki ilmu kepandaian amat tinggi itu amat dibutuhkan untuk menghadapi penyerbuan pasukan-pasukan Mancu yang dipimpin banyak orang pandai.....
Ketika rombongan empat orang yang membawa dua orang tawanan itu tiba di luar hutan pohon pek, memasuki hutan kecil di mana terdapat jalan yang menuju ke Siang-tan, tiba-tiba terdengar suara ketawa dan dari balik pohon besar muncullah lima orang laki-laki. Yang tertawa adalah seorang kakek berusia tujuh puluh tahun lebih, berambut dan berjenggot panjang, sudah putih semua, pakaiannya terbuat dari sutera mahal akan tetapi bentuknya sederhana seperti pakaian pendeta, tangannya memegang sebatang tongkat kayu cendana berselaput emas dan sikapnya agung seperti sikap orang yang biasa memerintah.
Ada pun empat orang yang berdiri di belakangnya adalah orang-orang yang berpakaian mewah. Dapat dibayangkan betapa kaget hati Bu-koksu ketika mengenal kakek itu yang bukan lain adalah Pek-mau Seng-jin, Koksu dari Kerajaan Yucen, sedangkan para pengikutnya itu adalah Suma Hoat, Panglima Dailuba yang brewok bermata lebar dan bertubuh tinggi besar, Thai-lek Siauw-hud yang gendut pendek dan tertawa-tawa, dan seorang Yucen yang berpakaian indah dan berwajah tampan, yaitu Pangeran Dhanu yang memiliki kedudukan penting di Kerajaan Yucen!
“Ha-ha-ha-ha, sungguh lucu dan aneh! Bu-koksu sebagai pimpinan tertinggi pada saat ini dalam benteng pertahanan di Siang-tan, kiranya masih sempat berkeliaran di dalam hutan!” Pek-mau Seng-jin mengejek sungguh pun dia mengangkat kedua tangan di depan dada sebagai penghormatan.
Pada waktu itu Kerajaan Yucen sedang berkembang dan sudah menguasai sebagian besar Tiongkok Utara, bahkan terpaksa Kerajaan Sung pindah ke selatan dan mengakui Kerajaan Yucen ini. Untuk ikatan persahabatan, bahkan Puteri Sung Hong Kwi telah diserahkan untuk menjadi isteri Pangeran Dhanu sebagaimana telah diceritakan di bagian depan cerita ini. Akan tetapi, hanya pada lahirnya saja kedua kerajaan ini bersahabat, sebetulnya di dalam hatinya saling menganggap musuh besar.
Bu-koksu cepat membalas dengan penghormatan selayaknya, kemudian menjawab dengan suara halus namun mengandung ejekan balasan pula, “Selamat berjumpa, Pek-mau Seng-jin! Tempat ini termasuk wilayah kerajaan kami, maka tidaklah mengherankan apa bila sebagai Koksu negara mengadakan pemeriksaan sendiri di sini. Barulah aneh namanya kalau Koksu Negara Yucen bersama panglima dan pangeran berada di sini bukan sebagai tamu negara yang resmi. Karena pertemuan ini tidak diduga-duga lebih dulu, maka biarlah saya mewakili negara untuk mengundang Cu-wi sekalian sebagai tamu terhormat kami di Siang-tan.”
“Ha-ha-ha! Saya mendengar bahwa Bu-koksu amat lihai kepandaiannya kiranya sekarang lihai juga bicaranya! Terima kasih, Bu-koksu. Akan tetapi, ada sebuah hal yang memaksa pertemuan antara kita ini menimbulkan rasa tidak enak kepada kedua pihak. Sungguh menyesal sekali.”
Hati Bu-koksu berdebar dan dia sudah menduga bahwa persoalan itu tentu menyangkut kedua orang tawanannya. Akan tetapi ia tetap bersikap tenang dan bertanya, ”Di pihak kami, tidak ada persoalan dan sungguh pun jelas bahwa Cu-wi melanggar wilayah kami bukan sebagai tamu, kami masih bersikap ramah dengan mengundang Cu-wi sebagai tamu kami. Hal ini agaknya juga diketahui dengan jelas oleh Suma-kongcu, yang entah bagaimana bisa menemani Koksu dan Pangeran.”
Mendengar ini dan melihat pandang mata Bu-koksu ditujukan kepadanya dengan sinar tajam menyelidik, Suma Hoat tersenyum saja dan matanya memandang ke arah Siauw Bwee yang tubuhnya dibelenggu dan dipanggul di atas pundak Thian Ek Cinjin. Dia tidak mau menjawab dan hanya mengandalkan kepada jawaban Pek-mau Seng-jin sekutu ayahnya.
“Maafkan, kalau kami melanggar wilayahmu, Bu-koksu. Hanya kami rasa bahwa sebagai sahabat-sahabat, tiada salahnya kalau kami melihat-lihat keadaan wilayah selatan ini. Kebetulan sekali kita bertemu, akan tetapi tidak kebetulan bahwa kami melihat kalian memperlakukan sahabat kami sebagai tawanan, sungguh amat tidak enak bagi kami. Maka, mengingat akan hubungan antara kita, saya harap sukalah Bu-koksu memandang muka kami dan membebaskan kedua orang tawanan ini.”
Berkerut alis Bu-koksu. Dia sudah menduga bahwa tentu kedua orang tawanan itu yang akan dipersoalkan. Akan tetapi dia masih penasaran dan cepat berkata, “Maaf, Pek-mau Seng-jin! Kedua orang ini adalah orang-orang Han, dan urusan kami dengan mereka tidak ada sangkut-pautnya dengan Koksu dan Kerajaan Yucen. Harap Koksu suka mempertimbangkan dan tidak mencampuri urusan pribadi sendiri.”
“Ha-ha-ha, melihat sahabat-sahabat baik diperlakukan tidak hormat, bagaimana kami dapat tinggal diam saja? Ingatkah Koksu akan peribahasa yang mengatakan bahwa sahabat lebih berat dari pada tangan kiri? Mereka adalah sahabat-sahabat kami, tentu saja kami tidak suka melihat mereka mengalami penghinaan seperti itu.”
“Pek-mau Seng-jin!” Bu-koksu berkata marah. “Saya tidak melihat hubungan antara mereka ini dengan kalian! Saya rasa kalian tidak mengenal kedua orang ini, apa lagi bersahabat!”
“Bukan sahabat saya pribadi, akan tetapi sahabat baik Pangeran Dhanu. Silakan menjawab Pangeran,” Pek-mau Seng-jin berkata dan Pangeran Dhanu melangkah ke depan sambil berkata,
”Bu-koksu, ketahuilah bahwa Kam Han Ki itu adalah seorang sahabatku, sahabat pribadi yang amat baik. Bahkan dia pernah memukul mundur pasukan-pasukan Mancu untuk menolong kami, bagaimana aku dapat membiarkan dia kau perlakukan seperti itu? Oleh karena itu, aku sebagai mantu dari kaisarmu, kuminta supaya kau suka memandang mukaku dan membebaskan Kam Han Ki sahabatku.”
“Dan gadis ini?” Bu-koksu yang diam-diam merasa terkejut dan gelisah itu bertanya penasaran.
“Gadis ini adalah Khu Siauw Bwee, sahabat baik sekali dari Suma-kongcu. Karena Suma-kongcu merasa sungkan mengajukan permintaan dan menentang Koksu sebagai rekan sendiri, maka biarlah saya yang mewakilinya dan mintakan agar Nona Khu kau beri kebebasan pula.”
Merah muka Bu-koksu mendengar ini. “Kedua orang ini adalah orang-orang tangkapan kami karena mereka merupakan pemberontak-pemberontak, betapa mungkin kami membebaskannya? Kalau Koksu dan Pangeran ingin membelanya dan mohon pembebasannya, harap suka mengajukan permintaan resmi agar diputuskan oleh Kaisar sendiri. Saya tidak berani lancang mengambil keputusan dan menyerahkan dua orang tawanan penting di tengah jalan begitu saja kepada Cu-wi!”
“Hemm, jawaban itu berarti bahwa Bu-koksu tidak memandang kami sebagai sahabat!” Pek-mau Seng-jin berkata dengan suara getir.
“Saya cukup menghargai persahabatan antara kita, akan tetapi tentu saja saya lebih menghargai tugas dan kedudukan saya.”
“Kalau kami memaksa?”
“Terserah, kami akan mempertahankan!”
“Ha-ha-ha! Bu-koksu sungguh tak tahu diri. Keadaan kota Siang-tan sedang terancam pasukan Mancu, siapa lagi yang akan dapat menolong kalau bukan pasukan kami? Akan tetapi Bu-koksu lebih mementingkan urusan pribadi. Baiklah, urusan pribadi kita selesaikan secara pribadi pula. Sudah lama aku mendengar bahwa Bu-koksu memiliki ilmu kepandaian yang amat hebat, terutama sekali ilmu goloknya yang belum pernah bertemu tanding. Kesempatan ini hendak kugunakan untuk mengenal ilmu golok Bu-koksu! Kalian berempat, kami pun akan maju berempat dan siapa menang dalam pertandingan ini berhak atas kedua orang tawanan itu!”
“Bukan kami yang memancing permusuhan, kami hanya mempertahankan diri. Silakan, Pek-mau Seng-jin, jangan mengira bahwa aku takut kepadamu!” Bu-koksu yang sudah marah sekali lalu mencabut goloknya sehingga terdengar bunyi berkerincingan nyaring.
Pat-jiu Sin-kauw dan Thian Ek Cinjin juga sudah menurunkan tubuh tawanan yang mereka panggul tadi, siap menghadapi lawan, sedangkan Ang Hok Cu cepat mendekati kedua orang tawanan untuk menjaga agar mereka tidak dirampas orang.
Thian Ek Cinjin dan Pat-jiu Sin-kauw sebetulnya adalah dua orang anak buah Pek-mau Seng-jin sendiri! Seperti telah diceritakan di bagian depan, dua orang yang bergabung dengan Coa-bengcu di pantai Po-hai ini diam-diam telah mengadakan hubungan dengan Kerajaan Yucen. Atas permintaan Pek-mau Seng-jin, kedua orang ini berhasil menyelundup dengan membawa Kam Han Ki yang pingsan, menyerahkannya kepada Bu-koksu sehingga mereka berdua diangkat menjadi pengawal! Karena inilah maka Pek-mau Seng-jin girang sekali melihat kedua orang sekutunya itu kini mengawal Bu-koksu dan diam-diam ia memberi tanda dengan kejapan mata kepada mereka.
Thian Ek Cinjin meloncat ke depan, berhadapan dengan Thai-lek Siauw-hud Ngo Kee Si Gendut Pendek yang tertawa-tawa, yang sebetulnya adalah temannya sendiri. Tanpa banyak cakap lagi mereka sudah bertanding, Thai-lek Siauw hud menggunakan sebatang golok besar sedangkan Thian Ek Cinjin menggunakan sebatang pedang.
Juga Pat-jiu Sin-kauw sudah saling berkedip dengan Panglima Dailuba yang menyambutnya. Mereka pun tanpa banyak cakap sudah saling bertanding, menggunakan tangan kosong karena kedua orang ini merupakan ahli-ahli silat tangan kosong. Pertempuran terjadi dengan seru dan karena pandainya mereka berempat bersandiwara, Bu-koksu sendiri tidak pernah menyangka bahwa mereka itu tidaklah bertanding sungguh-sungguh.
“Ha-ha-ha, dua orangmu telah bertempur melawan dua orang pembantuku. Tinggal kita berdua. Marilah kita coba-coba, Bu-koksu!” kata Pek-mau Seng-jin sambil menggerakkan tongkatnya menusuk.
“Cring-cring-tranggg!”
Keduanya terpental ke belakang ketika tongkat itu tertangkis oleh golok bergelang. Kemudian keduanya maju lagi saling serang dengan dahsyat. Gerakan Bu-koksu amat dahsyat dan kuat, goloknya mengeluarkan bunyi mengerikan dan golok yang berat itu diputar sampai berubah menjadi segulung sinar menyilaukan mata. Namun gerakan tongkat di tangan Pek-mau Seng-jin lebih cepat lagi, tampak sinar keemasan bergulung-gulung menyelubungi gulungan sinar golok, bahkan dalam hal tenaga sinkang, tingkat Pek-mau Seng-jin masih lebih tinggi sehingga lewat empat puluh jurus, Bu-koksu selalu terdesak dan terhimpit!
Ang Hok Ci yang sedang gelisah menyaksikan betapa Bu-koksu dan dua orang pengawalnya terdesak mengambil keputusan untuk membunuh saja dua orang tawanan yang berbahaya itu. Dia sudah mencabut goloknya, langsung dia bacokkan ke arah leher Kam Han Ki.
“Trangggg!”
Ang Hok Ci terkejut dan melompat mundur, memandang Suma Hoat yang sudah menangkis goloknya dengan pedang.
“Suma-kongcu! Apa yang kau lakukan ini? Apakah engkau hendak memberontak dan membela musuh?”
Suma Hoat tecsenyum. “Hemm, orang she Ang, ini bukan urusan negara, melainkan urusan pribadi! Sudah dijanjikan bahwa siapa yang keluar sebagai pemenang, berhak atas diri kedua orang tawanan ini. Mengapa engkau hendak bersikap curang dan membunuh tawanan?”
“Bagus! Ayahmu tentu akan senang sekali mendengar akan pengkhianatanmu ini!” Ang Hok Ci memaki dan menyerang dengan golok menyambar ke arah leher Suma Hoat, sedangkan tangan kirinya melancarkan pululan dengan tenaga Jit-goat-sinkang ke arah dada Suma Hoat.
“Cringggg... dukkkk!”
Tubuh Ang Hok Ci terlempar ke belakang, ketika goloknya tertangkis oleh pedang Suma Hoat, sedangkan pukulan dengan tenaga Jit-goat-sinkang tadi ditangkis pula oleh Suma Hoat dengan ilmu yang sama, akan tetapi jauh lebih kuat. Hal ini dapat dimengerti karena kalau Ang Hok Ci memperoleh Ilmu Jit-goat-sinkang dari hasil curian ketika dia menyelundup ke lembah orang kusta, adalah Suma Hoat menerima gemblengan langsung dari Bu-tek Lo-jin, bahkan dia merupakan murid terpandai! Dengan pedangnya Suma Hoat mematahkan belenggu yang mengikat kaki tangan Siauw Bwee dan membebaskan totokannya.
“Terima kasih, ternyata engkau seorang sahabat yang baik, Suma Hoat!” Siauw Bwee berkata singkat lalu meloncat mendekati suheng-nya yang masih pingsan, membukakan belenggu kaki tangan Han Ki dan membebaskan totokan.
Akan tetapi Han Ki masih pingsan, bukan karena totokan melainkan karena guncangan ketika pengobatan hampir berakhir tadi. Cepat Siauw Bwee menempelkan kedua telapak tangannya ke dada pemuda itu dan perlahan-lahan ia menyalurkan hawa sinkang ke dalam tubuh suheng-nya dengan amat hati-hati.
Ang Hok Ci sudah menerjang lagi, disambut oleh pedang Suma Hoat. Karena pemuda yang berjuluk Jai-hwa-sian ini memiliki tingkat kepandaian yang jauh lebih tinggi, dengan mudah ia mempermainkan Ang Hok Ci sambil tertawa-tawa.
”Suma-kongsu, bunuh saja tikus itu!” Tiba-tiba terdengar suara Pek-mau Seng-jin. “Dan aku yang akan membunuh tikus besar ini!”
Suma Hoat terkejut dan ragu-ragu. Biar pun dia harus mentaati perintah ayahnya yang bersekutu dengan Kerajaan Yucen, akan tetapi kalau harus membunuh seorang yang setia kepada Kerajaan Sung, hatinya masih merasa berat. Dan ketika ia menoleh, ia melihat betapa Bu-koksu terhimpit bahaya oleh tongkat di tangan Pek-mau Seng-jin yang kini jelas bukan hanya memperoleh kemenangan untuk memperebutkan kedua orang tawanan, melainkan berniat membunuh Bu-koksu.
Ini hebat, pikir Suma Hoat yang menjadi bingung, tidak tahu harus berbuat apa. Ketika ia memutar pedang menahan serangan-serangan golok lawan dan menoleh ke arah Pat-jiu Sin-kauw dan Thian Ek Cinjin yang melawan Panglima Dailuba dan Thai-lek Siauw-hud, dia mendapat kenyataan bahwa pertempuran masih berlangsung ‘seru’ dan bahwa mereka itu ternyata hanya seperti sedang berlatih saja!
Suma Hoat amat cerdik, maka mengertilah dia bahwa dua orang pengawal dan pembantu Bu-koksu itu ternyata adalah anak buah Yucen pula! Diam-diam ia mengkhawatirkan keselamatan Bu-koksu. Betapa pun juga, dia tahu betul bahwa Bu-koksu adalah seorang yang amat setia kepada negara, seorang pahlawan sejati yang menjuruskan segala perbuatannya demi kepentingan Kerajaan Sung!
Dia masih terus mempermainkan Ang Hok Ci, tidak mau membunuhnya karena hendak melihat bagaimana perkembangan pertandingan antara kedua orang guru negara itu. Dia merasa serba salah. Untuk membantu Bu-koksu, berarti dia menentang Yucen dan hal ini tentu tidak akan disetujui ayahnya, sebaliknya, untuk membantu Pek-mau Seng-jin, hati nuraninya tidak mengijinkan.
Selain itu dia maklum pula bahwa ilmu kepandaian Pek-mau Seng-jin amat tinggi, tidak hanya lebih tinggi dari pada kepandaian Bu-koksu, juga lebih tinggi dari pada tingkat kepandaiannya. Belum lagi diingat bahwa di situ terdapat panglima Dailuba, Pat-jiu Sin-kauw, Thai-lek Siauw-hud, dan Thian Ek Cinjin yang ternyata adalah kaki tangan Pek-mau Seng-jin. Dia tidak berdaya dan hanya menonton sambil menahan serangan golok Ang Hok Ci seenaknya.
Bu-koksu juga tahu akan perubahan gerakan tongkat lawan yang kini menjadi cepat sekali dan melancarkan serangan-serangan maut. Dia tidak menjadi gentar dan maklum bahwa persoalan merampas tawanan itu hanya sebagai pancingan saja, sedangkan niat di hati Koksu Negara Yucen itu untuk membunuhnya! Kalau berada di tempat ramai, tentu saja Pek-mau Seng-jin tidak akan berani melakukan hal ini, karena membunuh dia berarti pecah perang terbuka antara Kerajaan Sung dan Kerajaan Yucen. Akan tetapi kalau dia dan semua pembantunya terbunuh di situ, tidak akan ada yang tahu bahwa pembunuhnya adalah Koksu Yucen! Maka dia memutar goloknya melawan mati-matian, mengerahkan seluruh tenaga dan mengeluarkan segala kepandaiannya.
Betapa pun juga, tongkat di tangan Pek-mau Seng-jin terlalu kuat baginya dan ketika goloknya menyambar dahsyat ke arah kepala lawan, Pek-mau Seng-jin hanya miringkan kepala sehingga sebagian rambutnya yang putih terbabat putus oleh golok besar itu, akan tetapi pada detik yang sama, ujung tongkat telah mengenai pundak kanannya sehingga golok besar itu terlepas dari tangan Bu-koksu. Cepat seperti kilat, tongkat itu telah menyambar turun, siap melakukan tusukan maut!
“Tahan! Jangan bunuh dia!” Teriakan ini disusul berkelebatnya bayangan dan tahu-tahu tongkat itu terpental ke belakang oleh desiran hawa pukulan yang amat panas!
Bu-koksu girang sekali dan cepat menyambar kembali goloknya. “Kam-siauwte, syukur engkau masih ingat kepadaku dan menolongku. Mari kita habiskan anjing-anjing Yucen ini!”
Akan tetapi betapa kagetnya ketika ia melihat sinar mata Kam Han Ki yang menyambar seperti dua titik api kepadanya. “Bu-koksu, aku memang teringat kepadamu, dan teringat akan segalanya! Engkau memang telah menolongku, merawatku, akan tetapi hanya untuk kau pengaruhi dengan racun sehingga di luar kesadaranku aku menjadi pengawalmu!”
”Kam-siauwte...!”
“Sudahlah, dan jangan menyebut siauwte kepadaku. Harap kau suka membawa semua anak buahmu pergi dari sini dan mudah-mudahan saja kita tidak akan saling bertemu kembali! Aku memaafkan segalanya!”
Bu-koksu maklum bahwa tidak ada gunanya lagi membujuk pemuda yang sudah sadar itu, maka dia menarik napas panjang dan berkata, “Betapa pun juga, Kam-siauwte, aku telah menyelamatkanmu dari hukuman sebagai seorang pemberontak. Aku hanya ingin membangkitkan semangatmu membela negara. Selamat tinggal! Dan engkau, Pek-mau Seng-jin, apakah dengan perbuatanmu tadi engkau sengaja hendak memancing perang antara kedua kerajaan kita?”
“Ha-ha-ha! Sudah kukatakan bahwa urusan ini adalah persoalan pribadi, kalau engkau hendak membawa-bawa kerajaan, terserah. Kerajaan Yucen tidak pernah takut terhadap ancaman Kerajaan Sung. Kurasa Kerajaan Sung tidak begitu bodoh untuk menambah musuh yang lebih kuat lagi di samping pasukan-pasukan Mancu, ha-ha-ha.”
“Mari kita pergi!” Bu-koksu berkata kepada para pembantunya dan Ang Hok Ci, Pat-jiu Sin-kauw, dan Thian Ek Cinjin segera meninggalkan tempat itu mengikuti Bu-koksu.
Di tengah perjalanan menuju ke Siang-tan, Ang Hok Ci berkata kepada kedua orang rekannya, “Aku tadi melihat betapa Ji-wi tidak bertanding sungguh-sungguh dengan kedua lawan Ji-wi!”
Pat-jiu Sin-kauw dan Thian Ek Cinjin terkejut, akan tetapi sambil tertawa Pat-jiu Sin-kauw berkata, “Kami sendiri tidak mengerti, Ang-siucai. Jelas bahwa kalau mereka menghendaki, kami tidak akan menang. Kepandaian Panglima Dailuba itu amat tinggi, terus terang saja aku tidak mampu menandinginya, sedangkan tingkat kepandaian Thai-lek Siauw-hud masih menang sedikit dibandingkan dengan tingkat Thian Ek Cinjin. Akan tetapi karena kami anggap pertandingan itu hanya untuk menguji kepandaian, maka tidaklah mengherankan kalau mereka tidak berniat membunuh kami.”
“Hemmm, akan tetapi Si Rambut Putih itu jelas berniat buruk terhadap diriku,” Bu-koksu mengomel. Hatinya yang mengkal dan kesal itu membuat ia tidak memperhatikan lagi ucapan Ang Hok Ci yang penuh tuduhan dan kecurigaan.
Sementara itu, sambil memandang sumoi-nya yang kini berdiri di sampingnya, Kam Han Ki berkata, “Sekarang aku ingat semua, Sumoi. Kalau tidak ada engkau yang membantu, entah bagaimana jadinya dengan aku. Terima kasih, Sumoi dan... dan...,” tiba-tiba mukanya berubah merah sekali karena dia teringat akan sikap sumoi-nya yang berkali-kali menyatakan cinta kasihnya dan teringat betapa dalam keadaan ‘lupa diri’ dia pun membalas cinta sumoi-nya itu. Akan tetapi karena di situ terdapat banyak orang, tentu saja dia tidak berani melanjutkan kata-katanya dan hanya pandang mata mereka yang saling bicara banyak.
Saling pandang yang penuh arti dan amat mesra itu tidak terluput dari pandang mata Suma Hoat. Begitu melihat Siauw Bwee, sudah timbul kembali cintanya yang tak mungkin dapat padam di hatinya, maka tentu saja kemesraan antara pandang mata kedua orang itu merupakan ujung pedang yang menembus jantungnya. Namun karena maklum bahwa dia tidak akan mampu menghalangi atau bersaing terhadap pendekar yang sakti, penghuni Istana Pulau Es, murid Bu Kek Siansu itu, dia menekan perasaannya dan menjura kepada Kam Han Ki sambil berkata, “Saya menghaturkan selamat atas pulihnya kesehatan Kam-taihiap dan atas berkumpulnya kembali Taihiap dengan sumoi Taihiap, Nona Khu Siauw Bwee.”
Kam Han Ki memandang kepada pemuda tampan itu. “Hemm, siapakah engkau?”
“Suheng, dia adalah seorang... sahabat yang telah menolongku, dia juga sute dari... dari... ahhh, Coa-supek...!” Siauw Bwee teringat akan supek-nya dan menangis tersedu-sedu.
“Heiii... ada apakah, Sumoi?” Han Ki bertanya.
“Khu-lihiap... apa yang terjadi dengan Coa-suheng?”
“Dia mati terbunuh... tentu oleh Bu-koksu! Saudara Suma Hoat, harap kau suka mengurus jenazahnya, di hutan pohon pek...”
“Suma Hoat?” Kam Han Ki berseru kaget dan memandang pemuda tampan itu.
Suma Hoat menjura ke arah Han Ki dan berkata, “Benar, Kam-taihiap. Saya adalah Suma Hoat, seorang yang... hemmm, tidak baik dan putera dari seorang yang... tidak baik pula.”
Kam Han Ki mengerutkan alisnya. Pemuda ini adalah putera musuhnya, akan tetapi juga sute dari Coa Leng Bu yang telah menolongnya, bahkan menurut Siauw Bwee pemuda ini pernah menolong sumoi-nya itu, maka dia tidak dapat berkata apa-apa lagi. Dia mengalihkan perhatian, menjura kepada Pangeran Dhanu dan berkata, “Saya merasa berterima kasih atas pertolonganmu, Pangeran. Biar pun aku tidak melihat sendiri, aku dapat menduga bahwa tentu engkau yang telah menolongku dari tangan Bu-koksu.”
“Ah, di antara orang sendiri perlu apa menyebut-nyebut tentang pertolongan, Taihiap? Kebetulan sekali kami lewat di sini dan menyaksikan engkau dan Khu-lihiap ditawan Bu-koksu, maka kami turun tangan menentangnya,” kata Pek-mau Seng-jin.
Kam Han Ki memandang kakek berambut putih itu dan berkata, “Agaknya semua orang telah mengenal aku, akan tetapi aku sendiri tidak mengenal orang, kecuali Pangeran Dhanu. Siapakah Locianpwe?”
“Kam-taihiap, dia adalah Pek-mau Seng-jin, koksu kerajaan kami,” Pangeran Dhanu memperkenalkan.
Kam Han Ki mengangguk-angguk, memandang tajam kemudian berkata, “Sudah lama saya mendengar nama Pek-mau Seng-jin, Koksu Negara Yucen yang terkenal.”
Pek-mau Seng-jin cepat mengangkat kedua tangan ke depan sebagai penghormatan sambil berkata, “Kam-taihiap terlalu memuji! Sebaliknya kami yang telah lama mendengar nama besar Taihiap semenjak Taihiap membantu mendiang Menteri Kam yang sakti. Sayang sekali, baru sekarang kita dapat saling berjumpa. Betapa banyaknya penderitaan yang dialami oleh Taihiap dan keluarga Kam yang gagah perkasa. Betapa menyedihkan sekali nasib keluarga Kam, keluarga pendekar sakti Suling Emas yang sejak dahulu berdarah pahlawan, namun selalu dikecewakan oleh sikap pemerintah Sung yang makin tampak kelalimannya. Dalam kesempatan ini, biarlah kami berlaku lancang mewakili pemerintah Yucen untuk mengundang Taihiap agar sudi membantu pemerintah kami yang lebih dapat menghargai jasa orang-orang gagah.”
Kam Han Ki tersenyum pahit dan menggeleng kepala, menjawab dengan suara tenang, “Banyak terima kasih atas perhatianmu, Pek-mau Seng-jin. Akan tetapi, apa pun yang terjadi kepadaku, dan apa pun yang telah dilakukan oleh negaraku terhadap diriku, tak mungkin menjadikan aku seorang pengkhianat bangsa dan negara.”
Pek-mau Seng-jin mengerutkan alisnya dan menarik napas panjang, kemudian berkata perlahan seperti kepada dirinya sendiri, “Kalau negara sudah ditakdirkan akan berkembang menjadi negara besar, kaisarnya tentu pandai menghargai orang. Akan tetapi kalau kaisarnya lalim, hanya di waktu negara terancam bahaya mengandalkan tenaga bantuan rakyat, akan tetapi di waktu negara makmur sibuk menggendutkan perut sendiri dan bersikap sewenang-wenang terhadap rakyat. Itulah tanda-tanda bahwa negara akan hancur. Kam-taihiap telah menderita penghinaan di waktu negara tidak membutuhkan tenaga Taihiap. Sekarang, di waktu tenaga Taihiap dibutuhkan, Koksunya tidak segan-segan untuk menggunakan siasat keji untuk memperoleh tenaga bantuan Taihiap.”
Dibakar dengan kata-kata demikian, Han Ki tak dapat menjawab, karena memang demikianlah keadaannya. Biar pun dia sama sekali tidak menaruh dendam terhadap kerajaan yang pada waktu itu memegang tampuk pemerintahan, namun hatinya mendongkol juga diingatkan akan kepincangan ketidak-adilan itu.
“Pek-mau Seng-jin, apa engkau kira akan mampu mempengaruhi hati seorang gagah perkasa dengan kata-kata manis menyembunyikan racun? Kam-suheng adalah seorang laki-laki sejati, mana mungkin tunduk menghadapi bujukan palsu dari kaki tangan negara asing yang memusuhi bangsa sendiri? Pek-mau Seng-jin, apakah engkau lupa betapa dahulu engkau telah menculik aku dan Suci Maya, kemudian engkau menghadiahkan kami dua orang anak perempuan yang tak berdaya kepada Coa Sin Cu sehingga kami dipakai berebutan di antara orang-orang kang-ouw?” Siauw Bwee membentak.
Pek-mau Seng-jin terkejut sekali. Tentu saja dia tidak mengenal lagi Siauw Bwee yang kini telah menjadi seorang dara remaja yang telah dewasa dan jelita. Bahkan ucapan Siauw Bwee tadi pun masih belum menyadarkannya.
“Maafkan saya yang telah tua dan pandang mataku tidak tajam lagi sehingga tidak mengenal Nona. Siapakah Nona yang telah mengenal saya?”
“Pek-mau Seng-jin, lupakah engkau ketika dahulu berkunjung sebagai utusan Yucen membicarakan tentang perjodohan antara Pangeran Dhanu dan puteri Kaisar, dan pada malam hari itu engkau telah menculik dua orang anak perempuan? Seorang adalah Suci Maya puteri Raja Talibu dari Khitan, sedangkan anak kedua adalah aku sendiri, anak dari Panglima Khu Tek San.”
Sekarang teringatlah Pek-mau Seng-jin, bahkan Thai-lek Siauw-hud Ngo Kee dan Panglima Dailuba mengeluarkan suara tertahan. Mereka teringat akan peristiwa belasan tahun yang lalu, peristiwa amat hebat bagi dunia kang-ouw, yaitu munculnya manusia dewa Bu Kek Siansu yang menolong kedua anak perempuan itu!
“Aaahhhh...!” Pek-mau Seng-jin tidak mampu mengeluarkan kata-kata lagi, wajahnya berubah dan dia merasa tidak enak sekali, terutama terhadap Kam Han Ki yang disebut suheng oleh dara itu.
“Pek-mau Seng-jin, mengingat bahwa engkau tadi telah menolong Suheng, biarlah aku melupakan urusan lama karena betapa pun juga harus diakui bahwa engkau telah berjasa dengan perbuatanmu yang tidak pantas itu, yaitu memungkinkan kami bertemu dengan Suhu. Nah, pertolonganmu tadi berarti telah menebus kesalahanmu dan urusan lama itu telah beres hari ini. Harap engkau jangan tidak tahu diri, hendak menciptakan urusan baru dengan membujuk Kam-suheng menjadi pengkhianat. Di antara kita tidak ada sangkut-paut lagi!”
Lega sekali hati Pek-mau Seng-jin. Setelah kini dia mendengar bahwa gadis itu adalah sumoi Kam Han Ki dan mereka itu murid-murid Bu Kek Siansu, tentu saja dia tidak berani untuk menentang mereka. Hawa pukulan dari Han Ki tadi ketika menyelamatkan nyawa Bu-koksu dan membuat senjatanya terpental sudah cukup membuktikan betapa hebat sinkang pemuda itu.
Maka dia lalu memberi isyarat dengan pandang mata kepada Pangeran Dhanu yang menjura kepada Han Ki sambil berkata, “Kalau begitu, kita berpisah di sini saja, Kam-taihiap. Aku hanya dapat menyatakan sayang bahwa di antara kita yang senasib sependeritaan ini tidak dapat bekerja sama.”
Han Ki menggigit bibirnya, tidak mau menjawab, hanya balas memberi hormat kepada rombongan Pangeran itu. Memang benarlah kalau Pangeran itu mengatakan bahwa mereka berdua adalah senasib sependeritaan, karena keduanya mencinta Sung Hong Kwi, dan keduanya menderita oleh cinta kasih mereka itu! Dia kini hanya memandang dengan tenang sambil menekan segala macam perasaan mengenai urusan pribadinya, memandang kepada rombongan yang pergi meninggalkan tempat itu dipimpin oleh Koksu Negara Yucen.
Dapat dibayangkan betapa malu rasa hati Suma Hoat ketika ia melihat dan mendengar semua itu. Biar pun tidak ada orang yang langsung menuduhnya, namun melihat sikap Kam Han Ki dan Khu Siauw Bwee sebagai orang-orang gagah yang biar pun telah diperlakukan penuh penghinaan sehingga mengalami penderitaan oleh Kerajaan Sung, namun masih menunjukkan kesetiaan terhadap negara dan bangsa.
Ada pun dia, biar pun keluarga Suma sejak dahulu mendapatkan banyak kemuliaan dalam Kerajaan Sung, karena terpaksa oleh ayahnya kini telah menjadi pengkhianat dan diam-diam mengadakan persekutuan dengan Kerajaan Yucen untuk menggulingkan Kerajaan Sung! Dia merasa rendah sekali, rendah dan kotor kalau dibandingkan dengan Kam Han Ki dan Khu Siauw Bwee. Dan orang seperti dia telah berani jatuh cinta kepada Khu Siauw Bwee!
“Biarlah aku pergi lebih dulu mengurus jenazah Coa-suheng.” Suma Hoat berkata sambil pergi meninggalkan sepasang orang muda yang sakti itu.
Kam Han Ki tidak mempedulikan pemuda itu, sedangkan Siauw Bwee hanya balas memandang dan mengangguk singkat. Setelah kini melihat suheng-nya sembuh sama sekali dari pengaruh racun perampas ingatan, hatinya girang bukan main, kegirangan yang amat besar dan yang menutupi semua urusan lain, termasuk kedukaan karena kematian Coa Leng Bu.
Kini mereka berdiri berhadapan, saling pandang dan untuk beberapa lama mereka tidak mengeluarkan kata-kata. Teringat akan cinta kasih di antara mereka pada waktu Han Ki belum sembuh dan masih belum terbuka kembali ingatannya, wajah Siauw Bwee menjadi merah sekali, akan tetapi ada rasa khawatir dan tegang di hatinya melihat betapa sinar mata pemuda itu kini berbeda dari sebelum pemuda itu sembuh.
Sinar mata itu masih tajam, bahkan lebih tajam dari sebelumnya, mengandung wibawa yang amat kuat, masih penuh dengan kasih sayang. Akan tetapi bukankah sejak dahulu di Pulau Es, Han Ki menaruh kasih sayang kepada kedua orang sumoi-nya? Sekarang ada sesuatu yang lenyap dari sinar mata itu. Kemesraan! Sebelum sembuh, suheng-nya yang terang-terangan menyatakan cinta kasih kepadanya itu kalau memandangnya, tampak jelas kemesraan di dalam sinar matanya dan kini dia seolah-olah tidak menemukan lagi kemesraan itu.
Han Ki menghela napas panjang. “Khu-sumoi, betapa banyaknya orang-orang yang telah melepas budi kebaikan kepadaku. Terutama sekali Coa-lo-enghiong yang telah mengorbankan nyawa untukku dan yang terutama adalah engkau sendiri. Betapa engkau sudah banyak menderita, semua untuk menolongku belaka.”
“Aihh, Suheng. Di antara kita, mana bisa disebut tolong-menolong? Apa artinya semua yang telah kulakukan kalau dibandingkan dengan budimu terhadap aku semenjak dahulu? Biar kupertaruhkan jiwa ragaku untukmu masih belum cukup untuk membalas semua budi kebaikanmu terhadapku, Suheng. Suheng, sudah terlalu lama kita berpisah, sudah terlalu lama kita merantau dan mengalami hal-hal yang tidak menyenangkan. Di dunia ramai ini banyak sekali kepalsuan dan kejahatan sehingga ke mana pun kita pergi, selalu kita bertemu dengan orang jahat dan mengalami kesulitan. Karena itu, marilah Suheng, marilah kita berdua kembali ke Pulau Es. Aku rindu sekali kepada tempat kita itu, rindu akan ketenangan, ketenteraman yang penuh damai di sana.”
“Sumoi, setelah segala peristiwa yang kualami, engkau tidak dapat membayangkan betapa rinduku kepada Pulau Es. Bahkan, kembali dan tinggal di sana seumur hidupku menjadi cita-cita dan harapanku satu-satunya. Akan tetapi, tinggal di sana seorang diri dengan membiarkan engkau dan Maya-sumoi pergi, merupakan siksa yang tak tertahankan olehku. Tentu saja aku girang sekali untuk pulang ke Pulau Es bersamamu dan Maya-sumoi, akan tetapi dia...”
Berkerut alis Siauw Bwee mendengar ini. Sudah dikhawatirkannya akan demikianlah pendapat suheng-nya kalau suheng-nya sudah pulih kembali ingatannya! Hampir saja timbul pikiran bahwa dia akan merasa senang sekali kalau suheng-nya tidak pernah mendapatkan kembali ingatannya sehingga hanya mencinta dia seorang, tidak teringat lagi kepada Maya! Akan tetapi cepat-cepat ditekannya perasaan yang dia tahu amat tidak baik ini, hanya mementingkan kesenangan diri pribadi tanpa mempedulikan keadaan orang lain!
“Kam-suheng, apakah Suheng lupa akan sikap Maya-suci kepadaku? Kalau kita mengajak dia kembali ke Pulau Es, apakah dia tidak hanya akan menimbulkan keributan belaka? Suheng, Maya-suci membenciku...”
Han Ki menggeleng kepala dan tersenyum pahit. “Tidak membencimu Khu-sumoi, hanya....” dia tidak dapat melanjutkan kata-katanya.
“Hanya karena dia mencintaimu maka dia cemburu kepadaku dan ingin membunuhku, ingin melenyapkan aku agar tidak menjadi penghalang bagi cintanya?”
“Sumoi, engkau tentu maklum betapa tersiksa hatiku kalau teringat akan kalian berdua. Akan tetapi, celakanya, aku pun tidak dapat membiarkan kalian berdua meninggalkan aku tanpa kuketahui bahwa kalian berdua dalam keadaan selamat. Baru akan tenang hidupku kalau kalian sudah kembali bersamaku ke Pulau Es. Sekarang aku akan berusaha agar kalian berdua hidup dengan rukun, sebagai saudara seperguruan yang saling mencinta.”
“Kam-suheng, katakanlah sesungguhnya, apakah pernyataan cintamu terhadap aku hanya palsu belaka dan engkau menyatakannya untuk membalas budi pertolonganku, saja?”
Han Ki memandang dengan mata terbelalak dan muka berubah pucat. Kemudian ia menarik napas panjang dan menjawab, “Sumoi, sampai hati benar engkau menuduh aku seperti itu. Engkau tentu sudah yakin akan cintaku kepadamu, akan tetapi... harap engkau jangan besikap seperti Maya-sumoi yang hanya mementingkan diri sendiri saja. Kalau aku hanya menurutkan hati cinta dan ingin hidup senang sendiri saja, betapa mungkin hatiku akan tenteram dan tenang? Tidak, Khu-sumoi. Aku baru akan dapat bicara tentang cinta, dapat bicara tentang masa depan kalau kita bertiga sudah kembali ke Pulau Es. Aku tidak akan menentang perpisahan di antara kita bertiga karena hidup memang selalu berubah, ada waktu berkumpul tentu ada waktu berpisah, akan tetapi hendaknya perpisahan itu terjadi dalam keadaan baik dan tidak seperti yang lalu, saling berpisah dalam keadaan permusuhan.”
“Suheng, kita sama mengetahui bahwa Maya-suci mencintamu seperti aku mencintamu pula. Betapa pun beratnya bagimu, engkau harus mengambil keputusan siapa di antara kami berdua yang kau cinta. Tanpa keputusan itu, engkau hanya akan menciptakan permusuhan di antara kami berdua.”
“Sumoi, kita tunda dahulu urusan cinta ini. Yang penting sekarang kita bertiga harus kembali ke Pulau Es. Maya-sumoi adalah saudara kita. Sekarang dia telah menyeleweng demi pembalasan dendamnya dan rela menjadi seorang Panglima Mancu. Apakah mungkin aku mendiamkannya saja? Tidak, Sumoi. Aku harus menginsyafkannya dan harus mengajaknya pulang ke Pulau Es. Dengan demikian, barulah aku tidak merasa berdosa kepada Suhu dan tidak menyia-nyiakan pesan Suhu.”
Siauw Bwee merasa terdesak. Dara jelita ini menarik napas panjang dan berkata, “Hemmm, agaknya engkau yang lebih benar, Suheng, dan agaknya akulah yang buta oleh cemburu. Baiklah, engkau boleh mencoba untuk membujuknya pulang ke Pulau Es, akan tetapi engkau harus lebih dulu mengantarku ke Pulau Es, baru kau pergi mencari Suci. Kalau sekarang engkau mencarinya dan mengajaknya kembali ke Pulau Es, dia tentu akan menolak kalau dia melihat aku bersamamu.”
Han Ki mengangguk-angguk. Memang tepat kata-kata sumoi-nya ini. Watak Maya amat keras. Dia masih dapat membujuk dan membikin lunak hati Siauw Bwee, akan tetapi sukar sekali baginya untuk membujuk Maya kalau sumoi-nya itu melihat Siauw Bwee bersama dia.
“Baiklah, Sumoi. Mari kita segera berangkat.”
Dua orang itu segera mempergunakan ilmu kepandaian mereka berlari cepat menuju ke pantai untuk melanjutkan perjalanan melalui laut, menggunakan sebuah perahu kecil menyeberang ke Pulau Es.
Di dalam perjalanan yang dilakukan dengan cepat ini, Siauw Bwee tidak dapat menahan keinginan tahunya akan dendam dan sakit hati mereka terhadap musuh-musuh yang telah mencelakakan keluarga mereka. Dia mengajukan pertanyaan kepada suheng-nya dengan suara bersungguh-sungguh dan pandang mata tajam menyelidik.
“Suheng, engkau agaknya berkeinginan keras untuk mengajak aku dan Suci kembali ke Pulau Es, dan kalau aku tidak salah menduga, engkau ingin sekali melihat kita bertiga kembali tinggal di Pulau Es dan tidak meninggalkan tempat itu lagi. Benarkah dugaanku itu?”
Wajah Han Ki berseri mendengar ini, kemudian dia mengangguk. “Memang demikianlah, Sumoi. Alangkah bahagia rasa hatiku kalau kalian berdua mau berbaik kembali dan kita bertiga hidup tenang dan tenteram penuh kebahagiaan seperti dahulu di Istana Pulau Es.”
Siauw Bwee mengerutkan alisnya. “Akan tetapi, Suheng. Apakah engkau telah lupa akan dendam di hati kita? Apakah engkau telah melupakan musuh-musuh besar kita? Apakah semangat membalas dendam telah padam di hatimu?”
“Sumoi, kita tidak boleh melupakan ajaran Suhu yang banyak disebut dalam kitab-kitabnya. Dendam adalah nafsu yang paling buruk dan jahat, sumber dari segala pertentangan dan permusuhan antara manusia. Dendam adalah sifat yang paling menonjol dari iba diri dan kalau kita dimabokkan olehnya, hati dan pikiran kita akan menjadi gelap karena dendam menimbulkan benci dan kebencian menimbulkan kekejaman. Khu-sumoi, katakanlah, siapakah yang kau anggap musuh besarmu, yang mendatangkan dendam sakit hati padamu?”
“Siapa lagi kalau bukan manusia jahat Suma Kiat? Dia telah menyebabkan kehancuran keluarga ayahku! Manusia itu harus kubunuh untuk membalas dendam keluargaku!”
Han Ki menarik napas panjang. “Sumoi, engkau telah dapat bersikap baik kepada puteranya, Suma Hoat, mengapa engkau tidak dapat bersikap sama baiknya kepada ayahnya?”
“Suma Hoat seorang yang baik dan dia bersikap baik kepadaku, sedangkan ayahnya adalah musuh besarku!”
“Hemmm, betapa tepat wejangan Suhu dahulu! Hutang budi dan dendam hanya merupakan bunga dari sifat sayang diri belaka. Sumoi, andai kata Suma Kiat tidak berbuat yang merugikan keluargamu, andai kata dia melakukan hal yang baik seperti yang dilakukan puteranya, tentu dia takkan kau anggap musuh. Jadi, sama sekali bukan pribadinya yang membuat engkau mendendam, melainkan perbuatannya terhadap dirimu! Kalau perbuatan itu baik dan menguntungkan dirimu, maka engkau merasa berhutang budi! Kalau perbuatannya buruk bagimu dan merugikan dirimu, tentu akan kau anggap sebagai dendam sakit hati yang harus dibalas. Dengan demikian, maka terciptalah rantai yang tiada putusnya berupa balas membalas, baik membalas budi mau pun membalas dendam!”
“Bukankah itu sudah seharusnya demikian, Suheng? Sudah adil kalau budi dendam dibalas sehingga menjadi adil namanya? Bukankah sudah demikian pada umumnya hukum karma?”
Han Ki menggeleng kepalanya. “Memang demikianlah pendapat umum yang telah menjadi tradisi usang. Karena kepercayaan dan pendapat turun-temurun seperti inilah membuat kita terseret ke dalam arus yang dibuat manusia sendiri dan dinamakan karma. Mata rantai itu terbentuk dari perbuatan-perbuatan yang menghendaki akhiran yang menyenangkan, perbuatan-perbuatan yang bertujuan, berpamrih. Apakah artinya perbuatan baik mau pun buruk kalau didasari tujuan tertentu, berpamrih yang bukan lain hanya pencetusan dari rasa sayang diri belaka? Perbuatan demikian itu, baik mau pun buruk adalah perbuatan yang tidak wajar, yang palsu dan karenanya selalu berkelanjutan dan berekor tiada kunjung putus dan menjadi hukum karma. Layaknya kalau hidup kita ini hanya kita isi dengan perbuatan-perbuatan palsu yang lebih patut disebut hutang-pihutang? Tiada kebebasan, tiada kewajaran sama sekali!”
Siauw Bwee terkejut dan juga terheran mendengar pendapat yang baru sama sekali ini, yang belum pernah didengarnya. Ia memandang suheng-nya dengan alis berkerut dan dia membantah, “Akan tetapi, Suheng! Apakah engkau hendak menganjurkan agar kita tidak usah mengenal dan membalas budi? Suheng! Orang yang tidak mengenal budi adalah orang yang rendah dan tidak baik!”
Kembali Han Ki menggeleng kepalanya, memandang sumoi-nya dengan tajam lalu berkata, suaranya bersungguh-sungguh. “Ucapanmu itu mencerminkan pandangan umum, namun sesungguhnya pandangan seperti itu adalah tidak tepat, Sumoi.”
’’Mengapa tidak tepat? Orang harus selalu mengingat budi orang lain yang dilimpahkan kepadanya dan berusaha untuk membalas budi itu!”
’’Cobalah renungkan dalam-dalam dan dengarkan baik-baik kata-kataku ini, Sumoi. Orang yang mengingat dan membalas budi orang lain adalah orang yang menghendaki agar budinya diingat dan dibalas orang lain pula!”
’’Apa salahnya dengan itu? Saling membalas budi adalah perbuatan orang sopan dan baik!”
’’Kalau sudah dijadikan keharusan balas-membalas, berarti bayar-membayar dan perbuatan itu tidak patut disebut budi lagi, melainkan semacam hutang-pihutang! Dengan mengingat dan membalas budi orang lain berarti merendahkan orang itu, merendahkan pula nilai perbuatannya yang hanya disamakan dengan hutang! Renungkan baik-baik, Sumoi. Bukankah begitu?”
Siauw Bwee tercengang, kemudian menarik napas panjang dan mengangguk perlahan. “Wahh, kebenaran pendapatmu tak dapat dibantah memang, Suheng. Akan tetapi sungguh janggal, sungguh aneh dan menyimpang dari pendapat umum.”
’’Bukan pendapatku, Sumoi. Setiap pendapat dari siapa pun juga datangnya, tidak dapat dibenarkan, karena pendapat hanya memancing pertentangan. Kalau yang kau dengar tadi kau sebut sebagai pendapaku dan kau anggap benar, tentu akan muncul orang lain yang menganggapnya tidak benar, maka terjadilah pertentangan. Aku hanya mengajak engkau bersamaku mempelajari hal itu dan bersama mencari tahu apa artinya membalas dendam. Sudah jelas sekarang bahwa budi dan dendam hanyalah pencetusan dari sayang diri yang menciptakan karma, menciptakan sebab dan akibat. Kalau kita tersesat, takkan pernah kita dapat membebaskan diri dan hidup ini menjadi sia-sia, menjadi permainan sebab akibat. Karena Si Akibat sendiri pun berekor dan menjadi sebab dari akibat yang lain lagi. Sedangkan Si Sebab pun menjadi akibat dari sebab yang terdahulu. Bukankah seyogianya kalau kita membebaskan diri dari ikatan mata rantai yang tiada kunjung putus itu?”
“Akan tetapi, Suheng! Manusia jahat macam Suma Kiat telah mengakibatkan kematian ayahku, kehancuran keluarga Ayah. Mana mungkin aku tinggal diam saja tidak membalas dendam yang hebat ini?”
”Membalas dendam dengan cara bagaimana, Sumoi?”
”Tentu saja dengan membunuh manusia laknat itu!”
”Hemmm, Sumoi. Engkau bilang bahwa Suma Kiat jahat karena menyebabkan kematian ayahmu, dan engkau hendak membalas dengan membunuhnya! Kalau dia membunuh ayahmu kemudian engkau membunuhnya, lalu siapakah di antara kalian berdua yang baik dan jahat? Mana mungkin melenyapkan kejahatan dengan kejahatan pula? Mana bisa merubah kekerasan dengan kekerasan pula? Engkau bilang bahwa putera orang yang kau anggap musuh besarmu itu, adalah seorang yang baik dan bersikap baik kepadamu. Kalau engkau membunuh ayahnya, biar pun engkau menganggapnya sebagai akibat perbuatan Suma Kiat, bukankah perbuatanmu itu berubah menjadi sebab dendam baru, yaitu dendam di hati puteranya, Suma Hoat yang akan membalas kematian ayahnya?”
”Aku tidak takut!”
”Bukan soal takut atau tidak takut yang kita selidiki, Sumoi. Melainkan soal tepat tidaknya terseret ke dalam mata rantai dendam-mendendam.”
Siauw Bwee menundukkan mukanya. Tak dapat ia membantah kebenaran baru dan aneh yang dikemukakan suheng-nya ini. Kematian ayahnya, kehancuran rumah tangga ayahnya memang akibat perbuatan Suma Kiat. Akan tetapi Suma Kiat tidak akan semata-mata melakukan hal itu tanpa sebab-sebab tertentu! Dia telah mendengar betapa Suma Kiat amat membenci keluarga Suling Emas, amat membenci Menteri Kam Liong putera Suling Emas. Dan karena ayahnya, Khu Tek San adalah murid Menteri Kam Liong, tentu saja terlibat dalam urusan dendam-mendendam itu dan menjadi korban dalam membela gurunya.
”Aku tidak dapat menyangkal kebenaran ucapanmu, Suheng. Aku menurut saja apa yang akan kau lakukan asal saja engkau...”
Melihat keraguan sumoi-nya, Han Ki bertanya, “Asal saja aku mengapa, Sumoi?”
”Asal engkau tidak melupakan... cinta kasih di antara kita...”
Han Ki tersenyum, akan tetapi hatinya perih. Dia mencinta Siauw Bwee, bukan hanya cinta seorang suheng terhadap sumoi-nya, melainkan terutama sekali cinta seorang pria terhadap seorang wanita dan tidak ada cita-cita yang lebih nikmat dan akan membahagiakan hatinya dari pada hidup sebagai suami isteri untuk selamanya dengan sumoi-nya ini. Akan tetapi, di sana masih ada Maya! Sebelum urusan dengan Maya dapat diatasi, bagaimana mungkin cita-cita itu dapat terlaksana tanpa gangguan?
”Mana mungkin manusia melupakan cintanya, Sumoi? Yang dapat dilupakan adalah cinta palsu, cinta birahi belaka yang sama sekali tidak ada harganya untuk dibicarakan. Nah, kau tinggallah di istana Pulau Es lebih dahulu, Sumoi. Aku akan kembali ke darat dan mengajak pulang Maya-sumoi.” Mereka telah tiba di tepi Pulau Es.
Siauw Bwee meloncat ke darat, memandang suheng-nya yang masih tinggal di dalam perahu, berkata penuh keraguan, “Bagaimana kalau dia tidak mau, Suheng? Dia mau atau tidak, engkau... tentu akan kembali secepatnya ke sini, bukan?”
”Dia tentu dan harus mau!” jawab Han Ki sambil mendayung perahunya dengan cepat ke tengah laut menuju ke barat, diikuti pandang mata Siauw Bwee yang penuh dengan keraguan dan kegelisahan.
Dia maklum akan perasaan hati suheng-nya. Dia tahu bahwa suheng-nya mencintanya, akan tetapi tahu pula bahwa suheng-nya tidak mungkin dapat berbahagia, tidak dapat hidup tenteram sebelum membereskan urusan Maya! Dia bertambah gelisah karena Siauw Bwee juga maklum bahwa suci-nya itu pun mencinta Han Ki. Betapa pun juga, dia telah menang dalam perebutan cinta kasih itu! Suheng-nya mencintanya! Pikiran ini melegakan hati Siauw Bwee dan dia membalikkan tubuh perlahan-lahan berjalan ke tengah pulau, menuju ke Istana Pulau Es yang telah bertahun-tahun ditinggalkannya itu.....
********************
Selanjutnya baca
ISTANA PULAU ES : JILID-19