Istana Pulau Es Jilid 11
Tiba-tiba terdengar suara melengking seperti suling dengan lagu yang amat aneh, makin lama makin keras. Tak lama kemudian terdengar jerit ketakutan disusul robohnya beberapa orang anggota perampok.
“Ular...! Ular...!”
Dua orang kepala rampok itu membelalakkan mata dan terkejut bukan main ketika melihat puluhan ekor ular berbisa telah berada di situ dan dengan ganas menyerang anak buah mereka! Ketika mereka memandang, tak jauh dari situ berdiri seorang pemuda tampan yang dengan tenangnya meniup sebatang suling yang bentuknya aneh. Mengertilah mereka bahwa laki-laki muda itulah yang menggerakkan ular-ular itu dengan suara sulingnya. Sambil berseru marah keduanya meloncat ke arah laki-laki itu dengan cambuk dan golok di tangan.
“Tar! Tar!” Dua batang cambuk menghantam kepala laki-laki itu, namun dengan tenang laki-laki itu mengulur tangan kiri, menangkap kedua ujung cambuk dan sekali renpgut kedua batang cambuk itu putus tengahnya!
Dua orang kepala rampok makin marah. Golok mereka membacok, namun pemuda itu hanya menggeser kaki dan dua batang golok itu luput, lalu tiba-tiba tampak sinar berkelebat dua kali dan robohlah dua orang kepala rampok dengan dada terbuka mengucurkan darah. Pemuda itu melakukan semua itu dengan tangan kiri, sedangkan tangan kanan tetap memegang suling yang ditiup. Kini dengan tenangnya ia menyimpan kembali pedang yang tadi ia pergunakan membunuh dua orang kepala rampok itu.
Pemuda yang bukan lain adalah Suma Hoat itu, menghentikan ‘lagu’ sulingnya dan meniup suling dengan suara meninggi dan pendek-pendek. Ular-ular itu merayap pergi seolah-olah diusir oleh bunyi pendek-pendek ini dan sebentar saja tidak tampak seekor pun ular di situ.
Ada pun Liang Bi dan Cui Leng cepat-cepat menjauhkan diri ke tempat yang bersih, duduk bersila dan mengerahkan sinkang untuk melawan racun yang menjalar ke tubuh mereka melalui luka di tubuh yang terkena senjata rahasia.
“Syukur bahwa Ji-wi selamat. Memang perampok-perampok di sini amat berbahaya,” terdengar Suma Hoat berkata.
Liang Bi dan Cui Leng membuka mata, yang pertama memandang dengan alis berkerut, yang kedua dengan mata berseri.
“Kalau tidak cepat engkau datang bersama barisan ularmu yang hebat, tentu kami telah tewas, sobat baik!” kata Cui Leng tersenyum lalu menggigit bibir menahan rasa sakit.
Liang Bi makin tak senang, akan tetapi ia pun cepat berkata, “Terima kasih atas pertolongan Kongcu.”
Suma Hoat tentu saja melihat perbedaan sambutan ini dan ia tersenyum, senyum yang khas dipelajarinya untuk menundukkan hati wanita-wanita muda. Ia melihat sinar kagum dan gembira di mata Cui Leng, akan tetapi Liang Bi tetap memandang dingin.
“Perampok-perampok ini mempunyai sarang di dalam hutan, tak jauh dari sini. Marilah Ji-wi beristirahat di sana.”
Cui Leng sudah hendak menjawab, akan tetapi Liang Bi mendahuluinya, “Terima kasih, tidak usahlah. Kami akan beristirahat di sini dan menyembuhkan luka...”
“Aihhh...! Ji-wi terluka? Aduh celaka...” Itu adalah Ang-tok-ciam (Jarum Racun Merah)! Berbahaya sekali!” tiba-tiba Suma Hoat berseru.
Liang Bi menjawab dingin, “Tidak mengapa, Kongcu. Kami sanggup mengobatinya dengan sinkang...”
“Wah, mana bisa? Sedikit-sedikit aku mengerti tentang pengobatan! Racun Ang-tok-ciam amat lihai. Biar pun dapat dilawan dengan sinkang dan tidak sampai merampas nyawa, namun akibatnya akan membuat muka menjadi bopeng dengan totol merah yang tidak dapat diobati lagi. Coba Ji-wi rasakan, benar tidak. Bukankah di tempat yang terkena luka itu terasa gatal-gatal dan di sekitar kelilingnya kaku dan rasa panas menjalar naik perlahan dari situ dan pertama-tama rasa panas itu menjalar naik? Bagi orang yang tidak mempunyai sinkang, tentu akan tewas dalam waktu dua belas jam. Ji-wi yang memiliki sinkang tinggi akan dapat menyelamatkan nyawa, akan tetapi hawa panas yang naik ke atas itu akan keluar dari lubang-lubang kulit muka dan menimbulkan totol-totol merah! Marilah ikut bersamaku ke sarang perampok, dan aku akan mengobati Ji-wi.”
“Suci...,” Cui Leng memandang suci-nya dengan wajah membayangkan kengerian mendengar betapa racun jarum beronce merah itu akan membuat wajahnya yang cantik menjadi bopeng dengan totol-totol merah!
Akan tetapi, dengan sikap dingin Liang Bi menggeleng kepala dan berkata kepada Suma Hoat, “Terima kasih atas kebaikanmu, Kongcu. Akan tetapi kami akan beristirahat di sini saja dan mengobati sendiri luka-luka kami.”
Suma Hoat menarik napas panjang, menggerakkan kedua pundak dan berkata, “Agaknya Ji-wi Lihiap merasa curiga kepadaku dan menerima salah maksud baikku. Maafkan kalau aku telah berlaku lancang dengan melakukan pembayaran dan membelikan kuda yang tidak ada artinya dan yang kumaksudkan hanya untuk bersahabat itu. Tentu saja aku tidak dapat memaksa, akan tetapi... aku akan menanti di dalam hutan, di bekas rumah perampok kalau-kalau Ji-wi Lihiap berubah pikiran dan suka kuobati agar racun itu tidak mengakibatkan cacat pada muka Ji-wi. Selamat berpisah.” Ia lalu membalikkan tubuh dan meninggalkan kedua orang gadis itu. Sebentar saja ia sudah lenyap karena cuaca mulai gelap, bayangannya menyelinap ke dalam hutan tak jauh di depan.
“Suci, engkau sungguh keterlaluan! Orang berniat baik akan tetapi engkau selalu menolak. Bagaimana kalau muka kita menjadi bopeng?” Cui Leng segera menegur kakak seperguruannya setelah bayangan pemuda itu lenyap.
Liang Bi menoleh ke arah adiknya. “Cui Leng-sumoi, apa artinya muka bopeng bagi seorang gagah? Kalau hanya bopeng mukanya, tidak mengapa, asal jangan bopeng dan cacat hatinya. Aku masih tidak percaya kepada orang itu. Sinar matanya mengandung kepalsuan.”
“Suci, aku...!”
“Cukup, Sumoi! Mengapa sejak bertemu dengan laki-laki itu engkau selalu membantah kata-kataku? Kita mesti cepat bersemedhi menghimpun hawa murni dan menggunakan sinkang untuk melawan racun!” Setelah berkata demikian, Liang Bi sudah melanjutkan semedhinya dan memejamkan kedua mata, sebentar saja dia sudah tenggelam ke alam semedhi, napasnya panjang-panjang teratur seperti napas orang tidur nyenyak.
Cui Leng berusaha untuk meniru suci-nya, namun ia selalu gelisah dan tak dapat tenang. Sukar baginya untuk mengumpulkan panca indera memusatkan kemauan dan segala perasaan untuk menghimpun hawa murni. Bayangan wajah tampan Suma Hoat selalu tampak, terutama sekali ucapannya tentang cacat bopeng yang mengancam mukanya dan penawaran pemuda itu untuk mengobatinya sehingga dia akan terbebas dari ancaman mengerikan itu selalu terngiang di telinganya.
Sejam kemudian, setelah merasa yakin bahwa suci-nya telah ‘pulas’ dalam semedhi, Cui Leng tak dapat menahan diri dari ancaman bahaya bopeng, maka diam-diam ia meninggalkan suci-nya memasuki hutan dengan maksud menjelang pagi, sebelum suci-nya sadar kembali dari semedhi, dia akan kembali ke situ sehingga kepergiannya tidak diketahui suci-nya.
Mudah saja bagi Cui Leng untuk mendapatkan rumah bekas tempat tinggal kepala rampok itu karena rumah itu cukup megah di tengah hutan dan tampak cahaya penerangan dari rumah itu! Dengan jantung berdebar dia meloncat ke depan pintu yang segera terbuka dan muncullah pemuda itu sambil tersenyum amat tampannya.
“Ah, selamat malam, Nona. Syukur bahwa Lihiap suka datang...”
Berhadapan dengan pemuda itu, tiba-tiba Cui Leng merasa kikuk dan malu-malu. “Aku... aku hendak minta obat... aku tidak mau menjadi bopeng...”
“Tentu saja! Sayang, sekali kalau Lihiap sampai menjadi bopeng. Eh, mana suci-mu, mengapa tidak datang?”
“Dia... dia tidak mau, dia... sedang siu-lian, kutinggalkan di sana. Harap kau suka menolongku dan aku akan berterima kasih sekali, kemudian aku akan segera kembali agar dia tidak tahu bahwa aku melanggar perintahnya. Dia galak sekali.”
“Masuklah Lihiap. Aku akan mengobatimu, jangan kahwatir. Rumah ini kosong, beberapa orang sisa perampok telah kuusir pergi.”
Cui Leng memasuki rumah itu yang ternyata cukup bersih dengan perabot rumah lengkap. Dia dipersilakan duduk di atas bangku dan Suma Hoat berkata, “Lihiap, orang yang terkena jarum Ang-tok-ciam harus cepat diberi obat dan jarum itu dicabut ke luar, kemudian lukanya harus disedot agar racun yang mengeram di bawah kulit dapat dibersihkan. Engkau terluka di manakah?”
Wajah Cui Leng mendadak menjadi merah sekali. “Di... sedot...? Akan tetapi aku... aku terluka di sini...” dia menuding ke arah dada kanan, sedikit di bawah pundak, kemudian menyambung cepat, “Biarlah kucabut dan kusedot sendiri lukanya, baru kau obati.”
Suma Hoat memandang ke arah dada itu dan tersenyum. “Lihiap, mana mungkin engkau menyedot luka di tempat itu? Mulutmu tidak akan dapat mencapainya dan... ah, sungguh aku orang yang tidak beruntung, selalu dicurigai. Agaknya Lihiap juga masih tidak percaya kepadaku. Dalam keadaan seperti ini, perlukah menggunakan rasa sungkan-sungkan lagi? Ingat bahwa aku hanya mengobati, tidak mempunyai niat buruk yang lain. Terserah kepada Lihiap, kalau tidak mau, aku pun tentu saja tidak berani memaksa.”
Pemuda itu membalikkan tubuh, membelakangi Cui Leng dan menambah kayu di tempat perapian sehingga tempat itu menjadi makin terang dan hawanya menjadi hangat. Memang dia sengaja memberi kesempatan kepada Cui Leng untuk mengambil keputusan.
Ia mendengar gadis itu menghela napas panjang berulang-ulang, kemudian terdengar suaranya lirih agak gemetar, “Baiklah... Kongcu... biar engkau yang menyedot dan mengobatinya. Apa boleh buat, aku tidak sudi menjadi bopeng.”
Suma Hoat tersenyum, senyum penuh kemenangan, akan tetapi ketika ia membalikkan muka menghadapi Cui Leng, wajahnya tampak tenang dan biasa saja, bahkan dia berkata, ”Engkau tidak usah khawatir, Lihiap. Dengan kepandaianmu yang tinggi, aku bisa berbuat apakah terhadapmu? Aku hanya seorang pelajar yang mengerti sedikit ilmu pengobatan dan yang mengandung maksud baik.”
Ia lalu menghampiri buntalan pakaiannya, mengambil seguci arak dan cawannya. Sambil menuangkan arak dia berkata dengan sembarangan, “Harap kau suka membuka bagian yang terluka. Setelah minum obat penawar racun ini, baru akan kucabut jarum dan kusedot darahnya yang terkena racun.”
Ia menanti sampai Cui Leng dengan jari-jari gemetar membuka bajunya, melepaskan kancing tiga buah dari bagian atas, kemudian menguak baju dalamnya yang juga berwarna merah sehingga tampaklah dada bagian atasnya yang berkulit putih kemerahan dan di bawah pundak kanan itu tampak ujung gagang jarum yang beronce merah, terhujam dalam-dalam di kulit dan daging.
“Aku sudah siap, Kongcu,” kata gadis itu perlahan.
“Baik, sekarang minumlah dulu obat ini.” Suma Hoat menyerahkan cawan yang penuh arak obat kepada gadis itu yang segera menerima dan menenggaknya.
Gadis itu terbatuk. “Ughh-ughh...! Aihhh, obat ini rasanya harum dan manis akan tetapi keras sekali seperti arak yang sudah amat tua!” serunya sambil memandang arak dalam cawan yang berwarna merah.
“Memang obat itu dicampur dengan arak. Akan tetapi bukanlah obat sembarangan, Lihiap. Sudah disimpan puluhan tahun lamanya, namun khasiatnya amat hebat. Jangan ragu-ragu minumlah!”
Cui Leng duduk di atas bangku pendek dan Suma, Hoat berlutut. Pemuda ini menggunakan kuku jari tangan yang agak panjang terpelihara seperti kuku sastrawan, menjepit ujung gagang jarum di antara kedua kukunya dan dengan gerakan tiba-tiba ia mencabut jarum itu.
“Aihhh!” Cui Leng merintih karena luka itu terasa perih dan nyeri.
“Sakit sedikit, Lihiap. Sekarang aku akan menyedot lukanya. Engkau tidak keberatan bukan?” Sambil bertanya demikian Suma Hoat mengangkat muka dan memandang.
Cui Leng menunduk sehingga mereka berpandangan dengan muka terpisah tidak jauh. Wajah itu demikian tampan, sepasang mata itu demikian bagus dan bibir itu tersenyum amat ramah sehingga Cui Leng menjadi percaya sepenuhnya. Lenyaplah semua kecurigaan dan keraguan, dan jantungnya berdebar. Dia merasa sesuatu yang amat aneh yang membuat jantungnya berdebar keras. Mengapa wajah pemuda ini sekarang luar biasa tampannya? Mengapa dia merasa amat senang berdekatan dengannya?
Ia tersenyum malu-malu dan mengangguk, “Lakukanlah...”
Seluruh bulu dan rambut di tubuh Cui Leng seperti berdiri ketika ia merasa betapa bibir yang basah hangat itu menempel di kulit dada bagian atas. Jantungnya berdebar makin keras ketika bibir itu menyedot luka di dadanya. Ia merasakan sesuatu yang sebelumnya tidak pernah dialaminya, perasaan yang sukar dilukiskan dengan kata-kata, campur baur penuh rasa senang, gembira, malu, nikmat dan membuat ia ingin menjatuhkan kepalanya di atas pundak pemuda itu.
Tubuhnya seperti tak bertulang lagi, lemas dan lenyap seluruh kemauan, adanya hanya rasa cinta kasih yang menggelora terhadap pemuda itu. Suma Hoat meludahkan darah yang disedotnya, kemudian menyedot lagi, meludah lagi. Setelah ia menyedot tiga kali, Cui Leng tak dapat menahan lagi amukan perasaan yang menggelora di hatinya. Tubuhnya gemetar dan kedua matanya setengah terpejam, mulutnya agak terbuka, terengah memberi jalan ke luar pada hawa yang mendesak dan menyesakkan dadanya yang bergelombang.
Melihat tanda ini, diam-diam Suma Hoat tersenyum. ‘Arak obat’ yang diberikannya tadi sudah bekerja baik. Sebagai seorang yang sudah berpengalaman matang, dia maklum bahwa arak yang sebetulnya adalah obat perangsang itu mempunyai daya melumpuhkan semua pertahanan susila di hati wanita dan tentu saja seperti obat-obat perangsang lain, hanya akan manjur terhadap wanita yang memang sudah mengandung hati tertarik kepadanya. Maka kini perlahan-lahan bibirnya bergeser, bukan lagi luka itu yang dikecupnya, melainkan naik ke leher.
Cui Leng merasakan hal ini, dan ia terkejut sekali, namun apa daya, semua kemauannya telah lenyap, bahkan dia merasa dirinya seperti terapung di angkasa, demikian menyenangkan. Dia hanya dapat mengeluh panjang, napasnya makin terengah dan kini kedua matanya bahkan dipejamkan sama sekali. Tak lama kemudian, ketika pemuda itu merangkul dan menciumi pipi dan bibirnya, dia merintih dan kedua lengannya merangkul leher pemuda itu tanpa disadarinya. Cui Leng telah lupa dan mabok. Perasaannya terhadap pemuda itu hanya bahwa pemuda itu amat baik, amat tampan, amat gagah perkasa dan sepatutnya menjadi jodohnya!
Seperti dalam mimpi ia menyerah, menurut dan memenuhi apa saja yang dikehendaki pemuda itu. Satu-satunya percakapan di antara mereka adalah pertanyaan Si Pemuda.
“Kekasihku, siapakah namamu?”
Pertanyaan yang aneh. Belum juga mengenal nama, sudah menyerahkan segalanya! Namun pada saat itu, Cui Leng yang sudah mabok dan lupa daratan itu tidak merasai keanehan ini dan menjawab lirih, “Namaku Kim Cui Leng... dan kau, Koko...?”
“Panggil saja aku Hoat.”
“Hoat-ko... aku cinta padamu...”
Dengan ucapan ini, Cui Leng kehilangan segala-galanya. Ia telah serahkan jiwa raganya kepada seorang pria yang sama sekali tidak diketahui riwayat dan keadaannya! Bahkan namanya pun hanya diketahui dengan sebuah huruf ‘Hoat’ saja! Dia seorang gadis yang tidak mempunyai pengalaman sama sekali, masih hijau, dan yang mempermainkannya adalah seorang ‘Jai-hwa-sian’ yang pandai merayu, tentu saja Cui Leng benar-benar jatuh!
Barulah pada keesokan harinya, ketika sadar dari tidurnya yang nyenyak berbantal lengan dan dada Suma Hoat, Cui Leng menjerit, teringat akan segala yang terjadi dan ia menangis tersedu-sedu.
Suma Hoat memeluknya. “Ah, Leng-moi, kekasihku, dewi pujaan hatiku. Kenapa menangis? Apakah engkau menyesal mempunyai kekasih seperti aku?”
“Tidak...! Tidak...! Aku cinta padamu, Koko, akan tetapi...”
Suma Hoat menciuminya. “Mengapa menangis?”
“Aku takut! Kalau Suci tahu, celakalah aku. Aku tentu akan dibunuhnya! Ini merupakan pelanggaran kami!”
Suma Hoat tertawa, “Ha-ha-ha! Mengapa takut kepadanya? Jangankan baru dia, biar seluruh tokoh Siauw-lim-pai datang, jangan takut. Ada aku di sini, Leng-moi. Percayalah, aku tidaklah selemah yang kau kira. Lihat ini!” Suma Hoat menggerakkan tangan kiri dengan jari terbuka ke arah lantai.
“Plak! Plak!” terdengar suara dan Cui Leng memandang lantai dengan mata terbelalak, melihat betapa telapak tangan pemuda itu membuat bekas yang amat dalam dan begitu jelas sehingga tampak garis telapak tangannya.
“Eh... itu... Tiat-ciang-kang (Telapak Tangan Besi)!” serunya kagum.
“Dan lihat ini!” Kembali tangannya didorongkan ke depan, ke arah guci arak di atas meja dan...
“Wuuuuttt!” guci arak itu terbang melayang ke arah tangannya, disambut dan pemuda itu menenggak araknya!
“Wah, Koko...! Sinkang-mu hebat bukan main!”
“Nah, masih takutkah engkau? Biar suci-mu datang, dia tidak dapat mengganggumu, apa lagi membunuhmu.”
“Akan tetapi, namaku akan ternoda, Koko, bagaimana baiknya...?” Wajah gadis itu menjadi pucat.
“Karena ketahuan suci-mu? Ha-ha, Leng-moi, kekasihku. Jalan satu-satunya hanyalah mengusahakan agar suci-mu mau bermain cinta denganku, mau melayaniku. dengan demikian, engkau mempunyai teman dan dapat saling menyimpan rahasia!”
“Kau...!” Tangan Cui Leng menyambar hendak menampar muka Suma Hoat, akan tetapi pemuda itu menangkap tangan itu sambil tertawa-tawa dan betapa pun Cui Leng meronta sambil mengerahkan tenaga, tetap saja dia tidak mampu melepaskan tangannya.
“Leng-moi, jangan begitu. Ingatkah kita melakukan permainan cinta atas dasar suka sama suka, bukan? Tidak ada yang memaksa! Aku adalah seorang laki-laki yang takkan menolak cinta kasih wanita mana pun. Aku mengusulkan agar suci-mu suka bermain cinta denganku semata-mata untuk menolongmu, yaitu agar rahasiamu tetap aman tersimpan. Bagaimana?”
Cui Leng terisak. “Kau... kau... mata keranjang!”
“Ha-ha-ha!” Suma Hoat tertawa. “Laki-laki mana di dunia ini yang tidak mata keranjang? Asal diberi kesempatan tidak akan ada laki-laki yang menolak kasih sayang wanita cantik! Dan suci-mu juga cantik jelita, sungguh pun tidak sepanas engkau. Bagaimana?”
Cui Leng memang merasa menyesal dan khawatir. Kalau sampai diketahui suci-nya bahwa dia telah menyerahkan kehormatannya kepada pria itu, tentu dia akan celaka dan selama hidupnya takkan merasa aman. Akan tetapi, kalau suci-nya juga ‘terjun’ dan ikut basah, sama-sama basah seperti dia, tentu saja mereka berdua akan dapat saling menjaga rahasia masing-masing.
“Jadi kau... kau tidak akan memperisteri aku?”
“Moi-moi? Jangan bodoh! Hubungan kita bukanlah hubungan suami isteri, kita melakukannya karena suka sama suka, bukan? Kita sama-santa menikmatinya, bukan? Tadinya pun aku tidak pernah berjanji untuk mengambilmu sebagai isteri.”
“Mengapa?” dalam suara Cui Leng terkandung putus harapan.
“Mengapa? Karena aku sudah bersumpah selamanya tidak akan beristeri! Itulah! Sekarang bagaimana, maukah engkau membiarkan aku membujuk suci-mu agar keadaannya sama denganmu ataukah harus kutinggalkan engkau begini saja?”
“Tidak, jangan tinggalkan aku. Baiklah, lakukan apa yang kau kehendaki kepada suci kalau... kalau... itu merupakan satu-satunya jalan...”
Melihat betapa wajah yang cantik dan biasanya berseri itu kini berkerut tanda susah, Suma Hoat tertawa, merangkul dan memondong Cui Leng. “Leng-moi, hidup satu kali mengapa berduka dan berkhawatir? Tidak pantas wajahmu yang cantik berduka. Mari kita bergembira!”
Dia membawa Cui Leng lari ke luar rumah itu menuju ke sebuah sungai. Tak lama kemudian, kedua orang itu sudah tertawa-tawa, mandi bertelanjang bulat di dalam sungai itu, saling menyirami air, berkejaran penuh kegembiraan, saling mencurahkan cinta kasih secara bebas seperti sepasang angsa. Cui Leng kembali menjadi gembira, lupa sama sekali akan kekhawatirannya tadi, terbuai mabok dalam rayuan Suma Hoat yang amat pandai menguasai hati dan tubuhnya.
“Sumoi...!”
Bentakan Liang Bi mengejutkan Cui Leng dan ia menengok dengan wajah pucat ke arah suci-nya yang sudah berdiri di tepi sungai, sedangkan Suma Hoat malah tersenyum-senyum. Kekagetan Cui Leng tidak ada artinya kalau dibandingkan dengan rasa kaget yang memukul hati Liang Bi ketika ia mencari sumoi-nya dan mendapatkan sumoi-nya sedang mandi bersama pemuda penolong mereka dalam keadaan telanjang bulat seperti itu.
“Ha-ha, kebetulan sekali engkau datang Lihiap. Marilah ikut bersama kami, di sini segar dan nyaman. Tanggalkan pakaianmu!” kata Suma Hoat.
Saking bingung dan takutnya melihat suci-nya penuh kemarahan, Cui Leng berkata di luar kesadarannya, “Benar suci! Mari kita mandi bersama Hoat-koko...!”
“Sumoi, engkau murid yang murtad! Tidak malu melakukan perbuatan terkutuk!” dengan kemarahan meluap Liang Bi mencabut pedangnya. “Manusia-manusia macam kalian harus kubunuh!”
“Suci...!”
“Tenanglah, Leng-moi, biar aku yang menundukkannya!” Setelah berkata demikian, sekali melompat tubuh Suma Hoat yang telanjang bulat melayang ke darat, ke depan Liang Bi.
Selama hidupnya yang dua puluh tahun lamanya, dalam mimpi pun belum pernah Liang Bi melihat seorang laki-laki dewasa telanjang. Kini ada seorang laki-laki dewasa bertelanjang bulat berdiri di depannya, tentu saja hal ini merupakan pengalaman yang amat hebat, yang membuat seluruh tubuhnya menggigil dan ia hampir pingsan saking malunya. Akan tetapi kemarahannya mengatasi segala perasaan lain. Dengan teriakan ganas ia menerjang dengan pedangnya, membacok laki-laki itu penuh kebencian.
Akan tetapi, selain tingkat ilmu kepandaian Suma Hoat sudah amat tinggi, juga menghadapi seorang pria yang telanjang bulat itu membuat Liang Bi merasa ngeri sehingga gerakannya terganggu dan dengan mudah Suma Hoat menghindarkan diri dari serangan pedang yang bertubi-tubi.
“Ah, Nona yang manis, mengapa engkau hendak membunuhku yang tidak berdosa? Sumoi-mu dan aku sama-sama menikmati cinta kasih dan marilah, engkau ikut pula menikmatinya. Tegakah engkau membunuh aku yang tidak berdosa?” Suma Hoat membujuk sambil mengelak dengan mempergunakan ginkang-nya yang tinggi.
“Manusia hina! Terkutuk! Mampuslah!”
Liang Bi menerjang lagi dengan mata setengah terpejam karena dia tidak tahan menyaksikan tubuh yang telanjang bulat begitu dekat dengannya itu.
Kembali Suma Hoat mengelak. “Aihh, betapa tega hatimu, Nona. Akan tetapi aku tidak tega untuk mencelakaimu. Aku cinta padamu, manis!”
Ucapan merayu ini seperti minyak disiramkan pada api, membuat kemarahan Liang Bi makin berkobar. Kalau pria ini mencinta sumoi-nya, bagaimana sekarang di depan sumoi-nya berani mengeluarkan kata-kata mencintanya?
“Keparat biadab!” Liang Bi memaki makin marah, pedangnya diputar cepat sekali menjadi segulung sinar menyilaukan yang menyambar-nyambar.
“Aduh, cantik dan gagah sekali engkau!” Suma Hoat kembali memuji dan cepat ia mengelak.
Tiba-tiba Liang Bi menendang dan paha kiri Suma Hoat yang mengelak masih diserempet ujung sepatu. Suma Hoat terguling!
“Mampuslah engkau!” Liang Bi menubruk dan menusuk, Suma Hoat menggulingkan tubuhnya mengelak dari tusukan yang bertubi-tubi.
“Suci...!” Cui Leng yang sudah naik ke darat dan mengenakan pakaian menjerit namun Liang Bi tidak peduli, terus mengejar dan menusuk ke arah tubuh yang bergulingan itu. Makin panas hatinya karena tusukannya tidak pernah mengenai orang yang dibencinya.
Tiba-tiba Suma Hoat tertawa dan ketika kembali Liang Bi menusuk, ia berguling dan tiba-tiba, pada saat ujung pedang Liang Bi menyentuh tanah, tubuh Suma Hoat mencelat ke atas dan tahu-tahu ia telah memeluk tubuh Liang Bi, meringkus tubuh itu dengan melingkarkan kedua lengan menelikung lengan gadis itu. Liang Bi menjerit ngeri ketika merasa betapa tubuh yang telanjang bulat itu memeluknya begitu erat. Ia menggigil dan merasa seluruh tubuh lemas maka ia pun roboh terguling bersama Suma Hoat. Mereka roboh di atas tanah berumput, pedang terlepas dari tangan Liang Bi dan gadis ini hampir pingsan ketika merasa betapa lehernya, pipinya dan bibirnya dicium oleh pemuda yang telanjang bulat itu!
“Aku cinta padamu, Nona. Aihh, betapa cantik manis engkau...!” Suma Hoat berbisik-bisik.
“Bunuh aku...! Bunuh saja aku...!” Liang Bi merintih dan akhirnya ia tak ingat diri, pingsan oleh rasa jijik dan ngeri ketika merasa betapa tangan pemuda itu menggerayangi tubuhnya.
Kalau saja Suma Hoat tidak ingat bahwa Liang Bi adalah murid Siauw-lim-pai, dan terutama sekali tidak ingat untuk menjaga nama Cui Leng, tentu dia akan memperkosa atau membunuh Liang Bi di saat dan di tempat itu juga. Akan tetapi dia tidak ingin menyusahkan Cui Leng yang sudah bersikap baik kepadanya!
Kalau dia memperkosa Liang Bi, gadis yang keras hati ini akhirnya tentu akan membunuh diri dan nama baik Cui Leng akan ternoda. Dia harus mencari akal untuk menguasai hati dan tubuh Liang Bi tanpa paksaan sehingga gadis itu akan berada dalam keadaan yang sama dengan sumoi-nya, sehingga mereka akan dapat saling menjaga rahasia masing-masing. Kalau sudah demikian, dia akan dapat meninggalkan mereka berdua sebagai seorang sahabat dan bekas kekasih! Dan dia tidak perlu bermusuhan dengan pihak Siauw-lim-pai yang sama sekali tidak boleh dipandang ringan!
Melihat Liang Bi pingsan, Suma Hoat melepaskannya, mengenakan pakaiannya dan berkata kepada Cui Leng yang tadi menonton dengan penuh kekhawatiran. “Suci-mu keras hati, akan tetapi aku harus menundukkannya, demi menjaga nama baikmu. Aku akan membuat dia suka melayaniku, akan tetapi engkau harus membantuku. Semua ini kita lakukan demi kebaikanmu.”
Cui Leng tak dapat berkata lain kecuali menarik napas panjang dan mengangguk. Diam-diam ia menyesali perbuatannya, akan tetapi betapa pun juga harus dia akui bahwa belum pernah selama hidupnya ia merasakan kebahagiaan dan kesenangan seperti sekarang, dan pula dia pun mengerti bahwa kalau suci-nya sudah terjun pula seperti yang telah dia lakukan, rahasianya tentu akan tertutup dan ia aman.
Ketika siuman dari pingsannya, Liang Bi mendapatkan dirinya berada di dalam sebuah rumah yang cukup bersih dan megah, terikat pada dipan kayu, terbelenggu kaki tangannya. Suma Hoat yang berpakaian rapi, bersisir dan kelihatan tampan sekali duduk di pinggir pembaringan. Cui Leng tidak tampak dan pemuda itu tersenyum memandangnya ketika ia membuka mata.
“Jahanam...!” Kata-kata yang pertama keluar dari mulut Liang Bi adalah makian, namun hatinya agak lega bahwa ia masih tetap berpakaian dan dirinya belum ternoda.
Suma Hoat tersenyum. “Bi-moi, engkau sungguh cantik sesuai dengan namamu. Aku cinta padamu, Bi-moi,” Suma Hoat merayu dan mengusap dagu yang halus itu.
Liang Bi membuang muka dengan gerakan kasar. “Jangan sentuh aku! Lebih baik kau bunuh saja!” teriaknya dan dua butir air mata meloncat ke luar dari sepasang matanya.
“Aihh, sayang sekali kalau dibunuh. Aku tidak akan membunuhmu, tidak akan mencelakakanmu. Aku cinta padamu. Mengapa engkau berkeras kepala? Aku hanya ingin engkau membalas cintaku! Bukankah sudah cocok sekali kalau seorang gadis jelita seperti engkau dan seorang pemuda tampan seperti aku saling mencinta?”
“Phuih! Manusia terkutuk! Jangan mengira bahwa semua wanita akan semudah itu kau permainkan! Aku lebih baik mati dari pada melakukan perbuatan terkutuk!”
Akan tetapi Suma Hoat tertawa dan dengan gerakan mesra mulailah ia membelai dan menciumi. Liang Bi meronta-ronta, memaki-maki dan menangis. Melihat betapa gadis itu sama sekali tidak tergerak hatinya oleh cumbu rayunya, Suma Hoat menghentikan perbuatannya.
“Hemm, engkau benar keras hati dan keras kepala. Hendak kulihat sampai di mana kekerasanmu!” Pemuda yang kalau berhadapan dengan wanita menjadi keji dan ganas seperti iblis itu lalu mengambil secawan arak, yaitu obat perangsang yang sudah dipersiapkan. “Kau minumlah arak obat ini, manis!”
“Tidak sudi! Engkau telah menipu, menjatuhkan hati Sumoi yang lemah dengan tipuanmu. Jarum itu sama sekali tidak mengandung racun berbahaya. Tanpa pengobatan pun akan lenyap sendiri rasa gatal dan panas, namun engkau membohongi Sumoi. Engkau katakan bahwa racun itu akan membuat muka menjadi bopeng, buktinya aku tidak apa-apa! Aku tidak sudi minum obatmu yang terkutuk!” Liang Bi membuang muka ke samping.
Akan tetapi sambil tertawa Suma Hoat menggunakan tangan kiri memegang dagu, dengan jari-jari tangannya yang kuat ia memaksa mulut Liang Bi terbuka dan ia menuangkan isi cawan ke dalam mulut dara itu. Liang Bi gelagapan terpaksa menelan arak obat itu sampai habis. Ia terbatuk-batuk dan memaki-maki.
“Binatang! Iblis! Aku bersumpah untuk membunuhmu! Engkau telah menghina murid-murid Siauw-lim-pai!” ia meronta-ronta dan memandang penuh kebencian kepada Suma Hoat yang tertawa-tawa.
Suma Hoat hanya duduk dan memandang sambil tersenyum. Tak lama kemudian obat itu mulai bekerja. Liang Bi menjadi gelisah. Seluruh tubuhnya terasa panas dan jantungnya berdegup kencang, pandang matanya kabur, kepalanya pening. Makin lama makin panas rasanya sehingga ia mengira bahwa tubuhnya telah kemasukan racun dan ia akan mati. Akan tetapi ia tidak peduli.
Yang amat mengganggu hatinya adalah perasaan aneh yang mendorong-dorongnya, menimbulkan rangsangan birahi, membuat ia seolah-olah dipaksa dari dalam untuk menyerah, untuk menerima pemuda itu yang kelihatan amat tampan dan menggairahkan. Namun karena pada dasarnya dia tidak sudi melakukan perbuatan yang dianggapnya terkutuk itu, dia dapat melawan perasaan aneh ini dan dia memejamkan mata agar tidak melihat wajah yang tampan dan senyum manis itu.
“Suci, mengapa Suci tidak mau menurut? Hoat-koko orangnya amat baik, Suci. Aku... aku cinta padanya dan kalau Suci menurut, Suci pun akan jatuh cinta padanya!”
Mendengar suara sumoi-nya ini, Liang Bi membuka mata dan menoleh. “Perempuan hina! Perempuan rendah! Orang macam engkau ini seribu kali lebih baik membunuh diri saja, tidak ada harganya untuk hidup!”
Muka Cui Leng menjadi merah, akan tetapi Suma Hoat sudah memeluknya sambil tertawa, “Leng-moi, suci-mu lebih suka mati, lebih suka menderita. Biarlah, kita berdua lebih senang untuk memilih hidup dan bersenang, ha-ha-ha!”
Suma Hoat lalu menarik tangan Cui Leng ke atas pembaringan di mana Liang Bi terbelenggu, kemudian ia mulai membelai Cui Leng. Tanpa malu-malu, di depan mata Liang Bi dia mengajak Cui Leng bermain cinta! Biar pun Cui Leng merasa sungkan dan malu sekali, akan tetapi karena dia maklum bahwa perbuatan ini dilakukan oleh kekasihnya untuk menggerakkan hati suci-nya dan dia amat memerlukan suci-nya ikut terjun dalam permainan yang akan menyelamatkan rahasianya, maka ia pun menurut saja.
Dapat dibayangkan betapa tersiksa rasa hati Liang Bi yang dipaksa menyaksikan adegan yang dianggap terkutuk itu berlangsung di depan matanya! Dia memejamkan mata dan membuang muka, namun telinganya masih mendengar. Ia tersiksa sekali karena rangsangan di dalam tubuhnya makin menghebat, nafsu birahinya menggelora dengan disuguhkannya adegan yang amat dekat itu, dan ia memaksa batinnya sekuat tenaga untuk melawan godaan yang datangnya dari dalam.
Di luar kehendaknya, karena rangsangan yang amat hebat, beberapa kali ia menoleh, membuang mata dan memandang mereka. Kalau sudah tidak kuat, ia mengeluh dan memaksa kedua matanya untuk dipejamkan. Ia merintih-rintih dan berkali-kali bersambat, “Bunuhlah aku... bunuhlah... ahhh, terkutuk kalian... bunuhlah aku...!” Lalu diakhiri dengan tangis terisak-isak dengan air mata bercucuran di atas kedua pipinya.
Suma Hoat melakukan perbuatan tak tahu malu itu dengan niat untuk menggerakkan hati Liang Bi. Ia turun dari pembaringan, menghampiri Liang Bi dan menciumnya, mengusap air matanya. “Bimoi... aku pun mencintamu seperti aku mencinta Leng-moi... kau menurutlah sayang dan kita bertiga hidup bahagia...”
Jari tangannya membelai dan hampir saja Liang Bi tidak kuat menahan, hampir runtuh batinnya. Namun dia menggigit bibir dan menggeleng kepala dengan mata dipejamkan, tak kuasa menjawab. Suma Hoat menjadi jengkel. Belum pernah ia menjumpai seorang gadis yang begini keras pertahanan hatinya. Arak obatnya tidak mempan, juga adegan yang ia pamerkan tidak!
“Hemmm, kau berkeras, ya? Kau lebih senang tersiksa? Baiklah!” Ia lalu menotok tubuh Liang Bi, melepaskan belenggunya dan memondong tubuhnya keluar dari rumah itu.
“Hoat-ko...!” Cui Leng cepat mengejar, khawatir karena menyangka bahwa pemuda itu hendak membunuh suci-nya. “Marilah, Leng-moi. Aku ingin melihat sampai di mana keteguhan dan kekerasan hatinya!”
Pemuda itu membawa tubuh Liang Bi ke belakang rumah dan meletakkannya di atas rumput. Kemudian ia mengeluarkan sulingnya dan meniup suling aneh itu. Cui Leng memandang penuh perhatian dengan mata terbelalak. Terdengarlah bunyi lengking yang aneh, disusul bunyi berkerasakan di antara rumpun alang-alang dan rumput. Tak lama kemudian, muncullah tiga ekor ular hijau yang beracun, merayap mendekati Liang Bi!
“Hoat-ko...!” Cui Leng menjerit.
Akan tetapi Suma Hoat memandang kepadanya sambil menggeleng kepala dan melanjutkan tiupan sulingnya. Mengertilah Cui Leng bahwa kekasihnya hanya hendak menakut-nakuti Liang Bi. Yang menyiksa dan mengkhawatirkan hati Cui Leng adalah bahwa suci-nya itu paling jijik dan takut melihat ular. Kini ada tiga ekor ular merayap mendekatinya, tentu saja suci-nya menjadi takut setengah mati. Mata Liang Bi terbelalak, melirik ke arah ular-ular itu dan wajahnya pucat sekali.
Suma Hoat menghentikan tiupan sulingnya dan dengan sulingnya ia mencegah ular-ular itu datang terlalu dekat. “Bagaimana, Bi-moi? Kalau kau tidak mau menyerah, ular-ular ini akan menggigitmu dan sekali gigit saja tubuhmu akan bengkak-bengkak!”
Liang Bi sudah tertotok, tubuhnya lemas dan lumpuh. Akan tetapi ia masih dapat berkata ketus, “Bunuhlah aku! Aku tidak sudi!”
Suma Hoat makin panasaran, ditiupnya lagi sulingnya dan kini tiga ekor ular itu mendekati tubuh Liang Bi yang menjadi makin ketakutan. Lidah-lidah ular yang merah dan bergerak-gerak keluar masuk itu, taring yang putih mengkilap dan melengkung ke dalam, mata yang merah dan liar, benar-benar membuat ia hampir pingsan saking takutnya. Betapa mudahnya untuk mengucapkan kata-kata menyerah dan ia akan terbebas dari ancaman ular-ular ini!
Dia menikmati cinta kasih seperti yang diiihatnya tadi dinikmati sumoi-nya. Akan tetapi dia mengeraskan hatinya, bertekad lebih baik mati dari pada menyerah dan terperosok ke dalam pecomberan yang berupa perbuatan melanggar susila yang terkutuk dan menjijikkan. Tidak, dia tidak akan menyerah. Bagi seorang gagah, kehormatan seribu kali lebih berharga dari pada nyawa! Seribu kali lebih baik mati sebagai seorang pendekar wanita yang bersih dari pada hidup sebagai seorang perempuan ternoda!
“Bunuhlah! Aku tidak takut mati!” ia berteriak.
Sinar yang buas terpancar keluar dari pandang mata Suma Hoat. Dia mulai marah dan dia lupa akan janjinya kepada Cui Leng, maka kini dia meniup sulingnya dengan nada makin tinggi. Tiga ekor ular itu mendesis-desis, siap menerjang dan menggigit tubuh wanita yang terbujur di atas tanah.
“Crat-crat-crat!”
Sinar putih menyilaukan mata itu lenyap dan di situ telah berdiri dua orang wanita dengan pedang di tangan dan tiga ekor ular tadi telah putus kepalanya, tinggal tubuhnya yang menggeliat-geliat dalam sekarat.
Cui Leng dan Suma Hoat terkejut sekali, akan tetapi dengan tenang Suma Hoat mengangkat kepala memandang. Yang muncul dan membunuh tiga ekor ular dengan pedang itu adalah dua orang wanita yang usianya antara tiga puluh lima sampai empat puluh tahun, keduanya bersikap gagah perkasa dan masih nampak cantik. Melihat persamaan wajah mereka, mudah diduga bahwa mereka ini tentulah kakak beradik. Kini wanita yang lebih tua menudingkan pedangnya kepada Suma Hoat dan membentak,
“Penjahat keji, perbuatanmu melampaui batas peri-kemanusiaan. Sekarang setelah kami datang, bersiaplah untuk mati!” Setelah berkata demikian, tubuhnya mencelat ke depan, menyerang Suma Hoat yang cepat menggunakan sulingnya menangkis.
“Dan engkau wanita kejam patut mampus, juga!” teriak wanita kedua yang juga cepat sekali gerakannya menerjang Cui Leng. Terpaksa gadis, ini mencabut pedang menangkis.
“Cringgg..., tranggg...!”
Pertemuan pedang kedua orang wanita gagah itu dengan suling Suma Hoat dan pedang Cui Leng menimbulkan bunga api yang muncrat menyilaukan mata. Wanita yang lebih tua terkejut bukan main karena tangannya yang memegang pedang tergetar hebat, tanda bahwa pemuda tampan yang memegang suling itu memiliki sinkang yang amat kuat. Ada pun wanita kedua juga merasa bahwa dara cantik yang menjadi teman pemuda itu pun memiliki gerakan yang tangkas dan kuat. Namun keduanya tidak gentar dan cepat menyerang dengan dahsyat.
Namun Suma Hoat yang memiliki ilmu kepandaian tinggi dapat mengimbangi permainan pedang lawan sehingga mereka telah bertanding dengan seru. Diam-diam ia kagum karena ternyata wanita baju hijau yang usianya sekitar empat puluh tahun ini memiliki kepandaian yang luar biasa. Maka dia pun cepat melolos pedangnya dan balas menyerang.
Di lain pihak, Cui Leng kewalahan menghadapi lawannya yang lihai. Terpaksa Cui Leng mengeluarkan seluruh ilmu kepandaiannya memainkan ilmu pedang Siauw-lim-pai yang mempunyai daya tahan kokoh kuat.
“Tahan...!” Tiba-tiba wanita yang melawan Cui Leng berteriak dan melompat mundur diikuti enci-nya. Wanita ini memandang Cui Leng dan bertanya, “Bukankah engkau murid Siauw-lim-pai? Ilmu pedangmu adalah ilmu pedang Siauw-lim-pai!”
Cui Leng menjadi bingung, tidak tahu harus menjawab bagaimana. Kalau tidak dalam keadaan seperti sekarang, tentu tanpa ragu-ragu ia akan mengaku. Akan tetapi dalam keadaan seperti itu, ingin ia menyembunyikan kenyataan bahwa dia adalah murid Siauw-lim-pai. Namun Suma Hoat sudah mendahuluinya, tertawa sambil memandang kedua wanita itu.
“Tidak salah dugaan Ji-wi Toanio yang cantik dan gagah! Dia dan suci-nya itu adalah murid-murid Siauw-lim-pai, dan aku adalah sahabatnya. Kami bertiga sedang main-main, mengapa Ji-wi membunuh ular-ularku dan menyerang kami?”
Kedua orang wanita itu saling pandang, kelihatan terkejut sekali dan terheran. Tanpa mempedulikan ucapan Suma Hoat yang main-main, juga panggilan dengan embel-embel ‘yang cantik dan gagah’ yang pada saat lain tentu akan menimbulkan kemarahan mereka, kini wanita tertua menghadapi Cui Leng dan bertanya.
“Engkau... dan suci-mu... apakah wakil-wakil dari Siauw-lim-pai untuk bertemu dengan Beng-kauw?”
Cui Leng menjadi makin bingung. Dia tidak tahu siapa kedua orang wanita itu, akan tetapi dia menduga bahwa mereka tentulah orang-orang Beng-kauw, maka dia menjadi makin bingung. “Aku... aku...” Sukar sekali dia melanjutkan kata-katanya.
“Kembali Ji-wi Toanio benar. Adik Kim Cui Leng dan adik Liang Bi ini adalah wakil Siauw-lim-pai. Ji-wi siapakah? Biarlah aku mewakili kedua adikku tercinta ini untuk berunding. Mari kita ke rumah kami.” Suma Hoat berkata dan senyumnya amat menarik.
“Aihhh..., bagaimana ini? “Wanita yang lebih muda, berpakaian biru berkata dan kelihatan bingung.
“Hui-moi, mari kita pergi!” kata wanita baju hijau yang lebih tua. Adiknya mengangguk dan keduanya berkelebat pergi meninggalkan tempat itu.
Cui Leng membanting-bantingkan kakinya. “Celaka, Koko. Kenapa Koko mengaku bahwa kami berdua adalah orang-orang Siauw-lim-pai? Kita tidak tahu mereka itu siapa!”
Suma Hoat tertawa, “Takut apa, Moi-moi? Ada aku di sini, mengapa takut?”
Cui Leng memandang suci-nya yang masih rebah telentang, dan ternyata suci-nya telah pingsan saking ngerinya tadi ketika akan digigit ular-ular itu.
“Wah, bagaimana ini? Kau belum juga berhasil dengan suci, dan sekarang ada dua orang wanita itu. Rahasia tentu akan terbongkar...!”
“Ha-ha-ha, jangan khawatir, Suci-mu takut ular, aku masih ada jalan lain.”
Setelah berkata demikian, Suma Hoat memondong tubuh Liang Bi dan kembali ke dalam rumah diikuti oleh Cui Leng yang amat gelisah hatinya dan menduga-duga siapa gerangan kedua orang wanita yang lihai itu. Mereka itu lihai dan kalau mereka bertempur terus, belum tentu dia dan Suma Hoat akan mampu menandingi mereka. Akan tetapi mengapa mereka berdua tadi terus lari pergi setelah mendengar bahwa dia adalah murid dan wakil Siauw-lim-pai? Siapakah mereka?
Ya, siapakah mereka? Dua orang wanita itu adalah tokoh-tokoh Beng-kauw yang selama belasan tahun bersembunyi di Ta-liang-san. Mereka adalah cucu dari pendiri Beng-kauw yang selama hampir dua puluh tahun bersembunyi di Ta-liang-san, menggembleng diri dengan ilmu silat di bawah pimpinan paman kakek mereka, yaitu Kauw Bian Cinjin seorang tokoh besar Beng-kauw. Kakak beradik ini bernama Kam Siang Kui dan Kam Siang Hui, dan mereka ini bukan lain adalah kedua orang kakak dari Kam Han Ki! Mereka adalah puteri dari Kam Bu Sin adik tiri Suling Emas, sedangkan ibu mereka adalah Liu Hwe, keturunan ketua Beng-kauw!
Kedua orang kakak beradik ini tadinya sudah menikah dengan dua orang pendekar ternama di selatan, akan tetapi kedua suami mereka telah gugur ketika berjuang melawan musuh-musuh Beng-kauw. Mereka belum mempunyai keturunan dan selama ini hidup sebagai janda-janda yang tekun melatih diri di puncak Ta-liang-san dan menanti kesempatan untuk membangun kembali Beng-kauw yang sudah hancur. Mereka merasa prihatin sekali ketika anak buah Beng-kauw kini jatuh ke dalam cengkeraman seorang pendeta dari Tibet yang amat lihai dan yang membangun sarang di Pegunungan Heng-toan di lembah Sungai Ci-sha.
Pendeta Tibet ini berjuluk Hoat Bhok Lama, seorang pendeta berjubah merah yang amat lihai, yang melanjutkan perkumpulan Agama Beng-kauw dan memaksa bekas anak buah Beng-kauw menjadi anak buahnya. Akan tetapi, dengan pimpinan di tangannya Beng-kauw diselewengkan dan dia tidak segan melakukan perbuatan yang jahat. Namun karena lihainya, segala usaha keturunan pendiri Beng-kauw mendiang Pat-jiu Sin-ong Liu Gan, yaitu kedua orang wanita she Kam itu, selalu gagal. Bahkan suami mereka pun tewas di tangan Hoat Bhok Lama! Juga Kauw Bian Cinjin yang sudah amat tua, paman kakek guru mereka, juga tewas di tangan Hoat Bhok Lama!
Demikianlah, dalam usaha mereka untuk menentang Hoat Bhok Lama, bukan semata-mata membalas dendam kematian suami dan keluarga mereka, melainkan dalam usaha mereka untuk merampas kembali Beng-kauw dan membersihkan perkumpulan itu dari penyelewengan, Kam Sian Kui dan Kam Siang Hui menghubungi Siauw-lim-pai untuk mohon pertolongan Ketua Siauw-lim-pai.
Tentu saja mereka segera turun tangan ketika menyaksikan seorang gadis disiksa dan akan dibunuh dengan ular-ular beracun. Akan tetapi ketika mendengar bahwa gadis-gadis itu adalah murid-murid Siauw-lim-pai yang katanya akan dikirim oleh Ketua Siauw-lim-pai sebagai wakil, dan yang kini malah membantu pemuda tampan itu, kedua orang kakak beradik ini menjadi segan mencampuri. Mereka mengharapkan bantuan Siauw-lim-pai, kalau mereka kini bentrok dengan murid Siauw-lim-pai, apa jadinya? Maka mereka bergegas pergi mencari Ketua Siauw-lim-pai untuk melaporkan peristiwa yang mereka lihat di hutan itu.
Kam Siang Kui dan Kam Siang Hui mendengar akan nasib buruk yang menimpa keluarga keturunan Suling Emas, pek-hu (uwa) mereka. Akan tetapi mereka hanya dapat menangis mendengar akan kematian Raja Talibu, Mutiara Hitam dan Kam Liong yang menjadi saudara-saudara misan mereka. Mereka tidak berdaya berbuat sesuatu karena mereka sendiri pun mengalami nasib yang tidak baik. Suami mereka gugur, Beng-kauw dirampas orang dan diselewengkan.
Mereka tidak dapat mengharapkan bantuan saudara-saudara lain karena mereka menganggap bahwa adik mereka, Kam Han Ki, telah tewas. Mereka tidak tahu bahwa adik mereka itu masih hidup. Maka satu-satunya harapan mereka adalah Siauw-lim-pai yang mereka tahu memiliki banyak orang pandai dan yang selalu siap membela kebenaran. Apa lagi karena perampas Beng-kauw adalah seorang pendeta, sedikit banyak hal ini akan mencemarkan pula nama Siauw-lim-pai yang menjunjung tinggi Agama Buddha.
Demikianlah, mereka bergegas mencari ketua Siauw-lim-pai, Kian Ti Hosiang, untuk melaporkan dan sekalian untuk berunding dengan ketua itu sendiri mengenai urusan mereka menghadapi Hoat Bhok Lama yang amat lihai. Kebetulan sekali bahwa pada waktu itu, Kian Ti Hosiang berada di kota Cun-ek, di kaki Pegunungan Cing-lai, di dalam sebuah kuil cabang Siauw-lim-pai tidak jauh dari situ.
Kian Ti Hosiang menerima kedatangan mereka, dengan sabar dan tenang hwesio ini mendengarkan penuturan mereka. Biar pun di dalam hatinya hwesio yang berwajah tenang ini terkejut sekali mendengar akan keadaan kedua orang muridnya, namun dengan sikap tenang ia berkata, “Omitohud... Ji-wi Toanio telah bertindak tepat dengan memberitahukan kepada pinceng. Mereka masih muda dan belum berpengalaman. Pinceng tak dapat menduga apakah yang terjadi dan siapa laki-laki muda itu. Biarlah pinceng sendiri yang akan menengok mereka.”
“Sebaiknya begitu Locianpwe. Mari kami antarkan Locianpwe mengunjungi tempat itu,” kata Kam Siang Kui yang merasa tidak enak sekali karena dia menduga bahwa tentu dua orang murid Siauw-lim-pai itu jatuh ke tangan seorang yang amat jahat dan keji, penjahat berwajah tampan dan bersikap ramah yang lihai itu.
Biar pun Kian Ti Hosiang sudah tua, namun betapa pun dua orang tokoh Bengkauw itu menggunakan seluruh kepandaian berlari cepat, hwesio yang kelihatan melangkah seenaknya itu selalu berada di samping mereka. Hal ini menlmbulkan rasa hormat dan kagum dalam hati mereka dan diam-diam mereka harus mengakui bahwa dalam hal ilmu lari cepat, biar mendiang Kauw Bian Cinjin guru dan paman kakek mereka sendiri tidak akan dapat menandingi Ketua Siauw-lim-pai ini.
Di dalam perjalanan ini, kedua orang wanita tokoh Beng-kauw itu menceritakan keadaan Beng-kauw dan kembali mereka mengajukan permohonan agar Ketua Siauw-lim-pai itu suka membantu mereka untuk menghadapi Hoat Bhok Lama yang lihai. Kian Ti Hosiang mendengarkan dengan penuh kesabaran, kemudian menjawab bahwa urusan itu akan mereka bicarakan setelah perkara kedua muridnya selesai, dan akan dirundingkan dengan para pemimpin Siauw-lim-pai.
“Saya rasa bahwa Locianpwe seorang saja yang akan mampu menolong kami,” Kam Siang Kui berkata penuh permohonan. “Lama itu lihai bukan main, dan kiranya hanya Locianpwe seorang di dunia ini yang akan dapat mengalahkannya.”
Ketua Siauw-lim-pai itu menghela napas panjang. “Nanti kita lihat sajalah, Toanio. Pinceng sudah lama menghentikan pendirian bahwa kejahatan harus diakhiri dengan kekerasan dan pembunuhan. Pinceng tidak tahu siapakah yang lebih jahat antara penjahat yang dibunuh dengan orang yang membunuhnya!”
Mendengar ucapan ini, Kam Siang Kui dan Kam Siang Hui saling pandang penuh keheranan dan tidak berani lagi bicara tentang permohonan bantuan sebelum hwesio ini selesai menolong murid-muridnya. Perjalanan dilakukan dengan cepat dan sunyi, seolah-olah mereka bertiga tenggelam dalam lamunan masing-masing yang dibangkitkan oleh ucapan terakhir hwesio itu.
Liang Bi terikat kaki tangannya pada sebatang tiang di ruangan rumah bekas kepala rampok. Ia memandang dengan sinar mata penuh kebencian kepada Suma Hoat dan Kim Cui Leng. Dilihatnya Suma Hoat yang tersenyum-senyum meloncat pergi meninggalkannya setelah selesai mengikat tubuhnya dan menotok jalan darah di pundaknya sehingga tubuhnya menjadi lemas dan tidak mampu menggunakan sinkang untuk melepaskan diri.
Cui Leng memandang kepada suci-nya dengan sinar mata penuh penyesalan dan kekhawatiran. Kemudian ia melangkah maju, membujuk, “Suci, mengapa engkau berkeras? Suci, Hoat-koko benar-benar mencinta kita, dia tidak bermaksud jahat. Dia mencinta kita dan dia baik sekali. Suci, di dunia ini sukarlah berternu dengan seorang pria seperti dia. Tampan, berilmu tinggi, menarik hati dan... dan... engkau tentu akan merasa bahagia sekali kalau suka melayani dan membalas cinta kasihnya. Suci, ke mana-mana kita berdua, kita mengalami suka-duka berdua, mengalami bahaya maut berdua. Sekarang... aku menikmati kebahagiaan, aku pun ingin agar kita menikmatinya berdua...”
“Cihh! Perempuan rendah! Cui Leng, tidak malukah engkau? Apakah sudah hilang harga dirimu? Engkau menyeret nama dan kehormatanmu ke pecomberan! Aihhh, bagaimana engkau sampai dapat terperosok serendah ini?”
“Suci, apakah artinya malu? Kalau kita suka melakukan suatu perbuatan tanpa merugikan orang lain, mengapa mesti malu? Pula, malu kepada siapakah? Tidak ada orang lain yang akan mengetahuinya! Suci, kau sambutlah Hoat-koko, dan kita bertiga akan hidup bahagia, dan dengan kita bertiga menjadi satu, kita takut kepada siapakah? Hoat-koko amat lihai, aku sudah membuktikan betapa ia memiliki sinkang yang amat kuat, memiliki pukulan-pukulan lihai seperti Tiat-ciang-kang dan memiliki ilmu aneh-aneh. Kalau kita berbaik kepadanya kita dapat belajar ilmu dari dia, alangkah senangnya!”
“Sumoi! Aku masih dapat memaafkan engkau karena kau telah terbujuk. Kau lepaskan aku, mari kita pergi dari tempat terkutuk ini, Sumoi. Marilah, selagi dia tidak ada. Engkau belum tersesat terlalu jauh...”
Akan tetapi Cui Leng menggeleng kepala. “Tidak mungkin, Suci. Aku tidak dapat mundur lagi. Kalau engkau suka melayaninya seperti yang telah kulakukan dan kita menikmati kebahagiaan bersama, setelah itu... tentu Hoat-koko tidak akan mengganggumu lagi dan kita dapat hidup bersama dia atau meninggalkannya dengan hati aman...”
Liang Bi membelalakkan matanya. Gadis ini tidak mengerti mengapa sumoi-nya bersikeras minta agar dia melayani niat keji pemuda itu!
Senja telah mendatang ketika dari jauh terdengar suara suling yang membuat bulu tengkuk Liang Bi berdiri meremang. Dia merasa ngeri karena teringat bahwa suara itu adalah suara suling Si Pemuda yang pandai menguasai ular dengan sulingnya. Padahal, di antara segala makhluk di dunia ini, ular adalah binatang yang paling ia takuti. Sejak kecil ia merasa jijik dan takut kepada ular sehingga biar pun kini telah menjadi seorang pendekar wanita yang lihai, tetap saja dia merasa jijik dan ngeri kalau melihat ular. Wajahnya menjadi pucat dan napasnya terengah.
Cui Leng juga mendengar suara ini dan ia melangkah mundur, memandang dengan sinar mata aneh dan bibirnya tersenyum. “Engkau mencari sengsara sendiri, Suci. Ingin aku melihat apakah engkau mampu melawan Hoat-koko!”
Makin pucat wajah Liang Bi ketika ia melihat Suma Hoat datang berjalan perlahan sambil meniup sulingnya dan... di depan pemuda itu tampak seekor ular besar dan panjang merayap maju mengerikan! Ular ini lebih dari dua meter panjangnya, sebesar betis orang, kulitnya mengkilap berwarna hijau kekuningan, matanya merah. Setelah tiba di ruangan itu, Suma Hoat menghentikan tiupannya dan ular itu pun berhenti, mengangkat kepala menoleh ke kanan kiri seperti bingung mengapa suara suling itu lenyap.
“Bi-moi, bagaimana? Apakah engkau masih keras kepala? Sekali lagi kuminta engkau suka menerima cintaku seperti yang dilakukan sumoi-mu, dan kita bertiga hidup bahagia.”
“Tidak sudi. Lebih baik mati!”
“Begitukah? Hemm... biarlah ularku yang akan menjawab pertanyaanmu ini. Kalau engkau sudah merasa cukup dan tidak keras kepala lagi, katakan saja bahwa engkau menyerah. Akan tetapi kalau engkau lebih suka memilih mati, engkau akan mati dengan nyawa masih penuh rasa takut dan jijik sehingga rohmu akan berkeliaran dikejar ketakutan hebat!”
Suma Hoat lalu meniup sulingnya. Terdengarlah suara melengking aneh dan ular itu mengangkat tubuh atas tinggi-tinggi, kemudian berlenggak-lenggok seperti menari dan perlahan-lahan merayap mendekati kaki Liang Bi dengan lidah bergerak-gerak keluar masuk mulutnya yang merah.
Liang Bi memandang ular itu dengan wajah pucat dan mata terbelalak, bibirnya menggigil dan dadanya bergelombang. Rasa jijik dan takut hampir membuat ia menjerit. Ia berusaha menguatkan hatinya, akan tetapi ketika ular itu mulai merayap dari kakinya terus ke atas melalui betisnya, pahanya, perutnya... Liang Bi hampir pingsan. Dia hanya mengharapkan ular itu menggigitnya agar dia lekas mati. Bagi seorang gagah seperti dia kematian bukan apa-apa dan akan dihadapinya dengan mata terbuka. Akan tetapi bukan kematian yang membuat ia takut kepada ular, melainkan rasa geli dan jijik.
Namun celaka baginya. Suma Hoat meniup sulingnya terus dan ular itu sama sekali tidak menggigitnya, melainkan melingkari tubuhnya dengan kuat. Liang Bi merasa betapa tubuh ular itu berdanyut-danyut dingin sekali, licin dan menggelikan, menjijikkan, kemudian kepala ular itu bergerak-gerak di depan mukanya, lidahnya keluar dan menjilat-jilat! Liang Bi memejamkan mata, membuang muka akan tetapi ia masih merasa betapa lidah ular itu menjilat-jilat mukanya, pipinya, bibirnya, lehernya. Ia bergidik. Ular itu seolah-olah sedang menciumnya penuh nafsu! Ia muak, jijik dan seluruh tubuhnya menggigil.
“Bunuh aku... iihhhh... bunuh aku... uhu-hu-huu... suruh dia pergi...!” Akhirnya ia merintih.
Akan tetapi Suma Hoat tidak menghentikan tiupan sulingnya dan si ular terus menggerayangi muka dan leher Liang Bi dengan moncongnya yang menjijikkan. Liang Bi menggeliat-geliat, hampir pingsan. Kalau dia pingsan atau mati seperti yang ia harapkan dia akan terbebas. Akan tetapi celaka, dia masih sadar dan harus merasakan penderitaan yang amat menyiksa hatinya. Kalau dia disiksa dengan rasa nyeri, disayat sedikit demi sedikit kulit dagingnya, dia akan menghadapinya dengan tabah. Akan tetapi perasaan jijik ini benar-benar hampir tidak kuat ia menahannya.
“Suci, menyerahlah...!” Terdengar suara Cui Leng membujuk.
Gadis ini berdiri di dekat meja tinggi, menaruh lengan kiri di atas meja, lengan kanan bertolak pinggang, menonton pertunjukan itu dengan hati ngeri dan iba kepada suci-nya. Akan tetapi karena ia maklum bahwa sebelum suci-nya menyerah dia takkan pernah merasa aman hatinya, maka ia menguatkan hatanya. Dia pun tidak menjadi benci kepada Suma Hoat yang menyiksa suci-nya seperti itu, karena dia menganggap bahwa Suma Hoat melakukan itu untuk membujuk suci-nya agar suka menerima cintanya, dan Si Pemuda ini terpaksa melakukan hal ini atas permintaannya, dengan maksud untuk menyelamatkannya!
Yah, apa saja yang takkan dilakukan oleh makhluk yang disebut manusia kalau dia sudah tercengkeram oleh nafsu! Sikap yang diperlihatkan Cui Leng hanyalah sebuah di antara sikap-sikap keji yang banyak dilakukan wanita yang sudah mabok oleh nafsu birahi dan didasari rasa iba diri, diselimuti oleh rasa ingin mendapatkan kawan kalau dirinya sendiri terperosok! Sifat buruk ini sebuah di antara banyak sekali sifat buruk lain yang timbul dari sayang diri dan iba diri, hampir mencengkeram watak semua manusia, merupakan semacam penyakit yang sukar diobati, yaitu sifat yang selalu ingin minta kawan dalam derita!
Dari anak-anak pun sudah mulai tampak gejala sifat buruk ini. Seorang anak kecil yang jatuh dan menangis akan berhenti tangisnya, bahkan bisa tertawa kalau kita pura-pura jatuh pula di dekatnya dan mengeluh kesakitan! Menyaksikan penderitaan orang lain yang lebih besar merupakan semacam ‘hiburan’ bagi seorang yang sedang menderita. Memang amatlah buruk sekali sifat ini, namun tanpa disadarinya, ‘penyakit’ ini telah diderita oleh banyak sekali manusia di dunia ini.....
Perbuatan Suma Hoat amat keji. Tentu saja hal ini tidak terasa olehnya sendiri. Perbuatan-perbuatannya terhadap wanita timbul dari rasa bencinya terhadap wanita, dan dia hendak melampiaskan rasa bencinya itu dengan menggunakan nafsu birahinya untuk merusak wanita sebanyak mungkin! Karena bencinya timbul sifat kejam dan dia merasa gembira melihat korbannya tersiksa, terutama sekali tersiksa batinnya! Dia menganggap bahwa batinnya sendiri sudah hancur lebur karena wanita! Bahkan, melihat wanita tersiksa seperti yang dialami Liang Bi sekarang ini membuat nafsu birahinya berkobar! Makin hebat seorang wanita tersiksa, makin menggairahkan bagi Jai-hwa-sian, Si Dewa Pemetik Bunga ini!
Tubuh Liang Bi yang menggeliat-geliat menjadi makin lemah dan ketika suara suling melengking makin tinggi. Tiba-tiba ular itu berubah gerakannya, kini kepalanya mulai menyusup-nyusup dan menyelinap di balik baju bagian dada Liang Bi!
“Iihhh... ouhhh...” Liang Bi merintih-rintih dan seluruh tubuhnya menggigil ketika kepala ular itu menyusup makin dalam. “Aduuuuhhhh... tolongggg... ihhhh... ambil dia... ambil binatang ini... uhu-hu-huuuu...!”
“Engkau menyerah?” Suma Hoat bertanya.
Dengan tubuh menggigil, air mata bercucuran dan mata dipejamkan Liang Bi mengangguk lemah. “...aku menyerah... hu-hu-huuuuhh...”
Suma Hoat lompat mendekat, sekali sambar ia mengambil ular itu dan melemparkannya jauh ke luar, ke kebun di mana ular yang ketakutan itu cepat menyusup di antara rumput. Sambil tersenyum-senyum Suma Hoat melepaskan belenggu kaki tangan Liang Bi, membebaskan totokannya. Akan tetapi Liang Bi tidak kuat berdiri, tubuhnya menggigil dan ia tentu roboh kalau tidak cepat dipondong oleh Suma Hoat. Liang Bi menangis ketika Suma Hoat memondongnya masuk ke dalam kamar.
Cui Leng berdiri dengan wajah agak pucat. Ia merasa ngeri juga menyaksikan penderitaan Liang Bi tadi. Akan tetapi kini hatinya lega dan ia berdiri tak bergerak, mendengarkan isak tangis Liang Bi yang terdengar dari dalam kamar. Cui Leng menarik napas panjang. Sukar dia mengatakan apakah tarikan napas itu saking lega hatinya ataukah karena menyesal membayangkan betapa pria yang dicintanya itu kini direbut lain wanita!
Perlahan ia melangkah memasuki kamarnya sendiri dan semalam itu ia mendengar isak tangis Liang Bi yang tidak pernah berhenti. Sambil mendengarkan isak tangis itu, Cui Leng rebah telentang, matanya menatap langit-langit dan tanpa disadarinya, dua titik air mata meloncat ke atas pipinya. Hatinya lega, karena sekarang dia mendapat kawan!
Sekarang rahasianya yang mencemaskan hati akan terlindung dan aman. Akan tetapi senangkah dia? Pertanyaan yang takkan dapat ia jawab karena dua butir air matanya menjadi bukti akan kebimbangan hatinya.
Mereka bertiga berjalan-jalan di antara bunga-bunga yang tumbuh di belakang rumah, Suma Hoat tersenyum-senyum, lengan kiri melingkari pinggang Liang Bi, lengan kanan melingkari pinggang Cui Leng. Sambil tertawa-tawa dan bersendau-gurau ia menoleh ke kanan kiri untuk mencium pipi kedua orang kekasihnya. Cui Leng juga berseri wajahnya dan pipinya kemerahan. Akan tetapi Liang Bi tidak tampak berseri. Wajahnya pucat rambutnya kusut dan pandang matanya redup, sayu merenung ke depan seolah-olah dia hidup di alam mimpi.
Suma Hoat mengajak dua orang wanita itu duduk di antara bunga-bunga. Dipetiknya dua kuntum bunga dan dengan mesra dipasangkan bunga-bunga itu di rambut Liang Bi dan Cui Leng.
“Ahh, kalian benar-benar cantik jelita!” katanya sambil mencium bibir Liang Bi, kemudian Cui Leng. Liang Bi mandah saja, tidak seperti Cui Leng yang membalas ciuman itu dengan mesra.
“Koko, sekarang tentu hatimu amat berbahagia, bukan?” Tiba-tiba Cui Leng bertanya, tangannya dengan mesra membelai dagu pemuda itu.
Wajah Suma Hoat yang berseri itu tiba-tiba lenyap sinarnya. Ia merenung dan bibirnya bergerak perlahan. “Bahagia? Aku berbahagia...?” Ia menghela napas, mengeluarkan sulingnya dari pinggang. Melihat ini wajah Liang Bi menjadi makin pucat.
”Jangan...! Jangan panggil ular...” Ia merintih.
Suma Hoat merangkulnya, mencubit dagunya. “Bi-moi, kekasihku tercinta. Jangan takut, masa aku mau menakut-nakuti engkau lagi?” Dia lalu meniup sulingnya dan terdengarlah tiupan lagu yang merayu-rayu, lagu yang membuat kedua orang gadis itu terpesona dan perlahan-lahan bertitiklah air mata dari sepasang mata mereka.
Lagu itu terdengar begitu sedih, menyayat hati, seolah-olah dalam tiupan itu mereka mendengar hati peniupnya menjerit-jerit dan menangis penuh duka. Tak lama kemudian, suara suling berhenti dan Suma Hoat yang masih termenung, seperti tidak sadar akan keadaan sekelilingnya, memandang sinar matahari pagi yang menerobos di antara celah-celah daun dan bunga, kemudian dia membuka mulut bernyanyi.
Bahagia, siapakah gerangan Anda?
Seribu kali bayanganmu menggapai
kuraih kupeluk mesra
hanya mendapatkan kenyataan hampa
bahwa semua bayanganmu itu
bukanlah Anda!
serasa tampak Anda mengintai
di balik kelopak bunga mengharum
menunggang cahaya matahari pagi
di balik senyum kekasih jelita
di antara tawa sahabat-sahabat
di dalam gelak anak-anak
di antara tumpukan harta benda
di atas kedudukan mulia
di balik kemasyhuran nama
namun...
setelah didekap dalam pelukan
semua itu pun hampa
bukan Anda!
duhai kebahagiaan
siapa dan di mana gerangan Anda?
Belum habis gema suara nyanyian Suma Hoat yang keluar dengan suara gemetar dan selagi kedua orang gadis itu masih terpesona, tiba-tiba terdengar suara yang parau dan lirih namun jelas seolah-olah suara itu diucapkan oleh mulut yang dekat dengan telinga mereka, mulut yang tak tampak.
Mempunyai mata seperti buta
sudah ada dicari-cari keluar menjauh
siapa bisa memisahkan bayangan dari badan?
yang mencari takkan mendapatkan
yang mendapatkan takkan memiliki
yang memiliki akan kehilangan
yang mengharap akan kecewa
tanpa dicari, tanpa diharap
tanpa dimiliki, tanpa pamrih
hanya membuka mata ke dalam
sadar bahwa semua telah ada
setelah bersatu dengan keadaan
apa lagi yang dicari?
Suma Hoat meloncat bangun, suling siap di tangannya. Wajahnya berubah tegang karena kata-kata parau itu seolah-olah merupakan ujung pedang yang menusuk hatinya. Kedua orang gadis itu pun bangkit berdiri karena sebagai ahli silat tingkat tinggi mereka maklum bahwa ada orang pandai telah mempergunakan Ilmu Coan-im-jip-bit (Mengirim Suara Dari Jauh) yang hebat sekali. Apa lagi karena suara itu tidak asing bagi kedua orang dara Siauw-lim-pai sehingga mereka memandang ke depan dengan wajah agak pucat.
Kian Ti Hosiang nampak keluar dengan langkah tenang diikuti Kam Siang Kui dan Kam Siang Hui. Melihat guru mereka seperti yang telah mereka duga dan khawatirkan ketika mendengar suara tadi, Liang Bi menjerit dan berlari menghampiri hwesio itu, diikuti oleh Cui Leng.
“Suhu...!” Liang Bi menangis terisak-isak di depan kaki gurunya sedangkan Cui Leng menunduk dengan muka pucat.
“Omitohud...!” Kian Ti Hosiang menggeleng-geleng kepala dan menarik napas panjang berulang-ulang. Sekali pandang saja dia sudah maklum bencana apa yang menimpa kedua orang muridnya itu. Kemudian perlahan ia mengangkat kepala memandang Suma Hoat yang berdiri tegak dengan sikap tenang. Sejenak mereka bertemu pandang.
Kian Ti Hosiang lalu berkata, “Sayang...! Sungguh sayang sekali...! Orang muda, kalau pinceng tidak salah sangka, bukankah engkau ini yang dijuluki orang Jai-hwa-sian?”
Suma Hoat terkejut sekali, jantungnya berdebar. Tadinya dia hendak merahasiakan julukannya dari kedua orang gadis itu. Dia mendapatkan sesuatu yang aneh, yang tak pernah ia rasakan selama petualangannya dengan ratusan orang wanita. Dia merasa enggan dan sayang meninggalkan mereka, bahkan dia akan berpikir-pikir dulu untuk mencelakakan mereka. Kalau keadaan mengijinkan, agaknya ia bersedia menghentikan petualangannya dan hendak mencoba untuk belajar mencinta sungguh-sungguh dan berusaha menjangkau kebahagiaan bersama kedua orang kekasihnya itu. Akan tetapi, siapa kira kini hwesio itu begitu bertemu telah mengenalnya!
Akan tetapi, dia adalah seorang pemuda yang tidak mengenal takut, maka ia tersenyum dan menjura sambil berkata, “Tidak salah dugaan Locianpwe. Saya adalah Suma Hoat yang dijuluki Jai-hwa-sian dan sungguh merupakan kehormatan besar berjumpa dengan Kian Ti Hosiang, Ketua Siauw-lim-pai yang sakti!”
“Oohhhh...!” Seruan ini keluar dari mulut Liang Bi dan Cui Leng.
Mereka berdua terkejut setengah mati ketika mendengar bahwa pria yang mereka serahi tubuh dan hati mereka kiranya adalah Jai-hwa-sian, penjahat cabul tukang memperkosa yang dimusuhi semua orang gagah di dunia! Liang Bi terguling roboh pingsan di depan kaki gurunya, sedangkan Cui Leng memeluk suci-nya sambil menangis tersedu-sedu dengan hati seperti disayat-sayat karena dia merasa bahwa dialah yang mendatangkan mala-petaka besar itu!
“Kau... kau... Suma Hoat...?” Kam Siang Kui juga berkata dengan mata terbelalak, kemudian dia saling pandang dengan adiknya.
Kian Ti Hosiang melangkahi tubuh Liang Bi dan maju menghampiri Suma Hoat. Matanya bersinar tajam, namun wajahnya penuh kesabaran ketika dia berkata, “Orang muda, pinceng mengenal baik keluargamu yang besar. Pinceng mengenal siapa Panglima Suma Kiat yang menjadi ayahmu, maka pinceng mengerti bahwa di dalam tubuhmu masih mengalir darah pendekar-pendekar yang amat pinceng kagumi. Juga pinceng mendengar betapa dalam sepak terjangmu, engkau merupakan seorang pendekar yang budiman. Akan tetapi sayang... nafsu telah merusak hatimu sehingga engkau menjadi kejam terhadap wanita, engkau memancing kenikmatan dengan cara merusak wanita lahir batin! Betapa sayang seorang yang berjiwa pendekar seperti nenek moyang dari nenekmu, terusak oleh jiwa sesat warisan nenek moyang keluarga Suma!”
Tiba-tiba Suma Hoat tertawa bergelak, suara ketawa yang mirip tangis dan matanya beringas memandang Kian Ti Hosiang, telunjuknya menuding. “Kian Ti Hosiang! Engkau tahu satu tidak tahu dua! Engkau tahu ekornya tidak mengenal kepalanya! Aku merusak wanita lahir batin? Benar, akan tetapi tahukah engkau bahwa aku telah hancur lahir batin oleh wanita? Engkau memaki nenek moyangku, keluarga Suma yang sesat. Memang, siapakah tidak mengenal kakek buyutku Pangeran Suma Kong yang terkenal korup dan jahat? Siapa tidak mengenal kakekku Suma Boan yang berhati keji dan dimusuhi orang-orang gagah di dunia kang-ouw? Siapa yang tidak mengenal ayahku, Jenderal Suma Kiat yang... memberatkan selirnya dari pada putera tunggalnya? Ha-ha-ha! Dan siapa tidak mengenal Jai-hwa-sian Suma Hoat? Aku berdarah keluarga Suma yang sesat, dan memang aku jahat, kotor dan sesat. Sebaliknya engkau adalah Ketua Siauw-lim-pai yang paling suci, gagah dan budiman. Eh, hwesio tua, apakah pekerjaanmu? Mengapa engkau menjadi seorang pendeta, Kian Ti Hosiang?”
Kam Siang Kui dan Kam Siang Hui mendengarkan ucapan pemuda itu dengan mata terbelalak penuh kemarahan. Betapa kurang ajarnya! Dan orang muda itu bukan lain adalah keponakan mereka sendiri! Ayah pemuda ini, Suma Kiat, adalah saudara misan mereka, putera bibi mereka, putera Kam Sian Eng adik kandung ayah mereka (baca cerita Mutiara Hitam)!
Akan tetapi, karena menghormat Ketua Siauw-lim-pai, mereka hanya mengertak gigi menahan kemarahan, dan betapa heran hati mereka melihat hwesio itu sama sekali tidak marah, bahkan tenang-tenang saja menjawab, “Suma Hoat, pinceng menjadi pendeta karena melihat kekotoran yang menguasai batin manusia di dunia. Pekerjaan pinceng adalah mengajarkan kasih sayang di antara semua makhluk agar kasih sayang merupakan sinar yang mencuci bersih kekotoran itu.”
“Ha-ha-ha! Amat berlawanan dengan aku, bukan? Aku dikatakan pembuat kotor dan engkau adalah pembersih yang kotor. Eh, hwesio! Karena tugasmu, tentu engkau selalu siap untuk memberantas kejahatan, tentu engkau benci kejahatan, benci kepada orang-orang yang melakukan perbuatan yang dianggap jahat, seperti aku! Dalam tugasmu, engkau membenci kejahatan, seolah-olah engkau lupa bahwa sesungguhnya karena adanya kejahatan, karena adanya orang-orang jahat macam aku inilah, maka membuka kemungkinan dan kesempatan kepada orang-orang seperti engkau untuk memakai jubah pendeta! Kalau orang-orang jahat macam aku sudah kau basmi semua, kalau kejahatan sudah tidak ada lagi, ha-ha-ha, hwesio tua, engkau mau bekerja apakah?”
Kedua orang wanita tokoh Beng-kauw itu makin marah, bahkan kini Liang Bi dan Cui Leng juga memandang pucat, tidak mengira sama sekali bahwa laki-laki yang telah merebut tubuh dan hati mereka itu adalah seorang yang mempunyai pendirian sedemikian kacau dan jahatnya!
Akan tetapi Kian Ti Hosiang tetap tenang. “Jai-hwa-sian Suma Hoat, pinceng merasa kasihan sekali kepadamu. Engkau mengalami himpitan jiwa. Jiwamu sakit tertekan oleh nafsu-nafsu yang menguasai dirimu. Pinceng sama sekali tidak membenci orang yang sesat, bahkan merasa kasihan dan ingin menolong mereka, termasuk engkau, Suma-sicu!”
Kalau saja Ketua Siauw-lim-pai itu marah-marah dan menerjang Suma Hoat dengan serangan lihai, tentu pemuda itu suka menerima, karena menganggap hal itu sudah sewajarnya. Akan tetapi mendengar pendeta ini menaruh kasihan kepadanya, dan ingin menolongnya, kemarahannya menjadi makin meluap. Dia merasa dipandang rendah sekali, seolah-olah perbuatannya hanyalah perbuatan seorang anak kecil yang nakal!
“Kian Ti Hosiang! Dengar baik-baik. Aku telah menodai dua orang murid perempuanmu! Nah, bukankah perbuatanku amat terkutuk? Bukankah engkau sebagai gurunya wajib menghukumku dengan hukuman paling berat? Apakah ini belum cukup hebat?”
Kian Ti Hosiang tersenyum dan menggeleng-geleng kepalanya. “Perbuatanmu amat jahat dan sesat, Suma Hoat. Perasaan pinceng sebagai guru tertikam oleh perbuatanmu dan murid-murid pinceng. Akan tetapi, mengingat bahwa engkau adalah keturunan keluarga pendekar sakti Suling Emas, yakin bahwa perbuatanmu ini tentu ada sebab-sebab yang menimbulkannya, pinceng merasa lebih berkewajiban lagi untuk mengingatkanmu, memberi penerangan kepadamu.”
“Pendeta sombong! Katakan saja engkau takut melawan aku!”
”Suma Hoat manusia iblis!” Kam Siang Kui membentak marah sekali.
Suma Hoat tersenyum lebar. “Engkau sudah setengah tua akan tetapi masih bersemangat dan cantik, hemmm, kalau ada kesempatan aku suka melayanimu bermain cinta...”
“Jahanam!” Kam Siang Hui yang mendengar enci-nya dihina seperti itu sudah tidak dapat menahan lagi hatinya. Dia sudah menerjang maju dan mengirim pukulan maut yang digerakkan sinkang. Sebagai murid Kauw Bian Cinjin, tentu saja dia memiliki ilmu silat yang hebat, maka pukulannya itu pun mendatangkan angin dahsyat.
“Plak! Plak!” Dua kali Suma Hoat menangkis dan dia terhuyung mundur, juga Kam Siang Hui terhuyung dan merasa lengannya panas. Hemm, bocah ini lihai juga, pikirnya.
Ada pun Suma Hoat diam-diam terkejut karena kini maklumlah dia bahwa kalau kemarin kedua orang wanita itu menyerang dengan sungguh-sungguh, belum tentu dia dan Cui Leng akan mampu mengalahkan mereka! Akan tetapi hatinya sudah panas karena sikap Kian Ti Hosiang, maka dia sengaja mengeluarkan suara ketawa mengejek sambil memandang Kian Ti Hosiang dan kedua orang wanita itu.
“Hemm, Kian Ti Hosiang, apakah engkau begitu pengecut, tidak berani maju sendiri lalu mengandalkan bantuan dua orang wanita ini, dan masih berusaha membujuknya dengan kata-kata halus?”
“Suma Hoat, bocah celaka!” Kam Siang Kui kembali membentak.
“Harap Toanio tidak mencampuri urusan pinceng dengan dia,” kata Kian Ti Hosiang dan kedua orang wanita itu kembali melepaskan tangan yang tadinya sudah meraba gagang pedang.
“Kian Ti Hosiang, pendeta pikun. Bagaimanakah engkau hendak memberi penerangan padaku? Menyuruh aku menggunduli rambut dan memakai jubah pendeta?” Suma Hoat mengejek lagi dengan hati panas mengapa hwesio itu sama sekali tidak pernah marah, bahkan memandangnya dengan sinar mata begitu lembut penuh iba. Itulah yang amat mengganggu hatinya. Dia tidak ingin dikasihani! Dia malah ingin semua orang membenci dan memusuhinya! Dia tidak takut menghadapi mereka semua dan dia berani mempertanggung-jawabkan semua perbuatannya.
“Suma-sicu, pada dasarnya engkau mempunyai jiwa pendekar. Mengapa engkau tidak mau membuka mata menyadari bahwa amatlah tidak baik kalau engkau menumpahkan kebencianmu terhadapi wanita? Dengan merusak kaum wanita, berarti engkau merusak kehormatan kaum ibu, karena ibumu sendiri pun seorang wanita! Kasihanilah mereka, keluarga mereka, orang tua mereka, masa depan mereka. Engkau dapat menebus semua kesesatanmu dengan memupukkan perbuatan baik dan dengan hati bertobat. Setelah apa yang kau lakukan terhadap kedua orang murid pinceng, jadilah engkau suami mereka dan jauhi semua perbuatan sesat. Pinceng akan berbesar hati melihatnya.”
Wajah Suma Hoat menjadi merah. “Kalau aku menolak?”
Ia mengharapkan kemarahan pendeta itu dan dia tidak menyesal kalau harus mati di tangan pendeta ini karena semua perbuatannya yang lalu jelas tidak mendatangkan kepuasan dan kebahagiaan baginya. Ia ingin mengakhiri hidupnya di tangan pendeta itu. Mati di tangan Kian Ti Hosiang, Ketua Siauw-lim-pai, adalah mati terhormat!
Kian Ti Hosiang menghela napas panjang. “Kalau engkau menolak, pinceng hanya dapat berdoa untuk keselamatan jiwamu, orang muda. Pinceng hanya dapat merasa makin iba melihat seorang keturunan keluarga pendekar besar tersesat makin jauh.”
“Apa? Engkau tidak marah dan tidak membunuhku?”
Kian Ti Hosiang menggeleng kepalanya. “Pinceng bukan pembunuh, pinceng tidak bisa membikin mati karena pinceng tidak bisa membikin hidup.”
“Pendeta sombong! Engkau takut kepadaku?”
Kian Ti Hosiang menggeleng kepala dan tersenyum. “Pinceng tidak takut kepada siapa pun juga, kecuali kepada kegelapan yang meliputi hati dan pikiran sendiri, Sicu.”
“Baik, pendeta sombong! Aku mau bertobat, mau menuruti nasehatmu asal engkau suka menerima dua kali pukulanku. Bagaimana?”
Kian Ti Hosiang mengangguk tenang. “Omitohud...! Kalau dengan cara itu berarti pinceng akan dapat mendatangkan penerangan di dalam hatimu, pengorbanan itu masih terlalu murah. Pinceng menerima syarat itu...”
“Locianpwe...!” Kam Siang Hui dan Kam Siang Kui meloncat maju dengan wajah pucat. “Bagaimana Locianpwe membiarkan saja bedebah ini bersikap kurang ajar? Biarkan kami membasminya!”
“Harap Ji-wi Toanio suka mundur. Pinceng sudah melepaskan janji menerima syaratnya.” Terpaksa kedua orang wanita itu mundur dengan tangan dikepal saking marahnya.
Kian Ti Hosiang melangkah maju mendekati Suma Hoat. “Sicu, berjanjilah bahwa setelah memukul pinceng dua kali, engkau benar-benar akan merubah jalan hidupmu, tidak akan melakukan perbuatan sesat lagi, membersihkan nama Jai-hwa-sian dengan perbuatan-perbuatan baik.”
Hampir Suma Hoat tidak dapat percaya. Hwesio ini bersedia menerima dua kali pukulannya! “Apa? Engkau menerima dan engkau tidak akan mengelak, menangkis atau melawan?”
Kian Ti Hosiang menggeleng kepala. “Pengorbanan ini masih terlalu murah. Namun kata-kata seorang gagah harus dapat dipegang. Pinceng berjanji takkan melawan dan berjanjilah bahwa engkau pun akan membuang semua perbuatan sesat.”
Kemarahan Suma Hoat mencapai puncaknya. Dia benar-benar merasa dipandang rendah sekali, bukan hanya sebagai seorang anak kecil yang nakal, bahkan agaknya pukulannya dianggap ringan oleh hwesio ini.
“Baik, aku berjanji!” bentaknya.
“Nah, silakan memukul dua kali, Sicu.” Hwesio itu berdiri tegak, sama sekali tidak memasang kuda-kuda, memandang tenang ke depan dengan telapak tangan dirangkap di depan dada seperti orang berdoa.
Suma Hoat menggerak-gerakkan kedua tangannya, mengerahkan sernua sinkang di tubuhnya, disalurkan ke arah kedua tangan. Gerakan ini membuat kedua lengannya mengeluarkan bunyi berkerotokan, tanda bahwa kedua lengannya sudah dialiri tenaga sinkang yang dahsyat sekali. Kedua orang wanita tokoh Beng-kauw memandang dengan mata terbelalak dan kedua orang murid hwesio itu pun memandang dengan muka pucat.
Suma Hoat merasa dipandang ringan oleh Ketua Siauw-lim-pai itu. Dia maklum bahwa hwesio itu amat sakti, termasuk seorang tokoh besar di dunia persilatan. Akan tetapi sikap hwesio itu keterlaluan, terlalu baik sehingga merupakan penghinaan yang baginya lebih menyakitkan hati dari pada makian atau serangan. Dia, seorang yang telah menggegerkan dunia kang-ouw, kini hanya dianggap seperti seorang anak kecil yang nakal saja oleh hwesio ini. Akan tetapi dia tidak percaya bahwa hwesio itu akan benar-benar menerima pukulannya tanpa melawan.
Mungkin takkan mengelak, akan tetapi pasti akan menggunakan sinkang untuk menangkis. Ataukah kepandaiannya sudah begitu tinggi sehingga pukulannya takkan ada artinya! Dia tidak percaya. Maka kini Suma Hoat mengerahkan tenaga, kemudian menerjang maju dengan dua pukulan susul-menyusul ke arah kedua paha kaki Kian Ti Hosiang.
Angin dahsyat menyambar ketika kedua tangan Suma Hoat dengan jari-jari terbuka menyambar ke arah Kian Ti Hosiang. Hebat bukan main pukulan itu karena Suma Hoat telah mengerahkan seluruh sinkang-nya dan menggunakan ilmu pukulan Hun-kin-swee-kut-ciang (Pukulan Memutuskan Otot Menghancurkan Tulang)!
“Krekkk! Krekkkk!” Cepat sekali datangnya dua kali pukulan yang bertubi itu.
Terdengar jeritan tertahan kedua orang wanita Beng-kauw dan kedua murid hwesio itu, sedangkan tubuh Kian Ti Hosiang jatuh terduduk dalam keadaan bersila, kedua kakinya lumpuh karena tulang-tulang kakinya remuk dan otot-ototnya hancur oleh pukulan dahsyat itu.
Suma Hoat membelalakkan kedua mata, wajahnya pucat memandang hwesio yang memandangnya sambil tersenyum penuh kesabaran dan kemenangan itu! Hwesio itu sama sekali tidak melawan! Kedua kaki hwesio itu menjadi rusak, lumpuh dan tak mungkin dapat disembuhkan lagi! Dan biar pun kedua kakinya sudah lumpuh, hwesio itu masih memandang kepadanya dengan senyum sabar. Inilah yang membuat hati Suma Hoat tidak kuat menahan.
“Kau... kau...! Biar tidak kepalang, kalau kau ingin mati... terimalah ini...!” Suma Hoat yang merasa ngeri kalau kelak melihat hwesio yang dipukulnya tanpa melawan menjadi seorang lumpuh selama hidupnya, kini menerjang maju dan memukul dengan pukulan paling hebat ke arah dada Kian Ti Hosiang. Lebih baik melihat hwesio ini mati dari pada melihat ia cacat selamanya karena pukulannya yang tidak dilawan!
Kembali pukulan ini diterima tanpa mengelak atau menangkis oleh Kian Ti Hosiang akan tetapi sepasang mata hwesio itu mengeluarkan sinar yang luar biasa.
“Desss...!”
Telapak tangan Suma Hoat dengan tepat mengenai dada Kian Ti Hosiang dan akibatnya... tubuh Suma Hoat terlempar jauh ke belakang, sampai lima enam meter jauhnya di mana ia roboh terbanting dan muntahkan darah segar! Dia merangkak bangun, mendekap dada yang terasa sesak, memandang ke arah hwesio yang masih bersila itu dengan pandang mata penuh kaget, heran dan kagum bukan main. Tahulah dia bahwa kalau hwesio ketua Siauw-lim-pai itu melawan, dalam beberapa gebrakan saja dia tentu akan roboh dan kehilangan nyawa!
“Janjinya hanya dua kali pukulan, Suma Hoat. Mengapa engkau memukul lagi?” dengan tenang Kian Ti Hosiang menegur perlahan.
Suma Hoat tak dapat menjawab karena napasnya makin sesak. Pukulannya tadi mengandung sinkang sekuatnya dan semua tenaga itu membalik dan menghantam dadanya sendiri. Ia terhuyung dan cepat menjatuhkan diri duduk bersila, mengatur napas untuk menghindarkan isi dadanya dari ancaman luka yang akan mematikannya.
“Oohhh, bocah setan yang kejam...!” Kam Siang Kui menggeram.
“Manusia iblis yang patut dibasmi!” Kam Siang Hui juga membentak.
Kedua orang wanita Beng-kauw ini sudah mencabut pedang dengan kemarahan meluap. Akan tetapi kembali terdengar suara Kian Ti Hosiang, “Ji-wi Toanio, harap jangan menggagalkan usaha pinceng. Akan sia-sialah pengorbanan pinceng kalau Ji-wi tidak dapat mengendalikan kemarahan!”
Mendengar ini, kedua orang itu mundur dan Kian Ti Hosiang berkata lagi, “Bagaimana, Suma Hoat, apakah engkau akan memegang janji?” Pertanyaan ini ditujukan kepada Suma Hoat yang masih duduk bersila, enam meter jauhnya dari tempat hwesio itu bersila dengan kedua kaki lumpuh dan kini berubah menjadi merah menghitam.
Suma Hoat membuka kedua matanya dan tampak dua titik air mata menetes turun. Selama hidupnya, baru sekali ini ia merasa menyesal bukan main. Tadinya ia mengira bahwa hwesio itu hanya membujuknya saja, siapa tahu bahwa hwesio itu benar-benar telah mengorbankan kedua kakinya menjadi lumpuh selamanya hanya untuk melihat dia dapat menjadi seorang baik-baik! Di dunia ini, mana mungkin ditemukan keduanya manusia seperti Ketua Siauw-lim-pai ini?
Dia merasa menyesal sekali dan dengan suara gemetar dia menjawab, “Locianpwe, aku bersumpah akan bertobat, akan berusaha menghilangkan perbuatan yang kotor, akan tetapi... aku tidak yakin apakah akan berhasil...”
“Berhasil atau tidak merupakan hal kedua, yang terutama sekali adalah kesanggupan untuk berusaha. Bagus, pinceng akan girang sekali kalau melihat engkau dapat kembali ke jalan benar, Sicu.”
“Aku berjanji, Locianpwe. Hanya untuk menjadi suami kedua orang muridmu, aku tidak sanggup karena aku pun tidak pernah berjanji untuk menjadi suami mereka. Aku telah bersumpah untuk tidak menikah selama hidup...”
Suma Hoat menghentikan kata-katanya karena terdengar jerit mengerikan disusul robohnya Liang Bi dan Kim Cui Leng dengan tubuh mandi darah. Kiranya ketika mendengar bahwa pria itu adalah Jai-hwa-sian, kemudian menyaksikan betapa gurunya mengalami bencana sampai kedua kakinya lumpuh dan mendengar ucapan terakhir Suma Hoat yang menusuk hatinya, Liang Bi menganggap bahwa dosanya dan dosa sumoi-nya tak terampunkan lagi. Ia menjadi beringas, dan mencabut pedang, tiba-tiba menyerang sumoi-nya dengan tusukan kilat yang menembus dada Cui Leng, kemudian ia menusuk dadanya sendiri sampai tembus.
Kian Ti Hosiang menoleh, merangkap kedua tangan depan dada sambil berkata, “Omitohud... dosa ditambah dosa lagi. Dengan kelemahan batinnya, mana mungkin manusia dapat bertahan menghadapi godaan nafsunya sendiri? Ji-wi Toanio dari Beng-kauw, Ji-wi melihat sendiri betapa pinceng kini tak mungkin dapat menghadapi Hoat Bhok Lama, maka harap suka memaafkan kalau pinceng tidak dapat membantu Ji-wi.”
Setelah berkata demikian, tiba-tiba tubuh yang sudah lumpuh kedua kakinya itu, dalam keadaan masih bersila, mencelat ke depan, kedua lengannya menyambar jenazah Liang Bi dan Kim Cui Leng, kemudian sambil memanggul dua mayat muridnya itu, tubuh yang tak dapat menggunakan kedua kaki lagi itu berloncatan ke depan dengan cepat, sebentar saja lenyap dari situ.
Suma Hoat memandang dengan mata terbelalak dan muka pucat. Penyesalan besar sekali menghimpit hatinya. Biasanya dia bisa tertawa-tawa melihat wanita-wanita membunuh diri karena menjadi korbannya. Akan tetapi, menghadapi kematian dua orang murid Siauw-lim-pai itu, melihat pengorbanan Ketua Siauw-lim-pai yang tiada taranya, ia merasa jantungnya seperti diremas-remas. Kembali dua butir air mata menetes dari matanya. Biar pun ia maklum bahwa dua orang wanita gagah itu dengan penuh kemarahan telah meloncat maju di depannya, Suma Hoat memejamkan mata dan menundukkan muka.
“Bocah setan! Sudah lama mendengar tentang kejahatan Jai-hwa-sian, siapa tahu kenyataannya lebih jahat lagi!” terdengar Kam Siang Kui berkata penuh kemarahan.
“Manusia iblis yang hanya mengotorkan dunia!” Kam Siang Hui juga berkata penuh kebencian, “Tidak hanya jahat, kejam dan pengecut hina, juga engkau telah menggagalkan bantuan Ketua Siauw-lim-pai kepada kami!”
Suma Hoat sedang menderita penyesalan yang hebat. Hatinya kesal dan sedih, akan tetapi wataknya untuk mencemooh wanita masih belum lenyap sama sekali. Ia membuka mata, memandang mereka berdua dan tersenyum. “Ji-wi Toanio, sekarang dua orang gadis itu telah mati, biar pun aku terluka akan tetapi kalau hanya melayani kalian bermain cinta, aku masih sanggup!”
“Keparat bermulut busuk!” Kam Siang Hui membentak, tangannya bergerak.
“Plakkk!” Suma Hoat hampir terguling ketika pipinya kena tampar yang keras sekali, akan tetapi ia tetap tersenyum biar pun ujung bibirnya berdarah oleh tamparan yang hebat itu. “Baru saja engkau berjanji kepada Kian Ti Hosiang, sekarang telah kau langgar, bedebah!”
“Ha-ha-ha, Toanio tidak adil! Memang aku berjanji untuk tidak melakukan kejahatan, termasuk memperkosa wanita. Akan tetapi, kalau ada wanita yang dengan suka rela hati mau melayani aku, mau kuajak berenang dalam lautan cinta, apakah ini juga jahat namanya? Tidak, Toanio, kalau Toanio berdua mau, tidak usah malu-malu, di sini tidak ada orang lain. Aku suka sekali melayani karena biar pun sudah agak tua, Toanio berdua masih cantik dan tentu lebih banyak pengalaman yang hebat-hebat...!”
“Plak-plak!”
Kini Suma Hoat terguling, matanya berkunang dan kepalanya pening karena dua kali tamparan tangan Kam Siang Hui itu lebih dahsyat lagi. Akan tetapi ia tersenyum dan memang dia sengaja memancing kemarahan kedua orang wanita gagah itu agar dia dibunuhnya saja untuk mengakhiri penyesalan yang menyesak di dada bersama luka akibat sinkang yang dikembalikan Kian Ti Hosiang tadi.
“Wanita seperti Toanio sudah berpengalaman, ibarat buah sedang masak-masaknya, manis dan...”
“Kubunuh engkau!” Kam Siang Hui membentak dan....
“Srat!” pedangnya sudah tercabut, akan tetapi lengannya dipegang oleh encinya.
“Hui-moi, tahan! Dia sengaja memanaskan hati kita agar kita membunuhnya! Terlalu enak baginya kalau begitu,” Kam Siang Kui melangkah maju memandang wajah Suma Hoat yang masih tersenyum itu lalu berkata, suaranya dingin.
“Suma Hoat, tertawalah karena engkau sudah berani menghina dan mempermainkan kami. Dengarlah dan kenalilah siapa adanya kami yang telah kau hina ini. Aku adalah Kam Siang Kui dan dia adalah adikku, Kam Siang Hui! Nenekmu, Kam Siang Eng, adalah bibi kami dan engkau adalah keponakan kami sendiri. Engkau telah bersikap kurang ajar dan menghina kedua orang bibimu sendiri. Nah, bersenanglah engkau!” Kam Siang Kui menarik tangan adiknya dan mereka berlari pergi dari situ, meninggalkan Suma Hoat yang tiba-tiba menjadi pucat mukanya.
“Ahhhh...!” Suma Hoat menutup muka dengan kedua tangannya. Pukulan batin yang dilontarkan Kam Siang Hui itu hebat sekali. Penyesalan hati yang menghimpit perasaannya menjadi makin berat. Ia mengeluh, muntahkan darah segar lalu tubuhnya terguling pingsan!
“Aduhhh... ampunkan aku... kedua bibi... ampunkan aku...,” ketika siuman Suma Hoat merintih-rintih, suaranya mengandung penuh penyesalan.
Tentu saja ia sudah mendengar akan nama kedua orang wanita itu, dan ia sudah mendengar bahwa mereka adalah kedua orang enci dari Kam Han Ki, puteri paman ayahnya yang bernama Kam Bu Sin. Maka mereka adalah pendekar-pendekar wanita Beng-kauw, bibi-bibinya sendiri, dan dia sudah berani mengajak mereka bermain gila, mengejek dan menghina mereka, bersikap kurang ajar sekali!
“Betapa baiknya orang yang masih mampu menyesali perbuatan sendiri dan bertobat lahir batin....”
Suma Hoat terkejut. Dia tidak ingat lagi berapa lama pingsan, dan kini ia merasa betapa ada telapak tangan menempel di punggungnya, tangan yang mengeluarkan hawa hangat dan orang itu ternyata sedang menyalurkan sinkang untuk mengobatinya! Ia menoleh dan mendapat kenyataan bahwa yang menolongnya itu bukan lain adalah Im-yang Seng-cu, tokoh pelarian Hoa-san-pai yang aneh dan berkaki telanjang itu! Ia menjadi terharu sekali. Seorang yang sama sekali tidak mempunyai hubungan dengannya, yang kebetulan saja pernah bertemu dengannya, kini tanpa diminta telah menolongnya.
“Ahhh... mengapa kau menolongku? Akan lebih baik kalau kau membiarkan aku mati....” Suma Hoat mengeluh ketika mendapat kenyataan betapa pertolongan orang aneh ini telah menyembuhkan rasa sesak di dadanya.
“Jai-hwa-sian... baru sekali ini selama hidupku aku menjumpai hal yang amat mengherankan. Seorang gagah perkasa seperti engkau kudapati pingsan di situ dan menderita luka dalam yang hanya dapat dilakukan oleh seorang yang memiliki sinkang amat kuatnya. Itu masih belum aneh. Yang lebih aneh lagi, engkau putus asa, berduka minta-minta ampun. Aihhh... apakah yang terjadi? Anggaplah aku sebagai sahabat, aku yang amat mengagumimu, atau saudaramu... ceritakanlah apa yang terjadi?”
Suma Hoat menganggap bahwa dirinya selalu dimusuhi dan dibenci orang, bahkan ayahnya sendiri mengusirnya, juga uwanya, Menteri Kam Liong yang sakti, membencinya. Ia merasa seperti hidup sebatang kara. Kini melihat sikap orang aneh yang amat baik ini, mengingat akan perbuatannya terhadap Ketua Siauw-lim-pai, terhadap dua orang bibinya, tak tertahankan lagi ia menangis tersedu-sedu seperti anak kecil!
Im-yang Seng-cu yang biasanya berwatak gembira dan jenaka, kini melongo keheranan. Kemudian, sambil terisak Suma Hoat menceritakan semua riwayatnya, semenjak hatinya rusak karena kekasih yang benar-benar dicintanya, yang diharapkan menjadi isterinya, Ciok Kim Hwa, membunuh diri. Kemudian betapa Menteri Kam Liong menentangnya, godaan selir ayahnya dan betapa ia diusir oleh ayahnya sehingga ia menjadi benci kepada wanita, benci di samping dorongan birahinya sehingga berubahlah dia menjadi Jai-hwa-sian. Diceritakan pula betapa dia telah melumpuhkan kedua kaki Kian Ti Hosiang dan bersikap kurang ajar terhadap kedua orang bibinya, tokoh-tokoh Beng-kauw!
Berkali-kali Im-yang Seng-cu menahan napas mendengar penuturan yang hebat itu dan dia hanya dapat menggeleng-geleng kepalanya, penasaran dan menyesal menyaksikan nasib seorang pendekar yang begini buruk sehingga terseret ke dalam kesesatan yang mengerikan.
Setelah selesai bercerita, menumpahkan segala perasaan yang menggelora di hatinya, Suma Hoat menangis dengan tubuh lemas.
“Aihhh..., betapa banyak aku bertemu orang yang hidupnya seolah-olah merupakan siksaan, akan tetapi tidak sehebat penderitaanmu, Jai-hwa-sian. Namamu Suma-hoat? Jadi engkau adalah putera Panglima Suma Kiat yang terkenal itu dan engkau masih keponakan Menteri Kam Liong? Ah... ah..., kiranya engkau masih terhitung keluarga pendekar besar Suling Emas! Pantas... pantas...! Dan engkau telah melumpuhkan kedua kaki Ketua Siauw-lim-pai tanpa dia melawan? Benar-benar ajaib Ketua Siauw-lim-pai itu. Aihh! Sekarang mengerti aku! Aku mengerti mengapa dia mengorbankan dirinya begitu rupa!”
Suma Hoat menyusut air matanya, mengangkat muka memandang sahabat barunya ini dengan sedih. “Dia mengorbankan diri semata-mata untuk menyadarkan aku, akan tetapi terlambat...! Aku sudah terlalu rusak, mana mungkin dapat dibetulkan lagi? Aku sudah terlalu kotor, mana bisa dibersihkan lagi? Dia telah mengorbankan diri dengan sia-sia dan aku merasa makin berat batinku...”
Akan tetapi Im-yang Seng-cu menggeleng kepala. “Mengalahkan orang lain, hal itu tidaklah terlalu mengagumkan. Mengalahkan hawa nafsu dalam diri sendiri, barulah mengagumkan! Kian Ti Hosiang adalah seorang budiman yang sukar dicari keduanya di dunia ini. Dia tidak hanya berkorban karena hendak menyadarkanmu, saudara Suma Hoat, melainkan karena dia hendak membalas budimu ketika engkau membela Siauw-lim-pai mati-matian. Di samping itu, hemmm... kalau aku tidak salah duga, orang tua yang sakti dan bijaksana itu sengaja membuat dirinya menjadi lumpuh karena urusan Beng-kauw!”
Mendengar ini, Suma Hoat tertarik sekali dan terheran-heran. Dia teringat akan ucapan seorang di antara bibinya yang menyalahkan dia sebagai orang yang telah menggagalkan bantuan Ketua Siauw-lim-pai kepada mereka.
“Apa maksudmu, Im-yang Seng-cu?”
“Tidak tahukah engkau bahwa kedua orang bibimu itu adalah tokoh-tokoh Beng-kauw yang berusaha merampas kembali Beng-kauw yang terjatuh ke tangan Hoat Bhok Lama? Karena Hoat Bhok Lama menguasai Beng-kauw dan orang ini amat sakti, bahkan semua tokoh Beng-kauw yang hendak menundukkannya banyak yang tewas di tangannya. Kedua orang bibimu itu minta bantuan Kian Ti Hosiang, maka agaknya pendeta itu sengaja membuat dirinya lumpuh tak berdaya!”
“Eh, mengapa begitu?”
Im-yang Seng-cu menghela napas dan memandang wajah sahabatnya yang dikaguminya itu penuh perhatian. “Saudara Suma Hoat, apakah engkau tidak tahu akan sifat orang-orang yang sudah mencapai kesaktian tinggi seperti Kian Ti Hosiang? Semenjak dahulu, ada saja orang sakti seperti dia. Ada tiga macam orang sakti yang mengambil jalan hidup berbeda-beda. Pertama adalah orang-orang sakti yang menjadi tokoh kaum sesat, menjadi datuk-datuk kaum sesat, di antaranya seperti Hoat Bhok Lama itulah. Yang kedua adalah orang-orang sakti seperti mendiang Menteri Kam Liong dan mendiang Mutiara Hitam, juga ayah mereka, pendekar sakti Suling Emas yang menggunakan kesaktian untuk menentang kejahatan atau membela negara sebagai patriot-patriot sejati. Orang ke tiga, yang sebetulnya memiliki tingkat lebih tinggi, adalah orang-orang seperti Kian Ti Hosiang dan Bu Kek Siansu, yang sama sekali tidak mau mempergunakan kesaktian untuk berkelahi, melainkan menggunakan kesaktian untuk menolong siapa saja, untuk mengembangkan kasih sayang antara manusia, untuk menyadarkan yang sesat, kalau perlu mengorbankan diri sendiri. Kian Ti Hosiang termasuk orang golongan ke tiga inilah. Dia tidak dapat menolak begitu saja permohonan tolong kedua orang bibimu dari Beng-kauw, akan tetapi dia pun merasa enggan untuk menggunakan kekerasan terhadap Hoat Bhok Lama. Maka dia sengaja menerima pukulanmu agar menjadi lumpuh sehingga dia mempunyai alasan untuk tidak menghadapi Hoat Bhok Lama di satu pihak, di lain pihak dia mengorbankan diri untuk menyadarkanmu.”
Suma Hoat terkejut sekali, wajahnya pucat, alisnya berkerut. “Aihhhh...! Dan seorang yang berbudi mulia seperti itu kupukul sampai cacat! Dan kepada dua orang bibiku yang demikian gagah perkasa aku telah bersikap kurang ajar. Manusia macam apa aku ini?” Dia mengeluh penuh penyesalan.
Im-yang Seng-cu menggeleng kepala. “Tidak aneh kalau dalam hidup ini kita sebagai manusia melakukan penyelewengan-penyelewengan, terseret oleh nafsu kita sendiri. Akan tetapi yang terpenting adalah kesadaran akan kesalahan sendiri dan belum terlambat untuk menebus kesalahan, juga kesalahanmu terhadap kedua orang bibimu.”
“Apa maksudmu, Im-yang Seng-cu? Ah, engkau yang kuanggap sahabat atau saudara, yang telah kuceritakan semua riwayatku yang belum pernah kubicarakan dengan orang lain, katakanlah, apa yang harus kulakukan untuk menebus kesalahanku?” Suma Hoat memegang lengan Im-yang Seng-cu yang menjadi terharu hatinya.
Im-yang Seng-cu membalas pegangan itu dan berkata, “Kedua bibimu berjuang untuk merampas kembali Beng-kauw yang dibawa menyeleweng oleh Hoat Bhok Lama. Kini harapan mereka musnah karena Kian Ti Hosiang tidak dapat membantu mereka. Marilah kita berdua membantu mereka menghadapi Hoat Bhok Lama yang lihai. Dengan jalan ini, selain menebus kesalahanmu terhadap kedua orang bibimu, juga berarti kita melakukan pekerjaan besar menolong Beng-kauw kembali ke jalan benar dan terbebas dari tangan seorang sakti yang sesat seperti Hoat Bhok Lama.”
Timbul semangat Suma Hoat. Ia melompat berdiri dan wajahnya berseri. “Bagus sekali! Terima kasih atas nasehatmu, Im-yang Seng-cu. Marilah kita pergi sekarang juga. Aku menyediakan nyawaku untuk membantu kedua orang bibiku itu!”
Im-yang Seng-cu bangkit sambil tertawa lebar. Kegembiraannya datang kembali. “Aku tahu! Aku tahu bahwa sebetulnya lebih banyak darah keluarga Suling Emas mengalir dalam tubuhmu, ha-ha-ha! Marilah kutunjukkan jalannya, sahabatku!” Kedua orang yang berilmu tinggi ini lalu melesat pergi menggunakan ilmu lari cepat mereka untuk menyusul kedua orang tokoh wanita Beng-kauw yang menuju ke Ta-liang-san.....
********************
Setelah sibuk membagi-bagi perintah dan mengatur siasat agar gerakan pasukannya yang akan bergabung dengan pasukan-pasukannya yang malam nanti akan menyerang barisan Sung yang dipimpin Panglima Suma Kiat, Maya lalu mengundurkan diri, beristirahat mencari angin sejuk di dalam hutan kecil di belakang perkemahan. Dia memilih tempat sunyi ini untuk beristirahat dan membayangkan kembali siasatnya untuk serbuan malam nanti agar tidak sampai ada hal yang sampai terlupa atau terlewat.
Malam masih jauh, saat itu baru menjelang senja dan penyerbuan mereka akan dimulai menjelang tengah malam. Setelah merasa yakin bahwa semua siasat dan persiapan telah diatur lengkap, dia melamun. Tersenyum-senyum panglima wanita yang perkasa ini teringat kepada Cia Kim Seng si penggembala domba yang tampan kasar, jujur dan tak kenal takut itu. Kiranya penggembala yang miskin itu adalah penyamaran Pangeran Bharigan, putera Kaisar Mancu! Dan selama ini pangeran itu telah menjadi pembantunya yang setia!
Akan tetapi Maya mengerutkan sepasang alisnya yang kecil panjang hitam melengkung indah itu kalau ia teringat kepada Can Ji Kun dan Ok Yan Hwa. Mereka itu adalah orang-orang yang paling dekat dengannya karena mereka adalah murid-murid Mutiara Hitam, bibinya. Dia merasa sesuatu yang aneh terdapat dalam hubungan di antara kedua orang itu. Ia melihat ada sikap yang bertentangan dalam kata-kata mereka, akan tetapi sejenak saja sikap bertentangan itu berubah menjadi kemesraan ketika mereka bergandeng tangan memasuki perkemahan berdua! Apakah kemesraan itu pun hanya akan berlangsung pendek saja, seperti sikap pertentangan mereka?
Dan ia menarik napas berulang-ulang kalau ia teringat kepada Kam Han Ki. Rasa rindu menyesak dadanya. Biar pun ia mengepalai banyak sekali pasukan, namun ia merasa seolah-olah dia hidup sendiri kesepian. Ke manakah suheng-nya itu sekarang? Dapatkah dia bertemu lagi dengan suheng-nya? Ia membayangkan bagaimana kalau ia kembali ke Pulau Es! Apakah suheng-nya masih berada di sana? Dan sumoi-nya, Khu Siauw Bwee, apakah sumoi-nya itu pun berada di sana?
Teringat akan suheng-nya, Maya melamun jauh dan di dalam hatinya timbul perasaan tidak enak dan penuh iri hati yang timbul dari cinta kasih yang digoda cemburu! Ia tahu bahwa sumoi-nya juga mencinta suheng mereka itu, akan tetapi dia tidak tahu pasti kepada siapakah di antara mereka hati penuh kasih sayang suheng-nya tertambat. Dia pun mengerti bahwa suheng-nya amat sayang kepada dia dan sumoi-nya, akan tetapi bukanlah itu yang dia dan sumoi-nya kehendaki, melainkan kasih sayang pria terhadap wanita! Karena tenggelam dalam lamunan, Maya yang biasanya berpendengaran tajam itu sampai tidak tahu bahwa sejak tadi ada orang berdiri tak jauh di belakangnya, memandangnya penuh perhatian dan dengan sinar mata penuh kasih!
“Maya...”
Dara perkasa ini terkejut, menengok dan alisnya berkerut ketika ia melihat Can Ji Kun telah berdiri di belakangnya. Tanpa bangkit dari atas batu yang didudukinya, Maya berkata, “Can Ji Kun, ada keperluan apakah engkau menemuiku?”
“Maya... aku... aku...,” Ji Kun menggagap.
Hati Maya merasa tidak enak mendengar pemuda ini memanggil namanya begitu saja, padahal biasanya menyebutnya ‘li-ciangkun’.
“Ji Kun, apakah yang terjadi? Engkau hendak bicara apa? Katakanlah!”
Ji Kun memandangnya dengan sinar mata penuh selidik, kemudian menghela napas dan berkata, “Maya, katakanlah, apakah selama aku menjadi pembantumu aku memuaskan hatimu? Apakah kau anggap aku telah berjasa dan melaksanakan tugasku dengan baik?”
Maya mengerutkan kening, tidak tahu dan tidak dapat menduga ke mana arah jalan pikiran pemuda itu. Ia mengangguk dan menjawab, “Pekerjaanmu baik sekali, Ji Kun dan aku puas dengan bantuanmu.”
“Syukurlah kalau begitu, Maya. Aku jadi lega dan berani menyatakan perasaan hatiku kepadamu. Sesungguhnya... eh, semenjak kita bertemu... sesungguhnya... aku amat tertarik kepadamu, Maya. Aku... aku cinta padamu! Nah, sudah kukatakan sekarang terserah penerimaanmu, Maya. Aku cinta padamu!”
Maya membelalakkan matanya, dan kedua pipinya menjadi merah sekali. Baru pertama kali ini didengarnya pernyataan seorang pemuda yang mengaku cinta padanya. Hal ini menimbulkan keharuan di hatinya. Dia mencinta suheng-nya dan tidak terbalas, kini tanpa disangka-sangkanya Can Ji Kun murid bibinya menyatakan cinta! Hal ini sesungguhnya bukan merupakan hal aneh, akan tetapi ia teringat akan hubungan mesra antara Ji Kun dan Yan Hwa, dan hal inilah yang membuat dadanya terasa panas dan membuat dia langsung menjawab keras.
“Can Ji Kun, betapa berani engkau mengeluarkan kata-kata seperti itu! Engkau dan Yan Hwa.... Kau kira mataku buta tidak dapat melihat bahwa ada pertalian kasih antara kalian berdua? Baru saja engkau bertemu dengan dia, dan sekarang engkau telah berani menyeleweng dan menyatakan cinta kepadaku?”
“Tidak! Kalau ada pertalian antara sumoi dan aku, pertalian itu adalah pertalian benci dan saling bersaing, bukan cinta. Aku tergila-gila kepadamu, Maya, aku tertarik begitu berjumpa denganmu. Aku cinta padamu!”
“Sudahlah!” Maya berkata jengkel. “Seorang manusia hanya dapat mencinta satu kali saja! Aku yakin bahwa Yan Hwa mencintamu, Ji Kun, dan demikian pula engkau pun cinta kepadanya. Bukankah tadi kalian telah memperlihatkan perasaan itu dengan terang-terangan?”
“Maya, kami hanya kadang-kadang berbaik karena mengingat hubungan suheng dan sumoi. Akan tetapi aku tidak pernah akur dengannya. Aku hanya mencinta engkau seorang, Maya, dewi pujaan hatiku, tidak kasihankah engkau kepadaku?” Tiba-tiba Ji Kun sudah menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Maya!
Maya bangkit berdiri, membanting kaki dan membentak, “Ji Kun! Hentikan kegilaan ini! Aku tidak bisa mencinta engkau atau laki-laki lain! Kita sedang menghadapi tugas penting malam ini dan aku melarang engkau bicara tentang cinta!”
“Maya, aku siap membantu dengan taruhan nyawa. Akan tetapi sebelumnya, katakanlah bahwa engkau tidak akan menolak cinta kasihku. Berilah aku sedikit harapan, Maya...”
“Gila! Aku tidak tahu apa yang membuatmu menjadi gila ini! Tidak, sampai mati pun aku tidak dapat mencinta pria lain!”
“Maya... apakah... apakah hati dan cintamu telah dimiliki pria lain?”
Pertanyaan ini menusuk perasaan Maya dan tanpa disadarinya, wajahnya yang tiba-tiba berubah pucat itu kelihatan muram, dua titik air mata menimpa pipinya.
Melihat ini Ji Kun juga bangkit berdiri, memegang lengannya dan bertanya, “Siapa dia, Maya? Siapa pria yang menyakiti hatimu? Katakan, akan kupenggal lehernya!”
Sekali renggut Maya melepaskan lengannya dan memandang wajah Ji Kun dengan sinar mata marah. “Can Ji Kun, hentikan segala omong kosong ini! Aku tidak dapat menerima, apa lagi membalas cintamu. Habis! Aku tidak sudi mendengarnya lagi!” Setelah berkata demikian, ia meninggalkan pemuda yang berdiri dengan muka menunduk itu. Setelah berjalan beberapa langkah, Maya berhenti, menengok dan berkata, “Dan jangan lupa menyebutku ‘ciangkun’ kalau engkau masih suka bekerja sebagai pembantuku!”
Ji Kun tidak menjawab, hanya berdiri tegak dengan kepala menunduk. Ia tak berani menatap kepergian gadis itu, seakan takut bahwa ia telah ditinggalkan selamanya.
Setelah tiba di kamarnya, Maya menjatuhkan dirinya di atas pembaringan, lalu merenung, terkenang kepada suheng-nya. Terbayang ia kepada Ji Kun yang berdiri menunduk seperti itu ketika dia tinggalkan. Diam-diam ia mempertimbangkan semua sikapnya. Tidak terlalu keraskah dia terhadap pembantunya itu? Can Ji Kun adalah murid bibinya, seorang pemuda yang perkasa dan tampan gagah.
Betapa pun juga, tidak dapat dipersalahkan dia sebagai seorang pemuda tertarik dan menyatakan cinta kasihnya. Mengapa ia tadi marah dan memperlihatkan sikap tak senang? Sepatutnya pemuda itu dikasihani! Betapa sengsara hati mencinta yang tidak mendapat sambutan, seperti... seperti dia mencinta Han Ki!
Teringat akan ini, timbul perasan iba di hati Maya. Dia tadi bersikap terlalu keras, dan sukarlah menemukan pembantu seperti pemuda itu. Aku harus melunakkan hatinya, minta maaf dan menghiburnya. Dengan pikiran ini, Maya lalu melompat turun dan melesat ke luar perkemahan, memasuki hutan kecil itu. Malam telah tiba, akan tetapi di luar tidak terlalu gelap karena angkasa terhias bulan yang tidak terhalang awan.
Betapa kagetnya ketika ia tiba di dalam hutan itu, ia melihat sinar pedang begulung-gulung dan ternyata Ji Kun sedang bertanding pedang mati-matian melawan Yan Hwa! Kiranya tadi ketika Ji Kun merayu dan menyatakan cinta kasih kepada Maya, Yan Hwa mengintai dari balik pohon dan ketika Maya pergi, Yan Hwa yang menjadi panas hatinya oleh cemburu itu lalu muncul dan memaki-maki Ji Kun lalu menyerangnya!
Yan Hwa tak tahu bahwa sebetulnya Ji Kun memang sengaja memancing kemarahannya, memancing cemburunya dan sengaja merayu Maya karena tahu bahwa kekasihnya, sumoi-nya dan juga saingannya itu mengintai! Setelah puas memaki, Yan Hwa lalu menyerang dan berlangsunglah pertandingan untuk membuktikan pedang siapa yang lebih ampuh dan kepandaian siapa lebih tinggi!
Ketika melihat kedua orang itu bertanding mati-matian, bukan main-main, dan melihat Ji Kun terluka pundaknya sedangkan Yan Hwa terluka pangkal lengannya, biar pun hanya tergores ujung pedang namun mengucurkan darah, Maya lalu mencabut pedangnya dan ia melompat ke depan, mengelebatkan pedangnya.
“Cring-cring...!” Ji Kun dan Yan Hwa melompat mundur dengan tangan tergetar hebat oleh tangkisan pedang Maya.
“Apakah kalian sudah gila? Hentikan pertandingan ini!” bentak Maya.
“Aku harus membunuhnya!” Yan Hwa berseru dan menerjang maju lagi.
“Perempuan sombong, kau kira begitu mudah?” Ji Kun balas membentak.
“Tranggg....!” Pedang mereka bertemu dan bunga api berhamburan.
“Berhenti kataku!” Maya menerjang lagi di antara mereka. Pedangnya berkelebat menyilaukan mata, mengancam leher kedua orang itu sehingga kembali mereka mundur untuk mengelak.
“Kalian dua orang gila! Kita menghadapi serbuan musuh dan kalian saling serang mati-matian! Apa artinya ini? Celaka sekali! Kalau kalian masih tetap hendak bertanding, tidak usah saling serang, marilah layani aku! Orang-orang seperti kalian ini tidak patut menjadi murid-murid Bibi Mutiara Hitam! Kematian Bibi belum terbalas, juga sekarang kita menghadapi si keparat Suma Kiat. Pembalasan untuk kita berada di depan mata dan kalian malah saling serang. Hayo, kalau memang kalian tidak bisa didamaikan, biarlah aku yang mewakili mendiang Bibi Mutiara Hitam memberi pengajaran kepada kalian!”
Melihat Maya sudah marah sekali, kedua orang itu menunduk. Mereka telah mengenal kelihaian Maya dan mereka tidak menaruh kebencian kepada pendekar wanita ini, maka biar pun ditantang mereka diam saja. Keduanya saling pandang dan Ji Kun lebih dulu menyarungkan pedangnya, diturut oleh Yan Hwa.
“Maya... eh, Li-ciangkun, maafkan aku yang dimabokkan kemarahan. Sumoi, ucapan Li-ciangkun benar, kita masih menghadapi tugas berat, tidak semestinya saling serang. Maafkan aku, Sumoi.”
Yan Hwa menarik napas panjang. “Aku yang salah. Aku terburu nafsu, Suheng. Akan tetapi jangan kau memanaskan hatiku. Aku yang minta maaf.”
Hampir Maya tertawa mendengar dan melihat sikap mereka itu. Ia menyarungkan pedangnya dan berkata, “Ji Kun dan Yan Hwa, kalian adalah murid seorang pendekar sakti yang terkenal. Kalian bukanlah orang-orang lemah. Dalam keadaan seperti sekarang ini, di mana kita bersama menghadapi tugas yang berat dan penting, urusan pribadi harus di kesampingkan dulu. Apa lagi kalau timbul urusan di antara kita yang bukan musuh, masih banyak jalan untuk berunding dan bermusyawarah, tidak semestinya diselesaikan di ujung pedang seperti musuh-musuh besar!”
“Maaf, Li-ciangkun. Marilah Sumoi, kita melanjutkan persiapan dengan pasukan kita.”
“Mari Suheng. Dan luka di pundakmu itu harus diobati.”
“Juga luka di lenganmu. Aih, mengapa kita begitu terburu nafsu?”
Kedua orang itu saling menghampiri lalu bergandeng tangan meninggalkan tempat itu. Maya menarik napas panjang dan menjatuhkan diri duduk di atas batu. Ia tidak tahu apakah dia harus marah, harus menangis, apakah tertawa. Kedua orang yang menjadi murid-murid bibinya itu benar-benar gila! Jelas bahwa mereka saling mencinta, akan tetapi mengapa mereka bisa saling serang mati-matian seperti itu? Kalau dia tidak muncul, sukar untuk membayangkan mereka akan dapat lolos dari cengkeraman maut di ujung sepasang pedang iblis yang mengerikan itu!
Hemm, mereka itu saling mencinta, akan tetapi di antara mereka juga terdapat persaingan yang mengerikan! Tiba-tiba Maya mengepal tinju dan mengertak giginya. Kurang ajar! Tentu saja Ji Kun tadi sengaja merayunya untuk menyiksa hati Yan Hwa, untuk mendatangkan cemburu! Tidak salah lagi, tentu mereka bertanding karena Yan Hwa cemburu! Akan tetapi pandang mata Ji Kun tadi! Benar-benarkah pemuda murid bibinya itu jatuh cinta kepadanya? Ataukah hanya tertarik oleh kecantikannya? Ia menghela napas, sudah memaafkan Ji Kun.
Agaknya begitulah sifat laki-laki. Suheng-nya juga sering kali memandangnya seperti itu, akan tetapi toh suheng-nya itu kadang-kadang seperti mencinta sumoi-nya. Apakah semua laki-laki memiliki sifat mata keranjang?
Menjelang tengah malam, bergeraklah Pasukan Maut yang dipimpin oleh Maya, dan pembantu-pembantunya yang lihai, yaitu Can Ji Kun, Ok Yan Hwa dan Kwa-huciang. Mereka bergerak dari tiga jurusan dan diam-diam Ok Yan Hwa telah menghubungi Theng Kok untuk membantu dengan pasukan serigalanya.
Maya telah mengadakan kontak rahasia dengan Pangeran Bharigan atau Cia Kim Seng si pengembala yang memimpin pasukan besar Mancu, dan yang bergerak dari jurusan lain untuk secara langsung menyerbu pasukan Sung. Serbuan langsung itu yang akan memancing pasukan Sung sehingga mereka lengah akan ancaman yang lebih hebat dari tiga jurusan, belakang kanan dan kiri Pasukan Maut Maya!
Akan tetapi barisan Mancu kecelik kalau mereka mengira bahwa mereka akan dapat menyerbu secara mendadak dan mengacaukan musuh. Begitu tiba di lapangan terbuka, terdengar sorak-sorai meledak-ledak dan mereka disambut oleh pasukan Sung yang sudah siap menyambut kedatangan mereka!
Barisan Mancu terkejut dan ternyata kini bahwa bukan merekalah yang menyerbu secara mendadak, bahkan sebaliknya mereka yang diserbu dengan tiba-tiba sehingga barisan mereka menjadi kacau-balau! Perang tanding terjadi dengan hebatnya di malam gelap itu, perang sampyuh tanpa memilih lawan, hanya membedakan antara kawan dan lawan dari pakaian dan teriakan-teriakan mereka.
Karena bulan bersembunyi di balik awan hitam seolah-olah merasa ngeri menyaksikan manusia-manusia di bumi yang saling sembelih dan saling bunuh sehingga darah membanjir di lapangan itu, dengan sendirinya perang berhenti, masing-masing menarik pasukannya dan mengatur barisan sambil menanti saat perintah atasan. Pemimpin masing-masing meneliti keadaan musuh dan mendapat kenyataan bahwa mereka itu sama kuat.
Jumlah pasukan Sung memang lebih banyak, akan tetapi mereka itu berada di lapangan yang telah diserbu dari depan, sedangkan para penyelidik barisan Sung melihat gerak-gerik musuh di kanan kiri dan belakang sehingga mereka maklum bahwa biar pun belum ada penyerbuan dari tiga penjuru ini, namun dari situ ada pula ancaman, sehingga sebagian pasukan dikerahkan untuk melakukan penjagaan di sayap kanan, kiri dan belakang.
Rencana Maya untuk melakukan penyergapan di waktu malam ternyata gagal. Tanpa terduga-duga awan-awan gelap menutupi bulan, tidak memungkinkan terjadinya perang tanding. Hal-hal seperti itu sering kali terjadi atas diri manusia.
Betapa pun pandainya manusia mengatur siasat dalam melakukan sesuatu, baru akan berhasil kalau Tuhan menghendaki! Kalau Tuhan tidak menghendaki, segala usaha akan gagal berantakan oleh hal-hal yang tak dapat dihalau oleh tenaga manusia.....
Selanjutnya baca
ISTANA PULAU ES : JILID-12