Fitnah Berdarah Di Tanah Agam

WIRO SABLENG
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya: Bastian Tito
Episode 167

Fitnah Berdarah Di Tanah Agam

(Episode Kedua Dari Rangkaian Episode Kupu-Kupu Giok Ngarai Sianok)

SATU
UNTUK beberapa lama nenek berjuluk Si Kamba Mancuang Tangan Manjulai masih memegangi kain putih yang muncul secara tidak terduga dalam keadaan tergulung pada sebatang potongan bambu dan menancap di tanah, sementara beberapa tokoh silat yaitu Ki Bonang Talang Ijo, Perwira Muda Teng Sien, Pandeka Bumi Langit Dari Sumanik dan Tuanku Laras Muko Balang yang ada di situ memperhatikan. Di atas kain putih terdapat tulisan yang memberi tahu bahwa orang yang membunuh Duo Hantu Gunung Sago Si Kalam Langit adalah Wiro, yang disebut sebagai pemuda Jawa berambut panjang, berjuluk Pendekar 212 Wiro Sableng.

Setelah ditanggalkan dari batang bambu si nenek akhirnya serahkan kain putih pada Ki Bonang Talang Ijo, tokoh silat dari tanah Jawa yang bertindak selaku pimpinan pencarian kupu-kupu batu giok yang lenyap secara gaib dari tempat asalnya di Kotaraja Kerajaan Tiongkok.
“Ki Bonang, baca tulisan ini. Aku ingin tahu bagaimana pendapatmu.”
Kakek bermuka hijau ambil kain putih yang diserahkan dan segera membaca apa yang tertulis di atas kain itu. Selesai membaca dia berpaling pada Si Kamba Mancuang Tangan Manjulai lalu bertanya, “Kau berkata ingin tahu bagaimana pendapatku. Apa maksudmu Kamba Mancuang?”
“Aku tidak yakin pemuda Jawa bernama Wiro itu yang membunuh Si Kalam Langit.” Menjawab si nenek.
“Eh, bagaimana kau bisa berkata begitu?” kembali Ki Bonang ajukan pertanyaan sambil usap dagunya yang ditumbuhi janggut tipis putih.
“Ketika Si Kalam Langit menemui ajal, pemuda Jawa itu sedang bertarung melawanku. Bagaimana mungkin dia berada di dua tempat yang berlainan pada waktu bersamaan?”
“Kita akan menyelidiki hal itu. Tapi saat ini kita harus mengambil keputusan untuk lebih dulu mengetahui di mana beradanya kupu-kupu hidup benaran itu.”
“Ki Bonang, kau berasal dari tanah Jawa. Apakah kau tidak mengenal pemuda berambut panjang berjuluk Pendekar Dua Satu Dua Wiro Sableng itu?” Bertanya si nenek Kamba Mancuang Tangan Manjulai.
“Aku belum pernah bertemu muka. Namun pendekar yang masih muda itu telah menggegerkan rimba persilatan tanah Jawa. Dia memiliki beberapa orang guru yang merupakan tokoh silat berkepandaian tinggi. Kalau tidak salah aku mengingat, konon dari sekian banyak gurunya ada satu atau dua orang yang berasal dari negeri ini. Aku tidak tahu siapa mereka adanya. Pemuda itu dikenal mulai dari ujung barat sampai ujung timur tanah Jawa, mulai dari pantai utara sampai ke pantai selatan. Ilmu silat serta kesaktiannya sulit dicari tandingan. Hanya saja konon dia memiliki perangai tidak terpuji. Itu sebabnya dia dijuluki pendekar sableng, yang berarti pendekar gila. Tapi siapapun dia adanya, yang jadi pertanyaan bagiku ada kepentingan apa dia berada di tanah Minang ini?”
“Ki Bonang,” Tuanku Laras Muko Balang berkata sambil mendekati Ki Bonang Talang Ijo. “Aku hanya menduga­duga tapi mudah-mudahan dugaanku benar adanya…”
“Tuanku Laras, apa gerangan dugaanmu?” tanya Ki Bonang pula.
“Ketika kita mengepung dan menyerbu pondok kediaman Sutan Panduko Alam di Bukit Malintang, kupu­kupu itu berhasil melarikan diri karena diterbangkan oleh sorban sakti milik Sutan Panduko Alam. Agaknya Sutan Panduko Alam sudah menyadari apa yang bakal terjadi. Itu sebabnya dia berencana melakukan sesuatu. Sorban melayang ke arah timur. Berarti masih dalam batasan Luhak Nan Tigo. Kami di sini tahu kalau Sutan Panduko Alam bersahabat dengan para datuk pimpinan Luhak Nan Tigo. Salah seorang dari mereka merupakan ketua dari para datuk yaitu Datuk Marajo Sati. Datuk ini tinggal di sebuah goa di Ngarai Sianok. Ngarai Sianok adalah tempat paling dekat dibandingkan dengan tempat kediaman para datuk lainnya. Aku berani mengatakan dengan sorban yang membawa kupu-kupu giok itu terbang ke tempat kediaman Datuk Marajo Sati. Malam tadi aku coba mengukur kebenaran dugaanku dengan Pedang Al Kausar. Pedang sakti memberi petunjuk yang membenarkan dugaanku…” Sambil bicara orang berwajah belang ini mengusap-usap badan pedang perak besar miliknya yang merupakan sebilah senjata sakti dan konon berasal dari tanah Arab.
“Kalau begitu ada baiknya kita mendatangi Datuk Marajo Sati sekarang juga di Ngarai Sianok. Kita bicara baik-baik. Kalau dia tidak mau berkata jujur dan ternyata memang menyembunyikan kupu-kupu batu giok itu, kita tidak perlu berbasa-basi lagi. Kita punya kewajiban untuk mendapatkan kupu-kupu batu giok itu. Kita sudah menerima sebagian dari hadiah yang dijanjikan. Tuanku Laras, aku minta agar kau yang memimpin jalan ke sana dan bicara pertama kali begitu bertemu dengan Datuk itu.”
“Terima kasih atas kepercayaan Ki Bonang. Menemui sang Datuk memang harus kita lakukan. Tapi kita harus bertindak hati-hati. Datuk itu bukan orang sembarangan. Para datuk lainnya pasti akan turun tangan jika terjadi apa­apa dengan Datuk Marajo Sati,” kata Tuanku Laras Muko Balang menjawab ucapan Ki Bonang Talang Ijo. “selain itu Pedang Al Kausar juga memberi petunjuk lain yang tidak boleh kita abaikan…”
Kening Ki Bonang Talang Ijo berkerenyit.
“Petunjuk apa Tuanku Laras?” tanya Pandeka Bumi Langit Dari Sumanik.
“Seperti tarak yang dilakukan sahabatku Si Kamba Mancuang, malam tadi Pedang Al Kausar secara gaib membuat guratan di tanah. Guratan itu menggambarkan kepala seorang pemuda berambut panjang.”
“Itu gambaran pemuda dari Jawa bernama Wiro tadi…” ucap Ki Bonang.
“Benar sekali. Pedang memberi tanda kalau pemuda itu akan menjadi batu penghalang dari semua apa yang akan kita lakukan…” kata Tuanku Laras Muko Balang pula sambil menggantungkan pedang besar ke pinggang.
Ki Bonang Talang Ijo pejamkan mata, coba merenung. Begitu mata dibuka kakek bermuka hijau ini mulai melangkah mundar-mandir. “Pendekar Dua Satu Dua Wiro Sableng. Dia berada di tanah Minang. Apakah ini satu kebetulan atau memang dia juga punya niat yang sama dengan kita. Ingin mengambil kupu-kupu batu giok. Tapi bagaimana dia tahu akan keberadaan kupu-kupu itu? Pasti ada seseorang yang memberi petunjuk…”
“Mungkin saja dia menginginkan ujud asli yang ada di dalam batu. Yaitu gadis cantik bernama Chia Swie Kim…” Yang berkata adalah Tuanku Laras Muko Balang. Si janggut putih tipis ini berpaling pada Perwira Muda Teng Sien. Sang perwira yang cuma mengerti sedikit bahasa anak negeri hanya menduga-duga apa yang dikatakan orang lalu angguk-anggukkan kepala.
Ki Bonang mengusap dagu beberapa kali. “Tuanku Laras, apa yang kau katakan itu bisa jadi betul. Karena apa yang aku dengar, pemuda bernama Wiro itu seorang mata keranjang, mempunyai kekasih di mana-mana.”
Mendengar ucapan Ki Bonang, si nenek Mancuang Tangan Manjulai tampak berubah wajahnya tapi kemudian dia palingkan kepala sambil diam-diam tersenyum.
“Kalau kita bisa saling bermufakat, memang ada baiknya mencari pemuda bernama Wiro itu lebih dulu. Kita harus memberi peringatan agar dia jangan mencampuri urusan kita. Selesai dengan pemuda itu, kita baru kembali menyelidiki keberadaan kupu-kupu batu giok. Yang akan kita selidiki orangnya sudah kita ketahui, begitu juga tempat kediamannya. Yaitu Datuk Marajo Sati. Para sahabat, bagaimana pendapat kalian?”
Tuanku Laras Muko Balang, Perwira Muda Teng Sien dan Pandeka Bumi Langit Dari Sumanik segera menyatakan persetujuan mereka. Si Kamba Pesek Tangan Manjulai tidak hersuara karena masih tersandar dalam keadaan cidera di batang pohon dengan mata terpejam.
“Bagaimana dengan kau sahabatku nenek Kamba Mancuang? Kau tidak berkata apa-apa.” Kata Ki Bonang Talang Ijo pada si nenek Kamba Mancuang Tangan Manjulai.
“Aku mohon maafmu Ki Bonang. Juga pada para sahabat yang ada di sini. Kita tidak mungkin membawa saudaraku yang sakit. Aku tidak mungkin pula meninggalkannya di sini seorang diri. Aku harus membawanya ke satu tempat dan merawatnya terlebih dulu hingga sembuh.”
Seperti diceritakan dalam “Kupu-Kupu Giok Ngarai Sianok” nenek Si Kamba Pesek yang adalah saudara kembar Si Kamba Mancuang menderita cidera patah tulang iga kiri kanan akibat hantaman siku Sutan Panduko Alam yang disergapnya dari belakang.
Ki Bonang Talang Ijo tampak kecewa mendengar ucapan si nenek. Terus terang dia berkata. Ucapannya agak ketus. “Aku berharap kau tidak akan berbuat seperti Duo Hantu Gunung Sago Si Batu Bakilek yang pergi begitu saja dengan alasan hendak mencari pembunuh saudaranya.”
Si nenek diam saja. Ki Bonang mendekati dan berkata setengah berbisik. “Apa yang kau katakan tadi adalah cuma satu alasan saja. Aku tahu kau punya alasan lain mengapa tidak bergabung dengan kami mencari pemuda bernama Wiro Sableng itu. Kau takut berhadapan dengannya karena sudah pernah dipecundangi, ditotok tak berdaya…”
Si nenek menyeringai, memperlihatkan barisan gigi atas bawah yang berlapis perak.
“Ki Bonang, kau mungkin tidak punya dusanak (saudara), hingga tidak tahu dan tidak bisa mengetahui bagaimana rasanya ikut sakit dan ikut khawatir kalau seorang saudara dalam keadaan cidera seperti yang aku alami. Atau mungkin memang begitu adat kebiasaan orang di negerimu? Tidak perduli pada saudara yang sedang menderita!”
Untuk kedua kalinya Ki Bonang Talang Ijo ditempelak orang. Yang pertama dilakukan oleh Duo Hantu Gunung Sago Si Batu Bakilek beberapa waktu lalu. Sambil tersenyum kakek berbelangkon hijau itu serahkan kembali secarik kain putih pada si nenek. Dia pegang bahu Si Kamba Mancuang lalu bicara dengan suara merendah, “Sahabat, aku tidak bermaksud bicara buruk padamu. Aku bisa mengerti perasaanmu. Jika kau memang ingin lebih dulu merawat saudara kembarmu itu silahkan saja. Tapi aku mohon, jika dia sudah mulai sembuh harap kau lekas bergabung kembali. Kita membutuhkan orang-orang berkepandaian tinggi sepertimu. Satu hal harus kau ketahui. Orang Jawa sama baiknya seperti orang di negeri ini.”
Tak lama setelah Ki Bonang Talang Ijo, Pandeka Bumi Langit Dari Sumanik, Teng Sien dan seorang anak buah serta Tuanku Laras Muko Balang meninggalkan tempat itu, perlahan-lahan Si Kamba Pesek Tangan Manjulai buka kedua matanya, menatap ke arah saudaranya.
“Kamba Mancuang, aku tahu kau menolak mencari pemuda Jawa itu bukan karena ingin merawatku…”
“Heh! Saudaraku, bagaimana kau bisa berkata seperti itu? Kau juga menyangka aku takut berhadapan lagi dengan pemuda itu?”
Si Kamba Pesek menggeleng. “Bukan, bukan karena alasan itu. Ada alasan lain. Aku tengah menduga-duga. Tadi malam aku lihat kau bertarak membaca mantera memanggil guru kita Inyiek Susu Tigo. Kau juga kudengar seperti hendak merapal mantera yang hanya boleh diucapkan satu kali seumur hidup. Mantera Pelangi ke Bumi. Kau mau berbuat apa? Apakah kau hendak memohon untuk kembali ke ujud asli atau… Kau kira semudah itukah…”
“Aku membatalkan mantera itu. Kau jangan terlalu bercuriga,” kata Si Kamba Mancuang cepat-cepat menukas ucapan saudara kembarnya.
“Saudaraku, apa yang kau inginkan dari guru kita. Mengapa kau berusaha ingin bertemu dengan beliau?” Si Kamba Pesek masih mendesak dengan pertanyaan.
“Saudaraku, kau masih sakit. Sebaiknya jangan banyak bicara dulu. Lebih baik kau banyak istirahat…”
Si Kamba Pesek tersenyum. “Kau tidak menceritakan pada Ki Bonang dan yang lain-lainnya…”
“Menceritakan apa?” potong Si Kamba Mancuang.
“Kejadian yang kau ceritakan padaku waktu kau berkelahi menghadapi pemuda dari Jawa itu.”
“Apa yang tidak aku ceritakan?” tanya Si Kamba Mancuang. Wajah tuanya yang putih cantik berubah merah.
“Ketika pemuda itu memeluk dan menciumi dirimu! Hik… hik… hik!” Si Kamba Pesek tertawa cekikikan. Si Kamba Mancuang berubah merah wajahnya.
“Pemuda itu bukan hanya kurang ajar tapi juga gilo-gilo alang (sinting). Bukan begitu kata Ki Bonang tadi? Jadi perlu apa diceritakan perbuatan gilanya?”
“Tapi kau senang dipeluk dan dicium pemuda itu, kan?”
“Jangan bicara kurang ajar! Nanti aku tampar mulutmu!” Bentak Si Kamba Mancuang.
Si Kamba Pesek kembali tertawa cekikikan. “Aku membayangkan, betapa bahagia nikmatnya kalau diriku yang dipeluk dan dicium pemuda itu. Hemmm…”
“Kalau begitu mengapa kau tidak pergi saja mencarinya. Kalau bertemu berikan dirimu padanya. Katakan kau minta dipeluk, dicium, dan entah apa maumu lagi. Mungkin kau juga minta ditelanjangi!” Si Kamba Mancuang tampaknya jengkel sekali hingga sampai mengeluarkan kata-kata keras begitu rupa. Si Kamba Pesek tertawa panjang. “Aku tahu kau cemburu. Hik… hik… hik.” Tiba-tiba Si Kamba Pesek hentikan tawa. Air mukanya tampak bersungguh-sungguh. “Kamba Mancuang, kau harus segera melakukan sesuatu…”
“Apa maksudmu?” tanya Si Kamba Mancuang.
“Kau harus cepat menemui pemuda itu sebelum orang-orang itu menemuinya.”
“Kenapa begitu?”
“Aih, tololnya saudaraku satu ini. Apa kau ingin Ki Bonang dan yang lain-lainnya membantai pemuda dari Jawa itu?! Apakah kau tidak berniat menolongnya jika dia memang tidak bersalah?!”
Wajah Si Kamba Mancuang berubah.
“Sudahlah, aku tidak memikirkan hal itu…”
“Jangan berdusta padaku. Pergi cepat. Kau tak usah mengawatirkan sakitku. Aku akan pergi ke tempat kediaman guru. Syukur kalau beliau mau menemui dan mengobatiku. Tapi rasanya aku sudah sembuh. Lihat!” Si Kamba Pesek lalu berpegangan ke batang pohon. Sambil mengerenyit menahan sakit dan terbungkuk-bungkuk nenek ini perlahan-lahan bangkit berdiri. Ketika dia berpaling, saudara kembarnya Si Kamba Mancuang tidak ada lagi di tempat itu!
Si Kamba Pesek tersenyum. “Saudaraku, aku belum melihat pemuda itu. Tapi jika kau tidak marah sungguhan sewaktu dipeluk dan diciumnya berarti pasti dia seorang pemuda yang gagah. Kalau Allah menghendaki, mungkin ini satu jalan yang diberikanNya untuk kita bisa kembali seperti dulu lagi…” Sambil melangkah tertatih-tatih sepasang mata nenek ini tampak berlinang-linang.
Mendadak si nenek hentikan langkah. Di hadapannya tiba-tiba saja berdiri seorang pemuda berpakaian putih berkopiah hitam yang kekecilan. Di sebelah belakang kopiah, rambut panjang menjulai sebahu. Kedua orang ini sama-sama tertegun, sama-sama terperangah. Si pemuda menyeringai, menggaruk rambut di atas kuduk lalu berkata. “Eh, nek! Hidungmu kenapa jadi pesek?!”
***
DUA
SI KAMBA Pesek pegang hidung sendiri lalu tertawa cekikikan. “Dari lahir hidungku memang sudah pesek! Kau hanya sekedar bertanya atau mau menghinaku?!”
“Nah… nah, suaramu juga agak berbeda. Kau ini pandai merubah diri atau bagaimana. Matamu basah, seperti habis menangis. Lalu sebentar-sebentar kau mengerenyit. Agaknya ada sesuatu yang sakit di tubuhmu! Totokanku tidak mungkin akan mencideraimu.”
“Hemmm…” si nenek keluarkan suara bergumam. Dalam hati dia berkata. “Pemuda ini pandangan matanya sungguh tajam. Dia bisa menduga apa yang terjadi dengan diriku. Tapi dia belum tahu kalau aku ini kembaran Si Mancuang…”
Si Kamba Pesek usap kedua matanya. Waktu tangan kirinya diangkat kembali nenek ini mengerenyit karena gerakan itu memang membuat sakit tulang-tulang iganya yang cidera patah. “Anak muda, sekarang aku tahu siapa kau. Rambut panjang, bicara seperti orang kepedasan. Kau pasti anak manusia dari Jawa yang bernama Wiro itu! Yang telah membuat saudaraku Si Mancuang itu jadi salah tingkah. Eh, dia mencarimu. Apa kau tidak bertemu dengannya?!”
Pemuda yang ditanya yang memang Wiro adanya tidak segera menjawab. Dia seperti berpikir-pikir. “Jadi kau punya saudara kembar. Nenek berhidung mancung itu. Kau bilang dia mencariku…”
“Benar, nenek satu itu namanya Si Kamba Mancuang karena hidungnya mancung. Aku Si Kamba Pesek karena hidungku pesek. Kau lihat sendiri.” Si nenek usap-usap hidungnya. “Hik… hik… Saudara kembarku mencarimu. Mau memberi tahu kalau kau dalam bahaya…”
“Aku dalam bahaya nek? Bahaya apa…?” tanya Wiro terheran-heran. “Malam beberapa hari lalu memang ada penyerang gelap. Berusaha mencelakaiku dengan senjata rahasia…”
“Ada beberapa tokoh silat di bawah pimpinan Ki Bonang Talang Ijo yang juga berasal dari tanah Jawa tengah mencarimu. Orang-orang itu curiga kemunculanmu di tanah Minang ini membawa maksud tidak baik. Mereka juga sudah tahu kalau kau membunuh salah seorang teman mereka bernama Si Kalam Langit. Kau mau diusir dari sini. Kalau membangkang akan dikerjai…”
“Dikerjai bagaimana maksudmu nek?”
“Digebuki, digantung atau bisa juga dibantai dicincang!” Jawab Si Kamba Pesek Tangan Manjulai.
“Aku tidak percaya orang-orang di negeri ini akan berbuat seperti itu. Aku tidak punya salah apa-apa. Tidak juga punya rencana jahat. Tanah Minang adalah bumi Allah yang siapa saja boleh datang ke sini…”
“Justru bumi Allah harus dijaga dari orang-orang yang mungkin punya niat buruk dan hendak berbuat jahat seperti dirimu!” Tiba-tiba ada satu suara menyahuti ucapan Wiro. Disusul suara orang membentak dalam bahasa Cina. Beberapa orang berkelebat. Mereka ternyata adalah Ki Bonang Talang Ijo, Tuanku Laras Muko Balang, Teng Sien dan seorang anak buahnya lalu Pandeka Bumi Langit Dari Sumanik.
Sementara Wiro tercengang-cengang, si nenek Kamba Pesek Tangan Manjulai unjukkan wajah tidak enak kalau tidak mau dikatakan khawatir. Dia kembali mengerenyit sambil usap-usap rusuk kirinya.
Ki Bonang Talang Ijo melangkah dan berhenti di hadapan Si Kamba Pesek Tangan Manjulai.
“Sahabatku, kami lihat kau dan pemuda Jawa ini bicara sambil tertawa-tawa. Agaknya kalian seperti sudah saling mengenal dan bersahabat. Kami juga mendengar kau memberi keterangan bahwa kami mencari dirinya karena dia telah membunuh sahabat kami yang juga sahabatmu yaitu Duo Hantu Gunung Sago Si Kalam Langit. Tidak disangka tidak dinyana. Rupanya kau ternyata musuh dalam selimut. Kakakmu Si Kamba Mancuang pasti tidak beda dengan dirimu. Itu sebabnya dia menolak ketika diajak mencari pemuda ini…”
“Ado musang babulu domba di antara kita rupanya!” Ucap Tuanku Laras Muko Belang.
“Ki Bonang, Tuanku Laras, buruk duga kalian terlalu jauh. Sudah menjurus kepada fitnah…” Berkata Si Kamba Pesek.
“Tua bangka pengkhianat! Tutup mulutmu!” Bentak Pandeka Bumi Langit Dari Sumanik. Lelaki muda ini tampak marah sekali. Seperti Ki Bonang Talang Ijo dan Tuanku Laras Muko Balang dia juga yakin kalau si nenek dan saudara kembarnya telah mengkhianati mereka, menjadi musuh dalam selimut. “Sekarang ketahuan, rupanya kau dan saudara kembarmu menjadi kaki tangan pemuda ini. Keterangan apalagi yang telah kau berikan padanya?!” Pandeka Bumi Langit Dari Sumanik yang mengenakan pakaian destar merah lalu berbisik pada Ki Bonang. “Aku khawatir nenek ini dan saudara kembarnya telah memberi tahu keberadaan kupu-kupu batu giok itu.”
“Ucapanmu bisa jadi sangat benar Pandeka. Aku tengah berpikir-pikir mungkin kita terpaksa menghabisi mereka saat ini juga.” Balas berbisik Ki Bonang Talang Ijo.
Dituduh pengkhianat dan musuh dalam selimut, amarah Si Kamba Pesek naik ke kepala. Dia segera membuka mulut mau mendamprat tapi Wiro memberi isyarat dengan gerakan tangan. Lalu berpaling pada Pandeka Bumi Langit Dari Sumanik.
“Angku Mudo (panggilan kehormatan yang kira-kira sama dengan Tuan Muda) yang aku hormati, jangan bicara seperti itu pada perempuan tua ini. Dia pantas jadi nenekmu!”
Mendengar ucapan Wiro, apalagi dipanggil sebutan Angku Mudo yang dirasakannya sebagai mengejek, Pandeka Bumi Langit Dari Sumanik jadi panas. Sepasang mata membeliak. Lima jari tangan bergerak mengeluarkan suara berkereketan. Tokoh dari Sumanik ini konon memiliki ilmu silat bernama Sitaralak. Ilmu silat ini luar biasa ganasnya. Jurus serangan dimulai dengan gerakan lemah lembut seperti penari. Namun bisa berubah menjadi gerakan kilat. Bilamana ilmu silat ini disertai pula dengan tenaga dalam maka lawan yang jadi sasaran bisa jebol tubuhnya, terbongkar kepalanya!
Sambil menudingkan telunjuk tangan kiri tepat-tepat ke muka Pendekar 212, Pandeka Bumi Langit Dari Sumanik menghardik.
“Tak perlu berbasa basi memanggil aku Angku Mudo. Saat ini juga aku perintahkan agar kau undang hapus dari tanah Minang! Kembali ke negerimu di Jawa sana! Kehadiranmu di sini hanya menimbulkan keonaran!”
“Keonaran apa yang telah aku buat di negeri ini Angku Tuo?”
Kini Wiro sengaja mengganti panggilan dari Angku Mudo menjadi Angku Tuo yang membuat Pandeka Bumi Langit Dari Sumanik menjadi tambah naik darah.
Sebelum dia kembali menghardik Ki Bonang Talang Ijo mendahului bicara. “Kami mengetahui kau telah membunuh salah seorang sahabat kami bernama Duo Hantu Gunung Sago Si Kalam Langit. Dosa itu tidak ada ampunannya!”
Wiro ingat akan ucapan si nenek berhidung pesek tadi. Yang memberi tahu kalau dirinya dalam bahaya, tengah dicari orang. Apalagi si nenek barusan menyebut nama orang tua berbelangkon hijau sebagai Ki Bonang.
“Segala macam hantu mana aku kenal. Apalagi membunuhnya! Enak saja kalian menuduhku…” Wiro berpaling pada si nenek yang tegak di sampingnya. Lalu berkata. “Nek, siang bolong begini ada banyak orang bicara aneh seperti orang tasapo (kemasukan/ kesambat makhluk halus). Mari kita tinggalkan tempat ini sebelum kita berdua ikutan tasapo!”
“Pemuda kurang ajar! Beraninya kau menghina kami mengatakan kami orang-orang kemasukan!”
Yang menghardik kali ini adalah Tuanku Laras Muko Balang. “Ki Bonang, pemuda gila seperti ini tidak boleh dibiarkan hidup lebih lama!”
Srett!
Tuanku Laras Muko Balang dengan segera menghunus Pedang Al Kausar. Ki Bonang Talang Ijo cepat mencegah.
“Bersabar sebentar, biar aku bicara dulu dengan orang ini.” Lalu Ki Bonang bertanya. “Anak muda, kita sama-sama berasal dari tanah Jawa. Aku datang ke tanah Minang ini membawa tugas yang harus dilaksanakan. Apakah kau mau mengatakan mengapa kau berada di negeri ini? Kami mendapat petunjuk bahwa kau akan menghalangi tugas kami. Bahkan kau telah membunuh salah seorang dari kami.”
Wiro tersenyum, angkat kopiah hitamnya, menggaruk kepala. Lalu berkata, “Dua orang Jawa bertemu jauh di negeri orang. Seharusnya percakapan akan berjalan enak dan lancar. Apalagi kalau ada getuk lindri dan wedang jahe! Ha… ha… ha! Tapi celaka nasib diriku, dituduh menghalangi tugas orang, malah dituduh membunuh pula! Oala! Orang tua, maafkan diriku. Boleh aku mengetahui siapa sampeyan ini adanya dan tugas apa yang tengah kau jalankan yang menurutmu hendak aku halangi? Lalu kapan aku membunuh sahabatmu itu?”
Si orang tua menyeringai. Ternyata pemuda yang diketahui sableng ini pandai bicara bahkan dalam bicara sekaligus melemparkan ejekan.
“Namaku Ki Bonang Talang Ijo. Aku berasal dari Kuto Gede. Di tanah Jawa aku dikenal dengan julukan Hantu Muka Hijau.” Habis keluarkan ucapan Ki Bonang Talang Ijo lalu usap wajahnya satu kali. Saat itu juga muka orang tua ini berubah menjadi hijau pekat sampai ke mata. Dengan berbuat begini dia ingin menggertak murid Sinto Gendeng kalau dia bukan orang sembarangan. “Soal tugasku kau tak layak bertanya…”
“Begitu?” Ujar Wiro pula sambil garuk kepala dan senyum-senyum. Gertakan si kakek baginya sama saja dengan anak-anak yang bermain setan-setanan. “Terima kasih kau telah memperkenalkan nama dan julukan. Namaku Wiro, aku berasal dari emperan Gunung Merapi. Di tanah Jawa, aku dijuluki orang Hantu Muka Jelek!” Habis berkata begitu Wiro lalu kerahkan ilmu Menahan Darah Memindah Jazad. Ilmu aneh ini didapatnya dari Hantu Selaksa Angin Luhkentut (Baca serial petualangan Pendekar 212 di Negeri Latanahsilam). Begitu wajah diusap dan tangan yang mengusap diturunkan, semua orang yang melihat jadi tersentak kaget, tersurut ngeri satu langkah. Si nenek pesek malah keluarkan suara. “Ihh…”
Apa yang terjadi dengan wajah Pendekar 212.
***
TIGA
SAAT itu sepasang mata Wiro telah pindah ke pelipis kiri kanan, hidung menempel di kening, mulut turun ke dagu! Walaupun ada lucunya tapi wajah sang pendekar kini benar-benar seram menggidikkan. Apalagi Wiro sengaja pelototkan mata lalu dikedap-kedip!
“Inilah tampang asliku hingga aku dijuluki Hantu Muka Jelek.” Ucap Wiro lalu sambil tertawa gelak-gelak dia pegang tangan si nenek, dan berkata. “Nek, ayo kita pergi. Tidak ada guna melayani orang-orang itu.”
Saking ngerinya si nenek tidak mau dipegang tangannya malah menjauh lalu lari meninggalkan tempat itu.
“Nenek pesek! Jangan pergi dulu! Tunggu aku!” teriak Wiro lalu cepat-cepat mengejar si nenek sambil mengusap muka hingga wajahnya kembali seperti semula. Namun saat itu Ki Bonang Talang Ijo dan kawan-kawannya telah menghadang.
“Tukang sihir gila! Kau mau pergi ke mana?!” teriak Tuanku Laras Muko Balang sambil menghadang dengan acungkan ujung pedang Al Kausar ke arah leher Wiro.
Pandeka Bumi Langit Dari Sumanik tegak di samping kiri, dua kaki merenggang, dua tangan mengambang sepinggang. Di sebelah kanan Ki Bonang Talang Ijo berdiri dengan sikap angkuh sambil rangkapkan dua tangan di atas dada sementara Perwira Muda Teng Sien dan anak buahnya yang tinggal seorang saat itu juga telah sama­sama menghunus golok besar.
Melihat Pendekar 212 Wiro Sableng dikurung demikian rupa, nenek Si Kamba Pesek yang tadi hendak cepat-cepat meninggalkan tempat itu karena ngeri melihat tampang Wiro, kini berbalik kembali. Dia berteriak, “Kalian semua dengar! Walaupun orang itu mungkin punya kesalahan tapi adalah tindakan pengecut kalau kalian mengeroyoknya bersama-sama!”
Tuanku Laras Muko Balang yang sejak tadi sudah marah terhadap Wiro dan si nenek langsung berteriak. Apalagi saat itu dilihatnya sepasang tangan si nenek telah berubah menjadi lebih panjang pertanda dia siap mengeluarkan ilmu andalannya.
“Kamba Pesek! Kalau kau berniat menolong manusia satu ini, masuklah ke dalam kalangan! Biar kami menghabisi kalian berdua sekaligus! Dasar tua bangka gatal! Jangan kira kami tidak tahu riwayatmu!”
“Sahabat semua orang tua-tua, cerdik pandai. Harap kalian mau berpikir. Nenek ini bukan pengkhianat, bukan musuh dalam selimut! Aku berada di tanah Minang bukan untuk berbuat keonaran. Tidak ada niat menghalangi apapun tugas kalian. Aku juga tidak tahu menahu apa tugas kalian! Lalu aku juga tidak membunuh sahabat kalian yang siapapun namanya!”
Ki Bonang turunkan dua tangan yang sejak tadi dirangkap di atas dada. Lalu keluarkan ucapan, “Sahabat semua, tidak ada gunanya kita bicara berpanjang-panjang dengan pemuda ini. Jangan sekali-kali percaya pada mulutnya! Habisi dia sekarang juga! Jika nenek itu membantunya bunuh sekalian!”
Mendengar ucapan itu, didahului oleh Ki Bonang Talang Ijo, semua orang yang ada di situ segera menerjang ke arah Wiro dan Si Kamba Pesek.
“Kalian kambing tolol semua!” teriak Si Kamba Pesek.
“Nek, aku tahu kau dalam keadaan cidera. Menjauhlah. Biar kuhadapi kambing-kambing ini seorang diri!” Berkata Wiro.
“Kurang ajar! Kita dianggap kambing!” Teriak Ki Bonang Talang Ijo.
“Sombongnya!” Teriak Pandeka Bumi Langit Dari Sumanik.
“Takabur sekali! Aku mau lihat kepandaiannya!” Berseru Tuanku Laras Muko Balang.
Pandeka Bumi Langit Dari Sumanik lancarkan serangan dalam jurus silat Sitaralak bernama Harimau Campa Manggapai Rembulan. Dua tangan menyambar ke arah kepala Wiro. Kalau serangan ini mengenai sasaran, bukan saja muka lawan akan terbongkar tapi batang leher juga bisa tanggal!
Perwira Muda Teng Sien dan anak buahnya menyerbu dengan golok besar. Tuanku Laras Muko Balang bolang­balingkan Pedang Al Kausar sementara Ki Bonang Talang Ijo lepaskan belangkon hijau. Belangkon ini dikibas-kibas. Kibasan diarahkan pada Wiro dan Si Kamba. Dari semua serangan yang dilancarkan yang paling berbahaya adalah kibasan belangkon Ki Bonang Talang Ijo. Selain serangan ini bisa dilakukan dari jarak jauh, angin yang keluar dari kibasan belangkon bisa melumpuhkan lawan!
Si Kamba Pesek yang tahu kehebatan belangkon itu segera ulurkan tangan kiri, mencoba merampas belangkon sementara tangan kanan yang juga telah diulur panjang menelikung ke arah Pandeka Bumi Langit Dari Sumanik, siap menjirat leher orang ini. Tapi yang diserang tidak bodoh. Secepat kilat tangannya diayun ke arah sambungan siku si nenek hingga Si Kamba Pesek terpaksa cepat-cepat tarik pulang serangannya. Di saat yang sama sambaran angin deras dari belangkon Ki Bonang Talang Ijo datang menyambar. Wiro cepat tarik tangan Si Kamba Pesek hingga nenek ini selamat dari hantaman angin sakti yang melumpuhkan!
Walau dalam gebrakan pertama Wiro dan Si Kamba Pesek mampu menghadapi serangan lawan, namun jurus berikutnya serangan datang laksana air bah!
“Nek, lekas melompat sepuluh langkah ke belakang!” Tiba-tiba Wiro berteriak.
“Eh, kenapa? Ada apa?!” si nenek bertanya tidak mengerti.
“Nek! Cepat!”
Meski bingung Si Kamba Pesek akhirnya lakukan apa yang dikatakan Wiro. Begitu si nenek melesat ke belakang murid Sinto Gendeng segera hentakkan kaki kanannya ke tanah.
Saat itu juga reettttt!
Tanah di hadapan Wiro terbelah selebar tiga langkah. Dan dari dalam tanah yang terbelah menderu suara angin seperti puting beliung menyedot dahsyat. Semua orang berteriak kaget dan cepat melompat jauh selamatkan diri. Perajurit kerajaan anak-anak buah Teng Sien terlambat bergerak. Tubuhnya amblas tersedot masuk ke dalam dasar tanah yang terbelah. Destar merah di kepala Pandeka Bumi Langit Dari Sumanik melayang masuk tersedot ke dalam belahan tanah.
Tuanku Laras Muko Balang juga agak terlambat bergerak. Masih untung selamat. Meskipun demikian celana galembong dan celana dalamnya sempat tersedot hingga pinggang ke bawah aurat lelaki ini tidak terlindungi lagi alias telanjang melompong!
“Lekas Nek. Ayo kita pergi!” Wiro pegang lengan Si Kamba Pesek. Kali ini si nenek tidak menolak lagi sewaktu ditarik. Ketika Wiro dan Si Kamba Pesek berkelebat pergi tidak ada yang berani mengejar. Jangankan mengejar, mendekati tanah yang terbelah saja orang-orang itu sudah merasa ngeri.
Tuanku Laras Muko Balang kalang kabut menutupi auratnya sementara yang lain-lain sibuk mencari selamat dari sedotan tanah yang terbelah. Akhirnya Tuanku Laras buka bajunya sendiri lalu dipakai untuk menutupi aurat bagian bawah.
Jauh di tepi tanah yang terbelah Pandeka Bumi Langit Dari Sumanik berdiri tertegun, mata nyalang mendelik dada turun naik. Tangan berkali-kali mengusap kepala. Untung hanya destarnya yang tersedot masuk ke dalam belahan tanah. Tidak sampai kepalanya yang tanggal dan ikut melayang!
“Ilmu Tanah Tabalah Hukum Manimpo!” ucap sang Pandeka dengan suara bergetar. “Di tanah Minang hanya Datuk Marajo Sati yang memiliki ilmu kesaktian ini! Apa hubungan pemuda Jawa itu dengan Datuk Marajo Sati hingga mereka bisa memiliki ilmu yang sama?”
“Jangan-jangan pemuda itu orang kepercayaan Datuk Marajo Sati. Bisa juga muridnya…” Berkata Tuanku Laras Muko Balang sambil tangan kiri memegangi auratnya sebelah bawah yang hanya terlindung baju dan tangan kanan masih mencekal Pedang Al Kausar.
“Kalau begitu kita harus cepat-cepat menemui dan menyelidiki sang Datuk!” kata Pandeka Bumi Langit Dari Sumanik. Sementara Perwira Muda Teng Sien melangkah mundar-mandir sambil berteriak-teriak tiada henti.
Ki Bonang Talang Ijo tidak mengeluarkan sepotong ucapan pun. Namun wajahnya masih nampak agak pucat dan dalam hati orang tua ini menyadari. “Kalau dia punya niat jahat, paling tidak selain prajurit Cina, pemuda itu bisa menyedot amblas dua orang lagi di antara kami. Tugas makin berat. Aku harus bisa mendapatkan bantuan dari para tokoh silat baru… Datuk Marajo Sati, firasatku semakin kuat. Kau menyembunyikan suatu rahasia besar. Sorban Sutan Panduko Alam terbang ke tempat kediamanmu. Membawa kupu-kupu hidup penjelmaan kupu-kupu batu giok…”
Sementara itu, setelah cukup jauh dari tempat tanah terbelah, Pendekar 212 Wiro Sableng hentikan larinya lalu tertawa gelak-gelak. Tentu saja Si Kamba Pesek terheran­heran melihat hal ini.
“Apa yang kau tertawakan?! Jangan-jangan kau yang sudah tasapo kemasukan roh halus?!” Tapi si nenek sendiri kemudian ikut tertawa cekikikan.
“Orang tua yang bersenjata pedang perak itu!” jawab Wiro.
“Tuanku Laras Mudo Balang. Memangnya kenapa dia?”
“Bulu di wajahnya belang putih dan hitam. Waktu tadi celananya tanggal dan auratnya tersingkap aku kira bulu di bawah perutnya juga belang putih dan hitam! Ternyata di bagian tubuh itu dia tidak punya bulu alias botak! Ha… ha… ha! Apakah kau juga sempat melihat Nek?!”
“Najis! Dasar! Pantas Ki Bonang menyebutmu pemuda gila!” Kata si nenek pula lalu mengerenyit sakit karena tulang-tulang iganya kembali terasa sakit.
“Nek, aku sering-sering melihat kau mengerenyit kesakitan. Aku tahu kau mengalami cidera. Tapi apa sebenarnya yang terjadi dengan dirimu?”
Si Kamba Pesek lalu menceritakan kejadian sewaktu dia berkelahi dan kena dihantam lawan tulang iganya kiri kanan hingga patah.
“Aku punya ilmu yang bisa menyembuhkan dan menyambung kembali tulang-tulang igamu yang patah. Namanya ilmu Kopo. Aku dapat dari seorang nenek sakti di tanah Jepun. Tapi caranya aku harus meremas dulu semua tulang igamu yang patah lalu baru diobat disambung kembali. Apakah kau bisa menahan sakitnya nek?”
“Asal kau tidak menipuku, aku mau saja menahan bagaimanapun sakitnya.” Jawab si nenek yang rupanya mulai percaya pada sang pendekar. “Tapi ada satu hal yang ingin aku tanya lebih dulu.”
“Hal apa Nek?”
“Ilmu membelah tanah yang membuat semua penyerang tadi selamatkan diri berserabutan. Dari mana kau dapatkan?”
“Seorang sahabat dari negeri antah berantah memberikannya padaku.”
“Ah, nasib peruntunganmu selalu baik rupanya. Di mana-mana ada orang yang memberikan ilmu kesaktian baru padamu. Lalu mengingat ilmu kalian sama, apakah kau satu perguruan dengan Datuk Marajo Sati?” tanya si nenek lagi.
Wiro tertawa.
“Aku tahu Datuk itu juga punya ilmu yang sama dengan yang aku miliki. Malah satu kali dia pernah hendak membunuhku dengan ilmu itu…”
Si nenek terkejut. “Bagaimana kejadiannya?”
“Waktu itu aku tersesat masuk ke dalam sebuah goa di lamping Ngarai Sianok. Tidak tahunya goa itu kediaman sang Datuk. Aku dianggap sengaja menyusup. Mengenai ilmu kami yang sama, aku tidak tahu dari mana dia mendapatkan.”
Si Kamba Pesek terdiam sesaat, merenung berpikir­pikir. “Jika Datuk Marajo Sati marah besar dan hendak membunuh pemuda ini hanya karena dia tersesat, berarti ada sesuatu yang coba dilindungi Datuk itu. Lalu pemuda ini, jika ilmunya sama dengan Datuk Marajo Sati, bisa saja mereka berdua berada di pihak yang sama. Aku harus berhati-hati.” Kemudian si nenek berkata. “Sebenarnya aku dan kawan-kawan punya rencana akan menyelidiki Datuk Marajo Sati tentang satu perkara. Jika ternyata kau adalah kaki tangan Datuk itu…”
Wiro tertawa.
“Sudah Nek, sekarang kau berbaringlah. Aku akan mulai mengobati tulang-tulang igamu…”
Si nenek baringkan diri di tanah. Menelungkup.
“Menelentang Nek. Kalau kau menelungkup bagaimana aku bisa mengobati tulang igamu!” Kata Wiro pula.
Si nenek balikkan tubuh menelentang.
“Aku dengar kau seorang pemuda mata keranjang. Awas kalau kau berani menipu dan berlaku jahil padaku…”
Wiro tertawa. “Mengapa kau sampai punya pikiran seperti itu Nek?”
“Kakakku Si Kamba Mancuang memberi tahu. Kau memeluk dan menciuminya…”
“Lantas, apa kau juga mau aku cium Nek?”
“Anak gilo!”
Wiro tertawa gelak-gelak. Tangan kanannya bergerak ke deretan tulang iga sisi kiri dan kanan si nenek. Dia siap mengobati cidera Si Kamba Pesek dengan ilmu Koppo yakni ilmu mematah dan menyambung tulang. Ilmu ini didapat Wiro dari seorang nenek sakti di negeri Jepun bernama nenek Neko (baca serial Wiro Sableng di negeri Sakura).
Kraakk… kraakk… kraakkk!
Jeritan keras setinggi langit menggelegar dari mulut Si Kamba Pesek begitu barisan tulang iganya yang patah di rusuk kiri kanan mulai diobati. Saking sakitnya si nenek menggeliat-geliat. Pinggang tersentak ke atas. Dua kaki naik melejang-lejang hingga pakaiannya berupa jubah panjang merosot sampai ke pangkal pinggul. Melirik ke arah aurat yang tersingkap itu murid Sinto Gendeng jadi terkesiap.
“Astaga, bagaimana mungkin nenek ini memiliki sepasang kaki dan paha yang mulus bagus seperti anak perawan!”
Selagi Wiro terheran-heran tiba-tiba satu bayangan berkelebat.
“Pemuda jahanam kurang ajar! Kau apakan saudaraku! Kau hendak memperkosanya! Ternyata kau benar-benar manusia gila mata keranjang!”
Sesaat kemudian, bukkk…! Satu tendangan keras melanda bahu kanan Wiro hingga sang pendekar terpental sampai satu tombak. Tulang bahunya serasa remuk. Sakitnya bukan alang kepalang!
Sambil menahan sakit, terhuyung-huyung Wiro mencoba bangun. Di hadapannya berdiri kembaran Si Kamba Pesek yaitu Si Kamba Mancuang. Nenek ini setelah menendang Wiro langsung melompat ke arah Si Kamba Pesek dan jatuhkan diri di samping saudaranya itu.
“Kamba Pesek, kau tidak apa-apa? Kau belum sempat diper…”
“Tua bangka tolol! Kau terlalu cemburu! Otakmu dipenuhi pikiran kotor yang bukan-bukan!” Si Kamba Pesek menyemprot marah.
Si Kamba Mancuang terperangah. “Kau sudah gila! Aku mau menolong kau malah marah padaku! Rupanya kau suka diperkosa pemuda jahanam itu!”
“Siapa yang mau berbuat mesum! Dia justru tengah mengobati tulang rusukku yang cidera akibat pukulan Sutan Panduko Alam tempo hari…”
“Tapi aku lihat dia meremas-remas dadamu. Pakaianmu tersingkap sampai lancirik-mu (pantat) kelihatan…”
“Sudah! Tutup mulutmu!” bentak Si Kamba Pesek. Dia berpaling ke arah Wiro. “Anak muda, harap maafkan saudaraku. Dia…”
“Tidak apa-apa Nek. Aku sudah sempat mengobatimu. Tak lama lagi kau pasti sembuh. Kurasa aku lebih baik pergi dulu. Ceritakan pada saudaramu apa yang sebenarnya terjadi…”
“Hai tunggu! Jangan pergi dulu!” Berseru Si Kamba Pesek. Namun saat itu Pendekar 212 Wiro Sableng telah berkelebat pergi. Nenek satu ini banting-banting kaki. Tiba­tiba dia terdiam. Dua tangan dielus-eluskan ke rusuk kiri kanan. “Luar biasa! Aku tidak merasa sakit lagi! Betul apa yang dikatakan anak muda itu. Aku sudah sembuh! Lihat! Pemuda itu menyembuhkanku! Bagaimana mungkin kau menuduhnya berbuat mesum!”
Si Kamba Mancuang peluk saudaranya seraya berkata. “Aku mohon maafmu. Ternyata aku telah salah menduga. Aku juga telah kesalahan melepas tendangan…”
“Kau selalu begitu! Bertindak dulu baru berpikir! Lihat! Dia sudah pergi! Ke mana harus mencarinya! Berterima kasihpun aku belum sempat!”
“Kita berdua akan mencari pemuda itu sampai dapat,” kata Si Kamba Mancuang pula.
“Tidak! Aku tidak mau pergi bersamamu!” Jawab Si Kamba Pesek. Lalu nenek ini mundur menjauhi saudaranya. Di lain kejap dia balikkan badan dan berkelebat lenyap ke arah perginya Wiro.
Untuk beberapa lama Si Kamba Mancuang masih tegak tertegun termangu-mangu seorang diri. Bingung ada kecewa juga ada. Akhirnya nenek satu ini pun tinggalkan tempat itu, pergi ke arah berkelebatnya Si Kamba Pesek.
***
EMPAT
MALAM itu, dalam keadaan bahu masih sakit Pendekar 212 tengah dalam perjalanan menuju Danau Maninjau untuk menemui Datuk Rao Basaluang Ameh. Dia ingin mendapat kejelasan tentang pesan amanat sang guru mengenai perkara besar yang akan terjadi di Ranah Minang. Namun di tengah perjalanan pikirannya berubah. Dia merasa khawatir kalau nanti Datuk mempunyai anggapan dirinya tidak sanggup melakukan tugas, tidak mampu menyelidiki dan memecahkan sendiri teka-teki malapetaka yang akan terjadi.
“Malapetaka bukan akan terjadi, aku rasa malapetaka sudah terjadi…” pikir Wiro sambil menggaruk kuduk. “Selama aku di sini, sudah beberapa orang menemui ajal. Malah aku dituduh jadi pembunuh salah seorang dari mereka… Aku sudah masuk dan terlibat dalam perkara besar itu. Masakan aku harus menyusahkan Datuk meminta penjelasan lagi. Aku harus mampu menyelidiki sendiri…” Wiro angkat kopiah hitamnya hendak menggaruk kepala. Tapi tidak jadi.
Saat itu entah dari mana datangnya tiba-tiba, blukk!
Sesosok tubuh melayang jatuh, terbujur tak bergerak di tanah beberapa langkah di hadapannya. Walau malam hari namun karena langit bersih dan banyak bintang serta merta Wiro mengenali orang yang terkapar di hadapannya itu bukan lain adalah Si Kamba Pesek Tangan Manjulai. Keadaan nenek ini sangat mengenaskan. Tangan kiri patah. Tangan kanan buntung dan masih mengucurkan darah tanda dia belum lama dibunuh. Di dada dan leher ada luka terkuak. Darah yang mengucur dari batok kepala menutupi sebagian wajahnya. Mulut robek sampai ke telinga kiri. Sebelum tewas agaknya nenek ini telah diserang dengan senjata tajam serta pukulan ilmu silat sangat ganas.
“Nek!” teriak Wiro. Dia segera hendak menubruk sosok yang sudah tidak bernafas itu. Tapi gerakannya tertahan ketika beberapa bayangan berkelebat disertai suara orang berucap lantang.
“Selama dunia terkembang, tidak ada seorang pengkhianatpun boleh dibiarkan hidup!”
Murid Sinto Gendeng mengenali. Itu adalah suara Tuanku Laras Muko Balang! Dalam keadaan setengah berjongkok, Wiro angkat kepala, menatap ke depan. Tuanku Laras Muko Balang berdiri dengan sikap pongah, memegang pedang telanjang. Ujung pedang nampak bernoda merahnya darah! Saat itu dia telah mengenakan sehelai celana galembong baru lengkap dengan baju hitam. Di sebelah kanan tegak Ki Bonang Talang Ijo. Seperti biasa kakek satu ini unjukkan sikap tenang dingin dan dua tangan disilangkan di atas dada.
Orang ke tiga yaitu Teng Sien berdiri berkomat-kamit. Golok besar bergetar di tangan kanan pertanda niatnya untuk menghabisi Wiro tidak dapat dikendalikan lagi. Pandeka Bumi Langit Dari Sumanik di ujung kiri, tidak mengenakan destar karena sebelumnya destar orang ini telah amblas masuk tersedot tanah terbelah. Di tempat itu Wiro menyaksikan ada dua orang lain yang tidak dikenalnya.
Yang pertama seorang nenek bungkuk mencekal benda bergayut seperti jaring ikan. Kulit muka tipis hitam legam, mengingatkan Wiro pada gurunya Eyang Sinto Gendeng. Dalam berdiri sepasang mata cekung nenek ini tidak berkesip memperhatikan ke dua kaki Wiro. Sementara tangan kanan yang memegang jaring dalam kuda-kuda siap bergerak.
“Nenek ini rupanya diandalkan untuk mengawasi kedua kakiku. Mereka khawatir aku akan kembali mengeluarkan ilmu Membelah Tanah Menyedot Arwah,” pikir Pendekar 212 Wiro Sableng.
Orang kedua yang juga tidak dikenal Wiro adalah seorang kakek berpakaian serba hitam termasuk destar di kepala dan kain sarung melintang di bahu. Kakek ini memegang sebatang tongkat berkeluk terbuat dari perunggu.
“Tua bangka ini memegang tongkat secara aneh,” membatin Wiro sambil mengawasi. “Dia tidak memegang tongkat pada bagian gagang yang berkeluk, tapi pada ujung yang lurus. Berarti tongkat ini adalah senjata penggebuk yang ampuh! Aku harus berhati-hati.”
Ketika kakek ini menggeser dua kakinya, Wiro memperhatikan dan diam-diam jadi terkesiap. Dua kaki kakek ini terbalik. Bagian yang ada jari-jarinya berada di sebelah belakang sedang tumit di sebelah depan!
Ketika kembali memandang ke arah mayat Si Kamba Pesek, amarah Pendekar 212 mendidih. Mulut berteriak lantang hingga semua orang yang ada di situ merasakan denyutan di dada masing-masing.
“Kalian membunuh nenek ini! Pasti secara mengeroyok! Pengecut busuk! Apa salahnya?! Dia bukan pengkhianat! Dia tidak pernah memberi keterangan apapun padaku! Kalian akan membayar mahal kematiannya!”
Tuanku Laras Muko Balang mendengus.
“Semakin kentara kau memang berkomplot dengan nenek itu!” Kata Tuanku Laras kemudian.
Pandeka Bumi Langit Dari Sumanik tawa mengejek.
Ki Bonang Talang Ijo membuka mulut. “Pemuda sombong takabur! Jika kau memang orang hebat, perlihatkan kembali pada kami ilmu Tanah Tabalah Hukum Manimpo!”
Begitu Ki Bonang Talang Ijo keluarkan ucapan, si nenek bungkuk berkulit hitam putar pergelangan tangannya yang memegang benda bergayut, menggeser dua kaki memasang kuda-kuda siap menyerang. Kini tambah jelas bagi Wiro kalau orang memang sudah menyiapkan serangan penangkal untuk mencelakai dirinya yaitu di bagian ke dua kaki.
Sambil menyeringai Wiro bergerak berpindah tempat hingga dia dan Ki Bonang serta si nenek muka hitam berada di satu garis lurus. Si nenek terhalang oleh sosok si kakek.
“Majulah dua langkah, aku akan perlihatkan ilmu yang barusan kau katakan!” Ucap Wiro pada Ki Bonang.
“Kurang ajar!” maki Ki Bonang Talang Ijo. “Dia sengaja membuat kedudukan yang menyebabkan nenek itu tidak mungkin bergerak menyerangnya karena terlindung diriku.”
Tiba-tiba Ki Bonang Talang Ijo bersuit keras. Saat itu juga tubuhnya melesat ke udara hingga kini Wiro berhadap­hadapan langsung dengan si nenek muka hitam. Tanpa banyak menunggu lagi nenek ini gerakkan tangan kanan. Benda yang sejak tadi dipegangnya melesat ke depan, menebar membentuk jaring berpijar, mengarah kaki kiri kanan Pendekar 212!
Wiro merasa ada hawa dingin aneh dari pijaran jaring membuat dua kakinya mendadak menjadi lemas. Dengan cepat dia kerahkan hawa sakti dan tenaga dalam ke tubuh bagian bawah lalu melompat setinggi satu tombak. Di saat yang sama si nenek sentakkan jaring di tangan kanan. Cahaya putih berpijar. Wiro berteriak kaget ketika dua kakinya terangkat ke udara, membuat tubuhnya jungkir balik tak karuan!
Dari samping, Ki Bonang Talang Ijo cepat tanggalkan belangkon. Sekali belangkon dikebut, menyambar cahaya kehijauan menyerang Pendekar 212 yang masih jungkir balik di udara. Dalam keadaan seperti itu cahaya hijau menghantam tubuhnya. Terhuyung limbung, sambil berusaha mengimbangi diri Wiro membuat gerakan berputar. Gerakan dua kakinya agak kaku karena masih dipengaruhi serangan jaring berpijar si nenek. Namun dua tangan dalam keadaan bebas. Tidak tunggu lebih lama Wiro lancarkan serangan balasan. Tangan kiri kanan melepas pukulan Dewa Topan Menggusur Gunung.
“Lekas menyingkir!” teriak Ki Bonang begitu dua pukulan menebar angin dahsyat disertai suara bergemuruh. Teng Sien berlaku nekad. Sementara semua orang menjauh bahkan ada yang terpelanting, dia melompat kirimkan babatan golok ke arah dua kaki Wiro yang berada di atasnya. Rupanya dia menduga serangan si nenek dan kebutan belangkon Ki Bonang tadi masih mempengaruhi Wiro.
Kraakk!
Perwira Muda itu menjerit begitu kaki kiri Pendekar 212 bergerak menghantam sambungan sikunya. Golok besar terlepas mental. Sambungan siku patah. Teng Sien sendiri terpental dan jatuh duduk di tanah mengerang tak berkeputusan.
“Serang!” Ki Bonang Talang Ijo tiba-tiba berteriak.
Maka serangan dahsyat laksana topan prahara menggempur Wiro dari berbagai jurusan. Jaring berpijar kembali menyapu ke arah dua kaki Wiro. Pedang Al Kausar di tangan Tuanku Laras Muko Balang membabat laksana badai, menebar cahaya putih dalam kegelapan malam. Setelah dirinya dipermalukan yaitu ditelanjangi di depan orang banyak, dendam orang tua bermuka belang ini terhadap Wiro bukan alang kepalang.
Di bagian lain Pandeka Bumi Langit Dari Sumanik laksana menari di udara susupkan satu pukulan ke arah dada Wiro sementara kakek yang memegang tongkat membuat serangan dalam gerakan aneh. Dia lari ke arah Wiro. Ketika berpapasan dia tidak membuat gerakan apa­apa. Tapi begitu tubuhnya melewati Wiro tiba-tiba wutt! Tanpa berpaling tongkat di tangan kanannya menghantam ke belakang!
Bukkk!
Gagang berlekuk tongkat tembaga menghantam punggung kanan Wiro. Selagi Wiro terlempar ke depan, dari arah berlawanan datang serangan ilmu silat Sitaralak yang dilancarkan Pandeka Bumi Langit Dari Sumanik dalam jurus Tigo Alu Mangupak Lasuang (Tiga Alu Menghancurkan Lesung). Sesuai dengan namanya, kekuatan pukulan itu sama dengan kekuatan tiga alu besar yang secara sekaligus dihantamkan ke dada lawan! Sesaat lagi pukulan lawan yang bisa membuat dadanya jebol datang menghantam, Wiro kerahkan tenaga dalam dan hawa sakti yang bersumber pada Kapak Naga Geni 212 yang ada di dalam tubuhnya! Satu cahaya putih berpijar melindungi dada sang pendekar.
Bukkk!
Pukulan Tigo Alu Manguak Lasuang mendarat telak di dada Wiro. Tubuh murid Sinto Gendeng bergoncang hebat. Walau dia selamat dari maut akibat lindungan hawa sakti Kapak Geni 212 namun tak urung mulutnya semburkan darah segar!
Pandeka Bumi Langit Dari Sumanik sendiri menjerit keras dan terjajar ke belakang, hampir terjengkang kalau tidak ditolong oleh Tuanku Laras Muko Balang. Tangan kanan Pandeka Bumi Langit tampak terkelupas seperti melepuh mulai dari lima ujung jari sampai ke pergelangan!
“Pengeroyok pengecut! Kalian akan menerima pembalasanku!” Ucap Wiro dengan suara bergetar. Tangan kanan dipentang ke atas. Saat itu juga tangan itu berubah menjadi putih menyilaukan seperti perak mulai dari siku sampai ke ujung jari.
“Pukulan Sinar Matahari!” Teriak Ki Bonang Talang Ijo.
Walau belum pernah melihat sendiri namun dia telah sering mendengar dan yakin saat itu Wiro akan melancarkan serangan dengan pukulan yang telah menggegerkan seluruh daratan tanah Jawa itu. Maka kakek ini segera keluarkan suitan keras. Saat itu juga Tuanku Laras Muko Balang melompat ke depan sambil tangan kiri menjambak rambut seorang pemuda sementara tangan kanan yang memegang pedang dimelintangkan di atas tenggorokan orang!
“Pendekar Dua Satu Dua!” kata Ki Bonang Talang Ijo. “Jika kau tidak mau menyerah sahabatmu itu akan kami sembelih!”
“Benar-benar pengecut jahanam!” rutuk Wiro.
Pemuda yang dicekal itu bukan lain adalah Malin Kapuyuak, pemuda tukang intip yang beberapa waktu lalu berhasil lolos dari tangan maut Duo Hantu Gunung Sago Si Kalam Langit.
Sesaat Wiro berpikir sementara pedang di tangan Tuanku Laras mulai menyayat kulit leher Malin Kapuyuak hingga tergores luka. Malin Kapuyuak meringis kesakitan. Mukanya sepucat kain kafan.
“Jangan bunuh aku! Apa salahku! Ampun, jangan bunuh aku…”
Perlahan-lahan Wiro turunkan tangan kanannya. “Lepaskan pemuda itu! Katakan apa mau kalian!” Wiro mengalah. Dia tidak ingin melihat Malin Kapuyuak menemui ajal secara mengenaskan. Walau mengalah namun otaknya diputar mencari akal bagaimana bisa menyelamatkan si pemuda tukang intip perawan mandi itu dan sekaligus memberi pelajaran pada Ki Bonang dan kambrat-kambratnya.
Namun saat itu tiba-tiba ada suara perempuan berseru.
“Wiro! Pemuda itu bukan sahabatmu! Biarkan saja dia mati disembelih! Jangan mau mengalah! Biar dia hidup atau mati tidak ada untungnya bagimu!”
***
LIMA
SEMUA orang terkejut, termasuk Tuanku Laras Muko Balang. Tidak sadar jambakannya di rambut Malin Kapuyuak mengendur. Tekanan mata pedang di leher si pemuda turun merenggang. Kesempatan ini tidak disia­siakan oleh Malin Kapuyuak. Tumit kanannya dihunjamkan ke jari-jari kaki kanan Tuanku Laras yang tersembul di ujung kasut kulit. Selagi si muka belang ini merintih kesakitan dan memaki, Malin Kapuyuak cepat loloskan diri, menghambur ke arah perempuan yang tadi berseru.
Perempuan ini tertawa gelak-gelak seolah dia tidak perduli keadaan di tempat itu dan ketegangan apa yang tengah terjadi!
Pendekar 212 yang dalam keadaan menahan sakit akibat gebukan tongkat di punggung serta hantaman tangan di dada, dalam keadaan setengah megap-megap mau tak mau jadi terkesiap terheran-heran. Dalam hati dia berkata. “Denok Tuba Biru! Bagaimana mungkin?! Setan mana yang membawamu ke negeri ini?”
Perempuan yang muncul di tempat itu dan masih tertawa-tawa adalah seorang perempuan muda luar biasa gemuk. Ketika tertawa dadanya yang gembrot dan perutnya yang gendut bergoyang-goyang. Wajahnya yang tembam berwarna biru bergaris-garis kuning. Rambut lurus tegak seperti lidi. Anting-anting bulat besar terbuat dari perak mencantel di telinga kiri kanan. Mengenakan pakaian aneh sebentuk celana monyet hitam tak berlengan. Bulu ketiaknya yang lebat panjang menyembul berserabutan. Paha yang besar gempal bergoyang-goyang. Di bahu kanan ada jarahan sekuntum bunga mawar biru.
Di hadapan perempuan gemuk ini Malin Kapuyuak jatuhkan diri. Tangan diangkat di atas kepala. Dalam sikap menyembah pemuda ini berkata.
“Inyiek Batino! Ratu Sekalian Harimau Betina di Tujuh Gunung Bertuah! Terima kasih kau telah datang menyelamatkan diriku!”
Sementara Wiro tercengang-cengang dan hampir tak dapat menahan ketawa, Tuanku Laras Muko Balang dan Pandeka Bumi Langit Dari Sumanik sama-sama berubah wajah masing-masing. Keduanya melangkah saling mendekat.
“Aku belum pernah melihat rupa. Tapi kalau dia benar Inyiek Batino Ratu Harimau Betina Tujuh Gunung Bertuah, sebaiknya kita segera tinggalkan tempat ini.” Berbisik Tuanku Laras Muko Balang.
“Aku mengikut saja apa katamu. Heran, bagaimana pemuda keparat itu bisa kenal dengan Inyiek Batino?” Jawab Pandeka Bumi Langit Dari Sumanik. Kedua orang ini memberi isyarat pada kawan-kawan mereka. Kakek bertongkat ketika diajak pergi gelengkan kepala.
“Sebelum aku gebuk kepala perempuan itu dengan tongkat perunggu ini, aku tidak akan pergi. Urusan kita di tempat ini belum selesai. Bukankah kita mau memeras keterangan dari pemuda Jawa berambut panjang itu?!”
“Datuk Pancido, aku juga tidak ingin melepaskan pemuda itu begitu saja. Namun sekali ini kita lebih baik mengalah. Benda yang kita cari belum bertemu. Lebih baik mendapatkan benda itu lebih dahulu daripada mencari celaka…” Yang berbicara adalah Ki Bonang Talang Ijo.
“Aku tidak yakin perempuan gapuak itu Inyiek Batino.” Kakek yang dipanggil dengan nama Datuk Pancido masih penasaran. “Logat bicaranya bukan logat orang sini. Lagipula turut kata orang yang pernah melihat, Inyiek Batino mulutnya ditumbuhi misai putih seperti harimau sungguhan. Tapi yang ini ketiaknya yang bermisai…”
Untuk beberapa lama si kakek masih tak beranjak dari tempatnya. Tapi ketika satu persatu orang-orang itu meninggalkan tempat tersebut akhirnya dia mengikuti juga. Sebelum pergi dia masih sempat lontarkan kerlingan ke arah si gemuk. Perempuan bermuka biru bergaris kuning seperti harimau ini tersenyum dan kedipkan mata!
“Inyiek Setan!” rutuk Datuk Pancido. Dia merasa getaran aneh di permukaan kulit tubuhnya yang membuat kakek ini jadi merinding lalu cepat-cepat pergi menyusul teman-temannya.
Di tengah jalan tiba-tiba Perwira Muda Teng Sien memberi tanda lalu berhenti berlari. Semua orang ikut hentikan lari. Perwira ini mendekati Ki Bonang lalu mengatakan sesuatu. Ki Bonang tampak mengangguk­angguk.
“Ada apa Ki Bonang? Apa yang dikatakan Perwira Cina itu?” tanya Pandeka Bumi Langit Dari Sumanik. Selesai bicara dia kembali meniup-niup tangan kanannya yang melepuh.
“Perwira Muda sahabat kita ini memberi tahu kalau setelah menewaskan nenek itu kita lupa menggeledah tubuhnya. Tiga batangan emas yang telah diterimanya pasti ada di balik pakaian.”
“Kalau begitu kita kembali ke tempat tadi!” kata kakek bersenjata tongkat perunggu bernama Datuk Pancido. Dari pekerjaannya membantu orang-orang itu dia dan si nenek muka hitam memang belum mendapatkan imbalan. Kalau tiga batang emas itu ditemukan dia berharap akan menjadi bagian mereka berdua.
Tuanku Laras gelengkan kepala. “Terlalu berbahaya. Orang-orang itu pasti masih ada di sana. Lupakan saja tiga batang emas itu. Aku ada satu rencana lain…”
“Rencana apa Tuanku Laras?” tanya Ki Bonang.
“Inyiek Susu Tigo. Kita harus cepat-cepat menemui guru Si Kamba Pesek dan Si Kamba Mancuang itu. Kita beritahu bahwa Si Kamba Pesek muridnya telah dibunuh pemuda Jawa bernama Wiro itu. Kita tidak perlu bersusah payah lagi. Inyiek Susu Tigo pasti akan mencari dan membunuh pemuda itu!”
“Rencana bagus Tuanku Laras! Akalmu sungguh luar biasa!” memuji Ki Bonang Talang Ijo.
“Bukan itu saja,” kata Tuanku Laras pula dengan cuping hidung mengembang. “Akan kita beritahu Inyiek Susu Tigo. Kalau sebelum dibunuh pemuda Jawa itu telah lebih dulu memperkosa si nenek! Kita harus bisa membakar hati dan pikiran Datuk Susu Tigo hingga dia tidak memikirkan hal lain selain membunuh pemuda itu!”
“Hebat!” Kembali Ki Bonang memuji.
Sementara orang bicara, Perwira Muda Teng Sien walau berdiam diri tapi unjukkan wajah kesal. Tiba-tiba berteriak keras lalu melompat pergi.
“Perwira! Tunggu! Kau mau ke mana?!” berseru Ki Bonang Talang Ijo.
“Dia pasti kembali ke tempat mayat Si Kamba Pesek! Mencari tiga batang emas itu!” kata Pandeka Bumi Langit Dari Sumanik lalu kembali meniup-niup tangannya yang melepuh.
“Kita kejar dia!” kata Tuanku Laras pula.
“Biarkan saja! Dia mencari penyakit sendiri! Mau menyelamatkan tiga batang emas. Tapi nyawanya sendiri nanti bisa-bisa tidak mampu diselamatkannya!”
“Kalau dia mati, kita tidak akan mendapat bagian batangan emas yang kedua dan urusan bisa kacau bubar begitu saja!” kata Pandeka Bumi Langit Dari Sumanik.
“Tidak usah khawatir. Aku tahu di mana dia menyimpan sisa peti-peti emas itu!” Kata Ki Bonang pula.
Tuanku Laras Muko Balang melirik tapi tidak keluarkan ucapan. Ada sesuatu bermain di dalam benaknya setelah mendengar ucapan Ki Bonang tadi.
Teng Sien memang pergi ke tempat kejadian sebelumnya. Namun bukan saja dia tidak menemukan mayat Si Kamba Pesek, di situ juga tidak ada lagi Pendekar 212, Malin Kapuyuak dan Denok Tuba Biru. Perwira Muda ini lalu cepat-cepat kembali menemui rombongan Ki Bonang Talang Ijo.
***
BEGITU semua orang pergi, perempuan gemuk dan Malin Kapuyuak tertawa gelak-gelak.
Wiro tidak dapat menahan hati lagi. “Denok Tuba Biru! Kau dan Malin Kapuyuak seperti sudah lama saling mengenal! Kalian ini melakukan apa barusan! Siapa itu Inyiek Batino? Mereka tampak seperti ketakutan mendengar nama itu! Dan kau Denok, katakan! Bagaimana kau bisa berada di tanah Minang ini?! Setan mana yang membawamu ke sini?!”
“Pertanyaanmu banyak amat. Biar Malin Kapuyuak yang lebih dulu menjawab,” kata perempuan gemuk bermuka biru bergaris kuning masih sambil tertawa-tawa.
“Uda sahabatku,” kata Malin Kapuyuak pula. “Sewaktu aku lolos dari tangan maut Duo Hantu Gunung Sago Si Batu Bakilek, ada orang lain berusaha hendak membunuhku. Tapi tahu-tahu muncul uni gapuak (kakak perempuan gemuk) ini! Dia juga mengejarku. Orang pertama yang mengejarku melenyapkan diri entah ke mana…”
“Aku mengejar dia karena ingin mencari tahu di mana keberadaanmu,” berkata Denok Tuba Biru.
“Lalu kau sendiri bagaimana bisa berada di negeri ini?” tanya Wiro yang sejak semula tidak habis pikir.
“Setelah kita menolong Nyi Retno Mantili dan puterinya Ken Permata serta Manusia Paku Sandaka, pada saat harimau putih sakti Datuk Rao Bamato Hijau menerbangkanmu ke Danau Maninjau, diam-diam aku bergelayutan di bawah perutnya. Aku menerapkan ilmu Bayang-Bayang Angin hingga kau tidak bisa melihatku…” (baca serial Wiro Sableng sebelumnya berjudul “Bayi Titisan”).
“Tapi kau tidak bisa menipu Datuk Rao Bamato Hijau. Harimau sakti itu pasti tahu kau bergantungan di bawah tubuhnya…”
“Pasti tahu, tapi diam saja…” jawab Denok Tuba Biru sambil senyum-senyum.
“Tidak mungkin harimau sakti itu diam saja. Ceritakan hal yang sebenarnya.”
“Selama di perjalanan aku terus-terusan mengusap anunya Datuk Rao Bamato Hijau. Rupanya dia merasa keenakan. Itu sebabnya dia diam saja!”
“Sinting!” Teriak Wiro seraya membuka kopiah hitamnya lalu dibanting ke tanah. Kepala digaruk habis-­habisan. Malin Kapuyuak menekap hidung menahan tawa sementara Denok Tuba Biru enak saja melepas cekikikan.
***
ENAM
WIRO melangkah mundar-mandir. Sekali-sekali dia berhenti oleh rasa sakit di punggung dan di dada. Kalau saja Kapak Naga Geni 212 tidak ada di dalam tubuhnya yang menamengi dirinya dari serangan dua lawan yaitu Datuk Pancido dan Pandeka Bumi Langit Dari Sumanik, mungkin keadaannya bisa sangat parah.
“Denok Tuba Biru, kalau Datuk Rao Basaluang Ameh tahu apa yang kau lakukan pada harimau putih…” Wiro mengingatkan.
“Wiro, sebaiknya kau lebih memperhatikan dirimu. Aku yakin kau telah terluka di dalam tapi kau tidak perduli. Aku membawa obat. Mungkin bisa menolong. Telanlah!” Dari dalam sebuah kantong kecil perempuan gemuk itu mengeluarkan sebuah benda bulat seujung kuku berwarna hitam lalu diserahkannya pada Wiro. Ketika Wiro hendak menelan Malin Kapuyuak berseru.
“Tunggu dulu! Uni Gapuak, kau tidak salah memberi obat pada pandeka sahabatku?”
“Apa maksudmu?!” bentak Denok Tuba Biru.
“Obat yang kau berikan bukan obat penyubur penambah lebat bulu ketiak?!”
“Setan alas kurang ajar!” Teriak Denok Tuba Biru marah lalu, plaakk! Tangannya menjitak kepala si pemuda hingga Malin Kapuyuak kesakitan, menjauh sambil usap-usap kepala. Wiro cepat-cepat telan obat yang diberikan. Dada dan punggungnya yang sakit terasa hangat.
“Aku memang khawatir kalau sampai ketahuan Datuk Rao Basaluang Ameh,” kata Denok Tuba Biru kemudian. “Karenanya ketika harimau putih berlari di sepanjang tepi danau, sebelum sampai di tempat kediaman Datuk Rao Basaluang Ameh, di satu tempat aku menjatuhkan diri. Setelah itu aku berusaha mencarimu. Aku pernah melihat suatu saat kau dan pemuda ini berduaan. Ketika aku kehilangan jejakmu, aku mencari pemuda ini dan menemuinya sewaktu hendak dibunuh Hantu Gunung Sago Si Batu Bakilek…”
Sementara Wiro mendengarkan cerita Denok Tuba Biru, Malin Kapuyuak memperhatikan mayat Si Kamba Pesek. Pada pinggang pakaiannya yang agak tersingkap dia melihat ada tiga benda berkilat kuning menyembul. Ketika dia membungkuk dan memperhatikan lebih dekat dia segera mengenali. Tiga benda yang tersembul itu adalah tiga ujung batangan emas! Segera saja dia menarik batangan emas itu satu persatu.
“Malin Kapuyuak! Apa yang kau lakukan?!” tiba-tiba Wiro bertanya. Membuat si pemuda tergagau dan rentangkan dua tangan.
“Lihat! Kalian pasti tidak percaya! Aku menemukan tiga batang emas di balik pinggang jenazah nenek itu!”
Wiro mengambil sebatang emas, memperhatikannya beberapa lama lalu menyerahkan pada Denok Tuba Biru. Setelah memeriksa sebentar perempuan gemuk ini memberi tahu.
“Ini emas betulan! Bukan barang palsu!”
“Rejekiku besar nian! Sekarang aku punya modal untuk kawin! Ha… ha… ha!” Malin Kapuyuak melompat-lompat sambil mencium dua batangan emas.
“Malin, serahkan semua emas itu pada sahabat kita Uni Gapuak ini. Sebelum ketahuan asal muasal dan siapa pemiliknya, tidak satu pun di antara kita boleh mengambilnya!”
“Uda Pandeka, jangan begitu. Pemiliknya jelas nenek ini dan dia sudah mati. Kau tahu aku ini orang miskin…”
“Aku juga orang miskin!” kata Pendekar 212 lalu ambil dua batangan emas yang ada di tangan Malin Kapuyuak kemudian diserahkan pada Denok Tuba Biru.
“Simpan baik-baik. Jangan sampai hilang!” kata Wiro pada Denok Tuba Biru.
Malin Kapuyuak mengomel panjang pendek namun kemudian berhenti sendiri.
Malam itu juga Wiro ditemani Denok Tuba Biru dan dipandu Malin Kapuyuak membawa jenazah Si Kamba Pesek ke sebuah dusun terdekat. Mereka menemui kepala dusun untuk diminta mengurus dan mengubur jenazah si nenek. Mula-mula kepala dusun ini marah-marah. Bukan saja karena dibangunkan dalam tidur lelapnya tapi juga karena diberi pekerjaan yang tidak disangka-sangka.
“Malam buta kalian membangunkan aku dari tidur! Datang membawa mayat yang tidak aku kenal! Minta aku mengurusnya sampai penguburan! Rancak bana! Enak pada kalian susah padaku! Kelihatannya dia mati tidak wajar. Bagaimana kalau nanti kematian perempuan tua ini menjadi urusan panjang? Aku yang cilako tigo baleh (celaka tiga belas)! Kalian sudah menghilang entah ke mana!”
“Pak gaek (bapak tua),” Malin Kapuyuak berkata. “Jangan khawatir. Kalau terjadi apa-apa cari aku. Namaku Malin Kapuyuak. Semua orang kenal diriku! Kau boleh bertanya di Koto Gadang, Koto Tuo atau Koto Tinggi. Semua orang pasti tahu diriku. Aku kemenakan Datuk Marajo Sati…” Malin Kapuyuak membual.
Kepala dusun gelengkan kepala. “Kemenakan Raja di Pagaruyung sekalipun kau, aku tidak akan melakukan apa yang kalian minta!”
Dia melangkah mundur, siap masuk ke dalam rumah dan menutup pintu.
Wiro tidak kehabisan akal. Diambilnya salah satu dari tiga batangan emas yang ada pada Denok Tuba Biru lalu dipatahkan sedikit salah satu ujungnya. Potongan kecil emas ini kemudian ditunjukkannya pada kepala dusun.
“Bapak tua, ini sedikit bantuan untuk biaya pengurusan jenazah nenek kami sampai di penguburan. Kuharap kau ikhlas menerimanya.” Kata Wiro pula.
Sepasang mata kepala dusun terbeliak berkilat. Tidak percaya.
“Ini emas sungguhan?!” tanyanya pada Wiro lalu memandang Malin Kapuyuak dan Denok Tuba Biru. Ketiga orang itu sama-sama menganggukkan kepala.
Masih tidak percaya kepala dusun masukkan gumpilan emas ke dalam mulut, dihisap dan digigit-gigit lalu diludahkan kembali.
“Ini memang emas sungguhan. He… he… Nanti, kalau ada lagi jenazah yang hendak kalian minta aku mengurusi, serahkan padaku. Jangan diberikan pada orang lain? Jangan satu jenazah. Sepuluh jenazah pun akan aku urus!”
Kepala dusun ini lalu masuk ke dalam rumah, membangunkan istrinya. Di luar rumah, Wiro, Malin Kapuyuak dan Denok Tuba Biru mendengar kepala dusun berkata pada istrinya.
“Baidah, kita kaya! Kita akan jadi urang kayo (orang kaya)! Lihat ini! Lihat apa yang ada di tanganku! Ammeehhh (emas)!”
Apakah pembaca masih ingat siapa adanya perempuan gemuk Denok Tuba Biru dan oleh Malin Kapuyuak dipanggil Uni Gapuak itu? Seperti diceritakan dalam serial “Si Cantik Gila Dari Gunung Gede”, dia adalah orang ketiga dari Serikat Momok Tiga Racun yang terdiri dari tiga orang. Dua orang lainnya adalah Tukak Racun Kuning dan Alis Bisa Merah. Sesuai dengan perintah guru mereka yang sudah mati, ketiganya harus mencari seorang perempuan muda berkepandaian tinggi berpikiran tidak waras untuk dijarah jantung, ginjal dan hatinya. Sasaran mereka adalah Nyi Retno Mantili. Namun usaha jahat itu menemui kegagalan. Tukak Racun Kuning menemui ajal di tangan Bujang Gila Tapak Sakti dan Alis Bisa Merah tewas di tangan Manusia Paku Sandaka. Satu-satunya yang masih hidup adalah Denok Tuba Biru yang nyawanya diampuni oleh Manusia Paku Sandaka dan disuruh pergi. Kelak kemudian hari Denok Tuba Biru menjadi bersahabat dengan Pendekar 212 Wiro Sableng dan menolong Manusia Paku Sandaka (baca “Perjodohan Berdarah” dan “Bayi Titisan”).
***
SAMBIL berjalan dalam gelap dan dinginnya udara malam, Wiro beberapa kali terbatuk-batuk, bertanya pada Malin Kapuyuak. “Selama beberapa hari ini, sudah berapa lagi anak gadis orang yang kau intai waktu mandi?”
“Uda pandeka, jangan membuka rahasiaku di depan sahabat baru Uni Gapuak ini…” jawab Malin Kapuyuak sambil tertawa.
“Uni Gapuak ini juga masih gadis. Jangan-jangan kau sudah…”
Wiro tidak meneruskan ucapannya karena keburu dipotong oleh Denok Tuba Biru.
“Kalau dia berani mengintip aku mandi, aku peram kepalanya tiga hari di ketiak kiri, tiga hari di ketiak kanan! Baru dia tahu rasa…”
Malin Kapuyuak tertawa gelak-gelak.
Wiro lantas bertanya.
“Sewaktu kau menyembah sahabat kita ini di depan Ki Bonang dan kawan-kawannya, kau menyebutnya Inyiek Batino, Ratu Sekalian Harimau Betina Di Tujuh Gunung Bertuah. Orang-orang itu aku lihat seperti ketakutan. Siapa Inyiek Batino itu?”
“Aku hanya melihat satu kali. Itu secara tidak sengaja dan cepat sekali. Inyiek Batino perempuan gemuk bermuka harimau. Mukanya biru bergaris-garis coklat dan kuning. Dia dikenal sebagai perempuan sangat sakti. Semua Datuk dan tokoh silat di negeri ini menaruh segan kalau tidak mau dikatakan takut padanya. Konon Inyiek Batino mempunyai ratusan anak buah yang diam di tujuh gunung, itu sebabnya dia dijuluki Ratu Sekalian Harimau Betina Tujuh Gunung Bertuah.”
“Akalmu panjang juga Malin. Tapi bagaimana kalau kemudian orang-orang itu tahu Uni Gapuak ini bukan Inyiek Batino sungguhan? Atau bagaimana kalau Inyiek Batino asli mengetahui ada orang yang menjual namanya?” Bertanya Wiro.
“Inyiek Batino bukan perempuan sembarangan. Selain sakti berilmu, kata orang pikirannya selalu jernih seperti embun di puncak Merapi, hatinya seputih kapas kapas di lereng Singgalang…” Jawab Malin Kapuyuak.
“Mudah-mudahan dia akan tetap seperti itu kalau bertemu pemuda kurang ajar sepertimu!” Kata Denok Tuba Biru.
“Nenek bermuka hitam dan kakek yang berkaki aneh bersenjata tongkat perunggu itu. Siapa mereka?” tanya Wiro pada Malin Kapuyuak.
“Si nenek biasa dipanggil dengan nama Niniek Panjalo. Kehebatannya pada senjata berbentuk jaring yang bisa berpijar…”
“Aku sudah merasakan kehebatannya,” kata Wiro mengakui. “Lalu kakek yang bertongkat perunggu itu? Dia menyerang secara aneh. Membuat aku tidak bisa menghindar.”
“Namanya aku tidak tahu tapi dijuluki orang Datuk Pancido. Ilmu silatnya memang aneh. Dia datang dari depan tapi selalu memukul bagian tubuh lawan di arah belakang. Itu sebabnya dia di sebut Datuk Pancido. Artinya Datuk yang menyerang bagian belakang lawan…”
“Ilmu licik. Lain kali kalau berhadapan lagi dengan dia aku harus berlaku hati-hati.” Kata Wiro pula.
“Sekarang kita mau ke mana?” Tanya Malin Kapuyuak.
“Aku harus mencari saudara kembar Si Kamba Pesek. Ada beberapa hal penting yang akan aku tanyakan padanya. Selain itu dia juga harus diberitahu kematian saudaranya.” Menjawab Wiro.
Malin Kapuyuak tersenyum lalu berbisik agar tidak terdengar Denok Tuba Biru.
“Aku tahu, setelah memeluk dan menciumnya, kau tidak bisa melupakan nenek satu itu. Ha… ha… betul kan?”
Wiro hanya bisa ikutan tertawa.
“Malin, kau tahu di mana aku bisa menemukan nenek itu?” Wiro bertanya.
Malin Kapuyuak tertawa. Sambil menepuk dada dia berkata.
“Soal intai mengintai, cari mencari serahkan pada Malin Kapuyuak. Aku tahu di mana tempat bermukimnya guru Si Kamba Mancuang. Besar kemungkinan mereka itu berada di sana.”
“Kalau begitu antarkan kami ke tempat itu. Cari jalan memintas. Makin cepat kita sampai makin baik.” Kata Wiro pula.
“Serahkan semua padaku. Tapi kalau sampai bertemu Datuk Susu Tigo, kalian harus berhati-hati. Dia tidak suka dan selalu curiga pada orang asing…”
“Siapa itu Datuk Susu Tigo?” tanya Wiro.
“Guru Si Kamba Pesek dan Si Kamba Mancuang. Orang sakti itu sesuai namanya punya tiga bua susu. Konon jika ada orang yang sanggup menghisap ke tiga susunya maka separuh dari ilmu kesaktiannya akan diberikannya pada orang itu.” Malin Kapuyuak berpaling pada Denok Tuba Biru. “Uni Gapuak, kau mau mencoba menghisap tiga susu Datuk itu?”
“Sialan! Kau saja duluan!” jawab Denok Tuba Biru dengan wajah jengkel bersungut-sungut. Tangan diulurkan siap hendak menjitak lagi kepala Malin Kapuyuak.
***
TUJUH
SUARA menguik keras dan panjang disertai kepak sayap dan disusul suara benda jatuh membuat Datuk Marajo Sati yang berada di dalam goa hentikan zikirnya lalu berlari ke mulut goa. Sesaat kemudian terdengar teriakan mengucap datuk pimpinan Luhak Nan Tigo ini.
“Astaghfirullah! Rajo Di Langit! Apa yang terjadi dengan dirimu!”
Di mulut goa saat itu tergeletak seekor burung elang putih besar. Matanya yang merah berkedap-kedip, dua kali menggeliat. Sayap kiri burung besar ini tampak patah dan ada warna hitam di sekitar patahan sayap sebelah atas serta bawah.
“Rajo, siapa yang mencelakaimu. Luka di tulang sayapmu mengandung racun. Kau bisa menemui ajal sebelum tengah hari…” Datuk Marajo Sati usap-usap tengkuk elang putih peliharaannya ini yang diberi nama Alang Putih Rajo Di Langit. “Rajo, dengar ucapanku. Aku akan melakukan sesuatu. Ini akan sangat sakit. Tapi tidak ada cara lain untuk menyelamatkan nyawamu…”
Elang putih besar kedipkan sepasang mata dua kali. Lalu mendesah perlahan. Tangan sang Datuk berhenti mengusap. Tiba-tiba, kraakkk! Datuk Marajo Sati patahkan sebagian atas sayap kiri Alang Putih Rajo Di Langit. Burung besar ini menguik keras kesakitan. Sayap sebelah kanan menggelepar menghantam dinding mulut goa hingga dinding batu pecah rontok berhamburan.
“Rajo, kau akan mengalami kesulitan terbang. Tapi tidak akan lama. Aku akan memberimu obat hingga sayapmu bisa tumbuh lebih cepat. Begitu kau sembuh, kita harus mengetahui dan mencari siapa manusia keji yang mencelakaimu. Aku akan memberi pembalasan padanya. Akan aku tanggalkan tangan kirinya!”
Saat itu karena mendengar suara mengucap keras sang Datuk dan juga pekik elang putih, dari dalam goa keluar seorang gadis cantik berwajah putih kemerah-merahan, berambut hitam panjang dijalin dan digulung di atas kepala.
“Datuk, apa yang terjadi dengan elang putih itu?” Si gadis bertanya. Wajah dan nada suaranya menunjukkan rasa cemas. Inilah Chia Swie Kim yang sebenarnya adalah puteri seorang Pangeran Tiongkok. Gadis ini melarikan diri dari negerinya sewaktu hendak dibunuh oleh sang ayah karena dituduh berzinah. Yang Maha Kuasa menyelamatkannya dengan memasukkan tubuhnya secara gaib ke dalam kupu-kupu batu giok bernama Kupu-kupu Giok Mata Dewa. Kupu-kupu batu yang berwarna biru bercampur hijau ini ternyata bukan benda sembarangan. Merupakan Pusaka Utama Kerajaan yang harus berada di tangan kaisar sebagai tanda sahnya sang kaisar menduduki tahta Kerajaan Tiongkok. Sewaktu Chia Swie Kim menyelamatkan diri lari dari Tiongkok, Pangeran memerintahkan seorang Perwira Muda bernama Teng Sien untuk melakukan pengejaran berlangsung sampai ke tanah Jawa, terus ke Pulau Andalas. Dalam melaksanakan tugasnya Perwira Teng Sien meminta bantuan seorang tokoh silat asal Jawa bernama Ki Bonang Talang Ijo. Sesampainya di Andalas jumlah pengejar yang diminta bantuan oleh Teng Sien semakin bertambah. Mereka antara lain adalah Dua Hantu Gunung Sago Si Kalam Langit dan Si Batu Bakilek. Si Kalam Langit tewas dibunuh oleh penyerang gelap. Lalu ada sepasang nenek kembar berjuluk Si Kamba Pesek dan Si Kamba Mancuang Tangan Manjulai, Pandeka Bumi Langit Dari Sumanik, Datuk Mangkuto Karih Babegah dan Tuanku Laras Muko Balang. Konon rombongan para pengejar diberi hadiah dua peti batangan emas. Satu peti telah diberikan lebih dulu.
Dalam pelariannya, Chia Swie Kim tersesat ke pantai barat Pulau Andalas dan ditolong oleh seorang sakti bernama Sutan Panduko Alam. Sutan Panduko Alam meski bisa menyelamatkan sang kupu-kupu dan menghabisi Datuk Mangkuto Karih Babegah namun dia sendiri akhirnya tewas dikeroyok Ki Bonang Talang Ijo dan kawan­kawan. Chia Swie Kim masih dalam ujud kupu-kupu kemudian diterbangkan sorban milik Sutan Panduko Alam dan mendapat perlindungan dari Datuk Marajo Sati. Untuk jelasnya riwayat tersebut dapat pembaca ikuti dalam serial sebelumnya berjudul “Kupu-kupu Giok Ngarai Sianok”.
Ketika Chia Swie Kim yang oleh Datuk Marajo Sati diganti namanya menjadi Puti Bungo Sekuntum keluar dari dalam goa dan tahu-tahu telah berada di sampingnya di mulut goa, kejut sang Datuk bukan alang kepalang.
“Puti, lekas masuk ke dalam! Bukankah aku sudah mengingatkanmu berulang kali jangan berada di sekitar mulut goa?”
Sadar akan kesalahannya, Puti Bungo Sekuntum cepat berkata. “Maafkan saya Datuk…” Lalu dengan segera gadis ini masuk ke dalam goa kembali, di tempat mana dia telah berada selama beberapa hari sejak pertama datang diterbangkan sorban Sutan Panduko Alam.
Walau Puti Bungo Sekuntum hanya sesaat berada di mulut goa namun saat itu seseorang lelaki bermuka cacat yang berada jauh di dasar ngarai, dekat tepian Batang Anai masih sempat melihat kehadiran sosoknya. Rahang menggembung, geraham bergemeletakan. Sepuluh jari tangan digerakkan hingga mengeluarkan suara berkeretekan.
“Chia Swie Kim. Waktu aku masuk ke dalam goa, aku memang tidak melihat dirimu. Tapi aku sudah menduga dan curiga. Saat itu kau ada di sana, entah dalam ujud apa. Jika aku tidak mungkin mendapatkan dirimu, jangan salahkan kalau aku akan membuat kegegeran besar di negeri ini. Satu persatu akan aku habisi semua orang pandai di negeri ini hingga kau tidak lagi mempunyai tempat untuk berlindung! Korbanku termasuk Datuk yang tinggal bersamamu di dalam goa itu!”
Lelaki muda berwajah cacat balikkan badan, keluar dari balik semak belukar di tepi sungai. Namun gerakannya tertahan ketika tiba-tiba di hadapannya telah menghadang seorang lelaki tinggi besar, mengenakan pakaian dan celana galembong hitam, berkepala botak berkilat dan memelihara kumis, janggut serta berewok lebat. Tangan kanan orang ini dibalut dengan kain yang digantungkan ke leher.
Tidak seperti si muka cacat, orang ini tidak sempat melihat kehadiran Puti Bungo Sekuntum di mulut goa.
“Manusia bermuka cacat! Apa yang kau lakukan di tempat ini. Kau mengintai ke arah goa! Kau membekal niat jahat!” Orang tinggi besar yang bukan lain adalah Duo Hantu Gunung Sago Si Batu Bakilek membentak. Dia sengaja datang ke Ngarai Sianok untuk menyelidiki kebenaran cerita Si Kamba Mancuang Tangan Manjulai yang memberi kesan bahwa Datuk Marajo Sati ada sangkut paut dengan kematian saudaranya Si Kalam Langit. Selain itu dengan adanya tulisan di kain putih, dia juga akan mencari Pendekar 212 Wiro Sableng yang dituduh sebagai pembunuh saudaranya. Salah satu dari kedua orang itu, entah sang Datuk entah pemuda dari Jawa itu pastilah yang telah membunuh Si Kalam Langit, begitu jalan pikiran Si Batu Bakilek.
Orang yang dibentak Si Batu Bakilek tampak terkejut dan gugup, tak bisa menjawab. Tapi tangan kanan dengan cepat bergerak ke pinggang. Dalam genggamannya saat itu ada tiga buah benda hitam berbentuk bintang sudut empat. Melihat benda itu Duo Hantu Gunung Sago Si Batu Bakilek terkejut dan delikkan mata. Dia ingat cerita Si Kamba Mancuang Tangan Manjulai tentang kematian saudaranya Si Kamba Langit. Menurut si nenek saudaranya itu tewas dibunuh dengan senjata rahasia oleh seorang penyerang gelap. Namun kemudian ada tulisan rahasia di atas sehelai kain putih yang menyatakan si pembunuh adalah Pendekar 212 Wiro Sableng. Karena tidak pernah mengenal Wiro, Si Batu Bakilek mengira, si muka cacat inilah Pendekar 212 Wiro Sableng yang telah membunuh saudaranya.
“Pemuda jahanam! Kau telah membunuh saudaraku! Kau harus tebus nyawanya dengan nyawa anjingmu!”
Tidak tunggu lebih lama Si Batu Bakilek langsung hantamkan tendangan kaki kiri. Yang diserang dengan cepat menghindar sambil berusaha menangkap kaki lawan. Namun tendangan si Batu Bakilek dalam jurus bernama Nago Gadang Kalua Sarang (Naga Besar Keluar Sarang) berkelebat lebih cepat, menyusup laksana kilat menghajar dada si muka cacat. Tendangan yang begitu keras membuat orang yang ditendang mencelat dua tombak, tergelimpang di tanah semburkan darah dari mulut. Sambil bergerak bangkit, di antara erangan mulutnya dia keluarkan ucapan bergumam yang tidak jelas.
Melihat orang masih bisa bangun, malah melangkah ke arahnya Duo Hantu Gunung Sago Si Batu Bakilek dengan geram dan berteriak keras segera mendatangi. Kembali dia siap melancarkan tendangan. Tendangan kali ini disertai dengan rapal ajian Dongkak Batu Beracun (Tendangan Batu Beracun). Jangankan tubuh manusia, badan seekor kerbau besarpun akan hancur remuk kalau sampai kena tendangan ini. Namun di saat yang sama, si muka cacat masih bisa membuat gerakan kilat. Ketika tangan hanya tinggal sejarak panjangnya lengan, tangan kanan si muka cacat bergerak. Tiga senjata rahasia berbentuk bintang sudut empat berkiblat di udara mengeluarkan suara nyaring seperti tiupan seruling. Si Batu Bakilek yang tidak menyangka akan mendapat serangan lebih cepat dari yang hendak dilancarkannya sementara dua telinganya bergetar sakit oleh suara menguing keras, hanya mampu mengelakkan dua buah bintang terbang. Senjata rahasia yang ketiga menancap telak di antara dua matanya!
Manusia tinggi besar ini menggerung keras lalu ambruk ke tanah dengan mata membeliak! Walau muka sampai kepala botaknya serta merta menjadi kehitaman tapi dia tidak langsung menemui ajal! Tiba-tiba tubuh Si Batu Bakilek yang dalam keadaan sekarat ini melesat ke udara. Dua kaki terkembang, menyambar ke arah leher lelaki bermuka cacat. Lalu laksana kilat seperti dua japitan raksasa, dua kaki menelikung dan menjepit leher lawan dalam jurus disebut Manyemba Tonggak Narako (Menyambar Tiang Neraka). Ini merupakan jurus serangan ilmu silat yang sulit dilakukan. Konon Duo Hantu Gunung Sago telah menghabiskan waktu tiga tahun untuk mempelajari hanya satu jurus ilmu silat ini dari seorang tokoh silat yang bermukim di Pulau Nias. Sekali lawan terkena jepitan dua kaki jangan harap bisa selamatkan diri dari kematian.

Kraakkk!
Leher si muka cacat berderak patah! Dua tubuh tergelimpang jatuh di tanah dan sama-sama tewas saat itu juga.
***
SEHARI kemudian, yaitu pada malam hari, bau busuk dua mayat yang tergeletak di tepi Batang Anai tercium masuk sampai ke dalam goa tempat kediaman Datuk Marajo Sati. Ketika dia muncul di mulut goa, dia melihat banyak nyala suluh di dasar ngarai. Sang Datuk turun ke ngarai. Dia menemui lebih dari sepuluh orang penduduk setempat tengah mengelilingi dua sosok mayat. Mayat pertama dikenali Datuk Marajo Sati sebagai Duo Hantu Gunung Sago Si Batu Bakilek. Mayat kedua agak aneh. Ketika Datuk Marajo Sati mengambil suluh dan mendekatkan ke wajah orang dia segera mengetahui wajah cacat itu hanya merupakan sebuah topeng tipis. Perlahan­lahan sang Datuk tanggalkan topeng wajah cacat yang menutupi muka orang. Begitu topeng terbuka kelihatan wajah seorang pemuda berkulit kuning bermata sipit.
“Orang Cino…” beberapa penduduk keluarkan ucapan hampir berbarengan. Jantung Datuk Marajo Sati berdetak. Dengan cepat orang tua ini berkata pada semua orang yang ada di sana. Karena saat itu sudah malam hari dan tidak membawa peralatan, maka mereka diminta datang lagi besok pagi untuk mengurus dua mayat.
Setelah orang-orang itu pergi Datuk Marajo Sati segera menemui Puti Bungo Sekuntum di dalam goa.
“Puti, aku ingin kau merubah diri menjadi kupu-kupu. Kita turun ke ngarai sekarang juga. Ada dua mayat di dasar ngarai. Yang seorang aku kenali. Satunya aku minta kau memeriksa, mungkin kau mengenali siapa orangnya, di ngarai kau jangan mengeluarkan suara sedikitpun. Jika sudah kau perhatikan baik-baik mayat yang satu itu segera kembali ke goa, aku akan menyusul.”
Mendengar ucapan Datuk Marajo Sati, Puti Bungo Sekuntum alias Chia Swie Kim segera merubah diri menjadi kupu-kupu besar. Begitu sang Datuk melompat keluar goa, kupu-kupu ini segera terbang mengikuti. Di dasar ngarai Datuk Marajo Sati yang sampai lebih dulu berdiri di depan mayat yang sebelumnya mengenakan topeng. Dia memberi isyarat pada kupu-kupu besar. Binatang ini melayang berputar tiga kali di atas mayat lalu melesat ke atas ngarai, masuk kembali ke dalam goa.
Ketika Datuk Marajo Sati sampai di dalam goa, Puti Bungo Sekuntum sudah menunggu dalam ujud gadis cantik. Wajah gadis ini tampak pucat. Sewaktu ditegur oleh Datuk, untuk beberapa lamanya dia hanya bisa berdiam diri walau bibir tampak bergetar bergerak-gerak.
“Anak gadis, aku tahu ada sesuatu yang membuat perasaanmu tertekan. Mungkin juga ada rasa takut. Kau tak usah khawatir. Tenangkan dirimu. Kalau sudah jawab pertanyaanku. Apakah kau mengenali mayat pemuda Cina di dasar ngarai itu?”
Perlahan-lahan Puti Bungo Sekuntum anggukkan kepala.
“Siapa dia…?”
“Namanya Loe Singkang. Dia bukan orang Cina tapi berasal dari Tibet. Dia murid sebuah perguruan besar di daratan Tiongkok. Dia orang yang memfitnah saya berbuat zinah hingga ayah membunuh kekasih saya Kui Hoa Seng, juga berniat menghabisi saya. Rupanya dia mengikuti saya sampai ke sini…”
“Kau tahu mengapa pemuda dari Tibet itu berbuat begitu keji memfitnahmu sampai kekasihmu dibunuh bahkan ayahmu yang Pangeran itu juga berniat menghabisi dirimu?”
“Loe Singkang mencintai saya. Tapi cintanya saya tolak karena saya telah lebih dulu mengasihi koko (kakak) Hoa Seng. Dia lalu mengarang cerita menebar fitnah. Ayah saya malu dan marah besar.”
Datuk Marajo Sati tarik nafas dalam, mengusap wajah lalu berkata. “Masuklah ke dalam ruanganmu. Jangan sekali-kali berani keluar kecuali aku memanggilmu.”
“Baik Datuk…”
Setelah si gadis masuk ke dalam ruangan di balik dinding goa, Datuk Marajo Sati merenung. “Agaknya tempat ini tidak aman lagi bagi Puti Bungo Sekuntum. Aku harus mencari tempat lain untuk menyembunyikan dan melindunginya. Apakah aku harus berunding dengan para datuk? Aku khawatir mereka akan berburuk sangka atau ada yang berlaku culas…”
***
KETIKA Datuk Marajo Sati turun ke dasar ngarai bersama kupu-kupu besar perujudan Puti Bungo Sekuntum, di dalam Batang Anai, terlindung di balik gelapnya satu gundukan batu hitam, seseorang memperhatikan gerak-gerik dua insan itu tanpa berkesip. Setelah keduanya pergi, orang di balik batu menyeringai. Perlahan-lahan dia keluar dari dalam sungai, berdiri di tepian.
“Datuk Marajo Sati, kau telah memberikan duka sengsara padaku seumur-umur. Datuk rakus perambah (pemakan) daun muda, dalam waktu kurang dari tujuh hari kau akan menerima pembalasanku! Kalau kau tidak mati di tangan orang, maka kau akan mati bunuh diri karena malu!”
***
DELAPAN
ETEK (panggilan untuk perempuan yang lebih tua dari si pemanggil) Salmah, penjual serabi yang sekali dua hari selalu datang membawa dagangannya ke rumah istri Datuk Marajo Sati di Koto Gadang pagi itu tidak muncul. Yang datang seorang perempuan lain bertubuh ramping. Perempuan ini meletakkan dagangannya di tangga atas rumah, menunggu penghuni rumah keluar. Tak lama kemudian muncul seorang perempuan muda berparas elok berkulit putih. Rambut hitam sepinggang. Inilah Gadih Puti Seruni, istri Datuk Marajo Sati yang konon baru menginjak usia dua puluh tahun.
Penjual serabi memberi tahu kalau Etek Salmah sedang sakit dan hari itu dia membantu menjajakan serabi. Dia mengaku bernama Jawiah, masih saudara sepupu dengan Etek Salmah. Ini hanyalah satu kedustaan.
Setelah membeli serabi kesukaannya Puti Seruni menanyakan apa sakit Etek Salmah.
“Saudara saya agak demam. Mungkin masuk angin karena kehujanan dua hari lalu.”
“Kasihan Etek Salmah. Sampaikan salam saya. Saya doakan agar Etek cepat sembuh.”
“Terima kasih. Salam akan saya sampaikan.”
Pedagang serabi mengemas dagangannya tapi entah mengapa dia masih duduk bersimpuh di tangga rumah sebelah atas.
“Apakah kurang uang bayaran saya?” tanya Puti Seruni.
“Tidak… Sudah cukup, sudah cukup,” jawab Jawiah. Dia diam sebentar lalu berkata. “Sebenarnya ada yang hendak saya sampaikan. Tapi saya takut nanti akan menjadi masalah…”
Alis lengkung hitam dan bagus Puti Seruni bergerak naik. Matanya yang bulat hitam bercahaya berkedip satu kali.
“Apa yang hendak Etek sampaikan?” tanya istri Datuk Marajo Sati.
“Apakah Datuk ada di dalam?” balik bertanya Jawiah.
Puti Seruni menggeleng.
“Saya mendengar kabar yang tidak baik tentang Datuk. Konon di luaran sudah banyak orang yang tahu…”
“Kabar tidak baik apa Etek? Dari mana Etek mendengar. Apakah suami saya sedang sakit?”
“Saya mohon maaf kalau saya berlaku lancang…”
“Katakan saja Etek. Bukankah kabar baik atau kabar buruk harus disampaikan?”
“Tersiar kabar, konon Datuk Marajo Sati tidak tinggal sendirian di dalam goa di Ngarai Sianok…”
“Saya tahu hal itu. Dia ditemani Alang Putih Rajo Di Langit. Burung elang peliharaannya.”
“Maksud saya… maksud saya bukan burung elang itu. Tapi ada seorang perempuan yang kabarnya beraut wajah cantik, bertubuh rancak dan berusia lebih muda dari adik Puti Seruni…”
Kalau ada petir menyambar di depan wajahnya, rasanya tidak sedemikian hebat kejut Puti Seruni. Matanya tidak berkedip memandang lekat-lekat ke wajah Etek Jawiah, mulut ternganga dan dada mulai berdebar.
“Tidak boleh jadi. Bagaimana mungkin. Datuk orang siak (alim), orang beragama…” kata Gadih Putih Seruni tapi wajahnya telah berubah putih dan tenggorokan bergerak turun naik.
“Maafkan saya,” kata perempuan pedagang serabi. “Saya tahu siapa Datuk suami adik. Jangan-jangan dia sudah kena diguna-guna. Kabar lain konon yang tinggal bersama Datuk di dalam goa sebagai puteri jin. Karena konon dia bisa menghilang… Saya berharap semua itu tidak betul. Tapi jika saya tidak menyampaikan pada adik Puti Seruni saya merasa salah…”
“Apakah Etek Salmah juga mengetahui hal ini?” tanya Puti Seruni.
“Saya rasa dia sudah lebih dulu tahu dari saya. Tapi tidak bertega hati menyampaikan pada adik Puti Seruni…”
“Kalau begitu, jika dia sudah sembuh minta dia segera datang menemui saya…”
“Akan saya beritahu. Tapi kalau saya tidak salah bukankah adik Puti Seruni masih kemenakan Datuk Panglimo Kayo, Ketua Luhak Tanah Datar di Batusangkar?”
“Dari mana Etek tahu hal itu?”
“Apakah itu menjadi rahasia? Bukankah hampir semua orang tahu…”
“Kalau benar lalu kenapa?”
“Lebih baik adik menghubungi Datuk Panglimo Kayo lebih dulu. Menanyakan apakah benar kejadian itu. Itu hanya nasihat saya supaya adik jangan terombang-ambing dalam kebimbangan. Atau akan lebih baik kalau adik mendatangi langsung Datuk Marajo Sati di Ngarai Sianok…”
“Beliau tidak pernah memperbolehkan saya datang ke sana,” jawab gadih Puti Seruni.
“Oohhh, kalau begitu rupanya memang ada yang dirahasiakan. Masakan istri sendiri tidak boleh mengunjungi suami…”
Gadih Putih Seruni terdiam. Wajahnya yang cantik tampak semakin menunjukkan perubahan.
“Sudah berapa lama kejadian ini Etek?” tanya istri Datuk Marajo Sati itu kemudian.
“Saya mendengar cerita itu di pasar sehari yang lalu. Tapi sudah berapa lama kejadian sebenarnya tidak saya ketahui…”
Wajah putih Gadih Puti Seruni yang tadi pucat kini mengelam. Sepasang mata tampak menjadi merah seolah menahan tangis. Tiba-tiba saja dia membalikkan diri dan masuk ke dalam. Meninggalkan begitu saja serabi yang baru dibelinya. Jawiah perempuan penjual serabi segera menuruni tangga rumah lalu cepat-cepat pergi.
Di pinggiran timur Koto Gadang perempuan ini membelok memasuki jalan sunyi menurun. Di tepi sebuah jurang yang banyak ditumbuhi pohon bambu dia berhenti. Memandang kian kemari. Seperti mencari seseorang. Tak selang berapa lama, dari balik rumpunan pohon bambu keluar seorang lelaki. Dari perawakannya tampak kalau dia masih muda. Wajahnya tidak begitu jelas kelihatan karena tertutup topi lebar terbuat dari daun pandan.
“Bagaimana?” tanya orang itu.
“Sudah saya lakukan.” Jawab Jawiah.
“Bagus. Ini bayaran untukmu. Sekarang pergilah dari Koto Gadang. Pulang ke kampungmu…”
Jawiah mengambil kantong kain berisi uang yang diserahkan orang.
“Bagaimana dengan Etek Salmah?”
“Kau tak usah memikirkan. Aku yang mengurus. Dia harus menghilang sampai Datuk keparat itu menerima hukumannya.” Lelaki itu mengambil ketiding berisi serabi yang diletakkan Jawiah di tanah lalu dilemparkan ke dalam jurang.
Sementara ketiding dan serabi berhamburan masuk ke dalam jurang, di mata pemuda bertopi pandan seolah terbayang kembali peristiwa setahun yang silam, di tepi Batang Sianok di Ngarai Sianok…
***
SETELAH melakukan sholat Magrib di tepi sungai, pemuda berusia dua puluh tiga tahun itu berzikir khidmat, suara zikirnya menyebut asma Allah menggema lembut di seantero ngarai, tiada berkeputusan sampai menjelang memasuki ba’da Isya. Suara zikir itu mengumandang masuk sampai ke dalam goa tempat kediaman Datuk Marajo Sati. Sang Datuk terdiam sejenak. Niatnya hendak melakukan sembahyang sunah dibatalkan.
“Insan sakti mana yang suara zikirnya sampai menggema masuk ke dalam goa…” pikir Datuk Marajo Sati. Dia melangkah ke mulut goa, memandang ke dalam ngarai sampai akhirnya sepasang mata membentur sosok pemuda yang duduk bersila. Sebenarnya pemuda ini tidak memiliki ilmu kesaktian apa-apa kecuali ilmu silat biasa untuk melindungi diri. Namun kekhusukannya telah menimbulkan kekuatan besar sehingga suaranya terdengar menggema ke berbagai penjuru ngarai. Setelah memperhatikan beberapa lama akhirnya Datuk Marajo Sati melompat dari mulut goa, melayang turun ke dalam ngarai dan berdiri di tepi sungai, beberapa langkah di hadapan si anak muda.
Sebelum Datuk Marajo Sati menegur, tahu kalau ada orang berdiri di hadapannya pemuda itu buka mata yang terpejam. Melihat siapa yang berada di depannya pemuda ini susun sepuluh jari dan letakkan di atas kepala.
“Assalamu’alaikum wahai Datuk Marajo Sati. Terima kasih Datuk telah mau meluangkan waktu menemui saya.”
“Anak muda, apakah aku mengenal dirimu?” tanya Datuk Marajo Sati pula.
“Datuk mungkin tidak mengenal saya, tapi saya sangat mengenal Datuk. Maafkan kalau kehadiran saya di sini telah mengganggu ketenangan Datuk. Saya memang sangat berniat menemui Datuk.”
“Apakah keperluanmu anak muda? Tapi terangkan dulu siapa dirimu?”
“Nama saya Pakih Jauhari. Saya berasal dari Biaro. Saya ingin bicara menyangkut soal Gadih Puti Seruni yang tinggal di Koto Gadang.”
Untuk beberapa lamanya Datuk Marajo Sati menatap wajah pemuda itu dengan pandangan tidak berkesip.
“Ada apa dengan anak gadis itu? Apakah kau saudaranya? Apa yang hendak kau bicarakan?”
“Sebelumnya saya terlebih dulu mohon beribu maaf pada Datuk. Saya dan Gadih Putih Seruni sudah saling mengenal dua puluh tahun lebih. Hanya saja hubungan kami belum diketahui kedua orang tua gadis itu. Kami sudah merencanakan untuk mengekalkan hubungan kami dalam bentuk perkawinan. Sampai ketika seminggu lalu kami mendengar kabar bahwa Datuk hendak melamar Gadih Puti Seruni…”
Kembali Datuk Marajo Sati menatap lekat-lekat ke wajah Pakih Jauhari lalu lelaki berusia enam puluh tahun lebih ini geleng-gelengkan kepala.
“Aku melamar gadis itu atas persetujuan kedua orang tuanya dan atas permintaan Mamaknya Datuk Panglimo Kayo di Batusangkar…”
“Saya tahu semua itu Datuk…”
“Lalu apa tujuanmu ingin bicara denganku? Kau sengaja menarik perhatianku dengan zikirmu yang hebat! Apa yang hendak kau sampaikan? Karena kau telah dua tahun bercinta gelap dengan Gadih Puti Seruni kau berniat hendak menghalangi perkawinan kami?”
“Saya tidak berniat seburuk itu Datuk. Saya hanya ingin Datuk mengalah, memberi jalan kepada saya yang muda ini… Maafkan saya Datuk. Biarkan saya mempersunting Gadih Puti Seruni…”
“Luar biasa! Ini satu hal yang tidak aku sangka-sangka! Anak muda, jika kau menginginkan gadis itu, mengapa kau tidak menemui kedua orang tuanya, meminta kepada Mamaknya…”
“Saya sudah menemui kedua orang tua gadis itu. Mereka tidak bisa memberikan jawaban. Saya juga telah menemui Datuk Panglimo Kayo. Tapi saya diusirnya…”
“Kalau sudah begitu kejadiannya, apa urusannya dengan diriku?!” Suara bicara Datuk Marajo Sati mulai keras.
“Saya hanya minta keikhlasan Datuk untuk mengurungkan niat menikahi Gadih Puti Seruni. Biarlah dia menjadi istri saya. Kami sudah lama saling mencinta…”
“Cinta gelap dilarang adat diharamkan agama…”
“Saya mohon Datuk. Jika Datuk mengikhlaskan, saya akan berdoa setiap malam demi kesehatan dan kebahagiaan Datuk…”
Datuk Marajo Sati tersenyum kaku. “Orang hendak mengambil calon istriku, bagaimana aku bisa bahagia…”
“Datuk, apakah Datuk tidak bisa memberikan kesempatan pada kami yang muda-muda ini?”
“Persetan dengan usia kalian. Mau tua atau mau muda. Orang tua dan Mamak gadis itu tidak menyukai dirimu. Seharusnya kau tahu diri dan melupakan gadis itu untuk selama-lamanya.”
“Mana mungkin saya melupakan Gadih Puti Seruni. Saya…”
“Anak muda. Saat ini tidak pada tempatnya lagi aku bicara denganmu. Tinggalkan ngarai ini. Masih banyak gadis di tanah Minang. Mengapa kau tidak mau mencari yang lain…?!”
“Kalau saya boleh mengatakan hal yang sama, mengapa Datuk tidak mencari perempuan lain yang usianya lebih cocok dengan usia Datuk?”
Mendengar ucapan Pakih Jauhari itu menggelegaklah amarah Datuk Marajo Sati.
“Kau mau mengajari diriku, Datuk Pucuk Para Datuk Luhak Nan Tigo. Ha… ha… ha… ha! Anak muda, pergi dari sini sebelum aku menjatuhkan tangan kasar…”
“Datuk, saya dan Gadih Puti Seruni sudah mengambil keputusan. Jika permohonan kami tidak kesampaian, kami berdua akan melarikan diri dan melangsungkan pernikahan di tanah Jawa…”
“Kurang ajar! Beraninya kalian membuat rencana busuk seperti itu!” Teriak Datuk Marajo Sati.
Sekali bergerak dia sudah melompat mengirimkan satu tendangan ke arah Pakih Jauhari yang masih duduk bersila di tepi sungai. Melihat orang menyerang pemuda ini cepat­cepat jatuhkan diri, berguling di tebing sungai. Begitu hebatnya kekuatan dan daya dorong serangan sang Datuk, ketika serangan itu mengenai tempat kosong tak ampun lagi tubuhnya tercebur masuk ke dalam sungai. Walau dinginnya air sungai malam itu bukan alang kepalang, namun darah di dalam tubuh Datuk Marajo Sati seperti mendidih. Dengan cepat dia keluar dari dalam sungai dan kembali menyerang Pakih Jauhari. Sekali ini serangannya benar-benar tidak tertahankan lagi. Si pemuda menjadi bulan-bulanan pukulan dan tendangan. Hingga akhirnya satu pukulan telak menghajar dadanya. Pakih Jauhari semburkan darah. Tubuh terlempar masuk ke dalam sungai. Selain tidak bisa berenang pemuda itu juga dalam keadaan setengah pingsan. Tubuhnya segera dihanyutkan arus Batang Sianok ke hilir.
Sadar apa yang terjadi Datuk Marajo Sati mengucap berulang kali.
“Astaghfirullah, apa yang telah aku lakukan…” Datuk ini lari sepanjang tepi sungai berusaha mencari tubuh Pakih Jauhari. Namun usaha itu sia-sia saja.
Sebelum ajal berpantang mati. Menjelang pagi, Pakih Jauhari yang dihanyutkan air sungai dan masih dalam keadaan pingsan terselip di antara dua batu besar. Seorang penebang kayu yang kebetulan lewat di tepi sungai melihat sosoknya, segera terjun memberi pertolongan. Satu bulan setelah peristiwa itu, selagi Pakih Jauhari masih terbaring sakit di rumahnya di Biaro akibat luka dalam yang parah di bagian dada, di Koto Gadang orang baralek gadang merayakan pesta pernikahan Datuk Marajo Sati dengan Gadih Puti Seruni. Sakit hati mengetahui peristiwa itu terasa lebih menyengsarakan bagi Pakih Jauhari daripada sakit badan yang dideranya…
***
KEMBALI ke Koto Gadang. Di dalam kamar, Gadih Puti Seruni lama terduduk di tepi ranjang sambil menekap wajah dengan dua tangan. Dia coba menghitung-hitung. Sudah lebih dari dua puluh hari Datuk Marajo Sati tidak mengunjunginya di rumah di Koto Gadang itu. Hal seperti ini belum pernah terjadi sebelumnya. Apakah ini ada sangkut pautnya dengan cerita yang tadi disampaikan Etek Jawiah?
“Tidak termakan di akalku, tidak masuk dalam pikiranku Datuk akan berlaku seperti itu. Perempuan tadi, yang mengaku sepupu Etek Salmah, aku tidak mengenalnya sebelumnya. Tapi kalau bukan dia yang datang, cerita ini bisa-bisa tidak pernah kuketahui…”
Karena tidak sanggup memendam sendiri apa yang diketahuinya itu, Gadih Puti Seruni memanggil ibunya lalu menceritakan kabar yang dibawa perempuan penjual serabi.
“Anakku, ini bukan urusan kecil. Bukan pula urusan yang bisa dibawa lalu begitu saja. Ada baiknya kita mengikuti nasihat perempuan penjual serabi itu. Kita harus menemui Mamakmu Datuk Panglima Kayo di Batusangkar. Bukankah dulu dia yang membujuk-bujuk bahkan setengah memaksa agar kau mau kawin dengan Datuk tua itu? Ayahmu setengah mati menentang sampai akhirnya dia mati benaran karena sakit hati. Kalau cerita penjual serabi itu benar, mamak (paman)-mu itu harus bertanggung jawab! Kalau kita berangkat sekarang juga, sebelum Ashar rasanya kita sudah sampai di sana. Ibu akan menyuruh Si Sampono menyiapkan kereta dan kuda. Kita butuh seorang pengawal. Ibu akan minta bantuan guru silat Mangkuto Ameh. Bagaimana pendapatmu?”

“Saya menurut bagaimana yang baik di ibu saja,” jawab Gadih Puti Seruni. Lalu sang anak bertanya. “Ibu, apakah benar Datuk telah berbuat culas terhadap saya?”
Sang ibu tidak menjawab melainkan cepat-cepat keluar dari kamar sambil menyumpah. “Tua bangka tidak tahu diuntung! Apa kurangnya anakku! Umurnya tiga kali umur Seruni. Sudah bau tanah! Masih juga dia mau berbuat serong. Dulu banyak anak muda orang terpandang yang mau dengan Puti Seruni! Dia yang beruntung! Sekarang diperlakukannya anakku seperti ini! Datuk kalera (kata makian yang kasar)!”
***
SEMBILAN
BERSAMAAN dengan tenggelamnya sang surya di ufuk barat, telaga serta bangunan yang terbuat dari kayu besi di tengah telaga perlahan-lahan tenggelam dalam kegelapan. Walau pintu besar dan dua jendela tertutup rapat namun dari nyala pelita yang merambat keluar celah-celah papan menyatakan penghuninya ada di dalam rumah. Tiupan angin membuat daun pepohonan yang tumbuh mengelilingi telaga bersiuran. Di dalam telaga terdengar suara riak air. Tapi ini bukan suara riak biasa yang disebabkan tiupan angin melainkan ada sesuatu yang mendekam dan berkecipuk di dalam telaga itu. Ketika ke tiga orang yang datang dari arah timur mendekati telaga, salah seorang dari mereka yaitu perempuan bertubuh gemuk tersentak kaget dan bersurut mundur.
“Malin Kapuyuak!” kata perempuan gemuk yang bukan lain Denok Tuba Biru sambil mencekal kuduk Malin Kapuyuak sementara di samping kiri Pendekar 212 Wiro Sableng memandang ke dalam telaga mata mendelik mulut menganga.
“Kau tidak mengatakan Inyiek (panggilan untuk orang yang sangat tua) Susu Tigo tinggal di telaga yang dipenuhi puluhan buaya besar!” Kata Wiro sambil menyikut rusuk Malin Kapuyuak.
“Terakhir aku ke sini, hanya ada empat sampai lima ekor buaya. Rupanya binatang itu sudah beranak pinak…”
“Mungkin diberi minum susunya sendiri oleh Inyiek Susu Tigo hingga jadi subur…” ujar Denok Tuba Biru pula.
“Sstt… Jangan bicara seperti itu. Inyiek punya ilmu mendengar jauh.” Kata Malin Kapuyuak pula.
“Kalian berdua tunggu di sini. Aku akan masuk ke dalam rumah seorang diri.”
“Aku tidak mau ditinggal di tempat ini!” Kata Malin Kapuyuak yang mulai merasa ketakutan.
Baru saja Wiro berucap seperti itu tiba-tiba puluhan buaya yang ada di dalam telaga menggeleparkan ekor lalu melesat ke udara. Begitu masuk kembali ke dalam air telaga semuanya mengelilingi telaga kecil itu dalam keadaan mendongak setengah berdiri.
“Sepertinya binatang-binatang itu menghalangi kita masuk ke dalam rumah di tengah telaga,” kata Denok Tuba Biru.
Tiba-tiba pintu besar dan dua jendela bangunan terpentang lebar. Dari dalam rumah, melalui pintu dan jendela yang kini terbuka, melesat sebat dan enteng enam orang. Untuk langsung melesat mencapai tepian telaga atau daratan jaraknya terlalu jauh. Itu sebabnya ke enam orang itu dengan gerakan gesit menjejakkan kaki di ujung mulut buaya yang mengitari telaga, menjadikannya batu loncatan sebelum melayang turun ke daratan. Buaya-buaya yang kena diinjak mulut atau kepalanya mengeluarkan suara marah. Kawan-kawannya ikut mengibaskan ekor.
“Hebat!” Memuji Malin Kapuyuak terkagum-kagum. Baik Wiro maupun Denok Tuba Biru segera mengenali ke enam orang itu adalah Ki Bonang Talang Ijo, Teng Sien, Pandeka Bumi Langit Dari Sumanik, Tuanku Laras Muko Balang, Datuk Pancido dan si nenek bersenjata jala berpijar Niniek Panjalo.
“Kita keduluan,” ucap Wiro. “Pasti mereka menemui Inyiek Tigo untuk menyampaikan sesuatu. Pasti mereka memutar balik kenyataan…”
“Lalu, apakah kita batalkan saja menemui orang itu?” tanya Denok Tuba Biru.
“Aku menduga-duga apakah nenek bernama Si Kamba Mancuang ada di dalam rumah bersama gurunya?” berkata Wiro.
“Bagaimana kalau kita menunggu sampai hari siang saja…” Mengusulkan Malin Kapuyuak.
“Terlalu lama…” Jawab Wiro.
“Wiro, aku pikir lebih baik aku menunggu saja di sini. Kau dan Malin Kapuyuak yang masuk ke rumah menemui Inyiek Susu Tigo…”
Baru saja Denok Tuba Biru keluarkan ucapan tiba-tiba dari dalam rumah terdengar suara orang berseru. Suaranya keras lantang membuat semua buaya yang mengelilingi telaga dongakkan kepala.
“Barani datang ka talago (telaga). Datang batigo (bertiga) masuak (masuk) batigo. Jika berani membatalkan niat, kematian hadangannya!”
Lalu terdengar suara riuh. Puluhan buaya yang sejak tadi mengelilingi telaga melesat ke udara. Sesaat kemudian binatang-binatang itu telah berjejer di belakang ke tiga orang itu. Laksana jajaran pagar melebihi tinggi manusia yang sulit ditembus. Perlahan-lahan binatang itu bergerak ke depan menggiring ke tiga orang itu ke tepi telaga. Mulut terbuka lebar memperlihatkan lidah dan barisan gigi besar tajam. Tenggorokan mengeluarkan suara menggembor.
“Mati waden (aku)…” kata Malin Kapuyuak dengan suara gemetar sambil memegang bagian bawah perutnya yang mendadak terdesak ingin kencing.
“Apa boleh buat…” Kata Denok Tuba Biru. Dia memberi tanda pada Wiro. Kedua orang ini mencekal tangan kiri kanan Malin Kapuyuak lalu laksana terbang membawa si pemuda melesat masuk ke dalam rumah di tengah telaga melalui pintu depan yang terpentang lebar.
Di dalam rumah ada suara berucap bergumam. “Hemmm, sanggup melompat langsung, tidak mencari bahan jejakan. Bagus… aku suka membunuh orang-orang sakti seperti mereka ini. Menghabisi mereka menambah kesaktian yang ada dalam tubuhku!”
Di satu ruangan terbuka dalam rumah kayu yang diterangi sebuah pelita besar hingga keadaannya cukup terang, berdiri di lantai kayu, di alas gulungan kain berbentuk sorban hitam. Dua kaki di sebelah atas hampir menyentuh atap rumah pertanda orang ini selain gemuk juga memiliki tubuh tinggi sekali. Rambut hitam, serta janggut lebat panjang menjulai di atas lantai. Kedua daun telinga dicanteli anting-anting terbuat dari suasa. Orang ini mengenakan celana hitam berkilat tanpa baju hingga perut yang gendut dan dada yang gembrot dalam keadaan terbuka. Walau dadanya dipenuhi bulu lebat namun nyata sekali kelihatan kalau orang ini memiliki tiga buah puting susu sebesar ujung ibu jari, berwarna hitam. Susu ke tiga berada di pertengahan dada, di antara dua susu di kiri kanan. Dua tangan yang terbentang di lantai, ke sepuluh jari dihias cincin berbatu aneka warna.
“Jadi ini manusia bernama Inyiek Susu Tigo. Oala… Apa hari-hari dia berkeadaan seperti ini. Apa dia juga berdiri seperti ini ketika Ki Bonang Talang Ijo dan rombongan mendatanginya?” Murid Sinto Gendeng berpikir-pikir sambil usap-usap kuduknya dan memandang berkeliling. Di tempat itu ternyata hanya ada si gendut bersusu tiga itu seorang diri. Nenek Si Kamba Mancuang Tangan Manjulai ternyata tidak ada di situ.
Sepasang mata belok besar orang di tengah ruangan berputar tiga kali. Memperhatikan Wiro beberapa lama lalu menatap ke arah Denok Tuba Biru. Dua mata yang besar tampak tambah membeliak memperhatikan perempuan gemuk ini. Kepala kemudian didongakkan, hidung menghendus-hendus. Lalu mulut menyeringai pencong disusul hamburan suara tertawa yang membuat rumah kayu di atas telaga itu bergetar berderak-derak.
Walau dalam keadaan takut setengah mati tapi Malin Kapuyuak masih bisa berbisik pada Denok Tuba Biru.
“Uni Gapuak, lihat dia memperhatikanmu. Aku rasa dia tertarik padamu. Dia menghendus-hendus, bau tubuhmu sedap rupanya. Aku rasa dia senang pada bulu ketiakmu…”
“Setan Kapuyuak! Bukan saatnya bicara yang bukan­bukan! Aku punya firasat sebentar lagi kita bertiga akan dibantainya!”
“Tamu-tamu tidak sopan! Pemilik rumah berdiri kepala ke bawah kaki ke atas! Mengapa kalian bersikap kurang ajar! Berdiri kaki ke bawah kepala ke atas!”
Tangan kanan si gemuk tinggi ini tiba-tiba bergerak menggebrak lantai. Braakk!
Lantai papan kayu besi bergetar membal. Terjadi hal yang aneh. Saat itu juga tubuh Wiro, Si Denok Tuba Biru dan Malin Kapuyuak melesat ke udara lalu dengan cepat turun ke lantai, kepala ke bawah kaki ke atas! Sewaktu melayang di udara baik Wiro maupun Denok Tuba Biru berusaha mengimbangi diri dan lepas dari kekuatan aneh yang menjungkirbalikkan mereka. Namun tanpa daya keduanya, apalagi Malin Kapuyuak melayang jatuh ke lantai, kepala sampai lebih dulu. Anehnya waktu melayang ke bawah tadi, kopiah hitam yang dipakai Wiro sama sekali tidak tanggal, tetap melekat di kepala. Dan ketika batok kepala mereka jatuh menempel di lantai, walau berbunyi braak… braakkk… braakk tapi ketiganya tidak merasa sakit! Kini seperti orang gemuk tinggi di tengah ruangan ke tiga orang itu berdiri lurus dengan kepala menjejak lantai sementara kaki lurus ke atas! Wiro dan Denok Tuba Biru segera alirkan tenaga dalam dan hawa sakti namun walau dua tangan dan kaki bisa digerakkan, tetap saja keduanya tidak mampu berusaha membalikkan tubuh agar bisa berdiri di atas kedua kaki.
“Sekarang baru aku merasa enak bicara!” Si tinggi gemuk bersusu tiga membuka mulut. Matanya menatap tak berkedip ke arah Wiro. “Kau pasti manusia Jawa bernama Wiro bergelar Pendekar Dua Satu Dua…”
“Dia tahu siapa diriku. Pasti Ki Bonang keparat dan kawan-kawannya yang memberitahu ciri-ciriku!” kata Wiro dalam hati. Lalu dia menjawab.
“Benar sekali Inyiek. Mohon maafmu kalau kami datang tidak meminta izinmu lebih dulu dan kalau kau sampai merasa terganggu…” Wiro cepat menyahuti.
“Ha… ha… ha. Kau hendak berbasa-basi. Kau tidak bisa menipuku pemuda rambut padusi (perempuan)! Aku Datuk Susu Tigo kedatangan manusia yang memperkosa muridku Si Kamba Pesek. Habis memperkosa lalu membunuhnya! Dan aku tidak terganggu katamu! Jahanam gilo!”
“Inyiek, kau pasti mendapat keterangan yang salah dari orang-orang yang datang sebelum kami. Mereka membawa fitnah. Aku bersumpah tidak membunuh muridmu!”
“Siapa percaya ucapan manusia tak karuan rupa macammu! Aku juga tahu kalau kau telah membunuh seorang tokoh silat di tanah Minang ini. Duo Hantu Gunung Sago Si Kalam Langit! Malam ini kau boleh tidur di dalam talago! Besok pagi begitu matahari terbit buaya-buaya peliharaanku akan menjadikan dirimu mangsanya yang lezat. Seumur hidup baru kali ini mereka menyantap tubuh manusia Jawa. Pasti manis… Bukankah orang Jawa suka gula? Ha… ha… ha!”
“Sebenarnya aku dan dua sahabat ini datang untuk mencari murid Inyiek yang bernama Si Kamba Mancuang…”
“Hah! Apa?! Rupanya belum puas kau memperkosa dan membunuh Si Kamba Pesek! Sekarang mau mengincar saudara kembarnya Si Kamba Mancuang! Benar-benar kurang ajar!”
“Inyiek, aku bukan orang gila. Mana mungkin aku memperkosa dan membunuh seorang nenek-nenek!” Kata Wiro pula.
Inyiek Susu Tigo tertawa mengakak lalu membentak!
“Siapa bilang muridku nenek tua bangka! Aku melihat ada dua titik biru di dalam rongga matamu! Yang menyatakan kau punya ilmu memandang yang bisa menembus penghalang! Kau pasti sudah melihat ujud asli dua muridku!”
“Aku tidak mungkin selancang dan sekurang ajar itu!” Jawab Wiro. “Aku mencari Si Kamba Mancuang karena perlu beberapa keterangan dari dia… Izinkan aku memberi penjelasan…”
“Sampaikan penjelasanmu pada buaya-buaya di dalam telaga!” Jawab Inyiek Susu Tigo. Lalu si gemuk tinggi ini
pukulkan telapak tangan kirinya ke lantai kayu.
Braakkk!
Saat itu juga tubuh Pendekar 212 Wiro Sableng mencelat keluar rumah kayu lewat pintu depan. Sesaat kemudian Denok Tuba Biru dan Malin Kapuyuak mendengar suara tubuh Wiro yang tercebur masuk ke dalam telaga. Malin Kapuyuak merasa tengkuknya merinding dingin sementara Denok Tuba Biru terkesiap membayangkan apa yang bakal terjadi dengan Wiro walau itu baru akan berlangsung besok ketika fajar menyingsing!
***
SEPULUH
INYIEK Susu Tigo tertawa gelak-gelak. Rumah kayu itu kembali bergetar berderak-derak. Begitu hentikan tawa sepasang mata manusia ini melotot ke arah Denok Tuba Biru. “Celaka!” ucap Denok Tuba Biru. “Sekarang aku yang diincarnya!”
“Perempuan gemuk berbulu ketiak lebat! Ha… ha… ha! Aku tengah memikirkan cara yang baik untuk membantaimu. Apakah aku juga akan memasukkanmu ke dalam telaga atau menyusul temanmu tadi atau…”
“Datuk… Apa salahku hingga kau tega berbuat kejam hendak membunuh kami…” Sambil bicara diam-diam Denok Tuba Biru kerahkan tenaga dalam ke tangan kanan. Kalau sampai Inyiek Susu Tigo menggebrak lantai dan membuatnya terlempar ke dalam telaga seperti yang dilakukan terhadap Wiro, maka apa boleh buat! Dia akan mendahului melepas pukulan Menutup Jalan Darah Menyumbat Jalan Pernafasan. Dengan pukulan yang merupakan ilmu totokan jarak jauh maka dia bisa membuat si tinggi gemuk itu tidak bisa bergerak selama tiga hari tiga malam. Tapi agaknya Inyiek Susu Tigo tahu apa yang hendak dilakukan Denok Tuba Biru. Setelah mengumbar tawa dia berkata.
“Kau mencari celaka sendiri! Ilmu yang hendak kau lepas menyerangku hanya bisa kau lakukan jika kakimu berada di bawah kepala di atas. Kalau kau nekad menyerang dalam keadaan tubuh terbalik maka dirimu sendiri yang akan kaku tak bergerak tidak bersuara selama tiga hari tiga malam. Buaya-buaya peliharaanku tidak begitu suka menyantap korban yang tidak bisa berteriak ketakutan dan menjerit kesakitan. Ha… ha… ha…”
Kejut Denok Tuba Biru bukan alang kepalang mendengar ucapan Datuk Susu Tigo. Namun dengan cerdik perempuan gemuk ini menjawab.
“Aku memang akan mati karena salah mempergunakan ilmu! Tapi kau sendiri akan sengsara seumur hidup. Hawa sakti beracun akan membuat biji kemaluanmu berubah besar! Lebih besar dari buah kelapa! Seumur hidup kau tidak akan bisa berjalan! Jangankan berjalan, duduk beringsutpun kau tidak mampu! Kau tidak akan bisa pergi ke mana-mana! Kau akan mendekam sepanjang hari di dalam pondok celaka ini! Dan kantong biji kemaluanmu setiap saat akan berbunyi krookkk… krookkk… krookkk! Ha… ha… ha! Kau berani menerima tantanganku Datuk?”
Apa yang diucapkan perempuan gemuk ini bukan main-main. Selagi bersama tiga saudara seperguruannya mereka dikenal dengan sebutan Serikat Momok Tiga Racun. Mereka memang memiliki segala ilmu yang mengandung racun (Baca “Si Cantik Gila Dari Gunung Gede”). Tapi walaupun begitu diam-diam dia merasa khawatir kalau Inyiek Susu Tigo benar-benar menerima tantangannya.
“Uni Gapuak! Mengapa mencari celaka! Kau tidak tahu kesaktian Datuk Susu Tigo…” ucap Malin Kapuyuak. “Dengar ikuti nasihatku ini. Ikuti cepat…”
Lalu Malin Kapuyuak menyaru-nyarukan suaranya agar tidak terdengar dan diketahui Inyiek Susu Tigo. Dia berucap dengan suara meracau seperti orang diserang demam panas, kadang-kadang terdengar seperti orang menyanyi tapi ucapannya tidak jelas.
“Hisap tiga susunya… hisap tiga susunya. Aku akan memancing menipunya…”
“Inyiek!” tiba-tiba Malin Kapuyuak berseru. “Apa yang dikatakan perempuan gapuak ini bukan dusta! Kau bisa celaka! Lekas balikkan tubuhnya. Itu satu-satunya cara kau bisa menghadapinya dan menyelamatkan diri!”
“Aku bisa membunuhnya saat ini juga semudah dan secepat membalikkan telapak tangan!” Jawab Inyiek Susu Tigo.
“Inyiek, kau boleh saja membunuh pemuda Jawa itu. Tapi yang satu ini jangan berani mempermainkan atau membunuhnya! Dia adalah saudara sekandung Inyiek Batino. Ratu Sekalian Harimau Betina Di Tujuh Gunung Bertuah! Selama ini dia bermukim di tanah Jawa!”
“Setan alas! Jangan mempermainkan diriku!”
“Saya tidak mempermainkan. Saya tidak berdusta! Kalau sampai terjadi sesuatu dengan dirinya, sebelum tengah malam telaga ini sudah dikurung ratusan harimau dari tujuh Gunung Bertuah! Puluhan buayamu tidak akan berdaya. Ratusan harimau betina akan mencabik-cabik tubuhmu!”
Inyiek Susu Tigo terdiam. Matanya menatap tak berkesip.
“Pemuda muka tikus!” bentak Inyiek Susu Tigo pada Malin Kapuyuak. “Inyiek Batino tidak pernah punya saudara! Kau mau memperdayaiku?!” Begitu ucapannya berakhir sang Inyiek turunkan tangan kanan dan, braak! Dengan telapak tangan dia menggebrak lantai kayu. Saat itu juga bukan saja Denok Tuba Biru dan Malin Kapuyuak yang melesat jungkir balik lalu melayang turun jatuh ke lantai dengan kaki ke bawah kepala ke atas, tapi Inyiek Susu Tigo sendiri juga mengalami hal yang sama! Rupanya dia khawatir juga kalau sampai dua biji kemaluannya berubah menjadi sebesar buah kelapa! Dia bersiap melancarkan serangan.
Malin Kapuyuak kembali meracau seperti orang diserang demam.
“Sekarang Uni… sekarang! Hisap tiga susunya. Cepat! Separuh ilmu kesaktiannya akan kau kuasai! Kau akan aman! Kau tidak akan diapa-apakannya! Inyiek akan menjadikanmu sebagai murid! Cepat lakukan!”
Mendengar ucapan Malin Kapuyuak, Denok Tuba Biru yang kini telah berdiri wajar kaki di bawah kepala di atas dan merasa seluruh kekuatannya telah kembali, tidak tunggu lebih lama segera melompat ke hadapan Inyiek Susu Tigo. Dua tangan merangkul leher erat-erat. Dua kaki menelikung pinggang. Sambil bergelayutan begitu rupa dengan kecepatan luar biasa mulutnya bergerak ke dada sang Datuk.
“Perempuan gila! Apa yang kau lakukan?” Teriak Datuk Susu Tigo.
Cup… cup… cup!
Mulut Denok Tuba Biru menyambar dan menghisap tiga putting susu di dada Inyiek Susu Tigo. Setiap hisapan sampai mengeluarkan suara keras.
“Hai!” Inyiek Susu Tigo berteriak. Tapi bukan teriakan marah. Tubuhnya yang gemuk besar menggeliat kegelian, perlahan-lahan huyung ke depan. Dua lutut terlipat lalu jatuh berlutut di lantai sementara Denok Tuba Biru yang juga gemuk terhimpit di bawah perutnya.
“Tuhan Maha Besar!” Tiba-tiba Inyiek Susu Tigo keluarkan ucapan lantang. Kepala mendongak, dua tangan disilang di atas dada berbulu. “Belasan tahun menunggu akhirnya aku menemui seorang calon istri! Kaulku didengar dan dikabulkan Tuhan! Terima kasih Tuhan… terima kasih!” Lalu seolah tidak menyadari kalau sosok Denok Tuba Biru berada di bawahnya dia membuat gerakan bersujud. Sebelum hal itu sempat dilakukan, sebelum tubuhnya terhimpit habis Denok Tuba Biru tendang perut gendut sang Inyiek. Perut itu hanya berguncang sedikit. Tendangan Denok Tuba Biru seperti membal namun walau begitu dia punya kesempatan untuk meloloskan diri dari himpitan Inyiek Susu Tigo.
“Hai. Kau tidak boleh pergi ke mana-mana. Sesuai kaulku, siapa perempuan yang bisa menghisap tiga susuku maka dialah calon istriku. Terima kasih… terima kasih…”
Denok Tuba Biru tentu saja terkejut mendengar ucapan Inyiek Susu Tigo.
“Apa?!” teriak perempuan gemuk itu. Dia terpekik lalu berpaling pada Malin Kapuyuak. “Jahanam penipu! Kau bilang jika aku menghisap tiga susunya separuh ilmu kesaktiannya akan menjadi milikku! Aku tidak akan diapa­apakan! Aku akan dijadikan murid! Sekarang kau dengar sendiri! Dia punya kaulan! Siapa perempuan yang bisa menghisap tiga susunya akan dijadikan istri! Celaka keparat!”
Sekali melompat Denok Tuba Biru sudah mencengkeram dada pakaian Malin Kapuyuak dengan tangan kiri sementara tangan kanan layangkan satu jotosan keras.
“Jangan! Aku tidak menipu! Begitu yang aku dengar! Mungkin… mungkin…”
Bukk!
Malin Kapuyuak menjerit kesakitan. Darah mengucur dari hidung dan bibirnya yang pecah.
“Istriku! Jangan kau aniaya pemuda itu! Bagaimanapun juga dia yang membawamu ke sini! Kita harus berterima kasih padanya!” Berseru Inyiek Susu Tigo. Lalu tangan kanan digebrakkan ke lantai pondok. Saat itu juga tubuh Malin Kapuyuak terlepas dari cengkeraman Denok Tuba Biru lalu melayang keluar pondok lewat jendela. Tubuh pemuda itu melesat di atas telaga, melewati deretan puluhan buaya lalu, ngekk! Jatuh tergelimpang di atas cabang sebatang pohon.
“Onde Mak! Tapanca langek den! (Aduh biyung! Muncrat isi perutku!)” teriak Malin Kapuyuak. Mata mendelik, bola mata berputar dua kali lalu pemuda ini jatuh pingsan dengan tubuh masih menyangsrang melintang di atas cabang pohon.
Di dalam pondok Denok Tuba Biru lari ke salah satu jendela. Cepat dihalangi Inyiek Susu Tigo.
“Istriku! Jangan pergi. Kita akan baralek gadang (pesta besar). Kau jadi anak daro (pengantin perempuan), aku jadi marapulai (pengantin lelaki)! Ha… ha… ha!”
Dukk!
Tawa bergelak Inyiek Susu Tigo langsung lenyap ketika tendangan kaki kanan Denok Tuba Biru menghajar dadanya. Tubuhnya yang gemuk besar dan tinggi terhuyung-huyung. Tapi dia sama sekali seperti tidak merasa sakit malah berkata.
“Dongkaknya sarupo kudo! Di ateh tampek lalok tantu hebat sakali parmainannyo (Tendangannya seperti kuda. Di atas tempat tidur tentu hebat sekali permainannya). Beruntung aku punya istri seperti dia. Ha… ha… ha!” Iinyiek Susu Tigo baru hentikan tawa ketika disadarinya Denok Tuba Biru tidak ada lagi di tempat itu!
“Hah! Istriku! Jangan lari. Jangan kura-kura dalam perahu, pura-pura malu melihat suamimu! Ha… ha! Jangan jinak-jinak merpati.” Sang Inyiek berteriak lalu melesat keluar pondok melalui pintu.
“Inyiek! Tunggu! Jangan pergi dulu! Denai (saya) perlu bicara denganmu!” Satu suara perempuan mengumandang dari arah timur telaga yang gelap.
“Persetan! Calon istriku melarikan diri! Aku mau mengejar dulu! Kalau sampai hilang tidak akan aku dapat yang seperti itu lagi!” Kata Inyiek Susu Tigo lalu berkelebat ke arah barat.
***
SEBELAS
DATUK,” kata Puti Bungo Sekuntum alias Kupu-kupu Giok Ngarai Sianok alias Chia Swie Kim. “Tadi malam saya mendengar suara-suara tidak biasanya di luar sana. Seperti ada suara orang menancapkan sesuatu di tanah. Lalu ada suara kereta… mungkin juga pedati. Sepertinya tepat di atas goa ini…”
“Aku sudah tahu. Sejak beberapa hari ini hatiku memang tidak tenteram. Aku akan segera menyelidiki ke atas. Aku berharap tidak ada apa-apa. Kau tidak membuka pintu rahasia dan menyelidiki sendiri ke luar sana…?”
“Tidak Datuk, mana berani saya melakukan hal itu,” jawab Puti Bungo Sekuntum.
“Kau tunggu di sini. Kalau aku kembali, pagi ini juga kita segera berangkat ke tempat yang aku katakan. Aku bisa menitipkan kau di rumah seorang sahabat.”
“Datuk, bagaimana kalau saya ikut keluar bersama Datuk. Saya akan merubah diri menjadi ramo-ramo hidup…”
“Terlalu besar bahayanya. Kalau ada orang yang mengenali dan melihat dirimu…”
“Kalau begitu saya akan merubah diri menjadi kupu­kupu batu giok saja. Saya akan masuk ke dalam saku jubah Datuk sebelah kanan. Izinkan saya Datuk. Saya merasa tidak tenang berada sendirian di dalam goa ini walau Datuk telah menutup jalan melalui mulut goa di dinding ngarai.”
Setelah berpikir sebentar Datuk Marajo Sati tetap tidak meluluskan permintaan gadis cantik jelita itu.
“Ingat, jangan ke mana-mana. Tetap di goa ini apapun yang bakal terjadi di luar sana.”
“Baik Datuk.”
Datuk Marajo Sati menepuk sorbannya tiga kali. Dinding batu di hadapannya secara aneh bergeser membuka, membentuk pintu keluar.
***
DI NGARAI Sianok tepat di atas goa tempat kediaman Datuk Marajo Sati terdapat kawasan tanah datar dikelilingi batu-batu hitam setinggi lutut. Pemandangan di tempat ini indah sekali. Di kejauhan menjulang Gunung Merapi. Puncaknya masih diselimuti awan pagi.
Tidak seperti biasanya, saat itu di pedataran terlihat satu pemandangan yang mengherankan. Tiga buah bendera besar berbentuk segi tiga yang diikat pada tiang bambu setinggi dua kali tubuh manusia, menancap di tanah.
Bendera pertama bergambar Kucing. Ini adalah bendera lambang Luhak Tanah Datar. Bendera ketiga bergambar Harimau, perlambang Luhak Agam. Bendera ketiga bergambar Anjing merupakan bendera lambang Luhak Lima Puluh Kota.
“Ada apa ini? Bendera Luhak Nan Tigo menancap di atas tanah ngarai…”
Rasa heran Datuk Marajo Sati tidak hanya sampai di situ. Di salah satu pinggiran tanah datar terdapat sebuah pohon besar. Pada batang pohon menempel sehelai kertas. Dan di atas kertas ini ada tulisan berbunyi: “Di pohon ini Datuk Marajo Sati akan diikat dan dirajam sampai mati karena perbuatan zinah!”
“Kurang ajar!” Rahang Datuk Marajo Sati menggembung. Geraham bergemeletakan. “Gila! Siapa yang punya pekerjaan?” Ketika dia memandang ke kiri pohon dia melihat sebuah gerobak besar tak berkuda penuh dengan batu sebesar-besar kepalan. Di atas gerobak itu juga ada segulung tambang besar.
Saking tidak dapat menahan amarah Datuk Marajo Sati dekati gerobak berisi batu dan siap menendangnya! Namun sebelum tendangan menyentuh gerobak tiba-tiba tiga bayangan berkelebat disertai seruan.
“Datuk Pucuk Luhak Nan Tigo! Kendalikan amarahmu! Perbanyak sabar! Kami bertiga datang untuk bertanya!”
Beberapa bayangan berkelebat. Sesaat kemudian tiga orang berpakaian dan berdestar sangat gagah telah berdiri di hadapan Datuk Marajo Sati. Ketiganya sama bertubuh tinggi besar, memelihara kumis tebal melintang. Masing­masing mengenakan baju dan celana galembong hitam, kain sarung buatan Silungkang melintang di bahu dan destar berbenang emas bertengger di kepala. Sebilah keris terselip di pinggang sebelah depan.
“Tiga Datuk Luhak Nan Tigo! Aku yang akan bertanya pada kalian!” membentak Datuk Marajo Sati dengan suara lantang dan wajah membara.
Tiga orang yang dibentak memegang dada lalu membungkuk memberi penghormatan. Salah seorang di antara mereka berkata.
“Datuk Marajo Sati, kau pimpinan kami, kau dusanak kami. Kau Datuk Pucuk Luhak Nan Tigo! Silahkan mengajukan pertanyaan.”
“Kalian menancapkan tiga bendera lambang Luhak! Apa maksud kalian? Ada tulisan gila di batang pohon sana. Siapa yang membuat?! Dan ada satu gerobak berisi batu perajam lengkap dengan tali pengikat. Apa maksud kalian melakukan ini?”
Tiga orang yang barusan datang saling pandang. Ketiga orang ini adalah para Datuk Pimpinan Luhak Nan Tigo. Yang pertama Datuk Panglimo Kayo, Datuk dari Luhak Tanah Datar. Seperti diketahui dia adalah paman dari Gadih Puti Seruni. Wajah gagah Datuk ini tampak mengelam pertanda dia tengah berusaha mengendalikan amarah yang setiap saat bisa meledak.
Datuk kedua bermata besar merah, bertampang garang. Memiliki wajah berkulit kuning. Inilah Datuk Kuning Nan Sabatang, pimpinan di Luhak Agam.
Orang ke tiga yang menjadi Datuk di Luhak Limopuluh Kota bergelar Datuk Bandaro Putih. Wajahnya jernih putih. Janggut tipis di dagu juga berwarna putih.
Datuk Bandaro Putih memberi isyarat pada Datuk Panglimo Kayo. Paman Gadih Puti Seruni ini lalu maju satu langkah mendekati Datuk Marajo Sati.
“Datuk Marajo Sati, pimpinan pucuk para Datuk di Luhak Nan Tigo. Justru begitu datang ke sini kami bertiga terheran-heran melihat apa yang terjadi. Kami tidak tahu bagaimana bendera pelambang Luhak Nan Tigo bisa menancap di sini. Lalu ada tulisan di batang pohon. Gerobak berisi batu dan tali…”
“Datuk Panglimo Kayo dan Datuk berdua. Semua benda itu tidak bisa berjalan sendiri, juga mustahil dibawa hantu ke tempat ini…”
“Betul sekali Datuk Marajo Sati. Mana ada hantu yang pandai menulis.” Menjawab Datuk Kuning Nan Sabatang yang berwajah kuning garang.
“Kalian jangan berkura-kura dalam perahu. Berpura­pura tidak tahu!”
“Datuk Marajo Sati, Datuk menuduh kami melakukan semua ini? Menancapkan bendera, mendatangkan gerobak berisi batu, merekat tulisan di batang pohon? Sungguh naif sekali…” Ucap Datuk Bandaro Putih dari Luhak Limopuluh Kota.
“Betul sekali, justru kami datang hendak bertanyakan sesuatu pada Datuk,” bicara kembali Datuk Panglimo Kayo. “Tempat di sini indah sekali, cuaca terang pula. Tapi bagaimana kalau kita bicara di dalam goa kediaman Datuk? Setelah kita bicara nanti kita sama-sama mengusut siapa yang melakukan semua hal ini…”
Datuk Marajo Sati gelengkan kepala.
“Aku lebih suka kita bicara di sini…”
“Mengapa begitu Datuk? Biasanya Datuk selalu membawa kami ke dalam goa Datuk yang bagus dan sejuk itu…”
“Sekali ini tidak. Aku menaruh banyak kecurigaan dengan kedatangan kalian…”
Tiga Datuk Luhak Nan Tigo terdiam. Lalu kembali Datuk Panglimo Kayo angkat bicara.
“Datuk Marajo Sati, terlebih dulu kami mohon beribu maaf kalau kedatangan kami kurang senang di hati Datuk. Kedua kami juga mohon dimaafkan dan diampuni dari segala syak wasangka. Di Luhak kami sejak beberapa hari ini telah tersiar kabar yang tidak sedap mengenai diri Datuk. Kabar yang kami yakin hanyalah fitnah belaka. Karena itu kami bertiga datang menemui Datuk di Ngarai Sianok ini untuk menanyakan langsung. Jika salah kami bertanya mohon dimaafkan, jika salah kami berucap mohon diampuni…”
“Kabar tidak sedap tentang diriku. Yang kalian harapkan hanyalah fitnah. Katakan Datuk Panglimo Kayo. Kabar dan fitnah apa yang kau maksudkan itu?!”
“Sekali lagi maaf Datuk. Telah tersiar kabar bahwa Datuk menyimpan seorang gadis muda di dalam goa kediaman Datuk di Ngarai Sianok…”
“Kurang ajar!” teriak Datuk Marajo Sati dengan suara menggelegar. “Siapa yang menjadi racun penebar fitnah itu?!”
“Datuk, siapa yang membuat dan menebar fitnah memang tidak ada yang tahu. Tapi sehari yang lalu kemenakan saya Gadih Puti Seruni dan ibunya datang ke Batusangkar. Memberi tahu hal yang sama. Ada seorang perempuan penjual serabi yang mengatakan hal itu. Kami mohon maaf dan ampun Datuk. Kami minta Datuk menjelaskan.”
“Ini benar-benar gila! Jahanam keparat! Kalian menuduhku melakukan zinah…”
“Kami tidak mengatakan Datuk berbuat zinah. Kami hanya bertanya apa benar ada gadis muda dan elok di dalam goa Datuk? Saya bertanya karena juga mengingat saya adalah mertua Datuk, Mamak dari Gadih Puti Seruni. Dan saya jauh lebih tua dari Datuk! Adalah pantas kalau Datuk bicara bersopan sopan pada saya. Datuk tahu, kemenakan saya Puti Seruni sekarang ini berada di rumah saya dalam keadaan sakit. Nasi tidak tertelan, air tidak lewat di rangkungan. Kalau terjadi apa-apa dengan dirinya tentu akan kami pulangkan kepada Datuk juga. Menurut ibunya Datuk sudah lebih dari dua puluh hari tidak pernah mengunjungi istri Datuk di Koto Gadang. Apakah Datuk terlalu sibuk di dalam goa hingga tidak punya waktu untuk melihat istri sendiri…”
“Datuk Marajo Sati memang sibuk dengan istri mudanya! Gadis Cino peranakan jin yang bisa menghilang!” Tiba-tiba ada suara perempuan berteriak. Lalu dari berbagai jurusan bermunculan banyak sekali orang. Jumlah mereka lebih dari dua ratus. Lelaki dan perempuan.
Seorang lelaki melompat ke atas gerobak berisi batu lalu berteriak.
“Pengadilan rakyat nagari sudah disiapkan! Datuk Marajo Sati pantas dihukum rajam sampai mati! Kami penduduk empat dusun di sekitar Ngarai Sianok siap melakukan!”
“Betul! Lakukan sekarang!” Orang banyak berteriak menyambut.
“Tiga Datuk Luhak Nan Tigo! Kami minta Datuk bertiga meringkus Datuk Marajo Sati! Mengikatnya ke pohon ini!” Lelaki di atas gerobak berteriak lalu melemparkan tali ke arah tiga orang Datuk. Sementara puluhan orang merangsak maju mendekati Datuk Marajo Sati.
Kejut Datuk Marajo Sati bukan alang kepalang. Tiga Datuk juga sama kagetnya.
“Datuk Panglimo Kayo. Kita harus mencegah orang-orang itu. Jangan sampai mereka melaksanakan hukum rimba!” Berkata Datuk Bandaro Putih.
Di tempatnya berdiri wajah Datuk Marajo Sati tampak mengelam. Sekujur tubuh bergetar. Darah mendidih. Sepasang mata laksana mau melompat dari rongganya memperhatikan lelaki di atas gerobak. Walau lelaki ini mengenakan topi rumbia bertepi lebar yang menutupi sebagian wajahnya tapi Datuk Marajo Sati bisa mengenali siapa dia adanya. Begitu juga Datuk Panglimo Kayo.
“Pakih Jauhari! Anak jahanam! Masih hidup kau rupanya! Kau yang jadi biang keladi semua fitnah terhadap diriku! Kau yang mengatur semua ini!” Datuk Marajo Sati memandang berkeliling. “Penduduk Ngarai Sianok! Berapa pemuda jahanam ini membayar kalian untuk mau memfitnah diriku?!”
Seorang kakek mengangkat tangannya yang memegang batu. Lalu berteriak.
“Kami tidak memfitnah! Kami tidak dibayar! Kami semua tahu Datuk memang menyimpan seorang gadis Cina di dalam goa! Datuk telah merusak adat menginjak agama! Jika Datuk merasa benar perbolehkan kami masuk ke dalam goa dan memeriksa! Kami penduduk di sini merasa malu dan sangat terhina punya pimpinan seperti Datuk! Kami tidak perlu Datuk Pucuk pimpinan Para Datuk Luhak Nan Tigo. Cukup kami memiliki tiga Datuk ini saja!”
Orang banyak berteriak riuh. Mereka semakin mendekati Datuk Marajo Sati. Tiga Datuk mulai tampak bingung. Kalau semua orang menyerbu mereka tidak bisa berbuat apa-apa.
Datuk Panglimo Kayo cepat maju menyongsong orang banyak.
“Kalian semua dengar! Biarkan kami yang mengurus semua tuduhan kalian…”
“Tidak bisa!” Jawab si kakek tadi. “Tiga Datuk kami minta meringkus Datuk Marajo Sati. Kami akan mengikatnya ke batang pohon. Lalu kami akan merajam melempar dengan batu hingga akhirnya Datuk mesum itu menemui ajal! Ini adalah pengadilan rakyat. Kami yang akan melaksanakan…”
“Pakih Jauhari! Pemuda jahanam! Kau menebar fitnah menggalang orang banyak! Kau yang akan aku bunuh lebih dulu!” Datuk Marajo Sati tidak dapat menahan amarahnya lagi. Tapi ketika dia melompat ke atas gerobak orang banyak mulai melemparinya dengan batu. Sang Datuk segera tanggalkan sorban di atas kepala. Dengan mengibaskan sorban itu ke udara puluhan batu yang dilempar ke arahnya mencelat bermentalan walau masih ada beberapa yang mengenai dirinya bahkan melukai kening hingga mengucurkan darah.
“Datuk! Jangan!” teriak Datuk Kuning Nan Sabatang ketika melihat Datuk Marajo Sati melompat ke atas gerobak berisi batu siap hendak menggebuk kepala Pakih Jauhari.
Kakek yang tadi berteriak-teriak melompat ke atas gerobak. Dua orang lain mengikuti. Mereka menerjang Datuk Marajo Sati. Salah seorang di antara mereka berusaha mendorong Datuk itu dari atas gerobak. Satunya lagi menggigit pinggang sang Datuk. Dari bawah beberapa orang menarik jubah. Datuk Marajo Sati yang sudah habis sabar langsung saja menebar pukulan dan tendangan.
Tiga orang menjerit. Tiga korban pertama rubuh ke tanah. Dua dengan kepala pecah, satu lagi pinggang patah. Pakih Jauhari masih sempat selamatkan kepalanya dari gebukan Datuk Marajo Sati. Selagi keadaan kacau balau centang perenang dan semakin banyak korban berjatuhan tiba-tiba terdengar suara jeritan perempuan.
“Datuk! Tolong! Mereka menangkap saya!”
Semua orang terkejut dan berpaling ke kiri. Mereka menyaksikan seorang gadis Cina berwajah sangat cantik, berambut hitam panjang dan mengenakan pakaian biru dicekal beberapa orang. Orang-orang ini bukan lain adalah Ki Bonang Talang Ijo dan Perwira Muda Teng Sien bersama para pengikutnya yaitu Pandeka Bumi Langit Dari Sumanik, Tuanku Laras Muko Balang, Datuk Pancido dan Niniek Panjalo.
Kegemparan serta merta terjadi di tempat itu.
“Semua menyaksikan sendiri! Ini bukan fitnah! Itu pasti gadis Cina simpanan Datuk Marajo Sati!” Seseorang berteriak.
“Gila! Ini memang bukan main-main! Langit boleh runtuh, bumi boleh tabalah. Tapi ini adalah kenyataan!”
Kata Datuk Panglimo Kayo dengan suara bergetar penuh geram.
Di atas gerobak berisi batu. Pakih Jauhari, pemuda yang pernah menjadi kekasih Gadih Puti Seruni berteriak lantang.
“Datuk Marajo Sati! Kau sekarang menjadi ayam putih terbang siang. Bersuluh matahari! Bergelanggang mata orang banyak! Nyata! Jelas sudah kebejatanmu! Kau tidak bisa menyembunyikan gadis Cina simpananmu itu! Ha… ha… ha! Terkutuklah engkau dunia akhirat!”
Sekujur tubuh Datuk Marajo Sati panas bergetar, seperti siap hendak meledak. Dia cepat berteriak pada Chia Swie Kim.
“Puti Bungo Sekuntum! Lekas rubah dirimu! Kibaskan dua tanganmu!”
“Tidak bisa Datuk… Mereka melumpuhkan kedua tangan saya. Tolong Datuk…!”
“Kurang ajar! Aku bunuh kalian semua!” Teriak Datuk Marajo Sati. Tubuhnya melesat di udara. Sorban di tangan kiri diputar. Kaki menendang. Beberapa orang terpental berpekikan.
Tiba-tiba Ki Bonang Talang Ijo melemparkan sesuatu ke udara. Letusan keras menggelegar disertai menebarnya asap hitam menutupi pemandangan di pedataran sampai ke pertengahan dinding ngarai. Tanah bergetar membuat semua orang berhuyung-huyung.
Ketika asap hitam sirna, gadis Cina tadi bersama orang-orang yang membawanya telah lenyap. Datuk Marajo Sati juga tidak kelihatan lagi. Begitu pula Pakih Jauhari ikut menghilang. Di tanah bergeletakan banyak mayat. Jerit pekik terdengar di mana-mana.
Tiga Datuk menemui orang-orang itu dan meminta mereka meninggalkan ngarai dengan membawa serta mengurus mayat-mayat yang bergelimpangan.
Setelah semua orang pergi Datuk Bandaro Putih berkata. “Ke mana lenyapnya Datuk Marajo Sati. Ke mana pula menghilangnya pemuda bernama Pakih Jauhari itu…”
“Datuk Marajo Sati menghilang dengan membawa dendam besar.” Jawab Datuk Panglimo Kayo. “Kita harus berlaku waspada. Aku punya firasat dia akan melakukan pembalasan. Akan banyak lagi darah tertumpah di tanah Agam ini… Mengenai pemuda bernama Pakih Jauhari itu, aku sendiri yang akan mencari dan menekuk batang lehernya. Dia yang menjadi biang racun semua kejadian ini! Dendamnya karena tidak mendapatkan kemenakanku Gadih Puti Seruni dibalasnya dengan fitnah luar biasa hebat!”
“Tapi Datuk Panglimo,” menyahuti Datuk Kuning Nan Sabatang dari Luhak Agam. “Kalau kita katakan ini fitnah, buktinya ada orang yang menemukan gadis Cina cantik itu di dalam goa kediaman Datuk Marajo Sati…”
“Aku akan menyelidiki. Kita bertiga harus menyelidiki bersama-sama. Caranya ialah dengan lebih dulu menemukan Datuk Marajo Sati.” Kata Datuk Panglimo Kayo pula.
“Gadis Cina itu juga perlu kita cari untuk bersaksi. Aku mengenali beberapa di antara orang-orang yang membawanya. Datuk Bumi Langit Dari Sumanik, Tuanku Laras Muko Balang…” Berkata Datuk Kuning Nan Sabatang.
“Kalau begitu kita berpisah untuk sementara. Bagaimana kalau lepas Ashar nanti kita bertemu di rumah gadang kediaman Datuk Panglimo Kayo?”
Datuk Panglimo Kayo menyetujui. Datuk Bandara Putih mengangkat tangannya lalu berseru. “Inyiek Bertiga, datanglah.”
Di udara terdengar siuran menderu. Sesaat kemudian muncul tiga ekor harimau besar. Tiga Datuk segera melompat ke punggung harimau yang berdiri di hadapan masing-masing. Sesaat kemudian pedataran di atas Ngarai Sianok itu menjadi sunyi sepi, hanya menyisakan anyirnya bau darah yang tergenang di mana-mana.
TAMAT
Episode Selanjutnya:
LihatTutupKomentar