Cinta Bernoda Darah Jilid 08

Kita tinggalkan dulu Lin Lin yang kini berubah menjadi seorang Puteri Khitan yang berpengaruh itu untuk menengok keadaan Kam Bu Sin yang sudah terlalu lama kita tinggalkan. Kenapa Siang-mou Sin-ni muncul di Nan-cao seorang diri saja? Bukankah tadinya Bu Sin berada di dalam cengkeramannya dan pemuda itu menjadi seperti boneka hidup dan barang permainan Siang-mou Sin-ni setelah diminumi racun perampas semangat?
Memang demikianlah, Siang-mou Sin-ni yang merasa sayang akan ketampanan dan kegagahan Bu Sin tidak membunuh pemuda ini seperti yang biasa ia lakukan, melainkan mengambil pemuda itu sebagai teman dan kekasihnya. Tadinya ia bermaksud membawa Bu Sin ikut dengannya ke Nan-cao dan di sana akan ia pergunakan sebagai bukti kelihaiannya bahwa ia telah dapat menundukkan putera dari Jenderal Kam yang terkenal. Akan tetapi pada suatu hari ketika ia bersama Bu Sin berjalan melalui sebuah hutan di lereng Gunung Burung Dara, tiba-tiba ia mendengar suara alat musik khim. Ia kaget dan heran sekali, apa lagi ketika mendadak Bu Sin roboh pingsan dan ia sendiri merasa dadanya tergetar hebat.

Cepat Siang-mou Sin-ni mengeluarkan sebuah alat musik khim yang dulu ia rampas dari tangan Bu Kek Siansu, kemudian ia duduk bersila dan mainkan alat musik yang diletakkan di depannya. Terdengar bunyi nyaring suara kawat-kawat khim itu dan terjadilah ‘perang’ antara suara khim pertama dan suara khim yang dimainkan Siang-mou Sin-ni.

Iblis wanita rambut panjang ini ternyata dahulu tidak sia-sia belaka merampas khim dari Bu Kek Siansu. Karena ia seorang berilmu tinggi dan memiliki kecerdasan luar biasa, ia telah mempelajari alat musik ini dan menggabungkan kesaktiannya ke dalam permainannya sehingga alat yang sebetulnya merupakan alat kesenian untuk menghibur hati duka lara ini dapat ia pergunakan sebagai senjata yang ampuh sekali.

Banyak sudah lawan-lawan lihai roboh oleh bunyi khimnya yang dapat dimainkan sedemikian rupa sehingga merupakan ‘jurus-jurus’ yang dapat merusak semangat, membikin putus urat syaraf mengaduk berantakan isi perut dan menghancurkan isi dada lawan! Betullah kata-kata para budiman bahwasanya apa pun alat kebaikan atau pun kejahatan, tergantung dari pada si pemakai.

Akan tetapi alangkah kaget hati Siang-mou Sin-ni ketika semua jurus suara khimnya yang menerjang dan menyerang ganas itu mental kembali oleh suara khim yang halus lembut penuh damai dan yang suaranya mendatangkan ketenangan itu. Ia mengerahkan semangat dan sinkang, menyentil kawat-kawat khimnya lebih tekun dan lebih keras. Akan tetapi tiba-tiba....

“Cringgg!” sebatang kawat khimnya putus!
“Keparat...!” Siang-mou Sin-ni melompat dan bagaikan kilat menyambar tubuhnya melesat ke arah suara khim, rambutnya berkibar tertiup angin, siap untuk mencekik dan mencambuk lawan.

Akan tetapi tiba-tiba ia berhenti, tertegun berdiri dan mukanya berubah pucat. Kiranya yang duduk bersila di bawah pohon besar yang mainkan khim dengan tenang sambil menundukkan kepala adalah Bu Kek Siansu! Bagaimanakah kakek yang dulu sudah terjerumus ke jurang itu dapat berada di sini? Siang-mou Sin-ni adalah seorang tokoh sakti, seorang yang dijuluki iblis wanita, akan tetapi sekarang ia menjadi pucat ketakutan.

“Kau... kau... setan...!” teriaknya, membalikkan tubuh dan... lari meninggalkan kakek itu, kembali menuju ke tempatnya tadi. Tangan kirinya menyambar alat khimnya yang putus sehelai kawatnya, tangan kanan menyambar tubuh Bu Sin yang masih menggeletak pingsan.

Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara khim yang melengking tinggi dan... Siang-mou Sin-ni terjungkal seperti didorong tenaga mukjijat dari samping. Ia berteriak marah, menyimpan khim-nya, kemudian menubruk maju lagi untuk memondong tubuh Bu Sin. Untuk kedua kalinya terdengar suara khim melengking dan kembali ia roboh terjengkang.

“Kurang ajar...!” Siang-mou Sin-ni berteriak lagi dengan marah, kini ia meloncat bangun, rambutnya bergerak menyambar ke arah tubuh Bu Sin yang sudah bergerak-gerak siuman dari pingsannya.

Kembali terdengar suara khim dan kini amat nyaring. Rambut panjang yang sudah menyambar ke depan untuk merenggut tubuh Bu Sin itu tiba-tiba seperti tertiup angin keras, berkibar dan membalik menyerang muka Siang-mou Sin-ni sendiri. Wanita ini menjerit kaget, cepat meloncat ke belakang berjungkir balik beberapa kali, kemudian sambil mengeluarkan suara melengking setengah tertawa setengah menangis seperti kuntilanak kesiangan, ia lari meninggalkan tempat itu!

Suara khim berhenti dan tubuh kakek tua renta Bu Kek Siansu nampak mendatangi, kedua kakinya melangkah perlahan menghampiri Bu Sin. Sebuah alat musik khim yang amat sederhana dan tua tersembul ke luar dari balik punggungnya yang agak bongkok. Kemudian ia berdiri di dekat Bu Sin, memandang pemuda itu yang bergerak perlahan dan mulai bangkit. “Kasihan...,” bibir itu berbisik, “anak baik, putera seorang patriot ternama, begini nasibnya....”

Bu Sin menengok, sepasang matanya yang sayu memandang, tidak mengenal kakek itu. “Mana... mana dia...?” bibirnya yang agak pucat bertanya, suaranya agak gemetar, mengandung takut dan mesra.

Bu Kek Siansu menggeleng-geleng kepala. Sekali pandang saja kakek sakti ini maklum sudah apa yang telah menimpa diri pemuda ini. Tangannya bergerak menyentuh tengkuk Bu Sin, menekan sebentar lalu berbisik lagi. “Belum terlambat... anak baik, kau ikutilah aku....”

Seperti linglung Bu Sin bangkit berdiri. Biar pun ia telah menjadi korban racun perampas semangat, namun sikap hormatnya terhadap seorang tua yang patut dihormat tetap ada padanya. Ia segera mengangkat tangan dan membungkuk sambil bertanya, “Bolehkah saya bertanya siapakah Locianpwe yang mulia? Dan saya berada di mana, apa yang telah terjadi?” Ia mengerutkan keningnya, mengingat-ingat namun ia masih lupa segala. Sentuhan pada tengkuknya oleh Bu Kek Siansu tadi sudah banyak menolong, namun belum mampu menyembuhkannya sama sekali.

“Kau menjadi korban Siang-mou Sin-ni. Telanlah ini, kau akan dapat mengingat kembali.” Kakek itu mengeluarkan sebutir obat bulat sebesar kacang tanah berwarna kuning.

Bu Sin menerimanya dan menelannya, terasa amat pahit, akan tetapi ia tetap menelannya. Tiba-tiba kepalanya menjadi pening, perutnya terasa panas seperti terbakar dan pemuda ini terhuyung-huyung lalu jatuh terduduk. Kepalanya terasa berputaran sehingga ia menggunakan kedua tangan memegangi kepalanya, bibirnya mengeluh. Entah berapa lamanya ia dalam keadaan seperti ini ia sendiri tidak tahu. Tiba-tiba ia melompat bangun dan berseru.

“Iblis betina, boleh kau bunuh aku, jangan harap aku sudi tunduk kepadamu!”

Akan tetapi terpaksa Bu Sin harus meramkan matanya karena kembali ia merasa pusing. Ketika ia membuka kedua matanya, ia melihat seorang kakek tua renta di depannya yang memandang dengan senyum penuh kesabaran. Teringatlah ia sekarang. Kakek ini telah memberi obat kepadanya, dan dia... dia tadinya menjadi tawanan Siang-mou Sin-ni, disiksa hampir mati. Serta-merta ia menjatuhkan diri berlutut, dapat menduga bahwa tentu kakek ini yang telah menolongnya dari tangan Siang-mou Sin-ni, sungguh pun ia tidak tahu bagaimana caranya.

“Locianpwe tentu telah membebaskan teecu dari tangan Siang-mou Sin-ni. Teecu menghaturkan terima kasih....” Ia berhenti dan mengerang. Tubuhnya serasa lemas dan dadanya agak sakit.

“Anak baik, mari kau ikut denganku agar kesehatanmu pulih kembali.” Kakek itu mengulurkan tangan dan di lain saat tubuh Bu Sin sudah ia bawa pergi dari situ.

Bu Sin hanya merasa betapa tubuhnya seperti melayang cepat sekali. Kedua telinganya mendengar suara angin dan matanya pedas, tak dapat dibuka, hidungnya sukar bernapas karena angin sehingga ia meramkan mata dan membalikkan muka agar dapat membelakangi angin.

“Kita sudah sampai!” Suara halus kakek itu menyadarkannya.

Bu Sin merasa seperti baru bangun tidur dari mimpi. Ia membuka matanya dan kiranya ia sudah berdiri di depan air terjun yang amat bening dan air yang terjun itu seperti perak, putih berkilauan tertimpa sinar matahari. Kembali ia menjatuhkan diri berlutut di depan kakek itu yang kini ia tahu tentulah seorang tua yang memiliki kesaktian luar biasa.

“Locianpwe, teecu mengerti bahwa Locianpwe menolong teecu. Teecu sendiri tidak mengerti mengapa tubuh teecu terasa sakit-sakit dan lemas, dan mengapa pula Locianpwe membawa teecu ke tempat ini? Mohon petunjuk...”

“Orang muda, kau telah menjadi korban keganasan Siang-mou Sin-ni, kau diberi minum racun perampas semangat dan selama beberapa pekan kau menjadi barang permainannya. Baiknya di dalam sanubarimu sebelum kau minum racun kau telah mempunyai perasaan tidak suka dan membencinya, dan hatimu tidak dikotori nafsu, maka masih dapat tertolong. Hanya sinkang di dalam tubuh yang menjadi lemah. Orang muda, sekarang katakan, apakah cita-cita yang terkandung dalam hatimu?”

Bu Sin diam-diam terkejut sekali mendengar bahwa dia telah menjadi korban Siang-mou Sin-ni. Ia dapat menduga apa artinya ‘menjadi permainannya’ dan ia merasa malu, juga gemas terhadap iblis wanita itu. “Locianpwe, mohon Locianpwe sudi menolong teecu. Teecu telah terpisah dari dua orang adik teecu yang masih belum teecu ketahui bagaimana nasibnya. Teecu masih belum dapat menemukan musuh besar yang telah membunuh ayah bunda teecu. Teecu juga masih belum berhasil mencari kakak teecu untuk memenuhi pesan Ayah. Sekarang ditambah lagi dengan perbuatan Siang-mou Sin-ni si iblis betina yang harus teecu balas! Akan tetapi teecu yang begini lemah dan bodoh, bagaimana akan dapat memenuhi tugas itu semua? Mohon Locianpwe sudi menolong.”

Kakek itu menarik napas panjang. “Aku akan lebih suka kalau kau melepaskan semua itu dan ikut dengan aku ke puncak untuk menjadi seorang pertapa. Akan tetapi hal demikian tak dapat dipaksa, harus keluar dari dalam sanubari sendiri. Orang muda, aku bersedia membantumu, akan tetapi berhasil atau tidak seluruhnya tergantung kepadamu sendiri. Kalau hatimu cukup kuat, kalau kemauanmu cukup keras, kalau kau tahan menderita dan tidak takut menghadapi maut dalam mengejar cita-cita, agaknya Tuhan pasti akan mengabulkannya. Nah, kau duduklah di atas batu itu, biarkan air terjun itu menimpa di atas kepalamu, duduk bersila dan curahkan perhatianmu kepada apa yang akan kuajarkan kepadamu. Mulailah!”

Bu Sin sudah membulatkan tekadnya. Ia maklum bahwa kakek ini bukan manusia biasa dan hanya dengan pertolongan kakek ini ia dapat mengharapkan semua cita-citanya tercapai. Hanya ada dua jalan terbuka baginya. Berhasil atau mati. Bukankah ia baru saja terbebas dari pada kematian yang amat hebat di tangan Siang-mou Sin-ni? Apa artinya lagi kematian baginya? Tanpa ragu-ragu ia lalu melompat ke atas batu besar yang tengahnya menjadi berlobang karena terus menerus ditimpa air terjun. Lalu ia duduk bersila, menyatukan panca indera dan membuka telinganya untuk mendengarkan.

Akan tetapi, air yang menimpa kepalanya mendatangkan suara bergemuruh yang memekakkan kedua telinganya di samping mendatangkan rasa dingin yang menyusup ke tulang sumsum. Mula-mula memang terasa segar dan enak, akan tetapi lambat-laun rasa dingin hampir tak tertahankan lagi, kepalanya terasa sakit seperti ditimpa palu godam ratusan kati beratnya. Bu Sin meramkan matanya. Wajahnya pucat sekali dan hampir ia tidak kuat menahan, tubuhnya sudah bergoncang.

Dalam keadaan seperti itu, tiba-tiba ia mendengar suara kakek tadi, dekat sekali suara itu, berbisik-bisik di dekat telinganya, “Orang muda, kerahkan sisa tenaga dari pusar, biarkan berkumpul dan desak ke atas melalui dada, terus salurkan ke jalan darah tiong-cu-hiat.”

Otomatis Bu Sin melakukan perintah ini. Akan tetapi karena ia merasa amat lemah, sukar baginya untuk menyalurkan tenaga dalam ke arah jalan tiong-cu-hiat di belakang leher. Mendadak belakang lehernya itu seperti disentuh sesuatu dan aneh, dengan mudah kini tenaga dalamnya menjalar ke tiong-cu-hiat! Girang hatinya karena kakek sakti itu membantunya.

“Lindungi tiong-cu-hiat dengan sisa sinkang itu agar kuat menahan serangan air. Kini mulailah mengatur pernapasan menurut aturan Im Yang, sedot masuk berikut hawa pukulan air, kumpul di dada, tekan ke pusar sambil keluarkan napas,” dengan kata-kata yang halus berbisik-bisik dan seperti diucapkan dekat kedua telinga Bu Sin, kakek itu mulai menurunkan ilmunya kepada Bu Sin yang mendengarkan dengan amat tekun.

Seluruh perhatiannya tercurah kepada semua kata-kata ini sehingga ia lupa akan segala hal lainnya, bahkan ia tidak tahu lagi di mana ia berada, apa yang terjadi dengannya, dan dia tidak lagi merasakan pukulan air yang menimpa di atas kepalanya.

Begitu tekun Bu Sin mendengarkan wejangan kakek tua renta itu yang dengan sabar sekali mengulangi ajaran-ajarannya. Pemuda ini sampai tidak tahu lagi keadaan sekelilingnya, tidak tahu bahwa siang telah berganti malam dan malam berganti siang lagi. Tidak tahu bahwa kakek itu sudah tidak membisikkan pelajaran-pelajaran lagi, akan tetapi bahwa yang didengarnya sekarang hanyalah gema suara kakek itu yang seakan-akan masih terus berbisik-bisik di dekat telinganya mengulang pelajaran gaib tentang siulan dan membentuk sinkang di tubuh, pelajaran yang sudah dihafalnya benar-benar.

Setelah suara itu makin menghilang, barulah perlahan-lahan ia sadar bahwa kakek itu tidak berbisik lagi dan mulailah ia sadar akan keadaan di sekelilingnya, akan keadaan dirinya. Akan tetapi, begitu panca inderanya buyar, hampir ia terjungkal karena kepalanya serasa pecah dan air yang menimpa kepalanya serasa bukan air lagi melainkan ratusan ribu batang jarum-jarum yang runcing!

Cepat ia mengerahkan hawa dalam tubuh seperti tadi sebelum buyar dan lenyaplah rasa sakit di kepalanya. Akan tetapi kini rasa dingin yang amat hebat menyusup ke dalam tubuhnya. Ia menggigil kedinginan, giginya sampai berbunyi, perutnya serasa kaku dan mengkal. Cepat ia mengingat isi pelajarannya itu, karena itu ia berhasil mengatasi serangan hawa dingin. Akan tetapi karena ia belum pandai benar menjalankan ilmu itu, hawa dingin segera terganti hawa panas yang amat luar biasa. Dadanya serasa sesak, sukar bernapas, perutnya seperti dibakar api neraka, telinganya terngiang-ngiang dan kepalanya serasa hampir meledak. Kembali dengan mengingat pelajaran tadi ia berhasil menundukkan rasa panas ini.

Bu Sin dengan kebulatan tekad yang luar biasa, terus melatih diri dengan ilmu yang ia terima dari kakek sakti. Entah berapa kali cuaca di balik pelupuk matanya menjadi gelap pekat dan terang kembali, ia tidak ingat lagi, juga tidak memperhatikan. Makin lama ia merasa tubuhnya makin nyaman dan ringan, ingatannya menjadi terang, dadanya lapang dan ia merasa bahwa tenaga di dalam tubuhnya pulih kembali, malah kini lebih kuat dari pada biasa. Yang terasa olehnya hanya kelemahan karena terlalu lama tidak mengisi perutnya, kelemahan yang wajar.

Karena khawatir kalau-kalau kelemahan ini akan membuatnya tidak kuat menahan, beberapa kali Bu Sin membuka mulutnya dan menerima percikan air memasuki mulutnya untuk diminum. Akan tetapi kebutuhan jasmaninya tidak dapat hanya ditutup oleh air tawar itu. Akhirnya ia membuka mata. Dari balik air yang muncrat setelah menyiram kepalanya, ia memandang. Tidak tampak bayangan kakek tua. Hati-hati ia membuka lipatan tangan dan kakinya. Kini tubuhnya gemetar, bukan main lemah dan lunglai tubuhnya akibat perut kosong berhari-hari. Baru kini terasa hebatnya badan menanggung kelaparan. Hampir saja ia dibuai oleh kelemahannya dan kalau ia tidak cepat-cepat membuang diri ke kanan lalu merangkak turun dari atas batu, kiranya ada bahayanya ia terjungkal ke kiri atau ke depan, ke dalam air!

Bu Sin bangkit berdiri dengan kedua kaki gemetar. Ia mengingat-ingat, memandang ke arah air terjun yang kini kembali menimpa batu yang tadi menjadi tempat duduknya. Mimpikah ia? Di mana adanya kakek itu? Tidak, ia tidak mimpi, pikirannya terang sekali. Ia ingat semuanya. Ingat bahwa ia tadinya menjadi tawanan Siang-mou Sin-ni, dan menurut kakek sakti itu, ia minum racun perampas semangat dan dijadikan permainan oleh si iblis betina. Untung ada kakek sakti itu yang menolongnya, kemudian kakek sakti itu yang menurunkan ilmu siulian yang ajaib sehingga ia tahan bersemedhi di bawah air terjun sampai berhari-hari lamanya. Entah berapa hari, ia tidak dapat menghitungnya karena ia tekun dalam bersemedhi sambil mencurahkan segala daya ingatannya untuk menghafal dan melatih diri dengan ilmu itu.

Tak perlu bersusah payah mencari kakek itu, pasti tidak akan dapat bertemu. Sayang ia tidak tahu nama kakek itu. Yang perlu sekarang mencari adik-adiknya. Ia sendiri tidak tahu di mana ia berada. Harus ia selidiki hal ini dan sekarang yang paling perlu adalah mencari pengisi perut atau kalau terlambat ia akan mati kelaparan. Hutan di depan itu penuh pohon, tentu ada bahan pengisi perut, buah-buahan, binatang hutan, atau setidaknya tentu ada daun-daun muda!

Tak lama kemudian, dengan hati lapang Bu Sin sudah menggerogoti buah-buah yang segar dan manis dan perutnya menerima dengan lahapnya, seakan-akan tidak mengenal kenyang. Agaknya akan berbahaya bagi Bu Sin kalau ia melanjutkan makannya, mengisi sepenuhnya perut yang sudah terlalu lama dikosongkan itu. Baiknya sebelum terlalu banyak ia makan, tiba-tiba ia mendengar auman yang menggetarkan hutan, disusul pekik kesakitan seorang manusia.

Cepat reaksi Bu Sin. Buah di tangannya yang belum sempat digigit ia buang dan tubuhnya sudah berlari cepat sekali ke arah utara. Untung tidak terlalu jauh tempat itu, atau mungkin karena lari cepat Bu Sin kini memperoleh kemajuan secara menakjubkan dan tidak disadari oleh orangnya sendiri.

Ia melihat seorang laki-laki berpakaian ringkas seperti seorang pemburu sedang bergulat mati-matian melawan seekor harimau. Bukan bergulat dalam perkelahian lagi namanya, melainkan bergulat untuk memperpanjang hidupnya atau lebih tepat, untuk menahan mulut yang penuh taring meruncing itu merobek tubuhnya. Darah sudah memenuhi sekitar dada, pundak dan kedua lengan, namun pemburu itu dengan kedua tangannya mati-matian mendorong moncong harimau. Perlawanan yang sia-sia. Melihat sebatang tombak masih menancap di perut harimau, tahulah Bu Sin bahwa pemburu itu kurang tepat menombak harimau sehingga binatang itu tidak roboh, sebaliknya sempat menubruk dan agaknya si pemburulah yang akan tewas terlebih dahulu kalau ia tidak segera turun tangan.

Bu Sin lompat mendekat, tangannya diayun dan....
“Krakkk!” tubuh harimau terguling, kepalanya pecah.

Laki-laki itu merangkak ke luar dari bawah perut harimau, terbelalak keheranan. Juga Bu Sin berdiri terbelalak keheranan. Bagaimana mungkin dengan sekali pukul saja ia berhasil membunuh seekor harimau besar? Bukan hanya membunuh, lebih tak masuk di akal lagi, memecahkan kepalanya! Tiba-tiba pemuda ini menjatuhkan diri berlutut, menumbuk-numbukkan dahinya pada tanah sambil berkata berulang-ulang. “Locianpwe, beribu terima kasih atas kurnia Locianpwe....”

Si pemburu yang sudah bangkit duduk makin melebarkan mata dan mulutnya. Akhirnya ia mengeluh dan roboh pingsan. Ia banyak kehilangan darah, lalu melihat munculnya seorang pemuda yang sekali pukul memecahkan kepala harimau, ditambah lagi melihat pemuda penolongnya itu tiba-tiba berlutut dan seakan-akan menghaturkan terima kasih kepadanya, atau kepada bangkai harimau. Hal ini terlalu banyak baginya, terlalu hebat, tak tertahankan sehingga ia roboh pingsan!
Bu Sin baru sadar akan terluapnya kegembiraan dan rasa syukurnya ketika mendengar pemburu itu mengeluh dan melihatnya roboh pingsan. Cepat ia bangkit dan menghampiri. Tidak hebat luka-luka itu, hanya di pundak kanan yang agak besar, akan tetapi darah keluar terlalu banyak. Bu Sin cepat merobek baju pemburu itu untuk membalut luka di pundak dan menotok jalan darah. Kemudian mencari air menyiram muka pemburu itu yang segera siuman kembali, menggosok-gosok mata sambil bangkit duduk. Saat pandang matanya bertemu dengan bangkai harimau, ia bergidik dan menoleh memandang Bu Sin, matanya terbelalak dan agaknya ia akan roboh pingsan lagi kalau saja Bu Sin tidak segera memegang pundaknya dan berkata.

“Tidak ada bahaya lagi, sahabat. Tenanglah, harimau itu sudah mati.”
“Kau... kau... manusiakah kau...?”

Mau tidak mau Bu Sin tersenyum dan mengangguk-angguk. “Kau gagah sekali sobat. Sudah berada di ambang maut masih melakukan perlawanan hebat. Kau seorang pemburu, bukan? Kebetulan aku lewat dan sempat membantumu,” kata Bu Sin merendah karena ia maklum betapa orang ini kagum kepadanya.

Pemburu itu segera menjatuhkan diri berlutut di depan Bu Sin yang segera mengangkatnya bangun. “Tak perlu segala kekosongan ini!” katanya. “Marilah kita bicara secara sewajarnya. Aku tidak akan lama mengganggumu, hanya ingin bertanya, tempat apakah ini? Hutan mana dan berada di daerah mana? Aku... aku tersesat jalan, harap kau sudi memberi petunjuk.”

Orang itu kelihatan tertegun. “Taihiap (Pendekar Besar) tentu hendak berkunjung ke kota raja untuk menghadiri pesta perayaan Beng-kauw, bukan? Wah, kalau tidak cepat-cepat, Taihiap bisa terlambat. Pesta dimulai esok hari dan, dari sini ke kota raja Nan-cao masih jauh, dua hari perjalanan!”

Kaget hati Bu Sin. Ia sudah berada di dekat kota raja Nan-cao di selatan? Hebat! Kiranya iblis betina itu membawanya ke Nan-cao! Tentu ada maksud tertentu. Lebih baik ia teruskan kunjungan ke Nan-cao. Ia mengangguk dan berkata, “Betul, aku hendak ke Nan-cao. Masih dua hari perjalanan? Tolong kau tunjukan jalannya agar aku tidak tersesat lagi.” Pemburu itu lalu memberi petunjuk, menggurat-gurat tanda gunung dan sungai di atas tanah.

“Terima kasih, sekarang juga aku akan berangkat agar tidak terlambat.” Ia bangkit berdiri.

“Nanti dulu, Taihiap. Kau telah menolong nyawaku, bolehkah saya mengetahui nama besar Taihiap? Saya seorang pemburu, Lai Teng nama saya, dan....,” akan tetapi ia tidak melanjutkan kata-katanya karena pemuda di depannya sudah berkelebat pergi dan sebentar saja sudah amat jauh. Ia hanya dapat memandang dengan mata terbelalak kagum sampai bayangan Bu Sin lenyap di antara pohon-pohon.

Bu Sin benar-benar merasa girang sekali ketika ia mendapat kenyataan bahwa keadaan dirinya jauh berbeda dari pada dahulu. Kalau saja tadi ia tidak memukul kepala harimau, agaknya ia tidak atau belum dapat mengetahui perubahan ini. Sekarang ia dapat berlari cepat, demikian ringan tubuhnya. Sebagai seorang yang cerdik dan memiliki darah pendekar, tentu saja ia tahu bahwa semua ini adalah hasil dari pada ilmu siulian ajaib yang ia terima dari kakek tua renta tak bernama itu.

Dengan melakukan perjalanan cepat tanpa pernah mengaso, pada keesokan harinya menjelang senja sampailah ia di perbatasan Nan-cao. Ia tidak mengenal jalan, maka tanpa sadar ia telah memasuki tanah kuburan yang amat luas, dengan kuburan yang angker dan indah-indah bangunan nisannya, malah ada yang dihias lukisan atau ukiran pada batu-batu nisan. Inilah tanah pekuburan para pembesar dan keluarga raja di Nan-cao.

Tiba-tiba Bu Sin menyelinap dan bersembunyi di balik sebuah kuburan besar yang letaknya di pinggir jalan. Dari depan ia melihat tiga orang laki-laki berjalan cepat sekali, kemudian setelah sampai di daerah kuburan, mereka memperlambat jalan dan bercakap-cakap. Seorang di antara mereka, yang kumisnya tipis panjang dan matanya juling, menggendong sebuah karung hitam di punggungnya, memegangi mulut karung yang diikat dengan kedua tangan, tampaknya berat isi karungnya itu. Yang dua orang lagi adalah orang-orang setengah tua yang wajahnya membayangkan kekejaman, apa lagi orang ketiga yang mukanya cacat, bolong-bolong oleh penyakit cacar. Orang kedua kepalanya besar dan ada jendolan daging di atas dahinya. Yang menyolok adalah bahwa ketiga orang laki-laki ini semua berpakaian pengemis.

“Ha, di sinilah tempatnya. Pangcu (Ketua) berpesan agar kita menanti di sini sampai datang Suma-kongcu. Ihhh, memilih tempat saja di tanah kuburan. Ngeri juga!” kata orang bermata juling sambil menurunkan karung hitam dari punggung, kemudian meletakkannya di atas tanah. Karung itu terguling akan tetapi isinya tidak keluar karena mulut karung diikat. Mereka lalu berjongkok dan menghapus peluh, agaknya mereka tadi telah berlari-lari cepat. Apa lagi si penggendong karung, peluhnya membasahi leher dan mukanya.

“Loheng (Kakak), tak enak menanti di tempat angker begini, tanpa ada pemandangan yang elok. Kita buka saja karung itu, agar mata kita dapat menikmati pemandangan yang menyegarkan semangat, heh-heh!” kata pengemis bermuka bopeng, yang paling muda di antara mereka.

“Sam-te, jangan main-main kau!” cela si kepala besar, “Kau tentu maklum apa maunya Suma-kongcu menculik si cantik ini. Kalau kau mengganggunya dan hendak mendahului Suma-kongu, apakah kau tidak takut kepalamu akan terpisah dari leher?”

“Wah, Suheng (Kakak Seperguruan), aku bukan seorang tolol. Mana aku berani mengganggunya? Dia hidangan orang-orang seperti Suma-kongcu, mana cocok untukku? Paling-paling orang seperti kita ini mendapat sisanya. Hi-hi, pernah dulu aku diberi sisa oleh Suma-kongcu, anak dari Kiang-si itu. Wah... berabe, baru tiga hari dia bunuh diri!” kata lagi si bopeng.

“Ha-ha, agaknya takut melihat bopengmu!” kata si juling.

“Loheng, kau sendiri apa mengira dirimu bagus? Matamu juling, mukamu pucat, kumismu seperti kumis monyet...!”

“Tapi tidak bolong-bolong seperti kulit mukamu yang dimakan rayap...!”

“Sttt, sudahlah!” tegur si kepala besar. “Kalian ini kalau ada perempuan cantik, selalu berebut tampan dan saling memburukkan. Sam-te, memang tidak baik membuka karung, biar pun aku sendiri tadi kagum menyaksikan nona yang begini jelita, akan tetapi jangan lupa bahwa dia pun lihai bukan main. Kalau tidak ada Pangcu, kurasa belum tentu kongcu mampu menawannya.”

“Takut apa, Loheng? Biar pun dia lihai, akan tetapi ia sudah tertotok dan kaki tangannya terikat. Aku pun tidak hendak mengganggunya, hanya ingin melihatnya agar pemandangan buruk di kuburan ini agak kurang mengerikan. Biarlah kalau ada apa-apa, aku yang tanggung,” sambil berkata demikian, si bopeng menggerakkan tangan membuka tali pengikat mulut karung. “Pula, sudah terlalu lama ia dimasukkan karung, kalau ia tahu-tahu mati bagaimana? Kan malah celaka kita, mendapat marah dari Kongcu!” ketika mendengar ucapan terakhir ini, kedua temannya yang tadinya hendak melarangnya saling pandang, kemudian mengangguk-angguk tanda setuju. Malah mereka membantu si bopeng mengeluarkan isi karung itu.

Apakah isinya? Bu Sin yang sudah dapat menduga-duga, tidak terkejut melihat mereka menarik ke luar tubuh seorang gadis muda yang luar biasa cantiknya, gadis yang meramkan kedua matanya, agaknya pingsan. Muka yang putih halus dan kemerahan, rambut yang tebal hitam awut-awutan karena ikat kepalanya hampir terlepas, sebagian menutupi pipi kiri.

Pakaian gadis ini agak aneh, terbuat dari kain sutera yang halus, akan tetapi warnanya lucu. Lengan kiri hitam lengan kanan putih, kaki celana kanan hitam dan yang kiri putih, demikian pula sepatunya. Akan tetapi keanehan pakaian ini tidak begitu menarik perhatian Bu Sin karena perhatiannya tercurah ke arah wajah yang ayu dan bentuk tubuh yang padat molek.

“Coba lihat, alangkah manisnya!” kata si juling.
“Hebat, memang patut menjadi puteri Beng-kauwcu,” sambung si kepala besar.

“Suheng, suheng..., a... aku... kan boleh ya aku... menciumnya satu kali saja?” kata si bopeng, berkali-kali menelan ludah dan sepasang matanya bersinar-sinar menatap wajah yang cantik itu.

“Sam-te, jangan gila kau!” seru si kepala besar.

Si juling tertawa menyeringai. “Mencium sih tidak ada halangannya, biar pun kita bertiga melakukannya juga. Kongcu tidak akan tahu, dia ini pun tidak akan tahu. Kan dia belum sadar?”

Bu Sin tak dapat menahan kemarahannya lagi. Ia melompat ke luar dari tempat sembunyinya sambil membentak. “Buaya-buaya kaki dua! Di siang bolong menculik gadis, benar-benar sudah bosan hidup!”

Tiga orang itu kaget sekali dan dengan gerakan ahli mereka sudah melompat berdiri. Akan tetapi si mata juling kurang cepat bergerak dan pundaknya terkena tendangan kaki kiri Bu Sin! Ia roboh dan bergulingan. Ketika dapat merangkak bangun, matanya menjadi makin juling karena menahan rasa nyeri, napasnya sesak dan ia terbatuk-batuk.

Akan tetapi dua orang pengemis lain dapat menghindarkan diri dari terjangan Bu Sin dan sekarang mereka berdiri menghadapi pemuda itu. Si kepala besar sudah menyambar tongkatnya, sedangkan si bopeng sudah mengeluarkan sebatang golok.

“Bocah jahanam, siapakah kau berani main gila di depan Tiat-kak-coa (Ular Tanduk Besi)?” seru si kepala besar yang mempunyai ‘tanduk’ daging di jidatnya.

“Tak perlu tahu aku siapa! Lekas kalian minggat dan tinggalkan nona ini sebelum kuantar kalian ke neraka!” bentak Bu Sin, hampir tidak kuat menahan kemarahannya.

Si kepala besar yang berjuluk Tiat-kak-coa itu mendengus marah, lalu berkata kepada temannya yang bermuka bopeng. “Sam-te, kau masukkan lagi dia ke dalam karung agar leluasa kita memberi hajaran kepada bocah lancang ini.” Setelah berkata demikian ia sendiri lalu menggerakkan tongkatnya, diputar cepat seperti kitiran helikopter menerjang Bu Sin yang segera mengelak.

Mendengar perintah ini, si muka bopeng yang sudah mencabut goloknya dan siap mengeroyok, mengayunkan goloknya lagi dan dengan mata berminyak dan mulut menyeringai ia menghampiri tubuh gadis yang masih pingsan, “Heh-heh... pipimu begini halus...!” Ia pikir tidak ada salahnya melakukan niatnya tadi selagi ada kesempatan begini baik, maka ia menjulurkan leher mendekatkan mukanya pada muka gadis itu untuk memberi ciuman kurang ajar.

“Plakk! Ngekkk...!” si muka bopeng memekik lemah dan roboh terguling pada saat gadis itu meronta dan melompat ke samping.

Kiranya gadis yang mulai sadar dari pingsannya itu telah menggerakkan tangan menyodok ulu hati dan mengenjot leher sehingga si bopeng yang roboh kini berkelojotan tanpa dapat mengeluarkan suara. Agaknya genjotan pada leher merusak alat suaranya!

“Siluman betina, berani kau memukuli temanku?” teriak si mata juling yang sekarang sudah mencabut sebatang pedang dan langsung menusukkan senjatanya ke arah dada si gadis.

Dengan gerakan masih lemah dan terhuyung-huyung, gadis itu menghindarkan diri. Namun ia didesak terus oleh lawannya yang ternyata cukup lihai ilmu pedangnya. Gadis ini masih pening, masih lemah, dan sedapat mungkin ia mengelak sambil mencari kesempatan untuk membalas. Untung baginya bahwa si muka bopeng belum dapat mengeroyok biar pun si bopeng itu kini tidak berkelojotan lagi dan sudah bangkit duduk. Tapi orang ini belum dapat berdiri, masih menekan ulu hati dan meraba lehernya sambil mengeluarkan suara ngorok seperti ayam diserang penyakit ayan!

Sementara itu Bu Sin yang bertangan kosong pula menghadapi serangan Tiat-kak-coa dengan gerakan lincah sekali. Pemuda ini maklum bahwa si kepala besar ini tidak hanya besar kepala dan lebar mulut, akan tetapi juga memiliki kepandaian yang tinggi. Ilmu tongkatnya ganas sekali, menyambar-nyambar amat cepatnya lagi kuat. Namun dengan ilmunya yang baru ia dapat menyalurkan hawa sakti di tubuhnya sedemikian rupa sehingga sekaligus ginkang-nya juga mengalami kemajuan pesat dan gerakannya menjadi amat ringan karenanya.

Dengan gesit bagaikan seekor burung walet Bu Sin dapat berkelebatan di antara sinar tongkat. Hatinya girang sekali ketika mendapat kenyataan bahwa gadis jelita itu ternyata telah siuman dan sama sekali di luar dugaannya, gadis itu kiranya seorang yang berkepandaian tinggi pula. Hal ini menambah semangatnya dan dengan gerakan indah Bu Sin menyelinap di bawah sambaran tongkat, tangan kirinya menyambar ke atas, sedangkan tangan kanannya mengirim pukulan sambil melangkah lebar ke depan, kepalanya meluncur ke arah pusar lawan.

Melihat datangnya pukulan yang amat dahsyat ini, Tiat-kak-coa kaget dan cepat ia menggeser kaki ke kanan belakang. Akan tetapi kiranya pukulan dahsyat itu tidak dilanjutkan dan ternyata tangan kiri pemuda itulah yang betul-betul bekerja, yaitu pada saat Tiat-kak-coa sibuk menghindarkan diri dari pukulan tadi, cepat tangan kiri Bu Sin sudah mencengkeram tongkat lawan.

Tiat-kak-coa cepat menggerakkan tenaga membetot untuk merampas kembali tongkatnya, akan tetapi Bu Sin melangkah maju setindak dan mengirim tendangan maut ke bawah pusar. Tiada jalan lain bagi Tiat-kak-coa untuk menyelamatkan diri kecuali meloncat mundur dan untuk me­lakukan hal ini terpaksa ia melepaskan tongkatnya yang kini pindah ke tangan Bu Sin!

Akan tetapi pada saat itu tampak bayangan hitam menyambar turun dari angkasa seperti seekor naga hitam yang amat dahsyat, didahului oleh kesiur angin keras. Bu Sin kaget bukan main, sedetik mengira bahwa benda itu betul-betul seekor naga atau ular besar. Cepat ia menangkis atau menyabet dengan tongkat rampasannya.

“Dukkk!” pemuda ini melompat mundur, kaget setengah mati karena tongkat di tangannya hancur, tangannya pedas dan panas sekali. Sebelum ia tahu apa yang terjadi, dua jalan darahnya telah tertotok dan ia roboh tak dapat berkutik lagi. Kekagetannya bertambah ketika ia mengenal wajah kakek berambut riap-riapan yang mukanya mengerikan dengan mata buta sebelah, bukan lain It-gan Kai-ong!

Gadis jelita itu masih terdesak hebat oleh lawannya, namun ia selalu dapat mengelak sambaran pedang.

“Bocah tiada guna, minggir!” tiba-tiba terdengar seruan dan si juling itu terlempar seperti seekor kucing ditendang saja.

Gadis itu melihat bayangan orang berkelebat. Ia dapat melihat jelas dan kalau saja ia tidak sedang pening dan lemas agaknya ia akan dapat menghindarkan diri dengan ilmunya yang tinggi. Namun lawannya kini adalah seorang tokoh besar yang sakti, maka dalam sekejap mata saja gadis yang masih pening ini pun bernasib seperti Bu Sin, roboh oleh totokan tongkat kakek yang luar biasa.

“Huh, kalian ini tiga orang gentong kosong sungguh memalukan saja. Hayo bawa mereka dan ikuti aku!” kata It-gan Kai-ong.

Tiga orang pengemis itu dengan muka ketakutan cepat-cepat mengangkat tubuh Bu Sin dan gadis itu yang sudah tak dapat bergerak lagi, lalu mengikuti It-gan Kai-ong. Kakek pengemis mata satu yang sakti ini berjalan dengan terbungkuk-bungkuk menghampiri tengah tanah pekuburan itu, berhenti di depan sebuah kuburan kuno. Tongkatnya menotok pinggir batu nisan dan... tiba-tiba batu nisan itu terbuka.

It-gan Kai-ong memasuki lubang kuburan, diikuti tiga orang anak buahnya atau murid-muridnya yang agaknya baru pertama kali memasuki tempat menyeramkan ini sehingga mereka saling pandang dan kelihatan ngeri. Setelah mereka semua memasuki lubang terowongan di bawah tanah, batu nisan itu tertutup kembali dari dalam. Kuburan itu menjadi sunyi kembali dan tak seorang pun manusia akan dapat menyangka bahwa kuburan kuno ini merupakan pintu terowongan jalan rahasia di bawah tanah.
Bu Sin dan gadis itu merasa terheran-heran akan tetapi juga ngeri. Terowongan di bawah tanah itu kiranya menembus di daerah pegunungan yang banyak terdapat gua-gua besar dan mereka akhirnya dibawa ke sebuah ruangan bawah tanah yang luasnya lebih dari lima meter persegi, Bu Sin dilempar ke sudut dan gadis itu tentu saja mendapat perlakukan yang lebih halus, diletakkan di atas lantai ruangan kosong itu. Di pinggir kiri, menempel dinding, terdapat sebuah meja besar yang penuh dengan panci berisi roti kering dan beberapa guci terisi arak dan air.

“Kalian jaga baik-baik di luar, jangan biarkan seorang pun memasuki ruangan ini. Awasi nona ini, sekali-kali tidak boleh diganggu. Tahu?” Terdengar It-gan Kai-ong meninggalkan pesan kepada anak buahnya ketika mereka meninggalkan ruangan itu.

Sunyi di ruangan bawah tanah. Bu Sin melihat gadis cantik itu masih terlentang di tengah ruangan, sedangkan dia rebah miring di sudut. Cepat ia mengatur pernapasan seperti yang ia pelajari dari kakek tua. Hawa murni mengalir di dalam tubuhnya dan setelah mencoba-coba, akhirnya hawa Im-kang dapat mengusir pengaruh totokan yang berdasarkan hawa panas. Perlahan-lahan jalan darahnya mengalir kembali. Ia segera bangkit duduk bersila dan melanjutkan usahanya memulihkan tenaga. Akan tetapi ketika ia membuka mata dan melompat berdiri, ia melihat gadis jelita itu pun sudah duduk bersiulian. Kagumlah ia, maklum bahwa gadis itu pun seorang yang memiliki ilmu yang tinggi.
Gerakannya terdengar oleh gadis itu yang segera bangkit pula. Mereka berpandangan, gadis itu tersenyum manis dan dengan suara ramah dan halus ia berkata, “Terima kasih atas pertolonganmu....”

“Ah, tak perlu dibicarakan, Nona. Buktinya aku tidak dapat menolongmu, malah kita berdua sekarang pun entah bagaimana agar dapat membebaskan diri.”

“Yang kunilai bukanlah hasilnya, melainkan sifat dari pada perbuatan. Kau telah menolongku dan karenanya, berhasil mau pun tidak, aku amat berterima kasih kepadamu. Bolehkah aku mengetahui siapa nama dan julukan saudara dan saudara ini seorang tamu dari golongan mana?”

Bu Sin tidak menjawab karena dia sedang bengong melihat wajah jelita, terutama bibir manis yang bergerak-gerak, seakan-akan ia bergantung kepada bibir itu.

“Eh, bagaimana ini? Harap kau jawab pertanyaanku.”
“Ehhhhh... ap... apa...?” Bu Sin tergagap, mukanya menjadi merah sekali karena ia sadar akan sikapnya yang linglung.

Gadis itu tersenyum lebar. Deretan gigi yang putih bagaimana butir-butir mutiara tersusun rapi berkilau menyambarnya, menyilaukan mata menggetarkan hati, sepasang mata yang bersinar-sinar dan lincah menambah kencang degup jantung, tak kuasa lagi Bu Sin menyentuh dadanya yang dirasa seperti hendak meletup.

“Kau pelamun benar. Aku bertanya, siapakah saudara ini, siapa nama dan julukan yang mulia dan termasuk tamu dari golongan terhormat yang mana?”

“Oh... aku... namaku Kam Bu Sin, aku... seperti yang Nona lihat sendiri, aku bukan tamu, aku... aku masuk ke sini bukan atas kehendakku, aku tawanan bukan tamu dan tentang julukan dan golongan, aku tidak punya julukan, juga tidak mempunyai teman-teman seperjalanan kalau itu yang Nona maksudkan....”

Bu Sin berhenti bicara karena melihat betapa wajah yang manis itu kini menatapnya dengan mata bintang terbelalak dan mulut mungil agak terpentang. Aduh, bukan main manisnya, bisik hati Bu Sin.

“Kau... namamu Kam Bu Sin? Putera mendiang Jenderal Kam Si Ek?”

Kini giliran Bu Sin yang melengak kaget dan heran. “Nona, bagaimana kau bisa tahu? Kenalkah kau dengan mendiang Ayah?”

Gadis itu tersenyum lagi dan kini wajahnya berubah girang. “Wah, kalau begitu, kita bukanlah orang lain! Kita masih ada hubungan... eh, pertalian keluarga, biar pun amat jauh. Kau masih terhitung... keponakanku!” Begitu terbuka dan jujur sikap gadis itu, mendatangkan rasa segar nyaman dalam hati Bu Sin yang tanpa disadarinya telah tertikam panah asmara yang berbisa!

“Ah, tidak mungkin!” tanpa disengaja Bu Sin meneriakkan sangkalan karena tiba-tiba ia merasa kecewa mendengar bahwa ia adalah keponakan dara jelita ini! “Maaf, Nona, mana mungkin kau menjadi... bibiku sedangkan usiamu paling banyak tentu baru dua puluh tahun?”

“Sembilan belas!” dara itu menjawab cepat, seakan-akan khawatir kalau dugaan tentang usia itu akan cepat membuatnya menjadi tua.

“Nah, sembilan belas malah! Aku yang sudah berusia dua puluh satu tahun, mana bisa menjadi keponakanmu?”
Dara itu tertawa kecil sambil menutupi mulut dengan tangan kiri, geli hatinya menyaksikan sikap terheran-heran dan bersitegang, dari pemuda itu. “Keponakanku yang baik, dengarlah penjelasan bibimu. Aku mempunyai seorang keponakan, dan Ayahmu adalah ayah keponakanku itu, sedangkan ibu dari keponakanku itu adalah anak dari kakak Ayahku. Nah, kau yang tingkat susunan keluarganya sama dengan keponakanku, bukankah kau ini juga keponakanku dan aku bibimu?”

Pening kepala Bu Sin mendengar penjelasan yang tidak jelas itu. “Mana bisa? Kalau Ayahku juga menjadi ayah keponakanmu, tentu keponakanmu itu Eng-moi atau...” Tiba-tiba wajah Bu Sin berubah dan ia menatap tajam. “Nona, apakah keponakanmu itu bernama Kam Bu Song?”

Nona itu mengangguk-angguk sambil tersenyum. “Siapa lagi kalau bukan dia?”

Dapat dibayangkan betapa kaget, heran dan girangnya hati Bu Sin mendengar ucapan ini. Sudah berbulan-bulan lamanya ia mencari-cari kakaknya ini, dan karena mencari kakak tirinya itulah, di samping menyelidiki tentang musuh besar yang membunuh orang tuanya, ia sampai di tempat ini, bersama kedua orang adiknya mengalami suka duka dan terancam maut dan malapetaka, bahkan sampai saat itu pun ia berpisah dari kedua orang adiknya. Maka dapat dibayangkan betapa gembiranya mendengar itu. Diluapkan oleh rasa gembira yang meledak di dalam hatinya, ia melangkah maju, memegang kedua pundak nona itu, mengguncang-guncangnya perlahan sambil berkata penuh gairah.

“Di mana dia? Di mana kakakku itu? Mana Kakak Kam Bu Song?”

Mula-mula gadis itu mengerutkan alisnya melihat perbuatan ini, tubuhnya terguncang-guncang, wajahnya, terutama di kedua pipinya, menjadi merah sekali. Akan tetapi dengan pandang mata maklum dan bibir manis tersenyum ia berkata, malah setengah menggoda. “Kau perintah siapa? Mohon kepada bibimu ini dengan hormat, baru aku mau bicara!”

Mendengar ini Bu Sin sadar dan cepat-cepat ia melepaskan kedua tangannya, wajahnya juga menjadi merah dan ia cepat-cepat memberi hormat. “Maaf... maklumlah, selamanya aku belum pernah bertemu dengan Kakak Kam Bu Song dan justru kepergianku dari kampung halaman adalah untuk mencarinya. Maka, mendengar bahwa dia itu keponakanmu... aku mengharapkan dapat bertemu dengannya.”

“Sebut dulu bibi, dia itu keponakanku dan kau yang menjadi adik tirinya berarti keponakanku juga.”

Bu Sin maklum bahwa gadis ini tidak mengejek atau menghina, hanya menggodanya, maka ia tidak marah. “Nona, kau lebih muda dariku. Biar pun Kakak Bu Song adalah keponakanmu, akan tetapi karena yang menjadi keluargamu adalah ibunya sedangkan aku bukan apa-apa, maka tak berani aku menganggap kau sebagai bibi. Karena kau lebih muda, kusebut kau adik saja, bagaimana?” Ia tersenyum dan memandang tajam.

Gadis itu pun memandang, dua pasang mata bertemu pandang dan keduanya merasa jengah di samping jantung berdebar tidak karuan, “Kalau begitu, aku akan menyebutmu koko, Bu Sin Koko.”

Bu Sin tertawa. “Adikku yang manis, enak saja kau ini, menyebut-nyebut namaku sedangkan aku sama sekali belum mengetahui namamu.”

“Aku she Liu, namaku Hwee. Ayahku adalah ketua Beng-kauw....”

“Ah, benar-benar aku lancang dan kurang ajar! Maaf kalau aku berlaku kurang hormat karena tidak tahu, kiranya Nona adalah puteri Beng-kauwcu yang terhormat dan....”

“Hishhh, apa-apaan ini? Bu Sin Koko, kau tadi menyebut adik sekarang tiada hujan tiada angin berbalik menjadi nona-nonaan dan bicara sungkan-sungkanan. Apakah kau tidak suka bersahabat denganku?”

“Ti... tidak begitu, tapi kau...”
“Sudahlah. Mari kita duduk dan bicara yang enak. Agaknya It-gan Kai-ong si Iblis jembel itu cukup menghormat kita sehingga di sini tersedia makan minum dan bangku untuk duduk.”

Keduanya duduk dan sekarang Bu Sin tidak heran mengapa gadis begini muda sudah amat lihai dan sikapnya demikian tabah dan tidak pemalu. Kiranya puteri ketua Beng­kauw! Mengertilah pula ia mengapa dara ini menyebut kakaknya sebagai keponakan. Ia sudah mendengar bahwa ketua Beng-kauw yang sekarang adalah adik dari mendiang Pat-jiu Sin-ong Liu Gan, kakek dari kakak tirinya itu.

“Hwee-moi, aku mendengar bahwa Beng-kauw mengadakan perayaan. Bagaimanakah kau sebagai puteri Beng-kauw malah berada di sini dan menjadi tawanan It-gan Kai-ong? Kita sekarang ini berada di mana?”

“Bagus, Bu Sin Koko, Ini barulah namanya sikap jantan, tidak seperti tadi kau ribut tentang kakak tirimu, sama sekali tidak mempedulikan keadaanku atau keadaanmu sendiri yang menjadi tawanan orang! Ketahuiah bahwa kita berada di wilayah Nan-cao, dan tempat ini adalah teworongan rahasia di bawah tanah kuburan keluarga kami....”

“Tapi, bagaimana It-gan Kai-ong....”

“Sabar dan dengarlah penuturanku. Dia itu menjadi tamu kami juga. Memang terjadi hal-hal aneh dalam perayaan di kota raja dan agaknya ada komplotan gelap di antara para tamu untuk melakukan pengacauan, mungkin juga untuk mengadu domba antara para tokoh yang hadir sebagai tamu. Aku dan keponakanku...”

“Kau maksudkan Kakak Bu Song...?”

Liu Hwee mengangguk. “Aku dan dia dapat menduga hal buruk itu, maka kami berdua menyelidiki dan membagi tugas. Untuk mengawasi tokoh-tokoh iblis yang mau mengacau, tiada yang lebih tepat kecuali dia....”

“Wah, dia hadir juga dan dia... dia juga lihai seperti kau, Hwee-moi?”

Liu Hwee membelalakkan matanya lalu tertawa merdu. “Hi-hik. Pertanyaan aneh sekali ini. Dia selihai aku? Tentu saja tidak! Maksudku... aku tidak selihai dia! Nah, kami berdua lalu melakukan penyelidikan atas terjadinya beberapa hal yang aneh dan mencurigakan.”

“Hal apakah yang terjadi dalam pesta perayaan itu?”

“Hal-hal yang memanaskan hati dan yang besar sekali bahayanya bagi persatuan antara kerajaan. Kau tahu, banyak kami menerima sumbangan-sumbangan yang amat berharga dari kerajaan-kerajaan lain. Dari Kerajaan Sung di utara saja kami menerima sepeti penuh emas permata yang dibawa oleh seorang panglima tua istana. Belum dari kerajaan-kerajaan lain. Akan tetapi, ketika secara iseng-iseng aku memeriksa isi peti, kiranya emas dan permata hanya sebagai lapisan di atas saja, sedangkan di bawahnya hanya batu-batu sungai yang tidak berharga!”

“Wah, alangkah menghinanya Kaisar Sung!”

“Bukan demikian. Isi peti itu memang diganti orang, dan panglima tua itu sendiri pun tidak tahu sama sekali. Hanya orang sakti yang mampu melakukan hal itu dan agaknya jelas maksudnya yaitu selain mengambil barang berharga, juga memancing keributan dan permusuhan antara Nan-cao dan Kerajaan Sung.”

“Hemmm, dan para tamu tahu akan hal itu?”

“Tidak. Memang Ayah menghendaki supaya hal itu dirahasiakan, lalu diam-diam kami mengadakan penyelidikan untuk menangkap pencurinya. Akan tetapi, hal itu tidaklah mudah. Banyak tokoh yang hadir. Tiga diantara Thian-te Liok-koai hadir, yaitu It-gan Kai-ong, Siang-mou Sin-ni..., eh kau kenapa?”

Tentu saja Liu Hwee kaget melihat perubahan muka pemuda itu. Muka yang tampan itu tiba-tiba menjadi pucat, matanya bersinar dan kelihatannya marah sekali. Memang Bu Sin amat marah mendengar disebutnya Siang-mou Sin-ni, akan tetapi cepat ia dapat mengendalikan perasaannya.

“Tidak apa-apa, hanya aku mendengar mereka itu orang-orang jahat sekali...”

“Memang jahat seperti iblis, maka disebut Enam Iblis. Seorang lagi adalah Tok-sim Lo-tong yang menjijikkan. Tiga tokoh iblis yang lain tidak hadir, akan tetapi kami tahu bahwa Hek-giam-lo secara sembunyi juga datang dan belum muncul, juga Toat-beng Koai-jin, mereka berdua hadir secara sembunyi. Tentang tokoh-tokoh yang lima itu, tak seorang pun boleh dipercaya, tapi....”

“Bagaimana dengan tokoh ke enam? Aku pernah mendengar julukannya Cui-beng-kui (Setan Pengejar Roh), apakah dia hadir pula?”

Lim Hwee termenung sejenak. “Tentang dia... mungkin dia hadir pula, tapi tentu saja keadaannya tidak mengijinkan ia muncul di depan orang banyak. Kukatakan tadi, di antara lima tokoh iblis itu, tak ada yang dapat dipercaya dan mungkin saja seorang di antara mereka yang melakukan perbuatan itu. Aku mendengar bahwa Siang-mou Sin-ni bekerja untuk Kerajaan Hou-han. Hek-giam-lo terang adalah orang Khitan, sedangkan It-gan Kai-ong itu kalau tidak salah diam-diam bekerja untuk Kerajaan Wu-yue, maka kalau seorang di antara mereka bertiga ini yang melakukannya, tentu mempunyai dasar politik mengadu domba antara kami dengan Kerajaan Sung. Akan tetapi kalau tokoh lain, entahlah. Yang membikin bingung, di sana hadir pula tokoh-tokoh aneh seperti Gan-lopek, juga menurut kakak tirimu, Kim-lun Seng-jin yang biasanya tak pernah turun gunung itu pun datang pula. Kami curiga bahwa agaknya pertemuan dalam pesta kami itu akan mereka pergunakan untuk berlomba mencari keunggulan dalam kedudukan di dunia persilatan, karena kabarnya di antara mereka ada yang telah mewarisi ilmu dari kakek sakti Bu Kek Siansu. Bu Sin Koko, apakah kau bingung dan jemu mendengarkan penuturanku?”

“Ah, tidak... tidak, aku tertarik sekali. Tokoh-tokoh sakti dalam dunia persilatan itu pernah aku mendengarnya. Aku pernah mendengar bahwa masih ada seorang tokoh sakti lagi yang tak kalah ternamanya, yaitu yang berjuluk Suling Emas....”

“Wah, Koko! Kau ini apakah hendak main-main?” Dara itu melirik ke atas dan bersungut-sungut seorang diri. “... hemmm, dia bilang pernah mendengar nama Suling Emas... apakah tidak gila ini...?”

“Hwee-moi, apa maksudmu? Aku tidak main-main. Apakah kau belum pernah mendengar nama Suling Emas? Kurasa dia akan hadir pula kalau memang orang-orang sakti dari semua penjuru hadir dan....”

“Sin-koko, benar-benarkah kau tidak tahu? Wah, tak tahu lagi aku apa yang lebih aneh dan lucu dari pada ini....”

“Maksudmu?”
“Keponakanku itu, kakak tirimu Kam Bu Song itu kebetulan mempunyai julukan Suling Emas...!”

Bu Sin melompat dari tempat duduknya, matanya terbelalak lebar, keheranan memenuhi dada dan kepalanya. “Kau bilang Kakak Bu Song itu Suling Emas? Jadi dia itu kakak kami sendiri...? Wah, pantas, pantas... dia selalu menolong kami! Ah, memang patut ditampar kepalaku, Hwee-moi, wah, aku benar-benar goblok. Ha-ha-ha-ha!” Bu Sin tertawa-tawa girang, bergelak sambil menampari kepalanya sendiri. “Ha-ha-ha, benar! Dia selalu berpakaian sebagai seorang pelajar! Wah, kakakku demikian gagah perkasa... ah, alangkah akan girangnya hati Ayah kalau mengetahul hal itu... sayang, Ayah... takkan pernah tahu...” Dengan kepalan tangannya, pemuda yang ditusuk rasa haru ini menghapus dua titik air mata dari pelupuk matanya.

Sadar akan keadaannya yang tidak sewajarnya itu, Bu Sin memandang kepada Liu Hwee sambil tersenyum malu. “Maaf Hwee-moi, aku telah memperlihatkan sikap lemah sekali. Kau harus tahu, selama hidupku belum pernah aku bertemu dengan kakakku itu, dan yang lebih hebat lagi, dahulu kami bertiga kakak beradik malah menyangka bahwa Suling Emas adalah pembunuh ayah bunda kami. Karena hendak mencari Kakak Bu Song dan mencari musuh besar kami, maka hari ini aku bisa berada di sini. Siapa tahu dan siapa sangka, orang yang kami sangka membunuh orang tua kami itu malah kakak sulung kami!”

Liu Hwee menarik napas paniang. “Kau tidak lemah, Sin-koko. Memang kehidupan Suling Emas semenjak kecilnya telah diselubungi banyak rahasia yang kadang-kadang membingungkan. Bahkan aku sendiri tidak tahu sejelasnya, juga Ayahku tidak tahu. Kau tahu, ibunya, yaitu Cici Liu Sian, sampai kini pun tidak ada orang tahu, hanya dapat men­duga-duga, namun tak pernah aku atau Ayah dapat menjumpainya. Aneh, memang aneh sekali enci misanku itu, juga puteranya aneh.”

“Pertemuanku denganmu benar-benar mendatangkan rasa bahagia karena rahasia kakakku telah dapat kuketahui, Adik Liu Hwee. Sayang bahwa kebahagiaan itu kiranya takkan dapat berlangsung terus. Bagaimana aku akan dapat bertemu dengan kakakku itu kalau sekarang kita berada dalam tahanan di bawah tanah dan tidak ada jalan ke luar? Ah, dasar aku yang tidak becus, tidak berhasil menyelamatkanmu, malah aku sendiri tertawan. Hwee-moi, kau yang berkepandaian tinggi, bagaimana kau sampai dapat ditawan pengemis-pengemis itu dan dimasukkan dalam karung dalam keadaan pingsan?”

“Belum kuceritakan hal itu kepadamu. Tadi telah kuceritakan bahwa aku dan Suling Emas melakukan penyelidikan. Tentu saja kami berpencar dan Suling Emas bertugas menyelidiki para tamu yang termasuk tokoh-tokoh tinggi, sedangkan aku menyelidiki ke tempat para tamu yang rendahan. Ketika aku tiba di ujung tempat-tempat pemondokan para tamu rombongan dari Kerajaan Sung, aku melihat dua orang pengemis yang mengempit tubuh dua orang pula sedang melarikan diri. Aku tertarik sekali, mengira bahwa mereka tentu melakukan kejahatan. Karena mereka berada di negeriku, aku harus mencegah orang berbuat kejahatan, maka aku lalu mengejar mereka. Setelah tiba di dalam sebuah hutan, tiba-tiba dua orang itu melepaskan orang-orang yang dikempitnya dan... ternyata dua orang yang dikempit tadi tidak apa-apa, malah juga berpakaian pengemis dan tertawa-tawa, lalu empat orang itu mengeroyokku! Mereka tidak menjawab pertanyaan-pertanyaanku, dan melihat betapa serangan-serangan mereka tidak ditujukan untuk membunuh, aku lalu menduga bahwa mereka bermaksud menculikku. Akan tetapi dengan cambukku di tangan, dengan mudah aku mendesak mereka bertiga, malah berhasil merobohkan seorang di antara mereka. Pada saat aku sudah mendesak hebat dan takkan lama lagi mereka tentu akan roboh seorang demi seorang, muncullah It-gan Kai-ong! Aku melawan sampai seratus jurus lebih, akan tetapi dia bukan tandinganku, terlampau kuat. Akhirnya aku roboh pingsan dan selanjutnya kau menolongku.”

“Agaknya mereka itu memang hendak menculikmu, Hwee-moi. Apakah kehendak mereka?”

“Mungkin karena kecurigaanku, atau mungkin juga karena It-gan Kai-ong hendak mempergunakan aku sebagai jaminan. Akan tetapi dia tidak mungkin berani menggangguku, karena sekali dia berani membunuhku, dia akan berhadapan dengan Ayah dan seluruh warga Beng-kauw. Kalau terjadi demikian, biar di dunia ini ada seratus It-gan Kai-ong, mereka akan dibasmi semua!”

“Atau dia mempunyai rencana yang amat jahat! Ah, Moi-moi, kalau saja kita bisa keluar dari sini dan mendapat bantuan Kakak Bu Song....” Bu Sin lalu berjalan memeriksa ruangan itu. Akan tetapi segera ia mendapat kenyataan bahwa tak mungkin keluar dari tempat itu. Ruangan ini tertutup semua oleh dinding batu karang yang amat kuat, ada pun pintu satu-satunya adalah pintu terbuat dari pada besi yang agaknya dipalang dari luar sehingga tak mungkin dibuka dari sebelah dalam.

“Sin-koko, tak usah dicari jalan ke luar, tempat ini memang dahulu dipergunakan untuk tempat tahanan tawanan penting dan rahasia. Hanya ada satu cara....”

“Bagaimana caranya? Adik Liu Hwee yang baik, lekas katakan dan mari kita segera keluar dari sini!”

“Kita makan dan minum dulu sampai kenyang. Perutku lapar dan kita perlu memulihkan tenaga untuk menghadapi terjangan ke luar.” Gadis itu lalu meraih panci dan memilih roti, menawarkannya kepada Bu Sin yang ragu-ragu untuk makan roti itu. Akan tetapi ia melihat Liu Hwee menggigit roti dengan enaknya dan mendengar gadis itu kemudian berkata, “Tak usah khawatir, roti dan arak serta air ini tidak beracun.”

Bu Sin tersenyum dan ia pun segera makan roti itu. Karena selama ini ia hanya makan buah-buah saja, maka roti sederhana itu terasa enak sekali. “Bagaimana kau bisa begitu yakin bahwa makanan dan minuman ini tidak beracun?”

“Mudah saja. Kalau lawan hendak membunuh kita, apa sukarnya? Masa harus bersusah payah menaruh racun pada makanan atau minuman yang belum tentu kita sentuh?”

Bu Sin mengangguk-angguk dan diam-diam ia memuji kecerdikan dan ketenangan dara muda itu. Setelah mereka kenyang mengisi perut, Bu Sin yang sudah tidak sabar bertanya. “Bagaimana caranya supaya kita dapat keluar dari neraka ini?”

Liu Hwee tersenyum. “Neraka? Aku sama sekali tidak merasa berada di dalam neraka, Sin-ko. Senang malah di sini seperti ini.”

Tiba-tiba jantung Bu Sin berdegupan keras. Gadis jelita ini senang berada di situ bersama dia? Tentu karena ada dia, masa kalau sendiri merasa senang di tempat seperti itu? Tak mungkin.

“Adikku yang baik. Aku pun merasa senang sekali karena ada engkau bersamaku di sini, akan tetapi alangkah lebih menyenangkan sekali kalau kita berada di luar tempat tahanan.”

Liu Hwee mengangkat muka memandang tajam. Kembali mereka saling berpandangan. Biar pun mulut mereka tidak mengeluarkan suara di saat itu, namun pancaran kasih terbawa sinar mata tampak nyata dan terasa oleh kedua pihak sehingga kembali kulit pipi menjadi merah sendiri dan keduanya untuk sejenak merenggut pandang mata yang saling peluk.

“Ruangan ini tidak mempunyai jalan ke luar lain kecuali pintu itu. Pintu terkunci dan di luar pintu tentu dijaga. Kita tidak bersenjata, akan tetapi kalau tidak ada It-gan Kai-ong di situ, kita tidak perlu khawatir. Kalau sudah keluar dari ruangan ini, aku mengenal jalan-jalan rahasia di dalam terowongan ini yang belum tentu dikenal pula oleh mereka.”

“Kalau begitu, bagaimana kita bisa keluar dari ruangan ini?”

“Kau seranglah aku dan kita bertempur mati-matian, saling serang, akan tetapi jangan ragu-ragu untuk memukul dan merobohkan aku....”

“Apa kau bilang? Mana bisa... apa artinya itu, Moi-moi?”

Melihat kebingungan pemuda itu, Liu Hwee merasa geli, juga besar hati karena pemuda yang telah membetot rasa kasihnya ini tentu saja bingung dan menolak untuk memukulnya roboh! “Hanya ada satu cara untuk memancing mereka membuka pintu ini, Koko. Kau tadi dengar sendiri betapa It-gan Kai-ong memesan supaya mereka tidak mengganggu aku, ini hanya berarti bahwa It-gan Kai-ong tidak menghendaki aku mengalami malapetaka atau terganggu di sini karena dia tidak berani menghadapi kemarahan Ayah dan Beng-kauw. Maka kalau mereka tahu kita bertempur, tentu mereka merasa khawatir kalau-kalau aku sampai celaka, apa lagi kalau mereka membuka pintu melihat kau memukul aku sampai roboh, tentu mereka menyerbu masuk untuk menghalangi maksudmu, atau untuk menolongku. Nah, saat itulah kita pergunakan untuk menerjang ke luar. Mengertikah engkau?”

Bu Sin mengangguk-angguk, tapi alisnya berkerut. “Tapi... Moi-moi, aku hanya akan memukul secara pura-pura saja dan kau lalu menggulingkan diri roboh. Mana bisa aku memukulmu sungguh-sungguh?”

Kembali Liu Hwee tersenyum senang. “Sin-koko, mereka itu bukanlah anak-anak atau orang-orang bodoh yang mudah kita bohongi atau kita tipu. Mereka itu adalah ahli-ahli sitat yang akan dapat melihat pukulan palsu atau tulen. Kau pukullah sungguh-sungguh, biar keras asal jangan kau pergunakan lweekang. Percayalah, hanya dengan cara itu usaha kita akan berhasil. Kau boleh pukul punggung kananku, akan kuberi lowongan sambil miringkan tubuh. Begitu pintu dibuka, kau desak aku dan aku mengelak sambil miringkan tubuh begini, dan... kau pukullah punggung kanan ini sampai aku terjungkal....” Sambil berkata demikian Liu Hwee memperlihatkan gerakannya. Bu Sin mengangguk-angguk tanda mengerti biar pun hatinya merasa tidak enak sekali.

Setelah mendengarkan petunjuk-petunjuk Liu Hwee, sepasang orang muda ini mulai berteriak-teriak, membuat gaduh dengan menyambitkan pecahan batu pada pintu, membentak dan berseru nyaring, pendeknya mereka membuat suara gaduh orang sedang bertempur hebat. Sampai lama mereka melakukan hal ini dan beberapa kali mereka menendang daun pintu.....

Akhirnya daun pintu bergerak perlahan. Liu Hwee memberi isyarat kepada Bu Sin dan sekarang keduanya bertempur sungguh-sungguh! Begitu bertanding, kagetlah Bu Sin karena dara jelita itu benar-benar hebat kepandaiannya. Pertemuan lengan membuat tubuhnya kesemutan, dan gerakan-gerakan Liu Hwee selain aneh juga amat cepatnya. Maklumlah ia bahwa dalam pertandingan sungguh-sungguh, ia bukan lawan gadis perkasa ini.

“Jahanam, berani kau mengganggu puteri Beng-kauwcu?” Liu Hwee berseru nyaring sambil memperhebat terjangannya.

“Nona manis, kalau tidak mau menyerah kepadaku lebih baik kau mampus!” teriak Bu Sin dengan kata-kata dibuat kurang ajar.

Daun pintu terbuka makin lebar dan kini tampak muka yang bopeng mengintai ke dalam. Kiranya itu adalah muka pengemis bopeng tadi. Agaknya mereka yang berada di luar masih menaruh curiga, maka si bopeng tidak segera membuka pintu melainkan mengintai ke dalam. Melihat itu, Bu Sin berseru keras dan melancarkan pukulan dengan jurus yang berbahaya, sambil mengerahkan sinkang yang ia pelajari dari kakek sakti. Ayunan tangannya mendatangkan siutan angin.

Liu Hwee mengeluarkan seruan kaget dan mengelak ke belakang sambil miringkan tubuh dan terhuyung-huyung karena kakinya tertumbuk batu. Saat itu dipergunakan oleh Bu Sin untuk mendesak maju dan pukulan tangan kirinya dengan tepat menghantam punggung kanan gadis jelita itu. Ia memukul dengan keras akan tetapi menyimpan tenaga lweekang, hanya mempergunakan gwakang atau tenaga kasar, yaitu tenaga gerakan otot.

“Bukkkkk...!” kepalannya mengenai sasaran yang lunak dan halus sehingga hatinya serasa ditusuk.

“Aduhhhh...!” Liu Hwee mengeluh, tubuhnya terlempar melayang ke belakang, menumbuk dinding batu dan terjungkal roboh.

Bu Sin sampai menjadi pucat mukanya. Masa pukulannya yang hanya dilakukan dengan kasar itu dapat membuat Liu Hwee terlempar sampai begitu hebat? Ia lupa akan permainan sandiwaranya, dengan hati penuh kegelisahan ia meloncat ke dekat Liu Hwee, menjatuhkan diri berlutut dan memeluk gadis itu, merangkulnya untuk memeriksa keadaannya.

“Setan kurang ajar, kau sudah bosan hidup!” teriak si muka bopeng yang sekarang membuka daun pintu dan menerjang masuk, diikuti si mata juling dan si kepala besar. Mereka bertiga menerjang Bu Sin dengan senjata mereka.

Akan tetapi Bu Sin sudah siap, cepat ia mengelak dengan gerakan gesit ke kiri dan bagaikan kilat menyambar kakinya sudah melayang, tepat memasuki rongga perut si juling.

“Ngekkk!” demikian si juling mengeluarkan suara tertahan, napasnya terengah-engah, matanya yang juling itu berputaran sebelum ia roboh pingsan.

Akan tetapi keadaan Bu Sin bukan tidak berbahaya karena ketika ia menendang tadi, dua orang lawan lagi menerjangnya dari kanan kiri. Kepandaian si bopeng dan si kepala besar itu cukup lihai. Golok si bopeng itu melayang ke arah leher kiri sehingga Tiat-kak-coa si kepala besar menusukkan tongkatnya ke arah iga kanan! Bu Sin terpaksa menggulingkan diri ke atas tanah, akan tetapi kedua orang lawannya mengejar terus. Dengan gerakan lincah Bu Sin sudah berhasil menyambar pedang yang tadi terjatuh dari tangan si juling. Pedang ini ia ayun menangkis golok, akan tetapi dalam keadaan masih telentang itu ia terancam tongkat Tiat-kak-coa.

“Blukkk! Aduhhhh...!” tiba-tiba Tiat-kak-coa terjungkal, dari kepalanya sebelah belakang mengucur kecap. Ia berkelojotan tak dapat bangkit lagi karena kepalanya sudah retak, disambar batu yang dilontarkan oleh Liu Hwee!

Dalam keadaan kaget dan khawatir, si bopeng tak sanggup menahan terjangan pedang di tangan Bu Sin dan pedang itu berhasil menusuk tembus bahu kanannya. Si bopeng berteriak kesakitan, goloknya terpental dan ia pun roboh mandi darah.

“Cepat, ikut aku!” Liu Hwee berbisik.

Dengan pedang rampasan di tangan, Bu Sin mengikuti gadis itu. Girang hatinya bahwa gadis itu ternyata tidak apa-apa. Mereka berlari-larian melalui lorong sempit dan tiba-tiba Liu Hwee berhenti.

“Ssttt, di depan pintu lorong penuh penjaga. Tak mungkin kita keluar dari situ.”

“Kita terjang saja, membuka jalan darah!” kata Bu Sin gagah.

“Sia-sia, apa lagi mungkin It-gan Kai-ong berada di sana. Aku tahu jalan rahasia. Mari...!” Gadis itu menyambar tangan kiri Bu Sin, ditariknya pemuda itu berlari memasuki cabang lorong yang sempit lagi gelap.

Berdebar jantung Bu Sin ketika tangannya merasai telapak tangan yang berkulit halus dan lunak. Tak terasa lagi ia menggenggam tangan kecil itu erat-erat dan serasa ada getaran di antara jari-jari mereka.

Kembali Liu Hwee berhenti tiba-tiba di bagian yang gelap, kemudian melepaskan tangannya dan berbisik. “Sin-ko, kau pegang batu yang kiri, aku yang kanan. Setelah kutekan alat rahasianya yang menghilangkan ganjal di belakangnya, kita tarik batu ke kanan kiri. Itu, batu yang menonjol, kau raba karena agak gelap.”

“Ah, inikah? Sudah siap, Moi-moi.”

Liu Hwee memasukkan lengannya yang kecil ke sebuah lubang yang terdapat dalam celah antara dua batu, mengerahkan tenaganya dan begitu ia menekan, terdengar suara berkeretakan di sebelah sana di balik dinding batu, “Nah mari mulai menarik. Geser batu itu ke kiri, Koko!”

Mereka menarik, seorang ke kiri, seorang lagi ke kanan. Setelah mengerahkan sinkang, barulah kedua batu itu bergerak menggelinding perlahan, membuka sebuah pintu!

“Cukup, lekas masuk!” Liu Hwee berbisik sambil menarik tangan Bu Sin.

Pintu itu hanya dapat dimasuki Bu Sin dengan tubuh miring. Setelah mereka masuk, Liu Hwee mendorong alat rahasia dan kedua batu besar itu menggelinding secara otomatis menutup pintu rahasia. Kiranya mereka berada di terowongan lain yang tiga kali lebih lebar, juga tidak gelap seperti tadi karena ada cabaya masuk ke dalamnya.

“Selamat!” bisik Liu Hwee sambil tersenyum. “Kau pandai sekali mainkan sandiwara kita, Sin-koko.”

Muka Bu Sin menjadi merah. “Ah, jangan mengejek, Moi-moi. Justru aku tadi telah membuka rahasia kita karena lupa diri melihat kau terlempar dan menumbuk batu. Kukira kau betul-betul terluka hebat, maka aku menjadi lupa dan hendak menolongmu....”

Wajah gadis itu berseri-seri. “Ah, begitukah? Kukira kau bersandiwara, karena sikapmu itu tepat sekali. Mungkin itu yang membuat mereka tadi percaya penuh bahwa kau betul-betul hendak... berbuat kurang ajar kepadaku. Kiranya kau tadi tidak bersandiwara... ah, kau baik sekali, Koko.”

“Sudahlah Moi-moi, pujian-pujianmu yang berlebihan bisa-bisa menerbangkan aku ke langit! Sekarang bagaimana kita dapat keluar?”

“Mari ikut aku. Pesanku, kalau kau melihat apa saja yang luar biasa, harap kau jangan mengeluarkan suara, biarkan aku yang bicara. Ini penting sekali, Koko, karena sekali kau salah bicara, nyawamu terancam maut dan aku sendiri tidak akan mampu berbuat apa-apa untuk menolongmu.”

Bu Sin kaget dan mengangguk-angguk. Sudah terlalu banyak ia mengalami hal-hal aneh mengerikan, dan tempat yang seram seperti ini tentu saja mempunyai rahasia-rahasia yang menyeramkan pula. Akan tetapi hatinya besar, apa lagi setelah ia merasakan kembali kehangatan, kehalusan dan kelunakan telapak tangan Liu Hwee yang menggandengnya. Lorong itu makin lama makin lebar, akan tetapi makin gelap dan akhirnya mereka tiba di bagian yang gelap sekali. Dari tekanan tangan Liu Hwee, Bu Sin dapat menduga bahwa mereka berada di tempat berbahaya.

Tiba-tiba tercium bau yang amat harum dan Liu Hwee menghentikan langkahnya, tangannya mencengkeram tangan Bu Sin erat-erat sehingga pemuda itu hampir saja berteriak kalau ia tidak segera ingat akan pesan gadis itu. Anehnya, Liu Hwee segera menariknya dan mengajaknya berlutut di atas tanah yang ternyata becek dan basah!

“Cici yang mulia, adikmu lancang mengganggu, mohon ampun!” kata Liu Hwee dengan suara aneh.

Hening sejenak, bau harum makin keras dan terdengarlah suara dari sudut yang gelap. “Siauw-moi, apa Ayahmu juga melarang kau main-main dengan pemuda tampan sehingga kau membawanya ke sini?”

Bu Sin diam-diam bergidik. Bau harum ini mengingatkan ia akan Siang-mou Sin-ni, serupa benar. Dan suara itu! Halus lembut dan merdu, akan tetapi mengandung sesuatu yang mengerikan, apa lagi kata-katanya begitu tak tahu malu!

“Tidak, Cici. Dia ini seorang tamu kita. Kami berdua ditawan It-gan Kai-ong di dalam terowongan sebelah. Untuk menyelamatkan diri, terpaksa aku mempergunakan pintu rahasia dan dengan lancang lewat di sini.”

“Hemmm, kau tahu siapa pun dia yang berani menggangguku di sini harus mati. Untukmu, aku masih bisa mengampuni, tapi dia ini!”

“Ampunkan dia, Cici. Bukan kehendaknya lewat di sini, melainkan aku yang mengajaknya karena dia telah menolongku dari tangan anak buah It-gan Kai-ong. Orang-orang seperti kita tidak bisa hidup senang sebelum membalas budi orang, bukan? Dia menolong nyawaku satu kali, aku pun harus menolongnya kembali dua kali. Kalau kau membunuhnya, lebih baik bunuh aku lebih dulu, Cici.”

Terdengar suara ketawa lembut, tapi yang membuat bulu tengkuk Bu Sin meremang. Hanya suaranya kalau berkata-kata yang berbeda, akan tetapi harumnya dan ketawanya serupa benar dengan Siang-mou Sin-ni!

“Aku tidak bisa melihatnya jelas, tapi dia terang tampan dan muda. Tak bisa aku mengambil keputusan sebelum memeriksa dia orang apa!” Tiba-tiba terdengar angin menyambar dan bau harum menyengat hidung.

Bu Sin kaget setengah mati ketika merasa betapa pipi dan dagunya diraba tangan yang halus sekali, juga leher dan kedua pundaknya disentuh orang yang tidak tampak! Hatinya lega bukan main ketika tangan yang meraba-raba itu lenyap kembali dan terdengar suara yang tadi.

“Tampan dan muda, juga gagah. Tapi sayang, dia lemah. Tak patut menjadi mantu Beng-kauwcu!”

“Cici...!” Liu Hwee memprotes.

“Cerewet! Aku tidak buta, aku tahu kau mencinta pemuda ini, Siauw-moi! Tapi dia tidak patut menjadi mantu Beng-kauwcu, kecuali kalau dia ini anak kaisar atau anak ketua partai persilatan yang besar. Dia orang apa, Siauw-moi?”

Bukan main mendongkolnya hati Bu Sin. Ia merasa bahwa siapa pun juga adanya wanita iblis itu, bicaranya keterlaluan dan amat menghina Liu Hwee. Sudah gatal-gatal mulut dan lidahnya untuk mendamprat, dan hal ini pasti telah ia lakukan kalau saja ia tidak merasa betapa jari-jari tangan Liu Hwee mencengkeram tangannya dengan erat.

“Dia orang biasa saja, Cici.”

“Hemmm, adikku mencinta laki-laki biasa? Cih, mana bisa?”

“Cici yang mulia, cinta tidak mengenal kedudukan, tidak mengenal derajat mau pun tingkat, tidak mengenal kaya miskin, bahkan ada kalanya tidak mengenal usia. Cici sendiri sudah mengalaminya, mana ada aturan melarang orang lain?”

“Sudah, sudah...! Kau cerewet seperti Ibumu! Kau hendak menyerang dengan senjataku sendiri, ya? Cerewet! Pergi! Bawa kekasihmu ini pergi sebelum aku membikin bolong-bolong yang bagus di kepalanya!”

“Terima kasih, Cici, selamat tinggal,” kata Liu Hwee yang cepat bangkit, menarik tangan Bu Sin dan setengah menyeret pemuda itu pergi dari situ melalui lorong gelap tanpa mengeluarkan suara.

Ada seperempat jam mereka lari dan akhirnya mereka muncul keluar dari sebuah goa yang tertutup rapat oleh alang-alang di sebuah hutan kecil! Setelah melompat ke luar, barulah Liu Hwee melepaskan tangan Bu Sin dan... ia menjatuhkan diri ke atas rumput sambil menangis, menutupi mukanya dengan kedua tangan, terisak-isak dan pundaknya bergoyang-goyang!

Kagetlah Bu Sin. Cepat ia berlutut di dekat Liu Hwee, “Moi-moi, ada apakah? Mengapa kau menangis?”

Dengan megap-megap gadis itu berkata di antara sedu-sedan, “Aku malu... aku malu setengah mati....”

Perlahan Bu Sin bangkit berdiri. “Memang kurang ajar dia! Menghinamu sesuka hatinya. Biar kuhajar dia, Moi-moi!” Cepat Bu Sin melompat memasuki goa itu.

“Sin-koko, jangan...!” Liu Hwee kaget, berteriak dan melompat bangun.

Akan tetapi ia terlambat mencegah. Tiba-tiba terdengar suara gaduh, tubuh Bu Sin melayang ke luar dari dalam goa. Jatuh berdebuk di depan kaki Liu Hwee bersama pedang rampasannya yang kini sudah patah menjadi tiga potong!

“Hi-hi-hik, sedikitnya kekasihmu bernyali juga. Selamat, Siauw-moi!” suara ini halus sekali, sekejap tecium bau harum akan tetapi segera lenyap lagi.

“Sin-ko...” Liu Hwee berlutut dan merangkul pundak Bu Sin yang merintih perlahan, “Cici! Kalau kau bunuh dia, aku akan mengadu nyawa denganmu!” teriaknya nyaring, akan tetapi tidak ada jawaban kecuali rintihan Bu Sin.

Tak lama kemudian pemuda itu membuka mata dan Liu Hwee merasa lega ketika memeriksa ternyata pemuda itu tidak terluka berat, hanya pingsan karena terbanting keras. Bu Sin membuka mata, melihat betapa Liu Hwee merangkulnya, pipinya menjadi merah sekali dan cepat ia bangkit.

“Waaahhhhh... bukan main... aku menusuknya, pedangku malah patah-patah dan sekali ia mendorong aku terlempar melayang ke luar goa dan tidak ingat apa-apa lagi. Sakti luar biasa dia. Siapakah dia itu Moi-moi? Kau menyebutnya Cici...,” tiba-tiba Bu Sin berhenti bicara dan mukanya pucat. “Dia kau sebut Cici... kalau begitu... dia itu....” Ia tidak melanjutkan kata-katanya, akan tetapi pandang matanya bicara banyak dan dapat dimengerti oleh Liu Hwee yang mengangguk-angguk.

“Betul. Sin-koko, dia adalah Enci Liu Sian ibu kakakmu Bu Song....”

“Dia Tok-siauw-kui (Setan Racun Cilik)... ibu tiriku....”

“Sssttttt, sudahlah. Aku pesan padamu, pertemuan ini tidak sekali-kali boleh kau ceritakan kepada siapa pun juga. Ingat, sekali kau melanggar, nyawa kita berdua sukar diselamatkan lagi. Mari kita pergi ke kota raja. Entah apa yang terjadi di sana!”
********************
Memang banyak hal luar biasa terjadi di kota raja Nan-cao. Pesta yang dirayakan selama tiga hari itu ternyata diisi dengan kejadian hebat dan seakan-akan pesta perayaan Beng-kauw itu menjadi pusat pertentangan dan adu ilmu.

Apa lagi dengan munculnya bahaya baru yang mengancam ketenangan pesta itu, yaitu Lin Lin. Gadis ini sekarang telah berubah menjadi seorang Puteri Kerajaan Khitan yang berpengaruh dan ditaati perintahnya oleh orang-orang pandai. Dan menurutkan wataknya yang aneh di samping kecerdikannya mencari alasan agar ia jangan dibawa secara paksa ke Khitan, Lin Lin bisa menjadi seorang gadis yang akan menimbulkan geger di Nan-cao!

Telah dituturkan di bagian depan betapa Lin Lin dengan Pedang Besi Kuning telah berhasil menundukkan Pak-sin-tung si kakek buntung yang lihai, sute dari Hek-giam-lo. Dara cerdik itu kini bersama Pak-sin-tung kembali ke dalam kota raja, diiringkan dua puluh empat orang-orang pilihan dari Khitan secara sembunyi. Hari sudah mulai gelap ketika ia memasuki kota dan ia tidak membuang waktu lagi, terus mengajak Pak-sin-tung mencari tempat kediaman Suma Boan. Cepat sekali tempat ini dapat dicari atas bantuan kedua puluh empat orang yang dapat bekerja cepat itu.

Pada saat itu, Suma Boan sedang berada di dalam kamar pondoknya, pondok darurat yang cukup mewah. Sebagai seorang putera pangeran, apa lagi seorang putera pangeran Kerajaan Sung, pemuda ini mendapatkan tempat terhormat dan sebuah pondok berkamar satu untuk dirinya sendiri. Ia masih merasa mendongkol karena siang tadi ia telah dibikin malu oleh Gan-lopek. Awas kakek gila itu, pikirnya, berani membikin malu kepadanya di depan tuan rumah dan para tamu. Besok diadakan upacara sembahyang mendiang ketua Beng-kauwcu, dia akan mencari akal untuk membalas penghinaan itu. Sampai sekarang, semua rencananya berjalan dengan baik.

Biar pun ia seorang pemuda bangsawan, akan tetapi tidak seperti putera-putera bangsawan lain, Suma Boan tak pernah diikuti oleh pelayan-pelayan atau pengawal-pengawal. Hal ini adalah karena biar pun seorang bangsawan, dia adalah seorang pemuda ahli silat yang sering kali merantau di dunia kang-ouw, malah boleh dibilang seorang tokoh kang-ouw yang berilmu tinggi, maka ia tidak suka akan segala ikatan dan pelayanan orang-orang lemah. Kali ini pun ia berada di pondok seorang diri, sama sekali tidak ada penjagaan di sekeliling pondoknya.

Ia mempunyai banyak pembantu dan kaki tangan, akan tetapi pada saat itu mereka semua telah pergi menjalankan tugas masing-masing atas perintah Suma-kongcu.

“Tok-tok-tok...!”

“Siapa...?” tanya Suma Boan, terkejut dan heran karena semua anak buahnya tidak akan berani mengetuk pintu depan seperti itu.

“Suma-kongcu, aku datang mau bicara penting!” terdengar suara halus seorang wanita.

Suma-kongcu adalah seorang pemuda mata keranjang dan dalam keadaan biasa suara panggilan seorang wanita yang demikian merdu dan halus tentu akan mendebarkan jantungnya serta menimbulkan gairahnya. Akan tetapi di samping kelemahannya ini, ia pun seorang yang amat cerdik. Ia maklum bahwa pada saat itu dan di tempat itu banyak terdapat musuh berkumpul di Nan-cao, maka ia selalu siap waspada dan curiga.

“Siapa di luar? Aku tidak bisa menemui orang yang tidak kukenal,” jawabnya dan diam-diam ia telah menyiapkan diri untuk menghadapi segala kemungkinan.

“Suma-kongcu, aku... Lin Lin, aku datang membawa pesan enci-ku Sian Eng!” Dari enci-nya, Lin Lin mendengar bahwa Suma-kongcu dapat mencarikan kakaknya, Kam Bu Song, maka sengaja sekarang Lin Lin menggunakan nama enci-nya itu yang ia duga mempunyai hubungan yang lebih baik dengan kongcu ini dari pada dia.

Benar saja dugaan Lin Lin, mendengar disebutnya nama Sian Eng, hilang keraguan Suma Boan, apa lagi ia sekarang mengenal suara Lin Lin gadis galak itu. Biar pun yang sudah-sudah gadis ini memusuhinya, namun ia tidak takut kalau hanya menghadapi gadis cantik itu.

“Wah, mungkin nasib baik menghampiriku, ada nona manis yang hendak mengusir kesunyianku malam ini,” pikirnya sambil tersenyum, lalu membuka pintu.

Benar saja, gadis jelita itu berdiri di depan pondok. Biar pun keadaan remang-remang, Suma Boan masih dapat mengenal Lin Lin. Akan tetapi di belakang gadis itu tampak seorang kakek yang berdiri di atas sepasang tongkat, seorang kakek yang buntung kedua belah kakinya! Ia tidak mengenal kakek ini, akan tetapi kehadirannya mendatangkan rasa kecewa.

“Silakan masuk, Nona,” katanya menahan rasa kecewanya.

Lin Lin tersenyum dan menoleh kepada Pak-sin-tung. “Mari kita masuk, tuan rumah mengundang kita.”

“Maaf, Nona.” kata Suma Boan cepat. “Aku tidak mengenal kakek itu. Siapakah dia?”

“Dia? Dia pengawalku,” jawab Lin Lin bangga.

“Ah, aku hanya mengundang Nona, bukan dia. Eh, aku... ngeri melihat kakinya. Silakan kau masuk, Nona.”

Lin Lin sudah timbul marahnya, akan tetapi ia menindas perasaannya dan melangkah masuk. Setelah duduk Lin Lin melihat betapa kongcu itu memandangnya dengan mata berminyak. Cepat-cepat ia berkata, “Suma-kongcu, kedatanganku ini untuk bertanya kepadamu, di mana adanya Kakak Kam Bu Song seperti yang kau janjikan kepada Enci Sian Eng?”

Dengan pandang mata yang penuh gairah dan kagum kepada wajah jelita dan tubuh padat ramping itu, Suma Boan tersenyum-senyum lalu bertanya, “Siapa yang mengutusmu ke sini?”

“Enci Sian Eng.”

Suma Boan mempermainkan matanya, melirik ke kanan kiri dengan menjual mahal! Ia cukup maklum betapa Sian Eng jatuh hati kepadanya, biar pun gadis itu tetap mempertahankan diri dan tidak sudi melayani kehendaknya yang tidak patut. “Kalau dia ingin bertanya, kenapa tidak datang sendiri? Suruh ia datang sendiri ke sini baru aku mau bicara.”

“Dia tidak mau datang, dia menyuruh aku mewakilinya,” kata Lin Lin, menahan hatinya yang makin marah.

Senyum Suma Boan melebar, matanya berkedip-kedip penuh arti. “Betulkah begitu? Ahai, adik manis, kau betul-betul mau mewakilinya? Kalau dia datang, aku minta dia bermalam di sini semalam baru besok kuberi tahu tentang Kam Bu Song, apakah kau mau mewakili enci-mu tidur di sini semalam bersamaku...?”

Suma Boan cepat melompat ke belakang ketika meja yang berdiri di antara dia dan Lin Lin tiba-tiba melayang ke arahnya karena ditendang oleh Lin Lin. Gadis ini tidak dapat menahan kemarahannya lagi dan pedangnya sudah berada di tangan, kedua pipinya merah, matanya bersinar-sinar.

“Wahai, jangan marah, Nona manis. Bukan aku yang menyuruh kau datang ke sini, melainkan atas kehendakmu sendiri, bukan?” Akan tetapi kembali Suma Boan harus cepat mengelak karena kini sinar emas dari pedang di tangan Lin Lin sudah menerjangnya dengan hebat.

“Agaknya harus kurobek-robek kulit tubuhmu dengan pedang, baru kau mau bicara baik-baik!” bentak Lin Lin dan terus melanjutkan serangannya.

Namun biar pun Lin Lin berpedang mustika dan mainkan ilmu pedang yang didasari gerak dan tenaga sakti Khong-in-ban-kin, namun tingkat ilmu kepandaian Suma Boan masih lebih tinggi dari padanya, juga latihan pemuda bangsawan ini lebih masak. Biar pun ia bertangan kosong, namun pukulan-pukulan balasan Suma Boan mendatangkan angin pukulan yang kuat, membuat Lin Lin beberapa kali berputar-putar untuk menghindarinya.

Pada saat itu tampak sinar hitam yang panjang berkelebat menerjang ke arah leher Suma Boan, disusul sinar hitam mengurung pinggangnya. Pemuda ini kaget sekali, cepat ia menggunakan le­ngan baju menangkis.

“Plak-plak!” Ia terhuyung dan ujung lengan bajunya pecah-pecah! Ketika ia melompat ke belakang sambil berjungkir balik, kiranya yang menerjangnya adalah kakek yang buntung kedua kakinya tadi. Gentarlah hati Suma Boan. Ia tidak mengenal kakek ini dan tadi ia memandang rendah mendengar kakek ini pengawal Lin Lin. Kiranya kakek buntung ini memiliki ilmu yang dahsyat!

Pedang di tangan Lin Lin tidak memberi ampun, mendesaknya hebat. Suma Boan mencari kesempatan untuk melompat ke luar dari pondok dan memanggil teman-temannya, akan tetapi agaknya kakek buntung itu selain lihai ilmunya, juga amat cerdik. Sepasang tongkat pengganti kaki itu kiranya dimainkan seperti sepasang toya yang menghalangi jalan ke luar. Ketika pedang bersinar emas itu menusuk dadanya, Suma Boan cepat miringkan tubuh dan bermaksud merampas pedang, akan tetapi tiba-tiba pundaknya kena dihantam tongkat si buntung. Keras sekali pukulan ini sehingga kulit daging pundaknya pecah dan mengeluarkan darah. Suma Boan terhuyung-huyung, masih berhasil mengelak dari sambaran pedang Lin Lin, akan tetapi totokan ujung tongkat membuatnya roboh, tak dapat menggerakkan kaki tangan lagi.

Lin Lin segera menodongkan pedangnya ke depan dada Suma Boan. “Hayo lekas mengaku di mana adanya Kakak Bu Song, kalau kau mau hidup!”

Suma Boan tersenyum mengejek. Keringat membasahi dahinya, darah dipundaknya membasahi bajunya, akan tetapi ia tidak kelihatan gentar. “Nona manis, mati di tanganmu amatlah menyenangkan. Biar kau membunuhku, aku Suma Boan bukanlah manusia yang tunduk akan ancaman maut. Aku hanya mau bicara dalam keadaan yang lebih baik dan manis, atau kalau enci-mu sendiri datang ke sini.”

Bukan main gemasnya hati Lin Lin. Ia memang benci kepada laki-laki ini, apa lagi bicaranya begitu kurang ajar. “Kalau begitu kau mampus saja....”

“Tok-tok-tok...!” Lin Lin kaget dan cepat melangkah mundur, memberi tanda supaya Pak-sin-tung siap.

Suma Boan tersenyum lebar. Lucu benar keadaannya, siapa pula tamu yang datang kali ini? “Siapa di luar?” tanyanya tanpa niat minta tolong, karena maklum bahwa orang datang mengetuk pintu seperti itu pasti bukan teman atau anak buahnya.

“Aku...! Suma-kongcu, keluarlah aku mau bicara...!”

Berubah wajah Lin Lin. Itulah suara Sian Eng, enci-nya! Cepat ia memberi tanda kepada Pak-sin-tung dan kakek buntung ini segera mengikuti Lin Lin, menyelinap ke bagian belakang rumah untuk bersembunyi.

“Ha, kebetulan sekali, Eng-moi. Kau masuklah, aku... aku tak dapat bergerak....”

Hening sejenak di luar. Kemudian terdengar daun pintu dibuka dari luar. Sian Eng muncul, kelihatan ragu-ragu, curiga, juga cemas. Ketika pandang matanya melayang ke arah Suma Boan yang menggeletak terlentang di atas lantai, bajunya mandi darah, ia berseru kaget. Sejenak ia ragu-ragu, kemudian ia lari dan berlutut dekat Suma Boan.

“Suma... Koko! Kau kenapakah? Kau terluka... parah...?”

Suma Boan tersenyum dan napasnya makin terengah-engah disengaja, mulutnya merintih-rintih menahan sakit. “Aku diserang penjahat, Eng-moi, tolong kau­ bebaskan totokan pada jalan darah thian-hu-hiat....”

Sian Eng membungkuk, lalu membuka jalan darah itu dengan totokan dan tekanan. Akhirnya Suma Boan dapat bergerak, bangkit duduk dan mengeluh lagi, mengaduh-aduh sambil memegangi pundak kirinya yang terluka.

“Bagaimana? Sakit sekalikah? Biar kuperiksa, harus segera dibalut...,” kata Sian Eng yang timbul kasih dan ibanya menyaksikan orang yang dikasihinya itu menderita luka.

Dengan bantuan Sian Eng, Suma Boan berdiri dan jalan terhuyung-huyung ke arah bangku. Matanya mencari-cari dan mulutnya tersenyum ketika mendapat kenyataan bahwa Lin Lin dan kakek buntung sudah tidak berada di situ lagi. Dengan sikap manja ia merintih-rintih, membuat hati Sian Eng makin tak tega. Gadis ini lalu mencuci luka dan membalutnya.

“Penjahat siapakah yang melukaimu, Koko? Dan kenapa?”

“Tidak tahu, aku tidak mengenalnya. Kebetulan kau datang, Eng-moi. Kau baik sekali, tapi... tapi kenapa malam hari dahulu itu kau lari dariku? Kenapa, Eng­moi? Apakah kau tidak dapat memaafkan kesalahanku? Aku menyesal Eng-moi, dan aku siap mohon maaf kepadamu....” Setelah berkata demikian, Suma Boan menjatuhkan diri berlutut di depan gadis itu!

Sian Eng terisak menangis, mengangkat bangun Suma Boan. “Sudahlah, aku datang ini sebetulnya hendak bertanya kepadamu di mana aku bisa bertemu dengan Kakak Kam Bu Song. Kau bilang dia pasti berada di sini. Ketika tadi aku melihatmu, aku menjadi bingung dan ingin sekali aku menemuimu untuk menanyakan hal ini....”

Suma Boan mengerutkan keningnya. “Eng-moi, apakah kau pernah menyuruh adikmu Lin Lin menanyakan hal ini kepadaku?”

Sian Eng menggeleng kepala. “Tidak pernah. Malah aku sendiri tidak tahu ke mana perginya anak itu, sampai sekarang aku tidak melihat dia. Aku khawatir sekali, adikku itu biar pun anak perempuan akan tetapi suka berandalan dan terlalu berani!”

Suma Boan mengangguk-angguk. “Aku percaya... dia... dia gadis yang aneh dan gagah. Eng-moi, terus terang saja, Kam Bu Song adalah bekas sahabatku, dan kekasih adik perempuanku seperti pernah kuceritakan kepadamu. Akan tetapi semenjak... semenjak ia menghilang, aku tidak pernah bertemu dengan dia lagi. Aku hanya mempunyai dugaan keras bahwa dia tentu berada di Nan-cao, karena aku mendengar bahwa dia masih mempunyai hubungan dengan Beng-kauw. Kalau saja kau mau bertanya kepada orang Beng-kauw, kiraku akan dapat membuka rahasianya.”

Sian Eng mengangguk. “Aku pun pikir begitu. Aku pun mengerti bahwa ibu tiriku, ibu kandung Kakak Bu Song adalah Tok-siauw-kwi Liu Sian, puteri mendiang Pat-jiu Sin-ong Liu Gan ketua Beng-kauw yang diperingati hari kematiannya sekarang....”

“Apa...?” Suma Boan melompat kaget dari tempat duduknya. “Kalau begitu... dia... dia... Suling Emas! Sudah kuduga, ada persamaan... tapi Suling Emas jarang memperlihatkan diri lama-lama dan... dan Bu Song seorang lemah sebaliknya Suling Emas demikian sakti...!”

Sian Eng menjadi pucat mukanya. Ia pun berdiri dan melongo. “Suling Emas...? Kakakku... Kam Bu Song... Suling Emas...?” bibirnya menyerukan kata-kata ini berkali-kali seakan-akan ia tidak mau percaya, akan tetapi sekarang terbayanglah semua peristiwa ketika Suling Emas menolongnya, terulang kembali gema kata-kata pendekar itu dan maklumlah bahwa dia adalah adik tirinya! Pantas saja Suling Emas selalu menolong adik-adiknya secara diam-diam. Namun ia masih belum percaya benar.

“Suma-koko, bagaimana kau menduga bahwa Kakak Bu Song adalah Suling Emas?”

Suma Boan dengan gerakan halus dan sopan memegang tangan Sian Eng, ditariknya ke dekat meja. “Adikku, mari kita duduk dan bicara baik-baik. Aku tidak ragu-ragu lagi sekarang. Pasti Suling Emas itulah penjelmaan dari Bu Song. Hanya beberapa kali aku melihat Suling Emas, itu pun hanya sekelebatan saja, akan tetapi bentuk tubuhnya dan wajahnya, sudah kuduga. Akan tetapi mana aku bisa percaya? Bu Song seorang pelajar yang lemah, sama sekali tidak tahu ilmu silat, sedangkan Suling Emas...! Akan tetapi setelah mendengar darimu bahwa kakakmu Bu Song itu putera dari puteri mendiang Pat-jiu Sin-ong, keraguanku lenyap karena cucu tunggal dari mendiang Pat-jiu Sin-ong adalah... Suling Emas! Kalau begitu, tidak bisa lain, Bu Song adalah Suling Emas sendiri!”

“Wah... dan kami telah menyangka sebagai pembunuh ayah bundaku!”

“Memang dia orang aneh, bisa melakukan apa saja. Sudahlah, Eng-moi, mari kita bicara tentang diri kita....”

Sian Eng mengangkat muka, memandang tajam penuh selidik. “Bicara tentang diri kita? Apa yang hendak kau bicarakan?” Kedua pipinya mendadak berubah merah.

Suma Boan memegang tangannya, karena caranya sopan dan halus, Sian Eng tidak menarik lepas, hanya menundukkan muka dengan jantung berdebar.

“Moi-moi, kita saling mencinta... tapi aku... aku yang canggung ini takut kalau-kalau kau marah lagi. Moi-moi, apakah yang harus kulakukan untuk menyatakan cinta kasihku, dan bagaimana kau dapat selalu berada di sampingku?”

Tubuh Sian Eng panas dingin, tangannya gemetar, lalu perlahan ia berkata, “Aku adalah seorang gadis terhormat, tentu saja aku hanya menghendaki penghormatan selayaknya. Aku tidak mau dipermainkan, dan... dan kalau memang kau suka kepadaku, Koko, kuharap kau suka dengan resmi meminangku. Karena ayah bundaku sudah meninggal, maka kau bisa kirim utusan meminangku kepada bibi guruku Kui Lan Nikouw di Kwan-im-bio yang berada di lereng puncak Cin-ling-san,” suara Sian Eng makin lirih, agaknya ia bicara dengan malu-malu.

Di luar pondok makin gelap, dan dari luar hanya bisik-bisik saja yang terdengar, bisik-bisik mesra sepasang orang muda yang sedang diayun gelombang asmara.


********************


“Tuanku puteri, mengapa kita harus lari? Gadis yang masuk itu seorang biasa saja, tak usah kita takut, kalau perlu dia boleh hamba robohkan sekali!” Pak-sin-tung memprotes ketika Lin Lin mengajaknya lari pergi meninggalkan pondok Suma Boan setelah ia mendengar munculnya Sian Eng. Akan tetapi Lin Lin menggelengkan kepala dan terus lari sehingga terpaksa kakek buntung itu mengikutinya sambil bersungut-sungut. Akhirnya Lin Lin berhenti di tempat sunyi dan kembali Pak-sin-tung memprotes.

“Tuanku puteri, belum pernah hamba Pak-sin-tung melarikan diri seperti ini! Gadis itu tidak lebih pandai dari pada Suma-kongcu, ia hanya seorang di antara banyak kekasih kongcu hidung belang itu takut apa?”

“Diam kau!” Lin Lin membentak, betul-betul marah karena hatinya sudah mengkal menyaksikan peristiwa yang tidak ia duga-duga, yaitu bahwa cicinya itu ternyata bermain cinta dengan Suma Boan, hal yang benar-benar tak tersangka dan mendatangkan perasaan mendongkol. Ucapan kakek buntung itu menambah kemarahannya. “Aku bukannya takut kepada gadis itu, aku... aku... hanya mengubah niatku. Sekarang kita mencari Suling Emas!”

Pak-sin-tung kini kelihatan ragu-ragu. “Tuan Puteri... hal ini... hamba rasa kita membutuhkan bantuan Suheng Hek-giam-lo....”

Diam-diam Lin Lin tertawa di dalam hatinya melihat kakek buntung yang lihai ini ketakutan. Memang ia sengaja hendak mencari Suling Emas, tentu saja bukan untuk menawannya, melainkan untuk mencegah orang-orang Khitan ini memaksanya ke Khitan. Kalau sudah bertemu dengan Suling Emas, ia akan minta tolong pendekar itu membantunya melawan orang-orang Khitan yang berani memaksanya pergi! Akan tetapi pada lahirnya ia pura-pura marah dan membanting kaki.

“Pak-sin-tung! Belum apa-apa kau sudah dua kali membantah kehendakku! Kelak di Khitan kalau kulaporkan kebandelanmu ini kepada Paman Kubukan, hemmm... ingin kulihat ke mana kau hendak menyembunyikan kepalamu?!”

Wajah kakek buntung itu menjadi pucat. “Maaf, Tuan Puteri... bukan maksud hamba membangkang...”

“Cukup! Kau takut kepada Suling Emas, ya? Huh, jago macam apa ini! Jago Khitan tidak takut terhadap siapa pun juga. Kalau kau takut, aku tidak takut! Hayo, kau mau bantu atau tidak?”

“Baiklah, Tuan Puteri, baiklah...!” Si buntung kaki ini mengeluarkan bunyi melengking di kerongkongannya dan dari tempat gelap bermunculan dua puluh empat orang pembantunya. Ia memberi tugas dalam bahasa Khitan yang tidak dimengerti Lin Lin. Beberapa menit kemudian dua puluh empat orang itu lenyap lagi seperti bayangan-bayangan setan di dalam gelap.

“Hamba telah siap,” kata si buntung.

“Mari kita mencarinya. Kulihat tadi dia duduk dekat ketua Beng-kauw, agaknya ada hubungan baik sekali, maka malam ini kiranya dia pun akan ikut berjaga di ruangan sembahyang untuk persiapan upacara besok pagi. Mari kita mencari ke sana.”

Ruangan sembahyang itu amat lebar dan berada di ujung kiri yang sunyi dan jauh dari tempat pemondokan para tamu. Anehnya, di tengah-tengah ruangan itu terdapat sebuah peti mati yang besar dan panjang. Apakah jenazah Pat-jiu Sin-ong masih berada di dalam peti mati itu? Memang betul demikianlah. Menurut kehendak Pat-jiu Sin-ong sendiri ketika mau mati, ia minta agar supaya jenazahnya dimasukkan di dalam peti mati yang berlapis baja di sebelah dalam dan yang rapat sekali, kemudian petinya supaya dimasukkan ke dalam kamar semedhinya. Sebelum sepuluh tahun petinya tidak boleh dikubur!

Permintaan yang amat aneh, akan tetapi karena Pat-jiu Sin-ong sewaktu hidupnya memang amat aneh lagi sakti, tidak ada yang berani membantah permintaannya. Demikianlah, tiap setahun sekali peti mati yang besar dan berat itu diangkat ke ruangan sembahyang untuk disembahyangi dan kali ini, tiga tahun kemudian bertepatan dengan hari ulang tahun Beng-kauw, peti mati itu disembahyangi secara besar-besaran.

Ketika mengintai dari jauh dan melihat betapa di ruangan itu duduk banyak tokoh pandai, di antaranya ketua Beng-kauw sendiri dan Suling Emas, Pak-sin-tung menjadi pucat dan jelas sekali ia kelihatan gelisah. “Dia di sana, akan tetapi harap Paduka sabar dan menunggu kesempatan. Terlalu banyak orang lihai di ruangan itu.”

Lin Lin merengut. “Ah, kalau tahu kau tidak becus seperti ini, tentu aku lebih suka mengajak Hek-giam-lo... eh, tongkatnya masih ada. Celaka, Hek-giam-lo rupa-rupanya juga belum berhasil. Benar-benar memalukan sekali jagoan-jagoan Khitan! Pak-sin-tung, kau tunggu saja di sini, biar aku menyelundup ke dalam melalui bangunan belakang. Kau lihat dan biar mereka melihat bahwa puteri Khitan lebih berani dari pada jago-jago Khitan! Kalau kalian yang memalukan nama besar Khitan, akulah yang akan mengangkatnya!”

“Tuan Puteri... ini berbahaya...!” Pak-sin-tung hendak mencegah akan tetapi Lin Lin sudah mencabut Pedang Besi Kuning dan mengacungkannya ke atas.

Terpaksa Pak-sin-tung melangkah mundur dengan sikap menghormat, dan ketika ia mengangkat muka memandang, gadis itu sudah menyelinap di antara bangunan di belakang ruangan sembahyang, lalu lenyap di sebuah bagian yang kecil.

“Celaka... dia memasuki bagian terlarang... kabarnya di situ tersimpan peti-peti mati keluarga kaisar dan ketua Beng-kauw, juga pusaka-pusaka Beng-kauw...!” Pak-sin-tung berdiri dengan muka pucat, bingung tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Maka ia hanya bersembunyi dan mengintai ke arah ruang sembahyang, ke arah Suling Emas dengan tekad di hati kalau muncul puteri junjungannya itu, apa pun yang terjadi, ia akan membantunya sampai titik darah penghabisan!

Dengan hati tabah Lin Lin menyelinap masuk ke dalam sebuah pintu yang tak berdaun pintu, lagi amat gelap. Ia tidak melihat betapa di kanan kiri pintu itu terdapat tempat hio yang terisi hio (dupa) masih mengebulkan asap, dan tidak melihat pula betapa di atas lantai di ambang pintu dan di atas pintu itu terdapat tulisan-tulisan yang melarang siapa pun juga memasuki pintu ini dengan ancaman hukuman mati!

Sebetulnya, tentu saja bukan sekali-kali maksud hati Lin Lin untuk mengacau dan menangkap Suling Emas, walau pun di lubuk hatinya ada pula keinginan ini, yaitu untuk melihat Suling Emas menjadi tawanannya dan dia sebagai Puteri Khitan. Namun sekarang hal itu ia jadikan siasat untuk membebaskan diri dari pada pengawasan Pak-sin-tung dan ia tahu, menghadapi orang-orang sakti dari Khitan, hanya Suling Emas yang akan mampu menolongnya. Maka begitu melihat bahwa Suling Emas duduk di antara orang-orang sakti di ruangan sembahyang ia berlaku nekat, pura-pura hendak menyerbu dan menyelinap masuk ke pintu kecil yang gelap itu.

Kita tinggalkan dulu Lin Lin yang memasuki tempat terlarang tanpa ia sadari dan kita meninjau ke tempat para tamu karena di sana pun terjadi hal-hal yang amat hebat. Peristiwa yang menggemparkan terjadi di tempat kediaman para utusan Kerajaan Hou-han. Mereka ini adalah tokoh-tokoh Kerajaan Hou-han, terdiri dari tiga orang panglima perang bernama Lu Bin, Giam Siong, dan Gak Houw.

Seperti kita ketahui, secara tidak resmi, Siang-mou Sin-ni juga mengawal barang sumbangan Kerajaan Hou-han yang berupa sebuah kendaraan emas! Resminya, ketiga panglima ini berikut belasan orang anak buahnya yang mengawal, akan tetapi sebetulnya Siang-mou Sin-ni yang bertanggung jawab dan yang diandalkan oleh tiga orang panglima ini. Tentu saja tiga orang panglima ini pun bukan orang-orang sembarangan. Ilmu kepandaian mereka tinggi dan mereka merupakan orang-orang pilihan di Hou-han.

Malam hari itu, tiga orang panglima yang menjadi utusan Hou-han itu sedang menghadapi meja, menjamu makan pada orang lain yang mukanya seperti monyet, dahinya lebar dan sikapnya gagah serta lincah. Rombongan Hou-han mendapatkan tempat tersendiri, sebuah bangunan yang cukup besar karena mereka terdiri dari belasan orang. Tentu saja Siang-mou Sin-ni berada di tempat terpisah, tempat ‘terhormat’.

“Sam-wi (Tuan Bertiga) boleh rundingkan hal ini dengan Sin-ni,” terdengar suara si muka monyet itu berkata sambil minum araknya. “Jalan satu-satunya untuk menggerakkan hati para tokoh Nan-cao hanya dengan cara itulah. Kalau diminta bersekutu secara baik-baik, takkan mungkin berhasil. Siauwte (aku yang muda) tahu betapa keras hati Beng-kauwcu, tidak goyah oleh sodoran emas permata mau pun kedudukan mulia. Satu-satunya jalan hanya membakar kayu basah agar menjadi kering dan dapat termakan api.” Kalimat terakhir ini berarti membakar hati seseorang yang sukar ditundukkan agar orang itu menjadi marah dan mengubah pendiriannya yang kukuh.

“Akan tetapi menurut Sin-ni, Raja Nan-cao lebih mudah dibawa berunding,” bantah Gak Houw yang paling muda di antara tiga panglima itu. “Rasanya tidak enak kalau kita harus mengambil jalan fitnah. Kami orang-orang dari Hou-han tidak biasa melakukan hal-hal yang tidak sewajarnya.”

“Ucapan Gak-enghiong memang patut diperhatikan,” jawab si muka monyet, “akan tetapi hendaknya maklum bahwa siauwte berdua dengan suheng menerima anjuran ini sendiri dari Sri Baginda di Nan-cao. Harap Sam-wi ketahui bahwa biar pun Sri Baginda yang menjadi raja di sini, namun kekuasaan mutlak berada di tangan Beng-kauwcu dan ketahuilah bahwa watak Beng-kauwcu amat keras dan percaya akan kekuatan sendiri, tidak suka bersekutu dengan kerajaan mana pun, tidak berniat memusuhi kerajaan mana juga, akan tetapi juga tidak takut menghadapi musuh dari mana pun.”

Gak Houw mengangguk-angguk dan Lu Bin mengelus jenggotnya yang pendek sambil berkata. “Saudara Su Ban Ki betul, biarlah hal ini akan kami sampaikan kepada Sin-ni. Agar jelas usul saudara saya ulangi, yaitu kita harus membakar hati Beng-kauwcu dengan melakukan pengrusakan kepada kendaraan emas sumbangan kami, kemudian mencuri bagian penting kendaraan itu yang harus dapat kita selundupkan ke dalam pondok penginapan orang-orang Sung. Akan tetapi, apakah hal ini dapat dilakukan dengan mudah?”

“Sukar bagi orang luar, akan tetapi tidak bagi kami,” jawab si muka monyet yang bernama Su Ban Ki. “Suhengku Ciu Kang sekarang pun sedang bertugas menjaga barang-barang sumbangan, mudah saja baginya untuk....”

“Braaakkkk!” tiba-tiba terdengar suara genteng di atas rumah itu pecah-pecah dan dari atas menerobos turun sebuah benda hitam besar.

Mereka berempat kaget sekali, apa lagi setelah menyaksikan betapa jebolnya genteng itu disusul meluncurnya benda hitam yang ternyata adalah sebuah peti mati! Tepat sekali peti mati ini jatuh ke atas meja, di bagian tengahnya terikat tambang yang panjang, membuktikan bahwa peti mati ini diturunkan orang dari atas genteng.

“Keparat, siapa berani main gila?!” Cepat sekali Lu Bin, Giam Siong, dan Gak Houw tiga orang jagoan Hou-han itu mencabut pedang sambil melompat ke luar, terus melayang ke atas genteng.

Akan tetapi sunyi di atas genteng tidak tampak bayangan seorang pun manusia. Para anak buah rombongan pengawal dari Hou-han juga sudah berserabutan keluar dan belasan orang ini mencari-cari di sekitar tempat penginapan mereka, namun sia-sia hasilnya, tidak ada seorang pun manusia yang tampak kecuali kawan-kawan mereka sendiri.

Ketiga orang jago Hou-han ini kembali ke dalam ruangan dan mereka melihat Su Ban Ki berdiri dengan muka pucat di dekat meja sambil memandang peti mati itu dengan mata terbelalak. Ketika tiga orang itu masuk, Su Ban Ki memandang mereka, menudingkan telunjuknya ke arah peti mati, mulutnya komat-kamit akan tetapi tidak dapat mengeluarkan suara.

Tiga orang jago Hou-han itu adalah orang-orang gagah sejati. Tentu saja mereka merasa muak juga menyaksikan sikap dan wajah ketakutan ini sehingga pandangan mereka terhadap Su Ban Ki berubah. Heran mereka mengapa Raja Nan-cao menaruh kepercayaan kepada orang yang jiwanya pengecut seperti ini.

“Saudara Su Ban Ki, tenanglah dan ceritakan kepada kami, apa artinya semua ini?” tanya Lu Bin, suaranya kereng.

Su Ban Ki membasahi bibir dengan lidah, mencoba menelan ludah yang kering. “Ini... ini... peti mati... istana... entah apa artinya...” Ia tergagap.

Gak Houw maju ke depan, membuka tambang yang mengikat peti lalu menggunakan kedua lengannya yang kuat membuka tutup peti.

“Krrriittt!” tutup itu berbunyi dan tampaklah isinya. Sesosok tubuh seorang laki-laki sudah menjadi mayat.

“Suheng...!” Su Ban Ki berseru kaget, tubuhnya menggigil, “Celaka... suheng dibunuh... tentu rahasia bocor atau... ah, ini alamat buruk. Selamat tinggal, aku harus segera pergi, lari keluar kota....” Ia menyambar jenazah itu, mengeluarkannya dari dalam peti lalu memanggul jenazah dan lari dengan cepat sekali. Akan tetapi segera terdengar suara jeritannya di luar rumah dan terdengar orang jatuh.

Tiga orang jagoan Hou-han cepat melompat ke luar dan di dalam gelap mereka masih sempat melihat Su Ban Ki roboh terlentang tak bergerak di dekat mayat suhengnya dan yang membuat tiga orang ini melongo adalah ketika mereka melihat sebuah peti mati bergerak-gerak pergi, kadang-kadang bergulingan, kadang-kadang berloncatan. Saking kaget dan ngeri hati, mereka tidak mengejar. Akan tetapi Lu Bin cepat meloncat ke dalam rumah dan melihat bahwa peti mati yang tadi masih menggeletak di atas meja, terbuka dan kosong. Dengan demikian, berarti bahwa peti mati di luar yang ‘hidup’ itu adalah peti mati lain, walau pun bentuk dan modelnya sama, yaitu di bagian kepala terdapat ukir-ukiran kepala siluman seperti naga atau harimau.

Ia cepat melompat ke luar lagi. “Kejar...!” serunya sambil lari cepat diikuti kedua orang sutenya.

Akan tetapi dalam sekejap mata saja peti mati ‘hidup’ itu sudah lenyap! Dengan penuh keheranan dan penasaran, tiga orang jago Hou-han ini kembali dan alangkah kaget dan herannya hati mereka ketika mereka tiba di depan pondok, mereka tidak melihat lagi mayat Su Ban Ki dan suhengnya.

Ketika mereka memasuki rumah, anak buah mereka masih berdiri saling pandang dengan muka pucat, memandang peti mati yang masih terbuka kosong di atas meja!

“Hemmm, apa artinya ini semua?” Gak Houw berseru marah. “Orang sakti mempermainkan kita. Sayang tidak ada Sin-ni, kalau ada jangan harap dia dapat bermain gila seperti ini!”

Lu Bin mengelus jenggotnya. “Betapa pun juga, dia masih merasa sungkan dan tidak mengganggu kita. Siapa lagi yang dapat mengirim mayat dalam peti mati istana kalau bukan orang sini juga? Su Ban Ki dan suhengnya telah dihukum, mungkin dianggap sebagai pengkhianat, lenyapnya mayat mereka menjadi bukti bahwa pembunuhnya tentulah orang Beng-kauw sendiri yang tidak mau melihat anak buah mereka menggeletak di luar. Juga agaknya mereka itu hendak memperingatkan kita.” Memang Lu Bin se­orang yang berpemandangan luas dan sudah berpengalaman dalam dunia kang-ouw yang serba aneh.

“Habis, bagaimana baiknya?” kata Giam Song. “Apakah kita harus melaporkan hal ini kepada Sin-ni?”

“Tidak perlu,” kata Lu Bin. “Kita tidak mempunyai maksud buruk, tugas kita hanya untuk menghubungi Nan-cao dan untuk mengadakan persekutuan guna memperkuat pertahanan bersama. Soal-soal yang busuk tadi datangnya dari pihak Nan-cao sendiri sebagai usul, bukan hasil pemikiran kita. Dan inilah sebabnya kita tidak diganggu. Hebat benar orang sakti itu, dan sudah sepatutnya kita mengucap syukur bahwa kita tidak mempunyai maksud-maksud kotor. Peti mati itu pun harus kita kembalikan.”

“Kembalikan? Ke mana?” Gak Houw berseru kaget.

Lu Bin tertawa. “Datangnya dari atas genteng, tentu saja harus kita kembalikan ke atas genteng pula!” Sambil berkata demikian, ia menghampiri meja, mengempit peti mati itu dengan lengan kiri, membawanya ke luar kemudian sekali menggerakkan tangan, peti mati itu melayang naik ke atas genteng, jatuh di atas genteng tanpa membikin pecah genteng dan terletak di situ seperti diletakkan perlahan-lahan oleh tangan yang amat hati-hati. Ini membuktikan betapa lweekang dari orang she Lu ini sudah cukup kuat.

Lu Bin lalu mengajak teman­temannya masuk ke dalam pondok dan memesan anak buahnya agar supaya jangan lengah, biar pun berada di dalam kamar masing-masing agar supaya malam itu jangan tidur, melainkan berjaga-jaga.

Tidak hanya di tempat penginapan orang-orang Hou-han yang terjadi peristiwa aneh. Juga di tempat lain terjadi keributan. Pada keesokan harinya, di ruangan tempat kediaman para utusan Kerajaan Sung, juga terjadi hal yang bikin geger. Pada waktu itu, rombongan utusan Kerajaan Sung Utara sedang sarapan. Di kepala meja duduklah ketua rombongan, yaitu wakil Kerajaan Sung, seorang panglima tua bernama Ouwyang Swan yang pada saat itu mengenakan pakaian biasa. Ia semeja dengan tiga orang panglima lain yang lebih muda. Tentu saja dalam percakapan mereka bicara tentang peristiwa dalam perjamuan kemarin, dan membicarakan Gan-lopek dan Suma Boan. Mereka tertawa-tawa geli. Sebagian besar panglima yang setia kepada Kerajaan Sung, tidak senang belaka kepada Suma Boan, putera dari Pangeran Suma yang korup.

Tiba-tiba terdengar suara gaduh di luar dan ketika mereka menengok, dengan heran mereka melihat seorang kakek tua yang telanjang bulat memegangi sehelai kain berlari-lari ke arah mereka sambil berteriak-teriak.

“Waduhhh... walaaahhh... ular... hiiiii... ular, ular...!”

Sambil berteriak-teriak dengan mata terbelalak ketakutan, kakek itu berlari memasuki ruangan dan terus saja meloncat ke atas meja di depan Panglima Ouwyang Swan, kakinya yang juga telanjang itu menginjak-injak hidangan dan menendang cawan-cawan arak sehingga hidangan dan minuman itu hancur berhamburan dan tumpah semua. Ia terus berloncat-loncatan dari meja ke meja dan menghancurkan semua hidangan.

Tentu saja para panglima dan rombongan Sung menjadi kaget, heran, dan juga marah sekali. Apa lagi ketika mereka melihat seorang kakek lain yang muncul dengan seekor ular besar membelit-belit tubuhnya, kakek yang bukan lain adalah Tok-sim Lo-tong, seorang di antara keenam Thian-te Liok-koai, kakek yang hanya bercawat saja dan tubuhnya tinggi kurus kering seperti tiang lampu! Melihat munculnya iblis ini, barulah panglima Ouwyang Swan teringat dan kini ia memandang kepada kakek pendek telanjang bulat yang masih menari-nari di atas meja, menginjak-injak semua hidangan sambil berteriak, “Ular... ular!”.

Kini ia mengenal kakek telanjang itu, bukan lain adalah Gan-lopek si kakek badut yang sakti dan yang sejak pagi tadi menjadi bahan percakapan mereka.

Kagetlah hati Ouwyang Swan. Pagi-pagi muncul dua orang sakti dalam keadaan begitu aneh, benar-benar hal yang luar biasa sekali. Para anak buahnya banyak yang marah sekali, akan tetapi sebagai anak buah yang taat, mereka belum berani bergerak sebelum mendapat komando dari Ouwyang Swan sendiri.

“Tikus busuk she Gan, jangan lari, hayo ke sini lawan aku!” suara kecil dan berbunyi ngik-ngik seperti orang sakit napas itu menantang.

“Memang aku tikus, paling takut melihat ular!” Empek Gan menggigil. “Tapi engkau bocah cacingan kurang ajar! Engkau cacing busuk. Kalau mengajak berkelahi, pakailah aturan. Masa orang lagi enak-enak mandi kau ganggu dan takut-takuti dengan ular? Aku paling jijik melihat ular yang kotor!”

Orang-orang yang tadinya sarapan kini sudah berdiri semua, ada yang menahan ketawa, ada yang memandang tegang. Peristiwa itu tampaknya saja lucu, melihat seorang kakek yang disohorkan sakti terbirit-birit ketakutan melihat ular sampai lari bertelanjang, akan tetapi sebetulnya amatlah menengangkan karena kakek sakti ini kini berhadapan dengan seorang di antara Enam Iblis.

“Orang she Gan, mari... mari... kita main-main sejenak...!” kembali Tok-sim Lo-tong menantang sambil berdiri dengan kaki terpentang lebar di luar pondok.

Akan tetapi Empek Gan tidak mempedulikan dia lagi. Entah dari mana dapatnya, tahu-tahu kakek ini sudah mengeluarkan puluhan butir obat bundar sebesar kelingking. Kain yang tadi dibawanya sudah ia libatkan menutupi tubuhnya, dan sambil tertawa lebar ia berkata.

“Kalian ini jagoan-jagoan dari Kerajaan Sung mengapa begini goblok?”

Ouwyang Swan mengerutkan alisnya. Dia seorang panglima tua yang namanya sudah terkenal, ilmu kepandaiannya tinggi dan kedudukannya tinggi pula di Kota Raja Sung. Biar pun ia maklum akan kesaktian Gan-lopek, namun ia merasa bahwa orang sakti ini keterlaluan, sama sekali tidak memandang mata kepadanya.

“Gan-locianpwe, kami mengerti bahwa kau adalah seorang yang sakti dan kami adalah orang-orang bodoh saja, akan tetapi tidak ada alasan bagimu untuk memaki-maki karena di antara kita tidak ada....”

“Aduhhh...!” Dua orang anak buahnya terguling dan merintih-rintih, mukanya pucat dan mereka memegangi perut yang terasa amat sakit.

Ouwyang Swan kaget sekali, mengira bahwa kakek sakti itu turun tangan jahat, akan tetapi tiba-tiba tiga orang temannya yang menjadi pembantu-pembantunya juga mengerang kesakitan dan menekan-nekan perut.

Empek Gan tertawa bergelak. “Salahkah kalau aku bilang kalian goblok? Begitu gobloknya sehingga tahi busuk dimakannya! Sekarang setelah keracunan, masih berlagak lagi! Nih, telanlah seorang satu sebelum nyawa melayang. Kalau masih ada yang rakus, mau makan sisa makanan yang sudah kuinjak-injak, silakan dan aku tidak bisa menolong lagi!” Setelah melempar puluhan butir obat itu ke atas meja, ia berlari-lari ke luar.

“Eh, kau masih di sini? Tok-sim Lo-tong, bocah baik, jangan menakut-nakuti orang tua dengan ular, ya? Lebih baik kau main tari-tarian ular biar nanti kuberi hadiah!”

“Hadiah kepalamu!” Tok-sim Lo-tong menerjang maju, ular itu telah ia pegang perutnya dan kini binatang ini ia pergunakan sebagai senjata, menyambar ke arah kepala Gan-lopek.

“Hiiiii... jijik aku...!” Dengan amat mudahnya Gan-lopek mengelak, kelihatannya tidak mengelak hanya menggerakkan pantat megal-megol, tapi serangan-serangan Tok-sim Lo-tong mengenai tempat kosong melulu! Ketika iblis itu marah dan mendesak, Gan-lopek sudah lari pergi sambil berteriak-teriak ketakutan. Tok-sim Lo-tong juga lari mengejar.

Ada pun Ouwyang Swan cepat membagi-bagi obat. Dia lebih dulu menelan obat itu karena tiba-tiba perutnya juga terasa panas dan sakit. Ajaib. Begitu ditelan, rasa panas dan sakit lenyap seketika. Anak buahnya juga mengalami hal serupa.

“Hemmm, ada yang menaruh racun pada makanan kita...!” Ouwyang Swan berkata marah. “Heran sekali, apakah pemerintah Nan-cao mau berlaku serendah ini, meracuni tamu-tamunya yang datang memberi selamat dan mengantarkan sumbangan sebagai tanda persahabatan?”

“Tuan rumah memperlihatkan sikap bermusuhan, tak perlu kita tinggal lebih lama di sini, Ouwyang-twako!” kata Tan Hun, panglima lainnya yang menjadi pembantunya.

“Memang, hendak kulaporkan hal ini kepada Beng-kauwcu sendiri sambil berpamit.” Cepat Ouwyang Swan memasuki kamar hendak berganti pakaian dinas, akan tetapi pada saat itu terdengar pekik kesakitan di sebelah belakang rumah.

Mereka cepat berlari-lari ke belakang dan melihat dua orang berpakaian pelayan menggeletak tak bernyawa lagi dan di situ berdiri seorang laki-laki tua yang bersikap gagah, berpakaian sederhana, kepalanya tertutup topi lebar, tangannya memegang senjata pecut. Dialah Kauw Bian Cinjin, sute dari Beng-kauw yang bertugas menyambut tamu!

“Maaf, Cu-wi enghiong dari Kerajaan Sung tentu mengalami banyak kaget karena gara-gara pengkhianat dua orang pelayan ini. Syukur ada Gan-lopek yang datang lebih dulu menyampaikan obat penawar. Lohu (aku yang tua) atas nama Beng-kauw menghaturkan maaf atas keteledoran ini.” Ia menjura dengan hormat kepada Ouwyang Swan.

Panglima tua ini cepat balas menghormat. “Kiranya ada pengkhianatan, akan tetapi sebetulnya apakah yang terjadi? Siapakah yang menaruh racun dalam makanan untuk kami, Cinjin?”

Kakek Beng-kauw itu tersenyum sabar dan menggeleng kepala. “Banyak terjadi hal aneh, Ciangkun (Panglima), yang agaknya ditujukan untuk mengotori nama Beng-kauw. Kami sedang melakukan penyelidikan, karena itu hal ini masih menjadi rahasia. Akan tetapi percayalah, semua ketidak-wajaran yang terjadi, pasti bukan dari kami datangnya dan kalau ada anak buah kami yang terbawa-bawa, kami tidak ragu-ragu untuk memberi hukuman seperti yang kulakukan kepada dua orang pelayan ini. Nah, selamat pagi dan sekali lagi maaf!” Setelah berkata demikian, Kauw Bian Cinjin membunyikan cambuknya satu kali.

“Tarrr!” maka muncullah dua orang anak buah Beng-kauw yang segera mengangkat dua jenazah itu dan pergi tanpa mengeluarkan kata-kata. Kauw Bian Cinjin menjura kepada para tamu dan berjalan pergi.

Ouwyang Seng dan anak buahnya saling pandang, lalu kembali ke ruangan, tiada hentinya membicarakan hal yang aneh itu. Tak lama kemudian dua orang pelayan baru datang untuk membersihkan tempat itu dan menggantinya dengan makanan baru. Panglima Sung itu dan teman-temannya lalu melanjutkan makan pagi untuk kemudian bersiap-siap pergi ke tempat sembahyangan guna memberi hormat kepada arwah mendiang ketua Beng-kauwcu yang tersohor, yaitu Pat-jiu Sin-ong Liu Gan.....
********************
Selanjutnya baca
CINTA BERNODA DARAH : JILID-09
LihatTutupKomentar