Cinta Bernoda Darah Jilid 05
“Wah... ular api tak mungkin dapat melayang, tentu ada yang melemparkannya...! Lin-moi, awas, agaknya ada musuh menyerang...”
“Aku tidak takut! Segala pengecut curang, kalau berani muncul akan kupenggal batang lehernya!” teriak Lin Lin dengan marah sekali karena semalam itu selalu diganggu orang-orang yang tidak mau menyerang atau membantu dengan terang-terangan.
Jawaban teriakan Lin Lin ini adalah suara ketawa yang disusul munculnya seorang laki-laki tua berpakaian pengemis. Kaki kiri kakek pengemis ini buntung, sebagai penggantinya ia memegang sebatang tongkat panjang, tongkat yang bengkak-bengkok seperti tubuh ular. Pakaiannya yang penuh tambalan itu serba lorek dan belang-belang seperti kulit ular. Ketika Lin Lin memandang penuh perhatian, baginya muka orang itu pun mirip muka ular!
“Hemmm, kiranya Sin-coa-kai (Pengemis Ular Sakti) yang main-main dengan kami!” kata Bok Liong dengan suara mengejek.
Ia sudah mendengar tentang pengemis ini yang merupakan kepala atau pimpinan dari serombongan pengemis yang suka mengumpulkan racun ular dan menjualnya pada toko-toko obat. Sebagai ahli menangkap ular berbisa, tentu saja pengemis ini amat lihai, malah julukannya juga Pengemis Ular Sakti! Akan tetapi, ia pun sudah mendengar akan praktek-praktek jahat yang dilakukan pengemis ini dan rombongannya, yaitu menjual racun-racun ular pada penjahat-penjahat untuk maksud-maksud keji. Maka ia memandang rendah dan mengejek.
Pengemis buntung itu tertawa bergelak. “Ha-ha-ha, orang muda bermata tajam, kiranya mengenal pula Sin-coa-kai! Ha-ha, kalau sudah mengenal nama dan mengetahui kelihaianku, lebih baik menyerah agar kuserahkan kalian kepada Suma-kongcu. Heh, pantas saja Suma-kongcu berusaha keras untuk menangkap kalian, kiranya ada bidadari ini yang begini denok dan can....”
“Swinggggg...!” Pengemis itu berteriak kaget dan menjatuhkan diri bergulingan ke atas tanah ketika tiba-tiba pedang di tangan Lin Lin menyambar, merupakan sinar kuning yang secepat kilat membabat leher pengemis itu.
“Lin-moi, awas belakang...!” Bok Liong memperingatkan, khawatir kalau gadis itu terlalu bernafsu dan marah mengejar si Pengemis Buntung.
Betul saja dugaannya, si Buntung itu tidak datang sendiri, melainkan bersama tujuh orang pembantunya. Pada saat itu, dari tempat-tempat gelap melompat bayangan orang dan terdengar suara mendesis-desis dari semua penjuru. Lin Lin kaget dan terpaksa menunda pengejarannya kepada Sin-coa-kai. Sepasang matanya yang tajam itu terbelalak ketika melihat puluhan ekor ular api merayap datang dari depan dan belakang, digiring oleh Sin-coa-kai dan teman-temannya.
“Lin-moi, serbu...!” Bok Liong sambil memutar pedangnya dan menerjang maju.
Lin Lin mengikuti sepak terjang Bok Liong dan dua orang muda itu dengan gagah menghadapi ular-ular yang telah menjadi nekat karena telah diberi obat perangsang oleh Sin-coa-kai. Dalam beberapa detik saja bangkai ular bergelimpangan diterjang pedang Lin Lin dan Bok Liong.
Akan tetapi kini Sin-coa-kai dan teman-temannya mulai menyerang dari lain jurusan, menggunakan tongkat-tongkat ular yang panjang seperti toya. Lin Lin dan Bok Liong tentu saja tidak gentar, melawan dengan hebat. Akan tetapi mereka menjadi sibuk juga karena ular-ular itu kini menjadi makin banyak, merayap-rayap mengerikan.
“Lin-moi, ikuti aku, ke atas pohon!” kembali Bok Liong memberi tahu temannya.
Sambil memutar pedang untuk menjaga diri dari sambaran tongkat lawan, mereka mengerahkan ginkang dan melayang ke atas pohon. Akan tetapi terdengar suara ketawa Sin-coa-kai disusul teriakan kaget kedua orang muda itu yang cepat-cepat melayang turun kembali karena pohon itu pun penuh dengan ular hijau yaitu ular daun yang biar pun tidak beracun namun cukup menjijikkan dan galak!
“Ha-ha-ha-ha, apakah kalian tidak menyerah saja?”
“Menyerah kakimu!” bentak Lin Lin sambil menerjang penuh amarah. Terjangannya hebat sekali, biar pun si Buntung berhasil menghindarkan bahaya dengan jalan menggulingkan diri, namun seorang pembantunya terbabat pedang sehingga putus lengan kirinya!
Sin-coa-kai memaki marah, lalu bersuit keras. Hebat akibatnya. Ular-ular itu seperti menjadi gila mendengar suitan ini dan menyerbu lebih ganas dari pada tadi. Kewalahan juga Lin Lin dan Bok Liong menghadapi ular-ular kalap itu, apa lagi tongkat-tongkat para pengemis masih selalu mengancam dan mencari kesempatan baik.
Pada saat itu tampak asap tipis dan tercium bau yang pedas. Seketika kedua mata Lin Lin dan Bok Liong mengeluarkan air mata! Inilah semacam asap beracun yang dilepas oleh Sin-coa-kai! Terbuat dari pada daun-daun dicampur racun ular lalu dibakar. Asap dari pada ramuan ini merupakan asap beracun yang akan membuat setiap orang lawan mengeluarkan air mata, semacam ‘gas air mata’ model kuno! Para pengemis sendiri tentu saja sudah memakai obat pemunah sehingga mereka tidak terpengaruh.
“Celaka...!” teriak Bok Liong. “Lin-moi, kita membuka jalan darah!”
Mereka berusaha sedapat mungkin untuk membuka kedua mata yang terus bercucuran air mata, pedang di tangan mereka gerakkan otomatis menjaga tubuh. Akan tetapi, teringat akan ular-ular yang menyerang kaki mereka, kedua orang muda itu menjadi bingung, tidak berani melangkah ke luar dari tempat itu.
Tiba-tiba terdengar pekik Sin-coa-kai marah, “Heeeiiiii, bedebah! Siapa berani main-main dengan ular-ularku?” Akan tetapi bentakan ini disusul rintihan si Buntung itu. Asap yang memerihkan mata juga tidak menyerang lagi.
Lin Lin dan Bok Liong masih terus memutar pedang menjaga diri. Setelah mata mereka tidak pedas lagi dan dapat dibuka, barulah mereka mendapat kenyataan bahwa keadaan mereka itu amat lucu. Di depan tidak ada musuh, bangkai ular bertumpuk-tumpuk di sana-sini, dan mereka tadi masih terus bersilat memutar pedang!
Muka Bok Liong menjadi merah sekali. “Wah, alangkah tolol kita. Sudah ada orang sakti menolong, ular-ular mati dan semua pengemis diusir pergi, dan kita masih terus main pedang seperti wayang tanpa penonton!”
Lin Lin membanting-banting kakinya. “Lagi-lagi penolong tak diundang! Kalau memang sudah menolong, kenapa tidak mau memberi tahu sehingga kita menjadi tontonan yang mentertawakan? Benar-benar dia memandang rendah!”
“Eh, Lin-moi. Berkali-kali dia menyelamatkan nyawa kita, kenapa kau malah marah-marah? Mana bisa kita menjadi tontonan kalau di sini tidak ada siapa-siapa yang akan menonton kita? Sebaliknya kita harus berterima kasih kepada pendekar sakti dan menol....”
“Siapa bilang tidak ada penonton? Apa kau kira dia itu tidak sedang terkekeh-kekeh mentertawakan kita yang bersilat sendiri melawan angin? Benar-benar kau tolol dan dapat dipermainkan orang, Twako!”
Bok Liong tersenyum. Baru berkenalan sebentar saja, sikap gadis ini sudah amat intim, tidak ragu-ragu mengecapnya tolol segala! “Jadi kau tidak berterima kasih kepadanya, Moi-moi?”
“Tidak! Aku tidak minta dia tolong, perlu apa berterima kasih?”
“Habis, andai kata dia muncul di depanmu, kau mau apa terhadapnya?”
“Mau apa? Menebus penghinaan ini di ujung pedang, apa lagi?”
“Penghinaan?”
“Dia menolong tanpa diundang, bergerak secara sembunyi, ini berarti mempermainkan kita dan amat memandang rendah, apakah yang begini masih belum patut dikatakan penghinaan?”
Tiba-tiba Bok Liong meloncat ke kiri, menyingkap alang-alang sambil berseru, “Harap Locianpwe (Orang Tua Gagah) sudi menjumpai kami...!” Akan tetapi ia kecewa karena di belakang alang-alang itu tidak ada siapa-siapa.
“Eh, apa kau masih terus bermain sandiwara setelah bertanding pedang angin tadi, Twako? Siapa yang kau ajak bicara?”
Bok Liong menggeleng-gelengkan kepalanya. “Jelas benar tadi kulihat bayangan orang di sini! Malah ketika aku melompat sampai di sini, masih kudengar helaan napasnya! Heran benar....”
“Sudahlah, Twako. Kau lagi-lagi melihat serta mendengar setan.”
“Benar, Lin-moi. Kalau dia tidak mau menemui kita, dicari juga sia-sia. Mari kita lanjutkan perjalanan, siapa tahu Suma-kongcu masih mempunyai banyak kaki tangan yang hanya akan mengganggu kita. Lebih cepat sampai di kota raja lebih baik. Kota raja sudah dekat dan sekarang pagi.”
Keduanya lalu berlari meninggalkan tempat itu. Lin Lin bergidik melihat bangkai banyak ular menggeletak di sana-sini, anehnya, sebagaian besar bangkai-bangkai itu pecah kepalanya. Padahal ia tahu benar bahwa pedangnya dan pedang Bok Liong tak mungkin bisa membikin kepala ular remuk, paling-paling membuntungi leher. Diam-diam ia kagum juga akan kepandaian orang yang telah menolong mereka, akan tetapi hatinya tetap tidak puas. Orang itu sombong, pikirnya.
Dugaan Bok Liong memang benar. Yang memenuhi permintaan Suma Boan untuk mencoba menangkap dua orang muda itu ada tiga rombongan. Pertama adalah rombongan Hui-houw-kai-pang, rombongan kedua adalah rombongan Sin-coa-kai-pang. Ada pun ketiga hanya terdiri dari seorang saja. Orang ini adalah seorang tokoh perkumpulan pengemis dari daerah barat yang bemama Hek-i Lo-kai (Pengemis Tua Baju Hitam).
Kepandaian ilmu silatnya tidaklah terlalu tinggi biar pun ia cukup lihai dibandingkan dengan tokoh-tokoh lain, akan tetapi yang membuat ia amat terkenal adalah kelicikan dan kecurangannya. Ia pandai bicara, pandai bersandiwara dan selain ini ia pun memiliki kepandaian membuat obat peledak yang sukar dapat dilawan oleh seorang ahli silat tinggi sekali pun. Obat peledak itu mengandung racun dan pecahan-pecahan besi berkarat yang amat berbahaya. Semacam granat model kuno! Mengandalkan kecerdikannya, Hek-i Lo-kai ini beroperasi sendirian saja, tidak suka ramai-ramai main keroyokan. Ketika mendengar perintah Suma Boan, ia tergesa-gesa melakukan pengejaran. Karena mendengar bahwa dua orang muda itu lihai dan sedang menuju ke kota raja, ia tidak mau berlaku sembrono seperti dua rombongan yang telah gagal itu, melainkan mendahului pergi ke kota raja dan menanti di luar tembok kota raja.
Demikianlah, ketika Lin Lin dan Bok Liong tiba di luar kota raja, hari telah menjelang siang. Di luar pintu gerbang mereka melihat seorang kakek pengemis duduk bersila di atas tanah di dekat jalan raya, matanya yang meram terus itu agaknya buta, kedua tangannya ditelentangkan di depan dada dan mulutnya tiada hentinya minta-minta kepada orang yang lewat di jalan itu. Beberapa potong uang tembaga telah diperolehnya, bertebaran di depannya.
Melihat seorang pengemis, Bok Liong curiga. Ia menyentuh tangan Lin Lin dan memberi isyarat dengan matanya. Lin Lin menoleh dan tersenyum. “Twako, kau benar-benar seperti seekor burung yang hampir terkena anak panah, menjadi ketakutan pada bayangan sendiri. Masa setelah gangguan para pengemis itu, sekarang kalau melihat setiap orang pengemis kau lalu mencurigainya? Hi-hik, lucu! Dia itu benar-benar seorang jembel. Lihat, dia betul-betul minta-minta, wajahnya pucat matanya buta. Eh... lihat... dia sakit, Twako...!”
Benar kata-kata Lin Lin itu. Pengemis tua berbaju hitam kotor itu merintih-rintih, memegangi perutnya, mukanya menjadi pucat sekali, matanya yang buta mendelik tampak putihnya saja. “Ahhh... auuuhhhhh... aduh, mati aku...,” keluhnya perlahan, keringat besar-besar memenuhi mukanya.
Seorang pedagang tahu yang memikul tahang (keranjang kayu) yang sedang kosong dan sedang menuju pulang ke desanya di luar kota, berhenti di depan pengemis itu, memandang penuh iba. “Lopek, kau kenapakah?”
Pengemis itu mengeluh dan meringis kesakitan, nyata amat sukar ia mengeluarkan suara menjawab. “Aduhhh... napasku... sesak... terpukul... kumat lagi... sesak... auuughhh!” Kakek pengemis itu muntahkan darah segar! Si penjual tahu kaget dan makin iba.
“Wah, kau sakit berat, Lopek. Ah, bagaimana baiknya?” Beberapa orang yang kebetulan lewat, hanya menengok lalu melanjutkan perjalanan mereka. Siapa mau peduli akan nasib seorang jembel tua? Pedagang tahu itu merasa kasihan karena ia sendiri pun seorang miskin, tentu saja ia dapat merasakan penderitaan jembel ini.
Sebagai ahli-ahli silat kelas tinggi, tentu saja Lin Lin dan Bok Liong maklum apa artinya keadaan kakek itu. Kakek itu menderita luka dalam dan keadaannya amat berbahaya. Lukanya mengeluarkan darah dan tentu akan menutup pernapasannya kalau tidak dihentikan. Cara menghentikannya tentu dengan menotok jalan darah di punggung dan mengurut urat di dada dan leher.
Lin Lin adalah seorang gadis remaja yang wataknya polos dan juga aneh. Ia mudah tersinggung, perasaannya halus, mudah marah mudah gembira, mudah kasihan mudah membenci. Dengan langkah lebar ia menghampiri kakek itu, tidak peduli lagi akan pencegahan Bok Liong.
“Kakek, kau terluka di dalam, biar kutolong kau...” kata Lin Lin.
“Auhhhhh... oohhh... terima kasih....”
Lin Lin segera menghampiri punggung kakek itu, menotoknya dengan dua jari tangannya. Gerakannya gesit sekali dan kedua jarinya amat kuat sehingga sekali menotok saja ia berhasil. Kakek itu meringis kesakitan dan napasnya bertambah sengal-sengal. Lin Lin menjadi gugup, cepat ia mengulur tangan hendak meraba leher dan mengurut dada. Tiba-tiba tangan kakek itu yang tadinya menekan-nekan perutnya, bergerak cepat dan tampak sinar berkilat ketika tangan yang telah mencabut pedang pendek ini menusuk ke arah dada Lin Lin!
“Keparat!” Bok Liong yang sudah waspada cepat menerjang maju dan mengirim tendangan, sedangkan Lin Lin yang menjadi kaget sekali namun tak kehilangan akal segera membuang diri ke belakang sambil berjungkir-balik. Tendangan Bok Liong keras sekali, membuat tubuh kakek pengemis itu terpental dan bergulingan sampai sepuluh meter jauhnya, pedang pendeknya terlempar entah ke mana. Akan tetapi kakek pengemis yang sekarang sudah tidak buta lagi itu, mengeluarkan dua buah benda sebesar kepalan tangan.
Pada saat itu, dari barat datang seekor kuda membalap cepat. Penunggangnya seorang pemuda berpakaian hitam, jubah panjang berwarna hitam menutup celana sutera putih. Tepat sekali kudanya datang lewat ketika kakek pengemis yang bukan lain adalah Hek-i Lo-kai itu melontarkan dua buah granatnya ke arah Lin Lin dan Bok Liong.
“Tiarap semua...!” Nyaring sekali suara ini dan tubuh jangkung di atas kuda itu menyambar ke arah dua buah alat peledak, sekali sambar dua buah benda berbahaya itu telah berhasil ia tangkap! Bukan main hebatnya gerakan ini, terlihat oleh Lin Lin dan Bok Liong yang otomatis sudah rebah di atas tanah. Kuda itu berhenti sebentar dan penunggangnya menoleh ke arah Hek-i Lo-kai yang berdiri dengan muka pucat dan kedua kaki menggigil.
“Am... pun... ampunkan...”
“Hek-i Lo-kai, kali ini tidak ada ampun!” Tampak sinar hitam dari cambuk di tangan penunggang kuda itu bergerak, terdengar suara “tar-tar-tar” tiga kali dan robohlah Hek-i Lo-kai! Penunggang kuda itu membedal kudanya, tanpa bicara sesuatu kudanya membalap memasuki pintu gerbang. Akan tetapi, setibanya di pintu gerbang, penunggangnya menoleh ke arah Lin Lin.
Lin Lin dan Bok Liong melompat bangun dan menghampiri Hek-i Lo-kai yang merintih-rintih dan mencoba bangun. Alangkah kaget dan ngeri hati Lin Lin dan Bok Liong melihat betapa punggung kakek itu telah melengkung dan di situ tampak tiga garis melintang berwarna hitam, menembus baju, kulit dan daging sampai tampak tulangnya!
“Aduh... ampun... Suling Emas....”
Mendengar ini, Lin Lin dan Bok Liong terkejut. Terutama Lin Lin. Jadi penunggang kuda yang gagah perkasa, seorang laki-laki yang belum tua, tampan dan gagah, dia tadi Suling Emas?
“Jembel tua jahat, kau bilang dia Suling Emas? Betulkah itu?” Lin Lin bertanya.
“Sul... Suling Emas... tak kenal... ampun....” Kakek ini roboh lagi, muntah darah dan tanpa berkelojotan lagi ia menghembuskan napas terakhir!
Melihat terjadi peristiwa pembunuhan, si pedagang tahu cepat-cepat mengangkat pikulannya dan pergi meninggalkan tempat itu, juga mereka yang menyaksikan peristiwa itu segera pergi dari situ setelah mendengar disebutnya nama Suling Emas. Nama ini meyakinkan mereka bahwa kakek jembel yang tadi pura-pura buta dan mengemis tentulah seorang penjahat besar.
“Berbahaya...” kata Bok Liong. “Dia ini kiranya Hek-i Lo-kai dan tentulah dua buah benda tadi adalah dua senjata peledak yang kalau tadi tidak disambar Suling Emas, tentu menghancurkan tubuh kita berdua. Hebat...!”
Tiba-tiba seorang hwesio muda menghampiri mereka dan memberi hormat. Hwesio muda inilah satu-satunya orang yang tidak pergi dan sejak tadi ia menatap wajah Lin Lin. “Maaf kalau pinceng (aku) mengganggu. Apakah Lihiap (Pendekar Wanita) yang bernama Kam Lin Lin?”
Lin Lin menengok, tercengang dan Bok Liong sudah mengerutkan kedua alisnya yang tebal, siap menghadapi segala kemungkinan. Dalam keadaan seperti itu ia menaruh curiga kepada setiap orang.
“Maaf,” kata hwesio itu lagi. “Tentu Lihiap merasa heran, akan tetapi pinceng mencari Lihiap atas suruhan Nona Kam Sian Eng. Menurut gambarannya, Lihiap tentu yang bernama Kam Lin Lin, hanya entah, apakah Sicu ini yang bernama Kam Bu Sin...”
Lenyap kecurigaan kedua orang muda itu. Malah Lin Lin berjingkrak gembira sambil bertanya, “Di manakah Enci Siang Eng?”
“Silakan Ji-wi ikut pinceng, dia berada di kelenteng kami.”
“Bagaimana dia? Selamatkah? Dan di mana Sin-ko? Bagaimana Enci Sian Eng bisa berada di kelentengmu?”
Diberondong pertanyaan-pertanyaan ini, hwesio itu hanya tersenyum, lalu menjawab. “Tidak leluasa kita bicara di tengah jalan. Marilah, nanti di kelenteng tentu Ji-wi akan mendengar sejelasnya dari Nona Sian Eng sendiri.”
Mereka bertiga segera memasuki kota raja dan menuju ke kelenteng. Lin Lin yang sudah tidak sabar itu lari saja memasuki kelenteng hampir menabrak seorang hwesio tua yang menyapu lantai sehingga hwesio itu menggeleng-geleng kepalanya dan mulutnya bersungut-sungut, “Omitohud... cantik liar, jangan-jangan siluman musang...!”
Pada saat itu, Sian Eng keluar dari ruangan dalam. Melihat siapa orangnya yang berlari-lari datang dari luar, ia berteriak girang dan lari menyambutnya. Di lain saat enci adik itu sudah saling rangkul dan saling cium sambil tertawa-tawa gembira.
“Lin Lin, bocah nakal kau!” Siang Eng berseru sambil menciumi adiknya.
“Enci Eng, kau tahu siapa yang kutemui di jalan tadi? Sampai mati kau tentu tidak akan dapat menduga,” bisik Lin Lin dengan wajah tegang, “dia bukan lain adalah Suling Emas!”
Akan tetapi Lin Lin keliru dan kecewa. Kiranya encinya sama sekali tidak kelihatan terkejut, hanya menggumam perlahan, “Hemmm, ya?” kemudian Sian Eng melihat seorang pemuda berdiri termangu-mangu dan canggung menghadapi pertemuan enci adik yang mesra itu. “Lin Lin, kau maksudkan dia itukah Suling Emas?” Tentu saja Sian Eng bertanya dengan suara berbisik agar tidak terdengar pemuda itu.
“Hi-hik, bukan... bukan dia. Dia itu sahabat baikku, orangnya baik, kepandaiannya lihai, tapi dia bukan Suling Emas, dia Lie Bok Liong Koko. Oya Liong-twako, mari sini! Mari kuperkenalkan dengan Enci-ku yang lihai dan cantik!”
Bok Liong menjadi merah wajahnya, apa lagi melihat betapa Sian Eng dan Lin Lin tadi kasak-kusuk dan sekarang enci itu mencubit adiknya yang tersenyum-senyum nakal. Akan tetapi karena Lin Lin melambaikan tangan memanggilnya dan enci adik itu memandang kepadanya, tidak enak kalau ia tidak menghampiri. Dengan jantung berdebar ia menghampiri mereka lalu mengangkat kedua tangan memberi hormat sambil menundukkan muka, tidak berani menatap wajah Siang Eng karena merasa sungkan dan malu.
“Liong-twako, betul tidak kataku? Enciku cantik jelita dan... aduhhh! Galaknya yang tidak nguati (tak tertahankan)!” Kemudian sambil tertawa ia berkata kepada Sian Eng, “Enci Eng, Liong-twako ini baik sekali, menemaniku sepanjang jalan, mengantarku sampai di sini, malah di jalan membantu aku menghadapi pengemis-pengemis jahat. Orangnya jujur, sopan, tidak kurang ajar, dan...”
“Hushhh, terlalu kau, Lin Lin!” Sian Eng membentak adiknya, lalu mengangkat kedua tangan di depan dada membalas penghormatan Bok Liong sambil berkata halus, “Harap Lie Bok Liong Taihiap (Pendekar Besar) sudi memaafkan adikku yang nakal dan suka menggoda orang ini. Terima kasih saya haturkan atas kebaikan Taihiap terhadap adikku...”
“Wah-wah-wah, apa-apaan ini? Taihiap-taihiapan segala macam! Aduh, bisa mekar hidung Liong-twako kau sebut Taihiap. Sebut saja Twako, mengapa sih? Terhadap sahabat baik masih banyak sungkan dan peraturan, itu palsu namanya!”
“Eh... oh... maaf, Nona... eh, saya...”
“Nah-nah-nah, Taihiap dan Nona, Tuan dan Nyonya, jemu aku mendengarnya! Liong-twako, dia ini Enci Siang Eng, Enciku sendiri, tahu kau? Kalau kau menyebut aku Lin-moi, Moi-moi, kadang-kadang Siauw-moi, mengapa kepada Enciku kau menyebut Nona? Kalau begitu kau pun harus menyebut aku Nona Besar dan aku akan menyebutmu Tuan Besar. Hayo, bagaimana?”
Memang nakal sekali Lin Lin. Ia tidak peduli akan segala perasaan sungkan, bingung dan malu yang dirasakan oleh Bok Liong di saat itu. Sian Eng merasa kasihan terhadap korban kenakalan adiknya ini. Hemmm, pikirnya, pemuda ini agaknya pendiam dan baik, tentu saja bukan lawan Lin Lin. Teringat ia akan Suling Emas yang aneh wataknya dan tidak pedulian itu. Rasakan kau nanti Suling Emas, kalau sampai jumpa dengan adikku Lin Lin, bisa mati berdiri kau dipermainkan! Tiba-tiba ia teringat akan pemberitahuan Lin Lin tentang Suling Emas tadi, wajahnya berubah serius.
“Lin Lin, jangan mengganggu orang. Kita masih harus bicara banyak. Sin-ko sampai sekarang belum juga datang.”
Lin Lin sadar lalu menoleh kepada Bok Liong. “Liong-twako, jangan marah, ya? Aku juga berterima kasih padamu, lho! Kau memang baik sekali kepadaku. Sekarang aku sudah bertemu dengan Enci Sian Eng, hanya tinggal kakakku Bu Sin yang masih belum kami ketahui berada di mana. Apakah kau suka menolongku mencarinya, Twako?”
“Aku akan girang sekali kalau dapat membantumu mencari kakakmu, Lin-moi. Tentu akan kutanya-tanyakan kepada kenalanku, harap jangan khawatir.”
“Kalau begitu, aku dan Enci Sian Eng akan menanti di sini beberapa hari, menanti berita darimu tentang Sin-ko.”
“Lin Lin, Lie Bok Liong Ta...”
“... Twako...!” Lin Lin memotong.
Siang Eng merah mukanya dan memandang tamunya, kebetulan Bok Liong juga memandang. Terpaksa dua orang muda yang menjadi malu dan jengah ini tersenyum dan seketika suasana menjadi lebih wajar, rasa malu menipis.
“Baiklah! Liong-twako masih lelah, baru saja datang masa sudah kau serahi tugas lagi. Jangan keterlaluan, dumeh (mentang-mentang) orang suka menolong kau lalu menekan.”
“Ah, tidak... sama sekali tidak!” Bok Liong cepat membantah. “Ji-wi Moi-moi (Adik Berdua) tak usah sungkan. Aku sudah mendengar semua dari Lin-moi dan aku pasti akan berusaha sedapat mungkin untuk mencari berita tentang kakak kalian. Harap saja dalam waktu dua pekan ini kalian tidak pergi dari tempat ini, atau andai kata pergi dan pindah juga, memberi tahu kepada para Lo-suhu di sini sehingga kalau aku datang, aku akan dapat tahu ke mana harus menjumpai kalian untuk menyampaikan hasil usahaku mencari kakak kalian. Sekarang aku pamit dulu.”
Melihat Bok Liong memberi hormat lalu mundur dan hendak pergi, Lin Lin cepat berseru. “Twako, nanti dulu!”
“Ada apa?” Terlalu cepat Bok Liong membalikkan tubuh dan sinar yang memancarkan kasih mesra terlepas dari pada pandang mata yang awas.
“Aku pesan... kalau kau bertemu dengan jembel-jembel jahat itu....”
“Ya, lalu bagaimana?”
“Aku titip tiga pukulan atau sekali tusukan pedang.”
Bok Liong tertawa dan mengangguk-angguk.
“Dan jangan lupa, kalau kau berjumpa dia di jalan katakan...”
“Dia siapa?”
“Siapa lagi kalau bukan Suling Emas? Katakan bahwa aku menanti di kelenteng ini dan sampaikan tantanganku kepadanya!”
Sian Eng terkejut bukan main akan tetapi ia masih sempat melihat betapa wajah pemuda itu membayangkan ketidaksenangan hati. Akan tetapi Bok Liong kembali mengangguk-angguk, lalu berkata, “Baiklah, Lin-moi, dan kau... kau yang baik-baik menjaga diri... selamat berpisah sampai jumpa lagi.” Ia melompat dan pergi dari situ.
Sian Eng memperkenalkan Lin Lin kepada para hwesio kepala di kelenteng itu, kemudian mengajak adiknya masuk kamar untuk bercakap-cakap. Begitu memasuki kamar, Sian Eng menegur adiknya. “Lin Lin, kau terlalu sekali terhadap pemuda itu. Tak tahukah kau betapa dia amat mencintamu? Tapi kau selalu mempermainkan dia. Terlalu!”
“Liong-ko? Mencintaku? Tentu saja! Aku pun mencintanya, dia seperti kakakku sendiri.”
“Hush, bukan begitu. Dia mencintamu, hal ini kuyakini benar. Tapi kau... ah, kau masih anak-anak, adikku. Sudahlah, kelak kau mengerti sendiri. Eh, kau tadi bilang bertemu dengan Suling Emas. Betulkah itu? Di mana?”
“Di dekat pintu gerbang kota. Dia naik kuda, jubahnya hitam, orangnya tinggi besar, tampan dan gagah, tapi sombong!”
“Sombong?”
“Ya, sombongnya setengah mati! Agaknya dia yang telah berkali-kali menolong aku dan Liong-twako, akan tetapi dengan sembunyi-sembunyi, tidak sudi menemui kami. Uhhhhh, sombong sekali agaknya mengandalkan kepandaian dan memamerkan tampannya!”
Tiba-tiba Siang Eng memegang lengan Lin Lin. “Adikku, kau bilang dia telah menolongmu berkali-kali, akan tetapi kau memaki-maki dia dan kau malah menantangnya berkelahi? Adakah yang lebih gila dari ini? Jangan begitu, Lin Lin, pula... kau menantang seorang yang berilmu tinggi seperti Suling Emas, apamukah yang kau andalkan? Lin-moi, ketahuilah, dahulu kita mengira bahwa kita sudah memiliki kepandaian silat, kiranya sekarang kenyataan membuktikan bahwa apa yang kita miliki tidak ada artinya sama sekali.”
“Wah-wah, jangan merendah, Enci Eng! Aku tidak takut kepada Suling Emas. Ya, aku akan mencarinya, menantangnya berkelahi sampai seribu jurus. Aku tidak akan kalah. Lihat, Enci, aku bukanlah Lin Lin yang dahulu lagi!” Lin Lin menggerakkan tangan kirinya seperti melambai ke arah sebuah patung batu. Sebetulnya ia mengerahkan Khong-in-ban-kin dan melakukan jurus pukulan jarak jauh dan... patung itu terjengkang ke belakang seperti didorong oleh tenaga raksasa yang tidak tampak.
“Lihat, Enci, apa kau bisa mengikuti gerakanku?”
Sian Eng melongo menyaksikan adiknya merobohkan patung tanpa menyentuhnya, dan menjadi makin terheran-heran ketika melihat tubuh Lin Lin berkelebatan di dalam kamar yang luas itu, demikian cepat sehingga bayangannya lenyap terbungkus sinar kuning yang bergulung-gulung! Ia masih melongo dan tidak dapat mengucapkan kata-kata ketika Lin Lin sudah selesai bermain pedang dan berdiri di depan encinya sambil tersenyum bangga.
“Kau lihatlah, Enci. Adikmu ini sekarang tidak takut lagi menghadapi Suling Emas, biar pun ia berkepala tiga berlengan enam!”
“Astaga, Lin Lin, dari mana kau peroleh kepandaian itu?”
Lin Lin merangkul encinya dan sambil duduk berendeng di atas pembaringan, berceritalah Lin Lin tentang pertemuannya dengan Kim-lun Seng-jin yang ia sebut si gundul pacul, kemudian tentang pertemuannya dengan Lie Bok Liong sampai akhirnya bertemu dengan Sian Eng di kota raja. Sian Eng mendengarkan dengan penuh kekaguman, kemudian merangkul Lin Lin sambil berkata.
“Ah, aku girang sekali, Lin-moi. Kiranya orang sakti yang menolongmu telah mewariskan ilmu kepandaian hebat kepadamu! Dan kau memperoleh pula seorang sahabat yang setia dan perkasa seperti Lie Bok Liong. Syukurlah. Akan tetapi, aku masih tidak setuju akan sikapmu terhadap Suling Emas. Ketahuilah, dia itu bukan musuh kita, bukan pembunuh ayah bunda kita, malah dialah yang telah menolong Sin-ko dan aku sendiri, bahkan menurut ceritamu, dia telah pula menolong engkau dan Liong-twako.”
“Dia menolongmu dan Sin-ko? Bukan pembunuh ayah bunda kita? Coba ceritakan semua, Eng-cici!”
Sian Eng lalu menceritakan semua pengalamannya semenjak mereka berpisah di atas gedung Pangeran Suma. Lin Lin merasa ngeri ketika mendengar cicinya bercerita tentang Hek-giam-lo dan ‘istana’ di bawah kuburan. Akan tetapi ia membelalakkan kedua matanya, wajahnya berubah dan meremang bulu tengkuknya ketika ia mendengar pengalaman Siang Eng di antara bangsa Khitan, betapa Sian Eng disangka Puteri Khitan. Jantungnya berdebar-debar dan tulang punggungnya terasa dingin.
“Apa yang kau alami di sana, Enci Eng? Ceritakanlah yang jelas!” desaknya dengan suara gemetar. Dan ia mendengar penuturan yang membuat degup jantungnya mengeras dan membuat hatinya yakin siapa sebetulnya dirinya, dan bahwa semua kata-kata Kim-lun Seng-jin adalah benar belaka.
“Mereka itu orang-orang yang kelihatan gagah perkasa, akan tetapi kasar dan liar, adikku. Dan anehnya... banyak wanitanya, terutama yang berada di istana rajanya, mirip... mirip dengan kau! Aku mereka sangka seorang Puteri Khitan dan... dan aku ditelanjangi untuk diperiksa punggungku, katanya Puteri Khitan mempunyai tanda di pung.... astaga, Lin Lin!” Sian Eng menjadi pucat sekali dan melompat berdiri, memandang wajah adiknya dengan mata terbelalak. “Kau... kau... punggungmu...”
“Tenanglah, Enci Eng, dan duduklah. Kau berceritalah baik-baik dan sejelasnya. Memang ada tanda tahi lalat merah di punggungku, dan agaknya, memang akulah Puteri Khitan yang mereka cari-cari itu. Aku sudah mendengar dari Kim-lun Seng-jin, tadi sengaja tidak kuceritakan kepadamu akan hal ini karena kuanggap masih rahasia. Akan tetapi, setelah mendengar ceritamu, jelas siapa yang mereka maksudkan dengan Puteri Khitan. Agaknya dahulu Ayah memungutku dari keluarga Khitan, agaknya Ibuku Puteri Mahkota Khitan yang tewas dalam perang melawan Ayah, lalu aku dipungut anak. Nah, sederhana sekali, bukan? Lanjutkanlah.”
Untuk beberapa lama Sian Eng tak dapat bicara. Dipandangnya wajah Lin Lin, kemudian dirangkul dan diciuminya adiknya itu sambil berlinang air mata. “Kau bukan seorang di antara mereka. Kau adikku! Ah, mereka begitu kejam, begitu kasar dan liar....”
Lin Lin tertawa. “Kau lihat aku baik-baik. Aku memang berbeda denganmu, Cici. Aku juga kasar dan liar, seringkali kau katakan begitu, akan tetapi aku tetap adikmu. Jangan khawatir dan teruskan ceritamu.”
Sian Eng melanjutkan ceritanya sampai ia dikubur hidup-hidup sebatas leher dan ditolong oleh Suling Emas, melakukan perjalanan dengan Suling Emas sampai ke kelenteng di kota raja ini.
Lin Lin amat tertarik dan beberapa kali ia menarik napas panjang. “Ah, alangkah senangnya melakukan perjalanan bersama orang aneh itu. Dia orang macam apa, Enci Eng? Ramahkah dia? Atau galak? Sombongkah dia seperti yang kusangka? Dan kepandaiannya bagaimana?”
Diam-diam Siang Eng terkejut. Nada suara adiknya ini demikian penuh perhatian. Ada apakah gerangan? Ia merasa khawatir kalau-kalau adiknya ini nekat saja menuduh Suling Emas membunuh ayah bunda mereka dan nekat mencari dan menentangnya bertempur.
“Dia memang orang aneh, Lin Lin. Aneh sekali dan sepak terjangnya tidak seperti manusia biasa. Kepandaiannya sukar diukur sampai di mana tingginya karena aku tidak dapat mengikuti gerak-geriknya. Ia pendiam, tak pernah bicara kalau tidak menjawab pertanyaan, itu pun singkat saja, hanya ya atau tidak. Wajahnya sering kali suram-muram seperti ada sesuatu yang menekan batinnya, ia sama sekali tidak ramah. Aku tak pernah melihat ia tersenyum, apa lagi tertawa. Ada satu kali dia bersenandung, suaranya cukup baik tapi menggetar penuh kesedihan. Ia tidak pernah mengajak aku bicara tentang dirinya, akan tetapi harus kunyatakan bahwa dia adalah sesopan-sopannya lelaki.”
Lin Lin amat tertarik dan matanya sayu merenung, bibirnya bergerak seperti bicara kepada diri sendiri, “Wajahnya tampan dan gagah, sikapnya angkuh... seperti raja saja dia....”
“Kau bilang apa, Lin Lin? Mengapa seperti raja?”
Lin Lin sadar dan tersenyum, “Enci Eng, bagaimana tentang Sin-ko? Katanya juga ditolong Suling Emas, tapi mana Sin-ko sekarang?”
“Menurut Suling Emas, Sin-ko berada dalam keadaan selamat, bebas dari tangan Suma Boan yang jahat. Katanya Sin-ko tentu akan ke kota raja, maka aku disuruh menanti di kelenteng ini. Tapi sampai sekarang Sin-ko belum juga muncul, malah kau yang muncul lebih dulu.”
“Mudah-mudahan Sin-ko selamat dan kita bertiga dapat berkumpul pula. Eh, bagaimana tentang kakak sulung kita, Enci Eng? Apakah kau sudah mendengar tentang dia?”
Sian Eng mengerutkan kening dan menarik napas panjang. “Berita yang kudengar tentang Kakak Bu Song tidak baik. Ketika aku dan Sin-ko diserang di rumah Suma Boan, putera pangeran itu agaknya dahulu bermusuhan dengan kakak sulung kita itu dan kemarahannya kepada kakak sulung kita ia tumpahkan kepada aku dan Sin-ko. Dan menurut Suling Emas, Kakak Bu Song itu sudah... sudah mati, katanya. Akan tetapi ia pun tidak mau bicara dengan jelas, hanya ia kelihatan seperti seorang yang membenci Kakak Bu Song.”
Lin Lin mengerutkan keningnya. “Hemm, pesan Ayah itu harus kita penuhi. Bagaimana pun juga kita harus dapat bertemu dengan Kakak Bu Song. Kalau Suma Boan membenci kakak kita itu dan membalas dendam kepada kau dan Sin-ko, berarti dia tidak tahu di mana adanya Kakak Bu Song sekarang. Sebaliknya, Suling Emas bisa mengatakan bahwa kakak kita itu mati, berarti dia tahu di mana adanya Kakak Bu Song, atau kalau memang betul sudah mati, bagaimana matinya dan di mana kuburnya. Aku akan mencarinya dan bertanya tentang kakak kita, Enci Eng.”
“Apa? Kau hendak menjumpai Suling Emas? Tak seorang pun, juga semua hwesio di sini yang memujanya, tak seorang pun tahu di mana adanya Suling Emas. Mana kau bisa mencarinya, Lin-moi? Dia seorang yang luar biasa sekali, kalau dia tidak menghendaki, tak seorang pun dapat menemuinya.”
“Wah-wah, apa dia itu melebihi raja dan malaikat? Enci Eng, kita tidak boleh mendewa-dewakan siapa pun juga. Biar seribu kali dia menolong kita kalau dia menghendaki dipuja-puja karena pertolongannya, aku tidak sudi ditolong. Kalau dia manusia biasa, kurasa aku akan dapat mencarinya!”
Sian Eng merasa khawatir sekali. Ia percaya bahwa adiknya ini sekarang telah memiliki kepandaian tinggi, jauh lebih tinggi dari pada dia atau Bu Sin sekali pun, akan tetapi karena malam itu Lin Lin memaksa hendak pergi mencari Suling Emas, timbullah rasa khawatir di hatinya. Ia cukup mengenal watak Lin Lin yang aneh dan angin-anginan. Bagaimana kalau adiknya ini kambuh gilanya dan melakukan hal yang bukan-bukan andai kata benar dapat berjumpa dengan Suling Emas? Siapa tahu Lin Lin akan menantangnya, akan menghinanya! Akan tetapi, mencegah pun ia tahu akan sia-sia belaka, apa lagi sekarang Lin Lin sudah demikian lihainya.
“Enci Eng, jangan gelisah. Aku tentu akan dapat bertemu dengannya. Kalau berjumpa, akan kusampaikan kepadanya betapa kau memuja-mujanya seperti dewa! Dan pesanku, kalau sebelum aku pulang Liong-twako datang berkunjung, sambutlah dia dan ajak ia bercakap-cakap. Dia baik sekali, Eng-cici, kiraku jauh lebih baik dari pada Suling Emas.”
“Ihhhhh, kau bicara apa itu, Lin-moi? Apa perlunya kau membanding-bandingkan dua orang laki-laki itu? Cih, tak bermalu!”
“Hik-hik, kura-kura dalam perahu, pura-pura tidak tahu! Tapi aku tahu, Enci-ku yang manis ayu, setiap detik kau membayangkan Suling Emas yang gagah perkasa!”
“Idihhhhh, genit kau!” Sian Eng mengejar hendak mencubit, akan tetapi sekali berkelebat Lin Lin lenyap di atas genteng. Hanya suaranya terdengar dari tempat gelap di atas.
“Enci Sian Eng, aku pergi dulu!”
Siang Eng menjatuhkan diri di atas pembaringan, duduk termenung. Ucapan Lin Lin yang menggodanya tadi menikam jantungnya. Benarkah bahwa dia memuja Suling Emas? Ah, bocah itu terlalu lancang, menduga yang bukan-bukan. Tentu saja ia amat kagum, dan bolehlah dikatakan ia setengah memujanya, akan tetapi hal ini adalah karena pengaruh pribadi Suling Emas yang memang hebat ditambah lagi karena ia melihat betapa seisi kelenteng memujanya. Akan tetapi hal itu bukan berarti bahwa dia... eh, tergila-gila kepada Suling Emas. Dan ia merasa betapa dalam godaan Lin Lin tadi, oleh adiknya itu ia dianggap tergila-gila dan jatuh cinta kepada Suling Emas. Gila benar!
Bukan laki-laki luar biasa, aneh dan kadang-kadang menyeramkan itu yang menjadi pria idamannya. Suling Emas terlalu tinggi, seperti manusia setengah dewa, bukan... bukan pria macam itu yang dapat merampas kasih sayangnya. Tiba-tiba muka Sian Eng menjadi merah sekali, kedua pipinya terasa panas. Pikirannya membayangkan adegan ketika ia bertemu dengan Suma Boan, ketika ia tertawan... dan tiba-tiba Siang Eng menjatuhkan diri di atas pembaringan dan menangis tersedu-sedu!
WWW.ZHERAF.COM
********************
Kita tinggalkan Sian Eng yang menangis tergoda rahasia perasaannya sendiri dan mari kita ikuti Lin Lin yang lincah, jenaka, dan tak kenal arti takut itu. Siang tadi ia melihat Suling Emas menunggang kuda memasuki kota raja dan ia merasa yakin bahwa tentu Suling Emas berada di dalam gedung perpustakaan istana, seperti yang ia dengar dari percakapan Suma Boan dan kaki tangannya bahwa kalau berada di kota raja, Suling Emas biasanya bersembunyi di dalam gedung perpustakaan istana.
Pengalamannya dengan Kim-lun Seng-jin ketika memasuki istana menyerbu dapur dan gedung pusaka merupakan pelajaran yang sekarang amat berguna bagi Lin Lin karena sekarang ia telah tahu jalan masuk yang paling aman, yaitu melalui pohon tinggi yang tumbuh di luar pagar tembok. Berkat latihan yang tak kenal lelah kini ia telah memperoleh kemajuan hebat semenjak ia menyerbu istana dengan Kim-lun Seng-jin. Oleh karena itu dengan amat mudahnya Lin Lin melompati pagar tembok dan berada di daerah istana kaisar yang amat luas itu. Ia menyelinap di dalam gelap, lalu menyusup di antara bangunan-bangunan besar.
Beberapa lama ia berputaran di antara gedung-gedung besar dan ia menjadi bingung. Teringatlah ia bahwa ia sama sekali tidak tahu di mana adanya gedung perpustakaan. Kompleks istana ini begitu luasnya sehingga untuk mencari dapur dan gedung pusaka yang dahulu pernah ia kunjungi pun sekarang ia tak sanggup lagi, sudah lupa! Celaka, pikirnya. Mengapa begini luasnya dan begini banyaknya gedung-gedung besar? Tak mungkin ia harus memeriksa setiap gedung! Apa lagi kalau diingat bahwa di daerah istana ini terdapat banyak sekali pengawal-pengawal yang berkepandaian tinggi seperti pernah ia dengar dari Kim-lun Seng-jin.
Karena kebingungan, akhirnya secara ngawur Lin Lin melompati sebuah pagar tembok yang tidak terlalu tinggi. Ketika ia tiba di sebelah dalam, kiranya di belakang tembok itu merupakan sebuah taman bunga yang amat indah, di mana-mana tergantung lampu-lampu teng beraneka warna, seperti kalau orang merayakan hari raya musim semi saja. Taman yang penuh bunga beraneka warna, harum semerbak baunya dan lampu-lampu itu diatur secara nyeni (artistik) sekali. Ada yang menempel pada pohon, ada yang berbentuk burung hijau hinggap di atas cabang, ada yang seperti bulan sabit tergantung di awang-awang. Jumlahnya banyak sehingga taman itu tampak terang dan indah. Di tengah-tengah taman bunga terdapat sebuah kolam ikan yang dihias bunga teratai merah putih. Air yang menyembur keluar di tengah-tengah kolam itu pun seakan-akan berwarna karena tertimpa sinar dari sekelilingnya, sinar lampu warna pelangi!
Lin Lin berdiri terpaku di atas tanah, terbelalak kagum, merasa seakan-akan berada di alam mimpi. Melihat taman itu sunyi tanpa ada seorang pun manusia di situ, ia berjalan perlahan menoleh ke kanan kiri, mengagumi keindahan yang luar biasa ini. Setiap tanaman diatur baik-baik, bahkan batu-batu yang menghias jalan kecil di taman, semua merupakan hasil seni yang hebat. Menghadapi keindahan ini, Lin Lin lupa akan maksud kunjungannya ke kompleks istana, malah ia lalu duduk termenung menghadapi kolam ikan, terkikik-kikik ketawa sendirian melihat tingkah polah ikan-ikan yang ekornya mekar dan berenang dengan gerakan megal-megol lucu sekali. Ia melihat seekor ikan emas merah mengejar-ngejar seekor ikan emas betina berwarna kuning. Ke mana-mana dikejarnya dan mereka itu berkejaran dengan megal-megol.
“Hi-hik, renangmu begitu kaku, mana mampu menyusulnya?” Ia tertawa-tawa menggunakan jari-jari tangannya yang runcing mungil untuk menggerak-gerakkan air sehingga bayangannya sendiri yang tampak di air menjadi kacau dan bergoyang-goyang. Pemandangan ini mendatangkan rasa geli di hatinya dan kembali ia tertawa.
“Kau... siapakah?”
Teguran ini halus, akan tetapi membuat Lin Lin terkejut bukan main. Ia melompat dan membalik. Seorang laki-laki yang berpakaian amat indah, berusia tiga puluh lebih, wajahnya tampan gerak-geriknya halus, berdiri di depannya sambil memandang penuh perhatian. Belum pernah selamanya Lin Lin melihat seorang pria berpakaian seindah ini. Bahkan Suma Boan putera pangeran itu pun tidak seindah ini pakaiannya, seperti pakaian anak wayang hendak main sandiwara di panggung. Tiba-tiba ia teringat akan sesuatu dan wajahnya pucat, hatinya berdebar. Agaknya orang ini kaisar!
Laki-laki itu menjadi makin kagum melihat Lin Lin berdiri dengan sepasang matanya yang lebar terbelalak. Senyumnya melebar dan kembali ia bertanya. “Kau siapakah? Belum pernah aku melihatmu. Apakah kau seorang dayang baru?”
“Kau... kau...?” Lin Lin balas bertanya dengan gagap.
Laki-laki itu tertawa, suara ketawanya nyaring dan bening. “Bukan, aku bukan Kaisar, hanya Thaicu (Putera Mahkota).”
“Ahhhhh...!” Lin Lin mundur selangkah.
“Kenapa kaget? Kau siapa?” kembali pangeran itu bertanya, kini perhatiannya makin terpikat karena gadis ini sama sekali tidak menjatuhkan diri berlutut setelah mendengar bahwa dia adalah putera mahkota. Ini benar-benar aneh sekali!
“Kau... kau Pangeran yang kelak mengganti Kaisar? Kau calon Kaisar?” Sepasang mata jeli itu menjadi bundar, bening mengeluarkan sinar seperti bintang timur.
Pangeran itu tersenyum dan mengangguk, masih terheran-heran menyaksikan sikap gadis aneh ini.
“Ohhh...!”
“Kenapa?” Hampir pangeran itu meledak ketawanya yang ditahan-tahan melihat sikap dan mendengar mulut kecil mungil itu ah-ah-oh-oh seperti itu.
“Aku... aku salah masuk... aku... apakah aku harus berlutut di depanmu? Kalau diharuskan, lebih baik kau lekas minggir, biarkan aku pergi saja karena tidak biasa aku berlutut di depan orang lain kecuali ayah bundaku yang... yang sudah tiada...”
Sepasang mata pangeran itu bersinar-sinar penuh kegembiraan. Baru kali ini selama hidupnya ada orang bersikap begini ‘biasa’ kepadanya, dan hal ini menggembirakan sekali. Ia sudah jemu dan kadang-kadang muak akan sikap menjilat-jilat, sikap menghormat melewati batas yang setiap hari dilimpahkan terhadap dirinya. Sekarang menghadapi seorang gadis yang tak dikenalnya, gadis remaja cantik jelita dan betul-betul masih asli belum bau kepalsuan tata krama istana yang menjemukan, ia menjadi tertarik bukan main.
“Ah, tak usah berlutut. Kita sama-sama manusia, kan? Kau tadi bilang siapa namamu dan dari mana datangmu?”
Lin Lin menggeleng-geleng kepalanya. “Aku belum pernah bilang tentang itu kepadamu.”
Pangeran itu tersenyum geli. Cerdik juga bocah ini, pikirnya, tidak berhasil pancingannya. “Betul juga. Bolehkah aku mengetahui namamu?”
“Namaku Lin Lin.”
“Wah, nama yang indah sekali! Kau datang dari mana? Mencari siapa di sini?”
“Sebetulnya aku mau mencari gedung perpustakaan, tapi tidak tahu di mana adanya gedung itu, aku tersesat ke mari dan terpesona oleh keindahan taman ini. Apakah ini tamanmu, Pargeran?”
Bukan main! Pangeran mahkota gembira sekali. Alangkah murni dan polosnya anak ini. Segar dan menyenangkan sekali. “Betul, ini memang tamanku. Kau senang melihat ikan emas? Yang di dalam pagoda itu lebih indah, di dalam bak kaca, kau dapat melihat ikan-ikan emas pilihan yang bermain-main di dalam air dengan jelas sekali. Mari, mau lihat?”
Sikap dan suara pangeran itu amat ramah dan manis, lagi wajar sehingga Lin Lin yang masih mempunyai sifat kekanak-kanakan itu tidak dapat menahan keinginan hatinya. Akan tetapi kenyataan bahwa ia berhadapan dan bicara dengan putera mahkota calon kaisar masih membuat ia gugup, maka ia tidak menjawab hanya mengangguk.
Dengan langkah tenang perlahan pangeran itu mengajak Lin Lin menuju ke sebuah bangunan pagoda yang kecil dan indah di sebelah kiri kolam ikan, seakan-akan berjalan di dalam taman bersama seorang gadis yang sama sekali tidak memperlakukannya sebagai pangeran mahkota ini merupakan hal biasa, seakan-akan Lin Lin memang merupakan sahabatnya yang bebas dari pada segala aturan protokol. Pangeran mahkota memang mempunyai ‘hobby’ taman bunga yang indah berikut peliharaan ikan-ikan emasnya. Kalau ia berjalan-jalan menikmati keindahan taman, baik siang mau pun malam, ia tidak mau diganggu oleh para pelayan. Peraturan ini ia jalankan keras sekali karena ia paling pantang diganggu ketenteramannya bersunyi diri dan minum arak atau menulis sajak di taman sehingga pada saat itu pun tak seorang pun pelayan berani muncul di taman itu.
Begitu memasuki pagoda yang oleh pangeran mahkota disebut ‘Pagoda Ikan’, Lin Lin membelalakkan kedua matanya dan mulutnya tiada hentinya berseru kagum. Pangeran itu tersenyum gembira karena kekaguman gadis ini wajar dan sungguh-sungguh, sama sekali berbeda dengan kekaguman para tamu yang pernah diajak ke situ, yaitu kekaguman yang lebih banyak bersifat membangkitkan kesenangan dan kebanggaan hati pangeran mahkota.
Memang indah di dalam pagoda itu. Di sekelilingnya terdapat aquarium atau tempat-tempat ikan terbuat dari pada kaca, di atas dan belakangnya diterangi lampu beraneka warna sehingga di dalam air itu berubah menjadi dunia mimpi yang luar biasa. Ada pondok kecilnya, ada rumpun bambu, ada alang-alang, bahkan ada patung kecil merupakan kakek-kakek yang sedang memancing ikan. Adapun ikan-ikan emas dengan sisik beraneka warna, hilir mudik bermain-main, sisik mereka berkilauan tertimpa sinar lampu. Lin Lin sampai ternganga memandangi itu semua.
Pangeran itu menjatuhkan diri duduk di atas sebuah kursi di pojok dan ia pun menikmati pemandangan baru yang baginya tak kalah menariknya dari pada ikan-ikan di dalam kaca yang setiap malam sudah dilihatnya itu. Ia melihat keadaan gadis remaja, masih murni dan bebas lepas setengah liar, gadis yang terpesona oleh keindahan isi pagoda, tanpa sadar bahwa dirinya sendiri merupakan keindahan tersendiri yang pada saatnya akan lebih menggairahkan dari pada isi pagoda.
Setelah Lin Lin puas memandangi semua ikan, mengikuti gerak-gerik mereka sampai lebih dari satu jam lamanya, barulah ia berpaling kepada pangeran itu, menarik napas panjang melampiaskan kekagumannya dan berkata, “Hebat sekali! Aku merasa seakan-akan berada di dasar lautan!”
Pangeran itu tertawa. Perumpamaan yang tepat dan hebat. Bagus untuk permulaan sajak! Dan teringat akan pengakuan Lin Lin yang tadi hendak mencari gedung perpustakaan, tiba-tiba timbullah kecurigaan dan keheranannya. Dengan suara ramah ia bertanya, “Nona Lin Lin, kau tadi bilang bahwa kau hendak mencari gedung perpustakaan istana! Mau apakah kau mencari gedung itu? Apakah kau termasuk seorang kutu buku?”
Lin Lin cemberut. “Kutu? Aku dianggap kutu? Kalau kutunya saja besarnya seperti aku, bukunya sebesar apa?”
“Ha-ha-ha-ha-ha! Ah, Nona yang lucu, masa kau tidak tahu apa yang kumaksudkan? Kutu buku adalah sebutan bagi seorang yang hobby-nya membaca buku. Jangan kau bilang bahwa kau buta huruf.”
“Tentu saja aku bisa membaca dan menulis, akan tetapi aku tidak suka banyak baca. Terlalu lama membaca kepalaku pusing. Aku mencari perpustakaan bukan untuk membaca buku, melainkan....” Lin Lin menjadi ragu-ragu.
“Melainkan apa? Hendak mencari kitab rahasia?”
Lin Lin menganggap putera mahkota ini amat baik orangnya, maka ia pikir tidak ada salahnya mengaku terus terang, sekalian melihat apa sikap putera kaisar ini kalau tahu bahwa Suling Emas suka bersembunyi di dalam gedung perpustakaan istana kalau berada di kota raja. “Bukan, Pangeran. Sebetulnya, aku hendak mencari Suling Emas yang kurasa berada di gedung perpustakaan istana.”
Betul saja dugaan Lin Lin, pangeran itu terkejut. Akan tetapi bukan terkejut mendengar bahwa Suling Emas berada di istana, melainkan terkejut mendengar bahwa gadis ini mencari tokoh aneh itu. “Kau mencari... dia? Ah, kiranya kau seorang gadis petualang dari dunia kang-ouw! Hemmm, betul juga, kau membawa pedang. Tentu kau lihai sekali, Nona, kalau kau mengenal Suling Emas. Ya, kiranya tak perlu diragukan lagi. Kau dapat memasuki istana ini saja sudah menjadi bukti akan kelihaianmu....”
Tiba-tiba terdengar bentakan keras, “Thaicu, saat kematianmu tiba!” tampak sinar menyilaukan mata menyambar ketika orang berpakaian hitam ini menerjang maju dengan pedang di tangan, langsung menyerang pangeran mahkota!
“Jangan takut!” Lin Lin berseru dan sinar kuning bergulung-gulung menyambut pedang orang itu. Terdengar suara nyaring berkali-kali ketika kedua pedang bertemu dan orang itu memekik, pedangnya patah menjadi dua bertemu dengan Pedang Besi Kuning, disusul robohnya orang itu dengan dada tertembus pedang Lin Lin!
Pangeran itu membungkuk, memungut pedang buntung penyerangnya tadi sambil berkata perlahan, “Menjemukan benar....” Ia melangkah ke luar dan saat tangannya bergerak, buntungan pedang itu meluncur ke dalam taman, lenyap di balik gerombolan bunga. Terdengar pekik kesakitan di tempat yang gelap itu.
Lin Lin terkejut dan sekali melompat ia sudah sampai di tempat itu. Apa yang dilihatnya? Seorang laki-laki berpakaian hitam, agaknya teman penyerang tadi, sudah menggeletak tewas dengan tenggorokan ditembus buntungan pedang yang disambitkan oleh pangeran mahkota!
Ketika Lin Lin kembali ke dalam pagoda, pangeran itu masih berdiri, keningnya berkerut. “Tidak enaknya menjadi keluarga istana,” katanya ketika melihat Lin Lin kembali, “sejak jaman dahulu sampai kini, selalu terjadi perebutan kekuasaan, selalu muncul pengkhianat-pengkhianat, muncul pembunuh-pembunuh gelap macam ini. Uhhh, menjemukan sekali!”
“Tapi dengan kepandaian seperti yang kau miliki, tak usah kau takut, Pangeran. Wah, kiranya kau pun amat lihai, sungguh tak kusangka!” Lin Lin memuji.
Pangeran mahkota memandang tajam. “Dan kiranya kau adalah gadis yang melakukan pencurian pedang di gedung pusaka, juga sama sekali tak kusangka!”
Lin Lin kaget. Pedang Besi Kuning yang belum ia sarungkan tadi digenggamnya erat-erat, dan ia menatap wajah pangeran itu penuh selidik. Pangeran itu tersenyum akan tetapi senyumnya mengandung kepahitan.
“Nona Lin Lin, terus terang saja, pertemuan ini mendatangkan kegembiraan besar yang belum pernah kurasai selama hidupku. Kau baik sekali, kau bagaikan bunga mawar hutan yang belum terjamah tangan dan masih segar oleh embun. Kalau saja kau dapat menjadi sahabatku selamanya. Tapi... aaah, tak mungkin itu. Kalau kau berada di sini, tentu kau pun akan menjadi seperti mereka. Karena itu, lebih baik begini saja, kita asing satu kepada yang lain. Hanya harapanku, semoga kelak kita akan masih dapat bertemu seperti sekarang ini.”
Lin Lin mendengarkan ucapan yang baginya tidak karuan ini dengan bingung. Ia tidak mengerti dan ia tidak ingin lebih lama lagi berada di tempat itu setelah pangeran itu berubah sikapnya. Ia mulai curiga.
“Lin Lin, pertemuan ini telah menjalin persahabatan kita. Sebagai sahabat yang akan sering kali mengenangmu, aku bebaskan kau. Apakah artinya sebuah pedang dibandingkan dengan persahabatan sejati? Kuhadiahkan pedang itu kepadamu! Akan tetapi, sebagai seorang Pangeran Mahkota yang harus menjaga kehormatannya, aku tidak dapat bertindak lebih jauh dan lebih banyak dari pada ini. Kau harus dapat keluar sendiri dari lingkungan Istana dengan selamat. Akan tetapi jangan harap hal itu akan mudah karena kurasa para pengawal istana sekarang sudah tahu akan kehadiranmu. Nah, selamat malam.”
“Tapi... tapi... aku hendak ke gedung perpustakaan. Di mana itu...?”
Pangeran itu tersenyum. “Kau tidak takut? Benar-benar besar nyalimu. Gedung perpustakaan berada di sebelah kiri taman ini, melalui tiga bangunan. Atapnya dari kayu besi berwarna putih, kau cari saja, tentu dapat.”
Lin Lin menyarungkan pedangnya. “Pangeran, kau seorang yang baik sekali. Sekarang berubah pendapatku bahwa semua pangeran adalah jahat belaka model Suma Boan....”
“Kau kenal Suma Boan?”
“Pedangku yang akan mengenalnya, dia musuhku!”
Pangeran itu mengangguk-angguk dan memandang dengan termenung sampai bayangan Lin Lin lenyap di balik pagar tembok. Ia lalu menoleh kepada ikan-ikannya dan berbisik. “Mudah-mudahan ia selamat!”
Pertemuan antara putera mahkota dan Lin Lin tanpa disengaja ini diceritakan di sini karena hal yang kelihatan remeh inilah yang menjadi sebab mengapa kelak setelah pangeran ini menjadi kaisar, permusuhan antara pemerintahnya dan Kerajaan Khitan berhenti dan berubah menjadi persahabatan.....
Lin Lin melompati pagar tembok taman itu dan menyelinap ke dalam gelap. Ia segera mendekam di balik sebatang pohon ketika melihat berkelebatnya dua bayangan orang.
“Ke mana mereka...?” bisik sesosok bayangan.
“Memasuki taman Putera Mahkota...!”
“Ha-ha, mereka mencari penyakit. Kepandaian mereka belum begitu tinggi, berani mengganggu Thaicu. Mari kita masuk untuk mengambil mayat mereka.”
“Hush, jangan sembrono kau. Kalau belum ada tanda panggilan Thaicu, siapa berani masuk taman? Minta mampus? Biar kita menanti di sini saja.”
Lin Lin bergerak menjauhi dua orang pengawal itu. Hatinya kebat-kebit. Benar kata pangeran, banyak pengawal pandai di sini. Dua orang itu saja sudah tahu akan adanya dua orang pembunuh itu, dan agaknya mereka sengaja membiarkan dua orang penjahat memasuki gua harimau! Lin Lin bergerak ke kiri dan akhirnya ia melihat bangunan atap putih. Hatinya berdebar, apakah Suling Emas berada di dalam gedung ini? Kelihatannya gedung itu sunyi dan gelap. Ia mendekat lagi.
“Berhenti! Siapa kau berani mencuri masuk taman Thaicu dan berkeliaran di istana? Hayo menyerah!”
Lin Lin sudah mendahului orang itu, menerjang dan berhasil mendorongnya roboh. Orang itu lihai dan cepat sudah melompat bangun. Tadi ia dapat dirobohkan karena sama sekali tidak mengira akan diserang, apa lagi ketika ia terlongong keheranan melihat bahwa yang ditegurnya adalah seorang gadis remaja yang cantik dan cara gadis itu menerjang adalah luar biasa dahsyatnya. Hal ini tidak aneh karena memang Lin Lin tadi menggunakan tenaga Khong-in-ban-kin.
“Gadis liar, jangan lari!” pengawal itu membentak dan menubruk.
Akan tetapi cepat seperti seekor burung walet membalik, gadis itu sudah menyelinap ke kiri dan begitu tangannya bergerak, kembali orang itu roboh, kini robohnya malah dengan terhempas dan bergulingan. Barulah ia kaget setengah mati. Kakinya salah urat dan tanpa dapat bangun kembali ia hanya bisa bersuit keras memberi tanda bahaya.
Lin Lin cepat menjauhkan diri, melompat ke dekat gedung perpustakaan. Ia tidak ingin melibatkan diri ke dalam pertempuran dengan para pengawal sebelum ia bertemu dengan Suling Emas, karena memang itulah maksud kedatangannya. Akan tetapi tiba-tiba berkelebatan bayangan orang dan di lain saat ia telah terkepung oleh lima orang pengawal istana yang berpakaian indah dan gagah, masing-masing memegang sebatang pedang dengan sikap mengancam. Di pihak para pengawal, mereka sejenak tercengang, sama sekali tidak pernah menyangka bahwa mereka akan mengurung seorang gadis jelita! Tentu saja mereka menjadi ragu-ragu karena pengawal-pengawal istana yang gagah perkasa seperti mereka, masa harus mengeroyok seorang gadis muda?
Melihat betapa lima orang pengawal itu memegang pedang dan sikap mereka mengancam, Lin Lin cepat mencabut pedangnya dan sinar kuning berkilau. Melihat ini, lima orang pengawal itu terkejut.
“Eh, kiranya kau pencuri pedang? Nona cilik, lebih baik kau menyerah saja dari pada kami harus menggunakan kekerasan. Malu kami kalau harus....”
“Banyak cerewet!” Lin Lin sudah menerjang maju dan sinar pedangnya bergulung-gulung seperti awan kuning. Para pengawal kaget dan cepat menangkis. Di lain saat Lin Lin sudah dikurung. Maklum bahwa gadis ini berkepandaian tinggi, para pengawal itu tidak malu-malu lagi untuk mengeroyok, bahkan mereka terdesak hebat oleh pedang yang dimainkan secara dahsyat itu.
Khong-in-lui-san adalah ilmu silat yang sakti, apa lagi sekarang dimainkan dengan menggunakan pedang pusaka yang ampuh. Hebatnya bukan main. Segera Lin Lin berhasil melukai leher seorang pengeroyok, akan tetapi pada saat seorang lawan ini roboh, terdengar suara berkali-kali dan dari jauh berdatangan pengawal-pengawal lain!
Lin Lin bingung juga. Harus ia akui bahwa kepandaian para pengawal ini tidak rendah, apa lagi kalau mereka melakukan pengeroyokan. Bisa-bisa tenaganya habis dan akhirnya ia tentu akan tertawan. Ia pikir lebih baik melarikan diri dulu, keluar dari istana ini. Urusan dengan Suling Emas dapat dilakukan besok atau lusa malam. Ia berseru keras, pedangnya meluncur, merupakan sinar yang panjang mengancam. Empat orang lawannya kaget dan terpaksa menangkis sambil melompat ke belakang. Kesempatan ini dipergunakan oleh Lin Lin untuk lompat menjauh. Akan tetapi kini para pengawal yang datang membanjiri tempat itu sudah tiba di situ dan kembali Lin Lin dihadang dan dikurung.
Gemaslah Lin Lin. Ia menggigit bibirnya lalu memaki. “Aku datang bukan bermaksud bikin kacau. Aku tidak ingin berkelahi. Kenapa kalian memaksa? Mundur semua, tinggalkan aku! Awas jangan bikin aku hilang sabar!”
Biar pun maklum akan kelihaian nona ini, namun mendengar kata-kata besar ini para pengawal tertawa. Gadis itu hanya seorang diri, dan sekarang di situ telah berkumpul belasan orang pengawal, bagaimana gadis liar ini masih berani membuka mulut besar?
“Dia pencuri pedang pusaka! Tangkap!”
Melihat dirinya dikurung rapat, Lin Lin tahu bahaya. Cepat ia mengerahkan tenaga, memutar pedangnya mendesak ke sebelah kiri. Pengurungan di sebelah ini segera terdesak mundur dan kesempatah ini ia pergunakan untuk melompat ke atas atap putih dari gedung perpustakaan. Akan tetapi pada saat ia melayang itu, seorang pengawal tua yang bertubuh tinggi kurus melontarkan sesuatu yang hanya tampak sebagai sinar hitam melayang-layang ke arah tubuh Lin Lin. Gadis ini kaget bukan main ketika melihat bahwa benda itu adalah sehelai tali yang dapat bergerak-gerak seperti ular hidup, mengancam hendak melibat tubuhnya! Ia maklum bahwa penggeraknya tentu bukan seorang biasa, maka ia segera membabat dengan pedangnya.
“Iiihhhhh!” Lin Lin berseru kaget.
Pedangnya yang dipakai membacok malah terlibat tali hitam itu. Kalau ia mengerahkan tenaga menahan pedangnya, tubuhnya yang masih melayang di udara itu tentu akan jatuh ke bawah! Terpaksa, dengan hati bingung dan marah, ia melepaskan pedangnya sehingga tubuhnya dapat terus melayang ke atas gedung itu. Akan tetapi, begitu kakinya menginjak atap putih tiba-tiba ia terjeblos dan tubuhnya melayang ke bawah, ke dalam gedung itu!
Para pengawal girang. Dipimpin oleh pengawal kurus yang lihai tadi, mereka melompat ke atas atap. Akan tetapi tiba-tiba mereka berdiri tertegun dan tidak berani bergerak, memandang kepada sebuah sapu tangan hitam yang berkibar seperti bendera di ujung atap. Sapu tangan hitam yang ada gambarnya suling berwarna kuning!
“Dia... dia di sini...” bisik seorang pengawal dan kini para pengawal itu memandang penuh pertanyaan, menanti komando pengawal kurus yang menjadi pimpinan pasukan.
“Dia di sini, tak boleh kita mengganggu. Mundur! Lakukan saja penjagaan sekeliling ini dan baru bergerak kalau gadis itu keluar, tangkap dia!”
Para pengawal melompat turun lagi, kemudian meninggalkan tempat itu yang menjadi sunyi kembali.....
********************
Kita tinggalkan dulu Lin Lin yang terjungkal ke sebelah dalam gedung perpustakaan. Agar jalannya cerita menjadi lancar, mari kita menengok keadaan Bu Sin yang sudah terlalu lama kita tinggalkan.
Telah kita ketahui betapa Bu Sin yang tadinya disiksa oleh Suma Boan dan digantung di atas kayu bersilang, dapat ditolong orang sakti yang tidak ia ketahui siapa adanya. Ia ditinggalkan di dalam hutan, luka di tubuhnya akibat anak panah Suma Boan telah sembuh sama sekali oleh obat ajaib yang tahu-tahu telah berada di luka-lukanya, tentu oleh penolongnya itu. Karena maklum bahwa kalau sampai tertawan lagi oleh Suma Boan ia akan celaka, Bu Sin lalu melarikan diri dari hutan itu dan beberapa hari lamanya ia terus menyusup-nyusup hutan, tidak berani menampakkan diri di tempat ramai.
Sepekan kemudian, menjelang senja ia tiba di sebuah tanah kuburan yang amat sunyi menyeramkan. Ia tidak tahu bahwa ia berada di sebelah utara kota raja, dan juga tidak tahu bahwa penduduk sekitar tempat itu tidak berani mendekati kuburan ini di waktu malam karena sudah terkenal bahwa kuburan itu berhantu! Akan tetapi Bu Sin yang berusaha sembunyi dari kejaran Suma Boan dan orang-orangnya, merasa aman berada di tempat sunyi itu. Ia segera mencari sebuah tempat yang enak, di bawah pohon besar, duduk termenung memikirkan nasibnya. Dari jauh terdengar kokok ayam hutan yang agaknya hendak mengantar kepergian matahari, hendak menyambut sang bulan?
Malam itu bulan purnama. Di tempat sunyi ini, sambil makan buah-buah yang tadi ia petik di tengah jalan dalam hutan, Bu Sin menikmati bulan yang muncul dari timur, tampak besar bundar kemerahan, amat indahnya. Akan tetapi ia tidak bergembira, ia malah berduka teringat akan kedua orang adiknya yang masih belum ia ketahui bagaimana nasibnya. Juga kakaknya yang dicarinya, Kam Bu Song. Amatlah tipis harapan untuk dapat dijumpainya, karena menurut pengakuan Suma Boan, agaknya kakaknya itu pun mengalami kesengsaraan dan sedikit saja harapan bahwa kakaknya itu masih hidup. Kakaknya seorang pelajar yang lemah, apa dayanya mempunyai musuh seperti Suma Boan yang lihai? Dia sendiri yang sejak kecil belajar ilmu silat, tidak berdaya menghadapi putera pangeran itu. Bu Sin makin sedih mengingat akan hal ini dan berkali-kali ia menarik napas panjang.
Tiba-tiba napasnya terhenti, wajahnya pucat dan matanya terbelalak memandang ke depan. Dikejap-kejapkannya kedua mata itu, kemudian digosok-gosoknya, akan tetapi tetap saja pemandangan di depan itu tidak berubah. Bulu tengkuknya berdiri satu-satu. Jantung berdebar-debar dan Bu Sin merasa ngeri. Dia bukanlah seorang penakut, bahkan ia terkenal tabah, akan tetapi siapa orangnya takkan merasa ngeri melihat betapa di sebuah kuburan sunyi, di dalam terang bulan, mendadak di depan batu nisan yang tua berdiri seorang wanita yang rambutnya panjang riap-riapan sampai ke kaki?
Wanita itu berdiri membelakanginya, akan tetapi melihat bentuk tubuhnya yang langsing, kedua lengan yang diangkat ke atas itu dari jauh kelihatan halus putih dan jari-jarinya mungil, rambutnya pun hitam halus mengkilap, dapat diduga bahwa wanita itu masih muda. Dari mana dia datang? Mengapa Bu Sin tidak melihatnya ia datang? Dan apa yang dilakukannya di tempat itu?
Kuntilanak! Siluman! Tak salah lagi, pikir Bu Sin dengan jantung berdebar-debar. Otomatis tangannya meraba gagang pedang, dan ia tidak malu mendapat kenyataan bahwa tangannya menggigil. Ia membayangkan bahwa muka kuntilanak ini tentulah mengerikan, muka pucat seperti muka mayat, mata terbelalak tinggal putihnya saja, mulut bertaring. Iiihhhhh! Lebih baik ia pergi, menjauhi tempat setan ini, pikirnya dengan hati-hati dan perlahan-lahan Bu Sin bangkit berdiri lalu melangkah pergi dari tempat itu.
Akan tetapi baru lima enam langkah ia berjalan, tiba-tiba ada angin menyambar dan terdengar bentakan yang merdu, nyaring dan halus, “Berhenti! Siapa itu?”
Tengkuk dan punggung Bu Sin serasa tebal saking ngerinya. Suara itu sudah berada tepat di belakang punggungnya, seakan-akan siluman itu telah hinggap di atas punggung. Ia mengeraskan hatinya dan sambil mengepal tinju ia membalik, siap menghadapi wajah yang mengerikan.
Ia membalik tiba-tiba dan... Bu Sin ternganga menatap wajah yang cantik jelita, wajah yang amat manis dengan sepasang mata lebar bersinar-sinar, hidung kecil mancung dan mulut kecil dengan bibir merah yang selalu tersenyum mengejek. Bentuk tubuh langsing, padat, rambut yang hitam halus panjang terurai melalui punggung, pundak, dan dada. Lebih hebat lagi, bau yang amat harum semerbak menusuk hidung membuat Bu Sin terpesona. Sama sekali bukan siluman mengerikan. Andai kata siluman juga, inilah siluman cantik!
Siluman! Teringat akan ini, Bu Sin sadar dan kekagumannya akan kecantikan wajah wanita muda ini berubah menjadi kecurigaan dan otomatis ia meraba lagi gagang pedangnya.
Wanita itu tertawa, manis seperti madu bibirnya kalau tertawa, akan tetapi suara ketawanya mengerikan, hampir seperti tangis! “Hi-hik, kau tampan dan gagah. Siapa kau?”
“Nama saya Bu Sin, Kam Bu Sin. Nona... eh, Nyonya siapakah?”
Wanita itu tertawa, giginya berderet putih rapi, sama sekali tidak ada taringnya! “Bagus sekali! Kau she Kam? Suaramu seperti orang selatan. Apamukah Jenderal Kam Si Ek?”
Bu Sin terkejut dan memandang heran. “Dia... dia adalah mendiang Ayahku.”
Sepasang mata yang indah lebar itu terbelalak, lalu wanita itu tertawa lagi. “Hi-hi-hik, pantas saja tampan dan gagah. Betul, sekarang aku melihat persamaannya. Kau jauh lebih muda, lebih tampan. Hi-hik, kau tadi bertanya siapa aku? Aku Siang-mou Sin-ni, dahulu pernah menjadi sahabat baik Ayahmu. Karena kau puteranya, kau sekarang akan mampus di tanganku!”
Bu Sin makin kaget, dan kini ia menduga bahwa wanita ini tentulah miring otaknya. Kalau tidak gila, masa mengaku sahabat baik ayahnya tapi akan membunuh puteranya? Ia merasa tidak perlu banyak bertanya lagi, cepat tangannya bergerak mencabut pedangnya. Ia hendak menggertak dan mengusir wanita gila ini agar jangan mengganggunya lagi.
Akan tetapi wanita itu tertawa dan tiba-tiba rambut panjang terurai itu bergerak, melibat pedang dan tubuhnya dan....
“Krak! krak!” pedangnya telah patah-patah menjadi tiga potong sedangkan tangan, kaki dan pinggangnya sudah dibelit-belit rambut halus dan harum, membuat ia tak dapat berkutik sama sekali! Bu Sin berusaha meronta dan mengerahkan lweekangnya, namun hal ini hanya mendatangkan rasa sakit karena rambut-rambut itu menekan lebih keras seakan-akan hendak mengiris kulitnya!
“Hi-hi-hik! Mau apa kau sekarang? Dengar baik-baik. Aku Siang-mou Sin-ni dahulu pernah dibikin sakit hati oleh Ayahmu, jenderal yang angkuh dan sombong itu. Mentang-mentang dia seorang jenderal yang tinggi kedudukannya, ia berani menolak aku! Hi-hik, dan sekarang kau puteranya jatuh ke tanganku. Apa yang akan kulakukan denganmu? Kau akan kujadikan korban yang keempat puluh! Aku sedang menggembleng diri dengan Ilmu Sin-yang Hoat-lek (Ilmu Gaib Sin-yang) dan untuk keperluan itu aku membutuhkan hawa murni dan darah hidup jejaka-jejaka murni sebanyak-banyaknya! Dan kau masih muda remaja dan murni. Hi-hik, kau menjadi orang keempat puluh, dan kau putera Kam Si Ek. Bagus sekali, tentu darahmu bersih, darah satria. Inilah yang kucari!” Wanita itu tertawa-tawa.
Bu Sin bergidik. Terang wanita ini gila. Ataukah dia bukan manusia? “Pergi kau! Lepaskan aku!” teriaknya. “Kau bohong! Usiamu takkan lebih tua dari pada aku, mana bisa kau mengenal Ayah.”
Siang-mou Sin-ni menggunakan telapak tangannya mengelus-elus pipi dan dagu Bu Sin yang tak berambut. “Terima kasih, orang bagus! Pujianmu bikin aku tak tega membunuhmu. Kau betul-betul melihat aku lebih muda dari padamu? Hi-hik, usiaku hampir dua kali usiamu. Akan tetapi, inilah hasil pertama dari Sin-yang Hoat-lek! Aku takkan pernah menjadi tua, aku takkan... takkan bisa mati! Nah, kau bersiaplah, sudah kemecer (berliur) mulutku, darahmu tentu manis dan hangat!” Setelah berkata demikian wanita itu mendekatkan mukanya ke muka Bu Sin.
Pemuda ini bergidik dan meremang bulu tengkuknya. Hendak apakah perempuan ini? Ia mengira hendak dicium, akan tetapi wajah berkulit halus yang harum itu menunduk dan... hidung dan mulut yang basah hangat itu menempel pada tenggorokannya! Bu Sin merasa ngeri bukan main. Mampus aku sekarang, pikirnya dan ia meramkan mata menahan sakit, siap menanti maut karena sama sekali tidak dapat berkutik.
Akan tetapi tiba-tiba wanita itu mengangkat mukanya, kedua tangannya meraba-raba muka Bu Sin, membelai-belainya. “Kau tampan... gagah, seperti Ayahmu... sayang kalau dibunuh!”
Sejenak Bu Sin merasa betapa wajah yang halus kulitnya itu menempel pada pipinya. Ia tak berani membuka mata karena ngeri. Tiba-tiba rambut yang mengikat kaki tangan dan tubuhnya terlepas. Ia membuka mata.
Siang-mou Sin-ni berdiri di depannya, mata wanita itu bersinar-sinar, bibirnya tersenyum manis sekali. “Kau tampan dan ganteng, kau pemberani seperti Ayahmu. Bu Sin... eh, Kanda... kau sembuhkanlah luka di hatiku yang disebabkan Ayahmu dahulu. Kau perbaikilah apa yang telah dirusak Ayahmu. Kau tentu mau, Koko (Kanda) yang ganteng?” Siang-mou Sin-ni mendekat lagi, mepet-mepet dengan lagak genit dan mengambil hati.
Bu Sin merasa tenggorokannya tercekik, mulutnya kering dan jantungnya berdebar tidak karuan. “Apa maksudmu? Apa kehendakmu?”
Siang-mou Sin-ni mengangkat muka, lalu dengan lagak genit mencubit dagu Bu Sin. “Hi-hik, kau benar-benar masih hijau! Tentu saja maksudku agar kau suka menjadi suamiku!”
Kalau saja pada saat itu ada gunung meletus, kiranya Bu Sin takkan sekaget ketika mendengar kata-kata ini. Wajahnya menjadi pucat dan seketika ia membentak, “Kau perempuan gila! Pergi, jangan dekat-dekat denganku! Aku tidak sudi menjadi suamimu. Huh, tak bermalu, lebih baik kau bunuh aku!” Sambil berkata demikian Bu Sin mengerahkan tenaga lalu menerjang wanita itu dengan pukulan. Ia mengerahkan semua tenaganya dalam pukulan ini karena ia amat benci dan hendak membunuh wanita itu.
“Bukkk!” kepalan tangan Bu Sin tepat menghantam dada, bertemu dengan daging lunak, akan tetapi akibatnya, tubuh Bu Sin yang terlempar ke belakang! Sebelum pemuda ini tahu apa yang terjadi, tiba-tiba tubuhnya sudah menjadi lemas, jalan darahnya tertotok dan di lain saat tubuhnya yang lemas itu sudah di panggul dan dibawa pergi oleh Siang-mou Sin-ni dari tempat kuburan itu!
Sambil berjalan di malam terang bulan, Siang-mou Sin-ni bernyanyi-nyanyi, kadang-kadang mengomel panjang pendek, “Celaka, kenapa hatiku tertarik kepada bocah ini? Lebih celaka lagi. Dia menolak dan memaki-maki, keparat!”
Ia berhenti di sebuah anak sungai yang jernih airnya dalam sebuah hutan, menurunkan tubuh Bu Sin yang ia lempar ke atas rumput. “He, Kanda Bu Sin, bagaimana sekarang? Maukah kau?”
“Tidak sudi dan jangan sebut aku Kanda, perempuan hina dan gila!”
“Hi-hik, seperti Ayahnya!” tiba-tiba rambutnya bergerak dan tahu-tahu tubuh Bu Sin sudah dilibat rambut, lalu tubuh pemuda itu terlempar ke dalam air di depan Siang-mou Sin-ni!
Bu Sin gelagapan, akan tetapi tak mampu berenang karena kedua tangan dan kakinya dibelenggu rambut. Ia gelagapan dan minum air, sedangkan tubuhnya menggigil kedinginan. Siang-mou Sin-ni mengangkat muka pemuda itu ke atas air, tapi tubuhnya masih terendam.
“Jawab, mau tidak kau?!”
“Tidak sudi!” Bu Sin membentak. Dan kembali ia dilelapkan ke dalam air, berkali-kali sampai sukar bernapas dan perutnya kembung kemasukan banyak air.
“Apakah kau masih bandel tidak mau?” Siang-mou Sin-ni kembali bertanya ketika muka pemuda itu diangkat agar dapat bernapas.
Bu Sin tak dapat mengeluarkan suara lagi. Ia setengah pingsan, akan tetapi ia masih cukup kuat untuk menggeleng-geleng kepalanya tanda tidak sudi!
“Bandel!” Siang-mou Sin-ni berteriak marah dan melelapkan kepala Bu Sin sampai pemuda ini menjadi pingsan, baru ia angkat tubuh itu ke atas daratan, memegangi punggungnya dan membalikkan kepala Bu Sin ke bawah, menepuk perutnya sehingga dari mulut pemuda itu keluar banyak air!
Ketika Bu Sin sadar dari pingsannya, ternyata ia telah berada di tempat yang amat tinggi, di atas pohon yang tingginya lebih dari sepuluh meter! Pakaiannya sudah kering kembali dan ternyata ia digantungkan di sebuah cabang patah, bajunya digantung dari belakang sehingga tubuhnya tergantung menempel batang pohon yang kasar. Ia berusaha menggerakkan kaki tangan, namun sia-sia. Kiranya ia telah tertotok pula, tak mampu bergerak. Baju dalamnya sudah tidak ada, agaknya disobek oleh perempuan iblis itu sehingga ketika bajunya tergantung pada cabang pohon, perut dada serta lehernya telanjang.
Perempuan itu duduk di atas sebatang dahan kecil di depannya. Luar biasa sekali. Bagaimana seorang manusia, dapat duduk enak-enak di atas ranting demikian kecilnya seperti seekor burung saja? Bagaimana kalau ranting itu patah? Siang-mou Sin-ni duduk merangkapkan jari-jari tangan, kakinya bergoyang-goyang tergantung. Rambutnya riap-riapan, hitam halus mengkilap, matanya meram melek ketika ia menatap wajah Bu Sin. Nampaknya wanita itu terheran-heran, kagum, juga jengkel dan kehilangan akal.
“Bu Sin koko, kau buka matamu dan pandang baik-baik. Apakah aku tidak cantik molek? Lihat kulitku begini putih kemerahan dan halus, lihat rambutku begini panjang hitam, halus dan harum. Tubuhku padat dan denok. Semua orang bilang wajahku cantik seperti bidadari. Apakah kau menganggap aku kurang cantik?”
Bu Sin mendongkol sekali. Benar-benar wanita iblis dan ia lebih senang seribu kali mati dari pada harus menjadi suami iblis macam ini. “Huh, Siang-mou Sin-ni, kau kira aku Kam Bu Sin seorang laki-laki macam apakah? Kau memang cantik jelita, akan tetapi apa artinya cantik jelita kalau wataknya busuk dan jahat seperti iblis? Apa artinya buah yang tampak indah dan lezat kalau di dalamnya tersembunyi banyak ulatnya yang menjijikkan? Kecantikan hanya terbatas pada kulit belaka, di bawahnya hanya daging dan darah yang lekas membusuk dan di dalam sendiri hanya tengkorak yang menjijikkan! Aku tidak butuh kecantikanmu, dan aku muak melihat kejahatanmu!”
“Ck-ck-ck... semuda ini sudah bisa bicara tentang jahat dan baik! Hi-hik, kau seperti anak kecil yang muntah-muntah melihat tahi, tidak tahu bahwa di dalam perutnya sendiri penuh tahi. Hi-hi-hik, kau kira aku tak dapat menundukkanmu? Masih banyak jalan.” Ia lalu berkelebat pergi, tapi belum lebih lima menit ia telah kembali, membawa daun lebar penuh madu lebah. Ia lalu memercik-mercikkan madu itu pada muka, leher, dada, perut dan kedua lengannya, kemudian sambil tertawa-tawa ia melempar daun itu dan duduk kembali seperti tadi.
Bu Sin tidak mengerti apa kehendak wanita ini. Ia maklum bahwa wanita ini kejam sekali dan ia sudah siap menanti datangnya siksaan, akan tetapi apa maksudnya memercik-mercikkan madu kepadanya? Apakah madu ini mengandung racun sehingga sebentar lagi aku akan merasakan akibatnya? Bermacam-macam dugaan Bu Sin, akan tetapi baru sepuluh menit kemudian ia mengerti apa artinya madu dipercikkan itu dan ia bergidik penuh kengerian.
Kiranya semut-semut besar mulai berdatangan melalui batang, cabang, ranting dan daun-daun, dan tak lama kemudian semut-semut itu telah merayap di seluruh tubuhnya, menggigitnya! Bu Sin menggeliat-geliat, geli dan gatal. Bukan main hebatnya siksaan ini. Tadi ketika ia dilelapkan di dalam air yang dingin, sebentar saja ia tidak kuat dan pingsan. Kalau pingsan, tidak ada derita lagi, tidak terasa. Akan tetapi sekarang lain lagi. Semut-semut ini menggigit, mendatangkan rasa gatal-gatal dan geli yang bukan main hebat penderitaannya. Akan tetapi yang paling hebat di antara segala adalah kenyataan bahwa ia tidak akan menjadi pingsan karenanya! Ia akan terus sadar untuk merasakan penderitaan ini, yang membuat seluruh urat syarafnya tegang dan terganggu, membuat perasaannya tersiksa mati tidak hidup pun tidak. Tak tertahankan lagi oleh Bu Sin, ia mulai berteriak-teriak menahan perasaan yang tak dapat dilukiskan lagi penderitaannya!
“Hayo bilang bahwa kau mau menjadi suamiku dan aku akan membebaskanmu!” Berkali-kali Siang-mou Sin-ni berkata membujuk.
Hanya kata-kata inilah yang kadang-kadang menjadi penguat semangat Bu Sin, karena ia lalu memaki-makinya dan untuk sementara melupakan penderitaannya. Akan tetapi kalau wanita itu diam saja dan duduk menonton, ia tersiksa lagi. Akhirnya Bu Sin tertawa-tawa, lalu menangis, tertawa lagi seperti orang gila karena penderitaannya yang tak tertahankan. Kalau diteruskan beberapa jam lagi, ia tentu akan menjadi gila benar-benar.
Agaknya Siang-mou Sin-ni memaklumi hal ini, maka ia lalu mengusir semut-semut itu, memanggul tubuh Bu Sin dan melompat turun dari atas pohon, lalu berlari cepat sekali pergi dari situ. Bu Sin meramkan matanya, merasa seperti dibawa terbang oleh wanita sakti yang berhati iblis ini. Ia tidak putus asa selama nyawanya belum melayang, akan tetapi ia bertekad lebih baik mati dari pada dijadikan suami seorang iblis betina yang demikian keji dan jahatnya. Ia seorang laki-laki sejati dan nama baik serta kehormatannya jauh lebih berharga dari pada selembar nyawanya. Demikianlah tekad hati pemuda jantan ini.
Akan tetapi Bu Sin adalah seorang pemuda yang masih hijau dan belum berpengalaman. Ia sama sekali tidak tahu sampai di mana jahat, keji, dan lihainya seorang tokoh besar dunia hitam seperti Siang-mou Sin-ni yang terkenal sebagai seorang di antara enam tokoh Thian-te Liok-koai (Enam Iblis Dunia)!
Selama menjadi tawanan wanita iblis ini, beberapa hari kemudian, ia telah berubah menjadi seorang yang kehilangan semangat, menjadi seorang yang tak ingat apa-apa lagi, menjadi penurut seperti binatang peliharaan, disuruh apa saja oleh Siang-mou Sin-ni, akan ditaatinya tanpa mempedulikan nyawanya sendiri, tidak ingat lagi akan nama dan kehormatan, bahkan nama sendiri pun ia tak ingat lagi. Bu Sin telah menjadi korban kekejian Siang-mou Sin-ni setelah diberi minum racun yang disebut racun perampas semangat! Dan iblis betina itu tercapai maksud hatinya yang kotor, menjadikan Bu Sin sebagai seorang kekasihnya, suatu hal yang hanya merupakan siksaan dan hukuman karena ia tetap tidak dapat merampas cinta kasih Bu Sin, tidak dapat memiliki Bu Sin yang sebenarnya, seperti yang diinginkannya.
Bersama Bu Sin yang menjadi tawanan dan kekasihnya, yang menuruti segala kehendaknya seperti patung hidup, Siang-mou Sin-ni pergi ke selatan. Ia hendak mengunjungi Nan-cao negeri di selatan yang mengadakan persekutuan dengan Hou-han. Biar pun Siang-mou Sin-ni seorang tokoh dunia hitam, namun bagi Kerajaan Hou-han yang kecil itu ia merupakan seorang tokoh yang patriotik dan ia bekerja untuk kerajaan ini. Oleh karena itu, tentang persekutuan dengan Kerajaan Nan-cao, Siang-mou Sin-ni sudah mendapat wewenang dan tugas untuk mengurusnya. Kini ia pergi mengunjungi, selain untuk tugas ini, juga untuk menghadiri perayaan yang diadakan di Nan-cao berhubung dengan peringatan seribu hari wafatnya kauwcu (ketua agama) dari Beng-kauw yang mempunyai kedudukan tinggi di Kerajaan Nan-cao, juga bertepatan dengan hari ulang tahun berdirinya perkumpulan Agama Beng-kauw.
Siang-mou Sin-ni di dunia persilatan terkenal sebagai seorang di antara keenam iblis Thian-te Liok-koai, akan tetapi di negerinya sendiri, yaitu daerah Kerajaan Hou-han, orang akan menjadi terheran-heran melihat ia dihormati semua orang, juga ditakuti dan ia keluar masuk istana seperti keluar masuk rumahnya sendiri saja! Dia merupakan seorang tokoh yang selain keji dan kejam, juga amat luar biasa anehnya, penuh diliputi rahasia dan kepandaiannya luar biasa hebatnya. Inilah yang membuat dia menjadi seorang di antara keenam Liok-koai (Enam Iblis), sifat-sifat yang harus dimiliki seorang tokoh untuk disebut iblis dunia. Banyak orang jahat, akan tetapi ia tidak sakti dan tidak luar biasa anehnya, maka ia tidak bisa disamakan dengan Thian-te Liok-koai. Keenam orang tokoh ini disebut Iblis Dunia karena memang mereka terlalu amat jahat, kejam dan tinggi ilmunya.
Alangkah buruk nasib Bu Sin, terjatuh ke dalam cengkeraman seorang iblis betina seperti Siang-mou Sin-ni. Agaknya akan lebih baik kalau ia dibunuh, karena nasib yang menimpa dirinya memang lebih hebat dari pada kematian. Ia menjadi seorang manusia yang kehilangan segala-galanya. Bu Sin sama sekali tidak ingat lagi akan diri sendiri, juga ia tidak tahu ke mana ia dibawa pergi oleh Siang-mou Sin-ni. Satu-satunya yang ia ketahui adalah bahwa ia harus taat kepada segala kehendak Siang-mou Sin-ni!
********************
Nan-cao adalah sebuah negeri kecil, atau lebih tepat lagi sebuah kerajaan kecil yang berada di daerah Yu-nan. Di antara kerajaan-kerajaan di daerah selatan dan barat, Kerajaan Nan-cao yang kecil ini terhitung kerajaan yang paling kuat dan paling gigih menentang dan tidak mau tunduk kepada Kerajaan Sung. Lain-lain kerajaan seperti Kerajaan Nan-ping di Hu-pei dan Kerajaan Su di Se-cuan, suka mengakui Kerajaan Sung dan pemimpin mereka oleh Kaisar Sung malah diganjar pangkat dan kedudukan. Akan tetapi Nan-cao tidak mengakui kedaulatan Kaisar Sung.
Yang memperkuat kedudukan Kerajaan Nan-cao sesungguhnya adalah Agama Beng-kauw. Agama ini dipimpin oleh orang-orang sakti dan karena kaisarnya sendiri juga termasuk pemeluk Agama Beng-kauw, maka boleh dibilang para pemimpin agama ini adalah keluarga raja di istana.
Apakah sebetulnya yang disebut Agama Beng-kauw? Mari kita mengenalnya dari catatan sejarah. Beng-kauw yang berarti Agama Terang aslinya disebut Manicheism, yaitu menurut nama penemunya yang bernama Mani. Mani seorang berbangsa Persia (Iran), putera seorang bangsawan. Pada hahekatnya, Agama Manicheism atau Beng-kauw ini merupakan perkawinan antara Agama Kristen dan Agama Zoroastrianism yang dianut oleh sebagian besar bangsa Persia.
Agama ini mendasarkan filsafatnya pada filsafat kuno tentang Im Yang (Positive & Negative). Menurut ajaran agama ini, segala kejahatan lahir dari pada kegelapan yang merupakan sebuah Kerajaan Gelap yang dirajai setan. Oleh karena inilah, Mani menamakan diri sendiri sebagai Duta Terang, dan ini pula yang menyebabkan mengapa agama ini disebut Agama Terang atau Beng-kauw. Segala macam kotoran harus dibersihkan, segala macam kegelapan harus dikalahkan dan diusir oleh Terang.
Agaknya karena banyak orang berilmu tinggi dan memiliki kesaktian mendukung lahirnya agama ini, maka sebentar saja Beng-kauw menjadi sebuah agama yang besar dan dianut manusia secara luas. Seperti juga dengan agama-agama lain, Agama Beng-kauw tersebar luas setelah penemunya, Mani meninggal dunia (dihukum mati pada tahun 274 Masehi). Agama ini meluas sampai jauh ke barat, menurut catatan sampai ke Perancis, dan pada tahun 694 Masehi mulailah agama ini masuk ke Tiongkok yang oleh para penganutnya lalu disebut Beng-kauw (Agama Terang). Dua abad lebih kemudian, biar pun di Tiongkok Agama Beng-kauw sudah amat menurun pengaruhnya, namun masih berpusat dan bersisa di selatan, di negara Nan-cao.
Puluhan tahun ketua Beng-kauw adalah seorang tokoh yang amat terkenal akan kesaktiannya, bernama Liu Gan yang berjuluk Pat-jiu Sin-ong (Raja Sakti Tangan Delapan). Hebat kepandaian ketua Beng-kauw ini dan orang-orang, terutama para pemeluk agama itu, percaya bahwa tokoh ini adalah seorang yang tidak bisa mati! Usianya pun katanya lebih dari seratus lima puluh tahun. Agaknya hal kedua ini mungkin sekali karena semua tokoh kang-ouw yang paling tua tidak ada yang tidak mendengar nama besarnya yang berarti bahwa Pat-jiu Sin-ong ini sudah amat lama tersohor di dunia kang-ouw. Akan tetapi agaknya tidak benarlah desas-desus yang mengatakan bahwa ia tidak bisa mati karena buktinya bulan depan ini di sana akan diadakan sembahyangan untuk memperingati dan menghormati seribu hari wafatnya Pat-jiu Sin-ong!
Pernah disebut dalam cerita ini bahwa Pat-jiu Sin-ong Liu Gan mempunyai seorang puteri bernama Liu Lu Sian yang berjuluk Tok-siauw-kui (Iblis Cilik Berbisa)! Tiga puluh tahun yang lalu, Liu Lu Sian merupakan seorang tokoh besar pula di dunia kang-ouw, amat tersohor karena kecantikannya yang seperti bidadari, kecantikan yang aneh dan asing karena darahnya adalah darah campuran antara Tiongkok dan Persia. Matanya agak kebiruan, kulitnya yang putih agak kemerah-merahan. Tidak hanya kecantikannya yang luar biasa itu saja yang membuat ia terkenal, akan tetapi juga kepandaiannya yang tinggi, yang ia warisi dari ayahnya dan terutama sekali ia tersohor karena keganasannya. Inilah agaknya yang membuat ia dihadiahi julukan Setan Cilik Berbisa!
Seperti banyak sekali wanita di waktu itu, Liu Lu Sian juga tergila-gila kepada jenderal muda Kam Si Ek yang terkenal tampan dan gagah perkasa. Sebaliknya, Jenderal Kam juga jatuh hati terhadap puteri ketua Beng-kauw ini. Sungguh pun Jenderal Kam cukup sadar akan keadaan gadis ini yang terkenal ganas dan merupakan seorang tokoh yang bernama buruk, namun cinta selalu mengalahkan perasaan dan kesadaran hati manusia muda. Ia menikah dengan Liu Lu Sian, hal yang amat menggemparkan dunia kang-ouw di waktu itu. Perkawinan ini mendatangkan seorang putera, yaitu Kam Bu Song.
Sayang sekali, mungkin karena perbedaan watak, pernikahan itu tak dapat dipertahankan terlalu lama dan jiwa petualang Liu Lu Sian tak dapat dikekang lagi. Akhirnya wanita ini pergi meninggalkan suaminya setelah mereka bercekcok. Bu Song yang ditinggalkan ibunya itu baru berusia empat tahun dan selanjutnya telah kita ketahui bahwa anak ini pun akhirnya meninggalkan ayahnya, agakya darah ibunya mengalir di tubuhnya mewariskan jiwa petualang yang besar.
Pengganti Pat-jiu Sin-ong Liu Gan yang telah wafat adalah adiknya sendiri, bernama Liu Mo yang usianya juga sudah amat tua. Sukar diketahui berapa usia ketua baru ini. Tubuhnya sama dengan kakaknya, tinggi besar dengan kulit hitam dan mata agak biru. Ia pendiam, namun kabarnya juga amat sakti. Beng-kauwcu (Ketua Agama Beng) Liu Mo ini tidak mempunyai julukan yang menyeramkan, namun seperti juga kakaknya, ia mempunyai pengaruh yang amat besar di negara Nan-cao dan menjabat kedudukan sebagai koksu (guru/penasehat kerajaan) yang agaknya menentukan keputusan yang diambil oleh raja. Seperti juga mendiang kakaknya, biar pun dia sendiri sudah tua dan usianya tak ada yang mengetahui berapa, namun ia masih kuat dan mempunyai empat orang isteri muda-muda dan cantik! Akan tetapi, hanya seorang saja di antara isterinya itu yang mempunyai anak, seorang anak perempuan yang pada saat itu sudah berusia dewasa, sedikitnya sembilan belas tahun. Gadis remaja ini diberi nama Liu Hwee.
Demikianlah sedikit tentang keadaan negara Nan-cao dan Agama Beng-kauw yang selain berpengaruh besar di sana, juga agaknya yang membuat negara ini angkuh dan biar pun kecil merupakan negara yang kuat juga. Para penghuni istana, dari raja sampai para pengawal semua merupakan pemeluk dan penganut Agama Beng-kauw yang setia.
Pada waktu itu semua penghuni Kerajaan Nan-cao sibuk dengan persiapan mengadakan pesta besar-besaran untuk merayakan tujuh abad lahirnya Beng-kauw, juga untuk memperingati seribu hari wafatnya mendiang Pat-jiu Sin-ong Liu Gan. Semua orang bergembira, kota raja dihias indah dan di dekat istana dibangun ruangan besar untuk menyambut para tamu agung yang pasti akan memenuhi tempat itu.
Seperti biasa di waktu menghadapi perayaan besar, para pimpinan Beng-kauw dan keluarga raja bekerja sama karena sebetulnya para pimpinan Beng-kauw adalah keluarga raja juga. Malah kedua orang saudara Liu yang berturut-turut menjadi ketua Beng-kauw adalah paman dari Raja Nan-cao. Akan tetapi, seperti telah terjadi belasan tahun sampai saat itu, keluarga bangsawan ini dalam kegembiraan persiapan pesta merasa kecewa kalau teringat akan Tok-siauw-kui Liu Lu Sian yang belum pernah pulang ke Nan-cao. Bahkan semenjak wanita ini meninggalkan suaminya, Jenderal Kam, ia tak pernah muncul lagi, dan tak seorang pun tahu di mana adanya Tok-siauw-kui Liu Lu Sian, tak tahu pula apakah ia masih hidup.
********************
Kita tinggalkan dulu Kerajaan Nan-cao yang sedang sibuk membuat persiapan untuk menyambut datangnya para tamu dari empat penjuru untuk menghadiri perayaan kerajaan dan Agama Beng-kauw. Perlu kita kembali dan ikuti pengalaman Lin Lin agar jalan cerita menjadi lancar.
Dengan hati ngeri, Lin Lin merasa betapa tubuhnya terjeblos dan melayang ke bawah, ke dalam gedung perpustakaan yang amat gelap itu. Cepat ia mengerahkan ginkang-nya, akan tetapi karena ia tidak tahu berapa tingginya tempat itu, tetap saja ia berada dalam ancaman bahaya terbanting keras. Akan tetapi tiba-tiba ada tenaga yang mendorongnya dari bawah, mengurangi kecepatan tubuhnya yang meluncur ke bawah bahkan kemudian tenaga yang sama pula mendorongnya sedemikian rupa sehingga ia tahu-tahu telah berdiri di atas lantai yang halus licin! Lin Lin membuka matanya yang tadi ia tutup saking ngeri.
Kiranya ia berada di ruangan yang amat lebar dan di balik tikungan ada sinar penerangan menyorot sehingga ruangan itu menjadi remang-remang. Di depannya berdiri seseorang, entah laki-laki entah wanita karena hanya tampak bayangannya yang hitam.
Bayangan itu mengeluarkan seruan kaget dan heran, kemudian melangkah maju, berbisik dengan suara menggetar, “Aahhh... kaukah ini...? Kau datang menyusulku...? Dan tikus-tikus itu berani mengganggumu...? Jangan takut, Kanda akan melindungimu... ah, betapa rinduku kepadamu....”
Saking bingung dan herannya Lin Lin sampai tak dapat berkutik ketika tiba-tiba bayangan itu merangkul dan memeluknya. Baru setelah bayangan itu menciumnya, yang membuat ia merasa seakan-akan lantai yang diinjaknya amblong ke bawah dan membuat matanya melihat ribuan bintang berjoget di depannya, ia meronta dan tangannya melayang ke depan.
“Plak-plak!” kedua telapak tangan Lin Lin bertemu dengan pipi yang keras.
“Kurang ajar kau... monyet celeng keparat kau! Kubunuh kau, binatang kurang ajar! Berani kau me... me...!” Seperti hiu betina mencium darah, Lin Lin menerjang maju, memukul mencakar menendang!
Semua pukulan dan tendangannya tepat mengenai sasaran seperti tamparannya tadi. Bayangan itu sama sekali tidak mengelak, akan tetapi sedikit pun tidak tampak bahwa pukulan dan tendangan itu terasa olehnya. Hanya terdengar ia menggumam. “Ah, celaka... aku sudah gila... maaf Nona...”
Lin Lin penasaran setengah mati. Pukulan dan tendangannya tadi bukan main-main akan tetapi mengapa yang dipukul dan ditendang tidak apa-apa, sebaliknya malah telapak tangannya panas-panas dan gares (tulang kering) kakinya linu dan seperti mau patah-patah? Ia marah sekali, kini mengerahkan tenaga sakti Khong-in-ban-kin dan menyerang lagi. Kalau tadi ia tidak mengeluarkan tenaga ini adalah karena ia masih belum begitu marah, hanya terlalu kaget saja. Sekarang kemarahannya memuncak. Biar pun, andai kata orang ini telah menolongnya tidak terbanting jatuh, akan tetapi dosanya terlalu besar. Dosa tak berampun. Memeluk dan menciumnya, kemudian menerima pukulan tendangan dan tamparan tanpa merasakan sakit sedikit pun juga.
“Uhhh, apa ini? Dari mana kau dapatkan ini?” Bayangan itu agaknya terkejut menghadapi jurus lihai dan tenaga sakti itu, cepat ia mengelak dan sekali melompat ia telah lenyap di tikungan depan.
Lin Lin mengejar, matanya silau karena kini ia berada di sebuah ruangan yang terang sekali, diterangi lampu besar yang tergantung di setiap ujung dan di tengah-tengah ruangan. Dinding tertutup lemari yang penuh dengan buku. Dan di tengah-tengah ruangan, di bawah lampu berdirilah seorang laki-laki tampan berjubah hitam dengan gambar suling di depan dada.
Sejenak kedua orang itu berdiri terpaku, saling pandang. Wajah laki-laki itu penuh ketegangan, matanya tak berkedip menatap wajah Lin Lin. Sukar menduga apa yang berada di balik sinar mata itu. Ada kagum, ada gembira, tapi juga kecewa, duka, dan terharu. Di lain pihak, Lin Lin merasa seakan-akan sudah terlalu sering ia melihat wajah seperti ini. Di alam mimpi. Ya, di dalam mimpi yang menjadi rahasia hatinya. Wajah ini! Ia tahu bahwa orang ini tentulah Suling Emas, dan tahu pula bahwa selama hidupnya, baru kali ini ia bertemu muka. Akan tetapi wajah ini... dan tadi ia diciumnya. Mendadak wajahnya menjadi merah dan terasa panas, matanya mengembang air mata, jantungnya berdenyar-denyar seakan-akan hendak meledak, dadanya bergelora dan... kedua kakinya gemetar.
“Kau...? Kau tentu Suling Emas...! Biar pun kau Suling Emas, suling bambu mau pun suling bobrok, aku tidak takut. Kau harus mampus!” Lin Lin sudah mencelat ke depan, menerjang dengan pukulan-pukulan dahsyat dari jurus Ilmu Silat Khong-in-liu-san!
“Eh, eh, nanti dulu... salah faham... salah duga, maafkan. Kita bicara.”
“Bicara apa?” Lin Lin makin ‘menyala’ karena pukulan-pukulannya yang bertubi-tubi itu hanya mengenai angin belaka, agaknya amat mudah Suling Emas mengelak.
“Kau... kau kurang ajar...!”
Suling Emas kembali mengelak. “Aku salah mengenal orang... tentu saja kau jauh lebih muda. Kau masih kanak-kanak, tapi... tapi... wah hebat. Dari mana kau mendapatkan jurus-jurus sehebat ini?”
Makin cepat Lin Lin menyerang, makin cepat pula Suling Emas mengelak, sambil memuji-muji jurus yang dimainkan Lin Lin. Dara ini sendiri merasa terheran-heran akan perasaan hatinya. Ia merasa bangga sekali akan pujian-pujian itu, akan tetapi di samping kebanggaan ini, ia juga gemas dan mendongkol. Jurus-jurusnya dipuji lihai, akan tetapi tidak sekali pun mengenai sasaran!
“Huh, kalau pedangku berada di tangan, jangan harap kau bisa enak-enakan menyelamatkan diri, sayang terampas pengawal curang!” katanya sambil menyerang lagi.
“Inikah pedangmu?” Suling Emas tiba-tiba mengeluarkan sebatang pedang dari balik jubahnya, dipegang dengan terbalik sehingga gagangnya disodorkan kepada Lin Lin.
Dara ini memandang dan terkejut bukan kepalang. Memang pedang itu adalah pedangnya yang tadi terampas pengawal kurus!
“Eh, betul bagaimana bisa berada padamu?”
Suling Emas berkilat pandang matanya. “Bukan soal, coba pergunakan pedangmu!”
Kata-kata ini merupakan perintah sehingga kalau menuruti wataknya, Lin Lin tentu tak sudi menurut. Akan tetapi ia sudah terlalu mendongkol dan ingin ia memperlihatkan kelihaiannya. Cepat tangannya merenggut, karena ia mengira bahwa Suling Emas akan mempermainkannya dan pura-pura saja mengembalikan pedang. Hampir ia terjengkang ke belakang, karena kiranya pedang itu sama sekaii tidak dipertahankan oleh Suling Emas sehingga ketika ia mencabut sekuat tenaga, ia terdorong oleh tenaga tarikannya sendiri.
“Lihat pedang!” teriaknya, lebih mendongkol dan marah lagi karena hampir terjengkang. Sinar kuning berkelebat dan bergulung-gulung merupakan gelombang lingkaran yang menerjang diri Suling Emas.
“Bagus!” Suling Emas berkelebat lenyap dan berubah menjadi bayangan yang selalu luput dari pada bacokan mau pun tusukan pedang. “Wah, jadi kau yang mencuri Pedang Besi Kuning? Hemmm, tentu dengan Kim-lun Seng-jin. Heiiiii, ilmu pedang ini, apakah kau bukan murid Kim-lun Seng-jin?”
Makin marahlah Lin Lin, karena biar pun ia sudah berpedang, mana mungkin ia dapat merobohkan bayangan? Manusia ini tulenkah atau setan?
“Aku bukan murid si Gundul Pacul! Hayo kau keluarkan kepandaianmu, hayo kau pergunakan pedangmu, kita bertanding selaksa jurus sampai salah seorang menggeletak mandi darahnya sendiri!” tantangnya.
Akan tetapi tiba-tiba Suling Emas menarik napas panjang dan seketika wajahnya berubah, muram dan tak acuh. Tadi ia bersikap gembira dan matanya bersinar-sinar, wajahnya berseri-seri. Agaknya sekarang ia teringat akan keadaannya yang ‘tidak wajar’ itu, dan kembalilah ia pada sikapnya seperti yang sudah-sudah, murung dan dingin. Ia membalikkan tubuh, menghampiri meja dan duduk menghadapi kitab yang sudah sejak tadi terbuka di atas meja itu. Sama sekali ia tidak mau mempedulikan lagi kepada Lin Lin.
“Heeiiiii, hayo bangkit. Kita bertanding!” Lin Lin membentak. Akan tetapi Suling Emas seakan-akan tidak mendengar bentakannya dan terus saja membaca kitab. Bibirnya umak-umik (komat-kamit) dan tampaknya asyik benar.
“Tak sempat dan tiada nafsu bertanding...,” tiba-tiba Suling Emas berkata lirih dan mulutnya komat-kamit lagi membaca kitabnya.
“Monyet, celeng, kadal, bunglon, tikus...!” Lin Lin menyebut semua binatang yang dianggapnya paling menjijikkan, dilontarkannya semua nama binatang itu kepada Suling Emas untuk memancing perhatian dan kemarahannya. “Kau bunuh Ayahku, hayo kita bikin perhitungan sampai lunas!”
Tanpa menoleh Suling Emas berkata lagi, “Sialan, semua orang bilang aku membunuh Ayahnya. Kalau benar begitu, tentu Ayahmu patut dibunuh.”
“Apa kau bilang? Berani kau memaki Ayahku? Hayo bangun, lawan aku!” Lin Lin mengayun-ayun pedangnya di belakang leher Suling Emas. Akan tetapi yang diancam tak bergerak dan Lin Lin bukanlah seorang yang sudi menyerang orang yang tak melawan.
“Kau bocah kecil banyak bertingkah, pergilah jangan ganggu orang baca!” Biar pun kata-katanya mulai ketus, tapi Suling Emas tetap duduk menghadapi kitab dan sama sekali tidak mau menoleh.
“Iblis, setan, siluman...!” Lin Lin memaki-maki, kini menyebut nama semua golongan setan dan jin, “Hadapi aku! Aku mau bicara denganmu!”
Akan tetapi Suling Emas tetap diam saja, melirik pun tidak. Lin Lin makin marah dan jengkel, mencak-mencak dan membanting-banting kaki dengan pengerahan tenaga Khong-in-ban-kin sehingga lantai menjadi bolong-bolong dihantam kakinya yang kecil seperti digali dengan linggis saja. Kemudian ia melompat ke depan Suling Emas di seberang meja. Namun laki-laki itu tetap duduk menunduk, membenamkan matanya pada kitab. Lin Lin menggebrak meja, namun sia-sia.
“Betul kata Enci Sian Eng, kau seperti patung, kau aneh dan tidak pedulian. Akan tetapi aku tidak mau kau perlakukan seperti Enci Sian Eng. Kau harus bangkit dan melawanku!” Sambil berkata demikian, Lin Lin melompat naik ke atas meja itu dan membanting-banting kaki sehingga meja itu berloncatan. Tentu saja kitab di depan Suling Emas juga ikut berloncatan sehingga tak mungkin lagi membaca!
Akan tetapi bukan ini yang menyebabkan Suling Emas kini bangkit dan memandang heran, melainkan kata-kata Lin Lin. “Apa kau bilang? Enci Sian Eng? Kau adiknya? Jadi kau... kau ini... ah, ingat aku sekarang. Kau yang berada di pintu gerbang, kau bersama murid Gan-lopek. Ah, kau Lin Lin!”
Lin Lin merenggut dan melompat turun dari meja, pedangnya masih dipegang erat-erat. “Enaknya menyebut nama orang. Lan Lan Lin Lin, memangnya aku ini apamu? Huh, laki-laki kurang ajar, penghina kaum wanita. Memangnya aku ini apamu... berani... berani mencium...” Muka Lin Lin menjadi merah sekali dan ia tidak berani mengangkat muka!
“Hemmm, maafkan, aku tidak sengaja. Tapi... ah, hal itu tidak apa, tak usah kau sebut-sebut lagi. Percayalah, aku menyesal sekali...”
Tiba-tiba Lin Lin mengangkat muka, mereka berpandangan dan... Lin Lin menangis. Aneh memang! Tak biasa gadis ini menangis. Dia bukan tergolong cengeng, tapi kali ini mengapa air matanya terus saja membanjir tak dapat dibendung?
“Lin... eh, Nona Lin Lin, tentu kau sudah mendengar dari encimu bahwa aku bukanlah pembunuh Ayahmu. Mengapa kau datang ke sini? Memasuki istana bukanlah hal mudah dan bagaimana kau bisa tahu bahwa aku berada di gedung perpustakaan?”
“Aku... aku tahu kau bukan pembunuh Ayah. Aku mendengar percakapan Suma Boan bahwa biasanya kau di sini. Aku... aku mencarimu hanya untuk bertanya di mana adanya Kakak Kam Bu Song. Kau tentu tahu karena kau bisa bilang kepada Enci Sian Eng bahwa Kakak Bu Song sudah meninggal dunia. Bagaimana matinya dan di mana kuburnya? Akan tetapi... sekarang aku tidak perlu tanya-tanya lagi dan persoalan sekarang hanya bahwa kau harus melawan aku sampai mati untuk menebus dosamu.”
“Dosa...?”
“Tadi itu...!”
“Eh...? Oh, itu...? Dengar, Lin... eh, Nona Cilik. Kau masih kanak-kanak, dan aku sudah tua. Ciuman tadi tidak kusengaja, dan aku sudah amat menyesal. Maafkanlah dan anggap saja ciuman itu dari seorang paman atau kakak terhadap adiknya. Bagaimana?”
Seperti seorang anak kecil manja Lin Lin membanting kaki dan menggeleng-geleng kepalanya dengan keras. “Tidak bisa! Mana ada aturan begitu? Masa seorang paman atau kakak mencium... di sini...?” Ia menuding bibirnya.
Suling Emas menjadi merah mukanya dan ia kewalahan betul menghadapi dara yang keras hati, keras kepala dan keras kemauan, pendeknya keras segala-galanya dan serba nekat ini, “Habis, bagaimana? Tak mungkin kutarik kembali....”
“Tarik kembali hidungmu!” Lin Lin memaki-maki. Suling Emas memandang dengan mata terbelalak dan otomatis ia meraba-raba hidungnya yang disinggung-singgung oleh dara nakal itu. “Satu-satunya cara menebus dosa hanya mencabut pedang dan mari lawan aku sampai mampus seorang di antara kita! Penghinaan yang memalukan ini harus ditebus dengan nyawa!”
Suling Emas merasa bohwat (kehabisan akal) benar-benar. “Masa begitu saja dianggap penghinaan yang memalukan? Mana bisa menghina karena tidak sengaja? Dan bagaimana bisa disebut memalukan, kan tidak ada yang lihat? Nona cilik, sekali lagi aku minta maaf dan untuk menebus dosa, aku sanggup melakukan apa saja asal jangan... bertanding sampai mati.”
Lin Lin menahan senyumnya. Gembira benar dia, serasa kepalanya menjadi melar (membesar) saking bangga dan besar hati. Kulit hidungnya yang tipis otomatis mekar. Bukankah ucapan Suling Emas itu otomatis mengakui kelihaian dan kehebatannya?
Bukankah itu berarti Suling Emas, pendekar besar yang ditakuti semua orang, yang dicap seorang pendekar aneh dan tiada taranya di kolong langit, yang dipuji-puji setinggi langit oleh Lie Bok Liong, Kim-lun Seng-jin, dan Sian Eng, juga yang amat ditakuti oleh Suma Boan dan kaki tangannya termasuk It-gan Kai-ong. Sekarang memperlihatkan enggan dan takut bertanding mati-matian melawannya? Kalau tidak takut, sedikitnya tentu kagum menyaksikan ilmu kepandaiannya! Tentu saja ia sama sekali tidak sadar bahwa satu-satunya yang membuat laki-laki luar biasa itu ‘ngeri’ terhadapnya adalah wataknya yang liar dan sukar dilawan itu.
“Suling Emas, apakah kau seorang laki-laki sejati?”
Pertanyaan yang diajukan dengan sinar mata menusuk-nusuk langsung ke jantung ini membuat pendekar aneh itu terbelalak dan alisnya yang hitam tebal itu bergerak-gerak. Baru sekarang selama hidupnya ia merasa bingung dan tak dapat menebak apa gerangan maksud di balik kata-kata pertanyaan besar itu. Akan tetapi, melihat wajah dan sikap dara remaja itu terang tidak bermaksud menghina.
“Apa maksudmu?” Ia toh bertanya karena benar-benar tidak mengerti.
“Apakah kau tergolong laki-laki yang suka menjilat kembali ludah yang sudah dikeluarkan?”
Sepasang mata Suling Emas berkilat seperti mengeluarkan cahaya berapi sehingga Lin Lin menjadi terkejut sekali dan agak takut juga. Seperti mata harimau marah, pikirnya.
“Nona kecil, apakah kau main-main ataukah hendak menghina aku? Awas kau...!”
Lin Lin cemberut. “Siapa main-main? Awas... awas... tentu saja aku awas, kalau tidak mana aku bisa melihat? Main ancam, apa dikira aku takut? Hayo, mau apa?”
“Kalau kau tidak main-main, apa maksudnya pertanyaanmu yang bukan-bukan itu? Tentu saja aku laki-laki sejati. Suling Emas lebih menghargai nama baik dari pada selembar nyawanya!”
“Dan sekali keluarkan sepatah kata, empat ekor kuda takkan mampu menarik kembali?”
“Jangankan empat ekor kuda, nyawa terancam maut sekali pun takkan dapat menarik kembali kata-kata yang sudah kukeluarkan dari mulutku!” Panas perut Suling Emas dan ia terheran-heran karena belum pernah ia bisa ‘dibakar’ orang selama ini.
“Bagus, kalau begitu nyata kau seorang Enghiong (Pendekar) sejati, seorang satria tulen tidak campuran. Aku percaya omonganmu. Nah, dengarkan sekarang penebusan dosamu. Aku pun tidak suka bertanding sampai mati denganmu, karena aku juga maklum bahwa kau lihai sekali. Akan tetapi karena kau yang menolak bertanding sampai mati dan kau pula yang berjanji akan melakukan apa saja asal jangan bertanding, aku mengajukan tiga buah permintaan kepadamu.”
Hemmm, celaka aku sekali ini, pikir Suling Emas dan ia sudah menyesal mengapa tadi ia memberi janji segala macam. Jangan-jangan gadis liar ini akan menyeretnya untuk melakukan hal yang bukan-bukan. Diam-diam ia gemas sekali dan ingin rasanya ia menangkap bocah ini, menelungkupkannya di atas pangkuan dan menghajar pantatnya sampai matang biru!
Akan tetapi Lin Lin yang cerdik pura-pura tidak melihat mata yang melotot kepadanya itu, melainkan ia cepat-cepat menyambung kata-katanya. “Pertama, kau tidak boleh bercerita kepada siapa pun juga di dunia ini, kepada isterimu pun tidak...”
“Aku tidak punya isteri!”
“Masa...?” Lin Lin duduk menunjang dagu dengan kedua tangan dan memandang tajam. Mereka sudah sejak tadi duduk berhadapan lagi, terhalang meja. “Kenapa sih? Usiamu sudah lebih dari pada cukup. Kurasa tiga puluh tahun sudah ada....”
Suling Emas menarik napas panjang, sejenak memandang wajah Lin Lin, kemudian menunduk dan menggerakkan kedua pundaknya yang bidang. “Aku takkan punya isteri... siapa akan sudi padaku...?” Tiba-tiba pandang mata Suling Emas merenung dan tampak sedih sekali.
“Akan tetapi kelak kau tentu akan mengubah pendirian ini dan kelak kau tentu akan punya seorang isteri yang cantik jelita dan baik....”
Suling Emas menggebrak meja dan... keempat kaki meja itu amblas sampai belasan sentimeter ke dalam lantai yang keras. Tiba-tiba meja menjadi pendek. “Apa-apaan semua ini? Melantur-lantur urusan isteri dan pernikahan segala macam?”
Lin Lin sadar, menurunkan kedua tangannya, keningnya berkerut-kerut, mengingat-ingat, “Ah, oh... sampai di mana aku tadi? Oya, permintaan pertama, kepada siapa pun juga di dunia ini, juga tidak kepada... calon isterimu, kau tidak boleh bercerita tentang yang tadi itu. Sanggupkah?”
Lega bukan main hati Suling Emas. Kiranya hanya macam begini saja permintaan dara gila ini. Saking gembiranya dan lega hatinya mendengar bahwa permintaan yang belum apa-apa sudah ia janji menyanggupi itu ternyata bukan permintaan yang bukan-bukan, timbul kegembiraannya untuk menggoda. Ia pura-pura tidak mengerti dan bertanya, “Tentu saja aku sanggup kalau hanya untuk tutup mulut, tapi harus dijelaskan, tidak boleh bercerita tentang apa?”
“Tentang tadi itu, lho.”
“Tentang tadi? Ada apa sih tadi? Tentang kau datang ke istana dan bertempur melawan para penjaga?”
“Bukan... bukan...! Kalau tentang itu saja boleh kau ceritakan kepada setiap orang yang kau jumpai. Bukan itu, tapi tentang... eh, tentang antara kita tadi itu.”
Suling Emas menarik muka bodoh, longang-longong seakan-akan ia benar-benar tidak mengerti. “Eh, tentang pertandingan kita tadi? Baik, aku akan tutup mul...”
“Kau buka sehari semalam juga peduli amat kalau tentang itu. Wah, tidak nyana bahwa Suling Emas yang namanya lebih tinggi dari puncak Thai-san, kiranya hanya seorang laki-laki yang amat bodoh. Itu lho, tentang kekurang-ajaranmu tadi, kau peluk aku dan kau... kau....”
Melihat betapa wajah itu di bawah sinar lampu yang terang menjadi amat merah, Suling Emas merasa kasihan juga. Ia mengangguk-angguk. “Baik-baik, aku mengerti sudah. Aku sanggup untuk tutup mulut tentang hal itu.”
Lin Lin menarik napas panjang. Ia merasa lega dan hal itu akan merupakan rahasia antara mereka berdua saja. “Dan kau akan membantu usaha kami mencari Kakak Kam Bu Song dan pembunuh ayah bunda kami.”
“Sanggup!” tanpa banyak pikir lagi Suling Emas menjawab sambil mengangguk.
“Dan kau akan membawa aku bersamamu dalam usaha mencari Kakak Kam Bu Song dan musuh besarku. Sanggup?”
“Wah... ini... ini...” Suling Emas meragu.
Lin Lin tersenyum mengejek dan menudingkan telunjuk kanannya ke arah hidung Suling Emas. “Nah... nah, janjinya menyanggupi segala macam permintaan, baru begitu saja sudah menolak...”
“Menolak sih tidak, tapi... mencari orang yang tidak tentu tempatnya membutuhkan waktu yang tidak dapat diduga berapa lamanya. Pula, besok aku akan pergi ke Nan-cao mengunjungi perayaan Agama Beng-kauw....” tiba-tiba ia teringat akan sesuatu. “Ah, di sana berkumpul semua tokoh kang-ouw, kurasa akan dapat bertemu dengan pembunuh ayah bundamu di sana.”
“Nah, kalau begitu bawalah aku ke sana.”
“Tapi... pembunuh ayah bundamu tentulah seorang yang amat lihai lagi jahat!”
“Takut apa? Kau kira aku takut? Lagi pula, aku tidak minta perlindunganmu! Aku hanya minta kau mengajak aku dalam usaha mencarinya. Nah, bagaimana jawabnya?”
Suling Emas mengerutkan kening, berpikir-pikir, lalu mengangguk-angguk. “Perlu juga seorang bocah seperti kau ini menghadapi banyak pengalaman. Di Nan-cao kau akan melihat dan mendengar banyak. Baiklah, aku sanggup. Besok aku akan menjemputmu di kelenteng itu.”
Bukan main girangnya hati Lin Lin. Ia dapat membayangkan sudah betapa encinya akan membuka matanya yang jeli itu lebar-lebar memandangnya kalau mendengar akan janji-janji Suling Emas kepadanya!
“Sebuah permintaan lagi, kau harus memperkenalkan nama aselimu kepadaku dan aku pasti akan merahasiakannya kalau memang kau kehendaki itu.”
Suling Emas tampak terkejut sekali, akan tetapi ia segera mengangkat telunjuknya ke atas dan berkata ketus, “Anak nakal, sekali ini aku takkan menyanggupi apa-apa lagi. Kau minta aku memegang teguh kata-kata yang sudah keluar, akan tetapi kau sendiri mengapa hendak melanggar omongan sendiri?”
“Aku? Melanggar omonganku sendiri? Mana bisa...?”
“Kau tadi bilang hendak mengajukan tiga macam permintaan. Pertama, aku tidak boleh bercerita kepada orang lain bahwa aku sudah memeluk dan menciummu. Kedua, aku akan membantumu mencari kakakmu dan musuh besarmu. Ketiga, aku akan membawamu serta ke Nan-cao. Nah, sudah cukup tiga, bukan? Tak boleh diberi embel-embel lagi!”
Lin Lin menyesal bukan main. “Wah, aku salah. Kalau begitu boleh ditukar. Permintaan pertama itu kutukar dengan permintaan ini dan....”
“Cukup! Aku tidak mau bicara lagi. Sekarang kau kembali ke kuil dan besok aku akan menjemputmu, kita bersama berangkat ke Nan-cao!” Setelah berkata demikian, kedua tangannya bergerak dan... tiba-tiba semua lampu penerangan di dalam ruangan itu padam.
“Ikuti aku keluar...” Bayangan hitam itu berkata perlahan.
Lin Lin terpaksa mengikuti dan ternyata mereka keluar dari pintu samping yang ditutup kembali oleh Suling Emas dari luar. Orang aneh itu sekali bergerak sudah melompat tinggi dan ternyata ia menyambar benderanya di atas genteng, lalu melayang turun lagi. Gerakannya demikian ringan dan cepat laksana seekor burung garuda terbang melayang saja, membuat Lin Lin kagum bukan main. Suling Emas bergerak lagi dan Lin Lin mengikuti terus.
Dapat dibayangkan betapa heran dan kagumnya hati Lin Lin ketika Suling Emas membawanya keluar dari lingkungan istana itu dengan enak saja, berjalan melalui jalan di antara gedung-gedung besar, kemudian menerobos ke luar dari pintu gerbang. Para penjaga yang berada di situ, terang melihat mereka berdua, akan tetapi jangankan mengganggu, berkata sepatah pun tidak seakan-akan Suling Emas dan Lin Lin merupakan dua sosok bayangan yang tidak tampak oleh mereka!
Setibanya di luar, Suling Emas berkata, “Nah, selamat malam. Besok kujemput di kuil,” Begitu habis kata-katanya orangnya pun lenyap!
Bukan main, pikir Lin Lin. Lebih hebat lagi, ia sudah berhasil ‘menundukkan’ orang luar biasa macam itu! Mulai besok, dia akan melakukan perjalanan jauh bersama Suling Emas! Lin Lin berjingkrak-jingkrak dan berlari-lari cepat sekali. Ingin ia lekas-lekas sampai di kuil untuk menceritakan hal yang amat membanggakan hatinya itu kepada encinya. Betapa akan terlongong heran enci Sian Eng, bisik debar jantung Lin Lin.....
Selanjutnya baca
CINTA BERNODA DARAH : JILID-06