Bu Kek Siansu Jilid 18
"Di mana tempatnya?" Sin Liong bertanya, suaranya gemetar karena dia merasa tegang sekali.
Benarkah bahwa Swat Hong terancam nyawanya dan mungkin sekali sudah tewas? Hampir dia memekik untuk melampiaskan kekhawatirannya. Tidak! Tidak mungkin! Tidak boleh!
"Di mana dia? Hayo katakan!" dia mengguncang tangan orang kerdil itu.
Tubuh orang itu menggigil. "Dia... di dalam goa sana itu.... Lihat, di sana ada lubang besar, bukan?"
"Hayo kita ke sana!"
"Tidak... tidak, aku takut...! Mereka menjebaknya di sana. Tempat itu adalah sarang laba-laba raksasa yang mengerikan. Kurasa dia sudah tewas...."
Sin Liong tidak peduli dan menyeret orang itu menuju ke lubang besar yang berada di sebelah kiri lorong, melalui batu-batu menonjol yang ujungnya seruncing pedang. Setelah tiba di situ, tiba-tiba dia mendengar suara lirih.
"Sumoi...!" Sin Liong berteriak.
"Suheng... aihhh... Suheng...!" terdengar suara tangis. Swat Hong yang menangis.
Masih hidup! Hampir Sin Liong bersorak saking girangnya dan dia mendorong orang kerdil itu sampai terguling-guling lima meter jauhnya. Orang kerdil itu merangkak dan pergi akan tetapi Sin Liong tidak mempedulikannya lagi. Dia sudah memasuki goa dan terus ke dalam, membelok ke kiri, ke arah suara Swat Hong. Tiba-tiba dia terbelalak, otomatis dia memasang kuda-kuda dengan pedang diangkat tinggi-tinggi dan tangan kiri siap di depan dada.
Matanya yang terbelalak memandang tajam kepada seekor laba-laba raksasa sebesar kerbau, dengan sepasang anggota bulat seperti mata melotot kepadanya. Di belakang laba-laba itu tampak sarang laba-laba yang bukan main besarnya. Benang sarang laba-laba itu sebesar jari-jari tangan, nampak kuat sekali dan di tengah-tengah sarang itu, tubuh Swat Hong menempel dengan kedua lengan terpentang, juga kakinya agak terpentang dan bagian tubuh dara itu agaknya melekat kepada sarang itu, tak dapat dilepaskan lagi.
Gadis itu menangis ketika melihatnya dan hanya dapat berkata, "Suheng..., cepat kau bunuh binatang menjijikan itu...!"
Sin Liong mencium bau harum yang aneh dan keras, dan maklumlah dia bahwa tempat itu penuh dengan hawa beracun! Laba-laba ini selain besar sekali juga beracun. Heran dia mengapa Swat Hong masih dapat hidup. Akan tetapi dia tidak mempedulikan atau memusingkan hal itu, yang penting adalah menolong sumoi-nya.
"Tenanglah, Sumoi. Aku segera menolongmu," katanya dengan suara gemetar saking girang dan terharunya.
Laba-laba itu memandang buas. Begitu melihat Sin Liong, dia merangkak maju dengan cepat sekali dan tiba-tiba, berbarengan dengan gerakan kaki depan dan mulutnya, sinar putih menyambar ke arah Sin Liong. Itulah benang besar yang mengandung daya lekat luar biasa sekali. Sin Liong menggerakkan pedang rampasannya dan tali putih itu terbabat putus. Kemudian dia melangkah maju, mengelak dari sambaran tali ke dua, lalu dari samping dia menggerakkan kaki menendang.
"Desss...!!" Betapa besar pun ukuran tubuh binatang itu, namun dia terlempar setelah terkena tendangan kaki Sin Liong, terbanting pada dinding batu, terhuyung-huyung lalu menghamburkan banyak benang putih ke arah Sin Liong.
Pemuda perkasa ini meloncat untuk mengelak dan ketika dia memandang lagi, ternyata laba-laba itu telah lari menghilang melalui sebuah lubang di celah-celah dinding batu. Cepat Sin Liong menghampiri Swat Hong, berusaha menurunkan tubuh gadis itu, akan tetapi ternyata sukar sekali karena sarang itu mengandung daya lekat yang dapat merobek pakaian Swat Hong. Sin Liong menggerakkan pedangnya karena dia melihat bahwa sarang itu tergantung pada benang-benang pokok terbesar yang malang melintang dan melekat pada tanah dan pada langit-langit guha. Pedangnya menyambar-nyambar dan runtuhlah sarang itu, membawa tubuh Swat Hong terjatuh ke bawah.
Gadis itu telah lemas sekali, dan tentu akan terbanting kalau saja tidak disambar oleh Sin Liong. Pemuda itu membersihkan benang-benang laba-laba itu dan memondong tubuh sumoi-nya yang lemas menjauhi tempat itu. Ketika dia tiba di bagian yang lebar dari lorong itu, dia menurunkan sumoi-nya yang duduk bersandar batu.
"Bagaimana keadaanmu, Sumoi?" tanyanya sambil memeriksa nadi lengan sumoi-nya. Detak jantungnya lemah, mukanya pucat dan tenaganya habis, akan tetapi yang mengkhawatirkan adalah kenyataan bahwa sumoi-nya itu telah keracunan!
"Untung... untung kau datang, Suheng... Kalau tidak... aku sudah hampir tidak kuat...." Gadis itu tiba-tiba merangkul dan menangis dipundak Sin Liong.
Pemuda itu membiarkan saja Swat Hong menangis. Tak lama kemudian dia berkata, "Laba-laba itu beracun, kau terkena hawa beracun. Akan tetapi, berapa lama kau tertawan seperti itu?"
"Sejak malam tadi.... ahhhh, mengerikan sekali, Suheng...."
"Sudahlah, mari aku membantu engkau mengusir hawa beracun yang mengeram di tubuhmu."
"Nanti dulu aku harus menceritakan dulu kepadamu...." Swat Hong berkata terengah-engah. "Ceritaku akan dapat mengusir kengerian yang masih mencengkeram hatiku, Suheng."
Sin Liong mengangguk. Menurut hasil penyelidikan tadi, biar pun terserang hawa beracun namun keadaan Swat Hong tidak berbahaya, dan malah ketegangan dan pukulan batin yang dideritanya selama satu malam itu lebih berbahaya. Memang menceritakan kengerian yang mencengkeram merupakan obat mujarab pula, seolah-olah kengerian yang ditahan-tahan itu memperoleh jalan ke luar dan dapat meringankan hati yang tertekan.
"Aku mengejar mereka dan mereka itu lenyap. Aku penasaran dan mencari terus, selalu tampak berkelebatnya bayangan mereka sehingga pengejaranku terarah. Aku sama sekali tidak mengira bahwa mereka memang memancingku ke tempat ini. Ketika aku melihat bahwa cuaca mulai gelap, aku melihat pula sinar api di depan dan terus aku mengejarnya. Kemudian, di antara sinar obor aku melihat beberapa orang kerdil lari memasuki goa ini. Aku cepat mengejar dan melihat bayangan mereka dekat sekali. Kupikir asal dapat menangkap seorang di antara mereka dan memaksanya menjadi petunjuk jalan, tentu beres. Maka melihat bayangan mereka begitu dekat di dalam goa ini, aku menerjang dan melompat maju, bermaksud menangkap seorang di antara mereka."
Sin Liong mendengarkan penuh perhatian. Diam-diam dia membandingkan pengalaman sumoi-nya dengan pengalamannya sendiri. Ternyata jalan pikiran mereka untuk menawan seorang lawan adalah sama, hanya sayangnya, sumoi-nya tidak tahu bahwa dia sedang dipancing memasuki jebakan yang amat mengerikan.
"Ketika aku meloncat itu, aku tidak tahu bahwa di depanku terdapat sarang laba-laba itu. Tubuhku tertangkap, aku meronta-ronta namun laba-laba itu terus menambah tali-tali mengerikan itu yang mempunyai daya melekat luar biasa. Aku meronta terus sampai kehabisan napas dan melihat laba-laba itu begitu dekat, seolah-olah hendak menjilatku dan hendak menggigit. Aku pingsan entah beberapa kali."
"Hemm, engkau masih untung dapat terhindar, Sumoi. Sungguh pun aku merasa heran sekali...."
"Dapat kau bayangkan betapa ngeriku, Suheng. Ketika aku siuman, tak jauh dari situ terdapat obor yang mendatangkan cahaya remang-remang amat mengerikan, dan aku terjerat sama sekali tak mampu bergerak, dan laba-laba itu... mendekati aku, lalu mundur kembali, mendekati lagi seperti ragu-ragu.... Ihh, melihat kaki yang berbulu itu, meraba-raba....." Swat Hong kembali menutupi mukanya dan terisak-isak.
"Memang hebat sekali pengalamanmu, Sumoi. Akan tetapi, yang penting engkau dapat terhindar. Hanya satu hal aku tidak mengerti, mengapa selama itu laba-laba raksasa tadi tidak menggigitmu? Padahal dia amat berbisa."
"Berkat inilah," Swat Hong mengeluarkan sebuah batu sebesar kepalanya, batu yang berkilauan mengeluarkan cahaya hijau.
"Ah kiranya engkau membawa bekal Batu Mustika Hijau? Pantas! Tentu saja binatang itu tidak berani menggigitmu, bahkan setiap kali mendekat menjadi ketakutan dan mundur kembali. Untung sekali, Sumoi. Sekarang, marilah kubantu engkau mengusir hawa beracun dari tubuhmu."
"Baik, Suheng... aku.... ahhhh...." Tiba-tiba napasnya menjadi sesak dan Swat Hong terguling pingsan!
Sin Liong cepat menyambar tubuh sumoi-nya dan memeriksanya. Dia merasa heran sekali karena begitu memeriksa, dia mendapat kenyataan bahwa keadaan sumoi-nya tidak seringan yang diduganya semula. Hal ini adalah karena tadi sumoi-nya meletakkan Batu Mustika Hijau itu di pinggangnya, maka ketika pada pemeriksaan pertama, hawa beracun agak tertolak oleh mustika itu sehingga kelihatannya hanya ringan. Sekarang, setelah batu itu dikeluarkan, daya tolak racun dari batu itu meninggalkan tubuh Swat Hong dan hawa beracun yang amat jahat itu menyerang sepenuhnya membuat Swat Hong roboh pingsan.
Sin Liong tidak ragu-ragu lagi, cepat dia memijat tengkuk dan mengurut kedua urat besar di pundak. Swat Hong mengeluh lirih dan membuka matanya.
"Sumoi, kau ternyata terluka cukup hebat di sebelah dalam tubuhmu oleh hawa beracun itu. Lekas kau buka baju atas, aku harus mengerahkan sinkang, menempelkan tangan di punggungmu, langsung tidak tertutup pakaian," suara Sin Liong sungguh-sungguh.
Swat Hong juga mengerti akan keadaannya yang berbahaya. Dia merasa penting dan dadanya sesak sekali, maka tanpa membuang waktu lagi dia lalu membuka bajunya, duduk membelakangi Sin Liong dan membiarkan punggungnya terbuka sama sekali. "Aughhh... ahhh, panas sekali... Ah, Suheng, badanku seperti dibakar rasanya...." Swat Hong merintih sambil memegangi bajunya dan mencegah baju itu merosot.
"Tenanglah, Sumoi. Biar kumulai, kau menerima sajalah hawa sinkang dariku."
Sambil duduk bersila di belakang Swat Hong, Sin Liong lalu menyalurkan tenaga sinkang yang dingin, menempelkan telapak tangan pada pungung yang berkulit putih mulus, halus dan pada saat itu panas sekali. Setelah telapak tangannya menempel, baru Sin Liong tahu betapa hawa beracun itu mendatangkan hawa panas yang makin lama makin hebat. Ahh, dia terlalu semberono, mengira luka sumoi-nya tadi ringan saja sehingga tidak segera mengobati sumoi-nya.
Swat Hong merasa tersiksa, mulutnya terbuka dan dia merintih-rintih. Hawa panas luar biasa yang menyerang dari dalam membuatnya berpeluh, akan tetapi kini terasa olehnya betapa dari telapak tangan di punggungnya itu masuk perlahan-lahan hawa dingin, sedikit demi sedikit. Dia ingin membatu Sin Liong akan tetapi diurungkannya niat itu. Biarlah, dia ingin melihat sampai di mana pemuda itu akan membelanya.
Dia tahu bahwa mengerahkan Swat-im-sinkang untuk mengusir hawa beracun yang panas itu membutuhkan pengerahan tenaga yang kuat, apa lagi harus dilakukan sedikit demi sedikit dengan hati-hati sehingga akan menghabiskan tenaga. Pula, begitu merasa telapak tangan pemuda itu di punggungnya yang telanjang, semacam perasaan aneh memasuki hatinya dan dia ingin agar telapak tangan suheng-nya itu tidak lekas dilepaskan dari pungungnya! Karena itulah dia tidak mau membantu, membiarkan suheng-nya mengerahkan tenaga sendiri untuk mengusir hawa beracun itu.
Sin Liong tidak menaruh curiga, hanya mengira bahwa sumoi-nya terlalu lelah sehingga tidak kuat membantunya. Hal ini malah membuat dia makin bersemangat mengerahkan tenaganya. Mukanya mulai meneteskan keringat dan dia memejamkan matanya, memusatkan seluruh hati dan pikirannya ke dalam usaha pengobatan itu. Dia tidak tahu betapa sumoi-nya tersiksa, bukan hanya tersiksa oleh bentrokan antara tenaga Swat-im-sinkang yang mengusir hawa beracun panas, melainkan juga tersiksa oleh perasaannya sendiri yang tidak karuan. Sin Liong tidak melihat betapa Swat Hong mengepal tangan kirinya, mulutnya terbuka terengah-engah, dan di mukanya tidak hanya peluh yang menetes, melainkan juga air mata!
Juga kedua orang muda ini tidak tahu betapa di tempat itu muncul bayangan seorang kakek yang berdiri tegak memandang mereka sambil mengelus jenggotnya. Kakek ini berpakaian rapi dan sederhana bentuknya, namun yang terbuat dari kain yang mahal. Jenggotnya yang panjang terpelihara rapi, sudah banyak putihnya, dan rambutnya yang putih juga tersisir rapi dan digelung ke atas, diikat dengan pembungkus rambut sutera biru dan ditusuk dengan tusuk konde emas.
Wajah kakek ini biar pun sudah tua namun masih kelihatan tampan dan bersih, ketampanan yang membayangkan kekejaman, apa lagi dari sinar mata dan tarikan mulutnya yang seperti orang mengejek. Kalau tidak melihat mulut dan sinar matanya, kakek ini tentu akan menimbulkan rasa hormat karena dia lebih pantas menjadi seorang pendeta atau pertapa yang agung.
Kakek itu mengelus jenggotnya dan pandang matanya tertuju kepada tubuh belakang Swat Hong yang telanjang. Sinar matanya seperti membelai-belai punggung yang melengkung indah itu, yang berakhir membesar di pinggul yang hanya tertutup sebagian oleh baju yang merosot. Dari samping punggung tampak membayang tonjolan buah dada yang gagal tertutup sama sekali oleh baju yang dipegang oleh tangan Swat Hong. Dalam keadaan tanggung-tanggung ini, telanjang sama sekali bukan dan tertutup rapat juga bukan, keadaan Swat Hong mendatangkan daya tarik yang luar biasa, dan mudah membangkitkan birahi seorang pria yang memang benaknya penuh terisi oleh khayalan-khayalan cabul!
Siapakah kakek yang usianya kurang lebih enam puluh tahun akan tetapi masih begitu tertarik melihat punggung telanjang seorang dara? Dia adalah seorang pertapa yang belum lama turun dari pertapaannya di lereng pegunungan Himalaya. Selama dua puluh tahun dia meninggalkan daratan besar, merantau ke barat dan akhirnya bertapa di lereng Himalaya, bertemu dengan pertapa-pertapa sakti dan mempelajari ilmu.
Dahulunya dia adalah seorang tosu yang ingin memperdalam ilmunya. Akan tetapi setibanya di Himalaya, dia bertemu dengan ahli ilmu hitam sehingga pelajaran Agama To diselewengkan menjadi pelajaran kebatinan yang penuh dengan ilmu sihir yang aneh-aneh. Karena di dalam dirinya memang belum benar-benar bersih, ilmu hitam yang dipelajarinya membuat semua kekotoran di dalam dirinya itu menonjol dan mencari jalan ke luar. Dengan bantuan ilmu sihirnya, pendeta Agama To ini menyeleweng menjadi seorang pertapa atau pendeta palsu yang tidak segan-segan melakukan apa pun demi mencapai kenikmatan dan kesenangan dunia.
Nama pendeta ini adalah Ouwyang Cin Cu, sorang yang memiliki kepandaian silat tinggi, akan tetapi lebih-lebih lagi, memiliki kekuatan sihir yang membuat dia terpakai sekali tenaganya oleh Jenderal An Lu Shan. Berkat ilmu sihir dari Ouwyang Cin Cu inilah, yang merupakan obat ‘guna-guna’, maka An Lu Shan yang kasar itu berhasil memikat hati Yang Kui Hui!
Bertapa atau melakukan segala usaha penekanan terhadap nafsu adalah usaha sia-sia dan palsu belaka, karena tidak mungkin akan berhasil selama di dalam dirinya masih berkecamuk nafsu itu sendiri. Penekanan hanyalah akan menghentikan timbulnya nafsu itu sementara waktu saja, akan tetapi bukanlah berarti bahwa nafsu itu sudah mati. Sewaktu-waktu, jika penekanannya berkurang kuatnya, tentu akan meledaklah nafsu yang ditahan-tahan.
Seperti api dalam sekam, sewaktu-waktu dapat membakar, karena yang menekan nafsu ini pun sesungguhnya adalah nafsu sendiri dalam lain bentuk atau lain nama yang kita berikan kepadanya. Keinginan tidak mungkin dilenyapkan dengan lain keinginan, karena akan menjadi lingkaran setan yang tiada berkeputusan. Apa artinya bertapa di tempat sunyi, meninggalkan masyarakat agar tidak melihat lagi wanita dan timbul nafsu birahi kalau nafsu birahi itu sendiri masih bercokol di dalam batinnya, kalau dirinya sendiri setiap saat digerogoti oleh nafsu birahi yang masih bercokol di dalam batin itu!
Sebaliknya, biar pun hidup di antara seribu orang wanita cantik, kalau memang tidak ada nafsu birahi, di dalam hatinya sama sekali bersih, pasti tidak akan ada gangguan sesuatu di dalam batin. Jadi yang penting bukanlah mencari pelarian, bukanlah melarikan diri dari segala macam nafsu, dalam hal ini sebagai contoh adalah nafsu birahi, melainkan membebaskan diri dari nafsu birahi.
Kebebasan ini hanya dapat terjadi apabila kita mengerti benar, mengenal benar diri sendiri, mengenal nafsu birahi yang membakar kita, dan tak mungkin kita dapat mengenal tanpa kita mempelajari, mengawasi, mengamati dengan seksama tanpa usaha untuk menundukkannya! Dengan pengamatan ini maka segala akan tampak jelas, segala akan kita kenal dan dari pengamatan akan timbul pengertian, dari pengertian akan muncul suatu tindakan yang berlainan sama sekali dari tindakan palsu atau pelarian.
Demikianlah halnya dengan Ouwyang Cin Cu. Karena puluhan tahun lamanya dia menahan-nahan dan menekan nafsu, setelah kini dia menguasai ilmu yang tinggi, memperoleh jalan mudah untuk melampiaskan nafsu-nafsunya, dia membiarkan nafsu-nafsunya bersimaharajalela, seolah-olah untuk menebus pertapaannya yang selama puluhan tahun itu! Begitu turun gunung kembali ke timur untuk menikmati seluruh sisa hidupnya dengan segala macam kesenangan yang diinginkan tubuhnya, dia mendengar tentang pemberontakan An Lu Shan.
Memang dia seorang yang cerdik, maka tampaklah olehnya kesempatan terbuka baginya untuk mencari kedudukan tinggi, kemuliaan sebagai seorang penguasa. Dia mengunjungi An Lu Shan dan dengan demonstrasi kepandaiannya, baik silat mau pun sihir, dia diterima dengan tangan terbuka dan diberi kedudukan tinggi, yaitu penasehat urusan dalam dari Jenderal itu! Tentu saja dia tidak dapat menjadi penasehat urusan perang karena dia sama sekali tidak mengerti akan ilmu perang. Mulailah Ouwyang Cin Cu hidup mewah dan terhormat di dalam istana An Lu Shan, segala kehendaknya terlaksana. Kemewahan, kehormatan, dan pelampiasan nafsu birahinya karena disediakan banyak pelayan-pelayan wanita muda yang cantik-cantik untuk kakek ini!
Pada waktu itu, Ouwyang Cin Cu diutus oleh An Lu Shan untuk mengunjungi Rawa Bangkai, karena An Lu Shan yang sudah tahu akan kelihaian dua orang wanita The Kwat Lin dan Kiam-mo Cai-li, mempunyai niat untuk menarik kedua wanita itu sebagai pembantu dalam dan pengawalnya. Hal ini menunjukan kecerdikan Jenderal itu. Dia tahu bahwa The Kwat Lin adalah bekas Ratu Pulau Es, maka selain memiliki ilmu silat yang hebat, tentu juga memiliki ambisi-ambisi pribadi terhadap kerajaan yang hendak mereka gulingkan dan rampas. Kalau wanita seperti itu diberi kesempatan memperoleh kekuasaan dengan pasukan yang kuat, kelak tentu akan menjadi penghalang dan saingan belaka.
Berbeda kalau wanita itu ditugaskan mengawalnya, segala gerak-geriknya dapat diawasi selain tenaganya dapat dipergunakan untuk mengawalnya sehingga dia akan merasa lebih aman dan terjamin keselamatannya. Demikianlah, Ouwyang Cin Cu lalu diutusnya mengunjungi Rawa Bangkai setelah lima orang utusan pertama ke Rawa Bangkai yaitu Bi Swi Nio, Liem Toan Ki dan tiga orang kakek lain berhasil dengan baik mengunjungi Rawa Bangkai. Sekali ini, Ouwyang Cin Cu membawa surat pribadinya yang dengan ramah mengundang kedua orang wanita itu untuk mengunjungi istananya untuk mengadakan perundingan.
Kedatangan Ouwyang Cin Cu menimbulkan kegemparan, juga disambut dengan kagum oleh The Kwat Lin dan Kiam-mo Cai-li. Ketika lima orang utusan yang terdahulu datang, Kiam-mo Cai-li telah memberikan rahasia jalan menuju ke Rawa Bangkai tanpa menyeberangi rawa, yaitu melalui jalan terowongan di bawah tanah, dari balik gunung yang dijaga oleh orang-orang kerdil yang juga sudah takluk dan menjadi kaki tangannya. Maka kedatangan Ouwyang Cin Cu sekali ini tidaklah sukar, dan Ouwyang Cin Cu dengan kepandaiannya yang tinggi dapat menyelinap melalui terowongan dan menembus ke pulau di tengah rawa.
Betapa kagetnya semua orang ketika melihat seorang kakek datang menunggangi seekor harimau! The Kwat Lin dan Kiam-mo Cai-li melompat ke depan, siap untuk menghadapi lawan, akan tetapi Ouwyang Cin Cu yang masih duduk di atas pungung harimau itu tertawa, memperlihatkan deretan giginya yang masih lengkap.
"Apakah Jiwi yang bernama The-lihiap dan Kiam-mo Cai-li yang terkenal itu?"
"Benar, siapakah Totiang?" tanya The Kwat Lin hati-hati karena sikap tosu ini menunjukan bahwa dia adalah seorang yang berilmu tinggi.
"Ha-ha-ha, benar-benar tidak berlebihan yang pinto dengar. Kalian selain gagah perkasa juga amat cantik. Pinto adalah Ouwyang Cin Cu, utusan pribadi An-goanswe dan inilah surat beliau untuk Jiwi!" Dia menggosok kedua telapak tangannya dan tampaklah asap mengepul tinggi.
Asap itu membentuk bayangan seorang pelayan istana yang cantik, yang berjalan terbongkok-bongkok kepada kedua orang wanita itu dan menyerahkan sebuah sampul surat! Tentu saja The Kwat Lin dan Kiam-mo Cai-li bengong terlongong menyaksikan permainan sulap yang hebat ini. The Kwat Lin menerima surat itu sambil mengerahkan sinkang-nya dan... wushhhh, wanita pelayan itu lenyap tanpa bekas!
"Ha-ha-ha, The-lihiap benar hebat!" Ouwyang Cin Cu berseru dan dia meloncat turun dari atas punggung harimau, lalu meniup ke arah harimau itu dan... harimau itu tertiup dan melayang tinggi lalu lenyap di angkasa!
Tentu saja semua ini adalah hasil sihir dari Ouwyang Cin Cu. Harimau dan pelayan wanita itu tentu saja tidak ada sesungguhnya, yang ada hanyalah Ouwyang Cin Cu yang mempergunakan kekuatan sihirnya mempengaruhi dua orang wanita itu sehingga mereka melihat apa yang dikhayalkan oleh Ouwyang Cin Cu! Padahal yang menyerahkan surat adalah pendeta itu sendiri yang datang dengan jalan kaki.
Kiam-mo Cai-li tertawa. "Hi-hik, kiranya utusan An-goanswe adalah seorang tukang sulap!"
Ouwyang Cin Cu memandang wanita itu sambil tersenyum. Mereka saling pandang dan sudah ada kecocokan di antara mereka. Kiam-mo Cai-li dapat melihat bahwa kakek itu, biar pun usianya sudah enam puluh tahun, namun masih tampan gagah dan matanya bersinar-sinar penuh nafsu birahi! Sebaliknya Ouwyang Cin Cu juga dapat mengenali Kiam-mo Cai-li, seorang wanita yang biar pun usianya sudah setengah abad lebih, namun memiliki nafsu yang besar dan awet muda karena terlalu banyak mempermainkan dan menghisap hawa muda dari banyak perjaka!
Ouwyang Cin Cu tersenyum makin lebar dan berkata, "Bukankah Cai-li suka akan ilmu sulap? Kita berdua suka bicara dan bersikap terang-terangan, tanpa menutupi badan sama sekali, bukan?"
Kalau bukan Kiam-mo Cai-li yang terkena sihir itu, tentu dia akan menjerit saking kaget dan ngerinya. Betapa tidak akan ngeri kalau tiba-tiba dia melihat dirinya sendiri dan Ouwyang Cin Cu tidak berpakaian sama sekali, telanjang bulat sama sekali di tengah-tengah orang banyak itu! Akan tetapi, ketika dia melirik dan melihat bahwa The Kwat Lin dan yang lain-lain tidak mengadakan perubahan apa-apa, tahulah dia bahwa yang melihat mereka telanjang bulat itu hanyalah mereka berdua! Dia pun tersenyum dan menjelajahi tubuh telanjang kakek itu dengan pandang mata kagum, seperti yang dilakukan pula oleh Ouwyang Cin Cu kepadanya.
Pertapa cabul itu lalu diterima sebagai tamu terhormat, dijamu oleh The Kwat Lin dan Kiam-mo Cai-li. Seperti dapat diduga lebih dulu, di antara Ouwyang Cin Cu dan Kiam-mo Cai-li segera terjadi hubungan gelap yang amat mesra. The Kwat Lin tahu akan hal ini dan diam-diam merasa geli, akan tetapi karena dia pun tahu akan kesukaan Kiam-mo Cai-li yang sering mengeram laki-laki muda di dalam kamarnya, dia pura-pura tidak tahu.
Persiapan lalu dibuat oleh kedua orang wanita itu untuk ikut Ouwyang Cin Cu mengunjungi An Lu Shan. Akan tetapi sebelum mereka berangkat, terjadilah peristiwa kedatangan Sin Liong dan Swat Hong yang dikabarkan oleh orang-orang kerdil kepada mereka. Ketika mendengar dengan jelas dan tahu bahwa yang datang menyerbu adalah Kwa Sin Liong dan Han Swat Hong, muka The Kwat Lin menjadi pucat sekali. Dia tahu bahwa biar pun dia jarang bertemu tandingan di daratan besar setelah dia lari dari Pulau Es, namun menghadapi kedua orang muda itu dia tidak boleh main-main. Apa lagi menghadapi Sin Liong yang dia tahu memiliki ilmu kepandaian hebat sekali, dapat dikatakan mewarisi seluruh kepandaian bekas suaminya, Han Ti Ong!
"Aihh... mereka datang...??" tak terasa lagi keluar seruan dari mulutnya.
Kiam-mo Cai-li dan Ouwyang Cin Cu yang sedang duduk berhadapan di meja makan bersama The Kwat Lin, memandang dengan kaget dan juga heran. Baru sekarang Cai-li menyaksikan sahabatnya itu kelihatan takut!
"Siapakah mereka, Lin-moi?" Persahabatan antara The Kwat Lin dan Kiam-mo Cai-li telah menjadi sedemikian eratnya sehingga mereka saling menyebut moi-moi dan cici.
"Mereka?" Kwat Lin menjawab dan mukanya masih pucat. "Mereka adalah penghuni Pulau Es. Kwa Sin Liong adalah murid utama dari Han Ti Ong, sedangkan Han Swat Hong adalah puterinya!"
"Ahhh...." Kiam-mo Cai-li dapat menduga bahwa tentu kedatangan mereka itu mempunyai niat yang tidak baik.
"Habis, apa yang harus kita lakukan?"
"Kita harus siap menghadapi mereka. Mereka lihai sekali, terutama Sin Liong! Atur jebakan agar mereka terperosok. Kalau sampai mereka berhasil menerobos ke sini, berbahaya sekali!" kata Kwat Lin, masih tetap takut.
"Wah, Ibu. Mengapa bingung? Bukankah di sini terdapat Bibi Cai-li, juga ada Ouwyang Totiang, dan Ibu sendiri di samping puluhan orang anak buah. Biarkan mereka datang dan kita hancurkan mereka!" tiba-tiba Bu Ong berkata dengan gayanya yang jumawa.
Mendengar ini Ouwyang Cin Cu tertawa dan mengelus kepala pemuda tanggung itu. "Engkau hebat sekali, Han-kongcu! Masih sekecil ini sudah memiliki keberanian yang luar biasa. Benar puteramu, The-lihiap. Biarlah para orang kerdil menjebak mereka, kalau jebakan itu tidak berhail, biarlah pinto yang menghadapi mereka. Li-hiap dan Cai-li boleh siap-siap saja menyambut mereka sebagai tawanan atau sebagai mayat."
Kiam-mo Cai-li segera mengatur sendiri orang-orang kerdil untuk memancing dan menjebak Sin Liong dan Swat Hong, sedangkan Ouwyang Cin Cu mengintai dan membayangi gerakan dua orang muda itu. The Kwat Lin juga sudah siap-siap kalau kedua orang pembantu itu gagal. Demikianlah, setelah Sin Liong berhasil menyelamatkan Swat Hong dan sedang mengobatinya, muncul Ouwyang Cin Cu mengagumi ketelanjangan punggung Swat Hong yang berkulit putih mulus dan halus menggairahkan hatinya itu.
Melihat betapa pemuda itu berhasil mengusir hawa beracun dengan pengerahan sinkang, dia menjadi kagum sekali kepada pemuda itu. Timbullah keinginan yang aneh dalam batin kakek yang penuh kecabulan itu. Birahinya yang tadi bergolak hanya dengan melihat punggung yang putih mulus dari Swat Hong itu kini berubah. Dia dapat melihat bahwa pemuda dan pemudi di dalam goa itu masih murni, maka timbullah keinginannya menyaksikan mereka itu bermain cinta!
Memang demikianlah! Kecabulan bukan hanya keinginan untuk berjinah sendiri dengan orang yang menimbulkan birahinya, melainkan juga dapat berbentuk keinginan untuk menyaksikan orang lain bermain cinta. Hal ini juga timbul karena kekagumannya menyaksikan pemuda itu sanggup mengusir hawa beracun dengan sinkang, tanda bahwa pemuda itu merupakan lawan tangguh. Jika dia berhasil menggunakan sihir dan guna-guna untuk membuat pemuda itu ‘jatuh’ tentu dalam keadaan seperti yang dikehendakinya itu, akan mudah saja menawan dua orang muda yang agaknya ditakuti oleh The Kwat Lin itu.
Bagaikan bayangan setan saja kakek itu menyelinap di balik batu. Tak lama kemudian tampak asap mengepul dari tiga batang hio (dupa) yang menyebarkan bau harum, sedangkan kakek itu sendiri sudah duduk bersila, kedua lengan diluruskan ke depan, ke arah muda-mudi itu dan sepasang matanya terbelalak memandang seperti sepasang mata setan!
Ilmu sihir yang dipergunakan oleh Ouwyang Cin Cu adalah ilmu hitam yang dikuasainya dengan latihan-latihan yang berat dan mengerikan. Di dalam ilmu ini terkandung kekuasaan mukjijat yang hanya dikenal oleh mereka yang memuja setan, iblis dan segala roh jahat yang mereka percaya, ditambah dengan kekuatan dari tenaga sakti (sinkang) dan latihan yang tekun, dicampur dengan bermacam mantra yoga.
Untuk melatih kekuatan matanya, bertahun-tahun Ouwyang Cin Cu bertapa menghadapi dupa membara sampai kekuatan pandang matanya dapat membuat api membara di ujung dupa itu membesar atau mengecil, mengepulkan asap atau tidak menurut kehendak pikiran yang disalurkan melalui pandangan matanya yang tajam itu. Kini, dibantu dengan bau asap dupa yang harum dan aneh, dia mulai menjatuhkan sihirnya. Matanya memandang dengan pengaruh yang amat dahsyat, bibirnya berkemak-kemik membaca mantra.
Mula-mula Swat Hong yang terpengaruh hawa mukjijat itu. Hal ini tidaklah mengherankan karena tentu saja Sin Liong memiliki daya tahan yang jauh lebih kuat dibandingkan dengan sumoi-nya, juga memang sebelumnya Swat Hong sudah tersiksa oleh perasaannya sendiri, perasaan mesra yang aneh dan sejak tadi menyelinap dan mengaduk hatinya ketika merasa betapa telapak tangan suheng-nya menyentuh punggungnya.
Karena memang sudah timbul perasaan wajar dari seorang gadis yang normal dan sehat, terdorong oleh rasa cintanya kepada suheng-nya itu, maka tidaklah mengherankan ketika diserang oleh kekuatan sihir, Swat Hong mudah sekali terkena. Dia mengeluh dan merintih lirih, tubuhnya gemetar semua, mukanya berubah merah seperti dibakar, napasnya terengah-engah, kedua tangannya mengepal dan dia tidak peduli lagi bajunya yang tadi ditahan dengan tangan di bagian depan dadanya, merosot dan terbuka. Setelah gelisah bergerak ke kanan-kiri, kemudian dia menoleh, memandang kepada suheng-nya yang masih duduk bersila dengan muka menunduk dan mata terpejam.
"Iihhh... aahhh... Suheng...!" Swat Hong mengeluh, lalu membalikkan tubuhnya dan serta merta merangkul leher Sin Liong sambil terengah-engah seperti orang hendak menangis.
Sin Liong membuka matanya. Dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika dia melihat bahwa sumoi-nya dalam keadaan setengah telanjang karena pakaian bagian atasnya terlepas setelah merangkulnya.
"Su... Sumoi!" dia berseru.
Barulah dia merasa betapa kepalanya seketika menjadi pening, pandang matanya menjadi berkunang dan hidungnya mencium bau yang harum dan aneh sekali. Baru sekarang terasa olehnya betapa tubuh sumoi-nya mendekap ketat dan jari-jari tangannya merasakan kulit yang lunak halus dan hangat. Jantungnya berdebar dan pada saat itu, dengan isak tertahan Swat Hong telah memperketat pelukannya dan menciumnya.
"Suheng...!"
Bagaikan dalam mimpi Sin Liong merasa seolah-olah dia terseret oleh arus yang amat dahsyat, yang membuat bibirnya membalas ciuman itu, yang memaksa kedua lengannya merangkul dan mendekap. Namun seketika itu juga timbul hawa panas dari pusat di pusarnya, hawa panas yang naik ke atas dan membuyarkan semua hal yang membuat dia pening dan seperti mabuk itu.
Memang pada dasarnya Sin Liong adalah seorang anak yang ajaib, yang sama sekali tidak pernah dipermainkan oleh lamunan yang bukan-bukan, yang bersih sama sekali, kebersihan yang khas dan wajar, tidak dibuat-buat dan memang pada dasarnya dia memiliki kekuatan batin yang tidak lumrah manusia biasa. Maka begitu dia terserang oleh sihir yang amat mukjijat, biar pun dia sendiri belum tahu bahwa ada orang jahil yang mempermainkannya, namun secara otomatis kebersihan hatinya telah meninggalkan hawa panas menolak kekuasaan asing yang kotor itu.
Mata pemuda itu seperti terbuka begitu hawa panas naik dan membuyarkan pengaruh jahat. Baru tampak olehnya kepulan asap yang harum dan keadaan Swat Hong yang tidak wajar. Seketika tahulah dia bahwa keadaan ini bukan sewajarnya dan pasti dibuat oleh seorang yang jahat. Begitu telinganya menangkap suara gerakan dari kiri, dia cepat menengok dan tampaklah olehnya seorang kakek tua yang duduk bersila dan meluruskan kedua lengannya ke arah mereka. Dari kedua lengan itu, juga dari kedua matanya, menyambar tenaga mukjijat ke arah mereka.
Lengking yang panjang dan nyaring dahsyat serta mengandung getaran tenaga sakti dari dalam pusarnya, keluar dari mulut Sin Liong dan dia sudah meloncat berdiri. Lengkingan yang dahsyat itu menyebar getaran yang sedemikian kuatnya sehingga kekuatan sihir yang dipergunakan Ouwyang Cin Cu buyar sama sekali, bahkan tubuh kekek itu tergetar. Swat Hong juga terbebas dari cengkeraman sihir itu. Dia menjadi pucat sekali, terbelalak, mengeluh perlahan lalu terguling roboh, pingsan!
Dapat dibayangkan betapa kaget rasa hati Ouwyang Cin Cu ketika dia sedang menikmati hasil ilmu sihirnya, melihat betapa muda-mudi itu sudah mulai terpengaruh, tiba-tiba pemuda itu mengeluarkan suara melengking sedemikian dahsyatnya sehingga dia merasa betapa jantungnya seperti akan copot! Melihat betapa pengaruh sihirnya buyar, dia segera bangkit berdiri.
"Manusia jahat, apa yang telah kau lakukan?" Sin Liong menegur dan melompat ke depan kakek itu.
Kakek itu mengerahkan tenaga mukjijatnya, disalurkan melalui tangan kanannya yang jari-jari tangannya terbuka dan diselonjorkan ke arah muka Sin Liong. Ia memandang tajam sambil berkata, "Orang muda berlututlah kau di depan Ouwyang Cin Cu...!"
Akan tetapi, untuk kedua kalinya kakek itu mengalami kekagetan. Biasanya, setiap orang lawan akan dapat dibikin tidak berdaya dengan kekuatan sihirnya. Akan tetapi sekali ini pemuda itu hanya memandang kepadanya dengan sinar mata jernih halus dan sama sekali tidak berlutut seperti yang diperintahkannya dengan suara berwibawa itu. Dia memperhebat pencurahan tenaga sihirnya, namun tetap saja pemuda itu sama sekali tidak terpengaruh.
Tentu saja Sin Liong dapat merasakan serangan tenaga mukjijat ini. Dia merasa betapa ada hawa yang menyerangnya, keluar dari lengan dan pandang mata kekak itu, yang membuatnya tergetar dan seperti ada kekuatan mukjijat memaksanya agar dia menjatuhkan diri berlutut di depan kakek itu. Namun dia mengerti bahwa hal itu tidak semestinya dan tidak sewajarnya, maka dia tidak mau mentaati perintah itu, melainkan memandang dengan sinar mata tajam penuh teguran kepada kakek yang dianggapnya jahat itu.
Melihat betapa kekuatan sihirnya sekali ini tidak berhasil, Ouwyang Cin Cu menjadi penasaran sekali. Sihirnya boleh gagal, akan tetapi dia masih memiliki ilmu silat dan kekuatan yang dahsyat. Dara itu cantik menarik. Usahanya menikmati tontonan yang tidak senonoh gagal, maka sebaiknya pemuda ini dibunuh saja dan dara itu ditawan!
"Mampuslah kau!" bentaknya penasaran.
Kini dia tidak menggunakan ilmu sihir lagi, melainkan meloncat dan menerkam kepada Sin Liong seperti seekor serigala. Tangan kirinya mencengkeram ke arah dahi pemuda itu sedangkan sedangkan tangan kanannya dengan jari terbuka membacok ke arah dada kiri lawan.
"Plak! Desss...!" Sin Liong menangkis dengan kedua tangannya dan akibatnya tubuh kakek itu terdorong ke belakang sampai terhuyung-huyung.
Mata kakek itu terbelalak saking kagetnya. Tak disangkanya bahwa pemuda yang sanggup membuyarkan ilmu sihirnya ini juga berhasil menangkis serangan dan membuat tubuhnya terhuyung dan hampir jatuh! Maklum bahwa dia berhadapan dengan sorang pemuda yang luar biasa, Ouwyang Cin Cu meloncat, membalikkan tubuhnya dan lari!
Teringat dia akan sikap takut yang tampak pada wajah bekas Ratu Pulau Es ketika mendengar akan kedatangan pemuda dan pemudi ini, dan baru sekarang dia tahu mengapa bekas Ratu itu kelihatan takut-takut. Kiranya pemuda ini memang memiliki kesaktian yang amat hebat! Dia perlu mencari bantuan, karena menghadapi seorang diri saja amat berbahaya.
Sin Liong yang ingin menangkap kakek itu dan mencari keterangan tentang The Kwat Lin, segera mengejar sambil berseru, "Orang tua jahat, kau hendak lari ke mana? Tunggu, kau harus menjawab beberapa pertanyaanku!"
Mendengar suara Sin Liong dekat sekali di belakangnya, Ouwyang Cin Cu mempercepat larinya, akan tetapi dengan gerakan yang lebih cepat lagi Sin Liong terus mengejarnya. Setelah keluar dari dalam jalan terowongan itu, di lapangan terbuka yang agak jauh letaknya dari goa di mana Sin Liong meninggalkan Swat Hong tadi, terpaksa Ouwyang Cin Cu tidak dapat melarikan diri lagi karena Sin Liong telah menyusul dekat sekali di belakangnya.
"Kakek jahat, berhenti dulu!" Sin Liong membentak.
"Haaeeehhhh!!"
Tiba-tiba Ouwyang Cin Cu membalikkan tubuhnya dan begitu membalik, segulung sinar biru menyambar ke arah pusar Sin Liong dan sinar putih menyambar ke antara kedua matanya. Sinar biru itu adalah sebatang pedang tipis yang biasanya dibelitkan di pinggang sebagai sabuk oleh kakek itu, sedangkan sinar putih itu adalah jenggot panjangnya yang ternyata dapat dipergunakan sebagai senjata yang sangat ampuh!
"Hemmm...!!"
Sin Liong yang sudah menduga bahwa kakek yang jahat itu tentu tidak segan-segan bermain curang, sudah menjaga diri. Maka begitu melihat menyambarnya sinar biru dan putih itu, cepat dia sudah mencelat ke atas. Demikian cepat gerakan pemuda ini sehingga Ouwyang Cin Cu melongo, mengira bahwa pemuda itu pandai menghilang! Akan tetapi gerakan angin menyambar di belakangnya membuat dia membalik dan ternyata pemuda itu telah berada di belakangnya. Ternyata ketika mengelak tadi pemuda itu telah mempergunakan ginkang untuk meloncat melalui atas kepalanya. Akan tetapi gerakan pemuda itu sedemikian cepatnya sehingga dia sendiri sampai hampir tidak melihatnya, hanya melihat bayangan berkelebat dan pemuda itu lenyap.
Berdebar jantung kakek itu. Selama hidupnya belum pernah ia bertemu dengan lawan seperti ini! "Hiaaaahhh!!" dia mengusir rasa gentarnya.
Ouwyang Cin Cu mulai mainkan pedangnya dengan gerakan yang amat cepat. Pedang itu berubah menjadi gulungan sinar biru dan mengeluarkan suara bedesing-desing nyaring sekali. Serangan pedang ini masih dia selingi dengan pukulan-pukulan tangan kiri dengan telapak tangan terbuka, memukulkan hawa sinkang yang amat kuat. Memang Ouwyang Cin Cu bukan orang sembarangan. Pertapa Himalaya ini selain pandai sihir, juga memiliki ilmu silat yang tinggi, tenaga sinkang-nya amat kuat dan pedang yang dipergunakannya adalah sebatang pedang tipis dari baja biru yang amat ampuh. Akan tetapi kali ini dia bertemu dengan batunya!
Tubuh Sin Liong berkelebatan. Ke mana pun pedang dan tangan kiri Ouwyang Cin Cu menyerang, selalu hanya bertemu dengan angin belaka. Dua puluh jurus lebih kakek itu menyerang bertubi-tubi sampai napasnya terengah-engah.
Tiba-tiba Sin Liong berseru, "Lepas pedang!"
"Plakk! Desss....!!"
"Aiiihhh...!!" pedang itu terlepas dari tangan Ouwyang Cin Cu dan jatuh ke atas tanah mengeluarkan suara berdenting nyaring.
Ternyata bahwa lengan kanan kakek tua itu kena ditampar oleh jari tangan Sin Liong, mendatangkan rasa nyeri yang amat hebat, bukan hanya nyeri, akan tetapi juga hawa dingin seolah-olah menggigit daging dan urat, membuat tangan kakek itu tidak kuat lagi memegang pedang. Untung bagi Ouwyang Cin Cu, pada saat pedangnya terlepas itu, muncul The Kwat Lin dan Kiam-mo Cai-li! Bagaikan dua sosok bayangan setan, dua orang wanita sakti ini sudah menerjang ke depan sambil meloncat dan terdengar suara melengking tinggi dari mulut Kiam-mo Cai-li ketika dia menyerang berbareng dengan The Kwat Lin yang juga menyerang tanpa mengeluarkan suara.
"Heeeiiiittttttttt!!! Wir-wirrr... singgg... singgg!!" pedang payung di tangan Kiam-mo Cai-li sudah bergerak menyambar menyusul lengkingannya, juga dibarengi menyambarnya rambut panjangnya dan kuku tangan kirinya yang sekaligus menerjang dengan serangan yang amat dahsyat!
Namun Sin Liong lebih memperhatikan sinar pedang merah yang menyambarnya tanpa suara itu. Dia tahu bahwa pedang Ang-bwe-kiam di tangan The Kwat Lin yang menyambar tanpa suara itu jauh lebih berbahaya dari-pada semua serangan Kiam-mo Cai-li yang banyak ribut itu.
"Hemmm...!" Sin Liong mendengus. Kaki tangannya bergerak menangkis rambut dan kuku, tubuhnya mencelat menghindari sinar merah pedang The Kwat Lin, dan ujung kakinya yang menendang pergelangan tangan Kiam-mo Cai-li berhasil menangkis tusukan pedang payung.
Pada saat itu, dari belakang, menyambar sinar biru dari pedang Ouwyang Cin Cu yang ternyata telah menyambar pula pedangnya yang tadi terlepas dan kini ikut mengeroyok.
"Ahhh!" Sin Liong berseru, membiarkan pedang lewat dekat sekali dengan lehernya karena dia memang sengaja berlaku lambat. Begitu pedang lewat, jari tangannya menyentil, kuku jari tangannya bertemu batang pedang biru itu.
"Tringgggg... Auuhhh...!" untuk kedua kalinya, pedang biru itu terlepas dari pegangan tangan Ouwyang Cin Cu dan kini melayang jauh dan lenyap kedalam semak-semak!
The Kwat Lin dan Kiam-mo Cai-li sudah menerjang lagi, akan tetapi Sin Liong meloncat jauh ke belakang, lalu berkata kepada The Kwat Lin, "Subo, tunggu dulu!" Suaranya halus, akan tetapi penuh wibawa.
Tanpa disadarinya sendiri, Kiam-mo Cai-li menghentikan gerakannya, memandang kepada pemuda itu dengan sinar mata penuh cahaya kagum. Otomatis hatinya tergerak melihat pemuda yang luar biasa ini, pemuda yang wajahnya mengeluarkan cahaya lembut, sedikit pun tidak membayangkan kekerasan dan yang memiliki sepasang mata yang aneh dan indah.
"Hemmm, bocah kurang ajar! Engkau masih ingat bahwa aku adalah Subo-mu (Ibu Gurumu)!?" bentak The Kwat Lin dengan suaranya menyindir untuk menutupi guncangan hatinya.
"Subo adalah isteri Suhu, mana teecu berani kurang ajar? Kedatangan teecu bersama Sumoi adalah untuk memenuhi pesan Suhu."
Kembali hati The Kwat Lin terguncang penuh rasa takut dan ngeri, takut kalau-kalau suaminya yang dia tahu amat sakti itu muncul di situ. Akan tetapi mendengar bahwa Sin Liong datang memenuhi pesan suaminya, hatinya lega karena hal itu berarti bahwa suaminya tidak ikut datang!
"Hemm, pesan apakah dari Suhumu?"
Sin Liong yang memang berwatak polos dan tidak suka menyembunyikan sesuatu di dalam hatinya, berkata lantang, "Subo, Suhu minta agar supaya semua pusaka Pulau Es yang Subo bawa pergi, diserahkan kembali kepada teecu untuk teecu kembalikan ke Pulau Es."
Mendengar permintaan ini, tanpa menjawab lagi The Kwat Lin lalu menggerakkan pedangnya dan mengirim serangan langsung yang amat dahsyat. Gerakannya memang cekatan sekali. Pedangnya hanya tampak sebagai sinar merah yang meluncur seperti panah api menuju ke arah tubuh Sin Liong. Pemuda ini kembali mencelat ke belakang berjungkir balik dan berdiri dengan tenang.
"Subo harap dengarkan permintaan teecu. Pusaka-pusaka itu tidak boleh di bawa keluar dari Pulau Es. Teecu tidak suka melawan Subo, akan tetapi kalau Subo tidak mengembalikan pusaka-pusaka itu, terpaksa teecu...."
"Heiihhh, mampuslah!" bentak The Kwat Lin dan tubuhnya sudah melayang ke depan dengan cepat seperti seekor burung garuda terbang menyambar, didahului oleh sinar merah pedang Ang-bwe-kiam di tangannya.
Terpaksa Sin Liong mengelak sambil membalas dengan totokan tangan kirinya menuju ke pergelangan tangan yang memegang pedang. Namun bekas ibu gurunya itu dengan cepat telah menarik kembali pedangnya dan melanjutkan serangannya secara bertubi-tubi dengan jurus-jurus pilihan dari Ngo-heng Kiam-sut.
Ilmu pedang yang dimainkan oleh The Kwat Lin ini hebat bukan main karena diperkuat dengan latihan-latihannya di Pulau Es di bawah bimbingan suaminya, Han Ti Ong yang sakti. Juga berkat latihan sinkang-nya di pulau dingin itu, tenaga yang menggerakkan pedang itu pun amat luar biasa sehingga Ang-bwe-kiam menyambar-nyambar dengan hawa dingin yang menyusup tulang lawannya biar pun tubuh belum sampai tercium pedang.
Tubuh Sin Liong lenyap dan yang tampak hanya bayangannya saja berkelebatan di antara dua sinar pedang yang bergulung-gulung mengurung dirinya. Pemuda itu terpaksa mengerahkan seluruh keringanan tubuhnya untuk mengelak dan berloncatan ke sana-sini, kemudian mempercepat lagi gerakannya ketika Kiam-mo Cai-li sudah menerjang juga dengan kemarahan meluap karena kejatuhannya tadi dianggapnya amat memalukan. Tiga orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali, ketiganya memegang senjata-senjata pusaka ampuh, mengeroyok Sin Liong dengan mati-matian!
Bukan main hebatnya pertandingan mati-matian itu! Sekali ini, baru sekali inilah, Sin Liong benar-benar diuji semua hasil jerih payahnya mempelajari ilmu silat tinggi di Pulau Es. Diuji hasil warisan hampir seluruh ilmu kepandaian Raja Pulau Es Han Ti Ong yang telah dikuasainya secara matang. Dengan tangan kosong saja dia menghadapi serbuan maut yang dilancarkan secara bertubi-tubi oleh tiga orang lawan yang sakti itu.
Dengan tingkat kepandaian Sin Liong yang sudah luar biasa tingginya, sukar lagi diukur sampai di mana tingkatnya, dengan mudah dia dapat mengikuti semua gerakan tiga orang lawannya, dan karena itu dia dapat menghindarkan diri dari semua serangan. Dengan ilmunya mengenal semua dasar gerakan ilmu silat yang dipelajarinya dari kitab kuno Inti Sari Gerakan Silat, sekali pandang saja dia dapat mengetahui perkembangan gerakan lawan dan bahkan dengan mudah dapat menirunya.
Akan tetapi ada dua hal penting yang membuat dia repot juga menghadapi pengeroyokan tiga orang lihai itu. Pertama, harus diakui bahwa biar pun tingkat ilmu silatnya lebih tinggi dan dia memiliki dasar lebih kuat dan lebih bersih sehingga sinkang-nya kuat sekali, namun dia kalah matang dalam latihan. Usianya masih terlalu muda. Dia belum mengalami banyak pertandingan, apa lagi melawan orang-orang yang ahli, tidak seperti tiga orang pengeroyoknya yang telah mempunyai pengalaman banyak sekali dalam pertandingan silat.
Hal kedua merupakan kenyataan yang paling hebat. Sin Liong memiliki dasar watak yang halus budi dan penuh belas kasihan. Wataknya ini membuat dia tidak tega menjatuhkan pukulan maut, apa lagi membunuh lawannya. Andai kata dia tidak memiliki dasar watak seperti ini, dengan kepandaiannya yang hebat, tentu dia akan mampu membunuh mereka seorang demi seorang. Tadi pun, kalau dia menghendaki, tentu Kiam-mo Cai-li sudah dapat dia robohkan untuk selamanya.
Kini menghadapi tiga orang lawan yang mengeroyoknya dan yang berusaha sungguh-sungguh untuk membunuhnya, Sin Liong menjadi repot juga. Apa lagi dia hanya mengelak, menangkis, dan kadang-kadang membalas serangan dengan gerakan yang diperlambat dan diperlunak karena takut kalau-kalau salah tangan membunuh orang. Dengan demikian, dia lebih banyak diserang dari-pada balas menyerang.
Seratus jurus telah lewat, dan pemuda yang luar biasa ini belum juga dapat dikalahkan oleh para pengeroyoknya. Hal ini membuat mereka bertiga menjadi penasaran, marah dan malu sekali. Biar pun di tempat itu tidak ada orang lain kecuali para anak buah mereka yang kini mulai bermunculan dan mengurung tempat itu, orang-orang katai dan juga para anak buah Rawa Bangkai, namun tiga orang itu tentu saja merasa malu bahwa mereka bertiga maju bersama dengan senjata lengkap sampai seratus jurus tidak mampu membekuk atau menewaskan seorang pemuda yang bertangan kosong!
The Kwat Lin selama ini merasa bahwa dia tidak menemukan tandingan. Biar pun tahu betapa lihainya murid bekas suaminya ini, namun dia telah dibantu oleh dua orang pandai dan belum juga dapat menang, maka dia merasa penasaran sekali. Kiam-mo Cai-li yang selama ini terkenal sebagai datuk kaum sesat yang lihai, selama hidupnya baru sekali ini dia mengeroyok seorang pemuda dengan dua orang teman yang kepandaiannya lebih tinggi dari dia sendiri, maka dia pun penasaran. Terutama sekali Ouwyang Cin Cu. Sebelum ini sukar membayangkan bahwa dia, yang memiliki ilmu-ilmu luar biasa, akan mengeroyok seorang pemuda seperti itu. Hal ini benar-benar menyakitkan hati dan menghancurkan kebanggaan hati mereka akan ilmu kepandaian mereka masing-masing yang sudah terkenal di dunia kang-ouw.
"Pemuda setan, mampuslah!!" Ouwyang Cin Cu berteriak keras.
Pedang birunya untuk ke sekian kalinya menyambar ganas ke arah leher Sin Liong, sedangkan tangan kirinya mencengkeram ke arah perut. Pada saat itu, Sin Liong baru saja menyingkirkan pedang di tangan The Kwat Lin yang menyambar kakinya dengan cara menendang pergelangan tangan bekas ibu gurunya itu sehingga The Kwat Lin terpaksa menarik kembali pedangnya dan meloncat ke samping.
"Hiaaattttt!!"
Kiam-mo Cai-li yang sudah memuncak kemarahannya itu pun membarengi serangan Ouwyang Cin Cu dari belakang. Kukunya mencengkeram ke arah punggung Sin Liong, sedangkan pedang payungnya berputar-putar mengancam tengkuk. Dalam detik berbahaya itu Sin Liong maklum akan datangnya ancaman maut dari depan dan belakang. Tiba-tiba dia berteriak, tubuhnya melesat ke atas dan tak dapat dicegah lagi, pedang payung bertemu dengan pedang biru.
"Cringgg...!!"
Pada saat itulah Sin Liong yang mencelat ke atas itu bergerak cepat bukan main. Tubuhnya sudah berjungkir balik, menukik turun dan kedua tangannya menyambar seperti sepasang garuda.
"Plak! Plak!"
Ouwyang Cin Cu dan Kiam-mo Cai-li mengeluh. Kakek itu terhuyung dan memuntahkan darah segar, sedangkan Kiam-mo Cai-li terguling-guling, kemudian meloncat berdiri dengan muka pucat. Baju di pundak ke dua orang sakti ini robek terkena tamparan tangan Sin Liong!
"Orang muda, lihat ini...!!" tiba-tiba Ouwyang Cin Cu berseru aneh sekali.
Pedang birunya diputar-putar sehingga merupakan sinar biru bergulung-gulung di depannya. Sin Liong mengira bahwa kakek itu akan menyerangnya atau akan menggunakan senjata rahasia, maka dia memandang penuh perhatian. Terkejutlah dia ketika sekali memandang, berarti selanjutnya menuruti kata-kata kakek itu. Dia merasa betapa pandang matanya sukar dialihkan lagi dari gulungan sinar biru itu!
"Orang muda, engkau telah lelah, mengasolah... duduklah kau...!" kembali suara kakek itu mendengung dengan aneh dan mendatangkan pengaruh yang ajaib.
Sin Liong menggoyang-goyang kepalanya, berusaha mengusir pengaruh yang memaksanya untuk duduk itu. Seketika dia merasa tubuhnya lelah bukan main. Dia maklum bahwa kakek itu kembali menggunakan ilmu hitamnya. Kesadaran ini mendatangkan kekuatan kepada dirinya. Dia mengerahkan sinkang-nya untuk menolak pengaruh itu sehingga tubuhnya kadang-kadang diserang kelelahan, kemudian lenyap lagi, datang lagi, seolah-olah terjadi ‘pertandingan’ yang tidak tampak. Akan tetapi, karena terlalu mencurahkan perhatiannya kepada kakek yang menyerangnya dengan sihir, dan menggunakan sinkang-nya untuk melawan pengaruh aneh itu, perhatian Sin Liong terhadap dua orang lawan lainnya menjadi berkurang banyak.
Dua orang wanita itu tentu saja tidak mau menyia-nyiakan kesempatan baik ini. Melihat betapa pemuda itu kelihatan bengong dan menghentikan gerakannya, Kiam-mo Cai-li cepat menyerang, akan tetapi dia didahului oleh The Kwat Lin yang sudah menusukkan Ang-bwe-kiam ke arah lambung Sin Liong, disusul oleh tusukan pedang payung dan cengkeraman kuku tangan kiri Kiam-mo Cai-li, kemudian disusul oleh hantaman tangan kiri The Kwat Lin yang mengandung im-kang amat dahsyatnya.
Ketika merasa adanya angin yang menyambar-nyambar menyerangnya, Sin Liong berusaha mengelak. Dengan kedua tangannya yang melakukan gerakan membalik, dia dapat memukul tangan Kiam-mo Cai-li dan The Kwat Lin yang memegang pedang. Gerakannya ini hebat bukan main sehingga kedua wanita itu memekik dan pedang mereka terlepas dari pegangan! Akan tetapi kuku jari tangan Kiam-mo Cai-li yang beracun itu berhasil mencengkeram pundak dekat tengkuk Sin Liong dan pada saat yang hampir sama, tangan kiri The Kwat Lin menghantam punggungnya dengan hebat.
"Plakk! Desss...!!" dan tubuh Sin Liong terguling.
Cengkeraman kuku tangan Kiam-mo Cai-li belum tentu akan dapat merobohkan karena secara otomatis hawa sinkang di tubuhnya melindungi tempat yang dicengkeram. Akan tetapi hantaman tangan kiri The Kwat Lin yang mengandung tenaga im-kang yang dingin itu terlalu keras bagi Sin Liong yang pada saat itu sedang mencurahkan tenaga melawan sihir Ouwyang Cin Cu. Dia masih terlindung oleh sinkang-nya yang otomatis, sehingga tidak mengalami luka dalam yang terlalu parah, akan tetapi guncangan yang hebat akibat pukulan itu membuat dia pingsan!
Melihat pemuda yang membuatnya malu dan penasaran itu sudah roboh pingsan, dengan gemasnya ouwyang Cin Cu meloncat dekat, mengangkat tangan kirinya menghantam ke arah ubun-ubun kepala Sin Liong untuk membunuhnya.
"Wuuuttt... plakkk!”
“Ehhh?! Kiam-mo Cai-li, mengapa kau menangkis dan melindunginya?" Ouwyang Cin Cu membentak kaget dan melotot memandang kepada kekasih barunya ini.
Kiam-mo Cai-li tersenyum penuh arti. Matanya yang indah itu memandang dengan lirikan yang memikat. "Sayang sekali kalau dibunuh begitu saja!" katanya sambil mengusap dagu Sin Liong yang masih pingsan. "Dia adalah sin-tong. Kalau aku bisa mendapatkan dia, manfaatnya melebihi seratus orang jejaka lain..."
"Huh, kau memang cabul!" Ouwyang Cin Cu mencela, akan tetapi tidak berani turun tangan lagi.
"Tidak, dia harus dibunuh! Kalau dibiarkan hidup berbahaya sekali, akan tetapi juga jangan sampai ada bekasnya, jangan sampai ada yang tahu bahwa kita yang membunuhnya. Kita lempar dia di sumur ular, juga gadis itu. Mereka berdua harus mati, akan tetapi tidak boleh meninggalkan jejak!"
"Ah, ya... gadis itu...!" Ouwyang Cin Cu yang teringat kepada gadis berpunggung putih mulus itu segera berlari ke dalam goa terowongan untuk mencari Swat Hong. Tentu saja dia tidak akan membunuh gadis itu begitu saja sebelum melakukan kecabulan yang sama seperti yang berada di dalam benak Kiam-mo Cai-li! Akan tetapi tak lama kemudian dia kembali dengan muka berubah. "Dia... dia tidak ada!"
"Apa...?!" The Kwat Lin berseru dengan muka pucat.
"Kalau begitu... lekas kita lemparkan dia ini ke sumur ular, kemudian cari gadis itu sampai dapat...!”
The Kwat Lin sendiri menggotong tubuh Sin Liong yang masih pingsan itu dan beramai mereka menuju ke sebuah sumur di dalam goa terowongan. Sumur ini lebarnya hanya satu setengah meter, namun dalamnya sukar diukur karena amat gelap. Dari atas orang dapat menangkap suara mendesis-desis karena sumur itu penuh dengan ular-ular berbisa. Hawa yang memuakkan dapat tercium dari atas, bau yang harum aneh bercampur amis.
Tanpa ragu-ragu lagi The Kwat Lin melemparkan tubuh yang pingsan itu ke dalam sumur. Mereka semua menanti, ingin mendengar keluhan atau rintihan atau pekik ketakutan dari pemuda yang diberikan kepada ular-ular berbisa itu. Namun tidak terdengar sesuatu dan mereka menganggap bahwa tentu pemuda yang pingsan itu tidak sadar kembali dan terus mati karena dikeroyok ular dalam keadaan pingsan....
"Cepat kerahkan orang untuk mencari gadis itu!" The Kwat Lin berkata.
Sibuklah mereka semua mencari Swat Hong. Namun sampai habis seluruh lorong terowongan itu dijelajahi dan sampai jauh di luar, di sekitar Rawa Bangkai, tetap saja tidak tampak bayangan gadis itu yang seolah-olah lenyap ditelan bumi!
"Heran sekali, tadi ketika ditinggalkan pemuda itu, dia masih pingsan!" kata Ouwyang Cin Cu ketika mereka bertiga kembali berkumpul di dalam goa di depan sumur ular.
"Kenapa kau pucat sekali? Gadis itu tidak terlalu berbahaya kukira. Andai kata dia berhasil melarikan diri, biarkan dia datang. Pemuda itu yang lebih hebat pun dapat kita basmi," kata Kiam-mo Cai-li ketika melihat betapa The Kwat Lin nampak ketakutan dan mukanya pucat.
"Aihhh... kau tidak tahu...! Lenyapnya Swat Hong begitu aneh..., aku takut kalau-kalau...."
"Mengapa? Apa yang perlu ditakuti?" Ouwyang Cin Cu juga berkata.
"Kalau ayahnya yang datang, kita pasti celaka. Baru muridnya saja sudah demikian sukar dilawan, apa lagi gurunya..."
"Bekas suamimu?" Kiam-mo Cai-li bertanya.
"Raja Pulau Es?" Ouwyang Cin Cu juga berkata sambil menengok ke kanan-kiri, karena gentar juga mendengar tentang guru pemuda luar biasa tadi.
"Kalau begitu, sebaiknya kita cepat mengunjungi utara dan menghadap An Tai-goanswe," kata Kiam-mo Cai-li.
"Benar, kalau terlalu lama, tentu aku akan ditegur. Beliau telah menanti-nanti!" kata pula Ouwyang Cin Cu karena kini hatinya gentar sekali seperti halnya Kiam-mo Cai-li.
"Memang sebaiknya kita pergi hari ini juga. Akan tetapi hatiku belum puas kalau belum yakin benar akan kematian Sin Liong. Pemuda itu terlalu berbahaya dan lihai, siapa tahu dia masih belum mati di dalam sana."
"Aiihhh, siapa dapat hidup di lempar ke dalam sumur yang penuh ular berbisa itu?" Ouwyang Cin Cu berkata sambil bergidik karena dia merasa ngeri juga memikirkan hal itu.
Kiam-mo Cai-li tertawa. "The-lihiap, mengapa khawatir? Aku sebagai pemilik tempat ini mengerti betul bahwa sumur itu merupakan sumur maut. Entah sudah berapa banyak... eh, orang-orang yang aku lempar ke situ dan tidak pernah ada yang dapat hidup kembali. Sumur itu dahulunya memang merupakan sarang ular-ular berbisa, kemudian kutambah lagi dengan ratusan ekor ular berbisa lain. Kurasa jangankan baru pemuda itu, biar dewa sekali pun kalau terjatuh ke dalam sumur itu tentu mampus!"
Memang apa yang diceritakan oleh wanita ini benar. Sudah banyak pria yang dia lempar ke dalam sumur itu, yaitu para pria yang diculiknya dan menjadi korban nafsu birahinya. Setelah dia merasa bosan, para korban itu dilempar ke dalam sumur menjadi mangsa ular-ular berbisa.
"Betapa pun juga, aku masih belum yakin benar, Cai-li."
"Kalau begitu, kita runtuhkan saja goa ini agar sumur tertutup dan tidak ada jalan keluar lagi baginya walau pun dia benar masih hidup." Ouwyang Cin Cu memberikan usulnya.
"Memang baik sekali begitu," kata The Kwat Lin.
Kiam-mo Cai-li setuju dan mengerahkan semua anak buah Rawa Bangkai, juga orang-orang katai untuk meruntuhkan goa itu sehingga sumur ular itu tertutup oleh batu-batu besar dan tidak ada jalan keluar dari tempat yang terpendam batu-batu besar itu. Kemudian bergegas tiga orang ini mengajak anak buah mereka meninggalkan Rawa Bangkai secara diam-diam dan terpencar. Mereka melakukan perjalanan ke utara untuk membantu pergerakan Jenderal An Lu Shan yang sudah mulai mempersiapkan kekuatannya untuk menyerbu kota raja.
Ke manakah perginya Swat Hong? Apakah dia berhasil siuman dan sempat melarikan diri? Tidak mungkin! Andai kata dia siuman dan melihat Sin Liong dikeroyok, dia pasti akan membantu suheng-nya itu, kalau perlu sampai mati bersama. Bukan watak Swat Hong untuk melarikan diri, menyelamatkan dirinya sendiri, apa lagi suheng-nya terancam bahaya. Tidak, ketika pertolongan itu tiba, dara ini masih dalam keadaan pingsan.
Ketika Sin Liong lari mengejar Ouwyang Cin Cu, muncullah seorang kakek tua renta yang bercaping lebar, berdiri memandang Han Swat Hong sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Kemudian dia menghampiri dara itu, membetulkan bajunya yang lepas, lalu memanggul tubuh gadis yang pingsan itu keluar dari dalam goa dengan gerakan yang cepat sekali. Setelah berada di dalam sebuah hutan yang jauh di luar daerah Rawa Bangkai, kakek itu berhenti, menurunkan Swat Hong dan mengurut tengkuk gadis itu beberapa kali.
Swat Hong membuka matanya dan melihat seorang kakek tua renta, akan tetapi hampir dia jatuh lagi karena tubuhnya masih lemah.
"Duduklah dulu, engkau masih pening dan lemah," suara ini sedemikan halusnya sehingga mengelus hati Swat Hong yang menjadi tenang dan sabar kembali.
Swat Hong duduk, memejamkan mata sebentar mengusir kepeningannya, lalu mengangkat muka memandang kakek yang berdiri di depannya sambil tersenyum itu. "Kau... kau siapakah...?"
"Anak baik, apakah benar namamu Han Swat Hong?"
Swat Hong terbelalak lalu mengangguk.
"Apakah kau datang dari Pulau Es?"
Kembali Swat Hong terkejut dan terheran, akan tetapi untuk kedua kalinya dia mengangguk. "Kau... kau siapakah...?"
"Hemmm... kalau begitu Ibumu adalah Liu Bwee dan ayahmu Han Ti Ong?"
Swat Hong tak dapat menahan keheranan hatinya. "Bagaimana engkau bisa tahu?"
Kakek itu tersenyum, memperlihatkan mulut yang sudah tak bergigi lagi. "Mengapa tidak tahu kalau Han Ti Ong itu adalah cucuku?"
"Ouhhh...!" Swat Hong terbelalak sebentar, kemudian cepat menjatuhkan diri berlutut. Kiranya dia berhadapan dengan Kongcouw-nya (kakek buyut) yang pernah dia dengar telah meninggalkan Pulau Es sebagai seorang pertapa! Kini mengertilah dia bahwa kakek buyutnya ini telah menolongnya.
"Ha-ha-ha, kebetulan saja aku mendengar pemuda itu memanggil-manggilmu sehingga aku tertarik akan She Han yang diteriakkannya. Melihat engkau berada dalam bahaya, aku segera membawamu ke luar dari goa ke tempat ini."
"Saya menghaturkan terima kasih atas pertolongan Kongcouw... akan tetapi, di mana Suheng?"
"Hemm, pemuda yang lihai itu, dia Suheng-mu?"
"Benar, Kongcouw, dia adalah murid Ayah."
"Ahh, keadaannya terlalu berbahaya. Kau beristirahatlah di sini, pulihkan tenagamu, aku akan kembali ke sana dan melihat keadaannya."
Swat Hong mengangguk dan kakek itu berkelebat pergi dari situ. Swat Hong merasa kagum sekali. Kakek buyutnya itu sudah tua sekali, tentu lebih dari seratus tahun usianya, namun gerakannya masih demikian ringan dan cepat. Hatinya merasa lega melihat kakeknya itu pergi untuk menolong Sin Liong, maka dia lalu duduk bersila dan mengatur pernapasannya untuk memulihkan tenaganya.
Samar-samar teringatlah dia akan peristiwa di dalam goa dan mukanya terasa panas sekali. Teringatlah dia betapa dia telah menjadi seperti gila di dalam goa itu, ketika suheng-nya mengobatinya dan mengusir hawa beracun dari tubuhnya. Kalau dia membayangkan peristiwa itu... betapa dia tanpa malu-malu memeluk suheng-nya, menciumnya... ah, dia bisa mati karena malu!
Namun semua itu hanya teringat seperti dalam mimpi saja, bayang-bayang suram dan dia sendiri masih tidak percaya apakah peristiwa itu benar-benar terjadi, ataukah hanya dalam mimpi belaka? Kalau sungguh terjadi betapa malunya! Dan agaknya tidak mungkin dia berani melakukan hal itu, sungguh pun di sudut hatinya memang terdapat suatu kerinduan yang hebat terhadap suheng-nya. Akan tetapi siapa tahu, di dalam goa yang aneh itu. Aihh, kalau benar-benar telah terjadi hal itu , betapa dia dapat bertemu muka dengan suheng-nya?
Karena pikiran dan hatinya tak pernah berhenti bekerja dan melamun, waktu berlalu dengan amat cepatnya sampai tidak terasa oleh Swat Hong bahwa kakek buyutnya telah pergi setengah hari lamanya! Baru dia sadar kembali dan teringat akan kakek ini setelah kakek itu datang kembali ke situ, tahu-tahu sudah duduk di dekatnya, menghapus keringat dari dahi yang berkeriput itu.
"Aihh...!" Kakek itu menarik napas panjang sambil memandang Swat Hong yang sudah membuka mata dan memandang kakek itu dengan penuh pertanyaan.
"Bagaimana, Kongcouw? Mana Suheng?"
Kembali kakek itu menarik napas panjang dan menggeleng-geleng kepalanya. "Mereka sungguh jahat, Suheng-mu biar lihai tidak dapat melawan kelicikan dan kecurangan mereka. Suheng-mu tertangkap dan... terbunuh...."
Sepasang mata itu terbelalak, mukanya pucat sekali. Samar-samar dari sepasang bibir itu keluar suara seperti menggumam, "Terbunuh? Suheng... terbunuh...?"
"Ya, dilempar ke dalam sumur ular...."
"Aahhh...!" Swat Hong menjadi lemas dan tentu akan roboh kalau tidak di sambar oleh kakek itu. Dara itu pingsan dengan muka pucat sekali.
Kakek itu merebahkannya dan mengerutkan alisnya, merasa kasihan sekali karena dia dapat menyelami perasaan gadis ini, cucu buyutnya yang agaknya mencinta Suheng-nya. Setelah siuman dari pingsannya, Swat Hong menangis dengan sedihnya.
Kakek itu membiarkan dia menangis beberapa lamanya, kemudian berkata dengan suara halus dan penuh pengertian, "Han Swat Hong, aku tidak menyalahkan engkau berduka dan menangis, karena kematian Suheng-mu itu amat menyedihkan. Akan tetapi, kita harus berani membuka mata melihat dan menghadapi kenyataan seperti apa adanya. Suheng-mu tewas, hal ini adalah suatu kenyataan yang tidak dapat diubah oleh siapa dan oleh apa pun juga. Sudah demikianlah jadinya, tidak akan berubah biar pun kita akan berduka sampai menangis air mata darah sekali pun. Karena itu lihatlah kenyataan ini dan bersikaplah tenang dan tabah."
Swat Hong menyusut matanya. "Dia... dia adalah satu-satunya orang... setelah aku kehilangan Ibu dan Ayah...." Swat Hong sukar membendung membanjirnya air mata. Akan tetapi perlahan-lahan, mendengarkan nasehat kakek buyutnya, dapat juga dia menekan kedukaannya dan menghentikan tangisnya. "Kongcouw, apakah yang terjadi dengan Suheng? Harap ceritakan dengan sejelasnya."
Kakek itu menarik napas panjang. "Aku terlambat. Ketika tiba di sana, tempat itu sudah kosong. The Kwat Lin dan teman-temannya sudah melarikan diri dari Rawa Bangkai. Aku menangkap seorang katai yang masih tinggal di sana dan dari orang inilah aku mendengar betapa Suheng-mu dikeroyok dan akhirnya dapat ditangkap dan dilempar ke dalam sumur ular."
"Ketika dia dilempar belum mati, apakah dia tidak dapat ditolong?" Swat Hong bertanya penuh harapan.
Kakek itu, yang selama dalam perantauannya setelah meninggalkan Pulau Es, menyebut diri sendiri Han Lojin (Kakek Han), menggeleng kepala. "Goa terowongan itu diruntuhkan oleh Kwat Lin, sumur ular telah tertutup batu-batu besar. Suheng-mu tidak mungkin dapat ditolong lagi karena sumur itu penuh ular berbisa dan Suheng-mu pingsan ketika dilempar ke situ."
Sepasang mata yang merah karena tangis itu mengeluarkan sinar berapi dan kedua tangan itu dikepal, "Aku harus bunuh mereka! Aku harus balaskan kematian Suheng! Kalau tidak, hidupku tidak ada artinya lagi. Kongcouw, sekarang juga aku akan cari mereka!" Dia sudah bangkit berdiri dan hendak pergi dari situ.
Akan tetapi kakek itu memegang lengannya dan berkata dengan suara penuh wibawa, "Tahan dulu!"
Swat Hong memandang kakek itu dengan alis berkerut. "Mengapa engkau menghalangi niatku membalas dendam?"
"Melakukan sesuatu dengan tergesa-gesa tanpa pertimbangan lebih dulu adalah perbuatan bodoh dan sikap yang ceroboh. Karena tidak mengukur kekuatan sendiri, Suheng-mu telah membayar dengan nyawanya. Apakah perbuatan bodoh seperti itu hendak kau contoh pula? Aku mendengar keterangan dari si katai itu bahwa mereka itu bersama anak buahnya pergi ke utara, ke Telaga Utara untuk menggabungkan diri dengan pemberontak An Lu Shan. Kalau engkau menyusul ke utara, mana mungkin engkau seorang diri akan menghadapi mereka yang mempunyai pasukan ratusan ribu orang? Apakah kau hanya akan mengantar nyawa dengan sia-sia belaka di sana?"
"Aku tidak takut, Kongcouw!"
Kakek itu tersenyum. "Tentu saja tidak takut, akan tetapi bodoh kalau sampai begitu. Kau ini akan membalaskan kematian Suheng-mu ataukah akan membunuh diri?"
Swat Hong sadar dan terkejut juga karena baru sekarang terbuka matanya bahwa dia hanya menuruti hati duka dan sakit. Dia menunduk dan berkata dengan lirih, "Aku harus membalaskan kematian Suheng, dan juga aku harus merampas kembali semua pusaka Pulau Es yang dilarikan The Kwat Lin untuk memenuhi pesan terakhir Ayahku."
"Baiklah, akan tetapi engkau tidak mungkin bisa melaksanakan tugas berat itu seorang diri saja. Marilah pergi bersamaku, aku sudah hafal akan keadaan di Telaga Utara dan biarlah aku yang akan menyelidiki di sana nanti."
Swat Hong tentu merasa girang sekali memperoleh bantuan kakeknya yang berilmu tinggi dan dia tidak membantah. Maka berangkatlah ke dua orang ini ke utara. Setelah tiba di dekat Telaga Utara, Han Lojin mulai menyelidiki sebagai sebagai seorang tukang pancing yang bercaping lebar. Swat Hong dia suruh menanti di dalam kuil tua di dalam hutan.
Seperti telah diceritakan di bagian depan, Han Lojin kemudian bertemu dengan cucu mantunya, Liu Bwee, dan Ouw Sian Kok yang dikeroyok oleh orang-orangnya An Lu Shan dan menyelamatkan kedua orang itu. Dia tidak berhasil bertemu dengan The Kwat Lin karena wanita ini, bersama dengan Kiam-mo Cai-li dan juga Ouwyang Cin Cu, telah memperoleh tugas lebih dulu dari An Lu Shan dan telah berangkat ke kota raja untuk menyelundup dan membantu gerakan dari dalam secara rahasia. Oleh karena inilah, maka ketika menyelidiki ke Telaga Utara, Han Lojin tidak pernah mellihat The Kwat Lin dan akhirnya dia malah bertemu dan menyelamatkan cucu mantunya. Demikianlah, Liu Bwee dan Ouw Sian Kok ikut bersama kakek sakti itu memasuki hutan.
Ketika tiba di kuil, kakek itu berkata kepada Liu Bwee, "Engkau akan bertemu dengan seseorang yang tidak kausangka-sangka, maka bersiaplah engkau menghadapi peristiwa ini."
Tentu saja Liu Bwee menjadi terheran-heran dan tidak mengerti.
Akan tetapi pada saat itu, terdengar suara orang, "Kongcouw, kau sudah pulang?" dan munculah Swat Hong!
Tiba-tiba Swat Hong yang berlari ke luar itu berhenti dan seperti telah berubah menjadi patung. Ibu dan anak itu saling berpandangan, keduanya tidak bergerak seperti terkena pesona.
"Ibuuuu....!!"
"Swat Hong... Hong-ji, anakku...!"
Keduanya berlari ke depan, kedua lengan terbuka, air mata bercucuran di wajah yang berseri penuh kebahagiaan. Keduanya bertemu, saling rangkul dan saling dekap sambil menangis! Pertemuan yang sama sekali tidak pernah mereka sangka-sangka, pertemuan yang mengundang keharuan hati, mendatangkan segala bayangan duka yang dipendam di lubuk hati.
Ouw Sian Kok terbatuk-batuk menahan haru. Teringat dia akan puterinya sendiri, namun diam-diam dia merasa girang bahwa Liu Bwee dapat berjumpa dengan anaknya. Dia saling pandang dengan Han Lojin dan tersenyum sambil mengangguk-angguk, lalu pergi menjauh untuk memberi kesempatan kepada ibu dan anak itu saling bertemu dan bicara.
"Ibu..., Ayah... Pulau Es...."
Liu Bwee mengangguk dan mengusap rambut puterinya. "Aku sudah tahu...."
"...dan Suheng...."
Liu Bwee memandang puterinya dan mengangkat dagu Swat Hong. "Apa maksudmu? Suheng-mu kenapa?"
Melihat ibunya belum tahu, Swat Hong terisak lagi menangis.
"Hong-ji, tenanglah. Mari kita bicara yang baik. Mengapa Suheng-mu? Apa saja yang telah terjadi sejak kita berpisah?"
"Suheng... Suheng telah tewas, Ibu...."
Liu Bwee terkejut bukan main. Ia terbelalak dan memandang pucat kepada puterinya, akan tetapi melihat puterinya menangis penuh duka, dia mendekapnya dan menghibur, "Mati hidup bukanlah urusan kita, Hong-ji. Tenanglah dan ceritakan semua pengalamanmu kepada Ibumu."
Swat Hong lalu menceritakan semua pengalamannya semenjak ibunya meninggalkan Pulau Es, menceritakan dengan lengkap namun singkat dan didengarkan oleh ibunya penuh perhatian.
Ketika puterinya itu bercerita tentang Soan Cu, Liu Bwee menengok dan menggapai ke arah Ouw Sian Kok sambil berseru, "Ouw-twako, ke sinilah. Anakku telah bertemu dengan puterimu, Ouw Soan Cu!"
Mendengar seruan ini, Ouw Sian Kok melompat bangun dan lari menghampiri, berkata kepada Swat Hong, "Aihhh, Han-siocia (Nona Han), benarkah kau telah bertemu dengan anakku?" suaranya agak gemetar karena keharuan hatinya mendengar tentang puterinya.
Swat Hong memandang laki-laki setengah tua yang gagah itu, lalu mengangguk. Kiranya ibunya telah bertemu dan bersahabat dengan ayah Soan Cu, pikirnya! Dia telah mendengar akan ayah Soan Cu yang lari meninggalkan Pulau Neraka semenjak isterinya meninggal dunia. Jadi inikah orangnya? Dia lalu melanjutkan penuturannya yang amat menarik hati itu sampai pada peristiwa penyerbuannya bersama suheng-nya ke Rawa Bangkai sehingga suheng-nya tewas dan dia tertolong oleh kakek buyutnya.
Hening sekali setelah Swat Hong mengakhiri ceritera, hanya isak tertahan gadis itu masih terdengar.
"Hemm, sungguh jahat sekali The Kwat Lin itu!" tiba-tiba Ouw Sian Kok berkata sambil mengepal tinjunya. "Han-siocia, aku Ouw Sian Kok bersumpah untuk membantumu menghadapi iblis betina itu!"
Swat Hong mengangkat mukanya memandang. "Terima kasih, Paman Ouw...."
"Akan tetapi, aku harus menemui anakku lebih dulu. Di manakah engkau bertemu dengan dia untuk terakhir kalinya?"
"Dia kami tinggalkan di Puncak Awan Merah di pegunungan Tai-hang-san, di tempat tinggal Tee-tok Siangkoan Houw."
"Kalau begitu, biar aku menyusul ke sana!" kata Ouw Sian Kok dengan gembira. "Setelah aku bertemu dengan dia, barulah kita beramai mencari iblis betina itu untuk sama-sama menghadapinya dan menghancurkannya! Bagaimana pendapat Lo- cianpwe?" dia berpaling kepada kakek Han yang sejak tadi hanya mendengarkan saja.
Juga Swat Hong dan Liu Bwee menoleh dan memandang kakek itu, karena betapa pun juga, mereka mengharapkan bantuan kakek ini, juga keputusannya.
Sampai lama Han Lojin diam saja, merenung dan memandang jauh, kemudian menghela napas panjang. "Aihh, tak kusangka akan begini jadinya...! Tadinya, ingin sekali aku melihat kalian berdua melupakan semua hal yang telah lalu, mulai hidup baru dengan aman dan tenteram, menjauhi urusan kekerasan dunia yang hanya mendatangkan dendam dan bunuh-bunuhan antara sesama manusia, sambil mendidik Swat Hong pula. Akan tetapi melihat gejalanya... mengingat pula hancurnya Pulau Es... dan memang sudah seharusnya kalau pusaka-pusaka itu dikembalikan ke tempat asalnya.... Ahhh, aku si tua bangka yang sudah lama mencuci tangan dari urusan duniawi, sekarang terseret pula! Betapa menyedihkan!"
"Lo-cianpwe, kalau kita masih hidup di dunia ramai, betapa mungkin kita menghindarkan diri untuk mencampuri urusan dunia ramai? Yang penting kita selalu berada di pihak yang benar." Ouw Sian Kok membantah.
Kakek itu menggeleng-geleng kepala. "Engkau belum mengerti, apa sih artinya pihak yang benar? Apa sih artinya kebenaran? Kebenaran yang dapat disebut dengan mulut, bukankah kebenaran adanya! Ahhh, sudahlah, tanpa adanya kesadaran, mana mungkin dapat mengerti? Engkau hendak mencari puterimu, memang sudah sepatutnya dan semestinya sejak dahulu kau lakukan hal itu. Sekarang aku akan menyertai Liu Bwee dan puterinya ini ke kota raja...."
"Ke kota raja?" Ouw Sian Kok berseru heran.
"Ya, karena The Kwat Lin telah menerima tugas dari An Lu Shan untuk menyusun kekuatan di sana menanti saat pemberontakan tiba. Dan kita tidak perlu terseret oleh pemberontakan, melainkan hanya hendak mencari The Kwat Lin dan minta kembali pusaka-pusaka Pulau Es."
"Dan membunuh mereka untuk membalaskan kematian suheng!" Swat Hong berseru penuh semangat.
Han Lojin tidak menjawab seruan Swat Hong itu, melainkan menoleh kepada Ouw Sian Kok sambil berkata, "Ouw Sian Kok, kalau kau hendak mencari puterimu, pergilah dan kelak kau boleh menyusul kami di kota raja...."
"Tidak, Lo-cianpwe. Setelah saya mendengar bahwa iblis betina itu berada di kota raja, saya juga harus ikut ke kota raja untuk menghadapinya!"
Liu Bwee memandang kepada tokoh Pulau Neraka ini dan kebetulan sekali Ouw Sian Kok juga memandangnya, maka pertemuan dua pasang sinar mata itu sudah cukup bagi mereka untuk mengetahui isi hati masing-masing. Liu Bwee maklum bahwa pria yang gagah itu ingin membantunya karena mengkhawatirkan dirinya, sebaliknya Ouw Sian Kok juga maklum bahwa bekas ratu Pulau Es itu girang sekali mendengar bahwa dia akan membantu. Maka tanpa banyak cakap lagi berangkatlah empat orang ini menuju ke kota raja.
Pada waktu itu suasana di seluruh negeri telah menjadi panas. Kekacauan terjadi di mana-mana. Tersiar berita bahwa pemberontakan An Lu Shan mulai bergerak dari utara. Tersiar pula berita bahwa di tapal batas utara telah di mulai perang saudara antara pasukan pemberontak dan pasukan pemerintah yang tidak kuat membendung datangnya pasukan pemberontak yang seperti air bah membanjir ke selatan. Berita ini sudah cukup untuk membangkitkan semangat golongan sesat untuk bangkit dan mempergunakan kesempatan selagi keadaan negara kacau, rakyat bingung dan pasukan-pasukan ditarik untuk diperbantukan menghadapi pemberontak sehingga keamanan tidak terjamin lagi.
Memang perang telah dimulai. An Lu Shan telah membuka kedoknya dan dengan terang-terangan mulai menggerakkan pasukannya. Pada waktu itu, pasukan pemerintah yang terkuat adalah pasukan penjaga tapal batas utara yang dianggap merupakan bagian atau daerah yang paling penting untuk dijaga dengan kuat, maka otomatis pasukan yang terkuat berada di bawah pimpinan Jenderal ini.
Pada jaman itu, kerajaan Tang dipimpin oleh kaisar Beng Ong yang usianya sudah enam puluh tahun lebih, seorang kaisar yang sayangnya memiliki kelemahan, yaitu menjadi hamba dari nafsu birahi sehingga dia seperti boneka lilin di dalam tangan halus selir Yang Kui Hui. Pada waktu itu Kerajaan Tang mempunyai dua buah kota raja atau ibu kota. Yang pertama, di mana Kaisar Beng Ong duduk bertahta dan menjadi pusat pemerintahannya, adalah ibu kota Tiang-an. Ada pun ibu kota yang ke dua adalah Lok-yang.
Selain mempunyai bala tentara yang besar jumlahnya dan pasukan-pasukan pilihan, An Lu Shan juga dibantu oleh banyak orang-orang kang-ouw yang berilmu tinggi. Hal ini adalah karena banyak orang-orang kang-ouw merasa tidak suka kepada Kaisar tua yang berada di bawah telapak kaki selir cantik itu, juga banyak pembesar yang diam-diam merasa dendam kepada Yang Kui Hui karena selir ini dengan mudah begitu saja mempengaruhi Kaisar untuk memecat pembesar-pembesar tinggi dan menggantikan kedudukan mereka dengan kedudukan lebih rendah. Semua ini untuk menarik keluarga-keluarganya agar dapat menduduki tempat-tempat penting!
Gerakan pemberontakan An Lu Shan dimulai dari utara di dekat Peking, terus membanjir ke selatan. Dengan mudahnya dia melumpuhkan semua perlawanan yang dilakukan oleh pasukan-pasukan yang masih setia kepada Kaisar, bahkan pasukan yang takluk segera menyerah dan menjadi pasukan pembantunya. Dengan mudah saja pasukan-pasukan pemberontak menyeberangi Sungai Kuning dan menyerbu Lok-yang, ibu kota ke dua dari kerajaan Tang.
Komandan pasukan yang mempertahankan Lok-yang, ibu kota ke dua dari Kerajaan Tang ini adalah seorang panglima yang setia. Dengan gigih dia memimpin pasukannya mempertahankan Lok-yang mati-matian. Akan tetapi, yang amat melemahkan pertahanan itu adalah gangguan-gangguan dari dalam kota itu sendiri yang dilakukan oleh kaki tangan An Lu Shan. Pada saat Lok-yang diserbu inilah rombongan Han Lojin berada di Lok-yang, ketika mereka berusaha mencari The Kwat Lin yang dikabarkan membantu An Lu Shan dengan mempersiapkan diri di ibu kota itu.
Han Lojin, Ouw Sian Kok, Liu Bwee dan Swat Hong terkurung di dalam kota Lok-yang ketika ibu kota ke dua ini diserbu pemberontak. Mereka menyaksikan sendiri betapa Panglima Coa Cun dengan gagah berani mempertahankan ibu kota ke dua itu dengan pasukannya sehingga tidaklah mudah bagi pasukan pemberontak untuk menguasai kota raja ini. Han Lojin dan rombongan yang memang bermaksud untuk mencari The Kwat Lin, sambil memasang mata ikut hilir mudik bersama para penghuni yang ketakutan.
Ketika terjadi pembakaran di pusat pasar dan serangan-serangan gelap yang ditujukan kepada komandan-komandan pasukan oleh serombongan orang yang gerakannya amat lihai, Han Lojin dan rombongannya cepat mendatangi tempat kekacauan ini. Akhirnya setelah lari ke sana-sini setiap mendengar ada kekacauan yang dilakukan oleh segerombolan mata-mata musuh, sampailah mereka di taman belakang istana pangeran muda yang berkuasa di Lok-yang. Di sinilah mereka melihat gerombolan pengacau itu. Serta merta Han-Lojin, Ouw Sian Kok, Liu Bwee Dan Swat Hong lalu menyerbu dan mencari The Kwat Lin.
Akan tetapi mereka berhadapan dengan belasan orang pengacau yang dipimpin oleh Kiam-mo Cai-li! Gerombolan itu sedang berusaha untuk membakar istana pangeran dengan panah-panah api, dan para pengawal istana itu sudah dibuat tewas malang melintang oleh mereka.
"Dialah Kiam-mo Cai-li, pemiliki istana Rawa Bangkai," kata Han Lojin sambil menuding ke arah seorang wanita cantik yang pakaiannya mewah.
Tampak Kiam-mo Cai-li sedang memimpin belasan orang pembantunya itu untuk menghujankan anak panah ke arah istana. Sebagian dari istana itu mulai terbakar.
Mendengar bahwa wanita itu adalah seorang di antara pembunuh-pembunuh suheng-nya, Swat Hong sudah tidak dapat menahan kesabaran hatinya lagi. Dia meloncat keluar dari tempat sembunyinya dengan pedang di tangan. Serta merta ia menyerang sambil membentak, "Iblis betina Kiam-mo Cai-li, bersiaplah engkau menebus nyawa Suheng Kwa Sin Liong!!"
"Singgg... syuuutttt... aiihhh....!" Kiam-mo Cai-li cepat mengelak dengan meloncat ke belakang. Rambutnya yang panjang seperti hidup saja bergerak menyambar ke arah pergelangan tangan Swat Hong.
Namun dara ini cukup cekatan. Melihat sinar hitam menyambar, dia sudah membalikkan pedangnya membacok sehingga putuslah segumpal rambut, membuat Kiam-mo Cai-li berteriak kaget dan marah. Ketika dia memandang dan melihat bahwa yang muncul ini adalah gadis teman Sin Liong, gadis dari Pulau Es seperti yang di ceritakan oleh The Kwat Lin, dia terkejut bukan main. Apa lagi melihat Han Lojin, Ouw Sian Kok, dan Liu Bwee yang jelas membayangkan kelihaian.
"Panah roboh mereka!" tiba-tiba dia berteriak sambil melompat jauh ke belakang untuk memberi kesempatan kepada dua belas orang pembantunya menyerang empat orang ini.
Dua belas orang itu adalah anak buah Kiam-Mo Cai-li dari Rawa Bangkai yang telah dididik khusus menggunakan anak panah berapi. Ketika mereka mendengar aba-aba ini dan mengenal wajah Swat Hong sebagai gadis yang pernah menyerbu Rawa Bangkai, cepat mereka membidikan anak panah mereka. Tampaklah sinar-sinar berapi menyambar kepada empat orang itu.
"Wir-wir-wir...!!" Mengerikan sekali datangnya anak-anak panah yang ujungnya bernyala itu. Dapat dibayangkan betapa mengerikan kalau anak panah yang bernyala itu mengenai tubuh!
Namun, empat orang itu bukanlah orang-orang sembarangan. Dengan amat mudahnya Han Lojin dan Ouw Sian Kok mengebutkan ujung baju meruntuhkan semua anak panah yang menyambar ke arah mereka. Sedangkan Liu Bwee dan Swat Hong juga sudah meruntuhkan semua anak panah yang menyambar ke arah mereka dengan pedang sehingga anak-anak panah itu patah-patah.
"Iblis betina !" Swat Hong meloncat maju, pedangnya diputar cepat dan dia sudah menerjang Kiam-mo Cai-li dengan dahsyat.
"Tranggg! Trik-trikkk!" pedang payung di tangan Kiam-mo Cai-li sudah menangkis dan kuku-kuku jarinya yang panjang mengeluarkan bunyi berjentrik saat dia mencengkeram ke arah Swat Hong yang dapat dielakkan oleh dara ini.
"Kalian hadapi mereka. Wanita itu lihai dan berbahaya, aku harus menjaga Swat Hong," kata Han Lojin kepada Ouw Sian Kok dan Liu Bwee.
Liu Bwee mengangguk. Hatinya lega karena dengan bantuan kakek suaminya itu, dia tidak mengkhawatirkan keselamatan puterinya. Maka bersama Ouw Sian Kok dia lalu mengamuk dan celakalah dua belas orang anak buah Rawa Bangkai itu. Mana mungkin mereka dapat melawan dua orang lihai dari Pulau Es dan Pulau Neraka ini? Biar pun mereka semua telah menggunakan pedang dan golok menyerang dan mengeroyok, namun seorang demi seorang roboh dan tidak dapat bangkit kembali.
Ada pun pertandingan antara Swat Hong melawan Kiam-mo Cai-li amat seru dan menegangkan. Biar pun pada dasarnya Swat Hong memiliki ilmu silat tinggi yang lebih murni dan kuat, namun menghadapi seorang datuk kaum sesat seperti Kiam-mo Cai-li yang amat cerdik dan banyak pengalaman, beberapa kali hampir saja dia terkena cakaran kuku panjang beracun itu. Tiga macam senjata Kiam-mo Cai-li amat membingungkan Swat Hong. Dengan gerakan pedang yang cepat, Swat Hong dapat membendung pedang payung dan kuku-kuku jari tangan kiri iblis betina itu, bahkan dia mulai mendesak dengan permainan pedangnya yang cepat dan mengandung tenaga dingin itu.
"Mampuslah!" Swat Hong membentak dan pedangnya menusuk.
"Tranggg...! Brettt...!!" pedang Swat Hong bertemu dengan pedang payung dan berhasil menembus dan merobek kain payung, akan tetapi pedangnya itu tercepit di antara batang-batang payung sehingga kedua pedang bertemu dan saling melekat.
"Hi-hi-hik, kaulah yang mampus!" Kiam-mo Cai-li berseru, tangan kirinya bergerak mencengkeram ke arah dada Swat Hong. Kalau sampai kena dicengkeram kuku-kuku beracun itu, dada Swat Hong tentu akan berbahaya sekali.
"Plak!" Swat Hong sudah siap dan tangan kirinya menangkap pergelangan tangan lawan dari bawah. Kini terjadilah adu tenaga karena kedua tangan mereka sudah tidak bebas lagi.
Pada saat itu rambut panjang Kiam-mo Cai-li bergerak menyambar ketika dia menggerakkan kepalanya sambil tertawa. Bagaikan ular hidup saja, gumpalan rambut itu menyambar dengan totokan maut! Swat Hong terkejut bukan main, namun hatinya menjadi lega kembali melihat berkelebatnya bayangan kakek buyutnya.
"Plakkk!!" rambut itu disambar oleh tangan Han Lojin.
"Aihhh... lepaskan...!" Kiam-mo Cai-li menjerit karena betapa pun dia berusaha menarik rambutnya, tetap saja tidak dapat terlepas bahkan semakin erat.
"Swat Hong, lepaskan dia, mundurlah!" Han Lojin berseru.
Swat Hong tidak berani membantah, lalu melepaskan pegangan tangannya dan menarik pedangnya melompat mundur.
"Kiam-mo Cai-li, aku hanya ingin bertanya kepadamu!" Han Lojin berkata, suaranya halus.
Melihat kakek ini yang dia tahu amat lihai, Kiam-mo Cai-li yang cerdik lalu menjatuhkan diri berlutut di depan kakek itu, menunduk dan berkata, "Lo-cianpwe, maafkan saya, saya tidak berani melawan Lo-cianpwe yang sakti. Pertanyaan apakah yang hendak Lo-cianpwe (Kakek Gagah Perkasa) ajukan kepada saya?"
Swat Hong mengerutkan alisnya melihat sikap Kiam-mo Cai-li yang begitu ketakutan.
Akan tetapi Han Lojin hanya mengelus jenggotnya. "Hemmm, semua orang pernah melakukan penyelewengan dalam hidupnya. Penyesalan yang disertai kesadaran tinggi mendatangkan pengertian sehingga si penyeleweng akan merasa jijik untuk melanjutkan penyelewengannya. Kiam-mo Cai-li, sayang kalau kepandaian seperti yang kau miliki itu dipergunakan untuk kejahatan. Aku hendak bertanya, di mana adanya The Kwat Lin?"
"The Kwat Lin? Ohh, dia berada di... neraka bersamamu!" Tiba-tiba wanita itu dari bawah menyerang dengan payung dan kuku beracunnya.
"Ceppp... bresss...!"
"Keparat...." Swat Hong menjerit dan pedangnya bergerak secepat kilat sebelum Kiam-mo Cai-li sempat mencabut kembali pedangnya dari dada kakek itu.
"Preppp...! Aihhhh...!!" darah muncrat-muncrat dari lambung Kiam-mo Cai-li dan dada Han Lojin.
Kakek itu masih berdiri tegak sambil tersenyum ketika pedang dicabut ke luar dadanya. Kiam-mo Cai-li mengeluarkan teriakan seperti binatang buas ketika dia menubruk Swat Hong dan menyerangnya, namun Swat Hong sudah mengelak dan dari samping kembali pedangnya menyambar.
"Crokkk!!" tubuh Kiam-mo Cai-li yang sudah terhuyung itu tidak dapat mengelak lagi. Lehernya tertusuk pedang dan dia roboh terguling, berkelojotan dengan mata mendelik memandang ke arah Swat Hong.
"Lo-cianpwe...!" Ouw Sian Kok yang bersama Liu Bwee sudah berhasil merobohkan dua belas orang itu, meloncat dan merangkul kakek itu karena kekek yang masih berdiri tegak itu mendekap dadanya yang bercucuran darah.
Kakek itu menggelengkan kepala, memandang kepada Swat Hong. "Aihhh, kau ganas sekali, Swat Hong...!"
"Kongcouw... dia jahat... patut di bunuh!" Swat Hong berkata, memandang mayat Kiam-mo Cai-li yang kini sudah tidak bergerak lagi itu.
"Hayaaaa... selamanya belum pernah dirobohkan orang, sekali ini terperdaya kelicikan seorang wanita... memang sudah semestinya begini.... kalian.... kurangilah atau lenyapkan sama sekali.... keganasan.... kekerasan, bunuh membunuh ini.... karena siapa menggunakan kekerasan akan menjadi korban kekerasan pula.... nah, selamat berpisah anak-anak....."
Tubuh yang bediri tegak itu masih berdiri, akan tetapi kalau tidak dirangkul tentu akan roboh karena pada saat itu juga Han Lojin telah mengembuskan napas terakhir. Memang luar biasa sekali kakek ini. Pedang payung yang ditusukkan secara curang oleh Kiam-mo Cai-li menembus dada dan menembus pula jantungnya, namun dia masih mampu berdiri tegak dan berkata-kata!
Liu Bwee dan Swat Hong berlutut sambil menangis. Akan tetapi Ouw Sian Kok berkata, "Harap kalian bangkit berdiri dan mari kita lekas membawa pergi jenazah Lo-cianpwe ini keluar kota."
Liu Bwee menyusut air matanya dan menggandeng tangan Swat Hong, menarik gadis itu bangkit berdiri. "Ouw-twako benar, Hong-ji. Kita tidak mempunyai urusan apa-apa lagi di sini, sedangkan keadaan makin kacau. Tugas kita berada di ibu kota pertama, Tiang-an."
Diingatkan bahwa The Kwat Lin berada di Tiang-an, Swat Hong memandang ibunya.
"Kami tadi telah memaksa mereka bicara, dan seorang di antara mereka itu mengaku di mana adanya The Kwat Lin. Dia berada di Tiang-an, tugasnya sama dengan Kiam-mo Cai-li yaitu mengacau kota raja di waktu pemberontak menyerbu ke sana."
Swat Hong mengangguk, sekali lagi melirik ke arah mayat Kiam-mo Cai-li. Rasa lega dan puas menyelinap di hatinya mengingat akan kematian suheng-nya yang betapa pun juga kini sudah agak terbalas dengan matinya wanita ini. Dia kemudian mengikuti ibunya pergi dari tempat itu.
Perang, perang, perang! Selama dunia berkembang, agaknya tiada pernah hentinya terjadi perang di antara manusia. Selama sejarah berkembang, terbukti bahwa di setiap jaman manusia melakukan perang, baik dari jaman batu sampai jaman modern! Agaknya betapa pun majunya manusia dari segi lahiriah, sebaliknya dalam segi batiniah manusia bahkan makin mundur! Betapa tidak?
Di jaman dahulu, yang dikatakan perang adalah mereka yang langsung menceburkan diri dalam perang sampyuh, dan mereka ini pula yang menjadi korban, yang membunuh atau dibunuh. Makin lama, perkembangan perang menjadi makin ganas dan makin kejam, makin tidak adil dan makin menjauhi apa yang kita sebut peri-kemanusiaan. Sekarang, di jaman modern, yang langsung memegang senjata banyak selamat karena dia menguasai teknik perang, pandai menjaga diri, pandai bersembunyi. Sebaliknya, rakyat yang tidak tahu apa-apa mati konyol!
Perang, di sudut mana pun terjadinya di dunia ini, dengan kata apa pun diselimutinya, dengan kata-kata indah macam perjuangan, perang suci, perang membela negara, membela agama, membela kehormatan dan lain-lain, tetap saja perang yang berarti bunuh-bunuhan di antara manusia, membunuh hanya untuk melampiaskan dendam dan kembencian sehingga amatlah buasnya, jauh melampaui kebuasan binatang apa pun juga yang hidup di dunia ini. Kita semua bertanggung-jawab untuk ini!
Perang yang terjadi antara bangsa, antara golongan, antara kelompok, meletus karena kita! Perang antara bangsa atau negara hanya menjadi akibat dari kepentingan Si Aku, bangsaku, agamaku, kebenaranku, kehormatanku, kemerdekaanku dan sebagainya yang bersumber kepada aku. Perang antara bangsa hanya bentuk besar dari perang antara tetangga dan perang antara tetangga adalah bentuk besar dari perang antara keluarga atau perorangan dan semua ini bersumber kepada perang di dalam batin kita sendiri.
Batin kita setiap hari penuh dengan nafsu keinginan, iri hati, dendam, benci dan semua bentuk kekerasan dan kekejaman. Kalau semua itu menguasai batin kita semua, menguasai dunia, herankah kita kalau selalu terdapat permusuhan dan perang di dunia ini? Semenjak sejarah tercatat, setiap pihak yang melakukan perang tidak menganggapnya sebagai suatu hal yang buruk. Sebaliknya malah, bermacam dalih diajukan menjadi semacam kedok di depan wajah perang yang dilakukannya, kedok berupa untuk membela diri, perang untuk keadilan, dan perang untuk perdamaian!
Betapa menggelikan. Perang untuk keadilan! Perang untuk perdamaian! Dengan cara membunuh-bunuhi sesama manusia. Kita selalu terjebak ke dalam perangkap penuh tipu muslihat ini yang berupa kata-kata indah. Pendapat bahwa tujuan menghalalkan cara merupakan penipuan diri sendiri dan berlawanan dengan kenyataan. Mungkinkah untuk mencapai tujuan baik menggunakan cara yang jahat? Yang penting adalah caranya, bukan tujuannya. Tujuan adalah masa depan yang belum ada, hanya merupakan akibat, sebaliknya cara adalah masa kini, saat ini, nyata!
Dengan dalih ‘menumbangkan kekuasaan lalim’ itulah An Lu Shan memimpin ratusan ribu bala tentaranya menyerbu ke selatan. Pada saat seperti itu, An Lu Shan dan semua pengikutnya menganggap bahwa mereka itu ‘berjuang’ dan mereka sama sekali tidak mau melihat bahwa kelak andai kata mereka berhasil dan memegang kekuasaan, ada pula pihak-pihak yang akan mengecapnya ‘kekuasaan lalim’ yang lain dan yang baru pula!
Di lain pihak Kaisar Han Tiong atau Beng Ong yang sudah tua itu bersama para punggawanya yang setia tentu saja melakukan perlawanan yang gigih dengan dalih ‘menghancurkan dan membasmi pemberontak’. Mereka ini lupa bahwa peristiwa pemberontakan itu sesungguhnya timbul karena ulah mereka sendiri.
Kekuatan bala tentara yang dipimpin An Lu Shan memang hebat. Dalam beberapa bulan saja, sekali menyerbu, dia telah menguasai seluruh daerah di sebelah utara Sungai Huangho. Pasukan-pasukannya akhirnya berhasil merobohkan pertahanan Lok-yang dan menduduki ibu kota ke dua itu. Kemudian An Lu Shan kembali mengumpulkan kekuatan pasukannya dan melanjutkan penyerbuannya menuju ke kota raja Tiang-an! Kematian Kiam-mo Cai-li membuat Jenderal ini menyesal, tentu saja penyesalan ini didasari bahwa dia kehilangan seorang pembantu yang boleh diandalkan!
Ketika Kaisar yang sudah tua itu mendengar betapa Lok-yang dalam beberapa hari saja terjatuh ke dalam tangan pemberontak An Lu Shan, mulailah terbuka matanya. Selama ini Kaisar tidak terlalu mengacuhkan urusan pertahanan dan sebagian besar waktunya hanya dihabiskannya di dalam kamar tidur dan di atas ranjang yang lunak hangat dan harum dari selirnya tercinta, Yang Kui Hui.
Bangkitlah semangatnya, semangat mudanya yang kini terlalu lama terpendam itu. Dia berhasil mengobarkan semangat para pasukannya yang dikumpulkannya di Ling Pao di mana Kaisar membentuk benteng pertahanan yang cukup kuat. Bahkan sekali ini dia memimpin sendiri untuk berperang menghadapi An Lu Shan dengan hati penuh kemarahan. Hati siapa tidak akan sakit kalau mengingat betapa dia telah memberi anugerah besar kepada An Lu Shan, bahkan selirnya yang tercinta telah menganggap An Lu Shan sebagai putera angkat. Dan kini jenderal itu memberontak!
Perbuatan apa pun yang dilakukan oleh seseorang kepada orang lain, tidak lah benar jika di belakangnya bersembunyi pamrih apa pun. Sesuatu perbuatan boleh jadi oleh umum dianggap sebagai perbuatan baik, namun apabila perbuatan itu menyembunyikan pamrih, baik yang disadari mau pun tidak, maka perbuatan itu tidak benar. Perbuatan menolong orang lain oleh umum dianggap baik, namun jika hal itu dilakukan dengan pamrih apa pun, itu bukanlah menolong namanya, melainkan hanya memberi pinjam untuk kelak ditagih kembali dalam bentuk pembalasan budi!
Selama yang berbuat itu merasa bahwa dia berbuat baik, merasa bahwa dia menolong, di dalam perasaan ini sudah terkandung pamrih! Jelas tidak benar! Dan selama ada pamrih di balik setiap perbuatan, pasti akan mendatangkan penyesalan, kebanggaan, kekecewaan, dendam, penjilat, penindasan dan lain-lain. Setiap perbuatan barulah benar jika didorong atau didasari oleh CINTA KASIH!
Demikian pula dengan Kaisar. Karena dia merasa bahwa dia telah menolong An Lu Shan, merasa telah berbuat baik kepada jenderal itu maka timbullah penyesalan, kemarahan dan kebencian karena yang pernah ditolongnya itu tidak membalas dengan kebaikan. Pamrih yang tersembunyi di balik pertolongannya dahulu itu adalah menghendaki pembalasan berupa kesetiaan, penghormatan, atau setidaknya menghendaki agar jangan sampai jenderal itu berani melawannya!
Contoh ini tanpa kita sadari terjadi di dalam penghidupan kita sehari-hari. Kita miskin akan cinta kasih sehingga setiap perbuatan kita dicengkeram pamrih. Kalau cinta kasih memenuhi hati kita, maka segala pamrih akan lenyap tanpa bekas. Setiap perbuatan kita adalah wajar dan tentu saja benar karena dasarnya cinta kasih yang melekat pada bibir setiap orang, yang menjadi hampa karena disebut-sebut dan disanjung-sanjung, diberi pengertian lain, dan dipecah-pecah!
Di mana terdapat cemburu, benci, sengsara, marah, dan lain-lain, cinta kasih tidak akan ada. Di mana terdapat si ‘aku’ yang selalu mengejar keuntungan dan kesenangan lahir batin, cinta kasih tidak akan pernah ada. Karena bagi ‘si aku’, cinta kasih berarti kesenangan untuk ‘aku’ lahir batin yang berupa ketenteraman, jaminan, kepuasan, dan kenikmatan. Maka, sekali satu di antara yang dikejar itu luput, berakhirlah cinta kasihnya dan berubah menjadi cemburu, kemarahan dan kebencian!
Dengan penuh kemarahan Kaisar memimpin barisan-barisan yang dapat dikumpulkannya, didampingi oleh seorang jenderal yang setia kepadanya, seorang jenderal yang ahli dalam perang bernama Kok Cu It yang menjadi komandan barisan itu. Barisan ini lalu bergerak dari Ling Pao. Bertemulah dua barisan yang bermusuhan itu di pegunungan dan terjadilah perang yang amat dahsyat di sela Gunung Tung Kuan. Perang yang amat mengerikan dan mati-matian, di mana mayat manusia bertumpuk-tumpuk dan berserakan, darah manusia membanjiri padang rumput.
Dengan gigih Panglima Kok Cu It melakukan perlawanan setelah dia menyuruh pasukan pengawal mengiringkan Kaisar lebih dulu menyelamatkan diri ke kota raja. Namun ahirnya, karena kalah banyak jumlah pasukannya, Tung Kuan jatuh ke tangan pihak An Lu Shan. Pasukan-pasukan yang masih dapat bertahan segera ditarik mundur ke Ling Pao dan membuat pertahanan di tempat ini.
Kaisar telah melanjutkan perjalanan kembali ke Tiang-an di mana dia berkemas-kemas dengan hati penuh kekhawatiran. Tak lama kemudian, Ling Pao juga jatuh dan Panglima Kok Cu It terpaksa membawa sisa pasukannya kembali ke kota raja. Melihat betapa gerakan An Lu Shan amat kuat dan tidak dapat dibendung, panglima ini menganjurkan kepada Kaisar untuk pergi mengungsi ke Secuan. Kaisar mengumpulkan semua pembantunya yang setia dan akhirnya, atas desakan mereka pula, kaisar menerima usul itu.
Berangkatlah rombongan Kaisar ke barat. Yang berada di dalam rombongan itu, selain Kaisar sekeluarga tentu saja termasuk selir Yang Kui Hui, juga perdana Menteri Yang Kok Tiong, kakak dari selir cantik itu beserta semua keluarganya, para Thaikam (Orang Kebiri) yang setia kepada Kaisar, dan beberapa orang punggawa tinggi yang menjadi kaki tangan mereka. Rombongan besar ini dikawal oleh pasukan pengawal istimewa dan berangkatlah rombongan Kaisar pergi mengungsi yang dilakukan di waktu malam agar jangan ada rakyat mengetahuinya.
Pelarian yang dilakukan tergesa-gesa ini pun mencerminkan watak orang-orang bangsawan ini. Selain keluarga mereka, juga mereka membawa harta benda mereka sebanyak mungkin! Tidak ada lagi yang dipikirkan kecuali membawa keluarga dan harta bendanya sehingga mereka lupa bahwa bukan harta benda yang penting untuk dibawa sebagai bekal, melainkan ransum! Mereka melupakan ini dan sibuk membawa harta benda yang mungkin dapat terbawa.
Telah menjadi kelemahan kita manusia dalam penghidupan kita ini bahwa kita selalu melekat kepada benda-benda duniawi. Kita lupa bahwa benda-benda itu memang merupakan perlengkapan hidup dan kita butuhkan, namun hanyalah sekedar menjadi hamba kita, menjadi kebutuhan kita selagi hidup. Akan tetapi kita silau oleh benda-benda mati itu, kita mengejarnya dan mengumpulkannya, bukan lagi karena kebutuhan, melainkan karena ketamakan, karena rakus sehingga kita mengumpulkan sebanyak mungkin. Setelah itu kita menjadi hamba duniawi, kita melekatkan diri dan kita telah merubah batin kita menjadi benda-benda itu!
Maka kita selalu mempertahankan duniawi secara mati-matian. Kita tidak bisa lagi hidup tanpa dia, lahir mau pun batin. Kehilangan harta benda menjadi hal yang amat hebat dan penuh derita. Mencari dan mengumpulkan harta benda menjadi hal yang paling penting di dalam hidup kita, sehingga kalau perlu dalam mengejar duniawi berupa harta benda, kedudukan, kemuliaan dan lain-lain, kita tidak segan-segan untuk sikut-menyikut jegal-menjegal, bunuh-membunuh antara manusia! Maka akan BAHAGIALAH DIA YANG MEMPUNYAI NAMUN TIDAK MEMILIKI, dalam arti kata, mempunyai apa saja di dunia ini karena ada hubungannya, karena ada kebutuhannya, hanya mempunyai lahiriah saja, namun batin sama sekali tidak memiliki, sama sekali tidak terikat atau melekat sehingga punya atau tidak punya bukanlah merupakan soal penting lagi!
Karena ketamakan itulah maka rombongan Kaisar segera mengalami akibatnya setelah rombongan besar itu melarikan diri sampai di pos penjagaan Ma Wei yang terletak di Propinsi Shen-si sebelah barat, rombongan ini kehabisan ransum yang tidak berapa banyak itu. Sisa ransum yang tinggal sedikit itu diperuntukkan bagi Kaisar dan keluarganya serta para bangsawan. Pasukan pengawal yang menderita kelelahan dan kelaparan menjadi gelisah. Tampaklah wajah-wajah yang membayangkan penasaran dan kemarahan, mulai terdengarlah suara-suara tidak puas di antara para anggota pasukan.
Perhentian di Ma Wei ini dipergunakan oleh Yang Kok Tiong untuk mengadakan pertemuan dengan orang-orang Tibet. Yang Kok Tiong berusaha untuk mengadakan kontak dengan Pemerintah Tibet untuk membantu Kaisar dalam menghadapi pemberontakan dan membujuk seorang pendeta Lhama yang berada di antara orang-orang Tibet itu untuk menyampaikan permintaan bantuannya. Hatinya juga gelisah ketika melihat betapa anak buah pasukan pengawal mulai tidak puas. Akan tetapi Kaisar yang sudah merasa lelah dan berduka, tidak tahu akan semua itu dan dia menenggelamkan dirinya yang dirundung kedukaan itu dalam pelukan selirnya yang menghiburnya.
Tidak seorang pun di antara para bangsawan itu tahu, betapa di luar terjadi hal yang luar biasa. Seorang laki-laki muda dan seorang gadis cantik menyelinap di antara penduduk setempat, mendekati tempat mengaso para pasukan pengawal dan dua orang muda ini berbisik-bisik dengan para pasukan. Mereka ini bukan lain adalah Bu Swi Nio dan Liem Toan Ki!
Seperti telah kita ketahui, Liem Toan Ki, jago muda dari Hoa-san-pai itu adalah mata-mata An Lu Shan dan Bu Swi Nio, murid The Kwat Lin, akhirnya juga menjadi pembantu An Lu Shan karena terbawa oleh Liem Toan Ki yang menjadi tunangannya itu. Kini, selagi memata-matai keadaan Kaisar yang melarikan diri, Bu Swi Nio teringat akan kematian kakaknya, maka diambilnya keputusan untuk membalas dendam kepada Yang Kui Hui yang menyebabkan kematian kakaknya, Bu Swi Liang. Setelah berunding dengan kekasihnya, mereka berdua lalu menyelinap di antara penduduk, mengadakan kontak dengan para komandan pasukan pengawal, mulai menghasut mereka itu.
"Lihat, kita bersusah payah, setengah mati kelelahan dan kelaparan menjaga keselamatan Kaisar, beliau sendiri bahkan bersenang-senang dan tidak mempedulikan kita, mabuk dalam rayuan Yang Kui Hui setan kuntilanak itu!" Bu Swi Nio antara lain menghasut.
"Lihat kakaknya yang menjadi perdana menteri itu. Diam-diam mengadakan perundingan dengan orang-orang Tibet. Dialah bersama adiknya ular cantik itu yang menjadi pengkhianat dan menjual negara. Coba ingat, bukankah An Lu Shan diambil anak oleh Yang Kui Hui? Padahal diam-diam menjadi kekasihnya! Negara telah dijual oleh Yang Kui Hui, diberikan kepada kekasihnya, An Lu Shan. Dan sekarang agaknya Yang Kok Tiong hendak menjual keselamatan Kaisar kepada orang-orang Tibet! Aduhhh, sungguh membuat orang hampir mati penasaran. Kaisar dipermainkan seperti itu, namun tinggal diam karena mabuk oleh kecantikan Yang Kui Hui iblis betina yang keji itu!" demikian Liem Toan Ki menambah minyak dalam api yang mulai dikobarkan oleh Swi Nio.
Memang para anggota pasukan sudah gelisah dan kehilangan ketenangan. Mereka merasa sengsara dan nasib mereka masih belum dapat ditentukan. Mungkin saja mereka semua akan mati konyol jika sampai dapat disusul oleh pasukan-pasukan pemberontak. Mendengar hasutan-hasutan itu, mereka menjadi makin gelisah dan akhirnya terdengarlah teriakan-teriakan yang diam-diam didahului oleh Swi Nio dan Toan Ki.
"Gantung pengkhianat!"
"Bunuh penjual negara!"
"Seret Yang Kok Tiong!"
"Yang Kok Tiong pengkhianat, harus dihukum mati!"
"Sebelum penjual negara itu mampus, kami tidak mau pergi!"
Teriakan-teriakan ini makin hebat dan kini seluruh pasukan sudah bangkit, mengacung-acungkan kepalan dan senjata ke arah bangunan-bangunan di mana rombongan bangsawan itu berada. Dapat dibayangkan betapa kagetnya hati Kaisar ketika mendengar teriakan-teriakan itu. Juga yang lain-lain menjadi kaget setengah mati, terutama Yang Kok Tiong sendiri. Dia sedang berunding dengan orang-orang Tibet, ketika tiba-tiba Kaisar bersama pengawal-pengawal pribadi memasuki tempat itu.
Kaisar kelihatan marah. "Siapa mereka ini??" bentaknya sambil menuding ke arah tujuh orang Tibet yang berada di situ.
"Hamba... hamba sedang berunding... minta pertolongan Pemerintah Tibet," jawab Yang Kok Tiong.
"Tangkap orang-orang Tibet itu! Siapa tahu mereka adalah mata-mata perampok!" Perintah Kaisar ini dituruti oleh para pengawal dan ditangkaplah tujuh orang Tibet itu yang tidak berani melakukan perlawanan.
Sementara itu, teriakan-teriakan di luar menuntut kematian Yang Kok Tiong makin menghebat. Berbondong-bondong datanglah para pembantu Kaisar, berkumpul di tempat Yang Kok Tiong yang duduk dengan muka pucat mendengar tuntutan para pasukan di luar.
Di depan mata semua orang, tanpa malu-malu Yang Kui Hui menubruk dan merangkul leher Kaisar sambil menangis. "Sudilah Paduka menolong kakakku.... harap Paduka menyelamatkan kakakku...," selir itu menangis.
Didekap dan ditangisi selirnya yang tercinta, kaisar yang tua itu segera menghardik kepada kepala pengawal pribadinya, "Tangkap si pembuat ribut itu!"
Komandan pengawal itu berdiri tegak dan menjawab, "Ampun, Sri Baginda. Akan tetapi yang ribut adalah seluruh pasukan pengawal!"
"Junjungan hamba... tolonglah kakakku... selamatkan dia...!" Yang Kui Hui menangis.
Yang Kok Tiong juga menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Kaisar. "Hamba hanya dapat mengharapkan kebijaksanan Paduka dan menaruh nyawa hamba di dalam telapak tangan Paduka...!"
"Seret Yang Kok Tiong si pengkhianat keluar!" terdengar teriakan dari luar.
"Keluarkan jahanam itu, kalau tidak kami menyerbu ke dalam!" suara ini diikuti suara pintu digedor-gedor dari luar.
"Tangkap dia...!!" Kaisar memerintah dan menudingkan telunjuknya ke luar.
Komandan pengawal hendak membuka daun pintu, akan tetapi tiba-tiba dari luar meloncat masuk pengawal yang menjaga di luar, mukanya pucat dan tubuhnya menggigil lalu dia menjatuhkan diri di atas lantai menghadap Kaisar sambil berkata, "Mereka... mereka... akan menyerbu...!"
Oleh kepala pengawal, Kaisar dan rombongannya dikawal naik ke loteng. Kemudian Kaisar keluar dan memandang kepada pasukannya yang memberontak di luar itu. Begitu melihat munculnya Kaisar, para anak buah pasukan berteriak kacau-balau, menuntut agar Yang Kok Tiong diberikan kepada mereka. Kepala pengawal yang melihat gelagat buruk, diam-diam lalu menotok perdana menteri itu dan membawanya turun lagi di luar tahunya Kaisar, kemudian dia membuka pintu dan mendorong perdana menteri itu ke luar.
Banyak tangan yang penuh dendam kebencian menyambut. Tubuh Yang Kok Tiong di seret-seret, hujan pukulan dan makian, penghinaan dan ludah ditujukan kepadanya. Ketika Yang Kui Hui yang mendengar teriakan-teriakan kakaknya itu keluar mendekati Kaisar dan menjenguk ke bawah, dia menjerit dan merangkul Kaisar, lalu menangis. Kaisar sendiri terbelalak memandang betapa perdana menterinya itu, kakak dari selirnya, disiksa oleh pasukan, dipukuli dan dimaki-maki.
"Tolonglah kakakku... tolonglah dia...." Yang Kui Hui merintih dan menangis.
Kaisar lalu berseru ke bawah dengan suara lantang, "Haiii! Semua anggota pasukanku! Tahan...! Jangan lanjutkan perbuatan gila itu!"
"Berhenti...! Kalian iblis-iblis jahat...! Uh-huuuuhhh-huuuu...!!" Yang Kui Hui juga menjerit-jerit dan akhirnya menutupi mukanya, demikian pula Kaisar ketika melihat betapa Yang Kok Tiong sudah rebah dan tidak berkutik lagi, dengan tubuh hancur dan penuh darah.
Tiba-tiba dari dalam rombongan pasukan dan orang-orang dusun yang banyak berkumpul di tempat itu terdengar suara nyaring seorang laki-laki, "Seret iblis betina Yang Kui Hui...! Dialah biang keladinya! Dialah yang menjatuhkan kerajaan dengan menggoda Sri Baginda! Semenjak ada dia, kerajaan menjadi lemah dan dikuasai oleh pengkhianat-pengkhianat!"
Disusul suara wanita, "Bunuh kuntilanak itu! Dia siluman betina! Dia Tiat Ki ke dua...! Dia berjinah dengan An Lu Shan, dia mengumpulkan keluarganya untuk menguasai kerajaan! Dia harus dihukum gantung....!” Suara ini adalah suara Bu Swi Nio yang ingin membalas kematian kakaknya. Dia menyebut-nyebut nama tokoh wanita Tiat Ki, yang dalam dongeng sejarah adalah seekor siluman rase yang menjelma wanita menjadi selir Kaisar dan menyeret kerajaan ke dalam kehancuran pula.
Mendengar teriakan-teriakan menghasut dari Liem Toan Ki dan Bu Swi Nio ini, pasukan yang haus darah dan yang tidak puas itu lalu berteriak-teriak, menuding-nuding kepada Yang Kui Hui sambil menuntut agar wanita cantik itu digantung!
"Tidak...!! Kalian gila semua! Tidaakkk...!!" Kaisar memeluk tubuh selirnya yang pucat dan hampir pingsan itu, lalu menariknya masuk, diikuti teriakan-teriakan para anak buah pasukan dan rakyat setempat.
Kaisar dengan muka merah karena marahnya merangkul Yang Kui Hui yang menangis terisak-isak itu. Semua anggota rombongan memandang dengan muka pucat, apa lagi mereka mendengar suara ribut-ribut di luar rumah dan kini pintu digedor-gedor lagi.
"Gantung Yang Kui Hui....!"
"Bunuh siluman itu....!"
"Kalau tidak, rumah ini kami bakar!!"
Tentu saja Kaisar dan yang lain menjadi makin panik. Kaisar menjatuhkan diri di atas kursi, mukanya pucat dan keringat bercucuran membasahinya. Sementara itu Yang Kui Hui berlutut di dekat kursi Kaisar, memeluk kaki Kaisar dan memperlihatkan sikap yang memelas (menimbulkan iba) sekali, tubuhnya gemetar karena suara-suara dari luar yang terdengar, suara menuntut kematiannya itu seperti ujung pedang-pedang yang ditusuk-tusukan ke ulu hatinya....
Selanjutnya baca
BU KEK SIANSU : JILID-19