Hantu Bara Kaliatus

HANTU BARA KALIATUS

(Episode Kedua Petualangan Wiro Sableng Di Latanahsilam)

SINOPSIS
Sosok yang tegak diatas batu besar ditengah sungai bukan lain adalah La Tandai alias Hantu Bara Kaliatus. Sepasang matanya masing-masing memiliki dua bola mata berwarna merah seperti bara menyala menatap angker kearah Lakasipo. Saat itu Lakasipo masih duduk diatas punggung Lae Kaki Enam kuda tunggangannya yang berkaki enam.
Sementara Wiro, Naga Kuning dan Setan Ngompol masih berada dalam genggaman tangannya, belum sempat dimasukkan kedalam kocek jerami.
"Makhluk apa itu gerangan…" kata Naga Kuning. "Kepalanya seperti pendupaan! Ada bara menyala!"
"Lihat matanya!" Naga Kuning berucap. "Setiap mata ada dua bola mata!"
"Ya, Aku juga sudah melihat. Jangan-jangan makhluk ini punya empat biji dikantong menyannya!" kata Wiro pula sambil tertawa cekikikan.
"Kalian jangan bergurau saja!" membentak Setan Ngompol. "Aku punya firasat bahaya besar mengancam Lakasipo. Berarti mengancam kita bertiga!"

SATU
SANG SURYA masih belum memperlihatkan diri. Udara di penghujung malam itu masih diremangi kegelapan. Angin dingin masih mencucuk menembus kulit sampai ke tulang. Hampir tak dapat dipercaya, dalam kegelapan seperti itu, di kawah Gunung Latinggimeru berkelebat satu bayangan. Gerakannya cepat, sulit ditangkap mata biasa. Bayangan ini melompat dari satu gundukan batu ke gundukan batu lainnya. Lalu sesekali kakinya menendang dan...

"Byaaarr!" Gundukan batu hancur berantakan!

Batu-batu yang ada dalam kawah Gunung Latinggimeru itu bukan batu biasa. Tapi adalah batu-batu yang sejak ratusan tahun telah berubah menjadi bara merah menyala dan tentunya panasnya bukan alang kepalang. Jangankan untuk dipijak, berada cukup dekat saja panasnya seolah mampu membakar seseorang. Apalagi di dalam kawah terdapat cairan lahar merah mengepulkan asap panas dan sesekali mencuatkan lidah api sampai setinggi satu tombak!

Namun sosok yang berkelebat dari satu batu ke batu lainnya itu sama sekali tidak mengalami cidera kedua kakinya. Kelebatan tubuhnya yang mengeluarkan angin deras membuat cairan lahar bergetar mengeluarkan riak seolah mendidih. Kalau sosok yang berkelebat di dalam kawah itu bukan sebangsa hantu atau setan tetapi manusia adanya maka pastilah dia memiliki ilmu kenukilan yang luar biasa.

Tepat ketika cahaya pertama kemunculan sang surya mencuat diufuk timur, satu bayangan hitam berkelebat dari lamping kawah sebelah barat. Sesaat kemudian bayangan ini tahu-tahu telah berdiri di atas satu gundukan batu panas membara, rangkapkan tangan di atas dada. Wajahnya yang aneh mengerikan sesaat menatap pada orang yang masih berkelebat dari satu batu ke batu lainnya.

Makhluk yang tegak di atas batu sambil rangkapkan tangan di depan dada itu memiliki wajah luar biasa aneh dan angkernya. Muka itu seperti muka seekor burung gagak hitam. Hidung dan mulut jadi satu menyerupai paruh. Sepasang mata kecil tajam memandang tak berkesip ke arah orang yang masih saja melompat dan menendang seolah tidak menyadari kalau saat itu di dalam kawah dia tidak lagi sendirian.

Ini memberi kejelasan, betapapun tingginya ilmu kepandaian orang pertama namun masih jauh berada di bawah makhluk yang barusan datang. Buktinya dia tidak tahu kehadiran makhluk yang bermuka burung yang semakin terang sinar sang surya semakin jelas bentuknya. Dia ternyata adalah seorang nenek aneh mengenakan pakaian dedaunan kering yang diberi jelaga hitam.

Kesunyian di dalam kawah Gunung Latinggimeru itu tiba-tiba meledak oleh suara tawa si nenek bermuka burung. Saat itulah bayangan yang sejak tadi berkelebat kian kemari tiada henti menyadari kalau di dalam kawah ada orang lain. Cepat dia membalikkan tubuh dan siap menghantam dengan tangan kanannya.

"Seratus hari telah berlalu! Wahai Latandai! Aku datang memenuhi perjanjian!" Si nenek berseru keras membuat seantero kawah bergeletar.

"Nenek Hantu Santet Laknat!" orang di seberang sana keluarkan ucapan lalu cepat-cepat berlutut di atas batu panas. "Nenek, terima hormatku!"

SI nenek kembali tertawa mengekeh. "Berdirilah wahai Latandai!"

Orang di atas batu merah membara segera berdiri tapi cara tegaknya agak membungkuk pertanda dia masih meneruskan sikap hormatnya pada si nenek angker.

"Kulihat gerakan tubuh serta kekuatan kakimu telah maju pesat Latandai! Aku senang! Sekarang, hari perjanjian telah datang! Kau akan kuberikan ilmu kesaktian yang selama ini kau inginkan! Apakah kau telah siap menerimanya wahai Latandai?!"

"Wahai Nenek Hantu Santet Laknat. Aku Latandai siap menerima ilmu apapun yang akan kau berikan padaku!"

Si nenek tertawa melengking. "Ilmu Bara Setan Penghancur Jagat akan segera kau dapatkan! Begitu ilmu itu menjadi milikmu, maka otakmu ada dalam otakku. Kau menjadi milikku. Artinya kau berada di bawah kekuasaanku. Kau harus melakukan semua apa yang aku kata dan perintahkan. Sekali kau berani membangkang maka ilmu Bara Setan Penghancur Jagat akan menghancurkan dirimu sendiri! Kau mengerti dan paham Latandai?!"

"Aku mengerti. Aku paham wahai Nenek Hantu Santet Laknat!"

Si nenek tertawa panjang. Di timur langit semakin terang. "Berdiri lurus-lurus Latandai! Kepalkan dua tanganmu dan letakkan di samping!"

Lelaki bernama Latandai lakukan apa yang dikatakan si nenek. Tubuhnya tegak lurus-lurus di atas batu merah panas. Dua tangan ditempelkan rapat-rapat ke sisi kiri kanan.

"Kau sudah siap Latandai?!"

"Aku sudah siap Nek!"

"Sungguh?!"

"Sungguh Nek!"

"Ceburkan dirimu ke dalam lahar!"

Latandai tersentak kaget mendengar perintah yang tidak disangkanya itu. "Nek…"

"Sekali lagi kau dirasuk ragu dan bimbang. Sekali lagi kau berucap dan menolak berbuat! Maka wahai! Cukup sampai di sini aku melihatmu! Kalau aku masih sempat melihatmu maka aku hanya akan melihat rohmu gentayangan antara langit dan bumi!"

Dinginlah tengkuk Latandai. Dia tahu si nenek tidak bicara kosong. Dia sadar perempuan tua bermuka burung gagak itu memiliki kemampuan untuk menghabisinya semudah dia membalikkan telapak tangan! Maka tanpa menunggu lebih lama Latandai melompat, ceburkan diri ke dalam cairan lahar yang mendidih panas di puncak Gunung Latinggimeru itu!

Sosok Latandai lenyap tenggelam di bawah permukaan lahar. Di sebelah atas lahar mencuat memercikkan lidah api. Sepasang mata Hantu Santet Laknat memperhatikan dengan tajam. Mulutnya komat kamit seperti merapal sesuatu. Lalu dia berteriak,

"Kau boleh keluar sekarang Latandai!"

Aneh! Walau berada di bawah permukaan lahar panas dan tebal namun si nenek mampu mengiangkan perintahnya ke telinga Latandai hingga lelaki itu mendengar lalu serta merta melesat keluar dari dalam lahar dan tegak kembali di atas batu panas membara. Sekujur tubuhnya mengepulkan asap panas dan berwarna merah seolah udang direbus.

Latandai merasakan sesuatu di atas kepalanya. Dia meraba ke atas. Dia juga merasa ada kelainan pada sepasang matanya, dia mengedip-ngedipkan beberapa kali. Lalu ketika dia memandang ke dada dan perutnya terkejutlah lelaki ini.

"Nekl Apa yang terjadi dengan diriku!" Hantu Santet Laknat mendongak lalu tertawa panjang.

"Wahai Latandai! Mengapa kau harus terkejut apalagi takut" ujar si nenek.

Tubuh Latandai bergeletar. Untuk beberapa saat lamanya dia tidak bisa membuka mulut. Dia melihat ada tumpukan batu-batu merah membara sebesar ujung ibu jari kaki di dada dan di perutnya. Namun dia tidak dapat melihat bagaimana saat itu telah terjadi kelainan pada sepasang matanya. Bola matanya yang sebelumnya hanya ada satu pada masing-masing mata kini berubah menjadi dua dan berwarna merah seolah terbuat dari bara!

Dia bisa meraba tapi tidak melihat bagaimana kepalanya seolah telah dibabat sebatas kening lalu di atas kepala yang sebelumnya ada otak, batok kepala dan rambut itu kini dipenuhi oleh tumpukan batu-batu merah menyala!

"Latandai!" seru Hantu Santet Laknat! "Sekarang kau telah memiliki ilmu kesaktian yang disebut Bara Setan Penghancur Jagat!"

"Nek!" kejut Latandai sampai keluarkan seruan tertahan saking tidak percayanya.

Hantu Santet Laknat kembali mengekeh. "Di tubuhmu, mulai dari kepala sampai ke pusar kini terdapat dua ratus bara api! Itu sebabnya mulai saat ini kau kuberi nama Hantu Bara Kaliatus! Batu-batu bara itu akan menjadi senjata yang ikut kemana kau pergi! Kau akan melihat wahai Latandai! Sekali kau mencabut bara itu dan menghantam lawan, sulit bagi musuh untuk selamatkan diri dari Kematian! Di masing-masing matamu kini ada dua bola mata berbentuk bara api. Jika kau pentang dua matamu lebar-lebar dan hentakkan rahangmu maka empat larik sinar merah sepanas api neraka akan menebar maut! Kalau kau tidak percaya silahkan coba. Palingkan matamu ke arah batu besar di sebelah sana! Kau sanggup menghancurkan batu itu dengan sinar bara setan yang ada pada dua matamu!"

Latandai putar tubuhnya. Palingkan muka dan sepasang matanya ke arah batu besar menyembul di permukaan kawah yang barusan ditunjuk si nenek. Dalam keadaan tak berkedip Latandai katupkan rahangnya. Gigi-giginya bergemeletukan. Saat itu juga empat larik sinar semerah bara menyala berkiblat! Melesat dan menyambar ke arah batu besar di permukaan kawah.

"Byaaarr!"

Batu merah menyala itu hancur berantakan, lenyap dari permukaan lahar. Yang kelihatan kini hanyalah kepulan asap! Melihathal itu Latandai segera berpaling dan jatuhkan diri berlutut,

"Nenek Hantu Santet Laknat! Aku menghatur ribuan terima kasih. Kau…"

Si nenek potong ucapan Latandai dengan tawa bergelak lalu berkata. "Kau sudah kuberikan ilmu Bara Setan Penghancur Jagatt Sekarang mari kita mengatur perjanjian dan perintah! Harap kau dengar baik-baik wahai Hantu Bara Kaliatus! Setiap aku memberi perintah aku bisa langsung muncul di hadapanmu atau hanya mengirimkan dari kejauhan melalui angin dengan ilmu yang disebut Ilmu Menyadap Suara Batin. Sekarang aku mulai dengan perintah-perintahku Latandai! Setiap perintah harus kau lakukan tanpa pernyataan karena otakmu ada dalam otakku! Kau berada dalam kekuasaanku! Pertama kau harus mencari seorang manusia bernama Lakasipo! Aku tak perlu menerangkan siapa adanya manusia itu. Kau kenal dia karena dia dulunya adalah Kepala Negeri Latanahsilam."

"Aku tahu dan aku kenal Lakasipo. Perintah akan kujalankan Nenek Hantu Santet Laknat!" kata Latandai yung kini telah diberi nama Hantu Bara Kaliatus!

"Perintah ke dua! Kau harus membunuh Luhsantini Istrimu sendiri…"

"Nek!" Latandai terkejut dan sampai keluarkan teman.

"Jahanam! Aku sudah katakan tak ada pertanyaan" Bentakan si nenek menggetarkan Seantero kawah Gunung Latinggimeru.

"Maafkan aku Nek…" ujar Latandai yang jadi kecut melihat tampang sinenek dan mendengar bentakannya yang dahsyat.

"Aku mempunyai alasan mengapa menyuruhmu membunuh Luhsantini. Karena dia seorang istri tidak berbudi dan tidak setia! Luhsantini pernah berhubungan badan dengan seorang pemuda bernama Lasingar, kerabatmu di Latanahsilam. Selain itu dia juga bermain cinta dengan Hantu Muka Dua! Apa perlunya kau mempunyai seorang istri seperti itu!"

Latandai merasakan tubuhnya bergetar dan mukanya mendadak jadi panas sampai ke telinga. Dia hendak bertanya dari mana atau bagaimana Nenek Hantu Santet Laknat mengetahui hal itu tapi tidak berani membuka mulut. Apa yang ada dalam pikiran Latandai sudah terbaca oleh si nenek. Maka dia pun berkata,

"Waktu kau meninggalkan istrimu dikala dia hamil muda kau sebenarnya telah mengambil satu keputusan tepat! Berbulan-bulan kau mengelana mencari ilmu! Kau telah menjadi budak hawa nafsu ingin menguasai berbagai ilmu kesaktian! Kau hampir jadi orang gila dan kerasukan roh-roh jahat! Syukur kau bertemu denganku wahai Hantu Bara Kaliatus! Satu ilmu yang kuberikan tidak bisa menandingi seratus ilmu kesaktian yang bisa kau peroleh dari orang lain!"

"Aku mengerti dan aku berterima kasih Nek," kata Latandai pula.

"Satu hal lagi harus kau ketahui wahai Hantu Bara Kaliatus! Kalau istrimu dan Lasingar tidak dihabisi maka mereka kelak akan melanjutkan hubungan tidak senonoh itu! Berarti akan lahir lagi anak ke dua, anak ketiga yang bukan darah dagingmu!"

Bergetar sekujur tubuh Latandai mendengar ucapan Hantu Santet Laknat itu. Walau di lubuk hatinya ada rasa kebimbangan namun saatitu otaknya telah dikuasai oleh si nenek hingga dia tidak bisa berpikir secara jernih, sekurang-kurangnya tekad untuk menyelidikyang dikatakan si nenek apa benar adanya.

"Kau sudah dengar penjelasan! Kau sudah tahu kewajiban harus menyingkirkan istrimu! Membunuh Lasingar! Kau juga patut menghabisi Hantu Muka Dua. Tapi manusia satu itu adalah bagianku! Jangan kau berani menyentuhnya! Aku sendiri yang akan membunuhnya!"

"Aku mendengar dan perintahmu akan kujalankan wahai Nenek Hantu Santet Laknat…" kata Latandai pula.

"Wahai Hantu Bara Kaliatus! Tugasmu di hari pertama memiliki ilmu kesaktian Bara Setan Penghancur Jagat cukup sekian dulu! Laksanakan segera! Jika kau sampai gagal aku akan muncul untuk menjatuhkan hukuman!"

Hantu Bara Kaliatus alias Latandai membungkuk dan berkata. "Tugas perintah akan kujalankan! Aku tidak akan menemui kegagalan. Cuma mohon maafmu. Apakah keadaan diriku yang seperti ini tidak bisa dirubah kembali seperti sedia kala?"

Nenek Hantu Santet Laknat tertawa panjang lalu berkata."Sudah kukatakan otakmu ada dalam otakku! Dirimu berada dalam kekuasaanku. Berarti hanya aku yang bisa mengembalikan dirimu pada keadaan semula! Setiap ilmu ada syaratnya wahai Latandai. Dan kini dia menerima syarat itu dalam bentuk keadaanmu seperti saat ini!Bila kau memang menginginkan perubahan bisa saja aku lakukan! Tapi kau harus menjalankan semua perintahku lebih dulu. Kau mengerti Hantu Bara Kaliatus?!"

"Aku… aku mengerti Nek," jawab Latandai walau dengan suara setengah tertahan dan dada sesak.

Hantu Santet Laknat menyeringai lalu tertawa panjang. Ketika tawanya lenyap sosoknya tak ada lagi di lompat Ku. Latandai palingkan kepala. Si nenek tahu-tahu sudah berada di lamping kawah sebelah timur. Berkelebat cepat sekali seolah menyongsong matahari lalu pupus dari pemandangan.

********************
WWW.ZHERAF.COM
DUA
Belalang hijau raksasa itu terbang menembus kabut pagi disaat udara masih dingin menusuk sampai ke tulang sumsum. Di satu tempat ketinggian binatang ini melayang turun lalu hinggap di atas sebuah batu besar. Dua matanya memandang liar kian kemari seolah meneliti keadaan. Sepasang misainya bergerak-gerak tiada henti.

"Wahai Laehijau, apakah sanggup kau membawa kami ke puncak Latinggimeru? Seharian sudah kau melompat dan melayang menerbangkan kami. Aku khawatir kau keletihan di tengah jalan dan jatuh!"

Satu suara memecah kesunyian di tempat itu. Yang bicara adalah seorang perempuan muda mengenakan pakaian kulit kayu halus. Kepala dan wajahnya tertutup selendang terbuat dari rumput hijau dikeringkan. Perempuan ini duduk di punggung belalang hijau, menjadikan binatang raksasa itu sebagai tunggangannya. Belalang raksasa tundukkan kepala ke bawah lalu menggeleng pertanda dia mengerti dan menjawab ucapan tuan penunggangnya.

"Kau sahabatku yang setia wahai Laehijau. Mudah-mudahan para Dewa dan Peri menolong kita hingga kita bisa selamat sampai kepuncak Latinggimeru…"

Baru saja perempuan ini selesai berucap tiba-tiba terdengar suara tangisan bayi. Astaga. Ternyata dalam bungkusan yang didukungnya di tangan kiri, ada sosok seorang orok yang masih merah karena baru berusia 40 hari. Perempuan ini cepat menimang-nimang bayi daam bedungan.

"Anakku Lamatahati, berhentilah menangis. Sebentar lagl kau akan bertemu dengan bapakmu. Sebentar lagi kau akan menjadi anak yang syah. Punya Ibu dan punya ayah!"

Perempuan itu terus menimang-nimang si bayi hingga akhirnya berhenti menangis. Sesaat dia mendongak ke atas, berusaha menembus tebaran kabut yang menutupi pemandangan. Jauh di atas sana menjulang tinggi puncak Gunung Latinggimeru yang dari kawahnya selalu mengepul asap panas berwarna kemerahan sedang dari perutnya ada suara tiada henti menggemuruh menggidikkan dan menggetarkan seantero tempat.

"Laehijau kalau letihmu lenyap bisakah kita melanjutkan perjalanan?"

Belalang raksasa bernama Laehijau seperti tadi rundukkan kepalanya dan goyang-goyangkan misainya. Kaki-kakinya diregang pertanda dia siap melompat. Perempuan di atas belalang peluk erat-erat bayi dalam bedungan. Sesaat kemudian Laehijau telah melesat ke udara, terbang ke arah ketinggian puncak Gunung Latinggimeru.

Untuk beberapa saat bayi dalam bedungan tertidur pulas. Begitu mulai mendekati puncak gunung, udara yang tadinya sangat dingin kini berubah menjadi panas. Tubuh Laehijau bergetar menahan panas. Begitu juga perempuan di atas punggungnya sementara bayi yang tadi tertidur pulas tersentak bangun lalu menangis kepanasan.

"Tenang anakku, jangan menangis…" Sang ibu pergunakan ujung bedungan untuk mengipasi bayinya.

Namun Lamatahati terus saja menangis. Semakin jauh ke atas mendekati puncak Gunung Latinggimeru hawa bertambah panas tapi kabut mulai menipis. Setelah terbang berputar-putar dan mulai sempoyongan, Laehijau turun di suatu pedataran sempit ditepi timur puncak Latinggimeru. Dua tombak di depan mereka terbentang kawah yang permukaannya berupa lahar mendidih dan mengepulkan asap.

Selain itu ada kabut tebal menebardi sana-sini menutupi pemandangan. Perempuan di atas punggung belalang hijau memandang berkeliling lalu menatap lekat-lekat ke arah kawah gunung batu itu. Cukup lama dia menunggu dan mencari-cari. Hatinya mulai risau. Orang yang dicari tidak terlihat sama sekali. Bayi dalam bedungan terus menangis, tak tahan oleh hawa panas yang keluar dari kawah.

"Mimpiku memberi petunjuk dia adadi sini. Dua orang penduduk Latanahsilam memberi kesaksian melihat dia dalam perjalanan menuju puncak Latinggimeru ini empat purnama yang lalu. Namun dimana dia gerangan?" Perempuan diatas belalang hijau membatin.

Pada saat tebaran kabut yang menutupi kawah itu tertiup angin, berarak ke jurusan selatan maka barulah dia dapat melihat seantero kawah dengan jelas. Sesaat perempuan di atas punggung belalang hijau terkesiap ngeri menyaksikan pemandangan di hadapannya.

Namun rasa ngeri ini berubah menjadi kegembiraan ketika dia melihat sosok seorang lelaki tegak tak bergerak di atas sebuah batu besar merah menyala. Dari dua kakinya hanya yang sebelah kiri menginjak batu. Yang kanan diangkat dan dilipat ke atas sedang kedua matanya dipejamkan. Jelas orang ini tengah bersamadi dengan cara yang aneh.

"Dia mampu berdiri di atas batu api itu! Wahai, berarti Latandai telah berhasil mendapatkan ilmu yang dicarinya…" berucap dalam hati perempuan di atas belalang raksasa. Tapi tiba-tiba hatinya mendadak tercekat. "Aneh, mengapa ada kelainan kulit pada dirinya. Kepalanya… tubuhnya… Kalau saja aku bisa mendekat ke sana…"

Spasang mata perempuan di atas belalang raksasa menatap tak berkedip pada lelaki di atas batu. “Wahai Lamatahati, apapun yang terjadi dengan ayahmu,, akhirnya dia kita temui juga…"

Perempuan itu berucap setengah berbisik seraya membelai kepala bayi dalam bedungan yang sampai saat itu masih terus menangis. Suara tangisan orok ini tadi sempat membuat lelaki yang bersamadi di atas batu dalam kawah menjadi terganggu. Daun telinganya bergerak-gerak. Pelipis dan rahangnya menggembung. Urat lehernya tampak mengencang sedang dua kelopak matanya yang tertutup mengeluarkan getaran-getaran halus.

Hanya dengan menabahkan hati, menutup jalan pendengaran, lelaki yang di puncak batu tinggi akhirnya mampu meneruskan samadinya. Namun itupun tidak bertahan lama karena tiba-tiba dari puncak timur Gunung Latinggimeru ada suara semakin keras, melengking ke langit, mencuat ke dasar kawah.

"Wahai Latandai suamiku! Puluhan hari aku habisi! Berbagai negeri aku datangi! Akhirnya kutemui juga kau ditempat ini! Latandai, buka matamu! Lihat siapa yang kubawa!"

Hantu Bara Kaliatus yang tegak bersamadi di atas batu menyala tidak bergerak, juga tidak membuka sepasang matanya yang terpejam.

"Wahai Latandai! Jangan berpura tidak mendengar ucapanku! Berhentilah bersamadi barang seketika. Melompat dan datanglah ke tempat ini! Aku datang membawa anakmu! Anak kita yang kuberi nama Lamatahati. Seorang bayi laki-laki bertubuh gemuk sehat. Pertanda di masa besarnya dia akan menjadi seorang pemuda gagah kuat berotot seperti ayahnya!"

Bersamaan dengan berhentinya ucapan sang ibu, bayi dalam bedungan menangis keras. Di atas batu Latandai merasakan tubuhnya bergetar. Lehernya menjadi kaku dan telinganya mengiang. Bagaimanapun dia mencoba, getaran pada matanya tak dapat dikuasainya. Dia sadar bahwa samadinya tak mungkin diteruskan.

Didahului teriakan menggeledek sosok Latandai melesat ke atas. Dilain kejap dia telah berdiri dua tombak di hadapan Laehijau si belalang raksasa di atas mana duduk perempuan yang membawa bayi. Belalang raksasa tersurut mundur. Misainya bergerak-gerak sementara perempuan yang mendukung bayi berubah pucat wajahnya dan ketakutan setengah mati.

Tadi sewaktu Latandai masih berada di dalam kawah dia memang sudah melihat ada kelainan atas diri suaminya itu. Namun setelah dekat dia tidak mengira kelainan itu adalah satu kengerian yang dahsyat!

Sepasang mata yang memiliki empat bola mata laksana kobaran api memandang padanya. "Luhsantini! Perempuan celaka! Beraninya kau datang kemari! Berani kau mengganggu samadiku!"

Perempuan yang disebut dengan nama Luhsantini itu sesaat jadi terkesiap. Keningnya berkerut. Dadanya berdebar dan mulutnya bergetar. Walau takut tapi dicobanya juga menjawab.

"Wahai Latandai suamiku! Bukan diriku bermaksud mengganggu samadimu! Aku tidak dapat menahan diri. Ini adalah hari ke empat puluh sejak bayi ini lahir. Ini adalah hari terakhir kau harus melihat puteramu dan puteramu melihat dirimu! Ini adalah hari terakhir kau harus mengusap ubun-ubun di kepalanya pertanda kau mengakui bahwa Lamatahati adalah anak dari darah yang keluar dari tulang sumsummu! Jika itu tidak terjadi, sesuai aturan dan adat Negeri Latanahsilam maka seumur hidupnya anak ini tidak akan mempunyai ayah yang syah! Jika dia tidak punya ayah syah berarti aku bukan pula ibunya yang syah. Lalu apa akan jadinya anak kita ini kelak? Jika hidup dia akan menjadi anak setan! Tak layak tinggal di Negeri Latanahsilam! Jika mati rohnya akan terkatung-katung antara langit dan bumi! Wahai suamiku Latandai. Datanglah ke sini. Lihat anakmu! Usap kepala dan tubuhnya. Cium kening dan pipinya!"

Sehabis berucap seperti itu Luhsantini jadi ngeri sendiri. Dalam keadaan kepala dan sosok Latandai seperti itu jangan-jangan bayinya akan celaka jika bersentuhan dengan ayahnya!

Lelaki di atas batu merah menyala menatap dengan tampang menggidikkan pada perempuan di atas belalang raksasa itu. Sepasang matanya menyala-nyala. Terlebih ketika dia melihat bagaimana Luhsantini membuka kain pembedung bayi lalu mengangkat tinggi-tinggi bayi lelaki itu dan bergerak hendak disodorkan kepadanya.

"Tidaaakk!" Tiba-tiba meledak teriakan dahsyat dari mulut Latandai. Suara teriakan ini menggema menggidikkan di dalam kawah Gunung Latinggimeru, menggeletar sampai ke permukaan puncak gunung, membuat darah Luhsantini tersirap dan seolah berhenti mengalir.

"Tidak? Tidak apa maksudmu wahai suamiku Latandai?" bertanya Luhsantini.

"Bayi itu bukan anakku! Tapi anak haram hasil hubunganmu dengan Lasingar, jauh sebelum aku mengawinimu!"

Luhsantini merasa seolah berdiri di atas bara api yang kemudian runtuh dan menghunjam memurukkannya ke dasar sebuah lobang api! "Wahai Latandai… Bagaimana bisa dan teganya kau berkata seperti itu?! Kita kawin sepuluh bulan purnama yang lalu. Malam pertama kita berhubungan di Bukit Batu Kawin disaksikan orang tua, para sesepuh Negeri, disaksikan oleh nenek Lamahila dan disaksikan serta direstui oleh para Dewa dan Peri…"

"Apa yang kau katakan semua benar! Tapi pada saat aku mengawinimu kau telah berbadan dua akibat hubunganmu dengan Lasingar! Aku tertipu!"

Luhsantini sampai terpekik mendengar ucapan Latandai itu. Wajahnya seputih kain kafan. "Wahai Latandai, demi anak ini aku ikhlas menerima keadaanmu seperti ini. Demi segala roh yang baik penjaga langit dan bumi! Demi semua para Dewa dan Peri penguasa jagat raya! Aku bersumpah tidak pernah melakukan hubungan hina terkutuk yang tidak terpuji dengan Lasingar! Pemuda itu hanyalah kerabat sahabat biasa saja…"

"Kerabat sahabat biasa saja?!" Latandai meludah. Ludahnya berwarna merah dan mengepulkan asap. Lalu manusia yang telah berubah menjadi makhluk mengerikan ini tertawa bergelak. "Banyak saksi di Latanahsilam yang mengatakan bahwa dia sering menyelinap ke rumahmu dikala dua orang tuamu berburu ke hutan atau mencari ikan di sungai!"

"Latandai… Sungguh tidak dapat kupercaya semua ucapanmu! Lasingar sering berada di rumahku karena dia berobat pada orang tuaku atas penyakit yang telah lama diidapnya! Jika kau tahu aku ini sudah bernoda mengapa kau mengawini diriku…?"

"Itu karena aku tertipu! Karena kau menipuku! Keluargamu menipuku!"

"Wahai Latandai, agaknya Kau yang menipu diri sendiri! Jika bayi ini sudah kukandung jauh sebelum kawin denganmu, mengapa dia kulahirkan setelah sembilan bulan? Jika aku memang punya hubungan keji dengan Lasingar dan hamil sebelumnya seharusnya dia lahir lebih cepat dari itu!"

"Luhsantini! Apapun cakapmu! Apapun dalih yang hendak kau ucapkan aku tetap tidak akan mengakui anak itu adalah anakku! Dan dirimu yang kotor ini tidak layak hidup lebih lama! Kau dan anakmu lebih baik kulempar ke dalam kawah Gunung Latinggimeru!"

Menggigil sekujur tubuh Luhsantini mendengar kata-kata Latandai itu. Dengan tubuh bergeletar dan dada menggemuruh dia turun dari punggung Laehijau si belalang raksasa lalu melangkah ke tepi kawah. Bayi dalam bedungan terus menangis tiada henti.

"Latandai…!"

"Diam! Namaku bukan Latandai lagi. Aku sekarang adalah Hantu Bara Kaliatus!"

"Tidak perduli siapapun kau punya nama! Tidak kusangka sejahat ini hati dan pekertimu! Dengar manusia keji! Pembalasan dan karma akan jatuh atas dirimu!"

Luhsantini angkat bayi dalam bedungan tinggi tinggi. Lalu berserulah perempuan malang ini. "Wahai para Dewa dan para Peri! Wahai semua roh yang ada di antara langit dan bumi! Bayi ini bayi suci! Tiada dosa atas dirinya! Bayi ini keluar dari rahimku! Hasil hubunganku dengan seorang suami bernama Latandai! Namun hari ini Latandai tidak mengakui kalau Lamatahati adalah anak darah dagingnya! Para Dewa dan para Peri serta semua roh! Jatuhkan hukuman atas diri Latandai! Sengsarakan dia sebelum bayi ini sendiri menderita karena perbuatannya! Biarkan tubuhnya seperti itu sepanjang usia! Biarkan dia menderita seumur-umur dalam keangkuhan dan kesesatannya! Wahai anakku Lamatahati. Malang nasibmu! Kau tak akan berayah seumur hidupmu! Aku tak akan diakui adat sebagai ibumu! Aku memohon kepala ke atas kaki ke bawah. Kaki ke atas kepala ke bawah! Kalau kelak kau sudah dewasa para Dewa dan para Peri akan memberi kekuatan padamu! Balaskan sakit hati ibumu! Balaskan sakit hati dirimu!"

Bayi dalam bedungan menangis keras. Belum habis gaung suara Luhsantini di puncak Gunung Latinggimeru, seolah alam mendengar jerit hati sang ibu yang malang ini tiba-tiba lumpur merah di dasar kepundan menggelegak keras lalu mencuat tinggi ke udara. Lidah api membumbung mengerikan.

Lalu seolah jatuh dari langit didahului suara gelegar dahsyat berkiblat satu cahaya biru, langsung menghantam sosok Latandai alias Hantu Bara Kaliatus. Sekujur tubuh lelaki ini seolah dialiri satu sinar biru, menggeletar hebat dan mengepulkan asap. Hantu Bara Kaliatus menjerit keras lalu tergelimpang roboh di tepi kawah.

Luhsantini memeluk bayinya erat-erat. Belalang raksasa menghentak-hentakkan kakinya seolah memberi isyarat agar perempuan itu lekas naik ke punggungnya. Luhsantini cepat balikkan tubuh. Sambil mendukung bayinya dia lari ke arah Laehijau. Namun sebelum dia sempat mencapai belalang raksasa itu, di belakang sana sosok Hantu Bara Kaliatus buka sepasang matanya lalu bergerak bangkit! Mulutnya sunggingkan seringai maut. Lalu dia menggembor keras.

"Luhsantini! Jahat nian kutuk sumpahmu! Tak bisa aku menerima!" teriak Latandai.

"Bukan aku yang jahat! Hatimu yang bejat!" teriak Luhsantini. "Kutuk Dewa dan Peri hanya jatuh pada manusia durjana!"

"Perempuan jahanam! Kau dan bayimu tak layak Hidup."

Latandai angkat tangan kanannya lalu dipukulkan ke depan. Dua belas sinar hitam halus berkelebat ganas. Dalam keadaan marah luar biasa seperti itu Hantu Bara Kaliatus bukan keluarkan ilmu yang baru dimilikinya yakni Bara Setan Penghancur Jagat, melainkan dia menghantam dengan ilmu kesaktian yang telah didapatnya lebih dahulu.

"Selusin Bianglala Hitam." jerit Luhsantini begitu dia mengenali pukulan sakti yang dilancarkan Latandai. Perempuan ini menjerit sekali lagi. Dia berusaha menyelamatkan diri dengan melompat ke kiri. Tapi salah lompat. Arah yang ditujunya ternyata adalah kawah Gunung Latinggimeru!

Sementara itu dua belas sinar hitam yang menyerangnya demikian cepat membeset udara hingga tidak mungkin dielakkan! Sudah dapat dibayangkan bagaimana dua belas cahaya ganas Itu akan menembus sosok Luhsantini. Lalu tubuh itu sendiri akan terjungkal masuk kedalam kawah gunung.

Hanya dua jengkal lagi selusin sinar hitam akan menghantam tubuh Luhsantini, tiba-tiba dari arah selatan pinggiran kawah berkiblat selarik cahaya berwarna Jingga. Laksana tameng cahaya Jingga ini melindungi Luhsantini dari hantaman Selusin Bianglala Hitam. Perempuan ini selamat karena begitu beradu dengan cahaya Jingga, selusin sinar hitam terpental ke kiri. Namun pentalan dua belas sinar ini melesat ke arah bayi dalam bedungan pelukan sang ibu! Bayi dalam bedungan terpekik keras.

"Anakku!" jerit Luhsantini. Tubuhnya terhuyung. Dia hampir jatuh pingsan ketika melihat wajah bayinya! Sama sekali tidak menyadari bagaimana Latandai melompat ke hadapannya dan tendangkan kaki kanan.

"Plaaakkk!"

Satu benda hijau menghantam bahu kiri Latandai hingga orang ini terpental dan terguling di tanah bebatuan. Benda yang barusan menghantamnya ternyata adalah sayap belalang raksasa. Sehabis menghantam Laehijau merangkul tubuh Luhsantini dengan kaki kiri sebelah depan lalu dengan cepat binatang ini melompat ke udara, terbang meninggalkan puncak Gunung Latinggimeru.

"Binatang jahanam!" teriak Latandai marah. Gerahamnya bergemeletakan. Dengan mengerahkan seluruh tenaga dalam yang dimilikinya dia menghantam ke atas. Lepaskan pukulan sakti Selusin Bianglala Hitam Dua belas larik sinar hitam menderu.

Di udara belalang raksasa Laehijau keluarkan suara menggerung keras ketika tubuhnya bagian belakang hancur dihantam pukulan sakti yang dilepaskan Latandai. Dalam keadaan seperti itu belalang raksasa ini masih sanggup terbang menyelamatkan diri serta menyelamatkan ibu dan anak yang ada di punggungnya. Tapi berapa lama dia bisa bertahan dengan tubuh yang setengah hancur seperti itu.

Latandai menggembor marah melihat Luhsantini dan anaknya berhasil menyelamatkan diri. Berkali-kali kepalan tangan kanannya dihantamkan ke telapak tangan kiri. Tiba-tiba ada suara mengiang masuk ke dalam telinga orang ini. Itu adalah suara Hantu Santet Laknat yang disampaikan lewat ilmu Menyadap Suara Batin.

"Hantu Bara Kaliatus. Kau telah membuat kesalahan besar! Sudah kukatakan seratus ilmu yang sudah kau punya tidak bakal bisa menandingi ilmu Bara Setan Penghancur Jagat! Mengapa kau tidak menghantam perempuan itu dengan ilmu yang kuberikan?! Malah kau mempergunakan ilmu keropos Selusin Bianglala Hitam! Kau manusia tidak berguna. Sekali ini aku memberi pengampunan! Lain kali jika kau masih berlaku teledor kau akan rasakan hukuman dariku."

Latandai sadar, segera jatuhkan diri berlutut "Nenek Hantu Santet Laknat. Aku mohon maafmu! Aku mengaku telah berlaku salah! Lain kali aku tidak akan berbuat tolol lagi!"

Jauh di kaki Gunung Latinggimeru, si nenek yang di uluk Hantu Santet Laknat banting-banting kaki saking marahnya. "Hantu Bara Kaliatus tolol keparat! Dia memberi kesempatan pada Hantu Muka Dua untuk mencari dan menemukan Luhsantini kembali. Ah! Bagaimana caraku agar membuat Hantu Muka Dua berpaling padaku. Padahal dulu-dulu dia seolah bisa gila jika sehari tidak bertemu denganku! Tapi sekarang… banyak bermunculan perempuan cantik yang menjadi sainganku. Luhsantini, Luhjelita… Entah siapa lagi! Kalau saja aku bisa mengguna-guna Hantu Muka Dua. tapi dia terlalu sakti… Mungkin saatnya aku kembali mempergunakan Ilmu Bersalin Wajah. Tapi Hantu Muka Dua sudah pernah tahu ilmuku itu. Memang, tak ada jalan lain. Dua perempuan itu harus cepat-cepat dibunuh. Selain itu aku harus cepat menyirap kabar siapa-siapa saja mereka yang bercinta dengan Hantu Muka Dua!"
********************
WWW.ZHERAF.COM
TIGA
Hantu Bara Kaliatus ingat. Tadi ada selarik sinar Jingga berkelebat menamengi dan menyelamatkan Luhsantini dari pukulan Selusin Bianglala Hitam yang dilepaskannya. Serta merta dia memutar tubuh ke arah selatan. Empat buah bola mata merah menyala lelaki itu membesar berkilat-kilat ketika dia melihat satu pemandangan yang membuat darahnya menjadi panas dan tubuh menggeletar oleh rangsangan.

Sejarak lima tombak di hadapannya, di tepi kawah Gunung Latinggimeru tegak seorang gadis berwajah cantik. Tubuhnya yang berkulit putih mulus terbungkus oleh pakaian terbuat dari kulit kayu yang diberi jelaga berwarna ungu. Belum pernah Latandai melihat gadis mengenakan pakaian sebagus dan sangat mempesona seperti yang satu ini. Bagian punggung, ketiak, dada dan pinggul tersibak lebar hingga empat bola mata Latandai menjadi silau.

Di tempat itu tidak ada orang lain. Jangan-jangan gadis berpakaian Jingga inilah yang telah melepaskan pukulan sakti menangkis pukulan Selusin Bianglala Hitam yang tadi dilepaskannya untuk membunuh Luhsantini. Tadinya Latandai hendak mendamprat marah bahkan siap menyerang. Namun melihat wajah begitu cantik, tubuh putih mulus dan molek, hatinya langsung menjadi dingin. Terlebih ketika si cantik itu menyapanya.

"Wahai orang gagah di tepi kawah! Gerangan apakah yang membuat dirimu begitu marah hingga unjukkan wajah membesi dan memukulkan satu tangan ke tangan lainnya!"

Latandai segera mendekati gadis berpakaian kulit kayu warna Jingga itu. Tiga langkah di hadapan si gadis dia berhenti. Matanya semakin membesar. Perlahan-lahan muncul senyum di wajahnya yang garang.

"Sungguh para Dewa memberikan berkah sangat indah padaku. Di tempat seperti ini bagaimana mungkin aku bertemu dengan seorang gadis secantikmu?"

"Kau bukan saja gagah, ternyata sopan dan lembut dalam bertutur sapa…"

"Ah, suaramu semerdu bebunyian yang dimainkan para Peri di langit ke tujuh! Aku bernama Latandai. Berjuluk Hantu Bara Kaliatus. Wahai siapa kiranya engkau gerangan?"

"Namamu menunjukkan kejantanan. Julukanmu menandakan kedahsyatan! Tidak menyangka kiranya aku akan berhadapan dengan seorang gagah dan pasti sakti mandraguna…"

Cuping hidung Latandai bergerak-gerak mendengar pujian yang diucapkan suara merdu dan keluar dari mulut berbibir merah mempesona.

"Luar biasa, kau memiliki empat bola mata, menjunjung bara api di atas kepala, melekatkan bara api ke dada dan perut! kalau saja tidak takut hangus, ingin rasanya aku berada lebih dekat denganmu…"

Sambil berkata gadis itu lemparkan senyum serta kerlingan mata yang membuat Hantu Bara Kaliatus semakin merasa seperti dikahyangan sehingga dia terlupa untuk menanyakan siapa adanya gadis itu.

"Datanglah mendekat, aku tidak akan menciderai wajah cantik dan tubuh sebagusmu…"

Si gadis benar-benar melangkah mendekat. Tapi dua langkah dari hadapan Hantu Bara Kaliatus dia hentikan tindakannya dan tertawa berderai. "Orang sakti memang sering menampilkan diri secara aneh dan berada di tempat aneh! Tapi wahai Hantu Bara Kaliatus, jika aku boleh bertanya gerangan apa yang membuat kau berada di pinggiran kawah Gunung Latinggimeru ini?"

"Kawah ini memang jadi tempat kediamanku sejak beberapa bulan purnama. Tapi hari ini adalah hari terakhir aku berada di sini…"

"Hemmm… Aku bisa menduga!" kata si gadis seraya kembali kerlingkan matanya. "Tempat ini adalah tempatmu melakukan samadi atau tempat menggembleng diri. Jika hari ini kau selesai melakukan semua itu berarti kau akan kembali pulang menemui anak istrimu…" Kata-kata terakhir diucapkan dengan nada perlahan dan wajah membayangkan kesedihan.

"Aku tidak punya istri, tidak punya anak!" jawab Hantu Bara Kaliatus.

"Wahai! Harap maafkan diriku yang lancang menduga!" kata si gadis seraya mengusap lengan Latandai yang penuh ditumbuhi bulu. Membuat lelaki ini jadi tambah tenggelam dalam rangsangan hasrat yang berkobar-kobar.

"Hai! Lenganmu terasa panas…" Si gadis terpekik kecil.

"Aku… Darahku menjadi panas melihat kecantikanmu!" kata Latandai tanpa malu-malu. "Maukah kau ikut bersamaku…?"

"Ajakan seorang gagah siapa berani menampik. Tapi kemanakah kau hendak membawaku…?"

Latandai jadi bingung sendiri. Lalu dia tertawa gelak-gelak. "Aku jadi bodoh! Tidak tahu mau mengajakmu kemana…"

"Kemana saja asal kau yang mengajak tentu aku suka…" kata sigadis pula dan tak lupa dengan kerlingan mata genit yang membuat La tandai tambah terambung-ambung seperti di awan!

Tangan kanannya meluncur memegang lengan si gadis lalu setengah berbisik dia berkata." Di lamping kawah sebelah sana ada sebuah goa. Di dalamnya ada satu telaga kecil. Hawa di sana sangat sejuk dan bersih. Aku akan membawamu kesana…"

"Ah, senang hatiku. Tapi aku ingin sedikit berlama-lama di bawah sinar sang surya yang baru terbit ini. Kuharap kau tidak marah. Sinar mentari sangat bagus buat kulit perempuan sepertiku…"

"Apapun yang kau katakan aku akan menurut. Tapi ada satu hal yang ingin kutanyakan…"

"Kata orang bertanyalah sebelum sesat dijalan. Hik hik hik!" Si gadis tertawa hingga terlihat barisan gigi-giginya yang putih berkilat serta lidahnya yang merah dan basah, membuat Latandai tambah geregetan dan saat itu ingin memeluk serta menciumnya.

"Mengapa kau datang ke kawah ini…"

"Wahai Hantu Bara Kaliatus, jangan kau bercuriga pada diriku. Tadi aku berada di pinggiran kawah sebelah sana. Tiba-tiba kulihat ada sinar hitam dan sinar Jingga bertabur diudara. Cepat-cepat aku ke sini. Sampai di sini sinar hitam dan cahaya Jingga itu tidak kutemukan. Yang kulihat adalah seorang gagah bernama Latandai berjuluk Hantu Bara Kaliatus!" Gadis itu kembali tertawa merdu.

Latandai ikutan tertawa senang. Lalu lelaki ini berbisik. "Kita ke goa sekarang?"

"Hari masih panjang, mengapa terburu-buru? Tapi jika kau memaksa biar aku mengalah! Aku tak mau kau menjadi marah!"

Mendengar ucapan si gadis segera saja Hantu Bara Kaliatus menarik tangannya.

"Tunggu dulu!" si gadis berseru.

"Ada apa…?" tanya Latandai.

"Apapun yang akan kita perbuat didalam goa itu kau harus berjanji! Jangan sampai bara menyala di kepala, dada dan perutmu menyentuh diriku…"

"Aku berjanji!" jawab Hantu Bara Kaliatus dengan suara keras.

Hasratnya tambah menggila dan dia benar-benar senang luar biasa karena tidak menduga akan bertemu dengan seorang gadis jelita yang saat itu mau saja diajaknya masuk ke dalam goa. Sambil memegang lengan si gadis Latandai mengajaknya berlari sepanjang tepi kawah. Lelaki ini berlari kencang sekali dan bukan merupakan lari biasa. Dia sama sekali tidak menyadari walau dia lari secepat itu tetapi si gadis di sebelahnya mampu mengikuti!

"Wahai! Goa ini benar sejuk dan indah bersih seperti yang kau katakan!" ujar si gadis begitu mereka masuk ke dalam goa. Langsung saja dia dudukkan diri di lantai goa dekat sebuah telaga kecil berair jernih kebiruan.

"Kalau kita bisa sering-sering berada di tempat ini, hemmm… Senang sekali hatiku…"

Latandai tertawa lebar lalu ikutan duduk di lantai. Dia sengaja merapatkan tubuhnya ke pinggul si gadis.

"Sekarang apa yang akan kita lakukan?!" bertanya gadis itu seolah-olah menantang.

Latandai rangkulkan tangan kirinya di pinggang sang dara. "Awas bara menyala di kepala, dada dan perutmu! Hik hik hik!" memperingatkan si gadis sambil tertawa genit.

"Jangan khawatir, aku akan berhati-hati…" bisik Latandai.

"Astaga…!" si gadis terpekik kecil.

"Ada apa?" tanya Latandai.

Gadis itu masukkan tangan kanannya ke balik dada pakaian kulit kayunya yang membuat Latandai membeliak. Dari balik pakaiannya si gadis keluarkan dua buah benda bulat sebesar kepalan berbulu halus.

"Aku membawa dua buah kecapi hutan. Aku pernah memakannya! Rasanya manis sekali. Satu untukmu, satu untukku! Ini kuberikan padamu yang besar karena kau orangnya besar. Aku biar yang kecil. Ayo sama-sama kita makan!"

Gadis itu bantingkan buah kecapinya kelantai hingga terbelah dua. Lalu sambil senyum-senyum memandang pada Latandai dia segera menyantap buah kecapi yang lembut putih dan manis itu. Latandai segera pula membuka buah yang dibelahnya dengan remasan tangan.

"Kecapimu manis…?" tanya si gadis.

"Hemmm…" gumam Latandai sambil mengangguk.

Dia cepat-cepat menghabiskan buah kecapi itu karena hasratnya tidak tertahankan lagi. Begitu buah kecapi dimakan habis kembali dia merangkul tubuh si gadis. Tapi belum sempat tersentuh tiba-tiba Latandai merasakan dadanya sesak, pemandangannya gelap menghitam. Nafasnya tersendat.

"Aku…" Dia hanya sanggup mengeluarkan satu patah ucapan itu lalu tubuhnya terguling tertelentang di lantai goa.

Gadis berpakaian jingga tertawa panjang. Dengan cepat dia memeriksa keadaan Latandai. Setelah memastikan lelaki itu benar-benar pingsan maka tangan dan matanya bekerja memeriksa bagian tubuh di sebelah bawah pusar Latandai. Sesaat kemudian gadis itu menarik nafas panjang. Wajahnya menunjukkan kekecewaan.

"Hanya ada satu tahi lalat di bawah pusarnya…" katanya perlahan. Sesaat dia duduk termenung. Dalam hati kembali dia berkata. "Mendapatkan satu saja begini sulitnya. Bagaimana mungkin aku sanggup mencari sampai tujuh orang? Wahai diriku yang bernama Luhjelita, sulit sekali tugas yang kau pikul. Untuk mendapatkan satu ilmu kau harus menempuh perjalanan berliku, menantang seribu bahaya…"

Gadis yang menyebut dirinya Luhjelita ini menarik nafas panjang. Sesaat dia perhatikan sosok Hantu Bara Kaliatus lalu mencibir. Dia bangkit berdiri. Sebelum keluar dari goa dia tendang lebih dulu kaki kiri Latandai. Lalu berkelebat pergi sambil tertawa cekikikkan. Di satu tempat gadis itu menyelinap ke balik pohon-pohon besar tumbuh rapat berjejeran. Di balik pepohonan mendekam seekor kura-kura raksasa berwarna coklat.

Tidak seperti kura-kura biasa, binatang yang satu ini memiliki dua buah sayap yang bisa dilipat dan direntangkan. Si gadis melompat naik ke atas kura-kura raksasa lalu mengetuk punggung binatang ini tiga kali. Kura-kura keluarkan kepalanya, sayap di kiri kanan direntang lebar. Sesaat kemudian binatang aneh ini melayang terbang di udara meninggalkan puncak Gunung Latinggimeru.

Sementara itu di dalam goa, tak lama setelah gadis berpakaian jingga berlalu Hantu Bara Kaliatus mulai siuman. Dia keluarkan keluhan pendek. Tubuhnya menggeliat. Sesaat kemudian dia bangun dan langsung melompat bangkit. Empat bola matanya menyorot memandang berkeliling. Dia lari ke mulut goa. Memandang ke seantero kawah Gunung Latinggimeru.

"Aku tertipu!" ucap Hantu Bara Kaliatus sadar. "Gadis jahanam! Aku ingat sekarang! Gadis itu berpakaian warna jingga! Cahaya sakti yang tadi melesat di udara menyelamatkan Luhsantini juga berwarna jingga! Jangan-jangan dia yang punya perbuatan menolong Luhsantini! Kurang ajar! Aku tertipu oleh kecantikan dan keelokan tubuh serta tutur bicaranya yang pandai merayu! Waktu lari tadi… Gila! Mengapa sekarang aku baru sadari. Aku berlari sekencang angin! Dan dia mampu mengikuti aku!" Hantu Bara Kaliatus banting-banting kakinya. "Kalau bertemu akan kukuliti sekujur tubuhnya!"

Saking marahnya Hantu Bara Kaliatus tendang batu di mulut goa hingga hancur berantakan.

********************
WWW.ZHERAF.COM
EMPAT
Gemuruh arus sungai terasa menyeramkan di telinga Wiro. Naga Kuning dan Setan Ngompol yang berada di atas telapak tangan kanan Lakasipo. Lakasipo sendiri saat itu duduk di atas sebuah batu besar sambil merendam sepasang kakinya yang terbungkus dua batu besar berbentuk bola yang di seantero Negeri Latanahsilam kini telah dikenal dengan sebutan Bola Bola Iblis.

Bahkan banyak pula yang menjuluki Lakasipo sebagai Hantu Kaki Batu. Sejak dia membunuh Lahopeng, pemuda jahat yang hendak mencelakai dirinya, penyebab kematian istrinya Luhrinjani serta perampas kedudukannya sebagai Kepala Negeri Latanahsilam, hampir seluruh penduduk menginginkannya kembali menjadi Kepala Negeri.

Namun Lakasipo telah kepalang kecewa. Walau kini dia telah meninggalkan Latanahsilam dia belum tahu kemana dia hendak pergi. Sementara itu rasa suka dan persahabatannya terhadap Wiro dan dua kawannya semakin terasa erat. Baca serial Wiro Sableng berjudul Bola Bola Iblis

Lakasipo memetik selembar daun ditepi sungai. Ketiga orang itu diletakkannya di atas daun, lalu daun itu diturunkannya ke air. Dengan ukuran tubuh mereka yang kecil maka bagi Wiro dan dua temannya daun itu sama besarnya dengan sebuah rakit. Begitu berada di atas air daun segera dihanyutkan arus.

"Hai! Hendak kau apakan kami?!" teriak Wiro.

Naga Kuning mencengkeram daun sekuat-kuatnya sementara Setan Ngompo jatuhkan diri tertelentang sambil menahan kencing. Lakasipo tertawa lalu mencebur masuk ke dalam sungai hingga daun di mana Wiro dan kawan-kawan berada terlempar ke atas bersama muncratan air. Tak ampun lagi ketiganya amblas masuk ke dalam air. Sambil tertawa-tawa Lakasipo selidupkan tangan kirinya ke dalam air, menangkap ketiga orang yang sudah megap-megap itu.

"Dia hendak membunuh kita!" teriak Naga Kuning dengan muka pucat."

"Bagaimana kau bisa berbuat sejahat ini Lakasipo?!" ujar Setan Ngoropol seraya mengusap wajah yang basah dengan tangan kanan sementara tangan kiri menekan bagian bawah perutnya yang tak dapat lagi menahan kencing.

"Lakasipo apa maksudmu rnembenamkan kami ke dalam air?" Wiro akhirnya ikut bertanya.

Lakasipo dekatkan telapak tangan kiri ke mukanya. "Selama beberapa hari ini kita berempat tak pernah mandi-mandi. Kebetulan bertemu sungai airnya jernih, bersih dan sejuk. Apa salahnya pergunakan kesempatan untuk mandi wahai tiga kawanku? Apalalagi kawanmu kakek bermata jereng berkuping lebar ini. Bau Pesingnya sudah tidak ketulungan!"

"Kalau kau memang mau memandikan kami bukan begini caranya! Kami bertiga bisa mati tenggelam!" ujar Setan Ngompol lalu mengomel panjang pendek.

"Air sungai bagimu sejuk tapi bagi kami sama saja tenggelam dalam es! Kami bertiga bisa mati kedinginan!" teriak Naga Kuning.

"Kalian bertiga memang makhluk seperti kutu cebol. Tapi aku tahu kalian memiliki ilmu kepandaian tinggi! Anggap saja kalian sedang mendapat gemblengan!" kata Lakasipo lalu tertawa gelak-gelak hingga ketiga orang itu terbanting di atas telapak tangannya dan dekap, telinga masing-rnasing agar tidak kesakitan.

"Saatnya kita melanjutkan perjalanan kata Lakasipo kemudian. Lalu dia bersuit keras.

Laekakienam, kuda hitam raksasa berkaki enam yang jadi tunggangan Lakisipo dan saat itu tengah mandi di sebelah hilir. segera melompat dan berenang mendapatkan tuannya. Suara binatang ini merancah air sungai membuat Wiro dan kawan-kawannya menahan nafas karena ngeri sementara air sungai bermuncratan kian kemari laksana sambaran ombak.

"Tunggu dulu Lakasipo!" berkata Wiro. "Kau mau bawa kami kemana?”

“Wahai Wiro, bukankah aku sudah mengatakan padamu dan Naga Kuning serta Setan Ngompol bahwa akan membawamu ke Bukit Latinggihijau untuk melihat makam istriku?!"

Pendekar 212 garuk-garuk kepalanya. "Kami memang senang kau bawa ke sana," katanya menyahuti walau dalam hati dia berkata, "kenal saja aku tidak pernah. Lagipula pada akhir hayatnya perempuan itu mengkhianati Lakasipo. Perlu apa pergi ke sana?" Wiro lalu berkata lagi "Tapi Lakasipo! Sebelum pergi ke Bukit Latinggihijau bagaimana kalau kita mencari dulu Batu Sakti Pembalik Waktu yang hilang itu?"

"Ah, kau tidak kerasan lama-lama di Latanahsilam?"

"Bukan begitu. Kami suka tinggal di sini. Tapi alam disini sangat berbeda dengan alam kami di tanah Jawa. Marabahaya senantiasa membayangi kami dan muncul tidak terduga. Bukan karena orang-orang di sini ingin mencelakai kami, tapi karena keadaan tubuh kami kecil begini yang menjadi sumber malapetaka! Bayangkan kalau kami sampai dipatuk burung atau ayam raksasa, atau dirubung semut atau disengat tawon. Bayangkan kalau kami sampai terinjak anjing atau kambing atau jadi permainan kucing, dicakar dan digigit!"

"Kalian bertiga tak perlu khawatir wahai para kutu cebol sobat-sobatku! Bukankah aku akan melindungi dan membawa kalian bertiga kemana aku pergi?"

"Aku percaya pada dirimu Lakasipo. Tapi kami lebih suka jika bisa kembali ke alam kami…" kata Naga Kuning pula. "Antarkan kami ke kawasan rerumputan itu mencari. Batu Sakti Pembalik Waktu!"

"Kita sudah pernah ke sana. Kalian sendiri dan juga aku telah menyelidik. Tapi batu tujuh warna itu tidak ditemukan…"

"Batu itu pasti ada di sana. Kita mencarinya terburu-buru saat itu. Karena, hampir malam!" kata Setan Ngompol.

Lakasipo gelengkan kepala. "Betapapun kecilnya benda itu, walau hari hampir gelap tapi mataku tak bisa ditipu. Aku pasti akan menemukannya jika batu itu benar-benar ada di sana…"

“Kalau kau memang bersahabat dengan kami, kau harus mau mengantarkan kami ke sana sekali lagi. Kita habiskan satu hari penuh untuk mencari batu itu!" kata Pendekar 212 Wiro Sableng.

Lakasipo menyeringai. "Persahabatan bukan berarti harus melakukan sesuatu yang mustahil wahai sobatku Wiro Sableng. Kita pergi ke Bukit Latinggihijau dulu. Soal batu itu kita urus kemudian…"

Lakasipo mengusap kepala kuda hitam berkaki enam yang kini tegak disampingnya. Ketika dia hendak, naik ke punggung binatang ini Wiro berkata,

"Lakasipo, tunggu! Kalau kau tidak mau mengantarkan kami ke kawasan rerumputan itu, apa kau juga tidak mau menolong kami mencari Hantu Tangan Empat?"

"Makhluk satu ini… Dia sulit sekali dicarinya, wahai Wiro."

"Seluas-luasnya Negeri Latanahsilam ini Hantu Tangan Empat pasti punya tempat kediaman. Kalau kita pergi ke sana, masakan tidak bertemu?!" berkata Naga Kuning.

"Kalian bertiga tidak tahu siapa adanya Hantu Tangan Empat. Dia jarang berada di tempat kediamannya. Selain itu dia berada di bawah pengaruh Hantu Muka Dua yang selalu memberinya perintah ini itu. Kalau dia pergi bisa satu dua tahun. Apa yang bisa kalian harapkan?"

Wiro garuk-garuk kepalanya. Setan Ngompol berbisik. "Aku yakin satu tahun di negeri celaka ini tidak sama dengan satu tahun di negeri kita. Mungkin satu atau dua tahun di sini hanya satu atau dua bulan saja di alam kita. Buktinya orang di sini bisa berusia sampai tiga ratus tahun!"

Saat itu Lakasipo telah melompat naik ke punggung kuda hitam kaki enam. Sebelum dia memasukkan ketiga orang itu ke dalam kocek jerami di pinggang kanannya Naga Kuning berseru,

"Lakasipo! Bagaimana kalau aku tidak ikut kau tapi antarkan saja mencari seorang anak perempuan…"

"Seorang anak perempuan?" Lakasipo mengulang heran. Sementara Wiro dan Setan Ngompol memandang lekat-lekat penuh tanda tanya pada si bocah.

"Memangnya kau ada kenalan anak perempuan di Latanahsilam ini? Aku tidak tahu. Tidak aku mengerti! Anak siapa, anak yang mana?"

"Aku melihat anak itu di tepi tanah lapang luas. Sewaktu terjadi perkelahian antara kau dengan Lahopeng," menerangkan Naga Kuning.

"Kau ini aneh Naga Kuning. Ada puluhan bahkan ratusan anak perempuan di negeri yang luas ini. Kau tahu nama anak itu? Kau ini ada-ada saja Naga Kuning. Bocah sebesarmu sudah tahu perempuan!"

Wiro hendak mengatakan sesuatu tapi Naga Kuning cepat kedipkan mata sambil berbisik. "Jangan kau berani membuka rahasia sobat sendiri Wiro!" ucapan itu membuat murid Sinto Gendeng jadi garuk-garuk kepala. Naga Kuning pencongkan mulut lalu berkata menjawab pertanyaan Lakasipo tadi. "Aku hanya kenal muka, tapi tidak kenal nama anak itu…"

"Mungkin aku bisa membantu!" tiba-tiba Setan Ngompol berkata. "Aku juga memang tidak tahu nama anak perempuan itu. Tapi aku ingat betul ciri-cirinya!"

"Hemm… Coba kau beri tahu aku ciri-ciri anak itu wahai kakek mata jereng kuping lebar!" kata Lakasipo pula.

Setan Ngompol menyeringai. Dia mengerling dulu pada Naga Kuning baru menjawab. "Anak perempuan itu seingatku hanya mengenakan pakaian dari kulit kayu di sebelah bawah. Di sebelah atas polos. Dadanya lumayan montok. Sekujur tubuhnya penuh koreng. Lalu di atas bibirnya ada dua jalur ingus yang mengambang terus menerus. Naik kalau disedot, turun lagi kalau dibiarkan…"

“Tua bangka bermulut jahat!" teriak Naga Kuning seraya menarik kolor si kakek ke bawah hingga auratnya menongol! "Bukan gadis itu yang aku maksudkan!"

"Bocah kurang ajari. Kau boleh marah! Tapi jangan main tarik kolorku! Lihat! Terong peot dan kantong menyanku berojolan kemana-mana!" Setan Ngompol marah sekali dan cepat-cepat tarik kolor bututnya ke atas.

Sambil menahan tawa Lakasipo berkata, "Naga Kuning, kalau kau masih ingat ciri-ciri gadis itu, katakan padaku."

"Anaknya putih. Rambutnya dikuncir kepirang-pirangan. Dia memiliki sepasang kaki yang bagus. Pahanya putih sekali. Pakaiannya agak tersingkap di bagian dada. Aku benar-benar tidak bisa melupakannya! Aku ingin sekali bertemu lagi dengan dia. Ah…"

"Bocah ini sudah ketiban sakit malarindu tak tahu juntrungan!" Setan Ngompol mengejek. "Tapi sebagai sahabat yang nyasar ke negeri asing, aku tidak keberatan menemaninya…"

"Apa maksudmu kakek cebol?’ tanya Lakasipo.

"Kalau bocah ini melihat anak perempuan itu, aku juga melihat sorang nenek berbadan molek. Dia mengenakan pakaian kulit kayu yang dililit sepanjang badan. Di sebelah atas pakaiannya itu seperti kemben. Kulihat ternyata dadanya putih dan masih kencang. Hik hik hik!"

"Di Latanahsilam hanya ada satu nenek seperti yang kau sebutkan itu. Namanya Luhlampiri. Dia sudah kawin sembilan kali. Setiap kawin suaminya menemui ajal dalam waktu tiga puluh hari!"

Setan Ngompol terkejut dan langsung terkencing mendengar keterangan Lakasipo itu sementara Wiro senyum-senyum dan Naga Kuning tertawa haha-hihi sambil cibirkan bibir.

"Kau masih ingin mengincar nenek itu, wahai sobatku Setan Ngompol?!" bertanya Lakasipo.

"Aku terpaksa berpikir dulu sampai tujuh kali. Tapi kalau cuma sekadar bertemu saja apa salahnya! Bermain cinta tapi tak perlu kawin! Apa ada aturan yang melarang perbuatan seperti itu di Negeri Latanahsilam ini, wahai sobatku Lakasipo?" bertanya Setan Ngompol.

"Tidak, memang tidak ada aturan yang melarang wahai Setan Ngompol. Juga tidak ada aturan yang melarang kalau satu ketika, akibat kelakuanmu itu terong peot dan kantong menyanmu tahu-tahu pindah ke jidat!"

Lakasipo tertawa gelak-gelak yang membuat tangan kanannya berguncang-guncang hingga Wiro, Naga Kuning dan Setan Ngompol yang ada di atas telapak tangan itu berjatuhan tumpang tindih. Naga Kuning yang masih penasaran pada Setan Ngompol cepat bangkit dan berkata,

"Setan Ngompol! Kalaupun nenek bernama Luhlampiri itu mau dikawin olehmu, apa yang bisa kau lakukan dengan terong peotmu yang baginya cuma sebesar jarum karatan! Sekali kau kena kentutnya, anumu bisa mental dan remuk tak karuan rupal Hik hik hik!"

Setari Ngompol jadi naik darah. Dia membentak marah. Namun sebelum ucapannya keluar dia sudah terkencing duluan!

"Wahai kalian bertiga para sahabatku! Saatnya untuk berangkat ke Bukit Latinggihijau. Kalian akan kumasukkan dulu ke dalam kocek jerami."

Baru saja Lakasipo hendak membuka penuiup kocek di pinggang kanannya tiba-tiba ada satu sosok besar melesat keluar dari hutan diseberang sungai. Gerakan makhluk itu membuat dua pohon besar yang terlanggar tubuhnya berderak patah dan bertumbangan. Dilain kejap makhluk ini telah berdiri tegak di atas sebuah batu besar di tengah sungai.

Wiro, Naga Kuning dan Setan Ngompol Langsung tercekat pucat menyaksikan sosok yang berada ditengah sungai itu. Bahkan Lakasipo ikut tersirap kaget.

"Berulang kali aku mendengar ceritanya. Baru sekali ini aku menyaksikan dengan mata kepala sendiri! Benar-benar mengerikan…" kata Lakasipo dengan hati bergetar.

LIMA
Sosok yang tegak diatas batu besar ditengah sungai bukan lain adalah Latandai alias Hantu Bara Kaliatus. Sepasang matanya masing-masing memiliki dua bola mata berwarna merah seperti bara menyala menatap angker ke arah Lakasipo.

Saat itu Lakasipo masih duduk di atas punggung Laekaki enam kuda tunggangannya yang berkaki enam. Sementara Wiro, Naga Kuning dan Setan Ngompol masih berada dalam genggaman tangannya, belum sempat dimasukkan ke dalam kocek jerami.

"Makhluk apa ini gerangan…" kata Naga Kuning.

"Kepalanya seperti pendupaan! Ada bara menyala!" menjawab! Wiro.

Sementara Setan Ngompol berdiam diri sambil menekap bagian bawah perutnya karena ngeri melihat sosok Hantu Bara Kaliatus. Udara di sekitar sungai yang tadinya sejuk kini berubah menjadi panas oleh hawa yang keluar dari bara menyala di kepala dan tubuh Hantu Bara Kaliatus.

"Lihat matanya!" Naga Kuning kembali berucap. "Setiap mata ada dua bola mata!"

"Ya, aku juga sudah melihat. Jangan-jangan makhluk ini punya empat biji di kantong menyannya!" kata Wiro pula sambil tertawa cekikikan.

"Kalian jangan bergurau saja!" membentak Setan Ngompol. "Aku punya firasat bahaya besar mengancam Lakasipo, berarti mengancam kita bertiga!"

"Wahai orang berkaki batu berkuda kaki enam!" Hantu Bara Kaliatus berseru dari tengah sungai. "Walau rambutmu gondrong riap-riapan, muka tertutup kumis, Janggut dan cambang bawuk tebal. Tapi aku masih mengenali siapa dirimu! Dan aku memang sudah lama mencarimu! Bukankah kau manusianya yang bernama Lakasipo dan kini dijuluki Bola Bola Iblis alias Hantu Kaki Batu?"

Lakasipo tidak segera menyahut. Dia perhatikan sekali orang di tengah sungai itu. "Lama sudah kudengar kedahsyatan keadaan dirimu! Jika aku tidak salah menduga bukankah kau Latandai, kerabat dari Latanahsilam yang kini terkenal dengan julukan Hantu Bara Kaliatus?!"

Hantu Bara Kaliatus tertawa bergelak. "Dulu kita sama-sama tinggal di Latanahsilam, saling bersahabat saling berkerabat! Tapi keadaan kini telah menentukan lain! Aku memanggul tugas membunuh dirimu Lakasipo!"

Terkejutlah Lakasipo mendengar ucapan Hantu Bara Kaliatus itu. Dalam genggamannya Setan Ngompol langsung terkencing. Naga Kuning gemetaran sedang Wiro walaupun tampak tenang tapi hatinya jadi berdebar. Jika terjadi perkelahian antara Lakasipo dengan orang yang kepala dan tubuhnya dipenuhi bara menyala itu, niscaya keselamatan mereka ikut terancam.

"Latandai, hampir delapan puluh tahun kita tidak pernah bertemu! Sekali bersua kau berniat hendak membunuhku! Siapa yang memberi tugas gila itu padamu! Mengapa dia menginginkan jiwaku?!" tanya Lakasipo alias Hantu Kaki Batu dengan suara lantang.

"Aku tidak ditugaskan untuk bertanya jawab. Tapi mungkin aku bisa memperpanjang saat-saat kematian mu. Asalkan kau bersedia menjawab pertanyaanku!"

"Manusia gendeng! Hendak membunuh orang tapi mau bertanya dulu!" memaki Naga Kuning.

"Hantu Bara Kaliatus! Belum pagi berganti sore ucapanmu sudah ngaco bertolak belakang! Tadi kau bilang tidak ingin bertanya jawab. Tapi sekarang kau mau mengajukan pertanyaan!"

Tampang Hantu Bara Kaliatus jadi berubah. Bara api di atas kepalanya mengepulkan asap merah. Tidak mengacuhkan ejekan Lakasipo dia berkata. "Aku mencari seorang bernama Lasingar. Aku juga mencari seorang perempuan bernama Luhsantini. Terakhir sekali aku bertemu orang-orang itu sekitar seratus tahun lalu. Lalu ada seorang lelaki bernama Lamatahati yang usianya sekitar delapan puluh tahunan. Di mana mereka sekarang, apakah kau bisa memberi tahu?"

"Aku pernah mendengar sedikit riwayatmu di masa lalu. Luhsantini bukankah dia istrimu dan Lamatahati bukankah dia anakmu? Aku menaruh curiga kau punya niat jahat terhadap kedua orang itu. Juga terhadap Lasingar! Aku tak mungkin memberi tahu! Apalagi kau punya maksud hendak membunuhku!"

Hantu Bara Kaliatus perlihatkan wajah sedih. "Yang lalu biarlah berlalu. Walau bagaimanapun Luhsantini adalah istriku. Lamatahati adalah anakku dan Lasingar adalah kerabatku! Aku rindu ingin bertemu dengan mereka."

Lakasipo terdiam beberapa ketika. Akhirnya dia menjawab. "Istrimu kudengar kabar menyepi diri di satu tempat di sebuah pertapaan di sebelah selatan Gunung Labatuhitam. Lasingar kalau tak salah menetap di Bukit Latinggibiru. Mengenai anakmu Lamatahati tidak pernah kuketahui. Mungkin dia berada di alam lain sebelum kita atau alam seribu dua ratus tahun setelah kita."

Hantu Bara Kaliatus tatap muka Lakasipo beberapa saat seolah hendak meneliti apakah keterangannya bisa dipercaya. Kemudian manusia ini sunggingkan seringai.

"Wahai Lakasipo! Ternyata kau tidak bakal mati sia-sia! Kau mati dengan menanam budi padaku! Semoga para Dewa dan para Peri memberikan tempat paling mulia begini di alam atas langit! Tiba saatnya aku membunuhmu wahai Hantu Kaki Batu"

Habis berkata begitu Hantu Bara Kaliatus sentakan lehernya. Kepalanya bergoyang keras. Sebuah bara menyala melesat dari atas kepala orang ini, menyambar ke arah kepala Lakasipo.

Secepat kilat Lakasipo tundukkan kepala. Melompat ke kiri, mencebur ke dalam sungai. Bara menyala lewat setengah jengkal disamping paha kirinya, menebar hawa panas yang sempat menghanguskan cambang bawuknya. Bara menyala sesaat kemudian menghantam sebuah batu besar di tepi sungai sehingga meledak dan hancur berkeping-keping!

Hantu Bara Kaliatus tertawa bergelak. "Gerakanmu lumayan cepat Hantu kaki Batu. Aku ingin melihat kehebatan sepasang kaki batumu!" Hantu Bara Kaliatus lalu sentakkan otot di perutnya. Dua buah bara menyala melesat menyerang Lakasipo. Lebih cepat dan lebih ganas!

Lakasipo yang masih berada dalam sungai membentak keras lalu melesat ke udara. Pada saat dua bara menyala menyambar dan hanya tinggal satu langkah dari perut dan dadanya, Lakasipo tendangkan kedua kakinya.

"Byaaarrr! Byaaarrr!"

Percikan lidah api mencuat di atas sungai. Membakar daun-daun pepohonan. Lakasipo terdorong keras ke belakang tapi masih sanggup menjejakkan dua kaki batunya di tepi sungai. Rasa sakit menjalar dari kaki sampai ke pinggang. Kalau tidak cepat mengimbangi diri dan pasang kuda-kuda niscaya dia akan jatuh terhenyak di tanah.

Di atas batu ditengah sungai Hantu Bara Kaliatus tegak dengan tubuh tergontai-gontai. Sesaat mukanya seolah tak berdarah ketika menyaksikan bagaimana dua bara yang dihantamkannya ke arah lawan hancur berantakan ditangkis Bola Bola Iblis di kaki Lakasipo!

Lakasipo sendiri tampak berkerut keningnya ketika melihat bagaimana hantaman dua keping batu bara merah yang hanya sebesar ibu jari kaki itu membuat dua kakinya yang terbungkus batu laksana dirajam dalam api. Ketika dia memperhatikan ternyata dua batu di kakinya telah gompal! Padahal selama ini tidak satu senjata atau kekuatan sakti pun sanggup merusak dua batu bulat itu!

Mendadak Lakasipo merasa ada tusukan halus di tangan kanannya.Tusukan itu sebenarnya adalah gigitan yang dilakukan Wiro untuk menarik perhatian Lakasipo. Hal ini menyadarkan Lakasipo bahwa sampai saat itu dia masih menggenggam ketiga orang Itu di tangan kanannya. Wiro lambaikan tangan berulang kali. Melihat tanda ini Lakasipo segera dekatkan tangan kanannya ke telinga. Wiro cepat membuka mulut.

"Lakasipo! Lekas masuk kedalam sungai. Manusia bara menyala itu pasti tidak berani mengejar. Seluruh bara menyala di kepala dan tubuhnya pasti akan mati kena air. Di dalam air kau punya kesempatan bertahan dan menyerang!"

"Kau cerdik!" ujar Lakasipo.

Lalu sambil terus menggenggam Wiro, Naga Kuning dan Setan Ngompol dengan cepat dia mencebur masuk ke dalam sungai. Air sungai muncrat sampai beberapa tombak. Wiro dan dua temannya yang masih berada dalam genggaman tangan kanan Lakasipo jadi gelagapan begitu mereka ikut tenggelam masuk ke dalam air.

Di atas batu di tengah sungai Hantu Bara Kaliatus menyeringai lebar. "Aku tahu apa yang ada di benakmu Hantu Kaki Batu! Kau kira aku takut turun ke air! Aku masih belum puas kalau tidak menjajal seluruh kesaktianmu sebelum menamatkan riwayatmu!" Setelah berucap Hantu Bara Kaliatus lantasmelompat masuk ke dalam sungai.

"Byuuurrr!"

Sosok Hantu Bara Kaliatus lenyap di dalam air. Di permukaan sungai mengepul asap kelabu. Tiba-tiba sosok Hantu Bara Kaliatus muncul kembali. Astaga! Semua bara menyala yang ada di atas kepala dan menempel di tubuhnya ternyata masih menyala! Tidak mati walau terkena air!

"Hantu Kaki Batu! Perlihatkan kehebatanmu!" Hantu Bara Kaliatus tanggalkan sebuah bara menyala dari atas kepalanya. Sesaat bara itu ditimang-timangnya.

Di saat yang sama Lakasipo ingat akan orang-orang yang ada di tangan kanannya. Dengan cepat dia keluarkan tangan kanan dari dalam sungai. Wiro dan Naga Kuning muntah-muntah semburkan air. Setan Ngompol muntah atas bawah. Walau keadaannya saat itu megap-megap seperti orang mau sekarat tapi Wiro masih sempat mengintip dari sela jari Lakasipo dan dia menyaksikan sendiri bagaimana bara menyala di kepala dan tubuh lawan tidak menjadi mati walau terkena air!

"Lakasipo… Huekkk!" Wiro muntah lagi. "Sulit bagimu mengalahkan makhluk bara itu. Kau harus menyelinap ke belakangnya. Totok urat besar dipangkal leher sebelah kanan. Tubuhnya pasti kaku tak bisa bergerak!"

"Kau memang pernah bilang mengenai ilmu totok itu! Tapi mana aku paham melakukannya!" jawab Lakasipo seraya mendekatkan tangan kanannya ke dekat, kepala.

"Luruskan dua jari tangan kirimu! Kerahkan tenaga dalam lalu tusukkan ke pangkal leher! Ingat, aku pernah menunjukkan caranya beberapa hari lalu! Kau harus melakukan sekarang sebelum dia menyerang!"

Apa yang dikatakan Wiro tidak mudah bagi Lakasipo melakukannya. Bukan saja karena dia tidak pernah mengenal ilmu totokan itu tetapi saat itu Hantu Bara Kaliatus telah melemparkan bara api yang tadi ditimang nya di tangan kanan.

"Wuussss!"

Batu bara menyala seolah berubah menjadi sinar merah panjang, melesat di atas permukaan air sungai menyambar ke arah dada Lakasipo. Lakasipo membuang dirinya ke samping sambil melepaskan pukulan Lima Kutuk Dari Langit Lima larik sinar hitam berkiblat memapasi sambaran bara menyala.

"Taar! Taarr! Taarr! Taarr! Taarr!"

Lima letusan keras menggetarkan udara. Sinar hitam dan kilatan nyala api bertaburan. Air sungai bergejolak ke atas antara dua lawan yang tengah bertempur itu hingga untuk beberapa saat lamanya mereka tak dapat saling melihat. Lakasipo merasa sakit dan panas pada pinggang sebelah kiri. Namun tidak diacuhkannya karena dia ingin mempergunakan kesempatan untuk melakukan apa yang diberitahu Wiro tadi. Yakni menotok tubuh lawan.

Tapi celakanya Lakasipo lupa bagian mana dari tubuh Hantu Bara Kaliatus yang harus ditotoknya. Sebelum tubuhnya masuk ke dalam air dia angkat tangan kanannya tinggi-tinggi dan bertanya.

"Wiro, bagian mana dari tubuh Hantu Bara Kaliatus yang harus aku tutuk!"

Saat itu dalam genggaman tangan kanan Lakasipo Wiro terjepit di sebelah bawah. Walau dia bisa mendengar pertanyaan Lakasipo namun dia tak bisa menjawab. Sebaliknya Naga Kuning berada di sebelah atas antara dua celah jari tangan. Enak saja bocah ini berteriak.

"Totok saja selangkangannya sebelah kanan! Kau harus menyelami Lakukan cepat sebelum muncratan air turun!"

ENAM
Tanpa pikir panjang Lakasipo segera menyelam lalu bergerak cepat mendekati lawan dengan dua jari tangan kiri terpentang lurus. Hantu Bara merasa dan mendengar ada hentakan-hentakan keras didasar sungai yakni hentakan Bola Bola Iblis atau dua kaki Lakasipo yang terbungkus batu.

Ketika dia menyadari lawan menyusup dalam air dan mendekatinya dengan cepat keadaaan sudah kasip. Tubuh Hantu Bara menggeletar ketika satu tusukan keras menghantam pangkal paha kanan sebelah atas! Hantu Bara Kaliatus pukulkan tangan kanannya ke dalam air namun Lakasipo telah lebih dulu menyelinap.

Sesaat kemudian dia melesat ke tebing sungai dan berlindung di balik sebuah batu besar. Dari balik batu itu dia memperhatikan apa yang terjadi atas diri Latandai alias Hantu Bara Kaliatus. Pada saat bersamaan Lakasipo ingat lagi akan tiga sahabatnya yang terbawa menyelam dan masih berada dalam genggaman tangan kanannya. Cepat-cepat Lakasipo buka tangannya lalu meletakkan ketiga orang itu di tanah.

"Celaka… Jangan-jangan mereka mati semua. Wahai sahabatku!" kata Lakasipo dalam hati sewaktu dilihatnya Wiro, Naga Kuning dan Setan Ngompol tak satupun yang bergerak!

Lakasipo cepat tengkurapkan ketiga orang itu. Lalu hati-hati dan perlahan sekali, dengan mempergunakan ujung jarinya ditekannya punggung dan pantat ketiga orang itu. Air sungai yang memenuhi perut Wiro, Naga Kuning dan Setan Ngompol menyembur keluar.

Sesaat kemudian ketiganya tampak menggerakkan kaki dan tangan. Walau mereka masih tertelungkup begitu rupa dan nafas agak megap-megap namun masing-masing sudah bisa membuka mata hingga menyaksikan apa yang terjadi dengan diri Hantu Bara Kaliatus seperti yang juga disaksikan oleh Lakasipo.

Saat itu di tengah sungai Hantu Bara Kaliatus berhasil menguasai diri hingga getaran yang menjalari tubuhnya segera lenyap. Namun begitu getaran hilang tiba-tiba dia merasakan ada satu kelainan pada bagian tubuh di bawah perut. Rasa berat yang amat sangat. Saat itu dia tidak lagi ingat untuk mencari tahu di mana adanya Lakasipo. Terbungkuk-bungkuk orang ini merambah air. menuju tepian sungai lalu naik ke daratan.

Begitu sampai di dataran dan memandang kebawah. Seruan tertahan keluar dari mulut Hantu Bara Kaliatus! Matanya membeliak seperti mau melompat dari sarangnya sedang mukanya pucat memutih! Celana yang dikenakan Hantu Bara, yang terbuat dari kulit kayu robek besar di bagian bawah perut. Dari robekan itu mencuat keluar anggota rahasianya yang telah berubah bentuk menjadi bengkak membesar!

"Demi para roh!" jerit Hantu Bara Kaliatus. "Apa yang terjadi dengan diriku! Wahai para Dewa dan Peri! Tolong diriku!" Setengah meratap Hantu Bara sambar serumpunan dedaunan lalu ditutupi auratnya dengan daun-daun itu.

Di balik batu Pendekar 212 Wiro Sableng,. Naga Kuning dan Setan Ngompol berusaha bangkit dari saling pandang.

"Kau lihat barusan anunya Hantu Bara…?" tanya Setan Ngompol pada Wiro.

Wiro mengangguk.

"Aku heran apa yang terjadi atas dirinya. Sampai kantong menyannya bengkak besar begitu rupa. Dan bukan cuma kantong menyannya saja! Tongkat Gandaruwonya juga…" Setan Ngompol tidak teruskan ucapannya.

Kakek bermata jereng ini melirik pada Naga Kuning lalu mengerling ke arah Wiro. "Hemmmm…" Setan Ngompol bergumam. "Ini pasti pekerjaan salah satu dari kalian! Memberi kisikan gila pada Lakasipo! Kalau tidak ada yang menotok urat sembung di selangkangannya tidak nanti dia jadi begitu. Lihat, berdiri saja dia seperti tidak mampu. Yang di bawah bengkak membesar. Yang di atas menunjuk kurang ajar!"

Pendekar 212 garuk-garuk kepala. "Aku memang mengajari Lakasipo untuk menotok. Tapi menotok urat besar di leher atas! Bukan di leher bawah!"

"Hik hik hik!" Naga Kuning tekap mulutnya menahan ketawa.

"Bocah geblek! Pasti kau yang mengajari!" kata Setan Ngompol pula pada Naga Kuning.

Saat itu Lakasipo rundukkan kepalanya ke tanah. Perlahan sekali dia berkata, "Wahai Naga Kuning, kalau kita tidak membebaskan tutukan…"

"Totokan! bukan tutukan!" sergah Naga Kuning tapi sambil senyum-senyum.

"Terserah! Kau menyebut totokan, aku tutukan. Karena totokan dalam bahasa di Negeri Latanahsilam berarti payudara perempuan!"

Setan Ngompol tertawa cekikikan hingga kencingnya terpancar. Wiro garuk-garuk kepala sambil menyengir sedang Naga Kuning tertawa terpingkal-pingkal.

"Kalau kita tidak membebaskan tutukannya, seumur-umur dia akan menderita seperti itu…"

"Dia perlu celana baru yang gombrang di sebelah bawah! kata Wiro. "Atau sarung!"

"Mana ada sarung di negeri gila ini!" tukas Setan Ngompol.

"Siapa yang berani menolongnya?! Sekali mendekat pasti mati kita dihantamnya!" kata Naga Kuning.

"Lakasipo, bukankah kau yang menotok selangkangannya? Jadi kalau kau mau berbaik hati kau saja yang melepas totokannya. Tusuk sekali lagi selangkangannya! Hik hik hik!"

Saat itu Hantu Bara Kaliatus duduk tergeletak di tanah. Dia tak habis pikir apa yang terjadi dengan dirinya. Memandang berkeliling dia tidak melihat siapa-siapa. Tapi hatinya mulai curiga. Tertatih-tatih orang ini bangkit berdiri. Sambil melangkah pergi dia berkata,

"Lakasipo manusia jahanam! Akan kucari kau sampai ke ujung dunia! Pasti kau yang punya pekerjaan! Jahanam!"

Saking marahnya Hantu Bara tinggalkan dua bara menyala dari perutnya lalu di lemparkan ke depan. Dua bara menyala ini menghantam pohon besar. Begitu tembus masuk ke batang pohon, pohon ini meledak dan tumbang hancur berentakan.

"Siapa sebenarnya makhluk yang mata dan tubuhnya ditempeli bara menyala itu?!" Naga Kuning bertanya.

"Panjang ceritanya wahai tiga saudaraku! Tapi jika kalian ingin tahu biar aku ceritakan sedikit." Lakasipo lalu menuturkan siapa adanya Hantu Bara Kaliatus.

"Peristiwanya terjadi sekitar hampir delapan puluh tahun silam. Dimulai ketika Latandai kabur dari Latanahsilam sementara istrinya hamil besar. Setelah bayinya hampir berusia empat puluh hari Latandai tidak pernah pulang, maka Luhsantini meninggalkan rumah mencari suaminya itu. Di Latanahsilam ada semacam adat jika pada saat seorang bayi mencapai usia empat puluh hari dan ayahnya tidak hadir untuk satu upacara pengusapan ubun-ubun, penyentuhan tubuh serta mencium anaknya, maka anak itu dianggap tidak memiliki ayah, sekaligus tidak punya ibu dan jadilah dia semacam anak haram yang dikucilkan…"

"Adat aneh!" ujar Pendekar 212.

"Negeri ini memang diselimuti seribu satu macam keanehan. Latandai dan Luhsantini jelas-jelas dikawinkan secara syah. Masakan karena ayahnya tidak mengusap ubun-ubunnya saja dia lalu jadi anak haram. Dikucilkan…"

"Terus terang memang banyak keanehan terutama menyangkut adat yang tidak aku sukai di Negeri Latanahsilam ini," kata Lakasipo pula. "Tapi bagaimana mau mengikisnya? Siapa saja yang berani merubah adat dan aturan akan dicap sebagai pengkhianat besar. Hukumannya direbus dalam sebuah belanga besi selama empat puluh hari sampai daging dan tulang belulangnya hancur larut dalam air!"

"Menurutmu putera Luhsantini dikucilkan lalu diusir dari Negeri Latanahsilam. Kemana minggatnya anak itu, apa dia tidak bisa kembali ke sini? Tidak ingin membalas dendam?"

"Putera Luhsantini itu tidak bisa disebut sebagai anak lagi. Saat ini usianya paling tidak sekitar delapan puluh tahunan. Kemana perginya sulit diketahui. Tapi aku menduga kemungkinan masuk ke dalam negeri asal kalian. Kabar terakhir, sebelum dia lenyap dari sini diketahui dia telah mendapat julukan Hantu Balak Anam!"

"Apa?!" Tiga mulut yakni Wiro, Naga Kuning dan Setan Ngompol berseru berbarengan.

"Wahai tiga saudaraku! Melihat raut muka dan seruan kagetmu tadi aku menaruh sangka kau kenal atau pernah tahu dengan Hantu Balak Anam?!" ujar Lakasipo.

"Orangnya tinggi besar, berambut lurus ke atas seperti ijuk. Alisnya panjang bersambung jadi satu. Lalu di keningnya ada enam buah lobang hitam. Di pipi kiri dan kanan masing-masing ada tiga lobang hitam serupa. Itukah orangnya?!" tanya Wiro.

"Tepat! Memang dia wahai saudaraku Wiro! Mungkin ukuran tubuhnya saja yang tidak sesuai dengan ukuran tubuh kami di sini! Tapi lain dari itu sangat cocok!"

"Dia berada di tanah Jawa. Terakhir sekali dia berada di Telaga Gajahmungkur…"

Mengenai Hantu Balak Anam harap baca serial Wiro Sableng berjudul Pedang Naga Suci 212

"Ah, dugaanku tidak meleset. Jadi memang ke sanalah dia mengucilkan diri. Apakah dia menjadi hantu jahat atau hantu baik di negeri kalian?’ tanya Lakasipo.

"Walau dia banyak berpihak pada orang-orang golongan putih, namun dia tidak bisa dikatakan termasuk golongan putih. Yang jelas dia bukan golongan hitam," jawab Wiro.

"Aku tidak mengerti. Apa yang kau maksudkan dengan golongan putih dan golongan hitam," ujar Lakasipo pula.

Wiro tersenyum lalu menceritakan apa arti golongan putih dan golongan hitam di rimba persilatan di tanah Jawa. Sambil garuk-garuk kepala Wiro kemudian berkata,

"Kalau kau tidak setuju dengan adat negeri ini, berarti kau menyadari bahwa Lasingar dan Luhsantini serta Lamatahati sama sekali tidak bersalah. Lalu mengapa kau memberi tahu di mana orang-orang itu berada? Hantu Bara Kaliatus pasti akan mencari Lasingar dan Luhsantini. Lalu membunuh kedua orang itu. Lamatahati mungkin selamat karena menurutmu dia berada di alam lain…"

Lakasipo jadi terkejut mendengar ucapan Wiro Sableng itu. "Astaga, kau benar…" katanya dengan suara bergetar. "Aku membuat kesalahan besar. Aku harus menolong mereka…"

“Tapi apa kau bisa menduga siapa di antara Lasingar dan Luhsatini yang akan lebih dulu didatangi Hantu Bara Kaliatus?!"

"Kukira dendam Latandai sangat besar terhadap Luhsantini. Gara-gara perempuan itulah maka dia menerima bala kutukan. Pasti dia akan membunuh jandanya itu lebih dulu!"

"Kalau kau yakin hal itu, berarti perempuan itu yang harus diselamatkan lebih dulu! Kau tahu tempatnya! Mengapa tidak segera berangkat ke sana!" ujar Naga Kuning.

"Aku… Aku harus menyambangi makam istriku lebih dulu di Bukit Latinggihijau!" kata Lakasipo pula.

"Istrimu sudah meninggal, Lakasipo!" kata Wiro. "Tidak ada satu bahaya pun mengancam dirinya dibanding dengan perempuan bernama Luhsantini itu! Dia yang harus didatangi dan diselamatkan lebih dulu!"

"Lalu bagaimana dengan Hantu Santet Laknat! Aku juga punya urusan yang belum selesai dengan dukun keparat itu! Gara-gara dia sepasang kakiku jadi begini!"

"Bagaimanapun keadaan kakimu, yang jelas kau kini malah memiliki ilmu kesaktian yang hebat! Lupakan makam istrimu! Lupakan dulu Hantu Santet Laknat. Malah kami bertiga untuk sementara bersedia melupakan mencari Batu Sakti Pembalik Waktu dan mencari Hantu Tangan Empat! Asalkan kau mau menyelamatkan perempuan bernama Luhsantini itu!"

Mendengar ucapan Wiro itu Lakasipo alias Hantu Kaki Batu menjadi bimbang. Saking gemesnya Wiro memberi isyarat pada Naga Kuning dan Setan Ngompol. Ketiga orang ini serentak menggigit telapak tangan Lakasipo. Walau gigitan itu tidak melukainya namun rasa sakit seperti ditusuk membuat Lakasipo tersentak.

"Kalian nakal semua!" Mengomel Lakasipo.

Lalu ketiga orang itu dimasukkannya ke dalam kocek jerami. Sekali lompat saja dia sudah berada di punggung kuda hitam kaki enam.
********************
WWW.ZHERAF.COM
TUJUH
Lapangan kecil dibukit Latinggisubur pagi itu dipenuhi oleh para penyabung ayam, mereka yang bertaruh atau hanya sekedar menonton. Ketika ayam milik Lakabil dan Latondang sedang hebat-hebatnya berlaga tiba-tiba sebuah benda melayang di udara dan jatuh di tengah lapangan. Dua ayam yang bertarung berkotek keras lalu kabur.

Orang yang ada di tempat itu serta merta dilanda kegemparan. Betapa tidak. Benda yang bergelimpang ditanah lapang itu adalah sesosok tubuh bergelimpang darah mulai dari kepala sampai ke badan. Dalam keadaan seperti itu dari balik semak belukar sekonyong-konyong keluar sesosok tubuh tinggi besar. Saat itu juga tempat itu diselimuti hawa panas serta bau aneh seperti daging terpanggang.

Kalau tadi semua orang dilanda kegegeran maka kini mereka dicekam ketakutan setengah mati. Mereka tidak tahu pasti makhluk apa yang sebenarnya tegak di depan mereka saat itu. Sosok tinggi besar ini tegak kaki terkembang tubuh agak terbungkuk seolah menahan sesuatu yang berat di bawah perutnya.

Di atas kepalanya ada puluhan bara menyala. Bara yang sama juga menempel di dada dan perut. Di bawah pinggang makhluk ini mengenakan jerami kering dan daun-daunan demikian rupa sengaja menutupi bagian tubuhnya yang besar gembung menonjol.

"Roh jahat kesasar…" bisik seseorang.

"Hantu lapar turun dari langit!" kata yang lain dengan suara bergetar.

"Lihat tubuhnya sebelah bawah. Besar nian. Sebesar kelapa!"

"Aneh dan seram! Dia memiliki empat buah bola mata!"

"Wahai, agaknya dia yang barusan melempar orang bergelimang darah itu! Dia sengaja melempar kehadapan Lakabil!" kata seorang lainnya.

"Lasingar!" Tiba-tiba orang menyeramkan di tengah lapangan berteriak keras. Tanah lapang terasa bergetar. Daun-daun pepohonan bergemerisik. "Buka matamu lebar-lebar! Apa kau masih mengenali siapa adanya manusia yang menggeletak sekarat di depanmu itu?! Apa kau juga mengenali siapa diriku?!"

Orang bernama Lakabil melangkah mundur dengan muka pucat ketakutan. Matanya memandang berganti-ganti dari si makhluk seram yang bukan lain adalah Latandai alias Hantu Bara Kaliatus lalu pada sosok yang tergeletak ditanah.

"Lasingar! Jawab pertanyaanku!" Terbungkuk-bungkuk keberatan dia maju dua langkah mendekati Lakabil.

Seseorang di tepi lapangan beranikan diri berkata. "Wahai makhluk yang kepalanya menjunjung bara menyala! Orang yang kau ajak bicara itu bernama Lakabil. Bukan Lasingar."

"Benar! Dia Lakabil! Tak ada orang bernama Lasingar di sini."

Hantu Bara Kaliatus melirik tajam pada dua orang yang barusan bicara itu. "Kalian berdua berbanyak mulut! Kalian tahu apa!" Tiba-tiba Hantu Bara Kaliatus menyergap. Dua tangannya bergerak.

"Bukkk! Bukkk!"

Dua orang yang tadi bicara menjerit keras. Tubuh mereka terpental. Jatuh bergedebukan di tanah dengan mulut hancur.

"Ada lagi yang mau bicara?!" sentak Hantu Bara Kaliatus.

Tak ada yang menjawab. Tak ada yang berani bergerak. Hantu Bara Kaliatus melangkah ke hadapan orang bernama Lakabil tapi yang dipanggilnya dengan Lasingar.

"Kau pandai berpura-pura. Tak mau menjawab. Seolah tidak mengenal siapa manusia satu ini! Dia adalah kerabatmu Latorik! Penduduk Negeri Latanahsilam. Sekitar delapan puluh tahun silam dia yang menangkap basah dirimu sewaktu berada di atas ranjang bersama Luhsantini!"

Pucatlah wajah Lakabil. Dalam hati dia membatin. "Walau kini aku berhadap-hadapan, tapi apa benar makhluk aneh ini Latandai adanya… Celaka, bagaimana dia tahu aku tinggal di sini!"

"Kerabat," kata Lakabil. "Aku tidak mengerti apa yang kau bicarakan…"

Hantu Bara Kaliatus menyeringai. "Kau masih meneruskan kepura-puraanmu! Aku adalah Hantu Bara Kaliatus! Luhsantini adalah istriku yang telah kau cabuli hingga hamil. Ingatanmu sudah terang sekarang Lasingar?! Atau perlu kubelah batok kepalamu, kukeluarkan otakmu dan kucuci di sungai Lapanjangbiru?"

"Han… Hantu Bara Kaliatus… Kau… kau adalah Latandai!" ujar Lakabil dengan suara tercekat.

Hantu Bara Kaliatus tertawa bergelak. "Sekarang otakmu mulai jernih rupanya! Apa kau juga sudah ingat bahwa namamu sebenarnya Lasingar? Bukan Lakabil yang kau palsukan sejak puluhan tahun bersembunyi di Bukit Latinggisubur ini?"

Dalam takut yang amat sangat, semua orang yang mendekam di tempat itu merasa heran apa sebenarnya yang dibicarakan makhluk seram itu dengan kerabat yang selama ini mereka kenal bernama Lakabil. Tapi si makhluk seram menyebutnya sebagai Lasingar.

"Latandai… Perihal kejadian delapan puluh tahun silam itu, aku tidak melakukannya. Aku…"

Hantu Bara Kaliatus menggembor keras. Dia menunjuk pada orang yang terkapar di tanah. "Latorik saksi mata. Saksi hidup yang sebentar lagi akan meregang nyawa! Dia yang melihat kau dalam keadaan bugil di atas ranjang bersama Luhsantini! Di atas anjungan rumah kediaman orang tua gadis itu!"

"Latandai aku bersumpah… Demi para Dewa dan para Peri. Aku tidak menggauli calon istrimu Luhsantini. Aku berada dirumahnya untuk berobat, aku tidak tahu… tidak mengerti mengapa hari itu tahu-tahu aku berada di atas ranjang bersama Luhsantini dalam keadaan tidak berpakaian…"

"Jahanam pendusta! Setelah merambas tanaman muda kau tidak berani mengakui perbuatan kejimu! Dengar baik-baik Lasingar! Ketika Luhsantini kukawini, gadis itu sudah tidak perawan lagi! Kau melakukan kebejatan itu bukan cuma sekali! Pasti berulang-ulang! Alasan sakit hanya tipu muslihatmu semata agar bisa mendekati Luhsantini! Jahanam terkutuk!"

"Demi para Dewa dan para Peri. Demi para arwah ke dua orang tuaku! Aku bersumpah, Latandai! Aku tidak melakukan semua yang kau tuduhkan itu!"

"Lasingar! Ternyata kau bukan saja seorang laknat. Tapi berani bersumpah palsu menyebut para Dewa dan para Peri! Bahkan menyebut roh orang tuamu! Kalau kau benar tidak melakukan perbuatan terkutuk itu mengapa melarikan diri?! Bersembunyi tinggal di Bukit Latinggisubur ini selama puluhan tahun?! Menukar nama menjadi Lakabil!"

"Latandai… Aku saat itu berada dalam keadaan tidak mungkin membela diri. Kalau benar orang itu Latorik, apa yang disaksikannya mungkin karangan belaka! Mungkin saja seseorang menyuruh atau memaksanya berbuat begitu. Memberi kesaksian palsu…"

"Bukkkk!"

Kaki kanan Hantu Bara Kaliatus mendarat telak di dada Lasingar. Orang ini terpental dan ambruk di bawah sebatang pohon. Darah segar mengucur dari mulutnya. Nafasnya sesak, nyawanya seolah terbang. Dia mengerang dengan sekujur tubuh bergeletar. Hantu Bara Kaliatus menyeret sosok berdarah ke hadapan Lasingar. Orang yang berada dalam keadaan luka parah itu dijambaknya lalu membentak.

"Latorik! Sebelum kau keburu mampus katakan apa yang kau lihat delapan puluh tahun silam di atas ranjang di anjungan rumah kediaman Luhsantini! Kalau kau mati para Dewa dan para Peri akan mengampuni segala dosamu karena kau telah berbuat baik, memberi kesaksian yang benar!"

Orang yang bergelimang darah itu tidak segera menjawab. Mungkin dia tidak lagi mampu bersuara. Hantu Bara Kaliatus menggoncang kepala Latorik.

"Bicara! Atau kugeprak pecah kepalamu saat ini juga!" teriak Hantu Bara Kaliatus.

"A… aku…" Latorik bersuara walau perlahan. "Del… delapan puluh tahun silam… Suatu pagi, seperti biasa aku membawa satu bumbung berisi air ke rumah orang tua Luhsantini.Tanpa sengaja aku… Aku menjenguk ke anjungan. Aku melihat dia…"

"Dia siapa?! Sebutkan nama!" bentak Hantu Bara Kaliatus.

"Dia… dia Lasingar… aku melihat Lasingar dan Luhsantini saling berpelukan. Keduanya dalam pulas tertidur. Keduanya tidak berpakaian…"

"Latorik jahanam! Kau mengarang cerita memfitnah diriku! Bejat sekali pekertimu!" Teriak Lakabil alias Lasingar menggeledek. Dari pinggangnya dihunusnya sebilah parang batu lalu ditusukannya ke dada Latorik, tepat di arah jantung hingga orang ini tewas seketika!

Kalau semua orang tersentak kaget melihat apa yang dilakukan Lasingar itu, sebaliknya Hantu Bara Kaliatus tertawa bergelak. Dia tadi sengaja tidak mencegah pembunuhan itu. Jambakannya di rambut Latorik dilepaskan hingga sosok tak bernyawa ini tergelimpang di tanah.

"Lasingar manusia terkutuk! Kau terlambat membungkam mulut Latorik! Dia keburu memberi kesaksian! Didengar oleh para Dewa dan Peri serta para roh! Termasuk roh orang tuamu! Disaksikan pula oleh kerabat sepenyabunganmu! Sekarang giliranmu menyusul ke alam langit ke tujuh!"

Hantu Bara Kaliatus tanggalkan, sebuah bara menyala di dadanya lalu dilemparkan ke arah Lasingar. Lasingar tak tinggal diam. Parang batu berdarah yang masih dipegangnya dipergunakan untuk menangkis.

"Traaanggg!"

Parang batu hancur berantakan. Lasingar menjerit. Suara jeritannya lenyap begitu bara menyala menembus keningnya lalu meledak menghancurkan sebagian tubuhnya mulai dari kepala sampai ke dada!

Hantu Bara Kaliatus memandang berkeliling. Tak seorang pun masih terlihat di tempat itu. Ternyata semua orang telah kabur melarikan diri karena takut akan menjadi korban keganasan makhluk bara menyala itu! Hantu Bara Kaliatus putar langkah hendak meninggalkan tempat itu.

Namun gerakannya tertahan ketika di langit dilihatnya ada satu cahaya biru sebesar ujung jari kelingking. Makin lama cahaya ini semakin membesar, menukik ke bawah. Bertambah besar dan terang. Sepuluh tombak di atas kepala Hantu Bara Kaliatus cahaya tadi berubah membentuk satu sosok tubuh seorang perempuan. Bersamaan dengan itu bau harum mewangi menebar di tempat tersebut.

Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng Karya Bastian Tito
DELAPAN
Melihat siapa yang muncul diatasnya itu Latandai alias hantu Bara Kaliatus jadi tercekat. Buru-buru dia menjatuhkan diri berlutut seraya dalam hati membatin.

"Gerangan pesan apa yang dibawanya padaku. Berkah atau hukuman. Kalau dia sampai melihat keadaanku seperti ini…"

Hantu Bara Kaliatus mendongak keatas dan letakkan dua tangan yang dirapatkan diatas kepala. "Wahai Peri Bunda, Simpul Agung Dari Segala Peri, Peri Junjungan Dari Segala Junjungan. Berkah apakah yang hendak kau berikan padaku hingga tidak biasanya kau menampakkan diri seperti ini…"

Angin bertiup sejuk beberapa saat lamanya. Di atas sana bayangan biru berbentuk sosok seorang perempuan memandang sayu pada hantu Bara Kaliatus. Sosok yang disebut Peri Bunda ini berwajah seorang perempuan separuh baya cantik, agung dan anggun. Di kepalanya ada sebentuk mahkota bertabur batu-batu permata berkilau-kilau. Tubuhnya terbungkus selendang tipis warna biru bergulung-gulung panjang. Demikian panjangnya seolah ujung pakaian ini tergantung sampai ke langit.

"Wahai manusia bernama Latandai," Peri Bunda berkata dari atas sana. Suaranya walau lembut tapi mengiang keras masuk ke telinga Hantu Bara Kaliatus.

"Aku datang bukan membawa berkah! Kami para Peri di angkasa raya merasa sedih. Karena sejak kau keluar, dari kawah Gunung Latinggimeru, maka di Negeri Latanahsilam telah bertambah satu lagi Hantu yaitu Hantu Bara Kaliatus. Hantu yang perwujudannya adalah bagaimana keadaan dirimu sendiri saat ini. Kami ingin melenyapkan semua Hantu yang ada, malah kini ketambahah satu lagi. Kami tahu ada Hantu baik dan ada Hantu jahat di antara kalian. Selama puluhan tahun kami para Peri telah mengikuti perjalanan hidupmu. Ternyata kau bukan termasuk golongan Hantu baik. Di tubuhmu sebelumnya ada dua ratus bara merah menyala. Kini bara itu telah banyak berkurang. Berarti belasan bara maut telah kau pergunakan untuk membunuh manusia lainnya! Ketahuilah Latandai, membunuh adalah sesuatu yang tidak diizinkan kecuali dalam membela diri, keluarga dan para kerabat. Tapi seperti yang aku saksikan sendiri hari ini kau telah menjadi penyebab kematian dua orang. Pertama Latorik. Walau bukan tanganmu yang menghabisinya tapi kematiannya berpangkal sebab pada perbuatanmu. Kedua Lasingar. Kau membunuhnya atas dasar kesaksian yang diragukan. Tidak ada pembuktian yang sempurna. Semurah itukah nyawa manusia di matamu…?"

Untuk beberapa saat lamanya Latandai alias Hantu Bara Kaliatus diam tertunduk masih berlutut dan dua tangan masih di atas kepala.

"Latandai, dari tadi kulihat kau berlutut terus. Berdirilah dan bicara secara wajar. Aku bukan sebangsa Peri gila hormat…"

Latandai alias Hantu Bara Kaliatus jadi bingung dan kecut. Kalau dia berdiri, Peri Bunda pasti akan melihat kelainan keadaan auratnya sebelah bawah.

"Wahai Latandai, apakah kau tidak mendengar. Berhentilah berlutut. Bicara dengan berdiri padaku." kata Peri Bunda.

Perlahan-lahan, terbungkuk-bungkuk Hantu Bara Kaliatus bangkit berdiri. Celakanya ketika berdiri, celananya yang sudah tidak karuan rupa merosot ke bawah. Cepat-cepat Latandai memegangi, menariknya ke atas dan membenahi dedaunan yang dipakainya untuk melindungi anggota rahasianya.

Meskipun semua itu dilakukan dengan cepat oleh Latandai, namun Peri Bunda masih sempat melihat. Sang Peri langsung tersentak dan palingkan mukanya yang serta merta menjadi sangat merah. Latandai kembali jatuhkan diri mengambil sikap berlutut agar tubuh sebelah bawahnya yang menggembung tersingkap tidak kelihatan dari atas sana.

"Wahai Peri Bunda, Simpul Agung Dari Segala Peri, Peri Junjungan Dari Segala Junjungan. Tiada niat membunuh orang tidak berdosa. Latorik terpaksa saya aniaya. Karena semula dia tidak mau memberi keterangan atas apa yang dilihatnya…"

"Apa yang dilihat seseorang belum tentu apa nyatanya. Begitu juga dengan Latorik…"

"Mengenai Lasingar… Dia lelaki terkutuk yang mempergunakan kesempatan untuk merayu dan meniduri calon istriku! Mana mungkin aku mengakui Lamatahati sebagai anakku padahal dia lahir dari benih yang ditanamkan manusia mesum itu ke dalam rahim Luhsantini!" kata-kata Latandai jadi keras dan kasar.

Peri Bunda tersenyum rawan dan gelengkan kepalanya. "Latandai… Hidup di alammu penuh teka teki. Apa yang terlihat belum tentu itu yang terjadi. Apa yang terjadi belum tentu itu nyatanya. Kami para Peri tahu kalau otakmu sudah dicuci oleh Hantu Santet Laknat. Kau telah dijadikan boneka penurut kemauannya. Kau berada dalam kekuasaannya. Kami para Peri masih menaruh kasihan serta harapan padamu. Kau belum lama tersesat. Masih ada jalan kembali. Jangan teruskan menebar maut. Apa kau hendak menghabiskan sisa bara menyala di kepala, dada dan perutmu untuk membunuh orang? kembali ke puncak Gunung Latinggimeru. Campakkan batu-batu bara menyala itu ke dasar kepundan. Hiduplah sebagai Latandai kembali. Bila tiba saatnya apa yang sebenarnya terjadi akan tersingkap."

"Peri Bunda, saya menghormatmu seribu hormat. Namun apa yang kau katakan tidak dapat saya lakukan…"

"Aku tidak mengatakan apa-apa wahai Latandai. Aku memberi perintah padamu!" kata Peri Bunda pula.

"Maafkan diri saya Peri Bunda. Ampuni diriku! Sekali ini saya terpaksa tidak mampu mematuhi perintahmu. Jika Peri Bunda memang berniat baik, mengapa diriku yang menjadi incaran. Bukankah banyak Hantu lain di Negeri ini yang malang melintang berbuat kejahatan. Misalnya Hantu Santet Laknat. Hantu Muka Dua! Mengapa bukan mereka yang dihukum…?!"

"Wahai Latandai, jangan menganggap kami para Peri bodoh dan memilih-milih. Kau adalah manusia yang tersesat terakhir kali. Jadi masih ada kesempatan untuk memperbaiki dirimu. Hantu-Hantu lainnya akan menerima giliran. Biar kami para Peri dan para Dewa yang mengatur. Satu hal lagi wahai Latandai. Aku melihat ada yang tidak beres di antara kedua kakimu! Binatang berbisa apa gerangan yang telah menggigitmu hingga auratmu menjadi bengkak seperti itu…?"

"Wahai Peri Bunda, saya tidak tahu jelas apa yang sebenarnya terjadi. Tapi ini saya alami setelah saya berkelahi dengan Lakasipo alias Hantu Kaki Batu alias Bola Bola Iblis."

"Latandai, menurut penglihatanku seseorang telah menutukmu. Tapi ilmu tutukan tidak dikenal di Negeri Latanahsilam. Berarti ada orang luar yang menyusup masuk ke Negeri ini!"

"Saya tidak tahu Peri Bunda, sejak kedua kakinya dibungkus Bola Bola Iblis, Lakasipo memiliki beberapa keanehan. Peri Bunda, saya gembira bertemu denganmu. Semoga pertemuan ini ada hikmahnya. Jika kau mau memberi izin saya akan meninggalkan tempat ini…"

"Jika itu katamu, terpaksa aku menghalangi wahai Latandai! Karena aku tahu kau akan membunuh lagi beberapa orang yang belum tentu berdosa!"

Peri Bunda kembangkan dua tangannya. Pakaian birunya bergulung-gulung di udara. Perlahan-lahan sosok tubuhnya turun mendekati Latandai.

"Peri Bunda, jangan terlalu memaksa. Aku bisa bertindak nekad!" Latandai alias Hantu Bara Kaliatus berteriak.

Peri Bunda hanya tersenyum dan terus melayang turun. Hantu Bara Kaliatus ambil sebuah bara menyala di atas kepalanya lalu dilemparkan ke arah Peri Bunda.

"Wussss!" Bara menyala itu menembus sisi kiri pakaian Peri Bunda hingga berlubang dan terbakar.

"Luar biasa! Hebat sekali!" Seru Peri Bunda sambil memperhatikan pakaiannya yang berlubang dan terbakar. Dia meniup satu kali. Kobaran api serta merta padam. Pakaian yang berlobang kembali utuh seperti semula. Peri Bunda memandang sayu pada Hantu Bara Kaliatus.

"Petunjuk sudah kuberikan. Peringatan sudah kusampaikan. Kau nekad menempuh jalan hidup menurut gerak hati dan denyut jantung serta otakmu yang terbungkus bara api. Padahal ketahuilah wahai Latandai. Otakmu sebenarnya sudah dicuci oleh Hantu Santet Laknat. Kau telah dijadikannya boneka penurut perintahnya. Kau telah dikuasai oleh nenek jahat itu. Sekarang terserah padamu. Kau akan merasakan sendiri akibatnya kelak wahai Latandai. Namun aku masih mau memberi petunjuk terakhir bagi keselamatan dirimu. Jika kau tidak mau kembali ke Gunung Latinggimeru untuk membersihkan semua bara menyala di kepala, muka dan tubuhmu maka carilah Luhsantini. Minta maaf dan minta ampun padanya. Minta dia mencabut sumpah dan kutuk yang telah dijatuhkannya atas dirimu. Karena akibat kutukannya, ilmu yang kau dapat dari Hantu Santet Laknat telah berubah menjadi malapetaka seumur hidupmu! Temui Luhsantini. Maka kau akan selamat dan kembali ke keadaan serta kehidupan semula…"

Perlahan-lahan sosok Peri Bunda melayang naik ke atas udara, makin tinggi, makin tinggi dan akhirnya lenyap seolah menerobos ke balik langit.

"Luhsantini…" Hantu Bara Kaliatus kepalkan tinju kanannya. "Kekasih gelapmu sudah kubunuh! Sekarang giliranmu kuhabisi! Karena kutuk sumpahmu aku jadi begini! Berpantang bagiku untuk minta maaf dan ampun pada perempuan! Akan kuhabisi kau Luhsantini!"

********************
WWW.ZHERAF.COM
SEMBILAN
Perjalanan menuju gunung Labatuhitam di kawasan selatan bukan perjalanan mudah. Walau Lakasipo alias Hantu Kaki Batu menunggangi Laekakienam, kuda raksasa berkaki enam namun mereka harus melewati kawasan berbukit-bukit, lembah tandus, menyeberangi sungai serta menembus rimba belantara yang nyaris jarang dilewati manusia.

Selama perjalanan Wiro, Naga Kuning dan Setan Ngompol lebih banyak berada di dalam kocek jerami sehingga keadaan mereka bertiga cukup menderita.

Memasuki malam Lakasipo hentikan kudanya di bibir sebuah lembah berbatu-batu. Wiro dan dua kawannya dikeluarkan dari dalam kocek lalu diletakkan di atas sebuah batu datar. Lakasipo meletakkan sepotong kecil jambu hutan untuk santapan ketiga orang itu. Walau sangat kecil tapi bagi Wiro dan kawan-kawannya sepotong jambu hutan itu hampir seukuran besar tubuh mereka hingga ketiganya tak sanggup menghabiskan.

Sementara Lakasipo membaringkan tubuhnya di tanah, Wiro, Naga Kuning dan Setan Ngompol bercakap-cakap.

"Berapa lama lagi kita berada dalam keadaan seperti ini?" Setan Ngompol berbaring di batu sambil usap-usap perutnya.

"Begitu Lakasipo berhasil menyelamatkan Luhsantini, kita harus memaksa dia mencari Hantu Tangan Empat atau mendapatkan kembali Batu Sakti Pembalik Waktu itu! Aku ingin segera kembali ke tanah Jawa."

"Lalu bagaimana dengan gadis di Latanahsilam yang sekali melihat membuat kau tergila-gila itu?" tanya Setan Ngompol sambil menyeringai.

Naga Kuning terdiam. Dia berpaling pada Pendekar 212 yang duduk bertopang dagu. "Apa yang kau pikirkan Wiro?" Tanya Naga Kuning.

"Aku ingat orang-orang di alam jauh di sana. Guruku Eyang Sinto Gendeng, sobatku si Bujang Gila Tapak Sakti, lalu Kakek Segala Tahu. Gadis berambut panjang pirang bernama Bidadari Angin Timur itu. Ratu Duyung. Banyak lagi yang lainnya. Mereka semua pasti tidak mengetahui apa yang telah terjadi dengan kita bertiga."

"Pendekar 212, menurutmu mana yang lebih baik. Mencari Hantu Tangan Empat lebih dulu atau Batu Pembalik Waktu itu?"

Wiro garuk-garuk kepalanya. "Dua-duanya sama penting. Tapi jika aku boleh memilih, lebih baik kita mencari Hantu Tangan Empat lebih dulu."

"Mengapa begitu?" bertanya Naga Kuning.

"Waktu Hantu Tangan Empat muncul di tanah Jawa, sosok tubuhnya sama besar dengan sosok tubuh kita. Di Negeri Latanahsilam tidak mungkin sosoknya tetap sebesar kita. Pasti dia akan sebesar raksasa seperti Lakasipo. Berarti dia memiliki semacam ilmu kepandaian atau ilmu kesaktian untuk membesarkan dan mengecilkan badannya! Kalau kita bisa mendapatkan ilmu itu dari dia berarti sosok kita bisa berubah sebesar orang-orang di sini. Berarti kita bisa selamat dari segala macam bahaya, manusia, binatang ataupun cuaca."

"Kau benar Pendekar 212. Tapi apakah Hantu Tangan Empat mau memberikan ilmu itu pada kita bertiga?’ tanya Setan Ngompol.

"Mungkin padamu akan diberikan Wiro ujar Naga Kuning. "Tapi pada kami berdua belum tentu. Apalagi kurasa dia masih menaruh dendam terhadapku!"

"Mudah-mudahan kakek aneh itu tidak sejahat yang kau sangka. Bukankah dia katanya hanya suruhan Hantu Muka Dua saja?" kata Wiro.

"Jangan-jangan Hantu Muka Dua itu yang punya ilmu kepandaian membuat orang besar dan kecil. Berarti tipis harapan kita mendapatkan ilmu tersebut. Aku lebih suka kita berusaha mati-matian mencari batu tujuh warna itu!" ujar Naga Kuning pula.

Lima jari raksasa bergerak di permukaan batu. "Wahai para saudaraku. Kita harus melanjutkan perjalanan. Agar pagi besok kita bisa sampai di tempat tujuan."

Mendengar ucapan Lakasipo itu Wiro segera berteriak. "Lakasipo, jika Luhsantini sudah kau selamatkan, kau harus berjanji membantu kami mencari Hantu Tangan Empat atau mendapatkan Batu Sakti Pembalik Waktu!"

"Hal itu bisa kita bicarakan nanti para saudaraku," jawab Lakasipo yang membuat Wiro dan kawan-kawannya menjadi jengkel tapi tak bisa berbuat apa-apa. Ketika Lakasipo hendak memasukkan ketiga orang itu kembali ke dalam kocek jerami tiba-tiba ada satu suara merdu datang dari kejauhan.

"Lakasipo wahai suamiku, belum berbilang minggu berbilang bulan aku berada di alam roh. Tega nian hatimu tak pernah menjengukku lagi…"

Suara yang datang dari jauh itu menggeletarkan batu di atas mana Wiro dan dua kawannya berada.

"Ada suara perempuan di kejauhan…" bisik Naga Kuning.

"Suara itu menyebut Lakasipo suaminya. Pasti itu suara Luhrinjani…"

"Tapi menurut Lakasipo istrinya itu bukankah sudah mati dan dimakamkan di Bukit Latinggihijau. Bagaimana sekarang bisa muncul…"

"Itu mungkin hanya suara rohnya," berkata Setan Ngompol dan bersiap-siap menekap bagian bawah perutnya agar tidak terkencing.

"Kalian berdua jangan bicara saja. Lihat di kejauhan sana. Ada satu sosok aneh mendatangi ke sini!" Berkata Wiro.

Pada saat suara itu terdengar wajah Lakasipo berubah. Lelaki ini cepat bangkit berdiri dan memandang ke kejauhan dari arah mana datangnya suara tadi. Dadanya berdebar ketika di antara pepohonan dia melihat ada seorang perempuan melangkah seperti melayang-layang. Rambut tergerai lepas, pakaian sehelai kain sutera putih tipis yang tak pernah dilihat Lakasipo sebelumnya. Makin dekat perempuan itu, makin jelas kelihatan wajahnya.

"Luhrinjani…" desis Lakasipo. Dia langsung ingat pada peristiwa yang lalu. Ketika dia juga disongsong oleh sosok Luhrinjani yang kemudian menjebaknya hingga dua kakinya terpendam ke dalam batu besar. Apakah sekali ini roh istrinya datang lagi untuk mencelakainya. Lakasipo melangkah mundur.

"Celaka! Jangan-jangan Lakasipo kedatangan setan istrinya sendiri! Kita bisa ditinggalkan begitu saja diatas batu ini!" ujar Wiro.

"Lakasipo wahai suamiku! Aku berada begini dekat di hadapanmu. Kau seolah tertegun lupa. Apa kau tidak lagi mengenali istrimu sendiri, Lakasipo?"

Sosok perempuan itu kini hanya terpisah dua langkah dari hadapan Lakasipo.

"Perempuan raksasa itu…" bisik Naga Kuning. "Wajahnya cantik, pakaiannya sangat tipis. Aku dapat melihat sekujur auratnya! Lihat, tubuhnya putih bagus. Dadanya sebesar batu raksasa di sungai, Tonilnya begitu mulus… Ah… aku bisa bersembunyi dalam pusarnya! Hik hik hik…!"

Setan Ngompol usap-usap sepasang matanya berulang kali. Sementara Wiro memandang dengan ternganga.

"Lihat, ada tahi lalat di kiri pahanya sebelah dalam. Kalau saja aku bisa memanjat kakinya yang bagus mulus itu…"

"Tua bangka berpikiran kotor!" tukas Wiro pada Setan Ngompol. "Coba kau perhatikan! Apa kau tidak melihat dua kakinya yang tersembul dari balik pakaian putih itu tidak menginjak tanah?!"

Pucatlah wajah Setan Ngompol dan juga Naga Kuning ketika memandang ke bawah sana. Sepasang kaki perempuan itu memang melayang di udara!

"Luhrinjani… Aku tidak tahu kau ini makhluk apa adanya. Penjelmaan hantu atau roh yang gentayangan. Dulu kau pernah muncul. Kemunculanmu membawa celaka bagi diriku! Lihat dua kakiku! Terpendam ke dalam dua bola batu yang tak bisa aku hancurkan! Apakah saat ini kau muncul lagi hendak mencelakaiku?!"

"Kau tidak menginginkan pertemuan ini, wahai Lakasipo?’ tanya Luhrinjani.

"Bukan aku tidak menginginkan wahai Luhrinjani. Tapi jika ini semua hanyalah bayang-bayang hampa atau mimpi buruk yang akhirnya membawa celaka diriku…"

"Kau tidak mimpi wahai Lakasipo. Kau juga tidak berhadapan dengan bayang-bayang hampa. Dulu aku muncul karena ada satu kekuatan gaib yang sangat hebat menguasai diriku. Memaksa aku keluar dari liang makam dan memerintahkan aku untuk mencelakaimu. Tapi sekarang yang datang ini adalah Luhrinjani yang sebenarnya. Yang diberi kekuatan oleh para Peri dan roh untuk keluar dari dalam makam guna menemuimu. Aku inginkan pertemuan ini Lakasipo. Aku merindukanmu…"

Sosok Luhrinjani maju mendekat. Sebaliknya Lakasipo cepat melangkah mundur. Ketika melangkah tadi ujung bawah pakaian yang dikenakan Luhrinjani menimbulkan siuran angin. Tiga orang di atas batu langsung berguling-guling. Walau rasa takut mencekam ketiga orang di atas batu namun mereka tak habis pikir. Bagaimana seseorang yang sudah mati bisa hidup dan muncul seperti ini.

"Aneh, baru sekali ini aku dengar ada hantu merasa rindu…" Bisik Naga Kuning.

"Naga-naganya kita sebentar lagi akan menyaksikan dua raksasa saling bercumbu…" kata Setan Ngompol pula sambil satu tangan menekap mulut agar tidak tertawa dan satu tangan lagi menekap bagian bawah perutnya.

"Luhrinjani… Aku… Aku masih tidak mengerti. Mengapa kau bisa muncul seperti ini. Apakah dirimu, tubuhmu nyata…"

"Diri dan tubuhku nyata senyata aku melihat kau wahai Lakasipo…" jawab Luhrinjani. "Ulurkan tanganmu. Pegang jari-jariku! Pegang wajahku! Pegang sekujur tubuhku! Semuanya nyata. Aku bukan bayang-bayang, bukan pula asap…"

Lakasipo tidak berani ulurkan tangannya untuk menyentuh perempuan dihadapannya. "Lalu… lalu apa maksud kedatanganmu Luhrinjani… Ki… kita tak mungkin bersatu kembali. Atau mungkin…"

"Kita tak mungkin bersatu kembali memang wahai Lakasipo. Tapi tali hubungan kita tak pernah putus walau kita berada di dua alam berlainan…"

"Maksudmu Luhrinjani…?"

"Kita dua suami istri berpisah mati. Kita dua suami istri yang belum sempat mengecap nikmatnya hidup sebagai suami istri. Apakah kau tidak menginginkannya Lakasipo?"

Luhrinjani ulurkan tangan kanannya menyentuh jari-jari tangan Lakasipo. Lelaki ini tersentak kaget. Jari-jari tangan itu adalah jari-jari sungguhan.

"Usap wajahku Lakasipo, sentuh tubuhku…" bisik Luhrinjani.

Sesaat Lakasipo masih ragu. Lalu dia memberanikan diri mengangkat tangan membelai wajah perempuan di hadapannya itu. Dia benar-benar memegang manusia hidup! Kenyataan yang tidak bisa dipercaya itu membuat Lakasipo jadi merinding dan dingin sekujur tubuhnya. Perlahan-lahan dia melangkah mundur. Tiba-tiba ada bau harum semerbak memenuhi tempat itu. Lalu satu cahaya biru terang muncul di kejauhan, bergerak di antara pepohonan. Makin lama makin besar dan makin dekat.

"Astaga! Lihat!" seru Naga Kuning sambil menunjuk ke atas. Sementara Wiro dan juga Setan Ngompol pelototkan mata terheran-heran.

Saat itu cahaya biru tadi telah berubah menjadi sosok seorang perempuan separuh baya cantik sekali. Tubuhnya terselubung lilitan pakaian biru bergulung-gulung panjang seolah tergantung sampai ke langit. Di kepalanya ada sebentuk mahkota yang ditebari batu-batu permata berkilauan.

"Peri Bunda, terima hormat saya!" kata Lakasipo begitu melihat siapa yang berada di atasnya.

"Lakasipo menyebut perempuan cantik itu Peri Bunda…" bisik Wiro pada dua temannya.

"Setahuku yang namanya Peri itu hanya ada dalam dongeng…" menyahuti Setan Ngompol.

"Di negeri serba aneh ini bisa saja terjadi. Bukankah saat ini kita berada di alam seribu dua ratus tahun silam?" ujar Wiro. "Yang aku herankan, kalau peri separuh baya cantiknya seperti ini, yang lebih muda tentu selangit tembus!"

"Aku jadi kepingin tahu, apakah ada Peri anak-anak sebayaku?!" ujar Naga Kuning tengil.

Si Setan Ngompol ikut-ikutan latah. "Kalau ada peri tua seusiaku, benar-benar nikmat rasanya tinggal di negeri aneh ini!"

"Kalian berdua sama tololnya! Selama keadaan tubuh kita seperti ini jangan berharap yang bukan-bukan!" kata murid Sinto Gendeng pula.

"Wahai Lakasipo…" Peri Bunda berkata dengan suara lembut tapi jelas. "Jangan kau merasa takut pada sosok Luhrinjani istrimu itu. Dia memang telah berada di alam lain. Namun kami para Peri telah berusaha melakukan sesuatu, memberi berkat padamu dengan menghadirkan istrimu dalam keadaan seutuhnya. Terima kehadirannya dengan segala rasa suka cita wahai Lakasipo. Dia istrimu yang syah. Karena itu tidak ada halangan bagimu untuk memperlakukannya sebagaimana adanya…"

"Peri Bunda, kalau itu berkah yang kau turunkan pada saya, saya tidak tahu harus mengucapkan terima kasih bagaimana," kata Lakasipo seraya membungkuk dalam-dalam.

"Saya juga menghaturkan terima kasih wahai Peri Bunda," kata Luhrinjani seraya menjatuhkan diri, berlutut disamping Lakasipo.

"Mungkin Peri itu bisa berbuat sesuatu untuk kita," kata Wiro tiba-tiba. "Lekas kita memohonkan sesuatu! Siapa tahu dia bisa menolong…"

Naga Kuning dan Setan Ngompol cuma diam saja. Sebaliknya Wiro yang berada di atas batu datar melambai-lambaikan tangannya agar terlihat oleh sang Peri. Tapi sampai tangannya seperti mau copot Peri Bunda tidak melihat dirinya. Wiro berteriak keras-keras. Peri Bunda menolehpun tidak.

"Lakasipo, aku tidak akan hadir lebih lama di tempat ini. Pergunakan waktumu sebaik-baiknya. Ada satu hal yang sebenarnya ingin kubicarakan denganmu…"

"Jika Peri Bunda sudi mengatakannya pada saya…" ujar Lakasipo pula.

"Mataku menangkap tiga sosok aneh di atas batu sana..."

Lakasipo berpaling ke atas batu. Wiro kembali lambaikan tangannya. "Mereka adalah saudara-saudara angkat saya wahai Peri Bunda…"

"Ini satu keanehan yang sebenarnya ingin kubicarakan denganmu Lakasipo. Tapi seperti kataku tadi aku tidak ingin mengganggumu saat ini. Aku pergi sekarang. Di lain waktu aku akan kembali untuk bicara denganmu mengenai ketiga makhluk aneh itu…"

"Peri Bunda! Jangan pergi dulu!" teriak Wiro. "Kami butuh pertolonganmu! Bisakah kau membesarkan kami bertiga…!"

Teriakan yang dikeluarkan Wiro tidak terdengar ke telinga Lakasipo ataupun Luhrinjani. Tapi Peri Bunda dapat mendengarnya dengan jelas. Sepasang mata sang Peri melirik ke bawah ke arah batu. Dia tersenyum lalu berkata,

"Apamu yang minta dibesarkan wahai makhluk aneh?" Peri Bunda bertanya. Masih tersenyum dia meneruskan. "Mungkin anumu itu minta dibesarkan seperti apa yang kalian lakukan terhadap Hantu Bara Kaliatus?”

Wiro, Naga Kuning dan Setan Ngompol terkesiap kaget mendengar ucapan Peri Bunda.

"Dia mendengar teriakanku tadi!" kata Wiro gembira. Dia memandang ke atas. "Yaaaa…" Murid Sinto Gendeng kecewa. Peri Bunda itu telah lenyap. Yang tinggal hanya baunya yang harum serta suara tawanya yang merdu di kejauhan.

"Peri satu ini kurasa termasuk Peri tengil. Masakan anunya Hantu Bara Kaliatus disebut-sebut!" Wiro berucap sambil garuk-garuk kepala.

Sesaat setelah Peri Bunda menghilang di kegelapan malam, Lakasipo berpaling ke kiri. Tangannya diulurkan menyentuh tangan Luhrinjani.

"Luhrinjani wahai istriku… kau benar-benar nyata! Kau benar-benar hidup!" ujar Lakasipo.

"Aku memang nyata wahai Lakasipo. Aku memang hidup. Tapi nyata dan hidup terbatas. Aku hanya bisa muncul jika ada saling pertalian rasa di antara kita. Jika para roh mengizinkan dan para Dewa serta Peri merestui. Peluk diriku, Lakasipo. Peluk yang kuat…"

Lakasipo ulurkan dua tangannya memeluk tubuh Luhrinjani.

"Cium wajahku Lakasipo, belai tubuhku…" Bisik Luhrinjani lalu pakaian sutera tipisnya lepas jatuh ke tanah.

Tiga orang di atas batu yang menyaksikan kejadian itu dengan mata melotot, terpental kena sambaran angin pakaian yang jatuh. Tapi ketiganya cepat bangkit kembali dan pentang mata menyaksikan apa yang terjadi di depan mereka.

"Lihat dada perempuan itu! Walah Mak! Besar amat!" kata Setan Ngompol dengan mata melotot.

"Bisa mati enak aku kalau sampai ketiban!" ujar Naga Kuning yang juga memandang dengan mata mendelik. "AstagaI Lihat! Dia melepaskan pakaian Lakasipo! Mereka berdekap-dekapan!"

"Seumur hidup baru sekali ini aku menyaksikan dua makhluk raksasa bercumbu! Padahal yang perempuan sebenarnya sudah mati!" kata Setan Ngompol pula lalu terkencing-kencing.

"Kedua-duanya sudah tidak berpakaian lagi! Gila!" seru Naga Kuning. "Lihat, mereka membaringkan diri di tanah…"

Saat itu tak sengaja kaki Lakasipo menyentuh celananya yang terbuat dari kulit kayu dan ada di tanah hingga tergeser ke atas batu dan menutupi Wiro, Naga Kuning serta Setan Ngompol.

"Aduh! Mengapa jadi gelap begini?!" teriak Naga Kuning.

"Sial! Kita tidak bisa melihat apa-apa lagi!" ujar Wiro.

Setan Ngompol ikut menggerutu panjang pendek sambil terkencing-kencing. Ketiga orang ini berusaha meloloskan diri dari bawah himpitan pakaian Lakasipo. Tapi dengan keadaan tubuh mereka sekecil itu, walau dengan mengerahkan tenaga sekalipun sulit bagi mereka untuk bisa keluar.

"Wiro! Pergunakan kapak saktimu! Lubangi celana sialan ini! Biar kita bisa mengintip!" teriak Naga Kuning. Masih penasaran bocah tengil ini rupanya.

********************
WWW.ZHERAF.COM
SEPULUH
Hujan lebat membuat Lakasipo tidak dapat memacu kencang kuda tunggangannya. Di dalam kocek jerami yang basah, Wiro, Naga Kuning dan Si Setan Ngompol kedinginan setengah mati. Bukan saja karena kocek yang basah oleh air hujan, tapi juga akibat terpaan angin deras yang menembus masuk melalui celah-celah anyaman jerami. Menjelang pagi dalam keadaan letihdan mata mengantuk Lakasipo hentikan kudanya di tepi sebuah rimba belantara. Saat itulah lapat-lapat telinganya menangkap suara aneh.

"Seperti suara orang meracau. Tapi juga seperti seseorang mengerang. Eh, malah berubah seperti suara tangis anak-anak," membatin Lakasipo sambil terus memasang telinga.

Di dalam kocek suara itu juga terdengar oleh Wiro dan kawan-kawannya. Mereka berusaha mengangkat penutup kocek untuk melihat. Namun baru sedikit tersingkap ketiganya jatuh terduduk karena saat itu Lakasipo menyentakkan kudanya, bergerak masuk ke dalam rimba. Ingin menyelidik suara apa adanya yang barusan didengarnya.

Masuk ke dalam rimba sejauh beberapa puluh tombak, di bawah sebatang pohon besar Lakasipo melihat satu pemandangan hampir sulit dipercaya. Di bawah pohon itu terikat sosok tubuh seorang anak perempuan. Pakaiannya yang terbuat dari kulit kayu serta seluruh tubuh mulai dari kepala sampai kaki kotor bercelemongan tanah dan basah oleh air hujan. Dari mulutnya yang terus-terusan ternganga keluar imam erangan serta lelehan darah. Dua matanya terpejam.

Lakasipo segera hentikan kudanya dan cepat melompat turun. Suara kaki batunya yang menghentak-hentak menggetarkan seantero tempat membuat anak perempuan yang terikat di pohon buka kedua matanya sedikit. Satu pekik halus keluar dari mulut anak itu. Lalu ada suara panjang yang sulit dimengerti.

Ketika Lakasipo melangkah lebih dekat, tengkuknya yang memang sudah basah oleh air hujan kini menjadi tambah dingin. Dari mulut anak perempuan yang ternganga itu menjulur panjang lidah merah diselimuti ludah campur darah. Lidah itu ternyata berada dalam keadaan terikat, dibuhul demikian rupa hingga selain kesakitan si anak jadi tak bisa bicara!

"Kejahatan gila macam apa ini!" ujar Lakasipo penuh geram. "Wahai anak, siapa yang berlaku sekeji ini padamu?!"

Anak perempuan yang ditanya hanya keluarkan suara mengerang sambil gelengkan kepala sedikit. Dua matanya kembali dipejamkan.

"Bagaimana cara aku menolong anak ini. Melepas lidahnya yang dibuhul!" pikir Lakasipo.

Mendengar suara Lakasipo yang keras lantang tadi Wiro dan kawan-kawannya kembali berusaha mengangkat penutup kocek lalu mengintai keluar. Ketiganya sama keluarkan seruan kaget karena muka anak perempuan yang lidahnya terjulur dalam keadaan terikat itu tepat berada di depan mereka di muka kocek!

Naga Kuning yang pertama sekali mengenal anak perempuan itu."Astaga! Ini anak perempuan yang kulihat di tanah lapang waktu terjadi Bakucarok antara Lakasipo dengan Lahopeng!"

"Benar memang dia…" kata Setan Ngompol. "Apa yang terjadi dengan anak ini…?"

"Bagaimana bisa berada sejauh ini. Pasti ada orang jahat yang membawanya kemari. Mengikatnya dan… Gila! Baru sekali ini aku melihat lidah dibuhul seperti itu! Kejam sekali! Aku harus keluar dari tempat ini! Aku harus menolong anak itu!"

Naga Kuning segera hendak loloskan dirinya dari bawah penutup kocek. Tapi Pendekar 212 Wiro Sableng segera pegang lengannya dan berkata,

"Maksud menolong boleh saja sobatku! Tapi pakai otak! Pertolongan apa yang bisa kau lakukan. Anak itu puluhan kali lebih besar tubuhnya dari sosokmu!"

"Aku…" Naga Kuning jadi bingung sendiri. "Aku kasihan melihatnya. Aku tak bisa membiarkannya teraniaya seperti itu!"

"Aku juga kasihan. Kita semua merasa kasihan. Tapi kita tak bisa berbuat apa-apa. Kau tadi mendengar apa yang dikatakan Lakasipo. Dia pasti bisa menolong anak itu…"

Naga Kuning tendangi dinding kocek dan berteriak keras-keras untuk menarik perhatian Lakasipo. Tapi Hantu Kaki Batu ini tidak merasakan tendangan itu dan juga tidak mendengar teriakan Naga Kuning.

Dengan cepat Lakasipo membuka lilitan tali yang mengikat si anak perempuan ke batang pohon. Begitu ikatan lepas kalau tidak segera ditahan, anak ini pasti jatuh roboh ke tanah. Keadaan tubuhnya selain menyedihkan juga sangat lemah sekali. Dengan hati-hati Lakasipo baringkan tubuh anak perempuan itu ke tanah. Sewaktu Lakasipo membungkuk dan jaraknya dengan tanah lebih dekat, kesempatan ini dipergunakan Naga Kuning untuk menyelinap keluar kocek lalu melompat ke tanah.

"Anak nekat. Gila betul dia!" teriak Setan Ngompol lalu terkencing.

"Kurasa kita juga harus segera keluar dari sini!" kata Wiro. Lalu terjun ke tanah menyusul Naga Kuning.

Tinggal Setan Ngompol sendirian. Dia bingung mau melompat gamang dan ngeri. Tinggal sendirian di dalam kocek jerami dia merasa jerih. Sesaat matanya yang jereng berputar-putar dan daun telinganya yang lebar bergerak-gerak. Akhirnya sambil pejamkan mata dan tekap bagian bawah perutnya dengan dua tangan sekaligus, kakek ini jatuhkan diri ke tanah. Untuk beberapa lamanya dia tergeletak melingkar di tanah sambil beser terus-terusan.

Naga Kuning lari menuju bagian kepala anak perempuan yang terbaring di tanah. Dia berusaha memanjat ke bahu. Tapi setiap dicoba tergelincir kembali karena tubuh anak perempuan itu licin akibat kebasahan air hujan. Saat itulah Lakasipo melihat sosok Naga Kuning dan Wiro serta Setan Ngompol. Dia hendak marah dan menegur tapi karena lebih mementingkan menolong anak perempuan itu maka untuk sementara Lakasipo tidak mengacuhkan tiga orang tersebut.

Dengan sangat hati-hati dan sampai keluarkan keringat dingin Lakasipo berhasil membuka lidah yang terbuhul. Lidah itu masuk ke dalam mulut dengan mengeluarkan suara keras. Bersamaan dengan itu menyembur darah segar. Si anak perempuan mengerang pendek lalu terkulai tak bergerak.

"Kau membunuhnya!" teriak Naga Kuning. Wiro dan Setan Ngompol juga merasa khawatir.

"Kau tak usah takut Naga Kuning. Anak ini hanya jatuh pingsan. Sebentar lagi dia pasti siuman. Kulihat kau begitu cemas. Jangan-jangan anak ini yang pernah kau tanyakan berulang kali itu…" Lakasipo berkata sambi dekatkan mukanya ke tanah.

"Tolong dia Lakasipo! Memang anak ini yang tempo hari kulihat di pinggir tanah lapang!" jawab Naga Kuning.

"Tak sengaja akhirnya kau temui juga dia. Hanya sayang dalam keadaan begini rupa…"

"Selamatkan dia Lakasipo! Lakukan apa saja agar dia tidak mati!" kata Naga Kuning lalu dengan kedua tangannya dipegangnya lengan si anak yang ukurannya puluhan kali lebih besar dibanding dengan lengan Naga Kuning. Bocah ini kerahkan tenaga dalamnya untuk dialirkan ke dalam tubuh anak perempuan itu.

"Sudah, kau tak perlu susah-susah. Biar aku yang menolong!” kata Lakasipo.

Lalu tangan kirinya ditempelkan ke kening anak perempuan sedang tangan kanan mencekal pergelangan kaki kirinya. Dari atas dan dari bawah Lakasipo salurkan tenaga dalamnya.

Tak berapa lama kemudian si anak buka kedua matanya. Sesaat dia menatap ke atas tak berkesip. Dia melihat langit di antara celah-celah daun pepohonan. Lalu pandangannya membentur wajah Lakasipo yang berambut awut-awutan, wajah tertutup cambang bawuk, kumis dan jenggot meranggas liar. Anak ini hendak menjerit karena ketakutan yang amat sangat.

SEBELAS
Lakasipo tersenyum. Dia coba tenangkan anak perempuan itu. Sambil mengusap keningnya dia berkata. "Anak, jangan takut! Aku bukan orang jahat…"

"Kau…" Hanya sepotong bicara si anak hentikan ucapannya. Leher dan lidahnya terasa sakit. Dari mulutnya masih meleleh darah.

"Totok tenggorokannya di bawah dagu sebelah kanan!” Wiro berteriak. "Sakit pada mulut dan lidah anak itu pasti berkurang..."

Lakasipo palingkan kepalanya pada Wiro. "Aku pernah menutuk orang. Akibatnya luar biasa! Bagian bawah perutnya jadi melembung bengkak! Apa saat ini kau juga hendak menipuku, mencelakai anak perempuan ini?"

"Aku tidak seberengsek itu! Yang dulu kau lakukan adalah petunjuk gila bocah bernama Naga Kuning ini!" sahut Wiro.

"Lakasipo, sobatku ini memang benar. Totok di tempat yang tadi dikatakannya. Leher di bawah dagu sebelah kanan. Waktu dengan Hantu Bara Kaliatus aku sengaja berbuat gila agar manusia itu tahu rasa!"

"Hemm… Baik, tapi jika kalian menipuku lagi tahu sendiri akibatnya…" lalu Lakasipo tusukkan dua jari tangan kanannya kelekukan antara dagu dan leher kanan anak perempuan.

Si anak mengeluh pendek. Darah berhenti mengucur dari mulutnya.

"Mulut dan lidahmu masih terasa sakit…?" Lakasipo bertanya.

Anak perempuan itu sesaat menatap muka Lakasipo seolah untuk meyakinkan bahwa dia memang tidak berhadapan dengan orang jahat. Lalu perlahan-lahan kepalanya digelengkan.

"Kau bisa bicara sekarang?"

Anak perempuan itu mengangguk.

"Lakasipo, tanyakan siapa namanya! Beri tahu aku di sini! Beritahu namaku Naga Kuning!" teriak Naga Kuning pula.

"Bocah geblek!" maki Setan Ngompol.

Naga Kuning tidak perdulikan ucapan orang. Dia memanjat ke lengan anak perempuan itu lalu lari sepanjang lengan kiri naik ke bahu. Mengira ada semut yang menjalar di tangannya si anak perempuan pergunakan jari tangan kanan hendak menindas. Untung Lakasipo memperhatikan apa yang hendak dilakukan anak itu. Dengan cepat dia memegang Naga Kuning dan meletakkannya di tanah.

"Anak konyol! Hampir mampus kau ditindas orang! Hik hik hik…!" kata Setan Ngompol lalu tertawa cekikikan dan tentunya sambil ngompol.

"Anak, kalau aku tidak salah kau adalah penduduk Latanahsilam. Benar?" tanya Lakasipo.

Yang ditanya mengangguk.

"Mengapa kau berada sejauh ini! Seorang diri! Dan waktu kami temukan tadi kau dalam keadaan setengah pingsan lidah terbuhul!"

Naga Kuning banting-banting kaki lalu mengomel sendirian. "Aku minta tanya siapa namanya malah tanya hal-hal lain!"

"Saya… saya mendengar suara-suara halus aneh…" Anak perempuan itu tiba-tiba berucap. Terbata-bata tapi cukup jelas.

"Itu suara satu dari dua saudaraku makhluk cebol sebesar kutu. Tapi tak usah perdulikan mereka dulu. Kau bisa duduk bersandar ke pohon biar kutolong...“

Lalu Lakasipo tolong mendudukkan anak perempuan itu di tanah dan menyandarkannya ke pohon.

"Nah, sekarang terangkan siapa namamu. Apa yang terjadi dengan dirimu," kata Lakasipo pula.

Si anak tidak segera menjawab. Sudut matanya melihat sesuatu. Ketika dia menukikkan pandangan ke tanah dekat ujung kakinya, terkejutlah dia melihat ada tiga sosok tubuh sangat kecil yang bukan lain adalah Wiro, Naga Kuning dan Setan Ngompol.

"Tiga makhluk yang kau bilang cebol sebesar kutu… Mereka itu yang kau maksudkan saudara-saudaramu wahai Bapak penolong?" Ketika Lakasipo tersenyum dan mengangguk si anak berkata, "Sungguh aneh. Baru sekali ini saya melihat ada manusia sekecil ini. Aneh, tapi lucu-lucu…"

"Aku yang lucu! Si kakek bau pesing dan pendekar gondrong ini apa lucunya!" kata Naga Kuning.

"Wahai Bapak penolong, bagaimana kau bisa punya saudara seperti mereka?" Lalu si anak melihat sepasang kaki Lakasipo yang terbungkus batu bulat besar. "Wahai Bapak penolong. Ternyata kau juga memiliki keanehan di kedua kakimu! Saya ingat sekarang… Wahai bukankah Bapak ini kepala Negeri Latanahsilam, Bapak Lakasipo?"

Lakasipo menyeringai. "Dulu aku memang Kepala Negeri Latanahsilam. Sekarang tidak lagi…"

"Bukankah Bapak yang telah membunuh Lahopeng dalam Bakucarok di tanah lapang?"

Lakasipo menghela nafas panjang. "Kejadian itu sudah berlalu. Sekarang kami berempat ingin tahu siapa namamu. Apa yang terjadi dengan dirimu sampai kau berada sejauh ini, diikat dipohon, dibuhul lidahnya!"

Si anak tidak segera menjawab. Pandangannya kembali ditujukan pada tiga sosok kecil di ujung kakinya. Melihat orang memandang ke arahnya, Naga Kuning lambaikan tangannya berulang-ulang.

"Wahai Bapak Lakasipo, bolehkah saya memegang tiga makhluk kecil yang katamu saudara-saudaramu itu…?"

"Asyik! Tentu saja boleh!" berteriak Naga Kuning.

Lakasipo alias Hantu Kaki Batu hendak mencegah tapi si anak telah lebih dulu mengulurkan tangannya memegang Naga Kuning, Wiro dan Setan Ngompol.

"Makhluk aneh, lucu!" kata anak perempuan itu.

Wiro dan kawan-kawannya diletakkan di telapak tangan kiri dan dipandanginya sambil tertawa-tawa. "Yang satu sudah kakek-kakek, satunya kakak muda berambut gondrong. Satunya lagi seperti anak kecil…"

"Bukan sepertinya, dia memang anak kecil" kata Setan Ngompol.

"Kakek kuping lebar, aku lihat kau tidak pakai celana! Apa kau tidak punya celana atau memang suka tidak pakai celana?"

Setan Ngompol tutupi auratnya sebelah bawah lalu tertawa cekikikan.

"Namaku Naga Kuning!" berseru Naga Kuning. "Jika tubuhku sebesarmu atau tubuhmu sebesarku kita pasti sama-sama sebaya. Siapa wahai namamu, sahabatku anak perempuan?’ Bocah ini bicara meniru-niru gaya orang Latanahsilam.

Anak perempuan yang ditanya tersenyum. "Namaku Luhkimkim. Kau anak lucu. Aku suka berteman denganmu walau kau kecil sebesar kutu!"

"Lihat! Kalian dengar semua!" teriak Naga Kuning pada Setan Ngompol dan Wiro Sableng. "Dia suka padaku! Yahui…!" Di atas telapak tangan anak perempuan itu Naga Kuning lalu bersalto tiga kali berturut-turut membuat si anak perempuan tertawa senang.

"Wahai Luhkimkim, aku ikut senang kalau kau suka pada tiga saudaraku itu. Tapi awas si kakek bermata jereng berkuping lebar itu. Dia tukang ngompol. Namanya Setan Ngompol. Lalu pemuda yang gondrong itu bernama Wiro Sableng. Dia punya julukan hebat yakni Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212. Kami sudah tahu namamu, kau sudah tahu siapa nama kami. Sekarang harap kau suka menjawab pertanyaanku tadi. Mengapa kau berada di tempat ini. Siapa yang telah berlaku jahat terhadapmu."

Luhkimkim seperti hendak menangis. Tapi anak ini berusaha tabahkan diri agar tidak mengeluarkan air mata. Setelah mengusap lelehan darah yang masih melekat di sudut bibirnya Luhkimkim lalu memberi keterangan.

"Makhluk jahat bernama Hantu Muka Dua yang menjatuhkan tangan jahat mencelakai saya…"

"Hantu Muka Dua?" mengulang Lakasipo. "Dia memang terkenal jahat, menganggap diri Raja Di Raja para Hantu di Latanahasilam. Tapi sungguh tak kupercaya wahai Luhkimkim kalau dia tega berlaku sekeji ini terhadap seorang anak kecil sepertimu. Kesalahan apa yang telah kau lakukan? Dendam apa yang bersarang di hati makhluk biadab itu?"

"Kesalahan saya tidak punya wahai Bapak penolong. Tapi ada satu rahasia kejahatan besar yang dilakukan Hantu Muka Dua yang saya ketahui. Itu sebabnya dia menculik saya, lalu membawa saya ke sini…"

"Luhkimkim, katakan kejahatan apa yang telah diperbuat Hantu Muka Dua?" bertanya Wiro.

"Saya tak sengaja melihat dia membawa pemuda bernama Lasingar ke anjung rumah kediaman Luhsantini. Lasingar dibaringkannya di atas ranjang, di sebelah Luhsantini. Kedua mereka itu sama-sama dalam keadaan tidak berpakaian. Sama-sama pingsan. Lalu saya lihat dia menanggalkan pakaiannya sendiri. Lalu Hantu Muka Dua menindih tubuh Luhsantini. Sebelum pergi Hantu Muka Dua merangkulkan tangan Lasingar ke tubuh Luhsantini…"

"Makhluk jahanam! Benar-benar keji biadab!" kata Lakasipo geram.

Pendekar 212 Wiro Sableng garuk-garuk kepalanya. Lalu berkata. "Kami mendengar kabar ada seorang pemuda bernama Latorik yang juga melihat kejadian Luhsantini bersama Lasingar dalam keadaan bugil di atas ranjang. Latorik kemudian dianiaya oleh Latandai, akhirnya dibunuh oleh Lasingar yang bertahun-tahun sembunyi di satu bukit, menyaru dengan nama Lakabil. Jika kau benar mengetahui rahasia Hantu Muka Dua sebagai pelaku keji, mengapa Hantu Muka Dua tidak membunuhmu?"

Luhkimkim tak bisa menjawab pertanyaan Wiro itu. Semua orang terdiam. Suasana sunyi dan tidak enak itu akhirnya dipecahkan oleh suara Lakasipo.

"Aku pernah mendengar kabar bahwa Hantu Muka Dua punya satu pantangan besar. Yaitu pantangan membunuh perempuan. Agaknya pasti itu sebabnya dia tidak membunuh Luhkimkim. Membawanya ke tempat ini dengan dua maksud. Pertama, kalau anak ini tidak mati disantap binatang buas maka kemungkinan ke dua dia akan gagu seumur hidup karena lidahnya sudah dibuhul…"

"Makhluk bernama Hantu Muka Dua itu harus dihajar habis-habisan! Mayatnya direbus dalam pendaringan besi sampai tulang belulangnya leleh jadi air. Bukankah ada hukum seperti itu di Negeri Latanahsilam?" ujar Naga Kuning.

"Naga Kuning, kau tidak tahu siapa adanya Hantu Muka Dua. Sebagai Raja Di Raja para Hantu di Negeri Latanahsilam ilmu kesaktiannya setinggi langit sedalam lautan!"

"Tiap kehebatan pasti ada kelemahannya!” Kata Naga Kuning tak mau kalah.

"Betul," ujar Luhkimkim. "Tapi kelemahannya apa? Naga Kuning memandang berkeliling.

Wiro berkata. "Saat ini yang lebih penting adalah menyelamatkan perempuan bernama Luhsantini itu.Hantu Bara Kaliatus pasti mencari dan membunuhnya. Lebih baik kita segera melanjutkan perjalanan."

"Wahai Bapak Lakasipo, apakah saya boleh ikut bersamamu?" tanya Luhkimkim.

"Tentu saja boleh! Siapa yang melarang!" Yang menjawab adalah Naga Kuning.

Lakasipo dan Wiro menyeringai. Setan Ngompol mengulurkan tangan lalu mendorong kepala berambut jabrik si bocah.

"Enak saja kau bicara. Upil Luhkimkim saja lebih besar dari tubuhmu! Biar Lakasipo yang mengambil keputusan!"

"Suka atau tidak suka apa kalian tega meninggalkan Luhkimkim sendirian di dalam rimba belantara ini?" sanggah Naga Kuning.

Tak ada yang menukas ucapan Naga Kuning itu. Akhirnya Lakasipo memegang lengan Luhkimkim lalu menaikkan anak perempuan ini ke atas punggung kuda kaki enam. Begitu berada di atas punggung kuda raksasa itu Luhkimkim bertanya,

"Wahai Bapak Lakasipo, bagaimana dengan tiga sahabatku yang lucu-lucu ini. Apakah saya boleh memegang mereka terus atau…"

"Kami lebih suka berada dalam genggamanmu dari pada masuk kembali ke dalam kocek pesing itu!" kata Naga Kuning cepat, "Bukan begitu sobatku Wiro?’ Naga Kuning kedipkan matanya.

Pendekar 212 Wiro Sableng tertawa lebar sambil garuk-garuk kepala. Setan Ngompol berbisik ke telinga Naga Kuning. "Kalau anak perempuan itu tahu kau sebenarnya seorang kakek berusia seratus dua puluh tahun, jangan harap dia masih akan suka padamu!"

"Setan Ngompol, awas kalau kau berani membuka rahasia, Kuremas terong peot dan kantong menyanmu!" kata Naga Kuning mengancam.

Wiro tertawa bergelak. Setan Ngompol merengut masam. Sambil membalikkan tubuh diam-diam tangannya diusapkan ke bawah perut. Lalu tangan yang basah kena air kencing itu dipeperkannya ke muka Naga Kuning hingga bocah ini menyumpah-nyumpah.

Semua kejadian ini dilihat oleh Luhkimkim dengan tertawa-tawa. Derita yang dialaminya akibat penculikan dan siksaan yang dilakukan Hantu Muka Dua jadi terlupakan.

********************
WWW.ZHERAF.COM
DUA BELAS
Gunung Labatuhitam sesuai dengan namanya merupakan satu gunung batu berwarna hitam.Tak satu tetumbuhanpun hidup di sana kecuali sejenis lumut. Di bawah panas teriknya matahari, dikaki selatan gunung kelihatan melesat satu bayangan merah, berkelebat cepat dari satu gundukan batu ke gundukan lainnya.

Mengingat batu-batu di tempat itu diselimuti lumut licin dan orang tersebut dapat bergerak begitu cepat tanpa kakinya terpeleset, jelas dia memiliki ilmu meringankan tubuh yang tinggi. Di satu lamping batu orang ini tendangkan kaki kirinya.

"Bukk!"

Satu gerakan hebat melanda lamping batu. Batu yang ditendang sama sekali tidak cacat atau rusak sedikitpun, apa lagi hancur. Tapi justru sebuah batu besar yang terletak di belakang batu yang ditendang keluarkan suara berderak. Lalu seolah menjadi rapuh secara tiba-tiba batu itu hancur menjadi bubuk dan bertebaran hampir sama rata dengan batu rendah di sekitarnya!

Inilah ilmu pukulan sakti yang disebut Di Balik Labukit Menghancur Lagunung! Dan jelas orang berpakaian merah itu tengah melatih diri, mulai dari ilmu meringankan tubuh dan tenaga dalam termasuk pukulan sakti tadi.

Selagi berlatih diri seperti itu tiba-tiba orang ini melihat ada bayang-bayang hitam berputar-putar di atas kawasan berbatu-batu itu. Dia mendongak ke langit. Wajahnya berubah. Dengan cepat dia lari ke balik satu lamping batu lalu membuat beberapa kali lesatandan akhirnya menyelinap lenyap kedalam sebuah goa.

Orang ini ternyata adalah seorang perempuan berwajah cantik. Melihat raut mukanya dia seperti baru berusia tiga puluhan. Padahal sebenarnya usianya telah mencapai seratusan tahun. Perempuan ini tidak terus masuk ke dalam melainkan mengintai di mulut goa, memandang ke langit.

"Kemarin, hari ini..." katanya perlahan. "Telah dua kali dia muncul. Pasti melakukan pengintaian. Walet terbang… Siapa gerangan penunggangnya? Terlalu jauh. Tak bisa kulihat wajahnya. Tapi…"

Tiba-tiba benda yang menimbulkan bayang-bayang di bebatuan itu menukik ke bawah lalu lenyap di balik goa. Perempuan berpakaian merah terbuat dari kulit kayu yang dicelup dengan jelaga merah menunggu sesaat. Menatap ke udara.

"Tak muncul lagi. Seperti kemarin pasti dia sudah pergi…"

Perlahan-lahan, tetap hati-hati perempuan itu melangkahkan kakinya keluar dari goa. Baru bertindak empat langkah tiba-tiba di samping kiri goa terdengar suara menegur. Suara yang sudah sekian puluh tahun tak pernah di dengarnya. Suara yang cukup dikenalnya dan membuat dua kakinya seolah dipantek ke batu yang dipijaknya.

"Luhsantini, aku ada di sini…"

Perempuan itu berbalik dengan cepat. Wajahnya berubah pucat, keningnya mengerenyit dan sepasang mata terbuka lebar.

"Latandai…" desis perempuan di depan goa.

"Benar, yang kau lihat memang Latandai!"

"Wahai para Dewa dan Peri. Bagaimana dia tahu aku berada di sini!" membatin perempuan berpakaian merah. Lalu pandangannya membentur bagian bawah lelaki itu. Yang bengkak menggelembung.

“Ya Dewa, ya Peri, apa yang telah terjadi pada dirinya? Dia seperti menahan beban yang begitu berat.Tegak terbungkuk…"

"Tak ada yang perlu kau takutkan wahai Luhsantini. Aku datang membawa kesalahan masa lalu. Aku datang untuk meminta ampun dan maafmu. Apa yang kulakukan dimasa lalu adalah satu kesalahan besar. Mengusirmu dan mengusir anak kita. Lamatahati anakku… Dimana kau sekarang. Ayahmu membekal dosa besar terhadapmu, lebih besar dari dosaku terhadap ibumu…"

Luhsantini yang semula berada dalam ketakutan kini terheran-heran. "Apa yang telah membuat lelaki ini berubah. Dulu dia begitu benci terhadapku, terhadap Lamatahati. Sekarang seolah-olah dia menyadari semua kesalahan itu. Mencariku untuk minta maaf dan ampun. Merindukan Lamatahati. Ada apa di balik semua ini…"

"Luhsantini, berkatalah. Berucaplah. Jangan diam saja. Aku ingin kita melupakan masa lalu walau mungkin ada yang salah di antara kita. Biarlah aku mengakui kesalahan ada di pihakku. Biar aku menanggung segala dosa. Tapi perjalanan hidup ini tidak bisa kita hentikan begitu saja…"

"Latandai…" kata Luhsantini dengan suara bergetar. "Jika kerukunan yang hendak kau cari, jika hidup bersama yang kau dambakan, menyesal sekali wahai Latandai. Tak mungkin hal itu kulakukan…"

"Wahai Luhsantini…" ujar Latandai alias Hantu Bara Kaliatus dengan suara tercekat dan tersurut dua langkah. "Kau tak ingin karena keadaaanku yang seperti ini? Kepala seolah bertopi bara. Mata seolah api menyala. Tubuh penuh bara api!"

"Bukan… Bukan itu wahai Latandai. Tapi di antara kita ada satu jurang besar. Jurang kesalahpahaman yang sangat nyata adanya…"

"Wahai Luhsantini, aku datang tidak membawa segala yang berbau masa lalu. Aku ingin kita bersatu kembali. Jika kau ihklas, jika kau suka hal itu bisa terjadi. Mengenai diriku yang celaka ini akan bisa disembuhkan, akan bisa kembali ke asal keadaan semula. Asalkan saja kau mau memohon kepada para Dewa dan Peri, kepada para roh yang ada antara langit dan bumi. Mintakan ampun untukku. Cabut kutuk dan sumpahmu dulu! Maka semua bara api yang ada di kepala dan tubuhku akan sirna… Aku mohon padamu Luhsantini. Ini satu-satunya permintaan kalau hidup ini masih bisa panjang. Kalau masa depanku masih kau terima…"

Hantu Bara Kaliatus jatuhkan dirinya di atas batu, berlutut dengan kepala tertunduk dan dua tangan disatukan membentuk sembah. Untuk beberapa lamanya Luhsantini tegak tak bergerak, sepasang mata tak berkesip pandangi lelaki yang pernah hidup sebagai suaminya. Di luar sadar dua mata yang tidak berkesip itu tampak berkaca-kaca. Getaran-getaran muncul di dadanya.

"Wahai Latandai, jika niatmu sebersih itu, jika pintamu sesuci yang aku dengar, aku yakin para Dewa dan para Peri mendengar pintamu. Tetapi apakah diri yang hina ini bisa memintakan apa yang kau mohonkan itu dan sudikah para Dewa dan para Peri mengabulkan permintaan kita?"

"Wahai Luhsantini. Belum lama berselang aku didatangi Peri Bunda. Simpul Agung Dari Segala Peri, Peri Junjungan Dari Segala Junjungan. Dia memberi petunjuk bahwa keadaan diriku bisa pulih kembali jika kau bersedia memohonkan ampun kepada para Dewa, para Peri dan para roh…"

"Jika begitu wahai Latandai bisa memang begitu janji Peri Bunda, aku ikhlas menerima kenyataan, aku rela memohon…“

Luhsantini jatuhkan diri berlutut di atas batu, berhadap-hadapan dengan suaminya, saling terpisah lima langkah satu sama lain. Perlahan-lahan perempuan itu angkat kedua tangannya ke atas. Lalu dari mulutnya meluncur ucapan.

"Wahai para Dewa dan para Peri, para roh yang ada di antara langit dan bumi. Delapan puluh tahun lalu aku Luhsantini pernah memohon menjatuhkan sumpah dan kutuk atas diri Latandai. Ya para Dewa dan para Dewi, wahai para roh, aku tidak menyangka akan demikian besar akibat sumpah dan kutuk itu. Selama delapan puluh tahun kami hidup tersiksa. Tanpa tahu dimana beradanya kini putera kami Lamatahati. Rasanya ya para Dewadan para Peri serta para roh. Sudah cukup semua siksaan hukuman itu. Ampuni kesalahan kami wahai para Dewa, Peri dan roh. Ampuni terutama dosa dan kesalahan suamiku Latandai. Aku memohon kaki ke atas kepala ke bawah. Aku meminta kepala di atas kaki di bawah. Cabutlah kutuk dan sumpah itu. Sembuhkan suamiku. Lenyapkan semua bara api yang menempel di kepala, wajah serta sekujur tubuhnya! Kasihani kami wahai para Dewa, Peri dan para roh. Aku tahu kalian mendengar permintaan yang aku sampaikan dengan hati tulus serta kudus ini…"

Air mata bercucuran jatuh membasahi pipi Luhsantini kiri kanan pertanda perempuan ini benar-benar memohon sepenuh hati atas kesembuhan suaminya. Sesaat kesunyian mencengkam lalu ada suara bergetar seolah-olah gempa keluar dari pusat bumi di bawah kaki Gunung Labatuhitam. Saat itu tak ada mendung tak ada hujan. Namun mendadak guntur menggelegar.

Dari langit mencuat cahaya terang menyilaukan seolah petir menyambar lalu menghantam sosok tubuh Hantu Bara Kaliatus yang berlutut di atas batu. Batu tempat Bara Kaliatus berlutut hancur berkeping-keping, berubah menjadi bara. Sosok Latandai sendiri terpental belasan tombak. Lalu melayang jatuh, tergelimpang di celah antara dua batu besar. Dari tubuhnya mengepul asap.

"Latandai!" pekik Luhsantini. Perempuan ini melompat dari berlututnya, menghambur ke tempat Latandai terkapar. Dia melihat kenyataan bagaimana kini tidak sebuah bara apipun ada di kepala, dada dan perut Latandai. Dengan keluarkan pekik gembira seraya menyebut para Dewa, Peri dan roh berulang kali perempuan ini jatuhkan diri memeluk suaminya.

"Latandai… Latandai…" panggil Luhsantini berulang kali mendekap wajah lelaki itu dengan dua tangandan menciuminya.

Sosok Latandai bergerak. Dua matanya yang tadi terpejam perlahan-lahan terbuka. Dia menatap Luhsantini sesaat lalu tersenyum. Bola matanya yang tadinya ada empat kini kembali hanya dua. Tangan kanannya diusapkannya ke kepala, muka, dada dan perut. Tak ada lagi bara menyala! Latandai berseru gembira lalu bangkit berdiri.

"Aku sembuh Luhsantini! Aku sembuh! Permohonanmu dikabulkan!" Latandai mendukung, memeluk dan meciumi istrinya sambil berputar-putar di atas batu. "Terima kasih Peri Bunda, terima kasih semua Peri dan para Dewa, para roh!"

Perlahan-lahan Luhsantini diturunkannya. Dari mulutnya keluar suara tertawa aneh. Ketika Luhsantini hendak menjauhkan kepalanya guna dapat memandang wajah lelaki itu mendadak dua tangan Latandai menyambar cepat ke lehernya. Demikian kencangnya hingga perempuan ini merasakan nafasnya seolah berhenti dan tulang lehernya seperti mau patah. Lidahnya mulai terjulur.

"La… Latandai… Apa yang kau... laku…lakukan… Kau mencekikku…"

Tawa Latandai semakin keras. "Perempuan tolol. Apa kau kira menolongku berarti menghapus semua dosa terkutuk yang pernahkau lakukan dengan Lasingar?!"

"Latandai. Ap… apa maksud ucapanmu. Bukan… Bukankah kau berkata tidak ingin membicarakan hal masa silam. Lag… lagi pula aku tidak pernah melakukan perbuatan tidak senonoh dengan Lasingar…"

Latandai mendengus. "Delapan puluh tahun lalu kau berdusta. Sekarang masih saja berdusta! Siapa percaya padamu! Aku sudah sembuh Luhsantini! Dengar. Aku sudah sembuh! Dan aku tidak memerlukan dirimu lagi! Mampuslah perempuan jalang!"

Sepuluh jari kokoh Latandai disertai tenaga luar dan dalam yang sangat hebat mencengkeram siap menghancurkan leher Luhsantini. Pada saat itulah tangan kanan Luhsantini menghantam ke depan, mengarah ke perut Latandai. Melepas pukulan Di Balik Labukit Menghancur Lagunung! Tapi Latandai tidak buta. Tangan kirinya secepat kilat di babatkan ke bawah.

"Bukkk!"

Dua lengan saling beradu keras. Kedua orang itu terpental dan sama-sama kesakitan. Begitu lepas dari cekikan Latandai, Luhsantini berteriak marah.

"Manusia laknat! Binatang saja kalau ditolong tidak akan pernah berkhianat! Kau memang Hantu jahanam yang harus dimusnahkan!" untuk kedua kalinya Luhsantini menyerang dengan pukulan Di Balik Labukit Menghancur Lagunung.

Latandai cepat menyingkir. Gerakannya memang tidak terlalu cepat akibat kendala di bagian bawah perutnya. Sadar dan khawatir serangan lawan bisa mencelakainya maka lelaki ini menangkis dengan melepaskan pukulan sakti Selusin Bianglala Hitam. Dua belas larikan sinar hitam halus menggebubu. Luhsantini seperti gila melihat berkiblatnya dua belas sinar hitam itu. Delapan puluh tahun silam, pukulan inilah yang telah membuat cacat puteranya Lamatahati!

Seperti hendak mengadu jiwa, dengan nekad Luhsantini sambuti pukulan lawan dengan pukulan Di Balik Labukit Menghancur Lagunung. Kali ini dengan tangan kiri kanan sekaligus. Kesaktian Luhsantini boleh hebat, namun dia kalah jauh pada tenaga dalam. Begitu dua pukulan sakti bentrokan, terdengarlah pekik perempuan ini.

Tubuhnya terlempar ke udara setinggi tiga tombak lalu jatuh di atas batu. Darah mengucur di mulutnya. Dada pakaian merahnya robek dan hangus besar hingga auratnya tersingkap putih. Latandai sendiri terlempar satu tombak. Punggungnya menghantam gundukan batu. Sekujur tubuhnya bergetar hebat. Dadanya mendenyut sakit dan tubuhnya bagian bawah seolah hendak tanggal. Terbungkuk bungkuk dia melangkah mendekati sosok Luhsantini.

Saat itu dilihatnya salah satu kaki perempuan itu bergerak hingga pakaiannya tersibak di bagian paha. Nafas Latandai sesaat tertahan. Darahnya menyentak-nyentak. Apalagi ketika matanya membentur dada Luhsantini yang tidak tertutup. Nafsunya langsung menggelegak.

"Mungkin ada baiknya dia tidak segera mati…" kata Latandai menyeringai. Dia membungkuk di atas tubuh Luhsantini. Agar yakin perempuan itu tidak membuat gerakan tiba-tiba yang dapat mencelakainya, kedua tangan Luhsantini dilipatnya ke belakang.

"Kraaakk!"

Salah satu lengan Luhsantini berderak patah. Tapi tak ada suara jerit kesakitan keluar dari mulut perempuan ini, karena keadaannya saat itu nyaris pingsan. Latandai menyeringai, tangannya bergerak menyingkapkan pakaian merah Luhsantini sesaat lagi maksud terkutuknya akan kesampaian tiba-tiba satu ringkikan keras menggelegar di kawasan bebatuan itu.

"Wuuuutt!"

Kalau tidak lekas menyingkir pecahlah kepala Latandai kena tendangan dua kaki depan kuda raksasa berkaki enam!
TIGA BELAS
Rahang Latandai menggembung ketika melihat apa yang barusan hendak menghantam kepalanya. "Hantu Kaki Batu Jahanam!" teriak Latandai. "Kau mencari mati berani mencampuri urusanku!"

Sebelum melompat turun dari kudanya Hantu Kaki Batu alias Lakasipo berkata pada Luhkimkim. "Bawa kuda ke balik batu tinggi di sebelah kiri. Tunggu di sana bersama tiga saudaraku sampai urusanku selesai…"

"Untuk urusan keji seperti yang kau lakukan siapa saja boleh ikut campur Latandai! Ho ho ho! Bara di kepala, mata dan tubuhmu sudah lenyap rupanya! Bagaimana caranya kau menipu para Dewa dan para Peri?! Ha ha ha!"

"Jahanam kau Lakasipo! Perempuan itu adalah istriku sendiri! Mengapa kau sebut aku melakukan kekejian! Dan beraninya kau menghina para Dewa dan para Peri!"

"Latandai! Raut wajah dan bentuk tubuhmu boleh berubah seperti sediakala! Tapi hati bejat dan otak jahat tetap mendekam di dalam dirimu!"

"Sudah! Jangan bicara banyak! Kalau kau memang mau mati, aku bisa memberi cara yang tercepat!" Lalu Latandai pukulkan dua tangannya ke depan. Dua lusin sinar hitam menggebubu. Latandai lepaskan dua pukulan Selusin Bianglala Hitam.

Luhkimkim, Wiro, Naga Kuning dan Setan Ngompol yang menyaksikan perkelahian itu dari balik besar tersentak kaget melihat kehebatan serangan yang dilancarkan Latandai. Sederetan batu-batu besar di depan sana hancur berkeping-keping dilanda pukulan sakti yang dilancarkan Latandai.

Tapi Lakasipo sendiri sudah lenyap. Selagi Latandai berusaha mencari di mana lawannya berada tiba-tiba dari samping terdengar suara rantai bergemerincingan disertai sambaran sebuah bola batu ke arah dadanya. Latandai cepat jatuhkan diri ke samping lalu berguling menjauh. Dari jarak tiga tombak kembali dia menggempur dengan pukulan dua belas jalur sinar hitam. Walau bisa mengelak namun lambat laun Lakasipo terdesak juga.

Melihat hal ini Wiro segera berkata pada Luhkimkim. "Kalau Lakasipo berkelahi dalam jarak terlalu renggang, dirinya bisa celaka. Lekas kau berteriak padanya. Beri peringatan agar dia berkelahi dalam jarak dekat. Orang kondor seperti Latandai pasti tak bisa bergerak gesit dan cepat karena keberatan di selangkangannya!"

Bukannya mengikuti apa yang dikatakan Pendekar 212, anak perempuan bernama Luhkimkim itu malah bertanya. "Apa artinya kondor?"

"Kau ini ada saja yang ditanyakan. Kondor artinya barang si Latandai itu sebesar gentong!"

"Gentong? Apa pula artinya gentong?!"

Wiro garuk-garuk kepala. Naga Kuning akhirnya berkata. "Sobatku Kimkim! Sudah, jangan banyak tanya. Lekas kau beri tahu saja Latandai. Kalau sampai terlambat dia bisa celaka. Kita semua nanti juga ikut-ikutan celaka!"

Mendengar kata-kata Naga Kuning yang ada di telapak tangannya itu Luhkimkim segera berteriak. "Bapak Lakasipo, hadapi lawanmu dalam jarak pendek! Dia ada kondornya! Kondornya ada gentongnya! Pasti tak bisa bergerak cepat kalau diserang dari dekat! Kalau dari jauh kondornya bisa leluasa!"

Wiro tertawa bergelak sambil garuk-garuk kepala mendengar teriakan Luhkimkim itu. Naga Kuning tertawa gelak-gelak. Sedang Setan Ngompol terpingkal-pingkal dan terkencing-kencing!

Walau tidak begitu jelas apa yang dimaksudkan anak perempuan itu namun Lakasipo bisa juga menangkap arti ucapan Luhkimkim. Memang jika dia menggempur dari jarak jauh berarti lawan akan mampu menghujaninya dengan pukulan-pukulan sakti yang mengeluarkan dua belas jalur hitam maut itu. Maka Lakasipo pusatkan tenaga dalamnya ke kaki.

Bola Bola Iblis mengeluarkan suara menghentak menggetarkan tanah dan bebatuan di tempat itu begitu Lakasipo melangkah cepat mendekati lawan. Tubuhnya melesat ke udara. Bola batu di kaki kanannya menyambar ke kepala lawan.

Serangan ini bukan olah-olah hebatnya karena seperti diketahui di dalam dua kaki Lakasipo masih tersimpan ilmu kesaktian yang disebut Kaki Roh Pengantar Maut. Di samping itu sesekali Lakasipo barengi pula serangan dua kakinya dengan pukulan sakti Lima Kutuk Dari Langit. Lima sinar hitam menderu ganas.

Latandai yang tahu keganasan pukulan lawan tidak berani menyambuti dan semakin terdesak. Dalam keadaan seperti itu terpikir olehnya kalau dirinya kembali memiliki bara menyala akan lebih mudah baginya menghadapi lawan. Maka dalam hati lalu dia berdoa meminta.

"Wahai para Dewa, Peri dan semua roh! Aku mohon kembalikan diriku menjadi Hantu Bara Kaliatus!"

Tapi tak terjadi apa yang diharapkan. Latandai kembali memohon malah dengan-mengeluarkan suara keras. Sampai berulang kali. Tetap saja tidak terjadi apa-apa.

"Nenek Hantu Santet Laknat! Wahai di mana kau! Tolong aku. Tolong Aku nek. Kembalikan bara di kepala, dada dan perutku!"

Latandai ganti memohon pada si nenek sakti yang selama ini menguasai otak dan dirinya. Namun sia-sia belaka. Dalam keadaan terdesak salah satu ujung rantai di kaki Lakasipo sempat merobek pipi kirinya hingga terluka besar dan kucurkan darah! Latandai tambah was-was dan kecut ketika dilihatnya Luhsantini siuman dari pingsannya, lalu terhuyung-huyung melangkah ke arahnya.

"Wahai kerabat yang aku kenal dengan nama Lakasipo!" Luhsantini berseru. "Latandai adalah suami khianat musuh besarku! Serahkan dirinya padaku!"

"Kerabat Luhsantini! Siapapun kau adanya, kau berada dalam keadaan terluka! Menyingkirlah! Biar aku mewakilimu menyelesaikan urusan dengan manusia keji ini!"

"Sayang, aku tidak mau diwakili wahai kerabat. Jika kau tak mau mengalah berarti terpaksa kita menyerangnya bersama-sama!" ujar Luhsantini pula. Walau tangan kanannya patah dan sakitnya bukan main namun amarah dan dendam kesumat yang membakar dirinya membuat Luhsantini tidak perdulikan semua cidera yang dialaminya.

Kalau Lakasipo menyerang dari arah depan maka perempuan ini menyerbu dari samping kirinya. Tanpa ampun berulang kali Luhsantini lepaskan pukulan Di Balik Labukit Menghancur Lagunung!

Digempur dahsyat dari dua jurusan membuat Latandai terdesak hebat dan leleh nyalinya. Lebih-lebih ketika satu jotosan Luhsantini mengancurkan sambungan siku tangan kirinya hingga lengan kiri itu mulai dari siku ke bawah menjadi buntung!

Kini nyali Latandai benar-benar putus! Sambil melepas pukulan Selusin Bianglala Hitam dua kali berturut-turut untuk melindungi dirinya, dia melompat ke atas sebuah batu besar lalu melayang turun ke bawah dan tahu-tahu secara tak terduga telah menyambar sosok Luhkimkim yang ada di balik batu.

Anak perempuan ini terpekik saking kaget, takut dan kesakitan karena Latandai mencekal rambut lalu menyeret Luhkimkim ke arah walet raksasa tunggangannya. Wiro dan Naga Kuning yang masih ada dalam genggaman anak perempuan itu tak kalah takutnya. Setan Ngompol jangan dibilang lagi. Begitu Latandai melayang turun menjambak rambut Luhkimkim kakek satu ini sudah terbeser-beser!

Luhsantini dan Lakasipo melompat ke hadapan Latandai. Orang ini ganda tertawa. "Kau ingin membunuhku? Silahkan! Jangan kira aku tidak tega membunuh anak perempuan ini?"

Luhsantini menyumpah dalam hati. Lakasipo menggeram keras. "Kemana kau pergi! Sekalipun ke ujung langit akan kukejar!" teriak Lakasipo.

"Ho ho ho! Begitu! Silahkan kejar kalau kau mampu!" ejek Latandai. Lalu dia melompat ke atas punggung walet terbang. Luhkimkim yang masih terus dicekalnya diletakkanya di belakang kuduk walet. "Selamat tinggal para kerabat! Selamat tinggal Lakasipo malang. Selamat tinggal Luhsantini jalang! Ha ha ha!"

Luhsantini saking marahnya hendak lepaskan satu pukulan tangan kosong jarak jauh dengan tenaga dalam penuh. Tapi Lakasipo cepat pegang tangan perempuan itu.

"Jangan. Kalau pukulanmu meleset anak perempuan itu bisa celaka. Lagi pula dalam genggamannya ada tiga orang saudaraku!"

Walau tidak mengerti apa atau siapa yang dimaksud Lakasipo dengan tiga orang saudaranya itu namun Luhsantini urungkan niatnya untuk menghantam.

Sementara itu walet tunggangannya semakin tinggi, naik keudara. Suara gelak tawa Latandai masih terdengar di atas sana. Di dalam genggaman Luhkimkim yang gemetaran ketakutan, Wiro, Naga Kuning dan Setan Ngompol merasa sudah terbang nyawa masing-masing.

"Celaka kita semua. Celaka sahabatku Luhkimkim" ujar Naga Kuning.

Tiba-tiba dari langit sebelah timur ada satu sinar biru terang sekali. Makin lama makin besar dan bergerak ke bawah ke arah walet terbang. Sesaat kemudian cahaya biru itu berubah menjadi sosok seorang perempuan yang bergoyang-goyang seperti asap. Bersamaan dengan itu bau harum semerbak memenuhi udara.

"Peri Bunda!" seru Lakasipo dan Luhsantini begitu dia melihat lebih jelas dan mengenali siapa adanya sosok biru, di atas sana.

Kedua orang ini segera jatuhkan diri berlutut. Sampai saat itu Lakasipo secara tidak sadar masih memegangi tangan kiri Luhsantini yang tadi hendak memukul. Luhsantini sendiri tidak pula berusaha untuk melepaskan tangannya dari pegangan orang.

Latandai yang ada di atas walet terbang jadi berubah kecut tampangnya ketika dia melihat siapa yang muncul dari langit di atasnya. Dia berusaha mempertenang diri karena sampai saat itu masih menguasai Luhkimkim yang tetap terus dijambaknya.

"Kalau Peri itu berbuat macam-macam kupecahkan kepala anak ini!" kata Latandai dalam hati.

"Wahai Latandai manusia culas!" Peri Bunda berseru. Mahkota di kepalanya mengeluarkan sinar berkilauan. Pakaiannya yang berupa gulungan selendang biru panjang melambai-lambai. "Istrimu memohon pengampunan secara ikhlas. Ternyata petunjukku dan kemauan baik istrimu kau salah gunakan. Kau pakai untuk menipu. Hukuman tak bisa lepas darimu Latandai!"

"Peri Agung! Jika kau berani mencelakai diriku, anak perempuan ini akan kulempar ke bawah sana! Biar kepalanya mendarat hancur diatas bebatuan!" Latandai mengancam.

Peri Agung tersenyum. "Kau ingin membunuh anak itu! Jatuhkanlah sekarang juga! Aku peri Bunda tidak termakan ancamanmu!"

"Peri jahanam!" rutuk Latandai. Nekad sudah orang ini. Jambakannya di rambut Luhkimkim diperkencang. Lalu dengan satu betotan keras anak itu dilemparkannya ke bawah.

Luhkimkim menjerit keras. Tangannya yang menggenggam Wiro, Naga Kuning dan Setan Ngompol terbuka. Tak ampun lagi ketiga orang ini melayang jatuh sama-sama memekik.

Di bawah sana Luhsantini dan Lakasipo tak kalah kagetnya dan keluarkan seruan tertahan. Hanya beberapa saat lagi tubuh Luhkimkim akan jatuh di atas bebatuan disusul oleh tubuh Wiro dan kawan-kawannya, tiba-tiba ujung pakaian biru Peri Bunda melesat bergulung-gulung ke bawah, menyambar tubuh Luhkimkim sehingga anak ini merasa seperti di ayunan. Waktu pakaian menggulung tubuh anak perempuan itu tiga sosok tubuh Wiro dan kawan-kawannya ikut tergulung.

"Hai apa yang terjadi?!" teriak Setan Ngompol yang sudah basah kuyup aurat sebelah bawahnya.

"Kita melayang dalam gulungan pakaian makhluk aneh di atas sana!" ujar Wiro.

Walah! Aku tahu kita berada di mana! Kita memang tergulung tapi aku berada di atas dada Luhkimkim! Maut mengintai tapi rejeki besar yang kudapati Hik hik hik!" Itu suaranya Naga Kuning.

Tubuh Luhkimkim mendarat lembut di Atas sebuah batu besar. Begitu juga Wiro, Naga Kuning dan Setan Ngompol yang ada di atas dada perempuan Ini. Luhkimkim cepat memegang tiga sahabat kecilnya itu lalu berlutut sambil dongakkan kepala ke atas dan berkata,

"Peri Bunda, Peri Agung, saya Luhkimkim mengucap kan terima kasih atas pertolonganmu."

"Anak baik anak berbudi aku mengucapkan terima kasih kembali. Jaga baik-baik tiga temanmu…" menyahuti Peri Agung sambil tersenyum.

"Makhluk bernama Peri Agung itu ternyata memang cantik," bisik Setan Ngompol ke telinga Wiro lalu senyum-senyum sendiri sambi! memandang ke atas. Sementara itu Luhsantini dan Lakasipo segera mendatangi Luhkimkim.

Di atas sana, di punggung walet Latandai jadi bingung sendiri dalam kecutnya. Tiba-tiba digebraknya tubuh binatang itu. Namun sebelum binatang ini melayang terbang menjauhi Peri Bunda, tahu-tahu sang Peri sudah berada di hadapannya. Telapak tangan kirinya diacungkan ke depan kepala walet hingga binatang ini seolah-olah kaku tak bisa bergerak barang sedikitpun.

"Latandai! Aku terpaksa menjatuhkan hukuman atas dirimu sekali lagi. Kau akan menjadi makhluk bernama Hantu Bara Kaliatus kembali! Namun kau tidak memiliki kesaktian apa-apa. Dua ratus bara api akan kususupkan dalam perutmu! Seumur-umur kau akan hidup dengan sekujur tubuh seperti dipanggang!"

Peri Bunda angkat tangan kanannya lalu dua jari menjentik. Dua ratus sinar merah sebesar ujung ibu jari kaki, entah dari mana datangnya melesat masuk kedalam perut Latandai. Dari luar perut itu kelihatan memancarkan sinar terang bara api. Latandai menjerit keras tiada hentinya

Peri Bunda tarik tangan kirinya. Walet yang tadi mengapung kaku tak bergerak kini kepakkan sayapnya lalu terbang menuju ke barat. Di atas punggungnya Latandai terbaring menelungkup kelojotan dan terus berteriak-teriak. Bersamaan dengan itu sosok Peri Bunda melesat ke atas lalu lenyap seolah menembus langit.

"Luhkimkim, kau tak apa-apa?" tanya Lakasipo sambil membantu anak perempuan itu berdiri. Si anak yang masih dicekam ketakutan hanya menjawab dengan gelengan kepala. Lalu tangan kirinya diulurkan.

"Ha ha ha…! Wahai tiga saudaraku! Syukur kalian juga selamat! Aku tadi sudah sangat khawatir! Agar tidak kena celaka lagi biar kalian kumasukkan kembali ke dalam kocek!"

"Kami lebih suka dipegang oleh Luhkimkim saja!" kata Naga Kuning cepat-cepat sambil senyum-senyum.

"Makhluk-makhluk aneh. Manusia, atau apa mereka itu? Bagaimana kau mengatakan mereka adalah saudara-saudaramu wahai Lakasipo?" tanya Luhsantini.

"Panjang ceritanya. Kalau kau suka akan kuceritakan dalam perjalanan…"

"Eh, memangnya kita mau mengadakan perjalanan kemana? Tempat tinggalku adalah di daerah ini…" kata Luhsantini pula.

Air muka Lakasipo jadi kemerah-merahan. "Maksudku… Hemm, aku menduga apa gunanya kau memencilkan diri terus menerus di tempat sunyi ini. Lebih baik kembali ke Negeri Latanahsilam bersama kami!"

"Berat bagiku untuk kembali ke sana wahai Lakasipo. Hidup ini sudah terlanjur bergelimang derita. Aku lebih suka pergi ke tempat yang lain. Mungkin aku akan mencari puteraku yang hilang…"

"Jika kau suka aku mau membantu mencari puteramu itu. Namun itu bukan pekerjaan mudah karena kabarnya dia telah masuk ke dunia para saudara-saudaraku ini. Tapi tidak ada salahnya berusaha. Asalkan sebelum melakukan pencarian kita ke Lanahsilam dulu untuk sama-sama mengantarkan anak perempuan ini. Lagi pula tanganmu yang patah perlu rawat."

Luhsantini terdiam sejenak. Sepertinya dia tengah menimbang-nimbang. Sesekali dia melirik pada Lakasipo. Di atas tangan Luhkimkim Naga Kuning berbisik,

"Kurasa perempuan itu naksir sama Lakasipo. Tapi mungkin merasa bingung, bagaimana ya rasanya kalau punya kekasih yang dua kakinya dibungkus batu seperti bola…?"

"Salah-salah lagi asyik bercumbu kaki sang kekasih bisa ketiban gandulan batu itu!" menyahuti Wiro.

Ketiga orang itu tertawa terpingkal-pingkal. Bersamaan dengan itu Lakasipo sendiri secara tak sengaja memperhatikan dua kakinya. Dalam hati lelaki ini membatin.

"Mungkin keadaan dua kakiku ini yang membuat Luhsantini tidak mau melakukan perjalanan bersama-sama." Menyadari keadaan dirinya Lakasipo lalu menaikkan Luhkimkim ke atas punggung kuda kaki enam Laekakienam. Ketika Lakasipo sudah berada di punggung binatang raksasa itu Luhsantini masih tegak termangu.

"Selamat tinggal wahai Luhsantini. Aku tidak memaksa kau ikut bersama kami. Kemana pun kau pergi berlakulah hati-hati."

Luhsantini anggukkan kepala mendengar ucapan Lakasipo itu. Ketika kuda kaki enam itu mulai melangkah perempuan ini bertanya. "Apa masih cukup tempat bagiku dipunggung kuda itu?"

Lakasipo tertawa lebar. Dia melompat turun. Menolong Luhsantini naik ke atas kuda lalu melompat naik dan duduk di belakang Luhsantini.

"Wah, kalau begini agar yang dua orang itu senang, lebih baik kita mencari jalan jauh berputar. Biar lama Hik hik hik!" Naga Kuning tertawa cekikikan.

"Sebenarnya bukan cuma Lakasipo dan Luhsantini yang ingin dan merasa senang. Kau juga kan?!" kata Wiro pula.

"Sssst… jangan bicara keras-keras! Nanti Lakasipo mendengar! Kita bertiga nanti bisa masuk ke dalam kocek bau pesing itu!" Naga Kuning tertawa geli.

"Bagaimana rasanya tadi menempel di dada anak itu waktu jatuh dari atas walet…?" Setan Ngompol bertanya.

"Kakek gendeng!" ujar Naga Kuning pura-pura marah. Lalu menyambung ucapannya. "Kalau ada kesempatan lagi aku mau-mau saja Hik hik hik...!"

T A M A T
Episode Selanjutnya :
LihatTutupKomentar