Mahesa Kelud - Menggebrak Kotaraja
KARYA: BASTIAN TITO
Hak Cipta Dan Copyright
Pada Penerbit
Dibawah Lindungan Undang-Undang
Episode 07 Menggebrak Kotaraja
Perlahan-lahan Mahesa Kelud berdiri dan meninggalkan tempat itu, menuju ke arah datangnya suara tangisan. Samar-samar dalam kegelapan dilihatnya sosok tubuh duduk di atas batang kayu di tepi
sungai, membelakanginya. Langkahnya serta merta terhenti ketika pemuda ini mengenali siapa adanya orang tersebut. Satu
pergolakan terjadi dalam dadanya. Pergolakan antara rasa kasih sayang dan
kasihan dengan rasa kekecewaan dan kelukaan hati! Pemuda ini termangu sejurus.
Rasa kasih sayang dikalahkan oleh rasa kekecewaan. Rasa iba dikalahkan oleh
kelukaan hati yang amat sangat. Pemuda ini segera putar tubuhnya namun kakinya
menginjak sebatang ranting kering! Suara patahan ranting terdengar jelas dan
keras dalam kesunyian itu. Orang yang sedang menangis memutar tubuh!
"Mahesa!"
Betapapun, kerasnya hati, namun seruan itu, suara itu membuat mau tak mau Mahesa
Kelud menghentikan langkahnya. Wulansari menjatuhkan dirinya di hadapan pemuda
itu, memeluk kakinya dan menangis tersedu-sedu. Mahesa merasakan butiran-butiran
air mata hangat membasahi kakinya.
"Mahesa... Mahesa..." ratap Wulansari. Hati yang tadi keras, hati
yang tadi begitu kecewa dan sedih, hati yang tadi demikian lukanya, kini
seperti diguyur air dingin sejuk. Kalau tadi Mahesa Kelud mengangkat kepalanya
tinggi-tinggi, memandang ke arah kejauhan, maka kini perlahan-lahan kepala itu diturunkannya.
"Wulan..." bergetar suara pemuda ini ketika menyebut nama
kekasihnya.
"Berdirilah," katanya.
"Kau... kau maafkan aku, Mahesa...?" sedu Wulansari.
"Tak ada yang harus dimaafkan, Wulan."
"Ada, aku salah. Aku bersalah besar terhadapmu, Mahesa. Aku berdosa
besar!"
"Tak ada kesalahan yang kau buat, adik. Tak ada dosa yang kau lakukan.
Berdirilah."
"Tidak Mahesa, aku merasa bersalah dan berdosa meski kau anggap itu
semua tidak
ada. Maafkan dulu aku, Mahesa,maafkan dulu adikmu ini, baru aku berdiri...."
"Aku maafkan kau Wulan.Berdirilah...."
Gadis itu berdiri. Dipeluknya tubuh Mahesa, disembunyikannya kepalanya di
dada yang bidang itu. Dia masih menangis tapi bukan menangis karena sedih,
sebaliknya kini menangis gembira!
Mahesa Kelud membelai rambut kekasihnya. Kemudian disekanya pipi yang basah
dengan air mata itu, bahkan dengan penuh kasih sayang diciumnya kedua mata
yang bening berkilauan oleh air mata itu. Wulansari tersenyum. Betapa indahnya senyum
itu, lebih indah rasanya dari yang dulu-dulu.
"Wulan, mari kita pergi dari sini..." kata Mahesa. Keduanya
meninggalkan tempat
itu, menuju ke pondok. Beberapa tombak dari pondok tersebut Mahesa
menghentikan langkahnya.
"Kau tunggu di sini saja, Wulan."
"Kau mau ke mana, Mahesa...."
"Menemui gadis itu untuk menerangkan kepadanya bahwa bila pagi tiba
dia bisa kembali ke kotaraja, ke gedung ayahnya."
"Kau tak boleh temui dia, Mahesa. Aku benci padanya."
"Aku memaklumi,Wulan....
Kalau begitu kaulah yang pergi." Gadis itu gelengkan kepalanya.
"Sudah, pergilah...."
"Kau tidak marah...?"
"Tidak."
"Kau tidak cemburu?"