Mahesa Kelud - Pulau Mayat
MAHESA KELUD
KARYA: BASTIAN TITO
PULAU MAYAT
Selagi Mahesa Kelud berada dalam kebimbangan begitu rupa, si cantik di belakang dinding kaca membuka mulut.
"Orang muda, bukankah kau manusianya yang bernama Mahesa Kelud?"
Mahesa sembunyikan rasa terkejutnya. Sesaat kemudian malah dia balik bertanya. "Kau sendiri bukankah yang disebut orang sebagai Dewi Maut, penguasa Pulau Mayat?!"
Yang ditanya tertawa merdu. Kedua pipinya kelihatan menjadi merah. "Mahesa Kelud, pertanyaan yang kau ucapkan barusan tanpa kau sadari telah membuka kedok sandiwara siapa dirimu!"
Mahesa Kelud terkesiap. Apa yang diucapkan Dewi Maut memang benar. Dia memaki kebodohannya sendiri. Dewi Maut kembali tertawa lalu berkata, "Kalau kurang jelas bagimu biar kupaparkan ketololanmu. Pertama tiang layar perahu yang patah. Tak ada hujan tak ada badai, bagaimana mungkin tiang perahu bisa patah. Kedua samaran pakaianmu yang rombeng bertambal-tambal lebih cocok untuk jadi seorang pengemis daripada nelayan.
Ketiga, mana ada nelayan berkulit sekuning yang kau mlliki? Hi... hik... hik! Kalau kau hendak menipu dan bersandiwara lebih baik belajar dulu pada anak buahku."
Mahesa Kelud hanya bisa memandang dengan mulut terkatup. Di seberang sana si cantik berpakaian hijau itu kembali berkata.
"Kini kau tahu di mana kau berada, dengan siapa kau berhadapan! Kau sudah menyelidik tentang kami berarti kau sudah tahu adanya peraturan barang siapa yang injakkan kakinya di pulau ini akan menemui ajalnya!
Sebelum kepalamu dipisahkan dengan badan aku ingin tanya, apa maksud kedatanganmu ke sini?!"
"Dewi Maut aku selalu mengambil sikap persahabatan terhadap siapa saja juga terhadap kau...."
"Jangan bicara semanis trengguli orang muda! Ingat bahwa kau telah membunuh salah seorang mata-mataku?" potong Dewi Maut
"Aku tidak tahu kalau dia adalah mata-matamu. Yang aku tahu ialah bahwa dia telah membunuh nelayan tua yang tidak berdosa itu!"
"Nelayan tua itu tidak berdosa katamu? Dia telah melanggar aturan, memberitahu tentang Pulau Mayat dan juga tentangku!"
"Dan karena itu dia harus mati?"
"Harus mati! Sebentar lagi kau juga akan menyusul!" jawab Dewi Maut. "Kau belum jawab apa maksud kedatanganmu yang sebenarnya ke sini!"
Mahesa Kelud melangkah ke hadapan dinding kaca. Antara dia dan Dewi Maut hanya dipisahkan oleh dinding kaca itu saja dan dalam jarak sedekat itu Mahesa Kelud dapat melihat lebih jelas kecantikan yang dimiliki perempuan tersebut. Dewi Maut sendiri merasa berdebar hatinya disoroti pandangan demikian rupa. Seumur hidupnya baru hari itu dia berhadapan dengan seorang laki-laki berparas gagah dan bernyali besar macam Mahesa Kelud. Dia merasa bimbang apakah dia benar-benar tega untuk memisahkan kepala laki-laki itu dengan badannya?
"Dewi Maut, kau pernah kenal dengan seorang tua sakti bernama Karang Sewu?"
Terkejut Dewi Maut mendengar pertanyaan itu.
"Kenapa?" balas menanya dia.
"Orang tua itu pernah menolongku ketika aku didekam dalam penjara batu oleh seorang musuh sakti. Ketika aku dilepaskannya, aku diberinya tugas untuk mencari dan membunuhmu! Aku tidak perduli permusuhan apa yang ada di antara kalian, namun hutang nyawaku kepadanya membuat dan memaksaku untuk melaksanakan tugas yang dibebankannya ke pundakku."