Mahesa Kelud - Banjir Darah Di Ujung Kulon

MAHESA KELUD
KARYA:BASTIAN TITO


BANJIR DARAH DI UJUNG KULON

"Nyi Gambir sompret!" Orang tua itu memaki menyebut nama nenek yang barusan saja tinggalkan tempat itu. "Kalau dia tidak muncul mengganggu, urusanku dengan pemuda sialan ini pasti sudah selesai! Sekarang aku terpaksa harus menunggu sampai dia siuman! Sompret betul!"
Dia garuk-garuk kepalanya berulang kali. Lalu sudut matanya menangkap sesuatu melayang di udara. "Hemmm... ada baiknya sambil menunggu aku mengisi perut dulu!" katanya dalam hati. Dekat tempatnya duduk menjelepok di tanah ada sebuah batu sebesar ibu jari kaki. Batu itu diambilnya. Lalu acuh tak acuh, tanpa mendongakkan kepalanya ke atas, orang tua ini lemparkan batu itu ke udara.
"Plekkk!"
Terdengar suara batu mengenai benda yang terbang di udara menyusul suara berkuik pendek. Lalu benda itu jatuh ke bawah dan "breekk!" Jatuh tepat di atas pangkuan orang tua itu.
"Hemmm... Cuma seekor burung hutan. Kurang sedap tapi lumayan dari pada tidak makan apa-apa!" Orang tua ini lantas dengan cepat menguliti burung besar yang barusan dihantamnya jatuh dengan lemparan batu. Tak lama kemudian tampak dia komat kamit asyik menyantap daging burung mentah itu.
"Sialan! Kalau gigiku tidak pada ompong tentu akan lebih cepat burung ini kuhabiskan!" Si orang tua memaki sendiri. 
Sebelum burung itu habis disantapnya tiba-tiba dia melihat tubuh Udayana bergerak. Si orang tua buang daging burung yang tengah dimakannya.
"Hemmmm.... Anak sompret, kau sudah  aluman rupanya! Bagus!"
Si orang tua tepuk-tepuk pipi Udayana kiri kanan. Karena tepukan itu sama saja dengan tamparan tak urung Udayana jadi menjerit kesakitan!
"Bangun! Jangan tidur saja sompret!" makisi orang tua yang menganggap pingsannya si pemuda sebagai tidur. "Tadi kau bilang kau muridnya Empu Sora! Betul?!"
Sambil menahan sakit Udayana menjawab. "Betul! Apa kau kini mau percaya?" Pemuda murid Empu Sora dari Ujung Kulon itu menatap wajah si kakek sementara dalam hatinya dia bertanya-tanya apa yang barusan telah terjadi atas dirinya. Mengapa dia kini terbujur di tanah dan dengan bertanyanya si orang tua apakah kini dia punya harapan?
"Kalau kau memang anak murid perguruan Ujung Kulon, coba kau tunjukkan bukti!"
"Bukti...? Bagaimana aku harus membuktikan...?" Udayana membatin. Tiba-tiba dia ingat pada pedang hijau di punggungnya. Dia gerakkan tangan hendak mencabut tapi baru sadar kalau saat itu sekujur tubuhnya masih berada dalam keadaan terikat tali hitam aneh.
"Sompret! Mana buktinya! Jangan kau berani dusta padaku!" membentak si orang tua.
"Di punggungku! Aku membawa sebilah pedang hijau pemberian guru pertanda aku murid perguruan Ujung Kulon," menjawab Udayana.
"Coba tunjukkan! Perlihatkan senjata itu padaku!"
"Tubuhku terikat! Mana mungkin mengambil pedang!" ujar Udayana.
"Sompret!" Si orang tua aneh segera lepaskan ikatan Udayana. Begitu ikatan dilepaskan. Udayana segera cabut pedang hijau dari balik punggung, dia berdiri dan perlihatkan senjata itu pada si orang tua.


Download Selengkapnya:
File .txt
File Pdf

LihatTutupKomentar