Mata Air di Bayangan Bukit


Mata Air di Bayangan Bukit
Karya : SH. Mintardja

TIDAK seorangpun tahu, sejak kapan kolam itu berada di dataran sempit di sebuah bukit. Di bawah sebatang pohon yang besar dan rimbun, berdaun tiga bentuk.
Sebenarnya bukan karena pohon itu pohon ajaib yang berdaun tiga bentuk dalam jenis yang berbeda. Tetapi pohon yang besar itu memang terdiri dari tiga batang pohon. Tiga batang pohon yang tumbuh berhimpitan. Ketika pohon itu menjadi semakin besar, maka ketiga batangnya seolah-olah luluh menjadi satu. Sedang cabang-cabangnya berhiaskan daunnya masing-masing yang berbeda.
Berpuluh-puluh bahkan beratus-ratus tahun kolam itu tidak dijamah. Meskipun airnya bening dan bersumber dari mata air yang deras di bawah batang pohon raksasa yang berdaun tiga jenis itu, namun sendang itu adalah sendang yang berada di lingkungan hutan kecil di bukit yang jarang disentuh kaki manusia. Airnya yang berlimpah menyusup di sela-sela batu-batu padas dan mengalir tidak terarah, sehingga akhirnya terjun ke dalam sebuah lereng terjal dan hilang masuk ke dalam luweng yang dalam, menyatu dengan aliran air di bawah batu-batu padas yang keras.
Dari musim ke musim, kolam itu tetap melimpahkan airnya yang bening. Meskipun langit bersih dan udara kering di musim kemarau, namun kolam itu seakan-akan tidak pernah susut.
Sekali-kali dari gerumbul-gerumbul yang lebat di seputar kolam itu, beberapa ekor binatang turun dengan ragu-ragu. Jika terdengar aum harimau, maka binatang-binatang yang lainpun segera berlari tunggang langgang, hilang di balik rimbunnya dedaunan.
Binatang buas itu pulalah yang menyebabkan daerah itu jarang dikunjungi manusia. Meskipun di bawah bukit itu terdapat beberapa padukuhan, namun tidak seorangpun di antara mereka yang pernah bermimpi untuk menyadap air dari kolam itu bagi kepentingan padukuhan mereka.
Karena itulah, maka padukuhan-padukuhan di bawah bukit itu menggantungkan air bagi sawah dan ladang mereka dari hujan yang jatuh dari langit. Sehingga di musim kemarau, tidak ada di antara mereka yang dapat menanam jenis padi yang manapun selain satu dua orang mencoba juga menanam padi gaga dan palawija.
Meskipun demikian, orang-orang di padukuhan di bawah bukit itu tidak berusaha merubah keadaan mereka. Mereka hidup seperti nenek moyang mereka yang tinggal sejak lama di daerah itu. Bahkan mereka merasa wajib menghormati dengan segala tata cara dan kebiasaan yang mereka pertahankan. Seolah-olah apa yang ada dan berlaku di padukuhan mereka haruslah mutlak berlangsung terus dari tahun ke tahun.

Mata Air di Bayangan Bukit (23 episode)
Download gratis eBook bundel .txt 
LihatTutupKomentar