Hijaunya Lembah, Hijaunya Lereng Pegunungan Jilid 098


“Kami ingin bertemu dengan Ki Buyut Bumiagara, Ki Sanak,” jawab Mahisa Murti.
“Untuk apa?” bertanya orang itu pula.
“Kami ingin membicarakan tentang satu hal yang bagi kami, kami anggap penting,” jawab Mahisa Murti.
“Tentang apa?” desak orang itu.

Mahisa Murti termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Tentang jual beli yang ternyata sampai sekarang masih belum tuntas. Tetapi rasa-rasanya pembicaraan kami hampir menemukan titik temu,” jawab Mahisa Murti.

Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian orang itu berkata, “Jangan sekarang Ki Sanak. Sekarang sudah terlalu malam untuk berbicara tentang jual beli. Apalagi di kabuyutan ini sedang terjadi sesuatu yang tidak menarik.”

“Apa yang terjadi?” bertanya orang itu.

“Perampok. Seseorang telah merampok di Kabuyutan ini. Karena itu kami harus menangkapnya. Semua jalan tertutup. Bahkan di tengah-tengah sawah itu-pun terdapat orang-orang kami yang mengawasi. Rasa-rasanya setiap pematang tidak terlepas dari pengawasan kami,” jawab orang itu.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan sejenak. Namun kemudian Mahisa Murti bertanya, “Hanya seorang?”

“Ya,” jawab orang itu hampir diluar sadarnya.

“Hanya seorang berani merampok di Kabuyutan Bumiagara?” bertanya Mahisa Murti pula.

Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Yang kami ketahui baru seorang. Mungkin lebih dari seorang. Karena itu, maka kami minta Ki Sanak kembali saja. Besok kalian dapat datang lagi kemari untuk bertemu dengan Ki Buyut.”

“Maaf Ki Sanak,” jawab Mahisa Murti, “Persoalannya sangat penting. Jual beli itu harus selesai malam ini. Besok pagi-pagi segalanya sudah terlambat.”

Tetapi orng itu tetap saja menggelengkan kepalanya. Katanya, “Tidak. Aku sudah menentukan, bahwa kau tidak boleh memasuki Kabuyutan Bumiagara malam ini.”

“Jika demikian, aku akan menunggu di sini. Tolong, panggilkan Ki Buyut. Jika kami tidak bertemu malam ini dengan Ki Buyut, maka Ki Buyut akan menjadi sangat kecewa. Mungkin ia akan menimpakan kesalahan kepada kalian,” berkata Mahisa Murti.

Orang itu ternyata termangu-mangu. Ia benar-benar menjadi bimbang. Kata-kata anak muda itu rasa-rasanya sangat sangat meyakinkan. Seolah-olah ia akan benar-benar bertanggung jawab jika Ki Buyut menjadi sangat kecewa karena kelambatan pembicaraan tentang jual beli.

Namun orang itu ternyata tetap teguh pada pendiriannya. Katanya kepada anak-anak muda itu, “Aku sudah mengatakan kepada kalian, bahwa malam ini tidak ada pembicaraan apa-pun. Kami sedang berusaha menangkap orang yang sangat berbahaya bagi Kabuyutan kami.”

Mahisa Murti menjadi semakin ingin berbicara dengan Ki Buyut. Rasa-rasanya ada hubungannya antara hilangnya seorang cantrik padepokannya dengan persoalan yang terjadi di Kabuyutan Bumiagara, justru karena seseorang mendengar bahwa cantrik yang hilang itu pergi bersama-sama orang Bumiagara. Bahkan Ki Buyut Bumiagara sendiri.

Karena itu, maka Mahisa Murti-pun berkata, “Sekali lagi aku minta, beri aku jalan untuk menemui Ki Buyut Bumiagara.”

Orang itu justru menjadi marah. Katanya, “Kau akan memaksa? Apakah kau tidak melihat, bahwa kami, seisi Kabuyutan ini sudah bersiap malam ini. Jika kau berkeras untuk menemui Ki Buyut, maka kesiagaan ini akan dapat beralih sasaran. Kau akan dapat menjadi kambing hitam dari peristiwa yang terjadi di Bumiagara.”

Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Namun tiba-tiba saja ia berkata, “Baiklah Ki Sanak. Jika kalian berkeras tidak memberikan kesempatan aku bertemu dengan Ki Buyut, maka aku akan kembali. Tetapi sekali lagi, segala tanggung jawab ada pada kalian.”

“Ya,” jawab orang itu tegas, meskipun sebenarnya ia masih saja ragu-ragu, “Aku bertanggung jawab.”

“Baik. Katakan, bahwa kami adalah orang-orang dari padepokan Bajra Seta,” desis Mahisa Murti.

“He,” tiba-tiba saja orang itu seperti terbangun dari tidur, “Kalian orang-orang Bajra Seta.”

“Ya. Kami mempunyai persoalan yang perlu kami selesaikan dengan Ki Buyut,” jawab Mahisa Murti.

Orang itu justru menjadi bingung. Dengan gagap ia bertanya, “Apa sebenarnya keperluanmu datang kemari?”

“Kalau aku mengaku orang dari perguruan Bajra Seta, kau tentu sudah tahu, kenapa kami datang kemari,” jawab Mhisa Murti.

Untuk sesaat orang itu masih bingung. Ia masih belum tahu apa yang sebaiknya dilakukan. Namun sementara itu telah terdengar derap tiga ekor kuda mendekati tempat mereka. Tiga ekor kuda dari arah pedukuhan.

Dengan sigapnya ketiga orang penunggangnya meloncat turun ketika kuda mereka berhenti. Seorang di antara mereka dengan serta merta memberikan perintah, “Hati-hati. Ada yang memberikan laporan, bahwa orang yang kita cari nampak menuju ke tempat ini, atau sekitar tempat ini. Jangan beri kesempatan kepadanya untuk lolos.”

Sebenarnyalah, cantrik yang diburu itu hampir menjadi putus asa. Seakan-akan memang tidak ada jalan yang dapat ditempuh untuk keluar dari Kabuyutan. Meskipun dalam malam hari, namun agaknya seluruh Kabuyutan telah dikepung temu gelang. Tidak ada lubang selembut lubang sarang tikus sekalipun yang dapat dipergunakan untuk meloloskan diri.

Namun ternyata dari tempatnya bersembunyi, cantrik itu sempat mendengar pembicaraan antara orang-orang yang berjaga-jaga dengan beberapa orang berkuda. Semula tidak begitu jelas. Namun ketika ia memberanikan diri, menyusup di antara pohon jagung yang subur, maka ia dapat menangkap pembicaraan itu.

“Mahisa Murti. Aku kenal suara itu,” katanya di dalam hati. Harapannya-pun mulai tumbuh. Apalagi ketika ia mendengar pengakuan orang-orang yang datang berkuda itu. Mereka adalah orang-orang Bajra Seta.

Cantrik itu berusaha mendekat lagi. Namun dengan demikian batang jagung-pun telah bergoyang. Orang-orang yang berdiri di pematang, sempat melihatnya meskipun mereka juga tertarik pada pembicaraan di jalan bulak itu.

Karena itu, maka orang-orang yang ada di pematang itu-pun segera bergeser sambil berteriak, “Orang itu ada di sini.”

Orang-orang yang ada di jalan itu-pun berpaling. Orang yang datang berkuda dari padukuhan itu-pun berteriak, “Kepung orang itu.”

Beberapa orang segera bergerak. Namun sebelum mereka sempat menemukan orang yang mereka cari, tiba-tiba orang itu telah meloncat dan berlari mendekati Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.

“Ini aku,” berkata cantrik itu dengan nafas yang terengah-engah. Kemudian katanya pula, “Aku hampir mati kehabisan nafas. Aku telah dikejar-kejar oleh orang se Kabuyutan.”

“Kenapa kau sampai di sini?” bertanya Mahisa Murti.

“Aku telah dijebaknya,” jawab cantrik itu.

Mahisa Murti, Mahisa Pukat, Wantilan dan kedua orang cantrik itu-pun segera berloncatan turun dari kuda-kuda mereka. Dengan tenang mereka mengikat kuda-kuda mereka pada batang-batang perdu di pinggir jalan.

Namun dalam pada itu, orang-orang Kabuyutan Bumiagara lah yang nampak gelisah. Orang yang datang berkuda, yang agaknya bebahu Kabuyutan itu berkata lantang, “Tangkap orang itu.”

“Tunggu Ki Sanak,” berkata Mahisa Murti, “Orang inilah yang akan aku bicarakan dengan Ki Buyut. Aku kehilangan orangku yang menurut keterangan yang aku terima, cantrik padepokan Bajra Seta itu telah dibawa oleh Ki Buyut Bumiagara.”

“Cantrikmu bukan barang mati,” jawab bebahu itu, “Jika ia sampai di sini tentu ada sebabnya.”

“Ya. Sebab itulah yang akan aku tanyakan kepada Ki Buyut Bumiagara,” jawab Mahisa Murti.

“Cantrik itu telah menerima upahnya untuk bekerja di sini. Tetapi ia melarikan diri,” jawab bebahu itu.

“Omong kosong,” teriak cantrik itu, “Aku tidak pernah merasa menerima upah dan membuat perjanjian untuk tinggal dan bekerja bagi Kabuyutan Bumiagara. Aku telah dibujuknya untuk datang ke Kabuyutan ini sekedar untuk memperkenalkan diri.”

“Tetapi kau terima uang pemberian Ki Buyut itu,” bentak bebahu itu.

Tetapi cantrik itu-pun membentak, “Pemberian itu tidak didasari ikatan apa-pun. Menurut Ki Buyut sekedar ungkapan kekagumannya kepadaku yang telah mampu memiliki ilmu yang tinggi dibidangku. Khususnya sebagai pande besi.”

“Kau dapat memutar balikkan lidahmu. Tetapi kau sudah menerima uang itu,” geram bebahu itu.

Sebelum cantrik itu menjawab, Mahisa Murti-pun berkata, “Karena itu, biarlah aku bertemu dengan Ki Buyut untuk mengetahui apakah sebenarnya yang telah terjadi.”

Tetapi bebahu menggeram, “Menyerahlah. Kalian semua akan kami tangkap.”

“Tidak Ki Sanak,” jawab Mahisa Murti, “Aku akan berbicara dengan Ki Buyut dalam kedudukan yang sama. Bukan sebagai tawanan. Karena itu, biarlah kami menunggu di sini. Ajak Ki Buyut kemari.”

“Setan kau,” geram bebahu itu, “Apakah kau tidak melihat orang-orang kami yang siap menangkap kalian?”

“Ki Sanak,” berkata Mahisa Murti, “Aku tidak ingin terjadi benturan kekerasan di antara kita. Kita dapat berbicara dengan baik untuk mendapatkan pemecahan. Bukankah kita mempunyai kesempatan untuk merenungkan dan mengurai langkah-langkah yang akan kita ambil?”

“Tidak. Ini adalah daerah Kabuyutan Bumiagara. Kau harus tunduk kepada semua ketentuan yang berlaku di Bumiagara,” berkata bebahu itu.

“Tetapi Bumiagara berada di daerah Singasari. Segala macam ketentuan dan paugeran tidak boleh bertentangan dengan ketentuan dan paugeran yang berlaku di Singasari. Termasuk Kabuyutan Bumiagara,” berkata Mahisa Murti.

“Kamilah yang mengetahui apa yang terjadi,” jawab bebahu itu, “Hanya kamilah yang dapat menjatuhkan keputusan atas sesuatu persoalan. Karena itu, maka menyerahlah. Kalian harus kami tangkap.”

Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Namun sebelum ia menjawab, Mahisa Pukat telah menjawab, “Kami tidak bersedia untuk menyerah. Kami hanya bersedia untuk berbicara dengan Ki Buyut. Bahkan jika perlu kami akan menangkap Ki Buyut dan membawanya ke Singasari, karena ia telah menyalahgunakan jabatannya untuk melakukan sesuatu yang tidak sewajarnya dilakukan oleh seorang Buyut.”

Bebahu itu menggeram. Katanya dengan marah, “Kami akan menangkap kalian. Tetapi jika kalian melawan dan kemudian terjadi bencana yang paling pahit bagi kalian, jangan salahkan kami.”

“Nah, kau harus mendengarkan kata-katamu sendiri,” berkata Mahisa Pukat, “Kami bukannya orang yang mendahului melakukan kekerasan. Tetapi kami akan mempertahankan hak dan kebebasan kami.”

“Persetan,” geram orang itu yang kemudian memberikan isyarat kepada orang-orangnya, “Aku ulangi perintahku tadi. Tangkap orang-orang itu. Semuanya. Terutama cantrik yang telah mengacukan Kabuyutan kita.”

Orang-orang itu-pun segera bergerak. Orang-orang yang semula berada di pematangan telah berlari-larian mendekat pula.

Sementara itu, Mahisa Murti yang tidak melihat kemungkinan lain telah memerintahkan pula kepada cantrik yang menyertainya, untuk melepaskan panah sendaren.

Demikian orang-orang padukuhan itu mulai berkumpul, maka tiga anak panah sendaren telah meluncur ke udara. Suaranya berdesing memecahkan sepinya malam.

“Apa yang kau lakukan?” bertanya bebahu Kabuyutan itu.

“Aku memanggil para cantrik yang menyertai perjalanan kami. Karena ampaknya kalian ingin mempergunakan kekerasan, kami harus bersiap-siap,” jawab Mahisa Murti.

“Nah, bukankah terbukti, bahwa kalian juga bermaksud mempergunakan kekerasan. Terbukti kalian telah membawa pasukan,” berkata bebahu itu.

“Aku tidak ingkar. Tetapi kami sudah berusaha untuk berbuat lebih baik dari mempergunakan kekerasan itu. Kami telah meninggalkan orang-orang kami diluar perbatasan Kabuyutan Bumiagara. Sehingga kami tidak ingin memaksakan kehendak kami dengan kekerasan sejauh kami masih mungkin berbicara dengan baik. Tetapi karena cara yang lebih baik itu tidak dapat kami tempuh, maka kami telah memanggil para cantrik,” jawab Mahisa Murti.

“Tetapi ingat, berapa-pun kau membawa cantrik dari padepokanmu, namun jumlah kami, laki-laki di seluruh Kabuyutan, tentu jauh lebih banyak dari jumlah cantrikmu.” geram bebahu itu.

“Aku percaya,” berkata Mahisa Murti, “Tetapi kau-pun harus menyadari, bahwa seorang cantrik dari perguruan Bajra Seta, akan dapat melawan sedikitnya sepuluh orang penghuni Kabuyutan Bumagara.”

“Omong kosong,” geram bebahu itu.

Namun pembicaraan mereka terhenti. Terdengar derap kaki kuda yang gemuruh menyusuri jalan itu.

Mahisa Semu yang tinggal bersama para cantrik di luar Kabuyutan telah mendengar suara sendaren yang meluncur di udara, justru melampaui tempat mereka menunggu. Dengan demikian, Mahisa Semu mengerti, bahwa anak panah sendaren itu tentu dilontarkan dari tempat yang tidak begitu jauh.

Mahisa Semu yang berkuda di paling depan-pun segera memberikan isyarat kepada iring-iringan itu untuk berhenti setelah ia melihat beberapa orang berkerumun di tengah dan bahkan di pinggir jalan, di atas tanggul parit dan di pematang!

Demikian mereka berhenti, maka para penunggang kuda itu-pun segera berloncatan turun.

Bebahu itu sempat memperhitungkan para penunggang kuda itu. Sehingga kemudian ia-pun berkata, “Tidak lebih dari sepuluh orang.”

“Ya,” jawab Mahisa Murti, “Tidak lebih dari sepuluh orang. Sementara itu kita berenam di sini. Jadi semuanya tidak lebih dari enam belas orang. Tetapi sudah aku katakan, bahwa setiap orang akan dapat melawan sepuluh orang laki-laki dari Kabuyutan Bumiagara.”

“Persetan atas bualanmu. Sekarang menyerahlah. Atau kami akan menghancurkan kalian,” geram bebahu itu.

Mahisa Murti termangu-mangu. Jika terjadi pertempuran, maka tentu akan jatuh korban. Namun ia tidak mempunyai jalan untuk mencegah pertempuran itu. Agaknya orang-orang Bumiagara benar-benar tidak mau melepaskan cantrik yang telah berhasil mereka jebak untuk ikut bersama mereka.

Namun Mahisa Murti masih mencoba berusaha. Katanya, “Ki Sanak. Baiklah jika kalian memang berkeberatan untuk membawa aku kepada Ki Buyut Bumiagara. Jika demikian, sampaikan saja salamku. Kami akan kembali ke padepokan Bajra Seta dengan membawa seorang di antara cantrik kami yang kami ketemukan berada di sini.”

“O, begitu mudahnya,” berkata bebahu itu, “Kalian yang ketakutan melihat kesiagaan kami begitu saja akan membawa perampok itu pergi?”

“Sebenarnya alasan kami bukan itu. Kami tidak ingin jatuh korban terlalu banyak di sini. Apalagi di malam hari. Ayunan senjata tidak begitu terkendali, apakah ujungnya akan sekedar menyentuh kulit atau menghujam sampai ke jantung,” berkata Mahisa Murti.

“Kau masih juga membual,” berbahu itu-pun kemudian berteriak, “Kalian menunggu apa lagi. Tangkap mereka semua. Yang melawan, terserah kepada kalian. Apakah akan kalian hidupi, atau terpaksa kalian akhiri kesombongannya,” kemudian terdengar lagi perintahnya lantang, “Cepat. Lakukan.”

Orang-orang itu mulai bergerak lagi. Sementara itu, dua orang di antara mereka yang datang berkuda dari padukuhan telah mendapat perintah untuk kembali ke padukuhan induk dan memberikan laporan tentang orang-orang Bajra Seta yang datang ke Bumiagara. Jumlahnya hanya sekitar limabelas orang.

Ketika kedua ekor kuda itu berlari ke padukuhan induk, maka orang-orang Kabuyutan Bumiagara itu mulai menyerang. Sehingga dengan demikian, maka orang-orang dari padepokan Bajra Seta itu-pun mulai mempertahankan diri.

Namun orang-orang dari perguruan Bajra Seta itu telah mendapat pesan agar mereka berhati-hati dengan senjata mereka jika terpaksa terjadi kekerasan. Mereka tidak datang untuk membunuh para penghuni Kabuyutan Bumiagara apa-pun yang terjadi.

Tetapi lawan mereka memang terlalu banyak. Sudah tentu itu belum merupakan kekuatan seluruh Kabuyutan, karena orang-orang Kabuyutan itu tersebar melingkar.

Dalam pada itu, maka para cantrik dari perguruan Bajra Seta itu-pun telah menyebar. Memang hanya enambelas orang dengan cantrik yang diketemukan di Kabuyutan itu. Namun yang enam belas orang itu benar-benar telah menggetarkan orang-orang Bumiagara. Bahkan seorang anak di antara para cantrik itu telah membuat orang-orang Bumiagara kebingungan.

Dalam benturan yang terjadi, maka sulit bagi orang-orang perguruan Bajra Seta untuk menghindarkan diri dari kemungkinan buruk yang terjadi dengan ujung senjata mereka. Setidak-tidaknya mereka dengan cepat telah melukai beberapa orang penghuni Kabuyutan itu.

Namun para cantrik memang masih mampu mengendalikan diri. Apalagi ketika ternyata orang-orang Kabuyutan itu menjadi agak bingung bertempur dalam gelap. Sementara para cantrik sudah mendapat latihan yang cukup, apa yang perlu mereka lakukan dalam kegelapan. Mata mereka-pun menjadi lebih tajam dari penglihatan orang-orang Kabuyutan Bumiagara yang tidak terlatih.

Dengan demikian, maka setiap kali memang terdengar seseorang mengaduh kesakitan. Ternyata ujung senjata para cantrik memang telah menggapai kulit daging orang-orang pedukuhan di lingkungan Kabuyutan Bumiagara.

Bebahu yang memimpin orang-orang Kabuyutan itu-pun segera melihat, bahwa enam belas orang yang memencar itu telah membuat orang-orang Bumiagara kebingungan dan bahkan kemudian ketakutan. Orang-orang yang jumlahnya cukup banyak itu berdesakan mengepung mereka, namun ketika para cantrik itu bergerak maju, maka orang-orang Kabuyutan itu telah berdesakan mundur atau menyibak.

“Jangan menjadi pengecut,” teriak bebahu itu.

Namun suaranya tenggelam dalam desau angin yang bertiup semakin kencang. Sementara di langit awan yang hitam menebar dari ujung cakrawala sampai ke ujung cakrawala.

Sementara itu, orang-orang Kabuyutan yang mencoba mengepung ternyata tidak mampu untuk tetap berada dalam lingkaran. Ternyata lingkaran itu tidak menjadi semakin kecil, justru sebaliknya menjadi semakin luas.

Para cantrik yang berpegang pada pesan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memang tidak menjadi terlalu garang. Mereka seakan-akan hanya menghentak di saat benturan terjadi. Kemudian mereka membiarkan orang-orang Bumiagara yang ketakutan itu mengepung mereka dari jarak yang semakin jauh.

Namun sejenak kemudian, telah datang sekelompok pengawal Kabuyutan, bahkan dengan Ki Buyut sendiri sebagai pimpinannya.

Demikian mereka mendekat, maka Ki Buyut itu-pun segera berteriak nyaring, “Anak-anak Kabuyutan Bumiagara. Tunjukkan bahwa kalian adalah putra-putra terbaik dari Bumiagara. Orang-orang Bajra Seta itu telah datang sendiri kemari. Itu agaknya lebih baik daripada jika kita pergi ke padepokan mereka. Kita harus menangkap mereka kali ini. Sebenarnya hanya seorang saja yang telah mengganggu ketenangan Kabuyutan ini. Tetapi karena kawan-kawannya hadir juga sekarang ini, maka kita akan menangkap mereka semuanya”

Memang agak berbeda dengan orang-orang Kabuyutan kebanyakan. Para pengawal memang lebih sigap dan tangkas. Beberapa orang pengawal yang memang sudah ada di tempat itu sebelumnya, yang bukan termasuk pengawal pilihan yang harus berada di Kabuyutan, dengan cepat bergabung dengan kawan kawan mereka.

Demikian para pengawal itu bergerak, di antara mereka yang telah datang lebih dahulu sempat memberikan peringatan kepada kawan-kawan mereka, bahwa para cantrik dari padepokan Bajra Seta itu adalah orang-orang yang berbahaya.

Namun para pengawal terpilih yang datang bersama-sama Ki Buyut adalah para pengawal yang telah menjalani latihan sebelumnya, sehingga mereka tidak merasa gentar sama sekali menghadapi para cantrik dari padepokan Bajra Seta.

Karena itu, maka sejenak kemudian para cantrik itu-pun harus bersiaga lagi. Para pengawal itu dengan cepat telah menempatkan diri dan menyerang para cantrik dari beberapa jurusan, sementara itu di belakang mereka orang-orang Bumiagara telah mulai bergerak lagi dan mengepung tempat itu dengan rapat

Enam belas orang berada dalam kepungan. Tetapi mereka tidak bertahan sambil berdesak-desakan. Tetapi mereka-pun menebar di tempat yang cukup luas. Sebagian di antara mereka berada di kotak-kotak sawah di antara batang jagung yang menjadi rusak berserakkan.

Demikianlah sejenak kemudian telah terjadi benturan kekuatan. Para pengawal telah menyerang dengan garangnya. Selain mereka merasa pernah mendapat latihan yang cukup, mereka-pun menyadari bahwa jumlah mereka lebih banyak dari para cantrik yang hanya enambelas orang itu.

Namun ketika senjata mereka mulai beradu, maka mereka-pun mulai terbangun. Mereka harus membentur kenyataan, bahwa para cantrik itu memang memiliki kelebihan. Bukan saja karena senjata mereka lebih baik, tetapi kemampuan mereka olah senjata juga jauh lebih baik, meskipun dibandingkan dengan para pengawal terpilih sekali-pun.

Yang kemudian menjadi sandaran mereka adalah jumlah yang jauh lebih banyak itu, sehingga mereka menyerang dalam gelombang yang datang beruntun susul menyusul.

Para cantrik yang menahan serangan itu-pun terpaksa mengerahkan kemampuan mereka. Gelombang-gelombang serangan yang datang susul menyusul, membuat para cantrik terhentak-hentak.

Namun dengan demikian, maka keadaan itu telah memanaskan hati para cantrik yang masih mencoba menahan diri.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat-pun telah berdiri berjauhan. Mahisa Murti bersama beberapa orang cantrik menahan serangan dari utara, sedangkan Mahisa Pukat menghadap ke selatan. Wantilan ada di barat dan Mahisa Semu ada di sisi sebelah timur. Mahisa Amping masih saja berputar-putar di dalam lingkaran para cantrik yang menahan serangan dari para pengawal yang semakin lama terasa semakin berat. Apalagi Ki Buyut sendiri selalu saja memberika aba-aba yang dapat membakar jantung para pengawal.

Dalam pada itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sendiri merasakan tekanan serangan para pengawal itu, sehingga akhirnya mereka tidak akan menyalahkan lagi jika para cantrik terpaksa berusaha untuk mengurangi tekanan itu dengan mengurangi jumlah lawan mereka.

Dengan demikian, maka setiap kali seorang pengawal terpaksa diusung menjauhi medan. Satu demi satu mereka berjatuhan. Namun yang lain telah mengisi tempatnya dan hanyut dalam gelombang serangan-serangan yang semakin deras.

Akhirnya justru Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menjadi marah oleh serangan-serangan itu. Apalagi ketika mereka menyadari bahwa satu dua orang cantrik mulai tersentuh senjata para pengawal sehingga terluka.

Pada kesempatan terakhir Mahisa Murti masih berteriak, “Ki Buyut. Aku masih memberikan kesempatan para pengawal menarik diri. Tetapi jika peringatan ini tidak dihiraukan, maka kami akan benar-benar bertempur sebagaimana kami bertempur melawan orang-orang yang datang menyerang padepokan kami. Kami terpaksa tidak lagi mengekang diri sehingga korban akan semakin banyak berjatuhan.”

“Gila kau,” Ki Buyut-pun berteriak, “Menyerahlah. Jika tidak, maka sudah terbayang, bahwa kalian akan mati sampai orang yang terakhir.”

“Jadi Ki Buyut tidak mau mendengarkan peringatanku?” bertanya Mahisa Murti.

“Persetan dengan kau,” jawab Ki Buyut.


Mahisa Murti tidak mempunyai pilihan lain. Maka ia-pun kemudian berkata lantang, “Baiklah. Jika demikian, maka kami tidak akan bertanggung jawab atas apa yang akan terjadi kemudian.”

Mahisa Murti memang tidak memberikan perintah kepada para cantrik untuk bertempur semakin garang. Namun apa yang dikatakannya itu sudah merupakan isyarat untuk melakukannya.

Karena itu, maka sejenak kemudian, maka para cantrik itu-pun telah mengerahkan segenap kemampuan mereka. Sebelum tenaga mereka terkuras habis, maka mereka harus berusaha untuk mengurangi jumlah lawan mereka sebanyak-banyaknya. Jika mungkin tanpa membunuh mereka. Tetapi jika terjadi kecelakaan, apa boleh buat.

Demikianlah, maka para cantrik itu benar-benar telah memutar pedangnya, mengibaskan serangan lawan dan kemudian menusukkan pedangnya. Yang lain menangkis serangan, memutar senjata lawannya sehingga terlepas, kemudian ayunan mendatar menyentuh dadanya dan mengoyakkan kulitnya.

Namun jika serangan yang datang mendesak dan berbahaya, maka kadang-kadang sabetan pedang para cantrik itu diikuti oleh teriakan seorang pengawal dan kemudian terdiam untuk selamanya.

Korban demi korban telah jatuh. Tubuh-tubuh para pengawal telah dibawa menjauhi medan. Beberapa sosok berjajar dibawah pohon-pohon yang tumbuh dipinggir jalan. Beberapa orang memang masih merintih kesakitan. Namun satu dua di antara mereka, sama sekali sudah tidak bernafas.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menjadi semakin marah, ketika seorang di antara para cantrik itu melangkah surut, masuk ke dalam lingkaran pertahanan kawan-kawannya. Kemudian ter-huyung-huyung dan jatuh berguling ditanah. Dadanya terluka cukup dalam, sehingga darah mengalir semakin deras.

Mahisa Amping ternyata cukup tangkas. Ia mengerti apa yang harus dilakukannya. Meskipun ia belum belajar bersungguh-sungguh, namun ia mengerti bahwa obat luka di kantung ikat pinggang cantrik itu harus dengan segera ditaburkannya.

Cantrik itu berdesis menahan pedih. Namun kemudian lukanya terasa semakin sejuk. Darah-pun telah menjadi pampat. Namun Mahisa Amping menahannya untuk tetap berdiam diri.

“Nanti lukamu berdarah lagi. Hanya jika terpaksa saja kau boleh bangkit,” berkata anak itu.

Ternyata cantrik itu menurut. Ia masih saja berbaring diam di dalam lingkaran pertahanan para cantrik.

Namun dalam pada itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menjadi semakin garang. Dengan isyarat maka Mahisa Murti telah minta agar Mahisa Pukat-pun melepaskan ilmunya, sehingga keduanya akan menghisap tenaga lawan mereka. Dengan demikian, maka kekuatan lawan akan susut dengan cepat. Karena hanya dengan cara itu Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mampu mengurangi jumlah korban para cantrik tanpa harus membunuh sebanyak-banyaknya.

Pertempuran di tengah-tengah bulak itu-pun berlangsung semakin sengit. Seorang lagi cantrik padepokan Bajra Seta terdorong jatuh ke dalam lingkaran pertahanan para cantrik itu. Meskipun ia segera bangkit lagi, tetapi darah telah mengalir dari luka dipundaknya.

Dengan sigap Mahisa Amping telah menahan cantrik itu. Ia-pun kemudian telah menaburkan obat pada luka dipundak itu. Seperti cantrik yang lebih dahulu terluka, maka luka dipundak itu rasa- rasanya bagaikan disengat api. Namun kemudian menjadi sejuk dan dingin. Darah-pun telah menjadi pampat dan tidak mengalir lagi. Tetapi kepada cantrik itu Mahisa Amping-pun berkata, “Jangan terlalu banyak bergerak. Nanti lukamu berdarah lagi.”

“Tetapi jumlah mereka terlalu banyak,” berkata cantrik itu.

“Beristirahatlah sebentar. Nanti jika terpaksa kau dapat membantu. Tetapi tenagamu masih akan tersisa. Jika kau sejak sekarang bertempur lagi dan darahmu mengalir terus, maka kau akan benar-benar kehabisan darah,” berkata Mahisa Amping.

Cantrik yang terluka itu ternyata menurut petunjuk anak itu. Untuk sementara cantrik itu menunggu sambil mengamati apa yang terjadi.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menjadi semakin cemas. Tetapi keduanya telah mengetrapkan ilmu mereka yang mampu menghisap kekuatan dan tenaga lawan.

Dengan demikian, maka di luar pengetahuan para pengawal, mereka telah dengan cepat kehilangan kekuatan dan kemampuan mereka. Beberapa orang dengan heran merasa seakan-akan mereka telah dengan cepat kehilangan kekuatan dan kemampuan mereka. Beberapa orang dengan heran merasa seakan-akan mereka telah bertempur sehari semalam tanpa berhenti. Tangan dan kaki mereka menjadi berat dan sulit diayunkan untuk menyerang para cantrik.

Sementara itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat justru berloncatan sambil memutar pedang mereka. Pedang yang berkilat-kilat memancarkan cahaya kehijau-hijauan. Namun betapapun kemarahan mencengkam jantung, tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak berniat membantai lawan-lawan mereka. Pedangnya yang berputaran hanyalah untuk sekedar menyentuh senjata lawan-lawan mereka. Menangkis serangan dan menghisap kekuatan dan kemampuan mereka.

Tetapi yang terjadi kemudian telah mengejutkan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Para cantrik yang melihat kawan-kawan mereka terluka, ternyata menjadi sangat marah. Mereka benar-benar telah kehilangan kendali, sehingga senjata mereka menjadi garang. Para cantrik yang kehilangan lapisan-lapisan kekuatan dan kemampuannya, tidak mampu melawan ketika ujung-ujung pedang telah terjulur kepada mereka.

Karena itu, maka hampir di luar sadarnya, Mahisa Murti berteriak lantang, “Jangan kehilangan akal. Jaga ujung senjata kalian. Jangan menjadi seorang pembunuh yang tidak berjantung.”

Suara Mahisa Murti itu memang memberikan sedikit peringatan kepada para cantrik itu. Mahisa Semu-pun berusaha untuk mengekang diri. Demikian pula Wantilan.

Sementara itu, para pengawal memang mulai melihat kenyataan. Kawan-kawan mereka semakin banyak yang terluka. Bahkan yang terbunuh di pertempuran itu. Para cantrik ternyata memiliki kemampuan jauh di atas kemampuan para pengawal. Apalagi mereka yang senjatanya telah beberapa kali menyentuh senjata Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.

Ki Buyut melihat kesulitan yang dialami oleh para pengawal. Jumlah mereka masih jauh lebih banyak. Tetapi mereka seakan-akan tidak mampu mendesak lingkaran pertahanan para cantrik meskipun ada pula beberapa orang cantrik yang terluka. Namun kematian demi kematian telah mewarnai arena itu. Para pengawal ternyata bukan saja kehilangan kekuatan dan kemampuan mereka, tetapi banyak pula yang kemudian kehilangan nyawa mereka.

Teriakan Mahisa Murti memang terdengar aneh di telinga Ki Buyut Bumiagara. Mahisa Murti itu agaknya berusaha mengendalikan pembunuhan yang terjadi.

Untuk beberapa saat lamanya, pertempuran masih berlangsung. Para cantrik memang mulai menahan diri ketika mereka melihat korban semakin banyak di antara para pengawal. Bahkan ada di antara para korban itu yang masih belum sempat diangkat dan disingkirkan keluar medan pertempuran.

Tetapi Ki Buyut itu justru curiga, bahwa perintah itu justru perintah sandi sehingga yang terjadi adalah sebaliknya. Pemimpin dari para cantrik itu mungkin saja justru memerintahkan untuk membunuh para pengawal.

Namun yang terjadi memang sebagaimana dikatakan oleh Mahisa Murti. Para cantrik memang berusaha mengekang diri sehingga mereka tidak lagi menjadi sangat garang.

Ki Buyut memang menjadi ragu-ragu mengalami perubahan sikap itu. Bahkan Ki Buyut memang mengira bahwa kemampuan para cantrik sudah menjadi susut. Perintah dari pimpinan para cantrik itu semata-mata satu usaha untuk mengelabui agar para pengawal tidak mengetahui, bahwa sebenarnyalah kekuatan para cantrik menjadi semakin susut.

Karena itu, maka Ki Buyut justru telah memberikan perintah sebaliknya dari Mahisa Murti. Katanya, “Kalian, para pengawal Bumiagara yang terpilih, harus mampu menyelesaikan persoalan kecil yang kita hadapi sekarang ini. Tangkap para cantrik, atau jika mereka melawan, terserah kepada kalian. Tidak seorang-pun berkeberatan jika mereka terbunuh di pertempuran ini.”

Mahisa Murti yang baru saja mengekang para cantriknya terkejut mendengar perintah itu. Apalagi ketika Ki Buyut berteriak lagi, “Ternyata para cantrik telah kehabisan tenaga. Sama sekali bukan karena kebaikan hati mereka agar mereka tidak membunuh para pengawal, tetapi bahwa mereka sudah tidak mampu lagi melakukannya.”

Mendengar perintah itu, maka tiba-tiba saja Mahisa Pukat berteriak, “Apakah kami harus membuktikan, bahwa kami masih mampu membunuh kalian semuanya?”

Teriakan Mahisa Pukat memang terasa menghentak jantung Ki Buyut. Tetapi ia sama sekali tidak yakin akan kata-kata Mahisa Pukat. Meskipun demikian Ki Buyut tidak menanggapinya.

Dengan demikian, maka para pengawal justru telah bergerak semakin garang. Mereka bahkan telah menyerang para cantrik sambil berteriak-teriak.

Namun yang terjadi itu justru memaksa para cantrik untuk mempertahankan diri dengan mengurangi jumlah lawan. Sementara mereka yang senjatanya pernah bersentuhan dengan senjata Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tenaganya segera menjadi susut.

Karena itu, maka korban-pun berjatuhan. Benar-benar semakin lama semakin banyak. Para cantrik yang ada di sebelah menyebelah Mahisa Murti dan Mahisa Pukat seakan-akan tidak dapat dikendalikan lagi. Beberapa kali Mahisa Murti terutama, telah memperingatkan cantrik-cantrik yang ada di sebelah menyebelah, agar mereka tidak menyerang dan membunuh lawan-lawan mereka yang tidak berdaya.

Tetapi hal itu memang sulit dilakukan. Apalagi ketika para pengawal itu menyerang dalam jumlah yang terlalu banyak.

Korban yang berjatuhan itu memang membuat para pengawal menjadi ngeri. Karena itu, maka semakin lama gerak para pengawal itu-pun menjadi semakin surut. Para cantrik yang sebenarnya mulai berusaha mengurangi korban dipihak lawan, hati mereka telah terbakar lagi oleh perintah Ki Buyut.

Bagaimana-pun juga, Ki Buyut tidak dapat mengingkari kenyataan. Para pengawalnya serta orang-orang Kabuyutan itu, sudah terlalu banyak yang menjadi korban dan terluka parah. Ternyata bahwa ia benar-benar salah hitung. Perintah pimpinan para cantrik itu benar-benar berusaha untuk mengekang agar mereka tidak terlalu banyak menimbulkan kematian.

Tetapi segalanya sudah terlanjur terjadi.

Namun karena itu, maka Ki Buyut tidak lagi memberikan perintah kepada para pengawalnya untuk menyerang ketika para pengawal itu menjadi ragu-ragu dan bahkan kemudian semakin mengendorkan serangannya. Bahkan kemudian, serangan-serangan itu terhenti sama sekali.

Ketika para cantrik mulai bergerak maju, Mahisa Murti telah berteriak, “Cukup. Kita tidak sedang menyerang Kabuyutan Bumiagara. Kita sekedar mempertahankan hidup kita justru karena mereka menyerang kita. Persoalan yang sebenarnya adalah, kita mencari seorang di antara kita yang ternyata memang berada di sini. Apa-pun yang dilakukannya, kita berhak untuk mengambilnya. Pada kesempatan lain, aku dan Ki Buyut dapat berbicara tentang cantrik itu. Jika ia benar-benar bersalah dan merampok di Kabuyutan ini, maka kita tidak akan segan-segan bertindak.”

Ternyata orang-orang Bumiagara tidak ada yang menjawab. Sementara itu Mahisa Murti-pun berkata, “Kita kembali ke padepokan.”

Dengan hati-hati orang-orang dari padepokan Bajra Seta itu mengambil kuda-kuda mereka. Ternyata hampir semua cantrik telah terluka, meskipun hanya segores. Namun semuanya, kecuali Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Amping, telah menitikkan darah dari luka-luka mereka.

Sejenak kemudian, para cantrik itu telah berada di punggung kuda mereka. Namun sebelum mereka pergi, Ki Buyut masih sempat berteriak dengan penuh dendam, “Ingat orang-orang Bumiagara. Kau telah berhutang nyawa di sini. Lain kali kami akan datang dan menebus kekalahan kami. Kalian harus membayar hutang kalian sekaligus dengan bunganya. Bajra Seta seterusnya hanya akan tinggal sebuah nama. Padepokan dan perguruan kalian akan hancur. Para cantrik dan pimpinannya akan tumpas habis sampai orang yang terakhir.”

Yang menjawab adalah Mahisa Pukat, “Kami tahu bahwa itu sekedar ancaman untuk membuat kami selalu cemas. Datanglah kepada kami dengan jumlah orang berlipat sepuluh. Kami berjanji bahwa kamilah yang akan menumpas habis orang-orang Bumiagara tanpa tersisa.”

Ki Buyut menggertakkan giginya. Namun ia tidak dapat berbuat apa-apa. Ia tidak dapat memerintahkan orang-orangnya untuk menyerang jika Ki Buyut tidak ingin menambah korban.

Demikianlah, para cantrik itu-pun segera meninggalkan Kabuyutan Bumiagara. Kuda Mahisa Amping kemudian berisi dua orang di punggungnya. Cantrik yang mereka cari terpaksa ikut serta di punggung kuda Mahisa Amping, karena ia tidak mempunyai kuda.

Kuda-kuda itu-pun kemudian berderap di kegelapan malam. Namun ketika mereka sudah menyeberangi beberapa bulak, mereka-pun telah berhenti. Mahisa Murti telah memerintahkan semua yang terluka dan berdarah, harus diobati agar darah yang mengalir dari luka-luka itu tidak membuat mereka kehilangan terlalu banyak tenaga.

Para cantrik itu-pun kemudian telah saling mengobati luka-luka mereka. Sementara itu Mahisa Murti berkata, “Aku tidak mengira bahwa hari ini para cantrik Bajra Seta harus membunuh begitu banyak pengawal.”

Para cantrik itu-pun menundukkan kepalanya. Yang dikatakan oleh Mahisa Murti itu memang benar. Mereka telah membunuh sejumlah pengawal dan melukai yang lainnya.

Namun Mahisa Pukat-pun menyahut, “Kesalahan itu tidak dapat seluruhnya dibebankan kepada kita.”

Mahisa Murti mengangguk-angguk. Katanya, “Ya. Mereka tidak mau mendengarkan pendapat kita. Namun apa-pun sebabnya, kita sudah membantai para pengawal.”

“Bukankah mereka yang memaksa kita melakukannya? Jika kita tidak berbuat demikian, maka kita semua telah terbaring diam di Kabuyutan Bumiagara. Bahkan mungkin tubuh kita sudah tidak berujud lagi,” sahut Mahisa Pukat.

Mahisa Murti tidak menjawab lagi. Namun tiba-tiba saja cantrik yang menjadi sumber persoalan itu telah memeluk kakinya sambil menangis, “Akulah yang bersalah. Akulah yang pantas dihukum. Bahkan hukuman mati sekali-pun.”

“Sudahlah,” berkata Mahisa Murti, “Setelah kita berada di padepokan, kita akan mendengarkan ceriteramu, kenapa kau berada di Kabuyutan Bumiagara.”

Cantrik itu mencoba menahan desakan penyesalan yang telah mendorong air matanya menitik dari pelupuknya.

Sementara itu Mahisa Pukat-pun berkata, “Apakah kau sudah bukan seorang laki-laki lagi sehingga kau harus menangis?”

Cantrik itu tidak menjawab. Namun ia memang mencoba menahan tangisnya sehingga dadanya terasa sesak.

Sejenak kemudian, maka Mahisa Murti-pun berkata, “Kita sudah cukup beristirahat serta mengobati luka-luka. Kuda-kuda kita-pun masih cukup segar untuk melanjutkan perjalanan.”

Sejenak kemudian maka iring-iringan itu-pun telah meneruskan perjalanan menuju ke padepokan Bajra Seta di dalam keremangan gelapnya malam.

Ketika mereka kemudian telah berada di padekokan, Mahisa Murti tidak segera mengusut persoalan cantrik itu. Ia memberikan kesempatan para cantrik untuk beristirahat. Ketika Mahisa Murti melihat Mahisa Amping, maka ia-pun bertanya, “Apakah kau letih?”

“Tidak,” jawab Mahisa Amping.

“Kaua sudah sempat tidur?” bertanya Mahisa Murti pula.

“Sudah. Aku sudah tidur nyenyak sekali,” jawab anak itu.

“Itulah sebabnya maka kau tidak lagi merasa letih sekarang,” berkata Mahisa Murti pula.

Mahisa Amping mengangguk sambil tersenyum. Katanya, “Ya. Aku sempat tidur nyenyak, sehingga perasaan letih itu telah hilang.”

“Jadi sebelum tidur, kau juga merasa letih?” bertanya Mahisa Murti.

“Tentu,” jawab anak itu sambil mengerutkan dahinya.

Mahisa Murti tersenyum. Sambil menepuk bahu anak itu ia bertanya, “Jadi sekarang kau sudah siap memasuki sanggar?”

“Ya,” jawab anak itu.

“Bagaimana dengan kakang Mahisa Semu?” bertanya Mahisa Murti kemudian.

“Kakang Mahisa Semu sedang menyembuhkan luka-lukanya. Meskipun lukanya hanya dua gores kecil, tetapi luka kecil itu terasa menganggunya,” jawab Mahisa Amping.

“Baiklah. Biarlah ia beristirahat dengan baik sebagaimana paman Wantilan,” desis Mahisa Murti.

“Luka paman Wantilan agak lebih banyak. Bahkan luka di pundaknya agak dalam. Ketika tadi dibersihkan, dari luka itu masih mengalir darah,” jawab Mahisa Amping,

“Tetapi bukankah kemudian telah diobati lagi?” bertanya Mahisa Murti pula.

“Ya. Bukan saja sekedar obat tabur. Tetapi paman Wantilan telah minum obat pula,” jawab anak itu.

“Ia akan segera menjadi baik. Demikian pula para cantrik yang lain,” gumam Mahisa Murti kemudian.

“Apakah kita jadi masuk ke sanggar?” bertanya Mahisa Amping kemudian.

“O,” Mahisa Murti tersenyum, “Besok sajalah. Masih ada persoalan yang harus aku tangani.”

Mahisa Amping memang nampak menjadi kecewa. Tetapi ia tidak dapat memaksa. Karena itu, maka katanya, “Jika kita tidak pergi ke sanggar, biarlah aku pergi ke pintu gerbang.”

“Pergilah. Tetapi hari ini kau jangan pergi ke mana-mana,” pesan Mahisa Murti.

Mahisa Amping-pun kemudian meninggalkannya untuk pergi ke pintu gerbang yang dijaga dengan ketat. Bahkan beberapa orang cantrik berada di panggungan yang ada di atas pintu gerbang dan di sudut-sudut dinding padepokan untuk mengamati keadaan.”

Kepada cantrik yang berjaga-jaga di pintu gerbang Mahisa Amping berkata, “Aku tidak percaya bahwa mereka benar-benar akan datang.”

“Kau jangan kehilangan kewaspadaan,” desis seorang cantrik.

“Aku melihat sendiri, bagaimana mereka mengalami kesulitan melawan hanya lima belas orang di antara kita,” desis Mahisa Amping.

“Enam belas,” sahut cantrik itu.

“Tidak. Hanya limabelas,” Mahisa Amping bertahan.

“Kau tidak menghitung seorang di antara kita yang sudah berada di Kabuyutan Bumiagara?” bertanya cantrik itu.

Mahisa Amping mengerutkan keningnya. Namun ia-pun kemudian menjawab, “Aku sudah memperhitungkannya.”

“Bagaimana mungkin lima belas?” bertanya cantrik itu.

“Ya,” jawab Mahisa Amping, “Aku sendiri tidak ikut berbuat apa-apa selain membantu mengobati mereka yang terluka.”

Cantrik itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian sambil tersenyum ia mengangguk-angguk, “Ya. Sudah tentu jika kau sendiri tidak terhitung.”

Mahisa Amping-pun tersenyum. Katanya, “Nah, bukankah aku sendiri tidak terhitung.”


“Ya. Ya. Ternyata kau juga mampu menghitung,” sahut cantrik itu.

Namun demikian, para cantrik di padepokan Bajra Seta sama sekali tidak menjadi lengah. Segala sesuatu akan dapat terjadi.

Sementara itu di Kabuyutan Bumiagara, suasananya menjadi bagaikan berkabut tebal. Air mata membasahi bumi Kabuyutan sebagaimana darah yang telah memerah di gumpalan tanah.

Ki Buyut menjadi sangat gelisah karena beberapa orang bebahu justru telah menyalahkannya. Ki Buyut ternyata telah bertindak menurut kemauannya sendiri. Betapa ia berniat untuk berbuat sesuatu bagi Kabuyutannya, namun akibatnya adalah kematian. Sekitar dua belas orang terbunuh. Yang luka masih lebih banyak lagi. Beberapa orang tiba-tiba saja seakan-akan telah menjadi lumpuh.

Ketika Ki Buyut menerima beberapa orang bebahu di rumahnya, maka para bebahu itu dengan tidak langsung telah menuduh Ki Buyut lah yang menyebabkan semua itu terjadi.

“Kita memang bukan lawan dari sebuah padepokan,” berkata salah seorang bebahu, “Di padepokan, para cantrik setiap hari berlatih dalam olah kanuragan. Sementara itu, apa yang dilakukan oleh para pengawal? Seandainya mereka cukup sering berlatih, siapakah yang telah melatih mereka? kami? Para bebahu yang juga miskin kemampuan dan ilmu kanuragan? Ki Buyut sendiri? Kami tahu, Ki Buyut pernah berguru kepada seorang yang berilmu. Tetapi Ki Buyut sendiri. Sementara orang-orang perguruan itu semuanya memiliki kemampuan. Akibatnya anak-anak terbaik dari Kabuyutan Bumiagara telah terbunuh. Lainnya terluka parah.”

Ki Buyut menarik nafas dalam-dalam. Ketika ia memandang wajah-wajah para bebahu, mereka agaknya sependapat bahwa Ki Buyutlah yang telah melakukan kesalahan. Hanya dua orang bebahu yang ikut merasa bersalah, karena mereka telah menyetujui dan ikut serta merencanakan penculikan cantrik yang dianggap memiliki kemampuan yang tinggi di dalam tugasnya, pande besi.

Untuk menebus kesalahannya, Ki Buyut itu-pun berkata, “Jangan cemas. Aku akan pergi ke padepokan Bajra Seta. Padepokan itu akan aku hancurkan.”

“Siapa yang akan menghancurkan padepokan itu?” bertanya salah seorang bebahu, “Seluruh laki-laki dari kanak-kanak sampai kakek- kakek dikerahkan, kita tidak akan mampu mengalahkan padepokan dan perguruan Bajra Seta. Bahkan kita hanya akan menyerahkan leher dan kepala kita. Untunglah bahwa para pemimpin padepokan itu memiliki kesabaran yang sangat tinggi, sehingga dalam keadaan yang paling gawat sekali-pun para pemimpinnya masih memperingatkan, agar para cantrik tidak membunuh membabi buta.”

Namun bebahu yang lain segera menyahut, “Tetapi jika kita masih juga memburu mereka sampai ke padepokan mereka, maka keadaannya tentu akan berbeda. Mungkin para cantrik tidak lagi mampu menahan diri, sehingga pimpinan mereka akan sulit untuk mengendalikan mereka. Nah, jika demikian, maka akan terjadi apa yang dikatakan oleh salah seorang pemimpin mereka yang agaknya telah kehilangan kesabaran, bahwa kitalah yang akan ditumpas sampai habis.”

Ki Buyut menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian katanya, “Jadi apa yang kalian kehendaki?”

“Kita harus mawas diri,” berkata salah seorang bebahu, “Kita harus mengakui segala kesalahan yang telah kita perbuat, sehingga kita tidak akan berbuat kesalahan yang sama dimasa mendatang.”

Bahkan bebahu yang lain berkata lebih jelas, “Tentu maksudnya Ki Buyut lah yang harus minta maaf terutama kepada mereka yang anaknya atau adiknya atau keluarganya yang lain telah gugur. Sebenarnyalah mereka tidak sedang membela Kabuyutan ini, tetapi mereka gugur semata-mata untuk mendukung keinginan Ki Buyut agar disebut seorang yang telah berhasil menjunjung tinggi derajad Kabuyutan ini.”

Tetapi Ki Buyut itu berkata, “Tetapi, kalian tahu, bahwa aku melakukannya bagi Kabuyutan ini. Tidak bagiku sendiri.”

“Apa-pun tujuannya, tetapi jalan yang ditempuh adalah jalan yang salah,” jawab seorang bebahu yang lain.

Ki Buyut tidak dapat menjawab lagi. Jika ia masih membela diri, maka suasana akan menjadi panas, sehingga mungkin akan timbul persoalan yang tidak diinginkan di Kabuyutan itu.

Karena itu, maka Ki Buyut itu-pun kemudian berkata, “Baiklah. Aku akan meninjau kembali, apakah yang telah aku lakukan sehingga menimbulkan korban yang tidak sedikit. Aku akan minta maaf kepada keluarga para korban. Terutama yang telah gugur.”

Para bebahu itu-pun menjadi reda. Agaknya Ki Buyut tidak berkeras untuk mempertahankan tindakannya yang menimbulkan malapetaka itu.

Apalagi ketika kemudian ternyata bahwa di hari berikutnya Ki Buyut telah benar-benar datang berkunjung ke rumah keluarga yang kehilangan anak, adik, atau suaminya atau keluarga yang lain yang gugur dalam pertempuran melawan para cantrik dari padepokan Bajra Seta. Bahkan Ki Buyut-pun telah berkunjung kepada keluarga mereka yang terluka berat. Kepada yang gugur dan terluka berat Ki Buyut telah minta maaf, bahwa karena langkah-langkah yang diambilnya, maka terpaksa beberapa orang putera terbaik dari Kabuyutan Bumiagara harus dikorbankan.

Namun dalam pada itu, sebenarnyalah Ki Buyut tidak mau menerima kenyataan itu begitu saja. Ia memang tidak ingin menambah korban bagi orang-orang Kabuyutannya. Tetapi ia tidak dapat melupakan dendamnya kepada padepokan dan perguruan Bajra Seta.

Hampir saja ia justru disingkirkan oleh para bebahu yang menganggapnya bersalah. Bahkan ia terpaksa datang ke rumah orang-orang yang kehilangan sanak kadangnya untuk minta maaf.

“Aku telah direndahkan,” berkata Ki Buyut.

Namun dalam pada itu, Ki Buyut telah mencari jalan lain untuk menebus kekalahannya.

“Jika saja aku pada suatu hari menggiring para pemimpin padepokan Bajra Seta itu kemari tanpa menitikkan setetes darah-pun dari antara orang-orang Kabuyutan ini, maka harga diriku tentu akan segera pulih kembali. Orang-orang Kabuyutan ini akan membuka matanya dan mereka akan tahu siapakah sebenarnya aku ini. Ki Buyut dari Bumiagara,” berkata Ki Buyut di dalam hatinya.

Karena itu, maka di luar pengetahuan orang-orang Bumiagara, maka Ki Buyut telah berhubungan dengan gurunya. Ia-pun telah menceritakan apa yang terjadi di Bumiagara.

Gurunya menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada rendah gurunya berkata, “Tidak ada padepokan satu-pun di sekitar tempat ini yang akan mampu mengalahkan padepokan Bajra Seta. Sementara itu padepokan Bajra Seta-pun tidak pernah berbuat sesuatu yang dapat merugikan padepokan yang lain. Para pemimpinnya justru memberi kesempatan kepada anak-anak muda di padukuhan sebelah menyebelah untuk menimba ilmu dari padepokan itu tanpa harus menjadi cantrik. Tentu ada sesuatu yang hanya dapat diketahui oleh para murid perguruan Bajra Seta. Tetapi ternyata anak-anak muda dari padukuhan di sebelah-menyebelah telah mendapat banyak sekali keuntungan dengan kehadiran padepokan itu, sehingga dalam keadaan yang gawat, anak-anak muda di padukuhan-padukuhan itu bersedia untuk berbuat apa saja, bahkan mengorbankan dirinya sebagaimana para cantrik itu sendiri.”

Tetapi Ki Buyut itu-pun kemudian berkata, “Tetapi bagaimana guru. Aku sebagai seorang Buyut yang dipercaya, dituakan dan dianggap orang terbaik di Bumiagara harus mengalami peristiwa seperti ini. Meskipun aku masih dapat bertahan untuk tetap diakui sebagai seorang Buyut di Bumiagara, tetapi wibawaku sudah jauh susut. Tetapi jika aku dapat membawa para pemimpin padepokan Bajra Seta sebagai tawanan ke Kabuyutan, maka wibawaku tentu akan pulih kembali. Juga aku sebagai salah seorang murid dari sebuah perguruan. Orang-orang Bumiagara tentu akan menghormati perguruanku lebih dari yang sudah-sudah.”

Namun gurunya tetap menggelengkan kepalanya. Katanya, “Tidak akan ada gunanya. Tidak akan terjadi, bahwa kau akan dapat membawa para pemimpin padepokan Bajra Seta sebagai tawanan.”

“Tetapi tanpa berbuat demikian, kuasaku tidak banyak berarti lagi di Bumiagara,” berkata Ki Buyut.

“Tidak. Jika kau kemudian bekerja keras untuk meningkatkan kehidupan di Bumiagara, maka namamu akan pulih kembali meskipun perlahan-lahan,” berkata gurunya.

“Aku mohon guru. Aku mohon guru membantuku,” berkata Ki Buyut.

“Jadi apa yang kau maksud sebenarnya? Apakah kau akan mengerahkan orang-orang Bumiagara menyerang padepokan Bajra Seta, kemudian aku mengerahkan seisi padepokanku membantumu? Ingat, kau sudah dianggap membunuh beberapa orang anak muda terbaik di Kabuyutanmu. Jika hal itu kau lakukan, maka kau akan membunuh lebih banyak lagi. Bahkan dengan cantrik-cantrik dari padepokanku pula,” jawab gurunya.

“Kekuatan Padepokan Bajra Seta tidak sebesar yang guru duga,” desis Ki Buyut Bumiagara.

“Aku lebih tahu dari kau,” jawab gurunya, “Selebihnya, aku tentu tidak akan membantumu karena kau melakukan langkah-langkah yang keliru. Jika aku membantumu, berarti aku telah menjerumuskan kau ke dalam perbuatan yang salah.”

Ki Buyut termangu-mangu sejenak. Ia memang mengenal watak gurunya. Jika ia berkata tidak, apa-pun yang dikatakannya, maka gurunya tentu akan tetap berkata tidak.

Karena itu, maka Ki Buyut itu-pun tidak merengek lagi kepada gurunya. Namun ia tidak berhenti sampai disitu. Dendamnya kepada padepokan dan perguruan Bajra Seta ternyata sampai ke ubun-ubun.

“Apa-pun yang harus aku lakukan, maka aku akan tetap berusaha untuk menghancurkan padepokan Bajra Seta. Membawa para pemimpinnya dengan tangan terikat dan memperlakukan mereka tidak lebih dari seekor keledai di sini, di hadapan orang-orang Bumiagara, terutama yang pernah kehilangan sanak kadangnya,” geram Ki Buyut di dalam hatinya.

Ki Buyut Bumiagara tidak lagi memikirkan gurunya. Ketika kemudian Ki Buyut menyusun rencananya dengan dua orang saudara seperguruannya, maka Ki Buyut-pun tidak menyampaikannya kepada gurunya pula.

Dua orang saudara seperguruannya ternyata ikut merasa tersinggung karena peristiwa yang terjadi di Bumiagara. Karena kebetulan keduanya merasa seperguruan serta merupakan saudara seperguruan yang terdekat dengan Ki Buyut, maka keduanya menyatakan ikut serta.

“Apa yang dapat kita lakukan hanya bertiga?” berkata Ki Buyut kemudian.

“Dua orang saudara seperguran kita yang lain, tidak bersedia membantu kita, karena keduanya sudah mendengar dari guru bahwa guru-pun menolak untuk terlibat dalam persoalan ini.” berkata salah seorang saudara seperguruannya.

“Aku menjadi sangat kecewa terhadap sikap guru,” berkata Ki Buyut Bumiagara.

“Apa boleh buat,” jawab saudara seperguruannya.

Namun seorang di antara kedua orang saudara seperguruan Ki Buyut itu-pun berkata, “Aku pernah berhubungan dengan orang-orang Kediri yang tidak puas terhadap keadaan Kediri sekarang. Mereka memusuhi Singasari. Sementara itu, dikalangan mereka, padepokan Bajra Seta adalah padepokan yang dimusuhi. Beberapa kali orang-orang Bajra Seta langsung atau tidak langsung telah merugikan kedudukan mereka.”

“Maksudmu?” bertanya Ki Buyut.

“Kita menghubungi mereka. Kita bekerja sama dengan mereka untuk menghancurkan padepokan Bajra Seta. Mereka mempunyai kekuatan yang besar yang meskipun tersebar, akan segera dapat dihimpun,” berkata saudara seperguruannya itu.

“Lalu apa yang dapat memancing mereka untuk melibatkan diri selain mereka memang menganggap orang-orang Bajra Seta sebagai musuh mereka,” bertanya Ki Buyut.

“Kau mempunyai simpanan harta kekayaan yang dapat dipergunakan untuk membiayai rencanamu?” bertanya saudara seperguruannya pula.

Ki Buyut termangu-mangu. Katanya, “Tidak seberapa. Tetapi tentu ada kekayaan yang besar yang pantas bagi mereka.”

“Kekayaan yang mana?” bertanya saudara seperguruannya.

“Kekayaan yang ada di dalam padepokan itu sendiri,” berkata Ki Buyut.

Saudara seperguruannya tertawa. Katanya, “Satu akal yang licik sekali. Kau memang licik. Tetapi mungkin juga akan mereka sepakati.”

Namun saudaranya yang lain berkata, “Tetapi apakah kita sendiri tidak memakai kekuatan sama sekali? Artinya, kita benar-benar hanya bertiga saja?”

“Aku memang tidak mempunyai kekuatan lagi,” berkata Ki Buyut.

“Kau tidak membawa orang-orang dari Kabuyutanmu?” bertanya saudara seperguruannya yang lain.

“Aku tidak dapat berbicara tentang hal ini dengan orang-orang Kabuyutanku. Mereka masih selalu menyalahkan aku. Karena itu aku tempuh jalan ini agar aku dapat memulihkan wibawaku. Jika aku dapat membawa para pemimpin Bajra Seta dengan tangan terikat, maka orang-orang Kabuyutanku akan kembali mempercayai aku sepenuhnya,” jawab Ki Buyut.

“Baiklah. Hal ini akan aku bicarakan dengan dua orang kawanku yang meskipun bukan saudara bersedia, maka kita akan dapat membawa kekuatan meskipun tidak sebesar orang-orang Kediri.”

Ki Buyut mengangguk-angguk. Katanya, “Terima kasih. Semakin cepat hal itu dilakukan, akan menjadi semakin baik.

Kedua sauadara seperguruannya itu sependapat. Sehingga karena itu, maka ketiga orang itu-pun telah bekerja keras untuk melaksanakan rencana mereka.

Salah seorang saudara seperguruan Ki Buyut akan menghubungi para petugas sandi Kediri yang berkeliaran di Singasari dengan dukungan kekuatan sekelompok prajurit yang setia kepada usaha untuk memulihkan wibawa Kediri sedang seorang yang lain akan berhubungan dengan dua orang yang dianggapnya akan dapat membantunya.

“Kali ini padepokan Bajra Seta akan benar-benar kami hancurkan,” berkata Ki Buyut di dalam hatinya.

Demikianlah, ternyata saudara-saudara seperguruan Ki Buyut itu berhasil. Orang-orang Kediri telah bersedia membantu Ki Buyut Bumiagara dengan sepasukan prajurit Kediri.

“Prajurit-prajurit itu justru akan berbahaya bagi kita,” berkata Ki Buyut.

“Tentu tidak,” jawab saudara seperguruannya.

“Apakah mereka semuanya dapat dipercaya?” bertanya Ki Buyut.

“Tentu,” jawab saudara seperguruannya, “Jika aku tidak yakin mereka dapat dipercaya, maka aku tidak akan menghubungi mereka.”

Ki Buyut mengangguk-angguk.

Namun yang tidak mereka ketahui adalah justru guru Ki Buyut menjadi kecewa sekali terhadap sikap muridnya. Apalagi muridnya telah berhubungan dengan orang lain yang tingkah lakunya kurang dapat dipertanggung jawabkan, sehingga justru garu Ki Buyut itu telah mengadakan penyelidikan langsung atas tingkah laku Ki Buyut sebagai muridnya.

Sebenarnyalah bahwa Ki Buyut dan orang-orang yang akan bekerja sama untuk menghancurkan padepokan Bajra Seta sudah siap untuk menyerang padepokan itu.

Orang-orang Bumiagara memang menjadi gelisah. Kehadiran sekelompok prajurit dan sekelompok lagi orang-orang dari sebuah padepokan yang dipimpin oleh seorang tua yang disebut Empu Carang Wregu, mula-mula menumbuhkan berbagai pertanyaan. Mereka menduga bahwa Ki Buyut menjadi sangat marah atas sikap mereka, karena mereka seakan-akan telah memaksa Ki Buyut untuk merendahkan diri dan minta maaf kepada beberapa orang Kabuyutan. Kedatangan orang-orang itu akan dapat dipergunakan oleh Ki Buyut untuk menghancurkan mereka yang telah berani mengusik kedudukan Ki Buyut.

“Tetapi apakah Ki Buyut akan sampai hati membantai rakyatnya sendiri dengan mempergunakan tangan orang lain?” bertanya seorang bebahu kepada bebahu yang lain.

“Siapa tahu. Ki Buyut ternyata adalah seorang pendendam. Mungkin besok atau lusa kita akan diambil untuk tidak kembali lagi ke tengah-tengah keluarga kita,” jawab bebahu yang lain itu.

“Aku tidak merasa cemas akan hal itu,” jawab kawannya, “Yang aku cemaskan adalah, jika Ki Buyut memerintahkan orang-orang Bumiagara untuk menyertai para prajurit dan sekelompok orang yang datang dari padepokan yang dipimpin Empu Carang Wregu, untuk menyerang padepokan Bajra Seta. Karena kita tahu bahwa isi padepokan itu terlalu kuat untuk dilawan.”

Tetapi seorang lain tiba-tiba telah ikut berbicara, “Itu kalau kita sendiri yang melawan padepokan Bajra Seta. Tetapi kita tahu bahwa sejumlah prajurit itu sudah terlalu kuat untuk sebuah padepokan. Apalagi kehadiran Empu Carang Wregu. Padepokan yang mana-pun tidak akan mampu bertahan.”


Bebahu yang pertama menarik nafas dalam-dalam. Namun ia tidak menjawab lagi. Ia mengakui bahwa pasukan prajurit Kediri itu memang terlalu kuat. Apalagi bersama-sama dengan para cantrik dari sebuah padepokan yang cukup besar, yang ingin memiliki alat- alat pande besi sebaik padepokan Bajra Seta yang telah menerima alat-alat itu dari Singasari.

Tetapi ternyata Ki Buyut sama sekali tidak memerintahkan agar orang-orang Bumiagara bersiap. Tetapi ketika Ki Buyut memanggil para bebahu, ia sempat berkata, “Nah, para bebahu Kabuyutan Bumiagara yang baik hati, yang jujur dan berbudi luhur, yang telah memaksa aku untuk merendahkan diri karena aku gagal berusaha untuk meningkatkan kesejahteraan ini dengan cara yang khusus. Sudah tentu bahwa kalian tidak akan bertindak seperti itu, bahkan akan menyanjungku dan berterima kasih sampai menyentuh langit, jika aku berhasil. Kalian tidak menilai gagasanku serta niat baikku. Yang kalian lihat hanyalah kegagalanku saja. Seharusnya kalian ikut berprihatin, membantuku dan berusaha agar rencanaku itu berhasil dengan baik. Tetapi kalian tidak berbuat demikian. Kalian justru ikut menghancurkan rencanaku. Bahkan harga diriku. Tetapi sekarang kalian lihat. Tanpa kalian aku dapat berbuat sesuai dengan rencanaku, menghancurkan padepokan Bajra Seta, menangkap pemimpinnya dan menyeretnya kemari.”

Tidak seorang-pun di antara bebahu Kabuyutan Bumiagara yang berani menjawab. Di Kabuyutan dan di empat rumah di sekitarnya tinggal dua kelompok kekuatan yang cukup besar. Bagi orang-orang Kabuyutan, prajurit Kediri adalah prajurit yang pilih tanding. Bahkan menurut penilaian mereka, para cantrik padepokan Bajra Seta tidak akan mampu mengimbangi seorang prajurit dengan seorang cantrik. Sementara itu selain para prajurit, masih ada sekelompok cantrik yang kuat yang akan dapat membantu menghancurkan orang-orang padepokan Bajra Seta.

Sebenarnyalah, orang Bajra Seta tidak mengetahui bahwa di Bumiagara telah terhimpun kekuatan yang demikian besar untuk menghancurkan padepokan Bajra Seta. Meskipun mereka masih tetap berhati-hati dan selalu mengawasi keadaan, namun jika kekuatan itu datang ke padepokan Bajra Seta, maka mereka pasti tidak akan dapat menahannya.

Sementara itu, mereka tidak terlalu berprasangka buruk terhadap orang-orang Bumiagara, sehingga padepokan itu tidak mengirimkan seseorang untuk mengamat-amatinya.

Dalam pada itu, cantrik yang telah pergi ke Bumiagara telah menjawab semua pertanyaan yang diajukan oleh Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan dua orang cantrik yang dituakan di padepokan itu. Ternyata jawaban-jawabannya meyakinkan bahwa cantrik itu menjawab dengan jujur. Bagaimanapun pertanyaan itu diputar balik, namun jawabnya sama sekali tidak bergeser dari keterangan cantrik itu, karena cantrik itu memang berkata sebenarnya. Apa adanya tanpa ditambah dan dikurangi. Karena itu, pertanyaan siapa-pun dan berbunyi apapun, jawabnya sama sekali tidak berkisar.

“Aku percaya kepadamu,” berkata Mahisa Murti.

Dengan demikian maka Mahisa Murti telah membebaskan cantrik itu dari semua hukuman. Namun ia tetap diminta untuk tidak mengulangi perbuatannya, karena perbuatannya ternyata telah mengundang berbagai macam persoalan dan merenggut korban jiwa pula.

Cantrik itu menunduk. Ia memang merasa sangat bersalah. Tetapi apa yang dapat dilakukannya untuk menebus kesalahannya?

Dalam pada itu, ketika Ki Buyut Bumiagara telah bersiap sepenuhnya bersama prajurit Kediri dan sekelompok cantrik dari sebuah padepokan yang dipimpin langsung oleh Empu Carang Wregu, maka guru Ki Buyut itu menjadi sangat berprihatin. Ia sama sekali tidak dapat menyetujui tindakan muridnya itu. Namun ia tidak berhasil mencegahnya.

Karena itu, guru Ki Buyut itu menjadi bingung untuk beberapa saat. Ia tidak dapat membiarkan padepokan Bajra Seta dihancurkan oleh dua kekuatan yang besar, yang telah dihimpun oleh muridnya itu. Jika benar-benar Bajra Seta diserang oleh gabungan kekuatan yang telah bersiap-siap itu, maka Bajra Seta tentu akan pecah betapa-pun tingginya ilmu kedua orang pemimpinnya. Kecuali jumlahnya terpaut banyak, para prajurit memiliki ilmu perang yang cukup dibantu oleh para cantrik yang mendapat tempaan oleh kanuragan sebagaimana para cantrik dari padepokan Bajra Seta.

Dalam kebingungannya, maka guru Ki Buyut itu memutuskan oleh menghentikan saja langkah-langkah yang dianggapnya jauh menyimpang dari ajaran-ajaran yang pernah diberikan.

Karena itu maka guru Ki Buyut itu justru telah langsung pergi ke Singasari.

Ia tahu benar, kepada siapa ia harus memberikan laporan tentang tingkah laku muridnya itu, karena ia-pun tahu benar bahwa Mahisa Murti dan Mahisa Pukat adalah anak Mahendra.

Mahendra yang ditemuinya memang terkejut. Ia sadar, bahwa kedua anaknya beserta padepokannya ada dalam bahaya. Sehingga dengan demikian maka ia-pun telah berusaha untuk menghadap Sri Maharaja di Singasari.

Ternyata tanggapan Sri Maraja sangat baik bagi Bajra Seta. Atas perintah Sri Maharaja, maka sekelompok …… perjalanan di malam hari. Satu hal yang tidak pernah diperhitungkan oleh Ki Buyut Bumiagara. Ia sama sekali tidak mengira bahwa gurunya benar-benar telah tersinggung dengan perbuatannya itu dan mengambil langkah-langkah tertentu untuk mencegah padepokan Bajra Seta dihancurkan.

Pada hari yang ditentukan, maka pasukan yang besar itu-pun telah berangkat. Pimpinan tertinggi pasukan itu berada di tangan Senapati dari Kediri. Senapati yang memimpin sepasukan prajurit yang menjadi landasan perjuangan sekelompok pemimpin di Kediri yang tidak mau tunduk lagi kepada kepemimpinan Sri Baginda di Kediri.

Kedua pasukan itu menempuh perjalanan di saat yang hampir sama. Pasukan Bumiagara memang berniat untuk sampai di sekitar padepokan itu menjelang pagi. Mereka akan beristirahat sejenak sebelum memukul padepokan Bajra Seta menjelang matahari terbit.

Ternyata prajurit berkuda Singasari telah lebih dahulu datang ke padepokan. Ketika pasukan itu mendekati pintu gerbang, maka seisi padepokan telah terbangun. Para cantrik yang bertugas terkejut melihat pasukan berkuda datang, sehingga mereka telah memberikan isyarat kepada seluruh kekuatan yang ada di padepokan itu untuk bersiaga.

Namun Senapati yang memimpin pasukan berkuda itu telah mengangkat tunggul pertanda utusan Sri Maharaja di Singasari.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat melihat tunggul itu. Karena itu, maka diperintahkannya untuk membuka pintu gerbang.

Meskipun keduanya cukup berhati-hati.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat diiringi beberapa orang cantrik telah keluar dari pintu gerbang beberapa langkah untuk menemui Senapati dari prajurit berkuda itu.

Senapati itu-pun segera menjelaskan perintah Sri Maharaja yang diembannya dengan pertanda tunggul kerajaan Singasari serta sebuah kelebet ciri pasukan berkuda yang datang itu.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat-pun telah mempersilahkan pasukan berkuda itu memasuki dinding padepokan tanpa diketahui oleh banyak orang di padukuhan-padukuhan sekitar padepokan itu, karena mereka datang di saat-saat orang tidur nyenyak. Setengah bermimpi memang ada yang mendengar derap sepasukan berkuda lewat. Namun kemudian hilang dengan cepat.

Beberapa orang peronda-pun melihat iring-iringan prajurit berkuda. Namun tidak seorang-pun di antara mereka sempat bertanya. Tetapi orang-orang yang umurnya sudah mendekati setengah abad yang melihat iring-iringan itu berkata kepada anak-anak muda digardu, “Tunggul kerajaan Singasari.”

“Apakah paman tahu pasti?” bertanya seorang anak muda.

“Aku yakin,” jawab orang tua itu.

Sementara itu, pasukan Bumiagara lebih banyak menghindari jalan-jalan padukuhan. Mereka lebih banyak menyusuri bulak-bulak dan bahkan memotong jalan lewat sawah dan pategalan. Mereka tidak mau kehadirannya terlalu cepat diketahui, sehingga padepokan Bajra Seta sempat bersiap-siap dan memberi isyarat kepada padukuhan-padukuhan di sekitarnya untuk membantunya.

Namun dengan demikian, maka pasukan Bumiagara itu sama sekali tidak menyadari, bahwa sekelompok prajurit berkuda dari Singasari telah berada di dalam dinding padepokan Bajra Seta.

Dalam pada itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat baru mendengar dari Senapati prajurit berkuda dari Singasari itu bahwa akan ada serangan yang datang dari Bumiagara.

“Kapan?” bertanya Mahisa Murti.

“Kami tidak tahu pasti. Tetapi kami mendapat perintah secepatnya berada di padepokan,” jawab Senapati itu.

Dengan demikian maka Mahisa Murti telah memerintahkan agar para petugas yang mengawasi keadaan di panggungan pada dinding padepokan menjadi semakin hati-hati. Mereka harus memberikan laporan jika mereka melihat sesuatu yang mencurigakan.

Namun Senapati prajurit Kediri yang memimpin serangan atas padepokan Bajra Seta itu cukup berhati-hati. Ia menghentikan pasukannya tidak terlalu dekat dengan padepokan, sehingga pasukannya tidak segera terlihat oleh para cantrik meskipun seandainya ada yang meronda berkeliling padepokan.

Tetapi demikian langit menjadi semakin merah, maka Senapati itu mulai bersiap-siap. Meskipun ia masih membiarkan pasukannya beristirahat sejenak, namun beberapa orang telah menjadi sibuk. Di antara mereka bertugas untuk membagikan makanan agar mereka tidak menjadi kelaparan jika mereka bertempur untuk waktu yang lama. Tetapi para petugas tidak ada yang membawa minum, sehingga mereka telah menunjuk sebuah mata air yang diketemukan oleh salah seorang prajurit sebagai tempat untuk minum.

Dinginnya air di dini hari tidak menjadi soal. Seorang yang memang agak batuk ternyata lebih senang minum air dari mata air dalam dinginnya malam, sehingga gatal-gatal dilehernya justru akan hilang.

Menjelang pagi, maka Senapati dari Kediri itu telah mempersiapkan seluruh pasukannya. Sejenak kemudian, maka diperintahkannya para prajurit untuk mendekati padepokan itu dari arah depan dan samping sebelah kanan. Kemudian memerintahkan agar para pengikut Empu Carang Wregu, menyerang dari sisi sebelah kiri dan dari arah belakang.

“Pertahanan mereka terkuat tentu berada di bagian depan,” berkata Senapati itu, “Kami akan menghancurkan pintu padepokan itu dan akan menyerang masuk ke dalam dinding padepokan. Kami berharap bahwa setelah itu, pasukan dari samping kiri dan kanan akan segera masuk pula. Demikian pula pasukan yang ada di belakang. Pasukan-pasukan itu akan mengacaukan pertahanan padepokan Bajra Seta, sehingga kita masing-masing akan dapat melakukan tugas dan kepentingan kita sendiri. Kami akan menangkap Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, sementara Empu Carang Wrcgu akan mengambil alat-alat yang bernilai sangat tinggi itu, namun yang bagi kami sama sekali bukan sesuatu yang baru.”

Ki Buyut Bumiagara yang ikut dalam pasukan yang menyerang padepokan itu termangu-mangu. Namun sudah tentu bahwa Kabuyutan Bumiagara juga memerlukan alat-alat pande Besi itu meskipun hanya sebagian.

Tetapi Ki Buyut masih belum mengatakannya. Bahkan ia sudah merencanakan, jika Empu Carang Wregu membuat keputusan yang tidak sesuai dengan keinginan Ki Buyut, maka apa salahnya jika ia mengambil dengan paksa dengan bantuan para prajurit Kediri.

Demikianlah, maka sebelum matahari terbit, maka padepokan Bajra Seta itu-pun telah dikepung dari segala penjuru.

Para pengawas yang ada di panggungan pada dinding padepokan dapat melihat sebagian dari mereka. Karena itu, maka ia-pun segera melaporkan kepada para cantrik yang bertanggung jawab atas tugas kawan-kawannya di malam itu.

Cantrik itu-pun segera membagi tugas. Seorang di antara mereka berlari-lari menemui Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Sedangkan yang lain telah harus membangunkan semua cantrik yang masih tertidur karena tugas-tugas mereka yang harus mereka lakukan sampai malam.

Dengan cepat para cantrik-pun telah bersiap. Karena sebelumnya semuanya sudah diatur dengan tertib, maka pada saat musuh itu benar-benar datang, maka para cantrik tidak menjadi kebingungan.

Sementara itu Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sendirilah yang telah menemui Senapati yang datang dari Singasari. Setelah keduanya memberi tahukan bahwa padepokan itu sudah terkepung, maka Senpati itu-pun telah menjatuhkan perintah-perintah.

Sekelompok pasukan berkuda itu-pun segera mempersiapkan diri. Namun karena kuda-kuda mereka itu sudah merupakan bagian dari hidup para prajurit berkuda itu, maka beberapa orang mendapat perintah untuk mengamankan kuda-kuda mereka yang berada di kandang yang tidak terlalu besar sehingga tidak mencukupi untuk menyimpan kuda-kuda para prajurit, sehingga yang lain hanya diikat pada pepohonan di kebun padepokan itu. Namun makanan bagi kuda-kuda itu cukup tersedia di padepokan itu.

Demikianlah, maka para prajurit dari Kediri itu sudah bersiap di dinding halaman bagian depan. Mereka sama sekali tidak menjadi gaduh ketika mereka mendengar berita bahwa padepokan itu sudah terkepung.

Untunglah bahwa para prajurit itu sempat beristirahat sejenak setelah para prajurit berkuda menempuh jarak menempuh jarak yang cukup panjang.

Namun dalam waktu yang terhitung singkat, para prajurit itu sudah siap menghadapi segala kemungkinan.

Ketika pagi menjadi semakin terang, maka nampaknya pasukan yang mengepung padepokan itu semakin bergeser maju.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat-pun kemudian telah berada di panggungan pula. Mereka melihat dan menilai kekuatan pasukan yang datang mengepung padepokan itu.

Namun Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mendapatkan kesimpulan bahwa pasukan lawan memang terlalu kuat.

Hampir diluar sadarnya, maka Mahisa Murti-pun berdesis, “Untunglah, bahwa Singasari telah mengetahui akan hal ini, sehingga mereka mengirimkan sekelompok prajurit untuk membantu kita.”

“Kita harus berterima kasih kepada orang yang telah memberikan laporan tentang serangan yang datang ini,” sahut Mahisa Pukat.

“Guru Ki Buyut, maksudmu?” bertanya Mahisa Murti.

“Ya!” jawab Mahisa Pukat pendek. Ia tidak sempat berbincang lebih lama lagi, karena pasukan yang datang mengepung padepokan itu sudah merayap semakin mendekat.

“Nampaknya mereka akan menyongsong matahari,” gumam Mahisa Pukat.

Mahisa Murti mengangguk-angguk. Namun mereka melihat bahwa pasukan itu telah mempersiapkan alat-alat yang akan mereka pergunakan untuk merusak pintu.

Sementara itu, di bagian belakang dan samping padepokan itu-pun telah terkepung pula. Di bagian belakang, pasukan yang dipimpin langsung oleh Empu Carang Wregu telah mempersiapkan tangga-tangga pula. Potongan-potongan kayu telah mereka ikat pada dua batang bambu yang cukup panjang yang telah mereka sediakan sebelumnya. Dengan tangga itu mereka berniat untuk memanjat dinding dan memasuki halaman padepokan.

Beberapa buah tangga telah mereka persiapkan. Sementara itu, beberapa orang cantrik dibawah pimpinan Empu Carang Wregu itu sudah mempersiapkan busur dan anak panah untuk melindungi para cantrik yang akan memanjat beberapa buah tangga itu bersama-sama. Mereka berharap bahwa serangan di pintu gerbang dan di sisi padepokan akan menghisap sejumlah cantrik padepokan Bajra Seta. Dengan demikian, maka pertahanan di bagian belakang itu tentu tidak akan terlalu kuat.

Dalam pada itu, para prajurit dari pasukan berkuda Singasari masih belum menampakkan diri. Mereka masih bersiap-siap di dalam dinding padepokan. Namun mereka menunggu saat yang terbaik untuk tampil. Apalagi jika prajurit Kediri itu berusaha untuk memecahkan pintu gerbang, sehingga para prajurit Singasari dari pasukan berkuda itu akan dapat menghadapinya langsung.

Dari atas panggung kecil, Mahisa Murti selalu memberikan isyarat kepada para prajurit dari Singasari itu. Dengan demikian maka Senapati prajurit Singasari itu tahu pasti, apa yang sedang terjadi di luar padepokan.

Para prajurit Kediri dan para cantrik di bawah pimpinan Empu Carang Wregu juga melihat bahwa para cantrik dari padepokan Bajra Seta sudah bersiap. Memang ada semacam keheranan bahwa para cantrik nampaknya suah siap sepenuhnya menyambut kedatangan mereka.

Ketika hal itu dikemukakan oleh salah seorang prajurit Kediri, maka Senopatinya telah menjawab, “Mungkin perselisihan yang terjadi antara padepokan ini dengan Kabuyutan Bumiagara selalu membayangi para pemimpin padepokan ini, sehingga mereka telah menempatkan beberapa orang petugas yang mengawasi itu telah melihat kita mendekati padepokan itu dalam keremangan fajar. Kesiagaan padepokan ini telah membuat mereka dengan cepat mempersiapkan diri menanti kedatangan kita.”

“Kita akan segera mulai. Betapa-pun mereka bersiap, tetapi kekuatan mereka sangat terbatas. Kita telah berhasil meredam bantuan dari padukuhan-padukuhan di sekitarnya karena agaknya kehadiran kita tidak mereka ketahui,” berkata Senopati itu.

Namun, sementara itu para cantrik yang berada di atas panggungan di dalam dinding padepokan telah bersiap dengan busur dan anak panahnya, sebagaimana sebagian dari prajurit Kediri yang menyimpang dari paugeran keprajuritan itu.

Dalam pada itu, maka Senopati pasukan berkuda Singasari yang ada di padepokan itu telah mengisyaratkan agar para cantrik tidak terlalu mencegah para prajurit Kediri yang melawan perintah Sri Baginda di Kediri itu untuk merusak pintu.

“Biarlah mereka masuk,” pesan Senopati itu. Namun dalam pada itu, para prajurit Singasari itu-pun telah bersiap di belakang pintu.

Sebenarnyalah, sejenak kemudian, maka dua orang prajurit Kediri itu telah melepaskan panah sendaren sebagai isyarat, mereka yang mengepung padepokan itu akan menyerang bersama-sama.

Ketika pasukan Kediri dan para cantrik dari padepokan yang dipimpin oleh Empu Carang Wregu itu mendekat, maka anak panah para cantrik padepokan Bajra Seta-pun mulai meluncur seperti hujan bertaburan di atas para prajurit Kediri.

Meskipun sedikit terhambat, tetapi pasukan itu maju terus. Mereka telah melindungi diri dengan perisai atau menangkis anak panah yang meluncur ke arah para prajurit, sehingga akhirnya sekelompok di antara mereka berhasil mencapai pintu gerbang.

“Cepat. Hancurkan saja pintu gerbang itu,” terdengar perintah bagi para prajurit Kediri yang memang bertugas untuk memecahkan pintu.

Dengan mempergunakan kapak, linggis dan parang, mereka telah memotong tali temali pada pintu gerbang dan memecahkan kayu-kayu penguatnya dengan kapak.

Sementara itu kawan-kawan mereka yang tengah memecahkan pintu gerbang itu berusaha untuk melindungi mereka. Sebagian berusaha untuk melindungi dengan melontarkan anak panah kepada para cantrik yang ada di panggungan, sedangkan yang lain melindungi para prajurit yang merusak pintu gerbang itu dengan perisai atau menebas serangan anak panah itu menepi.

Namun seperti diisyaratkan oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat bahwa para cantrik jangan menghentikan sama sekali usaha para prajurit untuk merusak pintu.

Dalam pada itu, di bagian belakang, beberapa orang cantrik yang dipimpin oleh Empu Carang Wregu berusaha untuk memanjat dengan tangga-tangga yang panjang. Tetapi di atas dinding para cantrik berusaha untuk mencegah mereka. Sebagian tangga-tangga itu telah didorong dan dirobohkan. Namun satu dua orang yang memanjat sampai ke ujung tangga, telah terlempar jatuh.

Empu Carang Wregu tidak menduga bahwa pertahanan di bagian belakang padepokan itu-pun cukup kuat. Seharusnya, menurut perhitungannya, para cantrik dari padepokan Bajra Seta itu sebagian besar akan ditarik ke pintu gerbang utama, karena serangan prajurit Kediri yang cukup berbahaya.

Seorang penghubung mengatakan, bahwa para prajurit Kediri hampir berhasil memecahkan pintu gerbang, sehingga dalam waktu dekat para cantrik padepokan Bajra Seta itu akan terhisap ke halaman depan untuk menahan serangan para prajurit Kediri.

“Seharusnya sebagian dari mereka telah meninggalkan dinding padepokan bagian belakang ini,” desis Empu Carang Wregu.

“Itulah kedunguan mereka,” jawab penghubung itu, “Jika pintu gerbang itu pecah, mereka tentu terlambat sehingga para cantrik yang berusaha menahan arus para prajurit itu akan dibantai oleh para prajurit dari Kediri. Sementara itu, para cantrik yang ada di bagian belakang itu baru menyadari bahwa mereka tidak akan mampu bertahan.”

“Tetapi kita akan terlambat,” berkata Empu Carang Wregu.

“Terlambat apa?” bertanya penghubung itu.

“Alat-alat itu akan dikuasai oleh para prajurit,” jawab Empu Carang Wregu.

“Mereka tidak memerlukannya. Di Kediri-pun terdapat alat-alat seperti itu,” jawab penghubungnya.

“Mungkin orang-orang Kediri itu tidak memerlukannya. Tetapi Kabuyutan Bumiagara?”

“Bukankah itu soal yang mudah dipecahkan? Seandainya alat-alat itu oleh para prajurit diserahkan kepada Ki Buyut Bumiagara karena mereka sudah menangkap para pemimpin padepokan Bajra Seta, pada suatu saat kita tentu akan dapat mengambilnya. Para prajurit itu tidak akan selamanya berada di Bumiagara.”

Empu Carang Wregu mengangguk-angguk. Namun sementara itu, para cantrik yang bertahan di atas panggungan di belakang dinding padepokan, masih saja berada di tempat mereka. Tidak seorang-pun yang beringsut dari tempat mereka, meskipun pintu gerbang utama padepokan itu sudah benar-benar mulai pecah.

Sebenarnyalah, para prajurit Kediri telah memecahkan pintu gerbang utama padepokan Bajra Seta. Namun demikian ujung pasukan mereka menembus memasuki halaman padepokan, mereka benar-benar terkejut. Di halaman itu telah bersiap prajurit Singasari.


Pertempuran yang sengit-pun tidak dapat dielakkan lagi. Para prajurit Kediri yang terkejut, ternyata telah kehilangan waktu sekejap saat pasukan mereka berbenturan. Justru hanya beberapa langkah di belakang pintu gerbang.

Namun prajurit Kediri yang di belakang, yang kurang tanggap atas keadaan yang mereka hadapi, telah mendesak kawan-kawannya untuk terus maju memasuki halaman.

Prajurit Singasari memang mengalami kesulitan untuk membendung arus pasukan Kediri yang seakan-akan banjir bandang yang memecahkan bendungan.

Karena itu, maka para prajurit Singasari justru telah mundur dan mengambil tempat yang lebih luas di halaman padepokan.

Barulah kemudian, pertempuran yang sebenarnya telah terjadi.

Namun dalam pada itu, para cantrik yang berada di panggungan-pun telah menyerang dengan anak panah dan lembing. Para prajurit Kediri yang sedang bertempur melawan prajurit Singasari itu memang menjadi agak bingung. Yang dapat mereka lakukan kemudian adalah menjauhi dinding padepokan. Namun para prajurit Singasari-pun telah menahan mereka.

Beberapa orang prajurit Kediri berusaha untuk memanjat panggungan itu pula, untuk menghentikan serangan para cantrik. Tetapi para cantrik padepokan Bajra Seta memiliki kemampuan seorang prajurit pula, sehingga usaha untuk menghentikan mereka yang ada di atas panggung tidak semudah yang mereka duga.

Dalam pada itu, maka pertempuran-pun telah meluas pula di halaman. Para prajurit Singasari memang sengaja membuka medan yang lebih luas, agar prajurit-prajurit Singasari tidak terlalu berjejalan saat mereka bertempur menghadapi para prajurit Kediri.

Namun ternyata prajurit Kediri itu telah salah pilih. Mereka sama sekali tidak mengira bahwa di dalam padepokan itu telah terdapat prajurit Singasari pula.

Seorang penghubung yang melihat medan itu segera pergi ke bagian belakang padepokan dan memberikan laporan kepada Empu Carang Wregu.

Empu Carang Wregu mengumpat lirih. Dengan geram ia berkata, “Jadi inilah sebabnya, kenapa para cantrik di dinding belakang padepokan itu tidak bergeser sama sekali. Mereka memang tidak perlu membantu kawan-kawan mereka yang berada di bagian depan padepokan ini, karena disana telah hadir prajurit Singasari.”

“Jadi apa yang harus kita lakukan Empu?” bertanya salah seorang Putut.

“Kita harus berusaha untuk memecahkan pertahanan di belakang atau di sisi padepokan. Kita harus berusaha untuk memasuki dinding padepokan,” jawab Empu Carang Wregu.

“Bagaimana jika merusak pintu regol samping?” bertanya Putut itu.

“Bagus. Lakukan,” jawab Empu Carang Wregu.

Putut itu-pun kemudian telah menghimpun beberapa orang secara khusus. Dengan dilindungi oleh beberapa cantrik yang bersenjata busur dan anak panah, Putut itu telah berusaha untuk memecahkan pintu regol samping.

Dengan cara yang sama sebagaimana dilakukan oleh para prajurit Kediri, maka regol samping itu-pun sedikit demi sedikit menjadi pecah dan setelah tali-temalinya putus serta beberapa bagian kayunya dipecahkan, akhirnya pintu itu memang koyak. Bahkan kemudian, pintu itu-pun telah dirobohkannya.

Dalam pada itu, beberapa orang cantrik memang telah ditarik untuk menahan agar orang-orang yang menyerang padepokan itu, tertahan di sekitar pintu butulan. Karena itu, maka pertemuan di halaman samping itu-pun menjadi semakin lama semakin sengit. Sebanyak penyerang yang memasuki halaman, maka sebanyak itu pula para cantrik menahannya. Bahkan sebagian kecil dari para prajurit Singasari-pun telah ditarik pula untuk ikut bertahan di sekitar pintu butulan. Apalagi karena pitu itu terbuka, maka para penyerang seakan-akan telah dihisap oleh pintu itu. Sehingga karena itu, maka di bagian belakang padepokan itu menjadi kosong.

Dengan demikian, maka para cantrik yang semula bertahan di dinding belakang itu-pun telah turun pula dan membantu mempertahankan diri terhadap orang-orang yang telah memasuki halaman samping padepokan itu.

Dengan demikian, maka pertempuran-pun menjadi semakin sengit. Namun kehadiran para prajurit Singasari di medan pertempuran di halaman samping itu, telah membuat Empu Carang Wregu menjadi sangat marah. Para cantriknya telah tertahan dan tidak mampu lagi mendesak maju.

Karena itu, maka Empu Carang Wregu-pun kemudian telah langsung terjun kemedan yang garang itu.

Ternyata Empu Carang Wregu adalah seorang yang memiliki kelebihan dari orang kebanyakan. Itulah sebabnya, maka lima orang cantrik harus menghadapinya.

Tetapi kelima orang cantrik itu menjadi kehilangan kesempatan ketika Empu Carang Wregu itu mengerahkan kemampuannya serta mempergunakan senjatanya. Sebilah keris yang lebih besar dari kebanyakan keris yang lain.

Namun sebelum ia menghabisi kelima orang cantrik yang seakan-akan sudah tidak mempunyai kesempatan lagi itu, terdengar seseorang mencegahnya, “Sebaiknya kau tidak melakukannya.”

Sebelum orang itu berpaling, seseorang telah melompat di antara kelima cantrik yang terdesak itu. Ternyata tiga di antara para cantrik itu sekaligus telah kehilangan senjata mereka. Dua orang lain justru telah terluka.

“Siapa kau anak muda?” bertanya Empu Carang Wregu.

“Mahisa Murti,” jawab anak muda yang telah memasuki lingkaran pertempuran itu.

“Apakah kau sedang berusaha untuk membunuh diri?” bertanya Empu Carang Wregu.

Mahisa Murti tidak segera menjawab. Namun ia masih sempat berbicara dengan kedua orang cantriknya yang terluka, “Hati-hati dengan lukamu. Luka itu beracun. Apakah kalian membawa obat penawar racun?”

Kedua cantrik itu saling berpandangan.

Sementara itu pertempuran telah menjalar di sekitarnya. Tiga orang cantrik yang kehilangan senjatanya telah berhasil menggapainya dan bertempur dengan tangkasnya menghadapi para cantrik yang dipimpin oleh Empu Carang Wregu.

Namun seperti para cantrik yang lain di padepokan itu, maka kedua cantrik itu-pun membawa obat penangkal racun meskipun tidak terlalu banyak.

“Cepat, taburkan obat itu ke atas luka kalian,” perintah Mahisa Murti.

Kedua orang cantrik itu-pun kemudian telah meninggalkan medan untuk mendapatkan kesempatan menaburkan obat penangkal racun itu pada luka-luka mereka. Obat yang telah dibuat oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat atas petunjuk ayah mereka, Mahendra.

Empu Carang Wregu itu-pun kemudian berkata sambil mengacungkan senjatanya, “Kau terlalu yakin akan kelebihanmu anak muda. Tetapi sudah saatnya kau akan mati.”

“Apa-pun yang akan terjadi, aku adalah pemimpin padepokan ini. Aku harus menghentikanmu sebelum kau menelan korban terlalu banyak,” geram Mahisa Murti.

“Kau masih terlalu muda untuk mati. Tetapi jika itu yang kau kehendaki, apa boleh buat. Tetapi ada orang lain yang menginginkanmu hidup-hidup,” berkata Empu Carang Wregu kemudian.

Mahisa Murti termangu-mangu sejenak. Namun ia-pun kemudian bertanya, “Siapa yang menghendaki aku hidup-hidup?”

“Para prajurit Kediri menghendaki pimpinan padepokan ini hidup-hidup. Pimpinan padepokan ini telah terlalu banyak membuat para petugas sandi dari Kediri kesulitan. Karena itu, maka para pemimpin padepokan ini harus mempertanggung jawabkan perbuatannya. Bukan sekedar mati terbunuh di peperangan,” jawab Empu Carang Wregu,

“Menarik sekali untuk berhadapan dengan para prajurit. Namun seorang saudaraku telah berada di halaman depan padepokan ini. Ia akan menerima para prajurit dari Kediri itu bersama-sama para prajurit Singasari,” jawab Mahisa Murti.

Namun tiba-tiba Empu Carang Wregu tertawa. Katanya, “Aku kira padepokan sebesar padepokan Bajra Seta ini tidak memerlukan bantuan darimana-pun juga. Ternyata isi padepokan ini adalah para pengecut yang memerlukan bantuan prajurit Singasari.”

“Mereka ternyata datang sendiri Ki Sanak,” jawab Mahisa Murti, “Prajurit Singasari tahu pasti apa yang dilakukan oleh orang-orang Kediri. Baik mereka yang sejalan dengan langkah-langkah Sri Baginda di Kediri, maupun para prajurit Kediri yang telah memberontak dan tidak tunduk kepada Sri Baginda, sehingga membuat langkah-langkah sendiri sebagaimana para prajurit yang datang kemari.”

“Kau tidak perlu membuat penilaian atas Kediri,” berkata Empu Carang Wregu kemudian, “Kau tidak akan tahu apa yang sebenarnya terjadi. Kau masih terlalu anak-anak untuk berbicara tentang Kediri dan Singasari.”

Tetapi Mahisa Murtilah yang kemudian tertawa. Katanya, “Sejak aku masih ingusan, aku telah ikut serta membantu tugas-tugas sandi bagi Kediri. Kau tidak tahu apa-apa?”

Tetapi Empu Carang Wregu kemudian menyahut, “Jangan terlalu memperbodoh orang lain anak muda.”

“Baiklah. Aku tidak akan menuntut agar kau percaya. Namun yang penting bagiku, menyerahlah.” berkata Mahisa Murti kemudian.

“Anak muda,” berkata Empu Carang Wregu, “Pertempuran nampaknya menjadi semakin sengit. Jika kau mati atau menyerah atau ditangkap hidup-hidup, nampaknya pertempuran akan segera berakhir.”

“Ya. Atau sebaliknya. Jika kau mati, atau menyerah atau tertangkap hidup-hidup, maka orang-orangmu akan kacau balau. Pertempuran-pun akan segera selesai.”

Empu Carang Wregu-pun tidak menjawab lagi. Tetapi kerisnya yang besar itu sudah mulai mengacu ke dada lawannya. Katanya, “Aku masih akan mencoba menangkapmu hidup-hidup. Kalau aku gagal, maka mayatmulah yang akan dibawa ke Kediri untuk dijadikan pengewan-ewan.”

Mahisa Murti menyadari, bahwa senjata Empu Carang Wregu itu adalah senjata yang sangat berbahaya. Keris itu adalah keris beracun. Meskipun racun itu sendiri tidak banyak berarti bagi Mahisa Murti, tetapi goresan-goresannya cukup berbahaya baginya, karena ujung keris itu demikian tajamnya.

Karena itu, maka Mahisa Murti-pun telah menarik senjatanya pula, yang oleh pembuatnya justru juga disebut keris. Namun Mahisa Murti sendiri lebih senang menyebutnya pedang.

Empu Carang Wregu memang terkejut melihat senjata anak muda itu. Besi bajanya adalah besi baja pilihan. Warnanya yang kehijau-hijauan membuat senjata Mahisa Murti itu mendebarkan lawannya.

Keduanya tidak banyak berbicara lagi. Tetapi senjata merekalah yang mulai bergerak. Berputaran namun kemudian mematuk dengan cepat, sementara yang lain terayun menebas ke arah leher.

Ketika senjata mereka berbenturan, maka sepercik bunga api telah berloncatan.

Ternyata bahwa senjata-senjata itu telah terbuat dari besa baja yang sama-sama pilihan.

Karena itu, maka pertempuran di antara mereka selanjutnya menjadi semakin lama semakin sengit. Kedua senjata itu menjadi semakin sering beradu dan bunga api-pun semakin banyak berhamburan.

Di halaman depan padepokan Bajra Seta, prajurit Singasari bertempur dengan sengitnya melawan prajurit Kediri yang tidak sejalan dengan Sri Baginda di Kediri. Namun prajurit Singasari ternyata cukup tangguh untuk menahan arus serangan prajurit Kediri, sehingga prajurit Kediri itu tidak mampu lagi mendesak prajurit Singasari. Jika semula prajurit Singasari bergerak surut dan memberikan tempat yang lebih luas bagi prajurit Kediri, semata-mata karena prajurit Singasari memang ingin bertempur di arena yang tidak berdesakkan.

Mahisa Pukat yang semula berada di halaman depan, ternyata merasa tidak diperlukan lagi. Karena itu, ia minta Wantilan bersama sekelompok kecil cantrik untuk tetap bersama-sama dengan prajurit Singasari. Mungkin ada sesuatu yang perlu dilakukan. Sementara itu Mahisa Pukat telah menelusuri dinding padepokan.

Ternyata padepokan itu sudah tidak terkepung lagi. Para prajurit Kediri telah memasuki halaman padepokan lewat pintu gerbang utama yang memang sudah terbuka, sementara para cantrik yang dipimpin oleh Empu Carang Wregu telah berada di dalam dinding padepokan pula setelah mereka memecahkan pintu regol samping.

Karena itu, maka Mahisa Pukat-pun telah melingkari padepokan dan memasuki arena pertempuran melawan para cantrik yang dipimpin oleh Empu Carang Wregu yang telah berada di halaman samping padepokan. Namun di sepanjang dinding halaman, para cantrik masih juga berjaga-jaga meskipun jumlahnya tidak banyak. Mereka sekedar mengawasi keadaan, sementara kawan-kawan mereka telah turun ke gelanggang menghadapi para cantrik yang datang menyerang padepokan itu.

Mahisai Pukat-pun kemudian telah bergabung dengan para cantrik yang menahan arus serangan dari samping. Sementara itu, di sisi yang lain dari medan, Mahisa Murti telah bertempur melawan Empu Carang Wregu itu sendiri.

Kedatangan Mahisa Pukat memang sangat berpengaruh. Para cantrik dari padepokan Bajra Seta yang mulai terdesak oleh para penyerangnya yang jumlahnya memang lebih banyak, segera bangkit. Mahisa Pukat sendiri kemudian telah menghisap lawan cukup banyak. Tujuh orang cantrik dari padepokan Empu Carang Wregu itu telah mengepungnya di bawah pimpinan seorang Putut.

“Tangkap anak itu hidup-hidup,” teriak Putut yang memimpin sekelompok orang yang mengepung Mahisa Pukat.

Mahisa Pukat termangu-mangu sejenak. Namun sambil memutar pedangnya ia bertanya, “Untuk apa kalian berusaha menangkap aku hidup-hidup?”

“Kau ternyata memang seorang yang sangat menarik untuk ditangkap hidup-hidup. Kau akan dapat menjadi permainan yang menyenangkan bagi para prajurit Kediri, karena kau dan padepokanmu sudah terlalu sering membuat para prajurit Kediri mengalami kesulitan,” jawab Putut itu.

“Kau pura-pura tidak tahu?” justru Mahisa Pukat-pun telah bertanya pula.

“Sudahlah,” potong Putut itu kemudian, “Menyerahlah. Aku tidak akan menyakitimu. Tetapi entah yang akan dilakukan oleh para prajurit Kediri.”

“Adakah kau mengira bahwa masih akan ada prajurit Kediri yang tersisa menghadapi prajurit Singasari?” bertanya Mahisa Pukat kemudian.

“Persetan kau,” geram Putut itu, “Ternyata kau seorang yang sombong tetapi dungu.”

Mahisa Pukat tertawa. Katanya, “Jangan merajuk seperti itu.”

“Jadi kau tidak mau menyerah?” bertaya Putut itu kemudian.

“Maaf, aku tidak akan menyerahkan diri untuk diikat dan dijadikan pengewan-ewan,” jawab Mahisa Pukat.

Putut itu menjadi semakin tersinggung atas sikap Mahisa Pukat. Karena itu, maka ia-pun telah menjatuhkan aba-aba sekali lagi kepada para cantriknya.

“Tangkap anak ini hidup-hidup.”

Para cantrik itu segera berloncatan. Mahisa Pukat sama sekali tidak menjadi cemas. Ia sengaja tidak memanggil cantrik dari padepokan Bajra Seta untuk membantunya. Ia berniat mengatasi ketujuh orang lawannya itu sendiri.

Demikianlah, maka Mahisa Pukat-pun telah berloncatan dengan pedang yang berwarna kehijauan itu di tangannya. Setiap kali maka kepungan itu-pun menjadi longgar, karena lawan-lawannya berloncatan surut.

Dalam keadaan seperti itu, di saat para cantrik dari padepokan Bajra Seta memerlukan dukungan kemampuannya, maka Mahisa Pukat telah bertempur dengan garangnya. Tenaga cadangan di dalam dirinya, kemampuannya dalam olah kanuragan serta ketrampilannya bermain dalam ilmu pedang, telah membuat lawan-lawannya segera mengalami kesulitan. Satu dua orang lawannya telah kehilangan senjata mereka yang terlempar dari tangan mereka. Sementara itu telapak tangan mereka rasa-rasanya bagaikan telah menyentuh api.

Bahkan beberapa saat kemudian, maka seorang di antara mereka telah terdorong surut beberapa langkah. Ketika tangannya meraba lambungnya, maka terasa tangannya telah menyentuh darahnya yang mengalir dari luka.

Orang itu mengumpat. Tetapi lukanya semakin lama justru menjadi semakin terasa pedih.

Ketika ia bertekad untuk kembali memasuki arena, maka seorang kawannya telah mengaduh tertahan. Pundaknyalah yang telah tergores tajamnya pedang Mahisa Pukat.

Dua orang telah terluka. Sementara dua orang yang kehilangan senjatanya telah berhasil menemukannya kembali. Sementara itu, Putut yang memimpin sekelompok kecil cantrik dari padepokan Empu Carang Wregu itu telah mengerahkan kemampuannya pula untuk menyerang Mahisa Pukat.

Tetapi serangan-serangan itu tidak segera berhasil. Mahisa Pukat ternyata terlalu tangkas bagi mereka. Apalagi pedangnya menjadi sangat berbahaya.

Bahkan beberapa saat kemudian, dua orang telah terlempar dari arena pertempuran karena luka-luka mereka di dada dan di lambung. Luka-luka itu cukup parah, sehingga kedua orang itu tidak mungkin untuk dapat ikut pula dalam pertempuran itu.

Ternyata kehadiran Mahisa Pukat telah memberikan kemungkinan baru dari pertempuran itu. Sementara itu, para cantrik dari padepokan Bajra Seta itu bertempur dengan tangkasnya. Senjata mereka yang baru, yang telah berhasil dibuat sendiri oleh para cantrik yang telah mengkhususkan diri sebagai pande besi, telah membuat para cantrik itu seakan-akan menjadi semakin tangkas dan bahkan ilmu mereka seakan-akan telah meningkat pula.

Beberapa orang cantrik justru sempat memperhatikan senjata di tangan mereka. Pertempuran itu seakan-akan justru merupakan ujian bagi senjata-senjata yang baru mereka buat.

Namun ternyata bahwa memang terbukti senjata yang baru itu lebih baik dari yang lama. Bukan saja penggunaannya, tetapi juga kekuatannya dibandingkan dengan beratnya.

Karena itulah, maka para cantrik dari padepokan Bajra Seta itu seakan-akan memiliki ilmu yang lebih tinggi dari yang sebenarnya.

Para prajurit Singasari yang bertempur di padepokan itu-pun merasa heran atas kemampuan para cantrik. Beberapa orang cantrik termasuk Wantilan bertempur bersama para prajurit di halaman depan padepokan. Para prajurit Kediri yang menyerang padepokan itu sama sekali tidak lebih baik dari para cantrik. Dengan tangkasnya para cantrik itu bermain pedang. Bahkan mereka mampu bergerak sangat cepat, sementara pedangnya terayun-ayun menggetarkan.

Sebelum mereka mendapatkan jenis pedang yang baru, maka mereka mempergunakan pedang yang lebih berat namun kekuatan dan ketajamannya tidak lebih baik dari pedang yang mereka pergunakan saat itu.

Mahisa Pukat yang bertempur di antara para cantrik sempat memperhatikan, apakah dengan senjata mereka yang baru para cantrik mampu berbuat lebih baik.

Dalam pada itu, Mahisa Murti yang bertempur melawan Empu Carang Wregu ternyata tidak mempunyai banyak kesempatan untuk memperhatikan pertempuran di sekitarnya. Empu Carang Wregu itu ternyata seorang yang berilmu sangat tinggi. Kerisnya yang besar berputaran dengan dahsyatnya. Beberapa kali keris itu menyentuh kulit Mahisa Murti. Bahkan goresan luka telah mulai nampak pada tubuh anak muda itu.

Namun ujung pedang Mahisa Murti-pun telah menggapai tubuh Empu Carang Wregu pula. Titik-titik darah telah mengembun di kulitnya.

Tetapi sementara itu, Empu Carang Wregu-pun berkata sambil tertawa, “Anak muda. Seharusnya kau tidak perlu mengerahkan tenaga untuk bertempur melawan aku. Goresan-goresan luka itu sudah cukup berbahaya bagimu. Racun pada ujung kerisku akan membunuhmu. Semakin banyak kau bergerak, semakin cepat racun itu bekerja. Kau telah memberikan kesempatan kepada cantrikmu untuk mengobati luka-lukanya yang beracun. Namun kau sendiri sama sekali tidak mencari kesempatan untuk melakukannya. Karena itu, menyerahlah. Kau diperlukan oleh para prajurit Kediri. Karena itu, mereka ingin menangkap kau hidup-hidup.”

“Jika racun itu membunuhku, bagaimana mungkin mereka akan menangkapku hidup-hidup?” bertanya Mahisa Murti.


“Kau tidak akan mati. Aku akan memberi kesempatan kepadamu untuk mengobati luka-lukamu. Jika cantrikmu saja memiliki obat penawar racun, maka kau tentu juga mempunyainya,” berkata Empu Carang Wregu itu.

Tetapi Mahisa Murti-pun menjawab, “Aku tidak akan mengobati luka-lukaku meskipun aku tahu bahwa kerismu itu mengandung racun yang tajam. Jika terlambat mengobatinya, maka kemungkinan untuk hidup menjadi sangat kecil.”

“Jika demikian kenapa kau tidak menyerah saja agar kau sempat mengobati luka-lukamu,” bertanya Empu Carang Wregu.

“Kau tentu menjadi gelisah bahwa aku akan mati di pertempuran ini. Jika aku benar-benar mati, maka prajurit Kediri itu akan menghukummu. Tetapi jika prajurit Kediri itu ditumpas oleh prajurit Singasari, maka prajurit Singasari lah yang akan menghukummu,” jawab Mahisa Murti.

Tetapi Empu Carang Wregu justru tertawa. Katanya sambil menyerang, “Kau memang pandai memutar kata-kata. Tetapi jika aku harus membunuhmu, apa boleh buat.”

Mahisa Murti harus melompat menghindar. Namun ia-pun sempat pula berkata, “Kau-pun telah terluka.”

Empu Carang Wregu tidak menjawab. Tetapi serangannya justru melanda Mahisa Murti semakin deras. Kerisnya berputaran dengan cepat. Namun kemudian terayun mendatar. Menebas kearah leher dan mematuk ke arah jantung. Goresan-goresan di kulit Mahisa Murti menjadi semakin banyak. Tetapi demikian pula pada Empu Carang Wregu itu.

Namun Empu Carang Wregu yakin, bahwa perlawanan Mahisa Murti tidak akan berlangsung lama. Anak muda itu tentu akan segera dihabisi oleh racunnya yang menyusup ke dalam aliran darah anak muda itu.

Tetapi dugaan Empu Carang Wregu itu ternyata salah. Setelah bertempur beberapa saat, namun ternyata bahwa Mahisa Murti tidak segera kehilangan tenaganya dan kemudian kehilangan kemampuannya dicengkam oleh racun kerisnya. Bahkan semakin lama anak muda itu justru bertempur semakin garang.

“Anak iblis,” geram Empu Carang Wregu, “Apakah ia mempunyai penawar racun.”

Mahisa Murti termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia-pun menjawab, “Sebagaimana kau lihat Ki Sanak. Aku masih belum mati.”

“Bagus,” berkata Empu Carang Wregu, “Kau memang anak muda yang luar biasa. Ternyata kau memiliki penawar racun sehingga kau tidak tergetar sama sekali meskipun kulitmu sudah terluka.”

“Kenapa kau harus menjadi gelisah jika kau juga merasa gelisah karena luka-lukamu?” bertanya Mahisa Murti.

Empu Carang Wregu tidak bertanya lebih lanjut. Namun kemudian ia telah menghentakkan ilmunya. Segenap kemampuannya telah ditumpahkan untuk mengakhiri perlawanan Mahisa Murti. Bukan saja kemampuannya dalam ilmu olah senjata, tetapi ternyata Empu Carang Wregu adalah seorang yang memang berilmu tinggi.

Ketika kerisnya yang besar itu berputar semakin cepat, maka Mahisa Murti-pun merasakan, bahwa ayunan kerisnya telah menimbulkan desir angin yang keras. Sentuhan terasa bagaikan menggores kulit. Bahkan ternyata kemudian desir angin yang menyertai ayunan kerisnya itu semakin lama terasa menjadi semakin panas.

Dengan demikian maka Mahisa Murti-pun sadar, bahwa lawannya telah sampai kepada ilmu puncaknya.

Beberapa saat Mahisa Murti masih bertahan. Dengan tangkasnya ia berloncatan mengimbangi ilmu lawannya dengan kemampuan ilmu pedangnya. Sementara pedangnya yang berwarna kehijauan berputaran dengan cepatnya.

Ternyata ilmu lawannya semakin lama menjadi semakin mapan. Panas yang dilontarkan oleh putaran kerisnya menjadi semakin tajam. Bahkan sentuhan-sentuhan senjata mereka, seakan-akan telah mengalirkan getaran panas meramat ke tangan Mahisa Murti.

Beberapa saat kemudian, maka Empu Carang Wregu-pun telah mulai mendesak Mahisa Murti yang tidak dapat mengelakkan sentuhan panas ilmu lawannya. Apalagi jika ia menangkis serangan Empu Carang Wregu, maka rasa-rasanya tangannya telah menyentuh api.

Dengan demikian maka Mahisa Murti tidak dapat berbuat lain. Ia harus mengerahkan daya tahannya untuk mengatasi panas yang menyentuh telapak tangannya. Namun ia-pun telah mengetrapkan ilmunya pula. Sehingga jika terjadi sentuhan yang menyakitkan, ia akan dapat menghisap kekuatan lawannya sedikit demi sedikit.

Demikianlah, keduanya telah bertempur semakin sengit. Bentaran kedua senjata yang termasuk senjata pilihan itu setiap kali telah menimbulkan bunga-bunga api. Bahkan seakan-akan semakin banyak memercik kearah Mahisa Murti.

Panasnya-pun seolah-olah semakin lama menjadi semakin tajam menggigit kulitnya.

Namun Mahisa Murti harus berjuang mengatasi rasa pedih dan panas itu. Ia harus menyentuh senjata lawannya dengan senjatanya. Jika ia tidak berhasil, maka ia tidak akan dapat mengatasi Empu Carang Wregu jika ia tidak mengerahkan kemampuannya untuk melontarkan kekuatan ilmunya yang apalagi dilandasi dengan Aji Bajra Geni.

Karena itu, maka betapa-pun tangannya merasakan sentuhan bara api, namun Mahisa Murti masih saja berusaha untuk membenturkan senjatanya.

Namun tiba-tiba saja Empu Carang Wregu itu tertawa. Katanya, “Anak muda, jika kau mampu menangkal racunku, maka kau-pun akan sia-sia berusaha mengisap ilmuku dengan ilmu licikmu itu. Kau tidak akan dapat mencuri apa-pun daripadaku, karena ilmuku sudah mengandung daya tangkal terhadap kemungkinan perampokan seperti itu. Aku mengenali ilmu itu sejak aku berguru, karena musuh guruku itu memiliki kemampuan ilmu sebagai kau miliki sekarang. Meskipun demikian aku tetap mengagumimu. Pada umurmu yang muda itu, kau sudah menguasai ilmu pencuri itu. Namun sayang, bahwa sejak guruku mengenalinya, guruku telah bekerja keras untuk mencari penangkalnya. Dan sekarang, aku mampu menutup getaran kekuatan ilmumu yang menghisap kekuatan dan kemampuanku.”

Mahisa Murti hanya dapat menggeram. Ternyata ia tidak dapat mengetrapkan ilmunya untuk menggagalkan Empu Carang Wregu.

“Karena itu, ngger. Menyerahlan. Aku memang lebih senang dapat menangkapmu hidup-hidup. Seperti yang kau katakan, aku tidak akan dipersalahkan oleh prajurit Kediri yang memang menghendaki kau tertangkap hidup-hidup,” berkata Empu Carang Wregu itu kemudian.

Namun Mahisa Murti tidak menjawab. Dengan cepat ia menyerang lawannya. Namun lawanya sudah bersiap menahan serangannya itu.

Ketika mereka bertempur kembali, maka Mahisa Murti sekali lagi mengalami kesulitan. Selain ilmu olah senjata Empu Carang Wregu yang tinggi, ternyata panas ilmunya-pun sangat mempengaruhi pertempuran itu. Ketika sekali lagi ujung keris Empu Carang Wregu menyentuh kulit lengan Mahisa Murti, maka yang terasa tidak saja pedih yang menggigit, tetapi panas yang sangat tajam telah menyengatnya sehingga sakitnya seakan-akan telah menghunjam sampai ke tulang.

Dengan demikian Mahisa Murti-pun semakin lama menjadi semakin sulit. Ia-pun kemudian terdesak beberapa langkah surut. Dengan demikian, maka garis pertempurannya-pun ikut bergeser.

Mahisa Murti menggeram. Tetapi ilmunya yang mampu menghisap kekuatan dan kemampuan lawannya, ternyata tidak dapat ditrapkan terhadap Empu Caran Wregu.

Karena itu, maka Mahisa Murti harus menghadapi kekuatan dan kemampuan ilmu Empu Carang Wregu seutuhnya.

Dalam pada itu, Mahisa Pukat dan para cantrik dari padepokan Bajra Seta masih tetap bertahan. Dengan tangkasnya Mahisa Pukat mampu bertahan terhadap lawan yang jumlahnya justru seakan-akan bertambah meskipun setiap kali seorang dan bahkan dua orang bersama-sama tersingkir dari medan.

Namun dengan demikian, maka beban para cantrik padepokan Bajra Seta menjadi semakin ringan. Lawan mereka-pun semakin lama semakin menyusut. Meskipun para cantrik itu juga mampu mengurangi jumlah lawan mereka, namun Mahisa Pukat dapat berbuat lebih cepat.

Sementara itu, para prajurit Singasari telah mulai mendesak lawannya. Sekelompok kecil cantrik dari padepokan Bajra Seta yang ada di halaman depan itu seakan-akan tidak lebih dari sekedar saksi, apa yang telah terjadi. Meskipun mereka juga terlibat dalam pertempuran, namun kekuatan cantrik Bajra Seta tidak berada di halaman depan. Karena yang berada di halaman depan para prajurit Singasari telah dapat mengatasi kekuatan prajurit Kediri yang tidak mau tunduk kepada Sri Baginda di Kediri itu.

Perlahan-lahan prajurit Kediri telah terdesak. Sekelompok prajurit Singasari telah berusaha untuk menyusup di belakang pasukan Kediri untuk menutup pintu gerbang dengan kekuatan prajurit, agar para prajurit Kediri tidak sempat melarikan diri.

Namun prajurit Kediri menyadari hal itu. Karena itu, maka mereka-pun berusaha untuk bertahan terhadap sekelompok prajurit yang akan menyusup kebelakang garis pertahanan mereka itu.

Tetapi sebenarnyalah bahwa kekuatan prajurit Singasari masih lebih besar dari kekuatan pasukan Kediri itu.

Di sisi lain, Mahisa Pukat-pun mulai mendesak lawannya. Namun keadaan Mahisa Murti menjadi semakin sulit. Ujung keris lawannya seakan-akan menjadi semakin lekat dengan kulitnya. Meskipun Mahisa Murti memiliki penawar racun, namun luka-lukanya semakin banyak mengeluarkan darah.

Pada saat yang paling sulit, maka Mahisa Murti memang tidak mempunyai pilihan lain untuk menghancurkan lawannya itu dari pada dirinya sendiri yang menjadi korban.

Namun dalam pada itu, Empu Carang Wregu masih saja tertawa sambil berkata, “Kenapa kau begitu keras kepala anak muda. Jika kau menyerah sekarang, kau masih mempunyai kesempatan untuk hidup. Meskipun aku tidak tahu, apa yang akan dilakukan oleh para prajurit Kediri itu atasmu.”

Tetapi Mahisa Murti justru berkata, “Aku ingin memperingatkanmu. Sebaiknya kaulah yang menyerah. Jika tidak maka kau tidak akan keluar lagi dari dinding padepokan ini.”

“Apakah kau sedang mengigau? Mungkin karena kau sudah berputus asa, sehingga syarafmu mulai terganggu,” berkata orang itu.

Mahisa Murti termangu-mangu sejenak. Namun luka-lukanya terasa menjadi semakin pedih. Sementara lawannya justru sejenak kemudian telah menghentakkan kemampuannya sambil berkata, “Bangunlah jika kau tertidur. Pandangilah langit di atas dan tundukkanlah wajahmu ke bumi. Kau akan segera mati.”

Agaknya Empu Carang Wregu itu sudah kehabisan kesabaran. Kerisnya-pun berputar semakin cepat. Wajahnya menjadi tegang, sementara sorot matanya menjadi semakin tajam.

Tetapi Mahisa Murti-pun sudah jemu mengalami perlakuan yang buruk itu. Luka-luka terasa semakin pedih. Sementara itu ujung keris Empu Carang Wregu semakin memburunya kemana ia pergi.

Karena itu, maka Mahisa Murti-pun berniat pula untuk menghentikan pertempuran itu. Jika ia berhasil, maka ia akan menang. Tetapi jika ia gagal, maka ia akan hancur di padepokannya.

Sejenak kemudian, maka Mahisa Murti-pun telah menghentakkan pedangnya. Tangannya memang terasa panas sekali. Namun sesaat ia berhasil mendesak Empu Carang Wregu melangkah surut.

Tetapi ternyata Mahisa Murti sama sekali tidak mengejarnya. Tetapi ia justru meloncat mundur. Ia mempergunakan waktu yang sekejap itu untuk mempersiapkan diri. Memusatkan nalar budinya untuk membangkitkan ilmunya.

Sejenak kemudian, ketika Empu Carang Wregu siap untuk menyerangnya, maka orang itu-pun tertegun. Ia melihat bahwa anak muda itu tentu siap untuk melontarkan ilmu yang jenisnya belum diketahui.

“Apakah ia masih mempunyai ilmu yang lain?” bertanya Empu Carang Wregu di dalam hatinya.

Sebenarnyalah, Mahisa Murti yang telah terluka itu tidak lagi mengendalikan dirinya. Dengan serta merta, maka ia telah melontarkan serangan dengan dahsyatnya. Kedua tangannya memegangi hulu pedangnya yang teracu kearah lawannya yang memiliki kemampuan untuk menangkal ilmunya yang mampu menghisap tenaga dan kemampuan lawannya itu.

Empu Carang Wregu terkejut. Ia melihat seleret sinar seakan-akan meluncur dari ujung pedang yang kehijau-hijauan itu.

Dengan tangkasnya Empu Carang Wregu meloncat menghindari patukan sinar itu. Namun sinar itu ternyata telah menyambar seorang cantriknya sehingga sejenak kemudian telah terdengar jerit kesakitan. Namun suara itu-pun dengan cepat terdiam. Cantrik itu tidak terkena tepat pada bagian yang berbahaya. Namun seleret sinar itu hanya menyambar kulit pundaknya. Namun ia telah menjadi pingsan.

Namun Mahisa Murti yang marah dan yang telah terluka tidak hanya di satu tempat di tubuhnya, tetapi sudah di beberapa tempat, tidak mau melepaskan sasarannya. Demikian Empu Carang Wregu berdiri tegak, maka serangan kedua Mahisa Murti telah meluncur dengan derasnya tanpa menghiraukan, siapakah yang berdiri di belakangnya.

Demikian cepatnya serangan kedua itu menyambar sasarannya, maka Empu Carang Wregu yang baru saja tegak itu tidak mampu lagi menghindarinya. Kerisnya yang telah mampu melukai Mahisa Murti di beberapa tempat itu tidak mampu menahan serangan yang meluncur dengan dahsyatnya itu.

Karena itu, maka Empu Carang Wregu-pun telah terdorong beberapa langkah surut. Ia mencoba menahan arus serangan itu dengan kerisnya. Tetapi keris itu tidak berarti apa-apa. Seleret sinar itu justru telah mendorong keris Empu Carang Wregu dan melemparkannya beberapa langkah dari tubuhnya yang terbanting jatuh.

Mahisa Murti termangu-mangu beberapa saat. Ternyata Empu Carang Wregu sudah tidak bergerak sama sekali.

Para Cantrik Bajra Seta yang menyaksikan itu bersorak gemuruh. Sorak itu ternyata telah sangat berpengaruh bagi para cantrik. Putut yang bertempur bersama beberapa orang cantrik melawan Mahisa Pukat, mendengar sorak itu dan mendengar pula bahwa Empu Carang Wregu telah terbunuh.

Sejenak Putut itu masih melawan. Namun kemudian ia tidak dapat berbuat lain. Kekuatan tempat mereka bertumpu telah patah, sehingga karena itu, maka Putut itu harus mengambil tindakan yang dapat mengurangi korban yang telah jatuh.

Karena itu maka sejenak kemudian telah terdengar isyarat nyaring. Putut itu telah memerintahkan para cantrik untuk meninggalkan pertempuran.

Perintah dengan isyarat itu tidak perlu diulangi. Para cantrik memang sudah merasa bahwa mereka tidak akan dapat meneruskan perlawanan tanpa Empu Carang Wregu. Karena itu, maka mereka-pun segera menghambur meninggalkan arena pertempuran, berdesakkan melalui pintu regol samping. Namun beberapa orang yang lain dengan tergesa-gesa telah memanjat tangga panggung. Demikian mereka sampai di atas panggungan, maka mereka-pun segera meloncat keluar, sementara para cantrik Bajra Seta telah meninggalkan panggungan itu dan bergabung dengan kawan-kawannya, bertempur menahan arus para penyerang.

Beberapa orang cantrik yang menyerang padepokan itu masih harus bertempur sambil bergeser mundur. Namun Mahisa Pukat sendiri kemudian telah menghentikan serangan-serangannya. Anak muda itu tidak sampai hati untuk menyerang dan apalagi membunuh orang-orang yang dengan wajah pucat dan ketakutan berusaha untuk menyelamatkan diri.

Karena itu, maka Mahisa Pukat seakan-akan telah memberikan kesempatan kepada para cantrik yang menyerang padepokannya untuk melarikan diri.

Mahisa Murti yang masih berdiri di dekat tubuh Empu Carang Wregu yang terbaring tidak beranjak dari tempatnya. Ia sama sekali tidak memerintahkan untuk mengejar lawan-lawan para cantrik dari padepokan Bajra Seta yang melarikan diri.

Namun para cantrik yang menyerang padepokan itu dibawah pimpinan Empu Carang Wregu itu tidak sempat berbuat banyak terhadap kawan-kawan mereka yang terluka dan apalagi terbunuh di peperangan. Mereka terpaksa meninggalkan kawan-kawan mereka yang mengerang kesakitan. Satu dua orang di antara mereka yang terluka masih juga berteriak memanggil para cantrik itu agar merka membawanya pergi. Tetapi kesempatan untuk melakukannya ternyata tidak ada sama sekali.

Dengan demikian, maka para cantrik yang menyerang padepokan itu dalam waktu yang singkat telah mengalir keluar dan hilang dari lingkungan dinding padepokan, kecuali yang terbunuh dan terluka parah.

Mahisa Pukat-pun kemudian telah memberikan perintah, agar para cantrik itu berkumpul kembali dan membiarkan lawan-lawan mereka menghilang.

Namun sejenak kemudian Mahisa Pukat itu-pun berkata, “Ingat. Di halaman depan, masih terjadi pertempuran.”

“Apakah kita harus pergi ke halaman depan,” bertanya beberapa orang cantrik hampir berbareng.

Mahisa Pukat termangu-mangu sejenak. Namun ketika Mahisa Murti mengangguk kecil, maka ia-pun berkata lantang, “Kita akan hadir di halaman depan. Tetapi sebagian dari kalian harus tinggal. Pintu regol itu rusak dan tidak dapat ditutup kembali. Adalah tugas mereka yang tertinggal di sini untuk menjaganya disamping menjaga dan merawat para cantrik yang terluka serta yang telah gugur di pertempuran. Sementara itu, kalian juga harus mengamati lawan-lawan kalian, serta mengumpulkan mereka yang terluka parah.”

Seorang cantrik yang dianggap tua telah mengatur kawan-kawannya. Sebagian dari mereka pergi ke halaman depan, sementara yang lain tinggal di halaman samping sambil menjaga regol yang terbuka lebar.

Kedatangan para cantrik itu telah membuat prajurit Kediri yang bertempur di halaman depan menjadi semakin gelisah. Mereka yang mulai terdesak itu semakin tidak berpengharapan lagi.

Meskipun demikian, namun mereka masih tetap bertahan. Untuk beberapa saat lamanya mereka masih berusaha untuk menunjukkan kemampuan mereka.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sempat mengamati keadaan sejenak. Namun kemudian mereka mendapat satu pikiran yang menurut keduanya akan dapat berarti bagi pertempuran itu.

Karena itu, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat berserta beberapa orang cantrik justru telah meninggalkan pertempuran yang masih berlangsung sengit itu dengan meninggalkan sebagian dari para cantriknya untuk ikut bertempur.

Namun Mahisa Murti dan Mahisa Pukat selain membawa beberapa orang cantrik yang menyertainya juga mengumpulkan beberapa orang yang lain yang bertugas di halaman samping padepokan dengan hanya meninggalkan satu dua orang petugas saja.

Sementara itu pertempuran masih berlangsung terus. Namun keadaan para prajurit Kediri menjadi semakin sulit. Mereka semakin terdesak sehingga lingkaran pertempuran-pun menjadi semakin sempit. Mereka tidak lagi mampu bertahan ketika prajurit Singasari mendesaknya terus.

Akhirnya Senapati prajurit Kediri yang memimpin pasukan yang menyerang padepokan itu tidak mempunyai pilihan lain. Mereka harus menyelamatkan pasukannya. Jika ia bertahan menghadapi prajurit Singasari, maka pasukannya tentu akan hancur.

Senapati itu memang menyesal, bahwa ia terlalu merendahkan kekuatan padepokan Bajra Seta. Ternyata Singasari tidak tinggal diam. Bahkan karena itu, maka Senapati itu menyadari, bahwa Singasari-pun memiliki petugas sandi yang mampu mengamati gerakan-gerakan prajurit Kediri yang menyimpang dari kebijaksanaan Sri Baginda.

Karena itu, maka Senapati itu-pun telah memberikan isyarat kepada pasukannya untuk menarik diri kearah regol padepokan yang rusak itu. Mereka harus secepatnya meninggalkan halaman padepokan itu untuk menyelamatkan diri.

Dengan gerakan sepasukan prajurit, maka mereka-pun semakin lama menjadi semakin mendekati regol. Sebagian dari prajurit Kediri itu masih bertempur untuk menahan desakan maju prajurit Singsari. Namun mereka sudah mulai bergerak semakin cepat mencari jalan keluar dari halaman itu.

Ketika pasukan itu kemudian sampai ke regol, dan sebagian di antara mereka sudah siap untuk bergerak, tiba-tiba mereka terkejut. Ternyata di regol padepokan itu, sekelompok cantrik yang dipimpin langsung oleh Mahisa Pukat dan Mahisa Murti telah menunggu mereka, telah keluar dari regol butulan yang telah dirusak oleh pasukan Empu Carang Wregu yang telah terbunuh di pertempuran itu.

Senapati prajurit Kediri itu menjadi kebingungan sesaat. Tetapi sebagai seorang pemimpin pasukan, maka ia harus segera menemukan satu keputusan, apa yang harus mereka lakukan.....

Hijaunya Lembah, Hijaunya Lereng Pegunungan
LihatTutupKomentar