Hijaunya Lembah, Hijaunya Lereng Pegunungan Jilid 057
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Mereka berharap bahwa Ki Buyut yang sudah mereka kenal sebelumnya itu akan dapat mereka ajak berbicara.
Namun dalam pada itu, Ki Bekel pun telah bertanya, “Ki Buyut. Apakah Ki Buyut telah mengenal mereka?”
“Ternyata aku sudah mengenal mereka,“ jawab Ki Buyut.
“Jika demikian, mungkin pertimbangan Ki Buyut tidak akan murni lagi. Ki Buyut akan dapat terpengaruh oleh hubungan yang telah ada diantara Ki Buyut dengan mereka, atau mungkin keduanya justru pernah menjadi sahabat Ki Buyut,“ berkata Ki Bekel.
“Oo,“ Ki Buyut mengerutkan keningnya, “kenapa Ki Bekel nampak begitu cemas dan bahkan tidak percaya kepada kebijaksanaanku lagi?”
Ki Bekel tidak dapat segera menjawab. Ia menjadi tegang. Namun jantungnya bahkan terasa hampir berhenti berdetak ketika Ki Buyut kemudian berkata, “Ki Bekel. Jangan menganggap bahwa aku akan terpengaruh oleh kedua orang yang ternyata sudah aku kenal sebelumnya itu. Kedua orang itu belum mengatakan sesuatu kepadaku. Tetapi agar Ki Bekel tidak berprasangka bahwa aku terpengaruh oleh persahabatanku dengan mereka, maka biarlah aku berkata sebelum aku bertanya dengan mereka, bahwa aku sudah mengetahui semua persoalan. Ki Bekel. Sudah berapa lama aku menugaskan beberapa orang yang benar-benar aku percaya untuk menyelidiki apa yang telah terjadi di padukuhanmu. Karena itu, aku sama sekali tidak terkejut ketika kau dibawa oleh beberapa orang dari padukuhanmu kemari. Tetapi ternyata bahwa pemimpin kelompok prajurit yang bertugas itu tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Karena itu, aku tidak menyalahkannya.”
Wajah Ki Bekel yang sudah menjadi cerah itu pun tiba-tiba telah menjadi pucat kembali. Beberapa orang yang menjadi bimbang, bahkan mengharap perlindungan Ki Buyut itu pun menjadi lemas. Sementara itu Ki Buyut pun berkata selanjutnya, “Pembunuhan dengan racun itu sudah tidak akan dapat disembunyikan lagi. Karena itu, maka sebaiknya Ki Bekel mengatakan dengan terus terang, apakah yang sudah terjadi.”
Tubuh Ki Bekel telah menjadi gemetar. Karena itu, maka ia tidak lagi berniat untuk melawan arus yang melandanya. Terlalu deras. Justru Ki Buyut yang akan dijadikannya sebagai pegangan, ternyata telah mengetahui segala-galanya.”
“Ki Bekel,“ berkata Ki Buyut, “ketahuilah, bahwa dua orang anak muda yang bekerja bersama Kiai Patah itu pernah bekerja bersamaku di Kediri. Keduanya justru petugas sandi yang memiliki kemampuan tidak ada duanya. Apalagi kalian, seisi Kabuyutan ini pun tidak akan mampu melawan mereka berdua dan bahkan bertiga dengan Kiai Patah itu.”
Wajah Ki Bekel menjadi semakin pucat. Sementara itu Ki Buyut pun berkata selanjutnya, “Ki Bekel. Seandainya kau luput dari pengamatanku, maka jika kedua anak muda itu hadir, maka kau tidak akan dapat bersembunyi lagi.“ Ki Buyut berhenti sejenak, lalu “Nah, Ki Bekel. Berbicaralah dihadapan orang-orangmu.”
Tidak ada kemungkinan lagi bagi Ki Bekel untuk menghindar dan ingkar. Karena itu, maka dengan kaki bergetar ia berdiri menghadap orang-orang padukuhan yang datang bersamanya. Suaranya pun membayangkan betapa isi dadanya bergejolak. Katanya, “Baiklah. Aku tidak akan dapat lari dari kenyataan yang aku hadapi. Sebenarnyalah telah terjadi sebagaimana dikatakan oleh Kiai Patah itu.”
Anak-anak muda padukuhannya pun bergerak maju. Namun para pengawal telah memagari mereka. Sementara Ki Buyut berkata, “Baiklah. Aku minta kalian tidak berbuat sendiri-sendiri. Serahkan Ki Bekel kepadaku. Aku akan berbicara dengan beberapa pihak. Sementara itu, aku minta agar mereka yang terlibat dengan suka rela tinggal di pendapa ini untuk memecahkan persoalan yang sedang kita hadapi. Kiai Patah dan kedua anak muda itu pun akan tinggal pula disini. Aku minta yang lain kembali ke padukuhan kalian dengan tertib agar tidak menimbulkan persoalan di perjalanan.”
Anak-anak muda yang ikut membawa Ki Bekel itu pun termangu-mangu sejenak. Namun kemudian terdengar Kiai Patah berkata, “Kalian telah mendengar perintah Ki Buyut. Nah, lakukanlah dengan tertib. Percayakan Ki Bekel dengan beberapa orang yang terlibat pada Ki Buyut.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat hanya menarik nafas dalam-dalam.
Sementara itu, Kiai Patah pun telah dimintai beberapa kesaksiannya pula, yang ternyata tidak berbeda dengan keterangan yang diberikan oleh Ki Bekel yang putus asa itu dan yang disampaikan oleh kepercayaan Ki Buyut.
Namun agaknya Ki Buyut tidak segera ingin mengambil keputusan. Karena itu, maka Ki Buyut pun berkata, “Baiklah. Biarlah Ki Buyut dan beberapa orangnya yang bersalah tinggal disini. Kesalahan mereka terlalu besar. Ki Bekel memang harus bertanggung jawab. Tetapi aku tidak dapat dengan tergesa-gesa menentukan hukuman apakah yang paling baik dibebankan kepadanya.”
Kiai Patah, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Sementara itu Ki Buyut berkata, “Tetapi dengan demikian berarti padukuhan itu mengalami kekosongan.”
“Ya Ki Buyut,“ sahut Kiai Patah, “diperlukan seorang pemimpin yang baru dan bertanggung jawab.”
“Agaknya Ki Buyut akan dapat menunjuk meskipun untuk sementara sebelum benar-benar dikukuhkan,“ berkata Mahisa Murti.
Ki Buyut termangu-mangu. Namun kemudian katanya, “Bagaimana jika salah seorang diantara kalian?”
Kiai Sabawa tersenyum. Katanya, “Sulit untuk melakukannya Ki Buyut. Aku sendiri mempunyai tugas-tugas tersendiri meskipun terlalu pribadi. Aku masih melakukan pekerjaanku sampai saat terakhir. Sekali-sekali aku masih harus berkeliling untuk menawarkan berjenis-jenis wesi aji dan batu-batu berharga. Aku adalah orang yang mempunyai pekerjaan sama dengan ayah anak-anak muda ini.”
Ki Buyut menarik nafas dalam-dalam. Sambil mengangguk-angguk ia berkata, “Aku mengerti Kiai Patah. Aku pun menyesal telah menawarkan kedudukan itu. Kedudukan itu tentu terlalu rendah bagi kalian. Seorang Bekel tidak lebih dari seorang pemimpin kecil di padukuhan. Sedang aku tahu, bahwa kedua anak-anak muda itu telah pernah menerima kepercayaan yang jauh lebih besar dari sebuah Kabuyutan. Karena itu, maka aku minta maaf. Seharusnya kedudukan kalian memang berada diatas kedudukanku.”
Kiai Sabawa menggeleng. Katanya, “Bukan begitu. Tidak ada kedudukan yang terlalu rendah bagi seseorang untuk mengabdi. Seorang pemimpin dalam tataran yang mana pun mempunyai kesempatan yang sama untuk mengabdi.”
Ki Buyut mengangguk-angguk kecil. Katanya, “Aku mengerti isi hati kalian. Memang jarang ada pengabdian yang tulus. Namun aku dapat mengerti.“ Ki Buyut berhenti sejenak, lalu “jika demikian aku akan melihat kembali isi padukuhan itu serta keterangan yang lebih lengkap tentang mereka seorang demi seorang, sehingga aku akan dapat menemukan seseorang yang dapat mengisi kekosongan kedudukan yang ditinggalkan oleh Ki Bekel. Bagaimanapun juga, kita sudah tahu pasti, bahwa Ki Bekel bersalah. Ia tidak akan kembali pada padukuhannya.”
Untuk beberapa lama anak-anak muda itu masih belum beranjak. Namun akhirnya mereka pun telah meninggalkan halaman rumah Ki Buyut kembali ke padukuhan mereka.
Hampir tidak ada diantara mereka yang saling berbicara. Mereka berjalan dengan kepala tunduk. Rasa-rasanya semua orang di padukuhan-padukuhan yang mereka lewati telah memandangi mereka dengan tatapan mata yang tajam. Bahkan rasa-rasanya setiap orang menuding kepada mereka, bahwa mereka adalah keluarga pembunuh yang sangat keji.
Tetapi rasa-rasanya hampir di setiap dada anak-anak muda itu tertanam niat untuk membersihkan nama padukuhan mereka yang telah tercemar itu.
Apalagi anak-anak muda yang ayahnya ternyata memang terlibat. Rasa-rasanya tanah di Kabuyutan itu menjadi panas.
Namun akhirnya anak-anak muda itu telah memasuki padukuhan mereka dengan tertib. Ketika mereka melihat halaman rumah Kiai Patah, memang masih terasa kesibukan beberapa orang yang menyelenggarakan orang-orang yang terbunuh dalam keributan itu. Sedangkan mereka yang terluka telah dibawa ke banjar. Mereka sengaja tidak dibawa kembali ke rumah masing-masing agar mereka dapat dirawat dengan baik bersama-sama.
Sementara itu Ki Bekel yang ditinggal di rumah Ki Buyut benar-benar merasa berputus asa. Ia tidak dapat berharap untuk lolos dari hukuman yang paling berat. Ia tidak akan dapat ingkar lagi akan tanggung jawabnya. Selain Ki Buyut telah mengirimkan sekelompok orang untuk menyelidiki peristiwa itu, maka Kiai Patah dan kedua anak muda itu tentu akan menguatkan keterangan yang pernah didapat oleh Ki Buyut. Bahkan orang-orang yang terlibat itu pun akan dapat menjadi saksi yang kuat.
Karena itu, maka Ki Buyut pun telah pasrah diri. Apa yang akan diputuskan oleh Ki Buyut harus diterimanya. Sekalipun hukuman mati.
Karena itu ketika Ki Buyut bertanya kepadanya, maka Ki Bekel sudah tidak berniat lagi untuk berbohong. Apa yang pernah terjadi telah diceriterakannya dengan utuh.
Ki Buyut mengangguk-angguk. Katanya, “Ternyata apa yang aku dengar dari orang-orangku yang terpercaya itu mendekati dengan kebenaran. Keteranganmu melengkapi laporan yang telah sampai kepadaku. Sementara itu, jangan mencoba untuk meloloskan diri terhadap ketajaman penglihatan kedua anak muda ini.”
Namun Mahisa Murti pun kemudian berkata, “Aku mendapat keterangan dari Kiai Patah.”
Ki Buyut tersenyum. Katanya, “Mungkin kalian berdua memang belum mencium peristiwa itu. Tetapi bahwa kalian tidak benar-benar meninggalkan padukuhan itu setelah kalian diusir dari banjar, tentu merupakan awal dari pengamatan kalian terhadap isi padukuhan itu.”
Kiai Sabawa menarik nafas dalam-dalam. Namun dengan demikian ia sudah berhasil membongkar kejahatan yang telah dilakukan oleh sekelompok orang didalam padukuhan itu, meskipun seandainya tidak dilakukannya, maka Ki Buyut pun telah mengetahuinya pula. Namun agaknya telah mempercepat penyelesaian itu.
Dalam pada itu, maka Ki Buyut pun kemudian berkata, “Kiai Patah. Jika demikian maka aku mohon Kiai untuk sementara saja mengawasi kehidupan di padukuhan itu. Bahkan aku akan bergembira jika adi Mahisa Murti dan adi Mahisa Pukat bersedia untuk membantu Kiai. Sementara itu, aku akan mencari orang yang tepat yang akan menggantikan kedudukan yang kosong itu.”
Kiai Patah termangu-mangu sejenak. Namun ia pun kemudian berkata, “Aku hanya sekedar membantu.”
“Sebelum aku menunjuk seseorang,“ berkata Ki Buyut.
Kiai Patah akhirnya mengangguk sambil berkata, “Baiklah. Aku akan mengawasi padukuhan itu. Tetapi Ki Buyut harus memberitahukan kepada seisi padukuhan itu, bahwa sebelum diketemukan orang yang akan menggantikan kedudukan Ki Bekel, maka aku diberi wewenang untuk mengatur sementara.”
“Terima kasih Kiai,“ berkata Ki Buyut.
“Tetapi jangan terlalu lama,“ minta Kiai Patah, “aku tidak akan dapat menunggu terlalu lama lagi, aku akan menyelesaikan kewajibanku yang lain.”
Demikianlah, maka Ki Buyut telah datang sendiri ke padukuhan itu. Selain untuk memberitahukan kepada seisi padukuhan itu bahwa untuk sementara Kiai Patah akan memimpin padukuhan itu, maka Ki Buyut pun telah berbicara dengan beberapa orang tua menelusuri jalur keturunan Ki Bekel, karena tiba-tiba jalur itu telah terputus.
Tetapi Ki Buyut memang tidak mau bekerja dengan tergesa-gesa. Ia tidak mau mengalami kegagalan, sehingga dengan demikian maka ia pun telah bekerja dengan teliti.
Ia bukan saja bertemu dan berbicara dengan orang-orang tua di padukuhan itu, tetapi ia telah menugaskan orang-orang kepercayaannya untuk melihat dengan saksama keadaan di padukuhan itu. Sebagai bekas perwira prajurit Kediri, maka ia dapat bekerja dengan cermat dan teliti. Ia telah memperbaiki cara kerja yang pernah ditempuh ayahnya ketika ayahnya masih berkedudukan sebagai Buyut, yang kemudian meninggal beberapa tahun yang lalu.
Pada saat-saat yang kosong itulah, Kiai Patah harus melakukan tugas itu. Namun Kiai Patah pun telah minta Mahisa Murti dan Mahisa Pukat untuk tinggal di padukuhan itu sampai saatnya terpilih seorang pemimpin padukuhan yang baru.
Sebenarnya Mahisa Murti dan Mahisa Pukat berkeberatan untuk tinggal karena tugas pokok yang mereka bebankan sendiri diatas pundak mereka masih belum dapat diselesaikan. Mereka masih belum menemukan orang yang pantas untuk mereka bawa kembali ke padepokan mereka.
Tetapi mereka semakin menyadari, bahwa untuk menemukan seseorang yang pantas untuk diangkat menjadi seorang murid yang terpercaya agaknya memang tidak terlalu mudah. Jika mereka menghendaki memang akan dengan mudah ia memanggil beberapa orang untuk datang kepada mereka dan menyatakan kesediaan mereka menjadi murid. Tetapi orang-orang yang demikian belum tentu memenuhi syarat sebagaimana diinginkannya.
Namun ternyata bahwa keduanya tidak dapat menolak permintaan Kiai Sabawa untuk tetap berada di padukuhan itu. Setidak-tidaknya untuk sementara.
“Baiklah,“ berkata Mahisa Murti, “tetapi tidak terlalu lama. Kami berdua masih harus meneruskan perjalanan kami. Satu pengembaraan yang mungkin akan panjang.”
Kiai Patah yang kemudian mengerti apa yang sedang dicari oleh kedua anak muda itu bertanya, “jadi bagaimana dengan padepokanmu yang baru itu?”
“Ayah ada di sana, sehingga aku percaya bahwa padepokan itu tidak akan mengalami kesulitan, sementara beberapa orang yang ada di padepokan itu telah mendapat latihan-latihan yang cukup. Ayah pun tentu akan memberikan latihan-latihan kepada orang-orang terpenting di padepokan itu,“ jawab Mahisa Pukat.
“Syukurlah,“ berkata Kiai Patah, “nampaknya menarik juga untuk hidup diantara orang-orang padukuhan ini sekaligus membimbing mereka.”
“Bukankah Kiai sudah lama berada disini? Setidak-tidaknya melampaui waktu setahun?“ bertanya Mahisa Murti.
Kiai Patah itu mengangguk-angguk. Katanya, “Tetapi aku berada dalam dunia yang lain. Aku sebagai Kiai Patah hidup pada satu tataran yang sebagaimana kau ketahui, berada di lapisan terbawah. Dan sekarang, aku harus memimpin seisi padukuhan ini meskipun hanya untuk sementara. Tetapi dalam waktu sementara ini aku ingin menunjukkan bahwa padukuhan ini memiliki kemampuan yang dapat dikembangkan.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Mereka pun nampaknya tertarik pula untuk berada di padukuhan itu barang satu dua pekan.
Sebenarnyalah, setelah Ki Buyut memberitahukan kepada isi padukuhan itu tentang kedudukan sementara Kiai Patah, maka ia pun telah mulai dengan rencana kerjanya.
Yang mula-mula dilakukan oleh Kiai Patah adalah berbicara dengan orang-orang yang paling berpengaruh di padukuhan itu. Meskipun beberapa orang yang dianggap penting di padukuhan itu sebagian besar justru telah terlibat dan berada di padukuhan induk Kabuyutan, namun masih juga ada orang-orang yang akan diajak berbicara oleh Kiai Patah.
Di samping orang-orang tua dan yang berpengaruh di padukuhan itu. Kiai Patah berbicara dengan pemimpin-pemimpin anak-anak muda pula.
Dengan pembicaraan itu, maka Kiai Patah menjadi semakin yakin, bahwa padukuhan itu akan dapat berkembang dengan baik. Yang terjadi sebelumnya adalah justru perkembangan yang khusus. Hanya beberapa orang saja yang waktu itu dianggap mempunyai modal yang sangat besar, sehingga mereka mampu mengembangkan modal mereka sehingga mereka menjadi orang-orang yang kaya. Meskipun kemudian kekayaannya itu berpengaruh juga bagi para tetangga mereka, karena para tetangga itu juga mendapat pekerjaan sambilan di samping pekerjaan mereka masing-masing sebagai petani. Pada umumnya mereka yang menjadi kaya itu adalah pedagang-pedagang besar yang bermodal besar. Tetangga-tetangga mereka memang merasa heran, bahwa tiba-tiba saja beberapa orang diantara penduduk padukuhan itu telah mempunyai modal yang cukup besar.
Namun karena dengan demikian maka mereka telah mendapat pekerjaan sambilan, maka mereka pun merasa beruntung juga, sehingga kehidupan mereka menjadi bertambah baik.
Tetapi kini mereka mengerti apa yang telah terjadi sebenarnya. Sehingga karena itu, maka mereka pun merasa beruntung, bahwa mereka tidak terlibat didalamnya, sehingga akibatnya harus dipikul meskipun selang waktu yang cukup panjang.
Kiai Patah yang kemudian memimpin padukuhan itu bersama dengan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah melakukan pengawasan khusus terhadap kekayaan dari orang-orang yang memang terlibat dalam kejahatan yang keji itu. Ketika Kiai Patah mengumpulkan keluarga mereka dan memberikan beberapa penjelasan, maka keluarga mereka telah pasrah kepadanya, tindakan apa yang akan diambil oleh Kiai Patah terhadap harta benda itu.
“Kami tidak dapat mempertahankannya,“ berkata seorang perempuan dengan mata yang basah, “setelah kami tahu asal usulnya, maka seandainya apa yang ada pada kami akan diambil, kami rela menyerahkannya.”
Kiai Patah menarik nafas dalam-dalam. Sikap itu memang dapat menyentuh perasaannya. Namun Kiai Patah sudah bertekad untuk berbuat sesuatu dengan harta benda yang didapat dengan cara yang tidak wajar itu.
Setelah berbicara agak panjang dengan keluarga mereka yang tertahan di rumah Ki Buyut, maka akhirnya Kiai Patah memutuskan, untuk mempergunakan sebagian dari kekayaan itu bagi perkembangan padukuhan mereka.
“Aku memerlukan persetujuan Ki Buyut,“ berkata Kiai Patah.
Seorang anak muda, namun yang memiliki pikiran yang agak cerah berkata, “Sebenarnyalah bahwa Kiai Patah lah yang paling berhak atas harta benda seluruhnya yang ada diantara kami. Kiai adalah satu-satunya keluarga yang masih hidup, yang agaknya menjadi pewaris tunggal.”
Kiai Patah menggelengkan kepalanya. Katanya, “Aku telah mendapat bagianku sendiri. Yang Maha Agung telah memberikan kurnia-Nya dengan cara yang lain daripada yang mengambil kembali harta benda yang telah berada di sini. Aku telah mendapatkannya sebanyak yang ada disini.”
Orang-orang padukuhan itu mengangguk-angguk. Mereka percaya bahwa sebenarnya Kiai Patah adalah seorang yang berada. Bukan orang tua miskin yang tinggal di ujung padukuhan. Jika ia berada di ujung padukuhan pada sebuah gubug kecil itu adalah dalam rangka usahanya untuk mengetahui rahasia hilangnya uang dan barang-barang berharga yang dibawa oleh sekelompok orang itu.
Ketika Kiai Patah kemudian berhubungan dengan Ki Buyut, maka Ki Buyut ternyata memang tidak berkeberatan.
Apalagi setelah ia mendapat pengakuan yang jujur dari orang-orang yang terlibat dalam kejahatan itu. Maka bagi Ki Buyut, lencana Kiai Patah itu adalah rencana yang paling baik. Apalagi Ki Buyut pun kemudian mengetahui bahwa sebenarnya Kiai Patah berhak menuntut uang dan harga benda yang hilang itu atas namanya.
Namun dalam pada itu, ternyata ketajaman pengamatan Kiai Patah, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, melihat kemungkinan yang buruk akan dapat terjadi atas padukuhan itu.
Dengan sungguh-sungguh Mahisa Murti berkata, “Akhirnya banyak orang yang tahu, nilai kekayaan yang tersimpan di padukuhan ini.”
Kiai Patah mengangguk-angguk, sementara Mahisa Pukat berkata, “Kita harus melindungi kekayaan itu agar tidak keluar dari padukuhan ini.”
Kiai Patah mengangguk-angguk. Lalu katanya, “Kita harus berjalan menempuh dua tiga langkah sekaligus. Kita akan membagi harta kekayaan itu dan menempatkannya di banjar. Namun banjar itu harus mendapat pengawalan sebaik-baiknya.”
“Maksud Kiai, anak-anak muda padukuhan ini harus mampu mengamankan banjar itu. Tidak mustahil orang-orang lain yang mendengarnya akan berusaha mengambilnya dengan kekerasan,“ berkata Kiai Patah.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengerti maksud Kiai Patah. Namun mereka tidak berkeberatan untuk memberikan latihan-latihan kepada anak-anak muda di padukuhan itu. Apalagi keduanya memang ingin menemukan benih yang mungkin akan ditanam di padepokan mereka.
Seperti yang direncanakan, maka Kiai Patah yang untuk sementara memimpin padukuhan itu telah mengumpulkan anak-anak muda padukuhannya.
Dengan jelas Kiai Patah telah menyatakan rencananya. Karena itu, maka ia minta anak-anak muda itu mengatur diri dan menyusun kelompok-kelompok kecil yang terdiri tidak lebih dari enam orang.
“Kita harus mempunyai sedikitnya sepuluh kelompok,“ berkata Kiai Patah, “tidak semuanya harus terdiri dari anak-anak muda. Mereka yang sudah berkeluarga pun akan dapat ikut menyumbangkan tenaganya asal umurnya masih dalam tataran sekitar sepertiga abad. Setiap kelompok akan bertugas berjaga-jaga di banjar sehari semalam.”
Anak-anak muda itu mendengarkannya dengan bersungguh-sungguh. Sementara Kiai Patah berkata selanjutnya, “Kelompok yang satu akan diganti oleh kelompok yang lain setiap pagi. Jika kekayaan itu telah dapat dimanfaatkan sehingga dapat menghasilkan, maka mereka yang bertugas akan diperhatikan meskipun tidak seberapa nilainya. Tetapi yang penting bahwa kalian telah bersedia untuk mengabdi kepada padukuhan ini. Baik buruk padukuhan ini memang terletak di tangan kalian. Sementara itu pengabdian kalian tidak semata-mata pada penjagaan banjar itu saja, tetapi juga pada segi-segi lain dalam ikatan kelompok-kelompok kalian.”
Ternyata yang direncanakan oleh Kiai Patah itu dapat berjalan dengan baik. Kelompok-kelompok itu telah tersusun dengan baik. Bukan saja anak-anak muda, tetapi mereka yang telah berkeluarga pun telah menyatakan diri untuk ikut serta didalamnya.
“Tugas itu hanya dijalani sekitar sepuluh hari sekali,“ berkata seorang laki-laki yang meskipun sudah berumur empat puluh tahun, namun masih nampak muda, “seumurku masih pantas ikut didalamnya.”
“Bukan hanya berjaga-jaga di banjar sehari semalam,“ berkata Mahisa Murti, “tetapi kelompok-kelompok itu akan menjalani latihan-latihan, setidak-tidaknya caranya memegang senjata.”
“Menarik sekali,“ jawab orang itu, “justru itulah yang kami kehendaki.”
Kiai Patah memang merencanakan untuk mengadakan latihan-latihan. Meskipun tidak dipaksakan, tetapi ternyata bahwa hampir semua laki-laki justru minta diijinkan ikut didalamnya.
Sebenarnyalah bahwa setiap orang di padukuhan itu bagaikan menjadi cemas. Padukuhan itu agaknya telah dikenal sebagai satu padukuhan yang kaya. Apalagi peristiwa yang baru saja terjadi yang membuka tabir rahasia yang untuk waktu yang lama menyelubungi padukuhan itu.
Tetapi Kiai Patah telah meyakinkan mereka tidak akan ada balas dendam. Tidak ada keluarga yang tersisa. Jika ada satu dua, mereka tidak akan dapat banyak berbuat. Tetapi itu bukan berarti bahwa tidak ada bahaya yang dapat mengancam padukuhan ini.”
Yang diperhitungkan oleh Kiai Patah itu sebenarnyalah memang terjadi. Ketika segerombolan orang-orang yang hidup dalam dunia hitam mendengar apa yang telah terjadi di padukuhan itu, sementara Ki Bekel dan beberapa orang terkemuka justru telah dikumpulkan dan ditahan di rumah Ki Buyut, maka mereka menganggap bahwa di padukuhan itu tidak lagi terdapat kekuatan yang cukup untuk mempertahankan harta benda yang bagaikan berserakan di rumah-rumah yang besar di seluruh padukuhan.
“Ceritera tentang tiga orang yang mampu melawan orang sepadukuhan itu tentu ceritera yang berdasarkan sebuah mimpi,“ berkata salah seorang diantara orang-orang yang hidup dalam kekerasan itu, “Bahkan seandainya benar, maka kita akan mengujinya.”
Ternyata bahwa segerombolan perampok yang benar-benar telah berniat untuk mengambil seluruh kekayaan yang ada di padukuhan itu.
Pemimpin perampok itu pun berkata, “Kekayaan itu mereka dapat dari merampok pula. Bahkan dengan cara yang sangat curang. Sekarang kita berhak mengambilnya dengan cara yang lebih jantan.”
Tetapi bahwa tenggang waktu yang ada ternyata sangat menguntungkan padukuhan itu. Ternyata Kiai Sabawa, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sempat mengatur pengawalan padukuhan itu sebaik-baiknya. Mereka sempat memberikan beberapa petunjuk kesiagaan bagi seisi padukuhan itu.
“Meskipun pengamanan padukuhan itu terutama berada di tangan anak-anak muda, namun bukan berarti bahwa orang-orang tua tidak ikut bertanggung jawab,“ berkata Kiai Sabawa yang dikenal bernama Kiai Patah itu.
Sementara itu, meskipun hanya sepintas. Kiai Patah, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sempat pula mengajarkan, bagaimana sebaiknya mereka mempergunakan senjata, mengatur diri didalam pertempuran berkelompok serta memilih saat-saat yang paling berarti dalam pertempuran.
“Dalam waktu yang singkat kalian tidak akan sempat mempelajari cara-cara yang sedalam-dalamnya,“ berkata Kiai Patah, “karena itu, langkah-langkah yang penting sajalah yang harus kalian kenal dengan baik. Lebih dari itu, ketabahan biasanya dapat menolong seseorang yang berada di dalam bahaya. Mereka yang ketakutan biasanya akan lebih dahulu mendapat bencana. Mereka yang mempertahankan umurnya akan mampu memperpanjang hidupnya, sementara mereka yang tidak berani berusaha, memang akan semakin cepat mati.”
Pesan itu ternyata sangat penting artinya bagi orang-orang padukuhan itu. Karena itu, maka orang-orang padukuhan itu akan selalu mengingatnya. Bukan sekedar kata-kata itu sendiri, tetapi arti yang terkandung didalamnya.
Namun waktu yang sempit dari kedudukan sementara Kiai Patah itu juga telah dipergunakannya bersama-sama dengan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat untuk mengadakan latihan-latihan seperlunya.
Namun Kiai Patah sebenarnya tidak terpancang pada segi pengamanan saja atas padukuhan itu, tetapi juga perkembangan dari kehidupannya. Serba sedikit Kiai Sabawa juga berbicara dengan orang-orang padukuhan itu tentang sawah, air dan cara-cara yang paling baik untuk menanami tanah yang kosong. Memelihara hijaunya hutan di lereng-lereng pegunungan dan kehidupan yang utuh dari lingkungan mereka di padukuhan itu.
Tetapi yang terpenting bagi Kiai Sabawa, adalah penyelamatan padukuhan itu sebelum mereka melangkah ke arah yang lebih jauh di segi-segi kehidupannya.
Dengan sungguh-sungguh setiap laki-laki, terutama anak-anak mudanya, mengikuti latihan-latihan yang diadakan oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat di samping Kiai Patah sendiri.
Sehingga dengan demikian, maka mereka serba sedikit telah memiliki pengenalan yang sebenarnya atas olah kanuragan.
Apa yang mereka kenal sebelumnya adalah sekedar mengayun-ayunkan senjata tanpa mengenal watak senjata mereka. Bahkan mereka tidak mengerti apa yang sebenarnya mereka lakukan dengan senjata-senjata mereka.
Kiai Patah menjadi gelisah, ketika ia mendapat keterangan dari Ki Buyut, bahwa orang-orang Ki Buyut yang mendapat tugas mengamati padukuhan itu, melihat orang yang mencurigakan. Agaknya Ki Buyut pun mempunyai perhitungan yang serupa dengan Kiai Patah, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Karena itu ketajaman penglihatannya sebagai seorang prajurit yang banyak berhubungan dengan tugas-tugas sandi telah melihat sesuatu akan terjadi di padukuhan itu.
“Orang-orang padukuhan ini masih terlampau dungu untuk menggerakkan senjata,“ berkata Kiai Sabawa.
“Tetapi sudah lebih baik daripada mereka sama sekali tidak mengenal sebelumnya arti setiap gerak dan langkah didalam perang yang sebenarnya,“ sahut Mahisa Murti, “kegemaran mereka berlari-larian sepanjang jalan padukuhan, melintasi sungai dan mendaki lereng-lereng pegunungan akan berarti pula bagi daya tahan tubuh mereka.”
Kiai Sabawa mengangguk-angguk. Katanya, “Mudah-mudahan ada manfaatnya.”
Namun demikian, dengan keterangan yang diberitahukan oleh Ki Buyut itu, maka Ki Sabawa telah meningkatkan penjagaan, Yang bertugas setiap malam bukan hanya sekelompok anak muda yang terjadi dari enam orang di banjar, tetapi setiap malam menjadi tiga kelompok. Mereka berpencar di beberapa tempat, sehingga semua jalan yang memasuki padukuhan itu sempat diawasi.
Di samping tiga kelompok yang bertugas itu, maka setiap laki-laki di rumah harus bersiaga. Mereka harus bersiap untuk meloncat keluar rumah dengan senjata di tangan.
Hampir di setiap rumah telah tergantung kentongan yang akan segera berbunyi jika penghuninya mendengar isyarat dari manapun datangnya. Namun untuk tidak membingungkan, maka setiap sumber isyarat, telah diberikan ciri sandinya masing-masing, sehingga setiap orang akan segera mengetahui dari mana asal isyarat itu.
Namun dalam pada itu, meskipun sudah diatur bahwa setiap sehari semalam tiga kelompok yang bertugas, namun hampir di setiap malam, anak-anak muda telah berada di gardu-gardu penjagaan. Sehingga jika benar terjadi sesuatu, maka mereka akan langsung dapat bergerak dengan cepat.
Ki Sabawa telah memanggil Mahisa Murti dan Mahisa Pukat ketika Ki Buyut telah memberikan pertanda bahwa padukuhan itu harus segera bersiap.
“Dalam satu dua hari ini bahaya yang sebenarnya akan datang di padukuhan ini. Usahakan untuk mempertahankannya. Ki Buyut tidak akan tinggal diam,“ berkata utusan yang dikirim oleh Ki Buyut.
Kiai Sabawa yang dikenal bernama Kiai Patah itu mengangguk-angguk. Dengan nada datar ia berkata, “Kami disini sudah berusaha sebaik-baiknya. Mudah-mudahan usaha kami ini memadai.”
“Ki Buyut telah bersiap-siap pula dengan beberapa pengawal. Sebagai bekas seorang perwira maka Ki Buyut memiliki ketajaman penglihatan tentang rencana untuk memasuki dan merampok padukuhan yang dianggap kaya raya itu,” berkata utusan itu. Tetapi ia berkata selanjutnya, “Namun selain melawan perampok-perampok itu sendiri, maka Ki Buyut ingin menilai seseorang di padukuhan ini.”
“Menilai seseorang?“ bertanya Mahisa Murti.
“Ki Buyut ingin mendapatkan seorang pengganti dari Ki Bekel,“ berkata utusan itu, “karena itu, maka jika terjadi sesuatu atas padukuhan ini, Ki Buyut akan menilai salah seorang diantara mereka yang dianggap memiliki hak atas kedudukan itu,“ berkata utusan itu.
Kiai Patah tersenyum. Katanya, “Aku tahu siapa yang dimaksud. Sebenarnya aku pun telah mengamati tingkah lakunya selama ini. Nampaknya ia memang memiliki kemungkinan yang paling besar diantara beberapa orang lain yang dapat diperhitungkan.”
“Siapa?“ bertanya Mahisa Pukat.
“Ki Sardapa,“ jawab utusan Ki Buyut.
“Oo,“ Mahisa Pukat mengangguk-angguk, sementara Kiai Patah menyahut, “aku sependapat. Seandainya orang itu menunjukkan pengabdiannya yang baik, maka aku setuju bahwa orang itu dicalonkan untuk menggantikan kedudukan Ki Bekel.“
“Jika benar para perampok itu datang, maka kita akan dapat melihat, apa yang akan dilakukannya,“ berkata utusan Ki Buyut itu.
Kiai Patah, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun mengangguk-angguk. Namun agaknya mereka pun mulai memperhatikan orang yang disebut Ki Sardapa itu sejak sebelum utusan itu mengatakannya, karena Ki Sardapa adalah adik satu-satunya dari Ki Bekel yang telah ditangkap, namun yang menurut pengamatan ia tidak terlibat sebagaimana dilakukan oleh Ki Bekel.
Sehingga dengan demikian maka ia adalah orang yang paling berhak atas kedudukan itu.
Demikianlah, setelah utusan itu kembali, maka Ki Patah benar-benar telah mempersiapkan orang-orang padukuhan itu. Mereka telah mendapat pemberitahuan bahwa ada sekelompok orang yang menginginkan kekayaan yang tersimpan di dalam padukuhan itu.
“Kita akan bertempur?“ bertanya seorang anak muda.
“Ya,“ jawab Kiai Patah, “kita akan bertempur. Bukan bermain-main. Lawan kita adalah orang-orang yang garang. Mereka akan bertempur dengan bersungguh-sungguh. Dan mereka tidak akan menahan diri untuk membunuh lawan-lawan mereka. Karena itu, maka kalian harus berhati-hati. Kalian tidak boleh menganggap bahwa lawan kalian sedang bermain-main. Tetapi mereka akan membunuh siapa pun yang lengah.”
Anak-anak muda padukuhan itu pun mengangguk-angguk. Sementara itu Kiai Patah berkata, “Tetapi jumlah kita tentu lebih banyak. Jangan mencoba untuk bersombong diri, melawan mereka seorang lawan seorang. Tetapi kalian harus melawan mereka dalam kelompok-kelompok.”
Anak-anak muda dan bahkan laki-laki yang sudah menjadi semakin tua pun telah menyatakan untuk ikut serta bersama anak-anak muda itu mempertahankan milik padukuhan mereka. Apalagi kekayaan yang ada di padukuhan itu sebagian telah terkumpul di banjar dan menjadi milik padukuhan itu.
Dengan penuh kesungguhan, maka anak-anak muda di padukuhan itu telah mempersiapkan diri. Seperti yang diberitahukan oleh Ki Buyut, maka dalam waktu dua hari, bahaya itu mungkin akan datang.
Pada malam pertama, ternyata tidak terjadi sesuatu di padukuhan itu. Namun Kiai Patah selalu memperingatkan, bahwa mereka tidak boleh menjadi lengah.
Pada malam berikutnya, penjagaan justru telah diperketat. Anak-anak muda yang mengawasi keadaan, tidak saja berada di pintu-pintu gerbang. Tetapi mereka berada di luar padukuhan mereka.
Ternyata bahwa ketajaman penglihatan Ki Buyut benar-benar telah terjadi. Menjelang tengah malam, dua orang utusan Ki Buyut telah datang di padukuhan itu untuk menemui Kiai Patah.
“Mereka akan datang malam ini,“ berkata utusan itu.
“Baiklah,“ berkata Kiai Patah, “kita akan bersiaga.”
Dengan cepat Kiai Patah justru memanggil semua anak-anak muda yang berada di luar padukuhan. Mereka diperintahkan untuk berada di dalam dinding. Obor-obor di gardu-gardu telah dipadamkan. Namun anak-anak muda itu telah menyiapkan obor-obor di tempat yang sudah ditentukan. Jika pertanda telah dibunyikan, maka obor-obor itu harus segera dinyalakan.
Tetapi untuk tidak mencurigakan, maka satu dua obor di regol padukuhan itu pun telah dinyalakan. Regol-regol pun telah ditutup rapat.
Namun didalam padukuhan itu, anak-anak muda telah bersiap menghadapi segala kemungkinan.
Demikianlah, lewat tengah malam orang-orang yang mereka tunggu telah datang. Karena semua orang berada di dalam dinding padukuhan, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat lah yang kemudian berada di luar sementara Kiai Patah telah berada di sebuah gardu di depan banjar untuk memimpin langsung perlawanan jika mereka memasuki padukuhan itu.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat berhasil mengikuti sekelompok orang-orang yang berwajah garang, yang memasuki lingkungan padukuhan. Tetapi mereka memang tidak menaruh curiga, karena mereka melihat obor di regol-regol yang tetap menyala, meskipun regolnya telah ditutup rapat.
Ketika orang-orang itu telah mendekati regol induk, maka mereka pun menjadi semakin berhati-hati.
Beberapa orang berusaha mendekat. Dengan hati-hati mereka mendekati regol yang tertutup. Tetapi ketika mereka yakin bahwa mereka tidak mendengar suara apapun, maka seorang diantara mereka telah menekan pintu regol.
Ternyata pintu regol itu telah diselarak dari dalam. Karena itu maka dengan hati-hati pula dua orang diantara mereka telah meloncat keatas dinding.
Dari atas dinding mereka tidak melihat sesuatu kecuali sinar lampu minyak dari dalam rumah yang menembus lubang-lubang dinding. Mereka masih juga melihat obor di satu dua regol halaman. Namun rata-rata jalan padukuhan itu nampak gelap.
Dengan hati-hati kedua orang itu meloncat turun. Mereka sempat melihat gardu yang kosong di mulut lorong didalam regol itu. Memang ada kentongan yang tergantung. Tetapi tidak seorang pun yang akan sempat membunyikannya.
“Padukuhan ini bagaikan diterkam hantu,“ desis salah seorang dari mereka, “sepi sekali. Peristiwa yang telah terjadi itu agaknya telah membuat padukuhan ini menjadi bagaikan kuburan.”
“Adalah kebetulan sekali,“ berkata kawannya, “kita telah mendapat beberapa keterangan tentang orang-orang kaya disini. Rumah-rumah mereka telah menjadi kosong, karena orang-orang itu telah dibawa ke rumah Ki Buyut dan ditahan di sana termasuk Ki Bekel. Tidak ada orang yang akan mampu melawan kita sekarang. Sehingga kita akan dapat berbuat apa saja sekehendak kita.”
Kawannya mengangguk-angguk. Lalu katanya sambil menuju ke selarak regol, “Pertama-tama kita akan pergi ke rumah Ki Bekel yang kaya raya itu. Selanjutnya beberapa rumah yang lain. Kita akan mendapat harta benda yang tidak ternilai harganya. Bahkan mungkin kita tidak akan kuat membawanya.”
“Kau buka regol itu,“ berkata yang lain.
Sejenak kemudian pintu gerbang induk itu telah terbuka.
Beberapa orang telah melangkah masuk. Mereka memang melihat padukuhan itu terasa sepi sekali. Gardu yang berada di depan regol itu ternyata kosong. Bahkan obornya pun sama sekali tidak menyala.
“Marilah,“ berkata pemimpin gerombolan itu, “kita akan menuju ke pusat padukuhan ini.”
“Kita pergi ke rumah Ki Bekel,“ berkata salah seorang yang membuka selarak regol itu.
Pemimpin gerombolan itu mengangguk-angguk. Katanya, “Tetapi kita tidak semuanya akan pergi ke rumah Ki Bekel. Bagaimanapun juga kita harus berjaga-jaga.”
“Kita akan menutup semua jalan sehingga yang akan memasuki rumah Ki Bekel tidak akan mengalami hambatan, bahkan juga selama kita mengambil seisi rumah itu.”
“Aku sendiri akan memasuki rumah itu,“ berkata pemimpin perampok itu. Lalu, “berhati-hatilah. Kita tahu bahwa orang-orang padukuhan ini adalah orang-orang yang licik, sebagaimana mereka berhasil merampas barang-barang berharga pada waktu itu. Siapa tahu, mereka justru telah mempersiapkan jebakan bagi kita sekarang ini.”
“Serahkan kepada kami,“ berkata seorang yang berwajah keras dengan bekas luka dikeningnya, “kami akan menyelesaikan seluruh isi padepokan ini.”
Pemimpin gerombolan itu mengangguk-angguk pula. Katanya, “jangan lengah. Kemampuan kalian yang tinggi, mungkin akan dapat dikalahkan dengan kelicikan orang-orang yang tidak berilmu sekalipun.”
“Kami akan selalu berhati-hati,“ jawab orang berwajah kasar itu.
Pemimpin gerombolan itu pun kemudian telah bergerak mendekati regol rumah Ki Bekel yang juga tertutup. Namun di muka regol itu masih terpasang obor meskipun nyalanya hanya bagaikan berkeredipan ditiup angin malam yang lemah.
Perlahan-lahan pemimpin gerombolan itu menyentuh pintu regol rumah Ki Bekel. Ketika pintu yang ternyata tidak diselarak itu terbuka, maka dilihatnya sebuah gardu yang kosong.
Pemimpin gerombolan itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Setelah Ki Bekel ditangkap, maka tidak ada seorang peronda pun yang ada di halaman rumahnya.”
“Satu kebetulan,“ sahut yang lain, “kita dapat berbuat apa saja di rumah itu.”
Pemimpin gerombolan itu beserta beberapa orang yang lain telah memasuki halaman. Meskipun menurut pengetahuan mereka rumah itu kosong karena Ki Bekel tidak ada, namun mereka harus berhati-hati. Mungkin ada orang lain yang menunggui rumah itu. Mungkin anaknya laki-laki yang sudah dewasa, adiknya atau sanak kadangnya yang lain.
Tetapi pemimpin gerombolan itu telah menjatuhkan perintah, “Selesaikan siapa saja yang berniat untuk melawan.”
Satu perintah yang biasa diucapkan oleh pemimpin gerombolan itu jika mereka melakukan tugas yang besar dan memerlukan penyelesaian yang cepat.
Namun ketika dengan hati-hati pemimpin gerombolan itu mendekati pendapa, maka tiba-tiba saja ia terkejut. Beberapa buah obor di sekitar rumah itu, bahkan diluar dinding halaman rumah Ki Bekel telah menyala pula. Pemimpin gerombolan itu sempat melihat seseorang berloncatan dari satu obor ke obor yang lain untuk menyalakannya.
“Setan alas,“ geram pemimpin perampok itu. Dengan demikian maka para perampok pun sadar, bahwa mereka telah terjebak.
Tetapi pemimpin perampok itu justru tertawa. Katanya, “Adalah satu kebodohan, bahwa orang-orang padukuhan ini berniat untuk menghadapi kami dengan kekerasan. Jika kalian sudah mengetahui bahwa kami akan datang, maka sebaiknya kalian pergi mengungsi.”
Sama sekali tidak terdengar jawaban. Tetapi obor pun semakin banyak yang menyala di halaman, di kebun dan di luar dinding halaman. Bahkan kemudian di jalan-jalan yang menuju ke rumah Ki Bekel.
Beberapa orang diantara para perampok memang menjadi gelisah. Tetapi mereka yang mendengar suara pemimpinnya, hatinya menjadi kembang kembali. Mereka pun berkata pula di dalam hati, “Alangkah bodohnya orang-orang padukuhan yang berusaha menjebak mereka. Bukankah dengan demikian berarti bahwa mereka sekedar membunuh diri?”
Namun untuk beberapa saat belum seorang pun yang nampak, selain bayangan mereka yang menyalakan obor-obor, namun yang segera menghilang kembali.
Karena itu maka pemimpin gerombolan itu pun kemudian berkata lantang, “He orang-orang padukuhan. Jangan bermain sembunyi-sembunyian. Keluarlah. Jika kalian memang berusaha menjebak kami, maka kami telah berada di dalam lingkaran jebakan kalian.”
Untuk beberapa saat memang tidak ada jawaban. Namun sebenarnyalah orang-orang padukuhan itu menunggu kawan-kawan mereka yang menempatkan diri. Mereka yang tersebar, dengan isyarat rahasia telah berkumpul di sekitar rumah Ki Bekel. Mereka telah menyiapkan diri untuk bertempur sesuai dengan kedudukan lawan mereka.
Namun para perampok yang berpengalaman itu pun telah bersiap pula. Meskipun mereka tidak melihat dengan mata wadag mereka, namun mereka tahu pasti, bahwa di kegelapan, di balik dinding halaman di sekitar rumah Ki Bekel, di kebun-kebun dan di manapun di sekitar mereka, telah siap menerkam orang-orang padukuhan itu.
Tetapi para perampok itu sama sekali tidak menjadi kecut.
Mereka sudah terlalu biasa bertempur dengan berbagai macam lawan. Yang keras, yang kasar bahkan yang liar sekalipun. Karena itu, maka betapapun juga kesiagaan orang-orang padukuhan itu, namun mereka sama sekali tidak menggetarkan seujung rambut pun.
Bahkan sekali lagi pemimpin gerombolan itu berteriak lebih keras, “He orang-orang padukuhan. Marilah. Semakin cepat semakin baik. Jangan membiarkan kami kehabisan kesabaran dan bertindak melampaui rencana kami. Jika kalian menjengkelkan kami, maka korban tentu akan menjadi semakin banyak. Kalian tentu akan menyesali kesombongan kalian, bahwa kalian telah berusaha untuk menjebak kami.”
Masih belum ada jawaban. Namun yang terdengar adalah suara burung hantu di kejauhan.
Tetapi pemimpin perampok itu tertawa. Katanya, “jangan bermain seperti kanak-kanak. Kau kira kami tidak tahu bahwa itu sama sekali bukan suara burung hantu, tetapi semacam tangis penyesalan dari orang-orang padukuhan ini?”
Sebenarnyalah suara burung hantu itu adalah satu isyarat, bahwa orang-orang padukuhan itu telah mapan. Mereka telah berada di tempat yang paling baik untuk menghadapi para perampok yang berada di halaman rumah Ki Bekel dan di jalan-jalan yang menuju ke rumah itu.
Karena itu, maka Kiai Patah yang memimpin orang-orang padukuhan itu sama sekali tidak peduli bahwa pemimpin perampok itu dapat mengerti isyarat yang didengarnya. Karena itu, maka ia pun kemudian telah menggamit dua orang yang dikirim oleh Ki Buyut untuk membantu orang-orang padukuhan itu, di samping empat orang lainnya yang bergabung dengan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.
Kedua orang yang dikirim Ki Buyut itu mengangguk, sehingga dengan demikian maka Kiai Patah itu pun telah bergeser dari kegelapan, dan tiba-tiba saja muncul di halaman rumah Ki Bekel.
Pemimpin perampok itu memang terkejut, bahwa seseorang telah berani datang menghadapinya langsung.
“Siapa kau?“ bertanya pemimpin perampok itu.
“Aku dipanggil Kiai Patah,“ jawab Kiai Patah.
“Untuk apa kau datang?“ bertanya pemimpin perampok itu pula.
“Aku ingin memberitahukan kepadamu, bahwa kami sudah siap. Seisi padepokan ini telah menggenggam senjata di tangan untuk melawan kalian. Bahkan ada beberapa orang yang memang dikirim oleh Ki Buyut untuk ikut mengusir kalian dari padukuhan ini,“ jawab Kiai Patah.
“Agaknya kau telah mengigau,“ berkata pemimpin perampok itu, “sudah aku katakan, sebaiknya kalian semuanya pergi mengungsi saja bagi keselamatan jiwa kalian. Tetapi karena kalian sudah terlanjur menyinggung harga diri kami dengan usaha kalian menjebak kami, maka kami tentu akan menghukum kalian, selain kepentingan kami mengunjungi rumah Ki Bekel.”
“Kalian tidak usah berbelit-belit. Sebagaimana kau tahu bahwa suara burung hantu itu adalah sekedar isyarat kami, maka kami pun tahu, bahwa kalian tidak akan sekedar mengunjungi rumah Ki Bekel. Tetapi kalian ingin merampok seisi padukuhan,“ berkata Kiai Patah.
“Bagus,“ jawab pemimpin perampok itu, “kami tidak akan ingkar. Kami memang akan mengambil semua kekayaan yang ada di padukuhan ini. Tidak seorang pun dapat menghalangi. Jika kalian mencoba-coba menjebak kami dengan cara yang paling sederhana ini tanpa mengetahui dasar kemampuan kami. maka itu hanya akan menambah kemarahan kami. Yang akan dapat mendorong kami tidak hanya sekedar mengambil barang-barang berharga yang ada di dalam padukuhan ini. tetapi kami akan membakar setiap rumah dengan segala isinya, termasuk penghuninya. Tidak peduli, laki-laki atau perempuan, dewasa atau anak-anak.”
Kiai Patah mengerutkan keningnya. Ternyata betapapun cermatnya ia mempersiapkan orang-orang padukuhan, tetapi satu hal yang belum dipersiapkannya. Mencegah orang-orang itu membakar rumah meskipun hanya sebuah. Apalagi jika di dalamnya terdapat beberapa orang penghuni, terlebih-lebih jika isinya adalah perempuan dan anak-anak.
Jika satu saja rumah mulai terbakar, maka kebingungan dan kekisruhan akan segera mencengkam seluruh padukuhan.
Jika perempuan dan anak-anak mulai menjerit-jerit, maka setiap laki-laki akan berusaha menolong dan menyelamatkan mereka, sementara para perampok akan membunuh tanpa perlawanan.
Karena itu, maka Kiai Patah harus berhati-hati menghadapi pemimpin perampok yang agaknya benar-benar dapat melakukan sebagaimana dikatakannya itu. Menilik wajah yang garang dan sorot matanya yang bagaikan mengandung bara api itu, ia tentu seorang yang benar-benar bengis.
“Nah,“ tiba-tiba saja pemimpin perampok itu berkata, “aku masih berbaik hati. Kumpulkan semua orang dan biarkan mereka berjongkok di halaman rumah Ki Bekel ini. Agaknya halaman rumah ini cukup luas menampung semua laki-laki, terutama anak-anak mudanya yang sombong itu. Kau harus berjongkok di paling depan dengan kedua telapak tanganmu di tengkuk. Sementara senjata-senjata kalian harus ditimbun di bawah tangga pendapa itu.”
Kiai Patah tidak menghiraukannya. Bahkan ia pun berkata, “Menyerahlah. Kalianlah yang harus menimbun senjata di bawah tangga pendapa dan orang-orangmulah yang harus berjongkok di halaman ini. Kau yang berada di paling depan dengan telapak tangan di tengkuk.”
Pemimpin perampok itu menjadi marah sekali. Tiba-tiba saja ia telah meloncat sambil mengayunkan tangannya mengarah ke wajah Kiai Patah.
Tetapi Kiai Patah telah bersiap menghadapi segala kemungkinan. Dengan tangkas ia pun bergeser, sehingga tangan pemimpin perampok itu tidak mengenainya. Namun perampok itu tidak melepaskannya. Kakinyalah yang kemudian berputar ke arah lambung.
Kiai Patah yang memperhitungkan bahwa gerak pemimpin perampok yang marah itu tentu belum dilambari dengan segenap kekuatan yang ada di dalam dirinya. Namun justru karena itu, maka Kiai Patah dengan sengaja telah menangkisnya. Dengan sikunya Kiai Patah telah membentur serangan pemimpin perampok yang marah itu.
Benturan itu memang mengejutkan. Pemimpin perampok itu tidak mengira bahwa Kiai Patah telah bergerak dengan tangkas menyongsong serangannya.
Terdengar pemimpin perampok itu mengeluh tertahan. Kakinya yang membentur siku Kiai Patah itu merasa seakan-akan tulangnya menjadi retak.
Karena itu, maka ia pun dengan serta merta telah meloncat mengambil jarak. Dari mulutnya tiba-tiba telah terdengar suitan nyaring bagaikan membelah malam di padukuhan itu.
Kiai Patah pun mengerti, bahwa yang didengarnya itu adalah perintah kepada orang-orangnya untuk mulai bergerak. Karena itu, maka Kiai Patah pun telah memberikan perintah pula.
Tetapi ia tidak perlu bersuit nyaring. Namun perintah itu terdengar jelas sebagaimana bunyinya. Katanya, “Bunyikan tanda itu, sekarang!”
Sejenak kemudian telah terdengar bunyi kentongan di kegelapan . Di belakang bayangan pepohonan yang terlindung dari cahaya obor yang menyala di halaman rumah Ki Bekel. Namun dalam sekejap bunyi kentongan itu telah menjalar keluar dinding halaman. Dan bahkan hampir di seluruh padukuhan suara kentongan itu terdengar merata.
Betapa beraninya para perampok itu, namun suara kentongan yang sahut menyahut dalam nada titir itu telah membuat jantung mereka berdebaran.
Yang terjadi kemudian adalah pertempuran yang riuh.
Mendengar suitan nyaring dari pemimpinnya, maka para perampok pun telah mulai bergerak, meskipun mereka tidak melihat sasaran dengan jelas. Namun mereka tahu pasti, bahwa lawan mereka berada di dalam kegelapan.
Tetapi ketika beberapa orang perampok berusaha mengambil obor untuk dibawa memasuki bayangan pepohonan, maka tiba-tiba saja mereka melihat orang-orang padukuhan itu berloncatan menyerang mereka dari segala penjuru. Bukan saja yang berada didalam halaman rumah Ki Bekel, tetapi mereka yang berjaga-jaga diluar pun telah diserang pula oleh anak-anak muda, bahkan hampir semua laki-laki padukuhan itu.
Diantara mereka terdapat Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan empat orang yang dikirim oleh Ki Buyut, selain petugas penghubung yang telah datang lebih dahulu.
Dengan demikian maka pertempuran pun segera berkobar di beberapa tempat. Didalam halaman, pemimpin perampok itu telah berhadapan dengan Kiai Patah. Ternyata bahwa Kiai Patah yang memiliki kemampuan tinggi itu tidak dengan serta merta menghancurkan lawannya. Sebagaimana rencananya, maka ia masih ingin melihat, apa yang dapat dilakukan oleh adik Ki Bekel yang telah ditangkap itu.
Sesaat kemudian, maka para perampok yang sudah berpengalaman itu telah bertempur dengan garangnya. Tetapi orang-orang padukuhan itu, sebagaimana diberitahukan oleh Kiai Patah sebelumnya, bahwa mereka harus bertempur berpasangan.
Mereka tidak akan mampu menghadapi para perampok itu seorang melawan seorang. Sehingga dengan demikian maka mereka harus melawan perampok itu berdua atau bertiga sementara jumlah mereka memang lebih banyak dari jumlah para perampok itu.
Ketika pertempuran itu berlangsung semakin sengit, maka dua orang petugas; yang dikirim oleh Ki Buyut memang sempat mengamati, apa yang dilakukan oleh adik Ki Bekel. Ternyata bahwa keberaniannya benar-benar dapat dibanggakan. Dengan tanpa gentar, ia telah menyergap para perampok itu bersama beberapa orang kawan-kawannya. Dengan senjata di tangan, maka ia telah berdiri di paling depan.
Dalam pertempuran yang sengit pun, ternyata Ki Sardapa, adik Ki Bekel itu menunjukkan betapa ia memiliki tanggung jawab yang besar atas padukuhan tempat ia tinggal. Dalam pengamatan yang agak cermat, maka kedua orang petugas yang dikirim oleh Ki Buyut itu memang melihat pula, bahwa Ki Sardapa memiliki kelebihan dari kawan-kawannya. Dalam kelompok kecilnya ia telah mengatur kawan-kawannya sebaik-baiknya menghadapi para perampok yang garang.
Dalam pada itu, Kiai Patah masih berusaha mengimbangi lawannya dalam tataran ilmu yang setingkat. Sementara itu, Ki Sardapa lah yang nampak terlalu garang.
Tetapi ketika Kiai Patah melihat sikapnya, maka ia justru menjadi cemas. Lawan orang-orang padukuhan itu adalah para perampok yang keras, garang dan bahkan liar. Jika Ki Sardapa hanya mengandalkan kepada keberaniannya, kemarahan dan gejolak perasaannya tanpa menghiraukan tataran kemampuannya, maka kedudukannya akan benar-benar dalam keadaan bahaya.
Sementara itu pertempuran pun semakin lama menjadi semakin seru. Para perampok yang melihat lawannya menjadi semakin banyak, telah mengerahkan segenap kemampuan mereka. Bahkan para perampok itu pun benar-benar tidak lagi mengendalikan dirinya.
Untunglah bahwa orang-orang padukuhan itu tidak pernah melupakan pesan Kiai Patah untuk tidak bertempur sendiri.
Bahkan semakin garang lawan mereka, maka orang-orang padukuhan itu menjadi semakin rapat bertempur dalam pasangan-pasangan. Bahkan karena jumlah laki-laki yang melibatkan diri jauh lebih banyak, maka pasangan-pasangan orang-orang padukuhan itu tidak hanya terdiri dari dua orang, tetapi tiga bahkan empat.
Dengan demikian maka para perampok pun harus bekerja lebih keras untuk mengalahkan lawan-lawan mereka.
Tetapi orang-orang padukuhan itu memang kurang sekali pengalamannya. Mereka baru beberapa hari belajar memegang senjata dengan baik. Karena itulah, maka meskipun mereka bertempur dalam kelompok-kelompok kecil, namun mereka-pun perlahan-lahan mulai terdesak. Bahkan senjata orang-orang yang kasar dan liar itu, justru mulai menyentuh tubuh orang-orang padukuhan itu.
Satu dua orang telah terlempar jatuh. Namun orang-orang padukuhan yang berkelompok itu pun ada pula yang telah berhasil melukai lawan mereka.
Namun agaknya perampok-perampok itu jauh lebih garang dari orang-orang padukuhan yang sedang berjuang untuk mempertahankan hak mereka. Meskipun apa yang sedang mereka pertahankan itu telah didapat oleh orang-orang padukuhan itu dengan cara yang licik. Namun seakan-akan kelicikan itu telah ditebus dengan pengakuan mereka yang telah bersalah dan yang kini berada di rumah Ki Buyut.
Ketika orang-orang padukuhan itu mulai terdesak, dan se-kali-sekali terdengar keluh kesakitan, serta teriakan dan umpatan kotor dari para perampok yang membuat orang-orang padukuhan itu menjadi semakin ngeri, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun mulai benar-benar berusaha mengurangi kekuatan lawan.
Dalam pada itu, orang-orang yang telah dikirim oleh Ki Buyut berusaha untuk dapat mengimbangi lawannya seorang dengan seorang. Namun agaknya para perampok itu memiliki pengalaman dan juga kekasaran yang lebih besar dari mereka.
Karena itu, meskipun mereka sendiri mampu bertahan untuk mengimbangi kemampuan lawan-lawannya, namun mereka tidak mampu menolong orang-orang padukuhan yang mengalami kesulitan meskipun mereka bertempur berpasangan.
Perubahan tata gerak Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memang mengejutkan para perampok. Betapa tinggi pengalaman mereka, namun mereka yang kebetulan bertemu dan berhadapan dengan kedua anak muda itu harus mengakui, betapa tinggi ilmu mereka.
Dalam pada itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah bertempur sebagaimana kewajaran seperti orang-orang padukuhan itu. Keduanya telah bertempur dengan mempergunakan pedang didalam genggaman.
Satu-satu para perampok itu dilukai oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sebagaimana mereka melukai orang-orang padukuhan itu. Karena itu, maka kemarahan para perampok itu pun menjadi semakin membakar jantung.
Namun Mahisa Murti dan Mahisa Pukat bertempur bagaikan burung alap-alap. Mereka tidak terikat pada seorang lawan.
Tetapi mereka berloncatan dari satu lawan ke lawan yang lain. Jika sekelompok orang-orang padukuhan itu terdesak, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah datang menolong mereka. Anak-anak muda itu telah ikut serta bertempur didalam kelompok yang sedang terdesak itu. Namun setelah mereka melukai lawannya, sehingga tidak lagi mampu bertempur dengan sepenuh kemampuan, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah meninggalkan kelompok-kelompok itu.
Dengan demikian, maka kedua anak muda itu bagaikan hantu yang menyusup di celah-celah pertempuran di segala medan. Sehingga beberapa saat kemudian para perampok itu mulai terpengaruh oleh kehadiran mereka.
Dalam pada itu, di halaman rumah Ki Bekel, para perampok masih lebih banyak menguasai medan karena Kiai Patah masih saja terikat dalam pertempuran dengan pemimpin perampok.
Namun ketika dilihatnya keadaan Ki Sardapa yang menjadi semakin sulit, maka Kiai Patah pun mulai meningkatkan kemampuannya. Bahkan akhirnya. Kiai Patah telah mendesak pemimpin perampok itu sehingga tidak lagi mendapat kesempatan sama sekali.
Keadaan pemimpin perampok itu memang mengejutkan para pengikutnya. Mereka mengagumi pemimpin mereka sebagai seorang yang tidak terkalahkan. Apa yang dikehendakinya akan selalu dapat dilakukannya. Berapa pun ia ingin membunuh, maka ia akan dapat memenuhi keinginannya itu. Bahkan membakar seluruh padukuhan yang menjadi sasaran serta membunuh segala isinya.
Keadaan pemimpin perampok itu memang sangat berpengaruh bagi para pengikutnya. Di saat pemimpinnya itu terdesak, maka para pengikutnya pun mulai menjadi cemas. Jika semula jumlah orang-orang padukuhan yang terlalu banyak itu rasa-rasanya sama sekali tidak berarti, maka tiba-tiba jumlah yang banyak itu telah membuat mereka menjadi berdebar-debar.
Apalagi mereka yang menyadari, apa yang dapat dilakukan oleh dua orang anak muda yang berada diantara orang-orang padukuhan itu. Anak-anak muda yang ternyata memiliki kemampuan yang jauh lebih tinggi dari semua orang yang sedang terlibat dalam pertempuran itu.
Dengan demikian maka keseimbangan pertempuran itu-pun segera berubah. Orang-orang yang terluka oleh Mahisa Murti maupun Mahisa Pukat tidak akan mampu bertahan melawan dua atau tiga orang padukuhan itu meskipun mereka hampir tidak mempunyai pengalaman sama sekali selain sedikit pengertian yang diberikan oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tentang mempergunakan senjata.
Karena itulah maka pemimpin perampok itu pun menjadi semakin marah karenanya.
Tetapi ia benar-benar membentur satu kenyataan, bahwa orang yang dihadapinya itu adalah orang yang memang memiliki ilmu yang tinggi.
Namun ternyata bahwa pemimpin perampok itu masih memiliki senjata yang mengejutkan. Ketika ia menjadi semakin terdesak, maka tiba-tiba saja tangannya bergerak dengan cepat sekali.
Dalam gelapnya malam, ketajaman mata orang kebanyakan memang tidak melihat sesuatu. Tetapi mata Kiai Patah ternyata dapat menangkap bayangan kecil yang terbang melintasi cahaya obor yang suram.
Karena itu, maka ia pun telah meloncat menghindar dengan tangkasnya, sehingga senjata lawannya itu tidak menyentuhnya.
Namun senjata yang terbang menyambarnya itu tidak hanya satu dua kali. Tetapi berkali-kali sehingga Kiai Patah harus berloncatan seperti seseorang yang berdiri diatas bara.
Beberapa kali bahkan Kiai Patah harus melenting, meloncat dan berputar. Sementara serangan lawannya seakan-akan tidak ada henti-hentinya.
“Ada berapa puluh senjata yang dibawanya?“ Kiai Patah bertanya didalam hatinya.
Namun senjata itu masih saja mengalir dari tangan lawannya.
Karena itulah, maka Kiai Patah pun mulai kehilangan kesabaran. Sambil berloncatan menghindar Kiai Patah masih berkata, “Hentikan senjata-senjatamu itu. Kau tidak akan dapat melukai aku. Tetapi kau membuatku kehilangan kesabaran.”
“Persetan,“ geram pemimpin perampok itu, “kau ternyata telah mulai menjadi ketakutan.”
“Kau masih mendapat kesempatan,“ berkata Kiai Patah, “tetapi jika kau menolak kesempatan ini, maka aku tidak mempunyai pilihan lain.”
“Jika kau ingin mati dengan baik, jangan melawan lagi,“ bentak pemimpin perampok itu tanpa mengurangi arus serangannya.
“Kau membuat aku benar-benar kehilangan kesabaran,“ geram Kiai Patah sambil berloncatan menghindar.
Namun akhirnya Kiai Patah memang tidak mempunyai pilihan lain. Ketika paser-paser kecil itu masih berterbangan menyambarnya, maka ia pun tidak mau menjadi sasaran tanpa membalas sama sekali.
Karena itulah, maka ketika serangan lawannya justru menjadi semakin cepat, tiba-tiba saja Kiai Patah meloncat dengan loncatan panjang menyamping. Bahkan sekali ia berguling dan kemudian dengan tangkas melenting sekali lagi.
Ketika ia tegak, maka tiba-tiba saja kedua tangannya telah dihentakkannya ke arah lawannya yang masih saja melemparkan paser-pasernya, sementara Kiai Patah sadar, bahwa paser itu adalah paser beracun.
Ketika dua buah paser yang disusul dengan dua yang lain meluncur ke arahnya, maka Kiai Patah telah melepaskan ilmunya, Sapu Angin.
Dari kedua tangannya yang dihentakkannya itu, seakan-akan telah memancar angin prahara yang sangat besar. Demikian besarnya, sehingga membentur senjata-senjata kecil itu dan justru telah melontarkannya kembali ke sumbernya.
Pemimpin perampok itu sama sekali tidak menduga bahwa Kiai Patah, salah seorang dari penghuni padukuhan itu, memiliki ilmu yang demikian dahsyatnya. Karena itu, ketika empat buah pasernya dilontarkan kembali ke arahnya, ia sama sekali tidak bersiap menghadapinya. Sementara itu, semuanya terjadi dengan sangat cepatnya.
Meskipun demikian, pemimpin perampok itu telah berusaha untuk menghindar. Namun dalam kegelapan yang sekedar diterangi oleh cahaya obor dikejauhan, serta getaran perasaannya yang terkejut mengalami hal itu, ia tidak berhasil menghindari seluruh serangan yang datang menerpanya. Dari empat buah paser yang terdorong kembali ke sumbernya, maka sebuah diantaranya telah mengenai pundaknya.
Pemimpin perampok itu mengeluh tertahan. Bahkan kemudian ia telah mengumpat sejadi-jadinya. Ia sadar, bahwa paser itu adalah jenis senjata yang sangat beracun. Karena itu, maka demikian pundaknya terluka, rasa-rasanya semua harapan telah lenyap daripadanya.
“Kenapa kau menjadi gila seperti itu?“ bertanya Kiai Patah.
Orang itu tidak menjawab. Namun dengan sisa kekuatan dan sisa senjata yang ada padanya, ia telah menyerang dengan sengitnya. Ia tidak lagi membidik dengan baik dan ia tidak lagi melontarkan pasernya satu-satu dengan kedua belah tangannya. Tetapi ia telah melontarkannya sekaligus segenggam paser yang tertinggal.
Namun sekali lagi paser-paser itu tidak sampai ke sasaran. Kiai Patah telah membentur serangan terakhir itu dengan ilmunya pula.
Tetapi Kiai Patah telah membatasi diri. Ia tidak ingin melontarkan kembali senjata-senjata itu kepada pemiliknya. Tetapi sekedar menahan agar senjata-senjata itu tidak mengenainya.
Karena itu, dengan sebagian tenaganya maka Kiai Patah telah menahan senjata-senjata itu sehingga berguguran di tanah.
Pemimpin perampok itu mengumpat sejadi-jadinya. Namun sekali lagi ia membentur kenyataan. Racun ujung pasernya yang melukai pundaknya itu pun telah mulai bekerja. Darahnya rasa-rasanya mulai tersumbat, sehingga karena itu, tubuhnya-pun tidak lagi dapat bergerak dengan leluasa.
Yang terdengar kemudian adalah satu isyarat. Namun agaknya isyarat itu pun tidak dapat diberikannya dengan baik.
Namun seorang yang bertempur tidak jauh daripadanya telah menyambung isyarat itu dan demikian sambung bersambung isyarat itu telah terdengar didalam dan diluar halaman.
Suitan dan disusul dengan suitan lainnya bagi para perampok itu adalah satu perintah, agar mereka menarik diri dari medan.
Memang sudah tidak ada yang dapat mereka lakukan lagi. Tiba-tiba saja terasa orang-orang padukuhan itu menjadi banyak sekali. Jauh lebih banyak dari semula. Seakan-akan mereka mengalir berdatangan tanpa henti-hentinya dari segala penjuru. Sementara itu dua orang anak muda berloncatan tanpa dapat dikekang sama sekali. Ujung pedangnya setiap kali mematuk telah meninggalkan goresan luka yang berbahaya.
Karena itu, maka ketika para perampok itu mendengar isyarat itu, mereka tidak menunggu lebih lama lagi. Serentak mereka berlari-larian ke segala arah yang bahkan saling menyilang.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengerti, bahwa itu adalah satu cara untuk membingungkan lawannya. Namun yang dapat mereka lakukan berdua juga tidak terlalu banyak, sementara itu, orang-orang padukuhan itu pun benar-benar menjadi bingung.
“Hati-hati,“ teriak Mahisa Murti, “jangan terjebak.”
Orang-orang padukuhan itu pun menjadi ragu-ragu untuk mengejar para perampok.
Dalam pada itu, pemimpin perampok itu sendiri benar-benar sudah tidak berdaya. Racunnya sendiri yang sangat tajam, dengan cepat telah mencengkamnya sehingga sulit baginya untuk dapat melepaskan diri daripadanya.
Kiai Patah melihat keadaannya, telah mendekatinya dengan hati-hati. Dengan nada berat ia bertanya, ”Kenapa kau tidak menawarkan racun itu dengan obat penawarnya?”
Pemimpin perampok yang kemudian terduduk dengan lemahnya itu berkata, “Aku tidak mempunyai obat penawarnya.”
“Kenapa? Bukankah seseorang yang terbiasa bermain-main dengan racun pada umumnya memiliki obat penawarnya?“ bertanya Kiai Patah.
“Tetapi aku tidak,“ berkata orang itu, “aku tidak merasa perlu memilikinya karena aku tidak menyangka bahwa pada suatu saat aku sendiri akan terkena karenanya.”
“Kau telah melakukan satu kelalaian yang berbahaya,“ berkata Kiai Patah, “biasanya orang-orang seperti kau tentu mempunyai penawarnya. Memang kadang-kadang orang akan terperosok ke dalam lubang yang digalinya sendiri.”
“Sayang,“ desis orang itu, “tetapi aku memang tidak mengolah racun itu sendiri. Aku hanya mendapatkannya dari orang lain.”
“Dari mana?“ bertanya Kiai Patah.
Tetapi pemimpin perampok itu menggeleng. Katanya, “Nama itu akan aku bawa mati.”
Namun Kiai Patah yang melangkah semakin dekat itu pun berkata, “Aku akan mencoba mengobati luka-lukamu. Maksudku menawarkan racun yang bekerja di dalam dirimu.”
Tetapi orang itu menggeleng. Katanya, “Tidak ada gunanya. Racunku terlalu tajam. Sementara ini sudah terasa jantungku mulai disentuh oleh kekuatan racunku itu.”
Tetapi Kiai Patah tidak menghiraukannya. Ia pun kemudian mengambil sebutir obat dari bumbung kecil yang tersimpan di kantung ikat pinggang kulitnya yang besar.
“Telanlah. Biarlah seseorang mengambil air untukmu,“ berkata Kiai Patah.
Tetapi orang itu menggeleng. Bahkan ia pun kemudian telah beringsut sambil berkata, “Aku akan mati. Tetapi itu lebih baik bagiku daripada aku kau ikat untuk menjadi pangewan-ewan. Karena akhirnya aku juga akan kau hukum mati di muka orang-orang padukuhan ini. Jika kau mengobati racun yang bekerja di dalam diriku, sebenarnya kau hanya ingin memuaskan dirimu sendiri untuk mengetrapkan cara mati atasku sebagaimana kau kehendaki. Mungkin aku akan kau gantung atau bahkan kau hukum picis. Karena itu, lebih baik aku mengalaminya sekali daripada mengalaminya berulang kali. Aku akan mati sebagaimana aku kehendaki.”
“Jangan bodoh,“ sahut Kiai Patah, “kami tidak pernah mengetrapkan hukuman mati.”
Pemimpin perampok itu termangu-mangu. Namun kemudian katanya, “apa pun yang aku katakan, aku berhak memilih jalan kematianku sejauh dapat aku jangkau. Dan aku memilih mati dengan cara ini.”
Kiai Patah menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian, “Baiklah. Kau memang pantas untuk mati. Kau sudah terlalu banyak melakukan kejahatan. Jika mati itu menjadi pilihanmu, maka tidak akan ada orang yang menangisimu. Bahkan banyak orang yang akan merasa bahwa hidupnya akan menjadi lebih tenteram.”
“Persetan,“ orang itu berteriak, tetapi suaranya seakan-akan tertahan di kerongkongan. Bahkan kemudian orang itu pun menjadi semakin gemetar.
Perlahan-lahan ia berbaring dan menyilangkan tangannya di dadanya.
“Kau benar-benar memilih jalan kematianmu,“ desis Kiai Patah.
Tetapi orang itu tidak menjawab. Bahkan matanya sudah mulai terpejam.
Kiai Patah memandanginya dengan hampir tidak berkedip. Namun ia pun kemudian mengangkat wajahnya dan memandang berkeliling.
Beberapa orang telah membawa para perampok yang tertangkap dan terluka ke halaman rumah Ki Bekel. Sementara orang-orang lain telah mengumpulkan kawan-kawan mereka yang menjadi korban. Bagaimanapun juga orang-orang padukuhan itu tidak dapat menghindari bahwa satu dua orang di antara mereka telah terbunuh di pertempuran itu.
Demikianlah, maka akhirnya pertempuran pun telah benar-benar selesai. Para korban pun telah terkumpul, baik orang-orang padukuhan itu maupun para perampok.
Kiai Patah pun kemudian minta agar petugas penghubung yang dikirim oleh Ki Buyut memberikan laporan kepadanya, apa yang telah terjadi di padukuhan itu.
Semalam suntuk setiap laki-laki di padukuhan hampir tidak dapat memejamkan matanya. Satu dua diantara mereka ada yang sempat tertidur sekejap sambil bersandar dinding dan pepohonan. Namun mereka pun segera terbangun dan hanyut dalam kesibukan.
Menjelang fajar semuanya telah selesai dibenahi. Sementara itu ketika matahari mulai melontarkan cahaya paginya, Ki Buyut telah hadir pula di padukuhan itu.
Dengan nada mantap ia berkata, “Kenapa aku tidak datang semalam di padukuhan ini? Bukan karena aku tidak peduli. Tetapi aku yakin bahwa segala sesuatunya akan selesai, karena disini ada Kiai Patah, ada kedua anak muda itu, yang memiliki kelebihan segala-galanya dari aku.”
“Ah, kau memuji,“ desis Kiai Patah, “tidak ada yang pantas dikagumi pada kami. Kami berbuat sebagaimana kami mampu berbuat. Jika kami berhasil dengan baik sekarang ini adalah karena perjuangan seisi padukuhan kami.”
Ki Buyut tersenyum. Katanya, “Kiai terlalu merendahkan diri. Sementara itu, aku sudah mengenal kedua anak muda itu dan apa saja yang dapat mereka lakukan dengan ilmu mereka.”
Kiai Patah hanya dapat tersenyum saja. la pun percaya akan kemampuan kedua anak muda itu, apalagi karena ia mengenalinya sebagai anak Mahendra.
Hari itu seluruh isi padukuhan menjadi sibuk. Laki-laki dan perempuan. Mereka telah menguburkan saudara-saudara mereka yang gugur. Sementara itu mereka pun telah menguburkan para perampok yang terbunuh pula. Sedangkan saudara-saudara mereka yang terluka telah mereka kumpulkan di banjar, sehingga dengan demikian mereka akan dapat dirawat dengan baik.
Ki Buyut telah mengucapkan sesorah pendek dihadapan orang-orang padukuhan itu. Ia ikut bersedih, bahwa tiga orang telah gugur.
“Tetapi,“ berkata Ki Buyut, “kalian telah berhasil mempertahankan isi dari padukuhan kalian. Apa pun yang pernah terjadi, tetapi yang ada di padukuhan ini telah sah menjadi milik kalian sekarang ini.”
Sehari itu Ki Buyut masih tetap berada di padukuhan itu. Ia sempat berbicara dengan Kiai Patah, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tentang Ki Sardapa.
Para petugas yang dikirimkan oleh Ki Buyut pun telah memberikan laporan tentang pengamatannya atas Ki Sardapa, adik Ki Bekel yang telah ditangkap dan ditahan di rumah Ki Buyut.
Ternyata beberapa orang telah sependapat, bahwa Ki Sardapa memiliki beberapa kelebihan dari orang-orang lain di padukuhan itu. Karena ia adalah salah seorang anak Ki Bekel yang telah meninggal dan digantikan oleh kakaknya, maka ia memiliki sifat-sifat ayahnya pula sebagaimana kakaknya. Namun ia memiliki kelebihan, bahwa ia tidak terlibat dalam tindakan licik yang dilakukan oleh kakaknya atas beberapa orang yang bermalam di padukuhannya yang sebenarnya justru harus dilindunginya.
Karena itu, untuk sementara, Ki Sardapa merupakan salah satu calon yang memenuhi beberapa persyaratan yang diperlukan. Apalagi bahwa ia pun adalah anak Ki Bekel yang sudah tidak ada sebagaimana Ki Bekel yang telah ditangkap.
Tetapi Ki Buyut belum mengambil keputusan. Ia masih harus berbicara dengan beberapa pihak yang dianggapnya pantas untuk diajak berbicara. Baru kemudian mengambil keputusan.
Dalam pada itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang memang mempunyai kepentingan tersendiri dalam pengembaraannya itu, memang mengakui kelebihan Ki Sardapa dibanding dengan orang-orang padukuhan. Tetapi ia masih berada di tingkat yang lebih rendah dari orang-orang terbaik di padepokannya.
Karena itu, maka di padukuhan itu Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak dapat menemukan apa pun juga, kecuali sedikit membantu Kiai Patah dan orang-orang padukuhan itu.
Namun demikian, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat merasa tertarik juga untuk tinggal di padukuhan itu barang beberapa hari. Agaknya keduanya ingin melihat, apakah benar Sardapa akan dapat menggantikan kedudukan kakaknya.
Sementara itu, banjar padukuhan itu pun masih tetap dijaga siang dan malam. Sesuai dengan pengalaman, maka orang-orang padukuhan itu pun menjadi sangat berhati-hati. Sementara itu, sebagian besar dari harta yang berserakan di padukuhan itu telah dikumpulkan di banjar padukuhan yang pada saatnya nanti akan dipergunakan bagi kepentingan padukuhan itu.
Ternyata Ki Buyut memang memerlukan beberapa hari untuk meyakinkan pendapatnya, apakah Sardapa pantas untuk menggantikan kakaknya atau tidak.
Sementara itu, Ki Buyut telah mempersilahkan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tinggal di rumahnya selama ia menghendaki sekaligus beristirahat.
Tetapi Mahisa-Murti dan Mahisa Pukat nampaknya lebih senang tinggal di rumah Kiai Patah yang kecil dan sederhana.
Kiai Patah sendiri sebenarnya juga diminta oleh orang-orang padukuhan itu bersama dengan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tinggal di rumah Ki Bekel. Tetapi ternyata mereka menolak. Mereka pun tetap tinggal di rumah kecil itu. Rumah yang dipergunakan oleh Kiai Patah selama ia berada di padukuhan itu.
Namun akhirnya saat yang ditunggu itu pun datang. Ki Buyut akhirnya mengambil keputusan setelah berbicara dengan beberapa pihak, bahwa Ki Sardapa, adik Ki Bekel yang lama, yang telah ditahan karena kesalahannya, telah ditunjuk sebagai calon yang akan menggantikan kedudukan kakaknya. Sementara itu, Ki Buyut pun telah selesai melakukan penelitian dan pemeriksaan terhadap Ki Bekel yang nyata-nyata bersalah bersama beberapa orang penghuni padukuhan itu.
Dengan demikian maka segala persiapan pun telah dilakukan untuk menetapkan kedudukan Ki Sardapa. Ki Buyut akan mengesahkan kedudukan Ki Bekel itu dibarengi dengan keramaian yang meriah di padukuhan itu. Mereka tidak perlu memikirkan bagaimana mereka akan mengumpulkan uang untuk keperluan itu. Di Banjar telah tersedia uang dan barang-barang berharga yang cukup, yang tidak akan habis untuk menyelenggarakan keramaian mengangkat lima orang Bekel sekalipun.
Tetapi adalah tugas Ki Bekel kemudian untuk mempergunakan uang dan barang-barang berharga itu bagi kepentingan padukuhan mereka, karena kebaikan hati Kiai Patah yang sama sekali tidak mau lagi mengungkit tentang uang dan barang-barang berharga yang ada di padukuhan itu.
Demikianlah, akhirnya hari itu pun datang juga. Ki Buyut telah menetapkan di tengah bulan Ki Sardapa akan ditetapkan menjadi Seorang Bekel. Ki Buyut sengaja memilih saat bulan purnama untuk memberikan kesan kecerahan.
“Tidak ada kepercayaan apa pun juga yang berhubungan dengan bulan purnama itu sendiri. Tetapi saat-saat bulan purnama telah memberikan kesan tersendiri, sehingga dengan demikian maka diharapkan kesan itu akan memberikan arti bagi Ki Sardapa dan rakyat sepadukuhan,“ berkata Ki Buyut.
Karena itu, semakin dekat saat bulan purnama, maka padukuhan itu pun menjadi semakin sibuk. Seisi padukuhan telah bekerja sesuai dengan kemampuan mereka masing-masing untuk ikut serta memeriahkan penetapan kedudukan Ki Sardapa menjadi Bekel baru di padukuhan itu.
Ki Sardapa sendiri, ketika keputusan Ki Buyut sampai kepadanya untuk dicalonkan menjadi Bekel baru, menjadi sangat terkejut. Bahkan dengan hampir tidak percaya ia telah menemui Ki Buyut untuk mendapat penjelasan tentang kabar yang diterimanya itu.
“Aku bersungguh-sungguh,“ berkata Ki Buyut, “aku sudah cukup lama mengamati keadaan, sementara pemeriksaan terhadap Kakakmu menunjukkan bahwa ia memang benar-benar bersalah, sehingga dengan demikian, maka ia harus menjalani hukuman yang antara lain adalah diberhentikan dari kedudukannya.”
“Tetapi apakah tidak ada kesan buruk terhadapku, seolah-olah aku telah mendesak kedudukan kakakku?“ bertanya Ki Sardapa.
Ki Buyut menggelengkan kepalanya. Katanya, “semua orang tahu, bahwa yang telah membongkar rahasia ini adalah Kiai Patah. Seandainya bukan Kiai Patah adalah aku sendiri yang telah mendapat keterangan yang sama dengan yang diperoleh oleh Kiai Patah.”
Ki Sardapa yang sama sekali tidak bermimpi untuk mendapatkan kedudukan kakaknya itu ternyata masih tetap bimbang.
Apalagi ketika ia kemudian bertemu dengan ibunya.
Dengan nada tinggi tiba-tiba saja ibunya telah berteriak, “jadi kau terima pencalonan itu?”
“Apa keberatannya ibu?“ bertanya Ki Sardapa.
“Kau sampai hati merampas kedudukan kakakmu? Sepeninggal ayahmu, maka kakakmu telah menggantikan kedudukannya dengan sah,“ bertanya ibunya.
“Apakah yang akan aku jalani ini bukan kedudukan yang sah? Aku sendiri tidak tahu menahu tentang pencalonan ini. Ki Buyut lah yang telah menunjuk aku tanpa sepengetahuanku sebelumnya,“ berkata Ki Sardapa.
“Tetapi kau dengan sengaja telah mendesak kedudukan kakakmu itu,“ berkata perempuan itu dengan geram.
“Aku tidak mengerti maksud ibu. Bukankah aku adiknya yang juga berhak atas kedudukan ini jika kakang berhalangan?“ bertanya Ki Sardapa, “semula aku sama sekali tidak memikirkan kedudukan itu. Tetapi justru sekarang aku mulai memikirkannya,“ berkata Ki Sardapa selanjutnya.
Tetapi perempuan yang disebut ibu oleh Ki Sardapa itu justru telah berkata, “Kau harus malu menerima jabatan itu.”
“Kenapa aku harus malu? Bukankah itu berarti bahwa kedudukan ayah tetap tidak bergeser kepada keturunan orang lain? Meskipun kakang telah melakukan kesalahan, tetapi aku akan dapat memperbaiki kesalahan itu. Nama keluarga kita akan tetap terjaga untuk seterusnya,“ berkata Ki Sardapa.
Tetapi wajah perempuan itu justru menjadi semakin tegang. Dengan tatapan mata yang tajam ia memandangi Ki Sardapa yang termangu-mangu.
“Kau sudah lewat dewasa,“ berkata perempuan itu, “sudah sepantasnya kau mengetahui siapakah kau sebenarnya.”
Wajah Ki Sardapa menjadi semakin tegang. Dengan suara bergetar ia bertanya, “Ibu, jika ternyata ada yang lain dari yang aku ketahui, katakan. Aku sama sekali tidak berkeberatan. Dan jika ternyata aku tidak pantas untuk menduduki jabatan ini, maka biarlah aku mengembalikan pencalonan ini kepada Ki Buyut.”
Perempuan itu mencibirkan bibirnya. Kemudian katanya dengan nada tinggi, “Kau harus tahu, bahwa kau sebenarnya bukanlah anakku. Sampai hari ini aku masih mencoba mempertahankan anggapan itu. Aku masih berusaha agar kau tidak menjadi sakit hati dan merasa rendah diri jika kau mengerti keadaanmu yang sebenarnya.”
Ki Sardapa terkejut bukan kepalang. Sampai umurnya yang sepertiga abad ini, benar-benar ia tidak tahu, bahwa ia bukan anak perempuan yang disebut ibunya itu. Dengan jantung yang terasa berdegup semakin keras ia bertanya, “jadi siapakah kau sebenarnya?”
“Bertanyalah kepada orang-orang tua. Mereka akan mengatakan bahwa kau bukanlah adik kandung yang sebenarnya dari Ki Bekel yang telah difitnah oleh beberapa orang padukuhan ini. Agaknya kau telah dengan sengaja melakukannya, agar kau kemudian mendapat kesempatan untuk menggantikan kedudukannya,“ geram perempuan itu.
“Ibu tidak dapat menuduh seperti itu,“ sahut Ki Sardapa.
“Jangan panggil aku ibu,“ bentak perempuan itu, “kau tidak lebih dari anak seorang perempuan liar yang kebetulan berhasil menjerat Ki Bekel tua pada waktu itu. Kemudian kau telah lahir karenanya. Namun karena keliarannya dan karena hukuman alam yang berlaku, ibumu meninggal di saat kau lahir. Kau telah membunuh ibumu yang liar itu, sehingga karena itu, maka sebenarnya kau adalah orang yang tidak berharga sama sekali. Tetapi atas kemurahan hatiku dan karena desakan Ki Bekel tua, ayahmu itu, maka kau mau memeliharamu seperti anakku sendiri. Tetapi aku tidak mengira bahwa pada suatu saat, kau sampai hati memfitnah kakakmu itu. Bahwa seharusnya kau telah berterima kasih kepadaku, bukan sebaliknya justru telah mencoreng arang di kening kakakmu, anakku itu.”
Ki Sardapa berusaha menahan gejolak di dadanya. Sementara itu perempuan itu masih berkata, “Sardapa. Jika kau sedikit saja mengenal terima kasih, maka kau tidak akan berbuat seperti itu. Justru saat-saat kakakmu difitnah orang, maka kau telah menemukan kedudukannya yang ditinggalkan. Jika kau memang tidak sengaja berbuat demikian, maka kau tentu akan menolaknya. Bahkan mungkin kau akan menuntut agar kakakmu itu dibebaskan karena ia memang tidak bersalah.”
“Tetapi kakang bersalah,“ berkata Ki Sardapa.
“Orang-orang yang berkhianat itu telah memasang saksi-saksi palsu. Nah, apa katamu? Bukankah kau bukan saja salah seorang diantara mereka yang berkhianat, tetapi justru kau adalah perancang dari pengkhianatan dan fitnah itu? “ geram perempuan itu.
“Tidak,“ Ki Sardapa hampir berteriak, “aku tidak tahu menahu apa yang terjadi. Tetapi ternyata bahwa yang memberatkan kakang, bukan saja saksi, bukti dan ketajaman pengamatan Ki Buyut sendiri. Tetapi juga pengakuan kakang Bekel.”
“Omong kosong,“ sahut perempuan itu, “pengakuan dapat saja dibuat jika kakakmu itu sudah tidak tahan lagi mengalami siksaan Ki Buyut. Dan bukankah itu yang kau kehendaki.”
“Tidak. Tidak,“ Ki Sardapa hampir berteriak.
“Jika tidak, kau harus dapat membuktikan. Kau harus dapat berusaha membebaskan kakakmu. Dengan atau tanpa kekerasan.” berkata perempuan itu.
Wajah Ki Sardapa menjadi tegang. Namun ia pun tiba-tiba saja telah meninggalkan perempuan yang semula dianggapnya sebagai ibunya sendiri.
Dengan pikiran yang kalut Ki Sardapa duduk di serambi belakang, memandang pepohonan yang menjadi semakin buram di saat senja mulai turun. Untuk beberapa saat ia sempat merenungi hidupnya di masa kanak-kanaknya. Keterangan perempuan itulah agaknya yang menyebabkan sikap perempuan itu terhadap kakaknya dan terhadap dirinya memang berbeda.
Ia merasa selalu disisihkan, sementara kakaknya selalu mendapat banyak kesempatan didalam beberapa hal.
Tetapi ayahnya tidak berbuat demikian. Ayahnya bersikap adil menurut penilaiannya.
Dengan langkah yang berat. Ki Sardapa kemudian menuruni tangga serambi rumahnya. Ketika dilihatnya lampu kecil yang menyala di rumah kecil dekat kandang kudanya, maka ia pun telah melangkah menuju ke rumah kecil itu.
Dengan wajah yang muram, Ki Sardapa mengetuk pintu yang sudah tertutup meskipun belum diselarak.
“Siapa? “ terdengar suara seorang tua.
“Aku paman,“ jawab Ki Sardapa.
“Ki Sardapa?“ bertanya orang tua didalam rumah kecil itu.
“Ya, aku,“ jawab Ki Sardapa pula.
Terdengar langkah tergesa-gesa ke arah pintu. Kemudian ketika pintu terbuka, seorang tua menganggukkan kepalanya sambil mempersilahkannya masuk.
Ki Sardapa yang berwajah murah itu pun melangkah masuk dengan langkah yang berat. Rasa-rasanya nalarnya memang telah menjadi gelap. Ia sama sekali tidak menduga, bahwa kenyataan tentang dirinya sama sekali bukannya sebagaimana diketahuinya selama ini.
“Ki Sardapa,“ terdengar suara orang itu, “silahkan duduk. Apakah ada sesuatu yang sedang Ki Sardapa pikirkan?”
Ki Sardapa pun kemudian duduk diatas sebuah amben bambu. Sorot matanya sama sekali tidak bercahaya sebagaimana biasanya.
“Kakek,“ suara Ki Sardapa terasa berat, “aku telah terlempar ke dalam satu kenyataan yang sangat pahit tentang diriku. Kakek. Kau adalah orang yang aku anggap tertua di rumah ini. Sejak aku ingat di masa kecilku, kau adalah pemomongku. Karena itu, aku ingin mendengar keteranganmu tentang diriku. Aku harap kau berkata yang sebenarnya tentang diriku.”
Orang tua itu menarik nafas dalam-dalam. Namun sambil duduk di sebelah Ki Sardapa ia bertanya, “Kenapa tiba-tiba saja Ki Sardapa bertanya seperti itu?”
“Katakan kek,“ desak Ki Sardapa, “seseorang mengatakan kepadaku, bahwa sebenarnya aku bukan saudara seayah dan seibu dengan kakang Bekel.”
Orang tua itu mengerutkan keningnya. Dengan nada rendah ia bertanya, “Siapakah yang mengatakan begitu? Jika Ki Sardapa bukan saudara seayah dan seibu, lalu apa?”
“Jangan berpura-pura begitu kek,“ desis Ki Sardapa, “aku minta kau berkata yang sebenarnya tentang keluargaku.”
“Jangan berpikir yang bukan-bukan. Jika ada orang yang mengatakan demikian, tentu orang-orang yang tidak senang terhadap keadaan keluarga Ki Sardapa dalam keseluruhan. Hal itu tidak usah Ki Sardapa pikirkan,“ berkata orang tua itu.
“Sudahlah. Aku minta kau berkata sebenarnya,“ desak Ki Sardapa pula, “orang yang mengatakan kepadaku adalah orang yang paling tahu tentang keadaan keluargaku.”
Wajah orang tua itu menjadi tegang. Dengan kening yang berkerut ia bertanya, “Siapa yang mengatakannya? Katakan Ki Sardapa. Jika Ki Sardapa mau mengatakan tentang orang itu, maka aku akan mempertimbangkannya.”
“Ibu,“ jawab Ki Sardapa singkat, “orang yang selama ini aku panggil ibu. Kini tiba-tiba telah membentakku ‘jangan panggil aku ibu’.”
Orang tua itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya dengan nada rendah, “Akhirnya saat itu tiba juga. Aku sudah menduga, bahwa pada satu saat hal seperti itu akan terjadi.”
“Tetapi katakan kepadaku, siapakah aku sebenarnya?“ bertanya Ki Sardapa.
Ki Sardapa seakan-akan tidak sabar menunggu orang tua itu mulai menjawab pertanyaannya. Ketika orang tua itu masih saja merenung, maka Ki Sardapa telah mengguncang tubuhnya sambil berkata, “Kakek. Cepat katakan. Jangan menunggu aku menjadi gila.”
“Baiklah,“ sahut orang tua itu. Namun ia pun berkata, “Tetapi katakan lebih dahulu. Apakah kata ibumu tentang dirimu?”
“Ibu mengatakan, bahwa aku adalah anak seorang perempuan liar yang kebetulan berhasil menjerat perhatian Ki Bekel tua. Ayahku. Kemudian ketika aku lahir, maka aku telah membunuh ibuku itu. Juga karena ibuku terkena hukuman alam karena keliarannya, maka ia meninggal saat ia melahirkan aku,“ berkata Ki Sardapa. Lalu “kemudian atas kebaikan hati ibu itu, maka aku telah diambilnya sebagai anaknya dan dipeliharanya sebagai anaknya sendiri. Juga karena ayah memang berkehendak begitu.”
Orang tua itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Ki Sardapa. Aku adalah orang tua. Aku tahu apa yang telah terjadi dalam keseluruhannya. Aku tahu siapakah ibumu yang sebenarnya dan siapakah perempuan yang kemudian kau kenal sebagai ibumu itu.”
“Jadi, apakah ceritera itu benar?“ bertanya Ki Sardapa.
“Tidak seluruhnya benar,“ jawab orang tua itu, “yang benar bahwa Ki Sardapa memang bukan anak perempuan itu. Namun sekarang perempuan itu memang dapat mengatakan apa saja tentang ibumu yang sebenarnya dan tentang Ki Bekel tua, karena kedua-duanya sudah tidak ada.”
“Jadi bagaimana yang sebenarnya tentang ibuku dan ayahku itu?“ bertanya Ki Sardapa.
“Ki Sardapa,” berkata orang tua itu, “pada satu saat, perempuan yang kau anggap sebagai ibumu itu, telah melakukan satu kesalahan yang besar. Ia telah meninggalkan ayahmu karena di dalam hatinya telah hadir laki-laki lain. Ayahmu memang seorang yang sabar. Ia tidak berbuat sesuatu terhadap laki-laki yang telah membawa perempuan yang telah menjadi isterinya itu pergi. Bahkan perempuan itu telah mendapatkan seorang anak daripadanya, kakakmu, Ki Bekel yang sekarang ditahan oleh Ki Buyut karena tingkah lakunya itu. Pada saat yang demikian itulah hadir seorang perempuan lain di rumah Ki Bekel tua. Seorang yang lembut dan keibuan. Aku tidak memujinya karena disini ada Ki Sardapa. Karena perempuan itu adalah ibu Ki Sardapa. Namun, sebagaimana dikatakan oleh perempuan yang kau anggap ibu itu, ibu Ki Sardapa itu meninggal di saat kau dilahirkan.“ orang tua itu berhenti sejenak, lalu “Dalam pada itu, ternyata hubungan perempuan yang kau anggap ibumu dengan laki-laki yang memisahkannya dengan Ki Bekel itu menjadi retak. Dengan menangis-nangis, perempuan itu datang kembali kepada Ki Bekel. Mohon maaf, dan mohon untuk dapat diterima kembali disisinya. Ternyata Ki Bekel memang seorang yang berjiwa besar. Perempuan itu diterimanya, namun dengan syarat, bahwa ia harus memeliharamu sebagai anaknya sendiri.”
“Jadi ibuku yang sebenarnya itu bukan seorang perempuan liar seperti yang dikatakannya?“ bertanya Ki Sardapa.
“Sepengetahuanku tidak,“ jawab orang tua itu, “menurut pendapatku, justru orang yang kau anggap ibumu itulah yang pantas disebut sebagai perempuan liar.”
Ki Sardapa menarik nafas dalam-dalam. Ia mengerti apa yang sebenarnya terjadi pada perempuan yang dikatakan ibunya itu. Tetapi yang ternyata tidak lebih dari ibu tirinya.
Ternyata bahwa ibu tirinya itu merasa tersinggung karena anaknya laki-laki yang sebenarnya telah ditangkap dan kesempatan berikutnya akan diberikan kepada anak tirinya.
“Kakek,“ berkata Ki Sardapa kemudian, “aku kira kau mengerti apa yang telah terjadi atas diriku. Orang yang aku anggap ibuku itu telah mengumpatku sebagai seorang yang tidak tahu diri. Bahkan menganggap akulah sumber dari bencana yang menimpa kakang Bekel. Padahal, kakang Bekel itu aku anggap sebagai kakakku sendiri. Aku memang tidak tahu siapa aku sebenarnya sehingga aku memang mengira bahwa ia adalah benar-benar kakakku seayah dan seibu.”
“Ia memang kakakmu,“ berkata orang tua itu.
“Ya. Ia baik terhadapku. Karena itu, kenapa aku mengkhianatinya sebagaimana dituduhkan oleh orang yang aku anggap ibuku itu? Sebenarnya aku menjadi amat tersinggung atas tuduhan itu,“ berkata Ki Sardapa.
“Lalu apa yang dimaui ibu tirimu itu?“ bertanya orang tua itu.
“Aku dimintanya untuk membebaskan kakang Bekel yang ditahan oleh Ki Buyut. Dengan atau tidak dengan kekerasan,“ jawab Ki Sardapa.
“Membebaskan Ki Bekel,“ desis orang tua itu, “bagaimana mungkin hal itu dapat dilakukan. Ki Buyut sudah mengetahui apa yang dilakukan oleh Ki Bekel. Bahkan hampir semua orang sudah tahu apa yang telah terjadi. Ditambah oleh pengakuan Ki Bekel sendiri. Jika Ki Sardapa harus mempergunakan kekerasan, dari mana Ki Sardapa akan mendapat kekuatan untuk itu? Ki Sardapa tidak akan dapat mempergunakan pengaruh Ki Sardapa yang ada sekarang untuk kepentingan itu, justru pada saat kepercayaan Ki Buyut dilimpahkan kepada Ki Bekel.”
Ki Sardapa mengangguk-angguk. Katanya, “Aku mengerti. Tetapi dengan demikian, maka orang yang aku anggap ibuku itu akan tetap menuduh aku, bahwa aku telah berkhianat.”
“Apa pedulimu,“ bertanya orang tua itu, “perempuan itu bukan ibumu. Ia justru seorang perempuan yang tidak setia dan kini ia telah dicengkam oleh kedengkian terhadapmu. Sebaiknya kau tidak usah menghiraukannya. Hari wisudamu sudah menjadi semakin dekat.”
Ki Sardapa termangu-mangu. Sementara itu orang tua itu berkata selanjutnya, “jangan hiraukan kata-katanya, tuduhannya dan barangkali sindiran-sindirannya. Kau tidak bersalah. Yakinlah. Juga bukan karena kemauanmu sendiri kau diangkat menggantikan kedudukan kakakmu yang licik dan curang itu.”
Ki Sardapa mengangguk-angguk. Dengan nada rendah ia berkata, “Bagaimanapun juga perempuan itu pernah merawat aku.”
“Tetapi kau tahu, bahwa kau tidak diperlakukan sama sebagaimana kau memperlakukan Ki Bekel. Aku tahu pasti itu. Karena itu, maka sejak kecil kau lekat padaku, justru karena aku tahu siapakah kau sebenarnya,“ berkata orang tua itu. Tetapi kemudian ia pun berkata, “Ki Sardapa. Bukan maksudku untuk mendorong Ki Sardapa agar membalas dendam. Tetapi aku hanya menasehatkan, agar Ki Sardapa tidak menghiraukan permintaan itu dan melupakannya saja.”
Ki Sardapa mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Aku akan berdiam diri saja sehubungan dengan permintaan ibu tiriku itu.”
“Nah, mudah-mudahan ibu tirimu itu akan menyadari kelak, bahwa tidak sewajarnya ia minta agar kau melepaskan kakakmu. Apalagi jika kemudian ternyata kau tidak mendendamnya. Setelah kau kelak benar-benar diangkat menjadi seorang Bekel, maka kau perlakukan perempuan itu dengan baik, sebagaimana kau memperlakukan ibumu sendiri,“ berkata orang tua itu.
Ki Sardapa menarik nafas dalam-dalam. Namun ia pun kemudian telah meninggalkan rumah orang tua itu sambil berkata, “Aku akan mencobanya.”
Meskipun terasa kegelisahan di hati Ki Sardapa, namun ia benar-benar berusaha untuk menghindari pertemuan dengan ibu tirinya itu.
Tetapi ternyata bahwa Ki Sardapa tidak lepas dari kejaran ibu tirinya itu. Ketika Ki Sardapa sedang berada di serambi belakang, tiba-tiba saja ibu tirinya telah muncul dari balik pintu.
“Kenapa kau masih diam saja Sardapa?“ bertanya ibu tirinya.
“Apa yang harus aku lakukan?“ bertanya Sardapa pula.
“Sudah aku katakan. Bebaskan kakakmu,“ berkata ibu tirinya itu.
“Bagaimana hal itu dapat aku lakukan? Ia berada di rumah Ki Buyut. Dalam bilik yang dijaga ketat. Sementara para pengawal siap digerakkan jika terjadi sesuatu. Nah, apa yang dapat aku lakukan untuk membebaskan kakang Bekel,“ desis Ki Sardapa.
“Jika demikian maka aku menjadi pasti,“ jawab ibu tirinya, “kaulah yang telah membuat keonaran di padukuhan ini sekedar didorong oleh perasaan dengki. Kaulah yang telah memfitnah dan bahkan kemudian menjerumuskan kakakmu ke dalam keadaan yang sangat buruk. Kedudukan lepas, namanya tercemar. Sementara kau menemukan kesempatan untuk menggantikannya.”
“Jangan sebut-sebut lagi. Aku menjadi muak,“ tiba-tiba saja Ki Sardapa berkata lantang.
“Oo, jadi kau berani membentakku sekarang he? Setelah kau dicalonkan menjadi seorang Bekel, maka kau merasa dirimu berhak membentak aku seperti itu?“ perempuan itu pun hampir berteriak.
“Maafkan aku,“ berkata Ki Sardapa, “tetapi jika aku selalu dikejar-kejar oleh tuduhan-tuduhan seperti itu, maka aku akan dapat menjadi gila atau aku dapat berbuat di luar kesadaranku.”
Perempuan itu memandang Ki Sardapa dengan tatapan mata yang tajam. Seakan-akan dari sorot matanya memancar kebenciannya yang tidak terbatas.
Dengan suara yang serak karena getaran perasaan yang bergejolak ia berkata, “He anak tidak tahu diri. Kau kira aku ini siapa he? Aku adalah perempuan yang selama ini kau sebut sebagai ibumu, meskipun aku bukan ibumu. Aku pelihara kau seperti anakku, meskipun kau anak seorang perempuan liar yang justru telah menyakiti hatiku. Dan sekarang, setelah kau fitnah kakakmu, maka kau bentak-bentak aku dan bahkan tidak mustahil, bahwa sebentar lagi aku tentu akan kau singkirkan.”
“Siapa yang mengatakannya demikian,“ potong Ki Sardapa, “seharusnya ibu tidak terlalu berprasangka.”
“Aku bukan ibumu,“ bentak perempuan itu lagi.
“Jadi aku harus memanggil bagaimana?” bertanya Ki Sardapa, “bibi, atau Nyai Bekel atau apa?”
“Aku tidak peduli. Tetapi jangan panggil ibu,“ geram perempuan itu.
“Baiklah. Siapapun kau, tetapi kau sudah cukup membuat jantungku parah. Aku tidak bermaksud buruk. Aku merasa bahwa aku lebih baik diam dan menunggu pelaksanaan sikap Ki Buyut. Tetapi kau seakan-akan selalu mengejarku, memerintahkan aku melakukan hal-hal diluar kemampuanku. Sementara itu kau menuduh aku melakukan sesuatu yang tidak pernah aku lakukan,“ berkata Ki Sardapa yang hampir kehabisan kesabaran.
“Aku tidak mempunyai pilihan lain. Kau pun tidak. Kau harus melakukan perintahku untuk membebaskan kakakmu. Atau aku akan melakukannya sendiri dengan caraku. Karena kau tidak lagi mau menurut perintahku, maka kau pun tidak akan berarti apa-apa lagi bagiku,“ berkata perempuan itu dengan garangnya.
“Jadi kau mau apa?“ bertanya Ki Sardapa.
“Jangan mengira aku tidak mempunyai kekuatan cukup untuk berbuat sesuatu sesuai dengan keinginanku.“ geram perempuan itu, “Kau akan menyesal, bahwa kau telah berkhianat. Kau telah memfitnah, dan orang-orang padukuhan ini telah merampok harta kekayaan kakakmu dengan kasar.”
“Mereka tidak merampok,“ jawab Ki Sardapa, “tetapi sudah menjadi keputusan bersama, bahwa harta benda yang didapat baik seluruhnya atau pun sebagai modal yang dikembangkan dari hasil pembunuhan yang licik itu, diambil untuk kepentingan padukuhan sebagaimana sudah disetujui oleh Kiai Patah, orang yang sebenarnya paling berhak atas harta benda itu.”
“Kau kira aku dapat mempercayai igauan itu? Meskipun kau akan berkicau sehari-semalam, mengulang-ulang keterangan itu sampai bibirmu bengkak, aku tidak akan percaya,“ berkata perempuan itu dengan nada tajam.
Ki Sardapa benar-benar telah kehabisan kesabaran. Tetapi ia tidak dapat berbuat apa-apa terhadap perempuan yang pernah dianggapnya sebagai ibunya itu, selain berteriak, “Cukup. Aku tidak mau mendengarnya lagi.”
Tetapi perempuan itu pun tidak mau diam. Katanya, “Jika kau tidak mau melakukan yang aku katakan, maka sebelum purnama naik, sebagaimana saat yang kau tunggu karena hasil pengkhianatanmu yang licik itu, maka aku akan kehilangan orang yang pernah aku anggap sebagai anakku sendiri.”
Wajah Ki Sardapa menjadi merah. Namun perempuan itulah yang kemudian meninggalkannya dengan kesan yang mendebarkan.
Ki Sardapa menyadari, bahwa itu adalah satu ancaman. Tetapi ia tidak boleh melangkah surut karena ancaman itu.
Namun demikian, Ki Sardapa ternyata memandang perlu untuk berbicara dengan orang yang mendapat kuasa dari Ki Buyut untuk sementara memimpin padukuhan itu. Kiai Patah.
Kiai Patah, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mendengarkan pengaduan Ki Sardapa dengan sungguh-sungguh. Bahkan Kiai Patah pun merasa heran, bahwa ternyata Ki Sardapa bukannya saudara seayah dan seibu dengan Ki Bekel yang telah melakukan kesalahan sehingga ditahan di rumah Ki Buyut.
“Bagaimana pendapatmu?“ bertanya Kiai Patah, “apakah kau menganggap bahwa ibu tirimu itu bersungguh-sungguh mengancammu?”
“Menurut pendapatku demikian Kiai,“ jawab Ki Sardapa, “menilik sorot matanya yang bagaikan menyalakan api, ibu bersungguh-sungguh. Dengan demikian maka kau memang merasa gelisah. Bukannya aku menjadi ketakutan. Tetapi apakah aku benar-benar harus melawan orang yang pernah memelihara aku sebagai anaknya bagaimanapun juga aku dibedakan dengan kakang Bekel sejak masa kanak-kanakku.”
“Tetapi bukankah orang lain yang akan diperalat untuk memaksakan kehendaknya atasmu?“ bertanya Kiai Patah.
Ki Sardapa menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Mudah-mudahan demikian. Jika bahaya itu datang dari ibu tiriku, tetapi dengan tangan orang lain, maka aku tidak akan ragu-ragu menghadapinya. Tetapi jika ibu sendiri yang melakukannya, apa yang harus aku perbuat?”
“Bagaimana mungkin ia akan melakukannya sendiri?“ bertanya Kiai Patah.
“Mungkin saja. Racun atau cara licik yang lain. Bukankah kakang Bekel juga membunuh dengan racun,“ sahut Ki Sardapa.
Kiai Patah mengangguk-angguk. Lalu katanya, “Jika demikian maka sebaiknya kau dan ibu tirimu tidak tinggal di satu rumah. Kemungkinan semacam itu akan dapat dikurangi.”
“Aku akan mencoba. Aku akan berada di banjar sampai saatnya Purnama naik,“ berkata Kiai Patah.
Kiai Patah mengangguk-angguk. Mungkin yang dilakukan oleh Ki Sardapa itu bermanfaat. Jika ia sudah terpisah dari ibu tirinya, mungkin keadaannya akan lebih baik. Ia tidak selalu dibayangi oleh keinginan ibu tirinya yang tidak akan dapat dipenuhinya, namun ia pun tidak memiliki ketabahan hati untuk menentangnya. Betapapun kenyataan yang dihadapinya, namun perempuan itu pernah dianggapnya sebagai ibunya sendiri.
Namun demikian, Kiai Patah masih juga meragukan keselamatan Ki Sardapa. Jika ibu tirinya benar-benar lupa diri dan sampai hati berupaya untuk membunuh Ki Sardapa, maka persoalannya akan menjadi rumit. Padukuhan itu akan kehilangan satu-satunya orang yang berdarah keturunan orang yang memang berhak atas kedudukan itu. Jika hal itu terjadi, maka terpaksa dicari orang dari darah keturunan lain yang pantas untuk kedudukan itu.
Karena itu, maka Kiai Patah telah minta Mahisa Murti dan Mahisa Pukat untuk menemani Ki Sardapa dan berada di banjar. Menurut Kiai Patah, meskipun di banjar terdapat anak-anak muda yang di saat-saat terakhir bersiaga, apalagi menjelang saat-saat wisuda, tetapi jika ibu tiri Ki Sardapa sampai hati berhubungan dengan orang-orang yang berilmu tinggi untuk menyingkirkan anak tirinya itu dengan penuh kedengkian, maka keadaan Ki Sardapa memang menjadi gawat.
Dengan berbagai pesan, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tahu pasti apa yang harus mereka lakukan.
Ki Sardapa sendiri merasa senang sekali bahwa ia mendapat teman yang benar-benar meyakinkan. Karena itu, maka ia pun menjadi semakin mantap untuk berada di banjar padukuhan.
Ternyata sikap Ki Sardapa yang tidak pulang lagi ke rumahnya. membuat ibu tirinya menjadi semakin garang. Ia semakin yakin, bahwa anak tirinya itu sudah tidak lagi mau menuruti perintahnya. Bahkan dengan terang-terangan telah menentangnya.
Karena itu, maka ia tidak mempunyai pilihan lain. Perempuan itu benar-benar berniat untuk menyingkirkan Ki Sardapa.
“Jika anakku tidak dapat memegang kedudukan ayahnya, maka anak perempuan liar itu juga tidak boleh mendudukinya,“ berkata perempuan itu kepada diri sendiri.
Dengan perasaan dendam di hatinya maka perempuan itu telah pergi menemui beberapa orang kenalannya. Kenalannya di saat ia meninggalkan Ki Bekel tua mengikuti seorang laki-laki yang ternyata tidak memberikan kebahagiaan kepadanya. .
Tidak disangka bahwa perempuan itu justru telah bertemu pula dengan laki-laki itu. Tetapi sebagaimana perempuan itu sendiri, maka laki-laki itu pun telah menjadi tua.
“Untuk apa kau datang kemari?“ bertanya laki-laki itu.
“Aku tidak berkepentingan dengan kau,“ jawab perempuan itu.
“Siapa yang kau cari disini?“ bertanya laki-laki itu pula.
“Aku mencari Sura,“ jawab perempuan itu.
“Untuk apa?“ bertanya laki-laki itu.
“Aku memerlukan bantuannya,“ jawab ibu tiri Ki Sardapa.
Laki-laki itu termangu-mangu. Namun kemudian katanya, “Kau dapat minta tolong kepadaku. Tetapi setiap pertolonganmu sekarang harus diperhitungkan.”
“Kau sudah terlalu tua. Kau tidak akan dapat berbuat apa-apa lagi,“ berkata perempuan itu.
“Jangan menghina aku,“ geram laki-laki itu.
“Aku ingin berbicara dengan Sura,“ perempuan itu hampir berteriak.
Ternyata bahwa orang yang disebutnya Sura itu pun kemudian telah muncul dari balik pintu ruang belakang. Dengan wajah yang tegang dipandanginya perempuan itu. Sementara itu perempuan itu pun memandangi tubuh Sura yang tegap kekar.
Wajahnya keras seperti batu karang, sementara sorot matanya seperti api yang menjilat-jilat.
“Kau mau apa? Bukankah kau telah bertemu dengan laki-laki yang kau perlukan?“ bertanya orang yang bernama Sura itu dengan suara yang bagaikan menggelepar.
“Aku tidak memerlukannya,“ berkata perempuan itu, “aku memerlukan kau.”
“Untuk apa?“ bertanya Sura.
“Singkirkan anak tiriku,“ berkata perempuan itu, “ia akan diangkat menjadi Bekel menggantikan kakaknya.”
“Kenapa harus disingkirkan? Bukankah itu wajar, bahwa ia akan menggantikan kedudukan kakaknya yang ditangkap itu? Bukankah dengan demikian kau pun masih akan dapat ikut terhormat sebagai seorang ibu dari pimpinan tertinggi padukuhan itu? Menurut pengenalanku, Sardapa itu tidak tahu siapa kau sebenarnya. Bukankah ia menganggap kau sebagai ibunya?“ bertanya Sura.
Namun tiba-tiba laki-laki yang pernah berhubungan dengan isteri Ki Bekel itu menggeram, “Darimana kau ketahui semuanya itu he? Apakah kalian juga pernah berhubungan? Meskipun perempuan gila itu jauh lebih tua dari umurmu, tetapi dapat saja kau dijeratnya karena perempuan itu memang cantik. Bahkan sampai hari tuanya sekarang ini, ia masih nampak cantik.”
“Persetan,“ geram perempuan itu, “aku memerlukan bantuannya.”
“Kau tutup saja mulutmu pemalas,“ geram Sura pula kepada laki-laki itu. Lalu katanya kepada ibu tiri Sardapa, “Apa yang harus lakukan dan apa yang dapat kau berikan kepadaku?”
“Meskipun sebagian harta benda Ki Bekel, anakku itu telah dirampas dan disimpan di banjar, namun aku masih mempunyai uang cukup untuk membayarmu. Bahkan jika kau berhasil, kau dapat mengambil sendiri uang dan harta benda yang disimpan di banjar.”
Sura itu mengangguk-angguk. Katanya, “beri aku penjelasan. Aku akan melakukannya.”
“Jangan sendiri,“ berkata perempuan itu.
Sura mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia berkata, “Kau mulai menghina aku.”
“Jangan bodoh,“ berkata perempuan itu, “kau agaknya tidak mengetahui medan yang akan kau terjuni.”
Sura termangu-mangu. Sementara itu, perempuan itu telah memberikan beberapa keterangan tentang anak tirinya. Tentang pergolakan di padukuhan itu, keputusan Ki Buyut untuk mengangkat anak tirinya dan kemudian anak tirinya yang meninggalkan rumahnya.
“Aku tidak dapat meracunnya,“ berkata perempuan itu.
“Satu tindakan bodoh. Jika kau meracunnya berarti kau akan ditangkap oleh Ki Buyut karena kau telah membunuh anak tirimu itu,“ berkata Sura.
“Jika aku dapat melakukannya, aku tidak peduli. Bahkan seandainya aku digantung sekalipun. Jika aku melihat anak itu mati, maka aku tidak akan menyesal lagi hukuman apa pun yang harus aku terima,“ berkata perempuan itu.
Sura mengerutkan keningnya. Namun ia pun kemudian tertawa. Katanya, “Kau memang iblis betina. Anakmu memiliki sifat-sifatmu, sehingga ia sampai hati membunuh sekelompok orang yang seharusnya dilindunginya.”
“Tutup mulutmu,“ bentak perempuan itu, “lakukan permintaanku. Kau tidak perlu menilai perbuatan anakku dan perbuatanku sendiri.”
Sura tertawa semakin keras. Kemudian ia pun bertanya kepada laki-laki yang pernah berhubungan dengan perempuan itu, “Agaknya sifat iblisnya itulah yang telah menarik perhatianmu, pemalas.”
“Sifat iblisnya dan ia pun ternyata telah dilengkapi dengan paras yang cantik,“ jawab laki-laki itu.
“Persetan kalian,“ geram perempuan itu. Lalu, “Sardapa harus mati sebelum saat purnama naik. Ia harus mati sebelum mendapatkan kedudukannya. Tetapi ingat, jangan lakukan sendiri. Di banjar, anak-anak muda sedang berjaga-jaga.”
“Kau tahu bahwa aku memiliki ilmu sirep?“ bertanya Sura.
“Tetapi ada orang yang mampu melepaskan diri dari pengaruh sirep,“ jawab perempuan itu.
“Baiklah. Kau tidak usah menilai aku pula. Apa pun yang aku lakukan, yang penting adalah Sardapa mati,“ berkata Sura itu pula.
Perempuan itu termangu-mangu sejenak. Namun ia pun kemudian melangkah pergi sambil berkata, “Upahmu dapat kau ambil setelah Sardapa mati. Kau dapat membunuhnya di banjar dengan mengandalkan ilmu sirepmu. Tetapi kau dapat membunuhnya di jalan-jalan jika kau jumpai anak itu. Tetapi aku tidak peduli apa yang akan kau lakukan. Aku hanya mau anak itu mati.”
Perempuan itu tidak menunggu jawaban Sura. Tetapi dengan tergesa-gesa ia telah meninggalkan tempat itu.
Tidak ada orang yang memperhatikan, apa yang telah dilakukan oleh ibu tiri Ki Sardapa itu, sehingga tidak seorang pun yang menaruh curiga kepadanya, selain Ki Sardapa sendiri.
Sepeninggal ibu tiri Ki Sardapa itu, maka Sura pun telah bersiap-siap. Laki-laki yang pernah membawa perempuan itu bersamanya telah menawarkan diri untuk membantunya jika Sura memerlukannya.
“Aku memang memerlukan seorang kawan,“ berkata Sura, “tetapi yang bukan seorang pemalas.”
“Kau tahu bahwa aku berilmu sehingga Bekel itu tidak berani berbuat apa-apa ketika isterinya aku bawa pergi?“ bertanya laki-laki itu.
“Aku tahu bahwa kau berilmu. Tetapi jika kau lakukan tugas ini sambil tidur, maka aku kira kita tidak akan berhasil. Kau sudah mendengar sendiri keterangan perempuan itu tentang medan yang harus kita hadapi,“ berkata Sura, “karena itu kita harus benar-benar bersiap.”
“Kau memang dungu. Kau kira aku dapat tidur jika nyawaku terancam? “ desis laki-laki yang disebutnya pemalas itu.
“Baiklah. Tetapi aku masih akan membawa seorang kawan lagi yang dapat kita percaya,“ berkata Sura.
“Terserah kepadamu. Tetapi jika upah yang kau terima tidak sepadan dengan tenaga dan bahaya yang kita alami, maka kau jangan mengumpat-umpat,“ berkata laki-laki itu.
“Tetapi bagiku, lebih baik menerima upah sedikit tetapi tetap hidup dari pada mengharap banyak tetapi mati,“ berkata Sura.
Laki-laki itu tidak menjawab. Memang baginya, segalanya terserah kepada Sura yang memiliki ilmu yang tinggi. Bahkan ia memiliki pula ilmu sirep.
Bagi Sura, waktu yang tersedia memang tidak begitu banyak. Ia harus membunuh Sardapa sebelum purnama naik. Sehingga karena itu, maka ia harus melakukannya secepatnya.
Hari itu juga Sura telah memanggil seorang kawannya lagi. Bertiga mereka telah membicarakan cara yang paling baik untuk membunuh.
“Kita harus mengamati, setidak-tidaknya mengetahui serba sedikit tentang keadaan banjar padukuhan itu. Letaknya dan barangkali jumlah orang yang ada di sana,“ berkata kawan Sura.
“Besok kita akan melakukannya. Tetapi tidak perlu kita bertiga,“ berkata Sura.
“Aku dapat pergi sendiri,“ berkata kawan Sura itu.
Sebenarnyalah, maka di hari berikutnya, kawan Sura itu-pun telah berada di padukuhan yang sedang mempersiapkan penetapan pimpinan padukuhan. Di sebuah kedai makan, kawan Sura itu mendapat beberapa keterangan tentang banjar padukuhan. Dengan cerdik, orang itu telah memancing agar pemilik kedai itu mau mengatakan serba sedikit yang diketahuinya tentang banjar itu.
“Jadi setiap malam ada sekelompok anak muda yang bertugas menjaga banjar itu?“ bertanya orang itu.
Tanpa prasangka apa pun juga pemilik kedai itu mengangguk sambil menjawab, “Ya. Sekitar sepuluh orang.”
Kawan Sura itu mengangguk-angguk. Baginya dan bagi Sura sepuluh orang itu tidak banyak berarti. Tetapi orang itu menyadari bahwa yang harus diperhitungkan bukan yang sepuluh orang itu. Tetapi jika diantara sepuluh orang itu kemudian membunyikan isyarat dengan kentongan, maka itu akan berarti bahwa mereka harus menghadapi seluruh laki-laki yang ada di padukuhan itu.
Tetapi orang itu pun tahu, bahwa Sura memiliki kemampuan untuk membius orang-orang itu dengan ilmu sirepnya. Dengan demikian maka tugas mereka akan menjadi lebih ringan.
Jika ada satu dua orang yang terlampaui, termasuk Ki Sardapa, maka adalah tugas mereka untuk menyelesaikan, karena memang Ki Sardapa itu adalah sasaran utamanya.
Namun dalam pada itu, orang itu pun tidak dapat mengabaikan kekuatan yang ada di padukuhan itu. Menurut pendengarannya sebagai mana juga disampaikan oleh ibu tiri Ki Sardapa, bahwa di padukuhan itu ada seorang yang ternyata memiliki ilmu yang tinggi. Orang yang sebelumnya dianggap tidak berarti apa-apa. Sementara itu telah datang pula dua orang pengembara yang ternyata ikut menentukan keadaan.
Meskipun orang itu telah mendapat beberapa keterangan, namun mereka cukup mempunyai keberanian untuk melakukan tugas yang dibebankan kepadanya serta dua orang kawannya. Menurut perhitungan mereka bertiga, maka jika ilmu sirep Sura mampu menguasai anak-anak muda yang ada di banjar, maka tugas mereka akan menjadi sedikit ringan. Namun demikian, orang itu akan memberikan pendapatnya, bahwa mereka memerlukan orang lebih banyak untuk tugas itu. Apalagi ketika diketahuinya kemudian, bahwa di banjar itu juga disimpan harta benda berharga yang dipungut dari orang-orang yang dianggap bersalah.
“Jadi semua barang-barang berharga dan uang telah dirampas? “ orang itu menegaskan.
“Tidak semua,“ jawab pemilik kedai itu, “tetapi sebagian besar.”
Orang itu mengangguk-angguk. Namun untuk menghilangkan kecurigaan sama sekali, maka ia masih duduk beberapa lama di kedai itu sambil berbicara tentang hal-hal yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan banjar itu.
Demikianlah, maka orang itu pun kemudian telah menyampaikan hasil pengamatannya kepada Sura dan laki-laki yang disebutnya pemalas. Sekaligus orang itu berpendapat, bahwa untuk menguasai banjar dalam keseluruhan mereka memerlukan kawan lebih banyak.
“Kita jangan bergeser dari sasaran,“ berkata Sura, “yang penting adalah membunuh Ki Sardapa.”
“Untuk apa kita membunuh?“ bertanya kawannya.
“Kita diupah,“ jawab Sura.
“Baik. Kita akan mendapat uang karenanya. Tetapi jika uang itu terdapat lebih banyak di banjar, bagaimana pendapatmu?”
Sura justru menggeretakkan giginya. Katanya, “jahanam kau. Betapapun jahatnya kita, tetapi kita mempunyai harga diri yang cukup. Aku sudah menyanggupi untuk membunuh Sardapa. Aku tidak memikirkan yang lain.”
Hijaunya Lembah, Hijaunya Lereng Pegunungan