Hijaunya Lembah, Hijaunya Lereng Pegunungan Jilid 024


Wajah-wajah di halaman itu menjadi semakin tegang. Ternyata Pangeran Singa Narpada pun mengulangi seruan Mahisa Pukat, “Kami tidak sekedar main-main. Kami bersungguh-sungguh dan orang yang akan mati terbunuh kemudian pun sungguh-sungguh mati dan tidak akan dapat hidup kembali. Kami sudah jemu dengan permainan ini, dan kami pun menjadi jemu melihat sikap kalian.”

Penegasan Pangeran Singa Narpada ternyata telah mempercepat keputusan yang harus diambil oleh orang-orang padukuhan itu, sementara Mahisa Pukat mulai menghitung, “Satu, dua, tiga …”

Setiap bilangan yang disebutkan membuat debar jantung orang-orang padukuhan itu semakin cepat. Mereka benar-benar harus mengambil keputusan sebelum bilangan ke sepuluh. Dan keputusan itu memang tidak dapat lain jika mereka masih menghendaki untuk tetap hidup.

Ki Bekel lah yang paling tegang diantara orang-orang padukuhan itu. Setiap bilangan yang didengarnya, rasa-rasanya ujung-ujung senjata yang menusuk jantungnya.

Namun memang tidak dapat lain dari yang harus terjadi. Ketika Mahisa Pukat mengucapkan bilangan ke sepuluh, maka semua orang yang berada di halaman banjar itu telah melepaskan senjatanya.

“Jangan bodoh,” teriak Ki Bekel, “Bunuh mereka. Lontarkan semua senjata ke arah mereka, maka mereka tentu tidak akan dapat menghindar dan menangkis. Satu atau dua diantara senjata kalian tentu akan mengenainya.”

Tetapi tidak seorang pun yang mendengarkannya. Mereka lebih takut kepada kenyataan bahwa mereka tidak akan dapat melawan keempat orang itu daripada teriakan-teriakan Ki Bekel yang tidak berbuat apa-apa.

Ki Bekel yang merasa bahwa suaranya tidak lagi dapat mempengaruhi orang-orangnya, menjadi kehilangan akal. Ia sadar bahwa keempat orang itu tentu akan meletakkan pertanggungan jawab atas peristiwa yang terjadi itu diatas pundaknya. Karena itu, maka tidak ada jalan lain bagi Ki Bekel selain melarikan diri.

Demikianlah, ketika Ki Bekel sudah tidak melihat harapan apapun lagi, tiba-tiba saja iapun telah meloncat berlari ke pintu gerbang. Namun tiba-tiba saja langkahnya terhenti. Ki Bekel terkejut bukan kepalang. Sebatang tombak pendek telah meluncur dan tertancap di hadapannya, hanya sedepa dari tubuhnya.

Dengan serta merta Ki Bekel pun telah berpaling. Dilihatnya Mahisa Bungalan berdiri di bibir pendapa. Dengan lantang ia berkata, “Maaf Ki Bekel. Jangan melarikan diri.”

Ki Bekel termangu-mangu. Sementara itu Mahisa Pukat dan Mahisa Murti pun telah naik ke pendapa pula. Merekapun melihat Ki Bekel yang berdiri termangu-mangu beberapa langkah dari pintu gerbang. Dibawah cahaya obor yang berada di pintu gerbang, nampak Ki Bekel yang dicengkam oleh kebimbangan.

“Kemarilah Ki Bekel,” berkata Mahisa Bungalan.

Ki Bekel menarik nafas dalam-dalam. Dengan berat, maka ia melangkahkan kakinya kembali ke halaman.

Namun ternyata bahwa ia tidak sungguh-sungguh ingin kembali. Dengan serta merta maka iapun telah meloncat berbalik dan berlari untuk mencapai pintu gerbang. Ia berharap bahwa lepas dari pintu gerbang, maka ia tentu akan dapat mencari jalan keluar dari padukuhan itu tanpa diketahui oleh keempat orang itu jika mereka mengejarnya. Karena Ki Bekel merasa bahwa ia menguasai medan jauh lebih baik dari keempat orang yang agaknya baru pertama kali memasuki padukuhan itu.

Tidak ada kesempatan untuk mencegah. Seandainya salah seorang dari keempat orang yang telah bertempur melawan orang-orang padukuhan itu mencoba mengejarnya, maka mereka tentu akan kehilangan jejak. Padukuhan itu terlalu rumit untuk dapat dijelajahi seandainya Ki Bekel memasuki halaman demi halaman yang penuh dengan gerumbul-gerumbul liar, rumpun-rumpun bambu yang lebat dan dinding-dinding halaman yang menyekat-nyekat padukuhan itu.

Karena itu, yang terjadi pun sangat mengejutkan orang-orang padukuhan itu. Sementara Mahisa Bungalan memikirkan cara yang paling baik untuk menangkap Ki Bekel, Mahisa Pukat telah lebih dahulu mengambil sikap.

Yang kemudian terdengar adalah pekik yang menyayat. Semua mata terbelalak melihat sebatang tombak yang meluncur dengan cepatnya, seperti anak panah lepas dari busurnya, terbang memburu dan kemudian hinggap di punggung Ki Bekel.

Orang-orang padukuhan itu menyaksikan dengan jantung yang hampir terlepas dari tangkainya. Ki Bekel itu jatuh tertelungkup. Masih terdengar jeritnya memanjang. Namun kemudian suaranya itupun lenyap ditelan sepinya malam.

Suasana di halaman banjar itupun menjadi sepi namun penuh ketegangan. Tidak seorang pun yang bergerak. Mereka hanya memandang tubuh Ki Bekel yang terkapar dengan darah yang memancar dari lukanya yang masih digantungi oleh tombak pendek yang dilontarkan Mahisa Pukat.

Namun sejenak kemudian kesepian itu telah dipecahkan oleh suara Pangeran Singa Narpada. Dengan kematangan jiwanya ia telah mempergunakan satu saat yang tepat untuk mengakhiri pertempuran itu. Dengan suara lantang ia berkata, “Letakkan senjata kalian, atau kalian akan mengalami nasib seperti Ki Bekel. Tidak ada lagi kekuatan diantara kalian dan tidak ada lagi orang yang mendorong kalian untuk melakukan kejahatan.”

Orang-orang padukuhan itu tidak mempunyai kesempatan lain. Namun ternyata tidak seorang lagi yang masih bersenjata. Pada hitungan kesepuluh yang diucapkan oleh Mahisa Pukat, mereka sudah meletakkan senjata. Karena itu, maka yang diucapkan oleh Pangeran Singa Narpada adalah satu penegasan bahwa mereka memang harus menyerah.

Sementara itu Pangeran Singa Narpada pun melanjutkan, “Jika demikian, maka kumpulkan senjata yang telah kalian lemparkan itu di pendapa. Cepat.”

Orang-orang padukuhan itu tidak menunggu perintah Pangeran Singa Narpada itu diulangi. Karena itu, maka mereka pun segera memungut senjata mereka dan mengumpulkannya di pendapa.

Demikian senjata-senjata itu telah terkumpul, maka Pangeran Singa Narpada pun menarik nafas dalam-dalam. Dengan jantung yang berdegupan ia melihat beberapa sosok mayat yang terbaring di pinggir halaman, sementara mereka yang terluka telah dikumpulkan pula di serambi gandok banjar.

Karena itu, maka Pangeran Singa Narpada itupun berkata, “Uruslah kawan-kawanmu yang terbunuh. Sementara itu panggillah dukun yang terbaik untuk mengobati kawan-kawanmu yang terluka di pertempuran ini.”

Orang-orang padukuhan itu termangu-mangu. Tidak seorang pun yang berani beranjak. Mereka takut, bahwa di depan pintu gerbang mereka akan mengalami nasib seperti Ki Bekel.”

Namun Pangeran Singa Narpada mengulangi, “Cepat. Panggil dukun terbaik dari padukuhan ini atau padukuhan terdekat, agar kawan-kawanmu yang terluka tidak mati karenanya.”

Orang-orang di halaman itu masih belum beranjak, sehingga Pangeran Singa Narpada pun akhirnya bertanya, “Siapakah bebahu padukuhan ini yang ada dan yang masih hidup.”

Tidak ada yang menjawab. Tetapi menilik tatapan mata beberapa orang padukuhan yang ada di halaman itu kepada seorang yang bertubuh tinggi kekurus-kurusan, maka nyatalah bahwa orang itu tentu salah seorang diantara para bebahu.

Karena itu, maka Pangeran Singa Narpada pun berkata kepada orang itu, “Aku perintahkan kau berangkat. Kau harus segera kembali sambil membawa dukun yang aku maksudkan.”

Orang itu tidak dapat ingkar lagi. Iapun kemudian beringsut ke pintu gerbang. Tetapi ia tidak melangkah membelakangi Pangeran Singa Narpada, sehingga karena itu, maka iapun melangkah surut sehingga akhirnya orang itupun telah berada diluar pintu gerbang.

Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Rasa-rasanya ia telah keluar dari lingkungan neraka yang paling buruk.

Namun iapun segera teringat akan tugas yang harus dilakukannya. Ia harus mendapatkan seorang dukun yang akan mengobati kawan-kawannya yang terluka parah.

“Apakah orang itu berkata dengan jujur?” bertanya orang itu didalam hatinya.

Namun ternyata bahwa ia telah dibiarkan untuk keluar dari pintu gerbang.

Memang ada niat untuk melarikan diri. Tetapi ia tidak sampai hati melakukannya, meninggalkan kawan-kawannya yang terbunuh dan terluka parah.

Karena itu, maka iapun telah berjalan dengan tergesa-gesa ke rumah seorang dukun yang ahli dalam hal pengobatan atas luka-luka senjata, betapapun tajamnya racun yang mungkin ada pada senjata itu.

Ketika ia sampai di muka rumah dukun itu, maka ia menjadi ragu-ragu. Pintu rumah dukun itu sudah tertutup rapat. Namun ia tidak boleh kembali ke banjar tanpa membawa seseorang yang akan dapat mengobati kawan-kawannya yang terluka, apalagi yang parah.

Namun akhirnya orang itupun telah mengetuk pintu rumah dukun yang telah tertutup rapat itu.

Beberapa kali orang itu mengetuk pintu. Namun tidak terdengar jawaban sama sekali. Bahkan dari lubang-lubang dinding rumah itu. bebahu itu melihat bahwa didalam rumah itu gelap pekat. Tidak ada lampu yang terpasang.

“Mungkin di bagian belakang,” gumam bebahu itu.

Namun demikian dan bahkan ketika kesabarannya hampir habis, rasa-rasanya bebahu itu akan memecahkan pintu yang tertutup rapat itu.

Ternyata penghuni rumah itu tidak dapat bertahan lebih lama untuk berdiam diri. Dukun itu merasa cemas juga bahwa orang yang mengetuk pintunya itu benar-benar akan memecahkannya. Karena itu. maka dukun itu terpaksa juga berdiri dari pembaringannya dan membukakan pintu rumahnya.

“Nah, ternyata kau ada di rumah Kiai,” berkata bebahu itu.

Dukun yang masih mengusap matanya itu kemudian berdesis. “Kenapa kau membangunkan aku di malam seperti ini?”

“Apakah kau tidak mendengar isyarat di banjar?” bertanya bebahu itu.

Dukun itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Apakah yang terjadi sebagaimana yang sering terjadi?”

“Ya,” jawab bebahu itu.

“Jika demikian untuk apa aku harus datang ke banjar? Bukankah biasanya orang-orang yang sudah dibantai di banjar itu dilemparkan saja ke lubang di kuburan itu. Buat apa aku datang ke banjar, karena pesan jiwani yang ada didalam diriku dan kalian berbeda. Kalian lebih senang membunuh, sedangkan tugasku justru menyembuhkan orang-orang yang sakit. Panggilan jiwaku justru menghindari kematian.”

“Tetapi di banjar sekarang terdapat beberapa orang yang terluka yang memerlukan pengobatan,” jawab bebahu itu.

“Bagaimana mungkin hal itu dapat terjadi,” bertanya dukun itu, “Biasanya kalian tidak pernah datang kepadaku pada saat seperti ini untuk mengobati seseorang. Biasanya kau atau orang lain datang untuk memaksa setiap orang di padukuhan ini ikut dalam tindakan kalian yang sesat itu.”

“Kiai, sekarang kita menghadapi keadaan yang berbeda. Justru orang-orang padukuhan inilah yang terluka. Mereka memerlukan pertolonganmu,” jawab bebahu itu.

“Aku tidak tahu maksudmu,” jawab dukun itu.

“Pergilah ke banjar. Kau akan mengetahui apa yang terjadi,” jawab bebahu itu.

“Tidak ada gunanya,” jawab dukun itu, “Aku sudah jemu dengan lingkungan kehidupan seperti ini. Aku sudah memutuskan untuk meninggalkan padukuhan ini dan menetap di tempat lain dimana aku dapat mengembangkan pesan jiwani didalam diriku untuk berusaha mengurangi kematian, bukan sebaliknya.”

Bebahu itu menggeram. Katanya, “Jika dalam keadaan sewajarnya maka kau akan dapat digantung bersama orang-orang yang tersesat memasuki padukuhan ini. Tetapi pergilah ke banjar. Ki Bekel justru telah terbunuh.”

Wajah dukun itu menjadi tegang. Dengan suara gemetar ia bertanya, “Apa yang sebenarnya telah terjadi.”

“Bawalah obat-obatan sebanyak-banyaknya. Beberapa orang telah terluka dan yang lain terbunuh. Bukan orang-orang yang kita jebak di banjar yang terbunuh, justru kawan-kawan kita termasuk Ki Bekel sendiri,” jawab bebahu itu.

Keterangan itu rasa-rasanya sangat menarik. Karena itu maka timbullah keinginan dukun itu untuk melihat, apa yang telah terjadi. Bahkan seandainya ia sendiri akan terjebak didalamnya. Karena itu maka katanya, “Tunggu. Aku akan menyediakan obat-obatan.”

Sejenak kemudian, maka dukun itu telah menyiapkan reramuan yang akan dapat dipergunakan untuk mengobati orang-orang yang terluka, meskipun ia tidak yakin apakah sebenarnya yang telah terjadi.

Dengan jantung yang berdebaran oleh keragu-raguan yang mencengkam, dukun itu mengikuti untuk pergi ke banjar. Ia sudah bertekad apapun yang terjadi untuk melepaskan diri dari dunia yang sangat bertentangan dengan kata nuraninya itu. Namun demikian dukun itu memasuki halaman banjar, ia menjadi berdebar-debar, ia melihat orang-orang padukuhannya duduk berkumpul di salah satu sudut halaman itu, sementara di pendapa terdapat beberapa orang terluka yang terbaring. Di sisi lain terdapat beberapa sosok mayat yang terbujur membeku termasuk Ki Bekel.

“Apakah yang telah terjadi,” desis dukun itu.

“Orang-orang yang berada di pendapa itu akan memberikan penjelasan,” jawab bebahu itu.

Dukun itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian terdengar Pangeran Singa Narpada memanggilnya, “Kemarilah. Apakah kau seorang dukun yang dapat mengobati orang-orang yang terluka ini?”

Dukun itu melangkah mendekat. Sambil naik ke pendapa ia bertanya, “Siapakah kalian?”

“Kami adalah empat orang pengembara yang tersesat memasuki padukuhan ini. Kami berharap untuk dapat beristirahat dengan tenang dan hangat karena kebiasaan kami bermalam di tempat terbuka. Ternyata hal itu telah menjerumuskan kami ke dalam neraka ini. He, apakah kau salah seorang diantara orang-orang gila yang hidup dengan cara yang terkutuk di padukuhan ini?”

Dukun itu memandang Pangeran Singa Narpada sejenak. Namun ternyata bahwa ia mempunyai kesan yang lain tentang orang itu.

Karena itu, maka sikapnya pun telah berubah pula. Suaranya merendah, “Ki Sanak. Apakah yang telah terjadi?”

“Kau melihat, apa yang telah terjadi disini. Sebagai orang padukuhan ini, maka kau pun tentu dapat menjawab, seandainya pertanyaan itu kau dengar dari orang lain,” sahut Pangeran Singa Narpada.

Dukun itu menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian katanya, “Aku mengerti, bahwa kau pun menyangka aku merupakan bagian dari orang-orang padukuhan ini. Tetapi hal itu wajar sekali.”

Pangeran Singa Narpada termangu-mangu sejenak. Dengar ragu-ragu ia bertanya, “Apakah yang kau maksud?”

“Aku dan orang-orang padukuhan ini mempunyai landasan sikap jiwani yang berbeda. Jika mereka mendambakan kematian, maka aku berusaha mengatasi kematian meskipun aku sadar, bahwa ketentuan terakhir ada pada Yang Maha Agung. Tetapi aku merasa wajib untuk memenuhi panggilan nuraniku, mengobati orang yang mengalami kesulitan pada dirinya dan berjalan menuju ke ambang kematian,” jawab orang itu.

Pangeran Singa Narpada termangu-mangu sejenak. Tetapi sebagai mana dukun itu menghargainya, maka iapun kemudian menghargai pula orang itu.

Sementara itu dukun itu berkata, “Bukan kebiasaanku untuk dipanggil seperti ini. Jika aku harus datang, maka aku harus membawa senjata dan ikut membunuh, bukan dipesan untuk membawa obat-obatan seperti ini.”

Pangeran Singa Narpada mengangguk-angguk. Katanya, “Aku minta maaf Ki Sanak. Agaknya yang terjadi malam ini bukannya sebagaimana biasa terjadi. Saat ini ada beberapa orang padukuhan ini yang terluka dan bahkan terbunuh. Kami berempatlah yang telah melakukannya. Bahkan orang yang disebut Ki Bekel itupun telah terbunuh pula.”

“Kenapa kalian membunuh disini?” bertanya dukun itu.

“Bukan maksud kami. Tetapi tetangga-tetanggamu dipimpin oleh bekelmu telah berusaha merampok aku. Bukankah wajar jika kami berempat mempertahankan diri?” jawab Pangeran Singa Narpada.

“Aku percaya. Memang isi padukuhan ini telah ditempa untuk menjadi perampok-perampok yang baik. Mereka adalah pembunuh-pembunuh seperti yang sudah aku katakan. Tetapi agaknya kalian berempat adalah lain dari orang-orang yang pernah dibantai disini. Bahkan kalianlah yang agaknya telah membantai orang-orang di padukuhan ini,” berkata dukun itu pula.

“Sudah aku katakan, bukan maksudku. Tetapi aku memang harus mempertahankan hidupku,” jawab Pangeran Singa Narpada. lalu, “Nah, bagaimana dengan orang-orang yang terluka itu?”

Dukun itu memandang berkeliling. Kemudian tatapan matanya terhenti pada orang-orang yang terbaring karena luka yang menganga di tubuhnya.

Sekilas terbersit niat buruknya. Kenapa orang-orang itu tidak dibiarkan saja mati? Bukankah orang-orang itu adalah orang-orang yang sudah terbiasa membunuh? Merampok orang-orang yang lewat, tidak di bulak yang sepi. tidak di pinggir hutan yang jarang dilalui orang, dan tidak di malam hari mengetuk dan mengancam dengan pisau belati, tetapi justru merampok, menyamun dan membantai orang-orang yang memasuki padukuhannya dengan keperluan apapun juga.

Namun hatinya sudah didasari pesan gurunya, yang memberinya petunjuk tentang ilmu obat-obatan, bahwa ia harus mengamalkan ilmunya itu bagi siapa pun juga.

“Kalau aku menyelamatkan nyawa seorang pembunuh, kemudian ia melakukan pembunuhan lagi, apakah aku termasuk ikut bersalah dan menjadi penyebab kematian orang itu?” pertanyaan itu telah mengguncang jantungnya.

Tetapi dukun itu tidak akan dapat mengingkari kewajibannya. Karena itu, maka iapun kemudian berkata, “Aku akan mengobati mereka. Tetapi apa yang akan mereka lakukan kemudian, bukan tanggung jawabku.”

“Tidak seorang pun yang bertanggung jawab tentang tingkah lakunya,” berkata Pangeran Singa Narpada. Lalu, “orang itu sendirilah yang bertanggung jawab atas kelakuannya sendiri terutama di hadapan Yang Maha Agung,” sahut Pangeran Singa Narpada.

Demikianlah, maka dukun itu mulai bekerja. Ia minta bantuan bebahu padukuhan itu. Ia memerlukan air dan beberapa buah mangkuk untuk mencairkan obat-obatnya. Sebagian obat yang diulaskan pada luka-luka, sedangkan yang lain adalah obat yang harus diminum.

Sejenak kemudian maka dukun itu sudah tenggelam dalam tugasnya. Iapun sudah melupakan siapakah orang yang sedang diobatinya. Apakah ia penjahat atau korban kejahatan. Namun sudah menjadi panggilan jiwanya, bahwa ia harus berusaha menyelamatkan nyawa orang yang terancam.

Sementara itu, keempat orang yang mengaku sebagai pengembara itu telah memanggil beberapa orang bebahu yang ada di halaman itu.

Meskipun dengan gemetar, namun para bebahu itu masih juga mempunyai rasa tanggung jawab untuk datang mendekat mewakili orang-orang padukuhan itu.

“Kita akan berbicara,” berkata Pangeran Singa Narpada, “Sepeninggal Ki Bekel, maka para bebahulah yang akan mempertanggung jawabkan keadaan padukuhan ini.”

Para bebahu itu hanya menundukkan kepalanya. Mereka tidak akan dapat ingkar dan mengelak apapun yang dikatakan oleh para pengembara itu.

Sejenak kemudian maka mereka pun telah memasuki banjar. Para bebahu dengan Pangeran Singa Narpada dan Mahisa Bungalan. Sementara itu. Mahisa Bungalan berbisik kepada kedua adiknya, “Hati-hatilah. Awasi orang-orang yang ada di halaman itu.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Dengan demikian ketika Pangeran Singa Narpada dan Mahisa Bungalan masuk ke ruang dalam banjar, maka keduanya masih tetap berada di pendapa.

Sementara itu, dukun yang dipanggil atas perintah Pangeran Singa Narpada itupun telah bekerja dengan keras, ia berusaha sejauh-jauh dapat dilakukan untuk mengobati orang-orang padukuhannya yang terluka.

Namun dukun itupun berdesis kepada seseorang yang membantunya, “Kita berusaha. Tetapi segala sesuatunya terserah kepada Yang Maha Agung.”

Orang yang membantunya itu mengangguk kecil. Ia mengerti apa yang dikatakan oleh dukun itu. Pengertian yang untuk beberapa lama seakan akan tergeser dari relung hatinya, karena ia sudah berada dibawah pengaruh tetangga-tetangganya dan terutama Ki Bekel dari padukuhan itu.

Sementara itu, di ruang dalam. Pangeran Singa Narpada dan Mahisa Bungalan duduk bersama beberapa orang bebahu yang masih tersisa. Dengan wajah yang keras oleh kerut di kening. Pangeran Singa Narpada berkata, “Dengarkan kata-kataku baik-baik.”

Para bebahu itu hanya menundukkan kepalanya saja.

“Ki Bekel dan beberapa orang bebahu telah terbunuh. Nah, bagaimana pendapat kalian?” bertanya Pangeran Singa Narpada.

Para bebahu itu tidak segera menjawab. Mereka masih tetap menundukkan kepala mereka.

“Aku minta kalian menjawab pertanyaanku,” berkata Pangeran Singa Narpada kemudian, “Apa kata kalian setelah Ki Bekel dan beberapa kawanmu terbunuh. Apakah kalian masih tetap ingin memaksa untuk merampok kami?”

Tidak seorang pun yang menjawab.

“Jawab,” tiba-tiba saja Pangeran Singa Narpada membentak sehingga orang-orang yang berada di dalam itu terkejut karenanya.

Salah seorang diantara para bebahu itupun mencoba untuk memberanikan diri menjawab pertanyaan itu. Katanya, “Ki Sanak. Kami sudah tidak berdaya. Kami mengakui kekalahan kami. Karena itu maka kami telah meletakkan senjata. Dengan demikian sudah pasti bahwa kami tidak akan memaksa untuk merampok kalian.”

“Aku mengerti. Tetapi yang aku maksud selanjutnya adalah pengertian yang lebih dalam. Adakah kalian masih akan menjadi perampok dan penyamun sepeninggal Ki Bekel dan beberapa orang bebahu. Bagiku, ada dua jalan yang dapat aku tempuh untuk menyelesaikan persoalan dengan kalian sampai tuntas. Cara yang pertama adalah membunuh kalian semuanya tanpa kecuali. Semua orang yang berada di halaman ini.”


Wajah para bebahu itu menjadi semakin tegang. Sementara keringat mengalir di seluruh tubuh mereka.

“Kenapa kalian menjadi gelisah?” bertanya Pangeran Singa Narpada, “Kematian bukan apa-apa. Bukankah kalian sama sekali tidak pernah menghargai nyawa seseorang? Tentu juga nyawamu sendiri. Apa artinya kematian bagi seseorang sebagaimana kau artikan selama ini.”

Orang-orang itu tidak menjawab. Tetapi terasa jantung mereka berdebar semakin keras. Namun demikian mereka masih berharap untuk mendengarkan jalan yang dapat ditempuh oleh pengembara itu. Mungkin jalan kedua itu masih memberi kesempatan yang lebih baik bagi mereka daripada mati.

Dalam pada itu, maka Pangeran Singa Narpada pun berkata selanjutnya, “Adapun cara yang kedua adalah mendapat satu kepastian bahwa kalian benar-benar tidak akan melakukannya lagi.”

Salah seorang diantara para bebahu itupun telah memberanikan diri untuk menjawab, “Kami berjanji untuk tidak melakukannya lagi.”

“Kau dapat saja berjanji di hadapanku. Tetapi aku tidak dapat kau yakinkan hanya dengan janji,” berkata Pangeran Singa Narpada.

“Lalu, bagaimanakah cara yang dapat kami lakukan untuk meyakinkan Ki Sanak, bahwa kami memang sudah berniat untuk tidak mengulangi lagi perbuatan kami,” bertanya bebahu itu.

“Bukan aku yang harus menunjukkan cara itu. Kalianlah yang harus mencari cara agar dapat kalian dapat meyakinkan aku,” berkata Pangeran Singa Narpada.

Bebahu itu menjadi bingung. Ia tidak melihat jalan yang manapun yang akan dapat dipergunakannya untuk meyakinkan para pengembara itu. Karena itu maka katanya, “Ki Sanak. Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan untuk meyakinkan Ki Sanak.”

Pangeran Singa Narpada memandang wajah bebahu itu dengan tajamnya, sehingga tengkuk bebahu itu telah meremang. Seakan-akan dari mata orang yang dianggap pengembara itu telah memancar bayangan kematian. Bukan hanya bagi dirinya sendiri, tetapi seluruh laki-laki di padukuhan itu.

“Cepat, lakukanlah sesuatu yang dapat meyakinkan aku,” bentak Pangeran Singa Narpada.

“Tidak ada yang dapat kami lakukan,” jawab bebahu itu, “Kecuali dengan sungguh-sungguh berniat menghentikan segala perbuatan yang dianggap bertentangan dengan kepentingan banyak orang.”

“Aku memerlukan bukti itu. Jika tidak maka aku akan mengambil cara yang pertama. Semua laki-laki yang berada di banjar dan di halaman banjar ini akan terbunuh malam ini. Tidak akan ada yang sempat mengurusi mayat kalian, karena semua perempuan akan menangisi mayat kalian dan kemudian pergi menyingkir dari neraka terkutuk ini.”

Para bebahu itu menjadi bingung. Mereka tidak tahu apa yang dimaksudkan oleh Pangeran Singa Narpada. Karena itu, maka dengan jantung yang berdebaran salah seorang diantara para bebahu itu akhirnya berkata, “Ki Sanak, Kami tidak akan dapat memberikan bukti apapun juga. Tetapi sebenarnyalah bahwa kesalahan yang telah terjadi di padukuhan ini sebagian besar terletak di tangan Ki Bekel dan para bebahu. Kami, para bebahu tidak akan mengelakkan tanggung jawab karena Ki Bekel telah terbunuh. Seandainya Ki Sanak akan menghukum kami, maka sebaiknya Ki Sanak tidak perlu membunuh semua laki-laki yang ada disini. Tetapi mungkin Ki Sanak dapat membunuh orang-orang yang bertanggung jawab sesudah Ki Bekel tidak ada. Bunuh sajalah kami para bebahu dan mungkin dua orang kepercayaan Ki Bekel itu jika mereka belum mati. Sepeninggal kami para bebahu dan orang-orang yang dianggap memiliki kelebihan dan dapat menentukan sikap menghadapi orang-orang yang sedikit mempunyai kekuatan telah tidak ada, maka mereka dengan sendirinya akan menjadi lemah dan lunak. Mereka tidak akan berbuat apa-apa.”

Pangeran Singa Narpada mengerutkan keningnya. Namun tiba-tiba wajahnya nampak memancarkan kekerasan hatinya. Dengan suara yang garang ia berkata, “Baik. Kita akan membunuh semua bebahu dan orang-orang yang dianggap berilmu disini. Dengan demikian orang-orang padukuhan ini tidak mempunyai kekuatan lagi untuk mengganggu orang-orang yang lewat.”

Wajah, para bebahu itu menjadi tegang. Ada di antara mereka yang menjadi pucat.

Namun bebahu yang mengatakan kesediaannya itu menyahut, “Baik Ki Sanak. Bunuh kami semua sebagai pertanggungan jawab kami atas segala peristiwa yang pernah terjadi di padukuhan ini.”

Pangeran Singa Narpada mengangguk-angguk. Kemudian katanya, “bersiaplah untuk mati. Kami akan membunuh kalian di halaman. Di hadapan orang-orang padukuhan ini.”

Mahisa Bungalan pun menjadi ragu-ragu menanggapi sikap Pangeran Singa Narpada. Namun ia tidak dapat berbuat apa-apa agar tidak justru terjadi perselisihan diantara mereka.

“Berdirilah,” Pangeran Singa Narpada membentak sambil bangkit berdiri, “aku sendiri yang akan memenggal leher kalian.”

Para bebahu itu menjadi sangat gelisah. Tetapi bebahu yang telah menyatakan kesanggupannya untuk dibunuh itu melangkah dengan pasti ke halaman. Sementara yang lain mengikutinya, meskipun ada juga diantara mereka yang gemetar. Bagaimanapun juga kematian bukannya sesuatu yang menyenangkan.

Namun ternyata mereka memang harus memikul tanggung jawab atas semua yang pernah terjadi di padukuhan mereka.

Bebahu yang telah pasrah akan kematiannya itu sempat juga berbicara kepada kawan-kawannya, “Kitalah yang selama ini menikmati paling banyak hasil dari tingkah laku penghuni padukuhan ini di samping Ki Bekel. Orang-orang itu hanya sekedar kita peralat dan mendapat sedikit bagian dari kerja yang kotor dan membekas darah selama ini. Biarlah mereka tetap hidup dan menempuh satu kehidupan yang lain daripada kehidupan yang selama ini dijalaninya karena pokal kita. Karena itu, kita sudah sepantasnya menerima tanggung jawab ini dengan dada lapang.”

Kawan-kawannya tidak menjawab. Mereka memang tidak akan dapat berbuat apa-apa jika keputusan itu memang harus demikian.

Beberapa orang bebahu itupun kemudian berdiri di halaman. Sementara itu Pangeran Singa Narpada berdiri di bibir pendapa. Di belakangnya berdiri Mahisa Bungalan yang menjadi tegang, sedangkan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih belum jelas apa yang terjadi.

Dalam pada itu, maka Pangeran Singa Narpada pun berkata dengan suara lantang kepada orang-orang yang berada di halaman.

“Nah, orang-orang padukuhan yang kelam ini. Kalian akan menjadi saksi. Untuk membersihkan padukuhan ini dari langkah-langkah kejahatan maka para bebahu ini akan mendapatkan hukuman mati sebagai tanggung jawab mereka terhadap semua kejadian di padukuhan ini. Seharusnya termasuk pula Ki Bekel yang justru mempunyai tanggung jawab tertinggi. Tetapi Ki Bekel itu sudah terbunuh, sehingga ia tidak akan dapat dibunuh untuk kedua kalinya. Yang sekarang masih hidup adalah para bebahu. Para bebahulah yang harus memikul tanggung jawab.”

Semua orang menjadi tegang. Sementara itu para bebahu itupun telah pasrah apa yang akan terjadi atas mereka.

“Berikan pedang itu,” berkata Pangeran Singa Narpada kepada Mahisa Murti sambil menunjuk sebilah pedang yang terletak diantara setumpuk senjata dari mereka yang telah menyerah.

Mahisa Murti menjadi ragu-ragu. Tetapi iapun kemudian mengambil pedang itu dan menyerahkannya kepada Pangeran Singa Narpada.

“Nah, sekarang aku akan melaksanakannya. Seorang demi seorang aku harap maju untuk kemudian menundukkan kepala sehingga aku akan dengan mudah memenggal kepala itu,” berkata Pangeran Singa Narpada.

Namun dalam pada itu, dukun yang datang untuk mengobati orang-orang yang terluka telah bangkit berdiri diantara orang-orang yang terbaring, “Apa yang akan kau lakukan?”

“Memenggal leher para bebahu. Jika hal ini tidak dapat dilakukan karena sesuatu hal, maka aku justru akan membunuh semua orang yang ada disini,” jawab Pangeran Singa Narpada.

“Bagaimana mungkin hal itu kau lakukan,” berkata dukun itu, “disini aku kau suruh mengobati orang-orang yang terluka sementara itu kau membunuh dengan sewenang-wenang.”

Pangeran Singa Narpada memandang dukun itu dengan sorot mata yang membara. Dengan lantang ia menjawab, “Mereka adalah orang-orang yang bertanggung jawab atas peristiwa-peristiwa yang pernah terjadi di padukuhan ini.”

“Biarkan mereka mempertanggung-jawabkannya,” berkata dukun itu, “Tetapi tidak dengan cara yang kejam seperti yang akan kau lakukan.”

“Yang akan aku lakukan jauh lebih baik daripada aku membunuh semua laki-laki yang ada disini,” jawab Pangeran Singa Narpada.

Dukun itu termangu-mangu sejenak. Kemudian katanya, “Jika demikian, tidak ada artinya aku mengobati orang-orang yang terluka itu jika kau ternyata ingin membunuh para bebahu yang tersisa, karena yang lain telah mati terbunuh pula termasuk Ki Bekel sendiri.”

“Itu terserah kepadamu. Kau adalah orang padukuhan ini. Jika kau ingin melihat tetangga-tetanggamu yang terluka parah itu mati, maka kau dapat saja menolak untuk mengobati mereka. Tetapi kau tidak akan dapat mempengaruhi keputusanku untuk membunuh para bebahu ini,” jawab Pangeran Singa Narpada, “Karena itu, jika kau tidak mau mengobati orang-orang yang terluka, kematian akan bertambah-tambah lagi.”

Dukun itu tidak menjawab. Tetapi terdengar giginya gemeretak menahan gejolak didalam dadanya.

Namun demikian, ia tidak dapat berbuat apa-apa. Ia tidak dapat mencegah apa yang dilakukan oleh orang-orang yang dianggapnya sebagai pengembara. Namun mempunyai kemampuan yang luar biasa, yang mampu mengalahkan seisi padukuhan yang mempunyai kebiasaan yang sangat buruk itu.

Sementara itu, Mahisa Bungalan, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun menjadi berdebar-debar. Tetapi mereka pun tidak dapat berbuat apa-apa. Karena itu, maka mereka pun hanya dapat berdiri termangu-mangu memandang Pangeran Singa Narpada yang sudah menggenggam pedang di tangannya.

Sementara itu, maka katanya, “Cepat. Siapakah yang pertama akan mati.”

Para bebahu itu memang ragu-ragu sejenak. Namun kemudian seorang diantara mereka, bebahu yang memang sudah menyatakan kesediaannya untuk mati itupun melangkah maju.

Tetapi Pangeran Singa Narpada membentaknya, “Bukan kau. Kau akan mati terakhir. Kau harus menyaksikan kawan-kawanmu mati dengan kepala terpisah. Baru kemudian kau akan dipenggal kepalamu pula.”

Bebahu itu termangu-mangu sejenak. Namun Pangeran Singa Narpada membentaknya, “Mundur.”

Bebahu itu melangkah surut. Sementara itu Pangeran Singa Narpada berkata pula, “Siapa yang akan mati lebih dahulu?”

Bebahu yang memang sudah pasrah akan kematiannya itu memandang kawan-kawannya yang berdiri berjajar, seolah-olah ingin mempersilahkan seorang diantara mereka untuk mendahuluinya mati.

Sebenarnyalah, salah seorang diantara para bebahu itu maju mendekati Pangeran Singa Narpada. Seorang bebahu yang rambutnya sudah mulai ditumbuhi uban.

“Aku sudah tua.” Katanya didalam hati, “Apalagi yang aku tunggu jika kematian itu memang harus datang.”

Dengan langkah yang sendat ia datang ke arah Pangeran Singa Narpada yang menggenggam pedang di tangannya.

Ketika orang itu berdiri di muka Pangeran Singa Narpada, maka iapun telah dengan pasrah berkata, “Silahkan Ki Sanak. Apapun yang akan kalian lakukan, jika ini dapat menyelamatkan orang-orang padukuhan ini yang sebenarnya tidak banyak berbuat kesalahan.”

“Bagus,” jawab Pangeran Singa Narpada, “Tundukkan kepalamu.”

Bebahu itu tidak membantah. Iapun kemudian menundukkan kepalanya, siap untuk dipenggal lehernya. Pangeran Singa Narpada memandang para bebahu yang lain. Nampaknya mereka pun benar-benar telah pasrah untuk mati, karena hanya dengan demikian mereka dapat menyelamatkan orang-orang padukuhan itu.

Perlahan-lahan dengan pedang di tangan Pangeran Singa Narpada mendekati bebahu yang sudah menundukkan kepalanya itu. Sementara bebahu itupun telah memejamkan matanya. Ia menunggu tajamnya pedang mengenai lehernya dan memisahkan kepalanya dengan tubuhnya. Karena itu, ketika ia merasakan sesuatu menyentuh kulit lehernya, maka rasa-rasanya kepalanya sudah terpisah dari tubuhnya. Namun ternyata bahwa kepalanya masih berada di tempatnya. Ketika ia membuka matanya, ia masih melihat sebagaimana sewajarnya. Bahkan ia tidak melihat setetes darah pun yang menitik dan lehernya itu.

Dalam pada itu hampir tidak percaya ia mendengar suara di sisinya, “Tegaklah.”

Bebahu itu masih menundukkan kepalanya, sehingga terdengar suara itu mengulangi, “Tegaklah.”

Bebahu itu mengangkat kepalanya. Sementara itu orang yang dianggapnya pengembara yang memegang pedang itu berkata, “Aku percaya akan kesungguhan kalian. Karena itu, maka aku percaya akan janji kalian, bahwa kalian tidak akan mengulangi kejahatan yang pernah kalian lakukan.”

Para bebahu itu termangu-mangu. Namun Pangeran Singa Narpada yang dianggap sebagai pengembara itu berkata, “Aku tidak akan menghukum kalian. Tetapi aku menuntut bahwa kalian tidak akan melakukan kejahatan lagi. Pada saat-saat tertentu aku akan memerintahkan sekelompok prajurit melihat apakah kalian benar-benar telah sembuh dari kejahatan yang sangat keji itu.”

Para bebahu itu termangu-mangu. Namun bebahu yang telah menyatakan kesediaannya untuk mati itu bertanya, “Apakah yang Ki Sanak maksudkan dengan prajurit-prajurit untuk melihat apakah isi padukuhan ini benar-benar telah sembuh dari tingkah lakunya itu?”

Pangeran Singa Narpada menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia mengatakannya dengan sengaja. Bukan karena sekedar salah ucap. Karena menurut perhitungannya, dengan menakut-nakuti, maka orang-orang padukuhan itu akan benar-benar menjadi sembuh.

Karena itu, maka jawabnya, “Kalian tidak usah tahu siapakah aku. Tetapi aku memang berwenang memerintahkan sekelompok prajurit. Atau anggap saja aku akan melaporkan perbuatan kalian kepada para pemimpin di Kediri dan Singasari. Nah pada saat-saat tertentu maka akan dikirim peronda yang akan melihat keadaan padukuhan ini. Tetapi yang lebih banyak dapat memberikan laporan adalah para petugas sandi. Tanpa kalian sadari, maka tingkah laku kalian telah diamati.”

Para bebahu itu mengangguk-angguk. Tetapi semua bebahu itu memang berkesimpulan bahwa pengembara itu memang memiliki kuasa untuk memerintahkan sekelompok prajurit untuk datang ke padukuhan mereka.

Dalam pada itu, dukun yang hampir saja kehilangan kepercayaannya kepada para pengembara itu menarik nafas dalam-dalam. Diluar sadarnya iapun berkata lantang, “Aku minta maaf akan kedunguanku Ki Sanak.”

Pangeran Singa Narpada memandanginya dengan tajam. Lalu katanya kepada Mahisa Bungalan, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. “Marilah. Kita tinggalkan tempat ini.”

“Apakah kalian tidak menunggu sampai esok pagi? Kalian masih sempat beristirahat,” berkata salah seorang bebahu itu.

“Aku tidak mungkin beristirahat dalam keadaan seperti ini. Karena itu biarlah aku minta diri. Aku akan beristirahat di bulak yang sepi,” jawab Pangeran Singa Narpada.

Mahisa Bungalan dan kedua adiknya pun telah membenahi diri. Kemudian mereka pun minta diri kepada penghuni padukuhan itu untuk melanjutkan perjalanan.

“Terserah, apa yang akan kalian lakukan atas kawan-kawan kalian yang mati dan yang terluka,” berkata Pangeran Singa Narpada.

Dengan demikian, maka empat orang pengembara itupun telah meninggalkan padukuhan itu tanpa dapat dicegah lagi dengan meninggalkan kesan yang aneh. Orang-orang padukuhan itu menganggap bahwa mereka telah mendapat satu peringatan yang sangat keras dengan peristiwa yang baru saja terjadi. Beberapa orang diantara mereka, termasuk Ki Bekel telah terbunuh oleh orang-orang yang mengaku pengembara, namun yang menurut orang-orang padukuhan itu, tentu bukan sekedar pengembara, sebagaimana melihat apa yang telah melihat apa mereka lakukan di padukuhan itu.

Karena itu, maka para bebahu itu benar-benar telah berjanji kepada diri sendiri, untuk mengakhiri cara hidup yang kotor itu. Mereka tidak akan melakukannya lagi, karena dengan demikian maka akan dapat timbul bencana yang tentu lebih parah lagi bagi padukuhan itu. Jika malam itu beberapa orang telah terbunuh dan terluka, maka pada kesempatan lain, maka keadaan akan menjadi lebih parah.

Jika yang datang itu sekedar orang-orang yang mendapat perintah, tanpa membuat pertimbangan-pertimbangan lebih dalam, maka yang terbunuh tentu akan jauh lebih banyak lagi. Mungkin pada bebahu itu benar-benar sudah mati.

Sementara itu. Pangeran Singa Narpada, Mahisa Bungalan dan kedua adiknya telah berada diluar padukuhan itu. Dengan ragu-ragu Mahisa Bungalan berkata, “Pangeran telah membuat aku menjadi berdebar-debar. Aku mengira bahwa Pangeran benar-benar akan membunuh.”

Pangeran Singa Narpada tersenyum. Katanya, “Untuk memberikan tekanan kepada orang-orang itu, maka aku memerlukan satu langkah yang akan dapat menjadi sangat berkesan. Dengan demikian mereka akan selalu teringat akan kesan itu.”

Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Sementara itu Mahisa Murti berkata. “Aku justru menjadi bingung dan tidak tahu apa yang sebaiknya aku lakukan.”

Pangeran Singa Narpada justru tertawa. Katanya, “Ternyata aku berhasil. Jika aku gagal, entahlah apa yang akan aku lakukan saat itu.”

“Satu langkah yang sangat berbahaya,” berkata Mahisa Pukat, “Aku masih saja berdebar-debar sampai sekarang.”

Mahisa Bungalan pun menyambung, “Tetapi bagaimanapun juga, kita telah benar-benar harus membunuh. Tetapi aku kira itu bukan salah kita.”

“Biarlah itu dianggap sebagai hukuman atas padukuhan itu. Terutama bagi Ki Bekel. Karena hukuman itu akan dapat menumbuhkan pertimbangan-pertimbangan bagi mereka yang mengalaminya,” berkata Pangeran Singa Narpada.

Demikianlah maka keempat orang itupun menjadi semakin jauh dari padukuhan yang aneh itu. Mereka memang ingin melupakan apa yang pernah terjadi, karena ketika mereka memasuki padukuhan itu, sama sekali tidak terpercik niat didalam hati mereka untuk melakukan pembunuhan. Tetapi kematian itu telah terjadi.

Dalam pada itu, keempat orang itu ternyata sudah tidak sempat beristirahat lagi. Langit sudah menjadi cerah. Karena itu, mereka justru telah singgah dan turun sejenak sebuah belik di tepi sebuah sungai.

Dari belik itu mereka mengambil air untuk mencuci wajah dan sekedar membersihkan, diri. Kemudian mereka pun melanjutkan perjalanan mereka.

Seperti yang telah mereka rencanakan, maka mereka pun berniat untuk pergi ke padepokan mPu Lengkon di Ara-ara Lawang. Mungkin orang yang mereka cari itu berada di sana bersama Panembahan Bajang. Atau Lembu Sabdata memang berada di padepokan itu.

Jarak yang harus mereka tempuh ternyata tidak terlalu jauh lagi. Dengan demikian mereka pun menjadi semakin berhati-hati. Mereka tidak ingin justru kedatangan mereka diketahui lebih dahulu oleh mPu Lengkon atau oleh orang-orangnya.

Untuk mengurangi kemungkinan itu, maka Pangeran Singa Narpada telah menjadikan kelompok kecilnya dua bagian. Ia sendiri bersama Mahisa Bungalan, dan yang lain adalah Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.

Sebagaimana dikatakan oleh Arya Rumpit, maka padepokan mPu Lengkon bukanlah padepokan yang terpencil. Sebagaimana Penembahan Bajang, ia banyak dikenal oleh orang di padukuhan-padukuhan di sekitarnya, meskipun letaknya memang agak terpisah.

Namun justru karena itu, maka Pangeran Singa Narpada pun harus berhati-hati.

Untuk mengurangi kemungkinan buruk, maka mereka sepakat untuk mendekati padepokan itu di malam hari. Pangeran Singa Narpada telah berpesan agar Mahisa Pukat tidak berusaha untuk ikut mendekati padepokan itu.

“Kau tunggu sajalah di hutan perdu itu,” berkata Pangeran Singa Narpada, “Aku dan kakakmu akan mencari keterangan.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak dapat mengelak. Meskipun sebenarnya mereka lebih senang untuk ikut melihat-lihat keadaan padepokan, namun Pangeran Singa Narpada cukup berhati-hati menanggapi keadaan.

Demikianlah, ketika malam turun, Pangeran Singa Narpada dan Mahisa Bungalan telah mendekati dinding padepokan. Dengan kemampuan ilmunya mereka berusaha untuk memastikan bahwa tidak ada orang melihatnya waktu itu. Sehingga karena itu, maka keduanya telah meloncat ke atas dinding padepokan.

Yang nampak didalam padepokan itu hanyalah tanam-tanaman yang hijau subur memenuhi halaman. Sambil menelungkup melekat dinding keduanya mengamati halaman yang hijau itu dengan saksama. Nampaknya padepokan itu adalah padepokan yang tenang dan damai. Tidak ada seorang pun yang berjaga-jaga mengamati keadaan. Tidak ada tanda-tanda kegelisahan dan kesiagaan untuk melindungi diri. Regol depan halaman padepokan itupun tidak tertutup rapat. Sebuah lampu obor berada didalam regol dan sebuah lagi diluar regol.

Pangeran Singa Narpada dan Mahisa Bungalan saling berpandangan. Namun mereka masih belum berbuat apa-apa.

Dalam pada itu, selagi mereka masih termangu-mangu di tempatnya, mereka telah dikejutkan oleh derit pintu regol. Kemudian seleret bayangan bagaikan terbang dari regol itu menuju ke pendapa padepokan.

Pangeran Singa Narpada memberikan isyarat kepada Mahisa Bungalan. Namun agaknya Mahisa Bungalan pun telah melihat bayangan itu pula.

“Tentu orang yang memiliki ilmu yang sangat tinggi,” berkata keduanya didalam hatinya.

Sebenarnyalah bayangan itu menunjukkan banyak kelebihan dari orang-orang kebanyakan. Bayangan itu bagaikan tidak menyentuh tanah. Hampir saja keduanya kehilangan bayangan itu, karena terhalang oleh dedaunan dan pepohonan. Namun ternyata mereka berhasil melihat bayangan itu berdiri di pendapa.

Hanya dengan ketajaman ilmu masing-masing, maka keduanya dapat mengikuti orang yang naik ke pendapa itu. Namun kemudian keduanya menjadi berdebar-debar. Ternyata orang itu ada lah seorang yang bertubuh kerdil.

“Panembahan Bajang,” kedua orang itu berdesis didalam hati masing-masing.

Untuk beberapa saat keduanya menunggu. Keduanya harus benar-benar berhati-hati. Mereka harus menjaga agar tarikan nafas mereka tidak terdengar oleh Panembahan Bajang. Meskipun jarak mereka cukup jauh, namun kemampuan pendengaran yang tajam sebagaimana kemampuan penglihatan kedua orang yang menelungkup di atas dinding itu akan dapat menangkapnya. Untunglah bahwa kedua orang diatas dinding halaman itupun orang-orang yang berilmu tinggi, sehingga mereka mampu menjaga, agar nafas mereka tidak melontarkan bunyi yang mungkin dapat ditangkap oleh ketajaman pendengaran Panembahan Bajang.

Sejenak kemudian, maka terdengar satu isyarat di pendapa itu. Agaknya Panembahan Bajang telah melontarkan isyarat yang ditujukan kepada penghuni padepokan itu.

Sebenarnyalah, sejenak kemudian, maka terdengar pintu berderit. Seorang telah keluar dari pintu pringgitan sambil mengalungkan ikat kepalanya di lehernya. Sementara itu rambutnya yang nampak memutih dibawah cahaya obor di pendapa, nampak terurai di punggungnya.

“Apa kerjamu di sini Panembahan?” bertanya orang yang baru keluar itu.

“Empu, ternyata kau benar-benar seorang pemalas. He, kau tidak punya kerja lain daripada tidur?” berkata Panembahan Bajang.

“Sudah tiga hari tiga malam aku tidak tidur,” jawab orang yang keluar dari pintu pringgitan itu.

“Kenapa?” bertanya Panembahan Bajang.

“Aku sedang menempuh laku. Aku akan tidak tidur selama empat puluh hari empat puluh malam,” jawab penghuni padepokan itu.

“Apa yang ingin kau capai? Wahyu keraton?” bertanya Panembahan Bajang.

Orang-orang rambutnya terurai itu tidak segera menjawab. Namun yang menjadi berdebar debar adalah Pangeran Singa Narpada dan Mahisa Bungalan.

Karena itu, kedua orang itupun telah berusaha dengan mengerahkan ilmunya untuk dapat menangkap, baik dengan pendengarannya maupun penglihatannya, apa yang terjadi di pendapa. Sementara itu. karena orang-orang yang berada di pendapa itu sama sekali tidak menduga, bahwa ada orang yang mengintainya, maka mereka sama sekali tidak berusaha untuk mengatasinya, sehingga mereka berbicara sebagaimana sewajarnya.

Dalam pada itu, maka pemilik padepokan itupun menjawab, “Buat apa aku mencari Wahyu Keraton? Kau sangka bahwa aku masih mempunyai keinginan untuk menguasai tahta Kediri siapapun duduk di atasnya? Sepeninggal Pengeran Kuda Permati, tidak ada lagi orang yang berarti bagiku.”

“Bagaimana dengan Pengeran Lembu Sabdata?” bertanya Panembahan Bajang.

“Entahlah,” jawab pemilik padepokan yang rambutnya terurai. “Marilah, silahkan duduk.”

Keduanya kemudian duduk di pendapa. Orang yang rambutnya terurai itu adalah benar mPu Lengkon. Untuk beberapa saat lamanya keduanya berbincang di pendapa. Suara mereka kadang-kadang terdengar, tetapi kadang-kadang tidak. Sedangkan Pangeran Singa Narpada dan Mahisa Bungalan sudah tidak dapat berusaha untuk mendekat lagi. Mereka tidak yakin bahwa bila mereka mendekat, kedua orang itu tidak akan mengetahuinya.

Lamat-lamat antara terdengar dan tidak, Pangeran Singa Narpada mendengar Panembahan Bajang berkata, “Aku telah pergi ke padepokan Ajar yang tamak itu.”

“O.” Terdengar mPu Lengkon menjawab, “Apa yang kau ketemukan di sana?”

“Suara yang asing,” jawab Panembahan Bajang, “rasa-rasanya aku diterima dengan penuh kecurigaan.”

“Mungkin ia sudah berubah,” berkata mPu Lengkon.

“Ya. Ia sudah berubah,” jawab Panembahan Bajang, “namun akhirnya aku dapat menduga apa yang tersimpan didalam padepokannya.”

“Apa? Apakah kau berhasil menyusup memasuki bilik-bilik rahasianya?” bertanya mPu Lengkon.

“Ah, alangkah dangkalnya caramu berpikir,” berkata Panembahan Bajang.

“O.” MPu Lengkon tertawa. Katanya, “Hampir aku lupa bahwa aku berhadapan dengan seseorang yang mempunyai ketajaman penglihatan jiwani. Apa yang kau lihat dengan jiwamu yang kecil sebagaimana tubuhmu.”

“Jangan menghina,” jawab Panembahan Bajang. “Aku dapat menenungmu dan membuatmu gila.”

“Mungkin kau dapat melakukannya atas orang-orang dungu. Tetapi aku dapat menyusupkan keris masuk ke dalam ususmu,” jawab mPu Lengkon.

“Baiklah. Aku minta diri,” berkata Panembahan Bajang kemudian, “Kita mencoba siapakah yang lebih kuat diantara kita. Kau yang menjadi gila, atau perutku yang koyak oleh kerismu.”

“Besok kita dapat mulai. Tetapi katakan, apa yang kau lihat di rumah Ajar yang gila itu,” berkata mPu Lengkon.

“Aku merasakan sesuatu yang asing. Dan pada malam hari aku melihat teja yang memancar dari salah satu ruangan di lingkungan padepokan Ajar yang tamak itu. Menurut pengamatanku teja itu tentu bersumber dari sesuatu yang sangat berharga. Bukan saja nilainya sebagai benda, tetapi juga tuahnya.”

mPu Lengkon mengangguk-angguk. Katanya, “Mungkin kau memang melihat sesuatu yang berharga untuk diperhatikan. He apakah yang kau lihat itu Wahyu Keraton?”

“Aku tidak dapat mengatakannya,” jawab Panembahan Bajang.

mPu Lengkon tidak mendesaknya lagi. Untuk beberapa saat mereka justru terdiam.

Namun kemudian mPu Lengkon itu bertanya, “Apakah kau akan bermalam disini dan dengan ketajaman penglihatan perasaanmu kau juga akan mencari Wahyu Keraton disini.”

“Aku memang akan tinggal disini barang satu dua hari. Mungkin kita bisa berbicara, apakah kita akan pergi ke padepokan Ajar itu untuk menanyakan apakah ia memang sedang berusaha untuk melanjutkan perjuangan Pangeran Kuda Permati,” jawab Panembahan Bajang.

“Aku tidak peduli. Aku sudah jemu dengan pembunuh-pembunuhan yang tidak berkeputusan. Akhirnya tidak ada hasil yang dapat kita lihat. Kediri tetap berkiblat kepada Singasari. Kekuatan Pangeran Singa Narpada tidak terbendung. Dan penderitaan batin isteri Pangeran Kuda Permati sendiri akhirnya menjadi alat untuk mengakhiri pembunuhan yang terjadi hampir di seluruh tlatah Kediri, terutama di sekitar Kota Raja itu,” jawab mPu Lengkon.

Panembahan Bajang tidak banyak memberikan tanggapan. Bahkan kemudian ia berkata, “Aku lapar. Apakah kau masih mempunyai persediaan makan?”

“Marilah,” Mpu Lengkon mempersilahkan. “Masih ada beberapa buah jagung muda. Kita dapat membakarnya diatas perapian. Mungkin dapat menjadi penangkal laparmu itu.”


Suara keduanya pun terhenti. Yang terdengar adalah derit pintu yang kemudian tertutup. Akhirnya sepi.

Untuk beberapa saat lamanya, Pangeran Singa Narpada dan Mahisa Bungalan masih tetap berada di atas dinding halaman samping. Mereka menunggu sampai kedua orang itu benar-benar tenggelam dalam kerja mereka diatas perapian untuk membakar jagung muda.

Beberapa saat kemudian, maka Pangeran Singa Narpada dan Mahisa Agni itupun meloncat turun, memasuki kembali daerah kebun tanaman para cantrik. Kemudian mereka pun hilang didalam kegelapan. Untuk beberapa saat lamanya keduanya masih tetap berdiam diri. Meskipun mereka sudah berada diluar dinding halaman, dan melintasi kebun para cantrik padepokan mPu Lengkon, namun rasa-rasanya suara mereka mungkin masih akan dapat didengar. Mungkin oleh orang-orang yang berada didalam dinding padepokan, mungkin satu dua orang cantrik yang berada di antara tanaman-tanamannya. Baru setelah mereka terlepas sama sekali dari lingkungan padepokan, maka Pangeran Singa Narpada pun berkata, “Kita ternyata telah mendapat satu petunjuk yang sangat berharga. Meskipun mungkin bukan yang kita cari, tetapi setidak-tidaknya kita dapat melakukan sesuatu yang pada saat ini paling mungkin kita lakukan.”

Mahisa Bungalan mengangguk-angguk kecil. Jawabnya, “Ya Pangeran. Kita condong untuk menduga, bahwa ada hubungan antara ceritera yang dibawa oleh Penembahan Bajang itu dengan kepentingan kita. Meskipun demikian, kita belum dapat memastikan sesuatu.”

Pangeran Singa Narpada menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Bagaimanapun juga, sebagaimana yang sudah kita rencanakan, kita akan pergi ke padepokan Ajar Bomantara itu.”

“Menurut perhitunganku, Panembahan Bajang dan mPu Lengkon akan pergi ke padepokan Ajar Bomantara,” berkata Mahisa Bungalan.

“Aku sependapat,” jawab Pangeran Singa Narpada, “Jadi, apakah kita akan mendahului mereka atau kita justru akan datang sesudah mereka?”

“Bagaimana mungkin kita mengetahui saat keberangkatan mereka?” bertanya Mahisa Bungalan.

“Kita harus menunggui padepokan ini siang dan malam,” berkata Pengeran Singa Narpada, “Tetapi pekerjaan itu akan memakan waktu dan tenaga.”

“Menurut pendapatku, apakah tidak lebih baik jika kita menuju ke padepokan Lemah Teles?” bertanya Mahisa Bungalan.

“Kita akan menentukan langkah kita kemudian. Apakah kita akan menunggu orang itu, atau kita akan mendahului memasuki padepokan itu,” Pangeran Singa Narpada mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Kita akan berbicara dengan kedua orang adikmu. Mungkin mereka mempunyai pendapat yang dapat kita pertimbangkan.”

Mahisa Bungalan menyahut, “Ya. Kita akan mendengarkan pendapat mereka.”

Keduanya pun kemudian kembali menuju ke hutan perdu tempat Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menunggu. Dengan singkat Mahisa Bungalan telah menceriterakan apa yang mereka lihat dan apa yang telah mereka dengar di padepokan itu.

“Bagaimana menurut pendapat kalian?” bertanya Mahisa Bungalan.

Dengan serta merta Mahisa Pukat menjawab, “Kita pergi ke padepokan Lemah Teles.”

“Untuk apa?” bertanya Mahisa Bungalan.

“Kita lihat, apakah yang tersimpan didalam padepokan itu. Panembahan Bajang tentu tidak sekedar berkhayal tentang teja yang dilihatnya dengan ketajaman penglihatan batinnya. Mungkin kita juga tidak akan dapat melihatnya. Seandainya benda yang bertuah itu telah dipindahkannya atau bahkan telah disingkirkan dari padepokan itu, kita tidak akan dapat mengetahuinya,” jawab Mahisa Pukat.

Jadi bagaimana menurut pendapatmu untuk mengetahui dimana benda itu disimpan jika kita tidak dapat melihat dengan penglihatan batin kita teja yang memancar dari benda itu?” bertanya Mahisa Bungalan.

Kita bongkar seluruh padepokan jika Ajar Bomantara tidak mau menunjukkan dimana benda itu disimpannya,” jawab Mahisa Pukat.

Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam. Katanya. “Cobalah berpikir. Jangan menjawab dengan serta merta. Meskipun kau masih muda, tetapi kau sudah memiliki ilmu puncak yang diturunkan oleh ayah kita. Karena itu, maka kau harus mencoba merubah caramu berpikir. Menangkap persoalannya, mencernakannya dan kemudian mengurai sebelum jalan pemecahannya.”

Mahisa Pukat mengerutkan keningnya. Namun iapun kemudian tersenyum sambil berkata, “Aku melihat cara yang paling cepat.”

“Dalam beberapa hal, kita memang dapat menempuh jalan pintas seperti itu,” jawab Mahisa Bungalan, “Tetapi menghadapi lingkungan orang-orang berilmu tinggi, kita harus memikirkan banyak pertimbangan.”

“Ya. Aku mengerti,” berkata Mahisa Pukat kemudian. Sambil berpaling kepada Mahisa Murti ia bertanya, “Bagaimana menurut pendapatmu?”

“Hampir saja aku juga menjawab sebagaimana kau katakan,” berkata Mahisa Murti, “untunglah bahwa kaulah yang mengucapkannya lebih dahulu.”

“Nah, setelah itu, kau mau berbicara apa?” desak Mahisa Pukat.

“Aku tidak akan berbicara apa-apa,” jawab Mahisa Murti.

“Mungkin kau berpendapat lain daripada yang hampir saja kau ucapkan itu,” berkata Mahisa Bungalan.

Mahisa Murti berpikir sejenak. Namun kemudian katanya, “Aku tidak dapat mengatakan sesuatu. Tetapi aku kira, kita harus segera sampai di padepokan itu. Jika terjadi perubahan atau hal-hal lain, mudah-mudahan kita dapat melihatnya.”

Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Katanya, “Aku kira langkah pertama adalah, kita pergi ke Lemah Teles. Kemudian kita akan merencanakan langkah-langkah berikutnya.

Ternyata bahwa semuanya pun sepakat untuk segera pergi ke Padepokan Lemah Teles. Langkah-langkah berikutnya akan ditentukan kemudian.

Tetapi mereka masih akan menunggu sampai fajar. Menurut pendengaran Pangeran Singa Narpada dan Mahisa Bungalan, Panembahan Bajang akan berada di padepokan itu barang satu dua hari. Namun mereka tidak dapat berpegangan kepada kata-kata yang dilontarkan dengan serta merta itu. Mungkin Panembahan Bajang merubah keputusannya dan tiba-tiba saja berniat untuk pergi ke Padepokan Lemah Teles.

Pada sisa malam itu, mereka berempat masih sempat beristirahat meskipun seorang diantara mereka harus tetap berjaga-jaga. Namun bergantian mereka mendapat kesempatan meskipun hanya sekejap untuk memenjamkan matanya.

Ketika langit menjadi merah, maka keempat orang itupun telah bersiap-siap. Merekapun kemudian membenahi diri dan mencuci muka di sebuah anak sungai yang kecil, namun berair sangat jernih.

Seperti biasanya, maka keempat orang itu tidak berjalan beriringan. Tetapi dua orang berjalan agak ke depan dan beberapa langkah kemudian baru Pangeran Singa Narpada dan Mahisa Bungalan. Bahkan kadang-kadang di tempat yang ramai, jarak diantara mereka itupun diperpanjang menjadi beberapa langkah lebih jauh.

Dengan ketajaman pengamatan mereka, maka berdasarkan atas petunjuk dari Arya Rumput, maka mereka telah menemukan jalur jalan yang benar. Namun mereka tidak akan dapat mencapai jarak yang akan mereka tempuh dalam sehari perjalanan. Mereka harus bermalam di perjalanan meskipun hal itu tidak akan menjadi persoalan bagi mereka, sebagaimana makan dan minum mereka selama mereka menempuh perjalanan itu. Bekal uang yang mereka bawa cukup banyak untuk membeli makanan dan minuman di kedai-kedai dan di warung-warung.

Sementara itu, ketika mereka melintasi hutan di lereng pegunungan, hati mereka menjadi berdebar-debar. Ternyata hutan di lereng pegunungan itu telah pernah mengalami bencana karena pokal para pengikut Pangeran Kuda Permati. Beberapa puluh patok hutan itu telah digundulinya.

Beberapa pokok pohon-pohon yang tumbang mulai semi kembali, sementara jenis-jenis pohon yang baru telah tumbuh pula menjadi semak-semak.

“Untunglah bahwa usaha ini dapat dicegah dan dihentikan,” berkata Mahisa Bungalan, “Jika usaha ini tidak dapat dibatasi dan dihentikan, maka bencana tentu benar-benar akan melanda bukan saja lereng gunung ini. Tetapi daerah di sekitar bukit ini dalam lingkungan yang luas.”

Pangeran Singa Narpada menarik nafas dalam-dalam. Tetapi iapun menjadi ngeri membayangkan, apa yang akan terjadi jika usaha untuk menebangi pepohonan di hutan-hutan di lereng pegunungan itu tidak dapat dihentikan.

Demikianlah keempat orang itu berjalan bagaikan sebuah tamasya. Sekali-sekali mereka menyusuri tepi-tepi hutan. Kemudian mereka melintas di bulak-bulak panjang, menyusup hutan. Kemudian mereka melintas di bulak-bulak panjang, menyusup diantara pepohonan di padukuhan-padukuhan serta menyeberangi sungai besar dan kecil. Mendaki bukit, menuruni jurang, dan lereng-lereng pegunungan.

Jika mereka merasa haus dan lapar, maka mereka pun singgah di warung-warung untuk membeli minuman dan makanan. Meskipun kadang-kadang, di tempat yang sangat jauh dengan kedai atau warung, mereka dapat minum titik-titik air dari belik.

Ketika malam turun, maka mereka berempat telah mencari tempat untuk bermalam. Mereka ternyata telah menemukan satu tempat yang paling baik. Di pinggir hutan perdu, agak jauh dari jalan yang ramai, tetapi dekat dengan sebuah mata air.

Semalam penuh mereka dapat beristirahat, meskipun bergantian mereka berjaga-jaga. Tetapi rasa-rasanya mereka mempunyai waktu terlalu banyak untuk tidur.

Mereka melanjutkan perjalanan menjelang matahari terbit. Mereka berjalan cepat meskipun tidak sampai menarik perhatian orang yang berpapasan dengan mereka. Semakin dekat, mereka justru menjadi semakin ingin segera mencapai padepokan Ajar Bomantara.

Seperti yang pernah mereka lakukan, maka mereka akan mendekati padepokan itu di malam hari.

Dalam pada itu, beberapa puluh patok dari padepokan itu, Mahisa Bungalan minta Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menunggu. Tetapi agaknya kedua anak yang sudah merasa menjadi dewasa itu pada satu saat telah membantah.

Dengan nada yang dalam Mahisa Murti berkata, “Kakang, kenapa kakang tidak memberi kesempatan sama sekali kepada kami berdua. Jika demikian apakah artinya kami sampai ke tempat ini.”

Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu, Pangeran Singa Narpada menyahut, “Meskipun kehadiran kalian disini adalah atas keinginan kalian sendiri, tetapi baiklah jika dengan demikian kalian akan kehilangan kejemuan kalian.”

“Jadi kami berdua diijinkan mendekat?” bertanya Mahisa Pukat.

“Tetapi kita harus sangat berhati-hati,” berkata Pangeran Singa Narpada, “Kalian harus menyadari, bahwa jika kita salah langkah, maka persoalan akan menjadi semakin rumit. Akibat lain yang dapat terjadi adalah, kita tidak akan keluar lagi dari tempat ini bersama wadag kita.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Dengan sungguh-sungguh Mahisa Murti berkata, “Kami akan berusaha untuk tidak mengecewakan Pangeran dan kakang Mahisa Bungalan.”

Pangeran Singa Narpada memandangi kedua anak muda itu. Namun sebenarnyalah bahwa mereka sudah bukan kanak-kanak lagi.

Menilik ujud dan sikapnya, keduanya benar-benar telah menjadi anak-anak muda yang dewasa sepenuhnya. Yang sudah sepantasnya untuk mendapatkan kepercayaan dalam saat-saat yang penting.

Demikianlah, maka keempat orang itupun telah mendekati padepokan yang disebut padepokan Lemah Teles, ketika malam telah turun. Keempat orang itu tidak bersama-sama berada di satu tempat. Tetapi telah membagi diri. Karena keadaan-yang mereka hadapi adalah keadaan yang gawat, maka mereka tidak lagi membagi sebagaimana yang pernah mereka lakukan. Tetapi Mahisa Murti berada di sisi kiri bersama Pangeran Singa Narpada, sementara Mahisa Pukat bersama Mahisa Bungalan berada di sisi kanan.

Dengan sangat berhati-hati mereka mendekati padepokan, melintasi pategalan yang agaknya diusahakan oleh para cantrik. Namun agak berbeda dengan padepokan mPu Lengkon, padepokan ini dibatasi oleh dinding padepokan berlapis dua. Selapis membatasi kebun buah dan bunga yang tumbuh mengitari padepokan. Kemudian selapis membatasi halaman padepokan yang gilar-gilar di muka pendapa. Halaman yang bersih dan tidak ditanami apapun juga, sehingga terbuka seperti sebuah lapangan yang cukup luas.

Seperti yang pernah mereka lakukan, maka baik mereka yang di sisi kiri maupun yang berada di sisi kanan telah meloncati dinding dilapis pertama. Kemudian mereka pun berusaha untuk mendekati dinding dilapis kedua. Baru setelah mereka yakin bahwa tidak ada orang yang ada di sekitar mereka, maka mereka pun berusaha untuk memanjat. Mereka harus lebih berhati-hati daripada memanjat dinding halaman yang mempunyai batang-batang pohon buah-buahan dan bunga-bungaan, sehingga mereka dapat berlindung dibalik bayangan pepohonan.

Karena itu, maka mereka tidak dapat meloncat dan hinggap diatas dinding. Tetapi mereka dengan sangat hati-hati berusaha untuk memanjat dan menjengukkan kepala mereka. Ternyata bahwa halaman yang luas dan bersih itu kosong sama sekali. Tidak ada seorang pun yang nampak.

Untuk beberapa saat mereka bertahan di tempat mereka dengan tangan yang bergantung pada bibir dinding yang untuk tidak terlalu tinggi. Kaki mereka mencari alas untuk dapat bertahan beberapa lama dalam keadaan yang demikian.

Namun mereka pun menjadi berdebar-debar ketika mereka tiba-tiba melihat tiga orang keluar lewat pintu pringgitan. Dua diantara mereka adalah orang-orang yang pernah mereka kenal sebelumnya, terutama Pangeran Singa Narpada dan Mahisa Bungalan. Kedua orang itu adalah Panembahan Bajang dan mPu Lengkon.

“Gila,” desis Pangeran Singa Narpada didalam hatinya, “Kedua orang iblis itu telah berada disini pula.”

Namun keempat orang yang berada di sebelah menyebelah halaman itu tidak dapat mendengar apa yang mereka bicarakan. Mereka berbicara perlahan-lahan, tidak sebagaimana dilakukan oleh mPu Lengkon dan Panembahan Bajang di padepokan Empu Lengkon. Tetapi dengan Ki Ajar Bomantara mereka seakan-akan hanya berbisik-bisik saja.

Tetapi agaknya mereka berbicara dengan sungguh-sungguh. Bahkan seakan-akan telah terjadi perselisihan diantara mereka. Namun akhirnya mereka bertiga pun terdiam beberapa saat.

Keempat orang yang mengintip keadaan padepokan itu masih bertahan di tempatnya. Untunglah bahwa mereka mempunyai bekal kekuatan yang dapat mengikat mereka dalam keadaan yang sulit itu, sehingga mereka berempat sempat untuk melihat peristiwa yang terjadi di pendapa, dibawah cahaya lampu minyak yang tidak begitu terang.

Dalam keadaan yang demikian, maka tiba-tiba saja mPu Lengkon berdiri sambil berkata lantang, sehingga lamat-lamat keempat orang itu sempat mendengarnya, “Aku tidak ikut campur. Aku akan kembali ke padepokan.”

Ki Ajar Bomantara berusaha untuk mencegahnya. Katanya, “Tunggu. Kita dapat berbicara.”

“Tidak,” suara mPu Lengkon tetap lantang.

Panembahan Bajang termangu-mangu sejenak. Agaknya ia menjadi bingung, apakah yang sebaiknya dilakukan.

Namun ketika mPu Lengkon telah turun di halaman, maka Panembahan Bajang pun berkata, “Tunggu. Aku mempunyai pendapat.”

mPu Lengkon berhenti. Pembicaraan mereka menjadi keras sehingga Pangeran Singa Narpada dan Mahisa Murti serta Mahisa Bungalan dan Mahisa Pukat pun dapat mendengarnya.

“Bukankah kita akan dapat tetap bersama-sama,” berkata Panembahan Bajang.

“Tetapi kau tidak mau lagi melihat kematian-kematian yang tidak berarti melanda Tanah ini,” berkata mPu Lengkon.

“Baiklah,” berkata Panembahan Bajang, lalu, “Tetapi kemarilah. Duduklah.”

“Aku akan pulang,” jawab mPu Lengkon.

“Jangan pergi,” suara Ki Ajar lantang. “Kau harus tetap tinggal disini. Ikut atau tidak ikut.”

“Kau takut aku berkhianat?” bertanya mPu Lengkon. “Sudah aku katakan, bahwa aku tidak akan mencampuri persoalan kalian dan persoalan yang akan dapat menumbuhkan kembali pembunuhan-pembunuhan disini.”

“Bukankah kita baru akan membicarakannya,” berkata Panembahan Bajang. “Kita belum yakin bahwa kita akan melangkah, karena banyak masalah yang harus kita perhitungkan. Nah, dalam keadaan yang demikian kami memerlukan kau.”

mPu Lengkon termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya. Aku akan pulang. Jika kalian memerlukan aku, cari aku di Ara-ara Amba.”

“Setan kau,” geram Ki Ajar.

Tetapi mPu Lengkon ternyata tidak berhenti. Ia berjalan. Ia berjalan terus meninggalkan Ki Ajar dan Panembahan Bajang, melintasi halaman menuju ke regol.

“MPu, barangkali … “ berkata Panembahan Bajang.

mPu Lengkon memang berhenti dan berpaling. Sementara itu Panembahan Bajang pun berkata, “Apakah kau benar-benar akan meninggalkan aku disini?”

“Ya. Kecuali jika kau mau meninggalkan tempat ini pula sekarang,” jawab mPu Lengkon.

“Jadi untuk apa kau kemari?” bertanya Panembahan Bajang.

“Untuk mencoba meyakinkan kalian, bahwa usaha berikutnya akan sia-sia kecuali hanya menambah kematian saja,” berkata mPu Lengkon.

“Tetapi ingat,” berkata Panembahan Bajang. “Jika kau berkeras, aku dapat membuatmu gila.”

“Lakukanlah jika kau dapat,” tantang mPu Lengkon. “Tetapi kau pun harus sadar, jika kau mencoba, maka aku akan dapat mengoyak perutmu dari padepokanku dimanapun kau berada, dan dimanapun kau berusaha bersembunyi, kerisku mempunyai ketajaman penglihatan melampaui ketajaman penglihatanmu.”

Panembahan Bajang tidak menjawab lagi. Sementara mPu Lengkon benar-benar meninggalkan padepokan Ki Ajar Bomantara.

“Biarlah,” berkata Ki Ajar, “Kita tidak memerlukannya.”

Panembahan Bajang termangu-mangu.

Namun dalam pada itu, tiba-tiba saja Ki Ajar berkata, “Atau kita akan menyelesaikannya sama sekali?”

Panembahan Bajang menggeleng. Katanya, “Tidak mungkin. Kecuali Empu Lengkon memiliki ilmu yang sangat tinggi, maka kita tidak akan sampai hati melakukannya.”

“Jika demikian, baiklah. Kita biarkan saja orang itu pergi. Bukankah kita akan dapat berbuat banyak tanpa orang itu. Kecuali jika mPu Lengkon berkhianat,” berkata Ki Ajar.

“Aku yakin, bahwa ia tidak akan berkhianat, meskipun ia tidak mau melibatkan diri,” berkata Panembahan Bajang.

Ki Ajar mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Kita tidak akan mempersoalkannya lagi.”

Panembahan Bajang pun mengangguk-angguk. Sementara itu Ki Ajar mempersilahkannya, “Marilah. Kita masuk.”

Keduanya pun kemudian memasuki rumah induk dari padepokan Ki Ajar yang bersih itu.

Dalam pada itu Pangeran Singa Narpada, Mahisa Murti, Mahisa Bungalan dan Mahisa Pukat menunggu sejenak. Baru kemudian mereka dengan hati-hati telah meninggalkan tempat masing-masing di sebelah menyebelah halaman.

Beberapa saat kemudian, maka mereka pun telah berada di tempat yang mereka sepakati. Mereka ternyata melihat dan mendengar sebagian besar dari pembicaraan ketiga orang di dalam lingkungan padepokan itu, sehingga mereka pun mengerti, apa yang ternyata telah terjadi di padepokan itu dan terutama bagi kegentingan Kediri.

“Ki Ajar Bomantara telah bertekad untuk menumbuhkan kembali pertentangan itu,” berkata Pangeran Singa Narpada.

“Ya,” jawab Mahisa Bungalan, “Agaknya Ki Ajar yakin akan mendapat dukungan kekuatan dari beberapa pihak. Tetapi agaknya mPu Lengkon lebih melihat kenyataan daripada Ki Ajar dan Panembahan Bajang.”

“Kita harus mengambil langkah sekarang,” berkata Mahisa Pukat, “Memang mereka belum sempat menghimpun kekuatan.”

“Kita tidak dapat tergesa-gesa,” berkata Mahisa Bungalan kemudian, “Kita belum tahu, apa yang tersimpan didalam padepokan itu. Kita tidak tahu, apakah didalamnya terdapat sejumlah pasukan atau tidak.”

Mahisa Murti lah yang menjawab, “Tidak terdapat penjagaan-penjagaan. Jika padepokan itu menyimpan kekuatan, maka tentu akan nampak penjagaan-penjagaan yang ketat dimana-mana di seputar padepokan itu.”

“Menurut penglihatan kita yang baru sekilas,” berkata Mahisa Bungalan, “Kita tidak tahu bahwa penjagaan yang ketat itu berada dibalik-balik dinding.”

Mahisa Murti mengangguk-angguk. Sementara itu Pangeran Singa Narpada pun berkata, “Memang sebaiknya kita harus berhati-hati. Kita akan menunggu beberapa lama untuk meyakinkan diri atas isi padepokan itu. Baru kemudian kita akan berbicara apa yang akan kita lakukan. Bukankah sejak berangkat kita sudah berpendirian demikian.”

“Ya,” jawab Mahisa Bungalan, “Namun ternyata bahwa perjalanan kita terlalu lamban. Kita yang ingin mendahului kedua orang itu, justru mereka telah berada di padepokan ini.”

“Orang-orang seperti kedua orang itu memang sulit untuk diperhitungkan sikap dan pendiriannya,” jawab Pangeran Singa Narpada.

“Jadi, apa yang akan kita lakukan?” bertanya Mahisa Pukat.

“Kita harus melangkah dengan hati-hati,” berkata Mahisa Bungalan, “Kita harus menemukan benda yang paling berharga bagi Kediri sekaligus tempat persembunyian Pangeran Lembu Sabdata. Menurut perhitungan kita, ada hubungan yang erat antara hilangnya Pangeran Lembu Sabdata dan benda berharga itu. Apalagi cara yang dipergunakan oleh orang-orang yang mengambilnya ternyata sama.”

Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Tetapi untuk menunggu terlalu lama agaknya akan menjadi beban perasaan yang sangat berat.”

“Kau bukan saja harus menempa kemampuan ilmumu, tetapi kau juga harus menempa ketahanan batinmu menghadapi persoalan-persoalan yang rumit, termasuk kejemuan,” berkata Mahisa Bungalan.

Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Ketika ia memandang Mahisa Murti, maka Mahisa Murti pun tersenyum kepadanya.

Dengan demikian maka kedua orang anak muda itupun saling berdiam diri. Mereka dapat mengerti sepenuhnya pendapat Pangeran Singa Narpada dan Mahisa Bungalan, sehingga mereka tidak merasa terpaksa untuk melakukannya.

Sementara itu, Pangeran Singa Narpada pun berkata, “Dengan demikian, maka kita memerlukan satu tempat yang akan dapat kita tempati untuk waktu yang agak lama. Mungkin kita akan berada di tempat itu untuk satu bahkan dua pekan.”

Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Katanya, “Ya. Kita harus mencarinya. Tempat itu harus dijaga agar tidak diketemukan sengaja atau tidak oleh kedua orang berilmu tinggi itu, maupun cantrik-cantrik dari padepokan Ki Ajar.

“Besok pagi-pagi kita harus sudah menemukannya. Mungkin kita harus bergeser ke tempat yang agak jauh,” berkata Pangeran Singa Narpada.

Malam itu, mereka masih dapat beristirahat di tempat itu. Namun mereka pun harus tetap berhati-hati. Bergantian mereka harus berjaga-jaga.

Sebagaimana mereka rencanakan, maka ketika matahari terbit, mereka pun membenahi diri. Mereka meninggalkan tempat itu untuk menemukan tempat yang lebih baik, yang dapat mereka pergunakan untuk waktu yang lebih lama dari satu atau dua malam saja.

Namun sebagai pengembara-pengembara yang berpengalaman, mereka tidak banyak mengalami kesulitan. Setelah menelusuri hutan dan sungai, maka akhirnya mereka menemukan suatu tempat yang terlindung oleh bukit-bukit kecil, namun tidak terlalu jauh dari sebatang anak sungai yang tidak begitu besar.

“Tetapi ingat,” berkata Pangeran Singa Narpada, “Meskipun tempat ini terlindung, tetapi jika kita membuat api disini, maka asapnya akan kelihatan dari jarak yang jauh.”

“Jadi kita tidak akan membuat api? Jika malam dinginnya menggigit kulit sampai menembus tulang?” bertanya Mahisa Murti.

“Kita akan mempergunakan selimut kain panjang kita,” jawab Pangeran Singa Narpada, “Atau jika malam telah larut kita dapat membuat perapian. Tetapi tidak terlalu besar, agar cahaya apinya tidak nampak membayangi pekatnya malam.”

Mahisa Murti mengangguk-angguk. Namun iapun sadar, bahwa mereka memang tidak begitu perlu untuk membuat api. Udara yang dingin dapat mereka hindari dengan selimut rangkap, sementara jika mereka lapar, mereka dapat membeli makanan apa saja yang mereka kehendaki di pasar terdekat. Karena itu, maka mereka tidak akan menemui kesulitan apa pun juga selama mereka berada di tempat itu.

Namun ketika malam datang, mereka pun segera mempersiapkan diri untuk mengamati padepokan Ki Ajar. Mereka ingin melihat apa yang ada didalam padepokan itu.

Namun seperti yang direncanakan, maka mereka memang tidak tergesa-gesa. Mereka ingin tidak melakukan kesalahan sehingga usaha mereka gagal sama sekali. Bahkan mungkin akan dapat membayangi jiwa mereka.

Karena itu, maka yang mereka lakukan adalah langkah-langkah yang sangat berhati-hati. Seperti pada malam mereka melakukan pengintaian dan mendengarkan pembicaraan Panembahan Bajang. Empu Lengkong dan Ki Ajar, maka malam itupun mereka hanya sekedar melihat-lihat dari luar dinding halaman.

Tetapi mereka tidak melihat sesuatu. Malam itu padepokan Ki Ajar nampak terlalu sepi. Jika mereka melihat satu dua orang cantrik lewat di halaman. maka para cantrik itupun tidak berbuat apa-apa.

Dengan demikian, maka di malam pertama itu, mereka tidak melihat orang yang mereka cari. Sehingga setelah mereka berada beberapa lama di sekitar padepokan itu, maka mereka pun telah kembali ke tempat mereka bersembunyi.

“Kita akan beristirahat saja,” berkata Pangeran Singa Narpada, “Tetapi besok siang kita akan bekerja. Kita akan mengamati pintu gerbang padepokan itu. Tetapi karena padepokan itu agak terpencil, maka kita harus berhati-hati. Mula-mula kita dapat mengamati keadaan dari jarak yang agak jauh. Kita akan lewat di jalan yang membujur melintasi bulak di dekat padepokan itu. Tetapi kita tidak menelusuri jalan yang melalui padepokan itu.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sudah mengetahui maksud Pangeran Singa Narpada. Mereka harus mengamati kemungkinan-kemungkinan yang dapat diambil dengan memperhatikan lingkungan di sekitar padepokan itu. Baru kemudian dapat diambil langkah-langkah berikutnya.

“Nah, agaknya orang yang paling tepat disini adalah Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, seandainya didalam padepokan itu tinggal Pangeran Lembu Sabdata. Meskipun kalian pernah bertemu, tetapi Lembu Sabdata tidak akan mengira bahwa kalian akan berada disini. Jika kebetulan kalian berpapasan di jalan, atau bersama-sama membeli apapun juga di warung dan di kedai-kedai, maka kalian harus berusaha untuk tidak dikenal oleh Pangeran itu.” pesan Mahisa Bungalan.

“Mudah mudahan,” jawab Mahisa Murti, “Tetapi aku pernah bertempur melawannya. Mudah-mudahan ia memang tidak akan teringat aku lagi.” Mahisa Murti berhenti sejenak, namun kemudian, “Tetapi jika kita berpapasan dan Pangeran Lembu Sabdata mengenal kami?”

Sebelum Mahisa Bungalan menjawab, Mahisa Pukat telah mendahului. “Tidak ada jalan lain kecuali menangkapnya. Bukankah begitu kakang?”

Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam, sementara Mahisa Pukat berusaha menjelaskan, “Bukankah tujuan akhir kita menangkap Pangeran itu? Jika kita yakin bahwa yang mengambil benda berharga itu juga orang yang mengambil Pangeran Sabdata maka kita akan dapat bertanya kepadanya.”

Pangeran Singa Narpada tersenyum. Katanya, “Aku dapat mengerti. Jika kita berhasil menangkap Pangeran Lembu Sabdata, maka ia tentu akan dapat berbicara, siapakah yang telah membebaskannya. Orang yang membebaskannya itu pulalah yang dapat dipastikan, bahwa ia pulalah yang telah mengambil benda berharga itu dari gedung perbendaharaan.”

Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Katanya, “Memang dapat dimengerti. Tetapi harus diingat. Tidak mudah untuk menangkapnya. Jika ia berada di padepokan orang yang berilmu tinggi dan berniat untuk memperalatnya sebagaimana Pangeran Kuda Permati, maka Pangeran Lembu Sabdata tentu sudah menjalani laku, sehingga ia akan menjadi seorang yang pilih tanding.”

“Kami akan berusaha menangkapnya,” berkata Mahisa Pukat, “Tetapi jika ternyata kamilah yang justru tertangkap atau bahkan terbunuh, itu merupakan salah satu akibat yang harus sudah diperhitungkan sebelumnya.”

Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Tetapi aku masih berpesan, jika terjadi sesuatu diluar kemampuan kalian, maka kalian segera memberikan isyarat.”

“Isyarat apa?” bertanya Mahisa Pukat, “Mungkin kami dapat memberikan isyarat dengan suitan. Tetapi apakah kakang pasti dapat mendengarnya?”

Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Katanya, “Memang tidak mudah untuk memberikan isyarat. Karena itu, maka setiap kalian pergi kalian harus memberi tahukan tujuan kalian. Jika kami merasakan gejolak didalam perasaan kami, maka kami akan segera dapat mencari kalian. Mungkin kalian tidak berjumpa hanya dengan Pangeran Lembu Sabdata saja jika ia memang berada disini. Tetapi mungkin Pangeran Lembu Sabdata itu bersama-sama dengan Ki Ajar Bomantara atau bersama-sama mPu Lengkon. Nah, kalian dapat membayangkan, jika Pangeran Lembu Sabdata itu mengenali kalian dan bersama-sama dengan Ki Ajar dan mPu Lengkon berusaha menangkap kalian, maka yang terjadi tentu sebaliknya dari yang kita kehendaki.”

“Kami menyadari,” berkata Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, “Tetapi sudah tentu bahwa kami tidak akan menjerit-jerit seperti seorang anak perempuan dijalari seekor ulat ditengkuknya.”

Mahisa Bungalan pun tersenyum pula. Katanya, “Baiklah. Kalian tentu juga terikat oleh harga diri. Tetapi seandainya hal seperti itu terjadi, maka aku kira bukan salah kalian, jika kalian berusaha memancing mereka mendekati tempat kita ini, sehingga apabila aku dan Pangeran Singa Narpada melihat, maka kami dapat ikut serta menangkap mereka.”

“Kakang menganjurkan kami untuk melarikan diri dari medan meskipun dengan istilah memancing mereka mendekati tempat ini,” berkata Mahisa Pukat.

“Sulit berbicara dengan kalian,” berkata Mahisa Bungalan, “Apapun kehendak kalian sebut, tetapi sebaiknya kita berbuat berdasarkan nalar. Jangan perasaan semata-mata. Jika aku dan Pangeran Singa Narpada dapat ikut melibatkan diri, maka setidak-tidaknya kami akan dapat menempatkan diri melawan orang-orang tua itu, meskipun masih juga merupakan pertanyaan, apakah kami akan dapat bertahan atau tidak. Tetapi bagaimanapun juga pengalamanku dan pengalaman Pangeran Singa Narpada tentu lebih banyak dari pengalamanmu berdua meskipun kalian juga pernah mengembara.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak menjawab. Meskipun demikian mereka telah mengangguk-angguk kecil. Memang ada semacam pertentangan antara pengertiannya atas pendapat kakaknya dengan harga dirinya sebagai seorang laki-laki.

“Kita akan lihat, apa yang akan terjadi.” Katanya di dalam hati. Bahkan kemudian ia berkata kepada diri sendiri. “Persoalan ini memang dapat dibicarakan tiga hari tiga malam tanpa berkesudahan. Tetapi tahu-tahu Pangeran Lembu Sabdata tidak berada di padepokan ini.”

Demikianlah, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah mendapatkan tugas untuk mengamati padepokan itu, tidak dari jarak yang terlalu dekat. Bahkan agar mereka berada di tempat-tempat yang ramai, mungkin di pasar atau tempat-tempat lain yang dapat memberikan kemungkinan melihat atau bertemu dengan penghuni padepokan itu, terutama jika Pangeran Lembu Sabdata berada di tempat itu. Untuk beberapa saat lamanya, maka keduanya berjalan, menyusuri jalan yang melalui padukuhan yang berada di seberang bulak padepokan Ki Ajar yang memang agak terpencil. Dari padukuhan itu mereka melihat, padepokan seakan-akan sebuah daerah pemukiman yang terpisah dari lingkungan di seputarnya, meskipun tidak menutup kemungkinan penghuninya saling berhubungan dengan orang-orang di padukuhan-padukuhan sekitarnya.

“Kita tidak melihat apa-apa dari padukuhan ini,” berkata Mahisa Pukat.

Mahisa Murti termangu-mangu. Namun mereka melihat sebuah anak sungai yang mengalir melalui gumuk kecil di sebelah padepokan itu.

“Kita menelusuri sungai itu. Tebingnya cukup tinggi, apa lagi jika kita sampai di balik gumuk itu,” berkata Mahisa Murti.

Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Katanya, “Ada baiknya kita agak mendekat. Setidak-tidaknya kita dapat melihat, bagaimana para cantrik bersikap dan berpakaian. Jika kita bertemu dengan mereka, maka kita akan dapat mengenalinya.”

“Dengan demikian maka kedua anak muda itu telah sepakat untuk pergi ke gumuk kecil lewat anak sungai yang tebingnya cukup tinggi melindungi tubuh mereka.

Namun bagaimanapun juga mereka harus berhati-hati. Tidak mustahil mereka bertemu dengan satu dua orang cantrik yang sedang berada di sungai. Bahkan mencari ikan.

Untunglah bahwa saat kedua anak muda itu menelusuri sungai, tidak dijumpainya seorang pun juga, sehingga mereka kemudian telah mencapai gumuk kecil diatas tebing.

Perlahan-lahan mereka memanjat tebing dan kemudian mereka telah berada di belakang semak-semak di gumuk kecil yang ternyata ditumbuhi pepohonan perdu yang lebat. Ada satu dua batang pohon yang agak besar dan rimbun, dijalari oleh sulur-sulur liar yang bergayutan.

Kedua anak muda itu terkejut ketika mereka hampir saja menginjak seekor ular berwarna loreng. Setapak mereka surut. Namun dengan pengamatan yang tajam, mereka-pun menyadari, bahwa gumuk itu tentu jarang sekali di sentuh kaki manusia, karena tempat itu nampak terlalu liar dan terlalu banyak ular yang berkeliaran.

Tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak mencemaskan dirinya terhadap bisa yang betapapun tajamnya. Mereka telah memiliki penangkal bisa yang dapat melindungi tubuh mereka dari bisa dan racun setajam apapun juga. Meskipun demikian keduanya masih juga berusaha agar mereka tidak digigit ular ataupun sejenis serangga yang mempunyai bisa yang sangat tajam.

Untuk beberapa saat mereka melintasi gerumbul-gerumbul liar yang mendebarkan. Betapapun juga keduanya berusaha menghindar, namun ternyata Mahisa Pukat telah digigit seekor ular berleher merah yang bisanya sangat tajam.

Untuk melepaskan gigitan ular itu memang agak sulit. Jika ular itu ditariknya dengan paksa, maka tentu akan menimbulkan luka pada kulit Mahisa Pukat.

Namun kedua anak muda itu telah membawa semacam serbuk yang dapat membunuh ular-ular yang menggigit mereka. Dengan menaburkan serbuk itu pada tempat ular itu menggigit, maka ular itupun kemudian bagaikan menjadi mabuk. Lambat laun gigitannya pun terlepas dan ular itu mati lemas.

Dalam pada itu, maka kedua anak muda itupun telah menemukan sebongkah batu besar yang dapat mereka pergunakan untuk melindungi diri mereka, sementara itu, mereka dapat melihat-lihat dengan agak jelas ke arah padepokan Ki Ajar yang terpencil itu.

Tetapi ternyata mereka tidak melihat sesuatu. Namun demikian keduanya tidak segera menjadi jemu dan meninggalkan tempat itu. Meskipun setiap kali mereka melihat seekor ular yang menelusur dekat dibawah kaki mereka, namun mereka tetap bertahan untuk beberapa saat. Agar mereka tidak lagi diganggu oleh ular-ular itu, maka mereka telah menaburkan serbuk yang mereka bawa itu di seputar tempat mereka duduk.

Ternyata usaha mereka itu tidak sia-sia. Beberapa saat kemudian mereka melihat dua orang keluar dari regol padepokan. Keduanya tidak memakai ikat kepala, tetapi ikat kepalanya disangkutkan melingkar leher mereka.


Bertelanjang dada dan mengenakan kain panjang yang tinggi sekali. Bahkan diatas lututnya. Ikat pinggang mereka terbuat dari kulit yang lebar dengan dua kantong di bagian depan, sebelah menyebelah.

“Mungkin keduanya secara kebetulan mengenakan pakaian dengan cara yang sama,” desis Mahisa Murti.

Mahisa Pukat mengangguk-angguk.

Namun dalam pada itu, beberapa saat kemudian mereka melihat seorang yang memasuki regol dengan mengenakan pakaian yang sama pula.

“Kau lihat,” desis Mahisa Pukat.

“Ya. Mungkin ciri para cantrik di padepokan itu,” sahut Mahisa Murti, “Tetapi kita tidak tahu, apakah jika mereka pergi ke padukuhan lain atau ke tempat ramai seperti pasar dan lain-lain mereka berpakaian seperti itu juga.”

Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Lalu katanya, “Besok kita pergi ke pasar. Kita menunggu apakah kita menjumpai seseorang dalam pakaian seperti itu.”

“Kita dapat saja mengamati untuk dua tiga hari. Tetapi apakah hal itu akan mengarah kepada kemungkinan kita bertemu dengan Pangeran Lembu Sabdata?” bertanya Mahisa Murti.

Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Dengan nada datar ia berkata, “Ya. Kadang-kadang kita melupakan, bahwa yang dicari adalah Pangeran Lembu Sabdata. Tetapi siapa tahu, bahwa diantara para cantrik itu memang terdapat Pangeran Lembu Sabdata.”

“Jika ia berada di padepokan itu, agaknya ia tidak akan dipersamakan dengan para cantrik,” jawab Mahisa Murti.

Sekali lagi Mahisa Pukat mengangguk-angguk sambil bergumam, “Yang aku katakan, selalu terdapat kelemahan-kelemahannya.”

Mahisa Murti tersenyum. Katanya, “Aku hanya memberikan pertimbangan.”

“Ya. Karena itu, sebaiknya kita berada disini untuk dua tiga hari. Mungkin Pangeran Lembu Sabdata akan keluar juga sekali-sekali dari regol padepokan. Jika dalam dua tiga hari kita tidak melihatnya keluar atau masuk, maka orang itu tentu tidak ada di padepokan itu,” berkata Mahisa Pukat.

Mahisa Murti tidak membantah lagi. Sambil tersenyum ia berkata, “Aku setuju. Tetapi besok kita akan membawa bekal makanan yang dapat kita makan disini.”

Mahisa Pukat mengangguk kecil. Katanya, “Hari ini kita tidak akan menunggui regol itu sehari penuh.”

Mahisa Murti tidak menjawab. Namun mereka melihat seorang lagi di regol. Hanya berdiri di regol. Tetapi orang itu-pun mengenakan ikat kepalanya sebagaimana yang lain. Disangkutkan di lehernya, sementara rambutnya digelungnya diatas ubun-ubun.

Dengan demikian mereka mengambil satu kesimpulan, bahwa orang-orang yang menghuni padepokan itu mengenakan pakaian sebagaimana dilihatnya.

Tetapi seperti yang sudah mereka pertanyakan sebelumnya, apakah jika mereka pergi ke tempat yang agak jauh atau ke tempat orang lain berkumpul, misalnya di pagar, mereka juga mengenakan pakaian seperti itu.

Dalam pada itu, ketika Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sudah yakin bahwa para cantrik dari padepokan itu mempunyai ciri tersendiri dalam mengenakan pakaian, maka mereka pun bersepakat untuk meninggalkan tempat itu. Mereka merasa sangat terganggu oleh jenis-jenis binatang di gumuk itu. Diantaranya beracun sangat tajam. Meskipun keduanya tidak lagi akan dipengaruhi oleh racun dan bisa, namun rasa-rasanya binatang-binatang itu membuat mereka merasa terganggu juga.

Karena itu maka sejenak kemudian mereka pun telah meninggalkan tempat itu dan kembali ke tempat mereka bersembunyi. Tetapi yang ada di tempat itu hanyalah Pangeran Singa Narpada, sementara Mahisa Bungalan pergi mencari makanan ke warung atau kedai yang terdekat.

Kepada Pangeran Singa Narpada, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat melaporkan apa yang telah dilihatnya, namun mereka pun mempertanyakan pula, apakah pakaian itu juga dikenakan jika mereka berada di tempat banyak orang.

“Cobalah besok kalian melihat-lihat ke tempat-tempat orang banyak berkumpul. Jika kalian menemukan seorang saja dalam pakaian seperti itu, maka ternyata bahwa mereka mempergunakan pakaian seperti itu dimanapun juga,” berkata Pangeran Singa Narpada.

Demikianlah, ketika Mahisa Bungalan kembali sambil membawa makanan, iapun sependapat sebagaimana dikatakan oleh Pangeran Singa Narpada. Besok Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sebaiknya pergi ke pasar sebelum mereka kembali ke gumuk yang penuh dengan binatang berbisa itu.

Namun dalam pada itu, Pangeran Singa Narpada dan Mahisa Bungalan telah bersepakat untuk berusaha melihat sesuatu yang asing di padepokan itu. Jika benar dipadepokan itu ada sebuah benda yang keramat dan memancarkan teja, maka keduanya akan berusaha dengan memusatkan nalar budi, agar dengan mata batin mereka dapat melihat cahaya itu.

“Jika Panembahan Kerdil itu melihatnya, kita pun akan dapat melihatnya. Aku yakin, bahwa yang dikatakan oleh Panembahan kerdil itu tidak sekedar dicari-cari. Bukankah dalam percakapan mereka dengan mPu Lengkon sudah membayangkan apa yang akan mereka lakukan? Menurut dugaanku, mereka tidak akan berani merencanakannya tanpa Pangeran Lembu Sabdata dan tanpa benda keramat itu,” berkata Pangeran Singa Narpada.

Mahisa Bungalan mengangguk-angguk sehingga mereka pun kemudian telah mengambil keputusan, bahwa malam nanti, mereka akan mendekati padepokan itu dan berusaha untuk melihat ke dalam lapisan dinding-dinding yang telah membatasi ruangan-ruangan.

Demikianlah, ketika matahari kemudian turun dan bersembunyi di balik perbukitan, maka keempat orang itupun telah bersiap. Mereka mulai meninggalkan tempat mereka dan berjalan dengan hati-hati ke padepokan yang memang agak terpencil itu.

Beberapa tonggak dari padepokan itu mereka berhenti. Setelah mendapatkan tempat yang baik, maka mereka pun telah mengatur tugas yang akan mereka lakukan.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat harus mengamati keadaan, sementara Pangeran Singa Narpada dan Mahisa Bungalan akan mencoba untuk mempergunakan penglihatan batin mereka, mengamati isi dari padepokan itu.

Untuk beberapa saat Pangeran Singa Narpada dan Mahisa Bungalan duduk tepekur sambil memandangi padepokan yang sudah diselubungi oleh gelapnya malam. Mereka tengah mempersiapkan diri dalam usaha mereka mengamati dengan kekuatan dan ketajaman penglihatan batin mereka. Setapak demi setapak mereka menarik diri ke dalam batasan kekuatan jiwani, sehingga dengan demikian, maka perlahan-lahan mereka seolah-olah telah terpisah dari lingkungan mereka secara kewadagan.

Kedua orang itu tidak terbiasa mempergunakan tenaga cadangan yang ada di dalam diri mereka untuk mengungkit ketajaman pengamatan jiwani atas sasaran yang berada dibalik tirai kewadagan. Tetapi kedua percaya sepenuhnya, bahwa mereka akan mampu melakukannya. Mereka pernah mencapai tataran tertinggi dari laku mereka tempuh untuk menyerap kekuatan puncak dari ilmu masing-masing, sehingga dengan demikian mereka seakan-akan telah mampu membuka pintu jiwani sebagaimana pernah mereka lakukan. Namun untuk kepentingan yang berbeda.

Tetapi ternyata bahwa keduanya benar-benar orang yang mampu menguasai diri mereka lahir dan batin. Ketika saat-saat puncak pengamatan mereka sampai pada batas penglihatan batin, maka rasa-rasanya mereka tidak lagi berhubungan dengan wadag mereka yang masih duduk tepekur dibawah pengawasan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Dua orang anak muda yang juga pernah mengalami satu laku untuk menyerap puncak ilmu mereka. Tetapi keduanya tidak berani melakukannya, karena mereka harus menjaga kedua wadag yang sedang mesu diri memasuki batas kekuatan penglihatan jiwani.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang mengawasi tubuh-tubuh yang duduk diam itu menjadi berdebar-debar. Mereka melihat tubuh-tubuh itu bagaikan gemetar. Dalam ujud kewadagan mereka melihat kedua sosok tubuh itu bagaikan terhimpit oleh kekuatan yang tidak kasat mata. Namun kemudian keduanya mampu mengatasi sesak nafas mereka, sehingga pernafasan mereka seakan-akan sama sekali tidak terganggu.

Dalam pada itu, ternyata kedua orang yang memiliki kemampuan ilmu yang tinggi itu, akhirnya berhasil mempergunakan penglihatan batin mereka untuk menangkap satu getaran yang memancar dari sebuah benda yang dianggap memiliki kekuatan yang mampu dihuni oleh wahyu keraton.

Dalam rabaan penglihatan batin mereka, maka mereka melihat cahaya yang berwarna kebiru-biruan seakan-akan memancar naik sampai ke langit. Tidak terlalu besar dan terang. Hanya sebesar jari.

Kedua orang itu untuk beberapa saat berada dalam keadaannya. Namun kemudian, mereka pun mulai melepaskan diri dari pengamatan batin mereka dan kembali memasuki dunia kewadagan, meskipun tidak tepat bersamaan waktunya.

Demikian mereka kembali dalam kesadaran kewadagan, maka mereka pun merasakan betapa tubuh mereka menjadi sangat letih. Keringat mereka mengalir di seluruh tubuh membasahi pakaian mereka.

Pangeran Singa Narpada menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada berat ia berkata, “Tentu Panembahan Bajang tidak memerlukan laku seperti ini.”

“Ya,” jawab Mahisa Bungalan, “Kita belum terbiasa melakukannya. Karena itu, maka kita mengalami sedikit kesulitan. Kita harus mengarahkan segenap kemampuan yang ada didalam diri kita. Namun akhirnya kita berhasil. Justru dengan pengalaman ini kita akan dapat berbuat lebih banyak lagi dengan penglihatan batin kita.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang bergeser mendekat, ingin mengetahui, apa yang telah mereka lihat, sehingga karena itu, maka Mahisa Murti pun bertanya, “Apa yang nampak olehmu kakang?”

Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam. Kemudian jawabnya, “Aku melihat sesuatu yang dapat menjadi petunjuk. Mudah-mudahan Pangeran Singa Narpada juga melihatnya. Cahaya yang memancar naik ke udara, tegak sebesar jari berwarna kebiru-biruan. Tidak terlalu terang, tetapi cukup meyakinkan, bahwa cahaya itu memiliki getar kewibawaan sehingga memang sewajarnya jika Panembahan Bajang menyebutnya sebagai teja dari benda yang keramat.”

“Apakah benda itu yang kita cari,” bertanya Mahisa Pukat.

“Aku belum dapat mengatakannya,” jawab Mahisa Bungalan. “Tetapi mungkin Pangeran Singa Narpada dapat menyebutkannya.”

Tetapi Pangeran Singa Narpada pun menggeleng sambil menyahut, “Aku tidak dapat mengatakan sesuatu kecuali sebagaimana kau katakan. Yang aku lihat tidak lebih dari yang kau lihat. Tetapi kita dapat mengurai hasil penglihatan kita dengan perhitungan-perhitungan.”

“Bagaimana menurut perhitungan Pangeran tentang hasil penglihatan kita?” bertanya Mahisa Bungalan.

“Apakah ada benda keramat yang lain yang hilang dari gedung perbendaharaan? Jika demikian, kita dapat mempertanyakan, benda yang manakah yang kita lihat itu.”

Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Katanya, “Aku mengerti. Menurut jalan pikiran itu, maka tidak ada lain yang kita lihat cahaya tejanya itu adalah benda yang kita cari.”

Pangeran Singa Narpada mengangguk-angguk. Katanya, “Kemungkinan yang paling besar.”

“Jika demikian, maka kemungkinan yang paling besar pula adalah bahwa Pangeran Lembu Sabdata ada disini pula. Setidak-tidaknya tempatnya diketahui oleh Ki Ajar dan Penembahan Bajang,” berkata Pengeran Singa Narpada.

Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Kemudian katanya kepada Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, “Nah, adalah kewajiban kalian untuk melihat-lihat padepokan ini sebagaimana sudah kalian mulai. Kalian harus berusaha untuk melihat bahwa Pangeran Lembu Sabdata ada disini.”

“Jika menurut keyakinan kita memang demikian maka kenapa kita tidak memasuki saja padepokan itu?” bertanya Mahisa Pukat.

“Kita tidak tahu pasti, apakah Pangeran Lembu Sabdata memang berada di padepokan ini atau tidak. Baru setelah kita yakin kita akan bertindak,” jawab Mahisa Bungalan.

Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Ia mengerti maksud Mahisa Bungalan. Jika Pangeran Lembu Sabdata tidak berada di padepokan itu, maka mungkin sekali ia justru melarikan diri ke tempat yang lebih sulit lagi untuk dicapai.

Dengan demikian ia akan tetap menjadi api didalam sekam, yang setiap saat akan dapat membakar seluruh lumbung.

Karena itu, maka jalan yang akan mereka tempuh adalah memastikan, apakah Pangeran Lembu Sabdata ada di padepokan itu.

“Kita akan mengawasi padepokan itu untuk waktu yang mungkin cukup lama,” berkata Mahisa Murti.

“Mungkin. Tetapi bukanlah kita tidak tergesa-gesa?” bertanya Mahisa Bungalan.

Kedua adiknya mengangguk-angguk. Mereka sadar, bahwa tugas itu adalah tugas mereka.

Dengan demikian, maka keempat orang itupun segera meninggalkan padepokan yang sepi itu. Mereka merasa semakin dekat dengan sasaran perjalanan mereka. Bahkan mereka sudah setengah memastikan, bahwa yang mereka cari memang berada di padepokan itu. Namun tanpa keyakinan, maka mereka masih mungkin akan gagal.

Malam itu, sebagaimana malam-malam sebelumnya, keempat orang itu sempat beristirahat, meskipun tidak terlalu lama. Bergantian mereka mengambil keadaan, karena bagaimanapun juga mereka harus berhati-hati.

Ketika cahaya pagi mulai membayang, maka mereka pun telah terbangun dan bersiap-siap, terutama Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Mereka telah mandi di sungai kecil yang mengalir dekat tempat mereka tinggal untuk beberapa saat. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat akan pergi ke tempat-tempat yang banyak dikunjungi orang. Pasar-pasar atau warung-warung dan kedai-kedai. Mungkin mereka akan bertemu dengan Pangeran Lembu Sabdata yang membeli sesuatu bagi padepokan itu atau bagi dirinya sendiri, atau mungkin keperluan-keperluan lain.

“Aku kira Pangeran Lembu Sabdata tidak akan berada di pasar membeli keperluan sehari-hari. Tentu para cantrik yang akan melakukannya,” berkata Mahisa Murti.

“Ya. Tetapi mungkin Pangeran Lembu Sabdata akan membeli alat-alat pertanian di pande-pande besi atau mungkin berbuat apa saja di pasar. Aku kira ia tidak akan selalu mengurung diri di padepokan. Apalagi Pangeran Lembu Sabdata tentu tidak akan mengira bahwa kita akan berada disini,” berkata Mahisa Pukat.

Mahisa Murti mengangguk-angguk. Ia sependapat dengan Mahisa Pukat. Namun untuk dapat melihat langsung kehadiran Pangeran Lembu Sabdata di padepokan itu tentu memerlukan waktu.

Namun mereka harus berbuat. Kapan pun tugas itu dapat mereka selesaikan, namun mereka memang harus segera memulainya.

Setelah Mahisa Murti dan Mahisa Pukat selesai berkemas dan berbenah diri lahir dan batin, maka mereka pun segera meninggalkan tempat tinggal mereka di celah-celah perbukitan itu, menuju ke padukuhan.

Sebagaimana yang mereka rencanakan, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat berusaha untuk dapat bertemu dengan Pangeran Lembu Sabdata di tempat-tempat orang banyak berkumpul. Yang menjadi sasaran pengamatan mereka adalah pande-pande besi yang berada di sudut-sudut pasar. Mungkin Pangeran Lembu Sabdata dengan seorang dua orang cantrik memerlukan alat-alat pertanian atau alat-alat besi yang lain bagi padepokan mereka.

Namun di hari itu, keduanya sama sekali tidak melihat seseorang yang dapat mereka hubungkan dengan Pangeran Lembu Sabdata.

Namun demikian, mereka telah bertemu dengan seorang cantrik dari padepokan Ki Ajar karena ciri-ciri pakaian yang mereka kenali sebagaimana mereka lihat di depan regol padepokan.

“Ternyata mereka mengenakan pakaian seperti itu dimanapun mereka berada,” berkata Mahisa Pukat ketika mereka berpapasan dengan cantrik itu.

Mahisa Murti mengangguk-angguk. Meskipun mereka belum bertemu dengan Pangeran Lembu Sabdata, namun mereka mengetahui dengan pasti, bahwa orang-orang padepokan yang meskipun agak terpencil, namun mempunyai hubungan dengan orang-orang di padukuhan-padukuhan di sekitarnya.

Karena itu, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menjadi semakin bersungguh-sungguh untuk menemukan Pangeran Lembu Sabdata apabila ia berada di padepokan itu.

Namun akhirnya kedua orang itu telah berusaha mengamati lingkungan yang lebih luas. Bukan saja di tempat-tempat yang ramai dikunjungi orang. Tetapi pada saat-saat tertentu mereka telah mengamati pintu gerbang padepokan itu.

Demikianlah tugas itu mereka lakukan dari hari ke hari. Tanpa mengenal lelah dan kejemuan. Bahkan mereka telah didorong oleh satu harapan untuk dapat menyelesaikan tugas mereka dengan baik.

“Kita harus menunjukkan bahwa kepergian kita bersama dengan Pangeran Singa Narpada dan kakang Mahisa Bungalan , bukan sekedar karena kita ingin mengikutinya saja. Tetapi kita ternyata mampu berbuat sesuatu, sehingga kepergian kita bukanlah sia-sia berkata Mahisa Murti.

Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Iapun ingin menunjukkan, bahwa mereka mampu melakukan sesuatu sebagaimana dilakukan oleh orang-orang dewasa. Tidak sebagai anak-anak yang sekedar ingin ikut tanpa memberikan arti apapun juga.

Demikianlah keduanya telah berbuat dengan penuh kemauan untuk menemukan Pangeran Lembu Sabdata.

Dengan kekerasan tekad itulah, maka keduanya ternyata tidak mengenal kejemuan. Dari gumuk kecil mereka melihat Panembahan Bajang keluar dari regol padepokan bersama Ki Ajar. Tetapi tidak lama. Keduanya pun segera Kembali memasuki padepokan mereka.

Namun pada kesempatan yang lain, keduanya telah melihat dua orang yang berdiri di regol itu. Seorang cantrik keluar mendahuluinya dan pergi menuju ke kebun di sebelah padepokan itu.

Jantung Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menjadi berdebar-debar. Dua orang yang didahului oleh cantrik itu ternyata diikuti oleh dua orang cantrik yang lain.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengamati mereka dengan jantung yang berdebar-debar. Dua orang cantrik yang di belakang membawa masing-masing sebuah bakul. Agaknya mereka akan mengambil beberapa batang ketela pohon dari petegalan di sebelah padepokan itu.

Sebenarnyalah, mereka telah mencabut beberapa batang ketela pohon yang berakar lebat, yang kemudian mereka masukkan ke dalam bakul yang dibawa oleh dua orang cantrik.

“Satu usaha untuk mengatasi kejemuan,” berkata Mahisa Murti.

“Siapa? Kita?” bertanya Mahisa Pukat.

“Bukan. Kedua orang itu tentu bukan cantrik-cantrik. Mereka berusaha mengisi kejemuan tinggal di padepokan tanpa berbuat sesuatu selain berada di sanggar. Agaknya mereka adalah murid-murid terpilih dari Ki Ajar.”

Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Diperhatikannya kedua orang yang sedang sibuk bekerja dengan para cantrik, mencabuti batang ketela pohon di pategalan, diluar dinding halaman padepokan.

Ternyata ketela pohon itu menghasilkan akar yang lebat dan besar, sehingga beberapa batang saja, kedua bakul itu telah penuh. Untuk beberapa saat kedua orang itu dengan ketiga orang cantrik yang bersamanya, sempat mengamati pohon-pohon ketela di pategalan itu. Bahkan mereka sempat melintasi beberapa bujur pematang mencapai pategalan yang ditanami batang-batang ketimun. Mereka sempat memetik beberapa buah ketimun yang masih muda dan alangkah segarnya ketika mereka mengunyah ketimun-ketimun itu, sambil berjalan kembali ke padepokan.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menelan ludahnya. Bahkan Mahisa Pukat pun bergumam, “Aku akan memetik ketimun itu juga nanti.”

Mahisa Murti tersenyum. Katanya, “Nanti malam kita mencuri ketimun.”

“Ah, kenapa nanti malam? Mumpung matahari terik. Alangkah segarnya,” jawab Mahisa Pukat.

“Tetapi kau akan segera diburu oleh para cantrik karena kau mencuri ketimun,” berkata Mahisa Murti kemudian.

“Aku kira mereka tidak akan memburu seseorang yang mencuri ketimun. Mereka tentu akan berbaik hati dengan memberikan berapa saja ketimun yang dibutuhkan oleh seseorang yang kehausan,” jawab Mahisa Pukat.

Mahisa Murti tertawa. Namun tiba-tiba saja ia mengerutkan keningnya. Orang-orang dari padepokan itu telah berjalan mendekati regol halaman padepokannya. Dengan demikian maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat dapat melihat lebih jelas lagi ke arah orang-orang itu.

Sambil mengusap dahinya Mahisa Murti pun berkata, “Rasa-rasanya aku pernah melihat salah seorang dari kedua orang itu.”

“Yang mana?” bertanya Mahisa Pukat.

“Yang berjambang, berkumis, dan berjenggot. Wajahnya nampak menyeramkan. Tetapi tingkah lakunya tidak menunjukkan watak sebagaimana yang nampak pada wajahnya itu,” berkata Mahisa Murti.

Kedua orang anak muda itupun kemudian mengerahkan segenap kemampuannya pada ketajaman penglihatannya. Meskipun mereka tidak memiliki ilmu Sapta Pandulu, tetapi mereka mampu serba sedikit mempertajam penglihatan mereka.

Dalam pada itu, tiba-tiba saja Mahisa Murti berdesis, “Pukat. Cobalah kau membayangkan, bagaimanakah rupanya orang itu jika jambang, kumis dan janggutnya dihilangkan.”

Mahisa Pukat mengerutkan keningnya. Sejenak ia memusatkan perhatiannya kepada wajah itu dan dengan ketajaman angan-angannya ia melihat wajah itu seakan-akan tidak berjambang, berkumis dan berjenggot. Dengan kemampuan tanggapannya atas ujud yang direkanya, maka tiba-tiba saja ia berdesis, “Pangeran Lembu Sabdata.”

“Kau masih mengenalinya meskipun kita belum mengenalinya dengan akrab?” bertanya Mahisa Murti.

“Tidak salah lagi. Aku masih yakin akan kekuatan ingatanku atas sasaran penglihatanku, apalagi yang sangat menarik perhatian seperti Pangeran Lembu Sabdata. Meskipun ia menyamar wajahnya dan mengenakan pakaian padepokan, namun aku yakin, bahwa orang itu adalah Pangeran Lembu Sabdata,” jawab Mahisa Pukat.

“Kau yakin, atau sekedar karena kau dipengaruhi oleh penglihatan Pangeran Singa Narpada dan kakang Mahisa Bungalan atas teja yang katanya memancar dari padepokan itu. Sehingga menurut perhitunganmu, jika benda keramat yang hilang itu berada di padepokan itu, maka Pangeran Lembu Sabdata pun tentu berada di padepokan itu pula,” berkata Mahisa Murti.

“Tidak. Aku yakin,” jawab Mahisa Pukat. Lalu iapun bertanya, “Tetapi bagaimana pendapatmu sendiri?”

Mahisa Murti mengerutkan keningnya. Namun kemudian katanya, “Aku sependapat Aku ingin menyesuaikan pendapatku dengan pendapatmu.”

“Nah, jika demikian, maka semuanya sudah pasti. Di padepokan itu terdapat Ki Ajar Bomantara, Panembahan Bajang, benda yang dikeramatkan dan memancarkan teja itu dan Pangeran Lembu Sabdata,” berkata Mahisa Pukat.

“Ya,” desis Mahisa Murti, “Sesudah sekian lama kita disiksa di lingkungan padukuhan di sekitar padepokan dan di gumuk kecil ini, akhirnya kita melihat Pangeran Lembu Sabdata. Agaknya orang itu pernah kita lihat satu dua kali sebelumnya di jalan-jalan yang ramai, tetapi kita tidak menghiraukannya.”

“Tidak. Aku merasa belum pernah melihatnya,” jawab Mahisa Pukat, “Bahkan seandainya kita pernah berpapasan, maka tentu orang itu akan mengenali kita pula.”

Mahisa Murti mengangguk-angguk. Katanya, “Meskipun demikian kita harus mengatakan kepada Pangeran Singa Narpada dan kakang Mahisa Bungalan, bahwa yang kita lihat adalah orang berjambang, berkumis dan berjenggot.”

“Apakah kau ingin mereka menunggu juga sampai pada suatu saat mereka keluar dari regol? Sampai pada suatu saat mereka melihat sendiri?” bertanya Mahisa Pukat.

Mahisa Murti termangu-mangu. Sementara itu Mahisa Pukat berkata selanjutnya, “Jika demikian, sampai kapan kita harus menunggu. Belum tentu sepekan lagi orang itu keluar dari padepokan.”

Mahisa Murti mengangguk-angguk. Lalu katanya, “Kita memerlukan pertimbangan Pangeran Singa Narpada dan kakang Mahisa Bungalan.”

Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Katanya, “Marilah, kita menemui mereka.”

Kedua orang itupun kemudian, meninggalkan tempatnya dan kembali ke tempat mereka tinggal untuk sementara disela-sela bebatuan di bukit.

Ketika apa yang telah dilihat oleh kedua orang anak muda itu disampaikan kepada Pangeran Singa Narpada dan Mahisa Bungalan, maka keduanya benar-benar terkejut. Meskipun mereka memang berharap sejak semula untuk menemukan Pangeran Lembu Sabdata di tempat itu, namun ketika kedua anak muda itu benar-benar melaporkan maka rasa-rasanya jantung mereka berdetak semakin cepat. Dengan nada dalam Pangeran Singa Narpada bertanya, “Apakah kalian yakin bahwa orang itu adalah Lembu Sabdata?”


“Kami yakin,” jawab Mahisa Murti.

Pengeran Singa Narpada mengangguk-angguk. Namun demikian kepada Mahisa Bungalan ia bertanya, “Bagaimana pendapatmu?”

Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Bagaimana jika kita berusaha untuk membuktikannya?”

Pangeran Singa Narpada termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun mengangguk-angguk.

Tetapi dalam pada itu, Mahisa Pukat lah yang menyahut, “Jika demikian, sampai berapa hari lagi kita harus menunggu. Apakah dalam waktu sepekan dua pekan Pangeran Lembu Sabdata itu akan keluar dari padepokan?”

“Ah, ia tentu sering keluar dari padepokan,” jawab Mahisa Bungalan.

“Tetapi baru kali ini kami menjumpainya setelah beberapa lama kami mengadakan pengamatan,” jawab Mahisa Pukat.

“Tetapi kau tidak selalu berada di gumuk itu. Kau justru berpindah-pindah,” jawab Mahisa Bungalan, “Jika kita tekun berada di gumuk itu, maka dalam satu dua hari, kita melihatnya keluar dari padepokan untuk satu keperluan.”

Mahisa Pukat mengerutkan keningnya. Namun kemudian iapun bertanya, “Kakang akan pergi juga ke gumuk itu?”

“Ya. Kita semuanya akan pergi ke gumuk itu sampai saatnya kita benar-benar yakin bahwa yang kalian lihat itu adalah Pangeran Lembu Sabdata,” jawab Mahisa Bungalan.

Mahisa Pukat termangu-mangu sejenak. Namun Mahisa Murti lah yang kemudian berkata, “Tetapi di gumuk itu banyak sekali terdapat binatang berbisa. Kami telah mendapatkan kesempatan untuk memiliki benda-benda penangkal racun dan bisa.”

Pangeran Singa Narpada tersenyum. Katanya, “Kami memang tidak memilikinya. Tetapi kami mempunyai obatnya untuk menolak bisa dan racun. Jika kami menelannya sebelumnya, maka untuk jangka waktu tertentu, kami pun akan terbebas dari gigitan racun dan bisa.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan sejenak. Namun keduanya tidak dapat mengelak. Baik Pangeran Singa Narpada maupun Mahisa Bungalan agaknya condong untuk lebih dahulu membuktikan bahwa orang berjambang, berkumis dan berjanggut itu benar-benar Pangeran Lembu Sabdata.

“Kita tidak boleh salah langkah,” berkata Pangeran Singa Narpada, “lebih baik agak lambat daripada gagal sama sekali. Seperti yang sudah beberapa kali aku katakan. Jika kita kali ini gagal, dan kemudian didengar oleh Pangeran Lembu Sabdata, maka ia akan bersembunyi di tempat yang lebih sulit untuk dicari.

“Jika Pangeran Lembu Sabdata tidak berada di tempat ini?” bertanya Mahisa Pukat.

“Kita memang masih harus mencari,” jawab Pangeran Singa Narpada, “Tetapi ia tidak akan berpindah ¡pindah tempat sehingga menurut pertimbanganku, agaknya lebih baik daripada jika ia menyadari, bahwa ia sedang dicari. Seandainya ia sudah merasa aman untuk berada di satu tempat, maka ia akan berusaha untuk berada di tempat yang lebih tersembunyi.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat hanya dapat mengangguk-angguk saja. Sehingga sebenarnyalah seperti yang direncanakan, maka di hari berikutnya Mahisa Bungalan dan Pangeran Singa Narpada telah ikut pula berada di gumuk kecil yang tidak pernah didatangi orang, namun banyak sekali dihuni oleh binatang-binatang berbisa termasuk beberapa jenis ular.

Sebagaimana diduga oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, maka tidak setiap saat mereka akan dapat melihat orang yang berjambang, berkumis dan berjanggut itu. Sehari mereka berada di gumuk itu. Namun orang yang mereka tunggu benar-benar tidak keluar dari regol. Demikian pula pada hari kedua.

Namun pada hari ketiga, dalam kejemuan yang mulai mencengkam Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, mereka telah melihat orang yang berjambang, berkumis dan berjanggut itu. Pangeran Singa Narpada yang memperhatikan orang itu dengan mata tanpa berkedip akhirnya berkata, “Ya. Orang itu adalah Adimas Lembu Sabdata. Jambang, kumis dan janggut itu membuatnya nampak jauh lebih tua dari umurnya yang sebenarnya.”

Untuk beberapa saat lamanya keempat orang itu justru terdiam. Mereka mengamati tingkah laku Pangeran Lembu Sabdata. Sebagaimana yang pernah dilihat oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, maka Pangeran Lembu Sabdata telah pergi ke pategalan. Namun ia tidak terlalu lama berada di pategalan itu. Beberapa saat kemudian, Pangeran Lembu Sabdata telah masuk ke dalam padepokannya.

“Ia lebih banyak berada didalam padepokan,” berkata Pangeran Singa Narpada yang tidak mengetahuinya, bahwa dengan penyamarannya Pangeran Lembu Sabdata telah pernah memasuki Kota Raja Kediri.

Namun dengan demikian, maka keempat orang itu akan dapat mengambil sikap yang lebih mantap.

Beberapa saat mereka berempat masih tetap berada di gumuk kecil.itu. Mereka menunggu apabila masih ada perkembangan yang akan terjadi. Namun ternyata padepokan itu nampaknya menjadi sepi-sepi saja.

“Marilah, kita kembali,” desis Pangeran Singa Narpada.

Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Merekapun kemudian berempat meninggalkan gumuk itu, menelusuri sungai dan hilang dikelokan. Keempat orang itu semakin menjadi semakin jauh dari padepokan Ki Ajar.

Ketika mereka telah berada di tempat mereka tinggal untuk sementara, maka mereka mulai berbicara tentang padepokan itu.

“Yang kita cari agaknya berada di padepokan itu,” berkata Pangeran Singa Narpada.

“Ya. Sementara itu Ki Ajar dan Panembahan Bajang serta Pangeran Singa Narpada sendiri belum mengambil langkah-langkah yang menunjukkan bahwa mereka akan mengulangi perlawanan Pangeran Kuda Permati,” berkata Mahisa Bungalan.

“Mereka tentu lebih berhati-hati. Bukankah yang dilakukan Ki Ajar selama ini cukup meyakinkan?” bertanya Pangeran Singa Narpada.

Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Iapun mendengar bahwa Ki Ajar bertindak dengan penuh perhitungan dan pertimbangan. Ia mengambil Pengeran Lembu Sabdata pada saat-saat Kediri telah menjadi lengah. Hilangnya Pangeran Lembu Sabdata membuat Kediri kembali bergejolak. Sementara itu Ki Ajar tidak berbuat apa-apa untuk waktu yang lama. Baru kemudian, setelah Kediri kembali terlena, terjadi pula kegemparan karena sebuah benda yang dikeramatkan telah hilang. Dengan nada rendah Mahisa Bungalan pun kemudian bergumam. “Ki Ajar melangkah dengan perhitungan yang sangat cermat. Meskipun terasa lambat.”

“Justru pada ketelatenan Ki Ajar untuk merayap dengan lambat itulah letak kekuatan rencana Ki Ajar. Pada saat-saat lawannya menjadi lengah, maka ia mulai melangkah,” sahut Pangeran Singa Narpada, “Agaknya iapun akan berbuat seperti itu pula nanti. Pada saat Kediri masih dipanaskan oleh hilangnya pusaka itu, Ki Ajar sama sekali tidak bergerak. Baru kemudian, setelah hal itu dilupakan oleh Kediri, dan apabila orang-orang Kediri merasa bahwa kehilangan itu tidak berpengaruh, barulah Ki Ajar melangkah. Ia mempergunakan Pangeran Lembu Sabdata sebagaimana Pangeran Kuda Permati. Tetapi tentu dengan lebih cermat. Jika wahyu keraton benar berada di benda yang berada di padepokan itu, sementara darah keturunan keraton ada pula disini, maka tahta Kediri benar-benar akan beralih.”

Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Namun kemudian katanya, “Kedua-duanya harus kita ambil.”

“Ya. Tetapi kita harus menyadari, bahwa dibalik dinding padepokan terdapat Ki Ajar, Panembahan Bajang dan setidak-tidaknya Pangeran Lembu Sabdata yang tentu sudah ditempa menjadi seorang yang pilih tanding. Mungkin ada satu dua murid Ki Ajar yang sudah mencapai tataran tertinggi sehingga memiliki kemampuan yang harus diperhitungkan,” berkata Pangeran Singa Narpada.

“Jadi bagaimana menurut pertimbangan Pangeran? Apakah kita harus kembali dan mencari dukungan kekuatan untuk memasuki padepokan itu?” bertanya Mahisa Bungalan.

Pangeran Singa Narpada termangu-mangu. Namun kemudian katanya, “Jika kita tempuh cara yang demikian maka kita mungkin akan terlambat.”

“Ya,” tiba-tiba saja Mahisa Pukat menyahut, “Kita harus bertindak cepat. Memang mungkin kita akan menemui kesulitan. Tetapi kita harus berusaha untuk mengatasinya.”

“Kita tidak mempunyai banyak waktu,” berkata Mahisa Murti, “Apakah kita yakin bahwa Pangeran Lembu Sabdata tidak akan berpindah tempat, atau bahkan pusaka itu akan dipindahkannya ke tempat yang lain?”

Pangeran Singa Narpada mengangguk-angguk. Katanya, “Agaknya memang demikian. Namun kita harus bertanya kepada diri kita sendiri, apakah kita mampu untuk menembus memasuki padepokan itu dan menangkap Pangeran Lembu Sabdata, sekaligus menemukan kembali pusaka yang tersembunyi di padepokan itu?”

Mahisa Bungalan termangu-mangu. Namun katanya, “Tidak ada alat yang dapat untuk menjajagi. Kita harus melakukannya sekali dan berhasil atau gagal sama sekali. Mungkin buruan kita terlepas. Tetapi mungkin nyawa kitalah yang terlepas.”

Pangeran Singa Narpada mengangguk-angguk. Katanya. “Malam ini kita masih sempat merenungkan apakah yang sebaiknya kita lakukan. Besok kita akan mengambil keputusan.”

“Kita tidur dengan nyenyak,” desis Mahisa Pukat, “Mungkin mimpi kita dapat memberi petunjuk.”

“Ah kau,” desis Mahisa Bungalan, “Namun dengan ketenangan berpikir kita akan mendapatkan jalan yang paling baik.”

Mahisa Pukat tidak menjawab. Tetapi baginya semakin cepat semakin baik. Apapun yang terjadi atas mereka. Namun kesempatan itu tidak boleh mereka lewatkan.

Mahisa Pukat menyadari bahwa di padepokan itu ada Ki Ajar dan Panembahan Bajang. Tetapi Pangeran Singa Narpada yang memiliki ilmu dan pengalaman yang luas, serta kakaknya Mahisa Bungalan yang selain pengalaman juga telah mencapai tataran puncak ilmu pamannya Mahisa Agni yang nggegirisi akan merupakan tandingan dari Ki Ajar dan Panembahan Bajang.

Namun demikian, segala sesuatunya terserah kepada Mahisa Bungalan dan Pangeran Singa Narpada, Tetapi menilik gelagatnya, maka keduanya pun akan mengambil sikap sebagaimana diinginkan oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.

Demikianlah, maka malam yang kemudian turun, merupakan malam yang terasa sangat panjang oleh angan-angan.

Tetapi ternyata keempat orang itu tidak melihat cara yang lain yang sebaiknya ditempuh daripada memasuki padepokan itu apapun yang terjadi. Jika mereka segera melakukannya, mungkin terjadi perubahan yang dapat menggagalkan semua usaha yang sudah dirintis sekian lamanya.

Meskipun demikian menyadari, bahwa kemungkinan gagal pada usaha yang akan mereka lakukan itupun tetap ada. Jika isi padepokan itu ternyata memiliki kekuatan yang lebih besar dari kekuatan mereka berempat, maka usaha mereka bukan saja akan gagal, tetapi mereka tidak akan sempat lagi keluar dari padepokan itu.

Tetapi jika memang harus terjadi demikian, maka mereka tidak akan dapat ingkar. Itu adalah akibat dari satu perjuangan bagi tegaknya Kediri dalam hubungan sebagaimana sedang berlaku dengan Singasari.

Karena itu, ketika malam hari perlahan-lahan tersingkap oleh cahaya fajar, keempat orang itu telah menemukan ketetapan didalam hati masing-masing.

Setelah membenahi diri, maka keempat orang itu telah mengadakan pembicaraan yang mendalam tentang rencana mereka menghadapi Ki Ajar, Panembahan Bajang, dan orang-orang yang berada di padepokan itu.

“Kita tidak tahu apa yang ada didalam padepokan itu,” berkata Pangeran Singa Narpada, “Tetapi kita pun tidak boleh tenggelam ke dalam ketidak tahuan itu.”

“Kami mengerti,” jawab Mahisa Bungalan, “itu akan meloncat ke dalam kegelapan. Mudah-mudahan kita tidak masuk ke dalam mulut harimau yang kelaparan.”

“Tetapi bukan tidak berperhitungan,” tiba-tiba saja Mahisa Pukat memotong. “Tetapi bukan maksudku untuk menyombongkan diri. Jika kita memasuki padepokan itu, kita yakin bahwa kita sudah membekali diri. Jika dengan demikian kita harus dihancurkan oleh isi padepokan itu, maka kita memang bernasib buruk.”

Mahisa Bungalan tersenyum. Katanya, “Baiklah. Kita bersama-sama telah bertekad untuk memasuki padepokan itu. Dan kita sudah bersiap sejauh dapat kita lakukan. Beruntunglah kami karena kalian berdua mengikut kami.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak menjawab. Namun dengan demikian mereka merasa bahwa mereka benar-benar mendapat kepercayaan sebagai orang-orang yang telah dewasa. Mereka akan menghadapi tugas yang sangat berat.

“Tetapi kita tidak akan memasuki padepokan itu hari ini,” berkata Pangeran Singa Narpada.

“Kenapa?” Mahisa Pukat menjadi heran.

“Hari ini kita mempersiapkan diri lahir dan batin. Besok sebelum fajar kita akan memasuki padepokan itu dan bertindak sesuai dengan rencana. Aku akan mencoba menghadapi Ki Ajar Bomantara. Mahisa Bungalan akan berusaha untuk mengimbangi kemampuan Panembahan Bajang. Salah seorang diantara kalian berdua harus menghadapi Pangeran Lembu Sabdata, sementara itu yang lain akan mengamati keadaan. Mungkin ada diantara para cantrik yang memiliki kemampuan yang tinggi, sehingga cantrik itu harus mendapat perhatian secara khusus.”

Demikian hari itu keempat orang itu telah mempersiapkan diri lahir dan batin. Mereka berusaha untuk berada dalam puncak kemampuannya, sehingga pada saatnya mereka tidak akan merasa kecewa.

Namun hari itu terasa sangat panjang. Mereka merasa seakan-akan matahari memang beredar dengan sangat malasnya.

Tetapi akhirnya malam pun turun. Tempat keempat orang itu tinggal untuk sementara, lelah diselubungi oleh kegelapan, sehingga dengan demikian maka keempat orang itupun menempatkan dirinya di pembaringan yang telah mereka siapkan. Namun sebagaimana biasa, salah seorang diantara mereka harus tetap jaga untuk mengamati keadaan berganti-ganti.

Saat yang mereka tunggu-tunggu itupun akhirnya tiba juga. Sebelum fajar keempat orang itu telah bangun. Mereka tidak boleh lengah sehingga pada saatnya, ternyata senjata mereka tidak dapat membantu.

Ternyata keempat orang itu tidak membawa senjata yang lebih panjang daripada pedang-pedang pendek yang dapat mereka sembunyikan dibawah kain mereka. Namun demikian. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat ternyata telah bersiap pula dengan paser-paser kecil yang dapat mereka pergunakan pada saat-saat yang paling gawat.

“Jika kita harus melawan seluruh isi padepokan maka paser-paser ini akan berguna sekali,” berkata Mahisa Pukat.

Mahisa Bungalan tersenyum. Katanya, “Bagus. Kau benar-benar bersiap menghadapi segala kemungkinan. Dengan demikian maka kita tidak perlu cemas lagi menghadapi segala kemungkinan yang akan terjadi.”

Mahisa Pukat tidak menjawab. Sementara itu Pangeran Singa Narpada pun lelah bersiap pula. Katanya, “Marilah. Kita akan pergi ke medan perang. Kita adalah pasukan yang tidak bertunggul dan tidak berpanji-panji. Tetapi didalam dada kita terpancang beban pengabdian yang bergelora.”

Ketiga orang yang lain tidak menjawab. Tetapi terasa kata-kata itu menyentuh perasaan mereka. Sehingga dengan demikian, rasa-rasanya mereka benar-benar menjalankan satu tugas yang akan memberikan arti yang sangat besar bagi Kediri dan Singasari. Demikianlah sejenak kemudian keempat orang itupun telah berangkat. Sisa malam masih cukup gelap. Namun langit di ujung Timur telah mulai nampak kemerah-merahan.

“Jangan terlambat,” berkata Pangeran Singa Narpada, “Kita buka hari ini dengan tantangan.”

Keempat orang itu berjalan semakin cepat, seakan-akan mereka benar-benar menuju ke medan yang sudah siap, sehingga mereka tidak mau datang terlambat dan tidak mendapat tempat di barisan paling depan.

Sejenak kemudian, maka padepokan itu telah nampak dalam keremangan cahaya fajar. Dikelilingi oleh sebuah pategalan, padepokan itu nampaknya tenang dan tidak terusik. Tetapi dengan laku yang khusus, Pangeran Singa Narpada dan Mahisa Bungalan berhasil melihat cahaya teja yang memancar dari padepokan itu.

Mereka berempat yang sudah bertekad untuk memasuki padepokan itu tidak lagi ingin mengendap-endap dari belakang dan memanjat dinding. Tetapi mereka ingin memasuki padepokan itu lewat pintu depan.

Meskipun demikian mereka tidak ingin langsung dikenal pada saat mereka memasuki padepokan itu. Jika demikian maka ada kemungkinan Pangeran Lembu Sabdata akan bersembunyi.

Karena itu, maka mereka pun telah mengenakan pakaian yang paling sederhana yang ada pada mereka. Mereka mengenakan ikat kepala tidak sebagaimana seharusnya, tetapi asal saja ikat kepala itu tersangkut di kepala mereka.

Sementara itu mereka telah berjalan berurutan seorang demi seorang, sehingga kedatangan mereka menimbulkan kesan yang khusus bagi isi padepokan itu jika mereka menyaksikannya.

Namun Pangeran Singa Narpada yakin bahwa tentu sudah ada yang bangun diantara para cantrik. Mungkin menyapu halaman, mungkin kerja yang lain.

Sebenarnyalah, ketika mereka memasuki regol halaman dengan belaian berurutan seorang demi seorang, maka seorang cantrik yang sedang menyapit halaman telah melihatnya.

Dalam keremangan fajar, terasa tengkuk cantrik itu meremang. Mereka melihat empat orang berjalan berurutan. Tanpa berpaling dan tanpa kesan apapun juga. Mereka berjalan seperti tubuh-tubuh tidak berjiwa memasuki halaman dan langsung menuju ke rumah induk padepokan itu.

“He, Ki Sanak,” sapa cantrik itu.

Tidak ada jawaban. Bahkan berpaling pun tidak. Keempat orang itu masih berjalan dengan langkah-langkah kaku menuju ke pendapa.

“Ki Sanak,” cantrik itu mengulangi.

Tetapi masih saja tidak ada jawaban dan orang-orang yang berjalan berurutan itu masih saja berjalan tanpa berpaling sama sekali.

“Apakah masih ada sosok hantu menjelang fajar begini,” desis cantrik itu.

Namun ia tidak ingin menunggu lagi. Iapun kemudian berlari-lari menuju ke rumah induk itu melewati pintu butulan.

“Ki Ajar,” berkata cantrik itu ketika ia bertemu dengan Ki Ajar, “Ada empat sosok bayangan memasuki halaman padepokan ini. Mereka bagaikan patung-patung yang berjalan. Sama sekali tidak mendengar ketika aku menyapanya.”

“Siapakah mereka,” bertanya Ki Ajar.

“Kami tidak tahu,” jawab cantrik itu.

Ki Ajar termangu-mangu. Sementara itu Panembahan Bajang pun telah keluar dari biliknya. Bahkan Pangeran Lembu Sabdata pula.

“Siapa?” bertanya Pangeran Lembu Sabdata.

“Tidak tahu,” jawab cantrik itu.

Namun sementara itu, tiba-tiba saja diluar terdengar suara, “He, seisi padepokan ini. Dengar kata-kataku. Aku ingin berbicara dengan panembahan Kerdil yang ada di padepokan ini. Menurut keterangan mPu Lengkon, Panembahan Kerdil itu bersembunyi di padepokan ini karena menghindari tangan-tangan kami. Dengar isi padepokan ini. Persoalan ini adalah persoalan kami dengan panembahan Kerdil. Karena itu, jangan ikut campur. Kami datang berempat dengan perhitungan, bahwa Panembahan Bajang itu mempunyai empat orang kawan yang ikut bersembunyi disini.”

Panembahan Bajang benar-benar terkejut, ia sama sekali merasa tidak pernah mempunyai persoalan yang sungguh-sungguh. Jika mPu Lengkon telah sampai hati berbuat sesuatu yang mencelakakannya, itu tentu karena salah paham saja.

Namun ternyata Panembahan Bajang bukan seorang pengecut. Meskipun ia tidak merasa mempunyai persoalan, namun iapun kemudian berdesis, “Biarlah aku lihat, siapakah yang telah datang itu.”

“Mereka berempat,” desis Pangeran Lembu Sabdata.

“Meskipun mereka bersepuluh, aku tidak akan lari,” jawab Panembahan Bajang.

Sementara itu terdengar lagi suara, “He, Panembahan Bajang. Kau harus segera mengembalikan keris itu. Keris itu harganya lebih mahal dari nyawamu. Keluarlah bersama tiga orang pengawalmu yang paling kau banggakan. Kami akan melawan kalian dalam perkelahian seorang lawan seorang secara adil dan jujur. Jika kau kalah, maka sebelum kau mati, kau harus menunjukkan dimana keris itu kau sembunyikan.”

“Keris apa,” desis Panembahan Bajang didalam rumah, “Aku tidak pernah mempunyai persoalan dengan sebilah keris. Mungkin terjadi salah paham atau Lengkon memang gila. Lengkon lah yang banyak bermain dengan keris. Bukan aku.”

“Jangan keluar sendiri,” berkata Ki Ajar.

“Aku tidak peduli,” jawab Panembahan Bajang. “Kau sangka aku tidak berani menghadapi empat orang sekaligus.”

Tetapi mereka sudah memperhitungkan kemampuanmu sementara mereka berani menyatakan dalam tantangannya, seorang lawan seorang,” jawab Pangeran Lembu Sabdata.

Panembahan Bajang termangu-mangu. Namun kemudian katanya, “Terserahlah. Tetapi kalian tidak perlu ikut campur persoalanku.”

Sejenak kemudian, maka Panembahan Bajang itu-pun telah bersiap-siap untuk keluar. Ternyata Ki Ajar dan Pangeran Lembu Sabdata tidak membiarkannya. Bahkan Putut yang paling terpercaya dari padepokan itu, yang mendengar suara diluar segera berlari-lari ke ruang dalam rumah induk di padepokan itu.

Demikian ia berada didalam, maka dilihatnya Panembahan Bajang sudah siap untuk keluar.

“Apa sebenarnya yang telah terjadi Panembahan,” bertanya Putut itu.

“Entahlah,” jawab panembahan Bajang. “Mungkin ada orang gila yang datang ke padepokan ini. Aku tidak pernah mempunyai persoalan apapun juga dengan siapapun juga. Apalagi persoalan sebilah keris. Aku tidak pernah merasa memerlukan sebilah keris. Karena itu, menurut dugaanku, semua ini adalah kesalah pahaman dengan Lengkon yang gila itu. Tentu orang itulah yang mengigau tentang keris, sehingga keempat orang itu datang dan langsung berbicara tentang keris itu pula.”

“Lalu apa kehendaknya? Apakah ia bersungguh-sungguh? Menurut keterangannya, ia tidak akan mencampuri persoalan kita. Tiba-tiba saja ia datang atau setidak-tidaknya mengupah orang atau mungkin murid-muridnya untuk datang menemui Panembahan,” berkata Putut itu.

“Ia benar-benar sudah gila jika ia berani memerintahkan murid-muridnya. Ia mengenal aku dan ia tahu kemampuanku,” jawab Panembahan Bajang.

“Jika demikian, tentu bukan mPu Lengkon,” desis Ki Ajar.

“Persetan, siapapun mereka,” jawab Panembahan Bajang. “Aku akan menemui mereka. Jika hanya karena salah paham, maka aku akan dapat meluruskannya. Tetapi jika keempat orang itu benar-benar gila, maka aku tidak tahu, apa yang akan terjadi. Mungkin aku harus membunuh keempatnya disini. Mungkin aku harus membasahi halaman padepokan dengan darah orang-orang yang tidak tahu diri itu.”

“Bagaimanapun juga, aku ingin melihat, apa yang akan terjadi,” desis Pangeran Lembu Sabdata.

Selagi mereka berbincang, terdengar lagi suara diluar, “He Panembahan Bajang. Apakah kau sedang lari lewat pintu butulan. Jika kau memang takut menghadapi kami, kau harus berterus terang. Kami akan mengampunimu. Tetapi barang yang kau curi itu harus kau kembalikan.”

“Setan alas,” geram Panembahan Bajang. “ia tidak berpikir panjang lagi. Dengan tergesa-gesa iapun segera melangkah menuju ke pintu.

Namun seperti yang dikatakannya, maka Pangeran Lembu Sabdata pun telah mengikutinya pula bersama Ki Ajar Bomantara serta seorang pututnya yang sudah putus segala macam ilmu sebagaimana telah dimiliki pula oleh Pangeran Lembu Sabdata, meskipun belum matang sebagaimana putut itu sendiri.

Ketika keempat orang itu keluar dari pintu ke pendapa, mereka melihat empat orang berdiri berurutan seorang-seorang. Sementara itu langit telah menjadi semakin terang.

Meskipun demikian, dari atas pendapa, orang-orang yang keluar dari ruang dalam itu tidak segera dapat mengenali keempat orang itu seorang demi seorang. Dalam pakaian yang kusut dan ikat kepala yang asal saja membelit kepala, maka keempat orang itu memang tidak mudah dikenalinya.

Namun dalam pada itu, keempat orang yang berada di halaman dalam keremangan fajar itu segera dapat mengenali orang-orang yang berada di pendapa, yang diterangi oleh sisa cahaya obor yang kemerah-merahan. Yang tidak dapat dielakkan lagi adalah pengenalan mereka atas Panembahan Bajang yang kerdil. Kemudian mereka pun telah menjadi berdebar-debar ketika ternyata diantara orang-orang yang keluar dari ruang dalam itu terdapat seorang yang mereka cari. Pangeran Lembu Sabdata.

Namun demikian Pangeran Singa Narpada yang berdiri di paling depan tidak segera langsung mempersoalkan hadirnya Pangeran Lembu Sabdata dan pusaka yang mereka cari itu.

Bahkan dengan suara lantang ia masih berkata, “Panembahan Bajang. Apakah kau benar-benar sudah melupakan tingkah lakumu itu, atau sekedar ingin membersihkan dirimu, sehingga kau tidak lagi mau datang mengunjungi kami berbicara tentang keris yang kau bawa itu? Waktu yang kau janjikan telah lewat dua putaran musim, sehingga menurut pendapatmu, kau benar-benar tidak lagi bermaksud mengembalikannya. Padahal keris itu mempunyai nilai yang tidak terhingga bagi kami.”

“Ki Sanak,” bertanya Panembahan Bajang yang kebingungan. “Siapakah sebenarnya kalian? Dan apakah sebenarnya yang ingin kalian lakukan atasku? Sebenarnya kalian dapat berterus terang saja tanpa memberikan persoalan yang berbelit-belit yang justru tidak aku ketahui ujung pangkalnya.”

Orang yang berdiri di paling depan diantara empat orang yang berada di halaman itu berkata, “Apakah sebaiknya begitu?”

“Ya. Dengan demikian aku menjadi jelas. Apa yang akan aku lakukan menjadi jelas pula. Kau tidak usah berteka-teki dengan menyebut persoalan-persoalan yang tidak pernah terjadi,” jawab Panembahan Bajang.

“Jika demikian yang kau kehendaki, baiklah Panembahan,” jawab orang yang berdiri di paling depan. “Ternyata Panembahan adalah orang yang cukup bijaksana. Karena itu, kami mohon maaf, bahwa kami tidak langsung berterus-terang. Sekarang aku akan berterus terang.”

“Ya. Berterus teranglah,” berkata Panembahan Bajang.

“Tetapi apakah Panembahan tidak akan marah kepada kami?” bertanya orang yang berdiri di paling depan.

“Aku memang sudah marah,” jawab Panembahan Bajang. “Tetapi jika kalian menjadi jujur dan berkata terus terang, aku akan menjadi lebih senang.”

Orang yang berdiri di paling depan dari keempat orang yang memasuki padepokan itu tidak segera menjawab. Sementara itu beberapa orang cantrik yang mendengar pembicaraan yang ribut itupun telah turun pula ke halaman. Dari jarak beberapa puluh langkah mereka menyaksikan dengan hati yang tegang. Bahkan ada satu dua diantara mereka yang bergeser mendekati pendapa.

Langit telah menjadi semakin terang. Wajah-wajah dari keempat orang itupun menjadi semakin jelas. Tetapi orang-orang di pendapa itu memang tidak menduga sama sekali bahwa keempat orang itu telah dipimpin oleh Pangeran Singa Narpada. Dalam pada itu, sejenak kemudian maka Pangeran Singa Narpada itupun berkata, “Baiklah Panembahan. Jika kami harus berterus terang, maka kami akan berterus terang Panembahan, sebenarnya persoalannya tidak terletak kepada Panembahan.”

“Lalu apa yang ingin kalian lakukan sebenarnya?” bertanya Panembahan Bajang. “Kalian tidak boleh berbuat seperti orang gila disini.”

“Maaf. Yang sebenarnya ingin kami temui sekarang ini adalah justru Pangeran Lembu Sabdata,” jawab Pangeran Singa Narpada.

Jawaban itu memang sangat mengejutkan. Kata-kata yang diucapkan dengan jelas dan tidak terlalu keras itu terdengar seperti ledakan petir di telinga orang-orang padepokan itu.

Sementara itu Pangeran Lembu Sabdata yang disebut namanya justru bergeser maju. Dengan kerut di keningnya, ia berusaha mengamati orang-orang yang berdiri di halaman itu.

Jantung Pangeran Lembu Sabdata bergetar semakin cepat. Oleh cahaya pagi yang semakin terang, ia melihat dengan jelas siapakah yang berdiri di hadapannya itu.

“Kakangmas Pangeran Singa Narpada,” desis Pangeran Lembu Sabdata.

Nama itupun telah menggetarkan jantung Ki Ajar Bomantara dan Panembahan Bajang. Karena itu, maka Ki Ajar pun telah bergeser maju pula.

Namun mereka tidak akan dapat mengingkari kenyataan itu. Pangeran Singa Narpada telah berada di padepokan mereka dalam usahanya mencari Pangeran Lembu Sabdata dan pusaka yang telah hilang dari gedung perbendaharaan berupa sebuah mahkota.

“Luar biasa,” desis Ki Ajar, “Ternyata Pangeran adalah seorang yang memiliki ketajaman nalar budi dan pengamatan. Tentu tidak seorang pun yang mengira, bahwa Pangeran akan dapat menemukan Pangeran Lembu Sabdata di tempat ini.”

“Ki Ajar,” berkata Pangeran Singa Narpada, “Kerja yang kami lakukan bukan kerja yang mudah. Kami telah berusaha dengan susah payah, sehingga akhirnya kami menemukan yang kami cari di tempat ini. Meskipun wajah Pangeran Lembu Sabdata sudah berubah, tetapi bentuk yang sebenarnya tetap kami kenali.”

“Baiklah kakangmas,” berkata Pangeran Lembu Sabdata, “Ternyata seperti kata Ki Ajar, kakangmas memang seorang yang luar biasa, sehingga kakangmas dapat menemukan aku disini meskipun aku mempergunakan penyamaran dengan membiarkan wajahku dikotori oleh jambang, janggut dan kumis. Namun demikian, apakah yang sebenarnya kakangmas kehendaki dengan mencari aku sampai ke tempat ini?”

“Adimas Pangeran Lembu Sabdata,” berkata Pangeran Singa Narpada, “Mungkin jawaban atas pertanyaan itu telah kau ketahui.”

“Baiklah kakangmas,” berkata Pangeran Lembu Sabdata, “Tetapi aku masih juga ingin bertanya, apakah yang akan kakangmas lakukan sekarang?”

“Adimas Lembu Sabdata,” berkata Pangeran Singa Narpada, “Aku ingin mempersilahkan adimas kembali ke istana. Sri Baginda ternyata merasa sangat rindu kepada adinda.”

“Jangan membujuk aku seperti membujuk anak-anak,” sahut Pangeran Lembu Sabdata, “Tetapi berkatalah terus terang sebagaimana yang sebenarnya.”

Pangeran Singa Narpada menarik nafas dalam-dalam. Namun katanya kemudian, “Aku harus membawamu kembali menghadap Sri Baginda adimas.”

“Aku sudah mengerti. Tetapi cara apakah yang akan kakangmas tempuh sekarang?” bertanya Lembu Sabdata.

“Tergantung atas sikapmu,” jawab Pangeran Singa Narpada.

“Jika kau tidak berbuat sesuatu yang bertentangan dengan niatku, maka sudah barang tentu aku tidak akan berbuat apa-apa.”

“Jika aku menolak?” bertanya Pangeran Lembu Sabdata.

“Apakah kau akan menolaknya?” Pangeran Singa Narpada ganti bertanya.

“Kakangmas pun seharusnya tidak usah bertanya. Kakangmas tentu tahu, bahwa sikapku tidak akan lain daripada itu.” jawab Pangeran Lembu Sabdata.

“Jadi kau benar-benar menolaknya?” bertanya Pangeran Singa Narpada.

“Ya. Sudah tentu, karena kakangmas tidak akan dapat berbuat apa-apa disini. Aku sekarang bukan aku yang dahulu. Aku sudah masak untuk berdiri tegak sekarang ini,” jawab Pangeran Lembu Sabdata.

Pangeran Singa Narpada termangu-mangu sejenak. Diamatinya orang-orang yang ada di sekitarnya. Ia tahu bahwa tidak banyak cantrik yang terdapat di padepokan itu selama ia mengamati padepokan itu. Agaknya Ki Ajar memang tidak menerima terlalu banyak orang di padepokannya yang memang tidak begitu besar.

“Pangeran,” berkata Ki Ajar kemudian, “Sikap kami sudah jelas meskipun seandainya Pangeran membawa pasukan segelar sepapan.”

“Kami datang hanya berempat,” jawab Pangeran Singa Narpada.

Ki Ajar termangu-mangu sejenak. Seolah-olah ia tidak percaya bahwa Pangeran Singa Narpada benar-benar hanya berempat. Namun menurut perhitungan nalarnya, seorang Pengeran Singa Narpada tentu tidak akan berbohong.

Namun bahwa Pengeran itu dapat mencapai padepokannya dan sekaligus berhasil memancing Pangeran Lembu Sabdata keluar, tepat pada saat Penembahan Bajang ada di padepokan itu merupakan satu keberhasilan yang mengagumkan.

Sementara itu Pangeran Singa Narpada seolah-olah dapat membaca kebimbangan di hati Ki Ajar. Karena itu maka katanya, “Ki Ajar. Aku masih berpegang kepada martabat kesatrianku. Aku masih menghargai kata-kataku. Aku memang hanya berempat.”

Ki Ajar menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Baiklah Pangeran. Aku mengerti. Karena itu, maka kedatangan Pangeran akan kami terima dengan senang hati. Apapun yang ingin Pangeran lakukan atas kami. Karena sebenarnyalah bahwa kami akan tetap berpegang kepada keyakinan kami.”

“Ki Ajar,” berkata Pangeran Singa Narpada, “Aku, masih ingin sedikit berbicara. Kenapa kau masih juga selalu mengganggu kedudukan Kediri. Jika kau tidak sependapat dengan sikap Kediri terhadap Singasari, sebenarnya kau dapat menempuh jalan lain. Mungkin kau dapat berbicara dengan Sri Baginda. Tetapi cara yang kau tempuh ini adalah cara yang paling kasar. Setelah kau gagal memperalat Adimas Kuda Permati, maka kini kau dengan kekuatan kepribadianmu kau pengaruhi Adimas Lembu Sabdata sehingga ia tidak lebih dari seekor lembu yang telah dicocok hidungnya. Ia tidak mempunyai sikap sendiri sehingga kau dapat memperalatnya sebagaimana Adimas Kuda Permati, karena sebenarnyalah bahwa kau sendiri tidak akan mungkin dapat menguasai tahta sesuai dengan martabatmu.”

Wajah Ki Ajar menjadi tegang. Dengan nada tinggi ia berkata, “Jangan terlalu sombong Pangeran. Kau tidak lebih dari aku. Jika aku dapat mengalahkan kekuatan Kediri dengan cara apapun juga, maka akulah yang berkuasa. Tetapi kau masih menghormati keturunan Raja-raja di Kediri. Karena itu, maka sama sekali tidak memperalat para Pangeran. Aku justru menyediakan diri untuk menjadi alatnya.”

“Kami bukan anak-anak lagi Ki Ajar,” berkata Pangeran Singa Narpada.

Namun dalam pada itu, Pangeran Lembu Sabdata pun menyahut, “Kakangmas masih saja menghina aku. Kakangmas mengira bahwa aku tidak lebih pandai dari seekor kerbau. Bukankah itu sangat menyakitkan hati? Tetapi tidak apa. Kami akan memberi kesempatan kepada kakangmas menghina aku untuk yang terakhir kalinya, karena sejak hari ini kakangmas tidak akan dapat melakukannya lagi.”

“Jangan berkata begitu,” sahut Pangeran Sing Narpada, “Justru aku masih menawarkan sekali lagi kepadamu. Marilah kita menghadap Sri Baginda dengan cara yang baik. Kita akhiri kemelut di Kediri dengan cara yang baik pula. Dengan demikian maka kita akan mempunyai kesempatan untuk membangun Kediri yang besar dan kuat. Kediri yang besar dan kuat, yang kemudian akan menjadi kurus dan kering karena dihisap oleh Singasari,” sahut Pangeran Lembu Sabdata. Lalu katanya kemudian, “Sudahlah kakangmas. Hati kita tidak akan bertemu karena kita berdiri berseberangan. Sekarang kita akan mengambil langkah-langkah sesuai dengan keyakinan kita masing-masing. Kakangmas akan menangkap aku dan aku tidak mau ditangkap.”

Wajah Pangeran Singa Narpada menegang. Rasa-rasanya ia ingin mengoyak mulut Pangeran Lembu Sabdata. Namun Pangeran Singa Narpada masih selalu ingat apa yang pernah terjadi atas dirinya pada saat ia membawa Pangeran Lembu Sabdata sebagai tangkapan. Justru ia sendiri telah ditangkap sebagaimana Pangeran Lembu Sabdata.

Karena itu, maka menghadapi anak muda itu harus sangat berhati-hati. Ia tidak boleh terbunuh dalam benturan yang akan terjadi.

Sementara itu Pangeran Lembu Sabdata masih juga berkata, “Kakangmas, sekali lagi aku peringatkan, bahwa Lembu Sabdata sekarang bukan lagi Lembu Sabdata beberapa saat yang lalu. Jika aku dahulu hanya dapat menundukkan kepala dan mungkin menangis jika kakangmas marah kepadaku, apalagi memukulku, maka sekarang tentu akan berbeda.”

“Aku mengerti Adimas,” sahut Pangeran Singa Narpada yang merasa sangat tersinggung. Namun ia masih tetap pada sikapnya, “Aku memang mengira bahwa selama ini adimas telah ditempa oleh Ki Ajar Bomantara agar Adimas dapat menjadi alat yang baik, sebagaimana seekor kerbau jantan yang kuat dan tidak akan mengecewakan jika dipergunakan untuk menarik bajak sebagaimana Adimas Pangeran Kuda Permati.”

“Kakangmas,” geram Pangeran Lembu Sabdata, “Kakangmas sudah cukup menghina aku. Karena itu, kita tidak usah banyak berbicara lagi. Sekarang tunjukkan kepadaku nama yang besar Kakangmas seperti yang pernah Kakangmas miliki. Apalagi nama yang besar itu masih Kakangmas miliki di hadapanku. Atau sebenarnyalah nama besar itu hanya sekedar kebetulan, karena sebenarnyalah Kakangmas tidak sepantasnya memilikinya.”

Pangeran Singa Narpada menarik nafas dalam-dalam. Tetapi jika ia terpancing, maka ia akan kehilangan perhitungan. Di tempat itu ada Panembahan Bajang dan Ki Ajar Bomantara. Karena itu sudah sewajarnyalah bahwa ia harus melawan salah seorang diantara mereka. Biarlah Pangeran Lembu Sabdata mencoba kemampuan puncak ilmu Mahisa Murti atau Mahisa Pukat yang telah disadapnya sampai tuntas.

Bahkan dengan demikian maka jika dalam, pertempuran itu Pangeran Lembu Sabdata gagal ditangkap hidup-hidup, tetapi harus mengalami nasib yang lebih buruk, maka bukan dirinyalah yang menjadi penyebab. Sementara itu untuk menghukum orang-orang Singasari maka Sri Baginda tentu akan berpikir dua tiga kali. Karena itu maka Pangeran Singa Narpada pun menjawab, sekaligus untuk mengimbangi sikap Pangeran Lembu Sabdata yang sombong, katanya, “Adimas, apakah benar Adimas sekarang pantas untuk berhadapan dengan aku? Apakah dalam waktu singkat Adimas sudah mampu meningkatkan ilmu demikian tinggi?”

“Apapun yang terjadi atas diriku, Kakangmas tidak usah mempersoalkannya. Tetapi kehadiranku di padepokan ini telah membuat aku menjadi seorang yang tentu pantas untuk berdiri berhadapan dengan Kakangmas,” jawab Pangeran Lembu Sabdata.

“Aku mengerti,” Pangeran Singa Narpada mengangguk-angguk. Lalu, “Tentu Adimas telah ditempa oleh Ki Ajar Bomantara sehingga Adimas merasa bahwa Adimas pantas untuk berhadapan dengan aku.”

“Ya,” jawab Pangeran Lembu Sabdata, “Tetapi itu tidak penting. Yang penting bahwa aku akan mampu membuktikan bahwa Kakangmas Singa Narpada bukan orang yang harus paling ditakuti di seluruh Kediri.”

Betapa jantung Pangeran Singa Narpada bergejolak mendengar kata-kata Pangeran yang masih jauh lebih muda daripadanya itu. Tetapi ia masih sadar, bahwa ia harus lebih tenang menanggapinya. Katanya dengan nada yang pasti, “Adimas Lembu Sabdata. Dalam kesempatan ini aku datang berempat. Disini ada orang-orang tua yang barangkali lebih pantas aku layani daripada kau yang masih sangat muda. Karena itu, seandainya kau merasa dirimu mampu melawan aku karena tuntunan Ki Ajar Bomantara, maka biarlah aku mencoba melawan gurumu. Jika aku kalah, maka aku telah salah menilaimu. Tetapi menurut perhitunganku, aku akan lebih pantas bermain-main dengan orang-orang tua. Disini ada anak-anak muda yang lebih pantas melayanimu.”

“Gila,” Pangeran Lembu Sabdata hampir berteriak, “itu adalah sesuatu yang sangat licik. Kau hindari kekuatan yang kau kira tidak akan kau lawan.”

“Jangan terlalu sombong Adimas. Bukan karena Adimas menganggap aku lebih rendah dalam tataran ilmu dengan Adimas, tetapi bahwa Adimas telah menganggap guru Adimas lebih rendah martabat ilmunya dari Adimas sendiri.”

Wajah Pangeran Lembu Sabdata menjadi merah. Tetapi dengan nada sangat marah ia menggeram. “Jangan mengambil keuntungan dengan sifat-sifat licik, seperti itu. Kakangmas, hadapi aku.”

Tetapi Pangeran Singa Narpada yang berhasil menekan perasaannya itu tersenyum. Katanya,” bermain-mainlah dengan anak-anak muda itu Adimas.”

Kemarahan Pangeran Lembu Sabdata tidak tertahankan lagi. Tiba-tiba saja ia telah meloncat menyerang dengan sepenuh tenaganya.

Tetapi Pangeran Singa Narpada yang telah memiliki perbendaharaan pengalaman yang tiada taranya itu sama sekali tidak terkejut mengalami serangan itu. Dengan tenang ia bergeser sehingga serangan itu sama sekali tidak menyentuhnya.

Namun dalam pada itu, Mahisa Pukat lah yang hampir tidak dapat menahan diri. Hanya karena ia masih menghormati kakaknya Mahisa Bungalan, maka Mahisa Pukat tidak segera menerkam Pangeran Lembu Sabdata.

Dalam pada itu, Pangeran Singa Narpada telah berdiri kembali di tempatnya. Dengan lantang ia berkata, “Ki Ajar, urusan ini adalah urusanku dengan Ki Ajar. Serahkan kembali Mahkota yang kau curi dan sekaligus aku akan mengambil adikku.”

“Pangeran,” berkata Ki Ajar, “Aku setuju bahwa persoalan ini adalah persoalan orang-orang tua. Biarlah yang muda bermain dengan anak-anak muda pula. Tetapi jika anak-anak muda yang kau bawa itu terbunuh disini, itu bukan salahku, melainkan karena kesombonganmu dan kesombongan mereka semata-mata.”

“Apapun yang terjadi atas diri kami masing-masing adalah akibat dari tingkah kami sendiri. Tetapi sebaliknya apa yang akan terjadi atas diri kalian adalah karena tingkah kalian pula. Nah, siapakah yang akan turun ke arena? Jika. kalian menurunkan dua orang, maka kami pun akan melayaninya dengan dua orang. Tetapi jika kalian akan hadir bertiga di arena, maka kami akan turun bertiga pula.”

Ki Ajar mengerutkan keningnya. Kemudian dipandanginya Panembahan Bajang sambil berkata, “Apakah kau akan ikut serta atau tidak?”

“Aku sudah berada disini. Aku akan ikut bermain-main. Biarlah mereka mengenal orang yang disebut Panembahan Bajang,” jawab orang Kerdil itu.

“Jika demikian, kita akan turun masing-masing bertiga,” berkata Pangeran Singa Narpada.

“Berempat,” terdengar satu suara. Putut padepokan itulah yang melangkah maju sambil memandang wajah Ki Ajar, seolah-olah minta ijinnya.

“Bagus,” berkata Ki Ajar, “Kau selesaikan anak-anak muda itu bersama Pangeran Lembu Sabdata.”

Putut itupun menarik nafas dalam-dalam. Kemudian iapun melangkah ke halaman memisahkan diri sambil berkata, “Aku tidak akan memilih lawan. Siapa yang datang, maka aku akan menyelesaikannya.”

Mahisa Bungalan pun berpaling kepada dua adiknya sambil berdesis, “Salah seorang diantara kalian. Pergilah.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan. Mereka masing-masing ingin bertempur melawan Pangeran Lembu Sabdata.

Namun akhirnya Mahisa Murti lah yang mengalah. Sambil menarik nafas dalam-dalam ia keluar dari urut-urutannya melangkah mendekati putut yang terpercaya di padepokan itu.

Sementara itu Mahisa Pukat pun segera bersiap-siap pula. Ia yakin, bahwa ialah yang akan melawan Pangeran Lembu Sabdata.

Namun dalam pada itu. Pangeran Lembu Sabdata pun berkata kepada Ki Ajar, “Guru, biarlah aku menyelesaikan Kakangmas Singa Narpada. Dengan demikian tidak ada lagi kebanggaan yang dapat diteriakkannya ke seluruh penjuru Kediri, seolah-olah ia adalah orang yang paling berharga di tanah ini.”

Namun Mahisa Pukat lah yang menjawab, “Jika kau berhasil, maka Pangeran Singa Narpada bukan saja tidak akan meneriakkan lagi kebanggaan atas dirinya. Tetapi ia memang tidak akan dapat lagi berbuat demikian.”

“Diam,” geram Pangeran Lembu Sabdata, “Kau jangan ikut campur. Anak-anak ingusan seperti kau tidak pantas ikut mencampuri persoalan-persoalan yang besar seperti ini. Kau hanya pantas untuk dicekik dan dilempar ke luar dinding padepokan.”

Tetapi Mahisa Pukat justru tertawa. Katanya, “Siapakah yang akan dapat mencekik aku dan melemparkan aku keluar dari padepokan ini? Para cantrik yang menyaksikan pembicaraan ini dengan wajah yang kosong? Atau barangkali Panembahan Bajang, atau Ki Bomantara? Aku adalah orang yang tidak terkalahkan lawanku. Bahkan Pangeran Singa Narpada pun mengakui, bahwa aku adalah orang terkuat diantara empat orang yang datang di padepokan ini.”

“Jangan gila,” desis Mahisa Bungalan.

Tetapi mahisa Pukat hanya tertawa saja. Bahkan katanya, “Nah Pangeran Lembu Sabdata. Jika kau ingin disebut orang yang memiliki kelebihan dari sesama, maka kau harus berani melawan aku.”

Darah Pangeran Lembu Sabdata telah mendidih karenanya. Namun terdengar Ki Ajar Bomantara justru tertawa. Katanya, “Aku senang melihat sikapmu anak muda. Sayang bahwa kau datang untuk melawan kami. Jika kau datang untuk mengunjungi kami dalam suasana persahabatan, aku merasa senang sekali dengan sikap jenakamu itu.”

Wajah Mahisa Pukat menjadi tegang. Namun Pangeran Singa Narpada pun kemudian berkata, “Sudahlah. Biarlah anak-anak muda bergurau. Turunlah ke halaman. Kita akan bermain-main menurut cara orang tua.”

“Ya,” sahut Panembahan Bajang. “Kita sudah terlalu lama berbicara. Marilah kita mulai, mumpung hari masih panjang.”

“Turunlah,” sahut Pangeran Singa Narpada, “Biarlah kita mulai secepatnya, agar pekerjaan kita segera selesai, siapapun yang akan keluar hidup dari arena ini.”

Panembahan Bajang pun telah turun pula ke halaman. Katanya, “Aku tidak akan dapat memilih lawan. Hanya seorang diantara kalian yang tersisa. Apakah orang itu memadai untuk melawan aku?”

“Entahlah Panembahan,” jawab Mahisa Bungalan, “Tetapi marilah kita coba. Nanti jika ternyata kita tidak sesuai, kita akan mengadakan pertukaran lawan.”

Panembahan Bajang tiba-tiba saja telah tertawa berkepanjangan. Katanya, “Kau juga cukup jenaka. Tetapi baiklah, kita akan mencobanya, meskipun nampaknya kau masih terlalu muda untuk melawanku.”

Mahisa Bungalan pun telah melangkah mendekatinya. Sementara itu wajah Pangeran Lembu Sabdata menjadi sangat gelap. Ia merasa terhina bahwa ia harus melawan Mahisa Pukat. Namun kekecewaannya itupun ingin dikerahkannya kepada anak muda itu. Ia merencanakan untuk menghancurkan Mahisa Pukat dalam sekejap, sehingga dengan demikian Pangeran Singa Narpada akan mengakui, bahwa ia memang seorang yang memiliki ilmu yang sangat tinggi. Dengan demikian, maka masing-masing telah mendapat lawannya. Ki Ajar yang kemudian juga turun ke halaman telah berhadapan pula dengan Pangeran Singa Narpada.

“Pangeran,” berkata Ki Ajar, “Pangeran adalah seorang prajurit. Karena itu, maka kemampuan Pangeran yang paling berharga adalah justru dalam perang antara dua kelompok prajurit yang bertempur dalam gelar. Tetapi untuk bertempur seorang lawan seorang seperti ini, agaknya Pangeran masih harus berguru tiga atau empat tahun lagi.”

“Sayang, aku terlambat melakukannya,” jawab Pangeran Singa Narpada, “Dalam waktu tiga atau empat tahun lagi, maka segalanya sudah berubah di Kediri jika mahkota itu masih tetap disini. Karena itu, biarlah aku menghadapimu dengan apa adanya. Menang atau kalah bagiku tidak penting. Tetapi aku sudah berusaha berbuat sebaik-baiknya menurut kemampuanku.”

“Pangeran,” berkata Ki Ajar, “Aku sangat menghargai Pangeran yang sangat ikhlas melakukan pengabdian bagi Kediri. Jika ada sepuluh orang saja di Kediri sebagaimana Pangeran, maka nasib Kediri tentu akan berubah.”

“Terima kasih Ki Ajar. Tetapi jangankan sepuluh orang. Jika benar penilaian Ki Ajar atasku, maka yang seorang ini pun akan kau bunuh pula.”

“Ah,” desah Ki Ajar, “Jangan mengungkit perasaan belas kasihanku Pangeran. Jika demikian tentu aku tidak akan sampai hati membunuhmu.”

“Aku memang berusaha Ki Ajar,” jawab Pangeran Singa Narpada, “Bukankah dengan demikian akulah yang akan berhasil membunuhmu.”

Ki Ajar mengerutkan keningnya. Namun iapun segera tersenyum. Katanya, “Marilah, kita akan dapat memulainya Pangeran.”

Pangeran Singa Narpada tidak menjawab. Tetapi iapun segera bersiap.

Sementara itu, Mahisa Murti dan Putut yang terpercaya dari padepokan itu telah mulai terlibat dalam perkelahian. Putut itu adalah orang yang paling dekat dengan Ki Ajar di padepokan itu, sehingga ilmunya telah manjadi mumpuni.

Sementara itu, beberapa orang cantrik yang ada di halaman itu berdiri termangu-mangu. Tidak ada perintah Ki Ajar bagi mereka untuk melibatkan diri. Bahkan nampaknya Ki Ajar sudah bertekad untuk bertempur seorang melawan seorang.

Dengan demikian maka para cantrik itupun hanya berdiri saja mengamati keadaan. Sambil berdebar-debar para cantrik itu menyaksikan empat lingkaran pertempuran di halaman itu. Saudara tertua mereka, Putut yang paling terpercaya itu melawan seorang anak muda, sebagaimana Pangeran Lembu Sabdata. Sedangkan Panembahan Bajang pun telah mulai dengan melepaskan ilmunya dengan hati-hati. Sedangkan Ki Ajar sendiri harus bertempur menghadapi Pangeran Singa Narpada.

Dalam pada itu mereka yang telah terlibat ke dalam pertempuran itu, masih belum sampai pada mengerahkan kemampuan mereka sepenuhnya. Mereka masih berusaha untuk menjajagi kemampuan lawan masing-masing.

Nampak agak berbeda dengan yang lain, Pangeran Lembu Sabdata yang merasa terhina karena mendapat lawan yang dianggapnya tidak cukup pantas baginya, telah berusaha untuk mengerahkan ilmu dan menyelesaikan pertempuran itu dalam waktu yang sesingkat-singkatnya.

Tetapi lawannya adalah Mahisa Pukat, yang telah pernah menyelesaikan laku dan mencapai ilmu puncaknya pula. Karena itu maka yang dihadapi oleh Pangeran Lembu Sabdata itu bukannya Mahisa Murti atau Mahisa Pukat sebagaimana pernah dikenalnya. Pangeran Lembu Sabdata salah menilai kemungkinan yang dapat terjadi pada seseorang. Ia lupa tentang dirinya sendiri, bahwa pada saatnya, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itu memiliki kelebihan pula daripadanya. Tetapi karena Pangeran Lembu Sabdata merasa telah meningkatkan ilmunya sampai ke puncak setelah ia ditempa oleh Ki Ajar Bomantara, maka ia menganggap bahwa anak-anak muda itu tidak berarti apa-apa lagi baginya.

Namun ternyata bahwa Pangeran Lembu Sabdata telah dikejutkan oleh kenyataan, bahwa Mahisa Pukat tidak dapat dilumpuhkannya pada benturan-benturan pertama.

Namun ternyata bahwa Mahisa Pukat pun harus mengakui kemampuan Pangeran Lembu Sabdata. Agaknya Pangeran Lembu Sabdata telah menyadap ilmu sampai ke puncak kemungkinannya pula.

Dengan demikian, maka Pangeran Lembu Sabdata pun tidak lagi menahan diri. Keinginannya untuk menghancurkan lawannya dalam waktu dekat telah mendorongnya untuk menghentakkan ilmunya dan menumpahkannya dalam serangan-serangannya yang cepat dan berat.

Tetapi yang terjadi tidak seperti yang diharapkannya. Lawannya ternyata tidak segera dapat dilumpuhkannya. Mahisa Pukat ternyata mampu mengimbangi kecepatan geraknya. Bahkan, dengan perhitungan yang cermat, maka Mahisa Pukat pun telah didorong pula oleh kemudaannya untuk menunjukkan kepada lawannya, bahwa tidak dapat di perlakukan sekehendak hati Pangeran Lembu Sabdata.

Karena itulah, maka Mahisa Pukat pun telah bersiap untuk pada satu saat membenturkan kekuatannya melawan serangan-serangan Pangeran Lembu Sabdata yang datang membadai.

Pangeran Lembu Sabdata yang belum menyadari kemungkinan yang dapat terjadi, masih saja berusaha untuk menghancurkan lawannya dengan serta merta.

Tetapi, ketika dengan segenap kekuatannya Pangeran Lembu Sabdata menyerang Mahisa Pukat yang nampak agak terbuka pertahanannya, ternyata telah membentur satu kekuatan yang tidak diduganya. Mahisa Pukat tidak berusaha menghindari serangan itu. Namun ia justru telah berusaha menangkisnya dengan membenturkan kekuatannya pula melawan kekuatan Pangeran Lembu Sabdata.

Benturan itu ternyata telah menimbulkan akibat yang sangat mengejutkan. Mahisa Pukat telah terdorong be berapa langkah susut. Hampir saja ia kehilangan keseimbangannya. Namun dengan susah payah ia berhasil bertahan dan tidak jatuh tertelentang. Namun dalam pada itu. Pangeran Lembu Sabdata pun telah terpental pula be berapa langkah. Bahkan karena keyakinannya akan kemampuannya. Pangeran Lembu Sabdata tidak mengira bahwa kekuatannya akan membentur kekuatan yang seimbang. Karena itulah maka ia pun telah kehilangan kewaspadaan. Setelah terhuyung-huyung sejenak, maka iapun telah jatuh di tanah. Namun demikian ia terguling, maka iapun dengan cepat telah melenting berdiri dan bersiap menghadapi segala kemungkinan.

Namun bahwa ia terjatuh di tanah itu telah merupakan satu peringatan yang keras. Dengan demikian bahwa perhitungannya atas kekuatan lawannya ternyata kurang cermat, sehingga ia telah jatuh berguling di tanah.

Untuk mengatasi gejolak perasaan didalam dirinya, Pangeran Lembu Sabdata itu telah berkata lantang, “Jangan kau anggap bahwa kau mampu mengimbangi kekuatanku. Ternyata bahwa aku telah melakukan satu kesalahan sehingga aku terjatuh. Bukan karena kelebihanmu atas aku.”

Mahisa Pukat yang berdiri tegak menyahut, “Pangeran. Bukankah aku tidak berkata apapun juga tentang keadaan Pangeran? Aku memang tidak menganggap bahwa aku mempunyai kelebihan. Aku juga tidak pernah menganggap ringan lawan-lawanku meskipun seandainya ia tidak berdaya sama sekali. Aku menghargai lawan-lawanku sehingga dengan demikian aku tidak akan mengalami goncangan sebagaimana Pangeran alami.”

“Tutup mulutmu,” geram Pangeran Lembu Sabdata, “Kau jangan menjadi sombong karenanya.”

“Aku tidak pernah menyombongkan diri,” jawab Mahisa Pukat, “Tetapi jika peristiwa seperti yang baru saja ini terjadi, sama sekali bukan karena kesombonganku. Tetapi justru karena kelengahan Pangeran dan barangkali juga karena kemampuanku yang memadai.”

Pangeran Lembu Sabdata mengumpat kasar Kata-kata Mahisa Pukat itu membuat telinganya menjadi merah. Ternyata anak muda itu benar-benar anak yang sangat sombong.

Namun dalam pada itu, Mahisa Bungalan lah yang berdesis, justru disela-sela perlawanannya terhadap Panembahan Bajang. Katanya, “Kau memang sombong Pukat.”

“Tidak,” Panembahan Bajang lah yang menyahut, “Aku senang mendengar kelakarnya. Tentu Pangeran Lembu Sabdata pun senang mendengarnya. Anak itu tidak berniat untuk menyombongkan diri. Tetapi kebiasaannya bergurau membuatnya seolah-olah ia adalah anak yang sangat sombong.”

Pangeran Lembu Sabdata mengerutkan keningnya. Sementara itu Panembahan Bajang pun masih berkata, “Karena itu, Pangeran jangan menanggapinya dengan hati yang panas.”

Pangeran Lembu Sabdata tidak menjawab. Tetapi ia merasa bahwa Panembahan Bajang telah memperingatkannya, agar hatinya tidak menjadi gelap karena kemarahan yang tidak tertahankan. Sementara itu, lawannya telah dengan sengaja membuatnya marah dengan kata-katanya yang dapat membakar jantung.

Karena itu, maka Pangeran Lembu Sabdata telah berusaha untuk mengekang diri, agar ia dapat menanggapi lawannya dengan sikap yang tenang.

Dengan demikian, maka keduanya telah berhadapan pula dengan sikap yang lebih hati-hati. Pangeran Lembu Sabdata yang telah menjajagi ilmu lawannya, tidak dapat mengingkarinya, bahwa anak muda yang dihadapinya memang mempunyai kemampuan yang tinggi.

Karena itu, maka pertempuran yang kemudian terjadi, dilandasi oleh perhitungan-perhitungan yang lebih matang, bukan sekedar didorong oleh kemarahan yang meluap-luap.

Sementara itu, ternyata bahwa pertempuran antara Putut yang terpercaya dari padepokan Ki Ajar melawan Mahisa Murti menjadi lebih bersungguh-sungguh. Putut itu bukan seorang yang kurang dapat mengendalikan diri seperti Pangeran Lembu Sabdata. Tetapi ia adalah orang yang telah terlatih menghadapi segala macam keadaan. Cara hidupnya yang lebih banyak ditempa oleh tata kehidupan yang keras di padepokan, ternyata mempunyai pengaruh pula didalam dirinya. Sehingga dengan demikian, maka nampaknya ia lebih masak dari Pangeran Lembu Sabdata.

Karena itu, Mahisa Murti pun menghadapinya dengan sangat berhati-hati. Setiap langkahnya diperhitungkannya dengan cermat. Sementara Putut itu sendiri, nampaknya tidak tergesa-gesa dan tidak menghentak-hentak. Satu-satu langkahnya nampaknya diperhitungkannya pula dengan sungguh-sungguh.

“Ternyata orang ini memiliki kemampuan yang mantap,” berkata Mahisa Murti didalam hatinya.

Sementara itu, Mahisa Bungalan telah berhadapan dengan seorang yang bertubuh kerdil, tetapi mampu bergerak dengan kecepatan yang luar biasa Tubuhnya seolah-olah tidak berbobot sama sekali. Dengan cepat orang kerdil itu melenting, namun kemudian kedua kakinya bagaikan berakar dalam menusuk ke pusat bumi.

“Kau lucu sekali,” desis Mahisa Bungalan, “kau mengingatkan aku kepada sesuatu.” berkata Mahisa Bungalan.

“Aku tahu,” jawab Panembahan Bajang. “Aku tidak akan marah jika kau sebutkan saja dengan terus terang.”

Mahisa Bungalan meloncat menghindar ketika Panembahan Bajang itu menerkamnya.

“Apakah kau mengetahui, apakah kira-kira yang akan aku katakan,” bertanya Mahisa Bungalan.

“Aku tahu pasti. Kau akan mengatakan, bahwa kau teringat kepada seekor kera,” jawab Panembahan Bajang.

Mahisa Bungalan tertawa. Tetapi suara tertawanya tiba-tiba saja terputus. Panembahan Bajang, yang kerdil itu menyambarnya. Hampir saja menyambar kepalanya.

Tetapi Panembahan Bajang pun kemudian tertawa pula. Katanya, “Bukankah begitu?”

“Bukan aku yang menyebutnya. Tetapi kau sendiri,” berkata Mahisa Bungalan.

“Kau bukan orang yang pertama mengatakan aku seperti itu,” berkata Panembahan Bajang. “Di kaki Gunung Semeru aku pernah dikatakan pula sebagai seekor kera. Caraku berkelahi dan malahan katanya rupaku juga.”

“O,” desis Mahisa Bungalan, “Dan kau tidak marah?”

“Tidak,” jawab Panembahan Bajang. “Tetapi entahlah, bahwa akhirnya aku membunuhnya. Ia mati karena aku mencekiknya.” Panembahan Bajang berhenti sejenak. Lalu katanya sambil bergeser ke samping, “Tetapi seandainya ia tidak mati tercekik, mak
a aku akan dapat membunuhnya dengan cara tersendiri. Dari manapun juga atau dimanapun juga ia bersembunyi.”

“Jika demikian, maka untuk menghindarkan diri dari kemungkinan itu, maka aku harus membunuhmu,” berkata Mahisa Bungalan.

“O, lucu sekali,” jawab Panembahan Bajang. Lalu katanya, “Sampai sekarang Panembahan Bajang belum pernah dibunuh orang. Jika kau berhasil membunuhku, itu adalah satu kelainan. Tetapi yang biasa terjadi Panembahan Bajang akan membunuh musuh-musuhnya dengan cara apapun juga.”

“Apakah kau kira sudah ada orang yang pernah membunuhku sebelumnya?” bertanya Mahisa Bungalan.

Sekali lagi Panembahan tertawa. Tetapi ternyata ia harus melenting beberapa langkah surut ketika dengan garangnya Mahisa Bungalan menyerangnya.

“Uh,” desis Panembahan Bajang. “Kekuatanmu melampui kekuatan seekor gajah,” lalu katanya, “Tetapi kau memang lucu seperti anak muda yang bertempur melawan Pangeran Lembu Sabdata. Sedangkan anak muda yang bertempur melawan Putut itu nampaknya agak pendiam.”

Sebenarnyalah bahwa Mahisa Murti tidak terlalu banyak berbicara. Bukan saja karena ia sendiri memang tidak terlalu banyak berbicara, lawannya pun agaknya seorang yang bersungguh-sungguh menghadapi satu persoalan.

Karena itu, maka keduanya pun bertempur dengan sangat berhati-hati. Keduanya menanggapi perkembangan keadaan dengan cermat dan dengan perhitungan yang mapan, agar tidak membuat kesalahan.

Keduanya menyadari, bahwa kesalahan sedikit saja yang diperbuat, akan dapat menjerumuskan mereka ke dalam kesulitan yang berkepanjangan. Bahkan mungkin akan dapat menyeretnya ke dalam lingkaran maut.

Setingkat demi setingkat, mereka meningkatkan ilmu mereka. Seperti seseorang yang menyeberangi sebatang sungai, mereka menjajagi kedalamannya setapak demi setapak.

Katanya, “Benar-benar bukan anak muda kebanyakan. Agaknya memang tidak perlu aku berpura-pura. Tetapi aku pun tidak perlu mengatakan sebab yang sebenarnya. Yang dapat aku katakan sekarang adalah, bahwa aku ingin membunuh kalian. Tidak lebih dan tidak kurang.”

“Baiklah,” jawab Mahisa Murti, “Jika demikian, maka kami berdua wajib membela diri. Bahkan jika dalam keadaan membela diri itu kami harus membunuh, maka kami tidak akan menyesal, karena kau pun telah berniat untuk membunuh kami.”

“Jika demikian, maka kita tidak usah banyak berbicara,” berkata orang bertubuh kecil itu, “Jalan ini tidak terlalu sering dilalui orang. Tetapi sekali-kali dalam saat seperti ini kadang-kadang ada juga orang lewat. Orang yang keluar masuk padukuhan itu. Karena itu, marilah kita memasuki pategalan sebelah, agar aku dapat membunuh kalian dengan tenang.”

“Gila,” geram Mahisa Pukat, “Kau ingin menggiring kami seperti seekor lembu yang dibawa ke tempat penjagaan? Tetapi baiklah. Mungkin akibatnya akan berbeda, karena dengan …

Orang itu mengerutkan keningnya. Tetapi katanya, “Kalian masih terlalu muda untuk dapat mengalahkan aku, meskipun kalian berdua. Tetapi sebaiknya memang kita coba sebelum aku benar-benar membunuhmu. Membunuh orang yang berani melawan memberikan kepuasan tersendiri daripada membunuh seorang pengecut yang menyerahkan lehernya.”

Hijaunya Lembah, Hijaunya Lereng Pegunungan
LihatTutupKomentar