Sepasang Ular Naga di Satu Sarang 17


“Baik, baiklah Ki Sanak,” katanya ketakutan.
“Sebelum aku mengambil sikap yang lain terhadapmu dan keluargamu.”

Pemilik rumah itu sama sekali tidak berani berbuat apa-apa lagi. Ia merasa bahwa ilmu orang itu jauh berada di atas kemampuannya yang tidak seberapa itu.

Dengan kaki gemetar ia melangkah ke dalam biliknya diikuti oleh Wangkir. Diambilnya sebuah peti dari bawah amben bambunya yang diikat dengan tali yang kuat dengan kaki amben itu.

“Kau sangat berhati-hati.” berkata Wangkir. Orang itu tidak menjawab.
“Bukalah petimu.”

Orang itu ragu-ragu. Tetapi kemudian ia pun membuka peti itu. Peti yang berisi bukan saja uang, tetapi juga perhiasan. Pendok emas, timang dan sepasang perhiasan isterinya yang dibuat dari permata bersalut emas.

Wangkir menarik nafas dalam-dalam. Namun iapun kemudian berkata, ”Minggirlah. Aku akan mengambil sendiri keperluanku.”

Pemilik rumah itu ragu- sejenak. Tetapi ia pun kemudian bergeser selangkah.

Wangkir masih berdiri termangu-mangu. Wajahnya menjadi tegang memandang barang-barang yang berada di dalam peti itu. Bukan hanya uang. Tetapi perhiasan yang harganya cukup mahal.

Diluar sadarnya, terasa nafasnya menjadi terengah-engah. Ada sesuatu yang terasa bergejolak di dalam dadanya. Jarang sekali ia melihat perhiasan-perhiasan seperti yang sekarang dilihatnya di dalam peti itu.

Selagi Wangkir berdiri termangu-mangu, tiba-tiba saja Geneng telah berada di belakangnya. Wajahnya tiba-tiba menjadi tegang, dan biji matanya seolah-olah akan meloncat keluar.

“Apa salahnya.” bisiknya ditelinga Wangkir.

Wangkir berpaling. Sejenak ia termangu-mangu.

“He, apakah yang harus dipikirkan lagi.” desak Geneng.

Wangkir menarik nafas dalam-dalam. Katanya perlahan-lahan, ”Kita memerlukan beaya selama kita berada di Kota Raja.”

“Ya. Dan perhiasan itu adalah cukup berharga.”

Wangkir termenung untuk beberapa saat. Namun kemudian ia menggeleng sambil berkata, ”Kita hanya memerlukan uang. Hanya itu.”

Geneng berdesis, ”Gila. Kau semakin lama menjadi semakin bodoh. Buat apa kau berpura-pura menjadi seorang yang bersih dari kejahatan.”

“Aku tidak berpura-pura. Tetapi kita sedang menjalankan tugas yang dibebankan oleh guru kita, Empu Baladatu. Kau ingat, bahwa jika kita gagal, maka kita akan menghadapi hari depan yang gelap? Kita harus dapat merintis jalan itu, betapapun kecil hasilnya.”

Geneng menarik nafas dalam-dalam. Seolah-olah ia sedang berusaha mengendapkan gelora di dalam dadanya. Namun ia tidak berani membantah lagi. Kakak seperguruannya telah mengambil keputusan yang berbeda dengan pendiriannya.

Karena itu, maka ia pun melangkah surut, dan tidak lagi berusaha untuk mengetahui isi peti itu lebih lama lagi. Geneng tidak yakin akan dirinya sendiri, bahwa ia dapat mengekang gejolak perasaannya seandainya ia memandangi isi peti itu lebih lama lagi.

Sejenak kemudian, maka Wangkir pun berjongkok di samping peti yang penuh dengan perhiasan dan uang. Sekilas dipandanginya pemilik peti yang duduk di sudut bilik itu dengan ketakutan.

“Kiai.” berkata Wangkir, ”Seperti yang sudah aku katakan, aku hanya akan mengambil uang menurut kebutuhanku. Aku tidak akan mengambil semuanya, apalagi perhiasan-perhiasanmu itu. Jika ternyata ada sebutir permata saja yang hilang karena tanganku, maka terkutuklah aku dan sanak kadangku.”

Pemiliknya sama sekali tidak berani menyahut. Ia hanya memandangi saja tangan Wangkir yang mengambil beberapa genggam keping uang dari petinya.

“Nah, terima kasih Kiai. Mudah-mudahan di hari mendatang, kau akan menjadi semakin kaya raya. Mudah-mudahan kau tidak akan pernah diganggu oleh penjahat-penjahat yang manapun juga.”

Pemilik rumah itu tercengang. Tetapi ia tidak dapat menjawab sepatah katapun juga.

Orang itu masih kebingungan.

“Aku minta diri Kiai.”

Wangkir tertawa. Kemudian ia pun melangkah meninggalkan bilik itu diikuti Geneng. Sekali mereka berpaling, namun kemudian mereka pun meninggalkan rumah itu lewat pintu yang telah mereka rusakkan.

Demikian mereka meninggalkan halaman rumah itu, Geneng tidak dapat menahan perasaannya lagi. Seperti banjir ia melontarkan berbagai macam pertanyaan yang terasa menyumbat jantungnya.

“Kakang, kenapa kakang bersikap begitu baiknya terhadap pemilik rumah itu? Kenapa kakang menjadi sabar dengan tiba-tiba dan bahkan kakang telah mencegah aku bertindak? Kemudian aku sama sekali tidak mengerti, kenapa kakang tidak mengambil sebutir permata pun dari peti yang sudah dihadapkan di bawah hidung kakang itu?”

Wangkir tertawa. Katanya, ”Geneng. Kau memang terlampau bodoh untuk menjalankan tugas seperti ini. Kita akan tinggal di Kota Raja ini untuk beberapa waktu lamanya. Untuk melihat perkembangan keadaan. Untuk melihat-lihat apakah kita akan dapat bertemu dengan anak muda yang bernama Mahisa Bungalan, dan apabila mungkin menjajagi, betapa tinggi ilmu Mahisa Agni yang termashur itu.”

“Ya, apa hubungannya dengan sikap kita yang banci ini?”

“Geneng. Jika kita bersikap kasar, dan apabila kau mempergunakan cara yang khusus dipergunakan oleh perguruan kita dalam puncak perlawanan, membunuh lawan dengan luka arang kranjang dan kulit terkelupas, maka hal itu tentu akan dapat segera dikenal. Apalagi jika mayat itu kemudian dilihat oleh orang-orang penting di Singasari, terutama jika kebetulan Mahisa Bungalan sempat melihatnya, maka ia pun akan segera mengambil kesimpulan, bahwa kita berada di kota ini.”

“Mereka tidak mengenal kita.”

“Tetapi bahwa di kota ini ada murid Empu Baladatu, akan membuat kota ini menjadi semakin sibuk dengan penjagaan dan kesiagaan.”

Geneng menarik nafas dalam-dalam. Katanya, ”Kau memang cerdik. Aku mengerti.” ia berhenti sejenak, lalu, ”Tetapi bagaimana dengan perhiasan itu? Jika kita membawanya, apakah ada kesulitannya?”

“Buat apa kita membawanya? Kita tidak akan segera dapat memanfaatkannya. Daripada kita harus menyimpannya untuk waktu yang lama, biarlah pemiliknya itu menyimpannya untuk kita.”

“He?”

“Mereka percaya bahwa kita bersikap baik. Agaknya ia akan tetap menyimpan kekayaannya. Pada suatu saat, jika kita akan kembali kepadepokan, maka kita akan singgah sebentar untuk mengambil titipan kita itu.”

“Apakah barang-barang itu tidak akan disingkirkannya?”

“Justru karena sikap kita meyakinkan, mereka akan tetap menyimpannya.”

Geneng mengangguk-angguk. Ternyata kawannya memang cerdik sehingga ia dapat menyembunyikan segala ujud dan wataknya yang sebenarnya, sehingga dengan demikian, maka pemilik rumah itu tidak menjadi dendam kepadanya.

Seperti yang diperhitungkan oleh Wangkir, penghuni rumah yang meskipun pintu rumahnya dirusak itu, menjadi heran melihat tingkah laku dua orang yang menyembunyikan wajahnya di balik ikat kepalanya. Meskipun di hadapannya telah tersedia uang dan barang-barang perhiasan yang nilainya jauh lebih banyak dari uang yang tersedia, namun kedua orang itu sama sekali tidak mengambilnya. Bahkan uang yang ada itupun tidak diambil seluruhnya.

“Tentu karena keadaan yang memaksa sekali, maka kedua orang itu masuk ke dalam rumah ini dan mencari uang. Tetapi ternyata mereka adalah orang-orang yang baik dan tidak serakah. Meskipun semula mereka hanya memerlukan uang, tetapi jika pada dasarnya mereka adalah orang-orang yang serakah, maka perhiasan itu pun akan diambilnya.” berkata pemilik rumah itu kepada isteri dan anak- anaknya.

“Memang mengherankan sekali Kiai.” sahut isterinya, ”Perhiasan-perhiasan itu tetap utuh.”

“Aku tidak mengerti.” gumam suaminya, ”Tetapi itu merupakan kenyataan bagi kita.”

“Tetapi besok kita harus memperbaiki pintu itu.”

“Ah itu tidak seberapa. Jika saja aku tahu tingkah lakunya, maka pintu itu tidak akan rusak. Dan aku tidak perlu mencoba melawannya, karena sama sekali tidak berarti apa-apa. Jika mereka berdua membunuh aku dan merampas semua milik kita, maka tidak seorang pun yang dapat menghalanginya.”

Dengan demikian maka kedua orang suami isteri itu justru mengucap sukur bahwa mereka masih tetap hidup dan milik mereka yang berharga, yang mereka tabung sedikit demi sedikit itu masih tetap ada di tangan mereka.

Berbeda dengan kedua orang tua itu, yang pada pagi harinya seolah-olah telah melupakan peristiwa itu, maka kedua anaknya telah bercerita kepada kawan-kawannya, tentang kedua orang yang semalam masuk ke dalam rumahnya.

“Ah, kau bermimpi.” berkata salah seorang kawannya.

“Kami tidak akan dapat bermimpi berdua bersamaan waktu dan kejadiannya.” jawab yang tua dari kedua saudara itu.

Kawan-kawannya mengerutkan keningnya. Lalu, ”Tetapi itu mustahil. Satu di antara seribu orang yang berbuat demikian.”

“Nah, jika demikian ternyata dua di antara yang dua ribu orang adalah orang-orang yang masuk ke rumahku semalam.”

Kawan-kawannya mengangguk-angguk. Memang hal itu adalah suatu hal yang jarang sekali terjadi.

Dalam pada itu. Wangkir dan Geneng, telah membuat diri mereka menjadi dua orang perantau. Menjelang tengah hari mereka berdua datang memasuki halaman rumah yang memang sudah mereka pilih sebelumnya. Dengan wajah yang letih dan kata-kata yang melas asih, keduanya minta agar diperkenankan untuk tinggal beristirahat barang satu dua hari di rumah itu.

“Jika paman tidak berkeberatan, tolonglah kami.” berkata Wangkir.

“Aku adalah orang melarat Ki Sanak.” sahut pemilik rumah itu, ”Rumahku kecil dan sederhana.”

“Paman, jika kami berdua diperkenankan tinggal di atas kandang sekalipun, kami akan mengucapkan beribu terima kasih.”

“Seandainya demikian, sekedar tempat untuk tidur, tetapi apakah aku dapat memberi makan kepada Ki Sanak selama Ki Sanak berada di rumah ini.”

“Paman.” jawab Wangkir, ”Aku masih mempunyai beberapa keping uang, yang barangkali dapat membantu paman selama aku berada di rumah ini. Tetapi juga sekedar membantu saja karena uang kami juga tidak banyak.”

“Jika demikian.” berkata orang itu, ”Kami tidak berkeberatan. Pakailah uangmu untuk makanmu sehari-hari. Aku. dapat memberimu tempat untuk tidur di bekas lumbung, karena tidak ada lagi yang dapat aku simpan di lumbung kedua. Di lumbung yang satu pun agaknya padiku tidak memenuhi seperempatnya lagi, sebelum panen mendatang, sedang keluargaku termasuk keluarga yang agak besar.”

Wangkir dan Geneng mengangguk-angguk. Mereka tidak tahu bahwa di rumah itu ada tujuh orang anak, sepasang suami isteri yang sudah tua, ayah dan ibu pemilik rumah itu, dan dua orang adik isterinya.

“Nampaknya rumah ini sepi.” berkata Wangkir, ”Ternyata paman mempunyai keluarga yang cukup banyak.”

“Ya. Keluargaku cukup banyak. Aku harus memberi makan dua keluarga sekaligus. Sebagian memang tidak tinggal disini, karena mereka masih mempunyai rumahnya sendiri, meskipun hanya berbatasan dinding batu di sebelah.”

“O.” Wangkir mengangguk-angguk, ”Jadi keluarga yang paman sebut itu tinggal di dua rumah sebelah menyebelah ini.”

“Ya. Karena itu aku masih ada tempat bagimu berdua untuk tidur. Hanya untuk tidur.”

“Paman.” berkata Wangkir, ”Aku akan menyerahkan uangku kepada paman dan bibi disini. Aku akan ikut makan bersama keluarga di sini, apapun ujudnya.”

Pemilik rumah itu termangu-mangu sejenak. “Inilah uangku paman.” berkata. Wangkir kemudian sambil menyerahkan sekampil uang.

Pemilik rumah itu terkejut melihat uang sebanyak itu. Hampir ia tidak dapat mempercayai penglihatannya. Uang sebanyak itu jarang sekali dilihatnya dan merupakan kekayaan yang tidak terduga-duga sebelumnya menurut ukurannya.

Karena itu ia justru termenung beberapat saat bagaikan membeku. Uang sebanyak itu benar-benar telah memukaunya sehingga ia kehilangan nalar.

Wangkir yg mengetahui perasaan pemilik rumah itu tersenyum. Uang yang diberikan itu masih belum seluruhnya yang diambilnya dari peti yang bercampur baur dengan perhiasan. Tetapi karena tingkat hidup kedua keluarga yang didatanginya itu memang jauh berbeda, maka uang yang hanya sebagian itu benar-benar telah mengejutkannya.

“Apakah pendapat paman?” bertanya Wangkir.

“Ki Sanak.” berkata pemilik rumah itu, ”Apakah aku tidak sekedar bermimpi melihat uang sehanyak itu?”

“Tidak paman. Aku memang membawa uang yang cukup.”

“Aku menjadi bingung Ki Sanak. Uang itu terlalu banyak buatku. Mungkin dalam waktu beberapa bulan aku bekerja, aku tidak akan mendapatkan uang sebanyak itu.”

“Tetapi uang ini sekarang ada disini. Jika paman mengijinkan aku tinggal disini, di kandang pun aku tidak berkeberatan, maka uang itu aku serahkan kepada paman, sebagai imbalan kebaikan hati paman, dan makan kami sehari-hari untuk beberapa saat selama aku tinggal di sini.”

Pemilik rumah itu mengangguk-angguk. Katanya, ”Aku tidak dapat menyatakan keberatan apapun Ki Sanak. Pada dasarnya, aku dapat memberikan tempat untuk sekedar tidur di lumbung. Sedang untuk makan Ki Sanak, ternyata Ki Sanak sudah membawa uang sendiri, dalam jumlah yang cukup banyak.”

Dengan demikian maka Wangkir dan Geneng pun telah dengan senang hati diterima menjadi keluarga dalam rumah yang sederhana itu. Sebuah dari lumbung yang kosong itupun dibersihkannya, dan diberi sebuah amben yang cukup besar.

Di hari-hari pertama, Geneng dan Wangkir menunjukkan sikap dan tindak tanduk yang baik dan menyenangkan. Pagi-pagi benar mereka telah bangun dan mengisi jambangan di pakiwan sampai penuh. Kemudian mereka pun ikut membersihkan halaman dan menyapu daun-daun kuning yang berguguran di longkangan.

Dalam hubungan sehari-hari Wangkir dan Geneng sama sekali tidak menyembunyikan namanya. Setiap orang didalam keluarga itu memanggil mereka dengan namanya. Sedang Wangkir dan Geneng pun kemudian memanggil pemilik rumah itu dengan kependekan namanya, paman Suri.

Hubungan di antara mereka pun segera menjadi akrab. Geneng yang kasar, harus mengekang segala tingkah lakunya sesuai dengan petunjuk Wangkir yang ternyata lebih mampu mengendalikan dirinya. Bahkan Geneng tidak lagi dapat bermalas-malas seperti yang biasa dilakukannya. Setiap saat Wangkir telah mendesaknya untuk berbuat sesuatu bagi Suri. Memotong kayu, mengambil air dan kerja yang lain.

Dalam pada itu, ketika hidup Wangkir dan Geneng sudah menjadi semakin luluh di dalam keluarga itu, berita tentang perampokan yang telah dilakukannya sampai juga ketelinga petugas sandi Singasari. Meskipun pemilik uang yang diambil oleh Wangkir dan Geneng itu tidak merasa perlu untuk melaporkan kehilangan yang baginya tidak begitu banyak itu, namun ceritera dari mulut kemulut, baik yang dikatakan oleh anak-anaknya, maupun dalam suatu saat pemilik itu sendiri terlupa dan terloncat ceritera tentang kedua orang yang mendatanginya itu, maka akhirnya ceritera itu pun banyak menarik perhatian petugas-petugas sandi yang mendengarnya.

Tetapi petugas-petugas sandi itu tidak segera mengambil sikap. Mereka masih berpura-pura tidak mengerti, bahwa hal itu telah terjadi. Namun laporan tentang hal itu, telah mereka sampaikan kepada atasan mereka.

“Peristiwa itu memang sangat menarik perhatian.” berkata Senapati yang mendapat laporan langsung dari petugas-petugas sandi.

Dalam persoalan yang aneh itu, beberapa orang Senapati akhirnya mengambil keputusan untuk mengadakan beberapa penyelidikan. Mereka masih membatasi diri pada lingkungan petugas-petugas sandi. Hanya satu dua orang Senapati di luar lingkungan mereka yang mendengar peristiwa yang aneh itu.

Lembu Ampal yang kebetulan mendengar dari seorang Senapati bawahannya, ternyata tertarik juga akan peristiwa yang jarang sekali terjadi itu.

“Aku tidak mengerti, apakah tujuan perampokan itu.” berkata Lembu Ampal pada suatu saat, ketika ia bertemu dengan Mahisa Agni.

“Mungkin kedua orang itu benar dua orang yang tidak berniat buruk. Mungkin mereka adalah perantau yang kehabisan bekal di jalan.”

“Seandainya keduanya adalah perantau, maka mereka adalah perantau yang pilih tanding. Pemilik rumah itu sama sekali tidak dapat berbuat apa-apa. Kedua orang itu memiliki ilmu yang tinggi.”

Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Apalagi ketika Lembu Ampal menceriterakan bagaimana salah seorang dari mereka bersikap kasar dan mengancam dengan tata gerak yang mengerikan.

“Yang seorang.” berkata Lembu Ampal, ”Telah mengancam akan membunuh penghuni rumah itu dengan kulit terkelupas seperti pisang.”

Mahisa Agni mengerutkan keningnya. Keterangan itu sangat menarik hatinya. Tetapi untuk mesentara ia tidak memberikan tanggapan apapun. Namun demikian ia bergumam, ”Aku ingin bertemu dengan pemilik rumah itu.”

“Kita akan kesana.” berkata Lembu Ampal.

“Kita memberitahukannya kepada pimpinan petugas sandi agar tidak terjadi kesimpang siuran.”

“Baiklah. Aku akan segera menghubunginya.”

Demikianlah Lembu Ampal pun kemudian atas persetujuan pimpinan petugas sandi, telah pergi bersama Mahisa Agni ke rumah orang yang telah didatangi oleh Wangkir dan Geneng. Pimpinan petugas sandi itu sama sekali tidak dapat menolak meskipun ia masih ingin membatasi penyelidikan persoalan itu, karena Mahisa Agni adalah orang yang sangat di segani oleh siapapun di Singasari.

Kedatangan Mahisa Agni sama sekali tidak menarik perhatian siapapun juga, karena ia datang hanya berdua saja dengan Lembu Ampal dan seorang pengawal sebagai penunjuk jalan.

Tidak seorang pun yang mengira bahwa seorang yang memiliki pengaruh dan wibawa sebesar Mahisa Agni itulah yang datang ke rumah orang kaya itu, sehingga, karena itu tidak seorang pun yang menghiraukannya.

Tetapi bagi pemilik rumah itu, kedatangan ketiga orang tamunya benar-benar telah mengejutkannya. Ia pun sama sekali tidak menduga, bahwa tiba-tiba saja tiga orang tamu dari lingkungan istana Singasari telah datang kepadanya.

Dengan tergopoh-gopoh ia mempersilahkan tamu-tamunya naik ke pendapa. Meskipun semula ia tidak begitu mengenal mereka, tetapi lambat laun ia dapat mengetahui bahwa yang datang adalah orang yang pernah dilihatnya sebagai salah seorang dari pimpinan tertinggi prajurit Singasari.

“Kedatangan tuan-tuan sangat mengejutkan hati.” berkata pemilik rumah itu.

Mahisa Agni tersenyum. Katanya, ”Memang mungkin aku sangat mengejutkan, karena aku tidak memberitahukan kedatanganku lebih dahulu. Tetapi sebenarnya aku tidak mempunyai kepentingan apa-apa. Aku hanya ingin melihat apakah yang pernah aku dengar tentang peristiwa yang terjadi di rumah ini benar seperti ceritera itu.”

Orang itu termangu-mangu sejenak. Lalu iapun bertanya dengan berdebar-debar, ”Darimanakah tuan mengetahui bahwa baru saja terjadi sesuatu di rumah ini?”

Mahisa Agni memandang orang itu sambil tertawa kecil. Katanya, ”Mungkin aku mendengar ceritera yang salah. Karena itu, sebaiknya kau menceriterakan apa yang sebenarnya telah terjadi.”

Penghuni rumah itu menjadi semakin bimbang. Tetapi Mahisa Agni mendesaknya, ”Katakan, apa yang kau alami pada malam itu selengkapnya. Ketika dua orang telah datang kepadamu dan merampas uangmu. Aku ingin mendengar langsung dari mulutmu.”

Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian ia pun segera berceritera tentang peristiwa yang telah dialaminya itu selengkap-lengkapnya seperti yang diminta oleh Mahisa Agni. Tidak ada yang dilampauinya dan tidak ada yang ditambahkannya.

Mahisa Agni, Lembu Ampal dan pengawal yang menunjukkan tempat itu pun mendengarkannya dengan penuh perhatian. Agaknya peristiwa itu memang peristiwa yang aneh bagi Singasari. Dalam suasana yang tenang dan damai, tiba-tiba saja telah terjadi perampokan yang mengandung rahasia.

“Beberapa saat yang lalu, kedua anak Mahendra diserang oleh tiga orang tanpa sebab.” berkata Mahisa Agni di dalam hatinya, ”Kini terjadi perampokan yang aneh. Apalagi menilik sifat-sifat kedua orang perampok yang sangat berbeda itu.

Tetapi Mahisa Agni tidak mengucapkannya. Ia masih akan memikirkannya dan mengurai kemungkinan-kemungkinan yang telah terjadi itu. Yang diperlukannya sekarang adalah keterangan selengkap-lengkapnya mengenai kedua orang yang telah datang ke rumah itu.

“Apakah kau tidak melihat ciri-ciri yang lain?” bertanya Mahisa Agni.

“Tidak tuan. Kedua orang itu menutup wajahnya dengan ikat kepalanya.”

“Maksudku tentang tingkah laku mereka.”

Pemilik rumah itu termangu-mangu sejenak. Namun katanya kemudian, ”Tuan. Agaknya kedua orang yang datang itu memang berbeda sikap dan pandangannya. Ketika mereka melihat peti simpananku, agaknya yang seorang berpendapat lain.”

“Maksudmu?”

“Aku tidak mendengar, jelas pembicaraan mereka, karena mereka hanya sekedar saling berbisik. Tetapi agaknya yang seorang mengharap lebih dari yang diambil oleh kawannya.”

“Siapakah di antara keduanya yang nampaknya lebih berkuasa?”

“Yang baik tuan. Orang yang baik dan lebih sabar itulah agaknya yang lebih berkuasa di antara mereka berdua.”

Mahisa Agni mengangguk-angguk. Ia masih belum sempat membuat gambaran tentang kedua orang itu. Tetapi ia sudah mengumpulkan bahannya.

“Kenapa kau tidak segera melaporkan peristiwa itu?” tiba-tiba saja Mahisa Agni bertanya.

Pemilik rumah itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian agak ragu, ”Tuan. Aku tidak ingin hal ini menjadi berkepanjangan. Aku sudah berterimakasih bahwa tidak semua kekayaanku dibawanya, dan bahkan badanku disakiti. Karena itu aku menganggap bahwa persoalannya sudah selesai. Aku hanya kehilangan sebagian kecil dari simpananku, sedang aku sama sekali tidak mengalami apapun juga bersama seluruh keluargaku.”

Mahisa Agni mengangguk-angguk. Lalu, ”Dan kau tidak berniat untuk menyingkirkan kekayaanmu itu?”

“Kenapa tuan? Jika mereka ingin mengambilnya, maka tentu sudah dilakukannya.”

Mahisa Agni masih mengangguk-angguk. Agaknya pendapat orang itu benar. Jika mereka ingin mengambilnya, maka barang-barang berharga itu tentu sudah dibawanya.

Namun Mahisa Agni tidak membatasi tanggapannya pada pendapat yang demikian. Ia masih berusaha untuk mencari kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi dibalik peristiwa yang nampaknya tidak menarik perhatian itu. Apalagi sikap pemilik rumah itu agaknya wajar sekali, sebagai seseorang yang tidak ingin menimbulkan keributan.

Tetapi Mahisa Agni sama sekali tidak mengatakannya kepada siapapun juga. Ia masih memikirkannya dan mencoba memecahkannya.

Dari pemilik rumah itu ia mendapatkan semua keterangan yang diperlukannya. Sifat dan tingkah laku kedua orang itu, ciri-ciri yang nampak, dan tanggapan pemilik rumah itu sendiri terhadap keduanya.

Setelah semuanya cukup, maka Mahisa Agni, Lembu Ampal dan pengawalnya pun segera meninggalkan rumah itu. Di sepanjang jalan, mereka hampir tidak berbicara sama sekali. Mereka ingin mendapatkan jawaban atas teka teki yang baru saja disaksikannya dan didengarnya itu.

Demikianlah, ketika Mahisa Agni sudah berada di bangsalnya, maka ia masih saja tetap dicengkam oleh keadaan yang baru saja diamatinya. Nampaknya memang wajar sekali. Tidak ada yang pantas diragukan.

Tetapi kenapa kedua orang itu tidak membawa perhiasan yang cukup mahal harganya? Apakah benar, bahwa mereka sebenarnya adalah orang yang baik, yang sebenarnya tidak akan pernah melakukan kejahatan serupa itu jika bukan karena terpaksa sekali. Meskipun demikian, mereka masih tetap pada pendirianya, sehingga yang diambilnya hanyalah sekedar yang diperlukan saja.

Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Ada sesuatu yang tidak dapat dimengertinya. Seseorang telah memasuki rumah dengan paksa, dengan sikap tenang dan bahkan sama sekali tidak menunjukkan kecemasan telah merampas sejumlah uang.

“Jika mereka orang baik dan melakukannya dengan terpaksa maka mereka tidak akan dapat berbuat setenang yang dikatakan oleh pemilik rumah itu.” berkata Mahisa Agni di dalam hatinya. Kemudian, ”Dan jika keduanya berbuat dengan jujur, maka sikap dan perbuatan mereka yang satu dengan yang lain tidak akan berbeda terlampau jauh seperti yang dikatakan oleh pemilik uang yang dirampasnya itu.”

Mahisa Agni menjadi ragu-ragu. Salah seorang dari kedua orang itu atau kedua-duanya tentu telah bertingkah laku tidak seperti watak dan sifatnya yang sebenarnya. Atau seandainya keduanya memang berbeda watak, maka dalam keadaan yang gawat, antara keinginan untuk merampas semua milik orang itu, dan yang lain tidak, tentu akan timbul persoalan yang tidak mudah diselesaikan, dalam waktu yang singkat, karena persoalannya tentu menyangkut watak sifat.

Tetapi Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam ketika ia menyadari bahwa memang mungkin sekali hal itu disebabkan karena keduanya berbeda pendirian tetapi terikat pada satu perguruan.

Mahisa Agni menggelengkan kepalanya. Bahkan kemudian ia melangkah hilir mudik didalam biliknya.

Tiba-tiba saja teringat olehnya ceritera Mahisa Bungalan tentang iblis di padukuhan yang disebutnya daerah bayangan hantu. Di daerah bayangan hantu itupun pernah terjadi, seseorang bertempur melawan iblis yang mengerikan. Ketika ia terbunuh maka kulitnya terkelupas seperti kulit pisang.

“Malahan, Mahisa Bungalan telah terlibat pula dalam perkelahian itu.” desis Mahisa Agni.

Ingatan itu membuat Mahisa Agni menjadi berdebar-debar. Apakah memang ada hubungannya antara keduanya. Orang yang merampok dengan cara yang aneh itu, dengan iblis yang ada di daerah bayangan hantu itu.

Untuk menyesuaikan pendapatnya, maka Mahisa Agni pun segera memanggil Mahisa Bungalan. Dengan cermat Mahisa Agni menceriterakan apa yang baru saja disaksikan dan didengarnya tentang dua orang perampok yang aneh. Kemudian di suruhnya Mahisa Bungalan mengingat kembali apa yang pernah disaksikannya tentang ilmu hitam yang mengerikan itu.

“Korban mereka nampaknya memang bagaikan terkelupas. Demikian banyaknya luka di tubuh mereka, sehingga mereka seolah-olah telah tidak berkulit lagi.”

“Mengerikan sekali.” sahut Mahisa Agni, ”Dan orang yang datang ke rumah seseorang untuk merampok uang itu juga menyebut-nyebut tentang pembunuhan dengan akibat yang sangat keji itu. Orang yang meskipun tidak jelas, namun nampaknya ingin merampas bukan saja uang, tetapi juga semua perhiasan. Namun telah dicegah oleh kawannya.”

Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam. Katanya, ”Apakah mungkin memang hubungan itu ada. Mungkin satu dua orang dari perguruan itu memang mencari aku, karena aku mengatakan kepada orang-orang di daerah bayangan hantu, jika ada orang yang mencari pembunuh-pembunuh iblis itu, maka pembunuhnya adalah Mahisa Bungalan, anak Mahendra.”

Mahisa Agni menarik nafas. Namun dengan tergesa-gesa Mahisa Bungalan menyambung, ”Bukan maksudku untuk menyombongkan diri. Tetapi aku sekedar ingin menarik perhatian agar dendam saudara-saudara seperguruan ketiga orang yang terbunuh itu tidak tertuju kepada para bebahu pedukuhan kecil itu.”

Mahisa Agni mengangguk-angguk. Lalu, ”Jadi memang ada kemungkinan bahwa satu dua orang dari antara mereka ada di kota ini. Dan adalah tidak mustahil bahwa mereka memang memerlukan uang untuk membeayai hidup mereka di dalam kota yang asing bagi mereka ini.”

Mahisa Bungalan termenung. Ia mencoba membayangkan apa yang sudah terjadi di padukuhan kecil yang semula disebut daerah bayangan hantu itu.

“Orang yang terbunuh itu memang seperti sebuah pisang yang terkelupas.” katanya di dalam hati, sehingga dengan demikian, maka dugaannya pun menjadi semakin keras, bahwa kedua perampok itu memang saudara seperguruan dari ketiga iblis yang telah terbunuh itu.

“Paman.” berkata Mahisa Bungalan kemudian, ”Seandainya kedua orang itu benar-benar saudara seperguruan dari ketiga orang yang terbunuh itu, apakah kira-kira yang akan mereka lakukan disini?”

“Pertama-tama mencari seorang anak muda yang bernama Mahisa Bungalan.” berkata Mahisa Agni.

Mahisa Bungalan tersenyum. Ia pun menyadari bahwa dendam saudara-saudara seperguruan iblis-iblis itu tentu tertuju kepadanya. Namun kemudian ia masih bertanya, ”Jika mereka pertama-tama mencari aku, lalu apakah yang akan mereka lakukan kemudian?”

“Mencari Mahendra dan nama-nama lain yang kau sebutkan.”

Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Lalu, ”Apakah hanya itu paman?”

“Apa lagi menurut dugaanmu?”

Mahisa Bungalan tidak segera menjawab. Sejenak ia merenung. Terasa sesuatu menggelepar di hatinya. Seolah-olah ia memang suatu kepastian telah diyakininya, bahwa kedatangan mereka tentu bukan sekedar untuk mencarinya.

“Mahisa Bungalan.” berkata Mahisa Agni kemudian, ”Agaknya kau mempunyai dugaan lain. Menilik sikapmu, aku dapat meraba bahwa dugaanmu sejalan dengan dugaanku. Aku menganggap bahwa persoalannya tidak berhenti pada Mahisa Bungalan. Tetapi perguruan yang kini menghidupkan kembali ilmu hitam itu tentu mempunyai tujuan yang lain selain melepaskan dendam semata-mata.”

“Ya paman. Ada dugaan yang membersit di sudut hati yang paling dalam. Tetapi itu hanyalah sekedar firasat yang tidak aku ketahui alasannya.”

“Kau benar.” sahut Mahisa Agni, ”Tetapi mungkin ada persoalan yang sedikit banyak dapat kita telusuri kemudian.”

“Apa yang dapat kita lakukan?”

“Mahisa Bungalan.” berkata Mahisa Agni, ”Kita kini dihadapkan pada suatu teka-teki yang sulit untuk ditebak. Tetapi kau harus tetap berhati-hati. Jika benar ada dua pasang mata yang selalu mengintaimu, maka kau tidak akan terjebak karenanya.”

“Ya paman. Aku akan berhati-hati.” sahut Mahisa Bungalan, ”Aku masih tetap ingat, bagaimana Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun tiba-tiba saja diserang oleh orang yang tidak dikenal.”

Mahisa Agni mengangguk-angguk. Lalu katanya, ”Sebaiknya kau pun melihat-lihat perkembangan keadaan di dalam kota. Meskipun seorang dari kedua orang aneh itu ternyata dapat menahan dirinya dalam tingkah laku dan sikapnya, namun pada suatu saat ia akan kehilangan pengamatan diri. Karena itu, jika terjadi sesuatu yang agak lain dari kebiasaan di kota ini, kau wajib mencurigainya.”

Mahisa Bungalan mengangguk.

“Untuk itu Mahisa Bungalan, kau dapat melakukannya dengan cara lain.”

“Maksud paman?”

“Kau dapat setiap hari mengelilingi kota tanpa diketahui oleh banyak orang, karena kau memang belum banyak dikenal oleh orang-orang di kota ini. Hanya beberapa orang prajurit, Senapati dan kawan-kawan terdekatmu sajalah yang mengenalmu.”

“Apakah yang harus aku lakukan?”

“Tidak banyak. Hanya berjalan-jalan setiap hari dan melihat-lihat jika ada orang yang berkelakukan aneh. Mungkin dapat dilihat dari hubungan antara dua orang yang berjalan atau berbuat sesuatu ber-sama-sama. Yang seorang agaknya sulit untuk mengendalikan diri, sedang yang lain nampaknya terlampau sabar dan dapat mengendalikan bukan saja dirinya, tetapi juga kawannya yang seorang.”

Mahisa Bungalan mengerti maksud Mahisa Agni. Lalu katanya, ”Aku mengerti paman. Aku harus membuat diriku agak berbeda dengan diriku sekarang ini supaya tidak seorang pun yang memperhatikan aku jika aku berjalan-jalan mengelilingi kota setiap hari.”

“Ya.”

“Apakah aku harus menjadi pedagang atau bahkan pengemis?”

Mahisa Agni tertawa. Katanya, ”Itu tidak perlu sama sekali. Kau tetap seperti itu. Tetapi kau harus berpakaian seperti kebanyakan anak-anak muda yang tidak berketentuan. Berjalan sajalah kesana kemari. Melihat-lihat, dan terutama mengawasi kemungkinan tentang kedua orang itu. Tidak banyak orang yang tahu, siapakah kau sebenarnya.”

“Ya, ya. Aku mengerti paman. Besok aku akan mulai. Aku akan mengunjungi tempat-tempat yang ramai. Mengamat-amati setiap orang yang mempunyai sifat dan tabiat yang aneh.”

“Kau akan dapat menjadi petugas sandi.” Mahisa Agni berhenti sejenak, lalu, ”Tetapi tidak mustahil bahwa kau justru diawasi oleh petugas-petugas sandi.”

“Apakah kita tidak bekerja bersama dengan mereka?”

“Belum waktunya. Nanti pada saatnya kita akan memberitahukan kepada mereka, dan bahkan mungkin memerlukan pertolongan mereka.”

“Tetapi jika aku setiap hari keluar dan kembali ke istana, apakah itu tidak akan menarik perhatian?”

Mahisa Agni mengangguk-angguk. Pertanyaan itu memang perlu dipertimbangkan.

Sejenak Mahisa Agni menimbang-nimbang. Baru kemudian ia berkata, ”Mahisa Bungalan. Sebaiknya kau memang tidak tinggal bersamaku di bangsal ini. Untuk kepentingan yang tidak kalah pentingnya ini, kau akan tinggal di luar istana.”

“Tetapi bagaimana dengan latihan-latihanku bersama tuanku Ranggawuni dan tuanku Mahisa Cempaka yang setiap malam kita lakukan?”

“Sebenarnya latihan-latihan itu sudah cukup memadai. Kalian sudah sampai pada tingkatan puncak dari ilmu dasar yang kalian miliki. Jika kalian masih harus berlatih terus, maka itu berarti kalian harus memperkaya pengalaman dan mematangkan ilmu itu sendiri, karena di dalam latihan-latihan yang tidak dilakukan seorang diri, akan dapat diketemukan persoalan-persoalan yang tiba-tiba saja kalian hadapi di dalam latihan-latihan itu.” Mahisa Agni berhenti sejenak, lalu, ”Karena itu, maka jumlah latihan-latihan itu memang dapat dikurangi. Aku akan menyampaikan persoalan yang sebenarnya kepada tuanku Ranggawuni dan tuanku Mahisa Cempaka, bahwa ada persoalan yang cukup penting yang harus kau tangani.”

“Baiklah paman. Jika demikian aku akan melakukannya. Tetapi dimana aku harus tinggal di luar halaman istana ini?”

“Jangan cemas. Akulah yang akan mencarikan tempat buatmu.”

“Mungkin dengan demikian, aku akan benar-benar dapat mendekati persoalan yang sebenarnya.”

Mahisa Agni mengangguk-angguk. Ia memang sudah menaruh kepercayaan kepada Mahisa Bungalan, bahwa anak muda ini akan dapat melakukan tugasnya sebaik-baiknya menghadapi iblis-iblis itu, jika dugaanya benar.

Demikianlah, maka Mahisa Agni pun kemudian menyampaikan persoalan itu kepada tuanku Ranggawuni dan Mahisa Cempaka, tanpa ada orang lain yang mengetahuinya.

“Tuanku, hamba masih menganggap persoalan ini belum saatnya dibicarakan dengan terbuka.” berkata Mahisa Agni.

“Kenapa paman? Bukankah persoalan ini akan menyangkut banyak segi dalam pemerintahan Singasari?”

“Tuanku. Semuanya masih belum jelas dan pasti. Jika dugaan kami tidak benar, maka kegelisahan yang tentu akan timbul adalah sia-sia. Sedangkan jika dugaan itu benar, maka orang yang sedang kami cari tentu sudah menyingkir dari tempatnya bersembunyi.”

Ranggawuni dan Mahisa Cempaka mengangguk-angguk. Dengan nada yang datar Ranggawuni berkata, ”Kau benar paman. Baiklah. Aku tidak berkeberatan jika Mahisa Bungalan berada di luar halaman istana. Tetapi setiap kali ia masih tetap aku perlukan. Mungkin sepekan dua kali atau saat-saat tertentu yang lebih baik menurut pertimbangan paman.”

“Hamba akan selalu berada di antara tuanku dan anak muda itu, karena hamba tidak akan dapat melepaskannya bekerja sendiri. Apalagi jika ternyata bahwa yang dihadapinya adalah benar-benar orang-orang dari perguruan hitam itu tuanku.”

“Mahisa Bungalan memang harus selalu dilindungi. Jika benar orang-orang berilmu hitam itu mendendamnya, maka ia adalah sasaran utama. Dan barangkali paman lebih mengetahuinya, bagaimanakah kemampuannya dibandingkan dengan orang-orang berilmu hitam yang tentu tidak hanya seorang diri itu. Bahkan mungkin lebih dari dua orang itu. Apalagi apabila kita memperhitungkan langsung kemungkinan yang ada di sarang mereka, yang barangkali seperti sarang semut ngangrang.”

“Jika tuanku mengijinkan, biarlah anak muda itu pada saatnya mohon diri kepada tuanku, untuk tinggal di luar halaman istana ini. Sudah barang tentu ia akan mempergunakan sebutan dan nama yang lain bagi pengamanannya. Karena Mahisa Bungalan lah sasaran yang paling utama bagi orang-orang berilmu hitam itu.”

Demikianlah akhirnya Mahisa Agni meninggalkan tuanku Ranggawuni dan tuanku Mahisa Campaka untuk memanggil Mahisa Bungalan. Meskipun agak berat, maka Ranggawuni dan Mahisa Campaka pun kemudian melepaskannya, seperti seorang yang melepaskan kawan bermain yang paling akrab.

Tetapi tugas itu memang memerlukan perpisahan itu justru bagi keselamatan Mahisa Bungalan dan berhasilnya tugas yang akan dilakukannya.

Mahisa Agni tidak terlampau sulit mencari tempat tinggal bagi anak muda itu. Meskipun demikian, kepada pemilik rumah itu. Mahisa Agni tidak menyebutnya bernama Mahisa Bungalan.

“Ia kemanakanku.” berkata Mahisa Agni kepada sahabatnya, seorang saudagar ternak yang berpengaruh di Singasari, ”Namanya Pegatmega. Ia ingin tinggal dikota ini untuk satu dua pekan, atau mungkin lebih. Tetapi ia tidak pantas tinggal bersamaku di istana, karena ia masih belum paham mengenai tata kehidupan istana. Kelak, jika ia sudah mengenal unggah-ungguh dengan baik, dan ia masih belum ingin kembali kepadukuhannya, biarlah ia bersamaku tinggal di istana.”

Sahabat Mahisa Agni sama sekali tidak berkeberatan. Dengan senang hati ia menerima Pegatmega tinggal di rumahnya. Apalagi nampaknya anak muda itu adalah anak muda yang baik dan tidak banyak tingkah.

“Biarlah ia disini.” berkata saudagar ternak itu, ”Aku akan memeliharanya seperti anakku sendiri, karena anakku sudah berumah tangga sendiri dan meninggalkan aku berdua saja dengan isteri dan pembantu-pembantu di rumah ini.”

“Terima kasih. Jika anak itu nakal, tariklah kupingnya, la masih perlu banyak diajari unggah-ungguh dan sopan santun.”

Juga kepada beberapa orang Senapati yang mengenal Mahisa Bungalan, Mahisa Agni memberitahukan, bahwa ia dengan sengaja menempatkan Mahisa Bungalan di rumah seseorang agar ia belajar hidup sebagai seorang anak dewasa yang bertanggung jawab atas dirinya sendiri.

Meskipun Mahisa Agni tidak berterus terang, apakah sebenarnya yang sedang dilakukan oleh Mahisa Bungalan, namun ia memberitahukan kepada mereka, bahwa nama anak itu telah digantinya menjadi Pegatmega.

Untuk beberapa lama Pegatmega berada di rumah sahabat Mahisa Agni, seorang saudagar yang kaya. Ternyata bahwa kehadiran Mahisa Bungalan dapat memberikan kesegaran baru di rumah itu, karena saudagar yang tinggal berdua itu serasa menemukan anaknya yang paling bungsu. Apalagi Mahisa Bungalan yang kemudian bernama Pegatmega itu segera dapat menyesuaikan diri. Dengan rajinnya ia mengerjakan pekerjaan apapun yang pantas dikerjakannya di rumah itu. Manimba air untuk mengisi jembangan di pakiwan, mengisi gentong di dapur dan bahkan ikut membersihkan halaman rumah itu yang cukup luas.

“O, anak ini.” berkata isteri saudagar ternak itu, ”Apakah ia tidak merasa lelah dengan kerjanya yang keras itu sehari-hari?”

“Memang anak yang baik.” berkata suaminya, ”Adalah kebiasaannya di padesan melakukan pekerjaan itu semua.”

“Tetapi tidak seperti yang dikatakan oleh kakang Mahisa Agni. Ternyata anak itu sudah mengenal unggah ungguli dengan baik. Bahasanya utuh dan sikapnya sopan. Apalagi sebenarnya yang kurang padanya.”

“Biar sajalah. Biar anak itu tetap tinggal disini.”

Demikianlah Mahisa Bungalan benar-benar dianggap seperti anak saudagar itu sendiri. Bahkan kadang-kadang saudagar itu merasa iri, kenapa anaknya sendiri, pada waktu masih muda seperti Pegatmega itu, sama sekali tidak mau bekerja seperti itu. Karena itulah maka ketika berumah tangga sendiri, pada mulanya banyak menjumpai kesulitan, sehingga ibunya harus berbulan-bulan tinggal bersama untuk mengajarinya.

Namun sementara itu, Mahisa Bungalan tidak melupakan tugas. Setiap hari ia menyisihkan waktu untuk berjalan-jalan. Menyelusuri tempat-tempat yang ramai. Mengamati orang yang nampaknya agak asing.

Tetapi Mahisa Bungalan sama sekali tidak menemukan tanda-tanda tentang orang yang dicarinya itu. Dan iapun menyadari bahwa tentu sangat sulit untuk menemukan dua orang yang belum dikenalnya di antara penduduk kota sebesar Singasari.

Meskipun demikian Mahisa Bungalan sama sekali tidak berputus asa. Ia melakukan tugasnya setiap hari. Betapapun perasaan jemu mulai menggelitik hatinya. Namun ia masih belum mau menyerah.

Tetapi ternyata pada suatu hari ia sudah dikejutkan oleh sebuah berita yang dibawa oleh saudagar ternak itu. Dengan gelisah, saudagar itu memanggilnya sambil menahan gejolak dadanya.

“Pegatmega.” Desisnya, ”Kemarilah. Kau adalah anak muda yang sudah aku anggap sebagai anakku sendiri.”

Mahisa Bungalan menjadi bimbang.

“Kemarilah. Ada berita penting yang ingin aku beritahukan kepadamu. Tetapi berita ini sama sekali tidak aku beritahukan kepada bibimu. Biarlah bibimu tidak mengetahuinya, karena akan dapat membuatnya selalu gelisah dan ketakutan.”

“Berita apakah itu paman?”

“Pegatmega.” Bisiknya, ”Mendekatlah, agar tidak ada orang lain yang mendengarnya.”

Mahisa Bungalan bergeser mendekat.

“Dengarlah.” berkata saudagar itu, ”Baru saja aku bertemu dengan seorang kawanku, juga seorang saudagar ternak. Ia menceriterakan bahwa rumahnya telah didatangi oleh dua orang yang tidak dikenal.”

“Dua orang.” Mahisa Bungalan menjadi semakin berdebar-debar.

“Ya, dua orang. Mereka minta kepada sahabatku, itu sejumlah uang. Namun ternyata bahwa keduanya bersikap aneh. Ketika dengan ketakutan sahabatku menunjukkan peti uang, maka tidak semua uangnya diambil oleh kedua orang itu. Bahkan mereka sama sekali tidak menanyakan kekayaan sahabatku itu yang lain meskipun sahabatku itu mempunyai perhiasan seperti yang terdiri dari intan berlian.”

Mahisa Bungalan menjadi tegang sejenak. Namun iapun segera berusaha menghapus semua kesan dari wajahnya.....
“Pegatmega.” berkata saudagar itu. ”Peristiwa seperti ini pernah pula terjadi beberapa waktu yang lalu. Sampai sekarang tidak seorang pun yang dapat memecahkan persoalan itu. Agaknya orang yang kehilangan itu tidak melaporkannya kepada yang berwajib, sehingga dengan demikian tidak pernah dilakukan pengusutan apapun juga. Sahabatku itu pun agaknya condong untuk tidak melaporkan peristiwa itu, dan menganggapnya sudah selesai.“

Mahisa Bungalan mengangguk-angguk.

“Yang aku cemaskan Pegatmega, bahwa pada suatu saat kedua orang itu akan sampai ke rumah ini. Mungkin aku memang menyimpan sejumlah uang dan perhiasan. Kedua orang yang pernah mengalami masih beruntung bahwa kedua orang itu tidak mengambil perhiasan dan apalagi nyawa seseorang. Tetapi kita tidak tahu apa yang dapat dilakukannya kemudian.”

Mahisa Bungalan mencoba menahan gejolak di dalam dadanya. Ia langsung menduga, bahwa kedua orang itu tentu kedua orang yang sedang dicarinya.

Tetapi ia masih tetap menahan diri untuk tidak mengatakan apa yang sebenarnya diketahuinya. Bahkan kemudian ia bertanya, ”Apakah paman mengetahui berita itu langsung dari yang mengalaminya?”

“Ya, ya. Sahabatku sendiri. Seperti yang sudah aku katakan, ia juga seorang saudagar ternak.”

“Apakah orang itu dapat mengatakan paman, bagaimanakah ujud dan ciri-ciri kedua orang itu. Jika sekiranya sahabat paman itu dapat mengenalnya, maka ada kemungkinan prajurit Singasari dapat menemukan mereka.”

Tetapi saudagar itu menggeleng. Jawabnya, ”Tidak. Kedua orang itu menutup wajah mereka dengan ikat kepala.” ia berhenti sejenak, lalu, ”Tetapi yang pernah terjadi sebelumnya pun serupa pula. Dua orang yang mengambil sebagian uang itu pun menutup wajah mereka dengan ikat kepala.”

“Jika demikian, ada persamaannya bukan paman?”

“Aku menduga, bahwa dua orang yang melakukannya lebih dahulu adalah sama orangnya. Jika tidak, maka mereka tentu terdiri dari satu kelompok yang mempunyai perhitungan dan pertimbangan yang serupa, karena hal seperti itu jarang sekali, dan hampir tidak mungkin terjadi. Pada umumnya, mereka akan menyapu bersih semua kekayaan yang dapat mereka bawa, Termasuk perhiasan. Sedangkan yang telah terjadi, uang pun tidak mereka bawa semuanya.”

“Memang aneh paman.”

“Tetapi mungkin yang terjadi kelak akan berbeda. Itulah sebabnya aku menjadi gelisah.”

“Jadi, apakah rencana paman? Apakah akan menyembunyikan semua uang dan perhiasan?”

“O, itu justru berbahaya. Mereka tentu tidak percaya bahwa aku tidak memilikinya apabila pada suatu saat mereka akan datang kemari. Dengan demikian akibatnya akan menjadi parah.”

Pegatmega mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak mengemukakan pendapatnya. Ia berharap bahwa saudagar itu tidak akan berusaha mencegah kemungkinan hadirnya kedua orang itu langsung ke rumahnya, karena dengan demikian ia akan dapat berhadapan dengan dua orang itu tanpa mencarinya kemana-mana.

Namun agaknya saudagar itu masih saja kebingungan dan tidak melihat jalan keluar dari kesulitan itu.

“Pegatmega.” katanya kemudian, ”Aku tidak mengerti, bagaimana sebaiknya yang harus aku lakukan. Apakah aku harus membayar dua tiga orang yang dapat dipercaya untuk menjaga rumah ini atau kau mempunyai pikiran yang lain? Tidak ada orang yang dapat aku ajak berbicara kecuali kau sekarang ini. Aku tidak mungkin membicarakannya dengan bibimu.”

Mahisa Bungalan termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun berkata, ”Paman, sebaiknya paman membicarakannya saja dengan paman Mahisa Agni. Mungkin paman Mahisa Agni dapat memberikan petunjuk apakah yang sebaiknya paman lakukan.”

Saudagar itu mengerutkan keningnya. Lalu katanya, ”Kau benar Pegatmega. Hampir saja aku melupakannya. Pamanmu Mahisa Agni adalah orang yang tidak ada duanya di Singasari. Kenapa baru sekarang aku teringat kepadanya?”

“Paman Mahisa Agni tentu akan bersedia membantu.”

“Tentu, tentu. Aku percaya bahwa pamanmu Mahisa Agni akan dengan senang hati membantuku. Apalagi aku yang sudah dikenalnya dengan baik, sedang orang yang sama sekali tidak pernah dikenalnya pun akan dibantunya jika diperlukan.”

“Jadi apakah paman akan menemui paman Mahisa Agni?”

“Ya. Aku akan pergi menemuinya.”

Saudagar itu menjadi sangat berlega hati setelah ia menemukan jalan yang paling baik untuk mengatasi kesulitannya. Karena itu, maka ia pun segera bersiap untuk pergi ke istana menemui Mahisa Agni.

“Pamanmu orang baik. Ia tidak pernah menolak sahabat-sahabatnya yang datang kepadanya, saat apapun juga, asal ia tidak sedang bertugas. Mudah-mudahan saat ini pamanmu baru tidak sedang sibuk.” berkata saudagar itu kemudian, namun, ”Tetapi jangan kau katakan kepada bibimu, apa yang kau ketahui.”

“Baik paman. Dan aku juga tidak akan mengatakan bahwa paman sedang pergi ke istana.”

Saudagar itu pun kemudian dengan tergesa-gesa minta diri kepada isterinya. Tetapi ia tidak berterus terang tentang apa yang sedang membuatnya gelisah, agar isterinya tidak menjadi gelisah pula.

Dengan senang hati Mahisa Agnipun kemudian menerimanya meskipun agak ragu-ragu dan berdebar-debar. Ia menyangka bahwa sahabatnya itu akan membicarakan Mahisa Bungalan yang ada di rumahnya.

Tetapi ternyata pembicaraan saudagar itu tidak menyinggung anak muda yang dititipkannya. Yang dikatakannya adalah ceritera yang didengar oleh saudagar itu dari sahabatnya.

Mahisa Agni mendengarkan ceritera itu dengan saksama. Sejenak terasa jantungnya berdebaran. Seperti saat Mahisa Bungalan mendengar ceritera itu, maka Mahisa Agni pun segera menghubungkannya dengan peristiwa yang sedang diamati oleh Mahisa Bungalan itu. Apalagi ketika saudagar itu telah memberikan ciri-ciri yang serupa pada dua orang yang telah merampok uang dengan cara yang aneh itu.

“Aku sudah memberitahukannya pula kepada Pegatmega.” berkata saudagar itu kemudian, ”Karena aku menjadi kebingungan, maka anak itu menganjurkan aku untuk datang kemari.”

Mahisa Agni mengangguk-angguk. Lalu katanya, ”Baiklah. Aku akan memikirkannya. Mungkin aku mempunyai cara yang baik untuk mengatasinya.”

Saudagar itu mengangguk-angguk. Hatinya sudah mulai tenang ketika Mahisa Agni menyatakan kesanggupannya untuk mencari jalan keluar dari ketegangan yang dialaminya.

“Aku akan bertemu dengan Pegatmega.” berkata Mahisa Agni.

“Silahkan. Tetapi aku harap, jangan memberitahukan kepada isteriku. Aku sengaja tidak memberitahukan kepadanya agar ia tidak menjadi tegang dan bingung.” berkata saudagar itu.

“Baiklah. Aku harap bahwa aku masih sempat mengambil tindakan sebelum kedua orang itu datang.”

“Tetapi, tetapi jika nanti malam ia datang?”

“Tentu tidak nanti malam. Uang yang diambilnya dari sahabatmu itu tentu belum habis.”

Saudagar itu mengangguk-angguk. Tetapi katanya, ”Siapa tahu bahwa nasibku sangat buruk.” ia berhenti sejenak, lalu, ”Apakah tidak ada tindakan sementara yang dapat diambil?”

“Maksudmu?”

“Pengamatan kota yang lebih mantap dari biasanya?”

“Prajurit Singasari tidak pernah mendengar dan mendapat laporan apapun, sehingga mereka tidak merasa perlu untuk mengambil tindakan serupa itu.”

“Tetapi hal itu telah terjadi.”

“Karena itu, sebaiknya mereka yang mengalaminya melaporkannya, sehingga prajurit Singasari mengetahui apakah yang telah terjadi sebenarnya. Dengan demikian maka mereka akan dapat mengambil tindakan pengamanan yang tepat.”

“Bukan aku yang pernah mengalami.”

“Sudahlah. Jangan bingung. Aku yakin bahwa nanti malam belum akan terjadi apapun juga. Bukan saja rumahmu, tetapi di rumah yang lainpun tidak. Jarak waktu yang diambilnya tentu agak panjang, jika mereka tidak ingin cepat terjebak.”

“Tetapi jangan terlalu lama mengambil tindakan.” minta saudagar itu.

“Aku berjanji.” jawab Mahisa Agni, ”Nanti aku akan menemui Pegatmega menjelang senja, agar tidak banyak orang yang mengetahuinya. Jika banyak orang yang melihat aku datang, tentu akan sangat menarik perhatian.”

“Tentu ada yang melihatnya.”

“Mudahan tidak seorang pun yang menghiraukannya sehingga tidak menimbulkan persoalan apapun juga, karena berita tentang dua orang perampok itu tentu sudah didengar oleh beberapa orang lain pula, yang akan mencari buhungan dengan kehadiranku di rumahmu.”

Saudagar itu mengangguk-angguk. Desisnya, ”Mudah-mudahan. Apa lagi jika terdengar oleh kedua orang itu, mungkin justru rumahku menjadi sasaran.” lalu tiba-tiba saja ia berkata, ”Kenapa bukan Pegatmega saja yang kau panggil datang kemari? Atau aku akan mengantarkannya menghadapmu?”

Mahisa Agni mengerutkan keningnya. Jika Mahisa Bungalan di bawanya masuk halaman, maka akan ada satu dua orang prajurit atau Senapati akan lupa menyebut namanya, sehingga saudagar itu akan mengetahui bahwa anak muda yang ada di rumahnya adalah anak muda yang justru menjadi sasaran utama dari sekelompok orang yang memiliki kekuatan hitam. Dengan demikian, maka ia akan menjadi semakin ketakutan dan bahkan mungkin akan mengusir Mahisa Bungalan dari rumahnya.

Karena itu, maka Mahisa Agnipnu berkata, ”Biarlah aku saja yang datang ke rumahmu. Pegatmega adalah anak yang tidak tahu unggah-ungguh, sehingga jika ia masih ke istana mungkin akan dapat menimbulkan persoalan baru baginya.”

Saudagar itu tidak menjawab. Dan sebenarnyalah bahwa iapun sama sekali tidak berkeberatan mendapat kunjungan Mahisa Agni. Orang yang penting bagi Singasari.

Karena itulah maka saudagar itupun kemudian minta diri dan menyiapkan kunjungan Mahisa Agni ke rumahnya.

Menjelang senja, seperti yang disanggupkan Mahisa Agni benar-benar berkunjung ke rumahnya. Tidak lebih dari Mahisa Agni sendiri dan hanya diiringi oleh seorang Senapati tanpa mempergunakan tanda keprajuritan sama sekali.

“Benar-benar tidak ada seorang pun yang menghiraukan kehadiran di rumah ini.” berkata Mahisa Agni.

“Tentu.” jawab saudagar itu, ”Tidak seorang pun akan menyangka bahwa Mahisa Agni, salah seorang pemimpin tertinggi Singasari akan datang ke rumahku hanya berdua saja.”

Mahisa Agni tersenyum Katanya, ”Dimanakah Pegatmega?”

Saudagar itu pun kemudian memanggil Mahisa Bungalan untuk menghadap pamannya yang telah datang ke rumah itu.

Mahisa Agni tidak banyak berpesan. Ia hanya mengharap agar Pegatmega tidak menjadi gelisah. Ia akan segera mencari jalan keluar dari kesulitan yang mungkin timbul.

“Kau adalah anak laki-laki. Apapun yang akan terjadi, jangan membuatmu menjadi mati membeku.” bekata Mahisa Agni.

Tetapi ketika mereka bertiga saja dengan Senapati yang datang bersama Mahisa Agni, selagi saudagar itu pergi kebelakang maka Mahisa Agni berkata, ”Aku akan minta pamanmu Witantra untuk berada di tempat ini.”

“Kenapa bukan ayah Mahendra saja paman?”

“Aku tidak sampai hati memisahkannya dengan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat dalam keadaan seperti ini. Jika ada sekelompok orang yang mencarimu di rumahmu karena petunjuk siapapun juga, tanpa ayahmu, maka adik-adikmu akan dapat menjadi korban.”

Mahisa Bungalan mengangguk-angguk.

“Aku memang mengharap bahwa kedua orang itu akan datang kemari pada suatu saat.”

“Dan paman Witantra akan tinggal disini?”

“Mudah-mudahan ia masih suka bermain-main. Ia akan menjadi seorang upahan untuk berjaga-jaga di rumah ini.”

Mahisa Bungalan tiba-tiba tersenyum. Ia membayangkan, bagaimana mungkin Witantra akan berada di rumah itu pula sebagai seorang upahan.

Dan tiba-tiba saja ia bertanya, ”Apakah tidak akan ada seorang pun yang mengetahui, bahwa orang itu adalah Witantra yang bergelar Panji Pati-Pati?”

Mahisa Agni menggeleng. Katanya, ”Banyak orang yg pernah mengenal Witantra. Tetapi dalam pakaian yang lain dengan seorang yang menjual tenaganya untuk menjaga rumah ini.”

Mahisa Bungalan justru tertawa, ”Lucu sekali.”

“Dalam pakaian seorang yang diupah untuk bermain-main dengan senjata, seperti layaknya orang-orang kasar yang memamerkan kemampuannya dalam olah kanuragan, maka tidak akan ada orang yang mengenalnya.”

“Aku senang sekali paman. Aku mendapat kawan yang dapat melindungi diriku.”

“Kau harus melindungi dirimu sendiri? Kau sudah berhasil membunuh tiga di antara mereka, meskipun barangkali bukan mereka yang sudah matang.”

“Baiklah paman. Aku akan menempa diri semakin tekun agar aku tidak mengecewakan lagi.”

“Baiklah. Aku akan segera memanggil pamanmu Witantra.”

Pembicaraan merekapun terputus ketika saudagar ternak itu memasuki ruangan.

Sejenak kemudian, ketika mereka mengulangi pembicaraan mengenai kemungkinan yang dapat terjadi pada rumah itu, maka Mahisa Agnipun berkata, ”Aku mempunyai cara yang barangkali dapat memberikan sedikit ketenangan kepadamu.”

“Apakah yang harus aku lakukan?”

“Aku mempunyai seorang pengawal yang dapat dipercaya. Tetapi karena umurnya ia sudah mengundurkan diri dari lingkungan keprajuritan. Jika kau tidak berkeberatan, apakah kau bersedia mengupah orang itu untuk menjagamu di sini?”

Saudagar itu mengerutkan keningnya. Katanya, ”Apakah orang itu mungkin akan bermanfaat bagi kami? Apalagi orang itu sudah tua.”

“Ia mempunyai kelebihan dari prajurit-prajurit yang lain. Barangkali aku dapat menghubunginya.”

“Apakah kau percaya jika benar-benar terjadi, bahwa ada dua orang datang ke rumah ini dan memaksa aku memberikan semua milikku, ia akan dapat mengatasi kesulitan itu?”

“Aku percaya. Aku mengenal kemampuan pengawal-pengawalku.”

“Baiklah. Ia akan melakukan tugasnya jika dua orang itu memaksa aku menyerahkan semua milikku atau nyawaku. Jika ia hanya minta sebagian dari uangku, aku akan memberikannya dengan senang hati.”

“Kau akan memberinya?”

“Ya. Tanpa banyak persoalan. Bukankah itu lebih baik dan aman bagiku?”

Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Katanya, ”Terserahlah kepadamu. Tetapi aku mempunyai pendirian lain. Orang itu sebaiknya ditangkap.”

“Kenapa?”

“Ia akan melakukan hal yan serupa terus menerus.”

“Terserahlah. Tetapi jangan pada saat orang-orang itu datang ke rumahku.”

Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Katanya, ”Baiklah. Semuanya itu terserah kepada pembicaraanmu dengan orang upahan yang akan ditempatkan di rumah ini.”

Saudagar itu mengangguk-angguk. Katanya kemudian, ”Kapan ia akan datang?”

“Besok atau lusa.”

“Jangan terlalu lama. Mungkin nanti malam, mungkin besok malam, orang itu dapat saja datang ke rumah ini.”

Mahisa Agni menggeleng. Katanya, ”Tidak dalam dua tiga hari ini. Ia akan datang jika uang yang diambilnya dari kawanmu itu sudah habis.”

Saudagar itu akhirnya menurut semua petunjuk Mahisa Agni. Iapun dengan senang hati akan menerima seorang upahan di rumahnya. Namun ia masih tetap menghendaki agar orang itu baru berbuat sesuatu jika orang-orang yang datang itu tidak hanya sekedar minta sebagian uangnya saja.

Demikianlah, maka Mahisa Agni pun segera menghubungi Witantra. Seorang penghubung telah datang ke rumah Witantra dan mengharapnya datang ke istana.

“Apakah adi Mahisa Agni tidak berpesan apapun juga?”

“Tidak.” jawab penghubung itu, ”Aku hanya disuruh menyerahkan rontal itu.”

“Baiklah.” jawab Witantra, ”Aku akan segera datang.”

Di hari berikutnya, Witantra telah benar-benar datang ke istana. Dengan singkat Mahisa Agni menceriterakan apa yang sudah terjadi di Kota Raja, dan sekaligus ia minta agar Witantra masih bersedia untuk bermain-main seperti beberapa saat lampau.

“Tetapi lawan yang mungkin aku hadapi kali ini benar-benar berbahaya.” berkata Witantra, ”Untunglah di rumah itu ada Mahisa Bungalan.”

“Tentu tidak akan berbahaya bagimu.” berkata Mahisa Agni.

Witantra tertawa. Katanya, ”Jangan menganggap lawanmu ringan. Itu adalah permulaan dari kelengahan.”

“Ya, ya. Aku mengerti.” jawab Mahisa Agni sambil tersenyum.

Namun tiba-tiba saja Witantra bertanya, ”Berapa saudagar itu akan membayar aku sehari semalam?”

Mahisa Agni tertawa. Jawabnya, ”Berapa saja kau minta. Ia adalah saudagar yang kaya raya.”

Witantrapun tertawa pula.

Namun dalam pada itu, ternyata tawaran Mahisa Agni itupun sangat menarik perhatiannya. Jika benar, orang-orang yang mereka curigai itu datang dan berhasil ditangkapnya, maka mungkin akan tersibak suatu kabut yang menyembunyikan sekelompok orang-orang yang sangat berbahaya bagi Singasari.

Karena itulah maka dengan senang hati Witantra menerima tugas yang ditawarkan kepadanya oleh Mahisa Agni untuk tinggal beberapa lamanya pada keluarga saudagar yang kaya itu.

“Nanti menjelang senja kita datang ke rumahnya.” berkata Mahisa Agni.

“Lalu, apakah yang harus aku lakukan? Apakah aku harus menyebut diriku dengan nama yang lain?” bertanya Witantra.

“Tentu. Kau harus mempergunakan nama yang lain. Bukan Witantra dan sudah tentu bukan Panji Pati-Pati.”

“Nah, siapakah yang baik?”

Mahisa Agni merenung sejenak, lalu, ”Sempulur. Namamu Sempulur.”

“Baiklah. Aku akan menyebut diriku Sempulur.”
“Jangan lupa. Mahisa Bungalan mempunyai namanya yang lain pula. Pegatmega.”

“Ya. Pegatmega. Aku akan segera mengingatnya.”

Demikianlah maka ketika langit menjadi suram, Mahisa Agni bersama seorang pengawalnya telah membawa Witantra ke rumah saudagar itu, seolah-olah ia membawa seorang bekas prajurit pengawalnya yang dipercayanya untuk membantu menjaga ketenteraman rumah saudagar itu.

“Siapakah namanya?” bertanya saudagar itu.

“Sempulur.” jawab Mahisa Agni, ”Ia adalah prajurit yang mumpuni meskipun seolah tingkahnya agak kasar. Tetapi ia adalah orang yang baik.”

Saudagar itu termangu-mangu sejenak.

“Jangan cemas tentang orang yang bernama Sempulur itu. Aku mempertanggung jawabkannya. Jika ia melakukan sesuatu yang menurutmu tidak sewajarnya, kau dapat mengatakan kepadaku. Akulah yang akan mengambil tindakan atasnya.”

Saudagar itu mengangguk-angguk.

“Kau dengar Sempulur?” beranya Mahisa Agni.

“Ya tuan. Aku mendengar. Dan aku akan mencoba untuk berbuat sebaik-baiknya.”

“Meskipun kau bukan seorang prajurit lagi, tetapi kau tetap orangku. Akulah yang menempatkan kau disini.”

“Ya tuan. Aku akan menjunjung kepercayaan ini sejauh-sejauh dapat aku lakukan.”

“Terima kasih. Jika ada sesuatu yang kurang, lebih baik kau berkata terus terang.”

“Ya tuan. Tetapi aku sebenarnya sudah sangat berterima kasih bahwa tuan masih percaya kepadaku untuk melakukan tugas yang mirip dengan tugas keprajuritan ini.”

“Sama sekali tidak.” jawab Mahisa Agni, ”Kau tidak harus berjaga-jaga di muka regol siang dan malam. Kau justru harus melebur dirimu sehingga tidak seorang pun yang mengetahui kehadiran seorang bekas prajurit di rumah ini. Kau harus melakukan pekerjaan sehari-hari seperti keluarga sendiri Mengambil air, menyapu halaman, dan mungkin membelah kayu.”

“Aku mengerti tuan. Dan aku akan menjalankannya.”

“Terima kasih. Mudah-mudahan kau dapat melakukan semua tugas itu sebaik-baiknya. Jika terjadi sesuatu, maka kau harus dapat mengatasinya. Kau adalah bekas seorang prajurit Singasari.”

“Ya tuan.”

“Baiklah. Jika kau sudah bersetuju, tinggallah disini. Disini ada seorang anak muda bernama Pegatmega,” Mahisa Agni berhenti sejenak, lalu bertanya kepada saudagar itu, ”Dimana Pegatmega?”

“Ia sedang turun ke sungai.”

“Apa yang dilakukan?”

“Mandi. Ia lebih senang mandi di sungai daripada di pakiwan.”

“Menjelang malam?”

“Sudah kebiasaannya. Ia pulang setelah malam menjadi gelap. Setiap hari.”

Mahisa Agni mengangguk-angguk. Ia mengerti bahwa Mahisa Bungalan mempergunakan kesempatan itu untuk melatih diri di tempat yang sepi. Di bawah tebing sungai di dalam gelapnya ujung malam.

“Ia tentu akan senang mendapat seorang kawan.” berkata Mahisa Agni, ”Pegatmega pandai bermain macanan. Sedang Sempulur juga mempunyai kesenangan yang serupa.”

“Mudah-mudahan keduanya senang tinggal di rumah ini.”

Pembicaraan mereka masih berlangsung beberapa saat. Akhirnya Mahisa Agnipun minta diri dan meninggalkan Witantra di rumah saudagar yang kaya itu.

Kepada isterinya saudagar itu mengatakan, bahwa ia telah menerima seseorang yang dititipkan oleh Mahisa Agni. Seorang yang barangkali dapat membantunya melakukan pekerjaannya.

Dengan hadirnya Witantra, saudagar itu merasa agak tenang. Menilik sikap dan kata-katanya, agaknya Witantra memang bekas seorang prajurit.

“Sayang, ia sudah agak tua.” katanya di dalam hati, ”Tetapi mudah-mudahan ia benar-benar dapat melindungi bukan saja hak milikku, tetapi juga nyawaku.”

Dengan demikian, maka Witantra pun kemudian tinggal bersama saudagar itu dan Mahisa Bungalan yang dikenal pula dengan nama Pegatmega.

Agar ia benar-benar dapat melindungi saudagar itu dari marabahaya, maka iapun telah ditempatkan di ruang dalam bersama dengan Pegatmega.

“Kenapa orang itu tidak kau suruh tidur di belakang, bersama para pembantu?” bertanya isteri saudagar itu.

“Ia bekas seorang prajurit. Ia bukan pembantu di rumah ini. Oleh Mahisa Agni, ia telah dititipkan kepadaku, karena ia memerlukan pekerjaan.”

“Bukankah itu berarti bahwa ia bekerja pada kita.”

“Tetapi soalnya adalah berbeda. Ia bekerja bukan karena ia tidak dapat mencari sesuap nasi? Ia bekerja karena ia tidak mau duduk termenung di rumahnya setelah ia menyelesaikan masa baktinya sebagai seorang prajurit.”

“Bukankah sudah sewajarnya? Ia pantas beristirahat pada usianya yang telah tua setelah ia bekerja bertahun-tahun sebagai seorang prajurit. Apakah dengan demikian ia masih harus bekerja lebih lama lagi?”

“Ia tidak mau cepat mati. Katanya, mereka yang sudah tidak lagi mempunyai kewajiban dan tanggung jawab apapun akan lekas mati.”

Isterinya tidak membantah lagi. la tidak tahu pasti, apakah yang dikatakan oleh suaminya itu benar.

Namun dengan demikian maka penghuni rumahnya telah bertambah dengan seorang lagi.

Tetapi ternyata, Witantra yang dikenal bernama Sempulur itu tidak hanya sekedar duduk menunggu dua orang yang dicemaskan akan datang ke rumah sauadgar itu. Ternyata seperti Pegatmega ia, adalah seorang yang rajin. Ia bekerja sejak ia terbangun menjelang dini hari, sampai saatnya matahari terbenam. Apa saja dipegangnya sebagai pekerjaan yang dikerjakannya dengan senang hati. Bahkan kadang-kadang berdua dengan Pegatmega mereka duduk di bawah sebatang pohon yang rindang sambil membelah ranting-ranting kecil supaya cepat kering sebelum dibawa kedapur. Tetapi kadang-kadang mereka berdua duduk dengan tegang sambil bermain macanan. Agaknya keduanya memang mempunyai kegemaran yang sama, bermain macanan. Kadang-kadang mereka lupa waktu, sehingga halaman di depan pendapa, hampir penuh dengan daun-daun kering yang berguguran. Namun jika mereka menyadarinya, segera mereka berlari-lari mengambil sapu lidi, dan membersihkannya. Seorang di depan dan seorang di belakang.

Pelayan-pelayan yang semula mempunyai pekerjaan itu, justru dengan sengaja bersembunyi di dapur atau di kandang kuda. Baru setelah keduanya mulai mengayunkan sapu, ia datang sambil berkata agak menyesal, ”Ah, biarlah aku saja yang menyapunya. Bukankah itu kewajibanku?”

Tetapi baik Sempulur, maupun Pegatmega selalu menjawab, ”Sudahlah. Kerjakan pekerjaanmu yang lain.”

Dengan demikian maka para pembantunya menjadi semakin senang karena kehadiran kedua orang itu di rumah saudagar ternak yang kaya itu. Namun mereka sama sekali tidak mengetahui, bahwa setiap saat hari saudagar itu selalu dicengkam oleh kegelisahan dan ketakutan.

Beberapa hari setelah Sempulur berada di rumah itu, maka keragu-raguan mulai tumbuh di hati saudagar itu. Mungkin ia terlalu dibayangi oleh ketakutan. Ternyata akhirnya tidak ada sesuatu yang terjadi.

Tetapi tiba-tiba terasa kehadiran Sempulur dan Pegatmega seolah-olah telah menjadi keharusan. Ia merasa segan ditinggalkan oleh keduanya. Karena keduanya dapat diajak duduk berbicara tentang banyak hal. Apalagi Sempulur.

Orang tua itu mengenal berbagai macam bentuk pusaka dan besi aji. Tetapi ia juga pandai mengupas arti sebuah kidung yang rumit. Bahkan di malam hari, sering terdengar suara Sempulur yang meskipun sudah menjadi agak parau, namun masih juga memberikan suasana yang ngelangut.

“Kau juga harus belajar membaca kidung.” berkata saudagar itu kepada Pegatmega, ”Sempulur menjadi semakin tua. Suaranya akan menjadi serak, dan pada suatu ketika ia akan menjadi pikun dan gemetar. Belajarlah selagi ia berada disini.”

Pegatmega hanya tersenyum saja. Sambil mengangguk-angguk ia merenungi kitab yang tertutup di hadapannya.

Sementara itu, saudagar itu sudah hampir melupakan bahwa di kota raja itu sedang berkeliaran dua orang yang dapat mengganggu ketenangannya. Yang setiap hari diperbincangkan dengan Sempulur dan Pegatmega adalah justru persoalan-persoalan yang lain. Persoalan-persoalan yang sama sekali tidak menyangkut tentang kemungkinan yang mendebarkan itu.

Tetapi ketenangan dan ketenteraman hati saudagar itupun kemudian telah diguncang pula oleh peristiwa yang serupa dengan yang pernah terjadi. Tidak ada bedanya. Dua orang datang sambil menyembunyikan wajahnya dibalik ikat kepalanya.

Mereka berkelahi hanya sebentar sekali, karena pemilik rumah yang didatanginya sama sekali tidak berdaya melawan keduanya. Tetapi keduanya tidak berbuat apa-apa selain mengambil sebagian saja dari uangnya. Hanya uangnya. Tidak lebih. Perhiasan yang ada di dalam peti sama sekali tidak disentuhnya seperti yang terjadi sebelumnya.

Agaknya peristiwa itu segera didengar oleh saudagar ternak yang kaya itu. Ketakutan yang sangat mulai merambati hatinya kembali setelah ia hampir menemukan ketenangan.

Saudagar itu seolah-olah sudah dapat mengambil kesimpulan bahwa saat berikutnya yang akan didatangi oleh kedua orang yang tidak dikenal itu adalah rumahnya.

“Mereka tentu akan segera datang.” Desisnya, ”Aku seakan-akan sudah pasti. Tidak ada orang lain yang lebih pantas didatangi selain aku.”

“Apakah tidak ada orang lain yang lebih kaya dari paman?” bertanya Pegatmega.

“Ada. Tetapi mereka benar-benar orang yang kaya. Mereka memiliki sepasukan pengawal di rumahnya. Mereka seolah-olah adalah prajuritnya yang dapat melindungi kekayaannya. Tetapi aku tidak. Aku tidak mempunyai sepasukan pengawal. Dan yang pernah didatangi oleh kedua orang itu sampai saat ini bukanlah orang-orang kaya yang sebenarnya itu. Yang didatangi adalah orang-orang yang memiliki sekedar kekayaan, tetapi tidak cukup banyak untuk memelihara sepasukan pengawal-pengawal.”

“Di sini adalah paman Sempulur.” berkata Pegatmega.

“Ya, ya.” jawab saudagar itu. Namun kemudian, ”Tetapi aku masih cemas.”

“Kenapa paman?”

“Ia hanya seorang diri.”

“Tetapi paman Sempulur adalah seorang bekas prajurit.”

Saudagar itu memandang Sempulur dengan gelisah. Lalu katanya, ”Sempulur. Kau adalah orang yang baik. Kehadiranmu di rumah ini, bagaikan kehadiran saudaraku sendiri. Karena itu, jika kedua orang itu datang kemari, sudahlah, kau tidak usah berbuat apa-apa. Karena itu akan dapat membahayakanmu.”

“Jika mereka tidak berbuat apa-apa, seperti pesan Ki Saudagar akupun tidak akan berbuat apa-apa. Tetapi bagaimana jika keduanya melakukan lebih dari hanya mengambil sebagian dari uang yang ada?”

“Tidak. Ia tidak akan berbuat lebih dari itu. Beberapa kali sudah terjadi, bahwa hanya uang sajalah yang dimbilnya. Tidak lebih.”

“Syukurlah jika demikian.” Sempulur mengangguk-angguk, ”Tetapi bagaimanapun juga setiap kemungkinan akan dapat terjadi.”

“Sudahlah. Jangan mengorbankan dirimu buat kepentinganku. Yang kau dapatkan di sini sama sekali tidak seimbang, jika kau harus mengorbankan dirimu. Aku kira kedua orang yang berbuat demikian itu justru orang yang memiliki kelebihan dari orang kebanyakan.”

Sempulur tidak menjawab lagi selain mengangguk-anggukkan kepalanya.

Demikianlah kehidupan saudagar ternak itu nampaknya masih tetap tenang. Isterinya sama sekali tidak tahu, bahwa pernah terjadi sesuatu yang dapat membuat suaminya gelisah dan bingung. Jika ia melihat suaminya duduk merenung, ia selalu menyangka bahwa ada sesuatu yang kurang baik pada perhitungan dagangnya, sehingga ia mengalami sedikit kerugian.

“Sudahlah kakang.” ia selalu mencoba menghiburnya, “Jika kau mengalami kerugian serba sedikit, janganlah dirisaukan. Kita tidak akan menjadi miskin karenanya. Kita sudah cukup kaya. Anak kitakan sudah memiliki kekayaannya tersendiri, sehingga apa yang kita punya seolah-olah hanyalah bagi sisa hidup kita yang semakin pendek.”

Suaminya tetap tidak mau mengatakan apa yang sebenarnya terjadi. Karena itu ia selalu menjawab, ”Baiklah Nyai. Aku akan melupakannya kekeliruanku yang kecil itu.”

Namun sebenarnyalah jantungnya bagaikan dicengkam oleh ketakutan yang tidak terhindarkan lagi.

Dari hari kehari, ternyata saudagar itu menjadi semakin gelisah. Rasa-rasanya saat itu pun menjadi semakin pendek, bahwa dua orang akan segera datang untuk mengambil uang. Sebagian saja dari seluruh miliknya.

“Baiklah aku akan menyediakannya.” berkata saudagar itu, ”Kenapa aku justru menjadi gelisah? Sudah beberapa kali hal itu terjadi. Dan yang beberapa kali itu tidak pernah menimbulkan persoalan yang gawat.”

Dengan demikian maka saudagar itu pun justru telah menyediakan uangnya dalam sebuah peti. Di dalam peti itu terletak sebuah peti lebih kecil, tempat ia menyimpan perhiasannya. Ia tidak mau menyembunyikan perhiasan itu, karena hal itu justru akan dapat menimbulkan kecurigaan dan perhatian tersendiri kepadanya. Tentu kedua orang itu megnganggap bahwa ia tidak mempercayai mereka itu.

“Orang yang merasa dirinya tidak dipercaya akan dapat berbuat apa saja diluar dugaan.” berkata saudagar itu di dalam hatinya.

Namun sementara itu, Pegatmega dalam kesempatan ter¬sendiri, selalu mengharap agar dua orang itu benar-benar datang ke rumah itu.

“Jika kita dapat melihat, atau memaksa mereka untuk melontarkan ilmu yang sebenarnya tersimpan pada mereka berdua, maka kila akan dapat mengetahui, siapakah sebenarnya keduanya itu.” berkata Witantra.

“Ya.” jawab Pegatmega, ”Akan sangat menarik jika keduanya benar-benar orang dari lingkungan ilmu hitam itu. Akulah orang yang paling berkepentingan. Dan agaknya merekapun memang sedang mencari aku. Seharusnya aku tidak bersembunyi seperti sekarang ini, dengan nama dan keadaan yang lain daripada saat aku membunuh ketiga orang dari mereka.”

“Kenapa kau harus menyatakan dirimu? Kau tidak usah berbuat demikian. Kau dapat berbuat demikian jika kau yakin bahwa kedua orang itu pun akan berbuat jantan. Datang kepadamu dan menantangmu dengan dada tengadah.”

Mahisa Bungalan hanya dapat mengangguk-anggukkan kepalanya. Meskipun sebenarnya ia merasa kurang mapan untuk bersembunyi saja terus-menerus. Jika semakin lama kedua orang itu bertindak semakin kasar, maka ia tentu akan merasa bersalah terhadap korban-korban yang berjatuhan.

Tetapi pembicaraan mereka berdua selalu terhenti jika saudagar kaya, tempat mereka tinggal itu datang. Segera mereka pun mengalihkan perhatian mereka kepada garis-garis di tanah, dan potongan-potongan lidi, yang mereka pergunakan sebagai alat permainan mereka. Macanan atau mul-mulan.

Namun agaknya dari hari kehari, kegelisahan menjadi semakin nampak pada saudagar itu. Meskipun kadang-kadang ia dapat menenangkan hatinya dengan menyediakan uangnya, tetapi kadang-kadang, terbayang kengerian yang sangat.

“Jika keduanya mengambil sikap lain.” katanya di dalam hati, ”Apakah Sempulur yang tua itu akan dapat menolongku? Meskipun Mahisa Agni seorang yang memiliki ilmu yang luar biasa sehingga ia akan mampu menilai Sempulur, tetapi tentu ketuaannya itu akan berpengruh juga.”

Tetapi saudagar itu tidak mengatakannya kepada siapapun. Apalagi kepada Pegatmega yang nampaknya menjadi semakin sesuai dengan Sempulur. Keduanya memiliki sifat yang hampir sama. Rajin dan tidak mau duduk termenung tanpa berbuat sesuatu. Jika mereka memang tidak mempunyai kerja apapun juga, maka mereka pun sempat mempertajam otak mereka dengan permainan mereka meskipun dengan alat-alat yang sangat sederhana.

Sementara itu, selagi Sempulur dan Pegatmega menunggu sampai pada suatu saat dua orang itu akan datang ke rumah saudagar kaya itu, maka di tempat lain, agaknya seseorang telah menaruh perhatian juga kepada kedua orang itu.

Agaknya perbuatan kedua orang, yang tidak dengan resmi dilaporkan itu, terdengar pula oleh Linggadadi.

Dengan demikian ia mulai merasa terganggu pula. Ia sama sekali tidak mau melihat wajah danau yang seolah-olah meliputi seluruh Singasari itu, bergelombang, betapapun kecilnya.

“Setiap peristiwa yang bersifat kekerasan tentu akan membangunkan prajurit-prajurit Singasari yang sudah mulai akan tidur lelap.” berkata Linggadadi.

Dengan demikian, maka ia pun kemudian bersepakat dengan Linggapati untuk mengirimkan dua orang yang mereka percaya untuk menyesuaikan masalahnya.

“Aku tidak tahu, siapakah mereka itu. Tetapi agaknya mereka adalah orang-orang yang memiliki kelebihan. Cobalah tangkap mereka hidup-hidup. Jika tidak mungkin, bunuh sajalah agar mereka tidak mengganggu ketenangan Singasari. Aku ingin Singasari benar-benar tidur, hingga pada suatu saat, aku akan datang dengan pasukan yang dengan pasti akan menghancurkannya selagi mereka masih lelap, dan tidak akan mungkin dapat bangun lagi.”

Kedua orang anak buah Linggapati itu pun kemudian mempersiapkan dirinya untuk melihat keadaan Singasari. Mereka mendapat tugas yang cukup berat. Mereka harus menghadapi dua orang yang tidak dikenal dan belum dapat dijajagi kemampuannya.

Demikianlah, maka dengan kesiagaan sepenuhnya, dua orang anak buah Linggapati itupun berangkat. Yang seorang bertubuh sedang, berwajah keras meskipun kadang-kadang ia tersenyum juga. Namanya Sruba. Sedang yang lain agak lebih tinggi, tetapi juga lebih kurus. Namanya Tuju.

Namun agaknya keberangkatan mereka telah menumbuhkan kegelisahan pada Linggapati dan Linggadadi. Sepeninggal keduanya, ternyata Mahibit telah kedatangan tamu. Tapak Lamba dengan kawan-kawannya.

“Kau benar-benar datang?” bertanya Linggapati sambil tersenyum.

Tapak Lamba mengerutkan keningnya. Namun iapun tersenyum pula sambil menjawab, ”Ya. Aku benar-benar datang.”

“Jarak waktu yang diperlukan terlalu lama.”

“Ada sesuatu yang menarik.” jawab Tapak Lamba.

Linggapati dan Linggadadi menjadi heran.

Sejenak kemudian, setelah mendapat hidangan minum dan makanan, Tapak Lamba mulai menceriterakan perjalanannya. Ia menceriterakan pula apa yang telah terjadi di daerah yang disebut daerah bayangan hantu itu.

Linggapati menjadi gelisah. Dengan serta merta ia bertanya, ”Jadi kau jumpai tiga orang berilmu hitam itu?”

“Ya. Dan Ki Buyut itu pun menjadi ragu-ragu. Apakah orang-orang di Mahibit tidak menganut ilmu hitam.”

Linggapati tertawa. Jawabnya, ”Ilmu hitam adalah ilmu tersendiri. Jika ada orang yang tidak senang kepada cita-citaku, dapat saja ia menyebut aku juga golongan hitam. Tetapi sebenarnya aku tidak menganut ilmu hitam yang dimaksud. Ilmu hitam yang murni. Karena ilmu itu benar-benar mengerikan. Mungkin aku juga kadang-kadang membunuh dengan cara yang mengerikan. Tetapi bukan merupakan keharusan dan kebanggaan. Apalagi mereka memang memerlukan darah untuk menyegarkan ilmu mereka. “

“Jadi kau sudah pernah mendengar?”

“Ya. Tetapi sebenarnya ilmu itu sudah lama lenyap. Kini tiba-tiba saja ilmu itu muncul dan berkembang. Hal itu tentu akan membahayakan cita-citaku. Tentu Singasari akan memperkuat diri dan bangkit dengan kesiagaan sepenuhnya. Jika demikian, aku tidak akan mungkin dapat mengguncang Kota Raja itu dengan caraku, karena aku ingin kota itu menjadi tenang dan damai. Sekali angin bertiup, maka akan robohlah batangnya untuk tidak akan pernah bersemi lagi.”

Tapak Lamba mengangguk-angguk. Katanya, ”Jika benar-benar terjadi perampokan-perampokan itu di Singasari, mungkin memang ada hubungannnya dengan orang-orang yang berilmu hitam itu.”

Linggapati termenung sejenak. Diluar sadarnya kepalanyapun terangguk-angguk pula. Ia mulai membayangkan perjalanan ke dua orang-orangnya yang pergi ke Singasari.

“Jika benar kedua orang itu dari lingkungan ilmu hitam, apakah Sruba dan Tuju akan dapat berhasil menangkap hidup, atau melenyapkannya agar ia tidak membuat onar lagi di Singasari?” gumamnya.

“Kakang.” berkata Linggadadi, ”Biarlah aku pergi saja ke Singasari. Aku akan melihat perkembangan keadaan.”

“Kau adalah seorang yang mudah tersinggung. Kau suka bermain-main. Tetapi kau kurang tabah dengan permainanmu sehingga kadang-kadang hatimu terbakar. Jika kedua orang dari lingkungan hitam itu dapat ditangkap hidup, maka ada kemungkinan kita dapat berhubungan dengan pimpinannya. Adalah tidak mustahil bahwa kita akan dapat bekerja bersama, seperti kita akan bekerja bersama dengan Tapak Lamba.”

Tapak Lamba menundukkan kepalanya. Ia sadar, bahwa sebenarnyalah bahwa sisa hidupnya adalah karena belas kasihan Linggapati saat Linggadadi hampir saja membunuhnya. Namun kemudian hidup itu seakan-akan telah disambung pula oleh Mahisa Bungalan, kakak dari Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang hampir saja dibunuhnya.

“Jadi bagaimana maksud kakang?”

Linggapati termangu-mangu. Lalu katanya, ”Baiklah. Jika kau mau pergi, pergilah. Tetapi jangan kau ulangi kekasaranmu seperti yang hampir saja kau lakukan terhadap Tapak Lamba. Jika sekiranya kau tidak perlu membunuh, jangan kau bunuh orang itu.”

Linggadadi mengangguk. Tetapi iapun kemudian berkata, ”Mudah-mudahan bukan orang-orang itulah yang memaksa, aku membunuh mereka.”

“Memang ada kalanya demikian. Terserahlah kepadamu. Apa yang sebaiknya harus kau lakukan.”

Linggadadi pun kemudian memandang Tapak Lamba sambil bertanya, ”Apakah kau akan pergi bersamaku?”

Tapak Lamba ragu-ragu sejenak. Namun kemudian katanya, “Sebaiknya aku tidak usah pergi. Bukan karena aku takut menghadapi maut jika sekiranya kita akan berjumpa dengan orang-orang dari lingkungan ilmu hitam itu. Tetapi aku adalah orang yang barangkali telah dikenal oleh satu dua orang Singasari sehingga mungkin akan dapat menghambat usahamu.”

Sebelum Linggadadi menjawab, Linggapati telah memotong, “Biarlah ia tinggal disini. Ia akan menjadi beban bagimu.”

Sekali lagi Tapak Lamba menundukkan kepalanya. Ia merasa bahwa dalam pembicaraan itu, ia adalah orang yang seolah-olah tidak banyak berarti. Ilmunya masih belum dapat ikut diperhitungkan untuk menghadapi orang-orang dari lingkungan ilmu hitam. Bahkan Linggapati menganggapnya, bahwa ia hanya akan menjadi beban Linggadadi di perjalanan dan apalagi mereka benar-benar bertemu dengan orang-orang berilmu hitam itu.

Tetapi Tapak Lamba harus menyimpan perasaannya itu di dalam hatinya betapapun pahitnya.

Dalam pada itu, maka Linggadadi pun segera mempersiapkan diri. Disaat fajar menyingsing dihari berikutnya, maka iapun segera meninggalkan Mahibit seorang diri. Ia akan menggabungkan dirinya denga dua orang yang telah berangkat lebih dahulu. Ia akan dapat menemukan kedua orang itu dengan memberikan ciri-ciri tertentu di sepanjang jalan-jalan kota Singasari, sebagai pertanda kehadirannya. Ciri-ciri yang tidak banyak menarik perhatian, tetapi akan segera dikenal oleh kedua orang kawannya itu.

Dengan demikian, maka di kota Singasari, telah berkumpul beberapa pihak yang saling bertentangan. Bertentangan sikap dan cita-cita.

Tetapi ternyata bahwa Sruba dan Tuju yang sudah berada di Kota Raja itu bergerak lebih banyak dari Witantra dan Mahisa Bungalan yang hanya sekedar menunggu. Sruba dan Tuju, setiap malam berkeliaran di jalan-jalan kota. Tidak seperti kedua orang yang dikirim oleh mereka yang berada di dalam lingkungan ilmu hitam itu pula, maka Sruba dan Tuju tidak memerlukan tempat tinggal. Mereka dapat berada dimana saja dalam panas yang terik dan dalam hujan yang lebat.

Beberapa hari setelah mereka berada di Kota Raja, maka mereka mulai mencurigai dua orang yang mereka lihat lewat di jalan-jalan sepi di malam hari. Tetapi keduanya masih belum berbuat apa-apa sama sekali. Bahkan kemudian, sebelum mereka berbuat sesuatu, mereka telah melihat lembaran daun pakis di tepi jalan. Tidak hanya disatu tempat. Tetapi di beberapa tempat yang banyak dilalui orang.

Hampir tidak seorang pun yang menghiraukan lembaran daun pakis yang tergolek begitu saja di tepi jalan. Tetapi bagi Sruba dan Tuju, itu adalah pertanda bahwa Linggadadi sedang berusaha menghubungi keduanya.

Ternyata mereka tidak terlampau sulit. Dengan menunggu saja pada salah satu dari daun pakis yang berceceran itu, maka merekapun akan dapat bertemu dengan Linggadadi.

Tetapi, ketika malam menjadi gelap, sebelum Linggadadi melintasi sekali lagi jalan-jalan yang telah diberinya ciri-ciri daun pakis itu, Sruba dan Tuju melihat dua orang yang mereka curigai itu lewat lagi tidak jauh dari mereka berdua.

“Kita ikuti, kemana keduanya pergi.”

“Bagaimana dengan Linggadadi?”

Srubapun kemudian memungut salah satu dari daun pakis itu, dan dibuatnya simpul mati, sebagai pertanda bahwa Sruba dan Tuju telah melihat ciri-ciri yang ditinggalkannya, tetapi belum sempat bertemu.

Setelah meletakkan daun pakis yang sudah diberinya simpul itu, maka Sruba dan Tujupun segera mengikuti dua orang yang mereka curigai itu, supaya mereka tidak kehilangan jejaknya.....
Sejenak kemudian Linggadadi pun mulai menelusuri jalan yang telah diberinya tanda dengan daun pakis. Satu-satu ia memperhatikan daun-daun pakis yang diletakkannya di tepi jalan.

Semua masih berada ditempatnya. Tetapi ketika ia sampai pada salah satu diantaranya yang sudah ditandai dengan simpul mati, maka ia berhenti termangu-mangu.

“Sruba dan Tuju sudah melihat daun pakis ini.” berkata Linggadadi. Lalu, ”Tetapi ia tidak sempat menunggu aku. Tentu ada sesuatu yang penting yang mereka lakukan malam ini.”

Demikianlah maka Linggadadi pun kemudian meninggalkan tempat itu. Tetapi ia tidak mendapatkan petunjuk, kemanakah kedua kawannya itu pergi. Meskipun demikian ia berusaha untuk dapat mencarinya.

“Tentu ia berada di dalam kota.” Desisnya, ”Dan aku akan mengelilingi seluruh kota ini. Jika tidak ada sesuatu yang sangat penting, maka ia tidak akan meninggalkan tanda yang sudah aku berikan ini.”

Dalam pada itu, Sruba dan Tuju dengan diam-diam berusaha mengikuti dua orang yang berjalan di dalam gelapnya malam. Adalah sangat mencurigakan, bahwa dua orang itu sekali-sekali berhenti di depan sebuah rumah yang besar dan halamannya luas. Tetapi kemudian mereka meninggalkan tempat itu, dan setelah berjalan beberapa lama, maka mereka melakukan perbuatan serupa di hadapan rumah lain.

“Mereka tentu sedang memperbandingkan, yang manakah yang paling baik dimasukinya.” bisik Tuju.

Sruba mengangguk kecil. Katanya, ”Ya. Demikian mereka masuk, kita akan mendekati dan menangkap mereka hidup-hidup.”

Sejenak keduanya menunggu. Rasa-rasanya mereka tidak sabar lagi menunggu. Seakan-akan merekalah yang justru ingin mendorong kedua orang itu masuk ke rumah yang besar itu.

Namun akhirnya, seperti yang diharapkan oleh Sruba dan Tuju, maka kedua orang itupun dengan hati-hati memasuki sebuah regol halaman yang cukup luas. Halaman rumah seorang saudagar ternak yang termasuk kaya raya.

Sruba dan Tujupun segera mendekatinya. Sejenak mereka berhenti diluar regol. Dari gelapnya malam mereka mendengar kedua orang yang memasuki halaman itu berbisik, ”Kita ketuk saja pintunya.”

Salah seorang dari kedua orang itupun segera mengetuk pintu. Hanya perlahan-lahan. Perlahan-lahan sekali. Tetapi ketukan pintu yang perlahan-lahan itu ternyata telah mengejutkan seisi rumah yang seolah-olah memang tidak dapat memejamkan mata sama sekali.

Penghuni rumah itu adalah saudagar ternak suami isteri, pembantu-pembantunya yang berada di belakang, dan diantara mereka terdapat Sempulur dan Pegatmega.

Dengan gemetar saudagar ternak itupun keluar dari biliknya. Ketika isterinya akan mengikutinya, ia masih sempat menenangkan, ”Jangan ikut aku. Tidak ada apa-apa. Mungkin ada tamu yang kemalaman.”

“Tetapi bukan waktunya ada tamu.” desisnya.

“Mungkin ada berita yang sangat penting.” berkata saudagar itu.

Isterinya termangu-mangu. Tetapi ia menganggukkan kepalanya.

Dalam pada itu, saudagar yang ketakutan itupun pergi ke bilik Sempulur dan Pegatmega. Dilihatnya kedua orang itu sudah duduk di bibir pembaringan masing-masing.

“Apa yang sebaiknya aku lakukan?” suara saudagar itu bergetar.

“Bukakanlah pintunya.” berkata Sempulur, ”Jika yang dikehendaki lebih dari uang, maka aku akan bertindak.”

“Tetapi jangan tergesa-gesa. Biarlah tidak ada kesulitan yang lebih besar yang dapat aku alami.”

“Baiklah.” Pegatmega memotong, ”Biarlah paman Sempulur menunggu isyarat paman. Jika paman memerintahkan, maka paman Sempulur akan segera melakukan tugasnya. Ia adalah bekas seorang prajurit.”

Saudagar itu menjadi semakin gemetar ketika terdengar sekali lagi pintunya diketok dari luar. Agaknya lebih keras.

“Bukalah pintunya.” desis Sempulur.

Saudagar itu pun kemudian dengan kaki yang gemetar pergi ke pintu depan. Dengan cemas ia mendekati pintu yang masih tertutup rapat itu.

Dengan tangan gemetar pula ia mengangkat selarak pintu itu, dan dengan perlahan-lahan ia menarik daun pintunya.

Ketika pintu itu terbuka, dilihatnya didalam keremangan malam dua orang berdiri dipendapa. Nampaknya keduanya agak tergesa-gesa. Demikian pintu itu terbuka, maka keduanya segera meloncat masuk dan dengan tergesa-gesa pula segera menutup pintu itu kembali.

Terasa tulang-tulang saudagar kaya itu menjadi lemas dan tidak bertenaga lagi. Dua orang itu benar-benar yang dicemaskannya selama ini. Dua orang yang mempergunakan tutup wajah seperti yang pernah didengarnya.

Tetapi yang pertama-tama didengarnya dari mulut yang tertutup itu adalah suara tertawa. Katanya kemudian, ”Kau tentu sudah mengenal aku. Mungkin kawan-kawanmu pernah berceritera tentang aku. Karena itu, sebaiknya kau tidak usah takut. Aku tidak pernah membuat keributan. Dengan terus terang, baiklah aku beritahukan, sebenarnyalah bahwa aku hanya ingin mencukupi kebutuhan makan dan pakaian saja. Tidak lebih dari itu. Karena itu, aku minta kau dengan senang hati menyediakan uang buatku.”

Saudagar itu menjadi semakin gemetar. Tetapi kata-kata yang sareh itu membuatnya agak tenang sedikit. Yang diminta oleh orang-orang itu tidak lebih dari sekampil uang seperti yang pernah dilakukannya.

Ketika isterinya keluar dari dalam bilik dan melihat kedua orang itu, hampir saja ia menjadi pingsan. Tetapi selagi ia terhuyung-huyung, dan hampir saja terjatuh, maka dengan cekatan, salah seorang dari mereka yang mempergunakan tutup wajah itu meloncat dan menangkap perempuan yang sudah tidak bertenaga lagi.

“Isterimu menjadi ketakutan.” berkata orang yang bertutup wajah itu.

“Ya, ia tentu terkejut sekali.” desis saudagar itu.

Orang yang menahan tubuh perempuan itu tidak menjawab. Diangkatnya tubuh perempuan itu seperti menjinjing anak-anak dan meletakkannya di pembaringan.

Ternyata perempuan itu belum pingsan sama sekali. Tetapi tubuhnya bergetar seperti sepekan terendam air embun yang dingin.

“Jangan takut Nyai.” berkata orang yang mendukungnya dan meletakkannya di pembaringan, ”Aku tidak akan berbuat apa-apa. Baik terhadapmu maupun terhadap suamimu. Aku hanya memerlukan sedikit uang. Tidak lebih.”

Perempuan itu tidak menjawab. Ia rasa-rasanya telah membeku di pembaringannya itu.

Sejenak kemudian maka salah seorang dari kedua orang itu berkata, ”Tunjukkan simpanan uangmu.”

“Baik, baik Ki Sanak.” jawab saudagar itu terbata-bata.

Dalam pada itu, ketika ketiga orang itu menuju kedalam bilik tempat isteri saudagar itu di baringkan, salah seorang dari kedua orang yang bertutup wajah itu tertegun di muka pintu sebuah bilik yang tertutup. Dengan ragu-ragu ia menggamit saudagar itu sambil bertanya, ”Siapakah yang berada di dalam bilik ini?”

Saudagar itu tergagap. Jawabnya kemudian, ”Kemanakanku, Ki Sanak, kemanakanku bersama kakak sepupuku.”

Kedua orang itu termangu-mangu sejenak. Kemudian salah seorang dari keduanya itupun mendorong pintu lereg itu kesamping.

Sejenak keduanya berdiri di tempatnya dengan ragu-ragu. Kedua orang bertutup wajah itu melihat, dua orang berada di dalam bilik itu duduk di bibir pembaringan.

“Siapa kau?” bertanya salah seorang dari kedua orang yang datang itu.

Sempulur sudah mendengar jawaban saudagar ternak itu, hingga iapun menjawab, ”Aku adalah kakang sepupunya. Dan anak muda ini adalah anakku.”

Kedua orang yang datang itu ragu-ragu sejenak. Namun kemudian iapun berkata, ”Jangan mengganggu tugas kami Ki Sanak. Jika kalian tamu disini, silahkanlah. Akupun tidak akan mengganggumu.”

“Aku tidak dapat berbuat apapun disini. Tetapi aku berterima kasih, bahwa aku tidak akan terganggu karenanya.”

Orang bertutup wajah itu tertawa kecil. Katanya, ”Akupun terima kasih bahwa kau tidak menjadi ribut karenanya.” Kedua orang itupun kemudian meninggalkan bilik itu dan masuk kedalam bilik yang lain. Namun dengan demikian, perempuan yang diletakkan di pembaringan itu menjadi semakin ketakutan.

“Kami tidak akan berbuat apa-apa.” berkata salah seorang dari mereka.

Tetapi perempuan itu tidak mendengarnya. Karena itulah ia masih saja menggigil di pembaringannya.

Sejenak kemudian maka saudagar itupun memperlihatkan peti uangnya dan perhiasan-perhiasan simpanannya. Dengan suara gemetar ia berkata, ”Yang manakah yang kau perlukan?”

“O.” terdengar suara perempuan di pembaringan. Salah seorang yang bertutup wajah itu tertawa. Katanya, “Jangan cemas. Aku tidak akan mengambil apapun selain sejumput uang. Itu saja.”

Perempuan itupun terdiam. Tetapi rasa-rasanya ia tidak mengerti apa yang sedang terjadi itu.

Tetapi dalam pada itu, selagi kedua orang bertutup wajah itu akan mengambil uang di dalam peti itu, terdengar pintu rumah itu sekali lagi diketuk orang. Perlahan-lahan, tetapi cukup mengejutkan semua orang yang berada di dalarnnya.

“Siapakah mereka itu?” bertanya kedua orang bertutup wajah itu.

“Aku tidak mengerti.” jawab saudagar itu.

“Apakah kau mempunyai beberapa orang pengawal?”

“Tidak. Tidak. Aku tidak mempunyai satu pengawal pun.”

“Jangan bohong.”

“Aku tidak bohong.”

Pintu itupun sekali lagi diketuk dari luar.

“Pergilah kepintu itu. Bukalah. Aku berada di dalam bilik ini. Jika ternyata kau berbuat curang, maka seisi rumah ini akan aku tumpas. Kau, isterimu dan kedua tamumu.”

Saudagar itu menjadi bingung. Tetapi salah seorang bertutup wajah itu mendorongnya sambil berkata, ”Cepat. Bukalah pintu itu.”

Saudagar itupun kemudian melangkah dengan kebingungan. Ia tidak tahu apakah yang paling baik dilakukan dalam keadaan seperti itu. Apalagi ia dicengkam oleh kecemasan, tetapi juga ketakutan. Dan ia tidak dapat membayangkan, siapakah yang akan datang lagi di malam hari itu.

Dengan tangan bergetar maka iapun membuka pintu rumahnya sekali lagi. Ketika pintu itu terbuka, dilihatnya dua orang yang lain telah berdiri di muka pintu itu.

Hati saudagar ternak itu berdegup keras sekali. Ia benar-benar cemas, bingung dan bahkan takut menghadapi keadaan yang tidak dimengertinya sama sekali itu.

“Ki Sanak.” berkata salah seorang dari kedua orang yang berdiri di muka pintu itu, ”Aku ingin bertemu dengan kedua orang tamumu yang datang lebih dahulu dari aku.”

Saudagar itu termangu-mangu. Namun kemudian jawabnya, ”Aku tidak mempunyai tamu.”

“Jangan bohong Ki Sanak.” sahut yang lain, ”Ketahuilah. Aku berniat baik. Aku sama sekali tidak akan merampok milikmu seperti kedua orang yang wajahnya disembunyikan di balik ikat kepalanya itu.”

Saudagar itu menjadi semakin bingung. Karena itu untuk beberapa saat ia seolah-olah telah membeku di muka pintu.

Kedua orang yang bersembunyi di dalam bilik itu mendengar semua pembicaraan saudagar dengan kedua orang yang datang kemudian itu. Karena, itu, maka iapun mengerti, bahwa yang datang itu adalah orang-orang yang juga tidak dikenal oleh saudagar kaya itu. Karena itulah, maka keduanya pun menjadi berdebar-debar.

“Siapakah kira-kira mereka?” bisik salah seorang dari keduanya.

Yang lain menggelengkan kepalanya. Katanya, ”Tentu aku juga tidak tahu. Kita tunggu saja perkembangannya.”

“Bagaimanakah jika kedua memaksa untuk masuk?”

“Jika keadaan memaksa, apaboleh buat. Kita wajib menyelamatkan diri.”

“Apakah kita harus bertempur?”

“Jika itu perlu untuk melindungi hidup kita.”

“Apakah dengan demikian, maka kita tidak perlu lagi menyembunyikan ilmu kita?”

“Sejauh-jauh dapat kita lakukan. Jika kita mampu mengalahkan lawan kita dengan ilmu yang sewajarnya, kita tidak akan mempergunakan ilmu simpanan yang sampai saat ini masih harus kita rahasiakan.”

Kawannya menganguk-anguk.

“Tetapi jika dengan demikian, kita tidak mampu lagi bertahan, maka kita akan membunuh lawan kita. Kita akan menguburkannya, sehingga tidak ada, orang lain yang mengetahuinya.”

“Saudagar kaya itu?”

“Ia tidak tahu apa-apa. Kita tidak akan mengganggunya saat ini. Demikian juga agaknya kedua tamu yang membeku di dalambilik itu.”

Sementara itu, kedua orang yang berada dimuka pintu, ternyata tidak mau ditahan lagi. Merekapun mendesak masuk sambil mengancam, ”Jangan melindungi perampok yang ada di dalam rumahmu dan justru akan merampok kekayaanmu Ki Sanak. Aku tahu bahwa kau lakukan hal itu bukan karena kau memang berniat untuk melindungi. Tetapi kau lakukan hal ini karena kau ketakutan oleh ancamannya. Nah, sekarang jangan takut lagi. Akulah yang akan mempertanggung jawabkan.”

Saudagar itu menjadi semakin bingung. Lalu katanya, ”Aku benar-benar tidak tahu Ki Sanak, siapakah yang kalian maksud itu.”

“Sudahlah.” berkata salah seorang dari keduanya, ”Menyingkirlah. Aku akan mencarinya sendiri.”

“Jangan Ki Sanak. Jangan.”

Tetapi saudagar itu tidak mampu menahan keduanya. Salah seorang dari kedua orang itu tiba-tiba menangkap tangannya dan memilinnya, ”Jika kau ribut, tanganmu akan aku patahkan.”

“Aduh, jangan. Jangan.”

“Jika demikian, diamlah. Dan duduklah di amben itu tanpa berbuat apa-apa.”

Ketika sebuah pisau belati berkilau di hadapan matanya, maka rasa-rasanya nyawanya memang sudah berada di ubun-ubun. Dengan gemetar ia duduk di amben yang ditunjuk oleh kedua orang itu tanpa dapat berbuat apa-apa.

Sementara itu, di dalam bilik yang lain, Witantra dan Mahisa Bungalan pun duduk termangu-mangu. Mereka sadar, bahwa kedua orang itu dapat keliru dan menganggap keduanya adalah dua orang yang telah masuk lebih dahulu kedalam rumah itu. Namun selain kegelisahan itu, mereka pun menjadi bingung. Semula keduanya sudah bersiap untuk menangkap kedua orang yang datang terlebih dahulu jika mereka keluar dari rumah itu dan langsung menyergapnya di halaman. Tetapi dengan kehadiran dua orang lagi, maka Witantra dan Mahisa Bungalan menjadi ragu-ragu untuk bertindak.

Selagi mereka termangu-mangu, maka mereka pun terkejut ketika pintu bilik itu didorong dengan keras sehingga terbuka lebar-lebar. Keduanya dengan susah payah berusaha menahan diri untuk tetap duduk ditempatnya dengan kaki yang gemetar.

“Ha, ternyata kalian berada disini.” berkata salah seorang dari kedua orang yang masuk itu.

“Ya, kami tamu disini.” jawab Witantra dengan suara yang tersendat-sendat.

Salah seorang dari kedua orang itu mengerutkan keningnya. Tetapi yang lain tertawa. ”Jangan berbohong. Kau masuk rumah ini dengan tutup wajah. Sekarang kau mencoba ingkar dan ketakutan.”

“Tidak. Aku sudah beberapa hari berada di rumah ini. Aku adalah kakak saudagar itu dan ini adalah anakku. Ini, di dalam bungkusan di geledek ini adalah beberapa lembar bekal pakaianku dan itu adalah pakaian anakku. Aku tidak baru saja masuk ke dalam rumah ini.”

Kedua orang itu menjadi ragu-ragu. Nampaknya keduanya memang bukan orang yang dicari. Tetapi mereka masih tetap ragu-ragu.

Dengan hati-hati kedua orang itu melangkah masuk ke dalam bilik itu. Dilihatnya bungkusan yang ada di dalam gledeg itu. Ternyata bungkusan itu adalah beberapa lembar pakaian.

Dengan demikian maka kedua orang itu percaya, bahwa keduanya memang bukan orang yang baru saja masuk ke dalam rumah itu.

“Aku kira memang bukan mereka.” bisik salah seorang dari kedua orang itu, ”Keduanya nampaknya memiliki sikap yang berbeda sekali dengan kedua orang ini. Cekatan dan tidak ragu-ragu.”

Yang lain mengangguk-angguk. Desisnya, ”Kita cari ke bilik yang lain.”

Dengan demikian maka keduanya pun segera keluar dari dalam bilik itu. Mereka memandang saudagar yang duduk ketakutan itu sejenak. Kemudian salah seorang dari mereka berkata, ”Aku akan mencarinya di tempat lain. Tetapi kali ini aku tidak dapat berbuat lebih baik dari kedua orang yang telah mendahului aku. Jika ternyata aku menemukan kedua orang itu maka aku akan membunuh mereka, dan sekaligus memberimu peringatan karena kau tidak membantu aku sama sekali. Peringatan yang barangkali sepadan dengan kedunguanmu sekarang ini.”

“Tetapi, tetap.“ Saudagar itu tergagap.

“Agaknya kau lebih takut kepada kedua orang itu dari pada kepada kami.” yang lain hampir kehilangan kesabarannya, ”Jangan kau sangka bahwa aku tidak dapat membunuhmu dengan cara yang lebih baik dari cara yang dapat diambil oleh kedua orang itu. Atau barangkali ada anggauta keluargamu yang diancam sebagai taruhan. Jika kau membuka mulutmu, orang itu akan dibunuh?”

Saudagar itu tidak menjawab.

“Jika demikian, maka aku pun akan mengancam. Jika aku tidak menemukan orang itu, maka kedua orang di dalam bilik itupun akan aku bunuh. Kemudian kau sendiri akan aku ikat dibelakang kuda. Kau tentu mempunyai satu atau dua ekor kuda. Bahkan mungkin lebih. Satu kakimu akan aku ikat dengan seekor kuda yang menghadap ke Timur di jalan di depan rumahmu ini, sedang satu kakimu yang lain akan aku ikat dengan seekor kuda yang menghadap ke Barat.”

“Jangan, jangan.” saudagar itu menjadi sangat ketakutan.

“Dan kau akan dapat membayangkan akibatnya jika kedua ekor kuda itu kami kejutkan dan meloncat berlari ke arah yang berlawanan.”

“Jangan, jangan.”

“Jika kau tidak mau, katakan, dimanakah kedua orang itu?”

Saudagar itu benar-benar menjadi bingung. Jika ia menunjukkan, maka kemungkinan yang paling pahit adalah, isterinya akan menjadi korban. Tetapi jika tidak, ancaman itu benar-benar sangat mengerikan.

Karena itu, maka justru untuk beberapa saat ia diam mematung. Ia tidak tahu, apakah yang sebaiknya dilakukannya.

Kedua orang itu agaknya sudah tidak sabar lagi. Yang seorang segera meloncat mendekatinya. Diguncangnya lengannya sambil membentak, ”Jangan menunggu aku kehilangan kesabaran. Aku dapat menarik kau di belakang kuda dan membakar rumah itu sekaligus.”

“Tetapi, tetapi……“ suaranya tergagap.

“Cepat, aku tidak mempunyai waktu. Aku yakin, kedua orang itu ada di dalam rumah ini. Jika tidak ada orang lain, maka kedua orang yang ada di dalam bilik itulah yang akan aku bunuh.”

Saudagar itu masih saja kebingungan, la tahu bahwa orang yang disebut bernama Sempulur itu adalah bekas seorang prajurit. Jika ia akan dibunuh, maka ia tentu akan melawannya. Tetapi akhir dari perkelahian itu sama sekali tidak dapat dibayangkannya.

Sementara itu, selagi kedua orang itu mengguncang saudagar yang kebingungan, Witantrapun menjadi termangu-mangu. Hampir diluar sadarnya ia berdiri dan melangkah kepintu. Tetapi ia masih belum menjengukkan kepalanya.

Mahisa Bungalan pun kemudian mempersiapkan diri perlahan-lahan dan dengan sangat berhati-hati ia melangkah mendekat dinding. Ia telah bertekad untuk bertempur melawan kedua orang yang baru datang itu. Bahkan jika perlu dengan dua orang yang terlebih dahulu bersembunyi di dalam bilik yang lain.

Namun dalam pada itu, salah seorang yang berdiri sambil bertolak pinggang di hadapan saudagar itu benar-benar telah kehilangan kesabaran. Dengan serta merta ia melangkah kepintu bilik yang lain dan mendorongnya dengan kakinya.

Ketika bilik itu terbuka, maka hampir berbareng kedua orang itu berdesis, ”Nah, bukankah kami benar?”

Saudagar itu mengigil ketakutan. Ia tidak dapat membayangkan apa yang akan terjadi di dalam rumahnya itu.

Sementara itu, kedua orang yang bertutup wajah itupun dengan langkah yang tenang keluar dari dalam bilik itu sambil mempersiapkan diri menghadapi setiap kemungkinan. Bahkan salah seorang dari mereka berkata, ”Aku sudah menduga, bahwa kalian akan membuka pintu bilik itu. Tetapi sebelum kita mempersoalkan kehadiran kita masing-masing di rumah ini, apakah aku dapat bertanya, siapakah kalian?”

“Kita masing-masing memang saling ingin mengetahui. Aku pun ingin bertanya kepadamu, siapakah kau berdua? Dan apakah maksud perbuatanmu selama ini?”

Kedua orang yang bertutup wajah itu saling berpandangan sejenak. Namun salah seorang dari merekapun bertanya. ”Apakah kau petugas atau prajurit Singasari?”

Kedua orang yang datang kemudian itu termenung sejenak. Salah seorang daripadanya pun kemudian berkata, ”Sudahlah. Berkatalah berterus terang. Kau telah melakukan perampokan beberapa kali didaerah Singasari ini. Karena itu kalian harus ditangkap dan dibunuh.”

“Sekali lagi aku bertanya.” desis salah seorang dari kedua orang yang bertutup wajah itu, ”Benarkah kalian petugas sandi?”

“Sama sekali tidak. Tetapi aku tidak senang melihat kerusuhan yang terjadi didaerah Singasari. Dengan demikian maka kalian seolah-olah telah membangunkan harimau yang sedang tidur.”

“Aku tidak mengerti maksudmu.”

“Dengarlah. Barangkali kita dapat menemukan jalan seiring. Jika kalian menghentikan kerusuhan yang kalian lakukan dan bersedia bekerja bersama kami, maka mungkin kita akan segera dapat menyelesaikan tugas yang besar bukan saja sekedar untuk mendapatkan uang sekampil dua kampil tetapi seluruh Singasari akan jatuh ketangan kita.”

“Aku masih tetap tidak mengerti.”

“Kami sedang mempersiapkan diri untuk menguasai Singasari. Karena itu biarkan Singasari menjadi aman dan tenteram. Jika kau melakukan perampokan-perampokan kecil, tetapi kemudian akan menjalar menjadi perampokan yang lebih berani, maka para petugas dari Singasari akan terbangun. Prajurit Singasari akan bersiap-siap menghadapi kemungkinan-kemungkinan yang lebih pahit dari perampokan-perampokan kecil seperti yang kau lakukan.”

Kedua orang yang bertutup wajah itu terdiam sejenak. Namun salah seorang dari mereka terdengar tertawa dan berkata, ”Siapakah sebenarnya kau ini. Kata-katamu bagaikan guntur yang dapat membelah langit, meruntuhkan gunung dan mengeringkan lautan. Kau sangka Singasari itu berisi anak-anak yang baru pandai main jirak kemiri? He, kenapa kau bermimpi untuk menguasai Singasari? Kami, yang memiliki kekuatan yang tidak ternilai, masih belum berani mengucapkan kata-kata itu. Apalagi kau?”

Wajah kedua orang yang datang kemudian itu menjadi merah. Dengan lantang salah seorang berkata, ”Katakan. Siapakah kalian?”

“Itu tidak perlu. Agaknya kau pun segan mengatakan, siapakah kalian sebenarnya. Sekarang, baiklah kita tidak saling mengganggu. Pergilah. Carilah jalan sendiri. Aku akan menyampaikan salam jika kalian kelak berhasil merebut Singasari. Tetapi kalian akan berada di bawah telapak kaki kami, jika kamilah yang lebih dahulu memiliki tahta itu.”

“Jadi, perampok-perampok kecil yang mengumpulkan sekampil dua kampil uang itu juga merindukan tahta Singasari yang agung. Apakah kau pernah mendengar nama-nama Senapati besar dari Singasari? Apakah kau menyadari apa yang sedang kau lakukan itu?”

“Kenapa tidak? Aku mengenal Mahisa Agni, Witantra, Lembu Ampal, Kuda Werdi, Kidang Pagut, Panji Soroh dan masih banyak lagi. Juga dapat disebut Mahendra yang tidak berada di dalam lingkungan keprajuritan tetapi ia adalah seorang yang perlu diperhitungkan. Dan yang baru muncul adalah anaknya Mahisa Bungalan yang masih muda dan senang melakukan petualangan. Nah, apakah kau mengenal nama sebanyak itu?”

Kedua orang itu sesaat terdiam. Ternyata perampok kecil itu mengenal banyak sekali nama Senapati-Senapati Singasari dan agaknya mereka menyadari kemampuan para Senapati itu.

Karena itu. maka salah seorang dari mereka berkata, ”Jika demikian, kau menyadari sepenuhnya apa yang kalian lakukan. Karena itu, maka sudah seharusnya kami menghentikan semua kegiatanmu itu, karena pasti akan mengganggu semua rencana kami. Kecuali jika kalian bersedia bekerja bersama kami.”

Sejenak kedua orang itu tidak menjawab. Nampaknya mereka sedang merenungi kata-kata itu.

Dalam pada itu, Witantra dan Mahisa Bungalan yang berada di dalam bilik saling berpandangan. Agaknya kedua orang yang datang terlebih dahulu dan dua orang yang kemudian, adalah orang-orang dari kelompok tertentu dengan rencana tertentu. Mereka nampaknya memang sedang melakukan persiapan untuk suatu usaha yang besar. Tahta Singasari.

Tetapi keduanya tidak sempat membuat pertimbangan-pertimbangan ketika terdengar salah seorang dari orang yang bertutup wajah itu berkata, ”Sudahlah. Jangan membuat persoalan sekarang. Kita masih belum tahu, apakah jadinya nanti. Tawaran tentang kerja sama itupun masih harus aku pertimbangkan karena aku masih belum tahu siapakah kalian.”

“Tidak ada waktu lagi untuk membuat pertimbangan-pertimbangan.”

“Jadi kalian benar-benar ingin membuat keributan? Aku sudah berusaha untuk melakukan pekerjaan yang benci ini dengan diam-diam, sehingga orang yang kehilangan itu sendiri tidak pernah mempersoalkan. Bahkan sekarang kalian datang untuk mencampuri persoalan ini.”

“Tidak ada pembicaraan di antara kita. Jika kalian bersedia bekerja bersama kami, mari ikutlah kami. Jika tidak, maka kalian akan mati di halaman rumah ini. Mudah-mudahan ada seseorang yang bersedia menguburkan kalian.”

“Jangan membuat kami marah.” desis salah seorang yang bertutup wajah itu, ”Kami bukan orang yang pada dasarnya ramah tamah. Kami adalah orang-orang kasar dan buas. Jika kami kambuh, maka kalian akan menyesal. Dan agaknya penyesalan itu tidak akan ada gunanya.”

Kedua orang yang datang kemudian itu menjadi tegang. Wajah merekapun menjadi merah membara dan gigi mereka gemeretak.

Agaknya memang tidak ada kemungkinan lain daripada perkelahian diantara mereka. Karena itulah agaknya maka kedua orang itupun segera bersiaga. Salah seorang dari mereka berkata, ”Agaknya sudah jelas bagi kita masing-masing. Kita akan bertempur. Nah, apakah kita akan berkelahi di sini atau di luar?”

“Baiklah. Masih ada kesempatan untuk berpikir sedikit. Marilah kita bertempur di halaman.”

Keempat orang itupun segera melangkah meninggalkan ruangan itu. Salah seorang yang bertutup wajah itu masih sempat berpaling dan berkata kepada penghuni rumah itu, ”Siapkan uang yang aku perlukan. Aku akan membunuh orang-orang ini lebih dahulu. Dan agaknya kau benar-benar tidak ikut campur di dalam persoalan ini. Demikian juga kedua orang tamumu itu.”

Tetapi salah seorang dari kedua orang yang lain menjawab meskipun juga ditujukan kepada saudagar ternak itu.

“Kau tidak perlu menyediakan apa-apa selain cangkul, karena sebentar lagi kau harus menguburkan kedua orang itu.”

Saudagar itu menjadi semakin gemetar. Ia tidak tahu apakah yang akan terjadi di halaman rumahnya. Ia sama sekali tidak dapat membayangkan akhir dari perkelahian itu. Dan apakah akibat yang dapat timbul kemudian.

Karena itulah, maka ia masih tetap membeku di tempatnya ketika dua orang itu kemudian melangkah pergi disusul oleh kedua orang yang lain.

Demikian keempat orang itu hilang di balik pintu, maka Witantra dan Mahisa Bungalan pun segera berloncatan keluar dari bilik mereka. Sejenak mereka tercenung melihat saudagar yang membeku itu. Namun kemudian Witantra mendekatinya sambil berbisik, ”Jangan kebingungan. Kita harus berbuat sesuatu.”

“Apa yang dapat kita lakukan?” bertanya saudagar itu.

“Kau tahu, aku bekas seorang prajurit.”

“Apa yang akan kau lakukan?”

“Aku akan melihat perkelahian itu. Tentu ada yang menang dan ada yang kalah. Jika yang menang kemudian masih akan mengganggumu, akulah lawan mereka.”

“Jangan terlampau bangga dengan kedudukanmu sebagai seorang bekas prajurit, Sempulur. Aku tidak yakin bahwa kau dapat melawan mereka atau salah seorang dari mereka.”

“Aku juga tidak tahu pasti. Tetapi sebagai seorang prajurit aku tidak takut menghadapi mereka semuanya. Dan agaknya kemanakan tuanku Mahisa Agni yang dititipkan kepadamu itupun bukan seorang anak muda penakut.”

“Apakah yang akan dilakukan?”

“Ia akan bertempur bersamaku.”

“O, itu tidak mungkin. Ia dititipkan kepadaku. Jika terjadi sesuatu atasnya, maka akulah yang akan menanggung akibatnya.”

“Tetapi itu adalah kehendaknya sendiri.”

“Aku tidak menyetujuinya.”

“Baiklah. Tetapi kami tidak akan duduk membeku seperti itu. Kami akan melihat, apa yang terjadi.”

“Kita tidak dapat berbuat apa-apa.”

“Ya. Tetapi sekedar melihat, tentu tidak banyak kesulitan. Aku adalah seorang bekas prajurit.”

Witantra tidak menunggu jawaban saudagar itu. Iapun kemudian bersama Mahisa Bungalan pergi meninggalkan ruangan itu dan langsung ke pendapa.

Sejenak mereka tertegun. Mereka melihat, di halaman keempat orang itu sudah siap untuk bertempur. Masing-masing menghadapi seorang lawan.

“Perkelahian yang seru.” desis Mahisa Bungalan.

“Ya.” sahut Witantra, ”Kita akan melihat, siapakah mereka sebenarnya.”

Sejenak kemudian mereka berempat yang berada di halaman itupun sudah mulai melibatkan diri dalam perkelahian. Semakin lama semakin seru. Masing-masing telah menyerang dan menghindar. Bahkan sekali-sekali telah terjadi benturan.

Namun dalam pada itu. Witantra dan Mahisa Bungalan segera mengetahui bahwa yang terjadi itu barulah gerak-gerak penjajagan. Agaknya masing-masing masih ragu-ragu, karena mereka satu dengan yang lain sama sekali belum mendapat gambaran tentang kekuatan dan kemampuannya.

“Kita akan menjadi penonton.” berkata Witantra.

“Hanya sebagai penonton sampai akhir pertunjukan?” bertanya Mahisa Bungalan.

“Setelah kita melihat perkembangan keadaan, mungkin kita memang harus bersikap lain. Tetapi untuk sementara kita tidak berbuat apa-apa.”

Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam. Memang menarik sekali untuk menyaksikan perkelahian yang semakin lama memang menjadi semakin seru. Agaknya masing-masing tidak lagi sedang menjajagi kekuatan lawan, tetapi mereka sudah benar-benar berkelahi untuk menguasai lawan.

Dengan demikian maka perkelahianpun semakin lama benar-benar menjadi semakin sengit. Benturan-benturan yang kuat telah berulang terjadi. Semakin lama semakin kuat. Namun kadang-kadang masing-masing juga menunjukkan kecepatan mereka menghindar, sehingga serangan-serangan yang dahsyat sama sekali tidak menyentuh lawannya.

Dalam pada itu, setiap orang didalam arena perkelahian itu agaknya masih berusaha menyelubungi diri masing-masing. Yang nampak adalah tata gerak perkelahian yang paling sederhana meskipun dilambari oleh kekuatan yang semakin besar.

Namun, ternyata bahwa benturan-benturan yang nampaknya agak kasar dan bodoh itu, telah menunjukan, betapa masing-masing memiliki kekuatan yang mengagumkan.

Witantra dan Mahisa Bungalan pun kemudian turun dari pendapa dan bergeser menepi. Mereka berada di bawah batang perdu yang rimbun sehingga seakan-akan mereka tenggelam sama sekali di dalam kegelapan.

Tetapi ternyata mereka yang sedang berkelahi itu sempat melihat mereka berdua. Salah seorang yang bertutup wajah itu pun berkata, ”He, Ki Sanak. Kenapa kau turun ke halaman. Masuklah dan bersembunyi sajalah di dalam bilikmu. Jika aku berhasil membunuh kedua orang ini, kau akan selamat. Jika kau berada di tempat ini, mungkin kau akan mengalami sesuatu.”

Lawannya, tiba-tiba pula menyahut sambil berkelahi, ”Kalian memang harus menyiapkan dua buah lubang kubur. Kalian tidak perlu memikirkan apakah kedua mayat itu perlu disempurnakan dengan api pembakaran.”

Yang terdengar kemudian adalah gemeretak gigi. Mereka berempat pun segera mengerahkan kemapuan masing-masing, setelah ternyata kekuatan masing-masing tidak segera mampu mengatasi lawan.

Sedikit demi sedikit ilmu yang untuk beberapa saat masih tersembunyi, mulai nampak pada tata gerak mereka. Namun dengan demikian, ternyata perkelahian itu semakin lama menjadi semakin kasar.

Witantra dan Mahisa Bungalan menjadi berdebar-debar melihat perkelahian itu. Rasa-rasanya mereka sedang menunggu sesuatu yang masih saja terselubung, meskipun tanda-tandanya sudah mulai dapat mereka kenal.

Orang-orang yang berilmu hitam itu, agaknya menjadi ragu-ragu. Mereka masih berusaha untuk sejauh mungkin tidak menampak kan ciri-ciri dari ilmu mereka yang untuk beberapa lamanya tersembunyi. Jika mereka tidak berhasil membunuh kedua lawannya, maka ada saksi yang dapat menceriterakan, bahwa ilmu mereka yang tersembunyi itu ternyata masih tetap hidup, seperti api yang tersembunyi di bawah sekam. Pada suatu saat, akan mengejutkan dengan ledakan yang tidak terduga-duga sebelumnya. Tetapi jika ada orang yang dapat mengenallinya, maka Singasari tentu akan berbuat sesuatu atas ilmu yang tentu ditakuti oleh sebagian besar penghuni tanah ini.

Dalam pada itu, pengikut Linggapati pun bukan orang-orang yang lemah lembut. Mereka membentuk diri dalam lingkungan alam yang keras dan buas. Mereka menghimpun kekuatan berlandaskan pada kekuatan lingkungan mereka sesuai dengan tata kehidupan mereka. Meskipun ilmu mereka bukan ilmu hitam yang setiap saat perlu disiram dengan darah, namun sebenarnyalah bahwa darah bagi mereka sama sekali tidak menggetarkan selembar rambut pun, meskipun arti dari darah bagi kedua pihak agaknya sangat berbeda di dalam kepentingan ilmu mereka.

Tetapi karena perkelahian itu tidak juga segera berakhir, maka kedua belah pihak tidak dapat lagi menyembunyikan ciri-ciri khusus mereka. Masing-masing kemudian tidak lagi mampu membuat pertimbangan-pertimbangan selain membunuh lawan mereka secepat-cepatnya.

Mahisa Bungalan menjadi semakin berdebar-debar ketika ia mu iai melihat ciri-ciri tata gerak seperti yang pernah dilihatnya di daerah bayangan hantu. Kedua, orang yang bertutup wajah itupun mulai menunjukkan betapa garangnya setiap langkah dan setiap ayunan tangan mereka.

Tetapi kini keduanya mendapat lawan yang tangguh. Kedua orang dari Mahibit itupun memiliki kemampuan yang cukup tinggi untuk melawan murid-murid utama dari perguruan yang memiliki ilmu hitam itu.

Benturan-benturan yang kasar pun segera terjadi. Masing-masing tidak lagi mempunyai nilai-nilai yang harus mereka pertahankan sebagai landasan tata kesopanan dalam pertempuran. Mereka masing-masing telah berbuat apa saja untuk mengalahkan lawannya.

Mahisa Bungalan menggamit Witantra ketika ia melihat kedua orang yang bertutup wajah itu saling mendekat. Ternyata gerak dan langkah keduanya jauh lebih cepat dan mantap dari tiga orang yang pernah dilihatnya di daerah bayangan hantu itu.

“Kedua orang ini memiliki ilmu yang lebih sempurna paman.” desis Mahisa Bungalan.

“Ya. Tetapi lawannya adalah orang-orang yang tangguh pula.”

“Keduanya sudah saling mendekat. Tentu akan segera disusul dengan pembunuhan yang mengerikan.”

“Tidak mudah untuk membunuh kedua orang lawannya itu.”

Mahisa Bungalan terdiam. Ia melihat kedua orang yang bertutup wajah itu berusaha untuk semakin mendekat. Sedang lawan mereka agaknya tidak begitu memperhatikan, apa yang kemudian akan terjadi.

Sejenak mereka masih saling menyerang. Mereka berloncatan seperti kijang. Tetapi kadang-kadang merekapun berbenturan seperti dua ekor kambing domba yang berlaga. Dengan sepenuh kepercayaan pada diri sendiri mereka membenturkan kekuatan mereka masing-masing dengan garangnya.

Ternyata yang diduga oleh Mahisa Bungalan pun segera dapat dilihatnya. Ketika kedua lingkaran perkelahian itu menjadi semakin dekat, maka tiba-tiba saja terdengar sebuah suitan pendek. Sekejap kemudian, Mahisa Bungalan dan Witantra telah menyaksikan sebuah putaran yang melingkari kedua orang yang datang kemudian itu. Putaran yang semakin lama menjadi semakin cepat.

Sekejap kedua orang yang berada di dalam lingkungan itu menjadi bingung. Namun hanya sekejap. Dan dalam sekejap itu pun mereka masih sempat mengatur diri, beradu punggung.

Namun ternyata bahwa kedua orang yang dikirim oleh Linggapati itupun bukan orang kebanyakan. Meskipun agaknya mereka belum pernah menjumpai ilmu seperti yang sedang dilawannya itu namun merekapun segera dapat menempatkan dirinya. Dengan pengetahuan tala perkelahian dan pengalaman mereka, maka mereka pun segera menyusun kerja sama yang mantap untuk melawan lingkaran yang rasa-rasanya menjadi semakin cepat berputar mengitarinya.

“Kita harus memecahkan putaran itu.” desis salah seorang dari kedua orang yang berada di dalam lingkaran itu.

Sambil menangkis setiap serangan, maka keduanya mencari akal untuk menghentikan putara yang membuat mereka menjadi pening.

“Sebelum kita menjadi pingsan.” desis yang lain.

Tetapi mereka masih harus menemukan caranya, sementara serangan kedua orang yang berputar itu rasa-rasanya menjadi semakin dahsyat dan putaran itupun menjadi semakin cepat.

“Kita patahkan dengan serangan rendah.” bisik yang seorang.

Yang lain mengangguk. Mereka mempunyai cara tersendiri di dalam olah kanuragan, yang agaknya akan dicobanya untuk memecahkan kepungan yang berputar itu.

Sejenak kedua orang didalam lingkaran itu masih bertahan. Namun sejenak kemudian, dengan suatu sentuhan sebagai aba-aba, maka keduanyapun tiba-tiba saja menjatuhkan diri. Senjata mereka menyambar rendah sekali, setinggi lutut, terayun masing-masing setengah lingkaran.

Serangan itu telah menyejutkan mereka yang berputar di sekelilingnya. Mereka harus menghindari serangan itu dengan melenting tinggi.

Kesempatan itulah yang dipergunakannya. Selagi keduanya tidak berjejak di atas tanah dalam loncatan putarannya, keduanya telah bersama-sama menyerang salah seorang dari kedua orang itu.

Hasilnya benar-benar mengejutkan. Yang seorang, yang mendapat serangan itu terkejut. Apalagi kedua kakinya sedang terangkat, sehingga geraknya menjadi sangat terbatas.

Dalam keadaan itulah, maka ia kehilangan kemampuannya untuk melawan dua orang sekaligus. Ia hanya berhasil menangkis serangan dari salah seorang daripada lawannya. Tetapi senjata dari lawannya yang lain terasa telah menyentuh, bahkan menghunjam dilambungnya.

Yang terdengar adalah sebuah keluhan yang tertahan. Namun keluhan itupun segera disusul oleh rintih kesakitan. Ternyata bahwa kawannya yang lain, yang bebas dari serangan kedua lawannya, berhasil dengan cepat memperbaiki keadaannya, dan mencoba menolong kawannya. Dengan sebuah loncatan ia menyerang salah seorang dari kedua lawannya yang sedang memusatkan perlawanannya kepada kawannya.

Sekejap kemudian, ketika mereka berloncatan surut, dua orang dari keempat orang yang sedang bertempur itu telah terhuyung-terhuyung dan akhirnya jatuh berguling di tanah. Keduanya telah terluka parah, tertusuk senjata.

Witantra dan Mahisa Bungalan menjadi tegang. Sambil menggamit pamannya, Mahisa Bungalan berbisik, ”Paman, keduanya telah sampyuh.”

Wintantra menarik nafas dalam-dalam, lalu sahutnya, ”Kita harus berbuat sesuatu. Keduanya yang tersisa tidak boleh mati sampyuh pula, sehingga kita kehilangan sumber keterangan.”

“Kita terlambat paman.”

“Tidak. Kita masih mempunyai kesempatan.” Namun selagi Witantra dan Mahisa Bungalan bersiap untuk melakukan sesuatu, tiba-tiba saja meloncat dari dalam kegelapan yang pekat, sebuah bayangan seseorang yang langsung mendekati arena.

“Siapakah orang itu paman?”

Witantra menjadi agak bingung. Jawabnya, ”Kita menunggu sejenak.”

Orang yang baru datang itupun kemudian menggeram sambil berkara, ”Jadi di dunia ini masih ada ilmu hitam yang mengerikan itu?”

Kedua orang yang sudah siap bertempur itupun termangu-mangu sejenak. Namun kemudian terdengar salah seorang dari keduanya berkata, ”Ki Linggadadi.”

“Ya. Aku melihat tanda yang kau tinggalkan pada daun pakis itu. Dengan tergesa-gesa aku mencoba mencarimu, tetapi ternyata aku sudah terlambat. Seorang kawan kita sudah terbunuh meskipun orang-orang berilmu hitam itu harus melepaskan seorang kawannya pula?”

“Ya, kami sudah kehilangan seorang kawan.” Linggadadi melangkah semakin dekat. Lalu katanya, ”Apakah kita harus membunuhnya pula?”

“Ya.” sahut kawannya.

Sejenak Linggadiadi termangu-mangu. Ditebarkannya tatapan matanya ke sekelilingnya sambil bergumam, ”Apakah keributan ini tidak membangunkan tetangga-tetangga?”

“Halaman ini terlampau luas.”

Linggadadi mengangguk-angguk. Katanya, ”Siapakah yang berdiri dikegelapan itu?”

“Mereka adalah keluarga pemilik rumah ini.”

Linggadadi masih mengangguk-angguk, lalu katanya, ”Ilmu yang kegilaan itu memang harus dimusnahkan.”

“Ki Sanak.” berkata orang yang bertutup wajah itu, ”Ternyata kau adalah orang yang aneh. Apakah artinya ilmu yang kua sebut hitam atau putih, jika akibatnya bagi orang lain tidak ada bedanya?”

Linggadadi mengerutkan keningnya. Lalu iapun bertanya, ”Apakah maksudmu?”

“Jika ilmuku kau anggap ilmu hitam yang mengerikan, apakah namanya ilmu yang kau miliki jika kaupun telah merencanakan pembunuhan besar-besaran atas orang-orang Singasari?”

“Siapakah yang akan melakukan pembunuhan?”

“Aku sudah mendengar dari kawanmu. Bahkan aku sudah mendengar tawarannya, agar aku bergabung saja padanya. Kini kau menghendaki Singasari tertidur dengan nyenyak, sehingga pada suatu saat Singasari akan terkejut justru setelah tikamanmu langsung menusuk jantung, sehingga Singasari yang serasa aman dan damai itu tidak dapat melawanmu sama sekali pada tusukan pertama.”

Linggadadi mengangguk-angguk. Katanya, ”Kau benar. Tetapi aku tidak membasahi ilmu dengan darah. Jika kelak terjadi pembunuhan itu adalah karena pertentangan sikap dan pendirian dalam pencapaian cita-cita yang luhur. Tetapi ilmu hitammu tidak. Kapan dan dalam keadaan apapun kau selalu menghisap korban-korban darah bagi ilmumu yang terkutuk itu.”


SEPASANG ULAR NAGA DI SATU SARANG : JILID 18
LihatTutupKomentar