Asmara Si Pedang Tumpul Jilid 02
Rombongan berkuda itu terdiri dari dua belas orang berpakaian seragam yang mengawal seorang pemuda dan seorang setengah tua yang dari pakaian mereka bisa diduga bahwa mereka berdua adalah bangsawan-bangsawan kerajaan Bhutan. Juga selosin prajurit itu adalah prajurit Bhutan dengan baju perang yang berkilauan. Pemuda itu sendiri bertubuh jangkung, wajahnya tampan seperti wanita, juga gerak-geriknya lembut, tidak jantan.
Dia adalah seorang pangeran Bhutan dari selir, bernama Pangeran Ramamurti, berusia dua puluh lima tahun. Ada pun lelaki setengah tua itu adalah pamannya dari ibu, bernama Balkan. Rombongan berkuda itu terlihat kelelahan, tanda bahwa mereka telah melakukan perjalanan jauh. Memang mereka datang dari Kerajaan Bhutan dan kini mereka mendaki Bukit Ular, sebuah di antara bukit-bukit di pegunungan Himalaya.
Matahari sudah naik tinggi dan hari itu amat cerah. Namun tidak ada orang yang nampak di lereng bukit itu, bahkan dusun-dusun hanya terdapat di kaki bukit. Memang Bukit Ular ini merupakan bukit yang terkenal di daerah itu, tidak ada orang berani mendaki bukit itu tanpa ijin dari penghuni. Siapakah penghuni bukit yang amat ditakuti orang itu?
Di puncak Bukit Ular terdapat sebuah bangunan besar seperti istana. Di situ tinggal See-thian Coa-ong (Raja Dunia Barat) Cu Kiat, salah seorang di antara para datuk besar dunia persilatan di waktu itu. Raja Ular itu berusia sekitar enam puluh delapan tahun, tubuhnya tinggi kurus, matanya tajam seperti mata harimau, alisnya tebal dan matanya sipit seperti mata orang Mongol asli, sipit dengan kedua ujungnya menurun. Kumis serta jenggotnya tebal dan mulutnya selalu dihias senyum mengejek.
Biar pun See-thian Coa-ong Cu Kiat mempunyai banyak isteri, namun dia hanya memiliki seorang anak saja, yaitu seorang wanita bernama Cu Sui In yarig kini telah berusia empat puluh tiga tahun dan belum menikah. Seperti juga ayahnya, Sui In yang merupakan anak tunggal ini memiiiki ilmu kepandaian yang hebat, bahkan dia sudah membuat nama besar di dunia kangouw sehingga mendapat julukan Bi-Coa Sianli (Dewi Ular Cantik).
Biar pun usianya sudah empat puluh tiga tahun, namun dia cantik dan kelihatan jauh lebih muda, seperti baru tiga puluh tahun saja. Pakaiannya selalu mewah dan pesolek, alisnya melengkung hitam dan matanya tajam mirip mata ayahnya. Wajahnya cantik, hidungnya mancung dan mulutnya menggairahkan. Tubuhnya padat ramping penuh daya tarik.
Selain ayah dan anak yang ditakuti orang di dunia kangouw itu, masih ada seorang gadis lagi yang menjadi penghuni gedung itu. Dia seorang gadis berusia dua puluh dua tahun, wajahnya manis dengan lesung pipit menghias tepi mulutnya yang selalu dihias senyum. Mukanya bulat dan kulitnya putih kemerahan, hidungnya lucu dapat kembang kempis.
Gadis ini bernama Tang Bwe Li yang di rumah itu biasa dipanggil Lili, tentu saja dengan sebutan nona kalau yang memanggil para pelayan. Tadinya dia merupakan murid dari Bi-Coa Sianli Cu Sui In, akan tetapi karena akhirnya dia diambil murid pula oleh See-thian Coa-ong, dia lalu memanggll Suci (kakak seperguruan) kepada Cu Sui In, hal yang amat menyenangkan hati Dewi Ular itu.
Selain mereka bertiga dan ditambah belasan orang selir See-thian Coa-ong, di puncak itu tinggal pula tiga puluh orang laki-laki yang menjadi anak buah dan pelayan See-thian Coa-ong. Puncak itu ditakuti orang bukan hanya karena penghuninya, akan tetapi juga karena di daerah puncak itu terdapat banyak ular-ular berbisa.
Ular-ular ini memang sengaja dikumpulkan dan dibiarkan hidup di situ oleh See-thian Coa-ong yang merupakan pawang ular yang lihai, sehingga tepatlah kalau puncak itu disebut Puncak Bukit Ular, dan nama ini sesuai pula dengan penghuninya yang berjuluk Raja Ular dan puterinya, Dewi Ular.
Rombongan berkuda itu berhenti di lereng dekat puncak, di depan sebuah pintu gerbang yang merupakan batas tempat tinggal dan wilayah kekuasaan See-thian Coa-ong.
"Kenapa berhenti di sini, paman?" tanya Pangeran Ramamurti kepada pamannya.
"Penghuni puncak adalah seorang datuk besar, dan nama bukit ini adalah Bukit Ular, kita harus berhati-hati. Pula, sebagai tamu kita harus sopan karena di gapura ini tidak nampak penjaga."
Balkan yang telah mempunyai banyak pengalaman itu lalu memerintahkan pasukan untuk menyembunyikan terompet yang terbuat dari tanduk. Segera terdengar bunyi sasangkala memecah kesunyian tempat itu.
Pada saat itu See-thian Coa-ong sedang menghadapi meja makan, sedang makan siang ditemani puterinya, Bi-coa Sianli, dan dilayani para selirnya yang masih muda-muda dan cantik-cantik. Tang Bwe Li atau Lili tidak kelihatan karena gadis itu memang selalu ingin makan sendirian, tidak beramai-ramai bersama suci-nya dan gurunya. Begitu mendengar bunyi sasangkala ltu, Bi-coa Sianli Cu Sui In yang telah selesai makan langsung bangkit berdiri.
"Kurasa mereka sudah datang, ayah. Aku akan menyambut mereka dulu di ruang tamu. Nanti setelah segalanya beres baru mereka akan kuhadapkan kepada ayah."
See-thian Coa-ong hanya mengangguk saja tanpa menjawab, agaknya hatinya tak tertarik sama sekali dan dia lebih mencurahkan perhatian kepada masakan di atas meja.
Cu Sui In lalu meninggalkan ruangan makan dan menyuruh anak buah di situ agar pergi menyambut para tamu dan membawa mereka ke ruangan tamu, sedangkan dia sendiri mencari Lili. Gadis itu berada di kamarnya, sedang membaca kitab sejarah.
"Lili, cepat engkau berdandan," kata Cu Sui In.
Lili melepaskan bukunya, lantas memandang kepada wanita cantik itu dengan mata yang dilebarkan. Ketika dia masih kecil wanita ini adalah gurunya, kemudian menjadi suci-nya. Hubungan antara mereka akrab sekali dan Lili merasa amat sayang kepada gurunya atau sucinya itu.
"Suci, kenapa aku harus berdandan?" tanyanya heran.
"Kita akan menyambut tamu agung dan aku ingin engkau kelihatan cantik."
"Aihh, siapa sih tamu agung itu, suci? Aku jadi ingin sekali tahu."
"Dia seorang pangeran. Hayo cepatlah, aku pun mau bertukar pakaian baru," kata Sui In yang meninggalkan sumoi-nya, memasuki kamarnya sendiri untuk berganti pakaian.
Setelah Sui In pergi, Lili bersungut-sungut. Dia adalah seorang gadis yang wataknya jujur dan galak, wajar dan tidak pesolek seperti suci-nya. Dia paling tidak suka mencari muka, maka sekarang pun hatinya memberontak sesudah mendengar bahwa dia harus bersolek karena akan menyambut tamu agung, seorang pangeran.
Akan tetapi dia pun merasa segan dan tidak berani membangkang terhadap perintah suci-nya yang tadinya gurunya itu, maka dengan uring-uringan dia pun berganti pakaian. Akan tetapi dia membiarkan wajahnya tanpa bedak dan gincu, hal yang sebenarnya juga tidak ada gunanya karena tanpa bedak pun kulit mukanya sudah putih kemerahan dan bibirnya sudah terlalu merah membasah meski pun tanpa gincu. Rambutnya yang sedikit kusut itu bahkan menambah kemanisan wajahnya.
Rombongan Pangeran Ramamurti telah disambut oleh anak buah See-thian Coa-ong dan diajak naik ke puncak. Kemudian pangeran itu bersama pamannya dipersilakan menanti di ruangan tamu, sedangkan dua belas orang pengawal mereka dijamu oleh anak buah Bukit Ular dengan ramah dan hormat seperti diperintahkan Dewi Ular.
Ramamurti dan Balkan menanti di ruang tamu yang cukup luas itu dengan hati berdebar-debar. Kedatangan mereka memang telah dijanjikan ketika dua bulan yang siilam mereka bertemu dengan Bi-coa Sianli Cu Sui In yang pada saat itu sedang berkunjung ke daerah Bhutan. Bahkan wanita cantik yang lihai ini sudah menyelamatkan Pangeran Ramamurti dan Balkan yang sedang berburu binatang dan dikepung oleh belasan orang pemberontak yang menjadi pelarian. Cu Sui In yang menjadi penolong itu lalu diundang ke istana dan dijamu dengan hormat.
Kemudian, ketika mendengar bahwa Cu Sui In memiliki seorang sumoi yang masih gadis, Balkan mengusulkan supaya sumoi-nya itu bisa dijodohkan dengan Pangeran Ramamurti yang juga belum menikah. Tentu saja usul ini sudah dipertimbangkan masak-masak oleh Balkan dan disetujui oleh sang pangeran.
Sebetulnya usul ini pun mengandung pamrih tertentu, yaitu mereka mengharapkan bahwa dengan dukungan seorang isteri yang mempunyai kepandaian tinggi maka kedudukan Pangeran Ramamurti akan menjadi makin kuat. Pada waktu itu memang terjadi semacam persaingan di antara para pangeran Bhutan yang hendak memperebutkan kekuasaan.
Dan Sui In juga menyatakan persetujuannya! Tentu saja Sui In tidak sembarangan saja menerima usul itu, melainkan telah dipertimbangkannya baik-baik. Dia melihat kedudukan pemuda itu cukup kuat, sebagai seorang pangeran Kerajaan Bhutan dan siapa tahu, kelak dengan bantuan Lili dapat menjadi raja di Bhutan! Itulah sebabnya maka dia menyatakan persetujuannya, dan minta agar pada hari itu mereka datang untuk mengajukan pinangan secara sah.
Ketika Sui In memberi tahu ayahnya mengenai usul perjodohan dengan pangeran Bhutan, See-thian Coa-ong menanggapinya dengan acuh saja. Sui In juga belum memberi tahu kepada Lili. Biasanya gadis itu selalu taat kepadanya, maka kali ini pun dia merasa yakin bahwa Lili akan mentaatinya. Apa lagi Pangeran Ramamurti bukan seorang pemuda yang buruk rupa. Ia cukup tampan, terpelajar, kaya raya, berkedudukan tinggi dan masih muda. Mau apa lagi?
Ketika dari pintu sebelah dalam muncul dua orang wanita cantik, Balkan dan Ramamurti cepat bangkit berdiri dan membungkuk dengan hormat sambil merangkap kedua tangan di depan dada sebagai salam.
"Cu-lihiap (pendekar wanita Cu)!" kata mereka sambil memberi hormat dan pandang mata Ramamurti melekat pada gadis yang berdiri di sebelah kiri Cu Sui In. Betapa cantik jelita dan manisnya gadis itu, pikirnya dengan hati berdebar girang. Gadis secantik bidadari ini yang diusulkan menjadi isterinya? Seribu kali dia setuju!
"Saudara Balkan dan Pangeran Ramamurti, selamat datang di tempat kami dan silakan duduk. Perkenalkan, ini adalah sumoi-ku yang bernama Tang Bwe Li atau yang biasanya kami panggil Lili."
"Tang-siocia (nona Tang)!" kata Balkan memberi hormat yang segera dibalas sambil lalu oleh Lili.
"Nona Lili? Ahh, kiranya nona adalah seorang puteri yang cantik jelita seperti bidadari..." kata Pangeran Ramamurti.
Lili tersenyum geli karena merasa lucu sekali. Sikap pangeran itu mengingatkan dia akan pertunjukan sandiwara di panggung yang pernah ditontonnya ketika dia bersama Sui In merantau ke daerah timur yang ramai.
"Apakah engkau ini seorang pangeran sungguhan? Seorang pangeran asli?" ia bertanya.
"Lili!" bentak suci-nya. "Jangan main-main di depan pangeran!"
"Aihh, suci, aku tidak main-main. Aku hanya bertanya karena dia mengingatkan aku akan pangeran yang kita lihat bermain di panggung sandiwara itu. Betul tidak, suci?"
Mau tidak mau Sui In tersenyum geli. Lili memang gadis lincah jenaka yang jujur dan tak pernah mengenal takut. "Hushh, jangan sembarangan saja. Dia adalah seorang pangeran sejati, Pangeran Ramamurti dari Kerajaan Bhutan."
"Ahh, kiranya begitu? Maaf, karena yang membedakan antara orang biasa dan pangeran hanya pakaiannya, dan yang di panggung itu pun memakai pakaian seperti ini. Selamat datang, pangeran, dan silakan duduk," Lili berkata dengan sikap wajar sehingga Pangeran Ramamurti tidak tersinggung, bahkan merasa gembira sekali. Saking girangnya dia cepat menoleh kepada pamannya dan berkata dalam bahasanya sendiri, bahasa Bhutan,
"Paman, aku mau, Paman, mau sekali... aku setuju...!”
Tiba-tiba Lili bertanya, "Engkau mau apa, pangeran? Mau sekali apa? Dan apa yang kau setujui tadi?"
Pangeran Ramamurti menjadi terkejut setengah mati. Mukanya berubah kemerahan. Tak disangkanya bahwa Lili mengerti bahasa Bhutan! Gadis ini memang seorang kutu buku, suka mempelajari bahasa-bahasa. Bukan saja bahasa Bhutan, Nepal, juga bahasa Tibet dan bahasa daerah lainnya pernah dia pelajari.
"Ehh... ahhh... mau anu... mau duduk, aku... aku setuju untuk duduk dan bicara...,” jawab pangeran itu gagap.
Lili mengerutkan alis dan tertawa geli karena ia sendiri sama sekali tidak tahu apa maksud kunjungan ini, sama sekali tidak menduga bahwa yang dimaksudkan pangeran itu adalah mau dan setuju sekali menikah dengannya!
Akan tetapi di dalam kagetnya pangeran itu menjadi semakin kagum dan suka mendengar gadis itu pandai pula berbahasa Bhutan. Gadis seperti ini sungguh sukar dicari keduanya. Cantik jelita, pandai ilmu silat dan tentu boleh diandalkan sebagai sumoi dari Cu Sui In yang telah dia lihat sendlri kelihaiannya, ditambah pandai berbahasa Bhutan pula.
"Pangeran Ramamurti dan saudara Balkan, sebelum membicarakan urusan kita, marilah kupersilakan menghadap ayahku lebih dulu, kemudian menerima sambutan kami dengan jamuan makan. Setelah itu barulah kita bicara."
Tentu saja pihak tamu, yaitu pangeran dengan pamannya itu, hanya dapat menerima, apa lagi perjalanan jauh sudah membuat mereka haus, lapar dan lelah bukan main. Sambutan dengan jamuan makan tentu akan menyenangkan sekali. Mereka lalu diantar memasuki ruangan dalam di mana See-thian Coa-ong telah menanti dengan sikap acuh.
Lili yang belum mengetahui bahwa kunjungan itu bermaksud melamar dirinya, mengikuti dari belakang sambil tersenyum-senyum. Dia masih merasa lucu melihat betapa suci-nya demikian menghormati seorang pangeran yang dianggapnya terlampau banyak lagak itu. Apakah suci-nya yang sejak kecil diketahuinya sebagai seorang wanita yang memandang rendah kaum pria itu kini tiba-tiba tertarik dan jatuh cinta kepada pangeran ini? Hampir dia terkekeh dan menahan tawa sambil menutupi mulutnya dengan tangan. Alangkah lucunya bila suci-nya jatuh cinta kepada pangeran yang dianggapnya masih kekanak-kanakan ini!
Dewi Ular yang mengajak dua orang tamunya masuk, segera memperkenalkan mereka kepada ayahnya. See-thian Coa-ong duduk di kursinya dengan sikap angkuh berwibawa. Jelas bahwa datuk ini tidak mau memperlihatkan kerendahan diri terhadap pangeran itu.
"Ayah, inilah Pangeran Ramamurti dan pamannya, saudara Balkan seperti yang pernah kuceritakan itu," kata Bi-coa Sianli dengan nada suara bangga.
"Locianpwe, terimalah hormat kami," kata Balkan dan pangeran itu pun memberi hormat dengan merangkap kedua tangan di depan dada, sedikit membungkuk tetapi tidak berkata apa pun.
"Hemm, duduklah!" kata See-thian Coa-ong, mempersilakan dua orang itu duduk seperti mempersilakan dua orang tamu biasa saja. Jelas terbayang pada wajah dua orang tamu itu betapa mereka menjadi salah tingkah, bingung oleh sikap acuh kakek itu.
Lili tidak mampu menahan tawanya. "Suhu, dia adalah seorang pangeran tulen, pangeran dari negara Bhutan. Hebat, bukan?" katanya.
"Apanya yang hebat?" See-thian Coa-ong bertanya sambil menoleh kepada muridnya itu, alisnya berkerut.
“Haiii, tidak banggakah suhu menerima tamu seorang pangeran? Ingat, suhu, tidak setiap hari ada pangeran datang berkunjung. Pangeran itu putera raja, suhu, masih panas-panas keluar dari istana kerajaan!" Lili yang merasa semakin geli melihat sikap suhu-nya, cepat menambahkan.
"Hemm, apa anehnya raja dan pangeran? Sudah sering aku dijamu oleh raja-raja di istana mereka. Raja-raja juga manusia biasa seperti kita, apa bedanya?
"Bagaimana bisa sama, suhu? Dalam sebuah negara, raja hanya ada seorang saja, dan pangeran juga hanya beberapa orang. Tentu berbeda dengan orang-orang biasa seperti kita."
Pangeran Ramamurti tidak begitu pandai berbahasa Han, akan tetapi dia paham apa yang dibicarakan. Dia merasa gembira bukan main mendengar gadis yang dicalonkan menjadi jodohnya dan yang sekaligus sudah membuatnya jatuh bangun dalam cinta itu, membuat ia menjadi tergila-gila, memuji-mujinya dan berkeras mengatakan bahwa pangeran adalah manusia luar biasa, lain dari pada yang lain. Ini saja sudah menjadi lampu hijau baginya. Dia pun kurang enak mendengar kakek itu agaknya memandang rendah pangeran, tetapi untuk memperlihatkan bahwa dia cukup rendah hati, dia pun berkata sambil tersenyum ramah.
“Aihh, nona Lili. Apa yang diucapkan locianpwe ini benar sekali. Walau pun aku seorang pangeran yang mungkin kelak menjadi raja, akan tetapi aku hanyalah manusia biasa yang tiada bedanya dengan orang lain. Lihat, hidungku satu, mata dan telingaku dua, mulutku satu, jari tanganku masing-masing lima. Sama, bukan?" Pangeran itu menunjuk hidung, telinga, mata dan mulut, kemudian membuka sepuluh jari tangannya, memperlihatkannya kepada Lili. Gadis ini tidak dapat menahan tawanya sampai terpingkal-pingkal.
"Lili, bersikaplah yang pantas di depan tamu!" Cu Sui In menegur sumoi-nya.
Lili adalah seorang gadis yang sejak kecil digembleng oleh tokoh-tokoh seperti Dewi Ular kemudian Raja Ular yang merupakan orang-orang aneh di dunia kangouw. Dia sendiri pun ketularan watak aneh mereka yang tidak sudi dikekang oleh peraturan apa pun juga. Oleh karena itu, ketika tertawa tadi, Lili juga tidak menahan diri dan tertawa lepas dengan mulut ternganga, hal yang bagi wanita Han pada umumnya dianggap tidak bersusila!
"Ehh, mengapa, suci? Apakah aku bersikap tidak pantas? Apanya yang tidak pantas?" Lili membantah.
Jangankan sekarang ketika wanita itu telah menjadi kakak seperguruannya, ketika masih disebut subo (ibu guru) sekali pun, dia suka membantah kalau memang menganggap dia yang benar. Dia memang taat dan segan, akan tetapi tidak membuta.
"Engkau tertawa tanpa terkendali!" tegur suci-nya.
"Ahh? Aku merasa senang dan geli, ingin tertawa lalu aku tertawa, kenapa tidak pantas? Kalau aku ingin tertawa lalu kutahan dan kusembunyikan, barulah tidak pantas. Bukankah begitu, pangeran? Tolong katakan, apakah aku tadi sudah bersikap tidak pantas di depan pangeran?" Lili mendekatkan mukanya, dicondongkan ke depan, ke arah pangeran itu.
Pangeran Ramamurti menggosok-gosok hidungnya, nampak senang sekali. "Aihh, tidak, sama sekali...”
"Maksudmu tidak pantas?"
"Pantas... pantas...!" jawab pangeran itu berulang-ulang sehingga Lili menjadi makin geli dan.tertawa lagi.
Cu Sui In sudah tahu akan watak nakal dan lincah suka menggoda orang dari sumoi-nya. Pada saat itu pula kebetulan pelayan datang melapor bahwa hidangan untuk menjamu tamu sudah tersedia di meja ruangan makan.
"Silakan, Pangeran Ramamurti dan Saudara Balkan. Mari silakan makan minum dahulu, baru kita nanti bicara." Cu Sui In mempersilakan. "Mari kita temani tamu-tamu kita, Lili."
"Akan tetapi aku sudah makan, suci."
"Biarlah, kita minum-minum saja sekedar menemani mereka. Aku pun sudah makan tadi."
See-thian Coa-ong yang bersikap acuh hanya mengangguk saja ketika dua orang tamu itu permisi. Mereka lalu pergi ke ruangan makan dan untuk mencegah agar sumoi-nya yang nakal itu tidak menggoda tamunya lagi, Cu Sui In sendiri yang melayani mereka dengan suguhan arak dan masakan-masakan yang lezat, dibantu oleh para pelayan wanita.
"Sambil makan minum kami hendak memperlihatkan tarian yang khas dari tempat tinggal Pangeran," kata Cu Sui In dan sang pangeran mengangguk-angguk girang.
Sui In memberi isyarat kepada para pelayan dan terdengarlah suara dua buah yang-kim (kecapi) ditabuh dengan suara melengking merdu, lalu disusul suara suling. Sehelai tirai sutera diangkat perlahan-lahan, lantas nampaklah tiga orang wanita cantik yang bermain suling dan dua yang-kim itu.
Kemudian, dari kamar bagian dalam, muncul lima orang gadis. Mereka berlari-lari kecil di atas jari-jari kaki mereka seolah meluncur saja, dan lima orang gadis itu muda-muda dan cantik-cantik, mengenakan pakaian serba tipis yang menggairahkan. Kemudian, sesudah mereka memberi hormat ke arah tamu, mulailah mereka menari mengikuti suara yang-kim dan suling.
Pangeran Ramamurti terpesona. Di negerinya juga banyak terdapat penari yang pandai menari perut, akan tetapi gerakan kelima orang penari ini lain sekali. Tubuh mereka yang ramping berlenggang-lenggok seperti tubuh ular!
Lengking suling itu semakin meninggi dan tiba-tiba saja Lili bangkit dari tempat duduknya, lantas dia pun menari dengan gerakan yang berlenggang lenggok seperti ular pula. Lima orang penari itu tersenyum dan mereka menari-nari mengelilingi Lili, merupakan paduan yang amat serasi.
Pangeran Ramamurti semakin terpesona sehingga tiada hentinya mulutnya mengeluarkan suara pujian. Lili memang suka sekali menari. Setiap melihat tarian, apa lagi mendengar suara yang-kim dan suling memainkan lagu yang amat dikenalnya itu, lagu ular, dia tidak dapat menahan dirinya untuk tidak ikut menari!
Para pemain musik dan penari itu sudah tahu akan kesukaan Lili, maka mereka hanya tersenyum dan tiba-tiba saja peniup suling memainkan lagu lain. Sulingnya melengking-lengking dan mengandung getaran aneh. Lili juga segera mengubah gerakan tarinya dan lima orang penari itu kini duduk mengellingi sambil bersimpuh, bertepuk tangan mengiringi musik dan tarian.
"Ular...! Ular...!" seru Ramamurti dan Balkan sambil mengangkat kaki tinggi-tinggi ke atas kursi ketika mereka melihat puluhan ular memasuki ruangan itu dari segala penjuru.
"Harap kalian tenang, tidak apa-apa," Cu Sui In sambil tersenyum.
Dua orang tamu itu lupa makan. Kini mereka terbelalak dengan heran, kagum bercampur khawatir melihat betapa lima orang penari itu sudah bangkit lagi dan menari di sekeliling Lili. Seperti juga Lili yang memainkan dua ekor ular putih yang nampak ganas, lima orang penari itu menari dengan ular-ular bergantungan di tubuh.
Ini baru benar-benar tari ular, pikir pangeran itu dengan kagum. Di negerinya juga ada tari ular, ada pula pawang ular. Tetapi biasanya, dalam tarian ular itu si penari menggunakan ular-ular yang sudah dijinakkan sehingga tidak dapat menyerang atau menggigit lagi. Akan tetapi enam orang penari ini mempermainkan ular-ular liar yang agaknya tadi tertarik dan berdatangan setelah mendengar tiupan suling istimewa itu.
Setelah suara suling mengusir pergi ular-ular itu dan para penari menghentikan tariannya, Pangeran Ramamurti dan Balkan bertepuk tangan memuji. Kemudian, setelah dua orang tamu itu selesai makan, mereka diajak menghadap lagi ke ruangan dalam di mana See-thian Coa-ong masih duduk.
"Nah, sekarang harap ji-wi (kalian berdua) beri tahukan maksud kunjungan ji-wi kepada kami," kata Cu Sui In kepada dua orang tamunya. Para pelayan sudah disuruh keluar dari ruangan itu sehingga di sana hanya ada dua orang tamu itu dan di pihak tuan rumah ada tiga orang.
Sikap See-thian Coa-Ong masih acuh saja. Kalau Sui In merasa setuju dan bangga sekali menyambut usul perjodohan antara Lili dan Pangeran Bhutan, akan tetapi ayahnya tidak demikian. See-thian Coa-ong tidak menolak, namun juga tidak gembira dan acuh saja, menyerahkan urusan itu kepada puterinya dan kepada Lili sendiri.
"Locianpwe dan Cu-lihiap, kunjungan kami ini bermaksud untuk menyambung persesuaian pendapat di antara kami dan Cu-lihiap ketika lihiap berkunjung ke negeri kami dua bulan yang lalu, yaitu kami datang untuk meminang nona Tang Bwe Li agar dapat menjadi jodoh Pangeran Ramamurti...”
"Gila...! Lancang...!” Tiba-tiba Lili meloncat bangun dari kursinya, mukanya merah, kedua matanya mencorong memandang ke arah dua orang tamu itu, membuat mereka terkejut.
“Lili, hentikan itu!" Cu Sui In membentak, juga marah. "Sikapmu itu tidak patut dan sangat memalukan!"
"Tapi... tapi, suci... mereka ini kurang ajar kepadaku!" bantah Lili.
"Engkau yang kurang ajar! Sudah jamaknya gadis dewasa seperti engkau dilamar orang, dan tidak seperti itu sikap seorang gadis yang menerima lamaran. Kau diamlah, ini urusan orang-orang tua!"
"Tidak suci. Aku tidak mau! Aku tidak sudi berjodoh dengan dia!"
"Lili, ini sudah keterlaluan!" Cu Sui In bangkit berdiri dan mukanya berubah merah karena marah dan malu.
"Suci mengatakan aku keterlaluan? Suci sendiri sampai sekarang tidak mau menikah dan malah hendak memaksaku menikah, itu baru namanya keterlaluan! Kenapa tidak suci saja yang berjodoh dengan pangeran ini?" Setelah berkata demikian Lili mengepal tinju hendak menyerang dua orang tamu itu, membuat Pangeran Ramamurti menjadi pucat ketakutan.
"Lili, mundur kau!" bentak See-thian Coa-ong.
Mendengar bentakan gurunya ini, Lili mengendur, matanya menjadi merah dan basah. Dia membanting kakinya dan lari keluar dari ruangan itu, kembali ke kamarnya.....
Sesudah gadis itu pergi, keadaan di dalam ruangan itu sunyi. Sunyi yang menegangkan hati. Kemudian terdengar Pangeran Ramamurti berkata dalam bahasanya sendiri kepada Balkan. "Paman, mari kita pulang saja. Kalau lamaran kita ditolak, untuk apa kita lama di sini?”
Mendengar ini Sui In cepat berkata. "Harap ji-wi memaafkan sumoi-ku. Ia memang keras hati dan tentu saja dia merasa malu. Kami harap ji-wi suka bersabar dulu. Aku yang akan membujuknya. Sekarang ini kami belum dapat mengambil keputusan mengenai pinangan ji-wi. Baiklah, nanti bulan depan saja kami akan mengirim berita keputusan kami. Sekali lagi, harap maafkan."
Ucapan itu merupakan permintaan maaf dan juga pengusiran secara halus. Memang Sui In yang merasa tidak enak sekali oleh sikap Lili tadi, merasa bahwa lebih baik kalau dua orang tamunya itu pergi saja dulu.
Balkan dan pangeran itu lalu berpamit. Terlebih dulu mereka berpamit kepada See-thian Coa-ong, dan kakek yang semenjak tadi diam saja dan acuh ini tiba-tiba bertanya kepada Pangeran Ramamurti, "Engkau ini adalah seorang pangeran, kenapa tidak mencari jodoh seorang puteri bangsawan? Bagaimana mungkin orang semacam engkau ini kelak dapat mengendalikan seorang isteri seperti Lili?”
See-thian Coa-ong tertawa bergelak dan seperti biasa, senyum dan tawa kakek ini selalu mengandung ejekan dan memandang rendah orang lain.
Pangeran Ramamurti tidak menjawab. Dia dan pamannya lalu berpamit kepada Sui In dan meninggalkan puncak Bukit Ular, diikuti pasukan kecil pengawal mereka…..
********************
"Berhenti...!" Lili yang berdiri menghadang di tengah jalan mengangkat tangan kanan ke atas, memberi isyarat kepada pasukan berkuda itu untuk berhenti. Pangeran Ramamurti dan Balkan segera menahan kendali kuda mereka, begitu pula dua belas orang pengawal mereka.
Melihat bahwa yang menghentikan mereka adalah Lili yang nampak demikian gagah dan cantik, berdiri tegak di tengah jalan, kedua kaki terpentang, tangan kiri di pinggang dan tangan kanan diangkat ke atas, wajah Pangeran Ramamurti yang tadinya murung itu kini menjadi girang sekali. Dia cepat-cepat meloncat turun dari atas kudanya, wajahnya yang tampan tersenyum.
"Aihh, kiranya nona Lili! Nona, apakah engkau menghadang di sini untuk mengucapkan selamat jalan kepadaku?" Dalam suaranya terkandung penuh harapan.
"Pangeran Ramamurti, engkau telah menghinaku dan sekarang masih mengharapkan aku untuk mengucapkan selamat jalan kepadamu?! Aku menghadang untuk memberi hajaran kepada kalian yang telah menghinaku!"
Melihat sikap gadis itu dan mendengar ucapannya, wajah pangeran itu menjadi pucat dan dia melangkah mundur. Pamannya, Balkan, sudah melompat turun pula dari atas kudanya dan dia menghadapi gadis itu dengan sikap tenang.
"Maaf, nona Tang Bwe Li, kami benar-benar tidak mengerti kenapa nona marah kepada kami? Kami datang dengan baik-baik dan dengan sikap hormat untuk meminang diri nona. Bagaimana nona dapat mengatakan bahwa kami telah menghinamu?"
"Tidak menghinaku, ya? Bagus! Kalian datang melamarku begitu saja, tanpa memberi tahu aku lebih dulu, tidak menyelidiki dulu apakah aku suka atau tidak. Memangnya aku ini sebuah boneka yang tidak mempunyai pikiran sendiri? Atau aku ini seekor kuda saja yang boleh kalian tawar dan hendak membeliku dengan kedudukan dan hartamu? Kalian telah membikin aku malu!"
Balkan adalah seorang dari golongan rakyat biasa, namun karena kakaknya perempuan menjadi isteri raja Bhutan, maka dia merasa dirinya besar dan sudah menjadi seorang bangsawan tinggi, paman dari Pangeran Ramamurti. Kini, melihat sikap Lili yang sama sekali tidak memandang sebelah mata kepada keponakannya dan kepadanya, timbullah kemarahannya. Gadis ini terlalu menghina, pikirnya.
"Nona Tang Bwe Li, ingat bahwa yang meminangmu adalah seorang pangeran kerajaan Bhutan! Biasanya, di Bhutan, jika pangeran menghendaki seorang wanita, cukup dengan melambaikan tangan saja dan setiap orang wanita akan datang menyerahkan diri dengan bangga. Karena mengingat bahwa nona adalah bangsa lain, maka kami mempergunakan cara yang sopan dan lajim, melakukan pinangan dengan resmi. Bahkan sebelum kami datang meminang, kami telah membicarakannya dengan lihiap Cu Sui In dan dia sudah menyetujuinya. Sepatutnya nona merasa terhormat dan bangga, bukan merasa terhina. Ini sungguh tidak adil sama sekali!"
Mendapat jawaban seperti ini, kemarahan Lili makin berkobar seperti api disiram minyak. “Bagus! Kalian sudah menghinaku tapi masih menyalahkan aku pula. Kalian harus dihajar agar tidak berani muncul lagi ke sini, tidak lagi menyinggung urusan perjodohan!"
Balkan juga marah. Gadis ini terlalu menghina, sepantasnya kalau ditawan dan dibawa ke Bhutan, dipaksa menikah dengan Pangeran Ramamurti! Dia pun memberi isyarat kepada pasukan pengawal.
"Tangkap nona yang lancang mulut ini!"
Dua belas orang pengawal itu sudah berloncatan turun dari atas kuda mereka dan seperti segerombolan anjing pemburu mengeroyok seekor kelinci, mereka segera menerjang ke arah Lili dengan tangan terjulur panjang. Melihat kecantikan dara itu, timbul gairah mereka dan kini mereka seolah berlomba untuk memperebutkan gadis itu, supaya mereka dapat lebih dulu menerkam, memeluk dan menangkapnya. Mereka berlomba untuk bisa meraba tubuh yang padat itu, atau setidaknya bersentuhan lengan.
Namun ternyata mereka itu bukan seperti segerombolan anjing pemburu memperebutkan seekor kelinci, melainkan segerombolan anjing pemburu bertemu dengan seekor harimau betina yang galak dan perkasa! Lili menyambut mereka dengan terjangan kaki tangannya. Gerakannya demikian tangkas, cepat dan kuat sekali sehingga dua belas orang pengawal yang merupakan pengawal pilihan itu segera terpelanting ke kanan kiri! Mereka terbanting dan mengaduh-aduh, mengalami patah tulang, babak belur dan benjol-benjol.
Kemudian bagaikan seekor burung walet tubuh Lili sudah menyambar ke arah Balkan dan Pangeran Ramamurti. Dua orang bangsawan ini terkejut dan hendak melarikan diri, akan tetapi sebuah tendangan membuat Balkan tersungkur dan sekali Lili menjulurkan tangan, dia telah mencengkeram pundak pangeran itu.
"Nona, apa kesalahanku, lepaskan!" kata pangeran itu meronta-ronta.
"Engkau lancang berani meminangku, ya?!" Lili membentak, lantas tangannya menampar beberapa kali. Kedua pipi pangeran itu menjadi merah membengkak. Lili mendorongnya dan dia pun terjengkang. "Engkau harus dihajar agar jangan berani lagi, datang ke sini!" kakinya menendang dan pangeran yang sedang merangkak bangun itu terlempar lagi.
"Lili, tahan!" terdengar bentakan nyaring.
Lili yang sudah ingin menggerakkan kakinya, cepat menahan tendangannya. Dia menoleh dan ternyata Sui In telah berdiri di situ dengan sikap marah. Sementara itu, Balkan yang sudah bangkit segera menolong Pangeran Ramamurti, memapahnya, dan bersama anak buah mereka yang sudah bangkit pula, mereka mencari kuda mereka, menunggang kuda dan rombongan itu pergi meninggalkan tempat itu tanpa pamit.
"Lili, engkau sungguh keterlaluan sekali! Apakah engkau sudah mulai berani menentang aku? Katakan, apakah engkau hendak menantang aku?" Cu Sui In marah sekali, matanya mencorong dan kedua tangannya bertolak pinggang.
Melihat ini, Lili menjatuhkan diri berlutut menghadap wanita yang pernah menjadi gurunya tapi sekarang menjadi suci-nya ini. Dia berlutut dan kedua matanya basah, akan tetapi dia mengeraskan hatinya sehingga tak sampai menangis. Dia bukan takut walau pun dia tahu bahwa dia tidak akan mampu menandingi suci-nya, akan tetapi dia berduka sekali melihat suci-nya demikian marah kepadanya dan sorot matanya seperti membencinya.
"Suci, sejak aku bisa mengingat, sejak kecil sekali, suci telah memeliharaku, merawat dan mendidik aku. Suci sayang kepadaku dan aku pun sangat sayang kepadamu. Bagaimana mungkin aku tidak akan mentaatimu? Suci, aku pasti akan mentaati apa pun yang suci perintahkan, dan aku akan membela suci dengan taruhan nyawa sekali pun. Akan tetapi… mengenai perjodohanku... bagaimana aku bisa melempar diriku ke dalam nasib yang akan menentukan hidupku selamanya? Suci, kalau aku menikah berarti aku berpisah dari suci, dan hidup selamanya di samping seorang laki-laki yang tidak kucinta. Bagaimana mungkin ini? Suci, kalau aku bersalah dan suci hendak menghukumku, silakan. Biar dihukum mati pun aku rela, tapi aku tetap tak akan mau dijodohkan dengan laki-laki yang tidak kucinta.”
Sui In tersenyum mengejek. "Huh, cinta? Mana ada cinta di dalam hati kaum pria? Kalau telah melampiaskan nafsu mereka. mereka pun akan bosan dan tidak mempedulikan kita lagi. Cinta? Cinta laki-laki adalah palsu, rayuan kosong hanya untuk memikat. Laki-laki itu seperti laba-laba yang memikat kupu-kupu agar terperangkap di sarangnya, kalau sudah dihisap sampai kering, bangkai kupu-kupu kemudian akan dicampakkan begitu saja. Aku menjodohkan engkau dengan seorang pangeran, itu berarti hidupmu akan terjamin, mulia, terhormat, berkecukupan sampai semua keturunanmu kelak. Namamu terjunjung tinggi, namaku dan nama ayahku ikut terangkat. Seorang pangeran, apa lagi kalau kelak menjadi raja, tidak akan mencampakkan isterinya begitu saja. Paling banyak dia menambah selir, akan tetapi isterinya akan tetap dimuliakan orang. Aku menyetujui perjodohan itu demi kebaikanmu, kenapa engkau menolak?"
"Maaf, suci. Bagaimana pun juga hati ini tidak akan merelakan kalau badan ini kuserahkan kepada orang yang tidak kucintai. Aku siap menerima hukuman asal suci jangan marah lagi kepadaku."
Sui In tersenyum, lalu menarik napas panjang. "Kalau aku marah, semenjak tadi engkau telah kubunuh! Boleh saja engkau menolak lamaran, akan tetapi tak perlu bersikap kasar, apa lagi menyakiti rombongan pangeran itu. Sudahlah, apa engkau sudah memiliki pilihan hati, seorang pria yang kau cinta dan kau harapkan menjadi jodohmu?"
Karena dibesarkan di dalam lingkungan orang aneh, Lili juga menjadi seorang gadis yang berwatak aneh. Yang oleh wanita pada umumnya dianggap sebagai hal yang memalukan, mungkin baginya sama sekali tidak memalukan, begitu pula sebaliknya. Dia menjunjung kegagahan, wajar dan jujur, walau pun seringkali mengandalkan kekuatan dan kekerasan.
"Sudah, suci," jawabnya tegas.
Sui In mengerutkan alisnya, merasa penasaran dan heran mengapa dia tidak tahu bahwa ternyata Lili sudah mempunyai seorang pacar!
"Siapa dia? Pemuda dekat sini?"
"Dia orang jauh dan suci juga sudah mengenalnya."
"Kau amat cinta padanya?"
"Aku cinta padanya, merasa kagum, tetapi juga penasaran dan benci."
"Ehh?! Siapa pria aneh itu?"
"Dia Sin Wan, suci."
"Sin Wan...? Sepertinya nama itu pernah kudengar."
"Tentu saja. Dia murid dan putera mendiang Tangan Api Se Jit Kong."
"Aih, benar. Dia murid Sam-sian pula, bukan? Aihh, dia yang pernah memukuli pantatmu ketika engkau kecil itu?"
"Benar, akan tetapi aku sudah membalas memukuli pantatnya berikut bunganya. Aku... aku hanya mau berjodoh dengan dia, suci."
"Sudahlah. Engkau bilang selalu taat kepadaku. Sekarang aku akan memberimu sebuah tugas, maukah engkau melakukannya untuk aku?”
"Katakan apa tugas itu, suci. Akan kulakukan walau dengan pengorbanan nyawa sekali pun.”
“Mungkin saja engkau akan berkorban nyawa, karena orang yang kuingin agar kau bunuh ini memiliki ilmu kepandaian yang lihai sekali.”
"Suci ingin aku membunuh orang? Boleh saja, akan tetapi aku harus tahu lebih dulu apa kesalahannya dan mengapa pula suci hendak membunuhnya."
"Dia adalah seorang pendekar yang perkasa, seorang tokoh Butong-pai yang sukar dicari tandingannya, terutama sekali ilmu pedangnya amat ditakuti orang. Akan tetapi aku yakin engkau akan dapat menandinginya dan mengalahkannya. Namanya Bhok Cun Ki, dan dia berjuluk Sin-kiam-eng (Pendekar Pedang Sakti), usianya sekitar empat puluh lima tahun. Dia seorang pendekar perantau, tidak tentu tempat tinggalnya. Tetapi kalau engkau pergi ke Butong-pai dan mencari keterangan di markas Butong-pai, tentu engkau akan dapat memperoleh keterangan di mana adanya Sin-kiam-eng Bhok Cun Ki itu."
"Hal itu mudah dilakukan, suci. Akan tetapi suci belum mengatakan kenapa suci hendak membunuhnya dan apa pula kesalahannya."
"Hemm, engkau bilang selalu taat kepadaku, kenapa sekarang kuberi tugas engkau malah ribut-ribut mendesak aku agar menceritakan sebab-sebabnya."
"Suci, aku tidak mau melupakan nasehat suhu. Kita tidak perlu berpihak kepada golongan mana pun, akan tetapi kita harus bertanggung jawab atas semua perbuatan kita. Itu baru gagah namanya. Setiap perbuatan kita harus dilandasi alasan kuat sehingga kita tak ragu-ragu melaksanakannya. Nah, karena itu aku ingin mengetahui dulu apa alasannya maka aku harus membunuh Sin-kiam-eng Bhok Cun Ki itu."
Bi-coa Sianli (Dewi Ular Cantik) Cu Sui In biasanya berwatak keras, galak dan tidak sabar terhadap orang lain. Namun terhadap Lili dia tidak pernah memperlihatkan sikap kerasnya itu. Dia terlalu sayang kepada muridnya yang sekarang menjadi sumoi-nya itu. Dan kini, mendengar ucapan Lili itu, dia bahkan tersenyum.
Lili sendiri terpesona kalau melihat suci-nya tersenyum. Senyum suci-nya itu belum tentu dia lihat seminggu sekali! Bila suci-nya yang biasanya berwajah dingin itu tersenyum, dia benar-benar pantas disebut dewi karena nampak cantik jelita dan anggun. Betapa senyum seseorang dapat membuat wajahnya menjadi hidup dan cerah, bagaikan matahari muncul dari balik awan hitam.
"Lili, engkau benar-benar ingin tahu sebabnya? Sebabnya adalah karena Bhok Cun Ki itu adalah kekasihku...”
Lili memandang suci-nya dengan mata dibelalakkan lebar-lebar, dan kini Cu Sui In yang terpesona penuh kagum. Sumoi-nya ini memang cantik jelita, akan tetapi kalau matanya dibelalakkan seperti itu, sepasang mata itu menjadi besar dan bercahaya seperti bintang sehingga wajah itu manis bukan main.
"Aihhn, suci. Ini namanya puncak keanehan! Kalau memang dia itu kekasih suci, kenapa malah harus dibunuh?"
"Dua puluh tiga tahun yang lalu, ketika aku berusia dua puluh tahun dan dia berusia dua puluh dua tahun, kami saling mencinta dan kami saling bersumpah untuk sehidup semati. bahkan aku sudah menyerahkan semua yang ada padaku kepadanya, menyerahkan jiwa ragaku kepadanya, akan tetapi... sesudah dia mengetahui bahwa aku adalah puteri See-thian Coa-ong, dia yang menganggap dirinya seorang pendekar Butong-pai lantas mundur dan meninggalkan aku, memutuskan hubungan. Padahal aku telah menyerahkan segala-galanya. Dia telah mengkhianatiku, bahkan kemudian dia menikah dengan seorang puteri bangsawan."
Wajah Lili berubah merah karena marah. "Suci! Kenapa sekian lamanya suci diam saja? Laki-laki pengkhianat semacam itu sudah selayaknya dibunuh. Kenapa dahulu suci tidak mencarinya dan membunuhnya? Dia tidak pantas hidup!"
Cu Sui In menggelengkan kepala dengan wajah sedih dan beberapa kali dia menghela napas panjang. "Sudah kucoba untuk mengeraskan hati, tetapi sia-sia saja, Lili. Aku... aku tidak tega membununnya, aku tetap mencintanya, sampai sekarang. Karena itu aku minta bantuanmu...”
"Suci, engkau membikin aku bingung saja. Jika sampai sekarang suci tetap mencintanya, kenapa suci melepaskannya begitu saja? Kenapa suci tidak bunuh saja perempuan yang merampasnya dan paksa dia menjadi suami suci?”
Sepasang mata Dewi ular Cantik itu mencorong marah. "Tidak! Aku tidak sudi mengemis cintanya! Tidak usah banyak komentar. Mau atau tidak engkau melaksanakan tugas yang kuberikan padamu?”
"Tentu saja, suci. Aku siap melaksanakannya, aku siap membelamu meski pun aku harus mempertaruhkan nyawaku."
“Lili...” Sui In merangkul dan mencium kedua pipi gadis itu. "Engkau memang anak baik, engkau sumoi yang baik. Pergilah, Lili, cari dia sampai dapat, kemudian bunuh dia, bunuh isterinya, bunuh anak mereka kalau ada. Lakukan itu untuk aku yang menderita selama dua puluh tiga tahun ini."
"Baik, suci. Jangan khawatir. Aku akan mencarinya, aku akan membunuhnya berikut anak isterinya. Pengorbanan suci selama dua puluh tiga tahun ini harus ditebus dengan nyawa mereka. Selama puluhan tahun suci menderita, tidak mau berdekatan dengan pria, semua itu demi cinta suci kepadanya. Tetapi dia malah meninggalkan suci dan menikah dengan perempuan lain!" Lili mengepal tinju.
"Nah, berangkatlah, Lili. Dengan ilmu pedang Pek-coa Kiam-sut, aku yakin engkau akan mampu mengalahkan ilmu pedangnya dari Butong-pai."
Ketika Lili berpamit kepada gurunya, setelah menceritakan tugas yang diberikan Cu Sui In kepadanya, See-thian Coa-ong menggeleng-gelengkan kepala. "Manusia bisa gila karena cinta. Sui In mengubur dendam selama dua puluh tahun lebih dalam hatinya dan sekarang menghendaki engkau yang mewakilinya. Bahkan saat aku hendak turun tangan, dia selalu melarang. Sekarang aku tahu, ternyata dia menanti sampai engkau dewasa dan memiliki kemampuan untuk mewakilinya. Kiranya selama ini dia menanam dendamnya karena dia sendiri tidak tega meiakukannya, ha-ha-ha!”
Ketika Lili hendak berangkat, Cu Sui In mengantarnya sampai ke bawah puncak.
“Lili, jika tugasmu sudah selesai, jangan pulang ke sini. Tahun depan aku dan ayah akan pergi ke Thai-san, di mana akan diadakan pemilihan bengcu sebagai pemimpin seluruh dunia persilatan dan merupakan jago nomor satu. Nah, di sanalah kita berjumpa, tahun depan satu bulan sesudah Perayaan Musim Semi atau Sin-cia. Kalau engkau kembali ke sini, aku khawatir kita tak akan dapat saling bertemu. Kalau kita bertemu di sana, engkau dapat memperkuat rombongan ayah.”
"Baik, suci."
Mereka berangkulan dan saling cium, lalu Lili menggunakan ilmu berlari cepat menuruni Puncak Bukit Ular, diikuti pandang mata Cu Sui In yang kini nampak tersenyum namun kedua matanya basah air mata…..!
********************
Malam itu gelap sekali. Di langit tidak ada bulan, tidak ada bintang karena semua bintang tertutup oleh awan hitam. Gelap gulita dan hawa udara amat dinginnya. Musim salju telah mendekati akhir, namun hawa udara justru sangat dingin sampai menusuk tulang. Semua air membeku dan gerimis salju hampir tidak pernah berhenti.
Karena malam begitu gelap dan dingin, maka kota Peking, walau pun merupakan ibu kota ke dua setelah Nan-king, malam itu sunyi sekali. Orang-orang lebih suka berada di dalam rumah yang dihangatkan perapian. Kalau pun terpaksa keluar rumah karena mempunyai keperluan penting, mereka mengenakan pakaian kapas atau bulu yang tebal, menutupi kepala dan muka. Namun tetap saja hawa dingin menyusup ke dalam badan, bibir pecah-pecah dan pernapasan terasa sesak.
Di dalam istana Raja Muda Yung-Lo juga nampak sunyi. Para penjaga mengamankan dan menyamankan diri di dalam gardu-gardu penjagaan yang dihangatkan dengan perapian. Yang terpaksa melakukan perondaan, berpakaian tebal dan melakukan perondaan cepat-cepat agar bisa segera kembali ke gardu yang hangat. Lagi pula dalam udara sedingin itu, malam segelap itu, siapa sih orang yang usil dan mencari penyakit melakukan kejahatan di dalam istana yang terjaga ketat?
Para petugas jaga itu agaknya lupa bahwa orang-orang Mongol tidak pernah melepaskan segala kesempatan. Mereka adalah orang-orang yang masih merasa sangat penasaran ketika Kerajaan Mongol runtuh sedemikian mudahnya setelah bangsa Mongol menguasai Cina hampir seabad lamanya (1170-1260).
Para Pangeran Mongol yang berhasil menyelamatkan diri ke utara langsung membentuk sebuah jaringan dalam usaha mereka untuk menegakkan kembali kerajaan Mongol yang bertujuan menguasai Cina. Mereka menyusun jaringan mata-mata, lalu mengirim banyak orang pandai yang menyusup ke sebelah selatan Tembok Besar. Bahkan ada pangeran yang mengirim rombongan mata-mata yang pandai, melakukan penyusupan tidak melalui Tembok Besar di utara yang terjaga ketat, melainkan mengambil jalan memutar dari arah barat.
Malam yang sunyi dan dingin itu, yang membuat para penjaga serta pengawal di istana Raja Muda Yung Lo menjadi lengah dan malas, tidak lepas dari pengamatan para mata-mata Mongol. Dalam kegelapan malam itu, di waktu sebagian besar penduduk kota sudah meringkuk di dalam kamar masing-masing berselimut tebal, nampak tiga sosok bayangan berkelebatan di atas pagar tembok istana dan melayang turun di sebelah dalam! Dengan gerakan ringan dan cepat mereka menyelinap ke dalam taman, menghampiri bangunan istana yang megah dengan hati-hati sekali.
Gerakan mereka yang tanpa ragu-ragu dalam menghindari gardu-gardu penjagaan sudah membuktikan bahwa mereka bertiga itu mengenal baik sekali keadaan di situ dan semua gerakan mereka penuh dengan perhitungan yang matang.
Sementara itu di sebelah dalam istana tampak seorang wanita cantik berpakaian ringkas. Sebatang pedang menempel di punggungnya, dan di ikat pinggangnya terselip sebatang suling perak. Wanita ini berusia kurang lebih dua puluh tiga tahun, wajahnya bulat telur dengan dagu meruncing. Di dagu kanannya terdapat hiasan bawaan lahir, yaitu setitik tahi lalat yang membuat wajahnya nampak semakin manis.
Matanya lembut akan tetapi kadang kala mencorong penuh wibawa. Bibirnya merah segar dengan bentuk menggairahkan. Pembawaannya amat tenang dan anggun, tetapi langkah kakinya menunjukkan bahwa dia memiliki tenaga dan kegesitan.
Ketika wanita melewati gardu penjagaan di dekat kolam ikan, di bagian paling dalam dari istana itu, di taman bunga kecil yang berada paling dalam, tempat bermain para wanita istana, dia pun menghampiri gardu. Melihat tiga orang prajurit pengawal wanita melenggut hampir pulas di bangku panjang, dia mengerutkan alisnya lantas jari tangannya mengetuk dinding gardu.
"Tok-tok-tokk!"
Tiga orang penjaga itu terkejut dan cepat berloncatan bangun sambil menyambar pedang mereka. Mereka langsung terbelalak ketika melihat bahwa yang mengejutkan mereka itu adalah atasan mereka.
Dengan alis berkerut wanita itu lalu menegur. "Beginikah caranya melakukan penjagaan? Kalian telah lengah! Seorang petugas yang baik tidak gentar menghadapi hawa dingin dan kesukaran apa pun!"
"Maafkan kami, Lim-lihiap (pendekar wanita Lim)," kata seorang di antara mereka sambil berdiri tegak dan memberi hormat.
"Baiklah, untung tidak terjadi apa-apa. Dalam keadaan yang amat dingin dan sunyi seperti ini, ketika para penjaga dalam keadaan lengah dan mengantuk, para penjahat sering kali mengambil kesempatan untuk bergerak. Lakukan penjagaan dengan ketat dan waspada!" Sesudah berkata demikian wanita itu meninggalkan mereka untuk melakukan perondaan dan pemeriksaan terhadap anak buahnya yang bertugas jaga di lingkungan istana itu.
Wanita muda yang perkasa ini adalah Lim Kui Siang, yang kini oleh raja muda Yung Lo telah dipercaya untuk menjadi kepaia pengawal keluarga Raja Muda itu. Gadis perkasa ini memiliki ilmu kepandaian tinggi karena dia adalah murid Sam-sian pula. Dia adalah sumoi dari Sin Wan. Sebenarnya antara Lim Kui Siang dan Sin Wan yang saudara seperguruan itu terjalin hubungan cinta kasih yang mendalam.
Bahkan guru-guru mereka pernah mengusulkan agar dua orang murid mereka yang saling mencinta itu dapat menjadi suami isteri. Keduanya menerima dengan baik dan Kui Siang memang sejak kecil kagum kepada Sin Wan, biar pun Sin Wan seorang yang berbangsa Uighur, bukan pribumi, sedangkan dia sendiri adalah puteri bangsawan karena mendiang ayahnya keturunan atau kebangsawanan.
Ketika Sin Wan melamarnya kepada para paman dan bibinya sebagai wakil ayah bunda yang sudah tiada, mereka menolak dan tidak menyetujui perjodohan itu. Bahkan mereka menghina Sin Wan yang dikatakan keturunan bangsa biadab! Kui Siang pun marah lantas mengusir para paman dan bibinya yang hanya mendekatinya karena menginginkan harta peninggalan ayahnya.
Kemudian dengan sepenuh hati ia hendak menghibur Sin Wan dan nekat melangsungkan perjodohan dengan suheng-nya itu. Tapi pada saat terakhir dia mendapat kenyataan yang sangat pahit baginya, yaitu bahwa Sin Wan adalah anak tiri dari mendiang Se Jit Kong, yaitu Iblis Tangan Api yang telah membunuh ayahnya!
Biar pun Sin Wan hanya anak tiri, tetapi kenyataan ini membuat Kui Siang amat terpukul. Hancur rasa hatinya dan dia tidak mau mendekati suheng-nya lagi. Dia lalu meninggaikan suheng-nya itu dengan perasaan hancur.
Ia amat mencinta suheng-nya, akan tetapi bagaimana mungkin dia berjodoh dengan anak angkat orang yang telah membunuh ayahnya dan menghancurkan keluarga ayahnya? Dia akan merasa durhaka terhadap orang tuanya.
Sambil membawa hati yang remuk, dari tempat tinggal orang tuanya di kota raja Nan-king, Kui Siang lalu pergi ke Peking untuk memenuhi permintaan Raja Muda Yung Lo, menjadi kepala pasukan pengawal keluarga pangeran atau raja muda itu. Kui Siang pun bekerja dengan tekun dan penuh pengabdian, bahkan dia mengganti pasukan thai-kam (laki-laki kebiri) dengan pasukan wanita yang digemblengnya.
Melihat ketekunan Kui Siang ini, Raja Muda Yung Lo semakin kagum. Sejak mengundang dan menjamu Pek-sim lo-kai (Pengemis Tua Hati Putih) Bu Lee Ki yang datang bersama Sin Wan dan Kui Siang, dan melihat Kui Siang, Raja Muda Yung Lo merasa kagum dan tertarik sekali kepada ketiga orang ini.
Dia mendukung Bu Lee Ki untuk menjadi pemimpin besar seluruh kai-pang (perkumpulan pengemis), menawarkan kedudukan panglima kepada Sin Wan, dan kedudukan kepala pengawal keluarga istana kepada Kui Siang. Sin Wan yang patah hati karena penolakan Kui Siang yang memutuskan hubungan cinta di antara mereka, tidak kembali ke Peking. Akan tetapi Kui Siang yang juga menderita duka itu, kembali ke Peking dan menerima penawaran kedudukan itu untuk menghibur hatinya.
Selama berada di istana dan bertugas sebagai kepala pengawal keluarga Raja Muda, Kui Siang melihat kenyataan betapa sikap raja muda itu terhadap dirinya demikian baiknya. Dari pandang mata raja muda itu ia tahu bahwa pria itu jatuh hati kepadanya. Akan tetapi, biar pun dia sendiri kagum kepada raja muda ini, dia masih tidak mampu melupakan Sin Wan dan karena itu ia bersikap dingin saja sehingga Raja Muda Yung Lo belum berkenan menyatakan isi hatinya.
Di malam yang sunyi, gelap dan dingin itu, seperti biasa Kui Siang melakukan perondaan untuk memeriksa anak buahnya supaya mereka melakukan penjagaan dengan sebaiknya. Ketika dia melakukan pemeriksaan di bagian belakang, tiba-tiba dia melihat berkelebatnya bayangan ke arah gardu penjagaan di belakang, kemudian terdengar jerit seorang wanita pengawal.
Kui Siang cepat meloncat ke tempat itu dan mendengar suara orang berkelahi. Dilihatnya betapa seorang anak buahnya menggeletak mandi darah, dan dua orang pengawal lain sedang berkelahi melawan dua orang berpakaian hitam dan mukanya ditutup sutera hitam yang memiliki kepandaian amat lihai.
Kui Siang segera mengeluarkan suling peraknya kemudian meniupkan isyarat. Suling itu mengeluarkan suara melengking tinggi yang dapat terdengar oleh semua anak buah yang sedang melakukan penjagaan. Dia merasa yakin bahwa sebentar lagi tempat itu akan dipenuhi anak buahnya yang berjumlah dua puluh orang lebih. Dia sendiri tidak membantu anak buahnya menghadapi dua orang lawan yang lihai, namun cepat sekali dia meloncat ke dalam dan menuju ke arah ruangan di mana terdapat kamar Raja Muda Yung Lo dan keluarganya.
Kui Siang maklum bahwa dalam keadaan bahaya maka dapat dipastikan bahwa sasaran utama musuh tentulah sang raja muda. Karena itu dia membiarkan anak buahnya yang menghadapi penyerbu, sedangkan dia sendiri harus menjaga keselamatan raja muda dan keluarganya.....
Perhitungannya ternyata tepat. Baru saja dia tiba di depan kamar sang raja muda, tiba-tiba nampak bayangan hitam berkelebat laksana seekor burung besar melayang turun ke dalam ruangan yang nampaknya sunyi itu.
"Penjahat keji, menyerahlah kau!" bentak Kui Siang sambil meloncat keluar menghadapi bayangan hitam itu.
Bayangan itu memakai pakaian serba hitam, mukanya dari hidung ke bawah tertutup kain sutera hitam. Yang kelihatan hanyalah sepasang matanya yang mencorong tajam. Tubuh itu tinggi kurus dan gerakannya tadi ringan dan gesit sekali.
Agaknya bayangan itu terkejut melihat Kui Siang. Tadinya dia mengira bahwa dua orang kawannya yang memancing keributan di gardu penjagaan belakang itu tentu akan menarik semua pengawal ke sana sehingga dia akan leluasa bergerak membunuh raja muda. Tapi siapa kira, pemimpin pasukan pengawal yang dia dengar memiliki ilmu kepandaian tinggi ini bahkan tiba-tiba saja muncul di situ. Tanpa banyak cakap lagi bayangan itu mencabut pedangnya dan menyerang dengan dahsyat, menusuk ke dada Kui Siang.
"Singggg...!"
Saking kuatnya tusukan ini, pedang itu sudah mengeluarkan suara berdesing ketika lewat di samping tubuh Kui Siang yang mengelak dengan gerakan cepat. Namun pedang yang luput dari sasaran itu lantas membalik, kini menyambar dan membacok ke arah leher!
Kui Siang terkejut juga. Ternyata penyerang ini memang lihai dan mempunyai gerakan pedang yang cepat dan kuat. Dia pun melompat ke belakang sambil mencabut Jit-kong-kiam (Pedang Sinar Matahari) peninggalan mendiang Kiam-sian (Dewa Pedang).
Nampak cahaya menyilaukan mata ketika pedang itu tercabut. Ketika Kui Siang memutar pedangnya, lenyaplah bentuk pedang itu berubah menjadi gulungan sinar yang membuat ruangan itu nampak lebih terang. Itulah ilmu pedang Sinar Matahari yang amat hebat.
"Ihhh...!" Si kedok hitam itu mengeluarkan seruan kaget, akan tetapi dia pun sama sekali bukan orang lemah. Pedangnya berkelebatan, menangkis dan balas menyerang sehingga dalam waktu singkat saja keduanya telah saling serang dengan mati-matian!
Setelah mereka bertanding selama dua puluh lima jurus, tahulah Kui Siang bahwa lawan ini bukan orang sembarangan. Pembunuh ini adalah seorang ahli pedang yang tangguh, maka ia pun mengimbangi permainan pedangnya dengan bantuan tangan kirinya yang kini turut pula menyerang dengan tebasan-tebasan tangan miring. Setiap kali tangan kirinya menyambar, terdengarlah suara bersiut dan tangan itu amat berbahaya karena dia sudah mempergunakan ilmu Kiam-ci (Jari Pedang) yang menotok seperti tusukan pedang.
Pintu kamar besar keluarga raja muda itu terbuka, lantas muncullah Raja Muda Yung Lo dengan pedang di tangan. Juga dari kanan kiri bermunculan para pengawal pribadi, akan tetapi ketika para pengawal itu hendak mengeroyok si kedok hitam, Raja Muda Yung Lo memberi isyarat dengan tangan agar mereka tidak bergerak.
Agaknya raja muda yang juga memiliki kepandaian lumayan itu dapat melihat betapa Kui Siang tidak akan kalah oleh si kedok hitam, maka dia ingin menonton pertandingan hebat itu! Kini para pengawal hanya mengepung ruangan itu, tidak memberi jalan kepada lawan untuk lolos.
Agaknya si kedok hitam maklum bahwa dirinya berada dalam bahaya, maka dia berlaku nekat, menyerang dengan lebih gencar dengan maksud supaya kalau dia tewas pun dia akan dapat membunuh lawannya ini. Akan tetapi Kui Siang juga maklum akan kehadiran Raja Muda Yung Lo, maka dia mengerahkan seluruh tenaga serta kepandaiannya, terus mendesak lawan.
Si kedok hitam yang menerima tugas rahasia membunuh Raja Muda Yung Lo, melihat kesempatan baik karena raja muda itu berdIri di situ menonton perkelahian, secara diam-diam dia mengeluarkan sesuatu dari saku bajunya dengan tangan kiri. Begitu mendapat kesempatan baik, tangan kirinya lantas bergerak cepat menyambitkan tiga buah thi-lian-ci (biji teratai besi), yaitu senjata rahasia berbentuk biji teratai yang terbuat dari pada besi.
"Awas, Yang Mulia…l" Kui Siang berseru kaget seraya pedangnya bergerak cepat sekali menghantam pedang lawan karena saat itu lawan sedang mencurahkan perhatian untuk menyerang Raja Muda Yung Lo.
Akan tetapi Raja Muda Yung Lo bukan seorang lemah. Dia juga pernah belajar ilmu silat, malah selama ini dia menjadi panglima yang memimpin pasukan besar yang menggempur sisa-sisa pasukan Mongol di daerah utara. Dia sudah mengalami banyak pertempuran, maka kalau hanya diserang senjata rahasia seperti itu saja, bukan merupakan hal yang berbahaya baginya. Tanpa diperingatkan Kui Siang pun, dia tidak akan mudah dirobohkan dengan serangan senjata rahasia thi-lian-ci.
Dia telah memutar pedangnya dan tiga buah thi-lian-ci itu pun terpukul runtuh. Sebaliknya pedang di tangan penyerang itu segera terlepas dan terpental ketika dipukul pedang Kui Siang sehingga kini si kedok hitam tidak lagi memegang senjata.
Agaknya dia tahu bahwa akan sia-sia melarikan diri, maka dia pun berkata dengan suara angkuh kepada Kui Siang, "Kalau memang engkau seorang gagah, mari kita melanjutkan pertandingan dengan tangan kosong!”
Kui Siang mengerutkan alis. Dia tidak sedang mengadu ilmu menguji kepandaian masing-masing, melainkan sedang menghadapi seorang penjahat yang hendak membunuh Raja Muda Yung Lo, maka tentu saja dia tidak beminat melayani tantangan orang yang sudah terdesak dan tinggal menangkap saja itu.
Akan tetapi ketika menoleh ke arah raja muda itu, dia melihat raja muda itu mengangguk dan tersenyum kepadanya kemudian berkata, "Nona Lim, aku ingin sekali melihat engkau mengalahkan jahanam ini dalam pertandingan tangan kosong."
Kui Siang sudah mengenal watak Yung Lo yang suka sekali akan kegagahan. Tentu kini Yung Lo ingin melihat adu kepandaian karena si penyerang itu cukup tangguh. Dan ia pun yakin banwa raja muda itu sudah bersiap-siap bersama para pengawalnya kalau sampai dia terdesak atau terancam bahaya.
“Baik, Yang Mulia," katanya. Dia pun menyimpan kembali Jit-kong-kiam, lalu menghadapi penjahat itu dengan tangan kosong.
Dia tahu bahwa penjahat itu lihai, maka begitu menghadapinya, dia sudah mengerahkan tenaga untuk memainkan Sam-sian Sin-ciang, ilmu peninggalan tiga orang gurunya yang amat dia andalkan. Karena Sam-sian Sin-ciang mengandung unsur ilmu-ilmu ketiga orang Sam-sian, maka selain dalam kedua tangan gadis itu mengandung tenaga Thian-te Sin-kang (Tenaga Sakti Langit Bumi), juga kedua telapak tangannya mengepulkan uap putih karena ilmu itu mengandung pula Pek-in Hoat-sut (Ilmu Sakti Awan Putih) dari Pek-mau-sian Thio Ki.
Ketika melihat dara itu betul-betul menghadapinya dengan tangan kosong, si kedok hitam menjadi berani dan nekat. Sambil mengeluarkan teriakan melengking, dia pun menerjang dengan gerakan nekat sehingga seluruh tenaga serta kepandaiannya dia kerahkan untuk membunuh lawan. Dia tahu bahwa tak mungkin dia dapat lolos dan entah bagaimana pula nasib kedua orang rekannya. Maka, sebelum tertawan dan dibunuh, dia harus dapat lebih dulu membunuh lawannya ini sehingga matinya tidak akan sia-sia.
Akan tetapi, dengan pahit dia segera melihat kenyataan bahwa kalau tadi ketika mereka bertanding dengan pedang mereka masih dapat dibilang seimbang, kini setelah bertanding dengan tangan kosong, dia mendapat kenyataan bahwa ilmu silat tangan kosong gadis itu hebat bukan main. Kedua tangan yang mengepulkan uap putih itu mengandung tenaga yang membuat dia tergetar setiap kali mereka beradu lengan.
Dan betapa pun dia mendesak dan menerjang bertubi-tubi dengan cepat, tetap saja dia tidak mampu menyentuh tubuh lawannya yang bergerak cepat luar biasa. Dengan langkah berputar-putar yang aneh, tiba-tiba saja tubuh lawannya lenyap dan tahu-tahu telah berada di kanan, kiri atau belakangnya.
Sesudah lewat tiga puluh jurus, si kedok hitam merasa pening, matanya berkunang dan gerakannya kacau balau sehingga dia tak lagi dapat melindungi dirinya dengan baik. Dan kesempatan itu dipergunakan oleh Kui Siang untuk menghantamkan tangan kanannya ke arah kepala lawan. Ketika lawannya mengelak ke sebelah kirinya, dia menyambut dengan serangan intinya, yaitu jari tangannya yang kiri menotok.
Terdengar bunyi bercuitan ketika dia mempergunakan ilmunya yang mengandung totokan Kiam-ci (Jari Pedang) dan tubuh lawan itu langsung roboh terjengkang. Saking cepatnya gerakan jari tangan gadis itu, sukar dilihat tetapi tahu-tahu si topeng hitam itu terjengkang roboh dan tewas seketika karena tepat di tengah dahinya telah tertembus jari tangan Kui Siang yang tiada ubahnya sebatang pedang runcing ketika dia menggunakan ilmunya.
Raja Muda Yung Lo bertepuk tangan memuji dengan hati girang dan kagum bukan main. "Bagus sekali, Nona Lim."
"Yang Mulia, di belakang masih ada dua orang penyerbu. Hamba hendak melihatnya ke sana!" kata Kui Siang dan tanpa menanti jawaban raja muda itu, dia pun sudah meloncat dengan cepat menuju ke belakang.
Akan tetapi setelah tiba di gardu penjagaan, dia merasa kecewa. Ada enam orang anak buahnya yang terluka, akan tetapi dua orang yang dikeroyok anak buahnya tadi mampu meloloskan diri walau pun menurut keterangan anak buahnya, kedua orang itu lari sambil membawa luka di tubuh mereka.
Kedok sutera hitam itu dibuka dari wajah orang yang sudah tewas, namun tidak ada yang mengenalnya. Akan tetapi dari bentuk wajahnya mudah diduga bahwa tentu dia adalah seorang Mongol atau setidaknya peranakan Mongol. Memang, sesudah menjajah selama hampir satu abad lamanya, bangsa Mongol sudah mempelajari banyak sekali ilmu-ilmu penduduk pribumi, bahkan banyak di antara mereka yang menjadi jagoan ahli silat yang tangguh.
Pada keesokan harinya, setelah selesai mengadakan rapat pertemuan dengan para hulu balang, Raja muda Yung Lo masuk ke dalam ruang duduk di belakang, lalu dia memanggil Kui Siang agar datang menghadap karena ada urusan penting yang hendak dia bicarakan.
Ketika Kui Siang memasuki ruang duduk di belakang, ruangan di mana raja muda itu suka mengadakan latihan silat, dia melihat Raja Muda Yung Lo dalam pakaian ringkas, pakaian olah raga, duduk seorang diri di situ. Tidak nampak seorang pun pengawal di ruangan itu, juga di luar ruangan.
Hal ini mengejutkan dan mengherankan hati Kui Siang yang menganggap raja muda itu sungguh kurang hati-hati membiarkan diri sendiri tanpa dikawal. Disangkanya bahwa raja muda itu akan mengajaknya berlatih silat, sebab biasanya raja muda itu suka berbincang-bincang, bahkan berlatih silat dengannya.
"Yang Mulia, hamba tidak melihat seorang pun pengawal di sini. Sungguh berbahaya bila paduka berada seorang diri saja...”
Raja Muda Yung Lo tersenyum, kemudian memberi isyarat dengan tangan agar wanita itu mengambil tempat duduk.
"Kui Siang, duduklah. Mengapa berbahaya? Aku berada di dalam istana yang terkurung penjagaan rapat. Pula, aku bukan anak kecil atau orang lemah. Tidak suka aku ke mana-mana harus dijaga pengawal. Lagi pula sekarang aku ingin berdua saja denganmu, ada yang hendak kubicarakan denganmu."
Wajah gadis itu berubah kemerahan. Biasanya pangeran itu menyebutnya Nona Lim atau nona saja, mengapa sekarang menyebut namanya begitu saja? Perubahan sebutan yang bukan tidak menyenangkan karena lebih akrab, akan tetapi juga membuat dia tersipu.
"Yang Mulia hendak membicarakan kepentingan apakah dengan hamba?" tanya gadis ini dengan suara biasa saja sambil duduk menghadapi raja muda itu, terhalang sebuah meja.
Raja Muda Yung Lo memandang wajah Kui Siang, sambil beberapa kali menghela napas panjang, agaknya sukar baginya untuk berbicara. Yung Lo merupakan seorang pangeran yang semenjak dia kecil telah mengenal perjuangan ayahnya, mengenal perang. Bahkan sesudah dewasa dia merupakan seorang di antara pangeran yang paling rajin membantu ayahnya untuk memperkuat kedudukan Kerajaan Beng yang baru.
Dia merupakan pangeran yang paling berjasa, paling cakap mengatur pasukan, karena itu oleh ayahnya, Kaisar Thai-cu pendiri Kerajaan Beng, dia lalu dipercaya untuk memimpin pertahanan yang terberat dan paling penting, yaitu pertahanan terhadap bangsa Mongol yang tentu saja selalu berusaha untuk membangun kembali kekuasaan mereka di selatan yang sudah runtuh. Karena kemampuannya, dia diangkat menjadi raja muda oleh kaisar, dan diberi hak serta kekuasaan di utara, dengan ibu kota Peking. Dan ternyata memang dia mampu.
Raja muda yang usianya baru tiga puluh tahun lebih ini memang gagah. Alisnya berbentuk golok, matanya dengan kedua ujung agak menyerong ke atas itu lebar dan bersinar tajam, hidungnya besar, mulutnya dan dagunya membayangkan keteguhan hati dan kemampuan besar, kumis dan jenggotnya terpelihara rapi. Pendeknya, wajah seorang laki-laki jantan.
Setelah beberapa kali menghela napas panjang dan nampak ragu, akhirnya raja muda itu berkata, “Kui Siang, sungguh aku sendiri merasa heran mengapa sekali ini terasa sangat berat dan sukar bagiku untuk bicara. Selama hidupku belum pernah aku merasa demikian tegang, dan hal ini saja sudah membuktikan kepadaku bahwa memang aku bicara dari hatiku, bukan sekedar bicara saja. Nah, ketahuilah bahwa semenjak pertama kali bertemu denganmu, ketika engkau datang bersama Sin Wan dan Pek-sim Lo-kai Bu Lee Ki, aku merasa kagum sekali padamu. Karena kekagumanku, maka aku mengangkatmu menjadi kepala pengawal keluarga dan ternyata pilihan dan keputusanku itu memang tepat sekali. Engkau bekerja dengan baik, dapat membentuk pasukan pengawal wanita yang kuat dan dapat dipercaya, bahkan malam tadi engkau bersama pasukanmu telah berhasil menahan pembunuh-pembunuh yang dapat menyelinap masuk mengelabui para prajurit pengawal pria di luar istana."
"Hamba hanya melaksanakan tugas, Yang Mulia. Sayang bahwa dua orang di antara para penjahat itu lolos. Mereka adalah orang-orang tangguh dan pasukan hamba yang belum menguasal ilmu silat tinggi bukan lawan mereka."
Raja Muda Yung Lo tersenyum dan pandang matanya semakin terkagum. Gadis ini selain cantik jelita, manis budi, lihai ilmu silatnya, masih ditambah lagi rendah hati. Semua sifat inilah yang membuat dia terkagum-kagum sehingga dia telah mengambil keputusan bulat sebelum memanggil Kui Siang.
"Sudahlah, Kui Siang. Bagaimana pun juga pasukanmu telah berjasa besar, dan terutama sekali engkau sendiri. Aku ingin sekali mengutarakan isi hatiku kepadamu, tetapi apa bila pernyataanku ini menyinggung perasaanmu, aku harap engkau suka memaafkan aku, Kui Siang. Aku suka akan kejujuran, keterus-terangan, dari pada menyimpan sesuatu di hati, dan aku pun tidak ingin memaksakan kehendak dan keinginan hatiku terhadap orang lain, terutama sekali kepadamu. Jadi, bila nanti ucapanku ini tidak berkenan di hatimu, anggap saja tidak ada dan tetaplah bekerja seperti biasa. Engkau mau berjanji demikian?”
Kui Siang mengangguk, jantungnya berdebar tegang. "Katakanlah, Yang Mulia."
"Kui Siang, setelah engkau bekerja di sini, kekagumanku makin bertambah-tambah, dan akhirnya aku melihat kenyataan bahwa aku telah jatuh cinta kepadamu. Selama hidupku belum pernah aku melakukan pinangan secara langsung kepada seorang gadis, tetapi kali ini aku melanggar semua hukum adat yang berlaku. Sekarang aku meminangmu untuk menjadi isteriku, seorang di antara selirku, dengan demikian aku akan selalu bersamamu tanpa khawatir pada suatu hari engkau akan berpisah dariku.”
Kui Siang menundukkan mukanya yang sebentar pucat sebentar merah. Dia dipinang oleh seorang raja muda! Walau pun hanya dipinang menjadi selir karena raja muda itu sudah beristeri dan mempunyai beberapa orang selir, akan tetapi hal itu sudah merupakan suatu kehormatan yang tak pernah dia mimpikan. Raja muda ini seorang pangeran! Dan harus dia akui bahwa dia juga kagum sekali kepada Yung Lo.
Hanya ada satu hal, malah ada dua hal yang membuat dia menunduk dengan hati seperti ditusuk. Pertama dia merasa bahwa hatinya telah menjadi milik Sin Wan. Ia mencinta Sin Wan dan sampai sekarang pun dia masih mencinta pemuda itu walau pun rasa baktinya terhadap orang tuanya tidak memungkinkan dia menikah dengan anak tiri dari pembunuh ayahnya itu. Dan kenyataan kedua adalah bahwa meski pun dia amat kagum dan hormat kepada Raja Muda Yung Lo, akan tetapi dia tidak mencintanya.
Yang membuat dia bingung sekali adalah karena dia tidak berani atau tidak tega untuk menolak. Dia tahu bahwa betapa bijaksana pun Raja Muda Yung Lo, akan tetapi sebagai seorang lelaki yang ditolak cintanya oleh seorang wanita, tentu raja muda itu akan merasa tersinggung, akan merasa diremehkan, malu dan terpukul. Dia menjadi serba salah!
Menerima pinangan i berarti bertentangan dengan perasaan hatinya, sedangkan menolak berarti akan menyinggung perasaan orang yang dijunjung dan dihormatinya, dan sesudah menolak, rasanya tak mungkin lagi dia mempertahankan pekerjaannya sebagai pengawal pribadi di situ. Apa yang harus dia lakukan?
Raja Muda Yung Lo mengamati wajah yang menunduk itu dan sinar matanya memandang penuh selidik. Sebagai seorang yang berpengalaman, tanpa mendengar jawaban dengan kata-kata pun dia tahu bahwa pernyataannya tadi telah mengguncang hati Kui Siang dan membuat gadis itu merasa canggung, serba salah dan agaknya sukar untuk mengambil keputusan.
"Kui Siang, tak perlu engkau bingung menghadapi pinanganku. Ketahuilah bahwa selama ini aku tidak pernah meminang gadis. Semua wanita yang menjadi isteri dan selir-selirku hanya dihubungi seorang perantara yang menjadi utusan dan tidak seorang pun di antara mereka ragu-ragu untuk menerima pinanganku. Akan tetapi engkau lain Kui Siang. Aku tahu bahwa engkau adalah seorang gadis dari dunia persilatan, walau pun dahulu engkau seorang puteri bangsawan. Karena itu aku melamar sendiri dan engkau pun bebas untuk menentukan jawabanmu. Andai kata engkau tidak setuju sehingga tidak dapat menerima pinanganku, jangan takut untuk memberi jawaban sejujurnya."
Mendengar ucapan raja muda itu, Kui Siang mengangkat muka memandang. Sejenak dua pasang mata bertemu pandang, lalu bertaut dan akhirnya Kui Siang yang menundukkan mukanya.
"Yang Mulia, maafkan hamba. Semua ini begitu tiba-tiba datangnya, dan tidak tersangka-sangka. Bagaimana mungkin hamba dapat menjawab seketika? Perkara ini menyangkut masa depan kehidupan hamba, sudah selayaknya jika dipikirkan masak-masak sebelum menjawab, apa lagi paduka menghendaki agar hamba menjawab dengan sejujurnya."
Raja Muda Yung Lo mengangguk-angguk, kemudian mengelus jenggotnya yang rapi. Dia semakin kagum karena jawaban Kui Siang itu membuktikan bahwa gadis ini memang jujur dan bijaksana.
"Baiklah, Kui Siang. Aku mengerti dan memang engkau benar. Nah, kuberi waktu sebulan kepadamu. Cukupkah waktu itu?"
Kui Siang menarik napas lega dan memandang kepada raja muda itu dengan sinar mata berterima kasih. "Terima kasih, Yang Mulia. Satu bulan sudah lebih dari pada cukup bagi hamba untuk mempertimbangkan dan memikirkannya."
"Nah, sekarang jangan pikirkan lagi pembicaraan kita tadi. Mari kita berlatih, dan aku ingin sekali mengenal lebih baik ilmu silat tangan kosong yang malam tadi kau gunakan untuk mengalahkan pembunuh. Belum pernah aku melihat engkau memainkannya. Silat apakah itu?"
Kini sikap raja muda itu sudah berubah sama sekali, pulih seperti biasa ramah dan sikap ini membuat Kui Siang amat bersyukur karena dia tidak merasa rikuh dan canggung lagi. Raja muda ini memang seorang laki-laki pilihan, bukan perayu, bukan pula pria yang suka mempergunakan kekuasaan harta mau pun kedudukan untuk menundukkan wanita dan mematahkan perlawanan mereka.
Dia pun bisa membayangkan betapa boleh dibilang setiap orang wanita akan menyambut pinangannya dengan hati dan tangan terbuka. Siapa tidak akan merasa bangga menjadi isteri atau selir pangeran yang kini menjadi raja muda, seorang laki-laki jantan yang selain berkedudukan tinggi, berwajah ganteng, gagah perkasa, juga jujur dan tidak congkak ini?
"Sin Wan....!" nama ini bergema terus, bahkan keluar melalui bisikan mulutnya ketika dia sudah rebah seorang diri di dalam kamarnya.
Pinangan Raja Muda Yung Lo mengundang kenangan lama dan membuat wajah Sin Wan terus saja terbayang di depan matanya. Sekuat hati Kui Siang mencoba untuk mengusir bayangan itu, namun semakin diusir, wajah suheng-nya itu nampak semakin jelas.
Engkau bodoh, demikian dia memaki dirinya sendiri. Bagaimana dalam keadaan sedang menerima pinangan seorang laki-laki seperti Raja Muda Yung Lo, dia malah mengenang pemuda semacam Sin Wan itu? Seorang pemuda yang menurut para paman dan bibinya sama sekali tidak pantas menjadi suaminya!
Menurut mereka, Sin Wan adalah seorang pemuda berdarah bangsa liar, bukan pribumi, keturunan bahkan berdarah Uighur, bangsa biadab, selain itu dia juga seorang pemuda yang tidak mempunyai apa-apa, pangkat tidak harta pun tidak. Apa yang diandalkannya untuk merjadi suaminya?
"Aih, mereka itu orang-orang tamak, mata duitan dan gila pangkat," ia membela Sin Wan.
Akan tetapi, satu hal yang membuat dia mengenang Sin Wan dengan hati tidak senang adalah kenyataan bahwa suheng-nya itu adalah putera dari mendiang Se Jit Kong, Si Iblis Tangan Api, datuk sesat yang jahat bukan kepalang, yang telah membunuh ayahnya dan menghancurkan keluarga ayahnya.
Bahkan kakek Bu Lee Ki, pemimpin semua Kai-pang yang bijaksana itu pun menjauhkan diri dari Sin Wan sesudah mengetahui bahwa Sin Wan putera Se Jit Kong! Bagaimana mungkin putera seorang datuk jahat seperti itu, walau pun hanya putera tiri, dapat menjadi seorang yang baik dan tidak akan mewarisi watak Se Jit Kong yang jahat?
Lalu terbayanglah wajah Sin Wan. Terbayang pemuda yang bertubuh tinggi tegap, berkulit gelap, wajahnya jantan dan tampan gagah. Dahinya lebar, alisnya tebal berbentuk golok seperti alis Raja Muda Yung Lo, matanya lebar bersinar-sinar, hidungnya tinggi mancung agak besar, mulutnya membayangkan keteguhan hati. Tubuh itu berukuran sedang, tetapi bahunya bidang, tegap, dan langkahnya seperti langkah harimau.
"Sin Wan...,” dia menghela napas panjang.
Dia mencinta suheng-nya itu, pernah sangat mencintanya dan masih tetap mencintanya, dan mungkin takkan pernah mampu melupakannya. Baginya, kebangsaan Sin Wan, juga kenyataan bahwa dia miskin, papa dan tidak memiliki kedudukan, bukan apa-apa. Akan tetapi, dia adalah putera Se Jit Kong!
"Sin Wan....!" dia mengeluh sebelum akhirnya pulas dan di dalam tidur pun dia bermimpi, bertemu kembali dengan Sin Wan dan dalam mimpi itu pun dia tetap mencinta Sin Wan.
********************\
Selanjutnya baca
ASMARA SI PEDANG TUMPUL : JILID-03