Bulan Biru Di Mataram

WIRO SABLENG
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya: Bastian Tito
Episode 183

Bulan Biru Di Mataram

(Episode Ketiga Belas Petualangan Wiro Sableng Di Bhumi Mataram)
SATU
DALAM serial sebelumnya berjudul “Selir Pamungkas” diceritakan Sinuhun Merah Penghisap Arwah berhasil menyusupkan kekuatan gaib jahat ke dalam diri Empu Semirang Biru. Ketika itu sang Empu berada di dalam Ruang Segi Tiga Nyawa menjaga Keris Kanjeng Sepuh Pelangi yang menancap di langit-langit ruangan. Dia juga tengah menunggu kedatangan para sahabat muda yaitu Pendekar 212 Wiro Sableng, Kunti Ambiri, Ratu Randang, Sakuntaladewi serta Jaka Pesolek. Jalan pikiran Empu Semirang Biru telah dikuasai dan dikendalikan oleh Sinuhun Merah Penghisap Arwah. Dia diperintah untuk menyiasati agar mendapatkan Keris Kanjeng Sepuh Pelangi dan ternyata memang berhasil.
Setelah mendapatkan senjata sakti mandraguna yang dibuatnya sendiri di Gunung Bismo itu, sang Empu keluar dari Ruang Segi Tiga Nyawa melalui lobang di lantai ruangan yang disebut Terowongan Arwah yang dibuat oleh Sinuhun Merah Penghisap Arwah.
Karena pikiran sehatnya tidak bisa bekerja di samping siasat licik Ratu Randang, Empu Semirang Biru tidak menyadari kalau keris yang dibawanya adalah keris palsu. Keris diserahkan pada Sinuhun Merah Penghisap Arwah di dalam sebuah goa di balik air terjun. Di tempat itu hadir pula Ksatria Roh Jemputan alias Pangeran Matahari, Sinuhun Muda Ghama Karadipa serta bocah sakti Dirga Purana yang datang sambil gandeng Ni Gatri.
Ketika keris dikeluarkan dari balik pinggang pakaian putih, sepasang mata Sinuhun Merah bergeletar. Kening bocah dua belas tahun Dirga Purana yang mendukung Ni Gatri mengerenyit. Pangeran Matahari tegak congkak tak bergerak, mata menatap dingin tak berkesip.
Sinuhun Muda Ghama Karadipa cepat mengambil keris dari tangan Empu Semirang Biru. Mata mendelik besar meneliti. Kaki tersurut dua langkah. Keris tak bersarung tak bergagang terasa dingin. Tak ada hawa kehidupan. Pancaran sinar yang keluar dari badan keris berwarna merah kehitaman dan sangat redup. Cahaya yang sangat tidak pantas bagi sebilah keris sakti mandraguna yang bakal dijadikan pusaka Istana Kerajaan Mataram.
Dengan cepat Sinuhun Muda memperhatikan dan menghitung jumlah luk di badan keris. Lalu dia berkata, “Sinuhun Merah, keris ini memang memiliki sembilan luk. Tapi rasanya ada sesuatu…”
Dengan cepat Sinuhun Merah mengambil keris dari tangan saudara nyawa kembarnya. Sejak pertama kali melihat senjata tersebut sebenarnya dia telah menaruh curiga. Begitu juga dengan bocah dua belas tahun Dirga Purana walau selalu sibuk dengan Ni Gatri yang berada di panggulan bahu kirinya dalam keadaan tidak sadar karena di bawah pengaruh totokan. Pandangan mata makhluk atau orang sakti seperti mereka memang tidak dapat ditipu. Begitu keris dipegang di tangan, Sinuhun Merah segera mendekatkan senjata ke hidung lalu mencium dalam­dalam.
“Palsu!” Teriak Sinuhun Merah menggeledek. Mata merah mendelik besar. Blangkon di kepala sampai naik satu jengkal dan ubun-ubun kepulkan asap merah. Ini bukan Keris Kanjeng Sepuh Pelangi yang asli! Keris jahanam ini terbuat dari kepingan Rantai Kepala Arwah Kaki Roh! Aku bisa menciumnya! Empu keparat! Kau berani menipuku!”
Bukk! Kraakk!
Tendangan kaki kiri Sinuhun Merah di arah dada membuat Empu Semirang Biru terpental dan terkapar di lantai goa. Dua tulang iganya patah. Jeritan sang Empu menggelegar merobek suara deru curahan air terjun.
Dalam gelegak amarah, Sinuhun Merah, Sinuhun Muda dan bocah sakti Dirga Purana sepakat untuk segera menghabisi Empu Semirang Biru saat itu juga walau sang Empu meratap minta ampun, memberi tahu kalau dia tidak punya niat menipu. Dia tidak tahu bagaimana keris itu tahu-tahu palsu karena sebelumnya dia menerima sendiri senjata tersebut dari Ratu Randang.
Pangeran Matahari yang di Bhumi Mataram dikenal dengan panggilan Ksatria Roh Jemputan mengusulkan agar sang Empu jangan dibunuh tapi dimanfaatkan begitu rupa hingga berhasil menuntaskan rencana untuk menyingkirkan raja dan sekaligus menguasai Kerajaan.
Merasa usulan Ksatria Roh Jemputan masuk diakal Sinuhun Merah Penghisap Arwah mengampuni Empu Semirang Biru namun sesuai siasat kakek ahli pembuat senjata itu harus mencari dan menemui raja. Berpura-pura hendak menyerahkan Keris Kanjeng Sepuh Pelangi. Begitu Raja lengah sang Empu harus cepat menikam raja.
“Cukup satu tikaman! Nyawa raja keparat itu pasti amblas!” kata Sinuhun Muda.
“Betul!” menyahuti Sinuhun Merah. “Cukup satu tikaman. Raja pasti menemui ajal. Karena keris akan aku bungkus dengan racun Cakar Sukma Merah! Selain itu aku juga akan memberikan kekuatan pada tubuhmu yang kurus kering tua renta!”
Sinuhun Merah Penghisap Arwah angkat dua tangan. Satu diletakkan di atas kepala Empu Semirang Biru, yang satu lagi digenggamkan ke keris palsu. Dua cahaya merah memancar dari dua tangan sang Sinuhun Merah. Empu Semirang Biru merasa tubuhnya menjadi agak segar dan sakit akibat dua tulang iganya yang patah terasa berkurang. Sinuhun Merah serahkan kembali keris palsu pada Empu Semirang Biru.
Ketika Empu Semirang Biru siap untuk pergi, Sinuhun Merah memaksanya menelan sebuah benda bulat merah seujung jari. Benda itu ternyata adalah Racun Kala Merah.
“Jika dalam tiga hari kau tidak berhasil membunuh Raja Mataram, Racun Kala Merah akan merenggut nyawamu! Kau akan mampus dengan tubuh leleh menjadi lendir!”
Sekujur tubuh Empu Semirang Biru bergetar menggigil. Di hadapannya sambil menyeringai dan usap janggut hitam di dagu Sinuhun Muda berkata, “Jika kau berhasil menghabisi Raja Mataram sebelum hari ke tiga, lekas menemui kami. Kami akan memberikan obat penangkal pemusnah Racun Kala Merah yang ada dalam tubuhmu! Kau dengar itu Empu?!”
“Saya dengar Sinuhun.” Jawab Empu Semirang Biru.
Sinuhun Muda tertawa bergelak, kedipkan mata pada Sinuhun Merah pertanda apa yang barusan dikatakannya tentang obat penangkal adalah dusta belaka.
“Sekarang lekas laksanakan perintah Sinuhun Merah!” Kata Sinuhun Muda pula lalu tendang pantat orang tua itu hingga terguling di lantai goa.
Walau dirinya diperlakukan semena-mena seperti itu bahkan kemudian dihina dipaksa merangkak melewati selangkangan Sinuhun Merah, namun Empu Semirang Biru tidak berdaya melawan.
***
MENCARI dan menemui Raja Mataram Raka Kayuwangi Dyah Lokapala bukan hal yang mudah bagi Empu Semirang Biru. Apa lagi dalam keadaan cidera dua tulang iga patah akibat tendangan Sinuhun Merah. Selain itu seperti diceritakan sebelumnya, bersama rombongannya yang pernah menyelamatkan diri di Bukit Batu Hangus, saat itu Raja Mataram telah mengasingkan diri di satu tempat rahasia yaitu bekas Sumur Api yang terletak di satu rimba belantara antara kawasan Prambanan dan Kali Dengkeng.
Tujuan pertama yang didatangi Empu Semirang Biru adalah Kotaraja. Dia langsung menuju istana namun jadi kecewa karena didapati bangunan istana dalam keadaan sunyi gelap, sebagian berada dalam keadaan runtuh. Tak ada yang menghuni bahkan tidak seorang prajurit atau pengawalpun terlihat di situ. Empu Semirang Biru mengelilingi bangunan istana sampai tiga kali bahkan masuk menyelidik ke dalam reruntuhan bangunan. Dia tidak menemukan seorangpun. Dia cepat-cepat kembali ke halaman depan.
“Jelas Sri Maharaja Mataram yang harus aku bunuh tidak ada di sini…” Ucap Empu Semirang Biru. Tubuhnya yang kurus terduduk lemas di tanah. Rasa haus tak tertahankan menyengat tenggorokannya. Saat itu kegelapan malam membuat segala yang terlihat di depan mata berwarna hitam. Semakin malam semakin sunyi dan dingin.
“Aneh, mengapa tubuhku sekarang menjadi lemas. Apakah kekuatan yang diberikan Sinunun Merah telah luntur. Aku haus sekali…”
Lapat-lapat di kejauhan terdengar suara lolongan anjing.
“Hanya anjing yang ada. Makhluk yang tidak bisa kutanyai tak bisa menjawab di mana beradanya Raja Mataram…” Kata Empu Semirang Biru sambil duduk tersandar di dinding kanan pintu gerbang istana. “Kalau saja dulu Raja Mataram tidak menyuruh aku membuat keris itu, nasibku tidak akan jadi begini. Sekarang rasanya memang cukup pantas kalau aku membunuhnya!”
Saat itu keadaan sang Empu sudah sangat lemah. Seharian tidak ada minuman yang diteguk, tak ada makanan yang ditelan. Bibir kering, tenggorokan laksana disengat api. Sebenarnya Empu ini memiliki kesaktian yang membuat dia bisa bertahan tidak minum dan tidak makan selama empat puluh hari. Namun Racun Kala Merah yang berada dalam perutnya telah membuat dia menjadi sangat lemah.
Sang Empu menarik nafas dalam. Hidungnya mencium bau busuk. Memandang ke kiri dia melihat sebuah comberan. Bau busuk air hitam comberan itulah yang menusuk penciumannya. Lidah kelu diulur mengusap bibir kering.
“Agaknya hanya air comberan itu rejeki yang dapat kuminum…” Kata sang Empu dalam hati. Perlahan-lahan dia mencoba berdiri. Namun kakinya terpeleset. Sebelum jatuh tertelentang ke tanah, setengah sadar dia merasa ada angin menyambar lalu di depannya, sungguh tidak diduga muncul satu sosok putih. Sosok jerangkong.
“Tengkorak hidup… hantu… setan… mungkin juga penjaga neraka sudah datang menjemput diriku.” Ucap Empu Semirang Biru dalam hati. Dia hanya menunggu pasrah apa yang akan terjadi. Tangan kanan diselinapkan ke balik pakaian, menggenggam keris tak bergagang. Tiba­tiba jerangkong membungkuk, tangan kanan bergerak. Tahu-tahu sang Empu sudah berada di atas pundak kanan. Sekali dua kaki bergerak, wuutt! Jerangkong hidup melesat dan lenyap dalam kegelapan di arah timur Kotaraja.
***
DUA
EMPU Semirang Biru merasa ada orang menotok beberapa bagian tubuhnya. Lalu ada telapak tangan ditempel di kening dan dada. Sesaat kemudian dia merasa hawa sangat sejuk memasuki kaki, naik ke badan terus ke kepala. Sepasang mata yang sejak tadi setengah terpejam cepat-cepat dibuka. Bersamaan dengan itu rasa lemas tak berdaya yang sebelumnya dirasakan lenyap dengan seketika. Bahkan kakek berwajah tinggal kulit pembalut tulang ini bisa bergerak bangkit lalu duduk. Dia dapatkan diri berada di dalam satu ruangan batu pualam berwarna putih kelabu. Di sebelah kiri dia melihat satu pedataran pasir aneh yang seumur hidup baru kali itu disaksikannya. Pasir pedataran berwarna kuning, berkilau seperti emas.
Menoleh ke kanan sang Empu melihat seorang kakek bersorban dan berjubah kelabu serta berkasut putih. Kakek ini berdiri sambil rangkapkan dua tangan di atas dada. Wajahnya yang jernih tampak tersenyum. Sebaliknya wajah Empu Semirang Biru tampak mengerenyit. Ketika dia hendak membuka mulut bertanya, orang bersorban mendahului berkata.
“Empu Semirang Biru, kau berada dalam keletihan luar biasa. Tenggorokanmu laksana api dalam sekam. Teguklah minuman dalam cangkir ini lebih dulu…”
Empu Semirang Biru terkejut orang mengetahui namanya. Dia berpikir-pikir namun kakek bersorban di hadapannya telah mengulurkan tangan. Tangan yang tadi tidak ada apa-apanya itu tahu-tahu kini telah memegang sehelai cangkir porselen putih berisi air bening.
“Minumlah agar Empu sehat dan kuat kembali.
Minuman ini sekaligus akan melancarkan peredaran darah…”
Empu Semirang Biru sesaat merasa ragu. Apa betul orang berbaik hati hendak memberinya minum atau bermaksud meracuni. Tapi ingat pada Racun Kala Merah yang ada dalam tubuhnya sang Empu menjadi acuh. Cangkir putih diambil lalu cairan di dalamnya diteguk sampai habis. Begitu cairan habis sang cangkir lenyap dari pegangannya!
“Luar biasa…” Wajah Empu Semirang Biru tampak bercahaya. Dia pandai menyembunyikan rasa kagumnya. “Saya merasa segar. Kekuatan saya pulih kembali. Rasa haus lenyap dengan seketika.” Tapi ketika memandang ke arah pedataran pasir kuning wajah ahli pembuat senjata ini tampak agak tercekat.
“Empu Semirang Biru, kau tidak usah khawatir. Kau berada di tempat aman. Apakah kau masih mengenali diri saya?” Orang bersorban dan berjubah kelabu terbuat dari sutera bertanya.
Empu Semirang Biru bangkit berdiri. Tubuh agak membungkuk. Sejurus dia menatap orang di hadapannya sebelum berkata, “Sampean, bukankah kau… kau orang yang malam itu datang ke Puncak Gunung Bismo ketika saya tengah menempa keris pesanan Raja Mataram…”
“Betul.” Orang bersorban dan berjubah kelabu di hadapan sang Empu menjawab.
“Sampean yang memberi ilmu kesaktian hingga tangan saya berubah menjadi bara menyala. Hingga saya mampu menempa dan menyelesaikan pembuatan keris sakti perintah Yang Mulia Raja Mataram hanya dalam waktu tiga hari…”
Kakek bersorban tersenyum lalu anggukkan kepala.
Empu Semirang Biru terdiam, seperti berpikir mengingat-ingat. Lalu dia berkata, “Sampean, bukankah sampean kakek gagah bernama Kumara Gandamayana, orang utama kepercayaan Sri Maharaja Mataram?”
“Itu juga betul.” Kembali kakek bersorban menjawab.
Empu Semirang Biru ingat peristiwa di luar Ruang Segi Tiga Nyawa. Sosok Kumara Gandamayana muncul. Di dalam tubuhnya ternyata ketumpangan sosok Sinto Gendong guru Ksatria Panggilan yang disusupkan oleh Sinuhun Merah. Sang guru kemudian merobek dada muridnya, mengambil satu senjata berupa sebuah kapak.
Dalam hati Empu Semirang Biru membatin, “Kalau kakek di hadapanku ini juga makhluk susupan Sinuhun Merah, aku tidak perlu merasa khawatir. Tapi kalau…” Sang Empu menatap ke arah pedataran berpasir kuning emas lalu memperhatikan keadaan sekeliling ruangan.
“Sahabat Kumara Gandamayana, kalau sampean berada di sini, berarti ini adalah tempat rahasia di mana Sri Maharaja Mataram dan keluarga serta para pengikutnya berada. Saya sungguh bersyukur…”
Sepasang mata Kumara Gandamayana mengecil, menatap lekat-lekat ke arah sang Empu lalu bertanya, “Dari mana Empu mengetahui kalau ini tempat rahasia dan Raja Mataram berada di sini bersama keluarga dan para pengikutnya?”
“Harap maafkan kalau saya keliru. Saya hanya menduga. Karena saat ini saya membekal satu amanat tugas luar biasa penting. Tapi saya lebih dulu ingin tahu bagaimana saya bisa berada di sini. Padahal saya sudah setengah mati mencari dari siang sampai malam. Saya hampir meneguk air comberan saking haus luar biasa. Kalau saja sampean tahu dan mau menceritakan saya sangat berterima kasih.”
“Satu makhluk alam gaib menemukan Empu dekat rimba belantara di Prambanan. Dia membawa Empu ke tempat ini.” Menerangkan Kumara Gandamayana.
“Makhluk alam gaib?” Empu Semirang Biru kembali mengingat-ingat. “Sewaktu saya nyaris pingsan karena kelelahan dan kehausan, mendadak muncul satu sosok menyeramkan. Saya melihat tengkorak. Jerangkong hidup! Apakah makhluk itu yang sampean maksudkan dan yang telah menolong saya dan membawa ke tempat ini?”
“Benar.” jawab Kumara Gandamaya.
“Saya sangat bersyukur. Rupanya para Dewa telah mengulurkan pertolongan melalui jerangkong hidup itu untuk menolong saya. Tapi adalah aneh, mengapa makhluk jerangkong dari alam roh itu mau menolong saya. Apakah dia seseorang yang pernah saya kenal. Atau dia mengenal saya…”
Tiba-tiba ada suara mengiang di telinga kiri Empu Semirang Biru, “Empu tolol! Kau ditugaskan untuk mencari dan membunuh Raja Mataram. Bukan ngobrol panjang lebar dengan cecunguk kaki tangannya. Lekas laksanakan tugasmu!”
Wajah sang Empu berubah. Dia cepat mengusap muka. Namun sepasang mata Kumara Gandamayana tidak dapat ditipu. Kakek bersorban kelabu ini bertanya, “Ada apa Empu? Kau sepertinya…”
“Tidak, tidak ada apa-apa. Maaf, sampean belum menjawab pertanyaan saya tadi. Mengapa makhluk jerangkong hidup itu menolong saya.”
Kumara Gandamayana tersenyum. “Bukankah tadi Empu sendiri yang mengatakan bahwa itu adalah uluran tangan pertolongan para Dewa?” Orang kepercayaan Raja Mataram ini tidak mau menerangkan kalau jerangkong hidup itu sebenarnya adalah Emban Buyutnya sendiri yang bernama Lor Pengging Jumena.
Empu Semirang Biru usap janggut birunya lalu anggukkan kepala.
Kumara Gandamayana lantas berkata. “Sekarang beri tahu saya amanat tugas penting apa yang tengah Empu emban?”
Diam-diam Empu Semirang Biru mulai merasa khawatir kalau-kalau orang di hadapannya tahu apa yang tersembunyi di balik kehadirannya di tempat rahasia itu.
“Sahabat, saya percaya padamu. Terus terang saya datang membawa Keris Kanjeng Sepuh Pelangi. Untuk diserahkan kepada pemiliknya yang tunggal dan sah yaitu Yang Mulia Sri Maharaja Mataram Rakai Kayuwangi Dyah Lokapala.”
Kumara Gandamayana terkejut tapi sekaligus gembira. “Dewa Bathara Agung. Saya tidak menyangka. Ini satu peristiwa besar!”
“Waktu saya tidak lama. Bisakah saya menghadap Yang Mulia Raja saat ini juga?” Empu Semirang Biru berkata sambil dekapkan dua tangan di atas dada lalu membungkuk pertanda dia memohon dengan hormat tetapi sangat.
“Tentu saja. Tapi Empu, perbolehkan saya melihat keris sakti itu terlebih dulu.”
“Sahabat, mohon maaf sampean. Saya ingin memperlihatkan dan menyerahkan Keris Kanjeng Sepuh Pelangi langsung ke tangan Yang Mulia Sri Maharaja Mataram. Harap sampean tidak tersinggung…”
“Empu tidak mempercayai saya?” Tanya Kumara Gandamayana pula.
“Bukan tidak mempercayai. Saya justru sangat menghormat sampean.” Jawab Empu Semirang Biru sambil tersenyum lalu usap janggut yang berwarna biru.
Kumara Gandamayana terdiam sejenak. Kemudian dia berkata. “Kalau begitu keinginan Empu…”
“Maaf, ini bukan keinginan saya. Saya hanya menjalankan amanat”
Kumara Gandamayana tersenyum, “Baiklah, saya akan mengantarkan Empu menemui Yang Mulia Raja Mataram. Tapi sebelumnya saya ada satu pertanyaan.”
“Pertanyaan apa?” Tanya Empu Semirang Biru sambil meluruskan tubuh. Walau orang di hadapannya tampak tersenyum, namun dalam hati sang Empu merasa tidak senang.
***
TIGA
KUMARA Gandamayana rangkapkan dua tangan di depan dada. Suaranya tenang dan sabar ketika berkata. “Menurut kabar yang saya ketahui, Keris Sepuh Kanjeng Pelangi lenyap dicuri orang beberapa ketika setelah Empu menyelesaikan pembuatannya. Saat itu keris sakti masih belum bergagang dan bersarung.”
“Itu benar. Itu bukan merupakan rahasia lagi di Bhumi Mataram. Terutama di kalangan orang-orang Kerajaan dan orang-orang rimba persilatan.” Kata Empu Semirang Biru pula.
“Cerita selanjutnya yang saya ketahui, keris sakti berluk sembilan itu dicuri oleh seorang pertapa yang telah meninggal dunia. Sang pertapa bernama Sedayu Galiwardhana. Sinuhun Merah Penghisap Arwah berhasil mengeluarkannya dari alam roh, menguasai dan mengendalikan dirinya. Merubah ujudnya sebagai Raden Ageng Daksa palsu. Namun pertapa itu kemudian menemui ajal untuk kedua kali di Candi Kalasan sewaktu bentrokan dengan Ksatria Panggilan yang dibantu oleh beberapa tokoh perempuan, antaranya Ratu Randang.”
“Ah, sungguh satu cerita nyata luar biasa. Kalau sampean tidak menuturkan, saya tidak pernah tahu riwayat itu.” Berkata dusta Empu Semirang Biru.
“Yang ingin saya ketahui,” kata Kumara Gandamayana pula, “Bagaimana Keris Kanjeng Sepuh Pelangi tahu-tahu sekarang berada di tangan Empu dan katanya hendak diserahkan pada Yang Mulia Sri Maharaja Mataram.”
Empu Semirang Biru menatap dalam-dalam ke mata orang di hadapannya. Saat itulah dia kembali mendengar suara mengiang di telinga kiri, “Empu tolol! Lekas kau bunuh kakek bersorban yang banyak mulut dan banyak bertanya itu! Tampaknya dia akan menyusahkan dirimu. Bisa-bisa tugas utamamu tidak terlaksana! Jahanam! Dia telah menaruh curiga padamu!”
Suara mengiang itu adalah suara Sinuhun Merah Penghisap Arwah. Empu Semirang Biru menduga-duga di mana keberadaan Sinuhun Merah saat itu. Pasti tidak jauh di luar tempat rahasia itu. Kalau tidak, mana mungkin dengan kesaktiannya dia mengetahui apa yang tengah dibicarakan. Sekalipun sangat takut dan berada di bawah kendali Sinuhun Merah Penghisap Arwah namun Empu Semirang Biru saat itu punya jalan pikiran sendiri. Membunuh Kumara Gandamayana sama saja mencari kehebohan. Jika itu terjadi, niat utama untuk membunuh Raja Mataram mungkin tidak pernah kesampaian malah dia akan mendapat celaka. Maka sang Empu tidak melakukan apa yang diperintah Sinuhun Merah.
“Empu jahanam! Kau berani kurang ajar tidak melakukan apa yang aku perintah!” Suara ngiangan Sinuhun Merah menyumpah di telinga kiri Empu Semirang Biru. Sang Empu usap-usap rambutnya yang riap-riapan dan berusaha bersikap tenang.
“Sahabat Kumara Gandamayana, setelah pertapa Sedayu Galihwardhana terbunuh, para Dewa turun tangan menyelamatkan Keris Kanjeng Sepuh Pelangi. Senjata sakti yang bakal menjadi pusaka Kerajaan Mataram itu dimasukkan Para Dewa ke dalam satu ruangan bernama Ruang Segi Tiga Nyawa. Saya juga ikut dimasukkan untuk mengawasi. Saya hanya bisa menjaga karena saya tidak bisa menyentuh senjata itu. Sinuhun Merah Penghisap Arwah, dibantu oleh bocah sakti bernama Dirga Purana, walau tidak mampu menembus masuk ke dalam Ruang Segi Tiga Nyawa tapi mereka masih bisa menyusupkan ilmu-ilmu dahsyat ke dalam Keris Kanjeng Sepuh Pelangi. Siapa saja yang mendekati keris, apa lagi sampai menyentuhnya maka dari dalam keris akan menyambar petir dahsyat.”
“Lalu bagaimana sekarang keris itu bisa berada di tangan Empu?” Tanya Kumara Gandamayana.
“Cerita saya belum selesai,” jawab sang Empu. Lalu Empu ini menuturkan bagaimana dia meminta Empat Mayat Aneh menculik Sakuntaladewi alias Dewi Kaki Tunggal untuk dibawa menemuinya. Dia juga menceritakan kedatangan seorang gadis bernama Jaka Pesolek yang mampu menangkap petir yang memang sangat diharapkannya.
“Berkat pertolongan kedua orang itu, Keris Kanjeng Sepuh Pelangi berhasil diambil dari langit-langit ruangan dan diserahkan kepada saya.”
“Siapa yang menyerahkan?” Tanya Kumara Gandamayana pula.
“Nenek sakti bernama Ratu Randang.” Jawab Empu Semirang Biru. “Bukankah dia salah seorang pembantu kepercayaan Raja?”
“Betul, dia memang salah seorang pembantu kepercayaan Raja Mataram.” jawab Kumara Gandamayana.
Mulut berucap tapi pikiran dan hati sama bertanya­tanya. “Mengapa Ratu Randang menyerahkan keris pada Empu ini, tidak menyerahkan sendiri ke tangan Raja?”
“Selain Ratu Randang, Jaka Pesolek dan Sakuntaladewi, siapa lagi yang ada dalam Ruang Segi Tiga Nyawa?” Kumara Gandamayana bertanya hendak menguji apakah sang Empu akan menjawab jujur atau tidak.
“Seorang pemuda yang dikenal sebagai Ksatria Panggilan, lalu gadis berpakaian hijau bernama Kunti Ambiri…” Menjawab Empu Semirang Biru.
“Setelah menerima keris dari Ratu Randang, Empu langsung saja meninggalkan orang-orang itu?”
“Benar, karena saya merasa perlu harus bertindak cepat. Menyerahkan keris kepada Yang Mulia Raja Mataram. ‘‘ Empu Semirang Biru diam sesaat lalu bicara lagi “Sahabat Kumara Gandamayana, saya tidak bisa berlama­lama bicara denganmu di tempat ini. Mohon dimaafkan. Saya harus segera menyerahkan Keris Kanjeng Sepuh Pelangi pada Yang Mulia Raja Mataram. Saya mohon sampean segera mengantar saya menghadap beliau.”
“Empu Semirang Biru, harap kau bersabar menunggu di tempat ini. Saya akan memberi tahu kedatanganmu pada Raja Mataram.”
“Saya sangat berterima kasih.” kata Empu Semirang Biru sambil bungkukkan badan.
Tak selang berapa lama Kumara Gandamayana muncul kembali mengiringi seorang lelaki gagah berusia sekitar tiga puluh tahun, berpakaian sederhana. Rambut tergerai sebahu dan kumis serta janggut meranggas kasar.
Walau tidak mengenakan mahkota namun Empu Semirang Biru mengenali, orang yang melangkah di depan Kumara Gandamayana itu adalah Sri Maharaja Mataram Rakai Kayuwangi Dyah Lokapala.
Empu Semirang Biru cepat-cepat berlutut susuk dua tangan di atas kepala seraya berkata. “Salam hormat saya untuk Sri Maharaja Mataram. Mohon dimaafkan kalau kedatangan saya telah mengganggu ketenteraman Yang Mulia.”
“Empu Semirang Biru, berdirilah. Lama saya tidak mendengar kabar tentang dirimu. Saya lihat Empu tidak kurang suatu apa. Apa benar Empu datang untuk menyerahkan Keris Kanjeng Sepuh Pelangi seperti yang diberitahukan kakek Kumara Gandamayana?”
Empu Semirang Biru rundukkan kepala hingga kening hampir menyentuh lantai
“Mohon maaf Yang Mulia. Keris sakti hilang dirampas orang ketika masih berada di tangan saya. Saya merasa sangat bertanggung jawab untuk menemukannya kembali. Para Dewa telah menolong saya. Saya berhasil mendapatkan keris dan saya merasa punya kewajiban untuk menyerahkan ke tangan Yang Mulia”
“Kalau begitu perlihatkanlah keris sakti itu. Empu boleh menyerahkan kepada saya sekarang juga.” Kata Raja Mataram pula.
Empu Semirang Biru bangkit berdiri. Dari balik pakaiannya dia keluarkan sebuah benda yang dibungkus kain putih. Kain pembungkus di buka. Kelihatan sebilah keris berluk sembilan tidak bergagang. Selarik sinar merah kehitaman menyelubungi keris mulai dari ujung yang lancip di sebelah atas sampai ke bagian gagang di sebelah bawah.
Raja Mataram perhatikan senjata itu sejenak. Sebelumnya dia memang tidak pernah melihat ujud Keris Kanjeng Sepuh Pelangi yang dimintanya sang Empu untuk membuat. Raja ulurkan tangan namun tiba-tiba dia melihat Kumara Gandamayana yang sengaja berpindah tegak ke hadapannya gelengkan kepala perlahan sembari kedipkan mata. Walau tidak mengerti apa maksud isyarat yang diberikan kakek pembantu kepercayaannya itu, namun Raja Mataram serta merta tarik dua tangannya yang barusan diulur.
“Yang Mulia,” Empu Semirang Biru berkata. “Sekali lagi saya mohon maaf atas kelalaian hingga keris sakti ini sampai dicuri orang. Mudah-mudahan dengan bantuan serta kesaktian keris ini Yang Mulia mampu keluar dari semua kesulitan dan memimpin Bhumi Mataram kembali. Saya mohon Yang Mulia sudi menerima Keris Kanjeng Sepuh Pelangi ini…”
Empu Semirang Biru tundukkan kepala, maju dua langkah sambil ulurkan dua tangan. Bagian pertengahan keris sampai ke ujung lancip diletakkan di atas telapak tangan kiri. Tangan kanan menggenggam gagang senjata.
“Empu Semirang Biru! Tetap di tempatmu! Jangan berani bergerak! Berikan keris padaku!” Tiba-tiba Kumala Gandamayana membentak.
***
EMPAT
SAHABAT Kumara Gandamayana, ada apakah…?” Bertanya Empu Semirang Biru sambil kepala dipalingkan sedikit. Tapi dua kaki terus saja melangkah. Dan tiba-tiba sekali, tangan yang menggenggam gagang keris laksana kilat bergerak. Cahaya merah kehitaman yang tadinya redup membungkus keris tiba-tiba memancar terang. Ujung keris berkiblat ke arah dada kiri Raja Mataram.
Secepat yang bisa dilakukan Kumara Gandamayana melompat ke depan mendorong Raja Mataram. Raja terjengkang jatuh tapi selamat dari tusukan keris yang mengarah dada. Sebaliknya mata keris menyambar ke arah lengan kiri Kumara Gandamayana yang menghalang.
Brettt! Crass!
Lengan jubah kiri Kumara Gandamayana robek besar. Kulit dan daging lengan ikut terluka. Darah mengucur tapi tidak berwarna merah pertanda ada racun yang bekerja sangat cepat.
Gagal dengan serangan pertama menikam ke arah dada Raja, Empu Semirang Biru keluarkan suara menggereng seperti raungan anjing terluka lalu membuat gerakan melompat terjun ke arah Raja Mataram yang saat itu tengah berusaha berdiri. Keris di tangan kanan ditikamkan ke arah tenggorokan Raja. Namun sebelum keris palsu mengandung racun Cakar Sukma Merah yang mematikan itu menancap di leher Raja, Kumara Gandamayana telah terlebih dulu melompat ke hadapan sang Empu. Dua tangan yang saat itu telah berubah menjadi merah laksana bara menyambar ke arah leher.
“Kakek Kumara, jangan bunuh Empu itu!” Tiba-tiba Raja berteriak. “Saya punya dugaan dia hendak membunuh saya bukan maunya! Saya mencium bau kemenyan dalam hembusan nafasnya! Ada satu kekuatan menguasai dirinya!”
Mendengar teriakan Raja, Kumara Gandamayana tidak mau meneruskan serangan dua tangan mautnya namun dia juga tidak ingin sang Empu menimbulkan bencana lanjutan. Maka sambil membuat gerakan setengah merunduk, Kumara Gandamayana hantamkan kaki kanannya ke arah perut Empu Semirang Biru.
“Makhluk biru! Siapapun kau adanya lekas pergi dari sini! Jangan berani kembali. Bersyukurlah Raja Mataram telah memberi pengampunan!”
Wuttt!
Tendangan kaki kanan Kumara Gandamayana berkelebat. Selarik sinar kelabu mendahului tendangan, membuat tubuh Empu Semirang Biru tergontai-gontai. Lalu,
Bukkk!
Kali kedua tendangan kaki kanan Kumara Gandamayana mendarat telak di pertengahan perut Empu Semirang Biru. Sosok sang Empu mencelat menghantam atap batu pualam lalu terpental kembali jatuh ke bawah. Darah menyembur dari mulut. Walau cidera hebat seperti itu, namun keris Kanjeng Sepuh Pelangi palsu masih tergenggam erat di tangan kanan. Selagi tubuh Empu Semirang Biru melayang jatuh ke bawah, Kumara Gandamayana tanggalkan sorban kelabu di atas kepala. Sekali mengebut, sorban berkelebat manggulung tubuh sang Empu. Begitu sorban disentakkan dalam gerak jurus ilmu Selendang Dewa Menutup Bahala, untuk kedua kalinya tubuh Empu Semirang Biru mencalat ke atas langit-langit ruangan. Hanya saja sekali ini langit-langit jebol dan sosok sang Empu melesat lenyap tak kelihatan lagi!
“Kakek Kumara Gandamayana, terima kasih kau telah menyelamatkan saya” Raja Mataram berkata sambil melangkah menghampiri. “Seharusnya tadi kita merampas Keris Kanjeng Sepuh Pelangi dari tangan Empu itu.”
“Tidak ada gunanya Yang Mulia,” jawab Kumara Gandamayana sambil merobek lengan kiri jubahnya. Tangan yang tersingkap nampak melembung hitam dan darah masih mengucur.
“Mengapa Kakek berkata begitu?” Tanya Raja Mataram.
“Keris yang dibawa Empu itu adalah keris palsu. Bukan keris Kanjeng Sepuh Pelangi.”
Raja Mataram tercengang karena tidak menyangka. “Walau keris palsu tapi agaknya mengandung racun jahat. Kau harus cepat mengobati luka di tangan kirimu itu.”
“Akan saya lakukan. Tapi saya tidak pasti apakah ada obat yang bisa saya temui dan bisa segera menyembuhkan. Tubuh saya terasa panas. Saya tidak tahu berapa lama saya bisa bertahan.” Kumara Gandamayana lalu totok urat besar di beberapa bagian tubuhnya.
***
EMPU Semirang Biru terkapar tertelentang di satu tempat yang tidak diketahuinya di mana. Setelah mengerang panjang pendek dan mengusap darah yang masih mengucur di sela bibir dia berusaha bangun. Tangan kiri menopang tanah, tangan kanan masih memegang keris. Baru saja dia mampu berdiri sambil bersandar ke satu batang pohon tiba-tiba tiga orang melayang melompat dari semak belukar tinggi di hadapannya. Mereka ternyata adalah Sinuhun Merah Penghisap Arwah, Sinuhun Muda Ghama Karadipa dan Ksatria Roh Jemputan alis Pangeran Matahari.
“Empu tolol sialan! Kau tidak mampu membunuh Raja Mataram!” Berteriak Sinuhun Merah Penghisap Arwah. “Kau tahu apa artinya ini?!”
Empu Semirang Biru jatuhkan diri berlutut meratap minta ampun, “Sinuhun mohon maafmu. Saya dihadang oleh kakek sakti bernama Kumara Gandamayana.”
Plaakkk!
Satu tamparan keras yang dilayangkan Sinuhun Muda Ghama Karadipa membuat kepala Empu Semirang Biru terpelanting ke kiri dan darah mengucur dari mulutnya yang pecah.
“Aku menyuruh kau membunuh kakek itu, tidak kau lakukan! Sekarang kau rasakan sendiri akibatnya!” Hardik Sinuhun Merah. Lalu dia membentak “Ketika kau di ruang rahasia di mana tempat Raja keparat itu berada kau tahu di mana letak tempat itu?!”
“Saya tidak tahu Sinuhun. Saya hanya tahu ada satu makhluk berupa jerangkong putih yang membawa saya ke sana…”
Piaakkk!
Satu tamparan kembali lagi mendarat di pipi Empu Semirang Biru.
“Kami tidak menanyakan siapa yang membawamu ke sana, Empu tolol! Goblok!” Yang menampar dan menghardik lagi-lagi adalah Sinuhun Muda Ghama Karadipa.
“Saya mohon ampunan Sinuhun berdua. Saya mohon diberi obat pemusnah Racun Sukma Merah…”
Sinuhun Merah dan Sinuhun Muda sama-sama tersenyum. Sinuhun Merah berpaling pada Ksatria Roh Jemputan lalu anggukkan kepala. Melihat isyarat ini Ksatria Roh Jemputan segera melangkah mendekati si Empu.
“Empu, kau harus bersyukur dua sinuhun berbaik hati mengampuni selembar nyawamu. Sebelum kau diberikan obat pemusnah Racun Sukma Merah, harap keris yang kau pegang diserahkan dulu padaku…”
Percaya pada ucapan orang, Empu Semirang Biru ulurkan tangan kanan yang sejak tadi menggenggam Keris Kanjeng Sepuh Pelangi palsu. Begitu tangan diulurkan Ksatria Roh Jemputan bukannya mengambil keris itu tapi malah menggenggam kuat-kuat tangan kanan sang Empu, tangan kiri menekan siku lalu secepat kilat dengan kekuatan penuh dia balikkan ujung keris dan, blesss!
Empu Semirang Biru keluarkan jeritan keras. Mata mencelet. Mulut semburkan darah begitu keris menancap di dada kirinya, langsung menembus jantung. Perlahan­lahan tubuh berselempang kain putih itu tergelimpang di tanah. Dua kaki melejang-lejang. Begitu Racun Sukma Merah membanjiri jantung dan mengalir di seluruh jalan darahnya, tak ampun lagi ahli pembuat senjata sakti ini meregang nyawa dalam keadaan sangat mengenaskan.
“Empu tolol! Menjauh dari pandangan mataku!” Bentak Sinuhun Merah Penghisap Arwah. Kaki kanan ditendangkan ke tubuh orang. Sosok sang Empu mencelat jauh di atas permukaan rimba belantara.
***
LIMA
WAJAH tampan anak lelaki usia dua belas tahun yang tengah duduk khidmat bersemedi tampak tenang bercahaya ketika dalam pandangan mata di alam gaib semedi dia melihat langit malam bertabur bintang. Hembusan angin meniup sekelompok awan putih, perlahan-lahan menyingkap rembulan yang sejak tadi tertutup. Ada keanehan. Bulan purnama bulat penuh yang tampak di langit berwarna biru bersih. Lalu entah dari mana datangnya bermunculan sosok sembilan orang-orang tua berpakaian serba putih. Lima orang lelaki, empat orang perempuan. Mereka berputar-putar di arah rembulan. Yang lelaki susun dua tangan di atas kepala sambil merapal bacaan suci Kitab Weda. Yang perempuan menebar bebungaan. Semua apa yang terlihat di ruang pandangan mata alam gaib anak lelaki yang tengah bersemedi, harum mewangi tebaran bunga itu mendatangkan rasa sejuk. Sayup-sayup terdengar suara-suara nyanyian perempuan, mendayu berhiba-hiba.
Alam gaib dan keajaiban
Adalah kuasa Para Dewa di Kahyangan Swargaloka
Jika ummat berputih hati
Bertobat dari segala kesalahan
Maka Yang Maha Kuasa menjanjikan
Bulan Biru di langit Mataram
Jika kejahatan terpaksa ditumpas,
dengan air mata dan darah
Yang Maha Kuasa masih akan tetap menepati janji
Bulan Biru di langit Mataram
Mendadak wajah bercahaya dan berseri anak lelaki yang bersemedi di atas batu berubah redup. Pertanda ada yang mempengaruhi perasaan hati dan jalan pikiran. Perhatiannya terpecah. Lapat-lapat di kejauhan terdengar genta suara lonceng. Dengan segala kemampuan yang ada anak lelaki itu berusaha bertahan agar semedi tidak terputus. Namun ketika satu cahaya kuning berkiblat terang lalu lenyap di depan sepasang matanya yang terpejam, anak ini tak sanggup lagi bertahan. Bulan purnama biru lenyap. Langit terkembang dan bintang-bintang sirna. Begitu juga suara nyanyian dan sosok sembilan orang tua.
Wajah dan sekujur tubuh si anak basah oleh keringat, tembus sampai ke pakaian hitam yang dikenakan. Anting-anting emas di telinga kanan berpijar benderang, membuat daun telinganya terasa panas. Batu tempat dia duduk bersila yang tadinya hangat mendadak berubah dingin. Lalu ada hawa aneh membersit dari dalam batu memasuki tubuh. Begitu menembus kepala yang tertutup rambut tebal hitam, asap kuning mengepul. Seperti disentak oleh satu kekuatan dahsyat, sepasang mata membuka nyalang.
“Hyang Jagat Bathara Agung, apa yang terjadi hingga samadi saya terputus begini rupa? Adakah saya berbuat kesalahan hingga samadi tidak bisa dirampungkan?” Anak lelaki itu merenung dan bertanya dalam hati. Dia lebih dulu melihat ke dalam diri sendiri, tidak berprasangka menaruh curiga pada hal buruk yang datang dari luar. Satu pertanda anak ini memiliki rasa timbang bijaksana serta budi yang tinggi.
Ketika dia mengusap keringat di kening mendadak ada suara ngeongan kucing mengiang di telinga. Disusul jeritan menyerupai suara raungan anjing di kejauhan.
Anak lelaki di atas batu kembali merenung. Perlahan­lahan mulut berucap. “Yang Maha Kuasa memberi dua pertanda. Pertama bulan purnama biru di langit. Sembilan orang tua dan tebaran bunga. Ada suara nyanyian. Pertanda kedua, gema suara lonceng, kilau cahaya kuning, suara ngeongan kucing dan jeritan menyerupai lolongan anjing di malam buta, hawa aneh dari dalam batu, hawa panas di telinga kananku. Sesuatu tengah terjadi di luar sana. Mungkinkah…”
Mendadak sebuah benda melayang di udara dan, bluukkk!
Satu sosok berselempang kain putih tergelimpang jatuh di hadapan si anak lelaki. Ketika diperhatikan ternyata sosok seorang kakek kurus, berambut biru riap-riapan. Muka laksana tengkorak karena tinggal kulit pembalut tulang. Mulut pecah. Kumis, janggut serta alis juga berwarna biru. Sepasang mata terbeliak tak berkedip!
Anak lelaki di atas batu menatap beberapa jurus tanpa rasa takut. Hanya kening tampak mengerenyit dan sepasang alis tebal bergerak naik. Lalu mulutnya berucap, “Orang tua, apakah saya mengenal dirimu? Kalau tidak salah saya menduga, bukankah kau Empu sakti dari Gunung Bismo, bernama Empu Semirang Biru? Wahai, nasib buruk apa yang membawamu jatuh di hadapan saya dalam keadaan begini rupa? Pertanda apa…”
Ucapan si anak lelaki terhenti. Gerakannya bangkit berdiri setengah tertahan ketika dua matanya yang besar bening melihat sebilah keris tidak bergagang dan memancarkan warna redup hitam, menancap tepat di dada kiri si orang tua. Kain putih yang jadi pakaian dan hampir seluruh tubuhnya basah oleh lumuran darah.
Anak lelaki di atas batu tarik nafas dalam dan panjang. Wajah tampak redup. Mata dipejam sesaat, kepala digeleng. “Orang tua malang, nyawamu telah tiada. Agaknya kau menemui ajal di luar wajar. Saya hanya bisa berduka. Saya tidak mungkin menolongmu…”
Perlahan-lahan dengan tangan kanannya anak lelaki itu mengusap sepasang mata nyalang jenazah Empu Semirang Biru hingga menutup.
Mendadak di kejauhan kembali dia mendengar suara lonceng, lalu riuh suara mengeong disertai jeritan seperti lolongan anjing. Bayangan cahaya kuning muncul lagi di pelupuk matanya.
“Empu, saya harus pergi. Tanda yang diberikan oleh Para Dewa kali ini sudah cukup jelas. Saudara saya dalam bahaya. Maafkan kalau saya tidak bisa mengurus jenazahmu. Mudah-mudahan akan ada orang menemuimu di sini…”
Setelah menatap cukup lama pada keris tak bergagang yang menancap di dada kiri sang Empu anak lelaki itu berdiri dengan cepat. Sebelum pergi dia kembangkan telapak tangan, di arahkan ke jenazah Empu Semirang Biru.
Selarik cahaya kuning menebar hawa luar biasa dingin melesat keluar dari telapak tangan. Begitu menyentuh sosok jenazah maka sekujur jenazah diselubungi lapisan kuning mengepulkan asap dingin.
“Salju Kuning. Semoga jenazahmu tetap utuh sampai ada orang menemui. Selamat tinggal Empu.”
Anak lelaki berpakaian hitam beranting emas di telinga kanan menatap ke langit. Dalam hati anak ini membatin, “Kanda Dirga Purana aku adikmu Mimba Purana mendengar suara jeritanmu. Bukan dalam suara manusia. Tapi suara raungan anjing. Aku mendengar suara binatang peliharaanmu mengeong riuh. Apa yang terjadi denganmu?! Apa ada kesulitan tengah kau alami yang berhubungan dengan kematian Empu ini…?”
Perlahan-lahan dua kaki berkasut kulit kayu bergerak ke atas lalu wuuttt! Sosok anak ini melesat masuk ke dalam gumpalan awan, lenyap dari pemandangan.
***
ENAM
DALAM buku sebelumnya berjudul “Delapan Pocong Menari” diceritakan bahwa Selir Kesatu Penguasa Atap Langit Ken Parantili memberitahu kepada Wiro di mana beradanya Ni Gatri. Menurut Ken Parantili gadis berusia empat belas tahun itu diancam bahaya besar, disekap oleh bocah sakti Dirga Purana di sebuah goa, terlindung oleh air terjun di dekat sebuah telaga. Sang selir juga menceritakan kalau Ratu Randang mengetahui letak goa tersebut. Tidak menunggu lebih lama, setelah Ken Parantili melenyapkan diri melalui Terowongan Arwah, dipimpin oleh Ratu Randang, Pendekar 212 Wiro Sableng, Kunti Ambiri, Sakuntaladewi dan Jaka Pesolek segera menuju ke kawasan di mana beradanya goa di balik air terjun.
Tidak disangka, Sinuhun Merah Penghisap Arwah telah terlebih dulu berada di tempat itu, tengah berjaga-jaga sementara Dirga Purana berada di dalam goa bersama Ni Gatri. Karena diejek dan dipermainkan oleh kelima orang itu, Sinuhun Merah Penghisap Arwah kena dipancing oleh Kunti Ambiri. Dia menyerang Wiro dengan pukulan Delapan Sukma Merah dan menghantam Ratu Randang dengan ilmu Delapan Arwah Sesat Menembus Langit. Semua serangan mencuatkan sinar merah.
Begitu diserang Wiro segera berteriak memberi tahu pada kawan-kawan untuk membalas serangan Sinuhun Merah dengan serangan balik berupa ilmu penangkal dahsyat sebagaimana yang diajarkan Ken Parantili padanya. Maka didahului oleh Wiro, Kunti Ambiri, Ratu Randang dan Sakuntaladewi segera tancapkan delapan jari tangan kiri kanan masing-masing ke bebatuan yang ada di sekitar telaga. Empat jari saja kehebatan daya penangkalnya bukan olah-olah. Apa lagi saat itu tiga puluh dua jari sekaligus ditancapkan ke batu. Enam belas serangan berupa cahaya merah yang dilepas Sinuhun Merah berbalik menyerang dirinya sendiri. Tak ampun lagi sosok makhluk alam roh itu meletus keras, hancur tercabik-cabik. Anggota badan terkutung-kutung. Belahan kepala mengapung di permukaan air telaga!
Pada saat itu anehnya terdengar teriakan Sinuhun Merah Penghisap Arwah memanggil nyawa kembarannya agar menjemput rohnya. Sang saudara nyawa kembar yaitu Sinuhun Muda Ghama Karadipa kemudian memang muncul sambil mengembangkan dua tangan. Lalu terjadi keanehan kedua. Semua kutungan tubuh, belahan kepala, cabikan daging dan hancuran tulang belulang Sinuhun Merah Penghisap Arwah laksana disedot melayang ke udara, bergabung membentuk sosok samar lalu masuk menyatu ke dalam tubuh Sinuhun Muda Ghama Karadipa.
Wiro berusaha menghantam Sinuhun Muda dengan Pukulan Sinar Matahari namun lelaki muda berpakaian dan berikat kepala hijau itu telah lebih cepat berhasil melarikan diri setelah meneriakkan ancaman akan melakukan pembalasan terhadap Wiro dan kawan-kawan. Tak lama kemudian dari dalam goa, menembus celah terbuka air terjun melesat keluar delapan ekor anak kucing merah. Delapan Sukma Merah! Binatang-binatang ini langsung menyerang. Ketika semua orang siap hendak menghantam, muncul bocah sakti Dirga Purana sambil mencekik leher Ni Gatri. Lima jari tangannya yang mencekik nampak berubah sangat besar. Dirga Purana mengancam akan membunuh Ni Gatri kalau ada yang berani menyerang delapan ekor anak kucing berbulu merah. Dengan sombongnya dia menyuruh semua orang meninggalkan tempat itu sementara Wiro dipaksa bunuh diri dengan membenturkan kepala ke tebing batu.
“Laknat jahanam!” Rutuk Wiro
Kutuk serapah Wiro dibalas dengan teriakan keras oleh Dirga Purana, ditujukan pada delapan ekor anak kucing peliharaannya.
“Rakanda! Orang berkeras kepala! Lanjutkan rencana semula! Bunuh mereka semua!”
Didahului suara mengeong keras, delapan anak kucing siap menyerang. Namun pada saat itu delapan bunga matahari kecil yang ada pada Wiro mendadak berubah dan muncullah delapan pocong berwajah polos. Delapan Pocong Menari! Sambil menari, dari sela dua telapak tangannya delapan pocong melepas delapan ekor anak kucing betina gemuk berbulu putih. Begitu melihat kehadiran delapan anak kucing betina putih yang montok­montok, delapan anak kucing merah langsung mengeong riuh, melompat mendatangi, mencium dan menjilati.
Dirga Purana berteriak keras ketakutan ketika dia melihat delapan kucing peliharaannya menunggangi delapan kucing putih.
“Celaka! Celaka besar! Pantangan besar telah dilanggar!”
Dirga Purana berteriak berulang kali memanggil delapan anak kucing merah. Menyuruh mereka masuk kembali ke dalam goa. Tapi binatang-binatang itu tidak perduli. Mereka lebih asyik menggeluti delapan anak kucing putih. Sadar bahaya besar yang akan mengancam sementara dia tidak bisa berbuat apa-apa, tanpa perdulikan lagi Ni Gatri yang saat itu jatuh terguling di kaki tebing batu di pinggir telaga, didahului teriakan berupa lolongan anjing Dirga Purana melesat ke udara, maksudnya segera masuk ke dalam goa lewat celah di pertengahan air terjun yang masih berhenti mencurah. Namun kaget sang bocah bukan alang kepalang ketika dapatkan dirinya telah dikelilingi oleh Wiro, Ratu Randang, Jaka Pesolek, Kunti Ambiri dan Sakuntaladewi.
“Bocah keparat! Apa yang telah kau lakukan pada Ni Gatri!” Bentak Wiro.
Dirga Purana menyeringai. “Anak perempuan itu ada di sana. Mengapa tidak kau tanya langsung padanya? Pasti dia akan bercerita bagaimana enaknya ketika aku membelai tubuhnya. Ha… ha… ha!”
“Bangsat kurang ajar!” Wiro langsung menggebuk dengan Pukulan Tangan Dewa Menghantam Batu Karang. Sikutan diarahkan ke kepala Dirga Purana pertanda dalam marah yang menggelegak sang pendekar ingin menghabisi si anak saat itu juga.
Sementara semua orang siap menyerang Dirga Purana, Jaka Pesolek yang memang tidak memiliki ilmu silat apa lagi pukulan sakti palingkan kepala ke arah tebing batu di tepi telaga. Melihat sosok Ni Gatri yang tergeletak di tanah gadis ini merasa perlu segera menolong anak itu. Secepat kilat dia melompat ke arah tebing. Namun selagi tubuhnya masih melayang di atas telaga tiba-tiba seseorang bermantel hitam muncul dari balik tebing, langsung menyambar tubuh Ni Gatri. Dalam sekejap saja orang itu telah lenyap di arah timur. Jaka pesolek tidak tinggal diam. Dengan kemampuannya bergerak laksana kilat dia segera melesat ke atas tebing. Dari sini terus melakukan pengejaran. Namun sambaran cahaya tiga warna yang tiba-tiba menyerang dari arah depan membuatnya cepat-cepat selamatkan diri.
Ketika bagian atas tebing batu tempat tadi dia berdiri hancur berkeping-keping disertai kobaran api dan kepulan asap, Jaka Pesolek telah lebih dulu melesat ke satu pohon tinggi.
Wajah gadis ini tampak pucat, tengkuk terasa dingin. Karena sekejap saja dia terlambat pasti dia sudah menemui ajal dengan tubuh tak karuan rupa.
“Gila! Aku seperti mau kencing tapi tidak bisa!” Jaka Pesolek memaki sendiri dalam hati “Aku harus menolong anak itu. Orang bermantel walau aku tidak melihat mukanya, aku menduga pasti dia hendak mencabuli anak itu. Kasihan Ni Gatri. Jangan-jangan sebelumnya anak itu sudah…”
Walau takut namun Jaka Pesolek kembali melanjutkan pengejaran ke arah timur.
***
TUJUH
KEMBALI ke telaga di depan air terjun. Ketika dirinya diserang Pendekar 212, Dirga Purana tidak berusaha menghindar atau menangkis. Dengan sikap menantang anak usia dua belas tahun berpakaian mewah ini berkacak pinggang sunggingkan senyum mengejek. Wiro jadi geram langsung kerahkan seluruh tenaga dalam yang dimiliki. Jangankan kepala seorang bocah seperti Dirga Purana, batu sebesar rumahpun akan hancur luluh dihantam pukulan Tangan Dewa Menghantam Batu Karang warisan Datuk Rao Basaluang Ameh yang bersumber pada Kitab Putih Wasiat Dewa.
Hanya setengah jengkal pukulan maut akan mendarat di batok kepala Dirga Purana, tiba-tiba satu cahaya kuning bening melesat keluar dari tubuh anak itu. Walau pukulannya terus menderu tanpa halangan namun saat itu Wiro merasa sekujur tubuhnya panas kesemutan.
Bukkk!
Pukulan Tangan Dewa Menghantam Batu Karang saling bentrokan dengan sinar kuning bening yang melindungi Dirga Purana. Wiro menjerit keras. Ratu Randang, Kunti Ambiri dan Sakuntaladewi terpekik. Wiro hampir terjengkang jatuh ke dalam telaga kalau tidak cepat mengimbangi diri. Dia melihat tangan kanannya bengkak melepuh sampai pergelangan. Jangankan untuk melancarkan serangan susulan, digerakkan saja tangan itu sakitnya bukan kepalang. Seumur hidup baru kali ini dia mengalami cidera dan rasa sakit seperti itu.
Ratu Randang usap wajahnya yang pucat. Mata juling menatap tak berkesip. “Bocah itu! Dia punya Ilmu Mega Kuning Sujud Ke Bumi!” Si nenek cepat salurkan suara mengiang ke telinga Pendekar 212. “Wiro! Selama dua kaki anak itu menginjak bumi, tidak satu ilmu kesaktianpun bisa menciderai apa lagi membunuhnya! Kau harus menghajarnya pada saat dua kakinya tidak menginjak tanah, batu, air atau apa saja yang berhubungan dengan bumi! Aku akan mengangkat anak itu ke udara. Syukur­syukur bisa melemparnya. Nanti kau cepat menggebuknya!”
Wiro berpaling ke arah Ratu Randang. Tangannya yang bengkak melepuh terasa seberat gundukan batu besar. Sambil menahan sakit tubuhnya tertarik ke bawah hingga dia jatuh setengah berlutut di atas batu di tengah telaga. Dengan tangan kiri Wiro menotok urat besar di pundak dan di atas siku sambil alirkan hawa sakti.
“Celaka! Ditotok malah tanganku terasa seperti digarang api!” Wiro mengerenyit menahan sakit. Karena tidak tahan hawa panas yang menyelubungi tangan dan seluruh tubuhnya Wiro bermaksud hendak menceburkan diri saja ke dalam telaga. Tiba-tiba ada suara beberapa orang perempuan yang berucap berbarengan.
“Percuma mencebur ke dalam telaga. Cidera di tangan tidak akan sembuh…”
“Siapa yang bicara?” Wiro bertanya dengan suara tertahan.
“Jangan khawatir kami akan menolongmu. Tapi kami tidak lagi bisa menampakkan diri dengan kehendak kami sendiri…”
“Delapan bunga matahari. Delapan Pocong Menari!” Dengan tangan kiri Wiro pegang pinggang pakaiannya di balik mana dia menyimpan delapan bunga matahari kecil. Saat itu juga dia merasa ada hawa sejuk mengalir di dalam tubuh, bergerak menuju ke tangan kanan. Lima jari berpijar. Telapak tangan berdenyut dan ajaib, sesaat kemudian bengkak melepuh di tangan kanan sirna tidak berbekas. Hawa panas di sekujur tubuh ikut lenyap.
Di tepi telaga Dirga Purana tertawa gelak-gelak. Dia tidak memperhatikan dan tidak tahu kalau saat itu cidera di tangan Wiro telah lenyap.
“Jauh-jauh dipanggil dari negeri delapan ratus tahun mendatang ternyata ilmumu hanya setetek comberan!” Si bocah tertawa lagi lalu meludah sampai tiga kali. Setelah itu dengan cepat dia berkelebat ke arah delapan anak kucing putih yang tengah ditunggangi oleh delapan anak kucing merah peliharaannya.
“Makhluk pembawa bahala! Mampus kalian semua!”
Satu demi satu anak kucing putih ditendang hingga terpental jauh. Setelah mengeong kesakitan secara aneh delapan anak kucing putih berubah menjadi asap lalu lenyap!
Melihat delapan anak kucing putih ditendang dan lenyap entah ke mana, delapan kucing merah yang merasa diputus kenikmatannya menjadi marah dan kalap. Mereka menggerung keras. Taring dan kuku langsung mencuat. Siap menyerang Dirga Purana!
“Makhluk keparat! Kalian berani kurang ajar hendak menyerangku!” Dirga Purana membentak marah. Dua tangan digerakkan demikian rupa seperti orang tengah membuntal sesuatu. Saat itu juga bergemerlap cahaya merah disertai suara bergemerincing. Satu rantai panjang berwarna merah bergulung di udara, Rantai Kepala Arwah Kaki Roh!
Dengan sangat cepat rantai meliuk melibat tubuh delapan anak kucing merah. Binatang-binatang itu mengeong keras. Coba memutus rantai besi dengan gigitan dan cakaran tetapi tidak berhasil.
“Masuk ke dalam goa!” Bentak Dirga Purana sambil kebutkan tangan kanan ke arah delapan anak kucing merah yang tidak berdaya dan ada dalam gulungan rantai. Saat itu juga gulungan rantai melesat ke udara, siap masuk ke dalam goa melewati di antara celah air terjun yang sampai saat itu masih menggantung di udara!
“Nek!” Tiba-tiba Sakuntaladewi berkata pada Ratu Randang. “Lekas bunuh delapan anak kucing merah. Pergunakan Keris Kanjeng Sepuh Pelangi yang ada padamu! Jika tidak dibunuh, dalam tempo dua puluh satu hari kelak Sinuhun Merah Penghisap Arwah akan muncul kembali karena sesungguhnya roh atau jiwanya terpecah dalam sosok delapan anak kucing merah itu!” (Hal ini telah pernah diberitahu Sakuntaladewi kepada Pendekar 212 dan kawan-kawan sebelumnya. Baca “Sesajen Atap Langit”)
Ratu Randang tersentak kaget. Tidak banyak menunggu ataupun bertanya si nenek segera keluarkan Keris Kanjeng Sepuh Pelangi asli dari balik pakaian, membuka kain yang membungkus senjata. Begitu keris sakti tergenggam di tangan, si nenek merasa tubuhnya luar biasa enteng dan ada hawa sejuk di kepala dan hawa hangat di pertengahan dada. Secepat kilat Ratu Randang melesat ke udara.
Cahaya biru berkiblat dari badan keris. Kemudian ikut memancar sembilan cahaya aneh menyerupai cahaya pelangi.
Traangg! Traangg!
Rantai Kepala Arwah Kaki Roh putus berdentrangan di enam bagian. Delapan anak kucing merah yang merasa bebas mengeong keras lalu menghambur laksana terbang ke arah celah air terjun. Ratu Randang tidak mau memberi hati. Membunuh delapan anak kucing itu bukan saja berarti membunuh delapan binatang jahat tapi sekaligus menghabisi delapan pecahan roh Sinuhun Merah Penghisap Arwah yang mendekam di dalam tubuh mereka dan suatu ketika akan keluar lagi, muncul di Bhumi Mataram untuk berbuat berbagai macam kejahatan yang lebih dahsyat!
Keris Kanjeng Sepuh Pelangi membeset di udara. Tidak mengeluarkan suara menderu, tidak menimbulkan angin, tapi mencuatkan cahaya tujuh pelangi dan sembilan luk. Delapan anak kucing berbulu merah yang tengah mengeong keras mendadak bungkam. Tubuh mereka mengapung tak bergerak. Dirga Purana berteriak kaget melihat apa yang terjadi.
Hanya dalam bilangan kejapan mata saja delapan binatang peliharaannya itu akan menemui ajal dibantai keris sakti, si bocah cepat dorong dua tangan ke atas. Larikan sinar bening menderu. Inilah ilmu kesaktian yang disebut Mega Kuning Berarak Naik ke Langit yang merupakan pasangan dari Mega Kuning Sujud ke Bumi dan sebelumnya telah mampu menciderai Pendekar 212.
***
DELAPAN
DI UDARA, Ratu Randang terkejut melihat semburan cahaya kuning menyerang dirinya dari bawah. Di sekitar telaga Kunti Ambiri dan Dewi Kaki Tunggal alias Sakuntaladewi tidak tinggal diam. Dengan pukulan sakti keduanya menggempur ilmu Mega Kuning Berarak Naik ke Langit. Dua letusan keras menggelegar.
Kunti Ambiri dan Sakuntaladewi yang melancarkan serangan untuk menghantam Mega Kuning Berarak Naik ke Langit menjerit keras. Tubuh mereka berpelantingan. Kunti Ambiri terguling di tepi telaga sebelah kiri sementara Sakuntaladewi tergeletak dekat sebuah batu besar. Keduanya laksana lumpuh, tak bisa menggerakkan tubuh dan anggota badan. Sepasang mata membeliak, wajah pucat pasi. Nafas megap-megap, dada turun naik. Di seberang telaga dua tangan Dirga Purana membuat gerakan seperti orang merobek.
Breett!
Cahaya Mega Kuning Berarak Naik ke Langit terbelah dua, seolah satu kain besar yang robek menjadi dua. Bagian pertama terus melesat ke arah Ratu Randang, bagian yang lain berubah menjadi Mega Kuning Sujud ke Bumi, menderu membabat ke arah Kunti Ambiri dan Sakuntaladewi yang saat itu dalam keadaan tidak berdaya, tak mampu bergerak apa lagi selamatkan diri!
Melihat serangan sinar kuning ke arah Sakuntaladewi dan Kunti Ambiri yang berada dalam keadaan tidak berdaya, Pendekar 212 yang baru saja pulih dari cideranya melompat bangkit. Mulut merapal. Tangan kanan berubah warna menjadi putih perak sampai sebatas siku. Sekali tangan dihantamkan, Pukulan Sinar Matahari menggeledek ke arah cahaya Mega Kuning Sujud ke Bumi.
Wuusss!
Sinar putih terang menyilaukan menderu disertai hamparan hawa luar biasa panas. Di atas batu tempatnya berdiri Dirga Purana sunggingkan senyum merendahkan. Dalam jalan pikirannya ilmu kesaktian apapun tidak akan mampu menyentuh apa lagi memusnahkan ilmu Mega Kuning Sujud ke Bumi. Dia lupa apa yang tadi ditakutkan dan diteriakkannya sendiri yaitu bahala besar akibat delapan anak kucing merah peliharaannya telah menyebadani delapan anak kucing putih yang merupakan pantangan besar.
Blaarr!
Letusan keras disertai pijaran bunga api setinggi sepuluh tombak melesat ke udara dan seantero telaga. Air terjun yang sejak tadi berhenti mencurah dan tergantung di udara bergoyang keras lalu seolah terbuat dari kaca hancur berkeping-keping untuk kemudian kembali utuh dan mencurah lagi! Empat batu besar di dalam telaga lenyap dari tempatnya semula. Dua hancur bertaburan menjadi debu, dua lagi amblas masuk ke dasar telaga. Suara ngeongan kucing mendadak terdengar menggidikkan. Kunti Ambiri dan Sakuntaladewi selamat. Musnahnya Ilmu Mega Kuning Sujud ke Bumi membuat mereka mampu bergerak kembali walau seluruh pakaian dan permukaan kulit mereka tampak diselimuti debu berwarna kuning. Walau tidak bicara atau memberi isyarat namun keduanya sama-sama menceburkan diri ke dalam telaga untuk membersihkan noda kuning. Lalu dengan cepat keduanya keluar dari dalam telaga.
Di atas telaga, Ratu Randang yang tengah menghadapi serbuan cahaya kuning Ilmu Mega Kuning Berarak Naik ke Langit melihat Dirga Purana jatuh berlutut di atas batu di tengah telaga. Wajahnya seputih kain kafan. Dua tangan menggapai ke udara. Mulut terbuka seperti hendak berteriak namun tidak ada suara yang keluar. Mega Kuning Berarak Naik ke Langit mendadak sontak menciut lalu bergulung berubah bentuk menyerupai sebatang lidi. Lidi ini kemudian melesat ke bawah, masuk ke dalam telaga.
Dirga Purana tiba-tiba saja bisa berteriak keras. Namun teriakannya terdengar menggidikkan karena bukan merupakan teriakan anak kecil atau manusia, tetapi menyerupai raungan anjing di malam buta! Dia sendiri terkesiap kaget mendengar suara teriakannya itu.
“Pertanda tidak baik. Malapetaka besar tengah mengancam diriku! Aku akan segera menemui kematian.” Anak usia dua belas tahun itu membatin ngeri dalam hati. Wajahnya pucat pasi. Tubuh terasa dingin.
Sementara itu Ratu Randang berseru kaget ketika tiba­tiba Keris Kanjeng Sepuh Pelangi yang digenggam erat di tangan kanan, entah bagaimana tahu-tahu melesat lepas dan bergulung di udara. Saat itu juga terdengar suara mengeong keras.
Tiga anak kucing merah berjelapakan di tepi telaga tanpa kepala!
Si nenek mendelik ngeri. “Oala bukan aku yang membantai. Tapi keris sakti yang punya mau!” Ucap Ratu Randang dalam hati.
Dirga Purana kembali menjeritkan suara raungan anjing. Tidak pikir panjang lagi dia melompat ke udara. Mulut merapal panjang. Delapan benjolan merah tiba-tiba muncul di kening. Sekali kepala digoyangkan, delapan sinar merah melesat ke arah Ratu Randang. Serangan Delapan Arwah Sesat Menembus Langit!
Sebelumnya Ratu Randang oleh Wiro sudah diberi tahu ilmu penangkal setiap serangan yang memancarkan sinar atau cahaya merah, yaitu dengan menusukkan delapan jari tangan ke benda apa saja. Namun saat ketika diserang itu dirinya masih melayang di udara. Ratu Randang tidak tahu mau menusuk apa. Wiro lupa menerangkan kalau berada dalam keadaan seperti itu maka dia bisa menusuk kepala atau tubuhnya sendiri! Sementara Keris Kanjeng Sepuh Pelangi masih melayang di udara, mengejar ke arah lima kucing merah yang saat itu lari berpencaran. Dengan nekad binatang itu menembus curahan air terjun dan masuk ke dalam goa.
Dua tangan Dirga Purana berubah panjang dan besar berwarna hitam berkilat. Sepuluh kuku jari memancarkan cahaya merah. Hebatnya dua tangan itu bisa diulur panjang ke udara untuk menangkap Keris Kanjeng Sepuh Pelangi. Inilah ilmu yang disebut Dua Roh Bermata Sepuluh. Ilmu kesaktian ini bukan saja bisa berupa serangan ganas mematikan tapi juga sanggup menangkap benda­benda sakti yang berada di tempat jauh seperti keris yang saat itu tengah melayang di udara.
Namun yang dihadapi Dua Roh Bermata Sepuluh adalah keris sakti mandraguna Kanjeng Sepuh Pelangi yang kelak akan menjadi pusaka bertuah Kerajaan Mataram yang oleh sementara petinggi kerajaan dan para tokoh rimba persilatan seperti pernah dikatakan oleh Jaka Pesolek, senjata itu dijuluki sebagai ‘Mahkota di Atas Mahkota’.
Wuttt! Wuttt!
Dua tangan hitam berkelebat di udara. Sepuluh cahaya merah bergulung membuntal membentuk jaring. Menyambar ke arah Keris Kanjeng Sepuh Pelangi yang tadi mengejar lima ekor anak kucing merah.
Tanpa suara kecuali pancaran cahaya, keris sakti melesat tinggi ke udara sambil membersitkan kibasan sembilan cahaya pelangi, yang membuat dua tangan hitam Dirga Purana saling memukul sendiri satu sama lain!
Kraaakk!
Tulang dua lengan hitam berderak patah. Sepuluh cahaya merah di ujung kuku lenyap. Si bocah sendiri berteriak setinggi langit. Tubuh terbanting jatuh di pinggiran telaga. Tangannya kembali berubah pendek seperti semula dan tampak terbujur tak berkutik!
Sementara itu Keris Sepuh Kanjeng Pelangi dengan cepat turun ke bawah ke arah Ratu Randang. Lagi-lagi tanpa suara sembilan cahaya pelangi memancar laksana kipas raksasa terbuka, melindungi si nenek dengan tebaran sembilan cahaya pelangi!
Ketika serangan Delapan Arwah Sesat Menembus Langit yang dilepas lebih dulu oleh Dirga Purana membentur sembilan cahaya pelangi, untuk ke dua kalinya di tempat itu menggelegar letusan keras. Seantero tempat tenggelam dalam goncangan luar biasa hebat disertai punahnya delapan cahaya merah.
Ratu Randang yang terkesiap melihat apa yang terjadi tersentak kaget sewaktu tiba-tiba gagang Keris Kanjeng Sepuh Pelangi menyusup kembali ke dalam genggamannya. Di bawahnya dia melihat bocah Dirga Purana terkapar tak bergerak, mengerang panjang pendek dan ada sesekali muntahkan darah segar dari mulut. Tiba-tiba ada satu cahaya kuning bertabur ke bawah dengan cepat menyapu tepian telaga di mana Dirga Purana tergeletak. Di saat bersamaan di kejauhan terdengar suara genta lonceng. Sosok Dirga Purana yang tadi terkapar tak bergerak mendadak bangkit berdiri. Dua tangan yang sebelumnya patah tergontai-gontai kini tampak utuh tanpa cidera.
Di bagian lain telaga, di atas batu besar Pendekar 212 melihat kesempatan untuk kedua kali melepas Pukulan Sinar Matahari. Kali ini diarahkan pada Dirga Purana. Dia lupa kehebatan ilmu kesaktian bocah ini. Dari udara Ratu Randang cepat mengirim suara mengiang.
“Wiro! Hantam pinggiran telaga di bawah kaki anak itu. Begitu dia tidak menginjak bumi lagi aku akan menyerang dengan Keris Kanjeng Sepuh pelangi! Riwayatnya harus tamat saat ini juga!”
Wiro mendongak ke atas. Sebagai tanda telah mendengar apa yang diucapkan si nenek, murid Sinto Gendeng tekapkan tiga jari tangan kiri di atas bibir lalu tangan dilayangkan ke arah si nenek.
“Edan! Masih bisa bergurau si gondrong itu!” Ucap Ratu Randang dalam hati agak kesal tapi mulut tampak mesem­mesem melihat gerak cium jauh yang dilayangkan Pendekar 212.
Didahului teriakan panjang si nenek melayang ke bawah. Tangan yang memegang keris sakti diulur lurus­lurus. Ujung lancip diarahkan tepat-tepat ke dada Dirga Purana.
Karena dua tangan yang patah sudah sembuh secara aneh dan kekuatan telah kembali pulih, Dirga Purana membalas serangan si nenek dengan Ilmu Pembungkam Bumi. Ilmu ini sanggup membuat semua benda hidup dan gerakan manusia dalam lingkaran sepuluh tombak serta merta terhenti laksana kaku. Namun saat itu satu cahaya putih menyilaukan disertai gebubu hawa panas melesat ke arah tepian telaga tempat si bocah berdiri. Pukulan Sinar Matahari!
Blaaarrr!
Bebatuan di tepi telaga tempat Dirga Purana berdiri hancur berantakan, sebagian besar longsor ke dalam telaga. Karena tidak menginjak apa-apa lagi si bocah langsung melesat ke atas. Membuat gerakan jungkir balik. Lalu cepat-cepat melayang turun. Namun begitu tubuhnya mengapung lurus di udara dia berteriak kaget ketika melihat Keris Kanjeng Sepuh Pelangi di tangan Ratu Randang telah berada hanya dua jengkal di depan dada! Di saat itu pula dia sadar kalau dua kakinya tidak menginjak apa-apa!
Si bocah berteriak keras. Lagi-lagi suara teriakannya luar biasa menggidikkan. Menyerupai raungan anjing di malam buta!
“Ibunda Ananthawuri! Tewas putramu! Tewas putramu!” Dirga Purana berteriak menyebut nama ibunya.
Hanya sekejapan lagi Keris Kanjeng Sepuh Pelangi akan menghunjam telak di dada kiri Dirga Purana tiba-tiba terdengar suara genta lonceng disertai menyambarnya satu cahaya kuning, menyapu tepat antara dada dan ujung keris!
***
SEMBILAN
SAMBARAN cahaya kuning yang disertai suara gema lonceng membuat Dirga Purana terpental ke arah kiri, menembus curahan air mancur dan lenyap masuk ke dalam goa.
Blaarr!
Hampir di saat bersamaan, Keris Kanjeng Sepuh Pelangi menusuk deras. Benturan antara senjata sakti dan sinar kuning menimbulkan suara letusan dahsyat. Ternyata keris sakti itu masih sanggup menembus cahaya kuning.
Breett!
Baju hitam mewah Dirga Purana robek besar di dada kiri! Untungnya sosok anak itu telah mental lebih dahulu terdorong sambaran cahaya kuning. Kalau tidak jangan harap bocah itu lolos dari kematian!
Selagi semua orang terkesiap melihat apa yang terjadi, Ratu Randang cepat melayang turun ke dekat Wiro berdiri dan langsung berbisik, “Ada yang menyelamatkan bocah kurang ajar itu!”
“Kau betul Nek, justru aku ingin tahu siapa pelakunya.”
Mata juling bagus Ratu Randang menatap ke langit. “Sebentar lagi kita segera akan melihat orangnya. Hatiku tidak enak,” kata si nenek pula.
Benar saja, sesaat kemudian di langit tampak ada awan kelabu melayang turun ke arah telaga sementara suara gema lonceng terdengar semakin keras. Ketika suara lonceng berhenti, awan kelabu telah berada beberapa tombak di atas telaga. Di saat itu terdengar seseorang berucap. Suara anak laki-laki.
“Pemilik sah Keris Kanjeng Sepuh Pelangi belum mendapatkan senjatanya. Mengapa orang lain bertindak lancang berani mempergunakan keris untuk membunuh?”
“Sial Nek. Kita dibilang lancang!” Wiro menggerutu. “Anak kecil yang mana pula ini! Aku rasa-rasa pernah mendengar suaranya!”
Tiba-tiba awan kelabu bergerak naik ke udara dan dari bagian bawah melayang turun seorang anak lelaki mengenakan pakaian hitam sederhana serta kasut dari kulit kayu. Wajah tampan jernih dan segar. Di telinga kanan mencantel sebuah anting-anting emas. Raut wajah dan rambutnya sangat sama dengan Dirga Purana. Anak ini berdiri di tepi telaga sebelah selatan, di kiri air terjun. Setelah memandang pada semua orang yang ada di tempat itu, dia membungkuk memberi penghormatan.
“Nek, waktu di Bukit Batu Hangus kita pernah bertemu dengan anak ini! Aku pernah mendampratnya gara-gara bicara konyol! Bukankah dia yang pernah berkata: Jangan membuat sejuta alasan untuk menghalalkan kematian seorang insan. Sekarang dia muncul lagi! Dan barusan kau dengar sendiri dia bicara seperti apa! Nek, cepat susupkan keris sakti ke balik pakaian di punggungku. Aku tidak suka anak satu ini. Aku punya dugaan anak ini hendak meminta senjata itu!”
Tanpa banyak tanya Ratu Randang gulung Keris Kanjeng Sepuh Pelangi dengan potongan kain robekan pakaiannya yang telah dipergunakan sebelumnya lalu diselipkan ke pinggang di balik punggung pakaian Wiro.
“Nek apa anak yang ini kembaran dari anak satunya bernama Dirga Purana itu yang berhasil kabur masuk ke dalam goa?”
“Menurut riwayat yang aku dengar dia adalah adik Dirga Purana. Kesaktiannya berada di atas sang kakak. Kau lupa kalau dia yang bernama Mimba Purana, berjuluk Satria Lonceng Dewa.”
“Aku tidak lupa. Bukankah dia yang menurut Raja Mataram merupakan anak keramat mempunyai kesaktian luar biasa tapi berpantang membunuh makhluk hidup, hewan atau manusia, kecuali kalau ada petunjuk dari Para Dewa berupa suara lonceng! Lalu dia jadi punya alasan membiarkan saja malapetaka dan pembunuhan terjadi di Bhumi Mataram. Pasti tadi dia yang menolong kakaknya dengan cahaya kuning itu. Padahal kau tahu sendiri siapa adanya bocah bernama Dirga Purana itu.”
Ratu Randang hanya anggukkan kepala karena saat itu bocah yang tengah dirasani telah melompat ke atas batu di tengah telaga dan kini hanya terpisah beberapa langkah dari Ratu Randang dan Wiro Sableng sementara Kunti Ambiri dan Sakuntaladewi memperhatikan dari tepi telaga.
“Nek, aku tidak mau bicara berbasa basi dengan anak itu. Aku harus segera menyusul Jaka Pesolek mengejar Ni Gatri. Aku sangat khawatir bocah keparat Dirga Purana itu telah berbuat mesum atas dirinya. Tadi aku sempat melihat ada orang bermantel melarikan anak itu. Kurasa Pangeran Matahari alias Ksatria Roh Jemputan. Kau urus dan layani bocah tengik satu ini.”
“Ssst…” Ratu Randang sentuh lengan Wiro dan berkata perlahan. “Jangan bicara seperti itu. Kalau anak itu mendengar kita bisa berabe…”
“Apanya yang berabe?” Wiro jadi kesal. “Aku tidak ada urusan dengan dia. Tadi jelas-jelas dia menyelamatkan bocah jahat bernama Dirga Purana. Siapapun dia adanya dia memperlihatkan diri sebagai pembela orang jahat!”
“Tapi bocah jahat itu adalah kakaknya sendiri. Wajar saja kalau dia memberi pertolongan.” Jawab Ratu Randang.
“Terserah kau mau bicara apa Nek. Menurutku anak ini punya otak tapi setengahnya sudah berlumut. Punya hati tapi separuhnya sudah membeku jadi batu! Aku pergi Nek. Aku akan mengajak Sakuntaladewi dan Kunti Ambiri…”
“Tunggu!” Ratu Randang cepat cekal tangan kiri Wiro. “Kau ingat, ketika kau dihajar gurumu dan aku beserta kawan-kawan beramai-ramai balas menghantam Sinto Gendeng, nenek itu pasti sudah menemui ajal dalam keadaan tubuh hancur tak karuan kalau tidak diselamatkan oleh bocah sakti ini.”
Wiro terdiam. Lalu berkata. “Dia berbuat budi, aku berterima kasih. Tapi itu bukan berarti aku mau menjual diri! Nek, kau juga harus ingat, kapak yang hilang belum ditemukan. Selain itu guruku juga harus diselamatkan.” Wiro lalu memberi isyarat pada Kunti Ambiri dan Sakuntaladewi yang ada di tepi telaga. Ketika Wiro hendak melesat ke arah kedua perempuan ini tiba-tiba anak lelaki di depan sana geserkan kaki kanannya yang menginjak batu. Saat itu juga ada selarik cahaya kuning memancar lalu bergerak ke arah batu di mana Wiro berdiri. Bersamaan dengan itu terdengar anak ini berkata.
“Sahabat dari negeri delapan ratus tahun mendatang yang di Bhumi Mataram dikenal dengan sebutan Ksatria Panggilan, beri saya waktu untuk bicara dan menerangkan.”
Sepasang kaki Pendekar 212 mendadak tidak bisa bergerak. Wiro maklum bocah di hadapannya telah mempergunakan kesaktian untuk menahan geraknya melalui pancaran cahaya kuning yang keluar dari kaki kanan si bocah. Sebenarnya Wiro sudah siap untuk alirkan tenaga dalam penuh pada kedua kaki namun dilihatnya Ratu Randang memberi isyarat dengan gerakan kepala disertai suara mengiang.
“Tak usah dilawan. Dengarkan saja apa yang mau dikatakannya.”
Wiro batalkan niat mengalirkan tenaga dalam lalu berkata, “Sahabat muda Mimba Purana, kalau ingin bicara pergunakan mulut, bukan diam-diam mencekal sepasang kakiku unjukkan kesaktian!”
Anak lelaki bernama Mimba Purana tersenyum. “Sahabat Ksatria Panggilan, terima kasih kau telah menegur. Saya bersyukur bisa menemuimu dan kau mau memberi waktu…”
“Sudah, katakan saja kau mau bicara dan menerangkan apa?” Wiro memotong ucapan Mimba Purana.
“Pertama saya perlu menjelaskan bahwa anak lelaki yang tadi masuk ke dalam goa adalah kakak kandung saya sedarah sedaging. Ketika salah satu dari kami berada dalam bahaya adalah wajar jika kami memberi pertolongan…”
“Saya maklum dan saya mengerti. Tadipun Ratu Randang sudah memberitahu.” Jawab Pendekar 212. “Tapi apa yang saya tidak maklum dan tidak mengerti, apakah sahabat muda menyadari berapa saja tokoh kerajaan yang sudah menemui ajal? Berapa saja rakyat tak berdosa yang telah terbunuh? Semua gara-gara perbuatan Sinuhun Merah dan Sinuhun Muda. Dan sangat disayangkan karena secara kasat mata semua orang tahu bahwa kakak kandung sahabat muda ikut terlibat dalam semua kejahatan itu. Termasuk punya andil dalam menimbulkan Malapetaka Malam Jahanam di Bhumi Mataram!”
“Ksatria Panggilan, saya tidak menyangkal kalau kakak saya telah banyak melakukan kesalahan besar. Namun kita sebagai manusia dan saya sebagai adiknya merasa jika kesalahan kakak saya masih bisa diperbaiki, mengapa saya tidak harus melakukannya? Menasihatinya dan meminta dia bertobat?”
“Apakah sahabat muda sudah melakukan hal itu? Pernah menasihati dan menyuruh tobat kakak kandung sahabat muda?” Pertanyaan itu diucapkan Wiro sambil senyum-senyum.
“Memang belum.” jawab Mimba Purana.
Pendekar 212 kembali tersenyum, “Walah…!” Wiro menggaruk kepala “Selagi sahabat muda bicara panjang lebar di sini, berapa orang lagi di luar sana menemui ajal akibat kejahatan dua Sinuhun dan kaki tangannya! Mengapa hukum dan kebenaran tidak lebih cepat dilakukan?”
“Soal hukuman bahkan kematian sekalipun biarlah Para Dewa yang menentukan. Kita manusia jangan mendahului kehendak Yang Maha Kuasa.”
“Kejahatan telah terjadi di depan mata dan masih akan terjadi. Dan kita bangsa manusia hanya berpangku tangan dengan alasan jangan mendahului kehendak Yang Maha Kuasa! Oala! Apa memang begitu maunya Yang Maha Kuasa? Kita telah berbuat lalai lalu enak saja berkata biar nanti Yang Maha Kuasa yang menjatuhkan hukuman! Pantas banyak orang mati tak karuan di negeri ini. Kalau sudah jadi roh maka rohnyapun masih gentayangan tidak karuan! Masih tega berbuat kejahatan!”
Wajah Ratu Randang tampak berubah. Dia khawatir Satria Lonceng Dewa akan merasa tersinggung oleh ucapan Wiro tadi. Sakuntaladewi unjukkan raut muka terkesiap. Sebaliknya Kunti Ambiri tersenyum dan dari tepi telaga dia acungkan jempol tangan kanannya ke udara.
Mimba Purana sebaliknya tetap unjukkan wajah tenang, tidak ada rasa kecewa, apa lagi gejolak amarah mendengar ucapan Pendekar 212. “Sahabat Ksatria Panggilan, saya sangat mengerti jalan pikiran dan suara hatimu,” berkata Mimba Purana “Bagi saya jika sesuatu bisa diperbaiki dengan cara tidak membunuh maka hal itulah yang pertama kali akan saya lakukan. Lagi pula bagaimanakah perasaan hati seseorang membunuh saudara kandung sendiri. Ksatria Panggilan, apakah kau punya saudara kandung? Jika punya apakah kau akan merasa tega membunuh saudaramu sendiri walau dia memang bersalah?”
“Sahabat Mimba Purana, mohon maaf. Turut bicaramu rupanya ada perbedaan hukum terhadap saudara kandung dan orang yang bukan saudara kandung. Sayang, aku memang tidak punya saudara kandung hingga tidak dapat menyelami jalan pikiran dan perasaan hatimu. Sahabat muda, mohon maafmu. Aku dan kawan-kawan harus pergi. Seorang anak perempuan terancam keselamatannya. Kami harus menolong, walau anak itu bukan saudara kandung kami!”
“Tunggu…! Masih ada yang ingin saya sampaikan.”
“Pasti dia mau minta keris!” Duga Wiro dalam hati. Saat itu kembali dia mulai kerahkan tenaga dalam dan hawa sakti ke kaki.
“Ksatria Panggilan, saya tahu kau mampu memusnahkan kekuatan yang membuat dua kakimu tak bisa bergerak dan pergi dari sini. Tapi saya mohon jangan pergi dulu. Ada sesuatu teramat penting yang akan saya sampaikan”
“Apakah itu lebih penting dari menyelamatkan nyawa dan kehormatan seorang anak perempuan bernama Ni Gatri, menemukan kapak sakti, menyelamatkan guruku dan…”
“Semua yang sahabat sebutkan itu memang penting, bahkan sangat penting. Tergantung dari sisi mana kita melihatnya…”
“Tidak ada sisi yang lebih baik selain sisi kebenaran!” Jawab Wiro yang sudah jengkel dan tak dapat menahan diri lagi. Setengah berbisik Wiro berkata pada Ratu Randang. “Nek, temui aku di pinggiran timur kawasan Prambanan. Aku sudah muak melihat dan bicara dengan bocah sok pintar itu. Beri tahu teman-teman…”
Murid Sinto Gendeng dengan cepat kembali salurkan tenaga dalam tinggi dan hawa sakti penuh pada dua kakinya.
Desss!
Batu besar di tengah telaga yang dipijak Wiro bergetar keras. Selarik cahaya kuning mengepul.
Braakkk!
Batu besar hancur berantakan. Air telaga muncrat setinggi dua tombak. Bersamaan dengan itu sosok Pendekar 212 meluncur ke bawah, lenyap ke dalam telaga.
Mimba Purana terkesiap melihat apa yang terjadi.
“Nenek Ratu Randang…” Ucapan anak ini terputus karena saat itu Ratu Randang tidak ada lagi di tempatnya semula. Dia berpaling ke tepi telaga. Kunti Ambiri dan Sakuntaladewi juga tidak kelihatan lagi!
Si bocah menarik nafas dalam. Perlahan mulutnya berucap. “Mungkin aku terlalu banyak bicara. Seharusnya tadi langsung saja pada amanat yang diberikan kakek alam roh itu…”
Dia kemudian memandang ke arah curahan air terjun.
Memperhatikan mulut goa yang terlihat samar. Mulut kembali berucap, “Rakanda Dirga, hari ini aku masih bisa menolongmu. Tapi bila datang takdir dan kuasa Para Dewa, tidak seorangpun bisa menyelamatkanmu, termasuk dirimu sendiri.”
Setelah merenung sejenak anak ini gosokkan dua telapak tangan. Ketika dua telapak dipisahkan kelihatan ada lingkaran putih di telapak tangan kanan. Di dalam lingkaran putih terdapat bagian berwarna biru setengah luas lingkaran.
“Warna biru baru seluas setengah lingkaran. Hyang Jagat Bathara Dewa, apakah Bhumi Mataram benar-benar akan dapat diselamatkan? Apakah Bulan Biru benar-benar akan muncul di langit pada malam yang telah ditentukan? Apa lagi yang akan terjadi sampai warna biru menutup seluruh lingkaran putih di telapak tangan kanan saya? Sayang, saya tidak berkesempatan memberitahu pada pendekar dari alam delapan ratus tahun mendatang itu. Dia kelihatan jengkel pada saya. Tapi saya tahu mulut dan hatinya polos. Saya mohon Para Dewa memberi perlindungan dan pertolongan pada semua maksud baik yang hendak dilaksanakannya.”
Awan kelabu tiba-tiba muncul dan turun di tengah telaga. Mimba Purana melesat ke bagian atas awan. Dia bersila seolah duduk di atas satu buntalan empuk. Dua tangan dirangkap di atas dada. Sepasang mata dipejam. Angin sejuk bertiup dari arah timur. Awan kelabu bergerak naik semakin tinggi. Anak lelaki itu mulai masuk ke alam samadi.
***
SEPULUH
KSATRIA Roh Jemputan alias Pangeran Matahari boleh punya ilmu lari secepat setan berkelebat. Namun dia tidak mampu menghindar dari kejaran Jaka Pesolek yang sanggup melesat seperti kilat menyambar. Di satu hutan jati yang sepi tak jauh dari kawasan Prambanan, Pangeran Matahari baringkan Ni Gatri di tanah. Dia tidak mengetahui kalau di atas salah satu pohon jati di sekitar situ Jaka Pesolek mengawasi apa yang dilakukannya.
Setelah membaringkan Ni Gatri Pangeran Matahari memeriksa keadaan anak perempuan itu. Tubuh Ni Gatri diraba di beberapa bagian. Lalu pipi ditepuk-tepuk. Namun Ni Gatri tetap tidak bergerak.
“Anak ini masih bernafas. Aku tidak yakin dia dalam keadaan pingsan. Ada satu kekuatan aneh mendekam dalam tubuhnya. Jangan-jangan bocah itu telah mempergunakan rapalan jahat ilmu mencuci otak.” Sang Pangeran perhatikan keadaan pakaian Ni Gatri. Dadanya berdebar, kecurigaan muncul.
“Jangan-jangan aku sudah kedahuluan…” Ucap Pangeran Matahari dalam hati. Tangan kanan diulur menyingkap pakaian Ni Gatri di sebelah bawah. Serta merta sang Pangeran tersentak melihat apa yang disaksikannya.
“Dirga Purana bocah keparat! Kurang ajar!” Pangeran Matahari berdiri. “Ni Gatri, kau tidak ada gunanya lagi bagiku! Pangeran Matahari berpantang mendapat sisa!”
Tidak pikir panjang lagi Pangeran Matahari segera hendak melangkah pergi. Saat itulah sudut matanya melihat satu benda kemerahan menyelinap di atas salah satu pohon jati.
“Pohon jati tidak pernah membekal warna merah. Ada seseorang mengintai gerak-gerikku!”
Tidak menunggu lebih lama sang Pangeran segera angkat tangan kanan. Tidak tanggung-tanggung dia melepas pukulan Gerhana Matahari. Tiga cahaya berkiblat kuning, hitam, dan merah.
Wusss!
Pohon jati besar yang telah berumur setengah abad lebih tenggelam dalam buntalan api. Satu pekikan terdengar ketika pohon jati roboh ke tanah dalam keadaan hangus hitam. Pangeran Matahari cepat melompat mendatangi.
“Jelas aku mendengar suara jeritan! Tapi tidak ada bangkai gosong!” Sang Pangeran berpikir-pikir. “Bayangan merah. Agaknya bukan pendekar keparat itu! Suara yang menjerit suara perempuan! Mungkin Dewi Ular atau gadis berkaki satu itu?”
Tadinya Pangeran Matahari mengira yang mengintainya adalah Pendekar 212 Wiro Sableng. “Bangsat pengintai itu mampu selamatkan diri dari pukulan Gerhana Matahari. Berarti dia memiliki ilmu kepandaian sangat tinggi. Tapi mengapa tidak membalas. Justru malah sembunyi.”
Pangeran Matahari memandang berkeliling, “Aku tak mungkin membakar seluruh hutan jati ini untuk menangkap tikus yang bersembunyi!”
Pangeran berjuluk Segala Cerdik, Segala Akal, Segala Ilmu, Segala Licik, Segala Congkak ini menyeringai. Satu akal cerdik terlintas di benaknya. Cepat-cepat dia mendatangi sosok Ni Gatri yang masih tergeletak di tanah. Dia berteriak keras-keras, “Ni Gatri! Kau layak mendapat kemurahan hati seorang pangeran. Soal aku sudah kedahuluan anak jahanam itu aku tidak perduli! Kau masih pantas melayani diriku!”
Pangeran Matahari gerakkan dua tangan ke pinggang celana lalu membungkuk di atas tubuh Ni Gatri. Pada saat itulah tiba-tiba ada yang berteriak.
“Jangan! Anak itu sudah cukup menderita! Jangan kau tambah kesengsaraannya!”
Satu bayangan merah berkelebat dari balik serumpun semak belukar. Yang muncul ternyata seorang gadis cantik berpakaian merah muda yang bukan lain adalah Jaka Pesolek.
“Kau!” Ujar Pangeran Matahari yang diam-diam senang jebakannya berhasil. Lebih senang lagi ketika menyaksikan yang berdiri di hadapannya saat itu adalah gadis cantik salah seorang sahabat Pendekar 212. Akal busuknya kembali bekerja. “Gadis cantik kau berani menghalangi apa yang hendak aku lakukan! Apa imbalannya kalau maksudku terhadap anak ini tidak jadi aku teruskan? Kau mau menjadi penggantinya?”
Jaka Pesolek tersipu-sipu. “Walau kasar tapi tampang orang ini tidak jelek-jelek amat.” Kata si gadis dalam hati. Lalu dia berkata “Aku mohon, anak itu masih terlalu kecil. Dalam keadaan pingsan pula…”
“Kurasa anak itu sudah mati…”
“Aku tidak percaya. Masakan seorang yang mengaku Pangeran mau meniduri mayat! Hik… hik… hik!”
“Kurang ajar! Cerdik juga gadis satu ini!” Pikir Pangeran Matahari. “Dengar, kau boleh membawa anak ini. Tapi sebelum pergi kita berdua bisa bersenang-senang lebih dulu.”
“Bersenang-senang bagaimana maksudmu?”
Pangeran Matahari menyeringai. “Jangan pura-pura tolol. Lekas tanggalkan pakaianmu!”
“Hik… hik!” Jaka Pesolek tertawa. “Mengapa aku harus menanggalkan pakaian?!” Dia bertanya lalu keluarkan kotak hias, bedaki wajah, poles bibir dan kerengi alis. Sambil rapikan rambut dia simpan kembali kotak hias hadiah Nyi Roro Jonggrang itu. Sesaat Pangeran Matahari dibuat terpesona melihat wajah yang kini berubah lebih cantik dan lebih segar itu. Sambil usap-usap dadanya sendiri Jaka Pesolek bertanya konyol. “Hai, apakah menurutmu dadaku bagus dan besar?”
“Kalau pakaianmu sudah kau buka baru aku bisa tahu!” Jawab Pangeran Matahari tak kalah konyol.
“Oh begitu? Tapi kau belum menjawab mengapa aku harus menanggalkan pakaian.”
“Jangan berpura-pura. Sorot matamu menyatakan kau suka padaku! Tapi kalau kau menampik, berarti kau minta aku yang menanggalkan pakaianmu!”
“Ah, itu rasanya lebih menarik. Hik… hik… hik. Tapi bagaimana kalau kita berdua sama-sama menanggalkan pakaian. Kulihat bajumu sudah tersingkap, celanamu sudah melorot!”
“Aku tidak menolak!” Jawab Pangeran Matahari jadi panas. Cuping hidung kembang kempis dan pelipis bergerak-gerak.
“Bagus, tapi sebelum kita sama-sama bugil lalu terus…, hik… hik. Aku ingin anak perempuan itu disingkirkan lebih dulu. Biar aku pindahkan dia ke balik semak belukar sana. Siapa tahu selagi kita berasyik-asyik tiba-tiba dia sadar dan melihat apa yang kita kerjakan. Bagaimana, kau bisa mengerti? Kau setuju?”
Pangeran Matahari mengangguk. “Lakukan cepat! Kalau sudah lekas datang ke hadapanku!”
“Jangan khawatir!” Kata Jaka Pesolek pula. “Selesai aku membawa anak ini ke balik semak belukar sana aku akan membuka seluruh pakaianku. Lalu datang ke hadapanmu! Aku harap kau sudah menunggu dalam keadaan yang sama.” Jaka Pesolek layangkan senyum genit sambil lidah dijulur membasahi bibir.
Hasrat Pangeran Matahari jadi tambah bergelora. Membuat dia jadi tidak sabaran. “Cepat singkirkan anak itu!”
Pangeran Matahari memperhatikan sambil usap janggut tipis kasar di dagu. Dalam hati dia membatin. “Tadinya kalau sudah bersenang-senang aku niat akan membunuhnya. Tapi dia punya ilmu bergerak cepat luar biasa. Lalu kepandaiannya menangkap serangan Lentera Iblis yang dianggapnya petir kurasa bisa aku manfaatkan. Aku akan merayunya agar mau menjadi kekasih untuk membantuku menumpas Sinuhun Muda merebut kuasa di negeri yang sedang kacau ini! Sinuhun Merah sudah mampus, kembali ke alam roh! Tujuanku hanya tinggal beberapa langkah saja!”
***
Seperti diceritakan dalam Episode terdahulu berjudul “Roh Jemputan”, Sinuhun Merah Penghisap Arwah memasuki alam delapan ratus tahun mendatang dan pergi ke Gunung Merapi untuk menemui Pangeran Matahari yang disebut sebagai Ksatria Roh Jemputan. Sinuhun Merah minta bantuan Pangeran Matahari untuk membunuh Ksatria Panggilan yang bukan lain adalah Pendekar 212 Wiro Sableng. Pangeran Matahari menjawab dia bersedia membantu asal diberi imbalan. Imbalan yang diminta adalah agar Sinuhun Merah dan orang-orangnya membantu pendirian Partai Bendera Darah di Bhumi Mataram.
Saat itu dengan congkak Pangeran Matahari yang belum tahu banyak siapa adanya Sinuhun Merah Penghisap Arwah, berkata, “Sinuhun Merah, aku minta diberi hak dan kesempatan untuk mendirikan Partai Bendera Darah di Bhumi Mataram. Partai ini kelak akan menguasai dunia nyata dan alam gaib. Kau akan menjadi salah seorang pembantuku. Berarti mulai saat ini kau harus tunduk padaku!”
Kejut Sinuhun Merah bukan alang kepalang. Darah mendidih. Amarah meledak! Setelah memaki dia pancarkan delapan cahaya merah dari benjolan yang ada di keningnya, diarahkan pada Pangeran Matahari. Saat itu juga di kening Pangeran Matahari muncul delapan benjolan merah.
“Roh Jemputan!” Hardik Sinuhun Merah. “Kesombonganmu tidak berlaku di hadapanku. Mulai saat ini kau yang harus tunduk padaku! Aku akan mengendalikan dirimu dan memberi setiap perintah yang harus kau patuhi! Sekarang berlututlah di hadapanku! Jika kau menolak aku akan membuat kau tidak kembali ke alammu untuk selama-lamanya. Rohmu akan berkeliaran tak karuan, tergantung antara bumi dan langit! Tunduk dan berlutut!”
Aneh! Saat itu juga Pangeran Matahari alias Ksatria Roh Jemputan yang tadi bersikap garang congkak perlahan­lahan menekuk sepasang kaki lalu berlutut di hadapan Sinuhun Merah Penghisap Arwah.
***
Jaka Pesolek segera mendekati Ni Gatri. Sosok anak perempuan itu digendong. Dia berpaling sejenak ke arah Pangeran Matahari dan berkata, “Harap kau mau bersabar barang sebentar. Aku akan segera datang ke dalam pelukanmu. Tanpa pakaian.” Gadis itu julurkan lidah merahnya, kedipkan mata lalu dengan cepat berlari membawa Ni Gatri ke balik semak belukar. Tapi begitu dirinya terhalang dari pandangan Pangeran Matahari secepat kilat Jaka Pesolek melesat ke dalam rimba belantara, berkelebat di balik deretan pohon jati. Sosok Ni Gatri dipanggul di bahu kanan. Dalam sekejap saja dia sudah lenyap di balik deretan pohon jati.
Pangeran Matahari yang tidak menyangka kalau dirinya tengah ditipu terbelalak kaget. Didahului suara menggembor marah, dengan cepat dia mengejar.
“Gadis kurang ajar! Kau kira bisa menipuku lalu kabur begitu saja!”
Maklum kalau Jaka Pesolek memiliki ilmu melesat laksana kilat yang tak mungkin dikejar, sambil berkelebat Pangeran Matahari pentang dua tangan ke depan. Tangan kiri membuat gerakan mengepal seperti mencekal sesuatu. Tangan kanan dengan lima jari mencengkeram diangkat lebih tinggi lalu diputar demikian rupa. Inilah ilmu bernama Menahan Bumi Memutar Matahari yang didapatnya dari salah seorang sakti bernama Singo Abang (Baca serial Wiro Sableng berjudul “Kembali Ke Tanah Jawa”).
Jaka Pesolek yang tengah melesat di udara dan berusaha meninggalkan hutan jati sambil memanggul Ni Gatri tiba-tiba merasakan ada sambaran angin di sebelah bawah. Kedua kakinya terasa berat dan tubuhnya seperti ditarik ke tanah. Sementara itu di arah depan dia melihat cahaya terang berputar yang membuat pandangannya menjadi silau.
Braakk!
***
SEBELAS
JAKA PESOLEK terpekik ketika bahu kirinya menabrak pohon jati. Tak ampun lagi tubuh gadis ini jatuh terbanting ke tanah. Ni Gatri terguling dari panggulan. Sambil mengusap bahu kirinya dan mengerang kesakitan, terhuyung-huyung Jaka Pesolek mencoba berdiri. Saat itulah dari belakang ada satu tangan berkelebat.
Breett!
Jaka Pesolek terpekik. Bagian belakang baju merahnya robek besar mulai dari punggung sampai ke pinggul! Jaka Pesolek tahu bahaya besar yang mengancam dirinya. Dia hendak berkelebat lari tapi pandangan kedua matanya masih gelap. Dalam takutnya gadis ini jadi nekad. Dia menghambur dengan gerakan kilat tapi tanpa arah. Akibatnya Pangeran Matahari dengan mudah berhasil mencekalnya!
“Aku suka gadis berani dan punya akal!” Berkata Pangeran Matahari lalu tertawa bergelak. Tangan kanan bergerak.
Breett! Breett!
Pakaian merah muda Jaka Pesolek robek di bagian bahu dan pinggang. Gadis itu usap kedua matanya. Ketika pandangannya mulai jelas dia melihat dua tangan diulur ke arah dadanya. Dengan cepat Jaka Pesolek melompat ke belakang. Namun gerakannya terhalang batang pohon jati.
“Gadis cantik, kau harus dibuat jinak lebih dulu!”
Lalu bett… bett!
Dua totokan mendarat di urat besar di leher serta bahu kanan Jaka Pesolek. Langsung gadis ini merasa tubuhnya kejang, tak bisa bergerak tapi masih mampu bersuara. Ketika tubuhnya terhuyung ke depan, Pangeran Matahari cepat merangkul pinggangnya lalu baringkan si gadis di tanah.
Dalam takutnya Jaka Pesolek berkata. “Jangan berlaku kasar. Kalau kau lepaskan totokan, aku akan melayanimu sampai kau benar-benar merasa puas…”
Pangeran Matahari menyeringai. “Siapa percaya gadis penipu sepertimu!”
Tangan kiri menyambar ke dada.
Brettt!
Kembali ada pakaian Jaka Pesolek yang robek. Kali ini di bagian dada. Sepasang mata Pangeran Matahari mendelik, kening mengerenyit dan tampang berubah aneh ketika melihat dada yang tersingkap. Seumur hidup baru kali ini dia melihat dada seorang gadis rata seperti itu. Penasaran dengan cepat tangannya bergerak turun ke bawah.
“Tunggu… jangan! Aku mau bicara dulu!” Jaka Pesolek berkata. Wajah mendadak pucat.
“Ada apa?!” Bentak Pangeran Matahari. “Tadi kau menantang mau membuat aku puas. Sekarang kenapa kau ketakutan?! Kau mau mengatakan apa…?”
“Aku, aku, maksudku… aku bisa jantan bisa betina…”
“Apa maksudmu dengan ucapan itu!”
“Hik… hik! Aku hanya mau memberi tahu. Biar aku sendiri yang menanggalkan pakaianku. Lepaskan totokanku. Nanti aku…”
Tidak sabaran Pangeran Matahari langsung saja bertindak kurang ajar. Seluruh pakaian Jaka Pesolek di sebelah bawah ditarik lepas. Begitu melihat aurat yang tersingkap, Pangeran Matahari berteriak kaget! Tubuhnya yang mencangkung di samping Jaka Pesolek tersurut bahkan kemudian dia melompat berdiri!
“Jahanam keparat! Kau ini makhluk apa?! Manusia atau jejadian?! Kau ini lelaki atau perempuan. Kalau lelaki mengapa berpakaian dan berdandan serta punya suara seperti perempuan! Kalau perempuan mengapa…”
“Pangeran, lepaskan dulu totokan di tubuhku. Nanti aku akan menerangkan. Kau tidak akan kecewa! Karena, karena seperti kataku tadi aku bisa jantan bisa betina. Terserah kau mau memilih yang mana. Bisa salah satu bisa dua-duanya…”
“Makhluk terkutuk! Manusia banci! Berani kau mempermainkanku!” Saking marahnya Pangeran Matahari tendangkan kaki kanannya ke pinggul Jaka Pesolek.
Bukkk!
Jaka Pesolek menjerit keras. Tubuhnya mencelat sampai dua tombak. Terkapar tertelentang di tanah, mengerang pendek lalu megap-megap siap untuk pingsan! Masih belum puas Pangeran Matahari mengejar. Kaki kanan diangkat tinggi-tinggi. Kali ini kaki itu siap dihunjamkan ke bagian bawah perut Jaka Pesolek.
Hanya tinggal sekejapan saja tubuh bagian bawah Jaka Pesolek akan hancur luluh dan sudah dipastikan akibatnya si gadis akan menemui ajal, tiba-tiba tanah di samping kaki kiri Pangeran Matahari terkuak. Satu tangan mencuat ke atas langsung mencekal pergelangan kaki kirinya!
Kaget Pangeran Matahari bukan olah-olah.
“Kurang ajar! Setan dari mana…?!”
Ketika Pangeran Matahari berusaha menyentakkan kaki yang dicekal tiba-tiba sesosok tubuh berpakaian merah bergaris kuning, didahului oleh kepala berambut gondrong sebahu mencuat keluar dari dalam tanah. Saat itu juga sang Pangeran merasa kaki kirinya dibetot keras, membuat tubuhnya melintir diputar seperti titiran. Ketika cekalan tiba-tiba dilepas tak ampun lagi tubuh Pangeran Matahari terlempar ke udara dan baru berhenti ketika, braaakk!
Tubuh itu menghantam batang pohon jati kecil. Pohon jati berderak patah dan tumbang. Walau bahu kirinya serasa remuk akibat beradu dengan pohon namun Pangeran Matahari masih bisa keluarkan teriakan marah. Tubuh melesat ke udara, berjungkir balik satu kali dan di lain kejap sudah berdiri lima langkah di hadapan orang yang melemparnya ke udara. Dia jadi melengak kaget karena tidak menyangka. Ternyata orang itu bukan lain adalah Pendekar 212 Wiro Sableng!
“Jahanam keparat! Kau muncul mengantar nyawa!” Teriak Pangeran Matahari dengan menindih rasa herannya melihat Wiro memiliki ilmu bisa masuk dan keluar dari dalam tanah!
Wiro sunggingkan senyum mengejek.
“Dari hidup kau minta mampus. Sudah mampus dan jadi roh masih berkeliaran menebar kejahatan! Pangeran geblek! Kau pantas dikembalikan ke alam roh untuk selama-lamanya!”
Mendidih darah dan amarah Pangeran Matahari mendengar ucapan Wiro. Didahului teriakan dahsyat tidak kepalang tanggung dia lancarkan dua serangan dengan tangan kiri kanan sekaligus!
Tangan kiri diangkat ke atas membentuk tinju. Begitu tangan dihantamkan ke arah lawan, lima jari yang mengepal dibuka. Lima larik angin menderu tanpa warna. Lawan yang diserang serta merta merasa dada dan isi perutnya seperti dibongkar dibetot keluar. Jalan darah terhenti. Kepala seperti dihajar palu godam! Tubuh secara mendadak kehilangan kekuatan! Inilah yang disebut Pukulan Merapi Meletus. Jika tidak mampu selamatkan diri maka dalam hitungan kejapan mata orang yang jadi sasaran akan meledak tubuhnya mulai dari kepala sampai ke ujung kaki!
Serangan Pangeran Matahari kedua yang dilancarkan dengan tangan kanan melesatkan cahaya tiga warna yaitu merah, kuning, dan hitam, Pukulan Gerhana Matahari!
Orang lain mungkin tidak bisa menghindar dan meregang nyawa secara mengerikan dilanda dua serangan Pangeran Matahari. Tetapi murid Sinto Gendeng sebagai musuh lama dan bebuyutan tahu betul semua ilmu kesaktian yang dimiliki lawan. Malah saat itu dia sudah mewaspadai kalau-kalau Pangeran Matahari akan mengeluarkan senjata dahsyatnya, yaitu Lentera Iblis!
Walau saat itu tubuhnya mulai terasa gontai dan panas akibat dikunci serangan pertama yaitu Pukulan Merapi Meletus, sementara serangan kedua menderu dengan ganas, Pendekar 212 cepat tancapkan dua kaki ke tanah hingga tenggelam sampai sebatas pertengahan betis. Dari batok kepala mengepul asap putih. Ini pertanda sang pendekar tengah mengerahkan seluruh tenaga dalam dan hawa sakti yang dimiliki. Satu hal yang jarang-jarang dilakukan Wiro.
Sambil membentak keras Wiro tekuk sedikit kedua lutut. Dua tangan dihantamkan ke depan, ke arah datangnya dua serangan lawan. Tangan kiri digerakkan dalam jurus Membuka Jendela Memanah Matahari lalu melepas Pukulan Tangan Dewa Menghantam Batu Karang. Dengan tangan kanan Wiro melepas Pukulan Tangan Dewa Menghantam Tanah yang sengaja diarahkan ke bagian kaki lawan.
Dua dentuman keras menggelegar di dalam hutan jati. Tanah di depan kaki Pangeran Matahari terbongkar membentuk lobang besar. Sang Pangeran tampak tergontai pucat. Mulut lelehkan darah merah kehitaman. Dalam berusaha mengimbangi diri agar tidak terperosok ke dalam lobang, Pukulan Tangan Dewa Menghantam Batu Karang datang menggebubu. Ketika dia berusaha bertahan dengan mengerahkan seluruh kekuatan luar dalam yang dimiliki, Pangeran Matahari dapatkan tubuhnya terangkat ke udara. Wiro sentakkan tangan kiri. Seperti dibetot tubuh Pangeran Matahari tertarik ke depan dan langsung masuk ke dalam lobang besar. Di saat itu Wiro yang juga menderita luka dalam cepat guratkan ujung kaki kanannya ke tanah.
Rrrttttt!
Ilmu Membelah Bumi Menyedot Tanah! Tanah di dalam lobang besar terbelah. Pangeran Matahari berteriak kaget ketika tubuhnya mendadak tersedot ke dalam belahan tanah. Mendahului datangnya daya sedotan yang lebih besar, Pangeran yang cerdik ini dengan ilmu yang didapatnya dari Sinuhun Merah Penghisap Arwah amblaskan diri ke sisi kiri belahan tanah. Lenyap dari pemandangan.
Wiro cepat mengejar namun hanya bisa berhenti di depan belahan tanah yang perlahan-lahan kembali bersatu. Wiro seka darah yang keluar di sela bibirnya. Dada mendenyut sakit. Selagi dia berpikir-pikir apakah Pangeran Matahari benar-benar telah menemui ajal di dalam tanah tiba-tiba dia merasa sambaran angin di belakangnya. Wiro cepat berbalik tepat pada saat satu jotosan dahsyat memancarkan cahaya merah menderu ke arah keningnya. Inilah pukulan bernama Di Dalam Arwah Ada Raga. Yang melancarkan serangan adalah Pangeran Matahari. Ternyata makhluk berjuluk Ksatria Roh Jemputan ini masih hidup!
***
DUA BELAS
PUKULAN yang dilancarkan Pangeran Matahari adalah pukulan bernama Di Dalam Arwah Ada Raga yang didapatnya dari Sinuhun Merah Penghisap Arwah. Sebenarnya Wiro punya kesempatan untuk mengelak atau menghindar dari pukulan maut itu, namun entah mengapa dia memilih berjibaku. Ingin melumat musuh bebuyutannya saat itu juga!
Pendekar 212 rundukkan kepala sambil dua lutut ditekuk. Dua tangan dengan cepat dipentang ke atas, disilang demikian rupa. Telapak tangan kanan dibuka lalu ditiup. Serta merta di atas telapak tangan itu muncul gambar kepala harimau putih bermata biru! Di kejauhan tiba­tiba terdengar suara auman dahsyat yang menggetarkan tanah di hutan jati. Itulah auman harimau sakti Datuk Rao Bamato Hijau yang walau terpisah jauh tapi mendapat sambung rasa dan tahu kalau Pendekar 212 berada dalam bahaya.
Pangeran Matahari terlalu yakin kalau serangannya kali itu akan menghancurkan kepala lawan dan menamatkan riwayat Pendekar 212! Sambil keluarkan suara menggembor dia kerahkan seluruh tenaga dalam dan hawa sakti. Sebaliknya begitu tangan kanan lawan masuk, Wiro menggerakkan dua tangan seperti gunting melibas.
Bukkk!
Terjadi bentrokan hebat antara dua tangan Wiro yang disilang dengan lengan Pangeran Matahari yang datang menyambar.
Kraakk!
Jeritan menggelegar dari mulut Pangeran Matahari begitu tulang lengan tangan kanannya patah. Selain itu dorongan tenaga dalam lawan membuat tubuhnya terpental dua tombak dan jatuh terjengkang di tanah. Kehebatan serangan sang Pangeran yang mengandalkan ilmu kesaktian dari Sinuhun Merah Penghisap Arwah ternyata tidak mampu menandingi tangkisan sekaligus serangan Pukulan Harimau Dewa warisan Datuk Rao Basaluang Ameh dari Danau Maninjau!
Wiro sendiri terhempas satu tombak ke belakang. Punggung membentur batang pohon jati. Cidera dalam yang dialaminya bertambah parah akibat bentrokan tadi dan lelehan darah semakin menebal di sela bibir sementara dua kaki terasa bergetar. Sebelum dirinya jatuh berlutut, Wiro masih mampu mengangkat tangan, merapal aji kesaktian Pukulan Sinar Matahari. Begitu tangan kanan mulai dari siku sampai ke ujung jari berubah menjadi seputih perak, Wiro langsung menghantam ke depan.
Sinar putih berkilau disertai suara menggelegar dan hamparan panas berkiblat ke arah Pangeran Matahari yang dalam keadaan nyaris tak berdaya masih berusaha jatuhkan diri ke tanah walaupun terlambat. Hanya sesaat lagi dia akan menemui ajal untuk kedua kali tiba-tiba satu bayangan merah berkelebat di udara. Aneh dan luar biasanya bayangan ini sengaja menyongsong datangnya cahaya putih menyilaukan Pukulan Sinar Matahari yang dilepas Pendekar 212 Wiro Sableng untuk menghabisi Pangeran Matahari alias Ksatria Roh Jemputan!
Apa yang terjadi?
Sebelumnya diketahui Jaka Pesolek terhantar di tanah akibat tendangan Pangeran Matahari. Dalam keadaan setengah sadar setengah pingsan dia mengetahui sedang terjadi pertarungan hebat antara Wiro dan sang Pangeran sementara Ni Gatri tidak terlihat lagi di sekitar situ. Mungkin anak ini terlempar ke dalam hutan jati ketika terjadi letusan-letusan dahsyat akibat bentrokan pukulan-pukulan sakti tadi. Meski tidak berdaya seperti itu, tetapi ketika dia mendengar suara menggelegar disertai sambaran cahaya putih, mendadak sontak semangat dan kekuatan Jaka Pesolek timbul kembali. Anehnya, dia merasa tubuhnya seringan kapas.
“Ada petir menyambar di dalam hutan! Oala! Tanganku jadi gatal! Aku…”
Tidak tunggu lebih lama gadis ini segera melesat ke atas lalu laksana kilat menyambar dia berkelebat ke arah cahaya putih yang seperti sudah-sudah, diduganya sebagai petir. Padahal cahaya putih menyilaukan dan panas itu adalah Pukulan Sinar Matahari yang dilepas Pendekar 212 Wiro Sableng untuk menghabisi Pangeran Matahari!
Sambil berteriak girang Jaka Pesolek kembangkan dua tangan di udara, dengan cepat menyambar ujung cahaya putih lalu membuntalnya seperti menggulung kain panjang.
Beberapa orang yang menyaksikan kejadian itu berseru kaget.
“Aku berhasil!” teriak Jaka Pesolek girang. Cahaya putih yang dibuntal lalu diusung ke atas dan dilempar di langit lepas. Tubuh dan pakaiannya tampak putih berkilat, mengepulkan asap panas. Namun Jaka Pesolek tidak merasa apa-apa. Begitu gadis ini melayang turun sambil tertawa haha-hihi dan jejakkan dua kaki di tanah. Wiro langsung membentak marah.
“Jaka Pesolek! Apa yang kau lakukan?! Kau menolong musuh bebuyutanku! Kau sengaja menyelamatkan musuh besar raja dan rakyat Mataram!”
Jaka Pesolek jadi terkejut, mulut ternganga mata mendelik. “Astaga! Apa aku telah berbuat keliru? Aku menyangka…” Saking takutnya Jaka Pesolek tak bisa teruskan ucapan.
Sementara itu Pangeran Matahari sendiri tak kalah kejutnya. Dia mengira Jaka Pesolek memang telah menyelamatkan dirinya dari hantaman Pukulan Sinar Matahari. Tapi otak dan hatinya tetap saja ingin berbuat jahat. Melihat perhatian Wiro tertuju pada Jaka Pesolek dia merasa ada kesempatan. Pangeran Matahari segera lepaskan serangan Delapan Arwah Sesat Menembus Langit. Delapan cahaya merah menderu dahsyat dari delapan benjolan di kening. Enam menyambar ke arah Wiro, sisa yang dua melesat ke arah Jaka Pesolek yang berdiri membelakanginya dan menghalangi pandangan Wiro. Semua terjadi sangat cepat dan tidak terduga.
Kurang dari sekejapan mata tubuh Jaka Pesolek akan hancur berkeping-keping dan dikobari api, menyusul hal sama akan terjadi pula dengan Wiro, tiba-tiba berkelebat tiga bayangan disertai suara teriakan perempuan.
“Kawan-kawan! Lekas tancapkan delapan jari!”
Sett! Settt!
Dua puluh empat jari tangan yang dipentang seperti besi lurus berkelebat deras. Delapan menancap di tanah, delapan menusuk batang pohon jati dan delapan lagi melesak ke dalam gundukan batu. Saat itu juga terjadi hal luar biasa hebat.
Pangeran Matahari tidak pernah tahu adanya ilmu penangkal serangan Delapan Arwah Sesat Menembus Langit. Dia berteriak keras ketika menyaksikan delapan larik cahaya merah panas berbalik menderu lalu menyerang ke arah dirinya! Ilmu apapun yang dimilikinya, kecepatan bagaimanapun yang bisa dilakukan untuk menyelamatkan diri, semua hanyalah sia-sia belaka!
Blaarr! Blaarr!
Letusan keras disertai percikan bunga api setinggi dan selebar dua tombak menggelegar di hutan jati, menggetar gendang-gendang telinga, seolah menyumbat jalan aliran darah! Beberapa pohon jati tenggelam dalam kobaran api dan langsung gosong menghitam!
Suara jeritan sang Pangeran yang dijuluki Pangeran Segala Cerdik, Segala Akal, Segala Ilmu, Segala Licik, Segala Congkak, serta merta terputus begitu delapan larik cahaya merah membabat tubuhnya mulai dari kepala sampai ke kaki! Kutungan tubuh yang dikobari api dan menebar bau daging terpanggang menggidikkan itu berlesatan ke berbagai penjuru hutan jati lalu mengepul jadi asap dan akhirnya lenyap dari pandangan mata.
Saat itu Wiro dengan terhuyung-huyung berusaha bangkit berdiri. Tangan kiri ditopangkan ke pohon jati di dekatnya. Dada mendenyut sakit tak karuan, tangan kanan menyeka darah yang membasahi dagu. Dia memandang berkeliling. Di arah depan dia melihat Kunti Ambiri mengeluarkan delapan jari tangan dari dalam pohon jati yang ditusuknya. Lalu di sebelah kiri tampak Ratu Randang mencabut delapan jari dari dalam batu. Di arah kanan Sakuntaladewi si gadis berkaki tunggal tengah membersihkan jari-jari tangannya yang tadi ditancapkan ke tanah.
“Mereka menyelamatkan nyawaku dengan ilmu penangkal.” Ucap Wiro dalam hati. Dia hendak melangkah mendekati ke tiga orang itu.
Tiba-tiba terjadi satu hal luar biasa aneh. Dari dalam hutan jati menggelegar suara teriakan.
“Ksatria Roh Jemputan! Aku berikan pecahan lima nyawaku padamu! Aku akan membantumu! Kau akan kembali pada ujudmu! Keluarkan Lentera Iblis. Bunuh semua musuhmu!” Suara orang yang berteriak terdengar sama dengan suara Sinuhun Merah Penghisap Arwah yang roh keduanya telah menemui ajal.
Lima benda aneh berwarna merah samar berkelebat di dalam hutan jati lalu bergabung jadi satu, membentuk asap merah menyerupai sosok manusia. Ketika turun ke tanah ujudnya membentuk sosok Pangeran Matahari alias Ksatria Roh Jemputan. Tapi wajahnya berwarna sangat putih seperti kain kafan! Tangan kanan menggenggam Lentera Iblis!
Selagi Wiro, Kunti Ambiri, Ratu Randang dan Sakuntaladewi terkejut melihat kemunculan Pangeran Matahari secara tidak disangka-sangka, sang Pangeran tiba-tiba sudah menggerakkan tangan kanan memutar Lentera Iblis. Dia sengaja lancarkan serangan terhebat yakni jurus ketiga dari Tiga Jurus Serangan Lentera Iblis yang bernama Liang Lahat Menunggu.
Cahaya kuning berkiblat. Menghambur secepat setan menyambar ke arah Wiro dan tiga orang lainnya pada ketinggian sepinggang tubuh manusia!
“Awas serangan Lentera Iblis!” Teriak Wiro memperingatkan tiga perempuan. Dia cepat melompat ke udara setinggi dua tombak. Ratu Randang berkelebat ke balik satu pohon jati besar lalu melompat naik ke cabang terendah. Kunti Ambiri amblaskan diri masuk ke dalam tanah. Sakuntaladewi jejakkan kaki tunggalnya ke tanah hingga tubuhnya membal sampai tiga tombak lalu melayang turun dan seperti seekor burung hinggap di puncak salah satu cabang pohon jati.
Kalau Wiro, Ratu Randang, dan Sakuntaladewi berhasil selamatkan diri maka tidak demikian dengan Kunti Ambiri. Di antara ke empat orang itu dia satu-satunya yang mengambil cara menyelamatkan diri dengan memasukkan tubuh ke dalam tanah. Padahal saat itu cahaya kuning Lentera Iblis melesat datar setinggi pinggang di atas tanah. Ketika tubuhnya amblas baru sampai ke lutut, serangan cahaya kuning Lentera Iblis bernama Liang Lahat Menunggu datang menyambar! Dalam sekejapan lagi sudah dapat dipastikan tubuh gadis cantik alam roh yang pernah berjuluk Dewi Ular itu akan terkutung dua lalu meledak hancur berkeping-keping!
Dari tempat masing-masing berada, Wiro, Ratu Randang, dan Sakuntaladewi dalam kaget mereka cepat bertindak. Wiro hantamkan dua tangan sekaligus melepas Pukulan Benteng Topan Melanda Samudera dengan tangan kiri sementara tangan kanan untuk kedua kalinya melepas Pukulan Sinar Matahari.
Ratu Randang menggebrak dengan Pukulan Tangan Langit Kaki Bumi. Sakuntaladewi gerakkan dua tangan membuat Enam Belas Gerakan Tangan Bisu.
Langit seolah hendak runtuh, tanah bergoncang seperu dilanda lindu. Beberapa pohon jati berderak bertumbangan ketika berbagai warna cahaya pukulan-pukulan sakti yang dilancarkan Wiro, Sakuntaladewi dan Ratu Randang saling beradu dahsyat dengan sambaran sinar kuning Lentera Iblis!
Wiro membentak keras, Ratu Randang dan Sakuntaladewi sama terpekik. Tubuh ketiga orang ini terjengkang di tanah, semburkan darah segar dari mulut masing-masing. Khawatir akan mendapat serangan balasan, ketiganya cepat bergulingan di tanah mencari tempat yang aman Di depan sana Pangeran Matahari tegak menyeringai. Dia tidak tampak cidera sedikitpun. Namun sebenarnya saat itu bagian dalam tubuh makhluk alam roh ini telah mengalami luka luar biasa parah. Tangan kanan masih memegang Lentera Iblis yang diputar demikian rupa tanda siap hendak melancarkan serangan lagi. Agaknya dia akan sekaligus menghantamkan tiga cahaya lentera yaitu merah, kuning dan hitam! Namun sesaat kemudian dua lututnya tampak bergetar dan mulai menekuk. Darah mengalir tersendat. Wajah berubah merah kelam. Dada terhuyung ke depan. Tenggorokan keluarkan suara mengorok. Seperti orang mau muntah. Mulut terbuka.
“Tahan! Jangan muntah! Cepat jauhkan Lentera!”
Mendadak ada suara mengiang di telinga Pangeran Matahari. Suara itu datang dari makhluk aneh yang ada di dalam tubuhnya yang bukan lain pecahan lima roh Sinuhun Merah Penghisap Arwah.
Pangeran Matahari terkejut! Astaga! Dia baru sadar. Lentera Iblis punya pantangan rahasia. Yaitu tidak boleh tersentuh oleh cairan yang keluar dari tubuh manusia, terutama berasal dari orang yang memegangnya. Cairan itu bisa saja berupa keringat, air kencing, ludah bahkan termasuk juga darah! Pangeran Matahari cepat tekap mulutnya dengan tangan kiri. Namun saat itu tubuhnya telah terhuyung ke depan. Dalam keadaan seperti itu mulut tak mampu lagi menahan muntah. Ketika mulut terbuka yang menyembur ternyata adalah darah kental berbuku­buku! Bersamaan dengan itu tubuh Pangeran Matahari tersungkur ke depan. Lentera iblis terlepas dari tangannya, menggelinding ke arah tebaran muntahan darah di tanah!
Pangeran Matahari cepat ulurkan tangan menjangkau lentera agar tidak bersentuhan dengan muntahan darah. Hanya seujung kuku dia akan berhasil menyentuh Lentera Iblis mendadak ada satu bayangan hijau berkelebat. Semula Wiro dan kawan-kawan mengira Sinuhun Muda Ghama Karadipa yang muncul, turun tangan untuk menolong Pangeran Matahari. Tapi apa yang kemudian terjadi membuat semua orang jadi melengak kaget!
***
TIGA BELAS
ENTAH dari mana datangnya tiba-tiba muncul lima cahaya biru panjang yang ujudnya hampir menyerupai benang menyambar ke arah lima bagian tubuh Pangeran Matahari. Bau santar kemenyan terbakar memenuhi udara, menggidikan! Lalu terdengar suara drett drett! Sosok Pangeran Matahari serta merta kaku. Tangan yang diulur seolah berubah menjadi batu. Sekujur tubuh, mulai dari leher, dada, pinggang, dua tangan, dan sepasang kaki dilibat cahaya benang biru membuat keadaannya tidak beda seperti dijahit mati. Semua anggota badan tidak bisa digerakkan lagi. Di atas batok kepala menancap lima benda aneh berbentuk jarum panjang sejengkal berwarna biru! Mulut dibuka hendak berteriak tapi tidak ada suara yang keluar.
“Lima Jarum Penjahit Raga!” Ucap Wiro dengan mata terbelalak. Matanya memandang cepat berkeliling seperti tengah mencari seseorang. Saat itu dilihatnya Lentera Iblis yang menggelinding di tanah hanya sejengkal lagi akan menyentuh muntahan darah Pangeran Matahari. Wiro serta merta berteriak. “Cepat menyingkir! Lentera jahanam akan segera meledak!”
Walau saat itu ketiganya menderita luka dalam dan masih terbaring di tanah namun dengan mengerahkan tenaga yang ada, Wiro, Ratu Randang, dan Sakuntaladewi cepat berdiri lalu melompat sejauh yang bisa dilakukan, mencari tempat yang aman. Ketiganya berkelebat ke balik satu gundukan batu setinggi pinggul yang berada di belakang tumbangan tiga pohon jati.
Ledakan dahsyat kembali menggelegar di hutan jati. Lentera Iblis hancur berkeping-keping mengeluarkan pancaran cahaya merah kuning dan hitam. Pangeran Matahari yang terkena sambaran cahaya yang keluar dari Lentera Iblis mencelat ke udara, meledak hancur tak karuan rupa dalam keadaan hancur. Sebelum meledak satu sosok aneh berwarna merah keluar dari tubuh sang Pangeran. Walau samar namun Wiro dan kawan-kawan masih bisa melihat betapa sosok itu luar biasa mengerikan. Kepala hanya sebelah. Bagian mata merupakan rongga merah dalam. Mulut pencong mencuatkan gigi panjang hitam. Dada dan perut bolong. Sebagian usus besar keluar menggelembung. Tangan serta kaki hanya tinggal satu. Seluruh kulit mengelupas merah! Di balik gundukan batu untuk beberapa lama Wiro, Ratu Randang, dan Sakuntaladewi sama-sama mendelik melihat makhluk yang tadi keluar dari dalam tubuh Pangeran Matahari. Tengkuk masing-masing terasa dingin padahal rimba yang terbakar menghampar hawa panas!
Hutan jati diselimuti kesunyian. Sesekali hanya terdengar suara gemeretak ranting dan dedaunan yang terbakar. Serombongan burung yang terbang terlalu rendah di atas hutan begitu kena sengatan kobaran api mencicit keras, jatuh ke tanah dalam keadaan gosong!
***
Di satu tempat sunyi di lereng barat Gunung Merapi awan kelabu yang berarak di langit perlahan-lahan berubah putih bersih. Lalu awan putih ini melayang ke timur, untuk beberapa lama diam menggantung di udara tinggi kemudian berubah menjadi biru.
Mimba Purana yang tengah duduk bersila di satu cabang pohon sejak tadi memperhatikan keadaan langit. Perubahan awan putih menjadi kebiruan tidak lepas dari pandangan matanya. Anak sakti bergelar Satria Lonceng Dewa ini letakkan dua telapak tangan di atas dada. Lalu dua telapak tangan disatukan dan digosok satu sama lain. Setelah itu dua telapak dipisah. Tangan kiri diletakkan di kepala sebelah belakang sementara sepasang mata memperhatikan telapak tangan kanan yang dikembang.
Di atas telapak tangan itu kelihatan satu lingkaran putih. Di dalam lingkaran putih ada warna biru memenuhi dua pertiga luas lingkaran putih. Beberapa waktu sebelumnya warna biru itu baru setengah luas lingkaran. Melihat hal ini anak lelaki berusia dua belas tahun yang mencantol anting-anting merah di telinga kanan tampak berseri wajahnya. Perlahan dia berucap.
“Luas warna biru dalam lingkaran putih bertambah besar. Berarti malam nanti bulan purnama hari ke empat belas akan muncul dengan warna kebiru-biruan. Bahaya yang selama ini mengungkung kerajaan akan segera lenyap. Aku tidak sabar untuk menyaksikan. Tapi…”
Wajah Satria Lonceng Dewa Mimba Purana berubah suram. Ada kekhawatiran di dalam hatinya.
“Aku tahu, ada arti lain dari pertambahan warna biru di telapak tanganku. Ada manusia yang berbuat kebajikan dan ada makhluk atau orang jahat musuh Raja dan rakyat Mataram telah menemui ajal. Siapa?” Anak lelaki itu pejamkan mata seolah berusaha melihat jauh ke dalam alam gaib. Namun apa yang diharapkan tidak mendapat jawaban. Dua mata dibuka kembali. “Jangan-jangan kakanda Dirga Purana yang bernasib malang…”
Anak lelaki di lereng Gunung Merapi itu bangkit berdiri. Tubuh dan wajah dihadapkan ke selatan ke arah laut di kejauhan yang tidak terlihat dari tempatnya berdiri. Namun dia sanggup mencium baunya hawa laut. Sayup-sayup mendengar suara tiupan angin samudera selatan. Dua tangan dirangkap di atas dada. Sepasang mata dipejam. Dia mencoba lagi masuk ke dalam alam gaib. Selarik cahaya kuning keluar dari ubun-ubun anak ini. Lalu di kejauhan terdengar suara lonceng. Setelah cukup lama menjajagi Mimba Purana akhirnya buka kedua matanya.
“Aneh, semedi pendekku tidak mampu melihat atau mendapatkan satu petunjuk. Mengapa aku mengalami kesulitan masuk ke alam gaib. Tidak pernah kejadian seperti ini. Ada satu kekuatan membentuk tabir menghalangi semediku. Para Dewa di Kahyangan? Adakah kakak saya berada dalam keadaan selamat? Saya mohon perlindungan Para Dewa atas dirinya…”
Tiba-tiba di arah timur menyambar cahaya serta gelegar petir. Darah Mimba Purana tersirap. Lebih-lebih ketika dilihatnya di langit ada satu lingkaran kemerah-merahan mengelilingi matahari. Udara berubah redup seolah malam akan segera datang.
“Aneh, rasanya malam tiba lebih cepat dari biasanya. Apakah ini merupakan suatu berkat atau…” Mimba Purana berdiri, menatap ke arah kejauhan. Lalu dengan gerakan cepat tanpa suara, laksana terbang anak ini berkelebat menuruni lereng barat Gunung Merapi.
***
KEMBALI ke hutan jati yang masih dilamun kobaran api berasal dari ledakan Lentera Iblis. Wiro berpaling pada dua perempuan di sampingnya. “Nek, Dewi Kaki Tunggal, kau tak apa-apa…?”
Meski jelas mereka terluka di dalam dan masih ada sisa lelehan darah di dagu masing-masing namun dua perempuan itu sama menjawab kalau mereka baik-baik saja. Wiro yang tidak percaya ucapan orang berpikir sejenak lalu segera keluarkan delapan bunga matahari kecil dari balik pakaian.
“Mudah-mudahan bunga sakti ini bisa menolong kalian.” Lalu Wiro usapkan delapan bunga matahari kecil ke kening dan dada Ratu Randang serta Sakuntaladewi. Kedua perempuan itu sama-sama batuk beberapa kali.
Ratu Randang tarik nafas panjang. “Rasanya tubuhku jauh lebih segar.” Kata si nenek sambil mengusap dada.
Sakuntaladewi menyambung ucapan Ratu Randang, “Denyutan sakit di dadaku lenyap.” Lalu dia bertanya pada Wiro. “Kau tidak mengobati dirimu sendiri?”
“Dadaku memang sakit. Aliran darah terasa tersendat dan tubuhku terasa panas. Kalau kalian tidak membantu ikut menghantam serangan yang dilakukan Pangeran Keparat itu, rasanya saat ini aku bisa-bisa sudah jadi bangkai gosong!”
Wiro lalu usapkan delapan bunga matahari ke dadanya. Setelah tubuhnya terasa lega bunga dicium berulang kali. Terasa ada hawa sangat sejuk masuk ke dalam jalan pernafasan, mengalir dalam semua saluran darah di tubuhnya. Kemudian delapan bunga disimpan kembali di balik pakaian. Tiba-tiba terdengar suara tawa cekikikan. Suara perempuan.
“Hai, kami berdua dicium. Hik… hik. Kalian berenam tidak beruntung rupanya. Tidak kebagian ciuman…”
Wiro dan Ratu Randang serta Sakuntaladewi saling berpandangan.
“Siapa yang barusan bicara dan tertawa cekikikan?” Berbisik Sakuntaladewi.
Wiro menggaruk kepala. “Kurasa makhluk di dalam bunga. Delapan pocong. Bukankah mereka sebenarnya gadis dari alam gaib? Kalau kalian tidak percaya biar kucium lagi. Sekarang aku akan cium delapan bunga itu bergantian agar tidak ada yang iri.”
“Sudah…” kata Ratu Randang pula yang merasa disindir sambil cepat memegang tangan kanan Wiro yang hendak mengeluarkan delapan bunga matahari kecil. Lalu si nenek berkata. “Tadi waktu lima cahaya biru halus muncul, kau kudengar mengatakan sesuatu. Lima Jarum Penjahit Raga. Aku memang melihat sinar biru seperti benang dan lima jarum menancap di atas kepala Ksatria Roh Jemputan. Jika itu nama satu ilmu kesaktian, dari mana kau tahu? Siapa pemiliknya yang tadi menjahit lima bagian tubuh pangeran jahanam itu?”
“Pemilik satu-satunya Ilmu Lima Jarum Penjahit Raga adalah Penguasa Atap Langit.” Menerangkan Wiro.
Ratu Randang dan Sakuntaladewi sama-sama tercengang.
“Aneh!” Kata Sakuntaladewi.
“Wiro, bagaimana kau tahu nama ilmu aneh yang menjirat Pangeran Matahari itu? Lalu juga dari mana kau tahu pemilik ilmu kesaktian itu adalah Penguasa Atap Langit?” Bertanya Ratu Randang.
“Ketika berada di Negeri Atap Langit aku pernah melihat sendiri Penguasa Atap Langit menyerang Ken Parantili dengan ilmu itu. Ken Parantili sempat kudengar menyebut ilmu serangan itu. Yang membuat dia jadi lumpuh, tak mampu bergerak…”
“Ken Parantili. Di mana selir itu sekarang?” tanya Ratu Randang.
Wiro hanya gelengkan kepala lalu berpaling pada Sakuntaladewi. “Tadi kau bilang aneh. Apa yang aneh?”
“Kalau Ilmu Jarum Penjahit Raga adalah milik makhluk yang kau sebut Penguasa Atap Langit, berarti tadi dia berada di tempat ini.”
“Kurasa begitu,” jawab Wiro. “Tadi aku melihat ada bayangan hijau berkelebat di dekat sosok Pangeran Matahari.”
“Penguasa Atap Langit menjahit Pangeran Matahari dengan ilmu anehnya. Berarti dia menolong kita. Mengapa dia melakukan hal itu? Waktu muncul tidak kelihatan, setelah menolong dia lenyap begitu saja. Dari bayangan hijaunya tadi aku mengira dia adalah Sinuhun Muda Ghama Karadipa. Ada apa sebenarnya dia datang ke Bhumi Mataram ini? Untuk maksud baik atau jahat?”
“Nek, sebelum aku meninggalkan Negeri Atap Langit aku melihat ada beberapa perubahan pada diri Penguasa Atap Langit. Dia seperti ingin menjadi makhluk baik…”
“Makhluk jahat seperti dia ingin berbuat baik? Tidak masuk di akal!” Sahut Ratu Randang.
“Satu makhluk jahat berubah menjadi baik secepat membalik telapak tangan memang tidak masuk akal!” Sakuntaladewi sambung ucapan si nenek
“Aku punya dugaan sebenarnya Penguasa Atap Langit makhluk baik. Beberapa kesalahannya adalah memberikan ilmu kesaktian pada Sinuhun Merah Penghisap Arwah dan kawan-kawannya. Lalu Sinuhun sialan itu menyalahgunakan ilmu kesaktian yang didapatnya. Kesalahan lain adalah memelihara sekian banyak gundik dan setiap enam bulan sekali membunuh selir pertama Setahuku dia melakukan itu untuk kelanggengan ilmunya.”
“Walau tadi kita sama menduga dia telah menolong kita dengan menjahit Ksatria Roh Jemputan tapi aku merasa dia tetap makhluk jahat yang harus diwaspadai. Aku yakin ada satu hal tersembunyi mengapa dia datang ke Bhumi Mataram.”
“Nek, kurasa dia tengah mencari selir pertamanya, Ken Parantili!” Jawab Wiro.
“Gagal membunuh selir itu di Negeri Atap Langit lalu mau menghabisinya di Bhumi Mataram ini?” Ucap Ratu Randang pula. Lalu si nenek menyambung ucapannya. “Kalian lihat tadi ada makhluk mengerikan keluar dari tubuh Ksatria Roh Jemputan sebelum meledak?”
“Itu sosok Roh Sinuhun Merah Penghisap Arwah.” Yang menjawab Sakuntaladewi. “Sosok rohnya tidak sempurna lagi karena tiga dari delapan pecahan nyawanya sudah amblas. Ini sebagai akibat karena Wiro berhasil membunuh tiga anak kucing merah itu.”
“Dunia penuh keanehan!” Kata Ratu Randang sambil geleng-geleng kepala. Makhluk-mahluknya lebih aneh lagi. Dalam keanehan itu gentayangan segala macam niat jahat dan busuk!”
Wiro memandang berkeliling.
“Kawan-kawan, kita seperti melupakan Kunti Ambiri. Jangan-jangan…”
“Aku khawatir sebelum seluruh tubuhnya masuk ke dalam tanah, cahaya kuning Lentera Iblis sempat menghantamnya.” Berkata Sakuntaladewi sambil ikut pula memandang berkeliling.
“Jika dia tewas dengan tubuh terkutung, bagian tubuh sebelah atas pasti ada di sekitar sini, bagaimanapun ujudnya.” Jawab Wiro. Mendadak murid Sinto Gendeng ingat sesuatu. Setengah berteriak dia berkata. “Astaga!
Kita juga melupakan Ni Gatri. Dan Jaka Pesolek! Di mana
mereka?!”
Ketiga orang itu lalu sama-sama berteriak.
“Ni Gatri! Jaka Pesolek! Kalian di mana?”
Tak ada suara jawaban. Kobaran api yang membakar hutan jati semakin besar karena tiupan angin dari arah barat.
“Aku akan mencari mereka! Aku tidak akan meninggalkan tempat ini sebelum menemui keduanya!” Kata Wiro.
“Kami berdua akan membantu! Sekalian kita menyelidik apa yang terjadi dengan sahabat Kunti Ambiri.” Kata Ratu Randang pula.
“Sebaiknya kita berpencar. Aku akan naik ke atas salah satu pohon jati agar lebih mudah menyelidik.” Berkata Sakuntaladewi.
Baru saja ke tiga orang itu hendak berpencar, dari balik satu batang pohon jati yang condong nyaris tumbang karena akarnya terbongkar berserabutan, sekonyong­konyong keluar seseorang, melangkah tertatih-tatih. Orang ini mengenakan pakaian merah muda yang kotor dan penuh robek hingga auratnya tersingkap di mana-mana. Rambut riap-riapan. Dia berjalan sambil menangis kucurkan air mata, menggendong seorang anak perempuan yang keadaannya sangat memilukan. Pipi kiri sembab sampai ke mata seperti bekas pukulan. Pakaian tersingkap tak karuan.
Orang yang menggendong bukan lain Jaka Pesolek, sedang yang digendong adalah Ni Gatri! Saat itu Jaka Pesolek kelihatan tidak mampu lagi berdiri. Kedua kakinya terlipat lalu tersungkur di tanah. Ni Gatri terguling lepas dari gendongannya. Wiro, Ratu Randang dan Sakuntaladewi sama-sama berseru kaget dan menghambur mendatangi.
“Jaka, apa yang terjadi padamu dan Ni Gatri?!” Tanya Wiro.
Jaka Pesolek tidak menjawab. Wajah tampak pucat, tubuh bergetar, mulut sesenggukan dan ada air mata meluncur jatuh di pipinya.
“Celaka! Ada yang tidak beres!” Wiro membungkuk, memeriksa Ni Gatri. Sekali pandang saja dia sudah tahu apa yang terjadi. Wiro coba tepuk-tepuk pipi anak perempuan itu. Tapi Ni Gatri diam saja. Si anak ternyata sudah tak bernafas lagi.
“Jahanam! Kau memperkosa anak perempuan ini! Ni Gatri sudah tidak bernyawa! Pasti kau juga yang punya pekerjaan! Memperkosa lalu membunuhnya!” Wiro berteriak menggeledek.
Tangis Jaka Pesolek menghambur. Kepala digeleng berulang kali. Tidak pikir panjang lagi Wiro hantamkan kaki kanannya ke kepala Jaka Pesolek. Si gadis tidak berusaha menghindar, seolah memang sudah pasrah!
***
EMPAT BELAS
RATU Randang cepat menggelung pinggang Wiro lalu menariknya ke belakang. Bersamaan dengan itu Sakuntaladewi palangkan kaki tunggalnya di arah tendangan.
Buukkk!
Kaki kanan Wiro beradu dengan kaki tunggal Sakuntaladewi. Kepala Jaka Pesolek selamat dari tendangan maut Pendekar 212 namun Sakuntaladewi terpekik kesakitan. Tubuhnya mencelat membal ke udara sampai tiga tombak! Begitu turun dengan menahan sakit, terpincang-pincang Sakuntaladewi cepat mendatangi Jaka Pesolek sementara Ratu Randang masih terus memegangi Wiro.
“Jaka Pesolek, katakan apa yang terjadi. Benar kau…”
Ditanya Sakuntaladewi seperti itu Jaka Pesolek gelengkan kepala dan menjawab. “Tidak, aku tidak berbuat sekeji itu. Anak ini…”
“Apa Pangeran Matahari yang telah berlaku biadab? Memperkosa Ni Gatri?!” Tanya Sakuntaladewi memotong ucapan Jaka Pesolek.
“Tidak, bukan dia. Dia memang punya maksud mesum tapi tidak kesampaian…”
“Kami melihat sewaktu di telaga air terjun dia melarikan Ni Gatri. Pasti dia telah melakukan sesuatu. Bagaimana kau bisa mengatakan tidak.” Ratu Randang berkata, masih dengan memegangi Wiro walau tidak seerat tadi.
“Aku menguntit pangeran itu ketika dia membawa lari Ni Gatri. Dia memang punya maksud keji. Tapi saat itu sebenarnya Ni Gatri sudah tidak bernyawa akibat perbuatan terkutuk anak lelaki jahanam bernama Dirga Purana.
Aku yakin Ni Gatri telah dirusak kehormatannya ketika berada di dalam goa di belakang air terjun. Pangeran Matahari marah besar ketika mengetahui kalau dirinya telah kedahuluan. Namun entah setan apa yang masuk ke dalam tubuhnya, tiba-tiba saja dia juga hendak memperkosa Ni Gatri. Aku berusaha mencegah. Tapi aku ditendang dan dihajar babak belur. Ketika aku hampir mati di tangannya, untung kalian datang menolong. Sewaktu terjadi pertarungan antara Wiro dengan Pangeran Matahari aku mendatangi Ni Gatri yang terhampar di dalam hutan jati sana. Ketika aku periksa keadaannya, anak malang itu ternyata memang sudah tidak bernyawa lagi. Tubuhnya kugendong, kubawa ke sini…” Jaka Pesolek bicara sambil berusaha menahan sesenggukan. Dia sengaja tidak menceritakan kalau dirinya juga hendak diperkosa oleh Pangeran Matahari sebelum sang pangeran tahu keadaan auratnya.
Mendengar cerita Jaka Pesolek itu Pendekar 212 berteriak marah. Sekujur tubuh bergetar. Ketika dia membuat sentakan keras, Ratu Randang yang masih mencekalnya terlempar dan terjengkang di tanah. Wiro menghambur memeluk Ni Gatri. Wajah anak perempuan itu dicium berulang kali. Sambil mencium kening Ni Gatri Wiro berkata, “Adikku, maafkan aku tidak dapat menolongmu. Aku bersumpah akan membalaskan sakit hati serta kesengsaraan yang kau alami! Adik, tidurlah dengan tenang.”
Perlahan-lahan Wiro berdiri. Dua tangan dikepal. Sepasang mata tampak merah.
“Kalian semua!” Wiro berkata dengan suara keras. Tolong urus jenazah Ni Gatri. Kuburkan, jangan dibakar!”
“Kau sendiri mau ke mana?!” Tanya Ratu Randang sambil berdiri.
“Aku akan kembali ke air terjun mencari anak jahanam bernama Dirga Purana itu! Dia harus mampus di tanganku. Hari ini juga!”
“Wiro…” Teriak Sakuntaladewi berucap.
Namun Wiro mendahului sambil tunjukkan jari telunjuk ke langit, “Tidakkah kalian melihat keanehan? Langit di atas sana tampak redup. Sore pergi begitu saja. Malam datang lebih cepat…”
“Kami memang melihat keanehan.” jawab Sakuntaladewi “Tapi, kami harap…”
Namun Wiro tak dapat menahan sabar. Sekali berkelebat dia sudah melesat ke arah barat.
Ratu Randang menarik nafas dalam lalu berkata pada Sakuntaladewi dan Jaka Pesolek, “Kita bertiga harus menguburkan Ni Gatri cepat-cepat lalu mengejar Wiro. Aku tidak mau dia pergi sendirian. Roh Sinuhun Merah Penghisap Arwah masih gentayangan. Masih ada saudara kembaran nyawanya Sinuhun Muda Ghama Karadipa. Lalu bocah bernama Dirga Purana itu bukan pula anak sembarangan! Apa lagi kalau saudaranya Mimba Purana turun tangan kembali menolongnya. Ditambah dengan arwah-arwah bejat yang jadi kaki tangan Sinuhun Merah ada pula di mana-mana. Jika mereka bergabung menghadapi Wiro, bisa celaka sahabat kita itu. Kawan-kawan, cepat bantu aku membuat liang kubur!”
Baru saja Ratu Randang selesai berucap tiba-tiba ada perempuan berseru. “Sahabat bertiga, tidak usah bersusah payah. Biar aku yang menyiapkan makam buat sahabat kecil kita yang malang itu!”
Dua tangan halus putih mencuat keluar dari dalam tanah. Jelas tangan perempuan mengenakan pakaian berlengan panjang warna hijau tipis! Lalu rrrtttttt. Dua tangan bergerak menggurat tanah berbentuk empat persegi panjang. Sesaat kemudian bersamaan dengan mencelatnya keluar orang yang menggurat, tanah berhamburan ke udara dan tahu-tahu satu lobang besar sudah menganga di hutan jati!
“Sahabat Kunti Ambiri!” Berseru Sakuntaladewi ketika melihat siapa adanya orang yang barusan keluar dari dalam lobang di tanah. Semua orang merasa gembira melihat Kunti Ambiri tidak kurang suatu apa.
Saking girangnya melihat Kunti Ambiri selamat, Jaka Pesolek langsung saja hendak memeluk dan mencium gadis cantik alam roh itu. Tapi cepat didorong oleh Kunti Ambiri hingga terjajar ke belakang.
“Kunti Ambiri, syukur kau masih hidup. Sebelumnya kami sudah menduga yang tidak-tidak! Kami menyangka kau sudah menemui ajal.” Berkata Ratu Randang. “Apa yang terjadi dengan dirimu?”
“Cuma nasib baik saja Nek,” Jawab Kunti Ambiri. “Kalau terlambat sedikit saja aku masuk ke dalam tanah, kepalaku pasti sudah leleh dihajar cahaya Lentera Iblis Pangeran keparat itu!”
“Dia sudah mampus dihajar ledakan Lentera Iblis miliknya sendiri.” Menerangkan Ratu Randang.
Kunti Ambiri menatap ke langit. “Heran, mengapa hari ini sore cepat sekali berlalu. Di langit sebelah sana malah sudah tampak bayangan rembulan…”
“Sahabat Wiro tadi juga mengatakan hal itu.” Berkata Ratu Randang.
“Lalu sekarang dia berada di mana?” Tanya Kunti Ambiri pula.
“Dia pergi ke gua di balik air terjun. Katanya mau membunuh bocah bernama Dirga Purana itu…”
“Astaga, apa yang terjadi?!” Kunti Ambiri baru sadar, menatap ke arah Ni Gatri. Gadis cantik alam roh ini segera saja maklum apa yang telah dialami anak perempuan itu sebelum menemui ajal. “Kurang ajar! Jika memang bocah itu telah berbuat keji, dia pantas dihabisi!”
Setelah selesai mengubur Ni Gatri, Kunti Ambiri melirik ka arah Jaka Pesolek yang berpakaian compang-camping penuh robekan, termasuk celana dalam yang dikenakannya dan merupakan hadiah dari patung sakti Nyi Roro Jonggrang. Seperti diceritakan sebelumnya celana dalam itu adalah untuk Kunti Ambiri tapi ditilap oleh Jaka Pesolek. Walau sampai saat itu masih merasa jengkel terhadap Jaka Pesolek bahkan tadi sempat mendorongnya, namun merasa tidak tega melihat keadaan Jaka Pesolek yang kusut masai tidak karuan. Dari balik pakaiannya Kunti Ambiri keluarkan sehelai pakaian salinan berwarna hijau. Pakaian dilempar ke arah Jaka Pesolek.
“Sahabat, aku sangat berterima kasih,” kata Jaka Pesolek sambil segera menyambuti pakaian yang dilempar. Dia membungkuk berulang kali lalu cepat-cepat menyelinap ke balik semak belukar. Hanya beberapa saat setelah Jaka Pesolek lenyap di balik semak belukar tiba-tiba terdengar suara jeritan gadis itu.
“Tolong… tol…!”
Suara jeritan putus.
Kunti Ambiri, Ratu Randang dan Sakuntaladewi tersentak kaget. Ketiganya segera melesat ke balik rumpunan semak belukar. Namun Jaka Pesolek tidak ada di situ!
“Jangan-jangan gadis itu sudah diculik Sinuhun Merah Penghisap Arwah!” Kata Sakuntaladewi.
Ketiga orang itu saling berpandangan.
“Nek, aku mencium bau kemenyan terbakar.” Kata Sakuntaladewi.
“Aku juga,” jawab si nenek sementara Kunti Ambiri menyelidik dengan pandangan mata ke berbagai jurusan hutan jati. Walau tidak melihat ujud nyata tapi dia merasa ada seorang lain di tempat itu.
***
LIMA BELAS
KEADAAN di kawasan air terjun merayap gelap walau di barat sang surya masih tampak menggelantung di langit. Dari balik semak belukar lebat untuk beberapa lama Pendekar 212 Wiro Sableng memperhatikan keadaan sekitar telaga. Mata dipentang telinga dipasang. Kemudian dia memperhatikan ke arah air terjun. Dengan mengerahkan Ilmu Menembus Pandang pemberian Ratu Duyung, Wiro mampu melihat mulut goa di tebing batu di belakang air terjun. Goa yang selama ini menjadi tempat kediaman Dirga Purana dan juga sering dipergunakan oleh Sinuhun Merah serta Sinuhun Muda.
“Aku harap bocah keparat itu belum kabur!” Kata Wiro dalam hati. Dia keluar dari balik semak belukar, melesat ke tengah telaga, berdiri di atas sebuah batu besar. Tenaga dalam dihimpun ke pertengahan perut lalu dialirkan ke arah tangan kanan. Begitu kekuatan penuh telah terkumpul di tangan kanan, Wiro membuat gerakan mengayun lalu didahului satu teriakan keras dia lepaskan Pukulan Dewa Topan Menggusur Gunung, ilmu pukulan sakti yang didapat dari gurunya Tua Gila di Pulau Andalas.
Curahan air terjun langsung terputus dan tertahan begitu pukulan melanda. Ketika ujung angin sakti pukulan menghantam hancur tebing batu dan sebagian mulut goa, Wiro cepat melompat sementara batu besar yang tadi dipijaknya berderak terbelah di empat bagian. Tubuh Wiro melesat di udara, melewati celah air terjun dan sesaat kemudian dia sudah berada di depan mulut goa. Air terjun yang terbelah menyatu dan kembali mencurah jatuh ke dalam telaga.
Wiro cepat berkelebat masuk ke dalam goa. Sambil melangkah dia siapkan Pukulan Sinar Matahari di tangan kanan hingga tangan kanannya berubah seputih perak berkilau mulai dari ujung jari sampai ke siku. Selain itu agar lebih waspada dia juga menerapkan Ilmu Menembus Pandang. Namun aneh, dia tidak bisa melihat benda-benda lain selain lorong goa yang dilaluinya.
“Ada kekuatan hebat menahan Ilmu Menembus Pandang. Berarti anak jahanam itu masih berada di sini. Paling tidak ada kaki tangannya yang berjaga-jaga!” Wiro membatin. Dia terus melangkah.
Kalau sepuluh tombak pertama bagian dalam goa diselimuti kegelapan, namun selewat sepuluh tombak keadaan mulai terang. Ternyata bagian dalam goa itu kini berubah menyerupai satu bangunan kokoh. Lantai goa, dinding kiri kanan dan bagian atas bukan lagi berupa tanah dan bebatuan namun berbentuk batu pualam putih keabu­abuan. Hawa di tempat itu kini juga terasa sejuk.
Di pertengahan goa Wiro menemui sebuah kolam bundar. Di tengah kolam terdapat sebuah patung. Wiro terkejut ketika melihat patung itu merupakan ujud Penguasa Atap Langit!
“Aneh, mengapa Patung Penguasa Atap Langit ada di tempat ini? Apakah ini termasuk kediaman dan daerah kekuasaannya? Atau mungkin patung itu dibuat oleh orang-orang Sinuhun Merah Penghisap Arwah termasuk bocah jahanam itu sebagai penghormatan pada sang guru?!”
Khawatir ada makhluk sembunyi di dalam patung Wiro segera memeriksa patung dengan Ilmu Menembus Pandang. Kali ini ilmu kesaktian itu mampu diterapkan. Ternyata patung itu bersih, tak ada makhluk yang mendekam di dalamnya.
Wiro mengikuti lorong batu pualam di seberang kolam. Berjalan sepuluh tombak lorong batu pualam ternyata buntu, tertutup sebuah batu hitam besar berlapis lumut tebal berwarna merah. Ketika Wiro mendekati, sayup sayup dia mendengar suara air mengalir.
“Kurasa ada sungai mengalir di belakang batu berlumut merah ini,” membatin Wiro.
Karena sampai saat itu masih belum menemukan jejak anak lelaki yang dicarinya Wiro berteriak. “Dirga Purana! Bocah keji keparat! Di mana kau sembunyi?!”
Pada saat itulah secara tidak terduga lumut merah yang menyelubungi batu besar bergerak aneh seperti mengelupas. Di lain kejap lapisan lumut telah berubah menjadi larikan kain lebar berwarna merah dan secepat kilat berkelebat siap menyelubungi Wiro.
“Selubung Kain Kafan Merah!” Ucap Wiro tersentak kaget. Cepat dia menghantam dengan tangan kanan. Wiro segera lepas Pukulan Sinar Matahari. Cahaya putih berkilau menggelegar dahsyat. Hawa panas menebar. Batu besar di depan sana hancur berkeping-keping terkena hantaman Pukulan Sinar Matahari. Beberapa bagian dari lorong goa yang dilapisi batu pualam ikut berderak runtuh. Sementara itu walau Pukulan Sinar Matahari berhasil dibuat tercabik-cabik dan dikobari api, secara aneh Kain Kafan Merah menyatu kembali dan dalam gerakan lebih cepat dari serangan pertama berhasil menyelubung sosok Wiro mulai dari kepala sampai ke betis.
Wiro berusaha merobek kain merah. Tapi seperti yang pernah terjadi sebelumnya hal itu tidak mampu dilakukan. Dia kerahkan tenaga dalam, berusaha menjebol kelumunan Kain Kafan Merah dengan Pukulan Tangan Dewa Menghantam Matahari dan Pukulan Tangan Dewa Menghantam Air Bah.
Dess! Desss!
Dua pukulan sakti seperti menghantam bantalan kasur tebal dan empuk, lenyap seolah hembusan asap!
“Gila!” Wiro memaki dalam hati. Dia jatuhkan diri, berguling di lantai goa. Berusaha mencari jalan lain untuk selamatkan diri dari telikungan Kain Kafan Merah. Namun Kain Kafan Merah semakin ketat menelikungnya. Malah dia merasakan tubuhnya menjadi lemah. Tenaganya seolah tersedot!
Wiro ingat, ketika dia dan sukmanya ditelikung Kain Kafan Merah di Negeri Atap Langit, sang sukma berhasil meloloskan diri. Maka Wiro cepat merapal ajian untuk mengeluarkan sukmanya dari dalam tubuh.
“Sukmaku, keluarlah. Musnahkan Kain Kafan Merah!”
Namun setelah dicoba berulang kali sang sukma tak kunjung keluar. Malah kini dadanya terasa sesak, tenggorokan seperti dicekik, sulit bernafas!
Dalam keadaan seperti itu tiba-tiba terdengar mengiang riuh suara perempuan.
“Apa yang terjadi? Mengapa keadaan tiba-tiba menjadi gelap?!”
“Kita ini berada di mana?!”
“Aku tidak bisa bernafas!
“Kita harus melakukan sesuatu!”
“Tapi kita tidak mungkin bisa keluar lagi. Kecuali kalau diminta oleh Ksatria Panggilan.”
“Dia hanya bisa memanggil kita satu kali. Berarti kita tidak bisa menolong dia untuk kedua kali. Padahal akan ada perkara besar menghadang! Bagaimana kalau nanti ada urusan yang lebih hebat? Dia tidak bisa minta tolong, kita tidak bisa menolong!”
“Lekas mencari akal!”
“Keluarkan Ilmu Madu Bunga Sakti Membersih Jalan Darah!”
Wiro tiba-tiba merasa ada hawa sejuk menjalar memasuki urat dan pembuluh darah dalam tubuhnya. Nafas yang sesak dan dada yang sakit lenyap. Ada rasa manis di dalam mulutnya yang berdarah. Namun hanya sesaat! Hawa sejuk lenyap, berganti hawa panas yang menerpa sekujur badan. Tenggorokan kembali seperti dicekik membuat dia sulit bernafas! Rasa manis di dalam mulut berubah menjadi rasa pahit luar biasa!
“Tidak mempan!” Tiba-tiba ada suara perempuan berseru.
“Celaka!”
“Tunggu! Aku melihat ada petunjuk dari bokong Ksatria Panggilan!”
“Kau ini bicara apa! Jangan berani kurang ajar!”
“Sudah! Lihat saja nanti!”
Suara perempuan bersahut-sahutan yang mengiang di telinganya membuat Wiro tersentak dan berhenti berguling di lantai goa.
“Delapan Pocong Perempuan. Salah seorang dari mereka melihat ada petunjuk dari bokongku. Apa maksudnya?” Ucap Wiro dalam hati. Dia berusaha berdiri dan ulurkan tangan hendak mengusap pantat. Tapi bluukk! Wiro langsung roboh karena dua kakinya seolah telah berubah menjadi benda leleh! Suara perempuan riuh berpelukan.
“Celaka!”
Wiro semakin sulit bernafas. Sepasang mata mulai kabur lalu segala sesuatunya berubah gelap.
“Hekk!”
Lidah Wiro terjulur keluar bersama melelehnya darah kental. Suara pekikan perempuan kembali mengiang di telinga Wiro. Dalam hati Pendekar 212 berucap, “Gusti Allah, kematian adalah kuasaMu dan bagian semua makhluk hidup. Saya pasrah menemui ajal! Tapi saya mohon! Bagaimana Eyang Sinto, bagaimana Kapak Naga Geni. Bagaimana raja, rakyat dan Kerajaan Mataram…”
Begitu Wiro menyebut nama Mataram mendadak sontak ada suara berdesir di belakang punggungnya di atas bokongnya! Dari bagian tubuh ini kemudian muncul getaran hawa dingin menjalar di sekujur tubuh.
Wuuttt!
Di dalam telikungan Kain Kafan Merah sebuah benda melesat keluar dari pinggang sebelah belakang Pendekar 212, menabur cahaya sembilan warna! Lalu breett breett brett. Kain Kafan Merah yang menelikung Wiro mulai dari kaki sampai ke betis bukan saja robek besar di sembilan bagian, tapi sekaligus membuat hangus Kain Kafan Merah, lalu berubah menjadi bubuk! Wiro cepat melompat menjauhi batu besar di ujung lorong goa.
“Delapan Pocong! Terima kasih telah menolongku!’’
“Ksatria Panggilan! Bukan kami yang menolongmu!” Terdengar jawaban.
Wiro terkesiap. Dia memandang berkeliling. Saat itulah di depannya berkelebat sebuah benda memancarkan sinar biru yang ketika diperhatikan ternyata adalah Keris Kanjeng Sepuh Pelangi.
“Keris sakti, terima kasih sampean menolongku.” Wiro cepat gerakkan tangan untuk menangkap senjata sakti itu. Namun Keris Kanjeng Sepuh Pelangi lebih cepat menyelinap masuk ke balik punggung Wiro, menyusup ke dalam robekan kain pakaian Ratu Randang yang jadi pembungkusnya.
Belum sempat Wiro menarik nafas lega tiba-tiba menggelegar satu letusan keras. Batu besar yang menutup ujung goa dan kini tidak berlumut lagi meledak hancur. Di bekas batu yang hancur tampak satu lobang besar. Saat itu pula terdengar suara menggemuruh. Ketika Wiro memandang ke depan kagetnya bukan alang kepalang. Dari lobang besar bergemuruh air bah berwarna merah! Saat itu jarak Wiro dengan ujung air bah sekitar dua belas tombak. Cepatnya air bah yang datang menggulung tidak mungkin bagi Wiro untuk menyelamatkan diri dengan lari ke mulut goa.
Sambil bergerak mundur Wiro lepas dua pukulan. Yang pertama Pukulan Dinding Angin Berhembus Tindih Menindih, yang kedua Pukulan Tameng Sakti Menerpa Hujan. Dua pukulan sakti pemberian Eyang Sinto Gendeng memang dapat menahan bahkan mendorong datangnya serbuan air bah. Namun hanya sebentar. Tak selang berapa lama air bah itu kembali menggemuruh lebih ganas ke arah Pendekar 212. Selain itu Wiro melihat ada cairan aneh berkilau mengambang di atas permukaan air bah. Wiro mencium sesuatu
“Aku mencium bau minyak…”
Baru saja Wiro keluarkan ucapan dalam hati tiba-tiba dari ujung sana kelihatan dua sosok bayangan, satu kecil satu besar. Walau tidak kelihatan wajah mereka namun keduanya tampak jelas menyulutkan api ke atas permukaan air bah yang digenangi minyak! Cepat sekali kobaran api membakar minyak di permukaan air bah! Wiro berbalik, berusaha melesat mencapai mulut goa yang kini berada belasan tombak di depan sana. Dua tawa bergelak menggelegar di dalam goa. Satu suara lelaki dewasa, satu lagi suara anak-anak.
“Pasti Sinuhun Muda keparat dan bocah sialan bernama Dirga Purana itu!” Rutuk Wiro dalam hati.
Tiba-tiba terdengar lagi suara bergemuruh.
***
ENAM BELAS
TEBING batu di atas mulut goa mendadak runtuh dan menutup mulut goa. Sekaligus menutup jalan keluar! Sementara gulungan air bah merah mendatangi dengan cepat sambil membuntal kobaran api ganas! Udara di tempat itu yang tadinya sejuk kini berubah menjadi panas. Di saat yang sama Wiro mendengar lapat-lapat suara jeritan perempuan banyak sekali. Mereka jelas-jelas dalam ketakutan yang amat sangat. Datangnya dari balik dinding batu pualam sebelah kanan.
“Delapan Pocong, kaliankah yang berteriak?!” Wiro bertanya ingin memastikan kalau dia tidak salah mendengar.
“Bukan kami! Jangan perdulikan kami! Selamatkan dirimu!” Terdengar jawaban perempuan.
“Aku tidak mungkin menyelamatkan diri!” Teriak Wiro.
“Jangan bicara tolol!”
“Betul! Keluarkan ilmu Membelah Bumi Menyedot Arwah! Gurat di lantai batu pualam pada dinding kiri. Jangan menggurat di dinding kanan! Alihkan arah air bah! Cepat lakukan! Kalau terlambat, bulan biru tidak akan pernah muncul di langit Mataram!”
Wiro terperangah. Ilmu Membelah Bumi Menyedot Arwah, itu memang ilmu kesaktian yang dimilikinya. Tapi bulan biru di langit Mataram, apa maksudnya?
“Diberi tahu malah seperti orang melamun! Kau mau kita mati konyol semua dalam goa ini?!”
“Sebaiknya kita cepat keluar dari dalam bunga matahari.”
“Tunggu!” Wiro berteriak. Dia cepat melompat mundur. Saat itu jarak antara dirinya dengan ujung air bah berapi hanya tinggal lima tombak. Tiga tombak di belakang terletak kolam yang ada patung Penguasa Atap Langit. Sambil merapal aji kesaktian Wiro guratkan kaki kanan di lantai batu pualam sementara dua tangan didorong ke depan mengeluarkan kekuatan sakti untuk menahan laju gemuruhnya arus air bah.
Rrreettt!
Guratan menimbulkan kepulan asap. Wiro merasa ada satu kekuatan tersembunyi di dalam lantai berusaha menyerangnya, membuat kakinya bergetar sampai ke lutut. Dengan cepat dia melompat ke atas setinggi setengah tombak. Kaki kanan kembali menggurat, kali ini digurat ke dinding goa sebelah kiri.
Rettt!
Sekarang tidak ada lagi kekuatan tersembunyi yang menyerang kaki Wiro.
Asap mengepul dari dinding batu pualam. Terjadilah hal luar biasa hebat yang Wiro sebelumnya tidak mengira. Di lantai goa menganga satu lobang besar dan dalam. Demikian juga di dinding batu pualam sebelah kiri. Dari kedua lobang muncul kekuatan menyedot dahsyat. Jangankan manusia, seekor gajahpun mampu disedot hingga amblas.
Ketika air bah datang menderu, arahnya serta merta terpecah dua. Yang pertama menggebubu masuk dan tersedot ke dalam lobang di lantai. Yang kedua bersibak masuk disedot ke dalam lobang di dinding kiri goa. Dengan kejadian itu tidak ada sedikitpun air bah berapi yang bisa terus melanda ke arah mulut goa. Di antara gemuruh suara air bah yang bersibak, lapat-lapat Wiro mendengar suara seorang menjerit. Lalu di ujung sana dia melihat ada satu bayangan hijau tergulung dalam air bah merah berapi, ikut tersedot amblas ke dalam lobang besar di lantai goa! Bersamaan dengan itu dia juga mendengar suara jeritan anak kecil disusul suara genta lonceng. Sekilas dia seperti melihat ada cahaya kuning menyambar.
Tidak tunggu lebih lama Wiro segera lari ke mulut goa sambil siapkan satu pukulan sakti untuk mendobrak jalan keluar yang tertutup runtuhan batu-batu tebing.
Tiba-tiba kembali terdengar suara jerit pekik perempuan banyak sekali. Ada pula suara menangis meraung­raung.
“Tolong! Tolong!”
“Hyang Jagat Bathara! Selamatkan kami!”
Kini jelas suara teriakan itu berasal dari orang-orang yang minta tolong. Seperti tadi datangnya dari balik dinding kanan goa. Karena Wiro menghadap ke arah mulut goa, sekarang suara itu muncul dari balik dinding kiri.
“Suara perempuan berteriak minta tolong! Siapa mereka? Berada di mana?!” Wiro perhatikan dinding goa di arah kiri. Dia segera mengeluarkan Pukulan Tangan Dewa Menghantam Karang untuk menjebol dinding batu pualam di hadapannya.
Wuttt!
Pukulan sakti pemberian Datuk Rao Basaluang Ameh menggelegar. Seantero goa bergoncang laksana dihantam gempa keras namun dinding yang dipukul sedikitpun tidak rusak apa lagi jebol! Di balik dinding suara jeritan perempuan semakin menjadi-jadi.
“Kasihan! Ada banyak nyawa yang agaknya terancam di balik dinding ini. Tapi aku tak berdaya menolong!” Wiro garuk kepala lalu ingat ilmu yang diberikan kakek sakti Kumara Gandamayana padanya yaitu ilmu mengamblaskan diri ke dalam tanah. Dengan masuk ke bagian bawah goa dia mungkin bisa menemui perempuan-perempuan yang minta tolong itu. Dengan cepat Wiro hentakkan kaki kanan ke lantai goa.
Bukkk!
Lantai batu pualam bergetar sedikit. Pendekar 212 terkejut ketika ternyata dia tidak mampu mengamblaskan diri masuk menembus lantai batu pualam!
“Aku harus cepat keluar dari sini. Aku akan coba menolong orang-orang itu dari luar goa.” Wiro balikkan badan, siap lari ke arah mulut goa yang tertutup timbunan hancuran batu tebing.
Ketika lewat di samping kolam yang ada patung Penguasa Atap Langit, tiba-tiba terdengar suara mengiang di telinga kiri Pendekar 212.
“Yang Maha Kuasa berbuat sesuai kuasaNya. Niat dan perbuatan baik para makhluk tidak akan pernah lepas dari perhatianNya. Pertobatan akan mendapat balas dengan segala asih. Saat ini malam telah tiba. Lebih cepat datangnya dari seribu malam sebelumnya. Segala kebajikan menuai berkah. Rakhmat sejahtera dan ketenteraman akan menjadi bagian Bhumi Mataram. Kuasa Para Dewa akan muncul malam ini. Di langit warna biru nyaris sempurna memenuhi lingkaran rembulan empat belas hari. Itulah pertanda dari Yang Maha Kuasa.”
Wiro hentikan lari. Dia menatap ke arah kolam lalu perhatikan patung Penguasa Atap Langit.
“Siapa yang bicara?” Wiro bertanya. Tak ada jawaban. Wiro ketok-ketok tempurung lutut kanan patung. Aneh! Kaki yang diketuk berjingkat ke atas. Wajah patung batu Penguasa Atap Langit tampak mengerenyit!
“Aku bertanya, siapa yang barusan bicara. Jika mau memberi petunjuk lekas katakan!”
Setelah kaki patung diketok mendadak saja ada jawaban, “Tidak usah bertanya siapa diriku. Dan jangan jahil mengetuk tempurung lututku! Lekas masuk ke sini. Lewat lobang ini kau akan sampai di ruangan sebelah, tempat para perempuan berteriak minta tolong! Selamatkan mereka. Kebajikanmu akan membuat bulan berwarna biru penuh. Bhumi Mataram akan kembali aman sejahtera.”
Wiro menggaruk kepala. “Penguasa Atap Langit? Kau yang barusan bicara? Aku mengenali suaramu!” Wiro keluarkan ucapan. Hidung menghirup. Dia mencium bau kemenyan terbakar.
“Sudah, waktumu tidak banyak. Lekas masuk ke dalam lobang ini!”
Wiro melongo kaget ketika mendengar suara berdesir dan melihat patung batu Penguasa Atap Langit tiba-tiba bergeser ke kiri lalu menggantung di atas kolam. Di bekas tempat tegaknya patung terlihat sebuah lobang batu empat persegi. Wiro menggaruk kepala.
“Jangan menaruh curiga. Jangan bersyak wasangka. Tidak ada maksud untuk menjebak. Lobang ini akan tetap terbuka sampai hitungan dua ratus. Inilah jalan keselamatan! Mulailah menghitung.”
Setelah menghilangkan kebimbangan hatinya Wiro mulai menghitung. Lalu dengan cepat dia melompat ke atas lobang batu di tengah kolam yang berada pada ketinggian sepinggang di atas air. Di bagian bawah lobang dia melihat delapan anak tangga berwarna merah. Wiro cepat masuk ke dalam lobang lalu menuruni delapan undakan batu. Di sebelah bawah, satu langkah di hadapannya dia menemukan sebuah tangga lain yang juga punya delapan anak tangga, mengarah naik ke atas menuju sebuah ruangan dengan tiga dinding berwarna merah sementara dinding ke empat di sebelah depan merupakan dinding tembus padang. Entah dari mana datangnya, air berwarna merah tampak menggenangi ruangan. Saat itu sudah mencapai ketinggian sebatas lutut. Belasan perempuan berada dalam ruangan itu. Mereka berteriak-teriak, meraung menangis. Ada pula yang menggedor-gedor dinding tembus pandang menyerupai kaca. Rata-rata mereka adalah gadis atau perempuan muda berwajah cantik. Namun ada juga beberapa orang anak perempuan sebaya Ni Gatri.
Wiro melompati delapan anak tangga sekaligus. Pada hitungan ke tiga puluh enam di depan dinding tembus pandang dia sama sekali tidak melihat pintu atau jalan masuk. Wiro kerahkan sedikit tenaga dalam lalu menghantam dinding tembus pandang dengan satu jotosan keras. Dinding tidak bergeming sedikitpun!
Wiro memberi tanda agar semua perempuan yang ada dalam ruangan menjauh dari dinding tembus pandang karena dia siap menjebol dinding itu dengan pukulan sakti berkekuatan tenaga dalam penuh. Namun hampir semua perempuan di dalam ruangan berteriak dan memberi isyarat dengan goyangan tangan agar Wiro tidak melakukan hal itu.
Beberapa di antaranya membuat gerakan tangan, menunjuk ke arah dinding batu sebelah kiri di luar ruangan. Di salah satu bagian dinding menempel sebuah batu bulat berwarna merah.
“Batu merah! Tekan batu merah!” Perempuan-perempuan itu berteriak sambil mencontohkan gerakan menekan dengan telapak tangan masing-masing. Saat itu Wiro sudah sampai pada hitungan ke seratus sepuluh. Mendengar apa yang diteriakkan serta tanda yang diberikan beberapa perempuan di dalam ruangan, Wiro cepat mendatangi dinding di samping kiri lalu tanpa ragu menekan satu tonjolan batu berwarna merah. Saat itu juga terdengar suara aneh seperti suitan bersahut-sahutan disusul suara deru keras. Bersamaan dengan itu dinding tembus pandang terbelah di bagian tengah. Masing-masing belahan bergeser ke kiri dan ke kanan. Air merah di dalam ruangan langsung mencurah ke ruangan bawah tempat dua tangga batu berundak delapan bertemu. Beberapa orang perempuan hampir terpeleset akibat seretan air merah yang cukup deras.
“Lekas keluar! Ikuti aku!” Teriak Wiro. Namun dia sadar, orang-orang itu tidak mungkin menuruni tangga yang satu lalu naik lagi ke tangga yang lain sementara genangan air merah telah memenuhi lantai. Untuk disuruh menyeberang dengan cara melompat pasti mereka tidak mampu, malah bisa-bisa tercebur ke dalam air merah.
Wiro menggaruk kepala. Tiba-tiba dengan cepat dia melompat ke udara, lalu membelintang menelungkup antara dua buah tangga batu pada undakan ke lima. Dua kaki bersitekan pada anak tangga ke lima di depan dinding tembus, dua tangan berpegangan kuat pada anak tangga di sebelah lainnya. Tubuh dibuat demikian rupa dijadikan jembatan penyeberang.
“Kalian semua! Lekas melintas di atas punggungku! Menyeberang ke ruangan sebelah! Cepat! Satu-satu! Jangan berebutan! Jangan saling dorong!”
Tapi yang namanya perempuan tetap saja mereka berteriak riuh. Apa lagi dalam keadaan takut kacau balau mereka berebutan cari selamat saling mendahului satu sama lain. Akibatnya dari enam belas perempuan yang berusaha menyeberang melalui tubuh Wiro, tiga di antaranya terpeleset dan jatuh tercebur ke dalam genangan air merah sedalam dua ketinggian tubuh manusia! Wiro tak mungkin menolong sementara tubuhnya masih terus dijadikan landasan jembatan untuk menyeberangi.
***
TUJUH BELAS
TlGA belas perempuan yang berhasil selamat setelah sampai di sebarang cepat dituntun Wiro berlari menaiki tangga menuju ke arah lobang empat persegi yang masih menganga di atas kolam! Saat itu sudah sampai hitungan seratus empat puluh! Pada hitungan ke seratus sembilan puluh satu, perempuan terakhir keluar melewati lobang batu empat persegi. Begitu memasuki hitungan ke seratus sembilan puluh sembilan patung batu Penguasa Atap Langit yang menggantung di atas kolam bergeser kembali ke tempatnya semula, menutup lobang. Wiro menarik nafas lega. Dia mendahului lari ke arah mulut goa yang saat itu masih tertutup runtuhan batu-batu tebing yang hancur.
Dari jarak dua tombak Wiro lepaskan pukulan sakti dengan kedua tangannya yang tak lain adalah Pukulan Dewa Topan Menggusur Gunung dan Benteng Topan Melanda Samudera.
Blaarr! Blaarr!
Timbunan puing batu di mulut goa hancur, beterbangan ke udara. Yang hancur ternyata bukan timbunan batu tapi juga puing di atasnya. Suara bergemuruh dan goncangan hebat melanda seantero tempat sewaktu dasar sungai besar di atas bukit batu yang menjadi tempat aliran air bergeser jauh, membuat curahan air terjun berpindah ke kanan sampai tiga tombak dari tempatnya semula dan kini tidak lagi mencurah masuk ke dalam telaga!
Wiro berdiri di tepi telaga dikelilingi sepuluh gadis dan tiga anak perempuan. Saat itu ternyata hari sudah malam. Menatap ke langit dia melihat bulan purnama empat belas hari berwarna biru.
“Aneh, aku sudah beberapa kali mendengar orang menyebut bulan biru. Tapi tidak menyangka kalau hal itu benar-benar berupa kenyataan. Apa yang sebenarnya telah terjadi?” Wiro membatin dalam hati. Lalu dia berpaling pada tiga belas perempuan cantik di sekelilingnya. Tiga di antaranya masih berusia belasan tahun.
“Kalian siapa? Mengapa berada di dalam goa?” Wiro bertanya.
Ditanya begitu rupa semua orang langsung jatuhkan diri, berlutut di tepi telaga yang kini airnya hanya tinggal setinggi mata kaki susut entah ke mana.
“Kami…, kami adalah orang peliharaan bocah bejat Dirga Purana. Kami sudah lama disekap di dalam goa. Kami harus melayani kemauan mesumnya…” Seorang perempuan muda bicara tersendat memberi tahu.
“Hah! Apa? Seorang bocah dua belas tahun punya belasan perempuan cantik sebagai peliharaan?! Gila!” Wiro tak bisa mempercayai. “Bocah jahanam terkutuk! Aku harap dia benar-benar sudah mampus di dalam goa sana!” Dalam marahnya dia ingat apa yang telah terjadi dengan Ni Gatri. Anak perempuan malang itu telah menjadi korban kemesuman Dirga Purana. Tapi adalah aneh bagaimana dia bisa berbuat mesum dengan gadis-gadis cantik yang lebih besar sosok tubuhnya dan lebih tua usianya.
“Kalian diperlakukan mesum oleh bocah sekecil itu. Bagaimana mungkin? Mengapa kalian mau saja?i” Wiro bertanya masih merasa tidak percaya.
Dengan menundukkan kepala salah seorang gadis menjawab, “Kami dicekoki semacam obat yang mempengaruhi jalan pikiran dan tidak mampu menolak apa mau anak itu. Selain itu, jika dia sedang berbuat keji tubuhnya berubah menjadi besar walau mukanya masih tetap anak­anak.”
“Dajal edan!” Teriak Wiro.
“Kakak siapa…?” Salah seorang gadis bertanya.
Wiro tak menjawab.
“Kami sangat berterima kasih pada kakak.” Seorang gadis lainnya berkata sambil berdiri. Yang lain-lain ikut berdiri. Lalu tiga belas gadis itu mengerubungi Wiro. Ada yang mencium tangannya, ada pula yang memeluknya sambil kucurkan air mata.
Tiba-tiba ada suara orang berseru lantang.
“Oala! Orang yang kita khawatirkan keselamatannya ternyata tengah bersenang-senang dengan belasan gadis cantik!”
Tiga belas gadis cepat melepaskan pelukan. Wiro berpaling ke arah telaga sebelah kiri. Di tepi telaga itu berdiri Ratu Randang senyum-senyum. Di sebelahnya tegak Sakuntaladewi sambil menggigit-gigit bibir, sementara agak jauh Kunti Ambiri berdiri sambil rangkapkan dua tangan di depan dada menatap ke langit memandangi bulan biru.
“Wiro, rejekimu rupanya besar nian malam ini! Dari mana kau dapat begitu banyak kekasih cantik?” Ratu Randang kembali keluarkan ucapan.
“Nek, mereka bukan kekasihku. Mereka para gadis peliharaan Dirga Purana. Mereka…”
“Sudah, sudah. Aku percaya pada ucapanmu. Rupanya Dirga Purana bocah kurang ajar itu sudah mati di tanganmu! Jadi kini kau merasa semua peliharaannya menjadi milikmu!”
“Bukan begitu Nek. Aku… Tanya saja sama mereka apa yang telah terjadi. Apa kau juga tidak melihat ada keanehan? Di langit bulan purnama empat belas hari berwarna biru!”
“Weehhh! Jangan mengalih pembicaraan dari kepergok bercumbu-cumbuan kepada bulan di langit tinggi. Jauh amat. Hik… hik… hik!”
Tiba-tiba di kegelapan malam melesat satu bayangan putih di tepi telaga sebelah timur. Ketika semua mata dipalingkan ke arah itu, di atas sebuah batu kelihatan berdiri satu jerangkong yang memancarkan cahaya putih. Di atas tengkorak kepalanya bergelung sehelai sorban berwarna kelabu.
“Emban Buyut Kumara Gandamayana. Lor Pengging Jumena.” Ucap Sakuntaladewi perlahan dengan suara bergetar sementara Ratu Randang dan Kunti Ambiri menatap tak berkesip. Tak ada yang berani bicara. Tiga belas gadis yang mengelilingi Wiro tampak ketakutan.
Jerangkong yang berdiri di atas batu dongakkan kepala, memandang ke arah bulan purnama biru di langit malam. Lalu makhluk ini keluarkan ucapan bersuara lembut tapi jelas terdengar oleh semua orang yang ada di sekitar telaga, padahal air terjun walau sudah berpindah tempat suaranya masih tetap menggemuruh deras.
“Kebajikan telah dibuat. Berkah Yang Maha Kuasa telah turun. Bulan biru menjadi kenyataan. Bhumi Mataram telah kembali pada ketenteraman. Sri Maharaja Rakai Kayuwangi Lokapala akan kembali memimpin kerajaan. Lalu mengapa kita masih menaruh syak wasangka dan berprasangka buruk…?”
Ratu Randang yang maklum kalau ucapan itu ditujukan pada dirinya cepat menjawab, “Embah Buyut Lor Pengging Jumena, maafkan saya. Sebenarnya tadi saya cuma bercanda…”
Seolah tidak mendengar apa yang diucapkan si nenek, jerangkong di atas batu lanjutkan ucapan.
“Di balik semua berkah itu masih ada perkara yang belum terselesaikan. Ksatria Panggilan, pergilah ke Kotaraja. Sebelum fajar menyingsing, selagi rembulan biru masih kelihatan ujudnya di langit Mataram, kau sudah harus sampai di sana. Temui Raja Mataram dan serahkan Keris Kanjeng Sepuh Pelangi pada beliau. Setelah Raja menerima senjata sakti itu minta izin padanya untuk kau pinjam barang seketika guna menyembuhkan cacat di kaki gadis bernama Sakuntaladewi itu. Hanya kau yang ditentukan mampu menyembuhkan cacat yang membawa derita sengsara dirinya. Lalu jangan lupa akan segala kaul yang telah terucap. Sebaik-baiknya hati adalah yang siap menerima segala kenyataan. Sebaik-baiknya perbuatan adalah yang dilakukan dengan segala keikhlasan…”
Sosok jerangkong di atas batu yang tadi bersinar terang perlanan-lahan berubah redup dan akhirnya lenyap dari pemandangan. Ratu Randang tundukkan kepala. Kunti Ambiri menatap ke arah air terjun yang kini telah berpindah tempat. Sakuntaladewi melirik ke jurusan Pendekar 212, dan tiga belas gadis tampak tertegun memandangi Wiro sang tuan penolong mereka.
“Kakak, kami akan mengantarmu ke Kotaraja…” Tiba­tiba salah seorang gadis berkata.
Wiro tersenyum lalu anggukkan kepala. “Kita semua sama-sama menuju ke sana. Kalau memang ada berkah Yang Maha Kuasa turun ke bumi, maka berkah itu adalah juga bagian kita semua yang ada di sini. Kalau kita semua bisa berjalan cepat sebelum tengah malam pasti sudah sampai di Kotaraja.” Wiro lalu melangkah mendekati Sakuntaladewi. Dipegangnya tangan gadis itu. “Aku sudah terlalu lama tidak memperhatikan dirimu. Saatnya aku harus menolongmu. Kita berangkat ke Kotaraja.” Lalu Wiro mendekati Kunti Ambiri. Memeluk gadis cantik alam roh ini pada punggungnya dan menggandengnya mendatangi Ratu Randang.
“Nek, sebelum aku merasa berkah Yang Maha Kuasa benar-benar menjadi bagian diriku, aku ingin menerima berkah darimu terlebih dulu…”
Ratu Randang tampak terkejut. “A… apa maksudmu?” Tanya Ratu Randang agak gagap.
“Ssstt! Berapa sisa ciumanku yang masih terhutang?” Ujar Wiro pula dengan suara sengaja diperlahan.
Sepasang mata si nenek mendelik, tapi wajahnya tampak berseri. Tidak malu-malu dan tidak menunggu lebih lama lagi Ratu Randang lalu rangkul dan daratkan belasan ciuman di wajah Pendekar 212. Kunti Ambiri geleng-geleng kepala. Sakuntaladewi senyum-senyum. Sepuluh gadis dan tiga anak perempuan tercengang-cengang melihat apa yang terjadi. Tapi tak urung semua mereka kemudian bersorak bahkan ada yang berseru dan tertawa haha-hihi!
TAMAT
Malapetaka di Bhumi Mataram belum sepenuhnya berakhir, karena nasib Eyang Sinto Gendeng masih belum ada kejelasan. Apa yang terjadi dengan Dirga Purana. Benarkah anak lelaki itu telah menemui ajal di dalam goa? Berhasilkah Wiro menyembuhkan cacat Sakuntaladewi dan terlaksanakah kaulan si gadis untuk menjadikan Wiro sebagai suaminya? Apa yang terjadi dengan Jaka Pesolek. Ke mana lenyapnya selir ke satu sang Penguasa Atap Langit?
Silahkan pembaca mengikuti kisah selanjutnya dalam jalinan cerita dimulai dengan judul:
LihatTutupKomentar