Neraka Krakatau

NERAKA KRAKATAU

SATU

MATA manusia biasa akan melihatnya sebagai suatu hal yang tidak dapat dipercaya. Namun ini adalah kenyataan. Sebuah perahu kecil meluncur deras seolah membelah air laut di selat Sunda menuju ke arah Barat Laut. Saat itu tengah hari tepat. Sang surya memancarkan sinarnya yang paling panas pada puncak ketinggiannya.
Di atas perahu tampak duduk seorang nenek berwajah angker. Tubuhnya kurus kering. Mukanya seperti tengkorak karena hanya tinggal kulit pembalut tulang. Dia mengenakan pakaian warna hijau tua. Perempuan tua ini memegang sebuah pendayung di tangan kirinya. Sikapnya mendayung acuh tak acuh saja.

Tetapi kekuatan dayungannya membuat perahu yang ditumpanginya melesat deras di permukaan air laut yang bergelombang. Rambutnya yang putih panjang riap-riapan ditiup angin. Sambil mendayung mulutnya yang perot terdengar menyanyi. Syair nyanyiannya terasa aneh.

Dosa muda salah kaprah
Jangan harap ampunan pasrah
Tujuh samudera akan kutempuh
Seribu badai akan kutantang
Yang berdosa berpura lupa
Berlagak bodoh seolah gagah
Kalau tak muncul perlihatkan dada
Anak turunan kujadikan mangsa
Sang istri sudah kudapat
Menyusul kini anak keempat
Satu persatu kubuat sekarat
Agar terkikis dendam berkarat

Ketika matahari muali bergeser ke Baat di kejauhan mulai kelihatan pantai Pulau Rakata. Lebih jauh lagi ke pedalaman menjulang Gunung Krakatau. Agaknya pulau inilah yang menjadi tujuan nenek angker itu. Si nenek menyeringai. Aneh!

Meski sudah berusia hampr 70 tahun tapi dia memiliki deretan gigi yang masih lengkap atas bawah. Hanya saja dua taringnya sebelah atas tampak lebih panjang seperti taring srigala hutan dan membuat tampangnya tambah mengerikan.

Nenek itu kembali tampak menyeringai. Dia memandang ke lantai perahu. Astaga! Ternyata di atas perahu itu dia tidak sendirian. Sesosok tubuh lelaki berusia sekitar 40 tahun tergeletak tak bergerak. Wajah dan dadanya yang tidak tertutup baju kelihatan penuh dngan guratan-guratan luka yang dalam dan mengerikan. Tidak dapat dipastikan apakah lelaki ini masih hidup atau sudah mati. Rupanya dia hanya pingsan. Sesaat terdengar orang ini siuman dan mengerang.

“Air… tolong…” terdengar suaranya meminta, sangat perlahan.

“Apa? Kau haus? Minta minum? Baik! Akan kuberi minum!”

Dari lantai perahu nenek ini mengambil sebuah batok kelapa. Dengan batok ini diciduknya air laut. “Ini! Minumlah!” Lalu isi batok diguyurkan ke dalam mulut orang yang terbuka setengah mati menderita haus itu!

Air laut asin itu tentu saja tidak akan melepas dahaga orang yang meminta. Sebaliknya orang ini malah keluarkan suara tercekik. Kedua matanya sejak tadi terpejam kini terbuka mendelik. Suara cekikan disusul dengan suara erangan tertahan. Air asin seolah mencekik tenggorokannya. Lalu sepasang mata itu tidak bergerak lagi dan hanya bagian putihnya saja yang kelihatan. Mati! Orang yang menggeletak di lantai perahu itu telah menemui ajalnya!

Anehnya si nenek tertawa mengekeh mengetahui orang itu mati. Seolah dia sangat membenci orang tua itu dan sama sekali tidak perduli akan kematiannya. “Kau akhirnya mampus juga Sampan! Aku sebenarnya kasihan padamu. Kau hanya anak yang menerima celaka karena dosa orang tuamu! Tapi tidak usah khawatir. Masih ada lima orang manusia lagi yang punya pertalian darah sangat dekat denganmu yang bakal menerima kematiannya! Hik hik hik! Kau tak usah cemas Sampan. Bukankah kau bakal berkumpul dengan kau punya ibu walau tidak satu liang kubur?! Hik hik hik!”

Si nenek mengayuh lagi perahunya acuh tak acuh. Pantai Pulau Rakata semakin dekat. Dari mulutnya kembali terdengar suara nyanyian tadi.

Jangan harap ampunan pasrah
Tujuh samudera akan kutempuh
Seribu badai akan kutantang

Serombongan burung camar tampak terbang cerai berai ketika seekor elang besar tiba-tiba muncul dan menyerbu. Pada saat itulah perahu si nenek angker mencapai tepi pantai Pulau Rakata pada sebuah teluk yang sempit. Perempuan ini melompat turun ke darat. Masih sambil menyanyi-nyanyi dia menarik perahu ke bawah sebatang pohon kelapa di tepi pasir.

Beberapa lama sebelum nenek dan perahunya mendarat di Pulau Rakata, dua orang leleaki berpakaian serba merah berlari cepat dari arah gunung.

“Kita sudah memeriksa hampir seluruh tepian kawah!” berkata orang yang di sebelah kanan. Namanya Supit Jagal. Di pinggangnya ada sebuah golok besar berbentuk segi empat seperti golok tukang jagal. “Jangan-jangan cerita tentang batu mustika itu hanya tipuan belaka!”

Kawannya berhenti berlari. “Coba kita lihat lagi peta rahasia itu!” katanya lalu mengeluarkan satu lipatan kertas dari kantong baju merahnya.

Lipatan kertas dibukanya kemudian dibentangkannya di atas pasir. Pada kertas yang terkembang itu terlihat gambar kasar Pulau Rakata lengkap dengan Gunung Krakatau. Di sekitar kawah ada tanda-tanda silang. Tanda silang itu juga terlihat pada beberapa bagian peta yang menghadap ke Selat Sunda.

“Tanda silang di sebelah ujung kawah sini merupakan bagian pulau yang belum kita selidiki. Bagaimana kalau kita menyelidik ke bagian tanda silang sebelah kanan. Tempatnya tak berapa jauh dari sini…”

“Aku setuju Tubagus Singagarang. Agaknya kita tadi terlalu jauh mendarat ke sebelah utara. Ini gara-gara angin keras di selat tadi…”

Tubagus Singagarang melipat peta itu kembali dan menyimpannya di dalam saku. Bersama Supit Jagal dia bergerak ke arah tenggara Pulau Rakata. Angin laut bertiup kencang memapas arah lari mereka. Di satu tempat Tubagus Singagarang hentikan larinya. Dia menunjuk ke arah deretan bagian kawah paling gersang dan agak mendaki di bagian Timur.

“Supit, kau lihat benda-benda aneh yang bersusun di sebelah sana?”

“Ya, aku melihat. Aneh. Benda apa itu? Berbentuk seperti perahu-perahu kecil. Tampaknya terbuat dari potongan pohon-pohon kelapa.”

“Ada tujuh semuanya...” kata Supit pula.

“Bukan mustahil di sana tersembunyinya batu mustika yang kita cari. Mari kita periksa!”

“Mari!” sahut Supit Jagal.

Kedua orang ini segera lari ke arah deretan benda yang mereka lihat. Begitu samapi di tempat yang dituju ternyata yang mereka lihat dari kejauhan tadi adalah gabungan-gabungan dua batang kelapa yang tengahnya dilubang seperti perahu.

“Apa ini?” ujar Tubagus Sungagarang. “Kotak bukan perahu bukan” Lalu dia melangkah mengikuti jejeran batang-batang kelapa itu sambil menghitung.

“Satu, dua, tiga, empat, lima, enam...” Memasuki hitungan ketujuh yaitu di hadapan batang kelapa yang ketujuh hitungan Tubagus Singagarang terhenti. Langkahnya justru kini tersurut. Mukanya yang garang mendadak menjadi pucat. Supit Jagal mendatangi dari belakang seraya bertanya.

“Ada apa Tubagus? Kau seperti melihat setan!”

“Lihat...” Suara Tubagus Singagarang agak bergetar dan jarinya menunjuk kedalam lobang pada gabungan batang kelapa ketujuh.

Supit Jagal maju mendekat beberapa langkah. “Astaga!” Orang inipun tampak terkejut dan berubah air mukanya!

DUA

Di dalam lubang batang kelapa yang terletak paling ujung itu terbaring satu sosok tubuh perempuan tua mengenakan baju kebaya putih dan kain panjang. Kedua matanya terpejam. Keadaannya demikian rupa hingga kalau tidak diperiksa tidak diketahui apakah dia dalam keadaan tidur nyenyak, pingsan atau sudah jadi mayat!

Sekujur tubuhnya mulai dari rambut sampai ke ujung kaki diselimuti oleh sejenis minyak. Batang kelapa dimana dia tebaring penuh dengan kerumunan semut. Tetapi binatang-binatang ini tidak satupun yang menyentuh tubuhnya. Kedua orang lelaki itu memperkirakan minyak pada tubuh perempuan tua itulah yang menyebabkan semut tidak berani menyentuhnya.

“Coba kau periksa denyut jantungnya,” kata Tubagus Singagarang.

“Kau saja,” jawab Supit Jagal menolak. Diam-diam dia merasa ngeri.

Dari kedua bersahabat itu Tubagus Singagarang memang lebih berani. Dia melangkah mendekati batang kelapa lalu mengulurkan tangan memegang lengan kiri perempuan tua di dalam lubang kelapa.

“Tak ada denyut nadi...” Berucap Tubagus Singagarang setelah memegang dan merasa-rasa beberapa ketika. Dilepaskannya pegangannya. Dia membungkuk lalu meletakkan telinga kanannya setengah kuku di atas dada orang dalam lunbang. Kemudian dia menggeleng dan melirik pada Supit Jagal. “Detak jantungnya pun tidak kudengar...”

“Berarti orang ini memang sudah mati!” kata Supit Jagal.

Tubagus Singagarang ingin memastikan. Diulurkannya tangan kanannya. Jari-jari tangannya membalikkan kelopak mata kiri orang dalam lubang. Tak ada hitamnya. Keseluruhan matanya hanya putih belaka.

“Yang kita lihat memang mayat!” kata Tubagus Singagarang. Tangannya yang basah oleh minyak yang menyelimuti tubuh orang dalam lubang digosok-gosokkan pada pakaiannya. Lalu dia coba mencium tangannya itu. Dia mencium sesuatu.

“Minyak serai bercampur jelaga kayu besi,” katanya. “Jelas mayat ini sengaja diberi minyak itu untuk diawetkan!”

Supit Jagal tentu saja heran mendengar ucapan kawannya itu. “Benar-benar aneh. Kita mencari batu mustika. Yang kita temui di Krakatau ini mayat perempuan tua yang diawetkan. Untuk apa? Siapa yang punya pekerjaan?” Dia bertanya sambil memandang ke bwah, ke arah kawah Gunung Krakatau yang mengepulkan asap berkepanjangan.

“Pertanyaan lain siapa adanya perempuan tua ini?” sambung Tubagus Singagarang. “Memang aneh...”

“Kau lihat sendiri Tubagus. Ada tujuh batang kelapa berlubang di tempat ini. Satu berisi mayat. Berarti bakal ada enam mayat lagi yang akan dimasukkan pada enam batang kelapa ini!”

“Dugaanmu mungkin benar...” Sahut Tubagus Singagarang. Dua sahabat ini saling pandang. Di balik rasa heran mereka jelas ada bayangan rasa ngeri. “Apa yang akan kita lakukan sekarang?”

“Lebih baik lekas-lekas meninggalkan kawasan kawah gunung Krakatau ini…” jawab Supit Jagal.

“Lalu bagaimana dengan usaha kita mencari batu mustika itu?” tanya Tubagus Singagarang dan hendak mengeluarkan kembali peta yang ada dalam saku pakaiannya. Tapi tak jadi ketika mendengar sahabatnya berkata.

“Lupakan saja hal itu. Aku merasa tidak enak. Ada yang tidak beres di tempat ini Tubagus. Aku mencium bahaya. Bahaya maut!”

“Aku juga merasakan begitu,” sahut Tubagus Singagarang. “Tapi kau lihat sendiri. Pulau ini sepi-sepi saja. Tak ada orang selain kita. Kecuali mayat perempuan tua ini”

“Tidak mungkin Tubagus! Aku yakin sekali pasti ada orang lain di sini. Mayat itu tidak mungkin berjalan sendiri sampai kemari! Ada orang yang membawanya. Mengawetkannya dengan minyak serai bercampur jelaga…”

“Tapi untuk apa? Pekerjaan apa ini sebenarnya?” ujar Tubagus Singagarang pula. “Bagaimana kalau kita bersembunyi dan mengintai?”

“Terus terang nyaliku mulai leleh. Kau silahkan saja mengintai, aku biar turun ke bawah terus ke pantai. Aku akan menunggumu di perahu. Jika sampai rembang petang kau tak muncul terpaksa aku meninggalkan kau dan menyeberang kembali ke Jawa seorang diri!”

Tubagus Singagarang jadi berpikir mendengar kata-kata kawannya itu. Lalu dia berkata, “Kita sahabat dan saudara seperguruan. Jika senang sama senang. Kalau susah sama susah. Berarti matipun harus sama-sama! Aku mengalah. Aku ikut bersamamu. Memang sebaiknya kita pulang saja. Bukan mustahil cerita dan peta tentang batu mustika itu hanya dibuat-buat orang saja. Hendak mengacau dunia persilatan!”

Setelah memandang sekali ke arah sosok mayat dalam lubang pohon kelapa, Tubagus Singagarang dan Supit Jagal segera hendak berkelebat tinggalkan tepi kawah Gunung Krakatau itu. Tapi baru saja mereka bergerak tiba-tiba terdengar suara orang menyanyi di kejauhan.

Dosa muda salah kaprah
Jangan harap ampunan pasrah
Tujuh samudera akan kutempuh
Seribu badai akan kutantang

Tubagus Singagarang dan Supit Jagal jadi terkesiap saling pandang.

“Ada orang menyanyi. Apa kataku. Ternyata memang ada orang lain di pulau ini!” berbisik Supit Jagal.

Lalu di kejauhan kembali terdengar suara nyanyian orang tadi,

Berlagak bodoh seolah gagah
Kalau tak muncul perlihatkan dada
Anak turunan kujadikan mangsa
Sang istri sudah kudapat
Menyusul kini anak keempat
Satu persatu kubuat sekarat
Agar terkikis dendam berkarat

“Siapa yang menyanyi…?” bisik Supit Jagal. “Syair lagunya aneh mengerikan. Berbau maut!”

“Suaranya suara perempuan. Dari puncak sini kita belum dapat melihatnya. Kalau tidak memiliki tenaga dalam tinggi tidak mungkin suaranya terdengar sampai ke sini…”

“Mungkin sekali… Jangan-jangan orang itu tengah menuju ke sini…” Ujar Supit Jagal pula.

“Bagaimana kalau kita menyingkir saja dari sini?”

“Baik! Dari pada mencari urusan…!” Jawab Supit Jagal.

Lalu dua saudara seperguruan itu segera hendak berkelebat. Namun dari bawah kaki gunung telah lebih dulu kelihatan seorang berpakaian hijau tua berlari sangat kencang menuju puncak Gunung Krakatau. Di bahu kirinya dia memanggul sesosok tubuh. Tidak mudah memanggul orang naik ke puncak kawah gunung. Apalagi berlari dan sambil membawa beban berat seperti itu.

“Kita berhadapan dengan orang pandai, Tubagus. Kita tak punya kesempatan untuk kabur. Ayo lekas sembunyi di balik batang kelapa di ujung kiri sana”

Baru saja kedua bersahabat itu menjatuhkan diri sama rata dengan tanah gunung hingga terlindung oleh batang kelapa berlubang, dari bawah gunung muncul orang berbaju hijau tadi. Tubagus dan Supit Jagal yang coba mengintai sama terkejut ketika menyaksikan bahwa yang muncul adalah seorang nenek berwajah angker seperti tengkorak dengan rambut putih panjang riap-riapan.

Di bahu kirinya ada seorang lelaki yang menurut dugaan Tubagus dan Supit sudah tidak bernyawa lagi. Mereka memperhatikan terus. Si nenek angker melangkah mendekati batangan berlubang di sebelah kiri batang kelapa yang ada mayatnya. Seperti melempar bungkusan atau kayu, nenek berambut putih lemparkan sosok tubuh lelaki yang dipanggulnya ke dalam lubang batang kelapa. Dipandangnya sosok tubuh itu sesaat lalu dia tertawa terkekeh-kekeh. Disusul dengan nyanyian.

Sang istri sudah kudapat
Menyusul kini anak keempat
Satu persatu kubuat sekarat
Agar terkikis dendam berkarat

Habis bernyanyi si nenek kembali tertawa panjang. “Anak dan ibu sudah kudapat. Hik hik hik! Masih ada lima nyawa lagi. Masih ada lima mayat lagi pengisi lobang neraka itu! Ha ha ha! Awas kalian! Awas kau jahanam Giri Arsana! Kau berada dalam daftar kematian yang terakhir. Agar kau bisa menyaksikan dan merasakan pahit perihnya melihat kematian orang-orang yang kau cintai! Bila sudah lengkap kau akan kuundang ke tempat ini! Hik hik hik! Lalu kau akan kujadikan korban terakhir pengisi liang neraka batang kelapa! Hik hik hik!”

Dari dalam sebuah kantong yang ada di pinggang dan selalu dibawanya kemana- mana nenek angker itu keluarkan sebuah tabung bambu. Dia membuka penutup tabung lalu melangkah lebih dekat ke batang kelapa tempat tadi dia melemparkan orang yang dipanggulnya. Dari tabung itu diguyurkannya sejenis cairan ke seluruh bagian tubuh dalam batang kelapa.

“Kau lihat,” bisik Tubagus Singagarang. “Dia mengguyurkan minyak pengawet. Berarti orang yang barusan dicampakannya ke dalam lubang memang sudah tidak bernyawa lagi!”

“Hemmm… Apa yang harus kita lakukan sekarang?” bertanya Supit Jagal. “Kita tunggu saja sampai nenek itu pergi,” sahut Tubagus Singagarang.

“Kalau dia tidak pergi-pergi dan berada di sini samapi besok…?”

“Tidak mungkin. Dia tidak mungkin bermalam di sini. Tidak ada tempat untuk menginap…” jawab Tubagus Singagarang.

“Jangan terlalu yakin. Kita harus waspada. Kita bukan berhadapan dengan seorang tua bangka biasa. Sepertinya dia mendekam dendam kesumat yang amat besar. Turut nyanyiannya tadi, ada lima orang lagi yang bakal dibunuhnya!”

Tubagus Singagarang jadi gelisah. Bersama sahabatnya untuk beberapa lama dia hanya bisa berdiam diri. Di nenek rupanya sudah selesai menuangkan cairan pengawet di tubuh mayat. Tabung bambu disimpannya kembali. Tiba-tiba, tidak terduga oleh dua orang yang bersembunyi si nenek di ujung keluarkan bentakan menggeledek.

“Permainan kalian sudah selesai! Aku menunggu sudah cukup lama! Lekas keluar dari balik batang kelapa dan berlutut di hadapanku!”

TIGA

Tubagus Singagarang dan Supit Jagal sama-sama tersentak kaget.

“Dia sudah tahu kita di sini, bagaimana sekarang?” berbisik Supit Jagal.

“Tak ada jalan lain. Kita keluar saja,” jawab Tubagus Singagarang. Lalu dia mendahului berdiri. Dengan hati agak kecut Supit Jagal mengikuti.

“Hemmm… Dua ekor monyet berpakaian merah yang tidak aku kenal! Lekas datang ke hadapanku dan berlutut!” bentak si nenek sambil tolak pinggang dan memandang mendelik ke arah dua orang saudara seperguruan itu.

Tubagus Singagarang dan Supit Jagal memang melangkah mendekati nenek angker itu. Tapi untuk berlutut mana mereka mau! Jelas si nenek menunjukkan tampang dan sosok angker. Namun sebagai orang-orang persilatan, dua lelaki berpakaian merah itu mampu menguasai diri, menekan perasaan takut dan akhirnya muncul keberanian.

“Eh! Mengapa masih belum berlutut?! Apa kalian tuli tidak mendengar perintahku?!”

“Nenek tua,” kata Tubagus Singagarang. “Kami tidak kenal kau, kau tidak kenal kami. Mengapa bersikap begitu keras?!”

“Ah monyet jelek! Rupanya kau tidak tuli dan juga tidak bisu. Siapa aku kau tidak perlu tahu. Kalian telah melakukan kesalahan! Apa kalian masih tidak mengerti?!”

“Tentu saja! Kesalahan apa yang telah kami lakukan?!” sahut Tubagus Singagarang.

“Seluruh kawasan Gunung Krakatau ini adalah daerah kekuasaanku! Siapa saja yang berada di sini tanpa izinku berarti mampus! Dan kalian berdua jelas-jelas tadi mengintai apa yang telah aku lakukan! Dosa kalian tidak bisa diampunkan! Lekas berlutut untuk menerima kematian!”

Tubagus Singagarang dan Supit Jagal jadi saling pandang. Sambil menekan gagang golok empat persegi yang terselip di pinggangnya Supit Jagal membuka mulut untuk pertama kali.

“Kami berdua sudah lima puluh tahun hidup. Belum pernah mendengar bahwa Gunung Krakatau ini ada penguasanya. Turut yang kami tahu daerah ini daerah bebas yang bisa didatangi siapa saja!”

“Itu turut pengetahuanmu, monyet busuk! Tapi turut kekuasaanku kau yang akan mati lebih dulu!” membentak si nenek.

Dihina seperti itu Supit Jagal jadi kalap. Dia mendengus lalu menyahuti. “Mati hidup di tangan Tuhan! Kalau ada makhluk yang hampir jadi bangkai hendak membunuh kami, masakan kami hanya bertumpang dagu?!”

Si nenek mendongak ke langit lalu tertawa panjang. “Daerah ini harus bebas dari mayat siapapun. Kecuali tujuh mayat yang sudah ditakdirkan berkubur di sini. Kalian berdua hanya cukup pantas untuk jadi umpan kawah Krakatau!”

Si nenek turunkan kepalanya. Bersamaan dengan itu di ulurkan kedua tangannya ke depan. Tubagus Singagarang dan Supit Jagal tersirap darah mereka ketika menyaksikan bagaimana dari sepuluh jari tangan si nenek yang kurus kering itu mencuat keluar sepuluh kuku panjang hitam dan runcing!

“Sepuluh Kuku Iblis!” teriak dua lelaki berpakaian merah itu berbarengan. Keduanya sama tersurut mundur dengan paras berubah!

Si nenek tertawa mengekeh. “Sekarang kalian sudah tahu siapa aku!” katanya “Hik hik hik!”

Suara tawa si nenek lenyap. Dari mulutnya keluar suara deperti lolongan srigala. Tubuhnya melesat ke arah Supit Jagal. Tangan kanannya berkelebat. Lima garis hitam berkiblat di udara. Supit Jagal berseru tegang. Dia melompat mundur dan cepat cabut golok besarnya. Dengan senjata itu dia memapaki serangan lima kuku.

"Traakk! Trakkk! Traaakkk...!"

Golok besar itu berhasil membabat tiga dari lima kuku tangan kanan si nenek. Tapi apa yang terjadi? Si nenek hanya ganda tertawa. Mata golok yang dipegang Supit Jagal tampak somplak besar di tiga bagian. Selagi Supti Jagal tertegun ketakutan, tangan kiri si nenek menderu dari samping. Terdengar jeritan Supit Jagal. Mukanya sebelah kiri sampai leher koyak besar. Dari lehernya menyembur darah karena salah satu urat besarnya tersambar putus oleh cakaran kuku iblis si nenek! Nyawanya tak tertolong lagi. Belum puas si nenek lantas tendang tubuh Supit Jagal hingga terpental dan melayang jatuh ke dalam kawah!

Bagaimanapun ngerinya Tubagus Singagarang melihat kejadian itu namun apa yang terjadi dengan sahabatnya membuat dia kalap. Tubuhnya melayang di udara. Kaki kanannya menderu ke tubuh si nenek dan dengan telak menghantam perutnya! Si nenek terlempar empat langakh, tersandar pada batang kelapa yang keempat. Tapi dia tidak tampak kesakitan malah tertawa-tawa dan usap-usap perutnya dengan sikap mengejek.

“Monyet jelek! Kau barusan menendangku atau cuma menggelitik!”

Kejut Tubagus Singagarang bukan kepalang. Orang lain pasti sudah hancur perutnya dihantam tendangannya tadi. Si nenek bukan saja tidak merasa apa-apa malah masih sanggup mempermainkannya!

“Dia bukan lawanku. Aku harus cari selamat!” membatin Tubagus Singagarang. Dia melirik ke arah Supit Jagal. Sahabatnya tampak menggeliat-geliat di tanah sambil pegangi mukanya yang koyak dan mengucurkan darah. Lukanya kelihatan mulai menghitam tanda mengandung racun jahat. Nyawanya pasti tidak tertolong lagi.

Rupanya si nenek yang bergelar Sepuluh Kuku Iblis dapat membaca apa yang ada di pikiran Tubagus Singagarang. Karena baru saja dia bergerak hendak melarikan diri, perempuan tua ini sudah melompat menghadang langakhnya.

“Monyet jelek! Kau mau lari kemana?!” bentak si nenek. Kedua tangannya dihantamkan ke depan.

Tubagus Singagarang cepat membungkuk. Sepuluh larik sinar hitam menderu di atas kepalanya. Dengan tenaga dalam penuh Tubagus lepaskan pukulan tangan kosong mengandung tenaga dalam tinggi. Satu sinar kemerahan menggebubu ke arah dada si nenek. Begitu dadanya terkena pukulan sakti tersebut, Sepuluh Kuku Iblis tertawa mengekeh. Dia melangkah maju. Dengan kesaktian yang dimilikinya dia mendorong sinar pukulan lawan, membuat Tubagus Singagarang merasa tangannya tergetar hebat dan tubuhnya kini terdorong.

Si nenek tiba-tiba membentak dan hentakkan kaki kanannya ke tanah. Tanah tebing kawah Gunung Krakatau itu bergetar hebat. Tubuh Tubagus Singagarang terlempar dua kaki ke atas. Orang ini berteriak keras ketika menyadari dirinya jatuh tidak lagi di atas tebing yang sama, tetapi masuk kebagian kawah. Dia berusaha membuat lompatan jungkir balik. Namun terlambat. Tubuhnya sudah keburu jatuh ke bawah, lalu berguling deras menuju kawah panas di bawah sana!

Si nenek tertawa melengking. Dia melangakh mendekati tubuh Supit Jagal. “Susul temanmu sana!” bentak perempuan tua ini. Lalu ditendangnya tubuh yang sudah tak bernafas itu hingga mencelat mental dan terlempar jatuh ke dalam kawah Gunung Krakatau.

********************
WWW.ZHERAF.COM
EMPAT

Perguruan Silat Melati Putih pada masa itu merupakan salah satu perguruan yang besar di kawasan Barat Pulau Jawa. Sejak didirikan sekitar delapan tahun lalu perguruan ini diketuai oleh Sampan Gayana, putera seorang tokoh silat bernama Giri Arsana yang bergelar Dewa Berpayung Hitam berusia hampir 70 tahun. Sejak beberapa bulan belakangan ini Giri Arsana seolah lenyap dari rimba persilatan. Dimana dia berada atau apa yang dilakukannya tidak seorangpun tahu.

Sampan Gayana sendiri tidak berusaha menyelidiki. Selain kesibukannya mengurus lebih dari dua ratus murid perguruan, dia juga tahu kalau ayanhnya suka-suka berlaku aneh. Dan tingkah laku aneh seorang toko silat bukan merupakan hal yang luar biasa. Malam itu udara terasa dingin, lebih dingin dari biasanya. Dua puluh orang anak murid perguruan kelas dua tengah berlatih silat di halaman.

Tanah tempat latihan ini cukup luas dan dikelilingi oleh empat bangunan panjang yang menjadi tempat tinggal semua murid. Tak jauh dari empat bangunan panjang itu terdapat sebuah rumah papan. Di sinilah sang Ketua Perguruan tinggal seorang diri karena sampai saat itu usianya yang 45 tahun Sampan Gayana masih belum mempunyai istri.

Selagi dua puluh murid itu berlatih di bawah penerangan lampu-lampu minyak yang tergantung di bawah cucuran atap empat bangunan panjang, tiba-tiba terdengar suara nyanyian mengumandang di seantero lapangan latihan.

Dosa muda salah kaprah
Jangan harap ampunan pasrah
Tujuh samudera akan kutempuh
Seribu badai akan kutantang

Yang berdosa berpura lupa
Berlagak bodoh seolah gagah
Kalau tak muncul perlihatkan dada
Anak turunan kujadikan mangsa

Sang istri sudah kudapat
Menyusul kini anak keempat
Satu persatu kubuat sekarat
Agar terkikis dendam berkarat

Suara nyanyian sirap. Mendadak ada bayangan berkelebat. Lalu tahu-tahu di tengah kalangan latihan telah berdiri seorang nenek bertubuh tinggi kurus, berwajah seperti tengkorak, berambut putih riap-riapan.

Dua puluh murid peruruan sesaat tercekam, lalu mencium sesuatu yang tidak beres, mereka bergerak menyebar sehingga si nenek terkurung ditengah-tengah. Si nenek memandang berkeliling. Wajah tengkoraknya tampak menyeringai.

“Apa benar ini Perguruan Silat Melati Putih?!” si nenek tiba-tiba ajukan pertanyaan.

Mula-mula tak ada yang mau menjawab. Namun salah seorang murid akhirnya menyahut membenarkan.

“Apa benar Ketua Perguruan seorang bernama Sampan Gayana?!” si nenek bertanya lagi.

“Betul. Ketua kami memang Sampan Gayana,” jawab murid peruguran tadi.

Lalu seorang murid lain bertanya. “Orang tua harap beri tahu kau siapa dan ada keperluan apa datang kemari?!”

“Siapa aku bukan urusanmu budak jembel!” si muka tengkorak membentak yang membuat semua anak murid perguruan jadi terkejut. “Aku datang mencari Ketua kalian! Panggil dia! Suruh datang ke hadapanku!”

“Ketua kami sedang beristirahat. Jika memang ada keperluan besok pagi saja datang kemari”

“Hem... Jadi kalian tak mau turut perintahku. Tidak mau memanggil Sampan Gayana! Bagus! Aku mau lihat apa kalian benar-benar tidak perduli!”

Habis berkata begitu tubuh si nenek berkelebat. Empat pekikan terdengar serentak merobek kesunyian dan langit gelap. Empat anak murid perguruan terpental. Begitu jatuh ke tanah keempatnya tidak berkutik lagi. Semua telah putus nyawa dengan kepala pecah!

Serta merta kegemparan melanda tempat itu. Beberapa orang murid perguruan yang menjadi marah melihat kematian empat teman mereka segera hendak menyerbu. Tapi gerakan mereka terhenti ketika si nenek keluarkan suara tawa melengking.

“Hanya orang-orang bodoh yang ingin mampus lebih cepat!” ujar si nenek sambil tegak bertolak pinggang. Kedua matanya memandang angker. Membuat para murid yang tadi hendak nekad menyerang kini hanya bisa tertegun di tempat masing-masing. Mereka sama maklum kalau tamu tidak diundang ini memiliki kepandaian sangat tinggi dan bukan tandingan mereka. Lalu terdengar seseorang berteriak.

“Lekas panggil Ketua!”

Dua orang murid berkelebat tinggalkan tempat itu. Si nenek menyeringai. “Dasar manusia-manusia tolol!” katanya. “Kalau tadi-tadi saja kalian turuti perintahku tak akan ada nyawa melayang! Goblok!”

Sampan Gayana yang tengah tertidur lelap tersentak kaget ketika dibangunkan. Ketua Perguruan ini tambah kaget sewaktu diberitahu apa yang terjadi. Cepat dia berganti pakaian lalu keluar dari rumah papan mendahului dua orang murid yang melapor. Sementara itu seluruh murid perguruan dari tingkat terendah sampai tingkat tertinggi kini telah terbangun dan mereka semua menghambur ke tanah lapang.

Para murid memberi jalan begitu Ketua mereka muncul. Sesaat kemudian Sampan Gayana telah berada di tengah lapangan. Sesaat dia memperhatikan empat orang muridnya yang bergeletak mati di tanah. Lalu dia memandang ke arah si nenek.

“Nenek, aku tidak kenal dirimu. Pasal apa membuat kau membunuh empat murid Perguruan?”

Si nenek tidak segera menjawab. Dia memperhatikan lelaki di hadapannya mulai dari ujung rambut sampai ke kaki baru membuka mulut.

“Apa benar kau orangnya yang bernama Sampang Gayana, anak dari Giri Arsana?”

“Kau tidak salah. Aku memang Sampan Gayana, putera Giri Arsana. Sekarang harap kau memberitahu siapa dirimu.”

Si nenek tidak menjawab. Dia mendongak lalu keluarkan suara tawa panjang. Sampan Gayana yang merasa dianggap rendah maju satu langkah. “Nenek, kau muncul malam buta. Membunuh murid-muridku tanpa diketahui apa dosa dan kesalahannya. Tidak ada silang sengketa di antara kita…”

“Apa yang kau ucapkan itu benar! Tak ada dosa, tak ada kesalahan dan tidak ada silang sengketa. Tapi aku beri tahu padamu anak manusia. Kau menanggung dosa turunan! Dosa keji yang pernah dibuat ayahmu!”

Kening Ketua Perguruan Silat Melati Putih itu tampak berkerut. “Aku tidak mengerti maksud kata-katamu!”

“Aku kemari memang tidak membuat kau mengerti! Kau tidak perlu mengerti. Aku hanya ingin satu orang mengerti. Keluar dari sarang persembunyiannya untuk menerima pembalasan sakit hati. Selama dia masih bersembunyi secara pengecut, selama itu pula aku akan mengambil korban satu demi satu orang-orang yang terdekat dengan dia!”

“Siapa yang kau maksudkan dengan dia itu?!” bentak Sampan Gayana.

Si nenek menyeringai lalu menjawab. “Giri Arsana! Bapak moyangmu!”

“Aku makin tidak mengerti dengan juntrunganmu ini!” kata Sampan Gayana. “Kesabaranku sudah hilang! Aku terpaksa menangkapmu karena telah membunuh empat murid perguruan!”

Si nenek tertawa. “Sebelum kau menangkapku lekas kau beri tahu dulu di mana bapak moyangmu itu bersembunyi! Enam bulan aku sudah mencarinya. Sampai saat ini dia berlaku pengecut tidak mau memunculkan diri dalam dunia persilatan.”

“Ada urusan apa kau mencari ayahku?” tanya Sampan Gayana.

“Sudah aku bilang, kau punya dosa turunan. Berarti bapak moyangmu itu punya kesalahan besar. Sangat besar! Nah sekarang cepat beritahu di mana dia berada!”

“Kalaupun aku tahu, tidak akan kukatakan padamu!” jawab Sampan Gayana hilang kesabaran.

“Kalau begitu terpaksa aku membunuh anak ular untuk memancing keluar bapak ular. Rupanya sudah jadi takdir seluruh keluargamu harus kuhabisi lebih dulu baru giliran bapak moyangmu itu!” si nenek tertawa panjang.

Sampan Gayana tidak dapat mengendalikan amarahnya lagi. Kesabarannya habis. Didahului dengan bentakan keras dia menghantam ke arah muak si nenek. Yang diserang ganda tertawa. Tangan kanannya diangkat.

"Wuttt...!"

Sampan Gayana terkejut ketika merasakan angin dingin yang menyambar keluar dari tangan si nenek. Serta merta dia sadar bahwa lawan memiliki tenaga dalam yang jauh lebih tinggi. Maka cepat-cepat dia menghindarkan terjadinya bentrokan pukulan. Sampan berkelit ke samping. Dari samping dia kirimkan pukulan berupa sodokan ke leher si nenek. Rupanya Ketua Perguruan Silat Melati Putih ini sengaja mengeluarkan jurus-jurus andalan dan mengandung maut agar dapat menghantam lawannya dengan cepat.

Si nenek masih tampak tertawa-tawa. Lima jurus dia sengaja membiarkan dirinya diserang habis-habisan. Jurus keenam Sampan Gayana berhasil memukul bahu perempuan tua ini. Orang lain pasti akan terpental paling tidak akan melintir tubuhnya dihantam pukulan yang berkekuatan hampir lima puluh kati itu! Tapi si nenek sedikitpun tidak bergeming. Malah Sampan Gayana merasakan tangannya yang memukul menjadi pedas.

“Sudah saatnya kau menyusul ibumu Sampan Gayana!” berkata si nenek sambil mundur dan pentang tangan kanannya ke depan.

Ketua Perguruan Silat Melati Putih itu tentu saja terkejut mendengar ucapan si nenek. Tapi sekaligus dia juga tidak mengerti. “Apa maksudmu?!” tanyanya membentak.

Si nenek tertawa. “Ibumu sudah lebih dulu mampus di tanganku! Kau korbanku yang kedua. Jika bapak moyangmu masih belum mau keluar dari persembunyiannya untuk mempertanggung jawabkan dosa, korban selanjutnya akan jatuh! Begitu seterusnya sampai bapak moyangmu muncul!”

“Manusia keparat! Jadi kau telah membunuh ibuku!” teriak Sampan Gayana.

Si nenek balas dengan tawa cekikikan. “Jangan kawatir. Aku akan bawa kau ke tempat maya ibumu tergeletak. Kalian masih bisa berjumpa dalam alam roh! Hik hik hik!”

“Perempuan iblis!” teriak Sampan Gayana. Tangan kanannya mengeruk ke saku pakaian. Dari dalam saku itu dia mengeluarkan segenggam benda putih. Benda ini bukan lain adalah bunga melati putih yang telah mengering. Bunga melati kering ini merupakan senjata rahasia andalan terakhir sang ketua perguruan. Sekali dia menggerakkan tangannya, dua belas bunga melati melesat mengeluarkan suara berdesing.

Nenek muka tengkorak angkat tangan kirinya. Delapan bunga melati kering mental dan hancur berantakan. Tapi empat lainnya masih sempat menyambar tubuhnya.

"Dess! Dess! Dess! Dess...!"

Baju hijau tua yang dikenakan si nenek kelihatan berlubang di empat bagian. Namun tubuhnya yang hanya tinggal kulit pembalut tulang itu sedikitpun tidak cidera!

Berubahlah paras Sampan Gayana. Puluhan murid perguruan yang menyaksikan kejadian itu juga ikut melengak kaget. Mereka semua tahu jangankan tubuh manusia, batang pohonpun akan tembus dihantam senjata rahasia ketua mereka. Namun nyatanya si nenek tidak cidera sedikitpun!

Didahului suara tertawa melengking tinggi nenek muka tengkorak ajukan tangannya ke depan. Lima buah kuku panjang runcing berwarna hitam mencuat secara aneh dari kelima ujung jarinya yang kurus kering!

Sampan Gayan terkejut besar. Dia mundur satu langakh. Di depannya si nenek datang memburu cepat sekali. Dia tidak mampu menangkis ataupun mengelak ketika lima kuku jari itu berkelebat mencakar muka dan dadanya. Ketua Perguruan Silat Melati Putih ini menjerit mengerikan. Darah menyembur dari guratan luka yang sangat dalam di muka dan dadanya.

Kedua tangannya ditekapkan ke wajahnya namun belum kesampaian lututnya telah goyah. Sebelum roboh ke tanah nyawanya sudah lepas. Dan sebelum di ajatuh teregelimpang si nenek sambut tubhnya dengan bahunya. Di lain saat perempuan tua itu sudah memanggul mayat Sampan Gayana di bahu kirinya.

Puluhan anak murid perguruan tentu saja tidak tinggal diam. Mereka berteriak marah dan serempak maju. Ada yang hanya mengandalkan tangan kosong, ada pula yang menghunus berbagai senjata.

“Kalian murid-murid setia. Bersedia membela pimpinan. Tapi apa ada gunanya membela manusia yang sudah jadi mayat?! Apa kalian hendak membayar kebodohan kalian dengan nyawa?!”

“Perempuan iblis! Kami bersedia mengorbankan darah dan nyawa asal kau bisa kami bunuh!” teriak seorang murid dari tingkat paling tinggi.

“Bagus! Kalau begitu lekas maju agar cepat aku membereskan kalian” kata si nenek pula.

Puluhan murid perguruan yang tidak takut mati demi membela ketua mereka benar-benar maju. Si nenek tertawa keras.Tangan kanannya digerakkan. Lima larik sinar hitam berkelebat mengerikan. Lalu terdengar jeritan susul menyusul. Sembilan anak murid perguruan roboh dengan muka atau tubuh hangus seperti dipanggang. Puluhan murid lainnya jadi tercekat. Tapi hanya sebentar.

Sesaat kemudian kembali mereka menyerbu dengan nekad. Namun si nenek sudah berkelebat. Tiga murid perguruan yang coba mengejar mental dihantam tendangan dan pukulannya. Si nenek lenyap. Hanya suara tawanya saja yang masih terdengar dalam gelapnya malam di kejauhan. Lapat-lapat kembali terdengar suara nyanyiannya di kejauhan

Sang istri sudah kudapat
Menyusul kini anak keempat
Satu persatu kubuat sekarat
Agar terkikis dendam berkarat

Si nenek lari laksana hantu malam. Seperti dituturkan sebelumnya mayat Sampan Gayana inilah yang dibawanya ke tepi kawah Gunung Krakatau lalu dimasukkan ke dalam lubang lebih dahulu dibunuh dan dibawa ke tempat itu.

Suasana gempar masih melanda Perguruan Silat Melati Putih ketika seorang pemuda berpakaian putih berambut gondrong menjela bahu muncul. Puluhan murid perguruan yang tidak mengenal dirinya dan menaruh curiga langsung mengurungnya

“Mana Ketua kalian? Aku datang membawa pesan penting!” kata pemuda yang baru datang sambil menunjukkan sepucuk lipatan surat. Kedua matanya memandang berkeliling. Tadi dia sempat melihat beberapa mayat yang digotong ke arah rumah panjang.

Seorang murid dari tingkat atas yang mengenal pemuda itu menyeruak di antara para murid. “Pendekar 212. Kau datang terlambat...”

“Eh, apa yang terjadi?” tanya tamu muda yang datang yang bukan lain Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng dari Gunung Gede.

“Ketua dibunuh orang tak dikenal. Mayatnya diculik. Entah dilarikan kemana…”

“Astaga!” Wiro tentu saja terkejut dan garuk-garuk kepala. “Isi surat dari guruku ini justru hendak memeberi tahu ada bahaya yang mengancam. Ternyata aku terlambat!” Wiro serahkan lipatan surat pada murid perguruan di depannya. Si murid membacanya sebentar lalu melipat surat itu kembali.

“Dalam surat Eyang Sinto Gendeng memberi peringatan ada bahaya bagi anak-anak dan keturunan Giri Arsana. Diminta agar berhati-hati. Tapi kini tak ada gunanya. Ketua kami sudah menemui kematian…”

“Coba kau terangakn ciri-ciri pembunuh itu,” kata Wiro.

Murid perguruan menerangakan ciri-ciri nenek angker yang membunuh dan menculik mayat Sampan Gayana.

“Kuku hitam mencuat dari jari-jari tangan. Hemm...” Wiro bergumam dan lagi-lagi hanya bisa garuk-garuk kepala. “Aku akan coba mencari tahu siapa adanya tua bangka itu,” kata Pendekar 212 pula. “Namun saat ini aku perlu keterangan siapa dan dimana saja saudara-saudara kandung Ketua kalian berada...”

“Selama ini Ketua selalu tertutup. Dia tidak pernah menceritakan siapa kakak dan adiknya. Juga tidak pernah menerangkan dimana mereka berada. Kami hanya tahu beliau berayahkan orang sakti berjuluk Dewa Berpayung Hitam.”

“Tapi orang itupun tiba-tiba saja lenyap dari dunia persilatan!” kata Wiro. Dia diam sesaat akhirnya berkata “Aku harus pergi sekarang. Mungkin ada sesuatu yang hendak kalian sampaikan?”

“Kami hanya berharap agar kau bisa membantu mencari pembunuh Ketua kami. Kabarnya nenek angker itu juga telah membunuh ibunda Ketua kami…” jawab murid perguruan tadi.

“Akan aku lakukan sebisa dayaku. Karena istri Giri Arsana masih ada pertalian darah dengan guruku Eyang Sinto Gendeng. Hanya ada sesuatu yang mengherankan. Mayat istri Giri Arsana tidak pernah ditemukan. Kalau mayat Ketua kalian diculik si nenek, berarti dia juga yang menculik myat si ibu. Untuk apa...?” Wiro garuk-garuk kepala. Kalian bisa memberi tahu ke arah mana larinya nenek pembunuh itu?”

Beberapa orang menunjuk ke arah kanan. Pendekar 212 tanpa menunggu lebih lama berkelebat ke arah itu.
********************
WWW.ZHERAF.COM
LIMA

Rumah kecil itu terletak di pinggiran timur Kotaraja. Lima orang bertubuh kekar dan bersenjata tombak serta golok di pinggang berjaga-jaga di pintu masuk. Lalu di tempat gelap, ttidak kelihatan oleh pandangan mata menebar lebih dari sepuluh orang yang juga berperawakan kekar dan menggenggam kelewang atau golok.

Seorang penunggang kuda yang mukanya ditutup kain hitam sebatas mata memasuki halaman rumah. Kudanya ditambatkan pada sebuah palang bambu. Lalu dia melangkah cepat menuju ke pintu. Di depan pintu lima lelaki yang berjaga-jaga cepat menghadang. Yang empat langsung mengangkat tangan dan mengarahkan tombak pada orang yang barusan datang ini. Yang satu lagi maju mendekat sambil menghunus golok.

“Harap sebutkan kata rahasia yang sudah ditentukan!”

Orang bercadar segera menjawab. “Malam gelap tak ada bintang tak ada bulan.”

Empat tombak diturunkan. Golok dimasukkan kembali ke dalam sarungnya. Lima orang di depan pintu menjura. Salah seorang dari mereka cepat membuka pintu. Orang bercadar segera masuk ke dalam rumah. Lima penjaga tadi kembali berjaga-jaga. Mereka kini tinggal satu orang lagi yang harus ditunggu.

Tak selang berapa lama satu bayangan putih berkelebat. Belum sempat lima pengawal di pintu memperhatikan dengan jelas tahu-tahu orangnya sudah berdiri di depan mereka sambil garuk-garuk kepala.

Lima penjaga memperhatikan orang ini. Masih muda dan berambut gondrong. Tidak seperti dua tamu terdahulu, yang satu ini datang tanpa memakai kain cadar dan sikapnya tampak konyol urakan. Empat tombak segera diangkat dan siap menambus pemuda berpakaian putih yang barusan datang ini.

“Harap ucapkan kata rahasia yang sudah ditentukan!” kata pengawal yang tegak menghunus golok besar.

Tamu yang datang tidak segera menjawab. Dia perhatikan si tinggi kekar di depannya lalu malirik pada empat kawannya yang tegak sambil mementang tombak.

“Saya akan bertanya sekali lagi! Kalau tidak bisa menjawab kau akan kami bunuh!” kata pengawal di hadapan tamu muda yang barusan datang.

Pemuda itu garuk-garuk kepalanya. Dia mengingat-ingat. “Ah, sialan benar. Aku lupa sandi yang harus dikatakan itu…”

“Kalau begitu bersiaplah untuk mati! Kau penyusup yang tidak diundang!” Pengawal di sebelah depan angkat tangannya yang memegang golok. Dia juga memberi isyarat pada empat temannya. Maka empat tombak segera hendak dilemparkan ke arah tubuh pemuda itu.

“Tunggu dulu! Sabar sedikit. Aku sedang coba mengingat! Nah, aku ingat sekarang! Kata rahasia itu Malam gelap.Tak ada bintang tak ada bulan! Betul begitu?!”

Lima tangan yang mencekal senjata diturunkan. Si pemuda tertawa lebar lalu garuk-garuk lagi kepalanya. Ditepuk-tepuknya bahu pengawal di depannya seraya berkata. “Kau dan kawan-kawanmu bekerja baik. Aku akan beritahu pada atasanmu di dalam agar memberikan gaji tambahan.”

“Terima kasih, terima kasih….” Kata lima pengawal sambil menjura lalu mereka menepi memberi jalan. Yang satu membuka pintu lalu mempersilahkan pemuda gondrong itu masuk.

Yang dipersilahkan langsung saja nyelonong ke dalam rumah. Di dalam rumah kecil, mengelilingi sebuah meja yang di atasnya ada sebuah lampu minyak ampak duduk tiga orang lelaki. Yang pertama bertubuh tinggi kurus dengan rambut putih keseluruhannya. Wajah dan sikapnya memancarkan wibawa yang tinggi. Orang ini adalah Ganda Ariawisesa, Patih Kerajaan.

Di samping kirinya seorang lelaki berkumis tebal, berwajah agak garang. Dialah tadi yang datang dengan memakai cadar. Namanya Cemani Tanduwisoka. Dia dikenal sebagai orang penting dalam kerajaan dan menduduki jabatan Wakil Kepala Pasukan Kerajaan.

Orang ketiga yang duduk di sebelah kanan Patih Ganda Ariawisesa adalah salah seorang tangan kanan sang Patih tanpa ada jabatan dalam Kerajaan. Usinya hampir setengah abad. Dia mempuyai hubungan baik dengan semua pejabat Istana dan juga dikerahui berhubungan dekat dengan para tokoh rimba persilatan di kawasan Barat pulau Jawa. Namanya Brambang Santika.

Ketiga orang itu tampak bebas dari rasa gelisah mereka ketika melihat orang terakhir yang mereka tunggu telah muncul dan seperti biasanya dengan sikap konyolnya. Setelah memberi hormat pada orang-orang yang duduk di sekeliling meja, tamu paling muda ini mengambil tempat duduk di depan Patih Ganda Ariawisesa.

“Kami gembira melihat kau datang, Pendekar 212.”

Tamu yang terahir datang mengangguk lalu menjawab. “Saya hanya mewakili guru Eyang Sinto Gendeng. Semua di sini sudah tahu bahwa beliau berhalangan datang dan minta disampaikan salam maaf...”

Patih Ganda Ariawisesa balas mengangguk. “Waktu kita tidak banyak. Karena kita sudah berkumpul semua maka saya kira kita bisa segera mulai pertemuan rahasia ini.” Patih Kerajaan membuka pembicaraan. “Seperti diketahui sudah bocor rahasia bahwa Kepala Pasukan Kerajaan dibantu oleh beberapa orang culas tengah menyusun rencana keji hendak merampas tahta Kerajaan dari tangan Sang Prabu. Raja sendiri saat ini masih belum tahu. Kita, sebagai orang-orang yang setia pada Sang Prabu dan Kerajaan harus menggagalkan rencana busuk itu. Namun Kepala Pasukan yang hendak berkhianat itu memiliki kekuatan dan pendukung yang cukup kuat. Kaenanya dalam bertindak kita harus sangat berhati-hati. Yang terutama harus dihindari ialah terjadinya pertumpahan darah sesama kita. Saya sudah menugaskan Cemani Tanduwisoka untuk terus memperhatikan gerak-gerik Kepala Pasukan Kerajaan. Kelompok-kelompok yang diketahui membantunya harus dipindah atau dipecah hingga kekuaan mereka menjadi berkurang. Lalu sahabat saya Brambang Santika telah pula meminta bantuan beberapa tokoh silat, baik di dalam maupun di luar Istana untuk membantu menyelamatkan Sang Prabu dan Kerajaan. Kami bertiga disini sudah sama setuju untuk minta batuan Eyang Sinto Gendeng dari Gunung Gede. Dan kami bersyukur bahwa orang sakti itu telah bersedia mengutus murid tunggalnya. Sahabat Brambang Santika dan kau Pendekar 212, kalian kebagian tugas paling berat. Yaitu mengawasi gerak gerik para tokoh silat di dalam dan di luar Istana yang sudah diketahui jelas membantu gerakan Kepala Pasukan Kerajaan. Kalian berdua diberi wewenang untuk turun tangan sampai pada kewenangan untuk menangkap bahkan membunuh mereka. Saya yakin kita akan dapat menggagalkan kelompok orang- orang khianat itu. Namun saat ini terus terang ada satu hal yang mengganggu pikiran saya…”

“Coba dikatakan saja Patih. Siapa tahu kami dapat membantu,” kata Brambang Santika.

“Seperti kalian tahu, putera tunggal saya kawin dengan Wini Kantili, putri dari Giri Arsana, tokoh silat Jawa Barat yang bergelar Dewa Berpayung Hitam. Besan saya ini sejak beberapa bulan lalu tiba-tiba saja lenyap. Tak seorangpun tahu dimana dia berada. Sesuatu pasti telah terjadi dengan dirinya. Kalau dia memang sudah meninggal tentu ada kuburnya. Saya dan atas permintaan anak menantu saya sudah menebar orang menyirap kabar dan menyelidiki. Namun dimana tokoh silat itu berada masih gelap. Kabar yang disirap oleh orang-orang saya ialah bahwa seorang nenek sakti juga tangah mencari-cari Giri Arsana. Tampaknya seperti ada silang sengketa besar antara besan saya dengan perempuan tua itu. Konon dia telah membunuh istri Giri Arsana dan menculiknya…”

“Tambahan berita buruk, Paman Patih,” memotong Pendekar 212. “Orang yang sama belum lama ini telah membunuh dan menculik Ketua Perguruan Silat Melati Putih yaitu Sampan Gayana yang adalah putera ke empat Giri Arsana, kakak kandung menantu Paman Patih…”

Paras Patih Kerajaan jadi berubah. “Kalau begitu berarti seluruh keluarga dan turunan Giri Arsana berada dalam bahaya besar. Bahaya maut! Dari mana kau mendapat berita itu Pendekar 212?” tanya sang Patih.

Wiro lantas menuturkan kisah kedatangannya ke Perguruan Silat Melati Putih. “Pembunuhnya seorang nenek berwajah tengkorak. Lima jari tangannya bisa mengeluarkan kuku hitam panjang….”

Patih Ganda Ariawisesa berdiri dari tempat duduknya. “Berarti nenek pembunuh itu adalah Sriti Gandini alias Sepuluh Kuku Iblis!” katanya hampir berteriak.

“Tapi bukankah perempuan itu sudah lama diketahui mati?” ujar Brambang Santika yang tahu banyak tentang dunia persilatan.

Cemani Tanduwisoka menyeling. “Jangan-jangan dia hanya melenyapkan diri untuk sementara. Mungkin membekal suatu maksud tertentu.”

“Boleh jadi,” kata Patih Kerajaan. “Namun yang saya tidak mengerti, ada sebab musabab apa Sepuluh Kuku Iblis membunuhi anak keturunan Giri Arsana?”

“Setahu saya di masa muda dulu antara Giri Arsana dan Sriti Gandini ada hubungan percintaan,” kata Brambang Santika.

Pendekar 212 lantas ikut bicara. “Soal perempuan tua itu jika semua disini setuju biar saya dan Paman Brambang Santika yang mengurus. Hanya yang perlu dipikirkan ialah keselamatan menantu perempuan Paman Patih yaitu Wini Kantili.”

“Kau betul Pendekar 212,” kata Patih Kerajaan. “Saya akan menaruh pengawalan ketat atas dirinya…”

Wiro mengangguk. “Tapi harap jangan lupa ungkapan, Belum dapat anak ular kandangnya pun kalau perlu dirusak”

“Apa maksudmu Pendekar 212?” tanya Patih Kerajaan pula.

“Jika pembunuh tidak dapat menembus tembok pengawalan puteri Paman Patih, bukan mustahil dia akan membunuh putera Paman Patih lebih dulu…”

Patih Ganda Ariawisesa mengangguk-angguk “Terma kasih, kau mempunyai pikiran sedalam dan sejauh itu.”

“Untuk saat sekarang ini saya usulkan agar anak dan menantu Paman Patih diungsikan ke satu tempat yang aman. Dan tentunya dalam penyamaran hingga sulit diketahui orang.”

“Saya akan mengatur hal itu sebaik-baiknya dan secepat-cepatnya,” kata Ganda Ariawisesa. “Sekarang mari kita kembali pada penanganan orang-orang khianat yang hendak memberontak.

********************
WWW.ZHERAF.COM
ENAM

Suami istri petani muda itu duduk bercakap-cakap di bawah pohon di depan kebun sayur mereka yang luas. Saat itu menjelang sore. Keduanya tampak gembira karena sesekali pembicaraan diseling dengan gelak tawa.

“Lucu juga kita berpura-pura jadi petani begini,” kata yang lelaki.

Sang istri menjawab. “Yang jadi pertanyaan sampai berapa lama kita harus menyamar seperti ini?”

“Mudah-mudahan saja nenek jahat itu lekas dibekuk,” sahut sang suami.

Kedua suami istri petani ini bukan lain adalah Wini Kantili puteri Patih Ganda Ariawisesa dengan suaminya Raden Sabrang Winata. Seperti telah direncanakan, guna menyelamatkan kedua orang ini dari Sepuluh Kuku Iblis maka mereka diungsikan ke pinggiran Kotaraja, menyamar sebagai suami istri petani.

Selain itu tentu saja penjagaan tersamar dilakukan. Belasan prajurit Kepatihan serta beberapa tokoh silat siang malam bergantian menjaga kesalamatan kedua orang itu. Brambang Santika sewaktu-waktu muncul utnuk memeriksa keadaan.

Sementara itu Patih Ganda Ariawisesa dan Wakil Kepala Pasukan Kerajaan Cemani Tanduwisoka telah berhasil memecah kekuatan mereka yang berniat melakukan pemberontakan. Beberapa kelompok besar pasukan yang dapat dipengaruhi kaum pemberontak dipindahkan jauh ke pinggiran Kotaraja lalu diganti dengan pasukan-pasukan yang setia pada Sang Prabu.

Tindakan ini rupanya tercium oleh Pagar Paregreg, Kepala Pasukan Kerajaan yang merencanakan perebutan tahta. Maka diam-diam dia segera mengatur siasat. Satu demi satu direncanakannya untuk membunuh para pejabat dan tokoh Kerajaan yang setia pada Sang Prabu. Dalam daftar yang akan dibunuh tentu saja termasuk nama Patih Kerajaan, Wakil Kepala Istana.

Gerakan kaum pemberontak rupanya mulai berhasil. Dua hari kemudian Istana dilanda kegegeran karena dua orang tokoh silat ditemukan mati keracunan!

Kembali pada Raden Sabrang Winata dan Wini Kantili. Kedua suami istri ini bersiap-siap meninggalkan kebun ketika langit sebelah Timur kelihatan tertutup asap kelabu. Diantara warna kelabu itu kelihatan warna merah sesekali menjulang ke langit.

“Ada kebakaran di arah Kotaraja,” kata Raden Sabrang dengan perasaan kawatir. Istrinya juga tampak gelisah. Pada saat itu dua orang pengawal muncul, disusul oleh seorang tua berpakaian berbentuk jubah hitam. Orang ini adalah salah satu dari tiga tokoh silat Istana yang ditugaskan untuk mengawal kedua suami istri itu.

“Raden Sabrang, saya mendapat kabar sedang terjadi kebakaran dekat istana. Saya dan beberapa pengawal akan segera menuju Kotaraja. Yang lain-lain tetap berjaga-jaga di sini. Harap Raden berdua jagan kemana-kemana. Masuk saja ke dalam.

“Pergilah dan kembali dengan cepat,” jawab Raden Sabrang Winata. Dia membimbing istrinya menuju ke rumah. Namun baru beberapa langkah berjalan tiba-tiba terdengar suara tawa mengekeh, disusul dengan nyanyian

Yang berdosa berpura lupa
Berlagak bodoh seolah gagah
Kalau tak muncul perlihatkan dada
Anak turunan kujadikan mangsa

Sang istri sudah kudapat
Begitu juga anak ke empat
Hari ini menyusul anak yang bungsu
Kubur di Pulau sudah menunggu

Belum habis kejut Raden Sabrang dan Wini Kantili, tiba-tiba sesosok tubuh nenek berwajah angker sudah tegak di depan mereka.

“Hik hik hik! Kalian pandai menyamar. Tapi jangan kira aku bisa ditipu! Sumpah sudah jatuh! Seluruh turunan Giri Arsana harus mati di tanganku! Kecuali manusia biang racun itu muncul unjukkan diri menerima kematian!”

Raden Sabrang cepat memegang bahu istrinya dan menyuruh Wini Kantili berdiri di depannya. Dia lalu menghadapi si nenek. Lelaki ini sudah dapat menduga siapa adanya nenek bermuka tengkorak di hadapannya itu.

“Kau pasti manusia yang berjuluk Sepuluh Kuku Iblis! Si pembunuh kejam orang-orang tak berdosa! Kau telah membunuh kakak Sampan Gayana dan ibu mertuaku! Sekarang kau menginginkan jiwa istriku! Sungguh keji! Apa salah kami semua?!”

Sriti Gandini alias Sepuluh Kuku Iblis kembali tertawa panjang. “Kalian memang tidak punya dosa. Tapi kalian menanggung dosa turunan! Dosa bapak moyangny yang bernama Giri Arsana itu!”

Dua bayangan berkelebat. Disusul dengan gerakan-gerakan cepat. Lebih dari sepuluh orang pengawal mengurung si nenek dan di kiri kanannya tegak dua orang tokoh silat Istana. Salah seorang dari tokoh ini membentak.

“Perempuan sedeng! Lekas minggat dari sini atau kupatahkan batang lehermu saat ini juga!”

Sepuluh Kuku Iblis mendongak lalu kembali tertawa panjang. Perlahan-lahan bersamaan dengan sirapnya suara tawanya dia palingkan kepala pada orang yang barusan menghardiknya. Telunjuk kirinya ditudingkan tepat-tepat ke muka tokoh silat itu.

“Lelaki jelek! Aku tahu siapa dirimu! Bukankah kau kunyuk yang bernama Camar Wungu, manusia sombong bergelar Si Tanagn Besi?! Hi hik hik. Aku mau lihat bagaimana sepasang tangan besimu hendak mematahkan batang leherku!”

Lalu si nenek melangkah ke hadapan tokoh silat Istana itu sambil sorongkan kepalanya. Camar Wungu jadi kaget sekaligus merasa marah ditantang begitu rupa. Kedua tangannya seta merta tampak berubah menjadi kecoklat-coklatan dan keras laksana batang besi.

“Manusia keparat! Kau memang minta mampus!” Dua tangan Camar Wungu bergerak laksana kilat. Dalam sekejapan saja sepuluh jari tangannya sudah mencengkeram batang leher si nenek dan mematahkannya!

Yang terdengar kemudian bukan jeritan si nenek melainkan jeritan Camar Wungu. Cekikannya terlepas. Kedua matanya mendelik dan tubuhnya terhuyung-huyung. Wini kantili menjerit sewaktu menyaksikan apa yang terjadi dengan tokoh silat Istana itu. Perutnya robek besar. Darah muncrat dan ususnya membusai mengerikan. Nyawanya tidak tertolong lagi!

“Manusia jahanam!” teriak tokoh silat yang satu lagi. Dia hunus senjatanya yaitu sebilah pedang pendek. Lalu menyerang. Beberapa orang pengawal ikut melompat dengan senjata di tangan.

Si nenek menyambut serangan itu dengan tawa melengking. Tubuhnya berkelebat. Lima jari tangannya melesat ke depan. Lalu pekik terdengar susul menyusul. Lima orang berkapar di tanah. Salah satu diantaranya tokoh silat tadi. Mereka yang masih hidup menjadi leleh nyalinya dan tertegun tak berani bergerak.

Kesempatan ini dipergunakan Sriti Gandini alias Sepuluh Kuku Iblis berkelebat menyambar tubuh Wini Kantili. Suaminya coba menghalangi dengan berusaha menjambak rambut nenek itu. Tapi satu pukulan pada perutnya membuat dia terlipat lalu roboh ke tanah. Di lain saat terdengar jeritan Wini Kantili. Muka dan dadanya berlumuran darah oleh lima guratan luka yang dalam!

Raden Sabrang cepat bangkit dan berusaha mengejar ketika dilihatnya si nenek hendak melarikan istrinya. Tapi lagi-lagi hantaman si nenek memebuatnya jatuh tergelimpang ke tanah. Kali ini tak bangkit lagi karena tulang dadanya melesat remuk dan dia mengalami kesulitan bernafas.

“Win... Wini...!” Memanggil Raden Sabrang. Dia berusaha berdiri mengejar tapi roboh lagi.

Sepuluh Kuku Iblis tertawa melengking. Tubuh Wini Kantili yang berada dalam keadaan luka parah dan sekarat dipanggulnya di bahu kiri. Dia memandang berkeliling lalu melompat ke arah matahari tenggelam. Namun gerakannya tertahan. Ada dorongan angin dahsyat datang dari depan yang membuat tubuhnya terhuyung-huyung.

Tubuh Wini Kantili yang ada dipanggulannya hampir terlepas. Si nenek berseru marah sambil melompat ke kiri. Dia balas menghantam. Tapi ketika meliha wajah orang yang menghadangnya, kedua matanya jadi terbeliak, hatinya berdenyut penuh rasa tidak percaya. Dia membatin.

“Apakah ini hanya satu kebetulan atau manusia keparat itu memang hidup kembali? Tapi bagaimana bisa semuda ini?!”

“Perempuan jahat! Jangan harap kali ini kau bisa membunuh dan kabur seenaknya! Turunkan puteri Patih itu cepat!” Pemuda di depan si nenek membentak.

“Siapa kau?!” si nenek balas menghardik.

“Aku utusan dari neraka yang datang untuk mengambil nyawa busukmu!” jawab si pemuda.

“Gila!” kata si nenek lagi dalam hati. “Ucap dan lagaknya persis sama dengan si keparat itu! Bagaimana ada dua menusia bisa mirip satu sama lain?!”

“Jangan kau berani bergurau di hadapan nenek moyangmu! Lekas menyingkir atau kau jadi korbanku berikutnya saat ini juga!”

Yang diancam garuk-garuk kepala dan menyeringai lalu maju selangkah. Si nenek angkat tangan kanannya siap untuk menghantam. Tapi entah mengapa tiba-tiba saja ada rasa tidak enak dalam hatinya. Tangannya diturunkan kembali. Kesempatan ini dipergunakan si pemuda untuk melompat coba merampas tubuh Wini Kantili. Kali ini si nenek tidak bisa berbuat lain. Dia cepat mengelak ke kiri lalu kirimkan tendangan kaki kanan. Tapi luput karena yang diserang sudah lebih dulu mengelak dan membalas dengan satu pukulan tangan kosong mengandung tenaga dalam tinggi.

Sepuluh Kuku Iblis keluarkan pekik melengking. Tubuhnya lenyap. Tangan kanannya mencakar ke depan. Namun aneh, sekali ini dia tidak keluarkan kuku-kuku iblisnya. Hanya saja serangannya ini kini mengerahkan lebih dari separuh tenaga dalamnya.

Akibatnya si pemuda merasa seperti disambar angin topan. Tubuhnya terpental. Dada pakaiannya robek. Selagi dia mencoba mengimbangi diri agar tidak jatuh, nenek berwajah tengkorak itu kembali menyerbu dengan cakaran ke wajah lawan, tapi lagi-lagi dia tidak keluarkan kuku-kuku iblisnya.

Dalam keadaan terdesak si pemuda menghantam sambil kerahkan tenaga dalam. Terdengar suara angin menderu dahsyat. Si nenek terkejut dan berseru. “Jurus dibalik gunung memukul halilintar!” Lalu dia cepat batalkan serangannya dan menyingkir mundur dengan mata mendelik.

Si pemuda yang tentunya adalah Pendekar 212 Wiro Sableng jadi terkejut ketika mendengar lawan menyebut dengan tepat jurus pukulan yang dilancarkannya.

“Jadi kau... Jadi kau manusia yang berjuluk Pendekar 212 itu!” kata si nenek dengan mata masih melotot. Dalam hati dia lagi-lagi membatin. “Ah, mengapa wajahnya begitu sama. Kepandaiannyapun tak kusangka begini hebat! Dia bisa berbahaya. Tapi bagaimana ini! Aku tidak tega mencelakainya! Lebih baik aku lekas pergi dari sini!”

Si nenek keruk saku pakaiannya mengeluarkan sebuah benda berwarna hitam. Murid Eyang Sinto Gendeng yang sudah punya banyak pengalaman segera tahu benda apa yang ada di tangan si nenek. Dia coba merampas tapi terlambat. Benda itu telah lebih dulu dibantingkan Sepuluh Kuku Iblis ke tanah.

Terdengar letupan halus. Lalu asap tebal menggebubu menutup pemandangan sejarak tiga tombak persegi. Wiro batuk-batuk dan cepat menyingkir. Ketika asap tebal lenyap, si nenek bersama sosok Wini Kantili yang dipanggulnya tidak kelihatan lagi di tempat itu!

Pendekar 212 cepat mendatangi sosok Raden Sabrang yang sedang sekarat terkapar di tanah.

“Raden...”

“Kejar... Kejar perempuan iblis itu. Dia melarikan Wini. Tolong istriku...”

“Terlambat. Tak mungkin dikejar. Kecuali ada yang tahu kemana perempuan itu membawa istri Raden,” jawab Wiro lalu dia menotok tubuh Raden Sabrang di beberapa tempat. Totokan ini tak mungkin menyelamatkan jiwa putra Patih Kerajaan itu. Namun paling tidak dapat mengurangi rasa sakit yang dideritanya.

“Aku... aku mendengar dia menyebut-nyebut Pulau...” kata Raden Sabrang. Pemandangannya mulai berkunang dan gelap.

“Pulau apa...? Pulau apa Raden? Katakan cepat!”

“Dia hanya menyebut Pulau. Tidak tahu...” Ucapan Raden Sabrang terputus.

Kepalanya terkulai. Nyawa lepas sudah. Pendekar 212 garuk-garuk kepala. Dia memandang ke arah matahari yang akan segera tenggelam. “Pulau...? Pulau apa? Ada banyak pulau di pantai Utara. Satu yang terbesar Pulau Rakata. Mungkin nenek itu membawa korbannya ke sana? Tapi untuk apa...?

Selagi Pendekar 212 berpikir-pikir tiba-tiba dari arah Barat terdengar gemuruh suara derap kaki kuda banyak sekali. Murid Eyang Sinto Gendeng cepat palingkan kepala. Lalu dia melihat rombongan orang-orang itu. Di sebelah depan adalah Patih Ganda Ariawisesa. Di sebelahnya Cemani Tanduwisoka. Di sebelah belakang menyusul Brambang Santika bersama dua orang tokoh silat Istana. Lalu di sebelah belakang lagi puluhan perajurit Kerajaan.

Melihat Wiro berdiri di tempat itu Patih Kerajaan mengangkat tangan memberi tanda agar rombaongan berhenti. Dia hendak mengatakan sesuatau pada Wiro namun berteriak keras ketika melihat mayat-mayat yang berkaparan, dua diantaranya adalah tokoh silat Istana yang ditugaskan untuk mengawal putera dan menantunya. Di sebelah sana malah tampak pula sosok tubuh Raden Sabrang terkapar tak bergerak lagi.

“Gusti Allah! Apa yang terjadi?!” teiak Patih Ganda Araiwisesa lalu melompat turun dari kuda.

Tubuh Patih Kerajaan ini bergetar keras menyaksikan kematian puteranya itu. Dia duduk bersimpuh di tanah dan meletakkan kepala Raden Sabrang dia tas pangkuannya sambil menangis terisak.

“Mana Wini menantuku?!” teriaknya Sang Patih kemudian.

“Perempuan berjuluk Sepuluh Kuku Iblis yang menculiknya,” menerangkan Wiro.

“Ya Tuhan...” Patih Ganda Ariawisesa merasakan sekujur tubuhnya menjadi lemas. Tubuhnya terhuyung-huyung dan hampir jatuh kalau tidak lekas dipegang oleh Wiro.

“Wini... Ya Tuhan... Tolong dia. Selamatkan dia...”

Brambang Santika saat itu telah pula turun dari kudanya. Sambil memegang bahu sang Patih dia berkata, “Ada pengkhianat di antara kita. Kalau tidak bagaimana mungkin Sepuluh Kuku Iblis mengetahui menantu dan puteramu berada di tempat ini!”

Sang Patih turunkan kedua tangannya. Sepasang matanya tampak merah. “Kau benar sahabatku. Ada pengkhianat di antara kia. Tapi siapa?!”

“Kelak musuh dalam selimut itu akan kita ketahui juga. Dia tidak bakalan lolos! Saya berjanji akan mengorek jantungnya dengan tangan saya sendiri!” kata Brambang Santika pula sambil mengepalkan tinju kanan.

Wakil Kepala Pasukan Kerajaan yang masih tetap berada di atas punggung kudanya berkata untuk pertama kali. “Paman Patih, kau harap di sini saja. Biar kami yang meneruskan pengejaran terhadap Pagar Paregreg selagi dia masih belum jauh.”

“Tidak! Aku tetap akan mengejar si Pengkhianat itu!” jawab Patih Ganda Ariawisesa lalu berpaling pada Wiro. “Pendekar 212. Harap kau suka membantu mengurus jenazah puteraku dan yang lain-lainnya.”

Wiro garuk-garuk kepala lalu mengangguk.

********************
WWW.ZHERAF.COM
TUJUH

Sriti Gandini alias Sepuluh Kuku Iblis duduk termenung di tepi kawah Gunung Krakatau. Di atasnya tujuh buah batang kelapa kini tiga di antaranya telah berisi mayat yang diawetkan. Yang pertama istri Giri Arsana. Yang kedua mayat anak lelakinya yaitu anak yang keempat dan yang ketiga anak bungsunya yaitu Wini Kantili.

Yang dipikirkan si nenek kini bukan meneruskan rencananya mencari turunan Giri Arsana yang lain guna memancing orang yang paling dibencinya itu keluar dari persembunyiannya. Pikiran dan ingatan serta kenangan si nenek kini justru pada murid Eyang Sinto Gendeng Pendekar 212 Wiro Sableng.

“Sulit! Gila dan tidak dapat dipercaya!” katanya berulang kali dalam hati. “Bagaimana ada kenyataan bahwa wajah pemuda itu persisi sama dengan wajah Giri Arsana sewaktu dia masih muda? Bukan cuma wajah, lagak dan cara dia bicarapun begitu mirip. Kalau saja aku masih muda…”

Sesaat wajah si nenek tampak menjadi merah. Dia mengusap muka tengkoraknya berulang kali. Menyadari keadaan dirinya kedua matanya tampak berkaca-kaca. “Gila!” dia memaki lagi dalam hati. “Tak mungkin aku harus jatuh cinta pada pemuda itu! Usiaku paling tidak tiga kali usianya. Lalu wajahku yang begini angker! Tubuhku yang kurus kering rongsokan! Tapi gila! Mengapa aku terus teringat padanya! Ketinggian ilmu silat dan kesaktiannya membahayakan diriku! Bisa-bisa aku celaka di tangannya sebelum sempat menuntut balas terhadap Giri Arsana! Dan lebih celaka lagi mengapa aku seperti tidak tega menjatuhkan tangan keras terhadapnya. Apa lagi membunuhnya! Aku harus menghindari pemuda itu. Lain halnya kalau Giri Arsana sudah mampus di tanganku. Mungkin aku bisa mencari seseorang yang bisa merubah raut wajah dan keadaan tubuhku. Lalu kucari pemuda itu. Akan kucintai dia seperti ketika aku mencintai Giri Arsana di waktu muda! Gila! Tidak! Aku tidak akan menyamakan dirinya dengan Giri Arsana. Pemuda ini pasti jauh lebih baik. Buktinya dia berusaha menyelamatkan anak dan menantu Giri Arsana. Ah, mengapa aku dilahirkan terlalu cepat ke dunia ini…”

Sepanjang malam itu si nenek duduk merenung di tepi kawah Gunung Krakatau. Dia bahkan tertidur di situ sampai pagi. Ketika sinar sang surya menghangati wajah dan tubuhnya baru dia terbangun. Begitu bangun ingatannya kembali tertuju pada Pendekar 212 Wiro Sableng. Perlahan-lahan si nenek melangkah mendaki lereng kawah, naik ke atas. Sinar matahari pagi tepat jatuh di kedua matanya sehingga pemandangannya silau terganggu.

Namun ketika dia mencapai bagian atas kawah, meskipun dalam keadaan silau kedua matanya masih dapat melihat ada seseorang tegak di hadapan deretan tujuh batang kelapa berlubang. Si nenek lindungi matanya dengan telapak tangan menghindari silaunya sinar matahari. Kini dia dapat melihat siapa adanya orang itu dan dia jadi terkejut hingga berseru.

“Kau!”

Orang yang tegak di depan deretan batang kelapa itu tampak tenang-tenang saja. Sesaat kemudian baru dia menjawab. “Akhirnya kutemui juga kau! Tidak meleset dugaanku kalau kau memang berada di Pulau Rakata ini. Yang aku cuma heran mengapa kau melakukan semua kegilaan ini?!”

“Pendekar 212, apapun yang kulakukan adalah urusanku sendiri. Bukan urusanmu ataupun urusan orang lain!”

Murid Eyang Sinto Gendeng gelengkan kepala. “Jika pembunuhan terjadi atas diri orang-orang tak berdosa, apalagi sampai menyangkut kematian menantu dan putera Patih Kerajaan maka urusan menjadi urusan semua orang. Menjadi urusan orang-orang rimba persilatan!”

“Kentut busuk!” teriak si nenek muka tengkorak. “Apakah kalian orang-orang persilatan juga mau tahu apa yang dilakukan orang terhadap diriku? Derita sengsara apa yang kualami selama hidupku!”

“Harap maafkan. Kalau kau menyebut hal itu aku mana tahu. Orang lain juga tidak mau tahu menyangkut urusan pribadimu...”

Si nenek tersenyum. “Pasti... Memang selalu begitu akan kudengar ucapan orang! Munafik! Semua munafik!”

“Nenek... Coba kau terangkan mengapa kau membunuh ke tiga orang ini, lalu menculiknya. Mengawetkan tubuh mereka lalu memasukkannya ke dalam lobang-lobang batang kelapa ini!” bertanya Wiro.

“Apa perdulimu! Justru kau yang harus menjawab pertanyaanku! Ada perlu apa kau datang ke tempat ini? Menyelidik dan mengejarku?! Kau tahu Gunung Krakatau adalah daerah kekuasaanku. Neraka bagi siapa saja yang berani datana kemari. Menginjakkan kaki di sini berarti mati! Termasuk aku!”

Wiro menatap wajah tengkorak sesaat. Hal ini membuat dada si nenek jadi berdebar. Kenangan lama di masa muda membuat dirinya seolah terbakar. Perlahan-lahan dia alihkan pandangan matanya ke tempat lain. Seperti dia tidak kuasa balas menatap pandangan mata pemuda di hadapannya itu.

“Terus terang aku memang menyelidik dan mengejarmu. Penyelidikan dan pengejaranku berakhir sampai di tepi kawah ini. Sekarang aku meminta padamu agar menghentikan semua kegilaan ini! Jika kau punya dendam kesumat terhadap seseorang, bukan begini caranya membalas sakit hati!”

“Hemm... ucapanmu terdengarnya bagus sekali. Kau punya hati kemanusiaan yang tinggi! Tapi dengan caramu itu kau membela orang lain dan mencelakai diriku!”

“Aku tidak mencelakakan siapa-siapa. Aku akan segera meninggalkan tempat ini tapi dengan membawa ketiga mayat ini. Kau harus menolongku menggotongnya ke pantai dan memasukkannya ke dalam perahu.”

Si nenek melongo lalu tertawa mengekeh. “Aku bukan kacungmu! Jika kau inginkan ketiga mayat itu silahkan ambil! Tapi jangan lupa. Tinggalkan dulu nyawamu di Pulau Rakata ini!”

“Ini pembicaraan dan urusan gila tidak akan habis-habisnya!” kata Wiro masih bisa menyeringai. “Kau mau menolongku membawa mayat-mayat ini ke pantai? Cukup dengan menyeret batang kelapanya saja”

“Aku ingin membunuhmu!” jawab si nenek. Kata-kata itu diucapkannya dengan hati perih karena di lubuk hatinya dia tidak tega membunuh pemuda ini.

Wiro yang sadar bahwa perkelahian tak mungkin dihindari lagi segera memasang kuda-kuda. Begitu si nenek menyerbu dia menghantam dengan pukulan Segulung Ombak Menerpa Karang.

Si nenek yang sudah tahu kehebatan lawannya tidak mau kalah. Dia dorongkan kedua tangannya ke arah Wiro. Dua gulung angin melesat didahului oleh suara keras. Sedang dari mulutnya nenek muka tengkorak itu keluarkan suara seperti lolongan srigala yang menggidikkan.

Pendekar 212 tersentak kaget ketika melihat bagaimana pukulan saktinya musnah dihantam dua gelombang angin serangan lawan. Pemuda ini cepat menghantam dengan dua serangan sekaligus.Tangan kiri melepas pukulan Junyuk Melempar Buah, sedang tangan kanan menghantamkan pukulan Kilat Menyambar Puncak Gunung!

Sepuluh Kuku Iblis berteriak keras. Tubuhnya lenyap dari pemandangan. Di lain saat Wiro melihat ada lima larik sinar hitam membabat ke arahnya! Si nenek rupanya sudah keluarkan ilmu kesaktian yang paling diandalkannya yaitu kuku-kuku iblis! Wiro cepat menyingkir. Tapi...

"Bettt...!"

Baju putihnya masih sempat disambar hingga robek besar di bagian dadanya. Selagi dia terkesiap kaget begitu rupa si nenek kembali menyambar dengan lima kuku mautnya. Kali ini Wiro tidak berkesempatan untuk menghindar. Sesaat lagi lima kuku itu akan merobek muka Pendekar 212 si nenek tiba-tiba tarik pulang tangannya. Rasa cintanya yang aneh membuat dai tidak tega meneruskan serangannya. Kesempatan ini tidak disia-siakan oleh Wiro.

Murid Eyang Sinto Gendeng cepat melompat ke depan dan susupkan satu pukulan keras ke dada si nenek. Sepuluh Kuku Iblis menjerit setinggi langit. Salah satu tulang iganya remuk. Tubuhnya terpental ke tepi kawah. Darah kelihatan mengucur di sela bibirnya. Tapi hebatnya perempuan tua ini bangkit berdiri dengan cepat. Sepasang matanya seperti menyala.

“Bodoh! Terlalu bodoh aku menanamkan rasa suka terhadap pemuda ini! Aku menyukainya tapi dia inginkan nyawaku! Lebih baik mati sama-sama!” kata Sepuluh Kuku Iblis dalam hati. Dia ulurkan kedua tangannya. Sepuluh kuku ini tampak mencuat mengerikan ke arah Wiro. Perlahan-lahan si nenek melangkah mendekati Wiro. Mulutnya komati kamit membaca mantera. Tiba-tiba dia menghantam ke depan. Sepuluh larik cahaya hitam menyambar.

Wiro yang sudah menunggu membalas serangan lawan dengan pukulan Sinar Matahari. Cahaya putih panas dan menyilaukan berkiblat. Si nenek terdengar melengking tinggi. Tubuhnya lenyap. Pukulan sinar matahari menghantam pinggiran kawah hingga tanah kawah hancur terbang sampai setinggi lima tombak. Wiro merasakan ada angin menyambar di belakangnya. Dia cepa berpaling. Tapi terlambat. Satu dorongan angin yang sangat deras menghantam dadanya. Tak ampun lagi tubuhnya terpental dan jatuh ke dalam kawah!

Si nenek berseru kaget. Menyesal menyaksikan bagaimana pukulan sakti yang dilepaskannya tadi dengan mengandalkan seluruh tenaga dalamnya itu membuat mental si pemuda begitu rupa. Dia melompat memburu sambil ulurkan tangan kanannya. Berusaha menangkap pergelangan kaki kiri Wiro. Namun terlambat tak ada gunanya. Tubuh murid Eyang Sinto Gendeng itu telah melayang jatuh menuju kawah Gunung Krakatau yang mendidih!

Si nenek hanya bisa tertegun di tepi kawah. Tubuhnya lemas. Kedua matanya dipejamkan. Perlahan-lahan dia terduduk di tepi kawah dengan sepasang mata berkaca-kaca.

“Aku begitu menyukainya. Tapi dia keliwat memaksa. Menyesal aku menurunkan tangan keras padanya. Lebih baik aku mati saja menyusulnya!” Sriti Gandini alias Sepuluh Kuku Iblis tiba-tiba berdiri dan siap hendak melompat menghambur kawah Gunung Krakatau. Namun seperti ada suara yang mengiang di telinganya.

“Tak ada gunanya mati bagimu! Kematianmu hanya akan memberi peluang bagi orang yang sangat kau benci itu bisa kembali hidaup bebas di dunia ini! Jangan jadi orang tolol!”

“Keparat!” si nenek memaki. “Hampir aku tertipu oleh kebodohanku sendiri!” Dia menatap ke arah kawah di kejauhan sana. Lalu perlahan-lahan diputarnya tubunya. “Tiga nyawa sudah kukirim ke neraka. Menyusul kini nyawa ke empat, kelima dan ketujuh! Masakan keparat itu tidak akan keluar dari persembunyiannya! Manusia busuk! Lalaki pengecut!”

********************
WWW.ZHERAF.COM
DELAPAN

Goa itu terletak di kaki timur Gunung Karang. Bagi orang yang tidak tahu seluk beluk daerah sunyi dan jarang didatangi manusia itu pasti tidak akan mengetahui kalau di situ terdapat sebuah goa. Apalagi goa ini terlindung oleh sederetan pohon jati tua dan mulutnya tertutup oleh semak belukar lebat.

Di kawasan kaki gunung yang sunyi senyap itu tiba-tiba menggelegar suara auman binatang buas. Seekor harimau raksasa berwarna kuning belang hitam, mendekam di tanah. Tengkuknya merunduk, mulutnya terbuka lebar memperlihatkan gigi dan taring-taringnya yang besar runcing mengerikan. Binatang ini siap melompati sesosok tubuh yang tegak di hadapannya.

Orang yang bakal menjadi mangsa raja rimba itu adalah seorang nenek bertubuh kurus dan berkulit sangat hitam. Sekujur daging tubuhnya hanya tinggal kulit pembalut tulang. Termasuk kulit mukanya hingga wajahnya tidak beda seperti tengkorak hidup. Sepintas dia kelihatan seperti Sriti Gandini alias Sepuluh Kuku Iblis. Tapi jika diperhatikan banyak kelainannya. Nenek satu yang ada di rimba belantara ini menghiasi kepalanya dengan lima buah tusuk kundai dari perak.

Kelima tusuk kundai itu tidak mungkin disisipkan pada rambut putihnya yang sangat jarang. Karenanya benda-benda itu disusupkan oada kulit kepalanya! Sepasang alisnya berwarna putih. Ongga mata dan kedua pipinya sangat cekung hingga wajahnya jelas jauh lebih angker dari nenek yang bergelar Sepuluh Kuku Iblis!

Menghadapi harimau raksasa yang siap menerkamnya si nenek tegak tenang-tenang saja. Malah sambil menyeringai dia bolang balingkan tongkat kayu di tangan kanannya. Gerakan tongkat ini diikuti dengan pandangan mata liar harimau besar di hadapannya. Binatang ini menggereng lalu mengaum keras membuat rimba belantara itu seperti bergetar. Si nenek bukannya takut malah tertawa mengekeh.

“Raja rimba!” katanya berseru. “Apa untungnya menerkam diri tua bangka ini! Tubuhku tak berdaging lagi! Tulangku keras dan alot! Kau cari saja mangsa yang lain!”

Raja hutan kembali mengaum seolah tahu apa ang diucapkan si nenek. Kedua kaki depannya dicakar-cakarkan ke tanah. Mulutnya dibuka lebar-lebar.

“Kalau kau tidak mau mendengar ucapanku, kau bakal menyesal!” seru si nenek lagi. Lalu tongkat yang dipegangnya dilemparkan ke arah binatang buas itu. Aneh, begitu dilempar tongkat ini langsung memukul ke arah kepala harimau besar. Pukulan yang cukup keras itu membuat sang harimau kesakitan dan mangaum marah. Sesaat dia jadi bingung apakah akan terus menerkam si nenek atau menerkam tongkat.

Selagi dia kebingungan seperti itu tongkat kembali menghantam kepalanya berulang kali. Pinggiran matanya sebelah kiri robek dan mengucurkan darah. Tak tahan menderita sakit apalagi tidak mempu berbuat apa terhadap tongkat itu harimau besar ini akhirnya melarikan diri masuk ke dalam rimba belantara.

Si nenek ulurkan tangannya.tongkat melayang masuk kedalam genggamannya. Sambil meneyeringai dia memandang berkeliling. Lama dia memperhatikan deretan pohon-pohon jati yang berusia puluhan tahun di sekelilingnya.

“Goa itu seharusnya berada di sekitar sini. Aneh... kenapa tidak kelihatan lagi? Tak mungkin lenyap begitu saja!” si nenek berkata dalam hati.

Kesal mencari-cari dan apa yang dicari tidak bertemu akhirnya kembali perempuan tua ini pergunakan tongkatnya untuk melakukan hal yang mustahil mampu diperbuat oleh orang lain. Tongkat di tangannya perlahan-lahan berubah jadi lebih panjang. Dengan benda ini dia menerabas kian kemari. Dalam sekejapan mata saja semak belukar di sekitar itu habis rambas dibuatnya. Tak lama kemudian terdengar suaranya berrseru.

“Ooooo... ooo! Itu dia! Ternyata memang tidak lenyap!” Si nenek melompat kehadapan mulut goa yang kini kelihatan jelas setelah semak belukar yang menutupinya dibabat habis dengan tongkatnya tadi. Sesaat si nenek tegak di depan mulut goa. Kepalanya didongakkan sedikit lalu dia menghirup dalam-dalam. Mulutnya menyeringai. Kemudian terdengar tawanya mengekeh.

“Aku mencium baumu tua bangka jelek!” si nenek berteriak. “Dewa Berpayung Hitam! Aku tahu kau ada di dalam!”

Suara teriakan si nenek bergema masuk ke dalam goa lalu muncul lagi di mulut goa secara aneh dan keras disertai deru angin membuat si nenek tersentak.

“Kau tak mau menjawab! Jangan coba menipuku! Kalau ku sulut api ke dalam goa kau bakal jadi tulang belulang gosong! Beginikah sambutanmu menerima tamu yang datang dari jauh?!”

Dari dalam goa tiba-tiba terdengar gema suara tawa mengekeh. “Tamu yang banyak mulut! Aku belum melihat tampangmu, belum tahu siapa kamu! Tapi silahkan masuk! Sudah enam bulan lebih memang aku tidak pernah melihat manusia!”

Nenek di mulut goa batuk-batuk lalu menerobos masuk ke dalam. Goa ini ternyata cukup dalam dan berkelok-kelok. Tapi anehnya semakin ke dalam semakin terang. Akhirnya dia sampai di sebuah mata air.

“Aneh, bagaimana bisa ada mata air dalam goa ini!” kata si nenek. Dia menengadah ke atas. Di langit-langit goa ada sebuah celah kecil. Dari sinilah cahaya matahari masuk menerangi bagian dalam goa! Nenek itu turunkan kepalanya kembali. Pandangannya langsung tertuju ke seberang mata air dimana kelihatan sebuah payung hitam lebar dan keadaan terbuka, terletak di lantai batu.

“Konyol!” si nenek memaki. “Sudah diketahui orang kau berada di sini masih saja coba sembunyi di balik payung! Kalau tidak lekas kau singkirkan payung itu jangan menyesal kalau kurobek-robek!” Si nenek lalu angkat tangannya yang memegang tongkat.

Dari balik payung terdengar suara tawa mengekeh. Payung hitam lebar itu perlahan- lahan menciut kuncup.

Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng Karya Bastian Tito
WWW.ZHERAF.NET
SEMBILAN

Di balik payung itu kini tampak duduk bersila seorang kakek berwajah putih klimis, bermata cekung dan berpipi kempot. Dia mengenakan jubah putih dan di bahu serta dadanya diselempangkan sehelai kain hitam, sehitam warna payungnya. Orang ini memandang tersenyum pada si nenek. Tangannya bergerak menyandarkan payung hitam yang baru ditutupnya ke dinding goa.

“Ternyata kau tidak kalah jelek dengan diriku!” kata si nenek lalu tertawa mengekeh. Kakek di seberang mata air ikut-ikutan tertawa hingga goa itu jadi bising dan bergetar oleh suara tertawa kakek nenek ini.

“Giri Arsana! Kau...”

“Tunggu dulu!” si kakek memotong ucapan si nenek. “Sebagai tuan rumah aku mungkin tidak bisa bersikap ramah. Juah-jauh datang kemari kau tentu haus! Jika ingin minum silahkan ambil sendiri! Maksudku minum dari telaga itu!”

“Sialan kau!” memaki si nenek. “Nyawamu terancam dan kau masih saja bisa bicara ngacok!”

“Sinto Gendeng, ada apa kau datang jauh-jauh dari gunung gede ke goaku ini?!” bertanya si kakek.

Ternyata si nenek adalah Eyang Sinto Gendeng, guru Pendekar 212 Wiro Sableng sedang si kakek bukan lain adalah Giri Arsana alias Dewa Berpayung Hitam yang selama enam bulan terakhir ini melenyapkan diri dari dunia persilatan tak tahunya sembunyi di dalam goa di kaki Gunung Karang.

“Kau melakukan tindakan pengecut yang memalukan tokoh-tokoh silat seangkatan! Apa kau sada melakukan hal itu!”

“Tentu saja aku sadar Sinto. Tapi tindakanku bukan pengecut!”

Sinti Gendeng tertawa membahak. “Kau bersembunyi di sini! Kau bilang bukan pengecut! Kau tahu apa yang terjadi di luar sana? Istrimu telah dibunuh oleh Sriti Gandini. Anak lelakimu yang keempat juga mati di tangannya. Belum lama berselang puterimu yang kawin dengan putera Patih Kerajaan juga telah dibunuh! Ketiga mayat mereka tidak ditemukan!”

Kakek berwajah klimis tundukkan kepala. Lalu terdengar dia menghela nafas panjang. “Aku tahu kemana Sriti Gandini membawa mayat-mayat anak istriku...”

“Kalau kau sudah tahu apa yang terjadi mengapa masih tega-teganya sembunyi di goa ini?!” sentak Sinto Gendeng. “Apa kau ingin melihat seluruh turunanmu dihabisi orang?!”

“Mungkin sudah saatnya aku keluar goa ini dan berhadapan dengan perempuan sesat itu!”

“Enak saja mulutmu berkata begitu! Lelaki selalu menuduh perempuan sesat! Aku tanya kau atau dia yang sesat?” bentak Sinto Gendeng sambil melototkan mata.

“Yah... Mungkin aku yang sesat...”

“Bukan mungkin. Tapi jelas-jelas kau memang sesat!”

“Ya... ya! Kami berdua sama sesatnya!”

“Nah itu lebih baik dan lebih adil!” ujar Sinto Gendeng pula. "Lebih cepat kau keluar dari sini lebih baik! Lebih cepat kau membuat perhitungan dengan perempuan itu akan lebih baik hingga kami orang-orang di dunia persilatan bisa terhindar dari rasa memihak. Eh, kakek peot, apa yang menyebabkan kau sampai kabur dan mendekam ke tempat ini?”

Giri Arsana tak mau menjawab.

“Kau merahasiakan sesuatu?”

“Tadinya memang. Tapi biarlah aku katakan padamu. Aku tengah mengamalkan ilmu baru. Guna dapat menghadapi Sriti Gandini...”

“Ilmu apa? Sudah tua bangka dan hampir masuk liang kubur ini kau masih hendak menciptakan ilmu baru? Luar biasa! Aku kagum padamu. Tapi apa tidak terlambat?”

“Memang terlambat! Rasanya aku tidak siap. Aku tidak bakal mampu menghadapi perempuan itu. Dia telah mengetahui kelemahan dan cara mengalahkan diriku. Aku tengah berusaha mencari penangkalnya, tapi rasanya tidak bakalan dapat...” Wajah si kakek sesaat tampak sedih.

“Giri... Giri... Itulah akibat kalau diwaktu muda terlalu mengumbar nafsu. Perempuan mana yang tidak bakal jadi nekad dan ingin membunuhmu. Selagi muda kau jadikan Sriti Gandini sebagai kekasihmu. Pasti kau sudah tidur-tidur dengan dia!” Sinto Gendeng melihat wajah si kakek merah sesaat. Lalu dia meneruskan ucapannya. “Setelah kau berpuas-puas dengan dirinya lalu kau cari kekasih lain. Kau tinggalkan dia. Tapi kemudian tiba-tiba kau muncul lagi menemuinya. Merayunya dan berjanji akan mengawininya. Hal itu terjadi berulang kali. Yang paling menyakitkan hatinya adalah ketika akhirnya kau mengawini adiknya. Tapi selagi perempuan itu menghamili anaknya yang pertama kau tinggal kabur. Syukur si anak mati ketika lahir hingga dia tidak ikut menerima malu dan derita hidup karena kelakuan bapaknya yang gila sepertimu! Ketika istrimu itu meninggal karena sakit, kau kembali menemui Sriti Gandini. Perempuan itu karena cintanya padamu masih mau berbuat ketololan menerimamu. Tapi kemudian lagi-lagi kau tingalkan dirinya. Kau pergi ke seberang memboyong seorang perempuan lain yang kau jadikan istri hingga kau mendapatkan lima orang anak. Dua anakmu sudah mati di tangan Sriti Gandini. Juga istrimu! Sekarang kau rasakan sendiri pembalasan sakit hatinya.”

“Yang aku sayangkan...” kata Giri Arsana pula. “mengapa dia melakukannya ketika kita sudah tua bangka begini rupa? Kenapa dia tidak membunuhku saja sejak dulu-dulu!”

Sinto Gendeng mendengus. “Dendam kesumat tidak mengenal waktu Giri. Aku yakin perempuan itu sengaja menunggu sampai mengetahui dimana letak kelemahanmu...”

“Kau benar,” kata Giri Arsana. Dia tampak termenung. Lalu terdengar dia berucap. “Di usia setua ini seharusnya hidupku dalam ketentraman. Tapi apa mau dikata...”

“Apa mau dikata,” menyambung Sinto Gendeng, “Nasi sudah menjadi bubur. Sekarang silahkan kau makan sendiri buburnya.” Sinto Gendeng lalu tertawa gelak-gelak. Dia bolang-balingkan tongkatnya beberapa kali. “Aku pergi duluan Giri. Aku menyesal tidak dapat membantumu. Hanya kau sendiri yang bisa menyelamatkan tiga orang anakmu yang masih hidup dan memebersihkan dirimu dari lumpur dendam.”

“Bagaimanapun kau telah melakukan sesuatu yang sangat berharga bagiku, Sinto. Mungkin kita tidak akan berjmupa lagi...”

Sinto Gendeng sesaat tampak terharu. Sebelum dia lebih jauh tenggelam dalan perasaannya cepat-cepat dia tinggalkan tempat itu. Tak lama setelah si nenek pergi, Giri Arsana yang bergelar Dewa Berpayung Hitam berkelebat pula meninggalkan goa. Dia tahu dia bakal menghadapi kematian cepat atau lambat. Dulu dia merasa takut memikirkan hal itu. Namun kini ada rasa tegar dalam dadanya untuk menghadapi kenyataan yang bakal terjadi dengan tabah.

********************
WWW.ZHERAF.COM
SEPULUH

Patih Ganda Ariawisesa memimpin sendiri pengejaran terhadap gembong-gembong pemberontak yang dipimpin oleh Pager Paregreg, Kepala Pasukan Kerajaan. Sebelumnya para pemberontak dengan sengaja telah menimbulkan kebakaran di Kotaraja dengan maksud mengalihkan perhatian orang-orang Istana. Namun gelagat yang tidak baik ini sudah tercium oleh Patih Ganda Ariawisesa.

Sang Prabu bersama permaisuri dan putera-puteri mereka yang masih kecil-kecil segera diungsikan ke satu tempat rahasia. Di Istana terjadi pertempuran seru antaa pemberontak dengan mereka yang setia pada Kerajaan. Pertempuran ini hanya berlangsung sebentar karena setelah diberi aba-aba oleh Pagar Paregreg, pihak pemberontak segera kabur meniggalkan Istana.

Langsung saja Patih dan Wakil Kepala Pasukan serta Brambang Santika dan puluhan perajurit melakukan pengejaran. Dalam pengejaran inilah Patih Kerajaan mendapat pukulan berat atas kematian putera dan lenyapnya menantunya akibat ulah jahat Sriti Gandini alias Sepuluh Kuku Iblis.

Setelah mempercayakan jenazah pada Pendekar 212 Wiro Sableng, Patih Kerajaan bersama rombongannya meneruskan melanjutkan pengejaran. Pihak yang dikejar melarikan diri ke arah Barat menyusuri rimba belantara di sebuah kaki bukit.

“Paman Patih,” berkata Cemani Tanduwisoka yaitu Wakil Kepala Pasukan Kerajaan dengan suara keras-keras agar terdengar di antara derap kaki kuda yang bergemuruh. “Di depan sana adalah salah satu daerah pemusatan pasukan pemberontak. Jika kita terus mengejar jangan-jangan mereka sengaja menjebak kita!”

Patih Ganda Ariawisesa yang masih dipengaruhi hawa amarah akibat kematian putera yang kehilangan menantunya tanpa terpikir menjawab dengan suara lantang. “Percepat saja lari kudamu!” Sebentar lagi kita akan berhasil mengejar mereka!”

Saat itu memang jarak antara pihak yang melarikan diri dengan yang mengejar hanya terpisah sekitar dua puluh tombak. Di jalan yang agak mendaki Patih Kerajaan mengharapkan akan dapat mengejar Pagar Paregreg dan kawan-kawannya. Namun baru saja Patih Ganda Ariawisesa mengeluarkan ucapan tadi, tiba-tiba dua batang pohon di kiri kanan jalan tumbang bergemuruh. Bersamaan dengan itu dari mana-mana berlesatan berbagai macam senjata rahasia.

Dalam keadaan seperti itu tanah di depan pihak pengejar mendadak bergerak secara aneh. Rupanya tanah ini sebelumnya ditutupi dengan papan-papan tebal yang bisa ditarik ke pinggir jalan dan kini terbentang sebuah lobang besar yang bagian dalamnya ditancapi bambu-bambu runcing sedang di dasarnya belasan ekor ular berbisa tampak bekeliaran kian kemari!

Terjadilah neraka bagi pihak pengejar. Belasan perajurit menemui ajalnya. Ada yang tertimpa pohon yang sebelumnya telah ditebang dan sengaja ditumbangkan. Ada yang ditembus berbagai senjata rahasia dan banyak pula yang menemui kematian tertancap bambu-bambu runcing yang mencuat di dalam lobang! Pekik jerit kematian dan suara ringkikan kuda bergabung jadi satu terdengar mengerikan.

Dua tokoh silat Istana yang ikut melakukan pengejaran berhasil menyelamatkan diri dari hantaman tumbangan pohon, namun keduanya menderita luka-luka cukup parah disambar beberapa senjata rahasia. Salah seorang dari mereka berhasil melompat menghindar dari jatuh ke dalam lobang maut.

Namun ketika dia berusaha menolong kawannya yang telah lebih dulu terbanting jatuh ke dalam lobang, satu tendangan menghantam punggungnya, membuat orang ini tak ampun lagi bersama kawan yang hendak ditolongnya jatuh masuk ke dalam lobang. Yang satu menemui ajal begitu perutnya ditembus batangan bambu runcing. Satunya lagi hanya bisa menjerit-jerit diserang dan dipatuki ular berbisa.

Siapakah yang tadi telah menendang tokoh silat Istana? Tidak seorangpun sempat memperhatikan. Patih Ganda Ariawisesa dan Cemani Tanduwisoka dengan kepandaian masing-masing berhasil menghindar dan menangkis serangan belasan senjata rahasia. Mereka juga selamat dari tertimpa tumbangan dua buah pohon besar. Akan tetapi tubuh mereka yang terpental dari atas kuda celakanya jatuh terlempar ke arah lobang jebakan yang penuh dengan tancapan bambu-bambu runcing serta ada belasan ular berbisanya!

Kuda tunggangan Cemani terjerumus jatuh masuk ke dalam lobang, meringkik keras kelojotan ketika bambu-bambu runcing menembus tubuhnya. Nasib baik bagi Wakil Kepala Pasukan Kerajaan ini karena dia bisa jatuh berdiri tepat di atas tubuh kuda yang tengah sekarat, tegak diantara tiga batang bambu.

Sebaliknya Patih Ganda Ariawisesa bernasib lebih malang. Dirinya terjerumus ke dasar lobang, terjepit di antara batang bambu. Begitu kakinya menempel di tana lobang, belasan ular berbisa segera menyerbu. Patih ini keluarkan kesaktiannya, menghantam dengan pukulan-pukulan mengandung hawa panas. Beberapa ekor ular mati berkaparan seperti kena panggang. Namun lebih banyak lagi yang datang, membuat Sang Patih terpaksa memanjat bambu untuk selamatkan diri.

Selagi Ganda Ariawisesa berjuang selamatkan nyawanya dia melihat satu hal yang tidak bisa dipercaya dan membuatnya marah luar biasa! Saat itu Cemani Tanduwisoka tengah berusaha mencapai tepi lobang untuk selamatkan diri. Ketika dilihatnya Brambang Santika berdiri di tepi lobang, dia segera mengulurkan tangan minta bantuan. Tapi apa yang terjadi kemudian sungguh tidak terduga.

Brambang Santika yang merupakan tangan kanan kepercayaan Patih Ganda Ariawisesa bukan menolong Wakil Kepala Pasukan Kerajaan itu melainkan malah menendang dadanya dengan keras sehingga Cemani terpental. Dia berusaha bergayut pada salah satu bambu namun pegangannya terlepas. Tak ampun lagi tubuhnya terjerumus masuk ke dasar lobang. Saat itu juga belasan ular menyerangnya. Suara jeritan Cemani Tanduwisoka sungguh menggidikkan!

“Dimas Brambang!” teriak Patih Ganda Ariawisesa melihat kejadian itu. Saat itu dia sampai terlupa meneruskan memanjat bambu untuk selamatkan diri. “Apa yang telah kau lakukan?!” Tambah terkejut Sang Patih ketika dilihatnya pembantu yang sangat dipercayanya itu tertawa bergelak.

“Patih Kerajaan! Kau terlalu picik untuk melihat kenyataan!”

“Apa maksudmu?!” bentak Sang Patih. Saat itu seekor ular menjalar di bambu dimana dia berada, berusaha mematuknya. Ganda Ariawisesa memukul ke bawah. Ular itu terpental jatuh dan mati tetapi bambu tempat dia bergantung patah. Secepat kilat Ganda melompat ke bambu di sebelahnya.

“Sobatku Brambang Santika! Biar aku yang menjawab pertanyaan Patih tolol itu!” satu suara terdengar. Diiringi beberapa tokoh silat Istana dan puluhan perajurit, di tepi jalan muncul Pagar Paregreg, Kepala Pasukan Kerajaan pengkhianat yang jadi pucuk pimpinan kaum pemberontak.

Tentu saja kejut Patih Ganda Ariawisesa bukan alang kepalang. Matanya memandang melotot berganti-ganti ke arah Pagar Paregreg dan Brambang Santika.

Pagar Paregreg maju selangkah ke tepi lobang. “Patih Kerajaan, sahabatmu Brambang Santika adalah orangku. Apa itu masih belum jelas bagimu?!”

“Manusia pengkhianat terkutuk!” teriak Patih Ganda Ariawisesa. “Berarti kau juga yang bocorkan rahasia penyamaran anak dan menantuku! Manusia kotor!” Sambil bergantung kebambu dengan tangn kirinya, patih menghantam ke arah Brambang Santika dengan tangan kanannya.

"Wuuttt...!"

Selarik angin deras mengandung hawa panas menyambar ke arah Brambang Santika. Orang ini cepat menunduk lalu balas lepaskan pukulan tangan kosong yang tak kalah dahsyatnya. Dalam keadaan seperti itu tak ada kemungkinan bagi Ganda Ariawisesa untuk mengelak. Satu-satunya jalan untuk menyelamatkan diri adalah menangkis pukulan lawan dengan pukulan pula.

Dalam hal tenaga dalam memang Sang Patih mempunyai kemampuan lebih tinggi dari Brambang Santika. Namun dia kalah cepat dalam bergerak. Pukulan lawan sampai lebih dulu hingga tubuhnya bergetar hebat sementara batang bambu tempatnya bergantung berderak-derak lalu pecah! Tak ampun lagi Ganda Ariawisesa jatuh terjerumus ke dalam lobang. Di bawahnya enam ekor ular sama-sama meluruskan kepala menunggu jatuhnya tubuh Patih Kerajaan itu. Dengan susah payah Ganda Ariawisesa berusaha menggapai tiang bambu terdekat.

Namun saat itu Pagar Paregreg tampak mengangkat mayat seorang perajurit Kerajaan, lalu sosok mayat itu dilemparkannya ke arah Ganda Ariawisesa. Diberati timpaan tubuh seperti itu jelas Patih Kerajaan tak akan mempu menyelamatkan diri. Tubuhnya akan terjatuh ke dasar lobang, diambut oleh belasan ular berbisa!

Pada saat itulah tiba-tiba terdengar suara bentakan nyaring. Sebuah tongkat menyusup ke bawah ketiak kanan Patih Ganda Ariawisesa. Sebelum dia tahu apa yang terjadi, tubuhnya terangkat dengan keras ke atas. Lalu seperti sebuah benda membal yang disentakkan ke atas tubuh Patih Kerajaan itu melayang ke udara, untuk kemudian jatuh sekitar tiga tombak dari tepi lobang maut. Dalam keadaan seperti itu Sang Patih masih mampu jatuh ke tanah dengan kedua kaki menjejak lebih dulu. Dia cepat membalik, tepat pada saat semua orang yang ada di situ sama-sama dilanda rasa kejut.

Di tepi lobang sebelah kiri, berdiri seorang nenek hitam tinggi. Mukanya seangker setan dan kepalanya ada lima tusuk kundai perak. Tangan kanannya memegang sebuah tongkat kayu buruk. Dengan benda inilah tadi dia mengait ketiak Patih Kerajaan dan menyelamatkannya.

“Eyang Sinto Gendeng!” seru Patih Ganda Ariawisesa begitu dia mengenali si nenek.

Yang dipanggil namanya tidak berpaling ataupun menjawab. Sinto Gendeng tegak tak bergerak. Hanya kedua matanya yang menyeramkan memandang tak berkesip ke arah Kepala Pasukan Kerajaan yang berkhianat, lalu pada Brambang Santika. Ketika dia melihat pada beberapa tokoh silat sesat yang mau-mauan iktu membantu pihak pemberontak, Sinto Gendeng unjukkan tampang angker dan berkata,

“Dunia persilatan sedang kisruh. Kalian bukannya ambil bagian untuk mencari perbaikan, malah kini masuk ke dalam kubangan lumpur, mengotori diri dengan jadi kaki tangan pemberontak! Pangkat dan bayaran berapa yang dijanjikan untuk kalian?!”

Jika saja yang bicara itu bukan Sinto Gendeng beberapa tokoh silat Istana yang bergabung dengan Pagar Paregreg pasti sudah menyerbu dab menghantam habis-habisan. Namun karena tahu siapa adanya nenek tinggi hitam ini, mereka terpaksa menahan diri dan menunggu sampai Pagar Paregreg bergerak atau memberikan perintah.

Lain halnya dengan Brambang Santika. Orang ini memang tahu betul kehebatan Sinto Gendeng. Tapi jika dia bersama Pagar Paregreg dan beberapa tokoh silat itu mengeroyok si nenek, mana mungkin mereka akan kalah. Maka diapun keluarkan ucapan mengejek.

“Perempuan tua! Apakah yang kau ketahui tentang urusan Kerajaan. Jangan campur adukkan soal Kerajaan dengan soal dunia persilatan. Kau sebaiknya bertapa saja di Gunung Gede!”

Darah Sinto Gendeng seperti mendidih mendengar kata-kata Brambang Santika itu. Namun si nenek masih bisa sunggingkan senyum malah tertawa melengking. “Bocah jelek! Kau tentu dijanjikan jabatan tinggi oleh para pengkhianat! Selama ini kau banyak berhubungan dengan orang-orang persilatan. Namun ternyata kau tidak banyak mengenal kehidupan kami. Dalam rimba persilatan manusia ular kepala dua sepertimu dihabisi lebih dulu!”

Habis berkata begitu Sinto Gendeng lemparkan tongkatnya ke arah Brambang Santika. Benda ini kelihatan menjadi tambah panjang dan lentur hingga tak obahnya seperti seutas tali yang siap menjirat leher Brambang.

Melihat orang telah mulai menyerang Pagar Paregreg cepat angkat tangannya. Kepala Pasukan Kerajaan yang berkhianat itu tahu betul kehebatan Sinto Gendeng segera angkat tangan kanannya memberi tanda. Melihat isyarat ini tiga orang tokoh silat Istana yang ikut memberontak segera menerjang masuk ke dalam kalangan pertempuran terus menyerbu ke arah Sinto Gendeng.

Menghadapi keroyokan tiga musuh ini si nenek dengan memaki terpaksa tarik pulang serangan tongkatnya yang hampir dapat menjirat batang leher Brambang Santika. Dengan geram Sinto Gendeng sabatkan tongkatnya sedang tangan kiri lepaskan satu pukulan sakti.

Dua tokoh silat yang mengeroyok berhasil menghindar dari hantaman pukulan dan sambaran tongkat. Tapi tokoh silat ketiga berlaku ayal. Jeritannya menggidikkan ketika tongkat Sinto Gendeng menggebuk batok kepalanya dengan keras hingga tubuhnya terbanting ke tanah dan mati di situ juga!

Brambang Santika dan dua tokoh silat menjadi marah besar melihat kematian kawan mereka. Sama-sama membentak kaetiganya kembali menggempur si nenek. Diperlakukan seperti itu si nenek justru malah jadi nekad. Tangan kanannya membabatkan tongkat di depan dada, menahan serangan lawan yang datang laksana gelombang.

Bersamaan dengan itu tangan kirinya mencabut tusuk kundai perak di kepalanya lalu secepat kilat dilemparkannya ke arah lawan di ujung kanan yakni tokoh silat Istana yang kedua. Demikian cepatnya lemparan tusuk kundai orang yang diserang tidak mampu selamatkan diri. Jeritannya terdengar menggidikkan sewaktu tusuk kundai perak itu menancap dan menembus lehernya!

Mau tak mau Pagar Paregreg jadi tercekat juga melihat dua korban telah jatuh di pihaknya. Brambang Santika dan tokoh silat yang masih hidup tidak akan mampu menghadapi Sinto Gendeng, maka dia keluarkan suitan keras. Dari dalam rimba di tepi jalan muncul tiga orang bertubuh tinggi besar bertampang garang dan bersenjatakan golok.

Ketiga orang ini adalah tiga pimpinan rampok berkepandaian tinggi yang menguasai tiga wilayah di Jawa Barat. Mereka terkenal kejam dan memiliki kepandaian tinggi. Tanpa banyak cerita lagi ketiga langsung menyerbu masuk ke dalam kalangan pertempuran! Berarti kini lima orang yang mengeroyok si nenek sakti.

Melihat hal ini Patih Ganda Aiawisesa cepat menyambar sebilah golok yang tergeletak di tanah lalu melompat ke samping Sinto Gendeng. Si nenek menyeringai.

“Patih Kerajaan mari kita berebut pahala mencabut nyawa manusia-manusia pengkhianat ini!”

Dua orang itu menyambut serangan lima pengeroyok. Pertempuran berlangsung dengan seru. Sementara itu Pagar Paregreg diam-diam mengeruk saku pakaiannya mengeluarkan jarum-jarum halus beracun. Jika melesat di udara senjata ini sulit dilihat. Hanya orang berkepandaian tinggi saja yang mampu merasakan sambaran anginnya!

Dari tempatnya berdiri Pagar Paregreg sengaja mencari kesempatan untuk dapat melepaskan senjata rahasianya secara licik yaitu ketika Sinto Gendeng dalam kedudukan membelakangi dirinya.

“Awas, pukulan Sinar Matahari!” Brambang Santika berteriak keras ketika dilihatnya tangan kiri Sinto Gendeng berubah menjadi putih perak menyilaukan. Sianr putih panas luar biasa berkiblat.

"Bummm...!"

Dua lelaki tinggi besar bersenjata golok menjerit. Tubuhnya mereka terguling jauh dalam keadaan hangus. Brambang Santika dan lain-lainnya masih sempat menyingkir walau jantung mereka terasa bergetar keras. Sinto Gendeng tertawa mengekeh tanpa menyadari saat itu dua puluh jarum halus beracun yang dilepaskan Pagar Paregreg melesat ke arah punggung dan kepalanya sebelah belakang!

“Sinto! Awas senjata rahasia di belakangmu!” Satu teriakan keras memperingatkan menyusul berkelebatnya satu benda hitam lebar berputar dan...

"Desss! Desss! Desss...!"

Puluhan jarum beracun amblas tertahan benda itu yang bukan lain adalah sebuah payung hitam terkembang!

SEBELAS

Ah, Giri Arsana! Kau rupanya! Terima kasih kau telah menyelamatkan jiwaku! Menolong kepalang tanggung, mengapa tidak terus menghajar si pembokong licik itu?!” ujar Sinto Gendeng ketika melihat siapa yang muncul dan berdiri di sebelahnya.

Patih Ganda Ariawisesa terkejut sekali ketika melihat siapa yang muncul di tempat itu. Orang ini adalah Giri Arsana yang bergelar Dewa Berpayung Hitam dan bukan lain adalah besannya sendiri yaitu ayah mertua dari Raden Sabrang puteranya yang terbunuh di tangan Sriti Gandini alias Sepuluh Kuku Iblis!

Dewa Berpayung Hitam tertawa mengekeh. “Langka pertemuan memang tidak bisa diduga!” katanya. Lalu dia menyambung. “Sinto, urusanku sendiri belum selesai. Kalau tidak memandang dirimu yang jelek tidak akan aku ikut-ikutan mencemplungkan diri dalam pertempuran gila ini!”

Si nenek balas tertawa. “Dua orang kakek nenek jelek ditambah seorang Patih Kerajaan menumpas manusia-manusia keji pemberontak! Apakah itu bukan berarti mencari pahala? Paling tidak hitung-hitung bisa mengurangi dosa kita selama hidup di dunia celaka ini!”

Dua kakek nenek itu lalu sama-sama tertawa terpingkal-pingkal sedang Patih Ganda Ariawisesa hanya bisa tertegak seperti orang bengong. Di lain pihak Pagar Paregreg telah saling memberi isyarat dengan Brambang Santika. Kedua orang gembong pemberontak ini sudah sama maklum bahwa keadaan kini sangat sulit bagi mereka.

Menghadapi Sinto Gendeng dan Patih Kerajaan saja mereka belum tentu menang sekalipun masih dibantu oleh beberapa orang berkepandaian tinggi dan puluhan perajurit. Apalagi kini muncul pula kakek berjuluk Dewa Berpayung Hitam itu. Sebelum mendapat celaka lebh baik mereka menyingkir.

Pagar Paregreg kembali lemparkan puluhan jarum putihnya ke arah tiga lawannya. Di saat yang sama dia memberi perintah agar para pengikutnya menyerbu. Lalu bersamaan dengan itu Brambang Santika lemparkan sebuah benda berbentuk bola hitam ke udara. Begitu melayang jauh bola ini meletus keras dan asap hitam yang sangat tebal menyungkupi daerah itu!

“Keparat licik!” teriak Sinto Gendeng.

“Kalian mau lari kemana?!” ikut berteriak Dewa Berpayung Hitam.

Dia menangkis dengan payung terkembangnya. Puluhan jarum putih lagi-lagi terbendung oleh payung sakti itu. Begitu jarum menancap amblas di kain payung, si kakek pukul pegangan payung, puluhan jarum yang menancap di payung serta merta melesat ke depan, kearah Brambang Santika dan Pagar Paregreg yang saat itu sudah tidak kelihatan lagi dari pemandangan karena terlindung oleh tebalnya asap hitam.

Sempat terdengar satu jeritan tanda salah seorang dari mereka terkena serangan balik jarum-jarum beracun itu. Namun sewaktu asap musnah, kedua orang itu telah lenyap. Para pengikut mereka yang tahu kalau kedua pemimpin mereka sudah kabur, tanpa pikir panjang lagi segera pula lari berserabutan!

“Maafkan, saya harus mengejar kedua orang itu!” kata Patih Ganda Ariawisesa pada besannya.

Lalu dia melompat ke punggung seekor kuda yang ada di dekatnya. Sebelum pergi Sang Patih masih sempat memerintahkan pada sisa-sisa perajurit Kerajaan yang ada di situ agar mengurus jenazah Cemani Tanduwisoka yang ada dalam lobang.

Dewa Berpayung Hitam berpaling pada Sinto Gendeng. Si nenek yang maklum arti pandangan ini gelengkan kepala lalu berkata. “Sekali ini aku tidak akan ikut mengejar mereka. Kau dan besanmu itu selesaikan urusan sendiri!”

Giri Arsana tampak cemberut. Namun dia tidak bisa berbuat apa. Payung hitamnya dikuncupkan. Beberapa langkah di samping kirinya ada seekor kuda besar bekas tunggangan Cemani Tanduwisoka. Sebelum kakek ini berlalu Sinto Gendeng berkata.

“Ada satu hal yang ingin aku beritahu padamu Giri. Wajahmu di waktu muda mirip sekali dengan muridku Wiro Sableng.”

Si kakek terdiam sesaat. “Syukur kalau begitu. Berarti tampang jelek ini bukan cuma satu di dunia. Kalau saja aku dapat bertemu dengan muridmu itu tentu aku merasa senang melihat keanehan ini!”

“Kau pasti akan bertemu dengan dia,” jawab Sinto Gendeng pula.

Dewa Berpayung Hitam tarik tali kekang kudanya. Sesaa kemudian dia telah lenyap dari tempat itu.

Satu hari satu malam melakukan pengejaran, dari jejak-jejak yang dilihat Ganda Ariawisesa kedua orang buronannya melarikan diri ke tepi pantai. Patih Kerajaan ini memang mempunyai keahlian dalam menyimak jejak. Tak beberapa jauh di sebelah belakang Giri Arsana alias Dewa Berpayung Hitam semula hendak memutuskan tidak mengikuti apa yang dilakukan Patih itu.

Namun ketika dilihatnya pengejaran itu berlangsung ke arah pantai dia seperti mendapat dorongan untuk bergabung saja dengan Ganda Ariawisesa. Dalam hati dia berkata,

“Sulit mencari tahu dimana perempuan itu berada kalau dia lagi berkeliaran. Tapi yang pasti suatu saat dia akan berada di Krakatau. Aku ingat. Sepuluh tahun silam dia pernah mengumbar sumpah akan menjadikan Krakatau neraka bagiku dan anak istri. Lalu dia lenyap begitu saja. Kini tahu-tahu muncul melakukan pembalasan sakit hati secara nekad!”

Begitulah kakek sakti itu lalu bergabung bersama Patih Kerajaan melakukan pengejaran terhadap Pagar Paregreg dan Brambang Santika. Keduanya akhirnya mencapai tepi pantai, tak berapa jauh dari sebuah desa nelayan. Di situ ditemui dua ekor kuda yang berkeliaran tanpa pemilik.

“Pasti itu kuda-kuda bekas tunggangan keua manusia keparat itu!” kata Patih Ganda Ariawisesa pula. Lalu dia menunjuk ke tepi pasir dimana jelas terlihat bekas-bekas kaki manusia. Di tepi pantai ditemui dua buah biduk dan sebuah perahu. Dua biduk dan perahu ini berada dalam keadaan hancur bernatakan.

“Mereka sengaja merusak biduk dan perahu ini agar kita tidak dapat mengejar!” kata Giri Arsana pula dengan geram. “Tak ada jalan lain, kita harus memperbaiki perahu ini. Paling tidak akan makan waktu setengah hari.”

Kedua orang itu lalu memperbaiki perahu yang rusak. Menjelang rembang petang mereka berhasil melakukannya lalu turun ke laut.

“Tujuan ki Pulau Rakata. Kedua orang itu pasti kabur ke sana...” berkata Patih Kerajaan.

“Saya juga sudah menduga mereka pasti kabur ke sana. Kebetulan! Saya juga punya urusan yang harus diselesaikan di Gunung Krakatau sebelum tempat itu menjadi neraka. Atau ah... Mungkin tempat itu memang sudah jadi neraka bagi turunannku. Termasuk diriku sendiri...”

“Apa maksudmu besan yang terhormat?” tanya Patih Ganda Ariawisesa.

“Kawah Gunung Krakatau tempat mendekamnya Sriti Gandini alias Sepuluh Kuku Iblis. Nenek yang telah membunuh anak istriku dan menculik mayat-mayat mereka!”

“Kalau begitu dua urusan besar bisa diselesaikan sekaligus! Tapi ingat, nenek keparat itu adalah bagianku!”

“Tidak bisa! Dia membunuh istri dan dua anakku! Dia harus mampus di tanganku!” jawab Dewa Berpayung Hitam.

“Si keparat itu membunuh puteraku dan juga menantuku!” menukas Patih Kerajaan. “Dia harus mati di tanganku!”

Kedua orang itu saling melotot dan hampir bertengkar. Akhirnya Giri Arsana mengalah.”Kita belum sampai ke sana, mengapa berlaku tolol saling ngotot. Mari kita berangkat sekarang juga!”

Begitulah keduanya mulai melayari Selat Sunda. Kalau Sang Patih pergunakan pendayung untuk mengayuh perahu maka si kakek sambil tertawa-tawa duduk di bagian belakang perahu dan putar payung hitamnya. Gelombang angin yang ditimbulkan oleh putaran payung membuat perahu terdorong ke depan dan melesat membelah air laut hingga dalam waktu cepat kedua orang itu telah melihat Pulau Rakata dengan Gunung Krakataunya.

********************
WWW.ZHERAF.COM
DUA BELAS

Perkara mati memang bukan kuasanya manusia. Hal ini dialami oleh Pendekar 212 Wiro Sableng. Seperti telah dituturkan sebelumnya dalam perkelahian dengan Sriti Gandini alias Sepuluh Kuku Iblis, satu hantaman yang berkekuatan tenaga dalam penuh yang dilancarkan si nenek telah membuat murid Eyang Sinto Gendeng itu terpental lalu melayang jatuh ke bawah Gunung Krakatau.

Wiro sendiri hanya sempat menyadari keadaan dirinya sekejapan saja. Dia tak bisa menolong dirinya dari kematian dan juga tidak ada manusia lain yang mampu menyelamatkannya. Dalam keadaan seperti itu dia keluarkan satu jeritan keras yang mengumandang di seantero kawah. Lalu pemuda ini jatuh pingsan dan tubuhnya melayang cepat menuju kawah!

Hanya beberapa saat lagi tubuh Wiro akan amblas masuk ke dalam kawah yang mendidih, tiba-tiba dari lamping kawah sebelah timur, dari balik sebuah gundukan batu melesat keluar sebuah benda halus bewarna putih berkilauan. Benda yang melesat ternyata adalah untaian panjang benang aneh yang dengan cepat menggulung kedua kaki Wiro, terus ke pinggang dan baru berhenti melibat di batas dada.

Sesaat tubuh Pendekar 212 masih ampak melesat deras ke bawah. Tinggal tiga jengkal lagi dari permukaan kawah tiba-tiba benang aneh itu menyentak keras. Tubuh Wiro terbetot ke samping lalu melayang berputar beberapa kali sampai daya berat jatuh ke bawah diredam lenyap. Perlahan-lahan, seperti sebuah layang-layang yang siap diturunkan dari udara, tubuh Wiro tertarik ke arah lamping kawah, lenyap di balik gundukan batu.

Sang pendekar siuman dari pingsannya beberapa saat kemudian ketika ada suara tawa mengekeh menusuk telinganya. Perlahan-lahan dibukanya kedua matanya. Apa yang dilihatnya sungguh aneh. Yang tampak di depannya adalah seorang gadis berwajah cantik berambut panjang sebahu. Gadis ini mengenakan baju hitam membuat wajahnya yang putih lebih menonjol kejelitaannya.

Si gadis menatapnya dan sama sekali tidak kelihatan tertawa. Kalaupun dia memang tertawa tak mungkin suara tawanya seperti orang tua. Mana ada orang tertawa mengekeh tanpa kelihatan mulutnya terbuka. Lalu siapa yang barusan didengarnya tertawa bergelak itu?

Saat itu didapatinya dirinya duduk tersandar ke dinding batu. Jauh di bawahnya kelihatan kawah Gunung Krakatau. Wiro kembali memandang paras cantik itu sambil membayangi apa yang telah dialaminya. Dia berkelahi dengan Sepuluh Kuku Iblis. Tubuhnya dihantam mental dan melayang jatuh ke dalam kawah. Dia berteriak lalu tak ingat apa-apa lagi. Kenapa kini dia berada di tempat itu?

“Saudari, kau siapa?” Wiro bertanya.

Yang ditanya tidak menjawab. Berkedip pun tidak.

“Eh, apakah aku ini berada di alam kematian atau kalau aku masih hidup apakah kau bidadarinya yang telah menyelamatkan diriku?” Wiro perhatikan dirinya sendiri.

Keadaan tubuhnya utuh tak kurang suatu apa. Hanya pakaiannya saja yang tampak kotor dan robek serta ada noda darah di bagian dada. Lalu terasa dadanya mendenyut sakit. Bekas hantaman si nenek berjuluk Sepuluh Kuku Iblis rupanya telah membuat dadanya sakit di sebelah dalam dan sewaktu pingsan rupanya dia sempat mengeluarkan darah dari mulut.

Wiro memandang lagi ke depan. Jelas dilihatnya kawah Gunung Krakatau. Si gadis di dekatnya tak kunjung membuka mulut. Sang pendekar angkat tangan kirinya, mulai menggaruk kepalanya. Saat itulah didengarnya ada suara orang batuk-batuk. Wiro cepat berpaling ke kiri. Astaga!

Hanya lima langkah di samping kirinya, di atas sebuah batu duduk seorang kakek berpakaian putih. Rambutnya yang putih terliaht jarang. Kumis dan janggutnya juga berwarna putih. Matanya lebar tapi cekung. Wajahnya hanya berupa kulit tipis pemutup tengkorak dan berwarna sangat pucat.

Begitu melihat dan mengenali orang tua ini Pendekar 212 Wiro Sableng segera bangkit lalu jatuhkan diri berlutut. “Kakek Tua Gila! Jadi kau rupanya yang menolong saya. Saya sangat berterima kasih padamu. Hutang jiwa yang dulu-dulu belum sempat saya bayar. Kini...”

Si kakek tertawa gelak-gelak. “Berterima kasih pada Tuhan. Dia yang menyelamatkan dirimu Wiro. Kulihat kau ada urusan sulit sampai tersesat ke kawah Gunung Krakatau ini. Apakah kau sengaja bunuh diri hendak mencebur masuk ke dalam kawah?”

“Siapa yang mau bunuh diri kek?!! Tukas Wiro. “Seorang menghantam saya hingga terpental dan melayang jatuh ke dalam kawah. Heh, pasti kakek menolong saya dengan benang kayangan!”

Kembali kakek itu tertawa gelak-gelak. Siapakah sebenarnya orang ini? Namanya Tua Gila. Dalam dunia persilatan dia dikenal dengan julukan Iblis Gila Pencabut Jiwa. Ada juga yang memberinya gelar Pendekar Gila Patah Hati. Puluhan tahun lau, dalam usia muda dia pernah jatuh cinta pada Sinto Gendeng. Ketika cintanya ditolak dia menjadi sangat terpukul dan patah hati.

Demikian paahnya keadaannya hingga dia seperti kurang waras dan malang melintang di rimba persilatan membunuh siapa saja seenak perutnya. Di usia tua, sifat kejamnya berubah. Malah dia pernah memperlakukan Wiro sebagai murid dan mengajarkan ilmu silat langka kepada pemuda itu.

“Kek, saya tidak menyangka bakal bertemu denganmu di sini. Apa yang tengah kakek lakukan di tempat ini? Dan siapa gadis ini...?”

“Ah pertanyaanmu banyak amat. Biar kujawab satu persatu dulu,” jawab Tua Gila. “Pertama aku berada si sini ingin mengasingkan diri sambil menyempurnakan ilmu-ilmu yang kumiliki. Kedua tentang gadis ini, dia bernama Minaratih. Dia adalah calon muridu. Aku tengah mengujinya di tempat ini apakah dia cukup pantas untuk kujadikan murid. Bagaimana penglihatanmu, apakah kau naksir padanya?”

Wiro garuk-garuk kepala sebaliknya si gadis kelihatan merah rona wajahnya. Tua Gila lagi-lagi tertawa mengekeh.

“Urusan taksir menaksir ini biar kita bicarakan nanti,” jawab Wiro sambil garuk kepala dan membuat Minaratih semakin merah wajahnya. “Saya harus meninggalkan tempat ini dengan segera. Ada urusan besar di atas kawah sana. Seorang nenek gila melakukan pembunuhan atas istri dan anak-anak kakek sakti berjuluk Dewa Berpayung Hitam. Korban-korban yang sudah dibunuh dijejerkannya mayatnya dalam lobang pohon kelapa. Diberi cairan pengawet!”

Tua Gila usap janggutnya. “Aku memang sudah lama mendengar. Urusan di kala muda itu rupanya belum jua terselesaikan. Kalau memang begitu kau pergilah cepat ke atas sana. Aku dan muridku biar tetap di sini. Aku sudah tidak begitu senang mengurusi masalah dunia. Apalagi masalah orang-orang tolol seperti urusan Sepuluh Kuku Iblis dengan Dewa Berpayung Hitam itu!”

Wiro menjura dalam-dalam lalu menyalami Tua Gila dan mencium tangan orang tua itu. Pada Minaratih dia tersenyum mengangguk seraya berkata “Saya senang bertemu denganmu. Saya berharap bisa bertemu lagi...”

Si gadis tak menjawab. Tapi ketika Wiro melangkah pergi dia bangkit dari duduknya dan mengikuti kepergian si pemuda memnajat tebing kawah dengan pandangan matanya sampai akhirnya lenyap dikejauhan. Di belakangnya terdengar suara Tua Gila batuk-batuk

“Rupanya kau menaksir juga pada pemuda itu Mina...”

Si gadis berpaling pada Tua Gila.

“Tapi hati-hati nak,” kata si kakek pula. “Dia memang orang baik cuma sering-sering dia bertindak dan berucap konyol seperti orang ini!” Lalu Tua Gila menggaris keningnya dengan telunjuk kiri. Si gadis hanya bisa tersenyum.

********************
WWW.ZHERAF.COM
TIGA BELAS

Sriti Gandini alias Sepuluh Kuku Iblis duduk di atas batang kelapa berisi mayat Wini Kantili. Kedua matanya memandang jauh ke aah pantai. Saat itu dia masih saja mengingat-ingat pemuda yang dipukulnya jatuh masuk ke dalam kawah. Hatinya tiada henti dirundung penyesalan.

“Mengapa aku harus memukulnya begitu keras. Ah... Kalau dia masih hidup mungkin dirinya bisa membuat aku menjadi orang baik. Tidak nekad tidak gila membunuhi orang...” Ingatan si nenek lalu tertuju pada Giri Arsana, manusia yang paling dibencinya.

Selagi dia duduk termemung-menung dan mengingat-ingat seperti itu, tiba-tiba di pantai dilihatnya mendarat sebuah perahu. Dua orang penumpang turun ke pasir. “Hem...” Sriti Gandini bangkit dari duduknya. Kedua matanya membesar. “Ada lagi dua orang yang minta mampus. Berani menginjakkan kaki di Pulau Rakata daerah kekuasaanku!”

Si nenek membungkuk mangambil sekaligus dua buah pecahan batu gunung. Sekali melempar kedua batu itu melesat ke arah pantai. Jarak antara tempat si nenek berada dengan pantai jauh sekali. Namun lemparan batu itu melesat membelah udara dan meluncur ke arah dua orang yang barusan turun dari perahu. Dari hal ini saja sudah dapat dilihat bagaimana ketinggian ilmu Sriti Gnadini.

Di tepi pantai dua orang yang barusan mendarat adalah Pagar Paregreg, bekas Kepala Pasukan Kerajaan yang melarikan diri bersama Brambang Santika. Pagar yang melihat datangnya dua buah benda melayang ke arah mereka segera berteriak memberi tahu.

“Awas! Ada benda menghantam ke arah kita!”

Pagar Paregreg jatuhkan diri ke pasir sedang Brambang Santika yang kurang cepat bergerak, ketika melompat kesamping bahu kirinya masih sempat disambar benda yang melayang dari puncak kawah itu. Bajunya robek. Daging bahunya yang terserempet sakit bukan main karena sebelumnya di bagian itu pula salah satu jarum putih milik Pagar Paregreg yang dibuat mental oleh payung Giri Arsana sempat membalik menancap di bahunya.

Pagar Paregreg waktu itu cepat mencabut jarum tersebut dan memberikan obat penangkal racun pada kawannya itu. Kalau tidak nyawa Brambang Santika mungkin tak bisa diselamatkan dari kematian akibat racun jarum yang jahat.

Sambil meringis kasakitan Brambang Santika memandang ke arah puncak kawah Gunung Krakatau. “Aku melihat ada seseorang di puncak sana! Agaknya kita datang ke tempat yang salah, Pagar...”

“Sebelumnya kau sudah bilang sebaiknya kita tidak melarikan diri ke pulau celaka ini! Padahal banyak pulau-pulau lain di Selat yang lebih dekat...”

“Sekarang sudah terlambat!” kata Brambang Santika. “Tak ada gunanya menggerutu.”

“Lihat! Ada satu orang lagi muncul di atas sana!” kata Brambang Santika.

Pagar Paregreg memandang ke arah puncak kawah. Betul, memang saat itu dilihatnya ada satu orang lagi tiba-tiba muncul di tebing puncak kawah Gunung Krakatau.

“Bagaimana kalau kita kembali naik ke perahu, cari pulau lain yang ebih aman...” mengusulkan Brambang Santika.

“Aku setuju!” jawab Pagar Paregreg. “Aku punya firasat tidak enak. Aku ingat sesuatu. Bukankah Sepuluh Kuku Iblis yang punya dendam kesumat terhadap Dewa Berpayung Hitam kabarnya telah menjadikan pulau ini sebagai markasnya?”

Paras Brambang Santika menjadi berubah. “Astaga. Berarti kita mencari bencana baru pergi ke tempat ini! Mari cepat. Tak lama lagi matahari akan tenggelam. Mungkin gelapnya malam bisa membantu kita melarikan diri!”

Kedua orang itu segera memutar tubuh dan lari ke arah tempat mereka meninggalkan perahu. Namun terlambat. Dari atas puncak kawah salah satu dari dua orang di atas sana tiba-tiba lari ke bawah. Begitu cepatnya dia berlari hingga debu dan pasir berterbangan di belakangnya.

Dan dalam waktu beberapa kejapan saja orang ini sudah berada di tepi pasir, mencegat tepat di depan perahu yang hendak dicapai Pagar Paregreg dan Brambang Santika. Orang ini adalah seorang nenek berwajah angker dan tegak memandang bengis sambil bertolak pinggang.

“Kau benar Pagar,” bisik Brambang. “Orang di depan kita ini adalah Sepuluh Kuku Iblis!”

Sebelum dituturkan apa yang segera akan terjadi di tempat itu mari kita ketahui dulu apa sebelumnya yang terjadi di puncak kawah. Sehabis melemparkan dua buah pecahan batu Sriti Gandini sebenarnya segera hendak lari menuruni puncak kawah guna mendatangi dua orang yang barusan mendarat di pantai. Namun langkahnya tertahan ketika tiba-tiba sebuah kepala, di susul satu sosok tubuh muncul dari balik tebing kawah. Lalu pemuda itu tahu-tahu sudah tegak di hadapannya.

“Kau!” teriak si nenek muka tengkorak begitu mengenali siapa adanya pemuda didepannya yang bukan lain adalah Pendekar 212 Wiro Sableng. Hatinya gembira sekali melihat kemunculan pemuda yang sejak satu hari belakangan ini selalu diingat-ingatnya. Namun rasa kejut dan herannya saat itu mengalahi rasa gembira.

“Kau... Bukankah kau sudah mati jatuh ke dalam kawah mendidih di bawah sana?!” tanya si nenek.

Wiro menyeringai. “Urusan mati, urusan nyawa manusia adalah kekuasaannya Tuhan Yang Maha Kuasa...”

“Kentut busuk!” teriak si nenek. “Aku bisa membikin mati siapa saja setiap saat!”

“Kaau begitu Tuhanmu dan Tuhanku berbeda. Atau kau merasa sudah jadi Tuhan?” ujar Wiro lalu tertawa gelak-gelak.

Si nenek sesaat terdiam. “Jangan-jangan kau bukan pemuda itu sungguhan. Tapi setannya yang keluar dari dalam kawah!” Lalu Sepuluh Kuku Iblis melangkah mengelilingi Wiro, memperhatikannya dengan seksama pemuda itu mulai dari ujung rambut sampai ke ujung kaki.

“Nah apa kau lihat kedua kakiku tidak menginjak tanah atau punggungku ada lobang?” ujar Wiro.

Si nenek hentikan langkahnya. “Tunggu dulu, mungkin kau memang bukan setan atau hantu. Tapi... Biar aku periksa sekali lagi!”

“Kau boleh periksa asal jangan suruh aku tanggalkan pakaian bertelanjang!” ujar Wiro mulai konyol padahal yang dihadapinya adalah seorang manusia yang setiap saat bisa membunuh manusia lainnya semudah dia membalikkan telapak tangan.

Sepuluh Kuku Iblis melangkah kembali memutari tubuh Wiro. Ketika dia sampai di belakang pemuda itu, tiba-tiba secepat kilat dua jari tangan kanannya melesat ke depan.

"Desss...!"

Wiro tersentak kaget dan cepat membalik sambil memukul. Tapi tangannya tak bisa digerakkan. Sekujur tubuhnya kaku! “Keparat licik!” teriak Wiro begitu menyadari bahwa dirinya kena tertipu dan kini berada dalam keadaan tertotok.

Sepuluh Kuku Iblis tertawa gelak-gelak. “Anak muda! Kau masih harus banyak belajar tentang kelicikan manusia dan dunia ini! Untung saja aku ada rasa suka terhadapmu! Kalau tidak sudah kubunuh kau sejak tadi!”

“Rasa suka padaku? Sialan!” maki Wiro dalam hati. “Tua bangka genit! Sudah bau tanah masih mau bicara bersuka-suka! Pantas Dewa Berpayung Hitam tidak sudi kawin denganmu!”

"Plaaakkk!"

Si nenek tampar muka Pendekar 212 hingga salah satu pinggiran bibir pemuda ini luka dan mengeluarkan darah.

“Ah... Maafkan aku...” Kata si nenek lalu cepat-cepat menyeka darah dimulut Wiro. Dengan belakang telapak tangannya dia mengusap luka di mulut. Aneh. Begitu diusap luka itu segera sembuh dan tidak berbekas sama sekali.

“Pendekar 212, kau tunggulah di sini. Aku akan turun ke pantai mengurusi dua ekor monyet di bawah sana. Seperti aku bilang, Krakatau adalah kawasan kekuasaanku. Siapa saja yang berani menginjakkan kaki di sini pasti kubunuh!”

Wiro hendak mengatakan bahwa sebenarnya sudah ada dua orang lain mendekam di tebing kawah yaitu Tua Gila dan Minaratih. Namun pemuda ini memutuskan untuk diam saja. Si nenek berkelebat lalu lari menyususri lereng kawah menuju ke pantai.

Dalam waktu singkat si nenek sudah sampai di pantai dan langsung menghadang Pagar Paregreg serta Brambang Santika di depan perahu mereka. Dua bola mata si neenk berputar angker.

“Hem... Yang satu ini kalau aku tidak salah adalah Kepala Pasukan Kerajaan. Namamu Pagar Paregeg. Betul hah!”

“Kau betul nek, aku memang Pagar Paregreg.”

“Tampangmu sembrawutan! Pakaianmu lecak! Ada apa Kepala Pasukan Kerajaan sampai menginjakkan kaki di Pulau Rakata ini?!”

"Kami ada urusan di tempat lain. Karena cuaca di laut buruk terpaksa mendarat dulu di sini...” jawab Pagar Paregreg.

S nenek tertawa. “Aku tahu kau berdusta! Tapi tidak jadi apa! Berdusta sebelum mati masih bisa dimaafkan. Dan kau!” Si nenek menunjuk tepat-tepat ke hidung Brambang Santika. “Aku lupa namamu! Kau manusianya yang bekerja di Istana, punya banyak hubungan dengan orang-orang persilatan!”

“Nama saya Brambang Santika, nek. Nenek sendiri bukankah orang sakti yang berjuluk Sepuluh Kuku Iblis itu? Kami gembira dengan pertemuan yang tidak diduga ini. Kami tidak ingin mengganggu lebih lama. Izinkan kami minta diri...”

“Minta diri...?” Sepuluh Kuku Iblis tertawa mengekeh. “Ada semacam kutukan di pulau ini! Siapa yang berani menginjakkan kakinya di sini berarti sudah siap menerima kematian!”

Berubahlah paras Pagar Paregreg dan Brambang Santika.

“Berberapa hari lalu ada dua penyusup muncul di sini. Keduanya tokoh silat bernama Tubagus Singagarang dan Supit Jagal...”

“Kami kebetulan kenal mereka,” kata Brambang Santika.

“Ah, bagus sekali! Apakah kalian berdua tahu kalau orang-orang itu memang sudah lama menunggu-nunggu kalian?”

“Menunggu kami? Untuk keperluan apa?” tanya Pagar Paregreg pula.

“Untuk diajak bergabung jadi mayat!” jawab si nenek lalu tertawa aneh seperti lolongan srigala.

Pagar Paregreg memberi isyarat pada kawannya. “Nek, kami tidak punya waktu lama. Kami minta diri sekarang juga!” katanya. Lalu Pagar Paregreg dan Brambang Santika cepat berbalik hendak tinggalkan tempat itu.

Namun si nenek membentak. “Neraka Krakatau adalah bagian kalian berdua!” Lalu tanpa banyak cerita lagi Sepuluh Kuku Iblis segera menyerang dua orang dihadapannya.

Melarikan diri tidak mungkin. Tak ada jalan lain. Pagar Paregreg dan Brambang Santika terpaksa menyabut serangan si nenek. Perkelaihan seru segera pecah di tempat itu. Seperti diketahui baik Pagar Paregreg maupun Brambang Santika adalah orang-orang berkepandaian tinggi.

Namun mereka menyadari bahwa si nenek bukan seorang yang mudah untuk dikalahkan sekalipun dikeroyok dua. Karenanya begitu memasuki jurus pertama kedua orang itu langsung menghanam dengan pukulan-pukulan sakti, menyerang dengan jurus-jurus terhebat ilmu silat yang mereka miliki.

Lima jurus berkelahi si nenek tampak tenang-tenang saja. Malah berkelahi sambil tertawa-tawa walaupun saat itu dirinya agak terdesak. Meskipun mampu mendesak lawan namun sampai jurus kesepuluh, baik Pagar Paregeg dan Brambang Santika masih belum mampu menggebuk si nenek. Beberapa kali lengan mereka saling beradu. Setiap terjadi bentrokan tangan kedua lelaki itu merasakan lengan mereka sakit bukan main.

Memasuki jurus ke dua belas akhirnya kedua orang ini keluarkan senjata. Pagar Paregreg hunus sebuah golok besar yang bagian tajamnya bergerigi sedang Brambang Santika mencabut sepasang belati besar berwarna hijau!

Melihat lawan keluarkan senjata si nenek seperti kesetanan. Dia berteriak tiada henti dan hadapi serangan senjata lawan dengan gerakan-gerakan kilat disusul dengan serangan balasan tidak terduga.

"Breettt...!"

Ujung golok di tangan Pagar Paregreg berhasil merobek baju hijau yang dikenakan si nenek. Marahlah Sepuluh Kuku Iblis. Dari mulutnya keluar suara lolongan seperti lolongan srigala. Kedua tangannya diulurkan ke depan. Sepuluh kuku hitam mencua keluar dari ujung-ujung jarinya, runcing panjang mengerikan!

Pagar Paregreg dan Brambang Santika terkesiap bergidik. Tapi hanya sesaat. Mereka kemusian kembali menyerbu. Serangan senjata mereka kini ditujukan pada kedua tangan si nenek.

"Trangg! Trakkk...!"

Golok di tangan Pagar Paregreg beradu keras dengan jari-jari berkuku panjang. Senjata itu mental patah dua! Membuat Pagar Paregreg terkejut dan melompat mundur. Disebelahnya Brambang Santika keluarkan seruan tertahan sewaktu pisau belatinya di sebelah kiri mental dipukul tangan si nenek. Dia menusuk dengan pisau belati besar di tangan kanan.

Si nenek tahan tusukan itu dengan elapak tangan kirinya lalu secepat kilat tangan itu berputar tahu-tahu senjata Brambang Santika sudah dirampas. Belum lagi habis kejut lelaki ini, si nenek sudah lemparkan pisau hijau itu ke arah pemiliknya!

Brambang Santika menjerit keras. Pisau miliknya sendiri amblas masuk ke perutnya sampai sebatas gagang! Selagi dia terhuyung-huyung pegangi perutnya yang bobol si nenek melompat ke hadapannya sambil mencakar dengan tangan kanan. Untuk kedua kalinya Brambang Santika menjerit. Mukanya robek mengerikan. Kedua kakinya hanya sanggup bertahahn singkat. Lalu tubuhnya tergelimpang roboh tak berkutik lagi!

Pagar Paregreg tidak kuasa menahan rasa takutnya. Nyalinya telah leleh. Secepat kilat dia memutar tubuh melarikan diri. Tapi dari belakang, dengan sekali lompat saja si nenek mengejar. Lima jari tangan kirinya mencakar ke arah punggung bekas Kepala Pasukan Kerajaan itu. Kini ganti raungan Pagar Paregreg yang terdengar. Sekujur daging punggungnya tergurat robek. Darah mengucur deras.

Dalam takut dan sakit yang amat sangat bekas Kepala Pasukan Kerajaan ini menghambur masuk ke dalam laut tanpa ingat bahwa dia tidak bisa berenang. Tubuhnya mulai di seret ombak. Dia menjerit minta tolong namun perlahan-lahan tubuhnya mulai tenggelam ditelan laut dan tubuh Pagar Paregreg tidak kelihatan lagi!

Sepuluh Kuku Iblis menyeringai angker. Dia melangkah ke tempat Brambang Santika tergeletak. Sekali tendang saja sosok tubuh orang itu lenyap pula digulung ombak, diseret air ke dasar laut!

EMPAT BELAS

Begitu si nenek sampai ke hadapannya Pendekar 212 Wiro Sableng ajukan pertanyaan. “Siapa yang barusan kau bunuh di pantai sana?” Wiro khawatir yang jadi korban kini adalah tokoh-tokoh silat sahabatnya atau orang lain yang tidak berdosa.

Sepuluh Kuku Iblis menyeringai. “Rupanya kau memperhatikan juga. Ada dua orang yang kukirim kedasar laut. Yang pertama adalah Pagar Paregreg...”

“Kepala Pasukan Kerajaan?” tanya Wiro.

“Siapa lagi kalau bukan dia! Eh, kau menyesal mengetahui kematiannya?”

“Tidak,” sahut Wiro. “Dia memberontak pada kerajaan. Kematiannya seperti itu sudah cukup pantas baginya!”

Si nenek tertawa dan tepuk-tepuk bahu Wiro. “Jadi kau juga benci padanya eh?”

“Siapa korbanmu satu lagi?” tanya Wiro masih kurang enak.

“Brambang Santika. Orang kepercayaan Patih Kerajaan yang selama ini menjadi penghubung antara Istana dengan rimba persilatan...”

“Hem... Pengkhianat satu itu mampus juga akhirnya,” kata Wiro perlahan.”

“Jadi aku tidak membunuh sahabatmu bukan?” ujar si nenek.

“Dua orang itu memang bukan, tapi bagaimana dengan mayat-mayat dalam lobang kelapa itu? Mereka tidak punya dosa kesalahan apapun. Kau telah membunuhnya secara kejam dan memperlakukan jenazah mereka secara biadab!”

“Anak muda, apakah di dunia ini masih ada apa yang disebut biadab itu? Tunjukkan padaku siapa manusia-manusianya yang kau anggap tidak beradab!”

Wiro memaki dalam hati. Dia tidak bisa menjawab.

“Pendekar 212, kematian ketiga orang itu tidak ada sangkut pautnya dengan dirimu. Mereka bukan sanak bukan kadangmu! Nah mulai saat ini mari kita bersahabat!”

“Siapa sudi bersahabat denganmu!”

“Karena aku jelek, sudah tua keriput?” tanya si nenek.

“Aku bersahabat dengan siapa saja. Aku tidak memilih-milih untuk bersahabat. Tapi manusia-manusia jahat yang beraja di hati dan bersutan di mata sepertimu ini apakah pantas dijadikan sahabat?”

“Kalau kulepaskan totokanku apakah kau mau bersahabat denganku?”

Wiro memaki panjang pendek si nenek. Namun akhirnya dia hanya ajukan pertanyaan. “Mengapa kau ingin bersahabat denganku?”

“Karena wajahmu sama dengan seorang lelaki yang pernah kucintai di masa mudaku!” jawab Sriti Gandini polos tanpa malu-malu.

Sebaliknya paras murid Eyang Sinto Gendeng tampak menjadi merah. “Jadi saat ini kau berniat hendak bercinta denganku? Mengambilku jadi kekasihmu?” tanya Wiro dengan mata mendelik. “Kalau tua bangka peot ini menjawab ya, mati aku!” kata Wiro dalam hati. “Aku berada dalam kekuasaannya. Ditelanjanginya pun aku tidak bisa berbuat apa-apa!”

Si nenek tampak termenung sesaat. Wajahnya yang angker kelihatan redup. Lalu terdengar suaranya perlahan, agak sendu. “Aku cukup tahu diri. Kita tak mungkin bercinta. Hanya kalau kau mau bersahabat dan aku dapat sering-sering melihatmu itu sudah cukup. Itu mungkin juga bisa membantuku untuk keluar dari kesesatan. Aku hanya manusia biasa tidak luput dari kekhilafan...” Nenek ini terdiam sesaat.

Wiro melihat kedua matanya yang angker itu kini berkaca-kaca basah oleh air mata. Lalu si nenek melangkah mendekatinya.

“Aku telah memukulmu hingga jatuh ke dalam kawah. Tapi kau ternyata masih hidup. Aku tak perlu bertanya bagaimana hal itu bisa terjadi. Pasti ada seorang sakti menolongmu. Aku tahu kini kalau di tempat ini, yang kuanggap menjadi kekuasaanku ada orang lain telah lebih dulu berada di sini. Kau tentu mendendam terhadapku. Tidak jadi apa. Aku akan melepaskan totokan di punggungmu. Kalau kau sudah bebas kau mau menghukumku aku sudah pasrah!”

Lalu Sepuluh Kuku Iblis melangkah ke belakang Wiro dan menekan punggung pemuda ini. Serta merta totokan yang membuat kaku tubuh Pendekar 212 punah. Wiro berbalik. Kini dia berhadap-hadapan denga si nenek itu. Entah mengapa hati sang pendekar menjadi kasihan melihat si nenek. Untuk beberapa lamanya Wiro pandangi orang tua itu yang tegak menundukkan kepala.

“Kau ingin membunuhku, aku tak akan melawan. Aku merasa bahagia kalau dapat mati ditanganmu, anak muda,” terdengar si nenek berujar.

Wiro tarik nafas dalam dan garuk-garuk kepalanya. “Tuhan pun tidak akan menghukum orang yang sudah bertobat. Kadal jelek semacamku apa mau melebihi Tuhan...?”

Ucapan murid Eyang Sinto Gendeng itu membuat Sriti Gandini perlahan-lahan angkat kepalanya. Mukanya tampak pilu sekali. Susah payah dia berusaha menahan tangis tapi tidak bisa. Suara isakannya mengharukan.

“Nek, kau lebih baik cepat-cepat pergi dari sini. Sebelum muncul orang-orang yang hendak meminta pertanggung jawabmu. Tiga mayat dalam lobang kelapa itu biar aku yang mengurus.”

“Ah... Kau baik sekali, anak muda. Beruntung gadis yang bisa menjadi istrimu. Dia dulu juga segagah dan sebaikmu ini. Tapi dia banyak tergoda oleh dunia dan nafsunya sendiri.”

“Maksudmu Giri Arsana alias Dewa Berpayung Hitam?” tanya Wiro.

“Ah, jadi kau sudah tahu ceritanya...?” balik bertanya si nenek.

Wiro mengangguk. “Dari guruku...” Jawabnya. “Nah, apakah kau belum mau pergi dari sini...?”

“Aku menyukaimu, aku akan menurut apa yang kau katakan. Sekalipun kau suruh aku menghambur masuk ke dalam kawah sana...” kata Sriiti Gandini pula.

Pendekar 212 garuk-garuk kepalanya. “Pergilah cepat...” Kata Wiro.

“Ya, aku segera pergi. Selamat tinggal Wiro. Aku akan mengenang dirimu selama sisa hidupku...” Si nenek memegang jari-jari tangan pemuda itu.

“Kau nenek cantik yang pernah aku lihat...” kata Wiro pula.

Sriti Gandini tersipu-sipu. Lalu dia membalikkan diri hendak pergi. Namun dua orang yang tiba-tiba muncul di ujung kawah sebelah timur membuat dia hentikan langkahnya. Kedua matanya terbuka lebar. Wiro yang juga sudah melihat kedatangan kedua orang itu juga sama terkejut.

“Ah,, si nenek ini terlambat...” Keluhnya dalam hati.

Sesaat kemudian kedua orang itu sudah berdiri di hadapan Sriti Gandini. Tiga pasang mata saling memandang seperti dikobari nyala api. Dendam kesumat menggantung di udara. Di sebelah Barat sang surya kelihatan laksana bola api, siap tenggelam.

********************
WWW.ZHERAF.COM
LIMA BELAS

Sepasang mata Sriti Gandini memandang membara pada Giri Arsana alias Dewa Berpayung Hitam. Dia melirik sesaat pada Patih Ganda Ariawisesa lalu kembali berpaling pada orang yang paling dibencinya itu.

“Dicari-cari bersembunyi. Sekarang malah unjukkan diri!” kata si nenek.

“Sriti! Apa yang telah kau lakukan terhadap anak istriku?!” bentak Giri Arsana sambil tancapkan payung hitamnya ke tanah.

Si nenek menyeringai. “Lihat saja sendiri!” jawabnya. “Mereka ada di sebelah sana. Mereka aku rawat baik-baik...!” Lalu si nenek tertawa panjang.

Giri Arsana berpaling ke belakang. Dia melihat ada deretan tujuh buah batang-batang kelapa. Tiga yang paling ujung berisi sesuatu. Darahnya tersirap. Dua kali lompat saja Dewa Berpayung Hitam sudah berdiri di depan deretan batang-batang kelapa itu. Ketika melihat apa yang ada di dalam tiga lonbang batang kelapa maka meraunglah kakek itu. Tubuhnya melosoh ke tanah. Sambil bergayut pada batang kelapa di mana terbaring jenazah istrinya kakek ini berkata disela isak tangisnya.

Saat itu Patih Kerajaan sudah tegak pula di samping Giri Arsana. Sang Patihpun tak kuasa menahan diri melihat mayat menantunya terbujur dalam lobang batang kelapa itu. Sekujur tubuhnya bergetar. Amarahnya mendidih. Apalagi kalau dia ingat kematian puteranya.

“Istriku... Anak-anakku... Aku akan membalaskan sakit hati kematian kalian. Akan kucincang manusia jahanam itu!” Sekali lagi Giri Arsana berteriak. Lalu dia bangkit dengan gerakan cepat. Dia memandang sesaat pada Sriti Gandini. Gerahamnya terdengar bergemeletukan.

“Sriti! Aku tidak terima perbuatan biadabmu ini! Kau harus mampus saat ini juga!” tariak Giri Arsana. Lalu dia melompat ke hadapan si nenek sambil tusukkan ujung payungnya yang runcing.

Si nenek mendengus. Dia melompat ke samping sambil tendang badan payung. Giri Arsana tidak tinggal diam. Payungnya diangkat ke atas dan kini dipakai untuk menggebuk pinggang lawan.

Saat itu pula Patih Kerajaan melompat ke dalam kalangan perkelahian seraya berteriak. “Sahabatku Giri Arsana! Harap kau mundur! Aku yang berhak membunuh perempuan celaka ini! Dia telah membunuh Sabrang putera tunggalku!” Sang Patih lalu dorong tubuh Giri Arsana hingga terhuyung lalu masuk ke dalam kelangan perkelahian dan langsung menyerang si nenek dengan pukulan tangan kosong yang mematikan.

“Patih! Jangan kau berani macam-macam! Aku lebih berhak membunuh bangsat tua ini! Dia telah membunuh istri dan dua anakku! Apa kau masih merasa lebih berhak dariku?!”

Giri Arsana balas mendorong tubuh Patih Kerajaan hingga terjajar beberapa langkah. Kedua orang ini jadi bertengkar perang mulut dan saling dorong mendorong.

“Hentikan ketololan ini!” teriak Giri Arsana tiba-tiba. “Jika kita sama-sama merasa berhak membunuhnya, mari kita menghajarnya. Kita hanya berebut cepat! Siapa yang sanggup membunuhnya lebih dulu itu lebih baik!”

Ucapan si kakek ada benarnya juga terasa oleh Ganda Ariawisesa. Maka tanpa banyak bicara lagi diapun menyerbu bersama si kakek. Diserang dua lawan berat seperti itu Sriti Gandini tidak merasa jerih. Dia sudah bertekad bulat untuk membunuh Giri Arsana lebih dulu. Soal Patih Kerajaan itu bisa diselesaikannya kemudian. Payung di tangan Giri Arsana tiba-tiba berkembang. Satu sambaran angin menerpa membuat serangan si nenek jadi terbendung.

Betapapun dia coba merangsak ke depan tetap saja dia tidak bisa menembus pertahanan lawan yang dibentengi dengan payung sakti itu. Ketika Giri Arsana mulai memutar-mutar payung hitamnya si nenek merasakan tubuhnya seperti digulung ombak yang dahsyat. Dia kerahkan tenaga dalam sepenuhnya dan acungkan kedua tangannya ke depan. Sepuluh kuku hitam mencuat. Giri Arsana jadi bergeming. Dia pegang payung kaitnya kuat-kuat dan memutar lebih sebat.

Sementara itu Ganda Ariawisesa melancarkan serangan dari samping bertubi-tubi hingga si nenek merasa sangat terganggu dan tidak bisa memusatkan perhatiannya pada Giri Arsana.

“Patih keparat! Kau mengasohlah dulu!” teriak si nenek. Lalu mulutnya menyembur. Segulung asap kelabu keluar membuntal.

“Patih, lekas tutup penciumanmu!” teriak Giri Arsana.

Tapi terlambat. Patih Kerajaan keburu mencium asap kelabu yang menyembur dari mulut si nenek. Akibatnya dia merasakan sekujur tubuhnya menjadi lemas sedang pemandangannya berkunag-kunang. Jika lawannya menghantam saat seperti itu celakalah dirinya. Memikir begitu Patih ini cepat jauhkan diri dari kalangan perkelahian. Dia segera mengatur jalan nafas dan peredaran darah. Sesaat kemudian dia tampak muntah-muntah. Muntahnya bercampur darah. Namun setelah muntah keadaannya jadi membaik.

Sriti Gandini kini lebih dapat memusatkan serangannya pada Giri Arsana. Tubuhnya berkelebat capat laksana bayang-bayang. Sepuluh kuku jarinya mengeluarkan sinar hitam menggaris udara dalam sepuluh larik yang mengerikan. Dengan gigih di nenek kirimkan serangan susul menyusul.

Namun payung hitam di tangan lawan benar-benar membuatnya mati kutu. Satu kali dia sempat menghantam payung itu dengan lima cakaran ganas. Tapi kain payung jangankan robek, tergurat sajapun tidak! Giri Arsana pukul gagang payung dengan tangan kiri. Angin dahsya menggebubu. Si nenek coba bertahan tapi gagal. Tubuhnya tersungkur jatuh duduk!

Sambil memaki panjang pendek si nenek bangkit berdiri. Tangan kanannya menyusup ke balik pakaian hijaunya. Ketika keluar tampak di tangan itu tergenggam sebatang ranting sirih lengkap dengan tiga helai daunnya. Melihat daun sirih itu, berubahlah paras Giri Arsana.

“Benar rupanya dia telah mengetahui kelemahanku!” kata si kakek dalam hati. “Sekarang aku hanya tinggal pasrah!”

“Kau lihat benda ini, Giri Arsana?” tanya si nenek lalu tertawa panjang seperti lolongan srigala. Dia mendongak ke langit. Dari mulutnya kemudian terdengar suara nyanyian.

Sang istri sudah kudapat
Begitu juga anak bungsu dan anak ke empat
Menyusul sekarang Bapak yang culas
Dendam kesumat segera terbalas

“Tua bangka gila! Kau telah menyanyikan lagu pengiring kematianmu sendiri!” teriak Patih Kerajaan. Rupanya keadaannya sudah pulih. Habis membentak begitu dia segera menyerbu. Namun dari samping Wiro yang sejak tadi diam saja menghadang serangannya.

“Biarkan mereka menyelesaikan urusan. Biar kita menjadi penonton yang baik saja, paman Patih.”

“Pendekar 212! Kau!” teriak Patih Ganda Ariawisesa.

“Kau kini berbalik membela perempuan itu? Kau sudah gila rupanya!” “Dunia ini memang banyak orang gilanya, Patih. Tapi sekali ini saya belum gila. Saya bilang biarkan kakek-nenek itu menyelesaikan urusan mereka!”

“Kurang ajar! Kau telah bersekutu dengan perempuan iblis itu!” teriak Patih Ganda Ariawisesa.

Dengan marah dia langsung menyerang Wiro. Perkelahian seru terjadi hanya lima jurus. Di jurus keenam Wiro berhasil menotok tubuh Sang Patih hingga terguling jatuh di tanah dan tak bisa bergerak lagi. Hanya mulutnya saja yang berteriak memaki tiada henti.

Begitu Sang Patih jatuh ke tanah, Wiro cepat melompat ke tempat perkelahian antara Sriti Gandini dan Gairi Arsana. Saat itu dengan setangkai daun sirih di tangan si nenek melancarkan serangan. Giri Arsana mundur terus sambil melepaskan serangan-serangan balasan dengan payungnya. Tapi nyatanya kini setiap serangan ataupun angin pukulan sakti yang keluar dari payung, hanya dengan melambaikan daun sirih saja, semau serangan si kakek dapat dimusnahkan oleh si nenek!

“Celaka!” keluh Giri Arsana. Mukanya tampak pucat.

“Ajalmu sudah dekat Giri!” kata si nenek sambil lontarkan seringai maut. Daun sirih di tangannya dihantamkan ke depan. Giri Arsana kembali membentengi dirinya dengan payung saktinya. Namun kali ini kekebalan payung hitam itu tidak sanggup bertahan terhadap setangkai daun sirih.

"Brettt! Trakk! Trakk...!"

Kain payung robek besar. Tiang-tiangnya yang terbuat dari kayu berpatahan. Giri Arsana merasakan seperti ada aliran panas menjalar ke tubuhnya. Cepat-cepat orang tua ini buang payungnya lalu melangkah mundur.

“Jangan harap kau bisa lari Giri! Hanya nyawamu yang bisa membalas segala sakit hati dendam berkarat!”

“Aku tidak bakalan lari Sriti! Kau ingin membunuhku silahkan! Lakukan cepat! Aku memang orang berdosa!” kata Giri Arsana pula.

Si nenek tertawa.”Akhirnya kau menyadari kesalahanmu manusia budak nafsu. Penyesalanmu datang terlambat...!”

Si nenek melompat dan pukulan sirih yang dipegangnya ke kepala Giri Arsana. Inilah kelemahan Dewa Berpayung Hitam. Kesaktian, kekebalan dan semua ilmu yang dimilikinya akan musnah oleh pukulan daun sirih. Hal ini rupanya diketahui Sriti Gandini setelah puluhan tahun berusaha membongkar rahasia kehebatan si kakek.

Sesaat lagi setangkai daun sirih itu akan mempu menghancurkan batok kepala Giri Arsana, tiba-tiba dari samping berkelebat satu bayangan dan srettt! Tahu-tahu tangkai dan daun sirih di tangan si nenek terbetot lepas.

Sriti Gandini menjerit keras. “Pemuda kurang ajar!” teriak si nenek ketika dilihatnya Pendekar 212 Wiro Sableng berdiri tegak sambil senyum-senyum dan kipas-kipaskan daun-daun sirih itu di depan dadanya.

“Kembalikan daun sirih itu padaku! Cepat!”

“Pendekar 212...!” Seru Giri Arsana. Lalu dia terdiam. Baru dia menyadari bahwa memang betul wajah pemuda itu memang mirip sekali dengan parasnya sewaktu muda! Namun saat itu dia tidak bisa memikirkan hal itu lebih lama. Dia berkata, “Pendekar 212, serahkan daun sirih itu padanya. Aku sudah pasrah mati. Dosaku terlalu besar padanya”

“Kalian berdua sama-sama tua, seharusnya bisa bersabar. Jika silang sengketa antara kalian bisa diselesaikan dengan damai mengapa tidak berusaha melakukannya?”

“Damai?!” sentak Sriti Gandini. “Puluhan tahun dia menyakiti diriku. Datang pergi datang pergi dan kawin! Saudara perempuanku ikut jadi korbannya...”

“Sudah Sriti, kau mau membunuh aku lakukan saja. Jangan sebut-sebut lagi kejadian di masa lampau itu...” kata si kakek dengan hati pilu. Lalu perlahan-lahan dia duduk di tepi kawah, bersila pejamkan mata. Menunggu dirinya untuk dibunuh.

Si nenek melangkah. Tapi Pendekar 212 cepat menghadang jalannya. “Apa yang hendak kau lakukan?” tanya Wiro pada si nenek sambil menatap dengan tajam.

“Apa perlu kau tanya lagi?!” membentak Sriti Gandini. “Berikan sirih itu padaku!”

“Baik! Sirih ini akan aku berikan padamu! Kau bisa membunuhnya dengan mudah! Tapi apakah setelah dia mati kau akan merasa lepas dari segala dendam kesumat?! Istri dan dua anaknya sudah kau bunuh! Apa itu belum cukup!”

“Tentu saja belum! Dendam sakit hatiku selama puluhan tahun tidak akan terkikis sebelum dia kuhabisi!”

Wiro ulurkan tangannya yang memegang daun sirih. “Kakek itu sudah mengakui dosanya. Sudah pasrah menerima kematian dalam penyesalan yang mendalam. Jika kau hendak membunuhnya silahkan. Tapi ingat, jangan harap aku mau bersahabat lagi denganmu!”

Si nenek tersurut. Giri Arsana terheran-heran mendengar ucapan Pendekar 212 yang membuat si nenek seperti ketakutan.

“Kau manusia jahat!” jerit Sriti Gandini. Lalu dirampasnya setangkai daun sirih itu dari tangan Pendekar 212. Tapi dia tidak menghantamkan daun sirih itu pada Giri Arsana. Dari mulutnya terdengar suara memelas perlahan. “Mungkin memang sudah begini takdir jalan hidupku. Kalau saja aku bisa mati lebih cepat itu akan lebih baik. Apa artinya lagi hidup ini...”

Sriti Gandini campakkan setangkai daun sirih itu ke tanah. Lalu tiba-tiba sekali tanpa satu orangpun bisa mencegahnya nenek ini membuang dirinya ke dalam kawah.

“Sriti!” teriak Giri Arsana. Dia coba mengejar tapi terlambat. Tubuh si nenek sudah jauh melayang ke arah kawah. Giri Arsana terduduk di tebing kawah. Kakek ini mulai manangis sesenggukan.

Saat itu matahari mulai tergelincir tenggelam seolah-olah meluncur masik ke dalam laut. Di bawah sinar mentari yang merah keemasan itu, dari bawah kawah kelihatan ada dua orang bergerak mendaki ke atas. Yang satu seorang kakek berpakaian putih, mendaki sambil memanggul sesosok tubuh berpakaian hijau. Di sebelahnya berjalan seorang gadis berwajah jelita. Rambutnya yang hitam sebahu melambai-lambai tertiup angin.

Makin tinggi kedua orang ini naik ke atas tebing kawah. Semakin melotot kedua mata Wiro dan Giri Arsana. Begitu kedua orang itu sampai di depan mereka, Wiro garuk-garuk kepalanya.

“Tuhan Maha Besar!” seru Pendekar 212. “Kakek Tua Gila, lagi-lagi kau menyelamatkan orang dari kematian!”

Tua Gila yang memanggul tubuh Sriti Gandini yang saat itu mulai siuman, menurunkan tubuh si nenek lalu membaringkannya di tanah di hadapan Giri Arsana. Si kakek menjerit keras lalu merangkul tubuh orang yang pernah jadi kekasihnya itu. Dia tidak malu-malu membisikkan ratapan.

“Sriti, jika kau mau memaafkan aku. Aku berjanji akan memeliharamu baik-baik di sisa usiaku yang tidak seberapa lama lagi ini...”

Si nenek tidak menjawab. Kedua matanya yang sempat hendak dibuka kini dipejamkannya kembali. Pendekar 212 tersenyum dan berkata.

“Hai nek! Ayo jawab ucapan orang! Apa kau tidak mendengar apa yang tadi dikatakan si kakek?!”

Si nenek yang sadar kalau orang sudah tahu bahwa dia berpura-pura pingsan terus akhirnya buka kedua matanya dan perlahan-lahan bangkit berdiri. Sesaat dia memandang dengan mata melotot pada Wiro. Wiro membalas dengan senyum dikulum sambil kedipkan mata dan goyangkan kepalanya ke arah Giri Arsana.

“Kakek itu akan duduk bersila di situ sampai jadi batu. Kecuali kalau kau mau menolongnya berdiri! Tolong dia. Dia akan ikut kemana kau pergi. Kalian berdua akan bahagia selama-lamanya!”

Diperlakukan seperti itu Sriti Gandini jadi serba salah. Akhirnya diulurkannya juga tangan kanannya. Si kakek menatap paras nenek itu dengan air mata bercucuran. Si nenek pun mulai menangis sesenggukan. Keduanya saling berpegangan tangan dan perlahan-lahan Giri Arsana bangkit berdiri. Saat itu juga tempat itu dipenuhi tepuk bersorak Wiro, Tua Gila dan Mirantih.

“Sebaiknya kita yang tak punya kepentingan tidak perlu berlama-lama di tempat ini...” kata Wiro pula.

Tua Gila batuk-batuk. “Kau betul Pendekar 212. Mari kita pergi.”

Wiro mendekati Patih Ganda Ariawisesa terlebih dulu untuk melepaskan totokan di tubuh orang itu. Semula dia menyangka Sang Patih akan menghantamnya, paling tidak mencaci makinya. Ternyata tidak. Sang Patih menarik nafas dalam dan terdengar berucap.

“Aku sudah saksikan semua yang terjadi. Mungkin ini semua sudah takdir dari Yang Kuasa. Kita manusia hanya bisa menerima kenyataan...”

“Saya merasa bersyukur Paman Patih berkata begitu...” Kata Wiro girang. Lalu dia memberi isyarat pada Tua Gila dan Mirantih. “Mari kita pergi. Jenazah di dalam batang kelapa serahkan saja pada mereka untuk mengurusi.”

Ketiga orang itu segera hendak melangkah pergi. Tiba-tiba terdengar Patih Kerajaan berkata. “tunggu dulu! Apakah kalian melihat dua orang berada di pulau ini?”

“Maksud Paman Patih Pagar Paregreg Kepala Pasukan Kerajaan yang jadi pimpinan pemberontak itu dan cecunguk kawannya yang bernama Brambang Santika?!” ujar Wiro.

“Ah, jadi kau sudah melihat mereka!”

“Keduanya tak perlu diurusi. Sudah ada yang mengurus sendiri. Ikan-ikan di dalam laut sana!” kata Wiro seraya menunjuk ke tengah laut.

Selagi Patih Kerajaan terheran-heran tak mengerti Pendekar 212 melanjutkan keterangannya. “Kedua orang itu sudah dihajar habis-habisan oleh nenek itu. Mayatnya ditendang mental dan masuk ke dalam laut!”

Patih Kerajaan meepaskan nafas lega. Wiro, Tua Gila dan Minaratih melangkah pergi. Namun lagi-lagi ada suara menahannya pergi. Kali ini seruan Sriti Gandini.

“Pendekar 212! Aku tahu sekarang! Kau sudah dapat sahabat baru gadis cantik itu! Pantas kau tidak mau bersahabat denganku!”

Wiro tertawa gelak-gelak. “Siapa bilang saya tidak suka bersahabat dengamu Nek. Bukankah sudah saya katakan kau ini nenek paling cantik di dunia?!” Lalu pada Giri Arsana dia berkata. “Kek, kau jaga baik-baik sahabat yang cantik itu!”

Semua orang yang ada di puncak kawah Gunung Krakatau itu termasuk Giri Arsana tertawa gelak-gelak. Si nenek tampak cemberut. Tapi cuma sebentar. Sesaat kemudian terdengar pula suara tawanya. Malah lebih keras dari tawa yang lain.

T A M A T

Episode Selanjutnya:
LihatTutupKomentar