Kepala Iblis Nyi Gandasuri

KEPALA IBLIS NYI GANDASURI

SATU
PENUNGGANG kuda berpakaian putih memacu tunggangannya secepat setan berkelebat. Menembus kegelapan malam dalam cuaca buruk di penghujung bulan ke sebelas. Terpaan angin kencang dari depan membuat rambutnya yang gondrong melambai deras ke belakang. Di puncak sebuah bukit kecil kuda coklat mandi keringat itu berhenti berlari lalu meringkik keras tak mau maju lagi walau selangkahpun!

“Mmmm…” Penunggangnya bergumam lalu mengusap leher bintang itu berulang-ulang. “Perasaan binatang ini tajam sekali…” Katanya dalam hati. Dia terus mengusap leher kuda lalu berkata. “Tenang kudaku… Tenang… Tak ada yang perlu ditakutkan. Kau dan aku membawa tugas agung! Menyelamatkan nyawa seorang pangeran. Gusti Allah pasti menolong kita!”
Orang di atas kuda memandang ke bawah bukit. Di sebuah pedataran di bawah sana, samar-samar dalam kegelapan malam kelihatan sebuah bangunan yang atapnya bertingkat dua. Nyala lampu minyak di langkan depan dari kejauhan terlihat seperti titik merah. Angin bertiup kencang di puncak bukit. Hujan rintik-rintik mulai turun.

“Kita harus melanjutkan perjalanan kudaku. Kau sudah siap…?” Si penunggang kuda bicara lagi. Tangan kanannya terus mengusap leher kuda. Binatang ini angkat kaki kirinya. Ekornya dikibaskan berulang kali. Dari mulut dan hidungnya terdengar dengusan halus. “Kita berangkat sekarang!” kata si penunggang kuda lalu menepuk pinggul binatang itu dengan keras.

Kuda coklat meringkik satu kali lalu seperti anak panah lepas dari busurnya binatang ini melesat menuruni bukit. Kurang dari sepeminuman teh kuda dan penunggangnya akhirnya sampai di depan rumah besar yang sebelumnya terlihat dari atas bukit. Selain besar rumah itu ternyata dikelilingi oleh tembok tinggi berbentuk benteng, dikawal oleh belasan penjaga bersenjata pedang dan tombak serta membawa tameng.

Begitu kuda dan penunggangnya muncul di pintu gerbang rumah besar enam pengawal segera menyongsong. Empat menutup jalan masuk dan dua orang mendatangi tamu tak dikenal itu dengan tombak terhunus. Enam pasang mata memandang tak berkesip penuh curiga.

“Anak muda! Siapa kau! Ini kawasan terlarang! Tidak satu orangpun boleh berada di tempat ini!” satu dari dua pengawal yang memegang tombak bertanya. Suaranya garang.

“Namaku Wiro Sableng. Seseorang mengutusku untuk menemui Pangeran Sampurno!” jawab orang di atas kuda.

“Sableng…” pengawal satunya berucap. “Kau tahu kalau sableng itu artinya gendeng?! sama dengan gelo alias gila!”

Pemuda di atas kuda menyeringai, garuk-garuk kepala lalu mengangguk. “Kalau sudah tahu lekas kau angkat kaki dari tempat ini! Di sini bukan tempatnya orang-orang gila keluyuran!”

“Namaku memang begitu. Tapi aku belum gila…”

“Mungkin baru setengah gila!” teriak pengawal dekat pintu masuk. Tiga kawan di sebelahnya tertawa gelak-gelak.

“Dengar aku tidak main-main. Aku harus menemui Pangeran Sampurno…” Kata Wiro.

“Kurang ajar! Dasar gila disuruh pergi malah bandel!”

“Aku mau tahu apa keperluanmu menemui Pangeran malam-malam buta begini. Kulihat kau orang asing. Bagaimana bisa tahu kalau ini tempat kediaman Pangeran Sampurno?!” pengawal satunya bertanya.

“Dari mana aku tahu ini rumahnya Pangeran Sampurno buat apa dipersoalkan. Yang penting lekas kalian bangunkan Pangeran. Aku harus menemuinya untuk memberi tahu kalau nyawanya terancam!”

“Terancam…?”

“Nyawa Pangeran Sampurno terancam?! Kawan-kawan kalian dengar ucapan pemuda sinting ini?!”

Enam pengawal di pintu gerbang itu lalu tertawa mengejek. Salah seorang dari mereka berkata “Di sini ada puluhan pengawal. Jangankan manusia, angin sekalipun tak bisa tembus!”

“Aku tidak main-main…”

“Aku juga tidak!” bentak si pengawal. Kawan di sebelahnya rupanya sudah tidak sabar. Dia maju mendekat.

“Hanya ada satu cara mengusir orang gila ini!” lalu tombak ditangannya diayunkan untuk menggebuk kepala penunggang kuda.

Tapi dia jadi terperangah ketika dengan kecepatan luar biasa si penunggang kuda menarik dan merampas tombaknya. Lima kawannya tak kalah kaget. Salah seorang dari mereka melompat dan langsung saja tusukkan tombaknya ke perut kuda. Melihat hal ini tentu saja Wiro tidak tinggal diam. Tombak rampasannya diayunkan ke bawah memukul tombak si pengawal.

"Tranggg!"

Tombak di tangan pengawal itu terlepas mental dalam keadaan patah dua! Selagi dia kaget dan marah ujung tumpul tombak di tanagn Wiro sudha menempel di keningnya. Sekali Wiro mendorong, pengawal itu terjajar keras dan jatuh terjengkang di tanah. Lima kawannya berteriak marah. Serta merta mereka menyerbu. Tiga dengan tombak, dua dengan pedang. Tapi serentak kelimanya berseru kaget. Orang yang hendak mereka serang tidak kelihatan lagi di atas punggung kuda.

“Hai! Pemuda itu lenyap!”

“Jangan-jangan dia mahluk jejadian! Setan!”

“Astaga! Lihat!” teriak salah seorang pengawal tiba-tiba. “Pemuda edan itu ada di sana!”

Empat pengawal cepat menoleh ke arah yang ditunjuk. Ternyata saat itu pemuda berpakaian putih berambut gondrong tengah melangkah cepat menaiki tangga bangunan. Lima pengawal serta merta mengejar. Mereka berhasil menghadang Wiro di anak tangga teratas. Tanpa banyak bicara lagi kelimanya terus saja menyerang. Maka di malam buta itu terdengar suara riuh dentrangan senjata saling beradu. Dua jurus berlalu dengan cepat.

Lima pengawal berkaparan di sekitar tangga. Dua mengerang karena kepalanya benjut di hantam tombak lawan. Satu terbungkuk-bungkuk kesakitan akibat sodokan ujung tombak di perutnya. Pengawal keempat terjengkang di tangga sambil urut-urut dadanya yang kena tendangan. Lalu pengawal kelima pegangi hidungnya yang mengucurkan darah. Untung saja hidungnya tidak remuk dihantam tombak.

Dalam keadaan seperti itu tiba-tiba ada suara menegur disertai berkelebat satu bayangan. “Anak-anak, ada apa di sini…?!”

Wiro berpaling. Tak jauh di ujung tangga tegak seorang kakek berbaju dan bercelana hitam. Dia menyandang sehelai kain sarung. Pandangan matanya tajam ke arah Wiro. Tak satupun dari pengawal sanggup bersuara berikan jawaban. Orang tua itu kembali menatap Wiro yang saat itu tengah berkata sendiri dalam hati.

“Orang tua jelek ini pasti bukan Pangeran Sampurno. Jika dia memanggil para pengawal dengan sebutan anak-anak berarti dia punya kedudukan tinggi di tempat ini.”

Maka Murid Eyang Sinto Gendeng cepat berkata. “Aku datang untuk menemui Pangeran Sampurno. Enam pengawal itu malah menganggap aku pemuda gila. Mereka bukan saja mengusir tapi juga menyerangku…”

“Lalu kau menghajar mereka!”

“Terpaksa karena aku tentu saja tak mau digebuk…”

“Katakan siapa dirimu dan ada keperluan apa hendak menemui Pangeran Sampurno. Melihat pada keadaan dirimu kau bukan utusan dari Kotaraja, bukan pula seorang perajurit…”

“Namaku Wiro Sableng. Aku ke sini memang bukan di utus penguasa di Kotaraja. Aku juga bukan seorang perajurit. Aku diutus oleh seseorang…”

“Siapa?!” memotong orang tua berselempang kain sarung.

“Maaf, aku tak dapat mengatakan pada siapapun kecuali Pangeran...”

“Pemuda edan kurang ajar! Pada pimpinan kamipun kau berani menghina! Teriak pengawal yang terkapar di tangga.

“Ah, rupanya aku berhadapan dengan pimpinan pengawal di tempat ini!” kata Wiro. Dia menjura pada orang tua di hadapannya lalu berkata. “Kuharap kau bisa berlaku lebih bijaksana… Aku datang untuk memberi tahu bahwa keselamatan Pangeran Sampurno terancam. Ada yang ingin membunuhnya!”

Orang tua di hadapan Wiro tersenyum. Dia berkata “Namaku Ki Ageng Bantoro. Aku sudah menjadi pengawal Pangeran Sampurno sejak beliau masih bayi! Selama itu aku tahu betul tak ada satu mahlukpun yang akan tega menyakitinya, apa lagi membunuhnya! Beliau tidak pernah punya musuh! Jadi ceritamu bahwa ada seseorang yang mengutus untuk memberi tahu bahwa keselamatan Pangeran terancam, ada yang ingin membunuh beliau, itu adalah omong kosong belaka! Bukan mustahil kau sendiri punya maksud jahat! Buktinya enam anak buahku kau buat babak belur…”

“Aku menyesalkan kejadian itu. tapi bukan aku punya mau, mereka minta sendiri!” jawab Wiro. “Sekarang apakah kau tetap tidak mengizinkan aku menemui Pangeran? Aku harap kau mau membantu menjagakan Pangeran dari tidurnya. Waktu untuk mencari selamat sempit sekali. Malaikat maut bisa datang lebih dulu dari pada pertolongan…”

Orang tua bernama Ki Ageng Bantoro tersenyum sinis. “Soal keselamatan Pangeran serahkan saja pada kami…”

“Salah seorang anak buahmupun tadi juga bicara takabur seperti itu. katanaya jangankan manusia, anginpun tidak bisa tembus, kau saksikan sendiri kenyataan kini. Mereka berkaparan di sana-sini…”

“Anak muda,” kata Ki Ageng Bantoro pula. “Aku maklum kau punya ilmu. Tapi kalau dengan sedikit ilmu saja kau sudah bicara dan bertindak pongah, berarti kau tidak labih baik dari anak-anak buahku. Dan saat ini coba kau memandang berkeliling. Lihat apa yang ada di sekitarmu!”

Wiro agak heran mendengar ucapan terakhir orang tua itu. perlahan-lahan dia memandang berkeliling. Kagetlah murid Sinto Gendeng ini. ternata tempat itu telah dikurung oleh lebih dari dua puluh perajurit bersenjata lengkap. Sepuluh di antaranya memegang busur dan anak panah di arahkan tepat-tepat pada dirinya!

Pendekar 212 garuk-garuk kepala. Dia berpaling pada Ki Ageng Bantoro. “Jika kau dan orang-orangmu mau membunuhku, kelihatannya memang mudah saja. Tapi apakah itu akan menolong menyelamatkan Pangeran Sampurno?”

Ki Ageng Bantoro kembali sunggingkan senyum sinis. “Saat ini yang ingin kukatakan padamu apakah kau mau menyerah secara baik-baik atau ingin mati terkutung-kutung!”

“Dunia ini memang aneh!” menyahuti Pendekar 212. “Maksud baik mau menolong malah diterima salah! Kalau memang sulit berbuat kebajikan, biar aku pergi saja! Kuharap kau tidak menyesal, orang tua…” Wiro putar tubuhnya untuk menurni tangga.

“Tetap di tempatmu!” bentak Ki Ageng Bantoro. Sepuluh perajurit pemegang busur merentangkan anak panah, siap untuk di lepas. “Kau telah menciderai enam pengawal Pangeran. Apa kau kira bisa pergi seenaknya?!”

Wiro cuma menyeringai. “Aku datang dengan tujuan baik dan pergi juga dengan maksud baik. Kalau kalian keliwat memaksa, jangan salahkan diriku!”

Baru saja Wiro berkata begitu Ki Ageng Bantoro jentikkan telunjuk dan ibu jari tangan kanannya.

"Clekkk!"

Sepuluh busur bergerak, sepuluh anak panah melesat! Sasaran tertuju ke satu arah. Kepala dan badan Pandekar 212 Wiro Sableng!

DUA

Secepat kilat Pendekar 212 jatuhkan diri ke tangga lalu erguling ke bawah. Ki Ageng Bantoro berseru kaget karena baru menyadari apa yang bakal terjadi. Dia cepat menyambar sebatang tombak dari seorang pengawal yang ada di dekatnya lalu melompat ke depan sambil babatkan tombak dalam gerakan setengah lingkaran. Terdengar suara berdentrangan berulang kali ketika tombak menghantam anak-anak panah yang melesat di udara.

Namun tak semua anak panah bisa diruntuhkan oleh si orang tua, empat di antaranya terus melesat menyambar. Inilah sebenarnya yang dikawatirkan Ki Ageng Bantoro. Empat anak panah yang lolos itu menancap di tubuh empat orang anak buahnya yang tidak keburu mengelak karena tidak menduga dan masih berada dalam keadaan terkesiap. Keempatnya langsung rubuh.

Ki Ageng Bantoro berteriak marah. Dengan tombak masih di tangan dia menyerbu Pendekar 212 Wiro Sableng tepat pada saat pemuda ini baru saja berusaha bangkit.

"Wuttt!"

Ujung runcing tongkat menyambar seujung jari di depan mata murid Sinto Gendeng. Jantungnya serasa tanggal. Cepat dia jatuhkan diri lagi begitu dilihatnya Ki Ageng Bantoro memburu. Kali ini si orang tua kirimkan tusukan deras ke arah kepala Wiro.

"Wuuuutt! Claaap!"

Terlambat saja Wiro menjatuhkan diri pasti tembus batok kepalanya. Tombak di tangan Ki Ageng Bantoro menancap di tanah sampai sepertiga panjang.

“Gila!” maki Wiro. Kakinya dikibaskan coba menendang tulang kering lawan. Dengan sigap Ki Ageng Bantoro melompat sampai setengah tombak lalu dari atas kembali dia tusukkan senjatanya. Kali ini Wairo bergerak lebih cepat. Tangan kiri berkelebat menepis bagian bawah mata tombak. Bersamaan dengan itu dia bangkit dan membuat lompatan pendek sambil hantamkan tangan kanannya ke atas. Inilah jurus yang disebut Membuka Jendela Memanah Matahari.

Ki Ageng Bantoro merasakan kepalanya seperti copot ketika tekukan telapak tangan Wiro Sableng menghantam dagunya dengan keras. Pukulan ini bukan saja membuat tulang dagunya retak dan rahangnya tergeser tetapi juga secara tidak sengaja membuat dia menggigit lidahnya sendiri hingga ujungnya hampir putus dan darah mengucur. Orang tua ini meraung kesakitan. Tapi karena lidahnya luka parah suaranya terdengar aneh menggidikkan di malam buta!

Sesaat seluruh anak buah Ki Ageng Bantoro yang ada di tempat itu terkesiap tak percaya. Belum pernah mereka melihat pimpinan mereka dirobohkan lawan seperti itu. Apa lagi lawan seorang pemuda tak dikenal pula! Begitu sadar apa yang terjadi lebih selusin senjata diantara mereka tiba-tiba menyerbu sambil berteriak beringas.

Mendadak pintu depan bangunan besar terbuka. Sinar terang merambas ke luar halaman. Sesaat kemudian seorang lelaki paruh baya mengenakan baju putih lengan panjang dan sehelai kain sarung serta bersandal kulit keluar diiringi seorang pelayan membawa lampu minyak besar.

“Ada kejadian apa di sini…?” Orang ini menegur seraya memandang berkeliling. Dia hendak berucap kembali akan tetapi mulutnya serta merta terkancing ketika melihat sekian banyak perajurit pengawal bergeletakan di sekitar tangga dan halaman rumah besar. Salah ssatu diantara mereka adalah Ki Ageng Bantoro yang mengerang sambil menutupkan kedua tangannya ke mulut yang mengucurkan darah.

Karena tak ada yang berani menjawab, Wiro pergunakan kesempatan untuk maju kehadapan orang itu. “Apakah saya berhadapak dengan Pangeran Sampurno?” Wiro ajukan pertanyaan.

“Aku memang orang yang kau sebutkan itu Anak muda, aku tak kenal kau dan tak pernah melihat sebelumnya. Apakah kau yang telah menimbulkan malapetaka ditempat ini?!”

“Saya mohon dimaafkan. Saya tidak bermaksud mencelakai siapapun. Tapi mereka menyerang, mengeroyok bahkan bermaksud membunuh saya,” Wiro coba menerangkan.

“Para pengawal di sini terlatih dengan baik dan punya kepatuhan tinggi. Jika mereka tidak punya alasan mana mungkin hendak mencelakai dirimu?! Kau pemuda asing, datang dan muncul malam buta begini! Orang mana yang tak akan curiga?”

“Saya sudah memberitahu maksud kedatangan. Namun para pengawal di sini menganggap saya orang gila. Lalu ada yang menyerang. Dalam keadaan terpaksa bagaimana mungkin saya hanya beridam diri…?”

“Kalau begitu coba kau katakan apa maksud kedatanganmu!” ujar Pangeran Sampurno pula sambil terus memperhatikan Wiro. Wiro agak ragu untuk bicara di depan orang banyak. “Pengeran, kalau boleh saya ingin bicara di tempat lain saja. Hanya kita berdua…”

Pangeran Sampurno gelengkan kepala. “Jika kau memang punya maksud baik, bicara terang-terangan! Hanya manusia culas yang suka sembunyi-sembunyi…”

“Kalau begitu mau Pangeran, saya mengikuti saja. Saya datang diutus oleh guru saya. Eyang Sinto Gendeng dari gunung Gede.”

“Hemmmm cukup jauh perjalananmu. Dari barat ke timur sini.” Kata Pangeran Sampurno pula. Aku hampir lupa pada nenek sakti itu. gerangan apa yang membuatnya mengutusmu. Pamrih apa yang gurumu inginkan…?”

“Guru saya tidak punya pamrih apa-apa. Niat menolong dilakuannya dengan ikhlas mengingat beberapa tahun silam Kerajaan pernah membantunya.” Suara Pendekar 212 agak meradang karena dia mulai jengkel dengan ucapan-ucapan sang Pangeran yang menghina gurunya. “Beliau meminta saya untuk menyampaikan pesan bahwa keselamatan Pangeran sangat terancam…”

“Keselamatanku terancam?” ujar Pangeran Sampurno sesaat menatap Wiro lalu memandang berkeliling pada orang-orangnya dengan senyum dikulum. “Ah! Gurumu baik sekali mau memperhatikanku dan mengirimmu jauh-jauh sampai ke sini. Ketahuilah, selama ini aku tak punya musuh. Tak ada orang beritikad jahat yang mengancam keselamatan diri ataupun keleuargaku. Tempat kediamanku terjaga siang dan malam. Semua aman tentram sampai saat kemunculanmu menimbulkan keobaran, melakukan tindak kekerasan malah membunuh!”

“Maaf Pangeran, tidak satu orangpun saya bunuh di tempat ini. Yang menemui ajal itu adalah akibat kena panah para pengawal Pangeran sendiri!”

Tiba-tiba seseorang melompat. Ternyata Ki Ageng Bantoro. Dengan darah masih mengucur dari mulutnya dia berkata. Ucapannya agak sulit dimengerti. “Pangeran! Manusia jahat ini pandai berdalih! Dia telah membunuh empat orang anak buahku! Izinkan aku meringkusnya hidup atau mati!” habis berkata begitu kepala pengawal Pangeran Sampurno ini loloskan kain sarungnya. Benda itu diputarnya dua kali di atas kepala. Kali ketiga tiba-tiba kain sarung itu melesat ke arah kepala Pendekar 212.

Sebelum Wiro sempat berbuat sesuatu kain sarung telah menjirat lehernya. Dia berusaha meloloskan diri sambil menghantam dengan tangan kanan. Tapi Ki Ageng Bantoro berlaku cerdik. Dengan cepat dia bergeak kebelakang punggung Wiro. Dari sini dipuntirnya kain sarung kencang-kencang hingga jiratan kain itu siap mematahkan tulang lehernya!

“Kain sarung jahanam! Senjata macam apa ini?” rutuk Wiro dalam hati. Ketika mulutnya mulai terjulur dan dia sulit bernafas Wiro yang tak mau mati konyol langsung salurkan tenaga dalam ke tangan kanan sambil merapal aji kesaktian untuk melepas pukulan Sinar Matahari dia tak mau kepalang tanggung. Kalau bukan dia yang putus nyawa maka Ki Ageng Bantoro terpaksa harus dibunuhnya!

Ketika tangan kanan Wiro berubah putih seperti perak dan mengeluarkan sinar menyilaukan Pengeran Sampurno terkejut besar. Cepat dia mengangkat tangan dan berseru pada kepala pengawalnya.

“Ki Ageng! Lekas lepaskan pemuda itu!”

Sepasang mata Ki Ageng Bantoro mendelik. Dengan kesal kain sarung diputar balik mengendur lalu dibetotnya ke atas hingga lepas dari leher Wiro. Masih dengan sikap meradang orang tua ini mundur beberapa langkah. Sementara Wiro berdiri sambil pegangi lehernya dengan tangan kiri kanan. Pangeran Sampurno mendatangi Wiro, mencekal ke arah pakaian pemuda ini lalu berkata.

“Sekarang jelaskan bahaya apa yang mengancam diriku! Siapa yang ingin membunuhku!”

“Seorang perempuan, Pangeran. Dia dekat sekali dengan dirimu. Karena berada di dalam rumahmu…”

“Apa?” suara Pangeran Sampurno menggeledek.

“Seorang perempuan bernama Nyi Gandasuri. Dia yang ingin membunuhmu! Malam ini!” kata Wiro.

“Kurang ajar! Nyi Gandasuri adalah istriku sendiri!” teriak Pangeran Sampurno dengan sepasang mata membeliak seperti hendak keluar dari sarangnya.

“Memang dialah yang akan membunuhmu Pangeran. Membunuh dan menghisap darahmu…”

“Jahanam! Istriku sedang tidur…”

“Memang dia kelihatan tidur. Tapi itu hanya sosok kasarnya. Sosok halus atau jiwa raga, rohnya berada di tempat lain. Di bawah kekuasaan jahat!”

“Pemuda keparat! Otakmu jelas sinting dan mulutmu lancang kurang ajar!” Pangeran Sampurno berteriak keras lalu...

"Plaaakkkk!

Tangan kirinya melayang menampar pipi kanan Wiro hingga bibir pemuda ini luka dan berdarah. Wiro merasakan tubuhnya bergetar karena berusaha menindih gelagak amarah. Tangan kanannya melesat ke atas mencekal pergelangan tanagn Pangeran Sampurno.

Pangeran Sampurno adalah salah seorang pewaris tahta Kerajaan yang memiliki kepandaian silat serta tenaga dalam dan kesaktian bukan sembarangan. Dia mengibaskan tangannya. Disangkanya sekali sentak saja cekalan Wiro bisa dilepaskan. Tapi alangkah terkejutnya dia ketika justru cekalan pemuda itu semakin kuat.

“Kerahkan seluruh tenagamu. Luar dalam! Kesaktianmu sekalian! Dan akan kupatahkan tulang lenganmu dalam sekejap!” kertak Wiro dalam hati. Pandangan matanya menembus ke dalam sepasang mata sang Pangeran, membuat tergetar hati Pangeran Sampurno. Butir-butir keringat memercik di kening sedang punggung pakaiannya juga basah oleh peluh.

“Pangeran, memang sulit mempercayai apa yang tadi saya katakan. Tapi saya tidak bicara dusta. Istrimu akan membunuhmu malam ini. Karena begitu perjanjiannya dengan dua mahluk iblis Maharaja dan Maharatu Langit Darah yang menguasainya!”

“Keparat! Biar kupecahkan kepalamu!” senak Pangeran Sampurno yang tentu saja tidak mau mempercayai ucapan pemuda yang tidak dikenalnya itu. Malah dalam marahnya dengan cepat tangan kirinya dihantamkan ke batok kepala Pendekar 212.

Namun serangan maut itu tidak dapat mencapai sasaran karena saat itu juga Wiro mendahului memuntir pergelangan tangan kanan Pangeran Sampurno hingga terdengar suara berkeretak tanda sambungan sikunya terlepas. Pangeran Sampurno menjerit setinggi langit. Wiro dorong tubuh orang itu hingga terjelapak di depan pintu.

“Bunuh pemuda itu! Cincang sampai lumat!” teriak sang Pangeran.

Ki Ageng Bantoro yang pertama sekali melompat ke hadapan Wiro. Tangan kiri mencekal sarung sedang tangan kanan memegang sebilah golok panjang. Sambil melompat kepala pengawal itu berteriak pada puluhan anak buahnya agar ikut menyerbu. Maka lebih dari dua puluh pengawal menyerang dengan berbagai macam senjata.

“Tewas diriku!” keluh murid Sinto Gendeng. Otaknya cepat bekerja, tubuhnya cepat membuat gerakan menyelamatkan diri. Yang pertama sekali dilakukan Wiro adalah menghantam ke kiri dan ke kanan dengan pukulan Tameng Sakti Menerpa Hujan. Dia sengaja tidak mengerahkan tenaga dalam keras, cukup membuat hampir selusin pengawal berjungkalan morat marit.

Gerakan kedua menyusul. Wiro jatuhkan diri di lantai. Bukan saja untuk mengelakkan sambaran golok di tangan Ki Ageng Bantoro tapi sekaligus untuk dapat menggulingkan diri ke arah Pangeran Sampurno yang masih terkapar di lantai sambil pegangi tangan kanannya yang keple tergontai-gontai karerna tanggal sambungan sikunya.

Ki Ageng bantoro dan sekitar sepuluh pengawal jadi tertegun begitu melihat Wiro mencekal leher pakaian Pangeran mereka seperti membembeng seekor kucing.

“Yang berani boleh maju! Kalian akan lihat bagaimana kepala Pangeran kalian akan kubantingkan ke lantai hingga pecah!”

Ki Ageng Bantoro meradang tapi tidak bergerak. Begitu juga semua anak buahnya. Keadaan di tempat itu sunyi sesaat kecuali suara erangan pangeran Sampurno yang terdengar tidak berkeputusan. Sambil menyeret sang Pangeran Wiro melangkah mundur ke ujung langkan depan rumah besar. Ki Ageng Bantoro bergerak hendak mengejar.

“Eit!” seru Wiro seraya angkat tubuh Pangeran Sampurno tinggi-tinggi, siap untuk membanting.

“Keparat!” maki Ki Ageng Bantoro. “Aku bersumpah akan mencincangmu!”

Murid Sinto Gendeng menyeringai. Jaraknya sudah cukup jauh. Tiba-tiba tangan kanannya digerakkan. Tubuh Pangeran Sampurno melayang di udara, melesat ke arah Ki Ageng Bantoro.

“Pangeran!” seru Ki Ageng bantoro seraya memburu coba menangkap tubuh Pangeran Sampurno. Sebaliknya sang Pangeran sendiri terdengar mendamprat.

“Pemuda keparat! Makan jariku!” teriak Pangeran Sampurno marah. Sambil menahan sakit pada tangan kanan dalam keadaan tubuh terlempar seperti itu dia tusukkan dua jari tangan kirinya ke arah Wiro.

Wiro melengak kaget melihat dua jari tangan sang Pangeran tiba-tiba berubah panjang dan menusuk ke arah kedua matanya! Inilah ilmu kesaktian yang disebut Dua Jari Akhirat. Jangankan mata manusia, batupun sanggup dibuat bolong!

Murid Sinto Gendeng cepat menghindar dengan melompat ke samping. Justru dari arah ini tiba-tiba seorang pengawal datang menyongsong dengan sebilah kelewang.

“Kebetulan sekali!” seru Wiro. Dengan gerakan kilat ditangkapnya lengan si penyerang lalu ditariknya demikian rupa hingga kepala dan tubuhnya terlindung dari serangan Dua Jari Akhirat. Akibatnya terjadilah hal yang tidak disangka oleh Pangeran maupun semua orang yang ada di situ. Pengawal yang menyerang Wiro menjerit keras. Dua tuskan jari Pangeran Sampurno bersarang di keningnya.

"Crosss!"

Dua lobang terlihat di kening pengawal. Darah mengucur mengerikan. Di saat itu pula tubuh Pangeran Sampurno jatuh ke bawah. Kalau tidak lekas ditangkap oleh Ki Ageng Bantoro, Pangeran ini pasti jatuh berdebam ke lantai batu! Celakanya karena tubuh Pangeran Sampurno lebih tinggi dan besar sedang Ki Ageng Bantoro kecil, di samping itu kaki kepala pengawal ini terpeleset pula di lantai yang licn oleh darah maka tak ampun lagi dia terrsungkur. Tumpang tindih dengan Pangeran Sampurno.

“Pangeran maafkan saya….” Kata Ki Ageng Bantoro. Bersama beberapa orang pengawal dia menolong Pangeran itu bangkit berdiri.

Saat itu Pendekar 212 Wiro Sableng tak kelihatan lagi di tempat itu. Pangean Sampurno merasa sekujur tubuhnya dingin oleh keringa. Di antara rintih kesakitan dia berkata. “Papah aku ke dalam kamar…”
********************
www.zheraf.com
TIGA

Suatu malam, empat puluh hari sebelum kedatangan Pendekar 212 Wiro Sableng ke tempat kediaman Pangeran Sampurno. Langit malam yang redup sejak senja menjadi tambah suram dan kelam ketika bulan purnama ditutup awan hitam yang dihembuskan angin dari arah Selatan.

Di sekitar pohon beringin besar yang memayungi bekas reruntuhan candi serta merta berubah gelap gulita. Desau angin tak kuasa memecah kesunyian yang mencekam. Tak sanggup mengibas daun-daun apalagi akar gantung pepohonan yang menjulai panjang.

Tiba-tiba di kejauhan ada suara derap kaki kuda ramai sekali. Semakin lama semakin keras mendekati reruntuhan candi. Tapi anehnya baik kuda maupun para penunggangnya tak satupun kelihatan. Suara derap kaki binatang-binatang itu menggemuruh seolah menerjang batu-batu berlumut bangunan candi, lalu bergerak kencang melewati arah kanan pohon beringin.

Ketika suara derap kaki kuda itu melewati reruntuhan candi, sebuah stupa tanpa kepala kelihatan bergoyang-goyang dalam gelapnya malam. Lalu ketika suara tanpa ujud itu melewati pohon beringin, akar-akar gantung pohon tampak bergoyang-goyang! Mahluk apakah yang sebenarnya barusan lewat ditempat itu? Serombongan hantu berkuda? Begitu gemuruh suara lenyap suasana kembali sunyi dan gelap.

Namun tidak lama. Sesaat kemudian seolah-olah datang dari langit yang kelam, di arah Timur terdengar suitan nyaring sekali, tiga kali berturut-turut. Senyap seketika. Lalu seperti menyahuti suitan yang datang dari Timur tadi, dari jurusan Barat berkumandang pula suitan keras tiga kali berturur-turut. Begitu suara suitan lenyap, tepat di puncak pohon beringin besar terdengar suara orang bertanya tapi sosoknya sama sekali tidak kelihatan.

“Siapa yang datang?!”

“Kami dua orang anggota dari kawasan Selatan!” Ada suara jawaban.

Terdengar juga di sekitar puncak pohon beringin. “Sebutkan angka kalian!”

“Aku 114!”

“Dan aku 129!”

“Sebutkan keperluan kalian!”

“Kami ingin menghadap Maharaja dan Maharatu Langit Darah!”

“Membawa urusan apa?!”

“Kami mengantar seorang tamu. Calon anggota baru!”

“Lelaki atau perempuan? Sebutkan usianya!”

“Perempuan. Sekitar dua puluh lima tahun!”

“Masih gadis atau janda atau punya suami?!”

“Punya suami!”

“Cantikkah dia?!”

“Hanya bidadari yang dapat menandingi kecantikannya!”

Sunyi sesaat. “Kalian berdua tunggu di pintu gerbang Timur! Kami akan menanyakan apakah Maharaja dan Maharatu Langit Darah bersedia menerima kalian!”

Tak selang berapa lama terdengar suara suitan tiga kali berturu-turut. “Kalian diperkenankan menghadap Maharaja dan Maharatu langit Darah!”

“Kalau begitu harap bukakan pintu!”

“Pintu segera kami buka. Ingat peraturan! Kalian tidak diperkenankan memandang ke atas! Atas adalah langit dan langit adalah bagian jagat yang berada dalam kekuasaan Maharaja dan Maharatu Langit Darah! Apa jawab kalian?!”

“Kami akan mentaati peraturan!”

“Kalau kalian mendengar ketentuan, kalian sudah tahu hukuman yang bakal dijatuhkan?”

“Sudah!”

“Sebutkan!”

“Kepala kami akan dijadikan batu ganjalan tiang Istana Langit Darah selama seratus hari! Sekarang harap buka pintu gerbang! Tamu yang kami bawa sangat keletihan!”

Terdengar suara berdesir halus. Lalu suara benda berat bergeser menggetarkan pohon beringin sampai ke akar-akarnya yang berada jauh dalam tanah.

“Pintu sudah dibuka! Lekas masuk!”

Terdengar lagkah-langkah kaki kuda yang kemudian disusul suara benda berat bergeser seperti tadi. Lalu malam kembali dibungkus kesunyian.

Menjelang dini hari, ketika udara semakin dingin dan kegelapan malam masih pekat menghitam tiga ekor kuda dalam keadaan tubuh berlapis debu dan keringat berhenti di depan serumpunan bambu kuning. Penunggang di kiri kanan turun dengan cepat. Mereka adalah dua orang lelaki berpakaian hitam, mengenakan topi kain hitam berkerucut yang sebelah depannya ada gambar kepala kelelawar bermata besar.

Pada dada dan punggung baju mereka tertera angka 114 dan 129. Keudanya membantu turun penunggang kuda ketiga yang ternyata adalah seorang perempuan muda berwajah sangat cantik, berambut hitam dikonde dan ditancapi sebuah tusuk konde terbuat dari emas berhias tiga buah berlian.

Walau keliahtan mengenakan pakaian putih ringkas namun sebenarnya di bawah pakaian itu dia memakai kebaya beludru hijau serta kain panjang yang disingsingkan ke atas demikian rupa hingga memudahkannya menunggang kuda.

“Nyi Gandasuri, kita segera akan memasuki tempat bersemayam Maharaja dan Maharatu Langit Darah. Ingat pantangan utama. Jangan sekali-sekali berani memandang ke atas. Jangan salah bertindak, jangan keliru berucap. Sekali mereka tidak suka padamu bukan saja maksudmu akan menjadi batal tetapi mungkin kau juga akan menjadi tumbal untuk nenek moyang mereka. Jka kau untung mungkin kepalamu dijadikan ganjalan tempat tidur atau almari pakaian Maharatu Langit Darah…”

Perempuan muda yang dipanggil dengan nama Nyi Gandasuri itu diam saja. Wajahnya agak pucat karena kecapaian melakukan perjalanan jauh. Dia melangkah mengikuti dua orang berpakaian hitam yang meegang lengannya kiri kanan. Ketika dilihatnya dirinya dibawa seperti hendak menabrak rerumpunan pohon bambu kuning, dia hentikan langkah. Tapi dua orang lelaki di kiri kanannya terus bergerak dan...

"Settt-Settt-Settt...!

Dua orang lelaki itu dan juga dirinya menembus rumpunan bambu. Tak ada halangan, tak ada yang menahan. Mereka masuk seperti melewati sebuah pintu terbuka. Lalu tiba-tiba saja di hadapannya Nyi Gandasuri melihat sebuah istana yang keseluruhan bangunannya berwarna merah basah. Perempuan berusia 25 tahun ini perhatikan warna merah basah itu. hatinya berdebar. Dia kurang percaya. Diulurkannya tangan memegang. Diperhatikannya jari-jari tangannya yang basah dan merah sambil digosok-gosokkan satu sama lain.

“Darah…!” Desis Nyi Gandasuri dengan tangan bergetar. Dia memandang berkeliling lalu membatin.

“Aneh... Di luar sana tadi keadaanya malam dan gelap. Mengapa tiba-tiba disini keadaanya siang terang benderang.”

“Nyi Gandasuri,” bisik lelaki yang di bajunya ada angka 114. “Jaga segala tindakanmu. Semoga saja Maharaja dan Maharatu tida melihat waktu tadi kau meraba dinding darah itu.”

Ketiganya mulai melangkah menaiki tangga depan istana yang terdiri dari dua puluh satu anak tangga. Walau agak tercekat oleh ucapan 114 tadi Nyi Gandasuri terus melangkah menaiki tangga. Di undakan ke 16 dia berkata,

“Saya lihat keadaan di sini sunyi-sunyi saja. Tak ada satu orangpun. Siapa yang melihat perbuatan saya tadi? Kecuali kalian melaporkannya nanti…”

“Jangan tolol Nyi Gandasuri!” bisik 129. “Kita bukan berada di dunia biasa seperti di luar sana. Ini adalah dunia magis wilayah kekuasaan Maharaja dan Maharatu Langit Darah! Seribu mata bisa saja memperhatikan tindak tanduk kita saat ini…!”

“Seribu mata…?” ujar Nyi Gandasuri sambil melirik berkeliling.

Tiba-tiba terdengar suara menggema keras sekali. Tiga orang itu merasakan jantung mereka berdenyut keras, kaki bergetar dan gendang-gendang telinga mendenging sakit.

“Suara apa itu…?” tanya Nyi Gandasuri pucat.

“Gong Keramat pertanda ruangan ke tempat di maan Maharaja dan Maharatu Langit Darah berada akan segera dibuka. Ingat, jangan sekali-sekali melihat ke atas!”

Nyi Gandasuri, 114 dan 129 melangkah terus. Mereka telah melewati langkan istana yang merupakan pintu besar. Tujuh langkan di depan pintu terbuka ini membentang sebuah tirai hijau muda tak tembus pandang. Sayup-sayup dari belakang tirai terdengar suara seperti air memancur deras sekali.

“Suara apa itu?” tanya Nyi Gandasuri. Hatinya mendadak saja menjadi sangat tidak enak.

Baik 114 maupun 129 tidak menjawab. Nyi Gandasuri palingkan kepalanya pada114. Lelaki ini akhirnya membuka mulut. “Aku tak berani menerangkan. Kau lihat saja sendiri nanti…”

Terdengar suara mendesir. Tirai hijau terbuka ke kiri dan ke kanan. Nyi Gandasuri hampir tersurut sedang 114 dan 129 cepat-cepat tundukkan kepala. Setelah darahnya yang tersirap tenang kembali Nyi Gandasuri coba memandang ke depan walau mukanya menjadi sangat merah. Sekitar dua puluh langkah di hadapannya terpampang tembok batu lebar dan tinggi berbentuk tebing-tebing kecil diselang seling oleh pohon-pohon bunga.

Di bagian tengah ada patung batu sangat hidup dari seorang lelaki dan seorang perempuan dalam keadaan tanpa pakaian tengah melakukan hubungan badan dengan muka menghadap ke depan. Dari mulut mereka yang terbuka lebar, dari sepasang liang telinga, lobang hidung, mata, dubur, serta kemaluan mereka mengucur keluar cairan merah pekat disertai menyambarnya bau amisnya darah!

Seluruh cairan mengucur ke bawah, masuk ke dalam sebuah kolam besar. Dalam cairan darah di kolam Nyi Gandasuri melihat ada ikan-ikan aneh berkeliaran, tetapi yang menyeramkan adalah bahwa juga di dalam kolam itu penuh dengan tengkorak kepala serta tulang belulang manusia!

Secara aneh cairan darah dalam kolam terus naik ke atas lalu turun kembali ke dalam kolam lewat lobang-lobang di kepala dan aurat dua patung batu manusia tadi hingga cairan darah dalam kolam tidak pernah penuh atau luber.

Berdiri bulu tengkuk Nyi Gandasuri menyakdikan pemandangan itu. kemudian didengarnya 129 berkata. “Arah sini Nyi Gandasuri…”

Lelaki itu melangkah mendahului ke samping kanan dinding batu. Kawannya mengikuti, Nyi Gandasuri cepat-cepat membuntuti keduanya. Di samping kanan dinding batu itu terdapat sebuah tangga menurun. Ketika sampai di anak tangga terakhir Nyi Gandasuri terkesiap oleh satu pemandangan taman yang indah luar biasa.

Di mana-mana bunga-bunga kelihatan warna-warni menebar bau wangi. Beberapa ekor burung bertengger di cabang rendah pohon-pohon sambil berkicau-kicau. Lalu ada sebuah pedataran rumput. Di pertengahan pedataran ada sebuah bangunan tanpa dinding berbentuk joglo tiga tingkat. Tiang-tiang bangunan dan keseluruhan atau berwarna merah darah. Di bawah atap ada dua buah kursi panjang beralas kain beludru merah dilengkapi bantalan-bantalan empuk.

Pada kursi panjang sebelah kanan berbaring bermalas-malas satu sosok memiliki wajah nenek keriput beralis merah mencuat ke atas, bermata merah menggidikkan. Rambutnya yang panjang awut-awutan juga berwarna merah. Perempuan tua ini memelihara kuku panjang melengkung juga berwarna merah.

Tubuhnya ditutupi sehelai kain berbentuk selendang dan panjang, berwarna merah. Begitu tipisnya selendang lebar ini sehingga si nenek nyaris terlihat telanjang bulat. Pada kening si nenek menempel sebuah permata merah sebesar kuku ibu jari tangan yang memancarkan sinar gemerlapan.

Di kursi panjang sebelah kanan berbaring seorang kakek berambut merah menjulai bahu. Seperti si nenek dia juga memiliki alis mencuat ke atas, sepasang mata dan kuku panjang berwarna merah. Di keningnya menempel sebuah permata yang memancarkan sinar merah. Ketika menyeringai kelihatan deretan gigi-giginya berbentuk runcing-runcing dan merah. Auratnya juga hanya dilindungi sehelai selendang tipis merah hingga dirinya tak beda seperti telanjang saja. Bulu-bulu dadanya kelihatan lebat berwarna merah.

Sambil berbaring-baring si nenek melahap buah-buahan sedang si kakek asyik menggeragot paha kambing panggang. Sepasang kakek nenek aneh angker inilah yang dikenal sebagai Maharaja dan Maharatu Langit Darah. Keduanya sama memalingkan kepala ketika melihat kedatangan anak buah mereka 114 dan 129 membawa seorang perempuan muda berwajah sangat cantik.

Si nenek langsung campakkan buah yang tengah di makannya sedang si kakek buang begitu saja paha kambing panggang. Keduanya bergerak bangkit dan duduk di pinggiran kursi panjang. Sepasang mata masing-masing berkilat-kilat memancarkan sinar merah memperhatikan wajah dan tubuh Nyi Gandasuri.

“Maharatu, hari ini kita mendapat rejeki besar rupanya!” kata Maharaja langit Darah.

Si nenek menyeringai. Dari mulutnya keluar air liur. Berwarna merah. Air liur darah! “Kau diam saja, aku yang bakal menanyai!” kata si nenek.

Maharaja Langit Darah basahi bibirnya dengan lidah merah berdarah. “Kau menanyai boleh saja. Tapi ingat, aku yang mendapat bagian lebih dulu!”

“Enak saja! Apa kau lupa perjanjian?! Jika yang datang perempuan maka dia jadi bagianku! Kau boleh dapat sisa! Hik-hik-hik…!”
EMPAT

Ketika bangkit dari berbaring dan duduk di tepi tempat tidur, selendang yang menutupi tubuh kakek nenek itu merosot jatuh kepangkuan hingga aurat mereka sebelah atas terbuka lepas. Nyi Gandasuri yang memang berotak cerdik langsung saja melihat keanehan pada dua sosok tubuh ini. Sebagai orang-orang yang lanjut usia seharusnya si nenek akan memiliki dada rata, payudara leper bergelayutan sampai kepinggang.

Tapi yang terlihat saat itu justru satu tubuh perempuan yang putih bagus dan masih kencang. Begitu juga dengan keadaan tubuh si kakek. Di usia seperti itu dadanya akan kelihatan tipis dan tulang-tulang iganya akan bersembulan keluar. Tapi yang terlihat justru satu sosok tubuh kokoh tertutup bulu-bulu lebat berwarna merah di bagian dada.

Dua lelaki yang membawa Nyi Gandasuri berlutut di hadapan kakek nenek itu. salah seorang dari mereka kemudian berseru sambil mengangkat kedua tangan ke atas diikuti oleh teman di sebelahnya.

“Salam darah untuk Yang Mulia Maharaja dan Maharau Langit Darah!”

Maharaja Langit Darah angkat tangan kirinya sedikit. Telapak tangannya ternyata berwarna merah. Kedua matanya tak berkesip memandang wajah dan tubuh Nyi Gandasuri. Sementara sang Ratu menyeringai sambil cibirkan bibir.

“Lekas sampaikan laporan kalian! Tenggorokanku mendadak kering. Hik-hik-hik!” kata Maharatu Langit Darah pula.

Dia menggeliatkan hingga payudaranya membusung kencang ke depan dan mencuat tegang ke atas. 114 dan 129 cepat menunduk tak berani menikmati pemandangan yang merangsang itu. 114 membuka mulut.

“Kami datang membawa seorang calon anggota. Namanya Nyi Gandasuri, usia 25 tahun…”

Maharaja Langit Darah angkat tangannya. “Sudah… sudah! Kalian berdua boleh pergi. Hasil pekerjaan kalian akan kucatat dalam Buku Daftar Kabajikan Darah. Kalau sudah banyak kelak kalian akan dapatkan hadiah besar!”

“Terima kasih Maharaja Langit Darah,” kata 114 dan 129 berbarengan.

Kedua orang ini menjura lalu memutar tubuh dan tinggalkan tempat itu. Maharaja Langit Darah gulungkan selendang merahnya untuk menutupi aurat sebelah bawah. Lalu dia berdiri.

“Perempuan muda, namamu Nyi Gandasuri. Betul…?”

Nyi Gandasuri mengangguk. Sepasang mata yang merah dari Maharaja Langit Darah merayapi wajah dan sekujur tubuh Nyi Gandasuri. Ujung lidahnya berkali-kali diulurkan untuk membasahi bibir.

“Banyak orang datang ke istana ini, membawa seribu satu macam maksud dan rencana. Harap katakan apa maksud kedatanganmu ke tempat ini. dan juga apakah kau sudah diberi tahu oleh dua orang anak buahku tadi segala tata aturan di tempat ini, segala tata aturan untuk menjadi anggota keluarga Istana Langit Darah?”

“Mereka memang sudah memberi tahu,” jawab Nyi Gandasuri.

“Hanya saja saya pikir tentunya saya akan mendapat keterangan lebih jelas dan lebih banyak dari Maharaja dan Maharatu…”

“Bagus, kau bukan saja cantik jelita, memiliki tubuh bagus tapi juga punya otak pandai dan cerdik. Sekarang…”

Sampai di situ Maharatu langit Darah tiba-tiba berdiri. “Cukup! Kau boleh duduk Maharaja. Pertanyaan selanjutnya aku yang akan mengajukan!”

Waktu berdiri tadi, tidak seperti Maharaja, sang ratu terus saja berdiri tanpa memperhatikan keadaan dirinya. Atau mungkin saja dia memang sengaja berbuat begitu. Selendang merah yang menutupi tubuhnya merosot jatuh ke tanah hingga dia berdiri dala keadaan bugil. Mau tak mau Nyi Gandasuri jadi jengah juga melihat keadaan sang Ratu itu.

“Nyi Gandasuri, sebelum kau katakan apa maksud tujuan kedatanganmu ke sini, ada satu hal yang harus kau ketahui. Siapa saja yang datang ke Istana Langit Darah, lelaki atau perempuan, tua atau muda, cantik atau buruk, kaya atau miskin akan punya beberapa pilihan. Pertama kecil sekali kemungkinan bahkan hampir tak pernah dia akan keluar dari sini hidup-hidup sempurna seperti layak kedatangannya pertama kali. Kedua dia harus meninggalkan badan kasarnya sampai kiamat di tempat ini dan hanya tubuh halusnya yang kaan keluar dari sini. Ketiga bisa juga hanya tubuh kasarnya yang meninggalkan tampat ini tetapi roh halusnya mendekam sampai kiamat ditempat ini.”

“Saya sudah mendengar hal itu dari dua orang anak buahmu Maharatu,” menjelaskan Nyi Gandasuri.

“Bagus, berarti kita bisa mempersingkat waktu. Pilihan mana yang akan nanti menjadi hanya aku dan Maharaja yang memutuskan, bukan dirimu. Sekarang harap kau katakan apa maksud datang ke sini yang berarti siap menjadi anggota keluarga Istana Langit Darah. Turut penglihatanku, karena kau sudah bersuami maka tentu maksudmu ada sangkut pautnya dengan diri suamimu…”

“Benar sekali Maharatu.”

“Siapa nama suamimu Nyi Gandasuri?” tanya Maharatu Langit Darah pula.

“Suami saya Pangeran Sampurno Tjokro Adiningrat…”

Maharatu Langit Darah keluarkan seruan tertahan sedang Maharaja Langit Darah saking kagetnya sampai-sampai selendang tipis merah yang menutupi aurat sebelah bawah jatuh ke tanah. Dan dia tidak berusaha mengambilnya kembali!

Dia tegak dengan mata melotot, menatap perempuan di hadapannya sambil membayangkan bagaimana kira-kira kalau perempuan muda cantik jelita di hadapannya itu berada dalam keadaan telanjang bulat. Kini dua orang bugil berdiri di hadapan Nyi Gandasuri, membuat perempua muda ini jadi merah mukanya dan cepat-cepat tundukkan kepala.

“Pangeran Sampurno, salah seorang pewaris syah tahta Kerajaan!” ujar Maharatu Langit Darah.

“Betul Maharatu, memang dia orangnya. Namun…”

“Namun apa Nyi Gandasuri?” tanya Maharaja Langit Darah.

“Suami saya tak akan pernah jadi Raja.”

“Eh! Mengapa kau berkata begitu?” tanya Maharatu Langit Darah.

“Dia hanya pewaris ketiga. Sebelum dia masih ada dua orang kakak satu darah. Satu lelaki satu perempuan. Selain itu suami saya tidak disukai oleh orang-orang dalam Keraton…”

“Hemm... aku tahu sekarang,” kata Maharatu Langit Darah. “Kedatanganmu ke mari musti ada sangkut pautnya dengan diri suamimu dan tahta Kerajaan…”

“Betul Maharatu.”

“Kalau begitu sebutkan saja apa maumu!” ujar sang Ratu pula.

“Sejak lama saya menginginkan untuk menjadi istri seorang Raja. Menjadi istri pertama tentu saja tidak mungkin. Menjadi selir saya tidak mau. Sri Baginda saat ini telah punya dua istri. Saya ingin menduduki tempat sebagai istri ketiga. Tapi itu tahap pertama saja…”

“Maksudmu?” bertanya Maharaja Langit Darah.

“Setelah saya jadi istri ketiga, satu persatu dua istri Sri Baginda harus disingkirkan. Hingga saya akhirnya menjadi istri pertama…”

Maharaja dan Maharatu Langit Darah saling berpandangan. Lalu kedua manusia aneh ini tertawa gelak-gelak. Sambil usap-usap dadanya sendiri Maharatu Langit Darah berkata,

“Kecantikan dan kebagusan potongan tubuhmu memang bisa kau jadikan bekal pertama untuk mendampingi Sri Baginda sebagai Permaisuri. Lalu kepandaian dan kecerdikan otakmu adalah modal kedua yang tak kalah pentingnya. Namun semua modal itu tidak ada artinya jika kau tidak punya kemampuan untuk mewujudkan cita-citamu…”

“Itu sebabnya saya datang kemari, siap menjadi anggota dan minta pertolongan serta petunjuk bagaimana supaya saya bisa mencapai maksud itu.”

Maharatu Langit Darah tiba-tiba tertawa panjang. “Kau datang ke tempat yang tepat Nyi Gandasuri! Jika segala syarat bisa kau penuhi, urusan selanjutnya hanya soal mudah.”

“Saya mohon Maharatu mau mengatakan syarat itu,” kata Nyi Gandasuri pula.

Maharatu langit Darah tidak menajwab melainkan melangkah mendekati Nyi Gandasuri. Di hadapan istri Pangeran Sampurno itu dia berhenti sesaat guna menatap kecantikan wajahnya lalu mengulurkan tangan mengusap pipi dan dagu Nyi Gandasuri.

Mendadak saja Nyi Gandasuri merasa bulu kuduknya merinding. Tapi saat itu dia hanya bisa tegak berdiam diri sambil tundukkan kepala. Kemudian Maharatu Langit Darah melangkah berputar mengelilingi dirinya sampai tiga kali.

“Sempurna… sempurna sekali,” kata sang Ratu dalam hati dengan pandangan mata merah berkilat-kilat. “Belum pernah aku melihat perempuan dengan kecantikan dan kemulusan kulit sesempurna dirinya. Tapi aku harus memeriksa dulu sampai ke dalam-dalam…”

Tiba-tiba Maharatu Langit Darah hentikan langkah tepat di hadapan Nyi Gandasuri. “Nyi Gandasuri, di tempat ini terdapat banyak pantangan. Satu di antaranya para calon anggota tidak diperkenankan memakai perhiasan dalam bentuk apapun. Kulihat kau memakai kalung emas bermata berlian, gelang, dan tiga cincin. Harap semua perhiasan itu dibuka dan serahkan padaku!”

Nyi Gandasuri tak segera melakukan apa yang diperintahkan Maharatu Langit Darah. Kepalanya diangkat. Pandangannya bertemu dengan pandangan sang Ratu. Tiba-tiba saja ada rasa takut dan patuh dalam diri istri Pangeran Sampurno itu. semua perhiasan yang melekat di badannya segera ditanggalkan lalu diserahkan pada Maharatu Langit Darah. Sang Ratu langsung saja mengenakan semua perhiasan itu ke leher, pergelangan tangan, telinga dan jari-jarinya. Lalu sambil melangkah mundar mandir dia berkata.

“Nyi Gandasuri harap kau mendengar baik-baik. Aku hanya bicara satu kali saja. Kau tidak diperkenankan menolak atau membantah. Jika itu kau lakukan bukan saja apa yang kau inginkan tidak akan kesampaian, tetapi kau juga akan terpaksa meninggalkan tempat ini secara tidak sempurna. Entah tubuh kasarmu yang pergi entah hanya roh halusmu. Sekali lagi dengarkan baik-baik. Kau siap?”

“Saya siap Maharatu,” kata Nyi Gandasuri.

“Untuk mencapai maksud besarmu menjadi permaisuri Sri baginda, pertama sekali kau harus menyingkirkan penghalang paling dekat dalam kehidupanmu. Si penghalang adalah suamimu sendiri. Kau harus menyingkirkan Pangeran Sampurno. Dengan kata lain kau harus membunuhnya!”

Sampai di situ Maharatu Langit Darah hentikan ucapannya dan juga langkah kakinya. Dia melirik pada Nyi Gandasuri dan melihat wajah perempuan muda itu menjadi pucat.

“Kau hendak mengatakan sesuatu Nyi Gandasuri?”

“Bisakah pembunuhan itu diserahkan dan dilakukan oleh orang lain?”

Maharatu menyeringai. “Yang punya keinginan untuk jadi istri Raja adalah kau, bukan orang lain! Jadi pertanyaanmu adalah pertanyaan tolol!” si nenek cemberut sesaat. Lalu dia meneruskan. “Kematian suamimu akan menjadi berita besar di seantero Kerajaan. Akan sampai ke telinga Sri Baginda. Kau akan mendapatkan perhatian dari padanya. Bukan saja karena kau janda dari adiknya tetapi juga karena kau memiliki kecantikan dan kebagusan tubuh yang tidak ada tandingnya di Kerajaan. Ada sesuatu yang ingin kau tanyakan?”

Nyi Gandasuri menggeleng.

“Selanjutnya kau harus menyingkirkan penghalang kedua dan ketiga. Yaitu kakak lelaki dan kakak perempuan Pangeran Sampurno. Setelah itu kau lakukan, giliranmu untuk menyingkirkan penghalang berikutnya yakni Permaisuri dan istri kedua Sri baginda. Kau bersedia melakukan hal itu?”

“Saya bersedia Maharatu. Hanya saja saya ingin petunjuk bagaimana saya dapat melakukannya. Mereka semua calon korban itu adalah orang-orang penting yang dikelilingi oleh banyak pengawal…”

“Dengan ilmu yang akan kami berikan padamu, kau sangat mudah bisa membunuh semua orang itu. kau tidak memerlukan senjata apapun. Tidak pisau, golok atau pedang, bahkan racunpun tidak! Kau akan membunuh mereka dengan jelan menyedot darah mereka dari ubun-ubun masing-masing!”

Terkejutlah Nyi Gandasuri mendengar hal itu. Sang Ratu dan Maharaja Langit Darah justru tertawa mengekeh.

“Bagaimana mungkin saya melakukan hal itu Maharatu?”

“Mengapa kau harus bertanya begitu? Bukankah aku sudah bilang tadi. Dengan ilmu yang akan kami berikan padamu, kau bisa melakukan pembunuhan itu dengan mudah…”

“Kalau begitu saya siap menunggu petunjuk selanjutnya,” kata Nyi Gandasuri pula dengan suara bergetar.

“Syarat berikutnya marupakan pelengkap yang tidak boleh kau lalaikan,” Maharatu meneruskan ucapannya. “Selama kau menjadi anggota keluarga Istana Langit Darah, setiap tiga bulan sekali kau harus mencari darah segar yang harus kau dapatkan dari korbanmu yaitu anak kecil berusia tujuh bulan ke bawah. Ketentuan itu berlaku seumur hidupmu ke anak cucu dan cicit, sampai kiamat! Jika kau atau anak keturunanmu lalai melakukannya maka kau atau mereka akan dipergunakan sebagai pengganjal tiang Istana atau penupang pohon-pohon besar di kawasan ini selama empat puluh malam! Ada yang hendak kau tanyakan Nyi Gandasuri?”

Yang ditanya saat itu berada dalam keadaan terkesiap. Dia tak mampu berpikir panjang dan langsung saja gelengkan kepala.

“Syarat selanjutnya Nyi Gandasuri… Setiap calon anggota keluarga Istana Langit Darah harus diteliti keadaan tubuhnya oleh kami berdua. Untuk itu pertama sekali kau harus ikut ke kamarku. Aku sudah tua. Mataku kurang awas. Jadi perlu waktu lama untuk melakukan pemeriksaan. Kau harus melayaniku selama satu hari satu malam…” habis berkata begitu si nenek tertawa cekikikan.

LIMA

Maharaja Langit Darah tak mau ketinggalan. Cepat-cepat dia menimpali. “Selesai dia melakukan pemeriksaan, kau akan kubawa ke tempat ku. Mungkin aku butuh waktu lebih lama dari dia. Paling tidak sekitar tiga hari tiga malam…”

Nyi Gandasuri tidak berkata apa-apa. Dia memang sudah mendengar hal atau aturan itu dari dua lelaki yaitu 114 dan 129 yang membawanya ke tempat itu. Istri Pangeran Sampurno ini kemudian digandeng tangannya oleh sang Ratu meninggalkan tempat itu. Ternyata dia dibawa melewati sebuah jalan kecil yang di kiri kanannya membentuk jurang-jurang batu tak seberapa dalam. Lapat-lapat Nyi Gandasuri mendengar suara orang melolong, menjerit-jerit. Laalu ada juga suara erangan.

“Buka matamu lebar-lebar. Perhatikan kiri kanan jalan!” kata Maharatu Langit Darah.

Ketika Nyi Gandasuri melakukan apa yang dikatakan si nenek, parasnya menjadi pucat. Kuduknya merinding dan langkahnya jadi terhuyung-huyung. Di sepanjang jurang sebelah kanan dilihatnya enam orang lelaki menggeletak dengan kepala ditindih batu besar. Walau kepala mereka sudah gepeng, otak dan darah berbusai keluar namun mereka tidak mati. Dari mulut keenam orang ini keluar jeritan kesakitan tiada henti. Lalu di bagian lain jurang empat lelaki tampak terbaring menelentang. Kaki masing-masing terkangkang lebar. Sebuah batu besar berwarna merah seolah-olah menyala menindih kemaluan mereka. Jerit keempat lelaki ini paling keras di antara jeritan-jeritan manusia yang tersiksa lainnya.

Karena tak kuasa menyaksikan pemandangan yang mengerikan itu Nyi Gandasuri berpaling ke kiri. Tetapi apa lacur. Justru di sepanjang jurang sebelah kiri dia melihat pemandangan yang tak kalah seramnya. Tiga orang perempuan dalam keadaan bugil diikat ke sebuah tiang. Puluhan ular menjilati sekujur tubuh mereka. Mematuk muka dan kepala serta sekujur aurat. Bahkan ada di antara binatang-binatang itu menembus masuk ke dalam mulut, lubang dubur dan lubang kemaluan mereka. Nyi Gandasuri pejamkan kedua matanya. Kalau tidak dipegang oleh Maharatu Langit Darah, perempuan ini pasti sudah roboh pingsan karena ketakutan. Kemudian didengarnya si nenek tertawa panjang.

“Mahluk apa dia sebenarnya…” kata Nyi Gandasuri dalam hati. “Di tempat seperti ini masih bisa tertawa…”

“Buka matamu Nyi Gandasuri. Kalau kau pejamkan hanya akan menambah rasa takut…”

Perlahan-lahan sambil melangkah mengikuti si nenek yang terus memegang tangannya Nyi Gandasuri membuka kedua matanya. Dia tak dapat menahan jeritan ketika dua matanya terbuka di depannya terpampang satu sosok tubuh perempuna, dipancung pada sebuah tombak besi, mulai dari ubun-ubun sampai ke dubur, kepala ke bawah kaki ke atas!

Darah mengucur dari batok kepalanya membasahi tambut lalu mengucur jatuh ke dasar jurang batu. Darah juga mengucur dari dubur dan kemaluannya. Dari mulutnya yang juga mengeluarkan darah perempuan ini mengerang perlahan, mungkin sedang sekarat.

“Semua orang yang kau lihat tengah menjalani hukuman karena kesalahan. Mereka semua adalah anggota keluarga Istana Langit Darah. Mereka disiksa demikian rupa tidak sampai menemui ajal. Berjalan terus, kau akan melihat cara kami menyiksa orang-orang bersalah lainnya…”

Nyi Gandasuri tak bisa berbuat lain. Dia melangkah terus tetapi kedua matanya tak mau lagi dibukanya. Si nenek tertawa cekikikan. Nyi Gandasuri tidak tahu entah berapa lama dia melangkahkan kakinya, seolah berhari-hari rasanya hingga akhirnya terdengar kembali suara Maharatu Langit Darah yang memegang lengannya itu.

“Kita sudah sampai di ujung jalan. Kalau tadi kau tak mau melihat manusia-manusia disiksa itu, tak jadi apa. Sekarang buka matamu…”

Perlahan-lahan Nyi Gandasuri membuka kedua matanya. Dia memandang berkeliling dengan terheran-heran. “Aneh, bagaimana tahu-tahu aku berada di tempat ini?”

Istri Pangeran Sampurno itu bertanya dalam hati. Saat itu didapatinya dirinya bersama maharatu Langit Darah berada dalam sebuah kamar sangat bagus. Sebuah ranjang tinggi terbuat dari besi berlapis kuningan berkilat terletak di tengah ruangan yang lantainya diberi alas permadani. Nyi Gandasuri tidak melihat jendela ataupun lampu namun anehnya ruangan besar itu berada dalam keadaan terang benderang.

Maharatu Langit Darah duduk di tepi ranjang. Sesaat dia menatap wajah Nyi Gandasuri lekat-lekat lalu setengah berbisik dia berkata, “Buka pakaianmu Nyi Gandasuri…”

“Saya…”

“Jangan sampai aku yang melakukannya!” Maharatu langit Darah berkata dengan senyum dikulum tetapi sepasang matanya membersit sinar merah mengancam. Mau tak mau perlahan-lahan Nyi Gandasuri membuka baju luarnya.

“Terus… terus... mengapa berhenti?! Buka semua pakaian yang menempel ditubuhmu! Jangan ada yang tersisa…”

Ny Gandasuri merasakan dadanya sesak dan tenggorokannya kering. Tangannya bergetar. Si nenek jadi tidak sabaran. Dia melompat ke hadapan Nyi Gandasuri. Dua tangannya bergerak. Sepuluh jari yang berkuku-kuku panjang merah berkelebat.

"Brettt!-Bretttt...!

Pakaian Nyi Gandasuri robek hampir disetiap bagian hingga akhirnya jatuh ke atas permadani. Perempuan muda ini menutupkan kedua tangannya ke mulut aga tidak berteriak ketika dia menyadari bahwa saat itu seluruh pakaiannya telah tanggal dari auratnya!

Maharatu Langit Darah mundur dua langkah. Kedua matanya jelalatan ke wajah dan sekujur tubuh Nyi Gandasuri. Dua orang perempuan yang sama-sama bugil itu untuk beberapa lama saling pandang.

“Wajahmu cantik… tubuhmu benar-benar sempurna. Kau memang layak jadi Permaisuri Sri Baginda. Tapi melayani diriku lebih dulu adalah kewajiban yang tak bisa kau tolak…” Si nenek bergerak mendekati Nyi Gandasuri. Kedua tangannya dikembangkan. Lalu dia merangkul tubuh istri Pangeran Sampurno itu dengan penuh nafsu.

Nyi Gandasuri jadi bergidik ketika manusia itu menempelkan wajahnya ke dadanya dengan penuh nafsu. Bibirnya bergerak liar, lidahnya menjilat-menjilat. Sebentar saja dada Nyi Gandasuri telah basah oleh darah yang keluar dari mulut Maharatu Langit Darah itu!

********************

Nyi Gandasuri terbaring letih dan pucat di atas tempat tidur. Matanya terpejam, kepalanya terasa berat.

“Nyi Gandasuri… hari ini kau bebas. Kau boleh pergi untuk mengatur segala apa yang menjadi niatmu…”

Perlahan-lahan dua mata perempuan muda itu terbuka. Ditatapnya langit-langit kamar beberapa lama. Tiba-tiba dia seperti melihat dua buah wajah di atas kamar itu. mula-mula samar. Perlahan-lahan mulai jelas. Lalu mendadak terdengar suara membentak marah.

“Kau berani melanggar pantangan! Berani memandang ke atas!” Bayangan dua wajah di langit-langit kamar serta merta lenyap. Nyi Gandasuri cepat bangkit lalu duduk nanar di tepi ranjang.

“Maafkan saya Maharatu. Sekujur badan saya terasa sakit. Kepala saya berat dan pusing. Pemandangan seperti berkunang…”

“Hemmmmm… biarlah sekali ini aku berbaik hati padamu! Seharusnya sebagai hukuman kepalamu dijadikan ganjalan salah satu tiang Istana! Lekas kenakan pakaianmu dan pergi dari sini!”

Nyi Gandasuri terkejut. Baru dia sadar kalau saat itu tubuhnya tidak tertutup selembar benangpun! Dipandanginya tubuhnya. Dia jadi merinding sendiri. Hampir seluruh badannya berwarna merah oleh darah dan luka-luka seperti bekas gigitan. Dia memandang berkeliling. Pakaiannya bergeletakan di mana-mana dalam keadaan robek. Dari pada tidak berpakaian sama sekali lebih baik mengenakan baju dan kain robek.

Sebelum dia mengenakan pakaian yang robek-robek iu Maharatu Langit Darah mengulurkan sebuah tabung kecil dari bambu. “Kau tak usah kawatir dengan darah dan gigitan di sekujur tubuhmu! Oleskan minyak ini, kau akan kembali mulus.”

Mula-mula Nyi Gandasuri agak ragu-ragu. Namun akhirnya diambilny juga tabung bambu itu. Minyak berbau harum yang ada di dalam tabung dioleskannya ke seluruh bagian tubuhnya yang bernoda darah serta ada bekas gigitan. Sungguh ajaib. Semua noda dan bekas gigitan itu lenyap seketika! Nyi Gandasuri kembalikan tabung minyak aneh itu lalu cepat-cepat mengenakan pakaiannya.

Sambil mengenakan pakaiannya perempuan muda ini mengingat-ingat apa yang telah terjadi atas dirinya. Bulu kuduknya merinding. Dalam hati dia merutuk habis-habisan. “Manusia iblis! Bagaimana mungkin ada perempuan seperti dia?! Wajah dan keadaan tubuh berlainan. Menggauli diriku yang sama perempuannya seperti dia… Mahluk jahanam! Terkutuk kau sampai hari kiamat! Kalau tidak ingat pada tujuan semula mau rasanya aku bunuh diri saat ini juga!” Begitu selesai berpakaian Nyi Gandasuri cepat melangkah ke pintu.

“Eitt! Tunggu dulu!”

Nyi Gandasuri hentikan langkahnya seraya berpaling. “Ada apa lagi Maharatu? Bukankah kau tadi memperbolehkan saya pergi…?”

“Betul. Tapi dengan muka pucat dan rambut awut-awutan seperti itu apa kau kira Maharaja Langit Darah akan suka melihatmu?”

“Apa maksudmu Maharatu?” tanya Nyi Gandasuri.

Manusia berwajah nenek tapi berbadan seperti gadis yang sedang mekar itu tertawa panjang. Dililitkannya selendang merahnya ke badan lalu berkata. “Apa kau lupa perjanjian? Setelah melayani diriku kau harus melayani Maharaja Langit Darah?!”

Langsung Nyi Gandasuri merasakan tubuhnya bergetar. Lututnya goyah. Kalau tidak berpegangan pada tiang di kepala tempat tidur mungkin dia sudah jatuh terduduk.

“Sisir rambutmu, bedaki wajahmu! Kalau Maharaja Langit Darah puas dengan pelayananmu, pasti dia bisa memepercepat semua yang menjadi keinginanmu…”

“Rasanya aku lebih baik mati saja saat ini!” batin istri Pangeran Sampurno ini menugucap seperti itu. dia memandang ke pintu.

“Kau telah melanggar peraturan satu kali Nyi Gandasuri! Ingat, aku tidak akan mengampuni dirimu sampai dua kali!”

Mau tak mau Nyi Gandasuri akhirnya berdandan juga. Selesai menyisir rambutnya didapatinya Maharatu Langit Darah tak ada lagi di tempat itu. bergegas dia menuju ke pintu dan membukanya. Begitu pintu terbuka perempuan ini hampir menjerit karena kagetnya. Di hadapannya berdiri Maharaja Langit Darah berkacak pinggang sambil sunggingkan seringai menggidikkan. Sepasang matanya menatap Nyi Gandasuri berkilat-kilat.

“Dua hari dua malam aku menunggumu! Kalau pagi ini kau tidak juga keluar pasti sudah kudobrak pintu dan kulempar keluar Maharatu itu…”

“Maharaja… Saya sangat letih. Mungkin sakit. Izinkan saya…”

Maharaja Langit Darah tertawa gelak-gelak. Air liurnya yang berwarna merah sampai bercucuran. “Jangan kawatir. Aku tahu bagaimana caranya melenyapkan keletihanmu. Bagaimana menyembuhkan penyakitmu…” Tiba-tiba Maharaja Langit Darah memeluk Nyi Gandasuri lalu penuh nafsu dikecupnya bibir perempuan itu hingga Nyi Gandasuri menggeliat ngeri dan jijik!

Maharaja Langit Darah kembali tertawa bergelak. Tiba-tiba ditangkapnya tubuh Nyi Gandasuri, digotongnya lalu dilarikannya memasuki sebuah kamar.

********************
WWW.ZHERAF.NET
ENAM

Kuda coklat yang ditunggangi Pendekar 212 Wiro Sableng berlari tersendat-sendat. Saat itu dia berada di satu pedataran yang penuh ditumbuhi alang-alang setinggi dada. Tak jauh di sebelah Timur tempat kediaman Pangeran Sampurno. Jalan kecil berbatu-batu yang membujur dari timur ke arah barat memang sulit untuk dilewati. Namun murid Sinto Gendeng ini segera maklum kalau larinya kuda yang tersendat-sendat bukan karena jalan yang kecil dan berbatu-batu.

“Kuda… jika kau mencium bahaya, hentikan larimu,” kata Wiro sambil usap leher kuda itu.

Seperti mengerti ucapan penunggangnya kuda coklat hentikan lari. Kepalanya ditundukkan menusup alang-alang. Dari mulutnya keluar suara menggembor sedang ekornya berputar-putar tak bisa diam. Wiro memandang berkeliling. Sunyi dan kelam. Ujung alang-alang kelihatan bergerak-gerak seperti ombak oleh tiupan angin. Di empat tempat gerakan alang-alang itu seperti terbelah. Murid Sinto Gendeng serta merta berlaku waspada. Telinganya tak dapat menangkap suara apa- apa namun matanya tak bisa ditipu. Belahan alang-alang di empat tempat hanya bisa terjadi kalau ada sesuatu yang bergerak.

“Mungkin binatang, mungkin juga manusia,” membatin Wiro.

“Jika manusia berarti memiliki kepandaian tinggi. Suara gerakannya tidak kedengaran. Ada empat orang. Hemmmm...”

“Kuda, ada empat mahluk hendak mencari kenal. Sebaiknya kau jangan iktu campur! Cepat lari dari sini. Ikuti terus jalan didepanmu. Tunggu aku di ujung jalan!” habis berbisik di telinga kuda, Wiro melompat turun lalu menepuk pinggul kanan binatang itu. Kuda coklat dongakkan kepalanya sesaat. Setelah itu binatang ini menghambur sepanjang jalan kecil berbatu-batu.

Dari tempat berdiri Wiro bisa melihat bahwa empat belahan di pedataran beralang-alang itu semakin menyempit dan membentuk kotak. Dan dirinya di tengah-tengah kotak itu!

“Jelas ini pekerjaan manusia-manusia bermaksud jahat!” pikir Wiro. “Mereka hendak memantekku di tengah pedataran alang-alang lalu menghantam. Cerdik juga tapi masih ada tololnya!”

Wiro segera tinggalkan jalan kecil, menyelinap ke dalam kawasan alang-alang. Di satu tempat dia berhenti dan merunduk serendah mungkin. Tenaga dalam disalurkan ke tangan yang diluruskan. Perlahan-lahan Wiro gerakkan tangan kanannya seperi orang melambai. Dari ujung-ujung jarinya melesat keluar serangkum angin. Membelah dan menggoyang alang-alang. Gerakan alang-alang seolah ada seseorang melewati mengendap-endap.

Wiro melambai terus sambil memasang telinga dan mata. Dalam hati dia berharap tipuannya ini akan berhasil. Tiba-tiba dari balik alang-alang di empat penjuru melesat keluar empat sosok hitam. Dari ketinggian sepuluh kaki empat sosok ini kemudian menukiki ke bawah, kearah ujung alang-alang yang bersibak oleh lambaian tangan Wiro. Sambil menukik mereka menghantam dengan pukulan tangan kosong.

“Mati!” Empat mulut berteriak bersamaan.

"Bummmmm!"

Empat pukulan mengandung tenaga dalam tinggi mendarat di tanah secara berbarengan. Tanah muncrat ke atas. Alang-alang terbongkar dan berhamburan keudara. Empat sosok yang barussan melepaskan pukulan melayang turun. Mereka tersentak kaget dan saling pandang.

“Tidak ada!” salah seorang di antara mereka berteriak keheranan. Tiga temannya juga merasa aneh. Apapun yang mereka hantam pasti mahluk bergerak dan hidup. Tapi mengapa mereka tidak menemukan apa-apa di tempat itu selain tanah dan alang-alang yang terbongkar?

Empat orang yang ada di tempat itu mengenakan pakaian berbentuk jubah berwarna hitam. Pada bagian dada dan punggung jubah tertera angka-angka putih yaitu 15, 16, 17 dan 18. Keempatnya memakai topi berbentuk kerucut. Pada sebelah depan topi ada gambar kelelawar bermata besar merentangkan sayap. Tampang keempat orang ini tampak ganas garang. Apalagi semuanya memelihara cambang bawuk lebat dan kumis tebal melintang.

Tak dapat memecahkan keanehan di tempat itu keempat orang ini sama-sama alihkan pandangan ke kiri dari jurusan mana tadi tampak mulai bergerak dan bersibaknya alang-alang.

“Lihat!” teriak orang yang berdiri paling depan seraya menunjuk.

“Dia masih hidup!”

“Di sana!”

“Lekas buat gerakan Jala Darah!”

Empat lelaki berjubah lalu keluarkan suitan keras. Selagi suara suitan itu masih menggema dalam udara malam, tubuh mereka sudah lebih dulu berkelebat lenyap. Di depan sana Wiro Sableng yang tadi sempat terlihat cepat bergerak. Berkelebat ke kiri lalu lenyap dalam kerapatan alang-alang. Dia jongkok mendekam sambil memasang telinga. Tidak terdengar suara apa-apa kecuali kerisik alang-alang tertiup angin malam.

“Mungkin mereka sudah pergi…” Pikir Wiro. Perlahan-lahan dia bangkit berdiri.

Tiba-tiba empat bayangan berkelebat. Tahu-tahu empat orang berpakaian hitam berada di depan belakang kiri dan kanannya. Masing-masing orang ini ulurkan tangan ke arah teman di hadapan mereka. Murid Sinto Gendeng jadi terkejut ketika menyadari bahwa saat itu empat pasang lengan berwarna merah dan basah yang saling bersilangan dengan kokoh telah menjerat lehernya.

“Berani begerak patah lehermu”

“Tanggal kepalamu!”

Dua bentakan berturut-turut menggeledek di telinga Wiro. Wiro sadar bahaya yang dihadapinya. Empat pasang lengan itu demikian kokoh menjepit lehernya hingga jika keempat orang itu serempak menggerakkan lengan mereka, lehernya bisa remuk, kepalanya benar-benar bisa copot! Inilah yang disebut gerakan Jala Darah! Untuk beberapa lamanya Wiro hanya bisa tertegak diam. Bahkan bernafaspun dia seperti hati-hati.

Sebenarnya dua tangannya bisa digerakkan untuk menghantam lawan. Tapi kalau dia tidak dapat mendahului keempat lawan yang tengah menjepit lehernya maka dia bisa celaka sendiri

Salah seorang dari empat manusia berjubah hitam berkata. “Maharaja meminta kita membawa orang ini hidup atau mati! Dari pada repot-repot mengurusi lebih baik kita tanggalkan saja kepalanya saat ini juga!”

“Tunggu dulu! Ingat pesan khusus Maharatu padaku!” kata orang berjubah di sebelah belakang. “Beliau ingin manusia satu ini dibawa hidup-hidup!”

“Di Istana Langit Darah yang berkuasa adalah Maharaja Langit Darah! Kenapa kalian harus bertengkar?! Aku setuju kita habiskan saja bangsat ini saat ini juga. Kalau tidak besok-besok dia bisa membuat kita celaka!” Orang di sebelah kanan membuka mulut.

Wiro melirik ke kanan memperhatikan orang ini sambil menyumpah dalam hati.

“Kalau begitu cepat kita lakukan sekarang!” kata orang di sebelah kiri Wiro.

“Tunggu dulu!” Wiro tiba-tiba berucap keras. “Siapa kalian?! Siapa Maharaja dan Maharatu itu?!”

“Keparat! Kau tak layak bicara atau minta apapun pada kami!”

“Aku tidak meminta. Malah mau memberi!” jawab Wiro. “Mau memberi apa?!” bentak orang di sebelah depan.

“Jika kalian mau membebaskan diriku, kalian boleh mengambil empat tail emas yang ada di kantong bajuku sebelah kiri dan sebelah kanan.”

Empat orang yang mengurung Pendekar 212 terdiam. Tapi antara mereka tampak saling pandang. “Pemuda miskin sepertimu mengaku membawa empat tail emas di saku pakaian! Puah! Kau kira bisa menipu kami?!”

“Kalau tidak percaya silahkan periksa kedua kantong bajuku!”

Empat orang bertampang garang itu jadi meragu. Mereka tidak dapat melihat kedua saku pakaian Wiro karena terlindung oleh ketinggian alang-alang. Namun mereka sudah bisa menduga-duga di sebelah mana kira-kira letak kedua kantong itu. selain itu terhadap kawan masing-masing ada rasa kurang percaya hingga saling curiga mengawasi. Masing-masing merasa kawatir ada yang berlaku curang lalu bertindak labih dulu hingga nanti ada yang tidak kebagian.

“Kenapa jadi tolol!” tiba-tiba salah seorang dari mereka berkata. “Kalaupun dia kita bunuh, emas itu tak akan kemana. Kita bagi empat. Masing-masing dapat satu tail!”

Namun keserakahan diam-diam mempengaruhi lelaki di sebelah kiri yaitu yang pada pakaiannya tertera angka 15 dan bertindak selaku pimpinan dalam rombongan yang menyergap Wiro itu. dia turunkan tangannya ke bawah. Tangan yang turun ini lalu meluncur cepat ke saku baju sebelah kiri si pemuda.

Inilah yang ditunggu Wiro. Turunnya satu lengan berarti kurangnya daya menjepit sisa lengan-lengan lainnya. Apa lagi ketiga orang itu jadi tersita perhatian mereka pada gerakan tangan teman mereka. Tanpa menyia-nyiakan kesempatan untuk selamat murid Sinto Gendeng membentak keras. Lututnya ditekuk. Tubuhnya dijatuhkan kebawah. Bersamaan dengan itu kedua tangannya bergerak memukul.

Dua orang berjubah hitam terpental lalu jatuh di antara alang-alang. Tapi segera bangkit seolah jotosan-jotosan Wiro tadi yang mengenai dada masing-masing tidak terasa apa-apa.

Sementara itu leher dan kepala Wiro walaupun selamat namun kening serta pelipisnya masih sempat terkikis dua buah lengan hingga waktu menjatuhkan diri ke bawah kepalanya sempat terpuntir dan lecet di kening serta pelipisnya!

Dua orang yang masih berada di dekat Wiro yakni yang berangka 16 dan 17 pada jubahnya hujamkan kaki untuk menendang perut serta muka sang pendekar. Tendangan mengarah perut berhasil dihindarkan Wiro dengan berguling ke samping. Sedang kaki yang menendang ke jurusan kepalanya dapat ditangkap lalu dipuntirnya kuat-kuat hingga si penendang terbanting ke tanah dan untuk beberapa lamanya terkapar nanar. Dua orang berjubah yang tadi dipukul mental saat itu telah bangkit berdiri dan kembali menyerbu.

“Gila! Pukulan tadi telak sekali! Tapi keduanya seperti tidak cidera sedikitpun! Siapa semua keparat-keparat berjubah dan bertopi aneh ini? Mengapa mereka ingin membunuhku?!”

Sementara itu tiga orang lawan kembali menyerbu. Bahkan satu lagi yang tadi terkapar nanar akibat bantingan kini sudah bangun dan ikut menyerang kembali. Lima jurus berlalu dengan cepat. Walau dikeroyok empat namun murid Sinto Gendeng masih bisa menghadapi dan berkali-kali tendangan atau jotosannya berhasil mendarat di tubuh atau muka lawan.

Akan tetapi keempat orang itu seperti memiliki ilmu kebal. Walupun muka dan tubuh juga pakaian mereka tampak babak belur sementara topi-topi mereka yang berbentuk kerucut bercampakan di tanah tetap saja mereka menyerbu kembali.

“Manusia-manusia aneh!” pikir Wiro. “Makin digebuk makin kuat!” Dia mulai berpikir untuk mengerahkan tenaga dalam dan lepaskan salah satu dari pukulan saktinya.

“Siapkan serangan Lidah Darah!” tiba-tiba orang dengan jubah berangka 15 berteriak.

Murid Sinto Gendeng cepat mengawasi. “Serangan Lidah Darah! Ilmu apa pula ini!” pikirnya.

Empat orang berjubah secara berbarengan keluarkan suitan keras. Di balik alang-alang mereka tegak rentangkan kaki. Kedua tangan diangkat ke atas. Dari mulut mereka keluar suara meracau.

“Eh, empat setan alas ini tengah meracau mantera atau mulai kesurupan…” pikir Wiro. Lalu dilihatnya dari mulut orang-orang itu mengucur keluar cairan merah. Darah! Murid Sinto Gendeng tak mau berlaku ayal. Dia segera alirkan tenaga dalam ke tangan kanan. Dia yakin keempat orang itu akan menyerangnya dengan ilmu siluman.

Empat tenggorokan keluarkan suara seperti orang mendengkur. Lalu empat mulut tiba-tiba terbuka lebar dan! Astaga! Dari keempat mulut orang itu melesat keluar lidah berbentuk aneh. Selain panjang dan berlumuran darah juga membersitkan hawa panas!

Wiro segera angkat tangannya untuk menghantam lebih dulu. Tapi cepat sekali empat lidah panjang datang menyambar. Dua lidah menyambar ke arah tenggorokan Wiro, satu menderu ke arah perut dan lidah keempat melesat ke tangan kanannya. Sebelum Wiro sempat memukul, lengannya sudah lebih dahulu digelung lidah berdarah dan panas itu! lengannya seperti disengat bara panas!

Wiro berteriak keras karena kesakitan dan juga marah! Tangan kanannya diputar demikian rupa. Sambil menahan sakit dia berhasil mencengkeram lidah yang menggelung lalu dengan cepat menyentakkannya kuat-kuat. Orang yang lidahnya dibetot tersungkur amblas masuk ke dalam alang-alang.

"Dessss!"

Lidah berdarah putus! Wiro bantingkan lidah itu ke dalam alang-alang degnan tengkuk merinding. Pada saat itulah serangan tiga buah lidah sampai. Dua mencekik lehernya dan satu menyambar perutnya. Hantaman lidah berdarah pada perutnya membuat tubuhnya terpental tapi tertahan oleh cekikan dua lidah pada lehernya. Murid Sinto Gendeng mengeluh tinggi. Lehernya serasa remuk dan kepalanya seolah tanggal.

“Tamat riwayatku!” keluh Wiro. Matanya mendelik dan lidahnya mulai terjulur. Dia coba pergunakan tangan kanannya untuk mengambil Kapak Maut Naga Geni 212 tapi tak berhasil karena potongan lidah panjang tadi sempat menggulung lengannya telah membuat lengan itu menjadi berat dan kaku. Di samping itu perutnya yang kena dihantam lidah berdarah terasa sakit bukan kepalang.

Tak ada jalan lain. Dia segera merapal ilmu kesaktian Pukulan Sinar Matahari. Hawa panas menjalar ke tangan kirinya. Tangan sampai ke lengan tampak menjadi seputih perak menyilaukan. Tidak tunggu lebih lama Wiro segera menghantam ke arah dua orang berjubah yang dua lidah mereka menjerat lehernya.

"Wussss!"

Sinar putih menyambar dahsyat. Sebelum menghantam dua orang berjubah sinar putih panas pukulan sinar matahari merambas alang-alang dan serta merta terbakar menjadi kobaran api!

Dua lidah darah yang menjerat leher Wiro meleleh musnah. Namun bekas jeratan meninggalkan tanda merah berdarah pada leher sang pendekar. Dua suitan keras melengking di udara malam. Di bawah terangnya kobaran api Wiro melihat dua sosok hitam berterbangan seperti burung raksasa di permukaan alang-alang!

Ternyata adalah dua orang berjubah hitam lainnya. Yang satu sambil melayang melesatkan lidahnya ke arah kepala Wiro. Satunya lagi tiba-tiba membuat gerakan jurngkir balik di atas alang-alang lalu tidak terduga sama sekali dia sudah berada di atas kepala Wiro. Dia adalah orang yang tadi lidahnya dibetot lepas. Ternyata kini dalam mulutnya ada lidah baru. Lidah ini menyambar ke ubun-ubun Pendekar 212. Jadi dua lidah menyerang kepala Pendekar 212 sekaligus!

Murid Sinto Gendeng tenggelamkan tubuhnya ke dalan alang-alang. Serangan lidah yang menyambar dari depan lewat di atas kepalanya. Namun yang menghantam dari atas ke arah ubun-ubunnya tak bisa dikelit. Karenanya untuk kedua kalinya Wiro lepaskan pukulan Sinar Matahari.

Jeritan orang berjubah di sebelah atas sana terdengar keras menggidikkan ketika tubuhnya dihantam pukulan sakti tiu. Tubuh itu tampak mencelat tinggi sekali dalam keadaan hangus!

Wiro cepat putar tubuhnya untuk menghantam lawan keempat. Namun orang ini sudah menyelinap ke dalam alang-alang lalu kabur cari selamat. Wiro tarik nafas lega. Dirabanya lehernya. Terasa basah. Ketika diperhatikannya tangannya, tangan itu bergelimang darah, membuatnya jadi bergidik dan juga memaki. Kobaran api semakin besar membakar alang-alang.

Wiro bergerak ke arah jalan kecil berbatu-batu. Dia segera menuju ke ujung jalan kecil di mana kudanya menunggu. Di satu tempat dia melihat dia buah benda hitam mengepulkan asap menyangsrang di alang-alang. Ketika didekati dan ditelitinya ternyata dua buah jubah hitam masing-masing berangka 16 dan 18.

“Aneh… Kenapa cuma ada pakaiannya? Mana tubuhnya?!” pikir Wiro. “tak mungkin dua keparat itu masih hidup! Kalaupun kabur mengapa jubahnya ketinggalan di sini?!”

Murid Sinto Gendeng garuk-garuk kepala karena tak dapat memecahkan keanehan itu. dia kembali ke pertengahan alang-alang tempat jatuhnya lawan ketiga yang tadi juga dihantamnya dengan pukulan Sinar Matahari. Di sini, di antara alang-alang lagi-lagi dia hanya menemukan sehelai jubah berangka 17!

Murid Sinto Gendeng gelengkan kepala. “Empat orang tadi jangan-jangan mahluk siluman. Mereka menyebut Maharaja dan Maharatu. Agaknya mereka adalah kaki tangan Maharaja dan Maharatu itu. Mereka menginginkan nyawaku. Mengapa? Mungkin ada sangkut pautnya dengan kedatanganku ke tempat Pangeran Sampurno? Jangan-jangan mereka mahluk-mahluk peliharaan sang Pangeran!”

Wiro segera tinggalkan tempat itu. di kejauhan terdengar suara kentongan di beberapa tempat. Pertanda penduduk di sekitar situ telah melihat kobaran api yang membakar pedataran alang-alang. Ketika sampai di ujung jalan Wiro tidak menemukan kuda coklatnya.

“Sialan! Binatang itu pasti sudah kabur entah kamana!” katanya. Dia memandang berkeliing masih berusaha mencari-cari. Di bawah sebatang pohon besar tiba-tiba dia melihat sebuah benda besar hitam. Dia segera mendekati. Wiro jadi tertegun. Benda besar hitam yang dilihatnya tadi ternyata adalah sosok kuda coklatnya. Binatang ini terkapar di tanah tanpa nyawa lagi. Pada kepalanya kelihatan sebuah lobang besar yang masih mengucurkan darah!

“apa yang terjadi dengan binatang ini?!” pikir Wiro. Tengkuknya tiba-tiba menjadi dingin.

Saat itulah telinganya mendengar suara mendesir di atasnya. Dia mendongak. Sebuah benda aneh dilihatnya melayang turun dari atas pohon dengan deras. Dalam kegelapan malam sulit untuk melihat jelas benda apa itu adanya. Namun ketika benda itu hanya tinggal sepuluh jengkal dari kepalanya murid Sinto Gendeng jadi melengak kaget dan berseru keras!

********************
WWW.ZHERAF.COM
TUJUH

Ki Ageng Bantoro mendorong pintu kamar yang tidak terkunci. “Kalian tunggu disini,” katanya pada dua orang pengawal yang memapah Pangeran Sampurno Tjokro Adiningrat. Lalu dia memegang lengan kiri sang Pangeran dan membantunya masuk ke dalam kamar.

Saat itu di atas tempat tidur besar tampak terbaring tidur sesosok tubuh perempuan, membelakangi menghadap dinding. Walau nyala lampu di ruangan tidak seberapa terang namun Ki Ageng Bantoro masih bisa melihat jelas bahwa perempuan yang ada di atas tempat itdur tidak mengenakan apa-apa kecuali sehelai kain panjang yang merosot ke bawah dan hanya menutupi auratnya sampai setinggi betis.

Ki Ageng Bantoro telah sering melihat kebagusan tubuh perempuan cantik istri Pangeran Sampurno itu. Namun baru sekali ini dia melihat perempuan itu dalam keadaan polos seperti itu walaupun hanya dari belakang. Jantung orang tua ini seolah berhenti berdetak. Otak kotornya muncul membuat hatinya bicara.

“Sayang hanya dari belakang. Kalau aku bisa melihat dari depan…”

Baru saja Ki Ageng Bantoro membatin begitu tiba-tiba sosok telanjang di atas tempat tidur menggeliat lalu berbalik.

“Ki Ageng, lekas berlalu dari sini!”

Kepala pengawal itu tersentak oleh suara keras Pangeran Sampurno yang mendadak menjadi marah ketika melihat bagaimana sepsang mata orang tua yang memapahnya itu membeliak tak berkesip memperhatikan tubuh istrinya.

“Maafkan saya Pangeran,” kata Ki Ageng Bantoro pula. Pegangannya pada lengan Pangeran Sampurno dilepaskan lalu memutar tubuh dan cepat-cepat melangkah ke pintu. Di ambang pintu si orang tua berhenti. Dia coba berpaling sedikit lalu berkata.

“Cidera pada siku kanan Pangeran perlu segera mendapat perawatan. Saya akan panggilkan ahli urut dari Krasak…”

“Keluar dari kamar ini Ki Ageng! Dan jangan lupa tutup pintu itu! Aku tahu mengobati cidera sialan ini!”

Begitu didengarnya suara pitu ditutup Pangeran ini melangkah terhuyung-huyung lalu jatuhkan diri di atas tempat tidur. Perempuan yang barusan menggeliat dan membalikkan tubuh, dalam keadaan setengah tidur setengah jaga membuka kedua matanya.

“Mas Sampurno…” Perempuan itu hendak bertanya gerangan dari mana barusan adanya sang Pangeran dan mengapa menjatuhkan diri ke atas tempat tidur seperti itu. Pertanyaannya tertahan ketika dia mendengar erangan keluar dari mulut Pangeran Sampurno. Serta merta dia bangkit dan duduk di atas tempat tidur.

“Mas Sampurno ada apa dengan dirimu…? Kau demam Mas?” dengan telak tangan kirinya perempuan itu memegang kening sang Pangeran. Dia menyangka lelaki itu tiba-tiba diserang demam. Tapi kening itu bukan terasa panas melainkan dingin dan berkeringat.

“Mas…”

Pangeran Sampurno berteriak kesakitan ketika perempuan itu memegang lengan kanannya.

“Gusti Allah! Apa yang terjadi mas?!”

“Tangan kananku Nyi Ganda! Jangan dipegang!”

Istri Pangeran Sampurno itu memperhatikan tangan kanan suaminya dengan mata dibesarkan. “Memangnya ada apa dengan tangan kananmu Mas?”

“Seorang pemuda sinting muncul malam-malam buta ke tempat kita! Ketika aku keluar ternyata dia sudah betrokan dengan para pengawal. Bahkan ada yang mati akibat ulahnya!”

“Siapa pemuda itu? Perampok? Garong…?”

“Namanya Wiro Sableng. Murid seorang nenek sakti di Gunung Gede yang pernah bersahabat dengan Kerajaan...”

“Wiro Sableng…?” Mengulang sang istri dengan suara bergetar.

“Kau kenal pemuda sinting itu?” tanya Pangeran Sampurno pula.

Nyi Gandasuri menggeleng. Lalu dia berkata. “Kalau gurunya bersahabat dengan Kerajaan berarti muridnya juga menjadi sahabat Kerajaan. Lalu mengapa bentrokan dengan para pegawal, sampai membunuh segala?!”

“Manusia edan itu memuntir sambungan siku tangan kananku sampai lepas! Jahanam betul!”

Paras Nyi Gandasuri, istri Pangeran Sampurno, jadi berubah. “Sejak sore tadi sebenarnya saya sudah punya firasat kurang baik,” kata Nyi Gandasuri pula. “Rupanya inilah kejadiannya. Tapi Mas Sampurno, pasal lantaran apa pemuda yang katamu sinting itu berani mencideraimu?”

“Aku menjadi kalap ketika mulut busuknya berani memfitnah dirimu…”

“Memfitnah diri saya…? Sungguh luar biasa!Katakan apa yang diucapkannya padamu Mas Sampurno. Bahwa saya main gila dengan lelaki lain? Saya berani bersumpah…” Nyi Gandasuri tidak meneruskan ucapannya.

Sang Pangeran melihat seperti ada kilatan sinar aneh dalam mata istrinya itu. kemudian digelengkan kepalanya perlahan.

“Katakan Mas… Fitnah apa yang diucapkan pemuda bernama Wiro Sableng itu padamu.”

“Sudahlah… Ucapan seorang gila apa perlunya dipercaya.”

“Tapi Mas, saya merasa risih bahkan tidak senang kalau Mas tidak mengatakan. Orang gila tidak mungkin memfitnah sekaligus menciderai Mas Sampurno dan membunuh para pengawal… Saya minta Mas Sampurno tidak menyembunyikan apapun pada saya. Atau saya akan keluar dan menanyakan pada para pengawal. Pada Ki Ageng Bantoro. Mereka pasti ikut mendengar fitnah yang diucapkan pemuda itu…”

“Jangan. Kau tak usah keluar. Jika kau memang mau mendengar dari mulutku sendiri, baik. Akan kukatakan. Pemuda gila itu mengatakan ada seorang perempuan hendak membunuhku…”

“Seorang perempuan hendak membunuhmu?!” belalak Nyi Gandasuri. Lalu senyum lebar menyeruak di mulutnya, disusul oleh suara tertawa bergelak.

“Kalau itu dikatakannya memang benar pemuda itu sinting edan! Perempuan mana pula yang akan membunuhmu! Mungkin bekas kekasihmu di masa muda yang cemburu dan dendam karena Mas Sampurno mengambil saya jadi istri dan bukannya dia. Sungguh lucu…!”

Pangeran Sampurno terdiam sesaat. Sambungan sikunya yang tanggal mendenyut sakit hingga dia mengeluh tinggi. Nyi Gandasuri rupanya tidak lagi memperhatikan cidera yang didera suaminya melainkan ajukan pertanyaan.

“Apa lagi yang dikatakan pemuda gila itu?”

“Mmm... katanya perempuan itu seorang yang sangat dekat dengan diriku…”

“Siapa? Ibu Mas Sampurno yang sudah lumpuh itu? Nah, nah, nah! Bagaimana mungkin…”

“Dia menyebutkan sebuah nama Nyi Ganda…”

“Kalau begitu Mas Sampurno sudah tahu…” Pangeran itu mengangguk perlahan.

“Katanya perempuan itu berada dalam rumah ini. Lalu dia menyebut sebuah nama. Namamu. Jelas-jelas dia berkata bahwa seorang bernama Nyi Gandasuri yang akan membunuhku…”

Nyi Gandasuri terpekik. Tubuhnya melejang. Pangeran Sampurno melihat satu kejadian aneh. Tubuh istrinya seperti terangkat ke atas da hampir menyentuh langit-langit kamar. Lelaki ini sampai berseru melihat kejadian itu. Perlahan-lahan tubuh itu turun kembali.

“Istriku, apa yang terjadi dengan dirimu? Barusan kulihat tubuhmu melayang. Kau seperti seorang memiliki kesaktian…”

“Saya tidak memiliki ilmu kesaktian apapun Mas Sampurno. Apa yang saya dengar dari mulutmu membuat saya seperti mau meledak! Saya akan cari pemuda kurang ajar itu…”

“Ki Ageng Bantoro dan anak buahku yang lain pasti tidak tinggal diam. Biarkan mereka yang mencari manusia itu. Sekarang yang penting adalah mencari tabib atau tukang urut untuk menyambung tulang sikuku…”

“Tidak perlu…”

“Eh, apa maksudmu tidak perlu?” tanya Pangeran Sampurno yang serta merta menjadi beringas dan hendak bangkit. Dia lupa keadaan tangan kanannya. Langsung saja jeritan keluar dari mulutnya ketika dia coba mempergunakan kedua tangan untuk bertopang pada permukaan tempat tidur.

“Tidak perlu memanggil tabib atau tukang urut! Saya sanggup menolong cidera Mas Sampurno,” kata Nyi Gandasuri pula.

“Kau?” kening sang Pangeran jadi berkerut dan kedua matanya mengecil. “Kau bisa menyembuhkan tanganku yang sakit? Eh, sejak kapan kau memiliki ilmu kepandaian dalam pengobatan?”

Nyi Gandasuri tidak menjawab. Tubuhnya yang telanjang bergerak mendekati suaminya. Tangan kirinya diulurkan ke arah bahu kanan Pangeran Sampurno. Tiba-tiba tangan itu mendorong dengan keras hingga Pangeran Sampurno seperti dihenyakkan ke tempat tidur. Bersamaan dengan itu, dalam keadaan tangan kiri masih menekan bahu kanan suaminya, Nyi Gandasuri pergunakan tangan kanan untuk menarik tangan kanan Pangeran Sampurno sekuat-kuatnya.

"Trakkkkk!"

Pangeran Sampurno menjerit keras lalu tergeletak tak bergerak lagi di atas tempat tidur. Pingsan! Perlahan-lahan Nyi Gandasuri bangkit berdiri. Dia turun dari atas tempat tidur dan tegak di samping sosok suaminya. Kedua tangannya diangkat ke atas dikembangkan. Lehernya ditegakkan lalu mulutnya dibuka sedikit demi sedikit.

Tiba-tiba ada satu suara mengiang di telinganya. Nyi Gandasuri, ingat apa yang sudah kami atur. Setiap korban harus berada dalam keadaan sadar. Setiap korban harus melihat apa yang terjadi dengan dirimu dan apa yang kau lakukan! Perhatikan wajah korbanmu pada saat-saat terakhirnya menuju kematian. Darah orang yang mati dalam keadaan ketakutan lebih nikmat dari pada segala macam darah!

Perlahan-lahan Nyi Gandasuri tundukkan kepala lalu turunkan kedua tangannya. Sesaat dia menatap sosok suaminya. Lalu diambilnya sehelai baju malam berbentuk aneh berwarna hitam. Kerah jubah ini mencuat tegak ke atas, menutupi seluruh kepala bagian belakang. Tanpa suara dia melangkah ke pintu. Di pintu dia tegak sesaat.

Perlahan-lahan kedua matanya dipejamkan. Tanpa suara dia membuka pintu itu lalu melangkah keluar. Jika ada yang melihat pasti akan terheran-heran karena saat itu Nyi Gandasuri berjalan dengan mata tertutup tidak beda seperti orang berjalan dalam tidur!

Setelah apa yang terjadi di rumah besar itu sebelumnya maka Ki Ageng Bantoro telah memerintahkan anak buahnya untuk melakukan penjaggan ketat. Pada saat-saat tertentu dia sendiri ikut berkeliling guna memeriksa keadaan. Pengawal bertebaran di mana-mana. Namun anehnya mereka sama sekali tidak melihat sosok Nyi Gandasuri yang berjalan tidur itu.

Perempuan ini melangkah sepanjang teras samping kiri bangunan. Turun dari teras lalu melangkah di tanah berumput. Baru berhenti begitu diasampai di bawah sebatang pohon berdaun sangat rindang.

“Maharaja dan Maharatu, saya Nyi Gandasuri siap untuk mencari pemuda bernama Wiro Sableng itu! Kalau dia tidak segera dibunuh bisa-bisa mendatangkan bencana bagi kita! Lagi pula bukankah itu tugas yang Maharaja dan Maharatu berikan pada saat saya dilepas pergi dari Istana Langit Darah…?”

Ada sesiur angin menyambar puncak pohon di bawah mana Nyi Gandasuri berada. Lalu terdengar satu suara laki-laki. “Nyi Gandasuri, kau seorang anggota yang baik. Penuh tanggung jawab. Pemuda yang kau sebutkan namanya tadi memang sudah ditakdirkan mati di tanganmu! Menurut penglihatanku dia belum pergi jauh. Bunuh dia, bawa mayatnya ke hadapanku!”

“Ah, Maharaja sudah hadir dan mendengar rupanya,” ujar Nyi Gandasuri.

“Jika kau berhasil membawa mayatnya ke hadapanku tabungan kebajikanmu akan menjadi luar biasa besar. Kejadian itu kelak harus kita rayakan. Kau akan kuundang bersenang-senang di dalam kamarku selama satu minggu. Setelah itu aku akan membantu dengan segala cara agar kau dapat mencapai tujuanmu. Menjadi permaisuri Sri Baginda.”

“Saya menghaturkan terima kasih Maharaja. Saya minta izin untuk bertindak sekarang juga. Mencari pemuda itu, membunuhnya lalu membawanya ke hadapan Maharaja Langit Darah.”

“Bagus. Namun kau tidak perlu buru-buru. Pemuda itu tak akan lari jauh. Ketahuilah sudah sejak beberapa hari belakangan ini aku ingat dan rindu padamu. Ingin melihat wajah dan tubuhmu. Darahku menjadi panas jika mengingat-ingat saat-saat kau berada di atas ranjang bersamaku tempo hari. Sekarang, sebelum menjalankan tugas itu, aku ingin kau menghibur diriku dulu. Tanggalkan jubah hitam yang kau pakai itu. Aku bisa melihat dirimu dari tempatku berada. Biar mataku melihat auratmu yang bagus. Dengan begitu nafsu birahiku bisa terlipur…”

Nyi Gandasuri memandang berkeliling. Hatinya bimbang. Tapi akhirnya apa yang diperintahkan dilakukannya juga. Jubah hitam berleher tinggi dibukanya, dijatuhkan ke tanah.

Terdengar suara orang menarik nafas panjang. Lalu ada suara tawa cekikikan. Menyusul suara perempuan. “Nyi Gandasuri, kecantikan wajah dan tubuhmu bukan cuma untuk Maharaja Langit Darah. Tapi juga menjadi bagian Maharatu Langit darah. Kalau urusanmu dalam kamar Maharaja Langit Darah selesai kau harus mampir ke kamarku. Kau dengar itu Nyi Gandasuri?"

“Saya dengar Maharatu,” jawab Nyi Gandasuri pula. “Sekarang bolehkah saya mengenakan pakaian kembali?"

“Kau boleh pergi. Bawa mayat pemuda bernama Wiro Sableng itu ke hadapanku!” jawab suara tanpa wujud.

Nyi Gandasuri membungkuk. Terdengar suara nafas memburu. Selesai mengenakan jubah hitam berleher tinggi perempuan itu jingkatkan kedua kakinya. Sepasang tangannya diangkat ke atas. Mulutnya dibuka. Lalu dia menghembus.

"Settttt!"

Terdengar seperti suara angin berdesir. Sosok tubuh Nyi Gandasuri lenyap ditelan malam seolah amblas ke dalam tanah! Di balik serumpunan semak belukar dua orang yang sejak tadi merasakan sesak dada mereka menyaksikan apa yang terjadi untuk sesaat lamanya saling pandang tanpa bisa mengeluarkan suara. Yang satu akhirnya berkata dengan suara bergetar.

“Ki Ageng Bantoro apa yang barusan kita saksikan adalah hal luar biasa. Aneh di atas aneh. Kita harus memberi tahu Pangeran Sampurno.”

Yang diajak bicara yaitu Ki Ageng Bantoro kepala pengawal gedung kediaman Pangeran Sampurno menggeleng. “Mungkin kita harus merahasiakannya dulu sampai beberapa waktu. Aku mencium dibalik keanehan ini ada hal yang mengerikan…”

Baru saja Ki Ageng Bantoro berkata begitu tiba-tiba dari atas pohon melesat sebuah benda. Benda ini bergerak cepat sekali hingga kedua orang itu tidak bisa memastikan benda apa adanya. Kemudian terdengar dua jeritan keras. Pengawal yang ada di tempat kediaman Pangeran Sampurno jadi tercekat. Mereka masih berada di bawah pengaruh kejadian munculnya Wiro tadi. Kini terdengar dua suara jeritan yang menggidikkan.

Beramai-ramai para pengawal ini menuju pintu gerbang gedung, terus keluar ke arah sebatang pohon besar dari arah mana tadi terdengar suara jeritan. Hanya beberapa langkah dari pohon besar itu semua pengawal tersurut menggigil. Di tanah mereka melihat dua sosok tubuh terkapar dengan kepala berlumuran darah. Ubun-ubun kedua orang itu tampak berlobang besar! Jelas keduanya sudah jadi mayat. Mulut menganga mata mencelet!

********************
WWW.ZHERAF.COM
DELAPAN

Benda yang melayang turun dari atas pohon besar itu ternyata adalah potongan kepala seorang perempuan tua. Rambutnya yang panjang hitam riap-riapan menebar bau kembang di pekuburan! Wajahnya sangat putih. Sepasang alisnya mencuat tebal dan hitam. Kedua matanya memancarkan sinar kemerahan.

Di sudut-sudut bibirnya tersembul taring terbungkus cairan darah! Dari mulutnya yang terbuka dan melelehkan darah kelihatan menjorok keluar lidahnya yang berbentuk aneh. Lidah ini seolah terbuat dari besi hitam, berbentuk corong lancip dan pada ujungnya ada lobang seujung jari kelingking.

“Gusti Allah! Mahluk apa ini!” ujar Pendekar 212 dalam hati.

Kepala perempuan dengan rambut awut-awutan dan wajah mengerikan itu melesat ke arah kepala Wiro. Lidah besinya bergerak, mencari sasaran di ubun-ubun. Murid Sinto Gendeng cepat berkelebat menyingkir sambil memukul.

"Brerttt!"

Potongan kepala berputar aneh. Pukulan Wiro mengenai tempat kosong. Sebaliknya walau dia sudah berusaha menghindar dengan cepat namun lidah besi masih sempat menggaruk bahu bajunya hingga robek besar. Wiro merasakan tubuhnya jadi dingin. Dia ingat pada kudanya yang ditemuinya telah jadi mayat dengan kepala bolong.

“Jangan-jangan mahluk jahanam ini juga yang membunuh kuda itu!” pikir Wiro.

Dia merasa belum sempat menarik tangannya yang terdorong ke depan tahu-tahu potongan kepala itu membalik lalu melesat ke atas. Dari ketinggian satu tombak kepala itu menukik ke bawah. Lidah besi kembali mencari sasaran di batok kepala murid Sinto Gendeng. Gerakan serangan kepala ini sungguh luar biasa cepatnya. Untuk kedua kalinya Wiro dipaksa harus melompat mencari selamat. Setelah melompat dia jatuhkan diri di tanah lalu berguling.

Potongan kepala perempuan menyeringai. Darah berlelehan dari mulutnya. Lidah besinya bergerak-gerak. Tiba- tiba didahului oleh suara pekikan menggidikkan kepala ini kembali menyerang. Kali ini karena bukan datang dari atas, Wior punya kesempatan untuk menghantam langsung dengan jotosan tangan kanan.

"Bukkk!" Potongan kepala itu mencelat mental begitu jotosan tangan kanan Wiro menghantam pipi kirinya dengan telak.

“Pecah kepalamu! Tamat riwayatmu!” ujar Wiro seraya melompat bangkit. Tapi dia jadi melongo ketika pukulan tangan kosong yang disertai tenaga dalam itu ternyata jangankan memecahkan potongan kepala, cidera sedikitpun tidak!

Sambil keluarkan suara pekik panjang potongan kepala berputar-putar di udara. Rambutnya riap-riapan menebar cairan merah. Darah juga menyembur-nyembur dari mulutnya. Lidah besinya bergerak tiada henti. Ketika potongan kepala ini kembali melesat Wiro kerahkan seluruh tenaga dalamnya lalu menghantam dengan pukulan sakti Kunyuk Melempar Buah.

Satu gelombang angin yang amat keras, laksana batu raksasa menggelinding, menderu dahsyat kearah potongan kepala. Meski tahu dirinya terancam serangan mematikan tapi potongan kepala tak berusaha menghindar. Malah menyeringai dan memekik tinggi.

Sesaat kemudian tak ampun lagi kepala tanpa badan itu dilabrak pukulan sakti yang dilepaskan Pendekar 212. Sinar terang aneh berkiblat sewaktu potongan kepala kena ditumbuk pukulan Kunyuk Melempar Buah kepala mencelat tinggi seolah hendak menembus langit.

“Astaga!” Pendekar 212 berseru kaget dan mendadak saja tengkuknya menjadi dingin ketika sesaat kemudian seolah meluncur turun dari langit potongan kepala tahu-tahu hanya tinggal satu tombak saja di atas kepalanya.

"Wusss!"

Lidah besi mahluk kepala tanpa badan menderu tipis di samping kepala Pendekar 212. Terdengar jerit sang pendekar ketika tambut hitam yang riap-riapan mendera pipi kirinya. Murid Sinto Gendeng terbanting ke tanah. Empat buah guratan panjang disertai lelehan darah kelihatan di pipi Wiro.

“Kepala pelesit jahanam!” maki Wiro sambil mengusap pipinya yang luka. Dia berusaha bangkit. Tapi baru pantatnya lepas dari tanah potongan kepala kembali menyerangnya.

“Setan alas! Makan pencarianmu!” teriak Wiro. Kini tidak kepalang tanggung dia lepaskan pukulan sakti yang paling menggegerkan dunia persilatan yaitu Pukulan Sinar Matahari.

Sinar putih menyilaukan seolah membelah langit malam. Sinar sangat panas menerpa ke arah potongan kepala. Seperti waktu dihantam dengan pukulan Kunyuk Melempar Buah tadi, mahluk ini sama sekali tidak berusaha menghindar. Malah lidah besinya kelihatan dijulurkan lebih panjang. Lalu mulut itu meniup.

"Werrrrrr!" Darah merah dan kental menyembur dari mulut dan lobang lidah besi, menembus sinar putih pukulan sinar matahari.

"Bummmmm!" Ledakan keras menggetarkan udara dan tanah.

Wiro berseru kaget ketika darah yang disemburkan potongan kepala mampu menembus sinar pukulan saktinya. Semburan darah terus menyambar ke arah kepalanya. Kalau tidak cepat mengelak semburan darah yang kemudian berubah menjadi tetesan-tetesan darah itu amblas menembus batang pohon di dekatnya!

Begitu menyemburkan darah potongan kepala melesat lurus ke atas. Lalu selagi Wiro masih terkesiap melihat tetesan-tetesan darah menghantam pohon, potongan kepala didahului jeritan melengking melesat ke bawah. Lagi-lagi mahluk ini coba menusukkan lidah besinya di kepala Wiro. Yang diarah selalu bagian ubun-ubun.

“Edan!” maki Pendekar 212. Tanpa menunggu lebih lama dia segera cabut Kapak Maut Naga Geni 212. Cahaya sakti yang keluar dari dua mata kapak mustika ini menerangi tempat angker itu. Tapi potongan kepala tidak takut. Malah pekiknya semakin keras. Wiro menghantam.

"Wuttt!"

Sinar terang berkiblat. Suara seperti ratusan tawon mengamuk berkumandang. Kali ini kepala tanpa badan itu seperti agak jerih untuk melakukan bentrokan. Cepat-cepat dia melenceng lurus ke kiri, membelok ke kanan lalu tahu-tahu sudha berada di belakang kepala Wiro.

Pendekar 212 babatkan kapaknya seputar kepala. Sinat terang membuntal-buntal. Potongan kepala keluarkan jeritan berulang-ulang. Wiro menyangka mahluk itu ketakutan dan mungkin hendak kabur. Tapi sangkaannya meleset.

Karena tiba-tiba saja potongan kepala itu membuat gerakan-gerakan aneh yaitu membeset lurus ke kiri, lalu melesat ke kanan, membalik lurus ke depan, berputar lalu meluncu lagi lurus ke kanan, naik ke atas dan diakhiri dengan menukik ke bawah, berusaha menusukkan lidah besinya ke batok kepala sang pendekar.

“Celaka! Aku tak bia mengelak terus-terusan! Kapak Naga Geni 212 seolah tidak mampu menghadapi mahluk jahanam itu! Apalagi pukulan-pukulan sakti! Apa yang harus kulakukan!” dalam hatinya terniat untuk segera mengeluarkan batu hitam pasangan kapak mustika.

Dia hendak menggempur potongan kepala dengan semburan api sakti. Tapi pukulan matahari yang begitu panas sanggup ditahan oleh lawan, hatinya merasa ragu apakah api sakti akan sanggup menciderai. Dalam keadaan bimbang seperti itu, tidak sengaja salah satu jarinya menekan salah satu dari dua mata ukiran kepala naga yang merupakan bagian gagang dari Kapak Maut Naga Geni 212.

Mata ukiran kepala naga itu justru adalah picu untuk mengeluarkan jarum-jarum putih halus yang ada dalam rongga gagang dan merupakan senjata rahasia yang sangat berbahaya. Selama ini jarang sekali Wiro mempergunakan senjata rahasia dalam badan kapak mustika itu. Tapi ketidak sengajaan itu justru membuatnya terheran-heran karena begitu selusin jarum bertabur berkilauan di dalam gelapnya udara malam, dari mulut potongan kepala terdengar suara menggeru.

Potongan kepala ini berputar sebentar lalu melesat ke kiri. Wiro memburu. Dia acungkan senjata sakti itu sambil menekan lagi mata kepala naga. Selusin jarum putih kembali melesat keluar dari gagang kapak yaitu dari bagian mulut ukiran naga. Di sebelah sana terdengar mahluk potongan kepala menjerit aneh. Tampangnya yang angker kelihatan seperti sangat takut. Lalu potongan kepala ini berputar keras sambil melesat ke arah timur dan dalam waktu sangat cepat lenyap di kegelapan malam.

“Aneh…” Kata Wiro sambil memperhatikan senjata mustikanya. “Mahluk jahanam itu sepertinya takut pada jarum-jarum putihku. Tapi apa yang ditakutinya? Pukulan sakti dan Kapak Maut Naga Geni 212 sanggup dihadangnya. Masakan dengan jarum-jarum halus malah dia ketakutan dan kabur. Pasti ada rahasinya. Aku harus mencari kelemahannya. Bukan mustahil mahluk tadi ada sangkut pautnya dengan manusia-manusia berpeci kerucut yang menyerangku di pedataran alang-alang…” Wiro tarik nafas panjang. Otak dan suara hatinya masih terus berkerja.

“Potongan kepala itu, bisa berputar. Rambutnya dan darah yang keluar dari mulutnya merupakan senjata berbahaya. Bergerak lurus-lurus… Hem, mungkin itu salah satu kelemahannya. Aku harus berhati-hati. Bukan mustahil dia akan muncul lagi… Ah, kenapa jadi banyak mahluk aneh muncul mau membunuhku? Apa ini ada sangkut pautnya dengan tugas yang diberikan Eyang Sinto Gendeng? Memberi ingat Pangeran Sampurno bahwa istrinya akan membunuhnya? Pangeran sialan! Kalau sudah diberi tahu tidak percaya perlu apa aku susah-susah memberi ingat!”

Wiro garuk-garuk kepala dan tinggalkan tempat itu dengan mata dan telinga dipasang untuk mewaspadai keadaan sekitarnya.
********************
WWW.ZHERAF.NET
SEMBILAN

Di luar gedung besar kediaman Pangeran Sampurno Tjokro Adiningrat udara malam terasa dingin. Hujan turun rintik-rintik dan angin beritup kencang. Kalau para pengawal yang bertugas di luar saat itu merasa kedinginan maka di dalam kamar sang Pangeran dan istrinya saling rangkul di atas ranjang, asyik berhangat-hangat.

“Bagaimana keadaan tangan kananmu Mas Sampurno?” tanya sang istri.

“Aku sungguh tak percaya. Kau ternyata seorang ahli uut. Memang masih terasa linu sedikit tapi aku sudah bisa menggerakkannya tanpa rasa sakit lagi…” Jawab Pangeran Sampurno lalu mencium leher istrinya. Dia mendengar perempuan tu mengeluarkan suara lirih.

Nyi Gandasuri menggeliat lalu berkata. “Tolong lampunya dibesarkan…”

“Eh, aneh sekali ini. biasanya kau selalu bilang tak bisa tidur kalau lampu terang. Kau tak bisa terangsang kalau lampu menyala besar. Sekarang malah minta lampu dibesarkan. Memangnya ada apa istriku?” ujar Pangeran Sampurno pula.

Nyi Gandasuri tersenyum lebar. Dengan tanagn kanannya ditariknya tubuh suaminya hingga berada di atas badannya. “Saya ingin memperlihatkan sesuatu padamu. Kau sering-sering berkata saya seperti perempuan dingin. Kau lihat saja sebentar lagi. Saya akan melayani dan membahagiakan dirimu Mas Sampurno. Kau akan merasakan nikmat mulai dari kapala sampai ujung kaki…”

Pangeran Sampurno hampir tertawa membahak. Tapi ketika dilihatnya wajah istrinya yang cantik penuh kesungguhan, sambil turun dari atas tempat tidur dia berkata. “Luar biasa sekali kau malam ini Nyi Ganda. Biasanya kau selalu malu-malu walau hemm... aku tahu sebenarnya hasratmu manyala-nyala…”

Sang istri tertawa perlahan lalu bangkit dari berbaringnya. Pangeran sampurno melangkah ke tengah kamar di mana tergantung lampu minyak. Dia berjingkat untuk mencapai putaran lampu. Api lampu membesar. Kamar kini menjadi terang benderang. Lelaki itu membalik ke arah tempat tidur. Di atas tempat tidur dilihatnya Nyi Gandasuri duduk bersandar ke dinding.

Saat itu dia tidak mengenakan apa-apa lagi. Tubuhnya polos putih dan seperti memantulkan cahaya berkilat terkena sinar lampu. Dia duduk dengan kaki terkembang. Membuat semakin panas darah di tubuh sang Pangeran dan semakin membakar hasratnya yang sejak tadi mendadak jadi berkobar-kobar karena sikap dan ucapan-ucapan sang istri yang tidak seperti biasanya.

Rupanya ketika dia membesarkan nyala lampu minyak tadi dengan cepat Nyi Gandasuri telah membuka seluruh pakaian di tubuhnya. Padahal biasanya kalau tidak dia yang menanggalkan pakaian sang istri, Nyi Gandasuri lebih banyak bersikap diam saja. Dengan nafas memburu Pangeran Sampurno segera saja hendak melompat ke atas tempat tidur. Namun tiba-tiba saja gerakannya tertahan.

Di atas tempat tidur dilhatnya sang istri tersenyum aneh padanya. Bukan hal ini yang membuat Pangeran Sampurno berhenti melangkah. Melainkan oleh satu tanda merah yang tiba-tiba saja dilihatnya melingkari leher istrinya. Tanda itu semakin lama semakin besar. Lalu tanda itu berubah menjadi sebuah koyakan luka yang aneh mengerikan.

Dari luka melingkar mulai mengucur darah. Kucuran darah mengalir turun pada kedua bahunya terus membasahi sepasang payudaranya yang putih dan kencang. Dari sini darah terus mengalir ke perutnya yang polos hingga akhinya membasahi alas tempat tidur.

“Nyi Ganda!” seru Pangeran Sampurno terbelalak. “Lehermu!”

Kalau sang suami demikian kagetnya melihat apa yang terjadi tapi sang istri justru tenang-tenang saja. Malah senyum Nyi Gandasuri semakin lebar. Kedua matanya dikedip-kedipkan sedang mulutnya perlahan-lahan dibuka. Mulut itu bergerak-gerak seperti hendak mengatakan sesuatu. Tapi dari mulut itu sama sekali tidak keluar sepotong suarapun.

Malah kini yang keluar adalah lidah merahnya. Lidah itu dijulur-julurkan dan diputar-putarnya demikian rupa. Kalau saja tidak ada luka aneh di selingkar lehernya pastilah Pangeran Sampurno akan terangsang hebat dan mengecup mulut serta lidah istrinya itu.

“Nyi Ganda, apakah kau tidak mendengar ucapanku tadi? Lehermu! Ada luka melingkar. Ada darah menetes…! Pegang lehermu, lihat dada dan perutmu!”

Nyi Gandasuri tidak menjawab. Matanya memandang tak berkesip pada suaminya. Sang Pangeran tiba-tiba saja menyadari bahwa dua mata istrinya telah berubah kemerah-merahan. Lalu wajahnya yang cantik menjadi sangat pucat.

“Istriku, apa sebenarnya yang terjadi dengan dirimu! Ya Tuhan! Nyi Ganda!” Pangeran Sampurno maju dua langkah. Tapi tepat di pinggiran tempat tidur kembali langkahnya tertahan dan matanya membelalak. Sang istri menyeringai. Lalu. Astaga! Sedikit demi sedikit dari sudut bibir Nyi Gandasuri sebelah atas muncul keluar sepasang taring besar runcing mengerikan.

“Gusti Allah!” seru Pangeran Sampurno. Dia mundur dengan sekujur tubuh bergidik. Lidah istrinya yang terjulur merah tiba-tiba berubah warna dan bentuk. Lidah yang tadinya bergerak-gerak lentur sekarang tampak kaku keras seprti besi. Bagian ujungnya meruncing. Dan pada ujung yang runcing itu ada sebuah lobang!

“Nyi Ganda...!” Suara Pangeran Sampurno bergetar. Kembali dia membuat langkah mundur.

Di atas tempat tidur Nyi Gandasuri menyeringai. Mulutnya seperti menghembus. Dari lidah besi berbentuk corong yang keluar bukannya angin tetapi darah merah kental!

“Pangeran suamiku… Mengapa takut? Bukankah kita akan bersenang-senang. Aku akan membahagiakanmu Mas Sampurno…” Tubuh polos di atas tempat tidur kini berjongkok lalu beringsut ke pinggir. “Mas Sampurno…”

“Nyi Ganda. Jadi... sebenarnya kau manusia jejadian…!”

“Aku manusia biasa. Istrimu… Hik hik hik!” Nyi Gandasuri tertawa tinggi. Tiba-tiba bagian leher di bawah dagu tepat di bagian luka melingkar, melesat ke atas!

Pangeran Sampurno berteriak melihat kepala yang tanggal dari leher itu melayan ke atas sementara bagian tubuh yang telanjang masih berjongkok di tepi tempat tidur. “Demi Tuhan Nyi Ganda! Mengapa kau bisa jadi begini?!” teriak Pangeran Sampurno.

Lalu ketakutannya jadi berlipat ganda sewaktu dilihatnya bagaimana muka cantik tapi pucat itu perlahan-lahan berubah menjadi wajah tua keriputan. Wajah seorang nenek yang menyeramkan. Pangeran Sampurno putus nyalinya. Dia lari ke pintu. Tapi kalah cepat. Potongan kepala iblis Nyi Gandasuri menukik ke arah batok kepalanya. Teriak sang Pangeran terpotong.

"Crasss!"

Ubun-ubun Pangeran Sampurno jebol. Sepasang mata merah membelalak besar. Muka nenek yang menyeramkan itu menyeringai. Lalu terdengar suara seperti air menggelegak ketika potongan kepala itu menyedot dengan lidah besinya. Darah membasahi kepala dan muka Pangeran Sampurno.

Di pintu tiba-tiba terdengar suara ketukan-ketukan keras. Disertai suara orang berseru. “Pangeran! Pangeran Sampurno! Ada apa di dalam sana?! Kami mendengar suara jeritan!”

Itu adalah suara seorang pengawal yang bertugas di bagian dalam ruah besar kediaman sang Pangeran. Karena tak ada jawaban dari dalam kawan di sebelahnya berkata,

“Buka paksa saja…”

Pintu dibuka paksa. Dua pengawal melompat masuk ke dalam kamar yang terang benderang itu. Satu memegang tombak, satunya menghunus golok. Lalu mendadak saja keduanya menjadi kaku ketakutan ketika menyaksikan apa yang terjadi di dalam kamar besar itu.

Pangeran Sampurno terkapar di lantai kamar. Mukanya tertutup darah dan di kepalanya ada sebuah lobang besar mengerikan. Di atas tempat tidur ada satu sosok tubuh perempuan telanjang tapi tanpa kepala. Dari lehernya yang kutung ada cairan darah seperti mendidih lalu mengalir membasahi tubuhnya. Lalu di mana kepalanya, pikir kedua pengawal di dalam kamar.

Tiba-tiba terdengar suara tawa cekikikan. Nyawa dua pengawal seperti terbang ketika mereka mendongak ke atas. Di salah satu sudut langit-langit kamar mereka melihat potongan kepala berambut riap-riapan, bermuka nenek menyeramkan dan mulutnya memiliki lidah aneh berlumuran darah.

“Setan kepala!” teriak pengawal yang memegang tombak.

“Pelesit kudung!” seru temannya dengan muka pucat.

Serentak kedua orang ini menghambur ke arah pintu yang terbuka. Namun seperti ada tangan yang mendorong pintu kayu jati itu terbating keras dan tertutup. Dua pengawal tak mampu dan kelabakan berusaha membukanya. Dari sudut kamar suara cekikikan semakin mengumbar. Lalu potongan kepala itu menukik ke arah pengawal yang memegang tombak. Orang ini hanya keluarkan pekikan pendek. Tombaknya terlepas, tubuhnya roboh ke tanah. Ada lobang besar di kepalanya.

Pengawal satunya sambil menjerit ketakutan berusaha membabatkan goloknya ke arah kepala iblis Nyi Gandasuri yang datang menyerangnya. Tapi bacokannya meleset. Di lain saat terdengar jerit kematiannya. Ketika malam itu selusin pengawal masuk ke dalam kamar mereka melihat Nyi Gandasuri menangis menjerit-jerit di sudut kamar.

“Tolong… tolong…” teriaknya memelas. Lalu tubuhnya yang kini sudah tertutup pakaian itu roboh pingsan ke lantai.
********************
WWW.ZHERAF.COM
SEPULUH

Di puncak Gunung Gede seorang nenek bermuka jelek bertubuh kurus jerangkong tersentak dari tidurnya. Dia duduk di tepi balai-balai kayu beralas tikar jerami kering. Di kepalanya yang berambut jarang ada lima buah tusuk kundai terbuat dari perak. Tusuk kundai itu tidak disisipkan pada rambutnya melainkan ditancapkan di kulit kepalanya! Sepasang amta di nenek yang cekung menatap ke arah pintu gubuk kayu yang terbuka. Di luar sana kelam bukan main angin malam berhembus dingin.

“Mimpi buruk…” Si nenek berkata pada dirinya sendiri. “Jangan-jangan anak setan itu gagal menjalankan tugasnya!”

Si nenek berdiri. Sebelum keluar dari gubuk kayu diambilnya sebatang tongkat kayu yang tersandar dekat pintu. Di luar udara dinginnya bukan main. Tapi si nenek tenang saja seolah tidak merasa apa-apa. Memandang berkeliling dia hanya melihat kegelapan.

“Dimana tua bangka itu?” dia kembali bicara sendirian. “Aku mendengar suara ngoroknya tapi sosok bobroknya tidak kelihatan!”

Walaupun memegang tongkat dan tubuhnya bungkuk sekali, tapi nenek berwajah seram itu tidak pergunakan tongkat kayunya untuk membantunya berjalan. Malah tongkat kayu itu dibolang-balingkannya kian kemari. Dia melangkah ke arah sebuah batu besar dari arah mana terdengar suara orang mendengkur. Tapi begitu sampai dibelakang batu dia sama sekali tidak menemukan orang yang dicarinya itu.

“Ah! Keparat sialan tua bangka itu! Dia menipuku dengan ilmu memindahkan suara! Wong edan! Suara ngoroknyapun dipindah-pindah! Rupanya dia takut dibokong orang!” saking kesalnya si nenek ketok batu itu dengan ujung tongkat.

"Braakk!" Batu hitam atos itu gompal dan murak pada bagian yang terkena pukulan. Si nenek keluar dari balik batu. Dia memandang lagi berkeliling. Matanya membentur sosok pohon besar sejarak dua puluh langkah disebelah kirinya. Memandang ke pohon yang menghitam dalam kegelapan itu si nenek ingat pada masa belasan tahun lalu.

Ketika dia masih menggembleng muridnya di puncak Gunung Gede itu. Sang murid sering dilemparkannya ke atas pohon itu. Mukanya yang seram dan mulutnya yang perot tampak tersenyum. Lalu dia mulai melangkah ke arah pohon. Sampai di bawah pohon dia tegak berdiam sebentar. Seluruh pohon sehening di pekuburan. Malah lagi-lagi dari arah balik batu besar kembali terdengar suara orang mendengkur. Si nenek menyeringai.

“Sekali ini kau tak bisa menipuku tua bangka rongsokan!” lalu si nenek tempelkan tongkat kayunya ke batang pohon. Sesaat kemudian tongkat itu bergetar aneh. Getaran merambat ke batang pohon, menjalar ke atas. Di atas pohon di sebuah cabang besar satu sosok tubuh yang sedang tidur nyenyak tampak terguncang-guncang.

“Hai! Gempa bumi atau sudah kiamat dunia ini?! Sialan betul!” orang yang tidur terbangun langsung menyumpah. Kepalanya ditukikkan ke bawah. Lalu dia berseru. “Sinto Gendeng! Pasti kau yang usil mengganggu tidurku!”

“Tua bangka rongsokan! Kau turunlah sebentar! Aku mau bicara!” Si nenek dibawah pohon berteriak. Ternyata dia adalah si nenek sakti Eyang Sinto Gendeng, guru Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng, satu dari sedikit tokoh utama dunia persilatan pada masa itu.

“Bicara malam-malam begini?! Uh! Ada-ada saja kau ini! Apa tidak bisa menunggu sampai besok pagi?”

“Kerjamu selama satu minggu di sini tidur melulu. Apa kau kira tempatku ini tempat orang mendengkur dari pagi sampai malam sampai pagi lagi?!”

“Eh Sinto kau tahu sendiri. Kerjaku jalan melulu. Sepanjang tahun kalau dikumpulkan tidurku mungkin hanya belasan hari saja! Apa salahnya kalau sekali ini aku berleha-leha molor terus di tempat teman… Itu gunannya teman. Lagi pula aku tidur di pohon. Kau mana mungkin menyediakan ranjang bagus dan bantal empuk untukku! Ha ha ha…!”

“Sudah! Jangan bicara ngaco! Lekas turun! Atau aku yang naik ke atas sana. Menjewer telingamu dan menyeretmu ke bawah sini?!”

“Huahhhh!” Orang di atas pohon menguap lebar-lebar. Lalu dalam kegelapan malam dari atas pohon melayang turun sebuah benda. Mula-mula kelihatan sebuah caping lebar terbuat dari bambu. Di atas caping ini menyusul tampak sepasang kaki jelek keriput duduk bersila. Setelah itu baru kelihatan sosok badan dan kepala.

Orang yang melayang turun sambil duduk di atas caaping bambu itu ternyata seorang kakek berpakaian rombeng penuh tambalan seperti seorang pengemis. Rambutnya sudah putih semua. Kedua matanya dipejamkan seperti tidur. Di ketiak kirinya terkepit sebatang tongkat kayu. Di bahunya ada sebuah bantalan. Di tangan kanannya dia memegang sebuah kaleng rombeng. Sambil melayang turun dia menggoyang-goyangkan kaleng bututnya itu. maka terdengarlah suara berkerontangan yang menusuk telinga di malam buta itu.

“Berisik! Hentikan perbuatan edanmu itu atau kurampas kaleng rombengmu dan kubuang ke jurang!” si nenek mengancam sambil tekap kedua telinganya yang terasa seperti dicucuk oleh suara kerontangan kaleng.

Kakek yang melayang turun tertawa gelak-gelak. Beberapa saat lagi capingnya akan menyentuh tanah dia melompat turun. Caping disambarnya langsung diletakkan di atas kepala. Kini si kakek berhadap-hadapan dengan si nenek.

“Kau masih tidur atau bagaimana? Mengapa kedua matamu masih terus dipicingkan?” si nenek menegur.

Wajah tua di bawah caping tersenyum. “Membuka mata atau tidak apa bedanya. Tetap saja aku tidak melihat apa-apa…” jawab si kakek. Namun kedua matanya dibuka juga. Yang kelihatan hanya sepasang mata berwarna putih. Ternyata kakek ini buta kedua matanya! Sudah bisa kita duga kakek aneh ini bukan lain adalah orang sakti yang dikenal dengan nama Kakek Segala Tahu.

“Uh…! Malam-malam buta pakai pamer ilmu segala!” si nenek menceloteh kembali.

“Eh, apa maksudmu Sinto?” tanya Kakek Segala Tahu. Tangan kanannya hendak digoyangkan kembali. Tapi tidak jadi karena dia kawatir si nenek akan marah lagi.

“Tadi waktu kau turun dari atas pohon. Melompat saja kan bisa. Kenapa pakai duduk segala di atas caping! Supaya aku tahu bahwa tenaga dalam dan ilmu meringankan tubuhmu sudah selangit tembus ya?!”

Si kakek tertawa gelak-gelak. “Tua bangka tolol rongsokan sepertiku ini mau pamer ilmu kepandaian di depan tokoh dunia persilatan sepertimu mana aku berani Sinto? Tadi itu aku hanya sekedar melampiaskan rasa jengkel karena kau bangunkan sewaktu aku enak-enak tidur dan bermimpi!”

“Kau bermimpi? Sama, aku justru memanggilmu turun karena aku juga bermimpi. Apa mimpimu?” tanya Sinto Gendeng.

“Rasanya aku berada di satu puncak gunung yang indah. Ada sebuah rumah bagus seperti istana kecil. Di depan istana ada seorang cantik jelita. Berpakaian sangat tipis yang tersingkap kian kemari karena dihembuskan angin. Dia melambai-lambaikan tangannya padaku. Aku segera mendatangi. Kupikir rejeki besar nih! Eh, begitu sampai di hadapannya tiba-tiba saja gadis cantik jelita itu berubah menjadi seorang nenek-nenek peot. Dan nenek itu adalah kau!”

“Sialan keparat! Jahanam kau!” maki Sinto Gendeng panjang pendek.

Sementara Kakek Segala Tahu tertawa terkekeh-kekeh. Sambil mengusap matanya yang basah oleh air mata si kakek kemudian berkata. “Nah, malam-malam buta begini mengapa kau menyuruh aku turun dari pohon. Tadi katamu ada yang hendak kau bicarakan.”

“Betul,” jawab Sinto Gendeng walau dengan wajah masih merengut. “Aku sudah cerita padamu bahwa aku mengutus muridku si sableng bernama Wiro itu guna menemui Pangeran Sampurno Tjokro Adiningrat! Dia kutugaskan menemui Pangeran itu untuk memberi peringatan bahwa istrinya sendiri yang bernama Nyi Gandasuri ingin membunuhnya…”

”Ya, ya aku sudah dengar kau cerita begitu,” kata Kakek Segala Tahu. “Ini sebagai akibat istrinya memiliki ilmu iblis dan ingin menjadi permaisuri Sri Baginda.”

Sinto Gendeng mengangguk. “Ternyata anak setan itu gagal menyelamatkan Pangeran Sampurno…”

“Dari mana kau tahu dia gagal?” bertanya Kakek Segala Tahu.

“Barusan aku mimpi. Aku melihat anak itu jatuh ke jurang dihantam ekor buaya jadi-jadian…”

“Mati?”

“Mati sih belum. Cuma babak belur…”

“Lalu mengapa itu jadi persoalan?”

“Sialan kau! Kau tahu bagaimana hubunganku dengan Keraton. Pangeran Sampurno banyak membantu dan aku banyak berhutang budi padanya! Apa kau merasa aku tidak punya kewajiban untuk menolongnya dari bahaya maut?”

“Sinto, kalau kau sudah berusaha dan gagal itu bukan kesalahanmu. Itu berarti sudah takdir! Nah kenapa musti dipikirkan?!”

“Bukan aku memikirkan itu saja. Tapi aku juga kesal mangapa anak setan itu bisa gagal?!” ujar Sinto Gendeng.

“Tunggu dulu Sinto. Sekarang ini banyak bermunculan tokoh-tokoh aneh dalam dunia persilatan. Selain aneh tentu saja mereka membekal ilmu kepandaian tinggi. Setiap ilmu baru, apalagi ilmu hitam yang mengerahkan mahluk-mahluk halus tidak gampang menghadapinya. Mungkin ini yang terjadi dengan muridmu.”

“Hemmmm, kalau begitu tidak salah aku minta bantuanmu saat ini juga.”

“Sebagai teman yang sudah kenal puluhan tahun bantu membantu adalah jamak-jamak saja. Pertolongan apa yang bisa aku berikan?” tanya Kakek Segala Tahu.

“Kau carilah muridku itu. Dia pasti tidak jauh dari Kotaraja. Periksa apa yang terjadi. Lakukan sesuatu jika kau memang bisa menolongnya. Aku sebenarnya sudah lama bercuriga. Jangan-jangan ini semua pekerjaan seorang yang sangat membenci dan mendendam muridku itu.”

“Siapa?” tanya Kakek Segala Tahu.

“Wah, dia punya puluhan bahkan mungkin ratusan orang yang tidak suka padanya. Jika kau selidiki sendirilah!”

Kakek Segala Tahu geleng-gelengkan kepala. “Jika seorang teman meminta, maskan aku tega menampik. Apalagi teman secantikmu ini!”

“Kurang ajar kau! Pasti kau bermaksud mengejekku!” damprat si nenek.

Kakek Segala Tahu tertawa lebar. “Besok pagi aku tinggalkan tempat ini. Sekarang biar kuteruskan dulu tidurku!” habis berkata begitu si kakek gerakkan kedua kakinya.

"Wuttt!"

Tubuhnya melesat ke atas pohon. Lenyap dalam kegelapan. Tak lama kemudian terdengar suara orang mendengkur di balik batu besar sebelah sana. Eyang Sinto Gendeng cuma bisa geleng-geleng kepala lalu beranjak pula dari tempat itu.

********************
WWW.ZHERAF.COM
SEBELAS

Kematian Pangeran Sampurno tentu saja merupakan satu peristiwa mengerikan dan menggegerkan. Beberapa hari setelah jenazahnya dimakamkan, seorang utusan dari Keraton dataang menemui Nyi Gandasuri. Orang ini membawa pesan agar sang janda menghadap Sri Baginda.

Pada hari yang telah ditentukan maka datanglah Nyi Gandasuri menemui Raja. Karena ini adalah pertemuan keluarga maka para pengawal diminta pergi dan di tempat itu hanya ada Sri Baginda bersama permaisuri dan Nyi Gandasuri. Menurut Raja kematian Pangeran Sampurno yang adalah adik kandungnya sendiri bukan kematian biasa. Dia dibunuh secara kejam. Tapi dibalik kekejaman iu ada suatu keanehan.

“Pada saat suami Nyi Ajeng dibunuh, Nyi Ajeng sendiri ada dalam kamar. Mungkin Nyi Ajeng bisa menceritakan bagaimana kejadiannya atau melihat siapa pembunuhnya.”

“Saya memang berada di dalam kamar, Sri Baginda. Tapi saya sama sekali tidak melihat manusia keji pembunuh suami saya itu. semua terjadi sangat cepat. Ketika saya terbangun dari tidur saya dapati Pangeran Sampurno sudah menggeletak di lantai kamar. Di dekatnya ada dua mayat pengawal.” Begitu keterangan Nyi Ageng Gandasuri yang tentu saja dusta belaka.

“Ada laporan mengatakan bahwa Ki Ageng Bantoro, kepala pengawal gedung kediaman Dimas Sampurno serta beberapa pengawal lainnya beberapa waktu lalu juga terbunuh dengan cara sama. Kepalanya berlobang. Semua mayat putih pucat seolah darahnya sudah dikuras habis dari tubuh masing-masing!”

“Semuanya memang serba mengerikan Sri Baginda. Saya sendiri terus terang saja merasa takut sepanjang saat. Bukan mustahil saya akan menjadi korban pembunuhan pula…”

“Sri Baginda memang telah memikirkan hal itu Nyi Ageng Ganda,” kata permaisuri Wiriapujiarti dengan suara ramah tapi jelas wajahnya masam. “Karena itu Baginda juga telah memutuskan agar Nyi Ageng bisa tinggal di lingkungan Keraton… Bukan begitu Sri Baginda?” ujar permaisuri pula seraya melirik penuh arti pada Sri Baginda.

Raja bukan tidak tahu kalau permaisuri mengidap rasa cemburu. Selain jauh lebih muda Nyi Gandasuri juga berwajah lebih cantik dan berkulit lebih putih serta mulus. Setelah batuk-batuk beberapa kali Sri Baginda berkata,

“Apa yang dikatakan permaisuri memang betul. Demi keselamatanmu sebaiknya Nyi Ajeng tinggal di lingkungan Keraton. Di sini pengawalan lebih sempurna. Sebegitu jauh memang korban pembunuhan aneh ini adalah orang laki-laki semua. Tapi kami tidak mau berlaku lengah. Karena itu kami minta Nyi Ajeng tinggal di sini…”

“Saya hanya akan merepotkan keluarga Keraton saja. Rupanya memang sudah suratan nasib saya begitu. Saya menghaturkan ribuan terima kasih karena Sri Baginda dan permasiduri begitu memperhatikan saya. Jika itu titah dari Sri Baginda mana mungkin saya menolak…”

“Nyi Ajeng boleh pindah secepatnya kemari.” Kata sang Raja pula.

Keluar dari Keraton Nyi Gandasuri tersenyum-senyum seorang diri. Dia tidak menyangka bahwa segala rencaanya kelak akan berjalan lebih cepat karena Sri Baginda sendiri yang membuka peluang. Waktu bicara tadi Nyi Gandasuri bukannya tidak melihat beberapa kali Sri Baginda melemparkan senyum serta lirikan mengandung arti.

Begitu Nyi Gandasuri keluar dari ruangan pertemuan permaisuri cepat berdiri. Raja memegang lengan istrinya dan berkata, “Mengapa cepat-cepat pergi. Kita harus membicarakan dimana Nyi Gandasuri tadi layak ditempatkan…”

Permaisuri tersenyum. “Semua kamar layak baginya kecuali kamar saya. Saya ada keperluan lain jadi mohon dimaafkan tidak dapat mendampingi Baginda. Semoga Sri Baginda puas bisa menolong janda itu. Bukankah dia adik ipar Sri Baginda sendiri?”

Sri Baginda tersenyum. “Ucapan nada bicara dan raut wajahmu menyatakan kau merasa tidak senang pada adik iparku itu. Kau cemburu padanya?"

“Kalau tumbuh sekuntum bunga bagus ditaman yang telah penuh bunga, apakah bunga-bunga lainnya tidak akan merasa seperti itu? Sri Baginda tanyakan saja pada kumbang di taman…” jawab permaisuri Wiriapujiarti. Lalu permaisuri ini memutar tubuhnya dan tinggalkan ruangan itu.

Sri Baginda geleng-gelengkan kepala. “Memang benar kata orang. Perempuan berhati dan bermata tajam terhadap perempuan di sekitarnya. Jangan-jangan dia sudah tahu apa yang ada di batinku…”

Tiga hari kemudian Nyi Gandasuri pindah ke dalam lingkungan Keraton. Padanya diberikan sebuah ruangan di sayap kanan bangunan utama. Demikian besarnya ruangan ini hingga hampir merupakan satu rumah tersendiri. Memandang berkeliling Nyi Gandasuri melihat di ruangan itu ada empat buah pintu. Maka diapun berkata pada pelayan lelaki yang tegak di sebelahnya.

“Itu pintu kita masuk tadi. Lalu untuk apa ada tiga pintu lainnya?”

“Yang di sebelah kanan ujung pintu menuju serambi bangunan. Yang di sebelah kiri pintu menuju taman Keraton. Lalu pintu ketiga nanti Nyi Ajeng akan mengetahui sendiri pintu apa…”

“Pelayan, aku tak mau berteka-teki. Pikiranku sudah cukup kusut karena kematian Pangeran Sampurno. Aku minta kau mengatakan sekarang juga. Pintu apa itu!” tanya Nyi Gandasuri.

Karena tahu siapa adanya janda muda itu sang pelayan jadi takut juga. Maka diapun menerangkan. “Pintu itu khusus Nyi Ajeng. Tidak bisa dibuka dari dalam. Pada saat-saat tertentu Sri Baginda bisa saja muncul dan masuk ke sini…”

“Oh…” Nyi Gandasuri mengangguk perlahan. “Semua kamar istri dan gundik Sri Baginda ada pintu seperti itu…”

“Berapa kamar semuanya?” tanya Nyi Gandasuri pula.

“Sembilan, sepuluh dengan ini,” jawab si pelayan.

“Berarti selama ini Sri Baginda punya seorang permasuri, istri kedua dan tujuh selir,” membatin Nyi Gandasuri. “Aku tidak mau dijadikan selir yang kedelapan!”

“Saya mohon diri Nyi Ajeng Gandasuri…”

“Ya, ya… Pergilah. Kau pelayan baik. Nanti akan kusiapkan hadiah untukmu…”

“Terima kasih Nyi Ganda…” Pelayan itu lalu cepat-cepat keluar dari ruangan besar tersebut.

Dari ruangan bangunan Keraton yang bakal jadi tempat kediaman Nyi Gandasuri pelayan lelaki tadi melangkah cepat memasuki bangunan utama. Di satu lorong dia membelok ke kanan hingga mencapai satu ruangan besar yang penuh dengan berbagai barang-barang antik pusaka Keraton.

Dari sini dia melangkah lurus menuju ke kanan, memasuki sebuah ruangan kecil dan melangkah ke arah sebuah pintu yang tertutup. Dia mengetuk daun pintu tiga kali berturut-turut. Begitu mendengar suara seseorang di dalam dia segera mendorong pintu dan masuk.

Yang menunggunya diruangan itu ternyata adalah permaisuri Wiriapujiarti. Setelah memberi penghormatan si pelayan memberitahu bahwa Nyi Gandasuri telah menempati ruangan kediamannya.

“Malam ini harus kau jalankan tugasmu dengan segera. Aku tidak suka berbuat begini. Tapi Ni Loro Goalidra dukun istana telah memberi tahu dan memberi ingat bahaya besar yang dibawa janda Pangeran Sampurno itu. Salah satu dari kami harus tersingkir.”

“Saya tahu hal itu karena saya ikut mendengar sendiri dari mulut Nyi Loro Goalidra. Kesetiaan saya terhadap permasuri membuat saya akan melakukan apa saja yang permaisuri perintahkan…”

Permaisuri Wiriapujiarti melangkah kesebuah lemari kayu besar. Dari dalam lemari ini dikeluarkannya sebuah peti. Tiga dindingnya terbuat dari kayu. Dinding sebelah depan terbuat dari kawat berbentuk jaring sehingga isinya bisa terlihat dengan jelas. Di dalam peti itu melingkar seekor ular sendok berwarna hijau gelap. Binatang berbisa ini membuka gelungannya dan mengangkat kepalanya begitu peti disentuh.

“Malam ini juga kau pergi ke kamar Nyi Gandasuri. Ambil jalan khusus yang dipergunakan Sri Baginda. Lepaskan ular ini ke dalam kamarnya. Kau tak usah kawatir bakal ketahuan. Para pengawal yang bertugas malam ini adalah orang-orangku.”

“Perintah permaisuri akan saya jalankan.” Kata si pelayan pula.

Permaisuri anggukkan kepalanya sedikit. Ke dalam saku pakaian pelayang itu dimasukkannya sebuah kantong kain berisi uang. Lalu dengan cepat permaisuri tinggalkan tempat itu.

Kamar tidur baru biasanya membuat seseorang tidak dapat memejamkan mata dengan segera. Begitu yang terjadi dengan Nyi Gandasuri. Namun di samping hal itu ada pula hal lain yang membuatnya tidak dapat segera memicingkan mata. Tujuannya untuk meminta pertolongan pada Maharaja dan Maharatu Langit Darah ialah agar dapat menjadi permaisuri Raja.

Kini setelah berada di dalam Keraton dia jadi bingung sendiri. Menurut rencana yang akan dibunuhnya selanjutnya adalah kakak lelaki dan kakak perempuan Pangeran Sampurno. Setelah itu istri kedua Sri Baginda dan yang terakhir baru sang permaisuri. Tapi kini dia berada demikian dekat dengan sang permaisuri. Mengapa tidak mengambil jalan pintas saja langsung membunuh permaisuri Wiriapujiarti?

Karena memikirkan hal ini lewat tengah malam baru Nyi Gandasuri bisa memicingkan mata. Itupun setelah dia mengambil keputusan untuk menghadap Maharaja dan Maharatu Langit Darah lebih dulu sebelum bertindak.

Menjelang dini hari Keraton kelihatan tenggelam dalam kesunyian. Udara terasa dingin mencucuk. Dari dalam kamar tempat penyimpanan ular sendok, pelayan suruhan permaisuri keluar membawa peti berisi binatang maut itu. walau sudah diberi tahu bahwa semua pengawal yang bertugas malam itu adalah orang-orang permaisuri namun si pelayan tetap saja berlaku hati-hati.

Dia berhasil mencapai pintu khusus tanpa halangan apapun. Dengan hati-hati, mempergunakan kunci rahasia dia membuka pintu tanpa suara sama sekali. Namun bagaimanapun juga Nyi Gandasuri yang kini telah berubah menjadi satu mahluk tajam indera segera terbangun dari tidurnya ketika pintu didorong si pelayan dari luar.

Mula-mula Nyi Gandasuri melihat sebuah peti menyembul dari balik pintu yang terbuka itu. lalu muncul sosok si pelayan mengendap-endap. Orang ini memandang berkeliling sejenak lalu memperhatikan tempat tidur di mana Nyi Ageng terbaring tidur di balik kelambu putih berbunga-bunga. Pintu ditutupnya kembali lalu dia melangkah mendekati tempat tidur.

Setelah membuka penutup peti perlahan-lahan peti dinaikkan sejajar tepi tempat tidur. Lalu dengan hati-hati disingkapnya kelambu putih. Ketika memandang ke dalam terkejutlah pelayan ini. di atas tempat tidur sama sekali tidak ada sosok tubuh Nyi Gandasuri. Dia jadi bingung dan berpikir-pikir apakah dia telah masuk ke dalam kamar yang salah. Maka dia berbalik sedikit sambil memandang berkeliling.

Saat itulah dia melihat satu pemandangan yang mengerikan. Di sudut kamar sebelah kiri tegak sosok tubuh Nyi Gandasuri mengenakan pakaian tidur yang sangat tipis. Kedua kakinya terkembang. Kepalanya mendongak. Di lehernya kelihatan ada gurutan luka berdarah. Tiba-tiba dari bawah bibir sebelah atas mencuat keluar sebuah taring. Bersamaan dengan itu leher Nyi Gandasuri tersentak putus. Wajahnya yang cantik berubah menjadi putih, berganti dengan wajah seorang nenek-nenek menyeramkan.

Melihat kepala Nyi Gandasuri mencelat ke atas begitu rupa sementara dari bagian leher yang kutung dan masih menyatu dengan badan keluar suara seperti air mendidih, takutnya si pelayan tentu saja bukan alang kepalang. Terlebih ketika dilihatnya kepala iblis Nyi Gandasuri ang melayang di atas langit-langit kamar tiba-tiba menukik lurus ke arahnya. Di dahului oleh pekik ketakutan si pelayan lemparkan peti ular ke lantai padahal tadi sudah sempat membuka kaitan penutup pintu peti.

Ular sendok hijau meluncu keluar. Pelayan lari ke pintu. Dari atas kepala iblis Nyi Gandasuri melesat ke atas batok kepala si pelayan. Terdengar jeritan pendek. Tubuh pelayan terbanting ke lantai. Ubun-ubunnya berlobang besar. Nyawanya putus. Ular sendok yang melihat mangsa segera menyerbu mematuk tubuh si pelayan. Tapi sadar rupanya bahwa mangsanya itu sudah jadi mayat maka dia membalikkan kepala, memandang ke jurusan tubuh tanpa kepala Nyi Gandasuri yang ada di sudut kamar sebelah kiri. Binatang ini tegakkan kepalanya.

Masih dengan kepala tegak ular berbisa ini melesat ke arah tubuh di sudut kamar itu. Hanya sesaat lagi patukan ular sendok akan menghujam di paha Nyi Gandasuri tiba-tiba dari atas potongan kepala janda Pangeran Sampurno itu membeset ke bawah sambil menyemburkan darah dari lidah besinya yang berlobang. Kepala ular sendok seperti terpuntir. Mata kirinya hancur dan beberapa bagian kepalanya tampak berlobang. Binatang ini menggeliat beberapa kali.

Kesempatan ini cepat dipergunakan oleh kepala iblis Nyi Gandasuri untuk kembali ke tempat asalnya yaitu potongan leher yang masih menyatu dengan badan. Begitu kepala dan lehernya bersatu dan wajahnya kembali ke bentuk semula, maka menjeritlah Nyi Gandasuri melihat sosok ular yang menggeliat-geliat di lantai kamarnya.

Pintu kamar dari mana si pelayan menyelinap masuk terbuka lebar. Yang masuk ke dalam ternyata adalah Sri Baginda Raja sendiri. Dengan cepat dia menyambar peti yang menggeletak dekat kaki tempat tidur. Lalu dengan peti ini dihantamnya kepala binatang yang sedang menggeliat itu hingga hancur.

“Nyi Ajeng! Tenang… Tak usah menjerit lagi. Kau aman sekarang. Ceritakan apa yang terjadi…” Kata Sri Baginda begitu sampai di hadapan Nyi Gandasuri.

Dalam takutnya janda itu langsung menyusupkan kepala ke dada Sri Baginda dan merangkulnya Raja balas memeluk sambil berkata. “Aku melihat mayat seorang pelayan. Mengapa dia berada di sini…”

“Dia yang membawa ular berbisa itu. Dia bermaksud membunuh saya dengan melepas binatang itu di atas tempat tidur. Untung saya terbangun dan menghindar dengan melompat turun…”

Tanpa berpaling Raja bertanya. “Siapa yang membunuh pelayan itu?”

“Kepalanya berlobang besar. Dia menemui ajal seperti kematian aneh yang dialami Pangeran Sampurno…” Satu suara menjawab di belakang Sri Baginda yang saat itu tegak membelakangi pintu dan masih memeluki Nyi Gandasuri yang ketakutan.

Perlahan-lahan Sri Baginda lepaskan pelukannya lalu memutar tubuh. “Ni Loro Gondria,” ujar Sri Baginda ketika dia mengenali perempuan tua bungkuk yang berdiri dekat mayat si pelayan. Dia adalah dukun istana yang terkenal dengan berbagai ilmu selain ilmu pengobatan.

Sang dukun tua membungkuk. “Maafkan saya karena telah berani masuk ke kamar ini. Saya mendengar suara jeritan Nyi Ajeng. Bersama beberapa pengawal langsung mendatangi kamar ini. Saya bersyukur Sri Baginda sudah berada di sini dan Nyi Ajeng terlepas dari bahaya maut…”

“Panggilkan Patih Kerajaan. Ada persekongkolan orang-orang jahat hendak membunuh adik iparku dalam Keraton! Siapa pelakunya harus dicari dan ditangkap…”

Dukun tua itu mengiyakan sambil membungkuk. Lalu cepat-cepat dia tinggalkan kamar itu.

********************
WWW.ZHERAF.NET
WWW.ZHERAF.COM

Di kawasan berbukit-bukit di sebelah timur menjelang memasuki Kotaraja hujan mulai turun. Walau cuma rintik-rintik tapi lama-lama bisa membuat basah pakaian. Memikir sampai di sini Pendekar 212 Wiro Sableng akhirnya membawa kudanya menempuh jalan sepanjang selatan sebuah hutan belantara yang kabarnya sering dijadikan sarang bagi para penjahat yang hendak melakukan penjarahan di daerah pinggiran Kotaraja.

Di sebuah tikungan menurun Wiro memperlambat lari kudanya. Jalan yang ditempuh penuh dengan batu-batu besar. Di sebelah kanan gelap menghitam rimba belantara. Di sisi kiri ada sungai kecil yang telah mengering sejak musim kemarau silam.

Ketika hampir melewati tikungan menurun itu tiba-tiba dari atas sebatang pohon besar melayang turun sebuah benda. Menyambar ke arah Pendekar 212. Kuda yang ditunggangi Wiro meringkik keras. Murid Sinto Gendeng cepat melompat turun dan membiarkan binatang itu lari sendirian lalu berhenti di kejauhan.

"Wuutttt!"

Benda dari atas pohon kembali melesat. Wiro melompat cari selamat karena dia sudah bisa menduga apa adanya benda itu. Potongan kepala manusia dengan rambut riap-riapan yang dulu pernah menyerangnya. Karena sudah tahu kalau potongan kepala itu tidak mempan dikapak tidak mempan dihantam dengan pukulan sakti maka Wiro segera mengeluarkan Kapak Naga Geni 212.

Bukan untuk dipergunakan sebagai senjata pembacok atau pembabat melainkan untuk dipergunakan jarum rahasia yang ada di dalamnya menyerang potongan kepala! Kali ketiga potongan kepala menyerang, Wiro angkat Kapak Maut Naga Geni 212 sambil menekan salah satu dari dua mata ukiran naga yang menjadi gagang senjata. Selusin jarum putih halus menyembur dari mulut kepala naga.

"Clepp!-Clepp!-Clepp!"

Sembilan dari dua belas senjata rahasia berbentuk jarum itu menancap di wajah potongan kepala. Sampai di sini baru Wiro melihat adanya keanehan. Dulu potongan kepala itu begitu takut melihat jarum-jarumnya dan lari terbirit- birit. Kini jangankan lari, malah enak saja pentang tampang. Dan semudah itukah kini dia mampu menyarangkan jarum-jarumnya hingga menancap di muka potongan kepala iblis?

“Ada yang tidak beres!” pikir murid Sinto Gendeng. “Dulu kepala ini selalu menyerang lurus-lurus, menukik mengincar batok kepala. Kini hanya bergerak mudar mandir ke depan ke belakang. Tidak pernah menukik! Akan kucoba dengan satu pukulan sakti!”

Tidak menunggu lebih lama Wiro segera kerahkan tenaga dalam lalu menghantam potongan kepala yang masih melayang-layang di udara dengan pukulan “segulung ombak menerpa karang.”

"Wuurrrr!" Angin deras menghampar menghantam potongan kepala.

"Prakkk! Byaarrr!"

Potongan kepala hancur berantakan. Tambutnya yang riap-riapan melayang putus dan lenyap entah kemana.

“Kayu!” seru Wiro ketika melihat kenyataan bahwa potongan kepala itu ternyata hanya sebuah boneka terbuat dari kayu!. “Bangsat sial dangkalan! Siapa yang berani main-main!” Wiro memaki geram.

Sebagai jawaban terdengar suara orang tertawa gelak-gelak. Lalu ada suara kaleng berkerontangan.

“Walah! Tua bangka sialan itu rupanya!” Wiro memaki tapi tidak berani keras-keras. Sesaat kemudian dia berseru. “Kakek Segala Tahu! Buat apa masih bersembunyi! Ayo tunjukkan tampangmu!”

Sambil tersenyum-senyum dan kerontangkan kaleng rombengnya orang tua yang disebut dengan julukan Kakek Segala Tahu itu melayang turun dari atas pohon. “Gerakanmu sudah mulai lamban anak muda! Kalau potongan kepala iblis sungguhan yang tadi menyerangmu pasti kau sudah celaka! Hemm…” Si kakek ulurkan kepalanya. “Kulihat ada bekas guratan-guratan luka di wajahmu. Siapa yang punya pekerjaan?”

“Siapa lagi kalau bukan kawanmu itu…!” jawab Wiro.

“Kawanku siapa?!” tanya Kakek Segala Tahu heran.

“Potongan kepala iblis!” menyahut Wiro.

Kakek Segala Tahu tertawa mengekeh.

“Kek, coba kau katakan. Apa juntrunganmu muncul di sini dan berbuat seperti anak-anak. Perlu-perlunya membuat boneka kayu segala!”

“Gurumu minta aku menemuimu.”

“Eyang Sinto Gendeng?”

Si kakek mengangguk. “Orang tua itu punya firasat kau menghadapi kesulitan.”

“Kalau kesulitan siapa yang tidak pernah menemui…”

“Gurumu tahu kau gagal menyelamatkan nyawa Pangeran Sampurno…”

Wiro garuk-garuk kepalanya. “Lalu apa yang bisa kau bantu Kek?”

“Aku sendiri tidak tahu sebelum aku mendapat keterangan darimu.”

“Seperti guru pernah mengatakan yang jadi biang bahalanya adalah perempuan bernama Nyi Gandasuri, bekas istri Pangeran Sampurno sendiri. Dia yang membunuh suaminya itu. Tapi sulit diketahui apa alasannya. Lalu beberapa waktu lalu kakak lelaki Pangeran Sampurno, adik Sri Baginda juga menemui ajal dengan cara sama seperti yang dialami Pangeran Sampurno. Setelah kejadian itu berturut-turut terbunuh pula istri kedua Sri Baginda dan adik perempuan Sri Baginda hampir menjadi korban pula jika tidak tiba- tiba pelakunya dipergoki para tokoh silat istana. Setelah itu dua tokoh silat istana jadi korban…”

Kakek Segala Tahu kerontangkan kaleng rombengnya. Dia mendongak ke langit. Matanya yang buta berputar-putar. Lalu dia berkata. “Kita tahu Nyi Gandasuri berniat membunuh suaminya. Tapi kita tidak tahu apa benar dia yang melakukannya. Jangan-jangan dia hanya kedahuluan oleh seseorang yang punya permusuhan dengan Pangeran itu…”

“Tapi Kek…”

“Tunggu dulu! Ucapanku belum selesai!” ujar Kakek Segala Tahu. Setelah menggoyang-gotangkan kalengnya beberapa kali dia melanjutkan. “Baik Pangeran Sampurno maupun korban-korban lainnya menemui ajal secara mengerikan dalam cara yang sama. Batok kepala berlobang besar, tepat di ubun-ubun. Darah disedot habis! Berarti pelakunya siapapun dia adanya adalah satu orang yang sama. Atau dari satu kelompok manusia-manusia iblis yang memiliki ilmu hitam yang sama!”

“Saya curiga sekali si pembunuh adalah Nyi Gandasuri,” ujar Wiro pula.

“Kita bisa menuduh tapi harus membuktikan. Apa kau pernah melihatnya?”

“Potongan kepala itu pernah menyerangku…”

“Kau lihat tampangnya?”

“Sekilas…”

“Wajahnya seperti wajah Nyi Gandasuri?”

Wiro menggeleng. “Yang kulihat justru wajah seorang nenek seram. Mulutnya ada taringnya. Lidahnya berbentuk corong. Seperti dari besi...”

“Pelesit kudung! Ada yang menamakan begitu berarti kelak dia akan mencari korban bayi-bayi di bawah umur satu tahun. Gila betul! Kau harus melakukan sesuatu anak muda!”

“Itu sebabnya sekarang aku tengah dalam perjalanan ke Kotaraja Keraton.”

“Untuk apa?” tanya Kakek Segala Tahu.

“Nyi Gandasuri diketahui kini tinggal dalam lingkungan Keraton.”

“Apa?!” si kakek terkejut besar.

“Sri Baginda mempunyai itikad baik untuk melindunginya. Namun ada kabar bahwa permaisuri sangat tidak berkenan. Lalu ada kabar usil bahwa Sri Baginda ingin mengambilnya menjadi istri kedua pendamping permaisuri…”

Kakek Segala Tahu mendongak ke langit. Sepasang matanya yang putih berputar-putar. Lalu dia kerontangkan kaleng bututnya. “Aku melihat sesuatu di langit. Ada bulan dilingkar awan berbentuk gelang hitam. Kerajaan dalan bahaya! Kalau sampai Sri Baginda mengambil Nyi Gandasuri menjadi istri kedua aku yakin besok-besok permaisuri akan menemui ajal pula! Penglihatanku mungkin salah. Tapi kalau begini jalan ceritanya, naga-naganya memang Nyi Gandasuri yang jadi pangkal bahala biang racun segala racun!”

“Kalau begitu adanya kau ikut aku ke Kotaraja Kek,” kata Wiro meminta.

Si kakek menyeringai. “Aku ke Kotaraja?” katanya. “Huh, aku paling benci tempat-tempat ramai seperti itu. Lagi pula aku tahu kau sanggup mengatasi semua persoalan…”

“Kau lupa kek! Kalau aku sanggup mana mungkin Eyang Sinto Gendeng memintamu mencariku!”

Kakek Segala Tahu yang merasa tersudut malah tertawa. “Siapa yang kau temui nanti di Kotaraja? Apa kau sudah punya penghubung?”

Pendekar 212 mengangguk. “Ni Loro Goalidra,” katanya menjawab.

“Hemmm… Dukun perempuan itu. Ilmu pengobatannya memang boleh. Aku tak tahu ilmu silat dan kesaktiannya. Tapi siapapun yang akan kau temui berhati-hatilah. Dalam keadaan seperti ini kau tidak tahu siapa teman siapa lawan. Siapa musuh jelas-jelasan siapa musuh dalam selimut!”

“Aku harus pergi sekarang. Aku cuma mau memberikan ini untukmu jika nanti kau berhadapan dengan musuh yang berupa potongan kepala itu!”

Dari balik pakaian rombengnya Kakek Segala Tahu mengeluarkan sesuatu lalu disodorkannya pada Wiro. Pendekar 212 segera ulurkan tangan hendak menerima benda yang diberikan namun tangannya ditarik kembali ketika dilihatnya benda apa yang hendak diberikan oleh si kakek.

“Kau bergurau atau bagaimana Kek?!” murid Sinto Gendeng jadi marah dalam jengkelnya.

“Memang kenapa? Kau tak mau menerima senjata sangat berharga ini?”

Wiro hendak memaki lagi tapi akhirnya hanya bisa tertawa gelak-gelak. “Seikat lidi tusuk satai buat apa! Kapak mustikaku saja tidak mampu menghadapinya! Pukulan saktiku juga tidak mempan! Apalagi kalau cuma lidi butut tusuk satai! Maafkan aku Kek, aku harus pergi sekarang.”

Kakek Segala Tahu gelengkan kepala. Wajahnya kelihatan sayu. Lalu terdengar dia berkata. “Terserah padamu. Mau menerima atau tidak. Tapi jika saat ini kau mau berpikir sedikit saja kelak kau tidak akan menyesal menerima tujuh batang lidi buruk ini!”

Lalu Kakek Segala Ttahu mencampakkan ikatan tujuh batang lidi itu ke tanah. Dia goyangkan kalengnya. Begitu suara berkerontangan lenyap sosoknyapun berkelebat lenyap laksana gaib.

Murid Sinto Gendeng gauk-garuk kepalanya. “Aku tak ada waktu untuk berpikir. Tapi biarlah kuambil saja tujuh batang lidi itu!”

Setelah mengambil ikatan lidi berjumlah tujuh yang panjangnya cuma sejengkal Wiro lanjutkna perjalanan. Kudanya ditemuinya tidak berapa jauh di ujung jalan dekat serumpun pohon bambu.

********************
WWW.ZHERAF.COM
DUA BELAS

Hari masih pagi ketika Wiro sampai di pintu gerbang timur Keraton. Di saat bersamaan Nyi Gandasuri sedang berjalan-jalan di taman. Dari tempat ini dia dapat melihat bagian timur Keraton termasuk pintu gerbang. Ketika dia memandang ke jurusan pintu gerbang, tak sengaja pandangannya membentur Wiro yang baru turun dari kudanya lalu menemui seorang pengawal. Pengawal ini mengatakan sesuatu pada temannya lalu si teman memberi tanda pada Wiro agar pemuda ini menunggu. Dia sendiri melangkah masuk menuju bangunan Keraton.

“Pemuda berbahaya itu. ada apa dia datang ke Keraton?” pikir Nyi Gandasuri. “Aku harus dapat membunuhnya. Kalau tidak semua urusan bisa kapiran!”

Lalu cepat-cepat dia menyelinap di balik jambangan-jambangan besar, memintas jalan pengawal tadi. Di satu tempat dia memanggil si pengawal. Meliaht siapa yang memanggil pengawal ini cepat mendatangi dan menjura hormat begitu sampai di hadapan Nyi Gandasuri.

“Ada apa Den Ayu memanggil saya?”

“Saya lihat ada seorang penunggang kuda di pintu gerbang Keraton. Siapa dia dan apa keperluannya?”

“Oh, pemuda itu maksud Den Ayu. Dia mengaku bernama Wiro. Ingin bertemu dengan dukun sakti Ni Loro Goalidra. Katanya dia sudah ada janji dengan dukun Keraton itu.”

“Hemm…” sambil bergumam Nyi Gandasuri memutar otaknya. “Memang benar. Ni Loro kemarin berpesan padaku. Jika pemuda itu datang katakan padanya bahwa Ni Loro akan menemuinya tengah malam nanti di selatan Kotaraja, di persimpangan tiga dekat Candi Somapalo. Katakan pada pemuda itu agar dia datang saja ke sana tengah malam nanti.”

“Kalau begitu kata Den Ayu akan saya sampaikan tamu muda tadi. Jadi saya tidak perlu memberi tahu Ni Loro Goalidra?”

“Tidak usah, biar aku saja nanti menemuinya. Memberi tahu tamunya pemuda bernama Wiro itu telah datang dan menunggu di tempat perjanjian tengah malam nanti,” kata Nyi Gandasuri pula sambil tersenyum manis sekali hingga si pengawal merasa berbunga-bunga hatinya.

Setelah menjura hormat dia cepat-cepat kembali ke pintu gerbang timur. Pada Pendekar 212 Wiro Sableng disampaikannya apa yang dikatakan Nyi Gandasuri. Percaya bahwa pesan yang diterimanya berasal langsung dari Ni Loro Goalidra si dukun sakti maka Pendekar 212 segera tinggalkan pintu gerbang Keraton.

********************

Candi Somapalo walaupun tidak terawat namun bangunannya msih tampak kukuh dan lima buah stupanya belum ada yang rusak. Seperti yang dipesankan oleh dukun Keraton padanya, sebelum tengah malam Pendekar 212 Wiro Sableng sudah berada di tempat itu. Namun semakin dekat pada saat pertemuan semakin muncul rasa was-was dalam diri murid Sinto Gendeng itu.

“Jangan-jangan ini jebakan saja. Gila! Bagaimana aku bisa begitu bodoh! Melihat Ni Loro Goalidra itupun aku belum pernah. Tahu-tahu nanti ada yang datang mengaku Ni Loro padahal maksudnya henak membunuhku! Aku benar-benar harus waspada…”

Wiro memandang ke langit. Bulan sabit kelihatan bagus menerangi sebagian langit malam. Angin sesekali bertiup kencang membuat bergoyang-goyang ranting dan dedaunan beberapa pohon yang tumbuh di sekitar candi. Kemudian lapat -lapat terdengar suara derap kaki kuda di kejauhan.

Tak selang berapa lama kelihatan kdau dan penunggangnya muncul. Seorang berjubah kuning, berambut putih turun dari punggung binatang itu. dia melangkah terbungkuk-bungku menuju candi. Murid Sinto Gendeng tidak segera keluar dari balik stupa besar di mana dia berlindung. Di tangga candi perempuan tua bungkuk berhenti. Dia memandang berkeliling. Lalu terdengar dia berucap.

“Pendekar 212 Wiro Sableng. Sesuai janji aku sudah datang. Mengapa kau masih bersembunyi? Aku tidak punya waktu banyak…”

Penuh waspada Wiro keluar dari balik stupa. Dia berhenti lima langkah di hadapan si nenek lalu berkata. “Orang tua, sebelumnya kita tidak pernah bertemu. Bagaimana aku tahu bahwa kau memang Ni Loro Goalidra, dukun istana?”

Si nenek tertawa lepas. Wiro memperhatikan.

“Kepercayaan adalah modal keselamatan. Jika kau tidak percaya bahwa aku adalah Ni Loro Goalidra mengapa kau masih berdiri di hadapanku? Pergi saja sana! Ternyata aku kemari hanya membuang waktu percuma saja!”

Wiro diam saja. Kedua matanya memperhatikan nenek dari kepala sampai ke kaki.

“Kalau kau tak pergi biar aku yang pergi!” Ni Loro Goalidra seperti mengancam.

“Nek, tunggu dulu…” ujar Wiro cepat. “Kau betul. Kepercayaan adalah modal keselamatan. Tapi bisa juga sebaliknya. Kepercayaan bisa jadi sumber malapetaka!”

“Eh, apa maksudmu anak muda? Kita datang ke sini mau bicara apa sebenarnya? Bicara mengenai maksudmu hendak menyingkap tabir pembunuhan oleh mahluk potongan kepala itu atau membicarakan hal yang lain?!”

Pendekar 212 Wiro Sableng tertawa lebar. Dia maju dua langkah. “Seumur hidup aku belum pernah melihat nenek-nenek memiliki deretan gigi rapi bagus dan berkilat sepertimu! Kau Nyi Loro Goalidra palsu!”

Habis berkata begitu Wiro Sableng langsung menghantam, lepaskan pukulan tangan kosong mengandung tenaga dalam tinggi. Namun sebelum serangan maut itu mencapai sasaran tiba-tiba lima bayangan hitam berkelebat memapasi. Kelimanya secara serentak sama gerakkan tangan memukul ke arah Wiro Satu persatu gelombang pukulan orang-orang ini mungkin tidak ada artinya. Tapi bergabung lima kekuatannya menjadi sangat dahsyat.

Murid Sinto Gendeng berteriak keras lalu melompat ke atas sebuah stupa. Lima penyerang memburu. Salah satu diantaranya berteriak. “Kau telah membunuh beberapa orang teman-teman kami anggota istana Langit Darah! Apa mengira saat ini bisa lolos dari kematian?!”

Karena berada di tempat yang lebih tinggi, Wiro segera mengenali siapa lima penyerang. “Mereka lagi…!” katanya dalam hati.

Lima orang itu mengenakan seragam jubah hitam yang ada angka-angkanya dipunggung dan dada. Mereka mengenakan topi berbntuk kerucut bergambar kelelawar merentangkan sayap. Mahluk-mahluk sepertiinilah yang dulu hendak membunuhnya. Wiro masih sempat mengingat salah seorang penyerangnya dulu berangka 15.

Kini orang yang sama juga ada di tempat itu. Berarti dialah yang membawa empat temannya untuk menghadang. Mereka berangka 8, 9, 11 dan 12. Lalu apa hubungan kelima orang ini dengan dukun Ni Loro Goalidra palsu?

"Mereka menyebut Istana Langit Darah. Istana apa itu? di mana letaknya?” Namun Wiro tak bisa berpikir panjang. Saat itu lima manusia berjubah telah menyerbunya kembali. Lima gelombang tenaga dalam jadi satu menghantam ke arahnya.

"Braakkkk! Byaarrrr...!"

Stupa di bawah Wiro Sableng hancur berkeping-keping. Kalau tidak cepat dia melompat paling tidak kedua kakinya akan ikut hancur. Keluarkan keringat dingin Wiro melompat ke balik stupa lima langkah di sebelah kanan dan segera saja mengeluarkan Kapak Maut Naga Geni 212. Wiro maklum kalau orang berangka 15 pada jubahnya memiliki ilmu demikian tingginya, yang berangka 8, 9, 11 dan 12 tentu memiliki kepandaian lebih tinggi.

Lima manusia berjubah segera mengurung Wiro. Tapi mereka tidak memperdekat jarak karena rupanya diam-diam mereka jerih melihat senjata yang memancarkan sinar aneh di tangan lawan. Apalagi sebelumnya si angka 15 sudah memberi tahu akan kehebatan senjata itu.

Pada saat itu dukun palsu Ni Loro Goalidra yang berdiri di belakang lima pengurung berjubah berkata. “Anak muda! Jika kau mau serahkan senjatamu itu padaku, aku akan meminta lima kawanku ini memberi ampunan pada dirimu!”

“Bangsat! Jelas aku memang sudah kena jebak! Mereka satu komplotan rupanya! Komplotan manusia-manusia dari Istana Langit Darah! Keparat!” maki Pendekar 212 dalam hati, marah dan jengkel pada kebodohannya sendiri. Wiro lalu menyeringai dan menjawab ucapan si nenek. “Aku akan serahkan senjata ini padamu kalau kau mau membuka kedok dan memberi tahu siapa kau sebenarnya!”

Si nenek tertawa tinggi. Lalu tangan kirinya bergerak ke wajahnya. Sekali tangan itu bergerak maka tanggallah topeng tipis dan rambut palsu yang menutupi kepalanya. Sambil tertawa panjang orang ini campakkan topeng itu ke lantai candi. Lalu tubuhnya diluruskan, tidak bungkuk lagi seperti tadi. Wiro sendiri saat itu jadi tertegun tak percaya. Si nenek dukun palsu itu ternyata adalah seorang perempuan muda berwajah luar biasa cantiknya!

“Siapa kau sebenarnya?!” tanya Wiro.

“Akulah Nyi Gandasuri orang yang kau cari-cari!” “Ah…!” Wiro hanya bisa keluarkan suara mendesah saking kagetnya.

Nyi Gandasuri ulurkan tanganya. Sesuai ucapanmu, kau akan serahkan senjata itu jika aku membuka kedok dan mengatakan siapa diriku! Nah tunggu apa lagi?! Serahkan senjata itu padaku…!”

Wiro gerak-gerakkan Kapak Naga Geni 212 di tangan kanannya. “Memang tadi aku berucap seperti itu. Tapi setelah tahu kalau kau adalah Nyi Gandasuri perempuan bejat pembunuh suami mana mungkin aku memberikan senjata ini padamu! Enaknya! Aku yakin kau juga pembunuh yang lain-lainnya!”

“Dasar lidah tak bertulang! Manusia curang! Kau memang layak dibunuh saat ini juga!” Nyi Gandasuri jentikkan jari-jari tangan kanannya. Lima manusia berjubah bergerak maju. Mereka tidak menghantam dengan pukulan tangan kosong. Tapi serentak kelimanya membuka mulut dan...

"Wuttt! Wuttt! Wuttt! Wuttt! Wuttt!"

Lima lidah mereka melesat keluar, panjang dan basah bergelimang darah. Sebelumnya Wiro sudah pernah kena gebuk lidah-lidah aneh dan berbahaya ini. Maka segera saja dia babatkan Kapak Maut Naga Geni 212.

Sinar terang berkiblat. Suara seperti ratusan tawon mengamuk menderu. Lalu hawa panas membuat kelima penyerang tertegun sesaat. Tiga melompat menjauhi tapi yang dua berhasil menyusup. Dua lidah basah berdarah menyambar ke arah Wiro. Satu menghantam ke arah leher, satunya lagi melesat ke arah pergelangan tangannya, rupanya sengaja hendak merampas kapak.

TIGA BELAS

Wiro merunduk cepat untuk hindari serangan lidah yang mengarah leher. Begitu lehernya terhindar dari jeratan lidah dia segera membabatkan senjatanya ke arah lidah yang coba menggelung gagang kapak. Namun di saat yang bersamaan tiga lidah lainnya ikut menyerbu. Dua di antaranya ke arah mata Pendekar 212. Yang ketiga menusuk laksana tombak ke bagian perutnya.

“Celaka!” seru Wiro. Walau sadar dia tidak mungkin mengelakkan semua serangan itu murid Sinto Gendeng kiblatkan Kapak Maut Naga Geni 212, lalu tangan kirinya lepaskan pukulan Sinar Matahari. Di saat yang sama dia membuat gerakan jurus Silat Orang Gila. Tubuhnya bergoyang keras, condong menghuyung aneh. Berturut-turut dia keluarkan jurus Ular Gila Membelit Pohon Menarik Gendewa, Dewa Topan Menggusur Gunung lalu Kilat Menyambar Puncak Gunung.

Sungguh dahsyat perlawanan mati hidup murid Sinto Gendeng kali ini. Seumur hidupnya belum pernah dia mengeluarkan semua ilmu kepandaiannya seperti itu. Manusia berjubah dengan angka 12 mencelat terjengkang. Pinggul dan paha kirinya tampak hangus! Pakaiannya mengepulkan asap. Pukulan sinar matahri menghantam telak badannya sebelah kiri. Di berteriak keras, bergulingan di lantai candi lalu tergelimpang tak berkutik. Mati!

Satu lawan roboh. Namun Pendekar 212 harus membayar mahal. Tusukan lidah yang menghantam perutnya bisa dikelit tapi secara tak terduga lidah yang sekerras bsei itu menghajar dadanya dengan telak. Wiro merasakan dadanya seperti meledak. Dari mulutnya keluar teriakan setinggi langit. Bersamaan dengan teriakan itu ikut menyembur darah.

Dalam keadaan terhuyung nanar sambil menahan sakit yang bukan kepalang, Wiro harus menghidarkan kepalanya pula dari semburan darah dua orang lawan. Ketika dia berusaha menyelamatkan diri dari serangan ini, lidah yang lain telah sempat menjerat pergelangan tangannya. Lalu menyusul lidah darah keempat menempel di badan Kapak Naga Geni 212.

"Brettt!"

Kapak Maut Naga Geni 212 terlepas dari pegangan tangan kanan Pendekar Murid Sinto Gendeng berteriak marah. Dadanya mendenyut sakit. Ditahannya sebisa mungkin. Kaki kanannya menderu ke arah selangkangan manusia berjubah berangka 9 yang barusan berhasil merampas senjata itu. orang ini meraung keras ketika anggota rahasianya hancur dimakan tendangan Wiro.

Namun sebelum roboh menemui ajalnya dia masih sempat melemparkan kapak yang berhasil dirampasnya pada temannya yaitu si jubah berangka 8, anak buah Istana Langit Darah yang paling tinggi ilmu kepandaiannya di antara mereka berlima.

“Dapat” teriak si jubah berangka 8

“Lekas tinggalkan tempat ini!” berteriak yang berangka 15 lalu berkelebat pergi.

“Kita bertemu di Istana Langit Darah!” seru orang berjubah dengan angka 11 lalu menyusul kawannya si angka 15.

Pendekar 212 melompat bangkit. Siap mengejar orang berjubah yang melarikan senjata mustikanya yaitu yang berangka 8. Namun tiba-tiba sekali seseorang menghadangnya.

Pendekar 212 jadi tertegun ketika melihat yang tegak di depannya adalah Nyi Gandasuri, perempuan cantik pembunuh suami itu. Sambil mengusap dadanya yang sakit sementara darah masih meleleh dari mulutnya pemuda ini berkata. Suaranya bergetar.

“Kecantikanmu setinggi langit. Sayang kejahatanmu sedalam lautan…”

Nyi Gandasuri tertawa tinggi. “Aku juga menyayangkan. Kalau saja kau tadi mau menyerahkan senjata secara baik-baik kau tak bakal mengalami nasib seperti ini. Hantaman lidah berdarah itu hanya sanggup kau tahan selama tiga hari. Setelah itu kau akan menghadap penguasa akhirat. Hik hik hik!”

“Perempuan iblis!” teriak Wiro. Kedua tangannya kiri kanan segera diangkat untuk melepaskan pukulan Sinar Matahari.

Nyi Gandasuri mengangkat tangannya. “Bagaimana kalau kita membuat perjanjian?”

“Perempuan jahanam! Siapa sudi membuat janji denganmu!”

“Kau belum tahu apa perjanjian itu, mengapa terlalu cepat menolak?” kata sang janda jelita pula. “Dengar, dalam waktu tidak berapa lama aku pasti akan menjadi permaisuri Sri Baginda. Aku akan mintakan jabatan tinggi untukmu di Keraton. Di samping itu secara diam-diam kita bisa menjalin hubungan sebagai kekasih. Raja tua itu apa yang bisa dibuatnya untuk menyenangkan batinku!”

“Perempuan bejat!” teriak Wiro. “Jadi itu rupanya rencana busukmu selama ini! Ingin jadi permaisuri sampai tega membunuh suami sendiri dan menjatuhkan korban pada orang-orang lain tidak berdosa!”

Nyi Gandasuri cuma tertawa. “Jadi kau menolak?”

“Kau boleh membuat perjanjian dengan setan neraka! Di sana tempatmu kelak!”

Nyi Gandasuri mendengus. Dia goyangkan bahu dan pinggulnya. Pakaian yang melekat di tubuhnya serta merta merosot ke bawah. Di lain kejap perempuan muda yang cantik jelita dan memiliki keindahan tubuh tiada duanya ini berdiri di depan Pendekar 212 dalam keadaan tidak selembar benangpun menutupi auratnya.

Murid Sinto Gendeng merasakan dadanya mendenyut sakit dan nafasnya menjadi sesak. Kedua matanya terbelalak. Lalu segala sesuatunya terjadi sangat cepat. Di leher Nyi Gandasuri kelihatan luka melingkar mengucurkan darah. Bersamaan dengan itu dari sudut-sudut mulutnya mencuat keluar sepasang taring panjang dan tajam.

"Desss!"

Kepala Nyi Gandasuri terlepas dari lehernya lalu mencelat ke udara mengeluarkan suara menggidikkan. Sementara itu bagian tubuh tanpa kepala yang telanjang tegak tak bergerak. Darah pada permukaan lehernya tampak bergejolak seperti mendidih. Sambil melayang di udara potonga kepala itu umbar tawa menggidikkan. Lalu wajahnya yang tadi cantik berubah seputih kafan untuk meudian berubah pula menjadi wajah seram seorang nenek.

“Anak muda, sudah sejak satu bulan ini aku berhasrat menyedot darah dari ubun-ubun kepalamu! Kau tak bisa lolos lagi kali ini. Tak bisa lari…!”

Potongan kepala itu membuka mulutnya leba-lebar. Lalu mencuatlah lidah aneh itu. Berbentuk corong dengan lobang di bagian runcingnya, berkekuatan sekeras besi! Di dahului suara tawa panjang potongan kepala iblis Nyi Gandasuri melayang tinggi-tinggi ke udara lalu menukik menyambar ke arah batok kepala Pendekar 212.

Wiro yang berada dalam keadaan terluka parah di sebelah dalam cepat jatuhkan diri, berguling ke balik stupa. Potongan kepala agaknya tidak mau mundur. Walaupun sasaran sudah terlindung di balik stupa batu tetap saja dia meneruskan serangan.

"Braakkk!!"

Stupa batu hancur berantakan dihantam lidah besi kepala iblis Nyi Gandasuri. Begitu hancur potongan kepala membumbung kembali ke atas lalu dari jurusan lain menukik lagi ke bawah, kearah kepala Wiro. Ketika Wiro mencoba menghindar untuk cari selamat saat itulah dua bayangan berkelebat melompat tembok candi Somapalo. Bersamaan dengan itu terdengar suara berkerontangan.

“Kakek itu! untung dia datang!” ujar Wiro. Dia menoleh ke kiri. Memang benar. Di situ dilihatnya Kakek Segala Tahu tegak sambil melintangkan tongkat di depan dada. Di sebelahnya ada seorang nenek bungkuk yang tangan kirinya memegang sebuah pendupaan yang selalu mengepulkan asap dan menebar harumnya bau setanggi. Di bahu si nenek ada sebuah buntalan besar. “Ah, nenek antik ini pasti si dukun Ni Loro Goalidra…” Menduga Wiro Sableng.

"Wuuuutt!"

Kepala iblis Nyi Gandasuri datang menyambar. Wiro tersentak kaget. Kembali jatuhkan diri seraya lepaskan pukulan sinar matahari.

"Buummmm!"

Potongan kepala mencelat kena hantaman pukulan sakti itu. namun sesaat kemudian melayang turun kembali tanpa cidera sedikitpun malah terdengar tawanya mengekeh. Rambutnya berputar seperti baling-baling lalu mulai menukik lagi untuk menyerang kepala Wiro.

“Anak tolol! Apakah kau masih menyimpan lidi tusuk satai yang kuberikan tempo hari?!” Salah satu dari dua orang yang barusan datang bertanya. Itu suara Kakek Segala Tahu.

Wiro meraba ke balik pakaiannya. Benda yang ditanyakan memang masih disimpannya. Buru-buru dikeluarkan. “Masih ada Kek. Ini!”

“Lekas lemparkan padaku!” teriak Kakek Segala Tahu tidak sabaran dan sambil menggoyang-goyangkan kaleng rombengnya.

Wiro menurut saja dan lemparkan ikatan tujuh buah lidi ke arah si kakek. Di atas sana potongan kepala iblis Nyi Gandasuri berteriak keras ketika melihat ikatan lidi itu. Kalau tadi dia bermaksud hendak menyerang Wiro maka kini kepala itu berputar lalu melenceng dan menyambar ke arah Kakek Segala Tahu yang tengah memegang ikatan tujuh lidi.

Namun kepala iblis Nyi Gandasuri terpaksa melesat ke atas ketika tiba-tiba nenek di samping Kakek Segala Tahu meniupkan pendupaannya ke arah kepala itu. Asap dan butir-butir setanggi yang membara menderu ke arah sepasang mata kepala iblis!

Selagi potongan kepala melesat ke atas Kakek Segala Tahu melompat ke hadapan tubuh telanjang tanpa kepala Nyi Gandasuri. Dengan kecepatan kilat tiga buah lidi ditusukkannya ke kutungan leher. Si kakek menusuk demikian rupa hingga tiga bagian lancip lidi mencuat di permukaan leher.

Di atas sana kepala iblis Nyi Gandasuri terdengar meraung keras. Si kakek tusukkan lagi empat lidi yang masih tersisa ke kutungan leher. Raungan kepala iblis semakin menjadi-jadi. Beberapa lamanya kepal ini melayang berputar-putar lalu turun mendekati lehernya. Tapi segera naik lagi. Begitu sampai beberapa kali.

Merasa kepalanya tak mungkin disambungkan lagi ke leher yang ditancapi tujuh lidi runcing itu, setelah keluarkan jeritan panjang mengerikan potongan kepala iblis Nyi Gandasuri melesat terbang ke arah bulan sabit yang mulai redup dan akhirnya lenyap tak kelihatan lagi di batas titik pandang.

“Hai! Kalian mau ke mana!” tana Wiro ketika melihat Kakek Segala Tahu dan si nenek sambil bergandengan tangan hendak berkelebat tinggalkan tempat itu.

“Kawanku ini sudah tidak sabar lagi!” jawab si kakek seraya kerontangkan kaleng rombengnya.

“Tak sabar mau apa? Hendak bercumbuan?!” tanya Wiro seenaknya.

“Huss! Mulutmu usil amat!” semprot Ni Loro Goalindra. “Apa kau kira tua bangka seperti kami masih pantas bercumbuan? Eh kau tahu apa yang ada dalam buntalan besar ini?”

Wiro gelengkan kepalanya.

“Bubuk bahan peledak!”

“Dia tak sabaran mau meledakkan Istana Langit Darah, sumber segala malapetaka itu!”

Wiro hanya bisa tertegak terheran-heran.

“Kau tetap di sini. Jaga tubuh tanpa kepala itu. Aku kawatir kepalanya akan kembali coba menyatukan diri!”

Si nenek dukun gelengkan kepalanya. “Sampai kiamat kepala itu tak bakal kembali. Dia tak mampu menyatukan diri dengan tubuhnya lagi karena adanya tujuh lidi yang menancap di pangkal leher!”

“Kalau begitu buat apa aku menjaganya!” kata Wiro pula.

“Sudah! Ini obat untukmu! Lekas telan supaya kau tidak mati akibat gebukan lidah darah itu!” Si nenek lemparkan sebuah benda berbentuk bulat hitam. Wiro cepat menyambuti dan langsung menelannya tanpa ragu. Ketika dia berpaling kembali dua tua bangka itu sudah lenyap dari tempat tersebut.

Wiro pegangi dadanya yang sakit. Tertatih-tatih dia melangkah mendekati sosok telanjang tubuh tanpa kepala Nyi Gandasuri. “Tubuh begini bagus. Mulus tak ada segores cacatpun! Ah, betapa sayangnya”

Entah sadar entah tidak Wiro pergunakan tangan kanannya mengusapi bagian dada tubuh polos itu. Ketika jari-jarinya hendak meluncur ke bagian perut tiba-tiba satu ledakan keras menggoncangkan candi. Dua buah stupa roboh . Dinding candi di sebelah selatan rontok. Wiro sendiri jatuh terlentang. Bersamaan degnan itu sosok tanpa kepala Nyi Gandasuri ikut jatuh menimpa dirinya. Bagian dada yang membusung jatuh tepat di wajah Pendekar 212.

“Enak ya menciumi buah dada mayat!”

Wiro tersentak. Tubuh tanpa kepala itu dilemparkannya ke samping lalu dia cepat berdiri. Di hadapannya tegak Kakek Segala Tahu sambil memegang Kapak Maut Naga Geni 212. Di samping si kakek berdiri Ni Loro Goalidra. Saking gembiranya Wiro sampai berteriak dan memeluk si kakek.

“Terima kasih Kek. Kau telah menolong mendapatkan senjata mustika ini kembali. Aku mendengar suara ledakan seperti gunung meletus. Apa yang terjadi?”

Si kakek tersenyum dan menjawab sambil tudingkan ibu jarinya pada Ni Loro Goalidra. “Tanyakan saja padanya.”

“Ah, aku cuma main-main dengan bubuk peledak. Aku sudah mengira-ngira di maan letak kawasan Istana Langit Darah. Lalu aku pasang bubuk peledak di empat penjuru. Sebelum diledakkan kuasapi dan kujampai-jampai dulu. Kutebari dengan bunga tujuh rupa. Kubacakan satu ayat suci dan aku mohon kepada Gusti Allah. Karena bagaimanapun hebat dan pandainya manusia kalau tidak ada ridho Yang Kuasa segala rencana dan perbuatannya bisa saja menemui kegagalan! Gusti Allah rupanya mendengar doaku. Aku meledakkan di dua sudut. Kakek ini dua sudut lainnya! Buummmm! Istana Langit Darah yang gaib itu benar-benar hancur berantakan. Puluhan anak buahnya bertebaran jadi bangkai. Termasuk seorang gadis yang dijadikan gendak, dipanggil dengan sebutan Maharatu Langit Darah dan memakai topeng wajah seorang nenek. Cuma sayang, Maharaja Langit Darah berhasil melarikan diri! Kurang ajar betul…”

Setelah menyumpah beitu si nenek keluarkan sebuah jubah hitam dari buntalannya. Pakaian itu ditebarnya di tanah seraya bertanya, “Kau kenal jubah ini?”

Wiro terbelalak besar ketika melihat pakaian itu. Sehelai jubah hitam bergambar gunung Merapi berwarna biru dengan latar belakang matahari berwarna merah. “Pangeran Matahari…” Desis Wiro. “Jadi manusia jahanam itu rupanya dibelakang semua kejadian ini!”

"Bretttt!" Wiro robek jubah hitam itu saking marahnya.

“Kami berdua harus pergi,” kata Ni Loro Goalidra. Lalu enaknya saja pendupaan dari tanah itu diletakkannya di atas kepalanya. Dia berpaling pada Kakek Segala Tahu dan tanpa malu-malu memegang tangan si kakek lalu menariknya pergi.

Wiro campakkan jubah hitam ke tanah. Rahangnya menggembung. Tiba-tiba ada sebuah benda melayang dari langit. Di atas tubuh tanpa kepala Nyi Gandasuri benda ini melayang. Ternyata potongan kepala perempuan iblis itu!

“Potongan kepala celaka ini kembali lagi!” kata Wiro tercekat sambil bersiap-siap dengan Kapak Maut Naga Geni 212. Dalam gelapnya malam potongan kepala masih berputar-putar. Tampaknya hendak berusaha menyatukan diri dengan lehernya. Namun tidak mungkin karena terhalang oleh tujuh buah lidi yang seolah menjadi tujuh benda sakti penangkal, keramat.

Lalu entah dari mana datangnya mendadak ada ngiangan suara di telinga Wiro. “Pendekar 212… Kalau kau mau mencabut tujuh buah lidi itu hingga kepalaku bisa menyatu dengan badan kembali, seumur hidup aku bersedia menjadi hamba sahayamu…”

“Eh, siapa yang bicara?!” tanya Wiro sambil memandang berkeliling.

“Aku, roh Nyi Gandasuri…” terdengar ngiangan menjawab.

“Kalau kau bisa hidup lagi memang enak melihat tubuhmu yang telanjang,” kata Wiro sambil tersenyum. “Hanya sayang mahluk iblis sepertimu mana bisa dipercaya. Suamimu yang Pangeran saja kau bunuh. Apalagi diriku seorang pemuda luntang lantung tak karuan juntrungan…!”

Wiro masukkan senjata mustikanya ke balik pakaian lalu tinggalkan tempat itu. Lapat-lapat di kejauhan terdengar suara perempuan meratap aneh. Wiro percepat langkahnya. Potongan kepala iblis Nyi Gandasuri berputar tiga kali lagi di atas sosok tubuhnya lalu melesat lenyap di kegelapan malam.

T A M A T

Episode Selanjutnya:
LihatTutupKomentar