Hari-Hari Terkutuk

HARI HARI TERKUTUK

SATU

BANGUNAN besar itu dari luar tampak sepi-sepi saja. Satu-satunya penerangan hanya sebuah lampu minyak yang berkelap-kelip di bawah cucuran atap dekat pintu masuk yang berada dalam keadaan tertutup. Di kejauhan terdengar suara derap kaki kuda mendatangi. Tak lama kemudian empat penunggang kuda memasuki halaman depan yang gelap.

Lelaki pertama bertubuh tinggi besar dengan wajah penuh brewok dan kumis tebal melingtang. Pakaiannya serba hitam. Keningnya diikat dengan sehelai kain hitam dan di pinggang kirinya tergantung sebilah pedang. Orang ini bernama Kebo Panaran. Dari gerak geriknya kelihatannya dia yang menjadi pemimpin dari rombongan yang baru datang ini.

Orang kedua bernama Bargas Pati, bertubuh gemuk berkepala botak plontos. Mukanya selalu berminyak. Baju dan ikat kepalanya serba merah. Di balik baju merahnya dia membekal sebuah clurit besar.

Lelaki ketiga berbadan kurus kering tapi tinggi jangkung. Kulitnya sangat pucat tidak beda mayat. Dia mengenakan pakaina dan ikat kepala warna biru. Di pinggangnya melingkar sebuah rantai besi yang rupanya menjadi senjatanya. Manusia satu ini dikenal dengan nama Tunggul Anaprang.

Orang terakhir bernama Legok Ambengan, mengenakan baju dan celana serta ikat kepala warna hijau. Tubuhnya bungkuk dan di pinggangnya kiri kanan tersisip sepasang golok pendek.

Belum sempat keempat orang ini turun dari kuda masing-masing, dari samping kiri kanan bangunan besar yang kelihatan sepi itu tiba-tiba muncul lima orang berpakaian seragam hitam dan bertubuh rata-rata tinggi besar. Kelimanya membekal golok besar di pinggangnya masing-masing.

Walau empat penunggang kuda yang dating memiliki tampang sangar namun lima orang berseragam hitam itu kelihatannya tidak menaruh rasa jerih. Malah salah seorang dari mereka sambil bertolak pinggang menegur. Namanya Ranggas.

“Kalian berempat kami lihat baru sekali ini datang kemari. Betul...?”

Empat penunggang kuda saling pandang satu sama lain lalu sama-sama menyeringai. Yang di ujung sebelah kanan yaitu Bargas Pati berkata perlahan pada kawan di sampingnya.

“Tunggul kau jawab saja pertanyaan monyet itu!”

Tunggul Anaprang lalu membuka mulut. “Kami berempat memang baru sekali ini kemari. Kenapa kau bertanya? Apa kau yang punya tempat ini?”

“ Aku dan kawan-kawan bertanggung jawab atas keamanan di tempat ini. Bagi orang-orang baru ada aturannya sendiri!” jawab orang berbaju hitam yang masih tegak sambil bertolak pinggang. “Pertama turun dari kuda masing-masing. Orang-orangku akan membawa binatang itu ke halaman belakang.”

“Hemm begitu? Bagus juga pelayanan di tempat ini,” kata Kebo Panaran. Dia memberi isyarat pada kawan-kawannya.

Keempat orang ini lalu turun dari atas kuda. Dua orang anak buah si baju hitam memegang tali-tali kekang kuda lalu menuntun bintang itu ke halaman belakang.

“Sekarang kalian harus menyerahkan uang keamanan. Cukup sekali ini saja. Lain kali kalian datang tidak perlu.”

Legok Ambengan berpaling pada Kebo Panaran. Kebo Panaran kedipkan matanya. “Berapa besarnya uang keamanan itu?” bertanya Legok Ambengan kemudian.

“Seperlima dari jumlah uang yang kalian bawa. Keluarkan semua isi kantong kalian!” jawab Ranggas.

“Kami sama sekali tidak membawa uang!” kata Kebo Panaran lalu tertawa gelak-gelak. Tiga kawannya ikut-ikutan tertawa.

Merasa dipermainkan Ranggas jadi marah. “Jika kalian tidak punya uang, lekas angkat kaki dari sini. Kuda-kuda kalian kami tahan!”

“Begitu?” Ujar Kebo Panaran sambil usap-usap berewoknya. “Mulai saat ini kau dan teman-temanmu dipecat sebagai penjaga keamanan di tempat ini! Lekas minggat dari hadapanku!”

Terkejutlah Ranggas mendengar ucapan Kebo Panaran itu. Rasa terkejut ini disertai juga dengan gejolak amarah. Karenanya Ranggas langsung melompati Kebo Panaran sambil melayangkan tamparan. Sesaat lagi tamparan itu akan melanda muka Kebo Panaran dengan keras tiba-tiba dari samping satu tangan mencekal lengan Ranggas.

Sekali sentak saja tubuh Rangas terpuntir terbungkuk-bungkuk membuatnya meringis kesakitan. Dua orang anak buah kepala keamanan itu berteriak marah melihat atasan mereka diperlakukan seperti itu. Tanpa banyak bicara lagi keduanya mencabut golok di pinggang masing-masing terus membabat ke arah si gemuk botak Bargas Pati yang tengan memelintir lengan Ranggas.

Golok pertama membacok ke arah batok kepala yang botak sedang golok kedua membabat ke arah pinggang. Bargas Pati hanya ganda tertawa melihat serangan maut itu. Dari kiri kanan dua orang kawannya berkelebat.

“Bukkk! Bukkk...!”

Terdengar dua kali suara bergedebuk disusul dengan jeritan dua orang anak buah Ranggas. Keduanya terhuyung-huyung. Satu pegangi hidungnya yang mengucurkan darah, satunya lagi menekapi mata kirinya yang juga mengucurkan darah. Golok mereka berjatuhan ke tanah pada saat jotosan-jotosan Tunggul Anaprang dan Legok Ambengan menghantam muka meraka.

Selagi keduanya terhuyung-huyung begitu, kaki-kaki kedua anak buah Kebo Panaran tadi ganti beraksi. Kembali dua orang yang berpakaian hitam itu keluarkan jeritan kesakitan lalu tergelimpang roboh di tanah. Masing-masing menderita patah tiga tulang iga dan remuk tulang dadanya!

Dua orang anak buah Ranggas yang tadi membawa kuda-kuda ke halaman belakang berseru kaget ketika mereka kembali dan melihat apa yang terjadi. Keduanya serta merta mencabut golok masing-masing lalu menyerang Tunggul Anaprang dan Legok Ambengan. Namun nasib mereka tidak berbeda dengan dua kawannya terdahulu.

Begitu keduanya menyerang, Legok dan Tunggul menyambutnya dengan tendangan yang membuat keduanya terpental hampir satu tombak. Yang satu jatuh terduduk sambil memegangi perutnya yang kena tendang. Satunya lagi terkapar dengan mulut hancur dan gigi-gigi rontok.

Ranggas yang sedang menderita kesakitan karena tangannya masih dipuntir di belakang punggung terbeliak kaget melihat kejadian itu. Dia sadar kini kalau berhadapan dengan serombongan orang-orang berkepandaian tinggi. Namun satu hal yang masih belum diketahuinya apakah mereka ini orang baik-baik atau bukan.

Melihat kepada keadaan pakaian dan tampang-tampang mereka yang beringas bengis Ranggas sulit mempercayai keempat orang itu adalah orang baik-baik.

“Kebo Panaran mau diapakan monyet satu ini?” Tanya Bargas Pati yang menelikung tangan Ranggas.

Kebo Panaran berpaling pada Legok Ambengan lalu pada Tunggul Anaprang. “Kalian tahu apa yang harus dilakukan?”

Mendengar ucapan Kebo Panaran itu kedua anak buahnya segera mendekati Ranggas. Dalam keadaan tak berdaya Ranggas mereka jejali dengan jotosan-jotosan dan tendangan-tendangan. Sekujur muka Ranggas babak belur berlumuran darah tak karuan lagi. Ketika Bargas Pati melepas cekalannya Ranggas langsung roboh tapi dia cukup kuat untuk tidak jatuh pingsan.

Pada saat itu tiba-tiba pintu bangunan terbuka. Seorang lelaki berpakaian mewah keluar sambil berkipas-kipas. Dia memperhatikan apa yang terjadi di halaman depan itu sesaat lalu berkata. “Sahabat-sahabat jauh dari mana yang telah sudi memberi pelajaran pada anak-anak buahku?”

Kebo Panaran dan tiga temannya sama-sama berpaling ke pintu. Mereka perhatikan orang yang tegak berkipas-kipas itu sesaat lalu tertawa gelak-gelak.

“Gandul Wirjo! Tidak sangka kowe rupanya yang jadi mucikari rumah cabul ini!” berseru Kebo Panaran lalu melangkah besar-besar menghampiri orang di depan pintu diikuti oleh ketiga anak buahnya. Kebo Panaran memegang bahu orang itu lalu berpaling pada ketiga anak buahnya dan berkata. “Kalian lihat dia sudah jadi orang kaya sekarang! Tapi tidak lupa dengan teman-teman seperjuangan! Ha Ha ha! Ayo kita beri salam pada sahabat lama ini!” Kebo Panaran dan tiga orang lainnya segera menyalami lelaki bernama Gandul Wirjo yang memang adalah pemilik bangunan besar itu.

“Kalian ke mari tentu punya maksud. Tidak bagus kalau maksud itu tidak kesampaian. Jangan di luar saja. Mari masuk!”

Gandul Wirjo membuka pintu lebar-lebar. Kebo Panaran dan ketiga kawannya masuk ke dalam diikuti si pemilik bangunan. Sebelum ikut masuk Gandul Wirjo berpaling pada Ranggas yang masih terkapar kesakitan di tanah.

“Kerjamu sebagai kepala keamanan bagus. Tapi lihat-lihat dulu siapa orang yang hendak kau kerjakan. Sekarang kau kena batu sendiri Ranggas!”

Ranggas diam saja. Tapi dalam hati dia memaki habis-habisan.

Di dalam bangunan. Kelima orang itu duduk di sebuah ruangan yang berbau harum kayu cendana. Mereka bercakap-cakap beberapa lama. Kemudian Kebo Panaran berkata.

“Bagaimana kalau obrolan ini kita sambung nanti. Sekarang aku dan teman-teman ingin bersenang-senang lalu istirahat sampai menjelang pagi.”

Gandul Wirjo tersenyum. “Jangan kawatir. Kalian akan mendapatkan kesenangan. Memang sejak perang berakhir tidak terlalu mudah mencari perempuan cantik-cantik.”

Pemilik bangunan besar itu mengambil sebuah lonceng kecil dari atas meja lalu digoyang-goyangkan dua kali. Tak berapa lama kemudian lima orang perempuan muda muncul. Tiga diantaranya berparas lumayan. Mereka langsung mengelilingi Kebo Panaran dan kawan-kawannya. Ada yang membelai rambut atau memijit-mijit bahu, ada juga yang mengusap-usap lengan orang-orang itu.

“Para sahabat, kalian silahkan memilih sendiri. Jangan pikirkan soal bayaran. Semua aku berikan denga cuma-cuma. Demi persahabatab kita di masa lalu dan dimasa mendatang!”

Kebo Panaran memilih perempuan yang bertubuh ramping dan ada tahi lalat di dagu kirinya. Bargas Pati menarik lengan perempuan berkebaya biru yang dadanya montok luar biasa. Satu demi satu perempuan-perempuan itu membawa tamu mereka ke kamar masing-masing. Tinggal kini Tunggul Anaprang. Dia masih duduk memandangi dua orang perempuan yang tegak di hadapannya.Tak satupun dari kedua perempuan ini cocok dengan seleranya.

“Tunggul, kau tunggu apa lagi? Pilih salah satu atau otak kotormu mungkin mau berbuat macam-macam. Membawa keduanya sekaligus ke dalam kamar?” bertanya Gandul Wirjo.

Tunggul Anaprang menggeleng. “Tak satupun yang ku suka...”

“Matamu terbalik sahabatku! Kedua perempuan ini tidak jelek dan masih muda-muda!” kata Gandul Wirjo pula.

“Terserah kamu mau bilang apa, tapi aku tidak naksir satupun dari mereka. Buatkan saja aku kopi, biar aku istirahat di sini dan tidur barang seketika. Atau mungkin kau masih ada persediaan perempuan yang lain?”

Gandul Wirjo menyuruh masuk kedua perempuan pelacur yang masih berdiri di tempat itu. Setelah keduanya masuk ke dalam. Pemilik rumah pelacuran yang sekaligus menjadi mucikari itu berkata pada Tunggul Anaprang.

“Dulu di masa sebelum dan di waktu peperangan kau adalah sahabatku paling dekat. Aku tidak akan melupakan hal itu terus terang memang ada satu simpananku. Baru datan sore tadi. Aku bermaksud hendak menggarapnya ketika kau dan kawan-kawan datang. Tapi demi persahabatan perempuan itu akan aku berikan padamu. Hanya untuk yang satu ini tak mungkin aku berikan secara cuma-cuma sahabat...”

“Ah, jangan begitu Gandul,” kata Tunggul Anaprang pula.

“Kau lihat saja dulu orangnya Tunggul. Masih sangat muda. Kulit putih mulus. Wajah cantik luar biasa. Dia pasti orang baik-baik.”

Kedua orang itu sampai di hadapan sebuah pintu. Selain ada ukirannya pintu satu ini lebih besar dari pintu-pintu lain yang ada dalam bangunan besar rumah pelacuran itu.

Gandul Wirjo mengeluarkan sebuah anak kunci. Dengan kunci ini dibukanya pintu. Sebuah lampu minyak besar di atas meja menerangi kamar yang ternyata sangat bagus. Sebuah ranjang berkasur tebal empuk terletak di tengah kamar. Lalu disebuah kursi rendah, dekat meja kecil tampak duduk seorang perempuan yang wajahnya memang membuat jantung Tunggul Anaprang seperti berhenti berdetak.

Rambutnya hitam panjang tergerai menutupi dada kebayanya yang agak terbuka di sebelah atas sehingga Tunggul dan Gandul dapat melihat payudaranya yang menggelembung mulus. Betisnya yang putih tersembul dari balik kain panjang. Dia tampak agak ketakutan.

“Bagaimana?” bisik Gandul Wirjo.

“Benar-benar luar biasa. Dari mana kau dapat yang satu ini? Aku percaya pada ucapanmu kalau dia sebelumnya perempuan baik-baik. Buktinya dia tampak takut-takut. Wajahnya betul-betul mempesona. Bagaimana kalau dia kuambil jadi istri...?”

“Itu bisa urus kemudian sahabatku. Sekarang untuk malam ini berapa kau mau membayar?”

Mendengar pertanyaan Gandul Wirjo itu Tunggul Anaprang merogoh saku pakaian birunya kiri kanan. Dua tumpuk uang dimasukkannya ke dalam genggaman pemilik rumah pelacuran itu. Malah kemudian dia mengambil lagi sebuah kantong kecil berisi sejumlah uang dan dimasukkannya ke dalam saku pakaian Gandul Wirjo.

“Keluarlah cepat. Aku sudah tidak tahan!” kata Tunggul Anaprang pula. Dibukanya pintu kamar lebar-lebar lalu didorongnya sahabatnya itu keluar.

Begitu Gandul Wirjo lenyap Tunggul Anaprang segera menutupkan pintu dan menguncinya sekali. Sambil menyeringai dia melangkah mendekati kursi dimana duduk si dara jelita. Sesaat Tunggul Anaprang tegak seperti tertegun memandangi wajah yang sangt cantik itu. Dia rasa-rasa seperti pernah melihat gadis itu sebelumnya tapi lupa entah dimana. Sebuah tahi lalat di pipi kiri menambah kecantikan parasnya.

“Siapa namamu anak manis?” Tanya Tunggul Anaprang sambil meraba dagu perempuan yang duduk di kursi.

Tiba-tiba perempuan muda itu memegang lengan Tunggul Anaprang kuat-kuat lalu menggigitnya. Tidak keras tapi malah membuat lelaki itu jadi tambah terangsang. Tunggul Anaprang tertawa lebar. Hidungnya menghembuskan nafas memburu dan darahnya menjadi panas. Sekujur tubuhnya bergetar. Tak tahan lagi lelaki ini segera hendak membuka pakaian pelacur muda itu.

“Tunggu dulu...” Perempuan itu berkata. “Kita masih banyak waktu. Tiduran saja. Raden Mas tentu letih. Biar saya pijiti dulu...”

Tunggul Anaprang tertawa mendengar dirinya dipanggil sebutan Raden Mas. “Jangan panggil aku dengan sebutan Raden Mas, sayangku. Namaku Tunggul Anaprang. Gelarku si Rantai Maut. Kau boleh panggil namaku atau gelaranku. Terserah mana yang kau suka!”

Lalu kedua tangan lelaki ini menjalar di bahu perempuan itu. Terangsang oleh nafsu yang sulit ditahan-tahan Tunggul Anaprang sama sekali tidak melihat adanya sambaran cahaya aneh pada kedua mata pelacur itu ketika dia mendengar nama dan gelar yang dikatakannya.

“Berbaringlah dulu. Biar saya pijit. Setelah itu baru kita bersenang-senang. Sampai pagi kalau mau...”

Meskipun sudah sangat ingin memeluki dan menciumi pelacur muda itu namun Tunggul Anaprang mengalah juga. Tanpa banyak cerita dia berbaring menelentang.

“Tengkurap dulu. Biar punggungnya saya pijiti dulu.”

Tunggul Anaprang tersenyum dan mengikuti apa yang dikatakan si pelacur. Dia membalikkan diri lalu menelungkup. Tangan kiri perempuan itu mulai memijiti punggungnya. Tapi tanpa diketahui Tunggul Anaprang tangan kanannya bergerak ke balik kebayanya.

********************
WWW.ZHERAF.COM
DUA

Matahari memang belum terbit. Diluar udara masih gelap dan dingin. Namun didalam bangunan saat itu Kebo Panaran, Legok Ambengan dan Bargas Pati ditemani oleh Gandul Wirjo sudah duduk-duduk mengobrol sambil menikmati kopi manis dan pisang goreng hangat. Karena ditunggu-tunggu Tunggul Anaprang masih belum muncul Kebo Panaran mulai jengkel.

“Semua sudah tahu kita harus berangkat pagi-pagi sekali. Sontoloyo si Tunggul Anaprang itu masih belum muncul! Tadi malam dia segan-seganan memilih pasangan. Kini malah dia yang paling lama! Sialan!”

“Dia selalu begitu! Seenaknya sendiri!” Ikut mengomel Legok Ambengan. Lalu berdiri sambil membetulkan ikat kepalanya. “Biar akan kugedor kamarnya!” Dia berpaling pada Gandul Wirjo. Tunjukkan padaku kamarnya!”

Gandul Wirjo melangkah lebih dulu. Legok Ambengan mengikuti dari belakang. Sampai di hadapan pintu besar berukir pemilik rumah Pelacuran ini mengetuk pintu. Satu kali. Tak ada sahutan. Dua kali dan sampai tiga kali tak ada sahutan. Legok Ambengan hilang sabarnya. Pintu itu ditinjunya keras-keras seraya berteriak.

“Tunggul! Keparat kau! Lekas bangun! Kita harus segera berangkat!”

Meski sudah digedor dan teriaki seperti itu tetap saja dari dalam kamar tidak ada jawaban.

“Gila! Masakan dia tidur begitu pulas hingga tidak terbangun oleh gedoranku?!” maki Legok Ambenga.

“Memang aneh,” kata Gandul Wirjo pula. “Kalau Tunggul tidak terbangun, masakan perempuan yang ada bersamanya juga tidak terbangun?”

“Akan kugedor dan kupanggil sekali lagi. Kalau tidak ada jawaban pintu ini akan kudobrak!” kata Legok Ambengan pula.

“Jangan didobrak! Rusak pintuku! Pintu ini mahal dan ini kamar tidurku yang dipakainya!”

“Perduli setan!” jawab Legok Ambengan. Dia kembali menggedor dan berteriak lebih keras. Tapi seperti tadi, tak ada suara jawaban.

“Setan betul si Tunggul itu!” Serapah Legaok Ambengan. Dia melangkah menjauhi pintu.

Sebelum Gandul Wirjo sempat mencegah Legak Ambengan sudah meloncat dan menerjang pintu dengan kaki kanannya. Pintu yang cukup tebal itu berderak jebol lalu terpentang lebar. Legok Ambengan masuk ke dalam. Gandul Wirjo mengikuti. Tiba-tiba terdengar seruan keras dari kedua orang ini. Seperti melihat setan kepala tujuh keduanya menghambur keluar kamar, kembali ke ruangan dimana Kebo Panaran dan dua lainnya duduk menunggu.

“Kalian mengejutkan aku saja!” Teriak Kebo Panaran marah. “Ada apa? Tampang kalian pucat seperti kain kafan!”

“Kebo... Tunggul Anaprang...” Suara Legok Ambengan seperti tercekik. Tangannya gemetar menunjuk ke arah kamar. “Di... di... dia dibunuh!”

Serta merta Kebo Panaran dan kedua kawannya melompat dari kursi dan lari memasuki kamar yang pintunya jebol terpentang. Begitu masuk Kebo Panaran langsung tertegun. Mukanya mengelam!

“Keparat! Siapa yang melakukan ini?!” teriaknya.

Di atas tempat tidur terbujur tubuh Tunggul Anaprang dalam keadaan menelungkup, masih berpakaian lengkap. Lehernya hampir putus akibat tebasan sebilah golok besar yang masih menancap di leher itu. Darah yang mulai megering membasahi tempat tidur dan ada yang mengalir jatuh ke lantai. Bargas Pati tutup kedua mukanya dengan kedua tangan. Kebo Panaran pejamkan kedua mata. Legok Ambengan berdiri di luar pagar, tersandar lemas ke dinding sedang Gandul Wirjo tertegun dengan muka pucat!

Tiba-tiba Kebo Panaran membalik. Dia melompat ke hadapan Gandul Wirjo dan mencekal leher pakaian lelaki pemilik tempat pelacuran itu.

“Siapa yang tidur dangan kawanku tadi malam? Pasti pelacur itu pembunuhnya!”

Pucat ketakutan, dengan terbata-bata Gandul Wirjo menjawab. “Tunggul tidur dengan seorang pelacur muda. Namanya kalau aku tidak salah ingat Wardianing. Dia pelacur baru. Baru datang sore kemarin. Tidak mungkin. Tidak mungkin dia yang membunuh Tunggul...”

Kebo Panaran menarik leher pakaian Gandul Wirjo kuat-kuat lalu membanting lelaki itu ke dinding kamar hingga Gandul merintih kesakitan.

“Kalau bukan pelacur yang tidur bersamanya yang membunuh, lalu siapa? Setan?! Hanya mereka berdua dalam kamar ini. Kau lihat sana! Jendela kamar terbuka! Berarti sehabis membunuh Tunggul pelacur keparat itu melarikan diri lewat jendela. Dan tak satupun anak buahmu yang melihat keparat itu kabur!”

“Sulit kupercaya Kebo,” kata Gandul Wirjo sambil usap-usap keningnya yang benjut sewaktu terbanting ke dinding tadi. “apa alasan pelacur itu membunuh Tunggul?”

Kebo Panaran sesaat jadi terdiam mendengar kata-kata pemilik rumah pelacuran itu. Sementara itu dari beberapa kamar sebelah menyebelah penghuninya ikut bangun dan keluar mendengar ribut-ribut itu. Mereka semua mundur menjauh ketika menyaksikan mayat Tunggul Anaprang yang masih ditancapi golok itu.

“Apapun alasannya yang jelas kawanku itu sudah mampus dibunuhnya!”

“Kebo Panaran,” Membuka mulut Bargas Pati. Jangan-jangan Gandul Wirjo berkomplot dengan orang-orang kerajaan!”

Pucatlah wajah Gandul Wirjo mendengar kata-kata si botak Bargas Pati itu. “Demi Tuhan! Aku bersumpah tidak punya hubungan apa-apa dengan orang- orang kerajaan!”

“Siapa peraya ucapanmua Gandul!” kata Kebo Panaran seraya satu tangannya mengusap-usap wajah lelaki yang dicekalnya itu. “Kau dulu termasuk orang-orang yang berperang melawan penguasa sekarang ini. Sementara kami diburu-buru kau enak-enak saja membuka usaha di tempat ini tanpa ada yang mengganggu. Tanpa ada orang-orang kerajaan yang mengambil tindakan! Aneh bukan? Lalu kau punya seorang pelacur yang baru kemarin sore datang ke tempat ini katamu! Dan pelacur itu yang membunuh kawanku Tunggul. Mengapa semua serba kebetulan Gandul? Kau merencanakan semua ini. Kau menjebak kami. Mungkin sebenarnya aku yang kau tuju.

“Demi Tuhan Kebo! Aku bersumpah tidak merencanakan apapun! Siapa adanya pelacur itu belum sempat kuselidiki. Bahkan aku belum menidurinya...”

“Sialan! Aku tidak menanyakan kau sudah menidurinya atau belum!” bentak Kebo Panaran. “Katakan cirri-ciri pelacur yang tidur bersama Tunggul malam tadi!”

“Orangnya masih muda. Wajahnya bujur telur. Cantik. Kulitnya putih. Dia mengenakan kain panjang dan kebaya berkembang-kembang. Di... di pipi kirinya ada tahi lalat.”

“Bagus!” desis Kebo Panaran. “Keteranganmu itu memberi keampunan padamu untuk tidak mati dengan leher ditabas!”

Tangan kanannya bergerak ke pinggang. Gandul Wirjo melihat golok keluar dari sarungnya. Dia berteriak. “Kebo! Jangan! Aku benar-benar tidak ada sangku paut dengan kematian Tunggul... Akh...”

Ucapan pemilik rumah pelacuran itu terputus begitu golok di tangan kanan Kebo Panaran amblas masuk ke dalam perutnya. Sepasang mata Gandul Wirjo membeliak seperti hendak melompat dari sarangnya. Mukanya sesaat merah lalu berubah menjadi pucat. Dia merasakan panas darahnya sendiri keluar mengucur dari perutnya yang robek besar!

Kebo Panaran dorong sosok tubuh Gandul Wirjo hingga terlempar ke kaki tempat tidur. Lalu dia berpaling pada Legok Ambengan. “Kau ahli mencari jejak. Bangsat pembunuh itu harus dapat kita kejar!”

Legok Ambengan mengangguk. “Kita harus berangkat sekarang juga! Pelacur itu pasti sudah lari jauh!”

Kebo Panaran, Legaok Ambengan dan Bargas Pati segera keluar dari rumah besar itu. Di luar udara masih gelap. Legok Ambengan yang memang memiliki keahlian mengusut segala macam jejak memperhatikan keadaan halaman samping dekat jendela kamar di mana Tunggul Anaprang dibunuh. Di bawah penerangan lampu minyak matanya yang tajam melihat adanya bekas-bekas jejak kaki walaupun hampir tidak kentara. Jejak-jejak kaki ini menuju ke kandang kuda.

“Orang itu melarikan diri dengan kuda. Kelihatannya ke arah Timur...” kata Legok Ambengan.

“Kalau begitu segera kita kejar ke arah Timur!” kata Kebo Panaran pula. Ketiga orang ini lari ke kandang kuda. “Lihat, kuda kita hanya tinggal tiga. Berarti yang seekor lagi disambar pembunuh itu! Sialan! Kudaku yang dicurinya!” Saking marahnya Kebo Panaran memukul tiang kandang kuda hingga patah!

TIGA

Perlahan-lahan udara mulai terang walau dinginnya malam masih menusuk menjelang pagi itu. Ketika sang surya muncul menerangi jagat dan keadaan jadi terang benderang, untuk pertama kalinya Kebo Panaran melihat segulung kertas tergantung dekat buntalan barang di leher kudanya. Kertas itu berwarna putih tetapi penuh dengan noda-noda darah.

“Heh, kertas apa ini?” bertanya Kebo Panaran dalam hati. Merasa tidak enak lalu dia berseru. “Kawan-kawan! Berhenti dulu!”

“Ada apa Kebo?” Tanya Bargas Pati seraya menghentikan lari kudanya.

Legok Ambengan ikut menghentikan kuda tunggangannya. Kedua orang ini sama memandang pada orang yang jadi pemimpin mereka itu. KeboPenaan menunjuk pada gulunga kertas yang tergantung di leher kuda.

“Aku tidak tahu benda apa ini. Tapi sebelumnya gulungan kertas ini tidak ada di sini!”

Bargas Pati usap kepala botaknya. “Coba kau ambil saja dan buka gulungannya. Jangan-jangan sehelai surat...”

“Surat berdarah...” Desisi Legok Ambengan.

Dengan perasaan tidak enak Kebo Panaran betot gulungan kertas berdarah itu hingga ikatannya, sehelai benang halus terlepas putus. Betul kata Bargas Pati. Gulungan kertas itu ternyata sehelai surat yang ditulis dengan darah. Walau tulisan di atas kertas begitu buruk mungkin terburu-buru waktu ditulisnya namun Kebo Panaran masih bisa membacanya dengan jelas.

Surat ini kutulis dengan darah salah seorang dari kalian. Aku tidak akan berhenti sampai kalian berlima kuhabisi! Roh suamiku dan akan mengejar kemanapun kalian pergi. Kalian tidak ada tempat untuk lari!

Paras Kebo Panaran sesaat tampak pucat.

“Ada apa Kebo?” Tanya Bargas Pati.

“Berikan padaku surat itu!” kata Legok Ambengan pula.

Kebo Panaran menyerahkan kertas yang dipegangnya pada kawannya itu. Bargas Pati mendekatkan dirinya pada Legok Ambengan. Kedua orang ini kemudian sama-sama membaca isi surat yang ditulis dengan darah itu. Keduanya seperti Kebo Panaran tadi langsung pucat.

“Membaca isi surat itu...” kata Kebo Panaran setelah coba menenangkan diri.

“Yang menulisnya tidak bisa tidak adalah Antini istri Lor Kameswara. Tapi bagaimana aku bisa mempercayainya. Perempuan itu tidak memiliki kepandaian silat apalagi nyali untuk melakukan hal ini. Membunuh Tunggul Anaprang lalu melenyapkan diri dangan meninggalkan surat berdarah ini!”

“Dalam waktu tiga bulan segala sesuatunya bisa terjadi. Mungkin perempuan itu berguru pada seorang pandai. Setelah memiliki bekal ilmu yang cukup dia lalu turun tangan melakukan balas dendam terhadap kita. Korban pertamanya telah jatuh! Kawan kita Tunggul Anaparang!”

“Omonganmu membuat aku lebih sulit percaya Bargas Pati,” menyhut Kebo Panaran.

“Nyatanya dia bisa membunuh Tunggul. Dia bukan saja punya nyali dan ilmu Kebo. Tapi bekerja dengan memakai otak! Dia bisa menyamar jadi pelacur. Mungkin dibantu oleh Gandul Wirjo, mungkin juga tidak.”

“Kurasa kita telah berbuat satu kesalahan,” kata Legok Ambengan.

“Apa maksudmu?” Tanya Kebo Panaran sambil memandang ajam pada kawannya itu.

“Pada peristiwa tiga bulan lalu itu, seharusnya perempuan itu kita habisi sekalian. Tak ada saksi atas perbuatan kita! Tak akan ada yang balas dendam!” jawab Legok Ambengan pula.

Bargas Pati usap-usap lagi kepala botaknya. “Kalau ingat peristiwa itu justru sebenarnya kita tidak boleh berlaku sekeji itu. Lor Kameswara adalah bekas pimpinan yang kita hormati...”

“Tutup mulutmu Bargas Pati!” hardik Kebo Panaran. “Aku tidak suka mendengar kau bicara begitu! Semua sudah terjadi! Kita bersama yang melakukannya! Kenapa sekarang harus disesali? Kau sendiri meniduri perempuan itu sampai beberapa kali! Ingat?”

Bargas Pati terdiam. Kebo Panaran lanas kembali membuka mulut. “Sampai saat ini ada satu teka-teki yang belum terjawab. Lenyapnya sahabat kita Ambar Parangkuning. Perempuan itu menghilang beberapa saat setelah peristiwa di rumah Lor Kameswara. Di mana dia sekarang tidak satupun dari kita yang tahu. Apakah dia berkomplot dengan istri Lor Kameswara?”

“Kalau hal itu sulit kupercaya. Ambar terlibat bersama kita. Bagaimana mungkin dia berkomplot dengan Antini?!” ujar Bargas Pati.

“Betul sekali Kebo. Hal itu tidak masuk akal!” berkata Legok Ambengan. “Tapi sudahlah. Kita tak perlu berdebat. Orang yang kita kejar tentu sudah tambah jauh. Sebaiknya kita teruskan pengejaran. Menurut penglihatanku Antini atau siapaun dia melarikan diri menuju ke Timur. Jika kita mengambil jalan lurus kita akan sampai di sebuah bukit kecil. Di balik bukit itu ada sebuah kali besar. Antara tempat ini ke kali besar itu ada jalan liar. Bukan mustahil si pembunuh menempuh jalan itu. Sebab jika dia memang istri Lor Kameswara, perempuan itu tidak tahu betul seluk beluk daerah ini. Di pasti mengikuti jalan yang sudah sering dilalui orang sebelumnya. Kurasa kita bisa mengambil jalan memintas dan memotong arah larinya.”

“Aku dan Bargas Pati mengikuti apa katamu saja Legok Ambengan,” kata Kebo Panaran. "Makin cepat kita menempuh jalan memintas yang kau katakan itu makin bagus. Kita berangkat sekarang saja! Kau jalan di depan! Tapi..." ucapan Kebo Panaran terhenti. “Aku khawatir, jangan-jangan Ambaar Parangkuning sudah jadi koban pula. Dibunuh istri Lor Kameswara!”

“Tidak, dia memang lenyap entah kemana. Tapi jika kau teliti surat tadi jelas si pembunuh masih menyebut kita berlima. Bukan berempat. Berarti sahabat kita perempuan itu masih hidup.”

Kebi Panaran mengangguk-angguk membenarkan kata-kata Legok Ambengan itu.

Ketika rombongan tiga pengunggang kuda itu sampai di kaki bukit kecil yang dikatakn Legok Ambengan udara tiba-tiba berubah. Siang yang tadinya terang benderang mendadak menjadi gelap seperti senja. Gumpalan awan hitam kelabu bertebaran menutupi langit. Dikejauhan mulai terdengar suara geledek ditimpali cahaya sambaran kilat. Sesaat kemudian hujan yang bukan alang kepalang lebatnya turun membasahi bumi.

“Kita mau mencari tempat berteduh atau meneruskan pengejaran?” Tanya Legok Ambengan.

Bargas Pati maunya berhenti dulu mencari perlindaungan sambil beristirahat. Tapi Kebo Panaran punya jalan pikiran lain. “Hanya orang-orang tolol yang takut pada hujan! Teruskan pengejaran. Bukankah kita harus cepat-cepat sampai di balik bukit sana?”

“Aku setuju kita meneruskan pengejaran” kata Legok Ambengan. Aku kawatir hujan membuat mataku kurang awas dan aku bisa kehilangan jejak-jejak orang yang kita kejar. Ayo kita teruskan perjalanan.”

Hujan yang sangat lebat dan lama membuat arus kali besar itu menjadi deras dan ganas. Di beberapa tempat air kali meluap melewati tebing kali dan membanjiri daratan sekitarnya sementara itu hujan masih terus turun seperti tidak akan berhenti.

Kebo Panaran dan kawan-kawannya tidak bisa bergerak cepat dalam cuaca buruk seperti ini. Namun demikian akhirnya mereka sampai juga ke balik bukit dan berhenti di tepi kali yang sedang banjir.

“Celaka!” kata Legok Ambengan. “Air hujan dan banjir membuat aku tidak dapat mengenali jejak yang ditinggalkan orang yang kita kejar!”

“Keparat!” maki Kebo Panaan sambil mengusap mukanya yang basah. “Kerahkan seluruh kepandaianmu Legok! Orang itu harus kita kejar! Ingat! Dia telah membunuh kawan kita Tunggu Anaprang!”

Legok Ambengan menggigit bibir. Dia menyentakkan tali kekang kudanya, bergerak menyusuri tepi kali ke arah hulu. Kebo Panaran dan Bargas Pati mengikuti. Di satu tempat Legok Ambengan hentikan kudanya dan menunjuk ke arah benda kehijau-hijauan yang terapung-apung di atas genangan air di tepi kali.

“Benda apa itu?” Tanya Bargas Pati.

“Kotoran kuda...” Sahut Legok Ambengan.

“Kita mengejar ke arah yang benar kawan-kawan!” Lelaki itu tampak gembira. “Kotoran kuda itu pasti kotoran kuda orang yang kita kejar!”

Mendengar itu Kebo Panaran serta merta menyentakkan tali kekang kudanya dan mendahului bergerak ke hulu kali yang arusnya tampak tambah deras. Saat itu udara masih gelap karena langit yang masih mendung tebal dan hujan yang terus mendera turun. Di kejauhan kila menyambar dua kali berturut-turut. Sesaat udara menjadi terang benderang. Kebo Panaran yang berkuda di sebelah depan kebetulan memnadang ke arah kejauhan. Lalu terdengar dia berteriak.

“Aku melihat seorang penunggang kuda di depan sana!”

“Pasti dia!” teriak Legok Ambengan.

Ketiga orang itu lalu sama memacu kuda masing-masing di bawah hujan lebat. Tak lama kemudian meraka berhasil menyusul penunggang kuda itu. Orang ini kelihatannya seperti dalam bingung. Hendak terus ke arah hulu jalan terhalang oleh banjir besar. Hendak menyeberang kali yang berarus besar itu tentu saja tidak mungkin. Kebo Panaan dan kawan-kawannya sampai di tempat itu. Melihat ada tiga orang berkuda muncul, penunggang kuda tadi cepat membalikkan tunggangannya ke arah kanan dan siap untuk melarikan diri.

“Jangan lari!” teriak Kebo Panaran.

Baru saja Kebo Panaran membentak begitu, dari arah kali muncul sebuah perahu disusul terdengarnya suara orang menyanyi. Suara nyanyiannya tidak begitu jelas. Ditelan oleh deru hujan, desau angin serta arus sungai yang menggila.

EMPAT

Ini merupakan satu pemandangan aneh kalau tidak mau dikatakan gila. Di atas kali yang arusnya ganas mengerikan sementara hujan lebat masih terus menderu turun, dalam cuaca yang masih gelap tiba- tiba kelihatan meluncur sebuah perahu. Perahu ini terombang-ambing tidak menentu. Sesekali dilontarkan arus ke atas sampai tinggi setengah tombak lalu dihenyakkan seperti hendak dibenam ke dasar kali.

Namun perahu itu kemudian muncul kembali. Beberapa kali perahu ini kelihatan oleng dan hampir terbalik, tetapi kembali meluncur mantap! Apapun yang dibuat arus, perahu itu sepertinya tidak mampu untuk dilempar diterbalikkan, apalagi dibenamkan ke dasar kali.

Yang lebih gilanya, di aas perahu itu tampak duduk seorang pemuda berpakaian serba putih. Rambutnya yang gondrong serta pakaiannya telah basah kuyup oleh air hujan dan terpaan air kali. Namun dia enak saja duduk di atas perahunya yang penuh air itu sambil bernyanyi-nyanyi seperti anak kecil yang sedang kegirangan tanpa menyadari betapa bahaya maut mengancamnya!

Hujan turunlah terus... asyik!
Air kali mengamuklah terus... asyik!
Perahuku jelek tak mungkin tenggelam... asyik!
Aku bersahabat dengan hujan... asyik!
Aku bersahabat dengan air kali... asyik!
Tapi demi Tuhan jangan ada buaya di kali ini!

Suara nyanyian itu disusul dengan gelak tawa si pemuda. Setelah mengusap mukanya yang basah dia kembali melantunkan nyanyian tadi berulang-ulang. Sampai pada suatu saat dia melihat ada seorang penunggang kuda di tepi kali yang sedang banjir itu.

Penunggang kuda itu ternyata seorang pemuda berwajah cakap halus. Tampaknya dia tengah bingung karana idak dapat meneruskan perjalanan. Banjir didepannya menghadang mengerikan.Membelok kiri berarti masuk ke dalam kali. Membelok kanan jalan terhalang oleh lereng batu yang cukup tinggi. Satu-satunya jalan adalah kembali ke arah datangnya semula.

Dalam keadaan seperti itu, sebelum pemuda berkuda ini sempat mengambil keputusan tiba-tiba dari arah belakang muncul tiga penunggang kuda. Ketiganya dalam keadaan basah kuyup dan tampang-tampang mereka tampak garang sekali. Tiga penunggang kuda itu bukan lain adalah Kebo Panaran, Bargas Pati dan Legok Ambengan.

“Jangan lari!” teriak Kebo Panaran ketika dilihatnya penunggang kuda di depan sana hendak memutar tunggangannya dan siap kabur!

Karena memang sudah terkurung pemuda di atas kuda terpaksa duduk tak bergerak sehingga Kebo Panaran dan kawan-kawannya dapat melihat jelas wajahnya. Bargas Pati menggerendeng.

“Bukan perempuan yang kita kejar!”

Kebo Panaran juga hendak ikut-ikutan menggerendeng namun kemudian dia segera mengenali kuda yang ditunggangi pemuda itu. Kuda miliknya yang hilang dicuri di penginapan milik Gandul Wirjo!

“Itu kudaku yang ditungganginya!” kata Kebo Panaran. Lalu segera mencabut golok besarnya.

“Anak muda! Lekas katakan siapa dirimu dan dari mana kau dapat kuda itu?!” menghardik Legok Ambengan.

Pemuda di depan ketiga orang itu memperhatikan dengan pandangan mata tak berkesip. “Aku tidak kenal kalian. Kuda ini milikku. Apa kalian hendak merampok?!”

“Pemuda kurang ajar! Kutabas batang lehermu!” teriak Kebo Panaran seraya memajukan kudanya. “Jawab pertanyaan tadi atau kupisahkan kepalamu dari badan saat ini juga!”

“Namaku Jaliteng. Kuda ini milikku. Kubeli dari seorang tak kukenal beberapa waktu lalu.”

“Siapa orang yang menjual kuda itu?” tanya Bargas Pati.

“Seorang perempuan muda. Cantik...”

“Hemm...” Kebo Panaran usap-usap janggutnya yang basah.

“Aku mau pergi. Menyingkirlah. Jangan menghadang jalan!” pemuda tadi berkata.

Kebo Panaran melirik pada kedua temannya. Lalu berbisik “Aku curiga padanya. Bagaimana pendapat kalian?”

“Pemuda itu harus kita geledah! jawab Legok Ambengan. Lalu dia berseru. “Lemparkan buntalan yang kau bawa. Kami ingin memeriksa!”

Pemuda di atas kuda memegang buntalan yang tergantung di leher kudanya lalu menjawab. “Ada hak apa kau memeriksa aku? Lekas menyingkir sebelum aku jadi marah!”

Kebo Panaran dan kedua kawannya tertawa bergelak mendengar ucapan pemuda cakap itu.

“Turun daru kudamu! Berlutut di hadapan kami dan serahkan buntalan!” menghardik Kebo Panaran.

“Perampok-perampok picisan! Rasakan dulu senjataku ini!” Pemuda di atas kuda berteriak. Tangan kanannya bergerak Lalu tiga buah pisau terbang meluncur ke arah Kebo Panaran, Bargas Pati dan Legok Ambengan.

Bagi orang biasa, serangan tiga pisau terbang itu kelihatannya hebat sekali dan membahayakan keselamatan bahkan nyawa Kebo Panaran dan dua kawannya. Tetapi bagi pemuda yang duduk cengar-cengir di atas perahu yang dipermainkan arus kali, lemparan tiga pisau terbang tadi sama sekali tidak mantap dan tidak disertai cukup aliran tenaga dalam.

Ternyata memang benar. Dengan mudah Kebo Panaran, Baras Pati dan Legok Ambengan memukul mental tiga serangan pisau tersebut. Begitu berhasil mementahkan serangan lawan Kebo Panaran berteriak

“Legok! Lekas kau cincang pemuda itu!”

“Srett! Srett...!”

Di bawah hujan lebat Legok Ambengan cabut sepasang goloknya dari pinggang. Sambil memutar-mutar senjatanya di tangan kiri kanan Legok Ambengan menyerbu. Pemuda yang diserang tidak tinggal diam. Dari balik punggungnya dia mencabut sebilah pedang. Begitu Legok Ambengan mendekat dia sabatkan senjatanya.

“Trang...! Trang...!”

Pedang dan dua golok saling beradu. Pemuda di atas kuda diam-diam mengeluh. Bentrokan senjata tadi membuat tangannya yang memegang pedang bergetar. Senjatanya hampir terlepas. Segera dia mundurkan kudanya lalu coba menebas tubuh Legok Ambengan dari samping kiri.

Legok Ambengan menangkis. Kali ini si pemuda berlaku cerdik. Dia tidak mau melakukan bentrokan senjata. Lagi-lagi dia memundurkan kudanya. Dengan tangan kiri dia melepas dua pisau terbang. Tapi dengan mudah kedua senjaa itu dihantam mental oleh Legok Ambengan dengan kedua goloknya.

Kebo Panaran yang sudah tidak sabaran melihat jalannya perkelahian seera menyerbu dangan golok di tangan. Kini tak ampun lagi pemuda berwajah cakap itu terdesak hebat.

Dalam satu bentrokan hebat golok di tangan si pemuda kena dipukul lepas. Pemuda ini berseru kaget. Kudnya dilarikan menjauhi ketiga orang itu. Tapi dai salah mengambil arah. Kudanya mundur ke arah pinggiran kali yang arusnya tengah menggila!

Tak ada kesempatan ataupun jalan untuk lari. Di depannya Kebo Panaran, Bargas Pati dan Legok Ambengan bergerak mendekat. Kebo Panaran mencekal golok besar. Bargas Pati memegang senjatanya berupa sebuah clurit besar sedang Legok Ambengan memegang sepasang golok.

Pemuda berambut gondrong di atas perahu hentikan nyanyiannya. Dia menggaruk-garuk kepala beberapa kali lalu berteriak. “Sahabat! Naik ke atas kudamu! Melompat ke mari!” Lalu pemuda di atas perahu mendayung perahunya menuju tepian kali.

Sesaat pemuda cakap di atas kuda jadi tercekat. Memang satu-satunya jalan untuk lari adalah melompat ke atas perahu itu. Tapi dai tidak punya kemampuan melakukannya. Baginya perahu itu masih terlalu jauh untuk dilompati!

“Sahabat! Cepat! Melompat ke atas perahuku!” Teriak si gondrong di atas perahu. Dia tambah mendekatkan perahunya ke pinggir kali.

“Melompatlah kalau kau mampu!” kata Kebo Panaran sambil menyeringai. Goloknya berkelebat.

“Craassss!”

Kuda tunggangan si pemuda meringkik keras ketika golok Kebo Panaran membabat lehernya. Binatang ini mengangkat kedua kaki depannya tinggi-tinggi. Pemuda di atas kuda itu terlempar ke arah kali. Jarak jatuhnya masuih jauh dari perahu di atas kali. Melihat hal ini pemuda di atas perahu cepat memutar perahunya untuk menyambut jatuhnya pemuda tadi.

“Bangsat kurang ajar!” maki Kebo Panaran. Lelaki itu mengangkat goloknya tinggi-tingg. Lalu senjata ini dilemparkannya ke arah pemuda yang saat itu tubuhnya masih melayang di atas kali.

Terdengar pekik si pemuda ketika mata golok sempat mengiris daging bahunya. Bajunya kelihatan merah oleh darah. Kakinya melejang dan kedua tangannya menggapai-gapai akibat rasa takut dan sakit yang jadi satu. Sakit karena luka di bahu kirinya cukup besar. Takut karena sebentar lagi dirinya akan amblas masuk ke dalam air kali yang menggila sedang dia sama sekali tidak bisa berenang.

Pada saat yang menegangkan itu pemuda gondrong diatas perahu ternyata dapat menyorongkan perahunya dalam waktu yang tepat. Tubuh pemuda yag terluka jatuh ke dalam perahu. Pemuda yang jatuh kembali menjerit sedang perahu itu terlonjak ke atas lalu miring ke kiri. Pemuda berambut gondrong cepat mengimbangi dengan membuat gerakan-gerakan lucu.

Dalam keadaan seperti itu tiba-tiba dari pinggiran kali tampak melesat dua buah senjata. Ternyata Legok Ambengan telah melemparkan sepasang goloknya kearah pemuda gondrong di atas perahu.

“Walah!” Si gondrong sesaat tampak bingung.

Saat itu dia tengah berusaha agar perahu jangan sampai terbalik. Di lantai perahu orang yang jatuh kembali menjerit lalu mengerang kesakitaan sambil memegang bahunya. Celakanya orang ini malah memegangi kaki pemuda gondrong hingga tak ampun lagi keseimbangannya benar-benar hilang dan tubuhnya terjatuh ke kali.

Dalam keadaan seperti ini dua golok terbang daang menyambar! Satu mengarah dada satunya lagi mengincar perut. Selagi tubuhnya melayang jatuh ke dalam kali yang berarus deras, pemuda gondrong itu gerakkan tangan kanannya ke pinggang.

“Kunyuk yang berlagak jadi pahlawan, rasakan sepasang golokku!” teriak Legok Ambengan dari atas kudanya sambil bertolak pinggang sementara Kebo Panarandan Bargas Pati menyeringai.

Kelihaian Bargas Pati dalam memainkan dan melemparkan sepasang golok selama ini sudah tersohor. Karenanya ketiga orang ini sudah sama memastikan bahwa pemuda yang melayang jatuh ke kali akan ditambus golok pada dada dan perutnya.

LIMA

Namun apa yang terjadi kemudian membuat ketiga orang itu berseru kaget. Di atas kali kelihatan warna terang menyilaukan mata. Bersamaan sengan itu terdengar suara sperti gaung ribuan lebah. Hawa di tempat itu yang tadinya lembab dingin mendadak menjadi panas. Lalu terdengar suara berdentrangan dua kali berturut-turut.

Dua golok yang tadi dilemparkan Legok Ambengan mental ke udara. Yang satunya patah dua lalu jatuh ke dalam kali. Satunya lagi mental utuh ke Pinggir kali, tepat di depan Legok Ambengan dan kawan-kawannya. Ketika ketiga orang ini memperhatikan golok yang tercampak di tanah becek itu, ternyata golok itu berada dalam keadaan bengkok dan hitam hangus serta mengeluarkan kepulan asap!

Kebo Panaran, Bargas Pati dan Legok Ambengan sama-sama ternganga dan sama-sama memandang ke tengah kali. Saat itu mereka lihat perahu di tengah kali meluncur ke seberang padahal tidak ada yang mendayung sedang pemuda yang tadi terjatuh di dalamnya masih terbujur dan merintih pegangi bahunya

“Aneh, ke mana lenyapnya pemuda gondrong di atas perahu tadi!” kata Kebo Panaran.

Selagi Kebo Panaran dan dua temannya masih berada dalam keadaan tercekat heran tiba-tiba dari dalam air kali mencuat sebuah pendayung. Benda ini melayang ke pinggir kali, menyambar kepala kuda yang ditunggangi Legok Ambengan.

“Praakkk!”

Pendayung itu patah dua. Kening kuda remuk. Binatang ini meringkik keras lalu berputar kencang dan kabur hingga Legok Ambengan terpelanting dan jatuh duduk pada bagian tanah yang becek!

“Bangsat kurang ajar!” kutuk Legok Ambengan seraya berdiri dan pegangi pantat celananya yang basah dan ditempeli Lumpur. Matanya memandang garang ke tengah kali.

Saat itu pemuda gondrong yang tadi lenyap kini tahu-tahu kelihatan lagi di atas perahu sambil menjulur-julurkan lidah. Kedua ibu jari tangannya ditekankan ke pelipis lalu jari-jarinya yang lain digerak-gerakkan.

“Keparat! Berani dia mengejek kita! Teriak Legok Ambengan sambil kepalkan kedua tinju. “Kalau bertemu akan kupatahkan batang lehernya!”

“Kurasa dia bukan seorang pemuda sembarangan Legok,” kata Kebo Panaran. “Pasti tadi dia membuat mental sepasang golokmu. Pasti dia memiliki semacam senjata yang hebat! Dan pasti dia pula yang melemparkan pendayung itu selagi menyelam di dalam air!”

“Aku tidak perdulikan bangsat gondrong itu!” kata Bargas Pati. “Yang membuatku jengkel ialah lolosnya orang yang kita kejar...”

“Tolol! Yang kita kejar sebenarnya Antini, istri Lor Kameswara, bukan pemuda seperti banci itu!” bentak Legok Ambengan.

“Kau yang tolol! Belum tentu dia benar-benar seorang pemuda! Buktinya dia ketakutan ketika hendak kita geledah!” balas mendamprat Bargas Pati.

“Kudanya masih ada di situ. Bargas, coba kau periksa buntalannya!” kata Kebo Panaran.

Bargas Pati turun dari kudanya. Seluruh isi buntalan dikeluarkannya. Salah satu benda yang keluar adalah sehelai kebaya dan kain panjang perempuan.

“Kebo lihat! Apa kataku!” teriak Bargas Pati. “Pemuda tadi pasti Antini istri Lor Kameswara. Buktinya dalam buntalan ini ada pakaian perempuan!”

“Kurang ajar! Jadi dia rupanya yang tadi malam menyamar menjadi pelacur! Jelas memang dia yang membunuh Tunggul Anaprang! Kita harus cari perahu atau membuat rakit dangan segera! Bangsat itu tidak boleh lolos!”

Memandang ke depan Kebo Panaran melihat perahu yang ditumpangi pemuda berambut gondrong serta pemuda yang terluka telah mencapai pinggiran kali dan berhenti.

Di atas perahu si gondrong membungkuk seraya berkata. “Sahabat, mari kugotong kau ke daratan...”

Pemuda ini tersentak kaget ketika orang yang hendak ditolongnya membuka mulut dan berkata dengan suara keras. “Jangan sentuh!”

“Eh, bagaimana ini?” Si gondrong garuk-garuk kepalanya. “Kau sanggup berdiri sendiri dan berjalan dalam banjir? Arus banjir di daratan sana cukup keras...”

“Aku sanggup berdiri dan bejalan sendiri. Aku berterima kasih kau tadi menolongku.”

Pemuda yang terbujur di atas lantai perahu yang basah itu berusaha bangkit dangan berpegangan pada pinggiran perahu. Ukanya tampak mengernyit tanda dia menahan sakit. Dengan terhuyung-huyung dia melangkah di dalam air yang tingginya sampai sepaha.

“Saudara, kau terluka cukup parah…”

“Aku bisa mengobatinya nanti. Sudah jangan perdulikan diriku...” Pemuda itu melangkah terus melawan arus air yang cukup keras meskipun sudah cukup jauh dari kali.

Si gondrong geleng-geleng kepala. “Pemuda aneh...” Katanya dalam hati lalu turun dari perahu dn melangkah mengikuti pemuda di depannya.

“Kuharap kau jangan mengikutiku!” Tiba-tiba pemuda di depan sana berkata.

“Agaknya ada sesuatu yang kau takutkan, sahabat. Pasti ada suatu sebab mengapa orang-orang di seberang kali sana hendak mencelakaimu.”

“Benar atau tidaknya itu bukan urusanmu!” jawab si pemuda sambil perbaiki kait ikat kepalanya.

“Namamu siapa dan kau sebenarnya tangah menuju kemana?”

Yang ditanya balas bertanya. “Kau sendiri siapa dan mengapa mengikutiku? Mengapa ingin tahu? Bukankah aku sudah mengucapkan terima kasih atas pertolonganmu?”

“Aku tidak butuh terima kasih...”

“Kalau begitu sebutkan saja siapa dirimu!”

“Namaku Wiro Sableng. Tujuan perjalananmu sama dengan tujuan perjalananku,” jawab si gondrong.

“Hemmm... Dari namamu saja aku sudah pantas berhati-hati...”

“Kau keliwat menghina, sahabat...”

“Tidak, siapa bilang aku menghina...”

Pendekar 212 Wiro Sableng tersenyum. “Kau tidak hendak mengatakan namamu?” Tanya Wiro.

“Tidak perlu. Dan sekali lagi aku bilang! Jangan mengikutiku!”

“Sudahlah kau boleh pergi ke mana kau suka. Aku tidak akan mengintil. Tapi aku sudah tahu namamu!” kata Wiro pula.

“Heh?!” Pemuda di depan Wiro hentikan langkah dan berpaling padanya. “Kau tahu namaku? Dari mana? Dari siapa?! Jangan menipu. Coba kau katakana siapa namaku kalau kau memang tahu!”

“Kalau tidak Sumini ya Suminah, kalau tidak Amini ya Aminah!” jawab Wiro lalu tertawa gelak-gelak.

Paras si pemuda yang cakap tampak menjadi merah. Dlam hati dia membatin “Apa dia tahu siapa diriku?”

Sesaat pemuda ini memandang tak berkesip pada Wiro. Tanpa diketahuinya sebuah batang pohon yang dihanyutkan arus meluncur ke arahnya. Wiro berteriak memberi tahu tapi batang pohon itu telah menghantam pinggangnya hingga pemuda itu terdorong keras dan terjerambab masuk ke dalam air. Sakit yang bukan kepalang akibat hantaman batangan pohon tadi membuat dia tidak mampu untuk bangkit. Tubuhnya segera tenggelam ke dalam air setinggi paha itu lalu terseret oleh arus.

“Tol... tolong...!” teriak pemuda itu. Tapi air kali jadi masuk ke dalam mulutnya. Membuat megap-megap kelagapan dan semakin tak berdaya diseret arus banjir. “Tolong... teriakan pemuda itu kembali terdengar.

Wiro melangkah bergerak memotong arah hanyutnya si pemuda.

“Tolong...!”

Tubuh si pemuda hanyut di belakang Wiro. Murid Eyang Sinto Gendeng ini gerakkan tangan kanannya ke belakang dan berhasil mencekal punggung pakaian pemuda itu lalu diseretnya sambil terus melangkah. Hujan mulai mereda.

Di satu tempat yang hanya sedikit digenangi air kali Wiro berhenti. Dia terkejut ketika didapatinya orang yang diseret itu ternyata telah jatuh pingsan. Acuh tak acuh Wiro bujurkan tubuh pemuda itu menelungkup dai tanah yang becek. Lalu dengan kakinya ditekannya bagian pinggang si pemuda. Kelihatan air kali yang sempat terminum keluar mengucur dari mulutnya.

Wiro membungkuk memeriksa luka di bahu kiri si pemuda. Luka itu cukup besar. Kalau tidak segera dibersihkan dan diobati pasti akan membusuk. Wiro balikkan tubuh si pemuda. Matanya menatap ke arah dada.

“Dadanya kelihatan seperti rata. Tapi aku yakin...” Wiro garuk-garuk kepalanya.

Akhirnya tangannya bergerak ke arah dada orang yang pingsan itu. Meraba dan memijat lalu cepat ditaiknya kembali ketika jari-jari tangannya terasa menyentuh bagian tubuh yang membusung.

“Tidak salah,” katanya. Dalam hati. “Untung tidak kupijat kuat-kuat. Mengapa dia menyamar pasti ada satu rahasia. Biar lukanya kuobati lebih dulu.”

Baru saja Wiro berkata dalam hati seperti itu tiba-tiba satu bayangan berkelebat. Satu bentakan keras terdengar.

“Pemuda kurang ajar! Berani kau mengerayangi tubuh muridku!”

“Bukkk!”

Satu tendangan menghantam punggung Pendekar 212 hingga murid Eyang Sinto Gendeng ini terpelanting!
ENAM

Untuk beberapa lamanya Wiro terkapar terelungkup di tanah yang becek. Pakaian putihnya di sebelah depan serta mukanya berkelukuran Lumpur tanah liat merah. Sambil mengernyit kesakitan Wiro memandang ke samping untuk melihat siapa yang bausan telah menghantamnya.

Orang itu ternyata seorang nenek berwajah pucat yang rambutnya kasar jabrik berwarna kelabu. Dia mengenakan jubah hitam besar gombrong menjela tanah hingga kedua kakinya tidak kelihatan. Sepasang lengan jubah juga gombrong menutupi kedua tangannya. Tapai mata Wiro yang tajam dapat melihat bahwa pada kedua lengan nenek tak dikenal ini tersisip sesuatu. Mungkin golok pendek mungkin juga sebentuk pisau.

Sambil garuk-garuk kepala dan masih mengernyit sakit Wiro bangkit lalu duduk di tanah. “Nenek muka pucat, aku tidak kenal kau. Mengapa membokong aku dengan tendangan?” bertanya Wiro.

“Kau tidak perlu kenal siapa aku! Masih untung aku cuma menendangmu! Seharusnya sudah kupecahkan kepalamu!” Si nenek menjawab dengan mata melotot dan membentak. Suaranya halus aneh tapi melengking.

“Kenapa kau hendak membunuhku?!”Tanya Wiro lagi seraya berdiri.

“Kenapa? Monyet! Kau masih bisa bertanya? Apa kau masih tidak tahu kesalahanmu?!”

“Aku tidak merasa berbuat salah. Malah aku barusan habis menolong pemuda itu!” jawab Wiro.

“Setan alas! Kau berdalih menolong! Aku tidak buta! Aku lihat jelas tadi kau meraba memegang-megang dada muridku!”

“Ah” Wiro menyeringai. “Kalau kau cemburu aku memegangi dada pemuda itu, jangan-jangan dia bukan muridmu! Lelaki meraba lelaki apa salahnya? Jangan-jangan kau punya hubungan asamara gila dengan pemuda ini!”

Si nenek keluarkan suara melengking keras. Tangan kanannya digerakkan. Dari ujung lengan jubahnya keluar angin bersiuran. Menghantam deras ke arah Wiro yang saat itu masih setengah berdiri. Yang keluar dari lengan jubah itu ternyata bukan hanya pukaulan angin kosong ganas, tetapi tiba-tiba ikut melesat sebilah pisau belati. Pisau terbang ini bersiuran deras di udara, melesat ke arah dada Pendekar 212!

“Tua bangka edan!” maki Wiro. Dia terpaksa jatuhkan diri ketanah kembali. Pukulan tangan kosong dan pisau terbang lewat di atasnya lalu menancap di sebatang pohon. Begitu lolos dari serangan orang Wiro cepat melompat bangkit lalu menuding dengan telunjuk tangan kirinya tepat-tepat ke muka si nenek.

“Dengar nenek muak pucat! Siapapun pemuda itu berada dalam keadaan terluka. Kau lihat bahu kirinya...”

“Aku tidak buta! Aku melihat! Tapi kau cuma mengarang cerita!”

‘Sialan!” maki Wiro. Sudahlah! Jika pemuda itu memang muridmu kau uruslah sendiri!” Wiro jadi jengkel lalu balikkan diri hendak tinggalkan tempat itu sementara paemuda yang tadi ditolongnya masih tergeletak tidak sadarkan diri.

Si nenek berteriak marah. “Setelah kau berbuat mesum terhadap muridku apa kau kira aku akan biarkan kau pergi begitu saja?! Ulurkan dulu tangan kananmu yang tadi menggerayangi tubuh muridku biar kupatahkan!”

“Eh tua bangka ini benar-benar sial dangkalan!” kata Wiro dalam hati. Dia alirkan separuh dari tenaga dalamnya ke tangan kanan lalu melangkah ke hadapan si nenek seraya ulurkan tangan itu.

“Kau mau mematahkan tanganku? Lakukanlah!” kata Wiro seraya membelintangkan tangan kanannya didepan hidung si nenek.

“Manusia sombong! Lihat! Tanganmu akan kujadikan tiga potongan! Nenek muka pucat melompat sambil gerakkan kedua tangannya. Dengan pinggiran telapak tangannya dia menghantam lengan Wiro.

“Krakkk! Krakkk!” Terdengar suara berderak patah dua kali berturut-turut.

“Rasakan!” teriak si nenek sambil menyeringai puas dan melompat mundur. Namun ketika dia memandang ke depan si nenek jadi melengak. Yang barusan dipukulnya patah bukannya lengan pemuda berambut gondrong itu melainkan sebuah ranting pohon!

Pendekar 212 tertawa mengakak. “Nenek muka pucat rambut jabrik!” kata Wiro pula sambil senyum-senyum. “Kau bilang matamu tidak buta tetapi kau lihat sendiri apa yang berusan kau paahkan? Bukan tanganku tapi ranting kayu butut!”

Si nenek sendiri memang sudah terkejut dan heran sejak tadi-tadi. Tak dapat dia menduga apa yang telah terjadi. Jelas tadi dia memukul lengan si pemuda. Lalu bagaimana kemudian dia jadi memukul ranting kayu sedang tangan Wiro jelas dilihatnya masih utuh tidak cidera barang sedikitpun, apalagi patah tiga! Sebenarnya apakah yang telah dilakukan Pendekar 212?

Ketika melangkah ke hadapan si nenek Wiro sempat menyambar sepotong ranting kayu yang ada di dekat situ. Si nenek tidak melihatnya karena perhatiannya tertuju pada tangan kanan yang dipentangkan Wiro tepat-tepat di depan hidungnya.

Sewaktu si nenek memukulkan kedua tangannya dengan marah secepat kilat Wiro turunkan tangan kanannya. Lalu sebagai gantinya dia palangkan ranting kayu itu. Tentu saja yang kemudian dipukul si nenek buakan tangannya melainkan ranting tadi!

Kalau saja nenek muka pucat itu sadar akan keahlian orang mempermainkannya pasti selanjutnya dia tidaka akan gegabah lagi. Namun dalam marahnya dia tidak dapat berpikir banyak. Didahului suara menggembor perempuan tua ini berkelebat.

Sebilah belati melesat keluar dari lengan jubahnya kiri kanan, masuk ke dalam genggamannya. Lalu dengan sepasang senjata ini dia melompat menyerang Wiro. Murid Sinto Gendeng yang masih tertwa-tawa gak terlambat membuat gerakan mengelak.

“Brettt...!”

Pisau di tangan kiri si nenek sempat membabat dada kirinya. Maisih untung hanya baju putihnya saja yang kena disambar hingga robek besar. Wiro melompat ke samping. Lawan memburu dengan ganas. Dua pisau belati berkelebat di udara.

Pendekar 212 sambut serangan si nenek dengan keluarkan jurus ilmu silat orang gila yang dipelajarinya dari Tua Gila di Pulau Andalas. Tubuhnya meliuk-liuk sempoyongan seperti orang mabuk yang mau roboh. Nenek muka pucat jadi terkejut ketika setelah tiga jurus menggempur bertubi-tubi tak satu serangannyapun dapat mencapai sasaran.

Penasaran dia lipat gandakan kecepatan dan tenaga serangannya. Tubuhnya berubah jadi baying-bayang hitam yang melesat kian kemari. Pisaunya menderu-deru menikam dan membabat.

Jurus-jurus ganas si nenek membuat Pendekar 212 terdesak sampai tiga jurus. Wiro kerahkan tenaga dalamnya pada kedua lengannya. Getaran tanga dalam yang memancar dari kedua tangannya emmbuat serangan sepasang pisau si nenek seperti tertahan oleh satu kekuatan yang tidak terlihat.

“Hemm... Pemuda ini ternyata memiliki tenaga dalam tinggi,” meyadari si nenek. Maka diapun berlaku cerdik. Dia mulai keluarkan serangan-serangan tipuan dangan tangan kanan sedangkan tangan kiri melancarkan serangan sungguhan.

“Tua bangka ini licik juga!” kata Wiro dalam hati. Dia membuat gerakan mundur sebagai pancingan. Ketika lawan mengejar Wiro membungkukkan tubuhnya lalu tangannya bergerak melancarkan jurus pukulan Kepala Naga Menyusup Awan.

Tangan kanannya mencuat ke atas, laksana seekor naga mematuk ke arah tangan kanan si nenek. Perempuan tua ini berseru kaget dan cepat tarik tangan kananya. Tapi terlambat. Lima ujung jari Pendekar 212 yang disusun rapat dan dikeraskan telah lebih dulu menghujam di pergelangan tangannya.

Si nenek terpekik. Pisau yang dipegangnya terlepas dan cepat disambar oleh Wiro. Sambil melompat mundur kesakitan, dengan mata melotot nenek itu memandang tak berkesip pada Pendekar 212. Wiro sendiri kini tegak dangan tangan kiri bertolak pinggang sedang tangan kanan menimang-nimang belati milik si nenek.

“Pemuda mesum! Siapa kau sebenarnya?” bertanya si nenek.

“Kau yang lebih tua coba katakana siapa dirimu sesungguhnya!” membalas Wiro.

Ucapan ini membuat si nenek jadi tidak enak. Dia berkata. “Saat ini aku bersedia mengalah. Biar urusan kita anggap selesai. Kau boleh pergi. Biar aku mengurus muridku itu.”

Wiro tertawa. Maaf saja Nek. Aku terpaksa jual mahal sekarang! Kalau kau tidak mau menerangkan siapa dirimu, juga mengatakan sengan jujur apa hubunganmu dengan pemuda ini, terpaksa aku yang memintamu agar lekas-lekas minggat dari sini! Kau harus pergi mencari tukang gunting untuk mencukur rambutmu yang jabrik itu!”

Si nenek tampak marah sekali dan menjadi mengkelap. “Siapa aku tidak bisa kukatakan. Tapi pemuda itu memang muridku!” jawab si nenek hambpir berteriak.

Wiro menyeringai. “Kau boleh pergi dengan aman Nek!” katanya.

“Aku akan membawa serta muridku!”

“Tidak bisa!”

“Keparat! Kenapa tidak bisa?!”

“Aku tahu siapa muridmu sebenarnya!”

Si nenek melengak. “Maksudmu apa?!” bentak orang tua ini.

“Muridmu bukan seorang lelaki! Tapi seorang permpuan!”

Si nenek terpekik. Lalu seperti orang gila dia menyerbu ke arah Wiro. Di tangan kanannya ada sebuah benda bulat. Benda ini dilemparkannya ke arah Pendekar. Menyangka benda itu adalah senjata rahasia, Wiro cepat menghantam dengan tangan kiri yang mengandung tenaga dalam tinggi.

Terdengar suara letupan keras yang disertai menebarnya asap hitam tebal. Wiro cepat melompat menjauhi. Tetapi tempat sekitar situ sudah keburu tertutup asap tebal yang menghalangi pemandangan. Tangan di depan matapun sulit untuk dilihat.

Ketika akhirnya asap hitam itu perlahan-lahan pupus dan keadaan di tempat itu menjdai terang seperti semula, Wiro dan si nenek yang tegak saling berhadap-hadapan menjadi terkejut. Pemuda yang pingsan di atas tanah tak ada lagi di tempat itu!

“Muridku lenyap! Kau yang punya gara-gara!” teriak si nenek marah sekali.

“Tua bangka goblok! Kalau kau tidak berlaku tolol melepas bola asap tadi tidak akan terjadi urusan gila begini! Muridmu dilarikan orang salahmu sendiri!” balik mendamprat Wiro.

Saat itu matanya melihat ujung ranting di salah satu semak belukar bergoyang-goyang. Lalu di ujung ranting ada secarik robekan kain. Ketika ditelitinya dia merasa yakin itu adalah robekan pakaian pemuda yang pingsan tadi. Berarti siapapun yang melarikan pemuda itu, orangnya lari ke jurusan sini.

Tanpa pikir panjang Wiro segera berkelebat mengejar. Si nenek tak tinggal diam. Dia ikut berkelebat ke jurusan larinya Wiro. Jengkel merasa diikuti Pendekar 212 balikkan tubuh dan tegak menghadang.

“Aku tak suka kau ikuti! Uusan bisa jdai salah kaprah kalau kau muncul di mana aku muncul!”

“Pemuda sombong! Kemana aku pergi setanpun tidak bisa melarang! Apalagi manusia sontoloyo macam kau!”

“Kalau begitu kau tetaplah di sini! Tua bangka jelek!” tukas Wiro. Dia dorongkan kedua tangannya ke arah si nenek.

Perempuan tua itu berseru keras ketika dari arah Wiro menderu keluar angin deras laksana topan prahara. Dia coba menerjang. Tapi tubuhnya terdorong keras. Dia kerahkan seluruh kekuatannya luar dalam. Di depan sana Wiro sentakkan kedua tangannya. Tak ampun lagi tubuh si nenek terpental jauh dan punggungnya terbanting ke sabatang pohon.

Dia coba lagi bergerak. Tapi badannya seperti menempel ke batang poon itu. Sambil menggapai-gapai dia memaki panjang pendek. Namun Wiro yang barusan melepaskan pukulan sakti bernama Benteng Topan Melanda Samudera telah lenyap dari tempat itu.

Sesaat kemudian dengan susah payah baru si nenek berhasil melepaskan diri dari tekanan hawa sakti yang tadi dilepaskan Pendekar 212. Dia berkelebat ke arah lenyapnya Wiro. Namun nenek ini kembali terdengar memaki ketika menyadari bahwa dia telah kehilangan jejak pemuda itu!

TUJUH

Pendekar 212 Wiro Sableng hentikan larinya di satu kaki bukit karena kehilangan jejak orang yang dikejarnya. Sambil memandang berkeliling Wiro berkata dalam hati. “Aneh, jejak orang itu sama sekali tidak terlihat di tanah yang becek. Tidak mungkin orang itu lari tanpa menginjak tanah! Atau dia mempunyai kesaktian sehebat Dewa?”

Wiro memandang lagi berkelilig lalu menengadah ke atas memperhatikan pepohonan. “Heh….?!” Mudrid Sinto Gendeng keluarkan suara keheranan. Beberapa akar gantung pohon-pohon besar yang ada di tempat itu kelihatn bergoyang-goyang. Tak ada angin yang bertiup, tidak kelihatan burung terbang juga tidak tampak bajing atau binatang pohon lainnya.

“Mustahil akar itu bergoyang kalau tidak ada yang menyentuhnya...”

Wiro memutuskan masuk ke dalam rimba belantara di kaki bukit itu. Belum lama dia bergerak di antara kerapatan pepohonan dan semak belukar tiba-tiba didengarnya suara orang menarik nafas panjang berulang kali. Lalu ada suara berkata.

“Gila! Panas sekali hari ini!”

Murid Sinto Gendeng jadi melengak. “Siapa yang bicara?!” tanyanya dalam hati seraya memandang kekiri dan kekanan. Tidak kelihatan orang yang berbicara itu.

“Hujan baru saja reda. Udara masih terasa dingin. Enak saja ada yang berkata panas sekali hari ini! Dia yang gila agaknya!”

“Uhhh... Uhhh... Panas betul!”

Terdengar lagi suara orang tadi. Kali ini daangnya dari arah serumpun semak belukar di sebelah kanan. Wiro cepat bergerak ke arah semak belukar itu lalu menyibaknya.

“Sialan! Tak ada siapa-siapa di sini!” maki Pendekar 212 ketika dia tidak menemui orang yang tadi bicara. Padahal jelas suaranya datang dari arah belik semak belukar itu!

“Uhh... Uhhh... Panasnya benar-benar gila! Tubuhku sudah mandi keringat! Untung hujan tidak turun. Kalau turun pasti udara lebih panas lagi!”

“Benar-benar gila!” maki Wiro lagi. “Siapa yang bicara seperti itu?!” Dia melangkah cepa ke arah kiri. Karena suara yang barusan didengarnya datang dari balik sebatang pohon besar. Namun begitu sampai di balik pohon tetap saja dia tidak menemukan siapapun! Murid Sinto Gendeng jadi garuk- garuk kepala. Dia berpikir keras.

“Orang yang barusan bicara jelas mempergunakan ilmu memindahkan suara. Hingga suaranya terdengar datang dari satu jurusan tetapi dia sendiri tidak ada di tempat itu. Tapi otaknya miring. Aku hendak dipermainkannya! Hemmm... Orang gila harus dilayani secara gila!”

Wiro garuk-garuk lagi kepalanya. Lalu dia mulai menceloteh. “Gila! Memang gila udara hari ini! Panas luar biasa. Matahari seperti di atas batok kepala! Ah, ingin rasanya mandi di kali. Tapi air kalipun pasti panas! Sialan!” Wiro diam. Suasana sunyi. Tapi tidak lama. Sesaat kemudian terdengar suara orang tadi.

“Nah apa kataku! Udara hari ini memang panas! Buktinya ada orang gila yang barusan berucap begitu!”

“Sial dangkalan! Aku dikatakan gila!” Wiro bantingkan kaki. Tangan kanannya diangkat lalu dipukulkan ke arah rerumputan semak belukar. Dari balik semak belukar itu tadi datangnya suara yang mengatakannya orang gila.

“Braakkk!”

Semak belukar mental berantakan terkena pukulan tangan kosong mengandung tanaga dalam yang dilepaskan Pendekar 212. Tak ada suara keluhan kesakitan, apalagi jeritan. Untuk beberapa lamanya murid Eyang Sinto Gendeng ini jadi tegak terdiam di tempatnya. “Setan, aku benar-benar dipermainkan!”

Baru saja Wiro membatin serperti itu tiba-tiba orang tadi kembali terdengar berucap. “Kekasihku, ada orang gila dalam hutan ini. Sebaiknya kita menyingkir saja!”

Suara terdengar tepat di atas kepala Pendekar 212. Wiro mendongak ke atas. Astaga! Sekali ini rupanya orang yang bicara tidak menggunakan ilmu memindahkan suara lagi. Karena suaranya yang datang dari atas dan ketika dilihat dan ternyata dia memang ada di atas pohon.

Yang mengejutkan Wiro ialah ketika menyaksikan bahwa orang yang bicara dilihatnya duduk di ujung cabang sebatang pohon. Di tangan kanannya ada sehelai kipas lipat yang tiada hentinya digoyang-goyangkannya ke wajah yang penuh keringat!

Orang aneh ini mengenakan pakaian lucu. Celananya jelas terbalik. Bajunya juga sengaja dipakai terbalik. Bagian belakang ditempatkan sebelah depan sedang bagian depan yang ada kancingnya diletakkan di sebelah punggung! Mukanya bundar merah dan tubuhnya gemuk bulat. Kedua matanya besar dan kepalanya memakai sehelai peci hitam yang kupluk kebesaran.

Yang lebih membuat Wiro terkejut adalah ketika menyaksikan, pemuda yang tengah dicarinya ternyata ada di samping si orang aneh, masih dalam keadaan pingsan dan punggung bajunya terkait pada ujung sebuah ranting. Tubuh ini tergantung terkatung-katung dan bergoyang-goyang ke atas ke bawah! Kalau ranting yang mangait bajunya patah, tak ampun lagi pemuda tersebut akan jatuh ke tanah.

“Manusia aneh. Kepandaiannya pasti luar biasa!” kata Wiro dalam hati sambil garuk-garuk kepala. Lalu dai berseru. “Sobat di atas pohon! Hati-hati! Harap kau turunkan sahabatku yang terkait di ujung ranting itu!”

Orang di atas pohon memandang ke bawah ke arah Wiro. Mulutnya menyeringai. “Di atas dunia, orang gila tidak punya sobat tidak punya sahabat!” katanya membalas seruan Wiro tadi.

“Edan!” maki Wiro dalam hati. “Orang di atas pohon! Kau melarikan sahabatku masih bisa kumaafkan. Tapi kalau kau mempermainkan jiwanya di ujung ranting itu dan samapai jatuh, aku akan menggebukmu sampai setengah mati!”

“Digebuk setengah mati itu justru enak! Yang tidak enak kan kalau digebuk mati betulan!” jawab orang gemuk di atas pohon.

“Gemuk konyol!” teriak Wiro. “Kalau sudah mampus kau mana bisa merasakan enak atau tidak enak!”

“Eh! Makianmu membuat udara tambah panas!” kata orang di aas pohon lalu kembali berkipas-kipas. “Jangan berani memaki lagi! Nanti aku kipas!”

“Kalau kau tidak segera menurunkan sahabatku itu dari atas pohon aku akan mengambilnya dan jangan menyesal kalau kau kebagian bogem mentah atau tendangan dariku.” Mengancam Wiro.

“Hidup delapan puluh tahun sekalipun aku tidak pernah menyesal. Lagi pula siapa percaya kalau orang ini adalah sahabatmu. Bisa kau membuktikan?!” bertanya si gemuk bulat di atas pohon.

“Persetan dangan urusan bukti membukti. Yang jelas kau telah melarikan sahabatku itu. Kini kau mempermainkan jiwanya dan menggantungnya di ujung ranting!” Dalam pada itu Wiro jadi terheran-heran. Orang gemuk di aas pohon mengaku usianya delapan puluh tahun. Padahal melihat wajah dan keadaan kulit badannya paling bantar dia berusia dua puluh lima tahun!”

“Ternyata kau bukan saja gila, tetapi juga tolol! Aku tidak merasa melarikan orang ini!”

“Lalu bagaimana dia bisa tergantung di atas pohon sana. Dan kau juga ada di pohon itu!”

“Soal sama-sama di satu pohon bisa saja merupakan kebetulan!” jawab orang itu seenaknya lalu tertawa gelak-gelak yang membuat Wiro tambah jengkel. “Bagaimana dia bisa tergantung di ujung ranting nanti kau bisa tanya sendiri padanya kalau dia sudah siuman! Sekarang kau lebih baik pergi! Ada lebih dari dua orang di tempat ini membuat udara jadi tambah panas!” Lalu si gemuk di atas pohon kembali berkipas-kipas.

“Kalau kau tidak mau menurunkan pemuda sahabatku itu, terpaksa aku naik ke atas pohon!”

“Sudahlah, jangan banyak omong. Aku tahu kau ingin menolong orang ini karena sebenarnya dia adalah kekasihmu. Paling tidak kau sudah tergila-gila padanya! Jangan kira aku tidak tahu siapa adanya orang yang kau katakan pemuda ini!”

“Kunyuk berkopiah kupluk di atas pohon itu rupanya sudah tahu siapa adanya pemuda itu. Jangan-jangan dia sudah menggerayangi tubuh perempuan itu!” Lalu Wiro bertanya. “Hai! Bagaimana kau tahu kalau pemuda itu sebenarnya adalah perempuan?”

Yang ditanya tersenyum-senyum lalu menjawab. “Ada dua buah bisul besar di dadanya kiri kanan! Ha ha ha...!

Meskipun jengkel tapi Wiro tidak dapat menahan ledakan tertawanya mendengar kata-kata orang di atas pohon. Selagi dia tertawa bergelak, orang itupun ikut-ikutan tertawa. Tubuhnya bergoyang-goyang. Akibatnya ranting di mana pemuda itu terkait ikut bergoyang-goyang. Wiro menahan nafas kawatir si pemuda akan jatuh ke tanah.

Karena tidak sabar lagi murin Eyang Sinto Gendeng segera melompat ke atas. Tangan kirinya didorongkan ke arah si gemuk. Satu gelombang angin menyambar. Dengan sigap Wiro pergunakan tangan kanannya untuk menyambar sosok tubuh pemuda yang tergantung dalam keadaan pingsan di ujung ranting.

Orang gemuk berpakaian terbalik di atas pohon goyangan kaki kanannya. Gerakannya acuh tak acuh. Tapi gerakan kaki itu tidak lain adalah satu serangan berbahaya yang mengeluarkan dan mengarah rusuk kiri Pendekar 212. Mau tak mau dia terpaksa mengelak. Akibatnya sambaran tangan kanannya ke tubuh pemuda tergantung di ujung ranting menjadi gagal.

Dengan mengerahkan seluruh tenaga dalamnya Wiro kembali melompat. Tangan kiri lepaskan pukulan Kunyuk Melempar Buah. Tubuh si gemuk tampak bergoyang-goyang tapi hanya sesaat. Tiba-tiba dengan gerakan yang juga kelihatan acuh tak acuh dia babatkan kipas di tangan kanannya ke bawah.

Murid Eyang Sinto Gendeng merasakan tubuhnya disambar angin sejuk. Lalu satu gelombang angin yang dasyat luar biasa menghantamnya dari atas. Dia coba bertahan. Kerahkan seluruh tenaga luar dan dalam. Tapi tidak berhasil. Tubuhnya terbanting jatuh dan terjengkang di tanah!

Untuk beberapa saat lamanya Wiro terhenyak nanar. Ketika dia sadar cepat-cepat dia jatuhkan diri dan berguling menjauh, kalau dalam keadaan seperti itu orang di atas pohon menghantamnya kembali pasti dia celaka. Tapi si gemuk itu tidak melancarkan serangan susulan malah kelihatan duduk bergoyang-goyang kaki sambil berkipas-kipas dan malah kini sambil bersiul-siul.

Wiro memutar otak. “Kalau kulawan orang gila itu dengan kekrasan mungkin aku akan menemui kesulitan. Jangan-jangan pemuda di ujung ranting itu juga bakal celaka!” Wiro garuk-garuk kepala. Lalu dia mendongak dan berseru. “Pangeran! Hari sudah hampir malam. Kalau malam datang hawa di sini tentu tambah panas. Bagaimana kalau Pangeran segera kuantar pulang ke Istana dan pemuda itu biar aku yang mendukungnya?!”

“Eh! Siapa yang memanggil aku dengan sebutan Pangeran!” Si gendut muka bulat di atas pohon memandang kian ke mari celingak celinguk dengan sikap lucu dan tentunya tidak lupa berkipas-kipas.

“Saya yang memanggil Pangeran. Hamba sahaya Pengeran!” jawab Wiro dari bawah pohon.

Si gemuk tertawa gelak-gelak. “Manusia kampret tolol! Aku bukan Pangeran. Tapi seorang Raja Di Raja!”

“Ah! Maafkan hamba sahayamu ini Pangeran. Hamba sampai lupa kalau baru kemarin saja kau telah diobatkan jadi Raja Di Raja,” kata Wiro sambil menahan geli.

“Bagaimana Sri Baginda? Kita pulang sekarang? Permaisuri tentu sudah tak sabar menunggu Sri Baginda di atas tilam...”

“Lagi-lagi kau kampret tolol! Kau tahu aku Raja bujangan! Belum kawin! Belu punya permaisuri! Mungkin... Mungkin dia akan kujadikan permaisuri!” kata si gemuk sambil menunjuk dengan ujung kipas pada pemuda yang masih pingsan dan dikaitkannya di ujung ranting.

“Ah, lagi-lagi hamba berlaku tolol! Orang itu memang pantas menjadi permaisuri Sri Baginda. Tapi dia dalam keadaan terluka. Apakah Sri Baginda tidak akan membawanya turun lalu mengobatinya lebih dulu?!”

Si gemuk tampak terkejut. Dia memeriksa sekujur tubuh pemuda di ujung ranting. “Astaga! Kampret kau betul! Calon permaisuriku ini terluka bahu kirinya. Harus diobati dengan cepat...”

“Izinkan hamba membawa turun sang permaisuri itu Sri Baginda,” kata Wiro.

“Kampret! Aku tidak percaya padamu! Aku tidak mau permaisuriku disentuh makhluk macammu!” jawab si gemuk. Lalu dia berkipas-kipas tiga kali berturut-turut.

Setelah itu dia ulurkan tangan kirinya untuk mencekal leher pakaian si pemuda. Dengan satu gerakan yang enteng mengagumkan orang gemuk ini melayang turun sambil membimbing tubuh si pemuda! Begitu ampai di bawah si gemuk membaringkan tubuh si pemuda di tanah. Dia berpaling pada Wiro.

“Hamba sahayaku!” katanya.

“Saya Sri Baginda...”

“Dari atas kulihat tampangmu jelek! Sudah dekat begini justru malah tambah jelek!"

Wiro melengak jengkel tapi geli juga ada. Sambil garuk-garuk kepala dia berkata. “Sri Baginda, kita harus segera kembali ke Istana. Sebagai hamba sahaya, saya bersedia memanggul tubuh permaisuri. Tapi jika Sri Baginda belum percaya, silahkan pergi, apakah Sri Baginda tidak akan bersantap sekedar mengisi perut lebih dulu? Istana kita cukup jauh dari sini.”

“Istana kita cukup jauh dari sini katamu? Hemm... Betul. Sekali ini kau betul kampret! Lalu santapan apa yang hendak kau berikan padaku?”

Di dekat sini ada sebatang pohon yang menghasilkan sejenis buah yang sangat manis. Dengan izin Sri Baginda saya akan pergi mengambilnya barang dua tiga buah...”

“Bagus, pergilah cepat!” kata si gemuk yang menganggap dirinya sebagai Raja Di Raja.

Wiro cepat menyelinap di antara semak belukar. Di satu tempat sebelumnya dia telah melihat sebuah pohon yang berbuah merah. Dia tidak tahu nama buah itu namun dia tahu kalau buah yang rasanya enak dan sangat manis itu kalau dimakan maka dalam waktu beberapa saat saja orang yang memakannya akan mulas perutnya lalu akan bocor terus-terusan sampai isi perutnya kosong! Tapi baru saja Wiro bergerak dua langkah si gendut tiba-tiba terdengar memanggil.

“Tunggu!”

“Sial! Apa lagi maunya si gendut ini. Atau mungkin dia tahu kalau hendak ditipu?!”

DELAPAN
WWW.ZHERAF.NET
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng Karya Bastian Tito
Wiro hentikan langkah dan berbalik. “Ada apa Sri Baginda memanggil saya?” tanya Wiro.

“Permaisuriku...”

“Kenapa dengan permaisuri Sri Baginda?” Tanya Wiro

“Kampret! Tadi kau bilang permaisuriku terluka dan harus segera diobati!”

“Ah, maafkan hamba Sri Baginda. Apakah Sri Baginda segera hendak memeriksa lukanya?”

“Coba kau telungkupkan tubuhnya! Tapi awas kalau kau coba meraba-raba tempat-tempat yang terlarang!"

Wiro menyeringai. “Masakan hamba berani berlaku kurang ajar terhadap seorang calon permaisuri!” kata Wiro pula. Lalu dengan hati-hati tubuh si pemuda dibalikkannya hingga kini terbujur menelungkup. Si gendut jongkok di samping kiri. Dengan ujung kipasnya dikuakkannya pakaian yang robek di bahu kiri. Kelihatan luka yang cukup dalam di bahu itu.

“Hemm... Kalau aku tahu siapa orang yang melukai bahu calon permaisuriku ini, akan kupatahkan batang lehernya!” kata si gendut. Lalu dia berlutut dan angkat tangan kanan yang memegang kipas. Perutnya yang gendut tampak mengempis. Wiro maklum kalau orang ini tengah mengerahkan seluruh tenaga dalamnya.

“Srettt!”

Kipas di tangan si gendut membuka lalu kipas ini diusapkannya kesekujur tubuh si pemuda yang tertelungkup, mulai dari kepala sampai ke ujung kaki. Selesai mengusap si gendut lipat kembali kipasnya dan selipkan benda ini di pinggang celananya yang terbalik.

Masih dalam keadaan berlutut si gendut kemudian usap-usapkan tangannya satu sama lain. Ketika telapak tangan itu diangkat Wiro melihat warna kulit telapak kanan telah berubah menjadi sangat merah dan mengeluarkan asap. Ada hawa dingin keluar dari telapak tangan kanan itu yang terasa sampai tempat Wiro berdiri.

Perlahan-lahan si gendut menurunkan tangan kanannya. Telapak tangan kanan ditempelkan di luka pada bahu kiri si pemuda. Kemudian perlahan-lahan tangan itu diangkat. Ketika tangan kanan diangkat, Wiro jadi melengak. Luka di bahu kiri si pemuda sembuh sama sekali. Bahkan bekasnyapun tak kelihatan. Meski sudah sembuh tapi si pemuda masih tetap tertelungkup pingsan.

“Si gendut gila ini benar-benar memiliki kesaktian seperti Dewa!” kata Wiro dalam hati penuh kagum. “Siapa dia sebenarnya. Eyang rasa-rasanya tak pernah menceritakan tentang manusia satu ini...” Lalu Wiro bertanya. “Sri Baginda, apakah sekarang hamba boleh pergi mengambil buah untuk santapan Sri Baginda itu?”

“Ya, kau boleh pergi sekarang...” Jawab si gendut tanpa mengalihkan pandangannya dari sosok tubuh si pemuda yang tergeletak di tanah.

Wiro segera berlalu. Tak lama kemudian dia muncul membawa tiga buah berkulit merah dan keras. Wiro pecahkan buah pertama. Kelihatan isinya yang putih dan menebar bau harum. Tenggorokan si gendut kelihatan turun naik. Begitu Wiro menyerahkan buah itu serta merta dimakannya sengan rakus sampai mulutnya mengeluarkan suara menyiplak.

“Enak sekali. Manis sakali! Buah apa ini namanya?" Tanya si gendut. Sebentar saja buah pertama itu sudah lenyap ke dalam perutnya. Dia mengulurkan tangan minta buah kedua. Wiro segera memberikan buah kedua. “Ah luar biasa sedapnya!” kata si gendut dengan mata sampai terbalik-balik.

“Satu lagi Sri Baginda...”

Si gendut mengangguk tapi kepalanya kelihatan miring ke kiri dan matanya kini terbalik-balik lain, tidak seperti tadi lagi. Tiba-tiba dia letakkan kedua tangan di atas perut.

“Mulas! Perutku mulas!” Kampret! Buah apa yang kau berikan padaku?” Si gendut hendak marah. Tapi perutnya yang mulas tidak tertahankan membuat dia salah tingkah. “Sialan!” teriaknya.

“Ikuti hamba Sri Baginda. Ada tempat yang aman untuk buang hajat...” kata Wiro lalu ditariknya tangan si gendut dan dibawanya menyusup ke balik beberapa semak belukar. Di balik serumpunan semak belukar lebat dia berhenti. “Nah di sini tempat yang baik Sri Baginda. Tak ada yang melihat Raja buang hajat besar di sini...”

“Eh, kau mau kemana?” Tanya si gendut sambil melorotkan celananya.

“Hamba akan mencari air untuk pembersih Sri Baginda!” jawab Wiro.

“Tak usah air. Daun saja!” kata si gendut pula. Lalu mulai jongkok.

“Daun di hutan ini kebanyakan ada bulunya Sri Baginda. Hamba takut nanti selangkangan Sri Baginda jadi lecet dan Sri Baginda punya perabotan menjadi bengkak dan gatal!”

“Ah sudah ! Pergi sana! Jangan lama-lama...” Si gendut mengerenyit. Perutnya mulas sekali tapi yang mau dikeluarkan seperti macet.

Begitu lenyap dari pemandangan si gendut Pendekar 212 Wiro Sableng segera lari ke tempat di mana pemuda tadi masih tergeletak pingsan. Dengan cepat dipanggulnya tubuh pemuda itu lalu berkelebat lenyap di balik kerapatan pepohonan dan semak belukar.

Di sebelah timur di bagian hutan yang sunyi Wiro henikan larinya. Saat itu sudah memasuki rembang petang. Dia melihat pemuda itu mengerakkan kepalanya sedikit ketika dibaringkan di tanah.

“Aku harus benar-benar memastikan dia memang perempuan...” kata Wiro dalam hati.

Lalu murid Eyang Sinto Gendeng dari Gunung Gede ini menganggalkan kain penutup kepala si pemuda. Begitu kepalanya tersingkap kelihatanlah rambutnya yang hitam panjang. Wiro membelai rambut itu dan menariknya dengan hati-hati. Ternyata rambut itu panjangnya sampai ke pinggang. Dan wajah si pemuda kini kelihatan aslinya. Wajah seorang permepuan muda berparas cantik sekali.

“Hem...” Wiro garuk-garuk kepala. Selagi dia berpikir-pikir apa yang akan dilakukannya tiba-tiba perempuan itu membuka kedua matanya. Pandangannya membentur Wiro. Mulutnya terbuka hendak menjerit. Wiro cepat menekap mulutnya seraya berkata.

“Saudara jangan takut. Aku bukan orang jahat. Aku seorang sahabat..." Tekapanku akan kulepaskan. Tapi ingat, jangan menjerit...” Wiro kawatir kalau sampai perempuan itu mengeluarkan jeritan akan sempat terdengar si gendut gila berkepandaian tinggi itu. Wiro belum lepaskan tekapannya karena dirasakannya mulut perempuan itu bergerak-gerak entah hendak mengatakan sesuatu entah hendak berteriak.

“Dengar namaku Wiro Sableng. Aku menemukanmu di kali sewaktu kau diserang oleh tiga orang yang aku tidak kenal...”

Sepasang mata perempuan itu terpejam sesaat. Perlahan-lahan Wiro melepaskan tekapannya. Perempuan itu coba mengingat-ingat apa yang terjadi sebelumnya. Lalu tangan kanannya meraba ke bahu kiri. Wiro cepat berkata.

“Waktu kau melompat ke dalam perahuku, salah seorang penyerang berhasil melukai bahu kirimu. Tapi sekarang luka itu sudah sembuh. Ada seorang sakti yang mengobatimu!”

“Orang sakti? Bukan kau...?” Tanya perempuan itu dengan suara halus perlahan.

“Bukan, aku tidak memiliki ilmu sehebat dia...”

“Sekarang dimana orang sakti itu...?”

“Jauh di dalam hutan sana. Aku sengaja membawamu lari dari dia karena dia hendak mengambilmu jadi permaisuri...”

Perlahan-lahan perempuan itu bangkit dan duduk di tanah. “Kau jangan bicara ngacok!”

“Aku tidak ngacok Saudari,” jawab Wiro. “Aku akan ceritakan padamu apa yang telah terjadi setelah kau jatuh pingsan dihantam batangan pohon. Tapi aku ingin kau memberi tahu namamu lebih dulu...”

“Saudari...?!” Tiba-tiba perempuan itu saperti ingat sesuatu. Diraba kepalanya. Baru disadarinya rambutnya yang hitam panjang telah tersingkap dan tergerai lepas. Sesaat wajahnya tampak berubah. Dia juga ragu-ragu untuk mengatakan namanya. “Jangan-jangan kau adalah kaki tangan Kebo Panaran dan kawan-kawannya...”

“Siapa Kebo Panaran?” Tanya Wiro.

Yang ditanya tidak menjawab. Dia memandang jauh ke depan. Lalu tampak kedua matanya berkaca-kaca. Tidak dapat membendung tangisnya akhirnya perempuan muda ini menangis. Mula-mula perlahan, tapi lama-lama tangisnya jadi keras.

Wiro melangkah bingung mundar mandir sambil garuk-garuk kepala. “Saudari hentikan tangismu. Kalau terdengar oleh orang itu urusan bisa jadi berabe. Aku tak akan sanggup lagi menolongmu!”

Perempuan muda yang duduk di tanah mengusap pipi dan kedua matanya. Suara tangisnya perlahan-lahan menyurut. “Aku tak mampu mengingat lagi... Ceritakan apa yang terjadi selama aku pingsan.”

Wiro lalu menuturkan apa yang terjadi yatiu sejak dia melihat permpuan itu diserang oleh tiga penunggang kuda samapi dia diculik oleh si gendut gila dan akhirnya berhasil dilarikan oleh Wiro sampai ke tampat itu.

“Kau telah menolongku. Aku tak tahu harus berterima kasih begaimana. Aku ingin segera meninggalkan tempat ini...”

“Kita bisa pergi sebentar lagi. Kau tak ingin menceritakan mengapa sebelumnya kau menyamar sebagai seorang pemuda?”

Perempuan itu meraba rambutnya kembali. “Orang-orang yang menyerangku di pinggir kali, salah satu diantaranya adalah manusia terkutuk Kebo Panaran itu. Dua lainnya Bargas Pati dan Legok Ambengan. Manusia-manusia jahanam! Aku bersumpah untuk membunuh mereka...”

“Rupanya ada satu perkara besar antara kau dangan orang-orang itu?”

Perempuan itu mengangguk. “Perkara besar. Amat besar,” katanya perlahan.

“Jika kau tidak mau menceritakan tidak jadi apa. Tapi aku punya firasat kau berada dalam bahaya besar...”

Perempuan itu terdiam sesaat. “Sejak dilahirkan aku sudah hidup dalam bahaya. Kedua orang tuaku tewas dalam perang saudara. Selama masa peperangan aku dibawa ke mana-mana. Setelah aku kawin ternyata hidupku tidak terlepas dari bahaya...”

"Maafkan aku, aku kira kau masih gadis...” kata Wiro sambil tersenyum dan menggaruk kepala.

Ucapan ini membuat perempuan di hadapannya menjadi merah parasnya. Wiro segera mengalihkan pembicaraan. “Kau ingin kita segera pergi dari sini sekarang juga?”

“Tunggu, ada hal penting yang ingin kutanyakan. Tentang nenek berjubah hitam dan berambut kasar itu. Ketika kau berkelahi dengan dia apakah kau menciderainya?”

“Tidak. Ada keraguan pada diriku saat itu. Kawatir kalau dia memang gurumu...”

“Dia memang guruku walau hanya sempat mengajarku ilmu silat selama tiga bulan...” kata perempuan muda itu pula. “Aku harus segera mencarinya. Aku butuh bantuannya menghadapi tiga manusia terkutuk itu.”

Wiro hanya berdiam diri. Perempuan di depannya menatap wajahnya beberapa lama lalu bertanya. “Kau kecewa kalau aku tidak mau menceritakan siapa diriku dan apa yang telah terjadi padaku?”

Wiro hanya tersenyum dan gelengkan kepala.

“Kurasa kau orang baik dan mungkin bisa kupercaya. Baiklah, akan kukatakan siapa diriku. Namaku Antini. Suamiku Lor Kameswara. Tapi dia sudah tewas. Dibunuh secara keji oleh Kebo Panaran dan tiga kawannya...”

********************
WWW.ZHERAF.COM
SEMBILAN

Bukit kecil subur itu terletak di sebelah barat Kali Bogowonto, tak berapa jauh dari Banyuurip. Di sebuah rumah seorang lelaki berusia sekitar setengah abad tengah membersihkan biji -biji kopi dalam tiga buah keranjang besar. Dia telah melakukan pekerjaan itu sejak pagi. Kelihatannya pekerjaan ringan saja tetapi cukup melelahkan dan membuat tubuhnya pegal serta keringatan.

Karena tenggorokannya terasa kering lelaki ini mengambil kendi tanah berisi air putih lalu meneguknya. Selagi dia meneguk air inilah kedua matanya melihat lima orang penunggang kuda muncul di kaki bukit sebelah barat dan bergerak ke arah rumahnya.

Tak berapa lama kemudian muncul lima penunggang kuda itu sudah memasuki halaman. Ternyata mereka empat orang lelaki berpakaian kumal berambut panjang riap-riapan dan bertampang sangar. Yang satu lagi seorang perempuan berpakaian dan berikat kepala kuning. Wajahnya tak kalah seram dengan empat lelaki itu.

Kelima penunggang kuda berhenti di depan rumah lalu turun dari kuda masing-masing. Yang sebelah depan yaitu yang berubuh tinggi hitam, berewok dan berkumis tebal berdiri berkacak pinggang sementara tiga lainnya tegak sambil menyeringai.

“Lor Kameswara! Kau tidak mengenali kami lagi?!” Tanya si berewok dengan suara lantang.

“Astaga! Kalau tidak mendengar suaramu aku hampir lupa! Kebo Panaran!” menyahut lelaki di dalam rumah lalu melompat berdiri, menubruk dan merangkul si tinggi hitam berewok. Dia juga memeluk empat orang lainnya sambil menyebut nama mereka satu persatu.

“Bargas Pati, Tunggul Anaprang, Legok Ambengan dan Ambar Parangkuning!” Orang yang terakhir yakni perempuan berbaju kuning yang pada pinggangnya bergelantungan selusin pisau belati tertawa tinggi lalu berkata. “Tidak salah kalau dia tidak mengenal kita lagi. Habis, tampang dan pakaian kita dekil lecak seperti ini! Hik hik hikkk!"

Empat kawannya menyeringai sedang si pemilik rumah yang bernama Lor Kameswara tertawa lebar. Dia mempersilahkan kelima orang itu masuk dan duduk di atas sehelai tikar lebar.

“Kau kelihatan hidup tentram di sini Lor Kameswara,” kata lelaki bernama Bargas Pati. Kepalanya botak. Tubuhnya gemuk. Dia mengenakan pakaian dan ikat kepala serba merah.

Yang bernama Legok Ambengan ulurkan kepalanya ke dekat keranjang kopi. “Kau sudah jadi petani kopi rupanya. Dan sedang panen! Wah, kami datang tepat pada waktunya untuk dapat menikmati kopi hasil kebunmu!”

“Jangan kawatir. Akan ku buatkan kopi untuk kalian berlima,” kata Lor Kameswara. Lalu di bertanya “Selama ini kemana saja kalian menghilang?”

“Siapa bilang kami menghilang!” kata Kebo Panaran sambil mengusap berewoknya. Dia berpaling pada kawan yang duduk di sebelahnya. “Legok, coba kau katakan pada bekas pimpinan kita ini apa saja yang kita lakukan selama ini!”

Legok Ambengan yang berpakaian serba hijau dengan dua golok tersisip di pinggangnya kiri kanan bersandar ke dinding rumah. Sambil melunjurkan kedua kakinya dia berkata,

“Satu bulan setelah pertemuan kita terakhir, kami berhasil menjebak serombangan pasukan kerajaan. Mereka berjumlah dua belas orang dan membawa barang-barang cukup berharga. Setelah itu kami berhasil menyusup masuk ke dalam rumah kediaman Pangeran Blorong. Sejumlah harta dan uang kami rampas. Bahkan dua orang selir sang Pangeran sempat kami ajak berkeliling selama dua bulan. Kami juga sempat bergabung dengan para penjahat di hutan sebelah utara. Kami berhasil mengumpulkan sejumlah harta kekayaan. Digabung dengan yang kita dapatkan di masa perang tempo hari, kita berlima, berenam dengan kau boleh dibilang sudah jadi orang-orang kaya baru...”

“Kalau begitu kalian semua bisa menjalani hidup senang, tak perlu bekeliaran lagi” kata Lor Kameswara.

“Maunya memang begitu” menyahuti Kebo Panaran. “Tapi kami merasa peperangan belum selesai. Itu pula sebabnya kami datang menemuimu. Kau bekas pimpinan kami di masa perang. Sampai saat ini kami tetap menganggapmu sebagai pemimpin. Kami datang untuk minta kau pimpin kembali guna melanjutkan perjuangan”

Sesaat Lor Kameswara seperti tercengang mendengar kata-kata bekas anak buahnya itu. “Kawan-kawan, sakit hati kita terhadap Raja yang sekarang memang tak bisa lenyap sampai kapanpun. Tetapi adalah sanagat berbahaya kalau kalian menjalani hidup sebagai penjahat dan perampok malah berani memasuki tempat kediaman Pangeran Blorong menculik dua selirnya dan membunuh pasukan kerajaan. Kalian akan jadi sasaran pengejaran seumur hidup. Kalian bisa celaka. Kita semua bisa celaka!”

“Kau kedengarannya seperti takut pada kerajaan, Lor Kameswara. Mana keberanian yang pernah kau tunjukkan di masa perang dahulu?”

“Kebo Panaran, sekarang keadaan sudah berubah,” kata Lor Kameswara pula.

“Maksudmu berubah bagaimana?” Tanya Legok Ambengan. “Apanya yang berobah. Kau bilang perang sudah berakhir. Kami mengatakan tidak!”

“Kau keliru Legok. Perang nyata-nyata telah berakhir sejak jatuhnya Sri Baginda yang lama tewas di tangan Raja yang sekarang memerintah. Ini kenyataan yang tidak bisa dipungkiri sahabat-sahabatku!”

Kebo Panaran tertawa. “Kau keliru Lor Kameswara. Apa kau tidak tahu bagaimana sisa-sisa perajurit kerajaan yang masih setia dengan Raja lama kini menyusun kekuatan. Di mana-mana mereka melakukan perang susup atau perang gerilya. Walau sedikit demi sedikit tetapi secara pasti mereka menggerogoti kekuatan Kerajaan hingga satu ketika akan lumpuh dan hancur!”

“Kekuatan pasukan yang setia pada Sri Baginda lama terlalu kecil. Terpencar-pencar. Mereka mudah dihancurkan oleh pasukan Kerajaan.”

Kebo Panaran geleng-gelengkan kepala. “Buktinya sampai saat ini pasukan Kerajaan tidak mampu menghancurkan kami berlima!”

“Mungkin sekarang tidak sahabatku! Ta pi percayalah. Kerajaan sekarang benar-benar kuat. Mereka memiliki perajurit yang terlatih, perwira yang tangguh seta dibantu oleh belasan tokoh-tokoh silat tingkat tinggi…” “Itu betul,” memotong Bargas Pati. “Tetapi apakah kita akan jadi patah semangat hanya karena kelemahan yang tidak berarti itu? Kita bisa mengumpulkan harta dan uang untuk membeli atau membuat senjata. Untuk menggembleng semua perajurit kita bahkan kalau perlu membeli perwira dan okoh silat Kerajaan!”

“Aku yakin tidak semudah itu melakukannya sahabat-sahabat,” kata Lor Kameswara pula.

“Sudahlah, tak usah kita ributkan lagi soal apakah perang sudah selesai atau belum. Yang jelas kami minta kau jadi pemimpin kami kembali. Kita akan kumpulkan kawan-kawan. Bentuk pasukan baru. Kita pasti menang Kameswara.” Yang bicara adalah Ambar Parangkuning.

Di masa perang saudara antara Ambar Parangkuning dan Lor Kameswara terjalin hubungan mesra. Tapi hubungan itu keburu diketahui oleh istri Lor Kameswara sehingga perempuan ini dalam marahnya melarikan diri. Malang baginya di tengah jalan dia diserang penyakit menular dan akhirnya menemui ajal. Lor Kameswara merasa sangat bersalah dan berdosa besar.

Setelah perang selesai dia sama sekali tidak mau melanjutkan hubungan dengan Ambar Parangkuning walau perempuan ini sebenarnya sangat mengharapkan untuk diambilnya jadi istrinya. Lor Kameswara sendiri kemudian mengucilkan diri di tempat sepi.

“Maafkan aku Ambar,” menjawab Lor Kameswara. “Aku sudah terlalu tua memimpin satu perjuangan yang sia-sia. Kebo Panaran bisa kalian jadikan pemimpin baru. Aku ingin di sisa usiaku menikmati hidup yang tenteram. Aku akan hidangkan kopi untuk kalian.”

Lalu Lor Kameswara berdiri dan masuk ke dalam rumah. Tak berapa lama kemudian dia keluar lagi membawa sebuah nampan kayu. Di atas nampan terdapat enam buah cangkir tanah dan sebuah teko besar berisi kopi panas. Di atas nampan itu masih ada sebuah piring kaleng besar berisi pisang goreng. Kepulan asap kopi yang harum serta sedapnya bau pisang goreng membuat air liur kelima orang itu jadi berdecak.

Hidung mereka kembang kempis. Dan mata mereka tiba-tiba saja menjadi membesar. Seorang perempuan sanga muda, mungkin masih gadis, berkulit kuning langsat dan berwajah cantik sekali serta memiliki potongan tubuh yang menggiurkan melangkah di belakang Lor Kameswara. Orang-orang itu bertanya-tanya siapa adanya si jelita yang menurut dugaan mereka berusia sekitar dua puluh tahunan itu.

Kebo Panaran mengusap berewoknya. Kedua matanya tak berkesip. Tunggul Anaprang membasahi bibir dangan ujung lidah berulang kali sedang Legok Ambengan dan Bargas Pati seperi orang tersirap sihir, memandang tak bergerak dan tak berkedip. Ambar Parangkuning tampak tenang saja. Namun diam-diam dalam dadanya muncul satu getaran rasa cemburu.

“Tidak kusangka kau menyimpan seorang dara jelita di rumah ini, Lor Kameswara!” kata Kebo Panaran pada Lor Kameswara tetapi matanya memandang pada perempuan itu dengan pandangan mata seperti hendak menelanjangi.

“Kami tahu dari istrimu dulu kau tidak memiliki anak. Siapa gerangan bidadari ini Kameswara?” Tanya Tunggul Anaprang pula sambil mengusap muka yang pucat berulang kali.

Lor Kameswara tersenyum. “Ini Antini, istriku...” Menerangkan Lor Kameswara.

Karena tidak menduga sama sekali, karuan saja keempat lelaki itu jadi terkejut dan ada yang keluarkan seruan tertahan. Sementara itu paras Ambar Parangkuning kelihatan berubah.

“Istrimu katamu Kames?” Tanya Bargas Pati.

“Betul...?” Lor Kameswara meletakkan nampan di lantai yang beralaskan tikar.

Kelima kawannya jadi saling pandang. “Kini aku tahu. Rupanya ini sebabnya. Kau tak mau lagi meneruskan perjuangan, tak mau lagi ikut perang karena kini kau sudah punya istri cantik jelita!” kata Kebo Panaran.

“Boleh saja kau bilang begitu. Tapi alasanku tadi sudah kukatakan. Aku ingin hidup tenteram...”

Tunggul Anaprang menyeringai. “Usia kalian pasti terpaut jauh. Istrimu ini sebenarnya pantas jadi anakmu! Ha ha ha!”

Paras istri Lor Kameswara jadi merah mendengat kata-kata itu. Lor Kameswara sendiri merasa tidak enak dengan ucapan Tunggul Anaprang tadi. Namun dia tenang saja.

“Antini masih keponakan mendiang istriku. Dia anak baik. Kami tahu perbedaan umur kami yang menyolok. Tetapi dia merasa berjodoh denganku. Kalau tidak ada dia, siapa yang akan merawat tubuh keropok ini!”

“Kau benar-benar tua bangka yang beruntung...” kata Legok Ambengan sementara Lor Kameswara menyuruh istrinya menuangkan kopi hangat ke dalam enam cangkir tanah.

“Selagi masih hangat silahkan kalian minum kopinya. Juga pisang gorengnya agar dicicipi,” mempersilahkan tuan rumah.

Namun tidak ada satu orangpun yang bergerak. Kecuali Ambar Parangkuning, leleaki yang lima itu sama memperhatikan Antini melangkah masuk ke dalam rumah. Betisnya yang putih bagus dan tersingkap ketika melangkah membuat para lelaki yang selama ini hanya berada dalam rimba belantara menjadi terangsang dan berangan-angan kotor. Beberapa lama kemudian baru mereka meneguk minuman masing-masing.

“Sedap sekali kopi buatan istrimu,” memuji Legok Ambengan. “Kapan aku bisa mendapatkan istri seperti istrimu itu!”

Ucapan lelaki ini membuat kawan-kawannya yang lain tertawa bergelak. Tetapi mereka sebenarnya tengah tenggelam dalam jalan pikiran masing-masing. Ketika Kebo Panaran memandang padanya, Legok Ambengan kedipkan mata kirinya. Kebo Panaran yang maklum akan arti kedipan mata itu membalas dengan seringai. Tiba-tiba Kebo Panaran berdiri.

“Aku ingin mencuci muka. Wajahku terasa lengket oleh debu jalanan. Di mana letak sumur?”

“Di halaman belakang. Mari kuantar,” kata Lor Kameswara pula.

“Tak usah, aku bisa pergi sendiri!” Lalu Kebo Panaran bergegas masuk ke dalam rumah, terus menuju halaman belakang. Tetapi sebenarnya bukan mencari sumur itu yang hendak dilakukannya. Melainkan dia ingin melihat Antini yang cantik jelita tadi, yang telah membakar aliran darahnya.

Istri Lor Kameswara itu ternyata berada tidak jauh dari sumur di halaman belakang, tengah menampi beras membelakanginya. Begitu samapi di dekat Antini , langsung saja perempuan ini disergap dirangkulnya. Tentu saja perempuan ini terkejut dan terpekik keras. Tampian beras yang dpegangnya terlepas jatuh dan beras berserakan di tanah.

Di serambi depan Lor Kameswara melompat dari duduknya begitu mendengar suara jeritan istrinya dari belakang rumah. Namun baru saja dia hendak berdiri, Bargas Pati, Legok Ambengan dan Tunggu Anaprang telah mendahului dan tegak mengurungnya. Hanya Ambar Parangkuning yang masih tetap duduk di atas tikar. Perempuan ini sebenarnya sudah maklum apa yang terjadi di belakang sana dan apa yang hendak dilakukan tiga kawannya itu. Hatinya sebenarnya tidak suka namun kebencian karena merasa dilupakan begitu saja oleh Lor Kameswara membuat dia tidak melakukan apa-apa. Di belakang sana kembali terdengar jeritan Antini.

“Minggir!” bentak Lor Kameswara sambil berdiri.

Tapi Legok Ambengan cepat menekan kedua bahunya dari belakang. “Kau hendak kemana Kameswara? Tenang-tenang saja di sini. Obrolan kita belum selesai..." kata Legok Ambengan.

Lor Kameswara merasa kedua bahunya seperti ditekan oleh dua batu besar yang beratnya puluhan kati. Jelas Legok Ambengan telah mengerahkan tenaga dalamnya. “Singkirkan kedua tanganmu Legok!” bentak Lor Kameswara.

“Tidak, kecuali kalau kau mengatakan akan bersedia menjadi pimpinan kami lagi dan berperang melawan Kerajaan!”

Di halaman belakang lagi-lagi terdengar jeritan Antini. “Keparat! Aku tahu ada maksud kotor dan busuk dalam diri kalian berlima! Awas! Jika terjadi sesuatu dengan istriku kalian semua akan kubunuh!”

Habis berkata begitu Lor Kameswara tarik kedua tangan Legok Ambengan yang masih menekan bahunya lalu sambil menjatuhkan diri dia membetot orang yang dibelakangnya itu. Gerakan Lor Kameswara secepat kilat dan daya tariknya luar biasa. Orang lain pasti akan terbetot dan terbanting ke lantai. Tapi tidak demikian dengan Legok Ambengan. Tubuhnya memang terbanting ke depan tapi tidak sampai terhampar di lantai serambi. Kedua kakinya membuat gerakan cepat dan dia berhasil tegak, bersamaan dengan bangkitnya Lor Kameswara.

Karena Legok Ambengan perlu saat untuk mengimbangi dirinya, maka kesempatan ini dipergunakan oleh Lor Kameswara untuk menghantam lelaki ini dengan satu jotosan keras kea rah dadanya.

“Bukkk!”

Legok Ambengan terlempar. Dari mulutnya keluar seruan kesakitan disusul dengan mengucurnya darah dari mulut. Jelas dia mengalami luka di dalam yang parah. Tetapi manusia ini seperti mempunyai kekuatan aneh. Secara luar biasa dia menerjang ke depan sambil menyemburkan darah yang ada dalam mulutnya ke muka Lor Kameswara. Ludah campur darah menodai wajah Lor Kameswara.

Mendidih darah bekas perwira Kerajaan ini. Didahului bentakan keras Lor Kameswara kembali hendak menggasak orang di depannya itu. Namun dari kiri kanan saat itu Tunggul Anaprang dan Bargas Pati bergerak cepat dan lancarkan serangan tangan kosong yang dahsyat.

Sebagai seorang bekas perwira Kerajaan Lor Kameswara memang memiliki kepandaian tinggi dibanding dengan kawan-kawannya seperjuangan dulu. Namun dikeroyok tiga membuat dia serta merta terdesak.

“Aku tidak harus melayani masing-masing keparat ini. Aku harus menolong Antini. Sesuatu terjadi di belakang sana!” kata Lor Kameswara dalam hati.

Kaki kanannya menendang mencari sasaran di perut Legok Ambengan. Serentak dengan itu tangan kirinya menderu ke arah kepala Bargas Pati. Selagi kedua orang ini membuat gerakan menghindar Lor Kameswara lepaskan pukulan tangan kosong ke arah Tunggul Anaprang. Serangkum anagin menderu keras.

Tunggul anaprang sudah tahu kalau bekas pimpinannya itu memiliki tenaga dalam lebih tinggi darinya. Dia tak berani menangkis karenanya cepat mengelak dangan melompat ke samping. Selagi dua orang lainnya belum sempat berbuat sesuatu Lor Kameswara cepat menerjang dan lari ke dlaam rumah, terus berkelebat ke halaman belakang.

“Kebo Panaran keparat! Kubunuh kau!” teriak Lor Kameswara ketika menyaksikan apa yang terjadi di halaman belakang dekat sumur.

SEPULUH

Kebo Panaran seperti orang kemasukan setan merobek pakaian Antini. Nafsu mesum semakin membakar tubuh lelaki ini begitu dada istri Lor Kameswara itu tersingkap lebar. Saat itu Legok Ambengan, Bargas Pati, Tunggul Anaprang serta Ambar Parangkuning sudah berada pula di halaman belakang itu. Tiga lelaki ini menahan nafas menyaksikan keindahan dada Antini.

“Kebo! Jangan kau makan sendiri daun muda berwajah bidadari itu!” seru Tunggul Anaprang. Lalu dia melompat dan mendekap Antini dari samping dan menciumi perempuan ini.

Di saat yang sama Lor Kameswara telah menyerbu Kebo Panaran dengan kemarahan yang tidak dapat dilukiskan. Tinjunya menderu ke arah muka Kebo Panaran. Perkelahian seru segera terjadi tanpa Lor Kameswara menyadari bahwa keadaan istrinya yang sedang dibelanya itu justru saat itu makin berbahaya. Tunggul Anaprang, Bargas Pati dan Legok Ambengan berebut cepat menggerayangi tubuh Antini yang benjerit-jerit tiada henti hingga suaranya serak.

“Manusia-manusia iblis!” kertak Lor Kameswara. Dia memutar tubuh meninggalkan Kebo Panaran, berkelebat ke arah Legok Ambengan. Tangannya bergerak cepat menyambar satu dari dua golok yang tergantung di pinggang Legok. Dengan senjata itu lalu dia mengamuk.

Melihat hal ini Kebo Panaran dan kawan-kawannya segera pula menghunus senjata masing-masing. Kebo Panaran mencabut golok besarnya. Tunggul Anaparang loloskan rantai besi yang menggelung pinggangnya. Bargas PAti cepat keluarkan celurit besarnya sedang Legok Ambengan juga sudah mencabut goloknya yang kini hanya tinggal satu.

Kini perkelahian baralih dari hanya mempergunakan tangan kosong menjadi perkelahian dengan senjata tajam. Saat itu hanya Ambar Parangkuning yang tidak ikut mengeroyok dan tetap tegak di tempatnya.

“Antini! Lari... Selamatkan dirimu!” teriak Lor Kameswara ketika dia menyadari dirinya mulai terdessak.

Tapi sang istri malah belas berteriak “Kangmas Kames. Saya memilih mati bersamamu...” Lalu perempuan muda ini menyambar sebilah parang yang tersisip di dinding belakang rumah.

Namun belum sempat dia menyentuh senjata ini Tunggul Anaprang melompat dai kalangan perkelahian dan menyambar pinggangnya. Kedua orang itu jatuh beulingan di tanah. Celakanya, ketika berada di sebelah atas! Langsung saja dia menciumi dan menggerayangi tubuh Antini.

“Kangmas Kames! Tolong... Tolong!”

“Tunggul! Setan kau!” teriak Lor Kameswara.

Dia tidak perdulikan lagi para pengeroyoknya, langsung saja dia berkelebat ke kanan untuk menolong istrinya yang tengah dinodai orang. Namun saat itu pula clurit di tangan Bargas Pati menyambar. Lor Kameswara masih sempat melihat datangnya senjata lawan. Dia mengelak tapi terlambat. Ujung clurit membabat pipi kirinya. Darah mengucur deras dari luka yang terbuka. Antini menjerit keras.

Selagi Lor Kameswara tertegun sempoyongan sambil pegangi wajahnya yang koyak. Golok yang tadi dipegangnya sudah terlepas jatuh. Saat itulah Kebo Panaran datang dari samping menusukkan goloknya ke perut Lor Kameswara.

“Jangan bunuh dia!” Satu suara membentak.

“Heh?!” gerakan tangan kanan Kebo Panaran sesaat terhenti. Dia berpaling ke samping, “Heh?! Betul kau yang barusan bicara Ambar?!”

Ambar Parangkuning memandang tajam dan tak berkesip pada Kebo Panaran membuat sesaat lelaki ini jadi tertegun.

“Rupanya kau masih mencintai dia, Ambar?!”

“Saat ini kita bukan bicara soal cinta Kebo! Tapi soal persahabatan dan kehormatan! Betapa keji pribadimu hendak membunuh kawan dan bekas pimpinan sendiri! Lebih busuk lagi karena kau diam-diam mengatur untuk menodai istrinya! Aku tidak suka hal ini!”

“Jika kau tidak suka, kau boleh pergi dari sini! Tunggu saja di halaman depan sampai kami seleai!” Yang bicara adalah si botak Bargas Pati.

“Kalian biadab semua! Rutuk Ambar Parangkuning lalu putar tubuh tinggalkan tempat itu.

Lor Kameswara merasakan tubuhnya lemas akibat banyaknya darah yang keluar dari luka di pipinya. Walau amarahnya masih mendidih namun dia seperti lumpuh dan tak mampu melawan ketika tendangan Legok Ambengan menghanam pinggangnya sebelah belakang. Tubuhnya terhantar di tanah. Lalu satu tendangan pada kepalanya membuat pemandangannya serta merta gelap.

Megap-megap dan boleh dikatakan sudah setengah pingsan Lor Kameswara coba bangun. Namun tusukan golok Kebo Panaran ke lehernya mengakhiri semuanya. Darah menyembur muncrat dari batang leher Lor Kameswara. Bekas perwira yang malang ini terguling di tanah tanpa berkutik lagi.

Melihat suaminya menemui ajal seperti itu ditambah dia tidak bisa melepaskan diri dari cengekraman Tunggul Anaprang, Antini seperti gila hanya bisa menjerit serak. “Bunuh! Bunuh saja aku!” teriak perempuan muda berusia dua puluh tahun ini.

Kebo Panaran tertawa mengekeh. Sambil menyeka golok berdarahnya ke celana hitamnya orang ini melangkah mendekati Tunggul Anaprang yang masih bersama Antini.

“Jangan rakus! Jangan dimakan sendiri Tunggul!” kata Kebo Panaran sambil mencekal baju biru Tunggul Anaprang lalu menariknya ke atas kemudian dibanting lagi ke tanah! Dan berkata “Kau dan yang lain-lainnya gotong mayat Kameswara dan cemplungkan ke dalam sumur!”

“Jang... jangan...” Kata Antini perlahan yang sudah lemas tak punya kekuatan lagi.

Sesuai perintah Kebo Panaran tiga orang kawannya segera menggotong jenazah Lor Kameswara. Lalu jenazah itu dilemparkan ke dlaam sumur!

Kebo Panaran menyeringai. Dia berjongkok di samping Antini yang masih terbaring tak berdaya di tanah. “Tak ada yang harus kau takutkan. Aku lebih muda dan lebih gagah dari suamimu si tua bangka tak tahu diri itu. Jika kalau mau selamat ikuti saja apa mauku dan mau kawan-kawanku. Mari kita bersenang-senang sebentar!”

“Iblis! Manusia durjana! Pergi!"

Kebo Panaran hanya ganda tertawa. Perlahan lahan dia buka ikat pinggang besarnya. Lalu berlutut di samping tubuh Antini. Saat itu perempuan ini sudah tak punya daya apa-apa lagi. Hanya air mata saja yang masih sanggup dikeluarkannya. Dadanya bergoncang keras ketika Kebo Panaran menarik kain panjangnya.

Lalu dilihatnya wajah lain di atas tubhnya. Lalu wajah lain lagi dan lain lagi. Ini adalah hari paling terkutuk bagi perempuan muda yang malang itu. Menjelang rembang petang keempat orang itu berkumpul di halaman depan rumah Lor Kameswara.

“Eh, kuda Ambar Kuning tidak kelihatan!” kata Bargas Pati sambil mengusap mukanya yang penuh keringat.

“Dia benar-benar sudah kabur rupanya!” menyahuti Legok Ambengan. “Kabur atau kemanapun dia tak usah dipikirkan. Cepat atau lambat dia pasti akan bergabung lagi dengan kita. Tolol kalau dia pergi mentah-mentah begitu saja. Apa dia tidak ingin bagian dari segala harta kekayaan dan uang yang kita simpan di tempat rahasia itu?!”

Kebo Panaran meludah ke tanah. “Sudah jangan banyak bicara lagi. Cepat tinggalkan tempat terkutuk ini!”

Besamaan dengan tenggelamnya sang surya dan keadaan mulai gelap karena malam segera tiba, di halaman depan rumah kediaman Lor Kameswara kelihatan satu bayangan. Dengan cepat bayangan ini bergerak menuju halaman belakang. Begitu sampai di halaman belakang orang yang muncul ini terdengar menghela nafas panjang. Lalu dia melangkah mendekati sosok tubuh Antini yang tergeletak di tanah. Orang ini ternyata seorang nenek muka pucat berambut jabrik berjubah hitam gombrong menjela tanah.

Beberapa lama dia hanya tegak memandangi sosok tubuh tak bergerak itu dengan muka membesi dan kedua tangan terkepal. Lalu orang ini membungkuk. Dipegangnya pergelangan tangan kiri Antini. Tak terasa denyutan nadi.

“Mati...?” pikirnya. Lalu diturunkannya kepalanya , diletakkan di atas dada Antini. Perlahan sekali, antara terdengar dan tidak, si nenek masih dapat menangkap suara detak jantung.

“Ah, dia masih hidup. Tapi keadaannya gawat sekali. Aku harus cepat-cepat membawanya dari sini dan mengobatinya. Kasihan, kalaupun dia bisa kutolong apakah batin dan perasaannya bisa diselamatkan?”

Nenek berjubah hitam itu cepat memanggul Antini di bahu kirinya. Sebelum pergi dia berpaling kea rah sumur di mana sebelumnya Kebo Panaran dan kawan-kawannya telah mencemplungkan Lor Kameswara ke dalam sumur itu.

“Ah, dia tak mungkin bisa kutolong. Semoga rohnya tenteram di tempat itu...” Si nenek menghela nafas sekali lagi lalu sekali berkelebat diapun lenyap dari tempat itu bersama Antini. Tempat itu kini hanya diselimuti kepekatan malam dan kesunyian.

Antini tidak tahu berapa lama dia jatuh pingsan. Sewaktu sadar didapatinya dirinya tergolek dalam sebuah goa batu yang dinding-dindingnya terasa dingin. Perempuan malang ini sesaat menatap langit-langit goa. Dia coba berpikir dan mengingat-ingat.

Tiba-tiba satu goncangan dahsyat melanda benak dan hatinya. Langsung dari mulutnya terdengar suara jeritan. Dia akan terus menjerit kalau saja tidak ada yang muncul. Seorang nenk bermuka pucat dan berambut kaku tegak muncul di tempat itu. Wajahnya seram tapi suaranya lembut.

“Anakku, tabahkan hatimu. Aku tahu penderitaanmu lebih berat dari seisi jagat ini, lebih dalam dari laut dan lebih tinggi dari langit. Aku mohon kau ingat pada Tuhan. Dialah yang telah menekdirkan segala sesuatu dalam hidup kita ini. Kau harus tabah anak. Aku akan menolongmu...”

Antini bangkit dan duduk bersasndar ke dinding goa. Kejadian hebat yang menimpanya telah membuat satu perubahan besar dalam diri perempuan yang masih sangat muda ini. Kalau dulu dia merupakan seorang perempuan yang lembut dengan segala kehati-hatian, kini dia tampak begitu kasar dan berani walau sinar matanya tidak dapat menyembunyikan rasa takut akibat kejadian terkutuk yang dialaminya.

“Kau boleh panggil aku Nenek Tidar,” jawab si nenek muka pucat. “Kau tak usah takut padaku. Aku tahu semua yang telah kau alami...”

Mendengar ucapan itu Antini langsung menjerit. “Tenang... Tenang anakku,” kata Nenek Tidar. “Kau tidak usah takut. Saat ini kau berada di tempat yang aman. Dengar, aku akan berusaha menolongmu...”

“Menolongku Nek? Bagaimana mungkin kau bisa mengembalikan kehormatan dan kesucianku yang telah dirusak manusia-manusia durjana itu...”

“Kalau itu memang aku tidak dapat mengembalikannya. Tuhan pun tidak bisa. Tetapi kesucian dan kehormatan dalam arti kejiwaan, pasti kau bisa mendapatkannya kembali.”

“Aku tidak mengenal kau. Mengapa kau hendak menolongku. Aku curiga...”

Si nenek menyeringai. “Dalam soal tolong menolong tidak harus kenal satu sama lain lebih dahulu. Juga tak perlu rasa curiga padaku...”

“Nek, kau tahu apa yang ingin kulakukan saat ini?” tanya Antini.

Si nenek menggeleng. “Coba kau katakan, anakku.”

“Aku ingin bunuh diri! Menyusul suamiku!” Habis berkata begitu Antini kembali menjerit lalu menangis keras.

Nenek Tidar menghela nafas dalam lalu gelengkan kepala sambil membelai rambut perempuan muda di hadapannya itu. “Anakku, jika kau bunuh diri dan mati, berarti selesailah kejahatan yang dilakukan oleh keempat manusia durjana itu. Kejadian pada hari terkutuk itu akan dilupakan orang. Berarti mereka tidak akan pernah menerima pembalasan. Kau seperti gila menghadapi kenyataan keji yang menimpa dirimu. Tapi apakah kau tidak merasa gila untuk bertekad menuntut balas atas perbuatan terkutuk yang mereka lakukan terhadapmu? Apakah kau tidak punya niat untuk membalas kematian suaamimu?! Mereka telah membuat satu hari terkutuk bagimu. Apakah kau tidak bertekad untuk balas memberikan hari-hari terkutuk pada mereka?”

Si nenek memandang tak berkesip dan Antini hanya bisa tersandar diam dengan meulut terkancing. Tetapi kedua matanya yang indah tibaa-tiba memancarkan satu sinar menyeramkan. Sinar itu perlahan-lahan redup dan hilang. Kedua mata itu kini tampak berkaca-kaca lagi.

Kemudain terdengar suara Antini berkata. “Tentu saja Nek, siaa orangnya yang tidak punya niat membalaskan sakit hati dendam kesumat. Tapi aku yang lemah ini punya kemampuan apa? Jangankan aku, pasukan Kerajaan saja tidak mampu menindak kelima manusia terkutuk itu.”

“Asal kau mau, kau pasti dapat melakukannya. Untuk itu pertama sekali kau harus mempunyai kepandaian silat serta dasar-dasar ilmu tenaga dalam...”

“Aku sama sekali tidak memiliki kepandaian apapun!” jawab Antini.

“Anak, kau tak usah khawatir. Aku akan mengajarkan padamu dalam waktu singkat. Tiga kali purnama kurasa sudah cukup bagimu untuk menguasainya. Aku maklum kalau tiga bulan tidak mungkin bagimu untuk berbuat banyak dalam menghadapi manusia-manusia terkutuk itu. Untuk itu kau akan kuajarkan ilmu kedua yaitu ilmu penyamaran dan mempergunakan akal serta pikiran. Kecerdikan selalu dapat mengalahkan kekuatan atau musuh yang bagaimanapun hebatnya. Nah yang jadi pertanyaan kau mau mendekam selama tiga bulan di tempat ini bersamaku?”

Antini tak segera menjawab. Dia seperti berpikir-pikir. Kemudaian perlahan-lahan kepalanya dianggukkan. Si nenek terawa lebar. Antini memperhatikan ada satu keanehan pada wajah orang tua ini tapi dia belum dapat menerka keanehan apa yang tersembunyi di balik wajah tersebut. Hanya ada satu pertanyaan yang tidak terjawab yaitu siapa sebenarnya perempuan tua ini dan mengapa dia mau memberikan pertolongan.

Antini memandang pada Pendekar 212 Wiro Sableng. Pemuda ini telah menyelamatkannya. Lalu apakah dia dapat dipercaya? Dari nama dan gerak geriknya Antini merasa bimbang. Sejak malapetaka besar yang menimpa suaminya dan dirinya sendiri kepercayaan terhadap lelaki boleh dikatakan sudah tidak ada lagi. Setiap dia melihat lelaki langsung timbul rasa curiga dan jijik. Dan ada kobaran rasa ingin membunuh semua lelaki yang ada di dunia ini!

Wiro sendiri setelah mendengar penuturan Antini menjadi sangat kasihan pada perempuan malang ini. Dalam hatinya timbul rasa ingin menolong.

“Jadi selama tiga bulan kau digembleng oleh Nenek Tidar itu?” Antini mengangguk.

“Tiga bulan waktu yang sangat singkat. Apapun ilmu yang kau miliki sekarang ini rasanya belum cukup untuk dapat membalaskan dendam kesumat sementara dirimu sendiri akan jadi bulan-bulanan maa bahaya.”

“Aku tahu. Nenek Tidar juga berkata begitu. Itu sebebnya dia berpesan agar aku mempergunakan akal dan kecerdikan dalam melawan kekuatan dan kedurjanaan. Dengan kepandaian menyamar yang diajarkan terbukti aku berhasil membunuh salah seorang dari mereka. Aku berpura-pura jadi pelacur. Dengan cara itu aku dapat membunuh Tunggul Anaprang. Sekarang tinggal empat orang lagi. Aku yakin akan dapat menghabisi mereka semua. Yang paling aku incar adalah Kebo Panaran...”

“Masalahnya yang kau hadapi bukan saja sulit dan berat. Tapi juga berbahaya. Kalau kau percaya padaku, aku bersedia membantumu.”

Antini memandang lagi pada Pendekar 212. “Kau telah menolongku. Aku berterima kasih. Tapi apakah aku percaya padamu, itu hal lain. Biar aku melakukan pembalasan sendiri. Kalaupun aku mati, aku pasrah. Mungkin itu lebih baik bagiku!”

Murid Eyang Sinto Gendeng hanya bisa garuk-garuk kepala.

********************
WWW.ZHERAF.COM
SEBELAS

Rumah makan Simpang Tiga yang memang terletak di simpang tiga Jati Gombol milik Among Kuntoro sangat terkenal akan kelezatan masakannya. Selain itu harganya tidak mahal, cukup terjangkau oleh mereka dari golongan bawah sekalipun.

Siang itu Wiro duduk di satu sudut rumah makan sambil menunggu nasi yang dipesannya. Dia tak lama menunggu, seorang pelayan lelaki muda bertampang lugu menggunakan pakaian serta kopiah merah kebesaran dan wajah berswlomotan arang dapur dating membawakan pesanannya. Sikapnya agak kikuk. Wiro tersenyum. Begitu pelayan hendak pergi Wiro cepat pegang lengannya seraya berkata.

“Dulu kau menyamar sebagai pelacur. Sekarang sebagai pelayan rumah makan. Apayang akan terjadi hari ini, Antini?”

Wajah pelayan yang celemongan tampak menjadi pucat. Dalam hati dia berkata. “Matanya tajam sekali.” Lalu pelayan ini bertanya “Bagaimana dia bisa mengenali diriku?”

“Kau mengajarkan agar berlaku cerdik. Nah aku hanya mengikuti ajaranmu. Kau bisa merubah pakaian dan wajahmu serta sikapmu seratus kali dalam satu hari. Tapi kau tidak bisa merobah kedua matamu. Aku mengenali mata dan caramu memandang.”

“Kalau kau sudah tahu jangan macam-macam. Aku tak mau segala rencana yang sudah kususun akan menjadi berantakan gara-gara keusilanmu!”

Si pelayan yang memang Antini adanya merengutkan tangannya. Baru saja dia melangkah masuk ke bagian dalam rumah makan, di halaman depan dua pengunggang kuda yang baru datang menambatkan kuda masing-masing lalu masuk ke dalam rumah makan dengan sikap seolah-olah tempat itu milik mereka.

Orang pertama berkepala botak gemuk dengan wajah berminyak. Dia menggunakan pakaian dan ikat kepala berwarna merah. Sebuah celurit besar tergantung di pinggang kanannya. Orang ini bukan lain adalah Bargas Pati.

Teman Bargas Pati yang mengenakan pakaian dan ikat kepala hijau serta membekal dua buah golok tentu saja adalah Legok Ambengan. Kedua orang ini duduk terpisah satu meja dari tempat Wiro asyik menyantap makanannya sambil angkat kaki. Seorang pelayan bukan Antini mendatangi. Bargas Pati menggebrak meja.

“Kami sudah lapar. Kau melayani seperti siput! Siapkan ikan bakar dan ayam goreng. Jangan lupa sayuran. Cepat! Jangan lupa letakkan satu kendi tuak dan satu kendi air putih di meja ini!” Kembali Bargas Pati menggebrak meja hingga pelayan di depannya terlonjak kaget.

Si pelayan membungkuk lalu cepat-cepat berlalu dari situ. Di balik pintu ruangan dalam Antini memperhatikan. “Mereka hanya datang berdua. Kebo Panaran dan perempuan bernama Ambar Parangkuning tidak kelihatan. Biar yang dua ini saja dulu aku kerjakan...” Lalu Antini masuk ke dalam menemui pelayan yang satu tadi.

“Agar kau tidak kena semprot dua monyet itu, biar aku yang menyiapkan dan menghidangkan makanan mereka.”

Di tempat duduknya Wiro memperhatikan dengan sudut mata. “Dari cerita Antini, jangan-jangan dua orang ini adalah manusia-manusia terkutuk itu. Agaknya sesuatu akan terjadi di tempat ini...”

Tak selang berapa lama, pelayan muda itu muncul membawa makanan yang dipesan Bargas Pati dan Legok Ambengan, lengkap dengan minuman.

“Pelayan muka banci! Untung kau yang datang. Kalau pelayan tadi pasti sudah kutampar karena lama sekali!”

Si pelayan membungkuk dan meletakkan semua makanan dan minuman di atas meja dengan sigap. “Mungkin ada pesanan lain?” Tanya si pelayan dengan hormat sekali.

Bargas Pati mengusap kepalanya yang botak lalu tertawa. “Suaramu halus seperti tikus cerurut! Sudah pergi sana!”

Setelah membungkuk si pelayan memutar tubuh dan kedua orang itu segera saja menyantap makanan mereka. Sambil makan mereka bicara dengan suara perlahan.

“Kalau nanti Kebo Panaran datang, sebaiknya kita bicarakan soal harta dan uang yang kita sembunyikan itu,” kata Bargas Pati.

“Maksudmu?” Tanya Legok Ambengan sambil menggeragot paha ayam goreng.

“Aku kawatir. Tempat kita menyembunyikan uang dan harta itu sewaktu-waktu bisa bocor...”

“Kalau Ambar Parangkuning yang kau takutkan, bukankah kita sudah memindahkan barang dan uang itu ke tempat lain?” ujar Legok Ambengan.

“Sebaiknya harta kekayaan itu segera kita bagi tiga saja. Lupakan si Ambar yang minggat itu.” kata Bargas Pati pula.

“Kalau sudah dibagi lantas apa?”

Belum sempat Bargas Pati menjawab pertanyaan Legok Ambengan itu tiba-tiba dia merasakan perutnya seperti dibalik-balik.

“Sialan! Perutku mulas!”

“Gila! Aku juga!” kata Legok Ambengan. Lalu cepat-cepat dia meneguk tuak dalam kendi maksudnya agar mulasnya hilang. Justru rasa mulas itu makin menggila. “Tunggu aku di sini. Aku akan mencari kakus dulu!”

“Aku juga! Kita sama-sama ke belakang! Sialan!” maki Bargas Pati seraya bangkit dari kursinya. Sambil bergegas ke bagian belakang rumah makan Bargas Pati kembali mengomel. “Keparat! Ada yang tidak beres dengan makanan dan minuman di sini! Selesai buang hajat kita harus selidiki, Legok!”

“Aku setuju. Akan kupatahkan batang lehernya kalau nanti ternyata makanannya ada yang basi atau mengandung racun!”

Sampai di belakang ternyata hanya ada satu kakus. Dan saat itu sedang diisi seorang tamu. “Kurang ajar. Siapa di dalam. Lekas keluar!” teriak Bargas Pati lalu digedornya pintu kakus.

Terdengar suara orang di dalam. Lalu pintu terbuka sedikit. Satu kepala bermuka bopeng muncul “Ada apa...” Orang ini bertanya.

Bargas Pati cekal kerah pakaian orang itu lalu menariknya dengan kasar keluar kakus. Si bopeng yang hanya mengenakan baju tanpa celana itu tentu saja berteriak-teriak.

“Hai! Apa-apaan ini! Aku belum selessai! Apa kau sudah gila?!”

Bargas Pati bantingkan orang itu ke lantai lalu masuk ke dalam kakus sambil membantingkan pintu. Sementara itu Legok Ambengan yang sudah tidak tahan, dalam keadaan kalang kabut enak saja menongkrong dekat cucian piring. Seorang perempuan tua yang nyinyir yang sedang membasuh sayuran dekat tempat itu mengomel.

“Tua bangka edan! Jangan di situ!”

“Perempuan celaka! Apa katamu!” teriak Legok Ambengan. Lalu...

“Plaakk!” Tangan kanannya menampar hingga perempuan itu terbanting ke dekat sumur.

Dari dalam rumah makan bergegas keluar seorang lelaki separuh baya. Dia adalah Among Kuntoro pemilik rumah makan itu. Dia suah tahu apa yang terjadi maka dia cepat berkata.

“Saudara tamu, seratus langkah di belakang sana ada sebuah parit. Airnya cukup bersih. Pergilah kesana...”

“Setan! Kenapa kau tidak bilang dari tadi!”

Legok Ambengan lalu lari ke arah yang ditunjuk pemilik rumah makan. Seperti yang dikatakan, memang tidak jauh dari situ ada sebuah parit berair jernih. Disitu ditemuinya juga sebuah dinding gedek yang rupanya memang dibuat untuk orang yang hendak buang hajat. Maka Legok Ambengan segera nongkrong di balik dinding gedek itu.

Kembali ke dalam kakus rumah makan. Sekujur tubuh dan wajah Bargas Pati mandi keringat. Tapi sekarang dia benar-benar merasa lega setelah buang hajat. “Gila! Baru sekali ini aku mengalami begini! Pasti ada yang tidak beres dengan makanan di sini. Ada orang yang bermaksud jahat! Masakan hanya aku dan Legok saja yang jadi begini?! Keparat betul!”

Selagi si botak gemuk ini mengomel dalam hati seperti itu tanpa diketahuinya sebuah benda meluncur dari atas atap bangunan kakus. Benda ini ternyata adalah seutas ambang hitam yang ujungnya melingkar berbentuk buhul besar. Tanpa suara tali itu meluncur terus melewati kepala botak Bargas Pati. Ketika Bargas Pati merasakan ada sesuatu yang menyentuh bagian belakang kepalanya lalu melihat ada benda yang lewat di depan mata dan hidungnya, dia pergunakan tangan untuk menangkapnya.

“Setan! Apa pula ini...?!” Bentaknya. Itulah ucapan terakhir dalam hidupnya.

Baru Bargas Pati sadar apa yang terjadi. Namun sudah terlambat. Dicobanya menarik ali itu. Namun jiratan semakin kencang. Semakin dicobanya melepaskan diri semakin kencang gelungan tambang di batang lehernya. Dia coba berdiri. Tambang di atas kepalanya seperti ditarik dengan cepat dan lehernya kembali terjirat kencang. Kedua mata si botak ini mulai memdelik. Mulutnya terbuka dan lidahnya mulai terjulur.

Ketika di sebelah atas kembali tambang ditarik dan kedua kaki Bargas Pati tidak lagi berpijak ke lantai kakus, terdengar suara berderak patah dan tanggalnya tulang leher lelaki ini. Kedua kakinya melejang-lejang beberapa kali. Setelah itu tubuhnya tak berkutik lagi. Bersamaan dengan itu sesosok tubuh yang mendekam di atas atap bangunan kakus cepat menyelinap turun tanpa satu orangpun melihatnya!

Tak lama kemudian Legok Ambengan muncul di belakang rumah makan. Celana hijaunya basah kuyup. Selesai membuang hajat dia berusaha mencuci celana itu. Bagaimanapun dicucinya bau busuk yang melekat di situ masih tercium santar. Begitu sampai di pintu belakang rumah makan, dia berteriak.

“Mana pemilik rumah makan ini!”

Among Kuntoro bergegas mendatangi dengan wajah ketakutan. “Ada yang tidak beres dengan masakanmu! Aku dan kawanku kau beri makanan basi pasti!”

“Tidak bisa jadi, semua makanan baru dimasak pagi tadi,” jawab Among Kuntoro. “Kalau makanan di sini tercemar mengapa hanya saudara tamu berdua saja yang diserang mules?”

“Kalau begitu pasti ada yang menaruh sesuatu di makanan kami! Kau harus bertanggung jawab!”

“Maafkan saya saudara tamu. Semua kebersihan dan pelayanan kami selalu terjamin...”

“Diam!” sentak Legok ambengan. "Aku dan kawanku minta ganti kerugian. Kau harus bayar sepuluh ringgit perak pada kami berdua!”

“Saudara tamu. Bagaimana bisa begitu. Saya...”

“Kalau tidak kau berikan, akan kami bakar rumah makan ini dan kupatahkan batang lehermu!”

Pucatlah wajah Among Kuntoro. Saat itu Legok Ambengan ingat pada Bargas Pati. “Mana kawanku?!” tanyanya berteriak.

“Di... dia masih di dalam kakus...” jawab Among Kuntoro.

“Dalam kakus... Mengapa lama sekali?!”

Legok Ambengan tiba-tiba saja merasa tidak enak. Untuk pergi ke parit, buang hajat lalu mencuci celana dan kembali ke rumah makan itu jelas dia membutuhkan waktu cukup lama. Dalam waktu yang sebegitu mustahil Bargas Pati juga mendekam dalam kakus. Maka dia melangkah menuju kakus dan menggedor pintunya.

“Bargas! Jangan kau ngeram dalam kakus ini. Cepat! Ada sepuluh ringgit perak menunggu kita!”

Tak ada jawaban dari dalam kakus. Legok Ambengan hendak berlalu tapi dia berbalik lagi dan kembali menggedor. “Bargas! Kau tuli apa bisu?! Ayo cepat keluar!”

Tetapi tak ada jawaban dari dalam kakus. Legok Ambengan dari tidak enak jadi curiga. “Kalau kau masih tak menjawab akan kudobrak pintu kakus ini!” mengancam Legok Ambengan.

Sementara itu beberapa orang tamu yang mendengar suara ribut-ribut dan ingin tahu apa yang terjadi berdatangan ke belakang rumah makan. Seorang diantaranya adalah Pendekar 212 Wiro Sableng.

Setelah beberapa kali menggedor dan berteriak memanggil-manggil kawannya itu dan tetap tak ada jawaban, Legok Ambengan pergunakan kaki kanannya untu menendang pintu kakus. Pintu yang terbuat dari kayu tipis dan rapuh itu pecah berantakan. Legok Ambengan menanggalkan sisa-sisa daun pintu yang masih menempel.

Namun kemudian, ketika dia memandang ke dalam kakus, satu teriakan keras keluar dari mulutnya. Mukanya pucat dan kedua kakinya yang gemetar bersurut ke belakang! Rumah makan yang ramai itu menjadi geger ketika mayat si botak Bargas Pati akhirnya ditemukan dalam kakus dalam keadaan tergantung. Mata mencelet, lidah terjulur. Ada darah keluar dari hidung dan telinganya. Yang menusuk mata Bargas Pati tergantung hanya mengenakan baju saja. Celana merahnya terongok di lantai kakus.

“Seseorang telah membunuh temanku!” teriak Legok Ambengan marah. Dalam marahnya dia melompat ke hadapan Among Kuntoro dan mencekik leher orang ini. “Kau bertanggung jawab atas kematian temanku! Katakan siapa yang menggantungnya!”

Tentu saja pemilik rumah makan itu tidak bisa menjawab. Legok Ambengan jadi kalap. Tinjunya menderu menghantam muka si pemilik rumah makan hingga hidungnya patah dan darah mengucur. Tubuh Among Kuntoro kemudian dibantingnya ke lantai. Ketika hendak diinjaknya satu suara terdenagr berkata.

“Kawanmu itu mungkin saja bunuh diri! Coba kau periksa dulu...!”

“Bangsat! Siapa yang barusan berani bicara?!” bentak Legok Ambengan.

Dia memandang berkeliling. Dengan geram dipalingkannya kepalanya ke arah kakus yang pintunya terpentang lebar. Saat itulah baru Legok Ambengan melihat kalau di kerah baju merah yang dikenakan Bargas Pati terselip secarik kertas. Legok Ambengan masuk ke dalam kakus dan berjingkat untuk dapat mengambil kertas itu.

Begitu gulungan kertas dibuka berubahlah paras Legok Ambengan. Dia segera mengenali bentuk tulisan itu. Sama dengan tulisan yang ditinggalkan pembunuh Tunggul Anaprang yang dibunuh di rumah pelacuran tempo hari. Bedanya kalau dulu ditulis dengan darah, yang ini ditulis dengan kayu arang. Di situ tertulis dengan jelas.

Orang kedua dari kalian tamat riwayatnya. Kalian bertiga tinggal menunggu giliran untuk menghadap roh suamiku di pintu akhirat!

“Jadi... jadi dia...” Desis Legok Ambengan dengan bibir bergetar. “Jangan-jangan dia masih ada di tempat ini...” Legok Ambengan memandang berkeliling.

Pandangannya membentur wajah Pendekar 212 Wiro Sableng. “Aku rasa-rasa pernah melihat tampang ini sebelumnya. Tapi di mana...”

Selagi Legok Ambengan mengingat-ingat kedua matanya jatuh pada sosok tubuh pelayan yang tadi membawakan makanan dan minuman pesanannya. “Eh... Tampangnya memang lain. Tapi sosok tubuhnya sama besar dengan pemuda di kali tempo hari. Dan...” Legok Ambengan kembali berpaling pada Wiro. Dia ingat! “Pemuda gondrong ini adalah orang yang menolong pemuda di kali itu...”

Sekali lompat saja Legok Ambengan sudah mencekal leher pakaian Wiro. “Mana temanmu itu. Lekas katakan di mana dia!”

“Temanku banyak. Satu diantaranya yang mampus gantung diri itu! jawab Wiro seenaknya. “Teman yang mana maksudmu?!”

Amarah Legok Ambengan jadi mendidih. Surat yang dipegangnya ditempelkannya ke kening Wiro. “Temanmu di kali dulu. Dia yang menulis surat ini. Pasti!”

“Ah, temanku semua buta huruf. Tak pandai menulis tak tahu baca...”

“Setan kau berani mempermainkanku!” teriak Legok Ambengan marah. Lalu tinjunya melayang ke muka Pendekar 212.

Namun jotosan murid Eyang Sinto Gendeng mendarat di ulu hati Legok Ambengan lebih dulu. Orang ini terpekik dan terpental dampai tiga langkah.

“Manusia haram jadah!” rutuk Legok Ambengan. Kedua tangannya bergerak ke pinggang. Sepasang golok andalannya kini tergenggam di tangan kiri kanan. “Setan gondrong! Kucincang tubuhmu!” teriak Legok ambegan. Dua bilah golok berkiblat.

Wiro cepat menyingkir. Orang serumah makan itu kembali gempar. Legok Ambengan memburu Wiro dengan kedua goloknya. Namun setengah jalan langkahnya tertahan. Dia mendengar suara berdesing dibelakangnya. Goloknya diputar di belakang punggung.

“Trang!”

Sebuah pisau belati terbang terpental kena sambaran golok. Namun itu hanya satu dari empat serangan pisau terbang yang sanggup dimentahkannya. Satu berhasil dielakkan. Yang ketiga dan keempat menancap di punggung kiri dan pinggang kanannya!

Legok Ambengan menjerit keras. Dalam keadaan terhuyung-huyung dia coba memutar tubuh untuk melihat siapa yang membokongnya. Dia melihat pemuda pelayan berkopiah merah tegak bertolak pinggang memandang tak berkesip dengan padangan angker ke arahnya.

“Kau... Kau Antini...” Desis Legok Ambengan.

Sambil menyeringai si pelayan buka kopiah merahnya. Semua orang yang ada di situ kecuali Wiro melengak ketika melihat di atas kepala si pemuda tergelung rambut hitam panjang. Pemuda itu goyangkan kepalanya. Rambut yang tergelung tanggal dan jatuh ke bahu.

“Astaga! Pelayan ini perempuan rupanya!” seseorang berseru.

“Tidak disangka wajahnya cantik sekali.” Seorang lain ikut berkata sementara si pemilik rumah makan yaitu Among Kuntoro tercengang-cengang. Diapun tidak pernah menyangka kalau pelayan yang baru bekerja beberapa hari itu ternyata adalah seorang perempuan muda berparas sungguh jelita.

Dalam keadaan seperti itu si pelayan yang tentu saja Antini adanya melangkah mendekati Legok Ambengan. Setengah jalan dia membungkuk dan dengan cepat mengambil golok milik Legok Ambengan yang tadi jatuh. Legok Ambengan yang lemas karena banyak mengeluarkan darah dari dua luka di tubuhnya coba menangkis dengan goloknya sewaktu Antini membacokkan senjatanya ke arah kepalanya.

“Trang!” Golok di tangan Legok Ambengan mental.

“Jangan! Jang...” Teriakan Legok Ambengan putus berubah menjadi jeritan dahsyat ketika Antini menyorongkan goloknya ke bagian bawah perut lelaki itu. Darah muncrat mengerikan.

Saat itu Antini sendiri merasakan tubuhnya menjadi limbung. Selagi dia terhuyung dan tersandar ke dinding bangunan rumah makan, Pendekar 212 cepat mendatanginya.

“Aku sudah menyiapkan dua ekor kuda di halaman samping. Lekas tinggalkan tempat ini!”

Tanpa banyak bicara Antini mengikuti saja ketika dengan cepat Wiro menarik dirinya meninggalkan tempat itu. Sementara rumah makan dalam keadaan kacau balau keduanya berlalu dari situ.

DUA BELAS

Wiro dan Antini memacu kuda masing-masing menuju Selatan sementara sinar sang surya yang tadinya putih silau dan terik kini berangsur menjadi lembut kekuningan tanda hari mulai memasuki rembang petang.

“Ke mana tujuanmu sekarang?” Tanya Wiro.

“Masih ada dua orang manusia terkutuk yang harus kucari. Kebo Panaran dan perempuan bernama ambar Parangkuning itu”

“Terus terang aku memuji ketabahan dan keberanianmu. Kau telah berhasil membunuh tiga dari lima manusia terkutuk itu. Itu bukan pekerjaan mudah. Setahuku di dekat sini ada sebuah telaga kecil. Kuda-kuda tunggangan ini perlu istirahat dan diberi minum. Dekat telaga ada pedataran rumput kecil. Keduanya bisa melepaskan lelah sambil merumput...”

Antini tidak menyahut. Tapi ketika Wiro membelokkan kudanya mengambil jalan menuju telaga yang dikataknannya itu, Antini iktu membelok.

Telaga itu terletak di sebuah lembah kecil yang subur. Dikelilingi oleh pohon-pohon rimbun serta bebatuan. Airnya jernih dan hawa di situ sejuk sekali. Wiro dan Antini turun dari kudanya masing-masing dan melepas kedua kuda itu di pedataran rumput segar. Wiro membasuh mukanya dengan air telaga sementara Antini duduk di atas sebuah batu merendam kedua kakinya yang bagus ke dalam telaga.

“Perutku lapar. Sayang kita tak membekal makanan...” kata Wiro sambil merebahkan diri di atas rerumputan dan memandang ke langit lepas.

Dari balik pakaiannya Antini mengeluarkan sebuah bungkusan kecil. Ketika dibuka isinya ternyata beberapa potong kue. Makanan itu diberikannya kepada Wiro.

“Kalau lapar makanlah...”

Wiro mengambil sepotong kue. Sambil mengunyah dia berkata. “Kue itu pasti kau curi di rumah makan itu.”

Antini tersenyum. “Ah! Ini kali pertama aku melihatmu tersenyum!” kata Wiro.

“Aku memang mencuri kue-kue ini di rumah makan. Tapi kau tidak lebih baik dariku. Kau makan dan minum di rumah makan itu, lalu enak saja ngeloyor tidak membayar!”

“Astaga! Kau betul!” kata Wiro sambil garuk-garuk kepala hingga rambutnya berselomotan minyak kue yang dimakannya.

“Tapi tak usah khawatir. Sudah ada yang membayar.”

“Siapa?” tanya Antini heran.

“Kau!” jawab Wiro.

“Aku?” Antini jadi heran.

“Betul. Kau sudah bekerja di rumah makan itu beberapa hari. Berapapun kecilnya pasti kau harus menerima upah. Nah upah yang belum kau ambil itulah pembayar makanan dan minuman yang kusantap siang tadi!”

Mau tak mau Antini tidak dapat menahan tawanya. Suara tawanya lepas dan merdu. Namun suara tawa ini terhenti sewaktu salah seekor kuda yang masih merumput tiba-tiba mengeluarkan suara meringkik. Wiro cepat bangkit sedang Antini sudah melompat dari atas batu.

“Aku melihat bayangan seseorang di balik pepohonan sana!” kata Wiro lalu berkelebat mengejar.

Tapi begitu sampai di dekat deretan pohon-pohon, bayangan yang dimaksudnya sudah lenyap tanpa bekas. Dia kembali ke tempat Antini.

Dilihatnya perempuan muda itu tengah mengambil sesuatu yang tersisip di kelebatan bulu-bulu leher kudanya. Benda itu adalah segulung kertas.

“Kertas ini sebelumnya tak ada di sini...” kata Antini.

“Ada orang yang melemparkannya. Pasti dia berkepandaian tinggi kerana bukan perkerjaan mudah menyusupkan gulungan kertas di antara bulu-bulu di leher kuda. Coba kau buka. Kurasa sepucuk surat...”

Antini membuka gulungan kertas itu. Di sebelah dalam gulungan kertas ini ternyata diberati dengan sepotong kayu panjang kecil. Dengan adanya kayu itu, seseorang akan lebih mudah untuk melemparkan gulungan kertas. Dengan dada berdegub Antini membuka gulungan kertas. Seperti yang dikatakan Wiro, kertas itu ternyata memang sepucuk surat.

Kebo Panaran berada di Goa Srindil di kaki timur bukit Batu Merah. Dia akan ada di tempat itu pada purnama hari ketiga belas.

“Purnama hari ketiga belas...” desis Pendekar 212. “Berarti besok malam...”

“Aku akan segea menuju ke sana. Bukit Batu Merah satu hari satu malam perjalanan dari sini!” kata Antini.

“Tunggu dulu!” kata Wiro sambil cepat memegang tangan perempuan itu. Sebelumnya jangankan dipegang, diajak bicarapu Antini selalu ketus. Tapi kali ini dia diam saja. Malah ajukan pertanyaan tanpa menarik tangannya yang dipegang hingga Wiro sendiri yang lepaskan pegangannya.

“Kau tahu siapa kira-kira yang membuat dan mengirimkan surat ini?” tanya Wiro. “Bukan mustahil ada seseorang yang hendak menjebakmu”

“Siapa?” tanya Antini. “Kebo Panaran?”

“Memang sulit diduga. Tapi menusia terkutuk itu tidak akan melakukannya. Dia pasti akan membunuhmu begitu melihatmu berada di sini...”

“Kita patut curiga. Tapi bukan tidak mungkin ada seorang teman yang tak mau diketahui memberikan kisikan ini...”

“Misalnya si gemuk yang menculik dan tergila-gila padamu itu,” kata Wiro pula yang membuat paras Antini jadi bersemu merah.

“Seperti dulu-dulu, aku tak ingin kau mengikuti perjalananku...” Pendekar 212 tampak kecewa.

Antini tersenyum. “Tapi sekali ini kau akan kuajak. Mungki aku perlu bantuanmu...”

Wiro tertawa lebar. “Aku ada usul,” katanya. Kita harus menyamar. Pergunakan kepandaianmu untuk merubah dirimu dan juga diriku...”

“Tidak terlalu sulit untuk merubah dirimu jadi seekor kambing misalnya,” kata Antini.

Keduanya lalu sama tertawa mengekeh. Penyamaran yang dibuat Antini cukup meyakinkan. Wiro telah berubah menjadi seorang kakek berjanggut putih sedang Antini sendiri menjadi seorang nenek berambut awut-awutan. Mereka memacu kuda masing-masing dan sama-sama tertawa jika melihat keadaan diri satu sama lain.

Kedua orang itu sampai di kaki bukit sebelah Timur menjelang sore keesokan harinya. Sesuai dengan namanya bukit ini merupakan satu bukit yang selain ditumbuhi pepohonan merah yang berusia ratusan tahun. Berbagai binatang hutan terdengar memecahkan kesunyian.

“Menurut bunyi surat, Kebo Panaran akan berada di tempat ini malam nanti. Bagaimna kalau kita mencari goa itu lebih dulu lalu menyelidikinya. Jika kita memang dijebak, siang-siang begini akan lebih mudah mengetahuinya daripada menunggu sampai malam tiba”

Wiro berpikir sejenak. “Aku setuju pendapatmu, mari...” Lalu keduanya bergerak menyusuri kaki timur bukit itu sampai akhirnya menemukan yang disebut Goa Srindil itu. Goa itu terlihat jelas karena terletak dilamping bukit yang terbuka. Sebuah tangga batu kelihatan menuju ke mulut goa.

“Itu pasti goanya.” kata Wiro. Antini mengangguk dan hendak melompat. Tapi Wiro memberi isyarat. “Kita harus berhati-hati. Aku akan melakukan sesuatu untuk membuktikan tidak ada yang menjebak kita di tempat ini.”

Pendekar 212 lalu kerahkan tenaga dalamnya ke tangan kanan. Tangan itu ampak berubah menjadi putih menyilaukan disertai keluarnya hawa panas. Perlahan-lahan Wiro angkat tangan kanan itu dan diarahkan ke bukit batu merah di lamping kanan mulut goa.

Ketika tangan kanan itu dipukulkan maka berkiblatlah selatik sinar putih menyilaukan membuat Antini bergidik. Pukulan Sinar Matahari! Begitu pukulan sakti itu menghantam dinding bukit terdengar suara menggelegar. Bukit batu merah itu seperti meledak. Hancuran batu berbongkah-bongkah beterbangan di udara. Antini yang tidak menyangka kalau si pemuda itu memiliki kesaktian luar biasa seperti itu jadi tercengang-cengang kagum.

“Kalau ada orang di dalam goa atau di sekitar sini, pasti dia akan muncul untuk menyelidiki. Kita tunggu dan lihat saja!” kata Wiro.

Setelah menunggu sekian lama tak ada gerakan dan tidak ada yang muncul murid Sinto Gendeng turun dari kudanya. Dia memberi isyarat pada Anitini. “Kau tunggu di sini, biar aku yang menyelidiki ke dalam goa.”

“Aku ikut bersamamu!” kata Antini.

“Aku khawatir masih ada bahaya yang tersembunyi,” jawab Pendekar 212.

Tapi sekali ini Antini memaksa hingga Wiro akhirnya mengalah. Kedduanya menyelinap di balik pepohonan, menaiki angga batu yang licin berlumut dengan hati-hati dan akhirnya sampai di mulut goa. Wiro mengintai ke dalam. Mula-mula hanya kegelapan yang terlihat.

Setelah matanya jadi biasa, dia dan juga Antini mulai dapat melihat jelas isi goa. Goa Srindil ternyata hanya merupakan legukan dalam pada bukit Batu Merah itu. Tak terdapat apa-apa di dalamnya kecuali tumpukan dedaunan yang telah mongering. Wiro masuk. Antini mengikuti.

“Tak ada apa-apanya dalam goa ini, “ kata Wiro.

Lalu dia melangkah mendekati tumpukan daun-daun kering. Tumpukan dedaunan itu ditendang-tendangnya dengan kakinya. Tiba-tiba dia melihat sesuatu tersembunyi dibalik tumpukan daun-daun kering. Kini Wiro pergunakan kedua tangannya untuk menyelidiki dan mengangkat daun-daun kering itu.

“Antini lihat!” seru Wiro.

Antini segera mendatangi. Di balik daun-daun kering yang disingkapkan Wiro kelihatan sebuah peti kayu berlapiskan emas.

“Apa isi peti itu?” tanya Antini berbisik. “Bisa harta pusaka atau uang. Bisa juga kosong. Tapi bisa juga berisi mayat!”

Antini tersurut selangkah mendengar ucapan Wiro itu. Peti kayu berlapis seng itu ternyata hanya diikat dengan sehelai tali sehingga Wiro tidak kesulitan untuk membukanya. Di dalam peti itu kelihatan tumpukan berbagai macam perhiasan-perhiasan, uang perak dan uang emas. Lalu ada cangkir dan piring terbuat dari porselen serta perunggu berrlapis emas.

“Bagaimana barang dan uang ini bisa berada di tempat ini?” tanya Antini heran.

“Aneh memang. Orang yang mengirim surat itu pasti tahu peti ini berada di sini. Anehnya mengapa dia tidak mengambil harta benda dan uang yang ada dalam peti ini?!” ujar Wiro pula sambil garuk-garuk kepala.

Dimasukkanya kedua tangannya ke dalam tumpukan uang dan barang-barang berharga di dalam peti. Di dasar peti tangan kanannya memegang sebuah benda berbentuk bulat tapi kosong di sebelah tengahnya. Perlahan-lahan dengan hati-hati Wiro memegang benda itu dan mengangkatnya ke atas.

“Astaga! Ini mahkota Kerajaan!” seru Wiro ketika melihat benda apa yang barusan ditariknya dari dasar peti. Sebuah mahkota emas bertabur berlian dan batu-batu permata warna warni.

“Aku ingat...” kata Antini. “Ketika lima manusia terkutuk itu datang kerumahku, salah seorang dari merreka pernah menyebut harta pusaka yang mereka miliki. Yang bisa dijual atau ditukar untuk dibelikan senjata guna melawan Kerajaan. Pasti ini harta yang dimaksudkan itu!”

“Kerajaan memang pernah mengumumkan tentang lenyapnya mahkota ini. Kepada siapa yang menemukan dan mengembalikannya akan diberikan hadiah besar. Hemm... Pasti ini barang-barang hasil rampokan kelima orang durjana itu. Karena kini hanya dua orang yang masih hidup berarti meraka akan membagi dua. Berarti benar juga isi surat itu bahwa Kebo Panaran akan muncul di sini malam ini. Mungkin dia muncul untuk mengambil peti ini.”

“Apa yang harus kita lakukan sekarang Wiro?” tanya Antini.

Pendekar 212 memasukkan mahkota emas itu ke dalam peti kembali. Lalu peti ditutupnya. “Sebentar lagi malam segera tiba. Mudah-mudahan isi surat itu betul. Kebo panaran akan muncul di sini. Kita bersembunyi di sekitar sini, menunggu kemunculannya!”

“Aku sudah sangat ingin mencincang tubuhnya saat ini juga!” kata Antini. Lalu melangkah meninggalkan goa mengikuti Pendekar 212.

TIGA BELAS

Datangnya malam terasa lama seperti merayap. Ketika akhirnya sang surya tenggela dan rimba belantara di kaki bikit Batu Merah itu menjadi gelap gulita, diam-diam Antini jadi merinding juga. Di kejauhan terdengar suara auman binatang hutan. Suara jengkerik dan kodok terdengar di mana-mana.

“Kau takut...?” bisik Wiro ketika dirasakannya Antini merapatkan diri ke dekatnya. Ketika Atini hendak menjawab cepat Wiro memberi isyarat agar perempuan itu jangan bicara. Lalu dia berbisik. “Aku mendengar suara derak roda-roda gerobak di kejauhan...” Dia memandang ke arah selatan yaitu ujung kaki bukit dari arah mana sebelumnya mereka datang. “Lihat, ada nyala api di kejauhan sana...”

Saat itu selain terdengar suara gemeletak roda-roda gerobak, dari arah selatan memang juga kelihatancahay aterang. Makin dekat makin kentara bahwa nyala terang itu adalah nyala sebuah obor yang diikatkn pada bagian depan sebuah gerobak kecil yang ditarik seekor kuda besar.

Di atas gerobak hanya ada satu orang yakni yang bertindak sebagai sais. Nyala obor yang terang membuat jelas keadaan sosok manusia satu ini. Tampangnya yang garang dan sangar hampir tertutup oleh cambang bawuk serta kumis tebal. Dia mengenakan ikat kepala dan pakaian hitam. Sebilah golok besar tergantung di pinggangnya.

“Memang dia binatangnya!” bisik Antini.

“Maksudmu Kebo Panaran?”

Antini mengangguk. “Dia cuma datang sendirian. Iblis perempuan bernama Ambar Parangkuning itu tidak ikut bersamanya. Aneh, ke mana menghilangnya iblis perempuan itu?”

Gerobak mencapai bagian bukit di mana terdapat tangga batu yang menuju ke mulut Goa Srindil.

“Aku akan membunuhnya saat ini juga!” kata Antini lalu bergerak dari tempatnya.

Wiro cepat menangkap pinggang perempuan ini. “Jangan kesusu,” bisik Wiro. “Kita tunggu dulu apa yang dilakukannya. Dia pasti akan mengambil peti itu. Tapi bukan mustahil dia tidak datang sendirian. Mungkin dia membawa kawan yang sengaja mengawal dari kejauhan...”

“Perduli amat apa dia membawa pengawal manusia atau setan sekalipun. Aku akan mencincang tubhnya sampai lumat!”

“Antini, sabar kataku. Kebo Panaran pasti berkepandaian jauh lebih tinggi dari yang lain-lainnya yang telah kau bunuh. Jadi harus berhati-hati. Tunggu sampai kita mendapat kesempatan paling baik.”

“Menungu sampai kapan?”

“Aku akan beri tahu kapan saatnya kita harus bergerak,” jawab Wiro pula. Lalu dari balik pinggangnya dia mencabut Kapak Maut Naga Geni 212. Senjata itu berkilauan dalam gelapnya malam. “Pegang ini. Kau bisa pergunakan senjata ini untuk menghadapi Kebo Panaran. Aku khawatir jika kau hanya menghadapinya dengan tangan kosong...”

“Aku masih membekal setengah lusin pisau belati pemberian guruku...”

“Jika terjadi perkelahian di dalam goa, pisau terbang itu tak akan banyak gunanya,” kata Wiro pula.

Antini memperhatikan Kapak Maut Naga Geni 212 yang diulurkan Wiro. “Senjata apa ini? Kapak? Bermata dua dan beratnya pasti luar biasa...”

“Coba kau pegang dulu.”

Antini mengambil senjata itu. “Astaga. Enteng sekali!” kata Antini agak keras hingga Wiro terpaksa cepat-cepat menutup mulutnya.

Saat itu Kebo Panaran tampak sudah turun dari atas gerobak. Dia mengambil obor yang terikat di bagian depan gerobak lalu mulai menaiki tangga batu menuju mulut Goa Srindil di lamping bukit Batu Merah. Di mulut goa lelaki itu tampak berhenti sesaat. Dia memandang ke dlaalm goa dengan pandangan tajam. Dan dia melihat ada sesuatu perobahan pada bentuk tumpukan daun-daun kering yang ada di tempat itu. Dia menghirup udara dalam goa dalam-dalam.

“Hemm... ada orang masuk ke sini sebelumnya,” katanya. Obor di masukkannya ke dalam sebuah lobang pendek di dinding goa. Lalu dengan cepat disibakkannya tumpukan daun-daun kering. Hatinya lega sedikit melihat peti berlapis seng itu masih ada di situ. Dengan cepat dibukanya tali pengikat peti lalu tutup peti. Dia benar-benar lega ketika melihat isi peti itu tidak berkurang sepotongpun. Segera peti diikatnya dengan tali kembali.

Kebo Panaran siap mengeluarkan peti itu dari dalam goa. Ketika tangan kirinya hendak menjangkau obor tiba-tiba satu bayangan berkelebat. Seorang nenek-nenek berpakaian serba putih denga rambut awut-awutan tegak di depannya. Di tangan kanannya dia memegang senjata aneh yaitu sebatang kapak bermata dua yang masing-masing matanya mengeluarkan cahaya terang. Kejut Kebo Panaran bukan alang kepalang.

“Tua bangka! Siapa kau! Setan atau manusia?!”

Si nenek yang bukan lain adalah Antini keluarkan suara tawa mengekeh. “Orang yang mau mampus memang layak bertanya. Aku tua bangka malaikat maut yang akan mencabut nyawamu Kebo Panaran!”

“Eh! Kau kenal namaku?!” kejut Kebo Panaran.

Si nenek kembali mengekeh. “Malaikat maut selalu tahu pasti nama dan siapa orang yang bakal diajaknya minggat ke akhirat. Hik hik hik! Aku sudah menyediakan tempat yang baik untukmu di liang neraka!”

“Keparat gila!” hardik Kebo Panaran. Sudut matanya melihat seseorang tegak di pintu goa. Dia cepat berpaling. Di mulut goa dilihatnya tegak seorang kakek berjanggut putih. Si kakek tertawa mengekeh dan berkata,

“Aku malaikat temannya malaikat yang hendk emncabut nyawamu itu! Ha ha ha! Aku sengaja berdiri di sini agar kau tidak bisa kabur!”

“Keparat! Siapa mau kabur! Kalian berdua kalau tidak lekas angkat kaki dari sini akan kupecahkan kepala kalian!”

“Mau memecahkan kepalaku? Silahkan!” kata si kakek berjanggut yang tentunya adalah Pendekar 212. Lalu dia ulurkan kepalanya ke arah Kebo Panaran.

Saking marahnya Kebo Panaran lantas saja menghantam kepala itu dengan tinju kanan. Gerakannya cepat serta mengeluarkan suara menderu.

“Bukk!”

Kebo Panaran mengeluh tinggi. Yang dihantamnya bukan kepala Pendekar 212, melainkan sebuah batu besar yang dengan cepat disorongkan Wiro melindungi kepalanya. Batu itu hancur lebur tapi tangan Kebo Panaran sendiri tampak lecet!

Sadarlah Kebo Panaran kalau saat itu dia tidak berhadapan dengan orang-orang sinting. Si kakek berjanggut jelas memiliki kepandaian tinggi. Kalau tidk mana dia mampu berbuat seperi itu. Dia berpaling pada si nenek yang saat itu tegak menyeringai.

“Kebo Panaran! Kau sudah siap untuk dicincang?” Kapak di tangan si nenek berputar-putar hingga cahayanya yang menggidikkan berpijar-pijar menyilaukan mata Kebo Panran.

“Tua bangka buruk sepertimu hendak mencincang Kebo Panaran? Huh!” Kebo Panaran mendengus dan segera mencabut golok besar di pinggangnya. Sekali dia mengayunkan tangn golok besar itu berkelebat ke arah leher si nenek.

Antini cepat angkat Kapak Maut Naga Geni 212 di tangannya untuk melindungi diri dan menangkis. Di antara gaungan Kapak Naga Geni 212 terdengar suara berdentrangan.

“Trang!”

Mata golok dan mata kapak saling bentrokan. Kebo Panaran berseru kaget seraya melompat mundur. Golok ditangannya gompal besar dan senjata itu hampir terlepas. Tangannya sendiri terasa panas kesemutan.

“Tua bangka edan. Siapa kau sebenarnya?!” tanya Kebo Panaan membentak sambil melirik ke arah kakek yang menghadang di pintu. Diam-diam hatinya mulai tidak enak. Si nenek memiliki senjata aneh yang luar biasa. Sedang si kakek sampai saat itu hanya bertangan kosong.

Maka Kebo Panaran melompat ke arah mulut goa. Ujung goloknya secepat kilat ditudingkan ke leher Pendekar 212. Sebelum dia sempat menusukkan senjata itu Pendekar 212 yang dalam samaran kakek berjanggut putih menghantam dengan tangan kanan. Segulung angin dahsyat menerpa Kebo Panaran sehingga lelaki ini terdorong ke dalam goa kembali. Sebelum dia sempat berbuat sesuatu si nenek yang memegang kapak telah menyergapnya. Kebo Panaran cepat babatkan goloknya kepinggang.

Si nenek tak kalah cepat. Segera pula menghantam dengan Kapak Maut Naga Geni 212. Terdengar suara bergaung laksana tawon ngamuk yang disertai berkiblatnya cahaya menyilaukan dan hawa panas menghampar. Untuk kedua kalinya kapak dan golok saling bentrokan.

Kali ini Kebo Panaran tak sanggup bertahan. Goloknya bukan saja patah dua tetapi juga terlepas mental. Sebelum dia bisa bergerak salah satu mata kapak yang dipegang si nenek telah menempel di tenggorokannya.

“Nenek.... aku tidak kenal siapa kau. Aku tidak ada permusuhan apapun denganmu. Jika kau dan kawanmu inginkan harta itu, kita bisa berunding. Aku tidak keberata membagi tiga isi peti itu!”

Si nenek terawa tinggi. Lalu gerakkan tangan kirinya ke atas kepala. Rambutnya yang awut-awutan tanggal dan kini kelihatan rambutnya yang asli, panjang hitam terjela ke pinggang. Sepasang mata Kebo Panaran terbeliak tapi dia masih belum dapat memastikan siapa adanya si rambut hitam bermuka nenek keriput itu.

“Kau belum mengenali diriku Kebo Panaran?” Si nenek menyeringai. Lalu dia usap wajahnya yang buruk. Selapis topeng tipis tersingkap lepas dan kini kelihatanlah wajahnya yang asli.

“Kau... kau istri Lor Kameswara! Kau... Kau Antini...!” Kata Kebo Panaran penuh kejut dan wajah berubah pucat.

“Bagus! Akhirnya kau mengenali diriku manusia terkutuk. Saat kematianmu sudah datang!” Antini angkat tangannya yang memegang Kapak Maut Naga Geni 212.

Tiba-tiba Kebo Panaran jatuhkan diri ke lantai goa dan berlutut. “Antini dosaku memang besar. Tai aku yakin kau mau mengampuni diriku. Aku mengaku bersalah besar dan bertobat...”

“Penyesalan selalu datang terlambat manusia iblis!”

"Dengar Antini. Dalam peti itu ada harta kekayaan yang tidak ternilai harganya. Jika ka mengampuni diriku separuh harta itu akan jadi milikmu. Kau akan hidup kaya raya. Kau bisa mencari suami lain pengganti Lor Kameswara. Kau masih muda...”

“Manusia keparat! Makan dulu kakiku ini! teriak Antini. Kaki kanannya melesat ke dada Kebo Panaran hingga terdengar suara bergedebuk dan lelaki itu terkapar di lantai. Tapi dia cepat bangkit dan berlutut kembali.

“Ampuni selembar nyawaku Antini. Semua harta dalam peti itu boleh kau ambil. Asal kau memprbolehkan aku pergi dari sini. Aku akan kembali ke jalan benar. Aku tidak akan melakukan kejahatan lagi. Juga tidak akan meneruskan pemberontakan...”

“Hem... Bagaimana dengan kawanmu yang satu lagi. Perempuan bernama Ambar Parangkuning itu?!”

“Aku tidak tahu dia berada di mana. Dia menghilang sejak peristiwa itu...” jawab Kebo Panaran. “Tapi aku tahu satu tempat di mana dia berada. Aku punya petanya...” Lalu Kebo Panaran memasukkan tangannya ke balik pakaian hitamnya. Ketika tangan itu keluar yang dipegangnya bukan sehelai kertas atau peta melainkan sebuah benda bulat hitam. Dengan cepat benda itu dipencetnya.

“Tesss!” terdengar satu letusan kecil. Bersamaan dengan itu asap hitam mengebubu memenuhi goa.

Antini dan Wiro merasakan mata mereka menjadi perih, nafas sesak. Lutut mereka tertekuk lalu keduanya terjatuh ke lantai goa. Antini merasakan ada tangan yang menarik Kapak Naga Geni yang dipegangnya. Dia berusaha mempertahankan tapi daya dan kekuatannya seperti lenyap.

Begitu berhasil merampas Kapak Maut Naga Geni 212 Kebo Panaran berkelebat ke pintu goa. Namun baru saja dia sampai di luar satu tangan berkelebat ke dadanya dan satu totokan bersarang di tubuhnya membuat Kebo Panaran tidak mampu bergerak lagi, apalagi melarikan diri.

“Perempuan laknat! Siapa kau?!” teriak Kebo Panaran ketika melihat orang yang menotoknya adalah seorang nenek berambut kelabu kasar dan berjubah hitam. Nenek itu tertawa mengekeh.

“Anak manusia, kejahatanmu sudah lewat takaran. Lebih dalam dari lautan dan lebih tinggi dari langit. Jangan harap kau bisa melarikan diri. Malam ini kau sudah ditakdirkan untuk menemui kematian di tangan perempuan yang telah kau rusak kehormatannya dan keu bunuh suaminya!”

Saat itu asap hitam yang ada di dalam goa berangsur-aangsur mulai pupus. Udara segar bertiup masuk sehingga Wiro dan Antini merasa dadanya yang sesak pulih kembali. Kedua matanya tidak lagi perih dan rasa lemas di tubuh masing-masing berangsur lenyap. Perlahan-lahan kedua orang ini berdiri. Melangkah ke mulut goa mereka apatkan Kebo Panaran berada dalam keadaan tertotok dan memaki-maki seorang perempuan tua berjubah hitam.

Begitu melihat si nenek berambut kelabu kasar ini, Antini langsun berteriak “Guru!”

“Ah, jadi inilah manusia yang dipanggil dengan sebutan Nenek Tidar itu...” kata Wiro dalam hati.

“Nek, syukur kau muncul. Kalau tidak manusia terkutuk ini pasti sempat melarikan diri!” Antini melompat ke hadapan Kebo Panaran dan cepat merampas kembali Kapak Maut Naga Geni 212 yang dipegang Kebo Panaran di tangan kanannya.

Nenek Tidar melirik sesaat pada muridnya lalu memperhatikan Pendekar 212. Dengan tangan kanannya dia menarik lengan Kebo Panaran ke dalam goa lalu melepaskan totokan di tubuh lelaki itu. “Muridku Antini, saatmu melakukan pembalasan!” Lalu dengan cepat dilepaskannya totokan di dada Kebo Panaran.

Mendengar ucapan gurunya Antini yang memang sudah tidak sabaran segera melompat ke hadapan Kebo Panaran. Kapak Naga Geni 212 berkelebat ke arah dada Kebo Panaran. Lelaki ini cepat mengelak. Tapi begitu lolos dari serangan Antini kembali memburu dengan senjata mustika di tangannya. Kebo Panaran yang sebenarnya sudah putus asa berkelabat kian kemari menghindari sambaran kapak maut itu.

Namun di satu sudut goa dia tidak mampu lagi mengelak. Salah satu mata kapak membabat bahu kanannya. Lelaki ini menjerit setingi langit. Darah muncrat dari bahunya yang hampir putus! Tubuhnya terhuyung-huyung hilang keseimbangan. Dari mulutnya terdengar suara aneh. Suara seperti gerungan dan teriakan kesakitan serta suara seperti orang merta.

“Antini ampuni di...”

Ucapan Kebo Panaran terputus. Kapak Maut Naga Geni 212 kembali berkiblat. Kali ini mencari sasaran di pangkal leher sebelah kiri. Kebo Panaran meraung keras menggidikkan. Sekujur tubuhnya bersimbah darah. Kapak di tangan Antini berkelebat kembali. Kali ini menghantam ke bagian bawah perut Kebo Panaran. Ketika senjata itu membelah selangkangannya, tak ada lagi jeritan yang keluar dari mulut Kebo Panaran.

Mungkin nyawanya sudah lepas sewaktu pangkal lehernya kena dibacok tadi. Tubuh Kebo Panaran terjatuh ke lantai goa. Seperti orang kemasukan setan Antini membacokkan kapak itu berulang kali ke kepala dan sekujur tubuh Kebo Panaran. Mengerikan sekali. Kapala dan tubuh Kebo Panaran tak berbentuk lagi. Terpotong-potong dalam kepingan-kepingan menggidikkan.

Ketika Nenek Tidar memegang bahunya dan berkata “Antini muridku, cukup. Jangan ikuti kemauan setan. Musuh besarmu sudah kau tamatkan riwayatnya...”

Pendekar 212 cepat mengambil Kapak Maut Naa Geni dari tangan Antini. Antini sendiri menutupi mukanya dengan kedua tangan lalu menangis keras. Di antara tangisnya terdengar suaranya berkata.

“Masih ada, masih ada satu lagi yang harus kucari dan kubumuh. Perempuan bernama Ambar Parangkuning itu!”

“kau akan menemukannya, Antini. Kau pasti akan menemuinya.” Bekata Nenek Tidar.

“Guru... Kau... kau tahu di mana orang satu itu berada?”

“Dia ada di dekat sini Antini. Dia tidak jauh darimu. Dia ada di depanmu!” jawab Nenek Tidar.

“Guru, apa maksudmu...? Tanya Antini seraya menurunkan kedua tangannya dan memandang tepat-tepat pada perempuan tua di depannya.

Wiro sendiri juga tampak heran dan berusaha menduga-duga. “Jangan-jangan...”kata murid Sinto Gendeng dalam hati.

Belum sempat dia menyelesaikan ucapannya Nenek Tidar menggerakkan tangan kanannya ke muka. Dia seperti menarik sesuatu dari wajahnya. Kagetlah Antini ketika melihat wajah asli si nenek. Tapi dia masih belum yakin. Si nenek yang kini berwajah jauh lebih muda membuka jubah hitamnya. Di balik jubah itu ternyata dia mengenakan sehelai pakaian serba kuning. Ingatan Antini kembali penuh.

“Kau... Orang kelima itu! Kau Ambar Parangkuning!” teriak Antini.

Perempuan di hadapan Antini mengangguk dan tersenyum kecut. “Tidak salah. Aku memang Ambar Parangkuning. Salah satu dari lima manusia durjana yang melakukan perbuatan terkutuk itu. Aku yang mengirimkan surat bahwa Kebo Panaran akan berada di sini. Lalu aku ikut muncul ke tempat ini agar kau dapat menyelesaikan segala dendam kesumatmu secara tuntas. Aku sudah siap untuk menerima kematian. Hukuman atas diriku tidak berbeda dengan empat kawanku lainnya...”

Antini menjerit keras. Dia melompat berusaha mengambil Kapak Maut Naga Geni 212 dari tangan Wiro. Tapi sang pendekar berkelebat dan memegan lengan Antini seraya berkata,

“Jangan kau turutkan ajakan setan Antini. Saat ini kau harus berpikir panjang sebelum mengambil keputusan...”

“Aku haru membunuh dia! Dia salah seorang dari manusia-manusia terkutuk itu! Mereka membunuh suamiku! Mereka merusak kehormatanku secara keji...”

“Antini...” kata Ambar Parangkuning dengan suara tersendat. “Aku menyesal telah bergabung dengan orang-orang itu. Aku tidak pernah menyangka mereka akan sebiadab itu. Apa yang kami setujui bersama ialah meneruskan perjuangan meruntuhkan kekuasaan Sri Baginda yang baru. Namun mereka kemudian menyimpang dari cita-cita perjuangan. Mereka mulai merampok, membunuh dan merusak kehormatan anak istri orang. Puncak kebengisan mereka terjadi ketika mereka membunuh suamimu Lor Kameswara lalu memperkosamu bergantian. Aku berusaha melarang mereka tapi tak berhasil. Itulah sebabnya sejak kejadian itu aku menghilang. Aku ikut merasa berdosa. Aku harus mencari jalan untuk dapat lepas dari beban dosa yang begitu besar dan berat. Itu sebabnya aku membawamu dan mengambil dirimu menjadi murid. Dengan kepandaian yang tidak seberapa itu aku ingin agar kau mampu melakaukan pembalasan membunuh semua musuh suamimu dan musuhmu sendiri. Termasuk diriku! Antini, aku yang berdosa ini siap menerima kematian...”

Kedua mata Antini tidak berkedip. Dia melihat Wiro tegak di hadapannya. Sang pendekar menggelengkan kepalanya berkali-kali. “Ingat Antini, dia tidak sama dengan empat lelaki terkutuk itu. Walaupun dia termasuk dalam kelompok mereka tapi jelas dia tidak ikut membunuh suamimu, juga tidak ikut merusak dirimu. Inga juga jasanya yang telah mengusahakan agar kau dapat membalaskan sakit hati dendam kesumatmu...”

“Anak muda,” kata Ambar Parangkuning. “Segala jasa dan apa yang aku perbuat tidak ada artinya. Aku tak ingin berlindung di balik semua itu untuk dikasihani. Antini, lakukanlah Nak...”

Antini menangis sesenggukan. “Tidak... Aku tidak akan membunuhmu. Kau... kau boleh pergi. Kalau kau pergi bawa serta peti berisi harta itu...”

Ambar Parangkuning tampak tercengang. “Tidak salahkah pendengaanku?” ujarnya perlahan.

“Pergilah. Aku tahu kau orang baik. Bahkan aku harus berterima kasih pada hari itu kau menyelamatkanku dan mengambilku jadi murid. Pergilah, biar kita berpisah dengan hati sama tenteram dan tanpa rasa dendam...”

Sepasang mata Ambar Parangkuning berkaca-kaca. Dia tegak dan melangkah mendekati peti kayu berlapis seng. Dibukanya ikaan tali pada peti. Dia berpaling sesaat pada Antini dan Pendekar 212.

“Aku hanya akan mengambil benda dalam peti ini.” Lalu Ambar Parangkuning mengeluarkan mahkota emas bertahta berlian dari dalam peti. “Mahkota ini adalah milik Kerajaan, siapapun yang memerintah saat ini. Aku merasa brkewajiban untuk mengembalikannya ke Keraton.” Ambar Parangkuning menutup peti kembali lalu dia melangkah mendekati Antini. “Aku berterima kasih atas pengampunan yang kau berikan. Aku berdoa untuk keselamatan dan kebahagiaanmu di masa depan.”

Ketika Ambar Parangkuning memeluknya, Antini merangkul tubuh perempuan itu erat-erat.

“Selamat tinggal Antini...” kata Ambar Parangkuning.

“Selamat jalan guru...” Balas Antini yang membuat hati Ambar Parangkuning jadi sangat terenyuh. Lalu dia cepat-cepat melangkah ke mulut goa. Di lain saat perempuan lenyap dalam kegelapan malam.

Lama Antini tertegun did lama goa. Akhirnya dia berpaling pada Wiro. “Kau juga ingin pergi...?” tanya Antini.

Pendekar 212 menggeleng. “Kau kulihat sangat letih. Sebaiknya kau beristirahat saja di sini sambil menunggu pagi. Biar goa ini kubersihkan dulu...”

Dengan kakinya Wiro tendang mayat Kebo Panaran hingga menelat mental ke luar goa. Lalu dengan daun-daun kering dibersihkannya lantai goa itu. Antini duduk di salah satu goa. Dia masih menatap Wiro. Lalu terdengar dia berucap,

“Peti itu Wiro... Barang-barang di dalamnya bukan milik kita. Semua hasil rampokan. Harus kita kembalikan...”

“Kembalikan pada siapa?” tanya Wiro. Ketika Antini tidak menyahut Wiro berkata. “Kurasa tidak ada salahnya kau menyimpan isi peti itu untuk bekal masa depanmu. Kau telah kehilangan segal-galanya...”

Antini menggeleng. “Aku akan menjual rumah dan ladang mendiang suamiku. Itu akan kujadikan modal hidup di kemudian hari. Aku akan pulang ke rumah orang tuaku. Peti itu kuserahkan padamu...”

Wiro jadi garuk-garuk kepala. “Terus terang aku memang tertarik dangan isi peti itu. Tapi lebih terus terang aku tak mau memilikinya”

“Lalu akan kita apakan harta kekayaan itu...” tanya Antini.

“Sebaiknya malam ini hal itu tak usah kita pikirkan dulu. Kau perlu istirahat. Tidurlah sepuasmu. Aku akan menjagamu di mulut goa sana...”

“Di mulut goa? Kenapa mesti di mulut goa? Kenapa tidak sama-sama di dalam sini?”

Wiro tertawa. “Kau tidak lagi membenci atau takut pada laki-laki?”

Antini tertawa lebar. “Perlu apa takut pada seorang kakek tua renta yang tidak punya daya apa-apa sepertimu ini!”

Astaga! Wiro baru sadar. Saat itu dia masih mengenakan topeng tipis dengan wajah seorang kakek lengkap dengan janggut putihnya. Cepat-cepat Wiro menanggalkan topeng samaran itu.

“Nah, kalau keadaanmu seperti ini sekarang, aku harus berhati-hati...” kata Antini pula.

Wiro tertawa bergelak. “Harus kau buktikan dulu, apa memang kau harus berhati-hati terhadapku,” kata Wiro seraya menggeser duduknya.

Lalu tangannya dilambaikan ke arah obor. Obor padam. Goa serta merta diselimuti kegelapan. Antini terpekik. Dalam takutnya tanpa disadarinya dia menggeser duduknya mendekati Wiro. Dalam gelap Wiro tertawa bergelak. Kemudian dirasakan jari-jari tangan perempuan itu memegang jari-jari tangannya.
T A M A T

Episode Selanjutnya:
LihatTutupKomentar