Jejak Di Balik Kabut

PERJALANAN itu sudah menjadi semakin jauh. Malam pun menjadi larut. Embun mulai terasa membasahi kulit. Ketika Paksi Pamekas berpaling, yang nampak hanyalah kegelapan. Hitam pekat. Paksi Pamekas tidak tahu, kemana ia harus pergi. Tetapi ia harus pergi meniggalkan rumahnya. Meninggalkan ibunya dan dua orang adiknya. Seorang laki-laki dan seorang perempuan. 
Masih terngiang perintah ayahnya yang memandangnya dengan mata membara "Kau sudah menjadi seorang laki-laki dewasa. Kau tidak boleh hanya berpangku tangan saja dirumah, sementara keluarga ini terancam bencana. Paksi Pamekas menarik nafas dalam-dalam. Kakinya terantuk batu padas sehingga langkahnya menjadi gontai. Paksi berhenti sejenak. Pepohonan yang tegak membeku di sekelilingnya seakan-akan merubunginya. 
Gem-risik angin di dedaunan bagaikan melontarkan pertanyaan lembut "Kau akan pergi ke mana anak muda?" Paksi kemudian bahkan duduk diatas batu padas dipinggir jalan yang menjadi kian sempit dan rumpil. Terngiang suara ibunya "Kakang Tumenggung. Paksi masih terlalu muda untuk melakukan tugas yang begitu berat." "Kau selalu memanjakannya " bentak ayahnya "umurnya sudah menginjak tujuhbelas tahun. Apakah ia masih harus tidur dibawah lengan ibunya?" "Kau sengaja mengusirnya" ibunya mulai menangis. "Sudah waktunya ia menunjukkan baktinya kepada orang tuanya" ayahnya menjadi semakin keras. Ibunya menjadi terisak. Tetapi ayahnya tidak menjadi semakin lembut. Bahkan kata-katanya menjadi semakin tajam "Aku tidak ingin mempunyai anak yang hanya dapat merengek, merajuk dan bahkan menangis. Ia harus benarbenar menjadi seorang laki-laki. Adiknya pada saatnya juga harus menjadi laki-laki sejati. Se-bagaimanaanakmu yang bungsu juga harus menjadi perempuan panutan. Aku seorang Tumenggung. Seorang Pandhega dalam tatanan keprajuritan. Apakah anakku harus menjadi anak yang cengeng, sementara ayahnya berada dalam kesulitan?"
Download gratis eBook cerita silat jawa format .jar dan bundel .txt .
LihatTutupKomentar